Dendam Empu Bharada 20
Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana Bagian 20
engkau berkeras tak mau memberi keterangan, tentu akan kutangkap dan kuserahkan kepada
petugas keamanan" Rupanya Ku pun tak sabar menghadapi kedua Garang itu. Sambil membusungkan dada ia
menantang "Kalau aku tak mau menjawab, kalian mau bertindak bagaimana" Menangkap" Silakan"
Lembu Sora memang tudah tak sabar. Mendengar tantangan Ku;i, diapun terus loncat
menerjang, tangan kanan menepis leher, tangan kiri menangkap lengan. Kedua gerak tangan itu
dilakukan hampir serempak dalam kecepatan dan kedahsyatan namun
daklah sampai membahayakan jiwa orang. Dia bermaksud hendak menangkapnya.
Ku terkejut menerima serangan itu. Tak mungkin orang biasa mampu mengunjukkan gerak
serangan yang begitu rapi dan bagus. Makin kuat dugaannya bahwa kedua orangmuda itu tentu
golongan pemuda yang berilmu. Mungkin dari paia ksatrya yarg berdatangan herdak mengiku
sayembara, mungkin memang prajurit kerajaan atau mungkin golongan penjahat yang berkeliaran
pada malam hari. Tetapi apa dan siapa mereka, bahaya harus dihadapi. Ia menyurut mundur,
berputar kesamping dan balas menerjang.
Tetapi sebelum ba pada Sora, Nambipun sudah menerkam bahunya. Ku gerakkan tangan kiri
menghantam sementara gerak terjangan ke arah Sorapun tetap dilanjutkan.
Nambi tertolak dan berhenti. Diam2 ia terkejut akan kekuatan tangan Kuti. Sementara Sora
mendapat kesempatan untuk mengisar langkah, menghadapi Kuti dan menyongsongkan
pukulan. Krak.....dua kerat tulang saling peradu keras. Dan keduanyapun terhenti. Sora
merasakan tangannya nyeri, Kuti tangannya gemetar. Keduanya menyurut mundur, tertegun
atas tenaga lawan. Demikian mereka melanjutkan lagi serang menyerang dengan cepat, deras dan dahsyat. Memang
pertempuran itu berjalan seru dan berimbang. Tetapi menurut penilaian, Ku lebih unggul karena
dia seorarg diri menghadapi dua orang lawan.
Sora dan Nambi makin terkejut. Keduanya makin bernafsu untuk menangkap dan menyelidiki
siapa pemuda lawannya yang begitu hebat. Serangan makin dipergencar dan diperketat namun
tetap dak berhasil. Ku memang digdaya dan tangkas. Tetapi Ku sendiri sesungguhnya juga
cemas dalam ha . Selama ini, belum pernah dia berjumpa dengan lawan yang dapat memberi
perlawanan segigih dan sehebat itu. Sejak ia menderita kekalahan dari Nararya dahulu, ia telah
memaksa diri untuk berla h ilmu kanuragan yang lebih nggi. Jika saat itu berhadapan dengan ga
lawan saja tak mampu mengalahkan, bagaimana mungkin dia akan dapat menundukkan Nararya"
Kuti memang benar tetapi dalam kebenaran yang salah. Karena dia tak mengetahui jelas
siapa sesungguhnya ketiga pemuda yang menjadi lawan pada saat itu. Jika dia tahu siapa
Nambi, siapa Lembu Sora, tentulah dia takkan kecewa. Bahkan mungkin akan terkejut bangga.
Nambi, murid dari pertapa di gunung Lejar dan Sora, dengan buk 2 akan kedigdayaan dan
kekuatannya yang hebat, barulah dapat diangkat sebagai bekel prajurit dari Matahun. Dia masih
saudara sepupu dengan demung Wiraraja atau Banyak Wide yang dicopot oleh baginda
Kertanagara dan dipindah ke Sumenep. Nararya atau raden Wijaya sendiri belum tentu sanggup
menghadapi kedua pemuda itu. Bahwa Ku mampu menghadapi Nimbi dan Sora bahkan ditambah
pula dengan Podang, sebenarnya suatu pengakuan yang dapat membuk kan betapa hebat ilmu
yang telah dicapainya. Tetapi dia tak mengetahui hal itu. Dan merasa cemas sehingga pikirannya
kurang tenang, mengganggu kepercayaan atas dirinya.
Ketegangan yang dimulai dengan rasa kejut kemudian merayap-rayap menjadi rasa cemas, mulai
mengelompok dalam rasa bingung dan akhirnya meletus dalam rasa gugup yang hebat ke ka
mendengar derap langkah orang muncul di penghujung jalan. Walaupun tengah berkelahi
menghadapi ga orang lawan, tetapi Ku masih sempat mengembangkan daya pendengarannya
yang tajam sehingga dapatlah ia menangkap langkah kaki manusia yang tengah berjalan
mendatangi. Siapakah mereka" Semi atau Banyakkah" Ah, kedua kawan itu mungkin dak, karena
waktu pergi menghadap pa h Aragani tadi, ia telah meminta agar kedua kawan itu tetap nggal di
rumah. Hanya apabila keesokan harinya ia tak pulang, barulah Semi dan Banyak boleh ber ndak,
menyelidiki ke gedung kepatihan. Lalu siapakah mereka" Musuh ...."
"Bagus, kawan-kawan kita datang. Hayo, cepat kawan . , . . " seru Podang dengan tiba2.
Ku terkejut sekali dalam ha . Apabila kawan2 mereka datang, sukarlah baginya untuk
meloloskan diri. Jika dia sampai tertangkap, dakkah karya besar yang telah dilakukan itu, yani
mencuri dan menyembunyikan kaca wasiat puteri Tribuana, akan berantakan" "Aku harus lolos
"akhirnya mbul suatu keputusan. Ia tak tahu siapa sebenarnya Nambi, Sora dan Podang itu.
Namun ia menduga tentulah ke ga orang itu petugas2 keamanan, mungkin anggauta peronda
malam ataupun prajurit yang sedang melakukan ronda keamanan malam itu.
Pada saat yang sama, Sora dan Nambipun terkejut mendengar teriak Podang. Secara tak disadari,
keduanya serempak berpaling. Walaupun hanya sekejab tetapi gerak serangan merekapun
terganggu kelancarannya. Hal itu terjadi pada saat Ku memutuskan untuk lolos. Maka bertemunya
maksud dengan kesempatan segera dimanfaatkan sebaik-baiknya. Sebuah pukulan yang
dilancarkan kekanan, berhasil menepis lengan Sora dan tebasan dengan sisi telapak tangan kiri
berhasil membuat Podang meliuk. Masih Ku dapat pula mengayun kaki ke arah perut Nambi
sehingga memaksa Nambi harus loncat ke belakang. Ke ga buah serangan yang berhasil itu,
dilanjutkan dengan menginjakkan kaki ke tanah lalu digentakkan sekuat- kuatnya mengantar tubuh
melayang ke belakang, berputar diri dan disambung ga empat loncatan, dia sudah berada ga
tombak jauhnya kemudian lari menyusup lenyap dibalik gerumbul gelap.
"Hai, jangan" cepat Sora menangkap bahu Podang ke ka anak itu hendak lari mengejar
"bagaimana perutmu?"
"Mual tetapi sudah tak apa2" kata Podang masih memandang ke arah lari Ku "mengapa kakang
melarang aku mengejarnya?"
"Berbahaya untuk mengejar lawan yang berada di tempat gelap" jawab Sora "andaikata dia
sudah bersembunyi dan siap menunggu lalu menyambut kedaa tanganmu dengan tabasan senjata
atau melontarkan batu, apakah engkau mampu menyelamatkan diri?"
"Tetapi aku malu, kakang"
"Malu" Apa yang membuatmu malu?"
"Dia seorang, kita bertiga ...."
"Tak dapat menangkapnya?" tukas Lembu Sora. "Dia mampu menyodok perutku dan lolos"
"Salah siapa ?"
Podang terkesiap mendengar ucapan Sora. Ia memandangnya dengan tatapan bertanya "Apakah
kita bersalah?" "Ya " jawab Sora mantab "karena tak mampu menangkapnya. Jika dia berhasil lolos, bukan
salahnya tetapi salah kita karena kita tak mampu. Karena ilmu kita kalah tinggi. Dalam hal itu
siapakah yang bersalah ?"
Podang tertegun. "Bukankah kita yang harus berani mengakui kesalahan karena tak mampu mengalahkannya"
Bukankah kita harus tak malu mengakui bahwa kesalahan itu tak lain karena kita kurang penuh
mencurahkan tenaga, pikiran dan keuletan untuk menuntut dan melatih ilmu kedigdayaan?"
Podang mengangguk-angguk "Benar"
"Benar?" tiba2 Sora merikam pertanyaan.
"Eh, bukankah kakang mengatakan begitu" " Podang mulai bingung.
"Dan engkau menganggap benar?"
"Ya" "Tidak benar" kata Sora "sepintas memang benar, tetapi tidak seluruhnya benar"
Podang terbelalak. Makin heran pandang matanya menumpah kepada Sora "Aku benar2 tak
mengerti apa yang kakang ucapkan"
"Aku mengatakan bahwa kesalahan kita tak dapat menangkap orang itu adalah kita tak memiliki
ilmu kepandaian yang memadai. Karena kita kurang giat dan tekun menuntut ilmu kanuragan.
Bukankah begitu?" Podang hanya mengangguk agak ragu karena dia kua r apabila menyahut dengan ucapan, akan
tergelincir lagi. "Tetapi marilah kita njau dari lain sudut" kata Sora "sudut ilmu kanuragan. Bahwa dalam
menuntut ilmu kanuragan, kecuali harus menguasai segala tata-gerak tangan dan kaki, pun harus
menumpahkan segenap perha annya pada lawan. Nah, kekalahan kita pertama-tama disebabkan
karena kita tak menumpahkan perhatian penuh"
"Hah "Podang terbelalak "bagaimana kakang mengatakan begitu" Telah kucurahkan seluruh
perhatianku untuk merubuhkannya"
"Demikian pula aku dan kakang Nambi" sambut Sora "tetapi perha an kami berdua telah pecah
berhamburan karena ulahmu"
"Aku?" Podang tercengang.
"Ya" "Mengapa aku, kakang?"
"Engkau menjerit meneriakkan kata2, memanggil kawan-kawan supaya cepat datang"
"O, ya, memang begitu. Tetapi maksudku untuk mengacaukan pikiran orang itu"
"Dan pikiranku serta kakang Nambi juga sehingga kami berpaling ke arahmu. Akibatnya, dia
dapat memanfaatkan kelengahan itu untuk mendesak kita dan meloloskan diri"
Sebelum Podang berkata, empat prajurit yang muncul di penghujung jalan tadipun sudah tiba.
"Eh, mengapa engkau di sini" "tegur salah seorang dari kelompok yang terdiri dari empat orang
prajurit bersenjata lengkap.
Untuk menjaga jawaban yang memungkinkan timbulnya kecurigaan dan hal yang berlarut-
larut, maka Nambi segera memberi keterangan bahwa dia dan kedua kawannya sedang dalam
perjalanan pulang. Keempat prajurit itu mengamati Nambi bertiga dengan tatap pandang yang
tajam "Pulang" "seru prajurit yang menegur tadi. Seorang prajurit yang bertubuh kekar dan
berkumis lebat. "Ya " sahut Nambi.
"Mengapa kalian berhenti dan bercakap-cakap di sini ?"
"Kami sedang mempersoalkan peristiwa yang baru saja kami alami"
"Peristiwa apa?"
Nambi menceritakan tentang peris wa yang baru dialaminya dengan seorang lelaki yang
mencurigakan "Kami berusaha menangkapnya tetapi dia dapat melarikan diri"
Rupanya prajurit berkumis itu dak secepat itu dapat menerima keterangan Nambi
"Rombonganku ini, prajurit2 yang malam ini bertugas untuk meronda keamanan. Jika orang itu
mencurigakan, mengapa tak engkau laporkan kepadaku" Mengapa harus engkau sendiri yang
bertindak menangkapnya?"
Nambi terkesiap. Ia dapat menyelami arti yang terkandung dalam kata2 prajurit itu. Jelas
prajurit itu setengahnya tidak percaya bahkan mencurigai. "Ki prajurit" sahutnya "saat itu
sebenarnya kami belum mempunyai maksud untuk menangkapnya. Kami hanya menegur tetapi
dia mengeluarkan kata2 yang tajam menantang. Terpaksa kami bertindak. Andaikata ki prajurit
sekalian berada di sini, tentu akan kami laporkan. Tetapi pada saat itu, tempat ini sunyi senyap
maka terpaksa bertindak sendiri"
"Hm" desuh prajurit itu "benarkah keteranganmu itu?"
"Benar" "Tidakkah layak kecurigaanmu terhadap orang itu, kurasakan juga terhadap diri kalian bertiga?"
"Apa maksudmu?" tiba2 Sora menyeletuk.
"Dalam malam segelap dan tempat sesunyi ini, aku sebagai prajurit peronda harus merasa curiga
terhadap tiga orang yang tengah bercakap-cakap ditengah jalan"
"Apa yang diterangkan kakangku tadi memang benar" sahut Sora "karena kami sebagai kawula
harus merasa ikut membantu keamanan dalam pura ini"
"Itu alasanmu" kata prajurit berkumis "tetapi apa dasar2 penompang keberanianmu untuk
menangkap orang yang engkau sangka mencurigakan itu?"
Nambi mulai beranjak tetapi Sora sudah menyahut: "Kewajiban sebapai kawula Singasari"
Prajurit itu gelengkan kepala "Se ap orang dapat memberi alasan demikian tetapi dak se ap
orang berani ber ndak demikian. Bahwa kalian berani ber ndak tentulah kalian memiliki bekal
ilmu kepandaian. Bukankah begitu?"
"Tidak" cepat2 Nambi yang mencium gelagat kurang baik cepat menjawab "dasarnya hanya
karena kami berjumlah tiga dan orang itu hanya seorang. Maka timbullah keberanian kami"
Prajurit itu gelengkan kepala "Tidak" katanya, "menilik perawakan kalian dan apabila
keteranganmu tadi benar, maka kalian tentu memiliki ilmu"
Sebal rasanya telinga Sora mendengar kata2 itu.
"Adakah suatu kesalahan untuk memiliki ilmu " Mengapa ki prajurit mendesak dengan
pertanyaan begitu ?"
"Itu kewajiban kami sebagai peronda keamanan" jawab prajurit berkumis "jawablah, bukankah
begitu" Bukankah kalian memang pemuda yang berilmu?"
"Ya. Kami memang pernah belajar ilmu untuk membela diri. Apa hubungannya hal itu dengan
kewajiban ki prajurit?" seru Sora pula.
"Erat sekali "jawab prajurit itu "karena hal itu makin mengharuskan aku untuk membawa kalian
ke markas" "Hendak menangkap kami ?"
"Tergantung dari hasil pemeriksaan nanti"
"Bukankah ki prajurit sudah memeriksa keterangan kami?"
"Meragukan" ujar prajurit itu "akan kami serahkan kepada atasan kami. Takutkah engkau?"
"Tidak" jawab Sora "tetapi kami telah memberi keterangan sejujurnya. Masihkan ki prajurit
hendak membawa kami?"
"Wajib prajurit peronda keamanan adalah untuk menangkap se ap orang yang dianggap
mencurigakan. Tiga orang pada tengah malam berada di tengah jalan yang sunyi senyap,
menimbulkan kecurigaan dan harus diperiksa"
"Tetapi kami telah memberi keterangan" suara Sora mulai keras.
"Keterangan dapat dirangkai, cerita dapat dikarang. Tetapi apabila se ap keterangan begitu saja
dipercaya oleh petugas keamanan, dakkah keamanan akan dak aman" Jika kalian memang orang
baik2, mengapa kalian merasa takut menghadapi pemeriksaan di markas kami?"
"Bukan takut "sambut Sora "tetapi kami benar2 kecewa. Mengapa kami yang berusaha untuk
membantu keamanan justeru hendak ditangkap karena dicurigai sebagai pengacau keamanan?"
"Engkau harus mampu menyelami tugas kewajiban. Katamu, sebagai kawula kamu wajib
membantu menjaga keamanan sehingga orang itu hendak engkau tangkap. Maka kataku,
rombonganku sebagai petugas keamanan, wajib menjaga keamanan maka kami harus
membawa kalian ke markas"
"Ah, ki prajurit" Nambi menyelutuk "kami bersumpah, bahwa apa yang kami tuturkan tadi
memang benar2 terjadi, bukan karangan kami sendiri"
Prajurit berkumis itu menjawab dengan pertanyaan "Benarkah kalian hendak membatu
keamanan ?" "Ya" "Jika demikian tak pada tempatnya kalian menolak perintah kami. Karena dengan menurut
perintah itu kalian berarti membantu petugas keamanan dan keamanan itu sendiri"
"Tidak" seru Sora. Ia seorang jujur maka ia merasa karena apa yang diceritakan Nambi tadi
memang keadaan yang sebenarnya maka ia merasa ndakan prajurit itu menyinggung perasaan
"kami hendak pulang, terpaksa kami tak dapat mentaati perintah ki prajurit"
"Kakang ...." Podang berteriak. Maksudnya hendak memperingatkan kepada Sora dan Nambi
mengapa tak mengatakan saja bahwa mereka ber ga sedang menjalankan tah dari pangeran
Ardaraja untuk menyelidiki jejak penjahat yang memasuki keraton itu. Tetapi sebelum ia sempat
melanjutkan kata-katanya, Sora sudah membentak "Jangan ikut bicara!"
Nambi menggamit lengan Podang, mengisyaratkan supaya anakmuda itu diam. Nambi cepat
dapat menangkap mengapa Sora membentak bengis kepada Podang. Tentulah Sora kuatir
Podang akan mengatakan tentang perintah pangeran Ardaraja itu. Maksud Podang memang
baik agar urusan segera selesai. Tetapi Sora beranggapan lain. Belum tentu rombongan prajurit
peronda itu mau menerima jawaban sedemikian. Sora teringat bahwa tugas keamanan pura,
telah diserahkan kepada pasukan yang dibawahi Kuda Panglulut, putera menantu patih Aragani.
Ia masih belum melupakan peristiwa perkelahian antara Medang Dangdi, Jangkung dan Podang
dengan prajurit pengiring Kuda Panglulut. Ia mendapat kesan bahwa Kuda Panglulut tak puas
atas tindakan pangeran Ardaraja yang membubarkan tindakan Kuda Panglulut terhadap
Medang Dangdi bertiga. Itulah sebabnya ia membentak Podang agar jangan anak itu
mengatakan apa-apa. Demikian penilaian Nambi terhadap Sora. Ia tahu tetapi Podang makin bingung. Ia hendak
berusaha menyelesaikan urusan dengan kelompok prajurit peronda, mengapa Sora menghardik
dan Nambi pun ikut mencegahnya" Benar2 ia tak mengerti.
"Ki prajurit, aku dapat menger dan menghargai pendirianmu, walaupun kami harus bersumpah
demi apa saja engkaupun tentu tetap tak mau mendengarkan. Tetapi kamipun mempunyai alasan
sendiri mengapa tak dapat menerima perintahmu, walaupun engkau memberi alasan apapun juga
sebagai dasar perintah penangkapanmu itu"
"Hm, engkau hendak membangkang perintah prajurit yang mempunyai wewenang dalam
melaksanakan tugasnya?"
"Terserah bagaimana engkau hendak mengatakannya namun aku dan kawan kawanku memang
saat ini terpaksa belum dapat memenuhi perintahmu" sahut Sora.
"Jika begitu terpaksa aku harus bertindak keras" seru prajurit berkumis itu.
"Aku, tak melarang ki prajurit hendak mengambil ndakan apa saja terhadap kami, kecuali soal
perintah penangkapan itu. Dan akupun bebas pula untuk mempertahankan kebebasan diri"
"Tangkap!" teriak prajurit itu yang terus mempelopori nuju menyergap.
Karena sudah menentukan putusan, Sora harus melaksanakan dengan sungguh2. Dia tak mau
terlibat pertempuran yang lama dan menjemukan. Selekas menyingkir ke samping, selekas itu pula
ia menepis tengkuk prajurit itu dengan tepian telapak tangan, krek . . . prajurit itupun menjerit lalu
terkulai ke tanah. Sehabis itu Sora hendak menyelesaikan ke ga prajurit yang lain. Pada saat itu
ke ga prajurit sedang bergerak untuk mengiku ndakan kawannya prajurit yang berkumis.
Mereka terkesiap ke ka melihat kawannya sedemikian mudah dan cepat, dapat ditepis rubuh oleh
Sora. Namun mereka sudah terlanjur maju maka tak sempat pula mereka untuk menarik diri.
Krak, terjadi benturan keras antara dua kerat tulang tangan Sora dan salah seorang prajurit.
Prajurit itu menjerit, terbungkuk-bungkuk memegang tangannya menyurut ke belakang. Melihat
itu pecahlah nyali kedua prajurit yang lain. Mereka segera lari untuk meminta bantuan.
Podang hendak mengejar tetapi disambar Sora "Jangan mengejar. Kita tak bermusuhan dengan
mereka" "Hm, mereka tentu kawanan prajurit dari raden Kuda Panglulut" gumam Podang "aku hendak
membalas cambukan yang telah mereka berikan kepadaku tiga hari yang lalu itu"
"Mereka tidak bersalah"
"Hah?" Podang membelalak "aneh, mengapa kakang selalu membawa sikap yang tak dapat
kumengerti" "Tidak ada yang aneh dalam ucapanku" kata Sora "keanehan itu engkau rasakan karena engkau
berada dalam pandangan yang berlawanan atau hanya pada sebelah sisi saja. Mereka
sesungguhnya prajurit yang tahu akan tugas kewajibannya. Andai kata engkau menjadi salah
seorang dari mereka tentulah engkau juga tak semudah itu percaya akan keteranganku dan kakang
Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nambi. Tentulah engkau curiga dan menangkap kita. Coba lepaskan dirimu dari sisi yang sebelah
itu dan berdirilah di tengah2. Tidakkah engkau dapat membenarkan tindakan mereka?"
Podang termangu. "Walaupun pada saat ini secara kebetulan kita berada pada fihak yang berlawanan dengan
pendirian mereka, tetapi sebagai seorang yang jujur, kita wajib memuji akan kebenaran ndakan
mereka" "Jika mereka benar, berarti kita yang salah" "tanya Podang.
"Aku tak mengatakan kita bersalah walaupun kukatakan mereka benar. Mereka melakukan
kewajiban dalam tugasnya, itu yang kukatakan benar. Dan kitapun karena mempunyai kesulitan
dalam menjalankan suatu tugas, pun harus merasa benar telah menolak perintah mereka"
"Kalau mereka benar dari kitapun benar, lalu siapa yang salah?" rupanya Podang masih belum
puas. "Keadaan, tempat dan waktu yang salah" sahut Sora "setelah tugas kita selesai dan aku
bertemu pula dengan mereka dalam keadaan seperti saat ini, aku tentu mau menurut perintah
mereka. Disini yang diartikan benar, hanya dalam batas lingkup kepenting-keamanan negara"
"Adi berdua" ba2 Nambi menyela "baiklah kita lekas2 nggalkan tempat ini. Apabila prajurit2
itu datang pula dengan membawa bala bantuan yang berjumlah besar, dakkah kita akan
mengalami kesulitan yang lebih besar lagi?"
Sora dan Podang mengiakan. Diam2 Podang menaruh rasa senang dan kagum akan
kebijaksanaan ucapan Sora "Kakang Sora" katanya "dalam menguraikan masalah ilmu bjertempur
tadi, engkau belum selesai. Apakah hal kedua yang belum engkau katakan itu?"
Sambil melanjutkan langkah, Sorapun memberi keterangan "Hal yang kedua yalah tentang
ilmu yang terdapat dalam saat2 melakukan pertempuran. Podang, segala ilmu kanuragan dan
jaya-kawijayan itu ataupun ilmu apa saja, hanya merupakan petunjuk dan penyuluh. Ilmu itu
merupakan bekal kita dalam menempuh kehidupan yang kita kehendaki. Dan ilmu itu akan
benar2 membuahkan kenyataan yang berguna apabila kita mampu memancar dan
menggunakannya dengan tepat. Dalam cara menggunakan ilmu, yang pokok yalah kecerdasan
pikiran kita. Kecerdasan yang dilambari kewaspadaan yang tajam, akan mampu melahirkan
suatu tindakan yang tepat untuk menguasai lawan. Kemenangan dalam suatu pertempuran,
kebanyakan ditentukan pada detik2 sekejab, dimana dengan kecerdasan dan kewaspadaan
kita cepat dapat mengambil keputusan, gerak apa yang harus kita berikan kepada lawan agar
dia mati langkah" ~*~o*dewikz*ismoyo*mch*~*~
Baginda Kertanagara tersentak dari kemenungan ke ka seorang sentana dhalem meghadap dan
menghaturkan laporan bahwa pa h Aragani mohon menghadap. Bagindapun segera menitahkan
patih menghadap. Atas tegur baginda, pa h Aragani menghaturkan sembah "Kedatangan hamba ke hadapan duli
tuanku saat ini tak lain karena hamba hendak meghaturkan sebuah berita penting, gusti"
"Hm" rupanya baginda masih segan berujar bahkan nadanya memancarkan percik2 ke dak-
senangan atas kehadiran patih itu.
"Berita tentang kaca wasiat dari gusti puteri sang ayu dyah Tribuana, gusti"
"O "baginda terhenyak bagai induk ayam melihat burung wulung "apa katamu?"
"Hamba mohon tuanku perkenankan untuk menghaturkan berita tentang kaca wasiat yang hilang
itu" Serentak baginda menegakkan tubuh yang lunglai dan ber tah agar pa h Aragani segera
menghaturkan laporan "Adakah sudah terdapat hasil tentang benda itu?" ujar baginda.
"Hampir gus , tetapi rasanya pas akan berhasil" kemudian Aragani menghaturkan keterangan
tentang seorang pemuda digdaya yang sanggup menemukan kaca itu.
Merah wajah baginda mendengar keterangan itu.
"Tidak! Aku tak mau mendengar lagi segala kata2 yang tak berbuk . Tidakkah sudah beberapa
resi, pandita yang sidik yang ku tahkan datang tetapi mereka tak ada yang mampu menemukan
tempat beradanya kaca itu" Hm, Aragani, jangan engkau bermain-main dihadapanku!"
Serta merta patih Aragani menghatur sembah.
"Ampun beribu ampun, duli tuanku. Memang hambapun cukup mengetahui akan segala hasil
yang diberikan para nujum itu. Hambapun menolak untuk menerima kesanggupan anakmuda itu
tetapi dia mendesak bahkan berani menghaturkan pernyataan yang tegas di hadapan hamba,
sehingga hambapun memerlukan menghadap paduka, gusti"
Baginda hanya diam. "Dia menyatakan kepada hamba, bahwa, apabila dia tak mampu mendapatkan kaca wasiat tuan
puteri, dia bersedia untuk dipenggal lehernya"
"Hah?" baginda terperangah "dia berani menghaturkan janji sedemikian?"
"Benar gusti" "Hm" kembali baginda mendesuh dan berdiam diri. Selang beberapa saat kemudian baru
baginda bertitah: "jika memang demikian, titahkan dia masuk menghadap kemari"
Pa h Aragani segera mengundurkan diri dan tak lama kemudian menghadap pula dengan diiringi
seorang pemuda yang bertubuh tegap. Pemuda itupun menghamenghaturkan sembah kehadapan
baginda. "Apakah engkau yang menyatakan sanggup untuk menemukan kaca milik tuan puteri ?" tah
baginda. "Demikian, gusti junjungan hamba yang mulia"
"Siapa namamu?"
"Hamba Kuti, berasal dari lereng gunung Bromo, gusti"
"Apa tujuanmu datang ke pura Singasari?"
"Hamba ingin ikut dalam sayembara"
"Hm, rupanya engkau tentu mempunyai ilmu yang tinggi."
"Tidak, gusti. Apa yang hamba miliki hanyalah sekedar ilmu yang banyak dimiliki para
anakmuda di desa hamba. Memang hamba layak menerima pidana paduka karena berani ikut
serta dalam sayembara itu. Bekal hamba tak lain hanyalah suatu tekad untuk mengabdi kepada
kerajaan paduka" Diam2 baginda berkenan dalam ha mendengar kata2 Ku . Bagindapun tahu bahwa kata-kata
itu hanya bersifat merendah belaka dan tentulah Kuti memiliki ilmu kedigdayaan yang hebat.
"Baiklah" tah baginda "memang demikianlah tujuan sayembara itu, menghimpun para muda
agar masuk kedalam keprajuritan. Lain dari itu, benarkah engkau dihadapan pa h Aragani
menyatakan mampu menemukan kaca wasiat gusti puteri yang hilang itu?"
"Benar, gusti" "Dan engkaupun menyatakan bahwa apabila engkau tak berhasil menemukan kaca itu engkau
bersedia menerima hukuman pancung?"
"Demikian gusti" sembah Kuti.
"Anakmuda" ujar baginda "engkau tahu bahwa pernyataanmu itu engkau haturkan dihadapan
sang nata?" "Hamba tahu, gusti"
"Bahwa aku pernah menitahkan beberapa resi pandita untuk menujumkan benda itu tetapi
gagal?" "Hambapun mendengar, gusti"
"Bahwa jika beberapa resi pandita yang sidik telah gagal, menunjukkan betapa gawat beban itu
?" "Hamba menyadari, gusti"
"Bahwa janjimu itu harus engkau tepati apabila engkau juga gagal?"
"Hamba maklum, gus . Bagi seorang anak desa seper diri hamba ada kehormatan yang dapat
hamba songsongkan kecuali batang kepala hamba"
"Baik, engkau berjiwa ksatrya" seru baginda "dan jangan engkau berkecil ha . Akupun akan
memberi imbalan kepada batang lehermu itu. Apabila engkau benar2 mampu menemukan benda
itu maka engkau akan kuberi kelungguhan sebagai tumenggung dan isteri yang cantik"
Serentak Ku mencium kaki sang nata "Duh, junjungan yang hamba muliakan. Betapa besar
ganjaran yang paduka limpahkan atas jasa hamba yang sekecil itu. Ampun gus , namun bukan itu
yang hamba cita-citakan"
"Engkau tak ingin menjadi tumenggung" Lalu apa yang engkau kehendaki " "
"Hamba hanya seorang anak desa yang ingin menyumbangkan tenaga hamba kebawah duli
paduka" "Hanya itu?" "Demikianlah gusti"
"Bagus, persembahanmu kuterima tetapi engkau pun harus membuk kan apa yang engkau
janjikan" "Hamba tentu akan melaksanakan tah paduka" Tampak baginda mengerut dahi sejenak lalu
ber tah "Tetapi dak, Ku . Aku seorang nata, tak boleh ingkar akan ucapanku. Walaupun belum
kuucapkan tetapi dalam ha aku sudah berjanji, barangsiapa yang dapat menemukan kaca wasiat
itu, dia akan kuganjar. Karena engkau tak menghendaki pangkat, lalu katakanlah, apa yang engkau
kehendaki ?" "Ah, hamba tak menghendaki suatu apa"
"Tidak, Ku " ujar baginda agak keras sehingga pa h Aragani dan Ku tergetar "jika engkau
menolak ganjaran yang akan kuberikan menurut permohonanmu, berar engkau menyinggung
keluhuranku sebagai raja!"
Gemetar Ku mendengar tah baginda itu. Serentak dia menyembah "Mohon kiranya paduka
melimpahkan ampun kepada diri hamba yang hina dina. Se
kpun hamba tak berani memiliki rasa
sedemikian terhadap paduka, junjungan yang mulia dari seluruh kawula Singasari. Sebagai seorang
kawula paduka, hamba ingin melaksanakan cita2 hamba untuk mengabdi kepada kerajaan paduka.
Bagaimana mungkin hamba akan menyinggung keluhuran paduka yang hendak hamba junjung
dalam pengabdian hamba itu"
"Cita2 dan ndakanmu itu menandakan bahwa engkau berjwa ksatrya. Tetapi apabila engkau
menolak keputusanku untuk memberi ganjaran berar engkau menyinggung keluhuran dari
seorang raja yang harus menetapi sabda"
"Ampun gusti" sembah Kuti "jika paduka menitahkan demikian, hambapun akan mentaati. Tetapi
gusti, adakah paduka takkan murka atas permohonan hamba ini ?"
"Tidak" Ku menghela napas, sejenak mengerling ke arah pa h Aragari yang termenung-menung
mendengarkan percakapan tadi, kemudian berkata "Gus Junjungan para kawula Singasari yang
mulia, kiranya permohonan hamba tak lain hanya .... hanya mohon diperkenankan menghadap
gusti hamba sang dyah ayu puteri Teribuana"
Patih Aragani terbelalak dan mencurah pandang ke arah Kuti.
"Apa sebab engkau mengajukan permohonan begitu?" tegur baginda.
"Ampun gus " sembah Ku "bukan hamba bermaksud menyinggung keluhuran paduka, tetapi
hamba hanya mohon diperkenankan untuk meletakkan persoalan itu pada saluran yang layak.
Bahwa kaca wasiat itu telah paduka perkenankan kepada gus puteri maka gus puteri
Teribuanalah yang menjadi pemilik yang sah. Hamba dengan segala kegembiraan dan terima kasih
yang tak tertara akan menerima ganjaran apapun dari gus puteri. Hanya demikian permohonan
hamba, gusti" Pa h Aragani terkejut. Hampir ia tak percaya akan pendengarannya. Bagaimana Ku mengajukan
permohonan seper itu ! Bagaimana mungkin seri baginda akan mengabulkannya! Serentak mbul
ingatan pa h Aragani untuk memberantas permohonan Ku dengan kata2 yang tajam agar apabila
baginda mutka kepada Ku , baginda takkan menimpakan kemurkaan kepadanya pula. Tetapi pada
saat dia hendak mengangakan mulut ....
"Ya " ba2 baginda ber tah "karena aku sudah mengatakan akan meluluskan apapun
permohonanmu karena permohonanmu itu cukup beralasan maka akan ku tahkan prajurit untuk
membawa engkau menghadap puteri"
Pa h Aragani terlongong-longong. Ku terkejut lalu gopoh menghaturkan sembah terima
kasih..Baginda pun menitahkan prajurit u uk mengawal Ku ke keputren menghadap puteri
Teribuana. Sepanjang perjalanan melalui lorong dan taman yang indah asri, semangat Ku
melayang-layang di Inderaloka. Betapa indah, tenang dan asri meresaplah ha segala bangunan,
peralatan, taman, kolam bahkan pohon2 bunga yang berada dalam keraton Singasari.
Semangat Ku yang seolah melayang-layang di alam seribu-impian itu, ba2 tersentak buyar
ketika prajurit berseru "Sudah sampai di keputren"
"O " Kuti gelagapan.
"Tunggu disini, aku akan melapor" prajurit terus masuk ke dalam gedung keputren.
Ku menunggu dengan ha berdebar-debar. Bagaimana nan apabila berhadapan dengan
puteri" Adakah puteri berkenan meluluskan permohonannya " "Ah "ia mendesuh dan mendesah
dalam usahanya untuk melepaskan diri dari libatan kabut yarg tebal. Kabut lamunan yang
menyekap seluruh indera dan perasaannya ke alam kekaburan.
"Ku , apa ar hidup seorang lelaki apabila tak berani menempuh bahaya dalam mencapai cita2
idamannya ....." terngiang kata-kata yang mendebur-debur bagai ombak dalam ha nya yang sedang
diamuk prahara. "Mari masuk" ba2 terdengar suara prajurit berseru. Ku terkejut. Ia tak tahu bilakah prajurit itu
datang dihadapannya. Bergegas ia mengikuti langkah prajurit kedalam puri keputren.
"Kita tunggu di ruang ini" tiba2 pula prajurit itu berhenti di sebuah ruang pendapa. Kuti pun
mengikuti tindakan prajurit yang duduk bersila di lantai. Selanjutnya dia tak mau menyerahkan
diri dihanyut lamunan melainkan membenahi perasaannya untuk menghadapinya sang dyah ayu.
Saat itu yang dihadapinya suatu kenyataan, bukan impian pula. Kenyataan yang akan membuka
segala kemungkinan dari seribu impian. Haruskah dia menyurut mundur ketika sudah berada di
ambang gerbang seribu kemungkinan itu" Tidak!
Walaupun ia sudah mengemasi diri, lahir dan ba n, namun ia tetap tergetar perasaannya ke ka
sang dyah ayu puteri Teribuana muncul di ruang itu, Can k dan anggun bagaikan surya bersinar di
pagi hari. Prajurit segera menghaturkan sembah. Kuti pun gopoh mengikuti. Kemudian dia menunduk.
"Prajurit, inikah yang engkau haturkan sebagai pemuda yang diterima menghadap oleh ramanda
baginda itu?" terdengar puteri Teribuana berujar.
"Demikian titah seri baginda yang mulia, gusti" sembah prajurit.
"Baiklah" ujar sang puteri pula "Ki anom, benarkah engkau telah menghadap ramanda baginda
untuk menghaturkan kesanggupanmu mencari kaca wasiat itu?"
Perasaan Kuti seperti melayang-layang di alam lain. Entah apa namanya karena dia belum
pernah mengalaminya. Inderaloka" Ah, dia belum pernah tahu, bagaimana ia berani
meyakinkan diri tentang alam loka itu " Ia bingung menamakan tetapi merasakannya.
"Hai, gusti puteri bertanya kepadamu" prajurit mengusiknya sehingga Kuti gelagapan.
"Demikian diluhurkan tah paduka, gus " akhirnya setelah berusaha untuk menenangkan diri,
dapat juga Kuti merangkai kata2 jawaban.
"Benarkah engkau dapat menemukannya?"
"Dihadapan yang mulia seri nata junjungan seluruh kawula Singasari, hamba telah
mempertaruhkan kepala hamba untuk menebus kegagalan dari kesanggupan hamba, gusti"
"Baik" kata puteri "lalu mengapa engkau menolak ganjaran ramanda baginda apabila engkau
berhasil melaksanakan janjimu ?"
"Hamba bukan menolak, gus . Melainkan hamba mohon agar hamba diperkenankan hanya
menerima ganjaran dari gusti sebagai pemilik kaca wasiat itu"
Puteri Teribuana kernyitkan dahi "O, engkau menghendaki supaya aku yang memberi ganjaran
kepadamu?" "Sesungguhnya hamba tak menginginkan ganjaran apa2, karena hamba anggap apa yang hamba
akan lakukan itu, hanyalah suatu kewajiban dari seorang kawula. Namun karena seri baginda tetap
menitahkan hamba agar menyebutkan ganjaran apa yang hamba kehendaki, terpaksa hambapun
mentaati titah baginda"
"Ganjaran apa yang engkau kehendaki ?"
Berdebar keras hati Kuti ketika mendengar ucapan sang puteri. Saat2 seperti itulah yang
dinantikannya sejak ia melihat wajah sang puteri. Hampir sang mulut tak kuat menahan luap
hatinya tetapi untunglah pikirannya masih sadar. Bahwa setiap tindakan yang gegabah tentu
akan meruntuhkan semua rencana. Dia harus mau melihat kenyataan bahwa yang dihadapinya
itu adalah puteri Teribuana, puteri baginda Kertanagara yang memerintahkan kerajaan
Singasari yang besar. Salah ucap badan pasti binasa.
"Gus , hamba hanya seorang kawula yang hina, sudah suatu rahmat yang besar bagi diri hamba
apabila paduka berkenan memberi ganjaran. Bagaimana hamba berani memohon sesuatu
kehadapan paduka ?" "Aku merasakan sesuatu yang menyedihkan ha ku atas hilangnya kaca wasiat itu. Memang
akupun telah berjanji dalam ha . Barangsiapa yang dapat menemukah benda itu pas akan
kuganjar" Hampir meledak dada Ku mendengar ucapan puteri, namun ia berusaha untuk menekannya
"Ah, bahwa gus memperkenankan hamba untuk mencari kaca wasiat itu, sudah hamba anggap
sebagai suatu ganjaran besar. Bagaimana mungkin hamba masih mengharap ganjaran yang lain
lagi. Dan memang hamba tak mengharapkan suatu apa, gusti"
"Jika begitu" ujar puteri "akupun menolak kesanggupanmu"
"Gus " Ku seper disambar pe r kejutnya. Ia tak mengira bahwa puteri lebih tegas
keputusannya daripada baginda "hamba .... hamba mohon ampun, gusti"
"Engkau tak bersalah" kata puteri Teribuana "asal engkau sudah menyadari bahwa engkau wajib
menghormati pendirianku. Dengan demikian barulah aku dapat menghargai bantuanmu"
Ku tercengung. Ia ingat akan sikap dan ucapan seri baginda tadi. Dibalik rasa kagum atas
peribadi sang puteri, diam2 Kutipun girang karena maksud hatinya mendekati kenyataan.
"Baiklah, gusti, mana2 titah paduka pasti akan hamba junjung "katanya kemudian.
"Katakan, ganjaran apa yang engkau kehendaki" Bukankah ramanda baginda bersedia
mengganjarmu pangkat tumenggung dan harta benda tetapi engkau menolak?"
"Demikian, gusti"
"Lalu apa yang engkau kehendaki?"
Ku menghela napas dan mengeliarkan pandang ke sekeliling. Dua dayang duduk bersila di
kedua sisi puteri. Dan prajurit yang membawanya tadi pun masih duduk disebelahnya.
"Gus " Ku menghaturkan sembah "jika gus memperkenankan, hamba mohon agar apa yang
hamba hendak haturkan kehadapan gusti ini, tiada orang yang mendengarkan"
Terkejut puteri mendengar persembahan kata itu. Namun karena tuntutan keinginannya untuk
segera mendapatkan kembali kaca wasiat, puteripun meniadakan segala perasaan dan
mengabulkan permintaan Kuti. Puteri lalu, menitahkan kedua dayang supaya keluar, demikian
pula prajurit yang mengantar Kuti itupun disuruh menunggu diluar,
"Sekarang katakanlah apa permintaanmu itu" titah puteri.
Sebelum berkata Ku kembali menghaturkan sembah "Gus , sebelum mempersembahkan
permohonan, lebih dahulu hamba mohon paduka berkenan melimpahkan ampun apabila dalam
kata2 permohonan hamba itu tak berkenan di hati paduka"
"Telah kukatakan" jawab puteri "bahwa aku akan meluluskan ganjaran apapun menurut yang
engkau mohon"
Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Gusti, dapatkah hamba menghibur hati hamba akan kepastian titah paduka?"
"Ki anom" ujar puteri "aku adalah puteri raja. Sabda pandita ratu pun menjadi keutamaan yang
yang wajib kulaksanakan"
"Duh gusti ampunilah kesalahan hamba"
"Cukup" seru puteri "sekarang katakanlah permohonanmu itu"
Ku pun mengemas ha dan pikirannya dalam kebulatan tekad bahwa saat itu dia harus
melaksanakan apa yang menjadi tuntutan ha nya "Gus , bukan pangkat, bukan harta, bukan pula
kemewahan hidup yang hamba inginkan apabila paduka berkenan hendak memberi ganjaran
kepada hamba. Tetapi hanya sepatah kata dari paduka"
Puteri Teribuana terkesiap "Sepatah kata dari aku " Apa maksudmu ?"
"Benar, gus , sepatah kata paduka. Maksud hamba semoga ucapan paduka itu dapat hamba
junjung sebagai penyuluh yang akan menerangi perjalanan hidup hamba"
Puteri. Teribuana makin heran "Aku benar2 tak menger maksudmu, ki sanak. Cobalah engkau
katakan yang jelas" "Gus " dengan sekuat ha Ku benar2 telah membulatkan tekad "tak lain hamba hanya mohon
gus berkenan melimpahkan sabda, bagaimanakah kiranya priagung yang kelak gus kenankan
menjadi sisihan paduka"
Merah wajah sang puteri mendengar pertanyaan itu. Hampir ia murka dan mendamprat
kelancangan Kuti. Tetapi karena puteri sebelumnya sudah berjanji takkan murka dan meluluskan
permohonan Kuti, terpaksa puteri menekan perasaannya.
"Duh, gus junjungan hamba yang mulia" serta merta Ku pun menghatur sembah "ampunilah
diri hamba yang telah berucap kurang tata, berani mengajukan pertanyaan itu. Sekira paduka tak
berkenan, hamba mohon pidana"
Sebagai seorang puteri yang sudah menjelang dewasa, tersentuhlah perasaan puteri Teribuana.
Nalurinya sebagai seorang puteri, cepat dapat menangkap apa sesungguhnya yang terkandung
dalam ha Ku . Namun sebagai puteri utama yang tetap menjunjung keutamaan, puteripun tetap
pada janjinya "itukah yang engkau kehendaki?"
"Demikian gusti"
"Apa guna engkau mengetahui hal itu?"
"Bagi hamba hal itu lebih penting dari surya dan rembulan. Surya hanya menerangi pada
siang hari dan rembulan pada malam hari. Tetapi hal itu akan selalu menerangi hati hamba
siang dan malam" Makin tersentuh ha puteri, makin jelas puteri mengetahui maksud ha Ku . Namun ia tetap tak
murka. "Baiklah, aku akan menetapi janjiku kepadamu" ujar -puteri "sebagai seorang puteri raja aku
harus dipersunting oleh ksatrya linuwih dan luhur"
"Terima kasih gus " Ku menghaturkan sembah "kiranya tah paduka akan menjadi pelita yang
akan menerangi hati hamba dalam mengarungi tujuan hidup hamba"
"Ki anom" tah puteri "jangan engkau menyiksa diri untuk meraih rembulan. Paserahkan suratan
hidupmu kepada Hyang Batara Agung dan terimalah dengan segala puji syukur apapun yang
dilimpahkan-NYA" "Terima kasih gusti" sembah Kuti "sekalipun ketentuan terserah kepada Hyang Widdhi, tetapi
Hyang Widdhi memperkenankan manusia untuk mengharap, bercita-cita dan berusaha. Oleh
karena itu hamba akan melaksanakan kemurahan berkah Hyang Widdhi itu selayaknya"
Puteri Teribuana tak menanggapi lebih lanjut. Setelah memperingatkan Ku akan
kesanggupannya, puteripun segera masuk kedalam keputren.
Kuti keluar dengan hati menggunduk gunung harapan. Ia merasa hidupnya berisi sesuatu.
~~o-dewk-ismoyo-mch-~~ Jilid 18 Persembahan : Dewi KZ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ & http://dewi-kz.info/
Dengan Ismoyo Gagakseta 2 http://cersilindonesia.wordpress.com/
Editor : MCH I Ku menghaturkan permohonan kehadapan baginda Kertanagara, demi mengamankan usahanya
untuk mendapatkan kaca wasiat, supaya diperkenankan memohon bantuan sekelompok pasukan
prajurit pilihan untuk melindungi dirinya.
Rasa heran terselip dalam tah baginda Kertanagara yang bertanya "Keamanan " Apakah engkau
tak merasa aman dalam pura kerajaan Singasari" Dimana-kah engkau hendak mencari kaca itu ?"
"Mohon paduka berkenan melimpahkan ampun atas diri hamba yang hina dina ini, gus "
sembah Ku "saat ini menjelang akan diselenggarakannya sayembara pemilihan senopa
sebagaimana yang paduka tahkan, banyaklah ksatrya2 dari berbagai penjuru telatah kerajaan
paduka yang berbondong-bondong datang ke pura kerajaan. Hamba tak mencurigai orang atau
golongan tertentu tetapi demi mengamankan benda mus ka yang menjadi buah kesayangan gus
hamba sang dyah ayu gus puteri Teribuana, hamba merasa amat berdosa sekali apabila benda itu
sampai ter mpa sesuatu yang tak hamba inginkan. Lebih baik menjaga daripada harus menderita
sesuatu yang tak terduga-duga"
Baginda menyetujui tetapi baginda pun menegaskan tentang janji Ku apabila tak dapat
menemukan kaca wasiat itu.
"Hamba akan mempersembahkan leher hamba ke bawah duli paduka, gusti"
Baginda mengangguk dan menitahkan pa h Kebo Anengah supaya mempersiapkan prajurit
untuk melindungi keamanan Kuti.
Demikian setelah mengundurkan diri dari hadapan baginda Ku pun diperintah pa h Kebo
Anengah supaya menunggu di Balai Witana. Malam itu Ku segera bekerja, untuk melindungi
keamanannya, patih Kebo Anengah memerintahkan dia berada di asrama prajurit.
Dalam kesempatan berjalan seiring dengan pa h Kebo Anengah, pa h Aragani mengemukakan
tentang ketidak-puasannya terhadap sikap Kuti yang seolah tak mempercayai keamanan pura.
"Tetapi bukankah engkau juga menyetujui" Dan bukankah kau yang membawanya ke hadapan
baginda?" "Benar" sahut Aragani "tetapi aku tak senang dengan permohonannya tadi. Tetapi karena sudah
terlanjur aku yang membawanya menghadap baginda maka terpaksa aku pun harus ikut
bertanggung jawab. Itulah yang hendak kuperbincangkan dengan kakang patih"
"Soal keamanan Kuti?"
"Ya. Kakang tentu menilik penjagaan keraton karena tumenggung Bandupoyo sedang pergi"
dengan lidahnya yang licin dapatlah Aragani menggelincirkan pembicaraan ke arah yang lain.
"Lurah Kadru dapat kupercayakan tugas untuk melindungi keamanan Ku " kata pa h Kebo
Anengah "dan menantu adi, Kuda Panglulut, sebagai pimpinan ronda keamanan pura, tentu dapat
memberi bantuan" Itulah yang diharap pa h Aragani. Diam2 ia gembira "O, bagus, kakang pa h. Rencana kakang itu
amat melegakaan hatiku" katanya.
Demikian keduanya segera berpisah.
Se ba di kepa han, pa h Aragani melihat Kuda Panglulut, putera menantunya, sudah
menunggu. Pemuda itu ingin sekali mendengarkan keputusan baginda tentang diri Kuti.
"Baginda menerimanya" kata Aragani lalu menuturkan apa yang telah berlangsung di balairung
keraton. "Hm, Ku semakin tamak. Mengapa rama menerima orang semacam itu?" Kuda Panglulut
setengah menyesali rama mentuanya.
"Kulihat Kuti itu cerdas dan sakti. Sebenarnya aku ingin mendapatkannya sebagai orang
bawahanku." "Tetapi ternyata dia memiliki cita2 besar untuk meraih kedudukan tinggi, rama"
"Bagaimana engkau mempunyai kesan demikian?"
"Pertama, dia tak mau memberitahukan tempat penyimpanan kaca wasiat itu kepada rama.
Karena apa" Bukankah karena dia tak ingin rama yang mendapat jasa?"
"Ya" Aragani mengangguk.
"Kedua, dia sendiri mohon bantuan rama agar dapat berhadapan langsung dengan baginda.
Tidakkah kalau dia berhasil mendapatkan kembali kaca itu baginda tentu akan mengganjarnya
pangkat yang tinggi"
"Hm" Aragani mendesuh.
"Dengan sikap yang ditunjukkan itu jelas dia tak ingin menjadi kadehan rama"
"Bedebah!" teriak Aragani "ya, engkau benar Panglulut. Bagaimana pendapatmu?"
"Adakah rama mengidinkan hamba untuk menghaturkan pendapat hamba?"
"Ya " "Lebih baik menjaga daripada mengoba . Lebih baik mencabut sebelum pohon itu berakar.
Demikianlah pendapat hamba, rama"
"Bagus, puteraku" seru Aragani "memang pendapatmu itu sesuai dengan angan-anganku.
Tetapi apakah tenaga seperti Kuti itu tak sayang kalau kita buang begitu saja?"
"Dia terlalu pintar dan cerdik sehingga sukar untuk mengharap kesetyaannya. Masih banyak,
rama, tenaga2 yang tak kalah ilmunya dengan Kuti dan yang bersedia bekerja kepada kita"
"Benar, angger "sahut Aragani "dalam sayembara nan tentulah kita akan dapat memilih jago2
yang sakti. Lalu bagaimana rencanamu terhadap Kuti?"
Kuda Panglulut tak cepat menyahut. Setelah berdiam diri beberapa saat, barulah dia berkata
"Ah, tetapi jalan itu amat berat dan berbahaya, rama"
"Hm" desuh Aragani "tak apa, Panglulut, cobalah engkau haturkan kepada rama"
"Ini hanya suatu rencana, rama. Terserah kepada tah rama. Kalau tak setuju, hambapun
bersedia melaksanakannya"
"Hm" "Dalam taraf seper sekarang, ada lain jalan kecuali harus menempuhnya dengan kekerasan.
Yang pen ng dapat merebut kaca itu namun apabila perlu, pun terpaksa harus mengorbankan jiwa
Kuti" Aragani tak terkejut mendengar rencana itu, karena diapun sudah menduga akan rencana
semacam itu. Namun ia masih bingung memikirkan bagaimana melaksanakan rencana itu "Ya,
memang tiada lain jalan kecuali dengan cara itu. Tetapi tidakkah amat berbahaya" Dan
siapakah yang harus melakukan rencana itu" Ingat, Panglulut, jangan sampai peristiwa itu
melibatkan diri rama dan engkau"
Kuda Panglulut serentak berkata dengan cerah "Soal itu sudah hamba pikirkan, rama. Sudah
tentu hamba takkan melibatkan diri rama, juga diri hamba"
"Maksudmu orang2 yang akan melaksanakan rencana itu, orang dari luar?" Aragani menegas.
"Demikianlah, rama" kata Panglulut "demang Krucil mempunyai seorang pengalasan yang
digdaya" "Siapa demang Krucil itu?"
"Orang kepercayaan hamba, rama"
Aragani terkesiap "Mengapa pengalasan itu tak dihaturkan Kepadaku " Bukankah jika dia
memang sakti, akupun dapat menerimanya?"
"Orang itu agak aneh perangainya, rama," kata Kuda Panglulut "dia dak nggal bersama
demang Krucil melainkan nggal bersama lurah Siung Pupuh di desa Karangpala. Dia menjadi
saudara angkat dari lurah Siung Pupuh"
"O "desuh Aragani pula "bagaimana perangainya yang engkau katakan aneh itu?"
"Pada suatu hari ke ka demang Krucil berkunjung ke tempat kediaman lurah Siung Pupuh, ia
tertarik akan seorang lelaki muda yang tengah memanggul sebatang pohon ke rumah lurah Siung
Pupuh. Pohon itu pohon ja yang besarnya sepemeluk tangan orang dan panjang hampir dua
tombak. Demang Krucil terheran-heran menyaksikan kekuatan orang itu. Dia mendapat keterangan
dari lurah Siung Pupuh bahwa orang itu adalah saudara angkatnya yang bernama Sima. Lurah Siung
Pupuh mendapat saudara angkat itu melalui perkelahian yang seru. Siung Pupuh kalah dan
menyerah tetapi Sima tak mau membunuhnya melainkan hanya ingin menjadi saudara angkat dari
Siung Pupuh. Sudah tentu Siung Pupuh girang sekali. Dan sejak itu dia nggal di rumah lurah Siung
Pupuh" "Memang aneh orang itu "gumam Aragani.
"Demang Krucil menyatakan ingin mengambil Sima menjadi pengalasan di kademangan tetapi
Sima menolak demikian pula ke ka demang Krucil menyatakan keinginannya hendak
menghaturkan Sima kehadapan hamba agar diterima menjadi prajurit, diapun menolak. Dia ingin
hidup tenteram di desa."
Aragani mengangguk-angguk lalu bertanya "Lalu bagaimana maksudmu?"
"Hamba hendak menemui lurah Siung Pupuh dan menyatakan rencana hamba untuk
merampas kaca itu dari tangan Kuti. Hamba, yakin lurah Siung Pupuh dan Sima itu tentu mampu
mengalahkan Kuti" "Tetapi Kuti tentu dilindungi prajurit2 pilihan, angger"
Kuda Panglulut maju kedekat rama mentuanya dan membisikkan beberapa patah kata, Aragani
mengangguk-angguk dan menyetujui rencana menantunya.
Kuda Panglulut mohon diri lalu bergegas menuju ke tempat kediaman lurah Siung Pupuh. Lurah
itu termasuk lima kadehannya yang paling dipercaya. Dalam penyerbuan ke gunung Butak yang
lalu, Kuda Panglulutpun mengikut sertakan lurah itu.
Siung Pupuh terkejut ke ka menerima kunjungan Kuda Panglulut yang tak terduga-duga itu.
Setelah mempersilakan tetamunya masuk dan dijamu minuman maka Siung Pupuhpun minta
keterangan tentang maksud kedatangan Kuda Panglulut.
"Ki lurah" Kuda Panglulut membuka pembicaraan "memang ada suatu keperluan pen ng yang
kubicarakan dengan engkau"
"O, tentu saja hamba girang sekali mendapat kepercayaan raden" sambut lurah Siung Pupuh
yang lalu minta Kuda Panglulut memberitahukan persoalannya.
"Engkau tentu sudah mendengar tentang kehebohan yang terjadi dalam keraton Singasari,
bukan?" "Peristiwa apa, raden?"
"Bahwa belum lama berselang, puri keputren telah dibobol penjahat yang berhasil mencuri kaca
wasiat milik gusti puteri Teribuana"
"O, hamba memang secara selen ngan pernah mendengar berita itu tetapi ada seorang yang
dapat memberikan kepastian tentang peristiwa itu"
"Benar ki lurah" kata Kuda Panglulut "memang peris wa itu dirahasiakan agar. dak tersiar.
Tetapi, hal itu bukan berar fihak keraton tak berusaha untuk menangkap penjahat itu. Berbagai
cara telah ditempuh, mengerahkan seluruh kekuatan pasukan, mengundang beberapa resi dan
pandita yang pandai, namun benda dan penjahat itu hilang seperti ditelan bumi... "
"O" lurah Siung Pupuh terkejut "jika demikian penjahat itu tentu sakti mandraguna"
Kuda Panglulut tertawa dalam ha tetapi dia tetap pura-pura bersikap sungguh "Memang. Tetapi
baru-baru ini ada seorang muda yang bernama Ku menghadap rama Aragani dan mengatakan
bahwa dia sanggup menemukan kaca itu, mohon rama pa h suka menghaturkannya kehadapan
haginda. Orang itu mengajukan permohonan agar diperkenankan menghadap gus puteri
Teribuana dan agar dilindungi dengan sepasukan prajurit pilihan. Ah, pokoknya dia menuntut
bermacam-macam" "Apakah baginda meluluskan?"
"Karena baginda amat sayang kepada tuan puteri terpaksa baginda meluluskan tetapi dengan
syarat apabila orang itu gagal menemukan kaca wasiat, akan dipenggal kepalanya"
"Apakah orang itu sanggup?"
"Sanggup. Dia sangat yakin sekali tentu dapat menemukan benda itu"
"O, lalu maksud raden ?"
"Bagaimana kesanmu terhadap orang itu ?" Lurah Siung Pupuh menghela napas "Hamba belum
pernah bertemu dengan orang itu, sukar untuk memberi penilaian. Lalu bagaimana penilaian
raden?" "Aku mempunyai dugaan bahwa sesungguhnya dia sendirilah yang mencuri kaca wasiat itu
hingga dia begitu yakin dengan berani menghaturkan kepalanya sebagai tebusan apabila dia gagal"
Lurah Siung Pupuh tertegun. Dia merenungkan peristiwa itu.
"Begini ki lurah" kata Kuda Panglulut pula "aku hendak memberi tugas kepadamu. Eh, kudengar
engkau mempunyai seorang kawan yang digdaya, benarkah itu?"
"Ya, bahkan telah hamba jadikan saudara angkat. Namanya, Sima, bertenaga besar sekali"
"Bagus" seru Kuda Panglulut "kuminta engkau dan Sima merampas kaca wasiat itu dari tangan si
Kuti ...." "Raden!" lurah Siung Pupuh memekik kejut.
"Jangan kua r, ki lurah" cepat Kuda Panglulut menukas "kalian berdua menyamar sebagai orang
yang tak dikenal, terserah saja mau mengenakan penyamaran bagaimana tetapi setelah berhasil
merebut kaca, kalian terus lari keluar dari pintu gapura selatan. Aku dan rombongan prajurit
keamanan akan menunggu disitu. Nan aku menyergapmu dan engkau pura2 kalah, serahkan kaca
wasiat itu dan terus saja kalian melarikan diri"
"O" desuh lurah Siung Pupuh.
"Menilik engkau bertenaga kuat dan kawanmu itu juga digdaya, rasanya tentu mampu
menangkap Kuti" "Kalau perlu, bunuhlah dia" kata Kuda Panglulut "ingat, apabila engkau berhasil menunaikan
tugas ini, besar sekali ganjaranmu, ki lurah. Akan kuusulkan kepada rama pa h agar engkau
dinaikkan pangkat sebagai demang"
Siung Pupuh menghela napas "Ah, tetapi raden, bagaimana kalau hamba dan kawan hamba
sampai gagal melakukan tugas itu?"
"Jangan memikirkan kegagalan dulu tetapi lakukan tugas itu sekuat tenagamu, ki lurah" kata
Kuda Panglulut dan tanpa memberi kesempatan orang hendak mengutarakan pendapat, dia terus
melanjut "malam ini juga kalian harus lekas bersiap. Tunggullah di bawah pohon brahmastana di
muka keraton, nan akan kuperintahkan orang untuk memberitahukan dimana Ku malam itu
mencari kaca wasiat"
Kuda Panglulut terus beranjak dari tempat duduk "Maaf, ki lurah, aku tak dapat lama2 berada
disini. Akupun hendak mengatur rombongan yang akan kuajak meronda malam ini. Jangan lupa,
larilah ke pintu gapura selatan"
Sepeninggal Kuda Panglulut, lurah Siung Pupuh menghempaskan diri ke kursi "Ah, sungguh suatu
tugas yang berat. Heran, mengapa tak hen -hen nya raden Kuda Panglulut merangkai bermacam-
macam rencana. Entah, apakah sesungguhnya yang hendak dicari raden itu " Dia sudah menjadi
putera menantu gus pa h Aragani yang berkuasa dan berpengaruh, mengapa masih hendak
mencari lain sasaran lagi?"
"Kakang lurah" ba2 Siung Pupuh terkejut ke ka mendengar seseorang menegur. Cepat ia
menggeliat duduk "o, engkau adi Sima"
Sima, seorang muda yang berwajah keras. Sinar matanya amat tajam, tubuh kekar. Dia
mengulum senyum seraya duduk dihadapan Siung Pupuh "Kakang lurah, mengapa engkau tampak
kesal dan menghela napas sedih?"
"Ya, beginilah nasib seorang hamba kerajaan, adi, "kata Siung Pupuh "se ap saat harus
melakukan tugas yang berat"
Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya, kutahu" kata Sima.
"Apa katamu?" lurah Siung Pupuh terbeliak "engkau sudah tahu hai itu?"
"Maaf, kakang lurah" kata Sima "aku hendak masuk ke dalam rumah, tanpa sengaja ba2
kudengar percakapan antara kakang dengan seorang tetamu, pria muda yang cakap tadi"
"Itulah raden Kuda Panglulut, putera menantu gusti patih Aragani, adi"
"O seru Kuda Panglulut "lalu apakah kakang takkan melaksanakan perintahnya?"
"Bagaimana mungkin aku berani menolak, adi." Siung Pupuh setengah mengeluh "saat ini gus
pa h Aragani adalah mentri yang paling berpengaruh dalam keraton Singasari. Jika membangkang
perintahnya, tak mungkin kita dapat melihat sinar surya lagi"
"Tetapi bukankah raden itu yang memberi perintah " Adakah perintah itu juga berasal dari gus
patih ?" "Raden Panglulut memang tak mengatakan bahwa tugas itu berasal atau paling dak telah
direstui gus pa h Aragani. Dan raden Panglulut itu merupakan, putera menantu yang paling
dikasihi gusti patih. Jika raden mengadu kepada rama mentuanya, kitapun tentu celaka"
"Lalu bukankah kakang bersiap hendak melaksanakannya?"
"Ah" Siung Pupuh menghela napas "dalam hal ini terpaksa aku harus melibatkan dirimu, adi.
Ternyata raden sudah mendengar juga perihal dirimu maka diapun minta agar aku membawamu
ikut serta dalam rencana itu, ah ... ."
"Mangapa kakang lurah tampak bersedih ?"
"Bukankah aku menyusahkan engkau, adi ?"
"Tidak sama sekali kakang lurah" diluar dugaan Sima berseru "aku senang sekali membantu
kakang dalam tugas itu"
Lurah Siung Pupuh tercengang. Ia tak mengira bahwa Sima akan memberi pernyataan begitu
"Benarkah itu, adi?"
"Mengapa dak, kakang lurah " Lihat, sekarang akupun sudah siap berangkat bersama kakang
lurah" "Baik, adi" lurah Siung Pupuh menyambut gembira. Ia segera masuk ke dalam untuk berkemas
dan tak berapa lama muncul lagi lalu mengajak Sima berangkat.
"Adi "ditengah perjalanan, Siung Pupuh menghangatkan suasana kesunyian dengan mengajak
barcakap-cakap "apakah yang menjadi dasar daripada kesediaanmu untuk membantu aku
melakukan tugas yang berat ini?"
Tampak Sima agak berobah cahaya wajahnya tetapi cepat dia dapat mengendap tenang kembali
"Memang amat menarik sekali peris wa itu, kakang lurah. Bahwa puri keputren keraton Singasari
kebobolan penjahat yang berhasil mencuri kaca wasiat gus puteri Tribuana, benar2 merupakan
suatu peristiwa besar yang apabila tersiar tentu akan menggemparkan seluruh kerajaan Singasari"
"Ya" "Apa yang dikatakan raden Penglulut tadi menimbulkan suatu pemikiran kepadaku. Jika seluruh
nayaka, prajurit dan ksatrya andalan keraton Singasari telah dikerahkan, para resi, pandita,
ahlinujum telah diundang, namun dak ada yang mampu mengetahui, apalagi menemukan, kaca
wasiat itu, jelas penjahat itu tentu seorang yang sak mandraguna sekali. Bahwa pemuda yang
bernama Ku itu berani menghadap baginda dan mempertaruhkan batang kepalanya untuk
kesanggupannya menemukan benda wasiat itu, jelas dia mengundang perha an dan kecurigaan,
kakang lurah" "Maksudmu dialah yang mencuri sendiri ?"
"Aku cenderung membenarkan dugaan raden Panglulut tadi bahwa Ku itulah yang harus
dicurigai. Oleh karenanya, jika memang dia yang berbuat, memang layak ndakan raden Panglulut
untuk merebut kaca itu. Bahkan kalau menurut pendapatku, lebih baik kita tangkap Ku sekalian
agar dapat kita periksa benarkah dia yang melakukan pencurian itu"
"Benar, adi "seru lurah Siung Pupuh serentak "tetapi . . . mungkin dak semudah yang kita
inginkan, adi" "Maksud kakang lurah sukar untuk menangkapnya?"
"Bukankah engkau mengatakan dia tentulah seorang pemuda yang sakti mandraguna ?"
"Itulah yang menarik seleraku, kakang lurah," seru Sirra "menjadi kegemaranku sejak masih muda
belia untuk mendapat pengalaman bertempur dengan orang yang terkenal digdaya. Bertempur
merupakan latihan yang nyata untuk mencapai kesempurnaan ilmu kanuragan"
"O, engkau gemar berkelahi, adi ?"
"Berkelahi dan berkelahi ada dua, kakang lurah "jawab Sima "orang berkelahi pada umumnya
karena marah dan ingin menghajar lawan. Tetapi aku dak mempunyai pemikiran begitu. Aku
berkelahi karena untuk mencari pengalaman guna menyempurnakan kekurangan2 yang ada pada
diriku. Soal kalah atau menang, tak kuhiraukan. Bahkan aku kecewa kalau aku lebih unggul"
"Hm, manusia aneh" gumam lurah Siung Pupuh dalam hati. Namun dia hanya tertawa.
Saat itu mereka sudah ba di alun-alun keraton Singasari dan langsung menuju ke pohon
brahmastana yang tumbuh di muka pendapa keraton. Tak berapa lama mereka menunggu,
muncullah seorang lelaki langsung menghampiri "Pemuda dan sepasukan prajurit menuju ke
tembok belakang keraton. Mereka berkerumun di sekeliling pohon brahmastana"
Setelah menyampaikan pesan, orang itupun terus berlalu. Siung Pupuh dan Sima segera
menuju ketempat yang ditunjuk itu. Saat itu sudah makin gelap dan keduanya mengenakan
pakaian serba hitam. "Adi " ba2 Siung Pupuh menyerahkan sehelai kain hitam kepada Sima "apabila kita ber ndak,
pakailah kain hitam ini untuk menutup muka"
Mereka memilih sebuah persembunyian dibalik gerumbul pohon yang tak berapa jauh dari
tempat sasaran. Tampak beberapa belas prajurit tegak berjajar mengelilingi sebatang pohon
brahmastana. Karena hari malam, keduanya tak dapat melihat jelas dimana saat itu Kuti
sedang berada.. "Bilakah kita akan bergerak, kakang lurah" "bisik Sima.
"Tunggu setelah nan terjadi serangan kepada pasukan penjaga keamanan itu, baru kita
menyerbu mencari Kuti"
Malam merayap-rayap dalam kegelapan. Bintang kemintang bertaburan, mengerumuni bulan
temaram. Suasana makin sunyi, sesekali angin berhembus mengguncang ran ng dan daun.
Terdengar sangkakala melengking- lengking nggi dari arah asrama prajurit di lingkungan keraton.
Demikian yang terdengar se ap malam. Mengabarkan kedamaian dan ketenangan suasana pura
kerajaan kepada segenap kawula.
"Sangkakala sudah berulang kali meraung, mengapa belum juga terdapat tanda2 sesuatu
gerakan, kakang lurah" "bisik Sima.
"Sabarlah, adi "hibur Siung Pupuh "raden Panglulut tentu akan melaksanakan rencana itu"
"Kakang lurah "kata Sima pula "bagaimana misalnya raden Panglulut dak mengadakan serangan
itu?" Siung Pupuh terkesiap "Ah, jangan mencemaskan hal itu. Sejauh yang kuketahui, tak pernah
raden Panglulut mengingkari apa yang telah dijanjikan"
"Ini hanya pengandaian, kakang lurah. Tetapi siapa tahu kalau hal itu mungkin terjadi juga.
Misalnya karena suatu alasan tertentu ataupun karena terjadi suatu halangan pada diri raden
itu, lalu bagaimana tindakan kita " Apakah kita tetap melangsungkan perintah raden itu atau
membatalkannya?" "Hm, kita harus melihat gelagat dulu, adi"
"Gelagat bagaimana maksud kakang lurah ?"
"Yah "Siung Pupuh menghela napas atas desakan itu "kalau kita anggap kesempatan
mengidinkan untuk bergerak, kita langsungkan saja rencana itu. Kalau keadaan tak mengidinkan
terpaksa kita harus mundur"
Sima gelengkan kepala "Salah kakang lurah. Se ap perintah dari atasan, harus dilaksanakan
tanpa atau dengan bantuan yang dijanjikan. Demikian tata peraturan dalam keprajuritan"
Siung Pupuh terlongong "Adakah adi pernah menjadi prajurit?"
"Untuk mengetahui tata ter b dalam kalangan keprajuritan, orang tak perlu harus masuk
menjadi prajurit, kakang lurah. Aku mempunyai beberapa kawan yang menjadi prajurit maka
akupun tahu akan tata-ter b keprajuritan yang mereka menyatakan dengan sumpah untuk
melaksanakannya" "Hm, ya "akhirnya Siung Pupuh mengakui "tetapi dakkah hal itu akan berar sebagai 'anai-anai
menerjang api', apabila kita nekad menyerbu mereka?"
"Tidak, kakang lurah "bantah Sima "bukan begitu yang kumaksudkan. Menjalankan perintah
bukan semata-mata menjalankannya secara mentah2. Misalnya kakang diperintah untuk menyerbu
kubu2 musuh, jika kakang secara mentah2 terus menyerbu, memang kakang hanya mengantar jiwa
saja" "Lalu" "Siung Pupuh kerutkan dahi. Lurah yang bertubuh nggi besar itu memang hanya memiliki
keberanian dan tenaga besar tetapi kurang dalam kecerdasan.
"Perintah itu merupakan tujuan. Untuk mencapai tujuan kita harus berusaha mencari jalan.
Menerjang musuh secara membabi buta, bukan merupakan cara yang baik, bahkan menghancurkan
perintah itu. Demikian pula dengan perintah yang kita terima dari raden Kuda Panglulut. Kita sudah
sanggup menerima, harus sanggup pula melaksanakan, dengan atau tanpa bantuan dari raden
Panglulut, kakang lurah"
Siung Pupuh mengangguk "Lalu bagaimana menurut pendapatmu, adi ?"
"Begini, kakang lurah "kata Sima "andaikata bala bantuan dari raden Panglulut itu tak kunjung
muncul, terpaksa kita harus ber ndak sendiri. Kita harus membagi tugas, yang seorang menyerang
pasukan penjaga itu, memancing mereka supaya meninggalkan tempat itu. Dan yang seorang harus
terus menyerang Kuti"
"O, benar, benar "Siung Pupuh menyambut baik tetapi pada lain kilas ia teringat bahwa kedua
tugas itu tak mudah dilakukan. Baik menyerang pasukan penjaga yang terdiri dari belasan prajurit
pilihan maupun menyerang Kuti yang digdaya itu.
"Nah, terserah saja kepada kakang lurah hendak memilih tugas yang mana. Menyerang prajurit
penjaga atau Kuti "akhirnya yang dicemaskan Siung Pupuh terhambur juga dari mulut Sima.
"Ah "Siung Pupuh mendesah lalu geleng2 kepala.
"Mengapa kakang lurah?"
"Kepalaku pening memikirkan hal itu. Bukankah itu hanya suatu pengandaian yang belum pas .
Mengapa saat ini sudah kita pikirkan, adi?"
Sima tertawa pelahan. Saat itu malam makin tinggi. Tiba2 terdengar suara burung kulik
terbang melalang di udara.
"Kulik itu mengapa berbunyi tak henti-hentinya " "seru Siung Pupuh.
"Bersiap-siaplah kakang lurah. Engkau yang menyerbu prajurit2 penjaga, usahakan untuk
memancing mereka supaya meninggalkan tempat dan mengejar kakang. Aku yang menyerang Kuti"
"Eh, kenapa begitu tegang, adi " Apakah karena suara burung kulik itu" "Siung Pupuh terkejut.
"Adakah kakang lurah menganggap itu suara burung kulik?"
"Hah" "Siung Pupuh terbeliak "apakah bukan burung kulik yang berbunyi itu?"
"Yang pertama terdengar memang suara burung kulik tetapi selanjutnya bukan"
"Kalau bukan burung kulik, lalu siapa?"
"Suara orang yang menggunakan bunyi burung kulik sebagai pertandaan rahasia. Umumnya
tentu gerombolan-gerombolan penjahat atau penyamun"
"Adi ...." "Kakang, waktu amat berharga. Kalau tak ber ndak sekarang, mungkin kita tentu didahului lain
orang" "O "desuh Siung Pupuh makin kaget "apakah disekeliling tempat ini terdapat lain kelompok yang
setujuan dengan kita ?"
"Kurasa begitu " kata Sima lalu mendesak "kakang lurah, marilah kita segera ber ndak "habis
berkata ia terus bergerak maju menghampiri ke tempat prajurit2 penjaga itu. Siung Pupuh terpaksa
mengikuti, "kakang lurah, ambillah jalan mengitar ke utara lalu seranglah prajurit2 itu"
Dalam saat seperti itu, Siung Pupuh tak sempat berpikir lagi. Dia terus melakukan apa yang
dikatakan Sima. Dan Sima pun terus merangkak maju. Saat itu Siung Pupuh sudah berhasil
menyusup ke sebelah utara. Tetapi pada saat dia hendak loncat keluar, tiba2 dalam cahaya
keremangan malam, berhamburan beberapa belas gunduk2 hitam yang berbentuk tubuh
manusia, lari menyerbu prajurit2. Dan pada lain saat terdengarlah dering gemerincing dari
senjata yang beradu. Siung Pupuh menduga tentulah orang2 raden Kuda Panglulut yang mengadakan serbuan itu.
Tergerak ha Siung Pupuh untuk ikut dalam penyerangan itu. Tetapi baru dia melangkah keluar,
tiba2 kawanan penyerbu itu terdesak mundur oleh para prajurit.
"Ah "Siung Pupuh tersadar "pengalasan2 raden Panglulut itu tentu sengaja mengalah untuk
memberi kesempatan kepadaku untuk menyerang Kuti"
Cepat Siung Pupuh kembali ketempat Sima. Ia. hendak memberitahukan hal itu kepada Sima dan
terus diajaknya menyerbu. Tetapi ia terkejut ke ka tak mendapatkan Sima dak berada ditempat
persembunyiannya tadi. Memang Sima sudah bergerak maju untuk menyergap Ku . Tetapi sebelum ba didekat pohon
brahmastana, ba2 ia melihat beberapa sosok bayangan manusia berhamburan menyerbu kearah
pohon brahmastana itu. Sima terkejut. Jelas terdapat lain kelompok yang juga bertujuan hendak
menangkap Ku . Ia tertegun berhen untuk menentukan langkah, akan menyerbu kawanan orang
itu atau tunggu bagaimana hasil kesudahan mereka terhadap Kuti.
Remang2 ia dapat melihat seseorang tengah menghadapi kerubutan dari beberapa sosok
bayangan hitam itu. Ia duga orang itu tentu Ku . Iapun melihat enam orang yang menyerang Ku
itu tak mampu merobohkannya. Sekonyong-konyong muncul dua orang yang terjun dalam
pertempuran dengan langsung menyerang Kuti.
Keenam orang yang menyerang pertama itu heran melihat dua orang tak dikenal muncul dan
menyerang Kuti. "Enyah kalian semua " ba2 salah seorang dari kedua pendatang itu menghardik rombongan
keenam orang. "Gila, siapa engkau ! "salah seorang dari keenam orang itu balas menghardik.
"Tak usah bertanya. Cukup asal kalian menyingkir supaya tak mengganggu ndakanku
menangkap orang ini " seru pula salah seorang dari kedua pendatang itu.
"Jangan tekebur dulu, ki sanak" salah seorang dari rombongan enam orang itu berseru
"memang kami hendak menangkap Kuti dan kalian pun harus mengakui dengan jujur bahwa
kalian juga bermaksud begitu. Sekarang jangan kita bertengkar dulu tetapi kita ringkus Kuti,
setelah itu baru kita memperebutkannya"
"Jahanam" ba2 Ku berteriak marah "apakah kamu anggap aku ini kambing yang hendak kalian
perebutkan" ia menutup kata-katanya dengan menerjang kedua orang tadi.
Kedua orang itupun terpaksa melayani. Dan keenam orang itupun juga menyerbu Ku . Terjadilah
pertempuran yang acak-acakan. Ku memang digdaya sekali. Ia dapat meroboh dua orang lawan,
kemudian mengamuk laksana seekor banteng ketaton.
Kedua orang dan keenam orang yang tinggal empat itu terkejut kagum menyaksikan tandang
Kuti. Dua orang rubuh lagi sehingga tinggal empat orang, masing2 dari rombongan yang
pertama datang dan dua orang yang datang belakangan. Rupanya keempat orang itu memang
menonjol sekali. Kedua orang dari rombongan pertama itu bertubuh tinggi besar dan memiliki
tenaga pukulan yang kuat sekali. Tetapi mereka terdesak oleh serangan2 Kuti yang lebih
dahsyat. Hanya kedua orang dari rombongan yang datang belakangan itu yang mampu
mengimbangi kesaktian Kuti.
"Auh ... " ba2 Ku menjerit kesakitan ke ka kakinya tertusuk ujung pedang dari salah seorang
korban yang sudah rebah ditanah. Orang itu walaupun menderita luka tetapi pikirannya masih
sadar. Ke ka melihat Ku berdiri didekatnya, ia mencabut pedang dan menusuk kaki Ku . Pada
saat Ku terkulai karena rasa sakit pada kakinya, kedua orang dari rombongan yang datang
belakangan itu sudah mendaratkan njunya, masing2 ke dada dan leher Ku . Betapapun kuat dan
kesak an Ku tetapi karena dia terluka dan dihantam oleh dua orang yang bertenaga kuat,
akhirnya ia tak dapat mempertahankan diri lagi dan rubuh terkulai tak kabarkan diri.
Orang yang menendang itu hendak menghampiri ke tempat Ku tetapi kedua orang yang datang
belakangan itu segera membentaknya "Jangan menyentuhnya!"
Orang itupun terpaksa hen kan gerakannya karena kedua orang itupun sudah loncat di
belakangnya. Cepat ia berputar tubuh menghadapinya "Ki sanak, bagaimana kehendakmu ?"
"Bukankah tadi engkau mengatakan bahwa setelah orang itu rubuh, baru kita perebutkan siapa
yang berhak menguasainya ?"
"Benar "sahut orang dari rombongan yang pertama datang.
"Bagaimana caranya ?"
"Kebetulan rombongan kami hanya nggal kami berdua dan kalianpun juga dua. Marilah kita
bertempur seorang lawan seorang untuk menentukan siapa yang berhak memiliki Kuti"
"Ho, bagus sekali. Mari kita segera mulai saja" sahut salah seorang dari kedua pendatang itu
seraya terus maju menyerang.
Pertempuran berjalan seru tetapi makin lama makin tampak siapa yang lebih unggul. Kedua
orang yang datang belakangan itu lebih hebat sehingga kedua lawannya terdesak mundur. Makin
lama mereka makin terpisah jauh dari tempat Kuti menggeletak.
Rupanya lurah Siung Pupuh sejak tadi bersembunyi dibalik gerumbul menyaksikan pertempuran
dari orang2 yang tak diketahui dari fihak mana. Setelah melihat keempat orang yang bertempur itu
meninggalkan tempat itu, dia terus menyelinap keluar dan langsung menghampiri Kuti.
"Jika kawanan anjing berebut tulang, serigalalah yang akan kejatuhan rejeki "dengan semangat
yang menyala-nyala gembira, lurah Siung Pupuh lari menuju ke tempat Ku . Hampir kegirangannya
meluap-luap ke ka ia sudah menyusup kan kedua tangannya ke punggung dan kaki Ku siap
hendak diangkatnya. Tetapi sekonyong-konyong sesosok tubuh hitam menyelimpat dari balik
gerumbul dan dengan gerak loncatan macam kucing, dia sudah berada dibelakang Siung Pupuh dan
krak .... auh, Siung Pupuh menjerit ke ka tengkuknya dihantam pukulan yang keras sekali, la
terjerembab jatuh pingsan seketika.
"Hm "desuh orang itu lalu dengan sigap segera mengangkat tubuh Ku dan terus menghilang
dike-gelapan malam. Tak berapa lama kedua orang yang datang belakangan tadi bergegas lari mendatangi "Hilang!"
teriak salah seorang "kemanakah gerangan orang itu kakang Nambi?"
"Dia rebah disini. Hai, siapa ini" orang yang dipanggil Nambi itu terkejut ke ka melihat tubuh
lurah Siung Pupuh menggeletak di tempat itu.
"Siapa" "seru kawannya.
"Entahlah "kata Nambi lalu membalikkan tubuh Siung Pupuh "ah, bukan dia. Entah siapa orang
ini! "Aneh "kawannya bergumam "mengapa dia menghilang"
Apakah dia sudah sadarkan diri dan terus lolos?"
"Mungkin" sahut Nambi "tetapi apakah engkau yakin pukulanmu tadi dapat meremukkan tulang
tengkuknya, Sora?" "Tentu "sahut Sora "kuhantamnya dengan sekuat tenaga. Batu karangpun tentu hancur
menerima pukulanku itu masakan tulang tengkuknya terbuat dari baja"
Nambi merenung sejenak "Sora, mari kita kejar. Kuduga tentu ada orang lain yang memancing di
air keruh. Kita yang berkelahi, dia yang memetik buahnya"
"Engkau maksudkan ada orang lain lagi yang muncul di tempat ini ... . "Sora terkejut ketika
melihat Nambi sudah lari. Tetapi belum sempat ia menyusul, tiba-tiba Nambi terantuk dan
tersungkur jatuh ke tanah "Kakang Nambi "Sora terkejut dan cepat memburu. Tetapi sebelum ia
Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sempat menolongnya, Nambi sudah menggeliat bangun "Bedebah, kakiku terantuk tubuh
manusia "ia memandang ke arah waktu kakinya terantuk tadi dan melihat sesosok tubuh
menggeletak melintang. "Dia masih merin h "Sora cepat menghampiri orang itu. Tiba2 Sora mbul keinginan untuk
mengetahui siapa orang itu "hai, engkau mau mati atau minta hidup?"
"Uh .... jangan bunuh aku ...."
"Katakan terus terang, siapa engkau! "hardik Sora.
"Aku . . . aku ..."
"Siapa!" "Engkau berjanji takkan membunuh aku?"
"Ya, asal engkau berkata dengan jujur"
"Dapatkah kupercaya janjimu?"
"Hm, aku seorang lelaki. Tak mungkin aku menarik kembali apa yang telah kujanjikan"
"Baik "orang itu menghela napas "aku sebenarnya rombongan dari Daha ...."
Sora dan Nambi terkejut. "Benarkah itu" "Sora menegas.
"Akupun seorang lelaki, apa yang kukatakan tentu dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya"
"Hm " desuh Sora "lalu mengapa engkau datang kemari hendak merebut Kuti?"
"Atas perintah pimpinanku"
"Siapa?" "Ki demang Bango Dolok"
"Bango Dolok" "Sora mengerut dahi mengingat nama itu "siapa Bango Dolok?"
"Seorang nayaka yang dipercaya gusti patih Kebo Mundarang, patih Daha"
"Di mana sekarang dia?"
"Di Singasari ...."
Lembu Sora bertukar pandang dengan Nambi. Tiba- ba Nambi bertutur ramah"Ki sanak, lekas
engkau bawa kawan-kawanmu menyingkir. Sebentar lagi prajurit2 penjaga keamanan itu tentu
akan datang" "O, benar "sahut orang itu. Dia terus menolong ke ga kawannya dan merekapun terus
meninggalkan tempat itu. Tepat pada saat itu terdengar gemuruh langkah kaki yang mendatangi "Sora, mari kitapun juga
pergi" "Dan yang seorang itu" "tanya Sora sembari menunjuk pada lurah Siung Pupuh yang masih
menggeletak pingsan. "Biarkan dia" "Jangan kakang "sahut Sora "lebih baik kita bawa dan kita tanya keterangannya"
Sejenak merenung dengan cepat Nambipun menyetujui. Sora segera mengangkat tubuh Siung
Pupuh dan sebelum prajurit2 itu tiba, merekapun sudah pergi.
Sora dan Nambi mencari tempat yang sunyi dan mereka beris rahat disitu. Setelah menyadarkan
Siung Pupuh maka bertanyalah Sora "Ki sanak, siapa engkau?"
Siung Pupuh gelagapan. Rasanya belum hilang rasa nyeri pada tengkuk yang menyebabkan
pandang matanya gelap. Sambil mengusap-usap tengkuk, ia membelalak memandang kedua orang
yang berada dihadap-annya.
"Ki sanak, kami kebetulan lalu dan melihat engkau mengggeletak di bawah pohon brahmastana.
Kami segera membawamu kemari "kata Nambi dengan tutur ramah.
Masih mata lurah Siung Pupuh menegas pandang untuk menyelidik "Engkau lewat di jalan itu?"
Nambi mengangguk. "Apakah engkau tak ditangkap prajurit2 keamanan yang berjaga disitu?"
"Prajurit" "Nambi kerutkan dahi "tak ada seorangpun di tempat itu.
Sora terkesiap mendengar kata2 Nambi. Tetapi dia tak mau membantah. Ia tahu bahwa se ap
tindakan Nambi tentu mempunyai tujuan. Ia akan menunggu apa yang akan diarah Nambi.
"O "rupanya Siung Pupuh terpengaruh oleh kesungguhan wajah dan nada ucapan Nambi "jika
demikian, aku harus berterima kasih kepada ki sanak berdua"
"Ah, sudah jamak adat hidup itu tolong menolong" sahut Nambi "tetapi mengapa ki sanak rebah
tak sadarkan diri di tempat dan saat begini gelap" Adakah ki sanak mendapat kecelakaan atau
diganggu penjahat?" Siung Pupuh menghela napas "Ya, aku memang ter mpa kecelakaan. Entah siapa yang
melakukan, tiba2 tengkukku dihantam orang"
"Hai "teriak Nambi "tentu penjahat. Lalu benda apa saja milik ki sanak yang dirampas penjahat
itu?" Siung Pupuh terdesak "Ah, tidak ada ...."
"Tidak kehilangan apa-apa" Aneh benar "seru Nambi "lalu apakah yang dikehendaki orang itu"
Mungkinkah penjahat itu hendak mengarah nyawa ki sanak?"
"Mungkin "Siung Pupuh mengangkat bahu.
"Adakah ki sanak merasa mempunyai musuh?"
"Tidak" Nambi garuk2 kepala "Jika dak .... eh, dari manakah ki sanak pada waktu tengah malam ini
berjalan di tempat itu?"
Karena terus menerus didesak pertanyaan, sebenarnya Siung Pupuh kurang senang. Tetapi
mengingat kedua orang itu telah menyelamatkan jiwanya terpaksa dia menerangkan walaupun
tidak seluruhnya "Aku habis dari kepatihan"
"O "seru Nambi "ki sanak tentu seorang narapraja kerajaan ?"
"Hanya seorang lurah rendahan"
"O, ki lurah, maa an kami "seru Nambi "kami tak tahu apabila tuan seorang lurah. Adakah ki
lurah bekerja pada gusti patih ...."
"Bukan "cepat Siung Pupuh menyahut "aku menjadi bawahan dari raden Kuda Panglulut, putera
menantu gusti patih Aragani"
"Ah "Nambi terkejut "kiranya ki lurah ini bekerja pada raden Panglulut. Lalu kemanakah ki lurah
hendak menuju" "Pulang "kata Siung Pupuh.
Nambi dan Sora tertawa dalam ha . Keduanya tahu bahwa Siung Pupuh tetap merahasiakan diri
tetapi bahwa lurah itu telah menerangkan hubungannya dengan Kuda Panglulut, cukuplah sudah
bagi kedua orang itu. "Bagaimana keadaan sakit ki lurah?"
"Sudah agak baik"
"Jika ki lurah idinkan, kami bersedia mengantar pulang ke tempat kediaman ki lurah"
"Terima kasih, ki sanak, tetapi aku dapat pulang sendiri. Silakan jika kalian hendak
melanjutkan perjalanan. Tetapi hati-hatilah. Jika bertemu dengan petugas2 ronda keamanan,
tentulah kalian akan mendapat kesulitan"
"Terima kasih, ki lurah. Kami akan menjaga diri dan menghindari dari mereka "setelah memberi
hormat Nambi segera mengajak Sora melanjutkan perjalanan.
"Kemana kita akan menuju, kakang Nambi?" tanya Sora setelah berada di jalan.
"Mari kita coba untuk mengejar jejak orang yang melarikan Kuti itu"
"Tetapi kita tak tahu arahnya yang jelas, tidakkah akan sia-sia belaka usaha kita ini?"
"Kita coba saja" sahut Nambi "kalau memang tak berhasil terpaksa kita kembali menghadap
pangeran Ardaraja. Demikian keduanya segera menyusur jalan untuk mengejar jejak orang itu. Tetapi karena cuaca
gelap, mereka telah mengambil jalan ke utara.
~dewikz~ismoyo~mch~ Sementara itu disepanjang jalan sunyi yang merentang ke barat, tampak sesosok tubuh manusia
sedang berlari dengan memanggul sesosok tubuh. Ternyata dialah yang menghantam tengkuk lurah
Siung Pupuh lalu melarikan Kuti yang masih pingsan.
Dalam perjalanan itu iapun menimang-nimang bagaimana yang harus dilakukan "Baiklah
kubunuh saja orang ini dan mayatnya kulemparkan ke dalam hutan" pikirnya.
"Ah, mengapa harus banyak repot" bantahnya sendiri "lebih baik kulempar saja ke dalam
bengawan" Malampun kian nggi tetapi orang itu ternyata bertenaga kuat sekali. Walaupun memanggul
orang, dia masih dapat berlari. Beberapa waktu kemudian dia terkilas pula oleh lain bayang2
pemikiran "Bagaimana dengan Siung Pupuh " Bagaimana kalau Kuda Panglulut bertanya kepadaku"
Ah, tak perlu dirisiaukan. Asal aku tak kembali kepada mereka, tentulah aku tak perlu harus
menghadapi pertanyaan2 mereka"
"Ah" ba2 dibantahnya pula pikiran tadi "tetapi kalau aku pergi, tentu hanya sampai di sini saja
ndakanku untuk mengiku perkembangan di Singasari. Memang benda yang berada pada orang
ini, cukup berharga tetapi tiada pengaruh apa2 dalam tujuanku lebih jauh ?"."
Karena terjadi perbantahan dalam pikirannya, maka langkah orang itupun agak lambat.
Terutama waktu memikirkan bagaimana sebaiknya langkah yaug akan ditempuh, meninggalkan
Singasari atau kembali pada Siung Pupuh, iapun hentikan larinya dan berjalan.
Ia merasa jalanan mulai menanjak. Tak berapa jauh ia melihat jalan makin menanjak nggi,
menyerupai jalan bukit. Mudah-mudahan setelah menuruni tanjakan itu, ia akan ba di lembah
bengawan. Tetapi lamunan, harapan dan keinginannya ba2 terusik oleh derap kaki kuda yang tengah lari
mendaki tanjakan dari arah muka. Ia terkejut. Jika berpapasan orang dan melihat dia sedang
memanggul sesosok tubuh orang, tentulah akan menimbulkan pertanyaan. Tetapi memandang ke
sekeliling, kanan dan kiri jalan, merupakan tanah bulak yang tak bertumbuh pohon. Jika hendak
menyembunyikan diri ia harus balik lari turun lagi. Diperhitungkannya ndakan itu takkan memberi
hasil. Sebelum ia mencapai gerumbul pohon dibawah, tentulah penunggang kuda itu sudah dapat
menyusulnya. Belum sempat ia memperoleh pikiran bagaimana harus menyingkir, maka dari puncak tanah
tanjakan itupun sudah muncul dua orang penunggang kuda "Ah, apa boleh buat. Aku harus pandai
memberi alasan apabila mereka bertanya" akhirnya ia menghibur diri.
Dan beberapa saat kemudian kedua penunggang kuda itupun sudah turun dari tanjakan dan
mencongklang kearah tempatnya. Ia terkejut. Dalam keremang-an malam, samar2 ia seperti melihat
anak muda yang menunggang kuda hitam mulus itu pernah dikenalnya. Sedang yang seorang,
berumur lebih kurang empatpuluhan tahun, mengenakan busana indah, ia belum kenal. Mungkin
seorang priagung, pikirnya.
Apa yang dicemaskan berbuk . Kedua penunggang kuda itu hen kan kudanya "Ki sanak "tegur
salah seorang yang mengenakan busana indah "apa yang ki sanak panggul itu?"
"Ah, saudaraku ini sakit "sahut orang itu "hendak kubawa kepada seorang dukun yang nggal di
lembah bengawan" "Rupanya parah juga saudaramu itu, ki sanak"
"Ah, tidak. Dia memang sering kambuh dari penyakit yang sudah lama diidapkan"
"Tetapi dia tak sadarkan diri, ki sanak "kata lelaki berbusana indah pula.
"Memang, kalau angot penyakitnya dia tentu pingsan"
"Ki sanak, mari kubantu ki sanak ke tempat dukun itu "tiba2 pemuda yang berkuda hitam itu
menawarkan jasa. Ia turun dari kuda dan menghampiri.
Orang itu terkejut namun dia cepat menekan kegugupannya "Terima kasih, ki sanak. Sudah tak
berapa jauh dari tempat dukun, aku dapat membawanya sendiri"
"Ki sanak "pemuda berkuda hitam itu heran "menolong jiwa manusia adalah sepen ng orang
memadamkan kebakaran. Jika tak lekas ditolong, tentu akan berbahaya. Mari, ki sanak, aku
bersedia membantumu" pemuda itu melangkah menghampiri.
Orang itu makin gugup dan diluar kesadarannya dia menyurut mundur "Telah kukatakan, aku
dapat membawa saudaraku sendiri. Tak perlu meminta bantuanmu"
Pemuda berkuda hitam itu terkesiap. Ia heran mengapa orang menolak tawaran bantuannya.
Menembuskan pandang mata dalam kegelapan, ia melihat perawakan orang itu langsing dan
tegap, sedang orang yang dipanggulnya itu terkulai tak berkutik. Diam-diam ia memperhatikan
bahwa orang yang dipanggul itu mengenakan pakaian yang baik, bukan seperti orang desa.
Kecurigaannya mulai bertebaran. Lewat tengah malam, seorang diri berjalan dijalan
pegunungan dengan memanggul orang, mengundang kecurigaan. Bahwa orang itu menolak
tawaran bantuan yang akan memperingan dan mempercepat pertolongan, lebih menimbulkan
prasangka. "Wijaya" ba2 lelaki berpakaian seper pria-gung, berseru "jika dia tak mau menerima bantuan,
lebih baik kita lanjutkan perjalanan saja"
Tetapi pemuda yang disebut Wijaya itu tak menanggapi seruan kawannya melainkan maju makin
mendekat ke tempat orang itu "Ki sanak . ... "baru dia berkata sepatah, ba2 orang itu telah
mengayunkan kaki ke perut Wijaya. Wijaya terkejut. Ia hendak menghindar tetapi terlambat.
Pinggangnya termakan ujung kaki dan diapun terseok-seok mendekap perut kebelakang.
"Hai, hendak lari kemana engkau" lelaki yang masih menunggang kuda berteriak. Ia terkejut
melihat orang itu menyerang Wijaya. Dilarikannya kuda untuk mengejar orang itu. Ternyata setelah
berhasil menendang Wijaya, orang itupun terus loncat dan lari melintas bulak.
Lelaki berbusana bagus itu ayunkan cambuk menghajar tetapi ia terkejut ke ka orang itu dengan
tangkas menyongsongkan tubuh kawannya yang dipanggul, tar .... dan sebelum lelaki berkuda itu
sempat menarik cambuk, orang itupun sudah mendahului menyambar kaki lalu menyorongkan ke
samping. "Uh . . . . "lelaki berkuda itu mendesuh kejut ke ka tubuhnya terpelan ng dari kuda. Setelah
berhasil merobohkan kedua penunggang kuda, orang itupun terus lari tetapi alangkah kejutnya
ketika pemuda yang disebut Wijaya tadi sudah menghadang di muka.
"Keparat, enyah" orang itu memutar tubuh kawannya untuk menghantam Wijaya. Wijaya
terkejut menyaksikan keperkasaan orang itu. Ia tak berani menangkis atau balas menyerang karena
kua r akan melukai orang yang sakit itu. Kini dia makin yakin bahwa orang itu memberi keterangan
bohong. Tak mungkin seorang saudara akan melakukan ndakan begitu, membolang- balingkan
tubuh saudaranya yang pingsan untuk senjata menyerang. Dan tiada ada alasan mengapa dia harus
marah dan mengamuk karena Wijaya menawarkan jasa baik untuk memberi pertolongan.
"Hm, ada udang dibalik batu pada orang ini "gumam Wijaya dalam ha "dia tentu ber ndak
tidak baik" Bulak itu merupakan ladang yang berair sehingga tanahnya berlumpur. Bertempur di tempat
semacam itu memang menghambat gerak Wijaya, untuk menghindar atau loncat mundur. Sedang
orang itu dengan gagah perkasa terus maju mendesaknya. Dan yang menambah kesulitan Wijaya
yalah dia tak berani balas memukul karena kuatir akan mencelakai orang yang dijadikan senjata itu.
Sembari menghindar, diam2 ia memutar otak untuk mencari akal.
Cepat sekali Wijaya menemukan akal. Setelah loncat mundur, ia berjongkok. Ke ka orang itu
maju membolang- balingkan tubuh kawannya, ba2 Wijaya melontarkan segenggam lumpur ke
muka orang itu, plok ....
"Uh'.... "mulut orang itu mendesuh kejut ke ka muka dan kedua matanya tercampak segumpal
lumpur. Kesempatan itu tak disia-siakan Wijaya yang loncat hendak menyelesaikan pertempuran
dengan pukulan yang menentukan.
"Keparat, serahkan dirimu ! " ba2 dari arah belakang lelaki berbusana indah itu setelah
berbangkit lalu mencabut pedang dan memburu ke tempat orang itu.
Rupanya orang itupun menyadari bahaya yang akan menimpa dirinya. Dalam menentukan
pilihan meloloskan diri dan nggalkan orang tawanannya atau nekad bertahan dan terancam
bahaya, ia memilih yang tersebut duluan. Sekonyong-konyong ia menggeram keras lalu lontarkan
tubuh Kuti ke arah Wijaya yang tengah maju menerjang.
"Uh .... "karena tak menyangka-nyangka akan menerima lontaran itu, Wijaya tak sempat
menangkis maupun menghindar. Walaupun ia masih berusaha untuk menyambu tetapi kalah
cepat. Tubuh korban itu membentur dadanya dan robohlah Wijaya bersama korban itu.
Setelah berhasil merobohkan Wijaya, orang itu pun cepat2 loncat dan melarikan diri. Lelaki
berbusana indah terkejut sekali. Ia hendak mengejar tetapi orang itu sudah jauh maka lebih
penting ia menolong Wijaya.
"Bagaimana engkau, Wijaya?" tegurnya setelah Wijaya berbangkit berdiri.
"Tak apa2, paman tumenggung "Wijaya terus mengangkat tubuh orang yang tengkurap di lumpur
lalu dibawanya ke jalan. "Ku .... "sekonyong-konyong lelaki berbusana indah yang disebut paman tumenggung itu
berteriak kaget ketika melihat jelas wajah orang yang pingsan itu.
"Siapa Kuti ?" "Dia adalah adik seperguruanku" kata tumenggung itu yang tak lain adalah tumenggung
Bandupoyo. Langkah Bandupoyo untuk mencari Wijaya ke telatah gunung Kawi memang beruntung. Di tengah
jalan dia berpapasan dengan Wijaya yang tengah mengendarai seekor kuda hitam. Dalam
percakapan yang cukup padat, dapatlah Wijaya menerima anjuran tumenggung Bandupoyo untuk
ikut serta dalam sayembara.
Sebenarnya Wijaya hendak merahasiakan siapa dirinya tetapi setelah didesak Bandupoyo dan
melihat kesungguhan ha tumenggung itu hendak membantunya, akhirnya Wijayapun mau juga
menerangkan tentang dirinya.
"O, kiranya raden masih keturunan priagung luhur " Bandupoyo terkejut girang. Diam2 makin
mantap keinginannya untuk mengangkat pemuda itu ke arah kedudukan yang tinggi dalam pasukan
Singasari. Keduanya segera kembali ke Singasari. Mereka ingin lekas mencapai pura kerajaan sehingga
malam itu merekapun masih melanjutkan perjalanan. Dan secara tak sengaja mereka berjumpa
dengan orang yang melarikan Kuti.
Mendengar penuturan tumenggung Bandupoyo, Wijaya gopoh memberi pertolongan. Ke ka ia
mengurut-urut dada membersihkan pakaian Ku yang berlumuran lumpur, ia terkejut ke ka
sebuah benda jatuh dari dada baju Kuti.
"Ah, kaca" serunya seraya menyerahkan kepada tumenggung Bandupoyo "bagus sekali buatan
kaca ini, paman tumenggung"
Setelah menyambu dan memeriksa kaca itu, teganglah wajah tumenggung Bandupoyo "Hah,
kalau tak salah inilah sebuah kaca pusaka . . . ah, apakah kaca ini bukan ...."
"Bukan kaca apa, paman tumenggung" "Wijaya heran.
"Mari kita tolong Ku supaya sadar " tumenggung Bandupoyopun membantu mengurut-urut
tubuh Ku . Usahanya berhasil. Tak berapa lama, Ku tampak merin h pelahan. Ke ka membuka
mata ia membelalak dan berseru "Siapa kalian ...."
"Tenanglah Kuti "kata Bandupoyo "aku Bandupoyo. Beristirahatlah memulangkan tenagamu"
Ku pun duduk lalu pejamkan mata untuk bersemedhi memulangkan napas dan tenaga. Lebih
kurang sepeminum teh lamanya, wajahnya tampak segar dan ia membuka mata "Kakang
Bandupoyo, dimanakah saat ini aku berada?"
"Di tengah jalan pegunungan, adi"
"O, bagaimana kau dapat berada di sini " "Dengan singkat tumenggung Bandupoyo lalu
menceritakan apa yang telah terjadi di jalan itu.
"Siapa yang menolong aku " "Kuti membelalak memandang Wijaya.
"Wijaya ini, adi "tumenggung Bandupoyo menunjuk pada Wijaya.
"Dia" "serentak Ku berbangkit dan menatap Wijaya dengan pandang berkilat-kilat " dak!
Mengapa dia berani menolong aku !"
Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bandupoyo terkejut. Ia heran mengapa bukan mengucap terima kasih kebalikannya Ku malah
tampak marah sekali kepada Wijaya.
"Maa an, ki sanak atas kelancanganku menolongmu. Tetapi percayalah, bahwa aku sama sekali
tak mengandung maksud buruk terhadapmu" kata Wijaya dengan nada ramah.
"Tidak! "teriak Ku "aku tak sudi menerima pertolonganmu. Aku lebih suka ditawan orang itu
daripada engkau tolong!"
Wijaya termangu-mangu. Tak tahu bagaimana ia harus berkata. Sedangkan tumenggung
Bandupoyo tak kuasa lagi menahan keheranannya "Ku , apakah sebenarnya yang telah terjadi.
Mengapa engkau malah marah2 kepada orang yang memberi pertolongan kepadamu"
"Tidak, kakang Bandu "seru Kuti "aku benar2 menyesal mengapa dia berani menolong aku"
"Paman tumenggung" akhirnya Wijaya berusaha untuk menjernihkan suasana "ki lurah Ku itu
dahulu memang pernah bertempur dengan aku ...."
"O "desuh tumenggung Bandupoyo "dan dia menderita kekalahan sehingga mendendam
kepadamu?" "Tidak "sahut Wijaya tandas "dia tak kalah. Seharusnya akulah yang kalah tetapi entah
bagaimana ketika itu tiba2 dia hentikan pukulannya dan terus pergi"
"Kuti, benarkah itu?"
"Yang menang, mudah untuk menghilangkan kemenangan itu. Tetapi yang kalah tak mungkin
akan menghapus kekalahannya" sahut Kuti.
"Ah" tumenggung Bandupoyo menghela napas. Rupanya dia mulai dapat marangkai dugaan "adi,
kalah menang dalam pertempuran itu sudah wajar ...."
"Aku sudah berjanji kepadanya untuk mengadu kedigdayaan dua tahun lagi. Tetapi setelah dua
tahun ternyata dia ingkar janji. Dia tak berada di tempat kediamannya di gunung Kawi"
"Ah, ki Kuti, anggaplah aku takut dan engkaulah yang menang "kata Wijaya.
"Tidak semudah itu" jawab Ku "karena kebetulan kita berjumpa disini, marilah kita selesaikan
persoalan itu sekarang dan di tempat ini juga" kemudian Ku berpaling ke arah Bandupoyo
"kakang Bandu, kuminta engkau menjadi saksi"
"Ah, ki sanak, mengapa engkau tetap bersikeras hendak melanjutkan pertempuran itu" Sudah
kukatakan aku mengaku kalah "kata Wijaya tenang.
"Benar, adi "Bandupoyopun ikut memberi suara "hapuskanlah dendam pemusuhan itu dan
jadikanlah persahabatan yang akrab"
"Baik, aku dapat menerima anjuran kakang"
"Bagus, adi, itulah sifat seorang ksatrya"
"Tetapi aku menginginkan, suatu cara yang harus dilakukan"
"Cara bagaimana " "tanya Bandupoyo.
"Dia harus menyembah di bawah kakiku. Setelah itu kuhapuskan segala dendam yang terlanjur
membakar hatiku" "Kuti! "teriak Bandupoyo.
"Paman tumenggung" tukas Wijaya "tak apalah paman. Aku akan melaksanakan keinginannya"
"Jangan Wijaya" teriak Bandupoyo "aku tak setuju dengan cara yang di minta Ku " kemudian dia
berpaling menatap Ku "adi, guru pernah mengajar kita tentang laku seorang ksatrya utama. Jika
seseorang sudah menghaturkan maaf dan mengaku kalah, wajiblah kita memberi ampun dan
menghapus segala dendam kebencian"
"Guru memang benar" sahut Kuti "tetapi kurasa akupun tak salah"
Bandupoyo terkesiap "apa maksud kata-katamu itu?"
"Guru memang telah melimpahkan wejangan2 yang berharga. Tentang laku seorang ksatrya,
tentang duduknya seseorang di masyarakat, tentang dharma untuk membela kebenaran dan
keadilan, dan lain-lain. Tetapi gurupun pernah mengajarkan kepada kita bahwa hendaknya
janganlah kita mudah percaya pada yang dikatakan orang, naluri; isi kitab-kitab dan bahkan ucapan
guru kita sendiri. Yang pen ng harus kita per mbangkan dan teli sendiri. Jika hal itu baik dan
berguna, maka lakukanlah"
"Hm, maksudmu, engkau hendak mengatakan bahwa menurut per mbanganmu, memberi maaf
dan menghapus dendam itu tidak baik dan tidak berguna bagimu ?"
"Kakang Bandu "sahut Ku "se ap orang mempunyai persoalan dan liku2 sumber persoalan itu-
sendiri. Memandang dan menilai persoalan dengan pandangan dan anggapan yang sama, kurang
benar" "Tidak Ku "bantah Bandupoyo "sumber, liku2 dan persoalan2 itu memang berbeda-beda dan
beraneka corak ragamnya, tetapi sumbernya tetap satu, yani Kebenaran dan Keadilan. Hanya
orang2 itu sendiri yang menuntut dan menganggap kebenaran itu menurut pandangannya sendiri2
sehingga menimbulkan Kebenaran yang semrawut, Kebenaran yang dipaksakan menurut kehendak
hati dan dirangkai menurut anggapannya"
"Lalu bagaimana Kebenaran yang mutlak itu","
"Kebenaran yang mutlak yalah kebenaran yang berdasarkan kesucian yang murni, kesucian yang
manembah pada keagungan Hyang Widdhi dan berlandaskan peri-kemanusiaan yang manunggal,
manunggalnya rasa dan kepen ngan, kehadiran dan kebanggaan ke-aku-an kedalam keagungan
dan kebesaran Sanghyang Paramartha, inti hakekat kebenaran itu"
Ku tertawa, setengah mencemoh "Aku seorang manusia biasa, kakang Bandu. Aku bukan resi,
pandita dan dewa. Dan akupun tak ingin memanusiakan kemanusiawianku dalam ngkat tataran
ke-dewa-an yang se nggi langit, langit yang tampak tapi sukar diketahui batas ujungnya itu. Akan
kubatasi diriku dalam batas2 alam kemanusiawian yang serba kekurangan namun penuh kenyataan
itu. Aku ingin menjadi diriku, aku ingin hidup dalam kenyataan hidup!"
"Ki Ku " ba2 Wijaya yang sejak tadi diam menyelutuk "adakah sudah ma niat ki sanak untuk
menyelesaikan persoalan dahulu itu dengan kekerasan" Tidakkah tak ada jalan lain lagi" "
"Ada "sahut Kuti dengan nada angkuh "seperti yang telah kukatakan tadi ".
"Haruskah dengan jalan itu ?" Wijaya menegas,
"Hm "sahut Kuti "aku tak pernah menjilat ludah yang sudah kusemburkan"
"Baik "sahut Wijaya.
"Tidak, Wijaya, jangan melakukan hal itu" teriak Bandupoyo seraya loncat turun dari kuda "adi
Ku , karena guru sudah wafat, maka sebagai saudara seperguruan yang lebih tua, aku mewajibkan
diri untuk memberi nasehat kepadamu. Perbuatanmu itu melanggar undang2 perguruan kita"
"Lalu maksud kakang?"
"Sebagai saudara seperguruan yang lebih tua, kuminta janganlah engkau melanjutkan
tindakanmu itu" Ku tertawa "Memang kakang Bandu benar, karena kakang dak mengalami penderitaan ba n
seper yang kurasakan. Dapat dimenger , Sekarang idinkanlah aku bertanya kepada kakang
tumenggung Bandupoyo. Aku peribadi, memang dak keberatan untuk menerima permintaan maaf
itu. Tetapi ingat kakang, aku adalah murid dari guru resi Brahmacaya di gunung Bromo. Apa yang
kualami, merupakan hinaan bagi perguruan bapa guru. Tidakkah kakang mengidinkan hinaan itu
berlangsung ataukah kakang wajib membersihkan nama baik dari perguruan kita?"
"Hm ..." Bandupoyo mendesuh panjang "tetapi Wijaya sudah menghaturkan maaf kepadamu dan
mengaku kalah. Tidakkah hal itu sudah cukup untuk membersihkan nama baik perguruan kita ?"
"Tetapi kakang ...."
"Ku , lihat, apa yang kupegang ini! " ba2 Bandupoyo mengacungkan kaca wasiat yang
tergenggam dalam tangannya.
Kuti terbeliak mundur selangkah.
"Bukankahini penting bagimu" "seru Bandupoyo.
"Dari mana kakang memperoleh kaca itu " ".
"Ke ka kami menolongmu, mengurut-urut tubuhmu, kaca inipun jatuh dari dalam bajumu.
Bukankah ini kaca wasiat milik gusti puteri Teribuana yang hilang dan dapat engkau temukan itu?"
"Benar, kakang"
"Engkau tentu menginginkannya, bukan" Karena dengan membawa kaca ini engkau tentu akan
memperoleh ganjaran besar dari baginda"
Kuti mengangguk "Ya, lalu bagaimana maksud kakang Bandu?"
"Akan kukembalikan kepadamu"..."
"Terima kasih, kakang "cepat2 Kuti menukas.
"Nan dulu " sahut Bandupoyo "jangan cepat2 engkau mengucap terima kasih, dengarkan
bicaraku dulu. Akan kukembalikan kaca ini kepadamu tetapi dengan beberapa syarat"
"Kakang hendak mengajukan syarat kepadaku?"
"Ya " jawab Bandupoyo "tetapi ringan sekali dan engkau pasti dapat melakukan"
"Baik, kakang katakanlah"
"Pertama "kata Bandupoyo "engkau harus hapuskan dendam permusuhan dengan Wijaya. Dan
kedua engkau harus mengakui bahwa Wijaya telah menyelamatkan jiwamu"
Berobah cahaya muka Ku seke ka tetapi beberapa jenak kemudian ia tampak tenang "Baik,
untuk saat ini, aku takkan membicarakan soal balas dendam kepada pemuda itu. Kedua, kuakui
memang dia yang menolong jiwaku walaupun aku tak menginginkan"
Bandupoyo mendengarkan dengan penuh perha an, kemudian katanya "Baik, walaupun hanya
dengan setengah ha , tetapi karena engkau bersedia menghapus dendam permusuhan itu untuk
hari ini, aku dapat menyetujui. Tetapi ingat, Ku , jangan engkau menganggap bahwa gunung itu
yang paling nggi karena diatas gunung masih terdapat langit yang sukar diukur berapa ngginya.
Dan kedua, karena engkau mengaku telah menerima pertolongan orang, apakah pernyataanmu, adi
Kuti?" "Kakang tumenggung menghendaki pernyataan apa dari Ku " apakah Ku harus menghaturkan
sembah terima kasih kepadanya?"
"Ah " mulut Bandupoyo berdecak-decak "tak perlu. Wijaya bukanlah seorang pemuda yaag gila
hormat. Cukup asal engkau tahu dan mengingatnya sajalah"
"Hm, baik "suara Kuti agak sarat. Bandupoyo pun menyerahkan kaca wasiat itu kepada Kuti.
Saat itu hari sudah remang2 menjelang terang tanah.
"Ku " kata Bandupoyo pula "kami hendak kembali ke pura Singasari, marilah engkau bersama-
sama naik kuda dengan aku"
Kuti gelengkan kepala "Silakan kakang berjalan lebih dulu. Aku hendak beristirahat di sini
barang beberapa waktu"
"O, mengapa?" "Merenungkan peris wa yang kualami hari ini. Mengapa dibawah lindungan pasukan kerajaan,
tetap ada gerombolan yang berani menyerang aku"
"Oleh karena itu marilah kita kembali ke pura kerajaan dan menyelidiki peristiwa itu"
"Tidak, kakang tumenggung. Aku mempunyai cara sendiri untuk merenungkan peristiwa itu"
Karena Ku menolak maka tumenggung Bandupoyo mengajak Wijaya melanjutkan perjalanan
lagi. "Paman tumenggung" di tengah perjalanan Wijaya berkata "idinkanlah hamba mengajukan
beberapa permohonan kepada paman tumenggung"
"O, silakan" "Paman tumenggung" kata Wijaya "hamba menghaturkan terima kasih atas perha an paman
tumenggung yang menginginkan hamba untuk ikut serta dalam sayembara itu. Tetapi adakah
paman tumenggung menaruh kepercayaan atas diri hamba akan mampu memenangkan sayembara
itu " Disamping tentu banyak sekali ksatrya2 sak yang ikut, masih pula terdapat seorang sak
seperti ki Kuti itu. Dan bukankah dia itu adik seperguruan paman tumenggung?"
"Raden Wijaya" jawab tumenggung Bandupoyo "apa yang paman dapat lakukan hanyalah
berusaha. Dan kepercayaan itu didalam hati raden tempatnya. Percaya pada diri sendiri merupakan
kekuatan sak yang menjadi lambaran untuk mencapai cita-cita. Sayembara itu, namanya saja
untuk memilih senopa , sudah layak kalau banyak ksatrya sak yang akan ikut. Dalam hal ini,
kepercayaan pada diri sendiri merupakan senjata pamungkas untuk mengatasi kesemuanya itu"
Berhen sejenak tumenggung Bandupoyo berkata pula "Raden Wijaya, soal Ku , janganlah
engkau hubungkan dengan diri paman. Seper engkau tadi telah mendengar dan mengetahui
sendiri, betapa pendirian Ku itu amat berlawanan dengan pendirianku. Apabila ada kaca wasiat
itu, mungkin sukar untuk menundukkan kemauannya. Dan tak dapat kukatakan bagaimana
kesudahannya tadi" Wijaya lalu menuturkan tentang peris wa yang pernah terjadi antara dirinya dengan Ku pada
waktu Kuti menjadi bekel pasukan Wengker. Dia menyatakan penyesalannya tentang peristiwa itu.
"Tak ada yang harus engkau sesalkan, raden "kata. Bandupoyo "dalam pertempuran beradu ilmu
kanuragan, keunggulan ilmu dan kesempurnaan la han, merupakan hal yang menentukan. Jika dia
kalah, yang salah bukan engkau tetapi harus dicari pada dirinya sendiri akan sebab2 kekalahan itu"
"Dia pernah berjanji, dua tahun lagi akan mencari aku untuk menghimpaskan kekalahan itu"
Bandupoyo mengangguk "Memang demikianlah perangai Ku sejak dulu waktu masih di
perguruan. Se ap melihat guru menurunkan ilmu pelajaran baru kepadaku, dia tentu iri dan minta
aku supaya mengajarkan kepadanya"
Demikian keduanya bercakap-cakap untuk mengisi kekosongan yang lelap dalam perjalanan itu.
Menjelang surya terbit, mereka sudah melihat pura Singasari tampak dari kejauhan.
~dewikz^ismoyo^mch~ II Wijaya tak ikut tumenggung Bandupoyo masuk kedalam keraton. Dengan alasan bahwa agar
jangan menimbulkan kesan kepada orang terutama para ksatrya yang ikut serta dalam sayembara
bahwa seolah-olah tumenggung Bandupoyo telah memilih seorang calon. Agar pula hilang
prasangka orang bahwa tumenggung Bandupoyo secara diam2 tentu memberi bantuan kepada
Wijaya yang dicalonkan itu agar menang dalam sayembara. Bandupoyopun menyetujui permintaan
Wijaya. "Di samping itu hambapun hendak menemu beberapa kawan hamba yang tentu mengharap-
harap cemas akan kedatangan hamba" Wijaya dengan singkat menuturkan tentang kuda hitam
yang dinaikinya itu. "O, baiklah "Bandupoyo mengangguk "apabila, mungkin, kumpulkan beberapa anakmuda yang
engkau anggap mempunyai rasa cinta kepada negara, bertanggung jawab dan setya mengabdi
kepada kerajaan Singasari"
"Baik, paman "kata Wijaya.
Wijaya menimang-nimang, kemana ia hendak tujukan langkah. Tujuh hari lamanya ia
meninggalkan Singasari. Kemanakah Podang" Kemana pula pemilik kuda yang bertubuh tinggi itu"
Ia turun dari kuda hitam dan duduk beris rahat dibawah sebatang pohon. Ia mengenangkan
peristiwa yang dialaminya selama tujuh hari itu ....
Setelah berhasil naik kuda hitam, kuda itu terus lari. Ia berusaha untuk menghen kan tetapi ia
terkejut ke ka merasa betapa kuat tenaga kuda hitam itu. Bermula ia cemas dan memikirkan
Podang dan orang2 yang tentu masih menunggu di tanah lapang. Saat itu hari sudah malam dan
kuda hitam tetap lari tak berhenti.
"Hm, aneh benar kuda ini "pikirnya " dakkah berbahaya apabila kubiarkan dia terus membawa
aku lari tanpa arah tujuan ini ?"
Serentak dia berkemas hendak memaksa kuda hitam berhenti. Tetapi pada lain kilas ia mendapat
perasaan bahwa kuda itu hanya berlari sekencang angin tetapi dak mengadakan suatu gerakan
yang membahayakan penunggangnya. Penemuan itu segera dikaitkan lagi dengan ngkah ulah
kuda ke ka di lapangan tadi. Beberapa orang telah disengkelit jatuh dan hanya ke ka dia yang
mengendarai, kuda itu tampak tenang dan menurut. Juga menurut keterangan pemiliknya, kuda itu
seekor kuda gagu, tak pernah meringkik atau mengeluarkan suara. Ternyata ke ka ia perintahkan
berbunyi, kuda itupun mau meringkik.
Kesemuanya itu memberi bahan pemikiran kepadanya, bahwa kuda itu memang seekor kuda
yang aneh. Kesimpulan itu segera menimbulkan rasa ingin tahu kemanakah gerangan kuda itu
hendak membawanya. Akhirnya ia memutuskan, membiarkan saja kuda itu lari. Pada saatnya,
binatang itu tentu akan berhenti sendiri.
Selama diayun di atas punggung kuda, Wijaya hanya merasa seper melintas bayang2 hitam
yang nggi, gunduk2 dan tanah lapang yang gelap. Ia tak pernah terbang maka tak tahulah ia
adakah ia sedang dibawa lari kencang oleh kuda hitam itu atau diterbangkan.
Semalam suntuk kuda itu menempuh perjalanan. Kemana arahnya Wijayapun tak tahu. Hanya
ke ka hari mulai meremang tanah, ia terkejut ke ka melihat jauh disebelah depan tampak
gumpalan awan pu h yang mengandung warna kebiru-biruan "Hai, apakah aku dibawa terbang ke
langit " "terhenyaklah ia dari rasa kantuk. Tetapi beberapa saat kemudian ia mendengar suara
gemuruh seperti gelombang ombak di laut.
"Ombak laut atau gemuruh di langit?" pikirnya.
Tepat pada waktu fajar, kuda itupun berhen di-sebuah tempat yang penuh dengan gunduk2
karang. Kuda itupun segera menekuk kaki dan mendumprah di tanah. Wijaya terpaksa turun "Laut"
seru Wijaya, ke ka memandang ke muka. Kini ia jelas apa yang tampak sebagai gumpalan awan
pu h kebiru-biruan itu. Ternyata laut yang berselimut kabut pagi. Memandang kesekeliling, ia tak
melihat barang sebuah rumah ataupun pohon. Semuanya hanya gunduk2 karang "Daerah bukit
karang" pikirnya. Setelah memandang keadaan sekeliling tempat, lalu ia berpaling kepada kuda hitam itu. Ingin ia
mengetahui apa sebab binatang itu membawanya ke tempat itu. Tetapi ia agak kecewa karena
Pedang Kayu Harum 17 Seruling Gading Lanjutan Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo Ilmu Ulat Sutera 2
engkau berkeras tak mau memberi keterangan, tentu akan kutangkap dan kuserahkan kepada
petugas keamanan" Rupanya Ku pun tak sabar menghadapi kedua Garang itu. Sambil membusungkan dada ia
menantang "Kalau aku tak mau menjawab, kalian mau bertindak bagaimana" Menangkap" Silakan"
Lembu Sora memang tudah tak sabar. Mendengar tantangan Ku;i, diapun terus loncat
menerjang, tangan kanan menepis leher, tangan kiri menangkap lengan. Kedua gerak tangan itu
dilakukan hampir serempak dalam kecepatan dan kedahsyatan namun
daklah sampai membahayakan jiwa orang. Dia bermaksud hendak menangkapnya.
Ku terkejut menerima serangan itu. Tak mungkin orang biasa mampu mengunjukkan gerak
serangan yang begitu rapi dan bagus. Makin kuat dugaannya bahwa kedua orangmuda itu tentu
golongan pemuda yang berilmu. Mungkin dari paia ksatrya yarg berdatangan herdak mengiku
sayembara, mungkin memang prajurit kerajaan atau mungkin golongan penjahat yang berkeliaran
pada malam hari. Tetapi apa dan siapa mereka, bahaya harus dihadapi. Ia menyurut mundur,
berputar kesamping dan balas menerjang.
Tetapi sebelum ba pada Sora, Nambipun sudah menerkam bahunya. Ku gerakkan tangan kiri
menghantam sementara gerak terjangan ke arah Sorapun tetap dilanjutkan.
Nambi tertolak dan berhenti. Diam2 ia terkejut akan kekuatan tangan Kuti. Sementara Sora
mendapat kesempatan untuk mengisar langkah, menghadapi Kuti dan menyongsongkan
pukulan. Krak.....dua kerat tulang saling peradu keras. Dan keduanyapun terhenti. Sora
merasakan tangannya nyeri, Kuti tangannya gemetar. Keduanya menyurut mundur, tertegun
atas tenaga lawan. Demikian mereka melanjutkan lagi serang menyerang dengan cepat, deras dan dahsyat. Memang
pertempuran itu berjalan seru dan berimbang. Tetapi menurut penilaian, Ku lebih unggul karena
dia seorarg diri menghadapi dua orang lawan.
Sora dan Nambi makin terkejut. Keduanya makin bernafsu untuk menangkap dan menyelidiki
siapa pemuda lawannya yang begitu hebat. Serangan makin dipergencar dan diperketat namun
tetap dak berhasil. Ku memang digdaya dan tangkas. Tetapi Ku sendiri sesungguhnya juga
cemas dalam ha . Selama ini, belum pernah dia berjumpa dengan lawan yang dapat memberi
perlawanan segigih dan sehebat itu. Sejak ia menderita kekalahan dari Nararya dahulu, ia telah
memaksa diri untuk berla h ilmu kanuragan yang lebih nggi. Jika saat itu berhadapan dengan ga
lawan saja tak mampu mengalahkan, bagaimana mungkin dia akan dapat menundukkan Nararya"
Kuti memang benar tetapi dalam kebenaran yang salah. Karena dia tak mengetahui jelas
siapa sesungguhnya ketiga pemuda yang menjadi lawan pada saat itu. Jika dia tahu siapa
Nambi, siapa Lembu Sora, tentulah dia takkan kecewa. Bahkan mungkin akan terkejut bangga.
Nambi, murid dari pertapa di gunung Lejar dan Sora, dengan buk 2 akan kedigdayaan dan
kekuatannya yang hebat, barulah dapat diangkat sebagai bekel prajurit dari Matahun. Dia masih
saudara sepupu dengan demung Wiraraja atau Banyak Wide yang dicopot oleh baginda
Kertanagara dan dipindah ke Sumenep. Nararya atau raden Wijaya sendiri belum tentu sanggup
menghadapi kedua pemuda itu. Bahwa Ku mampu menghadapi Nimbi dan Sora bahkan ditambah
pula dengan Podang, sebenarnya suatu pengakuan yang dapat membuk kan betapa hebat ilmu
yang telah dicapainya. Tetapi dia tak mengetahui hal itu. Dan merasa cemas sehingga pikirannya
kurang tenang, mengganggu kepercayaan atas dirinya.
Ketegangan yang dimulai dengan rasa kejut kemudian merayap-rayap menjadi rasa cemas, mulai
mengelompok dalam rasa bingung dan akhirnya meletus dalam rasa gugup yang hebat ke ka
mendengar derap langkah orang muncul di penghujung jalan. Walaupun tengah berkelahi
menghadapi ga orang lawan, tetapi Ku masih sempat mengembangkan daya pendengarannya
yang tajam sehingga dapatlah ia menangkap langkah kaki manusia yang tengah berjalan
mendatangi. Siapakah mereka" Semi atau Banyakkah" Ah, kedua kawan itu mungkin dak, karena
waktu pergi menghadap pa h Aragani tadi, ia telah meminta agar kedua kawan itu tetap nggal di
rumah. Hanya apabila keesokan harinya ia tak pulang, barulah Semi dan Banyak boleh ber ndak,
menyelidiki ke gedung kepatihan. Lalu siapakah mereka" Musuh ...."
"Bagus, kawan-kawan kita datang. Hayo, cepat kawan . , . . " seru Podang dengan tiba2.
Ku terkejut sekali dalam ha . Apabila kawan2 mereka datang, sukarlah baginya untuk
meloloskan diri. Jika dia sampai tertangkap, dakkah karya besar yang telah dilakukan itu, yani
mencuri dan menyembunyikan kaca wasiat puteri Tribuana, akan berantakan" "Aku harus lolos
"akhirnya mbul suatu keputusan. Ia tak tahu siapa sebenarnya Nambi, Sora dan Podang itu.
Namun ia menduga tentulah ke ga orang itu petugas2 keamanan, mungkin anggauta peronda
malam ataupun prajurit yang sedang melakukan ronda keamanan malam itu.
Pada saat yang sama, Sora dan Nambipun terkejut mendengar teriak Podang. Secara tak disadari,
keduanya serempak berpaling. Walaupun hanya sekejab tetapi gerak serangan merekapun
terganggu kelancarannya. Hal itu terjadi pada saat Ku memutuskan untuk lolos. Maka bertemunya
maksud dengan kesempatan segera dimanfaatkan sebaik-baiknya. Sebuah pukulan yang
dilancarkan kekanan, berhasil menepis lengan Sora dan tebasan dengan sisi telapak tangan kiri
berhasil membuat Podang meliuk. Masih Ku dapat pula mengayun kaki ke arah perut Nambi
sehingga memaksa Nambi harus loncat ke belakang. Ke ga buah serangan yang berhasil itu,
dilanjutkan dengan menginjakkan kaki ke tanah lalu digentakkan sekuat- kuatnya mengantar tubuh
melayang ke belakang, berputar diri dan disambung ga empat loncatan, dia sudah berada ga
tombak jauhnya kemudian lari menyusup lenyap dibalik gerumbul gelap.
"Hai, jangan" cepat Sora menangkap bahu Podang ke ka anak itu hendak lari mengejar
"bagaimana perutmu?"
"Mual tetapi sudah tak apa2" kata Podang masih memandang ke arah lari Ku "mengapa kakang
melarang aku mengejarnya?"
"Berbahaya untuk mengejar lawan yang berada di tempat gelap" jawab Sora "andaikata dia
sudah bersembunyi dan siap menunggu lalu menyambut kedaa tanganmu dengan tabasan senjata
atau melontarkan batu, apakah engkau mampu menyelamatkan diri?"
"Tetapi aku malu, kakang"
"Malu" Apa yang membuatmu malu?"
"Dia seorang, kita bertiga ...."
"Tak dapat menangkapnya?" tukas Lembu Sora. "Dia mampu menyodok perutku dan lolos"
"Salah siapa ?"
Podang terkesiap mendengar ucapan Sora. Ia memandangnya dengan tatapan bertanya "Apakah
kita bersalah?" "Ya " jawab Sora mantab "karena tak mampu menangkapnya. Jika dia berhasil lolos, bukan
salahnya tetapi salah kita karena kita tak mampu. Karena ilmu kita kalah tinggi. Dalam hal itu
siapakah yang bersalah ?"
Podang tertegun. "Bukankah kita yang harus berani mengakui kesalahan karena tak mampu mengalahkannya"
Bukankah kita harus tak malu mengakui bahwa kesalahan itu tak lain karena kita kurang penuh
mencurahkan tenaga, pikiran dan keuletan untuk menuntut dan melatih ilmu kedigdayaan?"
Podang mengangguk-angguk "Benar"
"Benar?" tiba2 Sora merikam pertanyaan.
"Eh, bukankah kakang mengatakan begitu" " Podang mulai bingung.
"Dan engkau menganggap benar?"
"Ya" "Tidak benar" kata Sora "sepintas memang benar, tetapi tidak seluruhnya benar"
Podang terbelalak. Makin heran pandang matanya menumpah kepada Sora "Aku benar2 tak
mengerti apa yang kakang ucapkan"
"Aku mengatakan bahwa kesalahan kita tak dapat menangkap orang itu adalah kita tak memiliki
ilmu kepandaian yang memadai. Karena kita kurang giat dan tekun menuntut ilmu kanuragan.
Bukankah begitu?" Podang hanya mengangguk agak ragu karena dia kua r apabila menyahut dengan ucapan, akan
tergelincir lagi. "Tetapi marilah kita njau dari lain sudut" kata Sora "sudut ilmu kanuragan. Bahwa dalam
menuntut ilmu kanuragan, kecuali harus menguasai segala tata-gerak tangan dan kaki, pun harus
menumpahkan segenap perha annya pada lawan. Nah, kekalahan kita pertama-tama disebabkan
karena kita tak menumpahkan perhatian penuh"
"Hah "Podang terbelalak "bagaimana kakang mengatakan begitu" Telah kucurahkan seluruh
perhatianku untuk merubuhkannya"
"Demikian pula aku dan kakang Nambi" sambut Sora "tetapi perha an kami berdua telah pecah
berhamburan karena ulahmu"
"Aku?" Podang tercengang.
"Ya" "Mengapa aku, kakang?"
"Engkau menjerit meneriakkan kata2, memanggil kawan-kawan supaya cepat datang"
"O, ya, memang begitu. Tetapi maksudku untuk mengacaukan pikiran orang itu"
"Dan pikiranku serta kakang Nambi juga sehingga kami berpaling ke arahmu. Akibatnya, dia
dapat memanfaatkan kelengahan itu untuk mendesak kita dan meloloskan diri"
Sebelum Podang berkata, empat prajurit yang muncul di penghujung jalan tadipun sudah tiba.
"Eh, mengapa engkau di sini" "tegur salah seorang dari kelompok yang terdiri dari empat orang
prajurit bersenjata lengkap.
Untuk menjaga jawaban yang memungkinkan timbulnya kecurigaan dan hal yang berlarut-
larut, maka Nambi segera memberi keterangan bahwa dia dan kedua kawannya sedang dalam
perjalanan pulang. Keempat prajurit itu mengamati Nambi bertiga dengan tatap pandang yang
tajam "Pulang" "seru prajurit yang menegur tadi. Seorang prajurit yang bertubuh kekar dan
berkumis lebat. "Ya " sahut Nambi.
"Mengapa kalian berhenti dan bercakap-cakap di sini ?"
"Kami sedang mempersoalkan peristiwa yang baru saja kami alami"
"Peristiwa apa?"
Nambi menceritakan tentang peris wa yang baru dialaminya dengan seorang lelaki yang
mencurigakan "Kami berusaha menangkapnya tetapi dia dapat melarikan diri"
Rupanya prajurit berkumis itu dak secepat itu dapat menerima keterangan Nambi
"Rombonganku ini, prajurit2 yang malam ini bertugas untuk meronda keamanan. Jika orang itu
mencurigakan, mengapa tak engkau laporkan kepadaku" Mengapa harus engkau sendiri yang
bertindak menangkapnya?"
Nambi terkesiap. Ia dapat menyelami arti yang terkandung dalam kata2 prajurit itu. Jelas
prajurit itu setengahnya tidak percaya bahkan mencurigai. "Ki prajurit" sahutnya "saat itu
sebenarnya kami belum mempunyai maksud untuk menangkapnya. Kami hanya menegur tetapi
dia mengeluarkan kata2 yang tajam menantang. Terpaksa kami bertindak. Andaikata ki prajurit
sekalian berada di sini, tentu akan kami laporkan. Tetapi pada saat itu, tempat ini sunyi senyap
maka terpaksa bertindak sendiri"
"Hm" desuh prajurit itu "benarkah keteranganmu itu?"
"Benar" "Tidakkah layak kecurigaanmu terhadap orang itu, kurasakan juga terhadap diri kalian bertiga?"
"Apa maksudmu?" tiba2 Sora menyeletuk.
"Dalam malam segelap dan tempat sesunyi ini, aku sebagai prajurit peronda harus merasa curiga
terhadap tiga orang yang tengah bercakap-cakap ditengah jalan"
"Apa yang diterangkan kakangku tadi memang benar" sahut Sora "karena kami sebagai kawula
harus merasa ikut membantu keamanan dalam pura ini"
"Itu alasanmu" kata prajurit berkumis "tetapi apa dasar2 penompang keberanianmu untuk
menangkap orang yang engkau sangka mencurigakan itu?"
Nambi mulai beranjak tetapi Sora sudah menyahut: "Kewajiban sebapai kawula Singasari"
Prajurit itu gelengkan kepala "Se ap orang dapat memberi alasan demikian tetapi dak se ap
orang berani ber ndak demikian. Bahwa kalian berani ber ndak tentulah kalian memiliki bekal
ilmu kepandaian. Bukankah begitu?"
"Tidak" cepat2 Nambi yang mencium gelagat kurang baik cepat menjawab "dasarnya hanya
karena kami berjumlah tiga dan orang itu hanya seorang. Maka timbullah keberanian kami"
Prajurit itu gelengkan kepala "Tidak" katanya, "menilik perawakan kalian dan apabila
keteranganmu tadi benar, maka kalian tentu memiliki ilmu"
Sebal rasanya telinga Sora mendengar kata2 itu.
"Adakah suatu kesalahan untuk memiliki ilmu " Mengapa ki prajurit mendesak dengan
pertanyaan begitu ?"
"Itu kewajiban kami sebagai peronda keamanan" jawab prajurit berkumis "jawablah, bukankah
begitu" Bukankah kalian memang pemuda yang berilmu?"
"Ya. Kami memang pernah belajar ilmu untuk membela diri. Apa hubungannya hal itu dengan
kewajiban ki prajurit?" seru Sora pula.
"Erat sekali "jawab prajurit itu "karena hal itu makin mengharuskan aku untuk membawa kalian
ke markas" "Hendak menangkap kami ?"
"Tergantung dari hasil pemeriksaan nanti"
"Bukankah ki prajurit sudah memeriksa keterangan kami?"
"Meragukan" ujar prajurit itu "akan kami serahkan kepada atasan kami. Takutkah engkau?"
"Tidak" jawab Sora "tetapi kami telah memberi keterangan sejujurnya. Masihkan ki prajurit
hendak membawa kami?"
"Wajib prajurit peronda keamanan adalah untuk menangkap se ap orang yang dianggap
mencurigakan. Tiga orang pada tengah malam berada di tengah jalan yang sunyi senyap,
menimbulkan kecurigaan dan harus diperiksa"
"Tetapi kami telah memberi keterangan" suara Sora mulai keras.
"Keterangan dapat dirangkai, cerita dapat dikarang. Tetapi apabila se ap keterangan begitu saja
dipercaya oleh petugas keamanan, dakkah keamanan akan dak aman" Jika kalian memang orang
baik2, mengapa kalian merasa takut menghadapi pemeriksaan di markas kami?"
"Bukan takut "sambut Sora "tetapi kami benar2 kecewa. Mengapa kami yang berusaha untuk
membantu keamanan justeru hendak ditangkap karena dicurigai sebagai pengacau keamanan?"
"Engkau harus mampu menyelami tugas kewajiban. Katamu, sebagai kawula kamu wajib
membantu menjaga keamanan sehingga orang itu hendak engkau tangkap. Maka kataku,
rombonganku sebagai petugas keamanan, wajib menjaga keamanan maka kami harus
membawa kalian ke markas"
"Ah, ki prajurit" Nambi menyelutuk "kami bersumpah, bahwa apa yang kami tuturkan tadi
memang benar2 terjadi, bukan karangan kami sendiri"
Prajurit berkumis itu menjawab dengan pertanyaan "Benarkah kalian hendak membatu
keamanan ?" "Ya" "Jika demikian tak pada tempatnya kalian menolak perintah kami. Karena dengan menurut
perintah itu kalian berarti membantu petugas keamanan dan keamanan itu sendiri"
"Tidak" seru Sora. Ia seorang jujur maka ia merasa karena apa yang diceritakan Nambi tadi
memang keadaan yang sebenarnya maka ia merasa ndakan prajurit itu menyinggung perasaan
"kami hendak pulang, terpaksa kami tak dapat mentaati perintah ki prajurit"
"Kakang ...." Podang berteriak. Maksudnya hendak memperingatkan kepada Sora dan Nambi
mengapa tak mengatakan saja bahwa mereka ber ga sedang menjalankan tah dari pangeran
Ardaraja untuk menyelidiki jejak penjahat yang memasuki keraton itu. Tetapi sebelum ia sempat
melanjutkan kata-katanya, Sora sudah membentak "Jangan ikut bicara!"
Nambi menggamit lengan Podang, mengisyaratkan supaya anakmuda itu diam. Nambi cepat
dapat menangkap mengapa Sora membentak bengis kepada Podang. Tentulah Sora kuatir
Podang akan mengatakan tentang perintah pangeran Ardaraja itu. Maksud Podang memang
baik agar urusan segera selesai. Tetapi Sora beranggapan lain. Belum tentu rombongan prajurit
peronda itu mau menerima jawaban sedemikian. Sora teringat bahwa tugas keamanan pura,
telah diserahkan kepada pasukan yang dibawahi Kuda Panglulut, putera menantu patih Aragani.
Ia masih belum melupakan peristiwa perkelahian antara Medang Dangdi, Jangkung dan Podang
dengan prajurit pengiring Kuda Panglulut. Ia mendapat kesan bahwa Kuda Panglulut tak puas
atas tindakan pangeran Ardaraja yang membubarkan tindakan Kuda Panglulut terhadap
Medang Dangdi bertiga. Itulah sebabnya ia membentak Podang agar jangan anak itu
mengatakan apa-apa. Demikian penilaian Nambi terhadap Sora. Ia tahu tetapi Podang makin bingung. Ia hendak
berusaha menyelesaikan urusan dengan kelompok prajurit peronda, mengapa Sora menghardik
dan Nambi pun ikut mencegahnya" Benar2 ia tak mengerti.
"Ki prajurit, aku dapat menger dan menghargai pendirianmu, walaupun kami harus bersumpah
demi apa saja engkaupun tentu tetap tak mau mendengarkan. Tetapi kamipun mempunyai alasan
sendiri mengapa tak dapat menerima perintahmu, walaupun engkau memberi alasan apapun juga
sebagai dasar perintah penangkapanmu itu"
"Hm, engkau hendak membangkang perintah prajurit yang mempunyai wewenang dalam
melaksanakan tugasnya?"
"Terserah bagaimana engkau hendak mengatakannya namun aku dan kawan kawanku memang
saat ini terpaksa belum dapat memenuhi perintahmu" sahut Sora.
"Jika begitu terpaksa aku harus bertindak keras" seru prajurit berkumis itu.
"Aku, tak melarang ki prajurit hendak mengambil ndakan apa saja terhadap kami, kecuali soal
perintah penangkapan itu. Dan akupun bebas pula untuk mempertahankan kebebasan diri"
"Tangkap!" teriak prajurit itu yang terus mempelopori nuju menyergap.
Karena sudah menentukan putusan, Sora harus melaksanakan dengan sungguh2. Dia tak mau
terlibat pertempuran yang lama dan menjemukan. Selekas menyingkir ke samping, selekas itu pula
ia menepis tengkuk prajurit itu dengan tepian telapak tangan, krek . . . prajurit itupun menjerit lalu
terkulai ke tanah. Sehabis itu Sora hendak menyelesaikan ke ga prajurit yang lain. Pada saat itu
ke ga prajurit sedang bergerak untuk mengiku ndakan kawannya prajurit yang berkumis.
Mereka terkesiap ke ka melihat kawannya sedemikian mudah dan cepat, dapat ditepis rubuh oleh
Sora. Namun mereka sudah terlanjur maju maka tak sempat pula mereka untuk menarik diri.
Krak, terjadi benturan keras antara dua kerat tulang tangan Sora dan salah seorang prajurit.
Prajurit itu menjerit, terbungkuk-bungkuk memegang tangannya menyurut ke belakang. Melihat
itu pecahlah nyali kedua prajurit yang lain. Mereka segera lari untuk meminta bantuan.
Podang hendak mengejar tetapi disambar Sora "Jangan mengejar. Kita tak bermusuhan dengan
mereka" "Hm, mereka tentu kawanan prajurit dari raden Kuda Panglulut" gumam Podang "aku hendak
membalas cambukan yang telah mereka berikan kepadaku tiga hari yang lalu itu"
"Mereka tidak bersalah"
"Hah?" Podang membelalak "aneh, mengapa kakang selalu membawa sikap yang tak dapat
kumengerti" "Tidak ada yang aneh dalam ucapanku" kata Sora "keanehan itu engkau rasakan karena engkau
berada dalam pandangan yang berlawanan atau hanya pada sebelah sisi saja. Mereka
sesungguhnya prajurit yang tahu akan tugas kewajibannya. Andai kata engkau menjadi salah
seorang dari mereka tentulah engkau juga tak semudah itu percaya akan keteranganku dan kakang
Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nambi. Tentulah engkau curiga dan menangkap kita. Coba lepaskan dirimu dari sisi yang sebelah
itu dan berdirilah di tengah2. Tidakkah engkau dapat membenarkan tindakan mereka?"
Podang termangu. "Walaupun pada saat ini secara kebetulan kita berada pada fihak yang berlawanan dengan
pendirian mereka, tetapi sebagai seorang yang jujur, kita wajib memuji akan kebenaran ndakan
mereka" "Jika mereka benar, berarti kita yang salah" "tanya Podang.
"Aku tak mengatakan kita bersalah walaupun kukatakan mereka benar. Mereka melakukan
kewajiban dalam tugasnya, itu yang kukatakan benar. Dan kitapun karena mempunyai kesulitan
dalam menjalankan suatu tugas, pun harus merasa benar telah menolak perintah mereka"
"Kalau mereka benar dari kitapun benar, lalu siapa yang salah?" rupanya Podang masih belum
puas. "Keadaan, tempat dan waktu yang salah" sahut Sora "setelah tugas kita selesai dan aku
bertemu pula dengan mereka dalam keadaan seperti saat ini, aku tentu mau menurut perintah
mereka. Disini yang diartikan benar, hanya dalam batas lingkup kepenting-keamanan negara"
"Adi berdua" ba2 Nambi menyela "baiklah kita lekas2 nggalkan tempat ini. Apabila prajurit2
itu datang pula dengan membawa bala bantuan yang berjumlah besar, dakkah kita akan
mengalami kesulitan yang lebih besar lagi?"
Sora dan Podang mengiakan. Diam2 Podang menaruh rasa senang dan kagum akan
kebijaksanaan ucapan Sora "Kakang Sora" katanya "dalam menguraikan masalah ilmu bjertempur
tadi, engkau belum selesai. Apakah hal kedua yang belum engkau katakan itu?"
Sambil melanjutkan langkah, Sorapun memberi keterangan "Hal yang kedua yalah tentang
ilmu yang terdapat dalam saat2 melakukan pertempuran. Podang, segala ilmu kanuragan dan
jaya-kawijayan itu ataupun ilmu apa saja, hanya merupakan petunjuk dan penyuluh. Ilmu itu
merupakan bekal kita dalam menempuh kehidupan yang kita kehendaki. Dan ilmu itu akan
benar2 membuahkan kenyataan yang berguna apabila kita mampu memancar dan
menggunakannya dengan tepat. Dalam cara menggunakan ilmu, yang pokok yalah kecerdasan
pikiran kita. Kecerdasan yang dilambari kewaspadaan yang tajam, akan mampu melahirkan
suatu tindakan yang tepat untuk menguasai lawan. Kemenangan dalam suatu pertempuran,
kebanyakan ditentukan pada detik2 sekejab, dimana dengan kecerdasan dan kewaspadaan
kita cepat dapat mengambil keputusan, gerak apa yang harus kita berikan kepada lawan agar
dia mati langkah" ~*~o*dewikz*ismoyo*mch*~*~
Baginda Kertanagara tersentak dari kemenungan ke ka seorang sentana dhalem meghadap dan
menghaturkan laporan bahwa pa h Aragani mohon menghadap. Bagindapun segera menitahkan
patih menghadap. Atas tegur baginda, pa h Aragani menghaturkan sembah "Kedatangan hamba ke hadapan duli
tuanku saat ini tak lain karena hamba hendak meghaturkan sebuah berita penting, gusti"
"Hm" rupanya baginda masih segan berujar bahkan nadanya memancarkan percik2 ke dak-
senangan atas kehadiran patih itu.
"Berita tentang kaca wasiat dari gusti puteri sang ayu dyah Tribuana, gusti"
"O "baginda terhenyak bagai induk ayam melihat burung wulung "apa katamu?"
"Hamba mohon tuanku perkenankan untuk menghaturkan berita tentang kaca wasiat yang hilang
itu" Serentak baginda menegakkan tubuh yang lunglai dan ber tah agar pa h Aragani segera
menghaturkan laporan "Adakah sudah terdapat hasil tentang benda itu?" ujar baginda.
"Hampir gus , tetapi rasanya pas akan berhasil" kemudian Aragani menghaturkan keterangan
tentang seorang pemuda digdaya yang sanggup menemukan kaca itu.
Merah wajah baginda mendengar keterangan itu.
"Tidak! Aku tak mau mendengar lagi segala kata2 yang tak berbuk . Tidakkah sudah beberapa
resi, pandita yang sidik yang ku tahkan datang tetapi mereka tak ada yang mampu menemukan
tempat beradanya kaca itu" Hm, Aragani, jangan engkau bermain-main dihadapanku!"
Serta merta patih Aragani menghatur sembah.
"Ampun beribu ampun, duli tuanku. Memang hambapun cukup mengetahui akan segala hasil
yang diberikan para nujum itu. Hambapun menolak untuk menerima kesanggupan anakmuda itu
tetapi dia mendesak bahkan berani menghaturkan pernyataan yang tegas di hadapan hamba,
sehingga hambapun memerlukan menghadap paduka, gusti"
Baginda hanya diam. "Dia menyatakan kepada hamba, bahwa, apabila dia tak mampu mendapatkan kaca wasiat tuan
puteri, dia bersedia untuk dipenggal lehernya"
"Hah?" baginda terperangah "dia berani menghaturkan janji sedemikian?"
"Benar gusti" "Hm" kembali baginda mendesuh dan berdiam diri. Selang beberapa saat kemudian baru
baginda bertitah: "jika memang demikian, titahkan dia masuk menghadap kemari"
Pa h Aragani segera mengundurkan diri dan tak lama kemudian menghadap pula dengan diiringi
seorang pemuda yang bertubuh tegap. Pemuda itupun menghamenghaturkan sembah kehadapan
baginda. "Apakah engkau yang menyatakan sanggup untuk menemukan kaca milik tuan puteri ?" tah
baginda. "Demikian, gusti junjungan hamba yang mulia"
"Siapa namamu?"
"Hamba Kuti, berasal dari lereng gunung Bromo, gusti"
"Apa tujuanmu datang ke pura Singasari?"
"Hamba ingin ikut dalam sayembara"
"Hm, rupanya engkau tentu mempunyai ilmu yang tinggi."
"Tidak, gusti. Apa yang hamba miliki hanyalah sekedar ilmu yang banyak dimiliki para
anakmuda di desa hamba. Memang hamba layak menerima pidana paduka karena berani ikut
serta dalam sayembara itu. Bekal hamba tak lain hanyalah suatu tekad untuk mengabdi kepada
kerajaan paduka" Diam2 baginda berkenan dalam ha mendengar kata2 Ku . Bagindapun tahu bahwa kata-kata
itu hanya bersifat merendah belaka dan tentulah Kuti memiliki ilmu kedigdayaan yang hebat.
"Baiklah" tah baginda "memang demikianlah tujuan sayembara itu, menghimpun para muda
agar masuk kedalam keprajuritan. Lain dari itu, benarkah engkau dihadapan pa h Aragani
menyatakan mampu menemukan kaca wasiat gusti puteri yang hilang itu?"
"Benar, gusti" "Dan engkaupun menyatakan bahwa apabila engkau tak berhasil menemukan kaca itu engkau
bersedia menerima hukuman pancung?"
"Demikian gusti" sembah Kuti.
"Anakmuda" ujar baginda "engkau tahu bahwa pernyataanmu itu engkau haturkan dihadapan
sang nata?" "Hamba tahu, gusti"
"Bahwa aku pernah menitahkan beberapa resi pandita untuk menujumkan benda itu tetapi
gagal?" "Hambapun mendengar, gusti"
"Bahwa jika beberapa resi pandita yang sidik telah gagal, menunjukkan betapa gawat beban itu
?" "Hamba menyadari, gusti"
"Bahwa janjimu itu harus engkau tepati apabila engkau juga gagal?"
"Hamba maklum, gus . Bagi seorang anak desa seper diri hamba ada kehormatan yang dapat
hamba songsongkan kecuali batang kepala hamba"
"Baik, engkau berjiwa ksatrya" seru baginda "dan jangan engkau berkecil ha . Akupun akan
memberi imbalan kepada batang lehermu itu. Apabila engkau benar2 mampu menemukan benda
itu maka engkau akan kuberi kelungguhan sebagai tumenggung dan isteri yang cantik"
Serentak Ku mencium kaki sang nata "Duh, junjungan yang hamba muliakan. Betapa besar
ganjaran yang paduka limpahkan atas jasa hamba yang sekecil itu. Ampun gus , namun bukan itu
yang hamba cita-citakan"
"Engkau tak ingin menjadi tumenggung" Lalu apa yang engkau kehendaki " "
"Hamba hanya seorang anak desa yang ingin menyumbangkan tenaga hamba kebawah duli
paduka" "Hanya itu?" "Demikianlah gusti"
"Bagus, persembahanmu kuterima tetapi engkau pun harus membuk kan apa yang engkau
janjikan" "Hamba tentu akan melaksanakan tah paduka" Tampak baginda mengerut dahi sejenak lalu
ber tah "Tetapi dak, Ku . Aku seorang nata, tak boleh ingkar akan ucapanku. Walaupun belum
kuucapkan tetapi dalam ha aku sudah berjanji, barangsiapa yang dapat menemukan kaca wasiat
itu, dia akan kuganjar. Karena engkau tak menghendaki pangkat, lalu katakanlah, apa yang engkau
kehendaki ?" "Ah, hamba tak menghendaki suatu apa"
"Tidak, Ku " ujar baginda agak keras sehingga pa h Aragani dan Ku tergetar "jika engkau
menolak ganjaran yang akan kuberikan menurut permohonanmu, berar engkau menyinggung
keluhuranku sebagai raja!"
Gemetar Ku mendengar tah baginda itu. Serentak dia menyembah "Mohon kiranya paduka
melimpahkan ampun kepada diri hamba yang hina dina. Se
kpun hamba tak berani memiliki rasa
sedemikian terhadap paduka, junjungan yang mulia dari seluruh kawula Singasari. Sebagai seorang
kawula paduka, hamba ingin melaksanakan cita2 hamba untuk mengabdi kepada kerajaan paduka.
Bagaimana mungkin hamba akan menyinggung keluhuran paduka yang hendak hamba junjung
dalam pengabdian hamba itu"
"Cita2 dan ndakanmu itu menandakan bahwa engkau berjwa ksatrya. Tetapi apabila engkau
menolak keputusanku untuk memberi ganjaran berar engkau menyinggung keluhuran dari
seorang raja yang harus menetapi sabda"
"Ampun gusti" sembah Kuti "jika paduka menitahkan demikian, hambapun akan mentaati. Tetapi
gusti, adakah paduka takkan murka atas permohonan hamba ini ?"
"Tidak" Ku menghela napas, sejenak mengerling ke arah pa h Aragari yang termenung-menung
mendengarkan percakapan tadi, kemudian berkata "Gus Junjungan para kawula Singasari yang
mulia, kiranya permohonan hamba tak lain hanya .... hanya mohon diperkenankan menghadap
gusti hamba sang dyah ayu puteri Teribuana"
Patih Aragani terbelalak dan mencurah pandang ke arah Kuti.
"Apa sebab engkau mengajukan permohonan begitu?" tegur baginda.
"Ampun gus " sembah Ku "bukan hamba bermaksud menyinggung keluhuran paduka, tetapi
hamba hanya mohon diperkenankan untuk meletakkan persoalan itu pada saluran yang layak.
Bahwa kaca wasiat itu telah paduka perkenankan kepada gus puteri maka gus puteri
Teribuanalah yang menjadi pemilik yang sah. Hamba dengan segala kegembiraan dan terima kasih
yang tak tertara akan menerima ganjaran apapun dari gus puteri. Hanya demikian permohonan
hamba, gusti" Pa h Aragani terkejut. Hampir ia tak percaya akan pendengarannya. Bagaimana Ku mengajukan
permohonan seper itu ! Bagaimana mungkin seri baginda akan mengabulkannya! Serentak mbul
ingatan pa h Aragani untuk memberantas permohonan Ku dengan kata2 yang tajam agar apabila
baginda mutka kepada Ku , baginda takkan menimpakan kemurkaan kepadanya pula. Tetapi pada
saat dia hendak mengangakan mulut ....
"Ya " ba2 baginda ber tah "karena aku sudah mengatakan akan meluluskan apapun
permohonanmu karena permohonanmu itu cukup beralasan maka akan ku tahkan prajurit untuk
membawa engkau menghadap puteri"
Pa h Aragani terlongong-longong. Ku terkejut lalu gopoh menghaturkan sembah terima
kasih..Baginda pun menitahkan prajurit u uk mengawal Ku ke keputren menghadap puteri
Teribuana. Sepanjang perjalanan melalui lorong dan taman yang indah asri, semangat Ku
melayang-layang di Inderaloka. Betapa indah, tenang dan asri meresaplah ha segala bangunan,
peralatan, taman, kolam bahkan pohon2 bunga yang berada dalam keraton Singasari.
Semangat Ku yang seolah melayang-layang di alam seribu-impian itu, ba2 tersentak buyar
ketika prajurit berseru "Sudah sampai di keputren"
"O " Kuti gelagapan.
"Tunggu disini, aku akan melapor" prajurit terus masuk ke dalam gedung keputren.
Ku menunggu dengan ha berdebar-debar. Bagaimana nan apabila berhadapan dengan
puteri" Adakah puteri berkenan meluluskan permohonannya " "Ah "ia mendesuh dan mendesah
dalam usahanya untuk melepaskan diri dari libatan kabut yarg tebal. Kabut lamunan yang
menyekap seluruh indera dan perasaannya ke alam kekaburan.
"Ku , apa ar hidup seorang lelaki apabila tak berani menempuh bahaya dalam mencapai cita2
idamannya ....." terngiang kata-kata yang mendebur-debur bagai ombak dalam ha nya yang sedang
diamuk prahara. "Mari masuk" ba2 terdengar suara prajurit berseru. Ku terkejut. Ia tak tahu bilakah prajurit itu
datang dihadapannya. Bergegas ia mengikuti langkah prajurit kedalam puri keputren.
"Kita tunggu di ruang ini" tiba2 pula prajurit itu berhenti di sebuah ruang pendapa. Kuti pun
mengikuti tindakan prajurit yang duduk bersila di lantai. Selanjutnya dia tak mau menyerahkan
diri dihanyut lamunan melainkan membenahi perasaannya untuk menghadapinya sang dyah ayu.
Saat itu yang dihadapinya suatu kenyataan, bukan impian pula. Kenyataan yang akan membuka
segala kemungkinan dari seribu impian. Haruskah dia menyurut mundur ketika sudah berada di
ambang gerbang seribu kemungkinan itu" Tidak!
Walaupun ia sudah mengemasi diri, lahir dan ba n, namun ia tetap tergetar perasaannya ke ka
sang dyah ayu puteri Teribuana muncul di ruang itu, Can k dan anggun bagaikan surya bersinar di
pagi hari. Prajurit segera menghaturkan sembah. Kuti pun gopoh mengikuti. Kemudian dia menunduk.
"Prajurit, inikah yang engkau haturkan sebagai pemuda yang diterima menghadap oleh ramanda
baginda itu?" terdengar puteri Teribuana berujar.
"Demikian titah seri baginda yang mulia, gusti" sembah prajurit.
"Baiklah" ujar sang puteri pula "Ki anom, benarkah engkau telah menghadap ramanda baginda
untuk menghaturkan kesanggupanmu mencari kaca wasiat itu?"
Perasaan Kuti seperti melayang-layang di alam lain. Entah apa namanya karena dia belum
pernah mengalaminya. Inderaloka" Ah, dia belum pernah tahu, bagaimana ia berani
meyakinkan diri tentang alam loka itu " Ia bingung menamakan tetapi merasakannya.
"Hai, gusti puteri bertanya kepadamu" prajurit mengusiknya sehingga Kuti gelagapan.
"Demikian diluhurkan tah paduka, gus " akhirnya setelah berusaha untuk menenangkan diri,
dapat juga Kuti merangkai kata2 jawaban.
"Benarkah engkau dapat menemukannya?"
"Dihadapan yang mulia seri nata junjungan seluruh kawula Singasari, hamba telah
mempertaruhkan kepala hamba untuk menebus kegagalan dari kesanggupan hamba, gusti"
"Baik" kata puteri "lalu mengapa engkau menolak ganjaran ramanda baginda apabila engkau
berhasil melaksanakan janjimu ?"
"Hamba bukan menolak, gus . Melainkan hamba mohon agar hamba diperkenankan hanya
menerima ganjaran dari gusti sebagai pemilik kaca wasiat itu"
Puteri Teribuana kernyitkan dahi "O, engkau menghendaki supaya aku yang memberi ganjaran
kepadamu?" "Sesungguhnya hamba tak menginginkan ganjaran apa2, karena hamba anggap apa yang hamba
akan lakukan itu, hanyalah suatu kewajiban dari seorang kawula. Namun karena seri baginda tetap
menitahkan hamba agar menyebutkan ganjaran apa yang hamba kehendaki, terpaksa hambapun
mentaati titah baginda"
"Ganjaran apa yang engkau kehendaki ?"
Berdebar keras hati Kuti ketika mendengar ucapan sang puteri. Saat2 seperti itulah yang
dinantikannya sejak ia melihat wajah sang puteri. Hampir sang mulut tak kuat menahan luap
hatinya tetapi untunglah pikirannya masih sadar. Bahwa setiap tindakan yang gegabah tentu
akan meruntuhkan semua rencana. Dia harus mau melihat kenyataan bahwa yang dihadapinya
itu adalah puteri Teribuana, puteri baginda Kertanagara yang memerintahkan kerajaan
Singasari yang besar. Salah ucap badan pasti binasa.
"Gus , hamba hanya seorang kawula yang hina, sudah suatu rahmat yang besar bagi diri hamba
apabila paduka berkenan memberi ganjaran. Bagaimana hamba berani memohon sesuatu
kehadapan paduka ?" "Aku merasakan sesuatu yang menyedihkan ha ku atas hilangnya kaca wasiat itu. Memang
akupun telah berjanji dalam ha . Barangsiapa yang dapat menemukah benda itu pas akan
kuganjar" Hampir meledak dada Ku mendengar ucapan puteri, namun ia berusaha untuk menekannya
"Ah, bahwa gus memperkenankan hamba untuk mencari kaca wasiat itu, sudah hamba anggap
sebagai suatu ganjaran besar. Bagaimana mungkin hamba masih mengharap ganjaran yang lain
lagi. Dan memang hamba tak mengharapkan suatu apa, gusti"
"Jika begitu" ujar puteri "akupun menolak kesanggupanmu"
"Gus " Ku seper disambar pe r kejutnya. Ia tak mengira bahwa puteri lebih tegas
keputusannya daripada baginda "hamba .... hamba mohon ampun, gusti"
"Engkau tak bersalah" kata puteri Teribuana "asal engkau sudah menyadari bahwa engkau wajib
menghormati pendirianku. Dengan demikian barulah aku dapat menghargai bantuanmu"
Ku tercengung. Ia ingat akan sikap dan ucapan seri baginda tadi. Dibalik rasa kagum atas
peribadi sang puteri, diam2 Kutipun girang karena maksud hatinya mendekati kenyataan.
"Baiklah, gusti, mana2 titah paduka pasti akan hamba junjung "katanya kemudian.
"Katakan, ganjaran apa yang engkau kehendaki" Bukankah ramanda baginda bersedia
mengganjarmu pangkat tumenggung dan harta benda tetapi engkau menolak?"
"Demikian, gusti"
"Lalu apa yang engkau kehendaki?"
Ku menghela napas dan mengeliarkan pandang ke sekeliling. Dua dayang duduk bersila di
kedua sisi puteri. Dan prajurit yang membawanya tadi pun masih duduk disebelahnya.
"Gus " Ku menghaturkan sembah "jika gus memperkenankan, hamba mohon agar apa yang
hamba hendak haturkan kehadapan gusti ini, tiada orang yang mendengarkan"
Terkejut puteri mendengar persembahan kata itu. Namun karena tuntutan keinginannya untuk
segera mendapatkan kembali kaca wasiat, puteripun meniadakan segala perasaan dan
mengabulkan permintaan Kuti. Puteri lalu, menitahkan kedua dayang supaya keluar, demikian
pula prajurit yang mengantar Kuti itupun disuruh menunggu diluar,
"Sekarang katakanlah apa permintaanmu itu" titah puteri.
Sebelum berkata Ku kembali menghaturkan sembah "Gus , sebelum mempersembahkan
permohonan, lebih dahulu hamba mohon paduka berkenan melimpahkan ampun apabila dalam
kata2 permohonan hamba itu tak berkenan di hati paduka"
"Telah kukatakan" jawab puteri "bahwa aku akan meluluskan ganjaran apapun menurut yang
engkau mohon"
Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Gusti, dapatkah hamba menghibur hati hamba akan kepastian titah paduka?"
"Ki anom" ujar puteri "aku adalah puteri raja. Sabda pandita ratu pun menjadi keutamaan yang
yang wajib kulaksanakan"
"Duh gusti ampunilah kesalahan hamba"
"Cukup" seru puteri "sekarang katakanlah permohonanmu itu"
Ku pun mengemas ha dan pikirannya dalam kebulatan tekad bahwa saat itu dia harus
melaksanakan apa yang menjadi tuntutan ha nya "Gus , bukan pangkat, bukan harta, bukan pula
kemewahan hidup yang hamba inginkan apabila paduka berkenan hendak memberi ganjaran
kepada hamba. Tetapi hanya sepatah kata dari paduka"
Puteri Teribuana terkesiap "Sepatah kata dari aku " Apa maksudmu ?"
"Benar, gus , sepatah kata paduka. Maksud hamba semoga ucapan paduka itu dapat hamba
junjung sebagai penyuluh yang akan menerangi perjalanan hidup hamba"
Puteri. Teribuana makin heran "Aku benar2 tak menger maksudmu, ki sanak. Cobalah engkau
katakan yang jelas" "Gus " dengan sekuat ha Ku benar2 telah membulatkan tekad "tak lain hamba hanya mohon
gus berkenan melimpahkan sabda, bagaimanakah kiranya priagung yang kelak gus kenankan
menjadi sisihan paduka"
Merah wajah sang puteri mendengar pertanyaan itu. Hampir ia murka dan mendamprat
kelancangan Kuti. Tetapi karena puteri sebelumnya sudah berjanji takkan murka dan meluluskan
permohonan Kuti, terpaksa puteri menekan perasaannya.
"Duh, gus junjungan hamba yang mulia" serta merta Ku pun menghatur sembah "ampunilah
diri hamba yang telah berucap kurang tata, berani mengajukan pertanyaan itu. Sekira paduka tak
berkenan, hamba mohon pidana"
Sebagai seorang puteri yang sudah menjelang dewasa, tersentuhlah perasaan puteri Teribuana.
Nalurinya sebagai seorang puteri, cepat dapat menangkap apa sesungguhnya yang terkandung
dalam ha Ku . Namun sebagai puteri utama yang tetap menjunjung keutamaan, puteripun tetap
pada janjinya "itukah yang engkau kehendaki?"
"Demikian gusti"
"Apa guna engkau mengetahui hal itu?"
"Bagi hamba hal itu lebih penting dari surya dan rembulan. Surya hanya menerangi pada
siang hari dan rembulan pada malam hari. Tetapi hal itu akan selalu menerangi hati hamba
siang dan malam" Makin tersentuh ha puteri, makin jelas puteri mengetahui maksud ha Ku . Namun ia tetap tak
murka. "Baiklah, aku akan menetapi janjiku kepadamu" ujar -puteri "sebagai seorang puteri raja aku
harus dipersunting oleh ksatrya linuwih dan luhur"
"Terima kasih gus " Ku menghaturkan sembah "kiranya tah paduka akan menjadi pelita yang
akan menerangi hati hamba dalam mengarungi tujuan hidup hamba"
"Ki anom" tah puteri "jangan engkau menyiksa diri untuk meraih rembulan. Paserahkan suratan
hidupmu kepada Hyang Batara Agung dan terimalah dengan segala puji syukur apapun yang
dilimpahkan-NYA" "Terima kasih gusti" sembah Kuti "sekalipun ketentuan terserah kepada Hyang Widdhi, tetapi
Hyang Widdhi memperkenankan manusia untuk mengharap, bercita-cita dan berusaha. Oleh
karena itu hamba akan melaksanakan kemurahan berkah Hyang Widdhi itu selayaknya"
Puteri Teribuana tak menanggapi lebih lanjut. Setelah memperingatkan Ku akan
kesanggupannya, puteripun segera masuk kedalam keputren.
Kuti keluar dengan hati menggunduk gunung harapan. Ia merasa hidupnya berisi sesuatu.
~~o-dewk-ismoyo-mch-~~ Jilid 18 Persembahan : Dewi KZ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ & http://dewi-kz.info/
Dengan Ismoyo Gagakseta 2 http://cersilindonesia.wordpress.com/
Editor : MCH I Ku menghaturkan permohonan kehadapan baginda Kertanagara, demi mengamankan usahanya
untuk mendapatkan kaca wasiat, supaya diperkenankan memohon bantuan sekelompok pasukan
prajurit pilihan untuk melindungi dirinya.
Rasa heran terselip dalam tah baginda Kertanagara yang bertanya "Keamanan " Apakah engkau
tak merasa aman dalam pura kerajaan Singasari" Dimana-kah engkau hendak mencari kaca itu ?"
"Mohon paduka berkenan melimpahkan ampun atas diri hamba yang hina dina ini, gus "
sembah Ku "saat ini menjelang akan diselenggarakannya sayembara pemilihan senopa
sebagaimana yang paduka tahkan, banyaklah ksatrya2 dari berbagai penjuru telatah kerajaan
paduka yang berbondong-bondong datang ke pura kerajaan. Hamba tak mencurigai orang atau
golongan tertentu tetapi demi mengamankan benda mus ka yang menjadi buah kesayangan gus
hamba sang dyah ayu gus puteri Teribuana, hamba merasa amat berdosa sekali apabila benda itu
sampai ter mpa sesuatu yang tak hamba inginkan. Lebih baik menjaga daripada harus menderita
sesuatu yang tak terduga-duga"
Baginda menyetujui tetapi baginda pun menegaskan tentang janji Ku apabila tak dapat
menemukan kaca wasiat itu.
"Hamba akan mempersembahkan leher hamba ke bawah duli paduka, gusti"
Baginda mengangguk dan menitahkan pa h Kebo Anengah supaya mempersiapkan prajurit
untuk melindungi keamanan Kuti.
Demikian setelah mengundurkan diri dari hadapan baginda Ku pun diperintah pa h Kebo
Anengah supaya menunggu di Balai Witana. Malam itu Ku segera bekerja, untuk melindungi
keamanannya, patih Kebo Anengah memerintahkan dia berada di asrama prajurit.
Dalam kesempatan berjalan seiring dengan pa h Kebo Anengah, pa h Aragani mengemukakan
tentang ketidak-puasannya terhadap sikap Kuti yang seolah tak mempercayai keamanan pura.
"Tetapi bukankah engkau juga menyetujui" Dan bukankah kau yang membawanya ke hadapan
baginda?" "Benar" sahut Aragani "tetapi aku tak senang dengan permohonannya tadi. Tetapi karena sudah
terlanjur aku yang membawanya menghadap baginda maka terpaksa aku pun harus ikut
bertanggung jawab. Itulah yang hendak kuperbincangkan dengan kakang patih"
"Soal keamanan Kuti?"
"Ya. Kakang tentu menilik penjagaan keraton karena tumenggung Bandupoyo sedang pergi"
dengan lidahnya yang licin dapatlah Aragani menggelincirkan pembicaraan ke arah yang lain.
"Lurah Kadru dapat kupercayakan tugas untuk melindungi keamanan Ku " kata pa h Kebo
Anengah "dan menantu adi, Kuda Panglulut, sebagai pimpinan ronda keamanan pura, tentu dapat
memberi bantuan" Itulah yang diharap pa h Aragani. Diam2 ia gembira "O, bagus, kakang pa h. Rencana kakang itu
amat melegakaan hatiku" katanya.
Demikian keduanya segera berpisah.
Se ba di kepa han, pa h Aragani melihat Kuda Panglulut, putera menantunya, sudah
menunggu. Pemuda itu ingin sekali mendengarkan keputusan baginda tentang diri Kuti.
"Baginda menerimanya" kata Aragani lalu menuturkan apa yang telah berlangsung di balairung
keraton. "Hm, Ku semakin tamak. Mengapa rama menerima orang semacam itu?" Kuda Panglulut
setengah menyesali rama mentuanya.
"Kulihat Kuti itu cerdas dan sakti. Sebenarnya aku ingin mendapatkannya sebagai orang
bawahanku." "Tetapi ternyata dia memiliki cita2 besar untuk meraih kedudukan tinggi, rama"
"Bagaimana engkau mempunyai kesan demikian?"
"Pertama, dia tak mau memberitahukan tempat penyimpanan kaca wasiat itu kepada rama.
Karena apa" Bukankah karena dia tak ingin rama yang mendapat jasa?"
"Ya" Aragani mengangguk.
"Kedua, dia sendiri mohon bantuan rama agar dapat berhadapan langsung dengan baginda.
Tidakkah kalau dia berhasil mendapatkan kembali kaca itu baginda tentu akan mengganjarnya
pangkat yang tinggi"
"Hm" Aragani mendesuh.
"Dengan sikap yang ditunjukkan itu jelas dia tak ingin menjadi kadehan rama"
"Bedebah!" teriak Aragani "ya, engkau benar Panglulut. Bagaimana pendapatmu?"
"Adakah rama mengidinkan hamba untuk menghaturkan pendapat hamba?"
"Ya " "Lebih baik menjaga daripada mengoba . Lebih baik mencabut sebelum pohon itu berakar.
Demikianlah pendapat hamba, rama"
"Bagus, puteraku" seru Aragani "memang pendapatmu itu sesuai dengan angan-anganku.
Tetapi apakah tenaga seperti Kuti itu tak sayang kalau kita buang begitu saja?"
"Dia terlalu pintar dan cerdik sehingga sukar untuk mengharap kesetyaannya. Masih banyak,
rama, tenaga2 yang tak kalah ilmunya dengan Kuti dan yang bersedia bekerja kepada kita"
"Benar, angger "sahut Aragani "dalam sayembara nan tentulah kita akan dapat memilih jago2
yang sakti. Lalu bagaimana rencanamu terhadap Kuti?"
Kuda Panglulut tak cepat menyahut. Setelah berdiam diri beberapa saat, barulah dia berkata
"Ah, tetapi jalan itu amat berat dan berbahaya, rama"
"Hm" desuh Aragani "tak apa, Panglulut, cobalah engkau haturkan kepada rama"
"Ini hanya suatu rencana, rama. Terserah kepada tah rama. Kalau tak setuju, hambapun
bersedia melaksanakannya"
"Hm" "Dalam taraf seper sekarang, ada lain jalan kecuali harus menempuhnya dengan kekerasan.
Yang pen ng dapat merebut kaca itu namun apabila perlu, pun terpaksa harus mengorbankan jiwa
Kuti" Aragani tak terkejut mendengar rencana itu, karena diapun sudah menduga akan rencana
semacam itu. Namun ia masih bingung memikirkan bagaimana melaksanakan rencana itu "Ya,
memang tiada lain jalan kecuali dengan cara itu. Tetapi tidakkah amat berbahaya" Dan
siapakah yang harus melakukan rencana itu" Ingat, Panglulut, jangan sampai peristiwa itu
melibatkan diri rama dan engkau"
Kuda Panglulut serentak berkata dengan cerah "Soal itu sudah hamba pikirkan, rama. Sudah
tentu hamba takkan melibatkan diri rama, juga diri hamba"
"Maksudmu orang2 yang akan melaksanakan rencana itu, orang dari luar?" Aragani menegas.
"Demikianlah, rama" kata Panglulut "demang Krucil mempunyai seorang pengalasan yang
digdaya" "Siapa demang Krucil itu?"
"Orang kepercayaan hamba, rama"
Aragani terkesiap "Mengapa pengalasan itu tak dihaturkan Kepadaku " Bukankah jika dia
memang sakti, akupun dapat menerimanya?"
"Orang itu agak aneh perangainya, rama," kata Kuda Panglulut "dia dak nggal bersama
demang Krucil melainkan nggal bersama lurah Siung Pupuh di desa Karangpala. Dia menjadi
saudara angkat dari lurah Siung Pupuh"
"O "desuh Aragani pula "bagaimana perangainya yang engkau katakan aneh itu?"
"Pada suatu hari ke ka demang Krucil berkunjung ke tempat kediaman lurah Siung Pupuh, ia
tertarik akan seorang lelaki muda yang tengah memanggul sebatang pohon ke rumah lurah Siung
Pupuh. Pohon itu pohon ja yang besarnya sepemeluk tangan orang dan panjang hampir dua
tombak. Demang Krucil terheran-heran menyaksikan kekuatan orang itu. Dia mendapat keterangan
dari lurah Siung Pupuh bahwa orang itu adalah saudara angkatnya yang bernama Sima. Lurah Siung
Pupuh mendapat saudara angkat itu melalui perkelahian yang seru. Siung Pupuh kalah dan
menyerah tetapi Sima tak mau membunuhnya melainkan hanya ingin menjadi saudara angkat dari
Siung Pupuh. Sudah tentu Siung Pupuh girang sekali. Dan sejak itu dia nggal di rumah lurah Siung
Pupuh" "Memang aneh orang itu "gumam Aragani.
"Demang Krucil menyatakan ingin mengambil Sima menjadi pengalasan di kademangan tetapi
Sima menolak demikian pula ke ka demang Krucil menyatakan keinginannya hendak
menghaturkan Sima kehadapan hamba agar diterima menjadi prajurit, diapun menolak. Dia ingin
hidup tenteram di desa."
Aragani mengangguk-angguk lalu bertanya "Lalu bagaimana maksudmu?"
"Hamba hendak menemui lurah Siung Pupuh dan menyatakan rencana hamba untuk
merampas kaca itu dari tangan Kuti. Hamba, yakin lurah Siung Pupuh dan Sima itu tentu mampu
mengalahkan Kuti" "Tetapi Kuti tentu dilindungi prajurit2 pilihan, angger"
Kuda Panglulut maju kedekat rama mentuanya dan membisikkan beberapa patah kata, Aragani
mengangguk-angguk dan menyetujui rencana menantunya.
Kuda Panglulut mohon diri lalu bergegas menuju ke tempat kediaman lurah Siung Pupuh. Lurah
itu termasuk lima kadehannya yang paling dipercaya. Dalam penyerbuan ke gunung Butak yang
lalu, Kuda Panglulutpun mengikut sertakan lurah itu.
Siung Pupuh terkejut ke ka menerima kunjungan Kuda Panglulut yang tak terduga-duga itu.
Setelah mempersilakan tetamunya masuk dan dijamu minuman maka Siung Pupuhpun minta
keterangan tentang maksud kedatangan Kuda Panglulut.
"Ki lurah" Kuda Panglulut membuka pembicaraan "memang ada suatu keperluan pen ng yang
kubicarakan dengan engkau"
"O, tentu saja hamba girang sekali mendapat kepercayaan raden" sambut lurah Siung Pupuh
yang lalu minta Kuda Panglulut memberitahukan persoalannya.
"Engkau tentu sudah mendengar tentang kehebohan yang terjadi dalam keraton Singasari,
bukan?" "Peristiwa apa, raden?"
"Bahwa belum lama berselang, puri keputren telah dibobol penjahat yang berhasil mencuri kaca
wasiat milik gusti puteri Teribuana"
"O, hamba memang secara selen ngan pernah mendengar berita itu tetapi ada seorang yang
dapat memberikan kepastian tentang peristiwa itu"
"Benar ki lurah" kata Kuda Panglulut "memang peris wa itu dirahasiakan agar. dak tersiar.
Tetapi, hal itu bukan berar fihak keraton tak berusaha untuk menangkap penjahat itu. Berbagai
cara telah ditempuh, mengerahkan seluruh kekuatan pasukan, mengundang beberapa resi dan
pandita yang pandai, namun benda dan penjahat itu hilang seperti ditelan bumi... "
"O" lurah Siung Pupuh terkejut "jika demikian penjahat itu tentu sakti mandraguna"
Kuda Panglulut tertawa dalam ha tetapi dia tetap pura-pura bersikap sungguh "Memang. Tetapi
baru-baru ini ada seorang muda yang bernama Ku menghadap rama Aragani dan mengatakan
bahwa dia sanggup menemukan kaca itu, mohon rama pa h suka menghaturkannya kehadapan
haginda. Orang itu mengajukan permohonan agar diperkenankan menghadap gus puteri
Teribuana dan agar dilindungi dengan sepasukan prajurit pilihan. Ah, pokoknya dia menuntut
bermacam-macam" "Apakah baginda meluluskan?"
"Karena baginda amat sayang kepada tuan puteri terpaksa baginda meluluskan tetapi dengan
syarat apabila orang itu gagal menemukan kaca wasiat, akan dipenggal kepalanya"
"Apakah orang itu sanggup?"
"Sanggup. Dia sangat yakin sekali tentu dapat menemukan benda itu"
"O, lalu maksud raden ?"
"Bagaimana kesanmu terhadap orang itu ?" Lurah Siung Pupuh menghela napas "Hamba belum
pernah bertemu dengan orang itu, sukar untuk memberi penilaian. Lalu bagaimana penilaian
raden?" "Aku mempunyai dugaan bahwa sesungguhnya dia sendirilah yang mencuri kaca wasiat itu
hingga dia begitu yakin dengan berani menghaturkan kepalanya sebagai tebusan apabila dia gagal"
Lurah Siung Pupuh tertegun. Dia merenungkan peristiwa itu.
"Begini ki lurah" kata Kuda Panglulut pula "aku hendak memberi tugas kepadamu. Eh, kudengar
engkau mempunyai seorang kawan yang digdaya, benarkah itu?"
"Ya, bahkan telah hamba jadikan saudara angkat. Namanya, Sima, bertenaga besar sekali"
"Bagus" seru Kuda Panglulut "kuminta engkau dan Sima merampas kaca wasiat itu dari tangan si
Kuti ...." "Raden!" lurah Siung Pupuh memekik kejut.
"Jangan kua r, ki lurah" cepat Kuda Panglulut menukas "kalian berdua menyamar sebagai orang
yang tak dikenal, terserah saja mau mengenakan penyamaran bagaimana tetapi setelah berhasil
merebut kaca, kalian terus lari keluar dari pintu gapura selatan. Aku dan rombongan prajurit
keamanan akan menunggu disitu. Nan aku menyergapmu dan engkau pura2 kalah, serahkan kaca
wasiat itu dan terus saja kalian melarikan diri"
"O" desuh lurah Siung Pupuh.
"Menilik engkau bertenaga kuat dan kawanmu itu juga digdaya, rasanya tentu mampu
menangkap Kuti" "Kalau perlu, bunuhlah dia" kata Kuda Panglulut "ingat, apabila engkau berhasil menunaikan
tugas ini, besar sekali ganjaranmu, ki lurah. Akan kuusulkan kepada rama pa h agar engkau
dinaikkan pangkat sebagai demang"
Siung Pupuh menghela napas "Ah, tetapi raden, bagaimana kalau hamba dan kawan hamba
sampai gagal melakukan tugas itu?"
"Jangan memikirkan kegagalan dulu tetapi lakukan tugas itu sekuat tenagamu, ki lurah" kata
Kuda Panglulut dan tanpa memberi kesempatan orang hendak mengutarakan pendapat, dia terus
melanjut "malam ini juga kalian harus lekas bersiap. Tunggullah di bawah pohon brahmastana di
muka keraton, nan akan kuperintahkan orang untuk memberitahukan dimana Ku malam itu
mencari kaca wasiat"
Kuda Panglulut terus beranjak dari tempat duduk "Maaf, ki lurah, aku tak dapat lama2 berada
disini. Akupun hendak mengatur rombongan yang akan kuajak meronda malam ini. Jangan lupa,
larilah ke pintu gapura selatan"
Sepeninggal Kuda Panglulut, lurah Siung Pupuh menghempaskan diri ke kursi "Ah, sungguh suatu
tugas yang berat. Heran, mengapa tak hen -hen nya raden Kuda Panglulut merangkai bermacam-
macam rencana. Entah, apakah sesungguhnya yang hendak dicari raden itu " Dia sudah menjadi
putera menantu gus pa h Aragani yang berkuasa dan berpengaruh, mengapa masih hendak
mencari lain sasaran lagi?"
"Kakang lurah" ba2 Siung Pupuh terkejut ke ka mendengar seseorang menegur. Cepat ia
menggeliat duduk "o, engkau adi Sima"
Sima, seorang muda yang berwajah keras. Sinar matanya amat tajam, tubuh kekar. Dia
mengulum senyum seraya duduk dihadapan Siung Pupuh "Kakang lurah, mengapa engkau tampak
kesal dan menghela napas sedih?"
"Ya, beginilah nasib seorang hamba kerajaan, adi, "kata Siung Pupuh "se ap saat harus
melakukan tugas yang berat"
Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya, kutahu" kata Sima.
"Apa katamu?" lurah Siung Pupuh terbeliak "engkau sudah tahu hai itu?"
"Maaf, kakang lurah" kata Sima "aku hendak masuk ke dalam rumah, tanpa sengaja ba2
kudengar percakapan antara kakang dengan seorang tetamu, pria muda yang cakap tadi"
"Itulah raden Kuda Panglulut, putera menantu gusti patih Aragani, adi"
"O seru Kuda Panglulut "lalu apakah kakang takkan melaksanakan perintahnya?"
"Bagaimana mungkin aku berani menolak, adi." Siung Pupuh setengah mengeluh "saat ini gus
pa h Aragani adalah mentri yang paling berpengaruh dalam keraton Singasari. Jika membangkang
perintahnya, tak mungkin kita dapat melihat sinar surya lagi"
"Tetapi bukankah raden itu yang memberi perintah " Adakah perintah itu juga berasal dari gus
patih ?" "Raden Panglulut memang tak mengatakan bahwa tugas itu berasal atau paling dak telah
direstui gus pa h Aragani. Dan raden Panglulut itu merupakan, putera menantu yang paling
dikasihi gusti patih. Jika raden mengadu kepada rama mentuanya, kitapun tentu celaka"
"Lalu bukankah kakang bersiap hendak melaksanakannya?"
"Ah" Siung Pupuh menghela napas "dalam hal ini terpaksa aku harus melibatkan dirimu, adi.
Ternyata raden sudah mendengar juga perihal dirimu maka diapun minta agar aku membawamu
ikut serta dalam rencana itu, ah ... ."
"Mangapa kakang lurah tampak bersedih ?"
"Bukankah aku menyusahkan engkau, adi ?"
"Tidak sama sekali kakang lurah" diluar dugaan Sima berseru "aku senang sekali membantu
kakang dalam tugas itu"
Lurah Siung Pupuh tercengang. Ia tak mengira bahwa Sima akan memberi pernyataan begitu
"Benarkah itu, adi?"
"Mengapa dak, kakang lurah " Lihat, sekarang akupun sudah siap berangkat bersama kakang
lurah" "Baik, adi" lurah Siung Pupuh menyambut gembira. Ia segera masuk ke dalam untuk berkemas
dan tak berapa lama muncul lagi lalu mengajak Sima berangkat.
"Adi "ditengah perjalanan, Siung Pupuh menghangatkan suasana kesunyian dengan mengajak
barcakap-cakap "apakah yang menjadi dasar daripada kesediaanmu untuk membantu aku
melakukan tugas yang berat ini?"
Tampak Sima agak berobah cahaya wajahnya tetapi cepat dia dapat mengendap tenang kembali
"Memang amat menarik sekali peris wa itu, kakang lurah. Bahwa puri keputren keraton Singasari
kebobolan penjahat yang berhasil mencuri kaca wasiat gus puteri Tribuana, benar2 merupakan
suatu peristiwa besar yang apabila tersiar tentu akan menggemparkan seluruh kerajaan Singasari"
"Ya" "Apa yang dikatakan raden Penglulut tadi menimbulkan suatu pemikiran kepadaku. Jika seluruh
nayaka, prajurit dan ksatrya andalan keraton Singasari telah dikerahkan, para resi, pandita,
ahlinujum telah diundang, namun dak ada yang mampu mengetahui, apalagi menemukan, kaca
wasiat itu, jelas penjahat itu tentu seorang yang sak mandraguna sekali. Bahwa pemuda yang
bernama Ku itu berani menghadap baginda dan mempertaruhkan batang kepalanya untuk
kesanggupannya menemukan benda wasiat itu, jelas dia mengundang perha an dan kecurigaan,
kakang lurah" "Maksudmu dialah yang mencuri sendiri ?"
"Aku cenderung membenarkan dugaan raden Panglulut tadi bahwa Ku itulah yang harus
dicurigai. Oleh karenanya, jika memang dia yang berbuat, memang layak ndakan raden Panglulut
untuk merebut kaca itu. Bahkan kalau menurut pendapatku, lebih baik kita tangkap Ku sekalian
agar dapat kita periksa benarkah dia yang melakukan pencurian itu"
"Benar, adi "seru lurah Siung Pupuh serentak "tetapi . . . mungkin dak semudah yang kita
inginkan, adi" "Maksud kakang lurah sukar untuk menangkapnya?"
"Bukankah engkau mengatakan dia tentulah seorang pemuda yang sakti mandraguna ?"
"Itulah yang menarik seleraku, kakang lurah," seru Sirra "menjadi kegemaranku sejak masih muda
belia untuk mendapat pengalaman bertempur dengan orang yang terkenal digdaya. Bertempur
merupakan latihan yang nyata untuk mencapai kesempurnaan ilmu kanuragan"
"O, engkau gemar berkelahi, adi ?"
"Berkelahi dan berkelahi ada dua, kakang lurah "jawab Sima "orang berkelahi pada umumnya
karena marah dan ingin menghajar lawan. Tetapi aku dak mempunyai pemikiran begitu. Aku
berkelahi karena untuk mencari pengalaman guna menyempurnakan kekurangan2 yang ada pada
diriku. Soal kalah atau menang, tak kuhiraukan. Bahkan aku kecewa kalau aku lebih unggul"
"Hm, manusia aneh" gumam lurah Siung Pupuh dalam hati. Namun dia hanya tertawa.
Saat itu mereka sudah ba di alun-alun keraton Singasari dan langsung menuju ke pohon
brahmastana yang tumbuh di muka pendapa keraton. Tak berapa lama mereka menunggu,
muncullah seorang lelaki langsung menghampiri "Pemuda dan sepasukan prajurit menuju ke
tembok belakang keraton. Mereka berkerumun di sekeliling pohon brahmastana"
Setelah menyampaikan pesan, orang itupun terus berlalu. Siung Pupuh dan Sima segera
menuju ketempat yang ditunjuk itu. Saat itu sudah makin gelap dan keduanya mengenakan
pakaian serba hitam. "Adi " ba2 Siung Pupuh menyerahkan sehelai kain hitam kepada Sima "apabila kita ber ndak,
pakailah kain hitam ini untuk menutup muka"
Mereka memilih sebuah persembunyian dibalik gerumbul pohon yang tak berapa jauh dari
tempat sasaran. Tampak beberapa belas prajurit tegak berjajar mengelilingi sebatang pohon
brahmastana. Karena hari malam, keduanya tak dapat melihat jelas dimana saat itu Kuti
sedang berada.. "Bilakah kita akan bergerak, kakang lurah" "bisik Sima.
"Tunggu setelah nan terjadi serangan kepada pasukan penjaga keamanan itu, baru kita
menyerbu mencari Kuti"
Malam merayap-rayap dalam kegelapan. Bintang kemintang bertaburan, mengerumuni bulan
temaram. Suasana makin sunyi, sesekali angin berhembus mengguncang ran ng dan daun.
Terdengar sangkakala melengking- lengking nggi dari arah asrama prajurit di lingkungan keraton.
Demikian yang terdengar se ap malam. Mengabarkan kedamaian dan ketenangan suasana pura
kerajaan kepada segenap kawula.
"Sangkakala sudah berulang kali meraung, mengapa belum juga terdapat tanda2 sesuatu
gerakan, kakang lurah" "bisik Sima.
"Sabarlah, adi "hibur Siung Pupuh "raden Panglulut tentu akan melaksanakan rencana itu"
"Kakang lurah "kata Sima pula "bagaimana misalnya raden Panglulut dak mengadakan serangan
itu?" Siung Pupuh terkesiap "Ah, jangan mencemaskan hal itu. Sejauh yang kuketahui, tak pernah
raden Panglulut mengingkari apa yang telah dijanjikan"
"Ini hanya pengandaian, kakang lurah. Tetapi siapa tahu kalau hal itu mungkin terjadi juga.
Misalnya karena suatu alasan tertentu ataupun karena terjadi suatu halangan pada diri raden
itu, lalu bagaimana tindakan kita " Apakah kita tetap melangsungkan perintah raden itu atau
membatalkannya?" "Hm, kita harus melihat gelagat dulu, adi"
"Gelagat bagaimana maksud kakang lurah ?"
"Yah "Siung Pupuh menghela napas atas desakan itu "kalau kita anggap kesempatan
mengidinkan untuk bergerak, kita langsungkan saja rencana itu. Kalau keadaan tak mengidinkan
terpaksa kita harus mundur"
Sima gelengkan kepala "Salah kakang lurah. Se ap perintah dari atasan, harus dilaksanakan
tanpa atau dengan bantuan yang dijanjikan. Demikian tata peraturan dalam keprajuritan"
Siung Pupuh terlongong "Adakah adi pernah menjadi prajurit?"
"Untuk mengetahui tata ter b dalam kalangan keprajuritan, orang tak perlu harus masuk
menjadi prajurit, kakang lurah. Aku mempunyai beberapa kawan yang menjadi prajurit maka
akupun tahu akan tata-ter b keprajuritan yang mereka menyatakan dengan sumpah untuk
melaksanakannya" "Hm, ya "akhirnya Siung Pupuh mengakui "tetapi dakkah hal itu akan berar sebagai 'anai-anai
menerjang api', apabila kita nekad menyerbu mereka?"
"Tidak, kakang lurah "bantah Sima "bukan begitu yang kumaksudkan. Menjalankan perintah
bukan semata-mata menjalankannya secara mentah2. Misalnya kakang diperintah untuk menyerbu
kubu2 musuh, jika kakang secara mentah2 terus menyerbu, memang kakang hanya mengantar jiwa
saja" "Lalu" "Siung Pupuh kerutkan dahi. Lurah yang bertubuh nggi besar itu memang hanya memiliki
keberanian dan tenaga besar tetapi kurang dalam kecerdasan.
"Perintah itu merupakan tujuan. Untuk mencapai tujuan kita harus berusaha mencari jalan.
Menerjang musuh secara membabi buta, bukan merupakan cara yang baik, bahkan menghancurkan
perintah itu. Demikian pula dengan perintah yang kita terima dari raden Kuda Panglulut. Kita sudah
sanggup menerima, harus sanggup pula melaksanakan, dengan atau tanpa bantuan dari raden
Panglulut, kakang lurah"
Siung Pupuh mengangguk "Lalu bagaimana menurut pendapatmu, adi ?"
"Begini, kakang lurah "kata Sima "andaikata bala bantuan dari raden Panglulut itu tak kunjung
muncul, terpaksa kita harus ber ndak sendiri. Kita harus membagi tugas, yang seorang menyerang
pasukan penjaga itu, memancing mereka supaya meninggalkan tempat itu. Dan yang seorang harus
terus menyerang Kuti"
"O, benar, benar "Siung Pupuh menyambut baik tetapi pada lain kilas ia teringat bahwa kedua
tugas itu tak mudah dilakukan. Baik menyerang pasukan penjaga yang terdiri dari belasan prajurit
pilihan maupun menyerang Kuti yang digdaya itu.
"Nah, terserah saja kepada kakang lurah hendak memilih tugas yang mana. Menyerang prajurit
penjaga atau Kuti "akhirnya yang dicemaskan Siung Pupuh terhambur juga dari mulut Sima.
"Ah "Siung Pupuh mendesah lalu geleng2 kepala.
"Mengapa kakang lurah?"
"Kepalaku pening memikirkan hal itu. Bukankah itu hanya suatu pengandaian yang belum pas .
Mengapa saat ini sudah kita pikirkan, adi?"
Sima tertawa pelahan. Saat itu malam makin tinggi. Tiba2 terdengar suara burung kulik
terbang melalang di udara.
"Kulik itu mengapa berbunyi tak henti-hentinya " "seru Siung Pupuh.
"Bersiap-siaplah kakang lurah. Engkau yang menyerbu prajurit2 penjaga, usahakan untuk
memancing mereka supaya meninggalkan tempat dan mengejar kakang. Aku yang menyerang Kuti"
"Eh, kenapa begitu tegang, adi " Apakah karena suara burung kulik itu" "Siung Pupuh terkejut.
"Adakah kakang lurah menganggap itu suara burung kulik?"
"Hah" "Siung Pupuh terbeliak "apakah bukan burung kulik yang berbunyi itu?"
"Yang pertama terdengar memang suara burung kulik tetapi selanjutnya bukan"
"Kalau bukan burung kulik, lalu siapa?"
"Suara orang yang menggunakan bunyi burung kulik sebagai pertandaan rahasia. Umumnya
tentu gerombolan-gerombolan penjahat atau penyamun"
"Adi ...." "Kakang, waktu amat berharga. Kalau tak ber ndak sekarang, mungkin kita tentu didahului lain
orang" "O "desuh Siung Pupuh makin kaget "apakah disekeliling tempat ini terdapat lain kelompok yang
setujuan dengan kita ?"
"Kurasa begitu " kata Sima lalu mendesak "kakang lurah, marilah kita segera ber ndak "habis
berkata ia terus bergerak maju menghampiri ke tempat prajurit2 penjaga itu. Siung Pupuh terpaksa
mengikuti, "kakang lurah, ambillah jalan mengitar ke utara lalu seranglah prajurit2 itu"
Dalam saat seperti itu, Siung Pupuh tak sempat berpikir lagi. Dia terus melakukan apa yang
dikatakan Sima. Dan Sima pun terus merangkak maju. Saat itu Siung Pupuh sudah berhasil
menyusup ke sebelah utara. Tetapi pada saat dia hendak loncat keluar, tiba2 dalam cahaya
keremangan malam, berhamburan beberapa belas gunduk2 hitam yang berbentuk tubuh
manusia, lari menyerbu prajurit2. Dan pada lain saat terdengarlah dering gemerincing dari
senjata yang beradu. Siung Pupuh menduga tentulah orang2 raden Kuda Panglulut yang mengadakan serbuan itu.
Tergerak ha Siung Pupuh untuk ikut dalam penyerangan itu. Tetapi baru dia melangkah keluar,
tiba2 kawanan penyerbu itu terdesak mundur oleh para prajurit.
"Ah "Siung Pupuh tersadar "pengalasan2 raden Panglulut itu tentu sengaja mengalah untuk
memberi kesempatan kepadaku untuk menyerang Kuti"
Cepat Siung Pupuh kembali ketempat Sima. Ia. hendak memberitahukan hal itu kepada Sima dan
terus diajaknya menyerbu. Tetapi ia terkejut ke ka tak mendapatkan Sima dak berada ditempat
persembunyiannya tadi. Memang Sima sudah bergerak maju untuk menyergap Ku . Tetapi sebelum ba didekat pohon
brahmastana, ba2 ia melihat beberapa sosok bayangan manusia berhamburan menyerbu kearah
pohon brahmastana itu. Sima terkejut. Jelas terdapat lain kelompok yang juga bertujuan hendak
menangkap Ku . Ia tertegun berhen untuk menentukan langkah, akan menyerbu kawanan orang
itu atau tunggu bagaimana hasil kesudahan mereka terhadap Kuti.
Remang2 ia dapat melihat seseorang tengah menghadapi kerubutan dari beberapa sosok
bayangan hitam itu. Ia duga orang itu tentu Ku . Iapun melihat enam orang yang menyerang Ku
itu tak mampu merobohkannya. Sekonyong-konyong muncul dua orang yang terjun dalam
pertempuran dengan langsung menyerang Kuti.
Keenam orang yang menyerang pertama itu heran melihat dua orang tak dikenal muncul dan
menyerang Kuti. "Enyah kalian semua " ba2 salah seorang dari kedua pendatang itu menghardik rombongan
keenam orang. "Gila, siapa engkau ! "salah seorang dari keenam orang itu balas menghardik.
"Tak usah bertanya. Cukup asal kalian menyingkir supaya tak mengganggu ndakanku
menangkap orang ini " seru pula salah seorang dari kedua pendatang itu.
"Jangan tekebur dulu, ki sanak" salah seorang dari rombongan enam orang itu berseru
"memang kami hendak menangkap Kuti dan kalian pun harus mengakui dengan jujur bahwa
kalian juga bermaksud begitu. Sekarang jangan kita bertengkar dulu tetapi kita ringkus Kuti,
setelah itu baru kita memperebutkannya"
"Jahanam" ba2 Ku berteriak marah "apakah kamu anggap aku ini kambing yang hendak kalian
perebutkan" ia menutup kata-katanya dengan menerjang kedua orang tadi.
Kedua orang itupun terpaksa melayani. Dan keenam orang itupun juga menyerbu Ku . Terjadilah
pertempuran yang acak-acakan. Ku memang digdaya sekali. Ia dapat meroboh dua orang lawan,
kemudian mengamuk laksana seekor banteng ketaton.
Kedua orang dan keenam orang yang tinggal empat itu terkejut kagum menyaksikan tandang
Kuti. Dua orang rubuh lagi sehingga tinggal empat orang, masing2 dari rombongan yang
pertama datang dan dua orang yang datang belakangan. Rupanya keempat orang itu memang
menonjol sekali. Kedua orang dari rombongan pertama itu bertubuh tinggi besar dan memiliki
tenaga pukulan yang kuat sekali. Tetapi mereka terdesak oleh serangan2 Kuti yang lebih
dahsyat. Hanya kedua orang dari rombongan yang datang belakangan itu yang mampu
mengimbangi kesaktian Kuti.
"Auh ... " ba2 Ku menjerit kesakitan ke ka kakinya tertusuk ujung pedang dari salah seorang
korban yang sudah rebah ditanah. Orang itu walaupun menderita luka tetapi pikirannya masih
sadar. Ke ka melihat Ku berdiri didekatnya, ia mencabut pedang dan menusuk kaki Ku . Pada
saat Ku terkulai karena rasa sakit pada kakinya, kedua orang dari rombongan yang datang
belakangan itu sudah mendaratkan njunya, masing2 ke dada dan leher Ku . Betapapun kuat dan
kesak an Ku tetapi karena dia terluka dan dihantam oleh dua orang yang bertenaga kuat,
akhirnya ia tak dapat mempertahankan diri lagi dan rubuh terkulai tak kabarkan diri.
Orang yang menendang itu hendak menghampiri ke tempat Ku tetapi kedua orang yang datang
belakangan itu segera membentaknya "Jangan menyentuhnya!"
Orang itupun terpaksa hen kan gerakannya karena kedua orang itupun sudah loncat di
belakangnya. Cepat ia berputar tubuh menghadapinya "Ki sanak, bagaimana kehendakmu ?"
"Bukankah tadi engkau mengatakan bahwa setelah orang itu rubuh, baru kita perebutkan siapa
yang berhak menguasainya ?"
"Benar "sahut orang dari rombongan yang pertama datang.
"Bagaimana caranya ?"
"Kebetulan rombongan kami hanya nggal kami berdua dan kalianpun juga dua. Marilah kita
bertempur seorang lawan seorang untuk menentukan siapa yang berhak memiliki Kuti"
"Ho, bagus sekali. Mari kita segera mulai saja" sahut salah seorang dari kedua pendatang itu
seraya terus maju menyerang.
Pertempuran berjalan seru tetapi makin lama makin tampak siapa yang lebih unggul. Kedua
orang yang datang belakangan itu lebih hebat sehingga kedua lawannya terdesak mundur. Makin
lama mereka makin terpisah jauh dari tempat Kuti menggeletak.
Rupanya lurah Siung Pupuh sejak tadi bersembunyi dibalik gerumbul menyaksikan pertempuran
dari orang2 yang tak diketahui dari fihak mana. Setelah melihat keempat orang yang bertempur itu
meninggalkan tempat itu, dia terus menyelinap keluar dan langsung menghampiri Kuti.
"Jika kawanan anjing berebut tulang, serigalalah yang akan kejatuhan rejeki "dengan semangat
yang menyala-nyala gembira, lurah Siung Pupuh lari menuju ke tempat Ku . Hampir kegirangannya
meluap-luap ke ka ia sudah menyusup kan kedua tangannya ke punggung dan kaki Ku siap
hendak diangkatnya. Tetapi sekonyong-konyong sesosok tubuh hitam menyelimpat dari balik
gerumbul dan dengan gerak loncatan macam kucing, dia sudah berada dibelakang Siung Pupuh dan
krak .... auh, Siung Pupuh menjerit ke ka tengkuknya dihantam pukulan yang keras sekali, la
terjerembab jatuh pingsan seketika.
"Hm "desuh orang itu lalu dengan sigap segera mengangkat tubuh Ku dan terus menghilang
dike-gelapan malam. Tak berapa lama kedua orang yang datang belakangan tadi bergegas lari mendatangi "Hilang!"
teriak salah seorang "kemanakah gerangan orang itu kakang Nambi?"
"Dia rebah disini. Hai, siapa ini" orang yang dipanggil Nambi itu terkejut ke ka melihat tubuh
lurah Siung Pupuh menggeletak di tempat itu.
"Siapa" "seru kawannya.
"Entahlah "kata Nambi lalu membalikkan tubuh Siung Pupuh "ah, bukan dia. Entah siapa orang
ini! "Aneh "kawannya bergumam "mengapa dia menghilang"
Apakah dia sudah sadarkan diri dan terus lolos?"
"Mungkin" sahut Nambi "tetapi apakah engkau yakin pukulanmu tadi dapat meremukkan tulang
tengkuknya, Sora?" "Tentu "sahut Sora "kuhantamnya dengan sekuat tenaga. Batu karangpun tentu hancur
menerima pukulanku itu masakan tulang tengkuknya terbuat dari baja"
Nambi merenung sejenak "Sora, mari kita kejar. Kuduga tentu ada orang lain yang memancing di
air keruh. Kita yang berkelahi, dia yang memetik buahnya"
"Engkau maksudkan ada orang lain lagi yang muncul di tempat ini ... . "Sora terkejut ketika
melihat Nambi sudah lari. Tetapi belum sempat ia menyusul, tiba-tiba Nambi terantuk dan
tersungkur jatuh ke tanah "Kakang Nambi "Sora terkejut dan cepat memburu. Tetapi sebelum ia
Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sempat menolongnya, Nambi sudah menggeliat bangun "Bedebah, kakiku terantuk tubuh
manusia "ia memandang ke arah waktu kakinya terantuk tadi dan melihat sesosok tubuh
menggeletak melintang. "Dia masih merin h "Sora cepat menghampiri orang itu. Tiba2 Sora mbul keinginan untuk
mengetahui siapa orang itu "hai, engkau mau mati atau minta hidup?"
"Uh .... jangan bunuh aku ...."
"Katakan terus terang, siapa engkau! "hardik Sora.
"Aku . . . aku ..."
"Siapa!" "Engkau berjanji takkan membunuh aku?"
"Ya, asal engkau berkata dengan jujur"
"Dapatkah kupercaya janjimu?"
"Hm, aku seorang lelaki. Tak mungkin aku menarik kembali apa yang telah kujanjikan"
"Baik "orang itu menghela napas "aku sebenarnya rombongan dari Daha ...."
Sora dan Nambi terkejut. "Benarkah itu" "Sora menegas.
"Akupun seorang lelaki, apa yang kukatakan tentu dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya"
"Hm " desuh Sora "lalu mengapa engkau datang kemari hendak merebut Kuti?"
"Atas perintah pimpinanku"
"Siapa?" "Ki demang Bango Dolok"
"Bango Dolok" "Sora mengerut dahi mengingat nama itu "siapa Bango Dolok?"
"Seorang nayaka yang dipercaya gusti patih Kebo Mundarang, patih Daha"
"Di mana sekarang dia?"
"Di Singasari ...."
Lembu Sora bertukar pandang dengan Nambi. Tiba- ba Nambi bertutur ramah"Ki sanak, lekas
engkau bawa kawan-kawanmu menyingkir. Sebentar lagi prajurit2 penjaga keamanan itu tentu
akan datang" "O, benar "sahut orang itu. Dia terus menolong ke ga kawannya dan merekapun terus
meninggalkan tempat itu. Tepat pada saat itu terdengar gemuruh langkah kaki yang mendatangi "Sora, mari kitapun juga
pergi" "Dan yang seorang itu" "tanya Sora sembari menunjuk pada lurah Siung Pupuh yang masih
menggeletak pingsan. "Biarkan dia" "Jangan kakang "sahut Sora "lebih baik kita bawa dan kita tanya keterangannya"
Sejenak merenung dengan cepat Nambipun menyetujui. Sora segera mengangkat tubuh Siung
Pupuh dan sebelum prajurit2 itu tiba, merekapun sudah pergi.
Sora dan Nambi mencari tempat yang sunyi dan mereka beris rahat disitu. Setelah menyadarkan
Siung Pupuh maka bertanyalah Sora "Ki sanak, siapa engkau?"
Siung Pupuh gelagapan. Rasanya belum hilang rasa nyeri pada tengkuk yang menyebabkan
pandang matanya gelap. Sambil mengusap-usap tengkuk, ia membelalak memandang kedua orang
yang berada dihadap-annya.
"Ki sanak, kami kebetulan lalu dan melihat engkau mengggeletak di bawah pohon brahmastana.
Kami segera membawamu kemari "kata Nambi dengan tutur ramah.
Masih mata lurah Siung Pupuh menegas pandang untuk menyelidik "Engkau lewat di jalan itu?"
Nambi mengangguk. "Apakah engkau tak ditangkap prajurit2 keamanan yang berjaga disitu?"
"Prajurit" "Nambi kerutkan dahi "tak ada seorangpun di tempat itu.
Sora terkesiap mendengar kata2 Nambi. Tetapi dia tak mau membantah. Ia tahu bahwa se ap
tindakan Nambi tentu mempunyai tujuan. Ia akan menunggu apa yang akan diarah Nambi.
"O "rupanya Siung Pupuh terpengaruh oleh kesungguhan wajah dan nada ucapan Nambi "jika
demikian, aku harus berterima kasih kepada ki sanak berdua"
"Ah, sudah jamak adat hidup itu tolong menolong" sahut Nambi "tetapi mengapa ki sanak rebah
tak sadarkan diri di tempat dan saat begini gelap" Adakah ki sanak mendapat kecelakaan atau
diganggu penjahat?" Siung Pupuh menghela napas "Ya, aku memang ter mpa kecelakaan. Entah siapa yang
melakukan, tiba2 tengkukku dihantam orang"
"Hai "teriak Nambi "tentu penjahat. Lalu benda apa saja milik ki sanak yang dirampas penjahat
itu?" Siung Pupuh terdesak "Ah, tidak ada ...."
"Tidak kehilangan apa-apa" Aneh benar "seru Nambi "lalu apakah yang dikehendaki orang itu"
Mungkinkah penjahat itu hendak mengarah nyawa ki sanak?"
"Mungkin "Siung Pupuh mengangkat bahu.
"Adakah ki sanak merasa mempunyai musuh?"
"Tidak" Nambi garuk2 kepala "Jika dak .... eh, dari manakah ki sanak pada waktu tengah malam ini
berjalan di tempat itu?"
Karena terus menerus didesak pertanyaan, sebenarnya Siung Pupuh kurang senang. Tetapi
mengingat kedua orang itu telah menyelamatkan jiwanya terpaksa dia menerangkan walaupun
tidak seluruhnya "Aku habis dari kepatihan"
"O "seru Nambi "ki sanak tentu seorang narapraja kerajaan ?"
"Hanya seorang lurah rendahan"
"O, ki lurah, maa an kami "seru Nambi "kami tak tahu apabila tuan seorang lurah. Adakah ki
lurah bekerja pada gusti patih ...."
"Bukan "cepat Siung Pupuh menyahut "aku menjadi bawahan dari raden Kuda Panglulut, putera
menantu gusti patih Aragani"
"Ah "Nambi terkejut "kiranya ki lurah ini bekerja pada raden Panglulut. Lalu kemanakah ki lurah
hendak menuju" "Pulang "kata Siung Pupuh.
Nambi dan Sora tertawa dalam ha . Keduanya tahu bahwa Siung Pupuh tetap merahasiakan diri
tetapi bahwa lurah itu telah menerangkan hubungannya dengan Kuda Panglulut, cukuplah sudah
bagi kedua orang itu. "Bagaimana keadaan sakit ki lurah?"
"Sudah agak baik"
"Jika ki lurah idinkan, kami bersedia mengantar pulang ke tempat kediaman ki lurah"
"Terima kasih, ki sanak, tetapi aku dapat pulang sendiri. Silakan jika kalian hendak
melanjutkan perjalanan. Tetapi hati-hatilah. Jika bertemu dengan petugas2 ronda keamanan,
tentulah kalian akan mendapat kesulitan"
"Terima kasih, ki lurah. Kami akan menjaga diri dan menghindari dari mereka "setelah memberi
hormat Nambi segera mengajak Sora melanjutkan perjalanan.
"Kemana kita akan menuju, kakang Nambi?" tanya Sora setelah berada di jalan.
"Mari kita coba untuk mengejar jejak orang yang melarikan Kuti itu"
"Tetapi kita tak tahu arahnya yang jelas, tidakkah akan sia-sia belaka usaha kita ini?"
"Kita coba saja" sahut Nambi "kalau memang tak berhasil terpaksa kita kembali menghadap
pangeran Ardaraja. Demikian keduanya segera menyusur jalan untuk mengejar jejak orang itu. Tetapi karena cuaca
gelap, mereka telah mengambil jalan ke utara.
~dewikz~ismoyo~mch~ Sementara itu disepanjang jalan sunyi yang merentang ke barat, tampak sesosok tubuh manusia
sedang berlari dengan memanggul sesosok tubuh. Ternyata dialah yang menghantam tengkuk lurah
Siung Pupuh lalu melarikan Kuti yang masih pingsan.
Dalam perjalanan itu iapun menimang-nimang bagaimana yang harus dilakukan "Baiklah
kubunuh saja orang ini dan mayatnya kulemparkan ke dalam hutan" pikirnya.
"Ah, mengapa harus banyak repot" bantahnya sendiri "lebih baik kulempar saja ke dalam
bengawan" Malampun kian nggi tetapi orang itu ternyata bertenaga kuat sekali. Walaupun memanggul
orang, dia masih dapat berlari. Beberapa waktu kemudian dia terkilas pula oleh lain bayang2
pemikiran "Bagaimana dengan Siung Pupuh " Bagaimana kalau Kuda Panglulut bertanya kepadaku"
Ah, tak perlu dirisiaukan. Asal aku tak kembali kepada mereka, tentulah aku tak perlu harus
menghadapi pertanyaan2 mereka"
"Ah" ba2 dibantahnya pula pikiran tadi "tetapi kalau aku pergi, tentu hanya sampai di sini saja
ndakanku untuk mengiku perkembangan di Singasari. Memang benda yang berada pada orang
ini, cukup berharga tetapi tiada pengaruh apa2 dalam tujuanku lebih jauh ?"."
Karena terjadi perbantahan dalam pikirannya, maka langkah orang itupun agak lambat.
Terutama waktu memikirkan bagaimana sebaiknya langkah yaug akan ditempuh, meninggalkan
Singasari atau kembali pada Siung Pupuh, iapun hentikan larinya dan berjalan.
Ia merasa jalanan mulai menanjak. Tak berapa jauh ia melihat jalan makin menanjak nggi,
menyerupai jalan bukit. Mudah-mudahan setelah menuruni tanjakan itu, ia akan ba di lembah
bengawan. Tetapi lamunan, harapan dan keinginannya ba2 terusik oleh derap kaki kuda yang tengah lari
mendaki tanjakan dari arah muka. Ia terkejut. Jika berpapasan orang dan melihat dia sedang
memanggul sesosok tubuh orang, tentulah akan menimbulkan pertanyaan. Tetapi memandang ke
sekeliling, kanan dan kiri jalan, merupakan tanah bulak yang tak bertumbuh pohon. Jika hendak
menyembunyikan diri ia harus balik lari turun lagi. Diperhitungkannya ndakan itu takkan memberi
hasil. Sebelum ia mencapai gerumbul pohon dibawah, tentulah penunggang kuda itu sudah dapat
menyusulnya. Belum sempat ia memperoleh pikiran bagaimana harus menyingkir, maka dari puncak tanah
tanjakan itupun sudah muncul dua orang penunggang kuda "Ah, apa boleh buat. Aku harus pandai
memberi alasan apabila mereka bertanya" akhirnya ia menghibur diri.
Dan beberapa saat kemudian kedua penunggang kuda itupun sudah turun dari tanjakan dan
mencongklang kearah tempatnya. Ia terkejut. Dalam keremang-an malam, samar2 ia seperti melihat
anak muda yang menunggang kuda hitam mulus itu pernah dikenalnya. Sedang yang seorang,
berumur lebih kurang empatpuluhan tahun, mengenakan busana indah, ia belum kenal. Mungkin
seorang priagung, pikirnya.
Apa yang dicemaskan berbuk . Kedua penunggang kuda itu hen kan kudanya "Ki sanak "tegur
salah seorang yang mengenakan busana indah "apa yang ki sanak panggul itu?"
"Ah, saudaraku ini sakit "sahut orang itu "hendak kubawa kepada seorang dukun yang nggal di
lembah bengawan" "Rupanya parah juga saudaramu itu, ki sanak"
"Ah, tidak. Dia memang sering kambuh dari penyakit yang sudah lama diidapkan"
"Tetapi dia tak sadarkan diri, ki sanak "kata lelaki berbusana indah pula.
"Memang, kalau angot penyakitnya dia tentu pingsan"
"Ki sanak, mari kubantu ki sanak ke tempat dukun itu "tiba2 pemuda yang berkuda hitam itu
menawarkan jasa. Ia turun dari kuda dan menghampiri.
Orang itu terkejut namun dia cepat menekan kegugupannya "Terima kasih, ki sanak. Sudah tak
berapa jauh dari tempat dukun, aku dapat membawanya sendiri"
"Ki sanak "pemuda berkuda hitam itu heran "menolong jiwa manusia adalah sepen ng orang
memadamkan kebakaran. Jika tak lekas ditolong, tentu akan berbahaya. Mari, ki sanak, aku
bersedia membantumu" pemuda itu melangkah menghampiri.
Orang itu makin gugup dan diluar kesadarannya dia menyurut mundur "Telah kukatakan, aku
dapat membawa saudaraku sendiri. Tak perlu meminta bantuanmu"
Pemuda berkuda hitam itu terkesiap. Ia heran mengapa orang menolak tawaran bantuannya.
Menembuskan pandang mata dalam kegelapan, ia melihat perawakan orang itu langsing dan
tegap, sedang orang yang dipanggulnya itu terkulai tak berkutik. Diam-diam ia memperhatikan
bahwa orang yang dipanggul itu mengenakan pakaian yang baik, bukan seperti orang desa.
Kecurigaannya mulai bertebaran. Lewat tengah malam, seorang diri berjalan dijalan
pegunungan dengan memanggul orang, mengundang kecurigaan. Bahwa orang itu menolak
tawaran bantuan yang akan memperingan dan mempercepat pertolongan, lebih menimbulkan
prasangka. "Wijaya" ba2 lelaki berpakaian seper pria-gung, berseru "jika dia tak mau menerima bantuan,
lebih baik kita lanjutkan perjalanan saja"
Tetapi pemuda yang disebut Wijaya itu tak menanggapi seruan kawannya melainkan maju makin
mendekat ke tempat orang itu "Ki sanak . ... "baru dia berkata sepatah, ba2 orang itu telah
mengayunkan kaki ke perut Wijaya. Wijaya terkejut. Ia hendak menghindar tetapi terlambat.
Pinggangnya termakan ujung kaki dan diapun terseok-seok mendekap perut kebelakang.
"Hai, hendak lari kemana engkau" lelaki yang masih menunggang kuda berteriak. Ia terkejut
melihat orang itu menyerang Wijaya. Dilarikannya kuda untuk mengejar orang itu. Ternyata setelah
berhasil menendang Wijaya, orang itupun terus loncat dan lari melintas bulak.
Lelaki berbusana bagus itu ayunkan cambuk menghajar tetapi ia terkejut ke ka orang itu dengan
tangkas menyongsongkan tubuh kawannya yang dipanggul, tar .... dan sebelum lelaki berkuda itu
sempat menarik cambuk, orang itupun sudah mendahului menyambar kaki lalu menyorongkan ke
samping. "Uh . . . . "lelaki berkuda itu mendesuh kejut ke ka tubuhnya terpelan ng dari kuda. Setelah
berhasil merobohkan kedua penunggang kuda, orang itupun terus lari tetapi alangkah kejutnya
ketika pemuda yang disebut Wijaya tadi sudah menghadang di muka.
"Keparat, enyah" orang itu memutar tubuh kawannya untuk menghantam Wijaya. Wijaya
terkejut menyaksikan keperkasaan orang itu. Ia tak berani menangkis atau balas menyerang karena
kua r akan melukai orang yang sakit itu. Kini dia makin yakin bahwa orang itu memberi keterangan
bohong. Tak mungkin seorang saudara akan melakukan ndakan begitu, membolang- balingkan
tubuh saudaranya yang pingsan untuk senjata menyerang. Dan tiada ada alasan mengapa dia harus
marah dan mengamuk karena Wijaya menawarkan jasa baik untuk memberi pertolongan.
"Hm, ada udang dibalik batu pada orang ini "gumam Wijaya dalam ha "dia tentu ber ndak
tidak baik" Bulak itu merupakan ladang yang berair sehingga tanahnya berlumpur. Bertempur di tempat
semacam itu memang menghambat gerak Wijaya, untuk menghindar atau loncat mundur. Sedang
orang itu dengan gagah perkasa terus maju mendesaknya. Dan yang menambah kesulitan Wijaya
yalah dia tak berani balas memukul karena kuatir akan mencelakai orang yang dijadikan senjata itu.
Sembari menghindar, diam2 ia memutar otak untuk mencari akal.
Cepat sekali Wijaya menemukan akal. Setelah loncat mundur, ia berjongkok. Ke ka orang itu
maju membolang- balingkan tubuh kawannya, ba2 Wijaya melontarkan segenggam lumpur ke
muka orang itu, plok ....
"Uh'.... "mulut orang itu mendesuh kejut ke ka muka dan kedua matanya tercampak segumpal
lumpur. Kesempatan itu tak disia-siakan Wijaya yang loncat hendak menyelesaikan pertempuran
dengan pukulan yang menentukan.
"Keparat, serahkan dirimu ! " ba2 dari arah belakang lelaki berbusana indah itu setelah
berbangkit lalu mencabut pedang dan memburu ke tempat orang itu.
Rupanya orang itupun menyadari bahaya yang akan menimpa dirinya. Dalam menentukan
pilihan meloloskan diri dan nggalkan orang tawanannya atau nekad bertahan dan terancam
bahaya, ia memilih yang tersebut duluan. Sekonyong-konyong ia menggeram keras lalu lontarkan
tubuh Kuti ke arah Wijaya yang tengah maju menerjang.
"Uh .... "karena tak menyangka-nyangka akan menerima lontaran itu, Wijaya tak sempat
menangkis maupun menghindar. Walaupun ia masih berusaha untuk menyambu tetapi kalah
cepat. Tubuh korban itu membentur dadanya dan robohlah Wijaya bersama korban itu.
Setelah berhasil merobohkan Wijaya, orang itu pun cepat2 loncat dan melarikan diri. Lelaki
berbusana indah terkejut sekali. Ia hendak mengejar tetapi orang itu sudah jauh maka lebih
penting ia menolong Wijaya.
"Bagaimana engkau, Wijaya?" tegurnya setelah Wijaya berbangkit berdiri.
"Tak apa2, paman tumenggung "Wijaya terus mengangkat tubuh orang yang tengkurap di lumpur
lalu dibawanya ke jalan. "Ku .... "sekonyong-konyong lelaki berbusana indah yang disebut paman tumenggung itu
berteriak kaget ketika melihat jelas wajah orang yang pingsan itu.
"Siapa Kuti ?" "Dia adalah adik seperguruanku" kata tumenggung itu yang tak lain adalah tumenggung
Bandupoyo. Langkah Bandupoyo untuk mencari Wijaya ke telatah gunung Kawi memang beruntung. Di tengah
jalan dia berpapasan dengan Wijaya yang tengah mengendarai seekor kuda hitam. Dalam
percakapan yang cukup padat, dapatlah Wijaya menerima anjuran tumenggung Bandupoyo untuk
ikut serta dalam sayembara.
Sebenarnya Wijaya hendak merahasiakan siapa dirinya tetapi setelah didesak Bandupoyo dan
melihat kesungguhan ha tumenggung itu hendak membantunya, akhirnya Wijayapun mau juga
menerangkan tentang dirinya.
"O, kiranya raden masih keturunan priagung luhur " Bandupoyo terkejut girang. Diam2 makin
mantap keinginannya untuk mengangkat pemuda itu ke arah kedudukan yang tinggi dalam pasukan
Singasari. Keduanya segera kembali ke Singasari. Mereka ingin lekas mencapai pura kerajaan sehingga
malam itu merekapun masih melanjutkan perjalanan. Dan secara tak sengaja mereka berjumpa
dengan orang yang melarikan Kuti.
Mendengar penuturan tumenggung Bandupoyo, Wijaya gopoh memberi pertolongan. Ke ka ia
mengurut-urut dada membersihkan pakaian Ku yang berlumuran lumpur, ia terkejut ke ka
sebuah benda jatuh dari dada baju Kuti.
"Ah, kaca" serunya seraya menyerahkan kepada tumenggung Bandupoyo "bagus sekali buatan
kaca ini, paman tumenggung"
Setelah menyambu dan memeriksa kaca itu, teganglah wajah tumenggung Bandupoyo "Hah,
kalau tak salah inilah sebuah kaca pusaka . . . ah, apakah kaca ini bukan ...."
"Bukan kaca apa, paman tumenggung" "Wijaya heran.
"Mari kita tolong Ku supaya sadar " tumenggung Bandupoyopun membantu mengurut-urut
tubuh Ku . Usahanya berhasil. Tak berapa lama, Ku tampak merin h pelahan. Ke ka membuka
mata ia membelalak dan berseru "Siapa kalian ...."
"Tenanglah Kuti "kata Bandupoyo "aku Bandupoyo. Beristirahatlah memulangkan tenagamu"
Ku pun duduk lalu pejamkan mata untuk bersemedhi memulangkan napas dan tenaga. Lebih
kurang sepeminum teh lamanya, wajahnya tampak segar dan ia membuka mata "Kakang
Bandupoyo, dimanakah saat ini aku berada?"
"Di tengah jalan pegunungan, adi"
"O, bagaimana kau dapat berada di sini " "Dengan singkat tumenggung Bandupoyo lalu
menceritakan apa yang telah terjadi di jalan itu.
"Siapa yang menolong aku " "Kuti membelalak memandang Wijaya.
"Wijaya ini, adi "tumenggung Bandupoyo menunjuk pada Wijaya.
"Dia" "serentak Ku berbangkit dan menatap Wijaya dengan pandang berkilat-kilat " dak!
Mengapa dia berani menolong aku !"
Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bandupoyo terkejut. Ia heran mengapa bukan mengucap terima kasih kebalikannya Ku malah
tampak marah sekali kepada Wijaya.
"Maa an, ki sanak atas kelancanganku menolongmu. Tetapi percayalah, bahwa aku sama sekali
tak mengandung maksud buruk terhadapmu" kata Wijaya dengan nada ramah.
"Tidak! "teriak Ku "aku tak sudi menerima pertolonganmu. Aku lebih suka ditawan orang itu
daripada engkau tolong!"
Wijaya termangu-mangu. Tak tahu bagaimana ia harus berkata. Sedangkan tumenggung
Bandupoyo tak kuasa lagi menahan keheranannya "Ku , apakah sebenarnya yang telah terjadi.
Mengapa engkau malah marah2 kepada orang yang memberi pertolongan kepadamu"
"Tidak, kakang Bandu "seru Kuti "aku benar2 menyesal mengapa dia berani menolong aku"
"Paman tumenggung" akhirnya Wijaya berusaha untuk menjernihkan suasana "ki lurah Ku itu
dahulu memang pernah bertempur dengan aku ...."
"O "desuh tumenggung Bandupoyo "dan dia menderita kekalahan sehingga mendendam
kepadamu?" "Tidak "sahut Wijaya tandas "dia tak kalah. Seharusnya akulah yang kalah tetapi entah
bagaimana ketika itu tiba2 dia hentikan pukulannya dan terus pergi"
"Kuti, benarkah itu?"
"Yang menang, mudah untuk menghilangkan kemenangan itu. Tetapi yang kalah tak mungkin
akan menghapus kekalahannya" sahut Kuti.
"Ah" tumenggung Bandupoyo menghela napas. Rupanya dia mulai dapat marangkai dugaan "adi,
kalah menang dalam pertempuran itu sudah wajar ...."
"Aku sudah berjanji kepadanya untuk mengadu kedigdayaan dua tahun lagi. Tetapi setelah dua
tahun ternyata dia ingkar janji. Dia tak berada di tempat kediamannya di gunung Kawi"
"Ah, ki Kuti, anggaplah aku takut dan engkaulah yang menang "kata Wijaya.
"Tidak semudah itu" jawab Ku "karena kebetulan kita berjumpa disini, marilah kita selesaikan
persoalan itu sekarang dan di tempat ini juga" kemudian Ku berpaling ke arah Bandupoyo
"kakang Bandu, kuminta engkau menjadi saksi"
"Ah, ki sanak, mengapa engkau tetap bersikeras hendak melanjutkan pertempuran itu" Sudah
kukatakan aku mengaku kalah "kata Wijaya tenang.
"Benar, adi "Bandupoyopun ikut memberi suara "hapuskanlah dendam pemusuhan itu dan
jadikanlah persahabatan yang akrab"
"Baik, aku dapat menerima anjuran kakang"
"Bagus, adi, itulah sifat seorang ksatrya"
"Tetapi aku menginginkan, suatu cara yang harus dilakukan"
"Cara bagaimana " "tanya Bandupoyo.
"Dia harus menyembah di bawah kakiku. Setelah itu kuhapuskan segala dendam yang terlanjur
membakar hatiku" "Kuti! "teriak Bandupoyo.
"Paman tumenggung" tukas Wijaya "tak apalah paman. Aku akan melaksanakan keinginannya"
"Jangan Wijaya" teriak Bandupoyo "aku tak setuju dengan cara yang di minta Ku " kemudian dia
berpaling menatap Ku "adi, guru pernah mengajar kita tentang laku seorang ksatrya utama. Jika
seseorang sudah menghaturkan maaf dan mengaku kalah, wajiblah kita memberi ampun dan
menghapus segala dendam kebencian"
"Guru memang benar" sahut Kuti "tetapi kurasa akupun tak salah"
Bandupoyo terkesiap "apa maksud kata-katamu itu?"
"Guru memang telah melimpahkan wejangan2 yang berharga. Tentang laku seorang ksatrya,
tentang duduknya seseorang di masyarakat, tentang dharma untuk membela kebenaran dan
keadilan, dan lain-lain. Tetapi gurupun pernah mengajarkan kepada kita bahwa hendaknya
janganlah kita mudah percaya pada yang dikatakan orang, naluri; isi kitab-kitab dan bahkan ucapan
guru kita sendiri. Yang pen ng harus kita per mbangkan dan teli sendiri. Jika hal itu baik dan
berguna, maka lakukanlah"
"Hm, maksudmu, engkau hendak mengatakan bahwa menurut per mbanganmu, memberi maaf
dan menghapus dendam itu tidak baik dan tidak berguna bagimu ?"
"Kakang Bandu "sahut Ku "se ap orang mempunyai persoalan dan liku2 sumber persoalan itu-
sendiri. Memandang dan menilai persoalan dengan pandangan dan anggapan yang sama, kurang
benar" "Tidak Ku "bantah Bandupoyo "sumber, liku2 dan persoalan2 itu memang berbeda-beda dan
beraneka corak ragamnya, tetapi sumbernya tetap satu, yani Kebenaran dan Keadilan. Hanya
orang2 itu sendiri yang menuntut dan menganggap kebenaran itu menurut pandangannya sendiri2
sehingga menimbulkan Kebenaran yang semrawut, Kebenaran yang dipaksakan menurut kehendak
hati dan dirangkai menurut anggapannya"
"Lalu bagaimana Kebenaran yang mutlak itu","
"Kebenaran yang mutlak yalah kebenaran yang berdasarkan kesucian yang murni, kesucian yang
manembah pada keagungan Hyang Widdhi dan berlandaskan peri-kemanusiaan yang manunggal,
manunggalnya rasa dan kepen ngan, kehadiran dan kebanggaan ke-aku-an kedalam keagungan
dan kebesaran Sanghyang Paramartha, inti hakekat kebenaran itu"
Ku tertawa, setengah mencemoh "Aku seorang manusia biasa, kakang Bandu. Aku bukan resi,
pandita dan dewa. Dan akupun tak ingin memanusiakan kemanusiawianku dalam ngkat tataran
ke-dewa-an yang se nggi langit, langit yang tampak tapi sukar diketahui batas ujungnya itu. Akan
kubatasi diriku dalam batas2 alam kemanusiawian yang serba kekurangan namun penuh kenyataan
itu. Aku ingin menjadi diriku, aku ingin hidup dalam kenyataan hidup!"
"Ki Ku " ba2 Wijaya yang sejak tadi diam menyelutuk "adakah sudah ma niat ki sanak untuk
menyelesaikan persoalan dahulu itu dengan kekerasan" Tidakkah tak ada jalan lain lagi" "
"Ada "sahut Kuti dengan nada angkuh "seperti yang telah kukatakan tadi ".
"Haruskah dengan jalan itu ?" Wijaya menegas,
"Hm "sahut Kuti "aku tak pernah menjilat ludah yang sudah kusemburkan"
"Baik "sahut Wijaya.
"Tidak, Wijaya, jangan melakukan hal itu" teriak Bandupoyo seraya loncat turun dari kuda "adi
Ku , karena guru sudah wafat, maka sebagai saudara seperguruan yang lebih tua, aku mewajibkan
diri untuk memberi nasehat kepadamu. Perbuatanmu itu melanggar undang2 perguruan kita"
"Lalu maksud kakang?"
"Sebagai saudara seperguruan yang lebih tua, kuminta janganlah engkau melanjutkan
tindakanmu itu" Ku tertawa "Memang kakang Bandu benar, karena kakang dak mengalami penderitaan ba n
seper yang kurasakan. Dapat dimenger , Sekarang idinkanlah aku bertanya kepada kakang
tumenggung Bandupoyo. Aku peribadi, memang dak keberatan untuk menerima permintaan maaf
itu. Tetapi ingat kakang, aku adalah murid dari guru resi Brahmacaya di gunung Bromo. Apa yang
kualami, merupakan hinaan bagi perguruan bapa guru. Tidakkah kakang mengidinkan hinaan itu
berlangsung ataukah kakang wajib membersihkan nama baik dari perguruan kita?"
"Hm ..." Bandupoyo mendesuh panjang "tetapi Wijaya sudah menghaturkan maaf kepadamu dan
mengaku kalah. Tidakkah hal itu sudah cukup untuk membersihkan nama baik perguruan kita ?"
"Tetapi kakang ...."
"Ku , lihat, apa yang kupegang ini! " ba2 Bandupoyo mengacungkan kaca wasiat yang
tergenggam dalam tangannya.
Kuti terbeliak mundur selangkah.
"Bukankahini penting bagimu" "seru Bandupoyo.
"Dari mana kakang memperoleh kaca itu " ".
"Ke ka kami menolongmu, mengurut-urut tubuhmu, kaca inipun jatuh dari dalam bajumu.
Bukankah ini kaca wasiat milik gusti puteri Teribuana yang hilang dan dapat engkau temukan itu?"
"Benar, kakang"
"Engkau tentu menginginkannya, bukan" Karena dengan membawa kaca ini engkau tentu akan
memperoleh ganjaran besar dari baginda"
Kuti mengangguk "Ya, lalu bagaimana maksud kakang Bandu?"
"Akan kukembalikan kepadamu"..."
"Terima kasih, kakang "cepat2 Kuti menukas.
"Nan dulu " sahut Bandupoyo "jangan cepat2 engkau mengucap terima kasih, dengarkan
bicaraku dulu. Akan kukembalikan kaca ini kepadamu tetapi dengan beberapa syarat"
"Kakang hendak mengajukan syarat kepadaku?"
"Ya " jawab Bandupoyo "tetapi ringan sekali dan engkau pasti dapat melakukan"
"Baik, kakang katakanlah"
"Pertama "kata Bandupoyo "engkau harus hapuskan dendam permusuhan dengan Wijaya. Dan
kedua engkau harus mengakui bahwa Wijaya telah menyelamatkan jiwamu"
Berobah cahaya muka Ku seke ka tetapi beberapa jenak kemudian ia tampak tenang "Baik,
untuk saat ini, aku takkan membicarakan soal balas dendam kepada pemuda itu. Kedua, kuakui
memang dia yang menolong jiwaku walaupun aku tak menginginkan"
Bandupoyo mendengarkan dengan penuh perha an, kemudian katanya "Baik, walaupun hanya
dengan setengah ha , tetapi karena engkau bersedia menghapus dendam permusuhan itu untuk
hari ini, aku dapat menyetujui. Tetapi ingat, Ku , jangan engkau menganggap bahwa gunung itu
yang paling nggi karena diatas gunung masih terdapat langit yang sukar diukur berapa ngginya.
Dan kedua, karena engkau mengaku telah menerima pertolongan orang, apakah pernyataanmu, adi
Kuti?" "Kakang tumenggung menghendaki pernyataan apa dari Ku " apakah Ku harus menghaturkan
sembah terima kasih kepadanya?"
"Ah " mulut Bandupoyo berdecak-decak "tak perlu. Wijaya bukanlah seorang pemuda yaag gila
hormat. Cukup asal engkau tahu dan mengingatnya sajalah"
"Hm, baik "suara Kuti agak sarat. Bandupoyo pun menyerahkan kaca wasiat itu kepada Kuti.
Saat itu hari sudah remang2 menjelang terang tanah.
"Ku " kata Bandupoyo pula "kami hendak kembali ke pura Singasari, marilah engkau bersama-
sama naik kuda dengan aku"
Kuti gelengkan kepala "Silakan kakang berjalan lebih dulu. Aku hendak beristirahat di sini
barang beberapa waktu"
"O, mengapa?" "Merenungkan peris wa yang kualami hari ini. Mengapa dibawah lindungan pasukan kerajaan,
tetap ada gerombolan yang berani menyerang aku"
"Oleh karena itu marilah kita kembali ke pura kerajaan dan menyelidiki peristiwa itu"
"Tidak, kakang tumenggung. Aku mempunyai cara sendiri untuk merenungkan peristiwa itu"
Karena Ku menolak maka tumenggung Bandupoyo mengajak Wijaya melanjutkan perjalanan
lagi. "Paman tumenggung" di tengah perjalanan Wijaya berkata "idinkanlah hamba mengajukan
beberapa permohonan kepada paman tumenggung"
"O, silakan" "Paman tumenggung" kata Wijaya "hamba menghaturkan terima kasih atas perha an paman
tumenggung yang menginginkan hamba untuk ikut serta dalam sayembara itu. Tetapi adakah
paman tumenggung menaruh kepercayaan atas diri hamba akan mampu memenangkan sayembara
itu " Disamping tentu banyak sekali ksatrya2 sak yang ikut, masih pula terdapat seorang sak
seperti ki Kuti itu. Dan bukankah dia itu adik seperguruan paman tumenggung?"
"Raden Wijaya" jawab tumenggung Bandupoyo "apa yang paman dapat lakukan hanyalah
berusaha. Dan kepercayaan itu didalam hati raden tempatnya. Percaya pada diri sendiri merupakan
kekuatan sak yang menjadi lambaran untuk mencapai cita-cita. Sayembara itu, namanya saja
untuk memilih senopa , sudah layak kalau banyak ksatrya sak yang akan ikut. Dalam hal ini,
kepercayaan pada diri sendiri merupakan senjata pamungkas untuk mengatasi kesemuanya itu"
Berhen sejenak tumenggung Bandupoyo berkata pula "Raden Wijaya, soal Ku , janganlah
engkau hubungkan dengan diri paman. Seper engkau tadi telah mendengar dan mengetahui
sendiri, betapa pendirian Ku itu amat berlawanan dengan pendirianku. Apabila ada kaca wasiat
itu, mungkin sukar untuk menundukkan kemauannya. Dan tak dapat kukatakan bagaimana
kesudahannya tadi" Wijaya lalu menuturkan tentang peris wa yang pernah terjadi antara dirinya dengan Ku pada
waktu Kuti menjadi bekel pasukan Wengker. Dia menyatakan penyesalannya tentang peristiwa itu.
"Tak ada yang harus engkau sesalkan, raden "kata. Bandupoyo "dalam pertempuran beradu ilmu
kanuragan, keunggulan ilmu dan kesempurnaan la han, merupakan hal yang menentukan. Jika dia
kalah, yang salah bukan engkau tetapi harus dicari pada dirinya sendiri akan sebab2 kekalahan itu"
"Dia pernah berjanji, dua tahun lagi akan mencari aku untuk menghimpaskan kekalahan itu"
Bandupoyo mengangguk "Memang demikianlah perangai Ku sejak dulu waktu masih di
perguruan. Se ap melihat guru menurunkan ilmu pelajaran baru kepadaku, dia tentu iri dan minta
aku supaya mengajarkan kepadanya"
Demikian keduanya bercakap-cakap untuk mengisi kekosongan yang lelap dalam perjalanan itu.
Menjelang surya terbit, mereka sudah melihat pura Singasari tampak dari kejauhan.
~dewikz^ismoyo^mch~ II Wijaya tak ikut tumenggung Bandupoyo masuk kedalam keraton. Dengan alasan bahwa agar
jangan menimbulkan kesan kepada orang terutama para ksatrya yang ikut serta dalam sayembara
bahwa seolah-olah tumenggung Bandupoyo telah memilih seorang calon. Agar pula hilang
prasangka orang bahwa tumenggung Bandupoyo secara diam2 tentu memberi bantuan kepada
Wijaya yang dicalonkan itu agar menang dalam sayembara. Bandupoyopun menyetujui permintaan
Wijaya. "Di samping itu hambapun hendak menemu beberapa kawan hamba yang tentu mengharap-
harap cemas akan kedatangan hamba" Wijaya dengan singkat menuturkan tentang kuda hitam
yang dinaikinya itu. "O, baiklah "Bandupoyo mengangguk "apabila, mungkin, kumpulkan beberapa anakmuda yang
engkau anggap mempunyai rasa cinta kepada negara, bertanggung jawab dan setya mengabdi
kepada kerajaan Singasari"
"Baik, paman "kata Wijaya.
Wijaya menimang-nimang, kemana ia hendak tujukan langkah. Tujuh hari lamanya ia
meninggalkan Singasari. Kemanakah Podang" Kemana pula pemilik kuda yang bertubuh tinggi itu"
Ia turun dari kuda hitam dan duduk beris rahat dibawah sebatang pohon. Ia mengenangkan
peristiwa yang dialaminya selama tujuh hari itu ....
Setelah berhasil naik kuda hitam, kuda itu terus lari. Ia berusaha untuk menghen kan tetapi ia
terkejut ke ka merasa betapa kuat tenaga kuda hitam itu. Bermula ia cemas dan memikirkan
Podang dan orang2 yang tentu masih menunggu di tanah lapang. Saat itu hari sudah malam dan
kuda hitam tetap lari tak berhenti.
"Hm, aneh benar kuda ini "pikirnya " dakkah berbahaya apabila kubiarkan dia terus membawa
aku lari tanpa arah tujuan ini ?"
Serentak dia berkemas hendak memaksa kuda hitam berhenti. Tetapi pada lain kilas ia mendapat
perasaan bahwa kuda itu hanya berlari sekencang angin tetapi dak mengadakan suatu gerakan
yang membahayakan penunggangnya. Penemuan itu segera dikaitkan lagi dengan ngkah ulah
kuda ke ka di lapangan tadi. Beberapa orang telah disengkelit jatuh dan hanya ke ka dia yang
mengendarai, kuda itu tampak tenang dan menurut. Juga menurut keterangan pemiliknya, kuda itu
seekor kuda gagu, tak pernah meringkik atau mengeluarkan suara. Ternyata ke ka ia perintahkan
berbunyi, kuda itupun mau meringkik.
Kesemuanya itu memberi bahan pemikiran kepadanya, bahwa kuda itu memang seekor kuda
yang aneh. Kesimpulan itu segera menimbulkan rasa ingin tahu kemanakah gerangan kuda itu
hendak membawanya. Akhirnya ia memutuskan, membiarkan saja kuda itu lari. Pada saatnya,
binatang itu tentu akan berhenti sendiri.
Selama diayun di atas punggung kuda, Wijaya hanya merasa seper melintas bayang2 hitam
yang nggi, gunduk2 dan tanah lapang yang gelap. Ia tak pernah terbang maka tak tahulah ia
adakah ia sedang dibawa lari kencang oleh kuda hitam itu atau diterbangkan.
Semalam suntuk kuda itu menempuh perjalanan. Kemana arahnya Wijayapun tak tahu. Hanya
ke ka hari mulai meremang tanah, ia terkejut ke ka melihat jauh disebelah depan tampak
gumpalan awan pu h yang mengandung warna kebiru-biruan "Hai, apakah aku dibawa terbang ke
langit " "terhenyaklah ia dari rasa kantuk. Tetapi beberapa saat kemudian ia mendengar suara
gemuruh seperti gelombang ombak di laut.
"Ombak laut atau gemuruh di langit?" pikirnya.
Tepat pada waktu fajar, kuda itupun berhen di-sebuah tempat yang penuh dengan gunduk2
karang. Kuda itupun segera menekuk kaki dan mendumprah di tanah. Wijaya terpaksa turun "Laut"
seru Wijaya, ke ka memandang ke muka. Kini ia jelas apa yang tampak sebagai gumpalan awan
pu h kebiru-biruan itu. Ternyata laut yang berselimut kabut pagi. Memandang kesekeliling, ia tak
melihat barang sebuah rumah ataupun pohon. Semuanya hanya gunduk2 karang "Daerah bukit
karang" pikirnya. Setelah memandang keadaan sekeliling tempat, lalu ia berpaling kepada kuda hitam itu. Ingin ia
mengetahui apa sebab binatang itu membawanya ke tempat itu. Tetapi ia agak kecewa karena
Pedang Kayu Harum 17 Seruling Gading Lanjutan Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo Ilmu Ulat Sutera 2