Pencarian

Enam Berandal Cilik 1

Enam Berandal Cilik Karya Enid Blyton Bagian 1


I 1 Tetangga Baru
DOHALD dan Jeanie berlari menuju jendela ketika
mendengar suara sebuah kendaraan besar melintas di depan rumah mereka. Kedua anak itu
menyingkapkan tirai lalu melihat ke luar.
"Tetangga baru kita sudah datang!" kata
Jeanie. "Bu, mobil pengangkutnya sudah sampai.
Ah, mudah?mudahan mereka juga punya anakanak seperti kita."
"Kuharap juga begitu," sahut ibunya. "Hei, Pat!
Kau tak boleh ikut melihat sebelum kauhabiskan
susumu. Ayo, cepat minum!"
Pat meneguk susunya cepat-cepat, hingga ia
tersedak. Lalu ia berlari ke jendela. Ketiga anak itu
memperhatikan mobil pengangkut yang kini berhenti di depan rumah sebelah.
Donald dan Jeanie adalah anak kembar, berumur sebelas tahun. Pat adalah adik mereka yang
berumur tujuh tahun. Ketiganya tinggal di Pondok
Bading bersama kedua orangtua mereka, dan
anjing kesayangan mereka, Frisky.
Anjing itu berdiri di depan gerbang. Kaki
depannya bersandar pada pintu gerbang itu, dan
9 kepalanya menjulur melalui kisi?kisi agar dapat
melihat lebih jelas.
"Frisky pasti berharap tetangga baru kita juga
memiliki seekor anjing!" kata Donald. "Lihat
itu?pintu mobil pengangkutnya sudah dibuka."
"Tapi yang ada cuma para petugas pengangkut
barang," kata .Jeanie dengan nada kecewa. "Pemiliknya belum kelihatan." ,
"Mereka datang naik kereta api," sahut ibu mereka sambil membereskan piring dan gelas sisa
sarapan. "Sebentar lagi mereka sampai. Salah
seorang di antara mereka kan harus mengatur
barang-barang yang dibawa orang-orang itu.
Jeanie, tolong Ibu membereskan meja ini."
Jeanie bergegas menghampiri meja, lalu mulai
membereskannya secepat mungkin. Kalau bukan
karena ingin melihat tetangga baru yang akan
segera tiba, tak mungkin .Jeanie dapat bekerja
secepat itu. Anak itu sangat berharap tetangga
baru yang akan tinggal di Pondok Hawthorn itu
juga mempunyai beberapa orang anak. Sebelumnya di pondok itu tinggal dua orang wanita yang
sudah tua, dan ternyata sama sekali tidak suka
pada anak?anak.
Tiba?tiba Donald berseru, "Hei! Ada satu mobil
pengangkut lagi! Wah, ini pasti mengangkut
barang-barang orang yang lain. Tak mungkin
barang sebanyak itu untuk satu pondok kecil
seperti Pondok Hawthom. Sewaktu kita pindah ke
sini juga hanya satu mobil pengangkut yang
dipakai. Dan itu juga tidak terlalu besar."
10 Bu Mackenzie berjalan menuju jendela. Ia juga
bingung mendengar ada dua mobil pengangkut
yang datang. Ia tahu persis rumah itu hanya
memiliki dua kamar tidur!
"Mobil itu tidak berhenti di Pondok Hawthorn,"
katanya. "Oh. ternyata ke Pondok Summerhaye.
Pemilik rumah itu pasti juga datang hari ini."
Pondok Summerhaye adalah sebuah rumah
yang cukup besar. Bangunannya tidak begitu
bagus, tapi lebih besar dibanding Pondok Hawthorn, dan bahkan Pondok Barling yang ditempati
keluarga MacKenzie. Mobil pengangkut yang
11 datang belakangan berhenti tepat di depan rumah
itu. Para petugas yang duduk di depan turun dari
mobil, lalu langsung berjalan menuju bagian
belakang mobil. Tak lama kemudian sebuah
mobil sedan kecil berhenti di sebelah mobil
pengangkut itu..
"Ini baru hebat," kata Donald. "Dua keluarga pindah pada hari yang sama. Mudah?mudahan juga
ada anak?anak. Kita bisa bermain bersama nanti,"
"Ada lima orang dalam mobil itu," ujar Jeanie.
"Pat?kau bisa lihat mereka? Nah, itu ada wanita
yang turun. ltu pasti ibunya. Yang itu pasti
bapaknya!" katanya sambil menunjuk seorang
pria yang baru turun dari mobil. "Dan yang di
belakang itu, anak?anak?"
Pintu belakang mobil itu terbuka lalu tiga orang
anak berdesakan keluar. Keluarga Mackenzie
menatap mereka penuh perhatian.
Ada dua gadis yang berumur sekitar dua belas
dan tiga belas, dan seorang anak laki-laki yang
berumur sekitar sepuluh tahun. Anak laki?laki itu
mendorong kedua kakaknya, lalu berlari menuju
pintu depan Pondok Summerhaye.
"Aku kurang suka melihat anak itu," kata
Donald. "Buat apa ia menggedor?gedor pintu
rumah. ia kan tahu rumah itu masih kosong."
Wanita yang tadi ditebak sebagai ibu keluarga
itu menyerukan sesuatu kepada anak laki?laki itu.
yang langsung membalikkan badan sambil nyengir. Salah seorang kakaknya mendorong anak itu
yang langsung dibalas lagi dengan dorongan.
12 Kemudian keluarga itu menghilang di balik
pintu rumah. Para petugas pengangkut membuka
pintu belakang mobil mereka; lalu mulai bekerja
menurunkan barang.
"Lihat itu?ada dua orang yang masuk ke
Pondok Hawthorn!" kata Pat. "Apakah mereka
pemilik barunya?"
"Ya," jawab Jeanie dengan singkat. Ketiga anak
itu memandang seorang wanita cantik bersama
seorang anak laki-laki yang juga kelihatan cakap,
berjalan menghampiri pintu depan pondok itu.
Wanita itu mengeluarkan anak kunci lalu membuka pintu tersebut. Tak lama kemudian kedua
orang itu sudah menghilang di balik pintu.
"Satu keluarga dengan tiga orang anak, di
rumah yang satu dan seorang anak laki-laki di
rumah yang lain," kata Donald. "Boleh juga!
Setidaknya kita punya teman baru. Selama tinggal
di sini. belum ada tetangga dengan anak?anak
seperti sekarang. Pasti lebih asyik sekarang, ya,
Bu?"
"Ya," sahut ibunya, "Jeanie, tolong nanti kaudatangi kedua rumah itu lalu tawarkan mereka
minum teh bersama kita?yah, sekadar beramahtamah."
"Aku ikut," kata Donald yang ingin melihat
keempat anak baru itu dari dekat.
"Aku juga," sahut Pat.
"Jangan. Bertiga akan terlalu banyak," kata
Jeanie. Pat tidak berusaha membantah, tapi
ibunya melihat bahwa anak itu sebenarnya kece
13 wa. Pat sering ditinggal begitu saja oleh kedua
anak kembar yang sangat kompak itu.
"Kasihan Pat," kata Bu Mackenzie dalam hati
untuk kesekian kalinya. "Anak itu selalu sendiri.
Mudah-mudahan salah satu di antara keempat
anak baru itu. ada yang mau berteman dengannya?mungkin anak laki-laki yang tinggal di
Pondok Hawthom!"
Pagi itu benar?benar ramai. Para petugas pengangkut barang membawa berbagai macam barang ke dalam rumah. Mereka menggotong
sebuah lemari pakaian yang sangat besar ke
dalam Pondok Summerhaye, dan sebuah piano
untuk Pondok Hawthom. Mereka juga memasukkan meja, kursi, sofa, lukisan dan sebuah mesin
cuci ke Pondok Summerhaye, dan sebuah bak
cuci biasa ke Pondok Hawthorn.
"Pasti asyik melihat perabotan itu disusun
dengan rapi!" kata Jeanie. ."lbu, bagaimana kalau
sekarang aku pergi ke tetangga baru kita?"
"Baiklah. sekarang sudah pukul sebelas," jawab
ibunya. "Katakan saja lbu Mackenzie, tetangga
mereka, menawarkan minum teh di rumahnya."
Jeanie dan Donald membalikkan badan, lalu
bergegas keluar rumah. Pat memperhatikan mereka. "Kau mau menolong lbu menawari orangorang yang tinggal di Pondok Hawthorn untuk
minum teh bersama kita?" tanya Bu Mackenzie
pada Pat. _
"Oh, lebih baikjangan!" sahut Pat segera. "Aku
takut mendatangi orang yang tidak kukenal. Kalau
14 bersama Jeanie dan Donald aku mau. Tapi
mereka kan selalu mengucilkanku."
"Ah, siapa bilang?" sahut ibunya. "Mereka kan
anak kembar, dan anak kembar memang selalu
kompak. Tapi itu tidak berarti mereka mengucilkanmu. Mereka sangat sayang padamu, aku tahu
itu."
"Aku juga kepingin jadi anak kembar," kata Pat
seolah-olah pada dirinya sendiri. "Lihat itu, Bu!
Mereka sekarang masuk ke Pondok Summerhaye!"
Jeanie dan Donald berjalan menuju pintu depan
rumah itu, lalu membunyikan bel. Tapi tidak ada
orang yang membukakan pintu. Dari bagian atas
rumah terdengar bunyi perabotan yang digeser ke
sana kemari. Juga terdengar suara anak gadis
menyerukan sesuatu. yang kemudian disusul lagi
dengan bunyi perabotan yang digeser.
"Mereka takkan mendengar kita." kata Donald
sambil mengintip ke dalam. "Wah, karpetnya
sudah dibentangkan. Yuk, kita masuk saja lalu
menyampaikan pesan lbu."
Mereka masuk ke rumah itu, kemudian mendengar suara orang berbicara di dapur. Kedua anak
itu bergegas menghampirinya. Tapi tepat di
depan pintu mereka berhenti.
Terdengar suara wanita berbicara dengan nada
gusar. "Kaubilang kau akan memasang kompor
gas itu?tapi ternyata, tidak! Apa sih yang kaukerjakan selama ini? Dua minggu aku bekerja,
membereskan barang?barang, membuat tirai ba
15 ru?dan membiarkan kau mengerjakan beberapa
hal kecil saja. Dan seperti biasanya itu pun tidak
kauselesaikan!"
Suara itu terdengar sangat tajam dan ketus.
Donald dan Jeanie langsung membalikkan badan
menuju tangga, "Kurasa itu ibunya," kata Jeanie.
"Tapi ia bicara dengan siapa? Apakah dengan
salah seorang pengangkut barng itu?"
"Tak tahulah," sahut Donald. "Suaranya benarbenar mengerikan! Bagaimana kalau kita ke atas.
Siapa tahu anak-anaknya ada di situ."
Tapi sebelum mereka sempat bergerak, pintu
dapur itu terbuka. Seorang wanita berjalan ke luar,
diikuti seorang pria di belakangnya. Wanita itu
kelihatan sedang marah, sedang pria itu tampak
sama sekali tidak gembira. Kedua orang itu agak
kaget melihat Donald dan Jeanie yang sudah
berada di hadapan mereka.
"Maaf. kami begitu saja masuk ke rumah
Anda," kata Donald tergesa-gesa, "Kami tinggal di
sebelah rumah ini. Ibu menyuruh kami ke sini
menawarkan pada Anda untuk minum teh bersama. Beliau tahu Anda pasti sedang repot di sini."
"Wah. baik sekali ibu kalian," sahut pria itu, tapi
istrinya langsung memotong.
"Sampaikan terima kasihku pada ibu kalian,"
katanya dengan nada ketus. "dan katakan kami
tak mau merepotkannya dengan minum teh
bersama. Nanti kami akan menjerang air sendiri
dengan kompor gas. O ya, tadi kaukatakan kalian
tinggal di sebelah rumah ini?"
16 "Ya," sahut Donald. "Kami anak kembar dan
tinggal di Pondok Barling."
Saat itu terdengar langkah kaki menuruni
tangga, dan tak lama kemudian terlihat tiga orang
anak bergegas menuruni tangga. "Bu, mana kursi
kecilku? Barang itu tidak ditinggal, bukan?" salah
seorang di antara kedua anak gadis itu berseru.
lea-tba ketiga anak itu berhenti. Mereka baru
menyadari Donald dan Jeanie juga berada di
ruangan itu. "Ini anak-anak yang tinggal di
sebelah rumah kita," ujar ibu mereka menjelaskan'. la berpaling pada Donald dan Jeanie. "Baik,
sekarang kalian pulang dulu, dan jangan lupa
sampaikan terima kasihku pada ibu kalian."
"Siapa nama kalian?" tanya anak laki-laki itu
ketika mereka beranjak pergi. Ibunya menatap
anak itu dengan wajah masam, lalu menarik
tangannya. Kedua anak kembar itu dapat mendev
ngar apa yang dikatakan wanita itu, walau ia
berbicara dengan suara pelan.
"Kita belum tahu siapa keluarga itu sebenarnya.
Dan sebelum itu aku tak mau kau berkenalan
dengan mereka."
Donald dan Jeanie merasakan bulu kuduk
mereka berdiri ketika keluar dari rumah itu.
"Mengerikan sekali wanita itu!" ujar Jeanie. "Dan
masih sempat berbohong pula. Tadi ia bilang
mau menjerang air sendiri, padahal kita dengar
tadi ia memarahi suaminya karena tidak memasang kompor gas! Hah, aku tidak suka padanya."
"Anak laki?lakinya sama saja," kata Donald
17 menandaskan dengan nada kecewa. "Yuk, kita
beritahu lbu."
Mereka berlari melalui pintu gerbang rumah
mereka, dan tak lama kemudian Bu Mackenzie
sudah mendengar cerita pengalaman keduanya.
Ia hanya tertawa melihat wajah kedua anaknya
yang masam.
"Kalian tidak boleh bersikap begitu! Mungkin
saja mereka masih sibuk mengurusi barangbarang, dan merasa terganggu karena kita terlalu
cepat mendatangi mereka."
"Aku tak mau mendatangi Pondok Hawthorn,"
ujar Jeanie. "Siapa tahu mereka sama kasarnya
dengan penghuni rumah sebelah!"


Enam Berandal Cilik Karya Enid Blyton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Memang tidak perlu," sahut ibunya. "Lihat
itu?anak laki-lakinya sedang menuju ke sini!"
18 2 Berteman
SEORANG anak laki?laki tampak berjalan melintasi
halaman rumah keluarga Mackenzie. Ia memakai
kaus rajutan dan celana pendek. Rambutnya yang
keriting tebal dan kelihatan tidak teratur. Matanya
bersinar-sinar, dan senyumnya seketika merebut
hati Pat
"Selamat pagi," katanya kepada Bu Mackenzie
ketika wanita itu membukakan pintu baginya.
"Kurasa Anda melihat kami ketika pindah ke sini.
Ibuku sebenarnya tidak mau menyusahkan Anda,
tapi bolehkah kami meminjam ceret untuk menjerang air? Kami hendak membuat teh. Kebetulan
ceret kami hilang ketika pindah ke sini."
"Wah, aku baru saja ingin menawarkan sepoci
teh pada kalian," jawab Bu Mackenzie. "Tentu saja
kalian boleh meminjam ceretku. Ayo, masuk dulu.
Tunggu sebentar, biar kubuatkan tehnya sekalian."
Anak itu melangkah masuk. la tersenyum lebar
pada Pat dan kedua kakak kembarnya. "Halo, apa
kabar? Hei, apa ada sesuatu yang menarik di kota
ini? Sebelum ini aku tinggal di Croydon. Kota itu
benar-benar hebat. Di situ aku bergabung dengan
suatu geng."
19 "Geng? Apa itu?" tanya Pat.
"Eh?sekelompok anak laki?laki?kadang?kadang juga ada anak perempuan yang ikut," sahut
anak itu. "0 ya, namaku Bob Kent. Dan kalian.
siapa?"
"Kami anak kembar, Jeanie dan Donald. Dan ini,
Pat. Dia masih kecil, umurnya baru tujuh tahun.
Kami berdua sudah sebelas tahun," ujar Jeanie.
"Tujuh tahun. Bagiku' tidak terlalu kecil," kata
Bob sambil tersenyum pada Pat. "Pernah saudara
sepupuku yang berumur tujuh tahun tinggal
bersamaku. Wah, anak itu luar biasa! Akalnya adaada saja. Mudah-mudahan Pat juga begitu, ya."
Pat sangat gembira mendengarnya. Sebenarnya ia tidak sehebat yang dibayangkan anak lakilaki itu, tapi ia sudah cukup senang anak laki?laki
itu mengiranya cukup hebat. Pat tersenyum pada
Bob, dan berharap anak itu mau berteman
dengannya, dan tidak dengan Donald dan Jeanie.
Tapi kelihatannya Bob jauh lebih tua darinyadan biasanya anak laki?laki seumur itu tidak mau
berteman dengan anak kecil seperti dia!
Bu Mackenzie berjalan menuju dapur untuk
menjerang air. la juga menyukai Bob?anak yang
sopan dan kelihatannya menyenangkan. Anakanaknya pasti senang berteman dengannya.
"Kapan ayahmu sampai?" tanya Jeanie. "Tadi
kami hanya melihat ibumu."
"Ayahku sudah meninggal setahun yang lalu,"
kata Bob. "Aku benar?benar merasa kehilangan.
Sekarang tinggal aku dan ibuku."
20 Kedua anak kembar itu turut merasa sedih
mendengar ucapan Bob. Mereka sangat mencintai ayah mereka?orang yang sangat periang, dan
sekaligus tegas. Bagi mereka itu tidak apa-apa
selama ia bersikap begitu karena cinta kepada
mereka! Mereka merasa, sungguh tidak menyenangkan jika tidak punya ayah yang berkata,
"Ya, boleh saja," atau "Tidak, itu tidak boleh!" dan
juga membawa mereka ke kebun binatang, atau
piknik bersama Ibu.
Tak lama kemudian Bu Mackenzie datang
membawa sepoci teh dan secangkir susu yang
diletakkan di atas baki. Di atas baki itu juga ada
segelas limun, dan sepiring biskuit.
"Terima kasih banyak, Bu," kata Bob. "Limun
ini pasti sangat menyegarkan. Nanti bakinya akan
segera kukembalikan. Sekali lagi, terima kasih."
Bob pergi sambil menating baki itu dengan hatihati. Sempat juga dia mengedipkan sebelah mata
pada Pat. Tapi gadis cilik itu tak mau membalas. Pat
hanya memandangnya saja Pasti asyik berkawan
dengannya, pikirnya. Bob tidak menganggapnya
anak kecil. jadi mereka akan main bersama.
"Bagaimana pendapat lbu tentang Bob?" tanya
Donald. "Anaknya menarik?dalam segala hal."
"Ya, aku juga suka padanya," sahut Bu Mackenzie sambil berpikir apa yang dimaksud dengan
'Bob menarik dalam segala hal'. la memandang
anak itu. Anak ini mungkin akan melakukan halhal yang sebenarnya tidak boleh dilakukan. pikirnya. Dan, alangkah tampannya dia.
21 la berpaling pada anak kembarnya yang berambut merah dengan wajah penuh bintik. Mata
mereka coklat kehijau-hijauan. Pat tidak berambut
merah, dan matanya lebih coklat dibandingkan
kedua kakaknya. Bu Mackenzie berharap Bob
akan menaruh sedikit perhatian pada anak itu. Pat
sangat pemalu dan sering melamun. Ia juga biasa
bermain sendirian karena kedua kakaknya merupakan anak kembar, dan tidak memerlukannya
sebagai teman bermain.
Itu membuat Pat tak pernah bisa lepas dari
ibunya... "anak Mama", begitu istilahnya.
Frisky berlari masuk sambil mengibas?ngibaskan ekornya. Ia baru saja mengantar Bob sampai
di depan pintu rumahnya. Ia juga menyukai anak
itu. Ia menyukai suara anak itu yang keras dan
riang, dan juga caranya mengelus dan menepuknepuk kepalanya. Begitu mantap dan meyakinkan. Anjing itu berpikir, Bob adalah anak laki-laki
yang cocok untuk seekor anjing seperti dia!
"Yah, setidaknya kita punya satu tetangga yang
baik," ujar Donald. "Mudah-mudahan ia satu
sekolah dengan kita nanti."
Hari itu hari Sabtu, dan seperti biasanya pada
hari Sabtu sekolah mereka libur. Sore hari Donald
dan Jeanie membawa Frisky berjalan?jalan, sedang Pat ikut bersama ibunya menjenguk bibinya.
Anak itu sebenarnya sangat berharap dapat ikut
bersama kedua kakaknya.
Dua hari kemudian, kedua keluarga itu sudah
selesai membenahi rumah mereka. Tirai?tirai
22 dibuka, dan kedua rumah itu tak nampak kosong
lagi... sudah ada yang menempati. Di malam hari,
ketika cahaya lampu terpancar dari jendelajendelanya, Bu Mackenzie merasa senang melihatnya.
"Senang rasanya punya tetangga lagi di kanan
kiri kita," kata Jeanie. "Bu, boleh kami mengundang Bob minum teh di sini?"
"Boleh saja," jawab ibunya, "tapi jangan dalam
waktu dekat ini. la tentu masih sibuk mengatur
barang-barangnya. Nanti saja pada hari Kamis."
Bob muncul di sekolah pada hari Selasa. la satu
kelas di bawah Jeanie dan Donald, tapi tentu
masih di atas Pat. Ketiga anak yang tinggal di
Pondok Summerhaye juga datang dengan pakaian yang bagus dan rapi.
Mereka masing?masing bernama Eleanor, Hilda, dan Thomas Berkeley. Bob memperkenalkan
_ dirinya sebagai Robert Kent. Saat istirahat, pukul
sebelas, ia langsung menemui Donald dan Jeanie.
"Halo! Tadi pagi aku ke rumah, tapi kalian
sudah berangkat. Halo, Pat! Kau mau biskuit?"
"Terima kasih," jawab Pat dengan nada bangga
karena ada anak yang lebih besar menawarkan
sesuatu padanya.
"ltu anak?anak yang tinggal di sebelah sana
mmah kalian, kan?" kata Bob. Matanya mengarah
kepada Eleanor, Hilda, dan Thomas. "Agak sombong kelihatannya?dan yang laki-laki sama sekali tidak ramah rupanya."
"Anak itu jahat sekali terhadap kedua kakak
23 nya." kata Jeanie. "Aku melihatnya mendorong
salah seorang di antara mereka."
"Aku juga akan berbuat begitu kalau punya
kakak yang tampak sombong seperti itu," kata
Bob. "Sudahlah, lebih baik sekarang kita main
polisi-poiisian. Aku jadi penjahat, dan kau yang
jadi polisi. Pat bisa menjadi detektif yang mengawasi segalanya."
Permainan itu benar?benar menarik. Semuanya
begitu kecewa ketika mendengar bel tanda pelajaran kembali dimulai. Ketika masuk ke kelas, Bob
dengan sengaja menyenggol bahu Thomas. yang
langsung membalas dengan mendorong.
"Heh! Kenapa kau senggol bahuku?" tanya
Thomas dengan nada ketus.
Bob hanya tersenyum, lalu berkata, "Bagaimana
aku memanggilmu? Thomas atau Tom? Namaku
Bob, aku tinggal dua rumah di sebelah rumahmu."
"Panggil saja, Tom. Tom Berkeley," jawab anak
itu sambil menatap Bob. Bob tersenyum lebar
pada Tom. Anak itu membalas dengan senyuman
tipis, yang membuat wajahnya yang masam
nampak agak berbeda.
Anak-anak keluarga Mackenzie pulang bersama
Bob dan Tom. Eleanor dan Hilda berjalan agak
jauh di belakang mereka, sambil berbisik?bisik.
Mereka cukup sopan, tapi sayang belum kelihatan
ramah. EBUKULAW'AS.ELOGSPOT.COM
"Kelihatannya mereka belum merasa perlu
berkenalan dengan kita," kata Jeanie kepada
Donald.
24 Frisky berlari menghampiri anak?anak. Bob
langsung menyambut anjing itu, dan begitu pula
Tom. "Aku kepingin punya anjing," kata Tom.
"Sudah lama aku kepingin, tapi Ibu mengatakan
anjing itu akan menjadi milik seluruh keluarga,
sedangkan aku ingin anjing itu menjadi milikku
sendiri."
"Kalau Frisky, dengan sendirinya dia milik kami
bersama!" kata Donald. "Kami menganggapnya
sebagai milik bersama, dan kutahu Frisky juga
menyukainya."
"Kau pasti takkan mau berbagi sesuatu dengan
kedua kakakku," kata Tomi
"Aku juga kepingin punya anjing," kata Bob.
"tapi ibuku bilang binatang itu hanya merepotkan
saja. Anjing kan selalu mengotori rumah."
"Tapi setiap saat dapat kaubersihkan," bantah
Jeanie. "Apa repotnya? Aku dan Donald selalu
membersihkan lumpur yang dibawa Frisky."
"Aku selalu membersihkan bulu?bulunya yang
menempel pada sofa," kata Pat menambahkan.
"Untung saja Ibu juga menyukai anjing seperti
kami."
"Tapi di samping itu ibuku selalu membiarkan
aku melakukan hal?hal yang kusukai," kata Bob
menyela. "Misalnya, pergi ke bioskop, dan juga
membeli permen. Aku punya satu set mainan
kereta api. Kalau rel-relnya sudah dipasang, bisa
memenuhi seluruh kamar."
"Dulu aku juga punya mainan seperti itu." kata
Tom. "Tapi ketika kami pindah ke rumah yang
25 kecil ini, lbu menjual semuanya. la bilang, di
rumah yang baru tidak ada tempat untuk memasangnya. Ayahku marah sekali, karena sebelumnya bilang bahwa aku tetap boleh menyimpan
mainan itu. Wah, sayang sudah dijual, padahal
gerbongnya bagus-bagus."
Jeanie dan Donald teringat pada suara yang
tajam dan ketus ketika mereka berada di depan
pintu dapur Pondok Summerhaye. Mereka sudah
menduga bahwa ibu Tom bukan orang yang
menyenangkan?apalagi setelah mendengar ia
telah menjual satu set mainan kereta api kesayangan anaknya!
"Apakah ayahmu akan membelikan satu set
yang baru untukmu?" tanya Pat.
"Tidak, Ibu pasti akari menjualnya lagi," jawab
Tom. "Kautahu apa yang dikatakan ayahku waktu
itu? Ia bilang ia akan menjual salah satu bros milik
lbu, karena lbu telah berani menjual mainan itu!
Ibuku lantas mengunci semua kotak perhiasannya. Huh, waktu lbu menjual mainan itu, tanganku
sudah gatal ingin mengambil bros lbu, lalu
kujual!"
Keempat temannya berpaling menatapnya dengan sikap kaget Mereka hampir tidak percaya
teman mereka itu berbicara demikian tentang
ibunya!
"Apa kau tidak mencintai ibumu?" tanya Pat
dengan nada heran. "Kau kan tak mungkin
berbuat begitu padanya!"
Tom seketika menjadi malu. Ia mulai bersiul
26 siul, lalu tiba?tiba berhenti. "Hei, lihat si Frisky!"
katanya mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Rupanya ia menemukan tulang!"
Frisky memang menemukan tulang?tapi sayang tulang itu milik anjing lain! Anjing itu segera
menerjang maju sambil menggeram. Frisky bergerak menghindari serangan anjing itu dengan
tulang tetap dalam moncongnya. Anjing yang satu
menerjang lagi.
"Aduh. Frisky bisa digigit!" jerit Pat "Ia tak mau
melepaskan tulang itu!"
Bob berlari menghampiri kedua anjing yang
sedang menggeram itu, lalu menangkap ekor
Frisky. Anjing itu menggonggong marah?tulangnya terlepas! Anjing satunya langsung menyambar tulang itu lalu menghilang.
"Hebat kau! kata Tom memuji Bob. "Kau
benar?benar berani. Kau bisa digigit tadi. Aku
paling takut menengahi dua ekor anjing yang
sedang berkelahi."
"Terima kasih, Bob!" kata Jeanie sambil menepuk bahu temannya itu. "Frisky, kau tak boleh
mencuri begitu! Ayo, sana, anjing nakal!"
Tom kelihatan terkesima dengan tindakan Bob.
"Aku takkan berbuat seperti itu tadi," katanya.
"Eh, kapan?kapan aku mau ke rumahmu, melihat?lihat mainan kereta api itu."
Bob senang mendengar anak yang lebih besar
memuji dirinya. "Nanti kutanyakan pada Ibu
kapan kau boleh ke rumahku," katanya. "Nah, kita
sudah sampai. Yuk, sampai besok!"
27 3 Di Rumah
DALAM waktu singkat ketiga keluarga itu sudah
berkenalan satu sama lain. Bu Berkeley akhirnya


Enam Berandal Cilik Karya Enid Blyton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berpendapat bahwa keluarga Mackenzie cukup
baik. la tersenyum sambil mengangguk ketika
bertemu dengan Bu Mackenzie sewaktu sedang
berbelanja.
Bu Kent juga sangat ramah, dan segera ketiga
wanita itu sudah saling mengundang minum teh.
Rumah Bu Berkeley dihiasi perabotan yang
bagus. Permadani dan lukisan?lukisannya sangat
indah. Di rumah keluarga Kent segalanya tampak
begitu rapi, dan pemiliknya kelihatan sangat
bangga akan hal itu.
Sebaliknya Bu Mackenzie tidak begitu menyukai kedua tetangga barunya.
"Wah, senang ya, punya tetangga baru." kata
suaminya ketika mereka duduk berdua.
Bu Mackenzie menggeleng, lalu berkata, "Aku
tidak begitu suka pada Bu Berkeley. Sebelum
pindah, mereka tinggal di sebuah rumah yang
besar. Dan karena suaminya kehilangan pekerjaan, ia mulai berubah sikap. Ia bahkan menyatakan
sikapnya di depan suaminya."
28 "Wah, payah kalau begitu," sahut suaminya.
"Kalau aku sampai kehilangan pekerjaan dan kita
terpaksa pindah dari sini. kau jangan sampai
bersikap seperti itu padaku." __
"Dalam keadaan bagaimanapun juga, aku
takkan bersikap seperti itu padamu," kata Bu
Mackenzie sambil meneruskan rajutannya. "Tadi
aku hampir memperingatkan Bu Berkeley agar
tidak berbicara tentang suaminya seperti itu. Lihat
saja, kapan?kapan akan kukatakan padanya!"
"Siapa tahu ia hanya ingin menumpahkan
perasaannya padamu," kata Pak Mackenzie, "dan
ia tidak bercerita kepada orang lain tentang hal
lnl. "Tapi ia menceritakan itu padaku di depan
anak?anak!" kata Bu Mackenzie. "Coba kaubayangkan, Andy. Apa yang akan kaulakukan
kalau aku mengatakan kau dungu di depan si
Kembar dan Pat? Itu yang dikatakannya di depan
aku dan anak-anaknya!"
"Wah, kasihan anak-anak itu," balas suaminya.
"Tapi bisa saja ia mengatakannya untuk bercanda, Jessie."
"Anak laki?lakinya sangat mencintai ayahnya,"
sahut istrlnya sambil terus merajut. "Sulit bagi
Tom jika ibunya mencoba mengalihkan perhatian
anak itu dari Pak Berkeley. Yang perempuan
kelihatan sejak awal sudah berada di pihak
ibunya."
"Kau jangan terlalu sibuk mengurusi anak
orang lain," ujar Pak Mackenzie. "Tiga anak saja
29 bagiku sudah cukup. Nah, bagaimana pendapatmu tentang anak yang satunya?Bob Kent?"
"Dia anak baik," jawab Bu Mackenzie. "Tapi ia
sangat memerlukan seorang ayah! Ia mencoba
mengatur ibunya, tapi Bu Kent menolaknya! Aku
tahu, ini pasti karena ia merasa sebagai satusatunya pria di rumah itu, sehingga perlu mengatur segala hal. Tapi ibunya tidak suka cara seperti
itu. Kasihan Bob?kalau tinggal dalam keluarga
yang lengkap seperti keluarga kita, maka semuanya pasti akan beres. Ia sangat baik terhadap Pat."
"Ya, memang," sahut Pak Mackenzie, setuju
dengan pendapat istrinya. "Nasib mereka hampir
sama, selalu sendirian. Tapi Patjauh lebih pemalu,
dan agak penakut!"
"Ya, ini karena si Kembar tidak mengacuhkannya. Mereka berdua tidak dapat dipisahkan,"
kata Bu Mackenzie sambil berhenti merajut
"Untuk anak kembar seperti mereka, sebenarnya
wajar saja. Dan aku takkan melarang mereka
seperti itu. Yah, selalu ada kesulitan dalam
berkeluarga."
Sambil berkata begitu, wanita itu tersenyum
pada suaminya, yang juga membalas dengan
senyum. "Tidak ada yang sulit kalau kau mau
menghadapi masalahnya, Jess," kata suaminya.
"Tapi selama ini kita kan rukun. Soal Pat, jangan
terlalu dirisaukan. Kita semua mencintainya, dan
itu yang lebih penting*walau kadang-kadang ia
merasa dikucilkan. Berteman dengan Bob akan
baik baginya. Anak itu juga memerlukan kakak
30 atau adik, sama seperti ia memerlukan seorang
ayah."
"la menginginkan seorang ayah seperti kau,"
sahut Bu Mackenzie sambil melanjutkan rajutannya. "Ia anak baik, tapi kadang-kadang keras
kepala. Ia ingin mengatur segalanya, sama seperti
kau mengatur si Kembar!"
Suaminya tersenyum lebar, lalu mulai mengisi
pipanya dengan tembakau.
"Kasihan Donald," katanya. "ia terpukul ketika
kumarahi karena meminjam sepedaku tanpa
minta izin lebih dulu, lalu mengembalikannya ke
gudang dalam keadaan kotor! Tapi aku yakin ia
tahu bahwa aku memang pantas memarahinya."
"Itu wajar, kau kan ayahnya. Dan kalau seorang
ayah tidak dapat mengatur anak laki-lakinya,
maka itu merupakan contoh yang buruk bagi
mereka!" sahut istrinya. "Yang pasti ia sudah
kapok meminjam sesuatu tanpa minta izin lebih
dulu!"
Kedua suami?istri itu masih membicarakan
tetangga mereka, yang ternyata juga sedang
membicarakan mereka.
"Mereka berbeda dengan kita," kata Bu Berkeley pada suaminya. "Kita takkan mengenal mereka kalau masih tinggal di rumah kita sebelumnya."
"Jangan begitu, Amy," kata suaminya. "Keluarga itu ramah. Pak Mackenzie orangnya baik, dan
begitu pula istrinya. Kenapa kau selalu begitu
pada orang lain? Aku tak suka itu, ingat."
31 "Aku juga tidak suka pada kau yang selalu
menyalahkankul" tukas istrinya. "Siapa yang kehilangan pekerjaan sehingga keadaan kita jadi
begini? Tinggal di rumah yang kecil, dan anakanak terpaksa bersekolah bersama anak-anak
seperti Bob Kent!"
"Apa salahnya?" balas Pak Berkeley dengan
nada gusar. "Ia anak baik, dan ramah pada Tom.
Anak kita itu kan memerlukan teman. Selama ini
ia hanya berurusan dengan kedua kakak perempuannya, yang selalu mengganggunya."
"Hah, lagi?Iagi kau membela Tom. dan me
nyalahkan kedua anak perempuan kita," ujar
istrinya dengan suara yang mulai meninggi.
"Sudah, jangan diteruskan," kata Pak Berkeley
sambil melipat surat kabar yang sedang dibacanya. "Kenapa kita tidak seperti keluarga Mackenzie? Aku yakin mereka tidak selalu mengomel dan
bertengkar setiap saat seperti kita."
"Bu Mackenzie memang tidak perlu mengomeli
suaminya!" sahut Bu Berkeley dengan nada ketus.
"Karena suaminya melakukan segala sesuatunya
dengan baik. la...'
Eleanor dan Hilda masuk ke ruangan itu. Pak
33 Berkeley menatap istrinya dengan tajam, menyuruhnya berhenti. Tapi istrinya tidak peduli, ia
terus saja mengomel dengan suara yang makin
meninggi.
"Kalau saja kau seperti Pak Mackenzie yang
bisa mengurus keluarganya, dapat dipercaya,
dan..."
Pak Berkeley bangkit dari kursinya, lalu keluar
dari ruangan itu. Istrinya mulai menangis. Kedua
anak perempuannya datang menghampiri.
"Jangan menangis, Bu! Apakah Ayah marahmarah lagi! Sudah, Bu. Jangan menangis. Huh,
jahat benar Ayah membuat lbu menangis!"
Sore itu kedua anak itu tidak mau melihat atau
berbicara pada ayah mereka. Pria itu sudah
berusaha mengajak mereka bicara, tapi sia-sia!
Tom bingung melihat sikap kedua kakaknya, dan
berusaha menghibur ayahnya. Ia bercerita tentang
sebuah film yang pernah dilihatnya. Ayahnya yang
senang melihat ada anggota keluarganya yang
bersikap baik padanya, mendengarkan dengan
penuh perhatian.
Tentu saja ini membuat ibunya dan kedua
kakaknya kesal. Segera setelah Pak Berkeley
meninggalkan ruangan itu karena ada telepon
untuknya, mereka mulai menyerang.
"Huh, dasar penjilat!" kata Eleanor dengan
wajah masam. "Selalu membela Ayah! Huh,
menyebalkan!" .
"Apa maksudmu?" tanya Tom heran. "Oh?rupanya kalian habis bertengkar? Wah, maaf kalau
34 begitu! Keluarga kita memang selalu bertengkar.
Lalu kenapa aku tidak boleh berbicara dengan
Ayah? Aku kan tidak terlibat dalam pertengkaran
itu?"
"Kau seharusnya kasihan pada Ibu," kata Hilda.
"Kau kan tahu, kalau bukan karena kedunguan
Ayah dalam pekerjaannya, maka kita tidak akan
tinggal di sini, dan bersekolah dengan anak?anak
seperti Bob, dan keluarga Mackenzie."
"Hei, apa yang salah dengan anak-anak itu?"
balas Tom dengan nada tajam. "Dasar anak
perempuan! Kalian selalu begitu judes, sombong,
dan tolol!"
Oh, Tom?kenapa kau juga bersikap seperti
ayahmu?" kata ibunya. Air matanya mulai menetes lagi membasahi kedua pipi.
Tom tidak tahan melihat ibunya menangis. la
menatap ibunya, dan tiba-tiba merasa bersalah. la
bangkit lalu menghampiri wanita itu. Tapi ketika
sampai di depan ibunya, ia didorong menjauh.
"Pergi sana! Kau kan berada di pihak Ayah! Kau
memang tidak mencintaiku seperti kedua kakakmu ini!"
"Aku tidak berpihak pada siapa pun," kata Tom
sambil menatap ibunya dengan sedih. "Lagi pula,
kenapa kita selalu harus bertengkar? Apa salahnya
sih tinggal di rumah kecil seperti ini? Terus terang,
bagiku rumah ini cukup nyaman. Dan sekolah di
sini juga cukup baik. Banyak teman yang menyenangkan?apalagi anak-anak keluarga Mackenzie. Heran, kenapa kalian selalu bersikap
35 sombong pada mereka. Ketiganya anak?anak
yang pandai...."
"la memang mencintai semua orang, kecuali
keluarganya sendiri," potong Eleanor dengan
nada marah. "Bayangkan, ia jauh lebih suka pada
anak?anak keluarga Mackenzie yang konyol itu
dibanding pada kedua kakaknya sendiri!"
Tom mulai naik pitam. la mendekati Eleanor
sambil menatap anak gadis itu dengan tajam.
"Aku memang tidak suka padamu! Aku benci
padamu! Kalian jangan heran kalau aku lebih
menyukai keluarga Mackenzie daripada kalian. Ini
semua karena tingkah kalian yang menyebalkan.
Masa bicara dengan Ayah saja..."
"Dengar, Bu. Tom memang benci padaku,"
sela Eleanor sambil terisak perlahan. Air matanya
mulai menetes. Bu Berkeley merangkul anak itu
sambil menepuk-nepuk bahunya. Tom menatap
keduanya. berpaling pada Hilda lalu mencibir.
Setelah itu ia bergegas keluar dari ruang itu untuk
mencari Bob. Kedua anak itu memang sudah
mempunyai rencana bersama.
Bob mengobrol dengan ibunya tentang keluarga Mackenzie. la sangat menyukai keluarga itu,
terutama Pak Mackenzie. Bob kagum akan sikapnya yang ramah tapi tegas terhadap keluarganya.
Ibunya sambil lalu saja mendengarkan Bob
bicara. Ia sudah bosan tinggal di kota kecil seperti
Lappington itu. Ia juga bosan dengan segala hal
yang diceritakan Bob. Dan ia bahkan bosan pada
Bob sendiri. Anak laki?laki memang jorok, berisik.
36 dan kadang tolol, pikirnya, apalagi Bob, kalau
sudah mulai sok kuasa di rumah. Hah, menyebalkan.
Sulit bagi Bob untuk menjadi pria yang mengatur segala sesuatunya dalam rumah. ia kadang
keras kepala, dan sangat ingin mengatur segalanya. Dan sulitnya, ia tidak punya ayah yang bisa
mengawasinya setiap saat.
37 4 .Tentang Tom
SETELAH lima atau enam minggu, ketiga keluarga
yang bertetangga itu bersikap seolah?olah sudah
mengenal satu sama lain sejak dulu. lni berlaku
setidak-tidaknya bagi anak?anak mereka.
Setiap hari, pada waktu yang sama, mereka
berangkat ke sekolah yang sama pula. Mereka
juga mengenal guru?guru yang sama, dan memainkan permainan yang sama. Eleanor dan
Hilda sudah mulai dapat bersikap wajar, setelah
menyadari bahwa anak-anak yang lain tidak
peduli bahwa keluarga Berkeley itu "hebat" seperti
yang sering mereka katakan. Walau begitu, kedua
anak gadis itu masih tetap merasa lebih hebat
dibanding anak-anak yang lain. tapi sikap itu tidak
sering mereka perlihatkan.
Bob, Tom. dan Donald juga berteman baik.
Jeanie selalu ikut dengan Donald, sehingga
mereka selalu berpergian berempat Ketiga anak
laki-laki itu tidak menganggap Jeanie sebagai
anak perempuan yang lemah dan perlu dilindungi. Ini karena sikap Jeanie sendiri yang seperti
laki?laki. Sebaliknya Pat makin tersisih dari kelompok mereka!
38 Sebenarnya anak itu tidak terlalu sendirian lagi
seperti sebelumnya, karena Bob sangat ramah
padanya. Anak laki-laki itu sering meninggalkan
teman?temannya untuk menemui Pat. Tidak jarang ia muncul di ruang duduk rumah keluarga
Mackenzie, lalu berseru memanggil Pat.
"Pat! Yuk, ikut jalan-jalan! Kita ke sungai, dan
naik perahu di sana!"
Bu Mackenzie kemudian akan mengangguk
pada Pat. "Pergilah," katanya sambil tersenyum
melihat Pat yang berlari keluar sambil menandaknandak gembira. Ia percaya Bob bisa menjaga


Enam Berandal Cilik Karya Enid Blyton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pat, dan membiarkan kedua anak itu berjalanjalan. Ia menilai Bob memang anak yang baik
karena begitu memperhatikan Pat yang masih
kecil itu.
"Pat, aku kepingin punya adik seperti kau," kata
Bob suatu ketika pada Pat. Anak itu menatap
temannya dengan mata bersinar karena gembira.
"Aku juga kepingin punya kakak seperti kau,"
balas Pat.
"Lho, memangnya Donald bukan kakakmu?"
tanya Bob dengan nada heran.
"Ya, memang. Tapi ia selalu memperhatikan
Jeanie, dan bukan aku," sahut Pat menjelaskan.
"Aku kepingin punya kakak yang juga memperhatikan aku. Seperti Donald dan Jeanie."
"Yah, anggap saja aku ini abangmu," kata Bob.
"Kau sama seperti aku?selalu sendirian. Kalau
kau perlu sesuatu, bilang saja padaku, ya?"
Hati Pat berbunga mendengar pernyataan Bob.
39 Akhirnya ada yang tidak mengucilkannya, seperti
biasa dilakukan kedua kakaknya. Si Kembar
sebenarnya sama sekali tidak bermaksud mengucilkan adik mereka, tapi karena mereka kembar
maka hal itu tanpa sadar mereka lakukan. Pat
mulai jauh lebih akrab dengan Bob dibanding
sebelumnya. la'mulai bercerita panjang lebar pada
Bob yang selalu mendengarkan dengan penuh
perhatian.
Kepada anak?anak yang lain, ia tetap bersikap
seperti biasa, sebagai anak yang berani dan selalu
bicara dengan suara yang keras. Ia selalu yang
paling dulu terjun ke sungai, melihat apakah
sungai itu cukup aman untuk diseberangi. Ia
selalu memanjat pohon yang paling tinggi, melompat dari tembok yang paling tinggi. Di kelas. ia
menjadi anak yang paling ramai. dan selalu
membuat ulah yang kadang merepotkan para
guru.
Tom kagum pada temannya itu. Sebenarnya
watak keduanya mirip, tapi Tom sering marahmarah tanpa sebab. Sering ia membuat temantemannya heran, karena tiba-tiba marah dan
meninggalkan mereka tanpa mengatakan apaapa.
"Ada apa sih dengan Tom?" tanya Jeanie. "Hari
ini tingkahnya jadi aneh. Semuanya jadi serba
salah. Menyebalkan."
"Kurasa orang?orang di rumahnya bertengkar
lagi," kata Bob. Dan dugaan itu memang tepat.
Setiap hari ada yang bertengkar, dan Tom hanya
40 duduk di sudut ruangan, tanpa tahu harus berbuat
apa. Kalau sudah begitu ia biasanya menyelinap
masuk ke rumah keluarga Mackenzie, lalu duduk
sambil mendengarkan pembicaraan mereka.
"Ada apa, Tom?" tanya Pak Mackenzie suatu
hari ketika Tom menyelinap masuk ke rumahnya.
Anak itu berbicara sebentar dengan Donald, lalu
duduk i sudut ruangan sambil termenung.
"Ah, tidak ada apa?apa," sahut Tom. "Aku suka
duduk di sini. Ruangannya nyaman."
Bu Mackenzie tahu bahwa anak itu bukan
menyukai ruangannya, melainkan suasananya, di
mana ia tidak perlu mendengar makian-makian,
dan jeritan yang diiringi tangis. Wanita itu memandang Pak Mackenzie, lalu mengerutkan dahi
memberi isyarat agar suaminya tidak lagi menanyai Tom.
"Sebentar lagi Pat ulang tahun," kata Bu
Mackenzie. "Ini harus kita rayakan. Wah, wah. Pat.
Kau sudah semakin besar sekarang?delapan
tahun!"
"Sudah kusiapkan hadiah untukmu, Pat," kata
Donald, "berminggu-minggu aku membuatnya."
"Sebagian uangku kutabung untuk membelikan sesuatu yang sudah lama kauidam?idamkan,
Pat!" kata Jeanie. "0 ya, Frisky juga akan
memberikan sesuatu padamu."
"Guk, guk," salak Frisky. Ekornya dipukulpukulkan ke lantai.
"Frisky memang bisa mengerti pembicaraan
kita," kata Pak Mackenzie, sambil menurunkan
41 surat kabar yang sedang dibacanya. "Aku ingat
sewaktu aku punya anjing yang bersedia mati..."
Tiba?tiba Frisky memutar badannya, lalu tidur
telentang. Pak Mackenzie melanjutkan.
"Anjing itu juga bisa duduk lalu mengemis..."
Frisky bangkit, lalu sambil bertumpu pada kaki
belakangnya ' ia menggerakkan kaki depannya
seolah?olah sedang mengemis.
"Dan ia juga bisa menutup pintu, kalau ada
orang yang lupa menutupnya," kata Pak Mackenzie sambil tersenyum pada Tom yang telah
membiarkan pintu terbuka.
Dengan alis terangkat Tom melihat Frisky
berlari menuju pintu yang terbuka, dan dengan
satu sentuhan menutupnya kembali.
"Hei, hebat benar anjing ini!" kata Tom memuji.
"Maaf, pintu itu lupa kututup. Sekarang coba
ceritakan bahwa anjing Anda itu juga bisa menghidupkan radio! Aku kepingin lihat Frisky melakukannya!" '
Donald dan Jeanie mendengus kesal. "Kau ini
bagaimana sih, Tom? Kau tahu kan, Frisky
melakukan ini sudah untuk kesekian kalinya. Ayah
berpura-pura bercerita tentang anjing lain, dan
Frisky melakukan hanya yang dapat ia mengerti.
Mana ada sih anjing yang bisa mengerti bahasa
manusia?"
"Aku ingat seekor anjing yang dapat menghidupkan radio," kata Tom tiba-tiba. Sayang, Frisky
tidak mengenal perintah itu. Anjing itu duduk di
hadapan Tom sambil menggoyang-goyangkan
42 ekor, dan menatapnya dengan sikap seakan
bertanya, "Apa yang baru saja kaukatakan?"
Suasana di rumah keluarga Mackenzie memang menyenangkan. Kadang-kadang si Kembar
berbuat salah, tapi semuanya cepat diselesaikan
?-tanpa pertengkaran. Dan setelah itu semuanya
berjalan seperti biasa, seolah?olah tidak terjadi
apa?apa!
Tidak ada yang memaki, mengomel, bertengkar, menangis! kata Tom dalam hati. Coba saja
kalau aku yang berbuat salah di rumah. lbu pasti
akan memarahiku berjam?jam. Dan selama beberapa hari kesalahan itu akan terus diingat-ingat!
Tentu saja si Kembar begitu sayang pada orangtua mereka. Keduanya tak perlu menghadapi
masalah yang rumit seperti aku.
Tom sering termenung memikirkan hal itu.
Kalau ia bersikap ramah pada ayahnya, maka
ibunya akan bersikap seperti musuh. Sebaliknya
kalau ia sedang mencoba mendekati ibunya,
maka ayahnya akan menatap Tom dengan marah
dan penuh kebencian. Tom berpikir bahwa keluarganya sama sekali bukan keluarga yang
bahagia!
Tidak heran kalau ia sering pergi meninggalkan
keluarganya, dan lebih suka menyelinap masuk ke
rumah keluarga Mackenzie untuk mendengarkan
mereka mengobrol. Anak itu juga tidak heran
melihat ayahnya suatu hari berada di rumah itu
untuk mendengarkan sebuah konser bersama
Pak Mackenzie!
43 Pak Berkeley sempat memperingatkannya ketika mereka pulang bersama. "Jangan katakan
pada ibumu bahwa aku ke rumah keluarga
Mackenzie untuk mendengarkan konser. Tadi
sore ia marah besar padaku, dan aku yakin ia pasti
akan mengomel terus-terusan kalau aku mendengarkan konSer itu di rumah kita. Dan kau tahu,
aku kepingin mendengarkan konser itu tanpa
diganggu."
Tom terpaksa berbohong ketika ibunya bertanya dari mana ia datang bersama ayahnya.
"Kami cuma sekadar jalan-jalan," katanya dengan wajah cemas. Ia merasa tidak enak karena
terpaksa berbohong.
"Ke mana?" tanya ibunya.
"Eh?ke sungai," jawab Tom agak gugup.
"Ke sungai?" tanya Eleanor. "Hujan gerimis
begini kalian pergi ke sungai? Ah, kau pasti
bohong. Taruhan kau pasti ke rumah keluarga
Mackenzie. Sudah beberapa hari ini kau tinggal di
rumah mereka! Ayo, mengaku! Kau baru saja dari
rumah mereka, kan?"
"Aku pergi dengan Ayah," kata Tom tetap
nekat. "Sudah, jangan bicara lagi. Aku mau
membaca."
"Lihat saja nanti," ancam Hilda. "Besok akan
kutanyakan pada Jeanie." Tom tidak berkata apaapa lagi, tapi dalam hati ia mengumpat karena
cemas. Ia tidak mau membiarkan anak?anak
Mackenzie tahu kalau ia berbohong. Tapi di lain
pihak ia tidak mau mengadukan ayahnya. Saat itu
44 ia benar?benar bingung. Sore itu ia hanya duduk
sambil termenung, dan hampir tidak bicara.
bahkan juga kepada ayahnya.
Gara-gara ayahnya ia mendapat kesulitan begini. Kalau Hilda tahu bahwa mereka tadi pergi ke
rumah keluarga Mackenzie dan bukannya ke
sungai, pasti akan terjadi pertengkaran hebat...
bukan hanya dengan Bob, tapi juga melibatkan
ayahnya.
Untung saja keesokan harinya Hilda sudah
melupakan pertengkaran mereka, dan tidak bertanya kepada Jeanie. Tom menghela napas lega.
Lain kali aku harus berhati?hati kalau berbohong. katanya dalam hati. Percuma saja kalau
kukatakan yang sebenarnya. Coba kalau kemarin
kubilang Ayah ada di rumah keluarga Mackenzie,
Ibu pasti akan marah?marah sepanjang hari. Lagi
pula, biar saja Ayah ke rumah keluarga Mackenzie,
aku kan juga sering melakukannya.
Setelah itu untuk menghindari pertengkaran,
Tom mulai sering berbohong. Juga untuk hal?hal
yang ia anggap akan dilarang oleh ibunya.
"Aku mau ke rumah Harry," katanya suatu hari.
Dan ia sama sekali tidak ke rumah Harry,
melainkan ke bioskop. la menonton film yang
belum boleh ditonton oleh anak sebaya dia. Ia
memang masuk tanpa membeli karcis, tapi
menyelinap melalui sebuah pintu yang ditemukannya secara kebetulan.
Sering juga ia mengaku pergi berjalan?jalan
bersama seorang temannya, padahal ia pergi
45 bermain-main di pasar malam. Ayah dan ibunya
percaya begitu saja, dan membiarkan ia pergi.
Suasana pasar malam sangat menyenangkan
baginya. la suka melihat lampu?lampu yang
berkelap?kelip, dan musik pasar malam yang
riang gembira. Ia senang memperhatikan orangorang yang bermainjackpot. Semuanya kelihatan
begitu gembira. Baginya itu jauh lebih baik
daripada duduk termenung sambil mendengarkan pertengkaran dalam keluarganya!
Suatu ketika ia bertemu Bob di tempat itu. Bob
baru saja jajan dan sudah akan pulang.
"Halo, Bob!" sapanya. "Yuk, ikut aku. Kita main
jackpot. Ada mainan sepak bola di sana. Kalau
kau berhasil menang, uangmu akan dikembalikan."
Bob tertarik mendengarnya. la mengeluarkan
uang sepuluh pence, lalu memasukkannya ke
mesin jackpot. Tom melakukan hal yang sama.
Mereka bermain sambil menjerit?jerit dan tertawatawa. Akhirnya Tom berhasil memenangkan pertandingan itu dan memperoleh uangnya kembali.
"Ayo, main lagi!" tantang Tom.
Bob menggeleng. "Tidak, uangku habis. Uang
sakuku kan tidak sebanyak kau. Yuk, kita pulang
saja."
"Nanti dulu," kata Tom, "aku masih mau
bermain di sini." Bob pergi meninggalkannya
sambil berpikir apa yang dikatakan ayah Tom
kalau melihat anaknya larut malam masih bermain di tempat itu.
46 5 Bob dan Ibunya
Bu KEHT tampak kesal melihat Bob pulang larut
malam, jauh lebih lambat dari waktu yang ditetapkannya.
"Kenapa kau pulang larut malam begini?" tanya
ibunya sambil menatap Bob dengan tajam. "Aku
kan sudah bilang, kau harus pulang pada waktu
yang sudah kutetapkan. Kaukira umurmu sudah
enam belas, ya? Huh, dua belas saja belum."
"lbu tadi bilang mau pergi minum teh," kata
Bob. "lalu kenapa aku tidak boleh pergi?"
"Jangan melawan, Bob. Lebih baik kauturuti
saja apa yang kukatakan," balas ibunya. "Aku
sudah Cukup repot mengurusi kau dan rumah ini
sehari?hari. Jangan kau tambah lagi dengan sikap
rewel dan membangkang seperti itu."
Bob menatap ibunya dengan sikap kaget.
"Merepotkan? Aku?" tanyanya. "Bagaimana
mungkin? Sepanjang hari aku berada di sekolah,
kecuali untuk makan siang. Kalau lbu mau, biar
sekalian bekal makan siang kubawa. Banyak juga
anak?anak yang berbuat seperti itu. Heran, lbu kan
hanya mengurusi aku dan rumah ini. Masa begitu
saja lbu bilang merepotkan?"
47 "Bob, kalau bukan karena kau, aku sudah
mencari pekerjaan lagi sekarang," kata ibunya.
"Dan itu akan kulakukan kalau kau masih tidak
mau menurut padaku. Aku perlu uang untuk
membeli pakaian baru, sesekali pergi ke pesta
dansa, dan juga ke bioskop. Tapi itu tak dapat.
kulakukan, karena aku harus mengawasi kau.
Tapi kau justru selalu membangkang dan bersikap kasar."
Bob terpukul mendengar keluhan ibunya. Apakah selama ini ia memang hanya merepotkan
saja? Rasanya tidak mungkin! Melihat ibunya
sedih, Bob menghampirinya. la merangkul ibunya
lalu mendekapnya erat?erat.
"Aduh, Bu. Jangan cemberut begitu," katanya.
"Aku tidak bermaksud buruk Mana mungkin aku
sengaja membuat lbu sakit hati. Tak mungkin."
"Ya, sudah. Lain kali kau harus pulang tepat


Enam Berandal Cilik Karya Enid Blyton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pada waktunya," ujar .ibunya. "Ayo, lepaskan
tanganmu. Aku hampir tidak bisa bernapas."
Bob melepaskan pelukannya, lalu berdiri menv
jauh. Hatinya terluka. Ia sungguh?sungguh mencintai ibunya. Dan ia juga berharap ibunya
bersikap sama terhadap dirinya. Ia tahu ibunya
bangga akan dirinya, yang cakap dan penuh
percaya diri. Tapi anak itu ingin lebih dari sekadar
kebanggaan dari seorang ibu. la juga mengharapkan kasih sayang ibunya?dan seperti Tom ia
membandingkannya dengan Bu Mackenzie.
Bu Mackenzie selalu bersikap ramah, pikir Bob.
la selalu bersikap begitu gembira kalau anak
48 anaknya pulang sekolah. Kalau mereka memeluknya, maka Bu Mackenzie akan membalas memeluk lebih erat Aku yakin, mereka pasti tidak
dianggap merepotkan oleh Bu Mackenzie Ia
memang ibu sejati.
Tiba? tiba ia tersentak kaget. Apakah wanita itu
memang ibu kandungnya? Dan karena ayahnya
sudah tiada, maka seorang anak seperti dia
menjadi sangat merepotkan? Sejak ayahnya meninggal, mereka memang tidak mudah memperoleh uang?tapi ia tahu bahwa ayahnya meninggalkan uang yang tidak sedikit jumlahnya. yang
cukup untuk hidup berdua dengan nyaman.
Sekali lagi ia berusaha memeluk ibunya, berharap
ibunya akan membalas dengan hangat, dan
dugaannya tadi sama sekali meleset
Bu Kent membalas dengan mendekap anak itu
sebentar. Hanya itu. Kemudian wanita itu tersenyum padanya. "Nah, Bob?kelihatannya kau
sudah mau menurut lagi sekarang, dan pulang
tepat pada waktunya. Janji, kau takkan mengulangi lagi perbuatanmu?"
Bob melepaskan tangannya, lalu menatap ibunya dengan sikap sungguh?sungguh. "Aku tak
perlu berjanji," katanya sambil membalikkan badan. "Aku kan bukan bayi yang harus diatur
segala sesuatunya. Dan juga sama sekali tidak
rewel! Mulai besok, lbu siapkan saja roti untuk
makan siang, jadi aku tidak perlu pulang?balik ke
sekolah." '
Anak itu tidak menyangka bahwa ibunya setuju
49 dengan permintaannya. Sebenarnya ia lebih senang pulang siang hari, lalu bercerita tentang
pengalamannya di sekolah hari itu, walau ibunya
hanya mendengarkan sambil lalu saja. Sorenya ia
biasa bermain dengan anak?anak keluarga Mackenzie dan Frisky.
Esoknya, ia kaget melihat ibunya sibuk mengiris?iris roti di dapur. la mengawasi gerak?gerik
ibunya dengan saksama.
"Untuk siapa itu, Bu?" tanyanya dengan nada
cemas.
"Untuk kau," jawab ibunya sambil terus mengiris roti. "Berapa potong yang mau kaubawa?"
"Tapi, Bu?aku hanya bercanda!" seru Bob."
Aku tidak sungguh?sungguh!"
"Tapi aku sungguh?sungguh," balas ibunya.
"Kalau kau memang mau menghabiskan waktumu di sekolah, silakan."
"Tapi aku kan hanya main?main," ujar Bob
hampir putus asa. "Aku bilang begitu hanya
karena lbu bilang aku ini merepotkan."
"Ya, tapi ini kurasa ada baiknya juga," sahut
ibunya tanpa sedikit pun mengalihkan pandangannya pada Bob. "Dengan ini aku bisa bepergian
sepanjang hari. mengunjungi teman?temanku di
Croydon. Di sini aku begitu kesepian. Nah, ini
cukup untuk bekalmu?"
"lbu kan bisa pergi pada hari?hari yang sudah
lbu tentukan," kata Bob sambil menarik?narik
lengan ibunya. "Tapi hari-hari lain kan aku bisa
51 pulang makan siang. Ayolah, Bu. Kemarin aku
hanya bercanda."
"Kau memang rewel." kata Bu Kent sambil
memotong sebuah kue, lalu memasukkannya ke
dalam kotak makanan bersama dengan roti yang
sudah dipotong-potong. "Kalau ayahmu masih
ada, ia pasti sudah menghajar kau berulang kali
karena tidak mau menurut. Kau juga selalu sok
kuasa?seolah?olah segalanya bisa didapat dengan cara seperti itu! Lagi pula kenapa sih kau
rewel begitu. Kau sendiri bilang beberapa anak
juga membawa bekal makan siang ke sekolah."
"Ya, tapi aku tidak kepingin seperti itu," kata
Bob. "Aku kepingin pulang makan siang, seperti
anak? anak keluarga Mackenzie
"Heran, kenapa Bu Mackenzie tidak membiarkan anak? anaknya makan siang di sekolah," ujar
Bu Kent sambil menutup kotak makanan itu
"Bayangkan, bagaimana repotnya mengurus tiga
orang anak! Nah, ini bekalmu, kurasa cukup
banyak. Sampai nanti.sore. ya."
Bob tidak mencoba membantah lagi. lbunya
ternyata juga keras kepala seperti dia! Bob hanya
mendengus kesal, lalu pergi. Ia mencoba menghibur dirinya dengan berpikir bahwa ibunya hanya
ingin menghukumnya karena pulang larut malam
kemarin. Ternyata harapannya meleset. Bu Kent
lega, karena hari itu terbebas dari anaknya.
Ketika berangkat ke sekolah keesokan harinya,
Bob kembali berpikir keras. Apakah aku memang
merepotkan lbu selama ini? Apa lbu tidak suka
52 pada tingkahku yang suka mengatur segala
sesuatu itu? pikirnya. Pikirannya mulai kalut lagi
ketika mengingat suara ibunya yang keras kemarin. la berjanji akan berusaha sebisa mungkin
membuat ibunya kembali mencintainya. dan
memperlihatkan bahwa ia sebenarnya betah tinggal di rumah. Tidak masuk akal jika ibunya benarbenar tidak ingin mengurusi Bob. ltu artinya, Bu
Kent tidak mencintai anak itu.
Bob terus berjalan. Ia tidak mendengar anak?anak
Mackenzie memanggil?manggil. Tangannya dimasukkan ke saku, dan kepalanya tertunduk. Tapi ia
sempat mendengar langkah kaki berlari?lari di
belakangnya, kemudian sebuah tangan kecil menyelinap di antara jari tangannya. ltu ternyata Pat!
Ia memandang anak kecil itu, lalu tersenyum.
Hatinya mulai terhibur sekarang. Ia menggenggam tangan Pat kuat?kuat sampai tangan anak itu
agak sakit. Tapi Pat tidak peduli, karena itu artinya
Bob menyukainya. Pat mulai berceloteh dan itu
membuat Bob merasa lebih enak.
la gembira dapat berkumpul dengan temantemannya itu, walau hanya sampai saat makan
siang. la berjalan menuju tempat penyimpanan
mantel dan topi bersama Donald dan Jeanie
?saat itu ia baru sadar bahwa ia harus tinggal di
sekolah bersama beberapa anak lain.
",Ah aku baru ingat?hari ini aku membawa
bekal makan siang ke sekolah," katanya pada
Donald, lalu membalikkan badan, berjalan menuju ruang kelasnya.
53 "Baik, kalau begitu sampai nanti sore," ujar
Donald yang kemudian pergi bersama Jeanie dan
Pat. Tom, Eleanor, dan Hilda juga ikut pulang
bersama mereka. Dari jendela ruang kelasnya,
Bob memperhatikan keenam temannya pulang
dengan perasaan iri.
Kalau pulang nanti, Ibu akan kubelikan bunga,
katanya dalam hati. Gagasan itu muncul begitu
saja. Aku masih punya uang sepuluh pence.
Kurasa itu cukup untuk membeli seikat bunga. lbu
pasti akan suka menerimanya!
Sore hari, pulang dari sekolah ia pergi ke toko
bunga. Ternyata harga bungaAbunga itu bukan
main mahalnya! Uangnya sama sekali tidak cukup
untuk membeli seikat bunga.
Penjaga toko bunga itu memperhatikan Bob
yang berdiri di depan tokonya. "Ada apa? Kau
mau membeli seikat bunga?"
"Ya, aku mau beli bunga untuk ibuku, tapi
harganya mahal sekali. (_langku tidak cukup," kata
Bob. "Berapa banyak uangmu?" tanya gadis penjual
bunga itu.
"Hanya sepuluh pence," jawab Bob.
"Baik, akan kubuatkan seikat bunga yang
harganya sepuluh pence," jawab gadis itu. Ia
mengambil beberapa tangkai bunga violet dari
jambangan, lalu mulai merangkainya menjadi
seikat bunga yang indah. Setelah ditambahi
beberapa lembar daun berwarna hijau, bungabunga violet itu tampak sangat menarik
54 "Ini bunganya." kata gadis itu. "Manis kan,
kelihatannya? Wah, ibumu beruntung punya anak
yang begitu memperhatikannya seperti kau."
Bob tersenyum sopan, lalu mengucapkan terima kasih. Ia memberikan uangnya, lalu pergi. la
berlari sepanjang jalan pulang, seolah?olah sudah
lama sekali meninggalkan rumahnya!
Ia masuk melalui pintu belakang, lalu berseru,
"Bu!" lbu!"
Anak itu mendengar suara orang berbicara di
ruang duduk. Sambil membanting pintu belakang, ia berlari masuk ke mangan itu. "Bu! Aku
bawa sesuatu untuk Ibu!"
Seorang teman lama ibunya sedang menemani
ibunya minum teh dalam ruangan itu. Cangkir
tehnya segera diletakkan ketika Bob menerjang
masuk. Tapi anak itu tidak mempedulikannya.
"Ini, Bu!" katanya sambil menyerahkan seikat
bunga yang baru dibelinya. lbunya mengambil
bunga itu lalu meletakkannya di atas baki.
"Bob! Apa-apaan kau ini?" katanya. "Aku kan
sedang ada tamu?Nyonya Adams datang dari
Croydon menemui kita! Sopan sedikit, atau kau
sudah tidak dapat bersikap sopan?"
Bob tampak kesal. Kenapa justru pada saat ia
sedang berusaha menyenangkan ibunya, wanita
tua yang tidak pernah disukainya itu datang ke
rumahnya. Dan yang paling mengecewakan,
ibunya tidak memperhatikan bunga yang ia bawa,
bahkan mengucapkan terima kasih pun tidak.
Bob benar?benar terpukul.
55 "Ayo, beri salam pada Nyonya Adams," kata
ibunya. Baginya Bob sungguh tidak sopan. masuk
ke ruangan itu tanpa mengetuk pintu, dengan
tangan yang kotor, dan rambut acak?acakan pula!
la menjabat tangan wanita yang tidak disukainya itu sambil menggumamkan sesuatu.
"Anak ini tidak berubah walau sudah pindah ke
sini," kata Nyonya Adams mengomentari Bob.
"Mendengar Ceritamu tentang tingkah lakunya
sekarang, kurasa teman?teman barunya tidak
memberikan sesuatu yang berguna baginya."
Bob tersentak kaget. lalu menatap wanita itu
dengan sikap kesal. "Apa yang lbu katakan
tentang diriku?" tanyanya.
"Bob, duduklah?nanti kubuatkan teh," kata Bu
Kent. la kurang suka tamunya mengungkit?ungkit
obrolan mereka tentang Bob. Sebelum anak itu
datang, ibunya mengeluh tentang Bob yang
menurutnya sulit diatur..
"Aku tidak mau minum teh," sahut Bob dengan
nada kasar. Ia menjulurkan lidahnya pada Nyonya
Adams, lalu berlari menuju pintu. Sambil berlari
meninggalkan ruangan ia membanting pintu itu
keras?keras.
56 6 Bob Kesal
Hvonwx Adams terkejut melihat sikap Bob seperti
itu. "Nakal benar anak itu!" katanya. "Beda sekali
sewaktu bertemu dengannya tahun lalu. ltulah
sulitnya kalau tidak punya ayah. Apalagi anak
seusia dia."
But Kent benar?benar marah pada Bob. Nekat
benar anak itu bertingkah buruk seperti itu. Hati
kecilnya mulai tergerak untuk menemui Bob, lalu
menyuruhnya minta maaf. Tapi akhirnya ia memutuskan untuk membiarkannya. Bob pasti takkan mau melakukan itu. Akhir?akhir ini anak itu
sering bertingkah dan menimbulkan kesulitan.
Wanita itu kembali membuka isi hatinya pada
Nyonya Adams. la bercerita betapa ia merasa
terikat karena harus mengawasi Bob_yang dianggapnya nakal bukan main! Ia juga mengeluh
karena tidak dapat bertemu lagi dengan temanteman lamanya, atau berlibur ke tempat?tempat
yang menyenangkan. dan juga tidak dapat membeli barang-barang yang diinginkannya.
"Sebenarnya aku kepingin bekerja agar dapat
memperoleh uang," kata Bu Kent sambil mengusap matanya. "Seperti ibu?ibu yang lain. Setidak
57 nya aku bisa keluar sebentar dari rumah. dan
membeli sesuatu untuk diriku?dan juga untuk
Bob."
"Lho, kenapa tidak kaulakukan?" tanya Nyonya
Adams. Tangannya meraih sepotong kue. "Apa
yang menghalangimu? Kau kan sekarang tinggal
sendiri. Jangan karena anakmu itu kau jadi
terkekang. Apalagi anak nakal seperti dia! Sebaiknya kau bersikap agak keras padanya."
Bu Kent sebenarnya sayang pada anaknya, tapi
juga sangat kesal melihat tingkah lakunya yang
buruk. la melihat seikat bunga yang tergeletak di
atas baki, dan tiba?tiba ia merasa iba. la meraih
bunga itu, lalu menciumnya.
"Jangan terpengaruh oleh hadiah kecil seperti
itu," ujar Nyonya Adams menimpali. Wanita itu
rupanya sama sekali tidak menyukai Bob. "Mungkin ia baru melakukan kesalahan, lalu mencoba
mengambil hatimu. Ya, aku tahu sifat anak lakilaki. Kau tahu kan, pu'traku empat orang, dan
segala tingkah laku mereka kukenal dengan baik."
Bu Kent meletakkan kembali bunga itu. ia
mendengar pintu depan dibanting, lalu melihat
Bob lari keluar pekarangan rumahnya. Anak itu
menghilang sebentar, lalu kelihatan menyelinap
masuk ke pekarangan rumah keluarga Mackenzie.
Bu Kent makin kesal.
la pasti minum teh di sana, dan tetap tinggal di
sana beberapa lama, pikir wanita itu. Dan itu
memang akan terjadi jika saja keluarga Mackenzie
tidak pergi berkunjung ke rumah Nenek.
58 Tak seorang pun ada di rumah, bahkan Frisky
pun tidak Bob berjalan meninggalkan pintu
belakang rumah itu dengan perasaan sedih.


Enam Berandal Cilik Karya Enid Blyton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Semua orang seakan sedang memusuhinya.
Bahkan Pat yang biasanya datang menyelipkan
tangannya di antara jari tangan anak itu, juga tidak
ada! la memanjat pagar, lalu berjalan menuju gudang _di pekarangan rumahnya sendiri, la menyelinap masuk ke gudang itu, lalu duduk di situ.
Tidak ada makanan. Tapi tidak jadi masalah
karena ia tidak merasa lapar. Anak itu mulai
termenung.
la menunggu sampai mendengar Nyonya
Adams pergi dari rumahnya, lalu berjalan menuju
dapur. Di sana ia menunggu ibunya datang.
Ketika melihat ibunya, anak itu langsung berlari
menghampirinya. '
"Aku minta maaf, Bu! Tapi aku benci wanita tua
itu! Seharusnya lbu tidak bercerita yang tidaktidak tentang diriku. Aku tadi begitu rindu pada
Ibu, dan ingin segera menyampaikan bunga itu."
"Daripada seikat bunga, aku lebih senang kau
bersikap baik, Bob," kata ibunya. Suaranya mulai
terdengar ramah. Bob memeluk ibunya. sampai
wanita itu nyaris tidak dapat bernapas.
"Nah, kau masih mau minum teh?" tanya
ibunya. "Di dalam teko itu masih cukup banyak
untukmu. Sekarang kaubersihkan dulu badanmu
?kau kelihatan jorok Dan jangan lupa sisir
rambutmu!"
59 Bob segera membersihkan badannya. Perasaannya mulai enak sekarang, walau masih ada
sedikit yang mengganjal hatinya. lbunya sudah
mulai ramah, tapi tetap belum menyambutnya
dengan hangat?seperti Bu Mackenzie yang sela<
lu menyambut ketiga anaknya dengan pelukan
hangat. Sebenarnya Bob tidak boleh membandingkan ibunya dengan Bu Mackenzie. Ia mencoba berbuat sesuai dengan kehendak ibunya,
hanya agar wanita itu kembali mencintainya dan
bangga akan dirinya.
Sore itu ia menjadi anak yang baik dan penurut.
ibunya berulang kali tersenyum sendiri melihat
tingkah laku anaknya. Bob menyimpan arang dan
kayu untuk pendiangan yang takkan habis dipakai
selama satu minggu. Ia mencuci semua benda
yang dianggapnya kotor; menyemir sepatu ibunya
yang kotor, dan bahkan yang bersih pula. Ia
meletakkan dua botol penghangat di tempat tidur
ibunya, padahal Bu Kent biasanya hanya memerlukan satu botol. Anak itu mencoba memperlihatkan bahwa ia sebenarnya anak yang baik.
Bu Kent memasukkan bunga yang dibawa Bob
ke dalam vas, lalu mengucapkan terima kasih.
Sebelum waktunya Bob sudah naik ke tempat
tidur, sehingga ibunya tidak perlu marah-marah
untuk menyuruhnya tidur. Anak itu berbaring
sambil berharap ibunya datang padanya, sekadar
mengucapkan selamat tidur. Tapi, sia?sia saja ia
menunggu. Selama ini ibunya hampir tidak
pernah mendatangi Bob sebelum tidur, tapi
. 60 malam itu ia sangat berharap ibunya mau melakukan hal itu.
Kurasa lbu menganggap aku sudah terlalu
besar untuk itu, katanya dalam hati, mencoba
menghibur dirinya. Ya, akusudah besar. ltu benar.
Tapi Bu Mackenzie saja setiap hari masih mendatangi si Kembar sebelum tidur. Mereka sendiri
yang bercerita padaku. Kenapa tidak sekali ini saja
- lbu datang padaku, padahal dari tadi kan aku
sudah bersikap baik?
Keesokan harinya. Bob berangkat ke sekolah
dengan wajah murung. la tidak bercerita kepada
siapa pun tentang kejadian kemarin. la bahkan
?lain dari biasanya?tidak mau berbicara pada
kawan?kawannya.
Pat heran melihat sikap temannya.
Tadi pagi sebelum berangkat ke sekolah,
ibunya memberi bekal makanan lagi pada Bob!
Anak itu tidak menyangka ibunya akan berbuat
seperti itu. ia pikir ibunya sudah melupakan
pertengkaran mereka, lalu membiarkannya pulang ke rumah untuk makan siang seperti biasa.
Ketika bekal makanan itu diberikan, Bob tidak
mencoba membantah. Baik, kalau wanita itu
memang tidak ingin anaknya pulang. Lihat saja
nanti!
Pat berjalan menghampiri Donald dan Jeanie.
"Ada apa dengan Bob?" tanyanya. "Heran, hari ini
ia tidak memperhatikanku, melihat pun tidak
Tampangnya juga lain dari biasanya. Dari tadi
kuperhatikan ia belum tersenyum. Aneh."
61 Jeanie dan Donald juga sudah memperhatikannya. Jeanie menghampiri Bob. "Halo, Bob!"
katanya dengan nada riang. "Wah, tampangmu
kusut sekali. Ada apa sih? Kau lupa bikin PR, ya?"
Bob tidak menjawab. la tersenyum sendiri.
Tiba-tiba ia merasa begitu ringan, seakan tidak
ada persoalan yang sedang dihadapi. Ia merasa
tidak perlu memikirkan apa?apa, termasuk ibunya!
Anak itu bersorak lantang, lalu mulai bertingkah
seperti badut di kelasnya. ltu memang dapat
dilakukannya dengan baik. Dalam waktu singkat
sekelompok anak merubunginya, ikut memanasmanasi.
"Ayo, terus!" seru Tom. "Ulangi lagi, Bob.
Hebat! Hebat!"
Pagi itu Bob bertingkah seperti sedang kesetanan. la terus?terusan mengganggu guru?gurunya.
Anak itu membuat tumpukan buku di atas
mejanya. Kemudian setiap kali ia berdiri untuk
menjawab pertanyaan, meja itu disenggolnya,
sehingga buku?buku itu jatuh berserakan di lantai.
BRAK! Buku?buku itu jatuh berserakan di lantai.
Teman-teman sekelasnya tertawa cekikikan melihat Bob menyusun tumpukan buku itu kembali,
sementara guru mereka sedang sibuk menulis di
papan tulis.
"Bob Kent! Apa-apaan kau ini?" tanya guru itu
akhirnya. "Apa kau mau kukirim menghadap
Kepala Sekolah?"
Bob merasa tidak peduli jika saat itu ia harus
menghadap Kepala Sekolah. Tapi Harry, teman
62 sebangkunya memperingatkan. Harry sebenarnya
juga senang melihat banyolan temannya, tapi ia tahu
kalau sampai Bob harus menghadap Kepala Sekolah, maka anak itu akan mendapat kesulitan besar.
"Jangan keras kepala, Bob," bisik Harry.
ltu membuat Bob tidak jadi mengatakan,
"Terima kasih, Bu Roland. Saya senang sekali bisa
menghadap Kepala Sekolah." Anak itu hanya
menjawab singkat, "Tidak, Bu."
"Kalau begitu, sekarang kau duduk. Dan jangan
macam?macam," kata Bu Roland tajam. Bob lalu
duduk, tapi tangannya tetap tidak bisa diam.
Pelan?pelan ia menumpahkan tinta di atas selembar kertas, lalu memegang kertas itu pada sisi
yang kering. Kertas itu digerak?gerakkan agar tinta
yang ditumpahkannya menyebar. Kemudian ia
menyodorkan kertas itu pada anak yang duduk di
depannya.
Tapi sebelum George mengambil kertas itu, Bu
Roland sudah melihatnya.
"Bob!" bentaknya. "Apa lagi itu?"
"Ah, tidak ada apa?apa, Bu," sahut Bob.
"Jangan pura?pura," kata Bu Roland. "Bawa ke
sini kertas yang kaupegang itu!"
Semua anak di kelas itu menahan napas ketika
Bob berjalan ke depan kelas. Mereka tahu bahwa
bagian bawah kertas itu berlumuran tinta. Bu
Roland mengulurkan tangan, lalu mengambilnya.
Tiba-tiba ia merasa tangannya basah. Cepatcepat kertas itu dibalik. Terlambat, tangannya
sudah berlumuran tinta!
63 Beberapa orang anak tidak bisa menahan tawa.
Bu Roland menatap Bob dengan pandangan
dingin. "Kaukira ini lucu. ya?" tanyanya.
"Saya rasa, cukup lucu," jawab Bob. Beberapa
orang temannya mulai ikut tertawa. Bu Roland
mengedarkan pandangannya berkeliling.
"Kalau masih ada yang tertawa, seluruh kelas
ini akan kuhukum!" katanya. Murid?muridnya
seketika terdiam. Kelas menjadi sunw'. Yang
terdengar hanya debar jantung beberapa anak
yang mulai ketakutan.
"Dan kau, Bob. Sekarang juga tinggalkan kelas
ini," sambungnya. "Sebentar lagi Kepala Sekolah
akan lewat di depan kelas kita. Dan beliau pasti
akan heran melihat kau berdiri di luar. Aku benarbenar kesal melihat tingkahmu pagi ini. Heran,
tidak biasanya kau seperti ini."
Bob keluar dari ruangan kelasnya sambil melambai?lambaikan tangan. Tapi tidak ada yang
berani membalas melambai. Saat ini Bu Roland
sedang tidak dapat diajak bercanda. Bisa gawat
kalau mereka membuatnya makin marah.
Begitu keluar dari ruangan kelasnya, Bob
langsung kehilangan semangat. Dengan sikap
lesu ia bersandar di dinding. Pikirannya mulai
timbul lagi. Ketika teringat Nyonya Adams ia
menendang dinding kuat.kuat. Ibunya seharusnya
tidak bercerita apa?apa pada wanita tua itu!
Tiba?tiba ia mendengar langkah kaki mendekat.
Jangan?jangan Kepala Sekolah, pikirnya. Dalam
keadan begitu ia tidak mau menemui kesulitan
64 baru. Ia memandang berkeliling. Matanya tertumbuk pada sebuah lemari yang biasa dipakai untuk
menyimpan sapu dan sikat. la berjalan mengham-x
piri lemari itu, lalu membuka pintunya. 4 Pas!
Lemari itu cukup besar untuk bersembunyi.
Ketika Kepala Sekolah lewat di depan kelasnya,
ia tidak melihat siapa?siapa! Anak itu bersembunyi
di dalam lemari sambil menahan napas. Segala
keberaniannya tadi sudah luntur. la membungkukkan badannya. Jantungnya berdegup kencang.
Tiba-tiba suara langkah kaki itu berhenti. Bob
terpaku tidak berani bergerak. Matanya membesar, tidak berani berkedip. la takut gerakan itu pun
akan membuatnya ketahuan. Kepala Sekolah
rupanya sedang mendengarkan pembacaan puisi
di salah satu ruangan kelas.
Akhirnya suara langkah kaki itu terdengar
menjauh. Bob bernapas lega. Sampai akhir
pelajaran ia masih meringkuk dalam lemari itu.
Sewaktu bel istirahat berbunyi. ia keluar dari
lemari tersebut. bergabung dengan anak?anak
yang lain. Teman?teman sekelasnya berdiri mengelilingi Bob, sambil menepuk?nepuk pundaknya.
"Kau benar?benar hebat tadi, Bob! lngat wajah
Bu Roland ketika memegang kertas itu? Ha ha!
Kau memang anak yang berani, Bob!"
65 7 . "Ibu Jahat!"
HARI itu Bob jadi jagoan. Cerita tentang tingkah
lakunya yang konyol di kelas dengan cepat
menyebar ke kelas-kelas lain. Tom datang menghampirinya sambil tersenyum lebar.
"Coba kau sekelas denganku, Bob," katanya.
"Guru?guru semuanya membosankan. Kalau kau
ada. kurasa suasananya bisa lebih semarak!"
Bob kembali bersemangat melihat semua temannya tertawa dan memuji dirinya. Selama
waktu istirahat ia berlari ke sana kemari sambil
berteriak?teriak, melompat, mengejar anak-anak
yang lebih kecil, sampai kadang-kadang mereka
menjerit ketakutan.
"Nanti kau ikut pulang bersama kami, Bob?"
tanya Donald ketika pelajaran dimulai kembali.
"Kemarin kan kau makan siang di sini."
Dengan alasan tertentu Bob tidak mau mengaku
bahwa ibunya telah memberi bekal makan siang
untuknya, sehingga ia harus tinggal di sekolah.
"Tidak, hari ini aku tidak makan siang di
sekolah. Bekal makan yang' diberikan Ibu akan
kuhabiskan di pinggir sungai, sambil melihat?lihat
kapal yang lalu?lalang."
66 "Wah, asyik sekali!" ujar Donald dengan nada
iri. Bob agak terhibur mendengarnya.
Sejak itu Bob selalu makan siang sendirian.
Pulang sekolah, ia berjalan bersama temantemannya, lalu membelok ke jalan yang menuju
ke sungai. Di pinggir sungai, ia lalu duduk di
rumput memakan bekalnya, sambil memperhatikan kapal-kapal yang lewat.
ia tidak bercerita pada ibunya tentang "acara
makan siang" itu. Buat apa? pikirnya. Ia senang
bisa membalas ibunya dengan memakan bekalnya di pinggir sungai itu.
Hari itu hujan deras. Ia mencari tempat berteduh, lalu menemukan sebuah gudang yang
penuh dengan barang. Pintunya terkunci. Bob lalu
memutar akal, lalu masuk memanjat melalui
jendela.
67 Ia menghabiskan bekal makan siangnya dalam
tempat yang gelap Itu. Tak lama kemudian anak
itu mulai bosan berdiam diri, lalu mulai memeriksa barang?barang yang ada dalam gudang tersebut. la menemukan beberapa kaleng cat dengan
kuas, berbagai macam botol, peti?peti kayu, tali
"Hei, bocah!"
Bob tersentak kaget. la melihat sebuah kepala
melongok ke dalam dari jendela.
"Mau apa kau di situ? Ayo, keluar! Berani benar
kau mencuri barang-barangku!"
"Aku tidak mencuri," jawab Bob gusar. "Aku
hanya berteduh di sini."
"Ya, ya, cerita lama," sahut orang yang membentaknya tadi. "Kau pasti masuk dari jendela.
Nah, bocah, sekarang kau kulepaskan. Tapi awas
kalau kau masih berani masuk ke gudang ini lagi.
Kulaporkan polisi, kau!"
Pria itu membuka kunci pintu gudang itu. Ketika
Bob berlari ke luar, orang itu masih sempat menjitak kepalanya. Anak itu kesal, karena ia memang
tidak melakukan apa-apa dalam gudang itu!
Sementara itu, Jeanie tidak sengaja membocorkan rahasianya. Anak itu yakin bahwa Bob sudah
meminta izin pada ibunya untuk menghabiskan


Enam Berandal Cilik Karya Enid Blyton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bekal makanannya di pinggir sungai. Hujan terus
turun, dan Jeanie tiba-tiba teringat pada Bob.
"Mudah?mudahan Bob menemukan tempat
berteduh," katanya sambil memperhatikan butirbutir hujan. "Di pinggir sungai yang terbuka
seperti itu, ia bisa kehujanan."
68 "Lho, memangnya Bob ada di sana sekarang?"
tanya Bu Mackenzie. Keningnya berkerut karena
heran. "Bukannya dia ada di rumah sekarang?"
"Sekarang ini tidak. Bu Kent membekalinya
makanan untuk dihabiskan di pinggir sungai.
Menurut Bob, itu kehendaknya sendiri," sahut
Jeanie.
"la senang memperhatikan kapal yang lalulalang di sana," kata Pat menambahkan. "Begitu
dikatakannya padaku."
"Yah, tapi kalau hari hujan begini, kurasa
sebaiknya dia tinggal di rumah!" kata Bu Mackenzie. "Ibunya pasti sudah khawatir."
Dan ketika sore harinya bertemu dengan Bu
Kent, Bu Mackenzie langsung berbicara tentang
Bob! "Anak lakiBu Kent memandangnya dengan sikap heran.
"Di pinggir sungai?" ulangnya. "Bob kan tidak
pergi ke sana. Ia biasa makan bekalnya di sekolah
bersama anak?anak yang lain. Itu juga karena
kehendaknya sendiri!"
Bu Mackenzie bingung, dan tidak mengatakan
apa-apa lagi. Sebaliknya Bu Kent bicara banyak
pada Bob, ketika anak itu pulang ke rumah.
"Kudengar kau makan bekalmu di pinggir
sungai." katanya pada Bob. Anak itu menatap
ibunya, tajam.
"Siapa yang bilang?" tanyanya.
"Kau tak perlu tahu." ujar ibunya. "Mengakulah,
kau memang pergi ke sana, kan? Sudah kubilang,
69 bekal itu harus kau makan di sekolah. Aku tak
mau kau berkeliaran di pinggir sungai, di waktu
makan siang. Apa kata orang nanti? Mereka pasti
bertanya-tanya, melihat kau berada di sana."
"Lho, lbu memberiku bekal. Ya, terserah padaku di mana bekal itu kuhabiskan," kata Bob. Sikap
keras kepalanya muncul lagi.
Sekali ini Bob tidak berdaya! Bu Kent pergi
mendatangi Kepala Sekolah, lalu meminta kepadanya agar mengawasi Bob yang harus menghabiskan bekalnya bersama anak?anak yang lain.
"Ia sendiri yang meminta aku membekalinya
dengan roti," katanya di hadapan Kepala Sekolah.
"Dengan begitu dikiranya ia bebas menentukan di
mana bekal itu dihabiskannya. Pak Williams, Bob
memang anak yang sulit diatur dan keras kepala.
Anda harus bersikap tegas padanya."
"Akhir-akhir ini aku mendapat beberapa laporan yang kurang menyenangkan tentang Bob,"
kata Pak Williams. "Tidak terlalu buruk sebenarnya; ia sering membuat kekacauan di kelas. Hanya
sekadar menyenangkan teman?temannya. Baik,
Bu Kent. Saya akan mengawasi Bob. Tapi, setelah
makan siang, anak itu sudah bisa pulang ke
rumah, bukan? Kurasa itu lebih baik, agar Anda
dapat mengawasinya sendiri."
"Kurasa, tidak," sahut Bu Kent. "Begini?saya
sedang berpikir untuk mencari kerja, Pak Williams.
Karena itu saya tidak dapat mengawasi Bob."
"Hm, baiklah," ujar Pak Williams. "Kalau begitu
kami akan mengawasinya."
.. 70 Esoknya, pulang sekolah, Bob dicegat ketika ia
berjalan bersama teman?temannya keluar dari
pintu gerbang. "Kau harus tinggal di sini, Bob,"
kata Pak Kennet, guru pengawas.
"Siapa yang menyuruh?" tanya Bob.
"Ibumu." balas Pak Kennet. "Bawa bekalmu ke
tempat anak?anak yang lain. Dan jangan melotot
seperti itu!"
Bob sudah tidak sabar ingin cepat pulang. Ia
naik pitam. Ibunya telah melakukan sesuatu tanpa
sepengetahuannya. Sesampainya di rumah, ia
menerobos masuk, lalu membanting pintu.
Ibunya terperanjat kaget.
"Kenapa Ibu tidak bilang padaku, kalau lbu
mendatangi Kepala Sekolah untuk melarang aku
makan di luar?" ujar Bob menyembur. "lbu jahat!
Aku kan tidak berbuat apa-apa. Aku hanya
menghabiskan bekalku di pinggir sungai. Itu
saja!"
"Bob, jaga mulutmu!" kata Bu Kent mengancam. "Kalau ayahmu masih hidup, kau pasti
sudah dihukum berkali?kali!"
"Aku tidak peduli. Kalau Ayah masih hidup, aku
juga rela dihukum olehnya!" seru Bob. "Ayah
tidak jahat seperti lbu?mula?mula menyuruhku
makan siang di luar, lalu tanpa sepengetahuanku..."
"Tutup mulut!" bentak ibunya dengan suara
yang lebih keras. "Aku mendapat laporan yang
buruk tentang kau dari Kepala Sekolah! Dan ingat,
dia juga tidak suka pada..."
71 "Ooh?jadi Ibu dan dia sekongkol memusuhiku," sela Bob. "lbu harusnya membela aku.
Biarkan aku makan siang di rumah, Bu. Ayolah,
Bu. Nanti aku pasti akan berubah sikap."
"Kau selalu mau menang sendiri," balas ibunya
dengan nada bicara yang tajam. "Kau tetap tidak
bisa pulang ke rumah. Aku pun mungkin tidak."
Bob menatap ibunya dengan mata membelalak. "Lho, memangnya kenapa? Ada apa, Bu?"
"Aku mau mencari kerja," kata ibunya. "Bosan
rasanya terus?terusan terkurung di rumah. Lagi
pula aku juga perlu uang."
"Jangan, Bu," ujar Bob sambil merengek.
Amarahnya hilang berganti rasa cemas luar biasa.
"Bu. jangan pergi. Aku tak mau rumah ini
kosong?tidak ada api di pendiangan?tidak ada
yang memasak. lbu jangan bekerja. Akan kulakukan apa yang ibu mau. Biar aku makan siang di
sekolah, tapi lbu jangan cari kerja. Tunggulah
beberapa tahun, biar nanti aku yang kerja untuk
cari uang. Aku' '
"Sudah, Bob. Sudah," sahut ibunya. "Kau
hanya membuat kepalaku pusing. Anak kecil
seperti kau mana mungkin bisa bekerja? Kau
selalu menganggap dirimu sudah dewasa, sehingga bisa melakukan apa saja yang kauhendaki. Kau
salah, Bob."
"lbu tidak boleh bekerja, Bu," ujar Bob terus
merengek. "Kita kan tidak kekurangan uang. Ibu
sendiri yang bilang begitu. Tidak, Ibu tidak boleh
pergi!"
72 "Cukup!" ujar ibunya sambil bangkit, lalu
mendorong tubuh Bob. "Hebat benar kau, mencoba mengatur aku! Jangan besar kepala, Bob!"
Anak itu memperhatikan ibunya berjalan meninggalkan ruangan. Tiba-tiba ia merasa cemas.
la memandang sekeliling ruangan?pendiangan
yang menyala terang, teh sudah dihidangkan di
atas meja, beberapa kuntum bunga dalam vas.
Dalam bayangannya muncul gambaran ruang
yang dingin dan sepi. Tidak ada suara orang
bekerja di dapur. Suasana yang sangat tidak
menyenangkan.
Bob mereguk tehnya yang mendadak terasa
hambar. la memandang ibunya yang sedang
menghirup teh. Mata wanita itu terpaku pada api
dalam pendiangan,
"Ada yang bisa kubantu, Bu?" tanya Bob. la
berharap dengan melakukan sesuatu untuk ibunya. sikap wanita itu akan menjadi agak lunak.
Bu Kent menggeleng. "Tidak," jawabnya. "Tidak ada yang perlu kaukerjakan."
Bob tidak bisa tenang malam itu. Akhirnya ia
pergi ke gudang lalu mengambil kapak. ia terus
membelah kayu sampai tangannya terasa lelah.
Tak, tak, tak!
"Hebat juga anak itu," kata Bu Mackenzie
mengomentari Bob. "Malam?malam begini masih
memotong kayu!"
73 8 Bertengkar!
SEMENTARA itu pertengkaran di Pondok Summerhaye masih belum reda sepenuhnya. Anak-anak
keluarga Berkeley sudah mulai kerasan tinggal
dalam rumah yang ruangan dan pekarangannya
lebih kecil dibanding rumah mereka sebelumnya.
Lain halnya dengan ibu mereka!
Pak Berkeley merasa sisa hidupnya akan dipenuhi keluhan dan omelan tentang rumah yang
mereka tempati itu. Bahkan Eleanor dan Hilda
sudah jenuh mendengarnya.
"Sudahlah, Bu," kata Eleanor, suatu hari ketika
ibunya mulai menggerutu lagi. Wanita itu merasa
malu untuk mengundang teman-teman lamanya
berkunjung ke rumah mereka yang baru. "Kalau
mereka memang teman yang baik, mereka
takkan keberatan datang ke sini. Seumpamanya
mereka mulai berpikir yang tidak-tidak mengenai
kita, biarkan sajalah." .
"Yang kurisaukan memang bukan pikiran mereka, tapi pikiranku!" sahut Bu Berkeley. "Dan kau
jangan coba?coba mengajari aku. Eleanor."
"Tidak, Bu," ujar Eleanor. "Tapi lbu jangan
marah?marah begitu!"
74 "Jaga bicaramu, Eleanor," sahut ibunya. "Nanti
kuadukan pada Ayah, baru tahu rasa kau."
"Adukan saja," balas Eleanor yang sudah jenuh
bertengkar terus-menerus. "Ayah pasti sependapat denganku. lbu yang selalu mengomel. Aku
kini tahu, mengapa Ayah suka pergi tanpa pamit"
"Ya. kau benar." sambung Hilda tiba-tiba.
"Kenapa kita selalu saja bertengkar, Bu? Coba
lihat tetangga kita. Mana pernah Bu Mackenzie
terus-terusan mengomel seperti ibu?"
"Kalian sudah mulai kurang ajar, ya." kata ibu
mereka, mulai marah. "Dan jangan bawa-bawa
keluarga Mackenzie dalam urusan ini! Mereka itu
sok teladan, selalu berbuat benar, tak pernah
mengeluh, tak pernah bergunjing?tak pernah
melakukan apa?apa kayak jeroan di tukang daging saja. Mereka tak pernah peduli akan apa yang
terjadi _di sekeliling mereka!"
"Tapi, Bu," kata Hilda sambil tertawa kecil, "Bu
Mackenzie kan bukan jeroan." Bu Berkeley makin
naik darah melihat anaknya tertawa. "Dan kuperhatikan kesibukannya cukup banyak. la mengelola
bazar, membantu membuatkan seragam tim
olahraga sekolah kami. Pak Mackenzie juga ikut
membantu membuat beberapa peralatan. Malah
ia sempat minta bantuan Ayah."
"Mereka selalu melakukan yang terbaik," sahut
ibunya. Matanya mulai berkaca-kaca. "Dan aku
benci orang-orang seperti itu. Apalagi kalau kau
sanjung-sanjung terus seperti sekarang!"
"Tapi, Bu!" bantah Eleanor mulai bingung.
75 "Wajar saja kalau aku memuji orang?orang itu.
Mereka kerja keras dan banyak menghabiskan
waktu untuk mengerjakan itu. Bagaimanapun
juga, aku suka pada keluarga itu. Mereka begitu
kompak."
"Kau akan kuadukan pada Ayah nanti malam,!
ujar ibunya. "Ada apa sebenarnya dengan kalian?
Tom yang selalu bersikap melawan, dan sekarang
kalian mulai sulit diatur. Tadinya kusangka kalian
ada di pihakku."
"Di pihak lbu? Buat apa?" tanya Eleanor. "ltu
cuma akan memperbanyak pertengkaran saja.
Kenapa kita tak pernah bisa berdamai? Lebih baik
kalau sudah agak besar, kutinggalkan saja rumah
ini. Aku mau cari tempat yang jauh lebih tenang."
Setelah berkata begitu ia pergi meninggalkan
ruangan. Di pintu ia berpasangan dengan ayahnya, yang langsung membalikkan badan melihat
suasana yang tidak enak dalam ruangan itu.
"Ayah! Nanti malam lbu akan mengadukan aku
dan Hilda pada Ayah. Dan kelihatannya juga
tentang Tom. Tolong Ayah bujuk lbu dan membuatnya agak gembira. Aku sudah tak tahan
mendengarnya mengomel terus-menerus."
Pertengkaran malam itu benar-benar luar biasa.
Saat itu anak-anak sudah berada di tempat tidur.
Mereka mulai ketakutan mendengar suara-suara
yang makin meninggi. Bu Berkeley memang
gawat kalau sudah mengamuk.
Eleanor dan Hilda keluar dari kamar, lalu berdiri
pada anak tangga paling atas sambil menguping.
76 Saking cemasnya, mereka lupa mengenakan baju
rangkap. Dan itu membuat mereka menggigil
kedinginan.
Tak lama kemudian Tom bergabung dengan
mereka. Ia juga menggigil, sebagian karena
dingin, dan sebagian lagi karena takut. Pertengkaran yang mengerikan. Ketiga anak itu merapatkan tubuh mereka sambil berpelukan satu sama
lain. Dan tanpa disadari, mereka sudah bersatu.
Apa tidak lebih baik kalau kita bergabung begini,
daripada selalu bertengkar? pikir Hilda. Berada
pada pihak yang berlawanan hanya membuat
urusan menjadi makin kacau!
Suara-suara itu masih terdengar. Kini terdengar
suara ayah mereka. "Kalau kau tetap tidak
berubah. dan masih marah-marah seperti itu, aku
akan pergi. Kau selalu menghasut anak-anak agar
membangkang terhadapku?bahkan Tom, anak
laki-Iaki yang selalu kubanggakan! Aku sudah
tidak tahan! Kau ingin rumah tangga kita berantakan? Asal tahu saja, dengan sikapmu yang
buruk itu, rumah tangga ini akan pecah dalam
waktu singkat!"
Anak?anak tersentak kaget. Ayah tidak boleh
pergi! Mereka sering berpihak pada ibu dan bersikap kasar dan jahat pada Ayah, tapi sulit membayangkan Ayah tidak ada di rumah. memberikan


Enam Berandal Cilik Karya Enid Blyton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

uang saku setiap hari Sabtu. membacakan laporan sekolah, menghias pohon Natal, atau pada saat
musim panas mengajak mereka berenang di
pantai. Ayah adalah bagian dari keluarga mereka.
77 "Rumah tangga yang berantakan? Apa maksudmu?" tanya Bu Berkeley. "Ayo, katakan, apa
yang kaumaksud dengan 'rumah tangga berantakan'?"
"Dengar." jawab suaminya. Suaranya terdengar
jelas oleh ketiga anaknya yang menguping dari
atas. "Selama ini kita tidak pernah bersatu. Selalu
saja kita bertengkar, di depan anak-anak pula.
Mereka lalu mulai memihak ke sana kemari.
Dalam Injil dikatakan, rumah tangga yang terpecah?belah seperti ini takkan dapat bertahan, pasti
akan berantakan. Rumah tangga yang berantakan
membuat anak?anak menjadi brengsek, hancur,
dan..." .
"Cukup!" bentak Bu Berkeley. "Berani benar
kau bicara begitu!"
"Sejak sore tadi kau bercerita panjang lebar
tentang anakcanak," kata Pak Berkeley. "Kau
bercerita tentang kenakalan mereka dan semua
perbuatan mereka yang kau anggap tidak pantas.
Kasihan, mereka tidak pernah bisa tenang dan
damai dalam rumah ini. Mereka tersiksa. Aku
yakin suatu saat mereka benar?benar akan menjadi brengsek, seperti kebanyakan anak?anak yang
berasal dari keluarga yang berantakan."
Anak?anak menggigil ketakutan. Sungguh mengerikan. Siapa yang benar? Ayah atau lbu? Hati
mereka bingung. Mereka tidak tahu apa yang
harus dikerjakan.
Brak! Terdengar pintu depan dibanting keras.
Mereka mendengar bunyi langkah kaki Ayah,
78 pergi meninggalkan rumah. Hilda dan Eleanor
terisak perlahan. Tom merangkul keduanya. Sebenarnya anak itu juga ingin menangis, tetapi
sebagai anak laki?Iaki ia merasa tak pantas
menangis. ia hanya menatap ke bawah tanpa
mengatakan apa-apa.
Eleanor berdiri. Anak itu membalikkan badannya, lalu berjalan menuju kamar. Hilda bergegas menyusulnya. Tom mulai ragu. Apakah ia
harus turun menemui ibunya? Ah, lebih baik tidak.
Bayangan ibunya yang sedang mengeluh sambil
menangis berkepanjangan membuat hatinya terasa sakit. Tapi, bagaimana kalau ayahnya sampai
tidak kembali? Siapa tahu ia benar?benar memenuhi ancamannya, pergi meninggalkan rumah.
Tom mengintip ke dalam kamar kedua kakaknya. Lampu jalanan samar?samar menerangi
kamar itu. Ia melihat kedua anak itu sedang
berlutut di samping tempat tidur mereka.
"Ya, Tuhan. Jangan biarkan Ayah pergi. Tolong,
ya, Tuhan. Jangan biarkan Ayah pergi," ujar Hilda
setengah meratap. Kalimat itu diucapkannya
berulang?ulang.
Untuk beberapa saat Tom merasa darahnya
mendidih. Kenapa orangtuanya tidak pernah
rukun? Buat apa orang menikah kalau tidak dapat
mengasihi satu sama lain, dan menyenangkan
hati anak?anaknya? Tom tidak dapat memahami
itu. Ia berjalan menuju kamarnya, masuk, lalu
langsung naik ke tempat tidur. Saat itu ia tidak
79 merasa kasihan dan juga tidak mencintai kedua
orangtuanya. ia bahkan membenci keduanya.
Tak lama kemudian Tom tertidur. Kedua
kakaknya yang masih terjaga mendengar langkah
kaki berjalan memasuki pekarangan rumah mereka. Akhirnya ayah mereka kembali. Mereka mendengar suara anak kunci diputar, lalu pintu yang
dibuka.
Bu Berkeley masih berada di ruang duduk.
Suaminya tidak masuk ke ruangan itu. melainkan
berjalan menuju kamarnya di tingkat atas. Tak
lama kemudian terdengar suara orang naik ke
atas tempat tidur. Apakah lbu juga ikut naik ke
atas? Hilda dan Eleanor berbaring seraya terus
memasang telinga. Tapi mereka tidak mendengar
apa?apa lagi. Dalam waktu singkat mereka sudah
tertidur lelap sampai keesokan harinya.
Esok paginya, ketiga anak itu turun ke bawah
untuk sarapan, dengan wajah pucat karena takut.
Ayah mereka sudah pergi naik kereta pertama.
Yang ada hanya ibu mereka yang sedang membuat sarapan. Matanya bengkak setelah semalaman menangis. Wajahnya juga pucat karena kurang
tidur.
Tidak ada yang bersuara. Anak?anak menghabiskan sarapan secepat mungkin, lalu bergegas
membereskan perlengkapan sekolah. Semuanya
ingin cepat?cepat meninggalkan rumah!
Ketika sudah berada di jalan menuju sekolah,
mereka menghela napas lega. Tidak ada yang
terjadi pada waktu sarapan. lbu mereka tidak
80 berbicara sepatah kata pun. Wanita itu kelihatannya terpukul sekaligus sedih karena kejadian
semalam. Ini membuat anakanak tidak berani
mengatakan apa-apa, karena takut membuat
keadaan makin parah.
"Lega rasanya, pergi ke sekolah lagi," kata
Hilda.
"Ya, pelajaran bahasa Prancis dan Matematik
pun jadi menarik dalam keadaan begini," ujar
Eleanor menimpali.
"Coba aku seperti Bob, yang tinggal di sekolah
sampai saat makan siang. Anak itu tampaknya
ku.'ang menyukai 'acara makan siang' itu. Tapi
aku takkan keberatan!"
Dalam kelas, Eleanor dan Hilda sering melamun. Wajah mereka masih kelihatan sedih dan
cemas. Guru mereka memperhatikan hal itu, lalu
membicarakannya dengan guru?guru yang lain.
"Kurasa ada pertengkaran lagi di rumah mereka," katanya. "Aku kenal dengan salah seorang
tetangga mereka di Croydon la bilang, keluarga
Berkeley memang tidak pernah rukun. Yah, kita
tak bisa berharap banyak dari Hilda dan Eleanor
hari ini!"
Dugaan guru tersebut tepat! Kedua anak itu
terlalu lelah. Mereka cemas membayangkan saat
makan siang tiba nanti. Walau begitu, tidak ada
guru yang menegur mereka. Dan tidak ada yang
memperhatikan ketika Hilda salah mengerjakan
semua soal berhitung.
Sebaliknya, Tom bersikap sama seperti Bob.
81 Kalau sedang ada masalah, tingkahnya justru
menjadi konyol, kasar, dan sulit di atur. "Apa?
Berani menantang aku? Nih, rasakan! ltu akibatnya kalau berani membuatku kesal!"
Dan ia sungguh?sungguh menunjukkan sikap
membangkang. Kalau saja cerita tentang keluarganya tidak beredar di kalangan guru, ia pasti
sudah berulang kali dihukum.
82 9 Keluar Malam
MALAM itu Tom tidak mau menghabiskan waktunya di rumah. Anak itu tahu kedua orangtuanya
sedang bertengkar, dan ia memutuskan lebih baik
pergi.
"Aku pergi ke rumah Bob. Mau lihat mainan
kereta apinya," katanya kepada Bu Berkeley
dengan nada ketus. Kemudian ia langsung menghilang sebelum ibunya sempat mengatakan sesuatu. la sama sekali tidak bermaksud ke rumah
Bob. Ia hanya ingin jalan?jalan sampai waktu tidur
tiba.
Di jalan, ia nyaris bertubrukan dengan Bob!
Anak itu rupanya mendapat gagasan yang sama.
ibunya baru saja bercerita bahwa ia telah melamar
pekerjaan, dan kalau lamarannya diterima, maka
ia akan mulai bekerja. Bob tak sanggup mengatakan apa-apa, lalu lari begitu saja meninggalkan
rumah.
Kedua anak itu bertemu di sudut jalan. "Maaf,"
ujar Bob ketika ia hampir saja menubruk Tom.
Anak itu segera mengenali suaranya. la suka pada
Bob yang dianggapnya berani dan lucu.
"Halo, Bob," sapanya. "Mau ke mana?"
83 "Ah, hanya jalan-jalan," jawab Bob. "Dan kau?"
"Tak tahulah," kata Tom. "Keluargaku bertengkar lagi. Bosan, melihat mereka selalu bertengkar.
Lebih baik aku pergi saja. Kau juga habis
bertengkar?"
"Tidak," ujar Bob. Ia tidak ingin membicarakan
ibunya. "Tidak semuanya selalu bisa berjalan
lancar, kan?"
"Saat ini, bagiku semuanya tidak bisa berjalan
lancar," kata Tom. "Segan rasanya tinggal di
rumah hanya untuk melihat orang bertengkar.
Ayahmu sudah tiada, kan? ltu lebih baik rasanya,
karena ibumu tidak punya lawan bertengkar!"
"Ayah dan ibuku tidak pernah bertengkar," ujar
Bob. "Aku lebih senang jika ayahku masih hidup
sekarang. Dengan seorang ayah, segalanya akan
beres."
"Ya, tergantung. Orang kan lain-lain," kata
Tom. ia merasa aneh berbicara tentang orangtua
seperti itu. "Wah, hujan turun."
"Ke mana kita sekarang?" tanya Tom. "Kita
bisa basah kuyup kalau tetap berdiri di sini.
Tadinya aku kepingin ke pinggir sungai. Di situ
ada kapal kosong. Pemiliknya tidak ada. Kita bisa
bermain?main di kapal itu."
"Tapi kalau hujan begini, mau bilang apa?" kata
Tom. "Eh, kau tidak kepingin pulang ke rumah,
kan?"
"Tidak," jawab Bob dengan yakin.
"Kau punya uang?" tanya Tom. "Kita bisa
nonton di bioskop. Filmnya bagus hari ini."
84 "Aku hanya punya beberapa pence," kata Bob.
"Boleh juga usulmu. Di dalam gedung itu cukup
hangat, dan kita bisa melupakan pikiran yang
memberatkan, karena perhatian kita tertumpu
pada Elm itu."
"Ya, anak laki-laki harus membuang pikiran
yang memberatkan," kata Tom sambil merangkul
temannya. "Aku juga tak punya uang Semuanya
kusimpan dalam kotak uangku dalam kamar. Aku
tak mau kembali ke rumah untuk mengambil
uangku. Lagi pula, kita bisa masuk ke bioskop itu
tanpa membayar."
"Bagaimana caranya?" tanya Bob.
"Di bagian belakang bioskop itu ada sebuah
pintu kecil," kata Tom. Suaranya dilirihkan agar
tidak ada orang lain yang mendengar. "Aku tak
sengaja menemukannya. Pintu itu tidak terkunci,
Kalau kita masuk sewaktu film sudah mulai
diputar, kurasa tidak ada orang yang akan melihat
kita masuk. Dari pintu itu kita sampai pada sebuah
gang kecil. Kalau di situ tidak ada orang, kita bisa
menyelinap masuk ke gang yang besar, lalu
duduk di deretan penonton. Mudah, kan? Aku
sudah pernah melakukannya."
"Tapi?haruskah kita..."
Sebelum Bob sempat menyelesaikan kalimata
nya, Tom sudah memotong. "Ayolah! Atau, kau
takut?" tanya Tom dengan nada meremehkan.
"Hah, tadinya kusangka kau anak pemberani?tidak takut pada apa pun!"
"Tidak, aku tidak takut," kata Bob. la berpikir
85 bahwa mereka tidak melakukan sesuatu yang
buruk. "Yuk, kita berangkat! Tapi jangan lupa, kita
harus hati?hati."
Mereka berlari menerobos hujan. Tak lama
kemudian mereka sampai di depan gedung
bioskop tersebut. Kedua anak itu berjalan mengitari gedung, menuju ke bagian belakang. Tom
menunjukkan jalan menuju pintu yang dikatakannya tadi. Perlahan ia mencoba memutar gagang
n a. y"Tidak dikunci," bisiknya. "Begitu terdengar
musik atau bunyi yang keras dari film itu, kita
masuk. Kau siap di belakangku."
Tom memutar gagang pintu. Kedua anak itu
menyelinap masuk lalu menutup pintu itu kembali. Tom berjingkat sepanjang gang itu, menuju
sebuah pintu yang diterangi cahaya yang samar.
la mengintip melalui pintu itu.
Tidak ada orang. Keduanya berjalan menyusuri
gang itu lalu sampai pada pintu samping gedung
itu. Tom menunggu sampai terdengar bunyi yang
keras dari film yang sedang diputar, lalu membuka pintu.
Berdekatan dengan pintu itu ada beberapa
bangku yang kosong. Tidak ada penjaga di dekat
mereka. Orang-orang itu sedang sibuk menunjukkan tempat duduk bagi penonton yang baru tiba.
Sambil merunduk kedua anak itu berjalan
menuju bangku yang kosong. Mereka memilih
tempat yang gelap agar tidak terlihat oleh para
penjaga. Keduanya membenamkan diri di bangku
masing-masing. Jantung mereka berdegup kencang. Tom mengembuskan napas lega.
"Selamat!" bisiknya "Mudah saja, kan?"
Bob tidak menanggapi. Perhatiannya telah
terpaku pada film yang sedang diputar. Sebelum
masuk mereka tidak sempat melihat poster film
itu yang bertuliskan: "Khusus untuk orang dewasa! Hanya bagi mereka yang bemmur 17 tahun ke
atas!"
Film itu sangat menarik bagi mereka. Penuh
dengan adegan tembak-menembak dan kejarkejaran. Juga ada beberapa adegan ciuman yang
sangat membosankan bagi mereka. Walau begitu
mata keduanya tetap terpaku pada layar, Pada
87 adegan tembak-menembak mereka tanpa sadar
meremas-remas kepalan tinju masing-masing.
Napas mereka sempat tertahan ketika melihat
adegan kejar-kejaran yang sangat menegangkan.
"Sayang kita tidak lihat awalnya," bisik Tom
ketika film itu habis. "Bagaimana kalau kita tetap
di sini, untuk menonton bagian awalnya? Atau
kalau kau mau, sampai habis saja sekalian."
"Jangan, ibuku khawatir nanti," balas Bob, juga


Enam Berandal Cilik Karya Enid Blyton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berbisik. "Kalau hanya menonton awalnya, boleh
saja. Diam?film kartunnya sudah dimulai."
Seperti biasa sebelum sebuah film diputar,
pemilik bioskop memutar film kartun sebagai
pengantar. Dan kebetulan saat itu film kartun yang
diputar luar biasa kocak, sehingga kedua anak itu
tertawa terbahak?bahak. Dengan tertawa seperti
itu, persoalan yang memberati pikiran, jadi lenyap
seketika. Mereka tidak peduli jika sampai di rumah
nanti mereka didamprat habis-habisan.
Ketika film kartun itu berakhir, lampu?lampu
ruangan dinyalakan kembali. Kedua anak itu
tersentak kaget ketika ruangan itu menjadi terangbenderang. Mereka tidak menyangka sebelumnya
bahwa lampu akan dinyalakan. sehingga kedua
nya tidak sempat menunduk untuk bersembunyi,
"Tetap duduk dan jangan bergerak," desis Tom
ketakutan. "Tak ada yang akan melihat kita di sini.
Jangan bergerak?gerak."
Tak ada penjaga yang datang. Tapi salah
seorang penonton melihat mereka! Seorang wanita bersama temannya berdiri sambil memandang
88 berkeliling. Tiba?tiba matanya tertumbuk pada
kedua anak yang duduk di sudut mangan itu. ia
menyenggol lengan temannya.
"Lihat itu! lni kan film khusus orang dewasa.
Masa ada dua anak kecil dibiarkan masuk! Mereka
masih di bawah umur! ini sudah melanggar
hukum dan tak dapat dibiarkan. Aku akan membuat pengaduan!"
Wanita itu bangkit, keluar dan' deretan kursinya,
untuk menemui Pak Gillan, pengelola gedung. Pria
itu membawa wanita yang gusar itu ke kantornya.
"Film ini diputar hanya untuk orang dewasa,"
ujar wanita itu membuka percakapan. "Tapi Anda
telah membiarkan dua orang anak yang masih di
bawah umur masuk ke gedung ini. Aku yakin
umur mereka belum enam belas tahun?yang
merupakan batas umur yang sebenarnya!"
"Kami sangat ketat dengan peraturan itu," kata
Pak Gillan. "Tidak akan ada anak di bawah umur
diizinkan masuk untuk menonton film khusus
orang dewasa. Kecuali kalau anak itu ditemani
orang dewasa yang mau bertanggung jawab
terhadap mereka."
"Tapi kenyataannya ada dua orang anak di
bawah umur, dalam gedung ini," bantah wanita
itu. "Mari, saya tunjukkan tempatnya."
la mengantarkan pengelola gedung itu ke
bagian atas ruang pemutaran film. Ketika mereka
masuk ke ruangan itu, lampu sudah dipadamkan.
Wanita itu lalu menunjuk bangku yang diduduki
Tom dan Bob.
89 "Nah, itu mereka," katanya. "Anda sudah lihat?
Sekarang agak terang?ya, yang duduk di sudut
itu. Benar, kan? Kurasa anak yang satu umurnya
belum sampai sepuluh tahun!"
Pak Gillan melihat kedua anak itu, lalu mengerutkan dahi. "Terima kasih, Anda telah membantu
kami," katanya. "Benar, mereka masih di bawah
umur. Tapi Anda salah mengatakan bahwa kami
membiarkan keduanya masuk. Mereka pasti menyelinap masuk melalui pintu belakang. Akan
kupanggil polisi."
"Oh, jangan. Jangan panggil polisi!" kata wanita
itu. "Aku tak mau menyerahkan anak?anak itu ke
tangan polisi. Anda tangani sendiri saja. Anda bisa
mengancam mereka agar tidak mengulangi perbuatannya."
Pengelola gedung itu ragu sebentar, lalu mengangguk ""Baik?akan kutangani sendiri mereka.
Aku juga punya anak, dan tak enak membayangkan salah satu di antara mereka berurusan
dengan polisi. Sekarang akan kutangkap dua
bandit cilik itu!"
Persis pada adegan film yang sama sewaktu
Bob dan Tom menyelinap masuk, kedua anak itu
mendengar suara yang tegas di samping mereka.
"Apa yang kalian lakukan di sini?"
Kedua anak itu terperanjat. Mereka berpaling,
lalu melihat seorang pria bertubuh tinggi. Pak
Gillan rupanya pelan?pelan mendatangi, tanpa
sepengetahuan mereka.
Anak?anak itu hanya bisa menatapnya dengan
90 mata membelalak. "Coba, ke sini sebentar," kata
pengelola gedung itu. Keduanya berdiri, kemudian berjalan menghampiri orang itu. Lengan
mereka langsung dicengkeram, lalu diseret sepanjang gang, menuju kantor pengelola gedung.
Sesampainya di sana, Pak Gillan melepaskan
cengkeramannya, lalu duduk di kursinya. la
menatap kedua anak itu dengan tajam.
"Apa yang kalian lakukan di situ?" tanyanya.
"Kalian kan tidak punya karcis."
"Kami punya karcis, Pak," kata Tom. "Dan kami
berada di situ karena..."
"Film itu khusus untuk orang dewasa," kata Pak
Gillan. "Dan kalian hanya bisa menonton kalau
ada orang dewasa bersama kalian. Siapa yang
membawa kalian masuk?"
Bob sudah tidak tahan. "Tidak ada, Pak! Karni
masuk sendiri ke sini, dan tidak tahu kalau film
yang sedang diputar itu khusus untuk orang
dewasa."
"Kalian beli karcis? Atau menyelinap masuk
lewat pintu belakang?" tanya Pak Gillan. "Ayo,
mengaku."
Tom membuat kesalahan besar. Pengelola
gedung itu bermaksud melepaskan keduanya,
kalau mereka mengaku?tapi Tom lagi?lagi berbohong.
"Kami beli karcis," katanya. "Ya kan, Bob?" Bob
yang tidak ingin mengkhianati Tom. lalu mengangguk. "Ya," katanya. "Kami membeli karcis."
91 1 0 Mendapat Kesulitan
PAK Gillan tidak senang mendengar jawaban
mereka. Wajahnya nampak makin suram.
"Sayang sekali, kalian tidak mau mengaku,"
katanya. "Tadinya kalau kalian mau mengaku,
akan segera kulepaskan. Tapi kalau kalian berbohong, urusannya bisa jadi panjang. Sekarang
sebutkan nama dan alamat kalian."
Anak?anak itu kini mulai takut. B'ob yang sejak
tadi sudah tidak tahan, akhirnya mengaku.
"Kami tidak membeli karcis, Pak. Karni minta
maaf!" '
"Terlambat," sahut Pak Gillan. "Sebutkan nama
dan alamat kalian."
Kedua anak itu terpaksa menyebutkan nama
dan alamat, serta nama sekolah mereka. "Kurasa
kepala sekolah kalian perlu tahu masalah ini," kata
pengelola gedung itu. Tom dan Bob tersentak
kaget. Mereka menyesal, masuk ke gedung
bioskop itu tanpa membayar.
Dalam perjalanan pulang, keduanya hanya berdiam diri. Mereka berpisah di depan pintu gerbang
rumah Tom. "Maaf, kau ikut tertimpa sral," kata Tom.
"Mudah?mudahan kau tidak dimarahi ibumu."
92 Sebaliknya, kedua anak itu dimarahi habishabisan. Dan bukan hanya oleh orangtua mereka,
tapi juga oleh Kepala Sekolah. Pak Williams
benar-benar kaget. Ia tidak menyangka anak-anak
itu akan melakukan hal'seperti itu. ia memukul
Bob dengan rotan, sedang Tom mendapat hukuman serupa dari ayahnya. Tapi dampratan dari
ibunya terasa jauh lebih menyakitkan. Begitu pula
dengan Bob. Ia merasa kata-kata pedas yang
dilontarkan ibunya jauh lebih keras dibanding
pukulan rotan Pak Williams.
Sebagai tambahan mereka masih harus membayar uang karcis untuk dua orang di bioskop itu.
Soalnya. uang mereka tidak cukup untuk itu. Bob
hanya punya uang sepuluh pence, sedang Tom
hanya lima pence. Akhirnya diputuskan keduanya
tidak mendapat uang saku selama enam minggu.
Bagi Bob, ini benar?benar suatu bencana,
Tadinya anak itu bermaksud membelikan hadiah
ulang tahun untuk Pat. Kini, rencananya gagal. la
berpikir keras mencari akal. la mengobrak-abrik
ruangannya, tapi tetap tidak dapat menemukan
sesuatu yang cocok untuk Pat. ia harus puas
dengan membuatkan sebuah kartu bergambar
untuk anak kecil itu.
Anak-anak keluarga Mackenzie tidak tahu apaapa tentang petualangan kedua teman mereka.
Pak dan Bu Mackenzie sudah mendengar berita
itu, tapi tidak mengatakannya kepada siapa pun,
Pak Kepala Sekolah juga tidak mengatakan apaapa. Yang mereka lihat hanya kenyataan bahwa
93 pada saat berangkat sekolah, Tom dan Bob tidak
berjalan beriring, karena dilarang oleh orangtua
masing-masing. Sebaliknya, di sekolah kedua
anak itu makin bersahabat Anak-anak keluarga
Mackenzie bingung melihat hal itu, tapi baik Tom
maupun Bob 'tidak pernah menjelaskannya pada
mereka.
Pat ulang tahun. Bob dan kakak?beradik keluarga Berkeley juga diundang. Anak kecil itu tampak
gembira. la menunggui Bu Mackenzie membuat
kue ulang tahunnya?penuh dengan krim dan
cokiat Delapan lilin yang ditancapkan di bagian
atas membuat kue itu kelihatan indah.
"Bagus sekali, Bu," kata Pat pada ibunya. "Jauh
lebih bagus dari kue-kue yang dijual di toko. Asyik,
sebentar lagi umurku delapan tahun."
Apa yang akan dihadiahkan Bob padaku?
pikirnya. Sebelum mendapat hukuman itu, Bob
begitu misterius kalau berbicara tentang ulang
tahunnya.
"Lihat saja nanti!" jawab Bob ketika ditanya.
"Aku akan membelikanmu sesuatu yang sudah
lama kauidam?idamkan. Tunggu saja tanggal
mainnya! Sekarang aku harus menabung dulu!"
Tiba-tiba ia mendapat hukuman itu, sehingga
tidak ada lagi uangnya yang tersisa. Ia tidak mau
bercerita pada Pat, karena takut cerita tentang
hukuman itu menyebar ke mana?mana.
Akhirnya saat pesta ulang tahun tiba. Dua belas
orang anak yang datang. Tiga kakak?beradik
Berkeley, Bob, serta delapan orang teman sekolah
94 Pat. Anak itu menyambut teman?temannya dengan hangat. Mengenakan rok merah muda yang
indah itu ia kelihatan cantik seperti peri berambut
gelap.
Semua memberinya hadiah ulang tahun?kecuali Bob. Bahkan Tom juga membelikan sesuatu
untuknya. la terpaksa meminjam uang Eleanor
untuk membeli hadiah itu. Pat membuka semua
hadiah yang diberikan kepadanya dengan perasaan gembira. Bob memperhatikan pipi temannya
memerah karena senang. la menyesal tidak
membawa hadiah untuknya!
Pat sangat kecewa ketika Bob hanya menyerahkan selambar kartu. Padahal sebelumnya anak itu
sudah berjanji membelikannya sesuatu yang sangat diidam-idamkannya. Di antara teman-teman
yang lain, Pat paling menyukai Bob. Tapi sekarang
kenapa justru dia satu-satunya yang tidak membawa hadiah? Anak kecil itu menatap Bob dengan
pandangan kecewa.
Bob merasa tidak enak dipandang seperti itu.
Tiba-tiba ia mendapat gagasan. "Aku akan menabung untuk membelikan kau hadiah Natal yang
luar biasa," katanya. "Kau akan kubelikan sebuah
boneka yang matanya bisa berkedip-kedip."
Pat langsung gembira mendengarnya. la menggenggam tangan Bob. "Kau baik sekali! Aku
belum punya boneka seperti itu. Aku lebih senang
mendapat satu hadiah yang besar daripada dua
hadiah yang kecil-kecil. O ya, terima kasih untuk
kartu yang bagus itu!"
95 Pesta ulang tahun itu amat meriah. Rumah itu
terasa sempit karena banyaknya orang yang
datang, tapi tidak ada yang peduli. Apalagi anakanak keluarga Berkeley dan Bob, yang sehari-hari
pun sudah menyukai suasana di rumah itu.
"Cantik sekali kue itu!" puji Hilda ketika melihat
kue ulang tahun yang dibuat Bu Mackenzie.
"Belum pernah kulihat kue secantik itu!"
"Pasti rasanya juga enak!"
Eleanor berharap juga mendapat kue seperti itu
pada hari ulang tahunnya. Pesta ulang tahun di
rumahnya tidak pernah semeriah itu! Bu Berkeley
menganggap pesta seperti itu hanya sebagai
beban. Lain halnya dengan Bu Mackenzie. Wanita
itu duduk di ujung meja sambil tersenyum ramah
pada anak?anak.
Anak?anak keluarga Berkeley dan Bob benar?benar menikmati pesta ulang tahun itu. Selama ini segalanya terasa tidak menyenangkan bagi mereka.
Beberapa hari kemudian sesuatu yang tidak
menyenangkan terjadi pada Bob. lbunya memberitahukan bahwa lamarannya diterima. dan ia akan
mulai bekerja pada hari Senin. Bob sedih mendengarnya. Ia sangat berharap agar hal itu tidak
terjadi.
"Jangan sedih begitu!" kata ibunya. "Aku sudah
mengatakannya padamu sebelum ini. Kau kan
sudah terbiasa makan siang di sekolah. Sama
saja, tidak ada yang berubah."
"Di mana lbu bekerja?" tanya Bob dengan
suara pelan.
96 "Di sebuah salon kecantikan," ujar ibunya.
"Untuk bisa bekerja di situ, diperlukan penampilan
yang baik. Rambut, tangan, dan kulit harus terawat
dengan baik. Semua syarat itu kupenuhi. Ah,
senang rasanya bisa keluar rumah, sekaligus
memperoleh uang yang lumayan banyak jumlahnya.
"Di mana tempatnya?" tanya Bob lagi.
"Di Hightown." jawab ibunya. Bob tertunduk
karena sedih. Ia tahu tempat itu jauh jaraknya dari
rumah mereka. Dan itu berarti ibunya akan lama
dalam perjalanan.


Enam Berandal Cilik Karya Enid Blyton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku harus berangkat kerja sebelum kau pergi
ke sekolah," kata Bu Kent. "Kalau mau, kau boleh
membawa kunci pintu belakang. Aku pasti belum
pulang pada saat minum teh. tapi sebelum
berangkat segalanya akan kusiapkan untukmu."
"Aku bisa menyiapkannya sendiri," sahut Bob
dengan suara tidak begitu jelas. "Bu, kenapa sih
lbu harus bekerja? Aku sungguh tidak menyukainya. Aku tak mau pulang kalau Ibu tidak ada di
rumah."
"Bob, kau selalu ingin menang sendiri," kata
ibunya Segalanya akan lebih lancar kalau aku
bisa mendapatkan uang. Dan kau kelihatannya
tidak peduli padaku, setidaknya pada perasaanku.
Ingat sewaktu kau nonton di bioskop tanpa
membeli karcis. Hah. benar-benar memalukan!"
Bob mulai kesal. Kenapa ibunya selalu mengungkit-bungkit persoalan itu! Padahal ia sudah
berusaha keras melupakannya. Anak itu meman
97 dang ibunya dalam-dalam. la sadar bahwa percuma mengajak ibunya bicara, untuk mengubah
pikirannya. Tiba-tiba ia merasa ibunya sudah tidak
peduli lagi padanya!
Selama dua hari ia terus menguntit di belakang
ibunya sambil berpikir bagaimana caranya agar
ibunya berubah pikiran. Tapi, usahanya sia-sia
saja.
Hari Senin akhirnya tiba. Pagi-pagi benar Bu
Kent sudah bangun untuk membereskan perlengkapannya. Setelah itu ia menyiapkan sarapan
untuk Bob dan dirinya. Ia tidak menyalakan
pendiangan seperti biasanya, karena mulai hari itu
di rumah mereka sepanjang hari tidak ada orang.
Ruang duduk itu menjadi sepi dan dingin.
Bob tidak mengatakan apa-apa ketika sarapan.
Ibunya tidak enak melihat wajahnya yang suram.
Sebentar lagi ia juga sudah biasa, pikirnya
menenangkan diri. lbu?ibu yang lain banyak yang
bekerja. Kenapa aku tidak?
"Kalau kau pergi jangan lupa mengunci pintu
belakang, lalu cabut anak kuncinya," ujar Bu Kent
"Perlengkapan minum teh ada di lemari makan.
Kalau kau mau melakukan sesuatu yang berguna,
tolong nyalakan nanti sore api dalam pendiangan!"
Wanita itu tersenyum lebar pada Bob, lalu
mengambil mantel dan topinya. la berlari menuju
pintu depan. "Aku harus cepat pergi! Kalau tidak,
bisa ketinggalan kereta!"
la mendekati Bob untuk mencium keningnya,
98 tapi anak itu bergerak menghindar. "Ya, sudah
kalau kau tidak mau! lbu pergi dulu ya! Ingat,
jangan nakal!"
Pintu depan terdengar ditutup. Rumah itu mendadak terasa sepi dan kosong. Bob memandang sisa
sarapan yang berserakan di meja. Sekarang ia sendiri yang harus membereskan semuanya! Pulang
dari sekolah ia harus menyiapkan tehnya sendiri, lalu
menyalakan api. Lalu siapa yang akan merapikan
tempat tidumya? Dan siapa yang akan membersihkan perabotan yang lain? Apakah ibunya yang
akan mengerjakan semua itu? Persoalan?persoalan
itu menghantui pikiran Bob yang sedang kacau.
Jam menunjukkan pukul sembilan. Untung saja
jam itu sengaja dipercepat seperempat jam. Bob
bangkit dari bangkunya. Ia bisa terlambat kalau
tidak segera siap?siap. Biarkan saja sisa sarapan
itu tidak dibereskan! Ia tidak tahan tinggal di
rumah itu tanpa ibunya!
la bergegas mengambil jaket dan topi, serta
bekal makanannya. Kemudian ia keluar melalui
pintu belakang. la memasukkan anak kuncinya ke
dalam saku, lalu berlari ke sekolah, tanpa menengok ke belakang lagi.
Di sekolah lagi-lagi ia menjadi sulit diatur.
Berulang kali ia berbuat nakal. Bu Roland memandang anak itu dengan sikap heran. Ada apa
dengannya? Ia tahu Bob cukup cerdas. bisa
membuat pekerjaannya dengan baik, dan pada
dasarnya merupakan anak yang baik. Tapi kalau
sedang ada persoalan. ia langsung bersikap lain.
99 "Kau akan kulaporkan pada Kepala Sekolah,
Bob," kata Bu Roland. "Aku sudah cukup sabar
selama ini. Kalau kau masih tidak bisa diatur,
langsung kukirim ke Kepala Sekolah!"
Ancaman itu membuat Bob mulai berpikir.
Terakhir kali berhadapan dengan Pak Williams, ia
dipukul dengan rotan karena kesalahannya: menonton bioskop tanpa membeli karcis. Anak itu
tidak ingin menghadap Kepala Sekolah lagi!
100 11 Di Pondok Hawthorn
dan Pondok Summerhaye
Bos berjalan pulang pelan?pelan. Hari sudah
hampir gelap. la berjalan bersama anak?anak
keluarga Mackenzie. Pat menggandeng tangannya sambil berceloteh. Melihat temannya
diam saja, anak itu berhenti bicara, lalu memandangnya.
'Kenapa kau diam saja, Bob?" tanyanya.
'Tidak ada apa?apa," jawab Bob dengan suara
yang dibuat sewajar mungkin. "Aku cuma sedikit
sakit kepala."
"Kau mau ikut minum teh di rumah kami?"
tanya Jeanie menawarkan. Bob agak ragu. (.lsul
yang baik, pikirnya. Terbayang di benaknya rumah
keluarga Mackenzie yang terang dan hangat. Tapi
ia menggeleng.
"Tidak. terima kasih. Aku harus segera pulang.
Masih banyak yang harus kukerjakan! Yuk. sampai
besok!"
Mereka berpisah di depan rumah keluarga
Mackenzie. Bob berjalan menuju Pondok Hawthorn yang kini kelihatan suram dan gelap. Ia tidak
menyukai pemandangan itu. ia lebih suka kalau
rumahnya terang, dan terlihat asap mengepul dari
101 cerobongnya. Dan kalau ia masuk, suara?suara
yang riang gembira akan menyambutnya.
ia membuka pintu dapur. Bulu kuduknya berdiri
ketika tiba-tiba merasa ada sesuatu yang menjilati
tangannya. Ternyata, Frisky! Anjing itu sering
datang ke rumahnya untuk meminta beberapa
potong kue. Bob belum pernah segembira itu
melihat seekor anjing. la menggiring Frisky masuk ke dapur. lalu menutup pintunya. Bob mulai
bicara pada anjing itu dengan suara lantang dan
gembira sambil mengelus-elus. Frisky mengibasngibaskan ekornya.
"Kau tinggal di sini saja bersamaku, Frisky,"
kata Bob. "Kau baik sekali mau menemani aku di
sini. Lihat rumah ini?begitu gelap dan dingin.
Tidak ada orang di sini?hanya kita berdua!"
Frisky menggonggong, pertanda setuju dengan
pendapat anak itu.
"Ibuku pergi bekerja," ujar Bob. "Ia sudah tidak
peduli lagi padaku. Bagaimana pendapatmu,
Frisky? Ia pergi sebelum aku berangkat sekolah,
dan belum kembali ketika pulang. Tempatmu
jauh lebih menyenangkan, Frisky!"
Anjing itu menatapnya dengan sikap bingung.
Ada sesuatu yang tidak beres dengan anak itu.
Suaranya tidak segembira biasanya. Frisky menjilat tangan Bob.
Bob duduk di sebuah bangku lalu merangkul
leher Frisky. "Dengar." katanya, "ada sesuatu
yang ingin kukatakan padamu. Kau kenal ibuku
kan? Sekarang dia sudah tidak mencintaiku!
102 Padahal ia satu?satunya orang yang kumiliki di
dunia ini!"
Kemudian ia mendekap Frisky demikian erat
sampai anjing itu mendengking perlahan. "Jangan pergi, Frisky." katanya. "Dengarkan dulu.
Aku benar?benar sedang sedih. Apa kau juga bisa
sedih seperti aku? Aku ingin berbuat baik padanya, tapi sekaligus membalas dendam. Konyol
sekali ya, kedengarannya."
Frisky melepaskan diri dari dekapan Bob. ia
tahu kalau anak itu sedang sedih, tapi tidak
mengerti mengapa Bob mendekapnya'sedemikian rupa. la menjilati tangan Bob lagi, lalu
mengendus?endus wajahnya. Kemudian ia meletakkan kaki depannya di atas lutut Bob sambil
mendengking.
"Kau ingin pulang?" tanya Bob. la berdiri, lalu
membukakan pintu dapur. "Silakan. dan terima
kasih kau sudah mau mendengarkan aku. Frisky."
Tapi anjing itu tidak pergi. Ini membuat Bob
menjadi gembira. Anak itu mencuci piring bekas
sarapan tadi pagi, lalu menyiapkan meja untuk
minum teh. Kemudian ia menyalakan api pendiangan. Walau sudah mengerjakan semua itu
untuk mengisi waktu, rasanya masih berjam?jam
ia menunggu sampai ibunya pulang pada pukul
setengah tujuh. Anak itu sudah mulai bosan
menunggu ketika mendengar bunyi anak kunci
diputar.
Cepat ia berlari ke pintu depan, menyambut '
ibunya. Frisky sudah menduluinya, dan langsung 1
104 menerpa Bu Kent. Wanita itu menjerit kecil karena
kaget, lalu mendorong anjing itu menjauh.
"Oh, ternyata Frisky," katanya setelah masuk ke
dalam. "Kenapa kaubiarkan dia masuk, Bob? Kau
tahu kan, aku tidak suka ia masuk ke rumah ini.
Kau ini bagaimana, sih? Aku sudah letih! Ayo,
cepat keluarkan!"
"Ya, Bu," sahut Bob. la kecewa melihat ibunya.
Kegembiraannya langsung lenyap. la menggamit
kalung leher Frisky lalu menariknya ke luar. Ia
membawa anjing itu sampai ke Pondok Barling,
membuka pintu belakangnya, lalu membiarkan
anjing itu masuk. Kemudian ia berjalan mengitari
rumah itu, menuju bagian depan, lalu mengintip
ke dalam melalui jendela ruang duduk.
Seluruh anggota keluarga berada di ruangan
itu. Pak Mackenzie duduk di atas kursi sambil
mengisap pipanya. Pat duduk di atas lututnya,
sambil bercerita. Bu Mackenzie sedang merajut
sambil mendengarkan Jeanie berbicara. Anak itu
sedang menggambar. Di sampingnya Donald
sedang sibuk dengan pekerjaan rumahnya.
Api pendiangan menyala terang. Kucing kesayangan mereka tidur di depan pendiangan itu
dengan ekor yang merapat ke tubuhnya. Tiba?tiba
Frisky masuk,' lalu mendatangi semua yang
berada di ruangan itu satu per satu.
Dari luar, Bob ikut menikmati suasana yang
menyenangkan itu. Tak lama kemudian ia membalikkan badan, lalu pulang. Ia sangat iri melihat
keluarga itu. Baginya Donald dan Jeanie sudah
105 memperoleh segalanya. Mereka tidak tahu betapa
bahagia mereka sebenarnya.
Sementara itu di Pondok Summerhaye telah
terjadi sesuatu yang gawat. Pak Berkeley pergi
meninggalkan keluarganya!
Beberapa hari terakhir, orang itu kelihatan lesu
dan tidak banyak bicara. Banyak urusan rumah
yang tidak diselesaikannya. Seperti biasa, istrinya
langsung marah?marah, sehingga keduanya bertengkar lagi di depan anak?anak mereka. Hilda
dan Eleanor mulai menangis. Tom yang sudah
muak melihat pertengkaran yang tidak ada habisnya, berjalan meninggalkan ruangan. Belum sampai di pintu ia mendengar sesuatu yang membuatnya berhenti melangkah.
Pak Berkeley berbicara dengan suara pelan.
"Tak ada gunanya kita hidup bersama kalau
keadaannya tetap begini. Aku yakin kau benar
mengatakan bahwa aku tidak dapat diandalkan.
Jadi, lebih baik aku pergi. Semoga dengan itu
kalian bisa lebih bahagia."
Ia meninggalkan ruangan tanpa mengatakan
apa-apa lagi, lalu langsung naik ke kamarnya. Tak
lama kemudian dari situ terdengar lemari dan laci
dibuka. Eleanor berlari menyusul.
"Apa yang sedang Ayah lakukan? Jangan pergi,
Yah!"
Ayahnya diam saja dan menutup kopemya. ia
bahkan tidak melihat pada Eleanor. Anak itu
mundur beberapa langkah melihat wajahnya yang
106 pucat. Saat itu Pak Berkeley nampak jauh lebih
tua dari usianya yang sebenarnya.
Pintu depan dan pagar mmah sudah ditutup.
Terdengar langkah kaki berjalan menjauhi rumah
itu. "Ayah!" jerit Hilda sambil menangis. "Jangan
pergi, Yah!"
"Nanti Ayah pulang juga," sahut ibunya sambil
menyeka mata. "Biasanya kan begitu."
Ternyata dugaan ibunya salah. Malam itu tidak
ada lagi yang membuka pintu depan, lalu naik ke
atas. Tidak ada lagi yang tidur di tempat tidur
dalam mangan kecil itu. Pak Berkeley tidak
kembali!
Kejadian itu merupakan sesuatu yang mengerikan bagi anak?anak. Kini mereka harus menghadapi ibu mereka yang tidak tahu di mana
suaminya berada. Wanita itu terus menangis
sambil mengeluh berulang kali. Ketiganya berjanji
tidak akan mengatakan pada siapa-siapa bahwa
ayah mereka meninggalkan rumah karena bertengkar. Mereka harus siap dengan kemungkinan
bahwa ayah mereka takkan kembali.
"Tidak dapat kubayangkan." ujar Hilda seraya
menyeka matanya. "Ayah tidak seburuk yang
dibilang lbu. lbu membuat Ayah sedih."
"Kita semua telah membuat Ayah sedih," kata
Eleanor. "Kita semua sama saja. Selalu bertengkar, tidak ada habisnya!"
"Mudah-mudahan lbu tidak ganti memarahi
kita sekarang," kata Tom, agak takut. "Aku masih
107 ingat ketika didamprat habis?habisan setelah
menonton film .di bioskop itu."


Enam Berandal Cilik Karya Enid Blyton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau memang pantas menerimanya," kata
Eleanor. "Perbuatanmu waktu itu tidak dapat
dimaafkan."
"Kau jangan ikut?ikutan mengomeli aku!" kata
Tom. "Persoalan kita sudah cukup berat, jangan
kautambah lagi!"
"Keluarga kita memang brengsek," kata Hilda.
"Benar?benar brengsek. Kenapa Ayah harus pergi? Selama ini aku tidak bisa dibilang bersikap
ramah padanya. Tapi, apa jadinya kalau Ayah
tidak ada bersama kita."
Anak-anak itu melewati hari?hari yang menyedihkan. Mereka sangat rindu pada Pak Berkeley. Setiap hari ketiganya bertanya pada ibu
mereka, "Bu, Ayah sudah pulang? Apa ada kabar
dari Ayah?" .
Suatu hari Bu Berkeley kelihatan sangat murung. la menggenggam sepucuk surat. "Ayah
memutuskan, tidak akan kembali," katanya. "Ia
akan mengirim uang ke sini setiap bulan. Oh,
kenapa ini harus terjadi?"
Ketiga anak itu ingin menjawab pertanyaan itu,
tapi mereka diam saja. Mereka berdiri mematung
tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Mereka
merasa keluarga mereka sudah di ambang kehancuran.
Bu Berkeley meratapi nasibnya yang malang. ia
ingin membagi kesedihannya dengan orang lain.
Maka pada suatu hari ia berkunjung ke Pondok
108 Barling, untuk mengeluarkan isi hatinya pada Bu
Mackenzie.
Tidak disangka, Bu Mackenzie justru menunjukkan sikap kurang senang. "Andy, suamiku,
bilang bahwa Pak Berkeley orang yang baik,"
katanya. "la sering ikut membantu membuat
perlengkapan pertandingan olahraga di sekolah.
Saya juga menyukainya, dan tidak melihat sesuatu
yang jelek padanya."
"Oh, Anda belum tahu betapa kasar kata?kata
yang diucapkannya padaku," ujar Bu Berkeley. Air
matanya mulai menetes.
"Memang belum, dan saya tidak kepingin
tahu," sahut Bu Mackenzie dengan tegas. "Kalian
berdua sama-sama salah. Dan kesalahan yang
terbesar, kalian hanya memikirkan diri sendiri.
Kasihan anak?anak kalian, selama ini harus berpura-pura dengan mengatakan bahwa ayah mereka
sedang bepergian. Kasihan mereka!"
"Kenapa Anda bicara seperti itu?" ujar Bu
Berkeley. "Seharusnya saya tidak ke sini untuk
meminta nasihat."
"Oh, jadi Anda ke sini untuk meminta nasihat,"
balas Bu Mackenzie dengan ketus. "Baik kalau
begitu. Dengarkan, sebaiknya Anda sekarang
menulis surat pada suami Anda, lalu meminta
maaf padanya. Katakan bahwa Anda dan anakanak sudah rindu padanya. Dan Anda berjanji
padanya akan mengubah sikap asalkan ia kembali
ke rumah."
"Tidak! Aku tak mau melakukan itu!" kata Bu
109 Berkeley dengan suara yang meninggi. "Buat apa
minta maaf? Yang salah kan bukan aku? Dia yang
selalu membuat ribut di rumah."
"Kurasa Pak Berkeley juga berpikir sama seperti
Anda," ujar Bu Mackenzie menimpali. "Anda bisa
saja bertahan hidup tanpa suami. Tapi bagaimana
dengan anak-anak Anda? Mereka takkan bisa
tenang tanpa ayah di sisi mereka Apalagi anak
laki-laki Anda, Tom. Anak seperti dia sangat
memerlukan seorang ayah. Saya sarankan Anda
cepat menghubungi suami Anda, sebelum keadaannya makin gawat!"
"Terima kasih atas saran Anda. Saya bisa
mengurus keluarga saya sendiri," kata Bu Berkeley dengan mantap sambil menghapus air matanya. "Maaf, saya telah menyita waktu Anda.
Selamat siang."
Setelah berkata demikian, wanita itu berjalan
keluar dengan hidung terangkat. la akan menunjukkan pada Bu Mackenzie bahwa ia bisa mengurus keluarganya, tanpa perlu meminta suaminya
kembali!
110 1 2 Bob Mengamuk
Boa dan anak?anak keluarga Berkeley mulai
menjalani masa yang tidak menyenangkan bagi
mereka. Suatu masa yang akan terus membekas
dalam kehidupan mereka selanjutnya.
Ada tiga hal yang membuat Eleanor dan Hilda
merasa sedih. Keduanya sangat merasa kehilangan ayah mereka; keduanya sudah tidak tahan
terus mengharapkan ayah mereka kembali; dan
yang terakhir itu mereka dengan wataknya yang
keras, membuat suasana di rumah itu menjadi
lebih tidak menyenangkan dibandingkan sebelumnya.
Tom dan Bob ternyata lebih menderita dibanding kedua anak gadis itu. Bob di Pondok
Hawthorn, yang sepanjang hari selalu sendirian.
Kemudian Tom yang berusaha melepaskan diri
dari beban yang terus-menerus diletakkan Bu
Berkeley pada pundaknya.
Keadaan di rumah masing-masing membuat
kedua anak itu makin akrab. Menyenangkan bagi
Bob, mempunyai teman yang lebih besar dan
menghormati dirinya. Dan yang lebih penting lagi,
temannya itu mau mendengarkan serta memper
111 cayainya. Begitu pula dengan Tom. Ia senang
mempunyai teman yang mau mendengarkan
keluhan?keluhannya. Bob betah mendengarkan
anak itu kalau ia sedang menceritakan sesuatu.
Setelah sekian lama, Bob belum juga bisa
menerima kenyataan bahwa ibunya sibuk bekerja
dan tidak ada di rumah sepanjang hari. la kesal
melihat ibunya sudah pergi sebelum ia berangkat
sekolah. Yang lebih menyebalkan lagi, ketika ia
pulang ke rumah sore hari, ibunya belum juga
pulang. Bu Mackenzie tahu bahwa Bu Kent kini
sudah bekerja. ia selalu menerima Bob dengan
tangan terbuka, agar anak itu tidak kesepian.
"Bu Kent keterlaluan membiarkan Bob sendirian seperti itu!" kata Bu Mackenzie pada suaminya.
"Anak itu kan sudah tidak punya ayah?sekarang
ditambah lagi ibunya pergi meninggalkan dia.
Kasihan anak itu!"
"Ya. memang kasihan. Bob anak yang begitu
baik," ujar suaminya. "Kau ingat ketika ia datang
ke sini minggu lalu, membacakan beberapa cerita
untuk Pat yang sedang sakit tiu. ia membuat anak
kita sangat gembira!"
"Ia juga sering membantu aku!" kata Bu
Mackenzie menimpali. "Sungguh luar biasa. Aku
sampai terpaksa menghentikannya, karena Donald mulai iri pada anak itu. Wah, kalau ayahnya
masih hidup, ia pasti bangga sekali padanya."
Bob mulai memperhatikan perubahan yang
terjadi pada ibunya. Wanita itu menjadi tampak
lebih muda dan cantik Untuk menjaga penampil
112 an ia membeli pakaian-pakaian bagus. Wajahnya
selalu cerah. Nyata bahwa ia menikmati gaya
hidupnya yang baru itu.
Hanya Bob yang masih menjadi ganjalan
baginya. Anak itu juga telah berubah banyak la
sudah tidak seperti dulu?anak manis yang selalu
menuruti kata ibunya. Bob kini menjadi pendiam,
murung, dan kasar. la tidak mau lagi membereskan sisa sarapan atau menyalakan api di pendiangan untuk ibunya. la juga tak mau mendengar
cerita?cerita ibunya ketika pulang bekerja.
"Besok aku pulang bersama rekan kerjaku."
kata ibunya pada suatu sore. "Bob, tolong
kaubereskan sisa sarapan, menyalakan api di
pendiangan, lalu menyiapkan teh untuk kami. Aku
akan pulang lebih cepat Sekitar pukul setengah
lima kami sudah ada di sini."
Bob menggerutu. Ibunya hanya menghela
napas. Anaknya benar-benar menjadi sulit diatur.
Siapa tahu kalau ia memberinya uang saku
tambahan, anak itu mau berubah sedikit.
"lni, Bob," kata Bu Kent sambil menyodorlmn
uang dua puluh lima pence pada anaknya, "untuk
membeli sesuatu."
Bob memandang uang itu dengan sikap tak
acuh. "Hutangku pada pengelola bioskop itu
belum lunas," katanya. "Apa ibu sudah lupa? lbu
sendiri yang bilang bahwa aku harus melunasi
karcis itu dari uang sakuku."
Bu Kent ternyata sudah lupa. "Lupakan saja
113 lah," katanya sambil tetap menyodorkan uangnya.
"Ambillah. Dan jangan cemberut begitu."
Bob menolak tangan ibunya dengan kasar sehingga uang yang disodorkan padanya terjatuh.
"Tidak mau!" katanya dengan suara gemetar. "Aku
lebih senangkalau lbu tidak lagi pergi bekerja. Aku
benci pulang ke rumah yang kosong ini. Sering aku
berpikir untuk menghancurkan saja tempat ini!"
"Bob!" kata ibunya. ia tidak menyangka anaknya akan berbicara wperti itu padanya "Dengarkan. Aku jauh lebih senang kalau kau..."
"Aku tidak mau dengar," balas Bob, lalu
berjalan menuju pintu. "Ibu lebih mencintai
pekerjaan daripada aku!"
Anak itu keluar sambil membanting pintu. Bu
Kent memandang api dalam pendiangan dengan
gelisah. la tidak mungkin meninggalkan pekerjaannya. ia suka pada rekan?rekan kerjanya, suasana kerja yang begitu menyenangkan. Ia senang
memperoleh uang?yang ia sadari, sesungguhnya tidak begitu diperlukan! Wanita itu menatap
dirinya dalam cermin. Ia masih cantik dan tahu
bagaimana harus merawat kecantikannya itu. Ia
mengelus tangan dan wajahnya yang halus. Apa
Bob tidak bangga punya ibu secantik itu? Apa
yang sebenarnya terjadi pada anak itu?
Keesokan harinya Bob seperti biasa pulang ke
rumahnya yang kosong dan dingin. la teringat
pesan ibunya untuk membereskan sisa sarapan,
lalu menyiapkan segala sesuatu karena ibunya
akan membawa teman ke rumah.
114 Ia termenung melihat abu dalam pendiangan
yang harus dibersihkan dulu sebelum menyalakan
api lagi. Kemudian sisa sarapan yang belum
dibereskan, dengan lemak yang sudah mengeras,
menempel pada piring-piring. Ia melihat ketel air
di atas kompor, tirai yang dibiarkan tertutup
sepanjang hari.
Tiba?tiba saja ia begitu benci melihat bendabenda itu. Ia benci melihat pendiangan, piringpiring, ketel air, dan semua benda lainnya. ia benci
pada ruangan itu, dan juga rumahnya. Ditendangnya sebuah permadani kecil yang tergeletak di
dekat kakinya. Setelah itu ia benar?benar mengamuk EBUKULAW'ASBLOCSPOT.COM
la melemparkan piring-piring bekas sarapan ke
segala arah. Setiap kali ada yang pecah, ia tertawa
terbahak?bahak. Ia mengambil ketel air, lalu
melemparkannya ke dinding. Sebuah lukisan
terjatuh. la menendang semua permadani kecil
yang ada di ruangan itu, lalu mengambil abu di
dalam pendiangan, kemudian menghamburkannya ke udara. Semuanya hancur berantakan!
Tak lama kemudian ia berhenti. lalu melihat
pada apa yang telah dikerjakannya. Perasaannya
sudah lebih enak, walau tahu yang dikerjakannya
itu konyol dan keterlaluan. la keluar melalui pintu
Tuan Tanah Kedawung Karya Ganes Th Rajawali Emas 14 Tapak Asmara Dewi Ular 76 Tamu Dari Alam Gaib
^