Pencarian

Geger Dunia Persilatan 18

Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen Bagian 18


sahut Ubun Hiong. "Memang bukan mustahil jejak kita telah diketahui
musuh, tapi mungkin mereka hanya mengetahui diriku
saja dan tidak tahu masih terdapat kau pula bersamaku."
Begitulah Hiau-hu menyangka "wanita" yang dikatakan
prajurit musuh tadi itu adalah dirinya.
Pasukan ronda musuh tadi sudah pergi jauh.
Sementara itu langit yang tadinya gelap gulita tertutup
awan hitam itu sekarang mendadak berubah, awan mulai
buyar dan sang dewi malam menongol di tengah celahcelah
mega sehingga semakin menambah pemandangan
pegunungan yang indah itu.
Tentu saja Kang Hiau-hu tiada punya pikiran untuk
menikmati pemandangan indah itu, katanya dengan rada
kuatir, "Bila jejak kita sudah diketahui musuh, terang
malam ini kita tidak dapat menembus garis penjagaan
mereka. Besok pagi mereka tentu akan mengadakan
pencarian secara besar-besaran. Jisuko, daripada
terhalang di sini, lebih baik kita menerjang lewat saja
dengan sedikit menyerempet bahaya."
"Sssst, dengarkan, di sana seperti ada suara orang,"
tiba-tiba Ubun Hiong mendesis perlahan.
Segera mereka memandang ke sebelah atas dan
mendengarkan dengan cermat. Di bawah sinar bulan
yang remang-remang, tertampak di lereng gunung yang
rada miring sebelah sana samar-samar seperti ada
sebuah rumah gubuk. Dan suara itu agaknya datang dari
rumah gubuk itu. Dengan hati-hati mereka coba mendekati, sesudah
belasan langkah dapatlah mereka mendengar lebih jelas,
itulah suara seorang wanita Tapi yang diucapkan adalah
bahasa daerah pegunungan ini sehingga apa artinya
mereka tidak paham. "Kukira adalah wanita keluarga pemburu, boleh juga
kita mendatanginya untuk mencari berita," ujar Ubun
Hiong. "Keluarga ini terhitung pemberani, sampai wanitanya
juga tidak lari," kata Hiau-hu.
Maklumlah pegunungan yang penuh dengan pasukan
kerajaan yang mengepung rapat Siau-kim-jwan itu sudah
lama kosong dengan penduduk setempat yang
menyelamatkan diri ke daerah yang aman. Selama dua
hari ini mereka memang tidak pernah menemukan
seorang pun, maka sekarang mereka merasa heran ada
keluarga pemburu yang tetap berani tinggal di
rumahnya. "Kau orang lelaki, tengah malam menggedor pintu
tentu akan membikin takut mereka," demikian kata Hiauhu.
"Lebih baik aku saja yang coba bicara dengan
mereka.'" "Benar juga pikiranmu," kata Ubun Hiong dengan
tertawa. "Baiklah, aku akan menunggu kau di sini."
Segera Hiau-hu menuju ke depan rumah gubuk itu,
dan baru saja ia hendak bersuara, sekonyong-konyong
dari dalam rumah menyambar keluar sebatang piau.
Keruan Hiau-hu terkejut dan cepat berkelit, piau itu
hampir-hampir menyerempet lewat rambut di pelipisnya.
Berbareng dengan itu dari dalam rumah gubuk itu lantas
menerjang keluar seorang wanita muda.
Gerakan wanita muda itu amat cepat, begitu
melompat keluar, tanpa bicara lagi goloknya lantas
membacok ke arah Kang Hiau-hu.
Lekas Kang Hiau-hu berkelit sambil berseru, "Nanti
dulu, aku bukan orang jahat!"
Baru sekarang wanita muda itu dapat melihat jelas
lawannya juga seorang nona jelita, tampaknya dia
tercengang, tapi masih terus menyerang sambil
membentak, "Bukan orang jahat buat apa tengah malam
buta datang ke sini" Tak peduli siapa kau, biar kutangkap
kau dulu, urusan belakang!"
Habis berkata mendadak di tengah serangan
goloknya, disertai hantaman dengan telapak tangan,
goloknya mengarah muka lawan, tangannya menyusul
dari bawah golok hendak memuntir tangan Kang Hiauhu.
Sejak kecil Hiau-hu sudah digembleng oleh ayahbundanya,
hanya terbatas oleh umurnya, maka
kepandaiannya belum mencapai tingkatan yang
sempurna, tapi pengetahuannya dalam hal ilmu silat
sudah melebihi tokoh persilatan kelas tinggi. Maka dari
itu ia lantas mengetahui arah serangan wanita muda itu,
bacokan goloknya hanya pancingan saja, serangan yang
betul tangannya yang hendak memegang itu. Agaknya
wanita muda ini tidak bermaksud membikin celaka
padanya. Namun begitu ia tidak tinggal diam, segera ia miring
ke samping untuk menghindarkan golok lawan,
berbareng dengan cepat sekali tangan kanan memapak
ke depan, sedang tangan kiri kontan balas menggampar
muka lawan. Begitulah Hiau-hu telah menggunakan cara lawannya,
cuma dibalik, yaitu ia menyerang muka lawan dengan
sungguhan. Keruan wanita muda itu terkejut dan gusar
pula, bentaknya, "Budak keji! Biar kau rasakan
kelihaianku!" Cepat ia melangkah ke samping untuk menghindar,
menyusul ia putar goloknya dengan cepat, sekaligus ia
mencecar belasan kali serangan pula. Namun Kang Hiauhu
telah menggunakan langkah ajaib Thian-Io-poh-hoat
untuk melayaninya sehingga serangan golok lawan selalu
mengenai tempat kosong, tapi beberapa kali ia pun
hampir kena terbacok. Ia tahu kalau bertangan kosong sukar melawan
serangan golok kilat wanita muda itu, segera ia pun
mencabut pedang pusakanya dan membentak, "Baik,
biar kau pun kenal kelihaianku!" Pedangnya lantas
menabas, "trang", pedang beradu dengan golok dan
meletiklah lelatu api. Golok wanita muda itupun bukan
sembarang golok, tapi tergumpil juga satu bagian.
Wanita muda itu benar-benar lihai, kecundang dalam
hal senjata, untuk seterusnya goloknya yang diputar
secepat kitiran itu selalu menghindarkan benturan
dengan pedang Kang Hiau-hu. Bicara tentang ilmu silat
sebenarnya Hiau-hu tidak kalah, cuma pengalamannya
saja tidak cukup, maka dia rada kelabakan ketika
diserang secara gencar oleh lawan.
Dalam pada itu Ubun Hiong sudah memburu tiba,
mendadak ia berteriak, "Hei, bukankah kau ini nona
Kheng" Berhenti, lekas berhenti! Kawan sendiri!"
Wanita muda itu bersuara heran sambil menarik
kembali goloknya, lalu menyapa, "Eh, bukankah kau ini
pemuda yang pernah berada bersama Yap Boh-hoa itu?"
"Betul," sahut Ubun Hiong. "Aku bernama Ubun Hiong,
dia adalah Sumoayku Kang Hiau-hu, sedangkan Yap Bohhoa
justru adalah Piaukonya."
Kiranya wanita muda itu bukan lain adalah Kheng Siuhong
yang tadinya memusuhi Yap Boh-hoa dan sekarang
sudah menjadi kawannya itu.
Dengan tersenyum segera Kheng Siu-hong memberi
salam kepada Kang Hiau-hu, katanya, "Ilmu silat nona
Kang sungguh hebat. Apakah kedatanganmu hendak
mencari Piaukomu?" Sebisanya ia hendak
memperlihatkan rasa persahabatan kepada Kang HiauTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
hu, tapi senyumannya itu tampak sekali rada-rada tak
wajar. Hiau-hu cukup cerdik, ia pun sudah mendengar cerita
Ubun Hiong tentang kisah cinta Yap Boh-hoa dengan
Kheng Siu-hong, maka diam-diam ia merasa geli, janganjangan
nona Kheng Siu-hong ini rada cemburu padanya,
segera ia menjawab, "Yap Boh-hoa memang betul aku
punya Piauko, tapi baru kemarin dulu untuk pertama
kalinya aku kenal dia, malahan Suhengku inilah yang
memperkenalkan dia padaku."
Habis berkata ia sengaja memperlihatkan hubungan
yang mesra dengan Ubun Hiong untuk melenyapkan rasa
sangsi Kheng Siu-hong. "O, jadi kemarin dulu kau baru saja bertemu dengan
Piaukomu" Kepergianmu ke Siau-kim-jwan ini bukan
untuk mencari dia" Wah, jika demikian benar-benar agak
aneh," demikian kata Kheng Siu-hong terperanjat.
"Aneh kenapa?" tanya Hiau-hu yang ikut-ikutan heran.
"Marilah kita bicara di dalam rumah saja," ajak Siuhong,
lalu ia menggandeng tangan Hiau-hu dan masuk
ke dalam rumah gubuk itu dengan tertawa, sikapnya kini
benar-benar sangat akrab.
Di dalam rumah ternyata sudah ada seorang nyonya
muda yang berkaki telanjang, kakinya memakai dua-tiga
buah gelang tembaga, tangannya memegang tombak, di
sebelahnya ada seorang anak kecil yang sedang tidur
nyenyak. Dari dandanannya dapat diketahui itu adalah
suku Coco, mungkin tadi dia belum mengetahui si
pendatang kawan atau lawan, maka dia telah memegang
tombaknya untuk menjaga keselamatan anaknya.
Sudah tentu ia merasa heran ketika melihat Kheng
Siu-hong masuk kembali sambil bergandengan tangan
dengan Kang Hiau-hu, segera Siu-hong bicara dalam
bahasa daerah kepada nyonya muda itu sambil menuding
Kang Hiau-hu serta menepuk-nepuk hulu hatinya sendiri.
Walaupun tidak paham bahasa daerah itu, tapi Hiau-hu
mengerti juga maksud Kheng Siu-hong yang sedang
mengatakan kepada si nyonya muda itu bahwa mereka
berdua adalah sahabat baik.
Nyonya muda itu lantas menepuk-nepuk sebuah
bangku kecil dan memberi tanda menyilakan Hiau-hu
berduduk, lalu ia menuding Ubun Hiong dan berkata,
"Dia, kawan?" Kiranya ia pun dapat bicara beberapa kata
bahasa Han, cuma sangat kaku.
Siu-hong manggut-manggut dan membenarkan, maka
nyonya muda itu juga lantas menyilakan Ubun Hiong
duduk. "Enci Mafa ini adalah sahabatku," tutur Siu-hong
kemudian. "Dan nona Kherig sendiri mengapa bisa berada di sini
dan sebab apa engkau mengira aku akan ke Siau-kimjwan
untuk mencari Yap-suheng?" tanya Ubun Hiong dan
Kang Hiau-hu berbareng. Maka berceritalah Kheng Siu-hong tentang
pengalamannya tempo hari, sesudah mendapat
penjelasan dari kedua saudara Cu baru ia sadar bahwa
musuhnya bukanlah Yap Boh-hoa seperti disangkanya,
tapi adalah Yap To-hu, si jagal yang ganas itu.
"Sungguh aku tidak nyana bahwa sekeluarga guruku
ternyata adalah sampah persilatan dan terima mengekor
kepada antek-antek kerajaan," demikian kata Siu-hong
lebih jauh sambil menghela napas. "Tempo hari sesudah
aku meninggalkan guruku, aku ingin pulang ke Hui-hongsan
untuk mengumpulkan pasukanku lagi, tapi sampai di
sana ternyata pesanggrahanku telah dobrak-abrik oleh
tentara kerajaan." Sampai di sini Kheng Siu-hong berhenti sejenak, lalu
menyambung pula, "Sesudah mengalami pertempuran ini
barulah aku memahami suatu kebenaran bahwa Yap Tohu,
bangsat tua she Kui dan lain-lain berani bertindak
sewenang-wenang adalah lantaran dijagoi oleh pihak
kerajaan, jadi kerajaan adalah akar dari segala kejahatan
yang terjadi, Yap To-hu dan lain-lain hanya antekanteknya
saja. Dan sekarang juga aku baru insyaf bahwa
musuhku tidak cuma Yap To-hu dan begundalnya itu,
tapi untuk membalas sakit hati ayahku, aku pun harus
berontak melawan kerajaan. Inilah kebenaran yang
kupahami sekarang." "Betul, nona Kheng," kata Ubun Hiong. "Kebenaran
yang kau kemukakan ini cukup jelas dan sangat tegas."
"Sesudah kehilangan pangkalan Hui-hong-san, aku
pun menjadi paham bahwa melulu mengandalkan
tenagaku sendiri takkan mampu menuntut balas," kata
Siu-hong lebih jauh. "Sebab Itulah aku sengaja
membawa sisa anak buahku ke sini untuk bergabung ke
dalam pasukan pergerakan. Yap To-hu adalah musuhku
dan juga musuh pasukan pergerakan, dengan
menggabungkan diri bersama pasukan pergerakan aku
dapat membalas dendam pribadiku, juga dapat menuntut
balas bagi negara. Cuma aku tidak punya kenalan di
dalam pasukan pergerakan, hanya ada seorang Yap Bohhoa
yang pernah kukenal, maka terpaksa aku harus
mencarinya." "Ah, masakah kau hanya kenalan biasa saja dengan
Yap-piauko?" demikian diam-diam Kang Hiau-hu merasa
geli, lalu ia pun bertanya, "Dan mengapa engkau bisa
timbul pikiran untuk mencari Piauko ke Siau-kim-jwan
sini?" "Setiba di bukit 'Anjing hitam' sana, baru aku
mendapat kabar bahwa sepuluh hari yang lalu di situ
telah terjadi pertempuran besar. Keadaan di tempat
bekas medan pertempuran itu sudah morat-marit,
penduduk sudah mengungsi. Secara kebetulan dapat
kujumpai seorang kakek, dari kakek itulah aku mendapat
keterangan tentang pertempuran dahsyat itu. Tapi
sebelum bisa memberi keterangan lebih banyak, tiba-tiba
satu regu patroli kerajaan telah mengendus jejak kami
dan datang menggeledah. Secara mendadak kami dapat
menggempur mundur pasukan musuh itu, si kakek
malang itu telah menjadi korban keganasan musuh, tapi
kami pun berhasil menawan seorang prajurit musuh dan
memaksanya memberi keterangan. Prajurit itu memberi
pengakuan bahwa pimpinan pasukan pergerakan she Yap
telah lari ke Siau-kim-jwan dan pasukan pergerakan
sendiri telah mengalami kehancuran total."
"Berita-berita itu sebenarnya palsu," ujar Hiau-hu


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tertawa. "Memang betul pimpinan pasukan pergerakan
adalah orang she Yap, tapi Yap dan Yap ada dua. Yang
lari ke Siau-kim-jwan itu adalah mata-mata musuh yang
berhasil menyusup ke pihak kita dan mengangkangi
tempat pimpinan, namanya Yap Leng-hong dan bukan
Yap Boh-hoa." Nyata Hiau-hu juga tidak tahu bahwa prajurit yang
ditawan oleh Kheng Siu-hong itu pernah ikut dalam
pasukan yang diperintahkan Yap To-hu untuk pura-pura
mengejar Yap Leng-hong. Cuma dia adalah prajurit saja,
rahasia mengejar itu hanya diketahui perwiranya, maka
pengakuan yang dipaparkan kepada Kheng Siu-hong itu
sebenarnya menurut apa yang telah terjadi
sesungguhnya dan bukan palsu. Hanya tentang
kehancuran total pasukan pergerakan yang dia katakan
memang sengaja hendak digunakan untuk menakutnakuti
Kheng Siu-hong. Mendengar keterangan Kang Hiau-hu tadi, Siu-hong
terkejut. Kiranya ia pun sudah jelas menyelidiki asal-usul
Yap Boh-hoa yang bernama Yap Leng-hong pula. Cuma
tidak diketahui seluk-beluk tentang pergantian namanya
itu, maka Kang Hiau-hu lantas menceritakan pula lika-liku
persoalannya itu kepada Kheng Siu-hong, keruan hal ini
membikin Siu-hong tambah tercengang.
"Kurangajar," demikian umpat Siu-hong, lalu ia
menggerutu, "kiranya Yap Leng-hong adalah putra Yap
To-hu. Sekarang dia telah menyusup ke Siau-kim-jwan,
kukira ini sangat berbahaya, untuk menumpas bahaya ini
tidak boleh tidak kita harus lekas ke Siau-kim-jwan."
"Sedemikian rapat kepungan musuh, cara bagaimana
kita dapat menembus garis kepungannya?" ujar Kang
Hiau-hu sambil mengernyit dahi.
"Aku tahu jalan menuju ke sana," kata Siu-hong
dengan tertawa. Hiau-hu dan Ubun Hiong menjadi girang. "Bagaimana
caranya?" tanya mereka berbareng.
"Caranya terletak pada enci Mafa ini, dia dapat
membawa kita melintas ke sana," sahut Siu-hong.
Lalu ia bicara sebentar dengan Mafa dalam bahasa
daerah, Mafa tampak manggut-manggut dan tersenyum.
"Jika enci Mafa dapat membawa kita melintas kesana,
urusan jangan ditunda lagi, marilah sekarang juga kita
lantas berangkat," kali Hiau-hu.
Mafa tampak berbangkit sambil menggendong
anaknya yang masih tidur nyenyak itu, sebelah
tangannya membawa tombak dan segera mendahului
melangkah keluar. Sembari berjalan iapun bertembang
untuk menina-bobokan anaknya yang terjaga bangun itu
tapi kemudian tidur nyenyak lagi.
Sampai di suatu lekukan bukit, Mafa menggunakan
tombaknya untuk menyingkap segerombol belukar yang
lebat, maka kelihatan di balik semak-semak itu ada
sebuah lubang gua. Sampai di sini barulah Siu-hong
menjelaskan dengan tertawa. "Ujung gua di sebelah sana
adalah di daerah Siau-kim-jwan dan tepat melintasi garis
pertahanan pasukan musuh. Kita menembus ke sana
melalui gua di bawah tanah ini, rasanya mimpipun
musuh takkan menyangka."
Kiranya gua ini adalah tinggalan leluhur penduduk
setempat yang biasanya digunakan untuk bersembunyi
bila terjadi bencana. Sesudah menemukan gua itu,
leluhur penduduk setempat sengaja menanam duri
belukar yang lebat di sekitar mulut gua untuk menjaga
rahasia tempat baik ini. Sesudah membersihkan mulut gua itu, Mafa
menyalakan sebuah obor dan membawa mereka masuk
ke dalam gua yang aneh itu. Pemandangan di dalam gua
dapat tertampak dengan jelas di bawah cahaya obor,
seketika Hiau-hu dan lain-lain melongo heran dan penuh
kekaguman. Ternyata di dalam gua itu banyak terdapat ukir-ukiran
batu dalam macam-macam bentuk, ada binatang, ada
bidadari, ada paderi dan lain-lain, semuanya indah dan
seakan-akan hidup. Namun tiada minat Hiau-hu dan lain-lain untuk
menikmati keindahan gua itu, mereka terus menyusur ke
depan. Panjang gua itu kira-kira ada tiga li. Tidak terlalu lama
mereka sudah mencapai ujung gua itu.
Sesudah mengucapkan terima kasih kepada Mafa, lalu
Kheng Siuhong menggeser batu penutup gua dan
mendahului menerobos keluar. Sesudah Hiau-hu dan
Ubun Hiong menyusup keluar, mereka lantas menyumbat
kembali gua itu. Waktu itu ternyata mereka sudah berada di suatu
tempat yang lapang dan sunyi tiada seorang pun.
Walaupun tanah lapang yang luas, tapi rumput alangalang
tumbuh panjang melebihi tinggi manusia sehingga
sangat kebetulan bagi persembunyian mereka.
Ubun Hiong menggunakan pedangnya untuk
membabat rumput dan membuka jalan di depan,
katanya, "Melihat gelagatnya, agaknya tempat ini adalah
daerah kontak antara pasukan kedua pihak. Jika kita
terus berjalan ke depan, tentu akan dapat bertemu
dengan pasukan pergerakan."
Benar juga, sejenak kemudian mendadak dari semaksemak
yang lebat itu muncul segerombolan orang,
memang betul mereka telah kepergok oleh pasukan
pemberontak. Dan baru saja Ubun Hiong hendak maju
menyapa, tak terduga pemimpin pasukan itu sudah
membentak, "Apakah pendatang itu Ubun Hiong
adanya?" Ubun Hiong melihat pemimpin itu adalah seorang lakilaki
yang kekar dan hitam, usianya antara 30-an dan
belum pernah dikenalnya, tapi entah darimana dia tahu
nama dirinya" Dengan heran Ubun Hiong lantas
memapak maju dan menjawab, "Ya, betul, akulah Ubun
Hiong. Numpang tanya nama..."
Belum selesai ucapannya, mendadak pemimpin
pasukan itu sudah membentaknya, "Bagus, berani benar
kau Ubun Hiong, kebetulan kedatanganmu ini! Rasakan
golokku ini!" Tanpa menunggu jawaban Ubun Hiong, kontan orang
itu lantas membacok dengan goloknya.
Karena tidak terduga-duga, hampir-hampir Ubun
Hiong kena bacokan itu, lekas ia menangkis. Kepandaian
orang itu cukup lihai, meski Ubun Hiong tidak sampai
kalah, tapi dalam keadaan tidak terduga, pihak lawan
adalah pemimpin pasukan pergerakan pula, mau tak mau
Ubun Hiong menjadi serba susah.
Kang Hiau-hu juga terkejut, lekas ia berseru, "He, he,
mengapa kalian menerjang kawan sendiri" Aku adalah
Kang Hiau-hu, ayahku bernama Kang Hay-thian.
Kedatangan kami ini hendak mencari Lengcecu, Ubun
Hiong adalah Suhengku, kami membawa berita penting
yang harus dibicarakan dengan Leng-cecu kalian."
Tak terduga, bukan saja tidak berhenti, sebaliknya
orang itu malah memberi tanda kepada anak buahnya
dan memberi perintah, "Kepung kedua nona itu dan
suruh mereka menyerahkan diri, jangan melukai mereka
kecuali mereka main kekerasan lebih dulu!"
Kejut dan gusar pula Kang Hiau-hu, teriaknya, "He,
apa-apaan kalian ini" Apakah kalian tidak kenal siapa
ayahku?" "Justru kami tahu dan menghormati ayahmu, makanya
berlaku sungkan padamu," sahut orang itu dengan
mendelik. "Hm, kau nona cilik ini memang sembrono,
biarlah kuringkus dan menggusur kau kepada Suhengmu
agar dia memberi pengajaran padamu."
"Ngaco-belo, mengapa kau tuduh aku sembrono?"
damprat Hiau-hu. "Suheng pewaris ayahku adalah Ubun
Hiong, kau tahu tidak?"
Tiba-tiba orang itu tertawa. "Nona cilik sembarangan
mengoceh," katanya. "Hm, bila ucapanmu ini didengar
ayahmu, mustahil beliau takkan berjingkrak gusar. Siapa
yang tidak tahu bahwa Ubun Hiong sudah diusir keluar
perguruanmu, mengapa kau malah mengangkat dia
sebagai Suheng pewaris ayahmu" Kau sengaja membela
pengkhianat demi kepentingan pribadimu, apakah ini
bukan perbuatan yang sembrono" Hm, anak perempuan
seperti kau ini benar-benar mencemarkan nama baik
ayahmu saja." Sembari bicara dia masih terus memutar
goloknya dan mencecar Ubun Hiong tanpa kenal ampun.
Kiranya orang ini bukan lain adalah keponakan Leng
Thian-lok, namanya Leng Tiat-jiau. Dia telah percaya
kepada hasutan Yap Leng-hong yang mengatakan Ubun
Hiong adalah 'mata-mata musuh yang paling jahaf, maka
dia sendiri telah memimpin regu patroli ke garis depan,
tujuannya ialah ingin menjaga penyusupan Ubun Hiong.
Karena muka Ubun Hiong telah dilukiskan dengan jelas
oleh Yap Leng-hong, maka begitu melihatnya segera
kenal dan tak mau membiarkan Ubun Hiong dan
rombongannya lewat. Leng Tiat-jiau memang seorang laki-laki yang jujur
dan berwatak keras, menurut anggapannya sebabnya
Kang Hay-thian dihormati dan disegani setiap ksatria
Kangouw justru karena budinya yang luhur, dan tidak
mungkin pendekar besar itu mau membela putrinya yang
bersalah. Dengan pegangan inilah dia telah memberi perintah
untuk mengepung Kang Hiau-hu dan Kheng Siu-hong
serta memaksa kedua nona itu menyerah.
Akhirnya Kang Hiau-hu sadar juga duduknya perkara,
cepat ia berseru, "Ah, tentu kau telah keliru sangka,
tentu kau telah dikelabui oleh hasutan-hasutan si
bangsat Yap Leng-hong itu. Hendaklah kau percaya
padaku, Yap Leng-hong sendirilah mata-mata yang
sebenarnya, kedatangan kami justru ingin
menyampaikan urusan kepada Leng-cecu kalian agar
jangan sampai kena ditipu oleh bangsat itu."
Akan tetapi mana Leng Tiat-jiau mau percaya begitu
saja, ia mendengus dan menjawab dengan menghina,
"Anak perempuan sembarangan mengoceh, sungguh
memalukan kau sebagai putri Kang-tayhiap. Hayolah
kawan-kawan, jangan gubris ocehannya, tangkap dulu
mereka!" Muka Kang Hiau-hu sampai merah padam saking
dongkolnya, omelnya, "Kau laki-laki hitam inilah yang
sembarangan mengoceh. Bukan soal jika kau memaki
aku, tapi urusan penting yang menyangkut orang banyak
di Siau-kim-jwan pasti akan kau bikin runyam."
Namun gerombolan Leng Tiat-jiau sudah lantas
menyerang maju, mereka tidak ingin mencelakai Kang
Hiau-hu karena tahu dia adalah putri Kang Hay-thian,
sebaliknya Kang Hiau-hu juga tidak mau membikin susah
prajurit-prajurit yang sebenarnya kawan sendiri. Karena
itu pertarungan mereka menjadi sangat hati-hati,
prajurit-prajurit pemberontak menggunakan tombak
panjang untuk menyampuk atau menindih pedang Kang
Hiau-hu, berbareng menggunakan tali panjang untuk
menjegal si nona dengan maksud akan menangkapnya
hidup-hidup. Namun dengan lincah Kang Hiau-hu selalu dapat
menghindarkan diri, dengan langkah ajaib Thian-lo-pohhoat
ia berlari kian kemari dengan gesit. Beberapa kali ia
hampir kesandung oleh tali, tapi selalu dapat dihindarkan
dengan baik, sebaliknya dua bintara lawan malah terjegal
jatuh sehingga Hiau-hu tertawa geli.
Di tengah pertempuran itu, tiba-tiba muncul pula
sepasukan tentara negeri, pemimpin pasukan itu adalah
seorang laki-laki tinggi kurus berpakaian preman, senjata
yang dibawanya juga sangat aneh. bukan senjata tajam,
tapi cuma sebatang tongkat bambu hijau, menyusul
dekat di belakangnya adalah seorang pemuda berumur
20-an. Semula mereka berada di tengah pasukan, tapi
sekarang mereka telah berlari mendahului di depan dan
semakin dekat dengan amat cepat.
"He, lihatlah ayah, bocah itu bukankah Ubun Hiong?"
demikian tiba-tiba pemuda itu berkata kepada si lelaki
tinggi kurus. "Benar, dan orang yang bertempur dengan dia itu
adalah Leng Tiat-jiau, keponakan Leng Thian-lok," sahut
si laki-laki kurus. "Apa yang harus kita lakukan, ayah?"
tanya si pemuda. "Peduli apakah dia ayam atau itik, asal
sudah di dalam kuali, lalap saja semua," sahut ayahnya.
Kiranya kedua orang itu adalah Nyo Ceng dan Nyo
Hoan, kepada mereka Yap To-hu telah memberi satu
regu patroli berkuda untuk meronda di garis depan.
Secara kebetulan mereka pun memergoki pertempuran
yang sedang terjadi di padang ilalang ini, maka dengan
cepat mereka memburu tiba.
Sebaliknya Leng Tiat-jiau masih salah sangka, dengan
gusar ia berteriak kepada Ubun Hiong, "Bagus, sekarang
baru borokmu kelihatan, apalagi yang dapat kau
katakan" Dasar kau memang pengkhianat!" Nyata ia
mengira kedatangan Nyo Ceng dan pasukannya itu
adalah untuk membantu Ubun Hiong.
Tapi sebelum Ubun Hiong sempat bicara, sementara
itu Nyo Ceng dan putranya sudah menerjang tiba.
"Hahaha! Bagus, bagus!" seru Nyo Ceng dengan
tertawa. "Ternyata putri Kang Hay-thian dan bandit
wanita dari Hui-hong-san juga berada di sini, kebetulan
kira dapat meringkusnya sekaligus. Anak Hoan, kau
melayani kedua budak itu!"
Nyo Hoan mengiakan, dengan memimpin sebagian
pasukannya segera ia melancarkan kepungan sehingga
pasukan pemberontak di bawah pimpinan Leng Tiat-jiau
serta Kang Hiau-hu dan Kheng Siu-hong terkurung di
tengah-tengah. Nyo Ceng memutar tongkat terus menerjang maju,


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengeluarkan permainan tongkat yang lihai, yang diincar
adalah Hiat-to lawan, hanya sekejap saja belasan prajurit
pemberontak sudah kena ditotok roboh.
Sama sekali Leng Tiat-jiau tidak mengira sedemikian
cepat datangnya Nyo Ceng, dia masih menerjang Ubun
Hiong dengan sengit dan ingin lekas membinasakan
pemuda itu agar nanti dapat melawan pasukan kerajaan
itu dengan sepenuh tenaga.
Mendadak Nyo Ceng bergelak tertawa, bentaknya,
"Robohlah semua!" Segera tongkatnya menghantam ke
atas kepala Ubun Hiong. Lekas Ubun Hiong menggeser ke samping dengan
langkah ajaib Thian-lo-poh-hoat, tapi karena
perhatiannya diarahkan kepada serangan Nyo Ceng itu
sehingga sukar menghindarkan gerakan golok Leng Tiatjiau,
"cret", bahunya terluka sehingga mengucurkan
darah walaupun lukanya tidak berbahaya.
Dalam pada itu serangan tongkat Nyo Ceng yang
membadai itu sudah tiba pula, kali ini yang diserang
adalah Leng Tiat-jiau. Cepat Leng Tiat-jiau menangkis
sambil terus balas membacok.
Nyo Ceng adalah jago silat kelas tertinggi, ilmu
permainan tongkatnya mempunyai caranya sendiri. Leng
Tiat-jiau baru pertama kali ini bergebrak dengan dia
sehingga belum kenal kelihaiannya. Mendadak terdengar
Nyo Ceng membentak, "Lepas golok!" Berberang
tongkatnya dipuntir dan disendai, kontan Leng Tiat-jiau
merasakan tangannya kesemutan, "trang", goloknya
benar-benar terlepas dari cekalan.
Dalam pada itu dengan secepat kilat tongkat hijau Nyo
Ceng sudah menyambar pula dalam jurus Tok-coa-thosin
(ular berbisa menjulur lidah). Ujung tongkatnya yang
lancip langsung menikam tenggorokan Leng Tiat-jiau.
Dalam keadaan sukar mengelak, diam-diam Leng Tiatjiau
mengeluh celaka, syukur pada saat berbahaya itulah
mendadak Nyo Ceng menarik kembali tongkatnya dan
diputar ke belakang. Kiranya dari sebelah sana Ubun Hiong telah menerjang
maju lagi, serangannya memaksa Nyo Ceng harus
melepaskan tikamannya kepada Leng Tiat-jiau. Rupanya
Ubun Hiong melihat Leng Tiat-jiau terancam bahaya,
tanpa memikirkan luka pada bahunya itu segera ia
melompat maju untuk menolong Leng Tiat-jiau yang
baru saja melukainya. Ilmu pedang Tui-hong-kiam-hoat
(ilmu pedang pemburu angin) yang dikeluarkan Ubun
Hiong itu sangat lihai, sehingga Nyo Ceng terpaksa
menarik kembali tongkatnya untuk menangkis.
Sesudah Leng Tiat-jiau lolos dari ancaman maut, ia
menjadi tertegun dan berpikir, "Jika Ubun Hiong matamata
musuh, mengapa dia mau menolong jiwaku"
Jangan-jangan dia memang difitnah oleh Suhengnya"
Tapi bisa jadi dia sengaja menolong aku untuk menarik
kepercayaanku padanya?"
Namun biarpun Leng Tiat-jiau merasa ragu-ragu, bukti
nyata Ubun Hiong memang telah menyelamatkan
jiwanya, di tengah pertarungan sengit itu ia pun tidak
sempat berpikir lebih jauh lagi. Segera ia jemput kembali
goloknya, dilihatnya darah Ubun Hiong masih mengucur
dari lukanya, tapi pemuda itu masih terus bertempur
dengan gagah berani, diam-diam Leng Tiat-jiau merasa
malu sendiri. Lekas ia ayun goloknya untuk mengembut
Nyo Ceng dan mengucapkan terima kasih kepada Ubun
Hiong dengan suara perlahan.
Di sebelah sana, berkat pedang pusakanya yang
ampuh, Kang Hiau-hu telah menerjang keluar dari
kepungan pasukan musuh, dengan cepat ia pun sudah
memburu sampai di kalangan pertempuran Ubun Hiong
itu. Melihat sang Suheng terluka, ia merasa gusar kepada
musuh dan kuatir pula, serunya kepada Ubun Hiong,
"Suko, kau mengaso dan mengobati lukamu lebih dulu."
Berbareng ia lantas menerjang maju.
Sudah tentu Nyo Ceng tidak pandang sebelah mata
pada ilmu silat Kang Hiau-hu, tapi terhadap pedang
pusakanya itulah mau tak mau ia harus hati-hati. Segera
ia gunakan kelincahan tongkatnya, selalu ia menghindari
benturan tongkatnya dengan pedang lawan, tetapi
menggunakan cara menyampuk dan menahan untuk
menggoncang pergi pedang pusaka itu. Karena itu
gabungan Kang Hiau-hu dan Leng Tiat-jiau untuk
sementara dapatlah bertahan dengan rapat.
Kang Hiau-hu menyuruh Ubun Hiong mengaso dan
mengobati lukanya, tapi pemuda itu ternyata tidak
tinggal diam, ia membubuhkan obat pada lukanya secara
tergesa-gesa, lalu menerjang maju pula. Dengan
kekuatan mereka bertiga sebenarnya cukup untuk
mengalahkan Nyo Ceng, cuma sayang Ubun Hiong
terluka dan agak banyak mengucurkan darah, tenaganya
telah banyak berkurang, maka mereka bertiga juga cuma
sama kuatnya melawan Nyo Ceng seorang.
Jarak medan pertempuran itu dengan perkemahan
pasukan kerajaan lebih dekat, maka waktu itu sudah ada
bala bantuan yang datang. Walaupun tidak terlalu
banyak, namun beberapa kali lebih besar dari jumlah
pasukan yang dipimpin Leng Tiat-jiau. Seketika pasukan
pergerakan terkepung di tengah, tapi mereka masih terus
bertempur dan dengan mati-matian, tiada seorang pun
yang patah semangat. Untung tidak terlalu lama bala bantuan pihak
pemberontak juga datang, kiranya Siau Ci-wan telah
menerima berita dan segera memimpin satu pasukan
datang membantu. Siau Ci-wan adalah cucu Siau Jing-hong, tokoh
angkatan tua Jing-sia-pay, kepandaiannya jauh lebih
tinggi di atas Leng Tiat-jiau.
Kedatangannya ini mirip banteng ketaton, dengan
serentak mereka menerjang ke medan pertempuan,
dengan menyerang dari luar-dalam, seketika situasi
berubah, pasukan kerajaan kini yang terpotong menjadi
beberapa bagian, bahkan ada sebagian yang berbalik
terkepung. Waktu Siau Ci-wan melihat Ubun Hiong dan Kang
Hiau-hu mengembut Nyo Ceng bersama Leng Tiat-jiau, ia
menjadi heran juga. Namun dia tidak sempat mencari
penjelasan lagi, ia menyerahkan pimpinan pasukan
kepada wakilnya, lalu ikut menerjang ke tengah
kalangan. Di tengah pertempuran sengit dan gaduh itu, tiba-tiba
terdengar suara mendengungnya anak panah susul
menyusul. Walaupun tidak tahu darimana datangnya
panah-panah bersuara itu, tapi sebagai seorang
panglima, Siau Ci-wan lantas curiga demi mendengar
bunyi anak panah yang rada menyolok itu. Panah
bersuara itu terang dilepaskan oleh pihak musuh, sebab
pasukan pergerakan di Siau-kim-jwan biasanya tidak
pernah menggunakan panah demikian. Apakah anak
panah bersuara itu dilepaskan sebagai tanda minta bala
bantuan atau ada lain maksud, sukar bagi Siau Ci-wan
untuk menyelidiki di tengah pertempuran sengit itu.
Meski ilmu silat Nyo Ceng sangat tinggi, kini ia merasa
kewalahan juga menghadapi kerubutan Siau Ci-wan,
Leng Tiat-jiau, Ubun Hiong dan Kang Hiau-hu berempat.
Satu kali Siau Ci-wan dan Leng Tiat-jiau menyerang
bersama, yang satu mengayun goloknya membacok bahu
kiri, yang lain membacok bahu kanan Nyo Ceng.
Walaupun Siau Ci-wan dan Leng Tiat-jiau bukan
seperguruan, tapi mereka adalah kawan lama di medan
perang, kedua orang sama-sama memakai senjata golok
pula, maka dalam hal tipu serangan. mereka dapat
bekerja sama dengan sangat baik.
Namun Nyo Ceng memegang bagian tengah
tongkatnya dan diputar dengan cepat, kontan kedua
golok lawan kena ditangkisnya
Akan tetapi Kang Hiau-hu tidak tinggal diam,
kesempatan itu telah digunakan dengan baik, pedangnya
lantas menusuk ke dada Nyo Ceng. Begitu pula Ubun
Hiong tidak mau ketinggalan, dengan mengertak gigi ia
kerahkan segenap tenaga, pedangnya juga menusuk ke
lutut musuh. Yang ditakuti Nyo Ceng adalah pedang pusaka Kang
Hiau-hu, maka lekas ia menyampuk dengan tongkatnya.
Di luar dugaan, serangan Siau Ci-wan dan Leng Tiat-jiau
yang tertangkis tadi belum lenyap sama sekali, golok
mereka masih sempat memutar balik dan menabas
miring ke bawah, "crit-crit" dua kali, baju Nyo Ceng
terpapas robek dua potong. Berbareng itu ujung pedang
Ubun Hiong |iiga sudah berkenalan dengan lututnya.
Bagaimanapun Nyo Ceng memang jago silat
terkemuka, dia masih sempat menekuk kaki terus
mendepak sehingga pedang Ubun Hiong ditendang
mencelat. Walaupun lututnya telah tertusuk luka sedikit,
tapi dia sempat menutup Hiat-to yang bersangkutan
sehingga luka ringan itu baginya mirip ditusuk jarum saja
dan tidak sakit. Pada saat Nyo Ceng terluka itu, putranya, yaitu Nyo
Hoan, juga telah dilukai Kheng Siu-hong, bahkan lukanya
lebih parah daripada sang ayah. Golok Kheng Siu-hong
telah kena menabas di atas pundak pemuda itu sehingga
darah bercucuran. Sambil berkaok-kaok kesakitan, lekat
Nyo Hoan melompat keluar dari kalangan pertempuran.
Melihat putranya terluka, Nyo Ceng tidak berani
terlibat lebih lama dalam pertempuran itu. Ia
menggerung keras-keras, pada waktu Ubun Hiong belum
sempat berdiri tegak, segera tongkatnya menyapu kedua
kaki pemuda itu. Karena terlalu banyak mengeluarkan darah, tenaga
Ubun Hiong sudah lemah, tusukan pedangnya tadi tak
bisa meluka-parahkan Nyo Ceng. Sekarang dia sedang
sempoyongan sesudah pedangnya memelai ditendang
Nyo Ceng. Syukurlah pada detik yang berbahaya itu, Leng Tiatjian
yang, berada di samping Ubun Hiong sempat
mendorong pergi pemuda itu.
Lekas Kang Hiau-hu memburu maju untuk memayang
sang Suheng. Tinggal Leng Tiat-jiau dan Siau Ci-wan berdua dengan
sendirinya tidak mampu melawan serangan Nyo Ceng,
sekuat tenaga mereka hanya berusaha menjaga diri saja.
Untung Nyo Ceng sudah gentar karena putranya terluka,
setelah mendesak mundur Leng Tiat-jiau dan Siau Ciwan,
segera ia menerjang pergi dan menarik mundur
pasukannya. Mengingat pasukan musuh jauh lebih banyak,
ditambah Ubun Hiong sudah terluka, maka Siau Ci-wan
tidak berani mengejar, segera ia pun memberi perintah
mengundurkan pasukan. "Bagaimana keadaanmu, Suko?" demikian Hiau-hu
bertanya dengan kuatir sambil memegang Ubun Hiong.
"Tidak apa-apa," sahut Ubun Hiong dengan suara
lemah. "Ai, sayang seranganku tadi tak bisa
membinasakan bangsat tua itu ..." Belum habis
ucapannya, mendadak darah segar tumpah keluar dari
mulurnya, karena guncangan itu luka di bahunya tadi
lantas pecah pula dan mengeluarkan darah. Lekas Hiauhu
membubuhi obat luka. Karena luka Ubun Hiong adalah karena serangan Leng
Tiat-jiau, tentu saja Leng Tiat-jiau merasa tidak enak.
Segera ia mengangkat tubuh Ubun Hiong dan
didudukkan ke atas kudanya sendiri, katanya, "Tak peduli
bagaimana tentang dirimu, yang pasti aku harus
menyembuhkan lukamu ini. Marilah kita pulang ke
markas, kau adalah tamuku dan jangan kuatir."
Siau Ci-wan merasa bingung, sebentar ia memandang
Ubun Hiong, lain saat ia memandang pula Leng Tiat-jiau,
tanyanya kemudian, "Sebenarnya bagaimana duduknya
perkara?" "Dalam hal ini agaknya ... ada kesalah pahaman," kata
Leng Tiat-jiau dengan ragu-ragu. "Yap Leng-hong
mengatakan dia ... dia ... tapi tadi jiwaku justru telah
ditolong olehnya." Biarpun belum menaruh kepercayaan
penuh terhadap penjelasan Ubun Hiong, tapi sudah
timbul sedikit rasa simpatiknya, sebab itulah kata-kata
"mata-mata musuh" tidak sampai diucapkannya.
Seperti diketahui, Kang Hiau-hu sudah kenal Siau Ciwan
dahulu, maka di tengah jalan dia lantas memberi
penjelasan tentang perbuatan dan kepalsuan Yap Lenghong
yang keji itu dan tentang telah dipecatnya Lenghong
dari pihak pergerakan. Sudah tentu Siau Ci-wan sangat terkejut atas
keterangannya itu. "Siau-sioksiok" Hiau-hu menambahkan, "persoalannya
sudah demikian jelas, apakah kau masih tidak percaya
kepada kami" Keparat Yap Leng-hong itu pasti hendak
membikin susah kepada kalian, mengapa kalian tidak
lekas membinasakan dia agar tidak menimbulkan
bencana lagi, kalau terlambat bukan mustahil keparat itu
akan kabur pula." Siau Ci-wan tidak menjawab, ia hanya memberi tanda
dan berseru, "Lekas pulang ke markas, cepat!" Segera ia
keprak kudanya dan mendahului lari ke depan.
Kita kembali ke pangkalan pasukan pemberontak,
dimana Yap Leng-hong berada.
Waktu mendapat laporan tentang terkepungnya Leng
Tiat-jiau bersama pasukan patroli yang dipimpinnya itu,
saat itu Yap Leng-hong juga berada di antara para
pemimpin. Mestinya Leng-hong ingin ikut pergi bersama
Siau Ci-wan, tapi Leng Thian-lok telah mencegahnya.
Rupanya diam-diam Leng Thian-lok juga belum percaya
penuh terhadap Yap Leng-hong.
Jarak dari pangkalan pasukan pemberontak di Siaukim-
jwan itu cukup jauh dari medan pertempuran,


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

namun suara anak panah yang mendengung-dengung di
angkasa itu dapat terdengar dengan jelas. Kiranya panah
bersuara itu adalah kode yang telah ditentukan antara
Yap Leng-hong dengan begundalnya yang bercampur di
antara prajurit-prajurit di bawah pimpinan Siau Ci-wan
itu. Setiba di medan pertempuran dan melihat Kang
Hiau-hu bersama Ubun Hiong telah menggabungkan diri
dengan Leng Tiat-jiau dan sedang melabrak musuh,
cepat mereka lantas melepas panah bersuara yang
merupakan tanda bahaya bagi Yap Leng-hong tentang
rahasianya yang mungkin akan segera terbuka.
Keruan Yap Leng-hong sangat terkejut ketika
mendengar suara anak panah yang mendengungdengung
ramai itu, segera ia bermaksud kabur. Tapi
lantas terpikir olehnya bahwa usahanya sedikitpun belum
berhasil, kalau kabur begitu saja sungguh tidak rela.
Tiba-tiba ia mendapat akal, ia panggil begundal
kepercayaannya dan memberi petunjuk seperlunya cara
bagaimana mereka harus bertindak, lalu ia dan Bong Ingping
lantas pergi menemui Leng Thian-lok yang menjabat
sebagai pucuk pimpinan pasukan pemberontak.
Pada waktu itu Leng Thian-lok juga telah mendengar
suara anak panah yang mendengung-dengung di
angkasa itu dan merasa curiga. Kedatangan Yap Lenghong
berdua adalah kebetulan baginya, segera ia
bertanya kepada Yap Leng-hong apakah arti suara anak
panah itu dan siapa yang melepaskannya.
Leng-hong menjawab, "Panah bersuara itu memang
biasa digunakan oleh anak buah kami. Tentang artinya,
untuk menerangkan harap Leng-cecu menyuruh keluar
saja para penjaga itu."
Leng Thian-lok rada kurang senang, sebab penjagapenjaga
itu adalah orang kepercayaannya, namun
demikian untuk menghormati kemauan Yap Leng-hong,
terpaksa ia suruh keluar juga para penjaga.
Yap Leng-hong pura-pura bersikap penuh rahasia, ia
geser kursinya lebih dekat dan berkata dengan suara
perlahan, "Soal ini memang agak luar biasa"
"Luar biasa bagaimana?" tanya Thian-lok. Belum
lenyap suaranya, mendadak ia sudah menggerung sambil
melonjak bangun. Kiranya Yap Leng-hong telah menusukkan sebatang
jarum berbisa yang diam-diam sudah disiapkan di tengah
jarinya, jarum berbisa itu adalah pemberian Hong Jongliong
dahulu. Jika racun jarum itu sampai mengenai urat
nadi dan masuk ke dalam darah, seketika orangnya akan
binasa. Jarum berbisa ini dahulu sudah pernah digunakan
oleh Yap Leng-hong sehingga Yap Boh-hoa hampirhampir
melayang jiwanya. Lwekang Leng Thian-lok sebenarnya tidak di bawah
Yap Boh-hoa, tapi karena jaraknya sangat dekat, pula
tidak curiga akan diserang secara keji, maka tahu-tahu
jarum musuh sudah menancap di atas perutnya.
Setengah badan Leng Thian-lok seketika menjadi kaku
dan lumpuh. "Bangsat! Kiranya kau adalah mata-mata musuh!"
bentak Leng Thian-lok sambil melonjak bangun. "Brak",
kontan sebelah telapak tangannya menggaplok ke atas
kepala Yap Leng-hong. "Hm, baru sekarang kau tahu, namun sudah
terlambat!" jengek Yap Leng-hong sambil menangkis.
"Biang", kedua tangan beradu, Leng Thian-lok
memuntahkan darah, tapi Leng-hong juga tergetak
mundur dua-tiga tindak. Kejut Leng-hong tak terkatakan, sungguh tak terduga
bahwa sesudah terluka parah oleh jarum berbisa itu Leng
Thian-lok masih sedemikian tangkasnya.
Tapi karena terlalu keras mengeluarkan tenaga
pukulannya, racun yang sudah menyusup di dalam badan
Leng Thian-lok lantas bekerja lebih cepat pula. Semula
hanya terasa setengah badannya kaku, kini sekujur
badan sudah mulai terasa kejang dan kaku, bahkan
kepalanya terasa pusing, mata berkunang-kunang,
pandangannya menjadi kabur.
Serentak begundal Yap Leng-hong lantas menyerbu
masuk, beramai-ramai mereka membunuh empat orang
pengawal pribadi Leng Thian-lok yang terpercaya.
Keruan Thian-lok menjadi murka, bentaknya,
"Bangsat, biar aku mengadu jiwa padamu!" Berbareng ia
lantas menubruk maju pula laksana banteng ketaton dan
menghantam. Sudah tentu Yap Leng-hong tidak begitu bodoh untuk
bergebrak lagi, dengan cepat ia berkelit ke samping, tapi
empat anak buahnya yang telah menjadi korban
serangan Leng Thian-lok. Hantaman Thian-lok itu
sungguh dahsyat, terdengar jeritan ngeri empat prajurit
bawahan Leng-hong yang diterjang itu, seketika mereka
roboh tak bernyawa lagi, bahkan empat prajurit di
belakangnya juga kena seruduk sehingga patah tulang
dan terluka parah. Sekali hantaman Leng Thian-lok telah membinasakan
empat orang dan melukai empat orang, keruan begundal
Yap Leng-hong yang lain menjadi ketakutan dan lari
menyingkir. Namun pukulan Leng Thian-lok tadi pun sudah
menghabiskan tenaganya sendiri, laksana pelita
kehabisan minyak, dia tidak tahan lagi, sambil
menyemburkan darah ia roboh terkulai.
Leng-hong bergelak tertawa, tanpa susah payah ia
lantas memotong kepala Leng Thian-lok. Bersama sisa
anak buahnya yang masih ada belasan orang segera
Leng-hong menerjang ke bawah gunung. Sudah tentu
para penjaga tak dapat merintanginya karena dia dikenal
sebagai pemimpin pasukan pemberontak yang datang
membantu, pula diketahui sebagai saudara angkat Siau
Ci-wan, maka dengan cepat sekali rombongan Yap Lenghong
dapat melalui pos-pos penjagaan.
Akan tetapi karena keberangkatan Yap Leng-hong itu
sangat tergesa-gesa dan mencurigakan, maka dengan
cepat perbuatannya yang keji lantas diketahui. Semua
orang menjadi murka dan segera membunyikan tanda
bahaya serta mengejar. Rombongan Yap Leng-hong tidak berani berlari lurus
ke tempat pasukan kerajaan, sebab menurut
perhitungannya untuk mencapai kemah pasukan
kerajaan masih harus melalui beberapa pos penjaga
pasukan pemberontak, pula Siau Ci-wan dan pasukannya
saat itu mungkin sudah kembali dari garis depan dan di
antaranya bukan mustahil terdapat pula Yap Boh-hoa
atau Ubun Hiong yang pasti sudah membongkar
rahasianya, jika kepergok mereka di tengah jalan berarti
celaka baginya. Segera ia membawa begundalnya menyusur ke
belakang gunung, ia tahu penjagaan di belakang gunung
tidak seketat di bagian depan. Malahan secara licin Yap
Leng-hong berteriak-teriak ketika mendekati pos
penjagaan, "Celaka! Pasukan musuh telah menyergap ke
atas gunung, lekas kalian pergi membantu!"
Mendengar itu, pasukan penjaga di belakang gunung
itu menjadi bingung, tanpa memikirkan berita itu benar
atau tidak, segera ada sebagian dikerahkan kembali ke
markas besar sehingga mereka tertipu dan Yap Lenghong
dapat lolos tanpa rintangan.
Sementara itu Siau Ci-wan, Leng Tiat-jiau, Ubun
Hiong, Kang Hiau-hu dan Kheng Siu-hong sudah lebih
dulu sampai di markas besar, terdengarlah suara
tangisan orang banyak dan ada sejumlah kawan yang
memburu ke belakang gunung.
Melihat keadaan itu, Siau Ci-wan tahu pasti terjadi
sesuatu yang tidak menguntungkan, cepat ia mendahului
menerobos ke dalam rumah, segera dilihatnya di ruangan
pendopo itu mayat bergelimpangan, satu di antaranya
adalah jenazah Leng Thian-lok yang sudah tidak
berkepala lagi. Leng Tiat-jiau sampai terkesima menyaksikan itu,
mendadak ia menampar muka sendiri beberapa kali,
serunya dengan suara serak, "Ubun-siauhiap, Kanglihiap,
salahku semua yang tidak mau percaya kepada
omongan kalian hingga sekarang membikin celaka
pamanku ini." Sesudah menampar muka sendiri, dengan mata
mendelik dan darah mengucur keluar dari mulutnya
barulahh ia berlutut di samping jenazah Leng Tiat-jiau, ia
sesambatan dengan suara memilukan, "O, paman,
malang benar kematianmu! Semoga arwahmu
memberkati, aku akan menuntut balas bagimu!" Ia tidak
menangis sedih, tapi hanya menjura tiga kali, lalu
berbangkit dan berteriak, "Ganti kudaku dengan yang
baru!" "Nanti dulu, Leng-toako," tiba-tiba Ci-wan
mencegahnya. "Kenapa" Aku harus membalas sakit hati paman!" seru
Tiat-jiau. "Kini sudah hampir dimulai pertempuran menentukan,
di sini sangat memerlukan pimpinanmu," kala Ci-wan.
"Biarlah aku saja yang pergi mengejar bangsat
pengkhianat itu. Harap Leng-toako mengingat
kepentingan perjuangan kita, kurangilah kesedihanmu
dan jagalah dirimu dengan baik."
Karena usul Siau Ci-wan itu cukup beralasan, Tiat-jiau
menjadi agak tenang dan terpaksa membiarkan Siau Ciwan
yang pergi mengejar Yap Leng-hong.
Sementara itu dengan tipunya yang licin, rombongan
Yap Leng-hong sudah berhasil melalui beberapa pos
penjagaan. Sampai di lamping gunung, ketika pasukan
penjaga di bawah gunung mendengar suara terompet
tanda mengejar musuh, maka tipu licik Yap Leng-hong
itu tak berlaku lagi. Kini rombongannya hanya tinggal belasan orang saja,
mau tak mau Bong Ing-ping merasa kuatir, kalau sampai
tersusul oleh pasukan yang mengejarnya tentu sukar
menyelamatkan diri. Sebaliknya Yap Leng-hong masih
bergelak tertawa. "Mengapa kau tertawa, Yap-kongcu?" tanya Bong Ingping.
Jawab Leng-hong, "Kita memang telah mengalami
kegagalan, tapi kepala Leng Thian-lok sudah kupenggal
dan kubawa sekarang, jasa ini sudah jauh lebih besar
daripada kegagalan kita. Kepala Leng Thian-lok ini
rasanya lebih berharga daripada jiwa puluhan orang."
Nyata Yap Leng-hong hanya memikirkan
kepentingannya sendiri tanpa menghiraukan jiwa anak
buahnya, mau tak mau Bong Ing-ping merasa ngeri juga
membayangkan kekejaman pemuda itu.
Agaknya Yap Leng-hong tahu akan perasaan
kawannya, ia tertawa dan berkata pula, "Dari sini kita
dapat lari ke Sejiang, kita dapat minta bala bantuan di
sana, karena panglima kota itu adalah bekas bawahan
ayahku. Dengan serangan dari kanan-kiri tentu kita dapat
menumpas habis kawanan berandal Siau-kim-jwan ini.
Leng Thian-lok sudah kubunuh, jasa ini tentu takkan
kumakan sendiri, kelak kalian tentu pula akan
memperoleh kedudukan dan hadiah yang pantas dari Sri
Baginda." Dipancing dengan pangkat dan harta benda, seketika
semangat kawan-kawannya terbangkit dan melupakan
kematian kawan-kawannya yang lain.
"Ya, semoga kita takkan tersusul musuh," kata Bong
Ing-ping kemudian. "Sesudah menyerbu sepanjang jalan,
kita benar-benar sudah teramat lelah."
"Kukira musuh takkan dapat menyusul kita, sedangkan
hari pun sudah hampir gelap," ujar Leng-hong.
Belum habis ucapannya, sekonyong-konyong
terdengar suara bentakan orang yang menggelegar, "Yap
Leng-hong, hendak lari kemana kau, tinggalkan dulu
kepalamu!" Kiranya Siau Ci-wan bersama 30-an anak buahnya
telah mengejar tiba. Rupanya Yap Leng-hong dan
rombongannya terhalang oleh beberapa pos penjagaan
sehingga makan tempo agak lama, maka kini telah
disusul oleh Siau Ci-wan pada waktu hari menjelang
gelap. Leng-hong terkejut, tapi ia coba membesarkan nyali
kawan-kawannya, katanya, "Jangan takut, jumlah
mereka cuma 20-30 orang saja, kita masih dapat
melabrak mereka. Kita harus membunuh Siau Ci-wan dan
jasa kita akan bertambah besar!"
Dalam pada itu dengan membentak-bentak Siau Ciwan
sudah mendahului menerjang tiba dengan kudanya.
Seru Leng-hong dengan tertawa, "Siau-taoko, kita
adalah saudara angkat, janganlah kau memaksa aku
bergebrak dengan kau. Bagaimana kalau kau pulang saja
dan kita tidak usah saling membunuh?"
"Kau manusia yang berhati binatang ini masih berani
bicara tentang angkat saudara segala padaku?" damprat
Siau Ci-wan dengan gusar. "Hm, hari ini kalau bukan kau
yang mampus biarlah aku yang mati." Dengan murka
segera ia menerjang maju, sungguh kalau dapat ingin
sekali tabas ia kutungi badan Yap Leng-hong menjadi
dua potong. Sebenarnya semangat dan tenaga Yap Leng-hong
sudah lemas sesudah seharian menerjang ke sana
kemari, tapi dalam waktu singkat Siau Ci-wan juga sukar
mengalahkan dia. Dalam pertempuran ini akhirnya anak
buah Yap Leng-hong kena dibunuh semua oleh pasukan
Siau Ci-wan, namun Leng-hong dan Bong Ing-ping
sempat meloloskan diri. Dengan murka Siau Ci-wan segera mengejar, ia pacu
kudanya secepat terbang dan terus mengudak, tanpa
terasa ia telah meninggalkan anak buahnya jauh di
belakang. Kini tinggal dia seorang diri yang sedang


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengejar, tapi jaraknya dengan Yap Leng-hong dan
Bong Ing-ping juga semakin dekat.
"Yap-kongcu, kita kerubut dia!" ajak Bong Ing-ping.
"Baik, marilah kita melabraknya," sahut Leng-hong.
"Boleh coba kalian labrak!" teriak Ci-wan dengan gusar
sambil menyiapkan busurnya, dua anak panah
dipasangnya terus dibidikkan susul menyusul mengarah
kuda tunggangan lawan. Bukan saja ilmu golok Siau Ciwan
cukup lihai, bahkan ia pun terkenal sebagai jago
panah di dalam pasukan pergerakan.
Mendengar suara jepretan busur, lekas Bong Ing-ping
miringkan tubuh ke samping dan memberosot ke bawah
perut kuda, goloknya siap digunakan untuk menyampuk
panah. Tak terduga yang diincar oleh Siau Ci-wan
bukanlah orangnya, tapi adalah kudanya. Goloknya
menyampuk tempat kosong, sebaliknya perut kudanya
telah terkena anak panah. Kudanya roboh dan Bong Ingping
sendiri pun terguling ke bawah.
Sedangkan Yap Leng-hong lain lagi keadaannya, ia
lebih pandai, sebelah kakinya menggantol di atas pelana,
kedua tangannya dipakai menangkap anak panah.
Namun luput dan panah itu menyambar ke arah
tenggorokan. "Mati aku!" teriaknya, menyusul ia pun
jatuh terguling. Siau Ci-wan bergirang, ia melompat turun dari
kudanya hendak memotong kepala Yap Leng-hong. Tak
tersangka mendadak Yap Leng-hong dapat melompat
bangun sambil membentak, "Terimalah kembali panah
ini!" Berbareng ia pun menimpukkan sebatang panah.
Lekas Siau Ci-wan menyampuk dengan busurnya, tapi
panah itu ternyata tidak mengincar orangnya, tapi juga
mengarah kudanya. Tenaga Yap Leng-hong yang digunakan menimpuk
anak panah tidak kalah kuatnya daripada busur, maka
seketika kuda Siau Ci-wan itu terpanah binasa.
Leng-hong terbahak-bahak, serunya, "Siau-toako, kau
tidak dapat menyusul aku lagi!" Berbareng ia melompat
bangun terus memburu dan mencemplak pula ke atas
kudanya. Ia tusuk pantat binatang itu, karena kesakitan,
kuda itu lari kesetanan, dalam sekejap saja sudah berlari
keluar dari jarak panah Siau Ci-wan.
Kiranya jatuhnya Yap Leng-hong itu hanya tipu daya
saja, bukan saja Siau Ci-wan kena dibohongi, bahkan
Bong Ing-ping juga tertipu. Sebenarnya dengan tenaga
mereka berdua dapatlah mengalahkan Siau Ci-wan, tapi
Leng-hong hanya mementingkan diri sendiri, ia kuatir
kalau sebentar lagi bala bantuan Siau Ci-wan akan
datang pula dan mereka berdua pasti akan tertangkap.
Karena itu ia lebih suka mengorbankan Bong Ing-ping
daripada mempertaruhkan jiwa sendiri.
Lantaran kudanya sudah terpanah mati, terpaksa Siau
Ci-wan tak bisa berbuat apa-apa dan menyaksikan Yap
Leng-hong kabur dengan leluasa.
Sebaliknya Bong Ing-ping ketakutan setengah mati,
terpaksa ia melawan Siau Ci-wan mati-matian, tapi dasar
ilmu silatnya memang lebih rendah, pula hati sudah
keder, maka tidak sampai belasan gebrakan tulang
pundaknya sudah ditembus oleh pedang Siau Ci-wan,
ilmu silatnya telah dipunahkan, dia tertawan hidup-hidup.
Tidak lama kemudian anak buah Siau Ci-wan telah
menyusul tiba. Setelah menyerahkan tawanannya,
segera Ci-wan berganti seekor kuda terus berangkat pula
menguber Yap Leng-hong. Sementara itu hari sudah gelap, terpaksa Siau Ci-wan
menyalakan sebuah obor untuk mengikuti jejak Yap
Leng-hong. Sampai di suatu hutan yang rimbun, tiba-tiba
jejak musuh lenyap. Sebagai seorang Kangouw kawakan,
tahulah Siau Ci-wan apa sebabnya, tentu Yap Leng-hong
telah membungkus telapak kaki kudanya dengan kain
sehingga tidak meninggalkan bekas pula. Diam-diam Siau
Ci-wan menggerutu akan kelicikan musuh itu, Tapi ia pun
tidak dapat berbuat apa-apa.
Di perbatasan Sucwan dan Sekhong memang banyak
rimba lebat dengan pepohonan yang besar dan tua,
jarang didatangi manusia. Bila memasuki rimba purba
demikian, biarpun orang yang paling berpengalaman
juga sering-sering akan kesasar dan kehilangan arah,
apalagi hendak mencari seseorang di tengah rimba
seluas itu, sulitnya laksana mencari jarum di dasar laut.
Namun Siau Ci-wan tidak rela pulang begitu saja,
seorang diri ia meneruskan pencariannya, sudah tentu
hanya secara untung-untungan saja.
Yap Leng-hong memang bersembunyi di tengah rimba
raya itu. Sesudah lari ke dalam rimba, yang terdengar
hanya suara auman binatang buas, suara manusia tak
terdengar lagi. Yang ditakuti Leng-hong bukanlah
binatang buas, tapi takut disusul oleh Siau Ci-wan. Ia
merasa aman malah sesudah berada di tengah rimba
raya itu. Ia memanjat ke atas sebatang pohon besar, lalu
bersandar pada sebuah cabang dahan dan dapat tidur
dengan nyenyak. Besok paginya Leng-hong terjaga bangun oleh suara
auman harimau, waktu ia memandang ke bawah, kiranya
kudanya telah menjadi mangsa harimau. Raja hutan itu
sedang melalap daging kudanya.
Tenaga Leng-hong sudah pulih kembali, untuk
melawan seekor harimau tidaklah sukar baginya. Segera
ia melompat turun, ia jemput sepotong batu dan
menimpukkannya ke arah raja hutan itu. Rupanya
harimau itu sudah cukup kenyang makan daging kuda,
tertimpuk oleh batu itupun lantas melarikan diri.
Ternyata lebih dari separoh badan kuda telah dimakan
oleh raja hutan itu. Leng-hong tidak merasa sayang, ia pikir kudanya
memangnya sudah terluka dan dalam keadaan payah,
kematian kuda itu kebetulan malah, dagingnya dapat
dijadikan rangsum, ia bisa menghemat tenaga tidak perlu
berburu lagi. Selama beberapa hari beruntun cuaca selalu lembab
dan gelap, sering hujan lebat. Keruan Leng-hong
kenyang menderita di dalam rimba. Yang paling celaka
adalah dia kehilangan arah, ia telah berputar kian kemari
di tengah rimba dan masih belum menemukan jalan
keluar yang menuju ke Sejiang.
Cuaca malam itu tiba-tiba berubah cerah, berkah
bantuan sinar bulan yang tidak terlalu terang ia
melanjutkan perjalanan. Tiba-tiba dilihatnya di depan
sana ada sebuah kelenteng bobrok, itulah kelenteng
'malaikat gunung" yang biasanya dipuja oleh penduduk
pegunungan. Walaupun keadaan kelenteng sudah bobrok, tapi
masih ada atapnya, pintu kelenteng juga masih cukup
baik untuk ditutup dan dibuka. Diam-diam Leng-hong
bersyukur mendapatkan tempat berteduh, malam ini dia
dapat tidur lebih nyenyak dengan aman.
Ia pikir bila ada kelenteng tentu di sekitar situ ada
penduduknya, ia sudah bosan makan daging kuda melulu
selama beberapa hari, besok paginya ia berharap akan
menemukan rumah penduduk dan dapat merampas
sedikit makanan. Segera ia masuk ke kelenteng itu dan menutup
pintunya, ia kumpulkan sedikit daun kering dan ranting
kayu untuk menyalakan api unggun. Ia masih ada sisa
segumpal daging kuda, ia pikir malam inilah malam
penghabisan makan daging kuda, besok tentu dapat
mengganti makanan baru. Ia potong sebatang ranting kayu sebagai sunduk, sisa
daging kuda itu disunduk terus dipanggang.
Sesudah kenyang makan daging panggang, badannya
juga terasa panas kena api unggun, akhirnya Leng-hong
merasa mengantuk. Tapi demi terpikir besok atau lusa
pasti akan dapat keluar dari rimba raya itu, tanpa terasa
semangatnya terbangkit pula dan hilanglah rasa
mengantuknya. Diam-diam timbul rekaannya bila besok sudah sampai
di Sejiang, dari panglima kota itu dapat dipinjam
beberapa ribu prajurit, lalu mengadakan penyerangan
pula bersama ayahnya dari dua jurusan, mustahil Siaukim-
jwan takkan bobol. Tengah melamun hal yang muluk-muluk, tiba-tiba
terdengar suara tindakan orang, serentak Leng-hong
melompat bangun. Terdengarlah suara seorang berkata
dan tertawa, "Aha, alangkah sedapnya bau ini. Kawan
darimanakah yang sedang memanggang daging" Apakah
sudi membagi sedikit kepada tamu yang tak diundang
ini?" Sungguh kejut Yap Leng-hong tidak kepalang demi
mendengar suara itu, kiranya pembicara itu bukan lain
adalah musuh yang paling ditakutinya, yaitu Utti Keng.
Waktu ia mengintip keluar melalui celah-celah pintu,
benar juga Utti Keng yang sedang mendatangi, bahkan
bersama istrinya pula, Ki Seng-in.
Untuk melawan Utti Keng seorang saja susah, apalagi
Ki Seng-in ikut datang pula. Waktu itu Leng-hong hanya
tinggal dua batang jarum berbisa, segera ia siapkan
jarum itu dan bersembunyi di belakang pintu.
Dalam pada itu Utti Keng rada sangsi karena seruan
tadi tidak mendapat jawaban, ia pun bukan orang bodoh,
ia tidak langsung mendorong pintu dan masuk begitu
saja, tapi ia menggunakan Pik-khong-ciang, pukulan
tangan kosong dari jarak jauh, dengan tenaga keras ia
hantam pintu kelenteng hingga terpentang.
Begitu pintu terbuka, kontan Yap Leng-hong
menyambitkan kedua batang jarumnya. "Crit-crit", jarum
itu menyambar secepat kilat, tapi sebelum mengenai
sasarannya sudah dipukul jatuh oleh benturan senjata
rahasia yang disambitkan oleh Ki Seng-in.
Ki Seng-in berjuluk Jian-jiu-koan-im, Koan-im
bertangan seribu, gelar ini diperoleh karena keahliannya
menggunakan berbagai jenis senjata rahasia. Dengan
kemahirannya itulah ia menyambitkan dua batang jarum
Bwe-hoa-ciam untuk membentur jatuh jarum berbisa
musuh, bahkan ditambahi pula sebatang Tau-kut-ting
(paku penembus tulang) yang terus menyambar ke
depan. Untung Yap Leng-hong memang sudah siap di tempat
sembunyinya, sedikit mendak ke bawah dapatlah ia
hindarkan serangan paku maut itu. Namun begitu tidak
urung secomot rambutnya juga sudah terbeset oleh
senjata rahasia Ki Seng-in.
Keruan Yap Leng-hong menjadi ketakutan, sukmanya
seakan terbang ke awang-awang, ia melangkah mundur
dengan gemetar. Dalam pada itu dengan langkah lebar
Utti Keng sudah menerjang ke dalam kelenteng
Di bawah sinar api unggun yang cukup terang, segera
Utti Keng dapat mengenali Yap Leng-hong, keruan
girangnya melebihi orang mendapat lotere, katanya
kepada sang istri, "Adik In, jangan menggunakan senjata
rahasia lagi. Aku harus membunuhnya dengan tanganku
sendiri supaya dia tahu rasa."
Habis itu ia lantas tertawa terbahak-bahak, katanya
kepada Yap Leng-hong, "Anak keparat, tentunya kau
tidak nyana pada malam ini akan kepergok olehku
bukan" Hehe, untung aku tidak mati di bawah tipu
kejimu, sekarang menjadi giliranmu menerima
pembalasanku." Tampaknya Yap Leng-hong sudah sangat ketakutan
dan tiada jalan mundur lagi, sambil menjengek Utti Keng
mengayun goloknya ke atas, bentaknya, "Lihat golokku!"
Berbareng tangannya yang lain terus mencengkeram ke
depan. Rupanya Utti Keng bermaksud menawan hidup-hidup
Yap Leng-hong, gerakan golok tadi hanya gerakan palsu,
serangan yang benar adalah cengkeramannya itu.
Tak terduga Yap Leng-hong juga cukup cerdik, baru
saja golok Utti Keng bergerak, berbareng ia pun
melancarkan serangan dengan Tui-hong-kiam-hoat yang
cepat. Ia tahu gerakan golok lawan hanya pura-pura
saja, maka tanpa menangkis, sebaliknya pedangnya
lantas memotong pergelangan Utti Keng.
Pertarungan di antara jago silat kelas tinggi hanya
ditentukan dalam satu-dua gebrakan kilat saja. Untung
Utti Keng bukanlah jago kelas kambing, pada saat
pedang Yap Leng-hong hampir mengenai tangannya,
seketika ia pun ganti serangannya tadi menjadi serangan
sungguh-sungguh, goloknya lantas membacok ke bawah
sehingga tepat membentur pedang lawan.
Utti Keng merasa tangannya tergetar, menyusul
goloknya membabat pula, namun Yap Leng-hong sudah
keburu melompat ke samping dengan sempoyongan.
"Hendak lari kemana?" bentak Utti Keng dengan suara
menggeledek, goloknya berputar dan membacok pula.
Leng-hong sadar tiada gunanya berusaha lari, sebab
sukar melalui Ki Seng-in yang mengawasi di samping,
terpaksa ia bertahan mati-matian. Kini yang dia mainkan
adalah Si-mi-kiam-hoat yang lambat tapi kuat, dengan
demikian ia dapat mematahkan serangan-serangan Utti
Keng yang dilontarkan secara membadai itu. Diam-diam
Utti Keng juga terkesiap, tidak dinyana hanya berpisah
setahun saja tenaga Leng-hong sudah bertambah begitu
kuat. Padahal lantaran Leng-hong mendapat bantuan
Ciong Tian sehingga beberapa bagian urat nadinya dapat
dilancarkan jalannya, Lwekangnya memang sudah
banyak maju, tetapi kalau dibandingkan Utti Keng
sebenarnya masih selisih jauh. Soalnya seharian ini Utti
Keng kehujanan, perut lapar pula, dengan sendirinya
tenaganya banyak berkurang, maka dia merasakan
kepandaian Yap Leng-hong telah maju pesat.
Rupanya Ki Seng-in mengetahui keadaan sang suami,
ia sendiri juga sedang kelaparan. Tiba-tiba dilihatnya di


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

atas lantai masih ada sepotong daging kuda yang belum
dimakan Leng-hong tadi, tergeraklah hati Ki Seng-in,
segera ia ayun cambuknya, dengan ujung senjatanya ia
lilit gumpalan daging itu terus dilemparkan ke arah sang
suami sambil berkata dengan tertawa, "Toako, daging
kuda ini anggaplah persembahan bocah ini, silakan kau
makan saja!" Dengan sebelah tangannya Utti Keng menangkap
daging kuda itu terus digeragoti dengan lahapnya,
serunya tertawa, "Ehm, boleh juga rasanya!" Sambil
makan sebelah tangannya tetap memutar goloknya
untuk menyerang. Dengan segala daya upaya Yap Leng-hong bermaksud
balas menyerang pada saat orang sedang makan, tapi
selalu gagal. Jangankan hendak menyerang lawan,
mendekat saja susah. Sesudah makan separoh gumpalan daging kuda itu,
Utti Keng melemparkan sisanya kepada sang istri. "Adik
ln, boleh juga kau mencicipinya," serunya sambil tertawa.
Kini tenaganya sudah banyak bertambah, segera ia
menyerang lebih gencar lagi, katanya pula, "Sekarang
biar kau kenal kelihaianku!"
Sebelumnya saja Leng-hong tak bisa melawan, apalagi
sekarang. Keruan dia kelabakan menangkis ke sana dan
ke sini, hanya dalam sekejap saja ia sudah terkurung di
tengah sinar golok Utti Keng yang membadai.
Sekarang Yap Leng-hong yang kepayahan, tenaganya
mulai habis, diam-diam ia mengeluh bisa celaka.
"Sret", mendadak baju pundak Yap Leng-hong
terpapas oleh golok lawan, kalau kurang cepat dia
berkelit tentu tulang pundaknya sudah putus. Tampaknya
bacokan kedua Utti Keng sudah hampir menyusul pula
dan pasti Yap Leng-hong sukar menghindarkan diri. Pada
saat itulah tiba-tiba di tanah rumput itu terdengar suara
orang berjalan, suaranya hampir tak terdengar, kalau
bukan ahli yang berpengalaman tentu akan mengira
suara keresekan rumput bergoyang atau daun jatuh
tertiup angin. Karena tidak tahu pendatang itu kawan atau lawan,
segera Utti Keng membentak, "Kawan darimanakah yang
datang itu?" Dan lantaran sedikit terpencarnya perhatian, bacokan
Utti Keng yang kedua telah dapat dihindarkan pula oleh
Yap Leng-hong dengan langkah Thian-lo-poh-hoat.
Pada saat lain tiba-tiba terdengar suara tawa seorang
yang menusuk telinga, "Aha, kiranya pasangan suamiistri
bangsat kalian ini sedang main gila di sini. Hah,
ketika pertempuran di penjara kotaraja tempo hari telah
dikacau oleh kedatangan Kang Hay-thian, kebetulan hari
ini kita dapat mengulangi lagi."
Kiranya pendatang itu adalah Nyo Ceng bersama Nyo
Hoan. Dari jauh Nyo Ceng mendengar suara beradunya
senjata di dalam kelenteng sudah tentu ia tertarik dan
ingin tahu apa yang terjadi.
Tentu saja Yap Leng-hong kegirangan, cepat ia
berseru, "Lekas kemari, Nyo-siansing, akulah yang
berada di sini!" "Hm," Ki Seng-in mendengus, "Toako, biar kuwakilkan
kau menahan musuh, kau lekas mampuskan bangsat cilik
itu." Menyusul ia lantas menggertak sekali sambil
menyambitkan tujuh macam senjata rahasia yang
berlainan. Ada panah kecil, ada piau, ada paku, ada pelor
besi dan lain-lain. Nyo Ceng bergelak tertawa, serunya, "Jian-jiu-koanim,
kau memang tidak bernama kosong tapi ingin
mengenai aku, kau masih harus belajar lagi."
Sambil bicara ia lantas melompat ke depan untuk
mengalingi putranya, ia putar tongkatnya, terdengarlah
suara "trang-tring" yang riuh, berbagai macam senjata
rahasia yang dihamburkan Ki Seng-in telah tersampuk
jatuh semua. "Anak Hoan, kau ikut merapat di belakangku!" kata
Nyo Ceng. Habis itu dengan cepat sekali ia telah
menubruk maju. Segera Ki Seng-in memainkan cambuknya dengan
kencang, bagai ular cambuknya menyambar ke arah
musuh. Salah satu kepandaian Ki Seng-in yang tersohor
adalah permainan cambuknya, akan tetapi Nyo Ceng
adalah jago kelas wahid, tokoh-tokoh Bu-lim yang dapat
mengalahkan dia sangat terbatas, paling-paling hanya
beberapa orang saja seperti Kang Hay-thian, Tiok Sianghu,
Tong Kheng-thian, Ciong Tian dan sebagainya. Sudah tentu biarpun serangan
cambuk Ki in itu sangat lihai, tapi bagi Nyo Ceng adalah
serangan sepele saja. "Lepas!" mendadak Nyo Ceng membentak, tongkatnya
lantas mencungkit ke atas.
Tepat sekali cambuk Ki Seng-in yang menyabet tiba itu
lantas melilit di atas tongkatnya, waktu Nyo Ceng
memutar balik tongkatnya terus ditarik, maksudnya
hendak merampas cambuk lawan.
"Belum bisa!" jengek Ki Seng-in, mendadak ia
kendorkan lilitan cambuknya terus disendai dan terlepas,
sekonyong-konyong ujung cambuknya mengeras lurus
terus menikam ke depan, yang diarah adalah Thay-yanghiat
di pelipis musuh. Terkejut juga Nyo Ceng, lekas ia menegakkan pula
tongkatnya sehingga cambuk lawan kena disampuk ke
samping. Karena datangnya bala bantuan, Yap Leng-hong
mendapat angin, segera ia bertempur pula mati-matian.
Dalam pada itu Nyo Ceng telah berhasil melalui
rintangan Ki Seng-in dan membiarkan putranya melayani
musuh, ia lantas menerjang maju, tongkatnya lantas
menotok ke iga Utti Keng.
Dari suara sambaran angin, tahulah Utti Keng
datangnya serangan musuh, tapi sama sekali ia tidak
menangkis, sebaliknya ia gunakan delik itu dengan baik,
mendadak ia menggertak keras, secepat kilat goloknya
menabas miring ke bawah, tanpa menghiraukan
sergapan musuh, yang dia incar tetap Leng-hong.
Nyo Ceng dapat menduga Utti Keng mempunyai
kemampuan menutup jalan darahnya, andaikan iganya
tertotok paling-paling hanya terluka parah saja, tapi Yap
Leng-hong juga pasti akan binasa. Dalam keadaan
demikian terpaksa Nyo Ceng harus menolong jiwa Yap
leng-hong lebih dulu, maka totokan tongkatnya berubah
arah dan digunakan untuk menangkis tabasan golok Utti
Keng. Gerakan kedua orang sama-sama cepat sekali, maka
terdengarlah "trang" yang keras, dengan tepat golok Utti
Keng kena ditahan oleh tongkat Nyo Ceng dari bawah
sehingga tabasannya meleset ke samping dan
menyambar lewat di atas kepala Yap Leng-hong.
Sungguh kaget Leng-hong tidak kepalang, kalau tidak
ditangkis oleh Nyo Ceng tentu jiwanya sudah melayang
di bawah golok Utti Keng.
Cepat ia melompat mundur, ia tidak berani menerjang
maju lagi dan membiarkan Nyo Ceng menandingi Utti
Keng. Menghadapi lawan tangguh, makin lama Utti Keng
makin gigih. Dalam 30-an jurus permulaan Nyo Ceng
sampai kewalahan juga melayani serangan Utti Keng
yang dahsyat. Tapi sesudah itu ia dapat menguasai
keadaan dan mulailah melancarkan serangan balasan.
Di sebelah sana Nyo Hoan yang menghadapi Ki Sengin
sudah kewalahan, melihat putranya terancam bahaya,
Nyo Ceng sengaja melangkah mundur, tongkatnya
memutar balik untuk menotok Ki Seng-in.
Sudah tentu Utti Keng tidak memberi kesempatan
padanya, ia membentak, "Awas golok!" Berbareng
goloknya lantas menabas dari samping.
Lekas Nyo Ceng menggeser ke samping lain dan
menarik kembali tongkatnya untuk menangkis, dengan
demikian keadaan menjadi saling serang dari dua
kalangan. Karena mesti menghindari totokan tongkat Nyo
Ceng, terpaksa Ki Seng-in berkelit dan kesempatan ini
telah memberi kelonggaran kepada Nyo Hoan untuk
bernapas. Sebaliknya karena Nyo Ceng menggunakan
tongkatnya menyerang Ki Seng-in, maka Utti Keng telah
dapat melancarkan serangan dahsyat pula.
"Bagaimana keadaanmu, Yap-kongcu?" tiba-tiba Nyo
Ceng menegur Yap Leng-hong.
Saat itu Leng-hong sudah dapat menenangkan diri,
seketika ia sadar dan menjawab, "Tidak apa-apa. O ya,
jangan kuatir Nyo-seheng, biar aku membantu kau!"
Begitulah ia pilih lawan yang lebih empuk, bersama
Nyo Hoan ia lantas mengerubut Ki Seng-in.
Kini berganti Ki Seng-in yang merasa payah melawan
keroyokan Leng-hong dan Nyo Hoan. Ia melihat keadaan
sang suami juga tidak menguntungkan bila pertempuran
berjalan lebih lama. Mendadak ia mendapat akal, pada
suatu ketika ia melancarkan serangan kilat dan
mendesak mundur Yap Leng-hong, pada saat lain ia telah
menyiapkan sebatang jarum Bwe-hoa-ciam. Mendadak
cambuknya menyabet disusul dengan sambitan jarum
dengan tangan lain. Sekonyong-konyong terdengar Nyo Hoan menjerit,
"Perempuan jahanam, berani kau ... aduh" Belum lenyap
suara, pundaknya sudah terasa kesakitan.
"Haha, kau telah terkena jarumku, rasanya kau pun
takkan hidup lebih dari satu jam lagi," seru Ki Seng-in
dengan tertawa. Keruan ucapan Ki Seng-in membikin Nyo Hoan
ketakutan setengah mati, begitu pula kejut Nyo Ceng
bukan buatan. Mestinya Nyo Ceng sudah di atas angin dan dapat
mengalahkan Utti Keng dalam waktu tidak lama lagi, tapi
sekarang ia harus menolong putranya lebih dulu. Cepat
ia meninggalkan Utti Keng dan melompat ke sana untuk
menyerang Ki Seng-in. Karena merasa kuatir atas keselamatan putranya,
dengan sendirinya Nyo Ceng menyerang dengan segenap
kepandaiannya, tongkatnya menotok ditambah lagi
sebelah tangannya memukul dari jauh. Ki Seng-in dapat
menghindarkan totokan tongkat lawan, tapi terkena juga
tenaga pukulan Nyo Ceng yang dahsyat itu, ia
terhuyung-huyung mundur dan jatuh terduduk.
Syukur pada saat yang hampir sama Utti Keng juga
sudah menyusul tiba di belakang Nyo Ceng, goloknya
lantas membacok. Lekas Nyo Ceng mendak ke bawah sambil memutar ke
samping, walaupun cara menghindarnya sangat tepat,
tapi tidak urung lengannya juga sudah tergores oleh
mata golok. Karena serangan Utti Keng yang melukai
Nyo Ceng itulah maka tenaga pukulan yang mengenai Ki
Seng-in tadi juga tidak terlalu keras.
Tanpa menghiraukan luka sendiri, segera Nyo Ceng
menyeret putranya dan lari pergi secepatnya. Yap Lenghong
tidak kalah cerdik, sejak tadi ia sudah siap-siap
untuk lari, maka begitu Nyo Ceng berdua angkat kaki,
segera ia pun angkat langkah seribu.
Utti Keng juga tidak sempat mengejar musuh lagi,
buru-buru ia membangunkan sang istri dan bertanya,
"Bagaimana keadaanmu, adik In?" Tapi legalah hatinya
sesudah memeriksa nadi istrinya yang ternyata tidak
terluka dalam. "Adik In," kata Utti Keng pula, "syukurlah kau telah
menyerang bangsat cilik itu dengan senjata rahasia
sehingga kita terlolos dari maut. Entah sejak kapan kau
berhasil meyakinkan senjata rahasia berbisa?"
"Mana aku mempunyai jarum berbisa?" sahut Ki Sengin
dengan tertawa. "Yang kugunakan juga cuma Bwehoa-
ciam biasa saja." "O, jadi kau cuma menggertak saja agar Nyo Ceng
menjadi keder," kata Utti Keng dengan tertawa geli.
"Kalau aku tidak menggertak mereka dengan
mengatakan jarum itu berbisa, tentu tua bangka Nyo
Ceng itu sukar ditipu," ujar Ki Seng-in.
"Sayang keparat Yap Leng-hong itu ikut lolos juga,
biarlah lain kali tentu ada orang lain yang akan
membereskan dia," ujar Utti Keng. "Sekarang marilah
kita meneruskan perjalanan ke Siau-kim-jwan."
Dalam pada itu sekaligus Nyo Ceng telah menyeret
putranya kabur sejauh beberapa li, melihat Utti Keng
berdua tidak mengejarnya barulah ia berhenti. Sejenak
kemudian Yap Leng-hong juga sudah menyusul tiba
dengan napas terengah-engah.
Begitu berhenti Nyo Ceng sudah lantas menyobek baju
putranya untuk memeriksa pundaknya yang terkena
senjata rahasia berbisa Ki Seng-in tadi. Tapi dilihatnya
kulit daging pundak Nyo Hoan itu tiada tanda-tanda
terkena racun, hanya merah sedikit pada tempat yang
terluka. "Anak Hoan, apakah kau merasa enak atau ada tandatanda
perasaan lain?" tanya Nyo Ceng dengan kuatir.
"Aku merasa sekujur badan seperti melembung, dada
terasa panas seakan pecah," sahut Nyo Hoan.
Nyo Ceng bertambah kuatir, ia mengira racun telah
mulai bekerja di dalam tubuh putranya, lekas ia
mengeluarkan sepotong besi sembrani terus ditempelkan
ke titik luka di pundak Nyo Ceng. Waktu ia angkat besi
sembrani itu, melekatlah sebatang jarum halus di atas
besi sembrani itu. Tapi jarum itu putih bersih, tidak
berwarna sebagaimana lazimnya senjata rahasia yang
direndam di dalam racun. Untuk sejenak Nyo Ceng melenggong, tapi segera ia
sadar telah tertipu, ia ketok tongkatnya ke atas tanah
dan berseru, "Kurangajar, perempuan jahanam itu berani


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mempermainkan aku, biar kususul dia untuk membikin
perhitungan padanya."
Sesudah melihat jarum itu tidak berbisa, segera ia
tahu sebabnya Nyo Hoan merasa badan panas dan
seperti melembung, adalah karena di tengah jalan tadi
waktu ia seret tangan putranya itu telah menyalurkan
tenaga dalamnya dengan maksud menahan menjalarnya
racun, padahal keadaan Nyo Hoan tidak berbahaya.
Terpaksa Nyo Ceng harus membuang tenaganya sendiri
untuk memunahkan pula hawa murni yang telanjur
sudah bersarang di dalam tubuh putranya. Pantas saja ia
merasa gemas karena telah tertipu.
Mendengar Nyo Ceng bermaksud mengejar musuh
lagi, Yap Leng-hong lekas membujuk, "Utti Keng merasa
bukan tandingan Nyo siansing, saat ini tentu mereka
sudah kabur jauh. Engkau sendiri terluka dan belum lagi
diobati, marilah kita mengaso dulu di sini untuk
merundingkan urusan lebih penting. Kelak kita masih bisa
membikin perhitungan dengan mereka."
Baru sekarang Nyo Ceng juga merasakan keadaannya
sendiri pun sangat lemas, lengannya juga terasa pegal,
hal ini disebabkan dia harus mengeluarkan tenaga murni
untuk putranya itu. Maka bujukan Yap Leng-hong itu
kebetulan baginya untuk mengurungkan maksudnya
mengejar musuh, katanya kemudian, "Ya, memang betul
kita harus merundingkan urusan yang lebih penting. Yapkongcu,
situasi memang benar-benar sangat buruk."
Hati Leng-hong tergetar, cepat ia bertanya, "Nyosiansing,
aku justru ingin bertanya padamu, mengapa
kalian bisa sampai di sini" bagaimana keadaan ayahku
dan pertempuran di sana?"
"Ai, urusan pertempuran di Siau-kim-jwan itu tak perlu
dibicarakan lagi, sudah runtuh habis-habisan," sahut Nyo
Ceng sambil menghela napas. "Tentang ayahmu, dia..."
Leng-hong merasa cemas, dengan suara gemetar ia
menegas, "Ada apa" Masakah pasukan ayah sebanyak
ratusan ribu itu sudah..."
"Ya, pasukan ayahmu sebanyak itu sudah hancur
seluruhnya," sahut Nyo Ceng dengan suara parau.
Hampir-hampir Yap Leng-hong tidak percaya kepada
telinganya sendiri. Untuk sejenak ia terkesima, katanya
kemudian dengan suara terputus-putus, "Mana ... mana
bisa jadi demikian" Pasukan musuh sangat sedikit,
masakah mereka mampu meng ... menghancurkan
pasukan ayah yang berjumlah ratusan ribu orang itu?"
"Yap-kongcu," tutur Nyo Ceng, "kalau dibicarakan
memang sukar untuk dipercaya, sampai aku sendiri pun
merasa bingung. Pasukan musuh di bawah pimpinan Yap
Boh-hoa itu tahu-tahu muncul di tengah-tengah
kedudukan pasukan kita. Pasukan pemberontak di pihak
Siau-kim-jwan itu rupanya sudah mengetahui apa yang
bakal terjadi, serentak mereka pun menyerang dari garis
dalam. Sungguh siasat yang mereka gunakan itu benarbenar
sukar diduga, tentu saja pasukan kita menjadi
bingung dan kacau-balau, akibatnya ya, tak perlu
diceritakan lagi." Kiranya rombongan Kheng Siu-hong telah menjadi
penunjuk jalan bagi pasukan yang dipimpin oleh Yap
Boh-hoa itu sehingga tahu-tahu muncul di tengah
pasukan musuh. Serangan yang tiba-tiba itu membikin
tentara kerajaan menjadi panik dan kalang-kabut.
Apalagi digencet dari luar dalam, seketika pasukan yang
dipimpin Yap To-hu itu tersapu bersih baik yang
melarikan diri ataupun yang takluk.
Leng-hong ternganga mendengarkan penuturan Nyo
Ceng itu, sampai agak lama baru ia dapat bertanya, "Dan
bagaimana keadaan ayahku" Apakah beliau berhasil
meloloskan diri?" Nyo Ceng menghela napas, lalu menjawab, "Suasana
waktu itu sangat kacau, kami ayah dan anak diterjang
oleh ratusan ribu tentara yang ingin menyelamatkan diri
sehingga terpencar dengan ayahmu. Namun demikian
dengan pasukan pengawalnya yang cukup kuat itu kukira
beliau takkan mengalami sesuatu rintangan."
Sudah tentu Yap Leng-hong masih kuatir dan
mengeluh, katanya, "Jika demikian tiada gunanya lagi
aku hendak menuju ke sana."
Tiba-tiba Nyo C.eng menjawab, "Yap-kongcu, yang
kau kuatirkan adalah pencarian musuhmu yang ingin
menuntut balas padamu bukan?"
Leng-hong melengak, ia paksakan tersenyum dan
menjawab, "Ah, di bawah perlindungan Nyo-siansing
yang berkepandaian tiada tandingannya di jagat ini
masakah aku masih kuatir?"
"Ilmu silatku sih lumayan juga, tapi terlalu berlebihan
jika dibilang tiada tandingannya di jagat ini," kata Nyo
Ceng sambil tertawa, "Yang pasti ilmu silat gurumu
barulah dapat disebut nomor satu di dunia ini. Untuk ini
tak perlu Yap-kongcu bicara sungkan-sungkan dengan
aku." Wajah Leng-hong menjadi merah jengah karena
merasa ucapannya tadi terlalu bersifat mengumpak dan
menjilat. Lalu Nyo Ceng berkata pula, "Yap-kongcu, untuk
selanjutnya bolehlah kita kumpul bersama, pada
kesempatan menganggur ini tiada halangannya kita
saling tukar pikiran dan saling belajar. Sudah tentu Yapkongcu
tidak usah rendah hati lagi padaku, sebab
kepandaianmu sudah tentu tidak dapat dibandingkan
dengan aku, tapi siapakah yang tidak tahu bahwa ilmu
silat gurumu adalah nomor satu di dunia Ini. Dia punya
pelajaran Lwekang adalah ilmu yang paling hebat. Hehe,
kukira dengan saling belajar kita akan sama-sama
menerima manfaatnya"
Sampai di sini barulah Yap Leng-hong sadar bahwa
tujuan Nyo Ceng adalah ingin mengorek pelajaran
Lwekang perguruannya yang hebat itu. Dalam keadaan
sudah kepepet, kekuasaan ayahnya telah runtuh, dirinya
memerlukan perlindungan orang pula, terpaksa ia di
menyatakan rasa girangnya walaupun di dalam batin
sebenarnya la merasa enggan, katanya kemudian, "Jika
Nyo-siansing sudi memberi petunjuk, sudah tentu aku
merasa sangat berterima kasih, mana aku berani bicara
tentang saling belajar."
"Haha, jika demikian lebih dulu aku pun membilang
terima kasih," seru Nyo Ceng sambil bergelak tertawa.
Dan baru saja Leng-hong hendak mengucapkan kata
kala merendah pula, tiba-tiba Nyo Ceng berseru dengan
suara tertahan, "Ssssst, seperti ada orang sedang
mendatangi. Coba kalian tunggu di sini, biar aku
memapak kedatangannya."
Segera ia berlari ke sana, terdengar ia membentak,
"Siapa itu, berhenti"
Ketika orang itu berhadapan dengan Nyo Ceng, orang
itu berseru kaget terus berlutut dan menyembah, "Ai,
Cukong, kiranya engkau berada di sini."
Kiranya orang ini adalah Lok Khik-si, si menjangan
bertanduk satu. Bersama Yo Tun-hou dan Ma Seng-liong
mereka bertiga disebut "Ki-lian-sam-siu" (tiga binatang
dari gunung Ki-lian), memang sudah lama mereka
ditaklukkan Nyo Ceng dan diterima sebagai hambanya.
Waktu Ki-lian-sam-siu menggabungkan diri dengan
pemerintah kerajaan juga atas persetujuan Nyo Ceng,
supaya mereka dapat membuka jalan baginya bila kelak
ia pun mengekor kepada kerajaan. Kini Ki-lian-sam-siu
hanya tinggal Lok Khik-si seorang saja yang juga
menghadapi jalan buntu. Sudah tentu ia menjadi girang
mendadak bertemu dengan bekas majikannya.
"Bukankah kau ikut Ho Lan-bing di kotaraja, mengapa
kau datang ke sini?" tanya Nyo Ceng dengan mengerut
kening. "Sebenarnya hamba diperintahkan datang membantu
Yap-tayjin, malahan hamba membawa juga sepucuk
surat dari Congkoan (komandan pasukan pengawal) yang
harus disampaikan kepada Yap-kongcu," demikian tutur
Lok Khik-si. "Ai, tidak nyana sampai di Sejiang telah
mengalami hal-hal yang tidak enak."
"Jika begitu kau tidak perlu ke Siau-kim-jwan lagi,
kebetulan Yap-kongcu juga berada di sini, boleh kau
haturkan padanya," sela Nyo Ceng, lalu ia berseru
memanggil Yap Leng-hong dan Nyo Hoan.
Sesudah muncul, Leng-hong merasa malu terhadap
Lok Khik-si, katanya, "Paman Lok, apakah kau membawa
sesuatu berita dari kotaraja?"
Rupanya Lok Khik-si belum tahu tentang kekalahan
Yap To-hu, dia masih menganggap Yap Leng-hong
sebagai putra gubernur yang terhormat, segera ia
memberi hormat dan menyerahkan surat yang
dibawanya. Waktu Leng-hong membuka surat dari komandan
pasukan pengawal itu, kiranya isinya adalah ucapan
selamat dan pujiannya berhubung dengan rencana
pengkhianatannya yang sukses sehingga diangkat
menjadi pimpinan pasukan pemberontak. Surat itu
menyatakan rasa girang Sri Bagindanya dan
menganjurkan bekerja lebih baik lagi, kelak pasti akan
mendapatkan ganjaran yang layak. Keruan Yap Lenghong
menyengir sesudah membaca surat itu.
"Yap-tayjin sudah mengalami kekalahan, beliau berada
dimana sekarang pun kami tidak tahu, maka kau tidak
perlu meneruskan perjalananmu lagi," kata Nyo Ceng.
Keruan Lok Khik-si terkejut, serunya, "Wah, sungguh
celaka! Kukira dari Yap-tayjin akan diperoleh bala
bantuan untuk melepaskan bahaya yang mengancam
Sejiang, siapa duga keadaan di sini lebih buruk lagi."
"Bahaya apa yang menimpa kota Sejiang?" tanya Nyo
Ceng. "Sebenarnya aku datang bersama Li Tay-tian dan Pek
Tiu, tak terduga setiba di Sejiang, tahu-tahu kota itu
sudah diduduki oleh pasukan pemberontak," tutur Khiksi.
"Pasukan pemberontak darimana?" tanya Leng-hong
terkejut, sebab setahunya di kota itu tiada pasukan
pergerakan apapun "Cukong, kalau kuceritakan tentu engkau pun tidak
percaya" kata Khik-si. "Pasukan pemberontak itu ternyata
dipimpin oleh ..oleh Tiok-taysiansing."
Sungguh kejut Nyo Ceng tak terlukiskan, serunya,
"Dia" betul-betul dia?"
Kiranya "Tiok-taysiansing'," yang dimaksudkan Lok
Khik-si itu adalah kakak ipar Nyo Ceng sendiri, yaitu Tiok
Siang-hu. "Ya, sungguh tidak nyana ia lelah bersekongkol
dengan Thian li kau dan telah ikut memberontak serta
mendadak menduduki Sejiang dengan anak buahnya,"
sahut Lok Khik-si. "Lebih celaka lagi kedatangan kami di
Sejiang itu kepergok juga oleh An-toasiok dan si Lau
pengurus rumah tangga Tiok-taysiansing. Li Tay-tian dan
Pek Tiu terbunuh oleh mereka, untung aku dapat
menyelamatkan diri, tapi kemudian kesasar pula di
tengah rimba ini. Syukurlah akhirnya bertemu dengan
Cukong." "Ayah, jika demikian kita tak perlu lagi ke Sejiang,"
kata Nyo Hoan. Selamanya Nyo Ceng hanya takut kepada Kang Haythian
dan jeri kepada saudara iparnya she Tiok itu.
Sebagai putranya, dengan sendirinya Nyo Hoan cukup
mengetahui perasaan sang ayah.
"Ya, memang kita tidak perlu ke Sejiang lagi, biarlah
kita mengitari rimba ini menuju ke jurusan lain saja,"
kata Nyo Ceng. "Kita pun tiada tugas apa-apa lagi, boleh
juga kita mengaso beberapa hari di tengah rimba yang
sunyi dan tenang ini."
Nyata di dalam hati Nyo Ceng telah mengambil
keputusan akan menggunakan beberapa hari 'mengaso'
di dalam rimba ini untuk memaksa Yap Leng-hong
mengajarkan inti Lwekang dari Kang Hay-thian yang
sangat berguna baginya. Karena kini Yap Leng-hong
harus bersandar di bawah perlindungan Nyo Ceng, tiada
jalan lain terpaksa ia menguraikan cara-cara melatih
Lwekang perguruannya itu kepada Nyo Ceng.
Lwekang ajaran Kang Hay-thian itu memang sangat
bagus, biarpun Nyo Ceng sudah mempelajari dengan
tekun juga cuma mendapat kemajuan sedikit demi
sedikit. Hal ini semakin menarik baginya, ia pikir kalau
Lwekang dari kedua aliran Cing dan Sia dapat dibaurkan
menjadi satu, kelak dirinya dapat menjagoi dunia
persilatan dan tidak perlu takut kepada Kang Hay-thian
lagi. Begitulah maka ia pun tidak ingin buru-buru keluar
dari rimba raya itu. Sampai hari ketiga mereka
mendapatkan sebuah kelenteng kuno dan berteduh di
situ. Tiap hari ia memaksa Yap Leng-hong menguraikan
inti Lwekangnya, sedangkan Lok Khik-si telah menjadi
pesuruh mereka yang bertugas memburu binatang
sebagai makanan dan mencari buah-buahan.
Suatu hari, pagi-pagi Lok Khik-si sudah pergi mencari
makanan, tapi sampai malam belum nampak pulang.
Padahal makanan mereka sudah habis dan sedang
menantikan kedatangan Lok Khik-si.
"Apakah Lok-lotoa telah kabur," ujar Nyo Hoan yang
perutnya sudah lapar. "Masakah dia berani?" kata Nyo Ceng dengan tertawa.
"Besar kemungkinan dia telah kesasar lagi. Coba kau
pergi mencarinya." Ia tahu putranya sangat cerdik, di
tengah rimba sepi itu rasanya juga takkan ketemu musuh
tangguh, maka tanpa kuatir apa-apa ia suruh Nyo Hoan
pergi mencari Lok Khik-si.
Nyo Ceng sendiri asyik menyelami intisari Lwekang
ajaran Kang Hay-thian yang telah mulai dirasakan
kemajuannya. Tanpa terasa sudah tengah malam, ketika


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ia mendongak dan melihat cahaya sang dewi malam
remang-remang menembus celah-celah pepohonan yang
rimbun, ia terkejut karena teringat pada Nyo Hoan yang
telah pergi mencari Lok Khik-si dan sampai kini belum
kembali. Lekas ia berbangkit dan bersama Yap Lenghong
keluar mencari Nyo Hoan. Kalau Nyo Hoan pergi mencari Lok Khik-si, lalu
kemanakah perginya Lok Khik-si"
Kiranya hari itu sial bagi Lok Khik-si, setengah harian
dia tidak memperoleh binatang buruan apa-apa, bahkan
seekor kelinci pun tidak diketemukan. Untung sesudah
lohor ia melihat seekor rusa, keruan Lok Khik-si
bergirang, segera ia menyambitkan sebuah pisau, tapi
hanya mengenai punggung rusa itu dan binatang itu
masih mampu lari dan menderita sakit. Segera Lok Khiksi
mengejar menurut jejak tetesan darah.
Makin lama makin jauh ia mengejar, jumpai di suatu
tempat, tiba tiba di balik sepotong batu padas besar
terdengar seruan seorang wanita muda, "Aha, kau
sendiri berjuluk menjangan bertanduk satu, tapi kau tega
membunuh sesama jenismu. Tentunya kau tidak mengira
akan kepergok olehku bukan?"
Suara itu sudah sangat dikenal Lok khik-si, keruan ia
terperanjat dan berteriak, "Kau ... kau Tiok-siocia
bukan''" Maka muncullah seorang gadis jelita dan balik batu,
katanya dengan tertawa, "Benar, memang aku adanya
Dan masih ada pula seorang kenalanmu." Menyusul
muncul lagi seorang pemuda di belakang si nona.
Kiranya nona itu adalah putri Tiok Siang hu, yaitu Tiok
Ceng-hoa. Dan si pemuda adalah Li Kong-he.
Empat tahun yang lalu Lok Khik-si pernah menipu
Kong-he sehingga bocah itu dibawa ke kotaraja, malahan
beberapa kali Lok Khik-si bermaksud membunuhnya,
maka tidak heran Li Kong lie sangat benci padanya. Kini
Kong-he sudah berwujud pemuda berusia I7 tahun yang
bertubuh tinggi besar, gagah dan cakap.
Dengan tertawa Kong-he lantas mendamprat, "Bagus,
sudah cukup banyak kau membikin susah padaku, hari ini
biar kubinasakan kau jahaman ini."
"Li-kongcu, sudikah kau mendengarkan
penjelasanku?" pinta Lok Khik-si dengan rasa keder. "Apa
yang kulakukan dahulu adalah alas perintah majikan.
Harap nona Tiok suka mengingat hubungan keluarga Nyo
dan Tiok, sukalah engkau mengizinkan aku bertemu
dengan ayahmu untuk minta maaf?"
Mendengar orang menyinggung keluarga Nyo,
seketika Tiok Ceng-hoa merasa gusar, dampratnya, "Hm,
kau masih berani menonjolkan majikanmu sebagai
tameng" Kata ayahku, bila Nyo Ceng sampai dipergoki
beliau, kalau tidak dibeset kulitnya juga pasti akan
dimusnahkan ilmu silatnya. Sekarang kami pun
memperlakukan kau dengan cara yang sama, kau ingin
hidup dengan ilmu silat punah atau ingin kami beset
kulitmu?" Padahal ucapan Lok Khik-si tadi hanya sebagai
pancingan belaka untuk menjajaki apakah Tiok Siang-hu
bersama dengan muda-mudi itu. dari jawaban Tiok Cenghoa
kini dapat diketahui ayahnya tidak ikut datang.
Seketika Lok Khik-si menjadi tabah, ia yakin sekiranya
tak bisa menangkan kedua muda-mudi itu, paling tidak
juga takkan kalah, apalagi dirinya masih ada bala
bantuan yaitu Nyo Ceng. Sekarang biar kubunuh dulu
bocah ini, kemudian baru kubereskan budak perempuan
itu. Begitulah segera Lok Khik-si bersikap takut-takut
sambil mundur, tapi mendadak ia menekan pesawat
tongkatnya yang bercabang bagai tanduk menjangan itu.
Sebatang anak panah berbisa yang terpasang di dalam
tongkat tanduk menjangan itu lantas menyambar keluar.
Namun Li Kong-he sempat menyampuk dengan
goloknya, "plok", anak panah kecil itu terpukul jatuh.
"Bangsat, berani kau menyerang secara pengecut" Lihat
golokku!" bentak Kong-he sambil menubruk maju terus
membacok. Lok Khik-si mengira dengan serangan mendadak tadi
akan dapat membinakan Li Kong-he, tak terduga
kepandaian Li Kong-he sudah lain daripada dulu lagi.
Keruan Lok Khik-si terperanjat dan lekas-lekas
menangkis. Dahulu ia pernah kecundang di bawah golok
pusaka ayah Kong-he, kini wajah Kong-he yang mirip
ayahnya itu mengingatkan Lok Khik-si pada kejadian
masa lampau, keruan ia menjadi jeri.
Untung baginya, Tiok Ceng-hoa tidak ikut mengembut,
malahan Kong-he lantas berkata, "Enci Hoa, biarkan
dengan tanganku sendiri aku menuntut balas kepada
keparat ini. Sudah waktunya aku harus menyembelih
menjangan tanduk satu ini."
Ceng-hoa tertawa, sahutnya, "Baiklah, hendaklah kau
hati-hati!" Sudah tentu niat Kong-he itu kebetulan bagi Lok Khiksi,
dia sudah dapat menilai dari gebrakan tadi bahwa
ilmu golok Li Kong-he memang sudah lain daripada dulu,
tapi masih belum selihai mendiang ayahnya. Khik-si
merasa pasti dirinya masih dapat melawannya, malahan
kalau bicara tentang pengalaman bertempur, dirinya
terang jauh lebih luas daripada pemuda itu. Dalam
seratus jurus boleh jadi akan dapat mencari kesempatan
untuk mengalahkannya, apalagi Tiok Ceng-hoa terang
takkan membantu Kong-he, pertempuran yang akan
berjalan lama ini tentu pula akan menarik perhatian Nyo
Ceng dan putranya untuk keluar mencari, hal ini berarti
datangnya bala bantuan baginya.
Begitulah maka Lok Khik-si telah sengaja main ulur
tempo dan ternyata membawa hasil dengan memuaskan.
Kong-he adalah pemuda laksana anak banteng yang
tidak takut kepada harimau, ia menyerang dengan hebat,
tapi selalu kena ditangkis oleh Lok Khik-si. Setelah lebih
50 jurus, mulai lemaslah tenaga Kong-he dan Lok Khik-si
dapatlah melayani dengan seenaknya, walaupun ada
kesempatan melancarkan serangan balasan, tapi Lok
Khik-si sengara berlenggang saja ia kuatir kalau Kong-he
terdesak dan Tiok Ceng-hoa akan terpaksa maju
mengeroyoknya, hal ini tentu akan membikin runyam
tujuannya Tapi kecil-kecil Tiok Ceng-hoa cukup cerdik, diam-diam
ia dapat menaksir maksud tujuan Lok Khik-si, apalagi
diketahuinya kedua saudara angkat Lok Khik-si sudah
mati semua, darimana dia punya bal bantuan" Apalagi
Kong-he tadi sudah menyatakan akan menuntut balas
dengan tangan sendiri, ia kenal watak pemuda itu dan
tidak Ingin mengecewakannya, maka terpaksa ia tetap
menonton saja. Ketika Kong-he sudah tak berdaya mengalahkan
musuh, tiba-tiba terdengar suara bentakan orang,
"Bagus, dasar ajalmu sudah sampai, maka kemana pun
kau lari juga sukar lolos dari jaring. Sekarang hendak lari
kemana lagi kau?" Berbareng dengan terdengarnya suara itu, di atas
bukit sana telah muncul tiga orang. Seorang laki-laki
setengah umur dengan sepasang muda-mudi, laki-laki
setengah umur itu adalah An Peng, centing keluarga
Tiok, yaitu An-toasiok, hamba yang pernah mengawal
Tiok Ceng-hoa dan berebut ayam panggang dengan Kilian-
sam-siau dahulu itu. Pemuda dan pemudi yang
datang bersama dia adalah Lim To-kan dan Siangkoan
Wan. Kiranya sakitnya Kang Hay-thian sudah mulai sembuh,
dia tidak memerlukan pelayanan kedua muridnya lagi.
Kebetulan waktu itu Tiok Siang-hu hendak bergerak di
daerah Sejiang dan Tiok Ceng-hoa juga ingin pulang
menemui ayahnya. Maka Kang Hay-thian lantas
menyuruh To-kan dan Kong-he bersama Siangkoan Wan
ikut Tiok Ceng-hoa ke Sejiang.
Setelah laskarnya menduduki Sejiang, Kong-he dan
To-kan telah memohon kepada Tiok Siang-hu agar
mereka diperbolehkan pergi ke Siau-kim-jwan untuk
mencari Ubun Hiong dan sekalian dapat membantu
pasukan pemberontak di daerah itu. Tiok Siang-hu
meluluskan permintaan anak-anak muda itu dan
menugaskan An Peng mengawal mereka.
Untuk menyelundup ke Siau-kim-jwan mereka pun
mengambil jalan melalui rimba raya itu. Hari itu Kong-he
dan Tiok Ceng-hoa sedang keluar mencari air, To-kan
dan Siangkoan Wan sengaja membiarkan kedua mudamudi
itu berada sendirian, maka mereka tidak ikut.
Mereka baru menyusul sesudah mendengar suara
petempuran yang ramai itu.
To-kan sendiri juga pernah dibikin susah oleh Lok
Khik-si, maka ia menjadi gusar dan berlari datang hendak
membantu Li Kong-he, serunya, "He-ko, marilah kita
bersama-sama menyembelih menjangan ini."
Tapi Ceng-hoa telah mencegahnya dan berkata
dengan tersenyum, "Jangan, engkohmu Kong-he ingin
membinasakan musuhnya dengan tangannya sendiri."
"Benar," sahut To-kan sambil memasukkan pedang ke
dalam sarungnya, "memang engkoh Kong-he harus
membinasakan menjangan ini dengan tangan sendiri,
dendamnya jauh lebih mendalam daripada aku."
Akan tetapi sesudah menyaksikan jalannya
pertempuran untuk sejenak, ia merasa Kong-he tiada
kesempatan dapat mengalahkan musuh.
Tiba-tiba terdengar An Peng yang berdiri di samping
sana berseru, "Lok-lotoa, makin tua makin tak genah
kau, masakah jurus kotor bagai 'anjing lapar menubruk
tahi' juga kau keluarkan!"
Habis lenyap suaranya, mendadak tongkat tanduk
menjangan Lok Khik-si menegak terus menikam ke
depan, jurus yang digunakan adalah 'harimau buas
menerkam mangsa'. Kong-he melengak sambil menangkis serangan Lok
Khik-si itu, segera ia pun sadar bahwa ucapan An-toasiok
tadi sengaja ditujukan kepadanya. An Peng telah
mendahului menyebut jurus serangan yang akan
dilancarkan Lok Khik-si, jurus Beng-hou-bok-sip (harimau
buas menerkam mangsa) telah sengaja disebutnya Gokau-
jiang-say (anjing lapar menubruk tahi).
Keruan Lok Khik-si terkejut dan gusar pula, masakah
jurus serangannya yang lihai dengan nama yang bagus
itu diputar-balikkan menjadi nama yang busuk, lebih
celaka lagi karena seruan An Peng itu serangannya
menjadi gagal. Segera ia putar tongkatnya yang bercabang itu terus
menyerang pula, tapi lagi-lagi An Peng mengejek, "Ha,
makin tak genah kau ini Lok-lotoa! Kau pakai tipu 'ular
busuk menyusup liang'" Aha, apakah kau ingin kabur?"
Kiranya jurus yang dikeluarkan Lok Khik-si kali ini
bernama Sin-liong-jut-hay (naga sakti keluar dari laut).
Tapi kini Kong-he sudah paham ucapan An Peng itu,
segera ia mendahului musuh dengan tabasan goloknya
dalam jurus Tay-peng-tian-ek (garuda sakti pentang
sayap), ia mendahului menyerang tempat luang di badan
lawan. Saat itu Lok Khik-si sedang mengangkat
tongkatnya hendak menjojoh ke depan, tahu-tahu golok
Li Kong-he sudah menyambar dari samping lebih dulu.
Untuk Khik-si sempat melompat mundur, kalau tidak,
sebelah bahunya pasti sudah terkurung.
Tiok Ceng-hoa sangat senang menyaksikan itu,
serunya, "An-toasiok, hebat benar kau, kalau pulang
nanti akan kuminta ayah menghadiahkan sebotol arak
bagus padamu." An Peng menyengir saja dan tetap memperhatikan
pertempuran di tengah kalangan, tiba-tiba ia mendengar
sesuatu dan berkata, "Eh, seperti ada orang datang!"
Belum lenyap suaranya, terdengarlah kumandang
suara suitan dari jauh, segera Lok Khik-si juga telah
mendengar suara suitan itu, ia sangat girang dan segera
balas bersuit. Tapi sesudah didengar pula suara
pendatang itu, maka tertawalah dia, sebab dari tenaga
suitan itu ia dapat menduga siapa yang datang.
An Peng berkata dengan tertawa, "Haha, kukira
macam apa bala bantuanmu yang datang itu, tak
tahunya cuma begitu saja!"
"Eh, itu adalah suara Nyo Hoan," demikian Siangkoan
Wan juga berseru. "Eh, adik Kan, kebetulan kau dapat
menuntut balas padanya."
Kiranya Siangkoan Wan cukup kenal suara Nyo Hoan,
sebab sejak kecil mereka sering bergaul bersama.
To-kan bergirang juga, serunya, "Hah, memangnya
aku ingin mencari bocah keparat itu untuk membikin
perhitungan padanya. Aku pun ingin meniru engkoh
Kong-he, akan kubunuh dia dengan tanganku sendiri,
kalian jangan berebut dengan aku."
Tahun yang lalu To-kan pernah ditawan oleh Nyo
Hoan dan dimasukkan ke dalam karung, tidak sedikit Tokan
telah merasakan pahit getirnya, kejadian itu
dirasakannya sebagai suatu hinaan besar. Maka tanpa
ayal lagi ia lantas memapak ke tempat datangnya suara,
Siangkoan Wan lantas menyusul di belakangnya.
Dalam pada itu Lok Khik-si sedang kelabakan dicecar
oleh serangan Li Kong-he, ia merasa girang dan kuatir
pula demi mendengar suara Nyo Hoan. Bergirang karena
bala bantuan sudah datang, kuatirnya jangan-jangan Nyo
Ceng tidak ikut datang, kalau Nyo Hoan sendirian saja
tidak banyak berguna baginya. Karena sedikit
terpencarnya pikiran itu ia semakin keripuhan
menghadapi serangan Kong-he yang tambah gencar.
Tiba-tiba An Peng membentak, "Lok-lotoa, apa-apaan
kau" Eh, 'keledai malas bergelindingan', apakah kau
hendak kabur?"

Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Benar juga, mendadak nampak Lok Khik-si mendakkan
tubuh terus melesat ke depan, rupanya ia ingin
menggabungkan diri dengan Nyo Hoan. Tapi karena
gerak-geriknya telah dibongkar lebih dulu oleh An Peng,
tanpa ayal lagi golok Li Kong-he lantas menabas, dengan
tepat pundak Lok Khik-si termakan. Sambil menahan rasa
sakit Lok Khik-si berusaha kabur sebisanya.
Namun malang baginya, secepat angin Kong-he sudah
melompat tiba, "Crat", tanpa ampun lagi kepalanya
terpenggal oleh golok pemuda itu.
Alangkah senangnya Kong-he sesudah mengusap
bersih darah di atas goloknya, katanya dengan tertawa,
"Kini marilah kita pergi melihat adik Kan membunuh
musuhnya!" Sementara itu Nyo Hoan sedang memburu datang
ketika mendengar jawaban suitan Lok Khik-si tadi, tapi
belum sampai di tempatnya, sekonyong-konyong ia
dibentak orang, "Berhenti! Apakah masih kenal padaku?"
Tiba-tiba dilihatnya dua muda-mudi telah menghadang di
depannya, siapa lagi kalau bukan Lim To-kan dan
Siangkoan Wan. Keruan Nyo Hoan kaget, tapi ia pura-pura tenang saja,
tegurnya dengan tertawa, "Eh, enci Wan, sudah lama
kita tak berjumpa, apakah baik-baik saja kau" Rasanya
hubungan baik kita dahulu takkan menyebabkan
renggangnya kita lantaran sedikit kesalah pahaman
tempo hari. Sekarang kau akan membantu bocah she
Lim ini atau aku?" Muka Siangkoan Wan menjadi merah padam,
dampratnya, "Bangsat cilik, siapa sudi menjadi Encimu"
Kau ayah dan anak sama-sama berhati kejam dan ingin
mencelakai ayahku, hari ini aku harus membikin
perhitungan padamu."
"Hehe, memangnya aku tahu kau lebih suka kepada
bocah she Lim ini," ejek Nyo Hoan dengan menyeringai.
"Baiklah, bila sebentar bocah she Lim ini sudah kubunuh,
ingin kulihat bagaimana sikapmu nanti."
"Huh, jangan sombong lebih dulu, jangan-jangan kau
yang akan dimampuskan oleh adik Kan," ejek Siangkoan
Wan. "Bagus, jadi kau takkan membantu pihak mana pun
juga?" Nyo Hoan menegas.
"Ya, biar kusaksikan kematianmu nanti," sahut
Siangkoan Wan. Dalam pada itu To-kan sudah tidak sabar lagi. "Sret",
ia melolos pedangnya dan membentak, "Bangsat, tak
peduli apa yang hendak kau lakukan, pendek kata hari ini
ajalmu sudah tiba." "Hahaha!" Nyo Hoan bergelak tertawa. "Hayo majulah
bocah she Lim. Kau sudah pernah keok di bawah
tanganku, memangnya aku sekarang takut padamu?"
"Sret", segera To-kan mendahului menyerang,
.dengan acuh tak acuh Nyo Hoan menangkis. Tapi ia
menjadi kaget ketika kedua senjata beradu, dirasakannya
kekuatan Lim To-kan sekarang sudah lain daripada dulu
lagi, namun demikian ia percaya dirinya masih dapat
mengalahkan seterunya itu. Segera tongkatnya berputar,
ia keluarkan ilmu Tiam-hiat dengan tongkat ajaran
ayahnya yang tiada bandingannya itu. Sekali jojoh,
sekaligus mengarah tiga tempat Hiat-to yang mematikan.
Ia taksir kepandaian To-kan kira-kira sembabat dengan
dirinya, maka ia yakin totokannya ini pasti dapat
merobohkan lawan. Tak terduga Lim telah menggeser ke samping,
tungkak kakinya berputar, berbareng terdengarlah suara
"trang-trang-trang" tiga kali, secepat kilat tongkat
membentur pedang tiga kali. Totokan Nyo Hoan itu telah
kena dipatahkan oleh To-kan.
Tongkat Nyo Hoan itu sangat keras dan tidak
terkutung oleh pedang lawan, tapi yang membuatnya
heran adalah karena ilmu totokan kena dipatahkan oleh
To-kan. Sudah tentu ia sangat penasaran, bentaknya, "Anak
jadah! Ini terima pula seranganku!" Berbareng
tongkatnya berputar, seketika To-kan terkurung di
tengah bayangan tongkatnya yang ketat. Jurus serangan
ini disebut Sip-hong-bay-hok (jebakan dari sepuluh
penjuru), berturut-turut sekaligus dapat menotok sepuluh
tempat Hiat-to yang berbahaya di badan lawan.
"Huh, jangankan cuma satu jurus, biar kuterima
sepuluh jurus seranganmu juga tidak menjadi soal,"
jengek To-kan. Berbareng itu tubuhnya berputar secepat
terbang, pedangnya menyampuk keliling, ternyata jurus
serangan Nyo Hoan itu benar-benar telah dipunahkan
pula. Sungguh kejut Nyo Hoan tak terkatakan, ia heran
darimanakah Lim To-kan mempelajari ilmu pedang yang
seakan khusus digunakan untuk memunahkan ilmu
totokan tongkat keluarga Nyo itu.
Dalam hal ini Nyo Hoan memang tidak tahu bahwa
ilmu pedang aneh itu memang sengaja diciptakan oleh
Kang Hay-thian untuk mengalahkan Nyo Ceng.
Tiga tahun yang lalu waktu Kang Hay-thian malammalam
menjadi tamu Siangkoan Thay, sesudah siangnya
bertempur melawan Nyo Ceng, ketika itu Siangkoan Wan
telah menagih janji karena dahulu Kang Hay-thian
pernah menyanggupi akan memberikan sesuatu tanda
mata padanya, maka tanda mata yang diminta Siangkoan
Wan itu adalah semacam ilmu silat yang dapat
mengalahkan ilmu silat keluarga Nyo itu.
Sebagai maha guru ilmu silat, asal pernah bergebrak
dengan lawan, segera Kang Hay-thian dapat menyelami
dimana letak keunggulan dan kelemahan musuh. Maka
kepada Siangkoan Wan ia lantas mengajarkan semacam
ilmu pedang yang dapat mengalahkan ilmu tongkat
keluarga Nyo. Jadi Lim To-kan tidak mendapat pelajaran
dari gurunya, melainkan dari Siangkoan Wan, malahan
ilmu pedang ini baru beberapa hari yang lalu selesai
dipelajarinya dan kebetulan hari ini sudah dapat
digunakan menghadapi Nyo Hoan.
Dengan sendirinya Nyo l-loan mati kutu, karena setiap
jurus serangannya selalu kena dipatahkan, bahkan
kemudian ia berbalik terdesak dan tidak mampu
menyerang lagi. Dalam pada itu An Peng, liok Ceng-hoa dan Li Kong-he
bertiga juga sudah menyusul tiba dan ikut menonton di
samping. Sambil bertepuk tangan Kong-he berseni
memuji, "Bagus, adik Kan! Tambah tenaga, mampuskan
dia!" Baru lenyap suaranya, "cret", dimana sinar pedang
berkelebat, muncratlah tetesan darah. Ternyata lengan
Nyo Hoan telah terluka, tongkatnya jatuh ke tanah.
"Terimalah kematianmu!" bentak lokan, menyusul ia
hendak menubruk maju pula untuk menamatkan jiwa
Nyo Hoan. Pada saat itulah tiba-tiba terdengar bentakan seorang
dengan suara menggeledek, "Siapa berani melukai
anakku?" Kiranya Nyo Ceng dan Yap Leng hong yang telah
datang. Keruan Siangkoan Wan, Kong he dan Tiok Ceng-hoa
bertiga terkejut, serempak mereka memapak maju. Akan
tetapi sekali tongkatnya bergerak, sekaligus Nyo Ceng
telah menyampuk pergi golok Li Kong-he dan pedang
Lim To-kan serta masih terus menerjang maju. Perlahan
ia mendorong Nyo Hoan ke samping dan berseru, "Yapkongcu,
harap kau bubuhi obat pada lukanya!"
"Ayah, bunuhlah kedua anak keparat itu untuk
membalaskan sakit hatiku," teriak Nyo Hoan.
Dalam pada itu Nyo Ceng telah mengamuk,
tongkatnya dia pakai sebagai pentung terus
mengemplang ke atas kepala Lim To-kan. Gagang
tongkatnya berbareng ditekuk ke samping dan bergetar,
sekaligus ia menotok beberapa Hiat-to mematikan di
tubuh Siangkoan Wan, Tiok Ceng-hoa dan Li Kong-he.
Sesudah benturan senjata tadi, diam-diam Nyo Ceng
merasa heran mengapa dengan kepandaian Lim To-kan
itu mampu melukai putranya. Karena ingin melampiaskan
dendam anaknya, maka ia telah menyerangnya secara
keji tanpa mempedulikan lawannya itu hanya seorang
anak muda yang masih hijau. Hanya terhadap Ceng-hoa
dan Siangkoan Wan ia rada sungkan, maka dia hanya
bermaksud menotok Hiat-to mereka saja.
Akan tetapi ketika Siangkoan Wan dan Lim To-kan
mengeluarkan ilmu pedang mereka dan dengan mudah
telah mematahkan totokan tongkatnya, barulah Nyo
Ceng sadar pasti Kang Hay-thian yang telah mengajar
anak-anak muda itu, makanya Nyo Hoan kena dilukai
oleh Lim To-kan. Namun Nyo Ceng sudah tentu tak bisa dipersamakan
dengan Nyo Hoan, To-kan dapat melukai Nyo Hoan, tapi
dengan bergabung dengan Siangkoan Wan toh mereka
sukar melawan Nyo Ceng. Tiok Ceng-hoa dan Li Kong-he juga tidak tinggal diam,
serentak mereka pun mengerubut maju. Dengan jurus
Giok-li-tau-so (gadis ayu melempar tali) segera Ceng-hoa
menusuk lambung orang, sedangkan Kong-he menabas
lengan musuh dengan ganas.
Kepandaian Tiok Ceng-hoa dan Li Kong-he sama-sama
mempunyai keunggulan masing-masing. Yang satu
adalah putra Tiok Siang-hu yang terhitung tokoh nomor
dua di dunia persilatan pada masa ini, yang lain adalah
murid tokoh nomor satu. Apalagi selama setahun ini
kemajuan Kong-he amat pesat, gerakan goloknya
membawa tenaga yang dahsyat dan tidak boleh
dipandang enteng. Nyo Ceng menjadi gusar karena keroyokan empat
anak muda itu, ia pegang bagian tengah tongkatnya,
ujung tongkat menyampuk pergi kedua pedang
Siangkoan Wan dan Lim To-kan, pangkal tongkat kena
membentur pula golok Li Kong-he, berbareng ia
menggeser ke samping sehingga serangan Tiok Cenghoa
juga mengenai tempat kosong. Tapi karena satu
harus melawan empat, terpaksa ia tidak dapat
melancarkan serangan ganas.
Namun apapun juga keempat anak muda itu masih
selisih jauh dengan kekuatan Nyo Ceng. Lama kelamaan
bukan mustahil mereka akan dijatuhkan satu per satu.
Melihat ayahnya ada tanda-tanda akan menang, Nyo
Hoan sangat girang, segera ia berteriak-teriak minta
ayahnya lekas mampuskan Li Kong-he dan Lim To-kan.
Tapi mendadak An Peng melompat maju sambil
bersuit panjang, lalu berseru, "Lekas Cukong, Nyosiansing
hendak membikin susah Siocia kita!"
Yang paling ditakuti Nyo Ceng di dunia ini pertama
adalah Kang Hay-thian, kedua adalah Tiok Siang-hu. Kini
mendadak mendengar teriakan An Peng, keruan ia
terperanjat. Tatkala Ituia sedang menggunakan jurus
Pat-hong-hong-ih (hujan angin delapan penjuru)
mestinya ia sekaligus dapat mengguncang pergi senjata
empat anak muda itu serta dapat melukai pula pundak
Lim To kan, tapi sedikit kagetnya itu telah membikin Lim
To-kan sempat menghindarkan serangannya.
Kalau Nyo Ceng terperanjat, maka ada seorang lagi
yang lebih ketakutan, orang itu tak lain tak bukan adalah
Yap Leng-hong ia cukup tahu betapa lihainya Tiok Sianghu
yang diberi gelar sebagai 'gembong iblis' di dunia
persilatan. Kalau dia kena ditangkap gurunya yaitu Kang
Kucing Suruhan 3 Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Puteri Es 2
^