Pencarian

Sembilu Bermata Dua 1

Sembilu Bermata Dua Karya Marga T Bagian 1


SEMBILU
BERMATA
DUA Marga T.
SEMBILU
BERMATA
DUA Penerbit PT Gramedia
Jakarta, 1987
Terbitan ini terdiri dari empat novelet karya Marga T. yang
pernah diterbitkan secara terpisah oleh Penerbit PT Gramedia:
KETIKA HATI BERNYANYI
Copyright 9 1977
DI UJUNG SEBUAH DUNIA
Copyright C 1977
ISTRIKU BELAHAN JIWAKU
Copyright C:) 1982
SEMBILU BERMATA DUA
Copyright C) 1982
Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit PT Gramedia, anggota IKAPl
Jakarta, Januari 1987
Cetakan kedua, Oktober 1987
Dilarang'mengutip atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari Penerbit.
Dicetak oleh
Percetakan PT Gramedia
Jakarta
KATA PENGANTAR
Sembilu Bermata Dua merupakan kumpulan
empat novelet Marga T. yang sudah pernah
diterbitkan oleh PT Gramedia, yaitu: Ketika
Hati Bernyanyi (1977); Di Ujung Sebuah
Dunia (1977); Istriku Belahan Jiwaku (1982);
dan Sembilu Bermata Dua (1982). Dua yang
terakhir terbit dalam seri Bunga, sedang dua yang
pertama dalam seri Elang.
Untuk noveletnya yang ketiga dalam kumpulan ini, pengarang memakai nama samaran A.G.
Barnas. Tentu saj a untuk kali ini hanya satu nama
pengarang yang kami cantumkan, yakni Marga
T. Kecuali itu, kumpulan novelet ini disajikan
dalam bentuk penyajian dan ejaan yang sudah
disesuaikan dengan peraturan Ejaan Yang Disempumakan.
Selamat membaca.
Penerbit
J anuari 1987
KETIKA
HATI BERNYANYI
I Ida harus bekerja keras untuk menyusul
teman-temannya. Sakit tiga bulan agaknya
bukan hal remeh bila mahasiswa sudah
duduk di tingkat lima. Pertama tama dia hendak
menyelesaikan kerja praktikumnya di Rumah
Sakit Budi Asih. Di sana dia akan mendapat
seorang pasien. Dia harus memeriksa dan
menentukan diagnosa penyakitnya. Tentu saja,
bila dia tidak kena typhus, dia akan dapat bekerja
dengan beberapa teman. Tapi sekarang semuanya
sudah menyelesaikan tugas masing masing. Ida
mesti bekerja sendiri. Dengan pikiran begini, dia
menyetop bis.
"Di sini, Nona " tanya kondektur tersenyum
genit.
Ida menyumpah dalam hati lalu turun. Agak
dongkol dia mendapat perlakuan serupa itu, justru pada saat pikiran kusut. Di kantor perawat,
didapatinya seorang suster cuma. Suster Dewi.
Dengan singkat dijelaskannya maksudnya. Sus
ter Dewi tersenyum lembut, lalu bangkit segera
menuju bangsal. Ida menghempaskan diri ke atas
kursi. Diambilnya notesnya dan dimulainya lagi
menghafal apa-apa yang akan ditanyakannya.
Ida selalu tidak tenang menghadapi praktikum
seperti itu. Apalagi sendirian. Dia bergidik me
mikirkan jarum suntik yang besar itu, yang ha
rus dimasukkannya ke dalam lengan pasiennya.
Bagaimana bila tidak kena dan tidak ada darah
yang keluar Hiiii... itu biasanya bagian Purbo.
Tapi si Bego itu sudah menyelesaikan tugasnya
dan tidaklah heran aku, pikir Ida, bila dia kini
tengah bergoyang kursi di rumahnya.
Suster Dewi masuk dengan lenggang yang
ayu. "Dokter, sudah ada pasiennya. Mau dibawa
kemari atau Dokter mau ke sana "
Menurut kebiasaan, suster suster memanggil
mahasiswa: dokter, meskipun mereka tahu, yang
dipanggilnya dokter itu bukan dokter dan mereka
kadang-kadang cuma sok tahu saja, padahal jauh
lebih tahu adalah suster dan mantri dengan pengalaman sepuluh tahun.
Ida menutup notesnya sebentar. Tentu saja
pasien itu harus datang kemari. Bagaimana dia
harus memeriksanya di antara pasien pasien
lain Kalau beramai ramai tidak mengapa. Tapi
seorang diri Tidakkah pasien-pasien lain akan
mengintai dari tepian hardboard Dan apa kata
mereka bila ditemukannya dia tengah memeriksa
dengan stetoskop tapi ujungnya lupa dimasuk
kannya ke dalam liang telinga
"Ya, tentu saja dibawa kemari. Anu... kalau
dia dapat berj alan Bisa Ya, lebih baik begitu,"
kata Ida mengangguk.
Sementara menanti, dia buka kembali catatannya. Mula-mula lihat bagaimana jalannya.
Senyumnya. Persetan! Gerak geriknya. Caranya
7 duduk. Bicaranya. Lalu tanya: nama siapa Alamat di mana. Kerja apa. Agama apa. Suku apa.
Sudah kawin atau belum. Kalau belum, kenapa...
aaah persetan! Kalau sudah, kapan. Anak berapa.
Istri berai.. aah tentu saja itu tidak begitu perlur
Sulit rasanya menanyakan istri berapa bila kita
seorang diri dan belum mempunyai ijazah kedokteran.
Lalu: kenapa Saudara datang kemari Si pasien
akan mengatakan sebuah atau beberapa, keluhan.
Dan hampir pasti, akan terus dengan: hmmmm...
sudah berapa lama Disebutnya sebuah tanggal
atau waktu. Maka aku akan bertanya lagi sampai di sini Ida lupa. Dibukanya notesnya. O yaaa:
keluhan atau serangan itu kapan-kapan saja datangnya Sering terus-menerus
Terdengar langkah kaki di luar. Langkah
Suster Dewi dan langkah yang diseret seret dari
pasien.
"Dokter, ini pasiennya," kata Suster.
"O yaa," kata Ida mengangguk, "Suruh
masuk."
"Baik, Dokter. Masuk, Pak."
Astaga! Di ambang pintu berdiri seorang rak
sasa! Hitam. Berbulu. Gendut. Berkeringat. Ber
kumis. Bercambang. Dan senyumnya mengeri
kan. Aduuh! Mengapa Suster Dewi memberinya
raksasa hitam ini Sudah gilakah dia Raksasa itu
tegak di hadapannya. Kepalanya yang besar ditundukkannya dan dipandangnya anak kecil yang
akan memeriksanya. Ida menggeram dipandang
8 serupa itu.
"Silakan masuk ke situ."
Pada saat itu, baru teringat olehnya untuk
memperhatikan jalan dan gerak gerik si raksasa.
Tapi terlambat. Pasien sudah menghilang di balik
gorden putih. Ida menarik napas panj ang panj ang
sebelum diambilnya kertas dan pensil. Dijangkaunya stetoskop yang dimasukkannya, ke dalam
kantung jas lalu masuk ke balik gorden. Si Hitam
tengah duduk berjuntai di atas meja periksa.
Meskipun badannya tampak besar dan tinggi, na
mun tungkai-tungkainya tidak dapat menyentuh
lantai. Maka dia berayun ayun macam kanak
kanak. Ida menyeret kursi agak jauh dari situ tapi
cukup dekat ke luar.
"Baiklah sekarang kita mulai. Siapakah nama
Saudara " tanya Ida pura pura gagah.
"Giminr" Datang suara geraman mirip kucing
marah.
"Gimin apa "
"Ya Gimin. Tanpa apa-apa."
"Oh! Umur Tanggal lahir "
"Tiga puluh tiga. Tanggal lahir tidak tahu.
Waktu itu pohon cempedak baru berbuah satu,
dan saya terlahir, kata ibu saya."
Kalau dia berdua, pasti Ida akan tertawa. Tapi
saat itu, dia pura pura tidak merasakan lucunya
jawaban pasiennya. Gimin perlente. Pomade di
rambutnya cukup banyak untuk mencegah lalat-lalat hinggap di situ. Kemejanya tetoron merah muda, dengan gaya anak anak muda zaman
9 sekarang. Celananya tetoron juga, agak murahan.
Hitam.
"Agama "
"Islam."
"Sudah kawin "
"Ya."
"Berapa "
"Apa Istri Satu."
"Anak "
"Oh. Tidak ada."
"Kenapa Pernah sakit "
"Tidak."
"Kok tidak punya anak "
"Tahu. Barangkali belum gilirannya."
Ida menahan senyum dalam hati. Demikianlah
tanya-jawab itu diteruskan. Gimin mempunyai
keluhan panas dingin yang aneh. Dia bilang, kadang kadang menggigil dibuatnya. Ida memerik
sa dengan teliti tapi tidak ditemukannya apa apa.
Aneh. Sudah diambilnya darah dua kali. Normal.
Pada hari kelima, Ida menyerah. Dia datang
dengan lesu. Ketika akan menghampiri lab,
Suster Dewi muncul di belakangnya. Sambil
tersenyum, suster itu membukakan pintu.
"Belum selesai, Dokter " tanyanya ramah.
"Entahlah penyakit apa," geram Ida, lalu sambil menoleh pada Suster Dewi, tambahnya.
"Tidak juga saya peroleh apa diagnosanya."
"Oh"
Suster Dewi amat menyukai Ida yang ramah,
riang, serta manis. Dia sendiri ingin betul menja
10 di dokter, tapi gagal. Kurang otak. Karena itu dia
mengagumi Ida dan membantunya dalam segala hal. Sehingga akhirnya, Ida tidak lagi merasa
praktikum sendirian, sebab Suster Dewi selalu
siap di sampingnya
Suster itu mulai membuka lemari obatnya
seperti yang dilakukannya tiap-tiap pagi. Tiba-tiba dapat olehnya akal.
"Ah, Dokter, mengapa tidak Dokter tanyakan
saja pada Dokter Tamela " serunya girang.
"Siapa dia "
"Asisten pembantu Dokter Kepala."
"Tapi mengapa saya belum pernah melihatnya "
"Sebab Dokter selalu menghabiskan waktu
dalam lab. Dokter Tamela sudah melihat Dokter
dua kali. Tapi sebab dilihatnya Dokter sedang
sibuk, maka tidak diganggunya. Cuma ditanyakannya pada saya, siapa Dokter."
"Lantas Suster bilang... "
"Saya bilang, Dokter bernama Ida, dari..."
Ida tersenyum sambil menyiapkan mikroskopnya. Ada persediaan apus darah yang mau dilihatnya kembali hari itu. Sambil bekerja, tak
putus-putusnya pikirannya berputar mencari
kemungkinan-kemungkinan diagnosa penyakit Gimin. Kuli yang perlente itu tampaknya se
hat-sehat saja. Penyakit apakah yang mungkin
bersarang padanya Bila hari ini belum juga dapat olehnya dan
"Bukankah lusa laporan harus diserahkan "
11 tiba-tiba terdengar suara Suster Dewi tepat di belakangnya.
"Betul. Dan belum juga ada apa-apa yang
aneh."
"Barangkali ada yang tidak aneh, tapi toh
merupakan kelainan," terdengar sebuah suara
yang berat dan tenang.
"Oh, Dokter," tercetus nada nyaring Suster
yang kegirangan.
Ida sedang kesal. Tidak diangkatnya kepalanya karena sedang sibuk dan gelisah mencari-cari
sesuatu. Mikroskopnya diputar ke kiri, ke kanan,
ke atas, ke bawah. Jarum penunjuk dengan patuh
bergeser geser tapi hasil tetap nihil.
"Coba saya lihat," kata Dokter Tamela setengah memerintah.
Ida mengangkat kepalanya dengan segan.
Separuh mengentak dia undur ke belakang. Dokter Tamela memandangnya dengan tersenyum.
Sikap semacam itu sudah terlalu sering dihadap
inya bila seorang mahasiswa kalang-kabut dengan pasiennya. Ida mencoba menoleh ke arah
lain, tapi seakan-akan terpaksa, dia menoleh juga
ke arah asisten Dokter Kepala yang tampan itu.
Dokter Tamela menatapnya sebentar lalu membungkuk ke arah mikroskop. Lama juga dia mencari. Suster Dewi sudah pergi ke bangsal untuk
membagi-bagi obat.
Dalam hati, Ida menyukur nyukurkan dokter
yang sok tahu itu. Berlagak lebih pintar. Padahal baru lulus. Sekarang rasa! Pasti tidak akan
12 ditemukannya apa pun dalam sediaan apus itu.
Diambilnya sebuah kitab tulis lalu mengipas diri
pura-pura kepanasan. Lima menit. Sepuluh menit. Ida melangkah ke jendela lalu memandang ke
luar. Dokter Tamela masih terus duduk di hadapan mikroskopnya sampai Suster Dewi kembali.
"Sus, pasien manakah ini "
Ida memandangi mereka. Dilihatnya betapa
mesra pandang mata Suster Dewi. Ida menghela


Sembilu Bermata Dua Karya Marga T di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

napas. Andaikan aku sebahagia itu! Mempunyai
kekasih yang aku pilih sendiri dan aku cintai.
Betapa inginnya aku bebas memilih, tapi siapa
sangka nasib malang telah menjeratku. Ah, asalkan dia tidak terlalu tua!
"...bukan begitu, Ida " tanya Dokter Tamela
mengejutkan dia.
"Oh... eh maaf saya tidak dengar," jawabnya
tergagap gagap.
Suster Dewi menyembunyikan tertawanya di
balik punggungnya. Dua kali sudah Ida ditegur,
namun dia masih bilang: tidak dengar.
"Saya bilang: bukankah gejala menggigilnya
itu khas sekali Tidakkah engkau teringat akan
suatu jenis penyakit tertentu dengan gejala sep
erti itu "
Ida berdiri kebingungan. Kecepatan akalnya
hilang. Dipandangnya Dokter Tamela dengan
rupa tolol.
"Coba ingat-ingat," hantunya. "Pasien itu datang dari seberang, kan Nah, penyakit apa yang
ada dalam ingatanmu sekarang, yang mempunyai
13 gejala-gejala serupa " Ida masih diam.
"Malaria, bukan "
"Ya, tapi, Dok, dalam darah tidak ada apaapa."
"Oh, parasit itu sulit ditemukan dalam darah
tepi. Misalnya kalau dia sudah bersarang dalam
limpa. Untuk menyelidikinya, kita harus men
yuntik adrenalin, bukan Supaya apa "
"Supaya limpa itu berkerut dan parasit-parasit
itu akan keluar."
"Betul."
"Haruskah saya melakukannya "
"Saya rasa, tidak perlu."
"Jadi bagaimana harus saya buat laporan "
"Katakanlah sebuah diagnosa dengan hasil
pemeriksaan darah yang negatif."
"Terima kasih, Dok."
"Kembali Di mana rumahmu "
Ida menyebutkan jalan tempat kosnya tanpa menyebut nomornya. Sebelum pergi, Dokter
Tamela melempar senyum sekali lagi. Dia ingin
mengetahui nomor rumah Ida, tapi ketika dilihatnya gadis itu segan menyebutkannya, dia tidak
memaksa. Akan dicarinya info dari suster atau
mahasiswa lain.
Pada hari-hari berikutnya, Ida banyak didampingi oleh Suster Dewi yang peramah dan suka
membantu. Dokter Tamela tidak lagi kelihatan
dan Ida tidak sekali pun menanyakan dia. Ketika
tiba saat laporan dan cek pemeriksaan, ternyata
Dokter Hamidah tidak datang. Ida menanti den
14 gan gelisah. Kalau hari itu tidak ada dokter, tentu
dia harus datang lagi esok dan bila esok tidak ada
dokter juga, tentu lusanya dia mesti muncul lagi
dan begitu seterusnya. Padahal dia ingin lekas-le
kas selesai dengan ini dan mulai menyusul kuliah-kuliah yang lain. Pukul sebelas, belum juga
Dokter Hamidah kelihatan.
"Bagaimana ini, Suster Apa tidak ada dokter
lain "
Suster Dewi melihat daftar di atas meja.
"Apa sebaiknya saya panggilkan dokter lain "
"Barangkali begitu. Sebab saya harus menyelesaikan ini sekarang juga. Kalau bisa."
"Ada Dokter Sudiono, Dokter Tamil, Dokter
Gunadi, Dokter... tapi rasanya yang bebas cuma
Dokter Tamela."
Disorongkannya daftar itu supaya dilihat
sendiri oleh Ida.
"Dokter mana saja," kata Ida tak acuh.
Dokter Tamela amat sabar dan teliti memeriksa pasiennya. Beberapa kali wajah Ida merah
padam, ketika ada pertanyaan-pertanyaan Dokter
Tamela yang terpaksa dijawabnya dengan: tidak
tahu, saya tidak menanyakannya. Lalu dokter itu
tanya sendiri pada pasien dan heran sungguh,
amat banyak hal-hal yang dianggap Ida merupakan rahasia pribadi Gimin, tapi yang diceritakannya dengan begitu tulus ikhlas pada Dokter Tamela. Dan kerap kali didapatinya dokter
itu mengoreksi kesalahannya dengan kerlingan
mata.
15 Ida mendapati dirinya makin lama makin gelisah dan panas. Kertas catatannya sudah lusuh
dibuat mengipas-ngipas. Selama pengecekan itu
lebih banyak otak tertuju pada pemeriksa daripada ke arah yang diperiksa. Setiap kali ditanya: su
dah jelas, selalu diiakannya tanpa sadar apa yang
jelas itu.
Ketika dua jam kemudian dia berada di luar
kembali, serasa dia baru keluar dari neraka. Bebas riang rasanya dan nyaman.
16 II Bapaknya petani biasa. Adiknya delapan.
Dia kuliah di Jakarta atas ongkos pamannya
yang kaya-raya. Dua tahun yang lalu, si paman
mendadak meninggal di Bangkok. Bibinya
menolak untuk membantu dia lebih lanjut.
Ketika itu Ida duduk di tingkat tiga. Mau
keluar, sayang betul. Lagi pula, dia mencintai
kedokteran. Mau terus, Ayah tidak mampu membiayainya. Dalam kebingungan itu, dia mendapat
nasihat dari Lukito, salah seorang teman sekosn
ya. Dengan buruh bank itu, Ida sudah bersahabat
sejak pertama kali bertemu pandang. Ketika itu
Ida baru saja tiba. Dia mau membasuh muka di
kamar mandi. Sepanjang lorong ke belakang,
berderet kamar kamar. Semua pintu tertutup. Dia
tidak tahu yang mana kamar mandi dan mana
kamar kecil
"Bi," tanyanya pada pembantu yang kebetulan ada di situ, "yang mana kamar mandi "
"Oh, itu, Non. Yang dekat meja itu."
"Terima kasih." Dan Ida tanpa memperhatikan lebih lanjut, segera membuka pintu dekat
mej a.
Astaga! Betapa terkejutnya ketika didapatinya
itu sebuah kamar dan penghuninya tengah ber
baring membaca buku. Secepat kilat ditutupnya
Ida berasal dari kota kecil di selatan Jawa.
17 kembali pintu itu, sebelum penghuninya sempat
melihat mukanya. Dia menoleh ke kiri ke kanan
dengan rupa bingung. Pembantu itu sudah lenyap. Bagaimana ini Salah satu dari pintu-pintu
itu mesti kamar mandi, tapi yang mana Jan
gan jangan dibukanya lagi pintu kamar orang.
Tiba-tiba pintu di belakangnya terbuka.
"Ada apa "
Ida menoleh. Laki laki itu masih memegangi buku yang sedang dibacanya. Air mukanya
ramah dan simpatik.
"Oh, eh anu, di mana kamar mandi " tan
yanya tergagap gagap.
"Di sebelah mej a marmer," katanya menunjuk
ke arah mej a tua di ujung lorong.
Ah, tololnya aku, kutuk Ida dalam hati. Sudah
tentu yang dimaksud tadi adalah meja marmer
dan bukan kayu.
"Terima kasih."
Laki-laki itu mengangguk, tersenyum lalu
masuk lagi ke kamar.
Sorenya, mereka bertemu lagi ketika minum
teh. Luki tengah asyik menikmati pisang goreng,
ketika dilihatnya gadis yang nyasar tadi siang,
memasuki ruangan perlahan-lahan. Nyata betul
bahwa dia masih kurang pengalaman dalam ber
gaul. Sikapnya begitu pemalu. Gaun merahnya
cuma menambah kemerahan pipinya yang merah
padam melihatnya.
"Silakan duduk," kata Luki tanpa menanti
pendahuluan dari tante kos yang biasa memperk
18 enalkan penghuni baru.
"Wah, sudah kenal nih " tanya Tante
tersenyum.
"Sudah," kata Luki melirik Ida yang makin
tersipu-sipur
"Tapi belum tahu namanya, Tante."
"Ida," kata Tante sementara Ida pura-pura
sibuk dengan kursinya.
"Kenapa " tanya Luki. "Ada tinggi "
"Ah, mana mungkin!" tukas Tante sedikit
terhina. "Di rumah ini tidak ada tinggi. Bahkan
kamar Minah, bersih!"
"Saya bukan mencari tinggi, kok," kata Ida
sambil menatap Luki dengan keki. "Paha saya
tertusuk peniti." Lalu peniti jahanam itu diunjukkan sebagai bahan bukti.
Tante menggeleng-geleng, tidak mengerti mengapa benda itu ada di situ. Tidak lama
kemudian, datang tamu dan Ida dibiarkan berdua
dengan Luki. Tanpa diminta, laki-laki itu mulai
memperkenalkan diri. Hm, pegawai bank! dengus Ida. Tapi lagaknya macam orang kaya! Luki
tidak peduli apa kesan Ida tentang dirinya. Dia
ngoceh terus. Dan ternyata gadis itu lama-lama
tertarik juga. Dalam waktu dua puluh menit, Ida
sudah dipaksa secara halus untuk menceritakan
seluruh kehidupannya: keluarganya, kampungnya, cita-citanya. Sebaliknya, Luki juga memberi
keterangan mengenai tempat kosnya yang baru
itu. Kebiasaan kebiasaan mereka. Kelima laki-la
ki dan ketiga gadis keponakan tuan rumah, yang
19 juga tinggal di situ. Ida diberi tahu siapa-siapa
yang mesti dihindarinya dan siapa-siapa pula
yang boleh digaulinya. Luki bicara dengan nada
seorang pembesar polisi terhadap anak-anak na
kal yang baru saja kena razia. Ida agak merasa
aneh mendengarnya. Tapi biarpun begitu, mereka
toh berhasil mengikat persahabatan dan sejak itu
keduanya tidak pernah absen dari meja teh.
Ida tidak begitu mengerti seluk beluk perkantoran, akan tetapi menilik cara hidup Luki,
agaknya buruh bank itu mempunyai obyek lain
di samping kerja rutinnya. Sebab siapakah yang
dapat hidup pantas dari hanya gaj i melulu
Beberapa minggu kemudian, Ida ber
cakap cakap dengan Lisa. Ketika itu di rumah
tidak ada orang. Di antara ketiga keponakan
Tante, cuma Lisa tinggal di rumah. Sambil
lalu, Ida menyebut nama Luki, Lisa serta merta
mendengus mendengar nama itu.
"Ah, manusia itu! Seperti yang banyak uang,
lagaknya. Selalu mau menasihati orang! Dan
tingkahnya! Aduh. Macam dia itu big boss, tahu.
Sebal aku padanya. Masa kan aku diajaknya nonton lilm ke HI! Bayangkan. Aduh, tertawa aku
dibuatnya. Apa sih dia sampai berani-berani ayun
kaki di HI Kalau sendiri sih, masa bodoh. Tapi
ini, mengajak aku! Paling-paling kan dia itu nyatut sana-sini."
Lisa tertawa gelak-gelak. Entah mengapa,
meskipun Ida sendiri merasa aneh akan sikap
Luki yang sok menasihati dan menjadi big-boss,
20 namun menghadapi orang menghinanya, ternyata
dia tidak suka. Maka dengan halus, tanpa komentar sepatah pun, dialihkannya percakapan kepada
mode-mode terbaru. Waktu itu Ida masih menjadi
keponakan tersayang dari seorang raja karet Ba
junya banyak dan mewah. Uangnya selalu padat
memenuhi dompetnya. Pada setiap orang kecuali pada Luki dia selalu bersikap seakan ayahnyalah yang mengongkosi dia. Cuma Luki yang
tahu keadaan keluarganya dan bagaimana dia
menjadi harapan untuk menaikkan gengsi keluarganya yang telah jatuh akibat si bapak kurang
pendidikan. Dan kurangnya pendidikan itu merupakan akibat pula dari kegemaran bermain judi,
pada usia di mana dia masih diharapkan menggarap kepandaian di bangku sekolah. Kakeknya
cukup kaya, tapi harta bendanya habis diperjudikan oleh anak-anaknya. Sekarang Ida menjadi
harapan utama.
Biarpun hampir setiap gadis gadis di rumah
itu menghina Luki, Ida tetap meneruskan per
sahabatannya. Ani agak menyukai Luki, tapi itu
cuma berlangsung dua bulan. Setelah dia pandai
mengendarai motor kumbang dan tidak membutuhkan pertolongan Luki lagi, maka dia pun
memperlihatkan sikap tak acuhnya yang sering
kali menusuk perasaan Ida. Sampai sejauh itu
Luki tampak tidak peduli. Terhadap Ida, dia luar
biasa baik. Ketika diketahuinya gadis itu gemar
membaca, entah dari mana, seketika itu juga didistribusinya sejumlah buku-buku ke kamar Ida.
21 "Dari siapa " tanya Ida pada pembantu yang
mengantarkan buku buku itu.
"Dari Tuan Lukita."
"Engkau membaca juga buku-buku Inggris "
tanya Ida sorenya.
Luki tertawa sambil menjangkau sepotong
serabi.
""Buku-buku itu sengaja aku beli untukmu,"
jawabnya menyimpang.
Ida tidak mendesak, sebab dia menyangka sahabatnya itu betul-betul tidak paham bahasa asing
dan merasa malu untuk mengakuinya. Begitulah
dengan perantaraan buku buku, tali persahabatan
mereka bertambah erat. Ida tidak ambil pusing
semua komentar Lisa: buku buku itu pasti hasil
catutannya atau buku-buku itu tentu dipinj amnya
dari calo calo buku di Kwitang. Atau... banyak
lagi yang lebih menusuk hati.
22 III idaklah heran, ketika Ida menerima berita
buruk dan tegas itu dari bibinya, dia segera
| mencari Luki. Pegawai bank itu terkenal
cerdas dan memang ahli dalam mencari akal.
Seringkali Ida harus berkata dalam hati: engkau
sebenarnya pantas menjadi ahli hukum, tapi tidak
berani diucapkannya. Dia maklum bahwa pemuda
itu akan sangat tersinggung bila kemiskinan dan
kekurangannya dalam pendidikan dijadikan
bahan bicara.
Sore itu mereka bertemu lagi di meja teh.
Ida mengenakan baju hijau. Udara bagus sore


Sembilu Bermata Dua Karya Marga T di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu. Seperti biasa, Luki mengenakan kemejanya
yang tipis dan sudah agak tua. Celananya masih
tetap seperti yang dipakainya pagi itu ke bank.
Ida mencoba riang seperti biasa, tapi Luki tahu
juga, ada sesuatu yang tidak beres. Beberapa kali
gadis itu ditanya, ada apa Tapi Ida bilang, tidak
ada apa-apa. Memang tidak leluasa berbicara di
situ, apalagi dari kamar tengah sudah terdengar
hiruk pikuk menandakan ketiga gadis itu ada di
rumah semua dan sudah bangun tidur.
Handoyo, mahasiswa publisistik, tahu-tahu
muncul.
"Halo, Yo," seru Luki dengan riang. "Kok
tumben ada " Sebab Handoyo jarang sekali di
rumah pada sore hari.
23 Sambil melihat arlojinya, yang ditanya
tersenyum.
"Iya. Lisa minta diantar ke... anu ke toko
buku atau apalah... saya lupa."
"Lupa atau baiklah. Rahasia memang patut
disimpan, kan," kata Ida pura pura tahu.
Handoyo tertawa. Luki mengambil alih kesempatan bebas itu.
"Eh, ya motor bobrokku kebetulan baru diservis. Bagaimana kalau kita"
"Nah, itu! Makanyajangan sok mengolok olok
orang lain. Awak sendiri " kata Handoyo membuat Ida merah padam. "Ayo, Ki, jangan bikin dia
tidak sabar menunggu. Udara begini bagus. Wah,
aku permisi sebentar. Agaknya dompet tertinggal
dalam kamar."
Dengan cepat Handoyo bangkit ketika dilihat
nya Lisa keluar dari kamarnya. Alasan sebenarn
ya: Lisa kurang suka melihatnya bersenda gurau
dengan buruh bank yang miskin itu dan Handoyo
yang diplomatis, tidak suka ribut-ribut. Dia masih
membutuhkan kamar kos, milik paman Lisa.
"Kita jalan jalan," usul Luki dan Ida terlalu
pusing untuk berusaha menolak. Maka diambilnya syal dan mantel lalu berangkat. Tanpa tujuan
tertentu, mereka berhenti di atas Jembatan Semanggi. Ida mempererat ikat lehernya.
"Engkau ini macam nenek-nenek saja. Baju
dingin, ikat leher. Padahal tiap hari, makanmu
susu dan telur. Aku tanpa apa-apa toh sehat," komentar Luki.
24 "Aku sering sakit leher."
"Engkau tampak kurang gembira," kata Luki
hati-hati, sesaat kemudian.
"Bagaimana aku bisa gembira," sahut Ida
sambil mengeluarkan secarik kertas dari dalam
saku bajunya.
"Aku baru saja menerima ini dari Bibi. Bacalah."
Luki membaca dengan penuh kerut pada dahinya. Diulangnya beberapa kali. Sikapnya serupa betul dengan ahli hukum yang tengah menelaah surat pemerasan yang baru diterima oleh
kliennya.
"Aduh, lagakmu mirip betul dengan pokrol
bambu," tercetus pikiran Ida tanpa tertahan-tahan.
Luki pura pura tidak mendengar atau barangkali dia sungguh sungguh tidak mendengarnya
Dia asyik terus dengan surat di tangannya.
"Jadi hmmm... pamanmu kena serangan
jantung. Meninggal. Bibimu menolak untuk
mengongkosi terus kuliahmu... ya... berdasarkan
hukum, dia tidak bersalah."
"Berdasarkan hukum!" teriak Ida dengan sen
git. "Siapa, yang tanya: berdasarkan hukum! Seakan engkau sendiri tahu mengenai hukum!"
Agak merah wajah Luki mendengar ini. Ida
segera insaf akan kelancangannya. Dengan tidak
sadar disentuhnya jari jari Luki.
"Maaf. Aku menyinggungmu. Tapi aku betul
betul tengah kebingungan. jangankan mau mel
25 anjutkan studi, sedangkan uang kos bulan ini
belum terbayar! Dan ayahku! Ayahku! Mana
sanggup. Adikku delapan. Bagaimana aku mesti
terus kuliah Uang kos saja begitu mahal."
Ida menundukkan kepalanya hendak mencoba menyembunyikan air matanya. Luki membiarkannya begitu beberapa saat. Agak mendongkol
dia akan sikap Ida yang keras kepala dan memandangnya begitu rendah. Bukankah Ida tidak
menanyakan nasihatnya Biarkan saja dia. Luki
mengambil sebatang rokok dan menyulutnya
dengan tenang seakan-akan dunia berada dalam
tangannya.
"Mengapa engkau diam saja " bisik Ida.
Hari sudah mulai kelabu dan bayangan Luki
yang begitu tenang, menggelisahkannya. Seolah-olah Luki tengah menerawangi angkasa dan
tidak berada di situ, di sampingnya.
"Habis aku harus berbuat apa " balasnya tanpa menoleh.
"Oh, katakanlah sesuatu, Ki. Katakan apa
yang harus aku lakukan. Keluar dari tingkat empat Atau... bukankah engkau biasanya banyak
akal "
"Tapi aku cuma punya akal kampungan. Sebab aku tidak tahu mengenai tatahukum. Aku
khawatir, akal itu cuma akan jadi bahan tertawaan orang."
Ida terdiam mendengar ini. Dia mengerti,
pemuda itu tersinggung oleh perkataannya tadi.
Tapi sebuah nasihat yang baik dan dia percaya
26 sahabatnya yang cerdik itu pasti akan dapat memberinyaalibutuhkannya dengan sangat. Sebenarnya Ida sudah tidak ingin mengatakan apa-apa
lagi. Tapi sekonyong konyong teringat kembali
olehnya uang kos yang belum terbayar dan uang
pembayarnya yang tak mungkin diperoleh dari
bibinya. Bibi mempunyai hak untuk menolaknya
walaupun dia sendiri tidak mengerti bagaimana
wanita yang selalu baik budi terhadap makhluk,
bisa berbuat serupa itu. Paman tidak mempunyai
anak. Bibinya tidak pula mempunyai niat akan
mengambil salah seorang keponakannya untuk
menjadi ahli waris seperti yang dicita-citakan
pamannya. Untuk apa uang sebanyak itu bagi
wanita sebatang kara, Ida tidak habis mengerti.
Dia tahu, beberapa tahun berselang, paman berusaha untuk mengangkatnya sebagai ahli waris,
tapi ayahnya tidak setuju. Kalau tidak, tentu sekarang aku sudah berada di Wina atau London,
menjadi mahasiswi di sana dan tidak berkenalan
dengan pemuda tolol macam Luki. Gadis manis
itu menghela napas panj ang.
Sejak tadi, Luki asyik memperhatikan sahabatnya dengan lirikannya dan mencoba menerka isi pikirannya. Ketika didengarnya gadis itu
menghela napas, dia menoleh. Ida amat muram.
Dan berulang-ulang menghela napas.
Matahari sudah lenyap. Tinggal sedikit sisa
lembayung sore.
"Luki." Tiba-tiba Ida menoleh dan Luki tidak
sempat menyembunyikan pandangnya, tapi Ida
27 tidak memperhatikan tingkahnya, "Luki, katakanlah apa yang harus aku lakukan, kalau engkau dapat. Bila kau tidak suka memberi aku nasihat, sebaiknya kita pulang saja. Lihatlah, sudah
hampir malam. Leherku belum lagi sembuh."
"Sabar dulu. Bukan aku tidak mau menolongmu tapi..."
"Tapi apa " tanya gadis itu sambil menghampiri kendaraan mereka.
"Tapi belum dapat olehku akal yang bagus.
Sabarlah."
"Aku membutuhkannya sekarang juga. Kalau
tidak, terpaksa besok aku mencari kerja untuk
bayar kos dan setelah itu setelah itu barangkali
aku akan pulang ke kampung," suaranya parau
sedikit.
Ketika Luki masih juga terpaku kebingungan,
[da mendesaknya supaya pulang. Dengan tidak
berdaya diturutinya kehendak gadis itu. Sebenarnya, Luki sudah mendapat sebuah akal, tapi
sebelum berani dikemukakannya, motor sudah
terlanjur di-start dan tidak ada lagi kesempatan
buat bicara.
Esoknya Ida tidak pergi, kuliah. Sorenya,
tidak pula dia muncul di meja teh. Luki menan
yakannya pada Tante kos.
"Tante sudah menengoknya tadi. Tidak apaapa, cuma pusing sedikit. Tapi baik juga kalau
engkau mau melihatnya dan bawakanlah tehnya
sekalian. Ini, pakai baki."
Luki mengetuk pintunya.
28 "Yaa Tidak dikunci. Masuk saja, Minah,"
kata Ida dari dalam, lalu dengan kaget cepat-cepat memperbaiki bajunya ketika melihat siapa
yang masuk. Seluruh tubuh gadis itu tersembunyi
dibawah selimutnya yang mahal, cuma kepalanya yang manis tampak sayu di atas bantal bersu
lamnya. Luki meletakkan bakinya di atas meja.
"Aah, terima kasih. Tapi aku tidak mempunyai keinginan untuk minum teh sore ini."
"Engkau sakit " tanya Luki tanpa menoleh.
"Pusing sedikit. Barangkali kepanasan tadi."
"Tidak kuliah "
Sesaat kemudian baru Ida menjawab pelan,
"Aku mencari kerja. Nihil. Tak ada yang mau
pakai tenaga tanpa pengalaman dan tanpa lipstick." Gadis itu tertawa kering.
"Aku mempunyai akal," kata Luki sambil
mengundang dirinya sendiri duduk di kursi
Ida menghela napas dan memaksa diri, demi
kesopanan untuk menanyakan apa akal sahabat
nya. "Tulislah iklan dalam surat kabar menyatakan
keadaan daruratmu dan mohon beasiswa dari seorang dermawan yang cukup uang. Aku rasa, dalam dunia yang luas ini pasti masih ada seorang
dermawan yang suka menolongmu."
Ida tertegun sejenak mendengar akal yang to
lol itu. Untuk beberapa saat dicobanya mencernakannya. Luki berkali-kali meyakinkannya
bahwa akal itu pasti berhasil. Dan dia bersedia
memasangkan iklannya.
29 "Tahu beres," katanya tersenyum, "dan minumlah tehmu."
Ida mengangkat bahu tanpa keyakinan sedikit
pun, namun dia tidak berkata apa apa. Dia juga
tidak memberi komentar ketika dua hari kemu
dian iklan itu muncul di surat kabar. Karena itu
betapa terkejut dan gembira hatinya, ketika ternyata datang responsi dari Bandung, seminggu
kemudian.
Begitulah kuliahnya diselamatkan oleh seorang tuan penolong yang tidak mau menyebutkan
nama serta alamatnya. Tidak pula diketahuinya,
apakah orang itu sudah tua atau masih muda.
Yang nyata cuma, setiap bulan tuan penolong itu
akan mengiriminya uang untuk kuliah dan keperluan sehari-hari. Dalam wesel, tidak pernah tertulis lebih banyak dari yang perlu. Tidak pernah
ada nasihat atau kata kata intim. Selalu tegas dan
tepat.
Ida mulai belajar menghemat dan sedikit uang
yang lebih, ditabungnya buat ongkos-ongkos
yang tak terduga, yang dulu selalu dijamin oleh
pamannya. Dengan sendirinya, dia merasa amat
berterima kasih pada Luki untuk nasihatnya yang
istimewa itu. Perasaan itu sedikit sedikit memu
ncak menjadi intim. Ketika Luki terasa makin
memperhatikannya, Ida juga mulai menaruh rasa
sayang padanya. Kenyataan bahwa Luki cuma
seorang klerk, ternyata tidak mampu mencegah
benih cinta yang menerobos ke dalam hatinya.
Pada suatu hari datang sepucuk surat. Tuan
30 penolong itu akhirnya menampakkan diri. Ditulisnya alamatnya dalam surat yang pendek itu.
Namanya Hanifah, tanpa embel-embel. Menurut
perkiraan Ida, itu nama samaran. Tapi tidak be
gitu dipikirkannya. Segera dibawanya surat itu
pada Luki, setelah makan malam, sebelum dia
mulai belajar.
Luki tampak tak acuh melihat surat itu. Ida
memperhatikannya dari samping. Beberapa kali
tampak pemuda itu seakan mau tertawa, tapi ditahan sebisa-bisanya.
"Kenapa sih kau " tanya gadis itu akhirnya.
"Ah, tidak apa apa," sahut yang ditanya sambil cepat-cepat mengalihkan pembicaraan. "Eh,
anu... kaupikir... anu, berapa usia penulis surat
ini "
Ida mengerutkan keningnya. Ditatapnya tulisan dalam genggaman Luki dan mencoba menjawab pertanyaannya.
"Barangkali masih muda, Ki. Tapi itu agak
mustahil, bukan ! Dari mana diperolehnya uang
sebanyak itu guna membiayai kuliahku "
"Ah, kenapa jadi mustahil Misalkan dia anak
seorang kaya, dan mendapat uang itu dari ayah
nya dan misalnya lagi, dia kemudian me eng
kau."
"Me apa!" tanya Ida agak marah, karena dia
tahu maksud Luki.
Pemuda itu tidak menanggapi kemarahan Ida
tapi malah berusaha menahan senyumnya yang
nyaris pecah.
31 "Aku ingin menanyakan apakah dia sudi bertemu dengan aku. Bagaimana pendapatmu "
"Oh, baik saja," sahut Luki tak acuh.
"Tapi, belum tentu dia mau bertemu."
"Ah, pasti dia mau."
Luki cuma mengangkat bahu. Dikembalikan
nya surat itu.
"Sekarang masuk kamar dan belajar, Non.
Amat penting untuk naik kelas, kan ! Siapakah
yang akan suka mengongkosi seorang nona manis yang tidak naik naik kelas "
"Cis!" seru Ida membemngut. "Aku pasti
naik. Berani taruhan "
Luki tidak berani. Tentu tongpes, olok-olok
Ida. Buruh sederhana itu tertawa.
Surat kedua menyusul sebulan kemudian. Untuk kekecewaan Ida, ternyata betul dugaan Luki:
tuan penolong itu belum mau memperkenalkan
diri. Bahkan mengirimkan foto, juga tidak mau.
Nanti saj a, katanya, bila yang ditolongnya sudah
menjadi dokter dan lulus dengan gemilang. Ida
amat terharu membaca surat kedua itu. Tuan pe
nolong itu siapa pun dia adalah seorang yang
jujur dan baik hati. Dikatakannya betapa gembi
ranya dapat menolong Ida. Sebab selama ini har
tanya yang banyak itu tidak pernah berguna bagi
sesama manusia. Dia sendiri tidak membutuhkan
begitu banyak. Dikatakannya pula agar supaya
Ida jangan ragu ragu bila memerlukan sesuatu.
"Katakan saja, mintalah apa saja, maka akan
kaudapat."
32

Sembilu Bermata Dua Karya Marga T di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ida tersenyum membacanya dan surat kedua
itu pun diperlihatkannya pada Luki.
Ujian ujian dilalui dengan berhasil, Ida naik
ke tingkat empat. Hal itu dilaporkannya pada
tuan penolongnya yang menjadi girang setengah
mati. Mungkin lebih girang daripada Ida sendi
ri, sehingga gadis itu berjanji akan lebih giat lagi
belajar. Ayahnya turut pula menulis surat terima
kasih pada tuan penolong anaknya. Ayah Ida mula-mula keberatan menerima akal Luki, namun
setelah indoktrinasi sepanj ang lima lembar kertas
surat, termakan juga olehnya kebaikan akal itu
bagi anaknya.
Selama di tingkat empat, dengan teratur, dua
bulan sekali tuan penolong itu mengirim surat.
Suratnya ramah tapi tidak lebih dari itu. Dan walaupun tuan itu selalu meyakinkan Ida bahwa su
rat suratnya amat disukainya, toh dia tidak pernah
membalas cepat cepat. Kadang kadang Ida kesal
seakan akan dia dianggap sepele saja. Gadis itu
ingin sekali pergi ke Bandung menjumpainya,
tapi dia tidak berani menyalahkan kepercayaan
tuan itu, yang telah memberitahukan alamatnya
dengan enbe: janganlah hendaknya kita bertemu
dulu supaya studi Nona tidak terganggu. Ida in
gin menumti permintaan penolongnya.
Makin lama, gadis itu merasa makin tertarik
akan pribadi tuan penolongnya: lembut, ramah,
sopan, baik hati, dan tahu menenggang perasaan
orang lain. Tidak pernah sekali pun tertulis dalam
surat suratnya, sepotong kata yang menunjuk
33 kan bahwa dia seorang tuan penolong atau bahwa yang disuratinya tengah berada dalam belas
kasihannya. Tidak pernah itu. Selalu surat-surat
itu bernada ramah dan penuh persahabatan. Se
hingga mau tidak mau, Ida menduga, pasti tuan
penolongnya itu masih muda. Mengenai uangn
ya: mungkin tepat dugaan Luki bahwa uang itu
diperoleh dari orang tua si penolong.
Pada suatu liburan yang dihabiskannya di
kampung, dalam kesepiannya, Ida kembali teringat akan budi si tuan penolong yang telah diter
imanya. Budi sebesar itu, bilakah akan terbalas
olehnya Demikian lamunannya di bawah pohon
bambu, tertiup angin silir-silir. Terhadap orang
sebaik itu belum sedikit juga balasan telah diberikannya. Gadis itu mulai berpikir pikir, apa yang
pantas diberikannya bagi Hanifah yang budiman.
Hari itu Ibu membuat pisang salai. Buatan Ibu
memang istimewa, tapi patutkah mengirimkan
pisang salai kepada seorang yang begitu kaya
Ah, Ida merasa dirinya kecil. Tidakkah keluarga
tuan penolongnya akan menertawakan dia Ba
rangkali mengirimi buah-buahan lebih baik. Tapi
apa gunanya Di Bandung, semua serba ada.
Dan orang itu cukup uang. Ah, barangkali, leb
ih baik menanyakan pendapat Luki. Ya, itu paling
baik. Begitu libur berakhir, dia segera kembali ke
J akarta dan hari itu juga membuat konsultasi dengan Luki.
"Ah, mengapa tidak kautulis surat saja padanya dan menanyakan terus terang, apa yang dike
34 hendakinya "
Betul, pikir Ida dengan gembira. Malam itu
juga dibuatnya surat itu. Lama nian tak ada balasan. Sebulan lewat. Dua bulan lewat. Tiga bu
lan. Tapi balasan belum tiba juga. Sementara itu
kiriman uang datang seperti biasa. Ida mengira
suratnya hilang. Setelah mendapat persetujuan
Luki, ditulisnya surat kedua dengan isi yang
sama. Sebulan kemudian datang balasan.
Nona [da yang baik,
Membalas surat Nona yang kedua, saya minta
maafsebab tidak mampu membalas surat Nona
yang pertama. Sebenarnya surat kedua pun ka
lau boleh, tidak hendak saya balas. Tetapi karena khawatir Nona akan menyangka surat surat
itu hilang dan dengan demikian terus-menerus
membuang waktu Nona yang begitu berhalga
untuk menulisi saya terus, maka saya memberanikan diri untuk mencoba membalas surat Nona.
Sebelum saya lanjutkan ini, saya ingin Nona
mempunyai gambaran yang jelas dulu mengenai
diri saya.
Saya adalah orang yang selalu sengsara dan
penuh kesepian. Harta tidak mampu membuat
saya bahagia. Saya selalu mengembara dari
satu tempat ke tempat lain, mencari dan mencari
bahagia seperti yang didapat manusia manusia
lain. Kerap kali saya bertanya pada diri saya
sendiri, apakah dosa yang telah saya perbuat
35 yang menyebabkan Tuhan berlaku begitu keras
terhadap saya Sejak di bangku kuliah sebab
saya dulu juga mahasiswa seperti Nona pertanyaan itu sudah menghantui saya. Saya menengok
ke kiri: saya lihat orang berbahagia. Saya toleh
ke kanan : tidak beda pula yang saya dapati. Maka
bertanyalah saya kerap kali, sampai sampai dalam mimpi: sejahat itukah saya, setidak simpatik itukah saya sehingga tidak ada manusia lain
yang sudi memberi saya bahagia Sehingga
Tuhan sendiri menjauhkan Diri dari saya dan
membiarkan saya sendirian Sehingga tidak
memberi saya kesempatan untuk menunjukkan
bahwa saya pun ingin membahagiakan manusia
lain Karena itu, Nona Ida, betapa bahagianya
saya ketika saya membaca iklan Nona. Hati saya
berkata: inilah manusia yang dapat kaubahagiakan dan saya harap, bahwa saya betul dalam
hal ini. Sekarang Nona mengajukan pertanyaan
yang amat merisaukan hati saya: apakah yang
saya inginkan Apakah yang dapat Nona berikan
yang belum saya miliki Semua sudah ada pada
saya kecuali apa yang saya sebut di atas. Dengan
kedatangan Nona dalam hidup saya, saya merasa bahagia. Saya ingin, bahagia itu tidak berlalu
lagi tapi menetap seterusnya dalam hidup saya
dan dalam hidup Nona, kalau Tuhan mengizinkan. Karena itu saya ingin bertanya; sudikah
Nona berhenti sebentar dalam hidup Nona untuk
menjemput orang malang yang kesepian ini dan
membawanya serta dalam hidup Nona selanjutn
36 ya Sudikah, Nona, bila kita bersama-sama melaluijalan yang ditunjuk Tuhan di dunia ini bagi
kita dan kelak bersama sama menghadap-Nya
Sudah tentu saya maklum bahwa sesungguhnya keinginan saya itu tidak pantas dan saya minta maafsebesar besarnya. Cuma kesepian yang
begitu menyeramkan telah mendorong saya untuk memberanikan diri dan mencurahkannya ke
dalam surat ini. Jangan sekali kali menyangka
bahwa ini berhubungan dengan beasiswa yang
Nona terima sekadarnya dan akan Nona terima
terus meskipunjawab Nona akan mencampakkan
saya ke dalam kesepian buat selamanya. Percayalah, Nona bebas dalam menjawab surat saya
yang tidak pantas ini. Janganlah merasa terikat
dengan hutang budi.
Ida tidak meneruskan bacanya. Dilipatnya
lalu dimasukkannya surat itu ke laci meja tulisnya, tidak bermaksud membacanya lagi. Isi surat
itu sungguh-sungguh di luar dugaannya. Dia
tidak berniat memperlihatkannya pada Luki. Terlalu tidak pantas. Sungguh-sungguh tidak pantas.
Tapi... itu sudah seharusnya bisa diterkanya lebih
dahulu! Di manakah ada orang memberi pertolon
gan tanpa harapan akan balas jasa Oh, sebagai
mahasiswi seharusnya dia sudah mengetahui itu.
Betapa bodohnya. Dan Luki, akan dibuangnya
ke mana Luki yang baik, yang dicintainya tahap demi tahap: sanggupkah dia melupakannya
Betapa akan menyesal dia melihat akibat akalnya
37 sendiri seperti itu. Ida tahu, Luki mencintainya.
Kalau dia menolak si tuan penolong, meskipun orang itu tetap suka membiayainya, masih
adakah mukanya untuk menerima pemberian
nya Dan uang yang sudah diterimanya dengan
apa akan dikembalikannya Sebab dia masih jauh
dari selesai.
Diambilnya kembali surat itu dari dalam laci.
Diremuknya dalam telapak tangannya. Tapi sesudah itu diratakannya kembali kertas tadi dan
seakan akan ada yang mendorongnya, dibacanya
sekali lagi. Sekali lagi. Sekali lagi. Makin lama,
rasa dongkolnya makin berangsur lenyap. Ida
mengerti, orang itu, yang tetap menyembunyikan
identitasnya, dengan setulus hati mencurahkan
penderitaan serta harapannya. Alangkah berbudinya tuan itu. Tanpa mengetahui siapa gadis
yang ditolongnya, tanpa mengetahui bagaimana
wajahnya sebab dia belum pernah meminta
gambar Ida dia telah berani mengajukan diri
dalam hal yang begitu penting. Pantaskah dia,
setelah menerima budi sebesar itu, masih akan
menolak kesempatan untuk membalas kebaikannya
Sekali itu Ida tidak meminta pertimbangan
Luki. Surat itu dibalasnya dengan: ya, saya bersedia. Terhadap Luki, dia tidak bilang apa apa.
Cuma dia berusaha, lambat-lambat menjauhkan
diri daripadanya. Untuk memperkecil luka hatinya, bila kelak mereka terpaksa berpisah.
Tingkat empat dilaluinya dengan baik. Dia
38 masih tetap menerima dan membalas surat-surat
dari tuan penolongnya, hanya tidak sekerap dulu.
Gadis itu dengan susah payah berusaha bersikap
baik terhadap orang yang belum pernah dikenalnya. Ini tidak begitu sukar, dibandingkan dengan
usahanya untuk mencintai orang itu.
Bila disangkanya tak ada orang memperhatikannya, acapkali gadis itu termenung. Anehnya,
Luki tidak pernah menanyakan apa-apa padanya. Surat-surat dari Bandung tidak pernah lagi
diperlihatkannya pada pemuda itu sebab setelah
jawaban Ida yang menyenangkan itu, maka isi
surat surat itu lebih intim dan kadang kadang
cukup mesra. Tampak jelas, si tuan penolong itu
tidak mahir bersurat cinta. Ida sendiri tidak pernah menulis lebih daripada yang perlu. Betapapun, amatlah sulit dan mungkin sedikit gila, untuk
bersurat cinta dengan orang yang tidak pernah
dilihatnya bagaimana rupanya. Sebab orang itu
tetap tidak mau mengirimkan foto.
Ida tidak mengatakan pada kedua orang tuanya apa yang telah terjadi. Andaikan tahu, pasti
ayahnya tidak akan mengizinkannya memberi
jawaban segila itu. Walaupun itu berarti mengor
bankan cita cita dan kuliahnya.
Ida masih mempunyai sedikit harapan, bahwa
sebelum saat terakhir, suatu mukjizat akan terj adi
dan menyelamatkan dia dari tangan tuan penolongnya. Dengan begitu segalanya akan beres tanpa orang tuanya perlu tahu apa-apa. Kecelakaan
toh dapat terjadi setiap saat Namun Ida tidak
39 dapat menetapkan, bencikah dia pada Hanifah
atau tidak.
Sampai dia naik ke tingkat lima, Hanifah
masih tetap bersembunyi. Malah ketika Ida sakit
keras dan Luki menurut ceritanya sendiri, telah
menyurati orang aneh itu, Hanifah tidak bereaksi. Selama Ida tiga bulan terbaring kena typhus,
cuma Luki yang setia menjenguknya, selain
Tante kos.
40 IV egitulah hari itu Ida melamun di muka
B jendelanya. Di atas pangkuannya
terkembang hasil pencatatan praktikum
lisik tadi siang dan dia masih harus menyalinnya
kembali dengan banyak koreksi dari Dokter
Tamela. Esok harus diserahkannya pukul
delapan. Itu berarti, paling tidak pukul tujuh dia
sudah harus berangkat dari rumah, sebab rumah
sakit itu terletak di luar kota.
Ida bangkit dari jendela menghampiri meja
tulis. Diambilnya kertas dan mulai menyalin.
Ketika itu hari sudah menjelang petang. Setiap
saat bel minum teh akan berbunyi. Ida sudah
mengganti baju tidurnya dengan baju kuliah supaya dapat cepat-cepat keluar mengambil teh dan
masuk lagi untuk menyalin.
Dia tekun sekali menulis, sehingga ketika pintunya diketuk, dia terkejut. Ya, katanya, mengira
waktu minum teh sudah hampir berakhir. Diraihnya lonceng hadiah pamannya yang terletak di
atas tempat buku. Dia biasa memutarnya setiap
pukul lima sore. Lho, belum pukul lima.
"Ida, ada tamu," kini didengarnya suara Tante.
Wah, siapa sih Aku sedang tak ada waktu!
Di ruang muka duduk Dokter Tamela,
tersenyum melihatnya keheranan.
"Oh, selamat sore, Dok," kata Ida, memutar
41 otak, bagaimana dokter itu mengetahui nomor
rumahnya.
"Enak di sini. Sejuk."
"Ah," sambut Ida sambil berkata dalam hati:
asal jangan sering-sering kemari.
Kemudian keduanya membisu. Ida merasa darahnya naik ke kepala dan mukanya hangat. Dia
diam saj a, tidak tahu harus mempercakapkan apa.
"Saya kebetulan lewat," kata Dokter Tamela
akhirnya. "Lalu saya teringat bahwa engkau mesti menyerahkan laporan itu jam delapan, bukan
Nah, saya pikir, saya kurang pertimbangan. Dari
rumahmu mungkin sej am ya, ke rumah sakit. jadi
sebaiknya saya beri kelonggaran. Jam sembilan
saja atau jam sepuluh boleh juga, sebab saya ada
di sana sampai jam sebelas."
"Wah, terima kasih, Dok," kata Ida gembira.
"Jangan panggil saya: Dok. Ridwan saja.
Engkau kan tahu, saya lulus baru dua tahun yang
lalu "
"Tapi saya tidak ingat..."
"Tentu saja, tidak," tukas Dokter Ridwan
Tamela tertawa. "Ingatnya cuma kalau perlu catatan dan diktat!"
Ida mendengus, malu. Percakapanjadi hangat,
kemudian. Ida pandai bicara meskipun sepintas
lalu tampak alim dan Dokter Tamela memang
tukang jual obat. Jadilah! Tengah mereka sibuk
berbicara dan berdebat, Luki pulang. Tapi dia
cuma menoleh sekejap dan terus ke garasi.
Sejak itu, Dokter Tamela menjadi sering
42 berkunjung. Mula-mula masih dengan alasan-alasan kecil. Tapi kemudian, tanpa alasan lagi. Ida
biasa saja menghadapinya. Tidak antusias tapi
juga tidak menolak.


Sembilu Bermata Dua Karya Marga T di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Suatu kali, Luki mengajak Ida ke bioskop.
Itu hal biasa. Malah kali ini yang main adalah
bintang kesayangan mereka berdua, Ida sedikit
bingung. Dia ingin sekali melihat film itu, tapi di
lain pihak, Ridwan sudah mengatakan mau datang dan dia sudah berjanji akan diam di rumah
menantikannya. Meskipun itu kunjungan biasa,
tapi berat rasanya mengingkari janji.
"Aku ingin betul pergi dengan engkau. Aduh,
percayalah, aku sangat ingin melihat film itu.
Tapi..."
"Dokter yang ganteng itu mau datang, bukan " potong Luki dengan pendek.
Ida mengangguk. Luki mengangkat bahu.
"Lain kali, deh," katanya lalu pergi ke garasi
membersihkan motor.
Ida memandangnya, kemudian juga mengangkat bahu. Bagus, bila Luki dapat menjauhkan diri daripadaku, pikirnya. Sebab dia tidak
begitu yakin lagi akan mukjizat yang diharapkannya. Tuan penolongnya selalu meyakinkannya
dalam surat-suratnya, bahwa dia seratus persen
sehat walafiat. Tidak ada darah tinggi, tidak ada
penyakit paru-paru. Dan kemungkinan bunuh diri
juga kecil, sebab dia mengatakan berkali-kali dalarn surat, bahwa dengan kehadiran Ida, hidupnya menjadi cerah. Jadi, rasanya, tempat Luki
43 dalam hidupnya akan didaulat orang lain. Ida
kadang-kadang kesal dan penasaran bila teringat
akan hal itu.
Makin dekat ke tingkat akhir, makin cemas
hatinya. Dia insaf, cuma Luki yang dicintainya.
Dokter Tamela tidak masuk hitungan. Tapi Hanifah betul-betul memusingkan. Mengapa aku
berikan janji itu, tanyanya berulang kali pada
diri sendiri. Orang tuanya pasti akan marah bila
dia menceritakan itu semua dan mereka akhirnya
tentu akan memaksanya memenuhi janji tersebut.
Ridwan makin sering datang dengan alasan
memperhatikan kesehatan Ida. Gadis itu telah
menjadi makin kurus saja dan Ridwan menggunakan kesempatan itu untuk menyumbang obatobat serta makanan, setiap kali dia muncul. Sangkanya, gadis itu kekurangan makan di tempat
kosnya dan hal ini hampir-hampir menyinggung
tuan rumah.
Dalam mobil Ridwan yang besar itu, Ida lebih banyak berdiam diri saja. Tidak jarang didapatinya Luki tengah berdiri, dekat motor tuanya,
mengawasi dia pergi. Dari jendela mobil, Ida
seakan-akan melihat bibir Luki memucat. Dia
menghela napas dan berpaling ke arah lain. Ridwan adalah dokter yang baik yang selalu memperhatikan keluhan-keluhan pasien-pasiennya.
Mendengar helaan napas Ida, dia segera menanyakan sebabnya. Ida terpaksa tertawa.
"Tidak apa-apa, Rid. Cuma latihan menghirup udara lebih banyak supaya kapasitas Vital ber
44 tambah!"
Ketika Ida terserang selesma agak hebat, Ridwan menj adikan ini alasan untuk menj emput gadis itu kuliah.
"Naik bis terlalu banyak debu serta panas.
Tidak baik bagi hidungmu," katanya.
Ida tersenyum dalam hati. Kalau dokter harus
menyediakan mobil untuk setiap pasien selesma,
aduhai! Tapi setelah itu, Ida selalu naik mobil ke
kuliah. Semua kawan setingkatnya sudah tahu:
dia calon istri Dokter Tamela. Tapi Ida sendiri
tidak memberi komentar apa-apa. Mungkin pada
hari pelantikannya nanti, akan muncul seorang
kakek beruban yang mengaku bernama Hanifah. Akan dilihatnya bagaimana reaksi Ridwan.
Reaksinya sendiri Oh, dia takkan pingsan. Dia
tahu, bakal suaminya itu pasti suatu species yang
aneh: kalau tidak beruban, tentu pincang atau
juling. Ah, masa bodohlah, pikirnya. Makin tua
dia, makin baik. Mungkin cepat pula mati dan dia
akan bebas kembali.
Ridwan dipergunakannya sebagai akal untuk
membuat Luki menjauh daripadanya. Melalui
Lisa dan saudara-saudaranya, yang dengan gembira menerima kesempatan untuk menyakiti hati
Luki, pemuda itu diberi kesan bahwa Ida memang
betul-betul calon nyonya Dokter Tamela.
Lisa tahu, pemuda miskin itu menaruh hati
pada Ida. Nah, mulailah dia disindir-sindir. Bukan itu yang dikehendaki oleh Ida, tapi dia tidak
berdaya mencegahnya. Bila sindir-sindiran itu
45 sudah mulai melayang di udara, Ida pura-pura
tuli. Tidak berani dipandangnya Luki, takut melihat kekecewaan hatinya.
Hubungan mereka retak betul. Seperti yang
diharapkannya, tapi anehnya, tidak membuatnya
lega. Muka Luki yang muram menambah beban
dalam hatinya. Pada suatu sore, Luki mendekati Ida dan bertanya kalau-kalau dia boleh bicara
sebentar berdua. Ida mengangguk sebab tidak
ada alasan untuk menolak. Mereka bicara serba
berbisik dekat pohon mangga, takut kalau-kalau
Lisa tengah memasang telinga di jendela kamar.
"Ida..." kata Luki dengan tidak lancar, "aku
lihat persahabatanmu dengan dokter muda itu
makin erat saja."
"Lalu kenapa Keberatan "
"Aku... anu... mmm aku cuma ingin ketegasan bagaimana situasi perhubungan kita."
"Oh, jadi engkau keberatan aku bergaul dengan Ridwan "
"Bukan begitu. Aku cuma ingin penjelasan
sebelum terlambat: apakah dokter yang gagah
itu hmmm! sudah menggantikan tempatku
dalam hatimu "
"Tempat apa " tanya Ida dengan pura-pura
heran.
Luki tersenyum dengan muka merah membara.
"Yah! Karena aku miskin, tentu saja tak ada
tempat bagiku dalam hatimu. Tapi andaikata aku
kaya, Id. Andaikan aku kaya. Apakah engkau
46 akan mau menerima aku Misalkan aku sekaya
tuan penolongmu ".
"Persetan! Meskipun engkau sekaya apa pun,
jangan harap engkau dapat berlaku setidak sopan
itu terhadapku. Segala yang aku lakukan adalah
urusanku sendiri, apa hubungannya dengan engkau "
"Tapi bagaimana dengan... dengan... tuan penolong itu Apakah... anu engkau terima dia "
"Apa "
Ida betul-betul heran. Tahukah Luki rahasianya Tapi pemuda itu melihat kecurigaan Ida dan
segera menghentikan tertawanya, seakan-akan
terlanjur bicara.
"Biarpun tuan penolongku, kalau dia tidak
sopan seperti engkau, aku berani menolaknya,"
kata Ida, lalu dia bangkit, masuk ke dalam, meninggalkan Luki duduk gemetar memasang rokok.
Beberapa hari setelah itu, Ida bertugas jaga
malam tiga kali berturut-turut. Hampir-hampir
tidak bisa istirahat. Jangankan pulang. Habis
jaga, pukul tujuh mesti mengikuti kuliah lagi.
Dalam kesibukan luar biasa itu, Ida tidak pernah
ingat pada hal-hal lain. Kalau tidak, tentu bisa
pecah kepalanya.
Pada hari keempat, setelah tugasnya selesai,
[da melihat bahwa sahabatnya tidak turut minum
teh. Padahal itu kesukaannya. Ida mengangkat
bahu. Mungkin dia masih marah, pikirnya. Peduli apa!
Esoknya, Luki belum juga muncul. Hari beri
47 kutnya pun tidak. Pada hari Kamis, Ida menanyakan ini pada Tante kos.
"Oh, dia pulang ke Bandung. Sangka Tante,
engkau sudah diberi tahu olehnya."
"Ah tidak. Berapa lama, Tante "
"Katanya, tidak kembali lagi. Berhenti kerja,
barangkali."
"Oh"
Gila, pikir Ida. Pada zaman susah kerjaan seperti ini, main berhenti segala. Berlagak macam
orang kaya. Kerja di bank itu amat lumayan buat
Luki dan Ida tidak tahu di mana lagi akan didapatnya kerj a yang lebih baik dari itu.
Di rumah sakit, diteleponnya bank tempat
Luki bekerja.
"Apakah betul Saudara Lukito Herman sudah
berhenti bekerj a "
"Ini siapa "
"Saya temannya. Apa betul dia sudah. keluar "
"Maksud, Nona: Lukito Herman SH, salah seorang direktur muda kami "
"Saya tidak tahu apakah dia SH atau bukan.
Saya cuma mau tanya apakah dia betul keluar "
"Dia sedang ke Bandung. Barangkali akan
dipindahkan ke sana. Ayahnya..."
"Saya tidak tanya tentang ayahnya."
"Yah, tapi ayahnya adalah direktur! Salah seorang pendiri bank ini."
Bukan main mendongkolnya Ida dipermainkan seperti itu. Dengan menahan sabar, katanya,
48 "Bolehkah saya tahu di mana alamatnya di Bandung "
"Maaf, Nona, tanpa seizin tuan direktur muda
itu sendiri, kami tidak dapat memberinya."
Dari ujung telepon terdengar suara tertawa
yang tertahan tahan. Ida merah padam karena
gusar. Sudah dikatakan SH, direktur muda, eh,
alamat pun tidak mau diberitahukannya. Setan!
Telepon itu nyaris dibantingnya.
Karena amat mendongkol, Ida banyak membuat kesalahan-kesalahan pada hari-hari berikutnya dan ini malah menambah dongkolnya. Apalagi tuan penolongnya tidak pernah lagi membalas
surat-suratnya. Sudah dua surat tidak dibalas.
Ida makin merasa dipermainkan seluruh dunia.
Mau ditolaknya uang yang dikirim, bagaimana.
Dia membutuhkannya, lagi pula dia sudah menerimanya sejak dulu, jadi kepalang bila ditolak.
Ujian ke tingkat enam sudah mendekat. Ida
makin gelisah sebab konsentrasi pikirannya sama
sekali hilang. Setiap kali memegang buku, wajah
Luki terbayang. Lalu wajah Ridwan. Lalu wajah
tuan penolongnya yang selalu dibayang-bayangkannya dan mungkin pula diharapkannya, mirip
dengan Luki. Tidak mungkin melupakan Luki.
Baru saja masuk ke kamar, buku-buku yang
bertebaran di atas mej a sudah mengingatkannya
padanya. Ida hampir-hampir tidak tahu lagi harus
berbuat apa. Semua orang seakan meninggalkannya. Sebab Ridwan ternyata bukan orang yang
sabar. Melihat Ida mengulur-ulur waktu setiap
49 kali diberi pertanyaan, dia langsung mengalihkan
perhatiannya pada Suster Dewi yang manis.
Pada suatu hari datang sepucuk surat:
Nona Ida,
Sebenarnya ini baru boleh teljadi setelah
Nona selesai dengan studi Nona. Tapi kalau
Nona begitu ingin mengetahui siapa tuan penolong Nona, datanglah pada hari Rabu, minggu
depan di restorasi Kemayoran, jam 15.00. Nona
akan tahu siapa dia.
H Meskipun kepalanya dipenuhi tanda tanya besar-besar, namun Ida pergi juga. Biarpun ada kemungkinan, orang tengah mempermainkannya,
tapi keinginannya untuk mengetahui siapa tuan
penolong yang misterius itu membuatnya jadi
nekat.
Ida belum pernah masuk ke lapangan udara.
Dan dia tidak berani membawa teman. Ketika
masuk ke dalam restorasi, dia terkejut mendapati
yang duduk di situ gagah-gagah dan molek-molek. Dia sendiri sudah tidak keruan rupa. Rambutnya sudah habis diterbangkan angin. Bedaknya
sudah luntur kena keringat. Udara memang agak
panas. Untung di situ sejuk juga.
Tengah dia celingak-celinguk seperti burung
hantu, dilihatnya seorang laki-laki tua menghampirinya. jantung Ida langsung berdebar amat
50 kencang. Ya, Tuhan, inikah tuan penolongku
Oh! Dan aku harus kawin dengan dia Dengan
orang setua itu Tubuhnya sudah kurus dan kering macam jerami. Oh. Keringat dingin mengalir
sepanjang tubuhnya. jantungnya berdebar makin
kencang.
Tapi bagaimanapun, aku harus berlaku sopan.
Dia sudah menolong sehingga cita-citaku terlaksana. Aku mesti sopan, pikirnya menggigit bibir
keras-keras. Siapa tahu dia mengubah pikirannya dan merasa kasihan padaku. Hampir mustahil
bagi kakek kakek untuk jatuh cinta pada anak ke
cil, kata Ida dalam hati.
"Nona Ida " Suaranya begitu lembut dan sabar. Ida menahan napas.
"Betul. Tuankah... "
"Jangan perhatikan saya. Orang yang mau
Nona temui, ada di loteng, menantikan kedatangan saudaranya dari London. Silakan naik ke
situ." Lalu tanpa menunggu jawaban, kakek itu
berlalu.
Tanpa berpikir panjang lagi Ida menuruti
nasihat laki-laki tua itu. Sambil menaiki anak
tangga, dia berpikir-pikir, akan bilang apa nanti. Paling-paling begini: Tuan, saya ingin memperkenalkan diri Kalau dia berlagak bodoh
dan tidak mau berkenalan dengannya, bagaima
na Dan bila dia malah gusar sebab Ida lancang
menemuinya, bagaimana Ah, mengapa si tua
itu tidak ikut diseretnya naik. Dia akan bilang:
Maaf, seorang kakek telah memberi tahu... tapi
51 siapa kakek itu
Dia tiba di loteng. Penuh orang, Ida memandang berkeliling. Tiba-tiba dia merasa terkecoh.
Siapa yang akan dicarinya, di antara begini ban
yak orang Bukankah tuan penolong itu, kakek
itu sendiri Aah... tapi masakan kakek yang
baik itu mau menipunya Dia memandang berkeliling sekali lagi. Hei... di sudut... hei... bukankah
itu Luki Hei... seketika lupa dia pada niatnya.
Langsung digerakkannya kakinya ke sana, selangkah, dua langkah... tiga langkah... Ida ti
ba tiba tertegun. Luki kebetulan menoleh dan
melihatnya. Laki laki itu tersenyum geli melihat
keragu-raguannya. Tapi dia tidak menyongsong
Ida. Dibiarkannya gadis itu menghampirinya.
"Hei, mau cari siapa " tanyanya ketika Ida sudah tiba di hadapannya.
Ida tertegun seketika, tidak tahu mesti bilang
apa. Luki meraihnya.
"Sudah ketemu dengan ayahku Dialah tuan
penolongmu."
Ida ternganga seperti orang bodoh. Jadi dia
harus kawin dengan kakek tua itu Ayah Luki,
lagi!
"Tapi..." kata Luki menyadarkannya, "yang
melamarmu adalah aku!"
52 DI UJUNG
SEBUAH
DUNIA
I ke dalam sampulnya. Senyum manis yang


Sembilu Bermata Dua Karya Marga T di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengembang di wajahnya, tiba-tiba berubah
menjadi kerut keragu raguan ketika terpandang
olehnya dirinya di dalam cermin. Oh, punggung
yang bungkuk dan menakutkan ini, keluhnya.
Lalu dengan hati kecut diingatnya kembali
surat yang baru saja dibacanya dan masih
digenggamnya. Apakah Hardi akan tetap sebaik
sekarang, bila sudah dilihatnya punggung yang
jelek ini Apakah Hardi akan tetap bangga
menjadi temannya Dan bagaimana dengan cinta
yang sudah mulai didengung dengmngkannya
dalam surat Apakah dia akan dapat mencintai
seorang gadis bungkuk
Ina tidak mendapat jawab yang memuaskan dari hatinya sendiri. Pertanyaan-pertanyaan serupa itu sudah menghantuinya sejak dia
menamatkan SMA dan mencoba masuk ke da
lam pergaulan universitas. Sej ak itu tidak pernah
ditemuinya keyakinan diri lagi. Ketika masih di
SMA, segalanya tampak biasa dan tidak aneh.
Teman-temannya menyukai dia, sebab Ina pandai
bergaul. Selalu bersedia menolong dan pandai
dalam pelajaran. Guru guru juga, sayang padan
ya sebab dia rajin, dan untuk itu dia diangkat
menjadi murid teladan.
Ina melipat surat itu dan memasukkannya
54 Tapi begitu keluar dari SMA, segalanya
berubah. Pertama-tama dialaminya hal yang amat
menusuk hati ketika dia ditolak untuk mendaftar pada fakultas kedokteran. Bahkan untuk
mendaftar, dia tidak diberi kesempatan. Belum
lagi menjalani testing masuk. Seorang laki laki
mengatakan terus terang, bahwa dia tidak mungkin dapat menjalani kehidupan sebagai dokter.
Laki-laki itu rupanya seorang dokter. Badannya
memang meyakinkan. Tingginya ditaksir oleh
Ina, minimal seratus tujuh puluh. Tegap. Kalau
mau ikut kontes body building, minimal dalam
pendaftaran, dia takkan ditolak. Dan calon super
man itu bilang, bahwa dia terlalu pendek.
"Tahukah engkau berapa tingginya mej a praktikum " tanyanya.
"Tidak," sahut Ina dan tentu saja dia tidak
tahu, sebab belum pernah melihatnya.
"Berapa tingginya " tanya Ina menantang,
walaupun dia sudah tahu, pasti akan dikatakan
lebih tinggi dari seratus tiga puluh delapan sentimeter, yaitu tinggi Ina sejak umur enam belas.
Laki-laki itu agaknya tidak pula tahu dengan
pasti berapa tinggi meja praktikum, sebab dia
cuma meletakkan tangannya kira kira dua puluh
sentimeter di atas kepala Ina. Ina merasa amat
terhina dan tersinggung. Baru kali itu ada orang
yang mempersoalkan cacatnya. Dan baru kali itu
dia sadar, sesadar-sadarnya bahwa dia tidak sama
dengan orang lain. Dia bungkuk dan memalukan.
"Apakah saya tidak dapat menjadi dok
55 ter Saya kan tidak perlu praktek menghadapi
pasien-pasien kalau sudah lulus dan kalau hal itu
memang tidak mungkin Saya dapat bekerja di
bidang riset atau obat obatan," kata Ina dengan
penuh harap, namun laki laki itu ternyata tidak
mempunyai belas kasihan baginya dan tidak suka
kalau dana pendidikan yang seret jumlahnya itu
dihamburkan bagi manusia-manusia cacat yang
tidak enak dipandang.
"Dengarlah, Nona," katanya dengan lupa
kurang sabar. "Di sini tidak ada tempat bagimu.
Titik. Saya bukan tidak mempunyai perasaan.
Tapi ini semata mata kenyataan. Mari saya beri
tahu...." Dan dibukanya laci mejanya sebab percakapan itu terjadi dalam kantor tata usaha dan
boleh jadi laki-laki itu kepala di situ atau mempunyai wewenang penuh.
Dari dalam laci dikeluarkannya sebundel kertas kertas yang dicampakkannya ke atas meja
dan menerbangkan debu ke dalam hidung Ina.
"Nah, lihatlah. Ini permintaan dari luar kota.
Sebagian malah dari kalangan pembesar dan pe
merintahan. Mereka minta tempat. Beratus-ratus
jumlahnya. Terpaksa kami tolak. Sebab tidak ada
tempat. Dan ini terjadi tiap tahun." Laki-laki itu
membuka kedua telapak tangannya dengan rupa
menyerah. "Apakah sekarang kami harus mener
ima Nona, sedangkan sudah jelas, pintu kedokteran takkan terbuka bagimu. Engkau cuma dapat
masuk ke rumah sakit sebagai penderita belaka,
bukan sebagai dokter."
56 Dan kata-kata itu diteruskan dengan pandangan ke arah punggung. Ina merasa dongkol sekali melihat sikap laki-laki itu yang dianggapnya,
pasti seorang dokter.
"Jangan marah. Kita cuma bicara perihal ken
yataan. Dan saya lihat" katanya menatap Ina,
"bahwa gibbus mu terlalu... aah, maaf ya bila
saya berterus terang, tapi saya tidak begitu suka
melihat punggungmu. Sudah pernah masuk rumah sakit karena itu "
Pertanyaan yang telus terang itu membuat Ina
terpaksa menjawab juga, walaupun dia segan sekali mempercakapkan keadaan dirinya.
"Dulu, pernah. Tapi itu sudah empat tahun
yang lalu."
"Hm. Hati-hatilah. Mungkin engkau perlu dioperasi juga akhirnya. Well, tapi saya toh bukan
doktermu Nona hm, siapa namamu tadi "
"Ina, Dokter. Dan bila saya tidak boleh
mendaftar di sini, saya permisi saja!"
"Ina, engkau bukan tidak boleh mendaftar.
Tapi buat apa Sebab formulirrnu pasti akan saya
singkirkan. Dari foto, mungkin sekali cacatmu
itu tidak tampak. Betul Ya. Nah, seandainya
engkau lulus testing, tapi toh tidak boleh masuk,
bagaimana Engkau pasti akan lebih kecewa dan
akan bilang: mengapa tidak dari dulu diberi tahu
bahwa engkau tidak boleh masuk, supaya tidak
membuang uang percuma!"
Ya, itu kata-kata yang cukup beralasan. Dan
[na dengan hati pedih terpaksa melupakan ke
57 dokteran. Ayahnya masih mengusulkan fakultas
hukum. Tapi Ina dengan masa bodoh, menggeleng. Dia cuma akan jadi badut di pengadilan,
sebagai hakim maupun sebagai pembela. Dan
tidak ada seorang pun yang akan mau dibela
olehnya. Mungkin dia akan bekerja saja. Berka
li-kali dikirimnya surat lamaran disertai foto dan
senantiasa didapatnya respons yang baik. Dia
dipanggil untuk wawancara. Sudah. Cuma itu.
Setiap kali menemui direktur, selalu ada kesalahpahaman tentang panggilan, sebab jabatan sek
retaris yang dilamarnya itu ternyata sudah diisi.
Andaikan belum terisi pun, sudah jelas dia tak
kan mendapatkannya, sebab direktur direktur agaknya keberatan bila tiap hari harus memandangi
punggungnya yang jelek.
Akhirnya, dengan perantaraan seorang kenal
an ibunya, dia berhasil mendapat kerja sebagai
pelayan pada sebuah toko bunga. Hilang lenyap
semua cita citanya. Ketika baru mulai bekerja,
dia kesal bukan main. Untuk apa ijazah SMA itu,
pikirnya, bila cuma masuk toko bunga saja akh
irnya. Setiap pagi, rasanya tidak ingin bangun.
Dan menuruni dua susun tangga sudah melupa
kan beban yang luar biasa. Padahal sudah berta
hun-tahun dia tinggal di tingkat tiga itu. Ayahnya
mendapat Hat itu dari departemennya, lima tahun
yang lalu.
Setelah bekerja beberapa bulan, barulah Ina
mulai menyukai tugasnya. Apalagi bila pesanan bunga bunga itu untuk suatu peristiwa yang
58 menggembirakan, seperti ulang tahun, pertunangan, perkawinan, dan kelahiran bayi. Melihat
kerajinan Ina, Tante Lili, pemilik toko tersebut,
mengajarnya cara cara merangkai bunga. Ina
ternyata menyukai seni itu dan fantasinya segera
berkembang. Bila Tante sibuk, Ina mengganti
kan dia. Hasil kreasinya memang kadang-kadang
amat mengagumkan. Dan setahun kemudian, dia
praktis menjadi wakil Tante Lili. Tidak ada karangan bunga yang terlalu mahal untuk dirangkai
olehnya. Malah sebaliknya. Buket-buket hasil
kerja tangannya yang halus, sering kali menghi
asi ruangan ruangan kedutaan dan Istana Merdeka.
Ina merasa menjadi manusia baru. Dalam kesibukan pekerjaannya, dia sering kali lupa akan
cacatnya. Yang terbayang dalam senyum manis
seorang langganan, adalah wajahnya sendiri yang
manis dan ramah. Punggungnya yang buruk tidak
diingatnya. Karena itulah dia mulai memberi
harapan yang bukan-bukan pada Hardi, yang sudah menjadi teman penanya sejak di SMA. Dan
sekarang! Ina memikirkan surat itu kembali. Hardi mau ke jakarta menemuinya. Tidak. Dia tidak
dapat menemuinya. Seorang sarjana ekonomi
tentu takkan mau dengan gadis bungkuk. Bung
kuk! Ya, bungkuk. Sudah berapa lamakah dia
lupa bahwa dia bungkuk Ah. Dan tadi pagi, seorang anak kecil telah mengingatkannya kembali
akan hal itu dan menyadarkannya.
Tadi pagi, datang,seorang wanita muda ke
59 toko bunga, memesan buket untuk ulang tahun
ibu mertuanya. Dia ingin buket yang istimewa
bagus, jadi agak cerewet dan tidak lekas-lekas
berlalu.
"Jangan pita ungu, ya. Pita merah jambu.
Mertua saya suka warna warna meriah."
Ina mengangguk dan memperhatikan per
mintaan-permintaan wanita itu dengan teliti. Seorang anak laki-laki tiba tiba masuk dan memeluk
wanita itu.
"Hi, Mami, orang itu bungkuk, ya. Jelek, ya,"
katanya dengan nyaring.
"Huss," tegur ibunya dengan mata membela
lak. Ina pura-pura tidak mendengar dan bersikap
biasa saja. Tapi ketika mereka sudah berlalu, Ina
terduduk dengan hati pedih. Dia ingat kembali,
punggungnya yang menonjol seperti bukit. Lehernya yang pendek. Dadanya yang membusung.
Dan hatinya menjadi kecut. Dia menjadi ngeri
kembali menghadapi hidup. Dalam keadaan be
gitu, surat Hardi tambah menyesakkan dadanya.
Ina pergi ke jendela dan menyingkirkan ti
rai tirainya ke pinggir. Tepat di seberang kamarn
ya, terletak kamar tetangganya, dipisahkan oleh
jarak dua meter. Ina menghuni Hat pertama, ting
kat tiga. Sedang Hanifah, Hat kedua, juga ting
kat tiga. Kedua liat itu dipisahkan oleh sepetak
kebun kecil yang diurus oleh Nyonya Worang,
penghuni di bawah.
Mendengar suara tirai tirai bergerak, jendela
di seberang juga pelan-pelan terbuka.
60 "Engkaukah itu, Ina " terdengar suara Hanifah.
"Ya," sahut Ina. "Bagaimana keadaanmu sore
ini "
"Ah, menyenangkan sekali. Aku mencium
bau melati. Apakah kuncup kuncupmu sudah
mekar "
Ina melongok ke luar jendela, ke pinggir. Di
situ terdapat beberapa pot tanaman.
"Ya, Han. Melatiku sudah mekar semua.
Aduh, harum sekali. Mau "
Tanpa menunggu jawaban, Ina memetik sekuntum lalu melemparnya ke seberang.
"Ah, jatuh Han. Sayang. Carilah. Pasti jatuh
dekat kakimu."
Hanifah membungkuk ke bawah jendela, di
dalam kamarnya.
"Ah, kau betul," serunya dengan gembira.
"Memang dia jatuh dekat kakiku. Aduh, harum.
Terima kasih, ya. Aku akan taruh ini di antara
halaman buku, sampai dia menjadi kering."
Ina tersenyum. Dia tahu, Hanifah bohong.
Anak itu tidak pernah membaca buku.
"Hei, engkau mesti memetik gitar malam nan
ti, ya."
"Ah, lain kali dong. Aku tidak ingin main apa
apa malam ini."
"Ah, harus," kata lna mengajuk. "Nanti aku
marah."
"Biar. Engkau toh bukan pacarku," kata Han
ifah, juga mengajuk.
61 "Tapi aku kan diam diam cinta padamu."
"Bohong."
"Sungguh."
"Nah, ini sungguh yang bohong!"
"Kalau tidak percaya, ya sudah. Tapi set
idak tidaknya engkau toh harus main. Kan aku
sudah memberi engkau melatiku yang pertama !"
"Ambilah kembali, kalau begitu. Engkau
tidak rela memberikannya." Dan Hanifah menggerakkan tangan seakan-akan mau melempar
bunga itu.
"Jangan, jangan," kata Ina. "Sudahlah. Bila
engkau tidak mau main gitar, tidak apa apa. Aku
mau mandi dulu."
"Hei, tunggu. Aku kan cuma main main. Nanti malam, aku akan memenuhi permintaanmu."
"Ah, betapa manisnya engkau, Han. Tapi aku
mandi dulu, ya "
Mendengar suara jendela ditutup, Hani juga
menutup jendelanya. Sejenak dia berdiri di situ,
mencium melatinya.
Malam hari, kedua insan itu kembali ber
temu. Hanifah memetik gitar dan Ina berdendang
pelan-pelan.
"Apakah bulan sudah muncul, In " tanya
Hanifah suatu kali.
"Ya, sudah," sahut Ina, memandang bulan
sambil menyandarkan kepala pada bingkai jendela. "Bulat deh, Han. Hampir terang, tapi belum
terang sekali."
"Bagaimana kau, ini," seru Hanifah tertawa.
62

Sembilu Bermata Dua Karya Marga T di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hampir terang, tapi belum terang sekali !"
"Ya, itu betul. Bulan yang bulat, kan terang,
toh Tapi belum menjadi purnama."
"Kalau purnama, indah sekali, ya."
"Ya. Indah sekali. Bunga bunga juga terasa
lebih harum."
"Indahnya seperti apa, In "
"Seperti apa, ya. Wah, aku tidak dapat melukiskannya," kata Ina sedikit menyesal.
"Ah, tolol. Aku bisa."
"Seindah apa " tantang Ina.
"Tentu seindah engkau!"
Ina tertawa pelan, sebentar. Lalu dia ingat
kembali anak kecil tadi pagi dan surat Hardi di
dalam laci. Ina memandangi bulan dan tanpa sadar menghela napas. Hanifah yang tengah ber
henti main, mendengar keluhan yang halus itu
dan menoleh.
"Kenapa engkau, Ina " tanyanya tapi Ina
tidak mendengar.
Di bawah, terdengar suara Nyonya Worang
memarahi anak laki-lakinya yang hidup seperti
bohemian. Tidak peduli kesopanan, adat istiadat,
dan tidak ada kemauan untuk membangun masa
depan.
"Lumayan galaknya nyonya im," gumam
Hanifah dan Ina tentu saj a tidak mendengar. Selang sesaat, ketika Nyonya Worang jedah untuk
menarik napas, Hani bertanya lagi, ada apa dengan temannya. Tapi Ina masih tidak mendengar,
Hani memetik gitarnya perlahan lahan. Ina tidak
63 ikut berdendang.
Ketika Nyonya Worang sudah betul-betul ke
capekan dan suasana sudah kembali tenang, Hani
menghentikan gerak jari-jarinya lalu sekali lagi
bertanya.
"In, apa sih yang menyusahkan hatimu "
"Oh, eh " kata lna kaget lalu menyambung
sambil tertawa, "Ah, mau tahu urusan orang
saja!"
"Apakah aku tidak boleh tahu Bukankah
aku temanmu Dan katamu tadi, engkau cinta
padaku," kata Hani tertawa, diikuti Ina. Itu le
lucon mereka. Ina selalu mengatakan bahwa dia
mencintai Hani, sudah tentu itu cuma main-main
dan Hani selalu menolak, mengatakan dirinya
tidak pantas dan itu sudah tentu, lebih lebih lagi
bohongnya.
Sebab Hani sudah tertarik pada Ina, ketika
pertama kali mendengar suaranya yang halus dan
merdu. Sejak itu, tidak pernah sedetik pun dia
melupakan gadis tetangganya yang belum per
nah dilihatnya. Dibayangkannya saja, Ina lemah
gemulai dan manis. Ibu Hanifah pernah menga
takan itu, ketika ditanya olehnya. Ina manis dan
menarik.
"Ayo, Ina, katakan. Kalau tidak, aku akan terjun ke bawah!" ancam Hani.
"Ahoi, jangan dong. Nanti aku hidup merana
tanpa engkau!"
"Kalau begitu, katakan apa kesusahanmul"
"Kesusahan Ah, cuma soal kecil. Seorang
64 teman penaku mau datang kemari dan aku tidak
mau menjumpainya. Sebab..."
"Sebab engkau cinta padaku," sambung Hani
tertawa.
"Ya, ya, itu betul," kata Ina tertawa pula. "J adi
apa yang harus aku lakukan "
"Aaah, semudah itu! Katakan saja, engkau
mau menikah beberapa minggu lagi. Pasti dia
takkan jadi datang. Kalau dia tanya siapa nama
pacarmu itu, aku takkan keberatan bila engkau
menyebut namaku! Tidak usah bayar, deh."
"Oho! Seakan akan namamu bagus!" kata Ina
berlagak mencemooh, tapi diam-diam dipikir
kannya usul itu, lalu selang sesaat disambungnya, "Ya, ya. Mengapa aku tidak pura-pura saja.
Dengan begitu, cintaku padamu takkan mendapat
rintangan apa apa."
Hanifah senang sekali, buah pikirannya diteri
ma. Dia terus main sampai pukul sebelas malam,
ketika Ina terpaksa pergi tidur sebab ngantuk se
kali.
65 II ardi ternyata gampang diurus. Begitu
Hmenerima surat Ina, dia langsung
mengirim kado perkawinan, membuat
Ina tertawa setengah mati berdua dengan Hani.
"Nah, kalau begitu," kata Hani, "kita tidak
boleh mengecewakan dia, In. Kita terpaksa harus
kawin juga!"
"Huh. Zaman sekarang, tidak ada lagi orang
berkawin-kawinan. Sebentar lagi akan kiamat,
untuk apa kawin "
"Ya, kau benar. Untuk apa sih, ya." Dan Hani
tertawa, namun sejenak kemudian memberondong Ina lagi, "In, kau kan tahu, aku ini selalu
curiga. Betulkah engkau tidak mau kawin denganku, karena dunia hampir kiamat Bukan karena..."
"Pasti tidak ada orang lain!" tukas Ina cepat cepat, sebelum tetangganya sempat menyel
esaikan kata katanya.
"Engkau tahu, bukan itu yang kumaksud!"
gerutu Hani.
"Biarlah," kata Ina, sebab dia memang tahu,
bukan itu yang dimaksud temannya.
"Bagaimana kau tahu dunia hampir kiamat "
tanya Hanifah mengalihkan percakapan.
"Siapa bilang dunia hampir kiamat "
"Engkau."
66 "Tidak. Aku cuma bilang, hampir kiamat. Bukan dunia. Tapi aku..."
"Kenapa engkau hampir kiamat " tanya Hani
menjadi serius.
"Ah, mau tahu saj a," sahut Ina pura-pura keki
dan tidak menjawab.
Setelah Hardi berhasil diamankan, hidup Ina
sedikit lebih tenang. Dia tidak usah khawatir
lagi akan melihat kekecewaan pada sebuah wajah yang menantinya, di kala dia pulang kerja.
Dia tidak gelisah lagi memikirkan punggungnya.
Cuma agak sepi hidupnya tanpa surat surat Har
di yang biasa datang sebulan dua kali. Sekarang,
teman ngobrolnya tinggal Hani seorang.
Pekerjaannya sendiri cukup menyenangkan.
Kadang-kadang ada juga langganan yang cerewet
dan aneh. Minta buket gardenia. Ada yang pesan
datura metel atau kecubung. Mungkin untuk obat,
sebab orang itu tidak minta dibuatkan buket. Per
nah pula dia harus menghias sebuah rantang ke
cil dengan caesalpinia, bunga merak. Tapi yang
paling menjengkelkan adalah order dari seorang
nyonya hartawan yang mungkin sudah setengah
miring otaknya. Untuk menghias kuburan putri
ciliknya, dia minta buket dari jasmin dan mira
bilis jalapa. Katanya, gadis itu amat menyukai
bunga-bunga tersebut. Malah ketika dia meninggal pada usia empat tahun, melati dan bunga pagi-sorenya tengah mekar, mengharumkan seluruh
kebun di rumahnya.
Pagi itu suasana cerah. Ina turun dari bis tepat
67 di muka toko bunga. Tante Lili ada di depan,
tengah mengurus gladiol gladiol yang baru tiba
dari Puncak. Tante mempunyai kebun bunga di
sana yang menghasilkan species-species yang
mengagamkan dari gladiol, dahlia, gerbera, aster,
anyelir, seruni.
"Selamat pagi, Tante," katanya sambil masuk
ke dalam toko.
"Selamat pagi," seru Tante dengan gembira.
"Ina, anggrek untuk Kedutaan Prancis belum da
tang. Apakah kemarin sudah engkau telepon "
"Sudah, Tante."
"Oom kebetulan ada urusan ke Cilandak. Biar
Tante minta dia mampir, sekalian bawa anggreknya kalau dapat."
Ketika Ina meletakkan tasnya, datang Mira,
rekannya mengatakan ada telepon.
"Dari mana "
"Tuan Joko."
"Joko Joko mana " gumam lna seraya ber
jalan menghampiri telepon.
"Halo, LANTANA di sini. Betul, saya sendiri,
Ina."
"Begini, Nona Ina," kata tuan J oko. "Kemarin
tunangan saya datang ke sana."
"Itu saya kurang tahu."
"Tapi dia datang ke sana kemarin!"
"Ya, mungkin. Maaf bila saya lupa, sebab
terlalu banyak orang kemarin," kata Ina dengan
suaranya yang tetap halus dan merdu, bagaiman
apun marahnya langganan.
68 "Tentu saja Anda tidak mungkin melupakan
dia, Nona. Setiap orang yang pernah melihatnya,
pasti takkan lupa kepadanya. Dia begitu cantik,
kulitnya begitu halus serta putih; matanya jelita,
rambutnya panj ang"
"Gila," gerutu Ina dalam hati sementara dengan sabar didengarkannya Tuan Joko meneruskan deskripsinya tentang tunangannya.
"Nah, Anda ingat kembali, bukan " seru
tuan itu mengakhiri ulasannya.
"Ya, tapi satu hal masih belum teringat oleh
saya: siapa namanya Dan alamatnya "
Tuan Joko dengan senang hati mengatakan
nama dan alamat bidadarinya dan Ina mencarinya dalam catatan kemarin. Hm. Memesan buket
mawar untuk pesta perkawinan.
"Sekarang ada soal apa yang mau Tuan bicar
akan " tanya Ina akhirnya.
"Aaah, sebenarnya tidak ada persoalan apa
apa. Dia lupa apakah dia sudah menyebutkan
warna-warna ros yang dikehendakinya dan meminta saya untuk mengecek."
"Masya allah," keluh Ina dalam hati namun
dibacanya juga apa yang tertera di situ, "mer
ah tua, merah muda, kuning, oranye."
"Ya betul. Anu, tentu saja tidak ada yang
hitam Ya, ya, tentu saja tidak ada. Itu baru ada di
J erman. Dan jumlahnya dua puluh "
"Betul. Kuning enam, merah tua lima, juga
merah muda. Oranye empat!"
"Betul," seru Tuan Joko dengan amat gem
69 bira. "Dan Anda nanti harus menghadiri pesta
kami. Oh, Anda harus melihat betapa cantiknya
istri saya nanti. Bajunya saja dibuat di Tokyo...."
"Ya, ya saya ingat itu. Tunangan Tuan yang
cantik itu sudah menceritakannya kemarin...."
"Ah, apakah itu betul Dia betul cantik, kata
Anda Ah, ah, ah dan dia sudah menceritakan
pada Anda... ya, ya, ya... memang dia patut merasa bangga dan semuanya itu saya yang membayar!"
Aduh! Pasien dari rumah sakit j iwa mana ini
yang lolos pagi-pagi begini Ina bukan main tak
jubnya mendengarkan ada orang yang tidak malu-malu memuj i diri sendiri.
"Anda tentu kaya sekali," kata Ina berharap
segera mendapat alasan untuk menyetop pembicaraan itu.
"Oh, oh, tentu saja, tentu saja. Apa artinya
hidup ini bila kita tidak kaya Bila kita tidak dapat membuang sepuluh ribuan sekali makan Dan
Anda sendiri, bagaimana Ah, saya tahu! Tunangan Anda juga pasti kaya sekali. Barangkali lebih kaya dari saya Ah, mungkin sama kaya atau
kurang sedikit. Sebab untuk menjadi lebih kaya
dari saya, bukan sombong lho, adalah sulit sekali.
Nona Ina, kalau Anda menikah, undang-undang
saya, lho. Pasti akan saya beri kado yang paling
bagus yang pernah Anda terima."
"Ah, terima kasih, Tuan. Maaf, saya dipanggil
Bos."
"O ya, saya sudah terlalu lama bicara. Selamat
70 pagiI77
"Sela"
"Anu, Nona, jangan lupa warna kuning enam,
"
ya. "Ya, Tuan. Se"
"Anda tahu kenapa Pasti, tidak. Baiklah saya
beri tahu. Ssst, jangan katakan ini pada tunangan
saya, lho. Nanti dia marah. Janji "
"Maaf, Tuan, saya harus"
"Ow, cuma semenit lagi. Saya dapat menjadi langganan tetap, lho. Anda tahu, kan, warna
kuning itu artinya cemburu Nah, tunangan saya
sudah enam kali cemburu pada wanita wanita
yang kebetulan dilihatnya di dalam mobil saya.
Jadi sebagai peringatan, dia mau enam mawar
kuning. Dia bilang, bila jumlah itu meningkat
jadi sepuluh, dia tidak jadi menikah dengan saya.
Untunglah keempat wanita lainnya sudah saya
amankan. Ha ha... ha...."
Perlahan lahan Ina meletakkan telepon itu
lalu menggeleng keras-keras.
"Siapa sih " tanya Mira jengkel sebab lama
betul.
"Aku rasa, lulusan Grogol," sahut Ina kesal,
lalu dilihatnya Tante melambainya.
"Ini gladiol kuning dan merah untuk Nyonya
Prisman. Dia minta dicampur dengan bunga-bunga lain sesuka hati kita. Engkau mengusulkan
apa "
"Gladiol tentu saja tidak dapat dicampur dengan bunga lilin," kata Ina, ketika melihat Tante
71 mengambil bunga itu. "Harus dengan bunga-bunga yang lembut dan kecil. Jangan yang kaku seperti bunga kertas."
"Chrysant "
"Saya rasa lebih bagus dengan gerbera putih atau anyelir. Kembang cente manis ini untuk


Sembilu Bermata Dua Karya Marga T di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dahlia, bukan "
"Ya, untuk Nyonya Amando. Jangan lupa, dia
suka sekali daun asparagus. Apalagi ini untuk
ulang tahun perkawinannya. Harus istimewa."
Dan Tante tertawa.
Mira tertawa juga, tapi Ina belum tahu riwayat
Nyonya Amando, jadi dia tercengang saja.
"Ha, dia belum tahu, Mir," seru Tante geli.
"Beritahukan dia, Mira. Beritahukan."
"Ada apa yang aneh dengan Nyonya Amando " tanya Ina sambil mulai mau membuat
buketnya.
"Yang aneh Tidak ada sebenarnya, kecuali
bahwa dia sudah tiga kali berganti nama. Kata
Tante, mula-mula namanya Nyonya Ginting.
Lima tahun yang lalu, ketika saya mulai bekerja
di sini, nyonya itu bernama Nyonya Marli. Sekarang dia menjadi Nyonya Amando!"
Mira mengikik lagi namun Ina tidak melihat
lucunya. Dia memandang temannya dengan penuh tanda tanya.
"Dan kemudian ternyata," kata Mira di antara
gelaknya, "bahwa wanita itu sebenarnya belum
pernah menikah!"
"Apa " seru Ina terkejut. "Lalu, mengapa
72 dia memesan buket ini "
"Tante kebetulan mendengar kisahnya dari
seorang kenalan. Beberapa tahun yang lalu, dia
memang sudah hampir menikah. Lalu dia men
galami kecelakaan: Mukanya terbakar. Hidungnya patah, kakinya pengkor. Tunangannya berba
lik dan menikah dengan saudara sepupunya. Tapi
wanita yang malang itu tidak dapat menerima hal
ini dan menjadi sinting. Dia tetap menyebut dirinya Nyonya Ginting. Malah kadang-kadang belanja dan membuat bon atas nama itu. Saudara sepu
pu dan suaminya itu tidak pernah membuat ribut.
Mereka lunasi utang utangnya selalu. Kemudian,
Tuan Ginting meninggal dalam kecelakaan pesawat udara. Untuk beberapa tahun, wanita itu
tidak lagi menamakan dirinya Nyonya Ginting.
Tapi ketika saudara sepupunya menikah lagi dengan Tuan Marli, tahu tahu wanita itu kembali
menamakan dirinya Nyonya Marli dan membuat
utang utang atas nama tersebut. Sudah tentu ini
menjengkelkan Tuan Marli yang tidak bersalah
apa-apa. Wanita itu mereka tuntut supaya dibawa
ke dokter. Hal mana dipenuhi oleh keluarganya.
Alhasil, Nyonya Marli gadungan terpaksa harus
masuk rumah sakit jiwa selama dua tahun. Ketika keluar dari sana, dia sudah menjadi Nyonya
Amando. Katanya, dia sudah menikah dengan se
orang pasien di sana. Memang Amando itu seorang pasien, tapi menilik keadaan jiwanya, sangat
diragukan bahwa dia betul-betul telah jatuh cinta
dan mengawini wanita yang malang itu."
73 Tante dan Mira masih tertawa, tapi Ina sama
sekali tidak melihat di mana lucunya. Dia cuma
dapat menganggap bahwa cerita itu amat mengharukan.
"Untuk apa sekarang buket ini " tanyanya,
tidak meneruskan kerjanya yang terhenti ketika
Tante bercerita.
"Untuk dikirim kepada Tuan Amando, tentu
saj a. Nyonya Amando tetap berkeras mengatakan
bahwa dia tidak gila dan bahwa dia betul-betul
sudah menikah dengan laki-laki itu. Dia selalu
menunggu keluarnya sang suami."
"Kasihan," keluh Ina. "Kalau gilanya tidak
berbahaya, mengapa tuan itu tidak dikeluarkan
saja Siapa tahu mereka berdua menjadi lebih
bahagia !"
"Entahlah. Itu urusan dokter."
Huh, betapa tidak enaknya menjadi dokter,
bila harus memutuskan sesuatu yang menyang
kut kebahagiaan seseorang. Untung aku tidak
jadi daftar, pikir Ina dan untuk sesaat dia merasa
lega. Dengan penuh simpati dan perasaan terha
ru, Ina membuat buket untuk Nyonya Amando
pada ulang tahun perkawinannya yang ketiga.
Tidak mungkinkah membuktikan bahwa wanita
itu waras, tanyanya suatu kali tapi Tante cuma
menggeleng.
"Engkau toh sudah melihat sendiri orangnya.
Bagaimana pendapatmu: apakah dia normal "
Ina tidak begitu ingat yang mana Nyonya
Amando. Tapi setahu dia, selama seminggu ini
74 tidak ada orang gila yang datang ke toko memesan bunga.
Lewat tengah hari, datang Ana, bekas temannya di SMA. Dia membutuhkan buket pengantin
serta beberapa keranjang bunga untuk menghiasi
ruangan pesta. Dan bersamaan dengan itu sudah
tentu dibawanya juga sehelai kartu undangan.
Ina tersenyum gembira namun dalam hati dia
mengerut membaca kartu itu. Ina dan patner.
Tentu maksud Ana baik. Supaya dia jangan datang sendirian. Tapi hatinya pedih. Siapa yang
dapat dianggap menjadi patnernya Bila dia te
ringat pada Hardi yang baik hati itu, yang mengaku telah disakiti hatinya olehnya, dia selalu raguragu dan gelisah: seandainya tidak diputuskannya
hubungan mereka, seandainya dibiarkannya Hardi menjumpainya, mungkinkah dia mencintainya Mungkinkah mencintai seorang gadis yang
cacat Memang bagi kebanyakan laki-laki, hal
itu rasanya tidak mungkin. Tapi Hardi luar biasa baik serta lembut. Mungkinkah Seandainya
aku dulu berterus terang padanya, bagaimanakah
nasibku kini Seribu satu pengandaian muncul
setiap kali dia teringat akan Hardi. Dan dia selalu
ingat pemuda itu, setiap kali ada orang menikah.
Toko bunga amat sering kedatangan berita berita
serupa itu. Sesekali, Ina merasa begitu depresi,
begitu sedih, sehingga hampir hampir dia keluar
saj a. Namun, kemudian akal sehat datang membujuk: pekerjaan baginya sulit didapat, lagi pula
dia harus menjadi orang yang tabah dan kuat
75 mental. Orang yang cacat bukan dia seorang. Ada
yang kehilangan kaki. Ada yang kehilangan tangan. Ada yang hidup tergantung dari orang lain.
Dia harus bersyukur, dapat mengurus diri sendiri.
Dan kedua matanya baik. Ina tidak tahu apa yang
akan diperbuatnya bila dia kehilangan penglihatan seperti... Hanifah!
Ah, setiap orang mempunyai salibnya masing-masing, pikir Ina sore itu, ketika bersiap-siap
mau pulang. Dia keluar dari toko bersama Mira
lalu seperti biasa berjalan ke tempat perhentian
bis. Seorang pemuda yang biasa menantikan bis
bersama sama, tersenyum melihat mereka. Pemuda itu bernama Adam dan bekerja pada sebuah
kantor asing. Ina senang melihat cara Adam memandang Mira, tapi juga iri. Kalau harus berterus
terang, pasti orang tidak akan mengatakan bahwa
Mira lebih cantik dari dia, tapi sebaliknya. Cuma
punggungnya yang buruk, yang membuatnya
hampir-hampir tidak dapat mencapai bahu Mira,
telah membuat semua laki-laki membuang muka.
Adam tentu saj a mau bercakap-cakap dengan dia,
tapi sejak mula-mula, dia tahu pasti hatinya sudah menjadi milik temannya.
"Hei, sore yang cerah, bukan " tanya Adam
pada keduanya, tapi Ina membiarkan Mira yang
menjawab.
"Ya, memang cerah sekali."
Bis segera datang, jadi tidak banyak lagi yang
dapat mereka percakapkan. Adam mengambil
jurusan Pejompongan sedang kedua gadis itu
76 menuju Kebayoran.
Ketika Ina masuk ke kamar sore itu, dia
langsung pergi ke jendela dan membukanya.
Ternyata Hanifah sudah duduk di situ menanti
kan dia pulang.
"Halo, In. Baru pulang Apakah bis penuh
sore ini "
"Tidak begitu penuh, Han. Engkau sudah
mandi Ini, aku bawakan sesuatu." Dan Ina melemparkan sekuntum bunga mawar merah ke jendela seberang.
Hanifah segera mengulurkan tangannya dan
kali ini lemparan Ina tepat ke sasaran. Hani membawanya ke hidungnya.
"Haa, mawar. Engkau tentu mencopet di
toko!" tuduh Hani tertawa.
"Ah, mawar itu patah tangkainya dan daun
bunganya gugur sedikit, jadi tidak dapat dipakai
lagi. Tapi bagimu toh sama saja "
"Ya, bagiku toh sama," sahut Hani tertawa.
"Tapi nanti, bila aku sudah dapat melihat lagi,
aku pasti tidak akan mau mawar rongsokan! Ha
ha ha aku mau mawar yang cantik."
"Ah, kapan engkau akan dapat melihat " ej ek
Ina berkelakar.
"Oh, tunggu saja. Nanti, tentu akan datang
seorang dermawan yang mau menyumbangkan
matanya untukku."
Ina menunduk mendengar itu, lalu tanpa ber
kata apa-apa, ditutupnya jendela.
"Hei, Ina mau ke mana kau Jangan tutup
77 jendela dulu. Hei, aku masih ingin bicara. lna...
hei"
78 III agi itu Ina bangun dengan perasaan sangat
Ptidak enak. Kepalanya terasa berdenyut
denyut. Matanya panas. Sendi-sendi dan
tulangnya terasa ngilu dan nyeri. Kenapakah aku,
pikirnya dengan kecut lalu bangkit. Aw, berputar
rasanya seluruh dunia. Dari j endela seberang
terdengar suara radio, menyanyikan lagu lagu
mars. Hani sudah bangun, pikirnya.
Ina memandang ke dalam cermin. Mukanya
agak sembab. Matanya sedikit kemerah-merahan. Tidak ada yang mencurigakan. Dia memang
kadang-kadang sembab muka bila kebanyakan
tidur. Juga mata merah itu biasa. Cukup ditetesi
Rohto. Tapi kepalanya yang luar biasa. Seakanakan ditimpa ratusan palu. Sambil memegangi
kepalanya, dia kembali ke tempat tidur. Dicobanya memejamkan mata. Tapi denyut-denyut yang
nyeri itu tidak berkurang. Oh, dia berharap ibunya segera datang.
Di kamar tetangga, terdengar warta berita
pukul tujuh. Hani kedengaran membuka jendela
dan bersiul siul. Ah, dia tidak tahu, aku tengah
diserang setan sakit kepala. Aaaduuuuh!
"Ina" Didengarnya suara halus. Pasti itu
Hani memanggilnya. Dia tidak dapat menjawab
walaupun ingin.
"Inaaa..." Lebih halus lagi dan lebih dekat.
79 Apakah Hani ada di muka jendelanya Tengah
mengintai ke dalam kamarnya Setengah terlena,
dia melayang ke alam mimpi. Tapi seseorang tiba-tiba mengguncangnya, memaksa dia membuka mata. Dilihatnya ibunya, membungkuk dengan rasa khawatir.
"Panas betul badanmu, Ina."
"Ya. Mama, usirlah Hani di muka jendela
saya. jangan biarkan dia ngintip."
"Di mana ada Hani " tanya ibunya heran.
"Engkau mengigau !"
"Tadi dia memanggil-manggil."
"Itu, Mama. Mana mungkin Hani ke jendelamu! Kan tidak ada jalanan."
Ah, ya, Ina tiba-tiba ingat. Hani tidak dapat
melihat. Turun ke bawah pun jarang sekali.
"Mama, kepala saya tidak keruan rasanya.
Dan leher saya sakit."
Ibu mengangguk lalu keluar. Sebentar kemu
dian kembali lagi dengan termometer. lna diukur
suhunya. 38,6 derajat Celsius.
"Barangkali engkau akan selesma," kata Ayah
yang muncul. "Lebih baik aku telepon dokter."
"Tidak usah, Papa. Saya minta obat sakit kepala saja."
"Ya, engkau perlu dokter," kata Ibu dengan
tegas.
"Untuk apa. Tidak perlu!" bantah Ina dengan sengit sebab dokter merupakan musuhnya
sejak kecil. Manusia-manusia yang selalu menyakitinya. ltu kesan yang didapatnya dari masa
80 kanak-kanaknya yang kurang bahagia.
Ketika dia berumur tiga tahun, dia terserang
tuberculose paru-paru tanpa diketahui siapa
pun. Orang tuanya tidak membawanya ke dokter, mengira itu sakit batuk biasa yang kerap kali
menyerang anak anak! Ina diberi obat seperti
adiknya dan sembuh.
Beberapa tahun kemudian, ketika tengah bermain-main, Ina terj atuh lalu timbul benjolan pada
punggungnya. Tapi menurut dokter, benjolan
itu sebenarnya yang menyebabkan dia terjatuh.
Apa pun penyebabnya, Ina harus tinggal di rumah sakit hampir dua bulan lamanya dan dokter
mengatakan bahwa dia kena t-b-c tulang. Semasa
kecil, dia kenyang disuntik dan ditusuk. Lama-lama, dokter dan perawat menjadi hantu baginya.
Bila orang-orang berbaju putih itu datang padanya, pasti mereka akan menyakiti dia.
"Aku ke bawah dulu, pinjam telepon," kata
ayahnya.
"Saya tidak mau ke dokter!"
"Aaah."
Ketika dokter datang, Ina sudah terlalu kesakitan untuk dapat menolak. Disakiti oleh dokter sedikit lagi, takkan ada artinya. Dan dokter
memang menyuntiknya.
"Besok saya akan datang kembali," katanya.
"Masa bodoh," gerutu Ina dalam hati. "Aku
takkan peduli bila engkau tidak muncul lagi."
Ketika sudah dibiarkan sendirian, Ina mulai
lagi memusatkan pikiran pada tetangga seberang.
81 Dia tidak tahu apa saja yang biasa dikerjakan
Hanifah sehari-hari, dari pagi sampai sore. Kini,
pukul sembilan lewat, dia masih asyik dengan gitarnya. Apakah itu kebiasaannya atau hanya karena dia tahu aku sedang terbaring di sini, sakit
Tahukah dia, pikir Ina. Kalau kepalanya tidak sepusing ini, tentu dia sudah merangkak ke jendela
dan memintanya main La Comparsita. Tapi ini,
aduh! Lebih baik bila kepala ini pecah saja daripada menyiksa begini!
Ibunya masuk, menanyakan apakah dia merasa baikan. Ina berdusta, mengatakan ya, dia
merasa lebih baik.
"Mama, apakah Tante Lili sudah diberi tahu "
tanya Ina dengan khawatir.
"Ya, sudah. Jangan engkau pikirkan hal itu.
Lebih baik engkau sekarang makan bubur. Mau "
"Sebentar lagi," sahutnya lalu sejenak kemudian disambungnya, "Mama, Tante Lili pasti
kecewa sekali sebab hari ini saya seharusnya
merangkai bunga-bunga untuk pembukaan Hotel Empire. Tante sudah begitu gembira melihat


Sembilu Bermata Dua Karya Marga T di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hasil percobaan saya kemarin. Katanya, bahkan
dia sendiri tidak dapat membuat buket anggrek
sebagus itu. Dia bilang, sukses LANTANA ter
gantung dari hasil karya saya pada hari ini. Sebab
pada pembukaan hotel itu, pasti akan hadir banyak orang orang penting dan mereka tentu akan
merupakan calon langganan yang amat baik.
Tante mengatakan semua itu kemarin dengan
senyum bangga, Mama. Dan sekarang apa yang
82 saya lakukan di sini Mengapa justru hari ini saya
harus tinggal di rumah "
"Wow, engkau tidak boleh berkecil hati, Ina.
Ini semua toh bukan salahmu Siapa yang dapat
menghindari penyakit itu bila dia sudah datang
Ayo, Mama tidak mau engkau bersedih hati begitu. Dengarlah... bukankah itu Hanifah, menghiburmu "
Mau tidak mau, Ina, terpaksa tersenyum melihat ibunya tersenyum. Bagaimana ibu bisa tahu
bahwa Hani tengah main untuknya
"Ah, kan tiap pagi memang begitu kerj anya "
tanya Ina mengajuk, dan merasa amat senang
melihat gelengan kepala ibunya.
"Siapa bilang Biasanya dia bekerja."
"Bekerj a " tanya Ina keheranan, sebab selama
ini dia selalu mengira temannya itu sama sekali
tidak berdaya apa apa. "Di mana "
"Di rumahnya. Menganyam keranjang."
Oh, betapa menjemukan rasanya, menghamburkan masa muda dengan menganyam keran
jang, bila otak cukup cerdas untuk duduk di se
kolah.
Ina memikirkan hal itu terus sampai akhirnya
dia terlelap dan suara gitar dari jendela seberang
tidak lagi didengarnya. Ketika dia terjaga kembali, yang pertama-tama dirasakannya adalah
suasana sunyi yang amat sangat. Pukul berapakah ini Dirasanya badannya panas terbakar, tapi
sakit kepalanya sudah berkurang. Ina menopang
kepalanya di atas bantal, lalu mencoba melihat
83 jam. Pukul sebelas. Jadi dia cuma tertidur sejam,
namun rasanya lama sekali. Ke mana Mama
Mengapa sunyi betul Adik-adiknya tentu sudah
sekolah semua.
Ina tiba tiba merasa lapar. Perih. Tapi tidak
ingin makan. Ke mana Hanifah Mengapa sunyi
betul Mungkin dia tengah menganyam keranjangnya. Ah, mengapa dia tidak pernah mengetahui hal itu Padahal mereka sudah hampir setahun bertetangga.
"Mama" keluhnya, ketika perih perutnya
tidak tertahan lagi. Suaranya lembut sekali, sehingga dia tidak mengharapkan ibunya akan
mendengar. Tapi aneh, pintu tahu-tahu terbuka dan ibunya masuk. Tersenyum menanyakan
bagaimana perasaannya.
"Balkan," sahutnya. "Tapi perut saya lapar."
"Tentu saja," kata ibunya tertawa. "Sejak pagi
engkau tidak makan apa-apa. Mama ambilkan
bubur tadi, ya."
"Tidak mau bubur, Ma. Susu saja."
Setelah minum susu, Ina merasa jauh lebih
baik dan dia tertidur lagi. Sore hari dokter kembali datang. Memeriksanya dengan teliti, terutama paiu parunya.
"Apakah penyakit paru-paru saya kambuh
kembali, Dokter " tanyanya dengan cemas.
"Itu tidak dapat dipastikan hanya dengan pemeriksaan sesaat saja," kata dokter secara diplomatis dan Ina tidak puas dengan jawaban itu.
"Sebaiknya engkau cek ke rumah sakit, bila
84 Hu ini sudah sembuh."
F lu itu cukup hebat. Selama sepuluh hari Ina
terpaksa berbaring di tempat tidur dengan tenggorokan sakit, kepala pusing, badan panas, selesma juga, dan batuk. Yang terakhir ini yang meng
khawatirkan ibunya, walaupun perasaan itu tidak
ditunjukkan di hadapan Ina.
"Mama, kaki saya terasa kesemutan di sini,"
kata Ina pada suatu pagi. "Semalaman hampir-hampir saya tidak bisa tidur."
"Itu karena engkau terlalu lama berbaring,"
kata ibunya dengan wajah cerah, namun was-was
dalam hati.
Ketika keesokan harinya, keluhan itu tampak
menjadi-jadi, diam diam dia menanyakan pendapat dokter.
"Tidak perlu gelisah. Belum tentu karena penyakitnya kambuh. Mungkin saja karena dia su
dah hampir sepuluh hari berbaring terus sehingga
perdarahan di bagian yang kesemutan itu kurang
baik. Sarafnya tertekan barangkali."
Ina dianjurkan untuk keluar dari tempat tidur
dan berjalan hilir-mudik di rumah. Dia gembira
sekali dengan usul itu dan berharap minggu depan sudah dapat bekerja lagi. Juga dia senang
sekali, dapat duduk kembali di jendela dan ngobrol-ngobrol dengan tetangganya.
"Aku kesepian betul ketika engkau sakit,"
kata Hanifah mengeluh.
"Ah, bohong," kata Ina tersenyum.
"Eh, sungguh mati!"
85 "Jangan bersumpah, ah," kata Ina ngeri.
"Habis engkau tidak percaya, sih. Aku betulbetul kesepian. Kangen sekali dengan suaramu
yang merdu."
"Hm."
"Ina "
"Ya."
"Tahukah engkau bahwa suaramu merdu sekali Halus dan lembut "
"Ah, masa."
"Sungguh ma"
"Ayo, mau sumpah lagi!"
"Habis engkau sih! Iya, deh, tidak lagi. Tapi
engkau mesti percaya dong semua kata-kataku.
Kalau tidak, aku akan bersumpah lagi."
"Bila engkau sumpah sumpahan terus, aku
tidak mau lagi omong-omong denganmu!"
"Kalau engkau percaya semua kata-kataku,
pasti aku takkan sumpah sumpahan."
"Nah, gitu dong. Tadi aku kan bilang, suara
mu merdu sekali. Aku yakin, engkau pasti adalah
seorang gadis yang amat manis."
"Uhuk!" Ina menggelegak tertawa. "Sok tahu,
kau."
"Ina, tahukah engkau Sejak aku pindah kemari dan mendengar suaramu untuk pertama kali,
aku sudah jatuh cinta padamu! Aku tanya ibuku,
suara siapakah itu, dan ibu bilang, itu gadis di liat
seberang."
Ina tersenyum tanpa komentar. Pikirannya
tiba-tiba penuh dengan segala macam hal. Mis
86 alnya saja: ibu Hanifah. Dia pernah melihat itu
beberapa kali ketika berangkat kerja. Pasti ibu
Hanifah tahu, dialah tetangga seberangnya. Apakah akan diceritakannya juga keadaan dirinya
Punggungnya yang buruk Tubuhnya yang jelek Atau cuma dikatakannya bahwa dia berwaj ah
manis dan menarik
"Ina, mengapa engkau diam saja Hei, Ina,
apakah engkau masih duduk di j endela "
"Ya, masih."
"Apakah yang kaukerjakan, sehingga tidak
mendengar pertanyaanku "
"Oh, maaf, aku sedang menghitung bintang-bintang."
"Bukan main kerjaan gadis zaman sekarang!
Dan berapa sudah jumlah yang kaulihat "
Hanifah tersenyum. Sinar bulan menerpa wajahnya. Ina ikut tersenyum. Tetangganya itu amat
simpatik dan menarik air mukanya. Kalau saja
dia tidak cacat seperti ini, mau rasanya pacaran
dengannya. Sebab walaupun kedua mata Hanifah
tidak dapat melihat, toh dia hidup seperti orang
biasa. Tidak kelihatan menyusahkan. Juga tidak
pernah mengeluh dan Ina menyukai laki-laki itu.
Tapi sayangnya, dia takkan mungkin disukai laki-laki mana pun. Punggungnya punggungnya... tiba-tiba air matanya menetes sebutir.
"Hai, lna, mengapa engkau tidak menjawab
aku " tanya Hani menyadarkannya.
"Ya, sabar," sahutnya sambil mengusap air
matanya. "Aku kan sedang menghitung seratus
87 dua puluh... ya, seratus dua puluh bintang yang
ada malam ini."
"Ah, mengapa sedikit amat Ke mana berjuta-juta yang lain Ditelan awan "
Ina tidak menyahut. Hani juga diam. Ina menatap jendela seberang dan mencoba memperhatikan wajah tetangganya dengan lebih cermat,
sebab sinar bulan sudah menggeser lebih ke
samping. Dari dalam kamar Hanifah, cuma keluar sinar dari lampu mej a. Ina dapat melihat sebagian kamar itu tapi tempat tidur terhalang lemari.
Meja Hanifah hampir kosong. Tidak ada apa apa
di atasnya.
"Han, kenapa mejamu kosong melompong
begitu " tanya Ina menggoda. "Taruh dong gambar cewek di situ."
"He, aku tunggu gambarmu. Engkau mesti
memberikannya lho," kata Hani tersenyum dengan lembut.
"Ah, kenapa mesti Aku toh bukan pacarmu "
seru Ina menggelegak tertawa.
"Memang bukan. Tapi aku kan cinta padamu,
In. Jadi sama saja. Engkau harus memberikan
gambarmu, In."
"Apa gunanya Engkau toh tidak dapat melihatnya."
Hani sama sekali tidak tersinggung dengan
perkataan Ina, sebab dia tahu gadis itu bukan
mengejeknya. Mereka sudah biasa mempercakapkan kedua mata Hani seakan-akan itu cuma
kutil di tangan.
88 "Oh, tidak jadi soal itu. Pokoknya, aku akan
dapat memamerkannya pada setiap orang yang
menanyakan siapa pacarku!" Dan Hani tertawa
senang.
"Tapi aku bukan pacarmu," kata Ina mengge
leng dengan bandel.
"Aku cinta padamu!" kata Hani lebih membandel, kemudian menyambung dengan pelan,
"Berilah aku gambarmu."
Ina mengikik sebab merasa lucu. Bagaimana
bila aku berikan foto adikku saj a F oto Irma yang
baru delapan tahun Aduhai, betapa lucunya bila
Hani memperlihatkan foto itu dan berkata dengan
bangga: Inilah pacarku. Suaranya merdu!
Aduh, Ina tergelak gelak setengah mati. Hani
menunggu, dengan tenang dan ketika tertawa itu
sudah reda, diulanginya permintaannya. Ina akhirnya mengiakan kehendak Hani, lalu tergelak
gelak lagi, sampai ibunya masuk ke kamar dan
menyuruhnya segera tidur, bila dia tidak ingin
jatuh sakit lagi.
Ketika sudah terbaring di bawah selimut,
Ina memikirkan kembali peristiwa tadi dan sekonyong-konyong, dia tidak menganggap itu
lucu. Sebaliknya, dia jadi merenung, memikir
kan Hani dan dirinya sendiri. Mereka adalah dua
manusia yang kurang beruntung, tapi tidak perlu merasa putus asa. Seandainya Hanifah betulbetul mencintainya, alangkah senang hatinya.
Apalagi bila kelak dia sudah menjalani operasi
pada matanya dan kembali menjadi manusia bia
89 sa. Tentu dia akan bangga berjalan di sampingnya. Berj alan Tiba-tiba Ina teringat punggungnya
yang... ah! Dihapusnya air matanya lalu membalik ke arah tembok. Besok atau lusa akan diberi
kannya fotonya yang berbingkai itu untuk tanda
mata bagi tetangganya. Perkara pacaran, tidak
perlu disinggung-singgungnya. Itu dunia yang
tertutup baginya. Andaikan punggungnya toh
dapat diluruskan kembali dan itu memang tidak
mungkin tinggi badannya takkan bertambah.
Sampai mati dia akan tetap cuma seratus tiga pu
luh delapan senti. Tapi tidak perlu bersedih hati,
pikirnya sambil memejamkan mata, mencoba ti
dur. Aku toh mempunyai pekerj aan yang menarik
di toko bunga.
90 IV ani senang sekali mendapat potret Ina.
HDiambilnya sebuah papan dari bawah
kasurnya lalu disorongkannya ke jendela
Ina. Gadis itu mengikatkan gambar itu dengan
tali raha lalu mendorongnya kembali. Hani
segera merabainya seolah olah dengan begitu
dia dapat mengetahui bagaimana rupa Ina. Dia
berseru kegirangan mendapati gambar itu sudah
berbingkai.
"Aku akan meletakkannya di atas meja," katanya seraya merabai bingkai itu dengan hati ha
ti dan memeriksa setiap liuk bingkai itu dengan
ujung ujung jarinya.
"Bingkai ini terdiri dari daun daun yang
melingkar lingkar, ya," katanya lalu berj alan ke
arah meja dan Ina melihatnya meletakkan gambar itu dengan hati-hati di atasnya. "Nah, engkau
takkan dapat mengatakan lagi, mejaku kosong
melompong tanpa gambar cewek!"
Ina tersenyum gembira melihat tingkah laku
tetangganya itu sehingga untuk sesaat dia lupa
punggungnya, lupa cacatnya. Yang diperhatikan
nya cuma Hani dan senyumnya yang begitu penuh kegembiraan, seperti kanak-kanak mendapat
mainan baru.
"Ah, engkau mesti lekas lekas mengoperasi
kedua matamu, Han. Supaya dapat kaulihat beta
91 pa manisnya adikku!"
"Apa " seru Hani terkejut seperti disengat kalajengking. "Jadi ini gambar adikmu "
"Hei, jangan dibanting. Kok jadi marah marah Siapa yang bilang itu gambar adikku "
"Engkau!"
"Tidak! Aku cuma bilang, engkau harus lihat
betapa manisnya adikku! Siapa yang bilang itu...
kalau mau kaubanting, lebih baik dikembalikan
saj a, Han."
"Ya, sudah. Aku minta maaf." Dan gambar itu
kembali ke tempatnya yang terhormat.
Malam itu keduanya asyik berbincang bincang sampai lupa, waktu. Ina betul-betul merasa dirinya tidak berbeda sedikit pun dengan gadis-gadis lain dan dia amat bahagia.
"Engkau mesti lekas lekas operasi," kata Ina
sekali lagi.
"Belum ada donor. Aku mesti sabar."
"Apakah orang hidup tidak boleh menjadi do
nor."
"Lha, lantas orang itu mau melihat apa " tan
ya Hani menertawakan ketololannya.
"Bagaimana kalau sebelah saja jadi keduan
ya masih dapat melihat dengan sebelah mata."
"Tidak ada orang yang mau berbuat begitu."
"Aku mau."


Sembilu Bermata Dua Karya Marga T di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Eh " seru Hanifah kaget, kemudian tertawa. "Oooh, aku tidak mau pacarku yang manis
menjadi buta sebelah. Sabarlah. Aku pasti akan
mendapat donor. Toh, aku diberi waktu satu ta
92 ,, hun. "Kenapa setelah satu tahun "
"Entahlah. Mungkin harapan sembuh lebih
kecil."
Ina tidak memperpanjang topik itu ketika dilihatnya Hani tidak bergairah membicarakannya.
Dia tidak pernah menanyakan sebab sebab kebutaan itu, sebab sudah didengarnya sepintas lalu
dari ibunya. Hani mengalami kecelakaan pada
matanya ketika tabrakan di jalan, lalu mengalami
infeksi.
"Kalau aku mati, aku ingin menyumbangkan
mataku," kata Ina.
"Ya, aku juga. Tentu saja bukan mata, tapi
alat-alat lain, seperti ginjal barangkali. Ginjalku
bagus, kata dokter."
"Tapi di sini belum pernah diadakan peminda
han ginjal."
"Siapa tahu waktu aku mati, itu sudah dilaku
kan."
Pembicaraan tentang mati sama sekali tidak
menarik bagi Ina. jadi dialihkannya perhatian
Hanifah pada musik-musik pop. Kemudian kepada layar perak. Hani ingin tahu, film apa saja
Kisah Masa Lalu 2 Noktah Hitam Pernikahan Karya Rara El Hasan Kapas Kapas Di Langit 3
^