Pencarian

Di Tepi Jeram 2

Di Tepi Jeram Karya Mira W Bagian 2


malu bangsa kita sendiri!"
"Lho, itu kan biasa, Mbak. Lihat sekretaris dari
Filipina itu. Dia juga tiap malam di-book!"
"Tapi kita bukan dia!"
"Tidak apa-apa toh, Mbak. Pak Ario kan sudah
duda! Rianti masih gadis. Tidak ada yang marah
kok di rumah!"
"Lihat?" dengus Mbak Sri ketika sedang makan
siang dengan Rianti. "Semua orang membicarakan
kamu! Apa kamu tidak malu?"
pustaka-indo.blogspot.com
86 "Tapi saya tidak melakukan apa-apa yang salah!"
protes Rianti sengit.
"Makanya hati-hati dengan segala tindakanmu!
Jangan sekali-kali keluar malam dari kamar! Kalau
ada apa-apa, panggil saja roomboy!"
Juga kalau ada yang meninggal di depan kamar-
ku? geram Rianti dalam hati. Tidak kusangka
orang-orang berpredikat eksekutif dengan pengalam-
an internasional segudang masih punya waktu un-
tuk bergunjing!
pustaka-indo.blogspot.com
87 Pak Ario atau lengkapnya Insinyur Raden Mas
Ario Sugiharto memang berbeda dari peserta konfe-
rensi yang lain. Dia pendiam. Dingin. Acuh tak
acuh pada sekelilingnya. Dan angkuh.
Kadang-kadang Rianti jengkel padanya. Sejak
hari pertama, Pak Ario tak pernah memandang se-
belah mata pun padanya. Padahal peserta-peserta
yang lain demikian ramah. Beberapa peserta pria
malah berlomba-lomba menarik perhatiannya.
"Duda beranak satu," komentar Pak Ariin tanpa
ditanya. "Sudah enam tahun bercerai dengan istri-
nya. Perusahaannya maju pesat. Tapi perkawinannya
gagal. Tidak heran. Orangnya sulit begitu."
Orangnya memang agak aneh, diam-diam Rianti
memerhatikan laki-laki yang sedang memutar-mutar
mesin jackpot itu. Umurnya barangkali belum ada
empat puluh. Perawakannya tinggi besar. Wajahnya
BAB III
pustaka-indo.blogspot.com
88 pun cukup tampan. Kaya. Direktur. Insinyur pula.
Lalu mengapa dia seperti menjauhi orang lain? Me-
ngapa dia selalu tenggelam dalam dunianya sen-
diri?
"Mau main?" Pak Ariin membuyarkan lamunan
Rianti.
Rianti menggeleng sambil tersenyum. Tetapi Pak
Ariin memperlihatkan segenggam koin di tangan-
nya. "Kepalang. Sudah dibeli. Main yuk. Tuh, mesin
di sebelah Pak Ario kosong."
Entah ada apanya lelaki itu. Tanpa disadari,
Rianti sudah melangkah mendekatinya.
"Halo," sapa Pak Ariin. "Menang?"
"Jackpot Arab! Pelit sekali!" gerutu Pak Ario sam-
bil meneguk minumannya. "Dari tadi belum per-
nah jackpot!"
"Jackpot kosong begini." Pak Ariin memasukkan
sebuah koin. Terdengar bunyi berkerontang yang
amat nyaring. "Mana ada yang mau keluar, Pak
Ario?"
"Sudah hampir dua jam saya isi mesin ini. Be-
lum ada yang keluar juga."
"Paling-paling yang keluar uang Pak Ario sen-
diri!" cetus Rianti tak sadar. Ketika dia menyadari
telah kelepasan bicara, buru-buru ditutupnya mulut-
nya. Tetapi Pak Ario sudah menoleh kepadanya. Dan
tatapannya astaga, dinginnya!
pustaka-indo.blogspot.com
89 "Mengeluarkan uang sendiri pun sulit. Mau
coba?"
Aneh. Lagi-lagi Rianti sendiri heran. Tidak meng-
erti apa yang telah terjadi dengan dirinya. Mengapa
tantangan laki-laki itu mencetuskan sebuah keingin-
an yang aneh di hatinya? Mengapa dia harus me-
matuhi ajakannya?
Rianti belum pernah memegang setan bertangan
satu ini. Tapi dia toh mengambil juga tiga koin
yang disodorkan Pak Ario. Padahal kalau orang lain
yang menyodorkannya, dia belum tentu mau
Buat apa membuang-buang uang begitu? Mesin itu
kan tidak bakal kalah!
Hati-hati Rianti memasukkan koinnya yang per-
tama. Ketika dia tampak ragu untuk memasukkan
koin yang kedua, Pak Ariin mendorong semangat-
nya. "Ayo, nggak apa-apa! Mesin itu tidak menggigit
kok! Berturut-turut Rianti memasukkan tiga buah
koin sekaligus. Dan menarik tongkatnya
Yang terbelalak bukan hanya Rianti ketika bunyi
gemerincing uang yang merdu itu menggema di
seluruh ruangan. Memang bukan jackpot. Tetapi
Rianti memperoleh lima puluh keping koin. Dan
baginya, itu sudah lebih dari cukup.
Tak sadar Rianti melompat-lompat seperti anak
kecil. Tawanya yang lepas bebas menggugah Pak
Ario dari kebekuannya.
pustaka-indo.blogspot.com
90 "Ambillah semua untukmu," katanya, untuk per-
tama kalinya dengan suara yang lebih bersahabat.
"Mainkan lagi."
Mendadak Rianti berhenti melompat. Berhenti
tertawa. Ditatapnya laki-laki itu dengan sungguh-
sungguh.
"Tidak. Itu kan uang Pak Ario."
"Mainkan lagi saja. Siapa tahu kamu menang
lagi!" sambung Pak Ario bersemangat.
Tetapi Rianti menggelengkan kepalanya.
"Saya tidak mau main lagi."
"Kenapa?"
"Takut ketagihan."
Lalu dengan tatapan sepolos bayi, Rianti meng-
ucapkan selamat malam pada kedua lelaki itu dan
kembali ke kamarnya.
Tiba-tiba saja Pak Ario kehilangan gairahnya un-
tuk bermain. Tatapan yang lugu dan jujur itu terus
menerus menggoda dirinya. Ditinggalkannya koin-
nya begitu saja di depan mesin jackpot.
"Lho, mau ke mana, Pak Ario?" tegur Pak Ariin
yang baru mulai main. "Ditemani kok malah
pergi."
"Mainkanlah koin saya," sahut Pak Ario acuh tak
acuh. Tanpa menoleh lagi, dia melangkah ke bar.
* * *
Sehari sebelum penutupan konferensi, para peserta
diistirahatkan dua hari. Pak Agus memimpin dele-
pustaka-indo.blogspot.com
91 gasinya untuk berekreasi ke Luxor, bekas ibu kota
Mesir kuno.
"Besok kita sarapan di coffee shop pukul empat
pagi," kata Pak Agus tegas. "Bagi yang merasa tidak
sanggup bangun pagi, besok akan diberikan
morning call pukul setengah empat. Bagaimana, Pak
Ario? Anda juga mau ikut? Atau lebih suka black-
jack semalam-malaman?
"Lihat saja besok," sahut Pak Ario acuh tak acuh.
"Kalau besok saya bisa bangun, ya pergi."
"Kami tunggu dalam bus di depan hotel sampai
pukul lima," kata Pak Agus kepada seluruh peserta.
"Pesawat kita take off pukul setengah tujuh."
Dan bus mereka baru berangkat pukul lima le-
wat lima menit. Soalnya ada dua orang peserta
yang terlambat. Yang seorang malah sudah duduk
dalam bus sepuluh menit sebelumnya. Tetapi tiba-
tiba menghambur ke luar lagi dengan alasan sakit
perut.
Tidak sadar Rianti mencari-cari Pak Ario dengan
tatapan matanya. Sejak di coffee shop tadi dia tidak
melihat laki-laki itu. Pasti dia tidak ikut. Terlambat
bangun.
"Waktu saya turun tadi dia masih pulas," sahut
Pak Ariin ketika Bu Hasan menanyakan teman
sekamarnya.
"Tidak dibangunkan, Pak?"
"Ketika morning call berbunyi tadi dia sudah me-
lek kok!"
pustaka-indo.blogspot.com
92 Diam-diam Rianti membayangkan lelaki itu.
Sedang meringkuk dengan lelapnya berkalang se-
limut. Dia memang tukang tidur. Rianti ingat ma-
lam pertama mereka di pesawat terbang. Hampir
sepanjang perjalanan, dia tidur terus. Hanya ba-
ngun untuk makan dan ke WC.
Tidak sadar Rianti menghela napas panjang. Ada
perasaan kosong yang tiba-tiba menyelinap ke sudut
hatinya yang paling dalam. Seminggu mereka selalu
bersama-sama dalam konferensi. Selama itu, Rianti
tidak pernah memendam perasaan apa-apa terhadap
Pak Ario. Mereka jarang bicara.
Pak Ario sendiri lebih senang minta tolong pada
Mbak Sri daripada Rianti. Kelihatannya, dia me-
mang sengaja menghindar. Tetapi hari ini, ketika
tiba-tiba dia harus kehilangan laki-laki itu, mengapa
ada perasaan hampa yang sulit diterangkan di da-
lam hatinya?
Bus sudah mulai bergerak perlahan-lahan keluar
dari halaman hotel. Pak Bambang, orang yang ter-
akhir melompat ke dalam bus, langsung disambut
komentar separuh isi bus. Ada yang menggerutu.
Ada pula yang menertawakan.
"Makanya kalau mau bepergian pagi-pagi jangan
kebanyakan makan, Pak Bambang!"
"Lha, pagi-pagi begini minum air jeruk sampai
enam gelas! Menyikat apel tiga buah. Masih bisa
menghabiskan semangkuk peach! Bagaimana perut-
nya nggak protes?"
pustaka-indo.blogspot.com
93 "Duh, Pak Bambang ini memalukan saja! Apa di
Indonesia tidak ada buah-buahan?"
"Gara-gara dia rakus, kita jadi terlambat lima
menit!" komentar Mbak Sri, orang yang paling se-
nang berhitung dengan waktu. Tentu saja dengan
suara perlahan. Tidak heran kalau dialah orang per-
tama yang menginjak bus ini setengah jam yang
lalu.
Mbak Sri memang tidak suka banyak makan.
Kadang-kadang Rianti sendiri bingung. Dia cuma
minum segelas sari jeruk. Makan sebutir telur se-
tengah matang. Sebuah apel. Dan secangkir kopi.
Tanpa susu. Bukan main. Padahal dia begitu sibuk.
Dari mana diperolehnya energi sebanyak itu kalau
makanannya hanya sekian?
Tetapi mungkin karena dietnya yang ketat itulah,
Mbak Sri masih tetap awet muda meskipun umur-
nya sudah lebih dari empat puluh tahun. Tubuhnya
belum segembrot Bu Hasan, padahal umur mereka
sama.
"Perut bukan celengan yang bisa diisi tabungan
makanan untuk besok," komentarnya, ketus seperti
biasa.
Tanpa memperlihatkan kejemuannya, Rianti me-
noleh sekali lagi ke belakang. Ke hotel yang mereka
tinggalkan. Di salah satu kamar di atas sana dan
sesosok bayangan hitam tampak semakin jelas me-
ngejar bus mereka.
Jantung Rianti mendadak berdebar makin cepat.
pustaka-indo.blogspot.com
94 Orang itu pasti bukan pelayan! Tangannya melam-
bai-lambai minta agar bus terhenti
"Stop! Stop!" seru Rianti tiba-tiba, dengan penuh
semangat. "Ada yang mau ikut!"
Hampir seisi bus menoleh ke belakang. Dan
hanya Pak Santoso yang cukup cepat mengenali
orang itu.
"Pak Ario!" cetusnya keheran-heranan. "Mau apa
dia?"
"Stop!" perintah Pak Agus kepada sopir bus.
"Tolong bukakan pintu. Itu anggota rombongan
kami."
Dengan satu lompatan panjang Pak Ario me-
lompat ke dalam bus.
"Maaf, saya terlambat!" katanya terengah-engah.
Dijatuhkannya dirinya di kursi yang paling dekat.
"Kami tidak tahu Pak Ario mau ikut," kilah Pak
Ariin dalam nada membela diri. "Sudah makan,
Pak?"
"Tidak keburu."


Di Tepi Jeram Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidur melulu sih!"
"Kasihan Pak Ario." Pak Agus tersenyum geli.
"Sampai ngos-ngosan begitu!"
"Pukul lima tepat saya masih ada di depan pintu
lift di tingkat dua puluh satu. Dan lift sialan itu
tidak mau datang-datang!"
"Jadi?" Hampir serentak isi bus itu berbunyi.
"Terpaksa turun tangga!"
"Masya Allah! Berlari-lari turun dari tingkat dua
pustaka-indo.blogspot.com
95 puluh satu? Ampun, Pak Ario! Untung tidak putus
jantungnya!"
Heran, pikir Pak Ariin, orang yang paling me-
ngenal adat laki-laki aneh itu. Biasanya dia paling
malas ikut tur begini! Ada apa tiba-tiba saja dia
ngotot ingin ikut?
Tidak sengaja mata Pak Ariin melirik Rianti
yang duduk tepat di seberang bangkunya. Gadis itu
memang tidak berkata apa-apa. Tidak ikut memberi
komentar. Tidak ikut bertanya.
Tetapi belum pernah Pak Ariin melihat wajah
Rianti demikian sumringah. Matanya yang sepolos
mata bayi itu tak mampu menyembunyikan gairah
kebahagiaan yang sedang menggelegap di dadanya.
Mata yang bening itu membiaskan apa yang tersirat
di hatinya. Padahal baru beberapa menit yang lalu
Pak Ariin melihat wajahnya demikian suram dise-
lubungi mendung kelabu. Jadi apa yang menyebab-
kan perubahan secepat itu?
Dengan perasaan curiga Pak Ariin menoleh lagi
ke depan. Ke tempat Pak Ario. Dia sedang ber-
sandar kecapekan di kursinya. Sedetik pun dia tak
pernah berpaling ke belakang. Jangankan menoleh.
Melirik pun tidak.
Aneh. Ada perasaan apa antara kedua orang ini?
Mereka jarang bicara. Karena itu sulit mengungkap-
kan hubungan apa yang ada di antara mereka se-
benarnya. Tapi entah mengapa, irasat Pak Ariin
berkata lain.
pustaka-indo.blogspot.com
96 Rianti sendiri tidak mengerti apa yang terjadi
dengan dirinya. Apalagi orang lain. Dia tidak tahu
mengapa kehampaan yang tadi menyelimutinya
mendadak lenyap.
Mengapa perjalanan ini serasa lebih menggairah-
kan sekarang? Karena kehadiran laki-laki itu? Laki-
laki yang sekali pun tak pernah memerhatikan-
nya? O, sungguh pandir! Untung Mbak Sri tidak
tahu. Kalau dia sampai tahu Uh, Rianti sudah
bosan dikuliahi terus! Heran, mengapa dia begitu
ngotot mencegah hubungan Rianti dengan laki-
laki?
Hatinya sebenarnya baik. Dia seolah-olah ingin
melindungi Rianti. Tetapi melindungi dengan cara
menakut-nakuti yang berlebihan begitu tentu saja
keliru!
Mereka semua baik-baik kok. Tidak pernah ada
yang kurang ajar. Minta yang bukan-bukan. Atau
mengajak melakukan sesuatu yang amoral. Yang
melewati batas.
Tentu saja cuma satu-dua orang yang berani
mengajaknya nonton. Tari perut. Tari telanjang.
Atau cuma sekadar show. Tapi mereka tidak pernah
marah kalau ditolak. Mereka masih dapat saling
bergurau sesama sendiri kalau Rianti menolak.
"Anak kecil diajak nonton begituan!" gerutu Pak
Rustam. "Nanti pingsan dia!"
"Justru karena dia belum pernah lihat! Kapan
pustaka-indo.blogspot.com
97 lagi kalau tidak sekarang? Mumpung nggak ada
yang larang!"
"Dan mumpung istrimu tidak ikut??
"Ala, Pak Rustam ini! Kayak yang tidak tahu
saja! Di konferensi-konferensi internasional begini
memang harus pergi sendiri! Jangan bawa-bawa ran-
tang dari rumah! Berabe! Ini kan kesempatan untuk
bebas lagi seperti jejaka!"
Kata-kata mereka memang brengsek. Tapi Rianti
tahu, mereka suami-suami yang setia. Hanya di
mulut saja mereka mengumbar laga. Seperti layak-
nya laki-laki, mereka memang gemar mengagumi
wanita. Apalagi wanita yang mempertontonkan ke-
cantikan tubuhnya. Wanita asing pula. Tontonan
langka di negeri sendiri.
Tapi ulah mereka cuma terbatas pada tontonan.
Pulang ke rumah, mereka sudah menjadi suami
yang alim kembali. Tentu saja itu pendapat Rianti.
Selama berada di negeri orang, dia memang tidak
pernah mendengar mereka melakukan sesuatu yang
melanggar susila.
Jadi Rianti tidak takut pada mereka. Mbak Sri-
lah yang ngeri. Dan repot memberi petuah. Entah
apa yang diketahuinya yang tidak dilihat Rianti.
* * *
Sambil membagikan boarding pass, Pak Agus sudah
memperingatkan, "Lekas-lekas naik ke pesawat.
pustaka-indo.blogspot.com
98 Tempat duduk kita tidak ada nomornya! Jangan
salahkan saya kalau Anda terpaksa berdiri!"
Tentu saja Rianti mula-mula tidak percaya. Yang
benar saja! Mereka kan naik pesawat. Bukan bus
kota! Masa ada yang berdiri?
Tetapi begitu pintu dibuka dan penumpang yang
berjejal-jejal itu, kebanyakan turis, berlomba-lomba
menghambur ke dalam pesawat, Rianti jadi ter-
tegun bengong. Dan seseorang mendorong pung-
gungnya dari belakang.
"Ayo, lari! Perjuangkan tempat dudukmu sen-
diri!"
Ketika Rianti menoleh, Pak Ariin sudah kabur
menjinjing kameranya.
"Iya, kamu kan masih muda. Napas masih pan-
jang. Tenaga cukup. Ayo lari, sediakan tempat buat
kami!"
Yang bicara itu pasti Bu Hasan. Soalnya dia yang
paling tidak ada harapan. Jangankan lari. Jalan saja
sudah terengah-engah.
Terpaksa Rianti ikut berlari. Dan rasa herannya
semakin bertambah melihat para direktur yang di-
hormatinya itu berlari-larian berebut tempat! Ter-
masuk Mbak Sri. Biarpun sudah empat puluh,
larinya masih lumayan.
Hari ini Mbak Sri mengenakan celana panjang
putih, blus putih, topi lebar, dan kacamata hitam.
Sepatunya yang bertumit tinggi sudah ditukarnya
dengan sepatu kets. Larinya kelihatan lincah sekali.
pustaka-indo.blogspot.com
99 Rianti menyesal sekali tidak membawa sepatu
bututnya. Terpaksa dia lari terseok-seok dengan se-
patu bertumit tinggi! Padahal orang lain tidak ada
yang memakai sepatu semacam ini!
Rianti sudah mencapai anak tangga pertama ke-
tika seorang mendorongnya.
"Sorry!" Turis bule itu menyeringai minta maaf.
Dan dia segera melompat ke atas tanpa memerhati-
kan Rianti lagi.
Rianti tergelincir. Kehilangan keseimbangan. Dan
terhuyung ke samping. Untung seseorang meme-
gang lengannya.
Belum sempat Rianti mengucapkan terima kasih,
orang itu telah menyelinap naik ke atas. Dan mu-
lut Rianti yang sudah separuh terbuka, terkatup
kembali ketika mengenali laki-laki itu. Si tunggul!
"Ayo naik, kok bengong?" tegur Bu Sanusi yang
baru sampai dengan napas terengah-engah. Dia lari
lebih dulu dari Rianti. Pakai sandal pula. Tetapi
karena mesinnya sudah tua, menekan pedal gas sam-
pai ke dasar pun percuma.
Berdesak-desakan Rianti memanjat tangga pe-
sawat. Dia baru menghela napas lega ketika tiba di
dalam kabin. Tetapi napas lega yang baru dihirup
separuhnya itu segera tertahan kembali. Kursi sudah
penuh. Tak ada lagi bangku kosong!
"Di sini, Rianti!" seru Pak Ariin dari deretan
bangku belakang.
pustaka-indo.blogspot.com
100 Begitu Rianti mengangkat mukanya, bangku itu
telah diduduki oleh Bu Sanusi.
"Aku dulu ya, Pak? Napasku sudah hampir ber-
henti nih! Rianti kan masih muda. Tenaga masih
cukup. Yang mau memberi tempat pun banyak!
Maklum masih gadis! Manis lagi!"
Merasa disindir, Pak Ariin jadi mati langkah.
Lagi pula, bagaimana caranya mengusir Bu Sanusi?
Kan tidak sopan!
"Sini duduk di tempatku saja."
Pak Rustam langsung berdiri. Memberi tempat
untuk Rianti.
"Ah, jangan, Pak! Biar saja!? sanggah Rianti
malu.
"Nggak apa-apa kok! Ayo duduk!"
"Ibu pun kalau tidak diberi Pak Rustam tidak
dapat tempat duduk," kata Bu Tjitjih. "Ayo, Rianti,
duduk sini! Nanti diambil orang!"
Terpaksa Rianti duduk. Baru juga lima detik dia
duduk, Bu Hasan datang dengan napas terengah-
engah.
"Wah, sudah penuh!" keluhnya antara kesal dan
kecewa. "Benar-benar gila! Naik kapal kok seperti
naik bus!"
"Silakan duduk di sini, Bu." Rianti langsung
bangkit.
"Lho, Nak Rianti nanti duduk di mana?"
Ada perasaan heran, terkejut bercampur haru, di
dalam suara Bu Hasan. Selama ini dia selalu men-
pustaka-indo.blogspot.com
101 curigai sekretaris muda yang satu ini. Dia selalu
mengembus-embuskan itnah keji di antara sesama
ibu-ibu dalam delegasi mereka. Sekarang, pada saat
dia dalam kesusahan, hanya Rianti yang rela menye-
rahkan tempatnya.
"Ah, tidak apa-apa. Ibu duduk saja dulu. Ke-
lihatannya capek."
Suara Rianti biasa saja. wajar. Tapi tulus. Dan
tetap sopan. Padahal dia bukannya tidak tahu siapa
biang gosip di hotel mereka!
"Terima kasih!" Sambil menjatuhkan dirinya ke
kursi, Bu Hasan menghela napas lega. "Aduh, Jeng,
rasanya jantungku sudah mau permisi!"
"Kakiku juga, Mbak!" sambung Bu Tjitjih tak
mau kalah. "Ini benar-benar keterlaluan lho!"
"Duduk di sini saja, Neng!" Tiba-tiba Pak Bam-
bang mencolek bahu Rianti dari belakang. "Biar
Oom-mu yang berdiri."
"Terima kasih, Pak."
"Jangan sama saya. Tuh, dia yang punya kursi!"
Pak Bambang menunjuk ke belakang.
Rianti menoleh. Dan tatapannya beradu dengan
tatapan Pak Ario. Tapi cuma sedetik. Di detik lain,
Pak Ario sudah membuang muka. Dan pura-pura
menyapa pramugari yang lewat.
"Kami harus duduk di mana? Apa boarding pass
ini palsu?"
"Ada tujuh orang yang tidak kebagian tempat
duduk," sahut pramugari itu. Tenang-tenang saja.
Tanpa perasaan bersalah sedikit pun.
pustaka-indo.blogspot.com
102 Barangkali memang bukan salahnya. Dan boar-
ding pass tanpa nomor tempat duduk memang sa-
lah satu kebiasaan di sini. Aneh buat kita. Tidak
aneh buat mereka.
"Bagaimana mungkin?" desak Pak Ario kesal.
"Kalian menjual tiket lebih banyak daripada kapa-
sitas tempat duduk di pesawat ini?"
"Ada tujuh orang yang mendapat waiting list.
Karena kesalahan administratif, mereka diperboleh-
kan masuk. Percayalah, semua akan beres."
"Beres dengkulmu!" gerutu Pak Bambang tentu
saja dalam bahasa Indonesia.
Pramugari itu tahu Pak Bambang marah, tapi
tidak mengerti apa yang diucapkannya. Dia buru-
buru saja menyingkir.
"Lha, sudah tahu penumpang penuh begini kok
bisa-bisanya tidak diberi nomor tempat duduk!"
Masih penasaran, Pak Bambang mengomel terus.
"Satu menit lagi pesawat berangkat," kata Pak
Ario sambil melirik jam tangannya. "Saya ingin
tahu di mana mereka akan menempatkan kita."
"Barangkali diikat di sayap pesawat!" gerutu Pak
Bambang separuh bergurau. "Atau dijejalkan di tem-
pat koper."


Di Tepi Jeram Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Atau diberangkatkan besok pagi," komentar Bu
Tjitjih. "Kasihan, kalian terpaksa bangun pagi-pagi
lagi."
"Barangkali kalian terpaksa naik unta!"
"Biarlah, laki-laki semua kok! Biar sekali-sekali
mencoba menjadi sheik!"
pustaka-indo.blogspot.com
103 Tetapi semua dugaan mereka ternyata keliru. Be-
berapa orang penumpang kelas satu diminta untuk
turun lebih dulu. Sementara mereka sedang ber-
sungut-sungut di samping pesawat, para kru bekerja
keras menambahkan beberapa buah kursi baru di
kabin kelas satu. Akhirnya mereka semua mendapat
tempat duduk. Dan pesawat berangkat setengah
jam kemudian.
"Pengalaman baru." Pak Bambang menyeringai
masam setelah diperbolehkan duduk. "Beli tiket
kelas ekonomi tapi duduk di kelas satu."
Pak Ario tidak menjawab. Dipalingkannya kepala-
nya ke belakang. Pura-pura mencari pramugari un-
tuk minta minum. Sekali lihat saja dia sudah dapat
memandang Rianti. Gadis itu duduk di belakang,
dekat jendela. Dia sedang asyik memandang ke-
luar.
Pesawat mereka terbang tidak begitu tinggi di
atas gurun pasir. Ke mana pun mata memandang,
hanya cokelatnya pasir yang tampak.
Alangkah panasnya di bawah sana, pikir Rianti.
Sedikit ngeri. Di mana-mana gersang dan tandus.
Diam-diam dia bersyukur dianugerahi tanah air
yang subur dan indah, tempat hijaunya hutan ber-
temu dengan birunya bukit dan laut.
"Kalau kita sudah pernah ke mana-mana kita
memang baru tahu cantiknya negeri kita sendiri,"
komentar Bu Tjitjih.
"Tapi saya kira setiap tempat punya keindahan
pustaka-indo.blogspot.com
104 tersendiri yang tidak dimiliki tempat lain," sela Bu
Hasan.
"Benar," sambung Pak Agus. "Kalau kita melihat
keindahan alam, kita baru menyadari betapa besar-
nya kekuasaan Tuhan. Dan betapa kecilnya kita ini
di alam semesta."
* * *
Pesawat mendarat di lapangan terbang Luxor
setengah jam kemudian. Dengan sebuah bus me-
reka dibawa ke tepi sungai. Jalan sempit berdebu
yang mereka lalui menyajikan pemandangan yang
mengingatkan mereka pada cerita-cerita seribu satu
malam.
Penduduk berpakaian tradisional, pria berjubah
putih dengan sorban dan wanita berkerundung
hitam, beberapa di antaranya menuntun atau me-
nunggang keledai, berjalan santai di sisi jalan yang
mereka lewati. Seorang anak kecil berkepala botak
dan berjubah putih melambai-lambaikan tangannya
dengan bersemangat dari atas keledainya ketika para
wisatawan membidikkan kamera ke arahnya.
Bus berhenti di tepi sungai. Dan dengan sebuah
feri butut mereka dibawa menyeberangi sungai itu.
Susah mencari tempat duduk yang masih baik. Jok-
nya yang berwarna merah kehitam-hitaman itu
hampir tidak ada yang belum robek. Catnya telah
terkelupas di sana-sini. Kayunya pun telah lapuk
dimakan air.
pustaka-indo.blogspot.com
105 Tetapi untuk sebuah bekas ibu kota yang telah
berumur sekian ribu tahun, tampaknya angkutan
sungai yang dibuat seprimitif mungkin malah se-
suai. Orang tidak melihat hebes untuk mencari
sesuatu yang modern. Objek wisata di tempat ini
memang hanya patung-patung dan kuburan yang
telah berumur sekian ribu tahun.
Rianti merasa dirinya amat kecil ketika berdiri di
muka patung Firaun setinggi dua puluh meter di
Colossi Memnon. Kedua patung raksasa itu seperti
menyembul begitu saja di tengah-tengah lautan pasir
yang amat luas. Rianti heran bagaimana patung-
patung sebesar dan setinggi itu tidak ambruk
meskipun setiap hari diembus angin padang pasir.
"Jangan terlalu lama melihat ke atas, nanti se-
maput!" kata Pak Ariin yang tahu-tahu sudah
tegak di belakangnya. "Mengapa tidak pakai kaca-
mata hitam? Di sini amat silau. Banyak debu pula.
Nanti matamu sakit."
Entah mengapa Pak Ario langsung menyingkir
ke dalam bus begitu mendengar kata-kata itu. Pada-
hal tadinya dia sedang asyik memotret. Tetapi Pak
Ariin seperti tidak memaklumi perasaan temannya.
Dia malah minta Rianti berpose untuk dipotret.
Dan tanpa malu-malu minta Pak Bambang tolong
menjepretkan mereka berdua.
"Kurang dekat berdirinya, Pak Ariin!" gurau
Pak Bambang sambil membidikkan kameranya.
Sekali lagi tanpa malu-malu, Pak Ariin meling-
pustaka-indo.blogspot.com
106 karkan lengannya di bahu Rianti. Sambil tersenyum
lebar dia menyambut olok-olok teman-temannya.
Sikapnya memang kebapakan. Kehangatan rangkul-
annya tidak mengesankan kemesraan. Tetapi tak
urung Rianti menunduk tersipu-sipu. Apalagi ketika
bapak-bapak yang lain ikut menggodanya.
"Sekali lagi sama saya ya, Rianti!" gurau Pak
Bambang. "Biar adil!"
"Nanti ada yang marah di rumah, Pak!" ko-
mentar Bu Tjitjih.
"Ya fotonya jangan dibawa pulang! Disimpan di-
kantor saja!"
"Nah, belum apa-apa sudah punya simpanan!
Baru setahun jadi direktur!"
"Simpanan foto saja kan tidak apa-apa, Bu!"
Sampai masuk kembali ke dalam bus, mereka
masih saling menggoda. Cuma dua orang yang
tetap bungkam. Mbak Sri. Dan Pak Ario.
"Kalau saya tahu kamu tidak punya kacamata,
saya belikan di Kairo kemarin," Pak Ariin masih
juga menggerutu, meskipun bukan dengan perasaan
kesal. Dan justru karena tidak ada nada kesal da-
lam suaranya, Rianti jadi canggung. Merasa serba-
salah. Dia kan bukan anak kecil lagi! Apalagi ketika
dengan sudut matanya Rianti melihat Pak Ario me-
nyingkir ke bangku belakang. Dan menyulut rokok-
nya. "Kok pindah, Pak Ario?" tanya Pak Ariin, tanpa
merasa tersinggung.
pustaka-indo.blogspot.com
107 Pak Ario hanya menunjukkan rokoknya. Tanpa
menjawab sepatah pun. Tak seorang pun melihat
kemarahan yang berkobar matanya. Mata yang
dingin itu tersembunyi di balik kacamata hitamnya
yang gelap pekat.
Tetapi Rianti dapat merasakan ketidaksenangan
laki-laki itu. Dia duduk tepat di samping Pak
Ariin. Dapat mendengar pertanyaan laki-laki itu
tetapi tak dapat mendengar jawaban Pak Ario. Apa-
kah dia tidak menjawab? Mengapa?
Tentu saja Rianti tidak berani menoleh ke bela-
kang. Pak Ario memang aneh. Dia tidak pernah
mengajak Rianti bicara. Tetapi entah mengapa,
Rianti merasa Pak Ario selalu memilih berada di
dekatnya.
Dalam menjepret objek-objek fotonya pun dia
selalu mengambil objek yang sedekat-dekatnya de-
ngan Rianti. Merasa tidak enak kalau dirinya ikut
terpotret, pura-pura tidak sengaja tentu saja, Rianti
selalu cepat-cepat menyingkir.
Pak Ario memang tetap menjepret objeknya se-
kalipun Rianti sudah menjauhkan diri. Namun,
naluri kewanitaan Rianti membisikkan, Pak Ario
selalu berusaha untuk memasukkan dirinya ke da-
lam foto-foto yang dibuatnya. Rianti merasa malu
mempunyai perasaan demikian. Tetapi dia tidak
dapat menyingkirkannya.
* * *
pustaka-indo.blogspot.com
108 Hampir pukul satu siang ketika mereka mening-
galkan Lembah Raja-raja menuju Kuil Luxor. Dari
sana perjalanan masih diteruskan menelusuri deret-
an sphinx sepanjang tiga kilometer menuju ke Kuil
Karnak.
Rianti sudah merasa sangat letih. Kakinya sudah
tak mau diangkat lagi. Bibirnya kering. Matanya
pedih. Pandangannya berkunang-kunang. Tetapi
anggota rombongan yang lain belum ada yang me-
minta istirahat.
Mereka masih terpukau melihat keagungan Mesir
di masa lalu. Kalau di Kuil Luxor tadi patung
Ramses II beserta obelisc-nya menyita perhatian me-
reka, kini di Kuli Karnak tiang-tiang raksasa se-
tinggi dua puluh tiga meter membuat mereka ber-
desah kagum.
Sibuk membuat foto menyebabkan mereka me-
lupakan rasa haus dan lapar. Beberapa orang ang-
gota rombongan memang ada yang membawa air.
Tetapi Rianti segan memintanya. Bagaimana cara-
nya minum? Mereka tidak membawa gelas. Semua-
nya minum langsung dari botol.
Lapat-lapat Rianti masih mendengar Pak Agus
mengusulkan agar mereka mencari makanan dulu
sambil beristirahat. Tetapi saat itu sudah terlambat
bagi Rianti. Ketahanan isiknya sudah ambruk sama
sekali. Sekujur tubuhnya terasa dibanjiri keringat.
Kakinya lemas. Pandangannya gelap.
Pak Ariin berdiri cukup dekat dengan gadis itu.
pustaka-indo.blogspot.com
109 Namun dia kurang cekatan. Lagi pula dia masih
asyik menceritakan apa saja yang diketahuinya me-
ngenai Kuil Karnak. Dia masih sibuk menunjuk-
nunjuk ketika Rianti terhuyung lemas hampir ja-
tuh. Saat itu, ada seseorang yang menangkap tubuh-
nya. Menopangnya kuat tapi lembut. Namun saat
itu Rianti sudah tidak sempat lagi mengenali siapa
yang menolongnya.
Tanpa berkata sepatah pun pada Pak Ariin yang
sedang menatap mereka antara terkejut dan bi-
ngung, Pak Ario memapah Rianti ke tempat teduh.
Ketika Rianti sudah tak mampu lagi menahan berat
tubuhnya dan terkulai lemas dalam rangkulan
lengan-lengan yang menopangnya, tanpa ragu-ragu
Pak Ario segera menggendongnya.
Rombongan itu menjadi panik. Semua ikut
mengerubungi. Tetapi hanya Mbak Sri yang cukup
terampil melakukan penolongan pertama. Begitu
tubuh Rianti dibaringkan di tempat teduh, dia lang-
sung melepaskan ikat pinggang dan kancing bra
gadis itu. Lalu dia mengeluarkan sebotol eau de
cologne dari tasnya. Mengoleskannya ke dahi, pe-
lipis, dan bawah hidung Rianti. Ketika bibir Rianti
yang pucat-pasi itu mulai bergerak-gerak, Mbak Sri
mengambil botol airnya sendiri dan membasahi
bibir Rianti dengan air.
Tatkala lambat-lambat Rianti membuka matanya,
desah kelegaan terlompat dari setiap mulut. Rianti
pustaka-indo.blogspot.com
110 sendiri masih menatap sekelilingnya dengan bi-
ngung. Belum menyadari benar apa yang telah ter-
jadi. Dia menurut saja ketika Mbak Sri menopang
kepalanya dan menyuruhnya minum. Rianti merasa
sebagian kekuatannya pulih kembali tatkala air yang
hangat itu mengalir membasahi kerongkongannya.
"Panas di sini memang jahat sekali," komentar
Pak Agus. "Saya lupa memperingatkan Rianti agar
membawa minuman. Tubuh kita kekurangan air
karena penguapan yang hebat. Harus segera minum
bila merasa haus."
"Bagaimana kalau kita pulang saja?" usul Pak
Ariin yang masih jongkok di samping Rianti.
"Lebih baik kita makan dulu sambil beristirahat,"
sahut Pak Agus tegas. "Bagaimana, Rianti, sudah
bisa jalan?"
"Saya masih kuat menggendongmu," potong Pak
Ariin, langsung kepada Rianti.
"Duh, Pak Ariin!" sindir Bu Tjitjih separuh ber-
kelakar. "Memang maunya!"
"Lho, cuma sekadar menawarkan jasa baik kok,
Bu!"
"Coba kalau aku yang pingsan, Pak Ariin!"
gurau Bu Hasan, yang badannya seperti sapi Austra-
lia. "Mau Bapak menggendongku?"
Teman-temannya tertawa geli. Pak Ariin terse-
nyum kemalu-maluan.


Di Tepi Jeram Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bukannya tidak mau, Bu! Cuma perlu bantu-
an!"
pustaka-indo.blogspot.com
111 "Saya kira Rianti tidak perlu bantuan," kata
Mbak Sri tegas.
Dibantunya gadis itu bangkit. Bu Sanusi ikut
mengulurkan tangan untuk membantu. Pak Ariin
tentu saja tidak mau ketinggalan.
* * *
Restoran itu terletak di lantai dasar sebuah hotel
bergaya arsitektur kuno. Suasananya nyaman. Sejuk
karena atap yang tinggi dan tembok putih yang
tebal. Masih dibantu pula oleh pengatur udara yang
mendinginkan ruangan.
Suasana nyaris hening karena tidak ada orang
lain yang makan di sana. Hanya denting gelas yang
terdengar ketika pelayan membagikan minuman.
Pak Ariin langsung menyodorkan segelas sari jeruk
kepada Rianti.
"Masih pusing?" tanya Pak Ariin yang memilih
duduk di samping Rianti.
"Wah, Pak Ariin dapat anak lagi!" gurau Bu
Hasan, yang paling merasakan perhatian Pak Ariin
terhadap Rianti.
"Kalau anak sih tidak apa-apa, Bu!" sambar Bu
Tjitjih yang juga sudah mulai mencium sesuatu.
"Asal jangan"
"Lho, saya kan cuma ingin membantu, Bu!"
sanggah Pak Ariin kemalu-maluan. "Boleh kan?"
"Asal ingat yang di rumah, Pak!" komentar Pak
Bambang.
pustaka-indo.blogspot.com
112 "Wah, kalau yang di rumah sampai dengar, exit
permit bakal tidak keluar lagi nih, Pak Ariin!"
"Saya benar-benar cuma ingin membantu," kilah
Pak Ariin. "Rianti yang paling muda di antara
kita. Belum pengalaman pula. Dia harus di-
bantu"
"Paling cantik pula, Pak!"
"Membantu sih boleh, Pak Ariin. Asal jangan
keterusan!"
Tetapi Pak Ariin memang bukan hanya mem-
bantu sampai di sana saja. Dia malah menawarkan
pekerjaan kepada Rianti.
"Kalau belum ada pekerjaan yang lebih baik,
kamu boleh mencoba di perusahaan saya," katanya
ketika mereka sedang makan malam berdua. Di
depan sana seorang penari perut yang sudah tidak
muda lagi sedang meliuk-liukkan perutnya yang
tiga perempat terbuka.
Rianti hampir tidak percaya pada pendengarannya
sendiri. Suasana di sana memang berisik. Lagu-lagu
berirama padang pasir yang mengiringi tarian itu
makin lama makin keras. Tetapi Pak Ariin berada
cukup dekat. Ketika dia berbicara, wajahnya di-
dekatkannya ke wajah Rianti. Jadi tidak mungkin
dia salah dengar. Pak Ariin memang menawarkan
pekerjaan!
Ya Tuhan! Ayah pasti gembira! Dan Ibu
"Bagaimana?" desak Pak Ariin ketika tidak di-
dengarnya jawaban gadis itu. "Sudah ada orang lain
yang menawarkan pekerjaan kepadamu?"
pustaka-indo.blogspot.com
113 "Oh, belum," sahut Rianti gugup. "Bapak mem-
butuhkan seorang sekretaris?"
"Kalau Rianti belum ada pilihan lain."
"Terima kasih, Pak!" sergah Rianti terharu.
"Soal gaji dan persyaratan lain dapat kamu bicara-
kan dengan bagian personalia."
"Saya tidak perlu dites lebih dulu?"
"Saya sudah melihat hasil kerjamu di sini. Semua
peserta puas."
"Tapi itu berkat bantuan Mbak Sri, Pak!"
"Nonsens! Dia memang pandai. Tapi tak cukup
pandai untuk menutupi hasil karyamu. Saya sudah
cukup berpengalaman. Pak Agus malah sudah me-
mutuskan untuk memintamu lagi dalam konferensi
yang akan datang di Bali. Tapi kalau kamu sudah
bekerja pada saya, dia harus memilih sekretaris
lain."
* * *
Sebagian rombongan memisahkan diri dalam per-
jalanan pulang. Mereka melanjutkan perjalanan ke
beberapa negara Eropa. Dalam pesawat yang
hampir separuh kosong itu, Rianti dapat memilih
kursi yang disukainya. Tentu saja di sebelah jen-
dela.
Pak Ariin memilih duduk di sebelah Rianti,
meskipun kursi di belakang mereka masih kosong.
Mau tak mau Rianti jadi teringat pada penerbangan-
pustaka-indo.blogspot.com
114 nya yang pertama sepuluh malam yang lalu. Waktu
itu si tunggul yang duduk di sampingnya.
Sekarang dia memilih duduk jauh di belakang.
Seorang diri. Mungkin supaya dapat tidur sepuas-
puasnya. Tanpa diganggu siapa pun. Tungkainya
yang panjang dilunjurkannya ke bangku sebelah.
Ada perasaan sedih menyelinap ke hati Rianti
saat itu. Padahal ketika berangkat dulu, dia begitu
kesal pada si tunggul. Mengapa dia kelihatannya
demikian tidak bersahabat? Bencikah dia pada wa-
nita?
Tetapi pada peserta wanita yang lain sikapnya
biasa saja. Tawar memang. Tapi tidak dingin. Dia
memang selalu tidak mengacuhkan orang-orang di
sekelilingnya. Tidak akrab dengan siapa pun.
Namun Rianti mempunyai perasaan lain. Dia
merasa si tunggul benar-benar tidak menyukainya.
Padahal Rianti merasa dia tidak mempunyai kesalah-
an apa-apa. Apakah karena dia seorang gadis? Begitu
besarkah dendamnya kepada wanita? Mungkinkah
karena perceraiannya dengan istrinya? Perceraian
yang menimbulkan trauma yang membekas sampai
sekarang.
"Duda beranak satu. Sudah enam tahun ber-
cerai."
Terngiang kembali kata-kata Pak Ariin di te-
linganya. Heran. Kata-kata itu tak mau hilang juga
dari benaknya. Selalu kembali dan kembali lagi.
Rianti sendiri heran. Perasaan apa yang selalu ber-
pustaka-indo.blogspot.com
115 kecamuk di hatinya setiap kali melihat laki-laki
itu? Dia memang tampan. Gagah. Tapi sikapnya
dingin. Selalu acuh tak acuh. Dan kadang-kadang
malah menyebalkan.
Lain dengan Pak Ariin. Pak Agus. Atau peserta-
peserta yang lain. Mereka penuh perhatian. Selalu
ramah. Selalu ingin membantu. Tetapi mengapa
justru orang yang selalu acuh tak acuh itu yang
paling diperhatikannya?
"Dia yang menolongmu," melintas lagi ucapan
Bu Hasan di benaknya. Si tunggullah yang me-
rangkulnya ketika Rianti hampir jatuh pingsan di
Luxor dua hari yang lalu. Jadi benarkah Pak Ario
tidak memperhatikannya? Atau dia cuma ber-
pura-pura?
"Jika Rianti masih letih, boleh istirahat dulu,"
entah sudah berapa lama Pak Ariin bicara seorang
diri. Kasihan juga. Terpaksa Rianti menggebrak per-
hatiannya yang sudah berkeliaran ke mana-mana
untuk kembali memerhatikan pembicaraan laki-laki
itu. "Tidak usah langsung masuk kerja. Kapan saja
Rianti boleh datang ke kantor saya. Berikan surat
ini ke bagian personalia."
"Terima kasih, Pak."
Rianti menerima surat itu dengan penuh pe-
rasaan terima kasih. Alangkah baiknya orang ini!
Dalam hati Rianti berjanji untuk bekerja sebaik-
baiknya. Agar tidak mengecewakan Pak Ariin!
pustaka-indo.blogspot.com
116 Rianti kembali ke rumah seperti seorang pahlawan
yang pulang dari medan perang dengan membawa
kemenangan gilang-gemilang. Orangtua dan adik-
adiknya menyambutnya dengan gembira.
Ibu khusus mengambil cuti sehari untuk mem-
buatkan sambal goreng tempe kesukaan putri su-
lungnya. Cuma Ayah yang belum puas. Dia masih
menunggu-nunggu honor Rianti. Uang. Itu yang
paling penting baginya.
Tidak heran kalau Rianti hampir tidak sabar me-
nunggu matahari terbit. Begitu pagi tiba, dia lang-
sung menuju ke kantor Pak Ras.
Bu Titi menyambutnya dengan gembira. Lebih-
lebih ketika Rianti tidak lupa membawakan oleh-
oleh dari Mesir. Cuma sebuah sphinx kecil dari
alabaster seharga beberapa ribu rupiah saja. Tetapi
untuk Bu Titi, perhatian Rianti-lah yang paling
BAB IV
pustaka-indo.blogspot.com
117 penting. Wajahnya yang berseri-seri baru berubah
ketika Rianti menanyakan honornya.
"Pak Ras belum masuk hari ini, Rian. Sabar-
lah."
Rianti menghela napas berat. Dadanya terasa pe-
ngap.
"Berapa lama biasanya, Bu?"
"Tidak tentu. Tergantung panitianya. Ada yang
cepat. Ada pula yang lambat. Ayahmu sudah me-
nanyakannya?"
Rianti cuma mengangguk. Matanya menekur ke
lantai. Lesu. Bu Titi merasa iba melihatnya. Ah,
seandainya dia punya uang! Akan dipinjamkannya
dulu kepada gadis ini. Supaya dia tidak kena marah
ayahnya lagi.
Tetapi Pak Ras seperti tidak mengerti kesulitan
gadis itu. Bahkan setelah uang honor itu diselesai-
kan, dia masih belum membayarkan bagian Rianti.
"Dipakai Pak Ras dulu," kata Bu Titi sedih, pada
hari ketujuh Rianti datang ke kantornya. "Coba
tanyakan langsung padanya."
Sejak saat itu, Rianti mempunyai kesibukan
baru. Mengejar-ngejar Pak Ras. Tiap hari. Untuk
menanyakan honornya. Memang tinggal seratus tiga
puluh ribu lagi. Tetapi digabungkan dengan sisa
uang sakunya, masih ada dua ratus ribu. Barangkali
cukup untuk membeli sebuah mesin jahit
"Tolonglah saya, Pak," pinta Rianti separuh me-
ratap.
pustaka-indo.blogspot.com
118 Sudah seminggu lebih dia mengejar-ngejar Pak
Ras. Sudah bosan rasanya. Hampir tiap hari Pak
Ras mengajaknya keluar. Ke pantai. Ke warung
tegal. Ke bioskop. Tetapi honornya belum juga di-
berikan.
"Saya sangat membutuhkan uang itu. Ayah
saya"
"Sabarlah, Rian," bujuk Pak Ras tanpa perasaan
bersalah sedikit pun. "Minggu depan uang kongres
di Surabaya itu masuk. Pasti saya bayar. Masa
kamu tidak percaya pada saya?"
"Bukan tidak percaya, Pak. Tapi saya benar-benar
membutuhkan uang itu"
"Saya juga sedang perlu uang, Rian. Istri saya
sakit. Anak-anak masuk sekolah pula. Mesti ada
uang sumbangan gedung, uang bangku, uang se-
kolah, entah uang apa lagi Wah, saya benar-be-
nar pusing!"
Tetapi yang pusing bukan hanya Pak Ras, Rianti
juga. Ayahnya sudah tidak dapat diberi pengertian
lagi. Ayah malah tidak bersedia lagi diajak bicara.
Pokoknya, Rianti harus pulang dengan membawa
uang.
Ayah malah sudah mendatangi sendiri kantor
Pak Ras. Untung Pak Ras tidak ada di tempat. Ka-
lau ada, entah bagaimana jadinya.
Mula-mula Ayah mencurigai Rianti-lah yang
telah memakai uang itu. Tiap hari dia pergi dari
pagi sampai malam. Mungkin dia berfoya-foya
pustaka-indo.blogspot.com
119 menghabiskan uangnya! Hhh, dasar anak tidak tahu
diri!
Baru setelah Bu Titi menjelaskan semuanya,
Ayah percaya Rianti tidak bersalah. Kemarahannya
beralih pada Pak Ras. Dia telah bertekad untuk
menemui laki-laki itu. Dan tidak mau pulang se-
belum bertemu dengan Pak Ras.
"Masa sudah dua minggu lebih masih belum bisa
bayar juga?!" geram ayah Rianti jengkel. "Biar Ayah
yang bicara padanya!"
"Tapi jangan marah-marah, Ayah," pinta Rianti


Di Tepi Jeram Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

separuh meratap. "Pak Ras itu bekas guru saya"
"Guru apa seperti itu! Memberi contoh jelek!"
"Berjanjilah, Ayah, kalau Pak Ras datang nanti.
Ayah tidak akan marah-marah!"
"Lho, kok malah aku yang tidak boleh marah?
Aku berhak untuk marah! Orang itu menggelapkan
uang kita! Merampas hakmu! Masa aku tidak boleh
marah? Huh, kamu terlalu sabar! Terlalu penakut!
Sampai mempertahankan hakmu sendiri saja tidak
berani!"
"Pak Ras tidak mengambil uang itu, Ayah"
"Habis apa namanya kalau tidak mengambil?!"
"Pak Ras hanya meminjamnya dia dalam ke-
sulitan uang!"
"Dan kita tidak? Begitu maksudmu?"
"Kalau sudah ada, pasti akan dibayarnya, Ayah."
"Kalau belum ada?"
"Kita harus memakluminya, Ayah. Dia telah me-
nolong Rianti"
pustaka-indo.blogspot.com
120 "Menolong? Menolong apa? Kamu kerja untuk-
nya! Bukan menolong!"
"Tapi kalau tidak ada Pak Ras, Rianti belum ten-
tu memperoleh pekerjaan itu!"
"Jadi kamu merasa berutang budi padanya? Dan
membiarkan uangmu dipakainya begitu saja?"
"Pak Ras sudah berjanji akan mengembalikannya,
Ayah"
"Kapan?"
"Sesudah dia punya uang. Mungkin minggu de-
pan"
"Tidak! Ayah akan menagihnya sekarang! Enak
saja dia memakai uang orang!"
"Tapi tolonglah jangan ribut, Ayah!" Sekarang air
mata Rianti sudah benar-benar meleleh. "Jangan
marah-marah pada Pak Ras. Rianti malu. Di sini
banyak teman-teman"
"Lho, kok jadi kamu yang malu? Seharusnya dia
yang malu!"
"Dia juga harus malu!" Begitu muncul, perem-
puan muda itu langsung menunjuk muka Rianti.
"Tidak tahu malu, menggoda suami orang!"
Bukan hanya Rianti yang tersentak. Bu Titi juga.
Mereka menoleh dengan terkejut. Dan paras Bu
Titi memucat demi melihat istri Pak Ras sedang
menatap Rianti dengan geram.
"Ke mana saja kamu pergi dengan suamiku se-
minggu ini?"
Rianti yang masih tertegun kaget tidak mampu
pustaka-indo.blogspot.com
121 menjawab sepatah pun. Hanya wajahnya yang ber-
ubah. Berganti warna dari pucat ke merah untuk
kemudian kembali memucat. Bibirnya bergetar me-
nahan tangis. Tidak mampu mencetuskan sepatah
kata pun.
Dila yang sudah muncul di ambang pintu tak
jadi masuk melihat kehadiran istri Pak Ras. Dia
sudah buru-buru menyingkir melihat gelagat yang
kurang baik itu. Istri Pak Ras ini memang sudah
terkenal tukang bikin ribut. Lebih baik lekas-lekas
menyingkir daripada ikut didamprat.
Lain halnya dengan Luki. Dia tidak peduli. De-
ngan tenang dia melangkah masuk. Langsung me-
nyapa Bu Titi seolah-olah tak ada orang lain di
sana.
Begitu melihat Luki, kemarahan istri Pak Ras
seperti api disiram bensin. Tetapi ayah Rianti juga
tidak mau tinggal diam. Dia yang datang menagih
utang. Mengapa datang-datang perempuan ini me-
lotot pada Rianti? Marah-marah tidak ada ujung
pangkalnya!
"Oh, jadi bapak ini ayahnya?" geram istri Pak
Ras menahan marah. "Kebetulan! Saya mau mem-
beritahu Bapak, anak ini main gila dengan suami
saya. Sudah seminggu mereka pesiar berdua. Ke
pantai, ke rumah makan, ke bioskop, ke hotel,
entah ke mana lagi!"
* * *
pustaka-indo.blogspot.com
122 "Jadi itu kerjamu seminggu ini!" Dengan sengit
Ayah menampar pipi Rianti. Mereka baru saja sam-
pai di rumah. Dan Ayah tidak menunggu lagi un-
tuk melampiaskan kemarahannya. "Bukan menagih
utang, malah pesiar!"
Rianti tidak dapat menjawab sepatah pun. Dia
sudah tidak mampu lagi membuka mulutnya untuk
membela diri. Dia hanya dapat menangis. Menye-
sali nasibnya.
Di kantor tadi istri Pak Ras sudah memaki-maki-
nya dengan kata-kata yang paling menyakitkan hati.
Kini Ayah menuduhnya pula. Dia merasa malu.
Amat malu. Rasanya dia ingin bunuh diri saja ka-
lau tidak ingat Ibu. Mengapa dunia begini kejam
padanya? Apa sebenarnya kesalahannya?
Dia memang pergi dengan Pak Ras. Tiap hari.
Tetapi dia tidak pernah melakukan apa-apa yang
dituduhkan oleh istri Pak Ras. Mereka hanya ma-
kan bersama. Mengobrol. Menonton ilm. Dan be-
lum pernah pergi ke hotel! Astaga. Mengapa Bu
Ras begitu keji menuduh suaminya sendiri?
Pak Ras memang pernah memegang tangannya.
Dalam bioskop. Ketika ilm sedang diputar. Dan
suasana sudah gelap. Tetapi Rianti buru-buru me-
narik tangannya. Dia tidak pernah memberikan ke-
sempatan pada Pak Ras untuk berlaku tidak sopan.
Dan inilah yang diperolehnya. Dia dituduh meng-
goda suami orang! Siapa yang sebenarnya menggoda?
Dia hanya datang untuk menagih utang!
pustaka-indo.blogspot.com
123 "Pantas kamu tidak berhasil menagih uangmu
sendiri!" Sekali lagi Ayah menamparnya dengan
gemas. Begitu kerasnya sampai Rianti terjajar ke
belakang. Dan jatuh terduduk di kursi.
Sakit rasanya pipinya. Tapi lebih sakit lagi
hatinya. Rasanya lebih baik ditampar sekali lagi
daripada didamprat dengan kata-kata yang demi-
kian menyakitkan hati. Demikian menghina.
Kesedihannya semakin bertambah ketika melihat
Ibu ikut menangis. Ibu baru saja pulang. Tetapi
Ayah tidak memberikan kesempatan lagi padanya
untuk melepas lelah. Ayah langsung membeberkan
apa yang dituduhkan istri Pak Ras.
"Jika sampai besok dia tidak berhasil menagih
uang itu, lebih baik dia tidak usah pulang!"
"Pak!" cetus Ibu antara terkejut dan sedih. "Sam-
pai hati kau bertindak demikian! Dia anak kita"
"Hhh, bikin malu saja! Cari uang tidak bisa,
malah main gila dengan suami orang!"
"Aku tidak percaya Rianti sampai bertindak se-
jauh itu, Pak. Jangan terburu nafsu memercayai
omongan orang!"
"Omongan orang katamu? Istri laki-laki itu sen-
diri yang datang mendampratnya!"
"Dia kan bisa saja keliru, Pak!"
"Kalau keliru, mengapa Rianti tidak membantah?
Diam saja seperti patung!"
"Aku kenal Rianti seperti aku mengenal diriku
sendiri, Pak!"
pustaka-indo.blogspot.com
124 "Ah, kau memang selalu memanjakan anak-
anakmu! Lihat apa akibatnya! Mereka jadi rusak
semua!"
Ibu tidak mampu berkata apa-apa lagi. Tanpa
menjawab sepatah kata pun, dia masuk ke kamar
Rianti. Meninggalkan suaminya yang masih meng-
gerutu melampiaskan kemarahannya.
Melihat Ibu datang dengan berlinang air mata,
Rianti langsung menghambur ke dalam pelukannya.
Dan menangis tersedu-sedu.
Tak ada yang dapat diucapkannya. Tetapi sambil
memeluk tubuh putrinya yang bergetar diguncang
tangis, Ibu sudah bertekad untuk meninggalkan
suaminya bila Rianti diusir esok. Dia yakin, Rianti
tidak bersalah. Akan dibawanya anak-anaknya pergi.
Menyingkir dari laki-laki yang sudah tak dapat
diharapkan menjadi seorang ayah yang baik itu.
* * *
Rianti tidak pernah kembali lagi ke kantor Pak
Ras. Dia malu menemui Bu Titi. Tidak ada muka
lagi menemui orang-orang di kantor itu. Dia bah-
kan malu menemui Pak Ras. Menemui teman-
temannya.
Dia pergi ke kantor Pak Ariin. Sayang, laki-laki
yang baik itu tak dapat ditemui. Dia sedang rapat.
Tak dapat diganggu. Apalagi cuma oleh seorang
gadis calon karyawati seperti Rianti!
pustaka-indo.blogspot.com
125 "Tidak perlu bertemu Pak Ariin," kata Pak
Tjokro tegas. "Cukup dengan saya saja. Pak Ariin
kan sudah memberikan surat pengantar ini. Anda
boleh kembali besok pagi. Langsung bekerja di-
sini."
"Gampang ya cari pekerjaan," bisik seorang gadis
yang sedang mengetik kepada teman di sebelahnya.
Suaranya agak terlalu keras untuk didengar. Apa-
lagi oleh Rianti yang kebetulan sedang lewat di
depan meja mereka.
"Tentu saja. Koneksi Bos!"
"Cantik ya?"
"Lumayan. Asal otaknya jangan di dengkul saja.
Kasihan Pak Ariin."
Mereka tertawa perlahan. Ujung sepatu Rianti
tersandung permadani. Hampir saja dia jatuh ter-
sungkur. Buru-buru diperbaikinya keseimbangan
tubuhnya.
"Lihat saja, lagaknya masih seperti anak sekolah
begitu! Bisa kerja apa?"
"Tampangnya juga masih tampang sekolahan!
Jangan-jangan mengetik saja belum bisa."
Rianti melangkah secepat-cepatnya meninggalkan
ruangan itu. Mukanya sudah terasa panas sampai
ke telinga. Warnanya pasti sudah sama merahnya
dengan permadani di bawah kakinya.
Rianti baru mencapai puncak tangga ketika lift
di samping tangga itu terbuka. Beberapa orang
laki-laki keluar dari sana. Dan orang yang paling
pustaka-indo.blogspot.com
126 depan langsung memanggil namanya. Rianti me-
noleh dengan terkejut seperti dipatuk ular.
"Rianti!" tegur Pak Ariin gembira. "Jadi benar
kamu!"
"Selamat siang, Pak," sapa Rianti gugup.
Seperti ada magnetnya, matanya langsung me-
lekat pada igur di balik tubuh Pak Ariin. Sekejap
mereka saling pandang. Rianti merasa dadanya ber-
debar aneh. Gelisah. Gugup. Tapi nikmat. Bahagia.
Rasanya ada perasaan ah, entah apa namanya
perasaan ini rindukah nama perasaan yang se-
dang berkecamuk dalam hatinya sekarang?
Bayangan laki-laki berkacamata hitam yang
membatu seperti tunggul itu kembali lagi menyer-
gap benaknya. Kabin pesawat yang sempit. Malam
yang gelap. Lalu panorama Mesir yang indah
Laki-laki yang jatuh karena mabuk di depan
kamarnya dan sepasang lengan kuat tapi lembut
yang menopangnya di Luxor ketika kesadaran ter-
akhir meninggalkan dirinya Ah, hampir tiap ma-
lam Rianti mengenangnya merindukannya
"Mari ikut kami, Rian!" entah sudah berapa ba-
nyak pertanyaan Pak Ariin yang tidak terjawab.
"Kebetulan kami baru selesai menandatangani se-
buah kerja sama yang hebat. Pak Ario dan saya
memang sudah merencanakan untuk merayakannya
bersama."
Mulut Rianti sudah terbuka untuk menolak.
Tetapi tidak ada suara yang keluar. Lelaki itukah
pustaka-indo.blogspot.com
127 sebabnya? Atau ayahnya yang menunggunya di
rumah seperti harimau lapar? Nasibnya ditentukan
hari ini. Nasibnya tergantung belas kasihan Pak
Ariin!
"Saya ambil tas sebentar," kata Pak Ariin lagi
ketika tidak didengarnya jawaban Rianti. "Pak Ario
ke mobil saja dulu bersama Rianti. Oke?"
Seperti biasa, si tunggul tidak banyak bicara. Dia
menekan tombol lift. Dan menyilakan Rianti
masuk lebih dulu dengan gerakan tangannya.
"Tunggu saya, Pak Ario!" seru Pak Ariin sesaat
sebelum pintu lift tertutup. "Saya segera ke sana.
Jangan ditinggal lho! Nanti lupa!"
Mereka hanya berdua di lift yang sempit itu.
Tetapi tak ada seorang pun yang bicara. Pak Ario


Di Tepi Jeram Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membiarkan Rianti keluar lebih dulu. Lalu dia
membuntuti dari belakang. Sikapnya masih sama
seperti dulu. Tidak berubah sedikit pun. Dingin.
Acuh tak acuh. Agak angkuh pula. Diam-diam.
Rianti merasa sedih. Tidak rindukah si tunggul
padanya?
"Mobil saya di sana," katanya seperlunya saja.
Dia mendahului Rianti menuju ke mobilnya. Mem-
bukakan pintu belakang untuk Rianti. Dan me-
nunggu di samping pintu itu.
Tanpa berkata apa-apa Rianti masuk. Setelah me-
nutupkan pintu untuk Rianti, dia menuju ke balik
kemudi. Mengambil rokoknya. Dan menyulutnya
tanpa menawarkannya kepada Rianti.
pustaka-indo.blogspot.com
128 "Kerja di sini?"
Rianti sendiri hampir tidak menyangka akan
mendapat pertanyaan. Dia hampir tidak memer-
cayai telinganya sendiri. Apalagi laki-laki itu me-
noleh pun tidak. Dan dia mengembuskan per-
tanyaan itu bersama asap rokoknya.
"Pak Ariin menawarkan pekerjaan kepada saya
ketika masih di Kairo."
"Oo." Si tunggul mengisap rokoknya dengan
acuh tak acuh. "Saya tidak menyangka Pak Ariin
masih memerlukan seorang sekretaris."
"Pak Ariin hanya ingin menolong saya." Entah
mengapa Rianti merasa jengkel. Dan kejengkelannya
tersirat dalam suaranya. "Cuma beliau yang mau
menolong saya."
"Barangkali yang lain tidak tahu kamu perlu di-
tolong."
"Tentu saja. Yang lain tak pernah memerhatikan
saya!"
Rianti sendiri terkejut. Sesudah mengucapkan
kata-kata itu dia baru menyesal. Mengapa harus
menjawab seperti itu? Si tunggul bisa salah sangka!
Dia berkata demikian hanya terdorong oleh rasa
kesalnya. Tapi mengapa harus kesal?
"Mari kita berangkat," cetus Pak Ariin begitu
tiba di samping Pak Ario. Dia langsung duduk di
depan. Di samping pengemudi. Tetapi tubuh dan
lehernya segera diputar ke belakang. Ke arah Rian-
ti. pustaka-indo.blogspot.com
129 "Kamu kelihatannya kurang sehat, Rian. Sakit?"
"Ah, saya cuma capek, Pak."
"Capek? Masa gadis semuda kamu sudah begitu
loyo?" Pak Ariin tertawa renyah. Tawanya baru
berhenti ketika dirasanya hanya dia sendiri yang
tertawa. "Kan sudah istirahat dua minggu lebih!
Atau kamu ikut konferensi lagi?"
Rianti tidak menjawab. Dia cuma tersenyum.
Dan senyumnya langsung mengambang ketika di-
rasanya ada sepasang mata yang sedang mengawasi-
nya dari kaca spion. Dia tidak berani menoleh ke
kaca itu. Takut Pak Ariin mengetahui apa yang
dilihatnya. Dan takut beradu pandang lagi. Jadi
Rianti pura-pura tidak tahu saja. Susahnya, dia
menjadi bertambah salah tingkah.
"Sudah saya tunggu-tunggu kedatangan Rianti,"
kata Pak Ariin lagi. "Saya kira sudah ada yang
menawarkan pekerjaan yang lebih menyenangkan."
Sebuah jip memotong jalan di depan mobil me-
reka. Pak Ario menekan klakson dengan jengkel.
"Sabar, Pak Ario." Pak Ariin menoleh pada
rekannya. "Nanti kita tidak sampai!"
"Ke mana kita?" Suara Pak Ario sedingin mata-
nya. Pak Ariin merasa tidak enak mendengar suara
temannya.
"Tidak keberatan kan Rianti ikut kita?"
"Oh, tentu saja tidak! Dia sekretaris Pak Ariin,
kan? Mulai sekarang dia harus ikut ke mana pun
Pak Ariin pergi."
pustaka-indo.blogspot.com
130 "Hanya dalam tugas."
"Biar saya turun di sini saja, Pak," pinta Rianti
sambil mencoba menyembunyikan perasaan kesal-
nya. "Rumah saya sudah dekat."
"Ah, mengapa harus begitu?" protes Pak Ariin
kecewa. "Kita sudah lama tidak bertemu. Kebetulan
saya dan Pak Ario sedang senggang. Kami sudah
merencanakan untuk pergi minum merayakan kerja
sama kami yang baru. Bumi Makmur menang ten-
der. Saya sebagai developer proyek itu. Pak Ario
sebagai subkontraktornya. Nah, kerja sama ini ha-
rus dirayakan! Bukan begitu, Pak Ario?"
Pak Ario tidak menjawab. Dia pura-pura sibuk
mendahului sebuah bus. Rianti-lah yang membuka
mulut.
"Kalau saya mengganggu"
"Oh, tentu saja tidak!" Lagi-lagi Pak Ariin-lah
yang menjawab. "Kebetulan Rianti juga datang hari
ini. Nah, pertemuan ini harus dirayakan pula! Iya
kan, Pak Ario?"
"Ke mana kita?" tanya Pak Ario setelah tak ada
lagi mobil yang dapat dilewati.
Pak Ariin menyebutkan nama coffee shop di
hotel langganan mereka.
"Sirloin steak-nya sedap. Ini kan sudah siang. Ki-
ta sekalian makan saja."
Tetapi Pak Ario hanya minum.
"Belum lapar," katanya sambil memesan segelas
gin tonic. Dia menyulut rokoknya. Dan menatap
pustaka-indo.blogspot.com
131 jauh ke seberang sana. Tanpa memandang Rianti
yang duduk tepat di depannya. Di samping Pak
Ariin.
Rianti memesan segelas soft drink dan seporsi
nasi goreng. Pak Ariin minta sirloin steak dengan
segelas anggur merah.
"Makan yang banyak, Rian," kata Pak Ariin se-
lesai memesan makanan. "Jaga kondisimu baik-baik.
Bekerja pada saya capek lho! Sibuk terus."
"Iya, Pak."
"Lusa saya dan Pak Ario sudah harus berangkat
ke Surabaya untuk meninjau lokasi proyek kami.
Saya ingin Rianti ikut. Supaya dapat mempelajari
tugas-tugas yang harus dikerjakan dari sekretaris
senior saya."
"Agatha mau digeser?" sela Pak Ario dengan per-
hatian yang tiba-tiba terlalu besar.
"Bukan digeser. Dipindahtugaskan. Saya akan
menempatkannya di Surabaya. Proyek kita mem-
butuhkan tenaga terampil seperti dia."
"Saya baru hendak memungutnya kalau-kalau
sudah tidak terpakai lagi."
"Mana mungkin? Selama ini pekerjaannya selalu
beres!"
"Ah, siapa tahu," Suara Pak Ario biasa saja. Da-
tar. Tawar. Tapi Rianti seperti mendengar nada sinis
dalam suaranya. "Sudah ada yang baru."
"Saya seperti kehilangan tangan kanan kalau
Agatha keluar."
pustaka-indo.blogspot.com
132 Dan Pak Ariin menggeser sekretarisnya yang
hebat itu, pikir Rianti dengan perasaan tidak enak.
Apakah karena aku?
"Saya belum berpengalaman, Pak," desah Rianti
bingung. "Alangkah baiknya kalau Mbak Agatha
mau membimbing saya."
"Jika proyek raksasa ini telah berjalan, tugas
paling berat berada di Surabaya. Karena itu Agatha
saya pindahkan ke sana. Rianti tidak usah kuatir.
Proyek di Jakarta sudah berjalan lancar. Tinggal me-
neruskan. Tidak ada kesulitan apa-apa."
Pak Ariin memang sangat baik. Walaupun agak
merasa malu, Rianti telah bertekad untuk memin-
jam uang padanya. Hari ini juga, dia harus mem-
bawa pulang uang. Dan cuma Pak Ariin yang da-
pat diharapkan mau menolongnya.
Tetapi sayang sekali, seorang tamu telah me-
nunggu di kantornya ketika Pak Ario mengantarkan
mereka kembali ke sana. Dan karena tamu itu se-
orang pejabat yang penting bagi kelangsungan per-
usahaannya, dia terpaksa menitipkan Rianti pada
Pak Ario.
"Tolong antarkan Rianti pulang, Pak Ario."
"Ah, tidak usah, Pak!" bantah Rianti segera.
"Jangan merepotkan!"
"Merepotkan apa!" Pak Ariin-lah yang men-
jawab. Padahal Rianti mengharapkan yang lain. "Se-
kalian lewat kan, Pak Ario? Sampai besok, Rianti!"
"Pak!" panggil Rianti tersendat.
pustaka-indo.blogspot.com
133 Pak Ariin menoleh. Wajahnya yang bulat me-
lukiskan keramahan. Matanya bersorot sabar. "Ada
apa?"
"Boleh saya bicara sebentar?"
"Tentu. Soal apa?"
"Ngngng" Rianti menatapnya dengan ragu-
ragu. "Boleh bicara sebentar di dalam, Pak?"
"Tentu saja, tapi apa tak dapat ditunda sampai
besok? Tamu saya sudah menunggu. Besok kita
punya banyak waktu untuk bicara. Oke?"
Rianti terpaksa mengangguk. Meskipun sebelum-
nya ia ingin menggeleng. Wajahnya memucat. Air
matanya berlinang. Tetapi Pak Ariin sudah tidak
melihatnya lagi. Dia sedang terburu-buru.
Pak Ario-lah yang diam-diam memerhatikan
bagaimana sebentar-sebentar Rianti menyeka air
matanya. Dia membisu sepanjang jalan. Seolah-olah
sedang terbenam dalam dunianya sendiri.
"Ke mana?" tanya Pak Ario separuh terpaksa.
Sebenarnya dia tidak ingin mengganggu. Tetapi dia
tidak tahu ke mana harus membawa gadis itu.
"Bapak lewat mana?" Suara Rianti basah.
Jadi dia benar-benar menangis! Ada apa, pikir
Pak Ario bingung. Mengapa tiba-tiba dia menangis?
Ah, perempuan memang makhluk yang aneh! Tak
dapat dimengerti. Tak dapat diselami.
"Bisa lewat mana saja." Pak Ario berusaha me-
nutupi kebingungan dalam suaranya dengan ketidak-
acuhan. "Di mana rumahmu?"
pustaka-indo.blogspot.com
134 "Gang Mesjid. Di depan itu, belok ke kiri,"
Tanpa berkata apa-apa lagi Pak Ario meluncurkan
mobilnya sesuai dengan petunjuk Rianti.
"Berhenti di sini saja, Pak," pinta Rianti ketika
melihat ayahnya sedang mengobrol dengan Pak
Harun, tetangga sebelah rumahnya.
Ayah pasti sedang menunggunya! Ah. Rianti
menghela napas panjang. Dadanya terasa sesak di-
impit duka. Dia gagal lagi membawa pulang uang.
Dan Ayah sudah bilang, kalau tidak membawa
uang, lebih baik dia tidak usah pulang!
Sambil menahan tangis, Rianti mengucapkan
terima kasih. Membuka pintu mobilnya. Dan meng-
hambur ke luar.
Ayah sudah melihatnya. Tetapi Rianti tidak ber-
henti berlari. Dia tidak mau dimarahi di depan Pak
Ario! Kalau Ayah mau memukulnya, mengusirnya,
bahkan membunuhnya sekalipun, biarlah di dalam
rumah saja.
Tetapi Ayah tidak mengejarnya. Ayah malah
menghampiri mobil Pak Ario. Karena dia melintas
di depan mobil, Pak Ario tak dapat meluncurkan
mobilnya.
Ayah Rianti langsung mendekati pintu mobil.
Mencoba membukanya. Ketika pintu itu ternyata
terkunci, dia mengetuk-ngetuk kaca jendela. Ter-
paksa Pak Ario menurunkan kaca.
"Ada apa?" tanyanya heran.
"Saudara yang bernama Pak Ras?"
pustaka-indo.blogspot.com
135 "Pak Ras?" Pak Ario mengerutkan dahi.
"Yang berutang tiga ratus ribu pada anak saya
dan tidak mau mengembalikannya sampai seka-
rang?"
* * *
Rianti melemparkan dirinya ke tempat tidur. Dan
menangis tersedu-sedu. Sudah sejak tadi dia ingin
menangis. Alangkah payahnya menahan tangis agar
tidak pecah di depan Pak Ario. Sekarang dia dapat
menumpahkan perasaannya sepuas-puasnya.
Ibu yang sudah pulang dari tempat kerjanya?
dia sengaja mengambil cuti setengah hari?tertegun
di ambang pintu kamar. Tidak perlu pertanyaan
lagi. Melihat keadaan Rianti, dia sudah tahu. Anak-
nya gagal lagi. Dan apa yang ditakutinya itu akan
terjadi juga. Suaminya pasti akan mengusir Rianti!
Tanpa berkata apa-apa, Ibu menurunkan sebuah


Di Tepi Jeram Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

koper tua dari atas lemari. Diambilnya beberapa
potong pakaian Rianti. Dimasukkannya ke dalam
koper.
Merasakan kehadiran ibunya, Rianti langsung
berbalik. Melihat apa yang sedang dilakukan Ibu,
tak tahan lagi Rianti menubruknya sambil me-
nangis.
"Tabahlah, Nak." Ibu membelai-belai kepala
Rianti dengan air mata berlinang. "Ibu juga akan
pergi bersamamu."
pustaka-indo.blogspot.com
136 Lama mereka berpelukan sambil menangis. Tak
ada seorang pun yang bicara. Karena tak perlu lagi
kata-kata. Ayahlah yang datang memecahkan ke-
sedihan itu.
"Akhirnya dia mau bayar juga," katanya puas.
"Mula-mula memang dia masih mencoba mungkir.
Macam-macamlah alasannya. Tidak kenallah. Tidak
bawa uang kontanlah. Akhirnya setelah kudesak
terus, mau juga dia menulis cek! Huh, awas kalau
cek ini sampai kosong!"
Tangis Rianti berhenti dengan sendirinya. Dia
mengangkat mukanya dengan heran. Tetapi Ibu
sudah langsung merangkulnya lagi. Tangisnya me-
ledak lebih keras daripada tadi. Tetapi kali ini ta-
ngis kelegaan.
* * *
Rianti hampir tidak sabar menunggu kedatangan
Pak Ariin di kantornya. Pak Ario pasti sudah men-
ceritakan peristiwa yang memalukan itu! Dia harus
menjelaskan semuanya kepada Pak Ariin!
"Sudah diajar bagaimana menata meja yang baik,
kan?" tegur Agatha datar. Dia seorang perempuan
muda yang gesit. Tidak terlalu cantik. Tapi me-
narik.
Gayanya profesional. Gerak-geriknya mencermin-
kan perempuan yang tahu apa yang mesti dilaku-
kan. Umurnya sekitar dua lima. Tetapi karena dia
pustaka-indo.blogspot.com
137 memakai kacamata putih, dia tampak sedikit lebih
tua. "Telepon harus terletak di sebelah kiri meja.
Alat-alat tulis di kanan." Dia menunjuk sebuah
meja di dekat pintu. "Itu mejamu. Kamu boleh
mulai mengaturnya. Sebentar lagi Pak Ariin da-
tang. Sebaiknya sudah rapi supaya dia tambah se-
nang kepadamu."
Bagaimanapun Rianti menafsirkannya, dia tidak
mendengar nada iri atau sinis dalam suara Agatha.
Tetapi dia tetap merasa tidak enak. Sudah tahukah
Agatha dia akan dipindahtugaskan ke Surabaya? Se-
bentar lagi, mejanya akan menjadi milik Rianti.
* * *
Pak Ariin datang pukul sepuluh lewat sedikit.
Tetapi sejak datang sampai selesai memimpin rapat,
dia tidak menyinggung-nyinggung persoalan ke-
marin. Mungkinkah dia belum bertemu dengan
Pak Ario?
Ketika sedang mendiktekan surat yang harus di-
buat, sikapnya sangat serius, sehingga Rianti tidak
mempunyai kesempatan untuk bertanya. Tetapi tat-
kala sedang menikmati makan siangnya di kantin,
sikapnya sudah kembali santai seperti biasa.
Pak Ariin memang bukan majikan yang bersifat
feodal. Bukan kepada Rianti saja dia bersikap ra-
mah. Kepada karyawan-karyawannya yang lain pun
pustaka-indo.blogspot.com
138 dia tidak mengambil jarak. Dalam waktu santai, dia
bergaul dengan mereka seperti seorang bapak. Dia
sudah biasa duduk makan bersama karyawan-karya-
wannya jika tidak pergi makan di luar. Akibatnya,
Rianti tidak mempunyai kesempatan untuk ber-
tanya. Terlalu banyak orang di sana. Kesempatan
itu baru datang ketika Pak Ariin sendiri yang me-
nanyakannya.
"Bagaimana kemarin? Pak Ario mengantarkanmu
sampai ke rumah?"
Rianti tersentak kaget. Keterkejutannya dianggap
terlampau berlebihan oleh Agatha. Tetapi Rianti
tidak sempat memedulikannya. Dia benar-benar
terperanjat.
"Apa kata Pak Ario, Pak?" tanyanya gugup.
"Dia tidak bilang apa-apa. Mengapa?"
"Bapak sudah bertemu Pak Ario pagi ini?"
"Belum. Tapi tadi pagi dia sudah menelepon."
"Pak Ario tidak mengatakan apa-apa tentang
saya?"
"Tidak. Ada apa sebenarnya? Dia menyinggung
perasaanmu? Ah, jangan terlalu dipikirkan! Dia
memang orangnya begitu. Dari dulu. Sudah tujuh
tahun saya mengenalnya. Adatnya memang aneh."
Jadi dia tidak mengatakan apa-apa! Hampir ber-
sorak Rianti. Ternyata si tunggul itu baik juga! Dia
tidak mempermalukan Rianti di depan Pak Ariin.
Dan dia rela meminjamkan tiga ratus ribu rupiah!
Sungguh bukan jumlah yang sedikit. Untuk Rianti
tentu saja.
pustaka-indo.blogspot.com
139 Ayah memang keterlaluan. Enak saja dia meng-
garap orang. Tetapi sesudah mempunyai modal
untuk memulai usahanya, sikapnya menjadi lebih
lunak. Dia terlalu sibuk memulai usaha jahitnya
sehingga tidak mempunyai waktu lagi untuk
marah-marah.
Rumah mereka menjadi lebih damai. Ibu pun
dapat pergi bekerja dengan lebih tenang. Dalam
usianya yang muda belia, Rianti baru dapat me-
mahami betapa besar kekuasaan dewa yang ber-
nama uang itu. Dia dapat memorak-porandakan
sebuah keluarga. Dapat pula mendamaikannya.
* * *
Mereka naik pesawat terbang ke Surabaya, tetapi
kali ini sikap Rianti sudah tidak memalukan lagi.
Dia dapat sampai di kursinya dengan aman.
Agatha sudah memilih kursi dekat jendela. Ter-
paksa Rianti duduk di sebelahnya.
Pak Ariin dan Pak Ario duduk di belakang me-
reka. Sejak bertemu keduanya sudah terlibat pem-
bicaraan penting. Rianti sama sekali terluput dari
perhatian mereka.
Pak Ario malah hanya sempat mengucapkan
salam selamat pagi. Rianti tidak mempunyai ke-
sempatan untuk memulai pembicaraan. Lagi pula
sikap Pak Ario biasa saja. Acuh tak acuh. Dan se-
dikit dingin. Dia tidak memedulikan Rianti sama
pustaka-indo.blogspot.com
140 sekali. Jadi dari mana Rianti harus memulai? Pada-
hal Rianti ingin sekali mengucapkan terima kasih.
Dan menjelaskan kekeliruan ayahnya.
Di dalam pesawat pun kedua laki-laki itu sibuk
membicarakan proyek mereka. Agatha juga sibuk
mencatat apa-apa yang harus dikerjakannya di sana.
Dia benar-benar seorang sekretaris yang terampil.
Apa pun yang diperintahkan oleh Pak Ariin diker-
jakannya dengan cepat.
Sesampainya di Surabaya, Pak Ariin dan Pak
Ario langsung menuju ke lokasi. Agatha dan Rianti
menuju ke kantor cabang Bumi Makmur. Sampai
sore, Rianti sibuk membantu Agatha membenahi
kantornya yang baru.
Agatha memang tidak kelihatan tersisih. Dia ma-
lah tampak seperti karyawati yang naik pangkat
karena prestasinya yang baik. Dia diberi rumah
dinas yang cukup memadai di Surabaya. Gajinya
dinaikkan satu setengah kali lipat. Dan Pak Ariin
menjanjikan akan membelikan sebuah mobil dinas
pula.
Direktur kantor cabang itu masih keluarga Pak
Ariin juga. Seorang insinyur muda yang berbakat.
Dia sudah kenal Agatha. Sudah mengetahui pula
reputasinya yang gemilang sebagai sekretaris ekse-
kutif. Dia merasa mendapat tenaga yang sangat
bermanfaat untuk tugas barunya.
Karena tidak merasa tersisih, sikap Agatha ke-
pada Rianti cukup wajar. Dia malah sering meng-
pustaka-indo.blogspot.com
141 ajarkan apa-apa yang harus dilakukan oleh peng-
gantinya yang baru lulus sekolah itu.
Rianti merasa amat berterima kasih padanya. Dia
sudah menganggap Agatha sebagai pembimbingnya.
Dan baru merasa kecewa ketika kebetulan me-
nangkap pembicaraan Agatha dengan Pak Ariin di
lorong di depan kamar mereka di hotel.
"Masih belum begitu terampil." Mula-mula Rianti
tidak menyangka, dialah yang sedang dibicarakan.
"Masih belum pengalaman."
"Maklum, masih baru." Pak Ariin menimpali
dengan suaranya yang sudah dikenali Rianti. "Wak-
tu baru masuk dulu, kamu juga masih canggung.
Pekerjaanmu masih banyak yang salah."
"Tapi saya rasa Bapak perlu seorang sekretaris
lagi." Suara Agatha terdengar kurang senang karena
merasa dibanding-bandingkan dengan Rianti. "Dia
masih terlalu muda untuk mengelola semuanya se-
orang diri. Pekerjaan bisa berantakan semua. Sudah
kurang cekatan, belum pengalaman pula."
"Sudah sepuluh hari saya bersama dia di Kairo.
Saya tahu kemampuannya."
Sesudah itu Rianti tidak mendengar apa-apa lagi.
Keduanya sudah berjalan menuju ke lift. Sedangkan
Rianti masih bersembunyi di balik pintu yang seper-
empat terbuka. Tiba-tiba saja dia merasa amat ter-
pukul. Ternyata pembimbing yang dihormatinya itu
juga bukan seorang sahabat sejati. Dia menusuk
dari belakang. Padahal sudah tiga hari ini mereka
bekerja bersama-sama. Saling membantu.
pustaka-indo.blogspot.com
142 Irikah Agatha? Di kantor banyak sekretaris lain.
Mengapa seorang sekretaris yang baru lulus sekolah
justru yang terpilih untuk menggantikan tempat-
nya? Mungkin dia dulu telah bersusah payah untuk
meraih jenjang yang kini diduduki Rianti. Sekarang
gadis itu enak saja menduduki tempatnya. Padahal
apa sebenarnya keahliannya?
Dia cuma lulusan kursus sekretaris. Bukan aka-
demi! Baru pengetahuan praktis saja yang diketahui-
nya. Pengalaman pun belum ada. Dia belum per-
nah bekerja. Umur pun masih demikian muda.
Mengapa Pak Ariin begitu bermurah hati padanya?
Keluarga bukan, kenalan pun bukan!
"Tidak turun?" sapa seseorang di luar pintu.
Rianti tersentak kaget. Tetapi Pak Ario cuma me-
mandangnya sekilas. Acuh tak acuh. Rianti yang
sudah telanjur membuka pintu tanpa berniat untuk
melangkah ke luar menjadi salah tingkah.
"Menunggu seseorang? Pak Ariin sudah tu-
run."
Tanpa berkata apa-apa lagi Pak Ario melangkah
menuju ke lift. Langkah-langkahnya yang panjang
membuat sebentar saja dia sudah sampai di muka
pintu lift. Ditekannya tombol. Ketika dia sedang
menunggu di sana, Rianti baru ingat, ada sesuatu
yang ingin dibicarakannya dengan laki-laki itu.
Buru-buru dia menghambur ke lift.
Pak Ario baru saja masuk. Pintu lift sedang ber-
pustaka-indo.blogspot.com
143 gerak menutup. Rianti menerjang masuk begitu
saja. Walaupun terkejut, Pak Ario masih sempat
menekan tombol "open". Tetapi tak urung bahu
Rianti terbentur pintu. Untung lift itu kosong.
"Pak," sergah Rianti tanpa sempat mengatur
napasnya lagi. "Terima kasih telah meminjami saya
tiga ratus ribu. Bulan depan saya lunasi. Maafkan
kekasaran ayah saya. Ayah salah mengerti"
Sekejap Pak Ario tertegun. Tetapi di detik lain,
dia telah kembali ke sikapnya yang biasa. Acuh tak
acuh.
"Siapa Pak Ras itu?" Suaranya sedingin tatapan-
nya. "Apa Pak Rasid yang mengelola Business Ser-
vice Harapan?"
Pintu terbuka. Dua orang laki-laki asing me-
langkah masuk. Mereka menyapa Rianti dengan
salam selamat malam. Rianti membalas dengan se-
wajarnya. Dan dia kehilangan kesempatannya untuk
menjawab. Pada lantai berikutnya masuk lagi dua
orang Indonesia. Lalu mereka sudah tiba di lantai
yang dituju.
Pak Ario menyilakan Rianti keluar lebih dulu.
Dan Pak Ariin yang sedang menunggu di lobi
langsung menyongsong mereka.
"Selamat malam. Bagaimana tidurnya, Rianti?


Di Tepi Jeram Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Enak?"
"Tidak sempat tidur, Pak. Cuma keburu mandi."
Pak Ariin tertawa cerah. Dia berpaling kepada
Pak Ario.
pustaka-indo.blogspot.com
144 "Ke mana kita, Pak Ario?"
"Saya mau makan di coffee shop saja," sahut Pak
Ario singkat.
"Bagaimana kalau saya membawamu makan di
luar, Rianti?" tanya Pak Ariin sambil menoleh ke-
pada gadis itu. "Bosan kan makan nasi goreng
terus? Sekali-sekali kita coba nasi rawon! Saya tahu
tempatnya."
"Maaf, Pak, saya tidak suka nasi rawon." Bukan
cuma Pak Ariin yang terkejut. Pak Ario juga.
Tidak menyangka Rianti berani menolak. "Saya
agak lelah. Biarlah saya makan di kamar saja."
"Biar saya yang menemani Pak Ariin," sela
Agatha sebelum ditanya. Bukan karena dia lebih
menyukai nasi rawon daripada nasi goreng. Tetapi
karena jemu mendengar cara Pak Ariin memanja-
kan sekretaris barunya! Baru bekerja keras sedikit
saja sudah lelah. Banyak tingkah!
Pak Ariin jadi kehilangan kesempatan untuk
membatalkan niatnya. Terpaksa dia menemani
Agatha makan di luar.
"Pesan saja melalui telepon di kamarmu," pesan
Pak Ariin sebelum meninggalkan Rianti. Sikapnya
yang terlalu menaruh perhatian membuat muak
kedua orang yang berada di dekatnya. Pak Ario
dan Agatha. Rianti kan bukan anak kecil lagi! Te-
tapi Pak Ariin seperti tidak merasa. "Pesan apa
saja yang kamu suka. Jangan segan-segan. Kamu
harus makan banyak supaya tidak sakit!"
pustaka-indo.blogspot.com
145 "Gadis seumur dia mana berani makan banyak,
Pak!" potong Agatha sambil menyembunyikan ke-
kesalannya. "Takut gemuk!"
* * *
Pak Ario baru mulai menyantap pizza-nya ketika
terjadi kegaduhan di hotel itu.
"Seorang tamu melapor, ada asap di lantai lima,"
kata gadis yang melayaninya. "Dia melihat asap itu
keluar dari salah satu kamar"
"Mengapa tidak dibunyikan alarm?" potong Pak
Ario gugup. Dia langsung ingat Rianti. Kamar me-
reka di tingkat enam. Dan gadis itu berada di da-
lam kamar. Mungkin sedang tidur
"Pimpinan menganggap tak perlu membuat tamu
hotel panik."
"Lebih baik mereka panik daripada hangus!" de-
ngan geram Pak Ario mendorong kursinya dan
berlari-lari ke luar.
Orang-orang berkerumun di lobi. Mereka terdiri
atas para tamu dan karyawan hotel itu. Lift telah
diblokir. Semua orang harus menggunakan tangga.
"Mau ke mana, Pak?" cegah seorang pelayan
yang berdiri di tangga.
"Teman saya masih di atas," sahut Pak Ario sam-
bil menyingkirkan lelaki yang menghalangi jalannya
itu. Tanpa dapat dicegah lagi, dia melompati dua
anak tangga sekaligus dan berlari-lari ke atas.
pustaka-indo.blogspot.com
146 Orang-orang sudah bergerombol di lantai lima.
Beberapa orang petugas sedang mencoba membuka
pintu kamar tempat asal api. Asap tebal telah me-
nyelubungi lorong di depan kamar itu.
Mula-mula mereka membuka pintu dengan
kunci duplikat. Tetapi karena rantai pengaman ma-
sih terpasang, mereka harus berusaha melepaskan
rantai itu pula. Sementara itu, petugas-petugas yang
memegang alat pemadam api telah bersiap-siap me-
nunggu pintu terbuka.
Pak Ario tidak sempat menonton lama-lama. Dia
langsung menuju ke lantai enam. Dan menggedor-
gedor pintu kamar Rianti.
Rianti melompat bangun dari tempat tidurnya.
Karena lelahnya, dia langsung tidur tanpa memesan
makanan lagi. Begitu mendengar suara Pak Ario, dia
lari ke pintu tanpa sempat mencari sandalnya lagi.
"Ada apa?" tanyanya ketika pintu terbuka. Mata-
nya yang masih mengantuk menatap laki-laki itu
dengan bingung.
"Ada kebakaran di lantai lima!"
"Oh!"
"Kita harus cepat turun ke bawah!"
Releks Rianti sudah hendak menghambur ketika
tiba-tiba dia ingat sandalnya.
"Tunggu!" pintanya sambil lari kembali ke da-
lam. "Belum pakai sandal!"
"Tas dan kunci kamarmu sekalian!" seru Pak
Ario dari ambang pintu. "Cepat!"
pustaka-indo.blogspot.com
147 Bergegas Rianti memakai sandalnya. Menyambar
tas dan kunci kamarnya. Lalu dia berlari-lari meng-
ikuti Pak Ario.
"Lewat tangga!" Pak Ario menarik tangan Rianti
dengan tidak sabar.
Beberapa orang petugas pemadam kebakaran
mulai berdatangan. Api mulai merambat ke kamar
sebelah. Sia-sia petugas hotel itu berusaha me-
madamkannya.
Ketika pintu kamar berhasil dibuka, api telah
menjilat ke mana-mana. Penghuni kamar ditemu-
kan pingsan di tempat tidur. Mungkin mulanya dia
mabuk. Kemudian pingsan karena terlalu banyak
mengisap asap.
Pak Ario membimbing tangan Rianti di tengah-
tengah orang banyak yang sedang turun dan naik
tangga. Ketika mereka mencapai lantai empat,
alarm tanda bahaya baru dibunyikan.
Diam-diam Rianti bersyukur dalam hati. Se-
andainya Pak Ario tidak datang menjemputnya,
dapat dibayangkan betapa paniknya dia mendengar
bunyi alarm tanda bahaya itu!
"Kita minum dulu," kata Pak Ario sambil mem-
bawa Rianti menyelinap di antara kerumunan
orang, melewati lobi menuju ke coffee shop. Karena
bingung, Rianti menurut saja. Dia malah tidak
sadar, betapa eratnya tangannya menggenggam ta-
ngan Pak Ario.
Coffee shop yang tadi separuh penuh itu kini
pustaka-indo.blogspot.com
148 kosong melompong. Tidak ada seorang petugas pun
yang melayani mereka. Semuanya sedang sibuk me-
nonton. Berbaur dengan tamu hotel.
Pak Ario membawa Rianti ke bekas mejanya
tadi. Di atas meja itu ada segelas air es.
"Duduk," katanya sambil mendorong Rianti ke
kursi yang paling dekat. "Minumlah. Kamu pasti
kaget."
Seperti robot, Rianti mematuhi perintah itu. Di-
teguknya separuh isi gelas yang disodorkan kepada-
nya. Pak Ario sendiri menghabiskan isi gelas anggur-
nya. Untung pelayan belum sempat membereskan
mejanya.
"Kamu pasti langsung tidur," komentar Pak Ario
setelah Rianti agak tenang. "Tidak makan lagi."
"Saya mengantuk sekali," kilah Rianti kemalu-
maluan. "Terima kasih telah membangunkan
saya"
Sekonyong-konyong Rianti melihat piring Pak
Ario yang masih teronggok di depan mereka. Piring
itu masih penuh berisi pizza. Jadi laki-laki itu se-
dang makan ketika mendengar berita kebakaran
itu dia meninggalkan makanannya dan lari ke
atas untuk memberitahu Rianti
Tiba-tiba saja jantung Rianti berdegup aneh.
Mengapa laki-laki ini mendadak demikian memer-
hatikannya? Atau ketidakacuhannya selama ini
memang hanya pura-pura belaka? Semacam perisai
pelindung diri terhadap pesona wanita yang diang-
gap mengancam ketenangan dunianya?
pustaka-indo.blogspot.com
149 "Kamu pasti lapar," kata Pak Ario, masih dalam
sikap acuh tak acuhnya yang paten itu. "Lebih baik
saya temani kamu makan di luar. Di sini tidak ada
yang melayani."
Sekali lagi Rianti terperanjat. Si tunggul meng-
ajaknya makan di luar? Bukan main! Tetapi ketika
melihat kegugupan Rianti, Pak Ario telah me-
motong lagi.
"Pak Ariin? Kita bisa meninggalkan pesan pada
resepsionis."
Pak Ariin? Astaga! Dalam keadaan seperti ini
siapa yang teringat pada Pak Ariin?
"Saya cuma memakai sandal" sahut Rianti se-
telah tidak tahu lagi harus menjawab apa.
"Siapa yang peduli pada sandalmu? Kita bisa me-
milih warung kecil di pinggir jalan."
* * *
Rianti sendiri hampir tidak percaya, seorang direk-
tur seperti Pak Ario dapat makan dengan santainya
di warung kecil di pinggir jalan. Dia menyantap
nasi rawonnya dengan lahap.
"Tidak mau coba?" tanyanya pada Rianti yang
sedang menikmati soto sulungnya.
"Lain kali saja. Sudah kenyang."
"Kenyang? Kamu baru saja mulai!"
Rianti cuma tersenyum.
"Betul kata Agatha, kamu takut gemuk?"
pustaka-indo.blogspot.com
150 "Ah, siapa bilang. Saya memang tidak bisa ge-
muk kok."
"Karena ayahmu galak?"
Tiba-tiba saja Rianti tertegun. Tidak jadi me-
nyuapkan sotonya.
Pak Ario meliriknya sekilas. Tetapi dia menerus-
kan makannya seolah-olah tidak ada apa-apa.
"Benar, kan, ayahmu galak?"
"Bapak dimarahi?" tanya Rianti tersendat. Nafsu
makannya yang bangkit melihat selera Pak Ario
yang begitu hebat, langsung mengendur separuh.
"Ah, tidak. Dia cuma menagih utangmu. Dikira-
nya saya Pak Ras. Benar Pak Rasid dari business
service itu menggelapkan uangmu?"
"Bukan menggelapkan. Cuma meminjam. Istri-
nya sedang sakit. Anak-anaknya masuk sekolah"
"Tapi dia tidak pantas meminjam dari kamu!"
"Dia tidak tahu keadaan saya"
"Saya juga tidak tahu keadaanmu! Tapi kalau
saya mau meminjam uang, saya akan cari orang
lain!"
"Pak Ras sangat baik pada saya. Dia memilih
saya untuk dikirim ke Kairo, padahal banyak calon
lain yang lebih pantas. Lebih pandai. Lebih berpeng-
alaman"
"Tapi dia tidak pantas berbuat begitu padamu!
Tidak membayarkan honor yang sudah menjadi
hakmu, apa pun alasannya, sama saja dengan me-
nipu!"
pustaka-indo.blogspot.com
151 "Jangan berkata begitu, Pak! Pak Ras bekas guru
saya. Orangnya sangat baik"
"Kamu yang terlalu baik! Orang bisa menjadi
khilaf melihat kebaikanmu dan menyalahgunakan-
nya. Menginjak-injak hakmu semaunya saja."
Rianti meletakkan sendoknya. Dia sudah
kehilangan selera makannya. Mengapa tiba-tiba saja
si tunggul begitu memerhatikannya? Dia demikian
bersemangat mengkritik Pak Ras!
"Ibumu masih ada?"
"Ibu yang bekerja selama Ayah belum mendapat
pekerjaan baru."
"Saudara-saudaramu?"
"Empat orang. Masih sekolah."
"Kamu yang sulung?"
Rianti mengangguk. Dia menunduk sambil
memainkan sendoknya di atas meja.
"Makanlah sedikit lagi. Kalau belum habis, kamu
tidak akan saya ajak pulang!"
Rianti mengangkat mukanya dengan kesal.
"Mengapa Bapak perlakukan saya seperti anak
kecil?"
"Karena kamu memang masih anak-anak," sahut
Pak Ario tenang. "Kamu sendiri yang minta diper-
lakukan demikian."
"Saya sudah dewasa!"
"Nah, tunjukkanlah pada saya."
"Bagaimana?"
"Bersikaplah dewasa!"
pustaka-indo.blogspot.com


Di Tepi Jeram Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

152 "Caranya?"
"Pertama, jangan segan mempertahankan hak-
mu!"
"Saya tak dapat memaksa Pak Ras."
"Kalau begitu, jangan mau dipermainkan! Buat
apa kamu temani dia seminggu lebih? Dia yang
harus membayarmu!"
Untuk kedua kalinya Rianti tertegun.
"Siapa yang mengatakannya pada Bapak?" gu-
mamnya antara kesal dan malu. "Ayah?"
"Tidak penting siapa yang mengatakannya. Mulai
sekarang, dirimu adalah milikmu. Bersikaplah de-
wasa. Jangan biarkan siapa pun, termasuk majikan-
mu, memperlakukanmu seperti anak kecil!"
"Saya ingin pulang."
"Permulaan yang baik. Tunggu sebentar. Saya
akan bayar dulu pesanan kita."
* * *
Pak Ariin masih menunggu di lobi. Begitu mereka
muncul, dia langsung menyongsong. Air mukanya
jelas menampakkan ketidaksenangan, walaupun be-
lum sampai di gelombang kemarahan. Pak Ario
hanya meninggalkan sepotong pesan pendek pada
resepsionis: Kami makan di luar. Tentu saja dia
kesal.
"Katanya tidak mau makan di luar," protes Pak
Ariin, entah kepada siapa.
pustaka-indo.blogspot.com
153 "Tidak ada yang melayani di coffee shop," sahut
Pak Ario, acuh tak acuh. Dia toh cuma membawa
sekretarisnya, bukan istrinya, mengapa Pak Ariin
kesal? "Semuanya sedang sibuk menonton kebakar-
an."
"Tidak jadi makan di kamar?" kali ini Pak
Ariin langsung bertanya kepada Rianti.
Tetapi kali ini pun, Pak Ario yang menjawab.
"Roomboy-nya sedang repot memadamkan api."
Tanpa mengacuhkan Pak Ariin lagi, Pak Ario
menyuruh Rianti naik ke kamarnya.
"Tidurlah. Kamu pasti lelah."
Tetapi Rianti belum ingin meninggalkan Pak
Ariin. Dia masih mempunyai perasaan bersalah.
Masih ingin menjelaskan duduk persoalannya.
Tetapi tatapan Pak Ario menghalangi niatnya. Mata
itu seolah-olah berkata, dirimu adalah milikmu.
"Kita minum dulu, Pak Ariin?" tanya Pak Ario
seolah-olah tak memedulikan kekesalannya.
"Saya sudah terlalu banyak minum. Lebih baik
saya naik bersama Rianti."
"Kalau begitu, saya juga ikut mengantarkan."
Rianti menjadi serbasalah. Dia tidak tahu dari
mana harus memulai pembicaraan. Untung lift cu-
kup penuh. Dan topik yang sedang mereka bicara-
kan cukup menarik. Tentang kebakaran tadi. Ikut
terlibat dalam pembicaraan itu, ketegangan yang
sedang menyelubungi mereka bertiga mencair de-
ngan sendirinya.
pustaka-indo.blogspot.com
154 "Jadi kamulah gadis dalam foto itu," cetus perem-
puan tua yang menyambut Rianti di ruang tamu
rumah Pak Ario.
Ketika Rianti menampakkan wajah bingung,
tidak tahu apa yang dimaksudkannya, ibu Pak Ario
menunjuk foto berukuran cukup besar yang ter-
pampang di atas rak buku.
Rianti menoleh. Dan melihat foto pemandangan
di Colossi Memnon. Patung Firaun terpampang
megah, menjulang tinggi ke udara. Di samping,
agak ke depan, ada foto dirinya. Kecil. Namun
amat jelas. Tidak melihat ke lensa. Tapi tiga per-
empat wajahnya terlihat jelas dari depan. Dalam
ketajaman fokus yang baik pula. Seolah-olah dialah
fokus foto itu. Colossi Memnon dengan patung
Firaun-nya cuma latar belakangnya!
"Sudah kuduga," gumam perempuan itu per-
BAB V
pustaka-indo.blogspot.com
155 lahan, seperti kepada dirinya sendiri. "Gadis dalam
foto itu pasti bukan cuma kebetulan terjepret oleh
kamera Ario. Tiga puluh sembilan tahun aku hidup
bersamanya. Dia tidak bisa membohongi diriku."
Rianti berpaling kembali kepada ibu Pak Ario.
Tidak tahu harus mengatakan apa. Semuanya ter-
jadi dengan tiba-tiba. Tanpa persiapan apa pun dia
dihadapkan pada perempuan tua yang anggun dan
masih tampak berwibawa ini. Tanpa terduga pula,
dia menemukan dirinya dalam foto di rumah Pak
Ario. Padahal dia datang kemari cuma untuk me-
ngembalikan uang.
Rianti baru saja menerima gajinya yang pertama.
Dan dia memakai kesempatan istirahatnya untuk
berkunjung ke rumah Pak Ario.
Rianti tahu pasti, Pak Ario tidak ada di rumah.
Tidak disangka, dia malah bertemu ibunya. Dan
perempuan ini tampaknya memiliki sifat yang sama
sulitnya dengan anaknya.
Dalam usia enam puluh tahun, kecantikannya
masih jelas tampak tersisa. Tubuhnya masih ter-
pelihara baik. Sama sekali belum bungkuk. Kulit
wajahnya yang sudah mulai mengendur, belum ba-
nyak dihiasi keriput. Mungkin akibat perawatan
yang cermat dengan ramuan tradisional. Rambutnya
yang sudah mulai berwarna dua, tersisir rapi dalam
sebentuk sanggul yang anggun. Matanya yang ber-
sorot tajam di balik kacamata putihnya melukiskan
inteligensi yang tinggi.
pustaka-indo.blogspot.com
156 Semua gerak-gerik dan sikapnya menampilkan
potret utuh seorang wanita keturunan ningrat yang
terpelajar dan berwatak teguh pula. Sayang, dia ti-
dak terlalu ramah pada tamu.
"Silakan duduk." Suaranya melunak kembali ke-
tika tatapannya bertemu dengan tatapan Rianti
yang polos dan bingung. Wajah remaja yang masih
kebocahan itu menampilkan kesan tidak tahu apa-
apa yang murni.
"Terima kasih, Bu," sahut Rianti begitu menemu-
kan suaranya kembali. "Saya harus cepat-cepat kem-
bali ke kantor. Hanya ingin menitipkan ini untuk
Pak Ario."
Rianti menyodorkan amplop berisi uang tiga
ratus ribu itu dengan sopan. Walaupun amplop itu
tertutup, sekali sentuh saja ibu Pak Ario telah dapat
menduga, isinya pasti uang.
"Uang apa ini?" tanyanya tegas, tanpa berputar-
putar lagi.
"Uang yang saya pinjam dari Pak Ario, Bu," sa-
hut Rianti jujur. Tanpa menutup-nutupi lagi.
"Mengapa tidak dikembalikan di kantor saja?"
Suara perempuan itu mengingatkan Rianti pada
suara gurunya ketika di SD. Tegas. Berwibawa. Se-
dikit menakutkan.
"Takut mengganggu kesibukan Pak Ario, Bu,"
sahut Rianti apa adanya.
"Hm," perempuan itu memperdengarkan de-
ngung sengau dari hidungnya. Tatapannya yang
pustaka-indo.blogspot.com
157 serba menilai melekat erat di wajah Rianti. Mem-
buat yang ditatap jadi merasa tidak enak.
"Permisi, Bu," kata Rianti sesopan-sopannya. "Sa-
ya harus kembali ke kantor. Terima kasih atas ban-
tuan Ibu."
"Kamu bekerja di kantor Ario?"
"Bukan, Bu. Di kantor Pak Ariffin. Bumi Mak-
mur. Permisi, Bu."
Ibu Pak Ario mengikuti Rianti dengan tatapan
matanya sampai tubuh gadis itu lenyap dalam bajaj
yang membawanya pergi. Tetapi bayangan gadis itu
tidak mau lenyap dari pikirannya. Dia memperguna-
kan kesempatan pertama yang diperolehnya untuk
mengorek informasi mengenai Rianti. Begitu anak-
nya duduk di meja makan malam itu juga, Bu
Danu langsung menusuk ke titik sasaran.
"Tadi gadis yang dalam foto itu datang kemari,"
katanya sambil meletakkan sebuah amplop di atas
meja di dekat piring Pak Ario. Bu Danu yang se-
dang mengamat-amati wajah anaknya langsung
melihat perubahan di wajah itu. Pak Ario meletak-
kan sendoknya. Menatap amplop itu sebentar, dan
segera membukanya. "Katanya dia ingin mengem-
balikan uang yang dipinjamnya."
"Oo." Cuma itu yang keluar dari mulut Pak Ario
yang masih separuh penuh nasi. Diletakkannya
kembali amplop itu dengan acuh tak acuh.
"Dia cantik," sambung Bu Danu pula. Tetapi tak
pustaka-indo.blogspot.com
158 ada nada kagum dalam suaranya. Apalagi memuji.
"Cuma masih terlalu muda."
"Sekretaris Pak Ariffin," sahut Pak Ario tanpa
memindahkan tatapannya dari piring di hadapan-
nya. Sikapnya masih tetap acuh tak acuh.
"Mengapa meminjam uang padamu?"
Sekarang Pak Ario menatap ibunya dengan ta-
jam. "Mengapa pula pikir Ibu?"
"Tidakkah aneh dia meminjam uang padamu,
bukan pada bosnya?"
"Ibu jangan terlalu curiga. Saya hanya meminjam-
kan uang. Tidak lebih."
"Dan bagaimana dia bisa berada hampir di setiap
foto yang kaubuat di Mesir?"
"Cuma kebetulan."
"Jangan bohongi Ibu. Kau seorang fotografer
yang ahli. Kau takkan membiarkan objek yang
tidak kaukehendaki merusak hasil karyamu."
Pak Ario meletakkan sendoknya dengan keras.
Ditatapnya Ibu dengan kesal.
"Ibu, katakan saja, apa maksud Ibu sebenarnya?"
"Kau telah enam tahun menduda."
"Maksud Ibu, saya mengingini gadis itu? Apakah
Ibu tidak melihat, dia masih begitu muda? Umur
kami berbeda dua puluh tahun!"
"Umur tidak menjadi penghalang. Kelihatannya
dia gadis yang baik. Tapi masih terlalu hijau. Kau
tidak dapat mengharapkan seorang gadis seumur
pustaka-indo.blogspot.com
159 dia bisa menjadi seorang istri yang baik. Mentalnya
belum matang. Dia belum siap untuk berumah
tangga."
"Saya pun belum siap untuk beristri lagi. Saya
tidak ingin dilukai untuk kedua kalinya."
"Jangan samakan setiap wanita dengan istri per-
tamamu."
"Saya kira sama saja. Selama Ibu masih meng-
anggap setiap wanita yang menjadi istri saya sebagai
rival, tidak ada perempuan yang mau tinggal di
sini."
"Jadi masih kausalahkan juga ibumu ini? Padahal
sejak Karin masuk ke rumah ini, tidak henti-henti-
nya dia berupaya untuk menyingkirkan Ibu."
"Karin sudah biasa hidup di luar negeri, Bu. Di
sana suami-istri hanya tinggal dengan anak-anak
mereka. Perlu waktu untuk menyesuaikan dirinya
dengan keadaan kita di sini. Dia tidak mengerti
mengapa seorang ibu tak dapat berpisah dengan
anak laki-lakinya yang sudah menikah!"
* * *
"Belum gajian?" tegur Ayah begitu Rianti pulang
kerja.
Beberapa hari ini Ayah mulai uring-uringan lagi.
Pakaian jadi yang sudah selesai bertumpuk di sudut
rumah, dekat mesin jahitnya. Tetapi belum ada pe-
sanan yang masuk.
pustaka-indo.blogspot.com
160 Kata Bang Tohir, temannya yang sudah belasan
tahun berdagang pakaian di Tanah Abang, pasaran
pakaian jadi memang sedang sepi. Entah kapan
ramainya.
Ayah sudah mencoba menawar-nawarkan jasa
pada tetangga. Barangkali ada yang ingin membuat
pakaian padanya. Tetapi mereka lebih suka membeli
pakaian jadi. Lebih murah, kata Bu Sosro.
Semangat Ayah yang menyala-nyala ketika me-
mulai usahanya perlahan-lahan meredup kembali.
Sekarang dia lebih suka duduk-duduk mengisap
rokok di depan rumah sambil menunggu anak-anak
pulang. Dan kesalahan-kesalahan kecil anak-anaknya
mulai terlihat lagi di depan mata seorang pengang-
gur. "Belum," sahut Rianti bingung. Dari mana dia
dapat memperoleh uang kalau Pak Ras belum juga


Di Tepi Jeram Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mau membayar utangnya?
Rianti memang tidak berani lagi datang ke kan-
tor Pak Ras. Tetapi dia yakin, kalau Pak Ras sudah
berniat membayar utangnya, Bu Titi pasti akan
mengantarkan uang itu ke rumahnya. Respek dan
hormatnya yang terakhir kepada bekas gurunya itu
punahlah sudah. Telah sebulan lebih Pak Ras me-
nahan uangnya. Mustahil dia masih belum punya
uang juga!
"Ini kan tanggal satu. Perusahaan apa Bumi Mak-
mur itu? Masa tanggal satu belum bisa bayar gaji
pegawai? Apa cuma direkturnya saja yang mau mak-
mur?!"
pustaka-indo.blogspot.com
161 "Sabarlah, Ayah" Rianti ngeri jangan-jangan
Ayah akan datang ke kantornya dan marah-marah
seperti di kantor Pak Ras dulu. Aduh, malunya!
"Bagian keuangannya sedang sakit"
"Kan ada wakilnya!"
"Besok mungkin dibayar, Ayah. Sabarlah. Apa
artinya terlambat sehari?"
"Apa artinya? Kamu belum pernah terlambat ma-
kan sehari?"
* * *
Sehari itu Rianti tak dapat berkonsentrasi pada pe-
kerjaannya. Surat yang sedang dibuatnya berkali-
kali harus diperbaiki. Salah melulu.
Dari mana dia dapat memperoleh uang untuk
Ayah? Seluruh gajinya, termasuk uang lembur di-
tambah sisa uang saku dari Kairo, sudah dibayarkan-
nya pada Pak Ario. Itu pun masih harus meminjam
empat puluh ribu rupiah di kas untuk menggenap-
kannya menjadi tiga ratus ribu. Dari mana dia
memperoleh uang sebanyak itu dalam sehari?
Ayah tahu sekali berapa gajinya. Rianti menyesal
juga selalu berterus terang pada Ayah. Mengapa
tidak dikorupsinya sedikit? Ayah tidak pernah mau
mengerti kesulitannya!
Sampai Pak Ariffin masuk ke kamar kerjanya,
Rianti belum selesai juga mengetik. Tetapi bukan
itu yang membuat Pak Ariffin kelihatan gusar. Be-
pustaka-indo.blogspot.com
162 gitu masuk, bukan surat itu yang ditanyakannya.
Dia malah melemparkan sebuah amplop ke atas
meja Rianti.
Sekali lirik saja, Rianti mengenali amplop itu.
Amplop uang gajinya yang diberikan kepada Pak
Ario kemarin sebagai pembayar utang!
"Dari Pak Ario," kata Pak Ariffin tanpa menyem-
bunyikan perasaan jengkelnya.
Rianti meraih amplop itu dan langsung mem-
bukanya. Isinya masih lengkap. Tiga ratus ribu.
Cuma ada tambahan nota singkat pada sehelai ker-
tas memo.
"Simpan saja dulu sampai Pak Ras membayar
utangnya padamu."
Rianti hampir melonjak kegirangan. Tidak terasa
air matanya menitik haru. Sekali lagi si tunggul
jadi penyelamat! Tapi desah kelegaan yang hampir
terlepas dari celah-celah bibirnya membeku kembali
mendengar pertanyaan Pak Ariffin.
"Mengapa harus pinjam pada Pak Ario? Kamu
bisa pinjam di kas!"
"Saya sudah mengambil bon empat puluh ribu
rupiah kemarin, Pak," sahut Rianti tersendat.
"Tapi kamu tidak punya hubungan apa-apa de-
ngan Pak Ario! Pegawai bukan, keluarga pun bu-
kan. Mengapa pinjam uang padanya? Jangan gam-
pang-gampang menerima kebaikan orang! Di balik
kebaikan kadang-kadang tersembunyi maksud ter-
tentu."
pustaka-indo.blogspot.com
163 Rianti terbelalak kaget. Hampir tidak percaya
pada telinganya sendiri. Pak Ariffin yang dihormati-
nya itu sampai hati menjelekkan teman sendiri? Ya
Tuhan! Dunia apa yang dihuninya ini! Mengapa
setiap manusia cenderung menjadi serigala bagi ma-
nusia lain?
"Jangan salah paham." Suara Pak Ariffin melunak
kembali melihat reaksi Rianti. "Saya sudah meng-
anggapmu sebagai anak saya sendiri. Karena itu
saya selalu ingin melindungimu. Kamu masih ter-
lalu muda. Masih hijau. Belum berpengalaman.
Saya tidak mengatakan Pak Ario itu jahat. Tapi dia
sudah enam tahun menduda. Laki-laki kesepian se-
ring iseng. Saya tidak mau kamu jadi korban."
Pak Ariffin mungkin bermaksud baik. Tetapi
bagaimanapun, Rianti tak dapat mengusir perasaan
itu dari hatinya. Sejak saat itu, respeknya terhadap
majikannya berkurang dengan sendirinya. Bagai-
mana dia dapat menghormati orang yang mencela
teman sendiri di depan orang lain?
"Berapa uang yang kaubutuhkan? Ini memo dari
saya. Bawa ke kas. Ambil berapa saja yang kamu
butuhkan. Kamu boleh mencicilnya tiap bulan dari
gajimu. Tapi kembalikan uang itu hari ini juga!
Kamu tidak bisa menampik permintaan orang yang
meminjamkan uang padamu. Dan itu membuat
saya kuatir!"
Siang itu juga Rianti kembali ke rumah Pak
Ario. Seorang pembantu membukakan pintu untuk-
pustaka-indo.blogspot.com
164 nya. Tetapi begitu melihat Rianti, Bu Danu lang-
sung menyongsongnya.
"Silakan masuk," katanya tajam. "Ada perlu apa
lagi?"
"Ingin mengembalikan ini, Bu," sahut Rianti se-
telah mengucapkan selamat siang. "Kepada Pak
Ario."
"Uang itu lagi?" Bu Danu mengerutkan dahi se-
telah mengenali amplop itu. "Berapa sebenarnya
yang kamu pinjam dari Ario?"
"Tiga ratus ribu, Bu," sahut Rianti terus terang.
"Ini uang yang saya kembalikan kemarin. Tadi Pak
Ario menitipkan uang ini kembali kepada Pak
Ariffin. Kata beliau, boleh saya pakai dulu. Tapi
kebetulan saya boleh meminjam di kantor, Bu. Jadi
ingin saya kembalikan lagi uang ini pada Pak
Ario."
"Hm." Suara Bu Danu sama curiganya dengan
matanya. "Rumit benar tampaknya. Padahal Ario
biasanya orang yang praktis."
"Permisi, Bu. Saya harus kembali ke kantor."
"Tunggu dulu. Saya ingin bicara denganmu.
Mari masuk."
Ada perintah yang tak dapat dibantah tersirat
dalam suara yang berwibawa itu. Terpaksa Rianti
ikut masuk walau tak ingin.
Seorang pembantu menyuguhkan teh dalam cang-
kir antik yang sangat indah. Rianti harus melipat-
gandakan kehati-hatiannya supaya cangkir itu
jangan sampai terlepas dari tangannya dan pecah.
pustaka-indo.blogspot.com
165 "Kurang gula?" Bu Danu menyodorkan tempat
gula dari seperangkat tea set yang sama.
"Cukup, Bu. Terima kasih," sahut Rianti meng-
elakkan kemungkinan memegang tempat gula yang
indah itu. Lebih baik kurang manis sedikit daripada
menanggung beban mental takut memecahkannya.
"Bagaimana pendapatmu mengenai Ario?" tanya
Bu Danu, langsung ke sasaran seperti biasanya.
Membuat yang ditanya menjadi agak gelagapan.
"Pak Ario?" Rianti menggagap bingung. "Beliau
sangat baik. Agak angkuh dan dingin untuk orang
yang baru pertama kali mengenalnya. Tapi sebenar-
nya hatinya baik. Suka menolong orang dengan
diam-diam"
"Hm." Bu Danu menghirup tehnya dengan gaya
yang membuat Rianti iri. Begitu anggun dan meme-
sona. "Dia hanya suka menolongmu."
Sekali lagi Rianti tertegun. Apakah di sini dia
juga akan bertemu dengan seorang ibu yang suka
mencerca anak sendiri di depan orang lain?
"Berapa lama kamu kenal Ario?"
"Dua bulan, Bu," sahut Rianti, seperti seorang
pasien di depan meja dokter.
"Itu artinya kamu belum mengenal dia."
"Tapi saya percaya Pak Ario orang yang baik."
"Kata-katamu membuktikan bahwa kamu masih
hijau. Belum berpengalaman. Laki-laki tak dapat
dikenal hanya dari penampilan luarnya saja. Apalagi
dalam dua bulan."
pustaka-indo.blogspot.com
166 "Maksud Ibu?" desah Rianti bingung.
"Kamu tahu Ario sudah duda?"
Rianti mengangguk tak mengerti. Mau ke mana
ini? "Istrinya seorang Indo. Ayahnya orang Indonesia.
Ibunya Jerman asli. Sejak kecil ikut ibunya. Mereka
bertemu di M?nchen tujuh tahun yang lalu, ketika
Ario ikut kongres di sana. Kebetulan Karin menjadi
guide rombongan Indonesia. Mereka jatuh cinta.
Cinta kilat tentu saja. Cinta tanpa perhitungan.
Karin memutuskan menyusul Ario ke Jakarta dua
bulan kemudian. Mereka menikah. Dan tinggal di
sini."
Tidak sadar Rianti melemparkan tatapannya ke
sekeliling. Tetapi tidak ditemukannya satu pun foto
perempuan yang bernama Karin itu. Seperti apakah
dia? Cantikkah? Entah, mengapa, ada perasaan tidak
enak menyelusup ke relung-relung hati Rianti.
"Karin membawa anak mereka ke Jerman ketika
berpisah. Tapi setahun belakangan ini, sudah dua
kali dia menulis surat pada Ario."
Apa maksudnya menceritakan soal yang tak ada
sangkut pautnya dengan diriku ini, pikir Rianti bi-
ngung.
"Ario orang yang sulit. Bekas istrinya juga tak
kalah membingungkannya. Perempuan itu sering
melakukan hal-hal yang tak terduga. Kamu masih
terlalu muda. Jangan menceburkan dirimu dalam
persoalan mereka."
pustaka-indo.blogspot.com
167 "Maksud Ibu?"
"Aku yang harus bertanya. Apa maksudmu men-
dekati Ario?"
Kali ini Rianti benar-benar tercengang. Selama
beberapa saat dia tidak mampu mencetuskan se-
patah kata pun.
Bu Danu mengawasi sebentuk paras remaja yang
sedang tertegun kebingungan itu. Benarkah? Dia
sebodoh tampaknya? Atau dia justru pandai ber-
main sandiwara?
"Aku tidak tahu kamu berpura-pura atau tidak,"
kata Bu Danu dingin. "Tapi aku kenal anakku. Dia
tidak bisa membohongi aku. Dia sedang jatuh hati
Istana Hantu 2 Pendekar Naga Geni 19 Tragedi Di Tengah Kabut Pendekar Sakti 6
^