Pencarian

Dendam Empu Bharada 28

Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana Bagian 28


Ku tetapi memang demikianlah kenyataannya. Ia telah memberanikan diri berbicara dengan
puteri Gayatri mengenai persoalan janjinya kepada Kuti.
"Diajeng Gayatri, bukan karena kakang ingkar janji terhadap diajeng. Melainkan kakang hendak
menetapi laku kakang sebagai seorang ksatrya utama," kata Wijaya kala berhadapan dengan sang
puteri Gayatri di keraton.
"Apa maksud kakang Wijaya?"
Wijaya lalu menuturkan saat-saat ia melakukan pertempuran dengan Ku dalam pertandingan
penentuan terakhir dalam sayembara itu" Setelah Ku dapat kurubuhkan, dia merengek- rengek
minta supaya dibunuh saja."
"O," seru Gayatri.
"Tetapi kakang tak meluluskan," kata Wijaya "karena kakang mengagumi kesaktiannya."
"Pikiranku jauh kulangkahkan ke masa depan kerajaan Singasari. Untuk menghadapi musuh-
musuh dari dalam maupun luar, terutama ancaman raja Kubilai Khan dari Tartar maka Singasari
harus memiliki pasukan yang kuat. Ksatrya seper Ku , sangat dibutuhkan untuk melindungi
kerajaan Singasari."
"Tetapi kakang Wijaya," ujar puteri Gayatri, " dakkah bumi Singasari ini hanya selebar daun
sirih" Bukankah masih banyak ksatrya-ksatrya yang masih belum mengunjuk diri?"
"Kurasa demikian" kata Wijaya "tetapi mengapa kita harus mengharap yang belum tampak,
sedangkan yang sudah ada kita campakkan" Pun andaikata ada, belum tentulah mereka memiliki
kesaktian seperti Kuti."
"Ah, kakang memanjakan Kuti dengan sanjung berulas puji. Pada hal dia kalah dengan kakang."
Wijaya menghela napas "Ah, kesemuanya itu berkat bantuan paman Bandupoyo. Apabila paman
Bandupoyo tak memberitahukan rahasia kelemahan Ku , belum tentu aku mampu
mengalahkannya." Puteri Gayatri tak menjawab.
"Karena Ku tetap meminta supaya dibunuh, aku segera meminta keterangan apa sebabnya. Dia
mengatakan bahwa tujuannya memasuki sayembara itu bukanlah karena hendak menginginkan
kelungguhan senopa . Tetapi karena.... karena"." Wijaya tak melanjutkan kata-katanya melainkan
memandang puteri. Puteri Gayatri hanya balas menatap pandang tetapi tak memberi pertanyaan apa-apa.
"Diajeng tahukah engkau apa jawaban Kuti yang terakhir itu?"
"Tahu " "O, diajeng tahu karena apa Kuti masuk sayembara" "
"Hm " Wijaya tertegun. Namun ia masih terombang-ambing dalam keraguan. Benarkah puteri Gayatri
tahu " Dan adakah pengetahuan puteri itu tepat pada persoalannya" Ah, namun untuk
menegaskan, Wijaya serasa sarat kerongkongannya.
"Mengapa kakang Wijaya tertegun diam?" tiba-tiba puteri Gayatri menegur.
"Ah," Wijaya gelagapan.
"Mengapa kakang tak melanjutkan keterangan kakang tadi ?"
Wijaya terbeliak. Benar. Kedatangannya menghadap puteri Gayatri adalah perlu untuk
membicarakan persoalan itu. Dan sekarang ia sudah berhadapan bahkan sudah berbicara. Tetapi
mengapa pada saat akan meningkat pada pembicaraan yang penting, ia harus merasa ragu-ragu?"
"Baik, diajeng" akhirnya Wijaya malu dalam ha karena kehilangan keberanian itu "Ku ikut
dalam sayembara karena hendak mengharapkan diajeng Gayatri."
Nada Wijaya menyengat tajam ke ka mengucapkan kata-kata itu dan ia menduga bahwa Gayatri
tentu akan menanggapi dengan jerit kejut atau suatu gerak yang yang mengunjukkan getar-getar
perasaan tajam. Tetapi alangkah kecelenya ke ka ia hanya mendengar puteri itu mendengus
hambar "O," seru puteri Gayatri.
Wijaya terbelalak "Diajeng, mengapa engkau tenang-tenang saja mendengar keterangan itu?"
"Kakang menghendaki aku harus bagaimana" Terkejut" Menjerit atau menangis?"
"Tetapi diajeng, bukankah hal itu amat pen ng ar nya bagi diajeng" Mengapa diajeng tenang-
tenang belaka?" "Mengapa aku harus tidak tenang" " balas puteri.
"Mengapa diajeng mengatakan demikian" "
"Bukankah peris wa itu sudah lampau. Keputusan telah diamanatkan rama baginda kepada
kakang Wijaya yang telah memenangkan sayembara itu" Bukankah hal itu sudah ada sangkut
pautnya dengan Kuti" "
"Ah," Wijaya mendesah " dak diajeng. Persoalan itu belum selesai dan untuk itulah maka aku
menghadap diajeng kemari!"
"Belum selesai " Adakah kakang hendak membicarakan diri Kuti pula" "
Wijaya mengangguk pelahan "Diajeng, aku hendak menetapi janjiku kepada Ku . Bahwa .... "
kembali Wijaya terdiam "harap diajeng jangan salah faham akan pendirian ha kakang.
Kesemuanya itu tak lain hanyalah dalam pendirian kakang sebagai seorang senopa yang harus
melindungi dan menjaga kewibawaan dan kesejahteraan kerajaan Sirgasari "
"Maksud kakang " "
"Kakang tak mau membunuh Kuti karena kakang anggap diantara sekian banyak ksatrya dari
berbagai daerah yang ikut dalam sayembara, ternyata Kutilah yang paling sakti. Kuti dapat
kukalahkan karena aku telah mendapat bantuan dari paman tumenggung Bandupoyo. Kuti ingin
mati apabila tujuannya tak terlaksana. Pada hal kerajaan Singasari memerlukan ksatrya-ksatrya
seperti Kuti dalam menanggulangi bahaya-bahaya dari musuh terutama dari negeri Tartar.
Maka demi kepentingan negara, aku telah berjanji akan menyerahkan diajeng .... "
"Kakang Wijaya!" kali ini benar-benar puteri Gayatri berteriak keras.
"Oleh karena itu akupun hendak mohon atas kebesaran dan keagunganmu, diajeng. Bahwa kita
harus berani dan rela berkorban demi kepentingan Singasari yang kita cintai."
"Dengan demikian kakang hendak menyerahkan diriku kepada Kuti" "
"Diajeng," kata Wijaya dengan nada rawan penuh himbauan "keluhuran seorang puteri terletak
pada keperibadian yang utama. Dan keutamaanitu tak lain hanya suatu kebesaran jiwa sesuai yang
termaktup dalam Danaparamita. Se ap pengorbanan itu takkan sia-sia. Renungkanlah, diajeng,
betapa pilu ha kita apabila mendengar, menyaksikan beribu-ribu prajurit Singasari terkapar
merin h-rin h di medan juang. Beribu-ribu pula jerit tangis yang menyayat ha dari para kawuri
yang telah kehilangan suaminya. Dari anak-anak yang kehilangan ibu bapanya Dari para kawula
yang kehilangan jiwa dan harta mil k serta ketenangan hidupnya, apabila negara Singasari akan
diserang dan diduduki musuh. Tidakkah amat berharga pengorbanan yang kita berikan untuk
menolong segala kesengsaraan para kawula itu" "
"Kakang Wijaya," kata puteri Gayatri dengan nada yang tenang dan jernih. Bebas dari pengaruh
amarah dan kecewa "kiranya akupun telah menghaya ajaran Danaparamita sebagai mus ka hidup
yang bersumber pada cinta kasih. Tetapi belum pula aku bersua akan persesuaian ajaran itu pada
persoalan diri Ku . lagian aku mendapat penjelasan dari kakang Wijaya tentang beberapa
pertanyaan yang timbul dari hatiku."
"Silakan diajeng "
"Pertama, benarkah permintaan Kuti itu berdasarkan kesucian hati dan tidak tercemar oleh
pengaruh nafsu keinginan belaka" Kedua, benarkah Kuti mampu membahagiakan orang yang
dikehendakinya, pada hal orang itu sama sekali tidak menyukainya" Andaikata, orang itu
bersedia meluluskan hanya karena terpaksa saja, adakah suatu paksaan itu bersifat murni"
Ketiga, benarkah mahatidana itu harus kakang berikan kepada Kuti dengan dasar bahwa
pemberian dana itu akan dapat menyelamatkan kerajaan dan kawula Singasari". Jelasnya,
adakah tanpa Kuti kerajaan Singasari pasti hancur apabila diserang musuh" Nah, aku bersedia
meluluskan permintaan kakang Wijaya apabila kakang dapat memberi jawaban yang benar-
benar dapat menenangkan perasaan hatiku."
Wijaya terkesiap. Pertanyaan, pertama, ia belum menemukan suatu kesan yang meyakinkan
kecuali dari tekad Kuti untuk mempersunting Gayatri. Adakah tekad itu berdasar rasa asmara murni
ataukah hanya terangsang oleh kecan kan puteri ataukah karena terpengaruh oleh keluhuran
derajat Gayatri sebagai puteri seri baginda Singasari. Ia belum tahu jelas.
Pertanyaan kedua, ia belum menemukan dalih dalam ajaran dana para mita, bahwa se ap dana
yang berdasarkan rasa terpaksa itu, dapat diterima sebagai suatu dana yang suci. Se ap paksaan
hanya menimbulkan derita pada yang berkepen ngan. Akan halnya pertanyaan ke ga, ia benar-
benar tercengkam oleh rasa malu karena merasa telah merendahkan martabat seluruh ksatrya
Singasari. Ia telah menempatkan Ku sebagai seorang dewa agung yang pas dapat
menyelamatkan kerajaan Singasari. Pada hal selama berkelana dari praja ke praja, ia mendapat
kesan bahwa kekuatan sebuah negara itu bersumber pada kesetyaan rakyat. Ya, para kawulalah
yang menjadi in pokok kekuatan kerajaan Singasari. Bukan seorang Wijaya, bukan seorang
senopa yang sak mandraguna, lebih bukan seorang Ku , Tetapi semangat kesetyaan dan
pengabdian rakyat kepada Singasari yang menjadi tembok baja kekuatan dalam menghadapi se ap
serangan dari musuh yang manapun juga.
Wijaya termenung-menung. "Bagaimana kakang Wijaya?" tiba-tiba puteri menegurnya.
Wijaya menghela napas "Tetapi nista bagi kakang bahwa seorang ksatrya itu harus ingkar janji."
"Kakang Wijaya." ujar puteri dengan wajah yang tampak kelabu "jika ksatrya Wijaya pantang
ingkar janji, adalah puteri Gayatri harus ingkar janji" Aku telah berjanji kepada diriku, bahwa aku
hanya mau dipersunting seorang ksatrya yang telah mencuri hatiku "
"Diajeng. ... "
"Kakang tetap hendak meminta kerelaanku, bukan ?" ujar puteri Gayatri "baik, kakang. Agar
ksatrya Wijaya tidak ingkar janji, agar Kuti dapat menyelamatkan kerajaan Singasari, serahkan
tubuh Gayatri ini kepadanya, Wijaya .... "
"Diajeng . . . . ! "
"Raden," serempak Sora dan Nambi berteriak kaget ke ka ba2 mendengar Wijaya menjerit
menyebut 'diajeng'. Kedua kadehan itu semula tak berani mengganggu Wijaya yang selama dalam
perjalanan tampak termenung diam. Seolah sedang merenungkan suatu lamunan. Tetapi alangkah
kejut mereka ke ka ba- ba Wijaya menjerit. Mereka larikan kuda untuk menghampiri kuda
Wijaya. Wijaya tampak terbeliak. Ia menyadari bahwa karena melamunkan peris wa pertemuannya
dengan puteri Gayatri dahulu, tanpa disadari dia telah memekik. Betapa dak! Karena saat itu
puteri Gayatri mencabut cundrik dan hendak induk selira atau bunuh diri. Teringat akan peris wa
yang sangat merenggut semangatnya saat itu maka tanpa disadari Wijayapun menjerit menyebut
'diajeng'. Maksudnya mencegah jangan sampai puteri Gayatri melangsungkan perbuatan yang
senekad itu. Bahkan pada waktu itu, iapun terus loncat menyambar tangan puteri Gayatri dan
merebut cundrik. "Jangan diajeng, jangan engkau melakukan perbuatan ini. Dewata tak merestui ndakan diajeng
ini" saat itu Wijaya pun berusaha untuk menenangkan hati puteri Gayatri.
"Mengapa kakang mencegah aku" Tidakkah kakang lebih mementingkan Kuti daripada diriku " "
"Jangan salah faham diajeng," Wijaya menyabarkan kemarahan puteri "bukan maksud kakang
hendak mengandung pikiran begitu."
"Lalu apa maksud kakang hendak menyerahkan aku kepada Kuti" "
"Diajeng," seru Wijaya seraya menatapkan pandang ke hadapan puteri "benarkan diajeng setya
kepadaku ?" "Kesetyaanku kepada kakang Wijaya laksana surya terbit di bang wetan. Jika kakang meragukan
bahwa surya itu terbit dari timur maka ragukanlah kesetyaanku kepada kakang"
"Ah, dewi mus kaning rat yang menjadi pujaan hidup kakang. Memang tepat diajeng
mengibaratkan kesetyaan diajeng sebagai surya. Karena tanpa surya yang berupa kesetyaan diajeng
itu, akupun tak mau hidup di arcapada ini."
Gayatri tersenyum bahagia "Kakang pandai bermain madu dimulut tetapi benarkah ha kakang
sedemikian pula?" "Diajeng Gayatri," seru Wijaya "demi Batara Agung yang menjadi saksi, apabila serambut dibelah
tujuh hati kakang berwarna hitam terhadap diajeng semoga Batara Agung menumpas diri kakang."
"Kakang Wijaya," serta merta puteri ulurkan jari tangannya yang bak duri landak itu kemulut
Wijaya "janganlah seorang ksatrya cepat menjatuhkan sumpah, kakang Wijaya. Aku percaya penuh
kepadamu." "Terima kasih, diajeng."
"Tetapi kakang," ujar puteri pula "mengapa tadi engkau bermaksud hendak menyerahkan aku
kepada Kuti?" "Ah, maafkan, diajeng."
"Tetapi dakkah kakang akan menderita ba n karena kakang merasa tak dapat memenuhi janji
kepada Kuti?" Wajah Wijaya mengerut sarat "Diajeng, maa an perbuatan kakang tadi. Sebenarnya, dalam
maksud yang kakang persembahkan kepada diajeng itu, mengandung suatu maksud lain."
"O" puteri agak terkejut "apakah maksud lain yang kakang inginkan itu?"
"Sebelumnya kakang mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila diajeng menganggap perbuatan
kakang itu tidak layak."
"Aku tak mengerti apa yang kakang maksudkan."
Dengan tenang dan nada mantap, Wijaya memberi keterangan bahwa sesungguhnya dalam
pembicaraan mengenai diri Kuti tadi, dia hendak menguji sampai dimanakah kesetyaan hati Gayatri
kepadanya. "Oh, kakang Wijaya," teriak puteri Gayatri.
"Kini jelas sudah betapa bahagia aku menemukan surya kencana yang akan menerangi hidupku.
Benar, diajeng, aku takkan meragukan bahwa surya itu terbit dari bang wetan sebagaimana akupun
takkan meragukan pula kesetyaan diajeng kepadaku."
Puteri Gayatri tertegun dalam buaian perasaan. "Tentang Ku ," kata Wijaya pula "kakangpun
telah tegas-tegas menyatakan dalam janji kakang kepadanya. Bahwa apabila seri baginda
menganugerahkan kedua puteri baginda sang dyah ayu Teribuana dan sang dyah ayu Gayatri
kepadaku maka aku akan memberikan puteri Giyatri kepadanya. Dalam hal ini aku pun telah
merundingkan kepada paman tumenggung Bandupoyo. Tumenggung Bandupoyo memaklumi hal
itu dan sedia membantu aku. Maka turunlah amanat seri baginda tentang anugerah yang
dilimpahkan kepada pemenang sayembara. Aku diangkat sebagai senopa dan diganjar dengan
puteri baginda sang dyah Tribuana saja."
"O," Gayatri mendesuh kejut.
"Jangan salah faham diajeng "buru-buru Wijaya menyusuli keterangan "bahwa hal itu
sesungguhnya merupakan suatu rencana yang telah diatur paman tumenggung Bandupoyo, agar
kakang terlepas dari janji kakang kepada Kuti untuk menyerahkan diajeng kepadanya."
"Ah," puteri Gayatri mer desah.
"Bahwa ikatan ha kita tetap akan berlangsung sebagaimana kita inginkah. Kelak apabila seri
baginda berkenan melimpahkan restu unfuk melangsungkan perjodohan kita, itu sudah diluar dari
ketentuan sayembara. Kuti tak dapat menggugat kakang."
Wajah puteri Gayatri merekah cerah.
"Pun andaikata seri baginda tetap hendak menganugerahkan diajeng Teribuana dan diajeng
Gayatri tak berkenan maka kakangpun takkan memaksa."
"Tetapi tidakkah kakang akan dianggap ingkar janji kepada Kuti?"
"Dalam janji kakang kepada Ku hanya mengatakan bahwa kakang hendak menyerahkan diajeng
kepadanya. Tetapi dalam pernyataan itu, mengandung maksud bahwa penyerahan itu berasal dari
kehendak kakang namun diajeng berkenan atau dak, hak sepenuhnya bagi diajeng untuk
menentukan. Dalam maha -danapun jelas dikatakan bahwa se ap dana penyerahan itu harus
terjadi atas kerelaan dari kedua belah fihak, tak boleh terdapat paksaan."
Demikian yang terjadi dikala Wijaya menghadap puteri Gayatri untuk menghaturkan semua
persoalan yang menyangkut Kuti pada waktu sayembara.
"Raden," seru Sora karena melihat Wijaya masih tertegun tak memberi jawaban "adakah sesuatu
yang terjadi pada raden" Adakah raden masih menyesali perbuatan kami tadi?"
Wijaya gelagapan. Ia menyadari bahwa dirinya telah terbenam dalam lamunan. Diam-diam ia
tersipu dalam ha "Ah, peris wa itu telah lampau. Mengapa harus kuingat lagi" Masih banyak
tugas yang harus kulakukan," ia membenahi hatinya.
"O, dak Sora," katanya "engkau tak salah bahkan maksudmu baik. Sora, aku hendak menuju ke
tempat kediaman empu Raganata di Tumapel. Segeralah kalian mengikuti jejak kedua orang tadi."
Sora dan Nambi mengiakan dan merekapun segera mengambil jalan kembali ke pura Singasari.
Memang sejak diangkat sebagai senopa , disamping mulai menghimpun orang dan menerima
mereka-mereka yang sedia masuk menjadi prajurit, pun Wijaya mulai mengunjungi mentri-rrentri
dan senopa . Kecuali untuk kunjungin kehormatan memperkenalkan diri juga untuk bertukar
pikiran. Dalam hal itu Wijaya menempatkan diri sebagai seorang yang lebih muda dan lebih banyak
meminta petunjuk kepada mereka. Sikap yang merendah dan budi bahasa Wijaya yang ramah,
cepat dapat merebut ha para mentri tua dan segenap lapisan narapraja di pemerintahan
Singasari! Sikap, menentukan perkembangan hidup seseorang. Sikap yang angkuh menimbulkan ke dak
senangan orang. Sikap yang sewenang-wenang mengundang kebencian orang. Sikap memen ngkan
diri sendiri, hanya melahirkan pagar-pagar yang membatasi dirinya dengan orang dan
lingkungannya. Sikap yang ramah, menciptakan kesan baik. Sikap rendah ha , mengundang rasa
senang pida orang. Sikap memikirkan kepen ngan orang lain terutama orang bawahan, akan
membuahkan rasa kesetyaan. Sikap adalah pancaran dari rasa ha yang diwujudkan dalam ndak
dan laku, kata dan perbuatan. Tidak sukar dilakukan, dak mahal beayanya. Tetapi sukar dilakukan
terutama oleh orang yang merasa lebih diri lain orang. Lebih dalam kekayaan, kepandaian, derajat
dan pangkat. Untuk memegang gengsi, kata orang yang kebetulan memegang kekuasaan, pangkat nggi,
terhadap orang bawahan. Tetapi benarkah gengsi terletak pada sikap yang angkuh dan nggi ha
bahkan kekerasan yang cenderung akan kesewenang-wenangan "
"Tidak," kata Wijaya dalam ha "gengsi bukan terletak pada sikap yang nggi dan angkuh serta
keras melainkan dari pencerminan satunya kata dengan perbuatan yang kita lakukan."
Maka bukan melainkan dengan mentri senopa yang masih menjabat dalam pemerintahan saja
Wijaya mengadakan kunjungan dan minta petunjuk pun dengan mentri sepuh empu Raganata,
diapun memerlukan mengunjungi juga. Ia menghormat mentri wreddha itu sebagai seorang mentri
setya yang mengabdikan diri demi kepen ngan Singasari. Bahwa empu Raganata dilorot sebagai
adhyaksa di Tumapei, hanya karena perbedaan pendapat dengan seri baginda. Dan menurut
Wijaya perbedaan pendapat itu bukan sesuatu yang menyimpang dari garis-garis kepen ngan
negara, bahkan demi kepen ngan negara. Seri baginda menghendaki untuk mengirimkan pasukan
ke Pamalayu tetapi empu Raganata tak setuju karena mengua rkan keselamatan Singasari apabila
sampai kosong dari pasukan. Empu Raganata mempersembahkan pendapat bahwa yang pen ng
kekuatan dalam negeri harus di ngkatkan. Karena sumber pokok kekuatan negara itu terletak
pada kekuatan dalam negeri.
"Ah," Wijaya terkesiap ke ka mendapatkan dirinya sudah ba di Tumapel. Melamun memang
melelapkan segala pikiran dan kesadaran. Langsung dia menuju ke gedung kediaman empu
Raganata, adhyaksa Tumapel.
Terkejut bekas pa h Singasari yang sudah berumur lanjut itu menyambut kedatangan Wijaya
"Ah, tentulah berita amat pen ng yang raden hendak kabarkan kepada Riganata tua ini sehingga


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

raden memerlukan berkunjung pada waktu begini malam," sambut empu tua Raganata.
Bukan baru pertama kali itu Wijaya berkunjung ke tempat kediaman empu Raganata. Selama itu
ia mendapat kesan bahwa empu bekas pa h amangkubumi kerajaan Singasari itu memang seorang
narapraja yang luas pengetahuan dan mempunyai keperibadian yang menimbulkan rasa hormat
dan kagum. "Benar eyang," setelah memberi hormat dan menghaturkan maaf karena mengganggu
ketenangan tuan rumah, Wijaya menjawab pertanyaan empu tua itu "ada suatu persoalan yang
pen ng sehingga hamba memberanikan diri untuk mengganggu eyang pada waktu hari semalam
ini." "Ah, tak apa raden," empu Raganata segera, memimpin tangan senopa muda itu masuk
kedalam ruang pendapa "manakala pikiran dan tenaga Raganata yang sudak lapuk ini diperlukan,
tentu dengan segala senang ha eyang akan menghaturkan kepada raden. Bahkan seperangkat
tulang belulang yang sudah rapuh ini akan eyang persembahkan bilamana raden memerlukan."
Wijaya tersipu menghaturkan terima kasih. Kemudian dia mulai menuturkan peris wa yang telah
berlangsung dalam perapatan agung di keraton siang tadi.
"Baginda telah mengabulkan usul pa h Aragani untuk mengirimkan utusan ke Sriwijaya,
membawa arca Amogapasa untuk dihadiahkan kepada raja Teribuana Mauliwarman sebagai tanda
mempererat persahabatan."
"O," sambut mpu Raganata dengan nada datar.
"Bagaimana pendapat eyang mengenai hal itu" "
"Ah," mpu Raganata menghela napas "betapapun eyang hendak menentang langkah itu namun
keputusan baginda sudah pas . Tidakkah eyang ibarat orang yang berteriak-teriak di tengah
padang pasir." Wijaya tertegun. Dia dapat merabah bahwa dalam ucapan mpu tua itu ada sesuatu yang
disembunyikan. Nadanya jelas, mpu Raganata tak menyetujui hal itu. Namun ingin sekali Wijaya
mengetahui apa dasar daripada alasan mpu Raganata untuk tidak menyetujui hal itu"
"Eyang benar," kata Wijaya "memang amanat.seri baginda itu adalah laksana hukum negara.
Seolah tak boleh diganggu gugat. Namun Wijaya yang masih picik pengetahuan ini, ingin sekali
menerima petunjuk eyang mengenai peristiwa itu."
"Petunjuk apa yang raden maksudkan?"
"Eyang Raganata," kata Wijaya "maaf apabila hamba mohon mengajukan pertanyaan."
"Silakan, raden "
"Dapatkah kiranya eyang mempercayai hamba?"
Mpu Rapnata terkesiap "Mengapa raden bertanya demikian" Sudah tentu eyang menaruh
kepercayaan sebulat buluh kepada raden. Radenlah satu satunya tumpuan harapan eyang
untuk menatar kembali keadaan dalam praja Singasari ini."
"Terima kasih, eyang," serta merta Wijaya menghaturkan terima kasih "tak lain hamba hanya
ingin mendapat pandangan eyang tentang peris wa itu. Adakah keputusan seri baginda untuk
mengirim utusan yang membawa arca Amoghapasa ke Sriwijaya itu suatu langkah yang tepat?"
Mpu Raganata terdiam sejenak "Sebenarnya keputusan seri baginda itu adalah kelanjutan
dari langkah yang terdahulu yalah pengiriman pasukan Singasari ke Malayu. Dalam hal itu,
memang baginda tepat dalam keputusan itu. Karena ketahuilah, raden, bahwa perang itu hanya
mendatangkan penderitaan, kesengsaraan dan permusuhan. Tak ada negara di dunia ini yang
sanggup menduduki negara lain dengan peperangan dan memerintah dengan kekerasan. Tak
perlu harus mencari jauh-jauh. Daha dengan Singasari misalnya. Bukankah kedua kerajaan itu
terbenam dalam bara dendam permusuhan yang tak pernah berhenti?"
Mpu tua itu berhen sejenak untuk memulangkan napas "Demikian pula dengan pengiriman
pasukan Pamalayu untuk menguasai negara Malayu. Apabila pasukan pendudukan Singasari itu
ber ndak sewenang-wenang sebagai negara yang menang dan memerintah dengan kekerasan,
tentulah pada akhirnya takkan lestari. Maka dalam rangka inilah kiranya seri baginda berkenan
mengirim utusan yang membawa salam perdamaian, dan persahabatan dengan menghaturkan arca
Amogapasa kepada raja Teribuana Mauliwarman dari Sriwijaya."
Wijaya mengangguk. "Tetapi ada dua hal yang eyang cemaskan, raden."
"O," Wijaya mendesuh kejut "sudilah kiranya eyang memberi petunjuk kepada hamba."
"Pertama, mengenai keputusan seri baginda Kertanagara itu ," kata mpu Raganata "memang
pengiriman sebuah arca Amogapasa itu tepat dengan suasana kerajaan Sriwijaya yang terkenal
sangat giat mengembangkan agama Buddha. Kudengar pa h Demang Lebar Daun hampir
menghabiskan lumbung harta kerajaan untuk mendirikan dagoba, candi dan arca. Demang Lebar
Daun telah membangun sebuah candi besar di bukit Siguntang, dengan tujuan akan dijadikan
sebuah mandala pusat pengembangan pelajaran agama Buddha Hinayana. Didatangkan para
acarya yang putus dalam ilmu agama untuk mengajarkan agama itu. Dibangun pula asrama-asrama
pemondokan untuk mereka yang berasal dari mancanagara dan ingin belajar di Mandala itu."
Wijaya mengangguk. Diam2 ia dapat membayangkan betapa besar beaya yang diperuntukkan
pendirian, itu. Itulah sebabnya mpu Raganata mengatakan bahwa lumbung kekayaan kerajaan
Sriwijaya hampir dihabiskan Demang Lebar Daun untuk keperluan itu. Namun Wijaya masih belum
mendapat keterangan alasan mpu Raganata dak menyetujui ndakan baginda. Bukankah
pengiriman sebuah arca Amoghapasa ke Sriwijaya yang sedang giat mengembangkan agama
Buddha itu, Suatu tindakan yang tepat"
Rupanya mpu Raganata dapat membaca pertanyaan yang terkandung dalam ha Wijaya "Tetapi
usaha baginda itu, kemungkinan akan terbentur pada kegagalan."
"O, mengapa eyang" "
"Agama Buddha yang dikembangkan di kerajaan Sriwijaya adalah dari faham Hinayana. Demang
Lebar Daun dan raja Teribuana Mauliwarman, merupakan pengikut faham Hinayana yang amat
patuh. Sedangkan agama yang dianut Singasari adalah Tripaksi, Syiwa-Buddha-Brahma. Agama
Buddha di Singasari, bersumber pada paham Mahayana. Dan faham ini dak sesuai dengan iklim
agama yang dianut kerajaan Sriwijaya. Maka dakkah pengiriman utusan yang membawa arca
Amoghapasa ke Sriwijaya itu akan mendapat sambutan yang hambar" Tidakkah Demang Lebar
Daun akan menerima kedatangan utusan Singasari itu dengan rasa kecurigaan bahwa Singasari
hendak melancarkan 'serangan halus' dalam bentuk penyebaran faham Mahayana?"
Wijaya terkesiap. Memang uraian mpu Raganata itu mengena pada sasaran. Tetapi dia belum
menemukan alasan mengapa seri baginda Kertanagara harus ber ndak demikian" Bukankah faham
agama itu tak dapat dipaksakan dan harus dari kesadaran dirinya sendiri"
"Eyang," katanya "andaikata kecurigaan Demang Lebar Daun itu benar, apakah tujuan seri
baginda melancarkan penyebaran faham Mahayana ke Sriwijaya?"
"Pertanyaanmu tepat, raden," sambut mpu Raganata "jikapun ada dalam rencana pengiriman
arca Amoghapasa itu maksud seri baginda untuk mempengaruhi rakyat Sriwijaya supaya beralih ke
faham Mahayana maka hal itu memang mempunyai pengaruh dan akibat yang besar. Dengan
berkembangnya faham Mahayana di Sriwijaya maka kedudukan Demang Lebar Daun tentu akan
goyah. Karena dia seorang penganut faham Hinayana yang gigih. Kedua, apabila rakyat Sriwijaya
sudah beralih ke faham Mahayana tentu kesetyaan mereka terhadap Demang Lebar Daun dan
baginda Teribuana Mauliwarman akan berkurang. Pada puncak keakhiran, rakyat Sriwijaya tentu
akan berfihak kepada Singasari. Tanpa menggunakan kekerasan pasukan, dapatlah Singasari
menguasai Sriwijaya. Eyang mengatakan bahwa usaha seri baginda tentu akan mendapat rintangan
karena Demang Lebar Daun itu seorang ahli praja yang pandai dan tajam pandangannya."
Wijaya tertegun. Apa yang diuraikan bekas pa h amangkubumi itu memang bukan sesuatu yang
mustahil. Namun berat atau ringan, mau tak mau, dia harus melakukan apa yang telah
diamanatkan seri baginda.
"Ah, jika demikian, berat nian tugas yang harus kulaksanakan," kata Wijaya seper kepada
dirinya sendiri. "Mengapa raden berkata begitu?" Raganata terkejut heran.
"Karena yang diangkat sebagai kepala perutusan itu adalah hamba sendiri paman."
"Ah," desah Raganata. Namun pada lain saat dia tersadar bahwa hal itu sudah menjadi
kenyataan yang tak mungkin akan dirobah lagi. Dia harus memberi dorongan semangat kepada
Wijaya. "Tetapi raden hanyalah seorang utusan nata. Dalam hal ini kurasa daklah ada hal-hal
yang perlu raden cemaskan. Melakukan titah raja, merupakan suatu kepercayaan besar."
"Selain hamba, pun masih terdapat pula sebuah utusan yang dikepalai paman pa h Mahisa
Anengah dengan membawa persembahan puteri Tapasi untuk raja Campa."
Mpu Raganata geleng-geleng kepala "Memang demikian cara yang dianut seri baginda. Seri
baginda menggunakan ikatan keluarga dengan negara itu. Dan itupun merupakan salah sebuah
cara untuk menguasai negeri orang tanpa menggunakan pasukan."
Wijaya mengangguk. "Bukankah yang menghaturkan saran tentang kedua peristiwa itu patih Aragani, bukan?"
"Benar eyang " "Hm, makin hari makin tampaklah warna si Aragani itu," kata mpu Raganata "karena menentang
maksud seri baginda untuk mengirim pasukan, ke negeri Malayu maka aku dilorot menjadi
adhyaksa di Tumapel. Demikian juga demung Wiraraja, dia dipindah ke Madura. Kini Aragani maju
setapak lagi, menyingkirkan raden Wijaya dan pa h Mahesa Anengah. Berbahaya, sungguh amat
berbahaya sekali. Singasari kosong, penjagaan dalam negeri makin lemah. Pada saat itu, apabila
musuh, misalnya raja Jayakatwang dari Daha, menggunakan kesempatan itu untuk menyerang
Singasari, siapakah yang akan menanggulangi?"
"Baginda Kertanagara sendiri, eyang" sahut Wijaya "bukankah baginda seorang raja yang sak
mandraguna?" Mpu Raganata tertawa hambar "Baginda ibarat harimau yang dimasukkan dalam jaring
perangkap sutera madu dan kama. Ibarat harimau yang ap hari diberi makan kenyang tentulah
harimau itu akan hilang kegairahan hidupnya. Dia tentu malas dan lamban, tak tahu keadaan
diluar. Demikianpun baginda yang ap hari bersenang-senang minum tuak, mendengar keahlian
Aragani untuk bermain tutur, mengikat sajak, merangkai puji damba. Lama kelamaan akan hilang
juga semangat gerak baginda. Baginda akan menjadi lemah, pemabuk dan gemar melamun. Beliau
seolah-olah terpagar dari keadaan luar."
Berulang-ulang raden Wijaya menganggukkan kepala. Memang yang diulas mpu Raganata itu
suatu kenyataan yang sedang berlangsung didalam keraton Singasari.
"Tetapi eyang," kata Wijaya sesaat kemudian "masih belum menyentuh rasa kepercayaanku
apabila raja Daha akan menyerang Singasari. Bukankah puteranya yang bernama Ardaraja itu
menjadi putera menantu baginda" Bukankah Daha kini sudah terikat dengan hubungan darah
kekeluargaan dengan Singasari?"
Mpu Raganata mengangguk "Yang memberi mudah melupakan tetapi yang diberi takkan lupa.
Demikian dengan Singasari dan Daha. Singasari berusaha untuk melenyapkan rasa permusuhan
yang telah tumbuh berakar sejak berpuluh tahun. Baginda Kertanagara telah mengambil langkah
untuk coba menghapus dendam antara Singasari dan Daha dengan memungut raden Ardaraja
sebagai putera menantu."
"Itulah eyang," seru Wijaya "masih belum menyentuh dalam perasaan hamba apabila raja Daha
akan sampai hati untuk menyerang Singasari."
"Raden Wijaya," kata mpu Raganata "mungkin raja Jayakatwang dan khusus pangeran Ardaraja
akan dapat melupakannya tetapi dapatkah para ksatrya dan kawula Daha mengorbankan rasa
setya dan cinta negaranya demi kepen ngan pangeran Ardaraja yang sudah menjadi putera
menantu baginda Singasari itu?"
Masih Wijaya diam. Rupanya dia belum menemukan sesuatu yang dapat dijadikan landasan
mengokohkan pendiriannya.
"Raden," kata mpu Raganata pula "sejak Ken Arok atau raja Rajasa sang Amurwabhumi
mengalahkan raja Dandang Gendis atau Kertajaya, keturunan raja Daha dan para kawula
mendendam bara kebencian terhadap Singasari. Sekalipun raden Ardaraja, putera raja Jayakatwang
diambil menantu oleh baginda Kertanagara, namun orang-orang Daha cukup sadar. Mereka tahu
bahwa maksud baginda Kertanagara mengikat Daha dengan tali kekeluargaan itu tak lain hanya
untuk menguasai Daha, untuk memadamkan bara api dendam mereka. Tetapi raden, kurasa raja
Jayakatwang menerima hal itu hanya sebagai suatu langkah untuk mengimbangi siasat Singasari
belaka." "O," desuh Wijaya "bagaimana maksud ucapan eyang" "
"Raja Jayakatwang memanfaatkan ikatan tali kekeluargaan itu untuk memupuk kekuatan negeri
Daha." Wijaya terkesiap. "Eyang, bagaimana eyang tahu akan hal itu?" serunya sesaat kemudian.
Tiba- ba mpu Raganata bergan dengan nada "setengah berbisik." "Puteraku si Lembu Mandira,
secara diam-diam telah kusuruh untuk mengawasi gerak gerik Daha."
Wijaya tertegun. Tak pernah ia menyangka bahwa orangtua yang telah disingkirkan ke Tumapel
oleh baginda Kertanagara itu ternyata masih giat berusaha memikirkan keselamatan Singasari.
"Lalu bagaimana hasil pengamatan putera eyang selama ini ?" tanyanya.
"Raden, Daha tak pernah menghen kan kegiatannya memupuk kekuatan dengan menghimpun
prajurit-prajurit baru," kata mpu Raganata.
Wijaya terkejut. Tiba- ba pula ia teringat akan peris wa yang dialaminya di tengah jalan tadi
"Eyang, adakah dalam hubungan itu kakang Ardaraja juga tersangkut" Kalau benar, apakah peran
kakang Ardaraja dalam hubungan Daha dengan Singasari eyang?"
"Si Mandira belum berhasil mendapatkan buk -buk yang jelas. Namun yang diketahuinya yalah
raden Ardaraja itu sering pulang ke Daha."
Tentang hal itu memang Wijaya sudah mengetahui. Tetapi memang sukar untuk mencegah
seorang anak yang hendak menjenguk ayahandanya. Dalam hal ini, seri baginda Kertanagara
sendiripun tak leluasa untuk melarang. Karena bukankah seri baginda memang hendak menghapus
dendam permusuhan kedua kerajaan itu maka haruskah segala rasa curiga ditiadakan lebih dulu.
Sejenak kemudian Wijaya bertanya "Eyang, menurut hemat eyang, mungkinkah kakang Ardaraja
akan berhianat kepada Singasari karena membela ayahandanya raja Jayakatwang?"
"Suatu kemustahilan yang bukan mustahil, raden, apabila seorang putera membela kepen ngan
ayah dan negerinya itu," kata mpu Raganata lalu menatap wajah Wijiya dan balas bertanya
"adakah raden melihat suatu gejala tentang perobahan sikap raden Ardaraja"."
Wijaya teringat akan peris wa penyerangan gelap yang dialaminya tadi. Namun ia masih belum
mau percaya bahwakeduaorang itu benarutusan Ardaraja. "Dalam persoalan ini, tak lain hamba
hanya ingin mendengar pandangan eyang."
Sejenak kemudian kembali Wijaya bertanya "Eyang, tadi eyang mengatakan bahwa pa h Aragani
mempunyai maksud tersembunyi dalam menyetujui perutusan Singasari ke Sriwijaya itu."
"Ya." "Dengan tujuan apa dan kepada siapakah ia bekerja untuk menggerogo Singasari dari dalam
itu?" Mpu Raganata terdiam sejenak lalu menyahut. "Yang jelas, ndakan Aragani itu adalah demi
kepen ngan dirinya sendiri. Kemurkaan baginda atas diriku, demung Wiraraja dan tumenggung
Wirakreti, melambungkan Aragani ke tingkat kedudukan patih-dalam."
"Tetapi eyang," sanggah Wijaya "adakah hanya untuk diri peribadinya maka Aragani melancarkan
siasat itu ?" "Kurasa tidak, raden," kata mpu Raganata "karena dia seorang diri tentu merasa tak mampu
menghadapi suatu rencana gerakan besar. Tak mungkin mentri dan senopati serta kawula
Singasari merelakan dia untuk menduduki tahta kerajaan Singasari."
"Lalu kira-kira dengan siapakah dia mengadakan hubungan kerja, eyang?"
"Dengan siapa dia mengadakan persekutuan untuk menggerago kewibawaan Singasari dari
dalam itu, kemungkinan hanya dua. Pertama, dengan Sriwijaya dan, kedua dengan Daha."
Wijaya terbeliak. "Menurut jarak, lebih cenderung menduga bahwa dia mengadakan hubungan dengan Daha.
Namun kalau ditilik betapa gigih dia membela kepentingan Sriwijaya, kemungkinan besar dia
bersekutu dengan kerajaan itu. Tetapi baik dengan Daha maupun dengan Sriwijaya, kedua
kerajaan itu jelas musuh musuh yang berbahaya bagi Singasari. Kita harus waspada terhadap
gerak-gerik Aragani."
"Benar eyang," sambut Wijaya "hamba setuju dengan pandangan eyang. Maka dalam rangka
inilah hamba perlukan pada malam ini menghadap eyang."
"O," kata mpu Raganata "raden, benarkah perutusan Singasari membawa arca Amoghapasa ke
Sriwijaya itu sudah menjadi keputusan baginda?"
"Demikian, eyang."
"Hebat, benar-benar dia seorang manusia yang hebat," mpu Raganata memberi tanggapan
"tetapi sayang"
Wijaya heran "Sayang bagaimana yang eyang maksudkan" Apakah sayang karena dia dikuasai
oleh nafsu keinginan yang besar itu?"
"Bukan, raden," sahut mpu Raganata "sayang bahwa seorang tua yang bernama Raganata masih
hidup." "Ah," desah Wijaya "hamba merasa bersyukur kepada Hyang Batara Agung bahwa Singasari
masih dikarunia mentri setya seperti eyang."
Raganata gelengkan kepala "Tetapi jasad Raganata sudah rapuh dimakan usia, raden. Hanya
ksatrya-ksatrya muda seperti radenlah yang tepat memanggul beban masakala ini"
Wijaya mengucapkan kata-kata merendah kemudian berkata dengan nada yang sungguh "Hamba
sangat memuliakan penghargaan eyang. Dan dalam rangka untuk menunaikan tugas-tugas yang
telah terbeban pada bahu hamba maka pada malam ini hamba perlukan menghadap eyang.
Hamba akan mohon pertolorgan eyang."
"O," Mpu Raganata terkejut "apakah yang raden inginkan, siahkan bilang. Apabila Raganata
mampu melakukan, tentu dengan segala senang hati akan kulakukannya."
"Sebagai seorang hamba raja, maka hambapun terpaksa harus berangkat ke Sriwijaya. Pada hal
sesungguhnya amat berat ha hamba untuk meninggalkan pura Singasari. Tugas kewajiban hamba
untuk menyusun pasukan yang sanggup menjaja keselamatan Singasari masih belum selesai, pada
hal hamba harus meninggalkan Singasari. Hal inilah yang membuat perasaan hamba cemas. Maka
rasanya tiada yang dapat hamba pandang lagi kecuali eyang."
Mpu Raganata mengerut dahi "Maksud raden ?"
"Keamanan dan nasib Singasari hamba serahkan kepada eyang."
Mpu Raganata terbeliak "Eh, bagaimana mungkin raden. Raganata sudah tua dan sudah tak
punya kekuasaan lagi. Berat nian tanggung jawab yang raden berikan pada bahu yang sudah tua
ini." "Eyang Raganata," kini Wijaya yang bergan mencurah pandang tajam kepada adhyaksa Tumapel
"eyang adalah bau reksa penjaga Singasari. Eyang masih mempunyai pengaruh dan wibawa di pura
kerajaan walaupun eyang sudah dipindahkan ke Tumapel. Hamba tahu, bahwa golongan mentri,
senopa dan narapraja yang setya serta lapisan rakyat Singasari masih tetap mengenangkan jasa
eyang selama eyang menjabat sebagai patih amangkubhumi Singasari."
"Pemberontakan Mahesa Rangkah meletus karena golongan prajurit bhayangkara itu tak puas
melihat ndakan baginda mencopot eyang dari kedudukan pa h," Wijaya melanjutkan
pembicaraannya "walaupun pemberontakan itu dapat di ndas tetapi sisa-sisa mereka masih
banyak. Kesetyaan mereka kepada eyang masih tetap membara dihati sanubari mereka."
"Ah, raden Wijaya," mpu Raganata menghela napas.


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Eyang, perkenankanlah Wijaya lancang kata untuk mempersembahkan isi ha hamba ke
hadapan eyang." "Tak apa raden, silahkan."
"Menurut hemat hamba yang masih muda, kurang pengalaman, picik pengetahuan ini, hamba
merasa bahwa mengabdi kepada negara, adalah hak bagi se ap kawula negara dan wajib bagi
se ap putera per wi. Banyak ragam dan cara untuk mengabdi kepada negara. Yang secara
langsung adalah menjadi narapraja, prajurit kerajaan. Tetapi yang secara tak langsung, dapat
dicurahkan menurut kemampuan dan bidang masing-masing Misalnya petanipun golongan yang
mengabdi kepada negara. Karena dari kegiatan merekalah maka pangan rakyat dapat terpenuhi,
bahaya kelaparan lenyap, kejahatan akibat kurang panganpun hilang."
"Bahwa eyang dak lagi menjabat sebagai pa h amangkubhumi," kata Wijaya melanjut " daklah
menghilangkan hak eyang serta mengurangi kewajiban eyang untuk mengabdi kepada kerajaan
Singasari. Maaf, eyang apabila hamba berlancang kata memberi nasehat kepada eyang."
"Tidak, raden, dak sama sekali eyang akan marah, malu karena merasa terhina," mpu Raganata
gopoh memberi pernyataan "orang tua, dan muda hanya terdapat perbedaan umur. Tetapi tak
jarang umur itu hanya penambah ketuaan saja, bukan penambah kesempurnaan lahir ba n dari
orang yang bersangkutan. Muda sekalipun orang itu, tetapi kalau dia mempunyai pengetahuan dan
pengalaman yang lebih, maka tualah dia itu."
Wijaya mengucapkan terima kasih. Diam-diam ia makin menaruh hormat kepada adhyaksa
tua itu yang mempunyai pandangan hidup lain dari bebanyakan orang-orang tua. "Eyang,
hamba mohon hendaknya janganlah eyang kecewa ataupu berkecil hati karena tak memegang
tampuk pimpinan pemerintahan. Yang penting yalah dicintai kawula. Apa guna mempunyai
kekuasaan kalau dibenci rakyat" Misalnya patih Aragani. Dia mempunyai kekuasaan tetapi tak
disukai para kawula. Kawula Singasari masih lebih setya dan taat kepada eyang daripada
kepada Aragani. Apabila mereka menurut bukanlah karena setya dan taat, melainkan karena
takut akan kekuasaannya belaka. Dan kekuasaannya itu, bukan sesuatu yang bersifat
langgeng." "Oleh karena itu, ada lain orang yang dapat hamba pandang dan layak hamba serahi
keselamatan Singasari kecuali eyang," kata Wijaya lanjut.
"Tetapi raden," sambut mpu Raganata "bagaimana mungkin Raganata yang sudah tua renta dan
tak kuasa ini dapat melakukan tugas yang raden serahkan ?"
"Eyang adhyaksa," kata Wijaya dengan nada mantap "rasanya eyang tentu jauh lebih
berpengalaman dari hamba. Seper telah hamba haturkan tadi, bahwa masih banyak kawula
Singasari yang setya kepada eyang. Pupuklah kesetyaan rakyat itu dalam suatu kesatuan jiwa dan
kerahkanlah mereka apabila kerajaan Singasari terancam bahaya dari manapun datangnya."
Mpu Raganata tampak terlongong-longong mendengar uraian Wijaya. Tak pernah ia menyangka
bahwa seorang seusia Wijaya mampu mencurahkan kata-kata yang sedemikian berapi-api dan
tajam pandangannya. Serentak tergugahlah semangat Raganata. Rasa malu telah menghanguskan
perasaan ketuaannya dan kebangkitan semangatnya menyemikan pula kegairahan jiwa. Saat itu ia
merasa seolah olah seperti berpuluh tahun yang lampau dimasa ia masih muda.
"Raden Wijaya," katanya sesaat kemudian "kata-kata raden telah membangkitkan semangat
juang Raganata lagi. Baik, raden, walaupun sisa hidupku hanya nggal tak berapa lama namun
selama hayat masih dikandung badan, Raganata akan menyerahkan jiwa raga untuk mengadi
kepada Singasari." "Eyang, terimalah sembah-bak hamba," serta merta Wijaya menelungkup hendak mencium kaki
mpu tua itu tetapi Raganata tersipu-sipu mengangkatnya "ah, raden, seper telah raden katakan
tadi, bahwa mengabdi negara itu sudah hak dan wajib bagi seorang kawula. Aku hendak
melaksanakan hal itu, mengapa raden menghaturkan terima kasih kepadaku?"
"Tak lain eyang, karena hamba sangat terharu atas dharma-bakti eyang yang sedemikian
besar kepada Singasari," kata Wijaya "eyang, hamba akan tinggalkan beberapa orang kadehan
hamba di Singasari agar dapat mengadakan hubungan dan membantu eyang. Antara lain
mereka yalah Sora, Nambi, Lembu Peteng, Medang Dangdi, Gajah Pagon dan Pamandana.
Akan hamba pesan agar mereka taat pada petunjuk eyang."
Demikian setelah pembicaraan selesai, ternyata belum juga Wijaya minta diri. Kiranya dia masih
mempunyai persoalan yang perlu meminta petunjuk dari mpu Raganata "Eyang, bagaimana
pendapat eyang apabila dalam kunjungan ke negara Malayu itu, aku singgah ke Sriwijaya."
Mpu Raganata terbeliak "Maaf raden, rupanya telinga eyang yang sudah berkurang tajam ini,
agak kacau. Kemanakah maksud baginda mengirimkan arca Amoghapasa itu" Ke Sriwijaya atau ke
Malayu?" "Baginda menitahkan supaya arca itu dikirimkan kepada raja Warmadewa di Malayu."
"O," desuh Raganata "jika demikian, kelirulah penangkapan eyang tadi. Eyang kira kalau arca itu
akan dikirim kepada raja Teribuana Mauliwarman di Darmasraya, Sriwijaya. Karena Sriwijaya itu
terletak di Swarnadwipa. Demikian pula dengan negara Malayu."
Setelah mengulang pula tentang tujuan arca itu akan dikirimkan maka Wijaya meminta pendapat
mpu Raganata, bagaimana kiranya kalau dia singgah juga ke Sriwijaya "
"Tetapi apa tujuan raden ke sana" "
"Akan kubuktikan betapakah keadaan kerajaan itu sebenarnya. Syukur hamba dapat
menemukan jejak hubungan patih Aragani dengan Sriwijaya. Masih menimbulkan keheranan
hamba eyang, mengapa patih Aragani sedemikian gigih mempertahankan pendiriannya agar
kerajaan Sriwijaya jangan sampai diganggu oleh pasukan Singasari."
"Suatu langkah yang bagus, raden," seru mpu Raganata "dan bilamana raden ada mempunyai
dalih untuk menyelidiki kerajaan itu, eyang dapat menunjukkan sebuah jalan yang bagus"
"Terima kasih, eyang, harap eyang memberi petunjuk," pinta Wijaya.
Sejenak mpu tua itu berdeham untuk melonggarkan kerongkongannya yang kering. Setelah itu
berkata: "Raden, raja Sriwijaya, Teribuana Mauliwarman, mempunyai dua orang puteri yang can k
dan pandai. Dengan dalih hendak meminangkan kedua puteri itu untuk seri baginda Kertanagara,
tentulah mereka akan menyambut raden dengan upacara kebesaran."
Wijaya terkejut. Meminangkan puteri raja Sriwijaya untuk baginda Kertanagara" Ia bergumam
mengulang kata-kata itu. "Tetapi eyang Raganata," akhirnya ia tertumbuk pada suatu batu karang yang menghalang
rencana itu, "tidakkah hal itu akan membawa akibat yang buruk?"
"Akibat buruk bagaimanakah yang raden maksudkan?"
"Pertama, hamba berani mendahului suatu ndakan yang belum diamanatkan seri baginda,
bahkan membicarakan saja bagindapun belum pernah. Tidakkah hal itu akan memberi peluang
kepada pa h Aragani untuk mempersembahkan permohonan kepada seri baginda agar
menjatuhkan hukuman kepada diri hamba?"
"Soal itu eyang rasa dak," sahut mpu Raganata, "karena raden dapat menghaturkan alasan
kehadapan seri baginda, bahwa maksud raden itu tak lain hanyalah untuk mengikat persahabatan
dengan Sriwijaya. Dan raden-pun dapat menambah keterangan bahwa soal kedua puteri baginda
Sriwijaya itu, adalah kehendak raja itu sendiri yang hendak menyerahkan kepada seri baginda
Kertanagara." "Ah," Wijaya mendesah kejut "tidakkah hal itu berarti suatu tindak bohong terhadap raja?"
"Mungkin raden lupa bagaimana pendirian seri baginda selama ini terhadap kerajaan-kerajaan
yang dianggap memusuhi Singasari. Bukankah ndakan seri baginda untuk memungut pangeran
Ardaraja dari Daha sebagai putera menantu itu agar Daha melepaskan dendam permusuhan
terhadap Singasari " Bukankah pula pengiriman puteri baginda, dewi Tapasi kepada raja Campa
juga, suatu langkah untuk mengikat kerajaan Campa kedalam cita2 baginda untuk mempersatukan
seluruh nusantara?" "Dengan landaian pendirian itu. apabila raden menghaturkan alasan bahwa peminangan puteri
Sriwijaya untuk baginda itu akan merupakan salah sebuah mata rantai rencana besar baginda
untuk menguasai seluruh Swarnadwipa tanpa pertumpahan darah, pas lah seri baginda akan
berkenan menerima dengan gembira."
"Apakah seri baginda takkan murka?"
"Tidak, raden," kata mpu Raganata dengan nada yakin "seri baginda takkan murka. Pertama,
karena raden mendukung rencana yang terkandung dalam cita-cita baginda. Dan kedua, raden
adalah calon putera menantu baginda."
"Tidakkah patih Aragani akan dapat mempengaruhi seri baginda?"
"Dalam persoalan ini, eyang rasa baginda tak mungkin menerima bujukan Aragani. Karena
bukankah seri baginda akan senang sekali apabila dapat mempersun ng seorang puteri yang masih
muda belia dan termasyhur cantik" "
"Tetapi adakah hal itu layak mengingat usia baginda tentu terpaut jauh dengan puteri Sriwijaya
itu?" "Dalam soal itu, kaum pria dak mengenal usia. Terutama bagi seorang nata binatara seper seri
baginda Kertanagara, hal itu lebih dapat menyemarakkan keharuman keraton Singasari."
Wijaya merenung. Sesungguhnya ia memang sudah lama mendengar tentang kecan kan puteri-
puteri raja Sriwijaya itu. Sebagai seorang pria muda, nalurinya merin h-rin h ingin mendapat
kesempatan untuk berhadapan dengan puteri jelita itu.
Sebagai seorang senopa baru yang bertugas untuk menyusun kekuatan pasukan di pura
Singasari, memang Wijaya amat sibuk sekali. Dan cepat pula namanya menjadi buah bibir seluruh
lapisan kawula pura Singasari. Apabila kebetulan dia berkuda menjelajah lorong-lorong di pura
untuk meninjau keadaan kehidupan para kawula dan mengadakan pembicaraan langsung dengan
rakyat, baik mengenai keadaan kehidupan, keamanan dan kepen ngan mereka, maka pintu-pintu
rumah terbuka lebar, di sana sini gadis-gadis dan wanita-wanita muda sengaja berdiri di muka
pintu untuk menyambut senopa muda itu. Disepanjang jalan yang dilaluinya seolah berpagar
dengan wanita dan gadis-gadis can k. Bahkan banyak ibu-ibu rumahtangga yang mempunyai anak
perawan, memberanikan diri untuk memohon agar raden Wijaya berkenan singgah di rumah
mereka. Memang siapakah orangtua yang tak mengharapkan seorang putera menantu yang cakap, gagah,
berpangkat seper raden Wijaya" Siapakah anak gadis, dara jelita yang tak ingin dipersun ng oleh
seorang senopati cakap seperti Wijaya"
Demikian pula halnya dengan pangeran Ardaraja. Ardaraja dengan Wijaya merupakan sepasang
teruna priagung yang menjadi pujaan para gadis dan dara-dara jelita. Tetapi dalam persaingan
yang sebenarnya dak disengaja dan tak dikehendaki baik oleh Ardaraja maupun Wijaya, ternyata
Wijaya lebih menang. Pertama karena para orangtua yang mempunyai anak gadis itu tahu bahwa
pangeran Ardaraja sudah beristeri, puteri seri baginda. Sedangkan Wijaya masih hanya calon
putera menantu. Mereka tahu bahwa baik Ardaraja maupun Wijaya, tak mungkin akan
mempersun ng anak gadis mereka sebagai isteri. Kalau persembahan keinginan mereka supaya
anak gadis mereka diterima, tentulah hanya sebagai selir. Hal ini sudah mereka sadari tetapi
mereka tetap senang asal yang menerima itu raden Wijaya, bukan pangeran Ardaraja. Mengapa"
Karena orangtua orangtua di pura Singasari itu tahu bahwa Ardaraja adalah pangeran Daha, putera
raja Jayakatwang. Sedangkan Wijaya adalah putera keturunan dari raja Singasari. Maka mereka
lebih senang Wijaya daripada Ardaraja.
Rupanya demikian pula alam pikiran gadis-gadis, dan anak perawan di pura Singasari. Mereka
segan terhadap Ardaraja tetapi bermanja senyum kepada Wijaya. Itulah sebabnya maka apabila
hal itu dapat dianggap sebagai suatu persaingan, maka Ardaraja kalah. Hal itupun dirasakan juga
oleh Ardaraja. Diam-diam dia merasa iri dan geram terhadap Wijaya.
~^dewi.kz^Ismoyo^Mch^~ III Mpu Raganata tersenyum ke ka melepas Wijaya dari pintu gedung adhyaksa. Senopa muda itu
menyetujui saran mpu Raganata. Kelak apabila ba di kerajaan Malayu, dia hendak singgah pula ke
Sriwijaya. Dengan dalih membicarakan soal peminangan puteri raja Sriwijaya untuk seri baginda
Kertanagara, dia hendak meninjau dari dekat bagaimana sebenarnya keadaan kerajaan yang
pernah mencapai puncak kemasyhuran kejayaan itu.
Mpu Raganata menutup pintu dan masuk kedalam pula "Hm, anakmuda tentu tak lepas dari
gelora darah muda. Betapa bercahaya sinar matanya ke ka ia mempunyai kesempatan untuk
mengunjungi kerajaan Sriwijaya. Ah, mudah-mudahan dia dak melupakan tujuan semula untuk
menyelidiki keadaan kerajaan itu dan mencari jejak hubungan antara pa h Aragani dengan
Sriwijaya. Mudah-mudahan dia tak terbuai dengan kecan kan kedua puteri raja Tribuana
Mauliwarman yang termasyhur kecantikannya itu."
Tiba- ba pandang mata empu tua itu tertumbuk akan segunduk tubuh kurus yang tegak di ruang
tengah. Namun cepat dia dapat mengenali siapa orang itu "Sonto, engkau ?" tegurnya.
"Benar, gusti."
"Mengapa belum tidur" "
"Hamba menunggu gusti," sahut Sonto sambil menundukkan kepala.
"Hm," mpu Raganata mengangguk dalam hati. Ia memuji kesetyaan bujang tua itu. Sejak dia
masih menjabat sebagai patih amangkubhumi kerajaan sampai kemudian dilorot menjadi
adhyaksa di Tumapel, bujang itu tak pernah menunjukkan sikap kurang setya kepada tuannya.
"Sonto, buatkan wedang jeruk nipis dan bawalah ke sanggar pamujan," katanya.
"Apakah gusti hendak berjaga" "
"Aku belum dapat tidur. Tidurlah setelah menyediakan minuman itu."
Setelah Sonto pergi, mpu Raganata menuju ke sanggar pamujan, tempat ia melakukan semedhi
apabila menghadapi suatu persoalan. Sebuah ruang yang dibangun tersendiri disamping pendapa
agung. Dipagari dengan beraneka pohon bunga yang asri yang menyerbak keharuman.
Tak berapa lama Sontopun mabuk membawa penampan minuman "Baik, Sonto, nggalkan aku
dan tidurlah." "Tidak, mpu, hamba belum ngantuk"
"Hm, gejala orang yang sudah berumur lanjut. Sukar dur. Terutama kalau memikirkan sesuatu,"
gumam mpu Raganata. Karena sudah berpuluh tahun berhamba kepada keluarga Raganata maka Sonto itu sudah
seper warga keluarga. Hampir tak tampak suatu garis perbedaan yang tajam antara sang tuan
dengan bujangnya. Apalagi mpu Raganata memang tak menyukai adat is adat yang membedakan
antara manusia dengan manusia. Dia seorang penganut buddha.
"Gusti sedang risau pikiran?" tanya Sonto.
Raganata mengangguk. "Jika demikian, silakan mpu minum dulu. Hamba campuri sedikit bubukan pala untuk
menenangkan pikiran."
"O, engkau amat memperha kan diriku, Sonto," kata mpu Raganata seraya mengangkat cawan
dan meneguknya sampai habis setengah "ah, agak beda rasanya wedang ini ... . "
"Minumlah lagi mpu, agar pikiran gus tenang," kata Sonto. Dan ia tersenyum gembira ke ka
melihat mpu Raganata meneguk cawan sampai habis.
"Pergilah, Sonto, aku ingin seorang diri," kata mpu Raganata seraya memberikan cawan yang
sudah kosong kepada Sonto. Hamba tua itupun segera tinggalkan sanggar.
Beberapa saat kemudian tiba-tiba mpu Raganata rasakan kepalanya agak pening. Makin
lama makin terasa berat. Pandang matanyapun makin kabur. Ia merasa ada sesuatu yang tak
wajar "Sonto," teriaknya memanggil bujang tua Sonto.
Sonto muncul dengan wajah berseri "Bagaimana, gus " Apakah pikiran gus masih belum
tenang" " "Sonto, Sonto, kepalaku pening sekali . . . . eh, ruang ini seper berputar-putar .... Sonto, engkau
campurkan apa dalam minuman tadi ...."
"Obat penenang supaya gusti tidur dan melupakan kerisauan," Sonto tersenyum menyeringai.
"Uh, Sonto . .. Sonto . . . engkau .... Uh... " mpu Raganata tak dapat melanjutkan kata-katanya
karena kepalanya melentuk terkulai dan tak sadarkan diri lagi.
Sonto memeriksa tubuh mpu Raganata lalu tertawa "Bagus, macan tua, akhirnya engkau harus
menyerah jua .... " ba- ba dia menegakkan tubuhnya yang bungkuk, mencabut kumis xlan
janggutnya yang pu h dan menyiak rambutnya. Seke ka berobahlah bujang tua itu menjadi
seorang lelaki yang tegap.
Dia bukan Sonto si bujang tua tetapi seorang yang tak dikenal. Cepat ia mengikat kaki dan tangan
mpu Raganata lalu membungkus tubuhnya dengan selimut kemudian dipanggul dan dibawa keluar.
Tak berapa lama dia lenyap dalam kegelapan malam.
Gedung keadhyaksan Tumapel sunyi senyap. Penghuni penghuninya masih dur nyenyak.
Mereka tak tahu sama sekali akan peris wa yang terjadi dalam gedung itu. Karena tahu bahwa
Sonto yang menemani mpu Raganata, maka keluarga mpupun tak menaruh ke-kua ran suatu apa.
Memang demikianlah adat kebiasaan Sonto yang selalu melayani tuannya hingga larut malam.
Sudah tentu mereka tak pernah menduga bahwa Sonto malam itu bukanlah Sonto yang aseli.
Sonto yang sesungguhnya saat itu sedang menderita siksaan juga. Kaki tangannya diikat pada
pohon dalam hutan diluar gedung, mulut disumbat kain. Para penjaga gedung dharmadhyaksapun
terlena tidur semua. Keesokan harinya penghuni gedung agak heran karena tak melihat mpu Raganata dan Sonto.
Pikir mereka, tentulah adhyaksa bersama Sonto pergi ke lain tempat. Mereka baru hiruk ketika
pada hari ketiga dari peristiwa malam itu, putera adhyaksa Raganata pulang.
"Mana rama?" tegur pemuda itu. Dia adalah Lembu Mandira, putera tunggal dari mpu Raganata,
seperti yang pernah dituturkan mpu Raganata kepada Wijaya.
Isteri mpu Raganata sudah meninggal. Dia hidup bersama puteranya dan beberapa bujang.
Puterinya, ayunda Lembu Mandira sudah menikah dan ikut suaminya.
"Mana rama!" ulang Lembu Mandira ke ka tak mendapat jawaban dan para bujang itu pucat,
saling berpandang-pandangan.
Salah seorang bujang tua lalu menuturkan apa yang mereka ketahui. Bahwa ga hari yang lalu,
waktu malam hari mpu telah menerima kunjungan raden Wijaya. Setelah raden Wijaya pergi maka
mpu dilayani Sonto. Tetapi keesokan harinya dan sampai hari itu, mpu Raganata dan Sonto tak
tampak lagi. "Raden Wijaya, senopati Singasari yang baru itu?" Lembu Mandira menegas.
"Ya." "Apakah rama pergi ke pura Singasari untuk menemui raden Wijaya?" kata Lembu Mandira
seorang diri. Tetapi pertanyaan itu segera dihapusnya. Bukan-kah raden Wijaya sudah berkunjung
kesitu, tak mungkin rama akan menemuinya lagi ke Singasari.
Lembu Mandira makin gugup. Dia segera memerintah supaya mencari keseluruh gedung. Tetapi
tak berhasil menemukan jejak mpu Raganata dan Sonto.
"Apakah kamu tak salah lihat bahwa raden Wijaya membawa serta rama ke Singasari?" tanya
Mandira. Tengah Lembu Mandira gelisah memikirkan kepergian ramanya, seorang bujang masuk
menghadap "Raden," serunya terengah "diluar seorang penduduk mohon menghadap raden "
"Mau apa" "
"Katanya dia menemukan mbah Sonto," Lembu Mandira segera keluar. Beberapa penduduk
tampak menunggu di pendapa "Raden, ke ka kami mencari kayu di hutan, kami menemukan
paman Sonto terikat pada sebatang pohon. Mulutnya disumbat kain," beberapa lelaki itu memberi
laporan. Adhyaksa Raganata terkenal di Tumapei. Bukan karena kekuasaannya sebagai penguasa
tertinggi di daerah itu tetapi karena Raganata seorang yang jujur, bijaksana dan dekat dengan
kawula. Rakyat Tumapei setya dan membela Raganata dalam peristiwa dengan seri baginda.
Mereka mendukung pendirian Raganata. Andaikata tak dicegah mpu tua itu, tentulah mereka


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah memberontak menuntut keadilan untuk Raganata yang diperlakukan sewenang-wenang
oleh seri baginda. Sebagai curahan amarah yang tak dapat dihamburkan itu, mereka
menumpahkan kebencian kepada patih Aragani.
Lembu Mandira terkejut mendengar laporan itu. Cepat dia minta diantar ke tempat itu. Tiba di
hutan yang terletak di luar pura, mereka membawa Lembu Mandira kebalik gerumbul pohon yang
rimbun. "Sonto .... " teriak Lembu Mandira dengan suara tertahan ke ka mendapatkan bujang tua yang
setya itu sudah lemas ke ka tali pengikatnya dibuka. Tiga hari
ga malam tak makan, menyebabkan bujang tua itu mati lemas.
Lembu Mandira menangis. Bujarg Sonto adalah yang momong dan mengasuhnya sejak ia kecil
sehingga sampai berangkat menjadi seorang pemuda dewasa. Ia berlutut dan menyembah jenasah
bujang itu "Sonto, aku bersumpah akan menuntut balas kematianrnu."
Ramai-ramai penduduk segera rrengargkut jenasah Sonto pulang dan dikubur dengan mendapat
perha an besar. Hampir seluruh rakyat Tumapel ikut melayat dan bela sungkawa atas kepergian
Sonto. Mereka pun marah dan berjanji akan mencincang pembunuh kejam itu.
Lembu Mandira tak berhasil mendapat keterangan dari bujang Sonto yang sudah ma itu. Tetapi
ia menarik kesimpulan bahwa dalam peris wa lenyapnya ramanya itu tentu terjadi suatu hal yang
tak wajar. Jelas ramanya bukan menuju ke Singasari tetapi tentu dibawa orang. Dan orang itulah
yang menganiaya Sonto. "Siapakah musuh rama?" mulailah ia merenungkan segala sesuatu yang memungkinkan untuk
memulai mencari jejak musuh itu "Pa h Aragani" " renungannya segera berlabuh pada diri pa h
yang pernah menjerumuskan ramanya sehingga dilorot menjadi adhyaksa di Tumapel.
Diantara mentri dan narapraja kerajaan Singasari, memang kemungkinan besar pa h Araganilah
yang cenderung untuk diduga melakukan hal itu "Masih belum puaskah Aragani hendak
menganiaya rama" Bukankah rama sudah dilorot menjadi adhyaksa di Tumapel" Bukankah dia
sudah mencapai cita-citanya menjadi pa h Singasari?" susul menyusul pertanyaan
mbul tenggelam dalam benak Lembu Mandira, dikala dia duduk merenungkan musibah yang telah
menimpa rumah tangganya. "Ah, seburuk-buruk manusia tentulah masih memiliki sepercik ha nurani yang baik. Mungkinkah
pa h Aragani masih hendak menganiaya rama yang sudah dijatuhkan dari tangga pimpinan
pemerintah kerajaan itu" mbul perbantahan dalam ha nya. Di masih muda belia dan berangkat
dewasa dalam ajaran yang ditanamkan ramanya tentang sfat manusia luhur.
Kemudian renungannya beralih pada kunjungan raden Wijaya yang pada malam terjadinya
peris wa itu telah berkunjung menghadap ramanya. "Mengapa pada waktu selarut malam itu
raden Wijaya datang menemui rama" Adakah terjadi suatu persoalan yang pen ng yang
menyangkut diri rama" Mungkinkah raden Wijaya hendak memberitahukan rama tentang bahaya
yang akan mengancam rama?"
Tiba pada renungan itu mulailah pikirannya menyelam lebih jauh untuk mengungkap maksud
dan arti kunjungan raden Wijaya.
Makin jauh dia merenung makin banyak kemungkinan-kemungkinan yang dijelajahinya, antara
lain dia berusaha untuk membayangkan suasana dalam pemerintahan di pura Singasari "Menilik
raden Wijaya berhubungan akrab dengan rama, bukan mustahil kalau hal itu menimbulkan
kecurigaan pa h Aragani atau musuh-musuh rama. Bukan mustahil pula, mereka takut apabila
raden Wijaya, dalam kedudukannya sebagai calon menantu raja, akan menarik rama pula untuk
menjabat kedudukan pen ng di pura Singasari. Maka mereka lalu mendahului ber ndak untuk
menculik rama." Lembu Mandira tersentak dari lamunan ke ka tertumbuk pada renungan itu "Ya, benar, memang
pangkat dan kekuasaan itu dapat merobah pikiran manusia sebuas seiigala."
Akhirnya ia memutuskan untuk menemui raden Wijaya di Singasari. Pertama untuk
melaporkan tentang lenyapnya ramanya. Kedua, untuk menyelidiki suasana, siapa-siapa
kiranya yang patut diduga melakukan perbuatan itu.
"Ah, kemungkinan musuh tentu takkan kepalang tanggung ber ndak. Setelah rama di ndak,
mungkin mereka juga akan mengarah diriku," ba- ba pnla Lembu Mandira mendapat pemikiran.
Untuk mengamankan langkah perjalanannya, ia lalu menyamar sebagai seorang tua.
Tiba di pura Singasari, ia terkejut melihat suasana di pura kerajaan tampak kesibukan-kesibukan
yang tegang. Setelah mencari keterangan, barulah ia tahu bahwa pada hari itu kerajaan Singasarri
akan menerima rombongan utusan dari maharaja Kubilai Khan.
"Ah, raden Wijaya tentu sibuk. Kurang tepat untuk mengganggu waktunya saat ini," ia menunda
maksudnya lalu mencari pondokan untuk bermalam.
Ke ka sedang berjalan di sebuah lorong yang a-gak sepi, ba- ba muncul dua orang lelaki.
Lembu Mandira berusaha untuk menyingkir ke tepi jalan. Dia memang tak ingin menimbulkan
kecurigaan orang. Tetapi kedua lelaki itu tetap mengawasi dirinya. Bahkan salah seorang dari
mereka menegurnya " Hai, ki sanak, berhenti dulu "
Lembu Mandira terkejut namun ditenangkannya ha nya "Mengapa" " ia menyahut seraya
hentikan langkah. Salah seorang dari kedua orang itupun maju menghampiri "Siapa engkau ! " tegurnya agak keras
"Hendak kemana pada hari semalam ini" "
"Pulang," jawab Lembu Mandira.
"Pulang" Dimana rumahmu" Dari mana engkau?" Pertanyaan yang seolah bersifat suatu
pemeriksaan dari petugas keamanan negara itu, menyebabkan Lembu Mandira tak puas " Eh,
siapakah engkau ini" Apakah wewenangmu mengajukan pertayaan sedemikian rupa kepadaku"
Adakah engkau anggap aku ini seorang penjahat?"
"Aku Nambi, bekel prajurit yang sedang bertugas melakukan ronda keamanan pura. Hari ini
kerajaan Singasari menerima utusan dari maharaja Kubilai Khan maka keamanan pura dijaga
keras." Lembu Mandia agak terkesiap namun dia menjawab juga "O, tetapi aku rakyat baik-baik. Aku
hendak pulang." "Dari mana engkau dan dimana rumahmu"," masih Nambi mendesak pertanyaan.
"Aku habis membeli barang di pekan pasara dan karena hari sudah petang aku bergegas pulang."
"Pekan pasara" Pekan pasara dimana"
"Sudah tentu pekan pasara di pura ini," Lembu Mandira makin geram.
"Hari apakah sekarang ini ?" tanya Nambi pula.
"Soma merah," jawab Lembu Mandira. Soma merah sama dengan Senin Pahing.
"Benar," seru Nambi serentak "dan jelas engkau bohong! Pekan pasara di Singasari jatuh ap
hari Brehaspati (Kamis). Hari Soma tak ada pasara! "
Lembu Mandira terkesiap. Nambi memandang tajam "Hm, engkau tentu bukan penduduk pura, serahkan dirimu ! "
Lembu Mandira makin terkejut. Dia tak mengira kalau terperosok dalam jaring pertanyaan
Nambi. Tetapi seketika timbullah perasaannya yang meronta.
"Mengapa aku harus serahkan diri ?" serunya.
"Engkau kutangkap," kata Nambi "kalau dalam pemeriksaan nan engkau memang orang baik,
tentu kulepas lagi."
Lembu Mandira menghamburkan tawa kemarahan.
"Tidak ki bekel. Aku merasa tak melanggar undang-undang negara, dak pula aku merasa telah
melakukan suatu kesalahan."
"Engkau bohong! "
"Bohong " "
"Ya, engkau mengaku kawula pura kerajaan tatapi jelas bukan."
Lembu Mandira terkejut dalam ha . Memang ia tak menyangka bahwa jawabannya tadi telah
memperosokkan dirinya dalam jaring kecurigaan orang "Jangan engkau mengada-ada kesalahan
orang. Yang pen ng aku ini seorang kawula baik-baik. Undang-undang memberikan hak kebebasan
kepada kawulanya, asal dak melanggar hukum undang-undang itu. Sudahlah lah, ki bekel, jangan
mengusik diriku." Nambi makin besar kecurigaannya. Bicara orang itu tangkas dan cerdas. Tentu bukan seorang
kawula biasa "Ki sanak, aku seorang petugas yang sedang melakukan tugas menjaga keamanan
pura. Ikutlah aku. Kalau engkau memang orang baik-baik, tentu akan kami lepas."
Lembu Mandira gelengkan kepala menolak "Aku harus pulang. Anak isteriku tentu sudah cemas
menunggu kedatanganku."
"Engkau meminta aku harus menggunakan kekerasan ?"
Karena merasa dirinya hendak ditangkap, Lembu Mandira marah. Sebenarnya ia bersedia dibawa
bekel itu untuk diperiksa. Tetapi ia kua r, dirinya akan ditahan sampai beberapa waktu yang ada
ketentuannya. Dan kedua kali, iapun kua r, mereka akan membuka penyamarannya. Ia tak kenal
siapa bekel itu. Adakah dia anakbuah raden Wijaya ataukah orang pengalasan patih Aragani.
"Ki bekel, percayalah. Aku ini seorang penduduk baik-baik."
"Jika begitu apa keberatanmu kubawa untuk diperiksa kebenaran keteranganmu itu ?"
"Anak isteriku tentu cemas. Aku harus pulang."
"Alasan itu tak dapat kuterima," kata Nambi "kata-katamu menimbulkan kecurigaan.
Sudahlah, lebih baik engkau ikut aku dari pada aku harus bertindak dengan kekerasan."
"Ki bekel," masih Lembu Mandira berusaha untuk meredakan suasana "kalau engkau tak percaya,
marilah ikut aku pulang ke rumahku."
Dengan kata-kata itu Lembu Mandira memaksa diri untuk merangkai suatu undangan agar bekel
itu mau percaya. "Aku seorang petugas yang sedang melakukan tugas. Aku tak puya waktu untuk mengantarkan
engkau pulang" "O, engkau tetap hendak menangkap aku?"
"Kalau engkau mau menyerahkan diri, akan kubawa ke markas keamanan. Tetapi kalau
engkau membangkang, terpaksa aku akan bertindak dengan kekerasan."
Karena merasa menghadapi jalan buntu dimana segala alasan dan keterangan tak dapat diterima
maka Lembu Mandirapun memutuskan untuk melepaskan diri dari penangkapan yang dikua rkan
akan membawa akibat yang kurang menguntungkan dalam rencana kunjungannya ke pura kerajaan
itu. "Baik, ki bekel, engkau bebas melakukan tugasmu walaupun caramu menolak segala keterangan
secara membabi buta itu kurang bijaksana. Tetapi akupun akan menggunakan hakku untuk
membela kebebasan diriku"
"Hm, akhirnya engkau menunjukkan dirimu yang sebenarnya, ki sanak. Engkau tentu seorang
telik-sandi yang hendak mengadakan pengacauan di pura kerajaan," Nambi, menutup kata-katanya
dengan sebuah gerak mencengkeram bahu Lembu Mandira. Tetapi dia terkejut ke ka Lembu
Mandira menghindar ke samping.
Nambi diam-diam terkejut. Menilik gerak langkahnya, orang itu memiliki ilmu ulah kanuragan
yang baik. Nambi panas ha nya. Ia mengulangi gerakannya. Tetapi kali ini bukan gerak mencengkeram
melainkan menghunjamkan pukulan yang keras. Dan ternyata Lembu Mandira masih mampu
menghindar. Sampai ga kali Nambi bergerak tetapi tetap tak berhasil. Jangankan mengenai tubuh,
bahkan menyentuh pakaian Lembu Mandirapun tak mampu.
Nambi sebenarnya lebih berwatak sabar dari Lembu Sora. Tetapi saat itu, ia benar-benar malu
karena tak mampu mengalahkan seorang pak tua. Dan rasa malu itupun segera berkembang
menjadi perasaan marah. Diterjangnya Lembu Mandira dengan serangan yang gencar sekali
sehingga pemuda yang menyamar sebagai seorang lelaki tua itu sibuk juga untuk menghadapinya.
Apabila Nambi melancarkan serangan dahsyat karena malu dan marah, Lembu Mandirapun juga
menimang dalam ha "Ah, bekel ini makin panas ha nya. Kalau dia terus menerus menyerang
segencar ini, sekali aku lengah atau lambat menghindar, tentulah aku akan celaka."
Iapun teringat akan tujuannya datang ke pura Singasari. Ia hendak mencari raden Wijaya dan
bukan hendak mencari permusuhan dengan bekel prajurit Singasari. "Hm, apa boleh buat, dia
menjalankan tugas, tetapi akupun juga mempunyai kepen ngan sendiri. Pertempuran ini lak boleh
berlarut-larut berkepanjangan. Aku harus cepat menyelesaikan dan cepat melanjutkan perjalanan
masuk kedalam pura," pikirnya.
Sejak kecil Lembu Mandira telah digula-wentah atau ditempa ilmu tata kanuragaan oleh
ayahandanya, empu Raganata "Mandira, perjalanan hidup seorang anak laki itu penuh dengan
peris wa-peris wa yang sukar diduga. Dan engkau sebagai seorang ksatrya, harus mengabdi
kepada kerajaan. Dalam mengabdi kepada kepen ngan negara maupun kepada kepen ngan
keadilan dan kebenaran, ataupun dalam menghadapi percobaan-percobaan sewaktu melakukan
dharma seorang ksatrya, bukan suatu hal yang mustahil dan mengherankan apabila engkau harus
dihadapkan dengan tantangan yang menghendaki penyelesaian secara kekerasan. Oleh karena itu,
perlulah bagi seorang anakmuda untuk memiliki bekal ilmu tata kanuragan dan jaya kawijayan.
Hanya ingat," kata mpu Raganata "bahwa segala ilmu tata kanuragan dan jaya kawijayaan itu harus
diamalkan pada kepen ngan yang benar. Jangan sekali-kali untuk menghias dirimu dengan rasa
kebanggaan supaya ditaku orang ataupun engkau gunakan dalam jalan yang sesat dan sewenang-
wenang terhadap orang "
Namun rupanya mpu Raganata masih belum puas dengan apa yang telah diberikan kepada
puteranya. Ia menyadari pada suatu pandangan jauh dari suasana masakala yang akan datang.
Raganata seorang pemeluk agama Syiwa dan Buddha. Bahkan dipelajarinya juga agama Wisnu.
Ia tekun mempelajari kitab-kitab veda agama itu yang disebut kitab Purana. Menurut kitab
Purana, kehidupan dunia ini dibagi dalam empat yuga atau jeman, yani: Kreta, Dvapara, Treta dan
Kaliyuga. Dalam jeman Kretayuga, segala mahluk bertingkah laku baik. Kemudian dalam yuga-yuga
berikutnya, keadaan manusia makin jelek. Dan sampai pada jeman Kaliyuga sekarang ini,
kejahatan merajalela. ~^dewi.kz^Ismoyo^Mch^~ Jilid 25 Persembahan : Dewi KZ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ & http://dewi-kz.info/
Dengan Ismoyo Gagakseta 2 http://cersilindonesia.wordpress.com/
Editor : MCH I Dalam menanggapi kemarahan puteranya, Lembu Mandira, atas
ndakan seri baginda Kertanagara yang dengan semena-mena telah melorot kedudukan ayahandanya dari pa h
amangkubhumi menjadi adhyaksa di Tumapel, mpu Raganata mengingatkan akan kodrat masakala.
"Angger," kata mpu Raganata "bagi seorang tua seper rama yang sudah kenyang makan asam
garam kehidupan di dunia ini, hal yang menimpa diri rama itu bukanlah suatu hal yang harus kita
getuni dan sesali. Ketahuilah angger, bagi seorang yang sudah bening pikiran dan mengendap
segala kegemaran sad-indriyanya, daklah akan terpengaruh oleh segala perobahan dalam
kehidupannya. Termasuk kedudukan, jabatan, kekayaan, kekuasaan dan bahkan raga kita ini,
semua hanya merupakan barang
pan dari Hyang Isywara. Se ap saat apabila dikehendakiNYA,
kita harus rela menyerahkan."
Lembu Mandira kerutkan dahi.
"Tetapi rama" katanya sesaat kemudian "pandangan rama adalah pandangan dari seorang tua
yang sudah mendalami ilmu keba nan yang nggi. Tetapi bagi nama keluarga kita, terutama bagi
diri hamba, tidakkah hal itu berarti mencontreng arang pada muka Lembu Mandira?"
"Sepintas memang benar demikian, anakku," kata mpu Raganata "engkau tentu merasa malu,
dendam dan marah. Tetapi rama akan memperingatkan engkau pada dua buah hal yang baku . . .
.." Berhen sejenak untuk mengatur napas, mpu Raganata melanjutkan pula "Pertama, akan
kuberikan kepadamu tentang kodrat masakala seper yang tertera dalam kitab Purana. Kehidupan
manusia itu dibagi dalam empat yuga atau jeman, yani Kretayuga, Dvapara, Treta dan Kaliyuga.
Dalam jeman Kretayuga, segala mahluk ber ngkah laku baik. Kemudian dalam yuga-yuga
berikutnya keadaan manusia makin buruk. Dan sekarang, kita sudah menjelang pada jeman
Kaliyuga. Jeman dimana segala kejahatan, kemunafikan dan kekacauan merajalela. Yang emas
disangka loyang yang loyang disangka emas "
"Kodrat masakala tak dapat dipungkiri, anakku," kata mpu Raganata pula "tetapi manusia dapat
menghindarinya apabila selalu sadar dan waspada, ber ngkah jujur dan suci. Manusia-manusia
yang memiliki bekal itulah yang akan menerima anugerah Hyang Widhi Agung. Jangan engkau kuatir
takkan menerima bagian dari anugerah agung itu karena Hyang Purbeng gesang itu maha kuasa,
maha adil. Barang siapa yang menjalankan tahNYA, tentu akan mendapat anugerah. Banyak
sarana dan jalan yang tak tersangka-sangka dari anugerah Hyang Widhi itu. Asal engkau dapat
mengendalikan diri dan sabar, jangan memburu nafsu, grusa-grusu kebingungan sehingga
mengacaukan pancaran tekadmu."
Sejenak mpu Raganata mengambil napas pula lalu melanjutkan "Yang engkau cemaskan, sesalkan
dan bahkan rasakan sebagai suatu hinaan bagi keluarga kita, adalah disebabkan engkau berdiri
dalam kedudukanmu sebagai seorang ksatrya, bukan?"
"Demikian perasaan hamba, rama."
"Baik, anakku," kata mpu Raganata rasa cemas, sesal, malu, mbul dari suatu rasa angan-angan.
Angan-angan yang terpengaruh oleh penyerapan, kesan dan kesimpulan lingkungan hidupnya.
Engkau merasa sebagai seorang putera pa h amangkubhumi kerajaan Singasari. Engkau menyerapi
lingkungan hidupmu sebagai putera seorang priagung yang luhur. Lalu engkau berkesan, bahwa
keluhuran itu harus engkau pertahankan dan bela kema -ma an. Kemudian mbullah kesimpulan,
betapa aib dan memalukan kalau ramamu dilorot kedudukannya, dari seorang pa h kerajaan
menjadi seorang adhyaksa. Inilah, anakku, yang menyebabkan mbulnya angan-angan perasaan
dalam hatimu. Tetapi angger,?"
Mpu Raganata berhen lagi, lalu "kesemuanya itu dak benar. Engkau marah, menyesal dan
malu karena engkau dibayang-bayangi oleh perasaanmu sendiri. Perasaanmu yang dicengkam
dalam lingkungan hidupmu Orang tentu akan mencemoh, menghina bahkan mentertawakan
dirimu, demikian angan-angan yang engkau ciptakan sendiri itu akan membentuk suatu belenggu
kecemasan yang mengikat perasaanmu. Pada hal, hidup seorang manusia itu, bukan ditentukan
oleh nggi rendahnya kedudukan, luhur hinanya keturunan, kaya papanya keadaan, besar kecilnya
pangkat, melainkan pada amal dharmanya. Yang dianggap ksatrya, menurut hematku, bukan
ditentukan dari golongan kastanya, bukan dari bentuk wajahnya. Misalnya, rama sering
mendongengkan tentang kaum Korawa dan Pandawa, serta Ramayana. Korawa, menurut kastanya
adalah ksatrya, mereka putera-putera raja. Tetapi dari ulah ngkah dan keba nannya yang penuh
nafsu angkara murka itu, dapatkah kita namakan mereka ksatrya yang seja " Lalu Kumbakarna,
adik dari prabu Rahwanaraja. Walaupun dia seorang yang berwajah raksasa, tetapi dia adalah
seorang ksatrya yang setya pada dharmanya."
"Maka Mandira, jangan engkau membiarkan dirimu terbelenggu dalam ikatan kegemaran dan
perasaan akan alam lingkungan hidupmu. Jangan pula engkau menggantungkan hidup dan alam
pikiranmu pada anggapan orang. Bebaskanlah segala itu dan hiduplah sebagaimana engkau adalah


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

engkau sendiri. Setelah engkau terbebas dari belenggu2 perasaan itu, batulah engkau dapat
memandang dan menghaya ar daripada keluhuran seorang ksatrya seja . Dharma seorang
ksatrya adalah untuk 'mangayu hayuning bawana', menegakkan keadilan dan kebenaran,
mendanakan kasih sayang dan menjunjung keluhuran budi dan peker . Seorang ksatrya harus 'sepi
ing pamrih, ramai ing gawe'. Dalam mengamalkan dharma bhak nya kepada negara, seorang
ksatrya dak terikat akan tempat dan waktu, dak terpengaruh oleh nafsu keinginan akan pangkat
dan kedudukan. Yang penting adalah amal, kesetyaan dan pengabdiannya terhadap negara."
"Rama sudah tua," kata mpu Raganata lebih lanjut "rama tak merasa dendam atau malu karena
dilorot kedudukan rama. Bagi rama, angger, kesejahteraan negara dan kawula Singasari adalah
tujuan hidup rama. Jangankan dilorot sebagai adhyaksa, sekalipun rama dak memegang suatu
jabatan apa-apa, pun rama tetap akan mengabdikan hidup rama ini kepada Singasari. Seorang
ksatrya pantang pamrih. Oleh karena itu seorang ksatryapun kurang layak apabila karena dak
mendapat imbalan atas jasa dan pengorbanan, pengabdian dan perjuangannya, lalu menyesal dan
sakit hati. Mandira, dapatkah engkau menghayati pendirian rama ini ?"
Serta merta Lembu Mandira menjatuhkan diri menelungkupi kaki ramanya "Duh, rama, maa an
hamba. Rama telah menyalakan pula semangat hidup hamba. Rama telah menerangi pula jalan ke
arah keluhuran ksatrya yang harus hamba tempuh."
Demikian Lembu Mandira mohon diri untuk kembali ke tempat pertapaan gurunya, mpu
Santasmer . Peris wa itu terjadi pada waktu Lembu Mandira mendengar tentang keputusan
baginda yang melorot ramanya menjadi adhyaksa di Tumapel. Dia pulang dengan membekal
dendam kemarahan yang menyala-nyala, namun setelah mendapat wejangan dari ramanya, dia
kembali ke gunung dengan ha yang lapang dan tekad yang lebih mantap untuk menuntut ilmu
agar kelak dapat melaksanakan pesan ramanya, menjadi seorang ksatrya yang luhur.
Demikian sekelumit kisah Lembu Mandira, yang setelah diidinkan gurunya untuk pulang karena
dianggap sudah banyak ilmu yang telah dipelajarinya, telah mengalami suatu peris wa yang
mengejutkan atas lenyapnya ramandanya, mpu Raganata. Dan karena tetamu yang datang pada
malam itu adalah raden Wijaya, maka iapun hendak menemui senopa Wijaya. Tetapi karena hari
itu kerajaaan Singasari sedang menerima utusan dari raja Kubilai Khan, terpaksa dia akan mencari
penginapan dulu. Pada waktu dia sedang menyusur lorong yang sepi, bertemulah dia dengan dua
orang, Nambi dan Sora, yang kebetulan pula sedang bertugas untuk melakukan ronda keamanan
malam. Nambi terkejut ke ka mengetahui bahwa orang yang mengaku sebagai penduduk pura dan
mengatakan saat itu hendak pulang, ternyata memiliki krida kanuragan yang tinggi.
Andaikata Lembu Mandira mau mengatakan siapa sesungguhnya dirinya itu, tentulah
perkelahian itu tak perlu terjadi. Karena Nambi kenal akan mpu Raganata dan menaruh perindahan
atas kebesaran jiwa dan kesetyaan bekas patih kerajaan Singasari itu.
Pun Lembu Mandira juga tak tahu bahwa kedua orang itu ternyata kadehan dari raden Wijaya. Ia
tahu bahwa suasana dalam pura Singasari sedang bergolak. Walaupun tampaknya tenang tetapi
sesungguhnya secara diam-diam sedang berlangsung perebutan pengaruh dan kekuasaan dari
beberapa golongan. Yang jelas ada ga golongan yang sedang berlomba untuk mencari kekuatan
dan pengaruh, yalah golongan pa h Aragani, golongan pa h Kebo Anengah dan golongan
pangeran Ardaraja. Disamping masih terdapat sisa-sisa golongan penganut mpu Raganata,
Wirakre dan Wiraraja. Golongan penganut mpu Raganata ini kecil jumlahnya tetapi mereka
adalah mentri dan nara praja yang setya kepada kerajaaan Singasari.
Kehadiran Wijaya sebagai senopati baru dan sekaligus juga menjadi calon menantu baginda,
menimbulkan berbagai tanggapan dari golongan-golongan itu. Mereka saling berusaha untuk
menarik Wijaya ke dalam fihaknya. Namun Wijaya sangat berhati-hati menghadapi mereka dan
menentukan langkah. Setelah mempelajari suasana pemerintahan pura Singasari, iapun mulai
terang akan keadaan dalam pemerintahan Singasari. Dan dia memutuskan bahwa golongan
yang akan dimasukinya adalah golongan yang setya kepada kerajaan Singasari. Baginya,
kepentingan negara Singasari, di atas semua golongan. Dalam hal ini dia lebih cenderung untuk
bergaul dekat dengan mpu Raganata. Dari mpu itulah dia banyak mendapat pengetahuan dan
pengalaman dalam pemerintahan dan cara-cara untuk mengatur pemerintahan.
Kembali pada Lembu Mandira yang saat itu sedang bertempur dengan Nambi, diam2 putera mpu
Raganata itu tak sabar lagi. Dia harus lekas-lekas menyelesaikan pertempuran itu agar jangan
terlalu lama terlibat. Dan untuk melaksanakan hal itu, dia harus mengerahkan ilmu
keperwiraannya. "Krakkkkk," dalam sebuah kesempatan setelah menghindar terjangan Nambi, dia segera kerahkan
tenaga dari Cakram Manipura atau perut, menangkis pukulan Nambi. Benturan pukulan itu
menimbulkan bunyi yang keras sehingga keduanya sama-sama terbeliak. Nambi tersurut selangkah,
Lembu Mandirapun tergetar keras tangannya.
"Bagus, ki sanak, kiranya engkau berisi," seru Nambi seraya maju, membuka serangan lagi. Kali ini
diapun berlaku ha -ha . Serangannya dak segencar tadi tetapi lebih mantap dan lebih berisi
tenaga keras. Lembu Mandirapun melayani dengan makin gairah. Diam-diam diapun terkejut heran bahwa
seorang petugas ronda keamanan ternyata memiliki ilmu kanuragan yang sedemikian tangguh.
Pertarungan berlangsung seru, lama dan cukup memeras tenaga keduanya.
Tetapi betapapun Lembu Mandira lebih muda. Beberapa waktu kemudian tampak Nambi mulai
mengunjuk tanda-tanda kehabisan napas. Serangannya makin lamban dan gerak kakinyapun mulai
mengapung. Hal itu tak terlepas dari pengamatan Lembu Mandira. Sengaja ia memberikan dada ke
muka seper tak terlindung sehingga Nambi terpancing. Dihantamnya dada anakmuda itu dengan
sekuat tenaga. "Uh ... " seketika mendesuhlah mulut Nambi ketika tubuh
lawan tiba2 lenyap dari pandang mata dan sebelum ia sempat menarik kembali tinjunya,
kakinya terasa terkait oleh sebuah kaki yang kuat, terangkat ke atas sehingga ia kehilangan
tempat berpijak dan berayunlah tubuhnya melayang ke muka, bum ... ia jatuh bertiarap
menyusur ke tanah. Namun cepat ia dapat menyadari apa yang akan dideritanya apabila
mukanya sampai membentur tanah. Kesadaran itu segera disusul dengan suatu langkah,
menggerakkan kedua tangan untuk menebah tanah, kemudian dengan tenaga tekanan pada
tanah itu, ia mengantar tubuhnya melenting, berjungkir balik dan tegak berdiri berdiri pula.
Serentak ia berputar tubuh hendak menyerang lagi tetapi ternyata saat itu Lembu Mandira
sudah berbaku hantam dengan Lembu Sora.
"Hm, orang itu hebat sekali kepandaiannya. Aku kua r kakang Sora tak dapat mengatasinya,"
setelah mengiku jalannya pertempuran beberapa jenak, Nambi memutuskan untuk membantu
Sora menangkap orang itu. Namun walaupun harus menghadapi dua lawan yang digdaya, Lembu
Mandira tetap gesit dan tangkas, baik menghindar, menangkis maupun balas menyerang.
Sora terkejut juga. Belum pernah ia berhadapan dengan seorang yang mampu mengimbangi
serangannya. Apalagi Nambi ikut maju. Makin lama Sora makin gemas juga. Rasa telah
membangkitkan suatu luapan kemarahan. Kemarahan dari sepasang matanya yang menyala
merah, ingin menyaksikan darah lawan.
"Krakkkkk .... "
Sebuah pukulan yang dilambari dengan menghimpun segenap kekuatan, telah dilancarkan
Sora. Lembu Mandira terkejut. Karena tak sempat menghindar, terpaksa dia menangkis. Ketika
kedua pukulan saling beradu, terdengarlah bunyi letupan yang keras dan keduanya sama-sama
tersurut ke belakang. Hanya kalau Lembu Mandira terpental sampai tiga langkah, Sora hanya
selangkah. Memang betapapun Lembu Mandira masih muda belia. Walaupun dia telah putus dalam
bermacam ilmu kanuragan dan jaya-kawijayan yang diberikan mpu Santasmer , pujangga keraton
Singasari yang karena tak tahan melihat suasana keraton Singasari makin dilipu awan gelap, lalu
mohon berhen dan menjadi pertapa di gunung. Hal itu juga sebagai sanggahan atas ndakan seri
baginda Krrtanegara yang telah melorot dan memindahkan ga mentri wreda yani mpu Raganata,
Wirakreti dan Wiraraja. "Mandira, segala ilmu yang kumiliki telah kuturunkan kepadamu. Tetapi ilmu itu harus digeladi
se ap hari agar engkau dapat meningkatkannya ke arah tataran yang sempurna," demikian pesan
mpu Santasmer di kala melepas Lembu Mandira turun gunung. Ia tahu bahwa yang kurang pada
muridnya itu hanya kesempurnaan latihan dan pengalaman.
Sedangkan Sora, sudah lebih matang dalam pengalaman dan pencapaian ilmu yang
dikuasainya. Memang dalam hal tenaga, Sora amat kuat. Pukulannya mantap dan keras.
Sebenarnya Lembu Mandira hanya kalah kematangan la han dan pengalaman belaka. Apalagi
dia harus menghadapi dua orang lawan yang tangguh, Sora dan Nambi. Sebelum itu, diapun sudah
terkuras tenaganya dalam menghadapi Nambi tadi.
Sebelum Lembu Mandira sempat berdiri tegak, Nambipun sudah loncat menerkamnya. Lembu
Mandira terkejut. Karena gugup dia terus jatuhkan diri berguling-guling ke tanah. Maksudnya
hendak menyingkir jauh dan kemudian baru melen ng bangun pula. Tetapi alangkah kejut yang
dideritanya ke ka ia rasakan punggungnya telah diinjak oleh sebuah kaki yang kuat. Kiranya yang
menginyak itu adalah Sora Melihat lawan berguling-guling di tanah, seper sesosok bayangan,
Sorapun loncat mengikuti dan menginjak punggung Lembu Mandiia.
Lembu Mandira menahan napas seraya menhimpun tenaga lalu meronta sekuat-kuatnya. Tetapi
kembali dia mendesus kejut ke ka kedua kakinya ditangkap oleh sepasang tangan yang kuat. Itulah
Nambi. Dia juga cepat memburu ke tempat Lembu Mandira lalu meringkus kedua kaki pemuda itu.
"Setan alas, sekarang rasakan tanganku," rupanya Nambi masih geram karena dikait jatuh oleh
Lembu Mandira tadi. Walaupun pemuda itu sudah tak dapat bergerak, namun Nambi masih belum
puas dan hendak menghadiahi sebuah pukulan lagi.
"Uh . . . uh . . . " ba- ba terdengar mulut Nambi dan Sora mendesuh kejut dan tubuh keduanya-
pun terjerembab ke belakang.
Tanpa diketahui bila dan bagaimana asai mulanya, tahu-tahu sesosok tubuh telah berada di
belakang Nambi dan Sora lalu mencengkeram bahu kedua orang itu dan disentakkan sekuat-
kuatnya ke belakang sehingga Sora dan Nambi terpelanting.
"O, raden Wijaya ..." ke ka Sora dan Nambi. sempat melonjak berdiri dan memandang siapa
yang telah menyentakkan keduanya itu, serempak berteriak kaget.
Namun saat itu, orang yang diteriakinya itu tengah mengangkat bangun Lembu Mandira.
Ternyata orang itu memang Wijaya. Setelah melihat bahwa Lembu Mandira tak menderita luka,
barulah dengan tenang Wijaya berputar tubuh menatap kedua kadehannya itu dengan mata
menyalang geram "Sora, Nambi, hm, benar-benar tak tahu malu kalian! Mengapa kalian
menganiaya seorang tua" Apakah salahnya?"
Serta mejta Sora dan Nambi mengunjuk lembah memohon maaf "Maafkan raden, dalam keadaan
terpaksa, kami berdua telah melakukan hal itu. Kami hendak menangkapnya tetapi dia melawan."
"Mengapa kalian hendak menangkapnya?"
"Waktu kami sedang melakukan ronda, bertemulah kami dengan orang itu lalu kami tegur.
Karena jawabnya mencurigakan maka hendak kami bawa dia ke markas tetapi dia menolak.
Terpaksa kami mengambil tindakan keras."
Wijaya tak memberi tanggapan suatu apa melainkan berpaling ke arah Lembu Mandira. Belum
sempat ia menyapa. Lembu Mandira sudah mendahului "O, apakah andika raden Wijaya . . . ya,
benar, benar, andika tentulah raden Wijaya yang sering berkunjung ke rumah rama."
Wijaya terbeliak heran "Siapakah engkau?" tegurnya.
Lembu Mandira segera mencabut kumis, janggut dan rambut pu h pada muka dan kepalanya.
Serentak bergan lah wajah orangtua itu menjadi seorang pemuda yang cakap dan gagah "Aku
Lembu Mandira, kakang."
"O, engkau putera eyang Raganata?" seru Wijaya setelah melihat perwujutan Lembu Mandira
yang sebenarnya. "Benar," Lembu Mandira mengiakan.
"Mengapa engkau tiba di sini?"
"Aku hendak masuk ke pura."
"Mengapa" "
"Mencari kakang Wijaya."
"Mencari aku" Mengapa?" Wijaya makin terkejut.
"Akan menyampaikan sebuah berita yang amat penting tentang rama," sahut Lembu Mmdira.
"O," Wjaya mendesuh kaget. Ia memandang Sora dan Nambi "Sora, Nambi, inilah putera mpu
Raganata, adhyaksa di Tumapel. Hayo, engkau harus minta maaf kepadanya."
Sora dan Nambi segera minta maaf kepada Lembu Mandira "Raden, maa an perbuatan kami
tadi." "Ah, kakang berdua tak salah karena menjalankan tugas. Yang salah sesungguhnya aku sendiri,"
kata Lembu Mandira. "Apabila raden memberitahukan siapa diri raden, tentulah kami berdua tak berani berlaku
kurang tata." "Mandira tak salah karena belum kenal kalian berdua," Wijaya menyelutuk kemudian berkata
kepada Mandira "Mandira, marilah kita pulang. Di sini bukan tempat yang tepat untuk bercakap-
cakap". Lembu Mandira diajak pulang ke rumah kediaman Wijaya. Sebagai seorang senopa , Wijaya
mendiami sebuah gedung yang besar, lengkap dengan penjaga-penjaga gedung.
"Nah, Mandira, silakan engkau bicara apa yang hendak engkau katakan kepadaku," kata Wijaya
setelah mengajak Lembu Mandira duduk di pendapa. Sora dan Nambi juga ikut hadir. Memang
walaupun hanya kadehan, tetapi Sora dan Nambi itu seolah merupakan tangan kanan dan tangan
kiri Wijaya. Wijaya memperlakukan kedua orang itu bukan sebagai kadehan bawahannya tetapi
seolah sebagai kawan perjuangan. Namun Sora dan Nambipun tahu kedudukan diri. Keduanya
tetap bersikap menghormat kepada Wijaya.
"Kudengar bahwa hari ini kerajaan Singasari telah menerima kunjungan utusan dari raja Kubilai
Khan, benarkah itu, kakang?" bukan langsung menceritakan persoalan yang hendak disampaikan
kepada Wijaya, tetapi Lembu Mandira membuka pembicaraan dengan pertanyaan itu.
Wijaya mengiakan. "Apakah kakang juga hadir dalam upacara penyambutan itu ?" tanya Lembu Mandira pula.
Diam-diam Wijaya heran mengapa Lembu Mandira bukan mengajukan persoalan yang
dibawanya melainkan pertanyaan lain. Namun sebagai seorang tuan-rumah, ia harus bersikap
ramah "Ya, sebagai senopa yang bertanggung jawab akan keamanan pura Singasari, seri baginda
telah menitahkan aku supaya hadir dalam perapatan agung itu."
"Lalu bagaimana hasilnya, raden?" tiba-tiba Sora mcnyelutuk pertanyaan.
Wijaya menghela napas bernada agak geram "Hm, andaikata tak kucegah tentulah sudah terjadi
peristiwa hebat yang akibatnya tak terperikan."
"O," Sora terkejut "peris wa apakah yang telah terjadi dalam perapatan agung di istana itu,
raden?" "Yang datang sebagai utusan raja Tartar itu seorang hulubalang bernama Tomulo yang
menyampaikan surat raja Kubilai Khan ke hadapan baginda Kertanagara. Dalam surat itu raja
Kubilai Khan meminta agar pasukan Singasari yang berada di Malayu, jangan menguasai bandar-
bandar di negeri itu dan jangan memungut cukai pada perahu serta kapal yang singgah di bandar."
"O," Sora terkejut "lalu bagaimana sikap Seri baginda ?"
"Seri baginda menolak."
"Bagus," seru Sora "sungguh bijak dan tegas sekali seri baginda kita."
"Ya, memang selayaknya demikian," sambut Wijaya "asal jangan berlebih-lebihan seper sikap
patih Aragani." "O, apakah pa h Aragani menganjurkan seri baginda supaya menerima permintaan raja Kubilai
Khan?" "Tidak," jawab Wijaya "dia setuju atas ndakan seri baginda bahkan lebih dari itu, dia
menganjurkan agar seri baginda bertindak keras kepada Kubilai Khan."
Sora terkesiap "Maksud patih Aragani supaya menindak utusan itu?"
"Ya." "Tetapi dia hanya utusan nata saja. Mengapa patih Aragani menghendaki demikian ?"
"Alasannya," kata Wijaya "dengan berani mengirim surat yang berisi permintaan semacam itu,
jelas raja Kubilai Khan meremehkan kewibawaan seri baginda kita dan hendak memberantas
kekuasaan Singasari di Malayu maka patutlah seri baginda membalas hinaan itu dengan cara
menghukum utusannya."
"Apakah seri baginda setuju ?" Sora terkejut.
"Ya," jawab Wijaya "untunglah rakryan Ramapa mentri yang mengurus hubungan dengan
mancanagara, cepat mencegah. Seorang utusan hanya sebagai pelaksana apa yaag di tahkan
tuannya. Jika hal itu dianggap menghina maka yang menghina adalah raja Kubilai Khan, bukan
utusan itu. Pendapat rakryan Ramapa itu kudukung sepenuhnya, demikian pula segenap mentri
senopati yang hadir saat itu."
"Apakah seri baginda meluluskan ?"
"Akhirnya seri bagindapun setuju. Kepada utusan Kubilai Khan itu baginda memberi pesan agar
disampaikan kepada maharaja Kubilai Khan, meminta demi hubungan persahabatan, agar
maharaja Tartar itu jangan mencampuri urusan kerajaan Singasari, sebagaimana pula Singasaripun
takkan mencampuri urusan pemerintahan kerajaan Kubilai Khan. Dengan dasar saling hormat
menghorma kedaulatan masing-masing, maka seri baginda Kertanagara akan gembira sekali untuk
mengadakan hubungan dengan raja Tartar."
"Keputusan seri baginda sungguh bijak sekali," kata Sora "dan bagaimana tanggapan pa h
Aragani?" "Sungguh berbahaya." seru Wijaya "jika anjuran patih itu dilaksanakan, pastilah akan
membawa akibat yang luas sekali. Raja Kubilai Khan tentu akan murka apabila utusannya
dihina, lalu mengirim pasukan untuk menyerang Singasari. Bukankah hal itu akan
menjerumuskan Singasari ke dalam kancah peperangan yang berbahaya?"
"Ya, memang demikian," sambut Sora "tetapi apabila raja Kubilai Khan tetap hendak
mencampuri urusan pemerintahan Singasari, bukankah kita harus mengangkat senjata untuk
melawannya?" "Kalau memang raja Kubilai Khan menyerang Singasari, memang ada lain jalan kecuali harus
demikian" kata Wijaya. Sesaat ia mengerut dahi "tetapi kuharap peris wa itu jangan sampai
terjadi." Sora, Nambi bahkan Lembu Mandira tertegun dan serempak mencurah pandang ke arah Wijaya.
Wijaya tahu isi hati mereka.
"Inti pasukan Singasari telah dibawa rakryan senopati Kebo Anabrang ke Malayu. Saat ini,
kita belum berhasil menyusun pasukan yang kuat untuk menjaga keselamatan Singasari. Dan
lagi . . . dan lagi ... "
"Dan lagi apa, raden ?" tanya Sora.
"Keadaan dalam negeri masih merupakan kemelut dalam cerobong. Di luar tampak tak terjadi
suatu apa, tetapi di dalam, asap sedang berkecamuk."
"Maksud raden ... . "
"Ah, sudahlah Sora, yang penting kita harus menaruh kewaspadaan tinggi terhadap segala
kemungkinan yang mungkin terjadi dalam negeri ini. Maka apabila Kubilai Khan saat ini datang
menggempur kita, bukankah kita akan keripuhan sekali " Ketahuilah, bahwa menilik rombongan
utusan yang menghadap di istana siang tadi, tentulah raja Kubilai Khan itu sangat kuat
kekuasaan dan kekuatan negaranya. Untuk menghadapi musuh dari luar itu, kita sudah repot
apalagi kalau dari dalam, mereka yang memusuhi atau mendendam kepada Singasari, akan


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggunakan kesempatan itu untuk menikam dari belakang. Bukankah kita akan patah
berantakan ?" Sora dan Nambi mengangguk. Keduanya tahu siapa yang dimaksud Wijaya sebagai musuh dalam
negeri itu. Diam-diam keduanya memuji ketajaman Wijaya menilai keadaan. Pandangannya jauh
dan luas. Dalam memperjuangkan kepentingan negara, bukan hanya berdasar pada keberanian dan
kekuatan serta kemarahan, tetapi harus dengan per mbangan yang cermat dan pikiran yang
dingin. "Tetapi mengapa rakryan pa h Aragani menganjurkan ndakan itu kepada seri baginda, raden?"
kini Nambi yang bertanya.
"Itulah yang masih perlu kuselidiki," sahut Wijaya "naif apabila dia tak tahu apa akibat dari
tindakan menghina utusan Tartar itu. Tetapi mengapa dia menganjurkannya?"
"Dia ingin mencari muka kepada seri baginda," kata Sora.
Wijaya terdiam sejenak, lalu katanya "Kalau hanya itu tujuannya, bukankah sekarang dia sudah
menjadi orang kepercayaan baginda " Bukankah dia sudah menikma kedudukan, pengaruh dan
kekuasaan yang nggi di kerajaan Singasari " Tidakkah dia akan takut kehilangan kesemuanya itu
apabila Singasari sampai dikalahkan pasukan raja Kubilai Khan ?"
Sora tertegun. Memang yang dikatakan Wijaya itu tepat dengan kenyataan. Nambi pun
menganggap demikian namun ia tak menemukan ciri-ciri daripada sikap pa h Aragani dalam
mengetengahkan anjurannya itu.
"Mungkin dia mempunyai tujuan lain dari itu, kakang Wjjaya," ba- ba Lembu Mandira yang
terbawa oleh pembicaraan mereka, ikut menyatakan pendapat.
Wijaya terkejut "Lalu apa menurut pendapatmu?"
"Kemungkinan dia tentu mempunyai hubungan dengan kerajaan lain yang menjanjikan pangkat
lebih tinggi dari sekarang, apabila dia dapat mengusahakan kehancuran Singasari."
"Ah," Sora dan Nambi serempak mendesah kejut. Tetapi Wijaya mengangguk tenang -tenang.
"Tetapi raden Mandira," seru Sora "atas apakah dasar raden memiliki dugaan begitu?"
"Seper yang dikatakan kakang Wijaya tadi," jawab Lembu Mandira "saat ini dia telah mencapai
kedudukan dan pengaruh nggi di pemerintahan Singasari, rasanya hanya dibawah seri baginda
saja. Mengapa dia menganjurkan seri baginda menindak utusan raja Tartar yang akibatnya tentu
akan terjadi peperangan antara kedua negara itu " "
"Kalau penilaianku tak keliru," kata putera mpu Raganata itu pula "rupanya rakryan patih
Aragani merasakan suatu kekuatiran akan goyahnya kedudukan dan pengaruhnya di kerajaan
Singasari. Pertama, kehadiran pangerai Ardaraja sebagai putera menantu baginda dan
kehadiran kakang Wijaya sebagai senopati baru dan juga calon putera menantu baginda.
Kekuatiran itu makin menjadi kecemasan sehingga dia berusaha untuk mempertahankan-
kedudukannya itu." "Jika mempertahankan, seharusnya dia tak menganjurkan saran itu kepada seri baginda,"
sanggah Sora "maka kukatakan kalau dia memang bertujuan untuk mencari muka kepada seri
baginda agar kedudukannya tetap bertahan."
Mandira gelengkan kepala "Tidak, kakang Sora, jelas akibat dari serangan raja Kubilai Khan
tentu akan membawa akibat yang besar kepada Singasari. Aku sependapat dengan kakang
Wijaya. Bukan karena aku membesar besarkan kekuatan Kubilai Khan dan meremehkan
kekuatan kita sendiri tetapi aku bicara atas dasar kenyataan. Kenyataan yang terasa pada
suasana Singasari selama ini. Adalah karena membela pendirian tentang kenyataan bahwa
keadaan dalam negeri Singasari masih belum aman seluruhnya dari ancaman musuh dalam
negeri, maka ramaku telah dipecat baginda. Dan bukan pula karena aku putera rama maka aku
mendukung pendirian beliau."
"Tidak, kakang," sambung Lembu Mandira dengan nada tandas "aku mendukung atas pendirian
itu karena benar, bukan karena memandang itu pendirian ramaku. Menilik betapa besar nafsu
pa h Aragani untuk berkuasa, maka setelah melihat perkembangan suasana yang kurang
menyenangkan, dia lalu bersiap-siap lagi membuat rencana lain. Dan rencana itu, tak lain hanya
mengadakan hubungan dengan kerajaan lain yang mau menyetujui perjanjian, bahwa apabila kelak
Singasari jatuh ke dalam kekuasaan kerajaan itu maka pa h Aragani harus tetap menjadi pa h
atau akuwu." Wijaya terkejut mendengar uraian Lembu Mandira yang masih muda itu "Ah, benar-benar dia
mewarisi darah ramanya sebagai seorang ahli praja yang pandai," katanya dalam hati.
"Tetapi raden Mandira," kata Nambi yang sejak tadi hanya sedikit sekali ikut dalam pembicaraan
"menilik gelagat bahwa pa h Aragani dak rapat hubungannya dengan pangeran Ardaraja, bahkan
kalau menurut penilaian raden tadi, pa h Aragani mencemaskan kekuasaan pangeran Ardaraja
akan makin membesar, tentulah pa h itu dak mengadakan hubungan dengan Daha. Lalu dengan
kerajaan mana kiranya dia hendak berhubungan ?"
"Justeru itulah yang menjadi buah pemikiranku, kakang," Wijaya menanggapi "namun ada berita-
berita yang masih perlu dikaji kebenarannya, bahwa pa h Aragani mengadakan hubungan dengan
Demang Lebar Daun." "Demang Lebar Daun, patih mangkubumi dari kerajaan Sriwijaya ?" Sora menegas kejut.
"Begitulah kata orang," kata Wijaya "tetapi seper kukatakan, berita itu masih belum
meyakinkan dan masih perlu dikaji kebenarannya. Apapun halnya, memang ndakan pa h Aragani
menganjurkan seri baginda supaya menghukum utusan Tartar siang tadi, layak untuk dicurigai."
"Syukur seri baginda akhirnya tak menerima anjuran patih Aragani," seru Nambi.
Wijaya menghela napas "Tetapi dak mudah untuk mempengaruhi baginda merobah
ndakannya itu. Adalah karena menghadapi keserempakan dari para mentri, gus , tanda, senopa
yang hampir melipu seluruh dari yang hadir, barulah seri baginda berkenan membatalkan
keputusannya." "Kurasa," kata Sora "tentulah ada lain sebab yang mempengaruhi seri baginda."
"Apa ?" "Karena pangeran Ardaraja dan raden sendiri juga menentang anjuran patih Aragani itu ... . "
"Ya, engkau menduga tepat," sahut Wijaya "tetapi tidak seluruhnya benar "
"Apakah pangeran Ardaraja juga tidak menentang anjuran patih Aragani itu?" Sora terkejut.
"Setuju juga dak, tetapi menentangpun juga dak. Kakangmas pangeran Ardaraja hanya diam
saja." "Ah," Sora mendesah yang disusul oleh Nambi "mengapa pangeran bersikap demikian?"
"Di situlah kekuatan sang pangeran, Sora," kata Wijaya "dia lebih banyak bersikap diam daripada
banyak bicara." "Apakah dalam segala hal memang demikian sikapnya?"
"Ya," Wijaya menghela napas pula "persoalan itu sudah selesai. Sekarang," ia berpaling ke arah
Lembu Mandira "adi Mandira, apakah yang hendak engkau sampaikan kepadaku?"
"Kakang Wijaya," seru Lembu Mandira dengan wajah berobah pucat "ada suatu berita yang
menyedihkan yang perlu kuhaturkan."
"Hm, katakanlah."
"Benarkah pada dua hari yang lalu kakang berkunjung ke tempat kadhyaksan di Tumapel ?"
"Ya." "Kakang bertemu dengan rama ?"
"Ya." "Bagaimana keadaan rama saat itu?"
"Maksudmu" "
"Apakah beliau tampak sakit?"
"Tidak " "Maa an kelancanganku, kakang," kata Lembu Mandira "berkenankah kakang mengatakan, apa
yang kakang bicarakan dengan rama saat itu ?"
"Soal keputusan seri baginda untuk menitahkan aku mengepalai utusan ke Malayu dan
menghadiahkan patung Aksobya kepada raja Malayu."
"O, apakah selama dalam pembicaraan itu, rama mengatakan kepada raden hendak pergi
menghadap baginda di Singasari atau ke lain tempat?"
"Tidak," sahut Wijaya, lalu balas bertanya "sebenarnya telah terjadi peris wa apakah pada diri
ramamu?" "Rama hilang dari Tumapel!"
"Hai," serentak Wijaya berteriak kaget "apa katamu" Eyang Raganata hilang?"
"Ya," Lembu Mandira mengangguk "setelah malam itu menyambut kunjungan kakang, keesokan
harinya bujang2 kadhyaksan tak mendapatkan rama lagi. Lebih kurang sepuluh hari yang lalu aku
menjenguk guruku yang kabarnya sakit. Dan ke ka aku pulang, peris wa lenyapnya rama itu sudah
dua hari berselang. Para bujang tak dapat memberi keterangan kemanakah rama pergi. Semula
kuduga rama tentu menuju ke Singasari untuk menemui kakang Wijaya. Tetapi saat itu datanglah
beberapa penduduk yang mengatakan telah menemukan paman Sonto, bujang kami yang tua dan
sudah berpuluh tahun ikut pada rama, terikat pada sebatang pohon dalam hutan. Aku segera ke
sana. Ternyata paman Sonto sudah ma lemas dan kelaparan. Kedua kaki dan tangannya diikat
dan mulut disumbat sobekan kain."
Wijaya, Sora dan Nambi terbeliak mendengar peristiwa itu.
"Itulah sebabnya maka aku bergegas menuju ke Singasari untuk menemui kakang Wijaya," kata
Lembu Mandira "adakah kakang bertemu dengan rama" "
"Tidak, adi." "Hm," Lembu Mandira merenung, kemudian berkata "adakah pada waktu ber-cakap2 dengan
kakang, rama pernah mengatakan akan pergi ke suatu tempat?"
"Tidak " "Apakah rama tak menyinggung suatu rencana tentang dirinya?"
"Juga tidak," sahut Wijaya.
"Jika demikian," kata Lembu Mandira dengan nada geram2 cemas "jelas rama tentu diculik
orang! " Kemudian Lembu Mandira melekatkan pandang mata kepada Wijaya untuk minta petunjuk.
Wijaya segera menuturkan tentang permufakatannya dengan mpu Raganata mengenai
keamanan Singasari apabila kelak Wijaya dan patih Mahesa Anengah pergi ke tanah Malayu.
"Aneh," katanya heran "padahal tiada seorangpun yang hadir di tempat itu kecuali kami berdua,"
ia balas menatap pandang Lembu Mandira lalu bertanya "Adi Mandira, siapakah kira2 diantara
hamba dalam kadhyaksan yang patut dicurigai ?"
"Tidak ada, kakang Wijaya," kata Lembu Mandira dengan mantap "pelakunya tentulah bukan
orang dalam gedung kadhyaksan, melainkan dari orang luar. Lebih dulu dia menawan paman Sonto
lalu dia menyamar paman Sonto, menyelundup ke dalam rumah dan berhasil menculik rama."
"Tetapi Mandira, eyang Raganata cukup sak , masakan semudah itu beliau ditawan orang ?"
bantah Wijaya. "Menurut bekas-bekas yang kami dapatkan didapur, rupanya pada malam itu rama meminta
minuman kepada paman Sonto. Tentulah paman Sonto itu, bukan yang aseli melainkan penjahat
itu. Dia tentu mencampurkan ramuan bius ke dalam minuman sehingga rama tak sadarkan diri."
Wijaya mengangguk "Hm, makin jelaslah betapa musuh akan berusaha menghancurkan Singasari.
Ah ..." Suasana hening sejenak.
"Raden," tiba-tiba Sora berseru "peristiwa ini suatu peristwa yang berani, kurangajar dan
Pendekar Pemabuk 7 Keris Maut Karya Kho Ping Hoo Pendekar Cacad 17
^