Pencarian

Jalan Bandungan 5

Jalan Bandungan Karya Nh. Dini Bagian 5


sederhana pun. Ketiga adikku lelaki dibiasakan keluar-masuk be-
bas ke dalam kamarku hingga kami dewasa. Tiduran bersama di
dipan atau ranjang juga tidak pernah dipersoalkan. Hal yang sa-
ngat mengganggu pandang maupun sikap hidup suamiku. Oleh
karena dialah maka aku jadi berubah. Aku menjadi kaku dan
bersikap kurang akrab menurut anggapan keluargaku. Kemudian,
setelah aku kembali hidup bersendiri dan mengenal keluarga
suamiku di Klaten, ternyata cara mereka menafsirkan kedekatan
juga sama seperti orangtuaku. Ketika aku pertama kali datang me-
ngunjungi mereka, kami hanya bersalaman. Tetapi sewaktu kami
akan pulang, serta-merta ibu dan ayah mertuaku mencium kedua
pipiku. Dan dengan cara itulah untuk seterusnya mereka selalu
menyambut kedatangan kami.
Kereta meluncur dengan kecepatan tinggi. Dalam waktu ku-
rang lebih enam jam kami akan tiba di Paris. Pada setengah jam
pertama, aku menceritakan apa yang terjadi di Arnhem. Handoko
di pihaknya, sejak perpisahan kami di depan stasiun, meneruskan
kesibukan mencari pekerjaan. Aku ingat bahwa dulu dia pernah
menyebut adanya iklan sebuah perusahaan patungan Amerika
Latin?Jerman Barat.
"Sudah mendapat informasi mengenai Amerika Selatan?"
"Sudah," jawabnya. "Tapi kelihatannya kurang menarik."
"Mengapa? Dulu anda katakan gajinya bagus dan pekerjaannya
juga menyenangkan."
261 "Betul. Tetapi ternyata gaji tidak memadai jika dibanding de-
ngan tempatnya yang jauh dari Eropa. Lebih-lebih dari Indone-
sia."
"Jadi?"
"Jadi saya berpikir-pikir dulu, sambil terus mengupas iklan dan
mendengarkan di sana-sini kalau-kalau ada yang lebih menarik."
"Apa akan mudah mendapatkan yang lain?"
"Tergantung. Dikatakan sukar, ya bisa. Mudah, juga bisa. Nya-
tanya hingga sekarang saya sudah punya pilihan dua yang de-
ngan mudah dapat saya ambil, lalu berangkat dengan gaji di ta-
ngan. Tapi saya sudah dipanggil untuk lainnya," suaranya enak
didengar. Selain nada rendah yang mengelus kuping, percaya di-
rinya pulalah yang membikin aku selalu terpikat untuk selalu
senang mendengarkan omongannya.
"Betul?"
"Ya, betul. Saya sudah diundang untuk wawancara."
"Bagus sekali," kataku bersemangat. "Untuk tugas di mana?
Eropa atau luar?"
"Di Eropa. Kalau jadi, sistemnya kontrak. Kalau pekerjaan
pembangunan selesai, ya berhenti."
"Apakah itu tidak mengesalkan? Setiap kali harus mencari pe-
kerjaan lain?"
"Tidak, karena kalau kita bekerja baik, perusahaan pengontrak
pasti tahu menghargai kita. Ada rekomendasi atau surat peng-
alaman kerja dari mereka. Mudah mendapatkan tugas lain. Dan
bagi saya yang belum mempunyai tanggungan, lebih luwes. Lebih
menguntungkan."
Dia memang benar. Selagi masih bujangan, lebih baik hidup
menuruti kesenangan sendiri.
"Di mana itu?"
262 "Kali ini untuk permulaan, di salah satu negeri di utara. Tem-
patnya dingin sekali."
"Jelas kalau utara ya dingin," kataku lagi. "Tapi di mana?"
"Di mana, ya?" kata Handoko mengulang pertanyaanku. "Di
Eropa, utara, dingin. Matahari hanya bersinar selama beberapa bu-
lan. Sisanya, kehidupan berlangsung di malam hari."
"Islandia?"
"Bukan."
"Rusia? Norwegia?"
"Coba teruskan cari, Bu Guru! Lama-lama pasti ketemu."
Kotak berisi bunga masih terletak di pangkuanku. Aku tidak
benar-benar berpikir, hanya memandangi keindahan kelopak-
kelopak setiap kuntum yang terlipat dalam susunan rapi namun
beragam bentuk serta lebarnya.
"Kalau berdiskusi begitu mahir, kalau mengulas bahasan sede-
mikian tepat! Tetapi ilmu buminya jelek sekali!" suara Handoko
terdengar dalam nada gurauannya.
Aku baru sadar bahwa dia menggodaku.
"Ah, saya tidak benar-benar memikirkan di mana anda akan
bekerja. Yang penting bagi saya, anda menyukai pekerjaan itu dan
mendapat banyak manfaat, uang, maupun pengalaman," akhirnya
aku mengalah.
"Di Swedia," katanya sambil mengambil kotak dari atas lutut-
ku. Perlahan dia tutup, lalu bangkit untuk menaruhnya di rak
bagasi.
"Oh ya! Swedia yang belum saya sebut!" kataku sambil ter-
tawa.
"Kalau ketahuan murid-murid anda bahwa ilmu bumi yang se-
begitu sederhana saja anda lupa, apa tidak malu?"
Aku menengadah melihatnya masih berdiri. Dia turut tertawa.
263 Dan aku tidak peduli seandainya dikatakan bodoh oleh siapa pun.
Oleh murid-murid atau orang lain. Tertawa bersama Handoko
alangkah nyamannya.
Dia kembali duduk, tetapi di bangku yang berhadapan dengan
tempat kami.
"Mengapa pindah?" tanyaku sambil meneruskan tersenyum,
menahan sisa-sisa tertawaku.
"Tidak enak di situ. Tidak bisa melihat Mbak Mur dengan je-
las," katanya. Sikap dan suaranya biasa saja. Tapi matanya yang
cokelat kelam meredup dan menghanyutkanku.
Aku tidak ingin tersipu-sipu, menahan sekuat tenaga agar ber-
sikap biasa pula. Rasa panas menyeluruhi mukaku. Untuk me-
nyembunyikan pengucapan wajahku, aku bertanya, "Bagaimana
informasinya mengenai pekerjaan itu?"
Handoko bercerita. Pekerjaannya di pelabuhan, turut me-
ngecek mesin bersama montir kapal-kapal yang singgah. Gaji,
perumahan, kemudahan-kemudahan, pendek kata semua kuta-
nyakan. Dan semuanya dia jawab tanpa keraguan seolah-olah
pembicaraan itu merupakan kebiasaan bagi kami berdua. Seakan-
akan apa yang dia rencanakan atau yang menjadi masa depannya
adalah juga menjadi kepentinganku.
Entah berapa lama kami memperbincangkan hal itu. Tiba-tiba
aku terdiam. Selintas ada kesadaran yang menerkamku: mengapa
aku berbuat seperti ini? Aku terlalu menunjukkan keingintahu-
anku mengenai nasib adik iparku. Kesadaran yang mendadak me-
nelusupi hatiku itulah yang mengejutkanku sehingga membung-
kamku selama beberapa saat. Dan supaya mataku tidak terbentur
pada mata Handoko, aku meneliti penumpang-penumpang yang
duduk di sebelah-menyebelah. Seperti kereta-kereta jaringan inter-
nasional lain di Eropa, gerbong kami besar dan lapang. Bangku di
264 sebelah hanya berisi dua orang, tampak tidak saling mengenal. Di
sekatan depan, ada anak-anak muda. Mereka kedengaran ramai
berbicara bahasa Prancis. Di sekatan belakang kami terdengar per-
cakapan dalam bahasa Flamand, logat yang mirip bahasa Prancis
campur Belanda. Tentulah mereka berasal dari Belgia.
Lalu petugas gerbong restoran datang menawarkan tempat un-
tuk makan siang. Handoko memesan dua buat kami. Sambil me-
nunggu lima belas menit saat pembukaan pelayanan makanan,
kami berbicara mengenai ini dan itu. Kemudian barang-barang
kami tinggal. Kami melewati pintu penghubung, menyeberang
ke gerbong tempat makanan disajikan. Pemilihan menu tidak su-
kar, karena Negeri Belanda sudah sangat biasa dengan masakan
Indonesia. Nasi goreng dan mi goreng adalah makanan yang pa-
ling umum, di samping yang disebut menu rijsttafel, ialah nasi
putih yang dihidangkan dengan berbagai lauk.
Sambil makan, kuceritakan sedikit mengenai anggapan orang-
tuaku mengenai kota Paris. Handoko menanyakan berita terakhir
dari keluargaku. Dulu pernah kusebutkan kesukaranku dengan
Eko. Sekalian kujelaskan pengertianku bahwa anak laki-laki yang
tumbuh tanpa ditunggui bapaknya sering mendapatkan kesulitan,
karena perkembangan jiwanya dalam menanggapi kehidupan dan
pergaulan mungkin bertolakan. Dan karena aku tahu bahwa Han-
doko agak dekat dengan Irawan, kukatakan kegembiraanku me-
ngenai hubungan yang mudah di antara Eko dengan pamannya
itu. "Mbak Mur tidak ingin kawin lagi?"
Kepalaku bagaikan kejatuhan benda keras. Dalam keterke-
jutanku, mataku jelas melihat Handoko tertunduk menyuapkan
suapan di sendoknya. Meskipun pertanyaan itu telah berkali-kali
ditujukan kepadaku, tapi adik ipar di hadapanku ini tidak pernah
265 mengucapkannya. Semua yang berhubungan dengan keadaan ke-
sendirianku, semua yang bersangkutan dengan masa berduaku de-
ngan kakaknya, tidak pernah menjadi bahan perbincangan kami.
Aku merasa bahwa dia menanggapi dan mengerti kemauanku
untuk melepaskan diri dari masa lalu. Namun sekarang, selagi
kami ancang-ancang akan berlibur berduaan lagi, sengajakah dia
mengorek lubuk hatiku?
Selama beberapa detik aku terdiam. Dan terentang lebih la-
ma. Aku membiarkan waktu berlalu. Aku juga tidak melihat ke
arahnya ketika terdengar dia mengulangi pertanyaannya, "Mbak
Mur tidak ingin kawin lagi?"
Ulangan pertanyaan itu menunjukkan bahwa dia memang
sengaja. Dia ingin mengetahui. Seandainya dia orang lain, ja-
wabanku pasti: tidak. Pada awal pertemuan kami, ketika kami
berkesempatan berduaan, pernah kukatakan bahwa kakaknya
sangat mengecewakanku. Kusambung sekalian bahwa aku ti-
dak akan mempercayainya lagi sebagai teman hidup. Bahwa
pengiriman berita dan lain-lain sudah tidak kutangani sendiri,
melainkan kubebankan kepada anak-anak dan ibuku. Aku su-
dah memapankan diri sebagai pengamat saja, begitu kataku.
Kewajibanku kupusatkan kepada pencarian nafkah demi kelang-
sungan hidup anak-anak dan aku sendiri.
Maka, pertanyaan yang kedua kalinya itu pun tidak segera
kujawab. Tapi di samping itu, aku sadar dan mengerti bahwa
bagaimanapun juga, memang aku harus membicarakan hal itu
bersama Handoko. Kalaupun tidak sekarang, tentulah di waktu-
waktu mendatang. Jadi lebih baik sekarang.
"Kawin membawa anak-anak remaja, siapa mau?" Dan se-
begitu kalimat itu terucapkan, barulah aku sadar bahwa itu bukan
266 jawaban. Suaraku bahkan berisi kejengkelan. Ya, kuakui, aku ke-
sal karena dia menanyakan hal itu.
"Pasti ada istri-istri tahanan Pulau Buru yang kawin lagi," kata
Handoko.
"Memang ada," sahutku. Kuteruskan sambil menatap pandang
adik iparku, "Bahkan di lingkungan saya, lebih dari tiga yang
kawin lagi. Setiap kali kami istri-istri bertemu, berangsur-angsur
kurang satu, kurang satu lagi. Kalau tidak karena memang tidak
bisa datang, ya karena pindah, atau sudah mendapatkan pasangan
baru."
"Tentu di antaranya juga ada yang membawa anak-anak besar
seperti Mbak Mur."
Aku tidak menyahut sambil berpikir siapa-siapa dari kenalanku
yang berkasus demikian.
Handoko meneruskan lagi, "Atau barangkali Mas Wid tidak
mau cerai."
Kalimat itu diucapkan dalam nada yang tetap biasa, mendatar.
Tetapi bagiku cukup lantang menyobek telinga.
"Apa urusan saya?!" tiba-tiba aku tidak bisa menahan, ke-
jengkelanku meluap lagi. "Kalau saya mau, cukup hanya dengan
menyerahkan surat permintaan cerai ke Lembaga Hukum, dan
semuanya akan menjadi beres. Berapa tahun dia tidak memberi
kami makan?!"
Nafkah lahir dan batin. Itu merupakan syarat mutlak dalam
perkawinan. Lalu, keinginanku untuk membikin tuntas persoalan
itu tiba-tiba mendesak-desak dalam dada. Kutambahkan dengan
suara lebih tenang, "Anda tidak bisa membayangkan bahwa
yang sesungguhnya bukanlah hanya makanan yang menjadi satu-
satunya masalah bagi saya, bagi istri-istri seperti saya. Siksaan
berat kami juga berupa tekanan batin yang sangat menyakitkan.
267 Anak-anak dan saudara-saudara saya, bahkan Ibu pun terlibat
pula. Menjadi lingkungan terdekat tahanan Pulau Buru selalu
dijauhi orang. Seolah-olah kami mengidap penyakit menular.
Harus dihindari. Kalau tidak karena pertolongan orang-orang
tertentu, mana mungkin saya berhasil mendapatkan kesempatan
seperti yang saya punyai sekarang! Mana mungkin saya di sini, di
depan anda!"
Kami saling memandang. Handoko tidak tersenyum, tetapi
aku menafsirkan ucapan simpati yang terpancar ke arahku. Garis-
garis wajahnya melembut, bibirnya hampir membentuk bujukan.
"Tidak," kuteruskan, bicaraku perlahan, memilih kata-kata.
"Soal bercerai sangat mudah jika hanya tergantung pada saya
sendiri. Seorang teman dekat saya mempunyai saudara berpenga-
ruh. Dialah yang selama ini selalu membantu jika diperlukan
surat-surat tanggungan atau izin istimewa."
Selama mengucapkan kalimat-kalimat itu aku menghindari ta-
tapan matanya. Dan kini, karena agak lama dia tidak bersuara,
aku mengangkat pandang melihat kepadanya. Dia masih meman-
dangiku. Dia bahkan tersenyum. Sejenak aku tetap pada sikapku,
berpikir keras apakah aku juga harus tersenyum atau tidak.
"Mbak Mur sendiri, secara pribadi, apakah masih ingin kawin?
Hidup terikat? Berkeluarga menyendiri tanpa Ibu?"
Pertanyaan itu jelas dan tidak. Aku tidak begitu mengerti mak-
sudnya. Apakah cerai dulu lalu kawin lagi dengan orang lain?
Ataukah tetap sebagai istri Mas Wid seperti sekarang?
"Dalam keadaan saya seperti sekarang, apa pun yang saya ker-
jakan, saya tetap terikat. Itulah ketidakadilan. Atau anggaplah
sebagai tambahan ketidaksamaan nasib perempuan dan lelaki.
Laki-laki kawin, berkeluarga. Walaupun demikian, kalau bercerai,
dia bisa membebaskan diri, tidak terikat. Karena kebanyakan kali
268 anak-anak turut pihak istri. Belum tentu laki-laki itu mengirim
biaya hidup untuk meneruskan masa pertumbuhan anak-anak.
Sebaliknya, si istri tidak mungkin merasa diri bebas. Dia selalu
terikat terhadap anak-anaknya. Seorang wanita, satu kali kawin
dan berkeluarga, seumur hidup akan terus-menerus merasa ter-
ikat. Saya sendiri, meskipun tinggal di luar negeri begini, saya
tidak pernah merasa bebas seratus persen. Pertanyaan bagaimana
di rumah, apakah Ibu bisa merentangpanjangkan gaji yang saya


Jalan Bandungan Karya Nh. Dini di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tinggal hingga anak-anak bisa terpenuhi kebutuhannya? Saya pri-
hatin terus."
Sekali lagi aku mengangkat muka, menentang pandang Han-
doko.
"Untuk jelasnya, rasa terikat itu sudah mendarah daging da-
lam diri saya. Masalahnya sekarang ialah, seandainya saya harus
kembali hidup terkurung di rumah, mempunyai pendamping lagi,
apakah akan bisa? Terus terang saya tidak memikirkan bagaimana
hidup saya bersama Mas Wid jika dia kembali. Saya tidak akan
bisa menerima perlakuannya yang pelit, yang sok mau benar sen-
diri. Maunya jadi pengayom, jadi pelindung. Padahal sekarang sa-
yalah yang mencari makan."
"Maksud saya, kalau Mbak Mur masih punya keinginan kawin
lagi, tapi dengan orang lain. Bukan mengulang hidup bersama de-
ngan Mas Wid."
"Ya, itu satu kemungkinan yang masih saya pikirkan. Saya me-
mang masih ingin memulai lagi dari permulaan dengan laki-laki
lain. Tapi ya itulah. Saya tidak benar-benar mencari. Barangkali ju-
ga, saya khawatir. Saya terlalu banyak mempunyai syarat sehingga
tidak mungkin ada seorang lelaki yang cocok dengan saya."
"Umpamanya apa syarat itu?"
"Tentu saja yang nomor satu kaitan hati. Harus ada spontanitas,
269 komunikasi yang langsung. Bukan seperti yang dikatakan di Jawa
tresna jalaran saka kulina atau cinta datangnya karena biasa bergaul.
Lalu, syarat lain, anak-anak. Komunikasi tidak hanya antara saya
dan orang itu, tetapi juga terhadap anak-anak. Ditambah satu
lagi, ini sangat penting juga: uang. Dikatakan bahwa uang atau
kekayaan tidak mengambil tempat penting dalam cinta atau per-
kawinan. Barangkali itu benar dalam hal orang lain. Biasanya
orang yang tergila-gila oleh cinta yang demikian. Saya tidak
mungkin. Karena saya sudah merasakan hidup serba kekurangan.
Saya bosan hidup dirongrong oleh kebutuhan rumah tangga yang
tidak mencukupi. Sejak bersendiri, dengan ditolong Ibu, malahan
segalanya lebih santai meskipun dalam beberapa hal kami tetap
prihatin dan hati-hati. Kesimpulan saya, buat apa kawin kalau
memang bisa mencari makan sendiri dan hidup santai bersama
keluarga?"
Apa boleh buat! Sekarang Handoko tahu semua, atau setidak-
tidaknya sebagian besar uneg-uneg dalam hatiku. Kami tinggal di
gerbong restoran lebih lama dari penumpang-penumpang lainnya.
Handoko juga melihat hal ini, lalu segera membayar makanan
kami. Kami kembali ke tempat semula.
Di luar, udara mulai gelap. Musim dingin mempunyai hari-
hari terang yang pendek. Jika pagi cerah, menjelang jam tiga atau
setengah empat sore, malam mulai bersiap-siap melemparkan se-
lubungnya. Bangku di hadapan kami tetap kosong. Handoko kem-
bali mendudukinya. Aku minta izin merentangkan kaki di sana.
Dia meniruku. Kedua kakinya yang berkaus diselonjorkan di sam-
pingku. Sambil bersiap-siap akan membaca, dia berkata tanpa me-
mandang kepadaku, "Mbak Mur marah ketika saya tanyakan soal
ingin kawin lagi atau tidak?"
270 "Ya," terus terang aku menjawab. "Saya memang jengkel meng-
apa anda menanyakannya."
"Mengapa?"
Dia betul. Mengapa? Aku sendiri tidak tahu pasti mengapa.
Tapi aku langsung menjawab lagi, "Karena selama kita bepergian
bersama, saya perhatikan seolah-olah anda sudah mengetahui
bahwa saya tidak suka berbicara mengenai masa hidup yang lalu
dengan kakak anda. Itu sudah lewat. Dan saya tidak mempunyai
kenangan yang bagus darinya. Sekarang ini, terang-terangan saya
katakan kepada anda sebagai adiknya."
"Kebanyakan kali kita belajar dari masa lewat itu," katanya.
Dia santai bersandar, memandangiku.
"Betul. Saya memang banyak belajar dari masa itu sehingga
memutuskan untuk tidak mengulanginya lagi. Mengingatinya
pun membangkitkan rasa pahit bagi saya."
Kami sama-sama terdiam. Kemudian aku sadar bahwa sejak ta-
di kami hanya membicarakan masalahku, soal kehidupanku. Baik
di masa bersama kakaknya maupun jenis kehidupan lain yang ku-
inginkan. Soal dia? Perempuan yang dia kehendaki sebagai calon
istri?
"Anda sendiri bagaimana? Ada pacar di Jerman? Kok saya saja
yang bercerita mengenai diri saya."
Kulihat Handoko tersenyum setengah-setengah. Menghindari
pandangku, menenggelamkan muka ke bukunya. Katanya, "Ti-
dak."
"Bertahun-tahun di Eropa tidak mempunyai pacar? Bagi se-
orang lelaki, mustahil," kataku mendesak.
Tidak ada yang berbicara. Waktu yang sekilas itu kuperguna-
kan untuk mengamatinya lebih teliti. Umurnya yang jauh lebih
muda dariku itu nyata tidak menunjukkan kecengengannya. Ram-
271 but di atas kuping bahkan berselingkan warna perak. Telinga itu
sendiri lebar, memanjang. Konon menandakan kebijakan. Yang
membikin tampan wajah itu ialah tulang rahangnya. Rapi ber-
garis sepadan, dengan lekuk pipi terus ke dagu hingga leher. Ber-
penampilan ramping, kesemuanya merupakan daya tarik bagi wa-
nita mana pun. Apalagi warna kulit cokelat. Perempuan Eropa
pastilah tergila-gila.
"Dulu memang ada. Sekarang, dua tahun ini, tidak ada pacar
dalam arti yang tetap. Saya seperti Mbak Mur. Sukar. Terlalu
banyak menentukan persyaratan kalau cari teman. Apalagi pa-
sangan."
"Apa umpamanya syarat itu?" ganti aku yang bertanya.
Handoko tidak menyahut.
Aku segera mendahului, "Harus berkulit putih tetapi yang mau
dibawa hidup di Indonesia?"
"Ah tidak," sahutnya cepat. Dia mengangkat mukanya ke
arahku. "Itu dulu. Sewaktu saya masih muda memang menyukai
wanita Eropa. Dengan tambahnya umur, saya sudah mengendap
kok," sambil mengakhiri kalimat itu, dia tersenyum.
"Bagus," kataku, dan aku senang karena dia benar-benar terasa
berbicara dengan ketulusan hati.
"Sebenarnya tidak ada keinginan untuk cepat-cepat kawin,"
katanya lagi. "Seandainya, ini seandainya ya, saya kawin, saya ma-
lahan ingin dengan orang kita. Kalau bisa orang Jawa."
Aku tidak bisa menahan keherananku. Tapi terdiam. Sesaat
kemudian baru berkata, "Kalau sudah cukup berpengalaman kerja
di Eropa, kan bisa pulang. Cari istri di Jawa. Saya bantu kelak."
Selintas kami berpandangan. Kesungguhan terbayang di muka-
nya. "Saya mendapat informasi bahwa di Indonesia dibangun ga-
272 langan-galangan kapal oleh perusahaan patungan Indonesia dan
asing. Untuk pembangunan jalan dan jembatan juga kontrak de-
ngan orang asing. Kalau di sana ada sistem kerja kontrakan se-
perti yang akan saya lakukan di Swedia itu, tentu mereka mau
menerima tenaga ahli. Konstruksi bangunan berat amat cocok
buat saya. Saya lebih suka kerja di luar, tidak di antara dinding
kantor."
"Bagus sekali," kataku kembali bersemangat. Memang sesung-
guhnyalah aku gembira. "Bapak Klaten sudah tampak sepuh.
Sejak sembuh dari sakitnya yang paling akhir, khabarnya tidak
banyak lagi mau menangani sendiri urusan kebun. Kalau anda
pulang, tentu akan bisa memberi pancaran hidup baru. Keluarga
pasti akan senang."
"Kalau saya pulang, berarti ke Indonesia. Tidak harus pulang
ke Klaten," suaranya tiba-tiba berubah. Dan tambahnya lagi, "Ka-
lau saya kembali ke Tanah Air, bukan karena keluarga."
Sekali lagi aku terheran-heran. Aku tahu bahwa suamiku dulu
juga tidak mau berkunjung, menengok orangtuanya. Tapi aku ti-
dak pernah tahu bahwa Handoko yang sering disebut-sebut oleh
mertuaku, juga mempunyai ganjalan terhadap orangtuanya. Kata-
katanya itu menyebabkan aku terdiam. Aku takut salah bicara.
Apa yang mesti kukatakan? Setelah pengeluaran perasaanku yang
sebenarnya sejak kami bersama tadi, aku tidak ingin Handoko
bersikap kaku dan menjauh dariku. Maka yang paling baik ialah
diam.
Barangkali rasa terkejutku begitu kelihatan sehingga Handoko
merasa perlu menjelaskan. Dia meneruskan berbicara, matanya
diarahkan ke luar jendela. Kabut meremang ditembusi titik-titik
cahaya lampu yang telah dinyalakan di beberapa tempat.
"Saya tidak pernah menyukai cara hidup di rumah. Sebab itu
273 saya pergi. Dan saya berhasil bersekolah sambil bekerja, menuruti
cara yang saya sukai. Ke luar negeri pun tanpa bantuan siapa-
siapa. Memang Mas Ir turut memperhatikan saya sejak dia se-
ring mendapat tugas ke luar. Kalau kami tidak bisa bertemu di
Jerman, kiriman uangnya yang datang. Atau saling menelepon.
Saya sangat berterima kasih kepadanya. Tapi saya tidak pernah
meminta sesuatu pun."
Dia berhenti. Menoleh kepadaku sebentar, lalu menelengkan
kepala, kembali memandang ke luar.
"Sebenarnya saya tidak bermaksud kembali ke Tanah Air
setelah selesai sekolah. Rencana itu tidak pernah ada. Tetapi
akhir-akhir ini, baru sebulan dua bulan ini saja, saya memikir-
kan kemungkinan-kemungkinan mendapatkan pekerjaan di sana.
Mbak Mur yang mengingatkan. Jadi kalau saya ke Indonesia,
bukan karena saya hendak berurusan lagi dengan keluarga di
Klaten."
Apakah sebenarnya yang terjadi? Bagaimana mertuaku men-
didik dan mengawasi anak-anaknya ketika mereka kecil sehingga
dua dari anaknya yang kukenal nyata-nyata tidak memiliki rasa
kedekatan terhadap mereka. Tapi bagaimana halnya dengan
Irawan? Aku juga kenal dia. Kelihatannya biasa saja. Meskipun
demikian, bisa dikatakan, aku juga baru saja mengenal mereka
semua. Keakraban yang kudapatkan dari kedua mertuaku dan dari
Irawan, bahkan dari Handoko di bulan-bulan belakangan itu,
barangkali merupakan satu hal yang baru. Mungkin sikap mereka
dulu tidak begitu.
Handoko menoleh lagi, memandangku. Tenang dan diam ke-
adaan kami. Kucoba mencari apa yang tersirat dalam tatapan ma-
tanya. Lalu aku memutuskan. Lebih baik aku katakan sekaligus
saat itu juga apa yang menjadi ganjalan dalam hatiku. Tadi aku
274 telah mengatakan hampir semua yang kurasakan selama ini, pan-
dangan dan kekecewaanku terhadap kakaknya yang menjadi
suamiku. Sekarang mengapa aku tidak membuka sekalian isi ha-
tiku mengenai kekakuan hubungannya, hubungan suamiku de-
ngan orangtua mereka?
"Saya tidak hendak mencampuri urusan yang bukan urusan
saya. Tapi maafkan saya jika memiliki rasa ingin tahu yang sangat
mengganggu. Sejak perkawinan saya, Mas Wid tidak pernah mau
membawa saya sowan ke Klaten. Saya mengerti mulai dari waktu
itu bahwa hubungannya dengan Bapak-Ibu di sana tidak baik.
Tapi anehnya, ketika dia masuk tahanan, katanya dia menitipkan
anak-anak dan saya kepada orangtuanya. Sekarang, saya baru
mendengar kata-kata anda yang berisi kira-kira sama seperti sikap
Mas Wid. Padahal, setiap kali saya ke Klaten, mereka jelas sekali
membanggakan anda dan Irawan."
Handoko menunduk, menancapkan matanya ke bukunya.
Tapi aku tahu bahwa dia tidak membaca.
Aku meneruskan, suaraku kubuat halus dan perlahan, "Bu-
kannya saya menginginkan penjelasan, jangan anda mengira
berkewajiban memberikannya kepada saya. Tidak," aku berhenti
sebentar, lalu, "hanya, saya pikir, kok sayang, karena sekarang
mereka sudah tua, anda sendiri tadi juga mengatakan bertambah
umur. Rasa-rasanya semua yang telah lalu, seperti yang juga anda
katakan tadi ketika kita berbicara tentang masa lalu saya, bisa
memberi kita pelajaran. Hanya sampai di situ. Jangan selalu di-
ingat kalau memang itu membikin kita sakit. Tapi kan kita tidak
bisa melepaskan diri darinya? Setidak-tidaknya, biarlah masa
lewat itu kita jadikan semacam landasan penguat jiwa kita. Tidak
apa-apa kalau anda pulang karena untuk bekerja. Tentu saja anak
275 sebesar anda tidak perlu ?harus? pulang ke keluarga. Tapi untuk
menengok saja kan bisa. Nanti saya temani ke Klaten."
Tanpa kusangka-sangka, dia menarik kedua kakinya, lalu mem-
bungkuk ke depan sambil mengambil kedua tanganku. Digeng-
gamnya, dan matanya mengait pandangku. Katanya, "Mbak Mur
memang pintar. Memang itu tadi kata-kata saya sendiri. Baiklah.
Saya mengalah."
"Jangan mengalah kalau memang tidak rela. Saya tidak ingin
anda berbuat karena terpaksa."
Dia tidak menyahut. Tanganku masih digenggamnya.
"Lagi pula belum tentu anda akan pulang ke Tanah Air. Tu-
juh tahun anda tidak ke sana? Selama itu banyak yang terjadi,
banyak perubahan di sana. Tapi di samping itu, hal-hal remeh
yang mengesalkan, yang menjengkelkan, juga masih ada. Masih
terjadi. Jangan-jangan anda kecewa ...."
"Itu soal nanti," Handoko memotong kalimatku. Dia mene-
gakkan diri kembali, merentangkan kaki di bangkuku. Lalu me-
neruskan, "Yang penting, saya harus mencari pengalaman kerja
dulu di sini beberapa bulan. Di Indonesia, soal lain-lainnya, lebih
baik dipikir kelak. Kan ada Mbak Mur. Mau membantu, bukan?"
"Tentu saja," sahutku ringan.
"Nah, itu sudah cukup bagi saya. Sekarang tidak perlu di-
pikirkan. Kita akan ke Paris, berlibur. Selama beberapa hari kita
akan makan masakan besar seperti yang dikatakan bapak anda.
Kita akan menikmati bangunan dan tata kotanya. Yang lain-lain
kita ke sampingkan dulu. Setuju?"
Kali itu dia tidak membungkuk untuk menyentuh tanganku.
Tapi pandang matanya jelas mewakili kata hatinya. Sesaat kulihat
276 sinar lain yang hingga waktu itu belum pernah kutemukan di
sana. Namun aku tidak berani menerka sesuatu pun.
Dengan gugup aku tersenyum menahan tatapan pandangnya.
*** Yu Kartini mengambil cuti beberapa hari. Selama tiga hari dia
membawaku ke luar kota mengunjungi beberapa kastil dengan
lingkungan pemandangan musim dingin yang sedih tetapi menge-
sankan. Dan ketika dia harus kembali bekerja, Handoko meng-
ambil alih, menemaniku berpariwisata di dalam kota Paris.
Alangkah mudahnya semua itu. Aku benar-benar merasa san-
tai, hampir-hampir bahagia. Perkataan hampir itu disebabkan
karena ingatanku yang sering melayang kepada ibuku. Anak-
anakku masih muda. Menurut pendapatku, pada zaman sekarang,
siapa pun pemuda yang kreatif dan mampu mencapai prestasi,


Jalan Bandungan Karya Nh. Dini di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pasti mempunyai kesempatan untuk pergi ke luar negeri. Se-
dangkan ibuku, rasa-rasanya tidak mungkin dia mendapat anu-
gerah mengenal kota Paris seperti yang kualami waktu itu. Setiap
kali aku teringat kepadanya, hatiku iba sekali. Aku hanya bisa
mengirim kartupos bergambar kepadanya sebagai tanda ingat.
Berduaan bersama Handoko ternyata juga membikinku selalu
terkagum-kagum. Kami mengunjungi museum lukisan, benda
kuno maupun modern, seni murni maupun arsitektur dan me-
sin berat, semuanya dia kenal bagaikan kamus hidup. Ketika dia
mengantarkan aku bersama teman-temannya, memang dia me-
ngatakan menaruh minat terhadap bangunan berat, teristimewa
konstruksi jembatan dan jalan. Tetapi tidak kukira yang dikatakan
minat itu merupakan pengetahuan mendalam hingga mendetail.
Masuk ke museum kelautan, dia juga mengenali bentuk-bentuk
277 perahu layar, menyebutkan nama-nama mereka menuruti jumlah
tiang tengahnya. Ketika kukatakan keherananku karena dia juga
mengetahui hal perkapalan, dia bercerita memang mendesain
kapal itulah semula cita-citanya. Sebab itu, dia juga menyukai
jembatan, karena kerangka dan keindahannya dapat disamakan.
Dia masuk ke bagian mesin karena mengira itulah yang sesuai
dengan zamannya. Meskipun dalam waktu dekat semuanya pasti
akan diganti lagi dengan komputer. Mengenai bangunan jalan dan
lainnya yang bersifat beton, pendeknya bangunan berat, semula
dia hanya ikut-ikutan. Di waktu libur dia mencari tambahan uang
dengan menjadi tukang cat kapal atau bangunan, atau sebagai
pengemudi katrol. Lalu dia berkenalan dengan seorang insinyur
yang mengetahui tempat pendidikan tukang batu, tukang besi,
yang dipersiapkan guna menjadi pemborong bangunan. Handoko
turut belajar di sana sebagai anak buah insinyur tersebut. Kini,
dengan ijazah insinyur mesin kapal dan kertas tanda lulus kursus
atau magang tukang batu serta tukang besi, dia yakin dibutuhkan
oleh para pemborong bangunan maupun galangan kapal.
Sekali lagi rasa percaya diri yang terpancar dari setiap kalimat-
nya membikin aku tidak khawatir mengenai kepulangannya
ke Indonesia. Hanya saja semua harus dirintis. Di mana pun di-
butuhkan relasi dan informasi yang selengkap-lengkapnya. Dengan
kepandaian seperti yang dia miliki, dengan pertolongan beberapa
orang, dia pasti bisa segera mendapat kontrak. Apalagi Handoko
luwes. Dia bisa melayani, menyesuaikan dengan suasana. Dulu
sebelum berangkat ke Paris, dia katakan tidak bisa berbahasa
Prancis. Tetapi kenyataannya dia mengerti dan berbicara sedikit
dengan pelayan-pelayan di kafe atau dengan penjual makanan.
Dia mengetahui nama kue dan makanan yang disuguhkan. Ketika
kami masuk ke kebun binatang dan akuarium, dia juga mengenali
278 jenis-jenis dan spesies dengan kemudahan yang menakjubkan. Ka-
tanya, pengetahuan itu dia dapatkan berkat pergaulannya dengan
teman-teman dari bidang biologi. Benar-benar aku beruntung
mempunyai "penunjuk wisata" yang mumpuni seperti dia.
Waktu itu sehari lagi kami akan berpisah. Dia akan kembali
ke Jerman bersama seorang temannya yang juga masih tinggal di
Prancis, aku ke Rosendaal terus ke Amersfoort sendirian. Hari itu
kami pulang ke rumah Yu Kartini sekitar jam enam petang.
Kami temui yang punya rumah membukakan.pintu. Hal ini
tidak lazim, karena aku juga membawa kunci sendiri, supaya
bisa masuk ke apartemen sewaktu-waktu. Setelah menutup
pintu kembali, Yu Kartini mengabarkan bahwa ayah dan ibu
Ganik meninggal dunia. Pesawat udara yang mereka tumpangi
jatuh di dekat Karachi. Ganik sudah berangkat ke Jakarta untuk
mengurus jenazah yang dikirim oleh perusahaan penerbangan
yang bersangkutan.
Aku terduduk tidak bisa mengucapkan sesuatu kata pun. Dua
hari sebelumnya kami melihat berita jatuhnya pesawat itu di
laut dekat Karachi. Kami tidak mengira bahwa Dokter Liantoro
dan istrinya pulang ke Indonesia dengan pesawat tersebut. Ku-
dengarkan suara Yu Kartini menjawab pertanyaan-pertanyaan
Handoko. Ganik tidak menelepon sendiri ke Paris. Yu Kartini ha-
nya menerima berita dari Kedutaan Indonesia di Kopenhagen.
"Kalau Jeng Mur mau menelepon ke Jakarta, berbicara dengan
Ganik, silakan. Biar lebih jelas."
Aku tidak menjawab ataupun berterima kasih atas tawaran
yang dermawan itu. Kepalaku kosong. Aku tidak bisa berpikir apa
pun. "Menurut saya, mereka dimakamkan di Semarang. Atau seti-
dak-tidaknya di Jawa Tengah. Dokter Liantoro berasal dari Jawa
279 Timur, tetapi seluruh kariernya dijalankan di Jawa Tengah. Kalau
saya anaknya, saya memutuskan di sanalah tempat pemakaman
yang layak bagi mereka."
Aku membenarkan Handoko. Jenazah tentu tidak berhenti
di Jakarta. Kalau aku telepon, aku harus berbicara dengan Sri.
Atau langsung ke rumah orangtua Ganik. Dalam hal yang ke-
dua itu, aku tidak yakin akan bisa berbicara. Tanpa kusadari,
dengan memikirkan semua itu, air mata mengaliri pipiku. Ganik,
sahabatku. Ayah-ibunya begitu memperhatikan aku. Mereka
adalah waliku, yang memberangkatkan aku ke luar negeri. Ka-
lau tidak karena campur tangannya, mana mungkin pilihan
Kedutaan Belanda jatuh ke namaku. Mereka telah menyiapkan
aku sedemikian baiknya sehingga aku bisa menampilkan diskusi
dan pertemuan secara rapi. Manusia mati jika Tuhan memutuskan
bahwa tugasnya telah selesai di dunia ini, demikian kata Dokter
Liantoro. Siapa tahu telah disediakan tugas lain di tempat yang
lain pula, tambahnya lagi waktu itu. Hatiku pedih. Tetapi aku ti-
dak tahu bagaimana caranya supaya penderitaan Ganik menjadi
lebih ringan.
Malam itu juga aku berbicara dengan Sri. Dia belum mende-
ngar kabar duka itu. Katanya, tentu saja dia akan melepaskan
semua urusan dan akan mendampingi Ganik. Barangkali akan
mencoba menghubungi Mur di Kalimantan malam itu juga. Se-
gera setelah semua selesai, dia akan meneleponku. Kuberitahu
bahwa aku akan kembali ke Amersfoort, sekalian kuberikan jad-
walku selama beberapa hari itu. Kalau pertemuan dengan para
dosen bisa diajukan, aku akan pulang lebih cepat. Tapi aku minta
Sri tidak memberitahukan hal ini kepada Ganik.
Hari terakhir di Paris, aku tidak bisa lagi sepenuhnya menik-
mati kesantaian. Dan ketika waktu berangkat tiba, Handoko ingin
280 mengubah rencana, ingin menemaniku naik kereta ke Negeri Be-
landa. Tapi aku menolak. Aku merasa perlu bersendiri. Selain
untuk merenungkan semua yang baru kulihat dan mengenang
segala kebahagiaan kedekatanku dengan orangtua Ganik, aku
juga semakin sadar betapa Handoko merasuk menguasai angan-
anganku. Aku khawatir menjadi terlalu cengeng oleh harapan-
harapan yang kuanggap tidak mungkin terlaksanakan. Sebelum
pengaruh kehadirannya terlalu menunjam menguasaiku, aku ha-
rus mengibaskan harapan gila itu.
Dan ternyata memang aku merasa lebih tenang bepergian
sendirian menuju pondokanku di Amersfoort. Meskipun aku
memerlukan waktu lebih dari sehari guna mengembalikan sifat
dan sikap kemandirian dan keteguhan jiwaku. Aku harus tidak
menjadi manja oleh perhatian laki-laki. Kucoba mencari-cari
alasan mengapa Handoko sedemikian memperhatikanku. Aku
juga mencoba tetap menanggapi semua yang telah dilakukan
pemuda itu dengan keringanan hati. Yang paling penting se-
karang ialah mengerjakan kertas yang akan kuajukan sebagai
rangkuman apa yang telah kuterima selama mengikuti kuliah,
ditambah pengalamanku di lapangan pengajaran. Baru setelah
kertas itu selesai, tugasku di negeri orang selesai. Maka aku akan
mempercepat kepulanganku ke Indonesia.
Ketenangan hatiku hampir rontok lagi ketika dua malam seti-
baku kembali di Amersfoort, Handoko menelepon dari Jerman.
Percakapan biasa, menanyakan bagaimana aku, bagaimana per-
jalananku, apakah sudah ada kepastian tanggal kapan pertemuan
dengan para profesor. Kami baru berpisah tiga hari yang lewat.
Dia tentu bisa memperkirakan bahwa aku belum menghubungi
dosen waliku. Tapi aku menafsirkan kelakuannya itu sebagai basa-
basi. Seolah-olah alasan percakapan apa pun jadilah asal bisa
281 mengulur pembicaraan kami berdua. Dan dalam menanggapinya,
aku berusaha tenang. Tetap memperhatikan sikap tanpa antusias
mendengar panggilan teleponnya. Padahal yang sesungguhnya,
jantungku melonjak sebegitu tahu bahwa suaranyalah yang ku-
kenali.
Anneke meminjamkan mesin tulisnya. Hampir sebulan penuh
aku tidak keluar, kecuali dua kali ke Perpustakaan atau berbelanja
di sekitar tempat tinggalku. Kertas yang kusiapkan bukan berupa
tesis. Itu hanya sebagai penyajian makalah, begitulah anggapan
Dokter Liantoro yang juga kuanut serta kusetujui. Tetapi apa pun
bentuk atau nama hasil karya tulis itu, siapkanlah dengan bahan
yang sepadat mungkin. Jangan terlalu menyinggung hal yang tidak
perlu. Itulah pengarahan ayah Ganik. Teori memang bagus, tetapi
hendaklah teori yang bisa dipergunakan di Indonesia. Menurut
bapak sahabatku itu, secara moral, profesor-profesor Belanda selalu
membikin lulus para siswa Indonesia. Masalahnya yang penting
ialah penilaian atau catatan yang menyertai tanda selesainya
kuliah tersebut. Ini tergantung pada ketepatan dan kesigapan si
siswa dalam menyajikan kertasnya. Kalau disertai diskusi, juga
dilihat bagaimana siswa mempertahankan tulisan serta teori yang
mendasari keseluruhan karyanya. Aku tidak hendak mencapai
gelar apa pun karena hanya mengikuti tambahan kuliah. Mes-
kipun demikian, aku tetap mempunyai ambisi meraih catatan
terbaik yang bisa diberikan kepada siswa asing. Aku berangkat
ke luar negeri atas usulan Dokter Liantoro. Sekarang aku ingin
Ganik bangga melihat hasilku. Dia adalah ukuran keberhasilanku.
Kalau dia puas dengan apa yang kukerjakan, tentulah lingkungan
dekatku lainnya demikian pula.
Selama mengerjakan kertas tersebut, hatiku cukup tenang.
Berita dari Tanah Air datang dari Sri yang menceritakan pema-
282 kaman orangtua Ganik. Seluruh kota Semarang berkabung. Mur
dari Kalimantan bisa datang. Dia tinggal di rumah Ganik, lalu
berangkat bersama ke Jakarta setelah selamatan tujuh hari. Mur
kembali ke Kalimantan, Ganik ke Kopenhagen. Kemudian disusul
surat panjang dari ibuku yang menceritakan semuanya dengan
serba mendetail. Setelah menerima surat itu, aku baru melihat
segalanya lebih jelas. Aku memutuskan akan menulis panjang
kepada sahabatku itu di Kopenhagen. Lama aku mengganti dan
merombak surat tersebut. Aku tahu Ganik mempunyai jiwa
yang perkasa. Tetapi di samping itu kepekaannya juga melebihi,
jauh melebihi kami berempat. Kekuatan jiwa dan kehalusan pe-
rasaannya apakah dapat berteguh oleh kehilangannya kali ini?
Dia baru sembuh dari operasinya. Sekuat apa pun jiwa manusia,
aku khawatir pada saat-saat tertentu mengalami kemunduran daya
tahan. Suratku harus berisi sesuatu yang tidak terlalu menyedihkan.
Ganik senantiasa hadir dalam semua masa kehidupanku. Dia
berada di tempat jauh pun kami terus berhubungan. Pada waktu-
waktu dia tidak menyurat langsung, melalui orangtuanya, aku
selalu menerima berita maupun uluran tangannya. Dalam suratku
kali ini, aku mengingatkan kata-kata bapaknya sendiri mengenai
kehendak dan keputusan Tuhan. Mengenai tugas masing-ma-
sing yang telah digariskan sampai di mana batas masing-masing.
Kuingatkan pula bahwa Ganik mempunyai kami yang selalu siap
mendampinginya. Di dalamnya kusebutkan bagaimana anggapan
kedekatanku terhadap ayah-ibunya.
Kupikir lebih baik perhatian Ganik juga kupusatkan pada ke-
sibukanku dalam menulis kertas kerja yang harus kusajikan pada
tanggal tertentu. Lalu kuceritakan liburanku di Paris. Tidak lupa,
demi kesenangan hatiku sendiri, aku mencantumkan kesediaan
Handoko yang segera mengambil-alih sebagai guide sebegitu Yu
283 Kartini masuk kembali bekerja. Suratku berakhir dengan perkiraan
tanggal-tanggal aku akan menghadap para profesorku. Setelah pe-
nulisan selesai, aku tinggal membeli map-map yang cukup rapi.
Atau kalau pengetikan kembali beserta pembendelannya tidak
terlalu mahal, aku akan menyerahkan kerja tersebut kepada orang
luar. Mudah-mudahan tanggal pertemuan tidak diundurkan, se-
hingga aku akan dapat pulang setidak-tidaknya sebelum akhir
bulan Februari. Kepada Ganik juga kukatakan bahwa sebenarnya
aku ingin pulang lebih cepat supaya bisa bertemu dengan dia di
Jakarta. Tetapi aku mendapat kabar dari Sri dan Ibu bahwa Ganik
segera meninggalkan Indonesia. Kutanyakan apakah rencananya
dalam waktu yang dekat?
Pada akhirnya surat baru kukirim bersamaan dengan penye-
rahan kertas kerjaku. Udara semakin dingin. Untuk ke kantor
pos saja aku kurang bersemangat. Sebab itu kutunggu sampai
ada tugas lain sehingga dapat kugabung, sekalian keluar dari
rumah untuk berbagai keperluan. Orang Eropa yang kukenal
mengatakan bahwa bulan Februari adalah jantungnya musim
dingin. Di waktu itulah kekerasannya memuncak. Waktuku se-
lanjutnya banyak kuhabiskan untuk mengurus ini dan itu yang
berhubungan dengan keberangkatanku pulang ke Tanah Air. Aku
mulai pamit di yayasan-yayasan dan sekolah-sekolah. Banyak un-
dangan kenalan orang Belanda yang kutolak karena aku tidak
begitu suka keluar malam di musim dingin. Hari Minggu pun
kuhemat, karena aku menikmati waktuku meneruskan berkemas
dan memilihi barang yang akan kubawa sendiri atau yang kukirim
melalui pos. Perpisahan yang hendak diadakan oleh kelompok
mahasiswa Indonesia lain pun tidak kulayani. Selama masa ting-
galku di negeri itu, lelaki atau wanita dari bangsa sendiri tidak
banyak yang mendekat. Beberapa kali mereka mencoba datang
284 atau menelepon, tetapi karena aku menunjukkan sikap dingin,
lama kelamaan barangkali mereka bosan terhadapku. Hal ini
mempermudah tugasku. Aku terlalu ingin mengisi waktuku de-
ngan hal-hal yang lebih positif. Dokter Liantoro sudah memberi
peringatan sedari semula, agar aku waspada. Jangan terlalu ba-
nyak kumpul-kumpul antara siswa dan bangsa sendiri. Seperlunya
saja. Karena satu kali terjerat di dalamnya, Nak Mur akan sukar
melepaskan diri. Pergunakan waktu yang enam bulan itu buat
lainnya. Jangan ikut-ikutan menggerombol, ketemu hanya untuk
makan-makan. Hari Minggu sekalipun dapat anda gunakan
untuk lainnya daripada mengunjungi atau menerima teman
sebangsa. Ayahnya Ganik memang benar. Satu kali aku men-
coba mendatangi undangan seorang dari siswa yang telah lama
berada di sana, yang dibicarakan adalah masalah nihil tak ber-
guna. Sedangkan jika aku berakhir pekan bersama Anneke dan
keluarganya, aku kembali ke pondokanku dengan perasaan lebih
kaya oleh pengetahuan kebiasaan dan bahasa Belanda.
Sejak kembali dari Paris, Handoko menelepon paling sedikit


Jalan Bandungan Karya Nh. Dini di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dua kali seminggu. Di satu pihak aku senang ia menyatakan per-
hatiannya yang lebih dari waktu-waktu lampau. Tapi segala se-
suatu selalu ada kebalikannya. Rasa khawatir tetap terselip di
hatiku. Ketika mendengar suaranya yang berat dan dekat di te-
lepon, aku merasa dimanjakan oleh terpenuhinya harapanku
yang seketika itu juga mampu mengusir berbagai ketidaktenangan
pikiran. Namun sebegitu pembicaraan selesai, kegelisahan lain
menyelinap. Kekhawatiran yang semula, kembali mengambil
tempatnya dalam diriku. Semua kalimat Handoko sederhana dan
nalar. Tidak ada yang menyimpang dari keakraban persaudaraan.
Tapi nada suaranya, ah, kutafsirkan berbeda dari masa permulaan
pertemuan kami. Nanti saya menelepon lagi, itulah caranya
285 berpamitan. Dan sebegitu aku meninggalkan ruang di mana alat
komunikasi itu berada, aku sadar bahwa penungguan telah mu-
lai di pihakku. Kesadaran ini sangat menyiksa. Setengah dari
diriku ingin berlarut-larut menikmati gejolak rasa yang telah
lama kulupakan. Sedangkan setengah diriku lainnya mengingati
kenyataan: apakah laki-laki yang berpengalaman namun masih
muda seperti Handoko ingin mendekatiku sebagai perempuan?
Jika memang betul demikian, untuk apa? Untuk menghiburku?
Seandainya dalam percakapannya dia membayangkan atau me-
nyebut sedikit saja perihal kedekatannya dengan kakaknya,
barangkali aku akan membenarkan prasangka lain, ialah dia
bermaksud memperbaiki apa yang telah dirusak oleh kakaknya,
suamiku. Mungkin dia ingin membayar kesalahan Mas Wid yang
meninggalkan aku demi partainya. Tapi tak sekilas pun Handoko
menyebut pertalian ataupun keeratannya terhadap kakaknya itu.
Ataukah untuk sekadar menambah pengalaman? Dia berkata
sendiri bahwa dirinya sudah mengendap.
Itu adalah pengakuan bahwa dia adalah lelaki yang sudah me-
ngecap berbagai jenis kehidupan petualangan. Ataukah semua
kelakuan kebaikannya itu biasa saja? Dan akulah yang terlalu
berimajinasi? Atau terlalu merasa didekati sebagai perempuan?
Sebagai aku Muryati?
Aku berkencan dengan Anneke untuk membawa barang-
barang milikku yang telah kukemas. Tambahan hadiah kecil-kecil
tetapi khas berasal dari Belanda ternyata masih terus kuterima.
Kenalan-kenalan yang mengundangku makan ke rumah mereka
tetapi kutolak, akhirnya memberiku porselen dari Delft yang biru
khas, tempat alat-alat tulis dari kayu cemara, kerajinan tangan
lain yang khas dari Negeri Kincir Angin. Sebenarnya tidak umum
orang Belanda mau mengundang orang lain ke rumah mereka.
286 Orangtua Ganik pernah mengatakan hal ini kepadaku. Jadi jika
mereka mengundang, berarti benar-benar memang menganggap
orang yang diundang itu telah masuk ke lingkungan akrabnya.
Maka sebagai ganti tanda mata, aku membagikan taplak-taplak
meja batik dari kota Lasem. Corak dan warnanya juga khas dari
Jawa Tengah pesisiran.
Setelah barang-barang kukirim di stasiun kereta api, hatiku
lebih tenang. Tanggunganku menjadi kurang. Kalau memang ha-
rus tambah kiriman lagi, masih ada waktu menyiapkannya.
Pertemuan berlangsung seperti yang kuharapkan. Aku tidak
pernah gugup di waktu ujian. Apalagi hari itu bukan ujian. Aku
selalu percaya bahwa usahaku sudah mencapai puncaknya. Ja-
di tidak mungkin tidak akan berhasil. Hari itu aku juga men-
dapatkan kepuasan: seorang dari profesorku mengatakan bahwa
kertasku excellent. Dengan perkataan lain, itulah yang akan di-
cantumkan di atas kertas tanda selesainya kuliah tambahanku di
Negeri Belanda. Aku bangga memberitahu para profesor itu bahwa
sebelum menjadi murid mereka, aku adalah murid Dokter Lian-
toro. Dialah yang mengawasi pertumbuhan kecerdasanku. Aku
tinggal mengikutinya. Semua pesan dan pengarahannya kuturuti
atas dasar penerimaan nalarku. Wawasanku juga wawasan yang
menjelajah kesemestaan, universal, demi kemanusiaan. Sama se-
perti ayah sahabatku itu.
Masa belajarku di negeri itu telah selesai. Aku akan memba-
wa kertas buktinya yang bercatatan bagus sekali untuk institut
almamaterku. Masa belajarku di negeri itu kurasa memang ada
gunanya.
Malam itu juga Ganik meneleponku. Dia adalah orang per-
tama yang kuberitahu. Suaranya gembira dan renyah. Lalu dia
287 menyuruhku supaya mengurus tiket untuk pulang ke Indonesia
dengan melalui Kopenhagen.
"Aku ingin ketemu kau. Tapi aku tidak bisa meninggalkan
kantor. Lebih baik kamu yang datang. Kita bisa bersama-sama satu
minggu. Atau lebih, semaumu. Harga tiket harus ditambah. Aku
akan memberitahu Konsul di Kedutaan supaya membayarinya
dulu," kata sahabatku.
Dan pagi keesokannya, aku baru akan berangkat ke Kedutaan
ketika Handoko menelepon. Dia adalah orang kedua yang me-
ngetahui sebutan excellent yang kuterima. Lebih dari Ganik, dia
langsung memuji prestasiku. Kuberitahukan pula rencana yang
diusulkan Ganik supaya aku ke Denmark sebelum ke Indonesia.
Handoko mensyukuri prakarsa tersebut.
"Bagus. Mbak Ganik perlu dorongan agar merasa tetap di-
dampingi. Saya senang Mbak Mur menemuinya." Lalu dia minta
nomor telepon Sri di Semarang, telepon Ganik di Kopenhagen.
Kami berjanji akan bertemu sebelum keberangkatanku.
Hari-hari selanjutnya habis dengan cepat. Ke Kedutaan, meng-
urus tiket, berpamitan, makan siang di kantin bersama beberapa
rekan di perpustakaan maupun yayasan. Pada hari yang telah
ditentukan, Handoko datang seperti yang telah kami sepakati.
Kami berbelanja bersama-sama. Di telepon dia mengatakan ingin
mengirim sesuatu kepada anak-anakku sebagai tanda perkenalan.
"Barang yang berguna lama dan pasti disukai," katanya.
Aku tahu bahwa jaket buat Eko, sepatu untuk Wido, dan
tas sekolah untuk Seto adalah benda-benda yang sangat mereka
inginkan dan tentu berguna lama. Tapi kalau mencari yang bagus,
pasti juga mahal. Kukatakan ini kepada Handoko.
"Tidak apa-apa," tanpa ragu-ragu Handoko menanggapiku.
288 "Saya punya tabungan istimewa yang bisa dipecah untuk keper-
luan-keperluan yang istimewa pula."
Beberapa toko sudah mulai mengadakan penjualan akhir mu-
sim dengan harga-harga bantingan jika dibanding dengan barang
lain di toko lain. Kami meninggalkan mobil di tempat parkir,
lalu memasuki daerah perbelanjaan. Sepagian kami mengupas
lorong-lorong dan toko-toko. Jaket akhirnya bisa dibeli, sesuai
dengan yang kumaksudkan. Sepatu tidak bisa dibeli dengan
harga obralan. Sedangkan untuk Seto, pilihan tas sangat
mudah dan cepat dilakukan. Kami bisa singgah di toko buku
mencari tambahan benda-benda kecil. Siang itu kami makan di
pondokanku. Setelah minum kopi, kami berangkat ke Arnhem.
Aku berjanji akan pamitan ke rumah orangtua Anneke. Karena
salju turun sejak pagi, meskipun tidak lebat, jalanan bisa tertutup
cepat oleh lapisan putih. Handoko berkata lebih baik berangkat
siang-siang. Sekalian santai tanpa tergesa-gesa.
Keluarga Anneke telah menyediakan makanan cukup menge-
nyangkan, sehingga itu bisa kami anggap sebagai makan malam.
Berbincang dengan mereka bagiku sangat berguna, karena aku
mendapatkan banyak masukan. Handoko mengerti percakapan
kami, karena bahasa Jerman agak mirip dengan bahasa Belanda.
Sedangkan Anneke berbicara bahasa Inggris dengan baiknya. Se-
belum jam delapan kami sudah pamit. Udara lebih kering, tanpa
salju yang turun. Walaupun begitu, Handoko tidak mau melaju
cepat.
Handoko menonton acara terakhir di televisi, sementara aku
mengemasi kopor dan tasku. Amat sukar bagiku untuk berbuat
santai, sebiasa mungkin. Keesokannya kami akan berpisah. En-
tah untuk berapa lama. Barangkali tidak akan bertemu lagi.
Ada semacam kelegaan di dadaku. Biarlah hanya sampai di situ
289 perkenalan kami berdua. Rasanya lebih baik demikian. Aku me-
mastikan bahwa keresahanku yang disebabkan oleh keduaan
kami malam itu sangat menekan. Aku bukan Sri dan bukan
Ganik. Kebimbangan banyak menguasai pikiranku. Seandainya
Handoko bergerak selangkah maju ke arah kedekatan kami
berdua, bagaimana aku harus menanggapinya? Benar aku amat
mengharapkan laki-laki seperti Handoko sebagai kawan, kekasih,
dan pelindungku. Tetapi di samping itu aku tetap terusik oleh
pikiran bahwa dia adik iparku. Seandainya aku sudah bercerai dari
kakaknya, tidak akan aku mempunyai keraguan. Malahan mung-
kin aku akan berani bertindak seperti Ganik, seperti Sri, dengan
memperlihatkan perhatianku yang lebih besar terhadapnya.
Malam itu setelah selesai berkemas, aku duduk sebentar di
ruang tamu. Dengan kaku aku mencari pokok pembicaraan agar
terhindar dari keseriusan keduaan kami. Kemudian aku berdalih
kelelahan, masuk ke kamar untuk tidur.
Paginya kami sarapan dengan tenang. Sebelum berangkat, aku
pamit untuk terakhir kalinya kepada si pemilik rumah. Handoko
sudah turun membawa barang-barangku. Ketika mobil akan me-
lewati lengkung bangunan gedung, aku mendongak ke atas, ke
pintu dan balkon yang selama enam bulan menjadi tempat ting-
galku.
Handoko mengantarku ke Schipholl.
"Mbak Mur akan sibuk sebegitu kembali di rumah," katanya di
tengah perjalanan. Itu bukan pertanyaan. Suaranya datar.
"Ya, pasti begitu. Yang penting, saya harus lapor dulu bahwa
sudah pulang. Lalu saya mau minta izin cuti seminggu. Biar dapat
membenahi barang dan bersama keluarga di rumah."
Sebentar tidak ada yang berbicara. Handoko yang menerus-
kan, "Saya senang sekali bertemu dengan Mbak Mur," sambil
290 mengatakan kalimat itu dia menoleh ke arahku. "Saya seperti
mendapat hadiah besar sekali karena telah lulus sekolah lalu anda
datang. Saya bisa mengantarkan anda berjalan-jalan. Kita ma-
lahan ke Paris segala!"
"Ya. Saya amat berterima kasih kepada Ganik dan kepada anda.
Kalau Ganik tidak menolongku, kalau anda tidak mengantar,
tentu perjalanan saya berlainan jadinya."
"Selama ini saya menghargai Mbak Mur sebagai manusia. Se-
mua yang saya kerjakan bukan disebabkan karena Mbak Mur istri
kakak saya. Sama sekali bukan karena itu. Seandainya pada per-
temuan pertama saya melihat bahwa kita tidak akan cocok, saya
tidak mau menemani anda ke Amsterdam," dia berhenti, sekali
lagi menoleh kepadaku. Lalu, "Tidak mudah menggaet saya!"
Aku melirik ke arahnya, melihatnya tersenyum menggoda.
"Saya tahu," sahutku. "?Walaupun anda jauh lebih muda dari
saya, tapi anda adalah laki-laki yang berpengalaman. Tentu pilih-
pilih."
"Ah, saya tidak jauh lebih muda dari anda. Hanya sembilan
tahun."
"Sembilan tahun itu banyak sekali!" protesku.
"Dalam sejarah, sembilan tahun itu bukan apa-apa. Tidak
berarti."
Handoko selalu bisa menemukan kata-kata yang membikinku
terdiam. Aku mengalah. Sebentar tak ada yang berbicara.
"Mengapa anda katakan saya laki-laki yang berpengalaman?"
"Dalam kereta ke Paris anda pernah mengatakan sendiri bah-
wa anda sekarang sudah mengendap. Nah, kalau sekarang meng-
endap, berarti dulu sudah pernah menjalani kehidupan sepenuh-
penuhnya, kan?"
291 Tiba-tiba dia tertawa perlahan, kedengaran bersenang hati.
Puas.
"Mbak Mur ingat, ya?"
"Ya dong! Saya ingat semua," sahutku sambil melihat kepa-
danya. Dia masih tersenyum seorang diri.
"Kalau begitu, Mbak Mur senang selama bepergian dengan
saya." Nadanya kali itu juga bukan pertanyaan, melainkan sebuah
konirmasi.
"Tentu saja. Kalau tidak senang, pasti saya menolak ketika an-
da mengatakan ingin menemani saya naik kereta."
"Anda bisa berbuat begitu?"
"Begitu bagaimana?"
"Menolak jika memang anda merasa tidak suka? Tegas?"
Sebentar aku berpikir. Dia benar juga. Barangkali waktu
itu, seandainya aku tidak menyukainya, masih juga terikat oleh
kesungkanan, khawatir menyinggung perasaannya jika aku meno-
lak. Rupanya dia sudah mulai mengenal sifatku. Tapi aku berkata,
"Dalam hal itu, ya. Bayangkan! Enam jam duduk bersama sese-
orang yang tidak disukai! Rasanya sebal di hati!"
Kulihat dia tidak tersenyum lagi. Aku berkata lagi, "Nyatanya,
dari Paris ke Holland, saya tidak mau anda temani."
Dia tetap pada sikapnya semula.
"Saya harap, penerimaan Mbak Mur terhadap diri saya selama
ini tidak disebabkan karena anda tahu bahwa saya adik Mas
Wid."
"Tentu saja tidak," jawabku cepat sekali meloncat dari bibirku.
"Sebelum berangkat ke negeri ini, ibu saya menyuruh saya me-
nulis surat kepada anda. Katanya, biar ada kenalan yang datang
menjemput. Meskipun tinggal di negeri lain, tapi siapa tahu, kalau
ada saudara akan datang, bisa menyisihkan waktu buat menemui.
292 Tapi saya tidak menyurat kepada anda, bukan? Karena saya pikir,
kalau memang harus ketemu ya nanti ketemu di sana."
Dia tidak langsung menanggapiku. Tiba-tiba kulihat dia me-
lepaskan kemudi. Tangan kanannya memegang tanganku.
"Saya harap kita berteman karena kita ingin berteman. Kare-
na kita cocok. Tidak karena dasar pemikiran saudara ipar atau
kewajiban-kewajiban lain."
"Saya setuju," jawabku. Jantungku berpacuan. Ingin aku mem-
buka tanganku, lalu kutekankan dalam genggamannya. Tapi aku
diam saja.
"Nanti, pada waktu Mbak Mur memberikan oleh-oleh kepada
anak-anak, tolong katakan bahwa itu berasal dari teman anda.
Bukan dari saya sebagai paman mereka," dia berhenti, menoleh
kepadaku. Kami berpandangan sebentar. Lalu dia meneruskan,
kembali melihat ke arah depan, "Saya sudah berpikir-pikir. Saya
akan pulang sehabis musim panas nanti. Dan saya tegaskan lagi,
saya pulang bukan berarti ke Klaten."
"Kalau ke Jawa Tengah, anda bisa ke rumah kami," sahutku
terlalu cepat. Lalu untuk menutupi kelancangan yang mencolok
itu, aku meneruskan, "Sesudah musim panas, berarti Oktober?
November?"
"Lebih baik katakanlah November, karena kontrak saya de-
ngan perusahaan Swedia itu sampai akhir Oktober."


Jalan Bandungan Karya Nh. Dini di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia melepaskan tanganku, dan katanya lagi, "Sementara itu,
kalau Mbak Mur mengambil keputusan apa saja, saya minta di-
beritahu."
Aku tidak begitu mengerti maksudnya. Ataukah mengerti te-
tapi ingin supaya dia lebih tegas lagi?
"Keputusan apa?" tanyaku dengan berdebar-debar.
"Apa saja," sahutnya. "Pokoknya, kita akan terus berhubungan.
293 Saya bukan penulis surat yang rajin. Tapi kalau menerima, selalu
senang dan berusaha membalas. Tapi ada telepon, bukan?"
Aku ingin menangkis bahwa aku tidak punya telepon. Tetapi
aku ingat bahwa dia sudah mencatat nomor-nomor telepon Sri
maupun Ganik di Kopenhagen. Kalau memang dia kehendaki,
dia bisa meninggalkan pesan buat berkencan berbicara pada suatu
hari dan jam tertentu.
"Kalau anda pulang, dalam arti buat seterusnya?" tanyaku.
"Belum tahu. Barangkali saya perlu mengadakan penjajakan
dulu. Tinggal di sana sebulan atau dua. Dulu anda bilang bahwa
sudah lama saya tidak pulang, mungkin saya akan kecewa me-
nemukan kehidupan di Tanah Air. Sebab itu saya pikir, memang
ada baiknya saya berlibur ke sana sebentar. Katakanlah itu sebagai
percobaan."
Jadi dia juga ingat kata-kataku. Senyumku sebentar kutahan
karena kurang menerima maksudnya "pulang sebagai percobaan".
Sedih juga hati ini mendengarnya.
"Mengapa?" tanyanya. Rupanya dia melihat perubahan air mu-
kaku. "Mau tersenyum kok ditahan-tahan."
"Ah, tidak apa-apa. Saya hanya senang karena anda juga ingat
apa yang saya katakan. Tapi kesenangan itu dibayangi kesedihan
juga karena anda bilang ?sebagai percobaan?. Berarti belum pasti
anda akan tinggal seterusnya di Indonesia. Lalu ilmu yang anda
dapatkan di luar selama ini buat siapa? Itu akan dimanfaatkan
oleh orang-orang sini. Padahal yang sebenarnya memerlukan ada-
lah negeri kita."
"Ya, memang saya ingat kata-kata Mbak Mur. Tidak hanya
berhenti mengingati saja. Saya juga memikirkannya. Sebab itulah
saya menjadi tertarik lagi untuk menengok Tanah Air. Saya sudah
merasa tidak mempunyai ikatan yang menarik ke sana dulu.
294 Mengenai percobaan, jangan terlalu dijadikan drama. Kita lihat
saja nanti. Terus terang, memang saya tidak berani menentukan
sesuatu pun dari sekarang. Kita manusia selalu khawatir terhadap
hal-hal yang belum kita ketahui. Hidup di Indonesia sudah tujuh
tahun saya tinggalkan. Saya bukan manusia yang luar biasa. Jadi
saya juga memerlukan waktu untuk beradaptasi. Tapi itu tidak
berarti bahwa saya tidak bisa. Anda mengatakan akan membantu
saya. Saya harap kesediaan itu tidak anda tarik kembali," dia me-
noleh lagi sambil tersenyum.
Aku terpaku memandanginya.
Dia meneruskan, "Bagaimanapun juga, kita akan terus saling
menghubungi. Tolong beritahu saya semua keputusan anda. Dalam
hal semuanya. Karier, anak-anak ..." kalimatnya mengambang.
Untuk kesekian kalinya dia menoleh, tersenyum. Sebentar tangan
kanannya melepaskan setir untuk memberi tekanan hangat di ta-
nganku.
Aku memandangi wajahnya yang bergaris kuat melembut, di-
penuhi senyumnya. Kami akan berpisah sebentar lagi. Dia tampak
santai saja. Sedangkan dadaku berat, pilu.
Ada rasa iri yang tiba-tiba menelusup, menambah penderitaan
itu. *****
295 , beradaptasi lagi. Tanpa menyadari, badanku mulai biasa embali di Tanah Air, aku memerlukan waktu untuk
dengan keadaan udara yang dingin di Negeri Belanda. Padahal,
ketika tinggal di sana, aku merasa kedinginan. Dan sebegitu pu-
lang di negeri beriklim tropis, selama beberapa hari aku sukar
tertidur hanya disebabkan karena kepanasan. Enam bulan rupa-
rupanya cukup bagi tubuh manusia untuk membiasakan diri me-
nyerap keadaan lingkungannya sehingga menjadikannya bagian
dari dirinya. Itulah kesukaran pertama yang kudapatkan dalam
kehidupan sehari-hari. Tampaknya memang hal yang sepele,
remeh. Tapi ini membikinku sangat lelah dan tubuhku lemas.
Untunglah hari-hari pertama, seperti yang kurencanakan, aku ha-
nya lapor ke tempatku mengajar serta almamater yang merupakan
lembaga hubungan dengan Kedutaan Belanda. Keluargaku baik-
baik. Anakku tumbuh meninggi ketiganya. Eko menjadi seorang
pemuda yang tampan, hampir mempunyai kumis. Suaranya se-
dang dalam taraf perubahan remaja ke dewasa. Badannya hitam,
karena setiap Minggu mendapat tugas dari Sri mengawasi anak-
anak temanku itu di kolam renang. Widowati lebih suka bermain
voli di halaman rumah Sri bersama teman-teman kencannya.
Rambutnya hampir sama dengan kulit badannya, tembaga pa-
nas. Seto, menurut laporan kakak-kakaknya, takut masuk ke air,
296 tidak suka bola. Sampai waktu aku kembali, dia lebih suka se-
lalu bersama neneknya, atau main domino atau dam jika dibawa
ke rumah Bu Sri. Ibuku bertambah tua. Meskipun ada Sri, ba-
rangkali dia menyangga tanggung jawabnya sebagai pengawas
anak-anakku agak keterlaluan. Bersamaan waktunya dengan
kecelakaan yang menimpa orangtua Ganik, ibuku kehilangan
satu-satunya saudaranya lelaki di Purworejo. Wajah ibuku tetap
bersinar dengan pijaran semangat hidup. Tapi rambutnya yang
selama itu awet hitam, dalam waktu enam bulan kutinggalkan
telah memutih. Warna kelabu yang kadangkala berkilauan kini
memahkotai kepalanya.
Dalam pekerjaanku, aku tidak menemukan kesulitan. Di se-
kolah pagi aku tetap memegang kelas lima. Di sekolah laborato-
rium di mana aku mengajar bahasa Inggris, aku memegang kelas
lima dan enam. Sudah diadakan pertemuan dengan para rekan
dan kepala sekolah bersama institut almamaterku. Di situ aku
membaca semacam laporan singkat. Lalu aku diserahi membikin
rencana pengajaran yang diminta lebih aktif. Kalau disetujui,
barangkali akan dicoba untuk tahun ajaran mendatang. Dengan
senang hati aku menerima tugas tersebut.
Sambutan rekan-rekan dan atasanku kelihatan tidak ada ce-
lanya. Tapi bagaimanapun juga aku terlanjur dingin terhadap
tanggapan lingkungan itu. Aku merasa diri harus tetap was-
pada karena tidak ingin menemukan kesakitan hati yang ber-
kelanjutan. Lapangan pengajaran tidak lebih dan tidak kurang
sama lingkungannya dengan bidang kerja atau profesi apa pun
lainnya. Karena yang pokok adalah manusianya. Dikatakan, di
dunia intelek seperti para guru dan sarjana tentulah pergaulan
lebih mulus karena setiap orang mendasari cara hidupnya de-
ngan keunggulan pertimbangannya yang pintar. Namun yang
297 sebenarnya, pergaulan antara budi manusialah yang bisa di-
andalkan. Karena kecerdasan dan kesarjanaan sebagai bukti
keintelekan menjadi hampa jika tidak dikuatkan oleh amal ke-
imanan dan kemanusiaan.
Tetap saja aku bergaul dengan lingkungan profesiku secara
rekanan. Sri, Siswi, dan Mas Gun yang masing-masing mempunyai
keluarga, sudah amat mencukupi rengkuhannya terhadap aku dan
keluargaku. Lapangan kerja tempatku mencari nafkah merupakan
beberapa rekan saja. Kepada beberapa orang itulah aku merasa
mempunyai kewajiban keramahan. Aku sudah terlalu biasa mem-
batasi semua kata dan gerak keakraban di luar lingkungan dekatku.
Tidak karena aku baru kembali dari luar negeri maka aku harus
berubah. Kepada beberapa rekan dengan siapa aku berhubungan
langsung itu aku memberikan oleh-oleh benda kecil. Tidak lupa
kukatakan, bahwa uang saku yang diberikan pemerintah Belanda
hanya pas-pasan buat hidup di sana. Dan nama Ganik beserta
keluarga kusebut pula sebagai pendukung moril serta materiel
selama belajarku di negeri orang. Hal itu perlu kutekankan di
hadapan para rekan tersebut. Karena aku yakin, bahwa soal oleh-
oleh pun akan bisa dijadikan alasan pergunjingan untuk mem-
bicarakan aku di antara mereka. Soal iri dan jahil tidak memilih
bidang. Pegawai negeri atau karyawan perusahaan swasta, dosen
atau guru maupun pegawai administratif. Semua kembali pada
pokok, ialah manusianya. Karena ketika berangkat aku telah
mengalami kerandatan yang disebabkan oleh jegalan tertentu,
maka waktu kembali pun aku mengingati tempatku. Aku kembali
berbicara dan berbuat seperlunya dan secukupnya saja jika tidak
menerima perintah dari atasan. Cita-citaku, seperti yang juga
disarankan oleh Dokter Liantoro, mendirikan Taman Kanak-
Kanak dengan pemberian dasar percakapan bahasa Inggris tetap
298 merupakan benih di kepalaku. Usaha semacam itu memerlukan
modal, baik tempat maupun peralatan. Yang kuharapkan ialah
yayasan di mana Winar menjadi ketuanya di cabang kota kami.
Perkumpulan guru tentu mempunyai langkah lebih panjang un-
tuk melaksanakan gagasan atau ide. Semua hanya menunggu
waktunya yang tepat, kata Winar kepadaku ketika menanggapi
buah pikiranku itu.
Ketika aku belum pulang, Pengadilan Agama sudah memu-
tuskan perceraian Sri. Anak-anak turut ibunya. Kawanku juga
telah menjalin hubungan dagang dengan seorang wanita dekoratris
bangsa Australia. Sri belajar kimia dan membikin percobaan-
percobaan warna serta tekstur penenunan kain dari benang kapas
tanpa campuran. Bekerjasama dengan seorang eksportir, hasil pa-
brik temanku dilempar ke pasaran Negeri Belanda dan Belgia.
Siswi dan Winar sama seperti dulu. Langgeng dengan kece-
rewetan dan perhatiannya yang padat terhadapku. Winar baru
mendapat rezeki, karena rapel lemburannya yang bertahun-tahun
ketika mengajar di Pekalongan baru saja keluar. Kebetulan waktu
itu ada pemilik kebun jambu di Jrakah yang memerlukan uang.
Winar membeli tanah di sana dengan harga yang sangat lumayan
murahnya. Pada hari libur, mereka mengundang teman-teman
dan keluarga berpiknik ke sana. Sejak aku pulang sudah satu kali
dibawa Sri, turut makan siang di tempat yang dulu di zaman kami
muda sangat rimbun serta menyenangkan. Bagian yang menjadi
milik temanku masih terdapat beberapa pohon jambunya. Tetapi
kelihatan sekali betapa lingkungannya telah berbeda, gersang dan
penuh bangunan baru.
Mas Gun menyukai semua barang yang kuberikan sebagai
oleh-oleh. Dia tahu bahwa beasiswa di Negeri Belanda sangat
kecil, karena dia juga pernah tinggal di sana tiga bulan. Untuk
299 anak sulungnya yang seumur dengan Eko, kubelikan aneka per-
hiasan dari kaca untuk keperluan pentas. Dia adalah seorang
gadis yang lemah gemulai, pandai menari. Aku spesial memilih
kalung bermata kaca gemerlapan di rangkaian depannya. Terkena
lampu yang terang, pastilah akan menjadi amat indah. Itu pantas
buat penari yang lembut. Dia juga kubelikan tas untuk membawa
perlengkapan latihan tari.
Ketika aku pulang, sejak sebulan Sri mengurus kertas-kertas
untuk perjalanan ke luar negeri. Rekanannya di Belgia meng-
undang temanku supaya melihat-lihat pabrik mereka. Setelah
semua tersedia, dia akan berangkat ke Jakarta, ada telepon dari
kedutaan di Kopenhagen. Ganik masuk rumah sakit. Untuk se-
lanjutnya aku tidak mengikuti perkembangan berita tersebut
secara teratur. Lalu, sopir yang setiap hari datang membawa mobil
Sri berkata, bahwa ibunya Sri yang menunggui rumah Puspowarno
mendapat kabar mengenai keberangkatan Sri ke Kopenhagen.
Jadi temanku tidak langsung ke Brussel. Hari-hari berikutnya aku
mencoba hidup dengan lebih tenang karena mengetahui bahwa
Sri sudah berada di sisi Ganik. Semua serba penungguan bagiku.
Setiap pagi sopir datang, aku langsung bertanya apakah ada kabar
baru. Sampai pada suatu siang, dia menyampaikan pesan ibunya
Sri. Aku harus ke Puspowarno sore nanti. Sri akan menelepon.
Telah lebih dari sepekan temanku itu berangkat.
Sorenya aku berbicara dengan sahabatku. Dia menunda per-
temuan dengan rekanannya di Belgia karena hendak mengurus
Ganik dulu. Setelah bertemu dan berunding, mereka berdua me-
mutuskan Ganik pindah ke rumah sakit di Amsterdam. Selain di
sana ada teman baik Dokter Liantoro, juga tidak jauh dari Brussel.
Sri bisa menelepon setiap hari. Barang-barang Ganik dikemas,
300 langsung dikirim oleh perusahaan pindahan ke Indonesia. Dari
Negeri Belanda, Ganik akan dibawa pulang bersama Sri.
"Bagaimana Ganik?" tanyaku.
Sri tidak langsung menjawab.
"Sudah dirawat," katanya perlahan. "Kau tahu, aku tahu, dan
dia sendiri juga tahu bahwa kanker itu pembunuh seperti penyakit
lain-lainnya. Kalaupun nanti dia membaik, akan memburuk lagi.
Sebab itu lebih baik kubawa pulang sebegitu urusanku selesai."
"Apakah di luar negeri tidak lebih baik?"
"Untuk perawatan barangkali ya. Tapi di sana tidak ada reng-
kuhan seperti yang bisa kita berikan di sini."
Sri benar. Temanku meneruskan, "Aku sudah menulis kepa-
da Mur-dokter. Kusarankan supaya dia mengambil cuti tanpa di-
bayar. Kalau dia ada, setidak-tidaknya Ganik lebih tenang. Aku
beritahu ibuku agar mengirim uang buat Mur di alamat Jakarta.
Biar semua diurus Mur, sehingga sebegitu kami datang, Ganik
langsung bisa masuk ke rumah sakit pusat di sana."
"Mengapa di Jakarta?" aku terkejut.
"Ganik tidak yakin di Semarang akan ada perawatan yang
sudah dimiliki rumah sakit Jakarta. Tidak apa-apa. Kita pikirkan
nanti kalau sudah kumpul semua."
"Kaukira Mur bisa datang?"
"Bisa. Waktu bertemu terakhir, ketika Dokter Liantoro me-
ninggal, dia rasanan ingin cuti panjang," temanku berhenti. Lalu
menambahkan, "?Tolong tanyakan kepada Mas Gun atau Winar
apakah punya hubungan yang bisa menolong di rumah sakit Ja-
karta."
Kedengarannya semua sudah diatur baik. Sri tidak goyah. Ber-
ada di luar negeri seperti sama saja cara kerjanya. Dia memberi
alamatnya di Jakarta, di Pejompongan.
301 "Ini alamat pasti. Nanti Mur juga ke sana. Ini rumah adik-
ku yang pindah ke Bandung. Hanya ditunggui pembantu. Besar.
Kalau kau dan Siswi datang, juga tinggal di situ."
Seminggu kemudian, datang surat Ganik. Dia mondok di ru-
mah sakit yang dulu, dikelilingi para ahli rekan dan teman ayah-
nya. Sri bisa tenang menyelesaikan urusannya. Ganik malahan
mengusulkan, supaya Sri juga menerima undangan ke negeri
Swiss. Harus dimanfaatkan selagi di Eropa. Sejak berpisah, Sri
sudah menelepon berkali-kali. Hari Sabtu depan akan datang sam-
pai Senin pagi.
Aku cepat-cepat membalas surat temanku. Sakit tanpa ada
yang menunggui, di negeri orang, pastilah sepi walaupun suratnya


Jalan Bandungan Karya Nh. Dini di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tetap mengesankan optimismenya. Kuceritakan kesibukanku,
anak-anakku, rumahnya di Jalan Bandungan yang tetap dijaga
para pembantu kepercayaan orangtuanya. Bergantian kami se-
ring menengok, mengobrol sebentar dengan mereka. Karena Sri
pergi, urusan belanja dan gaji mereka diserahkan kepadaku. Ku-
katakan pula bahwa aku sedang menyusun rencana pengajaran
yang lebih aktif. Siapa tahu akan bisa terpakai. Apakah Ganik
mempunyai usulan gagasan? Dan untuk mengakhiri surat, aku
katakan keinginanku minta cerai dari suamiku. Teman-teman di
Semarang sudah tahu, Ibu juga. Tetapi anak-anak belum. Lalu
surat kututup dengan janji akan segera kirim kabar lagi meskipun
Ganik tidak menulis.
Ya, benar, memang aku sudah diberi pengarahan oleh Sri, ker-
tas-kertas apa saja yang kuperlukan buat urusan perceraian. Aku
tidak akan meminta jasa Lembaga Hukum, melainkan mengirim
berkasku langsung kepada saudara Winar yang telah kuanggap se-
bagai pelindungku sejak masa-masa permulaan. Kurasa telah tiba
waktunya aku mengambil ketegasan mengenai kejandaan yang
302 tak menentu lajur melintangnya ini. Aku telah menunjukkan
kemampuan semaksimum yang dapat kucapai. Baik di masa se-
belum aku pergi, maupun selama aku berada di luar negeri. Aku
ingin lebih bebas bergerak dan berbicara dalam berkarier dan
dalam berbuat sebagai warga negara wanita intelek. Memang aku
belum berbicara dengan anak-anak mengenai maksudku itu. Mes-
kipun sebenarnya Sri telah merintis kemudahan jalanku. Terbukti
dari perkataan Wido atau Eko, bahkan Seto, yang kadang-kadang
mengulangi cerita Bu Sri: Katanya dulu Bapak begini, begitu
dan sebagainya. Temanku telah mengungkapkan ulah kelakuan
suamiku yang pelit, yang tidak suka berbicara terus terang, yang
mengusulkan ibuku menutup warung; padahal setelah dia masuk
penjara, berkat Ibulah maka dia terus menerima kiriman. Sri
dengan sengaja atau tidak membukakan mata anak-anakku siapa
sebenarnya ayah mereka. Hal yang tidak akan bisa kulakukan
karena aku tidak sampai hati merusak bayangan kebaikan anak
terhadap ayah. Eko dan Wido barangkali mulai melihat kenyataan
meskipun Sri tidak bercerita. Tetapi anak-anak tetap harus di-
ingatkan sekali-sekali. Dan dengan tindakan temanku itu, aku
bersyukur dan berharap supaya tidak menjumpai kesulitan dalam
menjelaskan sikapku ingin berpisah dengan ayah mereka.
"Tidak perlu khawatir!" kata Winar. Tambahnya lagi menye-
nangkan hatiku, "Dipandang secara hukum mana pun, kau berada
di jalan yang benar. Tinggal menunggu. Pasti tidak lama!"
Aku tidak tergesa-gesa. Tetapi secepatnya menerima keputusan,
akan memberiku ketenangan yang lebih lagi. Sementara itu aku
sempat bersurat-suratan dua kali dengan Ganik sebelum berita
terakhir mengatakan bahwa kedua sahabatku sudah sampai di
Jakarta. Lalu Sri menelepon dari sana. Secara singkat menceri-
takan perjalanannya di Eropa. Dia juga meminta nomor telepon
303 Irawan di Makassar untuk meminta supaya menengok Ganik
seandainya datang ke Ibukota. Kami berdua merundingkan kapan
Siswi dan aku bisa ke Jakarta. Digabung dengan hari Sabtu dan
Minggu, kami sepakat untuk minta cuti dua atau tiga hari.
Bersama Siswi, aku naik bis malam. Sri menjemput di Termi-
nal Pulogadung dan membawa kami ke Pejompongan. Setelah
beristirahat sebentar, kami sarapan sebelum ke rumah sakit. Sri
mengulangi ceritanya ketika berada di Eropa.
"Sampai sebulan kamu di sana. Ganik kautinggal begitu lama
di Amsterdam," suara Siswi menyesali Sri.
"Dia yang menyuruhku menerima undangan orang Swiss.
Katanya, kalau aku sudah sampai di Swiss, lebih baik terus ke
Italia dan kembali ke Brussel lewat Prancis. Dialah yang malahan
menyusun jadwal perjalananku. Sementara itu dicoba perawatan
baru padanya. Dengan sinar yang lebih keras. Tidak ada gunanya
jika aku menungguinya."
"Lagi pula kan kau tahu bagaimana Ganik!" kataku kepada
Siswi. "Kalau dia punya kemauan, lebih baik kita turuti. Memang
bagus kalau Sri menjelajah Eropa. Sekalian! Kapan lagi dia akan
pergi ke sana? Belum tentu tahun depan."
"Aku ketemu Handoko di rumah sakit," kata Sri sambil me-
lihat ke arahku.
Seandainya ada geledek di siang hari pun rasa terkejutku ti-
dak akan sehebat ketika aku mendengar berita tersebut. Dan
barangkali oleh kekagetanku yang keterlaluan kelihatan itu, maka
aku jadi terbungkam.
Kawanku melanjutkan, "Dia telepon ke Kopenhagen, lalu ta-
hu bahwa Ganik sakit. Dia menyempatkan satu akhir pekan buat
menengok."
"Siapa Handoko?" Siswi bertanya.
304 Memang itu nama baru. Belum pernah diucapkan di antara
kami bersama.
"Adiknya Widodo, suami Mur," sahut Sri, mukanya diteleng-
kan untuk menunjuk kepadaku. Lalu seolah-olah hendak mencari
reaksiku, dia meneruskan sambil menatap wajahku, "Pintar. Dan
ganteng lagi! Pakai kumis."
Untuk kedua kalinya aku terkejut amat sangat. Kumis? Ta-
pi aku bisa menahan diri. Untuk menghindari terlihatnya peng-
ucapan yang mengkhianatiku, aku berkata, "Baik dia, kok mene-
ngok sampai di Amsterdam!"
"Benar. Ganik juga terharu ketika ditengok."
"Pakai kumis dia?"
"Ya, juga jenggot sampai ke surinya di depan kuping. Ganteng
pendeknya!"
"Masih di Swedia dia?"
"Masih. Kau mestinya juga tahu. Katanya, dia sudah kirim su-
rat kepadamu."
Rahasiaku terbuka. Sedikit. Jadi percakapan mereka sampai
membicarakan diriku?
"Oktober nanti selesai kontraknya. Dia ingin ke Indonesia.
Aku sedang carikan hubungan. Kelihatannya dia gesit."
"Baik orangnya?" Siswi bertanya lagi.
"Baik. Aku senang dia. Lebih baik dari Widodo. Kau salah pi-
lih dulu, Mur."
"Ada-ada saja kamu ini!" kataku cepat. "Ketika aku ketemu
Widodo, kan Handoko masih bayi!"
Sri terkikih-kikih. Nyata puas karena pancingannya mengenai
sasaran. Siswi dan aku memakinya.
"Dari dulu kamu ini suka menggoda. Lagi pula," kata Siswi,
305 "Mur tidak pernah memilih. Kan bapak-ibunya yang memilih, ya
Mur?"
"Itu benar, dan lagi, seperti kataku, Handoko jauh berada di
bawah kita. Masih muda sekali."
"Ah, umur! Sisihkan itu jauh-jauh," komentar Sri. "Apalagi
Handoko tidak tampak begitu muda lho. Wajahnya matang. Dan
kelihatan sekali bahwa dia suka kepadamu!" lalu meneruskan
tersenyum-senyum memandangiku.
Aku hanya diam, tetapi membuang pandang. Entah bagaimana
ekspresi mukaku, aku mencoba menenangkan hati. Kalaupun ter-
lihat perasaan hatiku, dengan teman-temanku sendiri, mau apa
lagi!
*** Ganik kurus dan pucat. Mur yang tidur di rumah sakit malam itu,
tinggal sebentar menemui kami. Dia, Sri, dan seorang pembantu
bergilir bermalam di kamar teman kami. Mur sedang menyisir
rambut Ganik yang meskipun sudah dipotong pendek, tetapi
kelihatan semakin tipis.
"Aku bilang supaya rambut ini dicukur saja," kata Mur, "tapi
Ganik tidak mau. Bagaimana pendapatmu Siswi, Mur?"
"Gundul pun, Ganik tetap cantik bagiku," sahut Siswi. "Siapa
tahu malahan jadi simpatik seperti Kojak polisi New York itu!"
"Itulah!" kata Sri menopangi. "Apalagi sudah kubelikan wig
bagus di Negeri Belanda. Itu di laci sebelah!"
"Dicukur gundul saja, Ganik," aku turut bicara. "Memang le-
bih rapi pakai rambut palsu."
Kusembunyikan iba yang terselip di hatiku. Pembicaraan me-
306 ngenai rambut di kepala Ganik kedengaran biasa saja. Seolah-
olah teman kami itu mengidap penyakit yang biasa pula.
"Kupikir, tunggu sampai rambutku tinggal enam puluh helai.
Kalau gigiku rontok juga, lalu tinggal dua biji, aku akan ganti
nama Si Enam Puluh Dua."
"Kalau maumu memang begitu, ya terserah," kata Siswi. "Yang
namanya Sewidak Loro dalam cerita itu, setelah penderitaannya
selesai, berganti rupa, kembali sebagai Dewi Sekartaji. Kamu ke-
lak kalau sembuh juga kembali seperti rupamu sediakala."
Teman-temanku tertawa. Bahkan Ganik. Dengan terpaksa aku
mengikuti suasana. Mereka bisa menyembunyikan kecemasan.
Kulihat Siswi menunduk, mencium dahi Ganik dan mengelus
sisa-sisa rambut yang melapisi kepalanya. Katanya, memang lebih
baik dicukur saja. Mur menambahkan, kalau mau, biar dia sendiri
yang mengerjakannya.
Kedatangan Irawan memungkinkan kami mendapat informasi
lengkap mengenai kapasitas perawatan terhadap kanker di rumah
sakit kota kami. Dan ketika keadaan Ganik cukup kuat, dia di-
bawa ke Semarang, pulang ke Jalan Bandungan. Aku pindah,
tinggal di sana menemani sahabatku. Rumah sudah diatur. Ganik
menempati kamarnya sendiri, aku tidur di kamar almarhum
orangtuanya. Dua kali seminggu, Sri mengantar sahabat kami me-
nerima perawatan semestinya. Anak-anakku tetap bersama Ibu.
Sejak aku pulang, Eko menerima kendaraan roda dua dari Sri
sebagai imbalan jasanya mengawasi anak-anak yang lebih muda
di kolam renang. Dengan demikian, anak sulungku kelihatan le-
bih bertanggung jawab. Untuk keperluan-keperluan mendadak,
dia siap jalan keluar. Hubungan antara Ibu, anak-anakku, dan
aku tidak terputus.
Menunggu sampai Ganik mapan benar, Mur belum pulang ke
307 Kalimantan. Dia juga tidur di Jalan Bandungan. Waktu itulah aku
baru tahu bahwa dia mempunyai seorang anak laki-laki. Umurnya
kurang lebih tujuh tahun. Waktu itu ditinggal di Kalimantan, di-
tunggui ibunya Mur yang telah diboyong ke sana sejak bayi itu
akan lahir.
Mur tidak tampak murung. Dia bahkan puas dengan kehi-
dupannya. Tanggung jawabnya ketika dia baru datang meliputi
pelosok Kabupaten Tanah Laut. Pada suatu hari, di Banjarmasin,
dia bertemu dengan seorang laki-laki asli daerah tersebut. Dari
pertemuan pertama itu, Mur mengetahui bahwa mereka akan
menjalin hubungan yang istimewa. Katanya: Sebegitu melihatnya,
seperti aku sudah mengenalnya. Entah di mana. Mungkin dalam
kehidupan yang dahulu? Anehnya, dia juga bertanya, "Apakah
kita sudah pernah bertemu? Anda punya saudara yang mirip de-
ngan anda?" Tidak lama kemudian, laki-laki itu menyusulnya ke
pelosok. Mur sedang keliling. Laki-laki itu menunggu empat hari
di pondok Mur. "Dan kau tahu, Mur, ketika aku pulang, melihat
dia di ujung tangga, memakai sarung, seolah-olah sudah biasalah
aku menemukan pemandangan itu. Jadi aku tidak terkejut. Dan
begitu saja, dengan sederhana, setelah aku mandi, kami minum
teh, tiba-tiba aku sudah berada di pelukannya. Ibuku sendiri yang
semula tidak menyukainya karena adatnya yang berbeda dari kita
orang Jawa, akhirnya mengakui bahwa dia memang hebat."
Cerita Mur merupakan kejutan bagiku. Tidak kukira orang
terpelajar seperti dia bisa dan mau menerima hidup berkeluarga
dengan cara demikian. Berbagi suami dengan perempuan lain.
"Kau tidak mengerti karena kau tidak mengalaminya sendiri. Dari
pihakku, aku mempunyai laki-laki yang hanya datang kadangkala,
ternyata menyenangkan. Aku selalu sibuk. Sering pergi berhari-
hari keliling. Tiga tahun kemudian, ketika aku merasa siap, aku
308 ingin punya anak. Ibu kuboyong. Dan karena ibulah maka aku mau
dinikah oleh orang itu. Sebetulnya, tidak usah kawin pun tidak
apa-apa bagiku. Aku mempunyai cara hidup yang penuh, berguna
buat orang lain. Lingkunganku masa bodoh karena mereka tahu
membutuhkan aku. Kalaupun ada suara ini-itu, aku tidak peduli.
Kalau ada orang yang jatuh sakit, ya panggil aku. Kata ibuku,
demi bayi yang akan lahir, aku harus mau kawin. Aku menjadi
istri kedua. Waktu itu gampang saja kawin tanpa urusan ini-itu
dengan istri pertama. Jangan kau kecewa karena aku menjadi istri
kedua, Mur. Yang pokok, aku mencintai laki-laki itu. Dia milikku.
Kalau dia juga punya perempuan lain, itu bukan urusanku. Asal
dia tidak tidur dengan perempuan itu di depan mataku."
Berhari-hari aku memikirkan sikap Mur itu. Demikian wa-
jar bagi dia. Begitu praktis segalanya tanpa rengekan maupun
protes ini dan itu. Ketika di Sekolah Rakyat, berhitungnya kuat.
Kemudian di SMP dan SMA pengetahuan eksaktanya hebat. Se-
muanya serba nalar. Buat apa aku ribut-ribut memikirkan dia jika
dia sendiri puas dan bahagia dengan kehidupannya? Apalagi jika
kelihatannya dia tidak mengganggu kesejahteraan keluarga lain.
*** Mur sudah pulang ke Kalimantan. Bagi dia, itulah tanahnya.
Dia ke Jawa untuk berkunjung. Meskipun jatah yang menjadi
miliknya dilahap api yang membakar hutan Kalimantan hingga
setahun tanpa bisa dipadamkan, Mur tidak berkecil hati. Tapi dia
harus pulang. Dan pulang baginya adalah ke Kabupaten Tanah
Laut. Orang di sana sudah menjadi saudaranya. Anaknya akan dia
didik bukan sebagai orang Jawa yang tinggal di sana, melainkan
sebagai orang yang bertanah air Tanah Laut.
309 Keadaan Ganik tetap rapuh. Dua hari sehat, sampai dia
kuat bangkit dan memotongi daun-daun yang kering di tepi be-
randa. Kemudian dua atau tiga hari tergeletak, tanpa kemam-
puan mendudukkan diri jika tidak ditolong. Menyusul hari-ha-
ri di mana dia bahkan turut kami pergi ke rumah Ibu. Kami
membiarkan dan menuruti semua kehendaknya. Irawan dan
dokternya menasihatkan demikian. Ingin makan apa saja kami
berikan. Tidak ada lagi diet atau keharusan mengurangi ini mau-
pun itu. Ganik mengetahui bahwa dengan kekenduran peraturan
itu, umurnya tidak akan panjang lagi. Kami semua mencoba mem-
berikan kelegaan semaksimum mungkin.
Dua bulan berada di rumah Ganik, aku sudah menerima te-
lepon tiga kali dari Handoko. Di samping surat pendek-pendek,
atau kartupos bergambar dari Swedia. Ganik selalu tahu jika ada
telepon dari Handoko. Dari cara bicaraku, dia menerka bahwa aku
mencintainya. Aku tidak mengelak. Sekalian untuk membikin
temanku itu tidak memusatkan perhatian pada keadaan dirinya,
kuceritakan semua yang kualami bersama pemuda itu. Kuberikan
pula kesimpulanku mengenai hubungan kami hingga saat itu, ialah
Handoko tidak mau melibatkan diri dengan tegas. Barangkali dia


Jalan Bandungan Karya Nh. Dini di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mempunyai pertimbangan-pertimbangan sendiri. Apalagi dia su-
dah biasa hidup bersendiri. Takut menjadi terikat. Di samping
itu, tidak ingin kehilangan aku. Tapi pikiranku ini pun mungkin
hanya keterlaluan saja. Belum tentu Handoko sungguh-sungguh
menghendaki aku sebagai wanita kekasih. Barangkali hanya se-
bagai teman baik, dekat sekali.
Ganik melihat argumentasiku dan mengerti. Memang, kalau
dia kawin, tentu ingin membangun keluarga benar-benar. Punya
anak, rumah, hidup mapan. Dengan wanita setengah janda se-
perti aku, yang berkarier pula, agak susah citra tradisionalnya.
310 Tapi Ganik tetap memakiku karena rasa rendah diri yang selalu
menonjol padaku.
"Kamu bodoh," itulah cacian Ganik. "Kamu hanya mengenal
laki-laki Indonesia yang serba mau diladeni, dilayani, dan yang
berpegang pada pikiran bahwa kalau istri itu harus gadis, harus
lebih muda. Handoko bukan laki-laki begitu. Dia sudah setengah
Eropa dan intelek. Kalau kamu memang mencintainya, per-
juangkan supaya perhatian yang ternyata sudah amat berlebihan
terhadapmu itu menjadi jaring yang akan menyatukan kalian
berdua. Belum tentu dia ingin punya anak. Kalau melihat caranya
hidup, dia berpikiran semesta, universal. Seperti bapakku. Sudah
terlalu banyak anak di dunia ini!" temanku berhenti meman-
dangiku. Lalu menambahkan, "Telepon jarak jauh begitu mahal.
Dia tidak pernah menelepon Irawan. Tapi malahan berbicara
dengan kamu."
Aku diam saja karena dia memang benar. Handoko tidak per-
nah menelepon kakaknya. Tiga kali berbicara jarak jauh denganku
ya hanya itu-itu saja: Bagaimana, Mbak Mur? Surat yang cerita
mengenai itu sudah sampai. Sayang, selalu pendek. Kalau saya
baca berulang-ulang cepat habis. Saya sampai hafal. Masih terus
giat?
Hubungan telepon dengan Swedia cukup jelas. Tiga kali te-
rima, hanya satu kali pembicaraan kami terganggu oleh suara
krek...krek yang terseling di sana-sini. Aku tidak mengelak bahwa
aku senang menerima panggilannya. Ini juga kukatakan kepada
Handoko. Dia menanggapinya dengan sederhana saja. Katanya
dia juga senang berbicara dengan aku. Sebab itu jauh-jauh pun
menelepon. Pada kali ketiga kami berbicara, kukatakan bahwa
aku sudah memulai proses permintaan cerai. Ada sedikit harapan
dariku, barangkali dia akan lebih berani melangkah mendekatiku.
311 Dia hanya bilang: Bagus. Saya senang karena Mbak Mur mulai
menunjukkan ketegasan. Anak-anak sudah tahu?
Pada suatu hari Minggu, Ibu dan anak-anak dijemput untuk
makan siang di rumah Sri. Siang ketika pulang, ibuku diantar
dulu, sedangkan anak-anak dibawa ke rumah Jalan Bandungan.
Mereka tinggal bersama kami hingga petang. Pada waktu itulah
Ganik memulai pembicaraan mengenai perceraianku.
"Ibu kalian sudah cukup lama hidup bersendiri tetapi jus-
tru terikat. Sekarang kalian sudah besar, dia harus berkarier se-
penuhnya. Menjadi istri tahanan Pulau Buru tidak mudah me-
nembus ke mana-mana."
Sesederhana mungkin aku bentangkan maksudku. Kukatakan
sekalian bahwa aku minta cerai tidak karena aku tergesa-gesa
akan kawin lagi. Meskipun kemungkinan kawin juga tetap ada.
Tapi yang penting bagiku adalah bercerai dulu.
"Eko dan Wido tentu tahu, bahwa dengan ideologi bapak ka-
lian, aku sudah tidak mungkin bisa hidup bersama dia seandainya
dia dikeluarkan."
"Apa Bapak tidak akan berubah?" tanya Eko.
"Tidak mungkin," sahutku tegas. "Barangkali kelihatan ber-
ubah. Tapi sebenarnya itu hanya lapisan luar. Kepercayaan kepada
partai seperti kepada agama. Itu menunjam dan mengakar."
"Ibu tidak mencintai Bapak lagi?"
Aku hampir merasa terpojok, tidak segera menjawab perta-
nyaan Eko.
Ganik menopangi, "Apakah pendapatmu mengenai cinta,
Eko? Apa itu cinta?"
Ganti anakku tidak cepat menyahut.
"Di sekolah, di antara teman, kamu tentu sudah sering membi-
carakan apa cinta itu," temanku Ganik menyambung.
312 "Semua bisa dilakukan demi cinta," kata Eko.
"Kira-kira begitu," kata Ganik. "Kalau orang bertambah umur,
pikirannya berkembang. Pendapatnya bisa berubah. Tapi pen-
dapatmu itu bisa dijadikan pegangan. Kalau tidak ada cinta, kasih,
sayang, sukar sekali untuk hidup bersama. Ibumu sudah delapan
tahun mempertahankan perkawinannya. Kamu tahu sendiri, dia
tidak janda, tapi semua tindakannya tetap dibatasi karena lebih-
lebih dia istri tahanan politik. Kamu sendiri tentu juga sudah
mengalami bagaimana tidak enaknya mempunyai bapak ditahan
di Pulau Buru."
Aku tidak akan sampai hati mengatakan kalimat terakhir itu
kepada anakku. Padahal kuakui ada perlunya guna memperta-
hankan sikapku.
"Wido bagaimana? Kok diam saja? Seto?"
"Kalau bercerai, kalau Bapak dikeluarkan, lalu tinggal di ma-
na?" ini Seto yang bertanya.
"Belum tahu. Semau bapak kalian."
"Dia tidak tinggal bersama kita lagi?"
"Bapak tentu ke Klaten, ke rumah Embah di sana," kata Wido
sambil memandang adiknya.
"Ya, itu satu kemungkinan," kata Ganik. "Tapi Wido harus
ingat, bahwa dulu bapak kalian tidak suka sowan ke Embah Klaten.
Ibumu selalu minta dibawa ke sana, tapi tidak pemah diantarkan.
Apakah Embah mau menerima, itu soal lain. Dia tentu punya ka-
wan-kawannya sendiri. Bekas tahanan yang sudah dikeluarkan.
Mereka biasa membentuk perkumpulan. Apalagi partai semacam
itu. Sukar terhapus."
Hal itu pun, tak mungkin aku bisa mengatakannya. Untunglah
ada Ganik.
Pembicaraan hari itu cukup menegangkan bagiku. Tetapi
313 ternyata berlangsung dengan lebih mudah dari yang kubayangkan.
Tentu saja berkat campur tangan Ganik, dan rintisan yang telah
dilancarkan Sri selama aku berada di luar negeri.
*** Di rumah Jalan Bandungan aku sudah mapan benar. Semula aku
membawa pakaian dan keperluanku sehari-hari hanya sedikit.
Berangsur-angsur, Ganik menyuruh menambah dan mengurangi
isi kamar yang kutempati, dan mengatakan seharusnya aku
memindahkan semua barang yang kubutuhkan ke rumah itu.
"Ini rumahmu. Kamu harus kerasan, mapan di sini. Terserah
kamu hendak mengerjakan rencana mengajarmu di ruang makan,
atau di beranda. Meja banyak. Asal jangan di kamar terus-terusan
karena aku tidak melihatmu lagi," kata temanku.
Memang ada pilihan buat menulis. Semua meja bagus, berkilat.
Hanya yang dari marmer berkaki empat kecil yang agak membikin
aku khawatir. Lain-lainnya selalu kokoh, berdaun tebal. Kayu jati
kuno yang selalu dirawat. Ketika Ganik mulai merasa enak badan,
dia membeli televisi berwarna. Mebel di ruang duduk bergeser
lagi. Televisi lama diberikan kepada Ibu. Kata sahabatku, biar Eko
tahan tinggal di rumah di waktu petang. Tapi aku kurang mem-
percayai ibuku. Karena sebenarnya Wido dan Seto harus diawasi
supaya tidak menjadi terlalu pasif, terus-menerus duduk di depan
layar putih mini itu.
Untuk beberapa waktu, aku bahagia menemani sahabatku. Ke-
biasaan rutin juga mapan, di mana Sri membawa Ganik ke rumah
sakit, di mana pada hari-hari libur kami berkumpul di rumah Sri.
Ibuku kelihatan menjadi sesepuh yang dicintai dan dihormati oleh
kami semua, termasuk keluarga Mas Gun dan Winar. Berkumpul
314 di rumah Sri selalu membikin anak-anak kerasan. Selain karena
makanan berlimpahan, juga karena halamannya yang luas penuh
dengan aneka alat bergerak secara sehat. Ada waktu-waktu di
mana bahkan Ganik pun turut bermain tenis meja. Kami yang
duduk di serambi merasa sangat bahagia mendengar teriaknya ka-
rena gembira atau kecewa.
Di hari-hari lain, selalu ada yang menjenguk Jalan Ban-
dungan. Yang paling sering adalah Eko. Dia datang sepulang
dari sekolah. Atau singgah karena ada pelajaran kosong. Kalau
dia lihat lauk siang itu dia sukai, dia makan sambil ditunggui
Ganik. Kalau tidak, dia duduk saja di kamar buku, memilihi ka-
set yang akan dia pinjam. Yang lain-lain, Mas Gun, Siswi atau
Winar, atau salah satu bekas rekan Dokter Liantoro, kadang-
kadang juga menjenguk. Waktunya tidak pernah teratur, karena
diambil kesempatan masing-masing yang ada. Tanpa bermaksud
mengganggu, kalau Ganik sedang kelihatan sehat, mereka
tinggal untuk ngobrol. Kalau tidak, mereka hanya meninggalkan
pesan. Keadaan semacam itu berlangsung kurang lebih sebulan.
Aku sudah senang dan tenang melihat penderitaan Ganik yang
kadangkala terseling keringanan. Lalu mendadak suasana berubah
lagi.
Dimulai dengan malam-malam gelisah. Ganik tidak bisa tidur.
Aku bergiliran dengan pembantu dan Eko, berjaga di sisinya.
Ganik sukar bergerak karena rasa sakitnya, meskipun pikirannya
tetap jernih dan cekatan. Hingga akhirnya dokter memutuskan
untuk membawa sahabat kami mondok di rumah sakit. Ganik
minta waktu beberapa hari lagi. Dia menyuruh Sri menelepon
dan memanggil notarisnya.
Pagi itu udara pengap dan menekan. Permulaan bulan Ok-
tober seharusnya sudah membawa hujan. Tetapi yang hadir adalah
315 angin kering berdebu. Ganik kutolong bangkit dari tempat tidur,
dengan kursi roda kudorong ke ruang tamu. Di situ dia duduk ber-
sandar di dipan yang cukup santai. Lalu ahli hukum teman serta
kepercayaan Dokter Liantoro datang bersama sekretarisnya. Dia
membawa berkas dokumen yang selama itu menjadi tanggung
jawabnya.
Hampir satu jam Ganik membaca catatan tulisan tangannya.
Kadang-kadang mencocokkan data-data dengan Notaris. Ahli
hukum ini melihat kertas di dalam mapnya, memberikan apa
yang tertulis di situ. Sri dan aku menunggu, duduk agak terpisah.
Kemudian Ganik menandatangani kertas yang baru dia baca,
memberikannya kepada Notaris. Yang ini juga membubuhkan
kesaksiannya, di sebelah kiri bawah.
"Saya minta semua ini diurus secepat yang dapat anda ker-
jakan. Semua ini menjadi beban bagi saya sehingga tidak akan
bisa tenang menghadap Tuhan. Tanpa surat-surat resmi dan pem-
bagian yang pasti, akan ada kericuhan. Saya tidak rela kalau ru-
mah dan tanah jatuh ke tangan pemerintah atau orang-orang
lain."
"Ya. Saya mengerti. Akan saya kerjakan secepatnya."
"?Tentu saja anda mengambil imbalan dari uang yang biasanya.
Saya minta diberi laporan perhitungan paling akhir. Tentunya
sudah ada, bukan?"
"Ya," sahut Notaris sambil melihat kepada sekretarisnya.
"Besok pagi saya suruh kirim," sekretaris itu menanggapi.
Rundingan mencapai kesepakatan kapan kertas akan ditan-
datangani dengan saksi-saksi yang sudah disebutkan. Sri meng-
antar tamu ke luar. Aku terpaku di kursiku memandangi Ganik.
Mulutku terkunci. Pengucapan di wajahku barangkali begitu aneh
sehingga temanku menegur. Suaranya hampir membentak.
316 "Mengapa kau? Tidak puas dengan keputusanku? Masih ada
yang kamu ingin dapatkan tapi terlewatkan tidak terpikir oleh-
ku?"
Aku bangkit mendekatinya. Kudesak dia agak ke dinding su-
paya aku bisa duduk di tepi dipan bersamanya. Kuambil tangan-
nya. "Aku tidak tahu apa yang mesti kukatakan."
"Ya sudah diam saja. Asal jangan cengeng. Kalau kau mena-
ngis, aku sakit kepala."
Sri menaiki tangga dari halaman, mendekati kami. Dia ber-
lutut di samping dipan, memandangi kami berdua.
"Aku bilang kepada Mur bahwa kalau dia menangis, bikin
kepalaku pusing."
Kupeluk sahabatku erat dan kutahan airmataku sekuat kehen-
dakku. Dia membiarkan sejenak dirinya kurengkuh. Lalu men-
jauh, mencium pipiku.
"Aku senang karena kau hampir cerai. Aku tanyakan kepada
Winar. Katanya, dia sudah menelepon saudaranya di Jakarta. Pa-
ling lambat pekan ini juga kau akan menerima surat. Bersamaan
dengan itu, rumah ini sah akan menjadi milikmu. Kuharap kau
tidak berkeberatan membiarkan aku tinggal di sini sampai hariku
yang terakhir."
"Jangan bodoh begitu!" kataku menyesalinya. Lalu kuteruskan,
"Jadi tanah kosong di samping ini juga kepunyaan ayahmu?"
"Ya. Bapak bercita-cita membangun klinik ?tetirah sesudah ope-
rasi?. Semacam hotel-klinik begitu. Dia ingin memberimu tempat
di situ juga supaya kamu membikin ?Children Group? berbahasa
Inggris. Sebab itu rumah dan tanah itu kujadikan satu, buatmu.
Ini memenuhi kehendak orangtuaku."
Aku benar-benar tidak bisa menahan airmataku. Tenggo-
317 rokanku terasa menggembung. Mataku panas dan penuh. Aku
cepat berdiri untuk bergerak. Kupandang luasan tanah seribu
meter persegi atau lebih yang disebutkan di depan kami tadi.
Pantas pagarnya rapi, tanamannya yang hanya sedikit di sana juga
selalu tampak terpelihara. Rupanya memang si penjaga adalah
pembantu rumah ini juga. Aku membalikkan badan. Kulihat Sri
duduk di tempatku semula.
"Sri tidak iri dengan apa yang kuterima?" tiba-tiba aku kha-
watir.
"Sri sudah tahu," kata Ganik. "Dia kuberi rumahku yang di
Jatiwaringin. Mur mendapat tanah ayahku di Condet. Itu sudah
diurus ketika kami di Jakarta."
"Kalaupun aku tidak mendapat rumah itu, aku juga bisa beli
sendiri," kata Sri dengan ringan. "Lain dari kau. Gajimu sebagai
guru akan sampai ke mana?"
Kalimatnya yang terakhir setengah mengejek, tapi aku tidak
tersinggung. Dia memang benar.
"Kamu benar bisa beli sendiri. Tapi masih harus nunggu me-
milih dan segalanya. Sedangkan ini kuberi, mau atau tidak harus
kau terima. Kalau rundinganmu dengan orang Swiss itu jadi, kau
harus punya rumah di Jakarta. Kau akan sering ke luar negeri, harus
lewat Jakarta. Tinggal di rumah adikmu bukan merupakan jalan
keluar yang baik." Ganik sudah menimbang dan memikirkan semua
sebaik-baiknya. Dia menambahkan, "Mur juga tidak memerlukan


Jalan Bandungan Karya Nh. Dini di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rumah. Dia sudah terlanjur menjadi orang seberang. Tanah di
Condet itu biar dijadikan sebagai jaminan masa depan. Buat
anaknya. Sama seperti tanah di Boja yang kuberikan kepada Siswi
dan kalian berdua. Itu untuk anak-anak. Yayasan aku beri yang di
arah Sampangan karena itu harganya sudah mahal sekarang. Biar
dijual. Uangnya untuk menjalankan Rumah Yatim."
318 Ganik serba nalar dan masih cekatan berpikir. Segalanya dia
atur menuruti kebutuhan masing-masing. Dia memandang ke-
padaku sambil meneruskan, "Kalau aku pergi, tolong beri sesuatu
dari rumah ini kepada Mas Gun dan Irawan. Mereka berdua te-
man baik Bapak. Biar mereka menyimpan sesuatu yang nyata
sebagai kenang-kenangan," dan pandangnya menyeberangi pintu
masuk, ke arah ruang duduk.
"Penyekat ruangan itu misalnya, kan ada dua. Biar kamu tidak
merasa kehilangan. Meja marmer juga ada beberapa. Bisa kau-
tentukan sendiri dengan pasangan kursinya. Tidak perlu empat.
Itu ada kursi panjang dua. Kamu berikan satu, lalu carikan dua
kursi yang cocok."
Aku tidak bisa menahan tangisku. Kali itu benar-benar keter-
laluan. Ganik berbicara seolah-olah dia akan mati besok pagi.
Padahal suaranya ringan dan jemih seperti dia meninggalkan pe-
san akan berlibur ke luar kota untuk kembali lagi pekan depan.
Aku menoleh menyembunyikan gemetaran bibirku.
"Aku hanya lupa menanyakan satu hal tadi kepada Notaris,
Sri. Bagaimana dengan pemutihan rumah Ibu?"
Yang dimaksud Ganik adalah rumah ibuku.
"Aku juga belum tahu. Besok kalau perlu ditelepon. Mestinya
kalau sudah siap, Ibu disilakan datang atau diberitahu. Aku tidak
tahu bagaimana jalannya urusan itu," sahut Sri.
Ganik juga menyuruh orang kepercayaannya memperbarui su-
rat-surat rumah ibuku. Dia memang penuh perhatian.
"Semua harus beres. Jadi aku akan mati dengan tenang," kata
sahabatku itu. "Kuharap melihat semua surat-surat selesai, ditan-
datangani, barulah aku dipanggil Tuhan."
"Siapa tahu, dengan tindakanmu ini, tiba-tiba kau sembuh, se-
hat kembali seperti dulu!" kata Sri.
319 "Iya, ya! Lalu kalau aku sembuh, tanpa rumah, tanpa harta,
akan ke mana aku?"
Aku ingin melompat memeluknya lagi, membujuknya bahwa
tentu saja dia bisa tetap tinggal di situ, di rumahnya. Tapi ketika
kulihat matanya mengerling, seluruh pengucapannya penuh se-
nyum, aku jadi gemas. Di waktu sakit keras seperti itu pun dia
masih saja berkelakar.
"Kau masih bisa lari ke luar negeri," kata Sri sambil menunduk,
mencium dahi kawan kami yang tercinta.
Sebelum Sri pulang, Ganik memberitahukan tempat kertas-
kertas penting, memperlihatkan data-data keuangannya yang
paling akhir. Dia sudah minta kepada banknya di dalam dan di
luar negeri supaya dikirimi formulir seperlunya. Ganik akan me-
nunjuk kami, Sri dan aku, sebagai orang yang disahkan berhak
menandatangani cek atau menarik kembali uang yang dititipkan
di bank-bank tersebut.
Ganik masuk rumah sakit.
Secara sederhana, adikku yang sudah menjadi dokter dan ber-
tunangan dengan teman sekuliahnya, kawin. Mereka segera be-
rangkat ke Sulawesi Utara. Yang sekolah di Bandung juga sudah
selesai, menjadi insinyur, juga merantau ke Kalimantan Barat.
Adikku guru tetap di Jawa Timur. Sekarang sudah menjadi kepala
sekolah di Batu. Ibu sudah merasa selesai pula tugasnya. Sebab itu
dialah yang kelihatan nyata paling sedih dalam menanggapi ke-
adaan Ganik. Di waktu duduk-duduk bersama kami di luar kamar
rumah sakit, dia selalu mengulangi bahwa dia mau menggantikan
tempat Ganik. Indonesia memerlukan orang-orang pandai. Dan
wanita Indonesia yang pandai tidak banyak. Mengapa justru
Tuhan membikin Ganik menderita, memanggil terlalu cepat
Dokter Liantoro yang diperlukan oleh masyarakat? Katanya, dia
320 tidak sedih karena anak-anak lelakinya tinggal jauh. Kami yang
dekat selalu memberinya cinta dan perhatian. Apalagi Sri yang
memang sedari dulu bekerjasama, berdagang dengan dia. Kadang-
kadang, jika temanku akan pergi ke luar kota hanya ulang-alik,
dia mengajak ibuku. Memang ibu kami selalu siap untuk berjalan-
jalan. Lalu toko ditutup. Seto dan Wido pulang makan siang ke
Jalan Bandungan. Sore Eko menjemput mereka. Atau jika aku
sempat, sebelum kendaraan pulang ke rumah Sri, membawa kami
ke rumah ibuku.
Bulan November datang dengan hujan yang beruntunan. Ka-
rena keadaan Ganik yang memprihatinkan, kami tidak berpesta
ketika urusan perceraianku rampung waktu itu. Sebagai tanda
bersyukur, aku mengirim sumbangan ke mesjid dan gereja terdekat
serta ke Palang Merah. Setiap malam kami bergilir menemani,
tidur di kamar Ganik. Dalam keadaannya yang menyedihkan,
pada saat-saat kejernihan pikiran yang datang sekilas-sekilas,
sahabat kami masih tetap memperlihatkan keunikannya yang
selalu kami kagumi. Di saat semacam itulah di antaranya dia
mengatakan bahwa dia minta supaya Tuhan tidak memanggilnya
selama kertas-kertas hak milik yang diurus notarisnya belum se-
lesai. Semula, aku mencurigai, barangkali dia juga menunggu
ditengok kekasihnya. Ketika dia belum diangkut ke rumah sakit,
kulihat masih datang dua surat dari Kanada. Karena tidak bisa
menahan keinginan meringankan isi hatinya, aku menawarkan
diri sebagai juru tulisnya. Kalau-kalau dia hendak memberi berita
kepada teman-temannya. Tanggap, dia hanya tersenyum. Lalu
katanya, "Dia sudah tahu aku tidak akan menyurat lagi. Kami
sudah saling menelepon yang terakhir kalinya. Kemudian kami
sepakat hanya akan berhubungan dalam batin, dalam kenangan.
Kalau dibenarkan oleh Tuhan, kami berkencan akan bertemu di
321 dunia sana. Kaulihat alamatnya ada di dalam buku kecil di laci
mejaku. Yang kugarisbawahi dengan tinta hijau itu yang harus
kauberitahu jika aku mati nanti."
Kalimat-kalimat itu dia ucapkan seperti biasanya. Hatiku pedih
bagaikan teriris. Mulutku turut terbungkam tidak menemukan se-
suatu kata pun untuk menyahutinya.
*** Ketika Handoko menelepon, aku sedang mendapat giliran tidur
di rumah sakit. Pembantu yang menerima, kurang jelas mengerti
pembicaraan karena komunikasi yang buruk sekali. Kupikir, kalau
Handoko pintar, tentu menelepon lagi ke rumah Sri. Sudah dua
hari aku tidak bertemu sahabatku itu. Dia bergilir dengan Eko
untuk menengok atau menemani Ganik. Hatiku harap-harap ce-
mas, ingin segera mengetahui kapan Handoko datang. Namun
aku malu bertanya kepada Ganik mengenai berita itu. Lalu tiba-
tiba, setelah beberapa hari aku agak lupa karena terjerat oleh
kesibukan rutin, Sri mengatakan akan menjemput Handoko ke-
esokan harinya.
"Dia sudah di Jakarta beberapa hari ini. Nanti malam naik
kereta, aku jemput di Tawang. Kata Ganik, biar dia tidur di Jalan
Bandungan. Kau suruh pembantu menyiapkan kamar tamu. Su-
dah lama tidak dipakai, kata Ganik."
Semua itu dikatakan dengan suara pasti. Bahkan nadanya se-
dikit memerintah. Seolah-olah aku tidak berhak memberikan sua-
ra. "Mur juga datang besok. Dia biar di rumahku saja."
Kali itu aku membantah.
"Mengapa? Dia juga bisa tinggal di Jalan Bandungan," aku
322 belum biasa menyebut ?rumahku?. Demikian pula teman-teman,
bahkan Ganik sendiri, selalu mengatakan nama jalannya.
Sri tidak cepat menyahut. Lalu katanya, "Ganik yang bilang
supaya Mur tidur di rumahku. Aku menurut. Dan lebih baik kamu
juga. Mur dan aku santai. Bisa bersama memakai satu kendaraan.
Kau masih sibuk mengajar. Kapan cutimu? Ibu dan kamu tetap
berbagi colt. Tapi nanti kalau Handoko datang, biar dia yang
bawa Suzuki. Dengan begitu, kalian berdua leluasa lebih bebas.
Tapi dia harus mengantar dan menjemputmu."
Aku memang sedang ancang-ancang minta cuti tanpa digaji.
Dengan keparahan penderitaan Ganik, aku ingin lebih bebas, bisa
sering-sering berada di rumah sakit. Guru yang waktu itu sedang
cuti melahirkan baru akan kembali mengajar pekan depan. Aku
harus menunggu.
Handoko tiba, aku sudah berangkat ke sekolah pagi. Sri me-
mapankan dia di Jalan Bandungan dan dipasrahkan kepada pem-
bantu. Jam sebelas dia dijemput untuk menengok Ganik. Dan
siang, ketika waktunya aku selesai mengajar, kendaraan kulihat
mendekat. Handoko turun memapakku. Seolah-olah kami tidak
pernah berpisah, lenggang dan senyumnya dari jauh tampak
biasa dan begitu kukenal. Dia langsung mencium pipiku. Tas ber-
isi map-map dan buku langsung dia ambil. Kami bersama-sama
duduk di belakang. Sambil berkabar, badannya diarahkan meng-
hadapku, matanya meneliti rambutku, wajahku, bajuku, kembali
ke wajah. Ketika disadarinya bahwa aku mengetahui sikapnya, dia
tersenyum. Barulah dia bersandar, menghadap ke jalan. Tangan-
nya meraih, mengambil tanganku. Kami tidak saling memandang.
Kami juga berhenti berbicara.
Selama berada di meja makan, aku kewalahan menghindari
pandang Handoko. Rasa-rasanya debaran jantungku sedemikian
323 keras sehingga setiap kali baju di arah dadaku turut bergetar. Se-
telah makan, aku biasa minum teh hangat manis sebagai bekal
energi untuk mengajar di sekolah sore. Kami duduk di ruang buku.
Jendela-jendela di sana lebar dan menghadap ke kebun dalam.
Oleh karenanya, di siang hari, ruangan itu selalu sejuk. Handoko
melihati deretan judul buku-buku yang teratur di rak, hingga
ke langit-langit rumah. Kulihat ada jendela kasa anti nyamuk
yang kurang rapat. Aku bangkit untuk menutupnya. Ketika aku
berbalik, Handoko berdiri dekat di hadapanku. Pinggangku di-
rangkulnya, dia mengecup bibirku sebentar. Sedari tadi aku meng-
khawatirkan ini akan terjadi. Dan ketika pandangnya lebih de-
kat tertancap di mataku, aku menjadi gamang. Kebakaran yang
menggelegak dalam diriku serasa tak tertahankan. Handoko
mencium lagi. Kali itu dia menegukku tuntas, bermain dan
membelai dengan lidahnya. Aku meleleh dalam sentuhannya.
Ketidaksabarannya keras dan kuat menekan perutku. Segalanya
lepas, tertanggal dari kepalaku. Aku lena menuruti dan menganut
gerakannya. Kubiarkan diriku terdesak ke arah dipan.
Delapan tahun aku tidak bermain cinta. Aku juga tidak per-
nah merasakan kebutuhannya. Apa yang terjadi siang itu amat
melegakan sekaligus mengejutkan diriku sendiri. Lega karena
aku masih bisa. Kaget karena aku sedemikian cepat siap untuk
menerima, langsung disusul ledakan bersama yang belum pernah
kualami dengan bapaknya anak-anak. Dan malamnya, ketika
kami yakin bahwa sahabat-sahabatku memang membiarkan kami
berduaan berkangenan, aku merasakan kenikmatan paling padat
yang belum pernah kudapatkan selama hidupku. Seolah-olah hen-
dak memperbaiki desakannya yang setengah memaksa siang tadi,
malam itu Handoko mengulur waktu. Dia bikin lubang-lubang di
kulit seluruh tubuhku tersengal menerima kecupan dan ciuman-
324 nya. Dia memperkenalkan aku pada cara bercinta yang lain. Pada
cara pencapaian kepuasan yang dia yakin merupakan pikatan
yang memabukkan aku. Yang akan menyatukan aku pada dirinya
untuk selama-lamanya.
Dan Handoko memang telah berhasil menyihirku. Sejak ma-
lam kami berjalan bersama di dunia cinta itu, tak akan aku bisa
melewati hari-hariku selanjutnya tanpa memikirkan dia. Pada saat
apa pun, di mana pun, ketika bisikan namanya terpetik di telinga
hatiku, seluruh hayat aku menjadi tegang. Usapan udara hangat se-
rasa naik ke wajahku. Semua bulu di badanku meremang. Sesuatu
di kedalaman diriku menanti. Begitu saja aku telah siap untuk
menerima kedatangannya.
*** Musim hujan sudah berada di seluruh pesisir utara. Kota kami
menerima tumpahannya sehingga berkali-kali mengalami banjir.
Tata bangunan yang sejak selesai perang tidak selalu mengikuti
aturan semestinya, menyebabkan jalan-jalan tergenang air di wak-
tu turun hujan lebat. Kalau orang terpaksa keluar pada saat atau
sesudah hujan, terpaksa dia menghindari bagian-bagian tertentu
di dalam kota.
Aku baru akan cuti setelah guru yang melahirkan kembali
mengajar. Sejak Handoko datang, aku tidak dikenakan giliran
tidur di rumah sakit. Kami berdua menengok Ganik. Sahabatku
ini bahkan satu kali mengusirku dari kamarnya, karena dia ingin
berbicara sendirian dengan Handoko.
Pada waktu itulah keluargaku mendapat cobaan lagi.
Karena kami makan di rumah Sri, kami baru pulang jam sete-
ngah sepuluh malam. Pembantu mengatakan bahwa dua kali ada
325 telepon dari kantor polisi. Aku menelepon Mas Gun mencari ke-
terangan. Beberapa saat kemudian, dia balik menelepon. Katanya
Interpretation Murder 8 Badai Salju Karya Karl May Bila Pedang Berbunga Dendam 9
^