Pencarian

Jala Pedang Jaring Sutra 3

Jala Pedang Jaring Sutra Seri Thiansan Kiam Bong Cian Sie Karya Liang Ie Shen Bagian 3


tahun yang lalu sudah menjadi buronan istana. Pepatah
mengatakan 'tidak perlu menggambar ular yang ditambah kakinya'.
Siapa pun tahu, anak berumur 14 hingga 15 tahun tidak akan jadi
buronan istana. "Menurut Po Toako, apakah tenaga telapaknya seperti kepandaian 'Hun-hoan'?"
"Ini sulit ditebak karena 'telapak Kim-kong' dari Siauw-lim dan
'tangan Liu-yang' dari keluarga Yang hampir mirip, hanya cara
memakai tenaga dalamnya tidak sama."
"Ini hanya mirip saja." Kata Coh Thian-su.
"Benar." Dia seperti ingin mengatakan sesuatu tapi tidak jadi.
Coh Thian-su adalah orang yang sangat pintar, melihat cara
bicaranya, Coh Thian-su sudah mengerti, sebenarnya dia sudah
tahu ini adalah ilmu 'Hun-hoan' hanya dia sendiri tidak ingin
mempercayainya, karena dia masih takut pada satu hal.
Kata Po Leng-hoi: "Ayah, kau dan Kie Yan-gan sudah puluhan tahun tidak ada
hubungan, bagaimana kau tahu bahwa Hui-thian-sin-liong bukan
muridnya, apakah muridnya mempunyai anak laki-laki, atau dia
sendiri juga sudah mati?"
Po Tiong-ie berkata sendiri:
"Dia diserang oleh pengawal istana, dia sendiri sudah tcrluka
parah, walaupun mempunyai anak laki-laki, apakah dia bisa
melindungi anaknya?"
Tiba-tiba Po Tiong-ie seperti bola yang sudah kempes, dia
menarik nafas dan berkata
"Bila Hui-thian-sin-liong dan Kie Yan-gan mempunyai hubungan
yang erat, apakah dia murid yang tidak terdaftar" Atau malah
terdaftar semua akan membuat keadaan lebih kacau lagi."
"Mengapa?" Tanya Coh Thian-su.
"Kau adalah orang yang pintar, mengapa tidak mengerti?"
"Coba Toako jelaskan!"
"Pertama, nama baiknya akan tercemar oleh Hui-thian-sin-liong.
Kedua, bila dia mendapat ilmu langsung dari Kie Yan-gan, kecuali
Kie Yan-gan yang bisa mengalahkannya, siapa lagi yang sanggup"
Kie Yan-gan paling sayang kepada cucu perempuannya tapi apakah
dia masih hidup, aku tidak tahu. Bila dia masih hidup dia tidak akan
tega membunuh cucu muridnya yang disukai oleh cucu
perempuannya." Dengan pelan Coh Thian-su berkata:
"Kata orang-orang nama Hui-thian-sin-liong sudah tercemar, tapi
belum tentu dia seperti yang dikatakan oleh orang-orang bahwa dia
adalah penjahat yang sadis."
"Apakah kau pernah bertemu dengannya?"
"Benar." "Mengapa kau tahu bahwa dia bukan orang seperti itu?"
"Aku pernah mendengar kejahatannya dari orang lain tapi belum
pernah mendengar dia membunuh orang dari golongan putih. Yang
dia lakukan adalah memotong telinga ketua Lui, menusuk hingga
buta ketua Li, dan lainnya, sebab mereka adalah orang-orang tidak
lurus. Walaupun tidak mengacaukan dunia persilatan tapi mereka
lebih banyak melakukan kejahatan dari pada kebaikan."
"Kau bilang dia tidak pernah membunuh orang dari golongan
putih" Belum tentu, Ho Cing-kim dipotong telinganya. Ho Cing-kim
adalah seorang Lo-hiap di dunia persilatan dan sangat terkenal."
Kata Coh Thian-su: "Hie Tiong-gwee juga adalah seorang pendekar dari Tiong-ciu,
nama Hie lebih besar dari Ho Cing-kim di dunia persilatan."
Po Tiong-ie tampak terkejut dan bertanya:
"Maksudmu Ho cing-kim dan Hie Tiong-gwee mirip" Hanya ingin
nama baik" Mengapa kau bisa tahu?"
"Aku tidak kenal dengan Ho Cing-kim, bahkan tidak tahu
orangnya seperti apa dan kelakuannya seperti apa Tapi aku percaya
bila dia memang pantas dijuluki sebagai Lo-hiap dari dunia
persilatan, Hui-thian tidak akan memotong telingannya."
"Kalau begitu kau lebih percaya kepada Hui-thian bahwa dia
adalah pesilat yang bersih?"
"Paling sedikit aku tidak percaya bahwa dia adalah penjahat yang
sadis." "Aku pun demikian." Kata Po Leng-hoi "Kau mempunyai bukti apa?"
"Ayah, menurutmu apakah Tuan Kiam-ta mempunyai hati
seorang pendekar?" "Aku kenal dengan dia, ada sedikit celah itu tidak aneh, dia
mempunyai hati seorang pendekar."
"Kalau begitu Tuan Kiam-ta yang ayah hormati juga hormat
kepada Hui-thian, paling sedikit dia tidak menganggapnya sebagai
seorang penjahat yang sadis."
"Mengapa kau bisa tahu?"
"Sebelum jadi saksi, dia memanggil Hui-thian 'adik', paling sedikit tidak menganggap dia musuhnya."
Dalam hati Po Tiong-ie berpikir:
"Benar juga. Tuan Kiam-ta tidak akan memanggil seorang
penjahat dengan sebutan 'adik'."
"Apa yang ayah pikirkan?"
"Aku ingin Hui-thian adalah orang yang seperti kalian duga." Kata Coh Thian-su:
"Toako, malam ini aku akan mencari teman dan tidak akan
pulang ke tempatmu, apakah anakmu bisa menemaniku?"
"Silahkan, kau mau mencari siapa?"
"Dia teman yang masih muda, anakmu pun mengenalnya."
Dalam hati Po Tiong-ie berpikir, 'Teman baik Leng-hoi adalah
Kwee Goan-cay, orang itu adalah murid kesayangan Hie Tiong-
gwee, apakah Coh ingin mencari tahu rahasia antara Hie dan Hui-
thian." Po Tiong-ie adalah orang yang berpengalaman, keluarga Coh
adalah keluarga pesilat, Coh Thian-su adalah seorang pendekar
yang masih muda, tidak mungkin ke Lok-yang hanya ingin melihat
Bo-tan dan memberi selamat kepada Hie Tiong-gwee, dia sangat
memperhatikan Hui-thian juga masalah Kie Yan-gan, sepertinya dia
mempunyai hubungan yang erat dengan Hui-thian, tapi menyelidiki
rahasia orang lain adalah hal yang pantang di dunia persilatan,
karena itu walaupun Po Tiong-ie curiga tapi dia tidak bertanya lagi.
Po Leng-hoi dan Coh Thian-su segera pergi, Po Leng-hoi
bertanya: "Di mana tempat tinggal temanmu?" "Ke rumah keluarga Hie."
"Apakah kau akan ke rumah Hie lagi?" Coh Thian-su mengangguk:
"Benar." "Apakah kau mau mencari Kwee Goan-cay?" Coh Thian-su
menggelengkan kepala: "Bukan, lebih baik Kwee Goan-cay tidak tahu kita akan ke sana."
Po Leng-hoi dengan terkejut bertanya:
"Kau mau mencari siapa?"
Dengan ringan Coh Thian-su berkata:
"Mencari teman baikmu yang satu lagi"
"Yang kau maksud adalah..."
Coh Thian-su langsung menyambung,
"Mencari pengantin perempuan, Kang Hiat-kun."
"Apa" Kau mau mencari Hiat-kun?" Po 1 xng-hoi melotot seperti tidak percaya dengan pendengaran telinganya
Coh Thian-su tertawa: "Apakah tidak boleh?"
"Sekarang dia adalah istri Hie Tiong-gwee."
"Benar, tapi dia belum bersembahyang bukan" Apa kau takut
dicurigai oleh orang-orang?"
Po Leng-hoi tidak menjawab.
Kata Coh Thian-su lagi "Tadi kau pun sudah melihat bahwa keluarga Hie tidak
menganggap dia adalah istri Hie Tiong-gwee."
Po Leng-hoi teringat pada saat Hie Tiong-gwee terluka, keluarga
Hie tidak ada yang mempedulikan Hiat-kun. Nona Hie malah
memarahi dan menghinanya, karena itu Po Leng-hoi marah dan
berkata: "Benar, Hiat-kun mana bisa tahan hidup seperti itu, aku tidak
mau dia dihina oleh orang lain lebih baik tinggalkan saja keluarga
Hie, paling tidak aku harus menengoknya."
Po Leng-hoi baru ingat bila dia memperhatikan Hiat-kun
sepertinya masih pantas, tapi Coh Thian-su bukan saudara Hiat-kun
juga bukan temannya, mengapa malam-malam begini harus secara
sembunyi-sembunyi bertemu dengan Hiat-kun"
Sepertinya Coh Thian-su tahu pikiran Po Leng-hoi, dia tertawa
dan berkata: "Apakah kau mengira aku tertarik dengan kecantikan Hiat-kun?"
Wajah Po Leng-hoi menjadi merah:
"Coh Tayhiap, kau jangan bercanda
terus, aku akan membantumu mengajak Hiat-kun keluar."
Di mulut tidak curiga tapi hatinya bertanya-tanya, 'Mengapa Coh
Thian-su begitu misterius?"
Coh Thian-su berkata: "Tadinya aku ingin meminta bantuan kepada gadis berbaju
hitam, tapi sekarang dia dan Hui-thian sudah meninggalkan Lok-
yang, aku hanya bisa meminta bantuanmu."
"Apakah gadis itu adalah cucu Kie Yan-gan?"
"Sepertinya begitu."
"Kau ingin bantu mencarinya, apakah kau kenal dengannya?"
"Tidak." Po Leng-hoi bertanya lagi:
"Hari ini Hui-thian membuat kekacauan di keluarga Hie dan
bertarung dengan Hiat-kun, semua tahu bahwa Hui-thian cinta
kepada Hiat-kun. Gadis berbaju hitam tidak bertarung dengan Hiat-
kun, tapi dia sangat membenci Hiat-kun, apakah menurutmu seperti
itu?" "Sepertinya benar." Dan dia menambahkan lagi, "Dia benci kepada Hiat-kun, begitu pun sebaliknya."
"Mereka saling bermusuhan, apakah kau bisa mencarinya untuk
membantu mencari Hiat-kun?"
"Asal aku bertemu dengannya, dia tidak akan bermusuhan
dengan Hiat-kun." "Makin dibicarakan aku semakin bingung, kau tidak kenal
dengannya, tapi yakin bisa membuatnya tidak membenci Hiat-
kun,ini.... ini" "Kau akan segera mengerti separuhnya."
"Hanya separuh?"
"Benar, sekarang bila kita bertemu dengan Hiat-kun, baru kau
akan mengerti, paling sedikit separahnya. Begitu juga dengan gadis
berbaju hitam" Po Leng-hoi tertawa kecut
"Kalau begitu aku harus cepat-cepat menculik pengantin
perempuan orang lain keluar dari rumahnya."
Coh Thian-su tertawa: "Benar, harus seperti itu."
Benar, semua tidak salah, semua yang diperkirakan oleh Coh
Thian-su adalah benar. Gadis berbaju hitam itu bernama Kie Su-giok, dia adalah cucu
perempuan dari Kie Yan-gan.
Sekarang mereka sedang berada di luar kota Lok-yang. Darah
Hui-thian sudah berhenti mengalir, entah lelah atau hatinya sedih
dia tertidur di atas kuda.
Cara Kie Su-giok menunggang kuda sangat ahli, satu tangan
memegang pinggang Hui-thian agar tidak terjatuh dari kuda. Dan
kudanya masih berlari dengan cepat
Kuda berlari dengan cepat, pikirannya pun berlari lebih cepat lagi.
Tapi yang satu berlari ke arah depan, yang satu lagi mundur ke
belakang. Karena dia memikirkan masa lalu. Walaupun dia masih
muda, umurnya hampir sama dengan Hiat-kun, yaitu 19 tahun,
pengalaman hidupnya masih sedikit tapi banyak hal yang dia
kenang. Seperti hal ini... B. Tahun Baru Membawa Petaka
Sepuluh tahun yang lalu malam sebelum Imlek, (tahun baru)
Keluarganya yang hanya ada 4 orang, kakeknya, Paman Ting dan
Ong Toanio. Paman Ting berumur hampir sama dengan kakeknya, dia adalah
pelayan di rumah mereka, tapi kakeknya tidak pernah
menganggapnya sebagai pelayan, mereka sering sama-sama minum
arak Tapi dia tidak menyukai Paman Ting, malah kadang-kadang juga
takut kepadanya, Paman Ting jarang bicara, wajahnya pun
menyeramkan. Ong Toanio adalah inang pengasuh ibunya, juga pengasuhnya.
Semenjak dia lahir, Ong Toanio sudah mengurusnya, memasak, dan
mendongengkan cerita-cerita, serta membuatkan dia baju sulaman.
Dia menyukai Ong Toanio, hanya satu yang tidak disukai dari dia
yaitu bila ditanya mengenai ibunya, Ong Toanio tidak pernah mau
memjawab dan menceritakannya.
Ayahnya sudah meninggal sebelum dia dilahirkan, dia tahu
ibunya masih ada, hanya entah ke mana dan ada di mana. Dia tidak
ingat lagi kepada ibunya. Karena pada saat ibunya pergi dia baru
berumur 3 tahun. Mengapa ibunya meninggalkannya" Dimana sekarang dia
berada" Kakeknya pun tidak mau memberitahu, begitu pula dengan
Ong Toanio. Kakek sangat sayang kepadanya, tapi kalau ditanya mengenai
ibunya, kakek menjadi marah. Kakek mengatakan bahwa ibunya
tidak pantas menjadi ibu, kakek menyuruh menganggap ibunya
sudah meninggal, karena itu dia tidak berani bertanya lagi
Ong Toanio tidak marah bila ditanya, tapi dia tidak mau
memberitahu hal yang menyangkut ibunya.
Dia hanya mengatakan bahwa ibunya sangat cantik, pandai
menyulam, pandai membuat puisi. Apakah puisinyanya bagus" Ong
Toanio tidak tahu, tapi dia tahu bahwa ibunya dijuluki 'Perempuan
Berbakat'. Apa artinya 'Perempuan berbakat'" Ong Toanio tidak
tahu. Sekarang ternyata Kie Su-giok tidak bisa membuat puisi, dia juga
tidak tahu apakah puisi ibunya bagus" Dia hanya ingin tahu ibunya
di mana" Tapi sayang tidak ada yang mau memberitahu.
Anggota keluarganya memang sedikit tapi pada saat tahun baru
suasananya tetap ramai. Rumah sudah dicat, di atas meja kakek
ditambah 2 pot bunga Sui-cian di ruang tamu masih ada pot besar
dan di dalamnya ada bunga Bwe.
Wajah Paman Ting pun berseri-seri, Su-giok lebih senang lagi
karena pada saat tahun baru, dia boleh memasang petasan.
Malam menjelang tahun baru, seperti tahun-tahun sebelumnya,
teman-teman kakeknya datang untuk 'jaga tahun', dan kakeknya
mengijinkan dia tidur lebih malam, tapi bukan menemani kakek
'jaga tahun' sampai pagi.


Jala Pedang Jaring Sutra Seri Thiansan Kiam Bong Cian Sie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi tahun ini, dia benar-benar bisa "begadang" sampai pagi-
Kakek minum arak terus seperti malam menjelang tahun baru di
tahun-tahun lalu. Teringat ada sebuah puisi yang terbaca.
"Setahun penuh sudah akan berlalu
Tapi orang yang ditunggu, belum pulang juga."
Pada umur 6 tahun dia sudah mulai mengenal huruf, pada umur
7 tahun dia mulai sekolah, umur 8 tahun kakeknya mengajarkan
300 puisi dinasti Tang. Tahun itu dia berumur 9 tahun, setelah
malam menjelang tahun baru ini dia akan berumur 10 tahun. Hal-
hal yang tidak dia mengerti tahun lalu, tahun ini akan lebih
dimengerti olehnya. Dia mengerti arti 2 baris puisi itu. Tapi mengapa kakeknya selalu
niembacakan puisi itu, hal itu yang membuat dia tidak mengerti.
"Malam menjelang tabiin baru Imlek menunggu keluarga yang
datang dari jauh." Mungkin maksud kakek seperti itu. Tapi siapa yang ditunggu
olehnya" Ayah sudah meninggal sebelum dia lahir, orang yang sudah
meninggal tidak akan pulang.
Ketika dia bertanya apakah yang dimaksud oleh kakek adalah
ibunya" Kakek tampak marah, orang yang ditunggu pasti bukan
ibunya. Siapa yang ditunggu kakeknya"
Dia tahu kakek sedang menunggu muridnya, Supek Wie, yang
belum dikenalnya. Kakek sering bercerita mengenai Supeknya. Tahun ini kakek
bercerita lebih banyak lagi. Kakek bercerita kepada Paman Ting dan
dia. Kakek tetap bercerita walau dia belum pernah bertemu dengan
Supeknya. Paman Wie adalah pahlawan terkenal di dunia persilatan, dia
mengetahuinya dari cerita antara kakek dan Paman Ting, tapi dia
tidak suka mendengar hal tentang dunia persilatan. Dia menyukai
ketenangan, senang melihat Ong Toanio menyulam, dan juga
senang mendengar kakeknya mendongeng tentang 7 orang dewi.
Dia tidak ingin tahu mengenai dendam dan saling bunuh di dunia
persilatan. Apalagi ada banyak istilah dunia persilatan yang tidak
dimengerti olehnya. Tapi dia senang mendengar cerita tentang Supek pada saat
masih kecil. Pada umur 7 tahun, Supek sudah belajar ilmu silat
kepada kakeknya. Umur yang lebih kecil dari dia sekarang. Supek
sangat nakal, tapi pada saat belajar ilmu silat dia sangat serius dan
gesit. Yang membuatnya tidak mengerti, mengapa kakeknya sangat
sayang kepada muridnya" Sedangkan kepada anaknya sama sekali
tidak rindu Kakek tidak pernah bercerita tentang ibunya juga tentang
ayahnya karena itu dia lebih kenal dengan Supek yang belum
pernah ditemui. Apakah karena ayahnya sudah meninggal dan kakek tidak ingin
terus bersedih hingga tidak mau bercerita"
Ada suatu kali, kakek sedang minum-minum dengan Paman Ting,
dia sedang bermain di halaman rumah, sebenarnya dia tidak ingin
mendengar percakapan mereka, tapi tetap saja terdengar.
Cerita awal tidak terdengar olehnya, dia hanya mendengar kata
'tuan muda', hanya dua kata itu.
Dia tahu yang dimaksud 'tuan muda' oleh Paman Ting adalah
ayahnya. Setelah mendengar dua kata ini, disusul oleh suara cangkir yang
dibanting oleh kakeknya hingga pecah. Paman Ting terkejut, dia pun
langsung bersembunyi di halaman.
Mula-mula dia menyangka kakek marah kepada Paman Ting, dia
merasa aneh, selama ini kakeknya sangat baik kepada Paman Ting
dan menganggapnya sebagai teman lama, mana mungkin kakek
marah kepada Paman Ting. Akhirnya dia tahu juga bahwa kakeknya marah kepada ayahnya,
"Anak durhaka! Kalau dia benar-benar mati, itu memang pantas
dan aku tidak akan sedih Lebih-lebih tidak akan membalaskan
dendamnya." Kakek membanting cangkirnya dan sangat marah.
Paman Ting tidak berani bicara lagi Dia pun langsung ke kamar.
Tapi dia tahu, walaupun kakek bicara seperti itu, tapi sebenarnya
kakek sangat sedih. Suara kakek sudah serak, pada saat makan
malam mata kakek masih merah.
Waktu itu dia masih kecil, tidak bisa berpikir mengapa kakek bisa
seperti itu. Sekarang bila dipikir-pikir lagi, hatinya timbul satu
pertanyaan lagi. Kata-kata kakek pada saat itu 'kalau benar-benar mati', apakah
ayahnya belum meninggal"
Sekarang dia sudah berumur 19 tahun. Selama 19 tahun belum
pernah dia mendengar cerita tentang ayahnya. Apakah ayahnya
benar-benar sudah meninggal"
Dia kembali berpikir pada malam menjelang tahun baru Imlek.
Waktu itu kakek sedang bercerita tentang murid tersayangnya
kepada Paman Ting, membuat dia cemburu kepada Supeknya yang
belum pernah dia kenal. "Orang yang disayang oleh kakek adalah Supek atau aku?"
Dia sudah sering mendengar Supek belajar ilmu silat, dia menjadi
bosan dan mengantuk kemudian tertidur.
Tiba-tiba terdengar ada suara tongkat. Malam menjelang tahun
baru, sekarang sudah hampir dini hari, mnegapa masih ada orang
yang berada di jalan" Tapi suara tongkat terdengar sangat cepat
dan tergesa-gesa menuju pintu rumahnya.
Terdengar suara pintu diketuk.
"Siapa?" "Guru, ini aku Seng-kong sudah pulang." Suaranya serak
membuat hati orang bergetar.
Terdengar suara cangkir arak milik kakek terjatuh dan pecah
persis seperti yang dilihatnya saat itu.
Kali ini bukan karena dilempar, tapi tangan kakek gemetar dan
cangkirnya terjatuh. Dia terkejut, seperti orang yang terbangun dari tidur.
"Oh, Kong-ji, akhirnya kaupulangi"
Kakek berdiri dan keluar ke halaman rumah.
Tidak perlu diberitahu oleh kakek, dia sudah tahu siapa yang
sudah datang. Dia tahu orang itu adalah orang yang tiap tahun ditunggu oleh
kakeknya selama ini, tahun ini dia ternyata pulang. Tapi...
Kakek sebelum membuka pintu, Supek yang tidak pernah
dikenalnya, sudah masuk sendiri.
Yang pertama masuk bukan dia seorang saja.
Mereka ternyata berdua, yang berada di depan paman gurunya
adalah seorang remaja berusia antara 14 hingga 15 tahun. Dia
menuntun Supeknya masuk. Pada malam menjelang tahun baru Imlek, halaman tampak
terang seperti siang karena lampu digantung di atas genting.
Paman guru tampak kurus, bajunya compang camping, jalannya
pincang dan menggunakan tongkat, dalam mimpi pun dia tidak
menyangka, pahlawan yang sering diceritakan kakek adalah orang
seperti ini" Dengan seksama dia mencoba melihat, tapi dia langsung
berteriak, di wajah paman gurunya ada 2 lubang, di kelopak
matanya ternyata tidak ada biji matanya, wajahnya penuh dengan
darah. Dengan gemetar kakek bertanya:
"Kong-ji, kau mengapa?"
Supeknya berlutut, pemuda beralis tebal dan bermata besar pun
ikut berlutut. "Kong-ji, apa yang telah terjadi?"
"Guru, aku minta maaf tentang satu hal. Guru, budi Anda belum
terbalas, tapi sekarang aku ada permohonan..."
"Bicaralah, aku pasti mengabulkannya."
"Aku berharap Guru mau melatih anak ini menjadi orang yang
berguna." "Anakmu adalah cucuku, tidak perlu sungkan, tapi kau...kau..."
Kakek memeluk Supek, kepala Supek ditundukkan, seperti tidak
bisa diangkat lagi, dia mendengar percakapan antara kakek dan
Supek, walau hanya sepotong-potong.
"Guru, budimu belum kubalas, sekarang harus merepotkanmu
lagi, aku menjadi tidak enak hati, mengenai masalahku, nanti
anakku akan menceritakannya."
Setelah itu Supek meninggal, dia memakai tenaga terakhirnya
yang tersisa memutuskan nadi-nadinya. Sifatnya sangat keras dia
tidak ingin hidup dengan tubuh cacat dan dengan ilmu silat yang
sudah punah. Semenjak itu dia mempunyai seorang kakak yang mempunyai
she berbeda, nama anak dari Supek adalah Wie Thian-hoan.
Awalnya dia cemburu kepada anak itu, karena kakek lebih sayang
kepadanya. Tapi entah sejak kapan, rasa cemburunya semakin lama
semakin berkurang, dan dia senang bermain dengannya.
Tapi Wie Thian-hoan tidak senang bermain, dia hanya suka
dengan ilmu silat, bila diajak bermain terus Wie Thian-hoan akan
marah. Anehnya dulu bila kata-kata dari kakeknya dia tidak pernah
mau mendengar tapi kata-kata dari kakak Wie selalu diturutinya, dia
sekarang mau bersama-sama berlatih silat.
Bila dia rajin latihan, kakek dan kakaknya sangat senang, bila dia
berlatih dengan bagus. Kakak Wie akan menemaninya bermain,
menangkap burung dan memetik bunga yang dia sukai.
Dia tidak takut dimarahi oleh Wie Thian-hoan, hanya takut bila
Wie Thian-hoan tidak mau bicara dengannya. Dia melihat bila
sedang asyik bermain, Wie Thian-hoan akan diam sambil melihat
awan putih, matanya terlihat sangat sedih.
Pernah dia menanyakan alasannya tapi dia tidak menjawab.
Sekarang dia baru tahu, lebih tahu dari 3 tahun yang lalu. Lima
tahun yang lalu Wie Thian-hoan meninggalkan rumahnya, 2 tahun
kemudian baru pulang. Saat itu dia baru berumur 16 tahun, dia
mulai diberitahu mengenai masalah orang dewasa.
Dia tahu Wie Thian-hoan mencari orang yang membunuh
ayahnya, dia pun tahu pertarungan antara Wie Thian-hoan dan Hie
Tiong-gwee. Dia juga tahu bahwa Hie Tiong-gwee bukan orang
yang membunuh ayah Wie Thian-hoan. Bila tidak Wie Thian-hoan
dengan segera akan membunuh Hie Tiong-gwee dengan segala
keahliannya. Tapi Wie Thian-hoan sangat ingin tahu mengenai Hie
Tiong-gwee. Karena itu dia pulang hanya untuk bertanya mengenai
Hie Tiong-gwee kepada kakeknya.
Wie Thian-hoan tinggal hanya 10 hari, kemudian dia pergi lagi.
Sebelum pergi kakek sempat bicara 4 mata dengannya. Dia
mendengar dari tempat persembunyiannya. Bila teringat kepada
perbuatannya, wajahnya menjadi merah.
Dia menghentikan pikirannya karena malu. Wie Thian-hoan
sudah siuman dari pingsannya.
Dia menghentikan kuda, bersiap memapah Wie Thian-hoan tapi
Wie Thian-hoan sudah turun sendiri, mereka beristirahat di hutan.
Kie Su-giok bertanya: "Kakak Wie, bagaimana dengan lukamu?"
Wie Thian-hoan tertawa: "Hanya luka luar, tidak apa-apa."
"Waktu aku melihatmu muntah darah, aku sangat terkejut,
benarkah kau tidak terluka dalam?"
"Waktu itu hatiku tidak enak, setelah muntah darah keadaanku
lebih enak." Kie Su-giok menarik nafas:
"Kakak, demi seorang perempuan yang mengingkari janji, kau
merusak tubuh sendiri, apakah itu pantas?"
"Dia bukan perempuan yang mengingkari janji, karena dia tidak
pernah berjanji apa pun."
"Itu malah membuatku lebih khawatir lagi, mengapa kau begitu
mencintai dia?" "Adik, kau tidak mengerti, dia adalah teman baikku, aku tidak
ingin dia menikah dengan Hie Tiong-gwee.",
Apakah benar demikian" Dia tidak dapat berkata apa-apa lagi,
mungkin dia hanya membohongi dirinya sendiri. Kie Su-giok tidak
berani bicara apa-apa lagi, dia hanya memandangi Wie Thian-hoan
dengan khawatir. Begitu Wie Thian-hoan memandangnya, Wie Thian-hoan merasa
bersalah, dengan pelan dia mendekati Kie Su-giok dan berkata:
"Adik, kau sangat baik kepadaku, aku akan memberitahu sesuatu
padamu, waktu itu aku menusuk dadaku sendiri, bukan ingin bunuh
diri. Tapi mengapa aku melakukannya, jangan tanya alasannya."
Setelah mendengar kata-kata Wie Thian-hoan, dengan senang
Kie Su-giok berkata: "Kalau memang bukan demi dirinya kau mau bunuh diri, aku
tidak akan khawatir lagi. Terima kasih kau mau memberitahuku."
Wie Thian-hoan merasa tidak enak, dalam hati dia berpikir, 'Aku
bersalah kepadamu, walaupun aku bukan mau bunuh diri, tapi
hatiku sudah kuserahkan pada Hiat-kun."
Kata Wie Thian-hoan: "Adik, tolong berjaga-jaga, kalau ada keluarga Hie yang datang,
usirlah mereka Aku ingin menenangkan diri sebentar."
"Tenanglah, kecuali Tuan Kiam-ta, yang lain tidak jadi masalah
bagiku." Wie Thian-hoan duduk bersila dan memejamkan mata, dia segera
mengatur nafasnya, tidak lama kemudian terlihat di atas kepalanya
keluar asap putih seperti uap panas. Melihat itu dengan gembira Kie
Su-giok berkata: "Toako sekarang sudah bisa Tay-ceng-khi-kang, aku tidak perlu
khawatir lagi." Meski dia sudah tidak khawatir tapi malah beban dalam pikiran
Kie Su-giok malah bertambah berat.
"Lukanya memang sudah tidak apa-apa, tapi apakah setelah
sembuh dia akan pulang" Dia berkata hanya ingin bertemu satu kali
lagi dengan Nona Kang, sekarang keinginannya sudah tercapai
hutang budi atau balas budi, seharusnya masalah sudah berakhir
sampai di sini." Melihat persahabatan mereka, tidak seperti persahabatan 'biasa'.
Nona Kang adalah 'teman baik' dari kecil, kali ini mereka bertemu
kembali dan tidak disengaja. Apakah Kakak Wie bisa mengatasi
beban pikirannya?" Ingatan 3 tahun lalu yang terputus sekarang sudah menyambung
kembali. Wie Thian-hoan hanya tinggal setengah bulan kemudian
pergi lagi. Pada malam dia akan pergi, dia mendengar percakapan
antara kakek dan Kakak Wienya, dari percakapan mereka, dia baru
tahu nama Kang Hiat-kun. Dia hanya mendengar kakek menarik nafas dan berkata:
"Aku tahu kau pasti ingin melindungi adikmu, aku juga percaya
demi dia kau akan mempertaruhkan nyawamu, lapi yang aku
maksud bukan seperti itu."
Kata Wie Thian-hoan; "Kakek, aku mengerti maksudmu, lapi balas dendamku belum
selesai, aku tidak berani..." dia tidak melanjutkan kata-katanya, tapi kakek juga tahu ini hanya cara Wie Thian-hoan menolak 'kebaikan'
kakek.

Jala Pedang Jaring Sutra Seri Thiansan Kiam Bong Cian Sie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kakek terdiam dan tiba-tiba bertanya:
"Kau sudah pergi selama 2 tahun, apakah sudah menemukan
paman Kang?" "Tidak ada berita mengenai Paman Kang."
"Katanya dia mempunyai seorang putri, siapa namanya dan
berapa usianya?" "Dia bernama Kang Hiat-kun, dia seumur dengan adik."
"Ada satu hal yang ingin kutanyakan, karena kau adalah cucuku,
kau harus jujur." Kata kakek lagi meneruskan:
"Ayahmu dan Kang Ci-hoan adalah sahabat dan tetangga dekat.
Apakah kalian sudah dijodohkan sejak kecil?"
"Tidak." Kakek tersenyum: "Tidak perlu tegang, mengapa kau tidak tahu?"
"Karena terjadi peristiwa itu, pada saat ayah dan aku dalam
perjalanan kemari, dalam waktu 10 hari itu ayah telah memberitahu
aku semua yang terjadi dalam hidup ayah, budi siapa yang belum
dibalas, semua diberitahu oleh ayah. Mengenai Paman Kang, ayah
menyuruhku mengingat budinya, tapi tidak menyuruhku
membalasnya, ayah tidak membicarakan hal lainnya."
Kata kakek: "Benar, tahun itu kau sudah berumur 14 hingga 15 tahun, kau
adalah anak yang tahu balas budi. Waktu itu bila kau sudah
dijodohkan kau pasti akan tahu, apalagi bila Paman Kang berhutang
budi kepada ayahmu. Ayahmu juga pasti tahu, begitu terjadi
musibah, keluarga Kang pasti akan terkait. Ayahmu tidak menyuruh
membalas budi kepada Kang, karena sudah dibalas, bukan tidak
harus dibalas." Wie Thian-hoan berkata: "Aku mengerti."
Su-giok sebenarnya tidak mengerti maksud kakek. Terdengar
kakek berkata lagi: "Hoan-ji, kau tidak perlu malu, apakah kau menyukai putri Paman
Kang" Walaupun kalian tidak dijodohkan tapi bila kau suka
kepadanya aku akan berusaha mencari mereka, supaya cita-citamu
tercapai, pernikahan tidak boleh dipaksakan. Aku tidak boleh
mementingkan kepentingan cucuku saja."
"Kakek jangan lupa, waktu itu putri Paman Kang belum berusia
10 tahun, perasaanku kepadanya seperti kepada seorang adik saja.
Tapi jujur bicara, aku memang ingin bertemu dengannya, juga
berharap dia bisa mendapat suami yang baik. dengan begitu aku
akan merasa tenang."
"Aku mengerti maksudmu, pergilah! Aku harap bila lain kali kau
nulang, bawalah kabar baik tentang Nona Kang yang sudah
bersuamikan orang baik." Kata kakek.
Kie Su-giok teringat kepada percakapan kakek dan Kakak Wie,
dia tertawa kecut, "Hiat-kun menikah dengan Hie Tiong-gwee tapi
belum sempat sembahyang sudah dibuat kacau oleh Kakak Wie.
Apakah ini yang disebut keluarga yang baik?"
Dia kasihan kepada Hiat-kun.
"Hie Tiong-gwee terluka parah dan dihina oleh orang-orang,
apakah dia masih bisa menikah dengan Hiat-kun?"
Belum habis berpikir, Wie Thian-hoan sudah berdiri dan
membuka mata, "Adik, kau tidak perlu khawatir, aku sudah katakan aku hanya
terluka sedikit." Mulut masih bicara, tapi tenaganya sudah mendorong pohon di
depannya, dan patah, "Kau lihat, ilmu silatku sudah pulih kembali." Kie Su-giok sangat senang dan berkata:
"Mari kita pulang. Kakek tidak tahu aku keluar, bila bisa pulang
lebih awal itu lebih baik."
"Kau harus pulang lebih awal." Kata Wie Thian-hoan.
"Urusanmu di sini sudah selesai, kakek juga khawatir padamu,
jadi kau juga harus pulang."
"Adik, kau pulang dulu, jangan pedulikan diriku."
"Bila kau tidak pulang, kau mau ke mana?"
"Aku akan ke rumah Hie."
Wajah Kie Su-giok seperti tertutup awan hitam, dia berkata:
"Kau tidak tega meninggalkan Nona Kang bukan?"
"Kali ini aku ke sana bukan demi dia, tapi mungkin aku bisa
bertemu dengannya. Kie Su-giok terdiam, dia tidak percaya dengari kata-katanya. Wie
Thian-hoan merasa bersalah dan berkata:
"Adik, aku tidak bohong, aku betul-betul ada keperluan penting di sana."
"Kau jangan lupa, Nona Kang sudah berumur 19 tahun bukan
adik kecilmu lagi." "Kau harus percaya kepadaku." Kata Wie Thian-hoan. "Ada perlu apa kau ke sana" Apa aku boleh tahu?"
"Ini ada hubungannya dengan Hie Tiong-gwee."
"Bukankah dia sudah terluka?"
"Masih ada satu hal yang belum aku cari tahu dengan jelas,
apakah kau ingat sewaktu aku pulang, aku pernah bertanya kepada
kakek mengenai Hie Tiong-gwee?"
"Aku ingat, kau ingin tahu pada saat keluargamu diserang oleh
kuku garuda (pasukan pemerintah), Hie Tiong-gwee berada di
mana" Kakek memberitahumu bahwa waktu itu Hie Tiong-gwee
berada di dekat Huang-ho. Jarak antara Huang-ho dan rumahmu
sangat jauh, karena itu kakek berkata bahwa Hie Tiong-gwee bukan
orang yang membunuh ayahmu."
Sebenarnya masih ada lagi yang ingin dia katakan.
"Bahwa Kau juga cemburu kepada Hie Tiong-gwee dan
memukulnya hingga terluka parah."
Tapi hal itu tidak dia katakan.
"Kau salah." Kata Wie Thian-hoan.
Kie Su-giok terkejut dan berpikir, "Mengapa Wie Thian-hoan bisa
tahu apa yang aku sedang pikirkan?"
"Hie Tiong-gwee adalah orang yang licik, orang pintar seperti
kakekmu pun bisa kena tipu dayanya."
"Maksudmu?" "Mengapa sepertinya kau tidak berkonsentrasi?"
"Kau bilang aku salah, sebenarnya pada waktu itu Hie Tiong-
gwee berada di mana?"
"Waktu keluargaku mendapat musibah, dia tidak sedang
membasmi Tluang-ho-sam-kui' (3 penjahat sungai Huang Hc)."
"Tapi kakek sudah mencari tahu, kau jangan lupa, membasmi
Huang-ho-sam-kui juga peristiwa besar, mana mungkin dipalsukan?"
Kata Wie Thian-hoan: "Sebenarnya sangat mudah, dia dan Huang-ho-sam-kui adalah
teman baik, dia menyuruh Huang-ho-sam-kui mengeluarkan kabar
bahwa dia sendiri yang bertarung melawan mereka, karena mereka
kalah jadi mereka harus tunduk kepada Hie Tiong-gwee.
Di dunia persilatan jarang ada orang yang mau mengakui dirinya
kalah. Waktu itu tidak ada saksi, 3 penjahat itu mengatakan seperti
itu, orang-orang pasti akan percaya, apalagi waktu itu nama Hie
Tiong-gwee sedang naik daun."
Kie Su-giok baru tahu dan berkata:
"Pantas saja sejak pertarungan di Siong-san, 3 tahun kemudian
kau baru meneruskan pertarungan ini. Dalam waktu 3 tahun ini kau
berusaha mencari tahu hal yang sebenarnya."
"Benar, aku pun baru tahu peristiwa yang sebenarnya "
"Kau tahu Hie Tiong-gwee adalah musuhmu, mengapa hari ini
kau tidak membunuhnya?"
"Aku hanya tahu dia tidak ada di dekat Huang-ho waktu itu.
Apakah dia musuhku" Aku belum tahu pasti tapi aku merasa pada
saat keluargaku mendapat musibah, dia adalah orang yang
memakai topeng. Karena itu aku ingin mencari tahu. Hari ini Tuan
Ki.iin ia dan yang lainnya ada di sini, bila aku membunuhnya, aku
akan jadi orang jahat dan dibenci 0l6h dunia persilatan."
"Apakah sangat sulit untuk mencari bukti?"
"Dikatakan mudah juga tidak, dikatakan susah juga tidak. Harus
melihat kesempatan yang tepat. Aku sudah memberitahumu, kau
harus percaya bahwa aku tidak berbohong kepadamu. Hal ini hanya
bisa dilakukan olehku sendiri, maka dari itu kau pulang saja dulu."
Terpaksa Kie Su-giok mengiyakan, tapi dalam hati dia mempunyai pemikiran lain.
Wie Thian-hoan segera mendatangi rumah Hie, hatinya sangat
gundah, masalahnya ini kelihatannya harus meminta bantuan Hiat-
kun, tapi apakah dia mau membantu" Tiba-tiba dia baru tahu bahwa
dia bukan hanya menylidiki Hie Tiong-gwee ke rumahnya.
Di kamar pengantin, tidak ada pengantin laki-laki.
Hanya ada pengantin perempuan yang belum bersembahyang,
apakah dia sudah menjadi Nyonya Hie" Hiat-kun pun tidak mengerti
hukumnya juga tidak tahu aturan-aturan yang berlaku.
Ada seorang pelayan yang memapahnya masuk ke kamar
pengantin, dia takut melukai perasaan Nona Hie.
Bila bukan karena Kwee Goan-cay, mungkin dia tidak bisa masuk
ke kamar pengantin ini. Tapi Kwee Goan-cay juga tidak menengoknya, apakah dia takut
dicurigai atau sedang mengurus gurunya, Hiat-kun tidak tahu.
Bagaimana dengan luka pengantin laki-laki" Tidak ada yang
memberitahu dan dia sendiri pun tidak ingin tahu.
Dia hanya merasa keadaan ini sangat lucu.
Di kamar pengantin tidak ada orang, hanya ada sepasang lilin
yang sedang menyala. "Mungkin hanya aku yang menjadi pengantin seperti ini."
Dia tidak menyalahkan nasib, dia hanya merasa lucu, dia ingin
tertawa tapi tawanya tidak bisa keluar.
Sewaktu dia masih kecil, dia senang tertawa. Wie Thian-hoan
paling senang bila melihatnya tertawa.
Sekarang karena Wie Thian-hoan, dia tidak bisa tertawa. Hati
yang ringan tiba-tiba menjadi berat. Darah bercipratan di aula,
masih terbayang di matanya, tangannya masih berbau darah Wie
Thian-hoan. Walaupun sekarang tangannya sudah bersih tapi Hiat-kun
merasa Wie Thian-hoan pada saat melukai dirinya sendiri seperti dia
yang melukainya. "Aneh, mengapa aku tidak memikirkan pada Hie Tiong-gwee
yang terluka parah."
Sekarang dia baru ingat 'pengantin laki-laki yang malang' itu. Bila
Wie Thian-hoan terluka demi Hiat-kun, apakah demikian juga
dengan Hie Tiong-gwee."
Ini adalah mimpi buruk, tapi mimpi buruk ini bukan untuk
pertama kalinya. Mimpi buruk 10 tahun yang lalu, lebih dahsyat dari
sekarang. Bayangan Wie Thian-hoan berada di pelupuk matanya
bergoyang-goyang kemudian berubah menjadi anak berusia antara.
14 atau 15 tahun. Mereka telah tumbuh bersama. Wie Thian-hoan lebih tua 5 tahun
darinya. Mereka dari kecil seperti adik kakak.
Wie Thian-hoan tumbuh besar di dalam keluarga Kang,
hubungan mereka sangat dekat.
Ayah Wie sering pergi, berapa lama dia tinggal di rumah bisa
dihitung dengan jari, 1 tahun pun tidak ada 1 bulan, anaknya
dititipkan kepada ayah Hiat-kun. Wie Thian-hoan tinggal di
rumahnya. Bila ayahnya pulang dia baru pulang ke rumahnya
sendiri, selama 4 tahun 11 bulan, dia berada di rumah Kang, dia
sudah menganggap rumah Kang seperti rumahnya sendiri.
Setelah umur Hiat-kun agak besar, dia pernah bertanya kepada
ayahnya, "Paman Wie itu apa pekerjannya?" Ayahnya selalu berkata:
"Anak kecil jangan banyak tanya masalah orang dewasa."
Dia pun pernah bertanya kepada Thian-hoan, katanya ayahnya
mempunyai banyak teman di luar, karena itu dia sering pergi untuk
mencari teman. Dia merasa aneh tapi Wie Thian-hoan juga tidak
bisa menjelaskannya, karena Wie Thian-hoan pun seperti dirinya
tidak jelas. Dia ingat, terakhir kali Paman Wie pulang adalah menjelang
malam tahun baru Imlek. Sesudah Paman Wie makan malam
bersama, dia baru menjemput Thian-hoan untuk pulang.
Dia ingat waktu itu untuk pertama kalinya dia mendengar nama
Hie Tiong-gwee. Paman Wie sesudah minum banyak arak baru
bercerita tentang Pendekar Tiong-ciu itu.
Paman memberi tahu bahwa dia sekarang berteman baik dengan
Pendekar Tiong-ciu; yang bernama Hie Tiong-gwee.
Ayah pernah bercanda dengan Paman Wie,
"Biasanya kau paling tidak suka berteman dengan yang kau
katakan 'pendekar' karena mereka hanya ingin menjaga nama baik
saja. Mengapa sekarang berbalik?"
Kata paman Wie: "Karena Pendekar Tiong-ciu tidak sama dengan pendekar lainnya,
dia benar-benar pendekar yang tidak mementingkan uang,
sayangnya dia punya banyak uang."
Waktu itu umurnya masih kecil, tidak mengerti kata-kata ini, tapi
percakapan antara Paman Wie dan ayahnya dia bisa mengerti
maksud paman Wie. Dia lebih senang berteman dengan orang
miskin daripada orang kaya, berteman dengan orang kaya
membuatnya takut. Sebenarnya paman Wie takut apa" Dia tidak tahu, juga tidak
berani bertanya. Setelah ayahnya mendengar penjelasan paman Wie, baru merasa
tenang. Ayahnya berkata: "Bila baru berteman dengan seseorang, jangan terlalu percaya
semuanya walaupun nama Hie Tiong-gwee terkenal di dunia
persilatan, tapi kau baru mengenalnya. Menurutku apa yang kau
kerjakan jangan beritahu dulu semua kepadanya."
Paman Wie tertawa dan berkata:
"Aku tahu, belum tentu dia sepaham dengan kita. Aku tidak akan
membuka rahasiaku." "Aku takut, kau ceroboh dan cepat percaya kepada teman bila
kau bisa berhati-hati, aku juga akan tenang."
Dia bosan mendengar pembicaraan orang dewasa, kemudian dia
menarik Thian-hoan dan berkata:
"Ayo kita membuat boneka tanah dan membuatkan baju
untuknya." Mereka sering bicara di sudut tapi ibunya sering mendengar dan
tertawa: "Kau jangan mengira Thian-hoan masih kecil, sekarang dia sudah
setinggi ayahnya." "Memangnya mengapa bila dia sudah tinggi?"
"Dia sudah tidak pantas bermain boneka. Kali ini Paman Wie
pulang dan akan segera pergi, Paman Wie sekarang ada di rumah,
kau dan Thian-hoan harus banyak belajar kepada Paman Wie."
"Karena Kakak Thian-hoan, aku setiap hari berlatih ilmu silat, dan dia juga banyak mengajari aku, aku harus memberi hadiah


Jala Pedang Jaring Sutra Seri Thiansan Kiam Bong Cian Sie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepadanya, Kakak Thian-hoan tidak ingin hadiah yang dibeli dengan
uangku, maka aku akan membuatkan boneka tanah liat untuk Kakak
Thian-hoan. Sekarang dia akan menerima hadiah dariku."
Terpaksa Thian-hoan berkata:
"Aku menyukainya."
"Besok setelah kau beri baju baru untuknya, aku baru akan
mengambilnya." "Tidak, kau harus membawanya sekarang, taruhlah di pinggir
bantal, nanti begitu matamu terbuka kau bisa langsung melihatnya,
dan kau akan ingat harus lebih pagi mencariku."
Ibunya tertawa dan berkata:
"Kau tidak bisa meninggalkan Kakak Thian-hoan, aku harus lebih
awal bicara dengan Paman Wie." Paman Wie bertanya: "Kakak ipar, kau mau bicara apa?"
Kata ibunya dengan tertawa:
"Hiat-kun tidak mau ditinggalkan oleh Thian-hoan bagaimana bila
dua keluarga dijadikan satu saja."
Paman Wie tertawa dan menjawab:
"Sekarang kita sudah satu keluarga, nanti pun akan seperti itu,
mereka masih kecil nanti kita bicarakan lagi. Aku dan Thian-hoan
harus pulang. Di rumah masih berantakan."
Hiat-kun tidak tahu saat Thian-hoan pulang, itu adalah terakhir
kali dia bisa melihat Thian-hoan lagi karena pada malam itu juga
mereka menghilang tidak tahu kabar beritanya.
Malam itu dia terbangun dari mimpi.
Dia seperti mendengar suara Thian-hoan berteriak, begitu
terbangun dia melihat kamarnya sudah terang. Ibunya sudah rapi
dan duduk di sisinya, dia dibangunkan oleh ibunya.
Dia terkejut dan meloncat, matanya dibuka lebar-lebar melihat
ibunya. Di luar terdengar suara senjata saling beradu, dia masih
mendengar suara Paman Wie, tapi tidak terdengar suara Kakak Wie.
"Jangan takut, Paman Wie dan ayah bisa mengatasi penjahat-
penjahat itu, ibu akan menjagamu, tidak akan membiarkan
penjahat-penjahat itu melukaimu."
Ibu memeluknya dengan erat.
Ibu tidak tahu dia bukannya takut, dia berontak.
"Kau mau apa?" ibunya bertanya.
"Aku ingin lihat Kakak Thian-hoan."
"Kau jangan ribut, bila kau keluar tidak akan bisa membantu
mereka, malah menambah beban mereka. Sebentar lagi mereka
akan datang untuk melihatmu."
Benar saja, suara orang bertarung sudah tidak terdengar, ayah
sudah kembali ke rumah. Tapi hanya ada ayah, Kakak Thian-hoan tidak ada
"Ayah, mana Kakak Thian-hoan, aku ingin..."
Baru bicara separuh, dia melihat baju ayahnya sudah penuh
dengan darah, dia terkejut dan tidak bertanya lagi.
Dengan tersenyum ayah berkata:
"Kakak Thian-hoan tidak apa-apa, penjahat-penjahat itu sudah
mati dibunuh oleh Paman Wie."
"Ayah, apakah kau terluka?"
"Jangan terkejut, darah di bajuku adalah darah penjahat itu.
Ayah tidak terluka."
"Ayah bohong, aku melihat luka ayah mengeluarkan darah."
Tiba-tiba dia jadi dewasa, dia mengambil obat dan mengoleskan ke
luka ayahnya. "Luka ayah adalah luka ringan, tidak apa-apa," ibunya juga
berkata. "Jangan menghabiskan waktu untuk mengobatiku, cepatlah lari,
tinggalkan tempat ini!"
Ayah bercerita kepada ibunya, tapi hatinya sangat cemas. Hiat-
kun bertanya: "Bukankah penjahat-penjahat itu sudah mati semua?"
Tadinya dia ingin berkata, "Penjahat sudah mati, mengapa Kakak
Thian-hoan tidak juga datang?"
Tapi ayahnya sudah memotong kata-katanya.
"Paman Wie dan Kakak Thian-hoan sudah pergi, kau jangan
ribut, sekarang dengar kata-kata ayah dan ibu, kelak kau akan bisa
bertemu dengan mereka lagi."
Dia ingin menangis pun tidak bisa.
"Cepatlah, bakar ini semua! Hiat-kun bantu ayah membakarnya!"
Ayah seperti sudah gila, buku gambar dan benda kesayangan
yang dia sayangi, semua habis terbakar.
Sepertinya ibunya juga terkejut, cahaya api menyinari wajahnya
yang pucat, hanya terdengar dia berkata:
"Penjahat tidak membakar rumah, tapi kita sendiri yang
membakarnya! Kau juga tidak ingin aku menyisakan barang, kelak
hidup kita bagaimana?"
Ayah menarik nafas dan berkata:
"Dewasalah sedikit, penjahat ini bukan penjahat biasa, kita sudah terlibat dalam masalah ini, walaupun penjahat itu sudah mati, kita
tetap tidak bisa melepaskan diri. Tidak ada cara lain kecuali
membakar rumah. Walaupun mereka menyangka kita sudah mati
terbakar, kita tetap harus ganti nama dan pergi ke tempat jauh,
mungkin kita bisa lolos dari perangkap ini, kau lihat keluarga Wie,
mereka pun seperti kita mengganti nama."
Ibunya menjawab: "Aku mengerti, ada pepatah berkata 'bila tinggal di gunung yang
hijau, tidak perlu takut tidak punya kayu bakar'. Maka kita harus
membakar rumah sendiri. Tapi Hiat-kun tidak ingin meninggalkan
rumah ini, tempat dia tumbuh besar bersama Thian-hoan."
Dalam kobaran api terlihat mereka meninggalkan rumah, dalam
hati Hiat-kun berkata: "Bila nanti kita mempunyai rumah lagi, apakah Kakak Thian-hoan
masih mau menjadi tetangga?"
Sejak itu dia tidak pernah pulang ke kampung halamannya, tapi
kenangan masa lalu masih menempel dalam ingatannya. Dia
semakin rindu dengan rumahnya yang dulu.
Dia tahu, walaupun dia pulang ke kampung halamannya, dia
tidak akan tahu di mana letak rumahnya karena rumahnya sudah
menjadi reruntuhan. Rumahnya sudah hilang, tapi kenangan tidak
bisa hilang. Sekarang dia mempunyai 'rumah' lagi, tapi apakah ini adalah
rumahnya" Dia tidak bisa bertemu dengan Kakak Thian-hoan semenjak itu.
Tapi setelah dia tinggal di rumah baru ini, 10 tahun kemudian dia
baru bisa bertemu dengan Kakak Thian-hoan lagi.
Mata merah Wie Thian-hoan seperti memelototinya. Sudah lama
dia ingin bertemu dengan Kakak Thian-hoan, tapi setelah bertemu
dengannya, tempat dan suasananya tidak menyenangkan.
Benar-benar keadaan mempermainkan orang, dia harus menangis atau tertawa"
"Kakak Thian-hoan pasti marah kepadaku, apakah dia masih mau
menengokku?" Dia mendekati jendela akan membukanya, ingin memandang ke
arah kampung halamannya. Tiba-tiba ada yang mengetuk jendelanya. Apakah Kakak Thian-
hoan kembali lagi" Dengan suara gemetar dia bertanya:
"Siapa?" Suara yang dikenalnya menjawab: "Po Leng-hoi."
Hiat-kun merasa kecewa, dia membuka jendela dan bertanya,
"Kakak Po, ada apa datang kemari?"
"Mereka memperlakukanmu seperti ini, apakah kau masih mau
tinggal di sini?" Hiat-kun menarik nafas dan berkata:
"Nasibku tidak baik, aku hanya bisa menerima saja. Kakak Po,
pergilah! Nanti orang lain akan curiga."
"Kau keluarlah sebentar, aku ada perlu."
"Bicaralah, aku akan mendengar."
"Hiat-kun, percayalah padaku, aku tidak berniat jahat."
"Kalau begitu, cepatlah bicara!"
"Aku disuruh teman datang ke sini, dia sangat ingin bertemu
denganmu." "Siapa dia?" "Dia blang bila kau sudah bertemu dengannya, pasti akan tahu.
Dia bilang hal ini menyangkut nasibmu seumur hidup. Kau dalam
keadaan bahaya, dia tidak bisa berpangku tangan, dia tidak
menjelaskan alasannya, tapi aku percaya kepada temanku ini."
Hiat-kun terkejut dan dia tidak bertanya lagi, dia berkata:
"Aku percaya kepada temanmu, dia ada di mana?"
Dalam hati dia berpikir, 'Kecuali Thian-hoan, masih ada siapa
lagi"' "Dia menunggumu di dekat kolam teratai " Tempat itu adalah
tempat yang paling sepi. "Baiklah, tapi kau harus menemaniku "
"Tidak, dia ingin bertemu denganmu sendirian, apalagi aku harus
ada di kamarmu." Setelah mendengar penjelasan Po Lcng-lioi, Hiat-kun jadi terkejut
Po Leng-hoi berkata lagi:
"Dia takut keluarga Hie akan menengokmu jadi aku harus ada di
sini untuk menghadapi mereka."
Hati Hiat-kun menjadi kacau, terpaksa dia berkata:
"Baiklah! Jika sampai lilin terbakar habis dan aku belum kembali, kau pulang saja, aku harap orang lain tidak mencurigaimu."
Begitu Hiat-kun tiba di kolam teratai, dia melihat bayangan
seorang laki-laki, orang itu berkata:
"Nona Kang, terima kasih kau percaya kepada orang yang tidak
kau kenal sebelumnya."
C Berjumpa dengan seperguruan
Ternyata dia bukan Kakak Thian-hoan.
Tapi suaranya terasa tidak asing, dia mengenal suara itu.
Pada waktu pertarungan antara Hui-thian-sin-liong dan Hie
Tiong-gwee di antara tamu-tamu ada ada seorang yang berpihak
kepada Hui-thian. Seseorang yang berkata aneh dan sering mengejek Hie Tiong-
gwee, tapi dia bersembunyi di belakang orang-orang. Dia juga tidak
berdiri terus di satu tempat, nadanya juga sangat aneh, mungkin dia
menggunakan "bahasa perut', tapi dari mula hingga akhir tidak ada yang tahu siapa dia.
Salah seorang adalah Coh Thian-su, banyak orang mengenal Coh
Thian-su. Waktu itu wajah Hiat-kun ditutup oleh kain merah, dia tidak bisa
melihat Coh Thian-su, tapi dia kenal dengan suaranya.
'Orang ini pasti teman Kakak Tian-hoan, mungkin Kakak Thian-
hoan terluka, dan menyuruhnya ke mari,' pikir Hiat-kun.
"Siapa yang menyuruhmu kemari?" tanya Hiat-kun langsung.
"Aku sendiri." Hiat-kun terkejut dan bertanya: "Siapa kau?"
"Aku Coh Thian-su dari Yang-ciu."
Setelah mendengar jawaban dari Coh Thian-su, Hiat-kun lebih
terkejut. "Kau adalah keluarga Coh dari Yang-ciu?" Jawab Coh Thian-su
senang: "Benar, apakah ayahmu pernah bicara tentang keluarga Coh dari
Yang-ciu" Kalau aku tidak salah tebak, kau adalah..."
Tiba-tiba Hiat-kun mematahkan sebuah ranting pohon dan
langsung menyerang Coh Thian-su.
Ranting pohon ditusuk dengan lurus, tapi Coh Thian-su tahu itu
adalah salah satu jurus menotok urat nadi.
Terlihat sangat sederhana, tapi perubahannya tidak dapat
ditebak dan mengarah di 4 titik urat nadi.
Coh Thian-su memuji: "Jurus yang sangat indah."
Segera dia menggambar 3 bulatan:
"Bila aku tidak salah tebak, kau adalah Sumoiku"
Ranting yang dipegang oleh Hiat-kun jadi terjatuh, tapi jari
tengah Coh Thian-su ternyata sudah ada bekas sobekan.
Hiat-kun pun memuji: "Jurus Sam-cuan-hoat-lun (Tiga roda berputar) yang bagus." Dia melemparkan ranting dan bertanya: "Coh Kim-sung dari Yang-ciu,
siapamu?" "Dia adalah ayahku."
Hiat-kun segera memberi hormat kepada Coh,
"Coh Tayhiap adalah Susiok yang belum pernah kukenal,
maafkan aku karena sudah tidak sopan."
"Tidak perlu sungkan. Apakah kalian sekeluarga pindah ke Lok-
yang setelah terjadi musibah itu?"
"Benar, mengapa Suheng bisa tahu?"
"Ayahku pernah mencari kalian, setelah itu baru tahu bahwa 10
tahun yang lalu, kalian tinggal di sebuah desa bertetangga dengan
keluarga she Wie. Ketika terjadi musibah rumahmu dan rumah
keluarga Wie habis terbakar, ayah mengira kalian semua sudah
meninggal. Hingga satu bulan yang lalu aku dengar dari Sin Kong-ta
mengenai Kang Goan-yang aku mencocokan umur, bentuk wajah,
dan waktu kalian pindah ke Lok-yang. Orang ini seperti orang yang
ayah cari, karena itu aku dari Yang-ciu datang ke Lok-yang untuk
memberi selamat kepadamu."
Kata Hiat-kun: "Benar, malam itu tetanggaku diserang oleh kuku garuda.
Keluargaku juga ikut terlibat, sedangkan rumah, kami sengaja
membakarnya." "Mengapa kalian tidak ke Yang-ciu?"
"Waktu itu aku masih kecil hanya mendengar perkataan ayah,
kalau kita pindah ke Yang-ciu akan menarik kalian ke dalam
masalah ini, apakah paman Coh baik-baik saja?"
"Ayahku dalam keadaan baik, dia belum tahu keadaan supek, dia
berpesan harus mencari tahu keadaan kalian, tidak kusangka..."
"Apakah kalian tidak setuju..."
"Tempat ini tidak cocok untuk kita mengobrol, maafkan aku tidak
sopan. Jauh-jauh kalian pindah ke Lok-yang, mengapa harus
berhubungan dengan keluarga Hie?"
"Ayahku tidak mau merepotkan kalian, adik sepupu ibuku sering
keluar masuk rumah keluarga Hie, ayah juga pernah mendengar
nama baik Hie Tiong-gwee, paling sedikit dia bukan orang jahat, kita
bisa berteduh di bawah pohon besar, tapi tidak tahunya malah
peristiwa seperti sekarang."
"Adik, aku harus memberitahumu, kemungkinan Hie Tiong-gwee
adalah orang jahat." Kata Coh Thian-su. Hiat-kun terkejut dan
berkata: "Mengapa kau bisa tahu dia orang jahat?"
"Tadinya aku hanya menebak saja, tapi melihat keadaan tadi dan
mengambil kesimpulan, perasaanku menjadi khawatir." Hiat-kun
merasa aneh dan bertanya:
"Kau melihat apa" Sehingga membuatmu khawatir terhadapku?"
"Kau bilang tetanggamu adalah Hui-thian."
"Benar, ada apa?"
"Apakah kau pernah memberitahu kepada Hie Tiong-gwee
tentang musibah yang terjadi 10 tahun yang lalu yang telah
melibatkan dua keluarga kalian?"
"Tidak." Tapi dalam hati Hiat-kun ingin memberitahu kepada Chu, bahwa
Hie Tiong-gwee sudah tahu tentang musibah itu.
Belum sempat bicara, Coh Thian-su berkata lagi, "Musibah itu


Jala Pedang Jaring Sutra Seri Thiansan Kiam Bong Cian Sie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

erat hubungannya dengan Hie Tiong-gwee." Hiat-kun terkejut dan
bertanya: "Kau tahu dari siapa?"
"Di sini walaupun sepi tapi masih rumah Hie, banyak hal yang
ingin aku katakan, bila kau percaya kepadaku, ikuti aku
meninggalkan tempat ini."
Po Leng-hoi menghadapi kejadian yang tidak disangkanya, dia
mendengar ada yang mengetuk pintu.
Dia tidur di ranjang pengantin dan selimut menutupi kepalanya,
sengaja dia mengeluarkan suara dengkuran. Ada suara yang
berkata, "Nona Kang, ini aku, ayah terluka parah dan ingin bertemu
denganmu." Dia adalah putri Hie Tiong-gwee, Kim-giauw. Po Leng-hoi tidak
tahu apakah benar seperti itu" Dia tetap mendengkur dan lebih
keras lagi. Terdengar suara Kim-giauw:
"Bibi, dia sudah tidur, apakah kita harus membangunkan dia?"
Terdengar suara perempuan setengah baya berkata:
"Aku ingin dia tertidur nyenyak, tapi kita harus benar-benar
memastikannya dulu, takutnya dia hanya pura-pura, jangan
terburu-buru masuk."
Po Leng-hoi tahu siapa perempuan itu. Dia sangat terkejut
apakah perempuan ini datang karena disuruh oleh Hie Tiong-gwee"
Dari pembicaraan mereka, nasib Hiat-kun benar-benar tidak
beruntung." "Baiklah, aku akan lihat permainan mereka."
Perempuan itu adalah kakak dari istri Hie Tiong-gwee yang sudah
meninggal, shenya Tio, istri pertama Hie Tiong-gwee bernama
Ceng-bi dan kakaknya bernama Ang-bi. Tio bersaudara ini bisa ilmu
silat, apalagi Tio Ang-bi, hatinya kejam, tidak pernah memberi ampun kepada
orang lain, di dunia persilatan dia dijuluki 'pembunuh berwajah
cantik'. Hie Tiong-gwee bisa terkenal juga karena bantuan dari
mereka berdua. Tio Ang-bi sekarang sudah berusia 36 tahun tapi belum menikah
karena dia terlalu pilih-pilih. Sejak adiknya meninggal, dia sering
keluar masuk keluarga Hie.
Begitu mendengar langkah mereka, Po Leng-hoi sudah meniup
lilin, dia menunggu di dalam kegelapan.
Tiba-tiba dia mencium wewangian, membuat orang seperti ingin
tidur. Dalam kegelapan dia melihat ada asap putih masuk dari
jendela. Hie Kim-giauw di luar juga merasa terkejut, dia bertanya:
"Bibi, kau mau apa?"
"Aku akan membuat dia pingsan.
"Mengapa?" "Aku bisa memalsukan dia."
"Mengapa bibi ingin memalsukan dia?"
"Anak ini sangat bodoh, Hui-thian memilih hari ini untuk
membuat keonaran, dari sini kita tahu dia adalah kekasih lama Hui-
thian-sin-liong." "Aku juga marah, tapi aku tidak mengerti apa maksudmu
memalsukan dia." Kata Kim-giauw.
"Luka Hui-thian tidak berat, aku mengira malam ini dia akan
kembali." "Aku mengerti apa tujuanmu memalsukan Hiat-kun, supaya Hui-
thian tidak waspada, kita dapat menyerang dia dari tempat yang
tidak diduga." "Kau masih sedikit pintar, mereka sudah 10 tahun tidak bertemu,
Hui-thian akan sembunyi-sembunyi untuk bertemu dengannya. Pada
saat mereka bicara pasti suaranya tidak keras, aku akan biarkan
wajah Hiat-kun tidak tertutup dan aku akan meniru suaranya supaya
Hui-thian mendekat dan terpancing."
Po Leng-hoi terkejut dan marah, dalam hati dia berpikir,
"Rencana yang busuk!"
Segera dia mengambil kapas untuk menutup hidungnya dan
dengan pelan bernafas, tenaga dalamnya tidak begitu dalam, tapi
dia sudah mempunyai dasar. Kepalanya ditutup oleh selimut dan
hidungnya disumbat oleh kapas. Dengan ini dia tidak akan cepat
pingsan. Tapi sekarang bagaimana dia bisa keluar dari kamar"
Sampai sekarang belum terpikir olehnya.
Obat yang dipakai oleh Ang-bi adalah Ngo-kok-hoan-hun-hiang
(5 asap pembalik roh). Setelah itu tidak terdengar lagi suara mereka. Mereka mengira
Hiat-kun sudah pingsan. Segera pintu didobrak.
Dalam kegelapan hanya terlihat kilauan pisau putih. Hie Kim-
giauw berteriak, "Bibi, mengapa kau mau membunuhnya?" Kim-giauw menarik
tangan Ang-bi. "Kau marah terhadap ayahmu yang bisa tertarik kepada
perempuan yang tidak berharga ini" Mengapa sekarang jadi berbaik
hati?" "Aku hanya tidak suka dia menjadi ibu tiriku, tapi bila dia sampai dibunuh itu keterlaluan."
Ang-bi tertawa dingin dan berkata:
"Kau tidak menyukainya, tapi ayahmu suka, bila tidak dibunuh
apakah ayahmu akan berhenti menyukainya?"
Pikir Po Leng-hoi, "Nona Hie walaupun tabiatnya jelek tapi
hatinya tidak jahat, dia pasti bisa menghentikan perbuatan
perempuan jahat ini, bagaimana cara aku melarikan diri dari sini?"
Belum habis dia berpikir, terdengar ada orang yang terjatuh
karena Kim-giauw tidak mau melepas tangannya, Ang-bi terpaksa
menotok nadinya. Po Leng-hoi secepat kilat menutup kepala Ang-bi
dengan selimut, begitu Ang-bi akan memotong selimut itu seperti
perisai yang menutupi pisau tajam Tenaga Ang-bi tidak sebesar Po
Leng-hoi maka Ang-bi terjatuh.
Pada saat Po Leng-hoi ingin keluar dari jendela, siapa sangka
Ang-bi mengait kaki Po Leng-hoi dengan kakinya yang kecil. Po
Leng-hoi pun terjatuh. Mereka berdua jadi saling bergumul seru, Po Leng-hoi ingin
menotok nadinya, tapi tidak berhasil, jadi dia tidak bisa membuat
perempuan itu pingsan. Tiba-tiba Ang-bi mencium bau laki-laki, dia berteriak, "Siapa kau"
Mengapa tidak sopan?"
Po Leng-hoi yang terpaksa mengadakan perlawanan dengan dia.
ketika dia dimarahi, wajahnya menjadi merah, dia pun
mengendorkan pelukannya, mendapat kesempatan ini Ang-bi
menyikut tempat ke arah jantung karena kesakitan Po Leng-hoi
melepaskan Ang-bi. Ang-bi mengambil pisau yang terjatuh dan berteriak,
"Kau adalah selingkuhan Hiat-kun..."
Belum habis teriakannya, dia tiba-tiba pingsan, sebenarnya Po
Leng-hoi sedang bersiap menunggu serangan dari Ang-bi, tapi
setelah lama menunggu dia tidak melihat Ang-bi bergerak, dia mulai
merasa aneh. Dia melihat di dalam kegelapan Ang-bi masih
memegang pisau dan pisaunya masih berkilau tapi Ang-bi masih
berada dalam posisi seperti tadi. Bergerak pun tidak.
Po Leng-hoi menjadi bengong dia berpikir, 'Aku tidak merasa
menotok nadinya, apakah tadi ada yang membantuku"'
Dia tidak berpikir hal lain lagi, langsung kabur meninggalkan Kim-
giauw yang belum terbuka totokannya.
Hati Hiat-kun merasa sangat risau, dia mengikuti Coh Thian-su
meninggalkan kolam teratai. Tiba-tiba Coh Thian-su menarik dia dan
berbisik: "Tiarap!" Tapi sudah terlambat. Hiat-kun masih berdiri bengong di sana, terdengar suara seperti
gong pecah yang berkata: "Coh Thian-su, kau mau sembunyi di mana?"
Tiba-tiba di depan mereka ada 3 orang. Mereka adalah Bwee
Ceng-hong, Hun Sim-boh, dan Yap Jin-tong. Mereka bertiga adalah
teman baik Hie Tiong-gwee, yang bersuara seperti gong pecah
adalah Yap Jin-tong. Kata Yap Jin-tong: "Coh Thian-su, kau adalah seorang pendekar, seharusnya kau
tahu, istri teman tidak boleh dihina, apakah kau tidak tahu?" Kata Yap Jin-tong lagi, "Mungkin kau tidak menganggap teman terhadap
Hie Tiong-gwee, tapi kami adalah teman-temannya, kau sudah
melihatnya terluka malah masih ingin membawa istrinya. Kami tidak
akan berdiam diri." Hiat-kun marah dan gemetar dia berkata:
"Kalian jangan sembarangan bicara, aku dan kakak Coh terang-
terangan..." Hun Sim-boh berkata: "Kakak ipar, kita memandang nama baik Hie Tiong-gwee tidak
mencari masalah denganmu, tapi bila kau terus melindunginya, kami
akan berbuat tidak sopan."
Kata Coh Thian-su: "Aku tidak perlu banyak bicara kepada kalian!"
Mereka bertiga mengurung Coh Thian-su, selangkah demi
selangkah mereka mendekat, tiba-tiba pena besi Coh berkelebat
menotok ke arah dada Hun Sim-boh.
Teriak Hun Sim-boh: "Kau mau membunuh orang untuk menutup mulut!"
Dia memakai tongkat besi dan menggunakan jurus Siauw-lim-
hong-ciang-hoat (tongkat gila) dan satu jurus Thiat-suo-heng-ciu
(Besi menyerang datar perahu kecil) melintangkan tongkatnya di
depan dadanya. Siapa sangka ternyata pena besi Coh Thian-su sangat sakti, Hun
Sim-boh bisa melindungi dadanya tapi tidak bisa melindungi pundak
bagian belakang yang terbuka terkena pena sakti. Tiba-tiba dia
merasa pundaknya kaku dan tongkat besinya terjatuh ke bawah.
Bwee Ceng-hong merasa di belakangnya ada angin berkesiur, tanpa
membalikkan kepala , dia sudah mendorongkan telapak tangannya
ke belakang. Ilmu silatnya memang lebih tinggi dari Hun Sim-boh, begitu
telapak tangan didorong ke belakang tepat pada pena besi Coh
Thian-su yang sedang mencoba menotok di belakangnya sehingga
penanya tergeser kesamping oleh tenaga telapak tangan.
Dengan cepat Coh Thian-su membalikkan tubuh, sepasang
penanya sudah kembali menusuk secara bersilang. Dalam sekejap
mata 3 pesilat tangguh sudah diserang oleh Coh Thian-su dengan
kecepatan yang sulit ditukiskan.
Pedang Yap Jin-tong berputar seperti lingkaran, mengunci
sepasang pena besi dan dia berteriak: "Lepas!"
"Tidak bisa" Coh Thian-su yang merasa penanya tidak bisa digerakkan.
Sepasang penanya terbawa oleh tenaga pedang. Coh Thian-su
terkejut, dalam hati dia berpikir, 'sungguh hebat kepandaian Bu-
tong-pay." Segera dia ikut memutar ujung penanya, dengan jurus Ya-cia-
tan-0ai (malam membagi mencari tahu laut) segera di keluarkan.
Sepasang pena Coh makin masuk ke dalam lingkaran pedangnya.
Terlihat cahaya pedang menjadi pecah, lingkaran pedang yang
bulat sudah berubah menjadi seperti bulan sabit.
Tapi Yap Jin-tong juga merubah jurusnya dengan cepat,
lingkaran pedang berubah menjadi lurus, kecepatannya sangat
tinggi. Dengan dingin Coh Thian-su berkata:
"Kau adalah murid Bu-tong, aku beri nasihat, jangan tertipu oleh
Hie Tiong-gwee." Mulutnya masih bicara tapi sepasang penanya sudah menotok
kearah dadanya. Memaksa Yap Jin-tong terus mundur.
Waktu itu pun Bwee Ceng-hong datang untuk membantu Yap
Jin-tong menyerang Coh Thian-su.
Bwee Ceng-hong adalah seorang angkatan tua. Ilmu silatnya
tidak kalah dengan Coh Thian-su, melihat Yap Jin-tong yang hampir
kalah, dalam 7 langkah dia sudah menggerakan kepalan tangannya
tapi Coh Thian-su sudah berpindah tempat, mengelak tenaga
kepalan itu. Yap Jin-tong langsung menyerang 13 kali tanpa
berhenti, semua gerakan pedangnya mengarah pada bagian yang
berbahaya. Perguruan Bu-tong mempunyai dua jurus pedang yang hebat.
Yang satu bernama Ru-in-kiam-hoat (jurus roh pedang seperti
awan). Jurus ini berinti tenaga dalam dan memakai tenaga lembut
untuk mengalahkan tenaga keras. Yang satu lagi bernama Lian-
hoan-tui-beng-kiam-hoat (pedang berantai merengut nyawa) ilmu
pedang ini jurus-jurusnya sangat cepat dan tepat. Dua ilmu pedang
ini yang satu lembut yang satu keras. Bila ilmu ini sudah dilatih
hingga tingkat tertinggi, lembut dan keras ini bisa di gabungkan dan
akan menjadi ilmu pedang yang sangat hebat.
Yap Jin-tong adalah salah satu diantara 4 murid yang ilmunya
belum mencapai tingkat tertinggi. Dia tahu ilmu silatnya tidak dapat
menandingi lawannya tapi karena ada Bwee Ceng-hong yang
membantu, dia hanya bisa membantu menyerang dari samping,
jurus Ru-in-kiam-hoat sama sekali tidak dikeluarkan.
Coh Thian-su agak tenang, dalam hati dia berpikir, 'Untung ilmu
pedangnya belum mencapai tingkat kesempurnaan, sehingga pena
ku bisa dengan tepat mengatasi jurus Lian-hoan-tui-beng-kiam-
hoat." Tapi Coh Thian-su lupa satu hal, benar kalau dia bertarung satu
lawan satu, dia pasti menang tapi Yap Jin-tong masih dibantu oleh
pesilat tangguh lainnya. Dalam waktu singkat, Coh Thian-su sudah menemukan
kelemahan Yap Jin-tong memainkan pedang tapi karena ada Bwee
Ceng-hong yang membantu, maka tiap ada celah yang kosong
selalu dapat ditutupi oleh Bwee Ceng-hong. Kalau Coh Thian-su
memaksa menyerang malah bisa membahayakan dirinya.
Yap Jin-tong sekarang agak tenang, dengan dingin dia berkata,
"Kau adalah pendekar palsu dan cabul, kami belum
menasihatimu, kau malah sudah mengadu domba. Hie Tayhiap
adalah seorang pendekar sejati, aku tidak akan membiarkanmu
menghinanya!" Hiat-kun berada di sisi Coh Thian-su, melihat ini dia sangat takut,
dengan tidak sengaja dia mendekati Coh Thian-su.
Dengan dingin Yap Jin-tong berkata,
"Nyonya Hie, apakah kau mau melarikan diri bersama laki-laki
cabul ini" Demi nama baikmu, kembalilah kepada suamimu, dan
kami akan menganggap tidak pernah terjadi apa-apa."
Mereka takut Hiat-kun akan mengikuti laki-laki yang dia cintai
dan bermusuhan dengan mereka. Hal ini membuat mereka serba
salah, karena itu mereka memaksa Hiat-kun jangan ikut campur,
tapi mereka malah mendapat hal yang sebaliknya.
Hiat-kun sangat marah hingga tubuhnya gemetar dan berteriak:
"Kalian jangan sembarangan bicara! Jangan salahkan aku! Tutup
mulut kalian!" Dalam kemarahannya dia membuka ikat pinggang sutranya. Kata
Yap Jin-tong: "Menyuruhku tutup mulut" Kecuali kau membunuhku untuk tutup
mulut, kau..." Kata-kata Yap Jin-tong belum habis, di depannya tiba-tiba ada
sinar pelangi yang berwarna warni, tali pinggang sutra itu tiba-tiba
berubah seperti pedang tajam yang bercahaya darah.


Jala Pedang Jaring Sutra Seri Thiansan Kiam Bong Cian Sie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Yap Jin-tong segera memutar pedangnya untuk melindungi
dirinya tapi dia merasa tangannya kesemutan, terdengar suara
sobekan, tali pinggang sutra Hiat-kun sudah terbelah separuh. Tapi
pedang panjang Yap Jin-tong pun terlepas, Hiat-kun seperti sedang
memakai ilmu sihir saja membuat tali pinggang sutranya menjadi
Poan-koan-pit (hakim pena), dia sudah berhasil menotok nadi
pelemas tubuh Yap Jin-tong tapi jurus pedang Yap Jin-tong juga
bukan sembarangan ilmu pedang, ketika tenaga dalam hampir
habis, dia masih bisa memotong ikat pinggang sutra milik Hiat-kun.
Yap Jin-tong berteriak: "Nyonya Hie, kau... kau..." tubuhnya sudah jatuh ke bawah.
Bwee Ceng-hong terkejut "Ingin melarikan diri?" teriak Coh Thian-su,
"Kau mau lari ke mana?"
Bayangan Coh Thian-su sudah mendekat, Bwee Ceng-hong
segera membalikkan tubuh, mendorong tenaga telapak tangannya
tapi dia tidak bisa menahan ujung pena Coh Thian-su, dia merasa
pinggangnya kaku, kemudian dia pun terjatuh ke tanah.
Kata Coh Thian-su: "Adik, demi diriku kau dihina orang, maafkan aku. Tapi sekarang
karena sudah terjadi hal ini, kita harus cepat-cepat meninggalkan
rumah Hie, apakah kita harus membunuh mereka yang sudah
menghinamu?" "Suheng, sebenarnya akulah yang merepotkanmu, Hie Tiong-
gwee sudah curiga kepada kita, membunuh mereka pun sudah tidak
berguna." Tiba-tiba ada suara rendah yang bicara:
"Tunggu!" Di depan mereka keluar seseorang.
Orang ini adalah Tuan Kiam-ta yang terkenal di dunia persilatan.
Ilmu silat Tuan Kiam-ta tidak seperti Bwee Ceng-hong dan kawan-
kawan. Coh Thian-su terpaksa berhenti. Kata Coh Thian-su:
"Tuan Kiam-ta, apakah kau percaya kepada berita burung itu?"
"Aku tidak percaya berita burung, aku percaya pada kepala dan
mataku sendiri," jawab Tuan Kiam-ta.
"Kadang-kadang yang dilihat mata juga bukan kejadian sebenarnya. "Baiklah, tolong jelaskan, larut malam begini, kau bersama istri
orang lain sedang berbuat apa?"
"Tuan, dia adalah Sumoiku."
"Kalau kalian Suheng Sumoi, mengapa kau harus bertemu
dengannya malam-malam begini?"
Dalam hati Coh Thian-su berpikir, "Kalau Hie Tiong-gwee adalah
orang yang berpura-pura, pasti dia sangat jahat, dia pasti tidak akan
mau percaya, apalagi aku tidak punya bukti, aku tidak boleh
membocorkannya." Dia tidak bisa menjelaskan hanya berkata:
"Nanti kau pasti akan tahu, sekarang aku mohon Cianpwee
percaya kepadaku, biarkanlah kami pergi!"
Dengan dingin Tuan Kiam-ta berkata:
"Coh Thian-su, mukamu sungguh tebal, masih berani minta aku
melepaskan kalian kawin lari."
Hiat-kun yang dari tadi diam berbarengan dengan Coh Thian-su
menjawab: "Kami bukan kawin lari."
Tuan Kiam-ta tidak melihat kepada Coh Thian-su, tapi bicara
kepada Hiat-kun, "Nyonya Hie, walaupun kau belum sembahyang, tapi sudah
masuk ke rumah Hie, bagi perempuan paling penting adalah
menjaga nama bila kau tidak setuju dengan pernikahan ini, tetap
harus meminta ijin kepada Hie Tiong-gwee, baru boleh keluar dari
keluarga Hie, sekarang sudah larut kembalilah ke kamarmu." Lalu
Dengan dingin dia berkata kepada Coh Thian-su:
"Ikut aku!" "Kemana?" "Bertemu dengan Hie Tiong-gwee, meskipun kau tidak mengajak
kawin lari istrinya, tetap kau harus menjelaskan kepada Hie."
"Aku tidak akan pergi, karena tidak ada yang harus aku jelaskan
kepada dia." "Bila kau tidak mempunyai salah, mengapa harus takut bertemu
dengannya" Baiklah, bila kau tidak mau pergi, aku akan
memaksamu pergi" 'Memaksakan' disini berarti bukan mengundang.
Coh Thian-su tertawa kecil dan berkata:
"Bila Cianpwee tidak mau mengerti, aku pergi sendiri."
'Pergi' juga bukan berarti permisi pergi, melainkah harus
bertarung dulu dan baru bisa pergi dari sana.
Tuan Kiam-ta sangat marah:
"Selama aku masih di sini, aku tidak akan membiarkanmu pergi!"
Tuan Kiam-ta menggerakan telapak tangannya yang membawa
angin keras dan mencengkram. Coh Thian-su juga sudah siap sedia,
pena yang kiri melindungi dada, pena yang sebelah kanan
menyambut dan mencoba menotok telapak tangan lawannya.
Dicurigai terus menerus, gosip terus menerus mengalir tapi tidak
bisa berbuat apa-apa.... ---ooo0dw0ooo--- Bab 4 Mimpi lama seperti debu Teman kecil hatinya tenang seperti air
Kapas terbang seperti teratai yang tidak berakar
A. Pengantin Diculik Tuan Kiam-ta menjadi marah:
"Baiklah, kau berani bertarung denganku" Aku ingin melihat
kehebatan sepasang pena besi menotok nadimu itu seperti apa "
Mulutnya masih bicara tapi tangannya sudah mencoba mencengkram pena Chu. Coh Thian-su tahu bahwa tenaga dalam Tuan Kiam-ta sangat
tinggi, di dalam hati berpikir, 'Tadi aku belum bertarung, aku masih
bisa melayani dia, sekarang aku terpaksa harus menggunakan
siasat.' Dia tidak berani membiarkan sepasang penanya dicengkram oleh
Tuan Kiam-ta, sekarang dia mengerakan penanya dengan sangat
enteng dan lincah. Dia mencoba menotok Tuan Kiam-ta. Lengan
baju Tuan Kiam-ta diayunkan menyambut totokan pena, ternyata
sepasang pena bisa dihalau tapi lengan bajunya juga bolong.
"Sungguh hebat!" Kata Tuan Kiam-ta.
Selesai berkata dia membungkukkan tubuh mengelak totokan ke
arah pundaknya, kemudian 5 jari dikembangkan, siap mencengkram
sasarannya, dia sudah mengeluarkan jurus cakar naga. Coh Thian-
su tahu jurus ini sangat hebat, diapun segera mengubah jurusnya,
telapak tangan kiri Tuan Kiam-ta mengeluarkan serangan iagi.
Ujung pena Coh Thian-su terkena getaran tenaga dalam tuan Kiam-
ta hingga bengkok, penanya hampir saja terampas.
Kata Tuan Kiam-ta: "Mana jurus pena penotok nadimu, mengapa tidak dikeluarkan?"
Coh Thian-Su merasa ilmu silatnya bukan tandingan Tuan Kiam-
ta, kalau sepasang penanya segera menyerang secara bersamaan,
mungkin malah akan memberikan lowongan kepada lawan, karena
itu dia menjalankan siasat satu pena melindungi tubuh dan pena
lain menyerang lawan. Dia berharap bisa memperlambat waktu,
membiarkan Hiat-kun melarikan diri
Tapi Hiat-kun seperti tidak mengerti maksudnya, dia hanya
bengong di sana, tidak membantu Coh Thian-su juga tidak
melarikan diri. Terpaksa Coh Thian-su berkata, "Sumoi, pergilah!
Jangan menungguku!" Kata Tuan Kiam-ta:
"Nyonya Hie, jangan dengarkan dia, kalau kau keluar dari rumah
Hie, hidupmu akan lebih hancur, kembalilah pada suamimu!"
Hati Hiat-kun sangat kacau, dia tidak bisa mengambil keputusan.
Tuan Kiam-ta adalah Cianpwee yang dia hormati, kalau harus
bertarung dengannya sangat tidak sopan dan masih harus
merepotkan Coh Thian-su. Karena Tuan Kiam-ta sudah curiga
kepada mereka mempunyai hubungan khusus. Bila bergabung
dengan Coh Thian-su nantinya malah akan menyusahkan dia, bila
melarikan diri Tuan Kiam-ta juga tidak akan bisa berdamai dengan
Coh Thian-su. Kecuali membunuh Tuan Kiam-ta bila tidak namanya
dan nama Coh Thian-su akah hancur, tapi dia tidak bisa membunuh
Cianpwee yang dia hormati, apalagi Tuan Kiam-ta mempunyai
kepandaian yang tinggi. Bila mereka bergabungpun belum tentu
bisa menang. Karena dia tidak bisa memutuskan. Keadaaan Coh Thian-su
sekarang juga sudah berbahaya. Kiam-ta sudah mengeluarkan jurus
Ta-sik-pek-jiu (Telapak tangan penghancur batu). Dia tahu bila
terus bertarung Coh Thian-su akan mati di tangan Tuan Kiam-ta.
Coh Thian-su sudah berkali-kali berada dalam keadaan berbahaya,
dia berteriak, 'cepat pergi!' tapi Hiat-kun tidak lari, malah melangkah ke depan.
Kiam-ta mengayunkan lengan bajunya dan berkata:
"Nyonya Hie, harap kau bisa jaga diri!"
Hiat-kun hanya merasa ada tenaga lembut yang mendekatinya
sehingga dia mundur beberapa langkah Lututnya terasa kesemutan,
dia pun terjatuh. Coh Thian-su tidak tahu mengapa Hiat-kun bisa seperti itu, dia
sangat terkejut dan berteriak:
"Aku akan adu jiwa denganmu!"
Sepasang pena besinya berbarengan menyerang, dalam satu
jurus dia sudah mencoba menotok 4 jalan darah Kiam-ta, dia ingin
segera menyelesaikan pertarungan. Setelah itu dia baru akan
menolong Hiat-kun untuk keluar dari tempat berbahaya.
Sebenarnya Kiam-ta juga khawatir Hiat-kun akan bergabung
dengan Coh Thian-su bila Hiat-kun sudah sadar dari lemasnya,
maka dia sekarang lebih dahsyat lagi menyerang Coh Thian-su.
Telapak tangan kiri berputar menggambar satu lingkaran telapak
tangan kanan bergerak dituar dari lingkaran yang digambarnya.
Angin dahsyat terasa berhembus keras seperti guntur. Jurus ini
dinamakan Kai-san-pi-sik (Membuka gunung membelah batu). Ini
adalah salah satu jurusnya yang paling dashyat.
Terdengar suara 'TING' sepasang pena besi Coh Thian-su sudah
terlepas dari tangan nya dan melayang ke udara
Tuan Kiam-ta tertawa terbahak-bahak,
"Sepasang pena penotok nadi memang hebat, tapi tetap tidak
bisa mengalahkanku!"
Bila Coh Thian-su tadi tidak bertarung dulu, kemudian dia
bertarung dengan Kiam-ta paling sedikit dia bisa menotok di satu
bagian jari tubuh Kiam-ta, kedua-duanya akan kalah atau mungkin
terluka. Atau mungkin Coh Thian-su akan terluka lebih parah.
Tapi dia masih beruntung sebab sebelum menyerang Coh Thian-
su sudah kalah, sebelum Kiam-ta mengeluarkan seluruh tenaga, Coh
Thian-su sudah kelelahan.
Coh Thian-su tahu dia tidak akan bisa lolos dari Kiam-ta dan dia
berkata: "Lebih baik aku mati daripada dihina bila kau mau menghinaku di
depan Hie Tiong-gwee, lebih baik nyawa ini kuserahkan padamu!"
Hiat-kun berteriak: "Toako, jangan...!" dia ingin berdiri tapi tidak ada tenaga.
Kiam-ta tertawa dingin: "Coh Thian-su, kau jangan mengancamku!"
Dia pikir sekarang Coh Thian-su belum bisa memakai tenaga
dalam untuk memutuskan nadinya, maka segera dia mencengkram
tangan Coh. Tapi begitu dia melangkah, dia merasa lututnya kaku hampir
tidak dapat berdiri. Kiam-ta berkata: "Siapa yang berani..."
Sebelum mengeluarkan kata-kata "Menyerang secara sembunyi-
sembunyi", di depan mata sudah ada seseorang.
"Siapa" Kau?" Kata Tuan Kiam-ta terkejut. Orang itu berkata:
"Benar, ini aku. Aku hanya mengikuti apa yang dilakukan olehmu
dan membalaskan ini kepadamu, biar kau pun merasakan ilmu
Thiat-siu." Kiam-ta pun sekarang rugi karena dia barusan sudah bertarung
dengan Coh Thian-su, lututnya juga terkena lemparan batu kecil
dari orang itu. Sekarang begitu orang itu mengayunkan lengan
bajunya, dia mengeluarkan sedikit gerakan, tapi Kiam-ta juga tidak
bisa menahannya. Orang itu mengibaskan lengan bajunya, Tuan Kiam-ta berputar 3
kali dan terjatuh, seperti Hiat-kun yang sudah roboh.
Sepasang pena penotok sudah terjatuh ke bawah. Coh Thian-su
menjadi bengong, tapi dia tidak memungut senjatanya dan langsung
memuji jurus Liu-in-hui-siu (Awan mengalir lengan baju
beterbangan) yang hebat. Tapi orang itu sedikitpun tidak meliriknya,
dia langsung menghampiri Kang Hiat-kun.
Hiat-kun yang tergeletak di tanah, dia sedang berusaha bangun,
orang itu dengan pelan menghampirinya Hiat-kun belum dapat,
melihat, dengan jelas, dia hanya mendengar Coh Thian-su
mengatakan Liu-in-hui-siu, hatinya langsung bergetar dan berteriak:
"Apakah Hoan Toako?"
Benar, yang datang memang Hoan Toakonya.
"Toako, kau sudah datang!"
Saking senang dia meloncat, entah tenaganya datang dari mana,
dia sendiri pun tidak tahu.
Wie Thian-hoan tertawa, "Benar, lihat inilah aku, aku pasti kembali menengokmu,
bagaimana dengan keadaanmu" Hati-hati!"
Karena totokan nadi di lututnya belum terbuka secara seluruhnya
maka dengan sempoyongan Hiat-kun terjatuh ke dalam pelukan Wie
Thian-hoan Wie Thian-hoan membantunya menggosok-gosok lututnya, tidak
lama kemudian jalan darahnya sudah terbuka sempurna.
Kesemutannya pun sudah hilang.
Wajah Hiat-kun memerah, dia berkata:
"Hoan Toako, lepaskan aku!"
Coh Thian-su sudah ingin mendekati mereka, tapi karena Hui-
thian-sin-liong tidak menghiraukannya, membuat Coh Thian-su
serba salah. Kata Hiat-kun:
"Dia adalah Coh Tayhiap dari Yang-ciu. Dia juga adalah..."
'Suheng', kata itu belum keluar dari mulut Hiat-kun, Wie Thian-
hoan, sudah berkata, "Aku tahu siapa dia."
Coh Thian-su membalas: "Aku juga tahu siapa dirimu, walaupun kita belum pernah
bertemu." Hati Coh Thian-su tidak enak, selagi dia berkata seperti itu, dia
berpikir, 'Kita sama-sama terkenal di dunia persilatan, mengapa kau


Jala Pedang Jaring Sutra Seri Thiansan Kiam Bong Cian Sie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

begitu sombong"' Hui-thian sangat sombong, dia tertawa dingin dan berkata: "Kau
tahu siapa aku, tidak apa-apa tapi aku juga tahu kau juga bukan
orang baik-baik, kau berbaring saja di sini."
Hiat-kun terkejut dan berteriak: "Hoan Toako, kau tidak boleh
memukul dia!" Hiat-kun menarik tangan Wie Thian-hoan, "Dia
adalah Suhengku!" Hiat-kun baru habis bicara, Coh Thian-su sudah roboh di tanah
karena dia sudah ditotok oleh Wie Thian-hoan di 3 tempat.
"Karena dia adalah Suhengmu, aku tidak akan membunuhnya,
mari kita pergi!" kata Wie Thian-hoan.
"Tidak, aku tidak mau pergi, kau harus membuka totokannya,
mengapa kau begitu tidak sopan kepadanya?"
"Aku tahu dia Suhengmu, tapi aku tidak mau kehilangan dirimu!
Baiklah katakan, kau lebih suka dia atau aku?"
Hiat-kun menjadi bengong dengan marah dia berkata,
"Hoan Toako, ada apa dengan dirimu" Begitu bertemu sudah
cemburu. Apakah kau juga mengira aku akan kawin lari dengan Coh
Toako?" Pada waktu itu ada yang berteriak, "Tuan Kiam-ta! Tuan Kiam-
ta!" Hiat-kun tahu itu adalah Kwee Goan-cay, kecuali dia masih ada
yang lain- Hiat-kun tidak ingin Kwee Goan-cay tahu peristiwa yang terjadi,
dia juga ingin menjelaskan masalahnya kepada Wie Thian-hoan, tapi
dia terpaksa berhenti bicara.
Tiba-tiba Wie Thian-hoan mengendong dia sambil berkata :
"Aku malas meladeni mereka satu persatu, mari kita pergi!"
Tenaga Hiat-kun belum pulih seluruhnya dan orang yang
mengajaknya adalah Hoan Toakonya, dia jadi tidak ingin
memberontak. Tapi Wie Thian-hoan tetap tidak tenang, dia menotok Hiat-kun
supaya tidak bisa bicara.
Wie Thian-hoan bukan takut Hiat-kun akan berteriak tapi takut
dia cerewet, meminta dia mengajak pergi bersama Coh Thian-su.
Wie Thian-hoan ingin bercerita banyak kepada Hiat-kun, dia tidak
ingin ada orang ketiga yang mendengar.
Benar, Coh Thian-su memang terkenal di dunia persilatan tapi
sekarang kecuali kakek guru dan Sumoinya, Wie Thian-hoan tidak
punya siapa-siapa lagi, termasuk Hiat-kun tentunya.
"Hiat-kun mau menikah dengan Hie Tiong-gwee, apa yang telah
terjadi?" pikir Wie Thian-hoan.
Dia segera menggendong Hiat-kun dan berlari. Walaupun dia
menggendong Hiat-kun tapi langkahnya tetap tidak bersuara. Ilmu
meringankan tubuhnya benar-benar sudah mencapai tingkat
kesempurnaan. Dia menotok Hiat-kun supaya dia tidak bisa bicara, kemudian dia
berbisik ke telinga Hiat-kun,
"Coh Thian-su dan Hie Tiong-gwee bersahabat, Tuan Kiam-ta
pun melihat sendiri bahwa yang menculikmu adalah aku, mereka
pasti tidak akan membuat susah Coh Thian-su walau mereka pernah
mencurigainya. Kalau kali ini aku salah paham kepada Coh Thian-su,
aku minta maaf. Sekarang kau tidak perlu mengkhawatirkan dia,
kau tenang saja dan ikut denganku!"
Dia bicara dengan pelan kepada Hiat-kun tapi langkahnya tidak
pelan, sambil menggendong Hiat-kun, mereka 'terbang' melewati
pagar dan keluar dari kediaman Hie.
Hiat-kun tahu bahwa Coh Thian-su bukan teman Hie Tiong-gwee,
tapi dia tidak bisa bicara hanya bisa berharap bahwa Coh Thian-su
tidak akan disalahkan karena yang menculik dia bukan Coh Thian-su
melainkan Wie Thian-hoan.
Coh Thian-su ingin bicara pun tidak bisa, dia ditotok oleh Wie
Thian-hoan di 3 tempat, untung Hiat-kun menarik tangan Wie
Thian-hoan sehingga tenaga dalamnya hanya digunakan 30% saja.
Tenaga dalam Coh Thian-su juga lumayan, maka dia tidak pingsan
hanya tidak dapat bergerak.
Tuan Kiam-ta yang berada di sisinya masih pingsan terkena
pukulanThiat-siu yang dikeluarkan oleh Wie Thian-hoan, walaupun
ilmu silatnya lebih tinggi dari dia, tapi Tuan Kiam-ta tetap pingsan.
Tiga orang yang pingsan adalah Hun Sim-boh, Yap Jin-tong, dan
Bwee Ceng-hong. Coh Thian-su mencoba mengatur nafasnya
berharap sebelum Tuan Kiam-ta dan yang lainnya siuman, dia sudah
bisa membuka totokannya bila tidak mereka akan menuduh macam-
macam. Tubuhnya sudah mulai bergerak tapi dia belum bisa berdiri, pada
saat itu dia mendengar Kwee Goan-cay memanggil-manggil Tuan
Kiam-ta. Yang pasti Tuan Kiam-ta tidak akan bisa menjawab, tapi langkah
Kwee Goan-cay dan teman-temannya sudah berjalan ke arah
mereka. Karena Coh Thian-su terburu-buru, tubuhnya malah tidak bisa
bergerak lagi. Po Leng-hoi melarikan diri dari kamar pengantin, baru berjalan
beberapa puluh langkah, tiba-tiba melihat ada seseorang yang ingin
bunuh diri di bawah pohon. Matanya segera membesar dan
mulutnya terbuka lebar melihat Po Leng-hoi, bentuk wajahnya aneh
dan membuat dia terkejut sekaligus takut.
Orang itu adalah murid Hie Tiong-gwee yang tertua bernama
Leng Cong-goan. Pikirannya bergerak yang pertama ingin dilakukan adalah: harus
menyerang dulu kemudian baru menotoknya.
Kedua adalah: mengapa dia tidak bergerak juga tidak bicara"
Apakah takut keburukan keluarga Hie akan ketahuan oleh orang
lain" Atau ada alasan lain"
Po Leng-hoi tahu bahwa ilmu silat Leng Cong-goan lebih tinggi
dari dia, bila bertarung dengannya tidak akan terbayang akibatnya.
Pikiran yang kedua menutupi pikirannya yang pertama-lebih baik
lihat keadaan dulu. Dia memanggil. "Kakak Leng." Seruannya tidak dijawab, kemudian Bao mendorong pelan-pelan
tubuh Leng , dia malah jatuh ke tanah.
Benar, ternyata ada yang menotok dia. Sekarang baru terpikir
olehnya, Leng Cong-goan pasti disuruh oleh Hie Tiong-gwee untuk
menjaga Hiat-kun. Yang menotok dia, pasti juga orang yang
membantu dia sewaktu berada di kamar pengantin.
"Satu kecurigaan sudah terbuka! Pantas aku dengan mudah
mendekati kamar pengantin dan sepanjang jalan ke tempat ini tidak
pernah bertemu dengan murid-murid Hie Tiong-gwee dan para
tamu, mungkin mereka ditotok oleh orang misterius itu."
Pemikiran Po Leng-hoi memang tidak salah...
Dia berjalan ke tempat yang dijanjikan oleh Coh Thian-su dan
Hiat-kun, ada 4 orang yang terbaring di bawah, mereka adalah
murid-murid Hie Tiong-gwee dan para tamu, mereka tidak mati tapi
hanya ditotok oleh orang lain
Fo Leng-hoi sangat terkejut.
"Orang ini dengan mudah keluar masuk, sepertinya Coh Tayhiap
pun tidak sehebat dia, siapakah dia" Mengapa dia masuk ke kamar
Hiat-kun'" Dengan tidak membutuhkan waktu lama, dia sudah bisa
menebak. Tiba-tiba ada yang berteriak. suara ini datang darii arah kolam.
Ya Ini adalah kakak ketiga. Dan ini adalah Pendekar Yap.
Kemudian terdengar suara ribut-ribut dan suara langkah kaki,
yang datang adalah murid-murid Hie Tiong-gwee di antara mereka
ada juga Kwee Goan-cay. Salah satu murid berkata:
"Adik Kwee, hayo kita langsung melapor kepada guru!" Dia
terlihat sangat ingin langsung lari dari tempat itu. Kata Kwee Goan-
cay, "Mengapa kalian takut" Sesudah sampai di sini, kita coba periksa
mereka dulu." Jawab salah satu dari mereka:
"Tuan Muda Kwee, kau pikir saja bila terjadi sesuatu pada Tuan
Kiam-ta, apakah kita bisa mengatasi semua masalah, bila tidak
terjadi sesuatu padanya mungkin dia bisa menangkap penjahatnya
dan akan kembali ke sini, kita tidak butuh mencarinya kemana-
mana." Mereka sangat menghormati Kwee Goan-cay, karena mungkin
Kwee Goan-cay akan menjadi menantu Hie Tiong-gwee. Bila mereka
ingin kembali harus dengan persetujuan Kwee Goan-cay.
Kolam teratai tanahnya datar, tidak ada tempat untuk
bersembunyi. Po Leng-hoi sangat berharap mereka segera
meninggalkan tempat ini "Disebelah sana belum diperiksa, baiklah bila kalian takut aku
sendiri yang akan ke sana." Kata Kwee Goan-cay.
Untung Kwee Goan-cay seorang diri ke sana, dia melihat Po
Leng-hoi dan sangat terkejut. Po Leng-hoi memberi isyarat supaya
Kwee Goan-cay tidak bicara. Dan Po Leng-hoi menunjuk ke arah
sana. Walaupun Kwee Goan-cay masih ragu tapi dia sudah mengerti
maksud Po Leng-hoi. Segera Kwee Goan-cay berlari ke arah kolam teratai.
Kwee Ooan-cay kembali lagi kepada mereka, mereka sengaja
bertanya: "Di mana Tuan Kiam-ta?"
"Bayangannnya pun tidak terlihat."
Ada yang berkata: "Ilmu silat Tuan Kiam-ta sangat tinggi, tidak perlu mencari dia,
apakah kami boleh pulang?"
Kata Kwee Goan-cay: "Benar, dia pasti sedang pergi untuk menangkap pengkhianat itu,
mari kita laporkan hal ini kepada guru."
Po Leng-hoi mengeluarkan keringat dingin, dia akan ke kolam
teratai untuk mencari seseorang, tiba-tiba terdengar suara orang.
Po Leng-hoi terkejut dalam hati dia berpikir, 'Apakah Coh Tayhiap
juga ditotok"' Dia mengikuti suara itu untuk mencari, di dalam semak-semak
orang yang pertama dilihatnya adalah Tuan Kiam-ta, tenggorokan
Tuan Kiam-ta mengeluarkan suara,
"Kru...kru..." Tuan Kiam-ta sudah siuman dan sedang mengatur nafas, tapi
totoknya belum terbuka, bicara pun belum bisa.
Kemudian Po Leng-hoi melihat Coh Thian-su yang sudah bisa
duduk, dia berada di sisi Kiam-ta, Coh melambaikan tangan ke
arahnya. Po Leng-hoi melihat masih ada Yap Jin-tong, Bwee Ceng-hong
dan Hun Sim-boh. Ilmu silat mereka lebih rendah daripada Tuan
Kiam-ta, karena itu mereka belum siuman. Hal ini membuat Po
Leng-hoi terkejut, jantungnya terasa copot.
Mereka adalah pesilat tangguh apalagi Tuan Kiam-ta, bila bukan
melihat dengan mata kepala sendiri, dia tidak akan percaya bahwa
Tuan Kiam-ta bisa dibuat tidak berdaya dan begitu memalukan.
Dalam keterkejutannya, Po Leng-hoi mulai tenang karena dia
melihat sepertinya Coh Thian-su tidak terluka. Dia berlari ke arah
Coh Thian-su dan bertanya:
"Coh Tayhiap, ada apa yang terjadi?"
Coh Thian-su tertawa kecut dan berkata:
"Terima kasih, karena Hui-thian tidak membunuhku, dia hanya
menotok di 3 tempat karena aku salah mengatur nafas sekarang
totokanku belum terbuka dengan sempurna. Adik bantu aku
membuka totoknya, menuruti cara yang akan kuberitahu."
Meskipun totokan Coh Thian-su belum terbuka secara sempurna,
tapi dengan cepat dia sudah bisa berdiri dan loncat. Dengan tertawa
Coh Thian-su berkata: "Tuan Kiam-ta, aku pergi dulu."
Po Leng-hoi bertanya: "Coh Tayhiap, apakah kau tidak membantu Tuan Kiam-ta
membuka totoknya?" Dengan tertawa Coh Thian-su menjawab:
"Tuan Kiam-ta bukan orang jahat, tapi dia terlalu mengurusi
masalah orang lain, lagi pula kita tidak akan sanggup
membantunya." Yang dikatakan Coh Thian-su memang benar karena Tuan Kiam-
ta sudah ditotok oleh Hui-thian dengan totok yang berat. Bila ingin
membantu dia membuka totoknya harus mempunyai cukup tenaga
dalam dan tenaga dalam Coh Thian-su belum pulih. Po Leng-hoi
belum sampai taraf seperti itu. Bila dipaksa melakukannya, hasilnya
malah sebaliknya Walaupun Po Leng-hoi masih tidak mengerti, tapi dia tetap
mengikuti Coh Thian-su meninggalkan kediaman Xu.
Setelah keluar dari kediaman Xu, Po Leng-hoi bertanya: "Dimana
Hiat-kun?" "Sudah dibawa oleh Hui-thian-sin-liong."
"Dia adalah Hiat-kun punya..."
Po Leng-hoi ingin bertanya tapi dia tidak bisa mengeluarkan kata-
katanya. "Aku tidak tahu dia adalah siapanya Hiat-kun. Tapi Hiat-kun Hui-
thian?" Po Leng-hoi tertawa kecut dan menjawab,
"Coh Tayhiap, kau bercanda lagi, aku hanya mengkhawatirkan
dia, takut Hui-thian akan melukai Hiat-kun."
Sebenarnya setelah dia menyaksikan keributan di aula tadi, dia
sudah tahu bahwa Hui-thian tidak akan melukai Hiat-kun.
Coh Thian-su masih marah dan berkata:
"Dia memukul dan menotok Tuan Kiam-ta serta yang lainnya
karena mereka tidak ingin Hiat-kun meninggalkan keluarga Hie, dia
menotokku, dia tidak mau bila Hiat-kun bersamaku meninggalkan
keluarga Hie, dia hanya ingin berdua bersama Hiat-kun, mana
mungkin dia melukai Hiat-kun?"
"Kalau begitu, kita tidak perlu mencarinya lagi! Mari kita pulang saja ke rumahku."
Coh Thian-su menarik nafas dan berkata:
"Aku juga tidak tahu harus pergi ke mana, tapi aku harus segera
meninggalkan Lok-yang, tolong sampaikan salamku untuk ayahmu."
Bintang-bintang sudah hampir menghilang, hari sudah mulai
terang. Dalam hati Coh Thian-su berpikir, 'Mungkin Hiat-kun dan
Hui-thian sudah ada di luar Lok-yang, yang harus aku sampaikan
kepada Hiat-kun kerewelan lagi di sini."
Dia tidak mencari masalah tapi masalah yang dibuatnya tidak
akan berhenti sampai di sini. Dan dia tidak dapat berbuat apa-apa,
dengan hati yang tidak enak dia meninggalkan Lok-yang.
---oo0dw0ooo--- B. Cinta Lama bersemi Lagi
Hiat-kun dan Hui-thian sudah berada di pegunungan di luar kota
Lok-yang. Sinar matahari pagi menyinari hutan, begitu indah, angin pagi
mengantarkan wanginya bunga gunung, dan suara air mengalir.
Burung-burung berkieau di atas pohon membuat paduan suara yang
pas, keadaan ini memabukkan orang. Hiat-kun masih digendong
oleh Hui-thian di belakang punggungnya, nafas Hiat-kun begitu


Jala Pedang Jaring Sutra Seri Thiansan Kiam Bong Cian Sie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

harum dan tenang, membuat Wie Thian-hoan merasa mabuk.
Wie Thian-hoan seperti kembali ke masa kecil, dia adalah
seorang kakak yang membawa adik kecilnya, berlarian di
pegunungan. Hiat-kun mcmctikkan bunga untuknya dan dia
menangkap burung untuk Hiat-kun. Kadang-kadang bila Hiat-kun
kelelahan dia akan menggendongnya seperti sekarang ini.
Begitu tiba di hutan, dia menurunkan Hiat-kun dan membuka
totokannya. "Hiat-kun, tidak kusangka, kita bisa bersama lagi, apakah kau
merasa senang?" tanya Wie Thian-hoan.
Hiat-kun duduk di bawah pohon tidak mau memandangnya.
Wie Thian-hoan merasa hatinya menciut, apakah masa lalu yang
indah, akan seperti daun yang berguguran dari pohon"
Daun yang berguguran tidak akan bisa kembali lagi ke pohonnya,
apakah masa kecil tidak dapat terulang kembali"
"Hiat-kun, ada apa denganmu" Kau tidak suka bersamaku lagi?"
Wie Thian-hoan merasa sedih tapi dia ingin tahu.
Hiat-kun tampak marah dan berkata:
"Aku sudah menunggu selama 10 tahun, tapi begitu bertemu
denganmu, kau malah menghinaku!"
"Hiat-kun, aku terpaksa memakai cara ini supaya kau bisa
meninggalkan keluarga Hie, harap jangan marah!" kata Wie Thian-
hoan. TapiHiat-kuntetaptidak bicara. Wie Thian-hoan membungkukkan tubuh dan berkata:
"Maaf bila aku sudah melakukan banyak kesalahan, banyak hal
yang ingin aku ceritakan, tolonglah jangan marah lagi."
Dengan dingin Hiat-kun berkata:
"Tuan Wei, mana aku berani marah padamu, sekarang kau sudah
menjadi Hui-thian-sin-liong yang terkenal. Di hadapan banyak tamu
kau menghinaku, kemarin malam kau tidak sopan telah menotok
Suhengku, aku tidak berani marah. Apakah aku masih bisa bicara?"
Wie Thian-hoan menarik nafas dan berkata:
"Kau tidak mau memaafkanku, aku juga tidak bisa berbuat apa-
apa lagi. Baiklah aku tidak akan memaksamu, kalau kau mau
kembali lagi ke rumah Hie atau kau mau mencari Suhengmu,
terserah!" dia mulai melangkah.
Hiat-kun menjadi terkejut dan berdiri:
"Wie Thian-hoan, sekarang sudah terjadi seperti ini, kau masih
mau membuatku marah! Kembali!"
Wie Thian-hoan tertawa kecut dan berkata:
"Aku bersalah padamu, kau tidak mau memaafkan aku, bila aku
tidak pergi, aku harus bagaimana lagi" Adik Hiat, sekali lagi aku
bertanya kepadamu, apakah kau mau memaafkan aku?"
Mereka saling memandang, darah yang menempel di baju Wie
Thian-hoan membuat Hiat-kun menjadi tidak tahan, tiba-tiba dia
menangis sekeras-kerasnya dan memeluk Wie Thian-hoan
"Hoan Toako, aku bersalah kepadamu, aku pun mempunyai
banyak hal yang ingin diceritakan, kau jangan pergi!"
Air mata masih bercucuran.
Wie Thian-hoan dengan senang berkata:
"Kalau kau sudah memaafkan aku, sekarang tertawalah!"
Hiat-kun mulai tenang, wajahnya menjadi merah, pelan-pelan dia
melepaskan pelukannya dan tertawa.
Wie Thian-hoan sangat senang, dia membalikkan tubuh dan
berteriak: "Aku tahu, kau masih adikku Hiat-kun, aku jadi merasa tenang."
"Apakah kau mengira aku sudah berubah?"
"Tadinya aku tidak curiga tapi ketika aku mendengar kau
memangilku 'Hoan Toako' aku baru bisa tenang."
Hiat-kun menghapus air matanya dan berkata:
"Semua yang sudah terjadi susah diduga, pantas bila kau
mencurigaiku. Baiklah tidak usah bengong, kau ingin menceritakan
apa" Duduklah!"
Wie Thian-hoan duduk dan berkata:
"Kau dulu yang bercerita."
"Baiklah, aku yang akan bercerita dulu. Pertama, aku akan
memberitahukanmu bahwa Coh Thian-su datang untuk menolongku,
aku juga baru tahu dia adalah Suhengku."
Wie Thian-hoan menjadi bengong dan berkata:
"Dia datang untuk menolongmu" Apakah dia tahu kau berada
dalam bahaya" Bagaimana dia bercerita kepadamu?"
"Dia bilang aku dalam bahaya bila terus diam dalam keluarga
Hie, dia curiga bahwa Hie Tiong-gwee adalah orang yang
berbahaya." "Mengapa dia bisa curiga ?"
"Dia belum sempat mengatakannya, dia juga seperti dirimu,
menyuruhku keluar dari kediaman Hie baru akan bicara."
"Kalau bagitu aku salah menilainya, tapi bila dia jatuh ke tangan Hie Tiong-gwee, Hie tidak akan berani membunuhnya, nanti aku
akan mencarinya " "Hoan Toako, aku punya pertanyaan, harap kau menjawabnya."
"Apa yang kau ingin tahu?"
Hiat-kun agak malu tapi dia tetap bertanya:
"Apakah Hie Tiong-gwee orang jahat?"
"Sekarang aku belum begitu yakin, bila kau ingin tahu apakah itu
benar, kau harus membantuku."
"Bagaimana cara membantumu?"
"Kau jawab dulu, apakah kau sendiri yang ingin menikah dengan
Hie Tiong-gwee?" "Apakah aku harus jujur menjawabnya?"
Wie Thian-hoan tertawa kecut dan berkata: "Kalau begitu, aku
tidak akan tanya lagi."
"Apa maksudmu?"
"Aku sudah mengerti."
"Kau mengerti apa?"
"Kau sendiri yang ingin menikah dengan Hie Tiong-gwee."
"Aku tidak berkata seperti itu, mengapa kau menduga sendiri?"
Wie Thian-hoan sangat senang dan berkata:
"Kau bertanya apakah aku harus jujur menjawabnya, aku kira
kau mau membohongiku lagi..."
Belum habis bicara, Hiat-kun sudah tertawa dan berkata:
"Memang aku tidak mau membohongimu, tapi aku tidak tahu ke
mana arah pikiranmu, bila aku tidak membohongimu, apakah itu
artinya aku mau menikah dengan Hie?"
"Kalau begitu, kau dipaksa oleh Hie."
"Tidak juga." Dua kata ini membuat Wie Thian-hoan bengong, Tanyanya:
"Apakah kau tidak mau membantah perintah ayah dan ibumu lagi?"
"Tidak juga." "Ini bukan, itu bukan, sebenarnya bagaimana?"
"Karena itu, kau minta aku mengatakan yang sebenarnya?"
"Cepat katakan, aku sudah tidak sabar."
"Jujur saja aku tidak tahu bagaimana cara menjawabnya."
"Kalau begitu kau pelan-pelan saja bercerita."
"Banyak peristiwa yang sampai sekarang aku tidak mengerti."
Di bawah ini adalah cerita Hiat-kun.
Begitu keluarganya tiba di Lok-yang, mereka mencari paman
sepupu, ayahnya berganti nama dari Kang Cu-goan menjadi Kang
Goan-yang. Mereka membuka tempat kursus ilmu silat. Pamannya
Kang Cu-si sering pergi ke rumah Hie Tiong-gwee. Sebenarnya Kang
Cu-si sudah lama tidak pernah bertemu dengan sepupunya, hanya
Kang Cu-si tahu bahwa sepupunya bisa ilmu silat tapi dia tidak tahu
bahwa Kang Cu-goan adalah seorang pesilat tangguh.
Kang Guan-yang di mata Hie Tiong-gwee adalah guru silat yang
sangat biasa. Hie Tiong-gwee juga tidak pernah terlalu
memperhatikan Kang Guan-yang.
Sesudah beberapa tahun pamannya semakin sering keluar masuk
keluarga Hie, dan Kang Guan-yang baru mulai berhubungan dengan
Hie Tiong-gwee. Wie Thian-hoan bertanya: "Hie Tiong-gwee yang datang berkunjung dulu atau kalian dulu
yang mengunjunginya?"
"Dia datang ke tempat ayah mengajar silat, semakin lama
semakin sering, tapi ayah jarang ke rumahnya."
"Mengapa kalian yang
sudah sampai ke Lok-yang tidak mengunjungi dia?" Hiat-kun balik bertanya. "Mengapa kami harus mengunjungi dia?"
"Apakah kau ingat, waktu keluargamu mendapat musibah,
ayahku pernah mengatakan, dia baru berkenalan dengan seorang
teman baru bernama Hie Tiong-gwee."
"Ya, aku ingat. Apakah kau mengira gara-gara ini jadi kami ke
Lok-yang dan mencarinya?" Kata Hiat-kun.
"Memang aku pernah berpikir seperti itu."
"Kau tidak salah. Ayahku adalah orang yang sangat berhati-hati,
rahasia dua keluarga ini sudah beberapa tahun tidak pernah
dibicarakan dengan siapa pun. Apalagi terhadap Hie Tiong-gwee,
tapi karena ayahku tahu bahwa Hie Tiong-gwee adalah teman dari
ayahmu, kadang-kadang dia bersikap longgar kadang-kadang juga
minta dilindungi olehnya."
"Kalau begitu, sepertinya dia belum tahu identitas asli dari
ayahmu." "Paling sedikit dia tidak tahu identitas asli ayah."
Tiba-tiba Wie Thian-hoan bertanya:
"Pamanmu adalah orang yang sering keluar masuk rumah Hie?"
"Katanya memang seperti itu."
"Kemudian dia dipercaya oleh Hie Tiong-gwee, apakah kejadian
ini setelah kalian sudah tiba di Lok-yang?"
"Benar, begitu kami tiba di Lok-yang, dia sudah dipercaya
menjadi penanggung jawab rumah makan Hie Tiong-gwee, begitu
juga dengan beberapa tokonya diurus oleh paman."
"Apakah kau tidak merasa aneh, Hie Tiong-gwee adalah
Pendekar Tiong-ciu dan orang terkaya di Lok-yang, dia mau saja
menjilat seorang guru silat biasa, semua ini belum tentu untuk
dirimu " Wajah Hiat-kun agak menjadi merah dan berkata: "Pada waktu
pertama kali dia datang ke rumahku aku baru berusia 13 tahun."
Hiat-kun berpikir sebentar dan berkata:
"Mungkin dia sudah tahu identitas ayah. hanya pura-pura ridak
tahu." Wie Thian-hoan bertanya: "Tadi kau mengatakan, pertama kali kau mengira dia tidak tahu,
bagaimana dengan sekarang?"
"Sudah tahu." Jawab Hiat-kun.
"Mengapa kau yakin dia sudah tahu?"
Hiat-kun menarik nafas dan berkata:
"Aku mendengar pamanku mengatakannya kepada ayah."
Wie Thian-hoan tahu yang dimaksud oleh Hiat-kun adalah Kang
Cu-si, tapi dia tidak tahu mengapa Hiat-kun menarik nafas.
Karena Wie Thian-hoan ingin tahu hal sebenarnya walaupun dia
merasa aneh tapi dia juga tidak ingin bertanya mengapa Hiat-kun
menarik nafas. Karena hal ini ada hubungannya dengan pernikahannya, hari itu
pamannya datang mencari ayahnya untuk membicarakan
pernikahannya. Tahun bertambah, dia sudah tumbuh menjadi seorang gadis
cantik, bahkan dijuluki si Cantik dan Lok-yang.
Pemuda-pemuda yang mengelilinginya semakin hari semakin
banyak, Hie Tiong-gwee pun lebih rajin datang ke rumahnya.
Ditempat ayahnya juga ada menjual obat untuk patah tulang dan
obat gosok untuk bagian yang terkilir. Pemuda-pemuda yang hanya
ingin dekat dengan Hiat-kun, mereka sengaja membeli obat itu.
Terhadap pemuda semacam itu dia tidak pernah meladeni
mereka. Tapi terhadap Hie Tiong-gwee, dia sama sekali tidak ada
persiapan karena Hie Tiong-gwee adalah teman ayahnya, juga
Cianpwee di dalam hatinya.
Hingga pada suatu hari, dia melihat Hie Tiong-gwee
memandanginya seperti pemuda-pemuda lain memandangnya,
pandangan mata seperti ini sudah sering dia lihat.
Karena 'sama', dia baru merasa "berbeda' setelah dia tahu
pandangan Hie Tiong-gwee kepadanya sekarang berbeda. Hal lain
yang bersamaan terjadi adalah biasanya pemuda-pemuda yang
membeli obat, semakin berkurang dari hari ke hari, hingga benar-
benar tidak ada lagi yang datang, tempat ayah mengajar silat pun
menjadi sepi. Temannya adalah Po Leng-hoi dan Kwee Goan-cay walau mereka
termasuk pemuda yang mendekatinya tapi mereka berdua tidak
seperti pemuda-pemuda lainnya, paling sedikit tidak membuat Hiat-
kun membenci mereka, malah menganggap mereka sebagai teman.
Dia bertanya semua yang terjadi kepada Po Leng-hoi, Po Leng-
hoi tertawa kecil, tapi Kwee Goan-cay berkata:
"Mungkin orang-orang kecil takut kepada dewa kematian."
Dia bertanya lagi: "Apa yang dimaksud dengan dewa kematian?"
Tapi Kwee Goan-cay tidak memberitahu.
Walaupun Po Leng-hoi tidak bicara, tapi Hiat-kun sudah tabu.
Dewa kematian yang bisa membuat orang kecil di Lok-yang hanya
ada berapa orang. Dari pandangan Hie Tiong-gwee yang aneh, dari
kata-kata Kwee Goan-cay dan tertawa kecutnya, dari kata-kata Po
Leng-hoi yang penuh rasa cemburu, tidak perlu diberitahu pun dia
sudah dapat ditebak, siapa yang dimaksud dengan dewa kematian.
Firasatnya mengatakan akan terjadi sesuatu, dan hari itu pun
datang dengan cepat. Hari itu Hie liong-gwee tidak datang, yang datang adalah
oarnannya, semenjak pamannya menjadi pengurus toko-toko dan
rumah Jnakan Hie Tiong-gwee, dia jarang ke rumah Hiat-kun. Tidak
seperti biasanya hari itu dia membawa banyak hadiah, membuat
mereka merasa terkejut. Bila paman mencari ayahnya itu tidak aneh
tapi kali ini lain, wajahnya seperti ingin mengatakan sesuatu. Begitu
masuk dia sudah bicara serius dengan ayahnya. Pintu kamar
ditutup, suara yang keluar juga kecil.
Hiat-kun hanya mendengar beberapa kata sudah diusir oleh
ayahnya. Begitu ayahnya keluar dia sudah sembunyi di kamarnya
tapi ayahnva sudah tahu bahwa Hiat-kun sedang mendengar.
Tapi entah karena tidak mempunyai waktu untuk memarahi Hiat-
kun atau memang ayahnya tidak mau marah, dia hanya disuruh
keluar untuk membeli sesuatu dan baru boleh pulang satu jam
kemudian. Dia hanya mendengar kata-kata,
"Di ibukota ada yang datang.... masalah itu..." ini adalah
perkataan pamannya. "Berterima kasih karena dia sudah membantuku menutupi..." ini adalah kata-kata ayahnya.
"Kalau kau membalas budi kepadanya, pasti ada caranya." Ini


Jala Pedang Jaring Sutra Seri Thiansan Kiam Bong Cian Sie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

adalah kata-kata pamannya.
Masalah itu dia sudah tahu apa yang dimaksud dengan
'membalas budi', dia tidak tahu apa yang dimaksud paman, apakah
paman menyuruh ayah membalas budi" Tapi kepada siapa"
Bagaimana cara membalasnya"
Sampai hari kedua, ibunya baru memberitahu:
"Kau tahu paman datang bermaksud apa?"
"Aku ingin tahu, tapi ayah melarangku mendengarkan
pembicaraan mereka, mengapa begitu misterius?" kata Hiat-kun.
Dia mengira ibu bertanya kepadanya dan akan memberitahu
jawabannya, tapi ibunya malah bertanya:
"Apakah kau masih merindukan Hoan Toakomu?"
Wajah Hiat-kun menjadi merah, tapi dengan jujur ia berkata :
"Aku tetap berharap bisa bertemu dengan mereka. Apakah ayah
dan ibu tidak ingin bertemu dengan mereka?"
Ibu menghela nafas katanya:
"Kita merindukan mereka tapi 10 tahun sudah berlalu, tidak ada
kabar berita dari mereka Malam itu ketika Paman Wie melarikan diri
dia sudah terluka sangat parah, aku mengkhawatirkan mereka.
Apakah mereka masih..."
Kata Hiat-kun: "Pepatah mengatakan 'orang baik pasti dilindungi Tuhan'. Aku
percaya mereka tidak akan mengalami hal-hal buruk."
Sebenarnya kata-kata ini hanya untuk menghibur dirinya sendiri.
Sudah 10 tahun tidak ada kabar berita dari mereka, dia sudah
beberapa kali mengalami mimpi buruk.
Ibu menghela nafas lagi dan berkata:
"Kita berharap semuanya akan baik-baik saja, tapi kita juga
jangan terlalu berpikir yang baik-baik saja..."
"Ayah pernah mengatakan bahwa Hoan Toako hanya luka ringan,
walaupun terjadi sesuatu pada paman, tapi Hoan Toako pasti masih
hidup." "Kita juga berharap mereka masih hidup, tapi dunia begitu luas,
di manakah dia sekarang" Kita sudah menunggu selama 10 tahun,
kau juga sudah dewasa, tahun ini kau sudah berumur 19 tahun."
"Bila sudah 19 tahun memangnya kenapa?"
Jawab ibunya, "Gadis-gadis lain sudah menikah."
Waktu itu kebanyakan gadis-gadis menikah di usia muda, bila
sudah berumur 18 tahun belum menikah, keluarganya akan sangat
khawatir. Wajah Hiat-kun memerah dan berkata:
"Apakah ibu mau mengusirku" Aku tidak ingin menikah, aku mau
menemani ibu." Ibunya tertawa dan berkata:
"Anak bodoh, perempuan harus menikah.
Ibu bertanya kepadamu, bila pemuda yang bernama Po
Leng-hoi, dia bagaimana?" "Apa bagaimana" Aku tidak mengerti maksud ibu?"
"Bukankah kau akrab dengannya" Maksud ibu, apakah kau
menganggapnya seperti Hoan Toako?"
"Hoan Toako tidak dapat digantikan oleh siapa pun, kebaikan
Hoan Toako juga tidak dapat digantikan oleh orang lain."
"Maksud ibu, bila Hoan Toako tidak pernah pulang lagi, apakah
kau mau menikah dengannya?"
Hiat-kun merasa aneh dan berkata:
"Apakah paman datang untuk menjadi mak comblang" Dia tahu
bahwa keluarga Po sangat miskin, paman selalu tidak pernah
menganggap mereka." "Memang paman ingin mencomblangimu tapi bukan dari keluarga
Po, aku hanya ingin tahu apakah kau sudah mempunyai seseorang
yang kau sukai" Jangan malu untuk mengatakannya, bila kami
sudah tahu keinginanmu kami bisa mengambil keputusan untuk
pernikahanmu." "Memang aku akrab dengan Po Leng-hoi, tapi sedikit pun aku
tidak berpikir akan menikah dengannya."
Ibunya tersenyum dan berkata:
"Siau Po sangat baik hanya dia cepat marah orangnya, aku
senang bila dia jadi menantuku tapi bila kau tidak suka tidak apa-
apa, bagaimana dengan Kwee Goan-cay?"
Hiat-kun mengerutkan dahi dan berkata:
"Apakah semua yang menjadi temanku, ibu harus menanyakan
mereka satu per satu" Kwee Goan-cay adalah calon menantu Hie
Tiong-gwee. Aku tidak mau berurusan dengan Nona Hie."
Persekutuan Tusuk Kundai Kumala 23 Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Pecut Sakti Bajrakirana 10
^