Pencarian

Di Tepi Jeram 1

Di Tepi Jeram Karya Mira W Bagian 1


Mira W.
DI TEPI JERAM
KEHANCURAN
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Jakarta, 2007
DI TEPI JERAM KEHANCURAN
Oleh Mira W.
GM 401 07.016
Desain sampul: Marcel A.W.
? Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Jl. Palmerah Barat 33-37, Jakarta 10270
Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,
anggota IKAPI,
Jakarta, April 1986
Cetakan keenam: Mei 2007
320 hlm; 18 cm
ISBN-10: 979 - 22 - 2845 - 4
ISBN-13: 978 - 979 - 22 - 2845 - 8
Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta
Isi di luar tanggung jawab percetakan
5 "Ada lowongan?" Tanpa permisi, kepala Anis su-
dah melongok melewati bahu Rianti.
"Belum," sahut yang ditanya tanpa menoleh.
Tanpa melihat pun Rianti sudah tahu siapa yang
datang. Enam bulan bersama-sama mengikuti kur-
sus sekretaris, dia sudah dapat mengenali teman-
temannya hanya dengan mendengar suara mereka.
Bahkan untuk beberapa orang, bunyi sepatu mereka
saja sudah dapat dikenalinya.
"Tidak ada atau tidak ada yang cocok?"
"Dua-duanya."
Tanpa mengacuhkan seloroh Anis, Rianti me-
lanjutkan kerjanya. Membolak-balik daftar perminta-
an tenaga sekretaris di bursa lapangan kerja yang
dikelola oleh salah seorang bekas gurunya.
Sesudah lulus ujian, memang cuma itulah
kesibukannya setiap hari. Mencari pekerjaan. Tetapi
BAB I
6 memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan keahlian
yang baru diperolehnya rupanya tidak mudah. Ter-
lalu banyak saingan.
"Kamu betul-betul mau kerja, Rian?"
"Nah, kamu pikir mau apa aku ke sini?"
"Bukan cari Pak Ras?"
Memerah paras Rianti. Lagi-lagi Pak Ras. Heran.
Teman-temannya tak pernah bosan-bosannya meng-
godanya dengan Pak Ras. Padahal sudah hampir
setengah tahun laki-laki itu berhenti jadi dosen me-
reka.
Pak Ras membuka usaha business service. Menya-
lurkan tenaga administratif ke perusahaan-perusaha-
an yang membutuhkan. Dan supaya usaha yang
sudah berjalan hampir setahun itu maju pesat, Pak
Ras membuka cabang baru di beberapa tempat.
Karena kesibukan barunya itu, profesinya yang
lama terpaksa ditinggalkan. Padahal dia sudah lima
tahun lebih menjadi salah seorang staf pengajar di
kursus sekretaris tempat Rianti menuntut ilmu.
Meskipun Pak Ras hanya mengajar korespon-
densi, dia termasuk guru favorit di sana. Wajahnya
tampan. Sikapnya simpatik. Biarpun tubuhnya agak
pendek, teman-teman Rianti amat menyukainya.
Pak Ras memang murah senyum. Tidak pelit
memberi nilai. Dan selalu siap mendengarkan keluh-
an murid-muridnya. Hubungannya dengan siswi-
siswinya yang rata-rata masih remaja itu sangat ak-
rab. Tidak heran begitu ada siswi yang kelihatannya
7 mendapat perhatian istimewa, gosip langsung ber-
munculan dari sana-sini.
"Ini ada permintaan dari panitia delegasi Indo-
nesia ke Konferensi Pengusaha Real Estate Asia-
Afrika di Kairo."
Bu Titi menyodorkan sehelai kertas. Tentu saja
maksudnya untuk Rianti. Tetapi yang lebih cepat
menyerobotnya justru Anis.
"Apa syarat-syaratnya, Bu?" tanya Anis sambil
buru-buru membaca isi kertas itu.
"Baca saja sendiri," sahut Bu Titi kurang se-
nang.
Sudah lama Bu Titi bersimpati kepada Rianti.
Calon sekretaris yang satu itu amat berbeda dengan
kebanyakan temannya. Dia pendiam. Boleh dikata-
kan malah agak pemalu. Tidak pernah berusaha
menarik perhatian orang. Cara bicara maupun gaya
berjalannya tak pernah dibuat-buat.
Wajahnya memang tidak terlalu cantik. Tetapi
wajah kebocahan yang masih polos itu malah meng-
undang simpati yang lebih besar lagi bagi yang
melihatnya. Lebih-lebih kalau dia sedang tersenyum.
Senyum tersipu yang menggemaskan.
Sebenarnya dia tidak cocok untuk menjadi se-
orang sekretaris, sering Bu Titi berpikir demikian.
Untuk menjadi sekretaris dibutuhkan igur yang
menarik, pandai menguasai keadaan, dan cekatan
melayani atasan serta menerima tamu. Bukan gadis
yang pemalu dan serbacanggung begini!
8 "Ayah ingin saya cepat dapat pekerjaan, Bu,"
sahut Rianti terus terang ketika Bu Titi menanya-
kan alasannya masuk kursus sekretaris. "Karena itu
lulus SMA saya langsung mendaftar di sini. Biaya-
nya pun tidak terlalu besar."
"Berapa kecepatanmu mengetik sekarang, Rian?"
"Dua ratus tujuh puluh ketukan per menit, Bu."
"Bagus. Dalam surat permintaan itu mereka men-
cari seorang sekretaris dengan kecepatan mengetik
di atas dua ratus. Coba tanya Pak Ras kalau datang
nanti. Barangkali dia mau mencalonkanmu."
Tetapi di sana ada Anis. Dan dia lebih pandai
menarik perhatian Pak Ras. Lebih pandai merayu
pula. Dia cantik. Dewasa. Dengan penampilan yang
tidak memalukan untuk dibawa ke forum inter-
nasional. Nah, selama masih ada sekretaris sekaliber
Anis, siapa yang mau melirikkan mata pada Rianti?
Kecuali kalau dia sendiri yang mendorong dirinya ke
depan.
"Dekati Pak Ras," bisik Bu Titi, yang sudah ham-
pir setahun menjadi kepala tata usaha di sana. "Dia
baik kok."
Ya, Pak Ras memang baik. Terlalu baik malah.
Tapi Rianti malu. Masa dia harus merayu untuk
mendapat pekerjaan? Lagi pula bagaimana cara-
nya? Bermanis-manis seperti teman-temannya?
Ah, rasanya dia tidak sanggup. Dia selalu gugup
kalau berada di dekat laki-laki. Apalagi yang sebaik
Pak Ras. Ramah. Dan menarik.
9 "Selamat siang."
Sapaan yang ceria itu sudah mengisi seluruh
ruangan sebelum Rianti sempat menemukan bagai-
mana caranya untuk mendekati Pak Ras. Dan orang
yang sedang dipikirkannya itu muncul begitu saja.
Rianti merasa pipinya panas. Dibalasnya sapaan
Pak Ras tanpa berani balas menatap. Anis-lah yang
sudah mendahului menghampiri Pak Ras.
"Ada lowongan nih, Pak," katanya sambil mengi-
baskan kertas di tangannya. "Buat saya ya?"
Bu Titi mendengus jengkel. Tetapi Anis sedang
terlalu sibuk untuk mendengar. Lagi pula cuma se-
orang kepala tata usaha tidak masuk dalam perhi-
tungannya. Tidak ada perhatian yang tersisa buat
Bu Titi. Semuanya hanya untuk Pak Ras. Di ta-
ngannyalah kini nasibnya.
Konferensi di Kairo! Bukan main. Permulaan
yang baik untuk kariernya. Konferensi internasional.
Wah, pasti uang sakunya besar!
Dan bukan itu saja. Bukan cuma honor. Tapi
sekaligus pergi ke luar negeri! Wah. Wah. Di sini,
ke Bali saja dia belum pernah! Dan Rianti tersentak
kaget. Kaki Bu Titi menyenggol kakinya. Ketika dia
menoleh, perempuan itu mengerlingkan matanya ke
arah Pak Ras. Mengisyaratkannya agar ikut me-
rayu.
Tetapi Rianti tidak mampu. Jangankan merayu.
Membuka mulut saja sudah sulit. Parasnya sudah
dua kali berganti warna. Padahal Pak Ras tidak se-
10 dang memandangnya. Dia sedang membaca surat
permintaan yang disodorkan Anis.
"Ah, kamu," katanya separuh melecehkan se-
paruh bergurau. Tentu saja kepada Anis. Yang se-
dang menatapnya dengan harap-harap cemas. "Ste-
nomu masih kurang cepat. Kecepatan mengetik
baru dua ratus lebih sedikit. Kok sudah mau me-
lamar ke konferensi internasional! Jangan memalu-
kan saya dong!"
"Aduuuh, Pak Ras nih!" Anis pura-pura merajuk.
"Ngejek melulu! Serius nih, Pak! Buat saya ya? Ayo
dong, Pak! Saya sudah ingin kerja! Masa nganggur
terus?!"
"Bukan cuma kamu kok yang masih mengang-
gur."
Pak Ras menoleh ke arah Rianti. Dan yang di-
toleh menjadi gugup setengah mati. Mukanya me-
merah dengan sendirinya. Dia buru-buru menun-
duk. Menghindari tatapan Pak Ras.
"Berapa kecepatanmu, Rian?"
"Dua ratus tujuh puluh," sambar Bu Titi, seolah-
olah takut keduluan. Kalau menunggu Rianti, ba-
rangkali sampai besok dia baru bicara! "Stenonya
juga baik, Pak. Korespondensinya tidak memalukan.
Cuma belum ada lowongan saja. Kasihan, tiap hari
dia kemari. Ayahnya ingin sekali dia cepat-cepat
dapat pekerjaan."
"Tiap orang juga begitu, Bu Titi." Pak Ras ter-
senyum sinis. "Lulus sekolah ingin buru-buru dapat
11 pekerjaan. Tapi lowongan pekerjaan sekarang ini
kan sulit."
"Mumpung ada lowongan, Pak," potong Anis
gesit. "Bagaimana kalau Bapak mengajukan kami
berdua? Kami bersedia dites! Biar mereka yang me-
milih!"
Anis begitu mantap. Rianti pasti bukan saingan
berat. Dia boleh pandai. Tapi penampilan? Hah!
Siapa yang mau punya sekretaris pemalu seperti
anak sekolah begitu? Pasti dia yang terpilih. Dia
tahu sekali bagaimana caranya memikat perhatian
penguji. Mudah-mudahan mereka laki-laki semua!
"Hubungkan saya dengan sekretariat panitia ini,
Bu Titi." Pak Ras menyodorkan kertas itu kepada
Bu Titi. "Saya ingin tahu syarat-syarat yang lebih
terperinci. Dan bagaimana kondisi yang mereka
tawarkan. Kalian berdua pulang dulu saja. Temui
saya di sini besok pukul sembilan."
Rianti sudah buru-buru memutar tubuhnya se-
telah mengucapkan selamat siang. Tapi Anis masih
di sana. Dia benar-benar gigih. Dalam hal yang
satu ini Rianti kalah lagi.
* * *
Begitu Rianti membuka pintu pagar halaman ru-
mahnya, ayah tirinya langsung menyambut dengan
pertanyaan yang itu-itu saja. Pertanyaan yang ke-
marin. Dan kemarinnya lagi.
12 "Bagaimana? Dapat?"
Sejak Ayah diberhentikan dari pekerjaannya se-
bagai karyawan perusahaan konfeksi, hampir tiap
hari dia ada di rumah. Ibulah yang menggantikan
tugasnya. Pergi mencari nafkah.
Terus terang, Rianti lebih senang kalau Ibu yang
diam di rumah. Ibu lebih sabar. Lebih penuh peng-
ertian. Tidak pernah menuntut apa-apa. Ibu meng-
erti betapa sulitnya mencari pekerjaan. Lebih-lebih
bagi seseorang yang baru saja lulus sekolah. Belum
memiliki pengalaman.
Karena ingin cepat-cepat bekerja, Rianti men-
daftarkan diri di business service yang dikelola oleh
Pak Ras. Tetapi hampir semua permintaan yang
masuk mencantumkan syarat sudah berpengalaman.
Kalaupun ada yang tidak, pasti sudah didahului
oleh teman-temannya. Mereka lebih gesit. Lebih
pandai merayu.
"Hhh, bagaimana sih," gerutu Ayah ketika dilihat-
nya Rianti menggeleng lemah. "Sudah tiga bulan
cari pekerjaan masih belum dapat juga."
"Belum ada lowongan, Yah."
"Itu di koran begitu banyak yang cari sekretaris!"
"Tapi semuanya mencari yang sudah berpengalam-
an!"
"Katamu dulu masuk business service lebih cepat
bisa dapat pekerjaan! Mana buktinya? Sudah tiga
bulan kamu masih tetap nganggur! Buang-buang
uang saja!"
13

Di Tepi Jeram Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rianti tidak menjawab. Karena dia memang tidak
merasa perlu menjawab lagi. Dan tidak tahu lagi apa
yang harus dijawab. Ayah selalu marah-marah.
Lebih-lebih kalau dia pulang belum mendapat pe-
kerjaan juga. Padahal siapa sih yang tidak ingin ker-
ja? Ah, rasanya Rianti ingin menangis. Dia tidak
tahu harus bagaimana lagi. Dulu dia ingin sekali
masuk Akademi Seni Rupa. Lebih sesuai dengan
bakatnya. Tetapi Ayah melarang. Katanya pekerjaan
itu tidak menghasilkan uang.
Lulus SMA, Ayah langsung menyuruhnya men-
daftarkan diri di sebuah kursus sekretaris. Lebih
cepat dapat pekerjaan. Lebih cepat menghasilkan
uang. Adik-adiknya banyak, kata Ayah. Dia harus
membantu mengongkosi sekolah mereka.
Terpaksa Rianti mematuhi keinginan Ayah
tirinya. Padahal pekerjaan itu tidak sesuai dengan
bakatnya. Dia seorang introver. Dan gadis introver
tidak cocok untuk menjadi sekretaris.
Tetapi Ayah tidak peduli. Ayah orangnya keras.
Tidak pernah mau dibantah. Lebih-lebih setelah dia
kehilangan pekerjaan. Dan hampir selalu berada di
rumah sepanjang hari. Lebih banyak lagi kesalahan
yang dapat ditemukannya. Kalau sudah demikian
anak-anaklah yang jadi korban.
Yos dipukuli dengan ban pinggang kulit milik
Ayah. Padahal dia cuma ketahuan sedang merokok.
Wajar kalau anak SMA seperti dia ikut-ikutan te-
14 mannya, bukan? Tetapi Ayah sangat marah. Seolah-
olah Yos baru saja membakar rumah mereka.
"Uang dibakar percuma begitu! Cari uang sendiri
belum bisa sudah pintar membuang uang!"
Yan lain lagi. Pulang sekolah sepedanya ringsek
ditubruk bajaj. Dia belum sempat minta uang un-
tuk memperbaiki sepeda itu di bengkel ketika rotan
Ayah sudah menghajarnya sampai babak belur.
Adik-adiknya yang perempuan lebih beruntung
sedikit. Ayah tak pernah memukul mereka. Tetapi
kalau Ayah sedang marah, Lestari dan Hesti sampai
tidak berani keluar dari kamar. Padahal mereka ber-
dua anak kandung Ayah. Hasil pernikahannya de-
ngan ibu Rianti.
"Kalau tahu begini, lebih baik Ibu tidak menikah
lagi," tangis Ibu ketika melihat bilur-bilur di tubuh
Yan. Bilur bekas pukulan rotan malah lebih banyak
daripada memar karena ditubruk bajaj. "Tapi dulu
Ayah begitu baik. Ibu merasa lebih tenang meng-
urus dan membesarkan kalian kalau ada yang mem-
beri nafkah. Melindungi keluarga kita. Ayah begitu
berubah setelah dipecat dari pekerjaannya"
Barangkali Ibu benar. Ayah stres setelah dipecat
dengan tidak hormat dari pekerjaannya. Ayah di-
tuduh berkomplot dengan teman-temannya meng-
gelapkan sepuluh lusin kemeja yang sudah jadi.
Padahal menurut Ayah, dia tidak pernah ikut de-
ngan mereka.
Lalu Ayah mencoba mencari pekerjaan di tempat
15 lain. Tetapi karena keahliannya cuma memotong
kain, pekerjaan lainnya sulit didapat. Apalagi Ayah
tidak punya surat referensi. Dia diberhentikan de-
ngan tidak hormat. Dituduh mencuri. Tidak diaju-
kan kepada yang berwajib saja sudah bagus.
Ayah ingin membuka usaha jahit sendiri. Tetapi
dia belum punya modal. Dari anak-anaknyalah di-
harapkannya modal itu dapat diperoleh. Padahal
anak yang sulung baru sebesar Rianti. Baru dia
yang lulus SMA. Setelah mengikuti kursus enam
bulan, Ayah mengharap dia langsung mendapat pe-
kerjaan. Dan membawa sejumlah uang untuk mem-
beli mesin jahit.
"Mau ke mana lagi?" tegur Ayah begitu dilihat-
nya Rianti sudah bergerak hendak keluar lagi. "Ba-
ru pulang sudah mau ngeluyur!"
"Latihan ngetik di rumah teman," sahut Rianti
ketakutan. Dia memang tidak betah berdua saja di
rumah dengan Ayah. Adik-adiknya belum pulang.
Ibu belum akan muncul sebelum matahari terbe-
nam di ufuk barat.
"Sudah lulus kok masih perlu latihan! Alasan
saja!"
"Supaya lebih mahir, Ayah. Mengetik kan perlu
latihan terus. Padahal kita tidak punya mesin tik."
"Ah, alasan! Bilang saja kamu mau jalan-jalan.
Buang-buang uang saja!"
Apa yang dibuang? keluh Rianti dengan hati pe-
dih ketika dia sedang menelusuri jalan berdebu ke
16 rumah Bu Titi. Dia tidak pernah naik bus. Apalagi
bajaj. Ke mana pun ditempuhnya dengan berjalan
kaki. Kadang-kadang membonceng teman kalau ada
yang berbaik hati menawarkan.
Mesin tik dia tidak punya. Padahal lancar me-
ngetik merupakan keharusan bagi seorang calon
sekretaris. Dan untuk mengetik dengan lancar dia
perlu banyak latihan. Terpaksa dia pinjam sana-
sini.
Sebenarnya yang dipinjamnya bukan cuma mesin
tik. Sepatu pun terpaksa dia meminjam dulu. Se-
orang sekretaris perlu sepatu dengan ujung tertutup
dan bertumit tinggi. Padahal sejak kelas dua SMA,
sepatunya belum pernah berganti. Masih tetap se-
patu karet untuk berolahraga.
Mau membeli, Rianti belum punya uang. Minta
uang pada Ibu, Rianti tidak tega. Uang kursus yang
dua ratus lima puluh ribu itu pun masih dicicilnya.
Untung direktur tempat kursusnya itu baik hati.
Dia mengerti kesulitan Rianti. Dan memberikan
keringanan untuk mencicil.
Enam bulan kursus di sana, hampir semua orang
bersimpati pada Rianti. Hidupnya yang prihatin,
sikapnya yang lugu dan sederhana, menarik perhati-
an semua staf pengajarnya. Apalagi dia cerdas dan
rajin. Semua pelajaran dapat diselesaikannya dengan
baik.
Bu Titi belum pulang ketika Rianti datang ke
rumahnya. Tapi suaminya ada. Dan dia sudah kenal
17 pada Rianti. Tanpa ragu-ragu dia menyilakan Rianti
masuk.
"Maaf, Pak. Mengganggu lagi. Boleh pinjam me-
sin tiknya?"
"Oh, tentu. Pakai saja," sahut suami Bu Titi de-
ngan ramah. "Sudah dapat pekerjaan?"
"Belum, Pak."
"Wah, sayang sekali. Bu Titi juga cerita, lowong-
an sekarang sulit. Jarang ada permintaan."
"Tidak mengganggu kalau saya mengetik di sini,
Pak?"
"Oh, tentu saja tidak. Kebetulan Bapak juga
mau pergi. Jadi ada yang jaga rumah. Tolong beri-
kan kunci rumah pada Bu Titi kalau dia pulang
nanti ya."
Sampai Pak Handoko meninggalkan rumah,
Rianti masih termenung di depan mesin tiknya.
Alangkah baiknya laki-laki itu. Ah, seandainya Ayah
sedikit saja menyerupai dia
Ayah kandung Rianti telah meninggal ketika dia
baru berumur empat tahun. Ketika itu, Yan baru
saja lahir. Rianti sudah tidak begitu ingat lagi bagai-
mana rupa ayahnya. Tapi kerinduannya untuk me-
miliki seorang ayah masih tetap belum terpuaskan
sampai sekarang.
Ayah tirinya memang dapat dipanggilnya Ayah.
Tapi cuma itu. Ayah bukan igur kebapakan yang
kokoh di luar tapi lembut di dalam seperti yang
selama ini dibayangkannya. Bukan laki-laki penuh
18 kasih sayang yang memanjakan anak perempuannya.
Bukan pahlawan yang melindungi keluarganya da-
lam ketenteraman.
Ayah tirinya kasar. Diktator. Pemarah. Nyinyir.
Dan masih seribu satu sifat jelek lagi. Satu-satunya
kelebihannya hanyalah dia tidak punya perempuan
lain selain Ibu. Dan dia tidak pernah melarikan
diri dari frustrasinya kepada minuman keras.
Rianti masih asyik mengetik ketika Bu Titi pu-
lang. Dan belum juga meletakkan tasnya, Bu Titi
sudah menghampirinya sambil menggerutu.
"Kenapa buru-buru pulang, Rian? Anis masih di
sana! Jangan cepat putus asa. Kamu mesti gigih
mendesak Pak Ras. Kalau dia mau, kamu bisa da-
pat pekerjaan itu. Mereka tidak mencari sekretaris
yang berpengalaman. Cukup yang bisa steno dan
mengetik cepat. Kamu tahu berapa honornya, Rian?
Tiga ratus ribu bersih, makan dan penginapan gra-
tis, masih dapat uang saku sepuluh dolar sehari,
apa kamu tidak kepingin? Lha, bukannya ngotot,
malah terbirit-birit lari pulang!"
Tiga ratus ribu! Ya Tuhan! Alangkah banyaknya.
Belum pernah dia memegang uang sebanyak itu.
Tiga ratus ribu. Bisakah untuk membeli sebuah me-
sin jahit? O, Ayah pasti gembira! Ayah dapat mulai
bekerja kembali. Dan sifatnya akan berubah Be-
tapa bahagianya Ibu nanti!
Selama ini Ibu sudah cukup menderita. Tertekan
karena sikap Ayah yang kasar. Adik-adik juga akan
19 merasa lega. Tidak usah takut lagi dimarahi Ayah
untuk kesalahan yang sepele.
Tapi benarkah dia dapat memperoleh uang
itu? Mungkinkah dia berhasil mengalahkan teman-
temannya? Menyingkirkan saingan-saingannya un-
tuk meraih pekerjaan itu?
Ah, Pak Ras memang baik. Terlalu baik malah.
Dia memang baik pada setiap orang. Tetapi pada
Rianti, sikapnya lebih manis lagi.
Teman-temannya sudah lama menggosipkan, Pak
Ras menaruh hati padanya. Dulu Rianti tidak pe-
duli. Dia hanya menganggap Pak Ras sebagai guru.
Tidak lebih.
Pak Ras memang tampan. Simpatik. Masih mu-
da pula. Umurnya pasti tidak lebih dari tiga puluh
lima tahun. Tapi dia sudah punya istri. Punya
anak. Apa yang dapat diharapkannya lagi dari laki-
laki yang sudah punya keluarga?
Rianti tidak mau merusak rumah tangga orang.
Lagi pula, dia tidak tertarik pada Pak Ras. Sekarang
baru timbul persoalan. Dia harus mendekati laki-
laki itu. Supaya dapat memperoleh pekerjaan.
Tapi mendekati bukan berarti harus memberi-
kan sesuatu bukan? Dia bisa minta agar Pak Ras
memilihnya. Tanpa perlu menukarnya dengan se-
suatu.
"Besok pagi Pak Ras ada di kantor. Pukul de-
lapan," kata Bu Titi pula. Aduh, tidak sabar rasanya
menghadapi pelonco ini. Pada saat teman-temannya
20 yang lain sedang berjuang mendapatkan pekerjaan
yang mereka inginkan, dia malah bengong di sini!
Di zaman yang sulit ini, mana ada pekerjaan yang
turun sendiri dari langit? Kecuali kalau bapaknya
yang menganugerahkan pekerjaan itu! "Lebih baik
kamu tunggu dia di sana! Minta supaya pekerjaan
itu diberikan padamu. Ayo, Rian, kapan lagi? Ini
ada kesempatan bagus! Jangan disia-siakan!"
* * *
Tetapi kesempatan bagus itu tidak datang semulus
yang diharapkannya. Seperti tahu sedang ditunggu
gadis-gadis manis, Pak Ras seolah-olah tahan harga.
Pukul sepuluh lebih empat puluh lima menit dia
baru muncul di kantor. Tamu yang menunggunya
sudah ada dua orang. Ketika tamu pertama selesai
diterima, muncul dua orang tamu lagi.
Teman-teman Rianti benar-benar gigih. Kalau
kemarin cuma Anis yang mengharapkan pekerjaan
itu, sekarang ada tiga orang gadis lagi yang meng-
inginkan pekerjaan yang sama.
Sebenarnya Rianti sudah putus asa. Luki sudah
dua kali mengikuti konferensi internasional di Ja-
karta. Bahasa Inggrisnya baik sekali. Bahasa Prancis-
nya juga tidak mengecewakan. Maklum bapaknya
bekas karyawan Kedubes Indonesia di Canberra.
Dan kursus bahasa Prancisnya sudah sampai 5 f.
Nah, kurang apa lagi? Pasti dia yang terpilih. Le-
21 bih baik Rianti pulang saja. Daripada buang-buang
waktu di sini. Tetapi Anis masih gigih seperti kema-
rin. Meskipun harapannya tinggal selembar benang,
dia masih tetap bertahan.
"Kemarin Pak Ras sudah janji, pekerjaan itu
akan diberikannya kepadaku," katanya mantap, en-
tah untuk menghancurkan mental saingan-saingan-
nya, entah cuma untuk menghibur dirinya sen-
diri.
"Asal kamu mau dicium saja!" gerutu Dila, me-
lampiaskan kejengkelannya.
Seperti Rianti, Dila juga sudah patah semangat.


Di Tepi Jeram Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tubuhnya terlalu "montok" untuk tubuh seorang
sekretaris. Pak Ras sendiri pernah bilang, dia terlalu
lamban. Direkturnya bisa pegal disuruh menunggu
terus.
Dila kemari bukan untuk menemui Pak Ras.
Lelaki itu memang baik. Tetapi tidak pernah terlalu
ramah kepadanya. Tidak seperti sikapnya terhadap
teman-temannya yang lain. Barangkali karena tubuh-
nya. Potongannya seperti guling.
Biarpun begitu Dila tidak percaya tidak ada lo-
wongan pekerjaan baginya. Tuhan mahaadil. Masa
tidak ada direktris, barangkali wanita separuh baya,
yang membutuhkan seorang sekretaris yang tidak
genit, kurang gesit, tapi setia? Nah, Dila-lah orang-
nya! "Jangan sembarangan omong!" geram Anis marah.
"Kuadukan pada Pak Ras baru tahu rasa kamu!"
22 "Ah, jangan pura-pura enggak tahu!" sambung
Dila, sudah kepalang basah. Sekalian saja dilampias-
kannya kemengkalannya. Mumpung ada kesempat-
an. Toh pekerjaan itu tidak akan dapat diperoleh-
nya! Siapa yang mau melirikkan mata padanya
selama masih banyak gadis-gadis seagresif Anis, se-
cantik Luki, sepandai Rianti?
"Mana buktinya?"
"Tanya saja tuh si Luki!"
"Biar saja, Nis." Luki tersenyum, tenang seperti
biasa. Dia memang masih tetap dapat bersikap te-
nang biarpun yang menuduhnya istri Pak Ras sen-
diri. "Dila lagi kumat. Dilawan juga percuma."
Sambil menggeram Dila bangkit hendak mening-
galkan kantor. Dia memang datang untuk menemui
Bu Titi. Bukan Pak Ras.
Bu Titi orangnya baik. Kalau ada lowongan, pas-
ti dia diberitahu. Sayang, hari ini dia terlambat.
Begitu datang, sudah banyak teman-temannya yang
berkumpul di sini. Kelas berat semua lagi. Lebih
baik dia pulang saja. Percuma.
Tetapi Rianti meraih lengannya. Ketika Dila me-
noleh, dilihatnya gadis itu sedang menatapnya.
Matanya yang sepolos mata bayi itu memandangnya
dengan sungguh-sungguh.
"Tunggu saja, Dila." Suaranya setulus tatapannya.
"Siapa tahu kamu yang terpilih"
Bukan cuma Dila yang tertegun, Bu Titi juga.
Yang terakhir ini malah menghela napas panjang.
23 Ternyata bukan hanya penampilannya saja yang
masih anak-anak, pikir Bu Titi antara kesal dan
iba. Hatinya pun masih seputih hati bayi! Biarpun
sedang bersaing berebut pekerjaan, Rianti masih
tetap menganggap Dila sebagai temannya! Benar-
benar teman sejati!
Dan Pak Ras yang ditunggu-tunggu itu muncul
sebelum Dila sempat mengambil keputusan. Begitu
masuk, dia menyapa gadis-gadis itu dengan ra-
mah. "Selamat siang, Nona-nona manis! Wah, ada apa
rupanya? Pemilihan ratu kecantikan sejagat pindah
kemari?"
Dila mendengus. Tentu saja sepelan mungkin.
Supaya tidak terdengar. Yang dimaksudkan nona-
nona manis itu pasti mereka. Dia tidak masuk hi-
tungan!
Orang-orang bilang, hidung Dila besar seperti
jambu. Mulutnya mancung seperti bemo. Dan
matanya selalu membelalak seperti ikan maskoki.
Jadi dilihat dari pandangan muka, samping, mau-
pun atas, proporsi isiknya pasti jauh dari harmo-
nis. "Katanya ada lowongan buat kita, Pak," cetus
Vin, seakan-akan takut keduluan.
Sejak tadi Vin belum bicara sepatah pun. Mung-
kin menyimpan suara untuk Pak Ras. Di antara
teman-temannya, Vin memang terkenal memiliki
suara yang merdu. Bukan hanya waktu menyanyi
24 dialunkannya suaranya yang bak buluh perindu itu.
Pada saat-saat tertentu, suaranya yang merdu meng-
gemaskan itu dimanfaatkannya pula untuk berbi-
cara. Seperti saat ini misalnya. Jangankan cuma se-
orang Pak Ras. Cecak pun sampai menoleh, tergiur
oleh suara bidadari yang diperdengarkan oleh Vin.
"Memang ada lowongan." Pak Ras tersenyum
menyadari kata-katanya didengar seperti sabda de-
wata oleh gadis-gadis manis ini. "Tapi cuma untuk
satu orang!"
"Bapak sudah janji kemarin!" sela Anis tanpa
sempat menarik napas lagi. "Lowongan itu buat
saya kan, Pak? Saya yang tahu lebih dulu!"
Luki tidak perlu berbunyi. Dia hanya tersenyum.
Begitu yakin akan dirinya sendiri. Tanpa mengeluar-
kan bunyi pun Pak Ras pasti akan menoleh pada-
nya. Dan Pak Ras memang menoleh. Tersenyum.
Tapi tidak memilihnya.
Dila sudah bangkit. Tidak merasa perlu untuk
menunggu sampai Pak Ras menentukan pilihannya.
Kalaupun dia belum meninggalkan ruangan itu,
semata-mata hanya karena dia menghormati bekas
gurunya. Dia melirik Rianti. Tapi Rianti sedang
menoleh ke arah Bu Titi. Dan Dila sempat melihat
isyarat mata Bu Titi.
Sekejap Rianti menjadi gugup. Tidak tahu harus
mengucapkan mantra apa. Dan Pak Ras berpaling
kepadanya sebelum dia keburu menutup mulutnya.
"Kamu juga ingin ke Kairo, Rian?"
25 Suara Pak Ras begitu lembut. Begitu ramah. Be-
gitu menjanjikan harapan. Tetapi celaka. Begitu
mata mereka saling bertemu, lelatu kegugupan me-
letik di hati Rianti. Bukan hanya pipinya yang
merah terbakar. Telinganya juga. Dan dia menjadi
salah tingkah. Lebih-lebih setelah teman-temannya
sama-sama menoleh ke arahnya.
"Saya ingin bekerja, Pak." sahut Rianti terbata-
bata. "Ayah saya"
Rianti sudah tiga kali mengulangi kalimat yang
terakhir itu. Tetapi tetap tidak mampu menyelesai-
kannya. Akhirnya Bu Titi yang tidak sabar. Dengan
gemas dilanjutkannya kata-kata Rianti.
"Dia ingin membelikan ayahnya mesin jahit dari
honornya yang pertama, Pak. Supaya ayahnya bisa
bekerja lagi. Mencari nafkah untuk keluarga me-
reka!"
Yang tercengang bukan cuma teman-temannya.
Rianti sendiri juga terkejut. Ditatapnya Bu Titi de-
ngan bengong. Tapi yang ditatap cuma mendengus.
Hanya Pak Ras yang tidak terperanjat. Ditatapnya
Rianti dengan tatapan yang setenang tadi.
"Baiklah. Kesempatan kali ini saya berikan pada-
mu, Rianti. Tapi kamu masih harus membuktikan
keterampilanmu. Nanti sore datang ke sini. Saya tes
kamu sekali lagi. Supaya tidak memalukan di fo-
rum internasional nanti. Soalnya kamu tidak sendiri-
an di sana. Mereka sudah menyediakan seorang
sekretaris senior yang akan mendampingimu."
26 Masih dengan gaya dan tatapan setenang semula,
tanpa kehilangan senyum simpatiknya, Pak Ras ber-
paling pada gadis-gadis yang lain.
"Nah, Nona-nona manis. Jangan putus asa.
Masih ada kesempatan lain. Bulan depan, ada se-
minar ilmiah dokter-dokter di Bali. Mereka me-
minta kita menyediakan sebuah tim. Selamat
siang."
Cuma Dila yang sempat membalas salam Pak
Ras. Yang lain masih membeku dalam kekecewaan
masing-masing. Sedangkan Rianti masih tenggelam
dalam telaga ketidakpercayaan.
Bukan main! Dia yang terpilih dari antara gadis-
gadis sebanyak ini? Ya Tuhan, apa kelebihannya? O,
rasanya dia ingin menangis. Dengan penuh keharu-
an dibisikkannya ucapan syukur kepada Tuhan.
Kepada Pak Ras, Rianti tidak sempat lagi ber-
terima kasih. Dia sudah keluar. Hanya Bu Titi yang
dapat menjadi tumpuan luapan keharuannya. Di-
rangkulnya wanita separuh baya itu dengan penuh
rasa terima kasih. Air matanya meleleh membasahi
baju Bu Titi.
"Sudah, sudah," bisik Bu Titi, menutupi keharu-
annya sendiri. "Nanti baju Ibu basah semua!"
"Oh, maaf, Bu!" cetus Rianti kaget. Tersipu-sipu
buru-buru disekanya air matanya. Ketika dia hen-
dak mengeringkan tetesan air mata yang merembes
ke baju Bu Titi, perempuan itu mencegahnya.
"Sudah. Tidak apa-apa. Sekarang pulang saja.
27 Latihan mengetik lagi di rumah Ibu. Nanti sore
jangan lupa datang kemari."
"Terima kasih, Bu," kata Rianti sekali lagi. Dia
baru teringat pada teman-temannya. Tetapi mereka
sudah tidak ada. Cuma Luki dan Vin yang masih
sempat dikejarnya. Mereka sedang berdiri sambil
mengobrol di dekat tangga. Dan Rianti masih sem-
pat mendengar kata-kata Luki yang terakhir.
"Sudahlah, Vin. Seperti yang belum kenal Pak
Ras saja. Dia sudah bosan sama kita! Ingin men-
cicipi yang baru!"
Rianti tersentak seperti disengat lebah. Tidak me-
nyangka akan mendengar kata-kata seperti itu di-
ucapkan oleh teman-temannya. Luki mengucapkan-
nya dalam nada sinis. Sesinis senyumannya. Rianti
sampai tidak berani mendekat. Takut akan men-
dengar yang lebih sadis lagi. Lebih menyakitkan
hati.
Rianti masih tertegun di tempatnya ketika sese-
orang memukul bahunya.
"Eh, melamun!" cetus Dila yang tahu-tahu sudah
berada di sampingnya. "Dapat pekerjaan kok malah
bengong! Ayo, traktir dong!"
"Traktir pakai apa?" sahut Rianti, masih gugup.
Entah apa warna mukanya saat itu. Merah? Pucat?
Atau biru?
"Kan boleh ngutang dulu. Pulang dari Kairo ba-
ru bayar!"
Ketika melihat Vin dan Luki masih berdiri di
28 sana, sengaja Dila mengeraskan suaranya. Rianti ti-
dak keburu mencegah. Vin dan Luki sudah menoleh
ke tempat mereka. Dan langsung menghampiri.
"Selamat ya, Rian."
Ada senyum yang menyakitkan di sudut bibir
Luki. Untuk pertama kalinya Rianti tidak senang
melihat wajah gadis itu. Senyumnya membuat
wajah Luki jadi tidak enak dilihat. Padahal dia can-
tik. Dan biasanya Rianti selalu mengagumi kecantik-
annya.
"Ah, selamat apa!" sahut Rianti gugup. "Belum
tentu terpilih kok. Masih harus dites lagi."
"Pasrah saja. Pasti lulus."
Tiba-tiba Vin tertawa geli. Dan untuk kedua
kalinya Rianti tersentak lagi. Biasanya suara Vin
enak didengar. Termasuk suara tawanya. Tapi kali
ini, lebih baik Rianti tidak usah mendengarnya.
"Serahkan saja apa yang diminta Pak Ras. Jangan
kuatir. Dia tidak pernah minta terlalu banyak kok!
Apalagi pada kesempatan pertama!"
Herannya, yang marah bukan Rianti. Tapi Dila.
"Jangan mengajarkan yang bukan-bukan pada
Rianti!" bentaknya sengit. "Dia bukan seperti kali-
an!"
"Lihat saja nanti. Kamu juga tahu kan, seperti
apa Pak Ras itu!"
Sambil mengobral senyum, Luki menggamit Vin.
Dan mereka melenggang meninggalkan Rianti da-
lam kebingungan.
29 "Seperti apa Pak Ras itu, Dila?" tanya Rianti pe-
nasaran.
"Anak-anak bilang dia genit."
"Tapi dia baik."
"Lelaki yang genit memang biasanya baik!"
"Betul yang kamu bilang itu, Dila? Mesti mau
di ah!"
Memerah paras Rianti. Dan dia tidak mampu
melanjutkan lagi kata-katanya.
"Teman-teman bilang begitu."
"Siapa yang bilang?"
"Banyak. Semua yang sudah pernah diberi pe-
kerjaan oleh Pak Ras. Mesti mau dicium dulu baru
lulus."
Merinding bulu-bulu halus di sekujur tubuh
Rianti. Ya Tuhan! Begini beratkah ujiannya untuk
mendapat pekerjaan? O, lebih baik dia menganggur
daripada mesti menyerahkan bibirnya di
"Terus terang aku sih lebih senang kamu yang
dapat pekerjaan itu daripada mereka," kata Dila
ketika dilihatnya Rianti diam saja. "Tapi hati-hati,
Rian. Pak Ras itu buaya. Di luarnya saja dia kelihat-


Di Tepi Jeram Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

an baik!"
"Dila," cetus Rianti tiba-tiba. "Kamu mau meng-
gantikan aku?"
"Menggantikan kamu? Ke mana?"
"Datanglah nanti sore. Ambil pekerjaan itu. Aku
mengundurkan diri saja!"
"Lho!"
30 "Aku takut, Dila!"
"Tapi"
"Tolong katakan pada Pak Ras, ayahku keberatan
aku pergi ke luar negeri!"
* * *
"Kamu ini bagaimana sih, Rian?!" belalak Bu Titi
begitu muncul di ambang pintu rumah Rianti.
"Ada pekerjaan begitu bagus kok ditolak?!"
Petang itu Bu Titi langsung mampir di rumah
Rianti sepulangnya dari kantor. Dan Rianti tidak
keburu mencegah. Bu Titi sudah mengumbar ke-
kesalannya. Padahal di sana ada Ayah!
"Teman-temanmu berebut ingin memperoleh ke-
sempatan itu! Kesempatan langka yang begitu meng-
giurkan! Tiga ratus ribu rupiah! Astaga, Rian! Kamu
sudah terpilih, masa malah mengundurkan diri?!"
"Ada lowongan, Bu Titi?" sela Ayah seperti tikus
mencium beras. "Perusahaan apa?"
"Bukan pekerjaan tetap, Pak. Tapi honornya
baik. Tiga ratus ribu untuk sepuluh hari melayani
kongres internasional di Mesir! Masih ditambah
uang saku sepuluh dolar sehari!"
"Tiga ratus ribu!" Ayah Rianti menelan ludah
dengan sulitnya. "Kamu tolak, Rian?! Kamu sudah
benar-benar gila barangkali!"
"Saya takut, Ayah."
"Takut? Anak sebesar kamu?! Jangan cari pekerja-
31 an kalau takut! Diam saja di kamar! Menyusu pada
ibumu!"
Ada perasaan sesal menyelinap ke hati Bu Titi
ketika mendengar kata-kata kasar yang diucapkan
ayah Rianti. Tetapi semuanya sudah telanjur. Ter-
paksa disaksikannya saja bagaimana Rianti dimaki-
maki ayahnya. Gadis itu hanya menundukkan ke-
pala sambil menggigit bibir. Bu Titi-lah yang justru
merasa sakit.
"Masih ada kesempatan lain, Pak," potongnya,
tak tahan lagi mendengar Rianti dimarahi habis-
habisan. "Bulan depan"
"Bulan depan kan urusan nanti, Bu Titi! Ini su-
dah ada di depan mata! Masa ditolak! Apa dia kira
sekolahnya itu tidak dibayar dengan uang?! Dasar
anak tidak tahu diri! Apa kamu tidak ingin mem-
balas budi orangtuamu? Mengembalikan sebagian
uang yang telah kami keluarkan untuk sekolahmu
dengan gajimu?!"
"Lain kali masih ada kesempatan, Pak. Barangkali
Rianti masih takut ke luar negeri sendirian."
"Tidak! Kamu harus dapat pekerjaan itu, Rian!
Ayah tidak mau tahu! Kamu pergi ke rumah Pak
Ras sekarang! Bilang, kamu mau kerja! Tidak meng-
erti jugakah kamu, Rian? Kita perlu uang!"
"Lebih baik tunggu sampai besok, Pak."
"Jangan, Bu Titi! Harus sekarang juga! Nanti ke-
buru diambil orang! Kamu harus dapat pekerjaan
itu, Rian! Harus! Ayah tidak mau dengar lagi kamu
gagal! Sudah tiga bulan kamu nganggur!"
32 * * *
"Maafkan Ibu, Rian," bisik Bu Titi di pintu pagar
rumah Rianti. "Ibu tidak bermaksud menyusahkan-
mu."
"Memang salah saya, Bu," sahut Rianti lirih. "Ta-
pi saya tidak berani ke rumah Pak Ras."
"Ibu mau mengantarkanmu ke sana, Rian. Tapi
jangan sekarang. Ibu mau mengantar Ruri ke dok-
ter. Bagaimana kalau besok pagi? Sebelum Ibu ke
kantor?"
"Ibu dengar sendiri, Ayah tidak bisa ditawar
lagi!"
"Kalau begitu tunggulah sampai Ibu pulang dari
dokter."
"Ayah tidak bisa menunggu lagi, Bu!"
"Biar Ibu yang bicara."
"Kan Ibu sudah dengar sendiri tadi. Ayah takut
saya keduluan teman lain. Ayah menyuruh saya
pergi sekarang juga!"
"Hhh, ayahmu benar-benar susah dibantah,
Rian!"
"Ayah memang begitu, Bu. Tapi semua salah
saya."
"Sudah. Jangan menyalahkan dirimu lagi. Pergi-
lah tukar pakaian. Nanti ayahmu marah lagi."
"Istri Pak Ras tidak marah kalau saya datang ke
rumahnya sore-sore begini, Bu?"
"Kalau malam lebih tidak enak lagi, Rian. Ayo-
lah, cepat berangkat. Katakan saja pada Pak Ras,
33 ayahmu sudah mengizinkan. Dan kamu minta ke-
sempatan sekali lagi untuk dites."
"Bagaimana dengan Dila, Bu? Saya sudah menye-
rahkan kesempatan itu padanya."
"Kamu terlalu memikirkan orang lain!"
"Tapi Dila teman saya, Bu!"
"Belum tentu Pak Ras mau menerima Dila!"
"Bagaimanapun saya harus menemui Dila dulu,
Bu."
Bu Titi menghela napas.
"Terserah kamulah, Rian. Ibu jadi pusing. Ibu
pulang dulu ya? Ruri sudah dua hari tidak enak
badan."
Lama sudah Bu Titi menghilang di kelok gang,
Rianti masih termenung di pintu pagar. Suara Ayah-
lah yang menyentak lamunannya.
"Tunggu apa lagi?! Pekerjaan itu tidak bakal da-
tang sendiri kemari!"
* * *
"Aku sih oke saja," sahut Dila ketus. "Tadi siang
kamu yang minta aku menggantikan tempatmu."
"Ayah memaksaku ikut, Dila."
"Jadi bagaimana maumu sekarang? Aku pergi ke
rumah Pak Ras dan bilang ayahmu menyuruhmu
ikut?"
"Cukup kalau kamu memaafkan aku, Dila"
"Ah, sudahlah! Aku tidak apa-apa kok! Biar
34 kamu berikan kesempatan ini padaku, belum tentu
Pak Ras memilihku! Dia kan belum buta!"
"Kalau aku datang ke rumahnya sekarang, apa
istri Pak Ras tidak marah, Dila?"
"Ah, masa bodoh saja! Luki pernah didamprat
habis-habisan! Dia tidak peduli!"
Tapi aku bukan Luki! pikir Rianti bingung. Di
mana harus kutaruh mukaku kalau sampai didam-
prat istri orang?
* * *
Istri Pak Ras memang tidak langsung mendamprat.
Tapi wajahnya bukan main masamnya ketika Rianti
datang ke rumahnya. Sikap Pak Ras pun tidak se-
ramah di kantor. Dia seperti kesal Rianti mengun-
junginya di rumah.
"Maafkan saya terpaksa mengganggu Bapak di
rumah," kata Rianti gugup. "Ayah saya sudah meng-
izinkan."
"Tidak bisa tunggu sampai besok di kantor?"
"Saya takut Bapak sudah keburu memberikan
pekerjaan ini pada orang lain."
"Sudahlah, kamu pulang saja. Besok temui saya
di warteg dekat kantor saya. Jam sebelas."
Rianti melongo keheranan. Di warung tegal? Bu-
kan di kantor? Tapi mengapa mesti di sana?
"Istri saya orangnya sulit," bisik Pak Ras, seperti
memahami kebingungan Rianti. "Ada gadis cantik
35 malam-malam begini datang ke rumah, pasti besok
dia menunggu seharian di kantor!"
Tapi apa salahnya? Suaminya hanya menguji ke-
mampuan mengetik dan stenoku! Bukan yang lain!
Tapi di warung tegal, bagaimana Pak Ras bisa
menguji kecepatanku mengetik? Paling-palling dia
hanya mau menguji kecepatanku makan!
Tetapi Rianti tidak bisa membantah. Terpaksa
dia minta diri. Dan di rumah, ayahnya sudah me-
nunggu seperti pemburu menanti mangsanya.
"Besok siang saya diuji," cetus Rianti sebelum
ditanya. "Masih ada kesempatan."
"Jangan pulang kalau gagal!" geram Ayah separuh
mengancam. "Ada pekerjaan kok ditolak! Edan!"
* * *
Malam itu Rianti benar-benar tidak bisa tidur. Su-
dah hampir dua jam dia membolak-balikkan tubuh-
nya di ranjang. Tapi matanya belum mau terpejam
juga. Silih berganti peristiwa siang tadi melintas
dalam pikirannya.
Benarkah Pak Ras seperti apa yang diceritakan
Luki? Alangkah mengerikan kalau benar demikian!
Rianti akan berada bersamanya selama sepuluh hari.
Di negeri asing. Di lingkungan yang asing pula.
Tidak ada yang dikenalnya di sana.
Kata Bu Titi, Pak Ras sendiri akan pergi ke sana
memimpin dua orang sekretaris dalam delegasi itu.
36 Sekretaris yang seorang lagi sudah berpengalaman
enam belas tahun. Sudah berkali-kali mengikuti
kongres-kongres internasional. Rianti akan bertugas
sebagai asistennya. Dapatkah dia bekerja sama de-
ngan sekretaris yang belum dikenalnya itu?
Esok dia akan berada berdua saja dengan Pak
Ras. Di tempat yang tidak resmi pula. Bukan di
kantor. Padahal di sana ada Bu Titi. Pasti lebih
aman. Tes apa yang harus dihadapinya? Benarkah
seperti apa yang dikatakan Dila?
Dan Kairo! Tuhanku, alangkah jauhnya negeri
itu! Membayangkannya saja Rianti sudah merasa
gerah. Gurun pasir. Tandus. Panas. Dan seorang
diri pula.
Dan Pak Ras. Mengapa pula dia harus ikut?
Kalau dia tidak ada, barangkali Rianti lebih tenang.
Tapi benarkah dia dapat lebih tenang tanpa Pak
Ras? Tanpa seorang pun yang dikenalnya?
Di negeri orang yang jauh itu segalanya dapat
saja terjadi. Bagaimanapun memiliki seseorang yang
sudah dikenalnya pasti lebih baik daripada tidak
punya siapa-siapa!
Ah, Rianti benar-benar takut. Seandainya Ayah
tidak memaksa lebih baik kalau dia tidak ikut
saja. Mencari pekerjaan di Jakarta pasti lebih aman.
Kalau tidak ada lowongan sebagai sekretaris, meng-
apa tidak mencoba dulu dengan yang lain?
Tapi Ayah! Dia tentu memaki lagi. Sudah mem-
buang uang mahal-mahal untuk sekolah, tidak ada
37 hasilnya. Kalau tidak dapat menjadi sekretaris, buat
apa sekolah jadi sekretaris?
Ah, Ayah. Mengapa sulit sekali bagimu untuk
mengerti? Aku ingin bekerja. Ingin memberimu
uang. Ingin membahagiakanmu. Tapi cobalah meng-
erti. Betapa sulitnya bagiku untuk merealisasikan
impianmu. Impianku juga!
"Belum tidur?"
Rianti terlambat menyadari, Ibu telah berada di
samping tempat tidurnya. Sudah tidak mungkin
lagi untuk berpura-pura tidur. Ibu sudah sempat
melihat matanya yang masih nyalang terbuka. Pada-
hal adik-adiknya sudah tertidur semua.
Ibu memang selalu menyempatkan diri mengun-
jungi kamar mereka setiap malam. Barangkali Ibu
merasa bersalah kalau tidak melihat anak-anaknya
sehari saja. Padahal pekerjaannya mengharuskan de-
mikian.
Ibu bekerja di sebuah salon kecantikan yang cu-
kup ramai. Biasanya pukul delapan malam Ibu
baru diizinkan meninggalkan salon. Tetapi bila se-
dang ramai, Ibu bisa tiba di rumah sampai pukul
sepuluh.
Dalam kegelapan, samar-samar Ibu melihat Rianti
menggeleng. Ibu memang tidak mungkin melihat air
mata yang menggenangi sudut mata Rianti. Tetapi
nalurinya sebagai seorang ibu membisikkan, kegeli-
sahan sedang memorak-porandakan hati anak gadis-
nya yang masih remaja itu.
38 "Ada apa?" bisik Ibu lembut. "Ayah lagi?"
Rianti menggeleng meskipun sebenarnya dia
ingin mengangguk. Tak patut menyusahkan Ibu
lagi. Penderitaannya sendiri sudah cukup berat.
Tetapi Ibu memang mempunyai mata yang ketiga.
Ibu selalu tahu kalau Rianti berdusta.
"Ayah marah-marah lagi?" Ibu duduk di sisi tem-
pat tidur. Dan membelai pipi Rianti dengan lem-
but. "Sabarlah. Ibu tahu kamu sudah berusaha.


Di Tepi Jeram Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mencari pekerjaan memang tidak mudah."
Saat itu lahirlah tekad di hati Rianti. Begitu
tiba-tiba. Dia harus memperoleh pekerjaan itu. Se-
karang, bukan lagi hanya untuk memberi uang
pada Ayah. Tapi untuk membahagiakan Ibu! Untuk
memberinya secercah kebahagiaan. Dan kebanggaan
di hadapan Ayah!
* * *
Pak Ras tampak demikian segar dalam t-shirt dan
jins yang mengurangi umurnya menjadi sepuluh
tahun lebih muda. Tetapi di mata Rianti, dalam
penampilan seperti itu, respeknya yang terakhir ke-
pada bekas gurunya langsung punah tanpa sisa.
Apalagi melihat gayanya yang begitu santai.
Laki-laki itu memperlakukan Rianti seperti se-
orang teman. Bukan murid. Dan untuk suatu alas-
an yang Rianti sendiri tidak tahu, dia lebih suka
39 kalau Pak Ras tetap bersikap sebagai atasan yang
harus dihormati.
"Mau makan apa?" tanya Pak Ras ramah.
Lagi-lagi Rianti kecewa. Dia mengharapkan Pak
Ras akan mengujinya. Bukan mengajak makan!
"Terima kasih, Pak. Saya masih kenyang"
"Ah, jangan malu-malu. Mau apa kemari kalau
tidak mau makan!"
"Tapi kata Bapak"
"Pekerjaan itu?" Suara Pak Ras demikian acuh
tak acuh. "Sudah saya berikan padamu. Siap-siap
sajalah. Kamu berangkat bulan depan. Paspormu
akan disiapkan. Demikian pula visanya."
"Tidak perlu diuji?" belalak Rianti tidak percaya.
Tentu saja dia gembira. Tapi sekaligus bingung.
Duh, mudahnya mendapat pekerjaan!
"Asal mau dicium saja!" terngiang lagi kata-kata
Dila di telinganya. Dan tak sadar, Rianti menggigit
sedikit.
"Ah, tes kan cuma formalitas! Semua bisa di-
atur!"
"Tapi Bapak percaya saya tidak akan menge-
cewakan Bapak?"
Sekarang Pak Ras memandang Rianti dengan
sabar. Matanya yang selalu tersenyum itu seolah-olah
berkata, "Alangkah dungunya engkau, anak kecil!"
"Saya percaya," sahutnya lembut. "Kamulah yang
harus membuktikan, kepercayaan saya itu tidak sia-
sia!"
40 "Apa yang harus saya lakukan, Pak?"
"Pertama, makanlah sampai habis apa yang di-
pesankan untukmu!"
Terpaksa Rianti menekan rasa malunya. Dan
menghabiskan semua makanan yang dipesan Pak
Ras untuknya. Tanpa sisa. Kebetulan dia memang
sedang lapar.
"Bagus." Pak Ras tersenyum melihat piring
Rianti sudah licin tandas. "Yang pertama ini, tes
kepatuhan."
"Asal jangan disuruh menghabiskan sepiring lagi,
Pak," sahut Rianti tersipu-sipu. "Perut saya bisa me-
ledak!"
"Tentu saja tidak. Yang kedua ini tidak termasuk
dalam tes. Jadi santai saja."
Dengan tenang Pak Ras membayar semua pesan-
an mereka. Dan mengajak Rianti keluar.
"Kita jalan saja ya?"
"Ke mana?"
"Ke toko di seberang itu."
"Mau apa ke sana, Pak?" tanya Rianti bingung.
Dengan canggung dia mengikuti langkah Pak Ras.
"Cari baju," sahut Pak Ras tenang. Dia melang-
kah dengan santai di samping Rianti seolah-olah
gadis itu teman akrabnya.
"Baju? Untuk siapa?"
"Untukmu."
"Untuk saya?"
41 "Di konferensi internasional, kamu harus me-
ngenakan pakaian yang pantas."
"Apakah pakaian saya kurang pantas?"
"Kurang bonaide. Jangan memalukan saya."
"Tapi"
"Pilihlah baju yang kamu suka. Nanti saya lihat
sesuai tidak untukmu. Ingat, jangan pilih yang kam-
pungan. Yang kamu hadapi di sana itu orang-orang
yang berselera tinggi."
"Tapi, Pak, saya"
"Uang? Jangan kuatir, saya yang bayar."
"Ah, jangan, Pak!" cetus Rianti spontan, antara
terkejut dan malu. "Tidak pantas"
"Mengapa tidak? Kamu dapat membayarnya se-
pulang dari Kairo nanti."
Rianti terdiam. Kata-kata Pak Ras memang ada
benarnya juga. Bajunya tidak ada yang pantas un-
tuk diketengahkan. Bahannya sederhana. Potongan-
nya seperti anak sekolah. Warnanya sudah luntur
pula. Teman-temannya sering menertawakannya.
"Rambutmu juga mesti diubah sedikit," sambung
Pak Ras, seolah-olah Rianti baru lulus SD. "Masa
sekretaris rambutnya dikepang dua begitu. Tidak
pantas."
"Tapi, Pak"
"Sudah, jangan membantah lagi! Kamu mau per-
gi atau tidak?"
"Tapi saya tidak tahu"
"Serahkan saja pada saya. Pokoknya kamu me-
42 nurut saja. Sekarang pilihlah bajumu. Atau saya
juga yang harus memilihkannya untukmu?"
Terus terang Rianti memang bingung. Tidak
tahu harus memilih baju apa. Yang disukainya, ter-
lalu sederhana. Yang dipilihkan Pak Ras, rasanya
kurang pantas dipakai. Terlalu ah!
"Tidak apa-apa. Penampilan sangat penting. Apa
salahnya menonjolkan sedikit keindahan tubuhmu!
Supaya orang senang melihatnya."
"Tapi saya bukan peragawati, Pak!"
"Betul. Tapi apa salahnya menonjolkan daya
tarikmu? Semua orang senang melihat perempuan
cantik! Apa pun pekerjaannya!"
"Tapi saya tidak berani, Pak! Baju itu tidak se-
suai dengan kepribadian saya. Saya malah jadi cang-
gung memakainya!"
Hebat anak ini pikir Pak Ras kagum. Benar-be-
nar lain daripada yang lain. Teman-temannya mana
ada yang berani membantah! Ternyata diam-diam
kepribadiannya kuat juga. Dia teguh mempertahan-
kan prinsip, biarpun dari luar kelihatannya pemalu
seperti anak sekolah!
"Baiklah," kata Pak Ras akhirnya. "Saya me-
ngalah. Kita pilih yang lebih sesuai dengan selera-
mu. Tapi jangan yang terlalu kampungan begitu!
Ini kan kongres internasional, bukan rapat RT!"
Hampir dua jam mereka memilih. Akhirnya
Rianti memperoleh dua buah gaun dan sepasang
sepatu. Tiba giliran Pak Ras membayar, Rianti ter-
tegun lagi.
43 Hampir seratus tujuh puluh ribu rupiah! Astaga!
Dari mana akan diperolehnya uang sebanyak itu?
"Honormu tiga ratus ribu, masih ditambah uang
saku. Jangan kuatir."
Tapi Ayah! Bagaimana memberi pengertian pada
Ayah? Seratus tujuh puluh ribu rupiah dihamburkan
hanya untuk membeli pakaian dan sepatu? Hhh,
baru punya uang sekian sudah berlagak jadi orang
kaya!
O, Rianti sudah dapat membayangkan bagaimana
marahnya Ayah nanti. Ibu pun pasti tak akan mam-
pu meredakan kemarahan Ayah. Seratus tujuh pu-
luh ribu rupiah! Hampir dua bulan gaji Ibu!
Tetapi Pak Ras tidak mau dibantah lagi. Dan dia
punya kekuasaan. Dia bisa membatalkan pilihannya
semudah menjentikkan jari. Pak Ras dapat mencari
penggantinya dalam waktu beberapa jam saja. Jadi,
apa artinya seratus tujuh puluh ribu rupiah diban-
dingkan pendapatan yang akan diperolehnya?
Ah, Ibu pasti mengerti. Dan Ayah? Barangkali
kalau sudah punya mesin jahit, lebih mudah men-
jejalkan pengertian ke dalam kepalanya. Sekarang
saja sikapnya kepada Rianti sudah banyak berubah.
Padahal uangnya saja belum kelihatan.
Rianti benar-benar dimanja di rumah. Tidak bo-
leh bekerja terlalu berat. Mendapat jatah makanan
paling banyak. Dan menjadi tokoh yang dimanja.
Terutama oleh Ayah.
"Kamu tidak boleh sakit," kata Ayah tiga kali
44 sehari. "Makan yang banyak. Jangan terlalu ca-
pek!"
Cuma Ibu yang tidak segembira yang lain.
Barangkali Ibu kuatir. Rianti belum pernah me-
ninggalkan rumah semalam pun. Sekarang dia ha-
rus pergi seorang diri ke tempat yang amat jauh.
Untuk sepuluh hari! Ah, kalau saja dia boleh ikut!
Akan dijaganya baik-baik anak perempuannya itu!
Rianti masih terlalu muda. Terlalu hijau. Terlalu
polos. Dia belum tahu kejamnya dunia. Belum ke-
nal jahatnya manusia.
45 Seminggu sebelum keberangkatan, Pak Ras mem-
batalkan kepergiannya ke Kairo. Tidak seorang pun
tahu persis apa alasannya. Kata Bu Titi, istrinya
sakit.
Tetapi teman-teman Rianti berpendapat lain. Istri
Pak Ras bukan sakit. Justru dia yang melarang sua-
minya pergi. Entah bagaimana caranya. Dan meng-
apa seorang laki-laki seperti Pak Ras mau saja tun-
duk pada larangan istrinya.
Sebenarnya Rianti tidak ingin mengetahui persoal-
an rumah tangga Pak Ras. Dia merasa tidak pantas
untuk mencampuri urusan pribadi orang lain. Te-
tapi setelah sekian lama bersama-sama, hubungan
mereka menjadi lebih erat. Lebih-lebih ketika Pak
Ras memutuskan untuk tidak ikut serta ke Kairo.
Dalam seminggu terakhir itu dia benar-benar
menggembleng Rianti. Akibatnya, tiap hari mereka
BAB II
46 selalu bersama. Dan Pak Ras sudah tidak malu-
malu lagi menceritakan masalah-masalah pribadinya.
Termasuk hubungannya yang kurang harmonis de-
ngan istrinya.
"Kelihatannya saja rumah tangga saya tenteram,"
katanya ketika mereka sedang makan malam di se-
buah coffee shop. Hampir tiap hari Pak Ras meng-
ajaknya keluar. Katanya untuk menyesuaikan per-
gaulan Rianti. Agar tidak memalukan di forum
internasional nanti. "Kalau kamu mengiris daging
bistikmu seperti mengiris bawang, mengambil salad-
mu dengan sendok, delegasi Indonesia kan bisa
mendapat malu!"
"Sebenarnya perkawinan kami sudah di ambang
kehancuran. Yah, beginilah kalau kawin tanpa cin-
ta."
Mula-mula Rianti sendiri merasa canggung.
Segan memberi komentar. Mengapa dia harus ikut
campur urusan pribadi orang lain?
Tetapi karena hampir setiap hari Pak Ras me-
ngeluh, mengadukan problem rumah tangganya,
lama-lama Rianti jadi terbiasa. Dan tergelitik untuk
bertanya. Mengapa ada orang menikah tanpa cin-
ta? "Saat itu saya masih terlalu muda. Baru dua pu-
luh satu. Istri saya tujuh belas. Kami masih ter-
hitung famili. Keluarga kami yang menginginkan
pernikahan itu. Padahal cita-cita saya belum ter-
capai. Saya masih ingin kuliah. Melanjutkan studi
47 saya di fakultas publistik. Saya ingin jadi wartawan.
Sekarang semuanya gagal. Saya terkungkung dalam
perkawinan yang tidak saya kehendaki. Karier saya
gagal. Dan saya tenggelam dalam frustrasi."
"Tapi usaha Pak Ras sekarang maju," bantah
Rianti, mulai bersimpati pada nasib Pak Ras. "Ti-
dak dapatkah Bapak mengelola bisnis ini sambil
melanjutkan kuliah?"
"Kamu tidak mengerti. Istri saya bukan seperti
perempuan lain. Yang senang melihat suaminya
maju. Dia selalu curiga. Lihat saja bagaimana sikap-
nya waktu kamu datang. Dianggapnya semua pe-
rempuan yang mendekati saya pasti punya maksud
merebut suaminya. Kalau bisa, dia ingin mengu-
rung saya di rumah. Siang-malam!"
Untuk pertama kalinya Rianti melihat wajah Pak
Ras penuh kemengkalan. Padahal biasanya dia se-
lalu tenang. Selalu cerah. Selalu riang. Setiap kali
menceritakan istrinya, wajahnya memang senantiasa
berubah muram. Tetapi belum pernah dia tampak
sekesal ini. Barangkali ambang kesabarannya telah


Di Tepi Jeram Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terlewati. Atau dia baru saja bertengkar tadi ma-
lam. Beberapa hari ini istrinya pasti sulit menemui
Pak Ras di kantor. Dia selalu keluar. Dan Bu Titi
tahu sekali bagaimana harus menyimpan rahasia.
Tak akan dikatakannya ke mana dan dengan siapa
Pak Ras pergi.
Wah, Bu Titi tentu masih ingat bagaimana pe-
48 rempuan itu mendamprat Luki. Dan dia tahu se-
kali, Rianti bukan Luki. Sekali dimaki-maki, Rianti
pasti shock. Dan keberangkatannya ke Kairo bisa
terancam gagal.
Sebenarnya Bu Titi sendiri tidak suka Rianti ter-
lalu sering pergi dengan Pak Ras. Tetapi dia tahu
sekali bagaimana sikap atasannya. Dia juga tahu
betapa Rianti membutuhkan pekerjaan itu. Jadi ka-
lau kebetulan Rianti ada di kantor dan Pak Ras
belum datang, Bu Titi selalu menasihatinya. Dia
tidak rela kalau Rianti yang pergaulannya masih
terbatas pada teman-teman sekolah dan saudara-sau-
daranya sendiri, menjadi korban. Gadis itu masih
terlalu suci!
"Hati-hati, Rian," katanya hampir setiap hari.
"Lelaki tetap lelaki. Apalagi yang rumah tangganya
sedang kalut seperti Pak Ras."
"Pak Ras hanya mencurahkan isi hatinya kepada
saya, Bu."
"Ibu tahu."
"Barangkali Pak Ras butuh seseorang yang dapat
mendengarkan keluhan-keluhannya. Dengan me-
numpahkan segenap kekesalannya kepada orang
lain, hatinya merasa lebih lega."
"Ya, Ibu tahu. Tapi kamu juga harus tahu, bukan
hanya kepadamu Pak Ras mencurahkan isi hati-
nya."
"Kasihan Pak Ras ya, Bu. Cita-citanya kandas.
Rumah tangganya kacau. Semua gara-gara istrinya.
pustaka-indo.blogspot.com
49 Mengapa wanita itu tidak mau mengerti perasaan
suaminya?"
"Jangan menyalahkan siapa-siapa sebelum tahu
persoalannya, Rian," sahut Bu Titi hati-hati. "Yang
kamu dengar itu baru cerita Pak Ras! Kita belum
dengar cerita istrinya!"
Tetapi Rianti sudah terlampau terbenam dalam
telaga simpati. Dia dapat mengerti perasaan Pak
Ras. Penderitaannya. Frustrasinya. Karena itu dia
dapat memaafkan kalau laki-laki itu tidak henti-hen-
tinya merokok. Minum alkohol kadang-kadang
sampai melewati batas. Pergi dengan gadis-gadis
yang jauh lebih muda. Dia butuh pelarian. Butuh
tempat untuk mencurahkan isi hatinya.
Sekarang Rianti mendengarkan dengan penuh
perhatian dan simpati setiap kali Pak Ras mencerita-
kan persoalan pribadinya. Dia ikut sedih mendengar
betapa tertekannya perasaan Pak Ras di rumah.
Ikut gemas terhadap tindakan-tindakan istri Pak
Ras yang di luar batas. Ikut prihatin atas membeku-
nya hubungan Pak Ras dengan istrinya. Ikut ber-
duka ketika Pak Ras ingin mengakhiri kehidupan
rumah tangganya melalui suatu perceraian.
Diam-diam Rianti berdoa semoga Pak Ras me-
nemukan wanita yang dapat memahami dirinya.
Supaya dia dapat membina rumah tangganya de-
ngan bahagia.
Kasihan. Pak Ras begitu baik. Selalu mengajarkan
pustaka-indo.blogspot.com
50 apa-apa yang belum diketahui Rianti. Mengajaknya
bicara seperti seorang teman. Dan selalu sopan.
Ternyata teman-temannya tukang bohong semua!
Pandai saja mereka memburuk-burukkan Pak Ras.
Dia tidak pernah melakukan sesuatu yang me-
langgar kesopanan. Apalagi minta dicium!
Belum pernah Rianti bertemu dengan seorang
laki-laki sebaik dia. Sudah wajahnya tampan, orang-
nya pintar, baik budi pula. Ah, seandainya dia be-
lum menikah Rasanya sesudah dia bercerai
pun O, Rianti jadi malu sendiri! Mengapa sampai
mempunyai pikiran demikian? Belum tentu Pak
Ras mencintainya! Mungkin dia hanya membutuh-
kan seorang teman bicara. Tempat menumpahkan
isi hatinya!
* * *
Ketika Rianti tiba di lapangan terbang, belum ada
seorang pun dari delegasi Indonesia yang hadir di
sana. Orang Indonesia memang terkenal santai.
Dan kebanyakan jamnya terbuat dari karet. Jadi
bisa melar.
Sebaliknya dengan Rianti. Dia demikian takutnya
ketinggalan pesawat sehingga tiga jam sebelum
pesawat tinggal landas, dia sudah sampai di Bandar
Udara Soekarno-Hatta. Ketika kopernya dijinjing
pustaka-indo.blogspot.com
51 oleh seorang petugas bandara, ayahnya langsung
mendorong Rianti untuk mengikutinya.
"Ikuti cepat," katanya menambah kegugupan
Rianti. "Nanti hilang!"
Bergegas Rianti mengikuti petugas itu. Padahal
dia cuma menjinjing koper Rianti ke tempat pe-
meriksaan koper, kemudian ke tempat penimbangan
barang.
"Tiketnya," pinta petugas di balik meja itu.
Buru-buru Rianti membuka tasnya. Karena
gugupnya, beberapa barang yang tidak terpakai ikut
melompat ke luar. Terpaksa petugas itu menghela
napas dan menunggu. Untung masih sepi.
"Merokok?" tanya petugas itu sambil menulis.
"Maaf?" ulang Rianti bingung. Dia mendengar
apa yang ditanyakan. Tapi tidak yakin akan maksud-
nya. Daripada salah lebih baik diulang sekali lagi.
Sekarang petugas itu mengangkat mukanya. Dan
menatap Rianti sambil tersenyum. "Merokok?"
"Tidak," sahut Rianti tanpa berusaha menyem-
bunyikan kebingungan yang mewarnai wajahnya.
"Ini boarding pass-mu. Simpan baik-baik. Di sini
ada nomor tempat dudukmu di pesawat nanti. Saya
beri kamu tempat yang paling enak. Di sebelah
jendela."
"Terima kasih," sahut Rianti gugup.
"Ini baggage claim untuk kopermu. Kalau koper
ini hilang, bisa kamu claim dengan kartu ini."
"Terima kasih."
pustaka-indo.blogspot.com
52 "Ongkosnya, Non!" sela laki-laki yang meng-
angkut kopernya tadi.
"Ongkos apa?" tanya Rianti bingung. "Berapa?"
"Dua ribu. Untuk angkat koper."
"Kok mahal amat?" cetus Rianti kaget.
"Beri saja seribu," potong petugas yang tadi me-
layaninya. "Kopernya juga cuma satu. Enteng lagi.
Jangan memeras, Pak! Kasihan nona ini!"
"Ya sudah, seribu! Lekas dong!"
"Tapi saya tidak bawa uang"
"Tidak bawa uang?"
Sekarang yang terkejut bukan hanya tukang ang-
kat koper itu. Si petugas juga bengong.
"Maaf, Pak. Saya pikir uang rupiah tidak ter-
pakai lagi di luar negeri! Jadi"
"Ada keluargamu di luar?"
Rianti mengangguk.
"Nah, minta saja pada mereka."
Ketika Rianti berjalan ke luar diikuti bapak yang
mengangkat kopernya itu, si petugas memandangi-
nya sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Ampun noraknya!" gunjing teman di sebelahnya.
"Baru pertama kali ke luar negeri barangkali!"
Di luar, Ayah masih membuat keributan lagi.
Dia tidak bersedia membayar seribu rupiah. Masa
mengangkat koper saja begitu mahal ongkosnya!
Begitu dekat kok!
"Sudahlah, Ayah," pinta Rianti pusing. "Saya su-
dah janji. Berikanlah seribu."
pustaka-indo.blogspot.com
53 "Jangan gampang-gampang diperas orang!" ge-
rutu Ayah sambil mengeluarkan selembar uang
ribuan. "Cari uang itu susah, tahu?!"
"Sudahlah, Pak," potong Ibu jemu. "Jangan ribut
lagi. Rianti sudah hampir berangkat. Jangan mem-
buat dia bertambah pusing."
Rianti memang pusing mendengar suara Ayah.
Tapi dia lebih pusing lagi karena tegang. Mengapa
namanya belum dipanggil juga? Padahal pesawat
tinggal lima belas menit lagi berangkat!
Untunglah ketika Rianti sedang menoleh-noleh
kebingungan, seorang wanita berpakaian rapi meng-
hampirinya. Mengamat-amati kartu pengenal yang
tergantung di bajunya. Dan langsung menegur.
"Kairo?"
"Ya," sahut Rianti secepat lidahnya dapat digerak-
kan kembali.
"Konferensi Pengusaha Real Estate Asia-Afrika?"
"Ya."
"Tunggu apa di sini? Semua peserta delegasi Indo-
nesia sudah naik ke pesawat!"
"Lho!" yang kaget bukan cuma Rianti. Ayahnya
juga. "Kok tidak dipanggil?"
"Boarding sudah seperempat jam yang lalu," kata
wanita itu ketus. "Kalau kamu mengharapkan nama-
mu dipanggil, sampai besok juga tidak ada yang
memanggil!"
"Oh." Bergegas Rianti meraih tasnya dari tangan
Ayah. Ketika dia sudah dua langkah mengikuti
pustaka-indo.blogspot.com
54 wanita itu, tiba-tiba dia berbalik kembali. Dia me-
rangkul ibunya.
"Ibu!" cetusnya gemetar.
"Rianti." Ibu yang juga baru tersadar kembali
dari kebingungannya, balas merangkul sambil me-
nangis. "Hati-hati ya, Nak."
"Doakan saya, Bu," bisik Rianti.
"Ayo, cepat! Nanti kapalnya keburu berangkat!"
potong Ayah tidak sabar.
Perempuan itu sudah melewati ambang pintu
yang memisahkan para pengantar dengan penum-
pang pesawat. Meskipun mengenakan sepatu de-
ngan tumit yang cukup tinggi dan runcing, dia
bisa berjalan secepat angin. Dan walaupun jalannya
demikian cepat, dia masih tetap dapat mempertahan-
kan keanggunan langkah-langkahnya.
Bukan main, pikir Rianti penuh kekaguman ke-
tika dia sedang tergesa-gesa mengikuti langkah pe-
rempuan itu. Dengan sepatu bertumit separuhnya
saja Rianti sudah harus terseok-seok melangkah.
Hati-hati menjaga keseimbangan tubuhnya supaya
jangan tergelincir jatuh. Bagaimana perempuan ini
bisa melangkah secepat itu tanpa kehilangan keang-
gunannya?
Belum hilang kekaguman Rianti sudah muncul
kejutan baru. Sesudah memasuki sebuah lorong
yang bepermadani, tahu-tahu dia sudah tiba di pin-
tu pesawat. Tidak perlu lagi berjalan menghampiri
pesawat. Tidak perlu mendaki tangga seperti yang
pustaka-indo.blogspot.com
55 pernah dilihatnya ketika mengantar salah seorang
temannya naik pesawat ke Medan dulu.
Pramugari di pintu pesawat itu menyambut Rian-
ti dengan manis. Sedikit pun dia tidak menampak-
kan kekesalannya meskipun Rianti datang ter-
lambat. Dia meminta boarding pass Rianti dengan
ramah. Dan menunjukkan deretan tempat duduk-
nya. Benar juga kata petugas di bawah tadi. Rianti
mendapat tempat duduk di samping jendela. Di
sebelahnya duduk dua orang laki-laki. Yang per-
tama, yang duduk paling tepi, sudah langsung bang-
kit. Dan mempersilakan Rianti masuk lebih dulu.
Tetapi yang duduk di tengah, mungkin sedang ti-
dur. Rianti tidak dapat melihat matanya. Mata itu
tertutup kacamata hitam yang cukup gelap. Dia
bersandar separuh merosot di kursinya. Tungkainya
yang panjang memblokir seluruh jalan sempit di
depannya. Sejenak Rianti tertegun bingung. Tidak
tahu harus berbuat apa.
"Mari tasnya saya taruh di atas," kata laki-laki
yang pertama itu, yang masih berdiri di samping
kursinya.
"Oh, terima kasih," sahut Rianti gugup.
Sebelum Rianti sempat menyodorkan tasnya,
laki-laki itu telah membuka tutup rak barang di
atas kepala mereka. Ketika Rianti mencoba me-


Di Tepi Jeram Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

naruh tasnya di atas, laki-laki itu kebetulan ber-
pustaka-indo.blogspot.com
56 balik. Barangkali dia juga bermaksud mengambil
tas Rianti dan menolong menaruhkannya. Rak ba-
rang itu terlalu tinggi untuk Rianti. Sebelum tasnya
sempat ditaruh, lengan laki-laki itu telah menyeng-
gol tangan Rianti. Tas terlepas. Dan jatuh ber-
debum dengan menimbulkan suara keras di kursi
kosong yang paling tepi. Sebagian isinya tumpah
dan berhamburan keluar.
Laki-laki yang sedang tidur itu tersentak kaget.
Karena pinggangnya telah terikat sabuk pengaman,
dia tidak dapat melompat bangun.
"Maaf," cetus Rianti tersipu-sipu. Mukanya me-
rah padam melihat hampir seluruh penumpang di
bagian itu menoleh ke arahnya. Dan melihat dua
potong roti bergulir keluar bersama-sama sebotol
plastik air. Tempat sikat gigi. Sabun. Sisir. Bedak.
Dan seribu satu potong barang lagi. Sebagian besar
dari barang-barang itu sebenarnya tidak diperlukan
karena sudah disediakan dalam pesawat terbang.
Lelaki yang pertama itu langsung berjongkok
membantu memunguti barang-barang Rianti yang
bertebaran. Pramugari yang tadi menyambutnya
pun langsung turun tangan membantu.
"Asisten saya," gerutu perempuan berpakaian rapi
itu, yang tahu-tahu telah tegak berkacak pinggang
di belakang mereka. Dia sedang berbicara dengan
seorang laki-laki separuh baya yang mengenakan jas
dan dasi. Lelaki itu duduk tepat di belakang kursi
Rianti. "Ya, begitulah! Minta tenaga baru lulus
pustaka-indo.blogspot.com
57 yang belum berpengalaman untuk menghemat
biaya! Tahu-tahu dapat yang seperti ini!"
Sepintas lalu kata-katanya seperti gurauan. Dan
gurauan itu disambut tawa oleh hampir semua pe-
numpang di sekitar mereka. Tawa itu sama sekali
tidak bersifat mengejek. Tidak juga menghina. Se-
mua menganggap kecelakaan kecil itu sebagai seling-
an penghilang kantuk.
Tetapi bagi Rianti peristiwa itu cukup meng-
hanguskan wajahnya. O, membuat malu saja! Pak
Ras benar. Dia masih kurang pengalaman. Terlalu
kampungan untuk mengikuti konferensi internasio-
nal seperti ini. Barangkali Luki lebih pantas meraih
kesempatan ini. Dia tentu tidak akan memalukan
Pak Ras!
Selesai membenahi tas Rianti, pramugari itu me-
naruhnya di atas rak. Sementara laki-laki yang
membantunya itu langsung menyilakan Rianti du-
duk. Sekarang si kacamata menarik kakinya rapat-
rapat ke kursi supaya Rianti dapat lewat.
"Terima kasih," gumam Rianti, masih gugup
oleh peristiwa tadi.
Pramugari yang ramah itu memasangkan ikat
pinggang pengaman untuk Rianti. Dan sekali lagi,
si kacamata terpaksa mengerut di kursinya. Lelaki
yang duduk di tepi sama sekali belum sempat du-
duk sejak tadi. Padahal peragaan cara-cara penye-
lamatan diri bila terjadi kecelakaan pesawat telah
pustaka-indo.blogspot.com
58 mulai didemonstrasikan. Tetapi parasnya sama sekali
tidak menampakkan kejengkelan.
"Terima kasih, Pak" kata pramugari itu selesai
membantu Rianti. "Silakan duduk. Dan pakai seat
belt-nya. Pesawat telah mulai bergerak."
Dengan sopan lelaki itu mengangguk. Dia malah
masih sempat menawarkan permen karet pada
Rianti.
"Nama saya Ariin. Bumi Makmur. Land and
Housing Real Estate Developer. Anda juga peserta
konferensi di Kairo, kan?"
Dengan canggung Rianti menerima uluran ta-
ngan laki-laki yang ramah ini.
"Arianti," gumamnya lirih. "Saya bukan peser-
ta."
Karena kursi mereka dipisahkan oleh laki-laki
berkacamata hitam itu, terpaksa jabat tangan pun
harus melewatinya. Tanpa berusaha menyembunyi-
kan kemengkalannya karena ketenangannya ter-
ganggu, dia mendengus sambil meraih majalah di
hadapannya.
"Maaf," sapa Pak Ariin, masih tetap seramah
tadi. Kali ini kepada si kacamata. "Pak Ario merasa
terganggu, ya?"
"Oh, tidak." Suaranya demikian acuh tak acuh.
Memberi kesan angkuh. Sejak semula, Rianti sudah
tidak menyukainya. Asosial sekali makhluk ini!
"Mau tukar tempat? Kalian bisa ngobrol lebih
enak."
pustaka-indo.blogspot.com
59 "Ah, tidak usah. Saya hanya ingin membantu
Dik Rianti. Di Kairo nanti, pasti kita yang perlu
bantuannya. Dik Rianti ini sekretaris kita lho, Pak
Ario."
"Hm."
Si kacamata mendengus lagi. Kali ini lebih so-
pan. Tetapi tetap tidak dapat mengusir kesan ang-
kuh dalam suaranya. Selama perjalanan pun lelaki
itu tidak pernah bicara. Kecuali minta minum pada
pramugari. Atau permisi numpang lewat pada Pak
Ariin karena mau ke WC. Selebihnya dia tidur
terus.
Barangkali di rumahnya tidak ada tempat tidur,
pikir Rianti gemas. Dalam perjalanan panjang yang
membosankan ini, alangkah enaknya kalau di se-
belahnya ada orang yang dapat diajak bicara. Apa-
lagi yang pintar ngobrol seperti Bu Titi. Bukan
tunggul bisu seperti ini!
Kalau sudah jemu menatap punggung kursi di
depannya, Rianti terpaksa menoleh ke luar. Tetapi
di luar pun tidak ada yang dapat dilihat. Semua
gelap.
Inilah malam terpanjang dalam hidupnya. Rasa-
nya malam tak habis-habisnya. Padahal Rianti su-
dah lelah. Ingin tidur, tidak dapat lelap. Ingin me-
luruskan kaki, tempatnya tidak ada.
Rasa lapar menusuk-nusuk lambungnya. Dia
tidak dapat makan dengan enak tadi. Tidak tahu
apa yang harus dimakan kecuali roti yang keras se-
pustaka-indo.blogspot.com
60 perti batu itu. Dagingnya terlalu berminyak. Nasi-
nya terlalu gurih. Cium baunya saja dia sudah mau
muntah. Padahal kedua laki-laki di sebelahnya me-
lahap makanan mereka seperti sudah setahun tidak
bersua makanan. Dalam sekejap mata saja nampan
mereka sudah licin tandas.
Heran, bagaimana laki-laki yang punya nafsu
makan seperti itu tidak gemuk. Kedua pengusaha
di sebelahnya termasuk laki-laki yang bertubuh ting-
gi besar. Tetapi perut mereka tidak gendut. Tidak
ada lemak-lemak bergelantungan yang menjadi tem-
pat penyimpanan sisa-sisa kalori yang mereka ma-
kan. Padahal umur mereka pasti sudah di ambang
empat puluh. Dan lelaki di umur itu biasanya
sudah kehilangan kerampingan tubuhnya.
Barangkali aktivitas dan stres akibat pekerjaan
yang mencegah kegemukan mereka. Barangkali juga
mereka gemar berolahraga untuk menjaga keawetan
tubuhnya. Barangkali istrinya cerewet seperti istri
Pak Ras
Ah, peduli amat! Untuk apa memikirkan mereka?
Sekarang kedua laki-laki itu sudah tidur pulas,
seolah-olah mereka tidur di hotel yang nyaman,
bukan di atas pesawat terbang yang sebentar-seben-
tar berguncang-guncang.
Rianti tidak tahu lagi harus melakukan apa. Ma-
jalah, koran, dan apa saja yang dapat dibaca sudah
habis dibaca. Sekarang kabin pesawat sudah digelap-
kan. Ada ilm di layar di depan sana.
pustaka-indo.blogspot.com
61 Tetapi Rianti tidak bisa nonton. Dia tidak tahu
bagaimana harus memasang alat pendengarnya. Lagi
pula tubuhnya terlalu mungil. Kepalanya tidak
dapat melewati deretan bangku-bangku di depan-
nya. Jadi lebih baik dia memejamkan mata saja.
Tapi ah, ada gangguan lain. Dia ingin sekali
buang air kecil. Tempatnya dapat ditanyakan pada
pramugari. Tetapi bagaimana caranya melewati ke-
dua laki-laki ini?
Hhh, lebih baik tunggu sampai pagi. Tahan saja.
Tahan. Tapi celaka! Pagi seakan-akan tak pernah
datang!
"Ada apa?"
Ada suara dalam kegelapan. Wah, Rianti terkejut
seperti disengat kala. Tapi yang berbunyi bukan
tunggul di sebelahnya. Pak Ariin-lah yang sedang
menatapnya. Astaga, rupanya dia juga belum tidur.
Barangkali sejak tadi dia memperhatikan kegelisahan
Rianti! Duh, baiknya lelaki ini!
"Tidak nonton ilm?"
Rianti menggeleng. Ketika tiba-tiba dia teringat
betapa gelapnya suasana, dan mungkin Pak Ariin
tidak dapat melihat gelengan kepalanya, lekas-lekas
dia menyahut. Kuatir dikira tidak sopan.
"Mau minum? Nanti saya panggilkan pramu-
gari."
"Jangan, Pak. Tidak usah."
"Lalu, mengapa gelisah? Ingin ke kamar kecil?"
Nah, itu dia! Ya Tuhan, terima kasih telah Kau-
pustaka-indo.blogspot.com
62 kirimkan seorang penolong yang baik seperti dia!
Sabar, baik hati, dan penuh pengertian!
"Mari saya antar."
"Ah, tak usah, Pak," sanggah Rianti tersipu-sipu.
"Saya hanya tidak tahu bagaimana"
"Oh, dia. Gampang. Bangunkan saja!"
Tanpa basa-basi lagi Pak Ariin menepuk lengan
si kacamata.
"Pak Rio, Dik Rianti ingin ke belakang."
"Hhh?"
Lelaki itu membuka matanya. Dan untuk pertama
kalinya Rianti dapat melihat matanya. Dalam gelap
pun, mata itu tampak mengerikan. Dingin. Men-
cekam. Dan angker. Pantas kalau sedang tidak tidur
dia selalu mengenakan kacamata hitam. Barangkali
supaya orang tidak takut melihat matanya!
Huh, dia pasti majikan yang jahat. Sering me-
marahi bawahan sampai melewati batas. Kejam. Tak
kenal perikemanusiaan. Mudah-mudahan di Kairo
nanti aku tak usah berurusan dengan dia, pinta
Rianti dalam hati. Umurku bisa tambah pendek
beberapa hari!
Malas-malasan laki-laki itu menegakkan duduk-
nya. Dan merapatkan tungkainya ke kursi. Dia
memang tidak menggerutu. Tetapi air mukanya
jelas menggambarkan kekesalan karena tidurnya ter-
ganggu.
Tergesa-gesa Rianti melewatinya. Satu lompatan
lagi sebelum mencapai tempat bebas, ujung tumit-
pustaka-indo.blogspot.com
63 nya tersandung lutut laki-laki itu. Dan Rianti lang-
sung terjerembap. Hampir tersungkur kalau Pak
Ariin tidak buru-buru menangkapnya.
"Aduh, hati-hati Dik Rianti!" cetus Pak Ariin
kaget. "Hampir jatuh!"
"Terima kasih, Pak," sahut Rianti kemalu-malu-
an. Ketika Rianti menoleh kepada laki-laki yang se-
orang lagi untuk minta maaf, hatinya menjadi
mengkal. Laki-laki itu telah memejamkan matanya
kembali! Benar-benar makhluk asosial! Egois! Menye-
balkan!
* * *
Belum pernah Rianti melihat sabun sebanyak itu!
Kecuali tentu saja, di toko. Belum pernah pula dia
menemukan sabun dalam bentuk sekecil ini!
Ih, lucunya! Dan harum pula. Diambilnya be-
berapa buah. Dijejalkannya ke dalam saku gaunnya.
Sayang, sakunya kurang besar!
Sabun-sabun ini pasti diperuntukkan buat pe-
numpang! Kalau tidak, buat apa ditaruh di sini?
Jadi bukan mencuri namanya kalau mengambil be-
berapa buah saja, bukan? Ah, adik-adiknya pasti
senang! Akan dibawakannya untuk mereka seorang
satu!
Rianti tersenyum. Dituangkannya minyak peng-
harum dari botol di atas wastafel. Dioles-oleskannya
pustaka-indo.blogspot.com
64 ke lehernya. Oi, harumnya! Diambilnya beberapa
helai kertas tisu. Kemudian ditatapnya wajahnya


Di Tepi Jeram Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam cermin.
Ah, kusutnya! Agak pucat pula. Dia sedang men-
coba merapikan rambutnya ketika pesawat ber-
guncang agak hebat. Rianti terdorong maju. Un-
tung masih sempat berpegangan.
Cepat-cepat didorongnya pintu keluar. Sekali.
Macet. Dua kali. Belum mau terbuka juga. Tiga
kali. Masih tetap tertutup. Ah, Rianti mulai gugup.
Dicobanya sekali lagi. Gagal pula. Ditenang-tenang-
kannya dirinya lebih dulu. Digesernya pasaknya se-
kali lagi. Lalu ditariknya pelan-pelan dan hup!
Daun pintu terlipat Bim salabim! Terbuka!
Wah, bagai kuda lepas dari kandang, Rianti ber-
gegas melangkah ke kursinya. Seorang wanita yang
sedang tidur terpegang rambutnya tatkala Rianti
berpegang ke sandaran kursinya. Dia menoleh se-
paruh meradang. Tetapi Rianti buru-buru minta
maaf.
Pak Ariin sudah berdiri menyambutnya. Dia
pun telah membangunkan si kutu bantal. Kali ini
Rianti dapat masuk dengan cepat.
* * *
Saat itu, gerimis turun membasahi Kairo.
"Hujan yang kedua untuk tahun ini," kata pe-
mandu wisata mereka dengan gembira. "Wah, Anda
pustaka-indo.blogspot.com
65 sekalian benar-benar beruntung! Tanpa hujan, Kairo
bukan main panasnya!"
"Barangkali kami tidak terlalu merasakannya,"
komentar Pak Ariin, yang selalu ramah terhadap
siapa saja. "Kami juga berasal dari negeri tropis.
Jakarta hampir sama panasnya seperti ini."
"Tunggulah sampai besok." Si pemandu wisata
yang mirip Omar Sharif itu menyeringai. "Pen-
dapat Anda akan berubah. Apalagi kalau Anda per-
gi ke gurun."
"Di Las Vegas juga hampir sama panasnya seperti
ini," komentar peserta yang lain.
"O, Anda belum pernah ke Gurun Sahara!" cetus
peserta yang kedua. "Lebih panas lagi! Rasanya
kulit seperti mengeluarkan asap! Dan mata pedih
sekali menatap pasir yang menyilaukan!"
Lalu berlomba-lombalah mereka mengungkapkan
pengalaman masing-masing. Hampir semua peserta
sudah pernah pergi ke tempat-tempat yang jauh.
Cuma Rianti yang bengong saja. Bali pun hanya
pernah didengar namanya saja! Bagaimana dia bisa
ikut ambil bagian?
Tidak sadar Rianti mencari-cari si kacamata.
Ternyata dia duduk seorang diri di sudut belakang
bus sedang tidur!
Sinting, pikir Rianti gemas. Tanpa tahu mengapa
harus kesal. Kalau cuma mau tidur, buat apa jauh-
jauh pergi kemari?
"Cari siapa, Dik?" tegur wanita separuh baya di
sebelahnya.
pustaka-indo.blogspot.com
66 "Oh, cuma lihat-lihat," sahut Rianti gugup. Ta-
kut ketahuan sedang mencari seseorang. "Saya tidak
menyangka Kairo seperti ini."
"Seperti apa?" perempuan itu tersenyum manis.
"Seperti Jakarta juga ya? Lalu lintas macet, terminal
bis penuh sesak, jalan berdebu"
"Saya rasa malah lebih macet lagi," komentar
laki-laki di sampingnya tanpa ditanya, seolah-olah
di dalam bus ini semua orang punya hak untuk
bicara tanpa diminta. "Dan terminal bus di sana
itu! Lihat! Begitu penuh sesak seperti pasar!"
Rianti ikut menoleh ke luar jendela bus. Dan
melihat kerumunan orang yang menyemut di ke-
jauhan. Astaga, pikirnya terheran-heran. Di Blok M
saja orang tidak sebanyak itu! Padahal gerimis su-
dah turun. Angin menerbangkan debu ke sana ke-
mari. Mobil-mobil mewah yang diparkirkan begitu
saja di tepi jalan kotor berlumur debu.
"Kalau hujan turun lebih deras mereka tidak per-
lu lagi cuci mobil," gurau seorang peserta.
Rianti tidak tertarik melihat deretan mobil-mobil
mewah itu. Jadi dipalingkan saja mukanya ke tem-
pat lain. Dia lebih tertarik menatap gedung-gedung
bertingkat yang tinggal puing di sela-sela gang sem-
pit yang bertebaran di kiri-kanan jalan.
Bangunan separuh hancur seperti kena bom itu
ternyata masih dihuni manusia. Di balik tembok-
tembok yang tinggal separuh terlihat bayangan anak-
anak sedang bermain. Di latar belakang, tampak
pustaka-indo.blogspot.com
67 melambai-lambai kain warna-warni dari pakaian-
pakaian yang mungkin sedang dijemur. Toko-toko
kecil berdesak-desakan sampai di pelosok-pelosok
gang.
"Anda bisa menawar kalau membeli barang di
sini," kata pemandu wisata mereka. "Tapi hati-hati,
jangan keluarkan semua uang Anda. Di sini banyak
copet. Banyak pula yang suka menipu."
"Sama saja seperti di Jakarta," komentar wanita
di samping Rianti.
Memasuki pusat kota, terlihat Sungai Nil yang
membelah kota mengalir dengan tenangnya. Airnya
yang kebiru-biruan bebercak-bercak ditimpa butir-
butir hujan. Hotel-hotel mewah dan gedung-ge-
dung bertingkat menjulang di sana-sini. Kemegahan
yang tampak di bagian ini seakan-akan hendak
mengikis habis bayangan kemelaratan dan kemiskin-
an di bagian lain dari kota ini.
Bus mereka membelok tepat di depan hotel.
Hampir seluruh isi bus menjerit kaget ketika bus
menikung dengan tajamnya. Memotong antrean
panjang mobil-mobil yang langsung menekan klak-
son dengan marahnya.
"Wah, koboi juga nih sopir kita!" gerutu wanita
di sebelah Rianti.
"Untung dia brengsek begini," komentar bapak
di sampingnya sambil tersenyum. "Kalau tidak, sam-
pai kapan kita baru bisa masuk? Lihat saja, antrean
begitu panjang!"
pustaka-indo.blogspot.com
68 Poster-poster berukuran raksasa menyambut ke-
datangan mereka di hotel itu. Lima belas orang
peserta delegasi Indonesia yang kecapekan langsung
diantar ke lobi hotel dan dipersilakan menunggu di
sana. Sementara itu ketua delegasi sedang sibuk
bersama pemandu wisata dan resepsionis hotel mem-
bagikan kamar yang telah tersedia.
"Peserta yang beruntung mendapat kamar yang
menghadap ke Sungai Nil," gurau pemandu wisata
mereka sambil membagikan kunci kamar.
"Yang tidak beruntung menghadap dapur hotel!"
sambung Pak Ariin menyambut kelakarnya. "Bo-
leh menyaksikan cerobong asap siang-malam!"
"Ada ikan duyung keluar dari Sungai Nil nanti
malam?" sambar yang lain. "Ada yang menari perut
di sana?"
Si pemandu wisata menggeleng sambil terse-
nyum.
"Kalau begitu buat apa kita memilih kamar yang
menghadap ke Sungai Nil?"
"Tari perutnya ada di hotel ini. Tidak usah jauh-
jauh mencari ke Sungai Nil! Tapi pemandangan
Sungai Nil di waktu malam dari jendela kamar
Anda pasti merupakan kenangan yang amat menge-
sankan!"
Diam-diam Rianti berdoa dalam hati. Mudah-
mudahan dialah yang memperoleh kamar itu.
Orang lain bisa datang dua-tiga kali ke kota ini.
Tapi dia? Mungkin ini yang pertama dan terakhir.
pustaka-indo.blogspot.com
69 Dia ingin memperoleh yang terbaik di sini. Semoga
dialah yang beruntung mendapatkan kamar itu!
Tetapi begitu pintu terbuka, yang terpampang di
depan jendelanya hanya dinding bangunan lain.
Rianti merasa sendi lututnya tiba-tiba lemas. Dia
masih tertegun di ambang pintu ketika Pak Ariin
tiba-tiba menegurnya.
"Tunggu koper?"
"Ya," sahut Rianti gugup.
"Masuk saja. Nanti juga diantarkan pelayan. Di
sini harus memberi tip."
"Ya," ulang Rianti sekali lagi. Sudah kehilangan
gairahnya untuk berbicara.
"Dapat kamar bagus?"
"Ah."
Cuma itu yang dapat keluar dari celah-celah
bibir Rianti. Tetapi Pak Ariin langsung dapat me-
nebaknya.
"Kasihan. Mari tukar dengan kamar saya."
"Oh, tidak usah."
"Ayolah. Tidak apa-apa. Saya sudah dua kali
kemari. Malam juga langsung tidur. Mana sempat
melihat pemandangan Sungai Nil!?
Tanpa ragu-ragu Pak Ariin mengambil kunci
dari tangan Rianti. Dan menukarnya dengan kunci-
nya sendiri.
"Nanti kalau ada yang antar koper saya, tolong
tunjukkan kamar ini. Saya lapor sebentar ke bawah.
pustaka-indo.blogspot.com
70 Tidak apa-apa. Ayolah masuk. Sekamar dengan
siapa?"
"Dengan saya," potong wanita berpakaian rapi
itu, yang muncul sambil membawa sebuah map.
"Konferensinya sudah mulai di sini, Pak?"
"Oh, kami hanya ingin bertukar kamar. Biar Dik
Rianti dapat kamar yang lebih baik. Perempuan
lebih emosional, kan? Barangkali pemandangan ke
Sungai Nil dapat membangkitkan inspirasi."
"Terima kasih," sahut perempuan itu tanpa ber-
usaha menyembunyikan perasaan kurang senangnya.
Suaranya tetap sopan. Tetapi entah mengapa Rianti
tidak suka mendengarnya. Rasanya terlalu formal.
Ah, bukan. Rasanya kurang ramah. Kurang tulus.
Terlalu tegar.
"Sebenarnya tidak perlu. Kalau Rianti ingin me-
lihat Sungai Nil, dia bisa memandanginya puas-
puas dari dekat nanti. Pergi saja ke sana naik taksi
kalau ada waktu luang."
"Lho, pemandangan dari atas kan lain, Mbak
Sri. Apalagi di waktu malam. Lampu-lampu kecil
yang berkelap-kelip dari perahu yang sedang mela-
yari sungai itu, atau dari restoran terapung di atas-
nya, kan merupakan kenangan yang manis untuk
dibawa pulang."
"Tidak sempat, Pak!" sahut Mbak Sri tegas.
"Malam juga kami masih harus bekerja. Di kamar
pun masih harus mengetik. Menyelesaikan tugas
siangnya. Mempersiapkan tugas untuk esoknya.
pustaka-indo.blogspot.com
71 Mana bisa duduk-duduk santai merenungi Sungai
Nil? Memangnya turis?! Kami kan ke sini untuk
bekerja!"
Barangkali hanya perasaan Rianti saja. Tapi bagai-
manapun, Rianti merasa kata-kata yang terakhir itu
ditujukan untuknya. Mbak Sri telah memperingat-
kan, mereka datang kemari untuk bekerja! Bukan
untuk bersenang-senang! Untuk itu mereka di-
bayar!
Untung Pak Ariin tetap berkeras dengan niat-
nya. Dia sendiri yang akan melaporkan pertukaran
kamar mereka ke bawah. Ah, dia benar-benar baik!
Sangat baik!
Mbak Sri-lah yang uring-uringan. Dia meletakkan
mapnya separuh membanting di atas meja. Rianti
yang sedang menutup pintu dengan hati-hati agak
tersentak. Lho, belum apa-apa kok dia sudah
marah-marah?
"Jangan gampang-gampang dirayu laki-laki!" ge-
rutu Mbak Sri sambil menyalakan AC. "Nanti
kamu menyesal! Lelaki tidak akan menawarkan se-
suatu kalau tidak mengharapkan balasan! Mereka
tidak mau rugi!"
Lho? Rianti tertegun lagi. Apa-apaan ini? Siapa
yang dimarahinya? Siapa yang dimaksudkannya?
Pak Ariin yang baik itu? Astaga! Lelaki sebaik itu
dituduhnya
"Belum apa-apa sudah mau menerima sesuatu
dari lelaki yang tidak kamu kenal!" Mbak Sri me-
pustaka-indo.blogspot.com
72 lanjutkan gerutuannya sambil menyalakan TV.
"Mau jadi apa kamu? Di sini banyak peserta konfe-
rensi dari negara lain! Dan tidak semua laki-laki
asing itu sebaik yang kamu lihat dari luar! Budi
bahasanya mungkin kelihatannya manis, tapi punya
maksud-maksud tertentu! Kamu tidak boleh jual


Di Tepi Jeram Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

murah! Memalukan nama Indonesia saja!"
Rianti masih tertegun di balik pintu. Sementara
Mbak Sri masih sibuk menyalakan semua yang bisa
dinyalakan di kamar itu. Apa saja. AC. TV. Lampu.
Radio. Seolah-olah dia tidak mau rugi. Sudah mem-
bayar tidak mempergunakan fasilitas kamar yang
ada. Ketika pintu tiba-tiba diketuk dari luar, secepat
angin Mbak Sri melangkah menghampiri pintu dan
langsung membukanya. Yang muncul cuma seorang
pelayan bertubuh tinggi besar seperti Mohammad
Ali, yang mengantarkan koper.
Dengan ramah pelayan itu menyapa mereka.
Mengangkat kedua buah koper itu. Dan meletak-
kannya di atas rak untuk koper.
Mbak Sri mengucapkan terima kasih sambil me-
nyelipkan selembar uang. Sekali lagi si pelayan me-
mamerkan senyum satu dolarnya. Giginya putih se-
kali. Kontras benar dengan mukanya yang hitam.
Ketika pelayan itu sudah pergi, Mbak Sri baru
menoleh kepada Rianti.
"Aku ke bawah sebentar. Ada yang ketinggalan.
Diam saja di sini."
pustaka-indo.blogspot.com
73 Rianti belum sempat mengangguk. Angin puyuh
itu telah berlalu. Hati-hati ditutupkannya pintu.
Dan dia menghambur ke jendela. Dibukanya pintu
yang menuju ke balkon.
Angin hangat langsung menerpa wajah Rianti.
Hujan telah berhenti. Cuaca pun mulai gelap. Tapi
kesibukan di luar belum juga berkurang.
Dari balkon kamarnya yang berada di tingkat
dua puluh satu, Rianti menatap ke bawah. Ih,
tingginya! Belum pernah dia berada di tempat se-
tinggi ini kecuali waktu berada di kapal terbang
tadi malam.
Mobil-mobil di bawah tampak amat kecil. Me-
rayap lambat seperti siput di tengah-tengah kemacet-
an lalu lintas. Tak terasa kaki Rianti menggeletar.
Ah, seandainya dia tidak hanya berada seorang diri
di sini
Dan pintu diketuk dua kali. Pasti si angin
puyuh. Wah, dia benar-benar gesit. Barangkali lift
sedang kosong. Dan dia dapat berjalan seperti ber-
lari.
Tanpa ragu sedikit pun, Rianti membuka pintu.
Dan dia tertegun kaget. Yang hendak melangkah
masuk bukan Mbak Sri. Tapi lelaki berkacamata
itu. Si tunggul yang duduk semalaman di samping-
nya. Dia juga terkejut dan langsung mengerutkan
dahi.
Tetapi tanpa berkata sepatah pun Pak Ario me-
langkah masuk. Terpaksa Rianti menyingkir mem-
pustaka-indo.blogspot.com
74 beri jalan. Dia baru tertegun ketika melihat koper
Rianti. Dan tidak menemukan Pak Ariin di dalam
kamar itu.
"Di mana Pak Ariin?" tanyanya sambil menoleh
ke arah Rianti. Dan darah Rianti berdesir dua kali
lebih cepat. Mata itu kini langsung menatapnya.
Terus menembus ke jantungnya.
Belum pernah Rianti melihat mata yang sedingin
itu. Barangkali sedetik lagi beradu pandang, sekujur
parasnya akan membeku menjadi es. Dan Rianti
belum sempat membuka mulutnya untuk menjawab
ketika tiba-tiba saja Mbak Sri masuk.
Sekarang yang terkejut bukan cuma lelaki itu.
Mbak Sri juga. Dan parasnya langsung berubah.
"Ada yang diperlukan, Pak Ario?" tanyanya so-
pan tapi datar.
"Saya mencari Pak Ariin."
"Mari saya antarkan ke kamarnya."
"Oh, tidak usah. Tolong sebutkan saja nomor
kamarnya. Saya pasti tidak kesasar."
"Persis di seberang sana."
"Terima kasih." Tanpa menoleh lagi pada Rianti,
dia langsung keluar.
Begitu selesai menutup pintu, Mbak Sri segera
berpaling pada Rianti.
"Jangan sembarangan menerima tamu di dalam
kamar," katanya ketus. "Apalagi tamu lelaki! Kita
harus menjaga martabat kita sebagai wanita. Kehor-
matan bangsa berada di atas pundak kita! Apa
pustaka-indo.blogspot.com
75 nanti kata orang kalau melihat gadis Indonesia me-
nerima tamu pria di dalam kamar malam-malam
begini."
"Tapi dia cuma mencari Pak Ariin, Mbak,"
sanggah Rianti jemu. "Tidak ada urusan dengan
saya!"
"Aku kan cuma menasihati! Syukur kalau
didengar. Jangan memberi malu nama Indonesia!"
* * *
Terus terang Rianti tidak suka bekerja sama dengan
si angin puyuh. Dia galak. Cerewet. Nyinyir. Selalu
curiga. Tetapi kalau melihat cara kerjanya, mau tak
mau timbul kekaguman di hati Rianti.
Kerjanya cepat. Gesit. Segesit jalannya. Semua
tugas yang diserahkan panitia kepadanya pasti be-
res. Dia bekerja sampai jauh malam. Rajinnya, bu-
kan main. Kalau bisa dikerjakannya sendiri, tidak
akan diserahkannya kepada Rianti.
Tidak sadar Rianti berdesah kagum melihat cara
kerjanya.
"Mbak pasti sudah lama jadi sekretaris," cetus
Rianti polos. Tanpa berusaha menyembunyikan ke-
kagumannya.
"Hm."
Mbak Sri mendengus tanpa menghentikan kerja-
nya di depan sebuah word processor. Dia baru ber-
henti setelah pekerjaannya selesai.
pustaka-indo.blogspot.com
76 "Aku menjadi sekretaris sejak kamu masih
bayi!"
"Saya kepingin sepintar Mbak Sri."
"Ah, anak sekarang! Mana bisa bekerja keras! Ter-
lalu santai! Cuma mengharapkan kemudahan dari
sana-sini, mana bisa maju! Paling-paling koneksi!"
Rianti tertegun. Gairahnya untuk bicara langsung
lenyap. Mengapa seorang wanita yang sepintar dia
dapat menjadi demikian sinis?
"Sekretaris muda zaman sekarang cuma pintar
memikat hati direktur dengan kegenitan kalian!
Bukan dengan prestasi kerja! Bagaimana perempuan
bisa maju kalau cuma mengandalkan belas kasihan
lelaki!"
Lagi-lagi Rianti tertegun. Mengapa seorang
wanita secantik dia begitu alergi terhadap pria?
Mbak Sri cukup cantik. Walaupun usianya pasti
sudah lebih dari empat puluh tahun, tubuhnya ma-
sih ramping. Kulitnya masih kencang. Belum ada
sehelai uban pun di rambutnya. Dandanannya ti-
dak berlebihan. Tapi menarik. Rapi. Canggih.
Ah, mengapa Mbak Sri belum menikah juga?
Ada rahasia apa di balik ketegaran wajah yang
jarang disentuh kegembiraan itu?
Dan dering telepon menyentakkan Rianti. Belum
sempat dia bergerak, Mbak Sri telah menyambar
gagang telepon. Dia masih sibuk mencatat instruksi
dari yang meneleponnya ketika pintu diketuk dua
kali.
pustaka-indo.blogspot.com
77 Sekarang Rianti-lah yang bergegas ke pintu. Soal-
nya meskipun sedang sibuk, ketukan pintu itu tak
luput dari perhatian Mbak Sri. Dan dia sudah
memberi isyarat dengan matanya agar Rianti cepat-
cepat membuka pintu. Dengan dia, orang benar-
benar tidak boleh lengah sekejap pun. Waktu harus
dimanfaatkan sebaik-baiknya. Berlambat-lambat ber-
arti kena marah lagi.
"Selamat malam," sapa Pak Agus, ketua delegasi
mereka. "Mengganggu?"
Pak Agus sudah berusia hampir enam puluh
tahun. Tetapi masih tampak gagah dan rapi. Semua
anggota delegasi segan dan hormat padanya. Ter-
masuk Rianti.
"Oh, tidak. Silakan masuk, Pak. Apa yang bisa
saya bantu?"
"Kalian pasti sedang sibuk. Panitia memang ke-
terlaluan. Untuk pekerjaan sebanyak ini hanya
membawa dua orang sekretaris."
Rianti hanya tersenyum. Memberi komentar
pasti ditegur lagi oleh Mbak Sri. Karena dia sudah
menganggap Rianti bulat-bulat sebagai asistennya.
Memberi komentar pun bukan haknya lagi. Hanya
Mbak Sri yang boleh memberi komentar. Dan dia
memang langsung berkomentar begitu gagang tele-
ponnya diletakkan. Heran, entah berapa pasang te-
linganya.
"Dua orang juga cukup, Pak, asal eisien kerja-
nya."
pustaka-indo.blogspot.com
78 Nah, dia mulai lagi menyindir Rianti!
"Rianti rajin kok," Pak Agus mencoba membela
Rianti. Dia menoleh kepada gadis itu sambil ter-
senyum ramah.
Sejak hari pertama konferensi, hampir semua pe-
serta menaruh perhatian pada sekretaris muda yang
manis ini. Kalau boleh memilih, hampir semua pe-
serta lebih suka bekerja sama dengan Rianti.
Mereka segan minta tolong pada Mbak Sri. Ke-
cuali untuk tugas yang benar-benar mendesak. Dia
terlalu formal! Terlalu kaku! Membosankan. Bekerja
dengan dia seperti bekerja dengan komputer. Pintar,
tapi tidak manusiawi.
"Memang rajin," balas Mbak Sri tidak mau
kalah. Ketua delegasi pun masih didebatnya! Wah,
dia benar-benar ulet! "Tapi masih kurang profesio-
nal!"
"Maklum, belum pengalaman! Beberapa kali lagi
ikut konferensi seperti ini, Rianti pasti maju pesat.
Tenaganya dapat diandalkan. Dia cerdas. Rajin.
Dan bahasa Inggrisnya cukup baik."
"Justru karena dia belum pengalaman!" Mbak Sri
seakan-akan gemas mendengar pujian Pak Agus.
"Seharusnya dia belum boleh ikut serta dalam kon-
ferensi internasional sepenting ini! Semua pekerjaan
jadi terbengkalai!"
"Tidak ada tugas yang tidak beres." Pak Agus
juga pantang menyerah. Mereka memang lawan
yang seimbang. "Semua puas."
pustaka-indo.blogspot.com
79 "Itu karena saya! Coba kalau dia dilepas bekerja
seorang diri! Wah, bisa runyam!"
"Karena itu dia ditugaskan menjadi asistenmu!
Supaya dapat membantu pekerjaanmu sambil men-
cari pengalaman!"
Knock out. Dan karena Mbak Sri kalah bertarung
lidah, Rianti-lah yang menjadi korban. Tugas yang
diberikan oleh Pak Agus itu harus diselesaikan se-
orang diri malam itu juga!
Barangkali Mbak Sri ingin Pak Agus jera memberi
tanggung jawab pada tenaga muda seperti Rianti.
Lihat saja pekerjaannya besok! Pasti berantakan! Biar
Pak Agus tahu rasa. Dan berhenti memuji Rianti.
Mbak Sri sudah bosan melayani para peserta pria
yang mengajak Rianti menemani mereka selesai
konferensi. Huh, memangnya dia hostes! Rianti kan
sekretaris! Cuma melayani keperluan administratif
selama mereka bersidang. Urusan hiburan sesudah-
nya, itu kan bukan tugas dia!
Tetapi gadis celaka itu! Dia sulit sekali menolak
ajakan orang. Terpaksa Mbak Sri yang menjadi ma-
najernya. Dialah yang mengatur dengan siapa
Rianti boleh pergi. Tidak boleh sembarangan orang
saja!
Hhh, kalau ada apa-apa nanti, delegasi Indonesia
yang dapat malu! Jangan mereka kira gadis Indo-
nesia semudah itu menyerahkan diri! Nah, kalau
dia sibuk malam ini, pasti dia tidak dapat pergi ke
mana-mana.
pustaka-indo.blogspot.com
80 "Batalkan semua acaramu malam ini," perintah
Mbak Sri sambil memberi instruksi apa-apa yang
harus dikerjakan. "Selesaikan tugas untuk besok.
Jangan sampai Pak Agus kecewa! Dia begitu respek
padamu!"
"Tidak ada acara apa-apa kok, Mbak."
"Bohong! Aku kan belum tuli. Siapa tadi sore
yang mengajakmu nonton belly dance? Jangan gam-
pang-gampang menerima ajakan lelaki! Nanti kamu
dicap gadis murahan!"


Di Tepi Jeram Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rianti menghela napas. Dia memang ingin me-
nonton tari perut. Bersantai sedikit sesudah bekerja
keras hampir seharian. Tetapi tentu saja dia tidak
akan meninggalkan tugasnya. Kalau ada pekerjaan
yang harus diselesaikan malam ini, dia pasti akan
membatalkan janjinya dengan Pak Ariin.
Ah, laki-laki itu memang sangat baik! Sejak hari
pertama sampai sekarang, sifat kebapakannya yang
ingin selalu membantu tak pernah berubah.
Alangkah beruntungnya kalau aku menjadi salah
seorang anaknya yang tujuh orang itu, pikir Rianti
setiap kali menerima kebaikan Pak Ariin. Heran-
nya, Mbak Sri yang selalu marah-marah. Padahal
apa salahnya sih ada orang yang membantu Rianti?
Barangkali dia sendiri iri karena tidak pernah ada
orang yang menawarkan bantuan padanya. Tetapi
siapa yang merasa perlu menawarkan bantuan ke-
pada Mbak Sri? Dia sendiri tak pernah memerlukan
bantuan!
pustaka-indo.blogspot.com
81 Tentu saja Rianti pun tidak mau mengecewakan
Pak Agus. Malam ini dia harus membuktikan, dia
juga mampu bekerja sendiri. Tanpa mengenal lelah,
diselesaikannya tugasnya.
Hampir pukul tiga pagi ketika Rianti selesai
bekerja. Dipadamkannya lampu. Diluruskannya
pinggangnya. Uh, pegalnya!
Mbak Sri sudah lama tidur. Dengkurnya halus
mengisi kesunyian ruangan yang hanya diisi oleh
suara AC. Sambil menguap Rianti berjalan ke
kamar mandi. Dan bunyi gedebuk yang cukup
keras berdebum di pintu.
Astaga, Rianti tersentak kaget. Bunyi apa itu?
Bergegas dia melangkah ke pintu. Tangannya
sudah terulur. Releks hendak membuka pintu dan
melihat apa yang terjadi di luar.
Namun tiba-tiba suatu kesadaran melecut otak-
nya. Dibatalkannya niatnya. Bagaimana kalau orang
jahat?
Lebih baik diam saja di dalam kamar. Pasang
kunci pengaman. Dan telepon roomboy.
Tetapi perasaan ingin tahunya lebih kuat. Ragu-
ragu Rianti mengintip keluar melalui lubang peng-
intai kosong. Tak ada orang. Lalu bunyi apa
tadi? Bunyi yang aneh. Seperti orang jatuh.
Perasaan ada orang yang sedang membutuhkan-
nya mengalahkan rasa takut di hati Rianti. Hati-
hati dia membuka pintu. Dan mengintai ke
luar pustaka-indo.blogspot.com
82 Seseorang sedang merayap bangun di depan
kamar di seberang sana Sambil berlutut, laki-laki
itu mencoba memasukkan anak kunci yang dipe-
gangnya ke lubang kunci Tapi usahanya berkali-
kali gagal.
Barangkali dia mabuk. Tubuhnya yang limbung
condong ke depan. Hampir tersungkur kalau tidak
tertahan oleh pintu yang tertutup.
Tanpa berpikir dua kali, Rianti langsung meng-
hambur ke luar.
"Mari saya tolong," katanya sopan. Diambilnya
anak kunci dari tangan laki-laki itu. Dimasukkannya
ke lubang. Namun berkali-kali diputarnya anak
kunci itu, pintu tetap tak mau terbuka.
Dicobanya sekali lagi. Dipaksanya memutar kun-
ci dengan lebih kuat. Sampai sakit tangannya.
Akhirnya pintu memang terbuka. Tetapi dari da-
lam. Dengan tiba-tiba pula. Dan laki-laki yang se-
dang menyandarkan berat badannya ke pintu itu
langsung tersungkur ke dalam.
Rianti memekik tertahan. Dia mencoba me-
nolong membangunkan laki-laki itu. Tetapi tubuh-
nya terlalu berat. Dan kedua orang laki-laki yang
baru muncul dari dalam kamar itu segera memban-
tunya.
"Ada apa?" tanya Pak Santoso heran, masih da-
lam pakaian tidur.
"Tiba-tiba dia jatuh, Pak," sahut Rianti terbata-
bata.
pustaka-indo.blogspot.com
83 Sekarang dia baru dapat mengenali si tunggul.
Lampu kamar yang menyala cukup terang menyi-
nari wajahnya yang kemerah-merahan.
Pak Santoso segera berlutut di samping laki-laki
itu. Dan membantunya bangun.
"Mabuk," katanya sambil menghela napas. "Pasti
dia kalah main lagi. Kalian dari kasino?"
Rianti spontan menggeleng. Dia baru ingat,
pakaiannya masih pakaian kerja. Pasti Pak Santoso
mengira dia baru pulang!
"Ayo, Pak Ario, kita ke kamar sebelah." Pak San-
toso memapah laki-laki itu ke luar. Pak Bambang
segera turun tangan membantu. "Anda salah ka-
mar!"
"Ada yang dapat saya bantu, Pak?" tanya Rianti
serbasalah.
"Tolong saja ketukkan pintu kamar sebelah."
Buru-buru Rianti memutar tubuhnya dan keluar.
Tetapi di ambang pintu kamar, telah tegak Mbak
Sri, masih dalam piama tidurnya.
* * *
"Benar-benar tak tahu malu! Mau apa kamu di
kamar mereka?"
"Saya membantu Pak Ario," sahut Rianti, jengkel
karena merasa tidak bersalah. "Dia mabuk!"
"Itu bukan urusanmu! Bukan tugas seorang sekre-
taris!"
pustaka-indo.blogspot.com
84 "Tapi tugas sesama manusia, Mbak Sri!"
"Apa kata orang kalau melihat kamu pagi-pagi
buta begini berada di kamar seorang pria?"
"Saya hanya ingin menolongnya!"
"Tidak perlu! Panggil saja roomboy!"
Ya Tuhan, keluh Rianti dalam hati. Begitu keras-
kah moral membatasi perikemanusiaan?
"Jangan merusak nama baik delegasi Indonesia!
Sikap dan perbuatanmu di sini menjadi bahan so-
rotan!"
Dan ocehan Mbak Sri tambah seru ketika keesok-
an harinya tersebar desas-desus yang cukup me-
merahkan telinga Rianti. Barangkali Pak Santoso
yang menyebarkan berita itu. Siapa lagi. Dia me-
mang cerewet seperti perempuan. Dan sudah dua
kali mencoba mengajak Rianti keluar malam. Selalu
ditolak. Kali ini, rupanya dia menemukan kesempat-
an untuk membalas dendam.
"Benar waktu itu pukul tiga pagi, Mbak?" bisik
Bu Darsono dengan mata bersinar-sinar, entah ka-
rena apa.
"Benar," sahut Mbak Sri jengkel. "Tapi Rianti
hanya menolong mengantarkan Pak Ario ke kamar-
nya! Saya sendiri ada di sana kok!"
"Mereka baru pulang?" desak Bu Tjitjih penasar-
an. "Sudah saya katakan tidak!" bantah Mbak Sri
tegas. "Rianti sedang bekerja bersama saya di ka-
mar. Kami sedang menyelesaikan tugas yang diberi-
kan Pak Agus!"
pustaka-indo.blogspot.com
85 "Sampai jam tiga pagi?" sindir Bu Hasan. "Tugas
apa itu, Mbak Sri?"
"Tanya saja pada Pak Agus."
Diam-diam Rianti berterima kasih pada si angin
puyuh. Meskipun judes, dia mati-matian membela
Rianti.
Hari itu memang Pak Ario tidak ikut konferensi.
Dia malah tidak keluar sama sekali dari kamarnya.
Makan pun tidak.
"Tidur terus," Pak Santoso menyeringai sinis.
"Tidak ditengok, Dik Rianti?"
"Itu bukan tugas sekretaris, Pak Santoso!" Mbak
Sri-lah yang menjawab. Suaranya penuh kegemas-
an. "Lho, mendampingi Pak Ario ke kasino dan ke
bar juga bukan tugas sekretaris kan, Mbak?"
"Jangan menjelek-jelekkan citra sekretaris Indo-
nesia di luar negeri, Pak! Buat apa sih? Kan bikin
Kisah Para Pendekar Pulau Es 13 Lima Sekawan 08 Petualangan Di Sungai Ajaib Rahasia Pengkhianatan Baladewa 3
^