Pencarian

Di Hatimu Kutitip Cinta 2

Di Hatimu Kutitip Cinta Karya Fredy S Bagian 2


menyebutkan alamat rumahnya yang diminta Feri
yang seketika dicatat lelaki itu alam ingatannya.
"Boleh kan kalau kapan-kapan aku ber-
tandang ke rumahmu?" tanya Feri lagi membuatnya
kikuk.
"Silakan saja, Mas." pikiran realitasnya
kembali menyuruhnya untuk berurap demikian.
Feri tersenyum senang. Dipandangnya sekali
lagi sosok wanita yang entah mengapa telah
membuatnya tertarik ini.
Sementara di tempatnya Elsa begitu gelisah.
Brengsek benar Noni dan Tanti. Kenapa mereka
tidak segera muncul dan mengajaknya berlalu dari
tempat ini? Apakah mereka sudah telanjur asyik
dengan pasangan masing-masing hingga begitu
saja, melupakannya? 73
Merasa tak enak berdua-duaan terus dengan
lelaki yang baru dikenalnya, Elsa pun segera minta
diri.
"Maaf ya, Mas, saya mau menemui anak-
anak dulu."
"Oh, silakan, Elsa," Feri cuma mengangguk
dan mempersilakannya.
Dengan hati lega Elsa pun segera ne
ninggalkan lelaki itu, menyusul anak-anaknya yang
masih asyik bermain. Bahkan saking asyiknya tidak
mencari-cari di mana mama mereka berada. 74
4 Sore itu Elsa baru saja selesai menyapu
alaman ketika sebuah sedang warna hitam erhenti
di depan rumahnya. Dengan hati penuh tanda tanya
ia pun mengalihkan perhatiannya pada orang yang
baru turun dari mobil yang berhenti itu. Seketika
jantungnya berdegup keras begitu melihat siapa
yang datang. Feri!
"Elsa, lagi sibuk ya?" sapa Feri yang segera
tersenyum ke arahnya begitu ia melihat ternyata
orang yang ditujunya ada di muka pintu.
'Eh, Mas Feri, silakan masuk, Mas," dengan
menenangkan hatinya, Elsa pun segera membuka
kan pintu.
"Waduh, mengganggu nih," ujar Feri
kemudian sambil melangkah masuk.
"Ah tidak apa-apa."
Tanpa canggung Feri pun segera melangkah
masuk dan duduk di kursi yang tersedia di ruang
tamu. 75
"Silakan duduk dulu ya Mas. Sebentar, saya
ambilkan minum."
"Tidak usah repot-repot, El," sahut Feri cepat.
"Tidak apa, Mas. Cuma air minum saja kok."
Tak lama kemudian Elsa pun sudah keluar
kembali dengan segelas air putih di tangan.
"Silakan diminum. Waduh, nggak ada kue-
kuenya nih, Mas," ucap Elsa kemudian agar
sumringah juga. Karena sejak kematian suaminya
belum pernah ia didatangi lelaki lain. Dulu, waktu
Mas Pri masih hidup, pernah memang ia
kedatangan tamu lelaki. Tapi itu adalah teman-
teman suaminya.
"Tidak usah repot, El. Air saja sudah cukup,"
Feri menenangkan, "Oya, mana anak-anakmu?"
"Ada di dalam, Mas. Sebentar saya
panggilkan," kembali Elsa masuk ke dalam
rumahnya dan tak larna kemudian sudah keluar lagi
dengan menggandeng Koko dan Kiki.
"Tuh, ada Oom Feri. Kasih salam dong." 76
Koko dan Kiki pun menurut, disalaminya
dengan hormat Oom yang baru pertama kali
dilihatnya itu.
"Anak-anak yang manis," puji Feri kemudian.
"Oya, Oom punya makanan untuk kalian. Sebentar
ya" Feri pun segefa mengambil sebuah bungkusan
yang segera diberikannya pada mereka.
Dengan tak Sabar, Koko pun segera
membuka bungkusan itu. Dan ia bersorak girang
begitu melihat makanan apa yang ada di dalamnya.
Tak lain dari coklat, agar-agar dan dua bungkus roti
yang masih hangat.
"Makasih ya, Oom," tanpa disuruh lagi Koko
pun segera mengucapkan rasa gembiranya yang
dibalas dengan senyum bahagia Feri.
"Makacih, Oom," Kiki ikut-ikutan. Dengan
gemas Feri pun segera mengucal kepala anak manis
itu. "Jangan bikin repot, Mas," ucap Elsa
kemudian begitu anak-anak itu berlalu sambil
tertawa riang dengan membawa makanan itu
masuk kembali ke ruang dalam. 77
"Aku cuma ingin membagi sedikit keba-
hagiaan bersama mereka. Tidak apa-apa toh?" Feri
masih tersenyum.
"Yah, tidak apa-apa sih. Tapi sebaiknya
jangan jering-sering. Aku khawatir mereka jadi
kebiasaan."
Seulas senyum masih mengembang di bibir
Feri mendengar ucapan itu. Dalam hatinya berbisik
lirih, untuk mendapatkan ibunya kan lebih dulu
harus mengambil hati anak-anaknya. Nanti, kalau
anak-anak itu sudah dekat dengannya, kan tinggal
mencairkan hati ibunya.
"Mas..," panggil Elsa kemudian setelah
mereka cukup lama juga bicara panjang lebar.
"Kenapa?" Feri memandangnya penuh
perhatian.
"Mas datang kemari, apa istri Mas tidak
marah?"
"Istri?" Feri tersenyum hambar. "Dulu sih
memang aku mempunyai istri. Tapi kami telah
bercerai dua tahun lalu." 78
Kini giliran Elsa yang terkesima mendengar
pengakuan Feri. Seakan tak percaya dipandangnya
lelaki di hadapannya dalam-dalam.
"Kenapa memandangku seperti itu, El? Kamu
tak percaya?" tanya Feri seperti mengetahui isi
hatinya.
"Kalau boleh saya tahu, kenapa Mas sampai
cerai dengan istri Mas itu?" tanyanya dengan
tenggorokan tercekat.
"Ceritanya cukup panjang El. Tapi kalau kau
mau mengetahui intinya, dia meninggalkan aku dan
lari dengan laki-laki lain," jelas Feri dengan suara
bergetar.
"Jadi... Mas dikhianati istri Mas?" Elsa masih
terlongong.
"Begitulah, El," lelaki itu menelan ludahnya
yang terasa pahit.
"Tapi... tapi Mas mempunyai anak kan?"
"Ya," angguk Feri. "Sama sepertimu, aku juga
mempunyai dua orang anak yang kini sudah
menginjak remaja. Kini mereka meneruskan
sekolahnya di luar negeri." 79
"Oh," Elsa tertegun kagum mendengar
penuturan lelaki di hadapannya. Dugaannya benar,
Feri adalah lelaki yang cukup berada bila ditinjau
dari segi materi. Buktinya, walau istrinya telah
mengkhianatinya dan meninggalkannya dengan
lelaki lain, ia tetap bisa menyekolahkan anak-
anaknya di luar negeri. Dan itu tentu saja
membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Tidak
seperti dirinya yang sampai saat ini masih pusing
memikirkan dengan apa membiaya hidup anak-
anaknya nanti. Sementara Mas Pri tidak meninggal-
kan harta yang cukup berarti untuk kelanjutan
hidup mereka.
"Kalau, melihat anak-anakmu, aku jadi
teringat kebahagiaan keluargaku waktu dulu, ketika
anak-anakku masih sekecil mereka," Feri
bergumam pelan. Matanya menerawang jauh.
Teringat kembali kenangannya akan masa lalu yang
bahagia dan harmonis, sebelum istrinya
meninggalkannya dan lari ke pelukan lelaki lain.
Di tempatnya Elsa pun ikut terpaku diam.
Dibiarkannya Feri tercenung membayangkan masa-
masa indahnya yang telah berlalu. Kebahagiaan
manusia itu memang tiada yang abadi. Hatinya pun
ikut terasa nyeri bila teringat kembali kenangan 80
manisnya bersama suaminya, yang telah
meninggalkannya Untuk selama-lamanya. Elsa tak
mengira kalau lelaki sebaik dan begitu bertanggung
jawab macam Pri akan begitu cepat meninggal
dunia. TapP mungkin itulah rahasia Tuhan yang tak
akan pernah bisa ditebak manusia.
"Sudah sore, El," Feri melirik arlojinya dan
beranjak bangkit. "Aku mau pulang dulu. Sudah
capek, belum mandi lagi."
Elsa tersenyum mendengar kalimat itu, la pun
ikut bangkit berdiri.
"Kepan-kapan kalau ada waktu luang, boleh
kan aku main ke sini. lagi?" tanyanya sebelum
menuju pintu kelar.
Entah dorongan apa, Elsa pun hanya bisa
mengangguk. Lalu diantarkannya lelaki itu sampai di
muka rumahnya.
"Salam buat anak-anak ya," ujar Feri
kemudian sebelum berlalu.
Kembali Elsa mengangguk. Dipandangnya
mobil yang membawa Feri berlalu hingga lenyap di
tikungan jalan. Lalu dengan hati yang dipenuhi 81
berbagai macam perasaan ia pun kembali masuk ke
dalam.
Beberapa bulan telah berlalu. Elsa tak dapat
menghitung sudah berapa kali Feri datang
mengunjunginya ke rumah. Setiap lelaki itu datang
tak pernah tangannya lepas dari oleh-oleh yang
dibawanya- Dan ia pun tak dapat membendung
betapa anak-anaknya mulai menyukai tamunya itu.
Tak dapat dipungkiri Feri dengan kelembutan dan
sikapnya yang penuh perhatian itu mampu menjadi
penghibur atas kepergian Papa mereka. Pelan tapi
pasti Elsa pun mulai merasakan adanya kedekatan
di antara anak-anaknya dengan Feri.
Memang pada mulanya Koko dan Kiki sering
juga menanyakan di mana Papa mereka dan kenapa
sampai kini tidak pulang-pulang. Namun dengan
pengertian yang dalam Elsa pun berhasil memberi
pengertian pada anak-anaknya tentang kepergian
Papa mereka.
Dan Elsa juga cukup bersyukur setelah diberi
pengertian itu, anak-anaknya tidak terlalu rewel
dan bertanya macam-macam lagi yang dapat
meruntuhkan ketabahannya. Karena itulah ia 82
merasa senang dan haru mempunyai anak-anak
yang manis seperti mereka.
Suatu hari saat Feri kembali datang
berkunjung untuk yang kesekian kalinya, tanpa
disangka-sangka Noni pun bertandang ke
rumahnya. Elsa pun bermaksud memperkenalkan
keduanya kalau tidak dilihatnya perubahan paras
Noni begitu melihat Feri.
"Eh... ehm, Bapak ada di sini?" tanya Noni
gugup begitu Feri membalikkan tubuhnya Sejak
masuk tadi Noni memang tidak bisa melihat jelas
wajah lelaki itu karena Feri duduk membelakangi
pintu.
"Hm. kamu...?" Feri seperti terkesima dan
mencoba mengingat-ingat.
"Saya Noni, Pak," sahut Noni segera
menyebutkan namanya untuk membantu ingatan
lelaki itiu.
"Oya, Noni. Kalian...." Berganti-ganti Feri
memandang Elsa dan Noni seakan ingin meminta
kejelasan ada hubungan apa di antara mereka. 83
"Elsa teman baik saya, Pak," kembali Noni
yang menyahut sebelum Elsa sempat membuka
mulutnya. "Kami kenal sudah sejak lama."
"Oooh...," Feri mengangguk-angguk.
"Duduklah dulu, Non. Sebentar kuambilkan
minuman dulu ya," Elsa pun segera menengahi
setelah beberapa saat mereka saling berdiam diri
Tidak lama Elsa pun sudah keluar kembali sambil
membawa segelas minuman untuk Noni, karena
minuman yang untuk Feri sudah disediakannya
lebih dulu.
Percakapan pun terjadi di antara mereka.
Elsa dapat melihat betapa Noni nampak
menghormati tamu satunya itu, meskipun ia belum
sempat mengetahui ada hubungan apa, di antara
mereka.
Tak terasa waktu pun berlalu. Pukul enam
sore lewat sepuluh menit, Feri pun segera meminta
diri. Dengan diantar Elsa dan Noni, ia pun melaju
meninggalkan rumah itu.
"Kamu kenal Pak Feri di mana, El?" tanya
Noni kemudian begitu mereka sudah duduk di
ruang tamu kembali. 84
"Di pesta perjamuan makan malam ketika
kau mengajakku waktu itu. Itu lho, lelaki yang
sempat kuceritakan padamu yang selalu tanya-


Di Hatimu Kutitip Cinta Karya Fredy S di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanya melalu," Elsa menjelaskan.
"Oh, yang itu toh?" Noni manggut-mang-gut
sambil memandangnya dalam-dalam. "Kok kamu
nggak sebutkan namanya waktu itu?"
"Siapa bilang?. Aku kan sudah bilang,
namanya Feri. Kamunya aja yang tidak ambil
perhatian."
"Mungkin juga," sahut Noni mendesah.
"Soalnya aku nggak kepikiran kalau Feri yang kau
maksud Pak Feri yang tadi itu."
"Sekarang gantian dong," Elsa tersenyum
simpul. "Giliran kamu yang sebutin, di mana kau
kenal dia?"
"Pak Feri?" Noni membelalakkan matanya.
"Siapa lagi?"
"Lha, dia itu kan direktur perusahaan Sabar
Makmur. Adik dari direktur perusahaan tempatku
bekerja," Noni segera memberi tahu. "Kamu
beruntung bisa kenal dengan dia Iho" 85
"Untung kenapa?" giliran Elsa yang terbeliak.
"Dia duda kaya lho, El. Anaknya ada dua
orang dan kini sedang sekolah di luar negeri. Kalau
dipikir-pikir, kasihan juga lho sebenarnya Pak Feri.
Sejak istrinya meninggalkannya beberapa tahun
yang lalu, dia tetap menduda sampai sekarang."
"'Kau tahu kenapa istrinya meninggalkan
nya?"
"Entahlah. Dari kabar yang kudengar sih,
istrinya menikah lagi dengan lelaki lain yang lebih
muda dari Pak Feri," Noni menerawang.
"Apa yang kamu katakan tepat seperti apa
yang diceritakannya padaku, Non," sambut Elsa
kemudian.
"Hah? Jadi...."
"Mas Feri sudah mencentakan semuanya,
nadaku," sahut Elsa kalem.
"Terus terang dia mengakui itu, El?"
"He-eh" Elsa mengangguk.
"Kalau begitu hubungan kalian sudah cukup
dalam juga ya, sampai Pak Feri mau menceritakan
keadaan dirinya," Noni menebak-nebak. 86
"Apa maksudmu?" Elsa terperangah.
"Jangan-jangan... dia menaruh minat
padamu, El?" sahut Noni serius.
"Jangan bicara sembarangan, Non. Didengar
orang tidak enak aku. Lagian, hubungan kami kan
baru beberapa bulan ini saja."
"Lho, kamu ini gimana sih? Bagi orang yang
sudah cukup umur macam Pak Feri itu mana suka
berlama-lama sih? Sekali dia menyukai seseorang
dan merasa cocok, pasti akan cepat-cepat
dipinangnya wanita itu," ucap Noni sambil
tersenyum.
"Kamu ngaco ah," kilah Elsa dengan wajah
tersipu. "Hubunganku dengannya hanya hubungan
biasa, Non. Jangan bikin gosip yang nggak-nggak
ah."
"Tapi dia sering main kemari kan?"
"Iya sih. Memang kenapa?"
"Ah, kamu kayak yang pura-pura tidak tahu
saja, El. Kalau kupikir, mestinya kamu tuh lebih
mengerti dari aku, karena kamu kan sudah punya
pengalaman. Apa yang dicari laki-laki yang rajin
datang berkunjung ke rumah kita kalau bukan 87
perhatian dan tentu saja maksud-maksud
terselubung lainnya? Apalagi Pak Feri itu sudah
cukup lama menduda."
"Ya ampun, jadi kau pikir kedatangannya
selama ini adalah ingin mencari perhatianku dan
mengapeliku?" Elsa terperangah. "Aduuuh, Noni,
Noni. Kamu kan tahu aku baru saja ditinggal
suami?"
"Justru karena kau sudah tidak punya suami,
maka Pak Feri berani mendekatimu dan datang
mengunjungimu. Kalau kamu masih punya suami
kan mana mau dia datang ke sini? Apalagi sampai
begitu sering seperti yang kau bilang," Noni
mengerjabkan matanya nakal.
"Kamu pikir akan secepat ini aku
memalingkan cintaku?" tanya Elsa gusar.
"Kenapa tidak, Elsa? Kamu kan masih muda?
Masih punya banyak kesempatan untuk memulai
hidup baru lagi."
"Apa yang kamu katakan benar." Elsa
menelan ludahnya yang terasa pahit. "Tapi tidak
secepat ini, Non." 88
"Tentu saja dong, kamu juga kan perlu
berpikir matang serta mempertimbangkannya baik-
baik " Noni manggut-manggut.
"Aku tidak akan melupakan Mas Pri secepat
ini, Noni. Lagi pula, sudah kukubur rasa cintaku
bersama jasadnya ketika dimakamkan waktu itu,"
desahnya hampir tak terdengar.
"Astaga, Elsa! Kamu jangan berkata begitu
dong. Tidakkah kau pikirkan hidup anak-anakmu
kelak?" Noni tertegun mendengar ucapan yang
sungguh tak disangkanya itu.
"Justru karena aku memikirkan nasib mereka,
maka kuhilangkan perasaanku terhadap laki-laki
lain. Aku jngin menghidupi mereka sekuatku."
"Mana bisa begitu, Elsa? Seandainya bisa pun
kau akan mengalami kesulitan dalam membagi
waktu. Bagaimana mungkin kau bisa bekerja sambil
mengawasi mereka? Apalagi anak-anakmu kan
masih kecil. Bagaimana mungkin kau meninggalkan
mereka untuk bekerja?"
Mendengar ucapan itu Elsa, merasa Noni
seperti mengingatkannya kembali pada kata-kata
yang pernah diucapkannya beberapa hari setelah 89
meninggalnya Mas Pri. Dan ia jadi tertegun sendiri.
Bagaimana mungkin meninggalkan Koko dan Kiki
yang masih balita untuk ditinggalnya bekerja? Siapa
yang akan mengawasi dan menjaga mereka? Taruh
ia bisa menggaji pembantu, apakah gajinya akan
cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari
dalam sebulan? Berapa sih gaji seorang lulusan
SMP? "Aku merasa Pak Feri menaruh hati padamu,
El. Kalau tidak, untuk apa dia meluangkan waktunya
datang ke sini? Kamu tahu, sebagai seorang direktur
dan mempunyai jadwal ketat selain sibuk
mengurusi pekerjaan-pekerjaan-nya. Apa. dong
maksudnya dia datang kemari menyisihkan waktu-
waktu sibuknya selain untuk menunjukkan
perhatiannya pada orang yang dia sukai?" suara
Noni kembali berkumandang meluruskan jalan
pikirannya.
"Aku mengerti kau masih mencintai Mas Pri
dan tidak begitu saja mampu melupakannya. Tapi
ingatlah, El. Mas Pri itu sudah tiada, dan kau di sini
masih butuh perhatian dan materi yang akan
menguatkanmu untuk menghidupi anak-anak
kalian?" tambah Noni lagi bernada memberi
wawasan. 90
"Tapi aku tak bisa secepat itu membuka pintu
hatiku untuk dimasuki seseorang yang akan
menggantikan kedudukan Mas Pri. Butuh waktu
panjang, Non," sahutnya bernada keluh.
"Apa yang kau katakan tadi ini kedengaran-
nya lebih enak dari ucapanmu tadi, El. Setidak-
tidaknya, kan masih ada harapan buat seseorang
yang mendambakan cintamu," Noni mengulaskan
senyumnya.
"Sudah pasti dong, Noni. Alangkah malunya
aku kalau sampai kalah bertahan dengan Mas Feri
yang cukup lama menduda kalau dalam waktu
dekat ini kuterima niatnya untuk memperistriku,"
Elsa tersipu.
"Lho, jadi serius ceritanya nih?" tanya Noni
menggoda.
"Jangan ngeledek ah, Non. Sejak tadi
ucapanmu memancingku terus. Bisa terjebak aku
kalau tidak hati-hati," Elsa mencubit gemas lengan
Noni yang kontan saja menjerit kesakitan.
"Tapi apa yang kuucapkan benar toh?' Noni
kembali mengerjab nakal sambil mengusap-usap
lengannya yang baru saja dicubit. "Jangan tutup 91
pintu hatimu pada seseorang yang telah menaruh
perhatian dan harapan yang dalam padamu."
"Sudah ah! Dari tadi kotbah melulu. Tuh, Kiki
memanggilku rninta dibuatkan susu," ujar Elsa
kemudian sambil beranjak meninggalkan Noni yang
tersenyum dengan sinar mata menggoda.
*** 92
5 Siang yang cerah. Matahari yang bersinar di
atas sana tidak begitu menunjukkan kegarangan
nya. Ombak pantai yang bergulung-gulung seakan
berlomba-lomba untuk mencapai tepian me-
nambah semaraknya pemandangan tepi pantai itu.
Di atas pasir putih di bawah naungan pohon-
pohon yang membuat teduh suasana Elsa
memperhatikan kedua anaknya yang begitu asyik
bermain air di tepian pantai. Di sebelahnya, Feri pun
ikut mengalihkan pandangannya ke arah laut
dengan wajah ceria.
"Riang sekali Koko dan Kiki bermain air,"
komentar Feri kemudian dengan mata tak lepas
memandang ke arah dua anak itu.
"Ya," Elsa mengangguk. "Sudah cukup lama
mereka tidak merasa suasana seperti ini."
Elsa menarik napas panjang. Dibiarkannya
rambutnya yang terurai panjang meriap-riap
dipermainkan angin. Sesekali bibirnya yang merah
merekah mendesah pelan. Ah, suasana seperti ini 93
memang tak pernah dirasakannya lagi sejak
suaminya meninggal hampir setahun lalu.
Walaupun sekarang ia kembali dapat merasakan
betapa riangnya anak-anaknya bermain air di
pinggir pantai, namun lelaki yang menyertainya
bukanlah Mas Pri lagi.
Memang, Elsa dapat merasakan dan
mengakuinya dalam hati betapa Koko dan Kiki
sudah semakin dekat dan akrab dengan Feri. Kasih
sayang dan perhatian yang diberikan lelaki itu pada
kedua anaknya membuat mereka seperti dengan
mudahnya melupakan kepergian papanya yang tak
akan pernah kembali lagi itu. Memang sih kalau kau
dipertimbangkan lebih jauh lagi, hal itu akan lebih
baik buat perkembangan jiwa mereka. Mereka tidak
perlu merasakan kesedihan yang berkepanjangan
serta trauma yang menyakitkan tentang kepergian
seseorang yang selama Ini menjadi pelindung
mereka, karena sudah ada seorang pelindung lain
yang siap menggantikan.
Tapi... ah, Elsa tak tahu apa yang dirasakan
dalam hatinya melihat keakraban anak-anaknya
dengan Feri. Bahagiakah? Senangkah? Atau malah
menyesali mengapa ia membiarkan mereka
menjadi dekat hingga tak terpisahkan lagi? 94
Memang pernah juga ia mendiskusikan
tentang perasaannya ini pada Noni. Namun
jawaban apa yang diterimanya dari sahabat baiknya
itu? "Jangan terlalu emosional, El. Yakinlah dalam
hatimu bahwa Pak Feri memang mengharapkanmu
menjadi istri. Kamu sudah merasakan sendiri kan
betapa dia amat mengasihi dan menyayangi anak-
anakmu?" begitu kata Noni waktu itu dengan nada
separuh mendakwanya.
"Masalahnya bukan itu, Non. Aku tidak
berani berharap jauh. Apalagi Mas Feri itu orang
kaya. Jangan-jangan dia malah mengasihaniku dan
bukan mencintaiku seperti yang kau duga,"
desahnya dengan nada enggan.
"Pikiranmu selalu saja begitu. Optimis dong.
Coba kamu pikir lebih dalam lagi, mana ada
pertolongan yang tulus dan tanpa pamrih? Setiap
laki-laki mau berkorban, pasti dia mempunyai
harapan pada orang itu. Lagi pula, aku yakin kalau
Pak Feri naksir kamu. Mungkin saja dia mau
memberi waktu padamu untuk berpikir-pikir dulu,
hingga ia menahan niatnya untuk mengutarakan
perasaannya padamu" kata Noni lagi menasehati- 95
nya. "Tapi bisa jadi juga Pak Feri lebih suka
menunjukkan sikapnya daripada mengucapkan
kalimat cinta yang dipikirnya hanya pantas dipakai
oleh mereka yang masih muda."
Elsa termenung, mencoba untuk menelaah
lebih dalam lagi ucapan sahabatnya. Kalau mau
dilihat usianya, memang usia Feri beberapa tahun
di atas Mas Pri. Mungkin juga. Noni benar kalau
lelaki itu lebih suka menunjukkan sikapnya
ketimbang mengucapkan kata-kata yang malah
akan membuat kaku bagi orang yang belum siap
mendengarnya.
"Melamun, El?" teguran lembut Fen
menyadarkannya dari lamunannya yang sempat
terbang sekilas.
"Ah, nggak," Elsa menggeleng dengan


Di Hatimu Kutitip Cinta Karya Fredy S di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tersipu.
"Sudah lapar? Kita makan dulu yuk," ajak Feri
lagi.
Elsa menatap arlojinya sekilas. Sudah jam
sepuluh lewat dua puluh menit. Yak, sudah lumayan
siang juga untuk mengisi perut dengan makanan, 96
walaupun sebelum pergi tadi mereka sempat
sarapan nasi uduk.
Perlahan ia pun mengangguk menyetuiui
ajakan itu.
"Koko, Kiki! Ke sini dulu," panggilnya
kemudian pada kedua anaknya. Yang dipanggil pun
menoleh dan setengah enggan datang meng-
hampiri karena merasa permainan asyiknya jadi
terganggu.
"Kita makan dulu ya? Nanti baru main lagi,"
digandengnya mereka mengikuti langkah Feri yang
berjalan di sisinya.
Feri pun tersenyum dan mengulurkan
tangannya untuk menuntun Koko yang dengan
girang segera disambut anak itu. Mereka pun
segera menuju rumah makan yang menyer diakan
menu lengkap, yang berada tidak jauh dari tempat
itu. Tidak lama setelah menulis pesanan di buku
yang disodorkan pelayan, makanan pun datang-
Koko dan Kiki berseru girang saat melihat ikan
pan'ggang besar yang diletakkan pelayan di atas
meja. Lalu dengan telatennya Feri memilihkan 97
daging ikan itu dan menaruhnya di piring Koko dan
Kiki.
Melihat sikap yang ditunjukkan lelaki itu, ada
rasa haru yang menyusupi hati Elsa. Feri memang
begitu perhatian dan amat menyayangi anak-
anaknya. Bukan hanya bila ia datang ke rumah saja
selalu tak pernah lupa membawa oleh-oleh, bila
sedang keluar pun ia selalu memanjakan anak-anak
dengan makanan-makanan mahal yang tak pernah
dilakukan Pri dulu. Memang keadaan Feri memang
cukup memungkinkan hingga ia bisa melakukan apa
saja, yang bagi dirinya mungkin cuma hal yang biasa
tapi bagi Elsa dan anak-anaknya cukup luar biasa.
Lain dengan Pri yang dalam hidupnya boleh dikata
hanya beberapa kali saja membawa, anak dan
istrinya makan-makan di luar. Dan Elsa pun cukup
memaklumi itu karena penghasilan suaminya hanya
cukup untuk kebutuhan mereka sebulan. Lain
halnya bila Pri masih mengikuti orangtuatiya.
Justru Elsa merasa bersyukur dan terharu
sekaligus bangga mempunyai suami macam Pri
yang rela meninggalkan kemewahan keluarganya
untuk hidup dengan dirinya walaupun hidupnya
serba pas-pasan. 98
"Ayo makan, El," kembali Feri menyendokkan
makanan lainnya ke piring Elsa, hingga Elsa jadi
merasa tak enak sendiri, karena telah dilayani
begitu rupa.
"Biarlah, Mas. Nanti juga aku bisa ambil
sendiri," ujarnya kemudian.
"Mana? Sejak tadi kelihatannya kamu tidak
bernafsu," kilah Feri sambil memandangnya. "Kamu
harus banyak makan, El. Biar gemuk dan sehat."
"Memang segini belum kelihatan gemuk?"
Elsa melirik dirinya.
"Belum, sedikit lagi," Feri mengomentari.
"Kalau kamu gemuk, parasmu kan jadi kelihatan
segar berseri-seri."
"Mau gemuk, jangan-jangan malah nanti jadi
kegemukan, Mas," seloroh Elsa.
"Ya nggak dong. Kamu juga kan harus pandai-
pandai melihat keadaan tubuhmu. Kalau rasanya
sudah gemuk, ya stop."
Elsa tersenyum mendengar ucapan itu.
Memang sejak Pri meninggal, badannya menyusut
jauh. Mungkin karena ia banyak pikiran di samping
kehilangan nafsu makan tatkala menyadari 99
pendamping hidupnya kini tiada lagi di sisinya.
Narnun sejak kehadiran Feri yang selalu rajin
membawakan makanan setiap kali datang, sedikit
demi sedikit berat tubuhnya pun mulai naik kembali
Sambil makan sesekaii Elsa melirik anak-
anaknya yang nampak makan lahap sekali.
Ada keceriaan dalam hatinya melihat Koko
dan Kiki begitu riang gembira. Dalam hatinya ia juga
mengakui, betapa pandainya Feri mengambil hati
anak-anaknya.
Sedikit demi sedikit mereka mulai melupakan
ketegangan dan kesedihan atas meninggalnya Papa
mereka, dan itu terbukti de ngan berkurangnya
pertanyaan dari mulut mereka tentang Mas Pri.
Selesai menyantap makanan, mereka pun
kembali menyusuri tepi pantai yang mulai ramai
dengan pengunjung. Begitu Koko dan Kiki melihat
mainan ayun-ayunan di kejauhan mata mereka pun
berbinar-binar.
"Ma, Koko main di sana boleh nggak?"
tanyanya kemudian pada mamanya.
"Iya, Ma, Kiki juga mau main di sana. Boleh
kan, Ma?" Kiki ikut merajuk. 100
"Baiklah," Elsa akhirnya mengangguk, tak
tega melihat tatapan penuh harap anak-anaknya.
"Tapi jangan nakal ya."
"Terima kasih, Ma," angguk mereka
berbarengan. "Sudah ya Ma, Oom Feri, Koko ke
sana dulu."
"Kiki juga, Ma, Oom," sahut Kiki tak mau
kalah. Lalu mereka pun segera menghambur
menuju fempat mainan itu.
Feri dan Elsa hanya memandang mereka
dengan seulas senyum. Sambil melangkah pelan-
pelan mereka menikmati betapa nakalnya angin
laut mempermainkan rambut mereka.
"Bahagia ya punya anak-anak yang manis
macam Koko dan Kiki," gumam Feri kemudian
sambil mengarahkan pandangannya lurus ke depan.
"Kedua anak Mas tentunya juga manis-manis kan?"
"Begitulah," Feri mengangguk. "Melihat Koko
dan Kiki aku jadi teringat ketika mereka masih kecil
dulu. Begitu patuh dan tidak pernah membantah
pada orangtua. Nakal sih tetap nakal, tapi masih
dalam batas-batas yang wajar." 101
"Kini anak-anakmu berada jauh darimu.
Tidakkah Mas merasa rindu?" Elsa menoleh dan
memandang lamat-lamat wajah di sampingnya.
"Sebulan sekali aku selalu mengunjungi
mereka, El. Bahkan kalau rindu tiba-tiba datang,
hari itu juga aku suka menyusul mereka."
Feri menjelaskan.
"Ya, itu bagus, Mas," Elsa mengangguk.
"Siapa yang mengawasi mereka di sana, Mas?"
"Aku menitipkannya pada adik bungsuku
yang juga tinggal di sana."
"Wah kalau begitu Mas tidak perlu merasa
khawatir dong?"
"Begitulah," kembali Feri menganggukkan
kepalanya.
Elsa ikut mengangguk-anggukkan kepalanya
Pikirannya mulai melayang jauh. Kalau dipikir-pikir
enak juga jadi orang kaya. Semuanya, bisa
terpenuhi. Bahkan seperti yang Feri katakan tadi,
kalau rindu datang dengan tiba-tiba, hari itu juga ia
akan terbang ke luar negeri untuk menjumpai anak-
anaknya. 102
Memang uang sering kali membuat
segalanya menjadi serba mungkin. Namun yang tak
pernah bisa dimengerti sampai kini, mengapa istri
Feri tega-teganya meninggalkan lelaki itu begitu
saja? Bukankah Feri tidak kurang suatu apa pun?
Bukan saja ia memiliki harta yang melimpah, tapi
Feri juga punya pengertian yang dalam, perhatian
yang besar, selain wajah simpatiknya yang tidak
membosankan siapa pun yang memandangnya.
Meski ia sudah cukup berumur, namun sisa-sisa
ketampanannya semasa muda masih nampak di
wajahnya yang maskulin.
"Suatu hari nanti, El, akan kuajak kau
mengunjungi tempat mereka. Sekalian menikmati
betapa syahdunya suasana Australia," ujar Feri
kemudian membuat Elsa membelalakkan matanya
gembira.
"Sungguhkah itu, Mas?" tanyanya hampir tak
percaya.
"Rasanya aku tidak pernah berkata bohong
kan?" Feri memandangnya dalam. Dan Elsa cepat-
cepat membuang pandangannya saat merasakan
betapa tajamnya tatapan mata Feri hingga
menembus jantungnya. 103
"Akan kuperkenalkan kau kepada mereka.
Tentu mereka akan senang menerimamu," tambah
Feri lagi membuat hatinya berbunga-bunga. Jalan-
jalan ke luar negeri? Ah, sungguh tak pernah
terbayangkan olehnya kalau ia akan menikmati
perjalanan itu.
"Tahukah kau, El? Selama ini aku selalu
menceritakan tentang kau pada mereka.
Nampaknya mereka senang bila aku secepatnya
mendapatkan pengganti mamanya yang telah lama
meninggalkan mereka. Memang sih kali pernah juga
mantan istriku mengunjungi mereka. Namun entah
mengapa kedua anakku sepertinya enggan bertemu
ibunya kembali Mungkin mereka, justru prihatin
melihat ayahnya yang merana dan tetap
menyendiri sejak ditinggal ibunya," tutur Feri lagi
panjang lebar.
Dalam diam Elsa mendesah panjang. Ada
yang berdegup dalam hatinya saat mendengar
kalimat yang diucapkan Feri, bahwa anak-anaknya
akan merasa senang kalau papanya sudah
mendapatkan pengganti mama mereka. Dicobanya
untuk menekan debur jantungnya saat membayang
kan dan menelaah kalimat itu lebih lanjut. Benarkah
Feri mengharapkannya untuk menjadi pengganti 104
istrinya? Benarkah kedua anak-anak Feri dan
istrinya terdahulu akan menerimanya sebagai ibu
baru mereka?
Kalau seandainya itu benar terjadi, lantas
bagaimana dengan perasaannya sendiri? Cintakah
ia pada Feri yang sudah berbulan-bulan lamanya
mengisi hari-harinya yang sepi?
Dan Elsa hanya bisa mengeluh pelan saat
menyadari belum ada titik-titik tertentu dalam
hatinya yang mengisyaratkan, bahwa ia juga
mencintai Feri. Betapapun baiknya dan penuh
perhatiannya lelaki itu pada keluarganya, namun itu
tak mampu menumbuhkan benih-benih cinta dalam
hatinya.
Menyadari hal itu Elsa hanya bisa
menghembuskan napasnya yang terasa berat.
"Elsa," kembali Feri memanggilnya begitu
mereka tiba di sebuah pohon yang berdaun
rindang. Kebetulan tempat itu cukup sepi dari
ramainya .pengunjung yang kebanyakan lebih suka
bermain di pinggir pantai. "Kalau kamu bersedia,"
suara Feri terdengar begitu lirih. "Izinkan aku untuk
menikahimu..." 105
Tidak ada kata yang terucap. Kendati jantung
Elsa sempat menggelepar mendengar kalimat yang
baru diucapnya itu. namun hati dan pikirannya
melayang entah ke mana.
"El," bisik Feri lagi, lirih. Dijatuhkan pantatnya
pada sebuah bangku semen yang ada di sana.
"Kalau saja kau tahu, sudah sejak lama aku ingin
membangun kembali kebahagiaan kelaurgaku yang
sempat pecah. Yah, walaupun kini dengan wanita
yang berbeda, tapi aku yakin kelembutan hatimu
akan mampu mengobati luka hatiku tentang trauma
masa lalu yang menyakitkan itu...."
Elsa menggigit bibirnya pelan. Sama seperti
sikap yang selama ini ditunjukkan Feri, dalam
mengungkapkan perasaannya pun lelaki itu
Kelihatan begitu tenang dan kalem. Dalam hatinya
menyesali, mengapa istri Feri meninggalkan lelaki
yang begitu lembut dan kalem ini?
Beberapa saat suasana hening melingkupi
mereka. Hanya debur ombak pantai saja yang
terdengar dan sempat menyinggahi telinga mereka.
Dalam ketermenungannya Elsa mencoba
menyusuri hatinya. Bagaimana ia menjawab
pertanyaan dan curahan perasaan yang telah 106
dilontqarkan Feri? Adakah rasa lain di hatinya pada
lelaki yang telah meluangkan waku dan menyempat
kan diri untuk mengunjunginya selama ini?
Elsa mengakui selama ini ia memang
menaruh simpati yang cukup besar pada Feri. Tapi
simpati bukan berarti cinta kan? Dan saat ini
cintalah yang dicari dalam hatinya untuk menguat
kan jawaban apa yang akan diberikannya pada Feri.
"Mas...," desahnya kemudian, pelan. "Beri
aku waktu untuk berpikir lebih lanjut..."
"Oh, tentu saja, El," Feri segera mengangguk-


Di Hatimu Kutitip Cinta Karya Fredy S di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kan kepalanya. "Kamu punya kebebasan untuk
berpikir dan memahami lebih lanjut Aku bersedia
menunggu jawaban apa pun yang keluar dari
bibirmu."
"Terima kasih, Mas," Elsa mengulaskan
senyum manisnya atas kebesaran hati lelaki itu.
"Akan kuusahakan untuk memberi jawaban
secepatnya."
"Jangan terburu-buru, Elsa," sergah Feri
cepat. "Pikirlah dulu sematang-matangnya sebelum
kau memberi keputusan. Aku tak ingin ada 107
penyesalan di kemudian hari bila kau tergesa-gesa
mengambil keputusan itu."
"Mas tak usah khawatir," ujarnya menenang-
kan. "Aku tak pernah memerlukan waktu lama
untuk mengambil sebuah keputusan."
"Terserah kamulah, El," Feri mengangkat
bahunya.
Kemudian mereka kembali melangkah
menyusuri pasir putih yang mengotori kaki mereka.
Hari esok masih terbentang di depan mata. Namun
mampukah mereka menjangkau dan meraih apa
yang ada di hari esok yang penuh misteri itu? 108
6 Hari belum terlalu sore ketika Elsa bersama
ua anaknya tiba di pertokoan Pasar Baru yang tak
pernah sepi dari pengunjung. Hari itu dia memang
punya janji untuk membelikan dua anaknya masing-
masing sepotong baju baru. Biar lebih praktis
dipilihnya pertokoan itu yang memang letaknya
tidak terlalu jauh dari rumahnya.
"Mama, baju itu bagus ya?" tiba-tiba saja Kiki
menunjukkan sebuah baju yang dikenakan boneka
anak-anak yang terpajang di depan etalase. Sebuah
baju berwarna kuning yang dipadu dengan renda
dan aplikasi menarik lainnya.
"Kiki mau yang itu deh, Ma," Kiki merajuk dan
menarik tangannya untuk mendekat.
Sesaat Elsa memandangi baju yang dipakai
patung boneka itu. Manis juga modelnya. Cocok
untuk anak seusia Kiki. Bahkan warnanya uang
beqitu cerah akan membuat Kiki yang manis dan
berkulit putih semakin cantik bila mengenakan baju
itu. 109
"Boleh kan Ma?" tanya Kiki lagi saat
melihatnya masih terdiam.
"Coba deh kita lihat dulu," Elsa mengangguk
dan mengajak Koko dan Kiki masuk ke toko busana
itu. Ditunjukkannya model pakaian yang
diinginkan Kiki itu pada pelayan yang datang
menghampiri dan menyapanya manis. Setelah
melihat harganya tak terlalu mahal dan Kiki pun
terlihat begitu pantas ketika mencoba baju itu, Elsa
pun segera membayar harganya.
Tidak lama, mereka pun sudah keluar dari
toko itu. Tinggal mencari pakaian untuk Koko
sekarang. Dilewatinya pedagang kaki lima yang
begitu bersemangat menawarkan dagangannya.
Alhasil banyak juga pengunjung yang tertarik untuk
mendekat'dan membeli barang yang mereka
tawarkan, yang biasanya harganya bisa sedikit lebih
murah dari harga toko itu. Dan Elsa baru saja
hendak melintas pedagang kaki lima yang
dikerumuni pembeli karena menjual tas-tas rajutan
yang kelihatannya antik begitu matanya
menangkap seraut wajah yang pernah dikenalnya. 110
Ya ampun, lelaki itu bukankah Hardi? Mata
indah wanita itu seketika membelalak begitu
merasa penglihatannya tak salah lagi. Dituntunya
kedua anaknya untuk menghampiri seorang lelaki
yang nampak sedang sibuk melayani pembeli.
"Hardi...," panggilnya kemudian ketika laki-
laki itu telah selesai mengembalikan uang seorang
pembeli.
Refleks lelaki yarig dipanggil Hardi itu
menoleh dan memandangnya separuh kaget.
Hampir ia tak percaya saat memandang siapa
wanita yang kini berdiri di hadapannya,
"Elsa?" Kontan ia menyalami dengan hangat
begitu sadar dengan dugaannya. Elsa pun
membalas erat jabatan tangannya, membuat Koko
dan Kiki terlongong memandang mereka.
"Kamu... jualan di sini, Har?" tanya Elsa
kemudian sambil matanya pemandang ke arah
barang-barang dagangan yang digelar di bawah
kakinya. Cukup variasi juga, ada tas Wanita, ikat
pinggang serta keranjang kayu tempat koran atau
majalah. 111
"Beginilah, El. Oya, apa kabarmu sekarang?
Kenapa lama tidak pulang? Dan di mana rumahmu
sekarang?" Bertubi-tubi pertanyaan itu meluncur
dari bibir Hardi.
"Ceritanya cukup panjang, Har," Elsa
mencoba untuk tersenyum. Dipandangnya lamat-
lamat wajah lelaki yang pernah dicintainya telah
sekian tahun tak pernah dijumpainya.
"Tapi suatu saat, mau kan kau menceritakan
nya untukku?" tanya Hardi lagi yang segera, dijawab
dengan anggukan kepala Elsa.
"Oya, ini anak-anakmu, El?" Perhatian Hardi
beralih pada dua bocah cilik di sisi Elsa.
"Iya," kembali Elsa mengangguk. "Oya, Koko,
Kiki kenalkan dong. Ini Oom Hardi, teman Mama
waktu di desa dulu," ujarnya kemudian pada kedua
anaknya. Dengan lembut Hardi pun segera
mengulurkan tangannya ke arah anak-anak itu
disambut dengan sikap lugu.
"Bagaimana kabar Ayah dan ibuku, Har?"
tanya Elsa kemudian mengalihkan pembicaraan. 112
"Mereka baik-baik saja, El. Tapi kasihan
ibumu, kelihatannya ia sangat merindukanmu. Oya,
tahun lalu adikmu si Eli menikah."
"Eli sudah menikah?" Elsa terlonjak.
"Ya, dengan lelaki ganteng anak seberang
desa kita," Hardi menjelaskan.
"Syukurlah kalau ia sudah berumah tangga
dan hidup bahagia," dihembuskannya napas lega.
"Kamu sendiri bagaimana, El? Pasti hidupmu
juga bahagia ya dengan, dua anak yang ganteng dan
cantik ini. Oya, kalian bertiga saja kemari? Mana
suamimu? Kok tidak diajak sekalian?"
Hardi mengukirkan senyum manisnya. Sejak
tadi pandangannya tak lepas dari wajah Elsa yang
pernah menjadi kekasihnya sekian tahun lalu. Ah,
Elsa tetap cantik, menarik dan tak pernah bosan bila
dipandang lama-lama. Malah kini ia kelihatan makin
menarik dengan kematangan usianya. Dan matanya
yang indah itu... ah, mata indah itulah yang pernah
membuatnya jatuh cinta dulu. Namun sayang
semuanya telah berlalu dan kini hanya menjadi
kenangan yang takkan pernah dapat dilupakannya. 113
Belum sempat Elsa menjawab pertanyaan-
nya, datang seorang pembeli yang melihat dan
menawar barang dagangannya. Hingga konsentrasi
Hardi pun jadi pecah.
Elsa yang merasa tak enak hati cepat cepat
menyudahi pembicaraannya dan pamit untuk
meninggalkan tempat Itu.
"Eh, tunggu dulu, El. Kamu harus
menyebutkan alamat rumahmu dulu, agar suatu
saat aku bisa datang main ke sana," tahan Hardi
kemudian.
Elsa menahan langkahnya. Disebutkan
alamat rumahnya yang segera dicatat Hardi dengan
tergesa-gesa.
"Tidak apa-apa kan kalau aku main ke
rumahmu?" tanya Hardi lagi yang segera dijawab
dengan gelengan kepala wanita itu.
"Oke deh kalau begitu," Hardi tersenyum
puas.'"Hati-hati ya. Sampai ketemu nanti."
Dipandangnya kepergian Elsa yang berlalu
bersama dua apaknya dengan hati berbunga-
bunga. Tak pernah disangkanya kalau hari ini ia akan
berjumpa kembali dengan pujaan hatinya yang 114
telah meninggalkannya tanpa kabar berita
beberapa tahun lalu. Walaupun banyak terjadi
perubahan dalam hidup Elsa, namun Hardi merasa
gembira bertemu kembali dengan wanita yang
pernah menghujani hati dan menguasai
perasaannya itu. Disimpannya hati-hati kertas yang
bertuliskan alamat Elsa ke dalam dompetnya.
Tekadnya sudah bulat ia akan mengunjungi rumah
wanita itu suatu hari nanti.
*** Malamnya Elsa tak dapat memicingkan
matanya walau sekejap pun. Sejak tadi di dalam
kamarnya ia hanya membolak-balikkan badannya
dengan gelisah. Entah mengapa pertemuan yang
terjadi sore tadi terbayang kembali dalam ingatan-
nya. Dalam hatinya Elsa. memaki dirinya sendiri
yang tak ibsa melupakan bayang wajah Hardi begitu
saja. Makin berusaha dilupakan, makin kuat bayang
wajah lelaki itu berseliweran di depan matanya.
Dan Elsa tak dapat menahan khayalannya
yang melayang begitu saja. Ah Hardi, sudah sekian
tahun kita tak berjumpa ternyata Tuhan
mempertemukan kita kembali tanpa sengaja? 115
Apa artinya ini?
Tak dapat dipungkiri Elsa pertemuannya tadi
sore dengan mantan kekasihnya yang telah lama
ditinggalkan kembali menimbulkan getar lain di
hatinya. Hardi yang tampan dan punya sinar mata
seteduh telaga itu kini bukan saja terlihat dewasa
dan matang, namun ia juga dapat merasakan
betapa gagah dan dalamnya daya tarik yang
memancar di wajah lelaki itu.
Lamunan Elsa pun terus mengembara. Tak
pernah dapat dilupakannya saat pertama ia melihat
dan berkenalan dengan Hardi yang merupakan
tetangga dengan Tina, teman sebangkunya di kelas.
Sejak pertama bertemu Elsa sudah merasa ada daya
tarik lain yang memancar, dari lelaki itu yang
akhirnya membuatnya mau tak mau tak dapat lagi
menahan dirinya untuk tidak jatuh cinta.
Dap ternyata perasaan itu bukan cuma
dialami olehnya saja. Hardi pun mempunyai
perasaan sama sejak pertama kali melihat dan
berkenalan dengannya. Lalu dua hati yang sedang
jatuh cinta itu memutuskan untuk menjalin tali
kasih. Petapa bahagianya hati Eba kala itu
mempunyai kekasih seganteng dan sebaik Hardi- 116
Walaupun Hardi hanyalah lulusan SMP dan ia tak
dapat meneruskan sekolahnya ke tingkat SMU
karena terbentur faktor biaya, namun Elsa tak
merasakan itu sebagai beban. Malah ia bangga
mempunyai kekasih yang telah mempunyai
penghasilan tetap dan dapat menopang biaya hidup
keluarganya dengan penghasilannya itu.
Hubungan manis itu mungkin aikan terus
berlanjut kalau orangtua Elsa yang Menginginkan
adanya perubahan dalam keluarganya tak
menentang kisah-kisah mereka. Sudah sejak lama
memang ayah dan ibu Elsa mendambakan
mempunyai menantu yang bisa mengangkat
ekonomi keluarga mereka. Hingga alangkah
kecewanya mereka saat mengetahui siapa yang
dipilih putrinya itu untuk menjadi pendamping
hidupnya kelak. Hardi, yang cuma anak seorang
janda miskin dan mempunyai tanggungan yang
tidak sedikit. Bagaimana mungkin lelaki itu dapat
membahagiakan hidup putrinya kalau untuk
menghidupi keluarganya saja ia harus membanting
tulang?
Keputusan kedua orangtuanya yang tidak
menyetujui hubungannya dengan Hardi memang
cukup menyakitkan hati Elsa. Namun bukan Elsa 117
namanya kalau ia tak mempunyai pendirian kuat
dan dengan diam-diam tetap melanjutkan
hubungannya dengan Hardi.
Hingga akhirnya sesuatu yang mengejutkan
dan kali ini begitu terasa memukulnya terjadi.
Tanpa sepengetahuannya, ayahnya menerima
lamaran Juragan Parlin yang memang sejak lama
mengincarnya dan menginginkan dirinya untuk
diperistri.
Elsa yang panik pun segera mengajak Hardi
untuk kawin lari agar terhindar dari malapetaka itu.
Namun ketidaksediaan Hardi menuruti keinginan
nya itu dengan alasan bahwa ia tak tega meninggal
kan ibu dan adiknya serta melepaskan tanggung
jawabnya begitu saja, sungguh membuat Elsa sakit
hati. Lalu tanpa sepengetahuan siapa pun Elsa pun
kabur dari desanya.
Hingga akhirnya takdir menghendakinya jadi
begini. Begitu ia kembali bertemu dengan laki-laki
yang telah berhasil mengisi relung hatinya dan
mengobati rasa sakit pada masa lalunya, namun
dengan cepat Tuhan telah memanggilnya.


Di Hatimu Kutitip Cinta Karya Fredy S di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kini, di atas ranjangnya, Elsa merenungi dan
menangisi perjalanan nasib yang menimpanya. 118
Mengapa Tuhan seakan tak memperkenankan ia
'berlama-lama' dengan lelaki yang dicintainya?
Pertemuan yang kembali terjadi dengan
kekasih lamanya yang sesungguhnya tak pernah
diputuskan itu kembali menguasai pikirannya.
Adakah maksud Tuhan di balik pertemuan ini? Kalau
tidak, mengapa Tuhan mempertemukan mereka di
saat ia telah kembali sendiri? Mungkinkah Tuhan
akan kembali mempertautkan cintanya dengan
Hardi?
Pertanyaan demi pertanyaan yang muncul
dari dasarmatinya kembali membuat dada Elsa
berdebar. Tak dapat dipungkiri olehnya betapa
masih ada sisa-sisa cinta yang tertinggal dalam
hatinya pada Hardi. Dan saat pandang mata mereka
bertemu sore tadi, Elsa dapat merasakan betapa
masih ada benih-benih rindu yang terpancar dari
balik sorot mata teduh Hardi. Ah, Hardi, adakah
perasaan kita serupa? Tanya hatinya galau.
Begitu matanya terpejam, bibir Elsa pun
terulas senyum karena dalam mimpinya kembali ia
bertemu lelaki yang pernah menjadi cinta
pertamanya dulu...
*** 119
Bukan main senangnya Elsa ketika suatu
malam tanpa disangka-sangka Hardi datang ke
rumahnya. Sudah beberapa hari ini memang ia
amat mengharapkan lelaki itu mau datang ke
rumahnya. Pernah pula dipikirinya, apakah kertas
alamat yang ditulis Hardi hilang, hingga ia tak jadi
datang ke rumahnya?
Namun kini harapannya menjadi kenyataan.
Dengan wajah berseri-seri dipersilakannya lelaki
yang. datang tanpa kendaraan itu masuk.
"Tidak sulit kan mencari rumahku?" tanyanya
ceria begitu mereka sudah duduk di ruang tamu.
"He-eh," Hardi mengangguk.
Elsa tersenyum cerah mendengar jawaban
itu. Saking gembiranya dengan kedatangan Hardi,
tak lupa ia juga membuatkan kopi untuk lelaki itu.
"Sudah lama kamu jualan di Pasar Baru,
Har?" tanya Elsa membuka percakapan.
"Yah, kurang lebih baru setengah tahun ini."
"Pantas saja. Dulu-dulu aku sering main ke
sana, tapi tidak pernah melihatmu." Elsa manggut-
manggut. Memang, sejak suaminya meninggal baru
itulah dia mengunjungi pertokoan Pasar Baru. Itu 120
pun karena ia punya maksud untuk membelikan
pakaian anak-anaknya.
"Kerja di desa begitu-begitu saja, El. Maka itu
kuberanikan diri merantau kemari. Kali saja
penghidupanku jadi berubah," ujar Hardi lagi
dengan senyum hambar.
"Kalau memang sudah memutuskan untuk
tinggal di sini, harus pantang menyerah, Har.
Majulah terus kalau ingin berhasil. Namanya aja
Jakarta, kita harus pandai-pandai membawa diri,"
sahut Elsa bernada menasehati. Cukup lama juga
mereka berbincang-bincang, sampai akhirnya Hardi
celingukan seperti mencari-cari.
"Kenapa, Har?" tanya Elsa menangkap
keheranan di wajah tamunya.
"Anak-anak sudah tidur?" Hardi balik
bertanya.
"Ya," Elsa mengangguk. "Mereka memang
tidak biasa tidur malam. Sebelum jam delapan
mereka sudah naik ke tempat tidur."
Hardi melirik arlojinya sejenak, lalu kembali
berkata, "Sudah cukup malam. Kok suamimu belum
pulang juga sih?" 121
Elsa cuma tersenyum kecut mendengar
pertanyaan itu. Dihempaskannya napas berat
sebelum akhirnya menjawab.
"Oh, rupanya kau mencari suamiku toh,"
angguknya kemudian. "Tidak, Har, yang kau cari
tidak akan pernah lagi pulang ke rumah..."
"Maksudmu?" tanya ha tak paham.
"Dia sudah meninggal, Har. Setahun yang lalu."
"Hah? Jadi...?" Hardi terkesima.
"Aku sudah menjanda sekarang. Dengan dua
anak-anak yang menjadi tanggunganku," jelas Elsa
dengan lidah kelu.
Beberapa saat Hardi termangu mendengar
keterangan yang tidak pernah disangkanya itu. Jadi
dugaannya yang mengira Elsa telah hidup
berbahagia dengan lelaki yang tentu saja amat
menyayangi dan mencintainya keliru besar. Telah
setahun Ini justru Elsa harus menanggung beban
berat dan rasa sepinya ditinggal suaminya tercinta.
"Kenapa, Har? Kok jadi bengong?"
pertanyaan Elsa kembali menyadarkan keterma-
nguan lelaki itu yang segera membetulkan letak 122
duduknya dan mengubah kembali parasnya yang
sempat kaget.
"Kamu sendiri bagaimana?" tanya Elsa lagi.
"Aku yakin, pasti kamu juga sudah mempunyai
anak-anak yang manis dan istrimu tentu cantik
sekali," katanya menebak-nebak.
"Aku...?" Kembali Hardi terlengak mendengar
ucapan itu. "Kau mau tahu tentang aku?"
"Kenapa tidak?" Elsa mengerjabkan mata
indahnya.
Sejenak Hardi menarik napasnya sebelum
berkata, "Tebakanmu benar, El. Aku memang sudah
menikah, tapi Tuhan belum mempercayai kami
untuk mengasuh anak. Padahal aku sudah amat
mengharapkan hadirnya bayi mungil setelah
menanti selama dua tahun."
Sungguh, Elsa amat tertegun mendengar
pengakuan itu. Semula dia hanya mencoba
menebak-nebak apakah Hardi sudah menikah atau
belum. Dan jawaban yang diberikan lelaki itu entah
mengapa seolah membuatnya patah semangat. Tak
dapat dipungkirinya kalau sebenarnya dalam 123
hatinya yang paling dalam ia mengharapkan Hardi
menjawab kalau dirinya belum menikah.
"Jadi, sampai sekarang kamu belum
mempunyai momongan, Har?" pertanyaan itu me
luncur begitu saja dari bibirnya. Lewat pertanyaan
itu ia bermaksud hendak menegaskan hatinya
bahwa tak ada lagi yang dapat diucapkan dari lelaki
yang kini berada di hadapannya Namun jawaban
yang kembali diterimanya dan Hardi sungguh
membuatnya kembali berdebar.
"Itulah yang membuatku malas berada di
rumah, El. Bahkan hanya karena itu pula sering
terjadi pertengkaran di antara aku dan istriku.
Istriku selalu menyalahkanku, sementara aku pun
menganggap istriku tak becus melahirkan anak,"
raut wajah Hardi terlihat begitu muram.
Diremasnya-rambutnya dengan ekspresi setengah
putus asa.
"Kamu harus sabar, Har. Mungkin belum
saatnya kau mendapatkan apa yang menjadi
impianmu itu," Elsa ikut prihatin, walau hatinya
merintih.
"Sabar? Mungkin betul apa katamu itu Tapi,
bagaimana aku bisa sabar kalau istriku malah 124
bersikap dingin dan ketus padaku? Bagaimana aku
bisa sabar kalau dia tak lagi menyambutku dengan
hangat setiap aku pulang bekerja? Lama-lama aku
jadi enggan pulang ke rumah," ucapan itu terasa
begitu mengiris-iris hati Elsa. Ah, Hardi, kasihan
sekali kamu.
"Kalau keadaannya begini terus menerus,
mungkin rumah tangga kami akan segera berakhir.
Tinggal kutunggu satu kata darinya saja, yaitu cerai!
Setelah itu biarlah akan kuambil jalan sendiri-
sendiri," ujar Hardi lagi dengan hati lara.
"Jangan, Hardi!" selanya tiba-tiba.
Dipandangnya wajah lelaki yang tampak tengah
berduka itu dalam-dalam.
"Kenapa?" Hardi balas memandangnya.
"Jangan sampai kalian berpisah. Peliharalah
rumah tanggamu baik-baik. Percayalah, suatu saat
nanti pasti Tuhan akan mengaruniakan padamu apa
yang kau harap-harapkan."
"Mungkinkah itu, El?" tanyanya parau. "Kau
tahu, tak ada yang dapat dipertahankan lagi pada
rumah tanggaku. Apalagi kini... aku telah 125
menemukan kembali mutiaraku yang hilang
dulu...."
"Apa maksudmu, Hardi?" Elsa terperangah.
Debar di hatinya makin menjadi-jadi mendengar
kalimat yang didengarnya barusan.
"Tuhan sudah mempertemukan kita kembali
setelah sekian tahun tak berjumpa Tidakkah kau
mengerti apa maksudnya?" Hardi balik bertanya.
"Aku.., aku tak paham apa maksudmu," Elsa
tergagap.
"Kau belum paham mengapa Tuhan
mempertemukan kita kembali dalam keadaan
seperti ini? Dan di mana kau telah menjanda karena
ditinggal mati suamimu, sementara aku merana
karena tak dapat lagi mempertahankan keutuhan
dan kebahagiaan rumah tanggaku? Tidakkah kau
pikir secara tak langsung Tuhan telah
mempertemukan kita kembali untuk...
menjodohkan kita?"
Begitu dalam tatap mata teduh itu
menghujam batinnya. Elsa merasa jantungnya
terlepas. Mulanya memang dia mengharapkan
Hardi belum menikah dan kembali menjadi miliknya 126
kembali seperti dulu. Namun demi mendengar
pengakuan lelaki itu tadi kalau ia telah menikah dan
kini rumah tangganya terancam retak, pelan-pelan
hati Elsa mulai membeku. Dan respeknya tiba-tiba
saja menghilang saat Hardi mengungkapkan
keyakinannya kalau Tuhan telah mempertemukan
mereka kembali karena mereka memang berjodoh.
"Tidak, Har," kepala Elsa menggeleng setelah
beberapa menit ia berusaha menenangkan hatinya
dan berpikir secara realistis. Mana mungkin dia
hidup bahagia di atas penderitaan orang lain?
Alangkah sedih dan laranya istri Hardi bila
mengetahui suaminya bermain api lagi dengan
mantan kekasihnya. Belum lagi bila ia bersedia
dinikahi Hardi, yang sudah tentu pasti lelaki itu akan
menceraikan istrinya.
"Tidak kenapa, El?" Hardi menatapnya galau.
Ditenangkan hatinya yang tiba-tiba terasa rusuh
melihat gelengan kepala wanita muda itu.
"Aku tidak mau hidup bahagia di atas
penderitaan orang lain," ucap Elsa tegas. "Aku tidak
ingin kau menceraikan istrimu hanya karena aku."
"Tapi El, sudah tak ada lagi yang dapat
dipertahankan dalam rumah tanggaku," kilah Hardi 127
kemudian. "Lagi pula, apa salahnya kalau kita
bersatu kembali dalam keadaan yang kurasa sama-
sama pas buat kita?"
"Jangan terlalu yakin dengan pikiranmu
bahwa Tuhan kembali mempertemukan kita muk
dipersatukan kembali Semuanya telah berlalu, Har.
Lupakan tentang masa lalu yang pernah ada di
antara kita. Kita kan bukan anak muda lagi." Elsa
mencoba bersikap dewasa.
Namun jawaban yang keluar dari mulut Elsa
membuat Hardi gelisah. Kini ia memajukan
duduknya dan memberanikan diri meraih jemari
tangan wanita yang pernah dicintainya. Dan itu
tentu saja membuat Elsa sempat kaget. Sejak
suaminya meninggal, belum pernah ia disentuh
lelaki lain walaupun hanya untuk menggenggam
tangannya. Fen sendiri pun yang telah cukup lama
bergaul akrab dengannya belum pernah berbuat
seperti apa yang dilakukan Hardi saat ini.
"El," bola mata Hardi makin terlihat murung.
Ditariknya jemari tangan Elsa lalu dikecupnya
hangat, membuat Elsa terkesima.
"Aku masih mencintaimu. Hanya engkaulah
wanita idaman yang ada dalam hatiku dan selalu 128
kurindukan siang malam," bisiknya dengan suara
bergetar.
Melihat sikapnya itu sungguh Elsa hampir
saja luluh. Namun bayangan istri Hardi yang tentu
saja tak akan suka suaminya bermain cinta lagi
dengan wanita lain tertera jelas dalam benaknya.
Ditambah lagi dia tak ingin dituduh Lelah
menghancurkan rumah tangga orang lain.
"Maafkan aku, Har," ucapnya kemudian
dengan lidah kelu. "Aku tahu kalau kau masih
menyayangi dan mencintaiku. Tapi itu tak membuat
kita harus bersatu, Har."
"Kenapa?" Hardi menelan ludahnya yang
terasa pahit.
"Karena... aku... aku sudah dipinang lelaki
lain...," ucapan itu begitu saja meluncur dari
bibirnya. Mungkin, dia memang harus berdusta


Di Hatimu Kutitip Cinta Karya Fredy S di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

agar Hardi mau mengerti dan tidak memaksakan
kehendaknya.
"Jadi...?" Seketika genggaman tangan Hardi
lepas dari jemarinya.
"Sudah ada lelaki lain yang mengisi hatiku
dan siap menjadi pengganti ayah dari anak-anakku. 129
Dalam waktu dekat, mungkin kami akan menikah,"
gugup juga Elsa merangkaikan kalimat itu. Di
matanya melintas wajah Feri yang amat disenangi
anak-anaknya dan telah mengisi hari-harinya
belakangan ini.
"Siapa lelaki yang beruntung itu, El?" Hardi
menghempaskan napasnya yang terasa berat.
"Usianya selisih cukup jauh dariku Har, Tapi
anak-anakku sudah mengenalnya dan mereka bisa
berteman baik," jelas Elsa akhirnya.
Beberapa saat keheningan melingkupi malam
yang sepi itu. Kembali Hardi menghempaskan
napasnya sebelum akhirnya berkata.
"Maafkan aku yang terlalu emosional tadi. El.
Kau benar, mungkin Tuhan memang belum
menjodohkan kita walau mulanya kuyakin kita akan
dapat bersatu lagi karena keadaan kita yang kurasa
cukup mendukung."
"Rencana Tuhan memang di luar perkiraan
manusia, Har. Maafkan juga aku. Bukan maksudku
untuk kembali melukai hatimu." Eisa tertunduk. Tak
terasa setitik air bening menetes dari sudut
matanya. 130
"Tidak apa-apa," lelaki itu mencoba tegar.
"Yang penting kita tetap bersahabat kan?"
Perlahan Elsa mengangguk. Betapa tegarnya
Hardi menerima kenyataan yang tentu cukup
menyakitkan baginya. Dan Elsa hanya bisa
mengeluh pelan saat menyadari kembali dia harus,
berpisah dengan lelaki yang pernah hadir dalam
hatinya. Takdir memang tak pernah menghendaki
mereka bersatu. Keinginannya untuk membahagia-
kan anaknya lebih besar dari kepentingan hatinya
sendiri.
Biarlah kisah lalu ia pergi dari kehidupannya.
Biarlah ia mencoba lagi merajut kisah baru yang
tentu saja tak akan dilalui oleh dinnya sendiri saja,
karena kini sudah ada dua orang buah hatinya yang
harus lebih dipikirkan ketimbang dirinya sendiri.
Begitu Hardi minta diri, Elsa pun melepas
lelaki itu dengan hati haru bercampur lega.
*** Malam Minggu yang cerah. Di atas langit
bintang bersinar cerah. Di sebuah bangku-taman
dengan hamparan rumput yang menghampar hijau,
dua pasang mata berseri-seri memandang ke arah 131
sepasang bocah cilik yang sedang berlari-lari
dengan riang gembira.
Seulas senyum merekah di bibir Elsa yang
nampak bahagia memperhatikan dua anaknya yang
kelihatan ceria. Begitupun dengan Feri yang duduk
di sisinya.
Sudah beberapa hari ini Elsa mempertimbang
kan dengan baik-baiknya mengenai keputusan apa
yang akan diambilnya. Tak ada lagi keraguan dan
kebimbangan di harinya tentang sikap Feri yang
bijak dan penuh perhatian. Mungkin hari inilah
keputusan itu layak diungkapkan, namun Elsa tak
tahu harus memulai dari mana. Diliriknya Feri yang
lurus mengerahkan pandangan pada anak-anaknya
yang bermain tidak jauh dari tempat duduk mereka.
Dada Elsa berdebaran.
Diam-diam dipandanginya lelaki yang sudah
kelihatan matang baik usia maupun tingkah lakunya
itu. "Kenapa, El?" tiba-tiba saja tanpa disang-ka-
sangkanya Feri menoleh ke arahnya yang sedang
termangu keasyikan memandang wajah lelaki itu. 132
"Ah, nggak," sahutnya kikuk. Dibetulkan-nya
sikapnya yang nampak canggung.
"Sepertinya kamu kelihatan gelisah," ujar Feri
menebak. "Kalau memang ada yang ingin kamu
katakan, katakan saja."
Elsa menarik napasnya perlahan, mencoba
menenangkan hatinya yang makin berdetak
kencang.
"Hm, anu, Mas," ujarnya kemudian begitu
dapat menguasai keadaan. "Aku ingin memberi
jawaban atas ungkapan perasaan yang pernah Mas
katakan padaku tempo hari."
"Oya?" Seketika bola mata Feri berseri-seri.
Sudah sekian lama memang dia menanti jawaban
itu. Rupanya sekaranglah saatnya.
"Katakanlah, Elsa," ujarnya lagi tak sabar.
"Aku akan siap menerimanya, betapapun itu akan
menyenangkan atau menyedihkan hatiku..."
"Mas...," Elsa memalingkan wajahnya
kembali. "Sudah kupikirkan masak-masak, aku...
aku akan menerimamu..." 133
"Ah, betulkah itu, Elsa?" Feri menarik napas.
"Betulkah kau mau menerimaku menjadi suamimu
dan ayah bagi kedua anakmu?"
"Sudah kuputuskan begitu, Mas," perlahan
Elsa mengangguk.
Mendengar jawaban yang cukup mantap itu
tanpa sungkan Feri segera meraih jemari Elsa, lalu
dibawanya ke dadanya.
"Sungguh, aku senang mendengar hal ini,
Elsa. Percayalah, aku akan berusaha menjadi suami
dan ayah yang baik bagi anak-anak kita kelak."
ucapnya, kemudian, haru.
"Mas," Elsa pun tak kalah harunya
mendengar kalimat itu. Perlahan disandarkannya
kepalanya ke bahu kukuh lelaki di sisinya.
"Aku sudah memutuskan untuk menitip
cintaku di hatimu. Jagalah dengan baik, Mas," bisik
Elsa sendu.
"Tentu saja, Sayangku," Feri mengelus
rambut indah yang tergerai di bahunya dengan
penuh kasih. "Aku akan selalu mencintaimu,
sekarang sampai selamanya." 134
"Terima kasih, Mas," seulas senyum merekah
di bibir ranum Elsa. Ditatapnya bintang yang
berkilap di atas langit biru. Ah, biarlah langit
menjadi saksi cinta mereka yang diikrarkan malam
ini. Dengan hati berbunga-bunga Feri pun meng-
genggam dan meremas-remas jemarinya yang
lentik Tak lupa diucapkannya rasa syukur pada.
Tuhan yang telah membuka jalan hidupnya yang
baru.
Dalam keheningan malam hati mereka pun
bersenandung riang.
SELESAI
PERNYATAAN
File ini adalah sebuah hasil dari usaha untuk
melestarikan buku novel Indonesia yang sudah sulit
didapatkan di pasaran, dari kemusnahan. Karya
tersebut di scan untuk di-alih-media-kan menjadi
file digital. Ada proses editing dan layout ulang yang
membuat nomor halaman versi digital ini berbeda
dengan aslinya, hal ini dikarenakan hasil dari proses
scan kurang jelas terbaca.
Tidak ada usaha untuk meraih keuntungan finansial
dari karya yang dilestarikan ini.
Saya tidak bertanggung jawab atas tindakan
pihak lain yang menyalahgunakan file ini diluar dari
apa yang kami nyatakan pada paragraf diatas.
CREDIT
? Awie Dermawan
? Ozan
D.A.S
Kolektor E-Books
Pasangan Jadi Jadian 3 Sherlock Holmes - Pasien Rawat Inap Fairish 2
^