Pencarian

Tapak Tangan Hantu 15

Tapak Tangan Hantu Karya Batara Bagian 15


bertambah marah. membentak dan melengking tinggi maka kelima jari gadis itu bergerak ke bawah dan
tahu-tahu belakang lutut pemuda ini dicengkeram. Sin Gak menjadi marah dan terganggu, ia membalik dan
cepat mengayun lengan. Pek-mo-in-kang menyambar. Dan ketika gadis itu tergetar dan terdorong mundur,
terbelalak maka gadis ini menjadi gusar dan berkelebat maju lagi, jari telunjuknya menusuk sementara ibu
jari menyontek dan menyambar muka Sin Gak.
"Plak-plak!"
Sin Gak menjadi marah dan membalas juga. Ia menambah tenaganya hingga pukulannya semakin
dingin. Tapi ketika gadis itu terpental dan menyerang lagi, berkelebat cepat akhirnya bayangan merah
menyambar naik turun dan pemuda itu lenyap terbungkus bayangan lawan.
"Kau kiranya murid supek Sian-eng-jin. Bagus, kudengar tentang Pek-mo-in-kang yang dimilikinya,
Sin Gak. Kau telah mempelajari ilmu itu. Marilah bertanding dan lihat murid siapa yang lebih lihai!"
Sin Gak marah. Ia membentak dan mengimbangi lawan berkelebatan cepat. Sian-eng-sut atau Ilmu
Bayangan Dewa dikeluarkan, menyambar dan menangkis serta membalas gadis itu. Lalu ketika bayangan
merah terpental oleh bayangan putih, kini tampaklah oleh pemuda itu di balik serangan-serangan lawan makaKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
363 keduanya bertanding hebat dan Giok Chenglah yang tertegun.
Sebenarnya, begitu mendengar bahwa pemuda sederhana berbaju putih ini adalah Sin Gak ia sudah
merasa panas pipinya. Siapa yang tak tahu urusan jodoh itu. Ayah ibunya sudah bilang. Tapi ketika sucinya
bertanding dan menghadapi pemuda itu, Sin Gak membalas dan ternyata pemuda itu adalah murid supeknya
Sian-eng-jin maka diam-diam gadis ini menjadi bingung dan gelisah, apalagi ketika dua kali pukulan Sin
Gak membuat sucinya terpental berjungkir balik. Dalam hal sinkang ternyata pemuda itu lebih unggul tak
aneh karena Sin Gak telah memperoleh inti dari tenaga Awan Iblis yang memasuki tubuhnya.
"Heh, jangan sombong. Kau boleh mengeluarkan semua kepandaianmu, Sin Gak, dan jagalah
sekarang balasanku. Kepandaianku adalah ini..... tar-tar!" Ikat pinggang meledak di udara, dicabut dan
menyambar tapi Sin Gak mengelak. Sama seperti Giok Cheng maka murid-murid Hek-i Hong-li ini memiliki
kepandaian khas, yakni permainan senjata panjang itu. Dan ketika Su Giok melengking dan menyambar-
nyambar, dari lengan Sin Gak keluar tenaga dorong yang membuat ia penasaran maka tampak bahwa dalam
kepandaian pemuda ini dapat mengatasi lawannya, kokoh dan lebih kuat!
Giok Cheng kagum. Mau tak mau ia menjadi begitu penuh perhatian memandang jalannya
pertandingan ini. Hawa dingin yang menyambar dari lengan pemuda itu kian kuat saja, akhirnya mendorong
mundur murid-murid Hek-yan-pang dan Giok Cheng sendiri harus mengerahkan sinkangnya bertahan.
Lama-lama ia menjadi beku oleh sambaran angin pukulan pemuda itu, padahal Sin Gak belum mengeluarkan
semua tenaganya. Dan ketika tampak bahwa pemuda itu tak dapat didesak. Sian-eng-sut atau Bayangan
Dewa dapat mengatasi kecepatan lawan maka Pek-mo-in-kang mampu menghalau semua serangan-serangan
ikat pinggang panjang itu, hal yang membuat gadis baju merah melengking-lengking dan memperhebat
serangannya namun Sin Gak menjaga diri dengan rapat. Dorongan angin pukulannya membuat ujung senjata
lawan terpental, bahkan membalik dan menyambar tuannya sendiri. Dan ketika gadis itu menjadi marah dan
penasaran maka Giok Cheng diteriaki agar maju membantu.
"Tak pantas kau melihat sucimu di buat malu orang. Maju dan bantu aku, Giok Cheng, jangan
menonton saja. Atau aku menghajarmu nanti!"
Giok Cheng panas mukanya. Sebenarnya, kalau ia mau jujur maka kesalahan terletak pada sucinya ini.
Sucinya itulah yang bersikap kasar dan keterlaluan, Sin Gak tak bisa disalahkan. Maka berseru bahwa biarlah
pemuda itu pergi, tak guna membuang tenaga ternyata seruan gadis ini membuat sucinya meledak marah.
"Kau tak mau membantuku? Kau tergila-gila kepada calon jodohmu ini? Heh, ia tak pantas untukmu,
Giok Cheng, sombong seperti ayahnya. Masih banyak pemuda lain dan jangan tergerak oleh
ketampanannya!"
Wajah gadis ini terbakar. Ia malu bukan main oleh kata-kata sucinya itu, juga marah. Maka
membentak dan berkelebat maju apa boleh buat ia menyerang Sin Gak.
"Baiklah, ini sekedar kesetiaanku sebagai saudara muda, suci. Tapi betapapun kau juga tak benar. Kau
yang mengganggunya terlebih dahulu, seharusnya malu kita mengeroyoknya!"
"Heh, jangan banyak cakap. Ia bakal membuat malu kita berdua. Robohkan dan bunuh dia!"
Sin Gak tertawa dingin. Tahulah dia sekarang watak dua gadis ini. Giok Cheng, puteri pamannya Han
Han itu ternyata lebih halus. Sebenarnya ia mulai tergetar oleh sikap dan kata-kata gadis ini. Tapi karena ia
terus diserang dan lawan semakin kalap, ia harus, bergerak lebih cepat maka datangnya Giok Cheng
membuat ia tertekan.
"Plak-plak!"
Ia tergetar dan terdorong mundur. Dari kiri ia menangkis Giok Cheng sementara dari kanan
menyambar pukulan Su Giok, ia membagi tenaga dan akibatnya iapun terhuyung. Dan ketika Giok Cheng
terpaksa membantu sucinya menghindar kata-kata yang membuat telinganya merah maka Sin Gak tentu saja
terdesak dan pemuda inipun marah.
Namun dua gadis itu sudah berkelebatan menyerang dari delapan penjuru. Giok Cheng tak
mengeluarkan senjatanya namun cukup berat bagi Sin Gak untuk bertahan, betapapun yang dihadapi adalah
murid-murid Hek-i Hong-li yang lihai. Dan ketika pemuda ini terdesak dan terus tertekan, dua kali senjata Su
Giok menyengat tubuhnya maka berkelebat bayangan lain membentak lawan-lawan Sin Gak ini.
"Tak tahu malu, dua lawan satu. Cih, mana kegagahan dan muka kalian, tikus-tikus busuk. Lepaskan
pemuda ini atau aku membelanya!"Kolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
364 Giok Cheng dan Su Giok terkejut. Menyambar bagai walet lincah masuklah di situ seorang gadis
cantik berpakaian hitam putih. Rambut yang dikepang dua itu menyambar ke kiri kanan menghantam
mereka, lurus kaku bagai tombak-tombak pendek. Dan ketika mereka menangkis dan sama-sama terpental,
tentu saja kaget maka Sin Gak tertegun karena itulah gadis di kota Ceng-kiang, gadis yang memiliki Bu-
bian-kang dan telah bertanding hebat dengannya.
"Kau....?!"
"Ya, aku. Maaf tak dapat kudiamkan ketidakadilan berjalan di sini dan mari kita hadapi mereka!"
Gadis itu berkelebatan dan menyerang lawan-lawannya lagi. Sin Gak terbelalak dan masih tertegun
dan ia tak melihat betapa wajah Giok Cheng terbakar. Pipi halus yang kemerah-merahan itu mendadak
menjadi hitam. Giok Cheng mendengar dan melihat percakapan dua orang muda itu. Dan karena mereka
tampaknya sudah kenal baik dan suara gadis itupun terdengar manja dan genit, begitu menurut Giok Cheng
maka tiba-tiba saja gadis ini menjadi cemburu dan marah!
Kau siapa dan kenapa ikut-ikutan di sini. Ini rumahku, tempat tinggalku. Kau siluman betina dari
mana yang berani mengacau tempat orang!" Giok Cheng mencabut senjata dan berubah sikap. Kalau tadi
lemah lembut dan masih halus maka sekarang perobahan mendadak terjadi dengan cepat. Gadis ini
menggerakkan ikat pinggangnya menyambar lawan, menotok dan menuju pinggang akan tetapi gadis baju
hitam putih itu terkekeh. Tawanya mengejek, membuat Giok Cheng semakin terbakar saja. Dan ketika gadis
itu mengibaskan rambutnya dan bertemu ikat pinggang, sama-sama terpental maka pertandingan tiba-tiba
pecah karena Giok Cheng sudah menghadapi gadis ini.
"Plak-plak!"
Dua gadis itu sama-sama terhuyung. Giok Cheng marah dan menyerang lagi namun lawan tak mau
diam, iapun membalas dan meledak atau menggerakkan rambutnya itu. Dan ketika dua gadis ini bertanding
cepat sementara Sin Gak tertegun menghadapi Su Giok, gadis ini juga marah dan terbelalak di sana maka
tampaklah bahwa Giok Cheng masih seusap di bawah gadis baju hitam putih itu.
"Hi-hik, kepandaianmu belum sempurna. Ayo belajar dan tingkatkan lagi dan baru menghadapi
aku....... plak-plak!" rambut mementalkan ikat pinggang dan senjata itu membalik menyambar muka Giok
Cheng sendiri. Sekejap mereka sudah saling tangkis dan serang-menyerang namun tampak bahwa Giok
Cheng terpental mundur. Ia kalah tenaga. Dan ketika gadis itu melengking marah dan mempercepat
serangannya maka di sana Sin Gak meng halau serangan-serangan Su Giok dan Pek-mo-in-kangnya kembali
membuat gadis itu penasaran.
Kini empat orang ini disibukkan perasaan berlain-lainan. Su Giok, yang tak mampu mendesak Sin Gak
dan jelas bahwa pemuda itu tak mengeluarkan semua kepandaiannya dibuat penasaran dan marah di samping
malu. Ia tak tahu bahwa Sian-eng-jin telah menggembleng pemuda ini melebihi Hek-i Hong-li
menggembleng dirinya. Nenek itu masih ragu memberikan semua kepandaiannya, tidak seperti kakek itu
yang bahkan membantu mendapatkan inti tenaga Pek-mo-in-kang kepada Sin Gak. Mewarisi tenaga ini sama
dengan mewarisi sinkang tiga puluh tahun yang dilatih seseorang. Itulah sebabnya Sin Gak lebih kuat dan
daya tahannya juga tinggi, tidak seperti dua gadis itu karena Hek-i Hong-li sendiri sesungguhnya baru
menurunkan sembilan bagian saja dari ilmunya. Nenek itu masih pelit. Maka ketika Giok Cheng maupun Su
Giok tak mampu mendesak lawan, bahkan Giok Cheng tertekan dan sibuk menghindari serangan-serangan
lawan maka di pihak lain Su Giok juga terdesak dan terpental oleh dorongan Pek-mo-in-kang yang
dikeluarkan Sin Gak.
Lain Su Giok lain pula Giok Cheng. Gadis ini, yang melihat datangnya gadis baju hitam putih sudah
dibuat cemburu dan panas ketika Sin Gak dan temannya sudah saling kenal. Ia tiba-tiba dibakar perasaan tak
keruan melihat bakal kekasihnya itu bicara dengan gadis hitam putih ini. Kemarahannya semakin meledak
setelah ia terpental berkali-kali oleh rambut hitam tebal itu. Dan karena ia menjadi marah dan mempercepat
serangan maka gadis baju hitam ini sendiri tertawa berkelebatan mengelak dan membalas, hal yang membuat
Giok Cheng terbakar!
Kalau saja gadis baju hitam ini tak datang sebenarnya Giok Cheng hendak membiarkan Sin Gak pergi.
Secara diam-diam dan tak kentara ia akan memberi lubang kesempatan kepada pemuda itu. Biarlah Sin Gak
pergi dan lain kali mereka bertemu lagi. Betapapun ia terkejut dan girang bahwa calon jodohnya itu murid
Sian-eng-jin, supeknya. Tapi begitu gadis baju hitam muncul dan Sin Gak tampak akrab maka
kecemburuannya tak dapat dicegah lagi dan mendadak ia ingin menangkap dan tidak membiarkan Sin Gak
pergi. Ia akan mencari tahu sampai seberapa jauh hubungan pemuda itu dengan gadis baju hitam ini!
Akan tetapi yang dihadapi Giok Cheng adalah murid si Naga Berkabung. Gadis itu mempergunakanKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
365 Bu-bian-kangnya untuk menghadapi lawan sementara Giok Cheng maupun Su Giok tak mendapatkan ini
dari subo mereka. Hek-i Hong-li menyimpan ilmu itu untuk diri sendiri. Maka ketika Giok Cheng merasa
silau oleh bayangan lawan, juga pukulan-pukulannya terpental bertemu lawan maka Kim-kong-ciok atau
ilmu Arca Emas membuat gadis baju hitam ini, Bi Hong, terlalu tangguh bagi Giok Cheng. Perlahan tetapi
pasti ia terdesak, ikat pinggagnya banyak tak berdaya menghadapi gadis baju itu. Dan ketika satu kali
senjatanya membalik bertemu Arca Emas, ia terkejut maka lawan tertawa menggerakkan lengan kiri
mengebut mukanya.
"Robohlah!"
Itulah Kian-kun-siu (Lengan Baju Sapu Jagad). Jari gadis ini menampar sementara lengan bajunya
bergerak mendahului. Giok Cheng berkelit namun rambut mencegat dari kiri. Dan ketika ia menangkis
namun terpelanting, pucatlah gadis itu maka Su Giok juga terbanting oleh dorongan Pek-mo-in-kang yang
amat kuat.
"Desss!"
Dua gadis itu terguling-guling. Su Giok yang marah dan meloncat bangun lagi mulai gentar
menghadapi Sin Gak. Pemuda ini kuat sekali sinkangnya. Tapi karena mundur berarti malu, ia akan
bertempur sampai mati maka gadis itu menyerang lagi dan Giok Cheng juga seperti sucinya itu, bangun dan
meledak-ledakkan lagi senjatanya.
Kau atau aku yang mampus!"
Bi Hong tertawa. Sebenarnya harus di akui bahwa Giok Cheng adalah lawan yang kuat. Hanya karena
ia memiliki Bu-bian-kang dan gadis itu tidak maka ia di atas angin. Maka ketika gadis itu menyerang lagi
dan ia berkelebat melepas Kian-kun-siu maka lagi-lagi Giok Cheng terpelanting dan kaget serta marah.
Hal ini dilihat Sin Gak. Setelah ia menghadapi Su Giok dan masing-masing mendapat lawan maka Sin
Gak melihat pertandingan itu. Sebenarnya, teringat pertemuannya dengan gadis baju hitam itu Sin Gak
menaruh rasa marah. Ia masih penasaran dan ingin bertanding lagi. Tapi ketika lawan tahu-tahu datang dan
membantu dirinya, hilanglah kemarahannya maka iapun bingung melihat Giok Cheng terdesak, apalagi
setelah pakaian dan wajah gadis itu kotor kena debu.
Sin Gak menjadi kasihan. Setelah dua gadis itu bertanding sulitlah baginya membela satu pihak. Ia
telah tahu bahwa masing-masing adalah saudara seperguruan, bahkan kalau diurut secara "pangkat" maka
gadis .baju hitam itu adalah sucinya, kakak seperguruan. Tapi karena ia tak senang dengan sebut-menyebut
ini, seperti juga ia tak akan bersombong dianggap suheng maka mulailah Sin Gak berpikir meninggalkan saja
tempat itu. Dan begitu ia menetapkan keputusan iapun membentak dan menghalau lagi serangan Su Giok.
"Enci, kau tak dapat menahanku di sini, cukup kita main-main. Biarkan aku pergi dan ingat bahwa kita
masih sama-sama saudara seperguruan!"
Gadis itu terpekik. Sin Gak menambah tenaganya hingga hawa dingin menusuk tulang. Giginya
berketrukan. Dan ketika ia mengelak namun terdorong juga, akhirnya melempar tubuh bergulingan Sin
Gakpun tak membuang-buang waktu lagi berkelebat ke arah gadis baju hitam putih itu, menarik tangannya.
"Cukup, tak usah main-main lagi di sini. Mari kita pergi dan jangan hiraukan mereka!"
Gadis ini terkejut. Saat itu melepas Kian-kun-siu mendorong Giok Cheng, rambutnya meledak
menghalau ikat pinggang. Maka ketika Sin Gak tahu-tahu berkelebat menarik tangannya dan menotok
pergelangan, melumpuhkan serangannya maka iapun menjerit dan marah. Giok Cheng terhuyung. Dan
karena gerakan Sin Gak amat cepat dan tak diduga-duga, iapun tertangkap maka pemuda ini menarik
lengannya dan sudah dibawa pergi.
"Lepaskan!" Sin Gak tak mau. "He, lepaskan tanganku, Sin Gak. Biar kuhajar gadis itu lagi!"
Sin Gak tertegun, namun berkelebat dan meninggalkan pulau. "Kau tahu namaku?"
"Aku sudah ada di sini sejak Majikan Hutan Iblis itu datang. Tapi dua gadis siluman itu mendahului,
aku menunggu di belakang!"
"Hm, begitukah'? Baik, kalau begitu semakin banyak pertanyaanku. Jangan hiraukan mereka dan mari
kita pergi!"
Gadis itu meronta namun Sin Gak mempererat cengkeramannya. Ia menindas debaran hatinyaKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
366 menekan kulit lengan yang lembut. Dalam keadaan biasa tentu pemuda ini tak akan melakukan itu. Dan
ketika gadis ini marah-marah dan menamparnya, Sin Gak tetap berlari akhirnya gadis ini terisak membiarkan
pemuda itu membawanya keluar pulau.
Sin Gak membuang sisa Pat-gen-sin-hoat-sutnya. Ia merasa tak ada perlunya lagi menggunakan ilmu
itu, lawan telah pergi. Dan karena di Hek-yan-pang telah ada Giok Cheng dan Su Giok, ia tak menghiraukan
panggilan Cu Pin maka Giok Cheng merah padam meloncat bangun, gemetar dan menangis melihat betapa
Sin Gak membawa lari gadis baju hitam putih itu. Pegangan yang dirasa Giok Cheng sebagai genggaman
mesra seorang pria terhadap wanita!
"Dia...... dia akan kubunuh. Keparat mereka berdua itu!"
"Dan gadis siluman itu mampu menghadapi kita. Ah, rupanya subo bersikap tak adil, Giok Cheng, ada
sesuatu yang tak beres di sini. Kita tak mampu mengalahkan Sin Gak!"
Giok Cheng tersedu-sedu. Akhirnya setelah Sin Gak lenyap dan ia tak mampu mengejar, perasaannya
tertusuk-tusuk melihat pemuda itu menggandeng orang lain maka gadis ini menaruh kebencian yang dalam.
Tiba-tiba saja ia begitu marah kepada pemuda itu, tiba-tiba saja ia benci kepada perjodohan yang diikatkan
ayah ibunya kepadanya. Maka ketika ia berkelebat dan masuk ke dalam, Su Giok menyusul dan merah
mukanya maka dua gadis ini dibakar kemarahannya sendiri-sendiri.
Su Giok tentang penasarannya kepada Sin Gak itu. ia akan melapor gurunya dan protes. Dan karena
malam itu kebetulan saja ia datang, mengantar sumoinya ini kembali ke orang tuanya maka malam itu di
Hek-yan-pang Su Giok justeru mendengar bahwa Ju-taihiap dan anak menantunya pergi lama sekali.
Di sini gadis baju merah ini tertegun. Ia mengerutkan kening namun sekejap kemudian tak perduli.
Sesungguhnya ia tak begitu berurusan dengan Hek-yan-pang, yang berkepentingan adalah sumoinya. Maka
ketika keesokannya ia berpamit dan menemui sumoinya itu, hendak kembali kepada gurunya maka gadis itu
berkata bahwa mereka berpisah saja. Giok Cheng masih membendul dan sakit hatinya.
"Lihat, keturunan orang she Sin itu memang sombong dan betul-betul tak perlu dibaiki. Enak saja ia
memegang-megang tangan orang lain di depan kekasihnya sendiri. Orang seperti itu tak perlu dipikirkan
lagi, Giok Cheng, lain kali ambil perhitungan lagi. Aku hendak kembali kepada subo, melapor. Aku
penasaran akan kejadian ini dan bagaimana kita tak mampu menghadapi lawan-lawan kita, bukankah subo
mengatakan bahwa di antara subo dan paman-paman guru setingkat. Kau carilah orang tuamu dan cukup
kuantar sampai sini!"
Giok Cheng mengangguk. Memang kebetulan saja kalau malam tadi ia bertemu Sin Gak. Mereka
mendengar lolong srigala dan ribut-ribut, datang dan melihat itu tapi yang lebih menyakitkan adalah
hadirnya gadis hitam putih itu. Ia masih tak tahu siapa gadis ini. Dan karena ayah ibunya tak ada di situ, ia
akan mencari sendiri maka ia bangkit dan mengantar sucinya itu, mengusap air mata.
"Suci tak perlu melaporkan pemuda itu, maksudku keberadaannya dengan gadis baju hitam itu. Aku
pribadi tak akan melupakan ini, suci, akan kucari ayah ibuku dan kuminta agar tali perjodohan diputus. Aku
benci Sin Gak, aku benci kelakuannya!"
"Dan seperti itulah ayahnya dulu. Ayahnya juga gampang menyakiti hati wanita, Giok Cheng, tak
akan kulupa peristiwa itu. Sudahlah betul kata subo bahwa laki-laki adalah mahluk yang menyebalkan. Kita
berpisah!"
Giok Cheng mengangguk. Sucinya berkelebat dan meninggalkan Hek-yan-pang sementara gadis ini
masih termangu-mangu di situ. Apa yang terjadi ini disaksikan pula oleh Cu Pin dan murid-murid Hek-yan-
pang yang lain. Dan ketika semua menjadi terkejut dan berdebar tak enak, ikatan jodoh benar-benar terancam
hancur maka sehari setelah membuang risaunya di situ Giok Chengpun meninggalkan Hek-yan-pang.
Menurut Cu Pin ibu dan ayahnya berada di Kun-lun atau Lam-hai!
* * * Sin Gak berhenti di tengah hutan itu. Kini ia melepaskan pegangannya sementara pipinya bengap kiri
kanan. Dua kali ia ditampar gadis itu. Dan ketika masing-masing berhadapan dan gadis itu bersinar-sinar,
marah maka Sin Gak justeru sebaliknya dan bersikap lembut, menarik napas dua kali.
"Maafkan aku, tapi kita sekarang bebas. Nah, lampiaskan marahmu kepadaku dan kali ini aku benar-Kolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
367 benar tak menghalangimu."
Gadis itu maju, berkacak pinggang. "Sin Gak, apa kewenanganmu hingga berani memegang-megang
tanganku? Siapa suruh kau begitu lancang? Tahukah kau bahwa belum pernah seumur hidupku orang lain
memegang-megang aku? Apakah kau minta mampus?"
"Hm, aku sudah minta maaf, boleh di tampar kalau masih kurang. Aku tak bermaksud menghina atau
menyakitimu, nona. Aku tak mau kita bertempur sendiri sesama saudara seperguruan. Aku justeru hendak
bertanya murid siapakah kau ini. Siapakah namamu dan maukah kau berterus terang."
"Terus terang tentang apa. bukankah kau tahu!"
"Aku hanya tahu sebagian saja, menebak-nebak. Setelah kejadian beberapa hari yang lalu itu aku
mulai menduga bahwa kau murid supek Song-bun-liong. Benarkah ini dan sekarang siapa namamu. Kau
sudah tahu aku."
"Hm-hm, aku Bi Hong. Karena tebakanmu benar biarlah kujawab itu. Sekarang apa maumu dengan
membawaku ke tengah hutan ini. Kau sudah mengajakku menjauhi gadis-gadis siluman itu!"
"Bi Hong? Hm, nama yang bagus. Aku ingin bertanya lagi. Bagaimana kau ada di sana dan tiba-tiba
muncul."
"Aku berurusan dengan Majikan Hutan Iblis itu!"


Tapak Tangan Hantu Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dan kau tidak muncul setelah dia datang?"
"Eh, aku melihat dua bayangan gadis-gadis siluman itu, Sin Gak. Kusangka mereka temannya!"
"Apa urusanmu dengan Majikan Hutan Iblis itu?"
"Dan apa keperluanmu mengetahui ini?"
Sin Gak tersenyum. Berhadapan dan bercakap-cakap dengan gadis baju hitam ini ternyata membuka
mata hatinya bahwa sesungguhnya gadis di depannya ini kocak dan pandai bicara. Dulu ia menganggap
buruk ketika gadis ini menculik Lauw-lopek, menyangka yang bukan-bukan Tapi ketika gadis ini malah
menolong dan menyembuhkan kakek itu, ia mulai tertarik maka di bawah bulan purnama di tengah hutan itu
ia semakin kagum. Gadis ini lincah dan sesungguhnya periang.
"He, jangan melotot saja tak menjawab pertanyaan orang. Sekarang apa perlumu mengetahui urusan
pribadiku!"
"Aku merasa tak begitu perlu," Sin Gak akhirnya jujur menjawab. "Hanya aku merasa heran kenapa
kau seakan mengikuti perjalananku."
"Heh? Mengikutimu? Jangan sombong! Aku tak merasa mengikutimu, Sin Gak, justeru akulah yang
heran ketika kau menuju Hek-yan-pang. Aku tak mengira kau berurusan pula dengan manusia iblis itu!"
"Baiklah, rupanya kita bersamaan......"
"Tidak, kau katanya mencari orang tuamu!"
"Hm," Si Gak menarik napas, pandang matanya tiba-tiba redup. "Kau benar, Bi Hong dan aneh bahwa
kau cukup banyak tahu tentang aku. Di Hek-yan-pang aku gagal, malah bertemu Majikan Hutan Iblis itu.
"Aku tahu karena kebetulan saja aku mendengar, dan tak kusangka bahwa kau adalah putera si Naga
Pembunuh!"
Sin Gak mengerutkan kening. Kata-kata gadis ini terdengar agak mengejek, ia tak senang. Tapi ketika
gadis itu mengibaskan rambut dan gerakan ini tampak begitu mempesona, ia terpaku maka gadis itu bergerak
memutar tubuh, meloncat pergi.
"Kupikir pertemuan ini cukup, kumaafkan perbuatanmu tadi. Sudahlah kita berpisah dan aku tak ingin
membantumu lagi!"
Sin Gak hendak memanggil. Ia siap menggerakkan lengan dan mengejar ketika tiba-tiba ia tertegun
kepada dirinya sendiri. Ada apakah ia hendak memanggil dan mendekati gadis itu? Bukankah gadis itu
tampak tak senang setelah mengetahui siapa ayahnya? Maka berhenti dan tak jadi bergerak pemuda inipunKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
368 mematung di situ, sampai tiba-tiba ia membalik dan secepat kilat menerkam seseorang di balik gerumbul
dedaunan.
"Siapa kau!"
Orang itu kaget. Ia berseru memanggil Sin Gak dan pemuda ini terkejut karena itulah Ke Ke Cinjin.
Tosu ini bersembunyi dan merangkak di gerumbul dedaunan. Ia meringis tengkuknya dicengkeram. Dan
ketika Sin Gak melepaskan cengkeramannya dan tosu ini menggeleng-geleng kepala, membuang rasa sakit
maka tosu itu minta maaf dan buru-buru memberi hormat.
"Maaf, pinto tak sengaja. Pinto mengikutimu setelah kau meninggalkan Hek-yan-pang. Pinto melihat
pertandinganmu yang mengagumkan itu, Sin-hiante, dan kau kiranya putera si Naga Pembunuh Giam Liong.
Ah, pantas, kau hebat sekali!"
"Totiang melakukan apa," Sin Gak tak senang juga. Kenapa bersembunyi dan ada di sini."
"Aku mengikutimu ke Hek-yan-pang, tapi bersembunyi di luar saja. Dan karena gadis itu tiba-tiba
datang dan pinto takut maka pinto bersembunyi dan mengintai saja."
"Hm, aku tak berurusan dengan Hek-yan-pang lagi. Aku hendak pergi dan mencari ayahku, totiang.
Agaknya kita tak dapat bersama-sama."
"Tunggu!" tosu itu berseru. "Aku tahu di mana ayahmu berada, hiante. Kalau dulu kutahu siapa dirimu
ini tentu kuberitahukan di mana ayahmu itu. Ia bersembunyi di sebuah tempat!"
"Kau tak bohong?" Sin Gak tertegun.
"Wah, apakah pinto juga bohong memberitahu Hek-yan-pang ini? Pinto memberimu ancer-ancer,
hiante, dan kau menemukan itu. Kalau pinto bohong masa kau menemukan Hek-yan-pang!"
"Baiklah," Sin Gak mangangguk. "Di mana ayahku itu coba totiang katakan."
"Sebaiknya pinto mengantarmu ke sana, tempatnya rumit dan tidak sembarang orang tahu. Bukan
maksudku agar bersama-sama denganmu, anak muda, melainkan karena tempat itu sukar diketahui orang.
Ayahmu bertapa!"
Jilid XXVI
SIN GAK memandang penuh selidik. Untuk kesekian kalinya lagi ia melihat kesungguhan pada sikap
dan kata-kata tosu ini. Dan karena ia mulai menaruh kepercayaan akhirnya ia berkata, "Baiklah, agaknya
untuk kedua kalinya aku harus berhutang budi. Mari sekarang berangkat, totiang, aku percaya padamu."
Bukan main girangnya tosu ini. Kali ini ia dapat bersama-sama anak muda yang lihai ini, anak muda
yang mengagumkan hatinya. Maka ketika ia bergerak dan menyambar lengan pemuda itu segera diajaknya
pemuda itu ke selatan.
"Bagus, pinto mendapat kehormatan. Tapi ini jangan dianggap hutang kebaikan, Sin-hiante. Pinto dan
Kun-lun cukup berhutang budi kepada ayahmu dan Hek-yan-pang. Mari kita ke sana dan lupakan segala
hutang-pihutang itu!"
Sin Gak mengikuti. Mereka bergerak meninggalkan hutan di luar Hek-yan-pang itu tanpa banyak
cakap lagi. Tosu ini tampak berseri-seri. Dan ketika sekejap mereka sudah mengerahkan ilmu lari cepat
namun Sin Gak tiba-tiba melamunkan Bi Hong maka tak terasa pemuda itu membiarkan saja dirinya dibawa
si tosu.
* * * Kiranya Ke Ke Cinjin menuju propinsi Shan-tung, di perbatasan Ho-nan. Di sini, berhenti di tepi
sungai Huang-ho yang membelah dua propinsi itu tosu ini menarik napas panjang. Saat itu sungai sedang
meluap dan banjir, airnya yang gelap kecoklatan bergemuruh, bergolak dan menuju utara untuk akhirnya
tumpah di laut Po-hai. Sungai Kuning atau Huang-ho ini sedang menunjukkan kedahsyatannya, semalam
terjadi hujan lebat di daerah Ho-nan dan kini melewati wilayah Shan-tung air sungai tampak bergemuruh.
Suaranya memekakkan telinga dan tosu ini ragu, ada bayangan gentar di wajahnya. Dan ketika Sin Gak jugaKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
369 berhenti dan memandang air sungai itu, mereka berada di atas tebing hingga leluasa memandang ke bawah
maka aliran sungai yang panjang dan berkelak-kelok tampak bagai tubuh seekor naga atau ular besar yang
sedang menggeliat-geliat.
"Naga Kuning sedang murka, pinto tak menyangka ini. Agaknya kita harus berhenti dulu di sini dua
tiga hari, Sin-hiante, tunggu sampai air tenang atau setidak-tidaknya tak bergemuruh begini."
"Totiang mau menyeberang?"
"Ya, dan kau lihat tak ada sebuahpun perahu di sini. Sial, musim hujan sudah tiba!"
"Hm, totiang sebenarnya hendak menuju ke mana. Apakah perjalanan masih jauh dari sini."
"Tidak jauh lagi, Sin-hiante, tapi kalau kita tak dapat menyeberang ya lama juga. Terlalu berbahaya
menentang arus seperti ini!"
Sin Gak mengangguk. Dia sendiri yang baru kali ini melihat amukan Huang-ho harus mengakui
bahwa sungai terpanjang dan terkenal ini menyeramkan sekali. Gemuruh suaranya bagai pekikan seorang
raksasa. Tebing di bawah mereka berdentang-dentang dipukul lidah air yang dahsyat, percikannya mencapai
ketinggian lima sampai tujuh meter. Dan ketika percikan itu kebetulan mengenai wajah mereka, panas bagai
dilecut maka Sin Gak kagum dan terkejut juga.
"Benar, tak ada sebuah perahupun di sini. Tapi kalau menunggu dua tiga hari rasanya juga terlalu
lama, totiang. Bagaimana kalau kita ke tempat lebih rendah itu dan menyeberang berdua. Aku dapat
menahan arus di bawah itu dan kita cari perahu yang kuat."
"Kau gila? Huang-ho dalam keadaan seperti ini arusnya dapat merobohkan gunung, hiante. Biarpun
tempat itu lebih datar namun gejolak airnya tetap dahsyat. Pinto tak berani, terlalu beresiko!"
"Kalau begitu bagaimana jika kutunjukkan kemampuanku dulu, nanti totiang percaya."
"Maksudmu?"
"Aku menyeberang sendiri, totiang, lalu kembali. Kalau kau sudah melihatnya tentu kau tak perlu
takut lagi. Aku hanya butuh perahu, yang kuat."
Tosu ini tertegun. Di bawah sana, di tempat yang ditunjukkan Sin Gak adalah sebuah daerah yang
airnya memang tidak seganas di sini. Dari sini air di sana kelihatan lebih tenang, permukaannya tidak
menggempur-gempur seperti air di bawah mereka itu. Tapi karena sungai sedang bergolak dan Huang-ho
adalah sungai ganas yang amat mengerikan di saat seperti itu maka tosu inipun ragu dan menggeleng.
"Tetap berbahaya, arus di bawah permukaan biasanya lebih dahsyat daripada yang di atas. Idemu
bagus tapi mengundang maut, hiante, pinto tak setuju dan jalan aman satu-satunya ya harus menunggu.
Tidak, pinto juga tak mau mengorbankan dirimu. Apa gunanya melanjutkan perjalanan kalau kau terjatuh
dan hanyut, tenggelam!"
"Aku dapat menjaga diriku, tak perlu khawatir. Asal kau sudah melihat aku menyeberang tentu kau
percaya, totiang, marilah cari perahu dan buktikan dulu."
"Tidak, tidak.... itu terlalu berbahaya. Betapapun pinto tak mau menyeberang, hiante. Bersabarlah dan
apa boleh buat menunggu dulu, di sini!"
Sin Gak menarik napas dalam. Sebenarnya, kalau ia mau bersombong maka gejolak air yang seperti
itu bukan apa-apa baginya. Ia memiliki Bu-bian-kang, ilmu Tanpa Bobot. Dengan ilmu itu ia dapat berjalan-
jalan di air bagai kecapung beterbangan atau melayang-layang saja. Bu-bian-kang adalah ilmu amat tinggi
yung pernah diajarkan gurunya kepadanya, di samping Sian-eng-sut (Ilmu Bayangan Dewa). Maka melihat
tosu itu jerih dan rupanya ia harus unjuk gigi, tawarannya mencari perahu ditolak tiba-tiba pemuda ini
berkelebat dan meluncur ke bawah mengejutkan temannya.
"Baiklah, kalau begitu dengan sebatang pohon di sana akan kubuktikan kepadamu, totiang, aku tak
mau menunggu terlalu lama dan maaf!"
Tosu itu terkejut. Ia berteriak melihat temannya meluncur ke bawah dan tahu-tahu berjungkir balik
menuju sungai. Pemuda itu seakan hendak bunuh diri dan mencebur! Ke Ke Cinjin terpekik. Tapi ketika
sejenak Sin Gak berdiri di atas sebatang pohon hanyut, baru sekarang tosu ini melihat maka Sin Gak berseru
menembus gemuruh suara sungai,Kolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
370 "Totiang, lihatlah. Dengan ini saja aku dapat menyeberang!"
Benar saja, Sin Gak menggerakkan kaki memutar dahan pohon besar itu. Kalau tidak memiliki
kekuatan dan kepandaian khusus adalah tak mungkin memutar sebatang pohon di tengah-tengah sungai yang
begitu deras arusnya. Melawan gerakan arus itu saja sudah merupakan hal yang sulit, salah-salah terbalik dan
tenggelam. Tapi ketika dengan mudah Sin Gak memutar batang pohon, kakinya bagai berkuku menancap
kuat maka tampaklah pemandangan yang membuat tosu itu melongo, betapa Sin Gak melintangkan pohon di
tengah gejolak sungai yang kuat, melawan arus dan akhirnya bergerak menyeberang! Bagai mimpi atau
melihat pertunjukan sihir Ke Ke Cinjin menyaksikan betapa batang pohon itu meluncur ke tepian sebelah
sana, membelah arus sungai yang dahsyat dan tujuh delapan kali sapuan ombak memuncrat besar, dua kali
tubuh Sin Gak hilang sekejap, tertutup oleh tingginya ombak memuncrat itu. Namun ketika pemuda itu
tampak di seberang dan meloncat dengan kedua kaki berbareng, pohon itu terbawa dan menempel, di
kakinya maka pemuda dan batang pohon ini selamat di sana, turun dengan lembut!
"Astaga, luar biasa sekali. Ah, kau hebat, Sin-hiante, pinto lupa bahwa kau memiliki kesaktian. Ha-ha,
pinto takjub!" tosu ini bergerak dan tiba-tiba menghambur. Apa yang dilihat dari atas benar-benar
membuatnya kagum bukan main, ia takjub dan berseru gembira. Tapi ketika saking tergesanya ia berlari di
jalanan licin, terpeleset dan jatuh tiba-tiba tosu itu menjerit terjatuh ke tengah arus sungai yang deras, dari
atas tebing.
"Sin-hiante....."
"Sin Gak terkejut. Waktu itu ia sudah jauh di bawah dan tak mungkin menolong tosu ini, apalagi iapun
sudah di seberang. Maka ketika tosu itu terbanting dan lenyap, tercebur di tengah gemuruh ombak maka
iapun tertegun dan pucat, wajahnya pias.
Akan tetapi Sin Gak berkelebat bagai siluman. Batang pohon yang tadi dibawanya ditendang ke
tengah sungai, diikuti tubuhnya yang melayang dan hinggap di situ. Lalu ketika ia memutar batang pohon ini
ke arah hulu, menentang arus sungai maka pekerjaan yang lebih berbahaya dilakukan pemuda ini.
Orang akan menjerit melihat perbuatan pemuda itu. Betapa tidak, untuk melawan arus dan
menyelamatkan diri berkali-kali pemuda ini hilang timbul di tengah gejolak sungai yang dahsyat. Huang-ho
sedang mengamuk dan siapapun tak mampu melawannya. Jangankan melakukan seperti pemuda ini,
menyeberang dengan caranya seperti tadi saja sudah termasuk kejadian sulit dan sukar dibayangkan, apalagi
sekarang, menuju arah hulu dan menentang arus deras bak seekor burung menyerbu gelombang awan hitam.
Kalau bukan Sin Gak yang memiliki Bu-bian-kang dan kesaktian warisan gurunya tak mungkin pemuda ini
mampu melakukan itu. Apa yang dilakukan sungguh berbahaya sekali, pertarungan maut. Dan karena ombak
atau gulungan sungai menghantamnya dari depan, muncrat dan mengaburkan pandangan maka sulit bagi
manusia biasa untuk melihat ke depan.
Akan tetapi Sin Gak benar-benar anak muda luar biasa. Di Sin-thian-san, puncak gunung yang selalu
tertutup kabut ia sudah terbiasa memandang ke depan. Matanya mampu menembus benda-benda kecil di
antara awan-awan dingin, awan yang menyusup dan bahkan membuat mata pedih, sakit dan dingin oleh
benda beruap ini. Maka ketika sebuah lengan mencuat di permukaan sungai, itulah lengan Ke Ke Cinjin yang
sedang berjuang melawan maut maka Sin Gakpun tak menunggu waktu lagi dan disambarnya lengan yang
tampak sekilas itu.
"Brett!"
Lengan baju tertangkap lebih dulu. Sin Gak menarik dan menyendal tubuh ini dari dalam air, benar
saja Ke Ke Cinjin tampak kehabisan napas. Lalu menyadari daerah itu amatlah berbahaya tiba-tiba pemuda
ini berseru keras melempar tubuh itu ke seberang, kuat sekali.
Totiang, sadarlah dan gunakan kakimu untuk berjungkir balik di sana. Awas........!"
Ke Ke Cinjin hampir hilang kesadaran. Waktu itu tosu ini sebisa-bisanya berenang cakar ayam, ia
bergulat di antara gemuruh air dengan wajah pucat, hilang timbul berkali-kali dan habislah harapannya untuk
hidup. Memang siapapun tak bakal menyangka tosu ini selamat. Kalaupun ia lolos di daerah itu maka di
bawah, di tempat lain siap menunggu batu-batu hitam menerima tubuhnya. Sekali ia terlempar dan dihempas
ke situ remuklah tubuhnya. Maka ketika tiba-tiba ia merasa ditarik dan suara Sin Gak begitu dekat telinganya
mendadak tosu ini seakan dibangkitkan tenaganya dan membuka, mata lebar-lebar. Ia begitu gembira dan
merasa tubuh dilempar kuat. Ia tak tahu bagaimana Sin Gak tahu-tahu ada di situ, juga bagaimana pemuda
itu dapat melihatnya padahal gejolak dan buih ombak menutupi mata. Maka ketika tubuhnya terlempar dan
ia diayun begitu tinggi, melayang dan melewati lebar sungai maka tosu inipun mengerahkan tenaganya danKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
371 berjungkir balik seperti yang diserukan pemuda itu.
"Bluk!"
Ke Ke Cinjin masih jatuh juga. Ia baru saja selamat dari bahaya maut dan tenaga baru saja didapat.
Berjungkir balik dengan tubuh basah kuyup membuat kaki terasa berat juga, ia roboh dan terguling di situ.
Namun ketika tosu ini mengeluh dan sadar, bangkit dan terhuyung mencari Sin Gak maka ia terkejut tak
melihat pemuda itu di situ. Huang-ho masih bergolak dan membuih.
"Sin-hiante.....!"
Terdengar jawaban seratus meter di situ. Sin Gak, yang rupanya terseret dan hanyut setelah menolong
Ke Ke Cinjin ternyata menemui kesulitan sendiri. Membagi perhatian dan tenaganya kepada tosu itu
membuat batang pohon di bawah kakinya terlepas sejenak. Waktu itu cukup sedetik namun ia terdorong.
Setelah ia melempar Ke Ke Cinjin maka kekuatan di kakinya lenyap, artinya ia tak mampu mengendalikan
pohon itu lagi yang berputar arah, meluncur dan dahsyat terpukul ke arah hilir. Sedetik saja ia sudah
terdorong seratus meter, begitu dahsyatnya kekuatan air setelah tak dilawan. Tapi karena Ke Ke Cinjin sudah
di lempar selamat dan kini ia harus memperhatikan diri sendiri maka Sin Gak menjejakkan kaki kuat-kuat
dan ditinggalkannya batang pohon yang terus meluncur dan akhirnya pecah menabrak batu hitam, turun dan
basah kuyup di tempat lain dan saat itulah sang tosu berdiri dan mencari-carinya. Ke Ke Cinjin tak melihat
pemuda ini karena dengan amat cepatnya Sin Gak sudah bergeser seratus meter, ia terdorong oleh arus air
tadi. Dan ketika Sin Gak menjawab dan suaranya membuat tosu ini menoleh, girang bukan main maka Ke
Ke Cinjin meloncat dan menubruk pemuda itu.
"Ah, Sin-hiante!"
Sin Gak tersenyum. Ke Ke Cinjin memeluknya kuat-kuat dan keharuan serta kegembiraan tosu itu tak
dapat disembunyikan lagi. Sin Gak tertegun ketika dua titik air mata meloncat dari pipi tosu ini. Tapi ketika
Ke Ke Cinjin tiba-tiba melepaskan dirinya menjatuhkan diri berlutut, tersedak dan mengucapkan terima
kasihnya dengan suara gemetar maka Sin Gak menarik bangun tosu itu yang masih belum dapat melepaskan
keharuannya.
"Pinto berterima kasih, pinto bersyukur. Ah, tanpa kau di sini tak mungkin nyawa pinto selamat, Sin-
hiante. Sungguh besar budimu dan berat rasanya kebaikan ini kubalas. Pinto seakan hidup kedua kalinya
dengan bantuanmu tadi. Kau membahayakan dirimu sendiri!"
"Bangunlah, tak perlu diingat semua budi dan pertolongan ini. Kau sendiri bilang di antara kita tak ada
hutang-pihutang budi, totiang. Apa yang kulakukan adalah wajar saja. Bangun dan jangan buat aku sungkan
dengan sikapmu ini."
Ke Ke Cinjin bangun, bersinar-sinar. Ia semakin kagum oleh sikap dan kesederhanaan pemuda ini.
Betapa bersahajanya pemuda itu. Namun karena ia telah lolos dari kematian dan betapapun pertolongan tadi
tak akan dilupakannya seumur hidup, ia benar-benar lepas dari lubang jarum maka ia gemetar memegang
lengan pemuda itu, menggeleng.
"Tidak, betapapun yang ini lain, hiante. Kau telah menyelamatkan nyawaku. Pinto tak akan
melupakannya seumur hidup. Biarlah pinto akan membalasnya dengan mempertemukan kalian ayah dan
anak dan mudah-mudahan ayahmu masih di Guha Hitam!"
"Hm, ayah berada di Guha Hitam? Di mana tempat ini?" Sin Gak baru mendengar itu.
"Agaknya tak perlu lagi pinto berahasia, Sin-hiante, tempat itu juga sudah dekat. Guha Hitam berada
di balik gunung Cing-tao-san tapi belum ada orang datang ke sana. Tempat itu angker. Pinto sendiri
mendengarnya dari ketua pinto Keng Hwat Taisu dan pernah ke sana sekali saja, mengunjungi ayahmu."
"Ada urusan apa?"
"Membujuk ayahmu agar tidak bertapa, gagal."
Sin Gak menarik napas dalam. Setelah ia menyelamatkan tosu ini dan mendengar tentang ayahnya tak
pelak lagi ia berdebar-debar. Seperti apakah ayahnya itu? Dan kenapa bertapa? Dan tiba-tiba ia menanyakan
hal ini kepada tosu itu.
"Maaf, tahukah totiang untuk apa ayahku bertapa."
"Tidak, hal itu dirahasiakan. Ketua pinto juga tak tahu, hiante, namun melihat seriusnya ayahmu tentuKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
372 ada sesuatu yang penting, amat penting!"
"Baiklah, sekarang di mana Guha Hitam itu dan apakah totiang tidak berganti baju dulu."
Ke Ke Cinjin tersipu. Pakaiannya basah kuyup namun ia menggeleng, sambil tersenyum iapun
menunjuk pemuda itu bahwa Sin Gakpun perlu ganti baju. Dan ketika pemuda itu tersenyum menggeleng
pula maka tosu ini tertawa berkata,
"Ini urusan kecil. Dengan berlari cepat kita dapat mengeringkan pakaian sendiri, hiante,
menghangatkan baju yang dingin. Kalau kau juga tak melepas bajumu buat apa pinto ganti. Marilah, kita
lanjutkan perjalanan!"
Tosu itu bergerak. Sekarang mereka sudah menyeberangi sungai dan cara penyeberangan ini benar-
benar luar biasa. Kalau bukan Sin Gak tak mungkin mereka melakukan itu. Dan ketika pemuda itu juga


Tapak Tangan Hantu Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bergerak dan mengikuti tosu ini maka perjalanan dilanjutkan dan kini mereka memasuki sebuah hutan.
Gemuruh atau suara dahsyat dari air Huang-ho masih terdengar di situ.
"Bukan main, hebat sekali. Baru, kali ini aku melihat sebuah sungai mengamuk, totiang. Beginilah
agaknya hingga sungai itu ditakuti. Tak heran kalau tak ada seorangpun di dekatnya."
"Wah, mana berani. Kalau pinto tak memiliki perjalanan penting juga tak mungkin mendekat, Sin-
hiante. Terlalu berbahaya dan lihat kejadian tadi. Hanya karena terpeleset pinto nyaris tewas!"
"Sudahlah itu tak perlu kau kenang lagi. Sekarang kita sama-sama selamat, aku mengagumi sungai
itu."
"Ya, sungai yang hebat. Tapi setelah ini ia justeru membuat rakyat sejahtera!"
"Bagaimana begitu?"
"Eh, bagaimana tidak, hiante. Setelah banjir usai maka Huang-ho melemparkan humus tanahnya di
kedua tepian. Endapan lumpur dan semua rabuk disebar merata. Tanah di sepanjang sungai ini menjadi
gembur dan amat subur. Petani mendapat rejeki!"
"Hm, begitu kiranya," Sin Gak mengangguk-angguk. "Kalau begitu alam benar-benar adil. Di
samping merusak iapun memberi."
Ke Ke Cinjin mengangguk. Kini mereka sudah jauh meninggalkan sungai itu dan keluar hutan. Di sini
tiba-tiba mereka dihadang sebuah gunung, tidak begitu tinggi namun berwajah garang. Pohon-pohonnya
tampak lebat sementara garis-garis hitam melintang di mana-mana. Itulah jurang yang banyak terdapat dan
Sin Gak yang lama berada di Sin-thian-san (Gunung Para Dewa) tentu saja tertegun. Ia heran oleh begitu
banyaknya jurang, tak kurang seratus jumlahnya. Hanya untuk, sebuah gunung kecil! Dan ketika ia berhenti
melihat Ke Ke Cinjin juga berhenti, mengusap keringat maka tosu itu menunjuk dengan tangan kirinya.
"Itulah Cing-tao-san. Dibanding Kun-lun gunung ini bukan apa-apa, hiante, tapi jurangnya minta
ampun. Pinto menghitung ada seratus tiga belas jurang di situ, dalam dan semuanya berbahaya. Dan mendaki
gunung itu sama dengan mendaki seekor belut raksasa!"
"Maksud totiang?"
"Licin karena selalu basah. Pinto sendiri harus dibantu ini untuk ke sana!"
Sin Gak mengerutkan kening. Ke Ke Cinjin mencabut sepatu bergigi dari balik punggungnya. Ia
memperlihatkan sepatu itu kepada Sin Gak. Lalu ketika Sin Gak mengangguk-angguk dan maklum
kegunaannya maka tosu itu meneruskan bahwa ketuanya juga mempergunakan sepatu bergigi itu.
"Keng Hwat Taisu yang merupakan suheng pinto mempergunakan ini pula. Pinto hanya mempunyai
sepasang. Agaknya kita nanti bergantian saja setelah pinto mendaki lebih dulu."
"Totiang hendak mempergunakan itu?"
"Ya, tentu saja, Sin-hiante, dan maaf bahwa sepatu ini hanya sepasang!"
"Tak apa. Marilah ke sana dan tentunya Guha Hitam berada di balik gunung itu."
"Ya, di balik punggung gunung. Dan hati-hati terhadap penghuninya yang tidak ramah karena di sanaKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
373 terdapat ular-ular berbisa!"
"Terima kasih. Kau sudah menuntun sampai ke sini, totiang, sekarang marilah pergi dan lanjutkan
perjalanan kita. Agaknya dua jam saja kita sampai."
"Benar, mari ke sana." dan si tosu menyimpan kembali sepatunya lalu bergerak dan mengajak
temannya pergi. Mereka masih sepeminuman teh untuk sampai di kaki gunung. Diam-diam Sin Gak semakin
berdebar dan tegang. Di situlah dia akan bertemu ayah kandungnya! Dan ketika mereka bergerak dan
semakin dekat maka tahulah pemuda ini bahwa, Cing-tao-san memang bukan gunung sembarangan yang
mudah didaki.
Gunung ini setinggi tiga ribu kaki akan tetapi menginjak wilayahnya orangpun akan merasa
meremang. Dari balik jurang-jurang dalam itu mengebul tipis-tipis asap belerang. Dari kejauhan tidak
tampak tapi setelah dekat tercium baunya, keras dan menyengat. Dan ketika di kaki gunung ada tiga bangkai
kerbau hutan yang tinggal tanduknya, menggeletak tinggal tulang-belulangnya maka Ke Ke Cinjin berhenti
dan kali ini memasang sepatu bergiginya itu.
"Lihat, wilayah ini benar-benar berbahaya. Kematian kerbau-kerbau hutan ini, akibat perkelahian
mereka dengan ular-ular besar, Sin-hiante, juga harimau-harimau loreng yang buas dan mencari mangsa.
Pinto pernah melihat seekor di antara mereka dililit ular besar, menguak dan tercekik sampai akhirnya mati!"
"Hm, hawanyapun menyeramkan. Tempat ini mulai dingin, totiang, dan aneh bahwa semua tanahnya
basah."
"Itulah! Itu yang menyebabkan Cing-tao-san licin, hiante, dan betapa berbahayanya mendaki gunung
ini. Sekarang kita sudah di sini, marilah mulai bekerja dan pinto mempergunakan sepatu bergigi ini!"
Sin Gak mengangguk. Setelah tiba di situ maka keadaanpun semakin jelas. Gunung ini memang benar-
benar berbahaya dan menyeramkan. Pohon-pohonnya hijau subur namun di balik itu tersembunyi binatang-
binatang berbahaya. Secara kebetulan pandang matanya bertemu dengan sepasang mata berkilat bundar
kecil, di balik sebatang pohon tak jauh dari Ke Ke Cinjin. Maka ketika tosu itu meloncat kecil ke dekat
sebuah batu hitam, dari sini hendak mendaki dan menancapkan sepatu bergiginya maka tosu itu tak tahu
bahwa di balik pinggangnya ular itu menjulur dan secepat kilat menggigit tengkuk tosu itu dari belakang.
"Tak!"
Ke Ke Cinjin terkejut. Sin Gak bergerak lebih cepat dengan menendang sebutir batu hitam, tepat
mengenai kepala dan robohlah binatang itu mengejutkan Ke Ke Cinjin. Barulah tosu ini tahu serangan di
belakangnya, terbelalak namun Sin Gak tersenyum memberikan tanda agar dia melanjutkan pendakiannya.
Dan ketika tosu itu sadar namun tertawa, kecut maka Ke Ke Cinjin berseru menggerakkan tubuh mulai
pendakiannya.
"Sin-hiante, terima kasih. Lagi-lagi kau menyelamatkan aku!"
"Sudahlah, totiang cepat saja mendaki. Justeru di bawah sini aku dapat berjaga-jaga, totiang,
melindungimu. Hati-hati di atas kepalamu kalau ada bahaya lain!"
Tosu itu mengangguk. Setelah Sin Gak membunuh ular itu dan perasaannya kian tenang,
kepercayaannya menjadi besar maka mulailah tosu ini bergerak mendaki Cing-tao-san. Tak ada jalanan
setapak dan semua harus dicari. Tebing atau tanah-tanah terjal diloncati, yang terlalu berbahaya malah
dirayapi, maklum, semua daerah basah dan licin. Dan ketika tosu ini terus bergerak dan naik ke atas, ada
sepuluh tombak maka ia berhenti sesuai rencana.
"Stop, sekarang giliranmu. Naiklah dan pakai sepatu pinto, hiante. Aku menunggumu di sini!"
Akan tetapi betapa tercengangnya tosu itu. Baru saja ia duduk dan melepas sepatunya maka Sin Gak
berada di sebelahnya. Pemuda itu tersenyum menolak pemberiannya dan berkata biarlah perjalanan
diteruskan. Ke Ke Cinjin tak tahu bagaimana pemuda itu naik. Tahu-tahu Sin Gak sudah di situ seperti iblis.
Dan ketika tosu ini terkejut dan heran serta kaget, sungguh ia tak tahu bagaimana pemuda itu menyusulnya
maka Sin Gak berkata lagi, tertawa,
"Jalan terus, jangan tunggu aku. Naik dan pakai saja sepatumu, totiang, aku dapat menyusulmu begitu
kau tiba di atas. Ayolah, jangan mendelong."
Merahlah wajah tosu ini. Akhirnya Ke Ke Cinjin tertawa bergelak dan sadar bahwa sikapnya terlalu
memandang rendah. Pemuda di sebelahnya ini masih jauh lebih tinggi dibanding ketua Kun-lun sendiri.Kolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
374 Maka ketika ia terkejut dan menjadi malu, mengikat sepatunya dan mendaki lagi maka tosu ini berseru
bahwa menyamakan pemuda itu seperti dirinya sendiri.
"Ha-ha, tolol, pinto sungguh goblok. Eh, maafkan kalau pinto mengkhawatirkanmu, Sin-hiante. Pinto
sama sekali bukan bermaksud memandang rendah. Pinto hanya takut perjalanan ini membahayakanmu!"
"Totiang tak perlu khawatir. Jaga dan hati-hati setiap pendakian, totiang, semakin ke atas kulihat
semakin terjal. Awas jurang!"
"Ya, pinto tak perlu memperhatikanmu, malah sebaliknya kaulah yang bakal melindungi pinto. Baik,
pendakian semakin terjal, Sin-hiante, dan semak di kiri kanan juga semakin lebat..... augh!" tosu, ini
menjerit, tepat merangkul sebuah batu runcing tapi saat itulah seekor ular mematuk jarinya. Ia terpelanting
dan jatuh ke bawah, Sin Gak tak melihat ular itu. Tapi ketika pemuda ini menggerakkan tangannya dan
menyambar tosu itu, tepat menangkap ikat pinggang maka Ke Ke Cinjin sudah kebiruan lengannya dan kaku
menggigil.
"Pinto tergigit ular kepala merah. Aduh, dingin sekali!"
Sin Gak terkejut. Sekejap saja lengan si tosu sudah membiru dan hitam gelap, wajahnya pucat dan
lengan itu tak dapat digerakkan lagi. Namun ketika ia menggerakkan jari menotok dan menghentikan racun
di pergelangan lengan, cepat mengerahkan dan menyedot luka itu maka segumpal darah hitam dimuntahkan
dan Sin Gak berseru agar tosu itu tenang.
"Jangan panik, aku membawa obat penawar. Bebat dan minum pil ini, totiang, lalu tarik napas dalam-
dalam."
Ke Ke Cinjin menggeliat. Setelah Sin Gak menotok dan menyedot luka itu maka jaripun dapat
digerakkan kembali. Tadi sedetik saja rasa kaku sudah di siku, sakit dan panas namun bagian yang tergigit
terasa dingin, beku. Maka ketika ia dapat menggerakkan lengannya kembali dan obat itu cepat diminum, tosu
ini menarik napas dalam-dalam akhirnya sakit di bekas gigitan itu lenyap terganti hawa hangat ketika
pemuda itu mengerahkan sinkang ke pundaknya. Begitu ampuhnya pertolongan pemuda ini!
"Sin-hiante, pinto tiga kali berhutan budi. Pinto....."
"Tak usah bicara itu. Sekali lagi kau, bicara tentang ini maka aku tak senang mendengarnya, totiang.
Mungkin aku akan mencari sendiri dan kita tak usah bersama-sama saja!"
"Ah, maaf," tosu itu semburat. ''Pinto hanya hendak menyampaikan terima kasih, hiante, kau telah
menyelamatkan lagi!"
"Aku tak ingin bicara tentang ini, agaknya kau sekarang di bawah dan aku di atas!" Sin Gak
memotong, berbahaya membiarkan tosu itu di depan karena kenyataannya sudah terluka. Ia tak menyangka
demikian banyaknya ular bersembunyi di situ, untuk ini Sin-thian-san kalah! Namun karena ia berasal dari
gunung yang jauh lebih sulit didaki lagi, tebing dan jurang-jurang dalam bukanlah apa-apa baginya maka Sin
Gak mengambil keputusan bahwa ia harus di depan, tosu ini mengikutinya.
"Katakan kepadaku daerah mana yang ingin kau tuju. Aku di atas dan totiang mengikutiku."
"Itu, puncak sebelah kiri, tiga pohon raksasa yang berdiri di atas sendiri. Di situ kita turun di seberang
gunung, hiante, belok ke kanan dan mencari gerumbul alang hitam!"
"Hm, di atas itu? Baik, tunggu sebentar di sini, totiang, kucarikan tali perambat untukmu. Jaga dan
hati-hati dulu!"
Sin Gak berkelebat dan berjungkir balik ke atas. Barulah tosu ini tahu cara pemuda itu naik, yakni
dengan melempar tubuh ke atas dan membuang diri dengan enjotan kuat. Begitu kuatnya gerakan kaki
pemuda itu hingga sekall enjot sepuluh tombak. Pantas ia tersusul begitu cepatnya. Tapi ketika Sin Gak
lenyap di atas sana, melewati batu yang ada ularnya maka tosu ini khawatir berteriak nyaring.
"Sin-hiante, ke mana kau. Jangan terlampau jauh!"
"Aku di sini," pemuda itu muncul, begitu tiba-tiba. "Ternyata ada banyak ular di sini, totiang.
Tunggulah sebentar dan untung aku datang!"
Suara ini disusul oleh "wat-wut" lemparan panjang. Ular besar kecil, merah. hitam dan bermacam
warna tahu-tahu di lempar Sin Gak ke bawah gunung. Sang tosu berteriak kaget karena ular-ular itu melewati
kepalanya. Dia ngeri bagaimana kalau sampai terbelit. Bagaimana kalau satu di antara ular-ular itu jatuh diKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
375 atas kepalanya! Tapi ketika belasan bahkan puluhan ular disapu bersih, benda-benda panjang mengerikan itu
habis maka berhentilah Sin Gak di atas batu runcing itu.
"Selesai," pemuda itu tersenyum. "Pantas kalau kau tergigit, totiang, dari bawah tak akan terlihat
mereka itu. Naiklah ke atas dan sudah kutemukan seutas tali panjang!"
Kali ini Ke Ke Cinjin berteriak. Sin Gak melempar benda panjang seperti ular, membelit dan langsung
mengenai pinggang tosu itu membuat Ke Ke Cinjin terkesisp. Ia terangkat dan disendal naik, terkejut. Tapi
ketika ia tahu bahwa itu adalah akar pohon besar, melayang dan jatuh di dekat pemuda ini maka tosu itu
mengusap keringat dingin.
"Celaka, kukira ular. Ah, kau mengejutkan pinto, Sin-hiante. Hampir saja putus semangat ini!"
"Tak usah cemas," Sin Gak tersenyum "Sekarang tempat ini sudah bersih, totiang, mari lanjutkan
perjalanan dan berpeganglah pada akar itu. Aku akan menarikmu ke atas."
Sang tosu berseri gembira. Kalau Sin Gak berada di depannya tentu saja ia tak akan takut. Berkali-kali
ia membuktikan kelihaian pemuda ini. Maka ketika ia mengangguk dan memegangi ujung akar itu, ujung
yang lain di tangan Sin Gak maka bergeraklah pemuda itu mendaki Cing-tao-san. Apa yang dilakukan Sin
Gak tentu saja jauh dengan apa yang dilakukan tosu Kun-lun ini. Tanah-tanah licin didaki begitu enak seolah
telapak pemuda itu bergetah karet. Setiap menginjak tentu lekat bak sembrani dengan logam, kagumlah tosu
ini. Lalu ketika Sin Gak mendaki cepat meloncati jurang-jurang dalam, melempar atau menarik tosu itu
melampaui semua bahaya akhirnya mereka berada di leher gunung di mana tiga pohon raksasa itu berdiri di
atas mereka. Sekarang berhadapan dengan sebuah tebing tinggi yang tegak lurus.
"Cukup, nanti dulu. Bagaimana pinto melewati ini!"
Sin Gak tarsenyum. Ia melihat tosu itu mengeluarkan keringat dingin memandang ke atas. Dulu
dengan ketuanya ia mempergunakan pedang, masing-masing membawa sepasang dan menancap-nancapkan
itu untuk tempat pijakan. Kini mereka tak membawa apa-apa dan Sin Gakpun bersikap biasa. Heran tosu ini,
juga kecut. Tapi ketika Sin Gak menyuruh ia melepaskan akar tali itu dan menunjuk punggungnya maka
dengan tenang pemuda ini berkata agar si tosu naik di situ, di gendong.
"Kalau aku sendlri tentu tidak repot. Tapi tak mungkin pula melemparmu setinggi itu, totiang,
bagaimana kalau ada bahaya di sana. Sebaiknya kau naik di punggungku dan kita merayap."
"Merayap? Maksudmu kau akan berjalan seperti cecak dengan pinto di punggung?"
"Ya, naiklah, totiang, tak apa-apa. Mari dan melompatlah."
Tosu ini ngeri, memandang ke atas. "Tapi tempat ini setinggi pohon kelapa, bagaimana kalau jatuh!"
"Aku melihat lubang-lubang di dinding itu, mudah sekali. Asal kau berpegangan erat-erat tak mungkin
jatuh."
"Itu lubang bekas tusukan pedang. Dulu suheng Keng Hwat Taisu naik mempergunakan senjata!"
"Nah, aku tahu. Marilah totiang naik dan kita ke atas, tak ada jalan lain."
Ke Ke Cinjin masih ragu. Ia mecari berputar-putar namun tak ada senjata tajam di situ. Baginya lebih
baik naik sendiri daripada digendong. Malu dia. Namun karena tak ada apa-apa dan ia juga menyesal tak
membawa senjata, buntalanya hanyut di sungai Huong-ho akhirnya tosu ini malu-malu melompat di
punggung Sin Gak, seperti anak kecil!
"Heh-heh, pinto jadi malu. Baiklah, Sin-hiante, jangan diolok-olok!"
Sang tosu sudah melekat dan menempel di punggung pemuda ini. Ke Ke Cinjin memegang pundak
namun Sin Gak berseru agar memeluk lehernya, cara itu kurang tepat. Dan ketika dengan muka merah tosu
ini memeluk leher Sin Gak, kencang maka........ tap, Sin Gak melompat dan tahu-tahu sudah menempel
dinding.
"Hati-hati," pemuda itu bergerak dan mulai merayap. "Pegang erat-erat leherku, totiang, jangan
sampai lepas!"
Ke Ke Cinjin kagum. Kalau ia tidak membuktikan kelihaian dan kehebatan pemuda ini tentu sukar
baginya untuk percaya bahwa temannya ini sudah bergerak dan merayap seperti cecak. Dari telapak pemuda
itu keluar hawa menyedot yang membuat tangannya melekat. Bukan hanya tangan, kakipun juga melekatKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
376 seperti kaki cecak. Lalu ketika dengan cepat namun ringan pemuda ini naik ke atas maka tebing tegak lurus
di puncak Cing-tao san itu didaki begitu mudah!
Tak sampai semenit pemuda ini tiba di atas. Lalu ketika ia berseru menyentak bagian belakang
punggungnya, membalik dan berjungkir balik maka Ke Ke Cinjin meramkan mata ketika pemuda itu
melewati bibir tebing dan melayang ke atas. Bagaimana kalau misalnya kaki pemuda itu tak sampai di sana!
"Aman!" seruan ini membuat tosu itu membuka mata. "Lepaskan pelukanmu, totiang. Kita sudah
sampai di puncak!"
Wajah tosu ini kemerah-merahan. Seumur hidup baru kali itulah dia digendong dan dibawa naik. Ada
rasa nikmat dan kagum yang besar. Maka ketika ia bersinar-sinar memandang pemuda itu dan mendecak tak
habis takjub, Ke Ke Cinjin benar-benar kagum maka ia berkata bahwa apa yang dilakukan pemuda itu tak
sembarang orang dapat melakukannya.
"Ketua Kun-lun sendiri agaknya tak berani melakukan ini, tapi kau dapat dan melakukannya begitu
mudah. Pinto mendengar adanya semacam ilmu yang disebut Pek-houw-yu-ebong (Ilmu Cecak), Sin-hiante,
agaknya kau telah menguasai ini. Hebat!"
"Tak perlu memuji lagi. Kita sudah di sini, totiang, di mana ayahku itu."
"Di balik pohon besar itu, di bawah. Kita harus menuruni jalanan tikus yang amat sempit. Marilah!"
"Nanti dulu!" Sin Gak mencegah dan menarik tosu ini mundur. "Sebaiknya aku, tetap di depan,
totiang, kau memberi petunjuk. Tetaplah di belakang dan mari ke sana."
Tosu ini sadar. Akhirnya ia mengangguk dan memberi petunjuk. Di bawah mereka tampak kabut tipis
di kaki gunung. Mereka sudah di puncak dan memandang ke bawah amatlah mengerikan. Tebing tegak lurus
itu seakan penyangga terakhir. Maka ketika tosu ini bergerak dan Sin Gak berada di depan maka menyeruak
gerumbul tanaman menyeranglah tiga ekor ular belang.
"Wus-wush!"
Sin Gak melihat semburan asap hitam, Untunglah ia melihat ini dan waspada, berkelit dan menampar
dan robohlah ular berbisa itu. Lalu ketika temannya meleletkan lidah akan tetapi pemuda ini sudah meloncat
turun maka gerumbul demi gerumbul disingkap, menangkis atau mengelak serangan-serangan ular lainnya
dan Sin Gak mengerutkan kening. Tempat itu benar-benar berbahaya dan semakin gelap. Kalau Ke Ke Cinjin
tak mengingat baik-baik tentu jalanan tikus itu tak dapat mereka temukan. Di tempat-tempat tertentu ternyata
Keng Hwat Taisu memberikan tanda, yakni menggores batang-batang pohon yang menuju Guha Hitam. Lalu
ketika tak lama kemudian mereka sudah sampai di tempat yang dimaksud maka di tempat amat gelap tosu ini
menyuruh Sin Gak berhenti.
"Stop, cukup di sini. Di antara dua pohon itulah guha itu berada!"
Sin Gak berdebar, memandang tajam. Mereka sudah berhenti di lereng curam yang amat berbahaya.
Tempat yang gelap membuat orang tak tahu dan bisa terpeleset. Sekali terguling tentu hancur diterima batu-
batu di bawah. Dan karena guha yang ditunjuk berada di antara dua pohon yang cukup besar, gelap dan
sekilas tak kelihatan maka setelah membiasakan diri barulah orang tahu bahwa samar-samar di tempat gelap
itu ada sebuah guha.
"Hm, benar juga. Sebaiknya kau di sini aku yang masuk, totiang. Jangan menyusul kalau tidak
kuperintahkan. Dan jangan berisik!"
Ke Ke Cinjin gemetar. Tosu ini tampak ngeri dan pucat. Meskipun ia pernah ke mari namun tempat itu
rasanya lebih menyeramkan. Hawanya lebih dingin. Dan ketika Sin Gak mulai bergerak dan hati-hati menuju
tempat itu maka Sin Gak merasa adanya sesuatu yang mendorong dari dalam guha, semacam kekuatan aneh
mirip getaran maut.
Berkerutlah kening pemuda ini. Apa yang dilakukan ayahnya di dalam? Kenapa di mulut guha tiba-
tiba tercium bau amis seperti darah? Ada apa? Tapi ketika ia mengerahkan sinkangnya melindungi seluruh
tubuh, semua syaraf bergetar dan siap bergerak maka ia tak perlu gentar menghadapi apapun.
Semua ini dilihat Ke Ke Cinjin dengan mata terbelalak. Tosu itu kebat-kebit dan menggigil
mengeluarkan keringat dingin. Dulu ia memberi tahu dengan cara memanggil, setelah ada jawaban barulah
masuk. Tapi karena Sin Gak tak melakukan itu dan menggeleng, berkata biarlah dia melihat diam-diam apa
yang di dalam guha maka tosu ini khawatir dan cemas sekali. Demikian cemasnya tosu ini memperhatikanKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
377 Sin Gak hingga tak tahu adanya sepasang harimau loreng di atas kepala. Harimau itu mendekam dengan
amat hati-hati di atas sebatang dahan, kumisnya bergerak naik turun dengan amat halus namun sepasang
mata itu mencorong lapar. Air liurnya menetes! Dan karena Sin Gak sendiri terpusat kepada Guha Hitam,


Tapak Tangan Hantu Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tegang karena pertemuan dengan ayahnya ini menimbulkan debar jantung kencang maka pemuda itu tak
melihat apa yang mengancam temannya ini.
Sin Gak baru terkejut ketika tiba-tiba dari dalam guha muncul sepasang mata biru, mencorong dan
bagai lampu senter dan tahu-tahu terdengar geraman dahsyat. Seekor mahluk berbulu meloncat keluar,
mengayun tubuh dengan cepat namun kuat dan itulah seekor harimau benggala sebesar kerbau. Kedua kaki
depannya yang mencengkeram mengeluarkan kuku-kuku tajam bagai pisau belati, aumnya menggetarkan
puncak dan bagi orang biasa sudah cukup menerbangkan semangat. Melihat harimau itu saja orang sudah
akan roboh ketakutan, apalagi gerak tubuhnya yang berat namun cepat itu. Sukar bagi seseorang melepaskan
diri. Tapi Sin Gak yang menyambut dan justeru menangkap dua kaki depan itu bergerak tak kalah cepat dan
ketika binatang itu menerkamnya iapun sudah menggerakkan tubuh menyelinap di bawah perut binatang ini
dan sambil berseru keras ia sudah meneruskan daya dorong itu melempar si raja hutan ke bawah tebing.
"Sin-hiante!"
Sin Gak terkejut. Waktu itu ia sudah memutar tubuh melempar lawannya. Harimau sebesar kerbau ini
tergetar perasaannya, kaget karena kuku-kukunya yang tajam bertemu telapak pemuda itu, keras bagai
lempengan besi dan gerakan Sin Gak yang melempar tubuhnya membuat binatang ini mengaum dahsyat. Ia
terlempar ke bawah puncak, menuju batu-batu runcing yang bakal melumat tubuhnya. Harimau ini tak
menyangka bahwa hanya segebrakan saja ia dikalahkan begitu mudah, tubuhnya meluncur dan terdengarlah
suara berdebum ketika terbanting di bawah tebing, dahsyat menggetarkan puncak tak kalah dahsyat dengan
aumnya tadi. Tapi ketika Sin Gak sudah berputar posisi dan melihat keadaan Ke Ke Cinjin maka di saat
itulah tosu ini berteriak karena harimau di atas tubuhnya tadi meloncat dan menerkam kepalanya!
Bukan main berdetaknya jantung di dada pemuda ini. Kepala si tosu tahu-tahu masuk di mulut
harimau yang lebar, sebatas dahi dan dua orang itu bergulingan. Ke Ke Cinjin menjerit karena tak
menyangka sama sekali serangan tiba-tiba ini, ia kaget luar biasa. Tapi ketika ia menangkap tubuh harimau
itu dan bergulingan meronta-ronta maka taring di mulut binatang itu terlanjur menancap dahinya. Tosu ini
setengah pingsan!
Untunglah, Sin Gak bergerak cepat. Pemuda yang sadar dan membelalakkan matanya ini berkelebat ke
depan. Ia membentak binatang itu menarik ekornya, tangan yang lain menotok samping leher dengan
tusukan kuat. Jari-jari itu penuh sinkang dan batupun bakal berlubang. Maka ketika sang harimau terkejut
mengaum kesakitan, kepala sang tosu dilepaskan maka Sin Gak tak membuang waktu dan mengangkat serta
melempar binatang itu menyusul temannya.
"Buummm!"
Suara menggetarkan itu menggoyang dinding-dinding tebing. Aum atau pekik binatang itu tak kalah
dahsyat, terbanting dan meliuk untuk akhirnya roboh. Kepalanya pecah menghantam batu runcing. Dan
ketika Sin Gak bergerak dan cepat menolong Ke Ke Cinjin maka tosu itu ternyata pingsan dengan luka
dalam di depan dahinya.
Merahlah wajah Sin Gak. Ia sungguh tak menyangka bahwa di Guha Hitam terdapat harimau-harimau
berbahaya. Ia tak tahu bahwa sepasang harimau itu adalah penunggu-penunggu guha, tertarik atau mencium
bau darah dari sebatang golok yang menancap di lantai guha, di dalam sana. Dan karena ia masih tak tahu
dan sekarang temannya terluka, pemuda ini merobek baju tosu itu maka cepat Sin Gak memberikan
pertolongan dan mengembalikan denyut nadi Ke Ke Cinjin. Tosu ini terguncang oleh peristiwa itu dan
hampir tewas. Iapun tak menyangka bahwa di atas kepalanya telah mengintai seorang musuh berbahaya.
Kalau kepalanya tak terbenam di mulut harimau tentu tosu ini dapat melakukan perlawanan, jelek-jelek dia
adalah sute ketua Kun-lun yang lihai. Tapi karena perhatiannya tertuju ke depan dan harimau keparat itu tak
mau melepas kepalanya, taring yang menancap dahi melukai cukup dalam maka tosu ini benar-benar sial dan
nyaris binasa.
Akan tetapi masih ada musuh lain yang tak kalah berbahaya. Sin Gak tak tahu betapa dari atas guha,
merayap cepat seekor ular besar menghampirinya. Dia membelakangi guha dalam usaha menolong
temannya, perhatiannyapun terpusat pada luka di dahi itu. Maka ketika tiba-tiba sebuah benda dingin
melekat dan membelit tubuhnya dari pinggang ke atas, demikian cepatnya kejadian itu maka terkejutlah Sin
Gak ketika seekor ular sebesar paha manusia dewasa menyerang dan membelitnya dengan amat kencang.
Kepala binatang itu sudah di atas kepalanya sendiri.
"Keparat!" Sin Gak mengerahkan tenaga membuat tubuhnya seperti batu, keras oleh pengerahanKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
378 sinkang. "Pergi kau, ular busuk. Enyahlah!"
Ular ini terkejut. Ia merasa girang ketika mula-mula membelit dan menguasai pemuda itu. Dengan
mudah ia menyerang lawannya. Tapi ketika dari tubuh pemuda itu keluar semacam kekuatan yang melawan
belitannya, yang semakin dibelit kencang justeru mengeluarkan hawa panas yang membuatnya terkejut maka
saat itu tangan pemuda ini lepas dan menampar kepalanya.
"Prakk!"
Ular ini berusaha mengelak dan menggigit. Akan tetapi apalah gunanya menghadapi murid si
Bayangan Dewa yang sakti ini, yang bergerak jauh lebih cepat dan tahu-tahu lima jari Sin Gak menampar
kepalanya. Maka ketika ia roboh dan belitan otomatis terlepas, Sin Gak meloncat bangun maka ditendangnya
bangkai ular itu dengan amat gemas.
Ke Ke Cinjin sadar. Tosu ini mengeluh dan sempat melihat ular besar itu, terkejut dan hampir
berteriak namun Sin Gak menepuknya perlahan. Ular itupun melayang dan jatuh di bawah tebing, berdebuk
bersama bangkai dua ekor harimau yang tewas lebih dulu. Lalu ketika Sin Gak membersihkan bajunya
mengebut semua debu maka pemuda itu berkata agar Ke Ke Cinjin menjaga diri baik-baik.
"Totiang jangan menghilangkan kewaspadaan terhadap diri sendiri. Hampir saja kau celaka. Aku
belum masuk dan menyelidiki guha itu, totiang, jangan membuatku membagi perhatian dan berhati-hatilah.
Untung bahaya sudah lewat!"
"Pinto benar-benar manusia tak berguna, pinto manusia bodoh. Pinto tak menyangka bahaya di atas
kepala, Sin-hian-te, pinto terlampau tegang mengawasimu di depan guha. Sudahlah pinto akan berhati-hati
meskipun kepala pinto masih pusing."
"Atau totiang kugendong saja di belakang, aku mencium bau darah."
"Tidak, tidak. Pinto tetap di sini dan biarlah kau masuk. Pinto akan menjaga diri!"
Sin Gak menarik napas dalam. Tempat ini memang benar-benar berbahaya terutama bagi orang
semacam Ke Ke Cinjin ini. Akan tetapi karena tosu itu menolak dan jelas malu, rasanya terlalu berlebihan
digendong seperti anak kecil akhirnya pemuda ini mengangguk berkelebat kembali ke guha.
"Baiklah, dan pegang pisau kecil ini kalau ada bahaya, totiang. Aku biasanya tak pernah
mempergunakan tapi sebaiknya kau pegang!"
Ke Ke Cinjin menerima pisau kecil itu. Benda ini biasanya dipergunakan Sin Gak untuk mengupas
buah-buahan hutan ketika lapar, hanya pisau kecil saja dan tak pantas untuk senjata. Namun karena bahaya
bisa sewaktu-waktu datang dan tak ada jeleknya menggenggam itu maka tosu inipun berdebar memegang
pisau ini, bersandar pohon, kepala masih pusing.
"Sin-hiante, hati-hati!"
Sin Gak tak perlu menjawab. Ia sudah di mulut guha dan kali ini tak mau berlama-lama. Tubuhnya
bergerak bagai seekor walet, menyambar dan lenyap di dalam. Dan karena ia sudah biasa dengan suasana
sekitar, seluruh syaraf menegang dan siap menyambut atau menghantam musuh maka di dalam guha ini Sin
Gak tertegun oleh sebuah cahaya menyilaukan dari sebatang golok yang menancap secara terbalik,
gagangnya di atas sementara di depan golok ini, duduk bersila dengan mata terpejam tampaklah sebuah
patung hidup yang wajahnya bersinar terang bagai dewa sedang bertapa!
Tergetarlah pemuda ini. Ternyata di dalam guha ini keadaan tidak seperti di luar sana. Guha ini tidak
merupakan tempat yang panjang karena terdiri hanya dua ruangan saja, membelok ke dalam dan di sinilah
patung hidup itu berada. Dari tubuhnya memancar getaran kuat yang membuat orang menjauh mundur, ada
semacam kewibawaan atau kekuatan batin yang hebat di situ. Sementara golok di lantai itu, yang bersinar
dan menerangi ruangan guha tampak memancarkan cahaya bergidik yang membuat tengkuk terasa dingin!
Sin Gak harus menambah sinkangnya untuk mengusir pengaruh dingin ini, terutama dari golok di depan
patung hidup itu. Bau amis menyambar dari sini dan kiranya inilah sumber kengerian itu. Baunya
memancing harimau dan binatang buas untuk datang mendekat namun mereka terdorong oleh getaran batin
yang keluar dari laki-laki yang sedang duduk bersila itu, tampak berwibawa dan gagah sekali namun Sin Gak
tertegun melihat lengan kiri yang buntung. Ternyata patung hidup ini manusia cacad. Wajahnya terang di
kala bersila itu namun gurat-gurat kedukaan tak dapat disembunyikan dari wajahnya yang tampan. Garis
duka itu membekas dalam hingga siapapun dapat merasa. Sin Gak terharu. Dan karena ia begitu terpesona
memandang wajah gagah itu, wajah yang benar-benar mirip dengannya tiba-tiba saja Sin Gak meloncat majuKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
379 dan berseru menggigil, air matapun tiba-tiba mengucur turun.
"Ayah.....!"
Tak ada jawaban. Pria itu, Giam Liong memang sedang bertapa dengan amat khusuknya. Sudah
bertahun-tahun ini pria gagah yang berjuluk Naga Pembunuh itu mengheningkan cipta. Jangankan panggilan,
gunung robohpun tak akan membuat kesadarannya datang. Naga Pembunuh telah mencapai titik tertinggi
dalam niat samadhinya yang dalam, begitu dalam hingga jiwanya seakan menyatu dengan alam. Ia tak akan
mendengar apa-apa dan tak memperdulikan apa-apa. Dulu Keng Hwat Taisu juga gagal setelah memaksa
berkali-kali. Samadhi atau tapa Naga Pembunuh ini telah mencapai pusat roh. Maka ketika ia diam saja dan
benar-benar tak merasa kehadiran puteranya, demikian hebat tapanya hingga kesungguhan itu memancarkan
sinar gaib maka Sin Gak menubruk dan mengguguk memeluk ayahnya ini, maklum bahwa sesuatu yang
hebat telah memaksa ayahnya itu untuk bertapa sedemikian dalamnya hingga siap mengorbankan nyawa,
hilang dalam hening!
"Ayah........!"
Sin Gak tersedu-sedu. Pemuda yang biasanya gagah dan tabah hati itu mendadak kehilangan
kegagahannya lagi seperti anak cengeng. Murid Sian-eng-jin ini terharu dan bagai disayat-sayat melihat
keadaan ayahnya itu. Itulah keadaan yang disebut Heng-siong-beng (Siap Menyerahkan Roh) dalam tapa,
sikap yang diambil sebagai protes atau tuntutan sesuatu kepada Yang Di Atas, sikap yang biasanya timbul
atas derita atau kecewa yang berat. Seseorang yang telah mencapai tingkat ini biasanya tak akan kembali
dalam hidup, rohnya telah terbang dan melayang-layang dalam alam gaib. Hanya karena detak jantungnya
saja yang masih menunjukkan orang itu belum meninggal, detak jantung yang biasanya lemah dan hampir
tak terdengar telinga biasa, detak jantung ke alam ajal. Maka ketika Sin Gak melihat keadaan ayahnya itu
dan betapa perasaannya seakan dirobek-robek, inilah orang tua satu-satunya yang masih hidup maka
keharuan dan kehancuran memukul pemuda itu sampai Sin Gak mengguguk dan mengejutkan Ke Ke Cinjin
yang ada di luar guha.
Tosu ini terkejut dan tegang mendengar tangis itu, tak ayal lagi bangkit dan menghampiri guha. Lalu
ketika ia masuk dan melihat itu, terkesima oleh wajah yang mengeluarkan sinar terang ini akhirnya tosu itu
sadar bahwa Si Naga Pembunuh itu memang hidup namun "mati".
"Sin-hiante.......!"
Sin Gak terkejut. Tiba-tiba ia sadar bahwa ada orang lain di situ. Ke Ke Cinjin telah berada di
belakangnya. Dan ketika cepat ia menghentikan tangis dan mengusap air mata maka ia berdiri dan gemetar
meminta tosu itu menjauh.
"Keluarlah........ pergilah. Aku hendak menyadarkan ayahku, totiang. Jangan masuk dan dekat-dekat
sini. Aku telah menemukan orang tuaku."
"Benar, bagai pinang dibelah dua. Kau dan ayahmu tak ada bedanya, hiante, kalian benar-benar mirip.
Siancai, pinto merasa girang, tapi bingung. Apa yang hendak kau lakukan dan tak adakah yang bisa pinto
bantu!"
"Tidak, kau keluarlah. Ayah telah mencapai tingkat Heng-siong-beng, totiang, tak akan bangun kalau
tidak dihentak dari dalam. Aku akan membangunkannya dan harap kau keluar. Ada bahaya untuk ini."
"Heng-siong-beng? Sedalam itu tapanya? Astaga, pantas dulu tak dapat digugah!"
"Totiang harap keluar, cepat. Aku tak mau ia mati dan ingin kutanya apa sebabnya demikian nekat.
Aku tak mau kehilangan ayahku!"
Ke Ke Cinjin maklum. Sebagai murid Kun-lun dan seorang pertapa iapun mengerti apa artinya itu.
Sedikit banyak ia tahu pula tingkatan-tingkatan tapa. Maka mundur dan mengangguk dengan hati berdebar
iapun keluar dan menjaga di sana.
"Hiante, hati-hati. Kalau kau gagal malah ayahmu meninggal seketika. Pinto berlindung di luar!"
Sin Gak mengangguk. Ia tahu pula resiko membangunkan sebuah tapa, apalagi sekuat ini. Namun
karena gurunya si Bayangan Dewa adalah seorang manusia sakti yang banyak menurunkan kepandaian, di
antaranya tentang kegaiban alam semesta dan kebatinan maka iapun maklum dan tak mau menunda waktu
lagi. Ia sadar setelah tosu itu masuk. Ia tenggelam oleh kesedihannya tadi. Ia tak boleh berlaru-larut. Maka
ketika Sin Gak bersila dan duduk di depan ayahnya itu, meletakkan tangan di pundak maka pemuda inipun
sudah membayangkan wajah mendiang gurunya dan minta bantuan kekuatan batin untuk menghantam atauKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
380 menjebolkan Heng-siong-beng.
"Heng-siong-beng adalah tingkat tapa paling tinggi, juga maut. Hanya orang gila yang berat
frustrasinya melakukan ini. Ia siap tak makan maupun minum bertahun-tahun, biasanya hanya dilakukan
orang-orang yang hebat dan terlatih saja. Kalau tak ada sesuatu yang menindih batin biasanya seseorang tak
akan bertapa sedalam itu, karena di samping mengorbankan nyawa juga kalau sembuh biasanya gila. Syaraf
di otak selalu hancur. Maka kalau kau mengerti ini jangan sembarangan terhadap Heng-siong-beng karena
pada hakekatnya banyak merugikan diri daripada untungnya!"
"Lalu peristiwa-peristiwa apa yang menyebabkan manusia senekat itu, suhu? Masa ada orang siap
mengorbankan diri dalam tapa sedemikian hebat? Bukankah tapa dilakukan justeru untuk membersihkan
batin menjernihkan pikiran?"
"Hm, hidup di dunia ini bermacam ragam isinya, tapi tak lepas dari tiga sisi. Satu adalah berahi, dua
kekuasaan dan tiga kekayaan. Kalau orang sudah demikian dalam tenggelam dalam satu atau ketiga-tiganya
ini maka frustrasi berat bisa dirasakannya apabila gagal. Orang bisa nekat, mata gelap. Apapun dilakukan
kalau perlu berkorban nyawa. Mereka sudah mulai gila, dan karena mereka gila maka berbahaya menghadapi
orang-orang seperti ini, jauhi saja!"
Begitu dulu sekilas Sin Gak bercakap-cakap dengan gurunya. Ia belum menghadapi sendiri Heng-
siong-beng ini, masih dalam taraf informasi. Maka ketika tiba-tiba kini ayahnya melakukan hal seperti itu
dan ia tentu saja terkejut, pucat maka di samping tersentak ia juga merasa heran keinginan apa yang
dipendam ayahnya ini. Menginginkan kekuasaan? Kekayaan? Rasanya tak masuk akal. Atau berahi? Ah,
lebih tak masuk akal lagi. Wajah ayahnya itu bukan wajah seorang yang doyan paras cantik, wajah itu gagah
dan bahkan keras. Tak masuk akal kalau ayahnya yang berjuluk Naga Pembunuh ini melakukan protes hanya
karena keinginan berahi!
Sin Gak tak berpikir panjang lagi dan cepat mengosongkan pikiran. Dalam saat seperti itu maka Gi-
hong-ciok-beng (Memanggil Roh Yang Sudah Membatu) adalah satu-satunya pilihan tepat menjebolkan,
Heng-siong-beng. Hanya ilmu ini pelawan Heng-siong-beng. Untunglah ia murid seorang sakti macam
gurunya itu, Bayangan Dewa bukan orang sembarangan. Maka ketika ia meletakkan tangan di kedua pundak
dan menarik napas dalam sambil memejamkan mata, mengosongkan pikiran menujukan perhatian ke pusat
alam gaib maka tiba-tiba tubuh pemuda inipun bergetar seolah diguncang dari dalam. Telapak Sin Gak
mengeluarkan asap panas memasuki pundak ayahnya itu, menembus dan "menghidupkan". dulu syaraf-.
syaraf penting di tubuh. Syaraf-syaraf ini sudah mati rasa sejak pemiliknya bertahun-tahun mengheningkan
cipta. Si Naga Pembunuh tiada ubahnya seorang yang mati semu. Dan ketika tenaga panas itu memasuki
pundak dan terus menembus ke dalam, patung hidup itu tiba-tiba tersentak dan seakan berjengit maka Sin
Gak girang karena usahanya berhasil!
Akan tetapi belum selesai. Tidak semudah itu menggempur Heng-siong-beng yang mencapai
puncaknya, apalagi yang dilakukan seorang pendekar macam Naga Pembunuh ini. Maka ketika tiba-tiba
tubuh itu tak bergerak lagi seakan tak merasa aliran listrik yang dimasukkan Sin Gak, kembali tubuh itu tak
bergeming dan diam membatu maka Sin Gak harus menambah tenaganya untuk memperkuat getaran hawa
panas menembus seluruh syaraf di tubuh ayahnya ini.
Tujuan utama adalah syaraf otak. Bagian inilah yang merupakan kunci dari Heng-siong-beng, baru
setelah itu jantung dan paru-paru. Dan karena untuk ke otak harus melewati dulu dua bagian ini maka
pemuda itu memejamkan mata bekerja keras mengalirkan tenaga Gi-hong-ciok-beng menuju syaraf-syaraf
penting itu. Ia harus melakukan hati-hati atau semua bakal hancur. Dan ketika dari tubuh ayahnya bergerak
sebuah tenaga sakti yang menolak sinkangnya, maklumlah pemuda ini bahwa ayahnya bukan orang
sembarangan maka ia memperkuat dan mendorong tenaga ayahnya itu. Ia harus mengalahkan ini dan
menguasai seluruh tubuh ayahnya kalau tak mau gagal. Tenaga tolak itu harus ditundukkan, bahkan kalau
perlu bergabung dengan tenaganya sendiri untuk menjebol Heng-siong-beng. Dan ketika ia berhasil dan
tenaga itu terdesak mundur, berputar dan terus terdorong maka Sin Gak tak mau menyia-nyiakan kesempatan
ini dan mendesak tenaga itu sampai di daerah tan-tian, pusar. Di sini terjadi perlawanan berat. Tenaga itu tak
mau ditundukkan, bergolak dan menyerang pemuda itu mati-matian. Tubuh sang Naga Pembunuh bergetar
oleh arus di tan-tian ini, bagi seorang ahli silat semuanya sudah berjalan secara otomatis. Tapi karena Sin
Gak adalah murid seorang tokoh Ngo-cia Thian-it, satu di antara Lima Rasul maka pemuda itu mendesak dan
akhirnya menembus perlawanan sinkang itu, menjebolnya sedemikian rupa hingga cerai-berai dan saat itulah
pemuda ini bergerak cepat. Ia mendekati semua bagian pusat-pusat tenaga yang hilang kendali itu untuk
ditarik dan digabung dengan tenaganya sendiri, berhasil dan akhirnya terkumpullah sinkang sang ayah
dengan sinkangnya sendiri. Lalu ketika gabungan sinkang ini bergerak dan naik ke atas, jantung dan paru-
paru maka jebollah sumbat Heng-siong-beng di bagian itu.Kolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
381 "Cess!"
Asap putih keluar dari dada si Naga Pembunuh, terus naik ke pundak dan leher untuk akhirnya menuju
kepala. Inilah pusat syaraf yang hendak digempur Sin Gak. Inti Heng-siong-beng akan dihancurkannya di
situ. Dan karena tenaga ayahnya sudah berhasil dikuasai dan ia mengendalikan semua ini dengan konsentrasi
penuh maka Sin Gak tak tahu betapa tubuh ayahnya itu bergetar hebat sampai akhirnya sepasang mata itu
terbuka lebar.
Giam Liong sang Naga Pembunuh mulai sadar. Perlahan-lahan sukma atau jiwa pendekar ini ditarik
ke dalam, menyatu dan hidup lagi ketika semua simpul-simpul syaraf dibuka. Sin Gak menjebol semua
sumbatan simpul syaraf dari bawah ke atas. Wajah pemuda itu berkeringat dan kemerah-merahan, tanda
betapa besarnya kesungguhan dan hasrat pemuda ini "menghidupkan" ayahnya lagi. Dan ketika ia terus
bekerja dan menggetarkan syaraf pusat di otak, usahanya sudah sembilan puluh persen berhasil maka saat
itulah sang ayah mulai sadar namun masih dalam bayang-bayang bingung, juga. marah!
Membangunkan orang yang tenggelam dalam tapa memang perbuatan berbahaya. Sin Gak bukannya
tak tahu resiko itu namun apa boleh buat, ia tak akan membiarkan ayahnya ini mati sia-sia. Maka ketika ia
sudah menembus simpul-simpul penting dan tinggal satu di inti pusat, gabungan tenaganya dengan sinkang
ayahnya itu mempercepat semuanya maka tak lama kemudian pusat Heng-siong-beng di otak jebol. Kepala
ayahnya meletus dan muncratlah asap tebal ke atas. Itulah tanda hancurnya Heng-siong-beng. Namun ketika
sukma sang ayah masuk dan kembali ke tubuh, menyatu dengan pusat-pusat kehidupan di denyut nadi maka
saat itulah wajah yang terbakar dan mata yang melotot menghanguskan si Naga Pembunuh ini, beringas.
Giam Liong tiba-tiba begitu marah ketika seseorang memaksanya kembali. Ia seakan disentak dari
alam halus memasuki alam kasar. Paksaan itu membuatnya sakit. Ada nyeri tajam di dada dan kepala,
terutama kepala yang baru saja meledak dan terasa terbakar. Rasa sakit itu membangkitkan kemarahannya.
Maka ketika tiba-tiba kesadarannya tertarik kembali dan seorang pemuda rupanya hendak mencelakainya
tiba-tiba pendekar itu bergerak dan diiringi satu pekikan menggetarkan guha ia menghantam kepala Sin Gak
yang saat itu terisi tenaga gabungan antara puteranya dan dirinya sendiri.
"Siapa kau, jahanam!"
Sin Gak terkejut. Ia bersila memejamkan mata hingga tak tahu perobahan ayahnya itu, betapa mula-
mula kelopak ayahnya bergerak dan wajah itu kemerah-merahan, terbakar. Ia begitu asyik dalam


Tapak Tangan Hantu Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pekerjaannya sendiri dan girang bahwa Heng-siong-beng jebol. Inilah yang diharap. Maka ketika tiba-tiba
tangan ayahnya menghantam kepala dan tenaga yang digunakan itu adalah tenaga gabungan, ia belum
menarik lepas tangannya maka jarak sedekat itu tak mungkin mengelak dan barulah pemuda ini membuka
mata ketika serangan itu tiba.
"Ayah!"
Seruan ini menggetarkan jiwa sang Naga Pembunuh. Dalam keadaan baru sadar dan kaget serta marah
tapi juga bingung maka sebenarnya Giam Liong tertegun melihat wajah yang mirip dengan dirinya itu.
Hanya karena ia baru tertarik dari alam gaib dan belum sepenuhnya ingat iapun masih ragu-ragu. Tapi ketika
seruan itu mengguncangkan hatinya dan betapapun mengurangi tenaga maka pukulannya meskipun telak tapi
sudah hilang setengah bagian menghantam kepala pemuda itu.
Jilid XXVII
"DESS!"
Sin Gak terlempar dan terbanting. Kalau saja di saat berbahaya itu seruannya tak mengurangi tenaga
sang ayah tentu kepala pemuda ini hancur lebur. Sin Gak mengejutkan ayahnya sekaligus mengurangi tenaga
serangan itu. Hampir limapuluh persen hilang. Namun karena pukulan itu amatlah berat dan mengenai
kepala, pemuda ini terlempar dan terbanting maka pemuda itu pingsan dan di saat itulah Ke Ke Cinjin
muncul berseru tertahan.
"Sin-taihiap!"
Giam Liong tertegun lagi. Ia bangkit terhuyung memandang pemuda terlempar di mulut guha itu.
Tenaga yang dikeluarkan membuat ia lemas, tapa bertahun-tahun membuat ia cepat kehabisan daya. Maka
ketika ia gemetar dan limbung memandang pemuda itu, sesungguhnya pukulannya tadi berkat tenaga
pemuda itu maka pendekar ini terbelalak memandang Ke Ke Cinjin, suaranya parau bertanya,Kolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
382 "Siapa kau!"
Tosu ini berlutut dan tersedu-sedu. Ia melihat Sin Gak tak bergerak-gerak lagi dan mengguguklah tosu
itu. Dikiranya Sin Gak tewas. Maka ketika ia tersedu dan menubruk pemuda itu segera tosu ini menjawab,
"Pinto adalah Ke Ke Cinjin, pinto adalah tosu Kun-lun-pai. Kau membunuh puteramu sendiri, taihiap. Dia
adalah Sin Gak. Kau telah membunuhnya!"
Giam Liong terkejut dan gemetar. Ia baru saja sadar setelah sukmanya ditarik dan diseret kembali ke
alam nyata. Ia sesungguhnya masih bingung oleh semua kejadian itu. Tapi begitu si tosu menyebut-nyebut
puteranya dan nama Sin Gak adalah nama pemberiannya sendiri tiba-tiba pendekar itu mengeluh dan roboh
di tubuh puteranya. Rasa lemas menghabiskan semua tenaganya.
"Apa....... apa kau bilang. Dia puteraku, Ke Ke Cinjin? Dia Sin Gak yang hilang belasan tahun lalu?"
"Benar, dia puteramu, dan kau membunuhnya. Ah, dosa apa yang kau lakukan ini, taihiap, bagaimana
kau mencelakai puteramu sendiri. Ia datang untuk bertemu dan menyelamatkanmu!"
Sang Naga Pembunuh menggigil. Giam Liong tiba-tiba mendorong tubuh tosu itu memeriksa
puteranya. Ia gemetar dengan muka pucat sekali. Akan tetapi ketika denyut jantung itu dirasanya dan dada
pemuda ini masih berdetak tiba-tiba pendekar itu girang bukan main dan berseru,
"Ia masih hidup!"
Ke Ke Cinjin mengangkat mukanya. Ia kaget tapi girang mendengar itu, melihat betapa sang Naga
Pembunuh memanggul tapi roboh kembali. Tenaga pendekar itu masih lemas. Lalu ketika tosu ini bergerak
dan mengangkat tubuh Sin Gak maka Giam Liong berseru agar pemuda itu diletakkan di dalam guha, di
tempat duduknya tadi.
"Angkat ia di sana..... baringkan di situ. Biar aku melancarkan denyut nadinya!"
Ke Ke Cinjin tergopoh mengangkat pemuda itu. Akhirnya ia merasa bahwa denyut nadi pemuda ini
masih berdetak, lemah tapi pemuda itu masih hidup. Maka ketika ia membaringkan pemuda itu di bekas
tempat sang ayah, lantai batu yang dingin bekas tapa bertahun-tahun maka Giam Liong menekan dan
mengurut dada puteranya berkali-kali, menyedot dan menghembuskan napas memberi bantuan udara segar,
menggigil dan berurailah air mata di wajah gagah itu. Sang Naga Pembunuh menangis. Namun ketika
perlahan-lahan pemuda itu membuka matanya dan sadar, Ke Ke Cinjin berseru girang maka Giam Liong
bagai mendapat mustika melihat puteranya selamat.
"Sin Gak, anakku.....!"
Sin Gak tergetar bertemu sorot mata penuh sendu. Wajah di depannya itu tiba-tiba membungkuk
memeluk dan menciuminya, air mata itu deras mengalir membasahi pipinya. Lalu ketika ia sadar tersedak
bangun, air mata itu bagai hujan layaknya akhirnya iapun menubruk dan bertangis-tangisan memeluk
ayahnya itu.
"Ayah.....!"
Ke Ke Cinjin melengos dengan mata basah pula. Pertemuan ayah dan anak yang begitu mengharukan
membuat tosu ini batuk-batuk dan membanjir pula. Iapun menangis mewek-mewek! Dan ketika ayah dan
anak berpelukan begitu erat, masing-masing begitu haru dan bahagia maka Giam Liong berbisik mernanggil-
manggil puteranya ini.
"Kau....... kau anakku yang hilang. Kau Sin Gak. Ah, betapa tersiksa dan rinduku kepadamu, Sin Gak,
betapa susah dan berat penderitaan ini. Kau kembali, kau menyegarkan sukmaku lagi. Tapi ibumu telah
tiada....."
Sin Gak mengguguk dan menangis lagi. Suara dan kata-kata ayahnya yang serak menggigil membuat
tengkuknya meremang tak keruan. Wajah ayahnya yang pucat penuh penderitaan membuat ia terharu. Dan
ketika ayahnya tersedu dan memeluknya kencang-kencang, kembali mereka bertangisan maka keharuan dan
air mata adalah sahabat akrab mereka di saat itu.
Tak ada kebahagiaan sekaligus keharuan seperti itu. Tak ada kebanggaan sekaligus kehancuran seperti
itu. Hati mereka remuk berkeping-keping, apalagi teringat sang ibu yang telah tiada. Tapi ketika Sin Gak
mendorong ayahnya dan pemuda ini menguasai dirinya terlebih dahulu, mendorong dan melepaskan diri
maka Giam Liong juga menghapus air matanya memandang kagum.Kolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
383 "Ayah tak perlu lagi mengingat-ingat ibu, yang tiada tak akan kembali. Apa yang kau minta di sini
hingga tapamu begitu hebat, ayah. Apa yang kau kehendaki hingga kau menyiapkan jiwamu!"
"Aku mencari keadilan," sang ayah surut dan menarik napas dalam. "Aku kecewa menerima hidupku,
Sin Gak, aku merasa disia-siakan. Aku protes kepada Kebenaran!"
"Hm, ayah demikian tenggelam, ayah demikian bersungguh-sungguh. Apa maksudmu dengan protes
kepada Kebenaran."
Pendekar itu memandang puteranya. Sin Gak yang sekarang bukanlah Sin Gak si kecil belasan tahun
lalu itu. Puteranya ini telah gagah dan dewasa, sikap dan pandang mata puteranya itu bukan seperti anak
kecil lagi. Maka ketika ia menarik napas dalam-dalam dan menoleh pada Ke Ke Cinjin maka tosu itu terkejut
merasa mengganggu.
"Maaf, pinto akan mencari makanan di luar. Silakan ji-wi (kalian berdua) tunggu di sini."
Giam Liong lega. Ia mengangguk melihat tosu itu berkelebat pergi, begitulah seharusnya orang yang
tahu sopan santun, tak mengganggu. Dan ketika ia menarik lengan puteranya diajak duduk maka pendekar
itu bercahaya memancarkan ketidakpuasan.
"Sebelum kita bicara sebaiknya ceritakan dulu tentang dirimu. Bukankah gurumu adalah Sian-eng-jin,
mana kakek sakti itu."
"Suhu telah tiada, ia pulang. Aku disuruhnya mencarimu, ayah, ketemu dan sampai di sini."
Giam Liong tertegun, jawaban puteranya begitu tenang, datar dan biasa! Tapi ketika ia teringat kakek
sakti itu, mengangguk dan memandang puteranya kembali maka ia mendesah dan percaya bahwa puteranya
ini memiliki sifat-sifat aneh sebagaimana biasanya orang sakti.
"Hm-hm, begitu kiranya, tapi aneh terdengar. Kau menyebut gurumu pulang, Sin Gak, seolah gurumu
bakal kembali lagi. Bukankah maksudmu ia meninggal."
"Entahlah," sang ayah terkejut. "Aku tak tahu ia meninggal atau tidak, ayah. Yang jelas ia pergi dan
pulang secara gaib. Suhu tampaknya moksa."
"Moksa?"
"Ya, tubuh dan jiwanya pergi bersama-sama. Bukankah itu namanya moksa."
Naga Pembunuh tertegun. Untuk kedua kalinya lagi ia merasa aneh dengan jawaban puteranya ini,
juga sikap puteranya yang begitu tenang dan datar saja. Tapi mengangguk menggenggam lengan itu akhirnya
ia berkata,
"Baiklah, mari duduk kembali. Apa saja yang kau dapat dari gurumu itu dan di mana selama ini kau
tinggal."
"Aku tinggal di Sian-thian-san, satu di antara puncak Himalaya. Suhu memberiku banyak kepandaian
dan satu di antaranya adalah Gi-hong-ciok-beng."
"Dan dengan itu kau menghancurkan Heng-siong-beng milikku?"
"Benar, ayah, aku tak ingin kau mati sia-sia. Aku ingin berdekatan denganmu dan mengetahui kenapa
kau sampai bersikap bunuh diri."
Giam Liong memejamkan mata. Ia kagum bukan main namun hidupnya kembali membuat ia merintih.
Sebenarnya ia ingin mati saja, terlampau berat beban yang dideritanya itu. Tapi ketika ia membuka kembali
matanya itu dan berkaca-kaca maka ia berbisik bahwa sekarang ia tak ingin mati.
"Aku ingin hidup, sekarang ingin hidup. Setelah kau muncul di depanku maka aku tak ingin mati!"
"Apa yang menyebabkan ayah seperti itu."
"Kedukaan, puteraku, perasaan hancur dan remuk-redam. Aku merasa Kebenaran menjauhi diriku!"
"Hm, ceritakanlah itu, bagaimana mula-mula."
"Berawal dari ini!" Giam Liong tiba-tiba mencabut golok di atas lantai itu, golok yang sejak tadiKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
384 mengherankan puteranya. "Inilah sumber semuanya, Sin Gak, dan dengan ini ibumu terbunuh!"
"Ayah membunuh ibu?" Sin Gak terkejut.
"Bukan, melainkan orang lain. Ibumu tewas dibantai golok ini dan orang lain mencurinya. Dari sinilah
semua itu terjadi dan peristiwa ini seakan tak henti-hentinya mendera aku!"
Sin Gak tertegun. Wajah ayahnya tiba-tiba beringas dan keganasan serta nafsu membunuh tampak di
situ. Golok berdesing ketika digerakkan ke atas dan dinding guha tergetar. Cahaya golok membuat dinding
guha hangus! Lalu ketika pemuda itu mengerutkan kening dan tergetar jantungnya maka ayahnya
melontarkan golok itu menancap amblas di langit-langit guha.
"Aku tak ingin menyimpan golok itu lagi namun ingin mempergunakannya terakhir kali. Aku ingin
membunuh musuhku dan mencincangnya seperti ia mencincang ibumu!"
"Majikan Hutan Iblis?"
"Bagaimana kau tahu?"
"Aku telah ke Hek-yan-pang, ayah, dan bertemu musuhku itu. Tapi ia lolos, ia murid Te-gak Mo-ki."
Naga Pembunuh tertegun. "Kau agaknya sudah banyak tahu tentang ini."
"Kebetulan saja, suhu menyuruhku ke Hek-yan-pang. Dan di sanalah aku bertemu murid-murid Hek-
yan-pang dan mendengar cerita tentang ini."
"Bagus, dan kau rupanya dapat mengalahkan musuhmu itu. Kenapa ia lolos, Sin Gak, kenapa ia tak
kau bunuh. Dan siapa itu Te-gak Mo-ki!"
"Ceritanya panjang, ayah ceritakan dulu tentang kisah ayah ini dulu, baru setelah itu ayah mendengar
dari aku."
"Hm-hm, baik. Yang jelas aku kecewa kepada Kebenaran. Kenapa Kebenaran membiarkan Kejahatan
merajalela tiada habisnya. Aku protes. Aku merasa Kebenaran menjadi mandul dan tidak berfungsi lagi!"
Sin Gak terkejut. Dari sikap dan pandang mata ayahnya yang berapi-api segera dia menangkap sesuatu
yang serius. Ada kekecewaan berat di hati ayahnya itu, ada tekanan jiwa yang besar. Maka ketika ia
mengangguk dan bertanya lebih lanjut maka ayahnya berkata lagi,
"Aku didera siksaan bertubi-tubi, aku serasa hidup tidak matipun tidak. Aku hampir gila!"
"Apa yang kau alami, ayah. Apa yang menyiksamu."
"Pertama adalah hilangnya dirimu, lalu ibumu. Dan ketiga adalah Golok Maut itu!"
"Hm, jadi itu Golok Maut?"
"Ya, warisan kakekmu yang didapat dari mendiang gurunya dulu. Golok itu berbahaya untuk orang
yang mengikat asmara!"
"Maksud ayah?"
"Golok ini hanya boleh dipegang kaum bujang, Sin Gak, tapi sekali sudah menjalin hubungan asmara
apalagi menikah maka golok itu mengeluarkan kutuknya!"
"Hm-hm, itu kiranya. Lalu bagaimana."
"Aku menyembunyikannya. Lenganku buntung juga gara-gara dia. Golok itu pantang disentuh mereka
yang menjalin cinta kasih. Golok itu ciptaan Mo-bin-lo!"
"Aku sudah dengar. Dan bagaimana tentang ceritamu tadi, ayah, sampai di mana penderitaanmu tadi."
Sang ayah tertegun. "Nanti dulu, dari siapa kau dengar tentang golok ini."
"Dari suhu."
"Apa yang dikatakan gurumu."Kolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
385 "Cerita panjang tentang Ngo-cia Thian it."
"Ngo-cia Thian-it (Lima Rasul Langit Tunggal)?"
"Ya, Ngo-cia Thian-it."
"Aku belum mendengar itu, siapa mereka!"
"Guru dan saudara-saudara seperguruan guruku. Mereka lima orang yang gagah perkasa, ayah, sakti
dan pilih tanding. Tak ada yang dapat menghadapi mereka kecuali mereka sendiri."
"Tak mungkin. Ada seorang manusia dewa yang kesaktiannya di atas kesaktian para dewa sendiri.
Kau belum mengenal Bu-beng Sian-su!"
"Hm, ya," Sin Gak teringat. "Yang ini lain, ayah, tapi selain itu Ngo-cia Thian-it tak punya tandingan.
Majikan Hutan Iblis sendiri adalah murid satu di antara Ngo-cia Thian-it itu. Pantas kalau siapapun tak dapat
mengalahkannya."
Giam Liong mengangguk-angguk. Kalau puteranya sudah bicara tentang Ngo-cia Thian-it dan pemuda
itu sendiri adalah murid Sian-eng-jin yang merupakan satu di antara Ngo-cia Thian-it tentu saja ia percaya
dan kagum. Tapi merasa bahwa kejahatan berjalan sewenang-wenang dan tiada hukuman maka iapun tak
puas.
"Baik, pantas kalau Majikan Hutan Iblis itu bukan manusia lumrah. Tapi kau telah dapat
mengalahkannya, kau telah membuatnya melarikan diri!"
"Tidak begitu gampang. Waktu itu dua orang datang di sana, ayah, dan mereka yang membuat dia ini
ketakutan."
"Siapa mereka itu."
"Giok Cheng dan Su Giok."
"Apa?"
"Ya, mereka, ayah, Giok Cheng dan Su Giok. Kau tentu kenal mereka ini terutama enci Su Giok!"
Giam Liong tertegun. "Giok Cheng adalah calon isterimu, sedang Su Giok, hm...... ia cucu Pek-lui-
kong dari ayah Su Tong dan Bhi Li....!"
"Dan mereka adalah murid bibi guruku Hek-i Hong-li."
"Benar, benar gadis itu murid nenek berpakaian hitam-hitam yang amat hebat itu. Dia murid Hek-i
Hong-li!"
"Dan gadis ini amat membenci kita, terutama ayah!"
"Hm!" Giam Liong teringat peristiwa itu. "Benar, Sin Gak, tidak salah. Tapi aku harus bersikap
begitu."
"Maksud ayah?"
"Ia menaruh hati padaku, waktu itu tak mau berjauhan. Dan karena aku tak mau terulang dengan
kutukan Golok Maut itu maka ia kujauhi, sengaja kuacuhkan!"
Berceritalah Giam Liong akan kisah lama, didengar dan diperhatikan puteranya dan Sin Gak menarik
napas dalam. Segera pemuda ini mengerti dan diam-diam kagum. Ayahnya meskipun buntung akan tetapi
kegagahannya masih menonjol. Wajah itu juga masih tampan meskipun kini menua dan penuh gurat-gurat
kepedihan. Ayahnya ini masih dapat menjatuhkan hati wanita! Maka ketika ia mengangguk-angguk dan
mengerti duduk persoalannya iapun menerima itu dengan wajar, bahkan bangga.
"Aku tak mau memperdulikan gadis itu karena tuah dari Golok Maut ini, lagi pula mana mungkin aku
beristeri lagi setelah ibumu tiada. Tidak, aku tak ingin menikah lagi, Sin Gak, aku tak ingin menjalin cinta.
Itulah sebabnya segera aku bersikap dingin ketika tanda-tanda itu kulihat, dan ini dianggap sombong dan
menyakitkan oleh Su Giok. Biarlah dia marah!"
"Hm, itu kiranya. Dan ini berawal dari kisah pertolonganmu kepadanya dulu. Baiklah, aku mengerti,Kolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
386 ayah, dan sekarang aku tak perlu marah kepadanya. Ia bahkan perlu dikasihi."
"Dan kau, sekarang ceritakan tentang Ngo-cia Thian-it itu."
"Nanti dulu, apakah cerita ayah sudah selesai."
"Hm, inti persoalannya hanya itu, Sin Gak. Aku kecewa Kebenaran tiada datang. Aku jemu dan lebih
baik tidak usah hidup saja!"
"Jadi ayah menderita karena kehilangan aku dan ibu......"
"Ya, dan aku juga menderita karena manusia sejahat Majikan Hutan Iblis itu tak pernah dapat
kubunuh. Pamanmu Han Han juga sering gagal dan bahkan nyaris terbunuh!"
"Hm-hm, mengerti aku. Kau benar. Dan Ke Ke Cinjin juga bercerita tentang keganasan iblis ini, ayah,
betapa orang-orang kang-ouw roboh dan menjadi permainannya. Tapi sekarang ada aku, juga Giok Cheng
dan enci Su Giok. Kami bertiga dapat merobohkan dan mengatasinya."
"Aku senang mendengar itu, sekerang ceritakan tentang Ngo-cia Thian-it."
"Mereka terdiri dari lima orang, guruku nomor empat. Dan karena mereka sebenarnya saudara
seperguruan maka masing-masing memiliki kepandaian tak berbeda jauh dan masing-masing berjanji untuk
tidak saling mengganggu dan mengusik yang lain......"
"Hm, siapa saja mereka itu. Coba sebutkan!" sang ayah memotong.
"Orang pertama adalah si Naga Berkabung Song-bun-liong. Orang kedua Mo-bin-jin saudara kandung
Mo-bin-lo. Orang ketiga berjuluk Te-gak Mo-ki alias si banci. Dan orang keempat serta kelima bukan lain
adalah guruku dan nenek Hek-i Hong-li itu."
"Hebat, tapi bagaimana orang-orang seperti itu mempunyai murid seperti Majikan Hutan Iblis Itu,
apakah mereka bukan para pendekar!"
"Tunggu, tiga di antara mereka adalah pendekar, ayah, akan tetapi dua yang di atas melenceng dari
kebenaran...."
"Bagus, dan yang tiga mestinya mengalahkan yang dua ini!"
"Salah, ada Mo-bin-lo di luar sana. Kakek iblis ini membantu saudaranya, ayah, dan inilah yang
menyebabkan kedudukan selalu berimbang."
"Hm," Giam Liong tertegun. "Lalu bagaimana. Kenapa dua orang jahat itu bisa menjadi saudara
seperguruan!"
"Aku sendiri tak tahu, suhu tak pernah menceritakan. Tapi karena Te-gak Mo-ki melenceng di jalan
kebenaran maka supek Song-bun-liong melakukan teguran."
"Ceritakan itu, bagaimana asal mulanya!"
"Sederhana saja, Te-gak Mo-ki ini bertindak jahat kepada orang-orang lain. Kata guruku ia bermain
cinta sesama lelaki dan membunuh mereka. Yang pertama kali menjadi sasaran adalah murid Bu-tong, lalu
Hoa-san."
Sang ayah mendengarkan terbelalak. Kisah ini belum pernah didengarnya dan segera Sin Gak


Tapak Tangan Hantu Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menceritakan apa yang di dapat dari gurunya, betapa Te-gak Mo-ki mengganggu murid Bu-tong dan
akhirnya orang lain. Hoa-san terlibat karena satu di antara murid Bu-tong yang bernama Teng Seng adalah
calon suami murid Hoa-san bernama Cui Ling, dibunuh Te-gak Mo-ki itu dan akhirnya mengamuklah orang-
orang dari dua partai persilatan itu menyerang iblis ini. Namun karena kepandaian Te-gak Mo-ki benar-benar
luar biasa dan ia adalah orang nomor tiga dari Ngo-cia Thian-it, satu persatu musuh-musuhnya roboh
akhirnya si banci itu malang-melintang di tempat lain sampai akhirnya istana kaisar. Di sini suhengnya tertua
mendengar, datang dan menegur namun Te-gak Mo-ki membalas. Ada perjanjian di antara mereka bahwa
satu sama lain tak boleh mencampuri urusan, tingkat mereka sederajat. Tapi karena si Naga Berkabung
membela kebenaran dan tetap menyalahkan sutenya akhirnya dua orang itu bertempur.
"Di sini supek tak dapat mengalahkan Te-gak Mo-ki. Meskipun kedudukannya sebagai saudara tertua
namun kepandaian mereka berimbang. Baru setelah datangnya Hek-i Hong-li maka Te-gak Mo-ki terdesak."
Sin Gak berhenti sebentar dan sang ayah bersinar-sinar. Ternyata cerita ini benar-benar menarik perhatianKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
387 dan itu kiranya cerita beberapa puluh tahun yang lampau, bahkan mungkin lebih jauh lagi. Maka ketika ia
bertanya bagaimana selanjutnya segera puteranya ini menjawab,
"Yang terjadi semakin runyam, Mo-bin-jin datang....."
"Ah, dan dia membantu sutenya itu?"
"Ya, tidak salah. Sekarang empat orang itu bertanding hebat, ayah, semakin seru dan membuat langit
gelap-gulita. Pukulan mereka bak petir menyambar-nyambar....."
"Hm-hm, lalu bagaimana!"
"Datanglah guruku itu, sekarang tiga lawan dua. Tapi ketika dua orang itu terdesak maka Mo-bin-lo
muncul membantu saudara kandungnya. Pertandingan lalu berimbang lagi, seru....."
"Tidakkah satu di antara mereka roboh kehabisan tenaga?"
"Mereka orang-orang luar biasa, ayah, masing-masing memiliki kesaktian dan kepandaian berimbang.
Bu-beng Sian-su datang pertandingan hebat itu berakhir."
"Ah, kakek itu ada juga di sana. Mentakjubkan, lalu bagaimana!"
"Tidak bagaimana lagi, selesai. Mo-bin-lo melontarkan golok ciptaannya itu tapi disambut Guci
Penghisap Roh....."
"Ah, tunggu dulu. Aku bertapa karena juga itu. Aku mencari guci itu sesuai petunjuknya!"
Sin Gak memandang ayahnya ini, mengerutkan kening. "Jadi ayah tahu juga akan guci ini?"
"Ya, tentu saja. Tapi aku belum berhasil menemukan, Sin Gak, aku ingin melumpuhkan Majikan
Hutan Iblis itu dengan guci ini. Sekarang bagaimana akhir dari lontaran itu!"
"Bu-beng Sian-su menerimanya, melempar guci itu. Lalu Golok Maut terbang melayang bersama
pemiliknya disusul saudara kandungnya pula. Te-gak Mo-ki terbirit-birit, menghilang. Dan sejak itu lima
orang ini tak pernah muncul lagi namun masing-masing telah disumpah untuk tidak memasuki dunia kang-
Mesin Tik Hantu 1 Animorphs - 26 Pertarungan Di Planet Iskoort Sayap Sayap Terkembang 33
^