Pencarian

Pendekar Pendekar Negeri Tayli 15

Pendekar Pendekar Negeri Tayli Karya Jin Yong Bagian 15


Banjak terima kasih atas bantuan saudaraku sahut Siau Hong.
Baru sekian bitjaranja, tiba2 dari atas benteng telah berhamburan anak panah kearah mereka. Tjuma djarak mereka tjukup djauh dari tembok benteng, anak2 panah itu tidak dapat mentjapai mereka. Kurangadjar andjing2 Liau itu, aku sedang bitjara dengan Toako, kenapa mereka sengadja mengganggu, maki Akut dengan gusar. Habis berkata, ia pentang busurnja, susul menjusul tiga kali membidik ia memanah dari bawah benteng keatas, maka terdengarlah suara djeritan ngeri tiga kali, tiga orang peradjurit Liau kontan terdjungkal kebawah.
Kalau panah peradjurit2 Liau itu tidak dapat mentjapainja, sebaliknja tiga kali panah Akut itu dengan mudah telah menggulingkan tiga orang, maka dapat dibajangkan betapa kuat dan djitu kepandaian memanah djago Nuchen itu. Keruan peradjurit2 Liau mendjadi ketakutan, sambil ber-teriak2 lekas mereka memasang tameng.
Sementara itu suara tambur didalam kota Lamkhia kedengaran masih gegap-gempita, agaknja pihak Liau sedang menghimpun tenaga lagi. Segera Akut berseru kepada anak buahnja: Wahai kawan2, dengarkanlah! Andjing Tjidan itu rupanja ber-siap2 akan keluar lagi dari lubang andjingnja, hajo kita bersiap untuk membunuhnja dengan se-puas2-nja!
Orang2 Nuchen itu berteriak senang sebagai suara ribuan binatang jang mengaum setjara serentak.
Diam2 Siau Hong mendjadi kuatir. Kalau peperangan ini sampai berlangsung, maka korban jang akan djatuh dari kedua pihak tentu tidaklah sedikit. Tjepat katanja: Saudaraku jang baik, kedatanganmu ini adalah untuk menolong aku dan sekarang aku sudah lolos dari bahaja, buat apa mesti bertempur lagi dengan orang. Sudah lama sekali kita tidak berdjumpa, marilah kita mentjari suatu tempat jang aman dan tenang untuk bitjara dan minum se-puas2nja.
Benar djuga, marilah kita berangkat, sahut Akut.
Tapi mendadak pintu gerbang kota terpentang, sepasukan tentara Liau berkuda dan berpakaian lapis badja telah menerdjang keluar. Akut mentjatji-maki. Ia pentang busur dan memanah, kontan muka seorang perwira jang berada paling depan itu terguling dari kudanja.
Orang2 Nuchen jang lain be-ramai2 djuga melepaskan panah, jang mereka arah selalu bagian muka. Dasar ilmu memanah orang2 Nuchen itu memang pandai, udjung panah berbisa pula, maka sasarannja jang terkena panah itu tanpa bersuara sama sekali seketika terdjungkal dan binasa.
Hanja dalam sekedjap sadja didepan pintu gerbang kota sudah bergelimpangan beberapa ratus majat bertjampur kuda tumpuk menumpuk sehingga menjumbat pintu gerbang itu. Peradjurit Liau jang lain mendjadi ketakutan dan tjepat2 menutup pintu dan tidak berani mengedjar lagi.
Dengan memimpin anak buahnja Wanyan Akut masih terus mondar-mandir dibawah benteng sambil mentjatji-maki dan menantang. Sudah tentu mereka tidak mendapat djawaban.
Marilah kita berangkat, saudaraku! adjak Siau Hong.
Terpaksa Akut mengiakan. Tapi dia masih menuding keatas benteng dan berteriak keras: Dengarkan andjing2 Liau! Untunglah kalian tidak mengganggu seudjung rambut Toako kami, maka bolehlah djiwa andjing kalian diampuni. Tjoba kalau tidak, tentu kami meratakan bentengmu dan menumpas habis andjing2 Liau kalian!
Habis itu ia lantas mengikuti Siau Hong kearah barat. Kira2 belasan li djauhnja, sampailah mereka diatas sebuah bukit. Akut lantas melompat turun dari kudanja, ia ambil kantong arak dari pelana kudanja dan diberikan kepada Siau Hong sambil berkata: Silakan minum arak, Toako.
Siau Hong djuga tidak menolak, ia angkat kantong arak itu dan sekaligus ditenggaknja hingga hampir habis, lalu ia kembalikan kepada Akut.
Sesudah Akutpun minum habis sisa arak itu, katanja kemudian: Toako, daripada pergi kelain tempat jang belum tentu tudjuannja, adalah lebih baik ikut bersama kami kembali kepegunungan Tiang-pek-san, disana kita dapat berburu dan minum arak serta hidup dengan bebas merdeka.
Tapi Siau Hong tjukup kenal sifat Yalu Hung-ki jang angkuh dan tinggi hati, hari ini pasukan Liau telah diterdjang sehingga kotjar-katjir oleh Wanyan Akut dan kawan2nja, bahkan telah ditjatji-maki pula olehnja, untuk semua ini Hung-ki tentu tidak dapat menerimanja dengan mentah2, tapi pasti akan mengerahkan pasukannja untuk bertempur lagi. Meski orang Nuchen sangat tangkas dan gagah berani, tapi djumlah mereka hanja sedikit, memang belum diketahui akan menang atau kalah, tapi adalah lebih baik kalau pertempuran sengit dapat dihindarkan.
Teringat oleh Siau Hong selama beberapa bulan tinggal di pegunungan Tiang-pek-san dahulu, dimana selain sibuk mengobati A Tji boleh dikata tiada punja rasa kuatir urusan lain, lebih tiada terpikir tentang kedudukan dan kemewahan orang hidup segala. Dan kalau untuk selandjutnja dapat hidup bersama dengan suku Nuchen rasanja dapat djuga menghindarkan segala urusan jang mengesalkan. Maka dia lantas mendjawab: Saudaraku, para kesatria dari Tionggoan ini djauh2 datang kemari adalah karena ingin menolong aku. Maka biarlah aku mengantar mereka ke Gan-bun-koan dulu, habis itu aku akan kembali kesini untuk berkumpul dengan saudaraku orang2
Nuchen. Bagus! seru Akut dengan girang. Djika begitu biarkan kutunggu sadja didepan sana. Orang2 Tionggoan itu tampaknja sok tjerewet dan besar kemungkinan bukan manusia baik2, maka akupun sungkan untuk berkenalan dengan mereka.
Habis berkata ia lantas mohon diri dan membawa kawan2nja menudju keutara.
Melihat datang dan perginja orang2 Nuchen itu sebagai angin lesus tjepatnja dan sangat tangkas pula, diam2 para kesatria Tionggoan menganggap orang2 Nuchen itu lebih lihay daripada orang2 Liau. Untung mereka adalah kawannja Kiau-pangtju, kalau tidak tentu urusan bisa runjam.
Dalam pada itu rombongan2 para kesatria itu sudah bergabung mendjadi satu, mereka ramai membitjarakan suasana pertempuran sengit diluar kota Lamkhia tadi.
Siau Hong lantas memberi hormat kepada para kesatria, serunja: Banjak terima kasih atas budi pertolongan kalian jang tidak memikirkan dosa Siau Hong dahulu, sebaliknja djauh2 datang kemari untuk menolong diriku, budi ini sungguh susah dibalas selama hidupku ini.
Ah, mengapa Kiau-pangtju berkata demikian, sahut Hian-to selaku pimpinan para kesatria Tionggoan jang menganggap Siau Hong masih tetap Pangtju Kay-pang dan tetap she Kiau. Padahal apa jang terdjadi dahulu itu hanja karena salah paham belaka. Apalagi kita sama2 orang Bu-lim dan seharusnja bantu membantu bila ada kesukaran. Pula Kiau-pangtju telah rela mengorbankan kedudukan jang diagungkan di negeri Liau demi keselamatan ber-djuta2 rakjat Tionggoan, untuk budi kebaikan inilah kami harus menjatakan terima kasih kepada Kiau-pangtju.
Segera Hoan Hwa djuga berkata: Para Enghiong jang terhormat, menurut pendapatku, mungkin sekali pasukan Liau takkan rela dengan kekalahan mereka tadi, maka mereka masih akan datang mengedjar kita. Entah apakah diantara kawan2 ada jang berpendapat lain"
Serentak banjak diantara para kesatria itu berteriak: Bila pasukan musuh berani mengedjar, hajolah kita hadjar mereka lagi, masakah kita mesti takut"
Soalnja bukan takut atau tidak, udjar Hoan Hwa, tapi djumlah musuh terlalu banjak dan djumlah kita sangat sedikit, kalau bertempur ditempat lapang begini akan tidak menguntungkan kita. Maka menurut pendapatku adalah lebih baik kalau kita mundur dulu kebarat, pertama djarak kita akan lebih dekat dengan pasukan Song dan bila perlu mungkin kita akan mendapat bantuan. Selain itu makin djauh pasukan musuh mengedjar kita tentu djumlah musuh lebih2 terpentjar dan berdjumlah sedikit, dengan demikian kita akan tjari kesempatan untuk menggempur kembali mereka.
Para kesatria sama menjatakan setudju. Segera Hi-tiok memimpin anak buah Leng-tjiu-kiong sebagai barisan pertama, menjusul adalah Toan Ki dengan djago2 Tayli, lalu Hianto bersama para kesatria Tionggoan, sedang Siau Hong memimpin anggota2 Kay-pang mengiringi dari belakang.
Empat pasukan itu masing2 berdjarak satu-dua li djauhnja, kurir berkuda kian kemari menjampaikan berita, kalau ada musuh segera dapat saling membantu.
Sesudah menempuh perdjalanan satu hari, malamnja mereka lantas bermalam diudara terbuka, sjukurlah semalam suntuk mereka tidak diganggu oleh pasukan Liau, maka lambat-laun rasa was-was semua orang mendjadi reda.
Esok paginja mereka meneruskan perdjalanan. Siau Hong jang selalu didampingi oleh A Tji telah tjoba menanjai anak dara itu: Apakah pemuda she Yu itu masih tinggal di Leng-tjiu-kiong"
Mulut A Tji jang ketjil itu mendjengkit, sahutnja: Siapa jang tahu"
Tentunja djuga masih disana. Kedua matanja sudah buta, masakah dia dapat pergi dari pegunungan jang tjuram itu" Njata nadanja tetap tiada punja rasa perhatian sedikitpun kepada Yu Goan-tji jang telah rela mengorbankan matanja bagi anak dara itu.
Petang hari itu mereka telah sampai di Pek-lok-po, sebuah kota dikaki gunung Ngo-tay-san, disitulah pasukan2 mereka berkemah mengaso.
Hoan Hwa memang mahir ilmu siasat dan pandai mengatur barisan, sepandjang djalan ia telah meninggalkan ber-kelompok2 kesatria jang tangkas untuk mendjaga tempat2 jang strategis, kalau ada djembatan lantas dihantjurkan untuk memperlambat pasukan musuh bila mengedjar.
Sampai hari ketiga, tiba2 terlihat disebelah timur sana asap mengepul tinggi mentjakar langit. Terang itulah tanda pasukan Liau sedang mengedjar kearah mereka.
Melihat itu, para kesatria kembali ber-debar2. Ada diantaranja jang sok gagah dan suka bertempur seketika hendak memutar balik kesana untuk membantu regu2 jang ditinggalkan Hoan Hwa itu, tapi mereka keburu ditjegah oleh Hian-to dan Hoan Hwa.
Malam itu rombongan2 mereka bermalam dilereng sebuah gunung. Sampai tengah malam mendadak mereka dikedjutkan oleh suara teriakan kaget orang.
Seketika para kesatria terdjaga bangun terus menjiapkan sendjata masing2.
Ternjata disebelah utara sana merah membara, entah benda apa jang sedang terbakar sehingga berwudjut lautan api sehebat itu.
Siau Hong saling pandang sekedjap dengan Hoan Hwa, diam2 kedua orang sama2 merasakan alamat jang tidak enak.
Siau-tayong, menurut pandanganmu, bukankah ini pertanda pasukan Liau sedang memutar dari djurusan sana untuk menjerang kemari" tanja Hoan Hwa.
Radja Liau memang sudah bertekad akan menjerang Song dan sedang mengerahkan pasukannja setjara besar2an, boleh djadi ini adalah pasukannja dari bagian utara, sahut Siau Hong.
Ai, kebakaran besar itu entah telah banjak mengambil korban harta benda dan djiwa rakjat djelata jang tak berdosa! kata Hoan Hwa dengan menghela napas.
Siau Hong tidak mau mengutjapkan kata2 djelek bagi alamatnja Yalu Hung-ki jang masih dianggapnja sebagai kakak-angkat, tapi dia tjukup kenal watak radja Liau itu, karena telah mengalami kekalahan dibawah serangan orang2 Nuchen, tentu Hung-ki merasa sangat penasaran sehingga rasa dendamnja seluruhnja telah dilampiaskan atas diri rakjat djelata jang tidak bersalah. Tentu pasukan jang dikerahkan ini tidak kenal ampun lagi, asal ketemu orang tentu dibunuh dan kalau melihat rumah pasti dibakarnja.
Api jang ber-kobar2 dengan hebat itu sampai fadjar sudah menjingsing masih belum djuga padam, sampai sore harinja, kembali disebelah selatan kelihatan api me-njala2 pula. Dibawah sinar matahari tjahaja api tidak begitu djelas, tapi asap tebal tertampak mengepul tebal menembus awan.
Sebenarnja Hian-to memimpin kawan2nja berdjalan didepan, ketika melihat kebakaran disebelah selatan itu, segera ia menghentikan kudanja dan menunggu ditepi djalan. Sesudah Siau Hong mendekat, lalu ia bertanja: Kiau Pangtju, pasukan Liau telah mengepung kita dari tiga djurusan, menurut pandanganmu apakah Gan-bun-koan dapat dipertahankan" Aku sudah mengirim orang untuk menjampaikan berita kilat ke Gan-bun-koan, tjuma sadja panglima pendjaga benteng itu mungkin terlalu pengetjut dan tiada punja semangat tempur, boleh djadi sulit untuk menahan serbuan pasukan berkuda orang Tjidan.
Siau Hong terdiam, ia merasa susah untuk mendjawab.
Lalu Hian-to berkata pula: Tampaknja hanja orang Nuchen sadja jang dapat menghadapi ketangkasan orang Tjidan. Kelak bila keradjaan Song kita berserikat dengan orang Nuchen, dengan digentjet dari utara dan selatan mungkin akan dapat memaksa bangsa Tjidan berpikir dua kali dan tidak berani sembarangan menjerbu keselatan.
Siau Hong tahu maksud paderi Siau-lim-si itu jalah ingin dirinja berusaha menghubungi pemimpin suku bangsa Nuchen, jaitu Wanyan Akut. Tapi demi teringat dirinja sesungguhnja adalah orang Tjidan, mana boleh bersekongkol dengan bangsa lain untuk menjerang bangsa dan tanah airnja sendiri"
Untuk membelokkan pokok pembitjaraan maka mendadak ia bertanja: Hian-to Taysu, apakah ajahku baik2 sadja berada didalam kuil agung kalian"
Hian-to tertegun, djawabnja: Ajah Kiau-pangtju sudah masuk kedalam lingkungan Budha dan menjutjikan diri diruang belakang Siau-lim-si, keberangkatan kami ke Lamkhia kali ini tidak diberitahukan kepada ajahmu supaja tidak merisaukan perasaannja.
Sungguh aku ingin pergi menemui beliau untuk menanjakan sesuatu padanja, kata Siau Hong.
O, Hian-to tidak bersuara lebih landjut.
Aku ingin tanja kepada beliau: Djikalau pasukan Liau menjerang Siau-lim-si, lantas tindakan apa jang akan dilakukan oleh beliau" kata Siau Hong.
Sudah tentu beliau akan berbangkit untuk menumpas musuh, membela agama dan menjelamatkan kuil, apa jang perlu diragukan lagi" udjar Hian-to.
Akan tetapi ajah adalah orang Tjidan, apakah dia mau disuruh membela orang Han untuk membunuh bangsanja sendiri"
Hian-to merenung sedjenak, katanja kemudian: Pangtju ternjata benar2
orang Tjidan jang telah meninggalkan kegelapan dan menudju kedjalan jang terang, sungguh harus diberi hormat dan mengagumkan.
Taysu adalah orang Han dan selalu anggap Han adalah pihak jang terang dan pihak Tjidan adalah pihak jang gelap. Sebaliknja bangsa Tjidan kami memandang keradjaan Liau jang djaja adalah pihak jang terang dan keradjaan Song adalah pihak jang gelap. Padahal leluhur dari bangsa kami telah banjak menderita, kami di-uber2 dan dibunuh oleh suku bangsa Sianbi dan lain2 sehingga terpaksa berlari kian kemari untuk menjelamatkan diri, betapa sengsaranja sungguh susah dilukiskan. Ketika keradjaan Tong negeri kalian, karena ilmu silat bangsa Han kalian telah berkembang dengan hebat, karena itu tidak sedikit pula kesatria2 bangsa Tjidan kami mendjadi korban lagi dan banjak sekali kaum wanita kami ditjulik dan ditawan. Sekarang ilmu silat bangsa Han kalian sudah banjak mundur, maka berbalik bangsa Tjidan kami jang akan membunuh kalian. Djika bunuh membunuh setjara bergilir ini berlangsung terus, bilakah baru akan berachir"
Hian-to menghela napas, katanja: Hanja kalau segenap radja2 dan penguasa2 didunia ini sudah memeluk agama Budha jang mengutamakan welas-asih kepada sesamanja, dengan demikian barulah didunia ini takkan ada peperangan dan saling bunuh membunuh.
Ja, entah bilakah baru akan tiba saat aman dan damai bagi dunia ini, sahut Siau Hong.
Begitulah rombongan mereka terus menudju kebarat. Mereka melihat di djurusan2 timur, utara dan selatan rupanja siang dan malam pasukan Liau terus main bunuh dan bakar dimana mereka tiba. Dengan gusar para pahlawan mentjatji-maki kekedjaman musuh dan bertekad akan melabrak pasukan musuh dengan mati2an.
Pasukan Liau semakin dekat, achirnja kita tentu tiada djalan mundur lagi, demikian udjar Hoan Hwa. Menurut pendapatku ada lebih baik kita pentjarkan diri sadja agar musuh merasa bingung kemana harus mengedjar kita.
Tjara demikian bukankah berarti kita telah mengaku kalah" seru Go-tianglo dari Kay-pang. Hoan-suma, djangan engkau membesarkan kekuatan musuh dan menilai rendah tenaga kita sendiri. Pendek kata, apakah akan menang atau kalah, kita harus melabrak habis2an andjing2 Liau itu.
Bitjara sampai disini, tiba2 terdengar suara mendesing, sebatang anak panah menjambar dari arah tenggara sana dan kontan seorang murid berkantong lima dari Kay-pang roboh terpanah, menjusul dari balik bukit sana sepasukan Liau lantas menerdjang tiba sambil ber-teriak2.
Rupanja pasukan Liau ini telah menjusul mereka dengan memotong djalan, djumlah pasukan ini kira2 ada 500 orang.
Serbu! teriak Go-tianglo dan segera mendahului menerdjang musuh.
Memangnja para pahlawan sudah menahan gusar dan dendam sedjak tadi, kini mereka dapat melampiaskan perasaan mereka, segera mereka menjerbu dengan gagah berani. Karena djumlah dipihak pahlawan2 ini lebih besar daripada pasukan Liau, ilmu silat mereka tinggi2 pula, maka ditengah suara teriakan riuh ramai peradjurit2 Liau telah dilabrak hingga kotjar-katjir, bagaikan membatjok semangka dan memotong sajur tjepatnja, hanja sekedjap sadja 500-an peradjurit Liau itu telah disapu bersih oleh para pahlawan.
Ada belasan orang Bu-su Tjidan sempat mendaki bukit dan hendak melarikan diri tapi merekapun tersusul oleh djago2 silat Tionggoan jang tinggi Ginkangnja dan terbunuh habis pula.
Setelah menangkan peperangan ini, para pahlawan sama bersorak gembira, semangat mereka me-njala2 lebih hebat.
Tapi diam2 Hoan Hwa berkata kepada Hian-to, Hi-tiok, Toan Ki dan beberapa pimpinan lain: Jang kita basmi ini hanja suatu pasukan Liau jang ketjil, sesudah terdjadi kontak ini, pasukan Liau jang lebih kuat tentu akan membandjir tiba. Marilah kita lekas mundur pula kebarat!
Baru selesai ia bitjara, mendadak terdengar suara gemuruh disebelah timur sana. Waktu para pahlawan memandang kearah sana, tertampaklah debu mengepul tinggi hingga mirip awan mendung jang menutupi langit.
Seketika para kesatria hanja saling pandang belaka, keadaan mendjadi sunji senjap, hanja terdengar suara riuh gemuruh itu tambah menggelegar dari djauh. Terang itulah pasukan induk Liau jang serentak dilarikan untuk menerdjang kemari. Dari suaranja ini entah berapa ratus ribu djumlahnja.
Para kesatria sudah banjak mengalami pertarungan sengit didunia Kangouw, tapi suara gemuruhnja pasukan besar dilarikan seperti sekarang ini sungguh tidak pernah didengar mereka. Dibandingkan dengan perang diluar kota Lamkhia, terang kekuatan pasukan Liau sekarang djauh lebih hebat dan susah ditaksir. Menghadapi suasana medan perang sedemikian ini tanpa merasa hati para kesatria mendjadi ber-debar2 dan kebat-kebit.
Segera Hoan Hwa berseru: Saudara2 sekalian, kekuatan musuh teramat besar, daripada mati konjol pertjuma, biarlah kita menghindari untuk sementara, asal gunung tetap menghidjau, tak perlu kuatir tiada kaju bakar. Marilah kita mengundurkan diri untuk mentjari kesempatan buat menggempur kembali.
Segera para kesatria melarikan kuda mereka kearah barat dengan tjepat.
Mereka mendengar suara riuh gemuruh masih terus menggelegar dibelakang mereka tak ber-henti2.
Semalam suntuk mereka tidak mengaso, mendjelang fadjar mereka sudah dekat dengan Gan-bun-koan. Para kesatria mengeprak kuda mereka lebih tjepat. Mereka berharap asal dapat melintasi benteng itu, tentu pasukan Liau tidak mudah akan membobol benteng pertahanan jang merupakan perbatasan kedua negeri itu.
Sepandjang djalan ternjata tidak sedikit kuda2 para kesatria binasa keletihan. Maka ada jang terpaksa berlari dengan Ginkang, ada jang dua orang menunggang satu kuda.
Waktu terang tanah, djarak mereka dengan Gan-bun-koan hanja tinggal belasan li sadja, maka legalah para kesatria. Mereka lantas melompat turun dari atas kuda, dengan berdjalan kaki mereka memberi kesempatan kepada kuda mereka untuk melepaskan lelah. Sebaliknja suara riuh gemuruh berlarinja pasukan besar Liau dibelakang mereka tidaklah berkurang, bahkan bertambah hebat.
Siau Hong menurun kesebelah bukit sana. Tiba2 dilihatnja sepotong batu karang besar. Hatinja terkesiap. Teringat olehnja inilah tempatnja dimana dahulu Hian-tju dan Ong-pangtju memimpin para kesatria Tionggoan menjergap ajahnja dan membunuh ibunja.
Waktu menoleh, dilihatnja didinding karang sana masih djelas penuh bekas tatahan sendjata. Terang itulah bekas tempat tulisan jang ditinggalkan ajahnja jang kemudian telah dihapus oleh Hian-tju.
Pelahan2 Siau Hong berpaling pula, tertampaklah disebelah dinding karang itu ada sebatang pohon, telinganja se-akan2 masih mendengar suara A Tju jang dahulu sembunji dibalik pohon itu: Kiau-toaya, djangan engkau memukul lagi, nanti bukit ini akan hantjur kena hantamanmu.
Ia ter-mangu2 sedjenak, tiba2 utjapan A Tju jang lemah lembut dengan djelas bergema pula dalam benaknja: Sudah lima hari lima malam kunantikan engkau disini, kukuatir engkau takkan datang. Tapi . achirnja engkau toh datang djuga. Banjak terima kasih kepada Thian jang maha murah hati, achirnja engkau telah datang dengan selamat.
Tanpa merasa air mata Siau Hong bertjutjuran, ia mendekati pohon itu dan me-raba2 batang pohon, ia melihat pohon itu sudah djauh lebih tinggi daripada waktu pertemuannja dengan A Tju dahulu. Sungguh tak terkatakan rasa duka hati Siau Hong, ia lupa kepada segala apa jang sedang terdjadi disekitarnja pada saat itu.
Se-konjong2 terdengar teriakan melengking seorang: Tjihu, lekas lari, lekas mundur! Menjusul A Tji telah mendekatinja dan me-narik2 lengan badjunja.
Waktu Siau Hong mengangkat kepalanja, ia melihat dari djurusan2 timur, utara dan selatan telah membandjir pasukan Liau dengan tumbak2 teratjung keatas sebagai hutan bambu. Njata pasukan Liau itu merapat dalam pengepungan mereka.
Siau Hong mengangguk, katanja: Baiklah, mari kita mundur kedalam Gan-bun-koan.
Dalam pada itu kesatria2 lain sudah mendahului sampai didepan Gan-bun-koan, tapi ketika Siau Hong dan A Tji sampai disitu, pintu gerbang benteng pertahanan itu masih tetap tertutup rapat, tertampak air muka para kesatria penuh rasa mendongkol dan penasaran.
Diatas benteng kelihatan berdiri seorang perwira pasukan Song dan sedang berkata dengan suara lantang: Menurut perintah Thio-tjiangkun jang mendjadi komandan pasukan pendjaga benteng Gan-bun-koan ini, bahwasanja bila kalian adalah rakjat tionggoan dan mestinja boleh masuk kedalam benteng tapi entah diantara kalian terdapat tidak mata2 musuh, maka diputuskan kalian harus membuang semua sendjata jang kalian bawa untuk diperiksa satu persatu, sesudah terang kalian adalah orang banjak, maka dengan kebaikan hati Thio-tjiangkun kalian nanti akan diperbolehkan masuk benteng.
Seketika ributlah para kesatria demi mendengar otjehan perwira itu. Ada jang berkata: Sungguh tidak pantas. Kita ber-lari2 sekian djauhnja dan melawan musuh dengan sepenuh tenaga, tapi sampai disini malah ditjurigai lagi sebagai mata2 musuh.
Ja, sebabnja kita membawa sendjata adalah karena ingin membantu kawan untuk melawan pasukan Liau. Kalau sendjata kita dilutjuti, tjara bagaimana kita dapat berperang lagi" demikian kata jang lain.
Bahkan ada diantaranja jang berwatak berangasan sudah lantas mentjatji-maki: Kurangadjar! Sudah berdjoang mati2an tidak mendapat pudjian sebaliknja ditjurigai setjara tidak beralasan. Apa benar kita tidak diperbolehkan masuk kedalam benteng atau kita be-ramai2 mesti menjerbu sadja kedalam"
Agar urusan tidak mendjadi lebih runjam, segera Hian-to mentjegah kata2
kasar para kawan. Lalu serunja kepada perwira tadi: Harap sukalah memberi lapor kepada Thio-tjiangkun bahwa kami semuanja adalah rakjat Song jang setia dan berdjoang bagi negara. Pasukan musuh sekedjap lagi akan tiba, kalau mesti pakai memeriksa dan menggeledah segala, mungkin akan berbahaja dan terlambat bagi keselamatan kami.
Rupanja perwira itupun sudah mendengar suara tjatji-maki tidak puas dari para kesatria, pula dilihatnja banjak diantara rombongan Hian-to itu aneka matjam pakaiannja dan tidak mirip dengan rakjat umumnja didaerah Tionggoan, maka perwira itu lantas bertanja lagi: Hwesio tua, kau bilang kalian adalah rakjat Song jang baik2, tapi kulihat banjak diantara rombongan itu tidak mirip dengan orang Tionggoan kita" Namun demikian, ja sudahlah, aku akan memberi kelonggaran, mereka jang benar2 adalah rakjat Song akan dibolehkan masuk, sebaliknja mereka jang bukan rakjat Song kita dilarang masuk.
Untuk sedjenak para kesatria mendjadi saling pandang dengan penuh mendongkol. Hendaklah maklum bahwa anak buahnja Toan Ki itu adalah rakjat keradjaan Tayli, sedangkan anak buahnja Hi-tiok lebih2 tak keruan, mereka adalah gado2, tjampuran dari berbagai bangsa, ada orang Se-ek, ada orang Se He, Turfan, Korea dan lain2. Kalau sekarang jang dibolehkan masuk benteng hanja rakjat Song sadja, itu berarti sebagian besar anak buah keradjaan Tayli dan Leng-tjiu-kiong tak bisa ikut masuk kedalam.
Terpaksa Hian-to membudjuk lagi: Mohon kebidjaksanaan Tjiangkun bahwa banjak diantara kawan2 kami ini terdiri dari orang Tayli, Se He dan lain2, mereka semuanja telah membantu kita melabrak pasukan Liau, djadi mereka adalah kawan dan bukan lawan, mengapa mesti di-beda2kan tentang rakjat Song atau bukan"
Kiranja perdjalanan Toan Ki kedaerah utara kali ini telah dirahasiakan dengan sangat rapat, ia tidak ingin diketahui kedudukannja sebagai kepala negara Tayli untuk mendjaga kalau2 mendadak negerinja diserang oleh keradjaan Song atau mungkin djuga dia akan didjebak dan ditawan sebagai sandera. Sebab itulah dalam djawaban Hian-to itu tidak di-singgung2
tentang didalam rombongannja terdapat seorang tokoh maha penting itu.
Maka terdengar perwira tadi berkata dengan kurang senang: Gan-bun-koan adalah gerbang terpenting diwilajah utara keradjaan Song, tempat ini merupakan kuntji utama keselamatan negara. Tjoba lihatlah, pasukan Liau sudah tiba setjara besar2an, kalau aku sembarangan membuka pintu sehingga memberi kesempatan kepada pasukan Liau untuk menjerbu masuk kemari, lalu siapa jang akan bertanggung-djawab atas malapetaka jang akan timbul nanti"
Sungguh mendongkol sekali Go-tianglo, ia tidak tahan lagi, segera ia berteriak: Kenapa kau hanja membatjot sadja sedjak tadi dan tidak lekas2
membuka pintu" Kalau kau buka sedjak tadi bukankah saat ini kami sudah didalam benteng dan takkan menimbulkan malapetaka segala"
Perwira itu mendjadi gusar, damperatnja: Kau pengemis tua bangka ini berani sembarangan kentut didepan tuan-besarmu" -- Dan sekali ia memberi tanda, serentak diatas benteng muntjul ribuan peradjurit pemanah dengan anak panah sudah terpasang dibusurnja serta mengintjar kebawah benteng.
Nah, lebih baik kalian lekas mundur sadja, lekas! Kalau rewel2 lagi tak habis2 sehingga mengatjaukan pikiran peradjurit kami, segera akan kuperintahkan melepaskan panah, demikian perwira itu mengantjam.
Hian-to menghela napas pandjang dan tidak berdaja menghadapi perwira jang kepala batu dan susah untuk diadjak bitjara itu.
Saat itu para kesatria berada ditengah selat Gan-bun-koan. Kedua sisi benteng itu adalah tebing bukit jang terdjal meninggi kelangit. Sebabnja diberi nama Gan-bun-koan atau benteng pintu burung belibis, jaitu sebagai perumpamaan bahwa sekalipun burung belibis djika hendak terbang keselatan djuga terpaksa mesti terbang menjusur selat bukit jang terdjal dan tinggi itu untuk melukiskan betapa berbahajanja benteng itu.
Diantara kesatria2 dan pahlawan2 itu tidak sedikit terdapat djago silat jang memiliki Ginkang jang tinggi, dengan mudah sadja mereka dapat mendaki bukit dan melintas kebalik gunung sana untuk menjelamatkan diri bila dikedjar musuh, tapi sebagian besar pahlawan lainnja tentu tak terhindar dari kebinasaan dibawah sendjata pasukan Liau jang sebentar lagi akan membandjir tiba itu.
Sementara itu pasukan Liau sudah makin dekat, hanja karena terhalang oleh keadaan pegunungan jang luar biasa itu, maka terpaksa mereka mesti menjempitkan kepungan mereka dari kanan dan kiri dan achirnja terpusat mendjadi satu djurusan terus menerdjang madju kedepan. Suara tambur bergemuruh memekak telinga. Saat itu jang terdengar hanja suara tambur perang, suara derap larinja kuda tertjampur suara gemerintjingnja suara pakaian perang para peradjuritnja dan suara menderunja pandji2 tertiup angin, sebaliknja tak terdengar sama sekali berisiknja suara manusia, dari ini dapat dibajangkan betapa tegas dan keras disiplinnja pasukan Liau jang kuat itu.
Begitulah sebaris demi sebaris pasukan Liau terus mendesak madju kedepan benteng Gan-bun-koan. Sesudah mentjapai djarak kira2 satu panahan, lalu barisan2 itu berhenti. Sepandjang mata memandang, di-mana2
hanja tertampak pandji2 berkibar dan gemilapannja sendjata, entah berapa djumlahnja pasukan Liau jang datang itu.
Melihat keadaan sudah kepepet, Siau Hong merasa tidak dapat tinggal diam lagi. Segera ia berseru lantang: Harap para kawan tunggu sementara ditempatnja masing2 dan djangan sembarangan bergerak, biarlah Tjayhe bitjara sendiri dengan radja Liau. Dan tanpa peduli seruan Toan Ki dan A Tji jang mentjegah maksudnja itu, segera ia memutar kudanja dan dilarikan tjepat kearah pasukan Liau.
Siau Hong angkat kedua tangannja lurus keatas kepala sebagai tanda dia tiada membawa sesuatu sendjata. Lalu ia berteriak sekerasnja: Sri Baginda radja Liau jang mulia, Siau Hong ingin bitjara sedikit dengan engkau, harap engkau sudi tampil kemuka!
Dia bitjara dengan menggunakan tenaga dalam jang kuat, maka suaranja dapat berkumandang hingga djauh. Ratusan ribu peradjurit dan perwira Liau boleh dikata tiada satupun jang tidak mendengarnja dengan djelas. Mau-tak-mau setiap orang Tjidan itu berubah air mukanja.
Selang agak lama, mendadak terdengar suara gemuruh tambur dan terompet ditengah pasukan Liau, beratus ribu peradjurit Liau itu serentak menjiah kepinggir sebagai ombak terbelah kedua sisi. Maka tertampaklah delapan buah pandji kuning emas ber-kibar2 tertiup angin dan dilarikan kedepan oleh delapan orang kesatria penunggang kuda.
Dibelakang kedelapan pandji kuning itu menjusul barisan2 bersendjata tumbak, golok dan kapak, pemanah dan golok-tameng. Sesudah tampil kedepan, lalu barisan2 itu memisah kedua samping. Habis itu barulah tampak belasan djenderal dengan pakaian perang jang mentereng mengiringkan Yalu Hung-ki madju kedepan.
Serentak peradjurit2 Liau bersorak-sorai: Banswe! Banswe! (Banswe =
Hidup).Demikian bergemuruhnja suara sorakan itu se-akan2 menggetarkan lembah pegunungan dan memetjah bumi.
Melihat perbawa musuh sedemikian hebat, keruan peradjurit Song jang mendjaga Gan-bun-koan itu mendjadi terpengaruh dan keder.
Waktu Yalu Hung-ki mendadak angkat golok mestika jang dipegangnja itu keatas, seketika suara gemuruh pasukannja lantas berhenti, bahkan suasana mendjadi sunji senjap, ketjuali suara ringkik kuda jang terkadang terdengar, boleh dikata tiada suara lain lagi.
Sesudah Hung-ki menurunkan kembali goloknja, tiba2 ia berseru kepada Siau Hong: Siau-tayong, Siau-hiante jang baik, kau bilang akan membawa pasukan Liau kedalam benteng, mengapa sampai saat ini pintu gerbang belum lagi dibuka"
Mendengar utjapan Yalu Hung-ki ini, segera djuru-bahasa jang berada diatas benteng lantas menterdjemahkan arti utjapan itu kepada Thio-tjiangkun, itu panglima pendjaga Gan-bun-koan.
Keruan pasukan Song diatas benteng itu lantas geger, be-ramai2 mereka mentjatji-maki dan mengutuki Siau Hong.
Siau Hong tahu maksud utjapan Hung-ki itu sengadja hendak mengadu-domba agar dia ditjurigai oleh pasukan Song dan tidak berani membuka pintu gerbang benteng untuk memasukkan pahlawan2 Tionggoan itu.
Segera Siau Hong melompat turun dari kudanja, ia melangkah madju sambil berkata: Baginda, Siau Hong merasa telah mengchianati budi kebaikanmu sehingga Baginda sendiri sampai madju sendiri kemedan perang, sungguh dosaku tak terbilang besarnja.
Baru sekian sadja dia bitjara, se-konjong2 dua sosok bajangan orang melajang lewat dikedua sisinja. Begitu tjepat kedua bajangan itu sebagai kilat, terus sadja mereka menerdjang kearah Yalu Hung-ki. Kiranja mereka adalah Hi-tiok bersama Toan Ki.
Rupanja kedua orang itu melihat gelagat tidak menguntungkan urusan hari ini, harus berani bertindak lebih dahulu dengan menangkap radja Liau sebagai sandera (barang djaminan), dengan demikian barulah keselamatan orang banjak dapat terdjamin. Maka begitu saling memberi tanda, serentak mereka menerdjang madju dari kanan-kiri.
Ketika akan madju kedepan pasukan untuk menemui Siau Hong memangnja Yalu Hung-ki djuga sudah menduga kemungkinan saudara angkat akan menggunakan tipu lama ketika Siau Hong menawan Tjho-ong dan puteranja digaris depan waktu radja muda itu memberontak, maka sebelumnja Hung-ki djuga sudah bersiap siaga.
Benar djuga, sekali ia memberi aba2, serentak tiga ratus peradjurit bertameng lantas merubung madju. Tiga ratus buah tameng laksana dinding badja jang kuat telah mengadang didepan Yalu Hung-ki. Bahkan djago tumbak, djago kapak djuga serentak berbaris didepan barisan tameng itu.
Namun sekarang Hi-tiok bukan Hi-tiok djaman dulu lagi, dia sudah memperoleh adjaran murni dari Thian-san Tong-lo dan Li Djiu-sui, dia telah mejakinkan pula seluruh ilmu silat jang terukir didinding Lengtjiu-kiong, betapa tinggi kepandaiannja sekarang boleh dikata tiada bandingannja dan dapat dikeluarkan sesuka hatinja menurut keadaan.
Sedangkan Toan Ki sekarang djuga lain Toan Ki jang dulu, dia sudah memperoleh antero tenaga murni Tjiumoti, betapa hebat Lwekangnja djuga susah diukur. Apalagi kalau dia sudah keluarkan langkah adjaib Leng-po-wi-poh, biarpun pendjagaan serapat badja djuga dapat ditembusnja.
Begitulah, maka dengan menjelinap kesana dan menerobos kesitu, dengan tjepat dan gesit sekali Toan Ki telah merangsang madju melalui peradjurit2 bertumbak dan berkapak, asal ada sedikit lubang sadja segera diterobos olehnja.
Para peradjurit Liau itu segera menggunakan sendjata mereka untuk membatjok dan menusuk, tapi perbuatan mereka itu berbalik tjelaka, bukan sadja luput mengenai Toan Ki, sebaliknja karena djarak diantara mereka sendiri terlalu dekat, sehingga hampir seluruhnja serangan mereka mengenai kawannja sendiri.
Adapun Hi-tiok djuga lantas bekerdja dengan tjepat, kedua tangannja menjambar kekanan dan kekiri, asal ada peradjurit Liau kena ditjengkeramnja, kontan terus dilemparkannja keluar barisan. Sambil melempar orang ia terus mendesak madju kearah Yalu Hung-ki.
Mendadak dua perwira Tjidan menerdjang madju, dua tumbak mereka menusuk berbareng kedadanja Hi-tiok. Se-konjong2 Hi-tiok melontjat keatas, kedua kakinja masing2 mengindjak diatas udjung tumbak musuh. Kedua perwira Tjidan itu mem-bentak2 sambil mengajun tumbak mereka dengan maksud hendak mendjungkirkan Hi-tiok kebawah.
Tapi dengan memindjam daja guntjangan tumbak2 lawan, Hi-tiok terus melajang keatas udara untuk kemudian lantas menjambar keatas kepala Yalu Hung-ki.
Djadi jang satu selitjin belut dan jang lain setjepat burung terbang, tahu2 Toan Ki dan Hi-tiok sudah menerdjang sampai didekat radja Liau itu.
Keruan Hung-ki terkedjut, tjepat ia angkat golok-mestikanja dan membatjok kearah Hi-tiok jang sedang menubruk dari atas.
Tapi dari atas Hi-tiok sudah lantas mengulurkan tangannja dan menahan diatas golok-mestikanja, berbareng orangnja lantas meluntjur turun, dimana tangannja bergerak, dengan tjepat pergelangan tangan kanan Hung-ki sudah kena dipegang olehnja.
Dan pada saat jang hampir sama Toan Ki djuga sudah menjelinap tiba dari rintangan peradjurit2 Liau dan dapat mentjengkeram tangan kiri Hung-ki.
Ikutlah! bentak Toan Ki dan Hi-tiok berbareng. Segera mereka angkat tubuh Hung-ki dari atas kudanja dan melompat kedepan untuk dibawa lari setjepat terbang.
Ditengah djerit kaget dan kuatir perwira dan peradjurit Liau jang riuh ramai itu, seketika mereka mendjadi bingung karena radja mereka sudah kena ditawan musuh. Ada beberapa pengawal pribadi Hung-ki memburu madju hendak menolong, tapi semuanja kena ditendang mentjelat oleh Hi-tiok dan Toan Ki.
Karena berhasil menawan radja Liau, sungguh girang Hi-tiok dan Toan Ki tak terkatakan. Mendadak mereka melihat Siau Hong telah memapak tiba, berbareng mereka lantas berseru: Toako!
Tak terduga mendadak Siau Hong menggerakkan kedua telapak tangannja berbareng, sekaligus ia serang kedua saudara angkat itu. Keruan Hi-tiok dan Toan Ki terkedjut, tampaknja daja pukulan Siau Hong sebagai gugur gunung dahsjatnja dan susah dielakkan pula. Terpaksa mereka angkat tangan masing2 untuk menangkis. Maka terdengarlah suara plak-plok dua kali, empat tangan beradu dan menimbulkan angin jang menderu keras.
Kesempatan itu segera digunakan oleh Siau Hong untuk memburu madju, ia tarik Yalu Hung-ki kearahnja.
Dalam pada itu pasukan Liau dan kesatria2 Tionggoan djuga telah membandjir madju dari arahnja masing2, jang satu pihak ingin merebut kembali radja mereka dan pihak lain ingin membantu Siau Hong, Hi-tiok dan Toan Ki.
Sudah tentu siapapun tidak menduga bahwa mendadak Siau Hong telah mengadu pukulan dengan kedua saudara-angkatnja. Karena itulah orang2
kedua pihak sama2 tertjengang.
Segera terdengar Siau Hong berseru lantang: Djangan bergerak, siapapun djangan bergerak, dengarkan dulu, aku ingin bitjara dengan radja Liau!
Serentak pasukan Liau dan kesatria2 Tionggoan berhenti di tempatnja masing2, kedua pihak sama2 kuatir membikin susah orangnja sendiri, maka mereka hanja ber-teriak2 sadja dari djauh dan tidak berani menerdjang madju, lebih2 tidak berani melepaskan panah.
Dalam pada itu Hi-tiok dan Toan Ki djuga telah menjingkir kira2
beberapa tindak dibelakangnja Yalu Hung-ki untuk mendjaga kalau2 radja Liau itu lari kembali kedalam pasukannja serta untuk merintangi bila ada djago Tjidan memburu madju hendak menolong radjanja.
Saat itu wadjah Yalu Hung-ki sudah putjat pasi, pikirnja: Watak Siau Hong ini sangat keras, aku telah mengurung dia didalam kerangkeng berterali besi dan menghina dia habis2an. Sekarang aku berbalik tertawan olehnja, tentu dia akan membalas dendam se-puas2-nja dan mungkin djiwaku takkan diampuni lagi olehnja.
Tak tersangka Siau Hong telah berkata: Baginda, kedua orang ini adalah saudara-angkatku, mereka takkan membikin susah padamu, djangan kau kuatir.
Hung-ki mendengus sekali dan tidak mendjawab, ia menoleh memandang sekedjap kepada Hi-tiok, lalu memandang sekedjap pula pada Toan Ki.
Djiteku ini bernama Hi-tiok-tju, adalah madjikan dari Leng-tjiu-kiong, dan Samte ini adalah Toan-kongtju dari keradjaan Tayli, demikian Siau Hong memperkenalkan. Nama2 mereka djuga pernah hamba tjeritakan kepada Sri Baginda.
Ja, ternjata tidak bernama kosong, benar2 sangat hebat! sahut Hung-ki sambil manggut2.
Kami akan segera melepaskan Sri Baginda kembali ke pasukanmu, tjuma kami ingin mohon sesuatu dari Baginda, kata Siau Hong pula.
Hung-ki hampir2 tidak pertjaja kepada telinganja sendiri. Pikirnja: Didunia ini masakah ada urusan sedemikian enaknja" Ah, ja, tahulah aku, mungkin Siau Hong sudah berbalik pikiran dan akan kembali padaku, maka ia akan mohon aku menganugrahi mereka bertiga dengan pangkat jang tinggi.
Maka dengan muka tersenjum simpul ia mendjawab: Kalian ada permohonan apa, sudah tentu aku akan memenuhi dengan baik.
Baginda sekarang telah mendjadi tawanan kedua saudara-angkatku ini, kata Siau Hong. Menurut peraturan bangsa Tjidan kita, untuk bisa bebas Sri Baginda harus memberi tebusan dengan sesuatu.
Seketika Hung-ki mengerut kening. Apa jang kalian kehendaki" tanjanja.
Maafkan kelantjangan hamba jang telah mewakilkan kedua saudara-angkatku untuk bitjara dengan terus terang, jang kami inginkan hanja suatu djandji Baginda sadja, sahut Siau Hong.
Kerut kening Hung-ki semakin rapat. Soal apa" tanjanja pula.
Kami hanja mohon Baginda suka berdjandji akan segera menarik mundur pasukanmu dan untuk selama hidup Sri Baginda akan melarang setiap peradjurit Liau mendekati perbatasan wilajah antara kedua negeri Liau dan Song.
Toan Ki sangat girang mendengar sjarat jang dikemukakan oleh Siau Hong itu. Pikirnja: Asal pasukan Liau tidak melintasi wilajah perbatasannja dengan Song dan dengan sendirinja djuga tak dapat mengantjam negeri Tayli kami.
Karena itu, tjepat iapun berseru: Ja, betul, asal kau mau berdjandji dan segera kami akan melepaskan kau.
Tapi lantas teringat olehnja bahwa tertawannja radja Liau itu sebagian djuga berkat tenaga sang Djiko dan entah bagaimana pendapatnja tentang sjarat jang dikemukakan Siau Hong itu. Maka ia lantas bertanja kepada Hi-tiok:Djiko, tebusan apa jang kau inginkan dari radja Tjidan ini"
Hi-tiok menggeleng kepala, sahutnja: Akupun mengharapkan djandjinja itu sadja.
Air muka Hung-ki tampak bersengut, katanja: Hm, kalian berani memaksa dan mengantjam diriku" Dan bagaimana kalau aku menolak permintaanmu"
Djika begitu, tiada djalan lain, terpaksa gugur bersama, kata Siau Hong. Dahulu waktu kita mengangkat-saudara kita djuga pernah bersumpah untuk hidup dan mati bersama.
Hung-ki tertegun. Pikirnja: Siau Hong ini adalah seorang nekat jang tidak kenal apa artinja takut. Dia berani berkata dan berani berbuat, apa jang sudah diutjapkan selamanja dipegang teguh. Kalau aku menolak permintaannja, djangan2 dia benar2 menjerang diriku, sungguh tjelaka djika aku mesti binasa ditangan seorang nekat sebagai dia ini.
Karena itulah mendadak ia bergelak tertawa dan berseru dengan lantang: Dengan djiwaku Yalu Hung-ki ini dapat menjelamatkan ber-djuta2 djiwa dari rakjat kedua negara, haha, saudaraku jang baik, apa kau pandang djiwaku sedemikian tinggi nilainja"
Sri Baginda adalah orang jang diagungkan dinegeri Liau, diseluruh djagat ini masakah ada orang lain jang lebih tinggi nilainja daripada Baginda" sahut Siau Hong.
Kembali Hung-ki tertawa, katanja: Djika demikian, dahulu orang Nuchen hanja minta tebusan padaku sebanjak 30 kereta emas, 300 kereta perak dan 3000 ekor kuda, penilaian mereka sesungguhnja terlalu dangkal, bukan"
Siau Hong membungkuk tubuh kepada kakak-angkat itu dan tidak mendjawab lagi.
Hung-ki tjoba menoleh kebelakang, tertampak djago pengawalnja jang paling dekat djuga lebih dari puluhan meter djauhnja, betapapun pasti susah untuk menolong dirinja. Mengingat djiwanja jang lebih berharga daripada segala benda apapun didunia ini, terpaksa Yalu Hung-ki menerima sjarat jang diadjukan Siau Hong. Segera ia mengeluarkan sebatang anak panah, ia angkat keatas, sekali tekuk, krak, patahlah anak panah itu terus dibuangnja keatas tanah sambil berkata: Kuterima sjaratmu!
Banjak terima kasih, Baginda, kata Siau Hong.
Segera Hung-ki memutar tubuh dan hendak melangkah pergi, tapi tertampak olehnja Hi-tiok dan Toan Ki masih mengawasi dirinja dengan sorot mata ber-api2 dan tiada tanda2 mau memberi djalan padanja. Terpaksa ia menoleh lagi memandang kepada Siau Hong, dilihatnja Siau Hong djuga diam sadja.
Maka tahulah Hung-ki apa maksud mereka, terang mereka masih kuatir kalau2
dirinja mengingkar djandji hanja dengan utjapannja tadi.
Hung-ki lantas melolos golok-mestikanja dan diangkat tinggi keatas, lalu serunja keras2: Wahai, dengarkanlah para peradjurit dan perwira Liau!
Serentak terdengar tambur perang ditengah pasukan Liau bergemuruh ditabuh, lalu berhenti seketika.
Kemudian Yalu Hung-ki berseru pula: Sekarang djuga kuperintahkan menghentikan peperangan ini, negeri Song dan Liau adalah negeri bersaudara, maka hari ini djuga pasukan kita lantas ditarik mundur. Untuk selama hidupku ini aku melarang setiap peradjurit Liau melintasi perbatasan. ~ Habis berkata, ketika golok-mestikanja diturunkan, kembali tambur bergemuruh ditabuh lagi.
Dan baru sekarang Siau Hong membuka suara: Dengan hormat silakan Sri Baginda kembali ke pasukan!
Hi-tiok dan Toan Ki segera menjingkir kesamping dan memutar kebelakangnja Siau Hong.
Hung-ki merasa girang dan malu pula. Meski ia ingin lekas2 meninggalkan tempat berbahaja itu, tapi iapun tidak sudi mempertontonkan kelemahannja didepan Siau Hong dan pasukan kedua pihak, maka ia berlaku tenang sedapat mungkin dan melangkah kembali kepihak pasukannja dengan pelahan2.
Segera berpuluh pengawal pribadinja melarikan kuda mereka memapak madju. Semula langkah Hung-ki masih pelahan, tapi tanpa merasa djalannja makin lama makin tjepat, sehingga achirnja kedua kakinja terasa lemas seakan2 djatuh, djalannja mendjadi ter-hujung2, kedua tangannja bergemetar dan keringat memenuhi dahinja.
Ketika para pengawalnja sampai didepannja dan membawakan kuda tunggangannja, namun sekudjur badan Hung-ki sudah lemas semua rasanja, biarpun sebelah kakinja sudah mengindjak pelana, tapi tidak kuat mentjemplak keatas kudanja.
Tjepat dua pengawalnja menahan bahunja dan mengangkatnja keatas, dengan demikian barulah Hung-ki dapat naik keatas kudanja.
Melihat radja mereka telah kembali dengan selamat, serentak para peradjurit Liau ber-sorak2 lagi riuh rendah.
Dalam pada itu demi mendengar radja Liau memberi perintah kepada pasukannja untuk mundur dan menjatakan selama hidupnja akan melarang setiap peradjurit Liau melanggar perbatasan kedua negeri, maka baik tentera Song diatas benteng maupun para kesatria diluar benteng djuga serentak bersorak gembira.
Semua orang tjukup kenal sifat orang Tjidan jang kedjam dan suka membunuh, tapi selamanja dapat pegang djandji, apalagi sekarang radja Liau sendiri jang mengumumkan djandjinja didepan pasukan kedua pihak, kalau kelak mengingkar djandji, tentu diapun akan dipandang hina oleh rakjatnja sendiri dan tahta keradjaannja mungkin akan guntjang.
Begitulah dengan wadjah guram Yalu Hung-ki merasa malu benar2 karena telah memberikan djandji sebesar itu dibawah antjaman Siau Hong.
Peristiwa ini benar2 sangat menurunkan perbawanja dan memerosotkan pamor keradjaan Liau. Tapi dari suara sorak-sorai sambutan pasukannja dapat dirasakan pula bahwa apa jang sudah terdjadi itu ternjata tidak mengurangi dukungan para peradjurit dan perwiranja kepadanja. Ketika ia memandang para peradjuritnja, tertampak wadjah setiap orang bertjahaja dan ber-seri2.
Rupanja para peradjurit itu demi mendengar pasukan mereka segera akan ditarik mundur sehingga terhindar dari kemungkinan mati dimedan perang dan tidak lama lagi akan dapat berkumpul kembali dengan sanak keluarganja, maka mereka mendjadi kegirangan.
Maklum, sekalipun orang Tjidan gagah berani, tapi siapapun tak dapat mendjamin akan mati-hidup setiap orang dimedan perang. Maka demi mendengar mereka akan terhindar dari bentjana perang, dengan sendirinja mereka sangat senang, terketjuali beberapa perwira diantaranja jang mengimpikan akan mengeduk keuntungan dan naik pangkat dalam peperangan itu.
Diam2 Hung-ki terkesiap: Kiranja semangat peradjurit2ku djuga sudah bosan perang, kalau aku berkeras mengerahkan mereka menjerbu keselatan, bukan mustahil akupun akan menderita kekalahan ~ Lalu teringat pula olehnja: Orang2 Nuchen itu benar2 sangat kurangadjar, mereka selalu merupakan antjaman dibelakang punggungku, maka aku harus menumpas dulu manusia2 biadab itu.
Segera ia mengatjungkan golok-mestikanja keatas dan berseru: Harap Pak-ih Tay-ong memberi perintah, barisan belakang segera berubah mendjadi barisan muka, kita langsung pulang ke Lamkhia!
Serentak genderang berbunji lagi dan meneruskan titah radja itu. Maka terdengarlah suara sorak-sorai gegap gempita jang makin mendjauh dan makin mendjauh.
Ketika Yalu Hung-ki berpaling, ia melihat Siau Hong masih berdiri ditempatnja tanpa bergerak sedikitpun, sorot matanja tampak tjemas.
Hung-ki tertawa dingin dan berseru: Siau-tayong, kau telah berdjasa besar bagi keradjaan Song, terang hadiah besar dan kedudukan tinggi sedang menantikan dirimu dalam waktu singkat.
Sri Baginda, mendadak Siau Hong mendjawab dengan suara keras: Sekali Siau Hong adalah bangsa Tjidan maka untuk selamanja djuga tetap bangsa Tjidan. Hari ini hamba telah memaksakan kehendak atas Baginda sehingga mendjadi seorang Tjidan jang maha berdosa, untuk selandjutnja apakah Siau Hong masih ada muka untuk hidup didunia ini!
Se-konjong2 ia djemput kedua potong panah patah jang dibuang Hung-ki tadi, sekali tenaga dalam dikerahkan, tjrat-tjrat, mendadak ia tikam ulu hati sendiri dengan kedua potong panah patah itu.
Hung-ki mendjerit kaget dan segera memutar kudanja dan dilarikan beberapa tindak, tapi lantas menghentikan kudanja lagi.
Kedjut Hi-tiok dan Toan Ki tak terkatakan, berbareng mereka melompat madju sambil berteriak: Toako! Toako!
Namun kedua potong panah patah itu dengan tepat telah menantjap di ulu hati Siau Hong. Kedua mata sang Toako tertampak terpedjam rapat, njata orangnja sudah meninggal.
Tjepat Hi-tiok merobek badju sang Toako dengan maksud hendak memberi pertolongan kilat. Namun luka Siau Hong teramat parah, dengan tepat ulu hatinja tertembus kedua potong panah patah, terang susah untuk dihidupkan lagi. Terlihat diatas dada sang Toako sebuah kepala serigala jang menjeringai bertaring dan sangat buas tampaknja.
Hi-tiok dan Toan Ki menangis sedih dan memberi hormat terachir kepada sang Toako. Be-ramai2 anggota2 Kay-pang djuga berkerumun madju untuk memberi hormat.
Kiau-pangtju, seru Go-tianglo sambil me-mukul2 dadanja sendiri, meski engkau adalah orang Tjidan, tapi djauh lebih gagah dan lebih kesatria daripada orang2 Han jang tak berguna sebagai kami ini!
Para kesatria Tionggoan be-ramai2 djuga mengerumuni pahlawan pembela perdamaian itu dan ramai mempertjakapkannja. Ada jang bertanja: Kiau-pangtju ternjata benar adalah orang Tjidan" Djika demikian mengapa dia malah membela pihak Song kita"
Ja, tampaknja ditengah bangsa Tjidan djuga terdapat kaum kesatria dan pahlawan, demikian kata seorang lain.
Sedjak ketjil dia dibesarkan di-tengah2 bangsa Han kita, sehingga dapat menteladani budi luhur bangsa kita, sambung jang lain lagi.
Kalau kedua negara sudah berdamai dan dia sudah mendjadi djuru penjelamat rakjat kedua pihak, mestinja dia toh tidak perlu membunuh diri, demikian pendapat jang lain.
Kau tahu apa" udjar kawannja. Meski dia berdjasa bagi keradjaan Song, tapi dia telah dipandang sebagai pengchianat dinegerinja sendiri. Djadi dia membunuh diri karena takut atas dosanja sendiri.
Takut dosa apa" Kesatria besar sebagai Kiau-pangtju masakah perlu merasa takut " tukas kawannja tadi.
Sebaliknja Yalu Hung-ki mendjadi bingung sendiri demi menjaksikan Siau Hong telah membunuh diri. Pikirnja: Dia sebenarnja berdjasa bagi keradjaan Liau atau berdosa " Dengan susah pajah dia telah mentjegah aku menjerang wilajah Song, sebenarnja dia berdjoang bagi orang Han atau bagi bangsa Tjidan " Sedjak dia mengangkat-saudara dengan aku, selamanja dia sangat setia padaku. Hari ini dia telah membunuh diri didepan Gan-bun-koan, tampaknja bukan maksudnja karena kemaruk kepada kedudukan di negeri Song sana, habis .... habis apa sebabnja "
Maka berderaplah beratus ribu telapak kaki kuda menudju keutara, para perwira Tjidan ber-ulang2 masih menoleh kebelakang untuk memandang tubuh Siau Hong jang menggeletak diatas tanah dan sudah tak bernjawa itu.
Terdengar pula suara berkaoknja burung, serombongan burung belibis sedang terbang dari utara lewat diatas kepala pasukan tentara dan menudju keselatan melintasi benteng Gan-bun-koan.
Makin lama makin mendjauh suara gemuruh derap pasukan Liau itu. Hi-tiok, Toan Ki dan lain2 masih berdiri ter-mangu2 disamping djenazah Siau Hong, ada jang menangis ter-gerung2, ada jang tjuma mentjutjurkan air mata dengan kepala menunduk.
Tiba2 terdengar djerit lengking seorang wanita muda : Minggir !
Minggir! Semuanja minggir! Kalian sudah menjebabkan kematian Tjihuku, tapi masih pura2 menangis apa segala disini, apa gunanja "
Sambil berkata wanita muda itu sembari men-dorong2 minggir orang banjak jang berkerumun disekitar djenazah Siau Hong. Siapa lagi dia kalau bukan A Tji "
Hi-tiok dan lain2 sudah tentu tidak pikirkan utjapan anak dara jang sebenarnja menjinggung perasaan itu, maka mereka lantas sama menjingkir memberi djalan kepada A Tji.
Untuk sedjenak A Tji ter-mangu2 memandang djenazah Siau Hong, kemudian ia berkata dengan suara halus: Tjihu, orang2 ini semuanja orang busuk, kau djangan gubris pada mereka, hanja A Tji sadja jang benar2 berlaku baik kepadamu.
Habis berkata ia terus berdjongkok untuk memondong djenazah Siau Hong.
Tapi tubuh Siau Hong sangat tinggi dan besar, separo badannja terpondong, tapi kedua kakinja tetap terseret diatas tanah.
A Tji berkata pula: Tjihu, aku tahu sekarang kau baru menurut padaku, biarpun kupondong dirimu djuga, kau tak mendorong pergi aku lagi. Ja, harus beginilah memangnja!
Hi-tiok dan Toan Ki saling pandang sekedjap, pikir mereka: Agaknja dia terlalu berduka sehingga pikirannja berubah kurang waras.
Lalu Toan Ki tjoba menghiburnja dengan suara halus: Adikku, setjara kesatria Siau-toako telah gugur, orang meninggal toh tak dapat hidup kembali, hendaklah kau... kau ...
Tapi A Tji lantas mendorong minggir sambil membentak: Djangan kau merebut Tjihuku, dia adalah milikku, siapapun tidak boleh menjentuhnja!
Toan Ki menoleh dan mengedipi Bok Wan-djing.
Wan-djing paham maksudnja dan segera mendekati A Tji, katanja dengan pelahan: Adik ketjil, Siau-toako telah wafat, marilah kita berunding tjara bagaimana sebaiknja untuk memakamkan dia ....
Tak terduga mendadak A Tji mendjerit tadjam sehingga Bok Wan-djing terkaget dan tersentak mundur.
Pergi! Pergi! Enjahlah semua! demikian seru A Tji. Kaum lelaki bukan manusia baik, kaum wanitanja djuga bukan orang baik! Kau bermaksud meratjuni Tjihuku, kau suruh dia minum arak sehingga tak bisa berkutik.
Hm, djika kau berani mendekat segera akan kubunuh kau lebih dulu.
Keruan Bok Wan-djing mengerut kening dan geleng2 kepala kepada Toan Ki.
Pada saat itulah tiba2 dilereng bukit disisi kiri benteng Gan-bun-koan sana ada suara teriakan orang: A Tji! A Tji! Ha, aku sudah mendengar suaramu! Dimanakah engkau sekarang" Dimana"
Suara itu kedengaran sangat memilukan hati, banjak diantara kesatria Tionggoan itu mengenal suara orang itu, jaitu orang jang pernah mendjadi Pangtju dari Kay-pang dan memakai nama samaran sebagai Ong Sing-thian, aslinja bernama Yu Goan-tji.
Waktu semua orang memandang kearah datangnja suara, maka tertampaklah kedua tangan Goan-tji masing2 memegangi sebatang tongkat bambu, tongkat kiri dipakai sebagai alat pentjari djalan, tongkat kanan sebaliknja menumpang diatas pundak seorang laki2 setengah umur dan sedang muntjul dari kelokan gunung sana.
Hi-tiok dan lain2 mendjadi ter-heran2. Waktu mereka memperhatikan silelaki setengah umur, kiranja dia adalah Oh-lotoa jang ditugaskan mendjaga Leng-tjiu-kiong oleh Hi-tiok.
Wadjah Oh-lotoa tampak kurus putjat, badjunja tjompang-tjamping dan memperlihatkan sikap jang penasaran karena terpaksa.
Maka tahulah Hi-tiok dan lain2. Rupanja Oh-lotoa telah dipaksa oleh Goan-tji jang sudah buta itu agar membawanja pergi mentjari A Tji. Bukan mustahil sepandjang djalan Oh-lotoa telah banjak menderita siksaan Goan-tji.
Untuk apa kau datang kesini" demikian tiba2 A Tji mendamperat dengan gusar. Aku tidak ingin melihat kau, tidak ingin melihat kau lagi!
Sebaliknja Goan-tji mendjadi girang, serunja: Ha, engkau ternjata benar berada disini. Aku dapat mengenali suaramu, achirnja aku dapat menemukan dikau! ~ Dan ketika dia dorong tongkatnja sedikit, tanpa kuasa lagi Oh-lotoa lantas berlari kedepan setjepat terbang.
Tjepat sekali datangnja Goan-tji dan Oh-lotoa itu, hanja dalam sekedjap sadja sudah sampai disamping A Tji.
Hi-tiok, Toan Ki dan lain2 sedang dalam keadaan tak berdaja, demi nampak datangnja Yu Goan-tji, mereka pikir pemuda ini rela mengorbankan kedua bidji matanja untuk A Tji, dengan sendirinja mereka mempunjai hubungan jang sangat baik, maka boleh djadi pemuda buta ini akan dapat menjadarkan A Tji. Sebab itulah Hi-tiok dan lain2 lantas menjingkir beberapa tindak lebih djauh dan tidak ingin mengganggu pertjakapan kedua muda-mudi itu.


Pendekar Pendekar Negeri Tayli Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Maka terdengar Goan-tji telah menjapa: Nona A Tji, engkau baik2 sadja bukan" Apa ada orang berani membikin susah padamu" ~ Meski selebar mukanja sudah rusak, tapi dari nada utjapannja itu terang sekali dia merasa sangat girang dan penuh perhatiannja kepada sianak dara.
Aku telah dibikin susah oleh orang lain, apa jang hendak kau lakukan"
sahut A Tji. Siapakah dia" tjepat Goan-tji menegas. Lekas nona katakan padaku, biar aku akan menghadjarnja sampai mampus!
A Tji tertawa dingin, katanja sambil menundjuk para hadirin jang berada disekitarnja: Itulah, mereka semuanja telah membikin susah padaku, sekaligus boleh kau membunuh habis mereka!
Baik, sahut Goan-tji. Lalu ia bertanja kepada Oh-lo-toa: Hei, lau-Oh (Oh si tua), orang2 matjam apakah jang telah berani membikin susah kepada nona A Tji itu"
Wah, banjak sekali djumlahnja, engkau tak sanggup membunuh mereka, sahut Oh-lotoa.
Biarpun tak dapat djuga akan kulakukan, kata Goan-tji. Habis, siapa suruh mereka berani main gila kepada nona A Tji"
Tiba2 A Tji berkata lagi dengan gusar: Sekarang aku sudah berada bersama dengan Tjihu, untuk selandjutnja kami takkan berpisah lagi selamanja. Nah, lekas enjahlah kau, aku tak ingin melihat kau pula.
Sungguh sedih Goan-tji bukan buatan, katanja: Dja... djadi engkau tak... takkan menemui aku lagi.... "
Ja, ja, tahulah aku, bidji mataku ini adalah pemberianmu, seru A Tji dengan suara keras. Tjihu mengatakan aku telah utang budi kepadamu, maka aku diharuskan melajani kau dengan baik. Tapi aku djusteru tidak suka.
Habis berkata, mendadak tangan-kanannja terus mentjongkel kedalam matanja sendiri, terus dikorek keluar bidji matanja, lalu dilemparkannja kepada Goan-tji sambil berteriak: Ini, kukembalikan padamu! Sedjak kini aku tidak utang apa2 lagi padamu dan Tjihu tak dapat memaksa aku mengikuti kau pula.
Meski kedua mata Goan-tji sudah buta, tapi demi didengarnja djerit kaget orang2 jang berada disekitarnja, suaranja penuh rasa kuatir dan ngeri, maka tahu djuga dia apa jang telah terdjadi. Dengan suara parau ia berteriak: O, nona A Tji, nona A Tji!
Tapi begitu bidji mata sendiri sudah dikorek keluar, segera A Tji memondong djenazah Siau Hong dan melangkah kedepan sambil berkata dengan suara halus mesra: Tjihu, sekarang kita tidak utang apa2 lagi kepada siapapun. Dahulu aku telah melukai kau dengan djarum berbisa, tudjuanku jalah ingin engkau selalu berdampingan dengan aku. Dan sekarang barulah tjita2ku itu terkabul. ~ Sambil bitjara ia terus melangkah semakin djauh kedepan dengan memondong djenazah Siau Hong.
Melihat darah bertjutjuran dari tjekung matanja A Tji hingga membasahi mukanja jang putih tjantik itu, hati semua orang merasa ngeri dan kasihan pula. Maka ketika melihat anak dara itu berdjalan mendekat semua orang lantas menjingkir kesamping.
A Tji berdjalan lurus kedepan dan pelahan2 sampai ditepi djurang.
Semua orang mendjadi kuatir dan segera ber-teriak2: Berhenti! Awas, didepan adalah djurang jang tjuram!
Bahkan Toan Ki djuga terus memburu madju sambil berseru: Awas adikku, djang ... ~ Namun sudah terlambat, A Tji masih melangkah lurus kedepan, mendadak kakinja mengindjak tempat kosong dan terdjerumuslah anak dara itu bersama djenazah Siau Hong kedalam djurang jang tak terkirakan dalamnja itu.
Tepat pada saat itu Toan Ki djuga telah memburu sampai ditepi djurang tjepat ia ulur tangannja untuk mendjambret, tapi jang kena hanja setjabik kain badju adik perempuannja itu dan orangnja tetap terdjerumus kebawah.
Waktu Toan Ki melongok kedalam djurang, jang tertampak hanja awan belaka jang menutup rapat dipermukaan djurang sehingga tidak diketahui betapa dalamnja djurang itu, bajangan A Tji dan Siau Hong dengan sendirinja tak terlihat sedikitpun.
Para kesatria jang berdiri ditepi djurang semuanja ikut menghela napas gegetun, lebih2 jang berilmu silat agak rendahan mendjadi ngeri membajangkan betapa dalam dan terdjalnja djurang.
Hian-to dan beberapa kawannja jang berusia lebih landjut, mengetahui tjerita tentang dahulu Hian-tju, Ong-pangtju dan lain2 pernah menjergap djago2 Tjidan diluar Gan-bun-koan dan ibunja Siau Hong djusteru terkubur didasar djurang itu. Tak terduga bahwa beberapa puluh tahun kemudian Siau Hong dan A Tji djuga terkubur pula didalam djurang itu.
Pada saat lain tiba2 terdengar suara genderang berbunji diatas benteng, perwira jang menjampaikan perintah komandannja tadi sedang berseru pula kepada para kesatria: Atas perintah Thio-tjiangkun, panglima militer benteng Gan-bun-koan, bahwasanja kalian ternjata bukan mata2 musuh dari negeri Liau, maka kalian dapat diidjinkan masuk benteng, tapi kalian harus taat kepada undang2 dan berlaku sopan-santun, dilarang membikin rusuh dan mengatjaukan suasana tenteram, hendaklah kalian maklum.
Tapi para kesatria diluar benteng serentak mendjawab dengan mentjatji-maki, ada jang berteriak: Persetan dengan perintah panglimamu itu, biarpun mati djuga kami tidak sudi masuk kedalam benteng jang didjaga pembesar andjing matjam kalian itu!
Tjoba kalau pembesar andjing itu tidak bersikap plintat-plintut, tentu djuga Siau-tayhiap takkan tewas seperti sekarang ini! demikian ditambahkan seorang kesatria lain.
Begitulah be-ramai2 para kesatria mentjatji-maki sambil menuding perwira diatas benteng itu. Sedangkan Hi-tiok dan Toan Ki telah berlutut dan memberi hormat kearah djurang, lalu pergilah mereka dengan mendaki gunung dan melintasi bukit tanpa menghiraukan siperwira jang mentjak2
diatas benteng karena ditjatji-maki oleh para kesatria itu.
Apa jang terdjadi diluar Gan-bun-koan ini lantas digunakan baik oleh panglima pendjaga benteng itu untuk membuat laporan kilat ke kotaradja, katanja dia telah memimpin sendiri pasukannja dan bertempur mati2an selama beberapa hari menghadapi pasukan Liau jang berdjumlah ratusan ribu orang, berkat lindungan Thian dan Sri Baginda serta semangat tempur para peradjurit, perwira dan bintara, achirnja berhasil membinasakan Lam-ih Tay-ong keradjaan Liau jang bernama Siau Hong dan radja Liau Yalu Hung-ki kemudian mengundurkan diri dengan kekalahan habis2an.
Radja Song sangat girang mendapat laporan itu, segera ia mengirimkan firman jang memberi penghargaan se-tinggi2nja kepada para peradjurit, perwira dan bintara, pangkat mereka seluruhnja dinaikkan setingkat disertai hadiah2 jang besar. Para pembesar dipemerintah pusat djuga tidak ketinggalan untuk merajakan kemenangan itu setjara besar2an.
Sementara itu Toan Ki telah ambil perpisahan dengan Hi-tiok ditengah djalan, bersama Bok Wan-djing, Tjiong Ling, Hoan Hwa, Pah Thian-sik dan lain2, mereka lantas pulang ke Tayli.
Setiba didalam wilajah negeri Tayli, djauh2 tjalon permaisuri Ong Giok-yan dan para pembesar sudah menantikan dan menjambut mereka. Ketika Toan Ki bertjerita tentang Siau Hong dan A Tji, Giok-yan mendjadi terharu dan menangis, semua orangpun ikut berduka.
Rombongan mereka terus menudju keselatan, karena Toan Ki tidak ingin membikin kaget kepada penduduk setempat maka rombongannja tidak mengenakan pakaian kebesaran, tapi tetap menjamar sebagai kaum saudagar dan orang pelantjongan.
Sepandjang djalan tiada terdjadi apa2, achirnja sampailah mereka diluar kota-radja Tayli. Toan Ki ingin pergi ke Thian-liong-si lebih dulu untuk menjampaikan sembah bakti kepada Koh-eng Taysu dan paman bagindanja, Toan Tjing-bing.
Tatkala itu sudah mendjelang magrib, hari sudah mulai gelap. Ketika lalu disebuah hutan didekat Thian-liong-si, tiba2 ditengah hutan itu terdengar suara teriakan seorang anak ketjil: Sri Baginda, Paduka Jang Mulia, nah, aku sudah menjembah padamu, mengapa aku tidak diberi permen"
Toan Ki dan lain2 mendjadi ter-heran2. Mengapa ditempat ini, bahkan seorang anak ketjil dapat mengenali penjamarannja.
Tanpa merasa rombongan mereka lantas membelok kedalam hutan itu untuk melihat siapakah sebenarnja anak ketjil itu. Tapi mendadak terdengar pula seorang sedang berkata: Kalian harus berseru: Dirgahajulah! Semoga Sri Baginda hidup bahagia dan pandjang umur! Habis itu barulah akan kuberi permen.
Suara orang itu terdengar sudah sangat dikenal mereka. Itulah Bujung Hok adanja.
Toan Ki dan Giok-yan terkedjut, tjepat kedua orang bergandeng tangan dan bersembunji dibalik pohon sambil memandang kearah datangnja suara itu. Maka tertampaklah Bujung Hok sedang duduk diatas sebuah kuburan, kepalanja memakai kopiah radja buatan dari kertas dan sikapnja dibikin keren.
Didepannja ada tudjuh atau delapan orang anak kampung sedang berlutut dan be-ramai2 lagi mengutjapkan: Dirgahaju! Sri Baginda bahagia, pandjang umur!
Sambil ber-teriak2 tak keruan menirukan apa jang diadjarkan Bujung Hok tadi sambil tiada hentinja menjembah, malahan sudah ada jang mendjulurkan tangannja sambil berkata: Mana permennja" Mana permennja"
Terdengar Bujung Hok telah mendjawab: Para pengabdiku, silakan bangun.
Sekarang keradjaan Yan kita sudah kubangkitkan kembali dan aku sudah naik tahta, dengan sendirinja para pengabdiku akan mendapat gandjaran jang setimpal menurut djasa masing2.
Lalu ia merogoh keluar segenggam permen dan di-bagi2kan kepada anak2
ketjil tadi. Anak2 itu ber-djingkrak2 kegirangan sambil berlari pergi, semuanja ber-teriak2: Besok kita akan datang minta permen lagi!
Maka tahulah Giok-yan bahwa pikiran sang Piauko sudah tidak waras lagi karena gila hormat dan mengimpikan mendjadi kaisar, tapi tak terkabul.
Sungguh hati Giok-yan tak terkatakan dukanja.
Pelahan2 Toan Ki menarik tangan sang kekasih, ia memberi isjarat tangan dan semua orang lantas mundur keluar hutan setjara diam2.
Bujung Hok terlihat masih duduk diatas kuburan tadi dan mulutnja tampak berkomat-kamit tak ber-henti2 entah sedang mengotjeh apa ..........
Tamat 153 Tujuh Pedang Tiga Ruyung 9 Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo Wanita Gagah Perkasa 2
^