Pencarian

Rahasia Pengkhianatan Baladewa 3

Putri Bong Mini 06 Rahasia Pengkhianatan Baladewa Bagian 3


tengah berjongkok dengan lutut melengkung ke sam-
ping. Dan kepalanya bergerak-gerak kaku, tak ubah-
nya seekor macan yang hendak bertarung.
"Hauuungngng...!"
Mulut Siangkoan Kun Hok mengeluarkan erangan.
Erangan yang mengandung tenaga dalam 'Angin Sakti'
yang amat dahsyat.
Lima temannya menutup telinga mereka. Karena
erangan itu sangat memekakkan telinga. Lain halnya
dengan Bong Mini. Ia mengerahkan ilmu 'Angin Laut
Pengusir Suara', salah satu ilmu 'Pancaran Sinar Sakti'
warisan Putri Teratai Merah. Sehingga suara erangan musuhnya itu hanya terdengar
sayup-sayup. "Hauuungngng...!"
Siangkoan Kun Hok kembali mengerang disertai ter-
kaman tubuhnya. Jari-jari kedua tangannya yang mi-
rip cakar macan mengarah pada leher lawan. Gera-
kannya begitu cepat dan kuat. Sehingga pada saat ia menyambar tubuh lawan, angin
pun berputar sangat
keras. Wes wes wes! Bong Mini terkejut merasakan sambaran angin yang
demikian keras di sekitar tempatnya berdiri. Untung-lah ia memiliki ilmu 'Pasak
Bumi'. Sebuah ilmu yang
membuat tubuhnya tetap berdiri kokoh, walaupun ter-
serang angin yang demikian dahsyat. Sambil menge-
rahkan ilmu 'Pasak Bumi', kedua tangannya meren-
tang ke depan, menyambut sambaran tangan lawan.
Plekkk! Plekkk!
Kedua telapak tangan Bong Mini yang dikembang-
kan bertemu dengan kedua tangan Siangkoan Kun
Hok yang berbentuk cakar. Sedangkan masing-masing
jari tangan Bong Mini menyelip pada celah-celah jari tangan lawannya dengan
kuat. Begitu pula, dengan ja-ri-jari tangan lawannya. Terjadilah saling tekan
dan saling dorong dari kedua belah pihak.
Lima teman Siangkoan Kun Hok menyaksikan per-
tarungan itu dengan wajah tegang. Karena adu kekua-
tan itu akan berakhir dengan kematian seorang dari
mereka. Ilmu 'Telapak Tangan Sakti' yang dimiliki Bong Mini serta ilmu 'Lahar Panas
Membelah Bumi' yang dikerahkan Siangkoan Kun Hok, telah menimbulkan asap putih
dari kedua telapak tangan mereka. Kemudian asap putih itu menyebar ke
sekeliling, menghalangi pandangan lima kawan Siangkoan Kun Hok yang menyaksikan
pertarungan itu. Sesaat kemudian asap putih itu perlahan-lahan pudar, tertiup
oleh hembusan angin.
"Aaakh...!"
Siangkoan Kun Hok mengeluarkan lengkingan ting-
gi. Tubuhnya terkulai lemas, lalu ambruk. Sedangkan dari mulutnya keluar darah
kental kehitam-hitaman.
Dilanjutkan dengan kedua tangannya yang hangus
terbakar. Lelaki itu pun tewas.
"Kepuuung...!"
Lima murid Perguruan Topeng Hitam segera me-
ngeroyok Bong Mini dengan geram.
"Yeaaat...!"
"Aaakh!"
"Aaakh!"
Kedua tangan Bong Mini yang masih mengandung
ilmu 'Telapak Tangan Sakti' segera menyambut sera-
ngan itu. Dua pengeroyok yang terkena sentuhan ta-
ngannya mengerang-erang kesakitan di tanah bagai
ayam disembelih. Lalu keduanya tewas dengan sekujur tubuh menghitam bagai arang.
Begitulah dahsyatnya
ilmu 'Telapak Tangan Sakti' yang dimiliki Bong Mini saat berguru pada Kanjeng
Rahmat Suci. Walaupun
pukulannya tidak keras, tapi kalau sudah menyentuh
sesuatu, maka benda yang disentuhnya akan hangus
seperti terbakar.
"Majulah kalian bertiga! Biar sekalian kukirim ke
neraka!" geram Bong Mini. Dia sudah tidak ingin lagi berlama-lama, bahkan untuk
memberi ampun kepada
orang-orang Perguruan Topeng Hitam itu.
Sret sret sret!
Lawan mencabut pedang yang sejak tadi terselip di
pinggang masing-masing.
"Hiaaat!"
Tiga orang dari Perguruan Topeng Hitam segera me-
nyerang Bong Mini dengan jurus 'Seribu Tangan Iblis Menyambar Nyawa'.
Wut wut wut! Angin sambaran tiga pedang lawan itu begitu dah-
syat menderu-deru di kedua telinga Bong Mini. Bergulung, menyambar-nyambar dan
susul-menyusul.
Membuat Bong Mini harus mengelak dengan cara me-
lompat, bergulingan dan bersalto.
Ketika dia berdiri kembali, pedang saktinya telah
tergenggam di tangan kanannya. Dia sadar, kalau ti-
dak mempergunakan senjata, pertarungan itu akan
memakan waktu lama. Sedangkan ia sendiri ingin ber-
gegas menemukan Baladewa. Dengan begitu bisa me-
lakukan penyerangan ke Bukit Setan lebih cepat lagi.
Pengeroyoknya terpaku sejenak melihat pedang
Bong Mini yang memancarkan sinar merah berbentuk
bunga teratai. Membuat ketiga orang itu menjadi ngeri untuk melanjutkan
pertarungan. Mereka tahu kalau
pedang itu memiliki kesaktian yang luar biasa. Terbukti dari sinarnya yang
berbeda dengan pedang lain. Apalagi bila dibandingkan dengan pedang mereka yang
tidak memiliki kesaktian apa-apa.
"Lariii...!" Teriak seorang di antara mereka seraya mengambil langkah seribu.
Diikuti oleh dua temannya.
Pedang Bong Mini yang sudah telanjur dikeluarkan,
biasanya pantang dimasukkan ke sarungnya kembali
sebelum dibasahi darah lawan. Maka ketika tiga la-
wannya melarikan diri, Bong Mini segera mengejarnya dengan mengerahkan ilmu
'Halimun Sakti'. Ilmu yang
membuatnya bisa melesat cepat tanpa diketahui mu-
suh. Wesss! Angin yang ditimbulkan oleh lesatan tubuh Bong
Mini begitu keras, mampu menerbangkan debu-debu
di sekitar tempat tadi.
Plekkk! Dengan ringan Bong Mini mendaratkan kedua kaki-
nya di depan dua musuh yang sedang berlari.
"Lomba lari yang kurang menarik!" ledek Bong Mini
seraya tersenyum mengejek.
Dua orang Perguruan Topeng Hitam tentu saja ter-
kejut melihat Bong Mini telah berdiri menghadang. Dengan gerakan yang tak
terduga, tiba-tiba mereka me-
nubruk kedua kaki Bong Mini. Keduanya berlutut
meminta pengampunan.
"Ampun, Nona! Ampuni kami! Kami bersedia men-
jadi budak Nona jika Nona mengampuni kami!" iba ke-
dua pengikut Perguruan Topeng Hitam itu.
Bong Mini yang hendak mengayunkan pedangnya
untuk menghabisi nyawa kedua orang itu segera me-
nariknya kembali. Matanya menatap kedua orang yang
berlutut di kedua kakinya. Baru kali ini ia menyaksikan pemandangan seperti itu.
Gadis bertubuh mungil itu masih berdiam diri. Tak
sepatah kata pun yang terucap dari mulutnya. Ia ma-
sih termangu. Menimbang-nimbang permohonan ke-
dua orang itu. "Bong Mini!" tiba-tiba terdengar suara halus dan
merdu di kedua telinganya. Namun hanya dia sendiri
yang dapat mendengarnya. "Kalau Tuhan Maha Peng-
ampun, alangkah baiknya kalau kau juga suka meng-
ampuni orang yang telah mengakui kesalahannya di
depanmu!" lanjut suara itu lagi, sampai akhirnya
menghilang. Bong Mini menghela napas. Dia berdiri tegak de-
ngan wajah menengadah ke langit. Sedangkan kedua
matanya terpejam, merenungi kalimat-kalimat yang
dikatakan suara gaib tadi.
Setelah beberapa saat menengadah, Bong Mini kem-
bali menundukkan kepala. Dipandangnya dua orang
yang sedang menunggu keputusan itu.
"Bangunlah...." Suara Bong Mini terdengar lembut
di telinga kedua orang itu.
Mendengar ucapan yang lembut tanpa kemarahan,
kedua orang itu segera bangkit dengan wajah gembira.
"Terima kasih, Nona. Terima kasih!" ucap kedua
orang itu tertunduk-tunduk, sebagaimana orang ber-
salah yang bebas dari hukuman.
Bong Mini tidak menyahut. Ia memasukkan pedang-
nya. Setelah itu kakinya melangkah pelan meninggal-
kan kedua orang tadi.
"Tunggu, Nona!" teriak seorang dari mereka.
Bong Mini menghentikan langkah dan berbalik me-
mandang kedua lelaki itu.
"Ada apa?"
"Izinkan kami berdua untuk ikut bersama Nona,"
pinta seorang di antara mereka.
Bong Mini menghela nafas.
"Siapa namamu?" tanya Bong Mini.
"Namaku Kudu dan temanku ini Kitu!" sahut Kudu
memperkenalkan.
Bong Mini mengangguk angguk.
"Apakah Nona yang bernama Putri Bong Mini?" lan-
jut Kudu bertanya.
"Ya!" sahut Bong Mini sambil mengangguk.
"Sebaiknya Nona kembali!" kata Kitu ikut bicara.
"Kenapa?" tanya Bong Mini. Keningnya berkerut rapat.
"Orang-orang Perguruan Topeng Hitam sedang dike-
rahkan untuk mencari dan menangkap Nona Mini!"
kata Kitu menjelaskan.
Bong Mini kembali mengangguk-angguk sambil ber-
pikir. "Aku harus tetap melanjutkan perjalananku untuk
mencari sahabatku!" ucap Bong Mini.
"Siapa sahabat yang sedang Nona cari itu" Izinkan
kami ikut mencarinya!" pinta Kudu.
"Baladewa."
Kudu dan Kitu terkejut mendengar nama itu dis-
ebutkan. "Apakah Nona tidak salah menyebut namanya?" ta-
nya Kitu dengan wajah terkejut.
"Memangnya kenapa?"
"Orang yang Nona Mini cari itu telah bersekutu de-
ngan Perguruan Topeng Hitam!"
Bagai tersambar petir di siang hari bolong, Bong
Mini terkejut bukan main mendengar penjelasan Kitu.
Wajah dan matanya merah menahan marah.
"Kau ngomong apa?" geram Bong Mini.
"Aku bersedia mati di ujung pedang Nona Mini ka-
lau berkata dusta!" kata Kitu mantap.
Bong Mini berdiri tegang. Ucapan kedua orang itu
bisa ia terima. Apalagi mereka bersedia menyerahkan nyawanya andai keterangannya
bohong. "Kalian ikut aku!" cetus Bong Mini. Wajahnya masih
menunjukkan kemarahan yang amat sangat.
Tanpa banyak pertanyaan lagi, keduanya mengikuti
langkah Bong Mini.
*** 8 Malam mulai merambah. Kegelapan kembali menye-
limuti bumi. Lampu-lampu minyak yang dipasang di
rumah-rumah penduduk Desa Padomorang tampak
bergoyang-goyang. Tertiup semilir angin yang masuk
lewat celah-celah pintu dan jendela. Bila dilihat dari kejauhan, lampu-lampu itu
mirip kelap-kelip cahaya
bintang. Di ruang pertemuan rumah Prabu Jalatunda, Bong-
kap, Prabu Jalatunda, Ningrum dan para pendekar
lain terlihat sedang berkumpul. Selain membicarakan rencana penyerangan ke Bukit
Setan, mereka sedang
menunggu kedatangan Bong Mini dengan harap-harap
cemas. Ketika Bong Mini datang bersama dua lelaki tinggi
besar, Kudu dan Kitu, mata mereka langsung tertuju
pada Bong Mini dengan pandangan mata penuh tanda
tanya. Terlebih jika melihat sikap Bong Mini yang berbeda dari biasanya.
Sikapnya yang selalu lincah, man-ja, dan penuh senyum, berubah ketus dengan
sorot mata yang memancarkan kemarahan. Seolah ada per-
soalan yang menggayuti pikirannya.
"Kau sudah pulang, Sayang!" Ningrum langsung
memburu dan memeluk Bong Mini.
Bong Mini tampak dingin, tanpa memberikan reaksi
apa-apa ketika tubuhnya dipeluk oleh Ningrum.
"Ada apa denganmu" Kok ngambek" Baladewa ma-
na?" tanya Ningrum beruntun.
Bong Mini mengangkat wajahnya. Dipandangnya
Ningrum dengan sorot mata yang memancarkan ke-
marahan tak terhingga.
"Kalau Bibi ingin mengetahui Baladewa, tanyakan
saja kepada dua orang yang menyertaiku itu," kata
Bong Mini tanpa gairah. Dilepaskannya pelukan Ning-
rum, lalu melangkah menuju sudut ruangan. Gadis itu duduk di sana dengan wajah
yang masih cemberut.
Ningrum tersentak melihat sikap Bong Mini yang
mendadak berubah itu.
Dalam suasana yang dipenuhi tanda tanya seperti
itu, tiba-tiba Gunala berdiri. Dia berseru kepada kedua orang yang menyertai
Bong Mini. "Kau" Bukankah kau bernama Kudu dan Kitu?"
tanya Gunala dengan wajah terkejut.
Mendapat teguran itu, Kudu dan Kitu pun tak kalah
terkejut. Mereka pun kenal pada orang yang tadi me-negur. Mereka memang sama-
sama dari Perguruan
Topeng Hitam. Bedanya, Gunala serta ketiga temannya Gagap, Ontohod, dan Geblek


Putri Bong Mini 06 Rahasia Pengkhianatan Baladewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di bawah pimpinan Yang
Seng yang sudah tewas di tangan Bong Mini (baca episode: 'Iblis Pulau Neraka'),
sedangkan Kudu dan Kitu langsung di bawah pimpinan Kidarga dan Nyi Genit
dan bermarkas di Bukit Setan. Namun demikian, me-
reka sering bertemu jika ada pertemuan di Bukit Setan yang dilakukan sebulan
sekali. Melihat Gunala mengenali kedua orang yang dibawa
Bong Mini tadi, Bongkap segera berdiri dan mengham-
piri. "Apakah kalian berdua orang-orang dari Perguruan
Topeng Hitam?" tanya Bongkap, menduga. Sebab di
antara para pendekar lain, tidak ada yang mengenal
kedua orang itu kecuali Gunala dan ketiga temannya.
"Dugaan Tuanku memang benar. Kami dari Pergu-
ruan Topeng Hitam!" sahut Kudu terus terang.
Mendengar pengakuan itu, semua pendekar terke-
jut, termasuk Prabu Jalatunda dan Ningrum. Hanya
Bongkap, Ashiong, dan Sang Piao saja yang tampak biasa-biasa saja. Mereka sudah
biasa menerima orang-
orang Perguruan Topeng Hitam yang telah sadar kare-
na pengaruh Putri Bong Mini.
"Siapa nama kalian?" tanya Bongkap lagi.
"Namaku Kudu."
"Namaku Kitu," sahut Kitu pula memperkenalkan
namanya. Bongkap mengangguk-angguk.
"Apa hubungan kalian dengan Baladewa?" tanya
Bongkap, langsung pada persoalan.
Kudu dan Kitu saling berpandangan. Kemudian ke-
duanya mengalihkan pandangan pada Bong Mini.
Tampaknya mereka ingin minta persetujuan.
"Katakanlah apa yang kau ketahui tentang Bala-
dewa!" ketus Bong Mini kepada Kudu. Wajahnya masih
terlipat. Kudu mengangguk. Kemudian ia pun menceritakan
tentang pertemuannya dengan Bong Mini. Mulai dari
pertarungan antara Siangkoan Kun Hok sampai ke-
duanya bertekuk lutut di hadapan Bong Mini. Sampai
akhirnya tiba pada masalah Baladewa. Tidak lupa pula diceritakannya tentang
ciri-ciri Baladewa.
"Kalau memang Baladewa itu yang dimaksud Nona
Mini, dia sekarang berada di Bukit Setan dan menjadi orang kepercayaan Kidarga,"
tutur Kudu mengakhiri
ceritanya. "Baladewa..., Putraku!" keluh Ningrum. "Tidak ku-
sangka kau menjadi pengkhianat negeri!" lanjutnya
bergetar. Kemudian dengan deraian air mata, ia berlari menuju kamarnya.
Prabu Jalatunda yang mempunyai sifat pendiam,
dalam menghadapi persoalan itu pun tampak tetap te-
nang. Namun demikian hatinya terasa terbakar. Kalau saja Baladewa hadir di sana,
tentu kedua tangannya
akan menghajar putranya.
Beberapa saat setelah Ningrum masuk ke dalam
kamar, Bong Mini pun menghambur ke dalam kamar-
nya bersama tangis.
"Prabu!" ujar Bongkap dengan sikap tenang. "Seba-
iknya kau tenangkan dulu istrimu. Biar kubujuk pu-
triku!" usul Bongkap.
Tanpa menyahut, Prabu Jalatunda melangkah te-
nang memasuki kamar istrinya.
"Kalian tenang-tenang saja di sini. Aku akan mem-
bujuk putriku!" pamit Bongkap kepada para pendekar
yang hadir di ruang pertemuan itu. Kemudian kakinya melangkah tenang menghampiri
kamar putrinya.
*** Bongkap membuka pintu kamar Bong Mini. Di sa-
na, ia melihat anak gadisnya sedang menelungkup di
atas ranjang. Punggungnya turun naik, pertanda dia
sedang menangis.
Bongkap melangkah pelan mendekati putrinya. Di-
dudukinya tepi ranjang sambil mengusap-usap rambut
Bong Mini. Merasa kepalanya ada yang mengusap, Bong Mini
segera menghentikan tangisnya. Dengan lesu, dia du-
duk di samping papanya.
Bongkap tersenyum melihat mata sembab putrinya
yang masih meneteskan air mata.
"Kenapa kau menangis, Putriku?" tanya Bongkap
lunak. "Apakah Papa belum tahu penyebabnya?" tanya
Bong Mini sendu.
"Karena Baladewa pengkhianat?"
Bong Mini mengangguk sambil berusaha menge-
ringkan sisa-sisa air matanya dengan punggung ta-
ngan. Bongkap tersenyum. Tangannya kembali mengusap
kepala Bong Mini lembut.
"Kalau dulu kau selalu bercerita pada Papa tentang
segala yang kau alami, kenapa sekarang justru menu-
tup diri?" ucap Bongkap. Suaranya tetap lunak.
"Aku tidak mengerti maksud Papa?" kata Bong Mini
dengan sikap yang mulai tenang.
"Kau mau jujur pada Papa?"
"Apakah aku pernah membohongi Papa selama ini?"
sendu Bong Mini.
"Memang tidak. Tapi pertanyaan yang akan kuaju-
kan sekarang ini benar-benar membutuhkan keterbu-
kaanmu," lanjut Bongkap.
"Aku akan berusaha menjawab sesuai dengan kei-
nginan Papa," sahut Bong Mini berjanji.
Bongkap mengangguk-angguk seraya tersenyum.
"Sudah berapa lama kau mengenal Baladewa?"
tanya Bongkap lagi.
Bong Mini tersentak mendapat pertanyaan yang tak
diduganya itu. "Kenapa Papa menanyakan hal itu?" tanya Bong
Mini. "Papa merasa kesedihanmu tadi bukan karena
pengkhianatan Baladewa terhadap negeri ini semata.
Melainkan karena sebelumnya kau dan Baladewa su-
dah saling mengenal," tutur Bongkap, langsung me-
nyatakan dugaannya.
Bong Mini diam menunduk sambil menggigit-gigit
bibir bawahnya.
"Papa ini sudah tua, Sayang! Sudah banyak penga-
laman. Sikapmu tadi tidak bisa menutupi perasaanmu
yang sesungguhnya dari pandangan Papa."
"Papa!" sergah Bong Mini. Kemudian direbahkan
kepalanya di pangkuan Bongkap. "Aku memang telah
lama mengenal Baladewa, Papa. Sejak aku menghilang
dari sisi Papa," lanjut Bong Mini berterus terang. Kemudian ia pun menceritakan
awal pertemuannya de-
ngan Baladewa di Gunung Muda, saat ia berguru pada
Kanjeng Rahmat Suci. Malah ia pun menceritakan pula bagaimana Baladewa
mengungkapkan perasaan terhadap dirinya saat bertemu di Telaga Ungu.
"Papa sudah menduga kalau kau memang punya
hubungan erat dengan Baladewa," kata Bongkap me-
rasa tenang karena dugaannya tidak meleset.
"Tapi sekarang aku benci dia, Papa! Dia tidak seperjuangan dengan kita!" maki
Bong Mini kesal.
"Belum pasti, Sayang!" kata Bongkap.
"Bagaimana belum pasti" Sudah jelas dia sekarang
berada di Bukit Setan dan menjadi orang kepercayaan Kidarga!" kilah Bong Mini.
"Papa tahu! Tapi mungkin ia sendiri punya rencana
tersendiri, hingga harus bersekutu dengan Perguruan Topeng Hitam!" jelas
Bongkap. Bong Mini tercenung.
"Kalaupun Baladewa benar pengkhianat, apa boleh
buat. Kau harus tegar menghadapinya. Jangan kau
campur-adukkan antara perasaanmu terhadap Bala-
dewa dengan amanat penderitaan rakyat!" kata Bong-
kap lagi, memberi semangat.
Bong Mini merasa terhibur dengan dorongan se-
mangat dari papanya itu. Hatinya yang semula terasa rapuh, kini perlahan
bangkit, kembali pada ketegaran.
"Terima kasih, Papa!" ucap Bong Mini sambil men-
cium dan memeluk papanya.
Bongkap tersenyum sambil membalas pelukan pu-
trinya dengan erat. Ia gembira karena Bong Mini telah melepaskan kesedihannya.
*** Pada waktu yang bersamaan, suasana di Bukit Se-
tan tampak sepi. Semua pendekar yang bersekutu de-
ngan Perguruan Topeng Hitam telah tertidur pulas.
Termasuk Kidarga sendiri. Kecuali sepuluh penjaga
yang mendapat tugas malam itu.
Sepuluh orang itu dibagi menjadi tiga kelompok.
Pintu gerbang dan pintu ruang dalam masing-masing
dijaga oleh dua orang, sedangkan enam orang lainnya berjaga-jaga di sekitar
benteng. Dalam suasana hening dan sepi itu, tiba-tiba ter-
dengar teriakan yang mengejutkan dari ruang tidur pa-ra pendekar.
"Pembunuhan! Pembunuhan! Bangun semuanya...!
Ada pembunuhan!" teriak suara itu, membangunkan
semua orang yang tertidur. Bersamaan dengan itu, se-sosok bayangan hitam
bertopeng melesat dari tempat
kejadian menuju salah satu ruangan. Gerakannya be-
gitu cepat, hingga tak sempat terlihat oleh para penjaga dan para pendekar yang
sudah terbangun.
Mereka yang terjaga langsung berkerumun, melihat
sepuluh pendekar yang tewas dengan leher berlumu-
ran darah. Rupanya, sang pelaku melakukan pembu-
nuhan dengan cara menusukkan ujung pedang ke leh-
er korban. Terbukti dari leher korban yang berlubang dan tembus sampai ke
belakang. Membuat para korban tidak sempat berteriak.
"Ada apa ribut-ribut?" terdengar suara berwibawa
dari pintu masuk ruangan.
Ketika para pendekar menoleh, ternyata Baladewa
tengah melangkah tenang. Sedangkan tiga tombak di
belakang Baladewa, terlihat Kidarga sedang berjalan pula.
"Pembunuhan! Sepuluh orang pendekar telah mati
dibunuh oleh orang tak dikenal!" lapor Chiang Su Kiat, Ketua Tiga Siluman Ular
Belang. "Bangsat!" geram Baladewa dengan mata menyala
penuh kemarahan. "Semua ini terjadi di depan hidung-ku!"
Semua pendekar yang hadir di situ terdiam melihat
kemarahan Baladewa. Termasuk Kidarga. Mereka me-
mang sangat segan bila Baladewa sudah marah. Kare-
na selain memiliki kepandaian ilmu silat dan kesaktian yang luar biasa, usianya
juga baru mencapai dua puluh tahun. Tidak mustahil kalau dia memiliki tenaga
luar biasa. Sedangkan Kidarga sendiri telah menyerahkan semua persoalan yang
menyangkut perguruan itu
kepada Baladewa. Termasuk persoalan yang baru ter-
jadi tadi. "Aku merasa ada pengkhianatan di antara kita!" ge-
ram Baladewa sambil menyebarkan pandangan pada
seluruh pendekar. Sedangkan para pendekar yang
mendapat tuduhan itu tampak gusar. Mereka khawatir
kalau Baladewa menjatuhkan tuduhan semena-mena.
"Kalau memang ada pengkhianat di perguruan kita,
siapa kira-kira orangnya?" tanya Kidarga, sama ge-
ramnya dengan Baladewa. Karena sepuluh pendekar
yang terbunuh adalah pendekar pilihan yang terga-
bung dalam Perkumpulan Pendekar Siluman.
"Aku merasa pembunuhan ini dilakukan oleh Khian
Liong!" tuduh Baladewa, membuat Kidarga dan para
pendekar lain terkejut.
"Apa alasanmu menuduh dia?" tanya Kidarga.
"Sejak Ketua menerima aku di perguruan ini dan
menjadikan aku sebagai wakil Ketua, Khian Liong
tampak tidak senang padaku!" papar Baladewa.
"Lalu, apa hubungannya dengan pembunuhan ini?"
tanya Kidarga. "Tentu saja erat hubungannya, Ketua! Agar Ketua
tidak lagi mempercayai aku sebagai wakil karena tidak becus bekerja!" sahut
Baladewa. Kidarga mengangguk-angguk.
"Tapi pada saat peristiwa ini terjadi, Khian Liong
sedang berada di luar!" kata Kidarga.
"Bisa saja dia pura-pura keluar untuk mencari jejak Bong Mini dan Bongkap. Tapi
tanpa sepengetahuan ki-ta, dia justru melaksanakan siasat yang sudah matang
direncanakan. Bagaimanapun juga pembunuhan terhadap sepuluh pendekar ini pasti
sudah direncana-
kan!" kata Baladewa.
"Lalu tindakan apa selanjutnya yang akan kau am-
bil?" tanya Kidarga.
"Satu-satunya jalan aku harus menghadapi Khian
Liong secara jantan!" sahut Baladewa.
Para pendekar yang hadir di situ tampak berdiri te-
gang mendengar ucapan Baladewa. Karena kalau Ba-
ladewa bertarung secara jantan dengan Khian Liong
berarti keduanya akan bertarung sampai di antara mereka ada yang tewas.
"Kalau tindakan itu merupakan jalan terbaik, laku-
kanlah! Semua persoalan ini kuserahkan padamu," ka-
ta Kidarga memberikan kepercayaan kepada Baladewa.
Sebelum Baladewa membalas ucapan Kidarga,
muncul Khian Liong dan menghampiri mereka. Tanpa
sempat mengajukan pertanyaan, Baladewa telah men-
dahuluinya. "Kau datang tepat pada waktunya, Khian Liong!"
ujar Baladewa dengan wajah sinis.
"Memangnya ada apa?" tanya Khian Liong, tak ka-
lah sinis. Dia sendiri sudah lama menyimpan rasa ben-ci dan dendam di hati,
sejak dia dikalahkan Baladewa saat uji coba.
"Begitulah sikap pengkhianat bila sudah melakukan
kesalahan. Menutupi perbuatannya dengan sikap pu-
ra-pura bodoh!"
"Apa maksudmu?" sergah Khian Liong sengit saat
mendengar tuduhan itu.
"Kau masih juga bersikap pura-pura Khian Liong!"
geram Baladewa. "Seharusnya langsung kau akui saja


Putri Bong Mini 06 Rahasia Pengkhianatan Baladewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kalau kau melakukan pembunuhan terhadap sepuluh
pendekar itu!" tuduh Baladewa.
"Monyet! Kurobek mulutmu yang suka menuduh
orang tanpa bukti itu!" kalap Khian Liong.
"Lakukanlah kalau kau mampu!" tantang Baladewa
dengan gagah. Membuat Kidarga dan para pendekar
lain mundur sejauh lima tombak. Mereka sudah men-
duga pertarungan antara Khian Liong dan Baladewa
pasti terjadi. Dugaan mereka memang benar. Setelah para pen-
dekar mengambil jarak, Khian Liong langsung menye-
rang Baladewa disertai lengkingan tinggi.
"Hiaaat!"
Khian Liong menerjang Baladewa dengan gerakan
menubruk. Sedangkan tangan kirinya mencengkeram
ubun-ubun lawan. Sementara tangan kanannya me-
notok leher Baladewa. Inilah yang disebut jurus 'Monyet Liar Mencaplok Mangsa'.
Sebuah jurus yang di-
sertai tenaga pukulan yang amat dahsyat.
"Heiiit!"
Dukkk! Plakkk! Baladewa menangkis serangan berbahaya itu de-
ngan cepat. Tangan kirinya menangkis tangan kiri lawan yang mencengkeram ubun-
ubunnya, sedangkan
tangan kanan lawan yang menotok lehernya dielakkan
dengan sedikit menunduk. Bahkan pada saat menang-
kis dan mengelak itu, Baladewa pun berhasil memba-
las serangan. Plakkk! Dua jari Baladewa berhasil mendarat di pergelangan
tangan Khian Liong.
"Auuuh!"
Khian Liong meringis kesakitan karena pergelangan
tangannya tergetar hebat saat ilmu 'Totok Tanduk Kerbau' yang dikerahkan
Baladewa mendarat di punggung
tangannya. Dalam keadaan meringis itu, Baladewa kembali me-
lancarkan serangan berupa tendangan.
Desss! Tubuh Khian Liong terjengkang sejauh dua tombak
dan jatuh terbanting keras di lantai.
Bukkk! "Aaakh!"
Khian Liong terpekik kesakitan saat tubuhnya keras
menubruk lantai. Beberapa saat kemudian ia bangun
kembali sambil mencabut pedangnya. Kemudian pe-
dang yang sudah tergenggam di tangan kanannya itu
diputar-putar dengan gerakan yang amat cepat. Se-
hingga pedang itu berubah menjadi gulungan sinar bi-ru. Sing sing sing!
Gulungan sinar biru itu mengeluarkan desingan
nyaring saat Khian Liong bergerak menerjang Bala-
dewa. Wut wut wut! Serangan Pedang Naga Liar yang dilancarkan Khian
Liong ke arah leher dan perut lawan hanya menimbul-
kan angin keras saat tubuh lawannya bergerak lincah, menghindari serangan pedang
yang demikian gencar.
Kidarga dan para pendekar berdecak-decak kagum
melihat ketangkasan Baladewa dalam menghadapi se-
rangan senjata lawannya. Sehingga, ke mana pun pe-
dang Khian Liong menyambar, Baladewa selalu dapat
mementahkannya. Pantaslah jika Kidarga memperca-
yakan Baladewa sebagai wakilnya.
Menyadari serangannya selalu gagal, Khian Liong
bertambah geram. Kemarahannya semakin memuncak.
Diputarnya pedang lebih cepat lagi. Membuat pedang
yang berputar itu hanya menyerupai gulungan sinar.
Namun ketika ia hendak menerjang lawan, tiba-tiba
Baladewa mengeluarkan bentakan keras.
"Lepas pedang!"
Wut! Cringngng!
Pedang yang sedang berputar itu langsung terlepas
dari tangan Khian Liong dan jatuh ke lantai. Ternyata bentakan Baladewa tadi
disertai pengerahan ilmu 'Kontak Batin' yang didapat dari Kanjeng Rahmat Suci.
Sebuah ilmu yang membuat pemiliknya mampu mengua-
sai pikiran lawan.
Melihat kenyataan itu, semua pendekar dan Kidarga
kembali berdecak kagum. Mereka memuji ilmu 'Kontak
Batin' milik Baladewa. Karena ilmu yang mempunyai
pengaruh kuat itu sangat jarang dimiliki oleh para
pendekar. Bahkan para pendekar yang bersekutu de-
ngan Perguruan Topeng Hitam pun tak memiliki ilmu
yang sangat ampuh itu.
Khian Liong terkejut bukan main melihat pedang-
nya tiba-tiba saja terlepas. Pada saat itu pula hatinya mulai gentar. Ia
mengakui ilmu Baladewa lebih tinggi dari ilmunya. Namun karena pertarungan itu
di hadapan orang banyak, bahkan disaksikan oleh Kidarga,
pemimpinnya, maka rasa gentar itu segera ditepisnya.
Ia memaksakan diri untuk terus menghadapi lawan
sampai salah seorang di antara mereka tewas.
"Hiaaat!"
Dengan kemarahan memuncak, Khian Liong mener-
jang lawan dengan tendangan kaki kanannya yang ber-
usaha menjebol dada Baladewa.
Wuttt! Plak plak plakkk!
"Aduuuh!"
Serangan Khian Liong kembali gagal. Sebaliknya,
tubuhnya terlempar ke samping dan bergulingan. Mu-
lutnya mengerang, karena telapak tangan Baladewa
yang menyentak pundaknya terasa meremukkan tu-
lang. "Oekkk!"
Khian Liong langsung memuntahkan darah segar
ketika tubuhnya tertelungkup di lantai. Bersamaan dengan itu, tubuhnya diam tak
berkutik lagi. Dilanjutkan dengan perubahan tubuhnya yang mendadak hitam
seperti arang, akibat pukulan 'Telapak Tangan Sakti'
yang dilancarkan Baladewa pada pundaknya.
Kidarga dan para pendekar yang sejak tadi berada
di situ tampak termangu-mangu menyaksikan kema-
tian Khian Liong yang begitu mengerikan. Di samping itu, mereka juga kagum dan
gembira karena dapat menyaksikan ilmu kesaktian Baladewa
Kidarga melangkah mendekar Baladewa dengan wa-
jah gembira. "Kau telah menjalankan tugas dengan baik!" puji
Kidarga sambil menepuk-nepuk pundak Baladewa.
"Terima kasih, Ketua!" ucap Baladewa seraya terse-
nyum bangga karena dapat memenangkan pertempu-
ran itu. Sementara itu, para pendekar lain pun melangkah
mendekati Baladewa. Mereka berkerumun memuji-
muji Baladewa yang menjadi wakil pemimpin Pergu-
ruan Topeng Hitam. Sementara peristiwa pembunuhan
yang menimpa sepuluh pendekar telah hilang dari pikiran mereka.
*** 9 Pagi datang beriring cahaya jingga kemilau dari
ufuk timur. Kabut tebal yang sejak sore kemarin me-
nyelimuti Bukit Setan, beranjak lamban di pucuk-
pucuk pepohonan.
Dalam suasana pagi yang cerah itu, para pendekar
yang bersekutu dengan Perguruan Topeng Hitam tam-
pak sedang berlatih silat, sekadar berolah raga agar badan tetap sehat serta
melancarkan gerakan.
Kidarga dan Baladewa tampak tersenyum-senyum
menyaksikan mereka itu. Rasa kagum terkadang mem-
bias pula di wajah kedua orang itu jika melihat keman-tapan jurus-jurus yang
diperagakan beberapa pende-
kar. Di saat mereka asyik menyaksikan para pendekar
berlatih, tiba-tiba muncul seorang anak buah Kidarga yang bertubuh tinggi besar
dan berkepala botak.
Hanya bagian tengah saja yang disisakan sedikit dan dikucir. Dia datang dengan
langkah tergopoh-gopoh.
Kidarga memicingkan mata melihat seorang anak
buahnya melangkah tergesa-gesa ke arahnya. Ketika
orang itu telah sampai dan memberi hormat kepada-
nya, Kidarga langsung mengajukan pertanyaan.
"Ada apa?"
"Gawat, Ketua!" sahut orang itu dengan sikap takut-
takut. "Ngomong yang benar!" bentak Kidarga. Matanya
melotot, napasnya tersengal. Pertanda kemarahannya
mulai naik. Kemarahannya memang sangat mudah ter-
pancing. "Siangkoan Kun Hok dan dua temanku mati!" lapor
orang itu. Kidarga dan Baladewa saling bersitatap tegang. Da-
rah panasnya menyembur ke sekujur tubuh mende-
ngar kematian Siangkoan Kun Hok, pengemis sakti
yang juga sangat diandalkan oleh Kidarga.
"Dengan siapa dia bertarung?" tanya Kidarga dalam
kemarahan yang meluap-luap.
"Putri Bong Mini!"
Mendengar nama Bong Mini disebutkan, wajah Ki-
darga langsung berubah tegang. Dia berdiri diam de-
ngan gigi-gigi bergemerutuk geram. Begitu pula dengan Baladewa. Bedanya, ia
terkejut karena tidak menyangka kalau Siangkoan Kun Hok akan berhadapan dengan
Bong Mini. Hal itu pasti akan melibatkan dirinya pula sebagai wakil Kidarga
untuk memimpin pasukan. Mau
tidak mau dia harus berhadapan dengan Bong Mini,
musuh besar Perguruan Topeng Hitam yang menjadi
kekasihnya. "Apakah hanya kau sendiri yang berhasil menyela-
matkan diri?" tanya Kidarga setelah beberapa saat terdiam menahan marah.
"Semula kami bertiga melarikan diri, Ketua! Tapi
dua orang sempat dikejar oleh Bong Mini dan tidak ta-hu bagaimana nasib mereka!"
tutur lelaki tinggi besar yang berhasil meloloskan diri dari cengkeraman Bong
Mini itu. "Bangsat!" geram Kidarga lagi, membuat para pen-
dekar yang sedang berlatih silat segera berhenti. Kemudian mereka melangkah
gagah mendekati Ketua
Perguruan Topeng Hitam itu dan memandangnya de-
ngan penuh tanda tanya.
"Lalu bagaimana dengan istriku yang kalian cari?"
tanya Kidarga lagi.
"Istri Ketua..., istri Ketua..., tewas!" lapor anak buahnya dengan suara
tersendat-sendat.
"Kau jangan ngomong sembarangan!" bentak Kidar-
ga menahan marah, sehingga kalimat yang diucapkan-
nya terpatah-patah. Sedangkan tangan kanannya men-
cengkeram kepala anak buahnya itu, hingga meringis-
ringis kesakitan.
"Hamba tidak bohong, Ketua!" ucap anak buahnya
itu di sela ketakutan.
"Kau menyaksikannya sendiri?"
"Memang tidak, Ketua!"
"Lalu dari mana kau dapatkan berita itu!" bentak
Kidarga seraya mengencangkan cengkeramannya.
"Hamba..., hamba mengetahuinya dari Siangkoan
Kun Hok. Dia menyebut-nyebut nama Nyi Genit yang
telah kalah dan lari saat bertarung dengan Bong Mini!"
"Tapi orang yang melarikan diri belum tentu mati,
kan"!" geram Kidarga dengan mata merah berkilat.
"Memang belum tentu," sahut anak buah yang me-
lapor terbata-bata.
"Kau memang tidak becus melapor!" geram Kidarga.
Diperkeras cengkeraman tangannya pada kepala anak
buahnya itu. "Aaakh...!"
Lelaki berkepala botak berkucir itu mengeluarkan
pekikan tertahan karena menahan hawa panas di seki-
tar kepalanya. Sedangkan pada bagian kepalanya yang dicengkeram jari-jari
Kidarga tampak pecah-pecah disertai darah yang mengalir deras.
"Hihhh!"
Kidarga mendorong anak buahnya itu hingga ter-
sungkur jatuh. Anak buah Kidarga yang dicengkeram kepalanya
tampak menggelepar-gelepar di tanah tanpa suara. Mirip seekor ayam disembelih.
Kedua biji matanya melotot. Sedangkan lidahnya menjulur keluar. Kemudian
tubuh yang menggelepar-gelepar tadi langsung berhen-
ti, tanpa bergerak lagi. Ia mati dengan kepala retak seperti tanah kering-
kerontang. Baladewa dan seluruh para pendekar yang berada
di situ tampak terkejut melihat anak buah Kidarga
yang mati di tangan pemimpinnya sendiri. Mati dengan cara mengenaskan akibat
'Telapak Tangan Iblis' yang dikerahkan Kidarga. Sebuah ilmu sesat yang sudah
mencapai taraf kesempurnaan.
"Dia sudah tidak berharga lagi buat kita!" kata Ki-
darga tatkala melihat keterkejutan para pendekarnya.
Para pendekar terdiam. Mereka masih terpaku meli-
hat kematian seorang pengikut Perguruan Topeng Hi-
tam itu. "Baladewa!" kata Kidarga lagi.
"Ada apa, Ketua!" sahut Baladewa cepat.
"Pimpin pasukan dan cari Bong Mini hari ini juga.
Tangkap gadis itu hidup atau mati!" perintah Kidarga.
"Siap, Ketua!" kata Baladewa. Namun hati dan piki-
rannya sendiri berkecamuk. Karena dia harus menang-
kap Putri Bong Mini, kekasihnya sendiri.
*** Sementara itu di Desa Padomorang, Bongkap, Prabu
Jalatunda, Ningrum, dan para pendekar tampak du-
duk tegang di ruang pertemuan.
Dalam suasana tegang seperti itu, tiba-tiba Bong
Mini muncul dari dalam kamarnya. Berpakaian merah
ketat, lengkap dengan Pedang Teratai Merah yang tersandang di punggungnya.
Bongkap dan semua orang yang hadir di ruang per-
temuan itu langsung mengalihkan pandangannya pada
Bong Mini yang tengah melangkah menghampiri mere-
ka. "Papa!" ujar Bong Mini seraya mendekati papanya yang masih termangu-mangu


Putri Bong Mini 06 Rahasia Pengkhianatan Baladewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memandang putrinya.
Bukan memandangi penampilan Bong Mini yang me-
mang selalu menarik, melainkan mengamati peruba-
han sikap yang terlihat pada wajah putrinya. Wajahnya yang selalu segar berseri,
kini tampak tegas berwibawa, tanpa sedikit pun senyum. Sehingga terlihat se-
perti gadis remaja yang menginjak dewasa.
"Hari ini aku akan melakukan penyerangan ke Bu-
kit Setan!" lanjut Bong Mini, menyampaikan maksud-
nya. Mendengar ucapannya, semua orang termasuk Bong-
kap tampak terkejut.
"Jangan tergesa-gesa, Putriku! Sebaiknya kita men-
jalankan tugas seperti rencana yang telah kita sepakati bersama!" cegah Bongkap.
"Tidak, Papa! Tanganku sudah gatal hendak meng-
habisi orang-orang Perguruan Topeng Hitam serta para sekutunya. Sedangkan
penyerangan terhadap prajurit
Kerajaan Manchuria yang akan mendarat di pantai Se-
lat Malaka, biar Papa yang memimpin!" kata Bong Mini bersikeras.
Bongkap terdiam beberapa saat, mempertimbang-
kan keinginan Bong Mini. Ia tahu, keinginan putrinya untuk langsung menyerang
Bukit Setan karena dipe-ngaruhi kemarahan terhadap Baladewa, putra Prabu
Jalatunda. "Papa jangan khawatir!" kata Bong Mini lagi, saat
melihat keraguan terpancar dari air muka papanya.
"Aku tidak pergi sendiri. Akan kuajak Pendekar Mata Dewa atau Pendekar Teluk
Naga untuk menyertaiku ke
sana," lanjut Bong Mini.
Bongkap masih terdiam. Hanya pandangannya saja
yang kini beralih pada Pendekar Mata Dewa dan Pen-
dekar Teluk Naga.
"Kalian bersedia menyertai putriku?" tanya Bongkap
kepada enam pendekar yang duduk di seberang me-
janya. "Kami bersedia, Tuanku!" sahut keenam orang itu
hampir bersamaan.
"Kalau begitu, kalian semua menyertai putriku! Ka-
lau ada apa-apa, kalian segera hubungi aku di pantai Selat Malaka," pesan
Bongkap. "Baik, Tuanku!" sahut Kao Cin Liong, Ketua Pende-
kar Mata Dewa. Lalu mereka bersama Pendekar Teluk
Naga segera bangkit dan melangkah mendekati Putri
Bong Mini. "Papa, aku berangkat!" pamit Bong Mini sambil
mencium kedua pipi Bongkap. Namun wajahnya tetap
dingin, tanpa senyum.
"Aku ikut!" ujar Ningrum tiba-tiba sambil bangkit
dari kursinya. Dihampirinya Bong Mini.
Bong Mini berdiri tercenung memandang wajah wa-
nita setengah baya yang masih menampakkan kecan-
tikannya itu. "Sebaiknya Bibi ikut bersama-sama Papa dan Pa-
man Prabu menghadang prajurit Kerajaan Manchuria
di Selat Malaka!" cegah Bong Mini.
"Tidak! Aku harus ikut! Biar aku sendiri yang akan
menghajar putraku itu!" sahut Bibi Ningrum agak ge-
ram, mengingat putranya yang telah menjadi
pengkhianat negeri.
Bong Mini menghela napas. Tak tahu apa yang ha-
rus dikatakannya lagi agar Ningrum bisa mengubah
keinginannya untuk ikut ke Bukit Setan. Matanya be-
ralih pada Prabu Jalatunda, sebagai permohonan agar Prabu Jalatunda mau membujuk
Ningrum. Prabu Jalatunda yang memang ingin mencegah is-
trinya segera bangkit dan menghampiri.
"Rayi! Biarkanlah Bong Mini bersama Pendekar Ma-
ta Dewa dan Pendekar Teluk Naga yang melakukan se-
rangan ke sana," bujuk Prabu Jalatunda.
"Kau tidak tahu perasaanku, Kakang! Sejak umur
sebelas tahun kita mendidik dia dan menitipkannya
kepada Kanjeng Rahmat Suci di Gunung Muda untuk
menuntut ilmu. Setelah ia pandai, ilmu itu malah di-salahgunakan untuk
kepentingan orang-orang sesat
seperti Kidarga dan pengikutnya!" ucap Ningrum de-
ngan suara meninggi, disertai isakan tangis. Tentu saja akibat penyesalan
terhadap tindakan putra satu-satunya, Baladewa.
"Apa yang kau rasakan, sama dengan perasaanku
saat ini. Tapi bukan berarti kita harus bertindak membabi-buta tanpa
perhitungan. Kidarga dan pengikutnya bukan orang-orang yang bisa kita anggap
remeh. Apalagi setiap orang yang ingin bersekutu dengannya harus diuji tingkat
kepandaiannya terlebih dahulu. Ini membuktikan kalau pertahanan mereka saat ini
semakin kuat. Kita tidak boleh gegabah menyerangnya!" papar Prabu Jalatunda.
Ningrum tidak menyahut. Hanya isaknya saja yang
terdengar semakin keras.
"Berangkatlah anakku! Semoga kau berhasil!" kata
Bongkap kepada Bong Mini yang masih berdiri ter-
mangu. Bong Mini mengangguk. Kemudian bersama Pende-
kar Mata Dewa dan Pendekar Teluk Naga, dia berang-
kat menuju Bukit Setan.
*** Matahari semakin tinggi. Panasnya kian menyengat
kulit kepala. Dalam suasana panas seperti itu, Bong Mini, Pen-
dekar Mata Dewa, dan Pendekar Teluk Naga telah
sampai di Hutan Roban. Mereka terus melangkah di-
sertai ilmu peringan tubuh yang mereka miliki masing-masing. Sehingga langkah
mereka begitu cepat dan ri-
ngan. Layaknya bulu tertiup angin.
"Berhenti!" seru Bong Mini tiba-tiba sambil meng-
angkat tangan kanannya sebagai aba-aba.
Enam pendekar yang berjalan di belakangnya sege-
ra menghentikan langkah.
"Kalian lihat di bawah sana! Serombongan orang te-
ngah berjalan menaiki bukit ini!" kata Bong Mini kepada enam pendekar yang
menyertainya. Pandangan-
nya terus tertuju pada dua puluh orang lelaki gagah yang sedang mendaki Hutan
Roban, tempat mereka
berdiri. "Pasti mereka para pendekar yang bersekutu de-
ngan Perguruan Topeng Hitam," duga Kao Cin Liong.
"Dugaanmu tepat!" sambut Bong Mini. "Karena Ba-
ladewa ada di antara mereka!" lanjut Bong Mini. Ma-
tanya yang hitam gemerlap mampu meneliti wajah ke-
dua puluh orang yang sedang melakukan pendakian
itu. Wajah Baladewa dapat dikenalinya dengan baik.
Walaupun matanya melihat secara samar-samar.
"Bagaimana kalau kita langsung menyergap mere-
ka?" usul Kao Cin Liong tidak sabar.
"Bagus! Jarak langkah mereka pun sudah semakin
dekat!" timpal Bong Mini menyetujui. Sesungguhnya,
ia pun sudah tidak sabar untuk segera berhadapan
dan menghabisi para pendekar yang bersekutu dengan
Perguruan Topeng Hitam itu.
"Tapi ingat! Pemuda bernama Baladewa itu jangan
kita lukai sedikit pun. Beri saja peringatan atau kita tangkap lalu kita
hadapkan pada Prabu Jalatunda. Bi-ar orangtuanya sendiri yang memberi hukuman!"
kata Kok Thai Ki memperingatkan teman-temannya.
"Begitu pun baik!" sahut Kao Cin Liong.
Hening. Bong Mini dan keenam pendekar itu kembali meng-
amati langkah dua puluh orang sekutu Perguruan To-
peng Hitam yang kian dekat. Ketika mereka benar-
benar telah dekat, Bong Mini dan pengikutnya lang-
sung berloncatan disertai lengkingan tinggi.
"Hiat hiat hiaaat!"
Dengan tangkas dan ringan ketujuh pendekar itu
melompat, kemudian berdiri menghadang Baladewa
bersama sembilan belas pengikutnya dalam jarak sekitar sepuluh tombak.
Baladewa dan pasukannya terkejut melihat tujuh
orang gagah tiba-tiba menghadang mereka. Namun ke-
tika matanya menemukan Bong Mini, hati Baladewa
menjadi tenang kembali. Kini bibirnya malah terse-
nyum pada gadis yang membuatnya kasmaran itu.
"Aku tidak menyangka, pemuda gagah dengan tutur
kata yang lemah lembut sepertimu, ternyata menjadi
pengikut orang-orang sesat!" geram Bong Mini. Wajahnya merah dengan mata yang
mencorong tajam ke
arah Baladewa. Tak sedikit pun ada perasaan rindu
menghinggapi hatinya saat itu, kecuali kemarahan dan dendam yang begitu berat
menggayuti hatinya.
Sembilan belas pendekar yang menyertai Baladewa
terkejut ketika mengetahui gadis itu mengenal pemimpinnya.
Baladewa tersenyum tipis ke arah Bong Mini. Se-
nyum yang disertai pandangan kerinduan. Karena se-
lama ini mereka tidak pernah bertemu.
"Kalau kau mengetahui aku bersekutu dengan Per-
guruan Topeng Hitam, apa yang akan kau lakukan?"
tanya Baladewa tenang.
"Aku akan menangkap dan mengadilimu di hada-
pan kedua orangtuamu!" lantang Bong Mini dengan
mata berkilat-kilat.
"Kalau memang itu yang kau kehendaki, silakan!"
tantang Baladewa dengan senyum yang tak pernah le-
kang dari bibirnya.
Telinga Bong Mini terasa panas mendengar ucapan
Baladewa tadi. Sebuah ucapan yang jelas-jelas me-
ngandung nada tantangan. Seketika itu juga, ia mem-
beri aba-aba kepada enam pendekar yang menyer-
tainya. "Seraaang!"
Bong Mini dan enam pengikutnya langsung berge-
rak menyerang dua puluh pendekar di hadapan mere-
ka. "Hiaaat!"
Trang trang trang!
Lengkingan tinggi serta denting senjata berbaur
menjadi satu. Dalam waktu singkat, Hutan Roban yang biasanya selalu tenang, kini
menjadi hingar-bingar.
Bong Mini yang sudah menaruh rasa benci terha-
dap sikap Baladewa, segera mencari kesempatan agar
dapat berhadapan dengan pemuda itu. Tapi di luar dugaan, Baladewa justru selalu
mengelak bila mendapat serangan Bong Mini. Saat mengelak, ia malah menghujamkan
pedangnya ke tubuh pendekar yang menyer-
tainya, hingga membingungkan Bong Mini. Padahal
pendekar wanita itu sudah bernafsu menyerangnya.
Wut! Pedang Bong Mini menyambar bagian kaki Bala-
dewa. Dengan cepat Baladewa menghindar. Tubuhnya
melompat setinggi dua meter. Sambil melompat, pe-
dang di genggamannya menyambar kepala seorang
pendekar Perguruan Topeng Hitam.
Crokkk! "Aaakh!"
Pekik menggiris hati terdengar ketika pedang Bala-
dewa membelah kepala temannya sendiri. Hingga lelaki itu roboh tanpa dapat
berkutik lagi. "Gila kau! Teman sendiri dihajar!" pekik Kwan-Kwan
ketika matanya sempat melihat perbuatan Baladewa.
"Di Perguruan Topeng Hitam kita teman. Di luar ki-
ta jadi musuh!" kata Baladewa
Mendengar jawaban itu, bukan saja para sekutu
Perguruan Topeng Hitam yang terkejut. Bong Mini dan enam pendekar pengiringnya
pun turut tersentak.
"Bangsat! Rupanya selama ini kau menjadi musuh
dalam selimut!" geram Kwan-Kwan setelah mengetahui
kalau kehadiran Baladewa di Perguruan Topeng Hitam
hanya topeng belaka. Niat yang sebenarnya justru
hendak memata-matai gerakan Perguruan Topeng Hi-
tam lebih dekat lagi.
"Hanya orang bodoh yang mau bersekutu dengan
Perguruan Topeng Hitam!" sahut Baladewa pula sambil melakukan gerakan menangkis
dan menyerang ke
arah pengikut Perguruan Topeng Hitam.
"Kalau begitu, kaulah yang melakukan pembunu-
han terhadap sepuluh pendekar semalam!" tuduh Ci
Bun yang sedang melakukan serangan ke arah Bala-
dewa bersama seorang temannya.
"Jadi kau baru tahu sekarang?" ejek Baladewa.
Mendengar pengakuan itu, Ci Bun menjadi geram.
Serangan pedangnya dipercepat.
Bong Mini dan enam pendekar pengikutnya menjadi
lega setelah mengetahui maksud Baladewa sebenar-
nya. Kenyataan itu mendorong semangat mereka un-
tuk melakukan serangan-serangan gencar dengan pe-
dang di tangan masing-masing.
Trang trang trang!
Pertemuan senjata kedua belah pihak kembali ter-
dengar nyaring. Bahkan setiap kali senjata mereka beradu, selalu timbul pijaran
api yang cukup terang.
"Hiaaat!"
Tiba-tiba Bong Mini mengeluarkan lengkingan ting-
gi, tubuhnya menerjang cepat ke arah tiga penge-
royoknya. Dengan ilmu 'Halimun Sakti' serta jurus 'Pe-
dang Samber Nyawa', tubuhnya yang mungil semakin
lincah menyambar-nyambarkan pedangnya ke arah
lawan. Sing sing sing!
Bret bret bret! Crokkk!
Pedang Teratai Merah yang mengandung kesaktian
luar biasa berhasil membabat tiga lawan sekaligus. Detik itu juga ketiga orang
lawan yang terkena sabetan pedang Bong Mini langsung roboh dengan leher hampir
putus. Di lain sisi, Pendekar Mata Dewa, Pendekar Teluk
Naga, dan Baladewa pun berhasil merobohkan lawan.
Hingga dalam waktu singkat mereka berhasil mene-
waskan delapan belas orang lawan. Tinggal satu orang yang masih bisa bertahan.
Itu pun tidak berlangsung lama. Ketika mengetahui dirinya sendiri yang masih
hidup, Kwan-Kwan langsung mengambil langkah seribu.
Baladewa sudah memutuskan untuk tidak mem-
biarkan Kwan-Kwan lolos. Itu berbahaya. Sebab akan


Putri Bong Mini 06 Rahasia Pengkhianatan Baladewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membongkar penyamarannya sebagai pengikut Pergu-
ruan Topeng Hitam. Itu berarti akan membuyarkan se-
luruh rencana penyerangan yang sudah dirancangnya
dengan baik. "Heh, Pengecut!" bentaknya. "Jangan lari! Lawanlah
aku kalau kau memang lelaki!" teriak Baladewa lagi. Ia terus berlari disertai
pengerahan ilmu peringan tubuhnya yang hampir sempurna. Tubuhnya melesat cepat
bagaikan kilat, sambil terus meneriakkan ejekan kepa-da Kwan-Kwan, pendekar asal
negeri Manchuria yang
dikirim oleh Raja Tiongkok untuk bersekutu dengan
Perguruan Topeng Hitam.
Baladewa terus berlari dengan cepat dan ringan.
Sepuluh langkah lagi ia dapat mencapai tubuh Kwan-
Kwan yang juga berlari kencang di depannya. Tiupan
angin kencang di siang itu membuat rambut Baladewa
tergerai berayun-ayun tiada henti. Angin yang bertiup kencang itu terdengar
bergemuruh ketika menyapu
kedua telinganya.
Ketika tubuhnya sudah demikian dekat dengan la-
wannya, Baladewa langsung melompat ke punggung
Kwan-Kwan. Siuttt...! Bukkk!
Dengan kuat Baladewa menubruk tubuh lawan di
depannya hingga jatuh berdebum dan bergulingan. Be-
lum sempat Kwan-Kwan bangkit, sebuah tinju kanan
Baladewa menghujam kepalanya.
Duk duk dukkk! "Aaakh!"
Darah membasahi tangan Baladewa saat memukul
kepala dan wajah lawannya. Saat itu juga tengkorak
kepala Kwan-Kwan hancur berkeping-keping. Sedang-
kan kedua biji matanya lepas dari ceruknya.
Tidak puas sampai di situ, Baladewa menghujam-
kan kembali pukulan 'Tangan Besi'-nya ke tubuh la-
wan. Tulang-tulang rusuk yang patah pun mencuat
dari kulitnya. Baladewa menarik napas lega sambil mengamati tu-
buh lawan yang sudah jadi mayat mengenaskan. De-
ngan hati puas, ia kembali ke tempat di mana keka-
sihnya, Bong Mini dan pengikutnya menunggu.
"Berhasil?" suara Bong Mini terdengar ketika dua
puluh langkah lagi Baladewa sampai di tempat.
Walaupun Baladewa mendengar pertanyaan itu, ia
tidak segera menjawab, melainkan berlari kecil ke arah Bong Mini.
"Sudah kau tangkap orang yang melarikan diri itu?"
ulang Bong Mini dengan mata berpijar-pijar meman-
dang wajah Baladewa.
"Bukan kutangkap lagi. Kuremukkan kepala dan
tulang-tulangnya hingga hancur!" sahut Baladewa se-
raya tersenyum gembira. Kegembiraannya bukan saja
karena keberhasilan membabat habis dua puluh orang
sekutu Perguruan Topeng Hitam. Lebih dari itu karena ia dapat berjumpa kembali
dengan kekasih yang selama ini mengganggu hari-harinya, Bong Mini.
"Duh, sadisnya!" gurau Bong Mini sambil mendelik-
kan mata. Kedua mata yang selalu berpijar-pijar itu semakin indah dipandang
mata. Baladewa yang menyaksikan keindahan bola mata
Bong Mini menjadi gemas. Kalau saja dia tidak menyadari ada enam pendekar lain
di situ, tentu kedua tangannya akan merengkuh bahu Bong Mini dan men-
dekap tubuh kecil itu erat-erat sebagai pelepas kerin-duannya.
"Siapa kalian berenam?" tanya Baladewa seraya
mengalihkan pandangannya pada enam pendekar yang
berdiri di dekat Bong Mini. Melihat penampilan serta ketampanan para pendekar
muda itu, Baladewa jadi
cemburu juga. "Siapa tahu satu di antara mereka ada yang jatuh hati pada Bong
Mini atau sebaliknya," pikir Baladewa saat itu.
"O, ya! Tiga pemuda ini dari Perkumpulan Pendekar
Mata Dewa dan tiga orang muda ini dari Pendekar Te-
luk Naga!" Bong Mini yang memperkenalkan.
Baladewa dan keenam pendekar muda itu saling
mengangguk dan tersenyum ramah. Selanjutnya, me-
reka saling menjabat tangan sambil menyebutkan na-
ma masing-masing.
"Kenapa tidak diberitahu sebelumnya kalau kau
akan menyusup dan menyelidiki keadaan Perguruan
Topeng Hitam?" tanya Bong Mini setelah Baladewa dan enam pendekar itu saling
memperkenalkan diri.
"Gagasan itu datang secara kebetulan. Dalam perja-
lananku, tiba-tiba terlintas di benakku untuk berpura-pura menjadi sekutu orang-
orang Perguruan Topeng
Hitam," sahut Baladewa menjelaskan.
"Tapi akibat tingkahmu ini, Bibi Ningrum uring-u-
ringan dan marah besar kepadamu!" lapor Bong Mini.
"Ibuku?" Baladewa terkejut. "Kau sempat bertemu
dengannya?"
Bong Mini mengangguk.
"Malah aku dan papaku menginap di rumahmu se-
lama beberapa hari!" kata Bong Mini menambahkan.
"Bagaimana kau tahu kalau mereka orangtuaku?"
tanya Baladewa heran.
Bong Mini tersenyum melihat wajah Baladewa yang
menunjukkan keheranan.
"Sebelum aku bertemu denganmu di Gunung Muda,
aku lebih dulu mengenal kedua orangtuamu!" jelas
Bong Mini. "Kenapa pada waktu itu kau tidak bercerita pada-
ku?" "Kalau bercerita, tentu aku tidak dapat berpura-
pura marah kepadamu!" sahut Bong Mini sambil terse-
nyum. Wajahnya yang tadi kusut berubah menjadi ber-
seri-seri kembali. Karena kekasihnya yang semula diduga pengkhianat, justru
memata-matai dengan cara
berpura-pura menjadi sekutu Perguruan Topeng Hi-
tam. "Sekarang, di mana kedua orangtuaku dan papa-
mu?" tanya Baladewa lagi.
"Mereka sedang bergerak menuju Selat Malaka. Ka-
rena kudengar kabar, prajurit Kerajaan Manchuria
yang dikirim ke sini akan tiba besok!" kata Bong Mini menjelaskan.
"Dari mana kau dapat kabar itu?"
"Dari anak buah Kidarga yang telah menyadari ke-
keliruannya dan bergabung dengan pasukan Papa!"
Baladewa mengangguk-angguk.
"Sebaiknya kita menyusul mereka untuk bergabung
dan melakukan serangan ke Bukit Setan!" usul Bala-
dewa. "Lalu bagaimana dengan prajurit Kerajaan Manchu-
ria yang akan tiba besok?" tanya Bong Mini.
"Sasaran utama kita bukan prajurit Kerajaan Man-
churia. Biarlah mereka berlabuh di sini. Karena kalau kita berhasil mengalahkan
Perguruan Topeng Hitam
berikut Kidarga, prajurit itu akan berhadapan pula dengan kita setelah sampai di
Bukit Setan," tutur Baladewa, menyampaikan pendapatnya.
Bong Mini dan enam pendekar lain mengangguk-
angguk setuju. "Kalau memang begitu, biarlah kami yang akan me-
nyusul mereka dan memberitahukan rencana penye-
rangan ke Bukit Setan," pinta Kok Thai Ki.
"Begitu juga bagus! Biar aku membawa Bong Mini
ke Perguruan Topeng Hitam!" kata Baladewa.
Enam orang pendekar itu berdiri ragu mendengar
rencana Baladewa. Mereka mengkhawatirkan kesela-
matan Putri Bong Mini.
"Kalian jangan khawatir!" sergah Baladewa melihat
keterkejutan para pendekar itu. "Kehadiranku sebagai mata-mata di perguruan itu
belum diketahui!"
"Justru keselamatan Putri Bong Mini yang kami
khawatirkan. Karena dialah yang menjadi incaran to-
koh perguruan itu!" kata Kao Cin Liong.
Baladewa tersenyum.
"Masalah keselamatan Bong Mini ada di tanganku.
Karena aku menjadi wakil Kidarga di Perguruan To-
peng Hitam!" tutur Baladewa, menjelaskan tentang ke-dudukannya di Perguruan
Topeng Hitam. "Bagaimana menurut Nona Mini sendiri?" tanya Kao
Cin Liong. Karena semua keputusan memang berada
di tangan Bong Mini sebagai orang yang bersangkutan.
"Kalau memang kedudukan Baladewa di Perguruan
Topeng Hitam sebagai wakil Kidarga, aku tidak kebe-
ratan. Sebab Baladewa yang akan diminta pertimba-
ngan oleh Kidarga untuk menjatuhi hukuman buatku
nanti!" sahut Bong Mini.
Enam pendekar itu tampak mengangguk-angguk.
Mereka tak dapat berkata apa-apa lagi walaupun ma-
sih sangsi dengan keberhasilan Baladewa. Tapi karena Bong Mini sendiri tidak
keberatan, maka mereka pun
terpaksa diam dan menyetujui rencana Baladewa.
"Kalau begitu kami berangkat dulu. Biar kami bisa
secepatnya kembali ke Bukit Setan!" kata Kok Thai Ki.
"Baiklah!" ucap Baladewa. "Selamat jalan!"
"Selamat berjuang! Semoga berhasil!" balas Kok
Thai Ki. Kemudian ia bersama lima pendekar lain me-
lesat meninggalkan Baladewa dan Bong Mini.
Setelah keenam pendekar itu pergi, Baladewa dan
Bong Mini pun melangkah menuju Bukit Setan, di ma-
na markas Perguruan Topeng Hitam berada.
Apakah rencana Baladewa untuk melakukan pem-
berontakan di dalam Perguruan Topeng Hitam berha-
sil" Bagaimana sikap Kidarga setelah melihat Bong
Mini berhasil ditangkap Baladewa" Apakah ia akan
menyerahkan hukuman bagi Bong Mini kepada Bala-
dewa" Bagaimana pula dengan pasukan Kerajaan
Manchuria yang hendak membantu Perguruan Topeng
Hitam" Ikutilah cerita selanjutnya dalam episode: 'Api Berkobar di Bukit Setan'.
SELESAI Scan/Edit: Clickers
PDF: Abu Keisel
Document Outline
1 *** 2 *** *** *** 3 *** *** 4 *** *** 5 *** 6 *** *** *** 7 *** *** *** 8 *** *** *** 9 *** *** SELESAI Rahasia Puri Merah 3 Pendekar Perisai Naga 5 Siluman Kera Sakti Golok Bulan Sabit 10
^