Pencarian

Dendam Empu Bharada 8

Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana Bagian 8


berani mengorbankan diri untuk menolongmu, adakah kita tak berani berusaha untuk
menolongnya hanya karena takut menghadapi bahaya?"'
Pamot terkesiap. "Menolong orang, sudah kewajiban kita. Menolong orang yang pernah menolong kita, lebih dari
wajib lagi" kata Nararya "soal ini Pamot, aku sudah memper mbangkan. Malam ini, tentu belum
sempat orang itu diperiksa atau dihukum. Demikian sampai besok dan lusa, karena tumenggung
Mahesa Antaka masih sibuk dengan peralatan pernikahan puteranya, tentulah belum sempat.
Orang itu tentu masih ditahan dulu di tumenggungan. Dalam kesempatan selama dua hari itulah,
Pamot, aku akan berusaha untuk menolongnya"
"Raden" "Engkau masih terluka. Jangan engkau sibukkan pikiranmu hendak ikut serta. Aku seorang
diri dapat melakukannya" kata Nararya.
"Tetapi raden ...."
"Pamot" kata Nararya dengan nada tegas "aku seorang ksatrya. Dan perbuatan orang itu
kuanggap laku seorang ksatrya. Maka sebagai seorang ksatrya wajiblah aku menghorma dan
menolongnya. Menurut perasaanku, dia tentu bukan orang sembarangan. Aku suka bersahabat
dengan pemuda yang berjiwa ksatrya seperti itu"
Demikian ke ka ba di guha Selamangleng, peris wa itupun dibawa Nararya dalam percakapan
dengan bekel Saloka. "Jika demikian, bekel Sindung patut kita selidiki, raden" kata bekel Saloka "tetapi sayang, karena
aku sudah terlanjur menerima tawaran menjadi pelayanan dalam perjamuan di gedung
tumenggung Sagara Winotan, terpaksa hal itu baru dapat kulakukan setelah pernikahan itu selesai"
"Ki bekel" kata Nararya "menjadi pelayan dalam perjamuan yang dihadiri oleh tetamu2 kalangan
pembesar kerajaan Daha, merupakan suatu kesempatan yang pen ng sekali. Tugas ki bekel bukan
kecil. Usahakan sedapat mungkin untuk mencari keterangan sebanyak-banyaknya. Juga apabila
mungkin, carilah keterangan pada bujang2 dan orang2 gajihan ditumenggungan situ"
"Dan bagaimana raden akan bertindak selama dua hari ini ?"
"Tetap melakukan penyelidikan dan terutama akan menolong membebaskan anakmuda yang
telah ditangkap oleh pengalasan tumenggung Mahesa Antaka itu. Kurasa tumenggung Antaka dan
seluruh penghuni tumenggungan sibuk sekali selama dua hari itu. Dan itu merupakan kesempatan
yang baik bagiku untuk masuk ke dalam tumenggungan"
Bekel Saloka menghela napas.
"Mengapa ki bekel?" tegur Nararya.
"Apa yang raden katakan, memang benar" kata bekel itu "dalam mencari jejak hilangnya gong
Prada, makin lama kita makin terjun dalam suatu kalangan yang luas. Makin banyak peris wa dan
rahasia yang harus kita selidiki"
"Ya, memang begitu, ki bekel" sahut Nararya "ibarat air, setelah keluar dari sumber terus
mengalir ke sungai dan sungaipun mengalir ke laut. Apa yang dialami dan dihadapi air itu makin
luas dan makin lepas. Tetapi ki bekel, aku mendapat kesan, bahwa diantara mentri-mentri,
senopati dan tumenggung Daha ini, tampaknya mereka bersatu dan rukun. Tetapi benarkah
begitu" Mungkin tidak. Karena sifat manusia itu temaha, penuh nafsu keinginan. Terutama
dfkalangan narapraja tentulah keinginan untuk mencapai pangkat dan kedudukan tirggi itu lebih
menggelora. Dan dimana keinginan berhadapan dengan keinginan, nafsu bertarung dengan
nafsu, maka timbullah perasaan iri, dengki, tindakan jegal menjegal saling menjatuhkan"
Bekel Saloka mengangguk. "Benar, raden" katanya "memang sering keinginan diri peribadi itu mengaburkan tujuan
pengabdian yang luhur. Mereka lupa bahwa bekerja pada pemerintah dan kerajaan itu, suatu
pengabdian. Pengabdian kepada raja, pemerintah dan lakyat. Arti daripada kata mengabdi itu
adalah memberi. Memberi atau menyerahkan tenaga, pikiran, kepandaian bahkan jiwa raga
sebagaimana seorang pejuang, seorang ksatrya yang telah gugur di medan bhakti.
Pengorbanan mereka itu suatu pengabdian yang tulus dan luhur"
"Ya" sahut Nararya "memang manusia selalu mengabdi kepada nafsu. Jararg yang mengabdi
kepada pengabdian yang wajib diabdi"
"Apakah pengabdian yang wajib diabdi itu, raden" ingin bekel Saloka menyelami alam pikiran
Nararya. "Mengabdi pada sumbernya. Kepada yang menciptakan, Hyang Suksma Kawekas. Kepada yang
melahirkan, ibu dan ayah. Kepada guru, kepada raja kepada rakyat dan kepada umat manusia" kata
Nararya "terakhir kepada diri peribadi kita sendiri"
Bekel Saloka mengangguk. "Hidup itu sesungguhnya suatu pengabdian. Pengabdian kepada asal, arti dan tujuan Hidup"
"Tetapi raden" kata bekel Saloka "bukankah ada pula orang yang hidup mengasingkan diri ?"
"Jika mereka itu kaum brahmana, resi ataupun ptrtapa, mereka telah menghayati pengabdian
dari Tridharma hidup itu. Merekapun mempunyai tujuan hidup. Bukan hanya mengasingkan diri
karena sekedar mengasingkan diri. Tetapi jika mereka yang mengasingkan itu tak atau belum
menghayati Tridharma hidup itu, maka mereka hanya menghindarkan diri dari kenyataan hidup,
menghindarkan diri dari pertanggungan jawab atas pengabdian mereka. Mereka ibarat orang
yang gelap yang melarikan diri ke alam kegelapan"
Bekel Saloka diam2 memuji akan uraian Nararya. Semua itu usianya namun Nararya telah dapat
membawa uraiannya ke tingkat yang terang.
Demikian karena malam sudah, larut, keduanya segera beris rahat. Keesokan harinya, bekel
Saloka keluar lagi. Pada waktu pulang sore harinya, ia membawa beberapa laporan. Pertama,
perjamuan pernikahan puteri Sagara Winotan dengan putera Antaka itu tentu akan meriah karena
pangeran Ardaraja juga berkenan menghadiri. Kedua, gedung kediaman tumenggung Mahesa
Antaka mulai sibuk mempersiapkan peralatan nikah. Tampaknya mereka; tak terpengaruh oleh
peris wa semalam. Dari seorang pengalasan tumenggungan, bekel Saloka berhasil mendapat
keterangan bahwa semalam gedung tumenggungan telah kemasukan penjahat yang hendak
membunuh putera ki tumenggung Mahesa Antaka.
"O" desuh Nararya "dengan demikian penjahat bertopeng semalam itu bukan penjahat biasa
tetapi bertujuan hendak membunuh pangeran Ardaraja"
Siapakah penjahat itu" Pengalasan yang dikirim bekel Sindung atau mungkin bekel itu sendiri"
Apa tujuannya hendak membunuh putera tumenggung Antaka"
Demikian pertanyaan yang mulai membayang di benak Nararya namun ada terjawab. Makin
tetaplah keputusannya. Nanti malam ia akan menyelundup ke-dalam tumenggungan dan menolong
orang yang ditangkap karena dituduh sebagai penjahat yang hendak membunuh putera
tumenggung Antaka itu. Tentang bekel Sindung, iapun telah menetapkan rencana untuk
menyelidiki. Setelah malam tiba maka Nararyapun segera bersiap hendak masuk ke dalam pura. Bekel
Saloka menyatakan hendak ikut "Perjalanan raden kali ini penuh bahaya, idinkanlah aku
menyertai raden" kata bekel itu.
Tetapi Nararya menola k"Ki bekel mempunyai tugas yang pen ng. Besok pagi bersama beberapa
anakbuah ki bekel, akan menjadi pelayan di gedung tumenggung Sagara Winotan. Tugas itu amat
pen ng. Jika di kediaman tumenggung Antaka terjadi sesuatu, bukankah ki bekel tak dapat
menunaikan tugas ?" "Lebih baik dak menjadi pelayan dalam perjamuan itu daripada melihat raden terancam
bahaya" Nararya tertawa "Tetapi ki bekel, aku dapat mawas diri dan berhati-hati. Aku menyadari
bahwa perjuangan kita ini menyangkut kepentingan kerajaan Singasari. Aku tak mau bertindak
gerusah-gerusuh yang akibatnya hanya akan menggagalkan usaha kita"
Bekel Saloka mengangguk. Tetapi ia tetap mencemaskan Nararya yang jelas akan masuk ke dalam
gedung tumenggungan. Sebagai salah seorang senopa kerajaan Daha, sudah tentu tempat
kediaman tumenggung Antaka itu dijaga oleh pasukan penjaga. Apalagi telah terjadi peris wa
percobaan membunuh putera tumenggung, tentulah penjagaan semakin diperkuat.
"Baiklah, raden" kata bekel itu "tetapi betapapun raden harus suka menerima salah seorang
anak-buahku sebagai pengiring. Andaikata raden menganggap berbahaya, suruh ia tinggal di
luar gedung. Apabila sampai pagi raden belum keluar dari tumenggungan, berarti raden tentu
tertimpa bahaya dan suruh dia lekas pulang kemari untuk memberitahu kepadaku"
Setelah menimang, akhirnya Nararva mau juga menerima orang itu. Dia bernama Reja. Keduanya
segera berangkat masuk ke dalam pura.
Seper yang telah diduga, saat itu gedung tumenggungan sangat ramai dan terang benderang.
Sanak keluarga. tetamu2 dan pengalasan2 tumpah ruah berada di pendapa muka.
Nararyapun mengitar ke belakang pagar tembok. Empat tombak nggi tembok itu. Suatu
ke nggian yang sukar dicapai dengan loncatan "Kakang Reja, terpaksa aku hendak minta tolong
kepadamu. Agak sakit juga, kakang Reja"
Nararya memberitahu kepada pengalasan Lodoyo itu supaya bersedia membungkukkan tubuh.
Nararya hendak berdiri diatas punggung dan akan loncat mencapai puncak pagar tembok "Jika
hanya begitu, silahkan raden" Reja terus bersiap diri.
Setelah berhasil hinggap di puncak pagar tembok, Nararya berseru "Kakang Reja, engkau tunggu
disini. Apabila menjelang pagi aku tak kembali, lekaslah engkau pulang ke Selamangleng"
Setelah memberi pesan, Nararyapun segera loncat turun kedalam. Ia girang karena suasana di
bagian belakang gedung itu tampak sunyi. Kecuali bagian dapur yang penuh dengan p6rempuan
yang tengah mempersiapkan hidangan, lain2 bagian sunyi senyap.
Nararya berjalan dengan ha 2. Ia memandang kian kemari, meni ruang demi ruang dan
menjaga kemungkinan diketahui penjaga. Akhirnya jerih payahnya berbuah juga. Disebuah ruangan
yang terpisah dari bangunan gedung, ia melihat sebuah rumah batu yang gelap. Dimuka pintu
bangunan itu tampak seorang penjaga bersenjata tombak "Ah, tentu di rumah inilah orang itu
ditahan" Dengan berjingkat-jingkat, kadang harus membungkuk dalam kegelapan, akhirnya ia berhasil
menghampiri kebalik gerumbul pohon bunga yang tumbuh dimuka rumah itu "Hanya seorang,
harus kukuasai secepatnya"
Setelah mengambil ancang2, ia segera loncat dan menghantam tengkuk penjaga itu "Uh" penjaga
itu mendesuh kesakitan dan terkulai rubuh. Nararya cepat mengambil tombak penjaga itu.
Dilihatnya pada sisi pintu terdapat sebuah jendela terali besi yang agak nggi. Tetapi Nararya
dapat menggampai "Ki sanak, terimalah tombak ini. Bongkarlah pintu, dan lekas lari keluar"
Tepat pada saat ia melempar tombak ke dalam rumah, sekonyong-konyong seorang penjaga lain
datang dam berteriak "Penjahat! Penjahat membongkar rumah tawanan"
Orang itu segera menyerang Nararya dengan tombak. Nararya masih sanggup melayani tetapi
yang paling mengejutkan, penjaga itu menyerang sambil berteriak-teriak minta tolong dan
memanggil bala bantuan. Tak berapa lama, terdengar derap orang berlari.
Nararya mulai gugup. Dilihatnya beberapa belas penjaga bersenjata tengah lari menghampiri
"Celaka" ia mengeluh "kalau tak kupikat mereka nggalkan tempat ini, tentulah pemuda dalam
rumah itu tak sempat membobol pintu dan meloloskan diri"
Setelah mengambil keputusan, iapun lari nggalkan penjaga itu. Penjaga itu segera lari mengejar
seraya berteriak-teriak menyerukan kawan-kawannya supaya mengikutinya.
Nararya makin gugup. Memang ia berhasil melepaskan orang tawanan itu dari perha an para
penjaga tumenggungan. Tetapi ia sendiri hendak lari kemana" Untuk lolos melalui pagar tembok di
belakang, ia kualir tak mampu loncat sedemikian nggi. Dan kalau gagal, kedudukannya tentu lebih
berbahaya. Kawanan penjaga bersenjata itu tentu akan mengepungnya.
Nararya tak kenal akan seluk beluk keadaan gedung tumenggungan. Ia bingung dan gelisah.
Sedangkan beberapa puluh penjaga dan prajurit tumenggungan sedang mengejarnya. Dalam
keadaan yang sulit dan terdesak itu, ba2 ia mendapat akal. Daripada tertangkap lebih baik ia
mencoba untuk masuk kedalam gedung tumenggungan. Disitu orang sedang ramai bertandang. Dan
sebagian besar adalah kaum puteri. Tentu takkan sembarangan kawanan penjaga itu hendak
mengejarnya ke situ. Demikian Nararya segera bergan arah. Melintas jalan dan gerumbul pohon bunga, akhirnya ia
dapat menyelundup ke dalam sebuah bagian bangunan yang indah dari gedung tumenggungan. la
tak sempat memperha kan lagi ruang apakah yang berada disitu. Yang pokok, ia dapur
menyembunyikan diri. Selekas suasana reda, mudahlah ia keluar lagi. Pikirnya.
Tiba2 ia melihat sebuah ruang besar yang daun pintunya berukir lukisan bunga yang indah.
Cepat ia menghampiri dan mendorong pintunya. Ah, tak dikunci. Cepat ia menyusup masuk,
menutup pula pintunya rapat2.
Dalam keremangan lampu yang redup, ia melihat sebuah pembaringan yang indah. Demikian
pula perabot kamar itu serba indah dan sedap. Serentak ia menghampiri pembaringan indah itu
lalu menyusup kebawah kolong. Kain alas pembaringan, menjulai sampai ke lantai sehingga dapat
menyembunyikan dirinya rapat sekali.
"Ah" ia menghela napas untuk melonggarkan ketegangan hatinya. Tetapi secepat itu ia
hentikan pernapasannya karena saat itu terdengar suara hiruk. Suara itu jelas suara kawanan
penjaga yang sedang bertanya jawab dengan beberapa wanita,
"Ada penjahat masuk ke keputren sini. Aku akan menggeledah se ap ruang" seru salah seorang
penjaga yang bernada kasar.
Sesaat kemudian Nararya mendengar debur langkah beberapa orang tengah memasuki gedung.
Makin lama makin terdengar jelas.
Nararya mulai berdebar-debar.
(Oo-dwkz^ismoyo-oO) Jilid 7 Persembahan : Dewi KZ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ & http://dewi-kz.info/
Dengan Ismoyo Gagakseta 2 http://cersilindonesia.wordpress.com/
Editor : Mch I Tiap kesalahan tentu terhukum. Tak mungkin terhindar. Dan berlaku untuk semua manusia.
Yang kaya yang miskin, yang kuasa yang lemah. Tanpa pandang bulu.
Jika orang menepuk dada, merasa dapat terhindar dari hukuman dan pidana atas kesalahannya
maka dia hanya seper ayam berkokok. Ayam berkokok hanya memberi pertanda bahwa dia ayam
jantan, bukan be na. Tetapi ayam yang berkokok itu, bukan mes jago dalam gelanggang
penabungan. Orang yang menepuk dada, mengatakan dapat terhindar dari hukuman pidana, hanyalah suatu
pertanda atau untuk menandakan bahwa dia itu kuat dan berkuasa. Tetapi bukanlah dia itu
benar2 terlepas dari hukuman. Hukuman yang dapat dihindarinya hanyalah hukuman manusia
yang membentuk masyarakat, yang mendirikan negara, yang menciptakan tata peraturan undang2,
yang mengatur hukuman untuk pidana kesalahan, yang menciptakan keter ban dari, oleh dan
untuk kesejahteraan manusia.
Tetapi hukum Yang Kuasa, hukum alam, tak mungkin dihindari. Hukum Sebab dan Akibat atau
karma, tak mungkin juga diingkari. Dan lebih pula hukum Hakekat atau hukum yang tercipta dari
rasa ba n dan pikiran. Rasa dari sumber perasaan. Dia akan menderita siksa dari hukum ba n dan
pikirannya sendiri. Dan siksa itu bagaikan bayangan. Disiang hari lenyap, di malam hari muncul.
Siksa itu akan selalu dirasakan di-mana dan di saat apapun dia berada.
Demikian pula dengan Nararya saat itu. Kolong pembaringan tempat ia bersembunyi itu, bersih
dan membias harum. Bilik itupun bersih, indah dan asri. Namun ia merasa seper berada di dalam
sarang harimau. Se ap saat harimau itu akan datang, menerkam dan merobek-robek tubuhnya.
Bahkan mendengar aum ataupun bau anyir yang dihembus angin sebagai pertanda kedatangan
binatang itu, cukup akan mengoyak nyalinya sebelum kulit dan tulang belulangnya dirobek-robek
binatang itu. Derap langkah dan hiruk suara para penjaga yang hendak memasuki ruang keputren tetapi
dilarang para dayang, makin mendebarkan jantung Nararya. Bagaimana apabila penjaga2 itu
diperbolehkan masuk untuk memeriksa se ap ruang" Dan apabila ia merenungkan ruang yang
dimasukinya itu, mbullah suatu bayang2 yang menegangkan. Tidakkah ia memasuki ruang
keputren" Tidakkah ruang yang semewah itu, ruang kediaman salah seorang puteri dari
tumenggung Antaka" "Ah ..." ia mendesah berkepanjangan dalam hati. Kemudian pejamkan mata, menenangkan
pikiran. Setelah mendapatkan ketenangan, pikirannyapun jernih. Ia membayangkan bahwa
semula ia sudah menyadari apabila memasuki gedung tumenggungan itu, penuh bahaya. Tetapi
ia sudah memutuskan untuk menempuh bahaya apapun karena hendak menolong pemuda yang
telah menolong Pamot dengan merelakan dirinya ditangkap prajurit2 tumenggungan. Dengan
demikian bahaya itu sudah disadaridanditempuhnya. Jika demikian halnya, mengapa sekarang
ia harus gentar menghadapinya. Bukankah ia sudah mempersiapkan penyerahan jiwanya " Ah,
kembali ia mendesah dalam hati. Hanya kali ini desah yang longgar, desah yang paserah.
Kepaserahan yang berlandas suatu pendirian bahwa pengorbanannya itu, pengorbanan yang
ksatrya. Dengan desah2 yang bernapaskan kejernihan dan kesadaran ha itu, maka mengendaplah
pikirannya dalam keheningan. Dia dak merasa gentar lagi, dak pula gelisah cemas. Karena segala
bayang2 ketakutan telah dihanyutkannya dalam kelepasan tekad.
Tiba2 renungannya tersibak oleh suara lengking seorang wanita muda. Dia jelas dapat
mendengarkan kata-kata yang dilontarkan suara itu "Hai, kalian berani memasuki keputren hendak
melakukan pemeriksaan?"
"Maaf, rara ayu, kami hendak mencari seorang penjahat yang masuk ke tumenggungan" kata
salah seorang penjaga. "Penjahat masuk ke tumenggungan dan kalian tak dapat menangkapnya ?"
"Dia melarikan diri dan menyusup ke dalam kaputren. Kami mohon rara ayu memperkenankan
kami untuk memeriksa ruang2 di keputren ini"
"Tidak" seru suara yang disebut rara ayu itu "tak mungkin penjahat itu masuk ke dalam
keputren. Tentu dia melarikan diri ke arah lain atau mungkin sudah lolos dari tumenggungan"
"Tetapi kami melihat dia benar2 menyelundup kemari" bantah penjaga itu.
"Adakah kalian sudah memeriksa lain2 tempat?"
"Sudah" "Dan tidak menemukannya?"
"Tidak, karena dia melarikan diri kemari"
"Memang mudah kalian hendak menutupi kesalahan tak mampu menangkap penjahat yang
hanya seorang itu dengan mengatakan dia masuk ke keputren"
"Tetapi ..." "Jangan banyak bicara!" hardik dara can k itu "jika kalian berani masuk ke dalam keputren ini,
aku segera akan melaporkan kepada rama."
Ke ka mendengar ancaman itu, reduplah nyali kawanan prajurit penjaga itu. Mereka segera
memberi hormat dan mengundurkan diri.
"Bagaimana kakang" kata salah seorang penjaga kepada kawannya "apakah gus tumenggung
takkan murka kepada kita?"
Yang dipanggil kakang itupun menyahut "Kita sudah berusaha tetapi tertumbuk dengan puteri


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gus menggung, dyah Savitri. Apabila gus menggung memanggil kita, dapatlah kita menghaturkan
kesulitan yang kita jumpai di keputren tadi"
"Tetapi apakah kakang yakin bahwa penjahat itu masuk ke dalam keputren?" tanya orang tadi
pula. "Jelas" sahut kawannya.
"Kakang Dambha" ba2 prajurit penjaga tadi memekik "celaka, kakang! Bagaimana kalau
penjahat itu sampai mengganggu rara ayu " Bukankah gus menggung akan melipat gandakan
pidana kepada kita?"
Penjaga yang disebut Dambha itu tertegun. Rupanya dia cemas juga akan kemungkinan terjadi
hal itu. "Lalu apa daya kita, Barat ?"
Prajurit Barat juga tak mempunyai pandangan suatu apa. Ia memandang Dambha dengan
pandang menyerah. Akhirnya prajurit Dambhalah yang mengemukakan pendapat "Begini saja,
Barat. Kita pecah rombongan kita menjadi dua. Yang satu, terus melanjutkan penyelidikan. Dan
yang satu, berjaga jaga di luar keputren. Apabila mendengar suara atau gerak gerik yang
mencurigakan, kita segera turun tangan"
Rupanya usul Dambha itu disetujui karena dianggap tiada lain cara lagi yang lebih baik dari itu.
Sementara para prajurit tumenggungan bersiap-siap maka dalam keputrenpun tenang2 saja
suasananya. Malam itu sehabis sibuk membantu ibundanya, nyi tumenggung Antaka, menyiapkan
hidangan untuk para tetamu, maka dyah Savitri pun kembali ke keputren. Ia merasa lelah karena
sehari suntuk telah menyingsingkan lengan baju untuk menyiapkan peralatan nikah kakandanya.
Baik tumenggung Sagara Winotan maupun tumenggung Mahesa Antaka menikah dalam usia
muda sehingga putera puteri mereka sudah dewasa pada saat kedua tumenggung itu masih muda.
Rasa le h hilang seke ka sesaat dyah Savitri mendengar hiruk pikuk dalam keputren. Ia marah
karena para pengatasan tumenggungan yang bertugas sebagai penjaga keamanan, hendak
memasuki keputren. Ia menolak dan mengenyahkan mereka.
"Hm, penjaga2 itu memang hendak cari enak saja" gumamnya ke ka berada dalam bilik
peraduannya, "masakan hanya menangkap seorang penjahat saja mereka tak mampu. Pun kemarin
malam juga terjadi peristiwa semacam saat ini. Kakang Prabhawa hampir dibunuh penjahat"
Nararya terkejut ke ka mendengar gumam puteri itu. Karena ternyata sejak pintu bilik tempat ia
bersembunyi didorong dan terdengar derap langkah kaki yang halus disertai dengan bau harum
yang membias ke dalam bilik, Nararya mulai didera oleh getar2 kejut.
Kini ia menyadari bahwa bilik tempat ia bersembunyi itu ternyata bilik kediaman puteri
tumenggung. Hal itu diketahui ketika terjadi perbantahan antara puteri dengan kawanan penjaga
yang hendak masuk ke dalam keputren tadi. Kemudian ketika tiba di muka pintu, puteri itu
memerintahkan dayang pengiringnya supaya pergi. Tiada keraguan yang harus diragukan lagi,
bahwa yang melangkah masuk ke dalam bilik itu adalah puteri tumenggung sendiri. Langkahnya
yang halus gemulai serta bau harum yang menyerbak. Karena setelah bercengkerama dalam
taman asmara dengan Mayang Ambari dyah Nrang Keswari puteri raja Daha, tahulah kini
Nararya akan suatu bau harum yang lain dengan keharuman bunga. Bau harum dari tubuh
seorang perawan ayu dan puteri cantik, merupakan sesuatu yang tersendiri, baik jenis baunya
maupun makna serta daya yang dipancarkannya.
Serta hidung terbias dengan semilir bau harum yang memancar dari tubuh orang yang masuk
ke dalam bilik itu, dengan cepat pula Nararya dapat mengenal jenis bau harum itu. Itulah bau
harum yang pernah dikenalnya pada masa ia berdampingan dengan Mayang Ambari dan puteri
dyah Nrang Keswari. Ia heran mengapa tubuh dara ayu dan puteri jelita itu dapat memancarkan
bau harum. Adakah tubuh mereka memang harum ataukah-keringat mereka yang harum. Tetapi
saat itu ia tak sempat pula untuk merenungkan hal-hal mengenai bau harum yang mempesona
itu. Karena kesadaran pikirannya menyadarkan bahwa saat itu ia berada dalam bilik peraduan
puteri tumenggung Mahesa Antaka.
Kesadaran itu segera menimbulkan kegelisahan dan ketakutan. Apabila puteri itu tahu lalu
berteriak, tentu para penjaga akan berhamburan datang dan membunuhnya. Ataupun kalau ia
menyerah dan dibawa mereka kehadapan tumenggung Antaka, pun tentu akan diputuskan mati.
Bahkan betapapun ia menyangkal tetapi tentu tetap dituduh sebagai penjahat yang hendak
mengambil jiwa putera tumenggung itu kemarin malam.
Bau harum itu makin memukat keras ke ka puteri tumenggung itu melepas busana, bergan
dengan busana dur lalu merebahkan diri di atas peraduan. Dan getar2 yang mendebur jantung
Nararyapun makin keras. Sedemikian keras jantungnya berdetak sehingga buru-buru ia menahan
pernapasan. "Ah, apabila detak jantungku sampai terdengar puteri tumenggung itu, bukankah sang
puteri akan terkejut dan memeriksa kolong pembaringan ini?" pikirnya.
"Aku harus mengatur dan menguasai pernapasan" katanya dalam ha "untuk mencegah puteri
itu mendengar bunyi debur jantungku"
Kolong pembaringan tak cukup tinggi untuk ia duduk maka terpaksalah ia rebah di lantai.
Setelah mengatur pernapasan maka pikirannyapun berangsur tenang. Malam makin larut.
Suasana dalam dan diluar keputren makin senyap. Ia mulai dapat mendengar hamburan napas
puteri dalam kelelapan tidurnya.
"Tidak, bu, dak, Savitri tak mau menikah. Aku ingin terus berada disamping rama dan ibu agar
dapat meladeni dan merawat rama ibu sampai tua ......."
Bukan kepalang kejut Nararya ke ka ba2 ia mendengar suara orang bicara. Jelas nadanya sama
dengan nada yang didengarnya ke ka terjadi kehirukan di keputren tadi. Dan jelas pula bahwa
suara itu amat dekat sekali "Ah, tentu puteri tumenggung ini yang bicara" ia menduga-duga. Ia
heran mengapa puteri itu bicara. Pada hal jelas saat itu tengah malam dan ada orang lain lagi
dalam bilik peraduan itu.
"Mengapa Savitri harus menikah" Bukankah ibu dan rama akan lebih bahagia apabila Savitri
tetap mendampingi disini ...." terdengar pula puteri itu bicara. Agak keras.
Nararya makin terkejut. Tetapi ia mulai menyadari keadaan hal itu. Diberanikan diri untuk
menyiak kain pembaringan. Sejenak memandang kian kemari, ia tak melihat barang seorangpun
juga. Ia menyurut pula. "Ah, tetapi Savitri belum memikirkan soal itu, bu. Aku masih senang seorang diri. Aku masih
rindu untuk mengabdikan bhakti kepada rama dan ibu ... "
"Ah, jelas puteri ini sedang mengingau dalam durnya" akhirnya Nararya ba pada kesimpulan
demikian "rupanya iaterkesan dalam pembicaraan dengan ibunya"
Serempak dengan kesimpulan itu mbullah suatu rencana. Bahwa orang yang mengingau itu
tentu dur nyenyak sekali. "Ya, mengapa aku tak berusaha keluar dan meloloskan diri dari bilik
ini?" pikirnya lebih lanjut.
"Ah, baiklah kutunggu beberapa waktu lagi" ba2 ia teringat akan penjaga2 tumenggungan. Ia
kua r penjaga2 itu masih menjaga rapat diluar keputren. "Tentu mereka masih ingin menunggu
aku keluar dari keputren"
Demikian setelah menimang-nimang, akhirnya ia memutuskan untuk bersabar beberapa waktu
lagi. Menjelang pukul ga, baru ia akan keluar. Diperhitungkannya bahwa pada saat seper itu
para penjaga tentu sudah lelah dan tertidur.
Waktu dirasakan berjalan amat lambat sekali. Namun Nararya berusaha sekuat mungkin
untuk menekan keinginannya. Malampun merayap-rayap dalam kelarutan. Sunyi senyap di bilik
itu. Yang terdengar hanya hamburan napas puteri yang tidur nyenyak. Kadang disela oleh cicak
yang mendecak-decak di dinding bilik.
Ia mulai hilang kecemasannya. Disiaknya pula kain alas pembaringan. Memandang
kesekeliling bilik, segera pandang matanya tertumbuk akan sepasang cicak yang sedang
...."Ah, kurang ajar sekali binatang itu. Masakan aku bergelut dengan kecemasan dibawah
kolong pembaringan, sepasang cicak itu sedang memadu kasih"
Memandang akan sepasang cicak yang sedang beradu mulut seolah berciuman, perasaan Nararya
terkenang akan pengalamannya yang lampau. Dan seke ka itu terbayang pula hari2 bahagia
bersama Mayang Ambari. Ia termenung-menung dalam kenangan yang indah.
"Malam adalah saat yang syahdu bagi insan manusia atau mahluk yang tahu akan kesyahduan
itu. Termasuk sepasang cicak itu"
Tengah perha an Nararya melekat pada sepasang cicak yang sedang bercumbu-cumbuan itu,
ba2 ia menangkap suatu bunyi yang aneh. Seper daun gugur di tanah tetapi lebih berat. Kucing "
Ah, hampir serupa dengan itu. Tetapi setelah menunggu sampai beberapa saat, belum juga ia
mendengar kucing itu berbunyi.
Nararya segera mantek-aji atau mengembangkan daya aji. Mengosongkan pikiran,
menghampakan ba n dan menyatukan pancaindera dalam suatu kehampaan bulat. Samar2 segera
ia menangkap suara benda ber-indap-indap menuju ke jendela "Langkah kaki orang!" serentak
indera penyerapannya memantulkan suatu kesimpulan.
Kesimpulan itu segera menyibak pikiran dan mengguncang ba nnya "Siapakah pendatang ini ?"
pikirnya. Tengah malam menjelang dinihari, memasuki gedung tumenggungan dan langsung
menyelundup ke keputren, menuju ke bilik kediaman puteri tumenggung, jelas tentu tak
bermaksud baik. Hanya bangsa maling haguna atau pencuri sak mandraguna yang melakukannya.
Dan dengan tujuan ke bilik peraduan puteri tumenggung, tentulah penjahat itu mempunyai tujuan
tertentu. Bukan hanya penjahat biasa yang hendak mencuri harta benda dan emas picis rajabrana.
"Adakah penjahat itu hendak bermaksud buruk terhadap puteri?" seke ka bangkitlah
pertanyaan dalam lubuk ha Nararya. Dan serentak itu iapun terkait ingatannya akan peris wa
kemarin malam. Bahwa seorang penjahat telah memasuki tumenggungan karena hendak
membunuh putera tumenggung Antaka.
"Jika benar penjahat yang malam ini masuk ke tumenggungan karena hendak bermaksud buruk
terhadap puteri tumenggung, jelas tentu mempunyai tujuan tertentu. Adakah hal itu mempunyai
kaitan dengan pernikahan putera tumenggung" Ataukah dengan kedudukan tumenggung dalam
pemerintahan Daha " Ataukah ...."
Tiba2 ia hen kan reka dugaannya karena saat itu terdengar suara berderit-derit. Ia terkejut. Jelas
suara itu berasal dari jendela sebelah luar. Dan bunyi itu berasal dari kayu jendela yang tengah
diungkit senjata tajam. "Ah, jelas penjahat itu hendak membongkar jendela" pikir Nararya. Seke ka mbul ingatan
untuk menerobos keluar dari pintu dan menghajar penjahat itu.
"Ah ....." ba2 selintas pikirannya membantah "apakah hakku untuk melakukan hal itu"
Bukankah diriku sendiri juga seorang penjahat dalam anggapan mereka?"
Sesaat kendorlah semangatnya untuk menghadapi penjahat itu. Tetapi pikirannya masih tetap
gelisah. Dan kegelisahan itu tanpa disadari tertuju pada keselamatan puteri tumenggung. Puteri
yang belum dikenalnya, bahkan bagaimana wajahnya belum pernah ia melihatnya. Sekalipun
begitu, darah keksatryaannya tetap menggelora, menuntut suatu dharma bakti. Lalu bagaimana
ia harus bertindak "
Sesaat timbul hasratnya untuk menjagakan puteri itu agar mengetahui bahwa bilik
kediamannya terancam dimasuki penjahat. Tetapi bagaimana cara ia menjagakan puteri itu"
Tertumbuk pada hal itu, ia bingung. Bagaimana apabila puteri itu terjaga tiba2 dan serentak
melihat dirinya" Bukankah puteri itu akan terkejut dari menjerit " Memang dengan cara itu, si
penjahat tentu akan lari ketakutan tetapi bagaimana dengan dirinya" Bukankah hal itu sama
halnya dengan kata orang 'menjagakan anjing tidur'" Anjing yang sudah baik2 tidur lalu kita
bangunkan. Akibatnya anjing itu tentu akan menyalak.
Krakkk ....... Belum sempat Nararya menemukan akal, tiba-tiba berhamburanlah pikirannya sesaat
mendengar daun pintu telah mulai bergerak-gerak. Dan sebelum ia dapat memutuskanlangkah,daun jendelapun mulai pelarian-lahan terentang. Sebelum debar Nararya
mereda, muncullah sebuah wajah hitam. Ia terkejut sekali "Setan?" pikirnya.
Sesaat kepala hitam itu makin menjulang nggi "Ah" Nararya mendesuh dalam ha . Bukan setan
tetapi manusia biasa karena memiliki bahu dan tubuh. Pikirnya. Tetapi bukan berar hal itu
meredakan ketegangannya bahkan makin meningkatlah rasa tegang yang mencengkam
perasaannya. Kini dia berhadapan dengan suatu kenyataan akan adanya seorang penjahat yang hendak
mengganggu keselamatan puteri tumenggung. Pada saat itu hatinya meronta, menuntut dharma
keksatryaannya untuk bertindak. Tetapi pikirannya menyadarkan bahwa apabila ia bertindak
begitu maka ia akan terlepas dari segala perhitungan. Perhitungan atas dasar kenyataan
bahwa dirinya juga sebagai orang gelap dalam bilik itu.
Sebelum perbantahan antara ha nurani dengan kesadaran pikiran mencapai keputusan, orang
yang berselubung kain hitam pada mukanya itupun sudah mulai merangkak memanjat masuk
kedalam jendela dan pada lain saat sudah tegak didalam bilik.
Saat itu barulah Nararya dapat melihat jelas. Penjahat itu mengenakan pakaian hitam, muka dan
kepala-nya pun diselubungi kain hitam. Hanya pada bagian mata, hidung dan mulut diberi lubang.
Dapat pula Nararya memperha kan betapa tajam berkilat-kilat sinar yang terpancar dari kedua
mata orang itu. Begitu pula pedang yang terselip pada pinggangnya, tampak berkilat-kilat tajam.
Penjahat itu tak lekas ber ndak melainkan berdiri tegak memandang kearah pembaringan puteri
tumenggung. Dengan indera penglihatannya yang tajam dapatlah Naraya melihat, bibir orang itu
bergerak-gerak seper orang berkata-kata tetapi tak terdengar suaranya. Kata2 apa yang sedang
dilakukannya. Hampir Nararya tak dapat menguasai ha nya ke ka dari balik kain alas pembaringan yang
menjulur sampai ke lantai, ia dapat melihat penjahat itu mulai ayunkan langkah menghampiri
kearah pembaringan. Banyak macam dan jenis siksa. Siksa badan dan siksa ba n. Diantaranya yang paling menyiksa
ha adalah seper yang dialami Nararya saat itu. Melihat sesuatu perbuatan jahat, tetapi tak
dapat berbuat apa2. Dan bagi Nararya siksa ba n yang diderita, saat itu lebih mengerikan daripada
siksa badan apabila ia tertangkap oleh penjaga2 tumenggungan dan dijatuhi hukuman. Sedemikian
dekat, hampir didepan hidung, ia melihat seorang penjahat hendak berbuat sesuatu terhadap diri
seorang gadis, puteri tumenggung. Entah apa yang akan dilakukan penjahat itu tetapi yang jelas
tentu tidak baik tujuannya.
Dan sesaat membayangkan bahwa puteri seorang tumenggung itu tentu gadis yang cantik,
terhentaklah darah Nararya seketika. Ia dapat merasakan gelora sifat kejantanan seorang lelaki
apabila melihat gadis atau wanita cantik. Tidakkah demikian tujuan penjahat itu .....
"Uh ...." Nararya mendengus dalam ha penuh rasa geram. Serentak sifat keksatryaannya tak
dapat dikuasai lagi "jika penjahat ini sampai melakukan perbuatan terkutuk hendak mencemarkan
kehormatan puteri tumenggung, aku harus keluar menghajarnya!" demikian ia membulatkan tekad,
menghapus segala kecemasan akan segala akibatnya.
Karena rebah tengkurap dibawah kolong pembaringan, Nararya hanya dapat melihat kaki si
penjahat. Ia tak tahu apa yang dilakukan oleh penjahat itu. Ia bersiap-siap, apabila kaki penjahat
itu naik ke pembaringan, ia akan menerobos keluar dan menghajarnya. Tetapi walaupun bergerak-
gerak, kaki penjahat itu tetap menginjak lantai.
"Apakah yang dilakukannya ?" ia menimang-nimang penuh keheranan. Tiba2 ia terbeliak pula
"Apakah dia membunuh puteri ?" hampir tak dapat ia menguasai keinginannya untuk segera
menerobos keluar. Tetapi pada lain kilas, pikirannya menjawab sendiri "Ah, jika dibunuh, paling
dak puteri itu tentu mengeluarkan suara rin han dan menggelepar-gelepar. Tetapi tak terdengar
suara apa2, baik dari mulut puteri maupun dari gerak tubuhnya yang meronta-ronta"
Lalu apa yang tengah dilakukan penjahat itu " Demikian ia bertanya dalam hati. Sebelum ia
menemukan dugaan, tiba2 penjahat itu mengisar kaki ayunkan langkah, membuka pintu.dan
terus lenyap keluar. Kali ini kejut .Nararya tak terperikan lagi. Memandang bayangan punggung penjahat itu, ia
melihat penjahat itu memanggul sesosok tubuh. Dan kepala orang yang dipanggul dan terkulai
dibelakang bahunya itu jelas seorang anak perempuan. "Itulah pateri tumenggung" serentak ia
memas kan dan terus menerobos keluar. Sesaat ia keluar dari kolong pembaringan, penjahat
itupun sudah membuka pintu. Dan ke ka ia lari memburu ke pintu, ternyata penjahat itu sudah
lari ke belakang gedung keputren. Iapun memburu.
Suasana gedung tumenggungan sunyi senyap. Melintas sebuah taman di belakang keputren,
merupakan bagian belakang dari gedung tumenggungan. Banyak pohon2 yang tumbuh. Sebagian
besar pohon buah-buahan. Rupanya halaman luas disitu dijadikan kebun buah-buahan. Cuaca
masih gelap. Ia tak sempat lagi memikirkan mengapa para penjaga tumenggungan tak tampak sama
sekali. Ia terus lari ke kebun belakang. Berhen sejenak untuk mengeliarkan pandang menembus
kegelapan yang menyelubungi suasana kebun itu lerentak pandang matanya tertumbuk akan
sesosok benda hitamyangtengahmerangkak naik keatas pagar tembok.
"Itulah dia !" Nararya terbeliak dan serentak ia lari ke tempat itu. Tetapi sebelum ia sempat ba,
orang itupun sudah loncat turun ke luar pagar tembok.
"Hebat" pikir Nararya "dengan memanggul orang, dia masih setangkas itu memanjat pagar
tembok. Tentu bukan sembarang penjahat"
Nararyapun segera memanjat pagar tembok. Sesaat ia loncat turun ke luar, ba2 terdengar suara
orang berteriak "Hai, berhenti!"
Nararya cepat menyadari bahwa yang berteriak dan dilihatnya ketika ia berpaling
memandang kearah gerumbul gelap, dua sosok tubuh yang berlari-lari menghampiri kepadanya
"Peronda tumenggungan" pikirnya lalu loncat dan terus lari menyusur jalan yang merentang ke
barat. Jalan itu merupakan satu satunya jalan sehingga ia memastikan bahwa penjahat tadi
tentu mengambil jalan itu pula.
Seke ka ia mendengar bunyi kentung- r mengaum-aum di kesunyian malam. "Ah, peronda itu
tentu memukul kentung pertandaan bahwa gedung tumenggungan telah dimasuki penjahat. Dan
tentu akulah yang mereka anggap penjahatnya itu" pikirnya seraya mengencangkan lari.
Ketika masih berada di gunung pertapaan gurunya, empu Sinamaya, hampir tiap hari Nararya
berlatih lari menuruni dan naik ke puncak gunung. Menurut kata empu Sinamaya, latihan itu
bermanfaat sekali untuk memperkokoh urat2 tubuh dan pernapasan, tak disangkanya bahwa
latihan lari yang dilakukannya di gunung itu ternyata bermanfaat pada saat itu. Beberapa saat
kemudian ia dapat melihat bayangan penjahat itu pada kejauhan sepelepas anakpanah. Dan
beberapa waktu kemudian, jaraknya makin pandak. Kini hanya tinggal lima tombak.
Rupanya penjahat itu tahu bahwa dirinya dikejar,lapun sanga erkejut mendapatkan
pengejarnya itu memiliki ilmu lari yang sedemikian menakjubkan. Dia sempat pula diperha kan
bahwa pengejarnya itu hanya seorang saja. Betapapun ia hendak mempercepat larinya, ia tentu
akan terkejar jua. Akhirnya ia mengambil keputusan. Melanjutkan lari hanya membuang tenaga
dan napas dan akhirnyapun juga terkejar. Maka lebih baik ia berhen dan menghadapi pengejar
itu. "Hai, ki sanak, lepaskan puteri itu" seru Nararya sesaat melihat penjahat itu berhen ditengah
jalan. "Hm ?" dengus penjahat berkerudung kain hitam itu, "siapa engkau!"
Nararya hen kan larinya, tegak berhadapan dengan penjahat itu. Ia tak dapat melihat


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bagaimana perwujutan muka orang itu. Namun sebuah kesan yang menampil dalam pandangannya
bahwa orang itu bertubuh tegap.
"Tentang siapa diriku, ada sangkut paut dengan persoalan yang kita hadapi saat ini" sahut
Nararya. la berusaha menghindar dari pertanyaan karena menganggap hal itu kurang perlu.
"Apa maksudmu mengejar aku ?" orang itu bertanya pula setelah memperdengarkan dengus
menggeram. "Aku tak mengidinkan engkau membawa puteri tumenggung itu" sahut Nararya.
"Hm" dengus orang itu pula "agaknya engkau orang tumenggung Antaka"
"Bukan" Orang itu agak meregangkan kepala, "Bukan" Lalu mengapa engkau menghalangi aku " Apa
kepentinganmu ?" Nararya tertawa, "Ki sanak. Melihat sesuatu yang tak senonoh, sesuatu kejahatan, sesuatu yang
merugikan kepen ngan kawula banyak, melanggar peri-kemasiaan,
ap orang wajib untuk ber ndak memberantasnya. Bahkan bagi ksatrya itu merupakan dharma-wajibnya. Dalam
ber ndak itu, daklah harus mempunyai kepen ngan ataupun hubungan orang yang ditolong.
Menolong sesama yang menderita bahaya, bukan suatu kepentingan tetapi suatu dharma"
"Hm" orang itu mendesuh agak berkepanjangan "rupanya engkau menggolongkan dirimu sebagai
ksatrya tanpa mau mengetahui sebab musabab dari suatu perbuatan yang engkau anggap
bertentangan dengan dharma-wajibmu sebagai seorang ksatrya"
"Engkau salah, ki sanak" seru Nararya "lepas daripada sebab dan musabab ndakanmu
melarikan puteri tumenggung itu tetapi ndakanmu itu tak dibenarkan. Andaipun engkau
mempunyai dendam terhadap tumenggung, tetapi bukan cara ksatrya apabila engkau membalas
kepada puterinya" Orang itu mendesuh geram "Baik. Karena engkau tak mau menyebut siapa dirimu, akupun takkan
bersedia untuk menjual cerita kepadamu tentang dasar dari ndakanku ini. Dan karena engkau
menganggap dirimu seorang ksatrya yang akan menunaikan dharma-wajibnya, silahkan. Jika engkau
mampu membuk kan bahwa dak hanya ucapanmu saja bernada ksatrya tetapipun kegagahanmu
layak menjadi ksatrya, aku bersedia menyerahkan anak tumenggung Antaka ini kepadamu"
"Kutahu" sahut Nararya "bahwa tak mungkin engkau akan rela menyerahkan puteri itu begitu
saja. Kutahu pula bahwa engkau tentu memiliki ilmu kedigdayaan yang sak . Karena hanya seorang
diri engkau mampu menerobos dari penjagaan ketat para prajurit2 penjaga tumenggungan. Tetapi
dharma-wajib menolong sesama, daklah membenarkan aku harus mundur teratur hanya karena
melihat kedigdayaanmu itu"
Pelahan-lahan orang itu menurunkan tubuh puteri Savitri lalu dibaringkan dibawah pohon yang
tumbuh di tepi jalan. Kemudian ia menghampiri kehadapan Nararya "Mari kita mulai"
Orang itu menutup kata katanya dengan suatu gerakan kaki maju selangkah serta tangan kanan
berayun ke dada Nararya. Nararya agak terkejut setelah memperha kan gerak pukulan orang itu.
Pukulannya membaurkan angin yang cukup keras. Ia menilai orang itu tentu memiliki tenaga yang
kuat. Untuk serangan lawan yang pertama, Nararya menghindar ke samping kanan lalu menyambar
lengan orang itu untuk dikuasainya. Tetapi orang itupun cukup tangkas. Cepat ia mengendapkan
lengan kanannya ke bawah, menghindari terkaman Nararya dan terus langsung disabatkan ke perut
Nararya. "Baik sekali" desis Nararya seraya mengisar tubuh kesamping. Pada saat tangan orang itu
menyambar lewat di depan perut maka dengan suatu gerak yang secepat kilat, Nararya mendekap
dengan lengan kanan mengepitnya kencang2 lalu dengan gerak yang hampir serempak, tangan
kanannyapun mencengkeram siku lengan orang.
"Auh ...." orang itu terkejut karena tangan kanannya telah terkunci lawan. Sebelum sempat ia
berusaha untuk meloloskan diri, siku lengannya terasa berjungkat keatas sehingga tulangnya serasa
putus. Rasa sakit yang menikam sampai ke uluha , menyebabkan ia mengerang kesakitan. Lengan
kanannya lunglai tiada bertenaga lagi.
Sudah menjadi naluri alam bahwa se ap mahluk, terutama manusia, akan berusaha kema -
ma an apabila terancam maut ataupun derita kesakitan. Demikian pula dengan orang itu. Rasa
sakit yang menyeri sampai ke uluha , menyebabkan ia kalap. Tanpa perhitungan lagi, ia terus
gerakkan kaki mendupak perut Nararya sekeras- kerasnya.
Nararya terkejut akan kekalapan orang itu. Ia berusaha untuk menghindar ke samping tetapi
telah terlambat. Pahanya termakan kaki orang sehingga ia terpental ke belakang sampaibeberapa
langkah. Dan penguncian pada lengan orang itupun terpaksa terlepas.
Pada saat Nararya dapat berdiri tegak, ternyata orang itupun sudah berputar tubuh dan terus
melarikan diri. Nararya tak mau mengejar. Karena dari percakapan tadi, ia dapat menarik
kesimpulan bahwa ada sesuatu yang terjadi antara orang itu dengan fihak tumenggung Antaka.
Karena belum mengetahui persoalan itu, Nararya pun melepaskan diri dan meluarkan diri dari
persoalan mereka. Kewajibannya hanyalah menolong puteri tumenggung dan hal itu kini sudah
tercapai maka iapun membatasi langkah untuk tidak terlibat dalam perkelahian lebih lanjut dengan
orang tadi. Kini ia menghampiri puteri Savitri. Ditingkah rembulan temaram, ia dapat melihat wajah puteri
tumenggung itu. Darah mudanya tersirap seketika sesaat memandang wajah gadis itu. Sebuah
wajah yang ayu berseri dalam warna kulit kuning langsap yang halus, dan bersih. Dalam
keadaan tertidur pingsan, dapatlah Nararya menikmati lekuk dan gurat bahkan kerut2 yang
paling halus dari wajah dyah Savitri itu.
Nararya berjiwa halus dan pemuja keindahan. Sejak berhubungan dengan Mayang Ambari,
berkenalan dengan dyah Nrang Keswari, bertambah luas pula keindahan-keindahan yang
dipujanya. Dalam diri wanita ia menemukan keindahan2 tersendiri. Kecan kan mereka beda
dengan kecan kan bunga2 dan alam, terutama alam sekeliling gunung Kawi yang indah. Wanita
memiliki keindahan yang agung dalam kecan kan, luhur dalam budi peker dan yang dak pernah
didapa nya dalam keindahan benda2 alam lainnya, adalah keindahan yang memancarkan sumber
hidup. Sumber semangat sumber ilham, sumber gelora hidup, sumber keberanian kegagahan dan
kejantanan. Dalam menemukan pemujaan kearah keindahan yangbaru itu, bukanlah berartibahwa
iamemanjakan diri dalam rangsang kegemaran terhadap wanita. Tidak. Dia hanya memuja akan
keindahan dan dalam diri wanita itu ia mendadapatkan suatu keindahan. Pemujaan terhadap,
sifat keindahan insan yang wanita itu, menyentuh perasaan halusnya, bukan merangsang.
Puas menyusurkan pandang mata ke wajah puteri tumenggung itu, kini timbullah pikiran
Nararya untuk menolongnya. Segera ia menghampiri dan hendak menjagakan gadis itu. "Rara
ayu" serunya pelahan. Diulangnya pula seruan itu agak keras dan makin keras. Karena dyah
Savitri tetap diam, akhirnya ia memberanikan diri hendak menjamah tangan gadis itu. Tetapi
baru tangannya menyentuh lengan Savitri, tiba2 gadis itu membuka mulut "Ya, aku mendengar
..." Seper terpagut ular, Nararya pun cepat menarik kembali tangannya "Rara ayu ..... apakah tuan
menderita luka?" "Hm..... tidak" sahut Saraswati bermalas suara sedang matanya masih terpejam.
Nararya kerutkan dahi. Rupanya ia heran "Apabila rara tak terluka, mengapa rara ..... tak
bangun" "Hm ..." sahut Savitri pelahan.
"Mengapa rara tak bangun ?" Nararya mengulang pertanyaannya.
"Aku ngantuk sekali, ingin tidur..."
"O" desuh Nararya. Cepat ia merangkai dugaan bahwa puteri tumenggung itu tentu terkena aji
Penyirepan. Suatu ilmu mantra yang sering digunakan kaum penjahat untuk melelap orang supaya
dur. Ia gugup, la tak menger aji penawar Penyirepan itu. Tak tahu bagaimana harus menolong
gadis itu. Tiba2 ia membayangkan akal. Mungkin dengan membasuhkan air ke muka gadis itu, tentulah
dapat menghilangkan rasa kantuknya. Ah, tetapi kemanakah laharus mencariair " Nararya bingung
lagi.Setelah merenung beberapa saat, akhirnya ia memutuskan untuk memanggul puteri
tumenggung itu pulang ke tumenggungan. Syukur apabila di tengah jalan ia bertemu dengan
saluran air sehingga dapatlah ia membangunkan puteri itu agar dapat berjalan sendiri. Tetapi
apabila tidak, terpaksa ia harus memanggulnya sampai ke tumenggungan.
"Tetapi dakkah para prajurit tumenggungan itu akan menyangkanya sebagai penjahat yang
melarikan puteri itu?" ba2 mbul kecemasan dalam ha nya. Dan ia-pun meragu. Setelah
beberapa saat menimang dan memper mbangkan akhirnya ia mengambil keputusan. Melihat gadis
ayu puteri tumenggung itu rebah dibawah pohon, ia mengua rkan kesehatannya. Maklum, seorang
gadis, puteri tumenggung, tentulah tak biasa dur diatas kerumun akar pohon di alam terbuka,
apalagi tengah malam. Dan ia mengetahui sendiri betapa indah dan asri bilik kediaman puteri itu.
"Baiklah, akan kupanggulnya ke tumenggungan" ia membulatkan keputusannya "andaikata
karena menolongnya aku harus menderita akibat yang tak kuinginkan, akupun harus berani
menghadapinya" Dengan kemantepan itu, segera ia mengangkat tubuh dyah Savitri seraya berkata "Maaf, rara
ayu, hamba akan mengantarkan rara pulang ke tumenggungan"
"Hm, terima kasih ...." bisik Savitri.
Sejenak termangu-mangu Nararya ke ka ia meletakkan tubuh dyah Savitri ke bahunya. Bau
harum dari tubuh gadis itu amat menyengat hidungnya, menggelorakan darah mendebur jantung
dan membangkit sesuatu pada perasaannya.
"Nararya, tetapi laku keutamaanmu sebagai seorang ksatrya. Hadapkanlah pikiranmu, ba nmu
kearah kesucian. Hindarkanlah ba nmu dari goda rangsang darah muda dan nafsu keinginan .......",
tiba2 terngiang pula kata yang pernah diwejangkan empu Sinamaya ketika di pertapaan.
Bagai kilat merekah di cakrawala, seke ka terpancarlah ha Nararya akan percik2 kata wejangan
itu. Ia seorang ksatrya, mengapa dalam menolong seorang gadis can k, ha nya membin k noda2
keinginan.Nista! Seketika teranglah pikiran hatinya bagaikan rembulan lepas dari saput awan. Kini dengan
perasaan longgar ia segera ayunkan langkah sambil memanggul tubuh dyah Savitri. Bau harum
yang masih mendekap hidung hanya menimbulkan kesegaran semangat sebagaimana ia
membau keharuman bunga. Dan setelah memiliki perasaan itu timbullah pula lain perasaan.
Perasaan dari seorang ksatrya yang memikul tanggung jawab untuk melindungi orang yang
ditolongnya. Entah adakah orang itu seorang pria atau wanita, kakek atau pemuda, nenek atau
gadis ayu. Menyusur jalan yang sepi menjelang dinihari, sayup2 ia mendengar kokok ayam hutan mulai
memberi tanda akan kehadiran pagi. Dan angin semilir pun menaburkan sepoi2 basah dari embun
halus, memberi sentuhan segar pada wajah Nararya yang hampir semalam tak tidur.
Beberapa waktu kemudian ke ka hampir memasuki gerumbul pohon yang menjadi batas tanah
tumenggungan, ba2 muncul berpuluh sosok tubuh yang berderap-derap menyongsong arah.
Makin dekat makin dapat Nararya melihat jelas bahwa sosok2 tubuh itu adalah berpuluh lelaki
yang membawa senjata. Belum sempat ia merangkai ciri2 mereka, orang2 itupun sudah makin
dekat, hanya sepuluhan tombak jaraknya.
"Hai, itu penjahatnya!" ba2 terdengar sebuah suara nyaring dan pada lain saat berhamburan
berpuluh lelaki bersenjata itu lari menghampiri Nararya. Cepat sekali mereka sudah ba dan
mengepung Nararya. "Berhen , jahanam!" mereka berteriak hiruk pikuk, saling berlomba untuk
menunjukkan suara yang paling keras dan paling garang.
Nararya berhen , masih memanggul Savitri. Ia memandang orang2 itu dengan tajam. Mereka
adalah prajurit2, pengalasan dan para penjaga tumenggungan.
"Jahanam, lepaskan puteri tumenggung itu dan lekas engkau menyerah" teriak seorang prajurit
yang tegap. Rupanya dia lurah dari prajurit tumenggungan.
"Siapa kalian !" seru Nararya.
"Kami adalah rombongan penjaga tumenggungan yang hendak mengejarmu"
"Aku " Mengapa engkau mengejar aku ?" Nararya tanpa menyadari bahwa apa yang diutarakan
lurah penjaga tumenggungan itu memang beralasan. Penjahat masuk ke dalam tumenggungan dan
membawa lari puteri tumenggung. Kini yang memanggul puteri tumenggung itu adalah dia.
"Engkau penjahat yang hendak menculik rara ayu!"
Nararya terpaksa tertawa "O, engkau salah duga, ki sanak. Aku bukan penjahat yang melarikan
puteri tumenggung ini. Kebalikannya akulah yang menolong puteri dari tangan penjahat"
Lurah penjaga itu terkesiap. Ia memandang tajam pada Nararya. Ia memang mendapat kesan
bahwa seorang pemuda yang secakap dan seagung wajah Nararya memang tak layak menjadi
penjahat. Tetapi kenyataannya " Tiada lain orang lagi kecuali Nararya yang membawa puteri
tumenggung. "Jangan jual petai kosong, keparat !" tiba2 seorang lelaki yang tidak mengenakan pakaian prajurit
berseru "engkau mau menyerah atau pilih kami hajar sampai mati !"
Bahkan beberapa prajurit segera bergerak maju. "Tak perlu banyak cakap dengan manusia
keparat ini. Hayo kita ringkus dia !"
"Jangan bergerak !" teriak Nararya nyaring sekali sehingga beberapa penjaga itu tertegun
hentikan langkah mereka. "Kalian mau ber ndak bagaimana?" tegur Nayarya pula "jika menghendaki puteri tumenggung
ini, aku memang hendak menghadap tumenggung untuk menghaturkannya."
Beberapa prajurit dan pengalasan tumenggungan tertegun mendengar keterangan itu. Tetapi
seorang pengalasan kepercayaan tumenggung Antaka yang bernama Watu Wungkuk, tampil
kemuka. "Bukan hanya rara ayu, pun engkau harus serahkan dirimu untuk kita ikat dan hadapkan kepada
gusti menggung" serunya dengan lantang.
"Engkau tetap menuduh aku sebagai penjahatnya?" tegur Nararya.
"Aku hanya mengatakan apa yang kulihat saat ini. Soal engkau penjahat atau penolong dari
rara ayu, gusti menggung yang akan memberi keputusan" seru Watu Wungkuk. Kemudian ia
berpaling dan berseru memberi perintah, "Kawan2, tangkap penjahat ini!"
Baik prajurit, penjaga dan pengalasan tumenggungan tahu dan kenal siapa Watu Wungkuk itu.
Seorang yang licin tetapi cerdas. Agak cacat bungkuk punggung tetapi digdaya. Paling dipercaya
tumenggung Antaka. "Berhen !" bentak Nararya untuk yang kedua kalinya "ki sanak sekalian, dengarkan dan
percayalah kepada keteranganku. Aku bukan penjahat yang melarikan rara ayu ini tetapi akulah
yang menolongnya dari tangan penjahat itu"
"Mana penjahat yang engkau maksudkan?" seru Watu Wungkuk dengan nada mengejek.
"Dia terluka dan melarikan diri"
Watu Wungkuk tertawa "Hanya anak kecil yang mau percaya pada keteranganmu semacam itu.
Tetapi aku dan kawan-kawanku ini orang2 tua yang tahu berpikir. Engkau mengatakan penjahat
tetapi dak mampu membuk kan penjahat itu. Engkau mengatakan penjahat itu terluka dan
melarikan diri, apa buktinya" Hm, memang sudah umum apabila maling itu berteriak maling"
Nararya memandang lekat pada pengalasan itu. Ia mendapat kesan bahwa orang itu bermata
julik, pertanda kurang lurus ha nya. Kesan itu segera membangkitkan penilaiannya terhadap sikap
orang itu. Mengapa dia begitu mendesak dan bernafsu sekali hendak menangkap dirinya "
Bukankah sudah jelas ia mengatakan bahwa ia hendak mengantarkan puteri itu kepada
tumenggung Antaka" "Ah" ba2 ia tersentak sesaat suatu kesimpulan menyelinap dalam benaknya "apa yang dipesan
baik oleh rama maupun guru, memang benar. Dunia ini kotor dan manusia itu dikuasai oleh
nafsu2. Banyak yang berha culas. Seper pengalasan ini. Tak mungkin dia tak dapat menger
maksudku melainkan dia memang sengaja hendak menolak. Jika aku yang mengantar puteri
tumenggung ini ke tumenggungan, tentulah aku yang mendapat ganjaran. Dia dan kawan-
kawannya, bukan saja tak menerima apa2 tetapi kemungkinan akan mendapat marah tumenggung
Antaka. Maka dia memutuskan hendak menangkap aku dengan per mbangan, akulah yang akan
dijadikan kambing hitam sebagai penjahat. Dia dan kawan-kawannya akan mendapat ganjaran
karena dapat menangkap penjahat dan menyelamatkan puteri tumenggung ...."
Hanya beberapa kejab Nararya terbenam dalam renungan menilai sikap dan ndakan Watu
Wungkuk yang sedemikian ngotot hendak menangkapnya "Ki sanak, jangan engkau mengua rkan
diriku. Aku hanya menolong puteri tumenggung ini dan sekali-kali dak mengharap ganjaran dari
gusti menggung. Apabila gusti menggung hendak memberi ganjaran, biarlah kuberikan kepadamu"
"Tutup mulutmu !" bentak Watu Wungkuk dengan marah. Ia merasa isi hatinya telah ditelanjangi
Nararya. Karena malu, ia marah sekali "aku adalah orang kepercayaan tumenggung Antaka. Banyak
sudah berapa banyak ganjaran dan kepercayaan yang dilimpahkan tumenggung kepadaku. Engkau
harus kutangkap bukan karena kua r tak mendapat ganjaran dari gus menggung melainkan
karena engkau memang penjahat yang hendak menculik rara ayu dan karena tertangkap, ,aka
engkau mengaku sebagai pahlawan yang menolong rara ayu dari tangan penjahat. Penjahat
menurut khayalanmu sendiri"
Betapa pandai Watu Wungkuk berbantah dapat dirasakan dalam suasana itu. Ke ka Nararya
mengemukakan pernyataan hendak mengantarkan Savitri ke tumenggungan, sebagian besar
prajurit dan pengalasan tumenggungan menyetujui. Bahkan ke ka Nararya menelanjangi isi ha
Watu Wungkuk, segenap rombongan orang2 tumenggungan itu dalam ha membenarkan Nararya.
Tetapi pada waktu Watu Wungkuk memberi jawaban yang terakhir, berobahlah penilaian
anakbuah rombongan tumenggungan itu. Mereka menganggap kata2 Watu Wungkuk tepat dan
benar. "Tangkap! Hajar penjahat itu!" serentak mereka berteriak- teriak seraya menyerang Nararya.
Menyadari bahwa suasana tak mungkin dapat dihindarkan lagi dari pertarungan maka Nararya
pun bersiap. Sambil masih memanggul tubuh Savitri, ia bergerak maju mundur, ke kanan kiri,
mengisar langkah berputar tubuh, menghindar dan memukul, menendang dan mengait kaki lawan.
Walaupun memanggul tubuh Savitri tetapi dak mengurangi kelincahan dan ketangkasan gerak
Nararya. Karena pada waktu ia berada di pertapaan, dalam mela h ilmu kanuragan dan
kedigdayaan, gurunya menyuruhnya ap pagi naik turun gunung sambil membawa batu. Dan batu
itu makin lama makin bertambah yang berat bobotnya. La han2 yang keras itu telah menciptakan
dasar pembentukan tubuh yang kuat pada diri Nararya.
Beberapa orang telah rubuh akibat gerakan kaki Nararya, entah tertendang atau terkait.
Rombongan orang tumenggungan itu makin marah. Mereka serempak mencabut senjata dan
hendak menyerang. "Berhenti!" tiba2 Nararya memekik se-keras2nya sehingga telinga orang2 itu serasa pekak.
Mereka tertegun "bukan aku takut tetapi kalian harus ingat akan keselamatan gustimu puteri
ini" Bukankah pedang dan parang itu tidak bermata" Bagaimana kalau kalian salah tangan
sehingga mengakibatkan luka pada diri puteri?"
Sekalian orang tumenggungan itu terkesiap. Mereka mengakui kebenaran kata2 Nararya "Ah,
jangan diberi arnpun, bunuh saja penjahat itu!" ba2 Watu Wungkuk berteriak seraya maju
menyerang dengan pedang. Ia menusuk perut Nararya.
Karena mendengar peringatan Nararya dan karena melihat Watu Wungkuk sudah menyerang
dengan senjata maka sekalian orang tumenggungan itu tak mau ikut menyerang Mereka hanya
melihat pertarungan itu dengan penuh perha an dan ber-siap2 mengepung sekeliling tempat agar
Nararya jangan sampai lolos.
Nararya tetap tak mau melepaskan tubuh Savitri tetapi diapun tak mau menggunakan tubuh
gadis itu sebagai perisai, Ia tahu bahwa Watu Wungkuk itulah agaknya yang berpengaruh terhadap
anakbuah rombongan itu. Apabila Watu Wungkuk sudah dapat dikuasai, kemungkinan orang2 itu


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mudah diajak berunding. Nararya mengisar tubuh kesamping lalu dengan gerak yang cepat sekali, ia menyapukan
kakinya ke kaki orang, bluk .... Watu Wungkuk terpelanting dan terbanting ke tanah. Sebelum ia
sempat menggeliat punggungnya telah dipijak Nararya sekeras kerasnya "Uhhhhh" Watu
Wungkuk menjerit. Ia rubuh tengkurap dan karena dadanya diinjak maka hampir ia tak dapat
bernapas . Melihat pemukanya rubuh diinjak Nararya, rombongan orang tumenggungan itu hiruk pikuk dan
terus hendak menyerbu. "Berhenti kamu semua!" sekonyong-konyong terdengar suara melengking marah.
"O, rara engkau ....." secepat mengetahui bahwa yang berteriak itu dyah Savitri, gopohlah
Nararya menurunkan tubuh gadis itu.
Setelah dibawa Nararya berloncatan menghindar diri dari terjangan orang2 tumenggungan itu,
setelah pula beberapa kali Nararya mengeluarkan pekik yang nyaring maka rasa kantuk yang
menyerang perasaan Savitri makin berkurang dan akhirnya hilang. Tepat pada saat ia terbangun
dan sadar benar2, saat itu Nararya sedang menginjak punggung Watu Wungkuk dan kemudian
setelah rombongan pengalasan dari tumenggung itu hendak menyerang dengan senjata, Savitri
segera menjerit menghentikan tindakan mereka.
Pada saat Nararya menurunkan tubuh Savitri ke tanah, iapun lepaskan injakannya pada
punggung Watu Wungkuk. Watu Wungkuk melen ng bangun, menyambar pedang dan terus
membacok Nararya. "Watu Wungkuk, engkau berani membangkang perintahku ?" bentak Savitri marah. Namun
pedang Watu Wungkuk sudah terlanjur melayang. Untung Nararya dapat menghindar mundur.
"Rara, dia penjahat ...."
"Tutup mulutmu, setan bungkuk!" karena marah perintahnya tak diindahkan, Savitripun memaki
pengalasan itu. Kemudian ia memberi perintah kepada beberapa prajurit "Tangkap manusia kurang
ajar ini!" Karena takut akan puteri tumenggung Antaka, beberapa prajurit segera maju dan mencekal
kedua tangan Watu Wungkuk, merampas senjatanya.
"Rara, mengapa rara marah kepadaku karena hendak kubunuh penjahat itu" masih Watu
Wungkuk berani buka suara.
"Siapa bilang dia penjahatnya!" bentak Savitri.
"Tetapi rara, dia jelas memanggul rara hendak dibawa lari" sanggah Watu Wungkuk.
"Aku lebih tahu dari engkau!" hardik Savitri pula "dia hendak mengantarkan aku ke
tumenggungan" kemudian gadis itu berpaling kearah Nararya. Ia terkesiap ketika beradu pandang.
Dalam cengkeraman rasa kantuk yang tak dapat ditahan, masih dapatlah walaupun samar2,
Savitri menangkap semua pembicaraan yang berlangsung antara Nararya dan penjahat bertopeng.
Iapun mendengar juga pertempuran antara kedua orang itu dan derap si penjahat melarikan diri. Ia
hendak membuka mata ke ka Nararya mengatakan hendak mengangkat tubuhnya tetapi ia
rasakan tubuhnya lunglai dan kelopak matanya seper terjahit rapat dan ingatannyapun lebih.
Maka ia tahu jelas siapa Nararya itu.
Dalam kelemahan tubuh dan pikiran, ia hanya sayup2 mendengar kata2 Nirarya. Kini setelah rasa
kantuk itu hilang dan berhadapan dengan penolongnya iapun tertegun. Tak pernah disangkanya
bahwa pemuda yang menolongnya itu seorang pemuda yang tampan dan bersinar wajahnya.
Tentulah keturunan priagung atau orang berpangkat.
Demikian pula Nararya. Baru saat itu ia dapat memandang wajah Savitri. Sepasang bola mata
Savitri yang bening dan berpagar bulu mata yang rimbun, menghidupkan kecan kannya. Bagaikan
bunga layu yang menyeruak kesegaran berseri. Demikian keadaan Savitri di-kala pejamkan mata
tadi dengan saat ia terbangun. Ibarat alam dengan matahari, demikian wajah dengan mata.
"Maa an hamba, rara" sesaat Nararya menyadari bahwa kurang layak, memandang sedemikian
lekat pada seorang gadis, apalagi puteri tumenggung.
"Ah, mengapa raden berkata begitu?"
Nararya menyurut mundur "Maaf, rara ayu, hamba hanya seorang pemuda desa, janganlah rara
menyebut hamba raden"
"Benar?" Savitri kerutkan alisnya yang indah.
"Benar, rara" sahut Nararya.
"Baiklah. Tetapi kakangpun jangan menyebut-nyebut soal maaf. Kakang tak bersalah apa2,
bahkan akulah yang harus berterima kasih atas pertolongan kakang"
"Ah, hanya secara kebetulan saja hamba melihat penjahat itu membawa rara maka hambapun
memberanikan diri untuk menghalanginya. Dia ketakutan dan melarikan diri"
Savitri mengangguk "Ya, kupercaya. Eh, siapakah nama kakang ?"
Nararya agak meragu. Haruskah ia mengatakan terus terang atau berbohong. Akhirnya ia
memutuskan untuk memberitahu nama yang sebenarnya.
"Kakang Nararya, bukankah engkau hendak mengantar aku pulang ke tumenggungan?" ba2
Savitri bertanya. "Benar, rara" kata Nararya "memang semula hamba hendak mengantar rara pulang
ketumenggungan. Tetapi kini hamba rasa, kewajiban hamba telah selesai"
"Apa maksud kakang" Savitri kerutkan alis.
"Sekarang rara sudah tersadar dari rasa kantuk dan para pengalasan tumenggungan pun sudah
menyongsong rara. Maka hamba mohon maaf, apabila hanya sampai disini saja hamba dapat
mengantarkan rara ..."
"Hendak kemanakah engkau, kakang ?" cepat Savitri menukas seolah ia masih belum puas dan
tak rela kalau pemuda yang dikenalnya itu akan pergi.
"Hamba, hendak melanjutkan perjalanan lelana-brata, rara. Untuk menambah pengalaman
hidup hamba" "Lelana-brata?" ulang Savitri "ya, tetapi kakang harus meluluskan kuajak menghadap rama
tumenggung agar aku dapat melaporkan pertolongan kakang"
Nararya terkejut "Ah, dak demikian tujuan hamba menolongrara. Hamba telah mendapat pesan
dari guru hamba bahwa menolong sesama yang sedang menderita, itu suatu dharma kewajiban.
Hamba pun tak dibenarkan untuk menerima balas imbalan apapun juga"
Agak tersipu tampaknya Savitri. Ia menyadari telah salah menilai orang "Ya, benar. Aku salah
omong, kakang. Maksudku, bukan supaya rama memberi ganjaran kepadamu tetapi supaya rama
dapat mengetahui orang yang telah menolong puterinya dari bahaya"
Nararya termangu-mangu. "Aku berjanji kepadamu, kakang Nararya. Bahwa akan kuhaturkan kata kepada rama agar rama
jangan memberi ganjaran apa2 kepadamu karena hal itu tak engkau kehendaki. Rama dan ibu pas
akan gembira bertemu engkau, kakang," kata Savitri dengan sikap dan nada yang masih kekanak-
kanakan. Memang dia baru seorang dara yang menjelang dewasa.
Nararya makin mengeluh dalam hati.
"Kakang, mari kita berangkat. Kalau engkau menolak, engkau benar2 menyinggung perasaanku"
"Tetapi rara, hamba masih mempunyai lain urusan pen ng yang harus hamba lakukan" cepat
Nararya memberi alasan. "Ah, apabila singgah dan nggal sehari dua hari di tumenggungan, masakan akan mengganggu
lelana-brata yang engkau jalankan. Hayolah, kakang"
Nararya masih terlongong ke ka tangannya dicekal Savitri lalu ditariknya, diajak berjalan. Ia
bagaikan manusia patung atau manusia yang hampa sadar, hilang faham.
Demikian berjalanlah Savitri bersama Nararya diiring oleh berpuluh pengalasan, prajurit dan
para penjaga tumenggungan.
Dalam keremangan kabut pagi yang mulai menguak, kedua insan itu bagaikan sepasang pangeran
dan puteri yang sedang pulang berburu, diiring oleh barisan prajurit.
Bagai tersadar dari mimpi indah, Savitri terkejut ke ka di pintu gapura tumenggungan. Pintu
dihias dengan daun waringin dan daun kelapa. Serentak ia teringat bahwa hari itu, adalah hari
pernikahan dari kakandanya, raden Prabhawa. Tentulah rama dan ibunya amat sibuk sekali.
Mungkin tak sempat bertanya kepada Nararya.
Tetapi ke ka ba di muka pintu gapura, penjaga pintu segera tergopoh-gopoh menyambut "Ah,
syukurlah. Puji bagi Batara Agung yang melindungi keselamatan rara ayu"
"Kenapa?" tegur Savitri.
"Gus menggung amat mencemaskan keselamatan rara ke ka menerima laporan tentang
peristiwa semalam bahwa rara telah dibawa lari penjahat"
"O, rama sudah mengetahui hal itu?"
"Ya" sahut penjaga "silahkan rara menghadap gusti menggung"
Savitri terus masuk ke dalam pendapa dan langsung menghadap rama ibunya. Nyi tumenggung
mendekap puteri dan menghujaninya dengan kecupan yang mesra "O, Savitri, ibu hampir ma
terkejut ketika menerima laporan dari para penjaga"
"Savitri" ba2 tumenggung Antaka berkata "karena peris wa dirimu, hampir peralatan nikah
kakangmu hari ini akan kuundurkan"
"Maaf rama, dan ibu. Savitri pun tak menginginkan hal itu terjadi pada diri hamba. Tetapi
penjahat itu memang jahat sekali"
"Siapakah yang membawamu lari?"
"Entah, rama. Hamba seper terkena sirep sehingga hamba lunglai dan tak dapat membuka
mata" "O, dia tentu maling haguna yang memiliki aji Penyirapan" kata tumenggung Antaka "lalu
siapakah yang menolongmu" Bukankah para pengalasan dapat berhasil menangkap penjahat itu ?"
"Bukan rama. Bukan para pengalasan dan prajurit tumenggungan yang menolong hamba tetapi
kakang Nararya" sahut Savitri.
"Kakang Nararya" Siapa kakang Nararya itu?" tumenggung Antaka terbeliak.
Savitri terkejut. Ia merasa telah kelepasan kata maka tersipu-sipulah wajahnya. "Penolong hamba
itu bernama Nararya seorang pemuda desa yang tengah berkelana lelana-brata. Dengan gagah
berani kakang Nararya itu dapat mengalahkan penjahat yang membawa hamba itu, kemudian
mengantarkan hamba pulang ke tumenggungan"
"O, dimana dia sekarang ?" seru tumenggung gopoh "panggillah dia menghadap kemari"
Sebenarnya yang diperintah tumenggung Antaka itu penjaga di pendapa tetapi ba2 Savitri
berbangkit dan terus lari keluar sehingga tumenggung dan nyi tumenggung terkesiap.
Tak berapa lama masuklah Savitri bersama seorang pemuda. Baik tumenggung maupun nyi
tumenggung terkesiap menyaksikan pemandangan saat itu. Berjalan beriring dengan seorang
pemuda, Savitri tampak bagaikan sepasang putera puteri raja. Keduanya merupakan sejoli yang
amat serasi sekali. Yang puteri, cantik berseri. Yang putera, tampan cemerlang.
Masih dicengkam kemanguan kiranya tumenggung Antaka ke ka Savitri dan Nararya bersimpuh
dihadapannya, "Rama, inilah kakang Nararya yang hamba katakan itu"
Mendengar itu baru tumenggung Antaka agak gelagapan dan sadar dari kemanguan, "O, baiklah"
kata tumenggung Antaka "benarkah engkau yang menolong puteri dyah Savitri dari tangan seorang
penjahat?" "Benar, gusti menggung" Nararya memberi sembah hormat kepada tumenggung itu "tetapi hanya
secara kebetulan saja hamba lalu ditempat itu dan melihat seorang bertutup kain hitam pada
wajahnya tengah memanggul rara ayu"
"O, engkau berani dan digdaya" seru tumenggung Antaka sambil menatapkan perha an pada
pemuda itu. Diam2 ia mendapat kesan bahwa wajah pemuda itu memang bersinar. Tampan dan
berwibawa. Tetapi tak menunjukkan tanda2 dari seorang pemuda yang bertenaga kuat dan
perkasa. "Ah, hanya secara kebetulan saja hamba dapat memukulnya" Nararya merendah "mungkin
karena dia sedang membawa tubuh puteri paduka sehingga gerakannya agak berat"
"Besar sekali jasamu, Nararya....."
"Rama" cepat Savitri berseru "dalam menolong hamba, kakang Nararya dak mengharap suatu
balas jasa apapun. Kakang Nararya mengatakan bahwa menolong sesama yang sedang menderita
kesukaran, adalah dharma-wajib yang harus dilakukan selama dalam berkelana lelana brata"
"O, itulah laku seorang ksatrya" seru tumenggung Antaka pula "engkau tentu putera ...."
"Bukan rama" kembali sidara Savitri menukas "kakang Nararya berasal dari desa di gunung Kawi.
Putera seorang rakyat desa"
Diam2 nyi tumenggung memperha kan betapa bersemangat dan penuh perha an Savitri
terhadap Nararya itu. Sebagai seorang ibu, nyi tumenggung mempunyai naluri yang tajam tentang
sikap dan gerak gerik puterinya itu. Diam2 iapun mempunyai kesan baik terhadap Nararya. Tetapi
karena hal itu menyangkut suatu persoalan yang pen ng dan besar bagi kehidupan Savitri, maka
perlulah lebih dahulu ia mempunyai waktu yang cukup untuk menyelidiki lebih lanjut tentang diri
Nararya. "Kakang menggung" segera nyi tumenggung berkata kepada suaminya, "saat ini kita sedang sibuk
menghadapi peralatan nikah putera kita. Tentang Nararya, baiklah kita persilahkan dia nggal di
tumenggungan dulu barang beberapa hari sampai peralatan ini selesai. Nan kita akan bercakap-
cakap lebih lanjut lagi dengannya"
Nararya terkejut. Tetapi sebelum ia sempat memberi pernyataan, Savitri sudah mendahului
"Rama ibu, kakang Nararya tak tergesa-gesa melanjutkan lelana-brata maka akan mematuhi
keinginan ibu tadi untuk nggal di tumenggungan sampai peralatan nikah kakang Prabhawa
selesai" "Ya, benarlah, bawalah dia ke bilik di sebelah mur dekat para penjaga" tumenggung Antakapun
segera berseru kepada Savitri.
Savitri memberi hormat lalu mengajak Nararya. Pemuda itu seper seekor kerbau yang tercocok
hidung. Keputusan dalam percakapan berlangsung sedemikian cepat sehingga ia tak sempat untuk
menyatakan apa2. Dan Savitri pun terus menariknya dari hadapan rama dan ibunya.
"Aneh, mengapa Savitri begitu bergairah sekali kepada anak laki itu" kata tumenggung Antaka
kepada nyi tumenggung. Nyi tumenggung tersenyum "Anak kita sudah menjelang dewasa. Kita harus memaklumi
perobahan-perobahan dalam alam kedewasaannya".
"Maksudmu?" tumenggung Antaka terkesiap.
"Ah, mengapa kakang menggung masih bertanya. Bukankah kakang menggung pernah muda
?" "Tetapi dia seorang anak perempuan, nyai" kata tumenggung "harus lebih halus pekertinya"
"Dia memang manja, kakang menggung. Maklum karena kita hanya mempunyai puteri seorang
saja" Pada saat tumenggung Antaka dan nyi tumenggung tengah mempercakapkan ngkah laku Savitri
terhadap Nararya, adalah dara itu sedang membawa Nararya menuju ke sebuah tempat tak jauh
dari keputren. "Hm, mengapa rama hendak menempatkan kakang Nararya di bagian luar" ia tak
setuju dengan perintah tumenggung dan membawa pemuda itu sebuah bangunan yang termasuk
lingkungan dalam. "Kakang, beris rahatlah disini. Aku terpaksa harus membantu peralatan nikah kakangku" kata
dara itu. Berada seorang diri dalam sebuah bilik yang bersih dan asri, melayanglah pikiran Nararya. Ia
teringat akan Reja yang mengiringnya itu. Tentulah karena malam itu tak keluar dari
tumenggungan, Reja sudah kembali ke gua Selamangleng untuk memberi laporan kepada kawan2.
"Ah, mereka tentu mengira aku tertangkap" pikirnya lebih lanjut "dan kemungkinan mereka akan
berusaha membebaskan aku"
Tetapi ba2 ia teringat bahwa saat itu bekel Saloka tentu dengan beberapa kawan sedang
berada di gedung kediaman tumenggung Sagara Winotan sebagai pelayan. Dan mungkin karena
memperhitungkan bahwa saat ini tumenggung Antaka sedang sibuk mempersiapkan peralatan
nikah puteranya, tentulah tumenggung itu tak lekas ber ndak untuk menjatuhkan pidana. Dengan
demikian kawan2 di gua Selamangleng itupun takkan tergesa-gesa bertindak.
Lepas dari suatu kecemasan, mbullah pula lain keresahan dalam ha Nararya. Kini dia mulai
memikirkan keadaan dirinya "Apakah aku harus taat perintah tumenggung untuk berdiam disini
selama empat lima hari lagi ?"
"Ah, terlalu lama" akhirnya ia menjawab sendiri "dalam empat lima hari itu tentu akan terjadi
banyak perobahan suasana. Dan ...." ba2 terhenyak dalam renungannya "ya, memang runyam
sekali apabila diriku akan terjerat dalam hal itu pula"
Benaknya mulai membayangkan wajah Savitri yang cantik dan sikap serta gerak-gerik dara
itu terhadap dirinya. Juga sempat dibayangkan pula akan sikap tumenggung dan nyi
tumenggung ketika menerimanya. Ia mendapat kesan bahwa tumenggung dan nyi tumenggung
itu amat memanjakan Savitri "Ah, apabila mereka menuruti sikap puterinya kepadaku, bukankah
aku harus menghadapi persoalan seperti di desa Jenangan pula ?"
Keringat dingin segera mengucur dari dahinya. Bukan karena ia tak setuju dengan dyah Savitri.
Dara itu anak tumenggung, can k dan pintar. Tetapi ia harus mengeluh mengapa se ap kali ia
harus berhadapan dengan wanita can k. Mengapa bahkan dalam saat ia berjuang untuk suatu
tujuan, harus dikelilingi dengan wanita2 cantik. Mayang Ambari, dyah Nrang Kesari....
Teringat akan dyah Kesari, puteri raja Jayakatwang yang dipertuan dari Daha, tersentaklah
semangat Nararya "Tidakkah puteri akuwu Daha itu akan murka sekali apabila mendengar aku
diambil menantu tumenggung Antaka " Mayang Ambari puteri seorang lurah desa, mungkin takut
terhadap puteri2 pembesar. Tetapi tentu tidak demikian dengan puteri Kesari ...."
Membayangkan hal itu keringat makin mengucur deras. Makin dingin pula.
"Memang tak setiap lelaki mempunyai rejeki seperti aku. Selalu dekat dan selalu dibayangi
puteri2 cantik, gadis2 jelita. Tetapi hidupku bukan hanya untuk soal wanita. Melalui sasmita gaib
yang diperoleh guru dalam pengheningan ciptarasanya, guru telah mengisyaratkan aku supaya
turun gunung untuk mencari Wahyu Agung yang akan diturunkan dewata. Wahyu yang akan
melimpahkan kekuasaan untuk membawa kebesaran pada negara dan kesejahteraan pada
para kawula. Haruskah pikiran dan tujuanku berbiluk karena tergoda oleh wanita2 cantik itu?"
"Tidak!" pikirannya meronta dan menolak. Tetapi endapan ha nya yang tersibak oleh gejolak
pikirannya segera menampakkan sinar bercahaya, mencuat dan menerangi seluruh bilik ha nya.
Pu h bersih. Tetapi selekas percik2 yang bertebaran tadi mengendap pula maka penuhlah dasar
hatinya itu dengan berbagai warna. Ia sadar,
"Ah, kesemuanya itu memang kehendak Hyang-Batara Agung. Kita manusia hanya sekedar
menerima apa yang ditentukan dewata"
Tiba pada pemikiran itu, ringanlah perasaan Nararya. Apapun yang harus dihadapi, akan
dihadapinya. Bahwa saat itu ia berada di tumenggungan, haruslah ia dapat memanfaatkan
kesempatan itu. Saat itu seluruh penghuni tumenggungan sedang terlibat dalam kesibukan2
melangsungkan upacara peralatan nikah. Andai Nararya mau meloloskan diri, amatlah mudah.
Tetapi ia masih menahan diri. Ia ingin menyelidiki keadaan tumenggung Antaka pada beberapa
penjaga yang dapat memberi keterangan.
Setelah menentukan rencana, Nararya pun rebahkan diri di pembaringan. Ia le h dan ngantuk
karena hampir semalam suntuk tak memejamkan mata. Ke ka tengah hari ia bangun, ia terkejut
karena pintu didebur orang. Segera ia membukanya.
"Ah" ia terkejut ke ka yang berdiri dihadapan-nya itu Savitri sambil membawa sebuah
penampan "engkau rara ..."
"Engkau sudah bangun, kakang Nararya" kata dara itu sambil tersenyum dan melangkah masuk
"engkau dapat tidur nyenyak, bukan ?"
Nararya mengiakan kemudian bertanya "Apakah yang engkau bawa itu, rara?" ia melihat gadis
itu meletakkan penampan diatas meja.


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hidangan pagi, kakang. Silahkan kakang mandi dulu, aku akan menunggu disini"
Nararya menghela napas dalam ha . Ia tak tahu mengapa dara itu begitu memperha kan sekali
kepadanya. Namun ia melakukan juga perintah puteri tumenggung itu.
Ke ka menghadapi meja, Nararya terkejut melihat hidangan yang dibawa dara itu "Rara,
mengapa begini banyak macamnya ?"
Savitri tertawa "Telah kupesan kepada juru dapur agar menyediakan senampan apa saja yang
akan dihidangkan dalam perjamuan nanti. Kakang Nararya adalah tamu kehormatan disini"
"Ah, terlalu banyak, rara"
"Aku akan menemani engkau makan, kakang" kata dara itu.
Nararya terkesiap. Ia mendapatkan lain jenis sifat kewanitaan dalam diri Savitri. Mayang
Ambari pemalu dan penurut. Dyah Nrang Kesari, periang dan ramah. Savitri tangkas dan
kemanja-manjaan. "Rara, apakah gusti menggung takkan marah?"
"Kakang" seru Savitri "jangan sebut aku rara, panggil saja Savitri. Murka rama dan ibu, akulah
yang menghadapi, Tak perlu kakang cemas hati"
Demikian keduanya makan bersama dan bercakap-cakap makin mesra. Wajah Savitri tampak
berseri-seri gembira. Setelah Savitri meninggalkan tempat itu, Nararya pun mulai mencari daya bagaimana dapat
menghubungi pengalasan yang berada di sekeliling tempat itu. Akhirnya ia berhasil memanggil
seorang pengalasan, Walaupun tak banyak yang diperolehnya dari pengalasan itu, namun Nararya
dapat juga mengetahui tentang keadaan keluarga tumenggung Antaka.
Dari beberapa penjaga dan orang gajihan di tumenggungan, ia mendapat sedikit sekali
keterangan tentang kegiatan tumenggung Antaka dalam hubungannya dengan gong Prada. Ia
mendapat kesan bahwa tumenggung Antaka tak terlibat dalam peristiwa gong pusaka itu.
Malam hari Savitri berkunjung pula dengan membawa hidangan. Kedua makan bersama pula.
Savitri mengatakan bahwa upacara pernikahan akan berlangsung malam itu. Ia tentu sibuk dan
meminta agar Nararya beristirahat saja di tempat kediamannya.
Malam itu Nararya ingin keluar untuk melihat keramaian perjamuan di tumenggungan. Tetapi ia
merasa kurang perlu. Lebih baik beristirahat.
Pada saat ia rebah di pembaringan sambil masih merenung-renung, ba- ba ia mendengar pintu
di debur pelahan.Serentak ia loncat turun dan membuka pintu.
"Ah" ia terkejut, menyurut mundur seraya bersiap-siap.
"Apakah raden lupa kepadaku ?" seorang lelaki bertubuh kekar yang tegak di muka pintu,
bertanya dengan nada bersahabat.
"O, engkau?" setelah memandang seksama, barulah Nararya tahu bahwa tetamu itu bukan lain
adalah lelaki yang dibebaskannya dari tumenggungan kemarin malam "mengapa engkau datang
lagi?" "Raden, bolehkah aku masuk?"
Karena menganggap berbahaya kalau para penjaga sampai tahu akan kedatangan orang itu,
maka iapun mempersilahkannya masuk, kemudian menutup pintu lagi rapat2.
"Maaf, raden, akulah orang yang raden tolong kemarin malam. Namaku Gajah Pagon dari daerah
Tuban" Melihat kejujuran orang, mbullah kesan baik dalam ha Nararya "Terima kasih, kakang Pagon.
Aku Nararya" "Ya, aku sudah tahu"
"Tahu ?" Nararya agak terkejut "dari mana ...."
"Reja, pengiring raden itu yang memberitahu kepadaku. Dia kuantar pulang ke Selamangleng"
Nararya terkejut pula. Reja terlalu gegabah memberitahu markas Selamangleng kepada orang.
Tetapi kemengkalan terhadap Reja itu agak menyurut ke ka kesannya terhadap Gajah Pagon
membaik. "Lalu apa maksud kedatangan kakang Pagon?"
"Raden telah menolong diriku. Wajib akupun harus menolong raden. Demikian pendirian
hidupku. Setiap budi tentu kubalas, setiap dendam tentu kuhimpaskan"
"Tetapi aku wajib menolong kakang Pagon karena kakang telah menolong pengiringku"
"Akupun wajib menolong raden karena raden menolongku" jawab Gajah Pagon.
Nararya menghela napas. "Ya. Kupercaya akan hatimu" kata Nararya "tetapi berbahaya sekali engkau masuk kesini"
"Tidak, raden" kata Gajah Pagon "mereka sedang sibuk mengadakan peralatan nikah. Penjagaan
agak berkurang maka aku dapat masuk dengan lancar"
"Lalu apa maksudmu?"
"Mari kita tinggalkan tumenggungan ini, raden"
Nararya tak lekas menjawab. Ia termenung. Ia tahu bahwa gedung tumenggungan bukan tempat
yang tenang baginya. Gedung itu akan menimbulkan banyak kericuhan padanya. Tetapi betapapun
ia agak berat meninggalkannya. Lepas dari segala persoalan, Savitri telah bersikap, baik sekali
kepadanya. Bagaimana ia akan meninggalkannya tanpa pamit"
"Bagaimana, raden ?" karena sampai beberapa saat Nararya diam saja maka Gajah Pagon
mengulang pertanyaannya. Didahului oleh sebuah helaan napas, Nararya menjawab "Memang seharusnya kita lekas2
nggalkan tempat ini. Tetapi tumenggung mengatakan supaya aku berdiam disini sampai selesai
peralatan nikah puteranya. Dia hendak bicara dengan aku"
"Soal apa, raden?"
Nararya gelengkan kepala "Entahlah. Dan puteri tumenggung pun baik sekali kepadaku.
Apabila pergi tanpa pamit, mereka tentu akan kecewa"
Gajah Pagon menatap wajah Nararya. Diam2 ia mengangguk dalam hati. Kemudian berkata
"Setiap perpisahan tentu akan meninggalkan bekas kekecewaan. Dan setiap pertemuan akan
menimbulkan kegembiraan. Itu sudah jelas kita ketahui. Kalau kita sudah tahu akan hal itu,
mengapa kita harus kecewa apabila berpisah, mengapa pula kita harus tertawa kalau kita
berjumpa?" Nararya terkesiap. "Apabila kita tahu bahwa siang itu panas, mengapa kita harus mengeluh kalau berjalan di
siang hari" Pun kalau kita tahu bahwa malam itu gelap, mengapa kita meresah kalau berjalan di
malam hari" Suka dan duka, tawa dan tangis, gembira dan kecewa, merupakan siksa. Untuk
menghilangkan rasa siksa itu maka kita harus menempatkan diri ditengah-tengah. Tak perlu kita
harus kecewa karena berpisah dan gembira karena berjumpa. Karena segala apa dalam dunia
ini tak kekal sifatnya. Demikian raden, wejangan guruku"
Nararya mengangguk "Benar, kakang Pagon. Aku tak merasa kecewa karena harus
meninggalkan tumenggungan ini. Tetapi mereka akan kecewa karena kutinggalkan. Padahal
kekecewaan mereka adalah akibat tindakanku. Pada hal pula aku tak ingin membuat orang
kecewa karena hal itu sama dengan melakukan penganiayaan batin kepada mereka"
Gajah Pagon tertawa "Raden benar. Tetapi tak perlulah kiranya raden meresahkan hal itu.
Sebelum masuk ke tumenggungan aku sudah membekal sesuatu" ia segera mengeluarkan sebuah
kantong kulit dari dalam bajunya "kantong kulit ini, berisi darah ayam"
"Untuk apa ?" Nararya terkejut heran.
"Begini raden" kata Gajah Pagon "kita mengobrak-abrik perkakas dan pembaringan di bilik ini
dan akan kutuangkan ceceran darah di lantai. Dengan demikian ki tumenggung tentu akan
mendapat kesan bahwa, di bilik ini raden telah bertempur dengan seorang penjahat dan berakhir
raden dibawa pergi penjahat itu"
"Ya, itu sebagai pengaburan yang baik" kata Nararya "tetapi dakkah hal itu akan membuat
perasaan mereka gelisah " Dan bukankah gelisah itu sama halnya dengan bersedih ?"
"Karena sama2 suatu derita dalam ba n, gelisah dan kecewa adalah sebobot tetapi dak senilai.
Gelisah mengandung pikiran memperha kan. Tetapi kecewa mengandung pikiran sesal. Karena
gelisah mereka tetap akan mengangan-angan dan memperha kan berita2 diri raden. Berar pada
lain kesempatan, raden masih dapat berjumpa dan diterima mereka dengan gembira. Tetapi
kecewa, mereka akan geram dan takkan mau berjumpa dengan raden lagi. Maka dengan rencanaku
tadi, kelak raden masih dapat berjumpa dan diterima dengan penuh kegembiraan oleh ki
tumenggung dan puterinya."
Merenung sejenak Nararya mengangguk. Ia menganggap buah pikiran Gajah Pagon itu memang
dapat diterima akal. Demikian segera diputuskan Pembaringan dikacau, kursi dan meja dipatahkan
kakinya, darah ayam ditaburkan di lantai. Setelah itu merekapun segera tinggalkan tumenggungan.
"Silahkan raden pulang," kata Gajah Pagon setelah keluar dari pintu gapura.
Nararya terkesiap "Dan engkau ?"
"Dari Tuban aku menuju ke Daha dengan pengharapan akan dapat diterima sebagai prajurit
Daha" kata Gajah Pagon "tetapi setelah mengalami peris wa di tumenggungan, ha kupun kecewa.
Perasaanku mengatakan bahwa bukan di Daha tempat aku mengabdi"
"Kakang Pagon hendak kemana ?"
"Aku ingin meninjau Singasari. Kudengar Singasari juga sedang sibuk membuka kesempatan
bagi pemuda2 yang ingin menjadi prajurit. Aku hendak ke Singasari untuk melihat-lihat keadaan
disana dari dekat" "O" Nararya hanya mendesuh. Ia tak tahu harus melarang atau menganjurkan kepada Gajah
Pagon supaya ke Singasari.
"Kakang Pagon" kata Nararya "apabila kakang tak menolak marilah kakang bersamaku saja.
Pendirianku hampir sama dengan kakang. Akupun sedang lelana-brata, mencari pengetahuan
dan pengalaman" Pada kesempatan untuk memandang wajah Nararya lebih dekat dan lebih lekat, Gajah Pagon
mendapat kesempatan bahwa pemuda itu memang mempunyai wajah yang berbeda dengan
pemuda kebanyakan. Seri wajahnya bersinar, memancarkan kewibawaan dan keagungan. Dan
entah bagaimana, seolah ha nurani Gajah Pagonmengatakan bahwaNararyalahtempat ia
mengabdi. Ia tak tahu mengapa ia mengandung pemikiran begitu. Untuk menuru suara ha nya
iapun menerima tawaran Nararya. Kelak apabila Nararya ternyata orang yang tak memenuhi
harapannya, iapun dapat meninggalkannya.
Setelah menyatakan kesediaannya untuk ikut pada Nararya, Gajah Pagon meminta keterangan
lebih lanjut tentang langkah pemuda itu.
Nararya pun diam2 meneropong isi ha Gajah Pagon. Dari kerut dan sinar matanya, dapatlah ia
menduga akan pikiran lelaki kekar itu. Namun daklah hal itu memudarkan penghargaannya
terhadap Gajah Pagon, kebalikannya ia bahkan menyukainya. Hal itu sesuai dengan pendiriannya.
Kesetyaan itu tak dapat dinyatakan dengan ikrar di mulut, lebih tak dapat dipaksakan. Biarlah
waktu dan peris wa yang akan menumbuhkan kepercayaan dan menyuburkan kesetyaan dalam
hati Gajah Pagon. Nararya segera menuturkan tentang peris wa hilangnya gong pusaka peninggalan Empu
Bharada. Serta perjuangan dari bekel Saloka serta lain2 kawan yang hendak merebutkan kembali
gong pusaka itu. Tertarik seke ka ha Gajah Pagon akan peris wa itu. Mulailah mbul gairah semangatnya untuk
mengikuti jejak perjuangan Nararya dan kawan2.
"Jika demikian, pengeroyokan orang2 tumenggungan terhadap kakang Pamot itu juga dalam
rangka raden dan kakang Pamot hendak menyelidiki gong Prada itu, bukan?"
Nararya mengiakan "Ya, saat itu ku nggalkan Pamot dibelakang karena aku perlu mengejar jejak
orang aneh yang masuk kedalam tumenggungan hendak membunuh putera tumenggung itu.
Untung engkau muncul dan rela mengorbankan diri ditangkap orang2 tumenggungan"
"Dan raden terus berusaha membebaskan aku dengan kesudahan raden sendiri tertangkap
mereka?" "Ya" sahut Nararya" tetapi aku dilindungi puteri tumenggung yang melarang para prajurit masuk
kedalam keputren" "Lalu bagaimana langkah raden sekarang?" Nararya kerutkan dahi "Untuk sementara baiklah kita
tunggu sampai ki bekel Saloka pulang. Mungkin dia memperoleh suatu berita dalam perjamuan itu"
"Bilakah kiranya ki bekel akan pulang?"
"Malam ini perjamuan nikah itu sedang berlangsung. Kemungkinan besok atau paling lambat
lusa." Dalam pembicaraan selanjutnya Nararya bertanya tentang pengalaman Gajah Pagon. Dengan
terus terang Gajah Pagon menuturkan riwayatnya. Ia berasal dari desa Soka tetapi kemudian ia
berguru pada seorang begawan di gunung Pandan.
"Pada suatu hari guru telah menitahkan supaya aku turun gunung melakukan lelana-brata.
Pengetahuan dan ilmu yang telah kuturunkan kepadamu, akan bertambah sempurna serta lebih
melekat dalam penghayatanmu apabila engkau melakukan lelana-brata. Lakukanlah apa yang telah
kuajarkan kepadamu. Semoga lelana-brata itu akan lebih menyempurnakan dirimu lahir ba n,"
demikian pesan begawan dari gunung Pandan itu.
Gajah Pagon mengatakan bahwa tujuannya yalah hendak mengabdikan diri untuk negara. Ia
menuju ke Daha dan ternyata tak sengaja telah bertemu dengan raden Nararya itu.
Mengenai keadaan telatah Tuban, Gajah Pagon menyatakan bahwa daerah Datar atau pesisir itu
sangat ramai, menjadi kota pelabuhan seperti Ganggu.
"Seharusnya kerajaan Singasari menempatkan seorang adipa yang kuat di Tuban untuk
memperkuat kota bandar itu" katanya lebih lanjut.
"Mengapa kakang Pagon tak mau bekerja pada adipati Tuban yang sekarang?" tanya Nararya...
"Aku hendak mencari pengalaman yang lebih luas agar kelak dalam pengabdianku kepada tanah
asal tumpah darahku, aku lebih dapat menyumbangkan tenaga dan pengabdian besar"
Demikian keduanya bercakap-cakap sampai jauh malam. Sejak saat itu Gajah Pagonpun
menggabungkan diri di Selamangleng.
-oo-dwkz^ismoyo^mch-oo- II Wukir Polaman atau gunung Polaman saat itu terancam dalam kepekatan malam bisu. Gelap
gelita. Sesosok tubuh menyeruak jalan kecil yang merentang kearah sebuah lembah. Dia tak
jeri akan cuaca gelap. Tak takut akan bayang2 hitam yang bergerak-gerak diatas jalan. Iapun
tak gentar mendengar bunyi cengkerik, tenggoret dan kelelawar2 yang terbang berkeliaran
mencari mangsa. Ia tak menghiraukan apapun. Langkah yang lebar, menggegaskan kaki agar cepat melintas jalan
kecil itu. Rupanya ia amat terburu-buru seperti orang berlomba.
"Aku harus mendahuluinya" kata orang itu dalam ha . Ia tertegun berhen karena terkejut. Ia
sangsi apakah kata2 itu diucapkannya dengan mulut atau hanya dalam ba n. Ia kua r, suaranya
itu terdengar kesekeliling tempat itu. Dalam tempat yang sesunyi seper saat itu, suara yang
betapapun kecilnya, mudah terdengar, mudah terbawa angin. Bahkan napaspun mungkin
terdengar orang. Beberapa saat kemudian ia meyakinkan diri bahwa disekeliling tempat itu ada orang lain
kecuali dirinya. Setelah itu baru ia ayunkan langkah lagi. Lebih cepat.
Lelaki itu bertubuh tegap, masih muda. Pinggangnya menyelip sebatang pedang. Aneh. Saat itu
tengah malam dan tempat itu lebih menyeramkan dari tanah pekuburan. Mengapa ia datang kesitu
" Ah, tentu ada sesuatu yang pen ng. Karena hanya suatu kepen ngan yang luar biasa, entah
harta karun entah benda pusaka, akan memikat perhatian orang untuk melupakan segala bahaya.
Entah apa yang sedang dilakukan orang itu. Yang jelas dia mencari sebuah gua yang terletak agak
jauh kedalam sebuah lembah. Setelah memperha kan jalan dan batu2 karang, akhirnya ia
membiluk, menyiak sebuah gerumbul ilalang yang se nggi tubuh manusia lalu menyusup kedalam
sebuah batu berlubang. Menilik sekujur tubuhnya dapat menyelundup masuk, tentulah batu
berlubang itu merupakan sebuah gua.
Ia terus maju, mencabut pedang untuk bersiap-siap menjaga se ap kemungkinan. Dengan agak
gemetar langkah, ia terus masuk. Seke ka pandang matanya terbeliak ke ka melihat sebuah
pemandangan. Di lantai gua itu tampak segunduk benda hitam berbentuk bulat dan agak besar. Ia berdebar
keras. Ah, ternyata benda itu sebuah gong. Mata orang itu makin berkilat-kilat. Sambil menyelipkan
pedang ke pinggang, ia segera maju mendekat lalu ulurkan kedua tangan hendak mengambil gong
itu "Ah, ternyata benar. Pangeran Ardaraja memang bersekutu dengan orang Singosari ..."
Pada saat ia hendak mengangkat gong itu, sekonyong-konyong entah dari mana dan bilamana
datangnya, tahu2 muncul seorang lelaki bertubuh nggi besar yang langsung mencengkeram bahu
orang itu sekuat-kuatnya lalu ayunkan tangannya menghantam tengkuk orang, duk.....
"Uh ....." orang itu terhuyung ke muka. Orang nggi besar yang menyerangnya,segera hendak
loncat maju menginjak tubuhnya. Tetapi sekonyong-konyong bahunya dicengkeram orang dari
belakang dan punggungnyapun segera dihunjam sebuah pukulan keras, duk ....
Plak, ba2 orang ke ga, seorang bertubuh kekar berkumis, terhuyung-huyung ke muka, hampir
menubruk orang nggi besar. Dia termakan tendangan dari seorang lelaki lain yang mukanya
berselubung kain hitam. Orang berselubung kain hitam itu cepat loncat ke muka terus hendak menyambar gong. Tetapi
pada saat itu juga, ketiga orang yang rubuh tadi serempak melenting bangun dan
menghantamnya sehingga orang berselubung kain hitam itu terpaksa menyurut mundur.
"Keparat, siapa engkau!" teriak orang nggi besar. Kemudian ia berpaling kearah orang berkumis
lebat yang memukulnya tadi "hai, engkaukah yang memukul aku ?"
"Dan engkaupun menyerang aku dari belakang. Licik sekali" teriak orang pertama kepada si
tingggi besar. "Bedebah!" teriak orang berkumis kepada orang yang berselubung kain hitam "bukan ksatryalah
perbuatanmu menendang aku dari belakang tadi"
"Karena aku membenci ndakanmu memukul punggung Suramenggala dari belakang itu" sahut
o-rang berselubung kain hitam.
"Hai" teriak orang tinggi besar "engkau tahu namaku ?" '
"Seluruh rakyat Daha tahu dan kenal akan tubuhmu yang tinggi besar"
"Setan" Suramenggala memaki geram.
"Dengan begitu jelas pangeran Ardaraja, terlibat dalam peris wa ini. Pangeran itu tahu dimana
tempat beradanya gong Prada" kata orang berselubung kain hitam dengan nada mencemoh.
Suramenggala menyeringai "Pangeran Ardaraja tahu, memang sudah selayaknya. Karena
pangeran berhak dan harus tahu. Berhak dan wajib memperoleh gong pusaka itu. Tetapi engkau
dan orang2 kerdil ini, apa hakmu hendak merebut gong Prada itu?"
"Gong Prada itu bukan milik Daha" bantah orang berselubung kain hitam "se ap orang berhak
untuk merebutnya. Bukan hanya hak pangeran Ardaraja belaka"
"Keparat!" teriak Suramenggala "siapa engkau" Dan engkau, engkau juga!" Suramenggala
mengeliarkan pandang tanya kepada lelaki berkumis dan lelaki pertama, yalah orang yang
dihantamnya tadi. "Apa guna engkau bertanya nama ?" sahut lelaki berkumis.
"Ya, benar" sambut orang pertama tadi "rupanya kedatangan kita kemari, mempunyai tujuan
yang sama. Ingin merebut gong pusaka itu. Yang pen ng bukan untuk mengetahui siapa nama kita
satu demi satu tetapi untuk mengetahui siapakah yang akan berhak mendapatkan gong pusaka
itu." "Tepat" sambut orang berselubung kain hitam "apa guna menanyakan soal nama. Karena
sebentar lagi entah siapa diantara kita yang terpaksa harus menanggalkan nama dan nyawanya"
"Licik kalian ini!" teriak Suramenggala "terutama engkau, jahanam" ia menggerakkan pandang
geram kepada orang berselubung kain hitam "engkau telah menyebut namaku tetapi tak berani


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memberitahu namamu sendiri"
"Bukan aku yang menyebut tetapi perawakannya yang nggi besar itu yang mengatakan. Kalau
engkau takut mempunyai nama Suramenggala, buang sajalah nama itu."
"Keparat!" teriak Suramenggala makin melengking nggi "sekarang kita putuskan saja siapa yang
berhak memperoleh gong itu"
"Akhirnya memang begitu" kata-orang berselubung kain hitam "lalu bagaimana caranya?"
"Tarung" seru Suramenggala.
"Kita berempat tarung secara acak-acakan?" orang berselubung kain hitam itu bertanya.
Suramenggala tertegun. Demikian lelaki berkumis dan lelaki pertama yang bertubuh kekar tadi.
"Engkau saja yang mengatakan" akhirnya Suramenggala berseru kepada orang berselubung kain
hitam itu. "Hm" orang berkerudung itu mendengus "kalau kita berkelahi secara bebas, kita tentu akan
berhantam acak-acakan. Siapa bebas menghantam siapa saja. Bagaimana kalau kita atur begini.
Kita bagi dua kelompok. Misalnya, aku bertempur melawanmu, Suramenggala. Lalu si kumis lebat
ini lawan dia yang pertama masuk kedalam gua ini. Lalu yang menang akan bertempur dengan yang
menang. Yang menang sendiri, akan berhak mengambil gong pusaka itu. Setuju ?"
Karena ada lain cara yang lebih baik dari yang diusulkan orang berselubung kain hitam itu,
akhirnya mereka setuju. "Gua ini terlalu sempit untuk medan perkelahian" kata orang berselubung kain hitam
"bagaimana kalau kita langsungkan di luar saja?"
Ke ga orang itupun setuju. Mereka segera melangkah keluar dan mencari sebuah tempat yang
sesuai di sebuah tanah lapang yang tak berapa luas.
Pada saat keempat orang itu keluar, ba2 dari balik batu yang terseluburig gerumbul ilalang,
muncul dua sosok tubuh. Kedua orang itu dengan tangkas loncat menyelinap kedalam gua.
"Kakang, cepat kita angkut gong ini agar mereka kecele" kata salah seorang yang lebih muda.
Bahkan dia terus mengangkat gong itu, dipanggul diatas bahunya lalu mengajak kawannya
menyelinap keluar. Kedua orang itu mengambil jalan melintas gunduk2 batu yang banyak memenuhi sekeliling
tempat itu. Ternyata mereka menyembunyikan gong itu dalam sebuah liang kemudian liang itu
ditimbun dengan batu. Setelah itu merekapun pergi.
Tetapi alangkah kejut mereka ketika melihat dua sosok tubuh tegak menghadang di tengah jalan.
"Siapa kalian?" hardik salah seorang dari kedua orang yang habis menanam gong.
"Tepat benar" kata orang "apabila kawanan anjing berebut tulang maka yang untung kucing
belang" salah seorang yang bertubuh besar dari kedua pendatang itu berseru. Tidak menjawab
pertanyaan orang melainkan mengatakan suatu kiasan.
"Setan, apa maksudmu !" teriak orang tadi.
"Pada saat keempat orang tadi sedang bertempur untuk memperebutkan gong, kucing belang
terus melarikan gong itu. Ha, ha, cerdik benar kucing belang itu"
"Jahanam, engkau mengintai langkah kami ?" teriak orang itu.
"Betapa lincah gerak si kucing belang, namun tak mudah lepas dari mata burung hantu yang
tajam" "Hm" dengus orang itu pula "apa kehendakmu ?"
"Setelah diketahui, tak seharusnya kucing belang itu menelan sendiri tulang itu tetapi harus
membagi kepada burung hantu."
"Enak!" gumam orang itu "kalau aku menolak ?"
"Burung hantu terpaksa akan merebut tulang itu"
"Bagus" seru orang itu "memang telah kuduga engkau juga tergolong mereka yang hendak
merebut gong itu. Syaratnya mudah saja. Laluilah kami"
"Baik" kata orang itu terus hendak melangkah maju. Tetapi ba2 kawannya berbisik "Kakang
Pagon ...." "Jangan mencemaskan diriku, raden. Aku dapat menghadapi mereka" yang disebut kakang Pagon
itu menyahut dengan berbisik pelahan.
"Hati-hati, kakang" kembali kawannya yang disebut raden itu membisiki pesan.
Keduanya tak lain adalah Nararya dan Gajah Pagon.
"Hanya engkau seorang" seru fihak lawan.
"Ya" sahut Gajah Pagon "kami tak pernah maju berdua. Salah seorang saja sudah dapat
menyelesaikan. Tetapi silahkan kalian maju berdua."
Kedua orang itu saling bertukar pandang dan mengangguk. Rupanya mereka menganggap
persoalan malam itu harus lekas dibereskan. Mereka hendak maju serempak berdua.
"Jika engkau menghendaki begitu, kami hanya menurut saja"
Gajah Pagon segera mengambil sikap untuk menerima serangan. Dan cepat pula ia menerima
serangan dari kedua lawan yang menyerang dari kanan dan kiri.
Nararya belum tahu bagaimana kedigdayaan Gajah Pagon. Ia agak cemas ke ka melihat Gajah
Pagon tegak sekokoh karang menghadapi kedua penyerang itu. Kecemasan itu segera terhapus
ke ka Gajah Pagon mulai bergerak. Tangan kanan menangkis serangan dari kanan. Tangan kiri
menangkis serangan dari kiri.
Kraakk .... Tangan kanan Gajah Pagon yang beradu kekerasan dengan penyerang dari kanan, menimbulkan
benturan tulang yang keras. Penyerang itu terhuyung mundur selangkah. Sementara tangan kiri
Gajah Pagon hanya menerpa angin karena penyerang sebelah kiri itu tak mau adu kekerasan
melainkan menggelincirkan tangannya ke bawah dan serempak dengan itu, tangan kirinya
menghantam Gajah Pagon. Untunglah karena penyerang dari sebelah kanan menyurut mundur maka dapatlah Gajah Pagon
mencondongkan muka dan tubuhnya ke kanan sehingga terhindar dari pukulan lawan di sebelah
kiri. Orang di sebelah kiri itu terkejut ke ka pukulannya menemui tempat kosong. Secepat menarik
kembali tangan kiri tangan kanannya pun terus menerpa lambung Gajah Pagon.
Dalam pada itu penyerang dari kanan tadipun melangkah maju dan menghantam bahu Gajah
Pagon. Gajah Pagon tak gugup karena kedua serangan itu. Ia menendang perut penyerang sebelah
kiri kemudian loncat menghindar ke muka.
Orang yang menyerang dari kiri tadi terkejut ketika kaki Gajah Pagon menendang perutnya. Cepat
ia berkisar ke samping, tetapi terlambat. Lambugnya selamat, pangkal pahanya termakan ujung
kaki Gajah Pagon. Orang itu mendesus kejut ke ka tubuhnya terhuyung-huyung kebelakang, tepat
kearah tempat Nararya berdiri. Apabila mau, dengan mudah Nararya dapat meringkus orang itu.
Tetapi ia bahkan menyingkir ke samping.
Sesaat orang itu berdiri tegak ia hendak maju menyerang lagi. Tetapi alangkah kejutnya ke ka
melihat kawannya telah dikuasai Gajah Pagon... Ia gugup dan tegang sekali. Tiba2 ia mencabut
belati yang terselip di pinggangnya lalu menaburkan kearah Gajah Pagon.
Nararya terkejut sekali ke ka melihat Gajah Pagon terancam bahaya. Saat itu Gajah Pagon
tengah meneliku tangan lawannya dan berdiri menghadap ke arah sana. Menurut persangkaan
Nararya tentulah Gajah Pagon tak mengetahui layang bela yang dilontarkan dari belakang
"Kakang Pagon, awas serangan belati dari belakang!" teriaknya.
Gajah Pagon terkejut sekali. Cepat ia condongkan tubuh ke samping seraya menarik tubuh
tawanannya itu. Tetapi tubuh tawanannya itu agak kurang cepat bergerak sehingga bela
menyambar bahunya "Aduhhh" orang itu menjerit kesakitan dan gemetar tubuhnya.
Plak ... Gajah Pagon menampar orang itu hingga terkulai pingsan, kemudian ia berputar tubuh hendak
menerjang orang yang melontar bela tadi. Tetapi alangkah kejutnya ke ka orang itu sudah
lenyap. "Raden, kemanakah orang tadi?" seru Gajah Pagon, Nararya tampak terperanjat juga. Tadi ia
sedang menumpahkan perha an terhadap keselamatan Gajah Pagon. Dan perha annya makin
terhisap ke ka melihat darah bercucuran ke tanah. Ia terus menghampiri hendak memeriksa
keadaan Gajah Pagon. Tetapi segera ia hen kan langkah ke ka melihat Gajah Pagon berputar tak
kurang suatu apa. Selama itu, iapun tak memperha kan lagi gerak gerik penyerang tadi. Iapun ikut
terkejut mendengar pertanyaan Gajah Pagon.
"O, dia menghilang ?" serunya heran kejut.
Gajah Pagon memandang kesekeliling. Tetapi ia tak dapat melihat dan mendengar suatu apa.
Sekeliling empat penjuru gelap pekat.
"Kakang Pagon" kata Nararya "aku agak lengah tak memperhatikan orang itu"
"Tak apa raden" kata Gajah Pagon "kita masih menawan yang seorang"
Orang yang pingsan itu segera ditolong. Dia tampak terkejut dan ketakutan ke ka berhadapan
dengan Gajah Pagon dan Nararya. Kemudian ia teringat akan bahunya yang terluka "Ah" ia
mendekap bahunya untuk mengurangi rasa sakit.
"Engkau terluka, ki sanak" kata Nararya dengan nada ramah "oleh pisau kawanmu sendiri"
"Hm" orang itu mendesuh lalu memandang kian kemari seolah mencari sesuatu.
"Kawanmu melarikan diri" kata Nararya pula "tinggalkan engkau"
Mata orang itu membelalak, dahi mengerut lipat dalam2. Namun ia tak menjawab.
"Darah pada lukamu itu harus dihen kan" kata Nararya pula "akan kurobek ujung bajumu untuk
membalutnya." Orang itu tak menjawab melainkan mengingsut tubuh dengan sikap yang enggan.
"Hm, rupanya engkau sayang bajumu yang bagus" kata Nararya pula "baiklah" ia terus merobek
ujung bajunya lalu tanpa bertanya apa2, ia-terus membalut luka pada bahu orang itu. Orang
itupun diam saja dan membiarkan bahunya dibalut. Rupanya setelah dibalut rasa sakit pada
lukanya itupun berkurang.
"Terima kasih" kata orang itu "siapakah ki sanak ini" Mengapa ki sanak menolong aku?"
"Menolong orang yang menderita kesusahan, bukan harus mempunyai sebab apa2. Melainkan
suatu kewajiban insan manusia" kata Nararya "aku seorang kelana yang sedang berlelana-brata.
Tak sengaja kulihat ki sanak berdua dengan kawan ki sanak tadi menuju ke lembah ini. Malam hari
menuju kesebuah lembah yang gelap dengan membekal senjata, tentulah mempunyai tujuan
tertentu. Timbul kecurigaanku dan lalu mengikuti jejak ki sanak berdua sampai di tempat ini"
"O, jika demikian" kata orang itu "ki sanak tentu mengetahui ndakanku masuk kedalam gua tadi
?" Nararya mengiakan. "Dan tahu aku mengangkut gong itu keluar"
"Ya" "Lalu apa maksud ki sanak menghadang kami berdua?"
"Ke ka berkelana di telatah Daha, pernah kudengar tentang hilangnya gong pusaka Empu
Bharada dari desa Lodoyo. Karena melihat ki sanak membawa gong, maka mbullah keinginanku
untuk mengetahui gong itu"
"Jika gong itu benar gong pusaka Empu Bharada lalu apa tujuan ki sanak" tanya orang itu.
"Aku hanya ingin tahu, hendak ki sanak pengapakankah gong pusaka itu" Menurut keterangan
yang kuperoleh, gong pusaka itu milik kerajaan Singasari. Apabila sampai dilarikan orang yang tak
bertanggung jawab, Singasari tentu menderita kehilangan besar"
"O, maksud andika hendak mengembalikan gong pusaka itu kepada Singasari?"
"Se ap benda tentu ada pemiliknya. Karena gong pusaka itu milik Singasari sudah selayaknya
Badai Laut Selatan 21 Sepasang Pedang Pusaka Matahari Dan Rembulan Karya Aminus, B_man, Kucink Pukulan Naga Sakti 26
^