Pencarian

Pembangkang 1

Girl Talk 04 Pembangkang Bagian 1


YANG DIOBROLIN KALI INI...
ALLISON : Kamu tahu nggak sih, akhir-akhir ini kita semua
mikirin kamu!
RANDY : Jangan khawatir, aku baik-baik aja kok.
ALLISON : Tapi kenapa kamu seperti menghindari kita terus?
RANDY : Kurasa, karena aku lagi banyak pikiran aja....
Soalnya aku harus segera memutuskan, menetap
selamanya di sini atau balik ke New York.
ALLISON : Apa? Kami pikir kamu sudah mulai kerasan di sini.
RANDY : Iya sih. Tapi aku kan kangen New York juga!BAGIAN SATU
"Percaya nggak?" seru Sabrina tiba-tiba.
Kami menatapnya dengan hati bertanya-tanya. Ada apa dengan
si imut-imut ini. Dia seperti membawa rahasia besar.
"Stacy mengundang Sam ke pestanya!" ia menjawab sendiri
pertanyaannya sambil menyelipkan rambut ikalnya ke balik telinga.
Sabs tidak menyukai rambutnya sendiri, tapi aku tak pernah
mengerti apa alasannya. Rambutnya panjang, pirang dan ikalnya
bagus. Ia menginginkan rambut seperti Katie, lurus, pirang dan selalu
rapi. Menurutku sih, si Sabs justru kelihatan lebih cantik dengan
ikalnya itu.
Hari itu kami berempat sedang makan siang di kantin Bradley
Junior High School. ?Semua? maksudku adalah Sabrina, yang biasa
dipanggil Sabs, Katie, Allison, sahabatku yang paling dekat, dan aku
sendiri, Randy.
"Masa?" sahut Katie antusias.
Katie benar-benar tipe manusia yang selalu rapi. Dalam segala
hal! Kadang-kadang aku sendiri heran, kok bisa ya aku berkawan
dengan orang kayak dia. Di New York, kota asalku dulu, mana mau
aku berteman dengan orang macam begini. Rasanya nggak sreg.
Kebetulan juga, di sekolahku di New York dulu ? hanya sekolahswasta kecil ? memang tidak ada tipe cewek kayak Katie. Di sana sih
murid-muridnya kelihatan seperti... seniman! Atau semacam itulah.
Jelas-jelas jauh berbeda dengan anak-anak di Acorn Falls, Minnesota,
tempat aku dan Mamiku kini menetap.
"Sam kan sahabatnya Nick," lanjut Katie. "Dan Stacy selalu
merasa Nick itu pacarnya."
"Ya, ya... aku tahu itu," Sabs setuju. "Tapi tetap saja Sam
jengkel begitu tahu kita berempat nggak diundang."
"Emangnya, apa sih yang kamu harapkan?" tanyaku padanya.
"Si Stacy paling-paling kan cuma pingin pamer doang."
Sam adalah saudara kembar Sabrina. Beda usianya cuma empat
menit. Tapi anehnya, mereka selalu ribut macam kucing dan anjing,
walaupun aku tahu persis bahwa mereka sebetulnya saling
menyayangi. Mungkin itu sifat anak kembar, ya? Tapi entahlah. Aku
tak bisa membayangkan bagaimana rasanya. Mungkin asyik juga
ya...?
"Kamu sih cuma bisa membayangkan gimana rasanya hidup
dengan Sam," Sabrina menghela nafas. "Enakan jadi anak tunggal
kayak kamu deh, Randy."
Sabs kembali menghabiskan makanannya. Ia selalu makan
sedikit. Bukan lantaran memang perlu diit, tapi dia selalu merasa
kegemukan.
Kurasa Sabs terlalu banyak membaca majalah remaja yang suka
menampilkan gadis-gadis model dengan tubuh super kurus. Dia
anggap itu contoh, soalnya si Sabs bercita-cita jadi bintang film dan
model.Sudah pernah kuberitahu Sabs, bahwa Top Model masa kini
tidak harus kurus kering seperti jerangkong! Mereka tetap punya
daging di tulangnya. Malah harus berisi dan sehat. Mereka kan
membutuhkan tubuh yang selalu fit, bukan cuma menarik. Aku tahu
persis hal itu, karena Samantha, salah satu sahabat karibku di New
York, sudah lima tahun jadi model. Kadang-kadang aku menemani dia
ke lokasi pemotretan.
"Lagipula siapa sih yang mau datang ke pesta Stacy?" tanya
Katie tenang.
Katie memang selalu begitu. Kalem dan rasional. Pertama kali
berkenalan dengan dia di awal tahun ajaran baru, kesannya seperti
patung es!
Itulah Katie yang selalu kelihatan tenang, rapi, cantik, dan tak
pernah menunjukkan gejolak perasaannya. Saat sedih ataupun
gembira. Tapi itu sebelum aku benar-benar mengenalnya....
Kenyataannya dia banyak membuatku terkejut. Salah satu
contohnya waktu ia bergabung dalam tim hoki es putra beberapa
minggu lalu. Selain t-shirt model polo dan leher tingginya, Katie bisa
sama serunya lho dengan teman-temanku di New York. Diam-diam
anak itu rancak juga.
Bagaimanapun, Katie, Sabrina dan Allison adalah orang-orang
yang paling kusukai di Acorn Falls. Kami adalah kelompok yang
cukup aneh di sekolah ini. Perilaku kami masing-masing berbeda, tapi
kami bisa kompak dan bersahabat karib.
Tentang Allison?
Aha, ini dia. Al cewek yang super kalem. Menurutku dia cantik.
Sikapnya beda banget dengan aku, tapi justru dialah yang kuanggapteman yang paling cocok. Dia keturunan Indian dari suku Chippewa.
Kurasa asyik juga jadi orang Indian. Kupikir di New York kita bisa
ketemu semua jenis ras atau suku-suku bangsa yang ada di muka
bumi. New York kan kota megapolitan. Nyatanya, baru di Acorn Falls
ini aku ketemu suku bangsa asli Amerika!
Aku dan Mamiku pindah ke sini bulan Juni lalu setelah orang
tuaku bercerai. Mami dibesarkan di sini dan katanya, ?ingin kembali
ke kampung halaman? selama setahun. Semula aku lebih senang jika
kampung halaman Mami di Long Island atau tempat lain. Soalnya
Acorn Falls benar-benar jauh sih.
Pertama kali tiba, aku langsung tidak menyukai tempat ini.
Sama sekali tidak suka! Aku telah terbiasa dengan kehidupan New
York yang begitu dinamis. Meriah setiap saat.
Di Acorn Falls?... Wah, susah! Contoh kecil saja, kalau kita
pingin beli majalah atau permen karet di hari Minggu, kita terpaksa
cari ke ?kota terdekat?, karena hampir semua toko tutup di hari
Minggu. Payahnya lagi, kita harus pakai mobil, soalnya yang namanya
?kota terdekat? jauh juga letaknya!
Soal jalan utama? Sampai kini aku masih susah percaya bahwa
Acorn Falls juga memilikinya! Menurutku yang namanya jalan utama
harusnya megah, lebar, dan padat oleh lalu-lintas yang hiruk-pikuk.
Tapi jalan utama di sini sih seperti zaman Tom Sawyer. Sepi.
Lengang. Bikin ngantuk!
Keadaan mulai membaik setelah aku berkenalan dengan
Sabrina, Katie dan Allison. Meskipun begitu keinginanku untuk
kembali ke New York tetap menggebu-gebu. Aku kangen pada teman-
teman lamaku, terutama Sheck. Tapi Sheck berjanji akan datang keAcorn Falls untuk merayakan Thanksgiving Day bersama. Rasanya
aku tak sabar menunggu kedatangannya.
Tiba-tiba Allison membuyarkan lamunanku.
"Kita cepet-cepet yuk, makannya. Aku pingin cepet-cepet bikin
karya tulis bahasa Inggrisku," katanya sambil membuka kantung
makan siangnya yang berwarna coklat. Al selalu membawa bekal dari
rumah. Satu hal dari Allison yang tak begitu aku sukai adalah karena
ia selalu mengerjakan pe-er setiap ada kesempatan, paling tidak
memikirkannya setiap saat! "Kalian mau menulis apa?" tanyanya.
"Aku sih mau menceritakan kembali kisah Tom Sawyer," sahut
Katie.
Sabs menjulurkan lidahnya. "Weeekk...!" ia meniru suara
bebek, mencemooh pembicaraan Katie dan Allison. Begitu pula aku.
Bagaimana tidak? Orang lagi enak-enak makan siang, kok malah
ngomongin pe-er! Heran!
"Apa pendapatmu tentang pesta si Stacy, Al?" Sabs berusaha
mengalihkan pembicaraan.
"Maksudmu pesta kita itu?" Allison menanggapi sambil
tersenyum. Kurasa ia sesekali senang juga menggoda Sabrina. Seperti
aku. Soalnya si rambut ikal ini kadang-kadang kelewat serius
membahas suatu masalah, sehingga aku selalu ingin tertawa kalau
melihat ?gaya?-nya. Tapi Sabs tahu kita cuma bercanda, tidak
sungguhan mentertawakannya.
"Aku kan nggak diundang, jadi nggak tahu apa-apalah ya,"
tutur Allison. "Aku malah jadi khawatir, jangan-jangan di antara kita
ada yang diundang," tanyanya dengan raut wajah yang dibuat sangat
khawatir.Katie jadi cekikikan. "Sebenarnya sih aku diundang, tapi jangan
bilang siapa-siapa ya?"
Sabrina tertawa mendengarnya. Aku juga. Soalnya, benar-benar
mustahil Stacy Hansen akan mengundang kami berempat ke pesta
besar tahunannya itu. Tak terbayangkan!
Stacy adalah tipe cewek yang selalu bergaya bak putri raja.
Lagaknya,...puah! Minta ampun tengiknya! Memang sih ayahnya
Kepsek kami, tapi dia kan tidak perlu berlagak seolah-olah dialah
pemilik sekolah ini.
Banyak orang bilang bahwa Stacy termasuk cewek yang cantik.
Tapi bagiku sih biasa-biasa saja. Tak ada yang istimewa dari dirinya.
Rambut pirang, mata coklat yang besar... semua biasa saja.
Tampangnya malah mengingatkanku pada cewek-cewek dalam iklan
mobil!
Hanya saja dialah gadis pertama dari kelas tujuh yang
mempelopori pemakaian Bra ke sekolah. Dan?yang ?istimewa? ?
dia memamerkan Bra barunya itu! Kata norak barangkali masih
kurang buat dia!
Entah mengapa, Stacy selalu memusuhi kelompok kami.
Menurut perasaanku sih, dia iri pada Sabs. Semua orang menyukai
Sabrina. Anak ini memang punya ribuan teman. Aku sendiri heran
bagaimana temannya bisa sebanyak itu. Kurasa karena Sabs selalu
baik pada semua orang sehingga demikian pula sebaliknya. Kadang-
kadang susah lho bagiku untuk selalu bersikap ramah pada setiap
orang. Apalagi kalau lagi nggak mood. Sabrina tak pernah punya
mood jelek. Sesekali memang ia juga merasa tertekan seperti yang
lain, tapi cuma sebentar."Idih, pakaiannya berantakan banget...!" terdengar suara
nyaring Eva Malone dari arah belakang meja kami. Aku tak perlu
menoleh untuk menebak siapa yang dimaksud Eva, soalnya aku
yakin...pasti aku!
Eva adalah salah satu sahabat Stacy. Stacy punya tiga sahabat
yang biasa kami juluki badut-badut. Eva adalah yang paling akrab dan
paling menyebalkan. Ia kami juluki ?Si Mulut Besar?.
Kulihat Allison mulai gelisah. Ia membenci perselisihan. Sabs
dan Katie hanya menatapku. Lalu Sabs berdiri dari kursinya. Sabs
selalu ingin membela teman dekatnya yang diledek, meskipun belum
siap dengan kata-kata balasan. Tapi sebenarnya sih aku tidak perlu
bantuan, sejauh aku bisa mengatasinya sendiri.
"Duduk sajalah, Sabs," aku menariknya duduk kembali.
"Apa sih bagusnya warna hitam?" tanya Laurel Spencer keras-
keras. "Kayak lagi upacara pemakaman aja. Lagi berkabung ya?"
Aku kaget sebentar. Biasanya Laurel tidak pernah ngomong
sepatah kata pun. Laurel yang dingin seperti es itu kini berani buka
suara! Pasti ada yang istimewa nih!
Kuperhatikan pakaianku. Aku heran, kenapa sih mereka
mengomentari pakaianku? Menurutku sih biasa saja. Malah aku punya
yang lebih aneh lagi!
Hari ini aku cuma memakai kaos berkerah tinggi, rompi tua
milik ayahku dan sebagai bawahan kukenakan rok rajutan yang bisa
ditarik menjadi gaun, tapi juga bisa dilipat jadi rok mini. Semuanya
berwarna hitam. Aku juga memakai sepatu boot hitam yang bertali-tali
hingga ke mata kaki dan celana kaos ketat yang juga berwarna hitam.
Kalau aku bilang sih, penampilanku lumayan okelah. Karena itu akuheran kenapa Si Hebat Stacy dan badut-badutnya cari gara-gara
dengan mempersoalkan pakaianku segala hari ini.
Sementara itu, pakaian mereka hampir senada: nuansa warna
pastel. Stacy, seperti biasanya, memakai warna hijau muda dan pink
? warna yang kubenci. Ia mengenakan sweater warna hijau muda
dengan motif bola-bola kecil warna pink muda, kaos kaki hijau muda
dan rok pink. Laurel mengenakan warna biru muda. Cocok buat putri
es macam dia. Eva mengenakan sweater terusan warna kuning pucat
yang membuatnya kelihatan seperti pisang belum matang. Hi...hi...hi...
O ya...BZ memakai jump-suit warna jingga muda.
Kata Sabrina, kalau sedang tidak kumpul bareng Stacy, sikap
BZ tidak terlalu buruk. Sabrina selalu melihat sisi baik dari seseorang;
tapi menurut dia, aku selalu melihat bagian terburuk dari orang lain.
Penilaiannya kali ini benar.
"Dijai banget ya...?" kudengar Stacy menambahkan. Agaknya
Stacy baru mendapatkan kata-kata itu, soalnya ia salah. Seharusnya ia
mengucapkan ?jijai? yang artinya menjijikkan, tapi ia mengucapkan
?dijai?. Oh ya aku lupa menyebutkan kalau aku juga mengenakan kaca
mata hitam nyentrik yang selalu melorot ke bawah mataku.
"Daripada kelihatan seperti kardus tissue? Eh, kardus tissue
atau peti mati, ya?" sahutku keras tanpa menyebutkan siapa yang
kumaksud.
"Mmm, pernah lihat kue klepon yang dibungkus kayak
lemper?" tambahku.
Stacy menggeram sedikit. Beberapa anak di dekat kami tertawa
mendengarnya. Jelas Stacy tak suka ditertawakan. Kulihat badut-badutnya kehilangan kata-kata setelah serangan balikku yang jitu itu.
Aku senang melihat mereka menahan amarah macam ini.
"Nah nah...coba lihat apa yang telah kau lakukan Randy," kata
Sabrina sambil menahan tawanya agar tidak meledak. Satu hal yang
paling kusukai dari Sabs adalah rasa humornya yang tinggi. Kadang-
kadang aku heran, selalu ada saja hal-hal yang membuat Sabs tertawa.
"Kamu benar-benar menutup kesempatan kami," lanjutnya. "Sekarang
Stacy bener-bener nggak bakalan mengundang kita ke pestanya...."
Aku tertawa terkekeh, soalnya dari awal sebetulnya kami sudah
tahu bahwa Stacy tak akan mengundang kami ? ?musuh-musuhnya?
? ke pestanya.
Untunglah kemudian bel berbunyi. Kami berempat segera
merapikan bekas makan siang, lantas bersiap-siap melanjutkan
pelajaran. Aku belum terbiasa dengan suara bel dan macam-macam
peraturan di sini. Sekolahku di New York dulu benar-benar
berantakan dibandingkan sekolah ini. Walau demikian aku lebih suka
suasana New York dan terus terang aku kangen berat!BAGIAN DUA
Pulang sekolah, aku, Katie, Sabs, dan Al mampir di Fitzie?s,
tempat kumpul-kumpul anak-anak sekolah yang asyik. Selalu ramai.
Pengunjungnya macam-macam remaja. Seingatku di New York tak
ada tempat seperti ini.
Waktu aku meluncur ke rumah dengan skate-board, hari mulai
gelap. Aku masih juga belum terbiasa dengan cuaca di sini. Di Acorn
Falls hari lebih cepat menjadi gelap daripada di New York. Aku tak
tahu mengapa, tapi bisa jadi karena jalan-jalan di sini hanya sedikit
diterangi lampu. Berbeda dengan jalan-jalan di New York ? Fifth
Avenue, misalnya. Malam seperti siang. Terang benderang oleh lampu
warna-warni.
Bagaimanapun aku senang karena hari ini hari Jum?at. Tiap hari
Jum?at, Mami menyewa laser disc film-film horor dan membeli
Chinese food. Aku suka makanan Cina. Terutama dari kedai Ho Lins,
meskipun kalah lezat jika dibandingkan dengan makanan dari China
Town di New York. Menghabiskan akhir pekan di rumah sambil
nonton film horor dan makan makanan Cina, asyik banget deh.
Sebenarnya ini kebiasaan lama kami di New York dan kami tidak
bermaksud mengubahnya, di mana pun kami pindah.Aku membungkukkan badan sehingga kecepatanku meluncur
bertambah. Aku ingat, bagaimana orang-orang di sini menganggap
skateboard-ku aneh. Kurasa remaja-remaja Acorn Falls tak pernah
naik skateboard. Tapi Sheck, sahabatku dari New York, juga suka
naik skateboard ke mana-mana. Sama seperti aku. Padahal jalanan di


Girl Talk 04 Pembangkang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sini begitu sepi, tidak seramai di New York. Aneh, jalanan sesepi ini
kok tidak dimanfaatkan untuk main skateboard! Kan asyik tuh.
Di musim salju nanti, entah apa yang harus kulakukan tanpa
skateboard. Bulan ini salju turun lebih cepat. Kata orang, lamanya
musim salju di Minnesotta tak ada bandingnya. Itu berarti aku tak
dapat main skateboard selama musim dingin. Membayangkan naik bis
ke sekolah membuatku merasa mulas. Males banget!
Aku membelok di tikungan jalan ke arah rumahku, jalan Maple,
langsung masuk halaman. Rumah kami kelihatan rapi sekali.
Bentuknya besar ? mirip gudang tua ? tapi nyaman.
Di New York kami tinggal di apartemen kecil yang mewah.
Kurasa seumur hidup aku belum pernah hidup dalam sebuah ?rumah?
yang sebenarnya.
Bagaimanapun rumahku yang sekarang cukup enak. Langit-
langitnya terbuat dari kaca sehingga kami bisa melihat angkasa dari
dalam rumah.
Mamiku membutuhkan itu, karena untuk menyelesaikan lukisan
beliau membutuhkan ruangan bercahaya.
Kuhentikan skateboard persis di depan pintu. Bergegas kunaiki
tangga di serambi, depan pintu masuk.
"M!" panggilku begitu pintu kututup. Menurut Sabs, Katie dan
Al, aku beribu dengan julukan yang aneh, M. M adalah kependekandari Mami. Aku juga memanggil Ayahku ?D?, kependekan dari
Daddy.
Teman-temanku juga heran waktu M bilang mereka boleh
memanggil namanya saja, Olivia; atau nama panggilannya, Livy. M
memang tidak suka dipanggil Nyonya Zak, lagipula semua teman-
temanku di New York juga memanggilnya Olivia.
Aku selalu tak kuat menahan senyum jika melihat kekikukan
teman-temanku jika berhadapan dengan M, karena mereka bingung
harus bagaimana menyapanya. Akhirnya ... mereka cuma cengar-
cengir atau mengangguk-angguk saja. Tak jadi menyapa.
Kecuali Sabs!
Ia senang boleh memanggil M cukup dengan ?Olivia?.
Barangkali dengan begitu ia merasa sedikit lebih dewasa.
"Di sini Ran!" sahut M dari studionya, di bagian kanan rumah.
Kuletakkan jaket, tas dan skate-board di depan pintu. Segera aku ke
sana.
"Waw,...bagus amat!" pujiku kagum menatap lukisan
terbarunya. Bagiku, M adalah pelukis yang hebat. Aku masih belum
bisa melupakannya. Selama di New York M jarang melukis. Di sini ia
mencoba lagi bakatnya itu.
Daddy seorang sutradara film televisi dan film iklan. Kurasa itu
membuatnya sering meninggalkan rumah. Ya, D jarang sekali di
rumah dan itu membuat M harus selalu menyertai beliau, ke mana
pun. Kata M kegiatan itu ?memusingkan?.
Sekarang, setelah meninggalkan gaya hidup New York dan
tinggal di Acorn Falls, M mempunyai lebih banyak waktu untuk
melukis. Kata M, ia pernah jadi mahasiswi sekolah seni di New Yorksampai ia menikah dengan D. Tapi pernikahan itu menyebabkan M
terpaksa meninggalkan sekolah. Bahkan dalam tempo cukup lama M
terpaksa meninggalkan bakat serta hobi melukisnya, karena harus
mendampingi D.
"Terima kasih atas pujianmu,"ujar M seraya menyisir rambut
hitamnya dengan jemarinya. Kulihat wajah beliau dipenuhi bercak-
bercak cat warna biru. "Aku selesaikan lukisan ini sebentar, ya?
Setelah itu, beres-beres. Eh, gimana kalau kamu saja yang pesan
makanan ke Ho Lins? Nanti kita ambil sama-sama."
"Boleh juga!" sahutku. Aku segera ke kamar M yang
bersebelahan dengan dapur untuk mengambil uang.
M memasang pembatas ruang bergaya Cina untuk memisahkan
kamarnya dari dapur dan ruang duduk. Kamarku sendiri terletak di sisi
dapur yang lain. Kecil, memang. Tapi aku menyukainya. M tahu kalau
aku kurang nyaman tidur di ruangan yang hanya dibatasi dengan kisi-
kisi, maka beliau membuatkan satu ruangan khusus dengan pintu.
Makan apa ya, Jum?at ini? Rasanya aku ingin makanan yang
agak lain dari biasanya. Kupesan saja udang saus kacang polong,
ayam saus tiram dan brokoli ca. Bagus kan pilihanku? Ada protein,
juga ada sayuran bervitamin.
Setiba dari Ho Lins aku segera membereskan dapur. Kalau
sudah melukis, M bisa melupakan segalanya. Kuputuskan untuk
mencuci piring dan membersihkan meja terlebih dahulu, setelah itu
mencuci pakaian.
Bergantian mengurus pekerjaan rumah dengan M tak pernah
jadi masalah buatku. Malah asyik, jadi tahu ?capek?-nya mengurus
rumah tangga. Juga latihan toleransi agar M bisa meneruskan bakatdan minatnya di bidang seni lukis. Toh M juga penuh pengertian
terhadap sikap dan minatku.
Aku tak bisa membayangkan bagaimana rasanya Al dan Katie
sanggup mendengar omelan ibu mereka jika mereka melalaikan
pekerjaan rumah tangga. Soalnya, Al dan Katie kadang-kadang terlalu
asyik bikin pe-er sih. Aku sih ogah disuruh-suruh macam itu. Aku
mengerjakannya bila aku mau. Dan kalau aku sudah mau, pasti
kukerjakan dengan sungguh-sungguh. Kalian begitu juga, kan?
Di New York dulu kami membayar pembantu rumah tangga
yang datang pagi dan pulang sore. Dia seorang ibu setengah baya.
Badannya gemuk, tapi cekatan. Ia yang membereskan rumah kami.
Tapi membuat kami agak manja. Setelah D dan M bercerai, baru deh
terasa agak ?kalang-kabut?. Kini aku merasa lebih bertanggung-jawab
untuk membantu M merapikan dan merawat rumah. Gantianlah, gitu.
Empat puluh lima menit kemudian, aku dan M sudah duduk di
ruang tengah. Aku duduk di atas kursi antik sementara M duduk di
kursi lain. Semua perabotan rumah kami adalah barang-barang antik.
M lebih suka barang-barang yang punya sejarah daripada barang-
barang baru.
Apartemen kami di New York dulu dipenuhi barang-barang
model paling gres dan moderen. Semua dalam nuansa hitam dan
perak. Gaya Itali modern, begitu kata D, kalau tidak salah. Bahkan
kata D, itulah gaya yang paling modern di abad ini. Tapi M tak
sependapat. Tentu saja. Minat mereka berbeda sih. Untung saja pacar
D yang baru ? Leighton namanya?menyukai gaya itu, sehingga tak
perlu lagi berdebat soal interior rumah.Kami menyewa dua film horor, Lunch Meat dan Pumpkinhead.
Aku senang, M dan aku sering mempunyai apresiasi yang sama
tentang film-film horor. Kami selalu sependapat, mana film yang
bagus dan mana yang jelek.
"Randy," M mengajak bercakap-cakap sementara tangannya
mencomot paha ayam, "galeri lukis di Minneapolis mengundangku
ikut serta dalam pameran lukisan Januari mendatang. Aku senang
sekali!"
"Iya?!" seruku kagum. Aku juga ikut senang mendengarnya.
Sejak kami pindah ke sini, M sudah bekerja keras untuk
menyelesaikan lukisan-lukisannya. Betapa menyenangkan bahwa
akhirnya jerih payahnya terbayar.
"Dan kata mereka, jika pameran kali ini sukses, mereka akan
membuatkan pameran tunggal untukku di musim gugur mendatang!"
lanjut beliau.
Musim gugur tahun depan!?
Tiba-tiba aku sadar. "Tapi tahun depan kita kan udah nggak
tinggal di sini lagi?" tanyaku heran. "M mau kembali ke tempat ini
tahun depan?"
M tidak segera menjawab. Beliau hanya menatap lurus ke piring
makannya.
"M?" desakku dengan hati deg-degan.
"Sebetulnya, Aku berharap kita bisa tinggal di sini terus...,"
sahutnya perlahan.
"Apa?" pekikku, tak percaya. "Kita harus kembali ke New
York! Tempat tinggal kita seharusnya di sana, bukan di sini!""Kamu juga mulai menikmati hidup di sini kan, Randy," ujar M
tenang. "Teman-temanmu mulai banyak. Sekolahmu juga baik. Justru
Aku khawatir ketika kita baru pindah ke sini, tapi nampaknya kau
sudah bisa menyesuaikan diri dengan amat baik. Demikian juga
kegiatan melukisku. Menurutku, kalau kita kembali ke New York,
Aku akan kehilangan ketentraman macam ini dan tak bisa melukis
lagi."
"Tapi tempat kita bukan di sini!" bantahku jengkel. Aku tak
berminat untuk menetap selamanya di sini, dan M tahu itu. Setahun
mungkin masih bisa bertahan, tapi selamanya? Amit amit.
"Ayolah Randy .... Mencoba kan nggak ada salahnya," desak
M. "Aku pikir Sabs, Katie dan Allison adalah sahabat-sahabatmu yang
baik. Lagipula udara di tempat ini bersih, nggak polusi, menyehatkan
lho. Jangan khawatir, kau tetap dapat bertemu Daddy-mu
dan...Leighton, sekali-sekali."
Cukup sulit bagiku untuk menerima kenyataan bahwa sekarang
D punya pacar baru. Tapi M sendiri bilang, "Apa pun yang membuat
Daddy-mu bahagia, Aku setuju."
Tentu saja lebih mudah bagi M mengucapkannya di Minnesotta
ini. Coba kalau masih tinggal dengan D di New York, M pasti jengkel
tiap kali melihat Leighton.
Aku bertemu dengan Leighton waktu liburan akhir pekan
dengan Daddy beberapa bulan lalu. Dia masih muda, cantik dan
rambutnya pirang. Semula dia kukenal sebagai salah satu bintang film
iklan yang disutradarai D. Eh, lama-lama D dan Leighton mulai sering
kencan. Entah meninjau lokasi shooting, mengontrol pekerjaan anakbuah D, memproses film, sampai makan bersama. Pokoknya ada aja
ketemunya.
Kalau kata D sih dia menarik. Tapi menurutku, Leighton
lumayan-lumayan sajalah. Enggak hebat-hebat amat, tapi juga enggak
jelek.
Dia benar-benar tidak mirip M. Dalam segalanya. Yang
membuat aku agak tak simpati padanya, ia sama sekali tak merasa
bersalah atas perceraian D dan M-ku.
Sering juga aku jengkel padanya, karena tiap kali aku ingin
berdua dengan D, Leighton selalu mengikuti kami. Ke mana pun!
Seolah-olah tak ingin melepaskan kami berdua.
Kurasa bukan maksudnya membuatku jengkel. Tapi itulah
kenyataannya, dia selalu ikut dan ada kesan seperti selalu pingin
berbaik-baik denganku. Aku tak suka. Itulah beberapa sebab yang
membuat aku memilih ikut M ke Acorn Falls. Tapi alasan itu tak
pernah kuceritakan pada M. Kalian juga jangan bilang-bilang pada M,
ya? Janji?
"Randy," panggil M lembut seraya menawarkan kue
keberuntungan tradisional khas Cina. "Aku tak akan memaksamu
untuk tinggal di sini. Kau tahu perasaanku kan? Yang pasti Aku tak
akan membuatmu menderita. Aku tak akan sanggup melihatmu susah.
Jadi pertimbangkanlah dulu keputusanmu, nanti kita bicarakan lagi.
Bulan Juni kan masih lama."
Kubelah kue keberuntunganku. Perlahan-lahan kukeluarkan
gulungan kertas berisi ramalan yang diselipkan di dalamnya.
"Apa isi ramalanmu?" tanya M."Perubahan adalah bagian dari dinamika hidup," kubaca
perlahan. "Ramalan ngaco!" sungutku. Ramalan di New York jauh
lebih tepat!
"Eh, siapa tahu ada benarnya. Namanya juga ramalan. Dengar
nih ramalan buatku," kilah M, "Tak lama lagi kau akan mendapat
imbalan atas jerih-payahmu."
"Yah lumayan bagus," gumamku. Aku tak bersemangat untuk
ngobrol lagi. Aku juga tak peduli bahwa perubahan akan membuat
hidup menjadi lebih dinamis atau tidak. Sebodo! Dalam suasana
seperti sekarang ini, aku benci perubahan!
Untung film horor yang kami pilih lumayan bagus. Kami jadi
asyik nonton dan berkomentar tentang film itu. Sejenak melupakan
pembicaraan kami tentang rencana tinggal di Acorn Falls untuk
selamanya atau kembali ke New York.
Begitu film usai aku segera masuk kamarku, bersiap-siap tidur.
Kukenakan kaos putih milik D, salah satu pakaian tidur
kesayanganku. Ukurannya gede banget. Gombor-gombor. Lalu
kurebahkan tubuhku di atas tempat tidur antik yang mirip papan
setrikaan. Kutatap langit-langit di atasku.
Apa yang harus kulakukan? Aku benar-benar ingin kembali ke
New York. Tapi M malah ingin tinggal di Acorn Falls untuk
selamanya....
Kuperhatikan kamarku yang berantakan. Begitu banyak barang
berserakan di setiap sudut kamar. Buku-buku, kertas-kertas, sepatu-
sepatu dan celana jeans.
Kutatap lukisan dinding di hadapanku. M yang membuatkannya
untukku dulu, waktu aku masih kecil. Lukisan itu adalahpemandangan Central Park di saat musim salju. Aku jadi terkenang
masa-masa lalu, waktu aku diajak D main kereta luncur di atas es.
Lukisan yang benar-benar bagus. Mungkin, jika aku punya keinginan
yang kuat, aku bisa bermimpi tentang New York malam ini.
Tak dapat kubayangkan akan menghabiskan seluruh hidupku di
Acorn Falls. Aku lahir dan dibesarkan di New York! Aku bisa saja
tinggal bersama Daddyku. Tapi itu berarti berpisah dengan M dan tiap
hari melihat wajah Leighton. Di lain pihak, aku tak cocok dengan
Acorn Falls. Aku benar-benar tak tahu apa yang harus kulakukan.
Kusangka, semakin bertambah usia, semakin mudah hidup yang
harus dihadapi. Tapi apa yang kurasakan kini? Semakin usiaku
bertambah, semakin banyak masalah. Ada-ada saja!
Bah! Benci aku!BAGIAN TIGA
Dering weker membangunkanku pagi itu. Aku memiliki jam
weker model kuno, dengan bel di atasnya. Kayaknya kalau ada stasiun
kereta api di depan rumahku, aku akan lebih mudah terbangun karena
bising suara kereta daripada karena suara weker ini.
M berteriak dari kamarnya, menyuruhku mematikan weker.
Soalnya deringnya yang bising itu juga membangunkan beliau.
Kejadian seperti ini sudah sering berulang. Aku memang harus
mendengar suara yang super keras supaya bisa bangun. Untung M
juga bukan tipe orang yang suka bangun pagi.
Perlahan-lahan aku bangun dari tempat tidur untuk mematikan
weker. Lalu aku menggeliat sedikit sambil berusaha menjernihkan
pandanganku yang masih kabur.
Kutatap isi kamar. Ada seperangkat drum di sudut kamar,
hadiah dari D waktu aku baru enam tahun. Sejak itulah aku suka main
drum atau perkusi. Asyik! Bisa menghilangkan stress kalau sedang
ada persoalan-persoalan yang bikin aku kesal. Rasanya terlampiaskan,
gitu.
Kemungkinan tak akan kembali ke New York lagi saat ini
adalah problem utamaku. Tapi kalau aku main drum sekarang, M pastimengamuk mendengar gedebak-gedebuknya. Maka aku hanya duduk
bersandar menatapnya.
Tiba-tiba mataku terbelalak. Aku teringat sesuatu. Pertokoan!
Pasti aku terlambat nanti. Aku sudah berjanji ketemu Sabs, Katie dan
Al lalu kita nonton film di Mall.
Hampir tiap Sabtu kami pergi bersama, ke mana saja.
Sebenarnya sih aku nggak begitu mood untuk pergi, tapi aku juga tak
punya alasan untuk menolak ajakan mereka.
Aku tak begitu hobi jalan-jalan. Apalagi kalau sedang pusing
memikirkan sesuatu masalah. Aku juga nggak mau ngomong sama
siapa-siapa, malah nggak pingin ketemu siapa-siapa.
Banyak orang yang tak mengerti, bahwa di saat sedang
menghadapi problem, sebaiknya kita memikirkannya dulu sendirian
sebelum mengutarakannya pada orang lain untuk membantu
memecahkannya. Kurasa Sabs, Katie dan bahkan Al juga tidak
memahami hal ini. Tapi rasanya aneh juga ya, kalau sepanjang hari ini
aku mengunci mulut terus.
Aku tahu mereka pasti mengharap kehadiranku. Cepat-cepat
aku meloncat ke lantai kamar. Satu hal yang paling kusukai dari
kamarku adalah lantainya. Terbuat dari kayu warna coklat tua,


Girl Talk 04 Pembangkang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ditutupi hamparan karpet bermotif geometris yang terletak di tengah-
tengah kamar. Di apartemen kami di New York, kamarku dihiasi
karpet dan dindingnya ditutup wallpaper dengan warna hijau laut.
Bagus juga sih, tapi aku lebih suka kayu. Kelihatan lebih padat dan
gagah.
Aku beranjak ke kamar mandi. Sesudah mandi biasanya aku
jadi lebih kelihatan seperti ?orang?.Kukenakan pakaian favoritku: jeans, kemeja putih milik D yang
dihiasi kancing-kancing sampai ke leher. Lalu aku turun untuk
sarapan.
"Pagi sayang," M menyambut kehadiranku di dapur. Beliau
sedang merebus telur. "Tidur nyenyak?"
Menurutku M pun sedang banyak pikiran, sebab biasanya ia tak
pernah menyiapkan sarapan segala. M hanya memasak bila ada
sesuatu yang mengganggu pikirannya. Jika keadaan normal, M lebih
suka membeli masakan dari restoran. Apalagi kalau ada tamu.
"Yah...lumayan," sahutku seraya duduk di kursi. Aku nggak
pingin ngomong banyak hari ini. Kenapa sih M pingin tinggal
selamanya di sini? Perjanjian kita sebelumnya kan nggak gitu. Kenapa
M mengubah perjanjian dan bersikap aneh sehingga aku jadi mumet?
Selama M memasak, kami berdua hanya membisu saja,
mendengarkan lagu Simon & Garfunkel dari stereo set. Di rumah
kami selalu ada musik. M selalu mengijinkanku memutar lagu-laguku
di Compact Disc Player kami, selama suaranya tidak terlalu
memekakkan telinga. Kurasa telinga orang tua makin lama makin
sensitif seiring dengan bertambahnya usia mereka. Soalnya
kemampuan penerimaan bunyi di telinga mereka jauh berbeda dengan
telinga anak muda. Apalagi bunyi-bunyian keras.
Biasanya, jika terdengar lagu Simon & Garfunkel artinya M lagi
sedih. Lagu itulah yang didengar M selama musim panas saat beliau
baru bercerai dengan D. Katanya, lagu itu mengingatkannya pada
saat-saat manis bersama D.
Aku sendiri? Wah, aku sih lebih suka disko, hard rock atau
metal! Musik romantis justru membuat perasaan makin tertekan. Pagiini rasanya aku pingin mendengar lagu yang iramanya menghentakkan
gendang telinga.
"Mau pergi, sayang?" tanya M dengan suara yang dibuat-buat
tegar untuk menutupi kesedihannya.
"He-eh," jawabku singkat. Aku tak ingin terlibat pembicaraan
panjang.
"Ke mana? Ke Mall?"
"He-eh."
"Perlu diantar?"
"Enggak. Naik skateboard aja," ujarku sambil berharap agar M
tidak mengetahui betapa kacaunya perasaanku hari ini. Kalau saja M
tidak mengubah-ubah rencana kami semula, tentu pagi ini tak akan
kelabu.
Setelah makan pagi yang hening, kuraih jaket kulit hitamku
yang ukurannya super besar dan kuluncurkan skateboard ke luar
rumah. Untungnya M selalu tahu kapan harus membicarakan suatu
masalah dan kapan sebaiknya diam. Agaknya beliau menyadari bahwa
saat ini kurang tepat untuk melanjutkan pembicaraan tentang
perubahan rencana kami. Aku yakin M tidak ingin melihatku sedih,
tapi aku tak tahu apa yang harus kulakukan saat ini untuk menutupi
kegalauanku. Aku butuh waktu untuk berpikir.
Saat tiba di pertokoan, kulihat Al dan Katie duduk di depan
Departemen Store Dare, toko favorit Sabs. Tentu saja Sabs belum
kelihatan. Anak itu selalu ngaret. Padahal Sabs sudah mempercepat
arlojinya lima belas menit supaya tidak terlambat, tapi tetap saja ia tak
pernah tepat waktu. Aku melompat duduk di sebelah mereka.
"Halo Randy," sapa Katie."Hai," ujar Allison perlahan.
Aku hanya mengangkat alisku menanggapi sapaan mereka. Hari
ini pasti akan membosankan. Lihat... untuk membalas teguran orang
saja aku malas dan capek berbasa-basi.
Kata M, aku adalah tipe orang yang tidak bisa
menyembunyikan perasaan. Gejolak emosiku terpancar juga pada
sikapku. Itu sebabnya M tahu kapan harus diam, yaitu saat aku sedang
labil. Dulunya aku tak percaya, tapi mungkin M benar, soalnya Katie
dan Allison sekarang ini juga memilih diam dan sama sekali tidak
mengusikku.
"Sabrina ke mana sih?" tanyaku jenuh setelah lima menit duduk
diam tak bersuara.
"Siapa yang tahu?" sahut Katie. Dia cekikikan sendiri
mengingat betapa ?jam karet?-nya Sabrina. "Kayak nggak kenal
Sabrina aja. Pagi tadi dia malah nelepon, nyuruh aku datang lebih
cepat supaya kita punya waktu untuk berbelanja sebelum film mulai.
Nyatanya malah dia yang belum nongol."
Allison mengangguk. "Ya. Itulah Sabrina. Percuma deh kita
mikirin dia, soalnya dia tetap saja telat."
Allison dan M hampir sama pandainya membaca jalan
pikiranku. Dia pasti menyadari bahwa tiap detik aku semakin tak
sabar menunggu. Tapi itulah aku. Paling sebal disuruh menunggu.
Rasanya kepala jadi pusing. Aku heran, kok mereka bisa duduk manis
dan tenang kayak gitu sih? Apa mereka berdua nggak pernah resah?
"Film apa yang kalian tonton di video semalam, Ran?" tanya
Katie.TEENLITLAWAS.BLOGSPOT.COMHaaa! Pertanyaan yang kurang tepat untuk situasi sekarang.
Membuatku kembali memikirkan M, serta rencananya untuk tetap
tinggal di Acorn Falls, sehingga kami batal kembali ke New York.
"Lupa," sahutku pendek. Bukan maksudku untuk ketus tapi
pembicaraan seperti ini memang tak ingin kulanjutkan.
"Lupa?" Katie keheranan. "Kok aneh. Kan baru semalam kamu
nonton film itu?"
Yah...yah...Katie memang selalu berpikir logis. Aku tak mau
mengingat-ingat, sebab ingat film itu membuatku ingat pada M dan
rencana-rencananya yang menyebalkan itu.
Untunglah Allison kemudian mengalihkan topik pembicaraan
ke soal karya tulis bahasa Inggris. Aku cuma duduk dengan pikiran
kosong. Kucoba mengosongkan pikiran sejenak, meditasi seperti yang
pernah kubaca di Aliran-aliran Kepercayaan Inggris Kuno, untuk
memasuki dunia bawah sadar dan mendapat ketenangan. Tapi nggak
sukses tuh.
Akhirnya Sabs datang juga.
"Kalian pasti nggak percaya!" teriaknya.
"Apanya yang harus dipercaya atau tidak dipercaya?" sahut
Katie dengan tatapan jenaka.
"Stacy juga mengundang anak-anak kelas delapan ke
pestanya!" seru Sabrina bersemangat.
"Apa?... Masa?" Katie juga berseru. "Ada pesta terbesar tahun
ini, semua orang diundang, kecuali kita!"
"Ah, kau kan tahu," tutur Sabs dengan tampang sok tahu,
"Stacy cuma pingin bikin kita keki. Taruhan deh."
"Dan ia berhasil membuatmu keki kan?" tukasku tak sabar.Sabs kelihatan kaget dan menoleh kepadaku. "Keki? Aih, sori
deh ya ... nggak bakal!" kilahnya dengan wajah sok bijaksana. "Aku
cuma kecewa karena kita nggak bisa menikmati suasana gembira di
sana. Pergi ke pesta besar di akhir pekan setelah Thanksgiving Day
pasti asyik."
"Aku nggak tahu ya...," komentar Katie, "tapi mungkin main
ski es juga asyik."
Sabs mencibir. Ekspresi wajahnya membuatku geli. Ekspresi
wajah Sabs adalah gambaran perasaannya. Ia tak bisa
menyembunyikan perasaannya.
Ide main ski es juga kedengaran nggak asyik buatku. Aku baru
saja mulai belajar main ski es dari Katie. Jadi aku belum begitu mahir.
Terus terang saja aku enggan melakukan sesuatu yang belum kukuasai
dengan baik. Aku selalu ingin jadi yang terbaik dalam segala hal.
"Aku punya rencana, " kataku spontan, begitu teringat bahwa
temanku Sheck akan datang ke sini. Aku yakin kedatangan Sheck
akan membawa ?angin baru? di Acorn Falls. Soalnya otak di
kepalanya biasanya sarat gagasan-gagasan unik.
"O ya?" tukas Allison, "temanmu dari New York mau datang
kan?"
Sabs dan Katie menatapku bersamaan.
"Yaa!" Sabs langsung berseri-seri. "Temanmu dari New York!
Siapa namanya, Ran? Nyentrik kayak kamu juga?"
Wajah Sabs kembali menunjukkan perasaannya. Ia penasaran
ingin tahu banyak tentang tamu istimewaku itu."Namanya Sheck," sahutku. "Dia sahabat karibku. Kawan lama.
Kami bertetangga. Dia tinggal di sebelah apartemenku, ups...
maksudku apartemen Daddy-ku."
"Kapan dia datang?" tanya Katie.
"Aku dengan M akan menjemputnya di bandara pulang sekolah
hari Senin. Dia di sini sampai Minggu malam," jawabku.
Tiba-tiba aku merasa lebih enak. Membayangkan kehadiran
Sheck membuatku jadi sedikit bersemangat. Hampir enam bulan kami
tak bertemu. Terakhir kali kami ngobrol di telepon, dia bilang
tingginya bertambah dua belas senti.
Kalau kata Samantha, sahabatku yang lain, Sheck tumbuh
seperti raksasa. Sulit bagiku membayangkan Sheck jadi raksasa.
Samantha pasti ngawur. Mungkin bicaranya jadi ngelantur lantaran
kangen sama aku.
"Aku nggak pernah punya sahabat cowok," kata Katie, "kayak
apa sih rasanya?"
"Nggak tahu ya," sahutku cepat. "Biasa sajalah. Aku dan Sheck
juga ngobrol seperti biasa. Seperti obrolan kita-kita saja."
"Oya?" seru Sabs. "Kalian juga suka ngobrolin cowok? Seperti
kita?"
"Aku kan nggak pernah ngegosip soal cowok! Kalau kamu sih,
iya!" timpalku.
Sabs kaget mendengar kata-kataku yang mungkin agak ketus.
Tapi detik itu juga, lagi-lagi Allison mencoba mengalihkan
pembicaraan.
Kurasa Aku dan Allison benar-benar pasangan yang cocok. Aku
sering mengeluarkan kata-kata yang menjengkelkan orang, sebaliknyaAllison selalu memperbaiki kata-kataku dan membuat orang
tersenyum lagi. Lagipula tutur katanya selalu lembut, menenangkan.
Simbiosis Mutualistik!
Aku mendapat kata itu dari pelajaran biologi. Artinya satu sama
lain saling membantu kelangsungan hidup dan saling bergantung,
saling membutuhkan. Kadang-kadang aku merasa seperti itulah
persahabatanku dengan Al.
"Eh, kita ke Dare dulu sebelum nonton, atau gimana?" tanya
Allison.
Sabs langsung melompat dari duduknya. "Aduh iya, ada obral
besar nih! Kita lihat-lihat yuk, siapa tahu ada yang bagus. Kita masih
punya waktu barang setengah jam sebelum film mulai."
Meskipun rasanya aku lebih suka duduk di luar sini atau
meluncur dengan skateboard mengelilingi pertokoan, aku toh bangun
juga dan mengikuti mereka masuk ke Dare. Ramai sekali di dalam.
Aku dan Allison memisahkan diri dari Sabs dan Katie yang
langsung menuju rak obralan. Soalnya kami berdua tak begitu suka
berbelanja. Allison kurang begitu suka dandan dan aku sendiri tidak
suka keluyuran di pertokoan. Apalagi pertokoan dalam gedung
tertutup macam ini. Seperti dikungkung beton. Di Greenwich Village,
New York, ada pertokoan dengan udara terbuka yang amat kusukai.
Tiba-tiba terdengar tawa cekikikan cukup keras dari kamar
ganti pakaian. Kedengarannya mirip suara Sabrina. Kucari suara itu ke
arah rak obralan tempat Katie dan Sabrina tadi memilih barang-
barang. Tapi mereka sudah menghilang. Wah, pasti sulit menemukan
kedua anak itu sekarang. Sabs selalu begitu, cepat menghilang di
pertokoan. Bah!"Hei lihat! Gimana komentar kalian?" tanya Sabs padaku dan
Allison begitu keluar dari kamar ganti. "Masih mirip Sabrina nggak?"
Aku tertawa keras tak terkendali...!
Sabs mengenakan gaun terusan tanpa tali warna perak yang
ukurannya empat kali lebih besar dari badannya. T-shirt merahnya
menyembul sebagian. Mirip ondel-ondel!
"Aku tahu, harus kukecilkan dulu nih, supaya pas," lanjut Sabs
bergaya serius seraya menaikkan pakaiannya yang melorot karena
kebesaran itu. "Tapi harus segera kuselesaikan sebelum hari Jum?at.
Jadi jika Stacy mengundang kita ke pestanya, aku punya pakaian
istimewa."
Aku tak dapat menghentikan tawaku. Sabs konyol banget. Ia
begitu pendek sedangkan gaunnya begitu panjang dan besar. Kalau
kami berempat masuk ke dalamnya sekaligus, baru deh gaun itu pas!
Ha..ha..ha..
"Warnanya kurang cocok untukmu," komentar Allison sambil
tersenyum ke arahku. "Kupikir, warna emas akan lebih serasi dengan
rambut merahmu."
"Tuh dengar, Allison si foto model memberi saran...," olok
Katie. "Mungkin dia benar. Kau harus cari gaun lain Sabs."
Sabs setuju dan segera kembali ke kamar ganti. Dua menit
kemudian ia keluar lagi.
"Kalau ini,...kalau ini,... apa pendapat kalian?" tanya Sabs
seraya berputar ala peragawati di depan kami bertiga. "Mirip Sabrina
nggak?"
Coba lihat, apa yang dikenakannya sekarang!?
Dia seperti sebungkus permen raksasa!Jangan tanya bagaimana model baju yang sedang
dikenakannya? Bentuknya saja tak karuan! Kainnya bermotif Hawai
dengan warna pink, oranye dan hijau menyala. Bagian atas serta
bawahnya dikerut sedemikian rupa sehingga bagian tengahnya
melembung. Aku belum pernah lihat baju semacam ini. Dalam sirkus
sekalipun!
Aku terpingkal-pingkal lagi. Juga Katie dan Al. Kami bertiga
tertawa puas sampai mengeluarkan air mata. Yang gila,...si Sabs tetap
berputar-putar seolah sungguh-sungguh serius memperagakan pakaian
aneh itu. Benar-benar konyol deh! Minta ampun! Ha..ha..
"Hei...hei," Katie menyudahi acara konyol-konyolan itu begitu
ia bisa mengontrol rasa gelinya. "Sudah, sudah, kita mesti berangkat
nih, kalau nggak pingin telat nonton."
Sabs berlari ke kamar ganti lagi sementara Katie membeli
sepasang kaus kaki. Setelah itu kami berempat keluar dari Dare
menuju bioskop.
Di lobby bioskop, Sabs membeli sebungkus besar pop-corn
untuk dimakan rame-rame sambil nonton.
Entah mengapa selalu saja timbul perdebatan soal tempat
duduk. Sabs suka duduk di barisan depan, sementara yang lain tak
tahan mendongak sepanjang pertunjukan. Aku lebih suka duduk di
barisan paling belakang, karena aku suka mengawasi gerak-gerik
penonton yang lain. Allison dan Katie lebih suka duduk di tengah,
tentunya. Jadi sebelum duduk kami selalu diskusi lebih dulu dan
keputusannya selalu sama: duduk di tengah. Hari ini pun
keputusannya sama.Semangatku sudah mulai bangkit lagi karena pergi bersama
sahabat-sahabatku. Begitu pula minatku untuk menonton film ini.
Tetapi begitu deretan nama-nama pemain terpampang di layar ...
Busyeeet!!!
Film ini mengambil lokasi shooting di New York! Bahkan
letaknya hanya beberapa kilo dari sekolahku. Aku kenal betul tempat
itu! Rasa kangenku pada New York langsung bangkit lagi! Bahkan
menggebu-gebu. New York! Kotaku!
Tak dapat kubayangkan bahwa aku akan tinggal di kota kecil ini
selamanya. Tak pernah kembali lagi ke New York! Aku bukan tipe
manusia yang cocok tinggal di Acorn Falls. Maksudku, aku menyukai
teman-temanku di sini, tapi ini bukan tempatku yang sebenarnya.
Kenapa M tak bisa mengerti perasaanku? Aku tak ingin
meninggalkan beliau; tapi sebaliknya, aku pun tak ingin tinggal di sini


Girl Talk 04 Pembangkang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

selamanya!
Aku tahu M sangat mengharapkan aku mau tetap tinggal
bersamanya. Tapi satu hal yang pasti, aku tak akan sanggup tetap
duduk dan menonton film ini. Kukeluarkan skateboard dari bawah
kursi lalu berdiri.
"Hei...mau ke mana?" bisik Katie.
Sabs memindahkan tatapannya dari layar ke arahku. Di layar
tampak seorang laki-laki berjubah sedang mengendap-endap. Dia
mengintai seorang wanita di suatu tempat yang menurutku mirip
Upper West Side, suatu kawasan di New York. "Ngapain sih, Ran?"
tanyanya.
"Pulang!" sahutku agak keras.Beberapa orang di barisan belakang menyuruhku untuk tidak
berisik. "Ssstt!"
"Kenapa?" tanya Katie prihatin. "Kenapa kamu?"
"Ada perlu," sahutku pendek.
Lagi-lagi terdengar suara ?Ssttt....? dari para penonton yang
merasa terganggu dengan percakapan kami.
"Oke deh, sampai nanti...," aku pamitan, entah pada siapa.
Saat aku beranjak terdengar Sabs bertanya heran, "Kenapa sih si
Randy?"
Kudengar juga Katie bertanya, "Kita harus keluar juga nggak
nih?"
Untunglah Allison menyuruh mereka tetap diam di kursi
masing-masing dan membiarkan aku pergi. Ya, untung saja Allison
mengerti perasaanku. Film itu mengacaukan perasaanku.
Aku harus keluar! Aku ingin meluncur kencang dengan
skateboard-ku, agar perasaanku tenang kembali. Di dalam bioskop aku
tersiksa, didera galau dalam kerinduanku pada New York-ku!BAGIAN EMPAT
"Cepat sedikit Ran," kudengar dari kamar suara panggilan M.
"Nanti telat lho!"
Aku tak peduli akan terlambat sekolah atau tidak. Malahan aku
punya pikiran untuk pura-pura sakit sekalian.
Sejak Sabtu siang ? waktu meninggalkan bioskop?aku belum
berjumpa Katie, Sabs dan Allison lagi. Aku yakin mereka pasti ingin
tahu apa yang telah terjadi padaku.
Sepanjang akhir minggu ini, aku selalu menghindari telepon-
telepon mereka. Bukan apa-apa sih. Aku cuma bingung harus
menjawab apa bila mereka bertanya.
Aku tahu maksud mereka sih baik, tapi rasanya tak enak kalau
aku harus menjelaskan segalanya sekarang. Tak seorang pun di antara
mereka yang menduga bahwa kemungkinan besar aku akan menetap
selamanya di Acorn Falls.
Tiba-tiba aku bangkit dari tempat tidur. Soalnya pasti akan
terasa membosankan jika seharian di kamar terus dan pura-pura sakit.
Lagipula nanti malam pesawat Sheck akan mendarat. Aku tak sabar
menunggunya.Saat aku turun, M tak kelihatan. Moga-moga saja aku bisa
menyelinap keluar rumah tanpa harus berpapasan dengan M. Aku
benar-benar sedang malas bicara dengan beliau.
Kemarin pun kerjaku seharian hanya nonton pertandingan
baseball di televisi. Klub New York, Giants, melawan klub
Minnesotta, Vikings. Tentu saja aku tidak perlu bingung apakah harus
memihak klub New York ? kota lamaku ? atau Minnessota ?
tempat tinggalku sekarang, sebab aku adalah fans berat tim Giants.
Dan itu tak akan berubah.
Sepanjang pertandingan kemarin, M terus saja menyodorkan
pop corn olahannya. Demikian juga waktu makan malam. Beliau
membuatkan Pizza dengan pepperoni kesukaanku. Padahal biasanya
M melarangku makan pepperoni terlalu banyak. Katanya tak baik
untuk kesehatanku. M bersikap sangat manis, tapi dalam hati tetap
saja aku jengkel....
Waktu pertandingan berakhir, M masuk ke ruang duduk dan
memintaku menjadi model lukisannya. Ia ingin menyertakan sebuah
lukisan potret diriku dalam pamerannya, Februari depan. Waktu aku
masih kecil, M sering membuat sketsa atau lukisan diriku. Sudah lama
ia tak pernah meminta hal itu lagi.
Mula-mula beliau memintaku berdiri di dekat perkakas
memasak. M senang melukis orang dalam posisi yang wajar dan tidak
dibuat-buat, agar mencerminkan kepribadian orangnya. Katanya,
duduk dekat peralatan dapur benar-benar mencerminkan diriku yang
sebenarnya. Entah apa maksud M. Emangnya aku bertampang koki?
He..he....Aku mulai merasa lebih enak setelah duduk diam dan
memperhatikan M yang sebentar-sebentar menatapku sambil membuat
sketsa di kanvasnya. Suasana begitu damai dan tenang.
Pelan-pelan pikiran jernihku mulai bekerja. Sambil
memperhatikan M, aku berpikir tentang hubungan kami.
Sebenarnya aku sangat beruntung punya Ibu seperti beliau.
Betapa tidak, M sangat memahami keinginan-keinginanku. Kadang-
kadang rasanya ia lebih sebagai sahabat daripada sebagai seorang Ibu.
Sabar tapi tegas, bisa diajak ngobrol macam-macam, tuturnya
menyejukkan. Pokoknya sangat penuh pengertian deh.
Tapi keadaan tenang itu tak berlangsung lama. Bayangan New
York tergambar lagi dalam benakku. Keputusan harus segera kubuat:
pilih New York City atau Acorn Falls. Tapi rasanya sulit sekali,
karena masing-masing punya kelebihan dan kekurangan. Aku mulai
gelisah lagi.
Resahku terbawa dalam tidur semalam. Demikian pula pagi ini
ketika aku melangkah ke dapur, cari sarapan. Kuperhatikan isi lemari
dapur, bahkan laci-laci di bawah bak cuci piring pun ikut kuperiksa.
M sering salah menempatkan barang sih. Satu-satunya sarapan pagi
yang kudapatkan adalah granola dan bubur gandum. Tak ada pilihan
lain. Jadi kuputuskan untuk menyantap bubur gandum saja. M baru
muncul setelah setengah isi mangkukku habis.
"Pagi, Sayang," sapa M seraya membuka lemari es.
Dikeluarkannya sekardus susu tanpa gula kesukaannya. Aku heran,
apa yang membuat M menyukai susu macam itu. Untungnya setiap
hari kami juga memesan susu botol biasa ? meskipun pakai gulatetap saja rendah kalori, bebas lemak. Tanpa susu biasa, mana
mungkin aku bisa menikmati bubur gandum ini.
"Pagi," gumamku. Kuangkat mangkukku yang masih berisi
separuh lantas kuletakkan begitu saja di bak cuci piring. Tiba-tiba aku
kehilangan selera makan, jadi segera saja aku beranjak pergi.
"Tidak kamu habiskan sarapanmu, Ran?" tanya M penuh
perhatian. "Kamu sedang nggak enak badan?"
"Enggak," sahutku. "Jangan khawatir M, cuma lagi nggak nafsu
makan aja"
"Emh...oke," beliau menatapku seolah masih ada yang ingin
diutarakannya lagi.
Aku segera berlari ke kamar. Kuambil jaket, buku-buku, dan
tentu saja skateboard-ku. Aku harus keluar dari rumah, meskipun itu
berarti aku harus ke sekolah.
Ketika pamitan, M mengingatkanku untuk menjemput Sheck
nanti malam. "Ingat lho Ran, kita harus harus berangkat jam tujuh dari
rumah, supaya nggak telat sampai bandara. Kalau telat, kasihan kan
sahabatmu itu. Bisa bingung dia," beliau mengingatkan. Aku hanya
mengangguk saja.
Udara di luar terasa sangat dingin. Hembusan nafasku nampak
bagaikan asap saja. Apalagi dengan nafas tersengal-sengal mengayuh
skate board menuju sekolah.
Tak lama lagi pasti musim salju tiba.
Itu kata Allison. Katanya sih, dia bisa meramalkan cuaca.
Kelebihan orang Indian barangkali ya? Dia bisa ?melihat? kapan
datangnya dan bagaimana cuaca musim salju ini.Cukup aneh juga punya teman yang bisa meramal cuaca macam
apa yang muncul esok hari. Katanya, langit akan kelihatan tenang,
seperti yang terjadi hari ini. Kuharap cuaca akan tetap seperti ini
sampai esok malam, sehingga tak ada halangan bagi kami saat
menjemput Sheck nanti malam.
Aku tiba di sekolah lebih pagi dari biasanya. Lorong-lorong
masih sepi. Kulihat Allison sedang duduk saat aku melintasi
perpustakaan. Rasanya aku lagi malas berbasa-basi, jadi kuangkat saja
alisku tanda menyapanya, tapi aku tak menegurnya barang sepatah
kata pun. Aku tahu, dia pasti maklum.
Setelah mengambil beberapa buku dari loker, kunaiki tangga ke
lantai atas. Kuhempaskan diri di tepian jendela. Sambil menatap ke
lapangan bola di bawah, kunyalakan walkman. Keadaan di sini begitu
berbeda.
Di New York yang bisa kulihat dari jendela sekolahku adalah
taman bermain anak-anak, lapangan basket dan gedung-gedung
bertingkat. Sekolahku yang lama tidak memiliki tim sepak bola.
Sungguh jauh berbeda dengan Bradley.
Di sini aku mendapatkan Allison, Katie dan Sabs sebagai
sahabat-sahabat terbaik. Persahabatan dengan mereka adalah
segalanya bagiku. Aku akan sangat kehilangan mereka jika
meninggalkan Acorn Falls. Tapi bagaimanapun juga aku harus
kembali ke New York. Di sanalah tempatku.
Di sini, menjadi anggota cheerleaders, dance group, tim sepak
bola atau ikut parade seolah-olah menjadi kebanggaan para remaja.
Aku sendiri lebih suka menghabiskan hari mingguku di pameran
fotografi atau menyaksikan tim sepak bola Wolves mencetak gol.Aku tersentak ketika ingatanku kembali menggugat bahwa aku
harus kembali ke New York! Apa pun yang akan terjadi. Aku harus
memberitahukan keputusanku pada M nanti malam. Setelah itu
Allison, Katie, dan Sabrina. Entah bagaimana caranya harus
kusampaikan niatku itu tanpa harus membuat mereka kecewa
mendengarnya....
Kuputuskan untuk mencari Allison. Aku butuh teman bicara.
Dari pintu perpustakaan kulihat ia masih tetap duduk di tempatnya.
"Al," sapaku lirih lalu duduk begitu saja di depannya.
Allison kontan menengadah. Kaget.
Begitulah dia kalau sudah membaca. Bisa larut dalam
bacaannya dan itu berarti lupa sekelilingnya. Kurasa walaupun berada
di tengah pentas rock yang paling menggelegar sekalipun, dia akan
tetap berusaha berkonsentrasi pada bacaannya.
"Lagi ngapain?" tanyaku lagi sebelum dia sempat menjawab.
"Oh, Randy!" sahutnya dengan suara tinggi dan mata
membelalak. "Apa khabar? Kita semua cemas memikirkanmu. Kau
meninggalkan bioskop begitu saja."
Dari tatapannya aku bisa merasakan bahwa Al ingin
meyakinkan dirinya sendiri kalau aku baik-baik saja. Sama sekali tak
ada kesan bahwa dia ingin tahu atau ingin mencampuri urusanku.
"Aku lagi banyak pikiran nih, Al," ujarku sambil menghela
nafas.
Tiba-tiba terdengar suara riuh dari luar.
"Wah kita mesti cepat-cepat keluar. Bisa-bisa telat masuk kelas
nanti," ajak Allison sambil merapikan buku-buknya.Aku tergeragap sejenak, mengikuti gerak berkemasnya. Namun
sentuhan lembut jari-jari Allison menahanku. "Kau tahu Randy,"
katanya perlahan, "aku selalu siap mendengar keluhan-keluhanmu."
"Aku tahu," sahutku segera. Allison benar-benar sahabat yang
baik. Demikian pula Katie dan Sabrina. Bagaimana mungkin aku
kembali ke New York dan meninggalkan mereka begitu saja?
Pagi ini terasa berlalu begitu cepat. Aku banyak melamun dan
berdiam diri sepanjang pelajaran, eh tahu-tahu bel waktu istirahat
makan siang sudah berdentang.
Siang ini aku tidak makan di kantin. Dari rumah aku sudah
membawa bekal: susu asam rasa vanili, roti keju dan sekotak kismis.
Aku makan di luar gedung, dekat lapangan bola, meskipun udara agak
dingin. Tak apalah, asalkan matahari masih bersinar tentu masih ada
rasa hangat. Walau tak begitu berselera, kupaksakan diriku
menghabiskan makan siangku. Supaya tidak masuk angin.
Sebetulnya yang terpenting bukan makannya atau duduk-duduk
di luar sekolah. Tapi aku memang sedang butuh menyendiri. Aku
benar-benar tak bersemangat ngobrol dengan siapa pun, termasuk
dengan Sabrina, Katie, dan Allison.
Sampai pelajaran terakhir, IPS di kelas tujuh, aku tetap tidak
menemui mereka. Di kelas itu aku duduk tepat di belakang Sabs,
sesuai urutan abjad dalam absensi. Seperti biasanya Sabs telat masuk
kelas. Ia mencolek bahuku saat melintas di depanku sebelum duduk ke
kursinya sambil memandangku dengan tatapan bertanya. Aku hanya
membalasnya dengan senyum kecil, tak bicara- apa-apa.
Guru kami, Pak Grey, sedang cuti selama seminggu, jadi kami
mendapat guru pengganti. Namanya Pak Delafield. Orangnya gemukdengan dagu berlipit dua. Ia mengenakan syal tebal berwarna coklat di
lehernya. Sam, kakak Sabs, menjulukinya ?Manusia karpet?. Biasanya
syal yang terlalu tebal memang kami sebut karpet. Hari ini ?si karpet?
asyik berceloteh tentang perang antara Lexington dan Concord.
Membosankan.
"Apa yang terjadi saat tentara Inggris memasuki kawasan
Concord?" tanya beliau. Aku membuang pandang keluar jendela.
"Rowena Zack?" seru beliau tiba-tiba dari meja guru.
Reflek aku menoleh ke arah Pak Delafiled. "Saya tidak tahu,"
sahutku terkejut. Aku sedang larut dalam lamunan, sehingga tak
sempat marah mendengar ia memanggilku ?Rowena?. Seharusnya kan
?Randy?. Terus terang saja, aku memang tidak tahu jawabannya.
Daripada nebak-nebak, lebih baik jujur, kan?
Kudengar beberapa anak di barisan depan tertawa mendengar
jawabanku yang polos itu.
"Jawabannya ada di dalam buku, Nona Zak," lanjut Pak
Delafield.
Aduuh...kenapa sih dia bikin-bikin masalah? Ada-ada saja.
Kenapa harus aku yang ditanyai? Mana aku tahu jawabannya,
membaca pun belum. Banyak hal-hal yang lebih penting daripada
bacaan Ilmu Sosial. Kenapa sih kelas ini berjalan begitu lamban tidak
sedinamis kelas-kelas di sekolahku dulu? Guru-guruku dulu lebih
menghargai kreativitas murid. Mereka tak pernah memaksa kita
melakukan sesuatu yang tidak kita inginkan. Kami menghabiskan
banyak waktu dalam tugas-tugas mandiri."Apakah Anda tidak membaca, Rowena?" tanya Pak Delafield
lagi seraya menghampiri mejaku. Kata ?Anda? diberi tekanan keras
benar!
"Tidak," gelengku. "Maaf Pak, saya lupa."
Ngapain sih dia menghampiri mejaku segala? Coba lihat,
syalnya kelihatan semakin jelek dari jarak sedekat ini.
"Kenapa tidak membaca?" desaknya. "Saya yakin seisi kelas ini
ingin tahu apa yang lebih penting daripada tugas membaca di rumah."
Hei! Dia pikir siapa dirinya? Mentang-mentang guru, apa
haknya memaksaku menceritakan masalah-masalah pribadiku di
depan kelas! Benar-benar menjengkelkan. Lagipula...lagipula...aku
memang melupakan tugas membaca itu. Aku sedang tak ingin
mengerjakan hal lain kecuali memikirkan persoalanku sendiri yang
belum kunjung dapat kupecahkan ini.
Pak Grey mungkin bisa mengerti keadaanku. Beliau selalu
penuh pengertian. Kalau menegur murid yang lupa mengerjakan
tugas, caranya pun lain. Lebih simpatik.
"Saya yakin tak seorang pun di kelas ini yang akan peduli,"
gumamku.
"Maaf, apa katamu?" sahut ?si karpet? menjengkelkan. "Saya
tidak dengar jawabanmu. Atau mungkin kamu tidak mengerti
pertanyaan saya?"
Aku hanya diam menatapnya tanpa sepatah kata pun. Aku
sudah menjawab bahwa aku tidak tahu! Walau dia sudah berdiri di
hadapanku, aku toh tetap tak bisa menjawab pertanyaannya. Kenapa
sih harus memaksa dan menyudutkanku seperti ini? Kenapa tidak
menyuruh anak lain saja untuk menjawab pertanyaannya? Aku tahuaku bersalah karena tidak melakukan tugas membaca di rumah. Tapi
mau apa lagi?
"Jadi?" ujar Pak Delafield.


Girl Talk 04 Pembangkang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apanya yang jadi?" aku mulai berang karena didesak terus,
"saya benar-benar tidak tahu."
Terdengar beberapa anak tertawa lagi.
"Keluar kamu! Sekarang juga menghadap Kepala Sekolah!"
teriak ?si karpet? tiba-tiba.
Kulihat Sabs memberi kode padaku untuk segera meninggalkan
kelas, tapi aku masih diam di tempat.
"Apa kamu tuli, Nona Zak?" Pak Delafield membentak lagi.
Antara terkejut dan marah, kututup dengan kasar buku IPS di
pangkuanku dan kukemasi peralatan sekolahku. Aku tetap berusaha
tegak ketika melangkah keluar kelas diiringi pandangan marah ?si
karpet? serta tawa cekikikan beberapa murid.
Sekolah ini aneh dan terasa semakin menyebalkan! Ya guru-
gurunya, ya murid-muridnya! Tentu saja Al, Sabs, dan Katie sih tidak.
Mereka kan sohib. Tapi kejadian ini membuatku membulatkan tekad
untuk secepatnya kembali ke New York. Apa sih yang diinginkan ?si
karpet? itu dariku? Aku bukan sengaja cari gara-gara kok!
Di depan kantor Pak Hansen, sang Kepsek, ada tiga anak selain
aku yang juga menunggu giliran masuk. Aku ikut duduk di ujung
bangku panjang. Kunyalakan Walkman dengan suara maksimum.
Lima belas menit kemudian aku dipanggil masuk ke ruangan
Pak Hansen. Vonis apa yang akan kuterima?
Busyet, hukuman menulis permintaan maaf seusai jam terakhir!Mana mungkin?! Kalau lama bagaimana? Aku kan harus
menjemput Sheck jam tujuh nanti!
Aaah....masa bodoh! Persetan dengan sekolah Bradley, persetan
dengan Acorn Falls, persetan juga dengan orang-orang tolol ini.
Pokoknya aku harus kembali ke New York!
Kelas terakhir adalah pelajaran matematik. Aku sama sekali
sudah tidak peduli. Untung saja guru matematik tidak memperhatikan
sikapku yang ogah-ogahan. Kalau tidak, bisa-bisa aku dapat hukuman
ganda sore nanti. Di sekolahku dulu tak pernah ada hukuman apa pun.
Panggil saja murid yang dianggap melanggar peraturan sekolah, lantas
diajak diskusi. Menurut mereka, sistem menghukum murid agak
ketinggalan jaman dan tak ada gunanya sama sekali.
Aku terlambat satu menit memasuki ruangan hukuman.
Celakanya yang memimpin adalah Pak Delafield! Ia mengangkat
sebelah alisnya saat melihatku masuk lalu diberikannya lembaran
kertas hukuman.
"Terlambat? Besok masih ingin dihukum lagi rupanya?"
tanyanya sinis saat aku duduk di kursi. Ruangan nampak kosong.
Hanya ada lima anak lain di ruangan ini. Tiga di antaranya adalah
mereka yang kulihat antri di depan kantor Pak Hansen siang tadi.
"Tidak Pak," jawabku pendek dan mulai membuka bukuku.
Aku harus menulis kalimat ?SAYA TIDAK AKAN MENGGANGGU
PELAJARAN DI KELAS LAGI?, sebanyak lima ratus kali! Hukuman
aneh macam apa pula ini? Apa gunanya menghukum murid dengan
menulis kalimat tolol ini sebanyak lima ratus kali?
Akhirnya kuselesaikan juga hukumanku dan kuserahkan pada
Pak Delafield. Kutinggalkan sekolah secepat mungkin. Kuluncurkanskate- board-ku tanpa peduli kiri kanan. Aku tak sabar ingin segera ke
bandara, menjemput Sheck. Aku kangen sekali ingin mendengar
ceritanya tentang New York. Siapa tahu dia juga bisa menjemputku
jika aku ke New York kelak.
Tiba-tiba aku ingat bahwa aku belum menceritakan
keputusanku pada M, bahwa aku ingin kembali ke New York. Kupikir
aku tak perlu lagi menceritakan soal ribut-ributku dengan ?si karpet
gendut? dan soal hukuman Pak Hansen. Dengan begitu M pun tak
perlu repot-repot berurusan dengan sekolahku hanya untuk mengurus
anaknya yang dianggap ?bandel?. Ya, tak lama lagi aku akan
meninggalkan Acorn Falls dan sekolah Bradley. Keputusanku bulat
sudah.
|BAGIAN LIMA
Telepon berdering tepat saat aku dan M hendak berangkat ke
bandara.
BU ZAK : Randy!! Allison nih!!
ALLISON : Hai Randy?
R AND Y : Yap!
ALLISON : Randy, aku tahu kau tak ingin di ganggu, tapi
aku ingin kau mengerti bahwa Sabs dan Katie,
juga aku, benar-benar mengkhawatirkanmu.
RANDY : Jangan khawatirlah, aku baik-baik aja kok.
ALLISON : Ya...ya...aku tahu kamu bisa mengatasinya
sendiri, tapi tetap saja kita semua khawatir. Kita
kan sahabatmu Randy.
RANDY : Aku tahu kalian sahabatku, tapi...
ALLISON : Tapi kau tak ingin membicarakannya, kan?
RANDY : Ah bukan begitu. Menurutku ini masalah sepele.
Rasanya aku sudah bisa mengatasinya sekarang.
ALLISON : Tapi kenapa sikapmu aneh?
RANDY : Al, aku minta maaf atas sikapku. Aku jadi aneh
karena aku belum berani menyampaikan pada M
tentang niatku untuk kembali.ALLISON : Kembali? Kembali ke mana?
Randy tidak menjawab.
ALLISON : Kembali ke New York? Iya kan? Ibumu tetap
ingin di sini sedangkan kau ingin kembali ke New
York? Begitu ya?
RANDY : Ya...begitulah adanya. Tapi Al, jangan anggap
aku mengecilkan arti kalian, ya. Dari dulu aku kan
sudah bilang kalau aku paling-paling cuma
setahun di sini, iya kan?
ALLISON : Iya sih. Tapi kurasa...mh...kami pikir kau mulai
kerasan tinggal di sini dan ingin tetap tinggal di
sini...
RANDY : Aku tak pernah merencanakan menetap di sini Al.
Tapi kemudian M bilang masa depan karirnya
sebagai pelukis di sini lebih bagus. Malah di sini
M dapat tawaran pameran tunggal tahun depan.
Jadi M pingin tetap di sini, sementara aku pingin
kembali. Aku tahu, hidup tanpa M pasti
menyedihkan, tapi toh aku bisa tinggal dengan
Daddy-ku.
ALLISON : Ibumu mengijinkan kau tinggal dengan ayahmu?
RANDY : Kenapa tidak? M bilang, ia tak mau melihatku
menderita.
ALLISON : Aku kaget, kok ibumu mau berpisah denganmu.
RANDY : M ingin melihatku bahagia.ALLISON : Ya, kurasa kau benar. Kudengar kau dapat
hukuman waktu pelajaran IPS tadi siang ya?
RANDY : Aduuhh, jangan dibahas lagi deh. Sebel!
Bayangin, masa aku disuruh menulis lima ratus
kali kalimat hukuman! Peraturan macam apa itu?
Kamu tahu dari mana? Sabs?
ALLISON : Iya.
RANDY : Tapi semua sudah lewat. Aku nggak mau mikirin
lagi. Oke? Al, aku mau berangkat nih, ke bandara,
harus menjemput si Sheck.
ALLISON : O ya. Malam ini Sheck datang kan? Mau jalan-
jalan ke mana dia besok?
RANDY : Mungkin tidur seharian. Aku tahu betul
kebiasaannya.
ALLISON : Ada rencana mau ngenalin sama kita-kita,
nggak?
RANDY : Jelas!
ALLISON : Gimana kalau kau ajak dia ke Fitzie?s sepulang
sekolah besok. Jadi kita semua bisa ketemu....
RANDY : Aku nggak tahu dia mau apa nggak. Kau kan
tahu Al, di sini kan berbeda dengan New York.
Sheck lebih suka suasana yang seru...
ALLISON : Oh? Emmm, mungkin kau benar.
RANDY : Tapi kucoba deh ngajak dia besok.Eh aku harus
pergi sekarang. Sampai ketemu besok ya?
ALLISON : Ya. Sampai ketemu di kelas bahasa Inggris
besok Ran.RANDY : Ciao!
Allison menelepon Sabs
ALLISON : Bisa bicara dengan Sabrina?
SABRINA : Ya, saya sendiri.
ALLISON : Hai, ini aku. Al!
SABRINA : Ya, ya...aku tahu. Ada apa?
ALLISON : Aku baru saja nelepon Randy.
SABRINA : Haa? Akhirnya Randy mau juga bicara? Apa dia
juga cerita tentang hukumannya siang tadi? Dia
punya masalah berat? Apa yang terjadi sih? Apa
dia baik-baik saja? Apa kata Pak Hansen padanya?
Hmm? ALLISON : Mh... Randy cuma cerita sedikit.Rasanya sekarang
aku mulai tahu, kenapa akhir-akhir ini dia bersikap
aneh. Aku nggak tahu apa komentar Pak Hansen,
tapi yang pasti dia disuruh nulis lima ratus kali
kalimat hukuman.
SABRINA : Al, sebenarnya kenapa dia?
ALLISON : Dia pingin kembali ke New York, Juni depan.
SABRINA : Ya. Aku ingat sekarang. Tapi aku berharap dia
akan tetap tinggal di sini. Lagipula kenapa dia
harus bersikap aneh segala jika dia memang pingin
kembali ke New York? Apa ibunya yang memaksa
dia kembali ke New York? Kurasa itupersoalannya, Randy ingin tetap tinggal di sini
kan? ALLISON : Bukan begitu. Persoalan dia bingung.. .soalnya....
Allison berhenti sebentar
SABRINA : Al...ayo dong, ada apa?
ALLISON : Ibu Randy pingin tetap tinggal di sini....
SABRINA : Bagus dong! Berarti Randy juga bisa tetap di sini!
Tapi kalau begitu, kenapa dia masih pingin kembali
ke New York?
ALLISON : Ya, begitulah adanya Sabs. Ibunya ingin tetap
tinggal di sini, jadi warga sini dan melanjutkan
karirnya sebagai pelukis. Tapi Randy justru ingin
kembali ke New York.
SABRINA : Apa? Dia pingin balik ke New York? Kenapa?
Kupikir dia kerasan tinggal di sini?
ALLISON : Randy kerasan di sini Sabs. Dan aku yakin ia
senang berteman dengan kita semua. Tapi mungkin
ia merasa Acorn Falls bukan tempat yang tepat
untuknya. Ia merasa jadi orang ?aneh? di sini.
SABRINA : Tentu saja, dia memang kelihatan lain dari yang
lain. Justru itu jadi kelebihannya. Seharusnya dia
senang dong, bisa tampil beda! Ah, aku masih tetap
nggak ngerti, kenapa ia pingin kembali.
ALLISON : Yah.. .kurasa New York lebih aman untuknya.
SABRINA : Ngaco ah! Justru di sana nggak aman sama sekali.
Bahkan di pinggir jalan-jalan di New York, bahayasiap mengancam. Bagaimana mungkin di sana
lebih aman dari Acorn Falls yang damai ini?
ALLISON : Maksudku bukan begitu Sabs. Di sana kan Randy
punya banyak teman, punya aktivitas yang memang
dia suka. Kalau di sini? Dia cuma punya kita
bertiga. Kayaknya, nggak satu pun kegiatan di
sekolah kita yang cocok dengan minatnya.
SABRINA : Tapi dia kan memiliki kita!
ALLISON : Ya, benar sih. Tapi jutru itu kita harus mencoba
memahami keadaannya. Kita harus tetap bersikap
sebagai sahabat, apa pun keputusannya. Iya kan?
SABRINA : Tentu saja kita akan tetap berteman dengannya.
Masa cuma masalah mau pindah saja terus kita jadi
musuhan. Aku cuma berharap agar Randy nggak
bikin ulah aneh-aneh lagi kayak kemarin. Kalau dia
menganggap kita teman, mestinya ia ceritakan
problemnya pada kita dong!
ALLISON : Randy bukan tipe seperti itu Sabs.
SABRINA : Mungkin kau benar Al. Jadi kita cuma bisa diam
dan menunggu keberangkatannya ke New York?
ALLISON : Ya. Kalau dia mau kembali ke sana.
SABRINA : Terserah dia deh. Terus, Randy cerita apa lagi?
ALLISON : Cuma itu. Soalnya dia buru-buru mau pergi ke
bandara.
SABRINA : Oh ya! Temannya kan mau datang! Eh, siapa
namanya? Aku lupa.ALLISON : Sheck.
SABRINA : Sheck. Waw! Namanya sAJa keren.Orangnya pasti
lebih keren nih. Kira-kira kayak apa ya?
Menurutmu giMana? Lucu ya, cewek bersahabat
sama cowok. Kapan kita bisa kenalan sama dia?
ALLISON : Entah ya bagaimana wajahnya, yang jelas Randy
mau nyoba ngajak dia ke Fitzie?s besok siang
sepulang sekolah. Kita bisa kenalan dengan dia di
sana.
SABRINA : Ih aku gemes deh. Nggak sabar! Bayangin, cowok
New York! Menurutmu, kira-kira dia setipe dengan
Randy nggak?
ALLISON : Lho lho lho...mana aku tahu. Yang jelas Randy
amat senang menyambut kedatangan Sheck. Pasti
dia sudah kangen berat pada Sheck. Siapa tahu
perasaan Randy lebih tenang karena Sheck datang.
SABRINA : Eh Al, tunggu bentar deh...
Sabrina berteriak sebentar
SABRINA : Sorry ya Al, Sam marah-marah tuh. Katanya
sekarang giliranku tutup meja. Aku yakin hari ini
sebetulnya gilirannya, tapi kau tahu kan gimana
sifatnya? Suka ngrepotin orang! Sebel!
ALLISON : Okelah. Jadi besok kita ketemu lagi di kelas bahasa
Inggris ya? Jangan pikirin soal Randy lagi deh.
Aku yakin, besok juga dia normal lagi.SABRINA : He-eh deh. ?Ma-kasih ya. Sampai besok. Daaah...
ALLISON : Yoo...
Empat puluh lima menit kemudian, Sabrina menelepon Katie.
Emily, kakak Katie yang mengangkatnya.
SABRINA : Halo. Bisa bicara dengan Katie?
EMILY : Tunggu sebentar ya. Ini dari mana?
SABRINA : Sabs.
EMILY : Tunggu.
Emily berteriak memanggil Katie
KATIE : Hai, Sabs?
SABRINA : Hai Katie, lagi ngapain?
KATIE : Lagi bikin pe-er bahasa Inggris.
Sabrina mencibir dan mengeluarkan suara ?Booooo?.
KATIE : Sabrina Wells! Aku suka mengerjakan pe-er
sesegera mungkin. Enggak seperti kamu, baru
ngerjain kalau sudah kepepet waktu! Jangan
ngeledek ya!
SABRINA : Ya, ya aku tahu. Aku bukan ngeledek, tapi kagum.
Kamu sudah mau selesai, aku bahkan belum tahu
pe-ernya dari buku yang mana. Hi...hi...hi
KATIE : Aku belum kelar kok, tapi kalau kamu perlu
bantuan....
SABRINA : Iya, Iya.. .kamu pasti mau nolongin aku kan? Aku


Girl Talk 04 Pembangkang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nggak biasa sih mengerjakan pe-er kalau belumkepepet. Hi..hi.. Aku pernah baca di majalah,
katanya bintang-bintang Hollywood saja nggak
mampu mengurus waktunya, maka mereka
membayar manajer untuk mengatur jadwal sehari-
hari. Jadi, aku memang nggak perlu pandai-pandai
mengatur waktu. Kalau sudah ngetop nanti aku bisa
sewa orang untuk itu kan?
KATIE : Iya, tapi kan itu baru cita-cita...
SABRINA : Siapa yang tahu kapan itu terjadi? Kadang-kadang
seorang bintang besar justru ditemukan di
supermarket atau di binatu. Kapan saja deh
waktunya.
KATIE : O ya? Kapan terakhir kamu ke binatu?
SABRINA : Ah itu sih nggak penting. Maksudku, hal itu bisa
terjadi kapan saja dan di mana saja. Bayangin,
kalau mereka sudah menemukan aku, aku nggak
perlu lagi membuat pe-er, sebab managerku yang
akan melakukannya.
KATIE : Tapi artis kan tetap harus belajar dan bikin pe-er?
SABRINA : Ah, untuk apa?
KATIE : Tentu saja kau harus terus sekolah sampai umurmu
enam belas tahun.
Sabrina mengeluarkan bunyi ?Booo..?lagi.
KATIE : Iya deh...paling tidak kau bisa meminta manajermu
mengingatkan kapan harus bikin pe-er.SABRINA : Kau benar. Eh sebenarnya aku nelepon untuk
menceritakan masalah Randy yang kudengar dari
Allison.
KATIE : Oh ya? Apa yang terjadi selanjutnya? Apa dia
dapat kesulitan setelah kejadian di kelas IPS?
SABRINA : Iya. Dia dihukum.
KATIE : Dihukum?
SABRINA : Nggak usah pakai teriak gitu dong. Lagian, biasa
kan murid yang salah harus dihukum. Biasa saja.
Apalagi kalau orangnya kayak Randy yang cuek
bebek. Dia cuma disuruh nulis lima ratus kali
kalimat hukuman, kok.
KATIE : Untung deh, cuma itu. Aku takut Randy bikin gara-
gara lagi.
SABRINA : Tahu nggak, Randy bertingkah aneh karena dia
sedang sedih. Dia pingin kembali ke New York!
KATIE : Ya, aku sudah tahu itu dari dulu. Buat apa sedih?
Dari awal tahun ajaran kan kita sudah tahu kalau
dia akan kembali bulan Juni?
SABRINA : Kalau aku sih maunya dia kerasan di sini. Kulihat
Randy senang bersahabat dengan kita.
KATIE : Iya, tapi temannya di New York kan jauh lebih
banyak. Jangan lupa juga, Ayahnya kan tinggal di
sana juga.
SABRINA : Ya...kau benar. Tapi masalahnya, Ibu Randy...
KATIE : Maksudmu Olivia?SABRINA : Ya. Olivia ingin tetap tinggal di sini. Kata Allison,
Randy bilang karir Olivia bisa lebih baik jika tetap
tinggal di Acorn Falls. Olivia kan pelukis. Itu
sebabnya Olivia tak mau kembali ke New York.
KATIE : Oh ya? Jadi Randy tinggal dengan siapa nanti?
SABRINA : Kata Al, Randy akan tinggal dengan Ayahnya.
KATIE : Bagaimana dengan Leighton?
SABRINA : Entah ya. Rasanya tentu aneh melihat Ayahmu
punya pacar baru. Kalau Randy tinggal dengan
Ayahnya, dia pasti ketemu Leighton setiap hari.
KATIE : Ya. Pasti Randy nggak suka. Lalu apa kata ibunya
tentang rencananya itu?
SABRINA : Kata Al, Randy belum menceritakan keputusannya
pada Olivia.
KATIE : Apa menurutmu Bu Zak...maksudku Olivia,
membiarkan Randy pergi ke New York sendirian?
SABRINA : Mana aku tahu. Aku nggak tanya soal itu pada Al.
Tak terpikirkan sama sekali olehku. Tapi aku yakin
Olivia juga nggak mau berpisah dengan Randy.
Mereka berdua kan sudah seperti sahabat karib.
Oh...ngomong-ngomong soal sahabat, aku jadi
ingat kalau sahabat karib Randy dari New York,
Sheck, kan datang malam ini.
KATIE : Oh ya. Hampir aku lupa. Randy pasti senang ya?
SABRINA : Kata Al, Randy kelihatan semangat banget.
Kedatangan Sheck pasti membuat perasaan Randy
lebih tenang. Tapi aku jadi ikut semangat juga lho.Bayangin, cowok tulen dari New York! Pasti keren
banget...
KATIE : Mungkin gayanya mirip Randy, mereka kan
bersahabat.
SABRINA : Mungkin. Kira-kira tampangnya imut-imut nggak
ya? KATIE : Nanti juga kita tahu...
SABRINA : Kata Allison, besok Randy mau ngajak cowok itu
ke Fitzie?s. Apa yang harus kukenakan besok? Aku
ingin ia terkesan saat perkenalan besok. Aku pingin
kelihatan modis, gitu.
KATIE : Jangan khawatir Sabs, aku yakin Sheck pasti
menyukai kita semua. Dia kan sahabat Randy.
SABRINA : Iya. Tapi besok aku pakai baju apa nih? Aku nggak
punya baju baru lagi. Aku kan sudah bilang bahwa
uang sakuku perlu ditambah tunjangan beli
pakaian...
KATIE : Hei...tenang dong. Nggak usah panik begitu. Eh,
aku mau nerusin pe-erku nih. Rasanya kamu juga
harus mulai mengerjakannya.
SABRINA : Iya, iya. Pasti aku bikin, tapi nanti, kalau sudah
nemu baju yang oke untuk kupakai besok. Jadi
udahan dulu nih?
KATIE :Iya. Dahh...
SABRINA :Dahh...BAGIAN ENAM
Di ruang kedatangan aku berdiri menunggu pesawat terbang
dari New York mendarat. M menunggu di luar, di mobil. Begitu
banyak orang yang lalu-lalang. Aku jadi khawatir jangan-jangan
Sheck sudah turun tapi tidak terlihat olehku. Kurasa bola mataku
nyaris melompat keluar karena pandanganku tak pernah kulepaskan
dari pintu putih, pintu keluar penumpang yang baru datang.
"Ran!" tiba-tiba kudengar suara di belakangku. Kubalikkan
tubuhku; ternyata....
"Sheck!"
Tak dapat kupercaya, benar-benar Sheck!
Aku hampir tidak mengenalinya lagi. Begitu banyak perubahan
yang terjadi atas dirinya. Kami dulu sama tinggi. Tapi sekarang Sheck
tumbuh beberapa senti lebih tinggi.
Dia benar-benar beda dari Sheck yang dulu. Aku tak tahu,
apakah istilah ?raksasa? pas atau tidak buat dia. Yang jelas dia
kelihatan lebih ganteng daripada dulu. Rambut hitamnya yang
bergelombang dibiarkan tumbuh setengkuk, dan matanya kok jadi
tambah hijau ya? Ia mengenakan pakaian serba hitam, warna kesukaan
kami berdua sejak kecil.Ia memakai kemeja berkerah tinggi dengan retsleting di dada,
rompi hitam, jeans belel hitam, sepatu hitam dan overcoat (jas panjang
seperti mantel) juga warna hitam. Harus kuakui, dia kelihatan chick
banget!
Tapi cuma itu yang sempat kupikirkan, sebab kemudian Sheck
sudah memelukku dan mengangkatku dari lantai. Ia berputar-putar
sambil menggendongku beberapa saat.
"Adudu Randy, akhirnya kita ketemu juga!" teriaknya. "Kamu
tambah cantik, tambah keren!"
Kamu juga, maunya sih aku jawab gitu. Tapi yang keluar dari
mulutku, "Aku senang sekali kau jadi datang, Sheck."
"Aku juga seneng banget bisa melihatmu lagi," ia setuju.
"Tadinya aku pikir aku nggak bakalan bisa ketemu kamu lagi.
Hei...Mamimu mana?"
"Di luar, di mobil," jawabku teringat pada M yang sedang
menunggu kami. Sheck menggandeng erat lenganku sambil berlari
kecil menuju pengambilan bagasi. Sepanjang jalan ke tempat parkir,
Sheck bicara tanpa henti. Begitu melihat M, ia meminta beliau keluar
agar bisa memeluknya.
Dalam perjalanan ke rumah, Sheck terus saja bercerita sehingga
aku dan M tak sempat bicara apa-apa. Tapi tak apalah. Itu memang
salah satu sifat yang kusukai dari Sheck, pandai memeriahkan
suasana!
"Hei...hei..inikah yang namanya Acorn Falls?" tanya Sheck saat
kami melintasi jalan utama. "Aku jadi ingat acara Audi Griffith Show.
Dia bilang, jangan berkedip sedikit pun, soalnya sekali kedip bisa-bisa
jalan utama ini ?hilang?..."Aku tertawa. Itu juga yang kurasakan. Jalan utama di sini begitu
pendek dan biasa-biasa saja. Kelewat tenang.
Senang juga punya teman yang berpikiran sama tentang
sunyinya Acorn Falls. Sabs, Katie dan Allison tidak pernah mengerti
mengapa menurutku Acorn Falls begitu kecil dan sederhana.
"Permisi....aduhai Acorn Falls yang damai, saya numpang
lewat, ya..." kata Sheck dalam logat Inggris tulen yang dibuat-buat
seperti suara orang kuno. "Kota ini benar-benar kecil dan sepi
rupanya. Kayak kota tempo doeloe."
M juga ikut tertawa mendengarnya. "Tambah susah lagi, Sheck,
di kota ini tak ada layanan pesan-antar. Jadi susah juga kalau mau
masak yang 'aneh-aneh? di sini," M menguatkan pendapat Sheck.
"Ah...," tukasku, "ada atau tidak layanan pesan-antar, tetap saja
M nggak suka masak. Rasanya, aku melulu deh yang masak...."
M kontan berlagak merengut, sedangkan Sheck tertawa. Di
New York dulu dia sering mampir di apartemen kami sehingga ia tahu
betul bahwa M tidak suka masak. "Maaf ya Olivia," ia memang
memanggil M dengan namanya, "bukannya membela Randy, tapi aku
punya pengalaman buruk waktu mencicipi masakanmu dulu."
M pura-pura sedih, "Yah...sudah nasibkulah, tak pandai
memasak. Tapi yang penting kau tetap hidup sampai saat ini kan?"
Kami berbelok memasuki jalan Maple. "Wah... nama jalannya
aneh ya?" komentar Sheck. "Waktu membalas surat-suratmu, kupikir
nama jalanmu ini cuma lelucon. Tapi nyatanya sungguhan tuh. Kok
rumahmu nggak ada nomornya?"
"Nggak perlu nomor kok. Kan di kotak pos ada nama kami,"
Pedang Dan Kitab Suci 2 Pengelana Rimba Persilatan Jiang Hu Lie Ren Karya Huang Yi Pendekar Guntur 25
^