Pencarian

Dendam Empu Bharada 19

Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana Bagian 19


harus berhenti di tepi jalan karena kehabisan napas.
"Ki sanak, hendak ke mana engkau?" ba2 terdengar suara orang berseru. Pemilik kuda itu
berpaling "Hah, engkau . . . kemana kawanmu itu .... ?" tegurnya tersendat-sendat setelah mengenali orang
yang menghampirinya itu adalah Podang, kawan Wijaya.
Waktu pemilik kuda lari, Podangpun mengikuti. Keduanya kini berada di tepi gerumbul pohon.
Entah berapa buah bulak yang telah dilalui mereka.
"Aku juga tak tahu .... " napas Podang pun terengah-engah.
"Kawanmu telah melarikan kudaku" kata orang nggi itu "dia curang, tentu engkau juga. Jika dia
tak membawa kembali kuda itu, engkau akan kubawa"
Podang terbeliak "Engkau hendak membawa aku kemana?"
"Akan kuserahkan kepada lurah prajurit karena kawanmu .... eh, kakangmu telah melarikan
kudaku" "Jangan sembarangan mengucap, ki sanak." Podang menolak "jika sampai terjadi sesuatu dengan
kakangku, engkaulah yang akan kuserahkan kepada lurah prajurit supaya dihukum"
"Mengapa ?" "Karena kudamu telah mencelakai saudaraku"
"Gila engkau," teriak orang bertubuh tinggi itu "saudaramu yarg membawa lari kudaku ...."
"Tidak, kudamu yang membawa lari saudaraku !"
"Tidak mungkin kuda akan lari apabila tidak dipacu saudaramu"
"Mustahil saudaraku mau dibawa lari entah kemana kalau dak kudamu yang liar itu
membawanya " Podang tak mau kalah bicara.
"Eh, anakmuda, rupanya engkau belum tahu aku ini siapa, bukan?"
"Mengapa aku harus tahu " Pokok, apabila saudaraku sampai ter mpa sesuatu, engkau harus
mempertanggung jawabkan"
"Ketahuilah, aku bernama Jangkung, orang yang paling ditaku seluruh penduduk desa Walandit.
Jika tidak ada aku, desa Walandit tentu sudah dikuasai orang Himad. Nah, engkau harus mengerti!"
Podarg terlongong. Siapa orang Himad, mengapa mereka menguasai tanah Walandit, dia tak tahu
menahu dan tak perlu tahu karena ada kepen ngan. Dalam perbantahan itu, ia mendapat kesan
bahwa orang tinggi itu agak ketolol- tololan tetapi lugu.
"Mengapa aku harus mengerti persoalan di desamu" " akhirnya ia berseru.
"Penting agar engkau jangan berani bersikap kurang ajar kepadaku"
Podang hendak tertawa tetapi ditahannya "O, begitu. Tetapi kalau aku tak takut, lalu?"
"Itu berarti engkau cari penyakit, kawan"
"Penyakit dari mana ?"
"Dari ini " orang tinggi yang mengaku bernama Jangkung itu mengacungkan tinjunya.
"O, ya, memang aku takut," kata Podang mengimbangi ketololan orang "tetapi kawanku yang
satu tidak takut" "Kawanmu yang melarikan kudaku itu?"
"Bukan" "Lalu yang mana" Aku tak melihat engkau membawa kawan. Apakah kawanmu bersembunyi?"
"Tidak sekali-kali"
"Jangan bergurau! Mana kawanmu?"
"Ini" Podang juga menunjukkan tinjunya "kawanku ini" ia menuding dengan jari tangan kiri ke-
arah tinju tangan kanannya "tak kenal takut. Kuharap engkau jangan main2 dengan dia"
"Kurang agar " pekik Jangkung "engkau mengolok-olok aku"
"Sama sekali tidak, ki sanak," seru Podang dengan kerut bersungguh "apa engkau tak percaya?"
"Setan" ba2 Jangkung terus menghantam dan Podangpun menangkis. Krak, nju mereka saling
berhantam dan keduanya sama2 meringis kesakitan.
"Kawanmu hebat " seru Jangkung.
"Penyakitmu juga hebat," balas Podang. Jangkung tertawa gelak2, Podangpun ikut tertawa geli.
Tiba2 tangan Jangkung menyambar kepala Podang terus dicengkamnya kuat2. Gerakan itu
dilakukan cepat sekali sehingga Poiang tak sempat menyingkir. Tetapi dia masih punya akal. Ke ka
mukanya melekat pada dada orang, dia terus menggigit. "Auh ...." Jangkung menjerit dan loncat
mundur. Buah dadanya berhias bekas gigi "Engkau seperti anjing, suka menggigit"
"Engkau seperti kera suka memeluk" Podang tak mau kalah bicara.
"Engkau tak takut kepadaku ?" seru Jangkung.
"Tidak" "Aneh," gumam Jangkung "pada hal seluruh rakyat tanah perdikan Walandit takut kepadaku. Apa
engkau tak percaya?"
"Mungkin" "Hm, akan kuberikan buk " Jangkung terus ayunkan langkah beijalan. Melihat itu Podang
tercengang " hai, kemana engkau " " teriaknya seraya mengejar.
"Pulang ke Walandit. Akan kubawa engkau kehadapan ki buyut " kata Jangkung seraya
lanjutkan langkah. Dia berjalan terus tanpa menghiraukan Podang dan bahkan kemudian lari.
Setelah melewati beberapa buah bulak, napasnya mulai memburu keras. Ia berhenti.
"Buyut itu seorang ketua tanah perdikan Walandit yang dihorma seluruh rakyat. Dia seorang
buyut yang bijaksana, pandai dan adil. Se ap keputusan yang diberikan terhadap se ap persoalan
selalu ditaa oleh orang. Engkaupun harus taat kepadanya," kata Jangkung seraya hen kan larinya.
Dia berjalan dan berbicara.
Beberapa saat kemudian orang yang bertubuh tinggi itu heran "Mengapa engkau .... " ia
mengkal karena tiada yang menyahut pembicaraannya maka berputarlah dia. Konon
maksudnya hendak mendamprat. Tetapi kata2 terhenti setengah jalan manakala ia tak melihat
Podang berada dibelakang "Setan, mengapa dia tak mengikuti aku ?"
Dan terlintas suatu alasan yang amat bersahaja serta sederhana dalam benaknya "Kalau dia tak
mau ikut, apa guna aku pulang ke desa?"
Jangkung memang tak pernah berbohong. Rakyat didesanya memang takut kepadanya. Bukan
karena Jangkung jago berkelahi, melainkan takut karena Jangkung seorang yang jujur dan lugu. Apa
saja yang dilihat, didengar dan diketahui, tentu dikatakan.
Walandit merupakan sebuah tanah perdikan di gunung Tengger. Tanah perdikan itu, dikukuhkan
oleh sebuah prasas empu Sindok yang berlencana. Isinya menguatkan bahwa sang hiang darma
kebuyutan di Walandit itu mempunyai kedudukan swatantra, tak boleh diganggu gugat dan
berkebebasan. Tetapi para dapur atau orang Himad telah mengurusi dan mengawasi tanah
perdikan dan kebuyutan Walandit. Sebenarnya rakyat Walandit tak senang tetapi mereka tak
punya buk untuk menunjukkan alasan mereka bahwa perdikan Walandit itu sebuah swatantra.
Prasas yang berasal dari empu Sindok atau baginda Sindok, yang dibubuhi dengan lencana, buk
pengukuhan tanah perdikan Walandit sebagai swatantra yang bebas, telah hilang.
Sudah beberapa turunan, keluarga Jangkung nggal di Walandit sehingga nenek moyangnya tahu
perihal prasas Sindok berlencana itu. Ayah menceritakan kepada anak, anak kepada cucu, cucu
kepada buyut, buyut kepada cicit demikian turun menurun nenek moyang Jangkung selalu
menceritakan tentang prasas Sindok itu. Hilangnya prasas itu terjadi pada waktu Jangkung masih
kecil. Tetapi Jangkung sempat mendengar cerita dari ayahnya dan ia mengukuhi kesaksian itu.
Pedanda2 Himad yang menguasai dharma kebuyutan Walandit terpaksa harus tahan diri karena
sikap Jangkung yang kukuh.
Sejenak berhen maka pikiran Jangkung teringat pula akan kuda hitam "Hm, peris wa ini tepat
dengan ulah para dapur Himad. Mereka memindahkan kundi thani atau kendi milik kebuyutan
Walandit ke daerah Himad. Pemuda bagus itupun melarikan kuda hitam untuk dimilikinya. Dengan
para pedanda Himad, aku bersikap keras. Kalau mereka berani menguasai tanah perdikan
Walandit, akulah yang akan menghadapi mereka. Mengapa aku tak berkeras kepada kawan dari
pemuda yang melarikan kuda hitam itu?"
"Uh, benar. Dia harus kupaksa supaya menunjukkan tempat kawannya yang lari itu," katanya
seorang diri lalu ayunkan langkah balik ke timur untuk mencari Podang.
Podang sedang beristirahat dibawah pohon. Biarlah orang tinggi itu berlari-lari seorang diri. Perlu
apa harus mengikutinya" Lebih baik dia berisrirahat dibawah keteduhan pohon.
"Kemanakah gerangan raden Wijaya" Apakah dia tak mampu menguasai kuda hitam itu?"
"pikirannya tak ada pada orang nggi lagi melainkan pada Wijaya "kemanakah aku harus
mencarinya?" Surya makin panas dan sejak pagi diapun belum makan. Dibawah keteduhan pohon yang
rindang, berhembuskan angin semilir, ia tertidur.
Entah berapa lama ia ter dur, ke ka terjaga ia terkejut. Tak jauh dari tempat ia dur, tampak
sesosok tubuh tertelentang membujur diatas rumput. Orang itu tak lain adalah Jangkung, pemiiik
kuda hitam. Ia merasa heran mengapa orang tinggi itu juga ikut tidur"
Belum sempat ia menegur, tiba2 muncullah seorang lelaki tak dikenal. Umurnya disekitar
tigapuluhan tahun. Dandanannya bukan seperti orang Singasari, juga bukan seperti orang Bali.
Entah, baru pertama kali itu Podang melihat seorang asing semacam itu. Orang itu
menghampiri Jangkung lalu menyepaknya " Hai, bangun"
Jangkung gelagapan, melonjak bangun " Hah, siapa engkau " ia rentangkan mata menegur.
"Aku dari kerajaan Galuh Pajajaran"
"Pajajaran?" Jangkung mengernyut dahi berpikir "kerajaan mana itu " Mengapa aku tak pernah
mendengar nama kerajaan itu?"
"Jauh sekali di belah barat. Tak mungkin engkau kesana"
"Ah, jangan mengatakan begitu. Hidup manusia itu tak berketentuan. Buktinya engkaupun
datang ke Singasari, mengapa aku tak mungkin ke daerah kerajaanmu ?"
"Baik" kata orang Pajajaran itu "kalau kelak engkau hendak ke Pajajaran, aku bersedia
menunjukkan jalan" "Ah, engkau sungguh baik" Jangkung tertawa. Tiba2 dia meregang wajah "tetapi mengapa engkau
menyepak tubuhku ?" "Supaya engkau bangun"
"Apa begitukah cara orang2 kerajaan Pajajaran kalau membangunkan orang?"
Orang Pajajaran itu tertawa meringis. Namun ia sempat memperha kan bahwa Jangkung itu agak
ketolol-tololan. Baiklah ia mengiku gaya orang itu "Ya, memang demikian. Bahkan ada kalanya
dipukul dan digebuk"
"Gila " teriak Jangkung "orang Singasari lebih beradab dan sopan santun. Membangunkan orang
tentu dengan pelahan- lahan"
"Lain lubuk lain belalang. Lain desa lain cara. Kita mempunyai adat dan cara sendiri2," jawab
orang Pajajaran itu. "O " desuh Jangkung "lalu apa maksudmu membangunkan aku ?"
"Mengapa engkau tidur diatas rumput?"
"Aku menunggu dia," Jangkung menunjuk kepada Podang.
"Siapa dia ?" "Entah" "Engkau tak kenal padanya ?"
"Tidak" "Mengapa engkau tidur didekatnya?"
"Menunggunya" "Menunggu " Kenapa menunggu ?"
"Dia tidur, akupun terpaksa ikut tidur. Dia adalah kawan dari pemuda bagus yang melarikan
kudamu" "Dimana kuda hitam itu " Bukankah engkau pemilik kuda itu?" ba2 orang Pajajaran itu
menerkam tangan Jangkung. Rupanya Jangkung kesakitan. Dia meronta tetapi tak mampu melepas
tangannya. "Lepaskan tanganku ! " teriak orang tinggi itu.
"Jawab dulu pertanyaanku tadi"
"Ya, aku memang pemilik kuda itu?"
"Dimana kuda itu sekarang?"
"Dibawa lari kawan orang itu " Jangkung menunjuk Podarg.
Orang Pajajaran itu lepaskan cengkeramannya lalu menghampiri ke muka Podang "Benarkah
kata2 orang tinggi itu ?"
"Benar tapi salah " sahut Podang.
Orang Pejajaran membelalak "Apa maksudmu ?"
"Memang kuda itu lari bersama kakangku tetapi bukan kakangku yang melarikan kuda melainkan
kuda itu yang membawa kakangku"
"Engkau harus bicara yang jujur," ancam orang Pajajaran "kalau berani berbohong, tulangmu
tentu kupatahkan" Podang seorang jejaka muda. Tentu saja dia masih berdarah panas dan marah mendengar
dirinya hendak diremas orang tak dikenal itu "Engkau mau percaya atau dak, terserah. Apa hakmu
hendak mematahkan tulangku ?"
"Aku berhak mematahkan tulang siapa saja yang berani mengambil kuda hitam itu .. . ."
"Itu milik orang tinggi " bantah Podang.
"Ya, tetapi aku menghendaki. Kudengar dari beberapa orang tentang seorang nggi yang
membawa seekor kuda hitam mulus yang gagu. Tidak dijual tetapi hendak diberikan kepada orang
yang dapat menguasainya. Benarkah itu ?"
"Hm " desuh Podang.
"Benar " seru Jangkung.
"Aku segera bergegas kemari hendak menaiki kuda itu," seru orang Pajajaran "mengapa engkau
berikan kepada lain orang?"
"Gila " teriak Jangkung "beratus-ratus orang menyaksikan peris wa bagaimana beberapa orang
yang coba2 hendak menaiki tentu dilempar oleh kuda hitam itu. Kemudian sampai kering
kerongkonganku menawarkan, tetap tak ada orang yang berani. Baru kemudian seorang pemuda
bagus, saudara dari orang itu, maju dan mencobanya"
"Dimana dia sekarang?"
"Itulah yang hendak kucari. Dia melarikan kuda itu kearah sana." Jangkung menunjuk ke arah
barat. "Engkau goblok " bentak orang Pajajaran itu "mengapa dak tunggu kedatanganku " Mengapa
engkau berani sembarangan memberikan kepada orang?"
Jangkung terbeliak. Podang tertawa "Memang benar engkau goblok, orang tinggi " serunya.
"Setan, engkau juga memaki aku goblok?"
"Betapa tidak ?" sahut Podang "coba engkau jawab pertanyaanku. Kuda hitam itu milik siapa?"
"Milikku" "Engkau berhak penuh atas kuda itu?"
"Tentu" jawab Jangkung "hendak kujual, hendak kuberikan orang, hendak kubawa pulang, itu
hakku" "Tetapi mengapa engkau diam saja dimaki goblok dan dibentak-bentak orang karena engkau
memberikan kuda itu kepada orang?" Podang meluapkan kata2 seper air menumpah "Engkau
diam saja, berarti engkau tidak berhak atas kuda itu ! Atau engkau memang goblok"
Jangkung terbeliak lalu menghadap kearah orang Pajajaran itu "Hai, kata2 anakmuda itu
benar. Kuda itu milikku sendiri, peduli engkau hendak kuberikan kepada siapa ! Mengapa
engkau memaki aku goblok ?"
"Oleh karena engkau berani menyerahkan kuda itu kepada orang. Jika engkau tak dapat
menyerahkan kuda itu kepadaku, engkaulah yang harus jadi penggan nya," kata lelaki dari
Pajajaran. "Menjadi penggantinya " Maksudmu aku . . . ."
"Jadi kuda! " teriak Podang tertawa mengejek.
Seke ka Jangkungpun marah "Eh, orang Pajajaran, engkau menghina aku. Aku manusia, bukan
kuda. Dan kuda hitam itupun milikku, mengapa harus kuserahkan kepadamu " Tidak! Walaupun
aku dapat menemukan kuda itu kembali, tapi takkan kuserahkan kepadamu"
"Hm, rupanya engkau belum kenal siapa Munding Larang," serta berkata orang itupun maju dan
menyambar bahu Jangkung. Tetapi kali ini Jangkung sudah siap. Menyingkir ke samping ia maju
mendekat dan meninju dada orang, duk ....
"Uh " terdengar pula suara mengeluh, disusul pula dengan bunyi nju menghantam tubuh, duk
.... Memang Jangkung telah berhasil mendaratkan njunya ke dada orang. Tetapi ia terkejut ke ka
orang Pajajaran itu tak kurang suatu apa, kecuali hanya terdorong mundur setengah langkah.
Dalam saat mundur itu tangannya cepat sekali menyambar pergelangan tangan Jangkung lalu
dipelin rnya. Jangkung mengeluh kesakitan. Ia menghantam lagi dengan tangan kiri dan mengenai
bahu lawan tetapi orang itu tak mengunjuk, kesakitan apa2. Bahkan melangkah maju, ia memelin r
tangan Jangkung sehingga Jangkung terbalik menghadap ke belakang, tangannya dikuasai Munding
Larang. Podang terkejut melihat kesaktian orang itu. Ada suatu perasaan suka terhadap Jangkung.
Karena ketololan dan keluguannya. Dan apabila secercah rasa sudah memercik dalam hati
sanubari, maka timbullah rasa-rasa yang lain. Baik sebagai akar kelanjutan dari rasa suka,
ataupun rasa ingin melindungi hal2 yang tertumpah rasa suka itu. Tindakan Munding Larang
terhadap Jangkung, sudah tentu menimbulkan tanggapan dalam hati Podang. Orang Pajajaran
hendak mencidera Jangkung, orang yang mendapat rasa-suka hati Podang. Tindakan orang
Pajajaran mengganggu rasa-suka hati Podang. Terutama ulah orang Pajajaran yang dianggap
kasar dan liar, membangkitkan kemarahan Podang.
"Jangan mengganggu orang," teriaknya ke ka ia loncat kebelakang Munding Larang dan
mencengkeram bahunya lalu disentakkan kuat2 ke belakang. Uh .... ia terpelan ng dan pada lain
saat tengkuknya telah dicengkeram lawan, "Huh, anak kemarin sore, berani kepadaku"
Waktu mencengkeram bahu orang, jelas Podang merasa bahwa tangannya telah menerkam kuat2
maka ia-pun lalu menyentakkan kebelakang. Tetapi alangkah kejutnya ke ka waktu menyentak
kebelakang itu bahu orang terasa amat licin sekali sehingga tangannya terlepas dan tersentak
kebelakang, membentur tubuhnya sehingga ia terpelanting.
Kini Munding Larang berhasil menguasai Jangkung dan Podang. Jangkung diteliku tangannya ke
belakang, Podang dicekik tengkuknya. Bermula Podang berusaha meronta tetapi bukan saja ia tak
berhasil lepas, pun bahkan disebelah sana Jangkung menjerit-jerit kesakitan. Adalah karena
sebelah tangan harus bergerak menekan tengkuk Podang maka sebelah tangannya yang meneliku
tangan Jangkung ikut bergerak. Akibatnya Jangkung menjerit-jerit karena tulang lengannya seper
mau putus. Kini kedua orang, itu tak dapat bergerak lagi.
"Jika engkau tak mau menyerahkan kuda hitam itu kepadaku, lenganmu akan kupatahkan," ia
mengancam Jangkung. Jangkung menahan rasa sakit "Tidak mungkin aku mau memberikan kepadamu"
"Apa katamu" " Munding Larang menegas dan menjulangkan tangannya keatas sehingga
Jangkung menguak kesakitan. Keringat bercucuran menyimbah dahi.
"Ki sanak " ba2 Podang berteriak karena mendengar erang kesakitan Jangkung "jangan engkau
menyiksa kakang yang bertubuh tinggi itu. Dia tak bersalah"
"Lalu siapa yang bersalah?"
"Aku," sahut Podang dengan tegas.
"Kakangku telah menaiki kuda itu dan sekarang entah ke mana"


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jika begitu kakangmulah yang bersalah"
"Oleh karena dia tak ada, akulah yang mewakili. Kau mau mengapakan aku, silakan. Bunuh "
Bunuhlah!" Sebelum Munding Larang menyahut, Jangkung sudah berteriak "Tidak, dak ! Dia tak bersalah.
Aku pemilik kuda itu, aku yang bersalah. Hayo, bunuhlah aku kalau engkau berani"
"Engkau berjanji akan memberikan kuda itu kepadaku atau tidak?"
"Tidak!" teriak Jangkung lalu meraung kesakitan karena Munding Larang menjulangkan lagi
tangannya ke atas. Melihat itu Podang nekad. Ia meronta sekuat-kuatnya. Munding Larang marah sekali, ditariknya
leher Podang ke belakang sehingga tubuh anakmuda itu merapat ke arahnya lalu dihunjamkan
lututnya ke pinggang Podang. Podang menjerit.
"Ki sanak, mengapa engkau siksa kedua orang itu" " sekonyong-konyong terdengar suara orang
bernada mantap, menegur. Munding Larang terkejut ke ka mengangkat muka dan melihat seorang lelaki gagah berdiri pada
jarak lima langkah. Menilik wajah, sikap dan dandanannya, pendatang itu menyerupai seorang
desa tetapipun juga seperti seorang cantrik sebuah pertapaan.
"Siapa engkau" " tegur Munding Larang.
"Aku orang Tumapel"
"Apa maksudmu?"
"Hendak bertanya, mengapa ki sanak meringkus kedua orang itu" Apakah mereka penjahat?"
"Ya," sahut Munding Larang.
"Tidak! " teriak Jangkung "aku bukan penjahat. Aku pemilik kuda hitam"
Lelaki dari Tumapel itu kerutkan alis, layangkan pandang ke arah orang Pajajaran, menuntut
penjelasan. "Engkau percaya" " seru Munding Larang.
"Lepaskan dulu mereka," lelaki dari Tumapel meminta "jika benar mereka penjahat, aku bersedia
membantu ki sanak untuk menyerahkan mereka kepada yang berwajib"
"Siapa namamu?" tegur orang Pajajaran pula. Sejenak orang dari Tumapel itu mengernyit dahi
lalu menjawab " Aku Medang Dangdi"
"O" desuh Munding Larang agak terkejut "menilik namamu engkau tentu bukan orang desa"
"Orang gunung," Medang Dangdi menjelaskan.
"Ki sanak," kata Munding Larang "untuk membekuk kedua penjahat ini, kurasa aku mampu
melakukan sendiri. Jika engkau mempunyai urusan lain, silakan"
Saat itu Podang sudah agak sadar. Waktu punggungnya dibentur lutut orang, dia hampir pingsan.
Mendengar orang Pajajaran itu menyebut dirinya penjahat, dia marah. Dan melihat bahwa Medang
Dangdi itu seorang pemuda berwajah tenang, dia mempunyai kesan baik.
"Tidak, aku bukan penjahat " teriaknya. Tetapi Munding Larang cepat mencekiknya keras lagi.
Medang Dangdi tertegun. Baik orang yang bertubuh tinggi maupun anakmuda itu, sama
mengatakan kalau mereka bukan penjahat. Timbullah keinginannya untuk menjernihkan
persoalan mereka "Ki sanak," katanya kepada orang Pajajaran "kutahu ki sanak tentu dapat
mengatasi mereka. Tetapi mereka mengatakan kalau bukan penjahat. Lalu apa kesalahan
mereka kepada ki sanak ?"
"Telah kukatakan kepadamu," jawab Munding Larang "bahwa lebih baik engkau melanjutkan
perjalananmu dan jangan ikut campur urusanku ini"
Makin keras dugaan Medang Dangdi akan sesuatu yang-tak wajar dalam peris wa itu. Iapun tak
mau mundur "Ki sanak," serunya pula "aku tak punya suatu urusan yang pen ng. Hanya sekedar
melihat- lihat ke pura kerajaan. Sebenarnya aku tak harus campur tangan. Itu urusanmu. Tetapi
ada sesuatu yang menimbulkan kecurigaanku. Jelas kedua orang itu mengatakan bukan penjahat
...." "Tak ada penjahat yang akan mengaku dia berbuat jahat," tukas Munding Larang.
"Benar," sahut Medang Dangdi "seper halnya orang yang bohong tentu takkan mengaku
kebohongannya" Merah muka Munding Larang "Apa maksudmu ?"
"Sederhana," sahut Medang Dangdi "harap lepaskan kedua orang itu dan kita tanya mereka
sejelas-jelasnya" "Tak perlu" Medang Dangdi kerutkan dahi. Kecurigaannya makin meningkat "Baik, ki sanak, katakanlah
mereka itu penjahat. Tetapi maukah engkau memberitahu apa kesalahan mereka ?"
"Dia berani memberikan kuda kepada lain orang," sahut orang itu.
"Itu hakku sendiri. Aku pemiliknya, bebas untuk memberikan kepada siapapun juga," teriak
Jangkung dengan sekuat-kuatnya.
"Benarkah itu, ki sanak," Medang Dangdi melangkah maju dan membentak sehingga gerakan
orang Pajajaran yang hendak menjungkatkan lengan Jangkung keatas, terpaksa dihentikan.
"Dia mengatakan, hendak memberikan kudanya kepada orang yang mampu menaiki. Pada hal
jelas aku dapat. Tetapi dia sudah memberikan kepada lain orang"
"Siapa orang itu" " seru Medang Dangdi.
"Kakangku" teriak Podang "karena dia mampu menguasai kuda itu"
"Dimana dia sekarang" " tanya Medang Dangdi.
"Dia melarikan kuda itu," seru Munding Larang.
"Dan oleh karena itu ki sanak marah dan membekuk kedua orang itu?"
"Tentu" Medang Dangdi merenung sejenak. Cepat ia dapat merangkai apa yang tetah terjadi "Adakah ki
sanak lebih dulu datang atau bersamaan dengan orang itu ataukah terlambat datang"
"Dia baru datang setelah pemuda bagus itu dapat menaiki kuda," teriak Jangkung.
Medang Dangdi menatap orang Pajajaran itu. "Tak peduli," teriak Munding Larang "engkau
mengabaikan aku" "Ki sanak," seru Medang Dangdi "jelas sekarang bahwa mereka bukan penjahat. Lebih jelas
pula bahwa ki sanak bertindak sekehendak hati sendiri. Kuminta ki sanak lepaskan kedua orang
itu dan selesailah persoalan ini"
"Hm" desuh Munding Larang "pergilah engkau orang Tumapel. Jangan mencampuri urusanku"
"Ki sanak, apakah engkau benar2 tak mau melepaskan mereka?"
"O, apakah engkau hendak membela mereka?"
"Aku tidak membela orang tetapi membela kebenaran"
"Ha, ha, ha ... . " Munding Larang tertawa. Medang Dangdi menatapnya tajam2.
~~~~
Jilid 17 Persembahan : Dewi KZ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ & http://dewi-kz.info/
Dengan Ismoyo Gagakseta 2 http://cersilindonesia.wordpress.com/
Editor : MCH I Ikang winastu tapa, Sang nitya nggal raga, dwesa, wisaya, suka, duhka. Yang dimaksud tapa,
yalah yang selalu menjauhi raga, dwesa, wisaya, suka, dukha. Demikian wejangan yang diturunkan
begawan Pratiwara kepada muridnya, Medang Dangdi.
Medang Dangdi taat akan pitutur begawan dari Tumapel itu. Setelah belajar beberapa tahun
dengan memperoleh berbagai ilmu lahir ba n yang berupa ilmu kanuragan dan ajaran2 ba n maka
Medang Dangdipun turun dari pertapaan. Sesungguhnya amat berat ha pemuda itu meninggalkan
guru yang dicintainya. Ia ingin tetap mengabdi kepada sang begawan dan ingin, menjadi pandita
untuk mencapai kesempurnaan batin.
Tetapi begawan Pra wara menolak "Dangdi, memang engkaulah satu satunya murid bukan dari
golongan pandita. Ketahuilah, bahwa se ap tah dewata telah memiliki garis hidup sendiri2.
Engkau Dangdi, bukan di candi atau pertapaan tempatmu. Engkau telah digariskan menjadi seorang
ksatrya yang akan mengemban beban besar untuk membantu seorang rajakulakara yang akan
mendirikan sebuah kerajaan besar"
Medang Dangdi terkejut "O, adakah nasib hamba harus berkecimpung dalam kancah darah
medan laga yang bunuh membunuh, rama begawan?"
Begawan Pratiwara menghela napas.
"Kodrat dewata tak dapat dirubah, anakku. Tetapi engkau harus berbahagia sebagai seorang
ksatrya yang mendapat kesempatan untuk menunaikan tugasmu. Jika engkau menganggap
medan laga itu sebagai tempat untuk bunuh membunuh maka anggapanmu itu hanya berdasar
pada perasaan peri-kemanusiaan. Tetapi ketahuilah, bahwa acapkali untuk menegakkan peri-
kemanusiaan itu harus melanggar peri-kemanusiaan. Sebagaimana halnya untuk mencapai
kesejahteraan harus menempuh ancaman2 bahaya. Jika Sri Rama tidak memerangi
Rahwanaraja, tidakkah dunia ini akan menderita akibat yang ngeri dari keangkara-murkaan raja
itu" Jika tak terjadi perang Bharata yuda, tidakkah keadilan, kebenaran akan selalu diinjak-injak
oleh kaum Korawa?" Medang Dangdi tertegun. "Sekarang sudah ba masa Kaliyuda yang penuh dengan kejahatan dan kejelekan. Akan mbul
seorang calon raja baru yang akan melenyapkan kejahatan dan kepalsuan. Kerajaan baru yang akan
membawa kesejahteraan dan kejayaan bagi seluruh titah nusantara"
"Tetapi bukankah seri baginda Kertanagara di Singasari itu seorang raja- diraja yang digdaya,
putus akan segala ilmu dan bijaksana" Tidakkah saat ini kerajaan Singasari sedang mengalami masa
kejayaan?" Begawan Pratiwara mengangguk-angguk.
"Benar, anakku Itu rahasia alam yang tak boleh diterangkan. Keadaan kerajaan Singasari memang
tampak sejahtera dan jaya tetapi sinar kejayaan itu bagaikan sinar surya di senjakala. Terang
benderang menyilaukan tetapi .... ah, tak perlu kuwedarkan, anakku. Jika engkau turun dari
pertapaan engkau bakal mengetahui sendiri bagaimana keadaan yang sebenarnya dari suasana
saat ini" Medang Dangdi masih tertegun. Wajahnya mulai menebar keraguan.
"Bukan perilaku ysng baik bagi seorang ksatrya apabila engkau masih meragukan kata2 gurumu.
Dahulu ksatrya Bratasena dari Pandawa telah mendapat tah dari gurunya, sang resi Druna, agar
mencari sarang angin di tengah samudera. Coba engkau bayangkan, Medang. Benarkah angin itu
mempunyai sarang" Benarkah sarangnya di tengah samudera" Tetapi Bratarena seorang ksatrya
yang lugu dan setya kepada gurunya. Ia tetap melakukan tah sang guru dan akhirnya mendapat
anugerah yang luar biasa. Bertemu dengan sang Dewa Ruci dan menikah dengan puteri Antaboga.
Bahwa jika pandita Druna mengandung maksud tak baik dalam perintahnya itu, adalah karma
miliknya. Secara tata susila kelahiran, bukan Bratasena yang harus malu melakukan perintah yang
semustahil itu, tetapi adalah pandita Druna yang harus malu karena sebagai seorang resi yang
sudah mencapai tataran nggi dalam ilmu kesadaran, masih juga ia mau untuk menjerumuskan
muridnya" "Duh, guru, maa an kesalahan hamba" serta merta Medang Dangdi manungkul mencium kaki
sang begawan. "Medang anakku" kata begawan Pra wara kudengar dari laporan para cantrik, bahwa tak lama
lagi di pura Singasari akan diadakan sayembara untuk memilih senopa dan menerima prajurit.
Karena garis hidupmu telah dipancarkan ke arah dharma ksatryaan, maka tunaikanlah dharma
hidupmu sebagai seorang ksatrya"
"Duh, rama begawan yang hamba horma " Medang Dangdi merin h " dakkah paduka
merelakan hamba untuk tetap menetap di pertapaan paduka " Rasanya masih jauh dari sempurna
ilmu yang telah hamba teguk, masih jauh dari angan-angan kesadaran ba n yang hamba capai.
Hamba ingin hidup menurut jejak paduka, bebas dari nafsu, keinginan dan dosa"
Begawan Pratiwara tersenyum.
"Maksudmu engkau hendak tetap menuntut kehidupan suci sebagai seorang cantrik dan kelak
akan menjadi pandita" "ujarnya.
"Demikian, rama guru"
"Untuk apa, Medang ?"
"Agar hamba dapat mencari kesempurnaan batin ke arah Kemokshaan, guru"
Begawan Pratiwara tertawa pula.
"Bagus anakku. Cita-citamu memang tepat. Tetapi telah kukatakan bahwa Hyang Batara Agung
telah menentukan garis hidup pada masing2 tahNya. Misalnya, Hyang Batara Brahma yang
mencipta jagad, Hyang Batara Wisnu yang memelihara dan Hyang Batara Syiwa yang
membinasakan. Trimur , merupakan suatu keseimbangan agung dalam kodrat prakitri. Semisal
kehidupan manusia, lahir, besar dan mati"
Medang Dangdi termangu. "Mengapa kita dilahirkan" Adakah kita dilahirkan hanya bertujuan untuk ma belaka ?" ujar
begawan Pra wara dengan nada tandas " dak, muridku. Kema an hanya suatu kodrat dari
perkembangan hidup. Dimana ada mula tentu akan terdapat akhir. Tetapi tugas hidup, bukan
untuk ma melainkan untuk menunaikan tugas hidup itu. Suka tak suka, gembira atau menyesal,
namun kita telah dihidupkan dan hidup. Dan hidup itu merupakan suatu kenyataan yang harus
dilalui dengan dharma hidup. Lahir, hidup dan ma . Jika engkau hidup untuk ma maka engkau
mengingkari tahap yang kedua yani hidup. Jika kupersempit ruang lingkupnya, maka engkau
mengabaikan jasmani yang tumbuh besar dan hidup . . . ."
"Hidup bukan untuk ma dan ada pula untuk menuju ke arah kema an. Jika engkau menyadari
bahwa dalam kema an itu terjadi kehidupan maka engkau akan dapat menyadari bahwa kema an
itu hanya suatu keakhiran dari suatu tahap kehidupan dalam suatu perjalanan Hidup - ma - hidup
- mati yang bertahap- tahap kearah titik akhir yang sempurna"
"Maka janganlah engkau yakin bahwa cita2 yang terkandung dalam ha mu itu, dapat merupakan
jalan yang tepat menuju kearah
k akhir yang sempurna. Dan janganlah engkau kira bahwa
menunaikan dharma-hidup sebagaimana telah digariskan pada kodrat hidupmu itu, takkan dapat
mencapai ngkat kearah k akhir yang sempurna itu "kata begawan Pra wara "apakah dengan
menjalankan dharma hidupmu sebagai seorang ksatrya yang akan menghadapi berbagai masalah
dunia, engkau takkan mampu mencapai tataran tahap yang tinggi?"
Medang Dangdi terkesiap. "Arjuna telah menjalankan dharma hidupnya sebagai seorang ksatrya tetapipun mengamalkan
ajaran2 yang suci. Dalam memberantas kejahatan dan kelaliman dunia, ksatrya Wrekudarapun
dapat mencapai tahap tataran yang nggi dalam
k akhir kesempurnaan hidup. Mengapa engkau
menyangsikan bahwa dharma seorang ksatrya yang mengayu hayuning bawana itu, akan mendapat
pahala besar sebagai dapat dicapai oleh seorang brahmana dan pandita dalam menjalankan
kehidupan secara suci di pertapaan maupun di vihara2"
Medang Dangdi menggelora darahnya "Tetapi rama guru, dakkah seorang yang berkecimpung
dalam urusan duniawi, takkan sempat lagi melakukan tapa-brata sesuci batin?"
Begawan Pratiwara tertawa.
"Ikang winastu tapa, sang nitya nggal raga, dwesa, wisaya, suka, duka. Demikian yang termaktub
dalam kitab suci Sanghyang Kamahayanikan. Ar nya, yang dimaksud dengan tapa yalah yang selalu
menjauhkan diri dari pengaruh pancaindra, napsu, kebiasaan dak baik, bersenang-senang dan
yang menyaki orang lain. Dan jika hendak mencapai kerahayuan swarga, bertutur katalah yang
baik dan berperilaku yang baik. Demikian makna tapa itu. Maka apabila engkau dapat menjalankan
hal2 yang tersebut tadi, berarti engkau sudah melakukan tapa-brata, anakku"
Medang Dangdi terhenyak. Pikirannya serasa terlintas secercah cahaya dan ha nyapun terasa
terang "Rama guru, benarkah garis hidup hamba itu harus mengabdi kepada urusan duniawi?"
"Jangan engkau ragukan apa yang telah engkau sadari, anakku" jawab begawan Pra wara
"banyak yang ingin mengabdi tetapi sedikit yang berhasil. Engkau wajib berbahagia dan
memanjatkan doa syukur kehadapan Hyang Batara Agung karena engkau dilimpahkan restu untuk
terjun dalam dharma-hidup yang penuh peris wa dan mempunyai makna pen ng dalam sejarah
kehidupan para kawula. Engkau dapat menunaikan seluruh dharma-hidupmu sesuai dengan ajaran
dan ilmu yang telah engkau peroleh selama engkau menetap dipertapaan ini"
Demikian dengan restu begawan di pertapaan Tumapel, akhirnya Medang Dangdi turun gunung.
Langkahnya diayun menuju ke Singasari sebagaimana yang telah dinaseha gurunya agar dia
memasuki seyembara. Dalam perasaan pemuda itu, seturun dari pertapaan, ia merasa seper mengawang dalam suatu
alam yang lain. Di pertapaan dia merasa mempunyai tujuan, mempunyai pelita yang menerangi
arah perjalanannya mencapai tujuan itu. Dan mempunyai pula bekal keyakinan untuk menempuh
perjalanan hidup. Ia merasa hangat.
Tetapi setelah turun dari pertapaan, ada kelainan dalam alam perasaannya. Seolah dia baru lahir
ke dunia ramai dan harus mulai lagi dari bawah untuk mencari jalan yang harus ditempuhnya dan
tujuan yang harus dicapainya. Hatinya serasa atis. Pikirnya, apabila ia gagal dalam sayembara nanti,
ia akan kembali ke pertapaan dan paserah diri kepada gurunya. Masakan guru tak mau
menerimanya. Tengah dia membenahi hati dan pikiran, tiba2 ia melihat seorang lelaki tengah meringkus dua
orang lelaki lain. "Hm, berkelahikah mereka?" pikirnya. Betapa beda alam dunia luar ini dengan
alam pertapaan. Di pertapaan hanya alam pegunungan yang beriklim teduh, berhawa sejuk dan
tenteram damai suasananya. Pagi hari burung berkicau, air pancuran mengalir, angin
berhembus silir dan bunga- bunga bermekaran. Malam terdengar nyanyian kidung, wejangan
guru dan pemanjatan doa2 suci. Hari2 penuh ketenangan dan kedamaian, lahir batin.
Tetapi baru ia turun gunung, belum jangkap setengah hari, ia sudah berjumpa dengan peris wa
yang merisaukan. Entah siapa yang salah dan siapa yang benar, tetapi yang nyata ke ga orang itu
terlibat dalam perkelahian. Dan perkelahian itu, penuntun jalan ke arah pembunuhan "Hebat".
Medang Dangdi tersentak "harus kucegah jangan terjadi pembunuhan jiwa itu"
Maka bergegaslah ia menghampiri ke tempat ke ga orang itu dan akhirnya terlibat dalam
pembicaraan. Dari pembicaraan itu ia dapat menarik kesimpulan bahwa pemuda yang bernama
Munding Larang dari tanah Pajajaran itu, memang dak benar ndakannya. Dan lebih dak benar
pula sikap Munding Larang ke ka menolak menerima saran yang diajukannya untuk melepaskan
kedua orang itu. "Benarkah dalam dunia ini terdapat orang yang menolak kebenaran?" desuh Medang Dangdi
dalam ha "ah, mungkin ksatrya muda dari Pajajaran itu mengandalkan dirinya gagah perkasa atau
mungkiri memiliki ilmu kedigdayaan sehingga dia bersikap sedemikian hadigung ?"
Pengalaman pertama itu memberi kesan kepada Medang Dangdi bahwa ternyata dalam dunia ini
penuh dengan segala macam peris wa yang nyebal dari ajaran-ajaran yang pernah diteguknya
dipertapaan. Inikah yang disebut oleh rama begawan bahwa dharma seorang ksatrya itu adalah
untuk mengayu hayuning bawana" Pikirnya.
Tiba2 bergolaklah darahnya ke ka mendengar Munding Larang menghambur tawa. Melalui
pandang mata yang melekat tajam ke arah ksatrya dari Pajajaran itu, ia menuntut pertanggungan
jawab atas sikap Munding Larang.
"Kebenaran" Ha, ha" Munding Larang tertawa "engkau dapat mengucap tentu dapat


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menunjukkan apa kebenaran itu ?"
"Tak perlu kuterangkan, cukup kuajukan pertanyaan kepadamu. Meringkus dan mempersaki
orang seperti yang engkau lakukan itu, apakah itu dapat dianggap kebenaran ?"
"Bagiku memang"
"Kebenaran bukan milikmu sendiri, ki sanak. Tetapi milik mereka dan milik kita semua"
"Oleh karena itu setiap orang berhak memiliki kebenaran masing2. Kalau engkau
menganggap tindakanku ini tidak benar, silakan. Tetapi aku mengatakan hal itu benar"
"Kebenaran itu satu. Satu untuk semua dan semua untuk satu. Jika kebenaran itu hanya
engkau miliki menurut anggapinmu sedang lain orang menganggap tidak benar, maka
kebenaran itu tidak benar"
Munding Lirang tertawa terbahak-bahak "Bagus ki sanak, bagus sekali uraianmu tentang
kebenaran itu tetapi ... " ba2 waj ihnya yang cerah lenyap bergan dengan ketegasan yang
membesi "aku hendak bertanya kepadamu, [ika kucing menerkam kus atau harimau menerkam
kambing, benarkah itu?"
"Benar "serentak Medang Dangdi menjawab.
Munding Larang terperanjat. Semula ia mengira pemuda itu tentu akan menjawab dak benar.
Dan untuk jawaban seper itu, dia sudah bersedia untuk menggelincirkannya. Tetapi dengan
jawaban Medang Dangdi itu, ia harus merobah arah.
"Jika kucing menubruk kus dan harimau menerkam kambing engkau benarkan, mengapa
tindakanku membekuk kedua orang ini tidak benar?"
"Kucing dan harimau itu memang benar dan engkau memang salah" sahut Medang Dangdi
"tahukah engkau apa sebabnya?"
"Itulah yang kuminta engkau memberi jawaban. Jangan memutar-balikkan arah" balas
Munding Larang. "Engkau tidak tahu" "sahut Medang Dangdi "tetapi engkau tentu menyadari dan merasa
perbedaan itu. Bahwa kucing dan harimau itu adalah jenis sato khewan dan engkau, mereka
berdua dan aku adalah manusia. Kucing dan harimau, walaupun tergolong sato khewan tetapi
berlainan jenisnya. Apalagi dengan tikus dan kambing. Bahwa kucing menubruk tikus dan
harimau menerkam kambing itu memang sudah kodrat hidup mereka. Dunia rimba berlaku
hukum bahwa siapa yang kuat itulah yang menang. Binatang tak kenal perasaan halus, tak
punya pikiran atau kesadaran. Mereka hanya mempunyai naluri untuk melangsungkan
ketahanan hidup. Maka mereka menerkam, membunuh binatang lain apa saja yang dapat
dimakannya ...." "Tetapi dalam keganasan sifat itu, mereka tetap membedakan jenis kaumnya dengan jenis kaum
yang lain. Kucing takkan menerkam kucing dan harimau takkan memakan harimau. Demikian sifat
naluri bangsa sato khewan" kata Medang Dangdi "engkau mengatakan dirimu seorang manusia,
tah hidup yang paling dikasihi dewata, memiliki ha perasaan kemanusiawian yang luhur. Apakah
engkau hendak merendahkan martabatmu dibawah martabat bangsa khewan" Mengapa engkau
hendak menindas dan membunuh sesama manusia?"
Pucat wajah Munding Larang mendengar kata2 setajam itu. Pada lain saat wajahnya tampak
merah pula "Jangan engkau menutup mata akan kenyataan yang terjadi dalam dunia kita.
Bukankah peperangan itu juga medan untuk saling bunuh membunuh antara manusia, dengan
manusia?" "Benar" sambut Medang Dangdi "tetapi mengapa terjadi peperangan" Bukankah mereka hendak
berebut kebenaran menurut anggapan masing2 sendiri ?"
"Kenyataan memang yang kuat itu yang benar"
"Itu hadigung hadiguna dari si angkara murka yang merusak kesejahteraan dunia"
"Apa salahnya?"
"Se ap sikap dan perbuatan yang melanggar kesejahteraan dan kepen ngan dunia, harus
digolongkan pada kejahatan yang layak dilenyapkan"
Merah padam wajah Munding Larang.
"Rupanya engkau tentu mempunyai ilmu andalan yang hebat orang Tumapel, sehingga engkau
berani mengangakan mulut selebar-lebarnya" teriaknya.
"Ki sanak" seru Medang Dangdi "betapa tajam dan deras kata2 yang hendak engkau lontarkan
untuk menghina dan mengancam diriku, namun takkan semua itu dapat menyurutkan langkahku
untuk melanjutkan tindakanku mencari kebenaran. Lepaskan mereka!"
"Hm, benar2 engkau hendak memamerkan ilmu kedigdayaanmu. Kalau aku menolak ?"
"Terpaksa aku harus bertindak"
Munding Larang tertawa "Baik, silahkan kalau engkau mampu" serunya menantang.
Medang Dangdi mendengus. Ia melangkah maju dan tangan yang sudah siap dilambari dengan
himpunan tenaga segera dilayangkan ke dada Munding Larang. Tetapi alangkah kejutnya ke ka
ba2 Munding Larang menyorong tubuh Podang dan Jangkung kemuka. Jika dilanjutkan, nju
Medang Dangdi tentu akan menghantam wajah kedua orang itu. Demi menyelamatkan mereka,
dengan sepenuh tenaga, Medang Dangdi melakukan gerak memutar tubuh yang berakibat dia
menjerumus ke samping lawan. Kesempatan itu digunakan sebaik-baiknya oleh Munding Larang
yang melintang sebelah kakinya.
"Uh ... " karena kaki terkait, Medang Dangdi pun kehilangan keseimbangan tubuh. Dia
menyeruduk kebawah dan jatuh menyusur tanah. Mukanya lecet berdarah. Sebelum ia sempat
menggeliat, Munding Larangpun sudah loncat keatas punggungnya. Tetapi karena dia tetap
menjinjing tubuh Podang dan Jangkung maka gerakannyapun agak sarat.
Baik Podang maupun jangkung, sesungguhnya geram sekali karena diperlakukan begitu oleh
Munding Larang. Karena beberapa kali usaha mereka untuk melepaskan diri hanya menemui
kegagalan yang disertai kesakitan, maka merekapun berganti siasat. Podang dan Jangkung
belum saling mengenal tetapi dalam sesama penderitaan, mereka saling mengikat keakraban.
Melalui isyarat mata maka keduanya lalu berganti siasat pura-pura tak berdaya dan menurut.
Semangat keduanya serasa melayang ketika disongcongkan untuk menyambut pukulan
Medang Dangdi. Peristiwa itu menyentak kesadaran mereka bahwa tibalah sudah saatnya
mereka harus bergerak untuk melepaskan diri.
Kesempatan itu dirasakan ba, waktu Munding Larang loncat sembari masih mencengkeram
kedua orang itu. Saat itu mereka berontak sekuat-kuatnya sehingga terhambatlah gerak tubuh
Munding Larang. Ia hendak menginjak punggung Medang Dangdi tetapi tak sampai dan hanya
mencapai paha. Dan karena sakit terpijak benda berat, seketika Medang Dangdi pun menggeliat.
"Uh .... "terdengar Munding Larang mendesuh ketika kakinya terjepit kedua paha Medang
Dangdi. Dan ketika Medang Dangdi menggeliat bangun maka rubuhlah Munding Larang. Pada
saat itu pula ia tak kuasa lagi untuk menguasai kedua orang tawanannya. Ia perlu melepaskan
mereka agar dapat menggunakan kedua tangannya untuk menyanggah ke tanah,
menyelamatkan mukanya dari kesakitan terbentur.
"Auh .... " terdengar pula Munding Larang menjerit kesakitan ke ka punggungnya diterkam oleh
seorang yang bertenaga kuat dan kedua kakinyapun diringkus oleh seorang lain lagi.
Ternyata yang menerkam punggung Munding Larang itu Podang dan yang meringkus kakinya
yalah Jangkung. Rupanya kedua orang itu hendak melampiaskan dendam kemarahannya. Podang
menghajar punggung orang itu dan Jangkung menghujani pukulan ke pantat dan paha Munding
Larang. Munding Larang jatuh tengkurap. Kedua tangannya menekan tanah untuk menyelamatkan
mukanya. Tetapi sebelum dia sempat melen ng bangun, Podang dan Jangkung sudah
menubruknya sehingga dia dipaksa tengkurap lagi. Dalam kedudukan begitu, dia tak dapat berdaya
apa-apa kecuali hanya mengerang-erang dan menyumpah-nyumpah kedua orang itu.
Agar lawan tak dapat berku k, Podang terus duduk di punggung, tangan kiri mencengkeram
rambut Munding Larang dan tangan kiri menghajar. Melihat itu jangkungpun juga menduduki
kedua kaki Munding Larang. Enak sekali dia menghajar pantat dan paha orang.
"Kakang dan adi, lepaskan dia "tiba2 terdengar seseorang berseru.
Podang dan Jangkung berpaling. Mereka tertegun melihat
orang yang meminta itu. Medang Dangdi! Ternyata setelah berhasil menjepit dan merobohkan
Medang Dangdi. ia lepaskan jepitan pahanya dan terus melenting bangun. Kejutnya bukan
kepalang sesaat menyaksikan bagaimana tindakan Podang dan Jangkung terhadap orang
Pajajaran itu. Sebenarnya dia telah menderita tindakan curang dari orang Pajajaran itu sehingga
dia harus rubuh menyusur tanah. Seharusya dia girang melihat kedua orang itu telah menguasai
dan menghajar Munding Larang. Tetapi ternyata tidak demikian sifat peribadinya. Orang
berlaku curang, terserah. Itu hak dia sendiri dalam menunjukkan sifat keperibadiannya. Tetapi
dia tak mau ikut curang. Ia hendak membalas kepada pemuda Pajajaran itu dengan cara yang
layak." "Kuminta kakang lepaskan dia" ulang Medang Dangdi.
"Mengapa ?" "Cara yang kakang lakukan itu kurang layak. Dia bisa mati konyol"
"Dia memperlakukan juga tak layak. Akupun bisa ma . Mengapa engkau melarang aku
melakukan tindakan seperti yang dia lakukan kepadaku?"
"Tindakannya kepadamu tadi bukan langkah ksatrya utama, adakah engkau juga ingin mengiku
jejaknya?" "Tidak, kami tak ingin mengiku jejaknya melainkan hanya ingin membalas dendam kepadanya"
seru Podang. "Adi, jika engkau ingin membalas dendam, pakailah cara yang layak"
"Apakah kakang hendak membelanya?"
"Sama sekali dak. Akupun bahkan hendak menuntut balas kepadanya. Tetapi akan kulakukan
secara ksatrya." Melihat kedua orang itu masih meragu, Medang Dangdi menghardik "Lepaskan atau aku akan
menindak kalian berdua"
Podang dan Jangkung serempak loncat berdiri dan menggagah dihadapan Medang Dangdi
"Apakah engkau hendak menantang kami berdua?"
Medang Dangdi gelengkan kepala "Tidak. Kenal pun baru sekarang mengapa aku harus
menantang kalian. Justeru karena melihat kalian berdua diperlakukan semena-mena oleh orang itu
maka aku terlibat dalam pertentangan dengan dia"
Jangkung dan Podang saling bertukar pandang. Keduanya memang mendengar betapa tadi
dengan gigih Medang Dangdi menuntut supaya Munding Larang melepaskan mereka.
"Maksudmu bagaimana sekarang?" tanya Jangkung.
"Kita tunggu orang itu bangun baru nan akan kuajak bertempur" jawab Medang Dangdi "aku
tertarik caranya bertahan dari seranganku tadi"
"Bedebah" teriak Jangkung "dia curang memasang aku sebagai perisai"
"Itu suatu cara" sahut Medang Dangdi tenang. "Dan diapun curang mengait kakimu"
"Itu juga. sebuah cara lagi"
Jangkung terbelalak memandang Medang Dangdi.
"Aneh benar engkau, ki sanak. Engkau dicurangi orang, masih pula engkau merasa tertarik dan
memujinya" "Kakang ... eh, siapa nama kakang dan adi ini ?"
"Aku Jangkung" "Aku Podang" "O, terima kasih. Dan aku bernama Medang Dangdi dari pertapaan Tumapel" kata Medang
Dangdi, "soal diriku dicurangi, mengapa aku harus malu" Yang layak malu adalah orang yang
berbuat curang. Lepas daripada sifat2 kecurangan, aku memang tertarik akan caranya menghadapi
ga orang lawan. Kuduga dia tentu memiliki ilmu kedigdayaan yang lebih dari yang dipertunjukkan
dalam ulah kecurangannya itu. Itulah sebabnya maka aku tertarik untuk mengetahuinya"
Jangkung tertegun. "Jika begitu, biarlah dia bangun, hai ... " ba2 Podang berteriak kaget seraya memandang ke
belakang "mengapa dia diam saja?" cepat ia menghampiri.
"Jangan adi" Medang Dangdi mencegah "jangan sembarangan ber ndak. Tidakkah engkau
menaruh kecurigaan akan kemungkinan dia menggunakan siasat?"
"O" Podang hen kan langkah, memandang lekat2 pada tubuh Munding Larang yang tak bergerak,
"tetapi dia diam saja. Rupanya pingsan?"" ia terus maju lagi.
Medang Dangdi dan Jangkung bergegas ikut maju untuk menjaga se ap kemungkinan yang tak
terduga. "Bangunlah" kua r akan terperangkap, Podang menjulurkan ujung kaki untuk mengungkit tubuh
Munding Larang. Tetapi Munding Larang tetap diam. Karena diulang lagi masih tak bergerak,
Podangpun membungkuk dan membalikkan tubuh Munding Larang.
"Ah, dia pingsan" teriak Podang setelah mengetahui Munding Larang pejamkan mata tak
bergerak. "Mati " "Jangkung terkejut.
Podang merabah dada dan gelengkan kepala "Belum. Hanya pingsan"
Setelah memeriksa, Medang Dangdi minta supaya Podang mencarikan air. Sementara Podang
pergi maka diapun mengurut-urut dada, punggung dan kaki Munding Larang yang menderita
pukulan. Tak berapa lama Munding Larang dapat membuka mata dan Podangpun datang. Ke ka
Medang Dangdi hendak meminumkan air yang dibawa dengan daun ja itu ke mulut Munding
Larang, ba2 ksatrya dari Pajajaran itu menyiak sekeras- kerasnya "Enyah engkau!" teriaknya seraya
melenting bangun dan bersikap seperti hendak menyambut perkelahian.
"Mengapa engkau tolakkan air itu ?" seru Medang Dangdi.
"Siapa suruh memberi minum air kepadaku ?" balas Munding Larang.
"Engkau pingsan dan kami berusaha untuk menolongmu"
"Aku tak membutuhkan pertolonganmu" sahut Munding Larang dengan sikap angkuh.
"Engkau memang manusia tak tahu berterima kasih" teriak Podang sambil menuding orang
"dengan jerih payah aku harus menuruni lembah untuk mencari air disaluran, engkau tolak begitu
saja sehingga tumpah"
"Babi kecil "Munding Larang balas mendamprat "lebih baik aku ma daripada menerima
pertolonganmu !" "Eh, engkau hendak menantang berkelahi?"Jangkung juga panas sesaat teringat betapa sampai
beberapa saat tangannya telah dipelintir orang Pajajaran itu. Ia pun maju ke muka orang itu.
"Kakang Jangkung" cepat Medang Dangdi mencegah "harap bersabar dulu "kemudian dia maju
kehadapan Munding Larang "kami kawula kerajaan Singasari, tahu menjunjung agama, peri-
kemanusiaan, tata susila dan peradapan yang luhur. Sekalipun engkau ber ndak mencelakai kami
ber ga, tetapi karena engkau pingsan maka kamipun berusaha untuk menolongmu. Kuurut-urut
punggung dan kakimu kemudian hendak memberimu minum air sejuk agar engkau sadar ...."
"Keparat! "tiba2 Munding Larang marah, "mengapa engkau berani menjamah tubuhku?"
"Tetapi engkau pingsan ...."
"Matipun takkan kurelakan engkau menjamah tubuhku"
Medang Dangdi terkejut. Hampir meluapkan kemarahannya terhadap pemuda yang angkuh itu.
Tetapi masih ia dapat mengendalikan diri "Jika engkau marah karena kuurut tubuhmu, itu hakmu.
Tetapi sebagai seorang Singasari yang menjunjung peri-kemanusiaan, aku telah menunaikan
kewajiban untuk memberi pertolongan kepada orang yang perlu ditolong"
"Jangan banyak mulut!" hardik Munding Larang "pokok aku tak merelakan tubuhku dijamah
orang Singasari" kemudian dia berpaling ke arah Jangkung "hai orang nggi, betapapun engkau
harus mencarikan kudamu hitam itu dan serahkan kepadaku"
Serasa meledak dada Jangkung mendengar perintah orang yang sedemikian congkak "Setan, aku
bukan hamba sahayamu. Aku bebas memberikan kuda itu kepada siapapun juga ...."
"Dan kuda itu telah dijinakkan oleh kakangku. Dialah yang berhak memilikinya "Podang ikut
berteriak. . "Kalian berani menolak perintahku?" Munding Larang manggeram.
Jangkung dan Podang serempak maju dan menantang "Apa hakmu memberi perintah" Siapa
engkau?" "Sabar kakang" cepat Medang Dangdi maju mencegah, kemudian berkata kepada Munding
Larang, "ksatrya dari Pajajaran, kuda hitam itu dak disini, mengapa engkau harus memaksa orang"
Kunasehatkan agar ki sanak melanjutkan perjalanan ki sanak dan jangan mempersoalkan kuda yang
tak ada disini" Munding Larang sempat memperha kan diri Medang Dangdi. Pemuda yang dihadapinya itu beda
dengan kedua orang tadi. Perawakannya yang gagah dan tegap, wajahnya yang garang terutama
sepasang matanya yang bersinar tajam. Tentulah bukan pemuda desa. Ia pun merasa bahwa
tubuhnya masih terasa memar akibat hajaran kedua orang tadi. Jika dia paksakan diri untuk
berkelahi, mampukah dia menghadapi ke ga orang itu" Namun untuk mundur dengan begitu saja,
rasanya ia malu. Medang Dangdi sempat memperhatikan wajah Munding Layang yang bertebaran warna merah. Ia
dapat menduga isi hati pemuda itu yang berwatak angkuh itu.
"Kakang Jangkung dan engkau adi, mari kita nggalkan tempat ini" ia segera memimpin kedua
orang itu dan ayunkan langkah. Terdengar napas Munding Layang memburu keras tetapi dia tak
melakukan tindakan apa2 untuk menghalangi ketiga orang itu.
Setelah jauh dari tempat itu, bertanyalah Jangkung "Ki Medang, kemanakah tuan hendak
membawa aku?" "Kita lihat2 pura Singasari"
"Tidak ki Medang" seru Jangkung "aku hendak pulang ke desaku"
"Dimana desa kediaman kakang?"
"Walandit" "Lalu bagaimana dengan kuda kakang itu?"
"Apa yang harus dipersoalkan lagi. Sesuai dengan janjiku, aku harus menyerahkan kuda hitam itu
kepada pemuda yang mampu menaikinya"
"Benar kakang" seru Podang pula "akupun hendak mencari kakangku itu"
"Tak perlu dicari" kata Medang Dangdi.
"Hah" Mengapa?"
"Dia tentu akan kembali ke pura sini mencarimu, adi"
"Lalu aku harus kemana sekarang?"
"Kakang Jangkung dan adi Podang" kata Medang Dangdi "mari kita berkeliling melihat-lihat
keadaan pura kerajaan Singasari. Kabarnya beberapa hari lagi akan diadakan sayembara"
"Ya, benar. Apakah kakang juga berminat hendak memasuki sayembara itu?"
"Akan kulihat dulu bagaimana keadaannya. Memang aku berhasrat demikian"
"O, kakangku juga"
Medang Dangdi terkejut "Siapakah sesungguhnya kakangmu itu, adi?"
Podang agak bersangsi. Haruskah dia memberitahu siapa sebenarnya diri Wijaya itu" Ia baru
kenal dengan Medang Dangdi dan Jangkung. Ia belum tahu siapa mereka dan bagaimana pendirian
mereka. "O, rahasia agaknya" Jika adi sukar untuk memberi keterangan, tak apalah. Tak perlu adi
menjawabnya" kata Medang Dangdi.
"Begini kakang" kata Podang "bukan aku tak mau tetapi aku harus meminta perkenan dulu
kepadanya. Maka untuk saat ini aku belum dapat memberi keterangan apa2. Tetapi aku berjanji
apabila bertemu dengan kakangku, pasti akan kukatakan hal ini kepadanya. Dia tentu meluluskan"
Medang Dangdi kerutkan dahi.
"Aneh" gumamnya "mengapa harus meminta idin kepadanya. Bukankah dia kakangmu sendiri"


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bukankah asal usulnya sama dengan engkau sendiri ?"
"Tidak" Podang gelengkan kepala. Tetapi secepat itu ia menyadari kalau kelepasan bicara
"pokoknya, begini. Dia bukan kakangku yang sekandung tetapi kakang dari lain ayah dan lain ibu"
"Ha, ha, ha" Medang Dangdi tertawa "kakang yang bukan seayah dan seibu, berar bukan
saudaramu. Jika begitu dia tentu mempunyai asal usul yang hebat."
"Apa yang dapat kuberikan hanyalah begitu" kata Podang "lain2 keterangan lebih jelas,
tunggulah nanti apabila bertemu dengan dia"
Medang Dangdi mengangguk "Baiklah. Dan tentulah kalian berdua setuju dengan permintaanku
untuk melihat-lihat keadaan pura kerajaan ini, bukan?"
Kedua orang itu masih ragu2. Jangkung menyatakan hendak lekas2 kembali ke desa dan Podang
hendak mencari kakangnya.
Tetapi hari sudah hampir petang" kata Medang . Dangdi "baiklah malam ini kita bermalam di
pura, besok pagi baru kita berangkat mencari kakangmu"
Podang terkesiap "Kita?"
"Ya" Medang Dangdi mengangguk "akupun bersedia untuk menemani engkau mencari kakangmu
itu" Jangkung tercengang "Kalau begitu, akupun ikut. Aku juga masih mempunyai urusan dengan
kakangmu" "Soal kuda hitam itu" "tanya Podang.
Jangkung mengiakan "Ya. Hanya sekedar mendapat kepas an apakah kuda hitam itu masih
berada padanya dan setelah itu akan kuserahkan kepadanya"
Hari itu masih sore. Surya masih belum menyilam ke balik gunung walaupun sudah menggelayut
ke arah barat. Pura Singasari di sore hari, ramai juga keadaannya. Terutama dengan akan
diselenggarakan sayembara pilih senopa , suasana pura kerajaan makin ramai. Di-sana sini tampak
beberapa orang muda yang berasal dari lain daerah.
"Malam nanti kita akan tidur di mana?" tanya Jangkung.
"Mudah, eh ... . tidak" seru Podang yang dihentikannya sendiri.
"Apa maksudmu?" tanya Medang Dangdi "mengapa engkau tarik kembali kata-katamu ?"
Terpaksa Podang menceritakan bahwa dia dan Wijaya pernah bekerja sebagai orang upahan
demang Srubung "Kita tentu diterima untuk bermalam disana" katanya "tetapi kurasa kurang
leluasa" "Hm, tak apa" sahut Medang Dangdi "kita dapat bermalam di candi"
Demikian mereka melanjutkan perjalanan, menikmati suasana pura Singasari yang ramai.
Diam-diam Medang Dangdi menarik kesan bahwa suasana dalam kerajaan Singasari itu
tenteram dan sejahtera. Dan apabila membayang kesan itu, timbullah keraguan akan ucapan
gurunya "Tidakkah kerajaan Aman dan damai" Mengapa guru berkeras menitahkan aku turun
gunung" Adakah guru ...." belum selesai ia melanjutkan cengkerama lamunannya, tiba2
terdengar orang2 dijalan hiruk pikuk menyingkir ke tepi.
Medang Dangdi ber ga tak sempat bertanya karena saat itu dari arah muka muncul lima
penunggang kuda. Yang dimuka naik kuda pu h, seorang pemuda cakap, mengenakan busana
kebesaran prajurit. Tentu seorang yang berpangkat dalam keprajuritan. Sedang keempat
penunggang kuda dibelakangnya, terdiri dari lelaki2 yang gagah dan garang, membekal senjata
tombak dan menyelip pedang. Salah seorang dari keempat penunggang kuda dibelakang itu,
serentak lontarkan kuda ke muka dan membentak "Hai, apa engkau tak bermata"
Medang Dangdi, Jangkung dan Podang saat itu sebenarnya bersiap hendak menyingkir ke tepi
jalan. Tetapi kalah cepat dengan penunggang kuda itu. Mereka terkejut ke ka dibentak sehingga
langkah mereka terhenti. Tar .... tar. ... Tiba2 penunggang kuda itu ayunkan cambuk, menghajar-ke ga orang itu. Medang Dangdi
terkejut melihat keliaran penunggang kuda itu. Cepat ia loncat menubruk Podang dan Jangkung
sehingga mereka jatuh terguling ke tanah. Tindakan Medang Dangdi itu berhasil menyelamatkan
kedua kawannya dari dari hajaran cambuk tetapi tetap Podang tersabat pada bahunya dan
Jangkung pada kepalanya sehingga kain kepalanya melayang jatuh.
"Hm, cacing2 jalan yang tak tahu aturan!" penunggang kuda itu mendamprat.
Secepat terguling di tanah, tanpa menghiraukan bagaimana keadaan kedua kawannya, Medang
Dangdi pun cepat melen ng bangun dan loncat kehadapan kuda orang itu "Hai, apa salah kami"
Mengapa engkau mendera kami dengan cambuk?" serunya marah.
Baru pertama sepanjang hidupnya, ia menderita perlakuan sedemikian. Dipertapaan, para
brahmana, murid-murid dan cantrik selalu bersikap susila dan bertutur kata baik. Dia merasa tak
bersalah berjalan di jalan, mengapa penunggang kuda yang tak dikenal itu ber ndak sedemikian
kasar. Adakah karena dia seorang prajurit" Benarkah prajurit itu berhak ber ndak sewenang-
wenang terhadap rakyat jelata" Adakah prajurit wajib ber ndak begitu" Namun apapun yang
terjadi, sebagai seorang anakmuda sudah tentu dia panas mendapat perlakuan begitu.
Penunggang kuda itu merentang mata lebar2 dan menghardik "Keparat, engkau berani melawan
prajurit kerajaan?" ia terus ayunkan cambuk menghajar Medang Dangdi.
Medang Dangdi loncat menghindar. Ia agak terkejut mendengar kata2 prajurit kerajaan "Aku
hendak bertanya, apakah salahku?"
Prajurit itu terkejut juga ke ka cambuknya menerpa angin. Ia malu dengan kawan-kawannya.
Apalagi pimpinannya, yalah pemuda berkuda bulu pu h berada disitu. Serta menarik cambuk, ia
menghajarkan lagi, tar ....
"Uh "serentak cambuk berbunyi meggeletar, terdengarlah suara orang mengaduh kaget. Orang2
mengira tentulah Medang Dangdi yang menderita kesakitan tetapi diluar persangkaan, ternyata
cambuk prajurit itu telah terlepas jatuh ke tanah dan Medang Dangdi tengah mencengkeram
tangan prajurit itu "Jika engkau tetap main cambuk, akan kutarik engkau ke bawah" bentak Medang
Dangdi. Ke ga prajurit lainnya, terkejut menyaksikan kawan mereka dikuasai seorang pemuda tak
dikenal. Tanpa menunggu perintah dari pimpinannya, mereka serempak menerjangkan kuda ke
arah Medang Dangdi. "Awas kakang" teriak Podang yang saat itu sudah bangun. Orang-orang yang berada disekeliling
tempat itu makin ketakutan dan kacau.
Medang Dangdi menyadari bahwa keadaan sudah makin gawat. Dia tak tahu siapa kelima
penunggang kuda itu. Ia hanya mendengar prajurit itu. mengatakan dirinya prajurit kerajaan.
Tentulah pimpinannya seorang putera priagung atau mentri yang berpangkat tinggi dalam
kerajaan. Namun ia tak sempat menimang lebih lanjut. Ketiga prajurit sudah menerjang dengan
menghunus senjata. Dan dia pun sudah terlanjur melawan. Jika menyerah, tentu akan menderita
siksaan yang hebat, mungkin dibunuh. Jika melawan, juga sama akibatnya. Bahkan mungkin
lebih berat. Apabila ia harus mati karena peristiwa itu, ia akan memilih mati sebagai seorang
ksatrya. Dan ia harus berani menentang kelaliman dan kesewenang-wenang dari prajurit2 itu.
Secepat menentukan pilihan, Medang Dangdipun menarik kaki prajurit itu. Selekas prajurit itu
meluncur jatuh dari kudanya dengan cepat Medang Dangdi mencengkeram tengkuknya lalu
diangkatnya tubuh prajurit itu dan berputar- putar untuk menyongsong serangan ke ga prajurit
berkuda. Menyaksikan keperkasaan pemuda yang dapat menguasai seorang prajurit dan
menggunakannya sebagai senjata untuk melawan serangan tiga orang prajurit, gemparlah
suasana tempat itu. Ketiga prajurit berkuda itupun cepat hentikan kudanya dan menariknya
mundur. Mereka tak berani melanjutkan serangannya. Dan sesaat mereka hentikan terjangan,
pemuda itupun hentikan gerakan memutar tubuh prajurit yang dikuasainya.
Ketiga prajurit itu saling bertukar pandang, kemudian mereka serempak mencurah pandang
kearah pemuda cakap yang perada dipunggung kuda putih. Rupanya pemuda tampan itu tahu
apa yang dikehendaki ketiga prajurit itu.
"Masakan tiga orang tak mampu mengalahkan seorang pemuda desa" tenang2 ia berkata.
Ke ga. prajurit itu mengangguk dan serempak turun dari kuda. Sejenak mereka berbisik- bisik
lalu berpencar pada ga arah, di muka. samping dari belakang Medang Dangdi. Yang dimuka
bersenjata tombak, disamping menggunakan pedang dan yang dibelakang dengan cambuk.
"Apakah kalian benar2 hendak membunuh aku ?" seru Medang Dangdi dengan wajah
memberingas. "Engkau pengacau, berani melawan rombongan raden Kuda Panglulut, menantu gus pa h
Aragani" Seru prajurit yang berada di muka.
Medang Dangdi terkejut. Kiranya pemuda yang naik kuda pu h itu putera menantu dari pa h
kerajaan Singasari "Bagaimana aku berani melawan" Sama sekali aku tak melawan, aku hendak
menyingkir ke tepi jalan ke ka rombongan ki prajurit hendak lalu. Tetapi belum sempat kami
melangkah, ki prajurit yang ini telah mencambuk kami"
"Apa engkau tak tahu peraturan?"
"Peraturan bagaimana, sukalah ki prajurit memberi tahu"
"Se ap kali rombongan raden Kuda Panglulut yang menjadi wakil dari gus pa h Kebo Anengah
menjalankan tugas berkeliling kota untuk mengamat keamanan, orang harus menyingkir jauh"
"O, maaf, aku memang tak tahu peraturan itu"
"Tidak cukup untuk hanya menghaturkan maaf. Engkau harus menerima pidana"
Medang Dangdi terkejut. Ia heran mengapa semudah itu prajurit2 yang berkuasa menjatuhkan
pidana terhadap kawula. "Lekas lepaskan prajurit itu dan berjongkoklah" teriak prajurit disebelah muka ke ka melihat
Medang Dangdi masih meragu.
"Mengapa aku harus berjongkok?"
"Terima pidana"
"Apakah pidana yang harus kuterima?"
"Limapuluh kali dihukum cambuk!" Medang Dangdi terperanjat. Namun pada lain saat
wajahnya tampak tenang "Tidak, ki prajurit. Aku merasa tidak bersalah"
"Hajar" teriak prajurit yang disebelah muka. Dia terus bergerak maju. Demikian pula kedua
kawannya. Sekonyong dua orang lelaki menyerbu prajurit yang berada di samping dan di belakang
Medang Dangdi. "Kakang Jangkung, Podang, jangan" Medang Dangdi terkejut dan berseru keras ke ka melihat
Jangkung dan Podang menyerbu kedua prajurit. Tetapi terlambat. Podang disambut dengan
hajaran cambuk oleh prajurit yang diserbunya. Podang nekad membuang tubuh berguling-guling ke
tanah, menghampiri ketempat prajurit dan cepat sekali ia sudah menerkam kaki prajurit itu hingga
jatuh. Keduapun lalu bergumul.
Sementara Jangkungpun disambut dengan tabasan pedang oleh prajurit yang disergapnya.
Namun Jangkung mampu menghindar lalu menerkam lawan. Keduanya juga terlibat dalam
pergulatan yang seru. Melihat itu Medang Dangdi lepaskan prajurit yang dikuasainya lalu menyongsong prajurit
bersenjata tombak yang menyerang dari muka. Walaupun dia tak memakai senjata tetapi dia
dapat menghadapi serangan tombak prajurit itu. Dan beberapa saat kemudian dia-pun berhasil
menebas jatuh tombak lawan.
Suasana di jalan itu kacau balau. Orang berteriak-teriak ketakutan, debu mengepul
bertebaran. Sekonyong-konyong terdengar derap rombongan kuda yang riuh. Dan cepat sekali
sebuah rombongan penunggang kuda yang terdiri dari sepuluh orang dan dipimpin oleh seorang
pemuda, mencongklang tiba.
"Hii, berhen " teriak pemuda itu seraya maju mendeka perkelahian. Entah bagaimana, prajurit-
prajurit yang bertempur dengan Medang Dangdi ber ga, serempak loncat mundur dan
menghaturkan hormat kepada pemuda itu.
Juga pemuda yang berkuda pu h ajukan, kuda lalu turun dan memberi hormat "Hamba
Panglulut, menghaturkan hormat kehadapan gusti pangeran Ardaraja"
"O, engkau adi Panglulut" seru pemuda yang tak lain adalah pangeran Ardaraja, putera mahkota
Daha dan putera menantu baginda Kertanagara "apa yang terjadi ditempat ini?"
"Perkelahian, gus " kata Kuda Panglulut " ga pemuda membangkang untuk menyingkir ke ka
rombongan kami berjalan"
"O, mana pemuda itu?" pangeran Ardaraja mengalih pandang kearah Medang Dangdi, Jangkung
dan Podang. Kemudian memberi tah kepada seorang pengawal yang bertubuh nggi besar "Sura,
tangkap mereka" Suramenggala yang bertubuh tinggi besar serentak memberi isyarat kepada rombongannya untuk
mengepung ketiga pemuda itu "Hai, kamu bertiga, serahkan dirimu"
Medang Dangdi terkejut. Diapun mendengar bahwa pangeran Ardaraja dari Daha itu telah
dipungut menantu baginda Kertanagara. Jika ia melawan tentu akan terjadi pertumpahan darah
yang hebat. "Ki lurah" serunya kepada Suramenggala "tetapi hamba tak bersalah. Hamba hendak menyingkir
ketika salah seorang prajurit menghajar kami dengan cambuk"
"Engkau berani melawan prajurit kerajaan?"
"Tidak, ki lurah. Hamba seorang kawula jelata, tak berani melawan kepada kerajaan"
"Bohong!" bentak Suramenggala " dakkah perkelahian itu terjadi karena kalian membangkang
dan melawan?" "Tetapi hamba ...."
"Tangkap!" teriak Suramenggala. Dan rombongan anakbuah yang terdiri dari sepuluh prajurit
berkuda segera hendak menerjang.
"Tunggu dulu, ki lurah" sekonyong-konyong terdengar seseorang berteriak keras dan sesaat
muncul dua orang anak muda dihadapan pangeran Ardaraja. Keduanya menghaturkan sembah.
"Siapa kalian ?" pangeran Ardaraja agak terkejut.
"Hamba Nambi" "Hamba Lembu Sora"
Pangeran Ardaraja memandang tajam kepada kedua pemuda itu. Nambi bertubuh kecil, agak
kurus, memiliki sepasang mata yang tajam, dahi agak mengeriput pertanda seorang yang gemar
berpikir. Sedangkan Lembu Sora bertubuh kekar, wajah bundar, alis lebat. Seraut wajah dari orang
yang lugu atau jujur. "Dari mana kalian" Dan apa tujuan kalian?"
"Hamba dari pertapaan gunung Lejar, gus " jawab Nambi "dan hamba mendengar wara-wara
bahwa di pura Singasari akan diadakan sayembara"
"Dan engkau juga?" pangeran Ardaraja alihkan pandang kepada Sora.
"Demikian gusti" sahut Sora.
Sejenak merenung pangeran Ardaraja berkata "Mengapa kalian hen kan ndakan prajuritku
yang hendak menangkap ketiga pemuda itu?"
"Mohon gus melimpahkan ampun atas kelancangan hamba" kata Nambi yang tampaknya lebih
pandai bicara "bukan sekali-kali hamba bermaksud hendak mencegah prajurit2 paduka menindak
ke ga anakmuda itu. Melainkan hamba hendak menghaturkan kesaksian hamba atas peris wa
perkelahian mereka. Apabila paduka memper mbangkan bahwa mereka ber ga memang bersalah,
hamba akan mengindahkan segala keputusan paduka"
"Baik "pangeran Ardaraja berkesan atas rangkaian kata yang diucapkan pemuda itu "cobalah
engkau katakan" Sejenak Nambi berpaling kepada Sora yang berada disampingnya, telah Sora memberi kicupan
mata persetujuan, Nambipun membuka mulut "Hamba berdua melihat bahwa ke ga pemuda itu
memang sedang berusaha untuk menyingkir ke tepi jalan. Tetapi prajurit itu sudah mendahului
mencambuknya sehingga mereka jatuh terguling-guling. Pemuda yang satu, menanyakan apa
kesalahannya dan jawaban yang diterimanya tak lain kecuali dari hajaran cambuk lagi. Pemuda itu
marah dan menebas cambuk ki prajurit sehingga terlepas. Ke ga prajurit yang lain lalu
menyerbunya. Untuk menjaga diri, pemuda itu menangkap prajurit yang bercambuk tadi untuk
digunakan sebagai perisai. Para prajurit hen kan serangannya dan pemuda itupun berhen juga.
Pemuda itu diperintahkan menyerah tetapi tetap akan dihukum cambuk. Dengan demikian dia pun
terpaksa menolak" Dalam mendengarkan penuturan2 Nambi, diam2 pangeran Ardaraja menyelimpat pandang ke
arah Kuda Panglulut. Tampak putera menantu pa h Aragani itu merah wajahnya dan memandang
penuh dendam ke arah Nambi. Diam2 pangeran Ardaraja mendapat kesan bahwa rombongan Kuda
Panglulut telah ber ndak sewenang-wenang sehingga menimbulkan peris wa perkelahian di
tengah jalan. Kemudian pangeran itupun menilai diri Medang Dangdi ber ga. Jika pemuda itu
mampu menguasai seorang prajurit dan menggunakannya sebagai perisai, tentulah pemuda itu
bukan pemuda sembarangan. Ia menduga kemungkinan mereka juga akan ikut dalam sayembara.
"Baik" kata pangeran Ardaraja kemudian memandang kepada Medang Dangdi "hai, siapa
namamu?" "Hamba Medang Dangdi gus , dari Tumapel. Dan kedua kawan hamba bernama Jangkung dan
Podang" "O, engkau bukan kawula pura Singasari" Apakah engkau tak tahu akan tata peraturan di pura
kerajaan sini?" "Hamba anak desa, baru pertama kali ini melangkahkan kaki ke pura kerajaan. Hamba memang
tak tahu akan peraturan di pura kerajaan sini"
"Hm, apa tujuanmu ke pura ini?"
"Hamba dengar di pura kerajaan akan diselenggarakan sayembara"
"Apakah engkau hendak ikut?"
"Hamba akan melihat suasananya dahulu"
"Medang Dangdi" ba2 pangeran Ardaraja beralih nada keras "engkau bersalah berani melawan
prajurit kerajaan sehingga menimbulkan kekacauan di jalan. Engkau mengakui?"
"Hamba mengakui"
Pangeran Ardaraja berpaling kearah Kuda Panglulut "Adi, silakan adi melanjutkan tugas.
Serahkan ketiga pemuda ini kepadaku"
Kuda Panglulut terkesiap. Ia merasa kalah kedudukan dengan pangeran Ardaraja.
Sebenarnya soal keamanan, menjadi tanggung jawabnya. Mengapa pangeran itu harus ikut
campur" Hampir meluap perasaan hati Kuda Panglulut karena merasa tersinggung. Tetapi
sesaat kemudian, terlintas pula lain pertimbangan. Ketiga pemuda itu jelas berani melawan.dan
agaknya mereka pemuda2 yang berani dan memiliki ilmu kepandaian. Dan diam2 diapun
mengakui bahwa prajurit pengiringnya memang terlalu bengis. Rakyat yang berada di sekeliling
tempat itu tampak ngeri dan ketakutan. Kalau terjadi pertumpahan darah, kemungkinan
merekapun tak mau berbuat apa2.
"Ya, pangeran Ardaraja tetap mempersalahkan pemuda2 itu dan diapun telah meminta
persetujuanku ke ka hendak membawa pemuda2 itu. Diapun memberi jalan keluar supaya aku
melanjutkan perjalanan agar jangan terlibat dalam peris wa yang tak diinginkan. Baiklah kali ini
aku menurut" akhirnya ia mengambil keputusan dan menerima permintaan pangeran Ardaraja.
Setelah Kuda Panglulut dan rombongannya melanjutkan perjalanan, maka pangeran
Ardarajapun berujar kepada Medang Dangdi "Kalian bertiga ikut aku ke keraton. Dan juga
engkau berdua" katanya kepada Nambi dan Lembu Sora.
Pangeran Ardaraja dan pengiringnya baru datang dari Daha. Sejak menikah dengan puteri
baginda, baginda menitahkan supaya dia nggal di keraton Singasari. Untuk pelepas rindu kepada
ayahandanya, pangeran itu sering2 berkunjung ke Daha. Sudah sepekan dia nggal di Daha dan
hari itu dia kembali ke Singasari.
Se ba di keraton, dia menitahkan kepada Sura-menggala agar kelima pemuda itu dibawa ke
asrama prajurit2 pengiring pangeran Ardaraja.


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sementara pangeranpun menuju ke gedung kediamannya. Hari itu sudah malam. Setelah
bersantap bersama isterinya maka puteripun lalu menuturkan apa yang telah terjadi di keraton
selama pangeran Ardaraja berada di Daha. Kejut pangeran itu bukan alang kepalang ke ka
mendengar tentang pencuri yang masuk ke puri keputren dan mencuri kaca wasiat puteri Tribuana.
"Bagaimana tindakan rama baginda?" tanyanya.
"Kudengar rama baginda hendak memanggil beberapa resi dan nujum untuk mencari pencuri itu"
Pangeran Ardaraja lama terbenam dalam menung. Tak habis herannya mengapa keraton yang
dijaga begitu ketat telah kebobolan. Jelas pencurinya itu seorang maling haguna yang sak -
mandraguna. "Atau mungkin terjadi komplotan dalam keraton" ia membayangkan rangkaian kemungkinan
lain. Dan mulailah pikirannya mengembara, meneliti setiap mentri, senopati dan para bhayangkara,
bahkan sampai kepada sentana abdi-dalam dan dayang sahaya. Namun sejauh itu ia meni dalam
pengembaraan penilaian, masih ia belum menemukan kecenderungan terhadap seseorang.
Iapun lalu menceritakan pfris wa perkelahian dijalan antara rombongan prajurit Kuda Panglulut
dengan tiga orang pemuda.
"O, Kuda Panglulut putera menantu dari paman patih Aragani itu?" tanya puteri.
"Ya "sahut pangeran Ardaraja "menurut berita2 laporan, Kuda Panglulut memang sering
menghajar rakyat hanya karena mereka tak mau memberi hormat kepadanya"
"Lalu bagaimana dengan ketiga pemuda itu ?"
"Sekarang kubawa dia ke keraton dan berada di asrama prajurit"
"Mengapa kakangmas membawanya ke asrama?"
"Akan kutanya lebih jelas, siapakah sesungguhnya mereka itu. Sekarang ini banyak sekali ksatrya
dan para muda dari berbagai daerah yang datang ke pura. Tentulah mereka hendak ikut dalam
sayembara nanti " "Bukankah tujuan seyembara itu untuk memilih, senopa dari menerima prajurit2 baru ?" tanya
puteri. "Benar" kata Ardaraja "maksudku bukan soal pemilihan senopa itu. Tetapi aku amat periha n
atas peristiwa penjahat yang berani memasuki puri keputren itu"
"Apa sangkut pautnya penjahat itu dengan sayembara, kakang?"
"Itulah yang sedang kuselidiki" jawab pangeran Ardaraja "jelas bahwa penjahat itu bukan
sembarang penjahat melainkan seoiang penjahat yang sak mandraguna. Dan bukankah ksatrya2
serta para muda yang hendak memasuki sayembara itu juga tentu memiliki ilmu yang tinggi?"
"Ih" puteri mendesis "kakang maksudkan ..."
"Se ap kemungkinan yang layak mengundang kecurigaan, layak diselidiki. Itulah sebabnya maka
kusuruh Suramenggala untuk membawa mereka. Dan sekarang akupun hendak menitahkan Sura
untuk membawa mereka menghadap kemari"
Pangeran Ardaraja melangkah keluar menuju ke asrama, mencari Suramenggala "Sura, bawalah
pemuda-pemuda tadi ke kediamanku"
Dengan diantar bekel Suramenggala pengiring, pangeran Ardaraja sejak di Daha, maka Medang
Dangdi Podang, Jangkung, Nambi dan Sorapun dibawa menghadap pangeran Ardaraja.
"Apa tujuan kalian hendak ikut serta dalam sayembara pilih senopa itu?" ujar pangeran
Ardaraja. Kembali. Nambi yang menjadi jurubicara "Gus , hamba para anak2 muda ini medang
mengandung cita2 untuk mengabdi kepada kerajaan Singasari"
"Hm" desuh pangeran Ardaraja "tahukah kalian akan tugas kewajiban prajurit Singasari " Tidak
mudah, kawan, untuk menjadi prajurit Singasari. Ketahuilah, bahwa saat ini Singasari sedang
merencanakan untuk mengembangkan kekuasaan ke seluruh nuswantara. Lihat, beberapa waktu
yang lalu, baginda telah mengirim pasukan besar ke Malayu., Mungkin rencana itu akan disusul
pula dengan pengiriman pasukan2 ke berbagai negara"
Nambi dan kawan-kawan hanya diam saja. Mereka masih belum jelas kemana arah tujuan
kata2 sang pangeran itu. "Mengapa kalian dak mencari pengabdian yang tenang" Mengapa kalian memilih menjadi
prajurit Singasari?"
Nambi terkejut dalam ha . Namun karena pangeran itu putera menantu dari baginda
Kertanagara, ia lebih cenderung untuk menduga bahwa pangeran itu memang tengah menguji
kemantapan hati mereka. "Gus pangeran" kata Nambi "merasa dilahirkan di bumi telatah Singasari. Oleh karena itu
wajiblah kami mencurahkan bhakti kami mengabdi kepada negara Singasari" sahut Nambi.
Ardaraja hendak mengucap sesuatu tetapi entah bagaimana rupanya ia menelan kembali kata-
katanya dan hanya mendesuh "Hm, baik sekali. Tetapi adakah kalian percaya akan dapat
memenangkan sayembara itu?"
"Tidak gus "kata Nambi "hamba tak berani memas kan kepercayaan itu tetapi hamba sekalian
tetap mengandung kepercayaan itu"
Diam2 Ardaraja terkesiap. Ia menilai Nambi pandai mengatur kata2 yang bersembunyi "Apa
maksudmu?" tegurnya.
"Hamba sekalian mengandung kepercayaan agar dapat memperoleh hasil dalam sayembara
itu. Karena tanpa suatu kepercayaan itu hamba tentu tak berani ikut serta dalam sayembara
itu. Namun hamba sekalian tak berani memastikan tentu menang. Sekalipun demikian hamba
sekalian akan berusaha sekuat kemampuan untuk mencapai hasil sebaik mungkin"
"Hm, baiklah" kata Ardaraja "kurasa apabila kalian gagal dalam sayembara ini, masih ada lain
jalan yang dapat kalian tempuh"
Nambi terkesiap. Segera ia meminta keterangan apa yang dimaksudkan pangeran itu.
"Pertama, akan kuterima kalian sebagai prajurit pengawalku ...."
"Gusti ...." "Memang benar" pangeran Ardaraja menegas "ketahuilah, rombongan prajurit pengiringku,
kubawa dari Daha. Padahal Daha juga sedang giat membangun pasukan. Maka kupikir, hendak
mencari pengganti dan aku suka dengan kalian ini"
"Terima kasih, gusti" sahut Nambi "lalu apakah petunjuk gusti yang lain?"
"Jika kalian gagal di Singasari" kata Ardaraja "kalian boleh masuk menjadi prajurit Daha, pas
akan diterima. Akan kukatakan kepada rakryan patih Kebo Mundarang"
"Terima kasih, gus " kata Nambi pula "atas penghargaan yang sedemikian besar gus limpahkan
terhadap diri hamba dan kawan-kawan. Bagi hamba sendiri, soal itu nan akan hamba pikirkan
apabila hamba gagal dalam sayembara"
Lalu pangeran Ardaraja bertanya kepada Lembu Sora dan jawab Sora hampir sama "Dari
desa, tujuan hamba adalah ke Singasari. Menurut pesan mendiang guru hamba, seorang
ksatrya tak boleh ingkar janji. Hambapun telah berjanji kepada hati hamba, hendak memasuki
sayembara di pura kerajaan. Apabila hamba berganti arah dan tujuan, berarti hamba ingkar
pada diri hamba sendiri"
Pangeran Ardaraja mengangguk-angguk. Dia senang dengan pernyataan Lembu Sora yang
menunjukkan tentang kesetyaan ha seorang ksatrya. Diam2 pula mbul keinginannya untuk
mendapatkan pemuda itu sebagai pengawalnya. Kemudian diapun mengajukan pertanyaan kepada
Medang Dangdi, Jangkung dan Podang. Tetapi entah bagaimana perha annya hanya tertarik pada
Lembu Sora. Tiba2 pangeran Ardaraja teringat akan peris wa penjahat di keputren. Dan cepat iapun dapat
merangkai suatu rencana "Baiklah, kiranya kalian tentu sudah jelas akan maksudku. Sekarang kita
berbicara tentang lain soal. Baru2 ini keraton telah dimasuki penjahat yang berhasil mencuri kaca
wasiat dari gusti puteri Tribuana"
Nambi dan keempat kawannya terkejut. Mereka tak pernah mendengar berita itu. Kemudian
mereka pun merasa heran, mengapa pangeran mempersoalkan peristiwa itu kepada mereka.
"Peris wa itu memang dirahasiakan, agar penjahatnya jangan ketakutan dan kabur" kata
pangeran pula "tetapi kerajaan telah berusaha keras untuk menangkap penjahat itu. Namun
sampai sekarang masih belum berhasil"
Kembali pangeran Ardaraja berhen sejenak untuk memperha kan tanggapan wajah mereka
"Nah, akan kuberi kalian kesempatan yang bagus. Kalian kubebaskan dari urusan peris wa
perkelahian dijalan. Bahkan akan kuserahi tugas untuk menyelidiki jejak pencuri sak itu.
Sanggupkah kalian melaksanakan tugas itu?"
Nambi berpaling kearah Lembu Sora. Mereka berbicara melalui pandang mata masing2.
Kemudian Lembu Sora yang menjawab "Tetapi gusti, tidakkah waktunya akan bertepatan
dengan penyelenggaraan sayembara nanti?"
"Benar" sahut pangeran Ardaraja "tetapi ketahuilah. Bahwa apabila kalian berhasil meringkus
penjahat itu, jasa kalian tak kepalang besarnya. Tanpa melalui sayembara, kalian akan diterima
menjadi nayaka kerajaan Singasari. Dalam hal ini akulah yang akan menghadap rama baginda untuk
menghaturkan jasa kalian"
"Dengan begitu, baik kalian ikut dalam sayembara atau tidak, kalian pasti tetap akan diterima."
Nambi termenung beberapa saat "Gusti, adakah paduka menitahkan kami berlima ini semua ?"
"Kurasa cukup kalian berdua atau ber ga" kata Ardaraja "sedang yang lain biarlah nggal di
asrama sini" "Tetapi "..."
"Suramenggala, berikan tempat pada mereka dan layanilah sebaik-baiknya" kata pangeran
Ardaraja seraya berbangkit. Dengan demikian titahnya itu sudah tak dapat dibantah lagi.
"Gusti pangeran" seru Lembu Sora "bilakah hamba dapat memulai penyelidikan itu ?"
"Malam ini juga"
Nambi dan kawan2 hanya memandang longong ke ka pangeran Ardaraja mengayun langkah
tinggalkan pendapa peringgitan untuk masuk kedalam.
Suramenggala segera membawa kelima orang muda itu kembali ke asrama. Mereka ditempatkan
dibagian dalam. Dalam kesempatan berkumpul berlima maka teringatlah masing2 bahwa mereka belum
seluruhnya saling mengenal. Setelah saling memperkenalkan diri, merekapun saling menuturkan
tentang perjalanannya hingga ba di pura Singasari. Cepat sekali mereka berlima menjadi akrab.
Ke ka Podang menuturkan tentang kakangnya yang bernama Wijaya dan Jangkung pun memberi
tambahan tentang kuda hitam yang melarikan pemuda cakap, ba2 Lembu Sora dan Nambi
terbeliak. "Bagaimana wajah dan perawakan pemuda itu?" tanya Lembu Sora.
"Tampan, berkulit kuning, wajah berseri terang, mirip dengan putera priagung" kata Jangkung.
"Podang, katakan terus terang, apakah dia benar-benar kakangmu yang sungguh?"
Podang gelagapan. Sebenarnya dia hendak berusaha untuk mempertahankan rahasia diri Wijaya
yang sebenarnya tetapi menilik betapa kesungguhan ha keempat kawannya itu dan sifat2 mereka
yang perwira, Podang tak dapat berbohong lagi "Bukan, dia sebenarnya bernama raden Wijaya ...."
"Aneh"gumam Lembu Sofa.
"Mengapa " "tegur Nambi.
"Perawakan raden itu seperti raden Nararya, tetapi mengapa namanya Wijaya"
"O, raden Nararya?" seru Nambi "kenalkah engkau dengannya?"
"Ya" kata Lembu Sora. Ia menuturkan perkenalan dengan Nararya itu terjadi waktu di Matahun,
di desa Jenangan "dan apakah kakang juga mengenalnya?"
"Ya" Nambi menuturkan pengalamannya ketika bertemu dengan Nararya di gunung Lejar.
"Lalu kemanakah raden Nararya ?"
"Waktu berpisah, raden mengatakan bahwa kelak dia pas akan berjumpa lagi dengan aku di
pura kerajaan ini" Lembu Sora kerutkan dahi "Aku agak curiga dengan kakang dari Podang yang bernama raden
Wijaya itu. Adakah dia sama dengan raden Nararya atau seorang lain?"
"Kemungkinan tentu orang lain karena banyaklah pemuda cakap ditelatah Singasari ini. Tetapi
kemungkinan dan mudah-mudahan saja, memang raden Nararya" kata Nambi.
Selama Nambi dan Sora bercakap-cakap, Medang Dangdi hanya diam mendengarkan. Kemudian
setelah pembicaraan mengenai raden Wijaya dan kuda hitam selesai, barulah dia membuka suara
"Kakang sekalian, bagaimana langkah kita menghadapi titah pangeran?"
Lembu Sora tertegun, memandang Nambi. Nambi pun hanya kerutkan dahi "Bagaimana menurut
pendapat adi sendiri?"
"Dalam soal itu" jawab Medang Dangdi "'sebelumnya, perkenankanlah kuajak kakang untuk
meninjau beberapa hal mengenai sang pangeran"
"Maksudmu tentang tujuan pangeran itu?"
"Demikianlah kakang" kata Medang Dangdi "mudah-mudahan dengan peninjauan ini, kita dapat
memiliki gambaran tentang apa tujuan pangeran menahan dan membebani kita dengan tugas itu"
Nambi mengangguk "Ya, engkau benar. Memang perlu kita teliti hal itu. Silahkan adi memulai"
"Jika menilik ucapannya, rupanya pangeran tak menyetujui kita ikut serta dalam sayembara.
Mengaga" Adakah karena dia tak ingin Singasari memperoleh senopa dan nayaka2 baru yang
dapat membangun kekosongan pasukan Singasari " Ataukah dia menginginkan agar kami berlima
ini menjadi prajurit pengawalnya, seperti yang dikatakan pangeran"
Keduanya mempunyai kemungkinan" kata Lembu Sora "pertama, walaupun sudah menjadi
putera menantu baginda Kertanagara, tetapi pangeran tetap putera mahkota Daha. Dan walaupun
Daha hanya sebuah akuwu yang diperintah Singasari tetapi sejarah menyatakan, tak pernah kedua
kerajaan itu damai dan rukun. Dan menilik pengamatanku waktu berkelana di daerah Daha, maka
kulihat suatu gerakan dari akuwu Daha untuk membangun pasukan yang kuat"
"O, maksud kakang hendak mengatakan bahwa pangeran itu masih lebih cenderung gembira
melihat pasukan Daha bertambah kuat daripada pasukan Singasari" tanya Medang Dangdi.
"Berdasarkan bahwa seorang putera itu tentu lebih erat ikatan-ba n dengan ayahandanya
daripada ayah mentua. Terutama karena merasa bahwa kerajaan ayahanda pangeran itu
diperintah oleh ayah mentuanya"
"Lalu kemungkinan yang kedua?"
"Walaupun berkedudukan sebagai putera menantu baginda, tetapi pangeran merasa masih
belum dapat menyatukan diri dan memberi kepercayaan kepada para mentri dan senopa
Singasari. Oleh karena itu, dia ingin memiliki pasukan pengawal yang terpercaya kesetyaannya"
"Tinjauan adi memang baik sekali" seru Nambi pangeran itu tentu masih belum tenteram karena
merasakan gejala2 pertentangan tersembunyi dari beberapa golongan yang duduk dipucuk
pimpinan kerajaan Singasari. Sejak baginda memindahkan pa h mpu Raganata ke Tumapel,
demung Wirakre dan tumenggung Banyak Wide ke Madura, maka pemerintahan Singasari hampir
dikuasai patih Aragani"
"Adakah kemungkinan bahwa antara pangeran dan pa h Aragani tak terdapat persesuaian kerja-
sama?" tanya Medang Dangdi.
"Kemungkinan itu tentu ada" jawab Nambi "karena pa h Aragani tentu cemas apabila baginda
melimpahkan kepercayaan dan kekuasaan pada putera menantunya"
"Baiklah, kakang" kata Medang Dangdi "setelah mengetahui latar belakang kedudukan pangeran
di pura kerajaan, maka akan kucoba untuk menarik kesimpulan. Bahwa tujuan pangeran untuk
menahan dan membebani kita dengan tugas mencari penjahat itu, tak lain karena pangeran
menghendaki kita menjadi prajurit pengawalnya"
"Bagaimana engkau cepat menarik kesimpulan begitu ?" tiba2 Jangkung ikut bicara.
"Jika para prajurit bhayangkari keraton tak mampu berjaga terhadap pencuri itu jika fihak
kerajaan gagal untuk menangkap penjihat itu walaupun secara diam2 telah memerintahkan
segenap tenaga para senopa nayaka. jelas penjahat itu tentu bukan seorang penjahat biasa.
Dalam hal itu, mungkinkah kita mampu menangkapnya?"
"Kita coba saja" sahut Jangkung.
"Memang begitulah yang dapat kita usahakan. Tetapi rasanya untuk berhasil sangat pis
kemungkinannya. Dan hal itu tentu sudah diketahui pangeran. Namun jika dia tetap membebankan
tugas itu kepada kita, jelas dia tentu mangandung tujuan tartentu"
Nambi mengangguk "Memang aku cenderung untuk membenarkan penilaianmu itu, adi. Tetapi
betapapun kita harus melakukan penyelidikan itu, kecuali. . . ."
"Kecuali bagaimana, kakang?" tanya Medang Dangdi.
"Kita minggat dari sini!
"Tepat, adi Sora" seru Nambi "engkau dapat mengetahui isi hatiku"
"Setuju" serentak Jangkung menyambut "tak perlu aku ikut dalam sayembara. Lebih baik aku
pulang dan hidup tenang di desa"
"Lalu bagaimana dengan soal kuda hitam itu, kakang Jangkung" "tanya Podang.
"Jangan kua r Podang" seru Jangkung "aku tetap akan mengantarkan engkau mencari kakangmu
dulu, baru setelah itu aku pulang desa"
Medang Dangdi menghela napas "Ah, tak kira kalau peris wa perkelahian di jalan itu sampai
melibatkan kakang berdua" katanya kepada Nambi dan Lembu Sora "harap kakang suka
memaafkan kami." Lembu Sora tertawa "Apa yang harus kumaaf-kan" Sudah wajar apabila melihat sesuatu yang
dak adil kita harus menolong. Putera menantu pa h Aragani itu memang congkak sekali. Ingin
rasanya aku memberi hajaran kepadanya apabila mendapat kesempatan yang tepat. Mengapa dia
begitu berkuasa sehingga bersikap begitu congkak?"
"Siapa lagi, adi, kalau bukan karena pengaruh ayah mentuanya, pa h Aragani itu" kata Nambi
"itu salah satu ndakan pa h Aragani untuk merebut kekuasaan dengan menempatkan putera
menantu dan orang-orangnya pada kedudukan yang penting"
"Rasanya pangeran tak senang kepada putera menantu pa h Aragani itu, bukan ?" tanya
Medang Dangdi. "Ya, agaknya" sahut Nambi "dan mudah-mudahan begitu"
Medang Dangdi dan Lembu Sora terkesiap.
"Kedua orang itu cenderung untuk disangsikan kesetyaannya terhadap baginda. Biarlah mereka
saling bertentangan sendiri"
Beberapa saat kemudian Medang Dangdi mengajukan pertanyaan bilakah mereka akan mulai
melakukan penyelidikan "Besok pagi" jawab Nambi.
Mereka bercakap-cakap sampai jauh malam.
~o~~o~
II Hasil nujum dari para resi dan pandita yang di tahkan datang ke keraton oleh baginda
Kertanagara ternyata tak memadai keinginan baginda. Mereka hanya mengatakan bahwa benda
pusaka milik sang puteri dyah Tribuana, masih memancarkan sinar temaram, bagai bulan bersalut
awan. Jelas benda itu masih berada dilingkungan pura Singasari tetapi tak ketahuan dimana
beradanya. "Durjana itu memiliki mantra yang sak , gus " kata seorang resi tua "sehingga dia dapat
menyelubungi benda itu dari penerawangan indera cipta"
Amat murka baginda terhadap hasil itu. Namun baginda masih penuh kesadaran akan
kedudukannya sebagai seorang Jina yang harus mengayomi para ulama agama. Baginda memang
murka atas kehilangan itu tetapi janganlah sampai kemurkaan itu akan melahirkan akibat baru
berupa cela dari para brahmana dan pandita terhadap sikap baginda yang sewenang-wenang atas
golongan mereka itu. Prabu Dandang Gendis atau Kertajaya dari Daha pun jatuh karena sikapnya yang sewenang-
wenang dan menindas kaum pandita.
Setelah membubarkan sidang, baginda masuk ke dalam mahligai dan duduk termenung-menung.
Adakah di pura kerajaan telah muncul seorang yang sak mandraguna sehingga dapat mengabut


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penerawangan gaib dari para nujum " Jika benar, betapa besar ancaman yang akan diderita pura
Singasari! Alangkah berbahaya orang itu apabila dia bersikap memusuhi Singasari!
Tersentak baginda dari pengembaraan menung. Kini baginda mulai meniti-niti. Apa tujuan
penjahat itu" Mengapa dia hanya mengambil benda milik puteri Tribuana" Adakah dia
meminatkan puteri" Ataukah hanya ingin menunjukkan kesaktiannya agar keraton geger karena
peristiwa itu" "Titahkan Bandupoyo menghadap" tah baginda kepada seorang dayang. Dayang itu gopoh
menghaturkan sembah lalu bergegas keluar. Tak lama pa h Kebo Arema masuk menghadap
baginda dan menghaturkan sembah.
"O, engkau ki patih?" tegur baginda.
"Demikian titah paduka, gusti"
"Mana Bandupoyo?"
"Ki Bandupoyo telah mohon idin kepada hamba untuk mohon diri barang sehari dua dari
tugasnya, gusti" "O, kenapa?" "Dia memberi keterangan kepada hamba bahwa dia hendak mencari seorang pemuda yang
sangat berkenan dalam hatinya"
"Untuk apa pemuda itu?"
"Ki Bandupoyo amat perihatin sekali atas hasil sayembara nanti, gusti. Karena sayembara
pilih senopati itu mempunyai kaitan penting sekali akan keadaan pasukan Singasari. Dia
menghendaki agar senopati itu benar2 terpilih dari orang yang memiliki kedigdayaan,
kewibawaan dan kesetyaan terhadap paduka, gusti"
"Ah" baginda mendesah. Membayangkan, pada peris wa penjahat yang menggegerkan keraton,
baginda segera ber tah "baiklah, ki pa h. Karena dia tak ada, maka perintahkan supaya penjagaan
di keraton terutama di puri keputren, diperketat sekuat-kuatnya"
"Baik, gusti" Setelah pa h Kebo Arema keluar, baginda pun hendak masuk ke peraduan. Tetapi ba2 pa h itu
masuk menghadap pula "Hai, ada soal apa, patih?" tegur baginda.
Setelah memohon maaf atas kelancangan menghadap baginda pa h Kebo Arema menghaturkan
kata "Hamba menerima kedatangan seorang pengalasan dari mpu Santasmre , gus . Pengalasan
itu membawa surat dari mpu Santasmreti, yang mohon dipersembahkan kebawah duli paduka"
"Dimanakah ki pujangga itu sekarang?" ujar baginda.
"Menurut laporan pengalasan itu, ki pujangga Santasmre nggal dalam sebuah hutan di lereng
gunung Penanggungan"
"Baik, haturkanlah surat itu kemari"
Patih Kebo Arema lalu menghaturkan surat dari pujangga mpu Santasmreti kehadapan
baginda. Mpu Santasmreti merupakan pujangga dari keraton Singasari. Tetapi sejak terjadi
pemecatan patih mpu Raganata, demung Wirakreti dan tumenggung Banyak Wide, entah
bagaimana mpu Santasmretipun mengajukan permohonan untuk berhenti. Alasannya, dia sudah
tua dan hendak sesuci diri di hutan.
Tampak perobahan cahaya pada wajah seri baginda Kertanagara ketika selesai membaca
surat itu "Baiklah, ki patih. Beritakan kepada pengalasan itu bahwa surat mpu Santasmreti telah
kami terima" Patih Kebo Aremapun segera keluar.
"Baik, Santasmre , akan kutunggu, benarkah menurut wawasanmu, kaca wasiat itu tentu akan
kembali lagi dalam waktu empatpuluh hari ini" ujar baginda seorang diri.
Kemudian baginda masuk ke peraduan.
Sementara itu pa h Aragani pun telah mendengar tentang hasil daripada para resi, pandita dan
ahli-nujum yang di tahkan baginda menghadap di keraton. Diam2 pa h itu terkejut dalam ha
"Ah, benar2 hebat si Ku itu. Dia dapat mengabut tempat penyimpanan kaca wasiat itu dari
pengawasan para resi pandita yang sidik"
Saat itu ia sedang menimang apakah yang akan di ndakkan terhadap Ku . Walaupun dia agak
mengkal terhadap ndakan Ku tetapi diam2 iapun mengakui bahwa Ku memang merupakan
tenaga yang berharga. Suatu keuntungan besar apabila dia berhasil mendapatkan pemuda itu
sebagai orang kepercayaannya. Akhirnya ia menitahkan seorang pengalasan untuk memanggil Kuti.
"Ku ", ujar pa h Aragani setelah Ku menghadap "engkau benar2 sak karena mampu
mengaburkan pengawasan para ahli nujum yang dititahkan baginda"
"Terima kasih gusti"
"Lalu bagaimana rencanamu?"
"Gus " kata Ku "apa yang hamba lakukan hanyalah melaksanakan tah paduka. Maka
bagaimana ndakan selanjutnya, hamba serahkan kepada paduka. Apapun yang paduka tahkan
pasti akan hamba lakukan"
Girang hati patih Aragani mendengar pernyataan itu "Baiklah. Karena perbuatan itu
sesungguhnya hanya suatu cara yang kuambil untuk menguji kesaktianmu maka setelah engkau
membuktikan diri akan ilmu kesaktianmu, rasanya cukup berhenti sampai disitu saja. Artinya,
kaca wasiat itu harus engkau kembalikan lagi kepada puteri Teribuana"
Kuti termenung diam. "Berbahaya apabila hal itu tak lekas diselesaikan" ujar patih Aragani pula "bagaimanapun
kerajaan tentu berusaha untuk menyelidiki dan mendapatkannya kembali. Mungkin akan
dilakukan tindakan-tindakan yang lebih keras lagi"
"Benar, gusti" "Maka baiklah kita bertindak mendahului tindakan mereka"
"Hamba serahkan pada keputusan gus " kata Ku "lalu bagaimanakah perintah gus kepada
hamba untuk menyerahkan benda itu. Adakah hamba serahkan benda itu kehadapan paduka?"
"Bukan" pa h Aragani gelengkan kepala "jika engkau mengatakan bahwa engkau
menyembunyikan benda itu karena kua r nan akan melibatkan diriku, mengapa sekarang aku
harus meminta engkau menyerahkan benda itu?"
"Maaf, gus " kata Ku "maksud hamba tak lain hanya ingin mengunjukkan apa yang terkandung
dalam ha hamba. Bahwa jauh dari maksud hamba untuk menghaki benda itu. Apapun yang gus
titahkan, hamba hanya menurut saja"
Pa h Aragani tertegun. Ternyata dak semudah itu untuk menyerahkan daripada mengambil.
Harus dirangkai suatu cara yang tepat untuk menyerahkan kembali benda itu kepada keraton. Jika
semata-mata memerintahkan Ku menyerahkan begitu saja kepada baginda, tentulah baginda
akan curiga dan melimpahkan pertanyaan. Salah ucap dalam memberi jawaban atas pertanyaan
baginda, akan menimbulkan bahaya pada Kuti untuk dituduh sebagai yang mencuri kaca itu.
"Ya, memang sulit juga" gumam patih Aragani "menurut pendapatmu, bagaimana cara yang layak
ditempuh untuk melaksanakan hal itu?"
Sejenak merenung Kuti menghaturkan jawaban.
"Hamba akan menghadap paduka, menyatakan sebagai orang yang tahu tentang tempat
beradanya kaca wasiat itu. Kemudian paduka menghaturkan hamba kehadapan seri baginda"
"Atas dasar apa engkau menyatakan tahu tentang tempat disembunyikan barang itu?"
"Atas, dasar dari wangsit yang hamba terima, gus "kata Ku "apabila hamba langsung
menghadap ke keraton, seper yang gus kua rkan tadi, kemungkinan di ha seri baginda
memang akan mbul kecurigaan. Tetapi apabila paduka yang membawa hamba kehadapan seri
baginda tentulah baginda tak akan menaruh kecurigaan"
Patih Aragani mengangguk.
"Dan bukan melainkan hamba yang akan menerima ganjaran, pun gus pa h juga tentu akan
menerima pujian dari seri baginda karena telah menemukan orang yang dapat mengatasi peris wa
itu" "Benar" teriak pa h Aragani "engkau benar2 cerdik, Ku " ia memuji tetapi secepat itu pula dia
terkejut dalam ha atas kelincahan Ku berpikir mencari akal "Berbahaya" gumamnya dalam ha
"apabila orang ini menjadi fihak yang memusuhi kedudukanku. Dia harus menjadi orangku"
"Lalu apa yang akan engkau tindakan dihadapan baginda ?" tanyanya.
"Sebagaimana telah hamba haturkan tadi" jawab Ku "hamba akan mengatakan bahwa hamba
menerima suatu wangsit gaib untuk menyingkap tabir kegelapan dari peris wa yang telah
menimpa keraton Singasari"
"Adakah dengan pernyataan itu seri baginda berkenan melimpahkan kepercayaan kepadamu ?"
"Mungkin belum sepenuhnya, gus . Walaupun kepercayaan itu mulai tumbuh karena
memandang diri paduka" kata Ku "tetapi hamba telah bertekad untuk meraih kepercayaan
baginda" "Dengan cara?" "Jika hamba tak berhasil mendapatkan kaca itu, hamba bersedia menerima pidana mati"
"O, bagus" seru pa h Aragani "bagus sekali jika engkau menebus kepercayaan raja dengan
jiwamu" "Apa yang mampu hamba lakukan itu tak lain hanya berkat restu yang paduka limpahkan kepada
diri hamba, gusti patih"
Patih Aragani gembira. Demikian perangai patih itu. Dia pandai merangkai kata-kata indah
untuk menyanjung puji kehadapan seri baginda sehingga baginda senang dan menaruh
kepercayaan. Walaupun ia tahu bahwa ucapan Kuti itu hanya suatu sanjung pujian namun dia
senang juga. Memang sanjung pujian itu sedap didengar, nyaman dihati. Memang pula demikian
sifat orang' yang suka menyanjung, tentu senang disanjung.
Sanjung puji, dalam ar yang bersih, memang merupakan daya pesona. Orang akan merasa
gembira dan besar ha untuk hal atau pekerjaan yang telah dilakukan dengan baik. Sanjung puji
yang diwujudkan dalam bentuk tanda jasa ataupun kenaikan pangkat dan lain-lain, akan lebih
mengesan dalam ha orang yang menerimanya. Tetapi dengan ucapan kata2, pun dapat
menimbulkan nilai indah dalam ha orang. Semisal wanita yang dipuji can k, murid yang dipuji
guru, orang bawahan yang diberi pujian atasannya. Perasaan ha mereka akan tersentuh oleh
getar2 kebahagiaan. Tetapi sanjung puji yang terselubung maksud tertentu, tak ubah seperti tuak yang sedap rasanya,
harum baunya tetapi memabukkan orang, melelapkan pikiran dan kesadaran.
Demikian setelah berbincang- bincang berapa saat lagi, pa h Aragani memperkenankan Ku
untuk pulang. Malam itu sudah sepi. Bulan bersinar pucat. Bintangpun masih lesu. Ku berjalan menyusur
lorong yang menuju ke tempat kediaman Banyak. Benaknya penuh dengan rencana yang akan
dilakukan besok pagi apabila menghadap seri baginda. Diakhir renungan, ia menghela napas "Ah,
tak kusangka, tujuanku ke pura Singasari ini untuk ikut dalam sayembara, ternyata aku terdampar
dalam arus perobahan keadaan yang tak pernah kuimpikan" ia pejamkan mata untuk
mengabadikan renungan indah yang mengesandalam sanubarinya saat itu.
"Hm" gumamnya dalam ha "hidup seorang lelaki harus penuh ar . Jika tak berani menerjang
bahaya, bagaimana mungkin dapat mencapai kebahagiaan" Kesempatan ini harus kupergunakan
sebaik-baiknya" Ke ka membuka mata, ia terkejut karena dari arah sebelah muka samar2 seper tampak dua
sosok bayangan manusia yang tengah berjalan kearahnya.
Ku tak terkejut karena sudah biasalah orang bersua orang pada malam hari. Tetapi ke ka
bayangan itu makin dekat. Barulah ia sempat memperha kan bahwa kedua orang itu adalah
pemuda2 yang hampir sebaya dengan dia. Dan entah bagaimana .saat itu mbullah rasa curiga
terhadap mereka. Makin dekat makin jelas bagaimana wajah dan perawakan kedua pemuda itu. Rupanya ada
getar2 yang menyentuh perasaan kedua anakmuda itu. Pada saat Ku miringkan muka melirik
kearah mereka, merekapun juga berbuat serupa sehingga pandang mata mereka beradu.
Setelah bersimpang dan beradu pandang mata kedua anakmuda itupun melanjutkan langkah.
Beberapa saat kemudian salah seorang terdengar berkata pelahan kepada kawannya "Kakang
Nambi, pemuda itu agak mencurigakan" Pandang matanya amat tajam ketika melirik kepada kita?"
Kedua pemuda itu tak lain adalah Lembu Sora dan Nambi. Mereka mulai melakukan penyelidikan
untuk melacak jejak orang yang dicurigai sebagai pencuri sakti itu.
"Ya" sahut Nambi "tetapi dia masih muda hampir seper kita. Mampukah dia melakukan
perbuatan yang sedemikian menakjubkan ?"
"Hm" desuh Lembu Sora "sukar untuk mengatakan ilmu kepandaian seseorang jika hanya di lik
dari umurnya, kakang"
"Lalu bagaimana maksudmu?"
"Bagaimana kalau kita mengiku perjalanannya. Mudah-mudahan kita memperoleh apa yang
kita harapkan" Nambi mengangguk. Pelahan-lahan ia mengisar tubuh melirik ke belakang. Ternyata pemuda
yang bersimpang jalan tadi masih melanjutkan perjalanan dan sudah jauh disebelah muka. Tiba2
Nambi berputar tubuh dan menarik tangan Sora "Kita ikuti dia"
Demikian kedua anakmuda itu segera ayunkan langkah, menahan napas agar langkah yang
didaratkan di tanah dapat mengambang dak menimbulkan debur suara. Tetapi alangkah kejut
mereka ke ka ba di kung jalan yang berkeluk teraling gerumbul pohon, pemuda yang diiku itu
tak tampak lagi bayangannya.
"Aneh "gumam mereka dalam ha masing2. Dan sesaat mereka saling berpandangan "Kemana?"
desuh Lembu Sora pelahan.
Nambi juga terkesiap. Jalan yang terbentang di sebelah muka menjulur lurus. Betapa cepat
langkah pemuda itu, tak mungkin dapat, lolos dari pandang mereka. Nambi tak menyahut
melainkan terus lanjutkan langkah, mengeliarkan mata kian kemari untuk menangkap setiap
bayang2 atau suara yang cenderung diduga menjadi tempat, persembunyian pemuda itu. Tetapi
sampai hampir di penghujung jalan, tetap mereka tak menemukan sesuatu.
"Aneh sekali" kata Lembu Sora "kemanakah orang itu ?"
"Ya, memang mengherankan "sambut Nambi "ah, mungkin ...."
"Bagaimana kakang Nambi" seru Lembu Sora. Tetapi Nambi tak menjawab melainkan berputar
tubuh dan bergegas kembali ke arah semula lagi. Ia menuju kesebuah pohon brahmastana yang
besar. Tetapi belum ba di tempat itu, mereka melihat sesosok tubuh tegak di tengah jalan, bercekak
pinggang "Itu dia" seru Sora.
"Ya" sahut Nambi "memang aku curiga apabila dia bersembunyi dalam liang tanah dibawah
lingkar akar pohon itu"
"Ki sanak, mengapa engkau menghadang di tengah jalan "tegur Nambi ke ka ia ba dan berhen
lebih kurang beberapa langkah dihadapan orang itu.
"Hm" desuh orang itu "engkau tak berhak bertanya tetapi hanya berhak menjawab"
"Apa maksudmu?"
"Yang berhak bertanya adalah aku, bukan engkau"
"Apa yang hendak engkau tanyakan?"
"Seperti yang engkau tanyakan tadi?"
"Aku tidak menghadang jalan"
"Tetapi mengiku perjalananku. Apa maksudmu ?" tegur orang itu ialah Ku , dengan nada mulai
keras. "Aku mengikuti engkau?" ulang Nambi.
"Engkau kembali lagi ke sini, memandang kian kemari, tidakkah karena hendak mencari aku?"
"Ya, memang" tiba2 Sora yang tiba, segera menyahut.
"Ho" Kuti menggeram "mengapa engkau mengikuti aku?"
"Karena heran, siapa engkau dan mengapa pada saat seper malam ini engkau berjalan seorang
diri" "Hm "geram Ku pula "sebelum kujawab pertanyaanmu, aku akan bertanya kepadamu. Siapakah
engkau dan kawanmu itu?"
"Aku hendak pulang"
"Engkau bukan prajurit atau bukan petugas keamanan?"
Mendengar itu Nambi cepat mendahului. Ia kua r Sora akan menjawab sejujurnya bahwa
mereka diperintah pangeran Ardaraja "Bukan, kami hanya rakyat biasa"
"Ho, hanya rakyat biasa" "seru Ku dengan nada mengejek "lalu engkau mempunyai hak apa
untuk bertanya semacam itu kepadaku?"
"Walaupun bukan prajurit atau petugas keamanan tetapi sa ap orang berhak untuk bertanya
kepada sesuatu yang dianggap mencurigakan"
"Apakah engkau anggap aku mencurigakan?"
"Ya?"sahut Sora.
"Paling tidak menimbulkan keheranan" Nambi menambahi.
"Setan" Kuti menyumpah "dalam hal apa aku kalian curigai?"
"Sudahlah jangan banyak cakap!" berantas Sora yang tak sabar beradu lidah "aku sebagai
kawula Singasari, harus membantu untuk menjaga keamanan pura. Engkau harus memberitahu
siapa dirimu dan apa tujuanmu berjalan pada saat semalam ini?"
"Ho, apa hakmu bertanya" Karena engkau merasa sebagai kawula Singasari yang harus
membantu keamanan negara" Huh, kentut busuk! Akupun dapat mengatakan begitu, demikian
pula orang lain" seru Kuti "yang jelas kalian tentu bermaksud lain"
"Maksud lain bagaimana?"
"Kalian adalah kaum penjahat yang berkeliaran tengah malam. Karena melihat aku seorang diri
maka kalian segera bertindak"
"Keparat" Sora mendamprat seraya hendak melangkah maju tetapi dicegah Nambi "Ki sanak,
jangan engkau menghambur fitnah sebusuk itu. Engkau boleh mengejek tetapi pendirian kami
tetap tak berobah bahwa sebagai kawula Singasari kami wajib membantu keamanan negara. Kami
berdua dalam perjalanan pulang dan engkau ?"
"Engkau berhak bertanya tetapi untuk membalas atau tidak, itu hakku"
"Engkau tetap tak mau mengatakan siapa dirimu dan apa tujuanmu malam ini?"
"Kalian dak berhak bertanya begitu. Adakah aku melanggar keamanan berjalan pada malam
hari ini" Adakah undang2 kerajaan melarang orang berjalan pada malam hari ?"
"Kakang, tak perlu berkering ludah terhadap orang semacam dia" seru Sora "hai, engkau, kalau
Neraka Hitam 1 Kesatria Berandalan Karya Ma Seng Kong Harimau Mendekam Naga Sembunyi 3
^