Pencarian

Bara Diatas Singgasana 3

Bara Diatas Singgasana Pelangi Di Singosari Karya S H Mintardja Bagian 3


Mahisa Agni mengangguk-angguk. Tetapi kemudian ia berkata, "Jadi apakah sudah selayaknya apabila aku cukup berdiam diri, menyesal dan mengaguminya saja."
"Sementara Agni. Aku-pun sementara ini hanya dapat berbuat demikian, semata-mata untuk kepentingan Singasari."
Mahisa Agni masih mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini Ia berhadapan dengan seseorang yang ternyata berpandangan sangat jauh. Dengan demikian maka Mahisa Agni hanya dapat menundukkan kepalanya sambil berkata, "Kau benar-benar berjiwa besar Witantra."
"Jangan memuji," jawab Witantra, "seperti kau juga. Kau juga tidak berbuat apa-apa. Aku hanya kehilangan adik seperguruanku. Kau telah kehilangan pamanmu oleh orang yang sama menurut perhitunganmu."
Mahisa Agni mengerutkan keningnya.
"Guru sudah mengatakan kepadaku. Bahkah sebelum kau menemuinya, meskipun guru tidak dapat menelusur seperti yang kau lakukan. Baik guru mau-pun aku sendiri, akhirnya mengambil kesimpulan, bahwa kami hampir yakin bahwa pembunuh itulah yang mempunyai kecakapan yang luar biasa, sehingga seakan-akan kami sekedar golek yang telah diaturkan, apa yang harus kita lakukan."
"Ya. Karena itu, marilah kita beri ia kesempatan. Untuk kepentingan Singasari yang besar, jauh lebih besar dari kepentingan-kepentingan kita pribadi."
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Itulah satu-satunya kemungkinan yang dapat kita lakukan sekarang. Meskipun demikian, aku akan berusaha untuk tidak terbakar oleh keadaan. Kalau aku terlampau sering melihat atau mendengar berita tentang namanya, maka rasa-rasanya hati ini masih juga tergelitik. Karena itulah, maka apabila kau tidak berkeberatan Witantra, aku akan tinggal bersamamu di sini."
"He," Witantra mengerutkan keningnya, "jangan bermimpi Agni."
Sebelum Mahisa Agni menjawab. Panji Bojong Santi menyahut, "Jangan ngger. Jangan menjauhkan diri dari pergaulan seperti Witantra. Seandainya Witantra tidak didorong oleh hubungan tata kerjanya, di mana saat itu ia menjadi seorang Panglima Pasukan Pengawal yang terkalahkan di arena, maka aku tidak akan mengijinkannya pergi."
Tanpa disadarinya terasa dada Mahisa Agni berguncang. Namun Panji Bojong Santi melanjutkannya, "Bukan maksudku mengungkat lagi apa yang sudah terjadi. Tetapi aku hanya sekedar menceriterakan alasan yang kuat bagi Witantra untuk menjauhi kota. Tetapi hal itu tidak terjadi atasmu. Kau masih tetap seperti keadaanmu semula. Tidak seorang-pun yang tahu, apa yang sebenarnya sudah terjadi dan apalagi yang langsung menyangkut kau. Karena itu tidak selayaknya kau berada di tempat yang sepi ini." Panji Bojong Santi terdiam sejenak, lalu katanya kemudian, "Anakmas Mahisa Agni. Menurut pendengaranku, gurumu mPu Purwa benar-benar sudah tidak dapat diketahui lagi, di mana ia berada. Hatinya benar-benar patah sejak puterinya hilang. Hanya sekali-sekali saja ia menampakkan diri seolah-olah begitu saja ia ada tetapi juga begitu saja ia lenyap. Karena itu, kau adalah saluran pengabdiannya. Kalau kau bersembunji seperti Witantra, maka garis pengabdian gurumu akan terputus."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia dapat mengerti arti kata-kata Panji Bojong Santi. Karena itu tanpa disengajanya ia mengangguk-anggukkan kepalanya dan berkata seolah-olah ditujukan kepada diri sendiri, "Jadi, meskipun aku tahu apa yang sebenarnya telah terjadi, namun aku tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat apa-apa."
"Bukan begitu," sahut Panji Bojong Santi, "kau dapat berbuat banyak. Tetapi tidak dengan tergesa-gesa."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Nah. kalau kau ingin menenteramkan hatimu, tinggallah di sini sejenak. Sehari, dua hari. Tetapi tidak untuk seterusnya."
"Terima kasih. Aku akan mencoba mencari-cari di sini. Di dalam ketenangan, mungkin aku menemukan yang aku cari."
Panji Bojong Santi mengangguk-angguk sambil tersenyum. "Baiklah. Kau akan mendapat tempat yang kau harapkan di sini."
Demikianlah maka Mahisa Agni memutuskan untuk tinggal sementara di padukuhan yang sepi itu. Justru Panji Bojong Santi lah yang lebih dahulu kembali ke padepokannya.
Di padukuhan yang sepi itu Witantra bersama Mahisa Agni melihat kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi di Singasari. Menurut perhitungan mereka Ken Arok pasti akan berhasil menguasai Singasari dan Kediri dengan baik, sehingga berkata Witantra kemudian, "Mahisa Agni. Aku kira kita tidak akan mendapat kesempatan sama sekali untuk berbuat sesuatu atas Sri Rajasa. Kita tahu bahwa seluruh Singasari memerlukannya. Kalau kita mencoba untuk mengetrapkan rasa keadilan kita atasnya, maka kita akan berkhianat terhadap Tumapel yang kini sudah berkembang menjadi Singasari ini."
"Jadi dengan demikian kita sudah membiarkan kejahatan berlangsung tanpa hukuman."
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Di sinilah kita dihadapkan pada kenyataan yang tidak kita harapkan itu. Kita tidak dapat memilih lagi. Kita sadar bahwa kita seakan-akan dihadapkan pada suatu neraca yang sudah berat sebelah."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Tetapi," tiba-tiba Mahisa Agni berkata lemah, "apakah kita tidak akan terlambat untuk berbuat sesuatu di hari-hari mendatang" Hari depan Singasari bukanlah hasil kerja sehari dua hari. Apa yang akan berkembang di masa mendatang. pasti sudah mulai bergetar hari ini."
"Apakah yang kau maksudkan?"
Mahisa Agni menarik nafas. Katanya. "Sebenarnya aku merasa, betapa kerdilnya jiwaku dibanding dengan jiwamu. Aku tidak pernah dapat melepaskan kepentingan-kepentingan pribadiku."
"Katakan." "Witantra," berkata Mahisa Agni tersendat-sendat. "Sebuah pertanyaan selalu mengganggu aku. Siapakah yang akan melanjutkan takhta Singasari ini kemudian kalau kita sudah bersepakat untuk membiarkan Ken Arok memerintah, karena ia benar-benar telah berhasil membuat Singasari menjadi besar, sehingga kita telah melepaskan segala macam tuntutan atas segala perbuatannya itu?"
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Baginya siapa yang akan menggantikan Ken Arok tidak begitu banyak menjadi persoalan. Yang penting baginya adalah, orang itu dapat memerintah dengan baik. Membuat Singasari bertambah maju dan bertambah besar. Tidak saja sebagai suatu negara di hadapan lingkungannya, tetapi juga bagi rakyatnya sendiri. Singasari harus menjadi negara yang memberikan kesejahteraan yang merata. Tetapi memang agak berbeda bagi Mahisa Agni. Mahisa Agni adalah saudara angkat Permaisuri Singasari sekarang. Namun demikian Witantra menjawab, "Mahisa Agni. Aku kira bagimu-pun tidak ada perbedaan, apakah sekarang yang memegang kekuasaan masih Tunggul Ametung atau sudah berpindah tangan pada Ken Arok. Bahkan secara jujur harus diakui. Tunggul Ametung mendapatkan Ken Dedes dengan cara yang tidak wajar, sehingga hampir saja aku digantung di alun-alun karena aku tidak mau ikut serta. Sedang Ken Arok bagi Ken Dedes adalah orang lain sesudah Wiraprana yang dapat menjerat hatinya."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Tetapi, kebencianmu kepada Ken Arok itu-pun wajar, karena kau menganggap bahwa Ken Arok telah membunuh pamanmu," Witantra berhenti sejenak, kemudian. "Bukankah begitu?"
"Ya," suara Mahisa Agni hampir tidak terdengar, namun kemudian, "tetapi lain Witantra. Ada sesuatu yang harus diperhitungkan. Ken Arok ternyata mempunyai seorang isteri yang lain. Iparmu itu."
Witantra menarik nafas dalam-dalam.
"Sudah tentu hal itu harus dipertimbangkan."
"Maksudmu, kau cemas kalau takhta kelak akan jatuh ke keturunan Ken Umang?"
Mahisa Agni ragu-ragu sejenak. Adalah kebetulan sekali bahwa Ken Umang adalah adik ipar Witantra.
"Kau tidak usah ragu-ragu. Aku dan isteriku tidak dapat menyetujui kelakuan anak itu. Selain itu, aku dapat mengerti kecemasan yang selalu menghantuimu." Witantra terdiam sejenak. Lalu, "Tetapi bukankah Anusapati sudah diangkat menjadi Pangeran Pati?"
"Memang Anusapati harus menjadi Pangeran Pati."
"Dan ia sudah Pangeran Pati."
"Tetapi anak itu masih terlampau kecil. Masih banyak kemungkinan yang dapat terjadi."
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Aku melihat sendiri apa yang telah terjadi. Sikap Ken Arok sangat meragukan. Ia terlampau berat sebelah."
"Maksudmu?" "Anusapati dan Tohjaja."
"Kenapa?" "Emban cinde emban siladan. Ken Arok terlampau memanjakan Tohjaya dan dapat dikatakan membenci Anusapati. Sebagai manusia aku dapat mengerti, karena Anusapati itu bukan anaknya. Anusapati sudah berada di dalam kandungan ketika Ken Dedes diambilnya menjadi isterinya."
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Tetapi sebagai manusia," bekata Mahisa Agni selanjutnya, "aku-pun merasa tidak senang. bahwa ke manakanku itu diperlakukan tidak adil. Aku tidak tahu, bagaimana tanggapanmu mengenai masalah ini karena aku tahu, Tohjaya adalah kemenakanmu."
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Ken Umang seolah-olah sudah terpisah dari keluarga kami. Ketika kami pergi dari Tumapel adik itu sudah berselisih dengan kakak perempuannya. Sehingga seolah-olah mereka saling berjanji untuk tidak berhubungan lagi di saat-saat mendatang."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Jadi. apa yang akan dapat kau lakukan?"
"Aku tidak tahu," jawab Mahisa Agni.
Mereka-pun kemudian saling berdiam diri. Tetapi pertanyaan itu tidak dapat mereka singkirkan dari dada mereka. Bukan hanya dalam saat mereka berbincang. Tetapi setiap saat. Meskipun hampir setiap saat keduanya berbicara, maka akhirnya mereka akan sampai kepada masalah itu. Apa yang dapat mereka lakukan"
"Mahisa Agni," berkata Witantra pada suatu saat, "kita tidak akan dapat menemukan jawaban di masa-masa dekat. Tetapi apapun yang akan terjadi, kau harus menyiapkan Anusapati untuk menghadapi segala kemungkinan."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepadanya. Jawabnya, "Itu memang sudah terpikir olehku. Menilik tuntunan yang didapatnya sekarang. Anusapati tidak akan dapat menjadi orang yang pantas untuk menjadi seorang raja yang akan menggantikan Ken Arok. Ia akan tenggelam sama sekali dalam arus kebesaran nama ayah tirinya, sehingga ia justru akan mendapat banyak kesulitan. Rakyat pasti akan menganggapnya tidak mampu untuk menggantikan Ken Arok. Dalam keadaan yang demikian itulah, maka Tohjaya menjadi semakin masak untuk mendesak kakaknya."
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Lalu," katanya, "apakah kau akan menuntunnya langsung?"
"Aku cemas, bahwa aku tidak akan mendapatkan ijin."
Witantra tidak menjawab. Tetapi kepalanya masih terangguk-angguk.
"Witantra," berkata Mahisa Agni kemudian, "aku tidak tahu apakah jalan yang terlintas di kepalaku ini jalan satu-satunya yang paling baik. Aku akan mencari kesempatan, apabila Anusapati menjadi semakin dewasa, untuk dengan diam-diam menuntunnya. Aku akan membuat Anusapati seorang anak muda yang memiliki kemampuan yang tangguh di dalam olah kanuragan, sehingga apabila datang saatnya, ia bukan lagi seorang yang dungu duduk kebingungan di atas takhta dan disoraki oleh rakyat Singasari yang kecewa kepadanya, apalagi yang menuntunnya turun dari kedudukannya, karena ia dianggap tidak mampu sama sekali."
Witantra tidak segera menyahut. Tetapi kepalanya terangguk-angguk. Kadang-kadang ia mengerutkan keningnya, namun kadang-kadang sepercik cahaya memancar di matanya.
Witantra dapat mengerti apa yang terlintas di dalam angan-angan Mahisa Agni. Umur Anusapati dan Tohjaya yang tak terpaut banyak memang dapat menimbulkan kecemasan. Menurut pertimbangan Mahisa Agni, Anusapati bukan putera Sri Rajasa sendiri seperti Tohjaya, sehingga memang mungkin sekali perubahan keputusan Sri Rajasa itu terjadi, meskipun dengan liku-liku yang sangat panjang. Sri Rajasa tidak akan kekurangan akal untuk melakukan niatnya. Apalagi kini ia memegang kekuasaan. Selagi ia masih seorang perwira yang tidak begitu dekat dengan Tunggul Ametung. ia mampu menjadikan orang-orang yang memimpin Tumapel seperti tidak mempunyai sikap dan pendirian sendiri. Ken Arok mampu melenyapkan Tunggul Ametung. setelah ia berhasil membunuh Empu Gandring yang diperkirakannya akan menjadi duri di sepanjang hidupnya. Kemudian membuang bekas perbuatannya dengan mengorbankan Kebo Ijo dan memperalat Mahisa Agni untuk mempertahankan kesalahan Kebo Ijo.
"Ken Arok memang mempunyai kecakapan yang luar biasa," desis Witantra di dalam hatinya, "atau memang kamilah yang terlampau dungu."
Witantra mengangkat wajahnya ketika ia mendengar Mahisa Agni bertanya, "Bagaimana pendapatmu Witantra?"
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Ya. kau benar. Memang banyak sekali kemungkinan dapat terjadi."
"Apalagi pada Anusapati," berkata Mahisa Agni pula, "ia seakan-akan sebatang kara di dalam istana. Selagi Tunggul Ametung yang dikelilingi oleh pengawal-pengawal yang terpercaya dapat dilenyapkannya tanpa bekas, karena Kebo Ijo terjerat di dalam jaring-jaringnya. Bukan saja Kebo Ijo, tetapi aku juga."
"Ya, aku mengerti," sahut Witantra.
"Karena itu, aku akan melakukannya dengan diam-diam. Kalau hal itu nanti pada suatu saat diketahui oleh Ken Arok. maka Anusapati pasti akan terancam. Namun apabila anak itu dibiarkan sesuai dengan perkembangannya sekarang, di bawah asuhan orang-orang yang sama sekali memang tidak dapat dipercaya, atau sengaja atas perintah Sri Rajasa membuat Anusapati tidak berdaya, maka ia akan mengalami siksaan batin di hari kemudian. Yang lebih parah lagi adalah, ia akan hilang dari istana sebelum ia dewasa."
"Ya," jawab Witantra, "tetapi caranya itu sangat berbahaya."
"Aku mempunyai kesempatan yang cukup untuk berada di istana. Aku dapat berada di dekat Anusapati dengan alasan apapun. Kelak apabila Anusapati menjadi semakin dewasa, tugas itu akan menjadi semakin mudah, karena Anusapati sudah dapat keluar dari istana di saat-saat tertentu."
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. "Apakah alasanmu untuk selalu berada di dekat Anusapati?"
"Padang Karautan sudah menjadi semakin baik. Aku berharap untuk dapat menjadi seorang pegawai istana, atau pegawai apapun di kota. Mungkin aku akan mendapat pekerjaan di luar istana, di sudut-sudut kelengkapan kerja yang lain. Namun aku dapat tinggal di dalam istana, meskipun di sudut yang paling jauh."
Witantra masih mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, "Memang mungkin hal itu kau lakukan atas pengaruh Tuanku Permaisuri, sehingga kau dapat tinggal di dalam. Seandainya tidak ada Permaisuri, orang yang tidak mempunyai tempat tinggal di kota seperti kau, akan di tempatkan di barak-barak seperti para prajurit-prajurit muda."
"Ya. Apalagi aku berada di istana untuk kepentingan anaknya."
"Apa kau akan memberitahukannya kepada Ken, Dedes?"
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menggeleng, "Untuk sementara lebih baik aku tidak mengatakannya supaya hidupnya tidak kian tersiksa."
Witantra tidak menjawab, tetapi ia merenungkan rencana Mahisa Agni. Memang Mahisa Agni tidak akan dapat merubah keadaan dalam waktu yang singkat. Ken Arok membuat Singosari seperti sekarang ini dengan perencanaan yang benar-benar masak, meskipun seorang diri. Kini apabila Mahisa Agni akan menarik kembali kekuasaan dari orang lain kecuali Ken Dedes, ia-pun harus mempergunakan rencana dan perhitungan yang matang.
Mereka tidak segera dapat memutuskan, apakah rencana itu memang rencana yang paling baik. Mereka memerlukan dua tiga hari untuk merenungkan, sehingga pada suatu saat Wiantra berkata, "Mahisa Agni, sampai saat ini aku tidak melihat cara lain yang lebih baik dari rencana-rencanamu. Karena itu, aku kira kau dapat mengetrapkannya untuk sementara. Apabila pada suatu saat kita melihat kemungkinan lain, baiklah kita pertimbangkan."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya, "Aku selalu mengharap pendapatmu Witantra."
"Aku akan membantumu Agni. Bukan sekedar saat ini, tetapi di saat-saat mendatang. Aku harap aku mendapat kesempatan untuk berbuat sesuatu yang dapat melancarkan rencanamu itu."
"Terima kasih Witantra. Tetapi yang paling penting bagiku, aku dapat bekerja dengan tenang, karena aku sudah minta maaf kepadamu atas segala kesalahanku. Apalagi kau kini menyatakan bahwa kau akan membantuku. Aku tentu akan sangat berterima kasih. Pekerjaan ini tidak akan selesai dalam waktu sehari dua hari, sebulan dua bulan. Mungkin aku memerlukan waktu lebih dari sepuluh tahun. Dan waktu yang sepuluh tahun itu harus kita telan tanpa dapat mengelakkan diri lagi. Apa yang ada dan apa yang berlangsung. Kecuali kalau tiba-tiba saja ada perubahan keadaan yang mengguncang tanah ini."
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya pula, "Kau benar Agni. Kau memang memerlukan waktu yang panjang. Selama ini kau akan melakukan tugas yang berbahaya, bukan saja bagimu tetapi bagi Anusapati juga."
"Aku menyadari Witantra. tetapi seperti katamu, untuk sementara jalan itulah yang dapat kita tempuh."
"Tetapi hati-hatilah. Jangan tergesa-gesa. Kau harus membuat perencanaan yang baik, cermat dan meyakinkan."
Mahisa Agni mengangguk-anggukan kepalanya. Ia menyadari bahwa kata-kata Witantra itu bukan sekedar peringatan. Tetapi Witantra melihat, bahwa pekerjaan itu adalah pekerjaan yang terlampau sulit.
"Aku mengerti Witantra. Mudah-mudahan Anusapati sendiri membantu rencana itu."
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Memang ia sama sekali belum melihat cara lain yang lebih baik.
Dengan demikian, maka keduanya memutuskan untuk melaksanakan rencana itu. Apabila datang saatnya, Witantra-pun tidak berkeberatan untuk menyempurnakan ilmu Anusapati, sehingga menurut bayangan Mahisa Agni, di dalam diri anak itu akan luluh tiga sumber ilmu dari tiga perguruan, mPu Purwa, mPu Sada dan Panji Bojong Santi.
"Mudah-mudahan anak itu dapat menjadi anak yang mendekati kesempurnaan," berkata Mahisa Agni di dalam hatinya.
Dengan keputusan itu, maka Mahisa Agni-pun kemudian segera minta diri. Ia ingin mencari kemungkinan-kemungkinan yang dapat ditempuhnya untuk melaksanakan rencananya.
Ternyata, baik Mahisa Agni mau-pun Witantra sama sekali sudah tidak mendapat kesempatan sama sekali untuk mengguncang kedudukan Ken Arok. betapa mereka mengetahui kesalahan yang tersimpan di dalam diri raja Singasari itu. Mereka ternyata mementingkan masalah yang jauh lebih besar dari masalah-masalah pribadi mereka sendiri. Kini Sri Rajasa benar-benar diperlukan oleh Singasari.
"Apakah kau akan kembali bersama aku, atau kau akan tinggal di sini," bertanya Mahisa Agni kepada cantrik yang mengantarkannya.
"Sebenarnya aku lebih senang tinggal di sini," jawab cantrik itu.
"Aku kira bukan begitu," sahut Witantra, "kau malas melakukan perjalanan ke mana-pun. Jadi di mana-pun kau berada, kau merasa bahwa tempat itu lebih baik dari tempat-tempat yang lain."
Cantrik itu tertawa. "Kau menebak tepat," katanya.
"Jadi?" bertanya Mahisa Agni.
"Aku akan kembali ke kota. Aku akan bertanya di mana para pengungsi dari Kediri itu di tempatkan." ia berhenti sejenak. Lalu, "bukankah begitu?"
"Ah," Mahisa Agni berdesah.
"Marilah kita bersiap-siap," berkata cantrik itu kemudian, "kapan kita berangkat?"
"Besok pagi-pagi buta, supaya kami tidak usah bermalam di perjalanan."
Cantrik itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Demikianlah, di pagi-pagi buta keesokan harinya, Mahisa Agni dan cantrik kawan seperjalanannya itu-pun sudah siap untuk berangkat. Namun sudah barang tentu ia tidak lupa untuk minta diberi bekal ketan ireng dan serundeng kelapa muda.
"Supaya aku tidak kelaparan di sepanjang jalan," berkata cantrik itu.
Witantra tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, "Bukankah kau kadang-kadang harus berpuasa sampai beberapa hari tanpa makan apapun kecuali minum dan sebuah pisang emas sehari."
"O, tentu berbeda. Kalau aku memang sengaja melakukannya, jangankan sepekan. Sebulan aku tidak akan merasa lapar." ia berhenti sejenak, "tetapi kali ini aku tidak sengaja berpuasa. Apa salahnya aku membawa ketan ireng dan serundeng kelapa muda?"
"Tentu tidak ada salahnya," jawab Witantra, "Nah begitulah," sahut cantrik itu sambil menganggukkan kepalanya, sementara Mahisa Agni tersenyum saja melihat kelakuannya.
"Bekal ini tidak kalah pentingnya dengan pedang di lambungku," lalu, "apakah kita sudah siap untuk berangkat."
"Aku sudah siap sejak tadi."
"O, "cantrik itu mengerutkan keningnya, "kalau begitu marilah kita minta diri. Sebentar lagi matahari akan naik di atas cakrawala."
Keduanya-pun kemudian minta diri kepada Witantra suami isteri. Mereka meninggalkan padukuhan yang sepi itu. Namun agaknya Mahisa Agni menemukan pergolakan yang dahsyat di dalam dadanya, justru di padukuhan yang sepi dan tenteram.
Sejenak kemudian maka keduanya-pun segera memacu kuda mereka, sebagai jalan masih memungkinkan. Apabila mereka sampai ke daerah yang semakin sulit, maka perjalanan mereka akan terhambat.
Setiap kali cantrik itu masih harus mengusap dahinya yang dibasahi oleh embun. Kadang-kadang ia memandang langit yang kemerah-merahan di ujung Timur. Semakin lama semakin terang. Ujung padi di sawah yang mulai merunduk tampak seolah-olah masih tidur dengan nyenyaknya. Meskipun gemeretak kaki-kaki kuda melintas dekat di atas bulir-bulir yang merunduk itu, namun ujung-ujung batang padi itu sama sekali tidak bergerak.
"Sebentar lagi matahari akan naik," desis cantrik itu.
"Dan kita akan sampai ke hutan perdu."
"Tetapi kita sudah dapat melihat hambatan-hambatan di tengah perjalanan."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab.
Kuda-kuda mereka itu-pun meluncur dengan kencangnya di atas jalan persawahan. Namun mereka akan segera sampai ke daerah yang tidak digarap oleh tangan.
Dengan demikian maka perjalanan mereka mulai terhambat. Selain dengan itu, maka matahari-pun mulai memanjat di kaki langit. Semakin lama semakin jelas, dan warna yang merah-pun menjadi kekuning-kuningan.
Tidak ada masalah apapun yang mereka hadapi di perjalanan. Ketika matahari mulai tergelincir cantrik itu menyuapi mulutnya dengan ketan ireng, selagi kuda-kuda mereka beristirahat sejenak, minum air jernih di belumbang kecil dan makan rerumputan di sekitarnya.
"Kau tidak makan?" ia bertanya kepada Mahisa Agni.
"Ya," sahut Mahisa Agni. Tetapi ia tidak dapat makan ketan sebanyak cantrik itu, sebab jika demikian perutnya akan menjadi pedih.
Mereka memasuki kota setelah menyelesaikan perjalanannya hampir sehari penuh. Tiba-tiba saja Mahisa Agni teringat, orang-orang Kediri yang telah ditolongnya. Di antaranya terdapat seorang gadis yang telah membuat suatu pahatan yang tipis di dinding hatinya. Seorang gadis dengan matanya yang cerah dan wajahnya yang luruh seperti wajah adik angkatnya, Ken Dedes.
"He, aku akan singgah di tempat penampungan orang-orang Kediri sejenak."
Cantrik itu mendeham. Katanya, "Mereka sudah jelas tidak mengalami gangguan apapun. Biarkan saja mereka berada di penampungan mereka."
"Aku ingin melihatnya sebentar. Barangkali mereka memerlukan sesuatu."
"Apa misalnya" Mereka sudah tidak kekurangan apa-apa."
Mahisa Agni tidak segera menjawab.
"Mereka tidak akan kekurangan makan karena Singasari lohjinawi. Pakaian juga tidak akan kekurangan. Apalagi?"
"Ah kau," desis Mahisa Agni, "seseorang tidak hanya tergantung pada sandang dan pangan saja."
"Papan-pun cukup. Tempat penampungan itu cukup luas?"
"Hanya itu?" tiba-tiba Mahisa Agni bertanya, "hanya sandang, pangan dan papan" Sesudah itu, tidak ada apa-apa lagi?"
"He," cantrik itu mengerutkan keningnya.
"Buat apa kau kadang-kadang membaca kitab-kitab Kidung atau kakawin atau apapun" Apakah kau tidak pernah mendengarkan bunyi-bunyian dan melihat tari-tarian di banjar?"
"Eh, tentu." "Itu juga suatu kebutuhan," berkata Mahisa Agni.
"Aku tahu sekarang. Kau akan mengatakan bahwa kebutuhan itu tidak sekedar kebutuhan lahiriah. Tetapi juga kesejahteraan rokhaniah. Begitu?"
"Hebat juga kau."
Cantrik ikut tersenyum. Namun kemudian ia mengerutkan keningnya sambil berkata, "Tetapi aku kira masih ada masalah lahiriah yang tidak kalah pentingnya."
"Apa?" "Kau sudah terlibat dalam nalurimu sebagai manusia dewasa. Seperti malam dan siang. Langit dan bumi. Bulan dan matahari."
"Ah," desah Mahisa Agni.
"Itu wajar. Wajar sekali. Kau jangan membiarkan dirimu ditelan oleh usia tanpa arti."
"Kau sendiri bagaimana?"
Cantrik itu tiba-tiba tertawa. Keras sekali sehingga satu dua orang yang berjalan di pinggir jalan terhenti dan memandang kedua orang berkuda yang sudah mulai samar-samar.
"Marilah," berkata cantrik itu, "kita bermalam di tempat penampungan."
"Tidak. Nanti kita lanjutkan perjalanan yang tinggal beberapa patok lagi ke padepokan Panji Bojong Santi."
" O. ya." cantrik itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Keduanya-pun kemudian singgah sejenak di tempat penampungan orang-orang Kediri. Tanpa kesulitan apapun mereka segera dapat menemukan orang-orang yang mereka cari.
Agaknya mereka sudah mulai dapat menyesuaikan diri mereka dengan keadaan di tempat penampungan yang cukup baik. Cukup makan dan pakaian. Sedang tempat-pun cukup pula, meskipun agak terlampau berjejal-jejal.
"Aku akan sering berkunjung kemari," berkata Mahisa Agni.
"O. kami akan senang sekali menerima," berkata orang-orang Kediri itu.
"Aku juga," berkata cantrik itu pula. "Apakah, kalian akan menerima dengan senang hati pula?"
"Tentu." Cantrik itu mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tersenyum.
Tetapi mereka hanya sebentar berada di tempat itu. Mereka segera minta diri dan kembali ke padepokan Panji Bojong Santi.
Dengan berterus terang Mahisa Agni mengatakan, bahwa ia telah memutuskan suatu rencana yang disetujui oleh Witantra. Ia berharap bahwa ia akan dapat melaksanakan rencana itu tanpa mengganggu perkembangan Singasari. Tanpa mengganggu kedudukan dan usaha Sri Rajasa untuk menjadikan Singasari sebuah negeri yang besar dan kuat.
"Mudah-mudahan kau berhasil Agni," berkata Panji Bojong Santi.
Di malam berikutnya Mahisa Agni bermalam di padepokan itu. Namun ia hampir-hampir tidak dapat tidur sama sekali. Ia harus mengakui kelebihan Ken Arok dari dirinya sendiri, dari Witantra dan bahkan dari semua orang di Singasari. Ken Arok membuat rencana seorang diri, dilaksanakan seorang diri dan akhirnya berhasil dengan cemerlang. Tetapi, ia harus membuat rencananya yang jauh lebih sederhana bersama beberapa orang sekaligus, justru orang-orang yang memiliki kemampuan terpuji.
"Tetapi apaboleh buat," desis Mahisa Agni, "mungkin keadaan memang sangat membantunya. Tetapi mungkin juga karena Ken Arok memang orang yang luar biasa. Bukan saja kemampuan jasmaniahnya, tetapi juga kemampuannya berpikir."
Untuk memenuhi rencananya Mahisa Agni harus membuat persiapan-persiapan, terutama di padang Karautan. Karena itu, ia tidak bermalam lebih dari satu malam di padepokan Panji Bojong Santi. Di pagi harinya ia segera minta diri untuk kembali ke padukuhannya.
"Hati-hatilah dengan rencana itu Agni," pesan Panji Bojong Santi, "kau akan berhadapan dengan Sri Rajasa sebagai seorang raja yang Agung dan bijaksana. Kau akan berhadapan dengan seseorang yang sangat diperlukan oleh Singasari. tetapi bahwa ia tetap seorang manusia biasa itu-pun harus kau perhitungkan pula."
Pesan itu tersimpan di hati Mahisa Agni. Dan ia akan berusaha untuk melakukannya sebaik-baiknya.
Ketika ia sampai ke padukuhannya, dari kejauhan ia sudah membuat pertimbangan-angan. Menilik perkembangan padukuhan itu, tidak ada kesulitan yang perlu dicemaskannya, "Semua berjalan sesuai seperti yang diperhitungkan. Air yang ajeg, pategalan yang semakin rimbun dan sawah-sawah yang hijau. Bahkan belumbang yang dibuat oleh Ken Arok itu kini terpelihara baik. Sri Rajasa menempatkan beberapa orang petugasnya di sana. meskipun para petugas itu diambil pula dari anak-anak muda Panawijen.
"Aku sudah dapat meninggalkan mereka," berkata Mahisa Agni di dalam hatinya, "apalagi aku tidak pergi terlampau jauh. Aku hanya berada di Singasari. Setiap saat yang diperlukan aku dapat kembali ke padang ini."
Demikianlah maka rencana Mahisa Agni menjadi bulat. Sehingga dengan demikian, pada suatu hari ia menghadap Ki Buyut Panawijen untuk minta diri kepadanya.
"Kau akan meninggalkan kami?" bertanya Ki Buyut.
"Bukan begitu Ki Buyut. Aku hanya ingin mendapatkan pengalaman baru. Aku akan selalu datang menengok padukuhan ini. Bukankah aku tidak berada terlampau jauh dari padukuhan kita. Apabila ada sesuatu yang penting, seseorang dapat menyusul aku ke kota, dan aku-pun akan segera datang."
Ki Buyut mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Memang di kota kau akan mendapatkan pengalaman yang lebih banyak. Tetapi aku sudah menjadi semakin tua. Aku tidak mempunyai seorang anak-pun lagi. Kaulah yang selama ini aku anggap menjadi ganti anakku yang hilang itu. Padukuhan yang memang kau buat ini kelak akan memerlukan tenagamu. Tidak ada orang lain yang dapat menjadi tetua di sini, kecuali kau."
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Sejenak ia tepekur. Ia mengerti kerisauan yang selalu mengganggu hati orang tua itu. Sejenak kemudian ia-pun berkata, "Ki Buyut. Apabila tugas itu memanggil, dan memang tidak ada orang lain yang dapat melakukannya, aku tidak akan ingkar. Aku akan kembali ke padukuhan ini. Namun selama ini biarlah aku mendapatkan pengalaman baru di dalam hidupku."
Ki Buyut mengangguk-angguk, "Aku mengerti. Pengalaman memang perlu. Tidak saja bagimu, tetapi bagi setiap orang. Karena itu, pergilah. Tetapi pada saatnya kau harus kembali."
Demikianlah maka Mahisa Agni-pun kemudian minta diri pula kepada kawan-kawannya, kepada anak-anak muda yang telah menggantikan angkatannya, setelah ia menjadi semakin tua. Namun anak-anak muda itu ternyata memberikan kebanggaan dan kepercayaan di hatinya, bahwa mereka akan dapat melakukan tugas mereka dengan baik. Anak-anak muda Panawijen bukan anak-anak muda seperti anak-anak sebayanya, yang karena Panawijen terlampau subur, sehingga mereka tidak mampu berbuat apa-apa. Ketika bendungan itu pecah, mereka kebingungan tanpa melakukan sesuatu.
Tetapi, anak-anak muda kini mempunyai jiwa yang menyala di dalam dada mereka. Dengan bimbingan yang tepat, anak-anak muda itu telah siap untuk menjadikan Panawijen baru sebuah padukuhan yang besar sejalan dengan perkembangan Singasari.
Mahisa Agni yang sudah siap pergi ke Singasari, sama sekali tidak menghalang-halangi anak-anak muda yang menyediakan diri bagi perkembangan kerajaan Sri Rajasa itu. Bahkan anak-anak muda Panawijen telah siap pula untuk ikut serta dalam peperangan yang agaknya memang sudah berada di ambang pintu. Sebagian dari mereka dengan tekun mengikuti latihan-latihan keprajuritan, seperti yang diselenggarakan di padukuhan-padukuhan lain.
"Apakah kau tidak akan kembali?" bertanya salah seorang kawannya.
"Tentu," jawab Mahisa Agni. "bukankah aku tidak pergi lebih jauh dari kota Singasari, kau dapat pergi ke kota itu untuk suatu keperluan. Juga seandainya padukuhan ini memanggil aku."
Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi kepergian Mahisa Agni membuat hati mereka serasa menjadi sepi. Selama ini Mahisa Agni seolah-olah menjadi nyala api di tengah-tengah padukuhannya.
"Kalian harus belajar melakukan tugas-tugas kalian tanpa tuntunan terus-menerus. Pada suatu saat aku memang harus pergi untuk selama-lamanya apabila umurku sudah sampai ke batas. Kini aku hanya akan pergi ke tempat yang masih dapat kalian capai dalam waktu yang terhitung pendek."
Kawan-kawannya hanya mengangguk-angguk saja. Namun mereka mengerti, bahwa tidak sewajarnya mereka selalu menahan Mahisa Agni di padukuhan ini saja, apabila memang terbuka pintu baginya untuk mengembangkan dirinya.
"Mudah-mudahan kehadiranku di Singasari dapat bermanfaat bagi padukuhan ini, seperti dahulu Ken Dedes juga memanfaatkan kehadirannya di Tumapel. Tetapi bedanya, Ken Dedes itu diperlukan, sedang aku memerlukan Singasari."
Demikianlah maka pada saatnya Mahisa Agni meninggalkan padukuhannya. Ia mengharap bahwa ia akan mendapat tempat di Singasari dalam jabatan apapun. Namun tujuannya yang utama adalah menyiapkan Anusapati sebagai Pangeran Pati. Ia harus dapat menerima jabatannya dengan baik.
Sebagai seorang Putera Mahkota Anusapati harus berpribadi. Dalam menjalankan tugasnya kelak, ia tidak boleh kalah dari Sri Rajasa. Dengan demikian kedudukannya akan menjadi kuat. Tetapi apabila ia tidak mampu menggantikan Sri Rajasa, bukan saja untuk menduduki takhta tetapi untuk melakukan tindakan-akan besar yang serupa, maka Anusapati tidak lebih dari sebuah golek yang betapapun indahnya, namun ia tidak akan mampu berbuat apa-apa.
Mahisa Agni memang mempunyai kecurigaan, bahwa Anusapati yang dipersiapkan untuk menggantikan kedudukan Sri Rajasa, dan bahkan telah ditentukan untuk menjadi Putera Mahkota itu, sekedar menenteramkan hati Ken Dedes dan pengikut-pengikut Tunggul Ametung. Mereka akan menganggap bahwa Sri Rajasa adalah seseorang yang berjiwa besar. Meskipun Anusapati itu putera Tunggul Ametung namun anak itu diangkatnya pula menjadi Putera Mahkota. Apalagi pada saat-saat terakhir, Singasari memerlukan segenap kemampuannya untuk menghadapi Kediri yang agaknya semakin tidak senang atas perkembangan Singasari. Beberapa orang pemimpin Kediri menganggap sikap Singasari itu sebagai suatu pemberontakan.
Tetapi, di samping mengangkat Anusapati menjadi Putera Mahkota, Ken Arok pasti sudah menyiapkan rencana lain. Rencana yang sangat rumit, seperti pada saat ia merebut takhta Tumapel dari Tunggul Ametung dan sekaligus membunuhnya, merampas jandanya, dan bahkan justru ia mendapat kepercayaan karena ia dianggap telah berjasa menangkap pembunuhnya, Kebo Ijo dan membunuh pembunuh itu sama sekali.
Menilik sikap Ken Arok sebagai manusia. Tohjaya agaknya lebih menarik perhatiannya. Karena umur Anusapati dan Tohjaya tidak terpaut terlampau banyak, maka kegagalan Anusapati pasti akan menggeser perhatian rakyat Singasari kepada Tohjaya. "Inilah agaknya yang sudah dipersiapkan oleh Sri Rajasa," berkata Mahisa Agni di dalam hatinya. Dan adalah tugasnya untuk mencegah hal itu terjadi. Anusapati harus dapat menerima takhta sekaligus tugas-tugasnya. Ia tidak boleh duduk di atas Singgasana seperti seekor kepompong yang dungu.
Demikianlah dengan rendah hati Mahisa Agni menyatakan niatnya itu kepada Ken Dedes, setelah ia sampai di istana. Dengan dalih yang dikarangkannya, ia mengharap bahwa ia mendapat kesempatan untuk menambah pengalaman dan pengetahuannya di Singasari sebagai apapun juga.
"Kenapa baru sekarang"," bertanya Permaisuri, "bukankah tawaran untuk itu sudah diberikan sejak Akuwu Tunggul Amatung?"
"Saat itu aku masih belum dapat meninggalkan padang yang baru saja dibuka itu Tuan Puteri," jawabnya, "tetapi sekarang keadaan itu sudah jauh berbeda. Padukuhan itu sudah menjadi padukuhan yang masak. Aku sudah hampir tidak diperlukan lagi. Dalam keadaan yang mendesak, satu dua orang dapat menyusulku kemari."
Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, "Aku akan mengatakannya kepada Baginda." Ketika Ken Dedes mendapat kesempatan untuk menyampaikannya kepada Ken Arok, sambutannya benar-benar di luar dugaan. Ken Arok dengan gembira menerimanya. Katanya, "Mahisa Agni adalah seorang yang berkemampuan luar biasa. Ia memiliki ilmu yang jarang ada duanya. Karena itu, justru dalam keadaan serupa ini, aku sangat memerlukannya."
Maka dengan serta-merta, Mahisa Agni-pun segera dipanggil menghadap. Tanpa prasangka apapun Ken Arok bertanya, "Kau benar-benar ingin bekerja di istana?"
"Ya Baginda." "Aku sudah menawarkan sejak dahulu, tetapi kau menolak."
"Hamba tidak pernah menolak. Tetapi hamba masih terikat oleh padukuhan yang sedang berkembang itu."
"Baiklah Agni. Kau akan menjadi seorang Senapati yang baik. Aku kira kau dapat melihat perkembangan yang memburuk dari hubungan kita dengan Kediri."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Sudah lama aku berniat untuk membentuk suatu pasukan yang khusus.
"Maksud Baginda?"
"Justru yang terdiri dari orang-orang Kediri sendiri. Orang-orang yang menyingkir ke Singasari karena bermacam-macam alasan," berkata Sri Rajasa. Kemudian, "Tetapi aku belum pernah berhasil melaksanakan karena tidak ada orang yang dapat dapat aku percaya untuk itu. Kini kau tiba-tiba datang. Maka kuwajiban ini akan aku bebankan kepadamu. Kau harus membentuk suatu pasukan khusus dari orang-orang Kediri sendiri."
Mahisa Agni mengerutkan keningnya.
"Mungkin dari segi daya tempur, pasukan itu tidak akan sekuat pasukan yang memang sudah kita persiapkan sejak lama. Tetapi pasukan itu akan mempunyai pengaruh lain terhadap rakyat Kediri sendiri. Pengaruh batin yang tidak kalah tajamnya dari segala macam dan jenis senjata."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi ia mengagumi kecerdasan Sri Baginda. Apabila pasukan itu benar-benar dapat terbentuk, muka pengaruhnya pasti akan dahsyat sekali bagi rakyat Kediri.
"Nah, apakah kau sanggup?"
Sejenak Mahisa Agni berpikir, namun ia-pun memperhitungkan kepentingannya sendiri. Ia harus mendapat kepercayaan dari Kan Arok, sehingga kehadirannya di istana tidak dicurigainya. Karena itu, maka ia-pun kemudian berkata, "Hamba akan mencoba Tuanku. Hamba akan mencoba membentuk pasukan seperti yang Tuanku maksudkan."
"Bagus. Aku percaya kepadamu. Aku-pun yakin bahwa kau akan berhasil."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekilas dipandanginya wajah Sri Rajasa. Wajah yang meskipun kini wajah seorang raja yang semakin lama menjadi semakin besar, namun wajah itu juga yang pernah dikenalnya di padang Karautan.
Sekilas teringat olehnya, pertama kali ia bertemu dengan Hantu Karatutan yang menakutkan itu. Gurunya sengaja membiarkannya berkelahi.
Sejak saat itu ia melihat sesuatu yang aneh pada Ken Arok. Meskipun ia tidak mempelajari ilmu tata beladiri, tetapi ia tidak dapat mengalahkannya. Tubuhnya seolah-olah menjadi liat dan kebal, meskipun agaknya tidak demikian.
Sekilas teringat pula olehnya sebuah pusaka kecil pemberian gurunya yang sampai sekarang disimpannya baik-baik. Sebuah trisula yang turun temurun diterima dari guru kepada muridnya.
Trisula ini mempunyai pengaruh yang aneh atas Ken Arok. Menurut dugaan Mahisa Agni, pengaruh itu sampai saat ini pasti masih belum pudar.
"He, kenapa kau tiba-tiba merenung?" bertanya Ken Arok sehingga Mahisa Agni terkejut karenanya.
"Ampun Tuanku," jawab Mahita Agni, "hamba mencoba membayangkan, apa yang dapat hamba lakukan."
"Tidak sekarang," berkata Ken Arok, "kau masih mempunyai kesempatan. Kau dapat merenungkannya sepekan dua pekan. Baru kau mulai berbuat sesuatu."
"Hamba Tuanku."
"Kemudian aku mempunyai tambahan seorang panglima. Di samping panglima pasukan tempur, pasukan pengawal istana dan pelayan dalam, aku akan mempunyai seorang panglima pasukan khusus."
"Hamba Tuanku. Tetapi jabatan itu terlampau tinggi buat hamba."
"Kenapa?" "Hamba bukan seorang prajurit. Dan hamba hanyalah anak Padang Karautan."
Ken Arok mengerutkan keningnya. Tetapi tiba-tiba ia tertawa. Perlahan-lahan sekali ia berbisik, "Anak-anak Padang Karautan harus menjadi orang yang terpandang."
Mahisa Agni menundukkan kepalanya. Tetapi ia menangkap kata-kata Ken Arok itu.
Maka keputusan Baginda itu-pun kemudian diumumkannya kepada sidang para pemimpin Singasari. Mahisa Agni resmi mendapat kedudukan seorang panglima. Panglima pasukan khusus yang masih harus dibentuknya sendiri.
"Ia adalah kakak Tuan Puteri Permaisuri Singasari," desis mereka yang kemudian mendengar keputusan Sri Baginda itu. "Sudah sepantasnya apabila ia-pun menjadi seorang panglima."
Namun seorang senapati muda yang baru saja ditarik masuk ke kota berkata, "Tetapi apakah ia mampu bertempur" Panglima memerlukan bekal yang cukup lengkap. Ia akan memimpin sepasukan prajurit. Pasukan yang besar terbagi-bagi dalam pasukan-pasukan yang lebih kecil. Nah, bayangkan. Seorang penglima harus mempunyai kecakapan mengatur di samping bertempur. Tidak dapat disamakan dengan jabatan-jabatan kehormatan yang dapat dijabat oleh siapapun meskipun ia kakak seorang Permaisuri."
Kawannya mengerutkan keningnya. Dengan nada datar ia bertanya, "Apakah kau belum pernah mendengar ceritera tentang kakak Permaisuri yang bernama Mahisa Agni itu?"
"Maksudmu?" "Ia pernah naik ke arena melawan panglima pasukan pengawal istana pada jaman Akuwu Tunggul Ametung."
Senapati muda itu mengerutkan keningnya.
"Pada waktu itu, tidak seorang-pun di seluruh Tumapel yang dapat menunjuk seorang prajurit, senapati atau penglima dari pasukan apapun, untuk mengimbangi Witantra naik ke arena. Pada waktu itu kita masih belum dapat menilai kemampuan Sri Rajasa, seorang Pelayan Dalam. Nah, pada saat itulah. Mahisa Agni tampil dan berhasil mengalahkan Witantra di arena, meskipun ia tidak mau membunuhnya."
Senapati itu mengerutkan keningnya.
"Kau dapat membayangkan, apakah Mahisa Agni itu akan mampu menjadi seorang panglima."
Tetapi Senapati itu masih mencoba membela pendiriannya, "Tetapi belum pasti ia dapat mengatur suatu lingkungan keprajuritan. Apalagi sepasukan yang asing seperti yang akan dibentuknya. Untuk itu diperlukan kecakapan mengatur dan menguasai orang lain."
"Juga ceritera tentang Mahisa Agni," jawab kawan-kawannya, "di padang Karautan ia berhasil membangun sebuah bendungan, membuka sebuah pedukuhan dan menciptakan tanah persawahan dan pategalan. Itu suatu kerja yang besar dengan seluruh rakyat pedukuhan Panawijen lama. Aku kira tidak jauh lebih sulit mengatur sepasukan prajurit dari pada membangun sebuah padukuhan baru dengan segala kelengkapannya."
Sanapati muda itu mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya, "Aku ternyata belum banyak mengenalnya."
Demikianlah maka Mahisa Agni mulai mendapatkan wewenang untuk melaksanakan tugasnya. Kepadanya diperbantukan beberapa orang yang sudah mengenalnya, supaya justru tidak mngganggu pekerjaannya.
Yang pertama-tama dilakukan oleh Mahisa Agni adalah mengenal orang-orang yang menyingkir dari Kediri. Mereka di tempatkan di barak-barak yang memang dibuat untuk mereka. Dengan demikian maka Mahisa Agni tidak banyak mengalami kesulitan untuk berkenalan dengan sebagian besar dari mereka.
Namun dalam sekilas Mahisa Agni segera dapat mengetahui, bahwa mereka bukanlah calon-calon prajurit yang baik. Meskipun demikian dengan kerja yang tekun, maka hasilnya akan juga dapat memadai. Apalagi prajurit yang akan dibentuk oleh Mahisa Agni itu bukanlah pasukan tempur yang sebenarnya. Mereka lebih condong sebagai suatu pameran betapa orang-orang Kediri sendiri telah berpihak kepada Singasari.
Setelah Mahisa Agni cukup mengenal para pengungsi itu, maka mulailah ia melakukan pemilihan. Anak-anak muda dan orang-orang yang masih cukup kuat dikumpulkannya.
Tetapi Mahisa Agni cukup bijaksana. Ia tidak langsung memerintahkan mereka memisahkan diri dari para pengungsi yang lain. Tetapi kepada mereka, Mahisa Agni memberi kesempatan untuk memilih.
"Ini adalah suatu tugas suka rela," berkata Mahisa Agni, "karena tanpa kerelaan, pasukan yang akan terbentuk nanti tidak akan banyak berarti."
Ternyata kata-kata Mahisa Agni justru menyentuh perasaan mereka. Jauh lebih dalam dari pada Mahisa Agni langsung menjatuhkan perintah untuk membentuk suatu pasukan.
"Siapa yang ingin ikut, aku persilahkan," berkata Mahisa Agni di hadapan mereka, "tetapi kalian harus menjadari, bahwa pasukan ini pada suatu saat akan bertempur. Sebenarnya bertempur melawan pasukan Kediri."
Beberapa orang dari mereka mengerutkan keningnya.
"Memang ada kemungkinan bagi kalian masing-masing, mengalami nasib yang paling pahit. Misalnya di dalam peperangan akan bertemu dengan sanak saudara, mungkin kawan sepermainan atau bahkan keluarga yang saudara tinggalkan. Tetapi ini adalah suatu pengorbanan. Pengorbanan bagi kebebasan rakyat Kediri."
Mahisa Agni melihat mereka mengangguk-anggukkan kepala.
"Tetapi masih ada lagi yang harus kalian pertimbangkan. Kalian akan terjun ke dalam api peperangan. Di dalam peperangan ada kemungkinan yang dapat terjadi atas kalian. Dua kemungkinan yang sama beratnya. Hidup dan yang lain, mati. Kalian dapat tetap hidup, tetapi kalian dapat juga mati." Mahisa Agni berhenti sejenak, kemudian, "Nah, renungkan. Siapa yang akan ikut bersama aku, membebaskan seluruh rakyat Kediri dari ketakutan seperti sekarang, kalian akan ditampung di barak yang lain. Kami akan menunggu kalian, sebelum tengah hari. Kalian mempunyai waktu untuk mempertimbangkan masak-masak. Bagi yang berkeberatan, tidak akan ada perlakuan apapun. Kalian dapat memilih sebebas-bebasnya. Asal kalian telah menyadari, bahwa kalian akan ditunggu oleh kerja berat, dan kemungkinan-kemungkinan yang paling pahit dan pedih."
Kemudian Mahisa Agni meninggalkan mereka. Dibiarkannya mereka berpikir sampai saatnya mereka menjatuhkan pilihan.
Demikianlah dilakukan Mahisa Agni dari kelompok ke kelompok pengungsi yang ditampung di dalam barak-barak di Singasari. Menilik sikap dan tanggapan mereka, Mahisa Agni berharap, bahwa pasukannya tidak akan terlampau kecil.
Demikianlah, pada hari yang telah ditentukan, Mahiasa Agni bersama beberapa orang yang diperbantukan kepadanya, telah berada dalam suatu barak yang besar. Pada hari itu, tengah hari, adalah batas waktu penerimaan bagi orang-orang Kediri yang ingin memasuki lapangan keprajuritan yang akan memerangi ikatan-ikatan yang tidak mereka senangi, yang mereka anggap telah membelenggu Kediri sendiri selama ini.
Ternyata harapan Mahisa Agni tidak sia-sia. Berduyun-duyun anak-anak muda dan laki-laki masih mampu menggenggam senjata memasuki barak yang sudah disediakan bagi mereka. Bagi suatu pasukan baru dalam tata keprajuritan Singasari.
Bagi Singasari jabatan Mahisa Agni sebagai seorang Panglima-pun merupakan jabatan yang baru pula. Sebelumnya tidak pernah ada seorang Panglima dari sebuah pasukan yang terdiri dari bukan orang-orang Singasari yang sebelumnya bernama Tumapel. Namun untuk menghadapi Kediri, Singasari telah membentuk pasukan yang terdiri dari orang-orang Kediri.
Dengan penuh bertanggung jawab, Mahisa Agni menerima mereka. Karena orang-orang Kediri itu terdiri dari berbagai macam tingkat dan kemampuan, Mahisa Agni masih harus memisah-misahkan mereka. Bagi mereka yang pernah mengalami latihan tata peperangan, dipisahkannya dalam kelompok tersendiri. Sedang mereka yang sama sekali belum, dipisahkannya pula.
Di hari-hari berikutnya. Mahisa Agni menghadapi suatu kerja yang benar-benar berat. Bersama beberapa orang pembantu-pembantunya, Mahisa Agni mulai membentuk orangi Kediri itu menjadi sepasukan prajurit.
Mahisa Agni menyerahkan orang-orang yang pernah mendapat latihan serba sedikit, kepada pembantu-pembantunya untuk meningkatkan kemampuan mereka. Sedang yang sama sekali belum pernah memegang tangkai senjata, Mahisa Agni sendirilah yang melatih mereka menurut caranya yang kadang-kadang tidak sesuai dengan cara-cara yang dipergunakan di dalam tata keprajuritan di Singasari.


Bara Diatas Singgasana Pelangi Di Singosari Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku mengutamakan kemampuan tempur," berkata Mahisa Agni setiap kali, "meskipun orang-orang ini tidak dapat bersikap baik di dalam sikap dan langkahnya, namun mereka harus mampu membela diri di setiap peperangan." Itulah sebabnya Mahisa Agni mengambil cara menurut pertimbangannya sendiri.
Ternyata bahwa usaha Mahisa Agni tidak sia-sia. Dalam waktu singkat, pasukan yang mendapat latihan terus menerus, tanpa mengenal lelah dan jemu itu, sedikit demi sedikit dapat meningkatkan dirinya, mendekati nilai keprajuritan yang sebenarnya di dalam olah peperangan.
Tetapi yang terlebih penting dari itu, Mahisa Agni mulai mendapat kepercayaan dari Sri Rajasa. Setelah melihat sendiri hasil yang dicapai oleh Mahisa Agni, maka Sri Rajasa menjadi semakin gairah untuk segera dapat mengimbangi kekuasaan Kediri.
Dengan demikian, maka Mahisa Agni-pun menjadi semakin leluasa pula berada di istana. Sebagai seorang kakak dari Permaisuri Singasari, ia mendapat tempat yang baik di bangsal belakang istana Singasari. Namun dengan demikian Mahisa Agni harus benar-benar menjaga dirinya agar tidak terperosok ke balik dinding yang membatasi dua buah petamanan di dalam istana Tumapel. Mahisa Agni yang mulai mapan itu tidak mau jatuh ke dalam tangan Ken Umang yang pasti akan dapat merusak semua rencananya.
Demikian, maka tanpa setahu seorang-pun Mahisa Agni menjadi semakin dekat dengan Anusapati. Memang tidak seorang-pun yang mencurigainya. Anusapati adalah ke manakannya. Ken Arok-pun tidak. Mereka menganggap hal itu wajar sekali. Apalagi hampir setiap orang di dalam istana itu mengetahui bahwa Ken Arok lebih dengan pada Tohjaya dari pada kepada Anusapati, sehingga wajarlah bahwa Anusapati memerlukan seorang laki-laki yang dapat menjadi ayahnya.
Sesuai dengan umurnya, Mahisa Agni mulai membawa Anusapati bermain-main. Permainan yang paling ringan dan tidak mencurigakan. Kadang-kadang Anusapati diajaknya bermain loncatan. Mahisa Agni membuat lingkaran-lingkaran di tanah, kemudian Anusapati harus mengejarnya, melalui lingkaran-lingkaran yang diinjak pula oleh Mahisa Agni.
Mula-mula Anusapati yang kecil itu senang bermain kejar-kejaran dengan cara itu, tetapi kemudian ia menjadi jemu.
"Kita cari cara yang lebih baik," berkata Mahisa Agni, "kita meletakkan batu-batu di tanah. Kejar aku, tetapi kakimu tidak boleh menyentuh tanah."
Anusapati-pun menurut pula. Seperti semula, ia senang melakukannya. Tetapi sepekan dua pekan, ia-pun menjadi jemu pula.
Mahisa Agni merasa senang dengan anak ini. Ia selalu ingin sesuatu yang baru. Ia tidak betah untuk tetap melakukan pekerjaan yang sama.
Tetapi suatu hal yang membuat Mahisa Agni sedih. Hati anak itu agaknya terlampau tertekan. Meskipun Ken Arok tidak melakukannya di hadapan ibunya, tetapi setiap kali, apabila Ken Dedes tidak melihatnya, anak itu selalu diancam, ditakut-takuti dan sama sekali tidak mendapat hati.
"Aku tidak menyangka, bahwa Ken Arok dapat berbuat demikian," berkata Mahisa Agni di dalam hatinya. Namun kemudian ia teringat kepada semua rencana Ken Arok yang dapat dilakukannya dengan sempurna. Karena itu maka Mahisa Agni-pun segera mengambil kesimpulan, bahwa apa yang dilakukan oleh Ken Arok itu memang sudah diperhitungkannya masak-masak.
Sekilas terkenang olehnya, apa yang dilakukan oleh Kebo Sindet atasnya di tengah rawa-rawa maut itu. Untunglah bahwa hal itu terjadi atasnya setelah jiwanya terbentuk, sehingga sulitlah bagi Kebo Sindet untuk merubahnya menjadi seorang budak penurut dan pengecut.
Tetapi Anusapati kini sedang tumbuh dan bersemi. Pada saat-saat jiwanya sangat peka itulah ia mengalami tekanan batin yang luar biasa. Setiap kali ia selalu dibayangi oleh ketakutan dan rendah diri.
"Ini adalah salah satu kecakapan Ken Arok," berkata Mahisa Agni di dalam hatinya, "apabila aku tidak mengerti apa yang telah dilakukan, aku-pun tidak akan mengerti apa yang sekarang sedang dilakukannya pula. Meskipun ia mengangkat Anusapati menjadi seorang Pangeran Pati, tetapi ia berusaha untuk membuat Anusapati itu mati di dalam hidupnya. Ia kelayakan menjadi Putera Mahkota yang memuakkan bagi rakyat Singasari. Putera Mahkota sedungu keledai. Putera Mahkota yang tidak dapat berbuat apapun juga. Yang selalu dibayangi oleh ketakutan dan keragu-raguan.
Dalam keadaan yang demikian maka rakyat Singasari akan berteriak, "Minggirlah anak Tunggul Ametung," dan mereka akan berteriak pula, "Angkatlah Tohjaya menjadi penggantinya."
Mahisa Agni yang sudah mengenal Ken Arok itu kini dapat memperhitungkan langkahnya. Dan agaknya otak Mahisa Agni-pun tidak terlampau tumpul untuk mengurai masalah itu.
Dengan sekuat-kuat tenaganya Mahisa Agni melawan cara Ken Arok itu. Setiap kali ia berusaha membuat hati Anusapati mantap. Diceriterakannya tentang berbagai macam dongeng tentang orang-orang yang semula menderita, tetapi karena keuletannya, mereka dapat menolong diri mereka sendiri.
Kadang-kadang Anusapati mendengarkan dengan penuh minat. Kepalanya terangguk-angguk penuh harapan. Tetapi kadang-kadang ia justru merenung dengan sorot mata yang buram memandangi bintik-bintik di kejauhan.
"Ayah terlampau sering marah," katanya pada suatu kali, "aku diancamnya lagi apabila aku berkelahi dengan adinda Tohjaya."
"Kenapa kau berkelahi?" bertanya Mahisa Agni.
"Permainanku dirampasnya. Aku mempertahankannya."
"Lalu." "Ketika ia memukul aku, aku menghindar sehingga ia jatuh tertelungkup. Adinda Tohjaya menangis, dan mengatakan bahwa akulah yang bersalah."
"Apakah Ayahanda Baginda melihat?"
"Aku dipanggil Ajahanda Baginda di bangsal sebelah, di bangsal bibi Ken Umang. Kupingku dicubitnya dan aku tidak boleh mengadu kepada ibu."
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Hal itu bukan untuk pertama kalinya terjadi. Kalau kedua anak-anak itu bertengkar seperti lazimnya anak-anak, maka Anusapati pasti dimarahi langsung oleh Baginda sendiri. Bukan oleh pemomong yang sudah diserahi untuk mengawasinya.
Bahkan Mahisa Agni itu-pun kemudian berprasangka pula terhadap pemomongnya Anusapati, apakah pemomong yang ditunjuk oleh Baginda itu sudah mendapat tugas khusus pula untuk meruntuhkan ketahanan hati Anusapati"
"Sudahlah," Mahisa Agni-pun mencoba menghiburnya, "kau lebih baik tidak bermain-main dengan Tohjaya. Carilah permainan sendiri di tempat yang terpisah."
"Adinda Tohjaya lah yang sering mendatangi aku."
"Menyingkirlah," berkata Mahisa Agni, "bukan karena kau takut kepada Tohjaya, tetapi lebih baik menghindari pertengkaran dengan anak cengeng. Ia pasti akan selalu menangis dan mengadu. Karena itu, bermainlah sendiri."
Anusapati mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Kalau ia menyingkir, bukan berarti ia takut kepada Tohjaya. Tetapi memang lebih baik tidak bermain-main dengan anak cengeng. Anak yang hanya pandai menangis.
Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Aneh nampaknya. Seorang anak yang seakan-akan menemukan sesuatu di dalam dirinya.
"Tetapi kau tidak boleh cengeng Anusapati," berkata Mahisa Agni kemudian, "kau harus menghadapi semua persoalan dengan dada tengadah. Kau tahu bedanya?"
Anusapati mengangguk. Dan tiba-tiba saja anak itu bertanya, "Apakah paman Mahisa Agni tidak mempunyai seorang putera laki-laki sebesar aku?"
"Kenapa?" bertanya Mahisa Agni.
"Aku lebih senang bermain-main dengan seorang kawan atau lebih daripada bermain-main sendiri."
"Pemomongmu?" "Sekarang aku sering dilepaskannya sendiri. Bermain-main sendiri tanpa emban."
"Di mana embanmu?"
"Ia juga sering menangis."
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Ia tidak mengerti apa yang sebenarnya melingkari Anusapati itu. Ia tidak dapat mencarinya dengan serta-merta. Tetapi ia harus melangkah perlahan-lahan supaya tidak ada seorang-pun yang mencurigainya.
"Menurut bibi emban, aku boleh bermain-main sendiri, tetapi tidak boleh keluar dari halaman dalam bangsal tengah."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya, "Dan kau ternyata keluar dari halaman itu tanpa setahunya."
"Aku jemu berada di halaman bangsal tengah saja paman."
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia bertanya, "Di mana Ayahanda Baginda sekarang?"
"Di bangsal sebelah dinding. Di bangsal bibi Umang."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Marilah, aku antar kau kepada pemomongmu."
"Aku akan pergi ke bilik Ibunda Permaisuri."
"O, jangan. Ibunda sedang beristirahat. Ibunda terlampau letih mengurusi adikmu."
Anusapati terdiam sejenak.
"Marilah." Akhirnya Anusapati mengikuti Mahisa Agni ke bangsal tengah, untuk menyerahkannya kepada pemomongnya. "Bibi," panggil Anusapati ketika ia sampai ke bangsal tengah.
Seorang perempuan setengah umur yang diserahi untuk menjaga dan mendidik Anusapati keluar dari sebuah bilik di bagian belakang bangsal tengah. Ketika ia melihat Anusapati, dengan tergesa-gesa ia menyongsongnya.
"He, darimana kau ngger?" perempuan itu bertanya sambil memeluk momongannya. Lalu, "Kenapa kau he" Apakah kau menangis lagi?"
Anusapati menggeleng, "Aku tidak menangis."
"Tetapi matamu menjadi merah."
"Ayahanda Baginda marah lagi kepadaku bibi." Perempuan itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian dipeluknya momongannya semakin erat. Katanya, "Aku sudah berkata berulang kali, jangan keluar dari halaman bangsal ini. Kenapa ayahanda Baginda marah" Apakah kau bertengkar lagi dengan Tohjaya?"
Anusapati mengangguk. Dibelainya anak itu dengan kedua tangannya. Kemudian dibimbingnya ia masuk ke dalam bangsal. Kepada Mahisa Agni emban itu berkata, "Tuan, apakah tuan mempunyai sesuatu kepentingan?"
Mahisa Agni menggeleng, "Tidak."
"Biarlah aku mengurus anak ini, yang sudah diserahkan kepadaku oleh Baginda."
"Tetapi ia sendirian di belakang."
"Itu adalah karena salah anak ini sendiri."
"Emban," Mahisa Agni memotong, "ingat, anak itu adalah Putera Mahkota. Bukan anak gembala kerbau yang dapat diperlakukan sekehendak hati. Ia harus mendapat perawatan dan pemeliharaan seperti selayaknya Putera Mahkota."
Mahisa Agni terdiam ketika ia melihat emban itu menundukkan kepalanya tanpa menjawab sepatah kata-pun. Bahkan kemudian ia meneruskan langkahnya, membimbing Anusapati masuk ke dalam bilik di bagian belakang bangsal tengah.
"Maaf," desis Mahisa Agni, "aku tidak berhak mengatakannya."
Emban itu justru terhenti sejenak. Ketika ia berpaling, Mahisa Agni menjadi terkejut karenanya, karena ia melihat mata emban itu menjadi basah.
"Maaf emban," berkata Mahisa Agni sekali lagi.
"Tidak tuan. Tuan tidak bersalah. Adalah layak sekali Tuan memperingatkan aku."
"Aku mengharap bahwa kau dapat mengerti maksudku."
"Ya. Tuan. Aku mengerti bahwa maksud Tuan baik. Aku-pun mengerti apa yang sebaiknya aku lakukan. Apalagi terhadap Putera Mahkota. Tetapi "," kata-kata emban itu terputus.
"Tetapi " " Mahisa Agni mengulangi.
Emban itu menggelengkan kepalanya. Kemudian dibimbingnya Anusapati melangkah sambil berkata, "Marilah Ngger."
Mahisa Agni menjadi bingung melihat sikap emban yang tidak menentu itu. Namun Mahisa Agni dapat menangkap sesuatu yang kurang wajar padanya. Menilik kata-kata dan sikapnya, bahkan kemudian air mata yang mengambang di mata, ada pertentangan yang terjadi di dalam diri perempuan setengah tua itu. Namun Mahisa Agni tidak dapat mengerti, apakah yang sebenarnya telah bergejolak di dalam dadanya.
Mahisa Agni-pun kemudian meninggalkan halaman itu. Ketika ia melalui bangsal Ken Dedes, ia tertegun sejenak. Namun ia kemudian meneruskan langkahnya ke biliknya sendiri di belakang.
Anusapati yang dibawa oleh embannya itu-pun kemudian dimandikannya dengan air hangat. Digosoknya seluruh tubuhnya sehigga bersih.
Namun Anusapati sendiri sama sekali tidak mengetahui, bahwa pemomongnya benar-benar berada dalam kesulitan batin. Dugaan Mahisa Agni ternyata tepat, meskipun tidak seluruhnya benar.
"Marilah tidur Tuan," berkata emban itu kemudian, "seorang Putera Mahkota harus tidur siang hari sampai matahari condong ke Barat."
Anusapati sendiri tidak begitu menyadari arti kata-kata Pangeran Pati. Baginya, apakah ia menjadi Putera Mahkota atan tidak, namun ia merasa bahwa hidupnya di dalam istana Singasari tidak begitu menyenangkan. Setiap kali ia bermain-main ia merasa selalu diganggu oleh Tohjaya. Ibunya terlampau sibuk dengan adiknya yang kecil, dan embannya kadang-kadang bersikap aneh terhadapnya.
"Orang yang paling baik di Singasari adalah paman Mahisa Agni," berkata anak itu di dalam hatinya.
Ketika Anusapati kemudian berbaring di pembaringannya, embannya-pun duduk bersimpuh di lantai sambil membelai keningnya. Kemudian perempuan tua itu mencoba untuk berceritera tentang seekor rusa yang sombong. Tentang burung-burung dan tentang kelinci.
"Tidurlah sayang," desis emban itu.
Anusapati memejamkan matanya. Tetapi sebuah pertanyaan bergelut di dalam hatinya, "Kenapakah emban ini kadang-kadang terlampau baik, tetapi kadang-kadang nakal?"
Namun hati anak itu tidak dapat meraba terlampau jauh dari apa yang dilihatnya dan dirasakannya sehari-hari.
Karena emban itu berceritera terus sambil membelainya, maka lambat laun Anusapati-pun menjadi terlena pula karenanya.
Perlahan-lahan diselimutinya anak itu baik-baik. Diciumnya keningnya, lalu ditinggalkannya sendiri di pembaringannya.
Tetapi emban itu tidak pergi jauh. ia duduk di serambi di muka bilik Anusapati sambil merenung. Merenungi anak yang kelak akan menggantikan kedudukan Sri Rajasa itu, dan merenungi dirinya sendiri.
Di bilik di belakang, Mahisa Agni-pun duduk tepekur di atas pembaringannya. Dicobanya untuk mengerti isi istana itu seluruhnya, ia merasa bahwa istana itu merupakan petamanan yang penuh dengan duri. Ia tidak mengerti, di mana dan kapan ia akan menyentuh atau bahkan menginjaknya. "Mudah-mudahan aku dapat menghindari," desisnya. Demikianlah Mahisa Agni perlahan-lahan telah mulai dengan rencananya. Anusapati yang masih kecil itu mulai diisinya tanpa sesadarnya. Setiap kali, selain berloncat-loncatan Anusapati-pun diajarinya memanjat, bergantungan di cabang-cabang pepohonan. Mula-mula batang-batang pohon yang rendah, tetapi semakin lama semakin tinggi.
Dengan demikian, maka urat-urat kaki dan tangan Anusapati tumbuh dengan baiknya. Kekuatannya-pun berkembang seperti yang diharapkan Mahisa Agni.
Tetapi suatu hal yang Mahisa Agni masih belum dapat mengatasinya. Anusapati selalu dibayangi oleh ketakutan dan kecemasan. Jiwanya tidak dapat berkembang sebaik tubuhnya, meskipun Mahisa Agni selalu berusaha memberinya kebanggaan. Apalagi waktu yang dapat dipergunakan tidak terlampau banyak dan kurang teratur. Mahisa Agni hanya dapat mempergunakan waktu-waktu yang terluang. Namun bahwa embannya kadang-kadang melepaskannya sendiri, memberinya keuntungan pula kepadanya.
"Anusapati," berkata Mahisa Agni pada suatu saat, "kalau besok paman pergi ke peperangan, mungkin paman tidak akan dapat bermain-main dengan kau untuk beberapa saat lamanya. Jangan lupa, kau bermain-main sendiri. Kau harus sudah dapat meloncati pohon kantil di halaman samping itu. Setiap pagi kau harus bermain, loncat-loncatan, bergantungan dan ketrampilan. Kau harus dapat melontarkan tiga empat buah kerikil berganti-ganti terus-menerus untuk beberapa saat lamanya. Jangan lupa pula bermain pasir. Benamkan jari-jarimu setiap pagi dan sore ke dalam pasir. Jari-jari tangan kiri dan jari tangan kanan."
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Tetapi tanpa kawan permainan itu tidak menarik."
"Kau harus membiasakan diri bermain sendiri. Kalau paman datang, kau bermain bersama paman lagi."
(Bersambung ke jilid 53) koleksi : Ki Arema scanning : Ki Arema
Retype : Ki Raharga Proofing : Ki Raharga Cek ulang : Ki Arema ---ooo0dw0ooo--- Jilid 53 ANUSAPATI memandang wajah Mahisa Agni dengan sorot mata yang sayu. Baginya Mahisa Agni adalah orang yang paling dekat sesudah ibunya. Tetapi ibunya tidak dapat memberinya permainan seperti yang diberikan oleh Mahisa Agni kepadanya.
Dan tiba-tiba anak itu bertanya, "Apakah paman akan pergi berperang?"
"Aku seorang prajurit Anusapati," jawab Mahisa Agni, "seorang prajurit kadang-kadang memang harus pergi ke medan perang. Mendung yang mengambang di atas perbatasan Singasari dan Kediri sudah menjadi semakin kelam, sehingga agaknya perang tidak akan dapat dihindarinya lagi."
"Tetapi bukankah paman akan kembali?"
"Aku mengharap untuk kembali ke istana ini. Karena itu, kau harus berdoa untuk paman, untuk Singasari dan untuk kesejahteraan seluruh rakyatmu." Mahisa Agni berhenti sejenak, "ingat, kau adalah Putera Mahkota. Kau tidak boleh menjadi acuh tidak acuh atas jabatan yang sejak kecil sudah kau sandang itu."
"Aku tidak senang dengan jabatan itu paman."
"Kenapa" " Mahisa Agni menjadi heran.
"Apabila ayah marah, ayah selalu membawa-bawa jabatan itu, seperti juga orang-orang lain. Emban itu sering juga marah, dan menyebut-nyebut bahwa aku tidak kuat untuk memangku jabatan ini."
"Emban itu?" "Ya paman. Tetapi kadang-kadang ia terlalu baik. Dan ia sering menangis sendiri tanpa sebab."
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
"Itu semua merupakan latihan. Latihan kejiwaan. Kau sedang diuji apakah kau dapat mengatasi semua godaan itu. Kalau kau berhasil, kau kelak akan menjadi seorang raja yang paling mengagumkan."
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia bertanya, "Apakah setiap raja, seperti ayahanda Sri Rajasa, juga terlampau sering marah?"
Mahisa Agni tidak segera dapat menjawab pertanyaan anak itu. Apalagi ketika Anusapati melanjutkannya, "Dan apakah apabila kelak aku menjadi raja, aku juga harus selalu marah-marah seperti Ajahanda itu?"
Mahisa Agni tersenyum. Jawabnya, "Sebenarnya Ayahanda tidak marah. Tetapi Ayahanda ingin agar kau menjadi seorang anak yang terlampau baik."
Anusapati tidak dapat mengerti keterangan itu, meskipun ia tidak bertanya lagi.
"Tetapi yang harus kau sadari Anusapati," berkata Mahisa Agni, "seorang raja haruslah seorang yang kuat lahir dan batin. Itulah sebabnya kau harus tekun. Tetapi ingatlah, jangan kau perlihatkan kepada siapapun kalau kau mempunyai beberapa macam permainan yang pasti mereka anggap aneh."
"Permainan yang mana paman?"
"Hampir seluruh parmainanmu yang paman berikan adalah permainan yang tidak lajim. Mereka akan heran dan akan terlampau banyak bertanya tentang permainan-permainan itu. Ingat hal itu."
"Jadi aku harus bermain-main dengan permainam yang diberikan oleh bibi emban saja?"
"Ya, di hadapan orang lain. Apakah permainan itu?"
"Golek dan beberapa helai selendang yang bagus sekali."
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ia memang sering melihat Anusapati bermain dengan anak-anakan. Kadang-kadang bermain pasaran seperti yang sering dilakukan oleh anak-anak perempuan.
"Ini pasti suatu kesengajaan untuk membentuk jiwa anak itu menjadi lemah," berkata Mahisa Agni di dalam hatinya.
"Apakah permainan Tohjaya yang pernah kau lihat?"
"Pedang-pedangan dan sebuah kuda kayu yang bagus, meskipun tidak sebagus golekku."
"Baiklah, bermainlah dengan golekmu bersama emban. Tetapi kalau kau sempat, tidak seorang-pun yang melihat, lakukanlah permainan yang paman berikan."
Anusapati mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian kepalanya terangguk-angguk. Agaknya ia dapat mengerti maksud pamannya meskipun tidak seluruhnya.
Ternyata Anusapati adalah anak yang patuh. Sebelum Mahisa Agni berangkat ke medan perang yang semakin mendekat, anak itu masih sempat mendapat beberapa macam petunjuk. Bahkan Anusapati kini tahu benar-benar mencari kesempatan itu. Setiap ia terlepas dari pengawasan embannya ia selalu berlari ke bangsal belakang. Kemudian ke kebun yang sepi di bagian belakang istana.
"Pada suatu ketika," berkata Mahisa Agni di dalam hatinya, "apabila latihan-latihan ini sudah menginjak pada olah kanuragan yang sesungguhnya, pasti tidak dapat dilakukan di halaman istana yang mana-pun."
Dan sejak saat itu Mahisa Agni sudah berusaha untuk mendapatkan tempat yang baik, dam kesempatan yang memungkinkan bagi Anusapati.
Dalam pada itu, hubungan antara Singasari dengan Kediri menjadi semakin memburuk. Keduanya sudah saling memutuskan untuk tidak mengadakan pembicaraan apapun, sehingga di perbatasan, ke dua belah pihak telah menyiapkan pasukan mereka. Namun agaknya Baginda di Kediri masih saja menganggap Singasari tidak lebih baik dari Tumapel, sehingga Baginda agaknya masih acuh tidak acuh saja melihat seekor harimau yang menjadi dewasa di dalam biliknya.
Dengan demikian maka persiapan-persiapan yang dilakukan tidaklah sesempurna persiapan yang dilakukan oleh Ken Arok. Baik di perbatasan maupun di seluruh negeri. Rakyat Kediri sibuk dengan persoalan mereka masing-masing. Ketidak puasan semakin lama menjadi semakin merajalela, terutama dari para pendeta di padepokan-padepokan.
Pengungsi-pengungsi-pun mengalir semakin banyak menyeberangi perbatasan Singasari, sehingga tugas penampungan bagi mereka-pun menjadi semakin banyak. Demikian juga tugas Mahisa Agni. Ia mengumpulkan juga orang-orang baru dalam kelompok-kelompok yang digabungkannya dengan pasukannya yang sudah terbentuk.
Demikianlah maka pasukan Mahisa Agni menjadi semakin besar. Namun dengan demikian pekerjaannya-pun menjadi semakin banyak. Setiap hari ia harus turun ke alun-alun untuk memberikan bimbingan langsung kepada mereka yang sama sekali belum pernah mengenal senjata.
Karena itu, maka hubungannya dengan Anusapati-pun seakan-akan menjadi semakin renggang. Tetapi Mahisa Agni telah memberitahukan kepada anak itu, bahwa tugasnya memang menjadi semakin banyak, dan menyuruhnya untuk bermain-main sendiri di halaman yang sepi.
Agaknya Anusapati-pun cukup cerdas. Ia mengerti apa yang dimaksud oleh Mahisa Agni, sehingga tidak seorang-pun yang pernah melihat permainan apa yang telah dilakukan.
Ternyata Anusapati semakin lama menjadi semakin terampil. Ia sudah pandai memanjat seperti tupai. Kemudian bergayutan dengan tangannya sebelah menyebelah. Berputar balik pada dahan-dahan yang rendah, kemudian berloncatan dari cabang ke cabang.
Kalau ia jemu bermain-main di pepohonan, maka ia-pun kemudian bermain-main dengan pasir. Dimasukkannya onggokan-onggokan pasir ke dalam kantong-kantong pandan, dan dijinjingnya kantong-kantong pandan itu berkeliling halaman. Kemudian diayunkannya berputar.
Dan apabila ia sudah menjadi lelah, maka dituangkannya pasir itu beronggok-onggok. Kemudian dibenamkannya jari-jari tangannya kiri kanan berganti-ganti. Terus-menerus. Seperti petunjuk Mahisa Agni, ditusuk-tusuknya onggokan pasir itu dengan sebuah jari, kemudian dua buah dan yang terakhir kelima-limanya diulurkannya dalam suatu himpitan rapat.
Demikian bersungguh-sungguh, sehingga kadang-kadang jari-jari tangannya itu menjadi lecet dan berdarah. Tetapi anak itu tidak menghiraukannya.
Permainannya yang lain adalah memukul onggokan pasir itu dengan sisi telapak tangannya. Semakin lama semakin keras, sehingga sisi telapak tangannya menjadi keras.
Selagi Mahisa Agni masih sempat, meskipun hanya sejenak, ia menyaksikan ke manakannya itu bermain sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Anak ini memang mewarisi kemampuan seperti ayahnya, Tunggul Ametung. Kekuatannya berkembang dengan pesatnya, ketrampilan dan kemampuan.
Tetapi apabila setiap kali Mahisa Agni melihat air mata mengambang di mata anak itu, hatinya menjadi berdebar-debar. Kekerdilan jiwanya yang masih belum dapat di atasi oleh Mahisa Agni.
"Lambat laun ia mencoba untuk tidak berputus-asa. Dan agaknya kemampuan jasmaniah anak itu memang memberinya harapan."
Emban pemomong Anusapati yang setiap hari bergaul dengannya itu-pun sama sekali tidak mengetahui, bahwa momongannya itu memiliki kemampuan yang sama sekali tidak disangkanya. Setiap kali Anusapati bertemu dengan Tohjaya, maka setiap kali Anusapati selalu menjauhinya. Apabila pada suatu saat keduanya bertengkar, maka Anusapati sama sekali tidak berdaya menghadapi adiknya seayah. Kalau Anusapati didorong, oleh Tohjaya, anak itu selalu jatuh tertelentang, atau terjerembab. Tertatih-tatih ia bangun dan dengan tergesa-gesa menyingkir jauh-jauh. Kalau Tohjaya tidak berhasil menyakiti Anusapati, maka anak itu menjadi marah dan kadang-kadang menangis, mengadukan masalahnya kepada ayahanda. Baginda yang langsung marah kepada Anusapati.
"Ajari anak itu baik-baik," berkata Kem Arok kepada emban pemomong Anusapati, "aku sudah memberi, kau petunjuk. Anak itu harus menjadi anak yang rendah diri, lemah dan tidak mempunyai gairah bagi hari depannya. Kau tahu maksudku" Ia adalah keturunan Tunggul Ametung. Bukan maksudku untuk membedakan dengan anakku sendiri. Tetapi kekuasaan Singasari jangan sampai jatuh ke tangannya. Kau mengerti?"
Emban itu mengangguk. "Kau bukan emban kebanyakan. Kau terpilih dari puluhan perempuan di Singasari yang aku percaya untuk menyelesaikan rencanaku. Meskipun sekarang kau berlaku seperti seorang emban pemomong, tetapi kau sudah ikut membangunkan Singasari di hari-hari mendatang. Kau mengerti?"
Emban itu mengangguk pula.
"Aku yakin kau akan berhasil. Anusapati tidak boleh mengembalikan kenangan nama Tunggul Ametung. Ia sudah mati. Mati untuk selama-lamanya" Rakyat Singasari tidak boleh mengenangnya lagi. Apalagi Ken Dedes. Ia sekarang adalah isteriku. Ia harus melupakan suaminya yang lama. Tetapi wajah Tunggul Ametung itu seakan-akan tercermin di wajah Anusapati."
Emban itu tidak menjawab.
"Karena itu, aku tidak memberikan pemomong lain kepada Anusapati. Aku serahkan anak itu sepenuhnya kepadamu. Berhasil atau tidak, tergantung sekali kepadamu pula." Sri Rajasa yang sudah matang dengan rencananya itu berhenti sejenak, kemudian, "sebentar lagi, seluruh isi istana, bahkan seluruh rakyat Singasari akan disibukkan oleh peperangan yang agaknya tidak dapat dihindari lagi. Nah, tugasmu menjadi semakin berat. Bentuk anak itu menurut petunjukku. Jangan sampai diketahui oleh ibunya atau oleh siapapun juga."
"Hamba Tuanku," jawab emban itu kemudian.
"Kalau kau gagal, kau akan menyesal."
Emban itu mengerutkan keningnya. Ternyata tugas yang dibebankan kepadanya terlampau berat untuk dilaksanakan.
Semula, ketika Ken Umang menyerahkannya kepada Sri Rajasa, ia merasa bahwa ia akan dapat melakukan tugasnya dengan baik. Tetapi ketika ia sudah berada di sisi anak itu, terasa bahwa tugas itu bukan sekedar dapat dilakukannya dengan sambil lalu. Membentuk seseorang menjadi seorang yang terlampau berkecil hati, lemah dan tidak mempunyai gairah apapun bagi masa depannya.
"Aku lebih senang untuk mengasuh Tohjaya, dan membentuknya menjadi seorang anak laki-laki," katanya di dalam hati.
Namun tugas itu sudah dibebankan kepadanya. Tanpa orang lain.
Emban itu menarik nafas dalam-dalam. Setiap kali ia merenungi dirinya sendiri, menjadi semakin jelas kepadanya, bahwa tugas yang dibebankan kepadanya adalah tugas yang hampir tidak dapat dilakukannya.
Sementara itu kemelut di perbatasan menjadi semakin panas. Pasukan Singasari mengalir seperti arus sungai dari segala jurusan ke perbatasan. Pada suatu saat Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi merasa, bahwa waktunya memang sudah tiba untuk menyatukan Kediri dan Singasari.
Namun agaknya Kediri yang merasa dirinya terlampau besar, tidak mudah untuk merasa cemas menghadapi persiapan Singasari yang menurut penilaian orang-orang Kediri tidak lebih dari Tumapel. Sehingga dengan demikian, Kediri masih saja tidak mempertinggi persiapan mereka. Mereka menganggap bahwa kekuatan yang diletakkan di perbatasan sudah cukup besar untuk menghadapi kekuatan Singasari.
Dalam pada itu, Sri Rajasa benar-benar telah bertekad untuk tidak gagal. Semua pasukan telah berada di perbatasan, selain pasukan keamanan yang masih tersebar di seluruh Singasari. Bahkan pasukan khusus yang dipimpin oleh Mahisa Agni-pun telah berada di pusat kekuatan Singasari. Pasukan itulah yang akan memasuki Kediri bersama-sama dengan pasukan inti dari Singasari.
Dengan demikian maka Mahisa Agni harus segera meninggalkan istana dan Anusapati.
Dalam kesempatan terakhir Mahisa Agni berkata kepada Anusapati, "Paman akan segera berangkat Anusapati. Jangan nakal. Kau harus selalu ingat pesan paman."
Anusapati menganggukkan kepala.
"Jangan lalai melakukan permainanmu kalau kau benar-benar ingin menjadi seorang Pangeran Pati yang baik. Tetapi ingat, jangan diketahui oleh orang lain."
"Bagaimana dengan bibi emban?" bertanya Anusapati.
"Untuk sementara jangan. Kau mengerti?"
Anusapati menganggukkan kepalanya.
"Bahkan ibu-pun jangan."
Anusapati mengerutkan keningnya, "Kenapa?"
Mahisa Agni tidak segera menjawab. Memang sulit baginya untuk memberi tahukan apakah alasan yang sebenarnya. Yang dapat di katakannya adalah, "Anusapati. Banyak sekali orang yang ingin menjadi Putera Mahkota. Mungkin mereka iri kepadamu dan akan berusaha mengganggu kau, agar kau tidak dapat menjadi seorang anak yang kuat dan pantas untuk tetap menjadi seorang Putera Mahkota, yang ingat, kelak akan menjadi raja, menggantikan ayahanda Sri Rajasa. Bukankah kau lihat, Ayahanda Sri Rajasa adalah seorang kuat dan cerdas. Seorang yang berwibawa dan tidak lemah hati."
"Kenapa banyak orang yang ingin menjadi Putera Mahkota" Siapakah yang sebenarnya boleh menjadi Putera Mahkota?"
"Kau, hanya kau Anusapati. Karena itu, kau dapat menumbuhkan iri hati. Itulah sebabnya kau harus menjaga dirimu. Kau harus tetap nampak lemah dan bodoh. Dengan demikian mereka menganggap bahwa kau kelak tidak pantas menjadi seorang raja." Mahisa Agni berhenti sejenak. Lalu, "mungkin terlampau sulit bagimu. Tetapi kelak kau akan mengetahuinya. Sekarang turuti saja nasehat paman."
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. "Demi keselamatanmu dan masa depanmu Anusapati. Kau harus tetap menjadi Pangeran Pati."
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Nah, paman besok sudah pergi ke perbatasan. Ingat semua pesan paman."
"Apakah paman lama pergi?"
"Aku tidak tahu Anusapati. Mudah-mudahan tidak." Anusapati terdiam. Kepalanya tertunduk dalam-dalam. Seolah-olah ia merasakan betapa sepinya istana ini tanpa Mahisa Agni.
"Marilah, aku antar kau ke embanmu. Tetapi ingat, embanmu itu-pun harus tidak tahu apa yang kau lakukan dan terjadi."
Anusapati mengangguk pula. Kemudian mereka berdua pergi ke bangsal tengah untuk mencari emban pemomong Anusapati.
Seperti biasanya Anusapati selalu memanggil-manggilnya. Dan emban itu selalu keluar dari bilik itu-itu juga. Namun kali ini Mahisa Agni melihat emban itu berwajah terlampau suram. Matanya merah dan ujung kainnya basah oleh air mata.
"Apakah kau menangis bibi?" bertanya Anusapati.
Dipeluknya anak itu, dan diciumnya di keningnya, "Tidak angger. Bibi tidak menangis. Marilah tuan mandi. Nanti tuan segera tidur."
"Emban," berkata Mahisa Agni kemudian, "besok aku sudah harus meninggalkan istana. Aku tidak dapat lagi membantu mengawasi dan bermain-main dengan anak itu. Meskipun Baginda Sri Rajasa sudah mempercayakannya kepadamu, tetapi aku sebagai seorang paman, menitipkan anak itu pula. Kau tentu sadar, apakah artinya seorang Pangeran Pati."
"Ya tuan." perempuan itu masih akan menjawab, tetapi bibirnya serasa menjadi terlampau berat, dan matanya menjadi semakin basah.
Mahisa Agni menjadi heran melihat tingkah laku emban itu. Ia tidak dapat meraba sama sekali, apakah yang ada di dalam angan-angannya. Bagaimanakah sebenarnya tanggapannya terhadap Anusapati.
Karena itu berbagai masalah bergulat di dalam hatinya. Bahkan kadang-kadang ia dicengkam oleh kecurigaan yang luar biasa. Apakah emban itu mendapat tugas sampai pada puncak kelicikan dengan menyingkirkan Anusapati perlahan-lahan"
Tetapi kadang-kadang tumbuh kepercayaannya kepada emban itu. Bahwa emban itu menaruh kasih kepada Anusapati. Ternyata setiap kali anak itu diciumnya, dibelainya dan dimandikannya baik-baik sebelum dibawa ke pembaringan. Bahkan kadang-kadang, seperti yang dikatakan oleh Anusapati, emban itu sering menangis tanpa sebab.
Dalam keragu-raguan itu Mahisa Agni menjadi semakin heran. Perlahan-lahan emban itu berkata, "Tuan, apakah aku dapat mengatakan sesuatu kepada tuan, sebelum tuan berangkat?"
Mahisa Agni mengerutkan keningnya, "Tentu," jawabnya.
"Tetapi tidak didengar oleh orang lain?"
Sejenak Mahisa Agni berdiam diri. Namun kemudian ia mengangguk pula, "Tentu."
Emban itu mengusap matanya yang basah. Kemudian, katanya, "Aku akan memandikan tuanku Pangeran Pati."
Mahisa Agni mengangguk, "Ya, mandikanlah."
"Tuan dapat datang setelah angger Anusapati tertidur."
"Baik." Emban itu mengusap kepala Anusapati, katanya, "Kau harus cepat tidur tuan kecil."
Anusapati tidak menjawab. Tetapi berbagai pertanyaan tumbuh di dalam kepalanya.
Mahisa Agni-pun kemudian meninggalkan bangsal itu. Perlahan-lahan ia kembali ke biliknya. Dari kejauhan dipandanginya bangsal tempat Permaisuri dan putera-puteranya yang kecil tinggal. Emban pemomong Ken Dedes, ibunya sendiri yang semakin tua masih sibuk membantu emban-emban yang lain melayani putera Ken Dedes yang didapatkannya dari Sri Rajasa.
"Anusapati, sebagai seorang Pangeran Pati harus mendapat pendidikan khusus," berkata Sri Rajasa kepada Ken Dedes. Dengan alasan itulah maka Anusapati tidak tinggal bersama-sama di dalam satu bangsal dengan ibu dan adik-adiknya.
Mahisa Agni tiba-tiba tertegun sejenak. Tetapi kemudian ia melangkah lagi. Katanya di dalam hati, "Aku memang harus minta diri kepada ibu dan Ken Dedes. Tetapi biarlah nanti setelah aku bertemu dengan pemomong Anusapati itu."
Demikianlah dengan gelisah Mahisa Agni duduk di dalam biliknya, di bagian belakang istana. Sekali-sekali ia memandang juga regol dinding yang memisahkan dua bagian dari istana Singasari. Istana yang lama, dan sebuah bangunan baru tempat tinggal Ken Umang. Tetapi Mahisa Agni sama sekali tidak berani mendekati regol itu, kalau ia tidak ingin membuat persoalan yang dapat mengganggu usahanya membina Anusapati untuk selanjutnya. Ken Umang baginya tidak kurang dari sesosok hantu betina yang siap menerkamnya dan menyeretnya ke dalam jurang bencana yang paling dalam.
Sejenak, Mahisa Agni duduk sambil merenung di dalam biliknya, menunggu sampai Anusapati kira-kira sudah tertidur. Ia ingin kembali ke bangsal itu dan menemui emban pemomong kemenakannya itu.
Sebagai seorang paman tidak seorang-pun yang menaruh keberatan apabila ia memasuki halaman di sekitar bangsal tengah itu. Tidak pula ada yang menaruh keberatan apabila ia bermain-main dengan Anusapati, yang sudah tentu permainan yang wajar bagi kanak-anak. Tetapi Mahisa Agni menyadari, apabila seseorang melihat permainan yang khusus bersama Anusapati, maka pasti akan tumbuh masalah karenanya.
Ketika Mahisa Agni mendekati bilik Anusapati, ternyata Anusapati memang sudah tertidur. Karena itu, maka Mahisa Agni-pun segera masuk ke dalam bilik itu.
"Silahkan tuan," emban itu mempersilahkannya, "aku memang ingin mengatakan sesuatu kepada tuan. Aku kira tidak ada seorang-pun di sekitar bilik ini. Para prajurit berada di regol halaman atau di luar sama sekali."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Tuan," berkata emban itu, "apakah tuan bersedia untuk merahasiakan ceriteraku nanti demi keselamatanku?"
Mahisa Agni mengerutkan keningnya, "Apakah ceriteramu mengandung bahaya bagimu?"
Emban itu mengangguk, "Ya tuan. Bahaya yang berat bagiku."
"Aku berjanji."
"Aku memang yakin kalau tuan mempunyai belas kasihan kepadaku. Bukan saja untuk kepentingan keselamatanku, tetapi juga kemanakan tuan, Tuanku Pangeran Pati."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya pula.
"Tuan," berkata emban itu perlahan-lahan, "sebenarnya aku menjadi heran melihat perkembangan angger Anusapati."
Dada Mahisa Agni berdesir mendengar kata-kata itu. Tetapi ia berusaha untuk menyembunyikan perasaannya.
"Sama sekali di luar nalarku, bahwa Pangeran Pati itu mampu melakukan hal-hal yang sama sekali tidak tersangka-sangka."
"Apakah yang dilakukannya?" bertanya Mahisa Agni dengan serta-merta.
Emban itu menarik nafas dalam-dalam.
"Apa?" "Tuan. Kadang-kadang angger Anusapati mengigau. Bukan saja mengigau, tetapi bergerak dan menyentak-nyentak. Agaknya ia sedang bermimpi melakukan permainan yang aneh. Yang tidak aku mengerti. Padahal ia tidak pernah bermain-main demikian."
Mahisa Agni menjadi semakin berdebar-debar. Apakah rahasia yang selama ini ditutupinya rapat-rapat itu disadarinya sudah diketahui oleh orang lain meskipun tidak seluruhnya"
"Tuan," berkata emban itu pula, "pada suatu saat yang lain, permainan tuanku Pangeran Pati tersangkut di langit-langit bilik ini. Semula aku akan mencari kayu untuk mengambilnya. Tetapi ternyata anak itu dapat mengambilnya sendiri."
"Bagaimana ia mengambil?"
"Aku tidak tahu Tuan. Yang aku ketahui, sebelum aku menemukan kayu penggalah, angger Anusapati sudah berlari-lari kepadaku sambil membawa mainannya itu."
"Ah, mungkin Anusapati tidak mengambilnya. Mungkin oleh angin atau apapun sehingga permainan itu jatuh sendiri."
Emban itu mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba ia menunjuk ke satu sudut di dalam bilik itu, "Lihatlah Tuan."
Ketika Mahisa Agni melihat ke arah yang ditunjuk oleh emban itu, hatinya berdesir. Ia melihat tapak kaki pada dinding bilik itu.
"Tapak kaki itu belum lama melekat pada dinding itu. Belum ada sepekan. Ketika angger Anusapati mengambil mainannya yang tersangkut di langit-langit. Nah, apakah kata Tuan tentang anak yang dapat berbuat demikian itu?"
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Suatu kecerobohan yang dapat menumbuhkan rintangan.
"Tetapi Anusapati masih belum cukup dewasa untuk mengerti bahaya yang selalu mengancamnya," berkata Mahisa Agni di dalam hatinya.
Tetapi ia bertanya, "Apakah kau yakin bahwa tapak kaki itu tapak kaki Anusapati?"
Siapa lagi Tuan. Apakah aku" Atau orang lain yang berani masuk ke dalam bilik ini?"
Mahisa Agni menarik nafas. Memang di dalam hati ia tidak dapat ingkar lagi. Telapak kaki itu pasti telapak kaki Anusapati. Namun demikian, kecurigaan Mahisa Agni terhadap emban itu-pun kian bertambah-tambah. Kalau emban itu seorang emban kebanyakan, apakah ia dapat berpikir secermat itu"
"Tuan, semuanya itu telah menumbuhkan keheranan dan pertanyaan yang selalu menggangguku."
"Biarlah aku hapus bekas telapak kaki itu."
"Bukan bekas itu yang penting Tuan. Tetapi perkembangan apakah yang sudah terjadi di dalam diri angger Anusapati?"
"Kau pasti lebih tahu daripadaku. Aku hanya sempat bermain-main beberapa saat saja setiap hari. Kalau aku pulang dari barak dan latihan, aku memang kadang-kadang menjumpainya bermain-main sendiri. Tetapi bermain-main anak-anakan. Gateng, dan yang paling baik yang pernah dilakukan adalah jirak."
"Ya. Itulah sebabnya aku menjadi bingung."
Mahisa Agni tidak segera menyahut. Ia harus mengerti dahulu arah pembicaraan emban ini, supaya itu tidak terjerumus dalam kekeliruan yang berakibat parah.
"Tuan," berkata emban itu kemudian, "sebenarnya aku ingin minta Tuan membantu aku, atau Tuan akan mengutuk aku."
Mahisa Agni mengerutkan keningnya, "Apa maksudmu?"
"Lebih baik Tuan menghapus bekas kaki itu dahulu. Kalau Sri Baginda melihat dan bertanya kepadaku, aku tidak akan dapat menjawab."
"Kenapa kau tidak mengatakan, bahwa itu telapak kaki Putera Mahkota yang bermain kejar-kejaran dengan seekor cicak?"
"Oh," emban itu memegangi keningnya.
"Bukankah dengan demikian Baginda akan bangga dan berterima kasih kepadamu, karena kau sudah mengasuhnya sebaiknya."
"Itulah yang akan aku katakan kepada Tuan." potong emban itu, "tetapi aku minta Tuan melindungi namaku."
"Kenapa?"

Bara Diatas Singgasana Pelangi Di Singosari Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tuan akan tahu."
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya.
"Sebenarnya aku memang mempunyai tugas khusus Tuan," berkata emban itu.
Mahisa Agni mengerutkan keningnya.
"Tugas yang semakin lama semakin tidak aku mengerti."
Mahisa Agni masih tetap membisu, tetapi perlahan-lahan ia mulai mengambil kesimpulan, bahwa memang ada yang tidak wajar di dalam bilik ini.
"Tetapi ternyata perkembangan angger Anusapati membuat aku menjadi bingung. Aku tidak akan dapat mempertanggung jawabkan tugasku lagi."
"Apakah sebenarnya tugasmu?"
"Tuan, apakah yang sebenarnya Tuan kehendaki atas angger Anusapati?"
"Apakah yang aku kehendaki" Pertanyaanmu aneh emban. Aku tidak menghendaki apapun. Sebagai seorang paman, aku pasti ikut mengharap agar kemurahan hati Sri Rajasa, mengangkat Anusapati menjadi Putera Mahkota, dapat tanggapan yang sewajarnya dari Anusapati sendiri. Ia tidak boleh mengecewakan hati ayahandanya, sehingga ia kelak akan menjadi seorang raja yang besar, yang alangkah senang hati Baginda, apabila Anusapati dapat menyempurnakan apa yang sudah dirintis oleh Sri Rajasa kali ini."
Emban itu tidak segera menyahut. Tetapi kepalanya menjadi tertunduk dalam-dalam.
"Apakah ada yang salah?" bertanya Mahisa Agni.
Emban itu tidak segera menjawab. Tetapi kepalanya yang tunduk menjadi semakin tunduk. Dengan demikian maka ruangan itu menjadi hening sejenak. Yang terdengar adalah desah nafas Anusapati yang sedang tertidur nyenyak.
Untuk menghilangkan kekakuan, Mahisa Agni berdiri sejenak, dan melangkah ke sudut bilik itu. Ditatapnya bekas telapak kaki yang masih tampak jelas melekat di dinding. Memang bekas telapak kaki itu harus dihapus, supaya tidak memumbuhkan bermacam-macam pertanyaan yang tidak akan dapat dijawab oleh emban itu.
Mahisa Agni-pun kemudian meloncat sambil mengusap bekas telapak kaki itu dengan tangannya, sehingga yang masih tampak melekat di dinding itu tidak lagi berkesan seperti telapak kaki, tetapi sekedar debu biasa.
"Tuan sudah menghapusnya?" terdengar emban itu bertanya lirih.
"Ya. Aku sudah menghapusnya. Setidak-tidaknya, tidak akan lagi menimbulkan pertanyaan, telapak kaki siapakah yang ada di dinding itu."
"Terima kasih tuan."
Mahisa Agni tidak menjawab. Tetapi ia kembali duduk di tempatnya.
"Bilik ini semakin lama semakin menyiksaku tuan," desis emban itu kemudian.
"Kenapa?" "Tuanku Pangeran Pati itu," jawabnya sambil memandang Anusapati yang tidur nyenyak.
"Kenapa dengan Anusapati?"
Emban itu masih saja ragu-ragu, sehingga Mahisa Agni menjadi hampir tidak sabar lagi. Anusapati biasanya tidak terlampau lama tidur siang, sehingga apabila anak itu nanti terbangun, maka emban itu tidak akan sempat mengatakan apa-apa. Padahal besok ia harus sudah membawa pasukannya ke perbatasan.
"Tuan," berkata emban itu selanjutnya, "tugasku ternyata terlampau berat bagiku. Terus-terang, aku bukan orang yang baik. Bukan orang berbudi. Justru karena itulah maka aku telah dipilih oleh Ken Umang dan diserahkannya kepada Tuanku Sri Rajasa untuk mengasuh angger Anusapati."
Mahisa Agni mengerutkan keningnya.
"Sebagai seseorang yang memang kurang berbudi, aku menyanggupi tugas itu. Aku mendapat upah yang cukup, yang tidak akan aku dapatkan, meskipun aku bekerja di mana-pun juga."
"Apakah tugas itu," Mahisa Agni menjadi tidak sabar.
"Tugas itu tampaknya sederhana sekali."
"Ya, tetapi apa?"
"Sekedar membuat angger Anusapati menjadi jinak. Jinak sekali."
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali. Kini semua kecurigaannya itu terbukti, bahwa memang ada usaha untuk membuat Anusapati tidak berdaya.
Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, tanpa sesadarnya ia berdesis, "Aku sudah menyangka?"
Emban itu terkejut. Dengan serta-merta ia bertanya, "Apa yang sudah tuan sangka?"
Kini Mahisa Agnilah yang terkejut. Sejenak ia berdiam diri, namun kemudian ia menjawab, "Aku sudah menyangka, bahwa Anusapati tidak mendapat tuntunan sewajarnya."
"Kenapa tuan menyangka demikian?" emban itu bertanya pula, "Agaknya tuan memang sudah mencurigai Sri Rajasa."
Mahisa Agni menarik nafas. Katanya kemudian, "Aku tidak memandangnya sebagai seorang raja yang memberikan kebanggaan bagi rakyat Singasari. Tetapi aku memandangnya sebagai seorang manusia biasa. Bukankah kau tahu, bahwa Anusapati itu bukan putra Sri Rajasa."
Emban itu mengangguk kecil.
"Bukankah prasangka itu masuk akal?"
Sekali lagi emban itu mengangguk kecil.
"Dan kau melakukannya?" Mahisa Agni bertanya pula.
Emban itu menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi kemudian dengan nada yang dalam ia berkata, "Aku memang sudah mencoba melakukannya."
"Aku juga sudah menyangka. Sejak semula aku tidak dapat melepaskan diri dari kecurigaan, kenapa justru hanya seorang emban yang diserahi untuk menuntun, mengawasi, memelihara segala-galanya. Hanya kadang-kadang saja ada orang lain yang membantu. Itu-pun khusus untuk kepentingan-kepentingan yang tidak langsung berhubungan dengan Anusapati. Berbeda dengan Tohjaya. Ada dua tiga orang emban yang selalu mengawaninya setiap-saat. Dua orang pengawal khusus dan permainan yang memadai sebagai seorang anak laki-laki."
"Memang tuan. Di sini tampaknya ada juga beberapa orang emban. Tetapi adalah tugasku untuk mengasingkan Anusapati. Dan aku agaknya sudah berhasil. Emban-emban yang lain sama sekali tidak dapat berbuat apapun atas Putera Mahkota. Dan agaknya mereka-pun senang pula karenanya, selain pekerjaan mereka menjadi jauh lebih ringan, mereka justru mendapat pemberian-pemberian khusus. Tugas mereka tidak lebih dari membersihkan bilik ini nanti di sore hari dan pagi hari. Menjediakan makan dan minumnya. Mencuci pakaiannya dan duduk-duduk di halaman ini menjelang senja."
"Ya, aku mengerti."
"Agaknya tuan terlampau banyak memperhatikan karena itulah agaknya tuan sering marah kepadaku."
"Tidak sering, hanya mungkin pernah aku berbuat demikian di luar sadarku."
"Tetapi kini aku tahu, bahwa tuan melakukannya karena tuan memang sudah berprasangka."
"Ya, Lalu apa yang sudah kau lakukan kemudian?"
"Tetapi, akhirnya aku terjerat oleh perasaanku sendiri. Hubungan yang setiap hari antara aku dan Tuanku Anusapati telah menumbuhkan sesuatu yang tidak aku mengerti. Akhirnya aku merasa, bahwa aku telah mencintai anak itu seperti anakku sendiri."
Dada Mahisa Agni menjadi berdebar-debar. Terasa getaran kata-kata emban itu memancar dari dasar hatinya, sehingga tumbuhlah kepercayaan Mahisa Agni kepadanya dengan perlahan-lahan.
Sejenak Mahisa Agni tidak menyahut. Kini ia melihat titik-titik air mata itu lagi. Menetes satu-satu di lantai bilik Anusapati yang seakan-akan terpisah itu.
"Tuan," berkata perempuan itu, "sebagai seorang yang tidak pantas lagi berada di dalam lingkungan pergaulan yang wajar, aku sama sekali tidak menyangka bahwa aku justru akan terlempar ke dalam istana, apalagi sebagai seorang pengasuh Pangeran Pati. Meskipun aku banyak bergaul dengan para bangsawan di masa mudaku, tetapi itu sebagai mimpi yang datang sekilas berganti-gantian." perempuan itu menundukkan kepalanya, "memang kadang-kadang aku menyimpan dendam kepada mereka yang menemukan kebahagiaan hidup. Aku menjadi iri kepada Tuanku Permaisuri Ken Dedes, karena ia hanya berasal dari padepokan yang melonjak ke singgasana seorang Permaisuri. Tetapi aku iri juga kepada Ken Umang, yang kini perlahan-lahan nampaknya akan berhasil merebut keturunan Ken Dedes untuk merajai Tanah ini."
Mahisa Agni mengerutkan keningnya.
"Tuan, aku sendiri tidak mempunyai seorang anak-pun. Aku belum pernah merasa betapa bahagianya seorang perempuan yang mengandung dan kemudian melahirkan seorang anak. Apakah anak laki-laki apakah anak perempuan. Aku tidak tahu, betapa bersihnya hati kanak-anak. Dan aku tidak tahu, betapa jahatnya merusak hari depan anak-anak yang sama sekali tidak menyadari, apakah yang akan terjadi atas dirinya itu. Ternyata setelah aku bergaul dengan Tuanku Pangeran Pati, aku mengerti, bahwa aku sebenarnya telah terjerumus terlampau jauh. " Mahisa Agni tidak dapat menyahut, dan bahkan mengucapkan kata-kata apapun, selain mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Ken Umang yang mempunyai anak-anaknya itu seharusnya lebih merasakan kasih terhadap anak-anak. Tetapi mata hatinya telah dilapisi oleh pamrih, sehingga ia sampai hati mengorbankan hari depan Anusapati untuk kepentingannya sendiri dan keturunannya."
Terasa dada Mahisa Agni bergejolak. Dengan susah pajah ia mencoba menguasai perasaannya. Tanpa menyadari keadaan Anusapati, ia pasti sudah mengambil suatu keputusan. Tetapi untunglah bahwa ia masih dapat mempergunakan nalarnya. Anusapati harus tumbuh sesuai dengan rencananya. Rencananya yang bertentangan sama sekali dengan rencana Sri Rajasa bersama Ken Umang yang agaknya telah berhasil mempengaruhi Baginda lebih jauh lagi.
"Tuan," berkata emban itu selanjutnya, "aku sudah mengatakan keadaanku sekarang di sini. Terserahlah kepada tuan, apakah tuan percaya kepadaku atau tidak. Sudah lama aku memang tidak lagi dapat dipercaya. Tetapi kini aku mencoba untuk mencari jalan agar aku tidak terlanjur kehilangan sifat-sifat kemanusiaanku. Aku akan mempertahankan sifat-sifat itu yang masih tersisa di dalam diriku." emban itu terdiam sejenak. Lalu, "Tetapi bagaimana dengan Pangeran Pati itu" Kalau kemudian diketahui, bahwa aku sudah berkhianat, maka aku pasti akan mendapat hukuman. Tetapi itu tidak penting, meskipun aku ngeri juga. Yang penting adalah nasib angger Anusapati. Ken Umang pasti akan mencari orang lain untuk menggantikan aku. Dan Sri Baginda akan segera mengambil keputusan, mengganti pengasuh Anusapati dengan orang lain yang jauh lebih baik. Sri Baginda akan dapat saja mengatakan, bahwa selama ini Putera Mahkota itu sama sekali tidak mendapat kemajuan. Dan aku-pun akan segera hilang dari pergaulan."
Mahisa Agni masih mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia berdesis, "Aku tidak tahu emban, apakah aku dapat mempercayai ceriteramu atau tidak. Tetapi aku melihat kejujuran yang memancar dari hatimu. Mudah-mudahan kau berkata sebenarnya." Mahisa Agni berhenti sejenak. Lalu, "Memang benar katamu, bahwa nasib Anusapati lah yang paling penting sekarang."
"Begitulah Tuan."
"Emban," berkata Mahisa Agni kemudian, "besok aku harus sudah pergi. Menurut pendapatku, sementara ini berlakulah seperti biasanya apa yang kau lakukan. Jangan kau rubah sikapmu dan caramu mengasuh Anusapati. Ia harus tetap terpisah dari orang-orang lain yang dapat mempengaruhinya, seperti pesan Ken Umang. Ia harus tetap bermain-main dengan anak-anakan kayu, pasaran dan sebagainya seperti yang selalu dilakukannya. Biarlah ia berkeliaran sendiri di kebun-kebun seperti anak-anak liar tidak terurus, mencari buah-buahan dan bermain-main dengan tanah dan pasir. Kemudian pada saatnya ia mencarimu, mandikanlah dan bawa ia tidur. Barangkali yang dapat kau lakukan, selain seperti kebiasaanmu, berilah anak itu ceritera-ceritera kepahlawanan. Ceritera tentang Sri Baginda raja-raja yang pernah ada. Kau tahu maksudku?"
Emban itu mengangguk-anggukkan kepalamya.
"Nah, kita masih mempunyai waktu yang cukup. Mudah-mudahan aku kembali dari peperangan dengan selamat. Kediri adalah suatu negeri yang besar, yang penuh dengan senapati-senapati yang mumpuni."
"Tetapi tuan adalah seorang yang luar biasa."
"Siapa yang mengatakannya?"
"Tuan berhasil mengalahkan Tuan Witantra."
"Darimana kau tahu?"
"Semua orang mengetahuinya."
"Sudahlah. Jagalah anak itu baik-baik. Mudah-mudahan ia kelak dapat memenuhi tugasnya sebagai seorang raja. Kau masih harus bermain dalam dua peran yang sulit. Tetapi aku percaya bahwa kau akan berhasil. Kau akan tetap mendapat kepercayaan dari Sri Baginda dan Ken Umang. Jangan sampai anak itu jatuh ke tangan orang lain yang akan dapat berbuat jauh lebih jahat dari yang pernah dialaminya."
Emban itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mengerti apa yang dimaksud oleh Mahisa Agni, karena itu maka jawabnya, "Mudah-mudahan aku dapat berbuat seperti yang tuan maksud."
"Aku percaya kepadamu. Anak itu-pun agaknya sudah dapat kau ajak berbicara serba sedikit."
"Ya tuan. Mudah-mudahan."
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Anusapati yang masih tertidur nyenyak. Memang di wajahnya seolah-olah terbayang wajah Tunggul Ametung, sehingga tidak mengherankan apabila Ken Arok yang berusaha melupakan kekuasaan Akuwu Tumapel itu merasa tersinggung setiap kali. "Sudahlah," berkata Mahisa Agni kemudian, "aku masih mempunyai tugas yang harus aku selesaikan hari ini. Kalau aku tidak sempat menemuimu lagi, aku minta diri. Jagalah anak itu baik-baik. Dan aku akan sangat berterima kasih apabila kau menganggapnya seperti anakmu sendiri."
"Ya tuan. Aku akan menjaganya meskipun aku masih harus berpura-pura. Tetapi aku mengharap tuan mengerti perasaanku."
"Aku mengerti," sahut Mahisa Agni, kemudian, "sudahlah, aku minta diri. Aku akan menjumpai ibunya. Tuanku Permaisuri."
"Silahkan tuan. Selama ini aku-pun sudah berhasil memenuhi tugas yang dibebankan kepadaku. Memisahkan anak itu jauh-jauh dari ibunya. Dari adik-adiknya dan emban pemomong Tuanku Permaisuri."
"Begitukah pesan Sri Rajasa?"
"Pesan, ken Umang. Tetapi agaknya Sri Rajasa juga tidak berkeberatan."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Di kepalanya terbayang suatu pemberontakan yang perlahan-lahan dilakukan oleh Ken Umang merebut keturunan untuk menguasai takhta Singasari.
Tetapi bahwa emban itu justru telah tergelincir ke dalam kasih seorang perempuan terhadap anak-anak, adalah menguntungkan sekali. Itu adalah suatu kurnia dari Yang Maha Agung, bahwa Anusapati masih mungkin sekali diselamatkan.
Mahisa Agni-pun kemudian meninggalkan bilik itu. Meskipun ia mempercayai emban itu. tetapi ia sama sekali belum berani mengatakan bahwa Anusapati telah mendapat beberapa macam petunjuk daripadanya, untuk membuat Anusapati menjadi seorang Pangeran Pati yang pantas. Bagaimana-pun juga masih ada selapis kecurigaannya terhadap emban itu. Mungkin sekali bahwa pada suatu saat gemerincingnya emas dan permata akan membuatnya berubah pendirian.
Dari bilik Anusapati. Mahisa Agni masih sempat mengunjungi bilik Ken Dedes. Ia minta diri pula kepada adik angkatnya dan kepada emban pemomongnya, yang tidak lain adalah ibunya itu.
Bagaimana-pun juga, namun emban itu terlampau sulit berusaha menyembunyikan perasaan seorang ibu. Tiba-tiba saja matanya menjadi basah. Tetapi ia tidak berbuat lebih dari seorang emban.
Playboy Dari Nanking 7 Keris Pusaka Dan Kuda Iblis Karya Kho Ping Hoo Tusuk Kondai Pusaka 21
^