Pencarian

Terperangkap 2

Fear Street Terperangkap Trapped Bagian 2


pergi mencari... makhluk itu?"
Elaine tidak menjawab. Apakah ia ingin kembali ke sana?
Pikiran akan kabut merah membuatnya ngeri.
"Apa yang kaupikirkan?" tanya Elaine pada Jerry.
Ia mendesah. "Kupikir kita seharusnya terus saja maju. Meski
kita tidak menemukan air itu, kita mungkin akhirnya akan menemukan
pintu keluar.
"Oke, Darlene?" ia menambahkan. Darlene mengangguk.
"Kalau begitu ayo kita pergi," kata Elaine. "Tapi pelan-pelan
saja. Aku tak bisa lari."
"Kami tahu," gumam Darlene di bawah napasnya.
Mereka berjalan maju, membelok koridor, melewati beberapa
ruangan kosong. Tak satu pun kelihatan akrab.Nyala obor padam sedikit demi sedikit pada setiap belokan.
Segera mereka akan berada dalam kegelapan total.
Lalu apa?
Elaine tak dapat metnbiarkan dirinya memikirkan itu. Ia
berjalan pincang, napasnya tak beraturan.
Mereka memutari satu tikungan lain.
Sesosok tubuh tanpa bentuk tergeletak membusuk di tanah di
depan mereka.Bab 15
ELAINE menjerit. Ia melompat menjauh dari mayat berbau
busuk. Tiga ekor tikus mencakar mayat itu, mengunggisnya sambil
mendecit-decit.
Perut Elaine mengejang.
"Mayat!" teriak Darlene. "Itu pasti Max!"
"Atau Bo," kata Jerry pelan.
Darlene menyerbu ke depan, mendorongnya ke samping
melewati Elaine.
"Hei!" teriak Elaine. Ia terhuyung ke samping?dan
pergelangan kakinya yang sakit tak bisa menopang.
Ketika Elaine jatuh, obor melayang dari tangannya. Ia melihat
obor itu membentur dinding. Terlempar dan mendarat di lantai ubin.
Obor itu mendesis pelan, lalu padam.
Kegelapan mengelilingi mereka.
Elaine mencoba menahan erangannya. Gelap. Gelap gulita. Ia
merasakan seolah dinding menekannya. Begitu gelap.
Ia mendengar napas tak beraturan Jerry di sebelahnya.
Mendengar Darlene menyumpah.
Aku harus tenang, kata Elaine dalam hati. Aku harus berpikir!
Tapi begitu gelap. Segala ketakutan masa kecilnya datang menyerbu."Apakah... apakah kau lihat itu tadi mayat siapa?" tanya Elaine.
"Aku tak bisa bilang," kata Darlene padanya. "Obor itu padam
sebelum kulihat wajahnya. Tapi kupikir itu kemeja Bo."
Elaine berusaha memusatkan pikiran. Ia mencoba tidak
menghiraukan rasa panik yang menyerbunya. Mencoba tidak
memedulikan kegelapan. Mencoba tidak mengacuhkan kenyataan
mayat Bo terbaring di depannya.
"Kalau itu Bo, pasti kabut merah itu yang membunuhnya," ujar
Jerry. "Ia membunuhnya dan meninggalkannya di sini."
Elaine mendengar Darlene terengah. "Dan mungkin saja kabut
itu masih berada di sini!" teriaknya. "Dan kita tak dapat melihatnya!"
Elaine mengulurkan tangannya ke dalam kegelapan. Ia meraba-
raba sepanjang lantai dingin sampai jari-jarinya menyentuh obor.
"Kita harus terus bergerak," kata Jerry. "Meski tanpa obor. Kita
tak bisa tinggal di sini."
Elaine menjilat bibirnya yang kering. "Bo punya pemantik,"
teriaknya parau.
"Bo sudah mati," Darlene menggeram.
"Pemantiknya. Pasti berada di tubuhnya di suatu tempat," kata
Elaine. "Di dalam sakunya atau apa."
Hening sejenak.
"Aku tak mau mencarinya," kata Jerry.
"Harus," Elaine mendesak. "Kabut merah itu bisa saja ada di
sini bersama kita dan kita tak tahu! Kita harus keluar dari sini! Kita
perlu cahaya!"
Ia mendengar nada histeris suaranya sendiri. Tenang, ia
memerintahkan dirinya."Aku tak bisa menyentuhnya," kata Darlene. "Aku betul-betul
tak bisa."
Elaine memaksa dirinya merangkak ke depan. "Darlene, kau
tahu di mana mayatnya?"
"Tepat di depanku," bisik Darlene. "Datanglah ke arah
suaraku."
Elaine menyeret tubuhnya ke arah Darlene, sambil memegang
obor di tangannya.
Kepalanya pusing. Kegelapan menekan sekelilingnya. Aku tak
percaya aku melakukan ini, pikirnya.
Ia merangkak ke depan. Tangan Darlene menyentuh bahunya.
"Ia di sebelah sini," kata Darlene. "Apa yang akan kaulakukan?"
Elaine ragu-ragu. "Kurasa aku akan mencoba menemukan saku
jeans-nya," katanya. "Aku harus meraba-raba untuk menemukan
pemantiknya." Ia mendengar Darlene bergerak menjauh.
Elaine mengambil napas dalam-dalam.
Dan meraih tubuh Bo.Bab 16
ELAINE menyentuh kain T-shirt yang lembut. Jatuh dari
tangannya. Ia meraih lebih jauh?dan tak merasakan apa-apa selain
kain.
"Aku tak percaya ini," gumamnya.
"Ada apa?" tanya Jerry.
"Tak ada apa-apa, cuma pakaian tua," sahut Elaine. "Benar-
benar tua. Busuk baunya."
"Bukan Bo?" tanya Darlene. Ia mengeluarkan desah napas lega.
"Lalu di mana dia?"
"Siapa yang tahu?" balas Jerry. "Tapi kita harus
menemukannya?ia yang punya pemantik."
"Kalau begitu ayo pergi," kata Darlene.
"Pergi ke mana?" tanya Elaine. Ia terkejut mendengar suaranya
sendiri yang tenang. "Kita tak dapat melihat."
"Aku bisa melihat," bisik Darlene, suaranya gemetaran.
Elaine memandang tajam ke dalam kegelapan. Darlene benar.
Ada cahaya sekarang?cahaya kecil yang samar. Memancar pada
dinding terowongan.
"Merah," ucap Elaine. "Cahaya merah."Mereka memperhatikan ketika berkas cahaya di dinding itu
makin terang. Makin merah.
"Apakah kabut tadi bersinar dalam gelap?" tanya Jerry.
Elaine mundur hingga membentur dinding terowongan. Ia
menekankan tubuhnya pada dinding?dan menunggu.
Sekonyong-konyong pendar merah itu makin terang. Ia
berkelap-kelip. Seperti api obor.
Bo keluar dari kegelapan, sambil berlari memutari belokan
terowongan. Obor itu naik-turun di satu tangan. Di tangan yang lain ia
memegang pisau lipatnya. Matanya nyalang. Bajunya kotor hingga
nyaris hitam.
Ia berlumuran darah!
Elaine merasakan darahnya sendiri terkuras dari wajahnya.
Mulutnya menganga. Apa yang terjadi pada Bo?
Bo melompati onggokan baju tua itu dan berhenti tiba-tiba
hingga hampir terjatuh. Darlene menyerbu dan merangkulnya.
"Oh, Bo," rengeknya. "Aku tak percaya ini sungguh-sungguh
dirimu! Kau hidup! Kau..." Ia melangkah mundur dengan jijik. "Kau
berdarah."
"Apa kau baik-baik saja?" tanya Elaine.
"Ini bukan darahku! Ini bukan darahku!" kata Bo terengah.
"Jadi darah siapa...?" Jerry mulai bicara.
Bo menelan ludah dengan susah payah di antara napasnya.
"Darah Max."
"Apa yang terjadi?" tanya Jerry.
"Kau melihatnya. Kabut merah itu membawanya. Aku tak
tahu... makhluk yang kita lepaskan... Max dibawanya."Wajah Bo kusut. Elaine disergap kesedihan ketika
memperhatikannya. Bo bukan lagi cowok jagoan yang kurang ajar. Ia
ketakutan. Ia baru saja melihat sahabatnya mati.
Aku tak tahan lagi, pikirnya. Kita semua tak bisa tahan lebih
lama lagi.
Suara Bo yang tajam membawanya kembali kepada kenyataan.
"Kabut itu membanting Max ke dinding ketika melayang
sepanjang gang," ia mengingat kembali. "Berkali-kali. Aku memegang
kaki Max, tapi aku ditariknya juga. Lalu aku merasa ia menangkapku.
Maksudku, aku merasakan makhluk ini merenggut lenganku. Aku
harus melepaskan Max. Lalu... lalu Max berhenti berteriak. Aku tak
dapat mengikutinya lagi."
"Oh, Bo," Darlene mengerang.
"Ia mati," kata Bo. "Dan makhluk itu membunuhnya."
Tak seorang pun bicara.
Elaine memandang obor dan merasakan napasnya kembali
normal. Ia bisa melihat lagi. Meski dengan kegelapan di sekeliling
mereka, ia merasa tenang. Selama ada cahaya, ia bisa berpikir.
"Ini tak mungkin terjadi," kata Darlene.
"Well, kau tahu, Dar," Bo menggeram. "Ini benar-benar terjadi.
Dan sebaiknya kita pikirkan sesuatu secepatnya. Karena apa pun yang
membunuh Max akan datang mencari kita."Bab 17
MEREKA membuat obor baru. Bo menggunakan onggokan
pakaian tua, dan obor-obor baru itu menyala lebih terang daripada
yang pertama. Kali ini, Elaine memastikan mereka semua punya obor.
Ia tidak mau berebut kali ini. Sewaktu Bo selesai, ia menggoyang-
goyangkan kaleng cairan pemantiknya.
"Kosong," katanya, sambil melemparkannya ke samping.
"Artinya tak ada obor lagi kalau ini habis."
Oh, tidak, pikir Elaine. Aku tak bisa tahan berada dalam
kegelapan lagi. Aku akan mati jika aku terperangkap dalam
kegelapan.
"Kalau begitu lebih baik kita bergerak," katanya.
Semua setuju.
Hal pertama yang disetujui sepanjang hari, pikir Elaine dengan
senyum muram.
"Aku melihat jalan yang kupikir akan membawa kita kembali
ke air," Bo memberitahu mereka. "Ayo."
Mereka berjalan cepat. Tak ada yang bicara.
Elaine mencoba tidak memikirkan kabut merah itu. Tapi ia tak
bisa mengenyahkan ingatan akan Max dari kepalanya.Makhluk itu membunuh Max. Ia kabut, tidak lebih. Tapi ia
hidup. Elaine berani bersumpah bahwa makhluk itu bernapas.
Bagaimana awan bisa bernapas?
Dengan cara yang sama awan itu mengangkat Max dan
menghabisi nyawanya.
Makhluk macam apa itu? Monster hidup? Semacam hantu?
Aku tahu kami telah melepaskannya, pikirnya. Ia pasti telah
terperangkap di belakang dinding itu untuk waktu yang lama,
menunggu. Dan Bo menggerakkan batu bata yang cukup baginya
untuk menembus keluar.
Elaine mengenyahkan pikiran itu dan berkonsentrasi pada arah
yang mereka tuju. Terowongan mengarah ke kiri dan ke kanan, ke
belakang dan ke depan. Satu-satunya arah yang ia yakin ialah ke atas.
Tapi tak ada jalan ke atas, pikirnya. Aku terperangkap di bawah
sini. Dan mungkin akan mati di sini.
Ia mengertakkan giginya. Ia tak boleh berpikir seperti itu! Ia tak
boleh pupus harapan! Mereka harus keluar. Tak ada pilihan lain. Tak
ada alasan. Mereka harus hidup!
Tapi terowongan seolah tak ada habisnya, terus dan terus...
"Aku ingin tahu apa yang di atas kita," ujar jerry.
"Langit-langit," sahut Darlene.
"Aku serius," kata Jerry. "Jika kita paham secara geografis di
mana kita berada, pastilah kita tahu bagaimana kembali ke tempat di
bawah sekolah yang ada tangganya."
"Dan bagaimana rencanamu memahami di mana kita berada
secara 'geografis'?" tanya Bo. "Kau akan membongkar semen itu dan
menggali dengan tangan kosong?"Jerry tidak menyahut.
"Terus saja jalan," kata Bo akhirnya.
"Baik, Sir," gerutu Jerry.
Mereka memasuki sebuah ruangan kecil. Lantainya dihampari
sampah setinggi lutut? lebih banyak dari ruangan mana pun sejauh
ini. Baunya busuk bukan main.
"Oh, sialan!" Bo mau muntah, ia menutupi mulutnya.
"Pilihan hebat, Bo," Jerry mengomel. Ia merenggut sweater-nya
ke atas untuk menutupi hidungnya.
"Kalau kau mau berbaring rata di tempat sampah itu, terus saja
ngomel," kata Bo geram.
Elaine tidak menggubris mereka. Ia tak dapat berhenti
memandang ke arah dinding. Dinding-dinding di situ terbuat dari batu
bara abu-abu yang sama. Tapi dinding ini penuh dengan tulisan grafiti
yang telah memudar karena lama. Cat merah, biru, kuning, hijau,
hitam. Dinding itu hampir mempunyai daya hipnostis, dua kata yang
sama, lagi dan lagi, dari lantai ke langit-langit:
MARI BERPESTA MARI BERPESTA MARI BERPESTA
"Liar," bisik Bo.
"Menjijikkan," balas Elaine, sambil gemetaran. Sepertinya ada
orang gila yang menuliskan kata-kata itu, pikirnya. Mengulang-ulang
hal yang sama.
"Kenapa ada orang yang ingin berpesta di tempat sampah
seperti ini?" tanya Jerry.
"Pikirkan," jawab Bo. "Tak seorang pun mengganggumu. Tak
ada kegaduhan yang dikeluhkan. Tak ada polisi. Seratus persen
pribadi.""Jika kau bertahan hidup," ucap Elaine.
Komentar itu menghasilkan keheningan.
"Ayo kita pergi dari sini," Darlene mengeluh. "Tempat ini
membuatku ngeri."
"Yeah," Bo setuju. "Kita harus terus berjalan."
Mereka menemukan terowongan lain pada dinding seberang
dan melanjutkan perjalanan. Bau busuk ruang sampah itu mengiringi
mereka, menggantung di pakaian mereka seperti uap. Elaine bernapas
lewat mulutnya untuk menahan muntah. Pergelangan kakinya sakit
lagi, dan dengan berjalan pincang ia jadi lebih cepat capek.
Ia terheran-heran mereka tak menemukan jalan keluar dari
Labirin. Tangga di bawah auditorium itu tak mungkin satu-satunya
jalan masuk.
Pasti ada jalan keluar lain.
Ia membayangkan mereka muncul lewat lubang got di tengah
kota. Lalu lintas akan berdecit-decit untuk berhenti mendadak sewaktu
empat anak terhuyung keluar dari bawah tanah, berlumuran kotoran,
lumpur, dan darah.
Ia tak peduli. Ia bahkan tak peduli kalau mereka muncul di
tengah-tengah kantor Mr. Savage, selama mereka tetap hidup.
"Pelan-pelan," bisik Bo. Elaine memandang sekelilingnya.
Mereka menemukan ruangan lagi. Lebih besar daripada yang lain-
lainnya, dengan langit-langit rendah. Di sekeliling mereka terdapat
tumpukan perabotan rusak.
Bau busuk menyerang hidung Elaine. Bau busuk... seperti
bangkai.Aku tahu bau itu, pikirnya, rasa takut memompa sekujur
tubuhnya. Ia pernah menciumnya setelah dinding batu bata meledak di
wajah mereka. Tepat sebelum Max...
Ia mendengar Bo terkesiap.
Lalu ia melihatnya juga.
Kabut merah.


Fear Street Terperangkap Trapped di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Elaine mengawasi dalam ketakutan ketika kabut itu bersatu di
sudut yang jauh, seakan-akan merasakan kedatangan mereka. Bau
busuk makin kuat. Elaine merasakan bulu kuduknya meremang
sewaktu bunyi napas tak ramah mencapai telinganya.
"Oh, jangan," bisiknya.
Kabut merah itu maju.BAB 18
"LARI!" Bo berteriak.
Mereka berlari kalap masuk terowongan yang membelok ke
kanan. Elaine berteriak dan memegangi pergelangan kakinya, nyaris
jatuh.
"Ayo!" Bo berteriak. Ia menyambar lengan Elaine dan
menyeretnya.
"Aku mencoba," teriaknya. Rasa sakit tak tertahankan. Tapi ia
mendorong dirinya maju, memaksa dirinya untuk tidak berjalan
pincang dan lari saja.
"Apakah kabut itu masih di sana?" Jerry berteriak melalui
bahunya.
"Aku tidak mau melihat!" Bo berteriak balik.
Elaine memandang tepat ke depan ketika ia berlari.
Ia belok ke kanan.
Ia belok ke kiri.
Grafiti terlintas kabur dalam pandangannya, dinding blok batu
bara seperti tak ada habisnya. Obor mereka berkibar-kibar dalam
udara pengap. Tapi mereka tidak berhenti berlari.
Elaine melenguh, mencoba menarik udara ke dalam paru-
parunya. Tapi itu tidak mungkin.Urat kakinya seolah terbakar, lututnya goyah.
Ia merasakan larinya melamban.
"Aku tak kuat lagi," ia mengerang. "Bo..."
"Jangan sekarang!" teriaknya. "Tidak!"
"Bo..."
Matanya berkunang-kunang. Kakinya kebas dan goyah.
Kemudian ia roboh ke tanah. Kaleng timah menusuk
pinggangnya. Selembar kertas busuk basah menempel di pipinya.
"Ayolah, Elaine!" desak Bo. "Jalan!"
"Tinggalkan dia!" teriak Darlene.
"Tutup mulut!" jawab Bo ketus.
"Kabut itu datang!" Jerry memekik.
Bo menyambar lengan Elaine dan mendorongnya ke depan.
Elaine memaksa dirinya berlari. Pergelangan kaki kirinya mati rasa
sehingga ia bertanya-tanya dalam hati apakah kakinya itu masih di
sana. Lututnya goyah pada setiap langkah.
Maju terus, ia memerintahkan dirinya. Aku harus terus maju.
Terowongan membuka ke atas di sekitar mereka, dan mereka
melompat ke suatu ruangan besar. Gang-gang lainnya menuju ke
dalam kegelapan. Tapi Elaine tidak memedulikan mereka. Yang ia
pedulikan hanya dua kata di dinding dalam cat merah darah:
MARI BERPESTA
Ini ruangan di bawah panggung! Mereka menemukannya!
"Tangganya!" seru Elaine dalam kemenangan.
Kami kembali! Kami selamat! Elaine bersorak.
"Allright!" Jerry berteriak.
"Yes!" Bo mengacungkan tinjunya ke udara."Kita berhasil!" seru Darlene. "Kita berhasil, kita berhasil, kita
berhasil!"
Mereka berlari ke tangga, melemparkan obor mereka ke
samping.
Elaine meraih anak tangga karatan itu? hampir dapat
merasakan logam berpasir di bawah ujung jarinya.
Darlene mendorongnya ke samping.
Elaine jatuh ke lantai beton sehingga jeans-nya robek dan lutut
kanannya luka.
"Apa yang kaulakukan, Darlene?" Elaine berteriak, tapi Darlene
sudah memanjat naik.
Elaine sempat memandang sepintas lewat bahunya. Jantungnya
berhenti.
Sulur-sulur pertama dari kabut merah mengalir dari
terowongan!
"Naik!" perintah Bo.
"Kau yang naik," desak Elaine. "Jika aku tak bisa naik, kau
satu-satunya yang cukup kuat untuk menarikku ke atas."
Bo melemparkan tubuhnya ke atas tangga setelah Darlene.
Ruangan dipenuhi kabut merah. Kabut itu meluncur ke arah,
mereka, menggelegak dengan daya hidup yang jahat.
"Jalan!" Jerry mendesah. Keringat mengaliri wajahnya.
"Cepat!"
Elaine memanjat secepat yang ia bisa, tapi ia begitu lambat!
Satu tangga, dua, tiga. Satu kaki di atas lainnya. Keringatnya meresap
ke dalam luka baru di lututnya, menyengat seperti asam. Pergelangan
kakinya berdenyut-denyut."Tolong!" ia mendengar Darlene menjerit. "Tolong kami!"
Tangga itu berkeriut membuat napas Elaine tersengal. Jangan...
jangan sekarang, pikirnya.
Tangga itu bergeser.
"Tolong!"
Dalam cahaya suram, ia melihat salah satu dari penahan tangga
itu keluar dari dinding.
Tolong jangan roboh, ia berdoa dalam hati. Jangan sekarang.
Di atasnya, sepatu bot Bo menapak pada logam, meneteskan
serpihan-serpihan karat ke wajahnya.
Mereka akan berhasil. Harus.
Elaine mendengar jeritan di bawahnya.
Ia memandang ke bawah dan melihat kabut merah itu
mengelilingi Jerry. Pertama-tama kabut itu membelit kaki Jerry.
Matanya membelalak lebar, menatap mata Elaine. Wajahnya panik
luar biasa.
Tangan-tangan kabut itu mengelilingi tubuh Jerry. Melilit di
kakinya. Lengannya. Bahunya.
Seluruh tubuh Jerry kaku. Ia mengeluarkan suara seperti
lolongan binatang.
Persis seperti Max, pikir Elaine dengan kalut. Persis seperti
Max! "Tidaaaak!" teriak Elaine.
Ia meraih ke bawah dan merenggut tangan Jerry yang terulur.
Tangan itu basah oleh keringat, ia tidak tahu berapa lama dapat
memegangnya.Ia mencoba menariknya ke atas, tapi kabut merah itu terlalu
kuat. Ia melingkarkan lengannya yang satu pada anak tangga dan
menarik dengan segenap kekuatannya.
Jerry naik beberapa inci.
Sambil terisak dalam usahanya itu, Elaine mencoba menarik
dengan lebih kuat. Jerry menjerit lebih keras lagi. Tapi ia merasakan
Jerry terangkat.
Ia berhasil!
Ia dapat menyelamatkannya!
Kemudian Jerry mengeluarkan pekikan yang mengerikan.
Tangannya mencengkeram erat tangan Elaine.
"Elaine?" panggil Bo dari atas.
"Tolong aku!" teriaknya.
Bo bergerak kembali menuruni tangga.
Kabut merah bergerak. Lengan Elaine tersentak pada anak
tangga besi. Kekuatan kabut itu luar biasa.
Aku akan kehilangan Jerry, pikirnya. Kabut itu terlalu kuat!
Terlalu kuat!
"Bo! Cepat! Aku tak bisa bertahan!"
Jerry menjerit lagi. Elaine merasakan buku jari Jerry retak
dalam genggamannya karena tekanan tarikan. Jemarinya mulai lepas.
"Elaine," kata Jerry sambil terengah.
Elaine menatap melalui kabut merah tua ke arah mata Jerry.
"T-t-tolong... a-aku..."
"Jerry!" teriaknya. Ia menarik dengan segala kekuatan yang
tersisa.Tangga itu tersentak lagi. Mulai menjauh dari dinding.
Menjuntai lepas berbahaya.
"Tolong kami!" suara Darlene terdengar begitu jauh.
Mata Elaine melebar ketakutan ketika sulur seperti ular itu
meluncur melilit tangan Jerry. Meluncur membelit di seputar
pergelangan tangan Elaine?dan menjepit erat!
Ia menangkapku!
Kulitnya terasa perih di tempat yang tersentuh kabut itu. Lalu
panas seperti terbakar.
"Jangan!" ia memekik.
Rasa panik menguasainya. Ia menyentakkan tangannya ke atas
kuat-kuat. Ia tak dapat berhenti berteriak. Seluruh lengannya terasa
terbakar, seolah-olah kulitnya sendiri dipilin ke arah yang berbeda.
Makin ia tarik, makin erat kabut itu menggenggam.
"Lepaskan!" terdengar suara Bo.
"Aku tak bisa! Ia menangkapku!"
Tangan Bo memegangi lengan Elaine yang bebas, mengangkat
tubuhnya ke atas.
Elaine menjerit frustrasi.
Aku harus melepaskan Jerry. Kabut itu akan membunuhku juga.
Aku harus melepaskan Jerry!
Pegangan Bo melemah.
Lengan Elaine kebas.
Tangga itu mengayun bebas, tertahan oleh paku terakhir.
Ia tahu mereka tinggal punya waktu beberapa detik.
Ia harus melepaskannya.
Harus."Maafkan aku, Jerry," bisiknya.
Ia memejamkan matanya erat-erat.
Dan membuka matanya.
Mulanya Jerry bertahan. Tapi ia melengkingkan jeritan terakhir,
dan melepaskan Elaine.
Elaine membuka matanya dan melihat Jerry jatuh ke dalam
kabut.
"Tidak!" jeritnya. "Lepaskan dia! Lepaskan dia!"
Wajah Jerry berkerut mengerikan, penuh rasa sakit dan
ketakutan. Elaine hanya dapat memandang tak berdaya ketika kabut
merah itu membawanya.
Elaine menggerenyit ketika kaki Jerry terlipat ke belakang
punggungnya dengan gerakan yang mengerikan. Elaine mendengar
tulang belakangnya berderak.
Sepatu Jerry membentur tepat di belakang kepalanya dengan
gema bunyi debam yang kosong.
Terialkannya berhenti.
Tulangnya muncul keluar dan patah ketika kabut itu
menyeretnya menjauh. Elaine sadar lengannya masih terulur ke arah
Jerry meski tak mungkin ia akan tetap hidup.
Jerry dan kabut itu menghilang ke terowongan.
"Ayo," panggil Bo.
Elaine tidak menjawab. Ia telah gagal. Satu orang lagi mati.
Kami nyaris saja keluar, pikirnya.
"Elaine," panggil Bo.
Ia mendongak, tapi nyaris tidak melihat Bo sama sekali.
"Kita harus keluar," desak Bo.Bo melepaskan lengan Elaine dan kembali menaiki anak
tangga.
Elaine mencoba mengikuti. Mencoba agar lengan dan kakinya
dapat bekerja baik.
Ia mendengar bunyi keriat-keriut yang keras. Merasakan
getaran melalui tangga logam.
Tangga itu. Begitu tua sehingga tak dapat menahan beban!
Tangga itu tersentak keras, dan menjuntai liar selama sekejap
lagi.
Elaine menahan napas, tangannya mencengkeram baja itu.
Logam itu berderit mengerikan dan terlepas.
Tangga itu mulai jatuh.Bab 19
ELAINE berpegangan pada besi selama tangga itu roboh ke
bawah. Angin berdesir. Detik-detik tiada akhir berdetak di kepalanya
sewaktu ia berteriak.
Jangan biarkan aku mati, pikirnya.
Tangga itu membentur dasar.
Elaine terlepas. Logam berkarat roboh di sekelilingnya,
memerciki mukanya dan bergemerincing cukup keras hingga
telinganya berdenging.
Bo mendarat di atas tubuhnya.
Berat tubuh Bo menimpa perutnya. Udara terpompa keluar dari
tubuhnya. Paru-parunya membeku. Ia tak dapat bernapas. Rasa panik
menghinggapinya lagi.
Bernapas!
Bo mengerang di sampingnya.
Bunyi erangan kecil keluar dari lehernya. Apakah Bo
menyebabkan tulang rusuknya patah? Paru-parunya bocor? Matanya
berkunang-kunang, dan ruangan itu kelihatan miring di satu sisi.
"Elaine," datang suara Bo. "Elaine, kau tidak apa-apa?"
Bo terdengar begitu jauh.
"Elaine?"Sesuatu mengguncang tubuhnya. Bo. Bo memegang bahunya
dan mengguncang-guncang tubuhnya.
Elaine mengerahkan upaya keras terakhir untuk bernapas,
berharap paru-parunya membuka dan membiarkannya hidup.
Udara dingin mengaliri tubuhnya. Udara bawah tanah yang
pengap tak pernah terasa begitu segar.
"Aku baik-baik saja, aku tak apa-apa," ia menenangkan Bo.
"Kurasa."
Ia duduk tegak, masih merasa pusing.
Lalu Elaine ingat Jerry. Menggumpal seperti bola kertas dan
diseret oleh makhluk itu. Dan tak seorang pun di antara mereka yang
dapat menyelamatkannya.
"Oh, Bo?"
Ia merangkul Bo dan mendekapnya sekuat mungkin.
"Tolong peluk aku," bisiknya. "Aku tak tahan lagi."
Lengan Bo erat memeluk Elaine. "Tak apa-apa," katanya. "Kau
baik-baik saja."
"Kapan ini akan berakhir?" ia merengek.
Ia mendengar Bo menelan ludah. "Aku tak tahu."
Elaine merasa berterima kasih atas lengan Bo yang kuat.
"Tolong aku!" terdengar suara dari arah atas mereka.
Bo dan Elaine saling menjauh dan berpandangan.
Darlene.
Ia tergantung di atas mereka, menggelantung dari anak tangga
terakhir tempat logam berkarat itu lepas.
"Turunkan aku!" jerit Darlene.
"Naik ke atas," sahut Bo. "Cari bantuan.""Aku tak bisa! Jariku mati rasa. Aku tak bisa berpegangan."
Meski dalam keremangan Elaine melihat Darlene tidak
bercanda. Ia benar-benar bergantung dengan jarinya. Kakinya
mengayun liar, tak mendapat pegangan apa pun.
Bo mengeluh dalam frustrasi. Ia berbalik, memeriksa sisa-sisa
tangga.
"Apa yang kaulakukan?" tanya Elaine.
"Mencari potongan yang bisa kugunakan," Bo gerutu. Ia
melempar kepingan logam ke kejauhan. "Tak ada apa-apa."
Elaine punya ide. "Bagaimana jika ia melepaskan
pegangannya?"
Bo melongo memandangnya. "Apa kau gila?"
"Kau bisa menangkapnya," sahut Elaine. Ia tahu itu bukan
gagasan bagus, tapi mereka tak punya banyak pilihan.


Fear Street Terperangkap Trapped di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bo!" teriak Darlene.
Elaine meletakkan tangannya di bahu Bo dan melihat matanya.
"Kau bisa melakukannya," katanya.
"Kuharap kau benar," bisik Bo.
"Ayo dong!" Darlene memekik.
"Oke, Darlene," sahut Bo, keputusan diambil. "Lepaskan."
"Apa kau sinting?"
"Aku akan menangkapmu."
"Aku tak mau!" jawabnya.
"Kau akan jatuh juga," Elaine menjelaskan.
"Tutup mulut!""Darlene, dengarkan aku," perintah Bo. "Elaine benar. Ia telah
jatuh di lubang ini dua kali, dan ia baik-baik saja. Jadi lepaskan. Aku
berjanji akan menangkapmu."
"Kau janji?"
"Apa yang baru kubilang?" balas Bo.
"Aku tak ingin mati," erang Darlene. "Aku ingin naik ke atas."
"Kau tak bisa," kata Elaine.
"Aku tahu tidak bisa, tolol! Apa kau tuli?"
Elaine menahan diri untuk tidak membalas. Aku harus
memaafkan beberapa kekurangajaran Darlene, katanya pada dirinya
sendiri. Ia ketakutan. Kami semua ketakutan.
"Darlene," kata Bo marah, "berhentilah membuang waktu dan
lepaskan! Sekarang!"
Darlene menggeser pegangannya pada anak tangga, jari-jarinya
menekuk kaku. "Aku benci kau," gumamnya.
"Kau dapat melakukannya," desak Bo. "Aku janji."
"Tidak."
"Darlene. Aku janji."
Semuanya diam. Kemudian: "O-oke."
"Oke. Bersiaplah."
"Aku siap," kata Darlene.
"Hitungan ketiga," kata Bo. "Satu..."
Darlene melontarkan bunyi lemah penuh ketakutan. Elaine
membuat tanda salib dengan jarinya.
"Dua..."
Bo mengulurkan lengannya, siap untuk menangkap.
"Tiga!"Darlene melepaskan pegangannya.BAB 20
DARLENE menjerit sewaktu tubuhnya meluncur jatuh.
Lengannya berputar-putar dan rambutnya yang cokelat melambai di
atas kepalanya.
Ia membentur Bo dengan keras. Bo tidak benar-benar
menangkapnya. Lebih seperti setengah menangkap, setengah menahan
jatuhnya. Mereka berdua mendarat di kaki Elaine.
Elaine membantu mereka berdiri.
"Kau tak apa-apa?" tanyanya.
"Kurasa begitu," jawab Bo. "Darlene?"
"Aku tak apa-apa," jawab Darlene.
Mereka berdiri sejenak, mengatur napas. Obor-obornya masih
menyala kecil di tempat mereka dijatuhkan, empat kerlipan kecil.
Sisa-sisa tangga bergeletakan di sekeliling mereka, kepingan-
kepingan logam panjang yang tak berguna. Anak tangga yang masih
tersisa tinggi di atas kepala mereka.
Beginilah, pikir Elaine. Habis sudah.
"Hancur lebur," gumam Bo.
"Memang," sahut Darlene sambil menendang bongkahan baja.
"Yang kumaksud kita, bukan tangganya," jawab Bo. Ia
memungut sebuah obor. "Apa yang harus kita lakukan sekarang?""Kita bisa berteriak minta tolong," usul Darlene. "Mr. Savage
pasti sedang mencari-cari kita sekarang."
"Tak ada gunanya," kata Bo. "Jika ia di dekat sini, pasti sudah
akan mendengar kita. Mungkin ia menyimpulkan kita pulang ke
rumah. Taruhan ia pasti sudah lama pergi."
Pikiran akan sekolah yang kosong di atas sana membuat Elaine
mulas. Ini hari Sabtu. Tak seorang pun akan kembali ke sini dalam
dua hari. Tak mungkin mereka akan bertahan begitu lama.
Ia menunduk dan memungut salah satu obor. Dengan kayu
berada di tangannya ia menjadi tenang. Ia mengamati ruangan itu
sekali lagi. Tak ada yang baru. Sampah. Grafiti.
"Hanya satu hal yang bisa kita lakukan," kata Elaine. "Kita
harus mencari jalan keluar yang lain. Tak ada pilihan."
"Kita telah berada di bawah sini berjam-jam," gumam Darlene.
"Kita telah melihat terowongan demi terowongan. Kita bisa
menghabiskan berhari-hari di bawah sini dan tak menemukan satu pun
jalan keluar lain."
"Kita tak akan bertahan selama beberapa jam, apalagi berhari-
hari," Bo menjelaskan. "Jika ada pintu keluar lain, kita harus
menemukannya, dan menemukannya dengan cepat. Makhluk itu akan
kembali mencari kita segera."
Untuk beberapa saat mereka berdiri kelu. Kesunyian
meresahkan. Tapi Elaine tak bisa memikirkan apa-apa untuk
dikatakan.
"Kalian percaya adanya roh jahat?" Bo akhirnya buka mulut.
Elaine dan Darlene memandangnya."Kenapa tidak?" Bo melepaskan gagasan. "Dinding batu bata
itu meledak di muka kita seperti bom. Kupikir akan mencopot
kepalaku. Lalu awan merah tumpah dari lubang tersebut. Apa artinya
itu semua?"
"Kau pikir itu roh jahat?" tanya Darlene, suaranya penuh
keraguan.
Bo mengangkat bahu. "Apa lagi kemungkinannya?"
"Aku tak tahu itu apa," kata Elaine. "Tapi ia hidup. Ia bisa
merenggutmu. Aku merasakannya. Tapi yang terus kupikirkan ialah
bahwa kita telah membebaskannya?apa pun itu."
"Apa yang kaubicarakan?" tanya Darlene.
"Pikirkanlah," kata Elaine. "Ia berada di belakang dinding.
Andaikan kita hanya melewati dinding batu bata itu, mungkin kabut
itu masih tetap ada di sana. Ia menunggu untuk keluar. Pada saat kita
menyentuh batu bata itu, makhluk itu lolos menghambur melalui
dinding."
"Kau pikir itu salahku?" tanya Bo. "Karena aku membongkar
batu bata itu?"
Elaine menyergah balik, "Aku tidak bilang begitu."
"Oke," kata Bo. "Jadi apa sekarang?"
"Kita telah berputar-putar dan berakhir kembali di sini," Elaine
berpikir. "Sebuah lingkaran. Tapi ada satu gang yang belum kita
telusuri."
"Apa itu?" tanya Darlene.
Elaine mengambil napas dalam-dalam. Aku tak percaya aku
akhirnya mengusulkan ini, pikirnya. Aku pasti gila... tapi mungkin
hanya ini harapan kami."Gang di sisi lain dinding bata itu," jawabnya.
"Tempat makhluk itu muncul?" jawab Darlene ketus. "Tidak
usah ya!"
"Hanya itu tempat yang belum kita jelajahi," kata Elaine.
"Ia mungkin benar," Bo menambahkan.
"Aku... aku tak bisa pergi ke sana," jawab Darlene. "Tak bisa.
Itu saja."
"Max dan Jerry sudah mati," Bo mengingatkannya. "Dan kita
kehabisan pilihan. Kubilang sih kita harus mencobanya."
Elaine mengangguk. "Mungkin di sana ada jalan keluar. Dan
kalaupun tak ada, kita mungkin menemukan kebenaran tentang
makhluk itu."
"Itu bunuh diri namanya," erang Darlene. "Tolong jangan paksa
aku ke sana."
"Kau tak harus melakukan apa-apa," sahut Bo. "Kau bisa
tinggal di sini kalau mau."
Tapi Elaine bisa melihat di wajah Darlene bahwa tetap tinggal
di sini bukanlah pilihan.
"Kalau begitu kesepakatan tercapai," Bo memutuskan.
"Kurasa begitu," kata Darlene.
"Oke," gumam Bo. "Ayo jalan."
Mereka melangkah sekali lagi ke dalam terowongan sebelah
kanan. Bo meninggalkan obor Jerry di ruangan, meletakkannya di
onggokan kain.
"Mungkin cahaya dan asap akan membantu kita menemukan
jalan kembali ke sini," Bo mengusulkan. "Jika perlu."Sia-sia saja, pikir Elaine. Tangganya lenyap. Tak ada apa pun di
sini untuk kembali.
Tapi tak perlu memperdebatkan soal itu.
Ketika ia berbalik untuk pergi, Darlene menyambar lengan
Elaine.
"Apa?" tanya Elaine.
"Um, aku hanya... ingin minta maaf, Elaine."
Elaine menaikkan alis matanya. "Untuk apa?"
"Waktu aku mendorongmu jatuh sewaktu mau naik tangga."
Mata Darlene berkaca-kaca dalam cahaya api. "Ia dapat
membunuhmu. Kabut itu, maksudku."
Elaine mengangkat bahu. "Kalau kau tidak mendorongku, kabut
itu akan membunuhmu."
Pandangan Darlene menjadi keruh, tapi Elaine tidak peduli. Ia
sedang tidak mudah memberi maaf saat ini.
Tapi, ia mengingatkan dirinya, toh Darlene sudah minta maaf.
Ia mendesah, mengenyahkan pikiran pahit itu. "Nggak apa-apa
kok, Darlene. Kita lupakan saja semua yang terjadi."
"Kupikir aku tak akan sanggup melupakan semua ini," sahut
Darlene.
Sewaktu mereka berjalan sepanjang terowongan, Elaine
membiarkan Darlene berjalan di sebelah Bo. Ia berharap bisa di
sampingnya juga. Bo berani. Dan membantu dirinya merasa berani.
Di manakah dia? tanyanya dalam hati. Di mana kabut itu
sekarang?
Ia gemetar, mengingat rasa panas ketika kabut itu
menyentuhnya. Ia mengangkat tangannya ke dekat obor.Kulit tangannya itu berwarna merah. Dan terasa menyengat
hampir seperti terbakar sinar matahari.
Mereka berhenti.
Elaine mendengar percikan air yang tak asing. Kolam. Mereka
tiba di kolam itu.
Bo menoleh kepadanya. "Kau siap untuk ke sana lagi?"
Elaine mengangkat bahu. "Sepertinya aku tidak punya banyak
kesempatan untuk mengeringkan diri."
Bo mengangguk dan melangkah ke atas langkan. Elaine
mengikuti Darlene. Ia terus berjalan, menapakkan kakinya dengan
hati-hati. Sebelumnya air itu kelihatan begitu menakutkan. Kini
hampir tidak mengganggunya sama sekali.
Segera mereka telah berada di seberang.
"Lihat?" Bo memberi semangat. "Gampang, kan?"
"Aku sudah banyak latihan," balas Elaine.
**********
"Itu dia," bisik Darlene.
Bagian dinding batu bata itu ada di depan mereka. Bata-bata
yang hancur itu terhampar di tanah. Lubangnya masih di sana?cukup
besar untuk memanjat melewatinya.
"Sunyi sekali," kata Darlene.
"Aku suka sunyi," jawab Bo. "Ayo."
Ia melangkah ke atas lubang, memegang obor di depannya.
Darlene mengerang.
"Di sini tak ada apa-apa," bisik Bo. Ia melangkah ke depan.
Dengan hati-hati ia meluncur ke dalam lubang?dan
menghilang.BAB
21 "AKU tak bisa melihatnya," bisik Darlene. Elaine memandang
tajam ke dalam lubang gelap. Tak ada tanda-tanda obor Bo. "Kita
harus mengikuti dia," tutur Elaine. Ia mencoba kedengaran lebih
berani daripada yang ia rasakan.
Ia menahan napas dan melangkah melalui lubang.
Terowongan di balik dinding bata itu berbelok tajam ke kanan.
Lalu tiba-tiba buntu. Gundukan besar tanah dan reruntuhan
menyumbat gang seluruhnya.
Bo berdiri memandang gundukan tersebut.
"Longsoran?" tanya Bo.
"Kelihatannya begitu," Elaine setuju. Ia belum pernah melihat
longsoran sebesar itu dalam hidupnya. Tapi apa lagi kalau bukan
longsoran tanah?
"Lihat," kata Darlene, sambil menunjuk. "Di atas sana di pojok.
Ada jalan tembus."
Elaine mengangkat obornya dan mengintip ke dalam kegelapan.
Awalnya ia hanya melihat sarang laba-laba dan debu. Kemudian ia
melihatnya. Sebuah lubang kecil di atas gundukan di sebelah kiri.
Cukup besar untuk orang merangkak melewatinya."Apa yang kaupikirkan?" tanya Bo.
"Tak ada jalan lain," balas Elaine.
"Jika makhluk itu muncul di sini kita akan mati," Darlene
memperingatkan.
"Kita bisa mati juga di luar sana," Bo mengingatkannya. "Apa
bedanya?"
Darlene tidak menyahut.
Bo mulai menaiki gundukan tanah, sambil mencoba tetap
mengangkat obornya tinggi-tinggi. Gundukan tanah itu gembur.
Untuk setiap dua langkah ke atas, Bo melorot ke bawah selangkah.
Longsoran tanah baru runtuh dari langit-langit.
Bo terpaku, pandangannya tertancap pada sumber longsoran
kecil itu.
"Gagasan ini tidak terlalu pintar," ujar Elaine. "Atap itu bisa
ambruk setiap saat."
"Well, otakku tak terlalu pintar juga, ingat?" sahut Bo.
"Bo?"
"Atap ini akan baik-baik saja," jawabnya. Ia mulai merangkak
ke atas gundukan lagi. Ia bergerak lebih cepat kali ini, dan hanya
sedikit tanah yang jatuh ke tubuhnya. Akhirnya ia tiba di lubang itu. Ia
menjulurkan obornya dan mengintip.
"Lihat sesuatu?" tanya Darlene.
"Tidak," balasnya. "Aku akan melewati lubang ini."
Elaine dan Darlene bertukar pandang gelisah. Tapi Elaine tahu
mereka tidak punya pilihan lain. Ia akan masuk ke lubang itu juga.
Hanya itu jalannya."Kau harus memanjat dengan cepat," Bo menginstruksikan.
"Dengan begitu gundukannya tidak akan rubuh."
"Bagus," gumam Darlene.
Tubuh Bo menggeliat ke dalam lubang dan lenyap. Makin
banyak gumpalan tanah dan batu berguling ke bawah melewati
gundukan ke arah mereka.
Yang terakhir dilihat Elaine ialah sepatu bot Bo.
"Kau mau duluan?" tanya Elaine.
"Tunggu deh," balas Darlene. "Ia akan bilang pada kita jika
aman."
Yeah, pikir Elaine. Pilih yang ini atau yang lain.
Mereka menunggu beberapa detik, tapi tidak mendengar apa-
apa. "Bo?" panggil Darlene.
Tak ada jawaban.
"Bo?" ia mengulangi, lebih keras.
Tak ada apa-apa.
Elaine mengelap telapak tangannya yang berkeringat pada
jeans-nya dan menggenggam obor. Berapa lama mereka harus
menunggu? Kenapa Bo tidak menyahut?
Barangkali ia tak bisa menjawab, pikirnya.


Fear Street Terperangkap Trapped di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bo!" Darlene berteriak. "Jawab aku!"
Kepala Bo muncul melalui lubang. "Apa?"
Elaine mendesah lega.
"Kau membuatku ketakutan setengah mati," Darlene mengomel.
"Kenapa kau tidak menyahut?""Karena aku harus jauh merangkak," sahutnya. "Ayo. Dan hati-
hati, ya. Agak gila-gilaan."
Kepalanya lenyap.
"Kau duluan," Elaine menawarkan.
"Tidak," sahut Darlene. "Kau pergi dulu. Aku tak tahu apakah
aku bisa."
"Darlene." Elaine menatap mata cewek itu. "Kau harus. Kau
tidak bisa tinggal di sini."
Darlene mengangguk. "Aku tahu," bisiknya. "Pergilah, oke?
Aku akan menyusul."
Elaine mengangguk. Ia tidak tahu apakah Darlene akan benar-
benar mengikutinya. Tapi tak ada yang bisa ia lakukan.
Kecuali menarik lehernya, pikirnya.
"Oke," katanya. "Sampai ketemu."
Darlene mengangguk.
"Kau tepat di belakangku?"
Darlene mengangguk lagi.
Elaine menoleh pada tumpukan tanah lagi. Ia menarik napas
dalam-dalam, dan mulai memanjat. Serta-merta ia tergelincir ke
belakang. Gumpalan tanah baru runtuh dari langit-langit.
Ini seperti pasir, pikirnya. Bagaimana tadi Bo melewati ini?
Naik cepat, katanya.
Naik cepat dengan pergelangan kaki seperti ini? Kurasa tidak.
Tapi, ia harus mencoba.
Ia mundur ke belakang dari gundukan, mengalihkan obor ke
tangan kirinya. Lalu ia menguatkan hati dengan menghitung.
Satu... dua...Ia melompat. Ia memanjat tanah dengan tangan dan lututnya.
Jangan jatuhkan obornya! perintahnya pada dirinya sendiri.
Lubang itu makin dekat. Gumpalan tanah dingin jatuh dari
langit-langit.
Tapi ia tak bisa berhenti. Tidak sekarang.
Ia berusaha lebih keras, menyeret kaki ke atas sekuat mungkin.
Ia tidak memedulikan tanah yang runtuh. Tidak menggubris rasa sakit
di kakinya.
Ia berkonsentrasi dalam-dalam untuk ledakan energi terakhir,
lalu melemparkan dirinya ke dalam terowongan yang sempit.
Serta-merta ia tahu ia tak bisa berhenti.
Di terowongan itu tak ada apa-apa selain tanah semata. Tanah
mengalir di sekelilingnya, membuat obornya terpental. Ia dapat
menggalinya?tapi setiap kali ia menggali segenggam, yang lain
runtuh menggantikan tempatnya.
Yang bisa ia lakukan hanya bergerak ke depan, dan berharap
Darlene mengikuti.
Rasa takut mencengkeram perut Elaine.
Aku takkan berhasil, pikirnya. Terowongan ini terlalu sempit.
Ini akan ambruk!
Gerakannya menjadi tersentak-sentak, seperti kejang.
Aku harus tenang!
Tapi ia tak bisa. Ia bernapas makin lama makin cepat. Ia tak
memperoleh cukup udara. Tak ada cukup udara di dalam terowongan!
Paru-parunya terangkat lebih kuat. Kakinya seperti terbakar.
Terowongan ini tak ada ujungnya.Tak sengaja segumpal tanah masuk ke mulutnya. Ia merasakan
tanah dingin dan pahit. Matanya tersengat dan ia tak dapat melihat.
"Aduh!" teriaknya, sambil meludahkan tanah.
Ia menggoyang kepalanya dengan hebat, mencoba mengibaskan
tanah dari rambutnya. Cahaya obor berkerlap-kerlip suram di
depannya.
Elaine memutar lidahnya di seputar mulutnya, menyatukan
gumpalan besar lumpur. Ia meludahkannya, memuntahkannya.
Makin banyak tanah turun ke rambutnya.
Aku harus bergerak, katanya dalam hati. Atau akan mati di
bawah sini!
Kakinya menendang dengan kalut dalam tanah. Ia mendorong
tumpukan tebal ke samping dengan lengannya. Seperti berenang
menembus pasir.
Lalu tiba-tiba, ia bisa bernapas lagi. Udara segar di atas sana.
Dan ia melihat kerlap-kerlip obor lain.
Elaine mendesah panjang dan merangkak ke depan.
Ia muncul di ruangan beratap rendah, persis seperti semua
ruangan lain yang telah mereka lewati. Ia mengerjap dan memandang
tajam ke sekeliling, mencoba menentukan di mana ia berada. Mula-
mula ia melihat Bo di bawahnya, mengangkat obornya.
Elaine menyeret tubuhnya sepanjang jalan dengan gerutuan. Ia
meluncur turun melewati gundukan tanah di lantai, sembari
memegang obornya di depan agar tetap menyala. Ia berdiri, dan segera
merasakan perbedaan udara. Tidak sepadat udara di sepanjang
Labirin. Tidak lembap oleh air hujan dan sampah busuk. Baunya tidak
begitu menyengat. Tidak terlalu busuk seperti dari masa lalu..."Apa yang kaulihat?" tanya Elaine, matanya masih merah
karena debu. "Apakah ada jalan keluar?"
"Tidak," jawab Bo.
Darlene meluncur ke bawah lewat gundukan di belakang
mereka. Ia menjerit, mendarat keras. Obornya lepas.
"Apa yang terjadi?" tanya Elaine.
"Segumpal tanah yang berat menimbuniku," kata Darlene
sengit. "Kupikir aku mati!"
Elaine menjadi kaku. "Apakah terowongannya tersumbat?"
Darlene menggelengkan kepalanya. "Kurasa tidak. Tapi
hampir."
Bo membantu Darlene berdiri. Ia tertutup tanah, dan Elaine
membayangkan ia tak jauh beda dari itu. Darlene menepuk-nepuk
tubuhnya, tapi tidak membantu.
"Di manakah kita?" tanya Darlene.
"Di mana pun kita berada, ini bukan tempat yang kita
inginkan," sahut Bo.
"Kenapa?" tanya Elaine.
"Lihat."
Elaine menatap ke balik bayangan berkerlap-kerlip, tapi tak
melihat apa-apa.
Lalu napas Darlene tersentak.
Apa yang mereka lihat? tanyanya dalam hati. Dengan cepat ia
menyeka matanya dengan ujung sweater dan mencoba memfokuskan
pandangan.
Kemudian Elaine melihatnya.
Oh tidak, pikirnya. Tidak mungkin... ini tidak mungkin.Tapi itulah.
Elaine tahu mereka akhirnya secara tak sengaja telah
menemukan rahasia Labirin.
Dan semua cerita itu benar.
Ia menutup mulutnya dengan tangan untuk menahan jeritan...BAB 22
Di depan mereka tergeletak enam kerangka berwarna cokelat
yang membusuk.
Elaine mengerang. Kerangka. Mayat manusia yang membusuk.
Terperangkap di lubang ini. Ia ingin pergi. Ingin lari dan tak pernah
menoleh lagi.
Tapi ia tak bisa berhenti memandang kerangka itu.
Pakaian mereka compang-camping. Beberapa kerangka itu
duduk dengan punggung bersandar pada dinding?seakan-akan
mereka menunggu orang datang. Yang lainnya terbaring di lantai
dengan rahang terbuka lebar. Tulang mereka berwarna tanah kuburan.
Tapi yang akan paling diingat oleh Elaine ialah rongga mata itu.
Kosong. Gelap. Dan mati.
Ia menahan teriakannya. Ia tak dapat mempercayai
penglihatannya. Enam orang lagi mati!
Siapakah orang-orang ini?
Bo mendorong tulang rusuk salah satu kerangka itu dengan jari
kakinya. "Tempat ini telah tertutup untuk waktu yang lama."
"Apakah mereka mati di sini?" bisik Darlene, suaranya bergetar.
"Mungkin," jawab Bo. "Longsoran ini pasti telah menjebak
mereka hingga kehabisan udara.""Kenapa?"
"Tak ada tikus." Bo berlutut dekat salah satu kerangka. Ia
mengorek-ngoreknya, memeriksanya. Elaine melihat kilatan pudar
gesper ikat pinggang di bagian tengahnya. Sepatunya hancur. Yang
tertinggal hanya hak sepatunya.
"Aku heran kau begitu tenang," kata Elaine.
Bo menatapnya. "Kau ingin aku menjerit?"
Elaine mendesah. "Maaf. Aku hanya betul-betul merasa ngeri."
"Tak apa-apa," jawab Bo. "Mereka takkan menyakitimu. Apa
yang kaupikir terjadi pada mereka?"
"Kuberitahu apa yang terjadi!" pekik Darlene. "Kabut merah itu
membunuh mereka. Dan seseorang memasang bata itu untuk menahan
kabut itu di sini. Tapi sekarang kita telah melepaskannya dan ia akan
membunuh kita juga!"
"Jangan histeris," kata Bo padanya.
"Kenapa kabut merah itu memberi kesempatan mereka
terperangkap di sini?" tanya Elaine.
Bo mengangkat bahu. Ia mengangkat obornya dan memandang
dinding di sekeliling mereka. Banyak grafiti MARI BERPESTA
dicorengkan di dinding.
"Aku betul-betul muak dengan kata-kata itu," gumam Darlene.
"Ada di mana-mana."
Elaine melihat tumpukan botol dan kaleng di pojokan, bersama
kantong keripik kentang dan kue kering asin, begitu tua sehingga
warnanya hampir putih.
Aneh, ia menyadari. Di tempat lain dalam Labirin sampah
berceceran dan berantakan. Tapi di sini..."Mereka terperangkap karena longsoran itu," ia berkata. "Bukan
karena kabut merah."
"Apa maksudmu?" tanya Bo.
"Lihatlah sampahnya. Tertumpuk rapi di pojok. Mereka pasti
ada di sini untuk beberapa lama. Kabut merah itu tidak membunuh
mereka. Mereka terperangkap."
"Mereka mati kelaparan," Bo menyimpulkan.
"Atau mati kehausan," tambah Elaine.
"Bagaimana dengan kabut merah?" tanya Darlene. "Ia bersama-
sama mereka sampai mereka mati?"
Elaine dan Bo berpandangan. "Siapa tahu?" kata Bo.
Elaine mengamati dinding lagi, dan sesuatu tertangkap
matanya.
"Lihat sebelah sini," katanya, seraya mengangkat obornya lebih
tinggi.
Di bawah satu baris tulisan MARI BERPESTA yang lebih
besar, seseorang menggoreskan kata-kata lain dalam tinta merah.
Kaleng cat kosong tergeletak di sebelahnya di tanah, kuas cat
menjulur keluar darinya.
Elaine mendekatkan obor ke dinding, dan membaca:
TERPERANGKAP
Mike Zimmerman... Rick Surmacz...
Kathy Kleidermacher... Maggie McMahon...
Peter Rienzi... Brenda Sovinski...
"Enam nama," bisik Elaine. "Nama mereka yang mati."
"Itu daftar tamu," sahut Bo.
"Untuk apa?""Pesta terakhir di Labirin."
Mereka menatap nama-nama itu dengan diam, seolah-olah
membiarkannya meresap dalam hati. Kepala Elaine pusing. Ia tak tahu
mana yang lebih buruk?dikoyak-koyak oleh kabut merah itu atau
mati kelaparan dan terperangkap di gua.
Itulah pilihan untuk mereka bertiga?kecuali jika mereka
menemukan jalan ke luar.
"Sepertinya mereka kehabisan cat," Darlene menunjuk pada
bagian dinding lain dari ruangan.
Elaine berjalan ke sana untuk melihatnya.
Seseorang meninggalkan pesan lain. Yang ini lebih kecil,
digoreskan ke dinding dengan batu:
SCOTT SAVAGE TAHU
Elaine tidak mengerti.
"Scott Savage?" tanyanya. "Siapa dia?"
"Mr. Savage," jawab Bo.BAB 23
"MR. SAVAGE?" ulang Elaine. "Kenapa namanya ada di
dinding? Apa yang ia tahu?"
"Ia pasti tahu tentang yang terjadi di sini," jawab Bo.
"Bagaimana ia tahu?" tanya Darlene.
Bo memutar bola matanya. "Aku akan tanyakan padanya kalau
ketemu dia."
"Apa?apa kaupikir ia punya kaitan dengan ini?" tanya Elaine.
"Tapi kita bicara tentang orang-orang yang tahu mereka akan
mati," sahut Bo. "Mereka menuliskan nama mereka di dinding, dan
karena kehabisan cat, mereka menggoreskan ini dengan batu."
"Untuk memberitahu siapa pun yang menemukan mereka
bahwa Mr. Savage tahu apa yang terjadi," Elaine menyelesaikan.
"Tapi bagaimana ia tersangkut-paut dengan masalah
longsoran?" Darlene bertanya-tanya.
Dari sudut matanya, Elaine menangkap gerakan. Binar aneh
dalam cahaya obor.
Jantungnya seolah berhenti berdetak. Darlene tersentak.
Kabut merah mengalir masuk melalui lubang pelarian mereka
yang kecil.Bau busuk memenuhi lubang hidung Elaine. Ini lebih
menyengat daripada sebelumnya. Ia harus menutup mulutnya.
Lalu ia mendengarnya. Kabut itu bernapas. Kali ini Elaine bisa
mendengarnya dengan jelas.
Napas yang berat dan mantap.
Kabut itu menyebar di depan mereka. Melambai-lambai dalam
cahaya obor. Mengembang. Makin lama makin mengambil ruang.
Kabut itu memaksa mereka mundur... mundur... Elaine
membentur dinding batu kasar di belakangnya.
Tak ada tempat untuk kabur.
Kini mereka terperangkap.BAB 24
"APA yang kita lakukan?" Suara Darlene melengking.
"Kita tak dapat melawannya," balas Elaine. Tubuhnya terasa
begitu dingin. Tubuhnya tak berhenti gemetaran. Ia menjulurkan
obornya ke depan seolah-olah dapat melindunginya.
Awan merah itu menggelegak di depan mereka. Bunyi yang
terdengar hanya dari obor dengan pendarnya yang lemah. Dan napas
kabut itu.
Kabut itu melayang-layang di tempat, seakan-akan mengawasi
mereka.
Sedikit gumpalannya melayang keluar menyelidiki kumpulan
kerangka. Kemudian menyatu lagi, melayang di udara.
"Apa yang ia tunggu?" bisik Elaine.
"Aku," sahut Bo.
"Apa?"
"Jangan pikirkan itu," geramnya. "Bersiaplah untuk lari, apa
pun yang terjadi padaku."
"Bo?" Darlene mulai bicara.
Bo melangkah ke depan dan melambaikan obornya kepada
kabut merah."Hei!" ia berseru. "Ayo! Kau menginginkan aku sepanjang hari
ini. Bagaimana? Datang dan ambillah."
"Bo, jangan!" teriak Elaine.
Bo meliriknya sekilas. Kemudian ia melangkah ke samping


Fear Street Terperangkap Trapped di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menuju dinding yang jauh. Awan itu mengikutinya.
"Di sini," desak Bo. "Tangkap aku dulu."
Elaine menyadari apa yang Bo lakukan. Ia dan Darlene kini
melihat terowongan kecil itu dengan jelas.
Tapi mereka tak bisa meninggalkan Bo sendirian di sini.
Seseorang harus mati, begitu kata kesadarannya dalam
kengerian memuncak. Salah seorang dari kami atau kami semua. Bo
memberi kami kesempatan. Kami harus mengambilnya!
Tapi ia tak bisa.
Ia tak bisa membiarkan Bo mati.
"Lari!" perintah Bo sambil mengayunkan obornya.
Kabut merah itu tampak makin bersinar karena kekuatannya.
Atau karena kelaparan, pikir Elaine. Hanya jarak pendek yang
memisahkan awan itu dengan Bo.
"Lari!" ulang Bo.
Elaine berdiri tanpa bergerak sedikit pun.
Bo menatap matanya. Ia merasa kemarahan membakar dalam
diri Bo. Kemarahan atas kehilangan Max. Kemarahan karena
terperangkap dalam mimpi buruk ini.
Tapi ia melihat ketakutan juga.
Bo akan segera mati, dan ia tahu itu.
"Lari!" Bo meraung. "Sekarang!"Elaine menyambar lengan Darlene dan menariknya menuju
gundukan tanah. Darlene tidak memprotes.
Kabut merah berbalik ke arah mereka, tapi terlalu jauh untuk
menghentikan mereka. Elaine berlari cepat sepanjang dinding.
Nyaris sampai. Ia hanya harus naik ke atas gundukan tanah. Ia
cuma harus memanjat terowongan tanpa menyebabkan longsoran lain.
Ia memandang sekilas lewat bahunya?dan napasnya tersentak.
Kabut merah mengalir ke sekeliling kerangka-kerangka itu.
Elaine berhenti mendadak. Mulutnya menganga. Ini tidak
sungguhan.
"Oh, tidak," bisik Darlene dari belakangnya.
Kabut merah mengelilingi kerangka itu. Ia melayang masuk dan
keluar tulang rusuk. Ia terbang berputar melalui mulut dan rongga
mata. ebukulawas.blogspot.com
Tulang-tulang itu bergerak.
Mula-mula, mereka menggeletar. Lalu mereka mulai bergerak.
Kabut merah mengangkat kerangka dari lantai satu demi satu.
Elaine menganga ketika tengkorak mati itu berdiri tegak?dan
mulai melayang ke arahnya.
Rahang mereka berderak mengatup di udara. Kaki mereka
menimbulkan bunyi gemeretak pada lantai batu. Lengan mereka
melambai seperti orang-orangan. Jari mereka menekuk, menjadi
cakar.
"Ayo, Darlene!" teriak Elaine. Ia lari ke gundukan tanah.
Tapi tengkorak itu lebih cepat. Mereka terbang melewati
ruangan, tulang-tulang mereka berkeletakan saling membentur.
Mereka menyebar di depan gundukan tanah. Di depan terowongan.Mereka menghalangi jalan keluar satu-satunya.
Ketakutan yang melumpuhkan menyergap Elaine. Ia tidak tahu
apa lagi yang harus dilakukan.
Beginilah.
Akhirnya, mereka akan mati.
Elaine berteriak ketika tangan-tangan bertulang itu meraihnya.BAB 25
"TIDAK!" teriak Elaine. "Kau tidak hidup! Kau tidak hidup!"
"Singkirkan mereka dariku!" lengking Darlene.
Elaine memelototi kerangka itu. Gerakan mereka tersentak-
sentak ketika mereka setengah terhuyung, setengah melayang di
depannya.
Bagaimana ia bisa yakin mereka takkan mengoyaknya?
Ia tak bisa. Tak ada waktu lagi.
"Mereka tidak hidup!" teriaknya pada Darlene. "Lari melewati
mereka!"
"Tidak." Darlene terisak ketakutan.
"Lari!" teriak Bo. "Lari!"
Elaine berputar melihat Bo. Kabut itu hanya selangkah dari
wajah Bo. Mereka harus pergi?sekarang.
Ia menarik napas dalam-dalam, lalu lari ke arah kerangka itu. Ia
mengulurkan obor tepat di depannya.
Ia melewati kerangka pertama.
Mereka mengerumuninya. Lengan mereka terjulur ke arahnya.
Mereka mencakar bajunya dan rambut, mencoba mencengkeram
tenggorokannya.
"Tidak!" teriaknya.Ia mengayunkan obornya pada mereka. Obor itu berputar dari
genggamannya dan jatuh di lantai. Apinya mati.
Salah satu kerangka memeluknya. Wajahnya yang seram
berwarna cokelat bergerak ke arahnya seakan-akan ingin
menciumnya. Rahangnya membuka dan mengatup, giginya yang retak
bergemeletuk hanya beberapa inci dari bibirnya.
Dengan rasa jijik ia mengerang dan mendorong makhluk itu
menjauh dari dirinya. Kerangka itu terjerembap ke belakang dan
roboh ke tanah.
Dua lengan melilit lehernya dari belakang. Sebuah tangan
bertulang menyuruk melintasi wajahnya.
Elaine memukul ke sekeliling, menonjok kerangka itu.
Lengannya menyodok menembus rongga tulang rusuk,
menghancurkannya. Ia merasa sangat mual. Tangannya berlumuran
semacam pasir hitam?sisa-sisa daging manusia.
"Enyahlah dariku!" teriaknya.
Sisa-sisa kerangka itu remuk di lantai. Tengkorak kepalanya
menggelinding ke dalam kegelapan.
Elaine lari cepat melewati jarak yang tersisa ke arah gundukan,
merangkak secepat mungkin naik ke lubang.
Di atas gundukan, ia berpaling.
Darlene tidak ada di belakangnya. Ia terpaku di tempatnya,
sementara satu kerangka bergerak meraihnya.
Bo melihatnya juga. Ia melompat ke arah Darlene.
Kecepatannya mengejutkan Elaine. Ia membuat gerakan tipu dengan
lari ke sana kemari, membodohi kabut itu dengan gerak berputar-putar
yang lebih cepat daripada lari mundur yang pernah ia lihat.Ketika Bo berlari, matanya nyalang terfokus pada kerangka itu.
Ia mengangkat tinggi obornya seperti pemukul bisbol.
Kerangka itu meledak ketika Bo mengayunkan obor menembus
tulang rusuknya, sehingga kepingan tulang dan bongkahan obor yang
menyala terlempar melintasi ruang itu.
Semuanya menjadi gelap.
"Pergi!" ia mendengar Bo berteriak.
Elaine terjun ke lubang dan tidak melihat ke belakang. Ia
merangkak terus, sambil memuntahkan semulut penuh tanah.
Ia berguling berhenti di dasar gundukan pada sisi lain,
bersyukur atas embusan udara dingin lembap?tak peduli betapa tidak
enak baunya.
Ia tak bisa melihat apa-apa. Semua obor telah padam.
Ia berbalik ke arah terowongan.
Di manakah Darlene dan Bo? pikirnya. Mereka harus berhasil!
Tapi Elaine tak dapat melihat seorang pun atau apa pun.
Ia mendengar jeritan Darlene yang panjang, membekukan
darah.
Dan tak terdengar apa-apa lagi.BAB 26
ELAINE menutupi telinganya agar tidak mendengar teriakan
Darlene. Apa yang kulakukan? pikirnya kalut. Haruskah aku lari, atau
kembali ke sana?
Mungkin saja mereka sudah mati, pikirnya.
Tapi mungkin tidak. Elaine tahu ia tak bisa meninggalkan
mereka.
"Bo?" panggilnya dalam kegelapan.
Tak ada jawaban. Ia merangkak naik ke gundukan dan
memandang tajam ke dalam lubang.
Gelap gulita.
Pada mulanya.
Elaine mengerjap. Apakah ia tertipu oleh penglihatannya?
Garis bentuk tangannya sendiri yang putih tampak mencuat
pada latar belakang tanah hitam di depannya.
Ia mengangkatnya dan menekuk jari-jarinya. Kotoran dari
kerangka tadi memenuhi buku jarinya.
Dari mana datangnya cahaya itu?
Sebuah tangan mendarat di pundaknya.
Elaine memekik dan berputar, menendang dengan liar. Sosok
itu berdiri di depannya memegang lampu putih menyilaukan.Ia menjerit dan memejamkan matanya.
"Menyingkir dariku!"
Ia mengayunkan tinjunya, tapi ia tidak memukul apa pun.
Cahaya itu terlalu terang.
"Elaine," kata suara berat itu.
Ia berhenti, sambil membuka matanya. Melalui debu dan air
mata, Elaine melihat sosok yang kabur. Ia mengerjap ketika matanya
membiasakan diri dengan cahaya silau itu.
Pelan-pelan, sosok itu masuk dalam fokus penglihatannya.
Mr. Savage!
Di satu tangannya ia memegang lentera yang biasa untuk
berkemah. Setelan jas hitamnya yang sempurna kusut dan kotor. Bibir
bawahnya bergetar ketakutan.
"K-kau harus keluar dari sini," katanya tergagap. "Mana yang
lain?"
"Aku tak tahu," sahut Elaine sekenanya. "Mati... aku tak tahu."
"Oooh," erangnya. Bahunya merosot. "Tidak, tidak, tidak."
"Ada sesuatu di bawah sini?" Elaine mulai berkata.
"Cepat," sela Mr. Savage. "Kita harus pergi."
"Tapi Bo?"
Separo bagian atas tubuh Bo menyeruak di mulut lubang. Ia
mencakar tanah itu dan memukulnya dengan kepalannya, sambil mati-
matian berusaha melepaskan dirinya.
"Ia... menangkapku!" jeritnya.
"Tolong dia!" teriak Elaine. Ia melemparkan dirinya ke arah
lubang. Menyambar tangan Bo yang terulur.Savage meletakkan lentera dan menangkap tangan Bo yang satu
lagi. Makin banyak tanah membanjiri mereka, runtuh dari langit-
langit. Kepala Bo menghilang di bawah gundukan. Yang bisa dilihat
Elaine hanya lengannya.
"Ia akan mati lemas!" teriak Savage.
"Lebih buruk dari itu," gerutu Elaine.
Kepala Bo terbebas dari longsoran tanah. Ia muntah dan
menghirup napas.
"Kita mendapatkannya!" kata Elaine, hampir-hampir menangis
lega.
Tubuh Bo keluar bebas dari terowongan. Ketiganya terguling
dari gundukan jatuh ke lantai semen.
"Di mana dia?" Elaine melengking, sambil berputar ke arah
terowongan.
Raungan memekakkan menenggelamkan suaranya. Di belakang
mereka, satu ton tanah basah runtuh dari langit-langit. Mulut
terowongan ambruk.
"Langit-langit longsor!" teriak Elaine.BAB 27
ELAINE belum pernah melihat tanah sebanyak ini. Terus
berjatuhan. Ia menabrak Mr. Savage ketika berlari menyingkir.
Akhirnya, longsoran berhenti.
Elaine mengerjap. Ia tak dapat mempercayai apa yang
dilihatnya. Lubang ke kuburan itu benar-benar tertutup
"Sudah berakhir," teriaknya. "Kabut itu terperangkap!"
Elaine memelototi dinding tanah raksasa di depannya. Kurang
dari semenit yang lalu, ia berada di sisi lain dinding ini, berjuang
melawan maut.
Beginilah, pikirnya. Sudah selesai. Kabut itu terperangkap.
Sekarang kami bisa keluar dari sini!
Bo mengerang dekat kaki Elaine. Elaine dan Savage
membantunya berdiri.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Savage.
Bo memberengut padanya. "Lepaskan tangan Anda dari saya,"
bentaknya. Savage melepaskan lengan Bo dan mundur selangkah.
"Apa yang terjadi pada Darlene?" tanya Elaine.
Bo menelan ludah dengan susah payah. "Hilang."
"Apa maksudmu hilang?" tanya Savage. "Di mana dia? Apa
yang terjadi di bawah sini?""Seperti Anda tidak tahu saja," bentak Bo.
Mata Savage menyipit. "Apa yang semestinya kuketahui?"
"Sembilan orang mati di bawah sini," sahut Bo. "Dan ini semua
kesalahan Anda!"
Wajah Savage memucat. Ia melotot ke arah mereka. "Sembilan
orang... apa yang kaubicarakan?"
Elaine melangkah ke depan Bo sebelum ia meledak. "Max,
Darlene, dan Jerry Fox telah mati, Mr. Savage," katanya. "Semacam
kabut merah, atau awan, atau sesuatu keluar dari ruangan ini. Ia
membunuh mereka semua."
"Belum lagi enam kerangka di belakang longsoran ini," tambah
Bo. Savage mengangkat tangannya. "Tunggu sebentar," jawabnya.
"Katakan padaku yang sebenarnya terjadi."
Elaine menceritakan semuanya kepada Savage. Bagaimana ia
jatuh kejeblos pintu perangkap yang tersembunyi. Bagaimana Bo
mendengar legenda anak-anak yang mati. Bagaimana mereka
menyentuh dinding bata? sampai dinding itu meledak di depan
mereka. Bagaimana kabut merah keluar dan membunuh Max. Ia
menceritakan semuanya?termasuk pesan di dinding: SCOTT
SAVAGE TAHU.
Savage menatapnya. Mulutnya menganga. Matanya kosong,
seolah-olah ia tak di sana lagi.
"Mr. Savage?" tanya Elaine.
"Hei!" bentak Bo, sambil melambaikan tangan di depan mata
Savage. "Anda dengar apa yang ia bilang?"Dengan susah payah Savage memusatkan pandangannya pada
Bo. "Aku mendengar setiap patah kata."
"Apa yang Anda tahu?" tanya Bo. "Apa maksud pesan itu?"
"Aku tak tahu," sahut Savage, suaranya penuh kekecewaan.
"Apa maksud Anda, Anda tidak tahu?" seru Bo. "Itu ada di
dinding!"
Elaine menaruh tangannya di bahu Bo. "Tenang," ia
memperingatkan.
Savage mengeluarkan desahan keras. Ia merosot jatuh di atas
gundukan tanah dan menutupi wajah dengan tangannya.
"Aku tak percaya ini," Bo menggerutu pada Elaine. "Ayo kita
pergi dari sini."
"Tunggu," sahut Elaine. Ia membungkuk di depan Mr. Savage
dan menarik tangan dari wajahnya. "Mr. Savage?"
"Ya," jawabnya.
"Anda harus bilang pada kami apa yang Anda tahu," perintah
Elaine.
Savage mendesah lagi dengan keras. "Aku dulu sekolah di
Shadyside High," ia mulai bicara. "Jauh sebelum kalian lahir. Kalian
harus paham situasi waktu itu sungguh berbeda. Ancaman perang
sungguh nyata."
Bo mendengus.
"Waktu itu Perang Dingin, Bo. Ketegangannya luar biasa."
"Yeah, aku belajar itu semua di kelas sejarah," balas Bo. "Apa
hubungannya dengan kami?"
"Terowongan ini dibangun sebagai tempat perlindungan bom,"
lanjut Savage, "kalau-kalau ada bom. Dengan adanya persembunyianini, ratusan orang akan selamat kalau dunia hangus terbakar. Di sana


Fear Street Terperangkap Trapped di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tersimpan makanan beku, air minum dalam botol, baterai, semuanya.
Cukup untuk bertahan selama berbulan-bulan."
"Sekarang menjadi sampah," Elaine berkomentar.
"Tikus-tikus dapat paling banyak, aku yakin," jawab Savage.
"Tapi beberapa tahun setelah terowongan dibangun?ketika aku di
high school?terowongan-terowongan itu menjadi tempat pesta
sesudah jam sekolah usai."
"Kami tahu itu," kata Bo. "Jadi apa yang terjadi dengan
longsoran ini?"
"Aku akan sampai ke masalah itu," sahut Savage. "Suatu hari,
Sabtu malam, sejumlah orang yang kukenal mengundangku ke bawah
sini. Aku sangat bersemangat. Aku akan berpesta dengan anak-anak
paling keren di sekolah."
"Apa yang terjadi?" tanya Elaine.
"Kami bersenang-senang," jawab Savage. "Dan aku benar-benar
mabuk. Aku belum pernah minum bir sebelumnya."
Bo mendengus jijik.
"Yang lainnya lebih mabuk lagi," Savage melanjutkan. "Mereka
membawa cat dan mulai menulis grafiti. Kami lebih banyak saling
mengecat daripada mengecat dinding."
"Dan?" desak Bo.
"Ada tanah longsor," sahut Savage.
"Tak pelak lagi," kata Bo.
"Biarkan ia bicara, Bo," bentak Elaine.
"Aku ingin keluar dari sini," sanggah Bo. "Seluruh tempat ini
sinting, dan aku ingin keluar.""Aku satu-satunya yang dapat membawamu keluar, Bo," potong
Savage. "Dan aku akan melakukannya. Tapi aku telah menyimpan
rahasia ini selama 30 tahun. Sudah waktunya aku mengatakannya."
Bo membelalak.
"Seseorang?Peter, kurasa?jatuh tersandung krat bir yang
kami bawa," sambung Savage. "Botol-botol berhamburan ke mana-
mana. Tiga atau empat botol menggelinding ke terowongan utama.
Aku mengejarnya. Tapi kemudian ada bunyi dahsyat, seolah seluruh
dunia terbelah. Ketika aku berpaling, yang kuljhat hanya dinding
tanah. Seluruh atap jatuh ke bawah tepat di mana kita duduk."
"Teman-teman Anda??" Elaine mulai berkata.
"Terperangkap," Savage mengakhiri.
"Kerangka-kerangka itu," kata Elaine, mengingat tulang rapuh
yang mencakarnya. Ia merinding.
"Aku tak tahu apa yang kulakukan," Mr. Savage meneruskan.
"Aku memanggil nama mereka berulang-ulang, tapi mereka tidak
menjawab. Aku terlalu mabuk untuk berpikir. Aku tahu mereka mati."
Suaranya pecah dan ia berhenti bicara.
"Mereka tidak mati," ucap Bo.
"Apa?" kepala Savage menegak. "Apa maksudmu?"
"Kami melihat tempat mereka terperangkap, ingat?" jawab Bo.
"Kami melewati terowongan kecil dan melihat teman-teman lama
Anda. Dan mereka bertahan cukup lama untuk menulis nama Anda di
dinding."
Elaine terkesiap. "Terowongan itu! Terowongan yang melewati
gundukan tanah itu. Mereka pasti telah menggalinya?mereka
menggali jalan keluar!""Yeah. Sialnya setelah keluar mereka bertemu dinding bata
baru," kata Bo.
Mulut Elaine menganga terkejut. Ia bahkan tidak berpikir
hingga ke situ. Ia memandang Mr. Savage, menunggu penjelasan.
"Ya," sahut Savage. "Aku yang membangun dinding bata itu."
"Kenapa?" tanya Elaine.
"Tak seorang pun diizinkan ke bawah sini," Savage
menjelaskan. "Beberapa anak telah dikeluarkan karena tertangkap.
Dikeluarkan. Itu tak boleh terjadi padaku."
"Anda membunuh mereka," bisik Bo. "Anda meninggalkan
mereka mati di sana."
"Tidak!" teriak Savage. "Mereka semua sudah mati! Aku tahu
mereka sudah mati! Dan aku harus bertanggung jawab, karena kami
seharusnya tidak boleh berada di bawah sini. Aku panik."
"Apa yang terjadi?" tanya Elaine.
"Tak ada orang lain yang tahu aku ada di Labirin," sahut
Savage. "Jadi aku kembali. Keesokan harinya, aku menyelinap diam-
diam dengan dengan batu bata dari peralatan ayahku. Aku menembok
gang itu, jadi kelihatannya longsoran terowongan itu tak pernah ada.
Dan berhasil. Tak seorang pun tahu kenapa enam anak menghilang.
Itu sebuah misteri."
"Bukan misteri," kata Bo. "Anda membunuh mereka. Mereka
akan keluar jika Anda tidak membangun dinding di sana."
Savage menjatuhkan kepalanya ke dalam tangannya. "Aku tidak
tahu mereka masih hidup," bisiknya. "Aku tidak tahu. Bahkan tidak
pernah terpikir olehku mereka akan menggali keluar. Aku masih muda
waktu itu."Elaine memandang sekilas pada Bo. Tangannya menekuk
menjadi kepalan. Semua yang terjadi hari ini adalah kesalahan
Savage. Mereka berdua tahu itu.
"Bagaimana dengan kabut merah itu?" tanya Elaine.
"Aku tak tahu maksudmu," jawab Savage.
"Oh, persetan," teriak Bo. "Apa Anda yakin telah mengatakan
kepada kami seluruh cerita? Atau Anda membiarkan makhluk itu
membunuh teman Anda satu per satu ketika Anda membangun
dinding untuk memerangkapnya? Sementara Anda menyelamatkan
diri Anda sendiri dan membiarkan mereka mati."
"Bo, aku sungguh-sungguh," jawab Savage. "Aku tak tahu apa
yang kaubicarakan."
Elaine menatapnya. Apa ia bicara jujur?
"Anda tidak pernah melihat kabut merah ketika Anda berpesta
di bawah sini?" tanyanya.
Savage menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu apa yang
terjadi pada kalian hari ini. Tapi kita harus tahu sampai ke dasar-
dasarnya."
"Kenapa kita tidak membeli lebih banyak batu bata lagi?" Bo
menggerutu.
"Aku sudah muak dengan tingkahmu!" seru Savage, sambil
melompat berdiri. "Longsoran tiga puluh tahun yang lalu benar-benar
buruk. Tapi bukan berarti aku percaya awan merah itu telah
membunuh teman-temanmu!"
"Itu benar, Mr. Savage," Elaine bersikeras. "Saya bersumpah!"
"Di mana tubuh mereka?" tanyanya."Ia membawanya," sahut Bo. "Dan sekarang terperangkap di
belakang tanah?"
Bunyi bergemuruh pelan menyelanya. Kelihatannya datang
lurus melalui dinding beton di sekeliling mereka. Dinding itu mulai
bergetar.
Elaine belum pernah merasakan gempa bumi sebelumnya. Tapi
pasti seperti inilah rasanya.
"Apa itu?" tanya Bo.
"Longsoran lain," jawab Savage. "Itulah bunyi yang kudengar."
"Ayo pergi dari?"
Usul Elaine terpotong oleh ledakan tanah. Gundukan itu
meledak dengan kekuatan mengerikan.
Elaine merasakan dirinya melayang. Ia membentur dinding.
Cahaya putih menari-nari di depan matanya.
Mulutnya penuh tanah. Ia muntah, sambil berguling pada
perutnya. Jarinya mencakar tanah berbatu di bawahnya.
Ia membuka matanya.
Bo tergeletak ke sebelah kirinya, berlumuran lumpur. Mr.
Savage di sebelah kanan. Lentera itu setengah terkubur, cahayanya
suram, tapi tidak padam.
Berton-ton tanah berhamburan. Elaine dapat melihat jelas ke
balik ruangan yang lain. Tulang-tulang tergeletak di mana-mana. Ia
mengenyahkan pasir dengan mengerjap-ngerjapkan mata, mencoba
memfokuskan pandangan. Ia menggosok matanya.
Yang ia lihat membuat jantungnya nyaris copot.
Kabut merah itu bebas.BAB 28
GELOMBANG merah menakutkan tumpah ke atas tanah.
Udara busuk menyergap Elaine hingga ia ingin muntah.
"Bangun!" teriak Elaine. Ia merangkak melewati tanah ke arah
Bo. Bo batuk dan mencoba duduk tegak. Matanya melebar ketika
melihat awan itu. Ia melompat berdiri.
"Kita keluar dari sini!" perintahnya. Ia menyambar lengan
Elaine dan menariknya menuju terowongan utama.
"Bagaimana dengan Mr. Savage?" teriak Elaine.
Savage bergerak mendengar namanya. Ia meraba-raba mencari
lentera. Ia mengangkatnya dan memandang kabut merah itu.
"Oh, tidak," teriaknya parau.
"Ayo!" Bo berteriak.
"Ia akan membunuh kita, Mr. Savage," Elaine menjelaskan,
sambil merenggut lengan kemeja Mr. Savage. "Kita harus pergi
sekarang!"
"Aku tak percaya," bisik Savage. "Ini tidak mungkin."
Elaine mencoba menariknya, tapi ia tak mau beranjak sedikit
pun. Ia menatap lekat-lekat kabut merah tersebut."Itu mereka," gumamnya. "Mereka kembali. Tak dapatkah kau
melihat mereka?"
"Lihat apa?" tanya Bo.
Elaine melongo melihat awan itu. Tampak berbeda kali ini.
"Aku melihatnya," bisiknya.
Sejumlah bentuk melayang-layang dalam awan. Mereka
berpendar dan terfokus. Elaine hampir tak dapat mempercayai
matanya? tapi ia tahu apa mereka itu.
Wajah-wajah.
Nyata.
"Teman-temanku," teriak Savage parau.
Wajah-wajah. Berkerut penuh kemarahan. Mulut mereka berupa
lubang gelap?menganga dalam teriakan bisu. Mata mereka hitam dan
kosong. Di sekeliling mereka, kabut berputar seperti jaring
mematikan.
Mata Elaine membelalak ketika menyadari kenyataan itu.
Kabut merah tidak membunuh keenam anak itu. Kabut merah
adalah keenam anak itu!
Mereka tahu mereka terperangkap, pikir Elaine. Tahu mereka
akan mati. Mereka menggali dengan kalap menembus gundukan
tanah, hanya untuk menemukan dinding bata yang dibangun, oleh
Savage.
Hanya untuk menyadari bahwa mereka terperangkap.
Terperangkap selamanya.
Elaine tak bisa membayangkan keputusasaan mereka.
Ketakutan mereka.
Kemarahan mereka.Begitulah, Elaine tahu. Kabut merah itu merupakan kemarahan
dari keenam anak itu. Entah bagaimana roh mereka terperangkap
bersama mereka. Dan entah bagaimana mereka bersatu dan
membentuk awan itu.
Setiap hari kabut itu pasti bertambah marah.
Setiap hari berharap untuk membalas dendam.
Menunggu dan menunggu untuk kesempatan ini, pikirnya. Dan
kami memberinya kesempatan itu. Kami membebaskannya keluar dari
batu bata.
Sekarang mereka semua akan mati.
"Teman-temanku," bisik Savage, suaranya penuh rasa takjub.
"Aku tak percaya ini kalian."
Bayangan itu melayang mendekatinya. Wajah-wajah itu
bergetar dan berdenyut.
"Ya," kata Savage. "Ini aku. Kalian ingat."
Elaine merasakan tarikan di lengannya.
"Ayo," gumam Bo.
Tapi Elaine tak dapat bergerak. Ia tak dapat berhenti
memandang pada wajah-wajah itu.
"Elaine," kata Savage, sementara matanya tak lepas dari kabut
itu. "Ada lubang yang menuju ke atas ke dalam ruang ketel sekolah.
Berbeloklah ke kiri enam kali. Dan kau akan menemukannya."
"Apa maksud Anda?" tanyanya. "Saya tidak?"
"Ingatlah," perintah Savage. Ia bangkit berdiri.
Bo menarik Elaine dengan kuat. Elaine melangkah menuju
terowongan utama."Apa yang Anda lakukan, Mr. Savage?" Akhirnya Savage
berpaling kepadanya. Wajahnya kosong. Tanpa emosi.
"Aku punya sedikit urusan yang belum selesai di sini," tuturnya.
Ia berpaling kembali ke arah awan itu.
Awan itu bergerak maju. Mengerubunginya.
Elaine melangkah maju, tapi ia merasakan tangan Bo
memegangnya dan menahannya untuk tidak kembali.
Mr. Savage terbang ke dalam awan itu. Ia melolong ketika
bayangan itu mengerubunginya. Debu tanah jatuh dari tubuhnya.
Lentera jatuh ke gundukan tanah.
Jeritan menggema di dinding terowongan.
Tubuhnya tersentak dan kejang-kejang. Lengannya ditarik ke
belakang dan remuk. Kepalanya tersentak patah di lehernya.
Ada bunyi berderak terakhir, dan jeritan berhenti.
Tubuh Mr. Savage tergantung di sana, mengejang.
Mata Elaine membelalak.
Sesuatu yang lain terjadi.
Tubuh itu menjadi kecil. Bukan menyusut. Tapi menjadi
gumpalan.
Suara tulang berderak memenuhi udara ketika wajah-wajah
pucat terbang di sekeliling Savage. Tubuh kepala sekolah mereka
makin lama makin kecil. Wajahnya tak dapat dikenali. Bentuknya tak
lagi seperti tubuh, tapi mirip bola.
Akhirnya, ia lenyap.
Kabut itu menyentak tinggi di udara, meluap pada langit-langit
gang. Wajah-wajah itu meraungkan teriakan mereka yang kelu.Tatapan mereka yang dingin dan gelap terfokus pada Elaine dan
Bo. "Lari!" teriak Bo.
Elaine menengadah, menyiapkan dirinya akan rasa sakit yang
bakal menerpa. Matanya tegang melihat wajah-wajah itu.
Ada yang berbeda, pikirnya.
Kabut itu tidak maju.
"Bo," bisik Elaine. "Lihatlah!"
Wajah-wajah itu memudar. Elaine tak merasakan kemarahan
lagi. Warna merah pada awan tak lagi terang. Bahkan bunyi napas
semakin lembut.
Akhirnya, Elaine mengerti. "Mereka telah membalaskan
dendam mereka," tuturnya. "Sudah berakhir."
Awan itu pelan-pelan memudar di depan mata mereka.
Menguap hingga tak ada lagi yang tersisa.
Akhirnya, hanya serpihan terakhir yang tinggal. Tergantung di
sana beberapa detik.
Pergi, Elaine memohon dalam hati. Pergilah.
Ia hilang lenyap.
Gumpalan awan merah itu hilang tak berbekas.Bab 29
ELAINE jatuh dalam pelukan Bo. Ia kehabisan tenaga. "Aku
tak percaya ini benar-benar berakhir."
"Ayo," bisik Bo, sampil memungut lentera. "Kita pergi dari
sini."
Mereka berjalan ke gang utama.
"Enam belokan ke kiri berurutan," gumam Elaine.
Mereka menemukan semua enam belokan itu setelah berjalan
jauh. Sepanjang perjalanan, Elaine bersandar pada Bo untuk topangan.


Fear Street Terperangkap Trapped di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia bersyukur mereka tak perlu berlari. Kabut merah itu takkan
menelan mereka untuk membalas dendam.
Mereka tidak berbicara sewaktu berjalan. Mudah menemukan
lubang yang dikatakan Savage kepada mereka.
Sebuah tangga baja terlihat ke kegelapan. Jauh di atas mereka,
Elaine melihat titik-titik cahaya.
"Kita berhasil," bisiknya.
Ia tersenyum pada Bo. Bo menyeringai balik.
"Jadi," kata Bo.
"Jadi," katanya.
"Jadi apa yang akan kita katakan pada orang-orang?"Elaine mengerjap, mengingat bagaimana Max, Jerry, dan
Darlene tewas. Bagaimana Mr. Savage mengorbankan nyawanya.
Tak seorang pun akan mempercayai mereka.
Tak seorang pun.
"Aku tidak tahu," jawab Elaine.
"Aku juga tak tahu. Kita keluar saja dulu dari tempat ini.
Kemudian baru kita memikirkannya."
Elaine mengangguk. Ia menjangkau anak tangga yang dingin. Ia
memandang ke atas pada cahaya siang hari, lalu ia dan Bo memanjat
ke luar bersama-sama.END
Terbang Harum Pedang Hujan 8 Golok Kumala Hijau Serial 7 Senjata Karya Gu Long Pendekar Sadis 5
^