Pencarian

Dendam Empu Bharada 9

Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana Bagian 9


kalau kembali kepada Singasari" kata Nararya.
"Apakah andika ini kawula Singasari?" tanya orang itu agak tegang.
"Aku berasal dari desa di kaki gunung Kawi. Dan Kawi itu termasuk telatah Singasari" jawab
Nararya pula. Ia memperhatikan bahwa wajah orang itu tampak mulai cerah.
"Bagus" seru orang itu "jika sejak tadi andika mengatakan demikian tentu tak sampai terjadi
peristiwa perkelahian diantara kita"
Nararya terkejut dalam ha . Namun ia menekan perasaannya "O, apakah ki sanak juga dari
Singasari?" tanyanya dengan mencerahkan wajah.
"Ya" orang itu mengiakan "namaku Seta Arang, lurah prajurit kepatihan"
"Kepatihan mana ?"
"Singasari" kata Seta Arang "aku diutus gusti patih untuk menaruh gong itu ke dalam gua."
Nararya terbeliak kaget. Hampir ia tak percaya akan keterangan orang itu "Ki Seta mengatakan
diutus gusti patih untuk menempatkan gong itu ke dalam gua?" ia menegas.
"Ya" Nararya membelalak "Tetapi mengapa ki Seta mengambilnya pula ?"
Sebenarnya Seta Arang telah dipesan wan 2 oleh atasannya supaya jangan menceritakan
peris wa itu kepada siapapun juga. Dan jangan mudah percaya pada orang. Tetapi demi rasa
menerima kasih atas pertolongan Nararya, kemudian mendengar keterangan pemuda itu dan
memperha kan wajah pemuda itu bersinar terang, tanda bukan seorang jahat, mbullah kesan
yang baik dalam ha nya "Apa salahnya kuberitahu persoalan itu " Dia juga seorang pemuda dari
telatah Singasari yang ingin mendapatkan gong itu untuk diserahkan kepada kerajaan Singasari"
pikirnya. "Agar orang2 yang bertempur itu kacau" kata Seta Arang.
Nararya tegang sekali. Namun ia tetap berusaha sekuatnya untuk menenangkan diri. Dengan
nada ramah ia seolah sambil lalu "O, mengapa hendak mengacau mereka?"
"Mereka adalah kawanan serigala dari Daha yang amat bernafsu sekali mendapatkan gong
pusaka itu" kata Sera Arang "oleh karena itu gus pa h hendak memancing di air keruh. Hendak
mengetahui siapa-siapakah senopati Daha yang terlibat dalam peristiwa hilangnya gong Prada itu"
"O, maksud ki Seta, gong pusaka itu hanya sebagai umpan agar mereka datang ke lembah ini?"
"Benar" kata Seta Arang "dengan demikian kita dapat mengetahui siapa2 mereka itu"
"Ah" Nararya pura2 menghela napas "apakah permainan itu tidak berbahaya?"
"Misalnya?" Seta Arang menegas.
"Misalnya mereka dak bertempur diluar guha, ataupun serang menyerang diantara keempat
orang itu berakhir dimenangkan oleh orang yang terakhir, bukankah gong itu akan diperolehnya?"
Seta Arang tertawa "Bukankah aku dan kawanku itu sudah siap menerkam orang itu apabila dia
berhasil memperoleh gong Prada"
"Ah, benar" seru Nararya.
"Andaikata ki Seta berdua kalah, maaf, ini hanya pengandaian saja, dakkah gong pusaka itu
akan dibawa mereka ?" ba2 Gajah Pagon yang sejak tadi berdiam diri, saat itu ikut menyelutuk
bicara. Seta Arang tertawa "Dalam hal itu, gus pa h sudah mengatur rencana dengan cerdik. Gong itu
sesungguhnya bukan gong Prada ..."
"Hai!" Nararya dan Gajah Pagon berteriak kaget "apa katamu ki Seta?"
"Gus pa h seorang yang cerdik, cermat dan pandai mengatur siasat. Gong itu sebenarnya
benda dari keraton Singasari, bukan gong Prada"
"Lalu dimanakah gong Prada itu?" Nararya mulai tegang "kita wajib merebut dan menyelamatkan
dari tangan orang2 yang tak bertanggung jawab"
Melihat kesungguhan sikap Nararya dalam perjuangannya hendak mendapatkan gong Prada
guna diserahkan kepada kerajaan Singasari, kesangsian Seta Arang makin menipis.
Nararya dan Gajah Pagon terkejut. Diam2 mereka memuji kecerdikan pa h Singasari itu. Nararya
kemudian bertanya lebih lanjut, apa ndakan pa h Singasari setelah mengetahui siapa2 yang
terlibat dalam peristiwa gong pusaka itu.
"Entahlah" Seta Arang mengangkat bahu "aku hanya menerima perintah saja. Semua rencana
diatur dan diputuskan oleh gusti patih"
"Kecuali Suramenggala yang telah dikenal sebagai orang pangeran Ardaraja, lalu siapakah ke ga
orang yang lain itu?" tanya Nararya.
Seta Arang terkedap "Ya. Hampir aku lupa akan tugas itu. Setelah menyembunyikan gong dari
keraton Singasari, aku diperintahkan untuk mengiku jejak mereka yang belum diketahui
sumbernya" "Jika begitu, silahkan ki Seta menjenguk mereka2 yang sedang bertempur itu" kata Nararya.
"Ki sanak" kata Seta Arang "apakah kalian benar2 hendak berjuang untuk kepentingan Singasari'"
Nararya menyatakan dengan tegas bahwa dia dan kawannya memang sedang berusaha untuk
mencari gong pusaka itu untuk dihaturkan ke Singasari.
"Jika demikian, bantulah aku" kata Seta Arang "mari kita ringkus orang2 yang sedang bertempur
itu" Seta Arang, Nararya dan Gajah Pagon segera mencari ke tempat pertempuran. Tetapi mereka tak
mendengar suara apa2. Sunyi senyap diseluruh lembah.
"Aneh" gumam Seta Arang "kemanakah mereka" Apakah pertempuran sudah selesai?"
"Kita periksa ke dalam guha" kata Nararya. Tetapi dalamguha itupun sunyi senyap. Makin
meningkat keheranan mereka "Ah, adakah mungkin mereka....." ba2 Seta Arang bergegas
melangkah keluar. Nararya dan Gajah Pagon tercengang tetapi mereka terpaksa mengikuti. Ternyata Seta
Arang menuju ke gunduk karang tempat ia menanam gong tadi.
"Hai" ba2 Seta Arang menjerit. Ia tegak termangu-mangu memandang sebuah liang dibawah
gunduk batu karang. "Oh" Nararyapun mendesuh kejut ke ka ba di-tempat itu "apakah ki Seta menanamnya dalam
liang itu?" tanyanya kemudian.
"Ya" masih gemetar nada suara Seta Arang "liang itu telah dibongkar orang" ia maju
menghampiri untuk memeriksa lebih jauh.
Nararya danGajah Pagonpun ikut menghampiri
"Bagaimana, ki Seta?" tegur Nararya.
"Gong itu telah hilang diambil orang" kata Seta Arang "jelas kutanam disini dan jelas pula telah
dibongkar orang" "Siapa ?" tanya Gajah Pagon "apakah salah seorang dari keempat orang yang bertempur itu?"
"Mungkin" jawab Seta Arang.
"Tetapi kemungkinan itu pis" sambut Nararya "jika salah seorang dari mereka, berar
pertempuran itu telah selesai dan dimenangkan oleh salah seorang. Mungkin Suramenggala,
mungkin orang yang mukanya berselubung kain hitam, mungkin orang yang berkumis dan mungkin
yang seorang itu lagi. Dan se ap pertempuran selesai, tentu akan meninggalkan korban. Entah
dalam keadaan terluka atau mungkin ma . Tetapi jelas penyelidikan kita tadi tak berhasil
menemukan mereka. Mereka lenyap seperti ditelan bumi"
"Ya, benar" kata Seta Arang "lalu siapakah yang melakukan pembongkaran itu ?"
"Ada suatu kemungkinan yang besar kemungkinannya" kata Nararya pula "yalah mereka
menyadari kalau pertarungan itu tak berguna. Mereka damai lalu sama2 kembali ke guha. Karena
tak menemukan gong pusaka mereka lalu menyelidiki sekitar tempat ini dan dapat melihat kita
bertempur ...." "Senjata makan tuan" teriak Seta Arang serentak "aku dan kawanku mengambil gong itu ke ka
mereka sedang bertempur. Kini mereka mengambil gong itu lagi pada saat kita sedang bertempur
ah ....." "Jangan terburu menarik kesimpulan dulu, ki Seta" seru Gajah Pagon "apa yang dikatakan
kawanku itu baru suatu dugaan. Dan apakah benar demikian masih perlu kita uji. Misalnya, jika
mereka berempat benar telah membongkar liang itu, mengapa sama sekali kita tak mendengar
suara apa2?" "Karena perhatian kita sedang tercurah pada pertempuran tadi" sahut Seta Arang.
"Yang bertempur hanya kita ber ga tetapi kawanku itu dak. Tentu dia dapat menangkap suara
langkah kaki orang. Apalagi gerakan senjata membongkar tanah tentu menimbulkan suara cukup
keras" "Engkau benar, kawanku" seru Nararya "apabila kemungkinan itu lemah maka ada lain
kemungkinan yang lebih mungkin daripada hadirnya seseorang yang tak kita ketahui. Orang itulah
yang dapat memanfaatkan keadaan yang paling menguntungkan. Ha, ha, ha"
Seta Arang dan Gajah Pagon heran melihat Nararya tertawa geli
"Mengapa engkau tertawa ki Nararya?" tegur Seta Arang.
"Aku geli ki Seta" sahut Nararya "dulu ke ka mendengar peris wa semacam ini, akupun tertawa
karena tak percaya. Kuanggap orang yang bercerita itu hanya bergurau. Tetapi kini ternyata
memang ada. Maka akupun tertawa. Bukan tawa tak percaya tetapi tawa percaya"
"Soal apakah itu ?" desak Seta Arang.
"Pencuri kecurian" seru Nararya "inilah yang diceritakan orang itu dan yang kita alami saat ini"
Mendengar itu Seta Arang dan Gajah Pagon ikut tertawa. Beberapa saat kemudian, Nararya
berkata "Dikata mencuri, sebenarnya kurang tepat. Karena ki Seta hendak mengambil benda yang
ditaruh dalam guha itu. Pencuri sesungguhnya adalah orang itu. Dan dia tentu seorang yang
berilmu, cerdik pula"
Seta Arang menghela napas "Ah, gus pa h tentu akan marah kepadaku. Aku telah
menghilangkan kepercayaan gusti patih ..."
"Ah, gus pa h tentu cukup bijaksana untuk menimbang peris wa ini. Bukan salahmu, ki Seta.
Engkau telah melakukan tugasmu dengan baik. Hanya ... "
"O, engkau tak tahu siapa gus pa h itu" tukas Seta Arang "dia pas marah karena aku sampai
menghilangkan gong dari istana Singasari"
"Ki Seta" kata Nararya "siapakah gusti patih yang menitahkan engkau itu?"
"Eh, apakah engkau belum tahu siapa patih kerajaan Singasari?"
Nararya tertegun sejenak "Maaf, ki Seta, aku berasal dari desa dilereng gunung Kawi dan baru
pertama kali ini lelana-brata. Ke ka masih di desa, ayahku dan beberapa orangtua disitu
mengatakan bahwa patih kerajaan Singasari itu adalah mentri sepuh empu Raganata"
"O" Seta Arang tertawa "engkau benar2 ke nggalan jeman. Engkau masih bermimpi di siang
hari." Sebenarnya Nararya sudah mengetahui siapa patih itu namun ia harus bersikap tak tahu.
"Pa h kerajaan Singasari yang sekarang ini adalah gus pa h Kebo Anengah dan gus pa h
Aragani" "O, Singasari mempunyai dua orang patih ?" Nararya mencetuskan keheranan.
Seta Arang tertawa pula "Jangan engkau heran, ki Nararya. Kerajaan Singasari sebuah kerajaan
yang besar dan luas. Dan baginda Kertanagara mengandung cita2 yang besar pula untuk
mempersatukan nuswantara. Dan untuk melaksanakan itu dibutuhkan suatu pemerintahan yang
kuat, baik dalam lingkungan ketata- prajaan maupun ketentaraan sebagai tulang punggung. Itulah
sebabnya baginda perlumengangkat dua orang pa h. Gus pa h Kebo Anengah sebagai pa h-luar,
mengurus pasukan dan daerah2 seberang. Gus pa h Aragani sebagai pa h-dalam yang mengurus
soal2 pemerintahan" "Lalu siapakah yang menitahkan andika ?" akhirnya tiba pula Nararya pada pertanyaan itu.
Tanpa bersangsi lagi Seta Arang mengatakan "Aku orang bawahan gusti patih Aragani"
"O" seru Nararya agak terkejut dalam ha . Kini barulah ia tahu bahwa peris wa hilangnya gong
Prada itu telah sampai juga di Singasari "tetapi ki Seta, apakah ndakan gus pa h mengutus
andika ini, atas kebijaksanaan gusti patih sendiri ataukah atas titah baginda?"
Seta Arang merenung sejenak lalu menjawab "Aku tak tahu dengan pas . Tetapi kemungkinan
atas kebijaksanaan gus pa h Aragani sendiri. Mungkin gus pa h Aragani belum memandang
perlu untuk menghaturkan laporan kehadapan baginda. Mungkin karena gus pa h menganggap
dapat mengatasi persoalan itu sendiri"
"Adakah ki Seta mempunyai alasan untuk penilaian itu?"
"Bagaimana maksudmu ?" Seta Arang balas bertanya.
"Bahwa ndakan yang andika lakukan ini hanya dari kebijaksanaan gus pa h Aragani dan
bukan dari titah baginda" Nararya menjelaskan.
"Apabila sudah diketahui baginda, tentulah baginda akan mengeluarkan tah untuk melakukan
pencarian gong itu secara besar-besaran. Misalnya, dengan mengerahkan pasukan kerajaan.
Nyatanya, tugas yang kulakukan ini, bersifat rahasia"
"O," Nararya mengangguk "mengapa gus pa h tak menghendaki peris wa itu diketahui baginda
sehingga baginda dapat menurunkan tah mencari gong itu secara giat " Bukankah ndakan
begitu, akan lebih memudahkan dan mempercepat diketemukannya gong pusaka itu?"
"Mungkin gus pa h tak menghendaki penghamburan tenaga dari pasukan Singasari dan lebih
baik pencarian itu dilakukan secara diam2. Menghemat tenaga tetapi hasilnya lebih banyak"
"Menghamburkan tenaga pasukan Singasari" Bukankah dengan kekuatan sebuah pasukan,
pencuri itu tentu ketakutan dan akan menyerahkan gong pusaka?"
Seta Arang tertawa. "Engkau terlalu polos anakmuda" katanya " dakkah engkau dapat menduga apa sebab gus
patih memerintahkan aku melakukan rencana ini?"
Nararya gelengkan kepala sebagai pertanda tak tahu.
"Adalah karena gus pa h Aragani belum mengetahui dimanakah beradanya gong pusaka itu
dan siapakah pencurinya"
"O" desuh Nararya "benar, benar. Apabila sudah tahu tentulah gus pa h segera menggerakkan
pasukan untuk mendapatkannya, bukan?"
Seta Arang mengangguk-angguk tertawa.
"Tetapi masih ada sebuah pertanyaan lagi, ki Seta. Adakah ki Seta merasa jemu atas
kebodohanku ini?" Watak manusia memang senang dianggap lebih pandai dan lebih tahu dari orang lain, terutama
lawan cakapnya. Seta Arangpun terbuai dalam perasaan itu. "Sudah tentu aku tak jemu, ki Nararya.
Ajukanlah pertanyaanmu"
"Bagaimana peris wa hilangnya gong Prada itu sampai terdengar gus pa h Aragani?" tanya
Nararya. "Ya, pertanyaan itu memang tepat juga" kata Seta Arang "sebenarnya aku harus mencurigai
engkau, anakmuda" "Aku" Mengapa ki Seta?" Nararya agak terkejut.
"Karena pertanyaanmu itu bersifat suatu penyelidikan yang layak dilakukan oleh seorang mata-
mata." Nararya terkejut tetapi cepat ia menghapusnya dengan tertawa "Ah, andika berolok, ki Seta.
Bagaimana orang seperti diriku, sesuai menjadi mata-mata" Tahu keadaan diluar pun baru
pertama kali ini." Seta Arang tertawa. "Karena itulah maka kuhapus kecurigaanku. Karena kuanggap engkau seorang kawula Singasari
yang hendak berusaha untuk mencari gong pusaka itu, maka akupun bersedia juga untuk
menceritakan sesuatu,tentang yang engkau tanyakan itu."
"Terima kasih, ki Seta" buru2 Nararya berkata "namun apabila tuan terikat oleh wajib dalam
tugas tuan, tak perlulah ki Seta menjawab pertanyaanku itu. Itu tak penting hanya sekedar
menambah pengetahuan saja. Tidak sangat penting"
"Seta Arang tak suka berbuat kepalang tanggung. Sudah terlanjur menaruh kepercayaan
kepadamu, mengapa aku tak mau percaya penuh?" Seta Arang tertawa.
"Terima kasih, ki Seta"
"Mula bukanya begini" Seta Arang mulai bercerita "pada suatu hari seorang pemuda tak dikenal
telah masuk ke halaman Balai Witana tempat para prajurit Singasari berkumpul. Pemuda itu
hendak mencari bekel Kalingga. Kebetulan yang berhadapan dengan pemuda itu juga bernama
bekel Lingga tetapi bukan Kalingga ...."
"O" Nararya berdebar.
"Karena nama hampir sama, maka pemuda itupun salah dengar dan menyerahkan sepucuk surat
dari pangeran Ardaraja?"
"O" Nararya makin berdebar-debar. Ia berusaha sekuat tenaga untuk menenangkan ha nya
"surat dari pangeran Ardaraja?"
"Ya" jawab Seta Arang.
"Kepada siapakah surat pangeran Ardaraja itu ?"
"Pemuda itu tak mengatakan apa2 hanya dipesan pangeran Ardaraja supaya menyerahkan surat
itu kepada bekel Kalingga"
"Siapakah pemuda itu" Apakah bekel Lingga masih mengenalnya?" tanya Nararya pula.
"Bekel Lingga tidak mengenal dan tidak mengingatnya lagi" kata Seta Arang.
Diam2 Nararya menghela napas longgar. Ia tahu siapa pemuda yang dimaksudkan itu karena
pemuda itu bukan lain adalah dirinya sendiri. Tetapi kelonggaran perasaannya itu segera disusul
dengan rasa keluh dan sesal. Kini jelas bahwa ia telah salah menerimakan surat dari pangeran
Ardaraja itu kepada bekel yang tak berhak menerima.
"Setan bekel itu" gumamnya dalam ha . Tetapi secepat itu pula ia menghen kan kegeramannya
kepada bekel "yang salah adalah aku sendiri mengapa tak cermat menerimakan surat kepada
orang" Nararya selalu memelihara jiwa besar dari seorang ksatrya. Se ap kesalahan, se ap kekhilafan
yang dilakukannya, tak mau ia mencari-cari kambing hitam kepada lain orang. Tak mau ia
menciptakan dalih alasan untuk membela diri. Selalu ia mengakui kesalahan itu adalah
kesalahannya sendiri. Ia menganggap, kesalahan itu bukan suatu hal yang memalukan, tetapi suatu
cermin pelajaran yang baik, untuk memperbaiki langkah2 perbuatannya lebih lanjut. Dan berani
mengakui kesalahan itu, adalah sifat seorang ksatrya yang jujur perwira.
Manusia tak lepas dari kesalahan, betapapun sempurnanya. Bahkan dewapun ada kalanya
tak terhindar dari kesalahan. Manusia yang tak mau mengakui kesalahan apabila dia salah,
termasuk bukan manusia yang wajar. Juga bukan golongan dewa. Melainkan manusia yang
berjiwa setan kerdil. Atau setan kerdil yang bertubuh manusia.
"Lalu lepada siapakah surat itu bekel Lingga menyerahkannya" Atau adakah ia
menyimpannya sendiri?" Nararya mengajukan pertanyaan lagi. ;
"Kala menerima surat yang menurut pemuda itu dari pangeran Ardaraja, bekel Lingga gelisah
sekali. Ia tak merasa mempunyai hubungan apa2 dengan pangeran dari Daha itu. Akhirnya setelah
berunding dengan kawannya, bekel Lingga menyerahkan surat itu kepada gusti patih Aragani"
"O" desuh Nararya "itukah sebabnya maka gus pa h mengetahui tentang hilangnya gong Prada
?" Tiba2 Seta Arang kerutkan dahi "Eh, anakmuda, mengapa engkau cepat dapat menduga bahwa
surat dari pangeran Ardaraja itu berisi berita tentang hilangnya gong Prada ?"
Nararya terkejut. Ia menyadari kalau terlalu maju bertanya daripada apa yang harus diketahui.
Memang hal itu dapat menimbulkan kecurigaan orang "Ah, aku hanya menduga saja. Hal itu
kuhubungkan dengan tindakan gusti patih mengutus engkau, ki Seta"
Rupanya alasan itu-dapat diterima Seta Arang. Berkata orang kepercayaan pa h Aragani itu
"Engkau menduga tepat, anakmuda. Setelah menerima surat dari pangeran Ardaraja itu, gus pa h
terkejut. Pertama, baru diketahuinya bahwa gong Prada yang tersimpan di Candi Lodoyo telah


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hilang. Kedua, gus pa h mengetahui bahwa pangeran Ardaraja ternyata mempunyai orang di
pemerintahan Singasari. Untuk pengungkapan yang pertama, gus pa h telah mengatur rencana
dan memerintahkan aku menyebarkan berita di kalangan senopa dan mentri Daha tentang
diketahuinya tempat penyimpanan gong Prada yang hilang itu. Dengan meneli siapa2 yang datang
ke gua ini dapatlah kita ketahui siapa2 yang terlibat dalam peristiwa hilangnya gong pusaka itu"
"O, gusti patih Aragani sungguh cerdik sekali" puji Nararya.
"Dan untuk hal yang kedua, gus pa h pun berusaha untuk mengungkap, siapakah orang
kepercayaan yang ditanam pangeran Ardaraja dalam tubuh pemerintahan Singasari itu"
"O" berulang kali Nararya hanya mendesuh saja karena mendengar kejutan2 dalam penuturan
Seta Arang itu "berhasilkah gusti patih mengetahui orang itu ?"
Seta Arang gelengkan kepala "Entah, aku tak tahu. Gus pa h tak memberitahukan hal itu
kepadaku. Dan memang menjadi garis pedoman kerja gus pa h bahwa se ap orang yang
dipercayakan untuk melaksanakan suatu rencananya, hanya terbatas pada apa yang harus
dilakukan dan apa yang dilakukan itu. Lain2 hal, gusti patih tak pernah akan memberi tahu"
"Sungguh cermat sekali cara kerja gusti patih Aragani itu" kembali Nararya memuji.
"Menghadapi seorang atasan seper gus pa h Aragani itu, dakkah aku layak mengeluh karena
telah menghilang gong dari keraton Singasari itu?"
Nararya mengangguk tanpa menyatakan apa2.
"Lalu bagaimanakah tindakan ki Seta sekarang?" tanya Nararya sesaat kemudian.
Seta Arang menghela napas "Itulah justeru yang menjadi pikiranku."
Tiba2 Gajah Pagon menyelutuk "Tiada jalan lain bagi ki Seta kecuali harus kembali ke Singasari"
"Mengapa?" Seta Arang terkesiap.
"Karena bukankah kawan ki Seta yang tadi telah lolos" Dia tentu kembali ke Singasari menghadap
gusti patih Aragani"
"Ya, benar ki Seta" Nararya ikut berkata "tetapi kurasa hal itu akan meringankan beban ki Seta.
Dengan kesaksian kawan ki Seta itu, gus pa h tentu percaya bahwa hilangnya gong dari istana
Singasari itu diluar dari dugaan dan penjagaan ki Seta. Tetapi ki Seta" ba2 Nararya bertanya
"siapakah kawan ki Seta yang lolos tadi ?"
"O, dialah bekel Lingga itu"
"Bekel Lingga yang menerima surat dari pemuda itu?" ulang Nararya terkejut.
Seta Arang mengangguk "Mengapa tampaknya engkau terkejut, anakmuda?"
Ah, diam2 Nararya mengeluh pula. Sudah dua kali ini Nararya kurang ha 2, terlalu diburu nafsu
sehingga menimbulkan kecurigaan Seta Arang. Diam2 ia menyesali dirinya mengapa kurang tenang.
"Ah, aku dirangsang rasa heran, ki Seta" kata Nararya "mengapa bekel Lingga juga diutus gus
patih melakukan rencana ini"
"Mengapa heran?"
"Bukankah menurut keterangan andika tadi, bekel Lingga itu lurah prajurit bhayangkara-luar.
Tidakkah bekel itu harus bertugas menjaga keamanan keraton?"
Kembali Nararya dapat mencari dalih yang baik sehingga hapus pula kecurigaan Seta Arang.
Lurah bawahan pa h Aragani itu tertawa "Engkau harus tahu akan pengaruh gus pa h Aragani.
Dari bhayangkara sampaikepada para mentri dan senopa . Dari pimpinan yang bertanggung jawab
akan keselamatan keraton sampai pada dayang2, gusti patih mempunyai orang kepercayaan"
"Jika demikian tentulah bekel Lingga itu orang dari gusti patih juga"
"Ya" kata Seta Arang dengan nada membangga "waktu ini siapakah yang berani tak tunduk pada
perintah gusti patih Aragani"
"Bukankah masih ada seorang gus lain yani gus pa h Kebo Anengah" Apakah kekuasaan gus
patih Kebo Anengah itu kalah dengan gusti patih Aragani" tanya Nararya pula.
"Diluar, gusti patih Kebo Anengah lebih berpengaruh terutama di kalangan prajurit kerajaan.
Tetapi di dalam pemerintahan dan keraton, gusti patih Aragani lah yang lebih berkuasa. Dan
jangan lupa. Bahwa orang yang paling berkuasa di Singasari itu adalah baginda Kertanagara.
Pada hal gusti patih Aragani erat sekali hubungannya dengan baginda. Sedang gusti patih Kebo
Anengah sering ke luar daerah."
"O" desuh Nararya diam2 mencatat dalam hati.
"Sekarang aku akan kembali ke Singasari. Memang apa yang dikatakan ki Pagon itu benar.
Mau tak mau aku harus menghadap gusti patih Aragani karena hal itu tentu sudah dilaporkan
oleh bekel Lingga" kata Seta Arang lalu menanyakan kemanakah Nararya dan Gajah Pagon
hendak menuju "apabila kalian suka, akan kubawa kalian menghadap gusti patih Aragani.
Kupercaya gusti patih tentu senang sekali menerima bantuan tenaga kalian"
"O, terima kasih, ki Seta" sahut Nararya "pertama, aku masih belum menyelesaikan lelana-brata
sebagaimana di tahkan oleh ayahku. Kedua, gong pusaka empu Bharada itu belum diketemukan.
Biarlah kita tetap begini. Ki Seta bergerak mencari sebagai rombongan prajurit Singasari dan aku
akan berusaha sebagai rakyat biasa. Rasanya gerak-gerikku tentu lebih leluasa karena tak mudah
menimbulkan kecurigaan orang. Terutama pencuri gong pusaka itu"
"Hm, ya benar" kata Seta Arang "memang sukar agaknya apabila pencarian gong itu dilakukan
secara resmi. Karena pencurinya seorang yang cerdik dan licin. Hanya dengan melakukan
penyelidikan secara berselubung, tentu akan lebih memberi hasil"
Demikian Seta Arang segera berpisah. Dia pulang ke Singasari. Sementara Nararya pun masih
termenung di lembah itu. "Aneh, memang aneh sekali kakang Pagon" ia menghela napas "kemanakah keempat orang yang
bertempur tadi" Dan siapakah yang mengambil gong yang disembunyikan Seta Arang itu?"
"Raden, apabila pandanganku tak salah, agaknya raden terkejut dan tegang ke ka Seta Arang
menceritakan tentang seorang pemuda yang menyerahkan surat dari pangeran Ardaraja kepada
bekel Lingga. Apakah sebabnya, raden?"
"Tajam sekali pengamatanmu, kakang Pagon" Nararya memuji "ya, memang dalam bagian
itu, aku belum menuturkan kepadamu" ia lantas menceritakan pengalamannya membawa titipan
surat dari pangeran Ardaraja untuk diterimakan pada bekel bhayangkara keraton Singosari
yang bernama Kalingga. Karena antara Kalingga dan Lingga itu hampir sama, maka tanpa
disadari ia telah menyerahkan pada bekel Lingga. Dan salah alamat itu telah menimbulkan
peristiwa yang terjadi di guha situ.
Gajah Pagon tertawa "Raden tak perlu harus menyesalkan diri karena kekhilafan itu. Karena
surat itulah maka patih Aragani bertindak. Dan karena patih Aragani bertindak, maka dapatlah
kita ketahui bahwa gong pusaka itu kini merupakan suatu benda yang diselubungi rahasia. Di
manakah gong pusaka itu, tiada orang yang tahu. Tidak pangeran Ardaraja, tidak patih Aragani.
Juga tidak fihak yang telah mengutus beberapa pengalasan tadi"
Nararya mengangguk "Menurut hematku, rupanya ada lagi suatu fihak yang menceburkan diri
dalam air keruh yang membenam gong Prada. Adakah dia.." Gajah Pagon heran karena Nararya
ba2 menghen kan kata-katanya dan merenung. Karena sampai beberapa saat belum juga Nararya
melanjutkan kata2 aya Gajah Pagon segera bertanya "Siapakah gerangan yang raden maksudkan itu
?" Nararyapun lalu menceritakan tentang Lembu Peteng yang saat itu sengaja menyusup ke dalam
gerombolan gunung Butak yang dipimpin oleh Pasirian.
"O, raden maksudkan Pasirian itukah?"
"Sekurang-kurangnya dia patut diduga begitu" kata Nararya "sayang kita tak dapat mengiku
jejak keempat orang yang bertempur tadi"
"Selain pemimpin gerombolan gunung Butak yang bernama Pasirian itu, apakah masih terdapat
lain2 fihak atau orang yang patut diduga?"
"Ada" "Siapa ?" "Bekel dari Daha yang bernama Sindung. Dialah yang memerintahkan anakbuahnya untuk
mengambil gong pusaka itu. Kemudian ia mengatur rencana agar anakbuah yang mengambil gong
itu saling bunuh membunuh sendiri. Dengan demikian rahasia pencurian gong pusaka itu dapat
terjamin tiada diketahui orang"
"Jika demikian" kata Gajah Pagon "langkah penyelidikan kita baiklah ditujukan kepada kedua
tempat itu" Nararya mengangguk. Kemudian keduanya segera nggalkan lembah, pulang ke gua
Selamangleng. Ternyata kehadiran Nararya dan Gajah Pagon di lembah itu karena mendapat laporan dari bekel
Saloka. Bahwa ke ka ia menjadi tenaga upahan sebagai pelayan dalam perjamuan di gedung
kediaman tumenggung Sagara Winotan, ia dapat mengumpulkan beberapa berita penting.
Seper sengaja disiarkan orang, maka dalam perjamuan itu ramai juga dibicarakan tentang
kabar2 yang menyatakan bahwa gong pusaka telah disimpan di sebuah gua rahasia di gunung
Polaman. "Bekel Saloka berusaha menyelidiki sumber dari yang menyiarkan berita2 itu tetapi tak berhasil
menemukannya. Berita itu cukup santer dan ramai menjadi buah pembicaraan tetapi tak diketahui
darimana sumber pembicaraan itu. Dan orang2 yang membicarakan gong pusaka itu, lebih banyak
terpikat beritanya mengenai tempat gong pusaka itu daripada mencari tahu sumber
pemberitaannya. Hanya sepanjang pengamatan bekel Saloka selama perjamuan peralatan nikah itu berlangsung,
ia mendengar juga tentang hadirnya utusan dari baginda Kertanagara dan seorang pengalasan yang
mewakili patih Aragani. "Jika demikian apakah dak mungkin pengalasan pa h Aragani itu yang sengaja membocorkan
berita tersebut. Hal itu disesuaikan dengan keterangan Seta Arang yang mengatakan bahwa pa h
Aragani memang mengatur siasat untuk memperangkap siapa2 yang terlibat dalam peris wa gong
pusaka itu" kata Nararya.
Baik bekel Saloka maupun Gajah Pagon menyetujui dugaan itu.
Sementara Nararya dan orang2 Lodoyo tengah memperbincangkan peris wa2 aneh yang terjadi
disekitar hilangnya gong pusaka Empu Bharada, beberapa hari yang lalu, tepatnya keesokan hari
setelah bekel Kalingga dibunuh pa h Aragani, maka di kalangan keraton Singasari pun mbul
kegelisahan. Tetapi kegelisahan itu hanya dialami oleh seorang bhayangkara yang berpangkat
bekel, yakni bekel Mahesa Rangkah.
Dialah yang memberi cupu atau kotak kecil berisi ular weling kepada bekel Kalingga yang
dipanggil menghadap pa h Aragani. Keesokan harinya ke ka ia mencari bekel Kalingga untuk
bertanya tentang hasil pembicaraannya dengan pa h Aragani, ternyata bekel Kalingga telah
lenyap. Lenyapnya seorang lurah prajurit bhayangkara tentu akan menimbulkan kehebohan besar, paling
dak tentu akan menimbulkan pembicaraan ramai. Tetapi kenyataan dak demikian. Seolah
lenyapnya bekel Kalingga itu hanya seper tumbangnya pohon kedalam laut, hilang lenyap kedasar
air. Dan tahu2 pula pimpinan prajurit bhayangkara dalam telah digan oleh bekel Denta.
Pengangkatan itu dilakukan begitu saja oleh patih Aragani.
Bekel Rangkah heran dan terkejut. Heran mengapa bekel Kalingga lenyap, terkejut karena
ndakan pa h Aragani. Prajurit2 bhayangkara merupakan kelompok prajurit yang bertanggung
jawab atas keselamatan baginda dan seisi keraton. Mereka merupakan prajurit pilih tanding yang
telah melalui penyaringan keras. Baik tentang kedigdayaan, keberanian dan kesetyaan terutama.
Tidak mudah diangkat sebagai prajurit bhayangkara, lebih2 sebagai bekel bhayangkara. Harus
melalui ujian pengabdian yang nyata.Itulah sebabnya bekel bhayangkara Mahesa Rangkah heran
mengapa hilangnya bekel Kalingga sesepi angin lalu saja.
"Hai, Rangkah, mengapa engkau termenung-menung disitu. Adakah tugasmu sudah selesai ?"
tiba2 Mahesa Rangkah dikejutkan oleh sebuah suara yang menegurnya. Cepat ia berpaling.
"Ah, kakang menggung" Mahesa Rangkah bersenyum longgar ke ka melihat bahwa yang
menegurnya itu tumenggung Bandupoyo, bhayangkara-pendamping dari seri baginda Kertanagara
"habis turun dari penjagaan di keputren, kakang menggung"
Tumenggung yang bertubuh gagah perkasa dan menjabat sebagai pengawal peribadi baginda
Kertanagara berkata pula "Agaknya ada sesuatu yang engkau pikirkan Rangkah?"
Antara bekel Mahesa Rangkah yang mengepalai penjagaan di keputren dengan tumenggung
Bandupoyo yang menjadi pengawal peribadi baginda, bersahabat baik. Bandupoyo lebih lama
sehingga pangkatnya pun lebih nggi. Adalah berkat bantuan dari Bandupoyo maka Mahesa
Rangkah diangkat sebagai bekel bhayangkara keputren. Keduanya saling menghargai kepandaian
dan kedigdayaan masing2. Mahesa Rangkah menghela napas.
"Eh, mengapa engkau ini, Rangkah?"
Mahesa Rangkah tak lekas menjawab melainkan memandang tumenggung itu dengan penuh ar
"Ada sesuatu yang mengabut dalam pikiranku, kakang menggung"
Bandupoyo kerutkan dahi kemudian tertawa "O, ya, kutahu. Memang banyak nian yang harus
dipikirkan oleh priya bujangan seper engkau ini, Rangkah. Adakah engkau memikirkan seseorang
wanita yang berkenan dalam ha mu" Engkau gagah, muda, cakap dan berpangkat. Siapa yang akan
menolak pinanganmu " Tak baik, Rangkah, untuk memanjakan diri dalam melamun itu. Katakanlah,
siapa juwita yang telah mengait hatimu itu, aku bersedia meminangkan untukmu"."
Mahesa Rangkah geleng2 kepala.
"Bukan, kakang menggung. Bukan soal itu yang kupikirkan. Soal itu, kuserahkan saja kepada
jodoh yang akan ditentukan dewata"
"O, lalu apakah yang menjadi pemikiranmu itu ?" Menatapkan pandangke wajah tumenggung
Bandupoyo,bertanyalah Mahesa Rangkah "Adakah kakangmenggung tak mengetahui suatu
peristiwa yang aneh?"
"Peristiwa apa?" Bandupoyo gelengkan kepala "cobalah engkau katakan"
"Bahwa ki bekel Kalingga telah lenyap"....
"Hah " Bekel Kalingga lenyap?" Tumenggung Bandupoyo terbeliak.
-oo~dwkz^ismoyo^mch~oo- Jilid 8 Persembahan : Dewi KZ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ & http://dewi-kz.info/
Dengan Ismoyo Gagakseta 2 http://cersilindonesia.wordpress.com/
Editor : MCH I Lenyapnya seorang prajurit bhayangkara keraton, lebih pula yang berpangkat bekel seper bekel
Kalingga, tentu cepat menarik perhatian para bhayangkara yang lain, terutama anakbuah bekel itu.
"Bagaimana engkau tahu bekel Kalingga telah lenyap," tanya tumenggung Bandupoyo kepada
bekel Mahesa Rangkah yang menuturkan peristiwa itu.
"Beberapa prajurit bhayangkara yang menjadi anakbuah bekel Kalingga bingung mencarinya.
Mereka ada yang datang bertanya kepadaku."
"O, tahukah engkau "."
Bekel Mahesa Rangkah tak lekas menyahut.
"Rangkah, tahukah engkau tentang diri bekel Kalingga yang lenyap itu ?" tumenggung Bandupoyo
mengulang pertanyaannya. Mahesa Rangkah tak menjawab melainkan mengeliarkan pandang ke sekeliling. Sikapnya penuh
kewas-wasan. "Eh, mengapa engkau Rangkah" Mengapa pagi ini sikapmu agak berbeda dengan adat kebiasaan
?" tegur tumenggung Bandupoyo.
"Kakang menggung" akhirnya berkatalah Mahesa Rangkah dengan suara pelahan "harap kakang
jangan keras2 berbicara."
"Rahasia?" tumenggung itu makin heran.
"Lebih baik jangan sampai terdengar orang" bekel Rangkah tak langsung menjawab "akan
kuceritakan apa yang kuketahui."
Tumenggung Bandupoyo mengangguk.
"Aku mengatakan tak tahu menahu tentang diri bekel Kalingga kepada anakbuahnya itu. Dan
atas pertanyaanku, anakbuah itu mengatakan bahwa pimpinan pasukan bhayangkara-dalam telah
diganti dengan bekel Denta."
"Siapa yang mengangkat ?" tanya Bandupoyo.
"Gusti patih Aragani, kakang menggung."
"Gusti patih Aragani ?" tumenggung Bandupoyo menegas kejut "aneh benar."
"Bagaimana kakang menggung "."
"Pasukan bhayangkara termasuk dalam lingkungan pasukan Singasari. Kekuasaannya dibawah
patih Kebo Anengah. Apakah patih Kebo Anengah tak tahu soal pergantian itu "."
"Mungkin dak" kata bekel Mahesa Rangkah, "karena saat ini gus pa h Kebo Anengah sedang
mengemban titah baginda ke daerah brang-wetan."
Tumenggung Bandupoyo mendesuh.
"Mungkin, karena gus pa h Aragani menganggap hal itu pen ng harus segera digan maka
tanpa menunggu gus pa h Kebo Anengah lagi, gus pa h Aragani segera mengangkat
penggantinya yang baru" kata bekel Mahesa Rangkah.
"Hm" desuh tumenggung Bandupoyo pula "prajurit bhayangkara merupakan pasukan yang
penting karena mereka bertanggung jawab atas keamanan dan keselamatan keraton."
"Justeru atas dasar kepen ngan itulah mungkin yang mendorong gus pa h Aragani mengambil
langkah itu." "Ya" kata tumenggung Bandupoyo "tetapi adakah suatu keperluan yang sangat perlu untuk harus
segera mengangkat seorang bekel penggan pimpinan bhayangkara-dalam itu, dirnana yang
berwewenang sedang tiada di pura kerajaan "."
"Adakah ndakan gus pa h Aragani itu tak dapat dibenarkan, kakang menggung ?" Mahesa
Rangkah memancing-mancing keterangan.
"Engkau seorang bekel prajurit bhayangkara, Rangkah. Seharusnya engkau tahu bagaimana tata-
tertib dalam keprajuritan itu sehingga dapat menjawab sendiri pertanyaanmu."
Mahesa Rangkah tertawa "Rangkah hanya seorang bekel prajurit, wajib tunduk pada atasan dan
peraturan. Beda halnya dengan gusti patih Aragani, kakang menggung."
"Apa bedanya, Rangkah" sambut Bandupoyo yang tanpa disadari telah terpancing kedalam
lingkup pembicaraan Mahesa Rangkah.
"Sudah tentu berbeda, kakang menggung" kata Mahesa Rangkah "bukankah gus pa h Aragani
itu orang kepercayaan baginda "."
"Peraturan dibuat dan berlaku untuk semua orang, tanpa membedakan nggi rendah pangkat,
harta dan keturunan. Jangan engkau mencemarkan dengan hal2 yang bersifat diluar dari
ketentuan2 peraturan itu."
Mahesa Rangkah tersenyum.
"Sebagai pengawal pendamping baginda, tentulah kakang menggung dapat mengetahui sampai
betapa jauh hubungan antara baginda dengan gus pa h Aragani itu. Bagaimana nasib gus pa h
sepuh Raganata, gus demung Wirakre dan gus mentri Wiraraja. Tidakkah mereka menjadi
an tangga bagi menjulangnya gusti patih Aragani ke puncak kekuasaan di kerajaan Singasari "."
"Rangkah" seru tumenggung Bandupoyo "memang kutahu hal itu semuanya. Tetapi akupun tak
kuasa mencegah. Baginda makin penuh kepercayaan kepada gusti patih Aragani"
"Adakah kakang menggung pernah berusaha untuk membendung langkah gus pa h Aragani itu


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"." "Sudah, tetapi terhanyut dilanda banjir kepandaian gus pa h Aragani untuk mengambil ha
baginda. Misalnya ke ka baginda pernah dalam suatu kesempatan bertanya tentang pendapatku
apabila Singasari mengirim pasukan ke Bali. Aku menyatakan memang tepat asal jangan
mengerahkan segenap pasukan Singasari sehingga pura Singasari kosong. Pun tentang sikap
baginda yang begitu longgar terhadap Daha, pernah secara halus kuberi peringatan agar baginda
jangan melepaskan sama sekali pengawasan atas gerak gerik akuwu Jayakatwang. Tetapi
tampaknya baginda lebih percaya kepada gusti patih Aragani."
"Itulah kakang menggung" kata Mahesa Rangkah "lalu bagaimana perasaan kakang menggung
menghadapi hal2 yang sedemikian itu"."
"Menurut suara ha ku, ingin sekali aku mengundurkan diri saja dari kerajaan. Lebih baik aku
pulang ke desa, hidup tenteram sebagai petani atau begawan."
"Jangan kakang menggung" cepat2 Mahesa Rangkah berseru "janganlah kakang menggung
mengandung pikiran begitu. Berbahaya;. Sungguh berbahaya bagi kerajaan Singasari."
"Apa yang engkau maksud berbahaya itu" Bukankah baginda Kertanagara seorang junjungan
yang berkuasa besar dan sak " Bukankah baginda dapat pula mengangkat seorang pengawal-
pendamping yang baru untuk menggantikan aku"."
"Justeru itulah yang harus kakang cegah" kata Mahesa Rangkah "jika kakang merajuk dan
mengundurkan diri, tentulah penggan nya itu dipilih dari orang kepercayaan gus pa h Aragani
sehingga sempurnalah rencana gusti patih itu untuk menguasai kerajaan Singasari."
"Hm" desuh tumenggung Bandupoyo.
"Kakang menggung" kata Mahesa Rangkah "perjalanan ke tangga kekuasaan, memang rumit dan
tajam. Orang harus tahan menderita dan bersedia mengorbankan perasaan, jiwa dan raga. Lihatlah
betapa contoh dari beberapa wreddha mentri yang terlalu tak dapat menahan diri. Mereka, pa h
sepuh Raganata, demung Wirakre dan mentri Wiraraja, terlalu jujur dan berani menentang
langkah baginda. Mereka mentri2 yang setya dan jujur mengabdi kepada kerajaan Singasari tetapi
merekapun tak dapat menahan perasaan dan tak kenal gelagat sehingga dijatuhkan pa h Aragani.
Hendaknya kakang menggung menyadari akan hal itu, jangan sekali-kali mudah terpancing oleh
kemarahan, kekecewaan dan keputus-asaan."
"Memang kulihat ada suatu gejala akan mbulnya suatu penguasaan dalam keraton Singasari
oleh fihak pa h Aragani itu. Selama ini pa h Aragani belum berani terang-terangan melancarkan
rencananya itu karena aku selalu mendampingi baginda."
"Tetapi dengan begitu, kakang menggunglah yang akan menjadi sasaran patih Aragani.."
"Maksudmu ?" tanya Bandupoyo.
"Kakang menggung akan dihadapi oleh pilihan yang menekan. Atau kakang menggung berfihak
kepada pa h Aragani, atau kakang menggung akan bersedia menghadapi mereka untuk
dilenyapkan." Bandupoyo tertawa "Ha, ha, ha. Mudah sekali engkau mengatakan hal itu kepadaku,
Rangkah. Selama patih Aragani tidak melakukan hal2 yang membahayakan baginda dan
kerajaan Singasari, dia boleh melebarkan sampai berapa luasnya. Tetapi apabila pengaruhnya
dia hendak menyimpang kearah menguasai kerajaan, aku akan menentangnya habis-habisan."
Mahesa Rangkah tertawa. "Hm, mungkin engkau menyangsikan kekuatanku" kata tumenggung Bandupoyo "aku tak perlu
harus memiliki pasukan, atau pengikut yang besar jumlahnya karena aku dapat serentak
menghampiri dan membunuhnya.."
"Tepat sekali kakang menggung" seru Mahesa Rangkah "tetapi lebih tepat pula mencegah
daripada menyembuhkan. Sikap kakang menggung itu bersifat menghadapi atau kalau ibarat orang
sakit, kakang menggung mengoba penyakitnya itu. Tetapi kurasa lebih tepat kakang menggung
mencegah jangan sampai penyakit itu datang."
"Bagaimana caranya"."
"Menurut pandanganku yang picik" kata Mahesa Rangkah "untuk tingkat pertama, harus
diciptakan suatu kekuatan untuk mengimbangi kekuatan fihak patih Aragani. Patih Kebo
Anengah harus didukung agar dapat mendesak pengaruh patih Aragani. Itu termasuk rencana
jangka panjang. Dan masih ada rencana jangka pendek untuk mematahkan semangat dan
kecongkakan patih itu."
Tumenggung Bandupoyo terkesiap.
"Katakan, bagaimana rencana itu" serunya.
"Kita harus mengadakan suatu gerakan, dimana bekel Denta yang diangkat oleh pa h Aragani itu
tak mampu mengatasi sehingga terdengar oleh baginda."
"O" tumenggung Bandupoyo mendesuh kejut "maksudmu mengadakan sesuatu yang
menimbulkan kegemparan dalam keraton "."
"Benar kakang menggung" kata Mahesa Rangkah "suatu gerakan yang menimbulkan kegemparan
dalam keraton tanpa bekel Denta mampu berbuat suatu apa tentu akan menyebabkan baginda
murka. Dengan demikian bekel Denta tentu akan digan yang berar pula suatu tamparan bagi
muka patih Aragani."
Tumenggung Bandupoyo termenung diam.
"Adakah engkau sudah menemukan suatu cara untuk melaksanakan rencana itu ?" tanyanya.
"Saat ini belum" kata Mahesa Rangkah "mudah-mudahan dalam waktu secepat mungkin, akan
sudah menemukan rencana itu. Dalarn hal ini, asal kakang tahu sajalah."
Sejenak merenung, tumenggung Bandupoyo mengatakan bahwa hal itu harus cepat2
dilaksanakan, selama patih Kebo Anengah masih bertugas di brang-wetan.
Demikian percakapan yang berlangsung antara tumenggung Bandupoyo, pengawal-pendamping
baginda Kertanagara, dengan bekel Mahesa Rangkah kepala bhayangkara-luar.
Dalam pembicaraan itu Mahesa Rangkah telah dapat mengungkap isi ha Bandupoyo,
menggugah semangat dan menarik perha annya untuk bahaya yang mengancam dalam keraton
pusat kerajaan Singasari. Mahesa Rangkah tak ingin keraton dikuasai patih Aragani.
Pengunduran pa h sepuh empu Raganata dan demung Wirakre serta mentri Wiraraja atau
Banyak Wide, makin melemahkan kedudukan mentri dan narapraja yang setya kepada baginda.
Selesai pembicaraan itu Mahesa Rangkahpun pulang. Ia masih tak puas karena belum
mengetahui bagaimana berita diri bekel Kalingga. Pun ia cemas akan isi surat yang menurut
dugaannya tentu sudah jatuh ke tangan patih Aragani. Akhirnya ia mengambil keputusan untuk
menuju ke luar pura. "Aku perlu harus bicara dengan dia" katanya dalam hati "untuk meminta keterangan tentang
isi surat itu. Mungkin saja dia tahu bagaimana surat dari pangeran Ardaraja itu."
la berkuda menuju ke arah barat. Saat itu hari masih pagi. Ia ingin lekas2 mencapai tempat
tujuan. Tengah dia menimang- nimang rencana apa yang akan ditimbulkan untuk membuat
gaduh keraton, sekonyong-konyong pandang matanya melihat sesuatu benda hitam bergerak di
kejauhan sebelah muka. Makin lama makin dekat. Dan makin jelas bentuknya sebagai seorang
manusia yang tengah berlari-lari.
Walaupun jalan yang merentang ke barat itu merupakan jalan pegunungan yang sepi, namun
tidaklah bekel Mahesa Rangkah akan tertarik perhatiannya apabila tidak memperhatikan sikap
orang yang begitu tak wajar. Orang itu lari dengan kaki agak terpincang-pincang.
Biasanya dimanapun, kecuali karena didera hujan, orang tentu berjalan apabila menempuh
perjalanan. Tetapi orang itu berlari dijalan yang sunyi. Tidakkah hal itu menimbulkan kecurigaan "
Bukankah hanya bangsa penyamun atau penjahat yang tergopoh-gopoh melarikan diri agar dapat
meninggalkan sejauh mungkin orang yang hendak mengejarnya "
Mahesa Rangkah hentikan kuda dan menunggu kedatangan orang itu. Tetapi rupanya orang
itupun melihat juga Mahesa Rangkah. Dia terkejut mengapa Mahesa Rangkah mendadak
hentikan kudanya di tengah jalan. Apakah dia hendak menghadang aku " Pikirnya. Dan iapun
hentikan larinya. Jarak antara keduanya masih kira2 sepelepas anak-panah jauhnya. Namun orang itu dapat
melihat bahwa Mahesa Rangkah membekal senjata pedang. Hanya dua kemungkinan bagi
seorang lelaki yang menunggang kuda dan menyelip pedang. Jika bukan bangsa penyamun
tentu prajurit. Pikir orang itu lebih lanjut.
"Ah, celaka" ia mengeluh lalu tiba2 lari menyusup ke dalam hutan yang berada di sisi jalan
"lebih baik kuhindari saja kemungkinan2 yang tak diingini. Bukankah gusti patih Aragani memberi
pesan agar merahasiakan jejak perjalananku"."
"Hm, kurang ajar" Mahesa Rangkah terkejut ke ka melihat orang itu menyusup ke dalam hutan
"dia tentu seorang penjahat yang habis melakukan kejahatan."
Ia segera memacu kudanya menyusul. Tiba di hutan itu, Mahesa Rangkah terpaksa berhenti.
Sukar untuk berkuda masuk hutan. Terpaksa ia turun dari kuda, melepaskannya di gerumbul
rumput, lalu ia masuk ke dalam hutan.
Tetapi ia tak mendengar suara suatu apa. Rupanya orang itu sudah jauh menyusup ke dalam
hutan atau mungkin bersembunyi. Setelah beberapa waktu, akhirnya ia menghentikanpencariannya "Ah, perlu apa aku harus menemukan orang itu " Lebih baik
kulanjutkan perjalanan" ia memutuskan dan terus keluar menuju ketempat kudanya.
Pada saat menyiak gerumbul semak terakhir yang jaraknya hanya terpisah dua tombak dari
tempat kudanya, kejutnya bukan alang kepalang. Dilihatnya seorang lelaki tengah berusaha untuk
naik ke punggung kudanya. Tentulah orang itu bersembunyi. Ke ka ia menyusup ke tengah hutan,
orang itupun keluar dan menghampiri kuda. Maksudnya tentu hendak mencuri kuda dan hendak
melarikannya. "Bedebah" dengan sebuah loncatan yang disertai pengerahan tenaga, ia melayang ke tempat
orang itu dan dengan suatu gerak yang cepat sekali ia menerkam ikat pinggang orang itu terus
ditarik sekuat-kuatnya. "Uhhh ..." orang itupun memekik kaget ke ka tubuhnya terban ng jatuh ke belakang. Walaupun
kepala berdenyut-denyut dan pandang mata nanar karena kepala terantuk tanah, namun rupanya
orang itu memiliki daya tahan yang kuat. Cepat ia melen ng bangun dan terus menerjang bekel
Mahesa Rangkah. Mahesa Rangkahpun menghindar dan balas melontarkan pukulan dan tendangan sehingga
keduanya segera terlibat dalam pertarungan yang seru. Karena tempat itu penuh dengan pohon
dan gerumbul, medan pertempuran itupun kurang leluasa. Pada suatu ke ka Mahesa Rangkah
terantuk kakinya pada akar pohon dan tergelincir jatuh. Saat itulah lawannya terus loncat
menerkam. Dari tinju meninju kini mereka berganti bergumul.
Orang itu memang bertenaga kuat sekali sehingga Mahesa Rangkah ter ndih dibawah dan
bahkan lehernya dapat dicekik orang itu.
"Mati aku" keluh Mahesa Rangkah ketika merasa mulai kehilangan daya perlawanan lagi.
Saat itu udara mendung dan pohon2 dalam hutan itu lebat dan rindang daunnya sehingga
suasana di tempat mereka bergumulpun agak redup. Dan rupanya orang itu tak mau menghiraukan
suatu apa kecuali hendak mencekik mati lawannya.
Dalam keadaan yang gawat, Mahesa Rangkah masih memiliki kesadaran pikiran. Untuk
melepaskan cekikan orang, ia merasa tak sanggup. Satu-satunya jalan hanyalah mencari kelemahan
pada lain bagian dari tubuh orang itu. Ia harus menggunakan siasat.
"Akhhh" ia menguak tertahan dan menggelepar-geleparkan tubuhnya seolah sedang meregang
jiwa. Kemudian beberapa saat kemudian ia lunglai tak bergerak.
"Ma " pikir orang itu setelah melihat Mahesa Rangkah tak bergerak lagi. Namun ia tak mau
segera melepaskan cekikannya. Lebih dulu ia hendak melepaskan kakinya yang menekan perut
lawan setelah itu baru ia akan mengerahkan cekikannya yang terakhir kali dengan sepenuh tenaga.
Untuk meyakinkan bahwa korbannya itu benar2 sudah putus nyawanya. Demikian rencananya.
Demikianlah kaki kanan yang menghimpit perut Mahesa segera diangkat dan tubuhnyapun mulai
bangkit. Saat itu ia sudah akan mengerahkan tenaga untuk mencekik dan semuanya beres. Setelah
korban mati, ia dapat merampas kudanya dan melanjutkan perjalanan.
Saat itulah yang dinan -nan kan Mahesa Rangkah. Selekas merasa perutnya terlepas dari
himpitan kaki lawan, dengan suatu gerak yang tak terduga-duga, ia gerakkan kakinya menendang
perut orang itu, plak ....
Dan sesaat merasa kesakitan orang itu lalu melonggarkan cekikannya, Mahesa Rangkah pun
segera rnenye-rempaki dengan menyiakkan kedua tangannya. Setelah tangan orang tersiak, cepat
ia memasuki lagi dengan meninjukan kedua tinjunya ke leher orang, duk ....
Dua buah serangan, tendangan dan pukulan, dilakukan secara tak terduga dan hampir serempak
dilancarkan. Orang itu mengaum keras dan terlempar setombak jauhnya, mendekap perut, terseok-
seok mundur bagai kura2 hendak bertelur.
Kali ini bekel Mahesa Rangkah tak mau memberi kesempatan lagi. Ia telah merasakan betapa
ngeri perasaannya ke ka hampir ma tercekik. Serentak loncat ia hendak mengirim sebuah
tendangan pula. "Tahan !" teriak orang yang jatuh terduduk bersandar pada batang pohon. Ujung kaki Mahesa
Rangkah tadi tepat mengenai bagian bawah perut, sehingga perutnya mual sekali. Dan nju yang
mendarat pada lehernya itupun menyebabkan pandang matanya gelap. Masih untung ia dapat
paksakan diri untuk memperha kan gerak lawan. Ke ka Mahesa Rangkah menerjang hendak
melancarkan tendangan maut, barulah ia kerahkan tenaga memekik sekuat-kuatnya untuk
menghentikan. "Bekel Rangkah ...." teriak orang itu pula seraya menggapaikan tangan.
Mahesa Rangkah hentikan gerak kakinya dan maju menghampiri "Siapa engkau ?" tegurnya.
"Aku bekel Lingga ....."
"O, engkau kakang Lingga" Mengapa engkau berpakaian seperti itu?" tegur Mahesa Rangkah.
Memang orang itu atau bekel Lingga, mengenakan pakaian serba hitam dan menyamar. Ia
sengaja memakai kumis dan janggut yang lebat. Dan untuk meyakinkan kepada Mahesa Rangkah,
iapun segera menanggalkan kumis dan janggutnya itu.
"O, maa an, kakang Lingga. Kita salah faham. Dan mengapa kakang dak langsung melanjutkan
perjalanan melainkan masuk ke dalam hutan ?" kata Mahesa Rangkah setengah menyesali.
Bekel Lingga mengatakan bahwa ia mengira kalau Mahesa Rangkah yang berkuda dan
menghadang di tengah jalan itu seorang penyamun.
"Akupun juga mengira kalau kakang Lingga seorang penyamun maka segera kukejar" Mahesa
Rangkah tertawa. Demikian setelah saling memberi keterangan dari kesalahan faham itu maka Mahesa
Rangkahpun bertanya pula "Tetapi dari manakah kakang Lingga ini "."
Wajah bekel Lingga tampak berobah seke ka. Beberapa jenak kemudian baru ia menjawab "Aku
dari Daha." Mahesa Rangkah yang tajam mata dan tajam pikiran cepat dapat mengetahui perobahan muka
bekel Lingga "Ke Daha" Mengapa " Urusan peribadi atau diutus"."
Sesaat kemudian agak tersendat bekel Lingga menjawab "Urusan peribadi."
"Urusan apakah itu, kakang Lingga?" Mahesa Rangkah mendesak. Ia tahu bahwa mengajukan
pertanyaan begitu sesungguhnya kurang layak karena mencampuri urusan orang. Tetapi iapun tahu
bahwa bekel Lingga itu tentu dak jujur dalam memberi keterangan menilik gerak geriknya yang
begitu mencurigakan, ia kuatir bekel Lingga terlibat dalam suatu tindak kejahatan.
Bekel Lingga menghela napas.
"Ah, sesungguhnya aku sendiri yang cari perkara sehingga terlibat dalam lingkaran ini" akhirnya
ia berkata!, "Apakah yang kakang maksudkan"."
Selama ini Mahesa Rangkah memang terkenal di-antara para bekel bhayangkara sebagai
seorang yang bersikap ramah, suka bersahabat. Juga terhadap para prajurit bhayangkara, baik
yang menjadi orang bawahan maupun bawahan lain pimpinan, ia selalu bersikap baik juga.
Bekel Lingga termasuk salah seorang yang sungkan dan mengindahkan terhadap Mahesa
Rangkah. "Begini adi Rangkah" akhirnya ia mulai memberi keterangan "sebenarnya peris wa ini terjadi
secara tak sengaja dan salah faham. Beberapa waktu yang lalu seorang pemuda yang tak kukenal
mencari bekel Kalingga. Waktu kukatakan bahwa aku bernama Lingga, ia terus menyerahkan
sepucuk surat yang menurut keterangannya titipan dari pangeran Ardaraja."
Betapa kejut ha Mahesa Rangkah sukar ditekan lagi. Walaupun ia sudah berusaha sekuat
mungkin untuk menahan gejolak kejutnya tetapi airmukanya tetap memancar merah "O, dari
pangeran Ardaraja " Kepada siapakah surat itu akan diberikan "."
Untung bekel Lingga tak sempat memperha kan perobahan muka Mahesa Rangkah "Tanpa
diketahui yang harus menerimanya."
"Tanpa nama dari penerimanya?" ulang Mahesa Rangkah diam2 agak longgar perasaannya
"bagaimana kakang tahu " Adakah kakang membuka surat itu"."
Bekel Lingga gelengkan kepala "Tidak. Gusti patih Aragani yang memberitahu kepadaku."
"Gus pa h Aragani ?" kali ini kembali airmuka Mahesa Rangkah berombak "adakah engkau
berikan surat itu kepada gusti patih "."
Bekel Lingga mengiakan "Ya. Karena aku bingung dan atas nasehat Pirang, maka kuhaturkan surat
itu kepada gusti patih Aragani. Dengan demikian bebaslah tanggung jawabku atas surat itu "."
"Mengapa dak kakang berikan kepada bekel Kalingga ?" tanya Mahesa Rangkah. Diam2 ia
memaki dalam hati. "Ya, memang seharusnya demikian" kata bekel Lingga "tetapi pertama karena terbujuk Pirang
dan kedua aku menaruh curiga atas gerak gerik bekel Kalingga yang mempunyai hubungan dengan
pangeran Ardaraja." "Dan kakang terus menyampaikan kepada gusti patih Aragani "."
"Ya." "Apa alasan kakang"."
"Karena dia patih-dalam yang menguasai keraton dan dekat dengan baginda."
"Mengapa tidak kakang berikan kepada gusti patih Kebo Anengah "."
"Gus pa h Kebo Anengah sukar dan jarang sekali dapat diketemukan. Gus pa h itu lebih
mencurahkan perhatian pada pasukan prajurit daripada prajurit2 bhayangkara."
Memang mengenangkan diri pa h Kebo Anengah, Mahesa Rangkah mendapat kesan bahwa
pa h itu memang kurang akrab dengan prajurit2 bhayangkara, sehingga pa h Aragani dapat
peluang untuk menanam pengaruhnya dikalangan prajurit bhayangkara.
"Mungkin pertimbangan kakang benar. Tetapi mengapa kakang berkeluh kesah "."
Kembali bekel Lingga menghela napas "Karena ndakanku menyampaikan surat itulah maka aku
terlibat sampai ke Daha ini"
"O" desuh Mahesa Rangkah "jadi kakang Lingga diutus patih Aragani "."
Bekel Lingga mengiakan. Dengan terus terang ia menceritakan apa yang dilakukan di Daha
bersama Seta Arang. Dan cerita itu memang sesuai dengan apa yang dituturkan Seta Arang kepada
Nararya. Walaupun ha dilanda oleh gelombang kejut dan heran, namun Mahesa Rangkah berusaha


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk menekan perasaannya. "Jika demikian, gong itu dari keraton Singasari "."
"Ya." "Dan sekarang juga hilang "."
"Ya." "Tidakkah gus pa h Aragani akan murka dan akan menjatuhkan pidana kepadamu, kakang
Lingga"." Bekel Lingga termenung-menung.
"Kakang" Mahesa Rangkah alihkan pertanyaan "tahukah engkau dimana bekel Kalingga berada"."
Mendengar pertanyaan itu pucatlah segera wajah bekel Lingga. Dan Mahesa Rangkah
memperhatikan perobahan air mukanya itu.
"Kakang Lingga" kata Mahesa Rangkah pula "tahukah kakang bagaimana kedudukanku dalam
keraton Singasari "."
"Ya, engkau mendapat kepercayaan baginda untuk menjaga keselamatan keputren."
"Tahukah kakang siapa dan bagaimana pengaruh tumenggung Bandupoyo "."
Bekel Lingga terkesiap. "Tumenggung Bandupoyo adalah pengawal-pendamping baginda. Sudah tentu ia menjadi
tumenggung kepercayaan baginda."
"Dan dia adalah sahabatku, kakang" kata Mahesa Rangkah "maksudku, jika kulaporkan tentang
lenyapnya bekel Kalingga kepada tumenggung Bandupoyo, dakkah baginda akan murka "
Tidakkah kakang akan ditangkap pula "."
Makin pucat wajah bekel Lingga.
"Ada dua hal yang dapat menjadikan kesalahan kakang Lingga" kata Mahesa Rangkah "pertama,
hilangnya kakang Kalingga. Kedua, hilangnya gong keraton Singasari. Dalam kedua peris wa itu,
kakang jelas tersangkut."
Gemetar tubuh bekel Lingga.
"Dan sesungguhnya, tanpa kulaporkan perbuatan kakang itu kepada tumenggung Bandupoyo,
kakang pun sudah terhukum sendiri. Terhukum oleh gusti patih Aragani."
Bekel Lingga menghela napas.
"Jika tahu akan terjadi begini" katanya dengan nada putus asa " daklah kuterima surat dari
pemuda itu. Tidaklah kuserahkan suratnya kepada gus pa h Aragani. Adi Rangkah" ia menghela
napas dan memandang Mahesa Rangkah dengan pandang beriba-iba "aku paserah saja kepadamu
....." "Jika demikian, kakang tak perlu cemas" kata Mahesa Rangkah "tetapi kakang harus bersikap
jujur dan menceritakan semua yang terjadi pada diri bekel Kalingga."
Dengan tekanan2 itu berhasillah Mahesa Rangkah mendapat keterangan tentang nasib bekel
Kalingga yang sudah mati dibunuh patih Aragani.
"Kakang Lingga" kata Mahesa Rangkah "kurasa baiklah kakang jangan menghadap pa h Aragani
dulu. Karena kakang tentu akan terima pidana darinya."
Bekel Lingga mengangguk "Gus pa h Aragani tak pernah memberi ampun kepada orang yang
bersalah." "Untuk sementara baiklah kakang bersembunyi dulu. Kelak apabila peris wa gong keraton
Singasari itu sudah terbongkar, barulah kakang boleh unjuk diri lagi."
"Tetapi tidakkah hal itu akan menghapus kemarahan gusti patih Aragani?" tanya bekel Lingga.
"Tidak" sahut Mahesa Rangkah "tetapi peris wa itu telah diketahui semua mentri dan narapraja
bahkan baginda. Apabila kakang sampai dipidana atau dibunuh gus pa h Aragani, akulah yang
akan melaporkan kepada kakang tumenggung Bandupoyo agar kakang tumenggung dapat
menghaturkan hal itu kehadapan baginda.."
Bekel Lingga masih meragu.
"Tetapi apabila sekarang kakang menghadap gus pa h Aragani dan menerima pidana, dak ada
seorang-pun yang tahu kecuali hanya aku seorang. Pada hal aku tentu dak dapat menjadi saksi
yang kuat. Dengan begitu berarti kakang akan kehilangan jiwa tanpa suatu arti."
Mendengar itu bekel Lingga mengangguk. Memang apa yang dikatakan Mahesa Rangkah itu,
beralasan. Akhirnya ia setuju dan menyerahkan bagaimana Mahesa Rangkah hendak mengaturnya.
"Lalu kemanakah aku harus menyembunyikan diri?" tanya bekel Lingga.
"Ke Tumapel." "Tumapel" Di tempat kediaman siapa"."
"Empu Raganata" sahut Mahesa Rangkah "empu Raganata seorang yang bijaksana. Akan kubawa
kakang menghadapnya."
Demikian selelah putus dalam pembicaraan, keduanya menuju ke Tumapel menghadap empu
Raganata. Empu Raganata dapat menerima permintaan Mahesa Rangkah yang hendak
menitipkan bekel Lingga. Setelah itu Mahesa Rangkah melanjutkan perjalanan pula kearah barat.
Ia menuju ke gunung Butak.
-oo~dwkz^ismoyo^mch~oo- II Serasa meledaklah ruang kepa han ke ka pa h Aragani menghamburkan kemarahannya kepada
bekel Seta Arang yang menghadapnya.
"Keparat!" teriaknya "gong yang engkau bawa itu hilang"."
Seta Arang gemetar. Ia mengira bekel Lingga sudah menghadap dan menghaturkan laporan
kepada patih Aragani ternyata bekel itu tak tampak.
"Mohon gus melimpahkan ampun kepada diri hamba. Tetapi peris wa itu memang
mengherankan sekali. Kakang bekel Lingga tentu dapat memberi kesaksian ke hadapan gusti patih."
"Bedebah!" teriak Aragani pula "bekel Lingga" Mana dia"."
"Adakah bekel Lingga belum menghadap gusti patih?" Seta Arangpun terkejut.
"Keparat!" bentak pa h Aragani pula. Jika marah pa h itu memang tak hen -hen nya
menghambur hamun makian yang menggebu- gebu "engkau bersama dia, mengapa engkau tak
tahu dimana dia berada."
Dengan gemetar Seta Arang lalu menceritakan semua peris wa yang telah terjadi di guha lembah
Polaman itu. "Siapa pemuda yang bertempur dengan engkau itu "."
"Tetapi jelas bukan dia yang mengambil, gus " kata Seta Arang "karena dia hanya salah faham
kepada hamba dan kemudian mengajak hamba untuk mengambil gong itu agar dapat hamba bawa
pulang ke Singasari."
"Dan nyatanya gong itu hilang ?" teriak patih Aragani.
"Demikian keadaannya."
"Bedebah engkau!" hardik pa h Aragani seraya mengepalkan nju "dialah yang yang mencuri
gong itu. Engkau memang goblok. Dialah yang menyiasa engkau, pura2 bersahabat tetapi
sesungguhnya dialah tentu yang mengambil gong itu."
"Tetapi gusti ....."
"Tutup mulutmu, bedebah!" bentak pa h Aragani "lekas cari pemuda itu dan tangkaplah dia.
Bawa dia kemari. Aku tentu dapat memaksanya untuk memberi keterangan dimana dia
menyembunyikan gong itu."
Seta Arang rnasih meragu dan tak beranjak dari tempatnya.
"Hai, mengapa engkau masih duduk seperti patung " Apakah engkau tuli " Atau memang
engkau bersekutu dengan pemuda itu ?" bentak patih Aragani.
"Baik, gusti patih" Seta Arang gopoh menghaturkan sembah dan mohon mengundurkan diri.
Ia bergegas membawa ga orang kawan menuju kembali ke Daha untuk mencari Nararya.
Sebenarnya ia heran mengapa bekel Lingga tak muncul tetapi ia tak sempat lagi untuk mencari
kawannya itu. Sepeninggal Seta Arang, pa h Aragani masih termenung-menung, merenungkan peris wa
hilangnya gong dari keraton Singasari itu. Memang ia telah merancang siasat untuk mengetahui,
siapakah sebenarnya yang telah mencuri gong pusaka Bharada itu. Pernah ia dalam peninjauan ke
daerah selatan, melihat bentuk gong Prada yang tersimpan di candi Simping, Lodoyo.
Ia mengetahui pula bahwa gong Prada itu sama atau hampir sama bentuknya dengan gong yang
tersimpan dalam keraton. Gong yang biasanya digunakan pada ap perayaan. Karena untuk
membuat gong ruan seper gong Prada, tentu memakan waktu. Pada hal ia hendak menggunakan
kesempatan pada waktu tumenggung Sagara Winotan mengadakan peralatan nikah puteranya, ia
akan memerintahkan orang untuk menyebarkan berita2 bahwa gong Prada berada di guha lembah
gunung Polaman. Memang perhitungan pa h itu tepat sekali dan siasat yang direncanakanpun berjalan lancar.
Tetapi se kpun ia tak pernah membayangkan bahwa rencana yang sudah berjalan begitu lancar
akhirnya harus mengalami kegagalan yang menyedihkan. Gong keraton Singasari yang dijadikan
umpan untuk memikat perhatian orang2 itu, ternyata bahkan ikut hilang.
"Keparat !" tanpa disadari pa h Aragani memekik dan melonjak dari tempat duduknya "siapakah
yang menggagalkan rencanaku itu "."
Ia mengeliarkan pandang ke segenap sudut seolah-olah mencari seseorang atau sesuatu.
Memang ia ingin membentuk wujud dari seseorang atau sesuatu yang dapat membangkitkan
kecurigaannya. Untuk mencari siapa yang patut diduga menggagalkan rencana itu, ingatannya-pun
segera menumbuhkan beberapa orang yang satu demi satu diteli , dinilai dan dijajagi
kemungkinannya "apakah pa h Kebo Anengah ?" demikian mulai ia membentuk-bentuk wajah dari
tersangka bayangan itu "ah, dia sedang berada di daerah brang-wetan. Tentu tak mungkin dia akan
mengganggu rencanaku itu. Dan apakah tujuannya kalau dia hendak mengganggu hal itu"."
Demikian cara ia menumbuhkan bayangan dan meneli pertanyaan lalu menjajagi kemungkinan.
Apabila jawaban2 yang dijawabnya sendiri itu dak memberi kemungkinan, maka dihapuskannya
tersangka-bayangan itu dan beralih pada lain orang.
"Pangeran Ardaraja ?" kembali ia melahirkan suatu tokoh bayangan lagi "ah, tetapi dia termasuk
orang2 Daha yang hendak kuselidiki, bagaimana mungkin dia tahu ndakanku" Kecuali .... dia
mempunyai orang dalam keraton ini. Ya, benar, kecuali dia mempunyai kaki tangan di keraton
Singasari, eh ....... salah. Bukan di keraton Singasari karena aku tak membicarakan rencana itu
dengan siapapun juga, melainkan dengan diriku sendiri. Apakah aku memberitahu kepada
pangeran Ardaraja" Gila!" ba2 ia terperanjat karena menyadari akan pikirannya yang ngelantur
tak keruan. Masakan ia memberitahu kepada orang tentang rencana yang akan ditujukan kepada
orang itu. "Ah, aku terlalu tegang" akhirnya ia duduk kembali dan mulai menenangkan pikirannya. Dalam
ketenangan yang berangsur-angsur mengendapkan pikirannya, mulailah ia menyorot suasana
dalam keraton. Dan cepat sekali ingatannya singgah pada peris wa pemuda yang memberikan
surat dari pangeran Ardaraja kepada bekel Lingga "hm, jelas dalam kalangan mentri entah
narapraja entah bhayangkara keraton Singasari, terdapat kaki tangan tersembunyi dari pangeran
Ardaraja. Menurut pengakuan bekel Kalingga, surat itu harus ia berikan kepada pa h Kebo
Anengah ...." Mulai benaknya berbuih-buih membayangkan wajah Kebo Anengah, menyorot apa yang mungkin
didapatinya pada diri patih itu.
"Benarkah pa h Kebo Anengah mempunyai hubungan dengan pangeran Daha itu" Dalam rangka
dan tujuan apakah hubungan mereka itu ?" mulai ia mengotak-a k pertanyaan untuk menguji dan
mengaji kemungkinannya. "Tiap hubungan atau kerjasama, tentu mempunyai kepen ngan saling menguntungkan. Apa
keuntungan kedua orang itu untuk membentuk hubungan kerjasama" Adakah pangeran Ardaraja
hendak menanam pengaruh dan menguasai keadaan keraton Singasari" Mengapa" Bukankah
melimpah ruah budi kebaikan baginda Kertanagara terhadap akuwu Jayakatwang " Bukankah
baginda yang mengangkat akuwu Jayakatwang itu sebagai raja Daha " Bukankah baginda juga
mengandung rencana untuk memungut menantu pada raden Ardaraja" Apa kepen ngan pangeran
itu hendak memata-matai Singasari lagi" Ah, kurang meyakinkan" akhirnya ia memberi penilaian.
Lalu ia beralih pada Kebo Anengah "Keuntungan dan kepen ngan apakah yang diperoleh pa h
Kebo Anengah dalam hubungan dengan pangeran Ardaraja itu " Mungkinkah Kebo Anengah
memberikan keterangan tentang seluk beluk keadaan pemerintahan dan kekuatan pasukan
Singasari kepada pangeran itu " Apakah imbalan yang diperolehnya " Uang, pangkat atau wanita "
Ah, menilik pa h Kebo Anengah sudah memiliki ke ga hal itu, kemungkinan tentu bukan itu yang
dikehendakinya. Lalu apa " Atau .... mungkinkah bekel Kalingga sengaja mengatakan begitu agar
aku terkecoh dan mencurigai patih Kebo Anengah "."
Agak bimbang juga pa h Aragani memecahkan pertanyaan2 yang direkanya itu. Akhirnya ia
mendapat akal "Mengapa tak kusuruh seorang bekel bhayangkara untuk menyampaikan surat dari
pangeran Ardaraja kepada pa h Kebo Anengah" Bukankah hal itu dapat membuk kan kebenaran
dari keterangan bekel Kalingga "."
"Benar" ia meninjukan tangan kanannya pada telapak tangan kirinya sehingga menimbulkan
bunyi mendebab yang keras. Serentak ia memanggil seorang pengalasan.
"Undanglah raden Kuda Panglulut kemari" serunya kepada pengalasan itu.
Tak berapa lama pengalasan itu mengiring seorang pemuda cakap, bermata nakal dan sikap
angkuh. Dia adalah Kuda Panglulut, menantu patih Aragani.
"Panglulut" tegur pa h Aragani dengan nada cerah "mengapa engkau tampak pucat dan agak
lesu pagi ini "."
Kuda Panglulut tak lekas menjawab melainkan berpaling kebelakang memberi isyarat agar
pengalasan tadi keluar. "Kurang tidur, rama" sahut pemuda itu.
"Mengapa?" diam2 pa h Aragani menilai kurang baik terhadap putera menantunya. Sudah
setahun mereka menjadi mempelai, tetapi masih berkemanjaan kesenangan.
"Anu rama ...." agak merah wajah Kuda Panglulut "yayi Arini marah kepada hamba."
"O" desuh patih Aragani "mengapa marah " Ah, tak baik suami, isteri sering bertengkar."
"Hamba menginginkan begitu juga, rama" kata Kuda Panglulut "tetapi yayi Arini memang senang
mencemburui hamba." Mendengar itu tertawalah patih Aragani "O, karena cemburu" Ha, ha, ha ....." ia tertawa
"memang sukar untuk meniadakan rasa cemburu itu pada wanita. Mungkin sudah menjadi salah
satu sifat pembawaan wanita memang begitu. Tetapi ketahuilah, angger. Cemburu itu pada
dasarnya bersifat serakah, ingin memiliki sendiri. Tetapi sifat serakah itu bukan soal benda,
melainkan dalam soal cinta. Isterimu cemburu karena dia sangat mencintai engkau, ingin
memiliki seluruh rasa cintamu. Dia menghendaki agar engkau jangan mencintai lain wanita
kecuali dia." "Ya, benar rama" kata Kuda Panglulut "sebenarnya hamba sendiri tak mengandung ha cabang
terhadap lain wanita.Tetapi yayi Arini terlalu cemburu terhadap hamba."
Patih Aragani tertawa "Dia sangat mencintaimu, Panglulut. Ketahuilah, sejak masih kecil dia
sudah ditinggal oleh ibunya, sehingga dia manja sekali kepadaku. Dan sekarang seluruh
kemanjaannya ditumpahkan kepadamu. Engkau harus sabar dan dapat mengernong-nya.
Maklumlah angger, kelak seluruh kemuliaan rama tentu akan kuwariskan kepada kalian
berdua." Kuda Panglulut mengiakan walaupun dalam hati masih belum yakin.
"Panglulut" kata Aragani pula "rama hendak meminta engkau melakukan pekerjaan."
"O" bergegas Kuda Panglulut menanggapi "sudah tentu hamba selalu siap melakukan apapun
yang rama perintahkan."
"Raden" kata pa h Aragani "bagaimana perkembangan kedudukanmu dalam pasukan
Singasari"." "Makin menampil, rama" kata Kuda Panglulut "hanya masih terasa beberapa perwira bekas
anakbuah demung Wirakreti masih mengunjuk sikap yang tak bersahabat."
Pa h Aragani mengangguk "Ya, dapat dimenger . Sudah tentu mereka kehilangan pegangan
setelah atasannya, demung Wirakre , dilorot kedudukannya. Tetapi tak usah hiraukan mereka,
angger. Yang pen ng engkau harus dapat merebut kepercayaan pa h Kebo Anengah dan
anakbuahnya. Kelak tentu ada gunanya."
Kuda Panglulut mengangguk. Ia tak mau mendesak apa yang dikatakan 'kelak tentu berguna' oleh
rama mentuanya itu. Menurut talarannya, tentulah hal itu mengenai peningkatan pangkat saja.
Pada hal patih Aragani mempunyai tujuan tertentu.
"Tentang lugas yang hendak kuminta engkau melakukan ini" kata pa h Aragani "tak lain
hanyalah menyerahkan sepucuk surat kepada ki patih Kebo Anengah."
"Tetapi bukankah paman patih Kebo Anengah sedang berada di Blambangan, rama"."
"Ya" sahut pa h Aragani "engkau harus menemuinya kesana dan menyerahkan surat ini. Katakan
bahwa surat itu berasal dari seorang pengalasan pangeran Ardaraja."
"Pangeran Ardaraja " Pangeran dari Daha itu ?" Kuda Panglulut terkejut.
Pa h Aragani mengangguk "Ya, memang dari pangeran Ardaraja" kemudian ia menuturkan
tentang pemuda yang menyerahkan surat itu kepada bekel Kalingga tetapi keliru diterimakan pada
bekel Lingga dan bekel Lingga lalu diserahkan kepadanya.
"Apakah isi surat itu, rama"."
"Memberitahukan tentang hilangnya gong Prada"
Kuda Panglulut makin terkejut "Gong Prada" Bukankah gong pusaka itu milik kerajaan
Singasari yang disimpan di Lodoyo" Bagaimana pangeran Ardaraja mengurus hal itu "."
Pa h Aragani lalu menuturkan tentang hilangnya gong Prada yang diduga, kemungkinan tentu
diambil orang Daha tetapi entah bagaimana kemudian gong pusaka itu hilang dan sekarang
pangeran Ardaraja hendak menyelidiki mentri2 dan senopati Singasari.
"Jika demikian pangeran itu terlibat pula dalam peris wa hilangnya gong pusaka itu.
Kemungkinan" kata Kuda Panglulut lebih tandas "dialah yang memerintahkan untuk mengambil
gong pusaka itu." Diam2 pa h Aragani girang karena putera menantunya dapat mengupas persoalan itu secara
tajam "Itulah sebabnya maka hendak kuminta engkau menyerahkan surat kepada pa h Kebo
Anengah untuk membuk kan, benarkah pa h itu mempunyai hubungan dengan pangeran
Ardaraja." Kuda Panglulut kini tahu jelas apa yang dikehendaki rama mentuanya. "Baiklah, rama. Bilakah
hamba berangkat"."
"Sekarang juga" kata patih Aragani "bawalah pengiring secukupnya."
-oo~dwkz^ismoyo^mch~oo- Baginda Kertanagara telah memimpin kerajaan Singasari dengan gemilang. Memang baginda
seorang raja besar. Dalam hal pemerintahan, baginda putus akan sadguna atau enam macam
ketata-prajaan. Dalam hal agama, beliau teguh bak menyembah kaki Sakya-muni, teguh tawakal
menjalankan pancasila, samskara dan abhisekakrama.
Baginda mengembangkan perimbangan kesejahteraan lahir dan ba n. Memajukan pertanian dan
meningkatkan hasil bumi, menghidupkan kesenian dan kerajinan seni. Terutama pengembangan
agama dilakukan dengan giat. Rumah2 sudharmma, candi2 dan tempat2 beribadah banyak
dibangun di kota maupun daerah2.
Untuk memelihara kewibawaan dan kesejahteraan kerajaan, maka Singasari pun memiliki
angkatan perang yang kuat dan senopa 2 yang gagah perkasa. Tiada seorang raja, baik di Singasari
maupun Daha, yang sebelumnya mampu mengimbangi taraf kebesaran baginda Kertanagara.
Baginda ingin mempersatukan nuswantara. Ingin meluaskan kekuasaannya sampai jauh ke tanah
Malayu, Bali dan lain2 daerah. Kertanagara seorang raja besar dan besar pula keinginan cita-
citanya.

Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Adalah dalam rangka melaksanakan cita-cita itu maka baginda telah mengadakan pembersihan
terhadap beberapa mentri tua dalam kerajaan. Empu Raganata, mentri tua yang telah menjabat
sebagai pa h Singasari sejak rahyang ramuhun Wisnuwardhana, telah digeser dan dipindah
sebagai dharmdhyaksa di Tumapel.
Empu tua itu dianggap tua semangatnya, tua pula nyalinya sehingga menentang kehendak
baginda yang akan mengirim pasukan Singasari ke tanah Malayu.
Empu Raganata meni k beratkan pada kekuatan dalam negeri sebagai sumber kejayaan negara.
Empu yang bijaksana itu masih melihat, banyak sekali sarana2 yang masih dapat dan perlu
dikembangkan dan ditingkatkan demi kemajuan dan kesejahteraan kerajaan Singasari.
Baginda Kertanagara murka. Pa h sepuh itu dipindah ke Tumapel sebagai dharmadhyaksa.
Demikian pula nasib tumenggung Wirakre dan demung Banyak Wide atau Wira raja yang
mendukung pendapat pa h Raganata. Mereka juga dilorot kedudukannya. Dan baginda
mengangkat pa h Kebo Anengah dan Aragani. Terutama kepada Aragani, baginda makin
menumpahkan kepercayaan karena patih itu pandai mengambil hati.
Bersamaan pada masa mbulnya kerajaan Singasari sebagai kerajaan yang besar, di bagian belah
bumi utara, pun telah muncul suatu kekuatan baru. Seorang maharaja yang gagah perkasa, pandai
dan bercita-cita besar, Kubilai Khan.
Kubilai Khan, adalah cucu dari maharaja Jenghis Khan dari kerajaan Tartar atau Mongolia.
Kubilai mempunyai seorang kakak, Mongka namanya. Mongka inilah yang diangkat sebagai
khan atau raja. Ia berhasil mengusir kekuasaan Bagdad dan kemudian mengganti menjadi
kerajaan Mongolia. Kemudian ia melanjutkan perang untuk menguasai Cina. Kubilai dikirim ke
selatan untuk menundukkan sisa kerajaan Lam Cou. Ia berhasil lalu menyerang ke utara,
menyeberangi sungai Yangtse dan berhasil menyusup sampai ke bagian tengah. Tetapi
sekonyong- konyong datang berita bahwa maharaja Mongka wafat. Kubilai mengadakan
gencatan dan buru2 kembali ke Mongolia untuk ikut serta dalam pilihan khan, menggantikan
kakaknya. Namun sebelum sampai di Mongolia. Kubilai telah diangkat sebagai khan oleh para
hulubalang dan pengikutnya. Ia takut kalau dalam pemilihan kalah karena ia tahu bahwa banyak
rakyat Mongolia yang tak menyukainya. Dan akhirnya ia berhasil juga menjadi khan, pengganti
Mongka. Kemudian ia melanjutkan serbuannya dan berhasil menduduki seluruh daratan Cina,
mengangkat diri sebagai maharaja pertama dari kerajaan Yuan atau Goan.
Kekuasaan dan kekayaan memang sering menyilaukan orang. Demikian baginda Kertanagara,
demikian pula maharaja Kubilai Khan. Dan kedua, raja besar itu hidup sejaman, yang seorang di
utara dan yang seorang di selatan.
Kebangkitan seorang maharaja kuat di benua Cina itu terdengar pula oleh baginda Kertanagara.
Demikian kerajaan Singasari yang besar dan kuat itupun sampai juga ditelinga Kubilai Khan. Maka
baginda Kertanagara segera hendak mengambil langkah, mendahului Kubilai. Baginda hendak
mengirim pasukan ke Malayu untuk menanam pengaruh dan kekuasaan di kerajaan Malayu agar
dapat membendung kemungkinan serbuan pasukan Kubilai Khan.
Tetapi ternyata Kubilai Khan sudah mendahului. Maharaja itu mengirim utusan ke selatan dan
meminta kepada raja2 di Malayu, Sriwijaya dan Jawadwipa agar menghadap maharaja Kubilai Khan.
Berita tentang akan datangnya utusan dari Kubilai ke Singasari telah menggemparkan para
kawula Singasari. Diantara yang paling bingung adalah pa h Aragani. Karena lepas dari apa yang
akan dihaturkan utusan itu kehadapan baginda Singasari, tetapi baginda menitahkan supaya
diadakan penyambutan secara meriah dan terhormat. Sudah tentu upacara2 penyambutan itu
diiringi dengan gamelan2.
Untunglah pa h Aragani mendapat akal. Segera ia menitahkan pengalasan untuk membuatkan
gong sebagai pengganti dari gong keraton yang hilang itu.
Kuda Panglulut pun telah kembali dengan membawa keterangan bahwa pa h Kebo Anengah
marah sekali menerima surat dari pangeran Ardaraja itu. Pa h itu tak tahu menahu soal hilangnya
gong pusaka peninggalan empu Bharada di Lodoyo,mengapa pangeran Ardaraja mengirim surat
kepadanya, pada hal ia tak pernah berhubungan dengan pangeran itu. Kemudian pa h Kebo
Anengah menyatakan akan meminta keterangan kepada pangeran Ardaraja apabila kelak
berjumpa. Keterangan itu makin membingungkan pa h Aragani. Ia mulai menaruh kecurigaan bahwa bekel
Kalingga tidak memberi keterangan sejujurnya. Bahwa bekel itu tentu telah mendapat perintah dari
orang tertentu. Bahwa dengan demikian dalam kalangan mentri dan narapraja kerajaan Singasari,
terdapat orang atau golongan yang mengadakan kerjasama dengan Daha.
Kesimpulan2 itu mendorongnya pada dua langkah. Pertama ia harus lebih memperkokoh
kedudukannya dan hubungannya dengan baginda. Kedua, ia harus meningkatkan kewaspadaan
dan penelitian terhadap mentri, senopati dan narapraja di pura Singasari.
Demikian patih Aragani telah mengatur langkah.
Singasari bersiap siap menyambut kedatangan utusan raja Kubilai Khan. Baginda ingin
menunjukkan kebesaran dan kekuatan Singasari maka penyambutan itu harus diadakan secara
besar-besaran, lengkap dihadiri oleh para mentri hulubalang dan barisan2 kerajaan.
Sehari sebelum kedatangan utusan kerajaan Tartar ba, dalam balairung keraton Singasari telah
terjadi suatu peris wa yang menggemparkan. Keesokan harinya, prajurit bhayangkara telah
menemukan sebuah gong di halaman keraton.
Untunglah bekel Denta, penggan bekel Kalingga menerima laporan. Buru2 ia menyimpan gong
itu dan mendapatkan pa h Aragani. Pa h Aragani terkejut karena tahu bahwa itulah gong dari
keraton yang hilang tempo hari. Ia segera menitahkan bekel Denta supaya menggan gong yang
dipesan dari tukang pandai besi dengan gong yang sudah diketemukan itu.
Tetapi peristiwa itu terdengar juga oleh patih Kebo Anengah. Ia menemui patih Aragani.
Aragani menimpahkan kesalahan pada bekel Denta. Mendengar nama bekel Denta sebagai
kepala bhayangkara, patih Kebo Anengah terkejut dan menanyakan tentang diri bekel Kalingga.
Tetapi dengan kelincahan dan kelicinan bicara, Aragani memberi keterangan bahwa bekel
Kalingga telah melenyapkan diri entah kemana. Sebenarnya pa h Kebo Anengah hendak mengurus
lebih jauh tentang persoalan itu tetapi karena mengingat bahwa banyak pekerjaan yang lebih
pen ng menjelang kedatangan utusan dari Tartar, maka ia mengesampingkan urusan bekel itu.
Tindakannya hanyalah, bekel Denta dilepas dan sebagai gan nya, seluruh prajurit bhayangkara
dikepalai oleh bekel Mahesa Rangkah.
Aragani telah menderita kekalahan. Ia penasaran dan marah tetapi terpaksa ia harus
membiarkan hal itu terjadi. Ia masih mempunyai banyak kesempatan untuk merebut kembali
pengaruhnya dalam pasukan bhayangkara.
Kedatangan utusan Kubilai Khan tak lain hanya meminta agar baginda Kertanagara mengirim
utusan menghadap maharaja Kubilai Klian. Dan baginda akan mempertimbangkan permintaan itu.
Beberapa waktu setelah peristiwa itu maka baginda pun membuka pasewakan agung untuk
membicarakan tentang permintaan Kubilai Khan. Dengan tandas baginda menyatakan bahwa
Singasari menolak untuk menghadap raja Kubilai Khan. Apabila hubungan itu berdasar saling
hormat-menghormati kedaulatan masing2 dan bersifat persahabatan maka Singasari bersedia.
Tetapi apabila bersifat suatu pengakuan terhadap kerajaan Kubilai Khan sebagai yang lebih
tinggi dan tiap tahun Singasari harus menghaturkan bulubekti, gelondong pengareng-areng
Singasari menolak keras dan bersedia menghadapi segala akibat dari tindakan yang akan
diambil oleh Kubilai Khan.
"Untuk menegaskan sikap kerajaan Singasari hendaknya paduka berkenan mengadakan
persekutuan dengan Sriwijaya dan kerajaan2 tanah Malayu."
"Benar" ujar baginda Kertanagara "tetapi masih kurang tepat, engkau patih Aragani!."
Apanji Aragani terkesiap. Bergegas ia menghaturkan sembah untuk memohon petunjuk baginda.
"Bukan bersekutu" seru baginda "tetapi mempersatukan mereka kedalam lindungan Singasari.
Bukankah Singasari itu lebih besar dari Sriwijaya"."
"Benar, gus " seru pa h Aragani yang pandai mengiku hembusan angin "ibarat surya, sekarang
surya di langit Sriwijaya itu sudah pudar karena hampir silam. Dan surya pagi yang gemilang mulai
muncul dari celah2 gunung Meru, memancarkan sinar yang gemilang di bumi Singasari."
Baginda Kertanagara tertawa gembira sekali. Dan sekalian mentri senopa yang sama
menghadap hanya terlongong-longong dalam damparan gelombang yang menghilangkan segala
kesadaran dan per mbangan pikiran mereka. Ada beberapa mentri yang tahu akan hal itu namun
mereka masih jeri apabila teringat akan nasib wreddha mentri pa h empu Raganata, demung
Banyak Wide dan tumenggung Wirakreti.
Bahkan ke ga mahamentri kerajaan yani rakryan mentri Ino, rakryan mentri Sirikan dan rakryan
mentri Alu. Rakryan2 pratanda yani pa h Kebo Arema atau Kebo Anengah, demung Mapanji
Wipaksa, rakryan kanuruhan Mapanji Anurida, juga tak mengemukakan pendapat sesuatu apa.
Beberapa saat kemudian barulah sang Ramapa pimpinan dari ke ga kementrian yani pa h,
demung dan kanuruhan, menghaturkan kata.
"Perkenankanlah hamba, Ramapati menghaturkan sembah kata2 yang picik kebawah duli
paduka" kata Ramapati "dimuliakan kiranya oleh dewata, keinginan paduka untuk meluaskan
kewibawaan kerajaan Singasari sampai ke Sriwijaya dan tanah Malayu. Tetapi gusti
sesembahan para kawula Singasari, jina dari Tantrayana yang agung. Dalam menyusun
kekuatan untuk menghadapi kekuatan dari maharaja Kubilai Khan itu, hendaklah langkah paduka
mengarah pada arahan yang tepat. Sehingga janganlah tujuan yang baik rusak karena cara
yang kurang sesuai."
"O" desuh baginda Kertanagara "katakanlah paman Ramapa , apa2 yang paman kandung. Agar
lebih sempurnalah Singasari melangkah kearah kejayaan."
"Gus " kata kepala dari ke ga kementrian itu "betapa turun surya krjayua kerajaan Sriwijaya,
namun Sriwijaya masih tegak. Dan dikerajaan itu masih terdapat seorang pa h yang pandai yani
pa h Demang Daun Lebar. Apabila paduka menggunakan kekerasan, tentulah akan mbul
pertumpahan darah. Hamba percaya bahwa pasukan Singasari tentu dapat mengalahkan Sriwijaya,
tetapi hamba tak percaya bahwa baik fihak yang menang maupun yang kalah, takkan berkurang
kekuatannya. Bagaimana akibatnya, apabila dalam keadaan kedua fihak sedang menderita luka
parah maka raja Kubilai Khan lalu mengirim pasukan untuk menyerang" Tidakkah kita yang akan
menderita kerugian"."
Baginda mengangguk-angguk.
"Pendapat paman Ramapa itu memang tepat" ujar baginda "lalu dengan cara bagaimana kita
akan bertindak agar terhindar dari akibat2 itu"."
"Gus junjungan hamba yang mulia" ba2 pa h Aragani berdatang sembah "mohon dimaa an
apabila hamba lancang untuk menghaturkan sembah kata2 ini."
"Bicaralah" seru baginda.
"Pasukan Singasari berjumlah besar dan kuat serta mempunyai senopati2 yang digdaya
sakti. Bahwa pengiriman utusan dari raja Kubilai Khan itu jelas mengandung tekanan supaya
kerajaan Singasari manungkul dan mengakui kekuasaan kerajaan Tartar. Kerajaan Singasari
diwajibkan menghadap dan menghaturkan bulu upeti kepada Kubilai Khan. Hamba bukan
seorang senopati atau prajurit perang. Tetapi lebih baik hamba berkalang tanah daripada
bercermin bangkai. Lebih baik hamba menjadi bangkai daripada melihat Singasari harus
menyembah kepada Kubilai Khan."
Hiruk suasana sidang agung di balairung ketika mendengar kata2 patih Aragani. Baginda
Kertanagara pun bergeliat dari tahta singgasana.
"Pasukan Singasari bertumpah ruah memenuhi pura kerajaan. Mereka siap untuk melaksanakan
amanat paduka. Semangat mereka sedang dalam puncaknya, apabila mereka dibiarkan memenuhi
pura, tentulah akan menimbulkan akibat2 yang kurang layak bagi keamanan" kata pa h Aragani"
dan menurut hemat pa k yang picik ini, ada suatu pedoman dalam keprajuritan bahwa penjagaan
yang terbaik adalah penyerangan yang terbaik. Apabila pasukan Singasari telah menduduki tanah
Malayu dan Sriwijaya, bukankah bala tentara Kubilai Khan dapat kita hancurkan di tengah
perjalanan sehingga pura Singasari tak menderita kerusakan apa2."
Bagindapun mengangguk. "Hamba bukan bermaksud mencegah pengiriman pasukan Singasari ke Malayu, melainkan hamba
hanya mempersembahkan pendapat, alangkah baiknya apabila kedatangan pasukan Singasari itu
membawa suatu kedamaian dan persahabatan dengan mereka, terutama dengan kerajaan
Sriwijaya. Rasa persahabatan itu tentu akan mengikat mereka untuk membantu perjuangan
Singasari apabila Kubilai Khan benar2 mengirim bala tentara. Maksud persembahan kata hamba
tak lain, janganlah kita terpecah belah sendiri sehingga mudah dihancurkan oleh musuh dari
kerajaan Tartar itu."
Baginda Kertanagara menyetujui pendapat kedua mentri itu dan memutuskan. Bahwa pertama-
tama, Singasari akan datang dengan mengulurkan tangan persahabatan dan kedamaian. Apabila
hal itu gagal barulah menggunakan kekerasan untuk menguasai mereka.
Ke ka Baginda meminta pendapat siapa2 senopa yang layak memimpin pasukan Singasari ke
Malayu itu maka pa h Aragani segera berdatang sembah "Menurut hemat hamba, rasanya ada
seorang senopati yang lebih cakap, lebih gagah perkasa daripada ki patih Kebo Arema sendiri."
Terkejutlah sekalian mentri dan senopa mendengar usul pa h Aragani itu. Demikian pula yang
tersangkut atau patih Kebo Arema sendiri.
"Mohon paduka melimpahkan ampun yang sebesar-besarnya kepada diri Kebo Anengah, gus "
sembah pa h itu "jauh dari pikiran hamba untuk menolak tah paduka, ada pula se
k noda yang walaupun bagaimana kecilnya dalam ha hamba, bahwa hamba mengandung ha tak setya
kepada kerajaan paduka. Tetapi justeru karena memiliki rasa tanggung jawab akan keselamatan
dan kewibawaan kerajaan paduka, maka hamba memberanikan diri untuk menghaturkan kata2 ini.
Untuk melaksanakan tah paduka, rasanya ada yang lebih tepat daripada senopa Kebo
Anabrang. Selain memiliki pengalaman luas, gagah berani, tegas dan mempunyai kewibawaan
dalam kalangan prajurit, pun Kebo Anabrang sangat terpuji dalam menghadapi perundingan2
dengan kepala kerajaan lain dan mengatur serta menentukan langkah. Hamba percaya, gus ,
bahwa ditangan Kebo Anabrang, amanat paduka itu akan terlaksana dengan tepat dan berhasil
dengan gemilang." "Hamba setuju dengan hatur sembah" kata pa h Kebo Anengah, gus " ba2 rakryan Rama pari
berkata "pa h Kebo Anengah memang perlu sekali untuk menegakkan keamanan dalam kerajaan
paduka. Hamba mendengar bahwa sisa dari Linggapa di Mahibit yang pernah dibasmi oleh
rahyang ramuhun Kertarajasa, mulai bergerak untuk menyusun kekuatan di gunung Butak. Juga
sisa2 pengikut dari pangeran Kanuruhan di Glagah Arum, masih mencari kesempatan untuk
menimbulkan kekacauan. Dan disamping itu gus , hendaknya paduka jangan mengabaikan
pengawasan kepada Daha" Keterangan Ramapa itu telah menyadarkan sekalian mentri dan
senopa , betapa masih rawan keamanan dalam telatah kerajaan Singasari itu. Beberapa mentri
antara lain demung Mapanji Anurida, juga mendukung pernyataan Ramapati.
Setelah mendengar pernyataan dari beberapa mentri akhirnya baginda memutuskan untuk
mengangkat senopa Kebo Anabrang sebagai pemimpin pasukan Singasari yang akan dikirim ke
Malayu. Kepada Kebo Anabrang diperintahkan supaya segera menyusun pasukan, itu. Dalam waktu
singkat baginda akan memberi amanat tentang keberangkatannya.
Demikian perapatan agung telah paripurna dan pada malam harinya baginda menitahkan supaya
patih Aragani datang menghadap ke keraton.
"Aragani" tegur baginda "aku merasa gembira sekali atas perapatan agung pagi tadi. Para mentri
senopa seia-sekata setya melakukan cita aku meluaskan pengaruh Singasari sampai ke tanah
Malayu." "Benar, gus " kata pa h Aragani "perbedaan hanya pada soal cara tetapi tujuan sama. Kesatuan
dan persatuan dari para mentri hulubalang, senopa dan prajurit Singasari, merupakan tanda dari
suatu jaman baru yang akan disinari oleh kewibawaan dan kejayaan Singasari."
Baginda Kertanagara tertawa gembira.
"Engkau tahu, Aragani, mengapa engkau ku tahkan datang menghadap ke keraton ?" ujar
baginda. "Hamba mohon ampun, gus , manakala kata2 hamba ini tak berkenan pada paduka. Paduka
tentu merasa le h sehabis menghadiri perapatan agung hari ini dan paduka perlu dengan hiburan2
yang dapat melenyapkan kelelahan pikiran dan tenaga itu."
"Pintar sekali engkau, Aragani" seru baginda "bagaimana engkau dapat mengetahui isi ha ku,
Aragani " Jika begitu engkau ini manusia berbahaya, ha, ha, ha" baginda tertawa gelak2.
Sebenarnya hampir terasa berhen darah Aragani tatkala, baginda mengatakan dia seorang
manusia berbahaya. Tetapi bagai air mencurah dari bendungan yang bobol, maka lepas banglaslah
perasaan Aragani ke ka baginda menutup kata2 itu dengan tertawa gelak2. Jelas baginda hanya
berolok-olok. "Namun hamba persembahkan kebawah duli baginda atas ucapan2 hamba yang tak senonoh itu,
gus " kata pa h Aragani dengan merangkai kata2 yang mengambil ha "hamba memang
merasakan hal2 semacam itu pada diri hamba. Entah karena usia, entah karena memang
kegemaran hamba. Se ap hamba dipontang-pan ngkan oleh keresahan, kegelisahan dan kelelahan
bekerja, tentu hamba akan lari kepada sumber yang dapat memberi kesegaran kepada semangat
dan jiwa hamba, gusti."
"O" desuh baginda terkejut "sumber apakah itu"."
"Mungkin bagi lain orang menganggap sumber itu sebagai air racun yang akan membinasakan
raga tetapi bagi hamba sendiri, gus . Sumber itu merupakan seper Tirta Amerta, Air Kehidupan
yang besar daya khasiatnya terhadap diri hamba"
"Katakanlah, Aragani."
"Apakah paduka takkan murka kepada diri hamba dan menganggap bahwa hamba ini seorang
mentri lapuk"."
"Aneh" gumam baginda "aku belum mendengar apa yang hendak engkau katakan mengapa
engkau ketakutan sendiri "."
"Karena pada umumnya, orang menganggap demikian, gusti."
"Adakah engkau percaya bahwa aku juga memiliki anggapan seper kebanyakan orang itu,
Aragani "." Tersipu-sipu patih Aragani menghatur sembah.
"Ampun, gus junjungan hamba" katanya "bukanlah demikian yang hamba maksudkan. Karena
paduka gus , adalah nata binatara dari kerajaan Singasari yang besar, seorang jinah dari agama
yang agung. Tentulah beda, sebagai langit dengan bumi, kebijaksanaan baginda."
Baginda tertawa. Girang ia mendengar sanjung pujian yang dilontarkan pa h Aragani. Kemudian
ia menitahkan patih Aragani segera mengatakan hal itu.
"Bagi diri hamba peribadi gus , se ap kelelahan kericuhan pikiran, tentu hamba segarkan
dengan air sari nipah atau sari singkong atau jemelai. Air sari itu benar mempunyai daya khasiat
yang besar." "Tuak "." "Demikianlah, gusti" sembah patih Aragani.
"Ah, mengatakan tuak saja mengapa engkau harus melingkar-lingkar sedemikian jauh, Aragani."
"Mohon paduka melimpahkan ampun kepada, diri hamba, gusti."
"Apa yang harus kuberi ampun" ujar baginda "kegemaran itu adalah kebebasan peribadi dari
se ap orang. Yang pen ng, dari kegemaran itu, engkau memperoleh kesegaran semangat, jiwa dan
pikiran untuk dapat disumbangkan kepada kepentingan kerajaan."
"Demikian gusti."
"Banyak nian macam dan ragam orang mendambakan kegemaran. Dan janganlah engkau


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengekang diri dari-keinginan yang bergejolak dalam ha mu. Mengekang itu suatu pemaksaan,
bukan suatu pelepasan. Mungkin hari ini, besok atau lusa engkau mampu mempertahankan
pengekanganmu itu, tetapi karena engkau tak menemui pelepasannya, pada suatu saat tentu akan
meletus pula. Beda dengan suatu pelepasan. Apabila sudah lepas, maka engkau takkan resah dan
melekatkan pikiranmu lagi. Engkau dapat memusatkan pikiran dan perha anmu pada tugas2
kerajaan." Serta merta pa h Aragani menyembah ke bawah kaki baginda "Jayalah Singasari karena
dipertuan oleh seorang junjungan yang arif bijaksana bagaikan Hyang Wairocana menjelma di
bumi." "Ah, jangan terlalu nggi engkau menyanjung, Aragani" tegur baginda agak tersipu "kembalilah
pada persoalan tuak atau sumber Tirta Amerta yang engkau katakan tadi. Benarkah air itu
mempunyai daya khasiat yang sedemikian besar"."
"Demikianlah yang hamba lakukan sejak bertahun-tahun. Kata orang air itu dapat membinasakan
raga, menumpulkan otak. Tetapi ternyata dak demikian dengan diri hamba. Hamba bertambah
segar dan pikiran hambapun bertambah terang sehingga paduka berkenan melimpahkan
kepercayaan yang makin besar kepada diri hamba"
"O, adakah Tirta Amerta itu yang menghidupkan engkau, Aragani" Benarkah itu"."
"Demi Batara Agung, demi kehormatan hamba si tua Apanji Aragani ini" kata pa h itu dengan
nada dan wajah bersungguh.
"Pernah juga kuteguk air itu tetapi bukan kesegaran melainkan kepeningan yang kurasakan" ujar
baginda. "Ah, mohon paduka melimpahkan ampun gus " sembah pa h Aragani" sudah bertahun-tahun
hamba meneguk sumber air itu, sudah pula menjadi darah pada tubuh hamba. Seolah se ap tetes
darah dan butir keringat hamba adalah cucuran dari sumber air itu."
"Aneh" gumam baginda "adakah tubuhmu memiliki kelebihan dari aku?" '
"Bukan, gus " sembah Aragani "bagaimana mungkin tubuh seorang jnana seper paduka, takkan
memiliki kesucian yang lebih agung dari diri hamba. Karena makin berada pada tubuh yang agung,
makin sumber air itu memancarkan daya khasiat yang lebih cemerlang."
"Aragani" ujar baginda "katakanlah yang harus engkau haturkan kepadaku."
"Menurut hemat hamba, kemungkinan hanya terdapat dua hal yang belum terlaksana" kata
pa h Aragani "pertama, memang pada mulanya sumber itu akan membuat kepala pening dan
pikiran merana. Tetapi setelah beberapa waktu membiasakan meneguk, rasa pening dan merana
itu akan ba pada suatu alam yang tak pernah kita temukan di dunia kecuali di In-draloka tempat
para dewa2." "Dan yang kedua, antara sumber air daklah sama. Ada sumber air yang benar2 memiliki daya
khasiat dan ada pula yang kurang memiliki daya khasiat. Oleh karena itu haruslah dipilih sumber
air yang murni" "O, maksudmu, tuak itu berbeda-beda ?khasiatnya "."
"Demikianlah gusti."
"Lalu apakah engkau mempunyai sumber air yang murni"."
"Oleh karena sumber, air itu merupakan sumber hidup tenaga, raga dan jiwa. hamha maka
hambapun memilihnya dengan cermat sekali. Bahkan ramuannya adalah menurut peninggalan
kakek moyang hamba turun temurun."
"Jika demikian" kata baginda "cobalah engkau haturkan sumber air milikmu itu kepadaku."
"Baik, gus " Aragani segera menghaturkan piala kecil yang terbungkus dengan kulit rusa
"sesungguhnya hamba ingin menghaturkan kebawah duli paduka tetapi hamba takut paduka akan
murka kepada hamba."
"Mengapa murka "."
"Karena banyak orang yang menganggap tuak adalah sumber kebinasaan raga dan jiwa.
Walaupun mereka kurang menghayati khasiat yang sesungguhnya dari tuak itu."
Baginda segera menyambuti dan meneguknya "Ah, harum benar, menyegarkan semangat."
Aragani menambahkan pula bahwa rasa dan khasiat dari tuak itu jauh lebih hebat lagi daripada
baunya yang harum. Beberapa saat kemudian baginda berujar bahwa memang ia merasakan semangatnya lebih segar
dan pikirannya lebih lepas, seolah segala keletihan pikiran dan tubuh, hilang semua.
Sejak itu baginda berkenan menitahkan pa h Aragani untuk membuatkan ramuan tuak.
Hubungan antara raja dan pa hpun makin erat. Melalui tuak, keduanya telah mencapai
k persamaan dalam kenikmatan tuak yang oleh patih Aragani disanjung sebagai sumber air.
Pada suatu hari maka baginda ber tah bahwa baginda hendak melangsungkan niatnya
memungut pangeran Ardaraja sebagai menantu.
Diam2 Aragani terkejut. Tidakkah hal itu akan memberi peluang bagi akuwu Jayakatwang
menanamkan pengaruhnya memalui puteranya itu" Dari dakkah pula. hal itu akan melengahkan
peihatian baginda terhadap pengawasannya kepada Daha"
Makin merenungkan hal itu makin dibayang pula pikiran pa h Aragani akan hal yang
mencemaskan hatinya. Berbahaya. Akhirnya ia bertemu pada kesimpulan yang menyeramkan.
Tetapi patih itu memang seorang yang licin dan licik. Walaupun di hati tak setuju tetapi ia
harus memaksa mulutnya tertawa menyetujui. Apabila ia menentang, kemungkinan ia akan
mengalami nasib seperti empu Raganata, Banyak Wide dan Wirakreti. Pohon jati, keras dan
kokoh, tak mudah dilanda angin. Tetapi kekerasan dan kekokohan itu memerlukan suatu
keimbangan antara akar dan batang. Adakah ia memiliki kedua syarat itu" Tidak. Ia tidak
mempunyai akar atau pengaruh. Tidak pula memiliki batang keras atau kekuatan yang
menguasai kalangan narapraja maupun pasukan.
Oleh karena itu ia lebih menyukai memilih sifat rumput yang ikut rebah kemanapun angin
meniup. Lemas tetapi ulet tak mudah patah. Makin ditiup angin makin subur.
"Bagaimanakah sikap akuwu Jayakatwang terutama pangeran Ardaraja sendiri, gus ?" ia hanya
dapat mengadakan pertanyaan.
"Sudah tentu akuwu Daha dan puteranya akan girang dan bersyukur menerima anugerahku itu."
"Adakah para mentri dan senopati paduka juga demikian "."
"Mereka patuh dan setya akan titah raja. Dan bagaimana dengan engkau sendiri, Aragani"."
"Suatu langkah yang amat bijaksana, gus . Dengan ikatan keluarga itu tentulah Daha takkan
mengandung maksud untuk melepaskan diri dari kerajaan paduka. Dan akan berakhirlah naluri
permusuhan turun temurun antara Singasari-Daha dalam suatu mahligai kedamaian yang bahagia.
Dan hambalah yang paling bahagia sendiri, gusti."
"Mengapa "."
"Karena hamba tentu akan menikmati tuak istimewa. Bukankah dalam peralatan pernikahan
agung itu, tentu akan paduka titahkan suatu perjamuan yang mewah "."
Baginda tertawa gelak2. Demikian kelicinan patih Aragani. Walaupun dalam hati menentang
tetapi mulut setuju. Tiba di rumah, ia merenungkan peristiwa itu sampai malam. Ia membayangkan bahwa
kedudukannya sebagai patih tentu akan terancam. Paling tidak pangeran Ardaraja tentu akan
mendapat tempat di hati baginda. Dan menurut keyakinannya, tak mungkin pangeran itu akan
mendambakan kesetyaannya kepada ayahanda mertuanya lebih besar daripada ayahnya
sendiri. Betapapun akuwu Jayakatwang itu adalah ayahnya sendiri. Dalam hubungan itu tentulah
dia akan mendapat tekanan dari ayahnya.
Membayangkan kemungkinan itu, pa h Aragani makin cernas. Ia mendapat laporan dari mata2
yang ditugaskan untuk mengawasi gerak gerik akuwu Daha, bahwa Daha saat ini sedang giat
memperbesar pasukannya. Apa maksud akuwu Jayakatwang" Bukankah sebagai bawahan dari
Singasari, Daha harus mempercayakan soal keamanan kepada Singasari "
Pernah pada suatu kali ia berhasil menganjurkan baginda untuk menegur ndakan Daha. Tetapi
dengan cerdik akuwu Daha memberi alasan bahwa ndakannya itu justeru sebagai pernyataan
setya kepada Singasari. Apabila Daha sudah mampu untuk menjaga keamanan daerahnya,
bukankah Singasari dapat menggunakan pasukannya untuk melaksanakan cita-citanya meluaskan
pengaruh ke tanah seberang. Soal Daha tak perlu dikua rkan karena akuwu Jayakatwang selalu
mengingat budi baginda Kertanagara yang telah menobatkan dia menjadi raja Daha. Demikian
alasan Jayakatwang yang dipersembahkan kehadapan baginda Kertanagara.
Sekonyong-konyong terdengar suara hiruk pikuk di belakang. Bahkan terdengar pula suara tangis.
Aragani terpaksa beranjak dari tempatnya dan menuju ke tempat itu. Ternyata suara itu berasal
dari ruang tempat nggal Panca, hamba tua yang sudah ikut padanya selama berpuluh tahun.
Panca menjadi orang kepercayaan yang diserahi untuk mengurus rumahtangga kepatihan.
"Mengapa ?" tegur Aragani kepada isteri Panca yang saat itu sedang menelungkupi Panca. Panca
rebah di pembaringan, dikerumuni oleh beberapa bujang.
"Paman Panca ..... meninggal, gusti" seorang bujang lelaki segera memberi keterangan.
"Panca meninggal ?" Aragani terkejut "kenapa"."
"Menurut keterangan bibi Panca, paman telah minum tuak."
Aragani makin terkejut "Hai, nyi Panca, mengapa suamimu meninggal"."
Dengan menahan isak, perempuan itu memberi keterangan "Benar, gusti, memang suami
hamba telah meninggal secara aneh. Pada hal siang tadi dia masih segar bugar."
"Meninggal secara aneh " Apa yang aneh "."
"Dari lubang hidung, mulut dan telinganya telah mengucurkan darah."
"Apa sebabnya "."
Sebelum menghembuskan napasnya yang terakhir, dia sempat mengatakan bahwa ia telah
minum tuak." "Dimana "."
"Di ruang tempat simpanan tuak paduka, gusti."
"O" Aragani mendesuh kejut. Ia segera memerintahkan supaya membuka kain yang menutup
muka Panca. Ke ka melihat muka Panca, ngeri juga perasaan Aragani. Hidung, mulut dan telinga
bujang tua itu memang berlumuran darah.
Aragani segera menitahkan supaya Panca dirawat baik2, kemudian ia menuju ke ruang
penyimpanan tuak. Setelah memeriksa ia makin terkejut, Ternyata tuak yang berwarna merah dan disimpan dalam
sebuah kotak tersendiri telah terbuka dan isinyapun berkurang.
"Ah" ia mendesuh panjang "dia tentu minum tuak yang ini. Mengapa dia tak mau mengatakan
kepadaku "." Tuak itu bukan tuak biasa melainkan tuak yang mengandung ramuan racun. Barang siapa
meminumnya tentu mati. Tetapi apabila hanya dituang sedikit untuk dicampurkan kepada tuak lain
maka orang yang minum itu dak akan sampai ma melainkan lama kelamaan daya pikirannya
akan tumpul. Dengan tuak itulah ia hendak mencampurkan kedalam tuak yang dipersembahkan
kepada baginda. "Karena minum terlalu banyak, maka pecahlah urat nadi Panca" diam2 ia merangkai dugaan.
Tetapi diam2 iapun terkejut atas keganasan daya tuak beracun itu.
Serentak iapun teringat akan orang yang telah memberikan tuak beracun itu. Empu Kanda yang
nggal dipuncak gunung Argapura, terkenal dengan kepandaiannya membuat ramuan jamu,
termasuk jamu2 yang beracun. Empu itu seorang pawang ular yang termasyhur.
Pada suatu hari Aragani berkunjung ke tempat empu Kanda dan menyatakan maksudnya hendak
meminta ramuan obat beracun yang daya kerjanya lambat. Supaya ramuan racun itu dibuat
sebagai tuak dan dapat dicampurkan kedalam tuak.
"Tuak ini beracun sekali. Apabila diminum secawan penuh. Orang tentu akan ma dengan ngeri.
Kelima indera lubangnya akan mengucurkan darah" kata empu Kanda pada saat menyerahkan tuak
beracun itu "tetapi kalau sedikit dan dicampurkan kedalam tuak, orang yang meminumnya akan
kehilangan daya pikirannya dan lama kelamaan akan tumpul ingatannya."
Ternyata yang dikatakan empu itu memang benar. Bujang tua Panca karena mungkin melihat
tuak itu terus mbul seleranya. Dicurinya tuak itu lalu diteguknya sampai puas. Memang rasa tuak
itu harum dan nikmat. Baunya saja sudah memikat selera minum. Tetapi karena minum terlalu
banyak, Panca harus menemui ajalnya secara mengenaskan.
"Ya, benar" ba2 pa h Aragani terlintas sesuatu gagasan "aku harus menemui empu Kanda,
Apabila mendapat tuak atau ramuan racun yang bekerja secara halus, tentulah dapat kulenyapkan
pangeran Ardaraja." Serentak terbetiklah suatu rencana jahat dalam hati patih itu.
"Tetapi" beberapa saat kemudian ia terbentur pada lain pikiran "harus kulihat dulu bagaimana
perkembangannya. Apabila pangeran itu bersikap baik dan bersahabat dengan aku, tak perlu
aku harus menindaknya. Dia dapat kuperalat untuk menguasai kedua pemerintahan Singasari
dan Daha." Karena mbulnya gagasan baru itu, maka Aragani menunda pula rencananya untuk menuju ke
gunung Penanggungan. "Tetapi karena tuak merah hampir habis, baiklah kuperintahkan seorang
pengalasan untuk meminta lagi kepada empu itu."
Demikian setelah diper mbangkan dengan masak dengan dasar bahwa pekerjaan dalam
kerajaan Singasari sukar untuk di nggal, begitu pula apabila ia tak berada dalam pura Singasari
tentu cepat menarik perha an para mentri terutama baginda Kertanagara, maka ia memutuskan
mengirim seorang pengalasan. Pengalasan itu diperintahkan menghadap empu Kanda di puncak
gunung Penanggungan untuk menyerahkan suratnya.
Keesokan harinya ia segera memanggil seorang pengalasan yang dipercaya, menyerahkan
sepucuk surat dan menyuruhnya segera berkuda menuju ke puncak Penanggungan, menghadap
empu Kanda. Beberapa hari kemudian, baginda telah memanggilnya "Paman pa h" ujarnya baginda "rasanya
tiada lain mentri yang layak kuserahi tugas ini daripada engkau.."
"O, apakah yang paduka hendak tahkan kepada Aragani, pas akan hamba lakukan dengan
sepenuh jiwa raga hamba, gusti."
"Engkau pandai bicara, mahir merangkai kata," ujar baginda "engkau kuutus ke Daha,
menghadap Jayakatwang dan membicarakan tentang pernikahan pangeran Ardaraja dengan salah
seorang puteriku.." Aragani terkesiap. Ia tak menduga bahwa sedemikian cepat baginda melaksanakan rencananya
untuk memungut menantu pada pangeran Ardaraja. Namun kesiap itu cepat dihapusnya dengan
mencerahkan airmukanya. "Baik gusti. Mana2 titah paduka pasti akan hamba laksanakan."
"Tetapi rangkailah kata2 dalam pembicaraanmu, agar Jayakatwang jangan mempunyai kesan
bahwa aku mempunyai maksud lain dalam menjodohkan puteranya dengan puteriku, kecuali
Heng Thian Siau To 1 Pendekar Gila Karya Cao Re Bing Golok Naga Kembar 6
^