Pencarian

Penjelmaan 1

Harian Vampir 01 Penjelmaan Bagian 1


1 PENJELMAAN (BUKU #1 DALAM HARIAN VAMPIR)
Oleh Morgan Rice2
"Sebuah buku rival dari TWILIGHT dan VAMPIRE DIARIES,
dan satu-satunya yang akan membuat Anda ingin tetap terus
membacanya sampai halaman terakhir Jika Anda menyukai
petualangan, cinta dan vampir, buku inilah yang tepat bagi
Anda!"
--Vampirebooksite.com
PENJELMAAN adalah buku #1 dari Seri terlaris BUKU
HARIAN VAMPIR, yang terdiri dari sebelas buku (dan terus
berlanjut)-dengan lebih dari 500 ulasan bintang lima di
Amazon!
Dalam PENJELMAAN (Buku #1 dari Buku Harian Vampir),
Caitlin Paine yang berusia 18 tahun menemukan dirinya
tercabut dari pinggiran kotanya yang menyenangkan dan
terpaksa bersekolah di sekolah tinggi di Kota New York yang
berbahaya ketika Ibunya pindah lagi. Satu-satunya berkas
cahaya dalam lingkungan sekitarnya adalah Jonah, seorang
teman sekelas baru yang dengan seketika menyukainya.
Tapi sebelum romansa mereka dapat berkembang, Caitlin
tiba-tiba menemukan dirinya berubah. Ia menguasai
kekuatan manusia super, sensitif terhadap cahaya,
keinginan untuk makan--dengan perasaan yang tidak ia
pahami. Ia mencari jawaban atas apa yang terjadi padanya,
dan hasratnya mengarahkannya ke tempat yang salah di
waktu yang salah. Matanya terbuka pada suatu dunia yang
tersembunyi, tepat di bawah kakinya, yang berkembang di
bawah tanah di Kota New York. Ia mendapati dirinya
tertangkap di antara dua kumpulan wanita berbahaya, tepat
di tengah-tengah peperangan vampir.
Ini adalah momen di mana Caitlin bertemu Caleb, seorang
vampir misterius dan kuat yang menyelamatkan dia dari
serangan hitam. Dia membutuhkannya untuk membantu3
membimbingnya menuju artefak legendaris yang hilang. Dan
ia membutuhkan dia untuk jawaban, dan untuk perlindungan.
Bersama-sama, mereka akan harus menjawab satu
pertanyaan penting: siapa sesungguhnya ayahnya?
Tapi Caitlin menemukan dirinya terperangkap di antara dua
pria karena sesuatu hal lain yang muncul di antara mereka:
suatu cinta terlarang. Sebuah cinta di antara para ras yang
akan membuat risiko bagi hidup mereka berdua, dan akan
memaksa mereka untuk memutuskan apakah akan
mengambil semua risiko untuk satu sama lain
"PENJELMAAN adalah suatu kisah yang ideal bagi para
pembaca muda. Morgan Rice melakukan pekerjaan yang
bagus dengan memutarbalikkan lika-liku yang menarik
tentang apa yang bisa menjadi kisah vampir yang khas.
Menyegarkan dan unik, PENJELMAAN memiliki elemen
klasik yang ditemukan dalam berbagai cerita paranormal
Dewasa Muda. Direkomendasikan untuk siapa saja yang
suka membaca romansa paranormal yang halus. Diberi
peringkat PG."
--The Romance Reviews
""Mencuri perhatian saya dari awal dan tidak dapat
lepas.Kisah ini merupakan sebuah petualangan
menakjubkan yang bertempo cepat dan action yang dikemas
sejak permulaan. Tidak ditemukan momen yang
membosankan."
--Paranormal Romance Guild4
Tentang Morgan Rice
Morgan Rice adalah penulis terlaris #1 dari BUKU HARIAN
VAMPIR, seri remaja yang terdiri dari sebelas buku (dan
terus bertambah); seri THE SURVIVAL TRILOGY (TRILOGI
KESINTASAN, sebuah thriller pasca- apokaliptik yang terdiri
dari dua buku (dan terus bertambah); dan seri epik fantasi
terlaris #1 CINCIN BERTUAH, yang terdiri dari tiga belas
buku (dan terus bertambah).
Buku-buku Morgan tersedia dalam edisi audio dan cetak,
dan terjemahan dari buku-buku ini tersedia dalam bahasa
Jerman, Perancis, Italia, Spanyol, Portugis, Jepang,
Tiongkok, Swedia, Belanda, Turki, Hungaria, Ceko dan
Slowakia (dengan lebih banyak bahasa yang akan datang).
PENJELMAAN (Buku #1 dalam Buku Harian Vampir),
ARENA SATU (BUKU #1 DARI TRILOGI KESINTASAN)
dan PETUALANGAN PARA PAHLAWAN (Buku #1 dalam
CINCIN BERTUAH) masing-masing tersedia sebagai
unduhan gratis di Google Play!
Morgan ingin mendengar pendapat Anda, jadi jangan ragu
untuk mengunjungi www.morganricebooks.com untuk
bergabung di daftar e- mail, menerima buku gratis,
menerima hadiah gratis, mengunduh aplikasi gratis,
mendapatkan berita eksklusif terbaru, terhubung ke
Facebook dan Twitter, dan tetap terhubung!5
Pujian Pilihan untuk Penjelmaan
"PENJELMAAN adalah suatu kisah yang ideal bagi para
pembaca muda. Morgan Rice melakukan pekerjaan yang
bagus dengan memutarbalikkan lika-liku yang menarik
tentang apa yang bisa menjadi kisah vampir yang khas.
Menyegarkan dan unik, PENJELMAAN memiliki elemen
klasik yang ditemukan dalam berbagai cerita paranormal
Dewasa Muda. Buku #1 dari Serial Buku Harian Vampir
yang berfokus di sekitar seorang anak perempuan anak
perempuan yang luar biasa!...
PENJELMAAN mudah dibaca tapi bertempo cepat...
Direkomendasikan untuk siapa saja yang suka membaca
romansa paranormal yang halus. Diberi peringkat PG." --
The Romance Reviews
"PENJELMAAN mencuri perhatian saya dari awal dan tidak
dapat lepas .Kisah ini merupakan sebuah petualangan
menakjubkan yang bertempo cepat dan action yang
dikemas sejak permulaan. Tidak ditemukan momen yang
membosankan. Morgan Rice melakukan pekerjaan yang luar
biasa dengan membawa pembaca ke dalam kisah. Dia juga
membuatnya mudah untuk menanamkan Caitlin dan ingin
dengan sekuat tenaga agar berhasil menemukan kebenaran
tentang dirinya... Saya menantikan buku kedua dalam serial
ini." --Paranormal Romance Guild
"PENJELMAAN menyenangkan, sederhana, bacaan hitam
yang bisa Anda baca di antara buku-buku lain, karena buku
ini singkat... Anda pasti akan terhibur!" --books-
forlife.blogspot.com
"PENJELMAAN adalah buku rival dari TWILIGHT dan
VAMPIRE DIARIES, dan satu-satunya yang akan membuat6
Anda ingin tetap terus membacanya sampai halaman
terakhir! Jika Anda menyukai petualangan, cinta dan vampir,
buku inilah yang tepat bagi Anda!" --Vampirebooksite.com
"Rice melakukan pekerjaan yang bagus mendorong Anda ke
dalam kisah ini dari pertama, memanfaatkan kualitas
deskriptif yang hebat yang melampaui penggambaran
setting Ditulis dengan indah dan sangat cepat dibacanya,
PENJELMAAN adalah awal yang bagus menuju serial
vampir baru yang akan menjadi hit bagi pembaca yang
mencari cerita yang ringan tapi menghibur." --Black Lagoon
Reviews
Buku-buku oleh Morgan Rice
1. CINCIN BERTUAH PETUALANGAN PARA PAHLAWAN
(Buku #1)
2. BARISAN PARA RAJA (Buku #2)
3. A FATE OF DRAGONS/TAKDIR NAGA (Buku #3)
4. A CRY OF HONOR/PEKIK KEMULIAAN (Buku #4)
5. A VOW OF GLORY/IKRAR KEMENANGAN (Buku #5)
6. A CHARGE OF VALOR/PERINTAH KEBERANIAN (Buku
#6) 7. A RITE OF SWORDS/RITUAL PEDANG (Buku #7)
8. A GRANT OF ARMS/HADIAH PERSENJATAAN (Buku #8)
9. A SKY OF SPELLSLANGIT MANTRA (Buku #9)
10. A SEA OF SHIELDS/LAUTAN PERISAI (Buku #10)
11. A REIGN OF STEEL/TANGAN BESI (Buku #11)
12. A LAND OF FIREDARATAN API (Buku #12)
13. A RULE OF QUEENS/SANG RATU (Buku #13)
14. AN OATH OF BROTHERS/SUMPAH PARA SAUDARA
(Buku #14)
THE SURVIVAL TRILOGY (TRILOGI KESINTASAN)7
ARENA ONE: SLAVERSUNNERS/ARENA SATU: BUDAK-
BUDAK
1. SUNNER (Buku #1)
2. ARENA TWO/ARENA DUA (Buku #2)
BUKU HARIAN VAMPIR
1. PENJELMAAN (Buku #1) LOVED/CINTA (Buku #2)
2. BETRAYED/KHIANAT (Buku #3)
3. DESTINED/TRAKDIR (Buku #4)
4. DESIRED/DIDAMBAKAN (Buku #5)
5. BETROTHED/TUNANGAN (Buku #6)
6. VOWED/SUMPAH (Buku #7)
7. FOUND/DITEMUKAN (Buku #8)
8. RESURRECTED/BANGKIT KEMBALI (Buku #9)
9. CRAVED/RINDU (Buku #10)
10. FATED/NASIB (Buku #11)
Unduh buku-buku Morgan Rice di Play sekarang!
https://play.google.com/store/books/author?id=Morgan+Rice8
DAFTAR ISI
Bab Satu
Bab Dua
Bab Tiga
Bab Empat
Bab Lima
Bab Enam
Bab Tujuh
Bab Delapan
Bab Sembilan
Bab Sepuluh
Bab Sebelas
Bab Dua Belas
Bab Tiga Belas
Bab Empat Belas
Bab Lima Belas
Bab Enam Belas
Bab Tujuh Belas9
Bab Satu Caitlin Paine selalu ketakutan hari pertamanya di
sekolah yang baru. Ada hal-hal besar, seperti bertemu
teman-teman baru, guru-guru baru, mempelajari aula yang
baru. Dan ada hal-hal kecil, seperti mendapatkan sebuah
loker baru, bebauan tempat yang baru, suara-suara yang
terdengar. Lebih dari segalanya, ia takut terhadap tatapan.
Ia merasa bahwa setiap orang di tempat baru selalu
menatapnya. Yang ia inginkan hanyalah anonimitas. Tapi
tampaknya itu tidak akan pernah terwujud. Caitlin tidak
dapat memahami mengapa ia sangat mencolok. Dengan
tinggi 5,5 kaki ia tidak benar-benar tinggi, dan dengan
rambut coklat dan mata coklatnya (dan berat yang normal),
ia merasakan bahwa ia biasa saja. Pastinya tidak cantik,
seperti cewek-cewek lainnya. Pada usia 18, ia sedikit lebih
tua, tapi tidak cukup untuk membuatnya menonjol. Ada
sesuatu hal yang lain. Ada sesuatu tentang dirinya yang
membuat orang-orang meilhat dua kali. Ia tahu, dalam
hatinya, bahwa ia berbeda. Tapi ia tidak yakin apa itu. Jika
ada sesuatu hal yang lebih buruk ketimbang hari pertama,
itu dimulai pada tengah semester, setelah orang lain punya
waktu untuk menjalin ikatan. Hari ini, hari pertama ini, di
pertengahan Maret, akan menjadi salah satu yang terburuk.
Ia sudah bisa merasakannya. Dalam imajinasi terliarnya,
bagaimana pun juga, ia tidak pernah berpikiran akan
seburuk ini. Tidak ada yang pernah ia lihat - dan sering ia
lihat - telah mempersiapkan dirinya untuk ini. Caitlin berdiri
di luar sekolah barunya, sekolah umum Kota New York
yang sangat luas, di pagi hari bulan Maret yang sangat
dingin, dan bertanya-tanya, Kenapa aku? Cara
berpakaiannya tidak menarik, hanya dalam sweater dan
legging, dan bahkan tidak menyiapkan diri sebelumnya
untuk keributan berisik yang menyambutnya. Ratusan
remaja berdiri di sana, berteriak-teriak, menjerit, dan
mendorong satu sama lain. Itu terlihat seperti sebuah10
halaman penjara. Itu semua terlalu bising. Remaja-remaja
ini tertawa terlalu kencang, mengumpat terlalu sering,
mendorong satu sama lain terlalu keras. Ia akan berpikir itu
adalah sebuah perkelahian besar jika ia tidak melihat
beberapa senyum dan tawa mengejek. Mereka memiliki
terlalu banyak energi, dan ia, lelah, kedinginan, kurang tidur,
tidak bisa memahami dari mana energi itu datang. Ia
menutup matanya dan berharap itu semua akan pergi. Ia
merogoh sakunya dan merasakan sesuatu: ipod-nya. Ya. Ia
mengenakan headphone di telinganya dan menyalakannya.
Ia harus menenggelamkan itu semua. Tapi tidak ada yang
datang. Ia memandang ke bawah dan melihat baterainya
mati. Sempurna. Ia memeriksa ponselnya, berharap akan
adanya pengalih perhatian, apapun itu. Tidak ada pesan
baru. Ia mendongak. Mengamati lautan wajah baru, ia
merasa sendirian. Tidak karena ia adalah satu-satunya
cewek berkulit putih - ia sebenarnya lebih memilih hal itu.
Beberapa teman-teman terdekatnya di sekolah lain berkulit
hitam, berdarah Spanyol, Asia, India - dan beberapa dari
musuh dalam selimutnya berkulit putih. Tidak, bukan itu. Ia
merasa sendirian karena ini adalah kota. Ia berdiri di
tengah-tengah beton. Sebuah bel nyaring telah berdering
untuk mengizinkan ia masuk menuju "daerah rekreasi" ini,
dan ia telah melewati melalui gerbang logam yang besar.
Sekarang ia sudah masuk - terkurung oleh gerbang logam
besar, diatapi oleh kawat berduri. Ia merasa seperti pergi
menuju penjara.
Memandangi sekolah yang sangat besar, bar dan kurungan
di semua jendela, tidak membuatnya merasa lebih baik. Ia
selalu beradaptasi dengan mudah di sekolah barunya,
besar dan kecil - tapi itu semua ada di pinggir kota. Mereka
memiliki semua rerumputan, pepohonan, langit. Di sini, tidak
ada hal lain selain kota. Ia merasa ia tidak dapat bernapas.
Hal itu membuatnya ngeri. Bel lain keras terdengar dan ia
beringsut berjalan, bersama ratusan anak-anak, menuju11


Harian Vampir 01 Penjelmaan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pintu masuk. Ia terdesak secara kasar oleh seorang gadis
besar, dan menjatuhkan buku hariannya. Ia mengambilnya
(mengacaukan rambutnya), dan kemudian mendongak untuk
melihat apakah gadis itu akan meminta maaf. Tapi ia tidak
terlihat, karena telah melanjutkan perjalanan ke dalam
kerumunan. Ia mendengar tawa, tapi tidak tahu apakah itu
ditujukan padanya. Ia mencengkeram buku hariannya, satu
hal yang membuatnya bertahan. Buku itu telah berada
bersamanya ke mana saja. Ia menyimpan catatan dan
gambar pada setiap tempat yang ia kunjungi. Itu adalah
sebuah peta perjalanan masa kanak-kanaknya. Ia akhirnya
mencapai pintu masuk, dan harus mendesak hanya untuk
berjalan melewatinya. Rasanya seperti memasuki kereta
pada jam sibuk. Ia berharap akan menjadi hangat ketika ia
ada di dalam, tapi pintu terbuka di berlakangnya tetap
meniupkan angin kencang ke punggungnya, membuat
semakin dingin lagi. Dua penjaga keamanan besar berdiri di
pintu masuk, diapit oleh dua polisi New York City, seragam
lengkap, senjata mencolok di sisi mereka. "JALAN TERUS!"
perintah salah satu dari mereka. Ia tidak dapat mengerti
mengapa kedua polisi bersenjata harus menjaga pintu
masuk sebuah sekolah tinggi. Perasaan takutnya semakin
besar. Perasaan itu lebih buruk ketika ia mendongak dan
melihat bahwa ia harus melewati detektor lohan dengan
keamanan bergaya bandara. Empat polisi bersenjata
lainnya di sisi lain detektor, bersama dengan dua penjaga
keamanan lainnya. "KOSONGKAN KANTONGMU!" bentak
seorang petugas. Caitlin memperhatikan remaja lain
mengisi wadah plastik kecil dengan barang-barang dari
saku mereka. Ia segera melakukan hal yang sama,
memasukkan ipod, dompet, kunci-kuncinya. Ia beringsut
melalui detektor, dan sirene melengking.
"KAU!" bentak seorang petugas. "Minggir!" Tentu saja.
Semua remaja memandanginya saat ia mengangkat
tangannya, dan petugas itu mengarahkan pemindai12
genggam ke bagian atas dan bawah tubuhnya. "Apakah
kau mengenakan perhiasan?" Ia meraba pergelangan
tangannya, lalu garis lehernya, dan tiba-tiba teringat.
Salibnya. "Lepaskan," bentak petugas itu. Itu adalah kalung
nenek yang diberikan padanya sebelum beliau meninggal,
salib kecil perak yang diukir dengan kata-kata dalam bahasa
Latin yang tidak pernah beliau terjemahkan. Neneknya
mengatakan itu adalah diwariskan oleh nenek beliau. Caitlin
tidak terlalu religius, dan tidak benar-benar memahami apa
makna semua itu, tapi ia tahu benda itu umurnya ratusan
tahun, dan itu adalah benda miliknya yang sangat berharga.
Caitlin mengangkatnya dari bajunya, mengacungkannya,
tapi tidak melepasnya.
"Saya lebih suka tidak melakukannya," jawabnya. Petugas
itu memandanginya, dengan tatapan sedingin es. Tiba-tiba,
terjadi keributan. Ada jeritan ketika seorang polisi
mencengkram seorang remaja tinggi kurus dan
mendorongnya ke dinding, mengeluarkan pisau kecil dari
sakunya. Panjaga itu pergi untuk membantu, dan Caitlin
mempergunakan kesempatan itu untuk menyelusup dalam
kerumunan yang bergerak menuju aula. Selamat datang di
sekolah umum New York, pikir Caitlin. Bagus. Ia sudah
menghitung hari-hari menuju kelulusannya. * Aula itu
adalah aula paling luas yang pernah ia lihat. Ia tidak bisa
membayangkan bahwa mereka akan dapat memenuhinya,
tapi entah bagaimana mereka benar-benar memadatinya,
dengan semua remaja yang berdesakan bahu ke bahu.
Pasti ada ribuan remaja dalam aula ini, lautan wajah
meregang tanpa akhir. Kebisingan di sini bahkan lebih parah,
memantul di dinding, semakin pekat. Ia ingin menutup
telinganya. Tapi ia
bahkan tidak punya ruang bagi sikunya untuk mengangkat
lengannya. Ia merasa klaustrafobia. Lonceng berbunyi, dan
energi itu bertambah. Sudah terlambat. Ia mencari-cari13
ruangan di kartunya lagi dan akhirnya menemukan ruangan
itu di kejauhan. Ia mencoba untuk menyeruak di antara
lautan tubuh, tapi tidak dapat menuju ke mana pun.
Akhirnya, setelah beberapa kali berusaha, ia menyadari
bahwa ia harus lebih agresif. Ia mulai menyikut dan
mendesak. Satu tubuh pada satu waktu, ia memotong
melewati semua remaja, menyeberangi aula yang luas, dan
mendorong pintu berat supaya terbuka ke kelasnya. Ia
memberanikan diri atas semua pandangan karena ia, cewek
baru, masuk terlambat. Ia membayangkan guru
menyemprotnya karena mengganggu ruangan yang sunyi.
Tapi ia terkejut menemukan bahwa itu tidak seperti
bayangannya sama sekali. Ruangan ini, dirancang untuk 30
remaja tapi memuat 50, berdesakan. Beberapa remaja
duduk di bangku mereka, dan yang lainnya berjalan di
lorong, berseru dan berteriak satu sama lain. Ini adalah
kekacauan.
Bel sudah berbunyi lima menit yang lalu, tapi guru itu, tidak
rapi, mengenakan setelan kusut, bahkan belum memulai
mengajar. Dia sebenarnya duduk dengan menaikkan
kakinya di meja, membaca koran, mengabaikan siapa saja.
Caitlin berjalan mendekatinya dan meletakkan kartu identitas
barunya di meja. Ia berdiri di sana dan menunggu dirinya
untuk mendongak, tapi dia tidak melakukannya. Ia akhirnya
menelan ludah. "Permisi." Dia menurunkan korannya
dengan enggan. "Saya Caitlin Paine. Saya murid baru.
Saya rasa saya harus memberikan ini pada Anda." "Saya
hanya guru pengganti," jawabnya, dan mengangkat
korannya, menghalanginya. Ia berdiri di sana, bingung.
"Jadi," ia bertanya, "....Anda tidak mengabsen?" "Gurumu
kembali di hari Senin," bentaknya. "Dia yang akan
menanganinya."
Menyadari percakapan itu sudah selesai, Caitlin mengambil
kembali kartu identitasnya. Ia berbalik dan menghadapi14
ruangan itu. Kekacauan itu tidak berhenti. Jika ada
anugerah yang menyelamatkan, setidaknya ia tidak
mencolok. Tidak ada seorang pun di sini tampaknya peduli
padanya, atau bahkan melihatnya sama sekali. Di samping
itu, mengamati ruangan penuh sesak benar-benar
meruntuhkan syaraf: nampaknya tidak ada tempat tersisa
untuk duduk. Ia menguatkan dirinya dan; mencengkram
buku hariannya, berjalan saat itu menuju lorong, mundur
beberapa kali ketika ia berjalan di antara remaja-remaja
nakal yang saling berteriak. Ketika ia sampai di belakang, ia
akhirnya bisa melihat seluruh ruangan. Tidak ada bangku
kosong. Ia berdiri di sana, merasa seperti orang bodoh, dan
merasa para remaja lain mulai memperhatikan dirinya. Ia
tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ia pasti tidak akan
berdiri di sana sepanjang waktu, dan guru pengganti itu
tidak nampak peduli sama sekali. Ia menoleh dan mencari
lagi, mengamati dengan tidak berdaya.
Ia mendengar tawa dari beberapa lorong jauhnya, dan
merasa yakin itu ditujukan padanya. Ia tidak berpakaian
seperti para remaja ini, dan ia tidak terlihat seperti mereka.
Pipinya memerah ketika ia mulai merasa benar- benar
mencolok. Tepat ketika ia bersiap-siap untuk keluar daru
kelas itu, dan bahkan mungkin keluar dari sekolah ini, ia
mendengar sebuah suara. "Di sini." Ia berbalik. Di baris
terakhir, di samping jendela, seorang remaja jangkung
berdiri dari mejanya. "Duduk," katanya. "Silahkan."
Ruangan itu agak sunyi ketika yang lainnya menunggu untuk
melihat bagaimana ia akan bereaksi. Ia berjalan ke arahnya.
Ia mencoba untuk tidak memandang matanya - mata hijau
besar yang bercahaya - tapi ia tidak bisa menahannya. Dia
ganteng. Ia memiliki kulit kuning langsat yang halus - ia tidak
bisa mengatakan apakah dia Hitam, Spanyol, Putih, atau
beberapa kombinasi - tapi ia tidak pernah melihat kulit halus
dan lembut seperti itu, dilengkapi15
dengan garis rahang yang kaku. Rambutnya pendek dan
berwarna coklat, dan tubuhnya kurus. Ada sesuatu tentang
dirinya, sesuatu yang sangat tidak pada tempatnya. Dia
kelihatan rapuh. Seorang seniman, mungkin. Itu tidak
seperti dirinya untuk terpesona dengan seorang laki-laki. Ia
pernah melihat teman-temannya jatuh cinta, tapi ia tidak
pernah benar- benar mengerti. Sampai saat ini. "Di mana
kau akan duduk?" tanyanya. Ia mencoba mengendalikan
suaranya, tapi tidak terdengar meyakinkan. Ia berharap dia
bisa mendengar betapa gugupnya ia. Ia tersenyum lebar,
memperlihatkan gigi yang sempurna. "Di sebelah sini,"
katanya, dan pindah ke kusen jendela besar, hanya
beberapa kaki jauhnya. Ia memandanginya, dan dia balas
memandang padanya, mata mereka benar-benar tertambat.
Ia mengatakan pada dirinya sendiri untuk memalingkan
muka, tapi ia tidak bisa melakukannya. "Terima kasih,"
ujarnya, dan dengan segera marah pada dirinya sendiri.
Terima kasih? Hanya itu saja yang kau bisa? Terima kasih!?
"Betul itu, Barrack!" teriak sebuah suara. "Berikan bangkumu
cewek putih yang manis itu!" Tawa mengikuti, dan
kebisingan dalam ruangan itu tiba-tiba mulai lagi,
sebagaimana setiap orang mengabaikan mereka lagi.
Caitlin melihatnya menundukkan kepalanya, malu.
"Barrack?" tanyanya. "Apakah itu namamu?" "Tidak,"
jawabnya, wajahnya memerah. "Itu hanya bagaimana
mereka memanggilku. Seperti pada Obama. Mereka kira
aku seperti beliau." Ia menatapnya dengan saksama dan
menyadari bahwa ia memang seperti Obama. "Itu karena
aku separuh kulit hitam, sebagian kulit putih, dan sebagian
dari Puerto Rico." "Hm, aku kira itu pujian," katanya.
"Bukan dengan cara mereka mengatakannya," jawabnya. Ia
mengamati ketika dia duduk di kusen jendela, rasa percaya
dirinya mengempis, dan ia bisa menyimpulkan bahwa dia
orang yang sensitif. Bahkan rapuh. Dia bukan merupakan16
bagian kelompok remaja ini. Itu adalah hal yang gila, tapi ia
hampir merasa protektif terhadap dia.
"Aku Caitlin," katanya, mengulurkan tangannya dan menatap
matanya. Ia mendongak, terkejut, dan senyumnya kembali.
"Jonah," jawabnya. Ia menjabat tangannya dengan erat.
Sensasi menggelitik menjalari lengannya saat ia merasakan
kulit lembutnya menggenggam tanganya. Ia merasa
meleleh ke dalam dirinya. Dia menahan genggaman
tangannya beberapa detik lamanya, dan ia tidak dapat
menahan untuk balas tersenyum. * Sisa pagi itu sudah
kabur, dan Caitlin lapar pada saat ia sampai di kafetaria. Ia
membuka pintu ganda dan terperangah oleh ruangan yang
besar, kebisingan luar biasa atas apa yang nampaknya
seperti ribuan remaja, semua berteriak. Itu seperti
memasuki pusat kebugaran. Kecuali bahwa setiap dua
puluh kaki di sana berdiri petugas keamanan, di lorong-
lorong, mengamati dengan saksama. Seperti biasanya, ia
tidak punya gagasan ke mana harus pergi. Ia mencari-cari
di ruangan besar itu, dan akhirnya menemukan sebuah
tumpukan nampan. Ia mengambil satu, dan memasuki apa
yang ia kira sebagai antrian makanan. "Jangan
memotongku, menyebalkan!" Caitlin berbalik dan melihat
seorang perempuan besar yang gemuk, setengah kaki lebih
tinggi darinya, memandang dengan marah. "Maafkan aku,
aku tidak tahu-" "Antrian di belakang sana!" bentak cewek
lain, menunjuk dengan ibu jarinya. Caitlin mencari dan
melihat antrian itu memanjang paling tidak seratus remaja.
Itu terlihat seperti antrian selama dua puluh menit. Saat ia
mulai menuju ke belakang antrian, seorang remaja di antrian
mendorong yang lain, dan dia melayang di depannya,
menubruk lantai dengan keras. Remaja pertama melompat
di atas yang lain dan mulai meninju wajahnya. Kafetaria itu
meledak dalam raungan kehebohan, ketika lusinan remaja
berkumpul berkeliling. "LAWAN! LAWAN!"
Caitlin mengambil beberapa langkah mundur, menyaksikan17
dalam kengerian pada peristiwa kejam di kakinya. Empat
petugas keamanan akhirnya datang dan melerai mereka,
memisahkan dua remaja berlumuran darah dan menyeret
mereka. Mereka tidak nampak terlihat tergesa-gesa.
Setelah Caitlin akhirnya mendapat makanan, ia memandang
ke sekeliling ruangan, berharap ada tanda-tanda Jonah.
Tapi ia tidak kelihatan di mana pun. Ia berjalan di lorong,
melewati meja demi meja, semua dipenuhi dengan remaja.
Ada beberapa bangku kosong, dan satu-satunya yang
kosong tidak nampak mengundang, bersebelahan dengan
kumpulan teman yang besar. Akhirnya, ia mengambil
tempat duduk di sebuah meja kosong mengarah ke
belakang. Hanya ada satu remaja sangat jauh di ujungnya,
remaja laki-laki Tiongkok pendek yang lemah dengan sumpit,
berpakaian dengan buruk, yang tetap menundukkan
kepalanya dan berfokus pada makanannya. Ia merasa
sendirian. Ia memandang ke bawah dan memeriksa
ponselnya. Ada beberapa pesan Facebook dari teman-
temannya di kota tempat tinggal terakhirnya. Mereka ingin
mengetahui apakah ia menyukai tempat barunya. Entah
kenapa, ia merasa tidak ingin menjawabnya. Mereka terasa
sangat jauh. Caitlin nyaris tidak makan, sebuah muak hari
pertama yang samar masih menghinggapinya. Ia mencoba
merubah rentetan pikirannya. Ia menutup matanya. Ia
memikirkan apartemen barunya, naik lima lantai dalam
sebuah bangunan dekil di jalan no. 132. Rasa mualnya
semakin parah. Ia menarik napas dalam-dalam, menyuruh
dirinya untuk berfokus pada sesuatu, sesuatu yang bagus
dalam hidupnya. Adik laki-lakinya. Sam. 14, akan menjadi
20. Sam tidak pernah terlihat ingat bahwa dia adalah
adiknya: dia selalu bertingkah seperti kakak laki- lakinya.
Dia tumbuh tabah dan kuat dari semua kepindahan, dari
kepergian Ayah mereka, dari cara Ibu mereka
memperlakukan mereka berdua. Ia bisa melihat hal itu
semakin mendekati dia dan bisa melihat bahwa dia mulai18
menutup dirinya. Seringnya perkelahian sekolah dia tidaklah
mengejutkannya. Ia takut itu hanya akan menjadi lebih buruk.
Tapi ketika berhubungan dengan Caitlin, Sam sangat
menyayanginya.
Dan ia juga menyayanginya. Dia adalah satu-satunya hal
yang kosntan dalam hidupnya, satu-satunya yang bisa ia
andalkan. Dia nampaknya menguasai satu titik lembut yang
tersisa dalam dunianya. Ia bertekad melakukan yang terbaik
untuk melindungi dia. "Caitlin?" Ia terlompat. Berdiri di


Harian Vampir 01 Penjelmaan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

depannya, dengan baki di satu tangan dan kotak biola di
tangan lainnya, adalah Jonah. "Bolehkah aku bergabung
denganmu?" "Ya - maksudku tidak," katanya, salah tingkah.
Bodoh, pikirnya. Berhentilah bertingkah begitu gugup.
Jonah menyunggingkan senyumnya, lalu duduk di depan
Caitlin. Dia duduk tegak, dengan postur tubuh yang
sempurna, dan meletakkan biolanya dengan hati-hati di
sisinya. Dia meletakkan makanannya dengan perlahan. Ada
sesuatu tentang dirinya, sesuatu yang tidak bisa ia abaikan.
Dia berbeda dari siapa pun yang pernah is jumpai.
Sepertinya dia berasal dari jaman yang berbeda. Dia benar-
benar tidak berasal di tempat ini. "Bagaimana hari
pertamamu?" tanya Jonah.
"Tidak seperti yang kuharapkan." "Aku tahu apa yang kamu
maksud," kata Jonah. "Apakah itu sebuah biola?" Ia
mengangguk pada instrumennya. Dia tetap menutupnya,
dan tetap meletakkan satu tangan di atasnya, seolah-olah
takut seseorang mungkin mencurinya. "Ini sebenarnya
adalah biola alto. Ini hanya sedikit lebih besar, tapi suaranya
sangat berbeda. Lebih mellow." Ia tidak pernah melihat
sebuah biola alto, dan berharap dia akan meletakkannya di
meja dan menunjukkan padanya. Tapi dia tidak melakukan
apa-apa, dan ia tidak ingin mengungkitnya. Ia masih
meletakkan tangan di atasnya, dan dia nampaknya
melindungi benda itu, seperti layaknya benda yang personal19
dan pribadi. "Apakah kau sering berlatih?" Jonah
mengangkat bahu. "Beberapa jam sehari," jawabnya sambil
lalu.
"Beberapa jam!? Kau pasti hebat!"
Dia mengangkat bahu lagi.
"Aku oke, sepertinya. Ada banyak pemain biola yang sangat
lebih bagus dariku. Tapi aku berharap ini adalah tiketku
untuk keluar dari tempat ini."
"Aku selalu ingin bermain piani," kata Caitlin.
"Kenapa tidak?" Ia akan berkata, aku tidak pernah punya
piano, tapi ia menghentikan dirinya sendiri. Sebaliknya, ia
mengangkat bahu dan kembali pada makanannya.
"Kau tidak perlu memiliki sebuah piano," kata Jonah. Ia
mendongak, terkejut bahwa ia dapat membaca pikirannya.
"Ada ruang latihan di sekolah ini. Untuk semua hal jelek
yang ada di sini, paling tidak itulah hal baiknya. Mereka
akan memberimu pelajaran dengan gratis. Yang perlu kau
lakukan hanya mendaftar." Mata Caitlin melebar.
"Sungguh?" "Ada lembar pendaftaran di luar ruang musik.
Mintalah bertemu Ibu Lennox. Katakan pada beliau kau
adalah temanku." Teman. Caitlin menyukai bunyi kata itu. Ia
perlahan-lahan merasakan suatu kegemburaan yang
muncul di dalam dirinya. Ia tersenyum lebar. Mata mereka
bertemu selama sekejap.
Kembali memandangi mata hijaunya yang bercahaya, ia
terbakar oleh keinginan untuk menanyakan jutaan
pertanyaan: Apa kau punya pacar? Mengapa kau sangat
baik? Apa kau benar-benar menyukaiku? Tapi, sebaliknya,20
ia menggigit lidahnya dan tidak mengatakan apapun. Takut
bahwa waktu mereka bersama akan segera habis, ia
memindai otaknya atas sesuatu untuk ditanyakan pada dia
yang akan memperpanjang percakapan mereka. Ia
mencoba untuk memikirkan sesuatu yang akan memastikan
bahwa ia akan dapat menemuinya lagi. Tapi ia merasa
gugup dan membeku. Ia akhirnya membuka mulutnya, dan
ketika ia melakukannya, lonceng berdentang. Ruangan itu
meledak menjadi riuh dan bergerak, dan Jonah berdiri,
meraih biola altonya.
"Aku terlambat," katanya, meraih bakinya. Dia melihat ke
arah baki Caitlin.
"Bolehkah aku membawa bakimu?" Ia menunduk,
menyadari bahwa ia melupakannya, dan menganggukkan
kepalanya.
"Oke," kata Jonah.
Ia berdiri di sana, tiba-tiba malu, tidak tahu apa yang harus
dikatakan. "Hmm...sampai ketemu lagi." "Sampai ketemu
lagi," jawab Caitlin dengan lemah, suaranya hampir- hampir
menyeruapi bisikan. *
Hari pertama sekolah selesai, Caitlin keluar dari bangunan
itu menuju ke siang hari bulan Maret yang cerah. Meskipun
bertiup angin kencang, ia tidak lagi merasa dingin.
Meskipun semua remaja di sekelilingnya berteriak ketika
mereka mengalir keluar, ia tidak lagi merasa terganggu oleh
kebisingan itu. Ia merasa hidup, dan bebas. Sisa hari itu
telah berjalan secara samar-samar; ia bahkan tidak bisa
mengingat satu saja nama guru baru. Ia tidak dapat
berhenti memikirkan Jonah. Ia bertanya-tanya apakah ia
telah bertingkah seperti orang bodoh di kafetaria itu. Ia telah21
tersandung oleh kata-katanya; ia bahkan nyaris tidak
menanyakan apapun. Yang bisa ia pikirkan hanya
menanyakan tentang biola altonya yang bodoh. Ia harusnya
menanyakan di mana dia tinggal, dari mana dia berasal, ke
mana dia mendaftar kuliah. Yang paling penting, apakah dia
memiliki seorang pacar. Seseorang seperti dia seharusnya
mengencani seseorang. Tepat pada saat itu, seorang
remaja perempuan Hispanik cantik yang berpakaian dengan
bagus tersenggol olah Caitlin. Caitlin memandanginya dari
atas ke bawah ketika ia lewat, dan bertanya-tanya selama
sedetik apakah itu adalah pacarnya. Caitlin berbelok ke
jalan no. 134, dan selama sedetik, melupakan ke mana ia
akan pergi. Ia tidak pernah berjalan kaki pulang dari sekolah
sebelumnya, dan selama beberapa saat, ia sama sekali tupa
di mana apartemen barunya. Ia berdiri di sana di pojokan,
bingung. Sebuah awan menutupi matahari dan angin
kencang berhembus, dan ia tiba-tiba merasa dingin lagi.
"Hei, amiga!" Caitlin berbalik, dan menyadari ia berdiri di
depan kios dekil di pojokan. Empat pria lusuh duduk di kursi
plastik di depannya, tampaknya tidak menyadari hawa
dingin, menyeringai pada Caitlin seolah-olah ia adalah
santapan selanjutnya.
"Ayo ke sini, sayang!" teriak yang lainnya. Ia ingat. Jalan no.
132. Itu dia. Ia berbelok dengan cepat dan berjalan dengan
cepat menyusuri sisi jalan lainnya. Ia memeriksa di
belakang bahunya beberapa kali untuk melihat apakah pria-
pria itu mengikutinya. Untungnya, tidak. Angin dingin
menyengat pipinya dan menyadarkannya, ketika kenyataan
kejam terhadap lingkungan sekitarnya mulai tenggelam. Ia
memandang sekeliling pada mobil-mobil yang ditinggalkan,
dinding- dinding bergrafiti, kawat berduri, bar-bar di semua
jendela, dan ia tiba-tiba merasa sendirian. Dan sangat takut.
Hanya tinggal 3 blok lagi menuju apartemennya, tapi
lamanya terasa seperti seumur hidupnya. Ia berharap ia22
memiliki teman di sisinya - lebih baik lagi, Jonah - dan ia
bertanya-tanya apakah ia bisa menjalani perjalanan ini
sendirian setiap hari. Sekali lagi, ia merasa kesal pada
Ibunya. Bagaimana bisa dia selalu memindahkannya, selalu
menempatkan Caitlin di tempat baru yang ia benci?
Kapankah hal itu akan berakhir? Ada kaca pecah.
Jantung Caitlin berdegup lebih cepat ketika ia melihat
sejumlah aktivitas jauh di sebelah kiri, di sisi lain jalan itu. Ia
berjalan dengan cepat dan mencoba untuk tetap
menundukkan kepalanya, tapi saat ia semakin dekat, ia
mendengar teriakan dan tawa aneh, dan ia tidak menahan
untuk memperhatikan apa yang terjadi. Empat remaja
bertubuh besar - 18 atau 19, mungkin - berdiri di depan
remaja lain. Dua dari mereka memegang tangannya,
sementara yang ketiga melangkah maju dan meninju
perutnya, dan yang keempat melangkah maju dan meninju
wajahnya. Remaja itu, mungkin 17 tahun, tinggi, kurus dan
tanpa pertahanan, jatuh ke tanah. Kedua remaja laki-laki
melangkah ke depan dan menendang wajahnya. Meskipun
sendirian, Caitlin berhenti dan melihatnya. Ia merasa ngeri.
Ia tidak pernah melihat hal seperti itu. Kedua remaja lain
mengambil beberapa langkah di sekitar korban mereka, lalu
mengangkat sepatu boot mereka tinggi-tinggi dan
menendangkannya. Caitlin takut mereka akan menendang
anak itu sampai mati. "TIDAK!" teriaknya.
Ada suara berderak kesakitan ketika mereka menendangkan
kakinya. Tapi itu bukanlah suara tulang yang patah -
melainkan, itu adalah suara kayu. Kayu yang hancur. Caitlin
melihat bahwa mereka menginjak- injak sebuah alat musik
kecil. Ia melihat lebih dekat, dan melihat potongan dan
serpihan sebuah biola alto bercecer di trotoar. Ia
mengangkat tangan ke arah mulutnya dengan perasaan
ngeri.23
"Jonah!?"
Tanpa berpikir, Caitlin menyebrangi jalan itu, menuju
sekumpulan laki-laki, yang sekarang mulai
memperhatikannya. Mereka memandanginya dan mata
jahat mereka melebar sembari menyikut satu sama lain. Ia
berjalan langsung ke arah korban dan melihat bahwa itu
memang Jonah. Wajahnya berdarah dan memar, dan ia
pingsan. Ia memandangi sekumpulan remaja laki-laki itu,
kemaharannya mengalahkan ketakutannya, dan berdiri di
antara Jonah dan mereka.
"Biarkan dia!" teriaknya pada kelompok remaja itu. Remaja
yang di tengah, paling tidak 64, berotot, membalas dengan
tertawa.
"Atau apa?" tanya dia, suaranya sangat dalam.
Caitlin merasakan dunia berlalu cepat, dan menyadari
bahwa ia baru saja didorong dengan keras dari belakang. Ia
menaikkan sikutnya ketika ia menabrak beton, tapi itu
hampir tidak melindungi tabrakannya. Di sudut matanya, ia
bisa melihat buku hariannya melayang, kertas-kertasnya
berhamburan ke mana-mana. Ia mendengar tawa. Dan
kemudian langkah-langkah kaki, datang ke arahnya.
Jantungnya berdegup dalam dadanya, adrenalinnya muncul.
Ia berhasil bergulung dan bersusah-payah berdiri sebelum
mereka mencapainya. Ia mengambil langkah seribu di jalan
kecil itu, berlari menyelamatkan diri. Mereka mengikuti di
belakangnya. Di salah satu dari beberapa sekolahnya,
kembali Caitlin mengingat bahwa ia akan mempunyai masa
depan panjang di suatu tempat, ia mengikuti olahraga lari,
dan menyadari ia bagus dalam bidang itu. Yang terbaik
dalam tim, sebenarnya. Tidak dalam jarak jauh, tapi dalam24
lari cepat 100 yard. Ia bahkan bisa berlari lebih cepat dari
sebagian besar laki- laki. Dan sekarang, hal itu kembali
menyelimutinya. Ia berlari menyelamatkan hidupnya, dan
para laki-laki itu tidak dapat menangkapnya. Caitlin melirik
ke belakang dan melihat seberapa jauhnya mereka di
belakang, dan merasa optimis bahwa ia bisa kabur dari
mereka semua. Ia hanya harus melakukan belokan yang
tepat. Jalan kecil itu berakhir di sebuah T, dan ia bisa
berbelok ke kiri maupun kanan. Ia tidak akan mempunyai
waktu untuk merubah keputusannya jika ia ingin
mempertahankan kemenangannya, dan ia harus memilih
dengan cepat. Ia tidak dapat melihat apa yang ada di sekitar
tiap pojokan, sekalipun. Dengan membabi buta, ia berbelok
ke kiri. Ia berdoa semoga itu adalah pilihan yang benar.
Ayolah. Kumohon! Jantungnya berhenti ketika ia melakukan
belokan tajam ke kiri dan melihat jalan buntu di depannya.
Salah jalan. Jalan buntu. Ia berlari ke arah dinding, mencari-
cari jalan keluar, apapun itu. Menyadari bahwa tidak ada
jalan keluar, ia berbalik untuk menghadapi para penyerang
yang mendekatinya. Terengah-engah, ia menyaksikan
mereka berbelok dan mendekat. Ia bisa melihat di belakang
bahu mereka bahwa jika ia berbelok ke kanan, ia akan
dapat pulang dengan bebas. Tentu saja. Hanya
keberuntungan. "Baiklah, cewek," salah satu dari merka
berkata, "kau akan menderita sekarang." Menyadari bahwa
ia tidak mempunyai jalan keluar, mereka berjalan perlahan-
lahan ke arahnya, terengah-engah, menyeringai, dan
menikmati kekerasan yang akan datang. Caitlin menutup
matanya dan menarik napas dalam-dalam. Ia mencoba
menyakinkan Jonah untuk bangun, muncul di pojokan,
terjaga dan penuh tenaga, siap untuk menyelamatkannya.
Tapi ia membuka matanya dan dia tidak ada di sana. Hanya
para penyerangnya. Semakin mendekat. Ia
membayangkan Ibunya, bagaimana ia membencinya, dari
semua tempat yang sudah dia paksakan untuk hidup. Ia25
memikirkan adiknya Sam. Ia memikirkan bagaimana
hidupnya setelah hari ini. Ia memikirkan seluruh hidupnya,
tentang bagaimana ia selama ini diperlakukan, tentang
bagaimana tidak seorang pun yang memahami dirinya,
tentang bagaimana tidak sesuatu pun menjadi seperti
keinginannya. Dan sesuatu berdetak. Entah bagaimana, ia
merasa sudah cukup. Aku tidak layak menerima ini. Aku
TIDAK layak menerima ini. Dan kemudian, tiba-tiba, ia
merasakannya. Itu adalah sebuah gelombang, sesuatu
yang tidak seperti apapun yang pernah ia alami. Itu adalah
sebuah gelombang kemurkaan, meluap dalam dirinya,
membanjiri darahnya. Gelombang itu berpusat dalam
perutnya, dan menyebar dari sana. Ia bisa merasakan
kakinya menjejak tanah, seolah-olah ia dan beton itu adalah
satu, dan bisa merasakan kekuatan terpenting melandanya,
merayap melalui pinggangnya, naik ke lengannya, menuju
bahunya. Caitlin mengeluarkan raungan yang mengejutkan
dan menakutkan juga bagi dirinya. Ketika remaja pertama
mendekatinya dan mendaratkan tangan gempalnya ke
pergelangan tangannya, ia menyaksikan tangannya
bergerak dengan sendirinya, mencengkram kuat
pergelangan tangan penyerangnya dan memutarnya ke
belakang pada sudut yang tepat. Wajah remaja itu berkerut
terkejut ketika pergelangannya, dan kemudian lengannya,
patah menjadi dua. Dia jatuh berlutut, menjerit.
Ketiga remaja laki-laki lain membelalak dengan terkejut.
Yang bertubuh paling besar dari ketiganya menyerang ke
arahnya. "Kau sia-" Sebelum dia bisa menyelesaikan, ia
lompat ke udara dan menanamkan kedua kakinya tepat di
dadanya, mengirimnya terbang ke belakang sekitar sepuluh
kaki dan menabrak tumpukan kaleng sampah logam. Ia
terbaring di sana, tidak bergerak. Kedua remaja lainnya
saling memandang, terkejut. Dan sangat ketakutan. Caitlin
melangkah maju, merasakan aliran kekuatan yang tidak26
manusiawi menjalarinya, dan mendengar dirinya


Harian Vampir 01 Penjelmaan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggeram ketika ia menangkap kedua remaja (masing-
masing berukuran dua kali darinya), mengangkat masing-
masing dari mereka beberapa kaki di atas tanah
menggunakan satu tangan. Ketika mereka tergantung di
udara, ia mengayunkan mereka kembali, lalu mengayunkan
mereka bersama-sama, menubrukkan mereka berdua satu
sama lain dengan kekuatan yang luar biasa. Mereka berdua
jatuh ke tanah.
Caitlin berdiri di sana, bernapas, berbuih dengan kemurkaan.
Semua keempat remaja itu tidak bergerak. Ia tidak merasa
lega. Sebaliknya, ia menginginkan lagi. Lebih banyak
remaja untuk dilawan. Lebih banyak tubuh untuk dilempar.
Dan ia menginginkan sesuatu yang lain. Ia tiba-tiba memiliki
pandangan sejernih kristal, dan dapat menyoroti leher
mereka, terpajan. Ia bisa melihat sampai dengan
sepersepuluh inci, dan ia dapat melihat, dari tempatnya
berdiri, pembuluh darah berdenyut pada masing-masing
leher itu. Ia ingin menggigit. Untuk makan. Tidak memahami
apa yang terjadi pada dirinya, ia menggoyangkan kepalanya
ke belakang dan mengeluarkan pekikan tidak wajar,
bergema pada bangunan dan blok itu. Itu adalah pekikan
kemenangan, dan kemarahan yang tidak terpenuhi. Itu
adalah jeritan hewan yang menginginkan lebih banyak.
*****27
Bab Dua
Caitlin berdiri di depan pintu apartemen barunya,
memandangi, dan tiba-tiba menyadari di mana ia berada. Ia
tidak tahu bagaimana ia sampai di sana. Hal terakhir yang
ia ingat, ia ada dalam gang. Entah bagaimana, ia bisa
kembali pulang. Ia ingat, bagaimana pun, setiap detik atas
apa yang terjadi dalam gang itu. Ia mencoba untuk
menghapusnya dari pikirannya, tapi tidak bisa. Ia menatap
lengan dan tangannya, mengharapkannya terlihat berbeda -
tapi lengan dan tangannya normal. Hanya seperti yang
selalu mereka lakukan. Kemarahan merayap melalui dirinya,
merubahnya, lalu pergi dengan seketika. Tapi efek
setelahnya yang tersisa: ia merasa hampa, untuk satu hal.
Mati rasa. Dan ia merasakan sesuatu hal lain. Ia tidak dapat
memahaminya dengan benar. Gambar-gambar
bermunculan melalui benaknya, gambar- gambar leher para
pengganggu itu. Dari detak jantung mereka. Dan ia merasa
kelaparan. Sebuah hasrat. Caitlin sangat tidak ingin pulang.
Ia tidak ingin berurusan dengan Ibunya, khususnya hari ini,
tidak ingin berurusan dengan tempat baru, dengan tidak
berkemas. Jika itu tidak karena Sam beradd di sana, ia
mungkin telah berpaling dan pergi. Ke mana ia akan pergi, ia
tidak ada gagasan - tapi paling tidak ia akan berjalan. Ia
mengambil napas dalam-dalam dan mengulurkan tangan
serta meletakkan tangannya di pegangan pintu. Entah
kenapa pegangan pintu itu hangat, atau tangannya yang
sedingin es. Caitlin memasuki apartemen yang terlalu
terang itu. Ia bisa mencium bau makanan di atas kompor -
atau mungkin, dalam microwave. Sam. Ia selalu pulang
lebih cepat dan membuat makanan untuk dirinya sendiri.
Ibunya tidak akan pulang selama berjam-jam. "Itu tidak
terlihat seperti hari pertama yang bagus." Caitlin berbalik,
terkejut pada suara Ibunya. Dia duduk di sana, di sofa,
mengisap sebuah rokok, telah mengamati Caitlin dan28
mencibir. "Apa yang kau lakukan, sudah merusak sweater
itu? Caitlin melihat ke bawah dan menyadari untuk pertama
kalinya ada noda; mungkin akibat menabrak semen.
"Kenapa ibu ada di rumah lebih awal?" tanya Caitlin.
"Hari pertama bagiku, juga, tahu kan," tukasnya. "Kau bukan
satu- satunya. Pekerjaan ringan. Bos menyuruhku pulang
lebih awal." Caitlin tidak tahan dengan nada nakal Ibunya.
Tidak malam ini. Ia menghina kepadanya, dan malam ini,
Caitlin merasa muak. Ia memutuskan untuk memberinya
rasa obat-obatannya sendiri. "Bagus," balas Caitlin. "Apa itu
berarti kita pindah lagi?" Ibunya tiba-tiba melompat berdiri.
"Berhati-hatilah dengan ucapanmu itu!" teriaknya. Caitlin
tahu Ibunya sudah menunggu sebuah alasan untuk berteriak
padanya. Ia pikir itu cara terbaik hanya untuk memancingnya
dan segera menyelesaikannya. "Kau seharusnya tidak
merokok di depan Sam," jawab Caitlin dingin, lalu
memasuki kamar tidur kecilnya dan membanting pintu di
belakangnya, menguncinya. Segera, Ibunya menggedor
pintu. "Kau keluar ke sini, anak sialan! Cara bicara
semacam apa kepada ibumu!? Siapa yang menaruh roti di
mejamu...." Pada malam ini, Caitlin, perhatiannya sangat
teralihkan, bisa meredam suara Ibunya. Sebaliknya, ia
memutar ulang benaknya atas peristiwa hari itu. Suara-
suara tawa remaja laki-laki itu. Suara detak jantungnya
sendiri di telinganya. Suara raungannya sendiri. Apa yang
sebenarnya terjadi? Bagaimana ia mendapatkan kekuatan
semacam itu? Apakah itu hanya dorongan adrenalin saja?
Suatu bagian dari dirinya berharap demikian. Tapi bagian
lain dari dirinya tahu itu bukan seperti itu. Apakah
sebenarnya? Gedoran di pintu berlanjut, tapi Caitlin hampir
tidak mendengarnya. Ponselnya ada di mejanya, bergetar
dengan gilanya, menyala-nyala dengan Pesan Instan, SMS,
email, obrolan Facebook - tapi ia hampir tidak bisa
mendengarnya juga. Ia menggerakkan jendela kecilnya dan29
melihat ke bawah ke Amsterdam Ave, dan suara baru
muncul dalam benakmya. Itu adalah bunyi suara Jonah.
Gambaran senyumnya. Suara yang rendah, dalam dan
menenangkan. Ia mengingat bagaimana lembutnya dia,
bagaimana rapuhnya dia. Lalu ia melihatnya terbaring di
tanah, berlumuran darah, alat musik berharganya hancur.
Sebuah gelombang kemarahan baru muncul.
Kemarahannya berubah menjadi kekhawatiran - khawatir
apakah dia baik-baik saja, apakah dia pergi, apakah dia
berhasil pulang. Ia membayangkan dirinya memanggilnya.
Caitlin. Caitlin. "Caitlin?" Sebuah suara baru dari luar
pintunya. Suara seorang anak laki-laki. Bingung, ia
menyentaknya. "Aku Sam. Biarkan aku masuk." Ia menuju
pintunya dan menyandarkan kepala di depannya. "Mama
pergi," kata suara di sisi lain. "Keluar untuk beli rokok.
Ayolah, biarkan aku masuk." Ia membuka pintu. Sam
berdiri di sana, menatap kembali, kekhawatiran terukir di
wajahnya. Pada usia 15 tahun, dia terlihat lebih tua dari
usianya. Ia tumbuh lebih awal, hampir enam kaki, tetapi dia
tidak berisi, dan dia kikuk dan kurus. Dengan rambut hitam
dan mata coklat, warnanya mirip dengan miliknya. Mereka
benar-benar terlihat istimewa. Ia bisa melihat kekhawatiran
di wajahnya. Dia menyayanginya lebih dari segalanya. Ia
membiarkannya masuk, dengan segera menutup pintu di
belakangnya.
"Maaf," katanya. "Aku hanya tidak bisa menghadapinya
malam ini." "Apa yang terjadi dengan kalian berdua?"
"Seperti biasanya. Dia menungguku pada saat aku masuk."
"Aku rasa dia baru saja mengalami hari yang sulit," kata
Sam, mencoba membuat kedamaian di antara mereka,
seperti biasanya. "Kuharap mereka tidak memecatnya lagi.
"Siapa peduli? New York, Arizona, Texas Siapa yang
peduli apa selanjutnya? Kepindahan kita tidak akan pernah
berakhir." Sam mengerutkan kening saat dia duduk di kursi30
mejanya, dan ia segera merasa bersalah. Ia kadang-kadang
memiliki lidah yang tajam, berbicara tanpa berpikir, dan ia
berpikir dapat menariknya kembali. "Bagaimana hari
pertamamu?" tanyanya, mencoba mengubah topik
pembicaraan. Dia mengangkat bahu. "Oke, kayaknya." Dia
mengunci kursi dengan kakinya. Dia mendongak. "Kau?"
Ia mengangkat bahu. Pasti ada sesuatu dalam ekspresi
wajahnya, karena Sam tidak berpaling. Dia tetap
menatapnya.
"Apa yang terjadi?" "Tidak ada," katanya membela diri, dan
berpaling lalu berjalan ke arah jendela. Ia bisa merasakan
dia mengamatinya. "Kau terlihat...berbeda." Ia berhenti
sejenak, bertanya-tanya apakah dia tahu, bertanya-tanya
apakah tampang luarnya menunjukkan perubahan. Ia
menelan ludah. "Gimana?" Diam. "Aku tidak tahu," dia
akhirnya menjawab. Ia memandang ke luar jendela,
mengamati tanpa tujuan ketika seorang pria di luar pojok
bodega menjatuhkan kantung uang seorang pembeli. "Aku
benci tempat baru ini," katanya. Ia berbalik dan menghadap
dia. "Aku juga begitu." "Aku bahkan berpikiran tentang..."
dia menundukkan kepalanya, "...pergi." "Apa maksudmu?"
Dia mengangkat bahu. Ia menatap Sam. Dia terlihat benar-
benar depresi. "Ke mana?" tanyanya. "Mungkin...mencari
Ayah." "Bagaimana caranya? Kita tidak ada ide di mana
dia." "Aku bisa mencoba. Aku bisa menemukannya."
"Bagaimana caranya?" "Aku tidak tahu.... Tapi aku bisa
mencoba." "Sam. Ia mungkin meninggal sepanjang
pengetahuan kita." "Jangan bilang begitu!" teriaknya, dan
wajahnya berubah merah menyala. "Maaf," katanya. Ia
kembali tenang. "Tapi apakah kau pernah
mempertimbangkan bahwa, bahkan jika kita menemukan
dia, dia mungkin sama sekali tidak ingin menemuai kita?
Selain itu, dia pergi. Dan dia tidak pernah mencoba
menghubungi kita." "Mungkin karena Ibu tidak mengizinkan31
dia melakukannya." "Atau mungkin karena dia tidak
menyukai kita."
Kerutan Sam semakin dalam ketika ia memainkan jari kaki
ke lantai lagi. "Aku mencarinya di Facebook." Mata Caitlin
terbuka lebar karena terkejut. "Kau menemukannya?" "Aku
tidak yakin. Ada 4 orang dengan namanya. 2 dari mereka
adalah pribadi dan tidak ada foto. Aku mengirimi mereka
berdua sebuah pesan." "Dan?" Sam menggelengkan
kepalanya. "Aku belum menerima balasannya." "Ayah tidak
akan mungkin ada di Facebook." "Kau tidak tahu kan,"
jawabnya, sekali lagi membela diri. Caitlin mendesah dan
berjalan menuju ranjangnya dan berbaring. Ia memandang
ke atas ke langit-langit kuning, cat yang mengelupas, dan
bertanya-tanya bagaimana mereka semua telah mencapai
titik ini. Ada kota-kota mereka merasa gembira di situ,
bahkan saat-saat ketika Ibu mereka tampak hampir bahagia.
Seperti ketika dia mengencani pria itu. Cukup bahagia,
paling tidak, untuk meninggalkan Caitlin sendirian. Ada
kota-kota, seperti yang terakhir, di mana baik ia dan Sam
membuat beberapa teman baik, di mana tampaknya seperti
mereka mungkin benar-benar tinggal - setidaknya cukup
lama untuk lulus di satu tempat. Dan kemudian itu semua
nampaknya berubah dengan cepat. Berkemas lagi.
Mengucapkan selamat tinggal. Apakah terlalu berlebihan
meminta masa kanak-kanak yang normal? "Aku bisa pindah
kembali ke Oakville," kata Sam tiba-tiba, mengganggu
pikirannya. Kota terakhir mereka. Sangat luar biasa
bagaimana dia selalu tahu dengan tepat apa yang ia pikirkan.
"Aku bisa tinggal dengan teman-temanku." Hari mulai
melandanya. Itu semua terlalu banyak. Ia tidak berpikir
dengan jernih, dan dalam kekecewaannya, apa yang ia
dengar adalah bahwa Sam sedang bersiap-siap
meninggalkannya, bahwa dia tidak benar- benar peduli
terhadapnya lagi. "Pergi saja!" tiba-tiba ia membentak,32
tanpa bermaksud demikian. Seolah-olah seseorang yang
lain yang telah mengatakannya. Ia mendengar kekasaran
dalam suaranya sendiri, dan segera menyesalinya.
Mengapa dia melontarkan sesuatu seperti itu? Mengapa dia
tidak mengendalikan dirinya sendiri?
Seandainya ia sedang dalam suasana hati yang lebih baik,
seandainya ia lebih tenang dan tidak mengalami begitu
banyak pukulan sekaligus, ia tidak akan mengatakannya.
Atau ia akan menjadi lebih manis. Ia akan mengatakan
sesuatu seperti, Aku tahu apa yang sedang kau coba
katakan bahwa kau tidak akan pernah meninggalkan tempat
ini, tidak peduli seberapa buruknya, karena kau tidak akan
meninggalkan aku sendirian untuk mengatasi semua ini.
Dan aku menyayangimu karena itu. Dan aku tidak akan
pernah meninggalkanmu juga. Dalam kekacauan masa
kanak-kanak kita, paling tidak kita memiliki satu sama lain.
Sebaliknya, suasana hatinya sudah melakukan yang
terburuk pada dirinya. Sebaliknya, ia bertingkah egois, dan
membentak. Ia berdiri dan bisa melihat luka tergores di
wajahnya. Ia ingin menariknya kembali, untuk mengatakan
bahwa ia menyesal, tapi ia terlalu berlebihan. Entah
bagaimana, ia tidak bisa membuat dirinya sendiri membuka
mulutnya. Dalam kesunyian, Sam perlahan-lahan berdiri
dari kursi meja belajarnya dan keluar kamar, dengan lembut
menutup pintu di belakangnya.
Bodoh, pikirnya. Kau sungguh bodoh. Mengapa kau
memperlakukannya sama dengan Ibu memperlakukanmu?
Ia kembali berbaring, menatap langit-langit. Ia menyadari
bahwa ada alasan lain ia membentaknya. Dia mengganggu
benaknya, dan dia melakukannya pada saat ketika mereka
berubah menjadi lebih buruk. Pikiran kelam melintas di
benaknya, dan dia menepisnya sebelum ia memiliki
kesempatan untuk menyelesaikannya. Mantan pacar Ibunya.33
Tiga kota yang lalu. Itu adalah satu waktu ketika Ibunya
nampak benar-benar bahagia. Frank. 50 tahun. Pendek,
gemuk, botak. Tebal seperti sebuah gelondong kayu.
Berbau seperti parfum murahan. Ia berusia 16 tahun. Ia
sedang berdiri di dalam ruang cuci yang kecil, melipat baju-
bajunya, ketika Frank muncul di pintu. Dia adalah seorang
penipu, selalu memandanginya. Dia mengulurkan tangan
dan mengambil sepasang baju dalamnya, dan ia bisa
merasakan pipinya merona karena malu dan marah. Dia
memeganginya dan menyeringai. "Kau mejatuhkan ini,"
katanya, menyeringai. Ia menyambarnya dari tangannya.
"Apa yang kau inginkan?" tukasnya. "Apakah itu cara
berbicara kepada ayah tiri barumu?" Dia mengambil
setengah langkah lebih dekat. "Kau bukan ayah tiriku."
"Tapi aku akan jadi - segera." Ia mencoba kembali melipat
baju-bajunya, tapi dia mengambil langkah lain lebih dekat.
Terlalu dekat. Jantungnya berdegup dalam dadanya. "Aku
rasa ini adalah waktunya kita saling mengenal satu sama
lain dengan sedikit lebih baik," katanya, melepaskan
sabuknya. "Benarkah?" Ketakutan, ia mencoba untuk
mendesak melewatinya dan keluar ke pintu dalam ruangan
kecil itu, tapi saat ia melakukannya, dia menghalangi
jalannya, dan dengan kasar menyambarnya dan mendorong


Harian Vampir 01 Penjelmaan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

punggungnya ke dinding. Seperti itulah yang terjadi.
Kemarahan telah melandanya. Kemarahan tidak seperti
apapun yang pernah ia alami. Ia merasakan tubuhnya
memanas, terbakar, dari jari kakinya sampai kulit kepalanya.
Saat dia mendekatinya, ia melompat ke atas dan
menendangnya, menanamkan kedua kakinya tepat di
jantungnya.
Meskipun sepertiga dari ukuran tubuhnya, ia terbang ke
belakang melalui pintu, retak kayu dari engselnya, dan terus
melayang, sepuluh kaki ke kamar sebelah. Itu adalah34
seperti sebuah meriam meledak padanya di seluruh rumah.
Caitlin berdiri di sana, gemetar. Ia tidak pernah menjadi
orang yang kejam, tidak pernah begitu ingin meninju
seseorang. Terlebih lagi, ia tidak sebesar itu, atau kuat.
Bagaimana ia tahu harus menendangnya seperti itu?
Bagaimana ia pernah punya kekuatan untuk melakukannya?
Ia tidak pernah melihat siapa pun - terlebih lagi orang
dewasa - terlempar melewati udara, atau meremukkan
sebuah pintu. Dari mana datangnya kekuatannya? Ia
berjalan ke arahnya, dan berdiri di depannya. Dia pingsan
kedinginan, telentang. Ia bertanya-tanya apakah ia telah
membunuhnya. Tapi pada saat itu, kemarahan masih
memenuhi dirinya, ia tidak benar-benar peduli. Ia lebih
khawatir terhadap dirinya sendiri, tentang siapa - atau apa -
sebenarnya ia. Ia tidak pernah melihat Frank lagi. Dia putus
dengan Ibunya di hari berikutnya, dan tidak pernah datang
kembali. Ibunya telah mencurigai sesuatu telah terjadi di
antara mereka berdua, tapi ia tidak pernah mengatakan
apapun. Dia, meski demikian, menyalahkan Caitlin atas
perpisahan itu, karena menghancurkan satu waktu bahagia
dalam hidupnya. Dan dia tidak pernah berhenti
menyelahkannya sejak itu. Caitlin melihat kembali pada
langit-langit yang terkelupas, jantungnya berdebar lagi. Ia
memikirkan kemarahan hari ini, dan bertanya-tanya apakah
dua episode itu ada hubungannya. Ia selalu menganggap
bahwa Frank hanya menjadi gila, peristiwa yang terpisah,
sejumlah ledakan kekuatan aneh. Tapi sekarang ia
bertanya-tanya apakah itu sesuatu yang lain. Apakah ada
sejenis kekuatan di dalam dirinya? Apakah ia sejenis orang
aneh? Siapakah ia?
*****3536
Bab Tiga
Caitlin berlari. Para pengganggu kembali, dan mereka
mengejarnya di sepanjang jalan kecil. Jalan buntu
terbentang di depannya, sebuah dinding yang sangat besar,
tapi ia terus berlari, tepat ke arah dinding. Ketika ia berlari,
ia memperoleh kecepatan, kecepatan yang tidak mungkin,
dan bangunan-bangunan terbang secara samar. Ia bisa
merasakan angin bergegas melalui rambutnya. Ketika ia
semakin mendekat, ia melompat, dan dalam satu lompatan
ia berada di atas dinding, setinggi tiga puluh kaki. Satu lagi
lompatan, dan ia terbang melalui udara lagi, tiga puluh kaki,
dua puluh, mendarat di atas beton tanpa kehilangan
langkah, masih berlari, dan berlari. Ia merasa kuat, tidak
terlihat. Kecepatannya bertambah lebih banyak lagi, dan ia
merasa seolah-olah ia bisa terbang. Ia menatap ke bawah
dan di depan matanya bangunan berubah menjadi rumput -
rumput yang tinggi, bergoyang, dan hijau. Ia berlari melewati
sebuah padang rumput, matahari bersinar, dan ia
mengenalinya seperti rumah dari masa kanak-kanaknya.
Di kejauhan, ia bisa merasakan bahwa ayahnya berdiri di
cakrawala. Ketika ia berlari, ia merasakan ia semakin
mendekatinya. Ia melihatnya semakin jelas. Dia berdiri
dengan senyum lebar, dan lengan terentang lebar. Ia rindu
untuk bertemu dengannya lagi. Ia berlari sebisa mungkin.
Tapi ketika ia semakin dekat, dia menjadi lebih jauh. Tiba-
tiba, ia jatuh. Pintu abad pertengahan yang besar terbuka,
dan ia memasuki sebuah gereja. Ia menyusuri lorong
dengan penerangan yang samar-samar, obor terbakar di
kedua sisinya. Di depan sebuah mimbar gereja, seorang pria
berdiri memunggunginya, sedang berlutut. Ketika ia semakin
dekat, dia berdiri dan berbalik. Itu adalah seorang pendeta.
Ia menatap ke arahnya, dan wajahnya diliputi dengan
ketakutan. Ia merasakan darah mengalir melalui nadinya,
dan ia menyaksikan dirinya sendiri ketika ia mendekati dia,37
tidak dapat menghentikan dirinya. Dia mengangkat sebuah
salib ke wajahnya, takut. Ia menyambarnya. Ia merasakan
giginya tumbuh panjang, terlalu panjang, dan menyaksikan
gigiya tertancap ke dalam leher pendeta itu. Dia menjerit,
tapi ia tidak peduli. Ia merasakan aliran darah melalui
giginya dan menuju nadinya, dan itu adalah perasaan
terhebat dalam hidupnya. Caitlin duduk tegak di ranjang,
terengah-engah. Ia melihat ke sekelilingnya, bingung.
Matahari pagi yang tajam mengalir masuk. Akhirnya, ia
menyadari bahwa ia telah bermimpi. Ia menyeka keringat
dingin dari dahiya dan duduk di pinggir ranjangnya. Sunyi.
Memutuskan dari cahaya itu, Sam dan Ibunya pasti telah
pergi. Ia memandang ke arah jam dan melihat bahwa itu
memang terlambat: 8:15. Ia akan terlambat untuk hari
kedua sekolah. Sempurna. Ia terkejut bahwa Sam tidak
membangunkannya. Dalam semua tahun- tahun mereka,
dia tidak pernah membiarkannnya tidur terlalu lama - dia
selalu membangunkannya jika ia akan berangkat lebih dulu.
Dia pasti masih marah tentang tadi malam. Ia melirik
ponselnya: mati. Ia telah lupa mengisi dayanya. Seperti itu
juga. Ia tidak merasa ingin berbicara kepada siapa pun. Ia
melemparkan beberapa baju daru lantai dan menyisirkan
tangannya melalui rambutnya. Ia biasanya langsung
berangkat tanpa makan, tapi pagi ini ia merasa haus. Haus
yang tidak biasa. Ia menuju ke kulkas dan meraih setengah
galon jus buah anggur merah. Dalam kegilaan yang tiba-tiba,
ia merobek bagian atas dan menenggaknya langsung dari
wadahnya. Ia tidak berhenti menenggak sampai ia telah
mengosongkan seluruh setengah galon. Ia memandangi
wadah yang kosong. Apakah ia baru saja meminumnya
semua? Dalam hidupnya, ia tidak pernah minum lebih dari
setengah gelas. Ia menyaksikan dirinya sendiri mengulurkan
tangan dan menghancurkan wadah kotak karton itu dengan
satu tangan, meremasnya menjadi sebuah bola kecil. Ia
tidak bisa memahami kekuatan yang baru diketemukan38
semacam apa ini yang mengalir melalui nadinya. Hal itu
menarik. Dan menakutkan. Ia masih merasa haus. Dan
lapar. Tapi bukan karena makanan. Nadinya menjerit untuk
sesuatu yang lain, tapi ia tidak bisa memahami apa itu. *
Itu adalah hal yang aneh melihat aula sekolahnya kosong,
sangat berlawanan dari hari sebelumnya. Dengan
berlangsungnya pelajaran, tidak ada seorang pun di situ. Ia
melirik jam tangannya: 8:40. Ada sisa 15 menit sampai
kelas ketiga dari hari itu. Ia bertanya-tanya apakah tidak
apa-apa untuk membolos, tapi kemudian sekali lagi, ia tidak
tahu ke mana lagi untuk pergi. Jadi ia mengikuti angka aula
menuju ruangannya. Ia berhenti di luar pintu ruang kelas,
dan bisa mendengat suata hguru. Ia bimbang. Ia benci
mengganggu, menjadi mencolok. Tapi ia tidak melihat
pilihan lain apa yang ia miliki. Ia menarik napas dalam dan
memutar gagang pintu logam. Ia masuk, dan seluruh kelas
berhenti dan memandanginya. Termasuk gurunya. Sunyi.
"Nona...." guru itu, lupa namanya, berjalan menuju mejanya
dan mengambil selembar kertas, mencatinya, "....Paine."
Cewek baru. Kamu terlambat 15 menit." Seorang wanita
tua yang tidak ramah, guru itu memelototi Caitlin "Apa yang
kau punya untuk dikatalan olehmu sendiri?" Caitlin ragu-
ragu.
"Maaf?" "Itu tidak cukup bagus. Mungkin bisa diterima untuk
terlambat di kelas mana pun Anda berasal, tapi pasti tidak
diterima di sini." "Tidak dapat diterima," kata Caitlin, dan
segera menyesalinya. Kesunyian aneh menyelimuti ruangan
itu. "Maaf, bisa diulangi?" tanya guru itu, perlahan-lahan.
"Anda bilang 'tidak diterima." Maksud Anda 'tidak dapat
diterima.'" "OH - SIALAN!" seru seorang anak laki-laki
berisik dari belakang ruangan, dan seluruh kelas meledak
menjadi tawa. Wajah guru berubah merah padam. "Kamu
anak nakal. Melapor ke kantor Kepala Sekolah sekarang
juga!" Guru bergegas dan membuka pintu di samping Caitlin.
Dia berdiri beberapa inci jauhnya, cukup dekat sehingga39
Caitlin bisa mencium parfum murahannya. "Keluar dari
kelas saya!" Biasanya Caitlin akan menyelinap diam-diam
keluar dari ruangan - pada kenyataannya, ia tidak akan
pernah mengoreksi guru untuk memulainya. Tapi sesuatu
telah berubah dalam dirinya, sesuatu yang tidak
sepenuhnya ia mengerti, dan ia merasa pembangkangan
meningkat. Ia tidak merasa bahwa ia harus menunjukkan
rasa hormat kepada siapa pun. Dan ia tidak lagi merasa
takut. Sebaliknya, Caitlin berdiri di sana, mengabaikan guru
itu, dan perlahan-lahan mengamati ruang kelas itu, mencari
Jonah. Ruangan itu penuh sesak, dan ia mencari dari baris
ke baris. Tidak ada tanda dirinya. "Nona Paine!" Apa kau
tidak mendengar apa yang saya katakan!?" Caitlin balas
menatap dengan sikap menantang. Lalu ia berpaling dan
perlahan-lahan berjalan keluar dari ruangan itu. Ia bisa
merasakan bantingan pintu di belakangnya, dan kemudian
mendengar keributan teredam di dalam ruangan, diikuti oleh,
"Tenang, anak-anak!" Caitlin terus menyusuri lorong
kosong, berkeliaran, tidak benar-benar yakin ke mana ia
akan pergi. Ia mendengar langkah-langkah kaki. Di
kejauhan, seorang petugas keamanan muncul. Dia berjalan
langsung ke arahnya. "Tanda masuk!" dia menghardiknya,
masih dua puluh meter jauhnya. "Apa?" sahutnya. Dia
semakin mendekat.
"Mana kartu tanda masuk ke aula milikmu? Kau seharusnya
memegangnya supaya terlihat setiap saat." "Kartu tanda
masuk apa?" Dia berhenti dan memeriksanya. Dia adalah
pria jelek yang terlihat jahat, dengan tahi lalat besar di
dahinya. "Kamu tidak dapat berjalan di aula tanpa sebuah
kartu tanda masuk. Kau tahu itu. Mana? "Aku tidak tahu-"
Dia mengambil tadio CBnya, dan berkata pada alat itu,
"Pelanggaran kartu masuk aula di sayap 14. Aku
membawanya untuk dihukum sekarang." "Dihukum?" tanya
Caitlin, bingung. "Apa yang kau-" Dia menyambarnya40
dengan kasar menggunakan tangan dan menariknya di
sepanjang aula. "Jangan mengatakan sepatah kata pun!"
bentaknya. Caitlin tidak suka rasa jari-jarinya mencengkram
lengannya, membimbingnya seolah-olah ia adalah anak
kecil. Ia bisa merasakan hawa panas naik melalui tubuhnya.
Ia merasakan Amarah muncul. Ia tidak benar-benar
mengerti bagaimana, atau mengapa, tapi ia tahu. Dan ia
tahu bahwa, saat itu, ia tidak akan dapat mengendalikan
amarahnya - atau penggunaan kekuatannya. Ia harus
menghentikannya sebelum terlambat. Ia menggunakan
setiap daya-upaya dari kehendaknya untuk membuatnya
berhenti. Tapi selama jari-jarinya masih mencengkramnya,
amarah itu tidak akan mau pergi. Ia mengempaskan
lengannya dengan segera, sebelum kekuatan penuh
mengambil kendali dirinya, dan menyaksikan tangannya
melayang lepas darinya, dan sebagaimana ia tersentak
beberapa kaki ke belakang. Ia kembali memandangnya,
terkejut bahwa seorang gadis seukurannya dapat
melemparkan dia beberapa kaki menyeberangi aula hanya
dengan sedikit sentakan lengannya. Dia bimbang antara
marah dan takut. Ia bisa melihatnya memikirkan apakah
akan menyerangnya atau menyerah. Dia menurunkan
tangan ke sabuknya, di mana tergantung sebuah kaleng
besar semprotan merica. "Jika kau memegangku dengan
tanganmu lagi, gadis muda," katanya dalam kemarahan
yang dingin, "dan aku akan memukulmu." "Jadi jangan
memegangku," jawabnya menantang. Ia terkejut atas bunyi
suaranya sendiri. Suaranya telah berubah. Suaranya
semakin dalam, lebih kasar. Dia perlahan-lahan
melepaskan tangannya dari semprotan. Dia menyerah.
"Jalan di depanku," katanya. "Melewati aula dan naik lewat
tangga itu." * Petugas keamanan itu meninggalkan ia di
pintu masuk yang penuh sesak menuju kantor Kepala
Sekolah, dan ketika dia pergi, radionya berbunyi, dan dia
segera pergi ke lokasi lain. Sebelum dia pergi, dia berpaling41
padanya. "Jangan biarkan aku melihatmu di lorong ini lagi,"
bentaknya. Caitlin berpaling dan melihat lima belas remaja,
semua usia, duduk, berdiri, semua nampaknya menunggu
untuk bertemu kepala sekolah. Mereka semua nampaknya
seperti pengacau. Mereka sedang diproses, satu siswa
pada satu waktu. Seorang penjaga berdiri mengawasi, tapi
lesu, mengantuk sambil berdiri. Caitlin tidak ingin
menunggu setengah hari, dan ia jelas tidak merasa ingin
bertemu Kepala Sekolah. Ia seharusnya tidak terlambat ke
sekolah, itu benar, tapi dia tidak pantas diperlakukan seperti
ini. Ia muak. Pintu lorong terbuka dan seorang penjaga
keamanan menyeret tiga anak lagi, berkelahi dan
mendorong. Kekacauan terjadi di ruang tunggu kecil, yang
benar-benar penuh sesak. Kemudian bel berbunyi, dan di
luar pintu kaca, ia bisa melihat lorong-lorong terisi. Saat itu
kekacauan di dalam dan di luar. Caitlin melihat
kesempatannya. Ketika pintu terbuka lagi, ia merunduk
melewati anak lain dan menyelinap ke ruang depan. Ia
melihat dengan cepat di belakang bahunya, tapi tidak
melihat siapa pun mengetahui. Ia dengan cepat memotong
kerumunan padat anak-anak, pergi ke sisi lain, kemudian ke
ujung jalan. Ia memeriksa lagi: tetap tidak ada yang datang.
Ia selamat. Bahkan jika petugas melihat ketidakhadirannya -
yang ia ragukan, karena ia bahkan tidak pernah diproses -
dia sudah terlalu jauh untuk mengejarnya. Ia bergegas lebih
cepat menyusuri lorong, menempatkan lebih banyak jarak
antara mereka, dan menuju ke kantin. Ia harus mencari
Jonah. Ia harus tahu apakah dia baik-baik saja.
Kafetaria itu penuh sesak, dan dengan segera ia berjalan di
lorong, mencarinya. Tidak ada. Ia berjalan kedua kalinya,
perlahan-lahan mengamati setiap meja, dan masih tidak
dapat menemukannya. Ia menyesal tidak kembali untuknya,
tidak memeriksa luka-lukanya, tidak memanggil ambulans.
Ia bertanya-tanya apakah dia telah benar-benar terluka.42
Mungkin dia berada di rumah sakit. Mungkin dia bahkan
tidak akan kembali ke sekolah. Tertekan, ia meraih nampan


Harian Vampir 01 Penjelmaan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

makanan dan menemukan meja dengan pandangan yang
jelas ke pintu. Ia duduk di sana, hampir tidak makan, dan
menyaksikan setiap anak yang datang, berharap adanya
tanda-tanda dari dia setiap kali pintu terbuka. Tapi dia tidak
pernah datang. Bel berdering, dan kafetaria itu kosong.
Tetap saja, ia duduk di sana menunggu. Tidak ada.
*****
Bel terakhir hari sekolah berdering, dan Caitlin berdiri di
depan loker yang ditentukan untuknya. Ia menatap
kombinasi yang tercetak pada selembar kertas di tangannya,
memutar kenop dan menarik. Tidak berhasil. Ia menunduk
dan mencoba kombinasi lagi. Kali ini, terbuka. Ia menatap
loker logam yang kosong. Dalam pintu dilapisi dengan grafiti.
Jika tidak, loker itu benar-benar kosong. Tertekan. Ia
memikirkan semua sekolah lainnya, bagaimana ia akan
terburu-buru untuk menemukan lokernya, untuk
membukanya, untuk menghafal kombinasi, dan untuk
menempeli pintu dengan gambar remaja laki-laki dari
majalah. Itu caranya mendapatkan sedikit kendali, membuat
dirinya merasa di rumah, menemukan satu tempat di
sekolah tersebut, membuat sesuatu yang familier. Tapi di
suatu tempat di sepanjang deretan, beberapa sekolah yang
lalu, ia menjadi kurang antusias. Ia mulai bertanya-tanya titik
apa yang sangat mengganggu, karena itu adalah satu-
satunya masalah waktu sampai ia harus pindah lagi. Ia
menjadi lebih lambat dan semakin lambat untuk menghias
lokernya. Kali ini, ia tak akan repot-repot. Ia menutup pintu
dengan keras. "Caitlin?"43
Ia terlompat. Berdiri di sana, satu kaki jauhnya, berdirilah
Jonah. Ia mengenakan kacamata hitam besar. Ia bisa
melihat bahwa kulit di bawahnya bengkak. Ia terkejut
melihat dia berdiri di sana. Dan senang. Sebenarnya, ia
terkejut melihat betapa senang dirinya. Sebuah perasaan
gugup yang hangat berpusat di perutnya. Ia merasa
tenggorokannya menjadi kering. Ada begitu banyak yang
ingin ia tanyakan padanya: apakah ia berhasil pulang dalam
keadaan OKE, apakah ia melihat para penyerang itu lagi,
apakah ia melihatnya di sana. Tapi entah kenapa, kata-
kata tidak dapat menemukan jalannya sendiri dari otak
menuju ke mulutnya. "Hei," hanya itu yang berhasil ia
katakan. Dia berdiri di sana, memandangi. Dia terlihat tidak
yakin cara untuk memulai. "Aku merasa kehilangan di kelas
hari ini," katanya, dan segera menyesali pilihan kata-
katanya. Bodoh. Kau harusnya mengatakan, "Aku tidak
melihatmu di kelas." "Kehilangan" terdengar putus asa.
"Aku masuk terlambat," katanya. "Aku juga," ujar Caitlin.
Dia bergeser, terlihat tidak nyaman. Ia menyadari biola
altonya tidak ada di sisinya. Jadi itu memang sungguhan. Itu
semua bukan sebuah mimpi buruk. "Apa kau OKE?"
tanyanya. Ia menunjuk ke arah kacamatanya. Dia
mengulurkan tangan dan perlahan-lahan melepaskannya.
Wajahnya ungu dan bengkak. Ada luka dan perban di dahi
dan di sebelah matanya. "Aku sudah lebih baik," ujarnya.
Dia terlihat malu. "Oh tuhanku," katanya, merasa menyesal
melihat pemandangan tersebut. Ia tahu bahwa ia setidaknya
harus merasa baik tentang setelah membantunya, tentang
mengurangi lebih banyak luka lagi. Tapi sebaliknya ia
merasa bersalah karena tidak berada di sana lebih cepat,
karena tidak kembali untuknya. Tapi setelah...hal itu terjadi,
semuanya menjadi samar- samar. Ia tidak benar-benar bisa
mengingat bagaimana ia bisa berhasil pulang. "Aku sangat
menyesal."44
"Apakah kau mendengar bagaimana itu terjadi?" tanya
Jonah. Dia menatapnya dengan saksama, dengan mata
hijau mudanya, dan ia merasa dia sedang menguji dirinya.
Seolah-olah dia sedang berusaha untuk membuatnya
mengakui bahwa ia berada di sana. Apakah dia melihatnya?
Dia tidak mungkin melihatnya. Dia tidak sadarkan diri. Atau
benarkah begitu? Apakah dia mungkin melihat apa yang
terjadi setelahnya? Haruskah ia mengakui bahwa ia telah
berada di sana? Di satu sisi, ia sangat ingin menceritakan
bagaimana ia telah membantunya, untuk memenangkan
persetujuannya, dan rasa terima kasihnya. Di sisi lain, tidak
ada cara ia bisa menjelaskan apa yang ia lakukan tanpa
terlihat seperti seorang pembohong atau semacam orang
aneh. Tidak, ia menyimpulkan dalam hati. Kau tidak bisa
mengatakan padanya. Kau tidak boleh. "Tidak," ujarnya
dengan bohong. "Aku benar-benar tidak mengenal siapa
pun di sini, ingat kan?" Dia berhenti sejenak.
"Aku diejek," ujarnya. "Waktu pulang dari sekolah." "Aku
sangat menyesal," katanya lagi. Ia terdengar seperti orang
bodoh, mengulangi frasa bodoh yang sama, tapi ia tidak
ingin mengatakan apapun yang akan memberikan terlalu
banyak keterangan. "Ya, Ayahku sangat marah," lanjutnya.
"Mereka mengambil biola altoku." "Itu menyebalkan,"
katanya. "Akankah kau membeli yang baru?" Jonah
menggelengkan kepalanya perlahan. "Beliau bilang tidak.
Dia tidak mampu membelinya. Dan itu berarti seharusnya
aku lebih berhati- hati terhadapnya." Kekhawatiran terlintas
di wajah Caitlin. "Tapi aku kira kau mengatakan bahwa itu
adalah tiket keluarmu?" Ia mengangkat bahu. "Apakah
yang akan kau lakukan?" tanyanya. "Aku tidak tahu."
"Mungkin polisi akan menemukannya," katanya. Ia ingat,
tentu saja, bahwa biola itu sudah hancur, tapi ia mengira
bahwa dengan mengatakan ini, itu akan membantu45
membuktikan padanya bahwa ia tidak tahu.
Dia mengamati Caitlin dengan saksama, seolah-olah
mencoba untuk memutuskan apakah ia berbohong.
Akhirnya, dia mengatakan, "Mereka menghancurkannya."
Dia berhenti sejenak. "Aku kira beberapa orang hanya
merasa perlu untuk menghancurkan barang orang lain."
"Oh tuhanku," ujarnya, mencoba yang terbaik tidak untuk
mengungkapkan apapun, "itu mengerikan." "Ayah marah
padaku karena aku tidak melawan ... .Tapi itu bukan siapa
diriku." "Mereka bajingan. Mungkin polisi akan menangkap
mereka," katanya. Sebuah seringai kecil terlintas di wajah
Jonah. "Itu adalah hal yang aneh. Mereka sudah
mendapatkan balasannya." "Apa maksudmu?" tanya Caitlin,
mencoba terdengar menyakinkan. "Aku menemukan orang-
orang itu di jalan kecil, tepat setelahnya. Mereka dihajar
lebih parah dari aku. Bahkan tidak dapat bergeak."
Seringainya melebar. "Seseorang menghajar mereka. Aku
rasa Tuhan itu ada." "Itu sangat aneh," katanya.
"Mungkin aku mempunyai seorang malaikat penjaga,"
katanya, mengamati ia lebih dekat. "Mungkin," jawabnya.
Dia memandanginya untuk waktu yang lama, seolah-olah
menunggu ia menawarkan sesuatu, untuk mengarah ke
sesuatu. Tapi ia tidak. "Dan ada sesuatu yang bahkan lebih
aneh dibandingkan semua itu," katanya, pada akhirnya. Dia
mengulurkan tangan dan mengeluarkan sesuatu dari
ranselnya, dan memegangnya. "Aku menemukan ini." Ia
melihat ke bawah dengan terkejut. Itu adalah buku hariannya.
Ia merasa pipinya memerah saat ia mengambilnya, juga
senang karena mendapatkannya kembali dan ketakutan
karena dia memiliki sepotong bukti bahwa ia berada di sana.
Sekarang dia pasti mengetahui bahwa ia telah berbohong.
"Ada namamu di situ. Ini adalah milikmu, kan?" Ia
mengangguk, memeriksanya. Itu semua ada sana. Ia telah46
melupakannya.
"Ada beberapa halaman yang lepas. Aku mengumpulkannya
semua dan menyatukannya kembali. Aku harap aku sudah
mendapatkan semuanya," katanya. "Memang," kata Caitlin
dengan lembut, tersentuh dan malu. "Aku mengikuti jejak
dari halaman-halaman itu, dan hal yang aneh
adalah....mereka mengarahkan aku ke jalan kecil." Ia terus
melihat ke bawah ke arah buku itu, menolak untuk
melakukan kontak mata. "Bagaimana kau mengira buku
harianmu sampai di sana?" dia bertanya. Ia memandangi
matanya lekat-lekat, berusaha sebisa mungkin untuk
mempertahankan mimik serius. "Aku berjalan pulang malam
kemarin, dan aku menghilangkannya entah di mana.
Mungkin mereka menemukannya." Dia mempelajarinya.
Akhirnya, dia berkata, "Mungkin." Mereka berdiri di sana,
dalam kesunyian. "Hal teraneh dari semuanya," lanjutnya,
"adalah sebelum aku benar-benar pingsan, aku bisa
bersumpah aku melihatmu di sana, berdiri di depanku,
berteriak pada orang-orang itu untuk meninggalkan aku
sendirian....Bukankah itu gila?" Dia mengamatinya, dan ia
balas memandang, tepat di matanya. "Aku pasti cukup gila
untuk melakukan hal seperti itu," katanya. Meskipun is,
sebuah senyum kecil tersungging di sudut mulutnya. Dia
berhenti sejenak, lalu menyunggingkan sebuah seringai
lebar. "Ya," jawabnya, "memang."
*****47
Bab Empat
Caitlin berada di awan sembilan saat ia berjalan pulang dari
sekolah, mencengkeram buku hariannya. Ia tidak pernah
sebahagia ini. Kata-kata Jonah terulang kembali dalam
kepalanya. "Ada konser malam ini. Di Carnegie Hall. Aku
telah mendapatkan dua tiket gratis. Itu adalah kursi terjelek
di gedung itu, tapi penyanyinya dianggap luar biasa." "Apa
kau mengajakku keluar?" katanya, tersenyum. Dia balas
tersenyum. "Jika kau tidak keberatan pergi dengan benjolan
memar ini," katanya, kembali tersenyum. "Selain itu, ini
adalah malam Jumat." Ia langsung bergegas pulang, tidak
mampu menahan kegembiraannya. Ia tidak tahu apapun
tentang musik klasik - ia bahkan tidak pernah benar- benar
mendengarkan musik itu sebelumnya - tapi ia tidak peduli. Ia
akan pergi ke mana pun bersamanya. Carnegie Hall. Dia
mengatakan pakaian yang indah. Apa yang akan ia
kenakan? Ia memeriksa jam tangannya. Ia tidak akan punya
banyak waktu untuk ganti baju jika ia akan menemuinya di
kafe itu sebelum konser. Ia mempercepat langkahnya.
Sebelum ia menyadarinya, ia sampai di rumah, dan bahkan
kehambaran bangunannya tidak membuatnya surut. Ia
menaiki lima anak tangga dan bahkan hampir tidak
merasakannya sambil berjalan ke apartemen barunya.
Teriakan Ibunya segera saja datang: "Kau perempuan
sialan!" Caitline menghindar tepat pada waktunya, ketika
Ibunya melempar sebuah buku ke wajahnya. Buku itu
melayang melewatinya, dan menghantam dinding.
Sebelum Caitlin bisa berbicara, ibunya menyerang - kukunya,
ditujukan tepat ke wajahnya. Caitlin mengulurkan tangan
dan menangkap pergelangan tangannya tepat pada
waktunya. Ia terbelit dengan Ibunya, ke arah belakang dan
depan. Caitlin bisa merasakan kekuatan barunya
bergelombang melalui pembuluh darahnya, dan ia merasa
bahwa ia bisa melempar ibunya ke seberang ruangan48
bahkan tanpa berusaha. Tapi ia menghendaki dirinya untuk
mengendalikannya, dan ia mendorong liburnya, namun
hanya cukup keras untuk mengirimkannya ke atas sofa.
Ibunya, di sofa, tiba-tiba meledak dalam tangisan. Dia duduk
di sana, terisak. "Itu adalah salahmu!" teriaknya dia antara
isakannya. "Apa yang salah denganmu?" Caitlin balas
berteriak, benar-benar tanpa perlindungan, tidak
mempunyai gagasan apa yang sedang terjadi. Bahkan bagi
Ibunya, ini adalah tingkah laku yang gila. "Sam." Ibunya
mengeluarkan selembar kertas catatan. Jantung Caitlin
berdegup ketika ia mengambilnya, sebuah perasaan ngeri
membasahi seluruh dirinya. Apapun itu, ia tahu itu bukan hal
yang bagus. "Dia pergi!" Caitlin mengamati catatan tulisan
tangan itu. Ia tidak benar-benar konsentrasi ketika ia
membaca, hanya mengambil penggalan kata - kabur... tidak
ingin berada di sini...kembali dengan teman-
temanku...jangan coba mencariku.
Tangannya gemetar. Sam telah melakukannya. Dia benar-
benar pergi. Dan dia bahkan tidak menunggunya. Bahkan
tidak menunggu untuk mengatakan perpisahan. "Itu karena
kau!" maki Ibunya. Sebagian diri Caitlin tidak dapat
memercayainya. Ia berlari menyusuri apartemen itu,
membuka pintu kamar Sam, setengah mengharapkan
menemukan dia di sana. Tapi kamar itu kosong. Bersih.
Tidak satu benda pun tersisa. Sam tidak pernah
meninggalkan kamarnya sebersih ini. Itu sungguhan. Dia
sudah pergi. Caitlin merasakan kemarahan naik ke
tenggorokannya. Ia tidak bisa menahan perasaan bahwa
saat ini Ibunya benar, bahwa ini adalah kesalahannya. Sam
telah bertanya padanya. Dan ia telah berkata, "Pergi." Pergi.
Mengapa dia harus mengatakan hal itu? Ia berencana untuk
meminta maaf, menariknya kembali, tapi dia telah pergi
ketika ia bangun. Ia baru akan berbicara padanya ketika ia
pulang hari ini. Tapi sekarang sudah terlambat. Ia tahu ke49
mana dia pergi. Hanya ada satu tempat yang ingin dia
datangi: kota terakhir mereka. Dia akan baik-baik saja. Lebih
bauk, mungkin, dibandingkan dia berada di sini. Dia punya
teman di sana. Semakin memikirkannya, semakin
berkurang kekhawatirannya. Faktanya, ia bahagia untuknya.
Dia akhirnya melakukannya. Dan ia tahu cara untuk
melacaknya. Tapi ia akan berurusan dengan hal ini nanti. Ia
melirik jam tangannya dan menyadari ia terlambat. Ia berlari
menuju kamarnya, segera menyambar pakaian dan sepatu
terbaik yang ia miliki, dan melemparkannya semua dalam
sebuah tas olahraga. Ia harus pergi tanpa riasan. Tidak ada
waktu. "Mengapa kau harus menghancurkan semua yang
kau sentuh?" teriak Ibunya, sekarang tepat di belakangnya.
"Aku seharusnya tidak pernah mengadopsimu!" Caitlin
balas memandang, terkejut. "Apa yang kau katakan!?" "Itu
benar," lanjut Ibunya. "Aku mengadopsimu. Kau bukan
anakku. Kau tidak pernah menjadi anakku. Kau adalah
anaknya. Kau bukan anak perempuanku yang sebenarnya.
Apa kau dengar!? Aku malu memilikimu sebagai seorang
anak perempuan!" Caitlin bisa melihat kebencian di mata
hitamnya. Ia tidak pernah melihat Ibunya marah besar
seperti ini. Matanya menyimpan rasa membunuh.
"Mengapa kau harus menyingkirkan satu-satunya hal yang
indah dalam hidupku!?" Ibunya berteriak. Kali ini Ibunya
menyerangnya dengan kedua tangan terulur di depan, dan
mengarah tepat ke lehernya. Sebelum Caitlin dapat bereaksi,
ia telah dicekik. Dengan kuat. Caitlin berjuang untuk
bernapas. Tapi cengkraman Ibunya sangat kuat. Benar-


Harian Vampir 01 Penjelmaan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

benar bermaksud membunuh. Amarah melanda Caitlin, dan
kali ini ia tidak dapat menghentikannya. Ia bisa merasakan
rasa panas yang familier, dimulai di ujung jari kakinya, dan
menjalar ke atas menuju lengan dan bahunya. Ia
membiarkan amarah menyelimutinya. Ketika hal itu terjadi,
otot-otot dalam lehernya menggembung. Tanpa melakukan
apapun, cengkraman Ibunya melonggar. Ibunya pasti telah50
melihat perubahan itu dimulai, karena tiba-tiba dia terlihat
takut. Caitlin mengempaskan kepalanya ke belakang dan
meraung. Ia telah berubah menjadi sesuatu yang
menakutkan. Ibunya melepaskan cengkramannya, dan
mengambil satu langkah mundur dan menatapnya,
mulutnya ternganga. Caitlin menggapai dengan satu tangan
dan mendorongnya, dan dia melayang ke belakang dengan
semacam kekuatan yang melemparkannya melewati
dinding, menghancurkannya dengan sebuah pukulan, dan
menuju ruangan lainnya. Dia terus melaju, menubruk ke
dinding lainnya, dan jatuh, tidak sadarkan diri. Caitlin
terengah-engah, mencoba untuk melihat dengan jelas. Ia
memeriksa apartemen itu, bertanya pada dirinya sendiri
apakah ada benda lain yang ingin ia bawa. Ia tahu ada
sesuatu, tapi ia tidak dapat berpikir dengan jernih. Ia meraih
tas olahraga berisi pakaian, dan berjalan keluar dari
kamarnya, melalui puing-puing, melewati ibunya. Ibunya
terbaring di sana, merintih, telah mulai duduk. Caitlin terus
berjalan, keluar dari apartemen. Itu adalah terakhir kalinya,
ia bersumpah, ia akan menjumpainya lagi.
*****51
Bab Lima
Caitlin berjalan dengan cepat dalam bulan Maret yang dingin
menuju ke sisi jalan, jantungnya masih berdegup akibat
peristiwa dengan ibunya. Hawa dingin menyengat wajahnya,
dan terasa nyaman. Menenangkan. Ia mengambil napas
dalam-dalam, dan merasa bebas. Ia tidak akan pernah
kembali ke apartemen itu lagi, tidak pernah menelusuri
kembali langkah- langkah kotor itu. Tidak pernah harus
melihat lingkungan ini. Dan tidak perlu melangkahkan kaki
ke sekolah itu. Ia tidak tahu ke mana ia akan pergi, tapi
setidaknya jauh dari sini. Caitlin mencapai jalan dan
mendongak, mencari taksi kosong. Setelah satu menit atau
lebih menunggu, ia menyadari bahwa ia tidak akan
mendapatkannya. Kereta bawah tanah adalah satu-satunya
pilihan. Caitlin berjalan menuju stasiun Jalan no.135. Ia
tidak pernah naik kereta bawah tanah Kota New York
sebelumnya. She wasn?t really sure which line to take, or
where to get off, and this was the worst time to experiment.
She dreaded what she might encounter down in the station
on a cold, March night?especially in this neighborhood.
She descended the graffiti-lined steps and approached the
booth. Untungnya, ada petugasnya. "Saya harus pergi ke
Columbus Circle," kata Caitlin. Petugas gemuk di belakang
konter kaca itu mengabaikannya. "Permisi," kata Caitlin,
"tapi saya harus -" "Aku bilang di peron!" tukas wanita itu.
"Tidak, Anda tidak mengatakannya," jawab Caitlin. "Anda
tidak mengatakan apapun!" Petugas itu mengabaikannya
lagi. "Berapa harganya?" "Dua lima puluh," tukas petugas
itu. Caitlin merogoh dompetnya dan mengeluarkan tiga
lemabaran dolar yang lecek. Dia mengangsurkannya di
bawah kaca. Petugas itu, masih mengabaikannya,
mengangsurkan kartu Metro. Caitlin menggesekkan kertu
dan memasuki sistem. Peron itu temaram, hanpir kosong.
Dua orang tunawisma menempati bangku, terbungkus52
selimut. Yang satu tidur, tapi yang lain memandangi ia
ketika ia berjalan. Dia mulai menggumam. Caitlin berjalan
lebih cepat.
Ia menuju ke ujung peron dan mencondongkan tubuh,
mencari-cari kereta. Tidak ada. Ayolah. Ayolah. Ia melirik
jam tangannya lagi. Sudah terlambat lima menit. Ia bertanya-
tanya berapa lama lagi ia harus menunggu. Ia bertanya-
tanya apakah Jonah sudah pergi. Ia tidak bisa menyalahkan
dia. Ia menyadari sesuatu bergerak dengan cepat di sudut
matanya. Ia berpaling. Tidak ada. Ketika ia melihat lebih
dekat, ia rasa ia melihat sebuah bayangan merayap di
sepanjang lantai putih itu, dinding linoleum, kemudian
menyelinap ke dalam jalur kereta api. Ia merasa seolah-olah
ia sedang diawasi. Tapi ia mencari lagi dan tidak melihat
apapun. Aku pasti melihat sesuatu. Caitlin berjalan
mendekati peta kereta bawah tanah yang besar. Peta itu
tergores dan robek serta tertutup grafiti, tapi ia masih bisa
melihat jalur kereta bawah tanah. Paling tidak ia ada di
tempat yang benar. Kereta itu seharusnya membawanya
tepat menuju Columbus Circle. Ia mulai merasa sedikit lebih
baik. "Kau tersesat, sayang?" Caitlin berpaling dan melihat
seorang pria hitam besar berdiri di depannya. Dia tidak
bercukur, dan ketika dia menyeringai, ia melihat bahwa
giginya hilang. Dia membungkuk terlalu dekat, dan ia bisa
mencium bau napas yang mengerikan. Mabuk. Ia mengelak
dari dia dan berjalan beberapa meter jauhnya. "Hei jalang,
aku bicara padamu!" Caitlin terus berjalan. Pria itu tampak
tinggi, dan ia terhuyung-huyung dan bergoyang saat ia
perlahan-lahan menuju ke arahnya. Tapi Caitlin berjalan jauh
lebih cepat, dan itu adalah sebuah peron yang panjang,
sehingga masih ada jarak di antara mereka. Ia benar-benar
ingin menghindari konfrontasi lain. Tidak di sini. Tidak
sekarang. Dia semakin mendekat. Ia bertanya-tanya berapa
lama kereta itu akan sampai ia tidak punya pilihan selain53
menghadapinya. Tolong, Tuhan, keluarkan aku dari sini.
Saat itu, suara memekakkan telinga memenuhi stasiun, dan
kereta tiba-tiba datang. Terima kasih, Tuhan. Ia naik, dan
menyaksikan dengan kepuasan ketika pintu tertutup di
depan pria itu. Dalam keadaan mabuk, dia mengutuk dan
menggedor pintu logam. Kereta berangkat, dan saat itu dia
tidak dia tampak kabur. Ia sedang dalam perjalanan keluar
dari lingkungan ini. Dalam perjalanan menuju kehidupan
baru.
*****
Caitlin keluar di Columbus Circle dan berjalan dengan
langkah cepat. Ia memeriksa jamnya lagi Ia terlambat 20
menit. Ia menelan ludah Tolong tetap di sana. Tolong
jangan pergi. Tolong. Saat ia berjalan, hanya beberapa blok
jauhnya, ia tiba-tiba merasakan sengatan di perutnya. Ia
berhenti, terkejut dengan rasa sakit yang hebat. Ia
membungkuk, mencengkeram perutnya, tak bisa bergerak.
Ia bertanya-tanya apakah orang-orang menatapnya, tapi ia
terlalu sakit untuk peduli. Ia belum pernah mengalami hal
seperti ini sebelumnya. Ia berusaha untuk bernapas.
Orang-orang berlalu dengan cepat di kedua sisi, tapi tidak
ada yang berhenti untuk memeriksa apakah ia baik-baik
saja. Setelah sekitar satu menit, ia akhirnya, perlahan-lahan,
kembali berdiri. Rasa sakit itu mulai mereda. Ia menarik
napas dalam, bertanya-tanya apa yang mungkin terjadi. Ia
mulai berjalan lagi, menuju ke arah kafe. Tapi ia sekarang
merasa benar-benar bingung. Dan sesuatu yang
lain....Rasa lapar. Itu bukan rasa lapar yang normal, tapi
haus tak terpadamkan yang mendalam. Ketika seorang
wanita berjalan melewatinya, berjalan dengan anjingnya,
Caitlin melihat dirinya berbalik dan menatap hewan itu. Ia54
mendapati dirinya menjulurkan lehernya dan
memperhatikan hewan itu berjalan melewatinya, dan
menatap lehernya. Yang mengejutkan, ia bisa melihat
rincian pembuluh darah pada kulit anjing itu, darah mengalir
melewatinya. Ia mengamati detak jantung melalui darah,
dan ia merasakan sensasi mati rasa dan tumpul di giginya
sendiri. Ia ingin darah anjing itu. Seolah-olah merasakan
dirinya sendiri diawasi, anjing itu berpaling sambil berjalan,
dan menatap dengan ketakutan pada Caitlin. Anjing itu
menggeram, dan lari. Pemilik anjing berbalik dan menatap
Caitlin, tidak mengerti. Caitlin terus berjalan. Ia tidak bisa
mengerti apa yang terjadi padanya. Ia menyukai anjing. Ia
tidak pernah ingin menyakiti binatang, apalagi lalat. Apa
yang terjadi padanya? Rasa lapar itu hilang secepat rasa itu
datang, dan Caitlin merasakan dirinya kembali normal.
Ketika ia berbelok di ujung jalan, kafe itu mulai terlihat, dan
ia mempercepat langkahnya, terengah-engah, dan hampir
merasakan dirinya sendiri lagi. Ia memeriksa jamnya.
Terlambat 30 menit. Ia berdoa semoga dia ada di sana. Ia
membuka pintu. Jantungnya berdebar-debar, kali ini bukan
dari rasa sakit, tapi dari rasa takut bahwa Jonah akan pergi.
Caitlin dengan cepat mengamati tempat itu. Ia berjalan
dengan cepat, kehabisan napas, dan sudah merasa
mencolok. Ia bisa merasakan semua mata pada dirinya, dan
mengamati deretan pengunjung di sebelah kiri, dan di
sebelah kanannya. Tapi tidak ada tanda-tanda Jonah.
Hatinya mencelos. Dia pasti telah pergi. "Caitlin?"
Caitlin memutar tubuhnya. Di sana, tersenyum, berdirilah
Jonah. Ia merasakan hatinya membengkak dengan sukacita.
"Maafkan aku," katanya terburu-burur. "Aku biasanya tidak
pernah terlambat. Aku hanya - hanya -" "Tidak apa," kata
Jonah, dengan lembut meletakkan tangannya di bahu
Caitlin. "Jangan khawatir tentang itu, sungguh. Aku hanya
senang kau baik- baik saja," tambahnya. Ia memandangi
mata hijaunya yang tersenyum, terbingkai oleh wajah yang55
masih memar dan bengkak, dan untuk pertama kalinya pada
hari itu, ia merasa damai. Ia merasakan bahwa semua hal
bisa baik-baik saja. "Satu-satunya masalah adalah, kita
tidak punya banyak waktu jika kita ingin melihat konser itu,"
ujarnya. "Kita hanya terlambat sekitar lima menit. Jadi aku
rasa kita akan minum kopi itu lain waktu." "Tidak apa,"
katanya. "Aku hanya sangat gembira kita tidak melewatkan
konser itu juga. Aku merasa seperti seorang -" Caitlin tiba-
tiba melihat ke bawah dan merasa ngeri menyadari bahwa
ia masih mengenakan pakaian biasa. Ia masih memegangi
tas olahraganya yang berisi pakaian dan sepatu terbaiknya.
Ia bermaksud sampai di kafe lebih awal, menyelinap ke
kamar mandi, berganti pakaian yang bagus, dan siap untuk
bertemu Jonah. Sekarang ia berdiri di sana, berhadapan
dengannya, berpakaian seperti orang yang sembrono, dan
menggenggam tas olahraga. Pipinya memerah. Ia tidak
tahu apa yang harus dikatakan. "Jonah, aku sangat
menyesal aku berpakaian seperti ini," katanya. "Aku
bermaksud untuk ganti baju sebelum aku datang, tetapi ...
Apakah kau mengatakan bahwa kita memiliki waktu lima
menit?" Dia melihat jam tangannya, kilatan keprihatinan
melintasi wajahnya. "Ya, tapi -" "Aku akan segera kembali,"
katanya, dan sebelum dia bisa menjawab, ia berlari melalui
restoran, menuju kamar mandi. Caitlin menghambur ke
kamar mandi dan menguncinya di belakangnya. Ia menarik
lepas tas olahraga dan menarik keluar semua pakaian
bagusnya, yang kini kusut. Ia melepaskan pakaian dan
sepatu kets, dan cepat-cepat memakai rok beludru hitam,
dan blus sutra putih. Ia juga mengambil anting-anting
berlian imitasi dan memakainya. Harganya memang murah,
tapi cocok. Ia merampungkan pakaiaan itu dengan sepatu
bertumit tinggi hitam.
Ia berkaca. Ia agak sedikit kusut, tidak seburuk yang ia
bayangkan. Blusnya sedikit terbuka menunjukkan salib56
perak kecil yang masih ia kenakan di lehernya. Ia tidak
punya waktu untuk riasan, tapi setidaknya ia berdandan. Ia
dengan cepat mengangsurkan tangannya di air dan
mengusap rambutnya, menempatkan beberapa helai pada
tempatnya. Ia melengkapi dandanannya dengan tas tangan
kulit hitamnya. Ia baru saja hendak bergegas keluar, ketika
ia menyadari timbunan baju lama dan sepatu ketsnya. Ia
termangu, bimbang. Ia sungguh-sungguh tidak ingin
membawa baju-baju itu bersamanya di penghujung malam
itu. Sesungguhnya, ia bahkan tidak pernah ingin
mengenakan baju-baju itu lagi. Ia mengambil semua
bajunya dalam sebuah gumpulan, dan dengan sangat puas
ia menjejalkannya ke dalam tong sampah di pojok ruang itu.
Kini ia mengenakan satu-satunya pakaiannya yang tersisa di
dunia. Ia merasa senang berjalan menuju hidup barunya
dengan berpakaian seperti ini. Jonah menunggunya di luar
kafe, mengetukkan kakinya, melirik jam tangannya. Ketika
ia membuka pintu, dia berputar, dan ketika dia melihatnya,
berpakaian rapi, dia membeku. Dia memandanginya, tidak
dapat berkata apa-apa. Caitlin tidak pernah melihat seorang
laki-laki memandanginya seperti itu sebelumnya. Ia tidak
pernah benar-benar merasakan dirinya menarik. Cara
Jonah memandanginya membuatnya merasa...spesial. Itu
membuatnya merasa, untuk pertama kalinya, seperti
seorang wanita. "Kau...terlihat cantik," katanya dengan
lembut. "Terima kasih," ujarnya. Kau juga tampan, ia ingin
menjawab, tapi ia menahannya. Dengan kepercayaan diri
yang baru ditemukannya, ia berjalan bersamanya,
menyelipkan tangannya ke dalam lengan Jonah, dan
dengan lembut membimbing menuju Carnegie Hall. Dia
berjalan bersamanya, mempercepat langkah, meletakkan
tangannya yang bebas di atas tangannya. Rasanya
nyaman berada dalam lengan laki-laki. Meskipun segala
sesuatu yang telah terjadi hari itu, dan hari sebelumnya,
Caitlin kini merasa seolah-olah ia sedang berjalan di udara.57
*****
Bab Enam
Carnegie Hall benar-benar penuh sesak. Jonah memimpin
jalan karena mereka berjuang melalui kerumunan padat,
menuju Will Call. Tidak mudah untuk menuju ke sana. Itu
adalah kerumunan antrian orang kaya, dan semua orang
tampak seperti mereka sedang terburu-buru untuk
menghadiri konser. Ia tidak pernah melihat begitu banyak
orang berpakaian bagus dalam satu tempat. Sebagian
besar laki-laki mengenakan dasi hitam, dan para wanita
mengenakan gaun malam panjang. Perhiasan berkilauan di
mana-mana. Menyenangkan.
Jonah mendapat tiket dan membawanya menaiki tangga.
Dia menyerahkan tiket pada penerima tamu, yang
merobeknya dan menyerahkan kembali potongannya.
"Bolehkan aku menyimpan salah satunya?" tanya Caitlin,
ketika Jonah akan memasukkan kedua potongan tiket itu ke
dalam sakunya. "Tentu saja," katanya, menyerahkan satu
padanya. Ia mengusap dengan ibu jarinya. "Aku suka


Harian Vampir 01 Penjelmaan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyimpan hal-hal seperti ini," tambahnya, tersipu.
"Sentimental, kurasa." Jonah tersenyum, saat ia
memasukkan ke saku depannya. Mereka diarahkan oleh
seorang petugas menyusuri lorong mewah dengan karpet
merah yang tebal. Bingkai foto artis dan penyanyi berjajar di58
dinding. "Jadi, bagaimana kau mendapatkan tiket gratis?"
tanya Caitlin. "Guru biolaku," jawabnya. "Dia punya tiket
musiman. Dia tidak bisa datang malam ini, jadi dia berikan
padaku. Aku harap itu tidak menjadi masalah karena aku
tidak membayar tiket itu sendiri," tambahnya. Ia
memandanginya, bingung. "Kencan kita," jawabnya. "Tentu
tidak," ujarnya. "Kau membawaku ke sini. Itu saja yang
penting. Ini mengagumkan." Caitlin dan Jonah diarahkan
oleh penerima tamu lain ke sebuah pintu kecil, yang terbuka
langsung ke ruang konser. Ruangan itu tinggi, mungkin 50
kaki, dan di daerah kotak kecil mereka hanya ada 10 atau 15
kursi. Kursi mereka berada tepat di tepi balkon, setinggi
pembatasnya. Jonah membuka kursi besar mewah
untuknya, dan ia menatap kerumunan besar dan pada
semua pemain. Itu adalah tempat yang elegan di mana ia
pernah berada. Ia memandang lautan rambut kelabu, dan ia
merasa 50 tahun terlalu muda untuk berada di sini. Tapi
gembira di waktu yang sama. Jonah duduk, dan siku
mereka bersentuhan, dan ia merasakan sensasi
kehangatan tubuhnya di sampingnya. Ketika mereka duduk
di sana, menunggu, ia ingin meraih dan memegang
tangannya, dan menggenggamnya. Tapi ia tidak ingin
mengambil risiko dengan menjadi terlalu berani. Jadi ia
duduk di sana, berharap bahwa dia akan mengulurkan
tangan dan memegang tangannya. Dia tidak bergerak. Itu
terlalu dini. Dan mungkin dia malu. Sebaliknya, ia menunjuk,
membungkuk ke pembatas. "Pemain biola terbaik duduk
paling dekat dengan bibir panggung," katanya, menunjuk.
"Wanita yang ada di sana itu adalah salah satu yang terbaik
di dunia." "Pernahkan kau main di sini?" Tanya Caitlin.
Jonah tertawa. "Aku harap begitu," katanya. "Aula ini hanya
50 blok jauhnya dari kita, tapi mungkin juga menjadi planet
yang jauh dalam hal bakat. Mungkin suatu hari," tambahnya.
Ia menatap panggung, pada ratusan pemain yang menyetel
alat musik mereka. Mereka semua mengenakan dasi hitam,59
dan mereka semua tampak begitu serius, begitu terfokus. Di
depan dinding belakang berdiri sebuah paduan suara besar.
Tiba-tiba, seorang pemuda, mungkin 20, dengan rambut
panjang hitam yang tergerai, mengenakan tuksedo,
melangkah dengan bangga ke panggung. Ia mengambil
jalan pintas melewati lorong para pemain, menuju ke tengah.
Ketika dia melakukannya, seluruh penonton bangkit berdiri
dan bertepuk tangan. "Siapa dia?" tanya Caitlin. Dia
sampai di tengah dan membungkuk berulang-ulang,
tersenyum. Bahkan jauh dari sini, Caitlin melihat bahwa dia
menarik secara mengejutkan. "Sergei Rakov," jawab Jonah.
"Dia adalah salah satu penyanyi terbaik di dunia." "Tapi dia
kelihatan begitu muda." "Itu bukan tentang umur, tapi ini
tentang bakat." jawab Jonah. "Ada bakat, dan kemudian
ada bakat. Untuk mendapatkan bakat semacam itu, kau
harus terlahir dengan bakat itu - dan kau benar-benar harus
berlatih. Bukan empat jam sehari, tapi delapan jam sehari.
Setiap hari. Aku akan melakukannya jika bisa, tapi ayahku
tidak mengijinkan." "Kenapa tidak?" "Dia tidak ingin biola
menjadi satu-satunya hal dalam hidupku." Ia bisa
mendengar kekecewaan dalam suaranya. Akhirnya, tepuk
tangan mulai berhenti. "Mereka memainkan Simfoni ke
Sembilan Beethoven malam ini," kata Jonah. "Itu mungkin
lagunya yang paling terkenal. Pernahkah kau mendengar itu
sebelumnya?" Caitlin menggelengkan kepalanya, merasa
bodoh. Ia punya kelas musik klasik dulu di kelas sembilan,
tapi ia hampir tidak mendengarkan kata gurunya. Ia tidak
benar-benar memahaminya, dan mereka baru saja pindah,
dan pikirannya sudah di tempat lain. Sekarang ia berharap
dirinya dulu mau mendengarkan. "Ini memerlukan orkestra
besar," katanya, "dan paduan suara besar. Mungkin
membutuhkan lebih banyak pemain di atas panggung dari
hampir setiap bagian lain musik. Sungguh menarik untuk
dilihat. Itulah mengapa tempat ini begitu penuh sesak." Ia
mengamati ruangan. Ada ribuan orang di sana. Dan tidak60
ada kursi yang kosong. "Simfoni ini, itu adalah karya
terakhir Beethoven. Dia sekarat, dan dia tahu itu. Dia
menempatkannya ke dalam musik. Itu adalah suara
kematian datang." Dia berpaling padanya dan tersenyum,
meminta maaf. "Maaf karena menjadi begitu tidak wajar."
"Tidak, tidak apa-apa," katanya, dan bersungguh-sungguh.
Ia senang mendengar dia berbicara. Ia menyukai suaranya.
Ia menyukai apa yang dia ketahui. Semua teman-temannya
memiliki percakapan yang paling dangkal, dan ia ingin
sesuatu yang lebih. Ia merasa beruntung bersama
dengannya. Ada begitu banyak yang ingin ia katakan
kepada Jonah, begitu banyak pertanyaan yang ingin ia
ajukan - tapi lampu tiba-tiba redup dan keheningan
menghampiri penonton. Pertanyaan itu harus menunggu. Ia
bersandar dan menyemankan diri. Ia menunduk dan yang
mengejutkannya, ada tangan Jonah. Ia menaruhnya di
sandaran tangan di antara mereka, telapak menghadap ke
atas, mengundang tangannya. Ia mengulurkan tangan,
perlahan-lahan, agar tidak tampak terlalu putus asa, dan
menempatkan tangannya di dalam tangannya. Tangannya
lembut dan hangat. Ia merasa tangannya meleleh di
dalamnya. Ketika orkestra mulai dan nada pertama yang
dimainkan - nada merdu lembut yang menenangkan - ia
merasakan gelombang kebahagiaan mengaliri seluruh
tubuhnya, dan menyadari bahwa ia tidak pernah begitu
bahagia. Ia melupakan semua peristiwa sehari sebelumnya.
Jika ini adalah suara kematian, ia ingin mendengar lebih
banyak. * Ketika Caitlin duduk di sana, tersesat dalam
musik, bertanya-tanya mengapa ia tidak pernah mendengar
itu sebelumnya, bertanya-tanya berapa lama ia bisa
membuat kencannya dengan Jonah bertahan, hal itu terjadi
lagi. Rasa sakit itu tiba-tiba melanda. Rasa itu memukulnya
di perut, seperti itu di jalan tadi, dan butuh semua kekuatan
hatinya untuk mempertahankan diri dari membungkuk di
depan Jonah. Ia mengertakkan gigi diam-diam, dan61
berusaha untuk bernapas. Ia bisa merasakan keringat
keluar di dahinya. Rasa pedih lainnya. Kali ini ia menjerit
kesakitan, hanya sedikit, cukup untuk nyaris tidak terdengar
di atas musik, yang mencapai puncaknya. Jonah pasti
mendengar, karena ia berpaling dan menatapnya, khawatir.
Dia perlahan meletakkan tangannya di bahu Caitlin. "Apa
kau baik-baik saja?" tanya Jonah. Ia tidak baik-baik saja.
Rasa sakit melandanya. Dan sesuatu yang lain: lapar. Ia
merasa benar-benar lapar. Ia tidak pernah begitu kewalahan
oleh sensasi seperti itu dalam hidupnya. Ia melirik Jonah,
dan matanya langsung mengarah ke lehernya. Ia terpaku
pada denyutan dari pembuluh darahnya, mengalir seperti itu
dari telinganya ke bawah menuju tenggorokannya. Ia
menyaksikan denyutan itu. Ia menghitung detak jantungnya.
"Caitlin?" tanya Jonah lagi. Hasrat itu luar biasa. Ia tahu
bahwa jika ia duduk di sana bahkan untuk satu detik lagi, ia
tidak akan mampu untuk mengendalikan diri. Jika dibiarkan
tak terkendali, ia pasti akan membenamkan giginya ke leher
Jonah. Dengan sisa kekuatannya, Caitlin tiba-tiba berdiri
dari kursinya, melewati Jonah dalam satu lompatan cepat,
dan berlari menaiki tangga, menuju pintu. Pada saat yang
sama, lampu di ruang tiba-tiba terang-benderang, ketika
orkestra memainkan nada terakhirnya. Istirahat. Seluruh
penonton berdiri, bertepuk tangan keras. Caitlin mencapai
pintu keluar beberapa detik sebelum sekumpulan orang bisa
keluar dari tempat duduk mereka. "Caitlin!?" Jonah berteriak
dari suatu tempat di belakangnya. Dia mungkin bangun dari
tempat duduknya dan mengikutinya. Ia tidak bisa
membiarkan dia melihatnya seperti ini. Yang lebih penting
lagi, ia tidak bisa membiarkan dia di mana saja di dekatnya.
Ia merasa seperti binatang. Ia menyusuri lorong-lorong
kosong Carnegie Hall, berjalan lebih cepat dan lebih cepat,
ia berlari dengan sangat cepat. Sebelum ia mengetahuinya,
ia berjalan pada kecepatan yang mustahil, merobek melalui
lorong berkarpet. Ia adalah binatang yang memburu62
mangsanya. Ia membutuhkan makanan. Ia cukup menyadari
bahwa ia harus menjauhkan dirinya dari sekelompok orang
itu. Cepat. Ia menemukan pintu keluar dan menempatkan
bahunya di situ. Pintu itu terkunci, tapi ia bersandar pada
pintu itu dengan kekuatan yang sedemikian rupa sehingga
engselnya patah. Ia mendapati dirinya di tangga pribadi. Ia
berlari menuruni tangga, melangkahi tiga sekaligus, sampai
ia tiba di pintu yang lain. Ia menaruh bahunya di pintu itu
juga, dan menemukan dirinya berada di sebuah lorong baru.
Lorong ini bahkan lebih eksklusif, dan lebih kosong, daripada
yang lain. Bahkan dalam keremangan, ia tahu bahwa ia
telah tiba di semacam daerah belakang panggung. Ia
berjalan menyusuri lorong, membungkuk kesakitan karena
kelaparan, dan tahu bahwa ia tidak dapat bertahan satu
detik lebih lama. Ia mengangkat telapak tangannya dan
mendorongnya ke pintu pertama yang ia temukan, dan
terbuka dengan satu dorongan. Itu adalah ruang ganti
pribadi. Duduk di depan cermin, mengagumi diri sendiri,
adalah Sergei. Penyanyi itu. Ini pasti ruang gantinya di
belakang panggung. Entah bagaimana, ia sampai ke sini.
Dia berdiri, terganggu. "Maaf, tapi tidak ada tanda tangan
sekarang," tukasnya. "Penjaga keamanan seharusnya
memberitahumu. Ini adalah waktu pribadiku. Sekarang, jika
kau tidak keberatan, aku harus mempersiapkan diri."
Dengan raungan parau, Caitlin melompat tepat ke
tenggorokannya, menenggelamkan giginya dalam-dalam.
Dia menjerit. Tapi itu sudah terlambat. Giginya tenggelam
dalam pembuluh darahnya. Ia minum. Ia merasa darahnya
mengalir melalui pembuluh darahnya, merasa hasratnya
mulai puas. Itu persis seperti apa yang ia butuhkan. Dan ia
tidak bisa menunggu sedetik lagi. Sergei merosot, tak
sadarkan diri, ke kursinya, Caitlin bersandar, wajah
berlumuran darah, dan tersenyum. Ia telah menemukan
suatu rasa baru. Dan tidak ada yang akan menghalangi
jalannya lagi.63
*****64
Bab Tujuh
Detektif Pembunuhan New York Grace O'Reilly membuka
pintu menuju Carnegie Hall dan langsung tahu bahwa itu
tidak bagus. Ia telah melihat pers di luar kendali
sebelumnya, tetapi tidak pernah yang seperti ini. Para
wartawan lebih dari 10, dan luar biasa agresif. "Detektif!"
Mereka berteriak kepadanya berkali-kali saat ia masuk,
ruangan itu dipenuhi dengan kilat lampu. Ketika Grace dan
detektifnya memotong melalui lobi, para wartawan nyaris
tidak memberikan jalan. Pada usia 40, berotot dan tegap,
dengan rambut hitam pendek dan mata yang cocok, Grace
orang yang tangguh, dan digunakan untuk mendorong
jalannya. Tapi kali ini, tidaklah mudah. Para wartawan tahu
bahwa itu adalah cerita yang besar, dan mereka tidak akan
menyerah. Ini akan membuat hidupnya jauh lebih sulit.
Seorang bintang muda internasional dibunuh di puncak
ketenaran dan kehebatannya. Tepat di tengah-tengah
Carnegie Hall dan tepat di tengah- tengah debut
Amerikanya. Pers telah berada di sini tidak peduli, siap untuk
meliput debutnya. Tanpa sedikit tersendat, berita
pertunjukan ini akan terpampang di halaman surat kabar di
setiap negara di dunia. Jika ia hanya terpeleset, atau jatuh,
atau terkilir pergelangan kakinya, cerita hanya akan sampai
di Halaman 1. Dan sekarang ini. Terbunuh. Di tengah
pertunjukan sialan itu. Tepat di ruang di mana dia menyanyi
hanya beberapa menit sebelumnya. Itu hanya terlalu
banyak. Pers telah meraih yang satu ini sampai lehernya
dan mereka tidak akan melepaskannya. Beberapa
wartawan mendorong mikrofon ke wajahnya. "Detektif Grant!
Ada laporan bahwa Sergei dibunuh oleh binatang buas. Apa
itu benar?" Ia mengabaikan mereka sambil menyikut
membuka jalannya. "Mengapa tidak ada keamanan yang
lebih baik dalam Carnegie Hall, detektif?" tanya wartawan
lain. Wartawan lain berteriak, "Ada laporan bahwa ini adalah65
pembunuhan berantai. Mereka menjuluki dia 'Penjagal
Beethoven.' Apa Anda mempunyai komentar?" Ketika ia
sampai di belakang ruangan, ia berbalik dan menghadapi
mereka. Kerumunan menjadi sunyi. "Penjagal Beethoven?"
ulangnya. "Tidak bisakah mereka melakukan yang lebih
baik dari itu?" Sebelum mereka bisa mengajukan
pertanyaan lain, ia tiba-tiba keluar dari ruangan itu. Grace
melanjutkan perjalanan menaiki tangga belakang Carnegie
Hall, diapit oleh detektif nya, yang terus memberi informasi
saat ia masuk. Sebenarnya, ia nyaris tidak mendengarkan.
Ia lelah. Ia baru saja berusia 40 minggu lalu, dan ia tahu ia
tidak seharusnya selelah ini. Tapi malam bulan Maret yang
panjang sudah ia lalui, dan ia butuh istirahat. Ini adalah
pembunuhan ketiga bulan ini, belum termasuk bunuh diri. Ia
menginginkan cuaca hangat, sedikit pepohonan, sedikit pasir
lembut di bawah kakinya. Ia menginginkan tempat di mana
tidak ada yang dibunuh oleh siapa pun, di mana mereka
tidak pernah berpikir untuk bunuh diri. Ia menginginkan
sebuah kehidupan yang berbeda. Ia melihat arlojinya saat ia
memasuki koridor menuju belakang panggung. Pukul 1 pagi.
Tanpa harus melihat, ia sudah bisa mengatakan
TKP itu kotor. Mengapa mereka tidak memanggilnya ke sini
sebelumnya? Ia seharusnya menikah, seperti yang disuruh
ibunya, pada usia 30 tahun. Ia memiliki seseorang. Dia tidak
sempurna, tapi dia bisa melakukannya. Tapi ia
mempertahankan karirnya, seperti ayahnya. Itu adalah apa
yang menurutnya diinginkan ayahnya. Sekarang ayahnya
sudah meninggal, dan ia tidak pernah benar-benar tahu apa
yang dia inginkan. Dan ia lelah. Dan sendirian. "Tidak ada
saksi mata," tukas salah seorang detektif yang berjalan di
sampingnya. "Forensik mengatakan itu terjadi suatu waktu
antara 22:15 - 22:28. Tidak banyak tanda-tanda
perlawanan." Grace tidak suka TKP ini. Ada terlalu banyak
orang yang terlibat, sudah dan terlalu banyak orang yang
berada di sini sebelumnya. Setiap gerakan yang ia lakukan66


Harian Vampir 01 Penjelmaan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan terlihat. Dan tidak peduli pekerjaan penyelidikan hebat
yang ia lakukan, penghargaan akan berakhir dicuri oleh
orang lain. Ada terlalu banyak departemen yang terlibat,
yang berarti terlalu banyak politik. Ia akhirnya menerobos
melewati sisa wartawan, dan memasuki area bebas
rekaman, disediakan untuk hanya petugas elit. Ketika ia
menuju ke lorong berikutnya, akhirnya tenang. Ia bisa
berpikir lagi. Pintu ke ruang ganti sedikit terbuka. Ia
mengulurkan tangan, mengenakan sarung tangan lateks,
dan dengan lembut menyodoknya terbuka lebar. Ia telah
melihat semuanya dalam 20 tahun sebagai polisi. Ia telah
melihat orang-orang dibunuh dengan hampir setiap cara
yang mungkin, bahkan cara yang tidak bisa ia alami dalam
mimpi terburuknya. Tapi ia belum pernah melihat sesuatu
seperti ini. Bukan karena itu sangat berdarah. Bukan karena
telah terjadi sejumlah kekerasan yang mengerikan. Itu
adalah sesuatu yang lain. Sesuatu yang tidak nyata. Itu
terlalu sunyi. Semua ada dalam tempat yang sempurna.
Kecuali, tentu saja, tubuhnya. Dia duduk merosot ke
belakang di kursinya, lehernya terluka. Dan di sana, di
bawah cahaya, dua lubang yang sempurna, tepat di urat
lehernya. Tidak ada darah. Tidak ada tanda-tanda
perlawanan. Tidak ada pakaian terkoyak. Tidak ada yang
lain lagi. Seolah-olah kelelawar telah turun, mengisap
darahnya dengan sangat bersih, kemudian terbang menjauh,
tanpa menyentuh apa pun. Itu menakutkan. Dan terang-
terangan menakutkan. Jika kulitnya tidak berubah putih, ia
akan berpikir dia masih hidup, hanya sedang tidur siang. Ia
bahkan merasa tergoda untuk menghampiri dan merasakan
denyut nadinya. Tapi ia tahu itu adalah hal yang bodoh.
Sergei Rakov. Dia masih muda. Dan dari apa yang ia dengar,
dia adalah bajingan yang sombong. Mungkinkah dia saat ini
memiliki musuh? Apa sih yang bisa melakukan hal ini? Ia
bertanya-tanya. Seekor hewan? Seorang manusia?
Semacam senjata baru? Atau dia telah melakukan hal itu67
pada dirinya sendiri? "Sudut serangan mengesampingkan
bunuh diri," kata Detektif Ramos, berdiri di sisinya dengan
buku catatan dan, seperti biasa, membaca pikirannya. "Aku
ingin semua yang kaumiliki tentang dirinya," katanya. "Aku
ingin tahu dengan siapa dia berutang uang. Aku ingin tahu
siapa musuh- musuhnya - aku ingin tahu mantan pacarnya,
istri masa depannya. Aku menginginkan semuanya. Dia
mungkin telah membuat murka seseorang." "Ya, bu,"
katanya, dan segera keluar dari ruangan itu. Mengapa
mereka memilih waktu ini tepat untuk membunuhnya?
Mengapa saat istirahat? Apakah mereka mengirim semacam
pesan? Ia melangkah perlahan-lahan di ruang yang sangat
berkarpet itu, berputar-putar, memandangnya dari berbagai
sudut. Dia memiliki rambut panjang bergelombang hitam,
dan menarik dengan mencolok, bahkan dalam kematian.
Sayang sekali. Pada saat itu, suara mendadak memenuhi
ruangan. Semua petugas berbalik sekaligus. Mereka
mendongak, dan melihat bahwa TV kecil di sudut telah
menyala. TV itu memainkan rekaman pertunjukan malam itu.
Beethiven ke-9 memenuhi ruangan itu. Salah satu detektif
mendekati TV untuk mematikannya. "Jangan," katanya.
Detektif itu menghentikan setengah langkahnya. "Aku ingin
mendengarnya." Ia berdiri di sana, memandangi Sergei,
sebagaimana suaranya memenuhi ruangan itu. Suaranya
telah hidup hanya beberapa jam sebelumnya. Menakutkan.
Grace mengitari ruangan itu sekali lagi. Kali ini ia berlutut.
"Kami telah menyusuri seluruh ruangan ini, detektif," kata
petugas FBI itu, tidak sabar. Ia menemukan sesuatu di
sudut matanya. Ia mengulurkan tangan, jauh di bawah salah
satu kursi berlengan yang apik. Ia menjulurkan lehernya dan
memutar lengannya, dan meraba-raba semua di bawahnya.
Ia akhirnya menemukan apa yang cari. Ia berdiri, merah
padam, dan mengangkat sepotong kecil kertas. Semua
detektif lain menatap kembali. "Sebuah potongan tiket,"68
katanya, memeriksanya dengan tangan bersarungnya.
"Mezzanine Right, bangku 3. Dari konser malam ini." Ia
mendongak dan menatap tajam semua detektifnya, yang
menatap kosong kembali. "Kau pikir itu milik si pembunuh?"
salah satu dari yang mengenakan masker. "Nah, salah satu
hal yang saya tahu," katanya, mengambil satu tatapan
terakhir pada bintang opera Rusia yang mati. "Itu bukan
miliknya."
*****
Kyle berjalan menyusuri lorong berkarpet merah, mondar-
mandir melalui kerumunan yang padat. Dia kesal, seperti
biasa. Dia membenci orang banyak, dan dia membenci
Carnegie Hall. Dia telah menonton konser di sini sekali,
pada tahun 1890, dan tidak berjalan dengan baik. Ia tidak
melepaskan dendam dengan mudah. Saat ia berjalan
menyusuri lorong, tunik hitam berkerah tinggi menutupi
lehernya dan membingkai wajahnya, orang-orang memberi
jalan untuknya. Petugas, penjaga keamanan, pers - seluruh
kerumunan terpisah. Manusia terlalu mudah untuk
dikendalikan, pikirnya. Sedikit saja pembengkokan pikiran,
dan mereka bergegas keluar dari jalan seperti domba.
Seorang vampir dari Blacktide Coven, Kyle telah melihat
semuanya dalam 3.000 tahun lebih. Dia telah berada di
sana ketika mereka membunuh Kristus. Dia telah
menyaksikan Revolusi Perancis. Dia telah menyaksikan
cacar tersebar di Eropa - dan bahkan telah membantu
menyebarkannya. Tak ada lagi yang bisa mengejutkan
mereka. Tapi malam ini mengejutkan dia. Dan dia tidak
suka dikejutkan. Biasanya, dia hanya akan membiarkannya
seperti biasa, kehadirannya memaksanya berbicara sendiri,
dan mendorong menerobos kerumunan. Meskipun sudah69
sangat tua, dia tampak muda dan tampan, dan
orang-orang biasanya memberi jalan. Tapi dia tidak memiliki
kesabaran untuk malam ini, terutama mengingat situasi itu.
Dia telah membakar pertanyaan yang belum terjawab.
Vampir nakal macam apa akan begitu berani secara terbuka
untuk membunuh manusia? Yang akan memilih untuk
melakukannya dengan cara yang umum seperti itu, tanpa
meninggalkan kemungkinan lain tetapi dengan tubuh yang
dapat ditemukan? Itu sangat melawan setiap aturan ras
mereka. Apakah kau berada di sisi baik atau buruk dari ras
itu, itu adalah salah satu baris yang tidak kau sebrangi.
Tidak seorang pun ingin memamerkan perhatian semacam
itu terhadap ras mereka. Itu adalah pelanggaran keyakinan
mereka yang dijamin hanya oleh satu hukuman: kematian.
Kematian penuh siksaaan yang panjang. Siapa yang akan
begitu berani untuk mencoba hal seperti itu? Untuk menarik
begitu banyak perhatian yang tidak diinginkan dari pers,
politisi, polisi? Dan lebih buruk lagi, untuk melakukannya di
wilayah coven-nya? Hal itu membuat coven-nya terlihat
buruk - lebih buruk daripada yang buruk. Itu membuat
mereka nampak kurang pertahanan. Seluruh ras vampir
akan bersidang dan menahan mereka untuk diperhitungkan.
Dan jika mereka tidak menemukan bajingan ini, itu bisa
berarti perang sekaligus. Perang pada saat mereka tidak
mampu untuk memiliki salah satunya, tepat pada saat
mereka hendak melaksanakan rencana induk mereka. Kyle
berjalan melewati seorang detektif polisi wanita, dan ia
bertabrakan dengannya cukup keras. Yang terutama, ia
berpaling dan menatapnya. Dia terkejut. Tidak ada manusia
lain dalam kerumunan ini yang mempunyai kekuatan
kehendak yang bahkan memperhatikan dia. Dia pasti lebih
kuat dari yang lainnya. Entah seperti itu, atau dia mulai
ceroboh. Dia menggandakan kekuatan pikirannya,
mengarahkannya tepat ke arahnya. Ia akhirnya
menggelengkan kepalanya, berbalik, dan terus berjalan. Dia70
harus mengingatnya. Dia menunduk dan melihat papan
namanya. Detektif Grace Grant. Ia mungkin nantinya akan
menjadi masalah. Kyle terus menyusuri lorong, melewati
lebih banyak wartawan, melewati pita pembatas itu, dan
akhirnya melewati kawanan baru agen FBI. Dia berjalan
menuju pintu terbuka, dan melihat ke dalam. Ruangan itu
penuh dengan beberapa agen FBI yang lebih banyak. Ada
juga seorang pria dalam setelan mahal. Dari perkiraanya,
mata ambisius, Kyle menduga dia adalah seorang politikus.
"Kedutaan Rusia tidak senang," bentaknya kepada agen FBI
yang bertanggung jawab. "Anda menyadari bahwa ini bukan
hanya masalah bagi polisi New York, atau hanya untuk
pemerintah Amerika. Sergei adalah bintang di antara vokalis
nasional kami. Pembunuhannya harus ditafsirkan sebagai
suatu pelanggaran terhadap negara kami - " Kyle
mengangkat telapak tangannya, dan menggunakan
kekuatan kehendaknya, menutup mulut politisi. Dia benci
mendengarkan politisi berbicara, dan dia telah mendengar
lebih dari cukup dari yang satu ini. Dia benci orang Rusia
juga. Dia membenci banyak hal, sebenarnya. Tapi malam
ini, kebenciannya naik ke tingkat yang baru.
Ketidaksabarannya mendapatkan yang terbaik dari dirinya.
Tak seorang pun di ruangan itu tampak menyadari bahwa
Kyle menutup mulut politisi, bahkan politisi diri sendiri. Atau
mungkin mereka bersyukur. Bagaimanapun juga, Kyle
melangkah ke samping, dan menggunakan kekuatan
pikirannya untuk menyarankan setiap orang meninggalkan
ruangan. "Aku mengatakan bahwa kita semua istirahat
sambil minum kopi selama beberapa menit," agen FBI yang
bertugas itu tiba-tiba berkata. "Menjernihkan kepala kita
sedikit." Kerumunan mengangguk setuju dan dengan cepat
meninggalkan ruangan, seolah-olah itu adalah hal yang
paling wajar untuk dilakukan. Sebagai satu langkah terakhir,
Kyle meminta mereka menutup pintu di belakang mereka.
Dia benci suara-suara manusia, dan terutama tidak ingin71
mendengar mereka sekarang. Kyle bernapas dalam-dalam.
Akhirnya sendirian, dia bisa membiarkan pikirannya
berkonsentrasi sepenuhnya pada manusia ini. Dia mendekat
dan menarik ke belakang kerah Sergei, menyingkap bekas
gigitan itu. Kyle mengulurkan tangan dan menempatkan dua
jari dingin yang pucat atasnya. Dia memegangnya dan
memperkirakan jarak di antaranya. Sebuah rentang gigitan
yang lebih kecil dari yang dia sangka. Itu adalah wanita.
Vampir bajingan itu adalah perempuan. Dan muda. Giginya
tidak sedalam itu. Dia menempatkan jari-jarinya kembali di
atas gigitan itu dan memejamkan mata. Dia mencoba untuk
merasakan sifat darah, sifat vampir yang melakukan gigitan
tersebut. Akhirnya, dia membuka matanya dengan lebar
karena terkejut. Dia menarik tangannya dengan cepat. Dia
tidak menyukai apa yang dia rasakan. Dia tidak bisa
mengenalinya. Itu pasti seorang vampir bajingan. Bukan
dari klannya, atau dari Klan apapun yang dia tahu. Lebih
merisaukan, dia tidak bisa mendeteksi jenis vampir itu sama
sekali. Dalam 3.000 tahunnya, ini tidak pernah terjadi
padanya sebelumnya. Dia mengangkat jari-jarinya, dan
mencicipi mereka. Aromanya meliputi dia. Biasanya, itu saja
sudah cukup - dia tahu persis di mana untuk
menemukannya. Tapi tetap saja, dia bingung. Sesuatu
menutupi penglihatannya. Dia mengerutkan kening. Mereka
tidak punya pilihan dalam hal ini. Mereka akan harus
bergantung pada polisi manusia untuk menemukannya.
Atasannya tidak akan senang. Kyle bahkan lebih jengkel
dari sebelumnya, kalau bisa. Dia menatap Sergei, dan
memperdebatkan apa yang harus dilakukan dengannya.
Dalam waktu beberapa jam dia akan terjaga, vampir tanpa
klan lain yang lepas.
Dia bisa membunuhnya sekarang, untuk selamanya, dan
segera menyelesaikannya. Dia benar-benar akan sangat
menikmati itu. Ras vampir hampir tidak membutuhkan72
tambahan baru. Tapi itu akan menjadi memberikan Sergei
hadiah yang besar. Dia tidak akan menderita keabadian,
menderita ribuan tahun hidup dan putus asa. Malam yang
tak berujung. Tidak, itu akan terlalu baik. Sebaliknya,
mengapa tidak membuat Sergei menderita bersama dengan
dia? Dia memikirkan tentang hal itu. Seorang penyanyi
opera. Ya. Covennya akan sangat menikmati hal itu. Anak
kecil Rusia ini bisa menghibur mereka setiap kali mereka
merasa seperti itu. Dia akan membawanya kembali.
Mengubahnya. Dan masih belum kaki tangan lain yang
dimilikinya. Selain itu, Sergei bisa membantu mereka
menemukannya. Aromanya sekarang mengalir dalam
darahnya. Dia bisa menuntun mereka kepadanya. Dan
kemudian mereka akan membuatnya menderita.
*****73
Bab Delapan
Caitlin bangun terbakar rasa sakit. Kulitnya terasa terbakar,
dan ketika ia mencoba membuka matanya, rasa sakit
menusuk memaksa matanya menutup. Rasa itu meledak ke
dalam tengkoraknya. Ia tetap menutup matanya, dan
sebaliknya menggunakan tangannya untuk meraba ke
sekelilingnya. Ia berbaring di atas sesuatu. Itu terasa lunak,
tidak keras. Tidak padat. Itu tidak mungkin sebuah matras. Ia
menelusurkan jarinya di sepanjang benda itu. Itu terasa
seperti plastik. Caitlin membuka matanya, lebih perlahan
kali ini, dan mengintip ke bawah tangannya. Plastik. Plastik
hitam. Dan bau itu. Bau apa itu? Ia memalingkan kepalanya
sedikit saja, membuka matanya sedikit lagi, dan kemudian
ia menyadari. Ia tergeletak, terlentang, di atas tumpukan
kantong sampah. Ia menjulurkan lehernya. Ia berada di
dalam tempat sampah. Ia duduk dengan kaget. Rasa sakit
meledak, leher dan kepalanya terbelah rasa sakit. Baunya
tak tertahankan. Ia melihat sekeliling, matanya terbuka
sekarang, dan merasa ngeri. Bagaimana sih ia berakhir di
sini?
Ia mengusap dahinya, mencoba untuk mengumpulkan
peristiwa yang membuatnya berada di sini. Ia merasa
hampa. Ia mencoba mengingat kemarin malam. Ia
menggunakan seluruh kekuatan kehendaknya untuk
Pendekar Bodoh 6 Muslihat Sang Durjana Siluman Ular Putih 15 Pengasuh Setan Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen
^