Pencarian

Pedang Penakluk Iblis 13

Pedang Penakluk Iblis ( Sin Kiam Hok Mo) Karya Kho Ping Hoo Bagian 13


perkasa yang tidak kenal arti takut, namun tentu ia takkan begitu sembrono untuk memancing kesulitan.
622 Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, gadis ini setelah bertemu dengan Sin Hong dan amat kecewa hatinya melihat
pemuda aneh yang dibencinya akan tetapi juga yang membuat
hatinya selalu berdebar kalau teringat kepadanya, kecewa karena melihat Sin Hong membawa lari Gak Soan Li, lalu berlari cepat
pulang ke Kim-bu-to. Ia ingin menuturkan semua pengalamannya
kepada ayah bundanya, juga tentang diri Sin Hong yang aneh serta tentang sikap Soan Li yang amat janggal dan aneh pula. Karena ia melakukan perlalanan cepat sekali, tak lama kemudian ia tiba di Kim-bu-to. Akan tetapi Hui Lian kecewa lagi mendapatkan ayah
bundanya tidak berada di rumah. Maka ia cepat pergi lagi menuju ke kota raja karena ia mengira bahwa ayah bundanya pergi ke
tempat ini. Sudah seringkali ia mendengar ibunya bercerita tentang
keindahan kota raja dan sering pula ibunya menyatakan rindunya kepada kota besar ini. Maka ia dapat menduga bahwa ayah
bundanya tentu pergi menyusulnya dan menyusul Soan Li, akan
tetapi ke manakah ia harus mencari mereka" Karena tidak
mempunyai pegangan dan tidak dapat menduga pasti ke mana ayah
bundanya pergi, lalu menuju ke kota raja dengan harapan
barangkali ayah bundanya juga pergi ke sana.
Tanpa disadarinya, di kota raja begitu tiba ia telah memancing kesulitan. Benar-benar ia memancing kesulitan di kantor hotel tadi, karena ketika ia menuju ke kantor diantar oleh pelayan, empat
orang yang berpakaian seperti pedagang dan yang tadi mendengar dari luar kantoran saling pandang penuh ketegangan, kemudian
mereka berempat ke luar dari hotel dengan cepat!
Baru saja Hui Lian meletakkan buntalan pakaiannya di atas meja dan hendak bertukar pakaian, pintunya diketuk orang perlahan
sekali. "Siapa?" tanyanya, kening berkerut. "Lihiap, bukalah. Penting sekali...." terdengar suara orang, kedengarannya penuh
kegelisahan. Hui Lian menunda niatnya berganti pakaian, lalu membuka daun
pintu. Begitu daun pintu terbuka, seorang laki-laki pendek kecil sehingga sepintas lalu seperti seorang anak berusia sepuluh tahun, 623
menyelinap memasuki kamarnya. Lalu secepat kilat orang itu
menutup kembali daun pintu kamar Hui Lian'
Bukan main marahnya gadis ini dan tangannya sudah gatal-gatal
hendak memukul, bibirnya sudah bergemetar hendak memaki. Akan
tetapi orang itu menaruh telunjuk di depan bibirnya, dan berkata perlahan,
"Ssstt, Lihiap, jangan salah sangka, Aku adalah mata-mata yang dikirim oleh Temu Cin!"
Hui Lian melengak. Keterangan membuatnya terheran, akan
tetapi tidak melenyapkan rasa kurang senangnya.
"Biarpun kau dikirim oleh Giam-lo- ong (Raja maut), tidak patut kau memasuki kamarku secara ini!" bentaknya.
"Sssttt, jangan keras-keras,
Lihiap. Kau berada dalam bahaya
maut! Aku datang karena
mendengar namamu tadi nama
yang dijunjung tinggi oleh Temu
Cin. Kau tidak tahu keadaan di sini,
dan sekali kau tadi menyebut
nama Ayahmu yang mulia,
celakakalah kau. Lekas kau lari dari
sini dan pergi keluar dari kotaraja
sebelum bahaya datang menimpa."
Hui Lian tenang-tenang saja,
bahkan memandang kepada orang
kate dengan curiga dan kurang
percaya. Ia memang tidak takut
mendengar bahaya
mengancamnya, dan lebih khawatir kalau-kalau ia akan tertipu oleh orang yang belum dikenalnya ini daripada mengkhawatirkan bahaya yang mengancam, kalau benar-benar ada bahaya.
"Mengapa aku harus keluar dan kota raja" Lebih baik kau yang segera keluar dari kamar ini sebelum aku kehabisan kesabaran dan melemparmu keluar seperti anjing!"
624 Orang itu menghela napas panjang "Lahiap, kau tidak percaya kepadaku. Kau tidak tahu bahwa kawan-kawanku banyak sekali
yang dikirim oleh Temu Cin di kota raja. Aku bukan seorang bahkan ada beberapa orang yang menjadi busu. Kau percayalah kepadaku, Lihiap karena mendatangimu ini saja sudah merupakan bahaya
besar bagiku, sudah merupakan pekerjaan dengan taruhan nyawa.
Kalau mereka melihat aku berada di sini, tentu besok aku tidak akan berada dunia ini lagi."
Melihat kesungguhan sikap orang kate itu, Hui Lian mulai
menaruh perhatian.
"Siapakah mereka yang kau anggap sebagai bahaya yang
mengancam diriku?" tanyanya.
"Para busu... mereka itu lihai dan bermata tajam... lekas kau lari Lihiap. Lekaslah, aku tidak dapat lama-lama berada di sini." Orang kate itu membuka daun pintu, akan tetapi baru dibuka sedikit saja, ia telah menutupkan kembali dan mukanya menjadi pucat.
"Celaka...." katanya ketakutan.
"Hayo keluar dan kamarku. Kau takut apa?" Hui Lian
menegurnya. Hampir saja ia menendang laki-laki itu saking
jengkelnya. Orang ini ketakutan tidak karuan dan tidak berani keluar dari kamarnya. Kalau ada orang melihat seorang laki-laki berada di kamarnya, bukankah hal itu merupakan suatu aib yang memalukan
sekali" Seorang laki-laki berada di kamar seorang gadis, biarpun lelaki itu seorang kate yang tidak berharga maupun seorang pelayan misalnya asal dia seorang lelaki dewasa hal sudah jauh melebihi kepantasan!
"Lahiap, celaka sekali. Kita sudah terkurung oleh pasukan busu dan tidak ada jalan keluar lagi!"
Hui Lian kehabisan sabarnya. Ia mendorong daun pintu dan tidak melihat apa-apa, hanya dari jauh kelihatan empat orang pedagang yang tadi mendengarkan percakapan di kantor hotel. Dengan gemas ia melangkah lagi ke dalam kamarnya dan menendang orang kate
itu sambil membentak,
"Keluarlah kau!"
625 Hui Lian tidak mau berlaku keji kepada orang kate yang tidak
dikenalnya ini, yang disangkanya tentu orang berotak miring maka ia menendang biasa saja, hanya untuk membuat orang itu terpental keluar. Akan tetapi alangkah herannya ketika dengan kesigapan luar biasa, orang kate itu dapat mengelak dari tendangan Hui Lian
dengan sangat mudahnya dan sebelum Hui Lian hilang
keheranannya dan dapat menyerang lagi, si Kate itu sudah cepat melompat ke atas. Terdengar suara keras dari kayu patah dan
genteng pecah, dan ternyata si Kate itu telah menerobos melalui langit-langit kamar itu, menembus ke atas rumah!
Hui Lian berdiri terpukau. Kelihaian si Kate itu tidak terlalu mengherankan baginya, akan tetapi yang ia tidak sangka adalah Si Kate yang dikiranya orang gila itu ternyata memiliki kepandaian sedemikian tingginya. Mulailah ia percaya akan kata-kata Si Kate tadi dan kini Hui Lian membuka pintu kamarnya untuk mengintai
keluar. Apa yang dilihatnya" Empat orang berpakaian pedagang tadi
masih berdiri di sana, akan tetapi sekarang dikawani oleh belasan orang berpakaian sebagai perwira istana yang berdiri tegak
bagaikan patung, mengurung kamarnya! Hati Hui Lian berdebar.
Betulkah kata-kata orang kate tadi" ia menyapu belasan orang itu dengan kerling matanya dan mendapat kenyataan bahwa setiap
orang membawa senjata tajam di pinggang atau punggungnya
sedangkan mereka semua memandang kepadanya dengan mata tak
pernah berkedip. Akan tetapi dengan matanya yang berpandangan
tajam, Hui Lian melihat tangan mereka bergerak perlahan ke arah gagang senjata atau kantung senjata rahasia, siap menghadapi
pertempuran! Melihat ini Hui Lian cepat menutupkan kembali daun pintu
kamarnya. Kalau semua orang itu menyerangnya dengan senjata
rahasia ia bisa celaka pikirnya. Ia memandang ke atas, ke arah langit-langit yang sudah berlubang karena diterjang oleh tubuh orang kate tadi. Pada saat itu ia mendengar suara gaduh di atas genteng, disusul suara pekik kesakitan dan dua orang roboh
berdebum di atas genteng kamarnya. Hui Lian memandang ke atas
penuh perhatian, tidak mengerti apakah yang telah terjadi di atas genteng itu. Kemudian ia melihat benda cair menitik turun dari atas, 626
melalui lubang yang dibuat oleh tubuh si Kate tadi. Ketika ia
memandang penuh perhatian, Hui Lian bergidik. Benda cair itu
berwarna merah berbau amis... darah!
Hui Lian berdebar hatinya, tegang. Tahulah ia kini bahwa Si Kate tadi bukan orang gila, bukan pula main-main dan benar-benar
memang ada bahaya mengancam. Cepat ia menyambar buntalan
pakaiannya, diikatkan di punggungnya. Ia meraba gagang
pedangnya siap menghadapi segala kemungkinan. Ketika hendak
berlaku nekat dan melangkah keluar dari kamar melalui pintu
terdengar suara bentakan dari luar pintu.
"Go Hui Lian, kami datang atas perintah Kaisar untuk
menangkapmu. Lebih baik kau menyerah saja. Kami tidak suka
mempergunakan kekerasan terhadap seorang wanita!"
Hui Lian mencabut pedangnya. Tanpa membuka pintu ia
menjawab, suaranya lantang, sedikit pun tidak takut.
"Aku Go Hui Lian tidak merasa melakukan dosa di sini, mengapa hendak ditangkap?"
"Ayahmu Go Ciang Le seorang pemberontak, sejak dahulu
menjadi musuh besar istana, sedangkan kau sendiri mengadakan
hubungan dengan bandit besar Temu Cin, bagaimana kau bilang
tidak berdosa" Pula, mata mata orang Mongol Si Kate baru saja
meninggalkan kamarmu, apakah kau masih hendak menyangkal
lagi" Dia hendak lari dan kini mayatnya menggeletak tak bernyawa di atas genteng kamarmu. Maka lebih baik menyerah untuk kami
tangkap agar kami tak usah mempergunakan kekerasan terhadap
seorang wanita," suara lantang itu menjawab dari luar kamar.
Hui Lian menjadi marah. Ia melompat ke arah pintu dan
menendang daun pintu sehingga terbuka lebar- lebar. Dengan
gagah ia berdiri di tengah.
"Tikus-tikus istana, buka telingamu lebar-lebar! Ayahku seorang pendekar gagah perkasa, seorang patriot sejati Pembela rakyat, tikus-tikus macam kalian mana ada harga untuk menyebut
namanya" Aku memang pernah bertemu dengan Temu Cin
pemimpin bangsa Mongol akan tetapi hal ini apa hubungannya
dengan istana" Kalian peduli apakah aku bertemu dengan Temu Cin 627
atau dengan Raja Neraka sekali pun" Tentang orang kate yang tadi memasuki kamarku, aku tidak mengenalnya dan mengira dia
seorang berotak miring. Dia mampus atau tidak, sama sekali aku tidak peduli. Siapa mau menangkap aku" Silakan maju untuk
berkenalan dengan pedangku!"
Mendengar suara lantang dan melihat sikap yang gagah berani
dari gadis ini, para busu tercengang dan untuk beberapa lama tidak berani sembarangan bergerak. Kemudian terdengar aba-aba
"tangkap saja!" dari atas genteng. Yang pertama kali bergerak adalah empat orang yang berpakalan pedagang tadi. Mereka
berempat melompat maju dan berhadapan dengan Hui Lian,
masing-masing memegang golok tipis.
"Nona, bukankah menyerah lebih baik" Mungkin hakim istana akan meringankan hukumanmu, menimbang bahwa kau hanyalah
puteri dan Hwa I Enghiong dan bukan kau sendiri yang
memberontak," kata seorang di antara mereka yang bermuka
panjang dan suaranya lunak seperti suara orang perempuan.
Hui Lian mengeluarkan suara ejekan dan tersenyum simpul,
"Mengapa sungkan-sungkan" Bukankah kalian ini anjing- anjing istana yang suka menangkap orang-orang tidak berdosa" Mau
tangkap tangkaplah kalau kalian ada kepandaian." Gadis ini
melintangkan pedangnya di depan dada, sikapnya menantang
sekali. Memang ia tidak takut sama sekali, bahkan ada kegembiraan hatinya untuk nguji sampai di mana kelihaian para busu istana yang terkenal kebuasan sampai di mana-mana itu.
"Hem, kau sombong dan tak tahu diri. Terpaksa kami turun
tangan!" kata busu itu dan berbareng dengan habisnya kata-kata terakhir, bersama tiga orang kawannya ia menyerbu. Empat batang golok tipis yang berkilau saking tajamnya menyambar ke arah Hui Lian dalam gerakan mengancam karena empat orang ini masih
merasa sungkan untuk membunuh seorang gadis remaja demikian
cantiknya. Kalau boleh dan dapat, mereka akan lebih suka
menangkap saja dan menghadapkan gadis ini di depan pengadilan, daripada membawa mayatnya.
Akan tetapi dalam sekejap mata mereka sadar daripada mimpi
enak ini. Begitu Hui Lian menggerakkan pedangnya, terdengar suara 628
nyaring dan dua golok menjadi buntung, sedangkan yang dua lagi hampir terlepas dari pegangan karena tangan mereka tergetar
hebat! Sampai memekik kaget empat orang busu berpakaian
pedagang ini melompat mundur, muka mereka berubah pucat dan
keringat dingin membasahi leher dan jidat.
Hui Lian tersenyum dan menahan pedangnya, tidak mau
membalas serangan mereka.
"Masih ada yang hendak menangkapku?" tantangnya sambil menyapu ruangan itu dengan kerling matanya yang tajam.
Empat orang busu yang berpakaian pedagang itu bukanlah busu
tingkat tertinggi. Mereka itu tugasnya hanya menjadi mata-mata dan pengawas di hotel Thian Lok Likoan, dan biarpun kalau diukur dengan kepandaian ahli-ahli biasa saja mereka itu sudah termasuk jago-jago silat yang sukar dilawan, tetapi bagi Hui Lian mereka itu tidak ada artinya sama sekali. Para pengepung adalah busu-busu yang terdiri beberapa tingkatan.
-oo0mch-dewi0oo-
Jilid XXIII SEBAGIAN besar terdiri dari busu yang tingkatnya sama dengan
empat orang yang dalam segebrakan dikalahkan oleh Hui Lian. Tiga orang busu mempuyai tingkat yang jauh lebih tinggi dapada mereka ini, dan terhitung busu-busu pilihan dari Istana. Masih ada seorang lagi yang terpandai dari mereka, karena dia ini menjadi pemimpin dan sudah termasuk seorang perwira tinggi di kalangan busu istana.
Komandan atau pimpinan inilah yang tadi merobohkan dan
menewaskan orang kate yang melarikan diri dari kamar Hui Lian
melalui genteng. Mengingat betapa dengan mudahnya ia dapat
menewaskan Si Kate yang lihai dapat diduga betapa tinggi
kepandaian perwira busu itu.
Busu lain yang kepandaiannya hanya setingkat dengan
kepandaian empat orang busu yang berpakaian pedagang, melihat
betapa dalam segebrakan saja Hui Lian sudah dapat
membuntungkan dua batang golok dan membuat empat orang
629 pengeroyoknya melompat mundur dengan perih, hati mereka sudah
gentar. Tiga orang busu yang tingkatnya lebih tinggi, yang terdiri dari tiga orang tua berusia sedikitnya lima puluh tahun kini melangkah maju menghadapi Hui Lian. Pada saat itu, pintu-pintu kali hotel itu bergerit dan semua penghuni kamar mengintai dengan hati kebat-kebit. Yang nyalinya besar keluar pintu dan menonton, yang kecil nyalinya menyembunyikan diri ketakutan. Bahkan ada yang buru-buru keluar meninggalkan hotel itu. Para pelayan menjadi
kebingungan ke sana ke mari tak tentu tujuan. Sebetulnya,
menangkap seorang dua orang tamu hotel itu oleh pasukan biasa
bukanlah hal yang amat aneh. Akan tetapi, baru kali ini ada seorang gadis muda cantik hendak ditangkap, dan baru kali ini juga seorang gadis berani menghadapi sekalian busu itu dengan pedang di
tangan! Sebagian besar dari mereka merasa ngeri kalau
membayangkan betapa gadis semuda dan secantik itu menjadi
korban kekejaman para busu, menjadi korban senjata-senjata tajam yang tak pernah mengenaI ampun dari para pengawal istana itu!
Tiga orang busu kini sudah menghadapi Hui Lian. Seorang di
antara mereka yang paling tua, berkepala botak dan memegang
sebatang toya yang disebut Long-gee-pang (Toya Gigi Srigala),
berkata kepada Hui Lian.
"Benar-benar puteri Hwa I Enghiong lihai seperti ayahnya. Akan tetapi kau takakan mungkin dapat menang menghadapi kami, Nona.
Andaikata kau berhasil mengalahkan aku, masih banyak lagi busu yang kepandaiannya jauh lebih tinggi dari padaku, dan jumlahnya banyak sekali. Kau tidak percaya" Lihatlah!" Busu ini bersuit keras dan terdengar jawaban dari empat penjuru, bahkan orang-orang
berpakaian busu bermunculan dari setiap sudut. Jumlah mereka
semua entah berapa, akan tetapi kiranya tidak kurang dari lima puluhan orang!
"Nah, apa artinya kau melawan, nona" Lebih baik menyerah.
Kami menawanmu dan membawamu menghadap ke depan Hakim
Istana. Di sanalah boleh membela kalau kau dianggap tidak
berdosa, kau tentu akan dibebaskan." kata pula busu bersenjatakan Long gee-pang itu.
630 Hati Hui Lian tergerak. Kata-kata busu ini dianggapnya masuk di akal, memang, melihat banyaknya busu yang mengepung tempat
itu, agaknya tak mungkin ia dapat menyelamatkan diri melawan dan membunuh mereka ini apa artinya kalau akhirnya ia akan tertawan juga" Ini berarti dosanya akan lebih besar. Kalau menyerah, siapa tahu kalau ia dapat dibebaskan atau setidaknya mendapat
keringanan" tentu saja ia hanya mau menyerah dengan syarat,
yakni tidak mau diikat dan tidak mau dilucuti senjatanya. Berarti, sewaktu-waktu kalau perlu ia akan dapat melawan dan mengamuk!
Akan tetapi, belum juga ia menjawab kata-kata busu bersenjata
Long gee pang itu, tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut di luar hotel dan tak lama kemudian dari luar berlari masuk seorang hwesio
tinggi besar yang memanggul penggada besar pula. Suaranya parau dan nyaring ketika ia berteriak-teriak.
"Busu-busu keparat, jangan berani mengganggu Nona Go Hui
Lian!" Hui Lian girang sekali ketika mendapat kenyataan bahwa yang
datang ini bukan lain adalah Tang Hwesio!
'Tang Lo-suhu'" Hui Lian berseru girang. Lenyaplah seketika niatnya untuk menyerah ketika ia melihat hwesio tua yang
bersemangat ini.
Apalagi ketika ia melihat betapa Tang Hwesio segera terjun di
tengah-tengah para busu yang mengepung dan penggadanya
segera mengamuk laksana seekor harimau galak, Hui Lian lalu
menggerakkan pedangnya membantu. Sebentar saja Hui Lian dan
Tang Hwesio dikeroyok oleh puluhan orang busu dalam sebuah
pertempuran yang luar biasa ramainya!
Gada di tangan Tang Hwesio benar-benar mengerikan sekali.
Beberapa kali terdengar suara keras dan kepala beberapa orang
busu pecah berantakan tersambar oleh penggada. Mayat-mayat
para pengeroyok bertumpang tindih dan membanjiri ruangan itu.
Juga pedang di tangan Hui Lian amat lihai. Sedikitnya ada enam orang pengeroyok yang roboh oleh pedang ini dan biarpun akibat dari pada serangan pedang ini tidak sehebat serangan penggada, namun yang roboh tak dapat bangun pula dengan tubuh utuh.
631 Akhirnya Hui Lian dan Tang Hwesio hanya dikeroyok oleh enam
orang busu yang kepandaiannya tinggi. Hui Lian keroyok dua
sedangkan Tang Hwesio dikeroyok empat. Yang mengeroyok Hui
Lian adalah busu yang memegang Lot gee-pang dan seorang
kawannya yang juga sudah berusia lima puluh dan yang memegang
siang-kiam (sepasang pedang). Kepandaian dua orang busu ini
benar-benar hebat. Long-gee-pang itu gerakannya lambat namun
membawa tenaga yang luar biasa kuatnya tanda bahwa
pemegangnya seorang ahli lwekeh yang jempolan. Adapun siang-
kiam di tangan orang ke dua amat cepat dan lincah gerakannya
sehingga dalam diri dua orang pengeroyoknya ini. Hui Lian
mendapatkan lawan seimbang dan baginya malah menggembirakan.
Dengan ilmu pedang berdasarkan Pak-kek Sin-kiam-hwat, bepapun
lihainya kedua lawan itu, dapat juga akhirnya pada jurus-jurus ke lima puluh lebih Hui Lian mendesak mereka. Ataukah kedua
lawannya yang sengaja memmperlambat gerakan" Hui Lian merasa
aneh karena entah mengapa setelah lima puluh jurus terlewat,
kedua lawannya itu seakan-akan menjadi lemah dan ia tidak
merasai tekanan lagi. Lebih aneh lagi ketika dua orang itu
bertempur sambil mundur sehingga tak lama kemudian
pertempuran terpecah menjadi dua rombongan yang jauh jaraknya.
Setelah tertempur seru lagi beberapa jurus, tiba-tiba terdengar pemegang toya Long-gee-pang itu berkata perlahan.
"Lihiap, kami berdua adalah orang-orang pejuang rakyat. Kau boleh melukai dan merobohkan kami berdua, kemudian kau dapat
melarikan diri melalui pintu di belakang itu lalu melompn naik ke atas genteng. Kalau nanti kau dikejar-kejar, dan tidak ada jalan keluar dari kota raja, jalan yang paling aman larilah ke dalam istana sekali. Banyak kawan di sana. Lekas!"
Hui Lian seketika menjadi bingung, tidak tahu harus berbuat apa.
Ia sejak tadi memang sudah melihat datangnya banyak sekali
perwira-perwira busu dan maklum bahwa kalau para busu itu
kepandaiannya setingkat dengan dua orang pengeroyoknya ini,
akhirnya ia akan kehabisan tenaga dan tertawan juga. Kini
mendengar omongan busu pemegang Long-gee-pang ini, pertama-
tama menjadi bingung, akan tetapi melihat dia orang lawannya
sengaja membuka pertahanan, Hui Lian cepat menggerakkan
632

Pedang Penakluk Iblis ( Sin Kiam Hok Mo) Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pedangnya dua kali dan pundak dua orang lawannya terluka ringan dan mengeluarkan darah. Akan tetapi dua orang ini memekik dan
senjata mereka terlepas dari tangan lalu mereka merobohkan diri seakan-akan terluka hebat.
Hui Lian tadinya hendak lari menurut jalan yang ditujukan oleh pemegang Long-gee-pang itu, akan tetapi ketika ia melirik ke
depan, ia melihat Tang Hwesio sedang terdesak hebat.
Tang Hwesio dikeroyok oleh empat orang. Tiga orang
pengeroyoknya biarpun berkepandaian tinggi, namun masih di
bawah tingkat hwesio itu, karena tingkat dua orang ini seimbang dengan tingkat dua orang pengeroyok Hui Lian. Akan tetapi orang ke empat adalah busu komandan yang tadi melayang turun dari
atas genteng dan ternyata dia ini seorang hwesio pula, hwesio yang kepala gundulnya tertutup topi busu berbulu garuda dan yang kini sudah menjadi seorang panglima! Ilmu silat dari hwesio yang sudah malih rupa ini benar-benar lihai. Dia memegang toya pula dan ketika ia menyerang Tang Hwesio, hwesio tua ini kaget sekali karena
maklum bahwa lawan ke empat ini tak boleh dipandang ringan.
Apalagi setelah lawannya itu mainkan toya, ia mengenal Ilmu Toya Tat Mo Kun-hwat yang lihai dari Siauw lim-si. Baiknya Tang Hwesio adalah seorang tokoh besar yang berilmu tinggi, kalau tidak, kiranya tak kan lama ia dapat bertahan menghadapi keroyokan empat orang lawan yang berkepandaian tinggi ini.
Ia melawan mati-matian dan biarpun dikeroyok empat oleh
lawan-lawan yang tangguh, tetap saja penggada Hwesio masih
berbahaya sekali. Ada seorang busu rendahan yang mencoba untuk menyerangnya dari belakang, akan tetapi kedua orang pembokong
ini roboh dengan kepala pecah! Setelah itu tidak ada lagi lain busu, yang kepandaiannya belum tinggi betul berani coba-coba untuk
menyerangnya. Akan tetapi Tang Hwesio adalah seorang hwesio yang sudah tua,
tenaganya masih besar akan tetapi daya tahan dan keuletannya
tidak seperti dulu-dulu lagi. Menghadapi empat orang pengeroyok yang amat tangguh dan yang sukar sekali dirobohkan, lambat - laun tenaga dan keuletannya berkurang dan ia mulai terdesak hebat.
Bahkan dalam sebuah serangan yang bertubi-tubi dari empat
633 lawannya, ia kurang cepat karena sudah lelah sekali sehingga toya di tangan komandan busu dengan keras mengenai pundak kirinya,
menyebabkan tulang pundaknya patah!
Pada saat itulah Hui Lian berhasil merobohkan dua orang
pengeroyoknya dan selagi gadis ini hendak melarikan diri, ia melihat keadaan Tang Hwesio. Seketika itu juga lenyaplah niatnya untuk lari. Sambil berseru nyaring, gadis ini melompat dan dengan tepat sekali menangkis toya yang menyambar ke arah kepala Tang
Hwesio. "Tang Lo-suhu, jangan khawatir, aku membantu!" teriak Hui Lian sambil memutar pedangnya dengan cepat menghadap empat orang
lawan itu. Ilmu pedang dari gadis ini memang ilmu pedang pilihan, empat orang lawannya tidak berani memandang ringan.
"Nona, hati-hati, mereka itu lihai kata Tang Hwesio yang timbul kembali semangat dan kegagahannya, dan biarpun lengan kirinya
lumpuh, ia masih mengamuk dengan penggada di tangan kanannya.
Lakunya seperti seekor harimau terluka dan dengan pukulan yang luar biasa hebatnya ia membuat golok di tangan seorang
pengeroyok terlempar dan pemegangnya sendiri terpental karena
dorongan penggada!
Akan tetapi pada saat itu, di dalam pertempuran bertambah tiga orang lagi, busu yang kepandaiannya hampir setingkat dengan
komandan bertoya! Dalam segebrakan saja, tahulah Tang Hwesio
dan Hui Lian bahwa keadaan mereka berbahaya sekali.
"Nona, kau larilah! Biar pinceng yang menahan mereka!" Tang Hwesio membentak keras sambil memutar penggadanya. Hwesio
tua ini setelah melihat bahwa mereka berdua takkan dapat lolos berlaku nekat dan hendak mengorbankan diri agar memberi
kesempatan kepada Hui Lian melarikan diri.
Akan tetapi Hui Lian adalah keturunan orang gagah, ia seorang
gadis yang tidak saja memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi juga memiliki watak yang gagah dan berbudi baik. Mana ia sudi
meninggalkan kawan dalam keadaan bahaya niengancam"
634 "Kita melawan terus, Tang-losuhu. Menang atau mati!"
pedangnya diputar makin cepat dan seorang pengeroyok terjungkal dengan lengan terbabat putus sebatas siku.
"Bodoh kita takkan menang! Jangan buang nyawa sia-sia.... lekas lari dan...!" kata-katanya terhenti dan tubuh Tang Hwesio terjengkang ke belakang. Toya di tangan lawannya yang paling
tangguh telah memasuki dadanya. Tang Hwesio roboh terlentang
dan tewas sebagai seorang gagah.
Melihat Tang Hwesio tewas, baru Hui Lian ingat akan petunjuk
dari busu bersenjata Long-gee-pang. Setelah kawannya binasa,
memang tidak ada perlu membuang nyawa cuma-cuma. Ia harus
dapat melarikan diri. Melawan sama dengan membunuh diri. Cepat ia melompat ke belakang dan ginkangnya yang"
hal 16-17 ga ada
"Celaka," pikirnya, "di kota raja agaknya penuh dengan pasukan pengawal kaisar." Hui Lian mengamuk lagi, saking gemasnya ia sampai lupa akan lelehan dan kembali ia berhasil merobohkan dua orang lawan. Namun, pertempuran dengan para pencegat baru ini
membuat ia kehilangan waktu dan para pengejar yang semenjak
tadi mengikutinya, telah tiba di situ dan sebentar saja Hui Lian sibuk melayani keroyokan belasan orang yang berilmu tinggi.
la masih mencoba untuk mengamuk akan tetapi tenaganya tidak
mengijinkan lagi dan lawan terlampau banyak. Sebuah pukulan
ruyung mengenai lengan kanannya, membuat pedangnya terlepas di lain saat ia telah kena totokan yang lihai dari belakang sehingga nona gagah ini akhirnya roboh. Di lain saat ia telah dibelenggu kedua tangannya ke belakang dan di pergelangan kaki kanannya
dipasangi rantai yang kuat.
Biarpun tubuhnya terasa sakit-sakit namun sebentar saja Hui Lian sudah dapat membebaskan diri dari totokan dan bangkit berdiri. Ia sama sekali tidak sudi memperlihatkan muka menderita atau takut, berdiri tegak dengan gagahnya.
"Aku telah kalah, mau bunuh boleh bunuh" katanya lantang.
635 "Kau siluman wanita benar-benar membuat kami repot," kata komandan bekas hwesio yang memegang toya. "Hayo ikut kami ke istana, menghadap Hakim Istana."
Akan tetapi pada saat itu, semua busu berdiri tegak memberi
hormat dan memandang ke arah sebuah kendaraan yang ditarik
oleh empat ekor kuda besar. Kendaraan itu indah sekali dan
setibanya di tempat itu, pengendara menghentikan kudanya. Pintu kendaraan terbuka dan dua orang pemuda melompat keluar. Hui
Lian yang semenjak tadi memandang ke arah kendaraan itu, hampir saja mengeluarkan teriakan kaget ketika melihat seorang di antara dua pemuda ini. Pemuda yang turun lebih dulu adalah seorang
pemuda berbaju hijau yang berajah tampan dan bersikap gagah.
Usianya paling banyak dua puluh lima tahun, alisnya tebal dan ia memegang sebatang tongkat pendek yang gagangnya diukir kepala
ular. Bajunya yang hijau terbuat daripada kain sutera tipis yang berkibar ketika ia menuruni kendaraan sehingga ia benar-benar
nampak gagah menarik. Akan tetapi pemuda kedua yang turun
kemudian, bahkan melampaui pemuda pertama. Pemuda yang
kedua ini lebih muda, kurang lebih dua puluh tiga tahun usianya, pakaiannya indah sekali, terbuat daripada sutera biru putih, dijahit dengan benang emas, wajahnya tampan sekali dan sikapnya halus.
Melihat pemuda ini, Hui Lian benar-benar terkejut karena pemuda itu dikenalnya sebagai... Wan Sin Hong!
Ketika pemuda ini turun, semua busu memberi hormat. Pemuda
itu mengangkat tangan dan berkatalah ia dengan suaranya yang
halus. "Ada terjadi ribut-ribut apa lagikah ini?"
Kemudian busu bekas hwesio maju selangkah, memberi hormat
dan memberi laporan singkat, "Seorang pemberontak memasuki kota raja dan membunuh banyak anggauta siwi. Akhirnya di sini
berkat kerja sama, hamba sekalian dapat menawannya hidup-
hidup." "Mana dia?" tanya pemuda tampan ini.
"Inilah orangnya, Siauw-ongya." Kemudian bekas hwesio ini mendorong Hui Lian maju.
636 Pemuda itu mengerutkan kening. Hui Lian memandang tajam,
sinar matanya dingin sekali karena ia mengira bahwa pemuda itu tentulah Wan Sin Hong yang entah dengan cara bagaimana kini dia menduduki pangkat tinggi di kota raja. Akan tetapi, pemuda itu memandang kepadanya seperti orang baru bertemu muka kali ini,
dan jelas nampak kekaguman membayang di matanya yang bagus
dan agak kebiruan. Kemudian katanya kepada komandan busu itu.
"Kalian ini kerjanya hanya bikin ribut saja dan mencari perkara.
Bagaimana seorang nona muda seperti ini kalian katakan
pemberontak" Coba ceritakan, bagaimana mula-mulanya" Nada suara yang tIdak senang itu membuat Si Komandan berubah air
mukanya. Anpun, Siauw-ongya. Gadis ini memang betul pemberontak. Dia
puteri dari Hwa I Enghiong Go
Ciang Le dan dia pernah
mengadakan hubungan dengan
Temu Cin!"
Pemuda tampan itu menengok
kepada Hui Lian, nampaknya
terkejut dan heran, juga tertarik.
Kemudian ia bertanya kepada Hui
Lian dengan suara halus.
"Nona, betulkah kau pernah
mengadakan hubungan dengan
Temu Cin" Sukakh kau
menerangkan hal ini kepadaku?"
Tadinya Hui Lian bersabar dan
ingin sekali melihat apa yang
akan dilakukan Wan Sin Hong
karena ia dapat menduga bahwa pemuda ini pasti akan
menolongnya, sungguhpun ia tidak terlalu menghapkan
pertolongannya. Akan tetapi ketika mendengar pertanyaan itu,
darahnya meluap. Sepasang matanya melotot dan in mendamprat,
"Wan Sin Hong, jangan kau hendak membadut di depanku! Aku sudah tertangkap oleh tikus-tikus istana, hendak "
637 Hal 24-25 ". Ga ada
". Mongol yang bertubuh kate. Ketika kami datang, mata-mata
itu hendak lari, akan tetapi berhasil hamba tewaskan. Gadis liar ini tidak mau menyerah, melainkan melawan dan menewaskan banyak
anak buah hamba. Akhirnya datang kawannya, seorang hwesio yang kosen dan yang dapat pula kami tewaskan itu telah dia membunuh banyak kawan hamba. Gadis ini sendiri baru dapat ditangkap di sini.
Mohon petunjuk selanjutnya dari Siauw-ongya."
"Kau lepasken dia!"
Perintah yang sama sekali tak pernah disangka-sangkanya ini
membuat komandan itu dan semua busu mengangkat muka
terheran-heran, juga penasaran. Gadis itu akhirnya dapat ditangkap dengan susah payah setelah mengorbankan dua puluh lebih anak
buah pasukan, bagaimana sekarang disuruh melepaskan lagi"
"Tapi... ampun, Siauw-ongya... tapi" dia pemberontak
berbahaya dan... dan"."
"Cukup omong kosong ini' Dia putri Go Ciang Le, bukan berarti dia pemberontak! Apa buktinya dia memberontak" Dia baik-baik
melancong ke kota raja, tanpa kesalahan apa apa kau yang terlalu pintar ini sudah mencurigainya. Kemudian kau datang dengan
gentong-gentong nasi itu hendak menangkapnya. Dia seorang gadis kang-ouw yang gagah, tentu saja tidak sudi ditangkap. Kemudian kalian mengeroyoknya dan dia melawan sampai ada beberapa orang gentong nasi tewas. Salah siapakah itu" Hm, kalau saja busu-busu istana tidak begitu goblok, menangkap-nangkapi orang tidak
berdosa sebaliknya tidak becus menangkap penjahat-penjahat yang sesungguhnya "..!" Pangeran Wanyen menarik napas panjang
kemudian perintahnya, "Lepaskan dia!"
"Akan tetapi hamba... hamba tidak bertanggung jawab kalau dia mengamuk di kota raja. Siauw-ongya," kata komandan bekas
hwesio itu ragu-ragu dan takut.
"Siapa mendengar mulut busukmu" Aku yang menyuruh lepas,
aku pula yang tangung jawab! kau ini siapakah berani membantah perintahku" Hm... benar benar tidak beres. Seorang komandan kecil saja sudah mulai berani menentangku."
638 Komandan itu menjadi pucat dan cepat-cepat ia menjatuhkan diri berlutut, "Tidak sama sekali, Siauw-ongya. Mohon ampunkan dosa hamba. Baik, hamba mentaati perintah!" Ia buru-buru berdiri dan dengan tangan-tangan gemetar melepaskan ikatan tangan dan kaki Hui Lian.
"Sekarang pergilah, bawa anak buahmu dan rawat mereka yang luka, urus yang sudah tewas. Selanjutnya, kalau tidak sudah nyata bukti-buktinya, kalian tidak boleh sembarangan menangkap-nangkapi orang." Komandan itu memberi hormat, lalu
mengundurkan diri bersama anak buahnya sambil menundukkan
kepala. Mereka semua berkecil hati karena tadinya mengharapkan pujian dan pahala, tidak tahunya bahkan mendapat celaan dan
makian! Sementara itu, Hui Lian melihat semua peristiwa ini dengan hati tidak karuan. Sudah semenjak kecil ia didongengi ayah bundanya bahwa pemerintah Kin amat jahat, bahwa pembesar-pembesar Kin
amat kejam sehingga telah timbul rasa benci di dalam hatinya
terhadap Pemerintah Kin, dan karenanya dahulu ia bersimpati
terhadap Temu Cin yang bermaksud menumbangkan Pemerintah
Kin. Akan tetapi sikap pangeran muda bangsa Kin pangeran yang
semuanya serupa benar dengan Wan Sin Hong, hanya warna
matanya yang berbeda, membuat ia ragu-ragu. Mata Sin Hong
tajam dan maniknya hitam arang, sedangkan mata pangeran ini
tajam akan tetapi maniknya agak kebiruan. Alangkah jauh bedanya sikap pangeran ini dengan apa yang ia dengar dari ayah bundanya tentang kekejaman orang-orang bangsa Kin!
Dengan jengah, terpaksa Hui Lian melangkah malu, menjura
kepada pangeran Wanyen sambil berkata,
"Aku tidak tahu apakah aku harus berterima kasih kepadamu, Siauw-ongya, karena pertolongan dan pembelaanmu, tadi benar-benar membuat aku tidak mengerti. Akan tetapi betapapun juga,
aku harus minta maaf atas kekasaranku tadi, karena aku tadinya mengira Siauw ongya adalah seorang lain...."
"Dengan Wan Sin Hong" Benar-benarkah dia seperti aku" Orang macam apakah dia" Aku ingin sekali bertemu dengan dia!" kata Pangeran itu dan pandang matanya terhadap Hui Lian membuat
639 gadis ini menundukkan mukanya karena jelas sekali terpancar sinar kagum dan tertarik. Hui Lian tidak mau bicara lebih banyak tentang Wan Sin Hong, dan pada saat itu, pemuda baju hijau berkata,
suaranya juga halus dan sopan.
"Go-lihiap, kau menghaturkan terima kasih atau tidak bagi Pangeran Wanyen tidak ada bedanya. Ketahuilah bahwa Pangeran
Wanyen adalah satu-satunya orang di kota raja yang boleh kau
percaya penuh kemuliaan hatinya yang suka menolong siapa saja
yang mengalami kesusahan."
"Aah, Coa-sicu, kau ini bisa saja!". Pangeran itu mencela, kemudian berkata kepada Hui Lian, "Nona, dia itu berdusta.
Sesungguhnya, dialah yang menolongmu. Kalau tidak ada dia yang datang kepadaku, yang menyatakan bahwa kau ini puteri seorang
pendekar besar, menyatakan pula bahwa Ibumu adalah Sumoi dari
pendekar wanita Thio Ling In isteri dari Pamanku Wanyen Kan,
bagaimana aku bisa tahu dan bisa menolongmu" Dan pula, dialah
orangnya yang akan mengantarmu keluar dari kota raja agar kau
jangan sampai diganggu orang di sini. Maka kalau mau bicara
tentang terima kasih, agaknya kepada dia lah kau harus berterima kasih. Nah, selamat jalan, Nona, mudah-mudahan kita dapat
bertemu kembali dalam keadaan yang lebih baik. Coa-sicu, kauantar nona Go keluar dari kota raja dan setelah ia berada dalam keadaan aman betul baru kau kembali ke istanaku memberi laporan."
"Baik Siauw-ongya," jawab pemuda she Coa itu, nampaknya gembira sekali.
Pangeran Wanyen itu naik kembali ke dalam kendaraannya dan
Hui Lian mengejar dengan ucapan. "Terima kasih banyak atas budi kebaikan Siauw-ongya."
Pangeran muda itu menengok, tersenyum, lalu masuk ke dalam
kendaraan dan menutup pintu kendaraan. Kemudian ia memberi
perintah kepada pengendara dan kendaraan itu bergerak maju,
ditarik oleh empat ekor kuda yang besar dan kuat.
Pemuda baju hijau itu menjura kepada Hui Lian dan berkata
perlahan, "Go lihiap, mari kita berjalan sambil bercakap-cakap. Tidak baik di sini, terlalu diperhatikan orang."
640 Hui Lian maklum karena memang semenjak tadi, orang-orang
menonton dari jauh, tidak berani mendekat Pangeran Wanyen yang di kota raja mempunyai kedudukan tinggi itu. Sambil berjalan
pemuda baju hijau itu berkata, sikapnya ramah tamah dan sopan.
"Go-lihiap, kau tentu bertanya-tanya di dalam hati siapakah aku ini maka aku berusaha untuk membantumu."
"Memang aku merasa heran sekali dan juga tidak enak hati
karena tidak mengenal siapa orang yang sudah berlaku baik
kepadaku."
"Aku yang rendah bernama Coa Hong Kin. Suhuku Cam-kauw Sin kai kenal baik dengan Ayahmu."
"Ah, jadi kau murid Cam-kauw Sin-kai" Aku pernah bertemu
dengan dia ketika dahulu mengunjungi rumah Ayah." Kata Hui Lian dengan girang karena ia tahu bahwa Cam-kauw Sin-kai adalah
seorang pendekar tua yang disukai oleh ayahnya. Kini bertemu
dengan muridnya, berarti bertemu dengan orang segolongan.
Coa Hong Kin mengangguk. "Suhu juga banyak bicara dengan
aku dan mendongeng tentang Ayah Bundamu, tentang kau dan
tentang Sucimu yang bernama Gak Soan Li. Sudah lama sekali aku amat kagum terhadap keluarga Ayahmu. Oleh karena itu, tadi
secara tidak mengaja aku mendengar tentang keributan di hotel, tentang seorang nona bernama Go Hui Lian puteri Go Ciang Le yang dikeroyok oleh para busu. Aku tahu apa artinya itu, dan tahu bahwa para busu di sini amat kuat dan berbahaya. Oleh karena itu, aku sengaja pergi mencari dan menarik tangan Pangeran Muda Wanyen
untuk menolongmu."
"Kalau begitu betul Pangeran Wanyen," kata Hui Lian sambil tersenyum "Agaknya aku berhutang terima kasih kepadamu,
Saudara Coa."
"Ah, tak perlu sungkan, Nona. Di antara kita, apakah artinya saling bantu" Aku pun di dunia kangouw entah sudah berapa ratus kali dibantu oleh kawan- kawan segolongan."
Jawaban ini menyenangkan hati Hui Lian. Dalam diri Coa Hong
Kin ia mendapatkan seorang pemuda yang tidak saja tampan dan
641 gagah, juga amat jujur dan bersikap sederhana sungguhpun
pakaiannya rapi dan bersih selalu.
"Amat menarik hatiku untuk mengetahui bagaimana kau bisa
kenal begitu baik dengan Pangeran itu, Saudara Coa," kata Hui Lian.
Coa Hong Kin menghela napas panjang. "Aku pujikan kelak dia yang akan menjadi kaisar. Jika demikian halnya agaknya hidup ini akan banyak senang karena keadilan selalu dikemukakan oleh
Kaisar. Dia itu banyak persamaannya dengan Wanyen Kan yang
pernah kudengar sifat dan wataknya dari Suhu. Pangeran Wanyen
ini bernama Ci Lun, atau panjangnya Wanyen Ci Lun. Dengan
Wanyen Kan ia adalah keponakan karena ayahnya yang sudah
meninggal adalah kakak dari Wanyen Kan. Seperti juga Wanyen Kan dahulu, Pangeran Wanyen Ci Lun ini tidak bersikap sombong dan
suka bergaul dengan rakyat, bahkan amat menyukai kebudayaan
rakyat jelata sehingga gerak geriknya tiada ubahnya seperti seorang Han terpelajar. Hanya bedanya, kalau Wanyen Kan dahulu seorang gagah perkasa yang tinggi ilmu silatnya, adalah Wanyen Ci Lun ini tidak pernah mempelajari ilmu silat, hanya ilmu keusasteraannya amat tinggi. Dia amat mengagumi orang-orang gagah dan banyak
membaca cerita tentang orang-orang gagah. Maka tidak heran
apabila ia mendengar permintaanku dan cepat-cepat pergi
menolongmu. Aku kenal dengan Pangeran Wanyen Ci Lun ketika
pada suatu hari ia menyamar sebagai penduduk desa dan keluar
dari kota raja, kemudian hampir menjadi korban penjahat karena dikira seorang pemuda kaya raya hendak dirampok. Kebetulan aku melihatnya dan turun tangan mengusir para penjahat itu. Semenjak itu, sudah dua tahun yang lalu, kami bersahabat dan setiap kali aku datang di kota raja, aku pasti berkunjung dan bahkan menginap di gedungnya."
Hui Lian mengangguk-angguk, bukan hanya untuk memuji dan
menyatakan kagum kepada Pangeran Wanyen Ci Lun, akan tetapi
diam-diam juga lenyap keheranannya tadi ketika melihat persamaan wajah pangeran itu dengan wajah Wan Sin Hong. Ia tahu bahwa
Wan Sin Hong adalah putera Thio Ling In dan Wanyen Kan atau
Wan Kan, maka antara Sin Hong dan Pangeran Wanyen Ci Lun
masih ada pertalian darah, yakni saudara seketurunan Wanyen.
Pada hakekatnya she Wanyen.
642 Percakapan mereka tertunda ketika lima orang berpakaian
penjaga menyetop mereka dan dengan suara angkuh bertanya,
"Kalian siapa dan hendak ke mana" Beri keterangan jelas, kalau tidak terpaksa kami tahan" kata seorang di antara mereka.
Hong Kin dan Hui Lian maklum bahwa karena peristiwa tadi maka
di seluruh kota diadakan penjagaan ketat dan pemeriksaan. Coa
Hong Kin dengan tenangnya mengeluarkan sesuatu dari saku
bajunya, mendekati kepala penjaga dan memperlihatkan benda itu.
Kepala penjaga setelah melihat benda itu lalu berdiri tegak,
memberi hormat dan berkata.
"Taijin dan Toanio dipersilakan melanjutkan perjalanan'"
Hong Kin tersenyum dan membetot tangan Hui Lian untuk segera
pergi. Setelah jauh dari tempat penjagaan, baru ingatlah pemuda itu bahwa ia masih memegangi tangan Hui Lian yang halus kulitnya,
maka buru-buru ia melepaskan tangan itu dan wajahnya menjadi
merah. Hui Lian sendiri karena tadi melihat perbuatan Hong Kin ini amat wajar dan disangkanya untuk mengelabuhi mata para penjaga tidak keberatan tangannya di betot, maka ia pun tidak merasa apa-apa.
"Saudara Hong Kin, benda apakah yang begitu besar
pengaruhnya, sehingga para penjaga itu nampak ketakutan"
Mengapa pula kau disebut taijin, pangkat apakah yang kaupegang?"
Hong Kin mengeluarkan benda itu dan memperlihatkannya


Pedang Penakluk Iblis ( Sin Kiam Hok Mo) Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepada Hui Lian. Ternyata itu adalah sebuah kancing baju terbuat daripada emas yang diukir merupakan seekor liong melingkari huruf
"WANYEN". Pemegang kancing ini berarti seorang kepercayaan dari Pangeran Wanyen Ci Lun, maka penjaga tadi menjadi takut dan
tidak berani mengganggu.
"Karena memegang kancing ini aku disangka pembesar dan
disebut taijin, benar-benar lucu sekali." Hong Kin tertawa dan Hui Lian juga ikut tertawa. Diam diam Hui Lian merasa suka kepada
pemuda baju hijau yang patut dijadikan sahabat yang baik dan
menyenangkan. 643 Beberapa kali mereka ditahan dan dperiksa, akan tetapi selalu
kancing wasiat yang dibawa oleh Hong Kin membuka semua jalan
dengan lancarnya. Bahkan ketika mereka menghadapi pintu
gerbang tembok kota raja yang tertutup kancing itu pun cukup
berkuasa untuk membukanya. Dengan lega mereka berdua berlari
keluar dari pintu gerbang kota sebelah selatan.
"Saudara Coa, kita sekarang harus lari ke mana?" tanya Hui Lian yang tidak mengenal daerah ini.
"Aku mempunyai kenalan baik, Nona, yakni seorang hwesio yang bernama Hoan Ki Hosiang di kelenteng Kwan te-bio tak jauh dari sini, di luar sebuah kampung. Mari kita pergi dan bermalam di sana.
Besok kau baru dapat melanjutkan perjalananmu dan aku harus
kembali ke istana." Kalimat terakhir ini keluar dari mulut Hong Kin dengan nada kecewa.
Memang pemuda ini merasa amat kecewa harus sudah
meninggalkan Hui Lian pada esok hari. Biarpun baru saja bertemu dan berkenalan dengan Hui Lian, namun ia amat tertarik dan diam-diam ia telah jatuh hati kepada gadis perkasa ini. Mereka berjalan terus menuju ke kelenteng yang dimaksudkan oleh Hong Kin sambil bercakap-cakap.
"Saudara Hong Kin, sudah lamakah kau berada di kota raja?" tiba tiba Hui Lian bertanya.
"Sudah beberapa bulan, ada apakah?"
"Pernahkah kau mendengar tentang Ayah Bundaku di kota raja"
Sebetulnya aku sedang mencari mereka dan kukira tadinya bahwa
mereka pergi ke kota raja."
"Orang-orang besar seperti Ayah Bundamu kalau tiba di kota raja siapakah yang takkan tahu" Tidak, Nona. Ayah Bundamu pasti tidak ada di kota raja. Baru kau saja yang datang semua orang sudah
mengetahui, apalagi kalau yang datang Ayah Bundamu, pasti timbul kegemparan hebat." Hong Kin berhenti sebentar, kemudian dia teringat akan penuturan komandan busu di depan Pangeran
Wanyen, maka ia lalu bertanya,
644 "Nona, tentang orang Mongol kate yang dikatakan berada
dikamarmu, bagaimanakah persoalannya" Setelah kita menjadi
sahabat, kiranya tidak berhalangan kalau aku bertanya tentang ini kepadamu."
"Tentu saja, tidak ada rahasia apa-apa, dan juga dengan orang
aneh itu." Hui Lian lalu menuturkan sejujurnya tentang semua yang ia alami di hotel Thian Lok Likoan, bahkan ia menuturkan pula
tentang dua orang busu yang mengaku sebagai pejuang rakyat dan yang telah menolongnya pula. Ia menuturkannya dengan kata-kata menyatakan herannya.
"Saudara Hong Kin, baru sehari saja di kota raja aku merasa seperti berada dalam mimpi, berada dalam sebuah tempat yang
penuh rahasia dan aneh sekali. Ada mata-mata Mongol, lalu ada
busu yang mengaku pejuang rakyat dan membelaku, ada komandan
busu gundul dan kemudian muncul orang seperti Pangeran Wanyen
yang menolong orang yang dianggap pemberontak, kemudian, aku
bertemu pula dengan orang seperti kau ini. Apakah sih artinya
semua rahasia di kota raja?"
Hong Kin tersenyum. "Memang membingungkan bagi yang tidak tahu, Nona. Keadaan di kota raja memang rusuh dan
menggelisahkan. Memang pada saat ini ada tiga macam pengaruh
saling bertentangan di kota raja, bahkan lebih dari tiga karena masing-masing pengaruh terpecah pula menjadi dua golongan.
Pertama adalah pengaruh dari Pemerintah Kin sendiri, yakni kaisar yang didukung oleh para pangeran dan mempergunakan pasukan
busu yang amat besar untuk melindungi keselamatan keluarga
Kaisar. Akan tetapi pihak ini sendiri boleh dibilang terpecah dua karena ada golongan yang mempunyai cita-cita sendiri, yaitu
hendak bekerja sama dengan rakyat. Kau tentu dapat menduga
bahwa Pangeran Wanyen Ci Lun termasuk golongan ke dua ini. Dia tidak anti Kaisar hanya tidak setuju akan cara kerja Kaisar, tidak mau menindas rakyat bahkan hendak mengambil hati rakyat untuk
diajak memperkuat negara!"
Hui Lian mengangguk-angguk. "Sifat yang amat baik. Aku pernah mendengar cerita Ayah tentang Wanyen Kan, demikian sifat
pangeran itu dahulu."
645 Hong Kin melanjutkan penuturannya. "Adapun pengaruh ke dua adalah pengaruh dan bangsa Mongol yang dipimpin oleh Temu Cin, dan pada waktu ini di kota raja banyak sekali pengikutnya,
menyamar sebagai pedagang dan penduduk biasa, bahkan ada yang
menyamar sebagai busu, Mata-matanya, tersebar luas dan orang
kate yang kaulihat itu adalah seorang di antara mata-matanya.
Karena kau pernah ke utara dan bertemu dengan Temu Cin,
mendapat penghargaan pemimpin Mongol itu seperi yang
kauceritakan tadi. Maka tentu saja mata-mata Mongol menaruh
hormat dan suka membelamu."
"Temu Cin memang lihai sekali, dia patut menjadi pemimpin besar." Hui Lian memberi komentar. "Kedudukan Pemerintah Kin tentu terancam oleh munculnya pemimpin ini."
"Memang demikianlah." Hong Kin membenarkan. "Kemudian pengaruh yang ketiga, yakni terdiri daripada penyelidik-penyelidik dan mata-mata para pejuang rakyat yang semenjak dahulu tiada
hentinya mengadakan pemberontakan menentang kekuasaan
Pemerintah Kin Dan pengaruh inilah yang terpecah- pecah, sebagian adalah yang bercita cita sendiri menggulingkan kekuasaan
Pemerintah Kin, ada pula yang hendak bersekongkol dengan orang-orang Mongol dalam menentang Pemerintah Kin, ada pula yang
sebaliknya, yakni mau bersekongkol dengan Pemerintah Kin untuk menentang ancaman orang-orang Mongol.Pendeknya, di kota raja
terjadi pertentangan-pertentangan yang ruwet dan yang amat
merugikan saja."
"Hm, memang enak sekali bagi orang- orang jahat untuk
memancing di air keruh," kata Hui Lian.
Hong Kin memandang kagum. "Ternyata kau cerdik sekali dan mengerti hal yang demikian ruwetnya dengan menangkap inti
sarinya. Memang demikianlah Nona. Pertentangan-pertentangan
yang ruwet itu dijadikan kesempatan luas sekali oleh orang-orang bermoral bejat untuk menggaruk keuntungan sebesar-besarnya,
mengadu domba sana sini dan memeras mereka yang lemah."
Sementara itu, bulan telah muncul tinggi. Kebetulan sekali bulan purnama, maka keadaan menjadi indah menimbulkan kegembiraan,
dan hawanya sejuk sekali.
646 "Mari kita mempercepat perjalanan. Kelenteng Kwan-te-bio sudah dekat. Paling jauh lima li lagi," kata Hong Kin.
"Ssst, ada suara derap banyak kuda dari belakang!" Hui Lian berkata, Hong Kin yang kalah tajam pendengarannya,
menghentikan tandakan kakinya. Setelah menyatukan perhatiannya, ia pun mendengar pula derap kaki kuda itu, bahkan telinganya yang sudah berpengalaman dapat menduga bahwa yang datang itu
sedikitnya ada dua puluh ekor kuda.
"Celaka, kita dikejar juga!" katanya. 'Lebih baik kita lari sebelum tersusul."
Hui Lian menggelengkan kepalanya. "Apa gunanya" Kalau betul mereka yang mengejar, biarpun kita lari akhirnya akan tersusul juga. Bagaimana kita dapat mengadu kekuatan berlari dengan kuda pilihan" Tidak, Saudara Coa. Lebih baik kita melanjutkan perjalanan seperti tadi. Kalau sampai tersusul dan mereka menyerang, kita lawan sedapatnya. Dan lagi, belum tentu mereka itu adalah para busu yang mengejar kita."
Hong Kin tidak membantah lebih lanjut karena ia tidak suka kalau nona ini akan menganggapnya pengecut. Dua orang muda ini
melanjutkan perjalan seperti tadi dengan tenang. Suara derap kaki kuda makin lama makin jelas dan tak lama kemudian muncullah
serombongan orang menunggang kuda dengan cepat, Hong Kin dan
Hui Lian berdiri di pinggir jalan dan dua puluh lebih penunggang kuda itu lewat dengan cepat.
Hong Kin sudah menarik napas lega karena kecepatan kuda itu
tidak memungkinkan mata mengenal mereka dan melihat mereka
lewat tanpa menoleh, besar harapannya bahwa mereka memang
bukan para busu yang mengejar. Akan tetapi tiba-tiba penunggang kuda yang paling belakang berseru.
"Ini mereka! Berhenti...!"
Serentak mereka menahan kendali kuda dan debu mengepul
tinggi. Di lain saat para penunggang kuda sudah memutar kepala kuda dan seorang yang bertubuh tinggi akan tetapi punggungnya
bongkok, duduknya di atas kuda miring tak seperti layaknya orang 647
menunggang kuda, menggerakkan kuda dan maju menghadapi
Hong Kin dan Hui Lian.
"Nona, dia itu adalah kepala busu kaisar, bernama Liok-te Mo-ong Wie It." Hong Kin berbisik kepada Hui Lian, suaanya
menyatakan kekhawatiran besar. Pemuda ini tidak takut dan tidak mengkhawatirkan keselamatan diri sendiri, akan tetapi ia benar-benar khawatir akan keselamatan nona yang telah merampas
hatinya itu. Hui Lian memandang, ingin sekali tahu bagaimana macamnya
orang memakai julukan Liok-te Mo-ong (Raja Iblis Bumi) itu.
Ternyata orangnya tidak sehebat nananya, bahkan melihat
orangnya, menimbulkan kesan bahwa orang itu adalah seorang
sarang penyakit yang sudah mendekati lubang kubur. Tubuhnya
tinggi sekali, punggungnya bongkok seperti tongak patah, kepalanya yang tertutup topi seperti komandan-komandan busu lain nampak
benjol-benjol, hidungnya melenceng ke kiri dan sepasang matanya juling. Hanya pakaiannya yang berharga karena memakai pakaian
indah dan lebih gagah daripada pemimpin-pemimpin pasukan busu
lainnya. Ini tidak mengherankan oleh karena dia adalah kepala busu di istana, orang yang menjadi pelindung Kaisar dan pengaruh serta kekuasaannya amat besar. Di pinggang kiri tergantung sebatang
pedang yang sarungnya indah sekali, inilah pedang pemberian
Kaisar dan yang lucu sekali di pinggang depan terselip sebatang suling. Diam-diam Hui Lian merasa geli dan bertanya-tanya apakah orang macam ini bisa meniup suling dan berlagu" Apalagi kalau
melihat cara orang itu menunggang kuda benar-benar menggelikan.
Duduknya miring dengan kedua kaki ke samping kiri seperti cara puteri-puteri harus menunringgang kuda!
"Hm, kau inikah yang bernama Hui Lian puteri Go Ciang Le?"
kata Iblis Bumi ini mengeluarkan suaranya yang tinggi kecil dan parau, buruk sekali seperti orangnya.
Hui Lian tidak dapat menahan geli hatinya dan ia tersenyum.
Memang lucu sekali orang ini. Mukanya menghadap ke lain jurusan, akan tetapi dia yang ditanyainya padahal matanya juga diarahkan ke jurusan lain. Ini disebabkan karena kejulingan mata busu ini memang agak berat sehingga kalau mukanya menoleh ke kiri, yang 648
dipandang adalah sebelah kanam. Dan ini pula yang membuat ilmu silatnya lebih berbahaya karena lawan yang bertempur
menghadapinya seringkali menjadi bingung!
"Akulah Go Hui Lian, kau ini siapa mau apa datang-datang
menyebut namaku dan nama Ayahku?"
Orang itu masih menengok ke lain jurusan dan Hui Lian sendiri
tidak tahu bahwa sebetulnya sepasang mata yang juling itu
langsung menatap wajahnya. Tiba-tiba orang itu berkata, "Kau harus ikut dengan kami ke istana!" Dan tangan kanan diulur ke depan, lima jari tangan yang bengkok-bengkok menyambar ke arah pundak Hui Lian!
Gadis itu kaget sekali. Tak pernah disangka-sangkanya bahwa
orang aneh itu akan menyerangnya demikian cepat. Bagaimana
orang dapat menyerang tanpa memandang. Orang itu masih
menengok ke lain jurusan, bagaimana bisa menyerangnya begitu
cepat dan tepat. Akan tetapi ia tidak mempunyai waktu untuk
mengherankan hal itu. Cepat ia mengelak ke belakang. Akan tetapi, tetap saja pundaknya kena dicengkeram oleh jari-jari tangan itu.
Hui Lian mengeluarkan seruan kaget cepat mengerahkan
lweekangnya mempergunakan Ilmu Sia-kut-hoat menggerakkan
pundak secara berputar hingga ia dapat membebaskan diri dari
cengkeraman itu. Akan tetapi terdengar suara kain pecah karena pakaian di bagian pundaknya robek dan hancur!
Hui Lian benar-benat terkejut sekali. Tadi ia telah mengelak dan menurut perhitungan, tak mungkin orang itu dapat mengulur tangan sampai dipundaknya. Jarak antara orang itu di atas kuda dan dia terlampau jauh. Betapapun panjang lengan orang itu, kiranya tidak mungkin dapat mencapai pundaknya. Kemudian ia teringat akan
penuturan ayahnya bahwa dunia kang-ouw memang ada ilmu
semacam Jiu-kut-kang, yakni ilmu melepas dan melemaskan tulang dan urat sehingga lengan tangan kalau dipergunakan dapat diulur sampai melebihi ukuran panjang yang semestinya, bahkan yang
sudah ahli betul dapat memperpanjang ukuran lengannya sampaI
dua kali! Kiranya manusia seperti setan ini memiliki ilmu semacam itu, pikir Hut Lian. Dengan marah ia lalu mencabut pedangnya, siap untuk melawan.
649 Akan tetapi Hong Kin mendahuluinya. Pemuda ini melompat maju
dan berdiri di depan Hui Lian sambil berkata,
"Nanti dulu, Lo-ciangkun. Nona Go ini bukan musuh lagi, dia sudah dibebaskan oleh Wanyen Siauw-ongya dan dianggap tidak
berdosa. Bahkan Siauw-ongya menitahkan kepadaku untuk
mengantar Nona Go keluar dari kota raja. Mengapa sekarang Lo-
ciangkun menyusul dan hendak menangkapnya?"
We It kini menengok ke arah Hui Lian, akan tetapi ia bicara
kepada Hong Kin dengan suara dan gaya memandang rendah,
"Kau ini siapakah?"
"Sudah kukatakan tadi, aku Go Hui Lian. Mengapa tanya-tanya lagi?" jawab Hui Lian dengan mendongkol. Ia sudah diserang sampai pakaiannya di bagian pundak robek, kini baru dipandang
dan ditanya nama, sungguh ia merasa dipermainkan.
Akan tetapi ada kejadian yang amat lucu. Wie It tetap
memandang ke Hui Lian, akan tetapi mulutnya bertanya dengan
nada tak sabar.
"Aku tak tanya kepadamu! Hei kau baju hijau, siapakah kau berani menghalangi niatku?"
Hui Lian tercengang, kemudian setelah ia memandang dengan
penuh perhatian, hampir meledak suara ketawanya. Kini baru ia
sadar dan tahu bahwa sebetulnya biarpun muka dan mata orang
aneh itu ditujukan kepadanya, orang ini bukan sedang
memandangnya, melainkan memandang kepada Hong Kin!
"Lo-ciangkun, siauwte adalah sahabat baik dari Wanyen Siauwongya." Sambil berkata demikian Hong Kin mengeluarkan kancing emas yang tadi telah dijadikan barang wasiat dan pelindung.
"Hmm, Wanyen Siauw-ongya masih terlalu muda maka amat
sembrono," katanya dengan suara di hidung. "Bagaimanapun juga gadis ini harus kutawan dan kubawa ke istana!"
"Lo-ciangkun, apakah kau tidak memandang kepada kancing baju Wanyen Siauw-ongya?"
650 "Tidak peduli, aku melakukan tugasku." Kembali tubuhnya bergerak dan targannya diulur, akan tetapi kini Hui Lian sudah bersiap sedia sehingga ia melompat mundur sambil mengibaskan
pedangnya. "Lo-ciangkun terpaksa aku harus melindunginya. Aku sudah
menerima perintah dari Wanyen Siauw-ongya untuk melindungi
Nona ini, biarpun harus berkorban nyawa, aku harus setia dan taat akan perintah itu!" Sambil berkata demikian Hong Kin sudah mencabut tongkat pendeknya dari ikat pinggang dan berdiri dengan sikap menantang.
"Ho-ho-ho-ho, kau berani melawan kami?" tanya Wie It dengan muka menghadapi Hui Lian.
"Siapa takut kepadamu, setan?" Hui Lian mendamprat karena lagi-lagi ia mengira bahwa Wie It bicara kepadanya.
"Bocah lancang, aku tidak bicara padamu!" Wie It membentak sambil menoleh kepada Hong Kin. "Aku bicara dengan pemuda ini"
Kembali ia menoleh kepada Hui Lian dan melanjutkan
pertanyaannya, "Benar-benarkah kau berani melawan kami?"
Memang amat membingungkan bagi yang belum biasa. Kalau
Wie It menoleh kepada Hong Kin berarti dia bicara kepada Hui Lian dan demikian sebaliknya.
Julingnya memang terlalu sekali dan suka menipu orang sehingga Hui Lian yang terkenal cerdik sampai kecele dua kali!
"Lo-ciangkun, aku harus melindungi gadis ini sebagai
pelaksanaan tugas yang diperintahkan oleh Wanyen Siauw-ongya,
dan untuk melaksanakan perintah itu aku tidak bisa memandang
siapa-siapa," jawab Hong Kin.
'Ha, ha, ho, ho, kau seperti anak domba menantang harimau.
Kau murid siapakah?" tanya Wie It dengan lagak sombong.
"Cam-kauw Sin-kai adalah suhuku yang mulia," jawab Hong Kin.
"Aha, pantas, pantas! Pantas kau begini besar hati dan tabah, tidak tahunya murid Pengemis Pembunuh Anjing itu." Memang 651
nama julukan Cam-kauw Sin-kai berarti Pengemis Sakti Pembunuh
Anjing maka Wie It berkata demikian. Kemudian kepala busu istana ini menoleh kepada perwira busu yang duduk di atas kuda di
sebelah kirinya.
"Bu Tong kauwakili aku mendorong pergi bocah ini!"
Busu yang berada di sebelah kirinya diam saja, akan tetapi yang berada di sebelah kanannya yang menjawab,
"Wie-taiciangkun, manusia macam ini saja mengapa mesti aku sendiri yang turun tangan" Kalau harus menangkap nona she Go itu baru pantas namanya. Untuk bocah sombong murid jembel ini
kiranya cukup pembantuku yang turun tangan!" Ia lalu memberi isyarat ke belakang dan majulah seorang busu yang pendek gemuk seperti gentong arak. Busu yang bernama Bu Tong itu memang
memandang rendah kepada Hong Kin karena belum mengenal
pemuda ini, sedangkan ia merasa lebih patut melawan Hui Lian,
pertama karena memang ia sudah mendengar akan kelihatan nona
ini, ke dua karena ia merasa lebih suka kalau ditugaskan
menangkap Hui Lian daripada melawan pemuda yang memegang
tongkat pendek itu.
"Sesukamulah, akan tetapi hati-hati dia murid Cam-kauw Sin-kai, gurunya lihai," kata Liok-te Mo-ong Wie It.
Busu yang pendek gemuk itu melompat turun dari kudanya dan
di lain saat ia telah "menggelundung" ke depan Hong Kin. Kedua kakinya pendek, gerakannya gesit sehingga saking gemuk dan
pendeknya ia kelihatan tidak berjalan, melainkan menggelundung.
Seperti tukang sulap saja, tahu-tahu ia pun sudah memegang
sebatang toya yang tingginya melebihi kepalanya. Ia berdiri dengan tangan kiri di pinggang, tangan kanan memegang toya, matanya
yang sipit berkedip-kedip memandang Hong Kin, mulutnya tak dapat tertutup rapat dan melongo seperti sumur.
Hui Lian tak dapat menahan ketawanya, "Saudara Hong Kin,
awas, lawanmu seekor katak."
Biarpun menghadapi ketegangan, mendengar ini Hong Kin
ketawa juga. "Nona jangan memandang ringan, dia ini biarpun
652 kelihatan seperti seorang bayi gemuk, akan tetapi ilmu toyanya terkenal di kota raja."
Kemudian Hong Kin menghadapi lawannya dan berkata.
"Ciangkun, bukankah kau yang bernama Wong Sit dan berjuluk Kauw-ce-thian?" Julukan ini diberikan orang kepadanya karena kelihaian toyanya, karena Kauw-ce-thian Si Raja Monyet juga sakti karena toyanya yang bernama Kim kauw-pang.
"Bet-bet-betul...! Akulah K-Ka-Kauw' ce-thian Wong Sss...Sit! He, bocah she Coa, sss... sebelum ku-ku kuhancurkan kepalamu, lebih ba-ba-ba-baik kau serah kan n-n-nona itu ke-ke-kepadaku!"
Hui Lian tertawa cekikikan sambil menutupi mulutnya. Benar-
benar banyak busu yang lucu di istana, seperti sekumpulan badut.
Yang tinggi bongkok dan juling itu sudah aneh dan lucu, sekarang muncul busu seperti katak yang bicaranya gagap tidak karuan.
"Saudara Hong Kin, ini Kauw-ce-thian model mana" Dia tidak patut berjuluk Raja Monyet, lebih tepat diberi julukan Siluman katak, atau kalau mau mengambil julukan tokoh di dalam cerita See-yu, dia ini lebih tepat menjadi Ti Pat Kai-nya!"
Hong Kin tertawa lagi. Tak disangkanya nona ini demikian jenaka dan pandai bicara. Akan tetapi Kauw-ce-thi Wong Sit sudah merah mukanya dan marah sekali.
"Li-li-lihat to-toya!" serunya dan cepat ia menggerakkan toyanya yang panjang melakukan serangan ke arah dada Hong Kin. Benar
saja, biarpun orangnya tidak seberapa, namun setelah ia
menyerang, toyanya bergerak cepat dan dari pukulan senjata itu dapat diketahui bahwa ia bertenaga besar.
Hong Kin tidak berani berlaku lambat. Cepat ia melangkah
mundur sambil menggerakkan tongkatnya untuk menangkis dan di
lain saat mereka sudah bertanding ramai.
Cam-kauw Sin-kai adalah seorang tokoh besar kang ouw dan ia
amat terkebal dengan ilmu tongkatnya yang diciptakannya sendiri.
Ilmu Tongkat ini disebut Cam-kauw-tung-hwat (Ilmu Tongkat
Pembunuh Anjing) dan saking terkenalnya ilmu tongkat ini, maka ia amat disegani orang-orang kang-ouw. Seperti pernah dituturkan di 653
bagian depan, Cam-kauw Sin-kai mempunyai dua orang murid, yang pertama Ah Kai pengemis gagu yang telah tewas di Pulau Kim-ke-tho ketika keluarga See-thian Tok-ong ngamuk di sana. Adapun
murid kedua adalah Coa Hong Kin yang menjadi muridnya semenjak pemuda ini masih kecil. Oleh karena itu, dibandingkan dengan Ah Kai kepandaian Hong Km lebih masak dan lebih tinggi. Apalagi
pemuda semenjak kecil sudah banyak merantau banyak mengalami
pertempuran besar melawan penjahat-penjahat lihai sehingga makin bertambahlah kepandaiannya.
Menghadapi Wong Sit yang juga bukan orang lemah, Hong Kin
segera mengeluarkan kepandaiannya, yakni Ilmu Tongkat Cam-
kauw-tung-hoat. Ke mana pun juga toya panjang di tangan Wong
Sit bergerak dengan cepat dan kuatnya, selalu toya ini bertemu dengan tongkat kecil yang seakan-akan berubah menjadi puluhan
batang banyaknya dan berada di mana-mana menghalangi majunya
toya. Juga anehnya, biarpun amat kecil, namun setiap kali toya terbentur oleh tongkat kecil ini, bukan tongkat itu terpental, sebaliknya toya yang besar panjang itulah yang terbentur dan
membalik. Dari sini saja sudah dapat diukur kepandaian dan tenaga Hong Kin jauh lebih unggul.
Pada jurus ke dua puluh, ketika Wong Sit menusukkan toyanya
ke arah perut Hong Kin, pemuda ini miringkan tubuhnya dan
secepat kilat ia memegang ujung toya lawan. Karena toya itu
panjang sekali, maka sukar baginya untuk membalas serangan
lawan yang berada di ujung toya. Keduanya saling betot berebut toya, Hong Kin menyelipkan tongkatnya di pinggang dengan tangan kiri sedangkan tangan kanan tetap memegangi ujung toya lawan.
Biarpun Wong Sit mengerahkan tenaga membetot, mendorong,


Pedang Penakluk Iblis ( Sin Kiam Hok Mo) Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memutar, tetap saja ia tak dapat merampas kembali toyanya yang bagaikan berakar di tangan kanan Hong Kin.
Setelah menyimpan tongkatnya, Hong Kin memegang toya itu
dengan kedua tangan, mengerahkan tenaga, berseru, "Naik!" sambil menggunakan lweekangnya dan... tubuh Wong Sit di ujung sana
terangkat ke atas! Di lain saat Hong Kin sudah memegang toya itu dengan tubuh Wong Sit di atas toya, persis seperti orang bermain liong. Hong Kin memutar mutar toya dan Wong Sit berteriak-teriak ketakutan.
654 "Le le lepaskan... kau se-se-setan.., lepaskan! Aduh... aku bis-bis-bisa jatuh...!"
Kembali Hong Kin mengerahkan tenaga dan tubuh yang bundar
bentuknya melayang ke depan dan... menyangkut ke ranting-ranting pohon yang lebat daunnya. Di sana Si Kauw-ce-thian benar- benar menjadi monyet, akan tetapi monyet yang amat aneh karena ia
berteriak-teriak minta tolong. Mana ada monyet ketakutan berada di atas pohon. Kawan-kawannya segera lari mendatangi untuk
menolongnya. Adapun Hong Kin lalu melemparkan toya itu ke atas tanah.
Bu Tong, busu perwira pembantu Wie It, marah bukan main
melihat kelakuan pembantunya yang memalukan tadi. Ia melompat
turun dari atas kudanya dengan gerakan yang ringan sekali. Amat mengherankan kalau melihat betapa busu yang bertubuh tinggi
besar seperti raksasa ini dapat bergerak sedemikian cepat dan
ringan seperti seekor kucing. ! Memang Bu Tong adalah busu pilihan yang memiliki kepandaian tinggi. Dia adalah seorang panglima
bangsa Kin yang sudah banyak jasanya dalam menjaga dan
melindungi istana Kaisar. Bahkan ayahnya dahulu bersama dengan Liok-te Mo-ong Wie It merupakan panglima-panglima pilihan dalam balatentara Kin. Tadinya memandang rendah kepada Coa Hong Kin, akan tetapi ia kecele dan bahkan ia mendapat malu besar karena orangnya dipermainkan oleh pemuda itu. Dengan marah ia
melompat dan mencabut senjatanya, sebatang golok besar yang
nampaknya berat. Akan tetapi sebelum ia bergerak, Liok-te Mo-ong Wie It juga melompat turun dan atas kudanya dan berkata,
"Bu Tong, kau boleh tahan dia, akan tetapi jangan bunuh dia.
Tidak enak kau kita membunuh orangnya Pangeran Wanyen. Jaga
saja supaya dia tidak rewel, kalau perlu boleh lukai dia asal tidak sampai mampus. Biar aku sendiri menangkap Nona kepala batu ini!"
Setelah berkata demikian Wie It lalu mencabut keluar suling yang tadi terselip di ikat pinggangnya, lalu menghampiri Hui Lian sambil berkata.
"Nona Go Hui Lian, kau masih begini muda sudah keras kepala dan jangan kau mengira bahwa di dunia ini tak ada orang lain yang dapat mengalahkanmu. Lebih baik sekarang kau menurut dan
655 menyerah saja kubawa ke istana, agar aku tidak usah menurunkan tangan keras kepadamu."
-oo0mch-dewi0oo-
Jilid XXIV HUI LIAN dapat menduga bahwa orang yang aneh sekali ini
tentulah mimiliki kepandaian tinggi, maka ia pun lalu menggerakkan pedang melintang di depan dada sambil berkata,
"Lo-ciangkun, Saudara Coa ini telah melakukan tugasnya sebagai orang yang dipercaya oleh Pangeran Wanyen. Kalau dia yang
menerima tugas demikian taat dan setia, apakah aku yang
ditolongnya mau mengecewakan hatinya" Tidak, dia adalah seorang gagah perkasa, akan tetapi aku pun bukan seorang pengecut yang takut mati. Kalau kau hendak menangkapku, kau harus
mengalahkan pedangku lebih dulu!"
"Bocah sombong, kau belum mengenal kelihaianku. Robohlah!"
Terdengar suara bersiut ketika suling itu digerakan menotok ke arah pundak Hui Lian. Akan tetapi biarpun seorang ahli silat tinggi dan tokoh besar seperti Liok-te Mo-ong Wie It kecele sekali kalau
mengira akan dapat merobohkan Hui Lian dalam jurus pertama.
Dengan gerakan lincah Hui Lian dapat menggerakkan pedangnya
menangkis sambil menurunkan pundaknya. Suling di tangan Wie It terpukul membal, akan tetapi Hui Lian terkejut sekali karena merasa telapak tangannya tergetar oleh benturan itu. Ia maklum bahwa
tenaga lweekang orang aneh ini benar-benar hebat dan ia kalah
setingkat. Akan tetapi, dengan pedang di tangan. Hui Lian
merupakan naga bersayap, sebentar saja ia sudah mainkan ilmu
pedangnya yang ia warisi dari ayahnya dan Liok-te Mo-ong Wie-It terpaksa menelan kembali kesombongannya. Kini ia tidak berani
memandang rendah lagi karena beberapa kali ia harus berlompatan ke sana ke mari kalau ia tidak mau tubuhnya terbabat atau tertusuk pedang.
"Kau lihai...!" serunya dan kini tangan kanannya memegang pedang, sedangkan tangan kirinya memegang sulingnya. Untuk
656 menghadapi ilmu pedang seperti dimainkan oleh gadis ini, ia tidak sanggup kalau harus menggunakan suling saja.
Adapun pertempuran antara Hong Kin dan Bu Tong juga amat
ramai. Ternyata tingkat kepandaian mereka tidak terpaut banyak.
Para busu sudah turun semua dari kuda dan kini mereka menonton pertempuran dua rombongan ini dengan tertarik. Jarang sekali
mereka menyaksikan pertandingan ilmu silat tinggi yang demikian serunya. Bahkan baru kali ini nereka menyaksikan Liok te Mo-ong Wie-It bertempur menghadapi lawan tangguh. Biasanya Wie It kalau maju, sekali dua kali gebrakan saja pasti lawan sudah roboh binasa atau tertawan.
Liok-te Mo-ong Wie It terkenal sebagai seorang yang malas sekali kerjanya siang malam hanya tidur dan makan saja, atau kalau tidak tidur tentu mengeram di dalam kamarnya. Sebagai kepala busu, ia jarang bekerja dan cukup mewakilkan semua urusan kepada Bu
Tong yang menjadi pembantu utamanya. Hanya sekali-sekali kalau ada urusan besar, baru dia muncul dan turun tangan sendiri. Kali ini, karena Go Hui Lian dianggap seorang yang lihai, dan pula karena gadis ini telah dibebaskan oleh Pangeran Wanyen, kaisar yang
mendengar akan hal ini lalu menyuruh dia sendiri keluar istana untuk melakukan pengejaran dan penangkapan.
Oleh karena itu, alangkah heran dan kagumnya para busu ketika
melihat betapa kepala busu itu sama sekali tidak mudah menangkap gadis itu. Ilmu pedang yang dimainkan oleh Hui Lian terlalu
tangguh. Tadipun kalau tidak dikeroyok kalau hanya maju seorang lawan seorang kiranya Hui Lian tidak akan menemukan tandangan.
Sekarang baru ia bertemu tanding dan ia harus mengakui bahwa
Ilmu silat dari Raja Iblis Bumi ini benar-benar hebat. Betapapun juga ia tadi takut dan tidak mau mengalah, terus melakukan perlawanan hebat, kadang-kadang membalas dengan serangan yang tak kalah
lihainya. Sebaliknya, Bu Tong ternyata kalah cepat oleh Hong Kin. Ujung
tongkat pemuda itu sudah melukai pundaknya. Baiknya Bu Tong
adalah seorang ahli dalam hal ilmu kebal sehingga tongkat itu tidak melukai jalan darah, hanya merobek kulit sedikit dan mengakibatkan 657
keluarnya darah. Akan tetapi hal itu sudah membuat Bu Tong sibuk dan khawatir.
"Kawan-kawan, hayo bantu agar pekerjaan kita lekas selesai."
serunya keras. Mendengar perintah ini, semua busu mengeluarkan senjata masing-masing dan menyerbulah mereka. Ada yang
menyerang Hong Kin dan ada pula yang mengroyok Hui Lian.
Hui Liaan mengeluh. Gadis ini sudah lelah sekali dan dalam
menghadapi Wie-It saja ia sudah kewalahan. Apalagi sekarang
dikeroyok oleh enam orang busu dan yang kepandaiannya juga
rata-rata tinggi tak dapat disamakan dengan pengeroyoknya siang dan sore tadi.
"Nona Go lari..," Hong Kin tiba-tiba berteriak keras sambil memutar tongkatnya sedemikian hebat sehingga dua batang golok
lawan terkait dan terlempar. Hui Lian maklum bahwa jalan satu-
satunya untuk menyelamatkan diri hanyalah mencoba untuk lari di dalam malam yang remang-remang itu. Ia pun lalu memutar
pedangnya mainkan bagian ilmu pedang ayahnya yang paling
istimewa, yakni yang disebut Tai-hung lo-hai (Angin Taufan
Mengacau Lautan). Gerakannya demikian cepat dan kuat sehingga
seorang busu terluka lengannya dan yang lain terpaksa melompat mundur sambil memutar senjata melindungi diri. Kesempatan ini
dipergunakan oleh Hui Lian untuk melompat jauh bersama dengan
Hot Kin yang juga sudah melakukan lompatan tinggi dan jauh.
"Tangkap! Tangkap!" Para busu berteriak-teriak riuh rendah sambil mengejar.
"Jangan melepas am-gi (senjata gelap), tangkap hidup-hidup!"
kata Liok-te ong Wie It memperingatkan kawan-kawannya. Hal ini menguntungkan Hong Kin dan Hui Lian, karena kalau para busu
yang rata-rata ahli panah tangan itu mempergunakan panah, tentu dua orang muda itu tak dapat menyelamatkan diri dan nyawa
mereka terancam senjata gelap.
Selagi mereka main kejar-kejaran, tiba-tiba terdengar suara
ketawa yang luar biasa sekali. Suara ketawa seperti itu tak mungkin keluar dari mulut seorang manusia, lebih patut kalau keluar dari mulut iblis yang mengerikan. Suara itu menyeramkan sekali, apalagi 658
terdengar di waktu malam tanpa kelihatan orangnya, benar-benar membuat para busu tertegun. Bahkan Hui Lian sendiri yang
terhitung tabah dan tidak pernah mengenal takut, mendengar suara ketawa ini meremang bulu tengkuknya.
"Apa itu?" tanyanya kepada Hong Kin.
"Entah, belum pernah aku mendengar yang seperti itu...." jawab Hong Kin yang juga kaget setengah mati. Akan tetapi keduanya
berlari terus dari kejaran para busu. Dan tiba-tiba entah dari mana munculnya, tahu-tahu di depan mereka berdiri seorang berkepala gundul, orang yang menyeramkan sekali. Bentuk tubuhnya tinggi
besar sekali sehingga saking besarnya sampai kelihatan pendek.
Kepalanya gundul kelimis seperti kepala seorang hwesio yang baru dicukur. Kepalanya bundar, demikian tubuhnya dan hampir semua
anggauta mukanya bundar bentuknya, kulitma agak kehitaman.
0rang ini berdiri menghadang sambil berolak pinggang.
Munculnya yang tiba-tiba amat mengejutkan hati Hui Lian dan
Hong Kin yang sudah lelah sekali itu. Maka kedua orang muda ini pun otomatis menyangka buruk dan keduanya berbareng
menyerang orang gundul itu dengan senjata mereka.
Akan tetapi dengan sekali bergerak saja, serangan Hui Lian dan Hong Kin mengenai angin dan tiba-tiba orang menggerakkan kedua tangan menampar, Hui Lian dan Hong Kin mengelak cepat. Hui Lian lebih cepat dari Hong Kin hingga ia hanya merasa sambaran yang amat luar biasa di dekat kupingnya, akan tetapi Hong Kin kurang cepat dan pundaknya kena ditampar. Tamparan ini tidak amat
keras, namun akibatnya hebat. Hong Kin merasa pundaknya seperti terbakar dan ia tidak kuat menahan lagi, terhuyung-huyung lalu roboh tertelungkup di atas tanah, tongkatnya terlempar.
Hui Lian terkejut bukan main. Cepat ia menubruk dengan
pedangnya, diputar lalu menikam ulu hati orang gundul itu.
Lawannya mengeluarkan suara aneh seakan-akan kagum melihat
pedangnya yang hebat, kemudian bersilat dengan gerakan-gerakan aneh pula. Akan tetapi pedang di tangan Hui Lian tak pernah dapat menyentuh tubuhnya. Setelah bertempur lima jurus, Hui Lian harus akui bahwa berhadapan dengan seorang yang pandai sekali. Setiap kali orang itu mengedutkan lengan bajunya, hampir saja pedangnya 659
terlepas dari pegangan. Ia maklum bahwa dalam hal lweekang dan ginkang, ia kalah jauh oleh orang gundul ini. Hanya ilmu pedangnya yang berdasarkan Pak-kek Sin-ciang sajalah yang masih dapat
melindunginya. Ternyata kembali ilmu pedang warisan dari ayahnya ini niemperlihatkan keunggulannya. Beberapa kali orang gundul itu mengeluarkan seruan-seruan aneh, seakan akan mengenal ilmu
pedang ini dan menjadi gentar. Tiba-tiba tangan kirinya
memasukkan sesuatu ke dalam mulutnya dan di lain saat ketika ia mengelak ke kiri dari tusukan pedang Hui Lian, ia membentak keras sambil menyemburkan sesuatu dari mulutnya, dibarengi dengan
pukulan bertubi-tubi dengan dua tangannya! Inilah serangan yang luar biasa hebatnya.
Hui Lian melihat benda hitam menyambar, cepat menundukkan
mukanya sehingga benda cair itu lewat di atas kepalanya. Akan
tetapi tiba-tiba kepalanya menjadi pening karena benda yang lewat di atas kepalanya itu mengeluarkan bau yang amis dan menusuk
hidung, sedangkan pada saat itu, kedua tangan lawannya secara
bertubi-tubi telah datang menyerang! Gadis perkasa ini memaksa diri menghadapi serangan pukulan. Melihat berkelebatnya tangan kanan ke arah dadanya, ia cepat menggerakkan pedang untuk
membabat, akan tetapi tiba-tiba tangan itu ditarik kembali dan tangan kiri orang itu secara cepat menotok lehernya. Hui Lian masih berusaha menghindari totokan, namun, kepalanya sudah pening
sekali, pandang matanya sudah berkunang-kunang dan elakannya
gagal. Ia roboh dalam keadan lemas dan pedangnya terlempar ke
atas tanah' Kembali orang gundul itu tertawa bergelak dan menghampiri
tubuh Hong Kin yang masih tertelungkup. Sekali mencongkel
dengan kakinya, tubuh pemuda itu terlempar ke atas lalu disambar dengan tangan kiri dan dikempitnya. Kemudian ia menghampiri Hui Lian. Berbeda dengan apa yang dilakukan terhadap Hong Kin, ia kini menggunakan tangan mengangkat gadis itu dan dikempit degan
tangan kanan. Pada saat itu, para busu yang sejak tadi sudah mengejar sampai di situ dan menonton pertempuran aneh, lalu melangkah maju. Liok-te Mo-ong Wie It menghadapi orang gundul itu, menjura sambil
berkata. 660 "Saudara yang gagah perkasa telah berjasa besar. Aku Liok-te Mo-ong Wie It atas nama Kaisar dan semua pasukan busu dari
istana mengucapkan banyak terima kasih atas bantuanmu yang
amat berharga."
Orang gundul itu mengeluarkan suara yang aneh lalu bersiul
keras. Dari arah belakangnya, jauh sekali terdengar siul yang sama menjawab, kemudian tiba-tiba melayang tubuh yang ringan sekali bagaikan terbang dan tahu-tahu di sebelahnya telah berdiri seorang wanita yang memegang sebatang ranting di tangan kanannya.
Liok-te Mo-ong dan kawan-kawannya terkejut bukan main. Ilmu
meringankan tubuh seperti ini belum pernah mereka saksikan.
Ketika siulan jawaban tadi berbunyi, terdengar masih amat jauh, akan tetapi sebelum gema siulan lenyap. orangnya sudah berada di situ!
Sementara itu, kakek gundul itu masih tertawa-tawa, kemudian
ia menjawab, "Siapa bantu siapa" Aku tidak mengenal segala macam Liok to Mo-ong atau Thian-sang Mo-ong, tidak peduli segala macam busu yang tiada gunanya!" Ucapan ini benar-benar
memandang rendah. Liok-te Mo-ong berarti Raja lblis Bumi
sedangkan Thian-sang Mo-ong diartikan Raja Iblis Langit!
Mendengar kata-kata ini, Liok-te Mo-ong Wie It memberi tanda
kepada kawan-kawannya untuk bersiap sedia karena orang itu
agaknya tidak mengambil sikap berkawan.
"Kahan ini orang-orang tak tahu malu, mengandalkan banyak kawan mengejar-ngejar dua orang muda, ada maksud apakah"
Mengapa mereka kalian kejar-kejar?" tanya pula orang gundul tadi.
Liok-te Mo-ong Wie It menduga, bahwa orang gundul ini tentulah seorang luar biasa di dunia kang-ouw yang selalu menyembunyikan diri sehingga dia sendiri pun tidak mengenalnya. Maka dengan
menahan sabar ia menjawab,
"Sahabat yang baik, kami adalah busu dari istana, sedangkan gadis itu adalah puteri seorang pemberontak yang harus ditawan dibawa menghadap Kaisar untuk menerima hukuman. Pemuda itu
adalah pengawalnya. Kami sejak tadi mengejar-ngejarnya dan
kebetulan kau muncul dan merobohkan mereka. Karenanya kami
661 patut menyatakan terima kasih kami dan harap kau sudi
memberikan mereka kepada kami untuk dibawa ke istana."
"Ha, ha, ha, hi, hi, hi, enak saja kalian bicara'" Wanita yang baru datang itu berkata sambil mentertawakan Wie-It. "Suamiku yang menangkap kalian yang datang minta, benar-benar tak tahu malu.
Suamiku yang menangkap mereka, maka dia yang berhak
menentukan apa yang akan dilakukan terhadap dua orang ini."
"Benar, Ibu. Berikan saja mereka kepadaku, Ayah. Si Siauw -liong (Naga Kecil) kelihatan lapar sekali, biar mereka diberikan kepada Siauw-liong untuk menjadi mangsanya!" Tiba-tiba terdengar kata-kata ini dari dalam gelap dan seperti juga dengan munculnya isteri orang aneh itu, kini puteranya pun muncul secara tiba-tiba dan luar biasa.
Para busu meIthat seorang pemuda yang bertubuh tegap dari
dalam gelap. Sebetulnya pemuda ini tampan juga wajahnya, akan
tetapi karena berkepala gundul dan sikapnya ketolol-tololan, maka ia seperti seorang anak kecil yang tubuhnya besar. Yang
mengerikan orang, kedua tangan pemuda gundul ini
mempermainkan seekor ular yang liar, ular bersisik loreng yang lidahnya merah dan matanya bersinar-sinar. Pada kepala ular itu kelihatan semacam tanduk dan dari mulutnya mengepul uap biru.
Benar-benar seekor ular yang berbahaya sekali dan sekali pandang saja orang akan mengerti bahwa ular ini berbisa. Mungkin karena daging menonjol di kepala itulah yang membuat binatang ini
dinamakan Siauw-liong (Naga Kecil) oleh pemiliknya.
Setelah muncul tiga orang aneh ini, kita semua dapat
mengenalnya siapa mereka. Tak lain mereka adalah keluarga See-
thian Tok-ong yang lihai! Yang muncul pertama dan menawan Hui
Lian dan Hong Kin adalah See-thian Tok-ong sendiri, kemudian
muncul isterinya, Kwan-Nio dan pemuda itu adalah Ban-beng Sin-
tong Kwan Kok Sun yang semenjak dahulu terus gundul saja.
Mendengar omongan puteranya, See-thian Tok-ong
melemparkan tubuh Hui-Lian kepada Kwan Kok Sun. Pemuda
mengangkat tangan kiri dan dengan mudah ia menyambar lengan
Hui Lian. Ia harus memegang ular itu jauh-jauh dengan tangan
662 kanannya, karena ular itu begitu melihat Hui Lian terus meronta-ronta seperti seekor anjing kelaparan daging.
"Sst, Siauw-liong jangan makan dia. Aduh.........
cantiknya............ aduh......... manisnya.. Siauw-liong, yang ini bukan untukmu, Sayang kalau jadi mangsamu. Ayah, Ibu aku sudah dapat!"
"Hm, sudah dapat apa?" bentak ibunya.
"Sudah dapat! Dia inilah orangnya calon isteriku. Ayah, aku minta kawin. Dengan Si Jelita ini." Kata-kata pemuda ani terdengar kacau tidak karuan. Memang, semenjak kecilnya, Kwan Kok Sun sudah
kelihatan aneh sekali, akan tetapi makim besar, bicaranya dan
kelakuannya makin ngacau dan ada tanda-tanda bahwa otaknya
tidak normal. "Kok Sun, baru kemarin kau bilang minta kawin dengan puteri Kaisar!" tegur See-thian Tok-ong.
"Tidak, Ayah, dia inilah yang kucari-cari, yang kuimpi-impikan setiap malam. Puteri kaisar" Ah, aku tidak mau. Masih mending
kalau dia seperti ibunya, tentu cantik jelita. Bagaimana kalau dia seperti ayahnya, seperti kaisar yang gendut dan kepala besar" Huh, aku tidak sudi!" Kata-kata yang memaki kaisar "gendut" dan kepala besar ini bukan semata-mata makian, karena pada masa itu, makian ini berarti lain, yakna gendut adalah sindiran bagi orang yang selalu mengeduk keuntungan dengan jalan korupsi sedangkan kepala
besar untuk menyindirkan orang-orang yang berlaku sewenang-
wenang mengandalkan kedudukan dan pangkatnya.
"Baiklah, kau boleh mengawini gadis itu. Akan tetapi nanti dulu, kata harus ketahui dengan jelas bahwa dia seorang gadis baik-baik, bukan gadis sembarangan. Tadi sudah kulihat ilmu pedangnya dan aku agak ragu-ragu." See-thian 'Tok-ong menghadapi Liok-te Mo-ong Wie-It dan kawan-kawannya yang mendengar semua
percakapannya itu dengan mata bengong. "Eh, mata juling,
sebetulnya siapakah gadis ini dan siapa pula pemuda ini?"
Wie It mendongkol sekali. Ingin mengerahkan kawan-kawannya
untuk mengeroyok, akan tetapi dia bukan seorang goblok. Ia dapat menduga bahwa tiga orang ayah, ibu, anak ini bukan orang-orang 663
yang mudah dilawan. Terpaksa ia menelan kegemasannya memberi
keterangan dengan harapan si Gundul yang seperti iblis itu dapat berubah sikap.
"Harap kau jangan main-main." katanya dengan suara sungguh-sungguh, "Nona itu bukan orang sembarangan, adalah puteri dari Hwa I Enghiong Ciang Le yang kelihaiannya sudah terkenal di
kolong langit! Adapun pemuda adalah murid Cam-kauw Sin-kai dia orang kepercayaan dari Pangeran Wan-yen. Harap kau sudi
memberikan mereka kepada kami untuk dihadapkan di istana.
Mendengar ini Kwan Kok Sun berseru, "A-ha, benar dia! Pantas sekali lihat aku tertarik. Benar, Ayah, dia benar bocah manis yang dulu menolong Kong Ji keparat! Dia benar puteri Go Ciang Le, lihat saja bentuk bibirnya ini."
See-thian Tok-ong dan Kwan Ji Nio menghampiri puteranya dan
mereka bertiga melihat-lihat Hui Lian yang masih pingsan.
Seperti pernah dituturkan di bagian depan, ketika masih kecil, ketika ia baru berusia sepuluh tahun, pernah Hui Lian bertemu
dengan keluarga aneh ini, di puncak Gunung Luliang-san. Ketika itu, See-thian Tok-ong dan anak isterinya sedang hendak membunuh
Liok Kong Ji dan kebetulan sekali Hui Lian yang masih kecil datang menolong nyawa Kong Ji.
Tadi ketika menghadapi See-thian Tok-ong, Hui Lian sudah tidak ingat lagi siapa adanya kakek gundul aneh itu. Kalau sekiranya See-thian Tok-ong muncul bertiga, mungkin sekali Hui Lian akan
teringat. Kini Kwan Kok Sun yang otaknya sudah makin tidak beres itu
melihat Hui Lian, ia merasa suka dan jatuh cinta.
"Benar dia, Ayah. Benar dia kekasihku, lbu. Aku harus kawin dengan dia, dengan puteri Go Ciang Le. Ha, ha, ha. Kemudian
ketika ularnya hendak menyerbu Hui Lian, ia membetot binatang itu sambil memaki, "Hush, Siauw-liong' Jangan kau kurang ajar. Dia itu calon isteriku, kau tahu" Kalau kau berani menjilat sedikit saja kuhancurkan kepalamu!"
664 "Jangan marah, Kok Sun, dia itu sedang lapar," kata ibunya, yang amat manjakan putera tunggalnya itu, dan yang tidak begitu senang mellhat puteranya tergila-gila kepada Hui Lian. Seperti juga
puteranya, Kwan Ji Nio otaknya tidak beres, dan ibu ini selalu merasa iri hati dan cemburu apabila puteranya menyatakan suka
kepada seorang wanita. "Dia lapar dan perlu dibert makan paru-paru yang segar," katanya lagi. "Paru-paru gadis remaja seperti ini amat sehat, dapat menguatkan dan menambah keras bisa dalam
mulut Siauw-liong."
Kwan Kok Sun membelalakkan matanya. "Tidak!" bentaknya keras. "Tidak boleh kekasihku diganggu, tidak boleh calon isteriku dibinasakan. Ayah, ke sinikan manusia tiada guna itu. Dia harus menjadi mangsa Siauw-liong!"
See-thian Tok-ong tertawa bergelak, lalu melemparkan tubuh
Hong Kin ke depan Kwan Kok Sun. Kok Sun melepaskan ularnya
yang merayap turun dari lengan ke atas tanah, lalu merayap ke arah tubuh Hong Kin sambil menjulurkan lidah keluar masuk.
Pada saat itu Hong Kin siuman dari pingsannya. Ia membuka
mata dan sekejap saja ingatlah ia akan semua yang terjadi, bahwa dia telah dirobohkan oleh para busu yang mengeroyok. Biarpun
heran sekali melihat adanya See-thian Tok-ong suami isteri dan anak yang ia sama sekali tidak kenal, akan tetapi ia tidak
mempedulikan karena perhatiannya terpusatkan kepada seekor ular panjang dan mengerikan yang merayap mendekatinya, jaraknya
hanya tiga kaki lagi. Sekali pandang maklumlah pemuda ini, bahwa ia berada dalam ancaman bahaya maut, dan bahwa ular itu adalah seekor binatang berbisa dan sekali gigitannya berarti maut
menjangkau nyawa. Cepat ia melompat bangun, akan tetapi
tubuhnya masih lemah dan ketika pemuda gundul yang berada di
dekat ular itu menggerakkan tangan, Hong Kin roboh lagi. Jalan darah thian-hu-hiat di tubuhnya telah kena ditotok secara lihai sekali dan biarpun Hong Kin masih sadar dan dapat mengetahui segala
apa yang terjadi, namun ia tak dapat menggerakkan seluruh
tubuhnya yang seakan-akan sudah lumpuh sama sekali.
"Ha, ha, ha, kau menangislah, berteriak-tertaklah minta tolong.
Ha ha-ha. Aku senang sekali kalau kau menjerit- jerit, juga Siauw-665
liong senang sekali. Hayo kau menjerit-jerit. tidak takutkah kau"
Ular ini akan merobek bibirmu memasuki mulut terus merayap
melalui kerongkonganmu, masuk ke dalam paru-paru dan makan
habis paru-parumu sepotong demi sepotong. Ha, ha, ha,
menangislah," Kwan Kok Sun berjingkrak-jingkrak setelah
meletakkan tubuh Hui Lian di atas tanah. Keterangan dan
kegembiraan hatinya melihat Siauw-liong hendak makan mangsanya membuat ia lupa sebentar kepada Hui Lian.
Dapat dibayangkan betapa ngeri rasa hati Hong Kin. Akan tetapi pemuda ini memiliki ketabahan besar, tidak gentar menghadapi
maut. Ia memandang kepada ular itu, berkejap matanya pun tidak, jangan kata menangis. Ia menghadapi maut dengan mata terbuka.
"Kau tidak takut?" Ular menyambar ke arah muka Hong Kin yang sama sekali tidak berkedip. Tetapi Kok Sun memegang ekor ular dan menahannya. "Kau gagah sekali... kau tabah sekali..." Pemuda gundul itu ragu-ragu. Memang ada suatu hal yang amat dikagumi
oleh Kwan Kok Sun, yakni keberanian dan ketabahan yang luar
biasa. Kini melihat ketabahan hati Hong Kin yang tidak berkedip menghadapi maut ia tertarik dan merasa agak sayang, maka ia
menahan ularnya yang sudah hendak melakukan "operasinya".
Pada saat itu Hui Lian siuman. Gadis itu melihat betapa di situ telah banyak orang dan ia melihat kakek gundul yang
merobohkannya tadi berdiri menyeringai, di sampingnya seorang
nenek yang wajahnya cantik tapi kejam, kemudian ia melihat Hong Kin menggeletak lemas di atas tanah dan seekor ular merayap
mendekatinya, akhirnya ia melihat Kok Sun dan pucatlah mukanya.
Ia kini tahu bahwa yang menjatuhkan tadi bukan lain adalah Seethian Tok-ong!
"Iblis keji..!" Hui Lian menjerit dan tubuhnya melompat dengan gerakan kilat, menubruk ke depan untuk memukul Kok Sun karena
ia tahu apa artinya ular Kok Sun, dan Hong Kin yang menggeletak.
Tentu pemuda gundul yang berotak miring itu mempraktekkan


Pedang Penakluk Iblis ( Sin Kiam Hok Mo) Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kekejamannya seperti dulu lagi, yakni memberi makan kepada
ularnya dengan korban seseorang manusia.
Kwan Kok Sun tidak mengira bahwa dirinya akan diserang, maka
pukulan tangan Hui Lian tepat mengenai dadanya. Akan tetapi,
666 gadis itu telah habis tenaganya, dan Kok Sun sekarang bukan Kok Sun dahulu lagi. Kepandaiannya sudah meningkat tinggi, maka
pukulan itu hanya membuatnya mundur selangkah saja. Pada saat
itu, kelihatan sinar hitam
berkelebat dan Hui Lian memekik
ngeri terus roboh pingsan! Ular
yang bernama Siauw-liong itu
ternyata telah menyerang dan
kini giginya menggigit leher Hui
Lian yang berkulit putih halus.
Melihat ini, Kok Sun menjadi
pucat, "Jahanam besar, kau...
kau... berani... Kau berani
menggigit calon isteriku" Keparat
jahanam, mampus kau!"
Tangannya bergerak dan di lain
saat ular itu telah direnggutnya
terlepas dari leher Hui Lian, lalu...
digigitnya leher ular itu oleh Kok
Sun sampai putus! Masih belum
puas dengan ini, Kok Sun membanting hancur kepala ular,
mencabik-cabik tubuh ular dengan sepasang tangannya yang kuat
sehingga tubuh ular itu menjadi berkeping-keping. Kemudian Kok Sun menubruk Hui Lian sambil menangis teredu-sedu.
"Hui Lian, kekasihku... calon isteriku sayang ". jangan mati kau... jangan kau tega meninggalkan aku, bawalah aku
bersamamu...." dan menangislah ia melolong-lolong seperti anak kecil.
Muka Hui Lian sudah berubah menghitam dan kalau tidak segera
tertolong, Pasti nyawanya akan melayang. See-thian Tok-ong
maklum akan hal ini, akan tetapi ia tidak peduli. Sebaliknya Kwan Ji Nio bingung sekali melihat anaknya demikian. Nyonya ini melihat Kok Sun menangis melolong-lolong, tak dapat menahan
mengucurnya air matanya. Beberapa kali ditariknya lengan Kok Sun untuk melepaskan Hui Lian dan dihiburnya.
667 "Sudahlah, Nak. Dia mati biar mati, masih banyak gadis yang lebih dari padanya. Nanti Ibu carikan puteri Kaisar...."
"Tidak sudi, puteri Kaisar seperti ayahnya, gendut, kepala besar dan jenggotan! Aku mau kawin dengan Hui Lian kalau dia mati aku juga mau muti!"
Kwan Ji Nio menjadi makin bingung ia menoleh kepada suaminya
dan melihat See-thian Tok-ong tersenyum-senyum saja seperti
orang gendeng, ia lalu lompat dan menampar pipi suaminya. See-
thian Tok-ong terkejut dan seakan-akan baru sadar dari alam
mimpi. "Ada apa?" tanyanya gagap.
"Hayo katakan apakah gadis ini masih dapat ditolong?" isterinya menuntut.
See thian Tok-ong mengerutkan kening, "Begitu matahari keluar, dia akan mati."
Tangis Kok Sun menjadi-jadi, bahkan kini ia menggulingkan
tubuh di atas tanah dan bergulingan ke kanan kiri, memukul-mukul kepala dan tanah.
"Apakah ia masth bisa ditolong" Hayo katakan lekas!" kata Kwan Ji Nio dengan keras.
"Bisa asal ada yang menyedot racun di leher itu," kata See-thian Tok-ong.
Mendadak Kwan Kok Sun melompat bangun, menubruk Hui Lian
dan tanpa ragu-ragu lagi mulutnya mengecup leher yang terluka, terus disedotnya kuat-kuat!
Melihat kenekatan puteranya, kini baru See-thian Tok-ong ada
perhatian. Perbuatan puteranya ini berbahaya sekali, akan tetapi juga sekaligus menyatakan bahwa kali ini puteranya betul-betul
"cinta" kepada gadis ini. Biasanya setiap ia minta dikawinkan dan menyatakan suka kepada seorang gadis, kalau gadis itu sudah
diculik orang tuanya, ia lalu menyatakan bosan dan tidak suka. Kali ini begitu bertemu. Kok Sun sudah berani membahayakan nyawanya 668
untuk menolong gadis itu, agaknya kali ini anaknya bukan main-
main lagi! "'Tiga belas kali! Jangan lebih tiga belas kali sedotan," katanya sambil mendekati Hui Lian dan Kok Sun. "Dan semburkan keluar darah berbisa itu."
Dengan lweekangnya yang sudah tinggi, Kok Sun dapat
menyedot tiga belas kali tanpa melepaskan mulutnya dari leher, akan tetapi setelah akhirnya ia melepaskan leher itu dari
kecupannya, ia lalu ".. menelan darah itu dan seketika itu mukanya menjadi kehitaman!
"Kok Sun...!" Kwan Ji Nio menjerit.
Sementara itu, melihat semua peristiwa ini, Liok-te Mo-ong Wie It habis sabarnya. Ia seakan-akan disuruh melihat sekumpulan orang gila bermain sandiwara. Dengan gemas ia memberi isyarat kepada anak buahnya dan mereka bergerak maju untuk merampas Hui Lian
dan Hong Kin lalu melarikan diri.
Akan tetapi tiba-tiba lima orang menjerit dan terpental jauh
termasuk Wie It sendiri! Biarpun tadinya ribut bertiga tak karuan, akan tetapi ketika Wie It dan kawan-kawannya bergerak See-thian Tok-ong mengebutkan kedua lengan bajunya, yang kanan
menyambar muka Wie It terus ke dadanya sehingga Wie It
terdorong dadanya sampai terjengkang tiga kaki lebih, yang kiri menghantam pundak seorang busu sampai patah tulang pundaknya!
Juga Kwan Ji Nio menggerakkan rambutnya dua kali dan robohlah
dua orang busu lain. Kwan Kok Sun yang mukanya sudah kehitaman dan kepalanya sudah mulai pening, melihat para busu menyerbu,
lalu tiba-tiba membuka mulut dan menyemburkan ludahnya yang
pada saat itu juga berbisa, tepat mengenai hidung seorang busu sehingga busu itu berkaok-kaok kesakitan sambil membetot-betot hidungnya yang tiba-tiba rasa gatal-gatal dan sakit sekali. Tak lama kemudian hidung itu menjadi hitam dan copot, dan orangnya jatuh pingsan.
Wie It terkejut setengah mati. Biarpun sudah menyangka bahwa
tiga orang ini lihai sekali, akan tetapi .tidak pernah ia mimpi akan 669
selihai itu. Maka ia berdiri bengong dan tidak berani sembarangan bergerak.
Adapun See-thian Tok-ong, Kwan Ji Nio, dan Kwan Kok Sun,
seakan-akan sudah lupa lagi akan para busu itu dan mengurus
persoalannya sendiri. Kwan Ji Nio membanting-banting kakinya.
"Kok Sun mengapa kau menelan racun itu" Mengapa kau
mengambil keputusan mati?" ia menangis.
Kok Sun tiba-tiba ketawa, suara ketawanya seperti ringkik kuda.
"Ayah adalah Raja Racun dart Barat, mengapa aku takut minum racun" Ha, ha, ha, Ayah. Mari kita antar calon isteriku ini ke istana bersama pemuda yang mempunyai keberanian besar ini."
"Ke istana" Kok Sun, aku dapat menyembuhkan dia di sini, juga aku dapat menyembuhkan kau. Mengapa harus ke istana'" tanya ayahnya.
"Orang seperti Hui Lian harus dijadikan puteri istana dulu, baru kawin dengan aku. Kita membawa mereka ke kota raja, menghadap
kaisar dan bukankah Ayah pernah bilang hendak mencari
kedudukan di istana" Mengapa tidak sekalian sekarang kita ke sana dan datang datang membawa jasa dengan menangkap dua orang
ini" Kalau Ayah yang minta, tentu Kaisar suka mengampuni Hui Lian dan mengangkatnya menjadi puteri, kemudian kawin dengan aku."
"Hm... tapi...." See- thian Tok-ong ragu-ragu. Memang dia bercita-cita tinggi, bahkan kalau mungkin dia mau merebut
kedudukan kaisar. Akan tetapi bukan dengan cara ini.
"Ayah, kalau begitu biar aku mati bersama Hui Lian di sini. Dia jangan Ayah obati, juga aku tidak sudi menelan obat Ayah!" Kwan Kok Sun mengambek.
"Kau mau bilang apa lagi'" Kwan Ji Nio membentak suaminya.
"Hayo kita berangkat ke kota raja."
See-thian Tok-ong mengangkat pundaknya, lalu berpaling kepada
Wie It dan berkata.
"Kau masih mau membawa dua orang ini ke istana" Hayo
antarkan kami."
670 "Baiklah Locianpwe, kami senang sekali," jawab Wie It. Lenyap sekarang kegarangan dan kesombongannya setelah ia tahu siapa
adanya kakek ini. Nama besar See-thian Tok-ong cukup membuat ia gemetar dan tahulah ia bahwa ia kini berhadapan dengan orang
yang patut menjadi gurunya. Maka tanpa ragu-ragu lagi ia
menyebut locianpwe!
See-thian Tok-ong tidak segera berangkat. Ia lebih dahulu
mengobati Hui Lian dan Kwan Kok Sun. Setelah mata-hari menyinari bumi, barulah See-thian Tok-ong mengajak semua orang berangkat.
Berkat obat yang luar biasa dari See-thian Tok-ong, Kwan Kok Sun dan Hui Lian sembuh sama sekali.
Hui Lian dan Hong Kin maklum bahwa menghadapi See-thian
Tok-ong sekeluarganya mereka berdua tidak berdaya melawan.
"Biarlah kita menurut saja, Nona. Se sampainya di sana, aku percaya Wanyen Siauw-ongya takkan membiarkan kita di ancam
bahaya," kata Hong Kin menghibur.
Hui Lian mengangguk dan gadis ini berkata kepada Kok Sun yang
selalu berada dekat dengan dia. "Kwan Kok Sun, aku mau dibawa ke istana sebagai tawanan. Akan tetapi ingat, jangan sekali kali kau bersikap kurang ajar dan menggangguku. Kalau laranganku ini
dilanggar, jangan harap aku akan menyerah dengan damai
sebaliknya aku akan mengamuk dan melawan sampai titik darah
penghabisan."
Kok Sun tersenyum girang. "Nona manis, siapa berani
mengganggumu" Yang mengganggumu akan mampus lebih dulu di
tanganku. Kau calon isteriku, bagai-mana aku mau
mengganggumu" Asal kau tidak lari dari aku, kau akan bebas.
Melihat mukamu yang manis saja aku sudah puas, aku sudah
kenyang. Ah, kekasih hati pujaan kalbu...."
Hui Lian membuang muka dan tidak mau melayani lagi sampai
Kok Sun akhirnya capai dan berhenti mengaco-belo sendiri.
Rombongan yang aneh ini berjalan kaki menuju ke kota raja. Hui Lian dan Hong Kin dikurung di tengah-tengah dan di dalam hati Hui Lian timbul sesuatu yang hangat terhadap Hong Kin, pemuda yang ternyata membelanya mati-matian itu.
671 "Saudara Hong Kin, karena aku seorang, kau jadi ikut menderita dan terancam," kata Hui Lian perlahan, dan mengerling lembut ke arah pemuda baju hijau itu.
Hong Kin tersenyum. "Nona, andaikan aku mati demi
membelamu, aku akan mati dengan puas dan bangga!"
Hui Lian membelalakkan mata dan menatap wajah pemuda itu.
Hong Kin juga memandang kepadanya dan sinar mata pemuda ini
penuh pernyataan yang kalau diucapkan akan berbunyi. "Apakah kau masih belum mengerti akan isi hatiku yang penuh cinta kasih kepadamu?"
Hui Lian tiba-tiba menundukkan mukanya yang menjadi merah
sekali dan aneh, pada saat seperti itu, wajah Wa Sin Hong
terbayang di depan bulu matanya. Pemuda ini demikian baik,
demikian jujur, setia dan mencintanya. Aka tetapi dia tidak "ada hati" kepada Coa Hong Kin, sayang. Sayang dan kasihan pemuda ini. Sebaliknya, orang yang selalu menjadi kenangan, yang sekaligus merampas hati dan cinta kasihnya, adalah Wan Sin Hong, pemuda
yang menjadi penjahat besar! Teringat betapa Sin Hong membawa
lari Soan Li dan betapa pemuda itu mengecewakan hatinya, tak
terasa lagi dua butir air mata menitik turun di pipi Hui Lian.
Tiba-tiba terdengar suara "Plok! Plok!" dan Hong Kin terhuyung-huyung. Ternyata ia telah digaplok dua kali oleh Kwan Kok Sun yang tadinya seperti berjalan sambil mimpi karena pandangan matanya ditujukan ke atas ujung kedua kakinya.
"Bedebah, berani kau mengganggu isteriku sampai dia
menangis" Dua butir air mata untuk dua gaplokan masih terlalu
murah. Awas, kalau ada air mata keluar lagi, setiap butir harus kaubayar dengan satu gebukan. Kaulihat sajalah!"
Hui Lian terkejut sekali dan cepat ia mengeringkan matanya
dengan ujung lengan baru. Hong Kin sudah bangun lagi, menyusut bibirnya yang berdarah ujungnya, akan tetapi bibir ini tersenyum ketika ia memandang kepada Hui Lian. Nona ini merasa terharu,
Juga marah sekali, akan tetapi ia maklum bahwa menghadapi Kok
Sun yang gila itu, lebih baik bersabar. Ia tidak takut menghadapi Kok Su dan belum tentu ia kalah. Akan tetapi di situ ada See-thian 672
Tok-ong, ada Kwan Ji Nio, bahkan masih ada Liok-te Mo-ong Wie It dan lain-lain busu. Pihak lawan terlalu berat dan melawan berarti membuang tenaga sia-sia belaka.
"Jangan pukul dia, dia kawan baikku. Aku takkan menangis dan kalau aku menangis juga, bukan karena dia yang menggangguku,"
katanya kepada Kok Sun.
"Habis siapa yang mengganggumu?". tanya Kok Sun ketolol-
tololan. "Kalau aku menangis, paling-paling engkaulah yang
mengganggu," Jawab Hui Lian mendongkol.
"Aku?" Kok Sun memandang dengan mata melirik ke kanan kiri, kemudian kepalanya yang gundul mengangguk ketika ia berkata,
"Hm, kalau aku yang mengganggumu sampai kau menangis, aku akan memukul kepalaku sendiri. Sekali gebuk untuk sebutir air
mata!" Hampir Hui Lian tak dapat menahan gelak tawanya saking geli
mendengar kata-kata ini. Kalau pemuda gundul yang otaknya tidak beres ini tidak jahat, kiranya akan menimbulkan kasihan. Akan
tetapi sekarang sifatnya yang amat jahat itu membuat ketololannya makin menggemaskan, juga amat lucu. Kalau saja di situ tidak ada See-thian Tok-ong dam Kwan Ji Nio yang tentu akan turun tangan, ingin Hui Lian menangis meraung-raung dan memeras semua air
matanya biar Si Gila Gundul itu memukuli kepalanya sendiri sampai benjut dan pecah-pecah!
Diam-diam Hui Lian merasa cemas mengingat akan nasib sendiri.
Apakah yang akan dialaminya selanjutnya" Betapapun juga, kalau ia melirik ke arah Hong Kin dan melihat pemuda itu tenang-tenang
saja berjalan di sebelahnya, hatinya menjadi agak lega dan tenang.
Ia percaya akan kepintaran pemuda ini, percaya pula akan kebaikan hati Pangeran Wanyen, yang air mukanya seperti Wan Sin Hong itu.
Teringat sampai di sini, kembali wajah Sin Hong terbayang-bayang, membuat Hui Lian melamun dan berjalan sambil menundukkan
mukanya yang kemerahan.
Biarpun Kwan Kok Sun seorang pemuda yang sejak kecilnya
biasa ugal-ugalan dan hati pikirannya terbungkus hawa kejahatan, 673
namun ia merasa keder juga ketika memasuki istana dan
dihadapkan kepada kaisar. Pribadi Kaisar amat kuatnya dan
wibawanya besar. Semua itu bukan saja disebabkan oleh karena
memang Kaisar yang biasa disembah itu mempunyai pengaruh diri
yang kuat, juga dibantu oleh keadaan di dalam istana yang
demikian besar, demikian indah, dan demikian mewah. Siapapun
juga yang memasuki ruangan itu dan menghadap kepada Kaisar,
melihat semua orang berlutut menghormat Kaisar, pasti akan
tunduk dan merasa dirinya kecil. Demikian pula Kok Sun yang
segera ikut-ikut menjatuhkan diri berlutut di depan kaisar dan tidak berani membuka mulut secara sembrono atau ugal-ugalan.
Adapun Kwan Ji Nio, sebelum menikah dengan See-thian Tok-
ong, adalah seorang keturunan Han. Oleh karena itu di dalam sudut hatinya, ada perasaan bangga terhadap negara dan terutama
terhadap Kaisar. Wanita ini tidak mengikuti perkembangan politik, tidak tahu akan artinya dinasti yang jatuh bangun ia hanya tahu bahwa kaisar di istana kota raja adalah kaisar di Tiongkok, adalah seorang mulia seperti yang biasa disebut orang sebagai Cin-beng Thian-cu (Putera atau Pilihan Tuhan) dan karenanya harus
disembah-sembah oleh rakyat! Inilah sebabnya maka ia pun berlutut dengan penuh penghormatan di depan kaisar bersama yang lain-lain.
Apa lagi Hui Lian yang baru pertama kali itu memasuki istana dan semenjak masuk di pintu gerbang pertama sudah bengong
mengagumi keindahan bangunan dan perabot-perabot rumah,
terkena juga pengaruh kebesaran kaisar dan bersama Hong Kin ia pun berlutut di atas lantai yang mengkilap dan bersih sekali itu.
Yang tidak berlutut hanyalah See-thian Tok-ong. Tokoh ini
Alap Alap Laut Kidul 5 Pendekar Cacad Karya Gu Long Harimau Mendekam Naga Sembunyi 17
^