Pencarian

Wanita Iblis 22

Wanita Iblis Karya S D Liong Bagian 22


tengah mendatangi. Rupanya karena tak faham akan keadaan terowongan situ, orang itu
berjalan dengan perlahan lahan.
Diam diam Kat Hong bersiap. Asal melihat seseorang muncul, tentu akan disongSong
dengan pukulan Bu ing sin-kun.
Orang itu makin lama makin dekat dan samar samar terdengar suara napasnya yang
berat. Tiba tiba Bwe Hong Swat menghela napas perlahan, bisiknya, "Rupanya orang itu
menderita luka parah. Kita temui!"
"Bagaimana nona tahu?" Kat Hong heran.
"Kudengar suara napasnya," kata Bwe Hong Swat seraya melangkah maju.
setelah membiluk dua buah tikungan, mereka melihat sesosok tubuh. Kedua tangan
orang itu mcayanggah dinding terowongan dan melangkah pelahan dengan terhuyung
huyung. Rupanya sepasang tangannya itu sudah tak kuat menahan tubuhnya yang berat.
Walaupun dalam terowongan yang sangat gelap tetapi segera Bwe Hong Swat dapat
melihat jelas raut muka orang itu. Ia berhenti dan suruh Kat Hong, "Lekas tolong, dia
adalah saudaramu!" sekalipun tumpahkan seluruh ketajaman matanya tetapi Kat Hong hanya mampu
melibat sejauh tujuh delapan tombak. Yang dilihatnya hanya sesosok tubuh orang berjalan
merayapi dinding terowongan. Tetapi ia tak tahu siapakah orang itu. Mendengar perintah
Bwe Hong Swat tanpa ragu ragu lagi ia cepat lari kemuka. Dan ketika mengamati, ternyata
memang adiknya Kat Wi. "Adik Wi, adikku, mengapa engkau!" serunya cemas seraya memeluk orang itu.
Dengan terengah-engah Kat Wi menyahut, "Aku, aku menderita".luka".parah"."
"Siapakah yang melukaimu. Lekas bilang!"
Bwe Hong-Swat cepat menyeletuk, "Dia sedang terluka berat, jangan ditanya apa-apa
lagi. Lekss tutuk supaya pingsan agar tenaganya jangan terhambur habis. setelah keluar
dari sini, sembuhkan dulu lukanya baru engkau tanyai dia."
Kat Hong menurut saja apa yang diperintah si jelita. selain kagum akan kesaktian Bwe
Hong Swat, pun yang penting ia benar benar sudah menhambakan diri dalam kepatuhan
yang tulus ikhlas. segera ia menutuk adiknya pingsan lalu memanggulnya.
Mereka melanjutkan perjalanan lagi. Bwe Hong-Swat memang faham benar jalanan
disitu. satelah melalui entah berapa banyak tikungan dan persimpangan, akhirnya mereka
melibat cahaya matahari. Ternyata mulut jalanan keluar itu merupakan dasar lembah yang dipagari karang
gunung yang tinggi curam. Karang bukan main licin dan tajamnya. Kecuali menggunakan
ilmu Pik hou-kaug atau Cicak merayap, tak mungkin dapat memanjat keatas.
Bwe Hong Swat berpaling. Wajahnya tetap dingin. Dipandangnya Kat Wi yang
dipanggul Kat Hong itu, ujarnya "Tak apalah, lukanya meskipun patah tetapi masih ada
harapan ditolong. Tunggulah dimulut lembah sini. setelah aku berhasil mencapai puncak
karang, akan kuturunkan tali untuk menarik kalian keatas."
Tanpa menunggu jawaban Kat Hong, si jelita itu segera lekatkan punggungnya
kekarang lalu mulai menyusur keatas.
Gerak si jelita itu tak ubah seperti seekor ikan meluncur dalam air. Cepatnya bukan
kepalang. Dalam waktu tak berapa lama, sudah mencapai puncak dan lenyap.
"Celaka, nona itu selalu dingin kepadaku Jika ia menggunakan kesempatan ini untuk
lolos, bukankah berarti aku dan adikku akan terdampar dalam dasar jurang ini?" diamdiam
ia meragukan Bwe Hong-Swat.
Tiba-tiba sesosok bayangan putih muncul dan seutas tali meluncur turun tepat jatuh di
muka mulut terowongan. "Pegang erat-erat ujung tali, akan kutarik kalian keatas. Awas, hati-hatilah, adikmu
sedang sakit berat!" teriak Bwe Hong Swat pada lain saat.
Girang Kat Hong bukan kepalang, sahutnya, "Harap nona jangan kuatir!" ia memegang
tali dengan tangan kanan dan tangan kiri memeluk adiknya.
Pada saat tubuh kedua pemuda itu terangkat naik beberapa tombak, tiba tiba dari
mulut terowongan itu menghembus segelombang angin prahara yang dahsyat sekali.
Dahsyatnya seperti gunung rubuh.
"Berbahaya sekali," diam diam Kat Hong mengeluh, "Jika terlambat sedikit, kita pasti
mati." Tak berapa lama, kedua saudara itupun tiba dipuncak. Bwe Hong Swat sudah tak
mengenakan pakaian putih lagi. Ternyata nona itu merobek pakaiannya untuk dijadikan
tali tadi. Nona itu hanya memakai pakaian dalam Warna merah.
Ditimpah sinar mentari pagi, kulit sijelita yang putih itu makin gilang gemilang
menonjolkan kecantikannya.
Kat Hong terlongong".
"Libat apa engkau! Mungkin nasib kalian belum ditakdirkan mati!" bentak Bwe Hong
Swat. "Atas budi pertolongan nona, takkan ku lupakan seumur hidup"."
Bwe Hong-Swat suruh pemuda itu lekas meletakkan adiknya, kemudian ia memeriksa
nadi Kat Wi Lalu mulai mengurut urutnya.
"Apakah engkau luka karena adu pukulan" Dengan siapakah engkau berkelahi?"
tanyanya. Kat Wi pelahan pelahan membuka mata dan memandang Bwe Hong Swat dan berseru
kaget, "Siapakah engkau" Dimanakah engkoh ku?"
"Aku disini," buru buru Kat Hong menyahut.
"Engkoh, siapakah nona ini!" seru Kat Wi.
"Inilah nona Bwe. Jiwa kita dia yang menyelamatkan. Lekas jawab pertanyaannya!"
Kat Wi mengangguk dan menyahut kepada Bwe Hong-Swat, "Benar aku telah beradu
pukulan dan menderita luka dalam"."
"Cukup, tak perlu banyak bicara. Tutup matamu, akan kuurut lagi beberapa jalan
darahmu baru nanti kuberimu minum pil. Tentu sembuh," Kata Bwe Hong-Swat.
Kat Wi tak berani membantah. Ia rasaksn jari jemari yang halus menelusuri tubuhnya.
setiap jari nona itu menekan, tentu Kat Wi rasakan suatu gelombang hawa hangat
menembus dadanya. Melihat adiknya dipijiti jari jari yang seperti mutiara, timbullah rasa iri hati pada Kat
Hong. Diam diam ia merancang rencana yang indah, "Jika dapat selalu berkumpul dengan
jelita itu, aku harus mencari kesempatan untuk terluka"."
Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh sebuah tertawa dingin. Ketika Kat Hong memandang
ke muka ternyata tampak seorang nona baju biru tegak diujung gunung. Tangannya
mencekal sebuah senjata aneh mirip dengan tanduk rusa merah membara.
Itulah Tong Bun kwan, murid pertama dari Beng Gak.
Melihat itu Kat Hong cepat loncat bangun dan menjemput dua butir batu. Ia bersiapsiap
untuk menjaga kemungkinan nona baju biru akan mengganggu Bwe Hong gwat yang
tengah mengobati Kat Wi. "Sam sumoay," nona Tong itu tak mengacuhkan sikap Kat Houg dan memandang ke
arah Bwe Hong Swat, "melepaskan pakaian putih berganti pakaian merah, tentu
mempunyai hajat yang menggembirakan"."
Bwe Hong Swat tak mau menghiraukan. Dia tetap mengurut tubuh Kat Wi.
"Bwe Hong-Swat, berpaling dan lihatlah siapa yang datang ini!" teriak Tong Bun-kwan
dengan marah. Bwe Hong Swat mempercepat urutannya setelah itu baru ia perlahan sahan
mengangkat kepala dan memandang Tong Bun kwan.
"Apakah aagkau belum dibunuh Oleh pemimpin Beng gak itu?" tegurnya dengan segan
lalu tundukkan kepalanya lagi. Mengeluarkan botol obat dan menuang sebutir pil lalu
disusupkan kemulut Kat Wi
semasa masih digunung, pengaruh Tong Bun kwan besar sekali. setiap kali berjumpa,
kecuali memberi hormat dan tunduk. Bwe Hong swat pun diharuskan menjawab setiap
pertanyaan yang di ajukan Tong Bun kwan.
Karena kebiasaan itu maka sikap yang di unjuk Bwe Hong Swat saat itu, sangat
menusuk perasaan Tong Bun kwan. Nona itu meraung seperti singa betina kelaparan lalu
lari menyerbu. Kat Hong yang sudah siap sedia, segera menggembor keras. Dengan tangan kanan
menimpuk kedua butir batu, tangan kiri menghantam dengan pukulan Bu-ing-sin-kun".
Dengan angkuh Tong Bun Kwan tersenyum aneh. Ia memutar senjatanya yang aneh
untuk menangkis batu seraya melangkah maju. Tetapi tiba-tiba serangkum angin kuat
melandanya. Dia tak menyangka sama sekali bahwa Kat Hong memiliki pukulan Bu-ing-sin kun. Maka
sama sekali ia tak berjaga-jaga. Bahu kirinya termakan pukulan tak kelihatan itu dan
tersurat mundur dua langkah".
Untunglah Tong Bun kwan sudah memiliki tenaga dalam yang tinggi. Dengan cepat ia
miringkan bahu, menghapus tenaga pukulan lawan dan maju kemuka.
Kat Hong tidak membekal senjata. Tetapi ia tak gentar. Ilmu kepandaiannya beraneka
ragam. sambil berputar diri, ia gunakan ilmu Cong chiu jip-peh jim atau dengan tangan
koSong menyusup kedalam barisan senjata. Dia maju menyongSong tetapi dicegah oleh
Bwe Hong Swat, "Mundurlah!"
Kat Hong menyurut mundur.
Dengan mengenakan pakaian dalam warna merah. Bwe Hong-Swat maju
menyongsong. Tong Bun kwan hentikan langkah. Ia mencabut pedang yang tersanggul dipunggung.
Bwe Hong-Swat tertawa dingin, "Pedang itu miliknya, lekas berikan padaku!"
"Siapa yang engkau maksudkan?" Tong Bun-kwan balas tertawa hina.
"Pui Siu-lam!" sabut Bwe Hong Swat.
sejenak Tong Bun kwan memandang kepada Kat Hong dan KatWi lalu bertanya,
"Siapakah mereka itu?"
"Tak perlu engkau tahu!" jawab Bwe Hong Swat singkat.
"Tetapi rupanya engkau beralih hati. Tak menghendaki orang she Pui itu lagi"."
"Jangan ngoceh tak keruan!" tukas Bwe Hong Swat, "aku sudah mengikat sumpah
dengan dia untuk sehidup semati. Masakan semudah itu berbalik bati?"
Tong Bun-kwan tertawa mengekeb, "Uh, sam sumOay yang halus budi"." riba tiba ia
berganti nada dingin lalu, "begitu kematian-kematian engkau menumpahkan cinta
kepadanya. Tetapi tahukah engkau bagaimana sikapnya kepadamu?"
"Bagaimana aku tahu hal itu betapapun halnya, diriku adalah menjadi tanggungannya
dan aku tak berhak campur tangan!"
Tong Ban kwan terkesima ujarnya, "Sam sumoay, kita sudah belasan tahun hidup
bersama dalam perguruan. Tetapi makin lama makin tak tahu bagaimana jalan pikiranmu.
Engkau bukan seorang wanita jalang tetapipun bukan seorang istri yang suci"."
Tiba tiba Bwe Hong Swat membentak bengis, "Hati hatilah aku hendak mewakilinya
merebut pedangmu itu!"
Ucapan itu diserempaki dengan gerakan melesat kesamping Tong Bun-kwan dan
menyambar tangan kiri Tong Bun-kwan yang mencekal pedang.
Bukan kepalang kejut Tong Bun kwan atas gerakan Bwe Hong Swat yang sedemikian
gesitnya. Ia loncat mundur.
"Apakah engkau mampu menghindari?" seru Bwe Hong Swat dengan dingin dan
laksana bayangan ia loncat mengejar.
Tong Bun kwan mengendspkan tangan kirinya dan menghantam dengan senjata tanduk
rusa di tangan kanan. Bwe Hong Swat mengangkat telunjuk jarinya dan scangkum angin melanda jalan darah
Jok ti hiat di lengan kanan Tong Bun kwan.
Tong Bun kwan terpaksa hentikan serangannya dan loncat mundur lagi. Tetapi dia
kalah cepat. Lengan kirinya telah di cengkeram Bwe hong Swat. seketika lengan kirinya itu
kesemutan dan tahu-tahu pedang Ceng liong kiam sudah pindah ke tangan Bwe bong
Swat". Cara merebut senjata semacam itu benar-benar jarang tampak dalam kalangan
persilatan. Kat bong dan Kat Wi terlongong kesima.
setelah merebut pedang, Bwe Hong Swat tujukan ujung pedang kedada Tong Bunkwan
dan berkata, "Jika saat ini kubunuh kau, hanya cukup untuk menggerakkan tangan
saja," tiba-tiba ia lepaskan cengkeramannya dan melanjutkan kata-katanya, "Tetapi aku
tak ingin membunuhmu. Lekas enyah dari sini!"
Tong Bun-kwan terbeliak dan menghela napas, "Benar benar tidak nyana hanya dalam
waktu setengah tahun saja, kepandaianmu telah maju sedemikian pesat. Ketika di Beng
gak aku kira aku lebih unggul dari sumoay."
sahut Bwe Hong Swat, "Dahulu sebutan suci dan sumoay, sekarang sudah hapus.
Jangan panggil aku sebagai sumoay lagi. Lekas pergilah!"
Tong Bun kwan mengamati Bwe Hong-Swat dari kepala sampai ke ujung kaki. Entah
bagaimana, ia merasa kehilangan perbawa.
"Betapapun saktinya kepandaianmu kini, tetapi kita tetap mempunyai ikatan sebagai
saudara seperguruan. seumur hidup, aku tetap sucimu!"
Bwe Hong-Swat dingin, "Sudah tentu ada bedanya. Pemimpin Benggak itu berguru
pada Lo Hian. Dengan demikian kepandaian yang kita peroleh selama ini adalah berasal
dari ajaran Lo Hian. Ketika kalian memaksa aku bunuh diri terjun kedalam Telaga darah,
diluar dugaan, aku malah mendapat peruntungan besar bertemu, dengan Lo hian yang
menerimaku sebagai muridnya. Dalam surat Wasiatnya almarhum Lo-hian jelas
mengatakan bahwa sekalipun pernah menerima murid tetapi murid murid itu sudah diusir
dan tak di akuinya lagi. Aku adalah muridnya yang terakhir dan diakui sebagai murid satu
satunya. Meskipun dia tidak mendirikan partai atau perguruan, tetapi barang siapa
menerima ajaran dan Lo-hian, harus menganggap aku sebagai pemimpin mereka. Oleh
karena itu, kedudukan kita sekarang sudah berbeda. Jangankan hanya engkau, sekalipun
gurumu wanita dari Benggak itu, pun harus memberi hormat kepadaku"."
Bwe Hong gwat berhenti sejenak lalu melanjutkan lagi, "Mengingat dahulu kita pernah
bersama, kali ini kuberimu kelonggaran. Lekaslah angkat kaki dari sini! Pedang ini bukan
milikmu. untuk sementara, akan kusimpan. Kelak akan kukembalikan kepada yang
empunya" Rupanya Tong Bun kwan jeri terhadap kesaktian Bwe Hong swat. Ia tak berani
membantah lagi. Berputar tubuh ia terus bergegas pergi.
"Tunggu!" tiba tiba Bwe Hong Swat berseru.
Tong Bun kwan tertegun tetapi ia tetap menurut perintah. "Mengapa?" ia berpaling.
"Pinjamkan pakaian luarmu itu padaku!"
Tong Bun kwan kerutkan alis dan menggeleng, "Ah, jangan bergurau"."
Bwe Hong Swat melangkah maju dan menukasnya, "Siapa yang bergurau padamu.
sekali lagi kuminta pinjam pakaianmu itu. Kalau keberatan, engkau harus tinggal disini!"
Tong Bun-kwan terbeliak. Akhirnya ia melolos juga pakaiannya dan diberikan. setelah
msnyambuti, Bwe Hong Swat perintahkan Tong Buta kwan pergi. Dan tanpa
menghiraukan bagaimana reaksi orang, Bwe Hong Swat terus memakai pakaian luar itu
lalu ayunkan langkah menuruni gunung.
Kat Hong mengajak adiknya menyusul nona itu. Bwe Hong Swat tak mengacuhkan
kedua anak muda itu. setelah berjalan tujuh delapan li jauhnya, ia berhenti dan menegur,
"Kenapa kalian mengikuti aku?"
Kat Hong terkesiap. Pada lain saat ia tertawa, "Kami akan mengikuti selama-lamanya
untuk menjaga nona!"
"Wanita dan pria pantang bergaul. Kalian pria mengapa mengikuti aku seorang gadis.
Bukankah dunia ini luas sekali" sekarang sudah aman, kalian tidak perlu mengikuti aku
lagi!" kata Bwe Hong- Swat.
Kat Hong menghela napas, "Apakah nona menganggap alasan kami mengikuti nona itu
hanya karena akan berlindung pada nona?"
"Entah aku tidak tahu," sahut Bwe Hong Swat.
"Sesungguhnya ada dua tujuan mengapa aku ikut nona," kata Kat Hong pula.
"Katakan!" "Kami berdua telah mempelajari sekian banyak macam ilmu silat tetapi masih banyak
yang belum jelas penggunaannya. Bila selalu dengan nona, tentu dapat meminta
petunjuk. Di samping itu, apabila dapat melakukan perintah nona. hatiku sudah puas"."
berkata sampai disitu, Kat Hong memberanikan diri menatap wajah Bwe Hong-Swat.
Pandang matanya mencurah ratap permohonan kasih.
Bwe Hong Swat tertegun, sahutnya- "Tidak! Mana boleh pemuda dan pemudi bergaul
lama-lama. Jika tersiar didunia persilatan tentu menimbulkan esmohan orang orang yang
iseng mulut!" habis berkata Bwe Hong-Swat berputar terus lari.
Kat Hong mengajak adiknya mengejar.
Bwe Hong-Swat berhenti dan berpaling. Ketika melihat kedua saudara itu mengejar, ia
marah sskali, "Mengapa kalian terus menerus mengikuti aku saja!"
Kat Hong hendak membuka mulut tetapi ia tak dapat menemukan jawaban. Akhirnya ia
diam saja. Bwe Hong-Swat tertawa dingin, "Jika kalian tetap mengikuti aku saja, jangan sesalkan
tindakanku nanti!" ia berputar tubuh lalu berjalan lagi.
Kat Hong termangu. Pada lain saat ia menyusul lagi.
setelah melintasi dua buah puncak bukit tibalah Bwe Hong-Swat dimulut gunung.
Tampak sepasang muda mudi tengah duduk di bawah pohon rindang. Ketika mengetahui
siapa mereka itu, Bwe Hong Swat terkesiap.
Kedua muda mudi itu bukan lain adalah Siu-lam dan Hian-Song. Mereka rupanya letih
sekali. Bersandar pada batang pohon dan tidur lelap.
Bwe Hoog Swat maju menghampiri. Disamping Hian Song terletak pedangnya dan
dibawah pohon itu terdapat ceceran bekas darah. Tentu belum berselang lama, ditempat
itu terjadi pertempuran dahsyat. Kedua anak muda itu berhasil menghalau musuh tetapi
mereka sendirian letih sekali sehingga tertidur.
Bwe Hong-Swat pelahan lahan membungkuk dan memungut pedang Hian song. Diam
diam ia membatin, "Jika saat ini kubunuh anak perempuan ini adalah semudah
membalikkan telapak tangan. Ah, dia telah merebut suami, memang sudah seharusnya
dibunuh". " serentak pedang diayun menuju kedada Hian song. Pada saat maut hendak merenggut
jiwa dara itu, tiba tiba Bwe Hong Swat menarik, kembali pedang itu.
"Jika kubunuhnya, Siu-lam tentu benci kepadaku seumur hidup. tentu takkan selesai
persoalanku dengan pemuda itu"." ia menimang dan pelahan lahan turunkan pedangnya.
Tring". karena terbenam dalam lamunan, tak terasa pedang itupun jatuh ketanah dan


Wanita Iblis Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menerbitkan bunyi bergemerincingan".
Tiba tiba Hian-Song membuka mata, loncat bangun dan menghantam Bwe Hong Swat.
Bwe Hong Swat menghindar, menjemput pedang ditanah dan melemparkan kepada Hian
song, "Dengan tangan kosong, tak mungkin engkau menang dengan aku. Pakailah
pedangmu!" Menyambuti pedang, Hian Song tegak mematung. sepasang matanya memancarkan
dendam kemarahan yang berapi api, "Berapa banyak engkau membawa kawan kawanmu
kemari?" "Jika hendak kubunuhmu, sekalipun engkau mempunyai nyawa rangkap sepuluh, tetapi
dapat kubunuh!" sahut Bwe Hong Swat.
Hian Song membungkuk kebawah untuk memanggul Siu-lam lalu berkata, "Kelak jika
engkau jatuh ketanganku, akupun akan mengampuni jiwamu satu kali, untuk membalas
budimu saat ini." Dara itu terus lari membawa Siu-lam.
Dengan beberapa loncatan, Bwe Hong-Swat menghadang dimuka Hian song, "Jangan
terburu buru dulu." sebagai penyahutan, Hian Song menjabat dengan pedang. sekaligus lima jurus telah
dilancarkan. Cepatnya laksana kilat menyambar nyambar memecah angkasa.
Bwe Hong Swat tak mau balas menyerang melainkan berlincahan menghindar seraya
berseru, "Jangan menyerang dulu, aku hendak bicara!"
"Lekat bilang!" bentak Hian song.
"Ilmu pedangmu memang hebat dan luar biasa perubahannya. Tetapi sumbernya dari
ajaran Lo Hian. Orang lain tentu dapat kau tundukkan tetapi jangan harap engkau mampu
merontokkan selembar rambutku jua. Jika berkelahi, jangan harap engkau dapat menang
dengan aku!" Memang lima jurus serangan yang dilancarkan Hian soug tadi, meupakan ilmu pedang
istimewa. Tetapi ternyata dengan mudah Bwe Hong Swat dapat menghidari. Jelas ucapan
Bwe Hong Swat itu memang suatu kenyataan, bukan pernyataan kosong.
Hian-Song termangu diam. Bws Hong-Swat menghela napas panjang lalu berkata pula,
"Kita tak bermusuhan tetapi engkau membenci aku setengah mati" Bukankah karena diri
Pui Siu-lam" sesungguhnya dia adalah suamiku. Engkau mentah mentah merebut
suamiku, akulah yang seharusnya benci kepadamu"."
"Jangan ngaco!" bentak Hian Song, "kapankah suhengku mengambilmu sebagai isteri"
Mengapa tak pernah kudengar ia menceritakan hal itu?"
"Disaksikan oleh Dewi Rembulan kami telah bersumpah untuk hidup semati. Bumi dan
Langit menyaksikan perjodohan itu, apakah hal itu palsu?"
"Siapa mau percaya obrolanmu itu, Jika memang benar, tentu dulu dulu suheng sudah
mengatakan kepadaku," kata Hian Song.
Bwe Hong-Swat kerutkan alis, ujarnya, "Engkau tak mau percaya, akupun tak dapat
berbuat apa apa"." Ia menghela napas panjang lalu berkata, "Tak peduli engkau percaya
atau tidak, tetapi dalam kehidupan sekarang ini aku adalah milik keluarga Pui. seorang
wanita suci takkan bersuami dua orang. Aku Bwe Hong Swat bukanlah wanita pasaran"."
"Sudahlah jangan omong lagi, aku tak sudi mendengar. kata katamu itu bohong
semua!" teriak Hian Song sambil memutar pedang dan menerjang lagi.
Bwe Hong Swat menyingkir memberi jalan serunya, "Bila dia sudah sadar tanyakanlah
padanya benar atau tidak keteranganku tadi!"
Tetapi Hian-Song sudah menerobos jauh". Tanpa berpaling lagi, ia gudah lenyap
dalam kegelapan. setelah dara itu lenyap, barulah Bwe Hong Swat berpaling kebelakang Kat Hong dan
Kat Wi berada beberapa tombak jauhnya. Melihat itu, kemarahan Bwe Hong Swat
ditumpahkan kepada kedua pemuda itu.
"Jika kalian tetap mengikuti saja, awas, tentu kuremukan batok kepala kalian!"
teriaknya dengan murka. Lalu ia berjalan lagi tetapi dengan langkah pelahan sekali. Kira-kira tiga empat li, ia
berpaling dan ah".Kat Hong dan Kat Wi sudah tak tampak lagi.
sementara dengan menahan kemarahan, Hian Song membawa lari Siu-lam sampai
belasan li jauhnya. setelah melihat tiada yang mengejar barulah dara itu berhenti disebuah
tempat yang sunyi. Ia meletakkan Siu-lam dan mulai mengurut beberapa jalan darah
ditubuh pemuda itu. Terdengar Siu-lam menghela napas panjang dan perlahan lahan membuka matanya,
"Apakah kawanan orang itu sudah pergi?"
"Sudah kuhalau semua," sahut Hian Song dengan nada segan.
"Ah, banyak menyibukan sumoy. Lukaku baru sembuh, tenagaku belum pulih sehingga
tak dapat membantu sumoy. sungguh aku merasa menyesal," kata Siu-lam pula.
"Andaikata aku tak dapat mengundurkan mereka, mereka tentu membunuh kita. Dan
rasanya hal itu malah lebih baik," sabut Hian-soag dengan dingin.
Siu-lam tertegun, "Sumoay mengapa engkau berkata begitu"." tiba tiba ia teringat
bahwa selama beberapa hari ini, Hian Song banyak sekali menolong dan melindungi
jiwanya dari genggaman sinona baju biru. Terpaksa ia menahan ucapannya dan berganti
tertawa hambar, "Ah, selama beberapa hari ini aku memang membikin repot engkau. Ai,
demi menjaga keselamatanku, engkau banyak mengalami peristiwa peristiwa yang
berbahaya?" "Jangan bicara lagi!" bentak Hian Song marah. Dara itu mendalam sekali cintanya
kepada Siu-lam. Maka sampai saat itu ia masih marah sekali mendengar keterangan Bwe
Hong Swat tadi. Siu-lam tertegun diam. Akhirnya setelah sama berdiam diri beberapa waktu, Hian Song
tak dapat bersabar lagi, serunya, "Apakah engkau sudah beristeri?"
Siu-lam terbeliak kaget, sahutnya tersipu, "Tak pernah terjadi hal itu. siapakah yang
mengatakan?" "Hm, yang mengatakan itu masih hidup orangnya, mengapa engkau menyangkal!"
"Siapa yang bilang!"
"Bwe Hong Swat!" sahut Hian-song, "bahkan sucinya yang berbaju biru itupun
mengatakan kepadaku juga!"
Teringat akan sumpah dibawah sinar Rembulan dahulu, Siu-lam tak dapat bicara.
"Mengapa engkau diam saja!" bentak Hian song, "apakah karena dia cantik maka
engkau lantas terkenang padanya?"
Siu-lam mengangkat kepala dan menatap si dara dengan tajam. Ia tahu babwa kalau
tak diberi panjelasan sejujurnya, tentulah urusan itu akan berlarut larut. Ia menghela
napas. "Kalau ia mengatakan dirinya sebagai istriku, bukanlah tiada sebabnya!" katanya.
Wajah Hian Song meregang tegang. "Hemm. kalau begitu keterangannya itu memang
benar".?" sejenak Siu-lam tergugu. Pada lain kejab ia menyabut, "Persoalan itu mempunyai liku
liku yang panjang. Mungkin orang tak percaya apabila kuceritakan"."
"Ceritakanlah!" kata Hian song. Siu-lam terpaksa menuturkan peristiwa itu. Tentang ia
dengan Bwe Hong Swat mengangkat sumpah dibawah rembulan, demi untuk menghindari
bahaya pada saat itu. Hian-Song mendengus, "Masalah penting semacam itu, bagaimana gampang gampang
saja kau meluluskan. seharusnya malam itu kau menolak!"
"Ah, aku tak menyangka peristiwa itu akan dianggapnya sungguh sungguh," kata Siulam.
Hian-Song tundukkan kepala merenung.
Tiba-tiba ia menatap Siu-lam dengan iekat dan bertanya, "Jawablah, bagaimana
dengan diri ku?" Siu-lam terbeliak. "Aku tak mengerti bagaimana maksud sumoay?"
Tiba tiba dara itu bercucuran air mata, ujarnya, "Sejak kecil aku sudah sebatang kara.
Dilahirkan tanpa dipelihara. sayang sampaipun siapa nama ibuku itu aku tak tahu. Kakekku
yang berwatak aneh itu yang merawat aku. Meski-pun dia amat menyayang padaku, tetapi
karena dia mengidap penyakit, wataknya pun aneh. Dua tiga hari belum tentu bicara
sepatah katapun dengan aku"."
Siu-lam menghela napas, "Karena menderita penyakit itulah maka Tan lo cianpwe
tampaknya tak memperhatikan dirimu. Tetapi sebenarnya, beliau amat sayang sekali
kepadamu. Demi kau beliau telah berjuang keras untuk mempertahankan hidupnya,
menderita siksaan penyakit yaug hebat!"
Hian Song mengulap air matanya, "Tetapi kakek sudah meninggal. Dalam dunia seluas
ini aku hanya sebatang kara. Tiada sanak sandang kecuali kau!"
"Asal aku masih hidup, tentu akan merawatmu," Siu-lam menghiburnya.
Dara itu menghela napas, "Tetapi lebih baik kau mati dari pada hidup!"
"Mengapa?" Siu-lam terkesiap.
"Jika kau mati, akupun akan menderita tapi hatiku lega karena tak kuatir Bwe Hong-
Swat akan merebutmu!" sahut Hian-song.
Siu-lam terkecoh hatinya. Ketika ia hendak menghibur dara itu, tiba tiba ia teringat
akan Ciu Hui-ing, sumoay yang menjadi kawan sepermainan dalam masa kanak-kanaknya.
Buru-buru ia batalkan ucapannya.
"Ab, ternyata Bwe Hong Swat menganggap sungguh sumpah ikatan jodoh ditepi telaga
dulu, pikir Siu-lam, di mana ia menyatakan dirinya sebagai istri keluarga, Pui."
Melihat Siu-lam termenung menung memandang rembulan, Hian Song bercucuran
airmata. Katanya pelahan, "Memang kutahu dalam hatimu tiada diriku lagi. Hanya karena
mengingat budi telah menolong jiwamu, maka engkau sungkam terhadapku"."
Siu-lam berpaling memandang dara itu. Di lihatnya dara itu kecewa putus asa. Dalam
keputusasaan itu, tampaklah sinar kenekatan yang memancarkan bawa pembunuhan.
Karena sekian lama belum juga Siu-lam bicara, makin marahlah Hian Song. Melirik
kearahnya tampak pemuda itu masih memandang langit dengan asyiknya.
Tiba tiba meluaplah kemarahan Hian-song. Ia tertawa nyaring. Nadanya melengking
menutuk ulu hati. "Sumoay, mengapa engkau?" tanya Siu-lam.
Hian Song hentikan tertawanya. sahutnya dingin, "Apakah engkau masih ingat akan
sepatah kataku dahulu?"
"Apa?" "Jika kuberimu hidup sehari, engkau tak boleh meninggalkan aku!"
Siu-lam terkesiap, "Sumoay"."
Hian Song tertawa hambar, "Nanti pelahan lahan engkau tentu mengetahui"." tiba-tiba
dara itu menutuk jalan darah Siu-lam sehingga pemuda itu pingsan seketika.
Entah berselang berapa lama, Siu-lam rasakan jalan darahnya telah terbuka. Ketika
membuka mata, tampak dihadapannya tersedia sepinggan daging sapi dan dua biji bakpau
serta sebaki gulai. Hian Song tertawa-tawa duduk disebelahnya.
sekalipun lapar tetapi diam diam Siu-lam curiga, "Sumoay, bagaimana artinya ini?"
"Makanlah, kita masih akan melanjutkan perjalanan lagi," Hian Song tertawa.
"Kemana?" tanya Siu-lam heran, "aku akan mencari tempat yang sunyi untuk
mengobati luka ku. setelah itu akan memenuhi perjanjian dengan Kak Hong dan Kak Hui."
"Siapa kedua orang itu?"
"Dua orang locianpwe yang masih hidup dalam gereja siaulim-si!"
Hian Song menengadah dan tertawa mengikik. "Kita pergi ke tempat yang sunyi, ya
sunyi sekali. Disana hanya terdapat kita berdua saja"."
Ia berhenti sejenak lalu berkata pula, "Sudah sehari untuk engkau tak makan. Makanlah
dulu baru nanti bicara lagi."
Diam diam Siu-lam memperhatikan bahwa sikap dan nada ucapan Hian Song saat itu
berubah tak sewajarnya. Apakah ia sudah dapat membebaskan diri dari keresahan soal
asmara" Demikian Siu-lam menduga duga girang.
Siu-lam pun segera makan hidangan itu.
"Kenyang?" tanya Hiau-song. Siu-lam mengiakan. Tiba tiba jari dara itu menutuk tubuh
Siu-lam lagi. Belum sempat pemuda itu bertanya, ia sudah pingsan lagi.
Dsmikian hal itu berulang ulang terjadi sampai beberapa hari. Siu-lam tersadar, disuruh
makan lalu ditutuk jalan darahnya lagi.
setiap kali tersadar Siu-lam menanyakan tempat ia berada tetapi selalu dijawab tak
jelas oleh Hian song. Hari itu kembali Siu-lam tersadar. Ketika membuka mata, ia terperanjat. Kiranya kedua
lengan dan kedua kakinya telah dirantai. Begitu pula dadanya diikat dengan tali urat
kerbau. Dia hanya diberi kelonggaran untuk dapat duduk.
Pedang Hian Song dan benda benda perbekalannya ditaruh tak jauh sebelah muka.
Tetapi dara itu entah dimana.
Kini Siu-lam tersadar bahwa dirinya akan mengalami keadaan baru. Keadaan yang
penuh dengan siksa derita. suatu pengalaman yang akan menghias lagi sejarah hidupnya.
Untuk itu ia harus berlaku setenang mungkin.
Siu-lam pejamkan mata dan menyalurkan peredaran darahnya untuk menekan
kemarahan yang mulai meluap.
Kira kira sepenanak nasi lamanya, tiba-tiba terdengar derap orang mendatangi. Ia
berpaling. Tampak Hian Song dengan wajah berseri seri mengeluakan pakaian baru,
melangkah masuk. sejenak dara itu memandang Siu-lam dengan tertawa "Pui suheng,
engkau sudah tersadar?"
Siu-lam sudah memperoleh ketenangannya kembali. Ia menginsyafi bahwa tak perlu ia
mengumbar kemarahan. "Sudah beberapa saat," sebutnya tawar.
Hian-soug berjongkok dan tertawa ramah, "Kini kedua lengan dan kakimu terikat rantai.
Makan dan berpakaian harus kubantu!"
Dengan sekuat usaha Siu-lam menyahut setenang mungkin, "Entah apakah maksud
sumoay mengikat diriku begini?"
"Mengapa masih bertanya lagi?"
"Bagaimana kutahu kalau tak bertanya?" bantah Siu-lam.
"Engkau memang tak bersalah padaku. Hanya kutakut engkau berobah hatimu. Ai, aku
hendak merawatmu selama lamanya. Terpaksa banya menggunakan cara ini!"
Siu-lam kerutkan alis dan tertawa hambar, "Kusadari sedalam dalamnya maksud
sumoay kepada diriku. Tetapi sumoay telah melalaikan suatu hal."
"Apa?" "Tali rantai yang berat ini hanya dapat mengikat jaiimaniku. Tetapi tak dapat merantai
hatiku!" Hian-Song terkesiap, ujarnya rawan, "Jika tak memakai cara itu, mungkin orangnyapun
tak dapat kukuasai."
Siu-lam tak mau mendesak lebih lanjut. Ia kuatir dara yang sedang dimabuk kepayang
itu akan salah fabam jika mendengar kata-kata yang tak berkenan pada hatinya. Ia
memutuskan untuk memberi penjelasan secara pelahan-lahan.
Kembali Hian Song berkata dengan ramah, "Aku sudah membeli bermacam macam kain
sutera, gunting, jarum dan benang serta perlengkapan dapur"."
Diam diam Siu-lam menduga bahwa dara itu benar benar hendak membawanya
kesuatu tempat yang jauh dari masyarakat ramai.
"Perlu apa engkau membeli barang barang itu?" tanyanya.
Hian Song menghela napas panjang, "Hendak kubuatkan banyak sekali pakaian
untukmu" "Hab, masakan aku sering memakai pakaian baru, tapi masih dirantai begini?" diam
diam Siu-lam menggerutu. "Siang malam aku senantiasa akan berada didampingmu menemani engkau," dara itu
kembali menghela napas. "Ah, mengapa sumoay begitu menyiksa diri?" Siu-lam geleng geleng kepala.
"Jangan kuatir, aku telah mendapatkan suatu tempat untuk tempat tinggal kita selama
lamanya. Alamnya indah sekali, penuh dengan rumput hijau dan bunga bunga yang
senantiasa mekar sepanjang tahun. Dua hari lagi setelah kusiapkan bekal perjalanan, kita
nanti berangkat," kata Hian song.
"Dengan merantai kaki tanganku begini, aku takkan dapat menikmati hidangan yang
betapa lezatnyapun."
"Tak apalah, nanti setelah persiapan selesai, tentu akan kulepaskan rantai pengikat itu
dan akan kuganti dengan seutas rantai panjang agar engkau dapat oergerak lebih bebas.
Tetapi hanya sejauh seratus langkah saja engkau boleh bergerak."
"Engkau masih akan mempersiapkan apa lagi?" tanya Siu-lam. Diam-diam ia geli
masakan seutas rantai mampu membatasi gerak geriknya.
"Ahh, jangan bersorak kegilangan dulu," Hian-Song tertawa, "begitu kubebaskan rantai
pengikatmu itu, saat itu juga seluruh kepandaianmupun turut kulenyapkan!"
"Apa" Engkau hendak melenyapkan ilmu kepandaianku?" Siu-lam terkejut bukan
kepalang. "Perlu apa engkau memiliki kepandaian silat yang tinggi" Bukankah makan dan
pakaianmu telah kusediakan semua!"
"Wanita adalah makhluk yang paling kejam. Rupanya kata kata itu memang tepat,"
diam diam Siu-lam berkata dalam hati. Namun ia tak mengucapkan apa-apa kecuali
tundukkan kepala. "Pui suheng, apakah engkau membenciku?" dengan nada halus lembut, Hian-Song
bertanya. Siu-lam mengangkat kepalanya pelahan-lahan, sahutnya, "Jiwaku adalah engkau yang
menolong. Jika diriku akan hancur ditanganmu, hal itu sudah selayaknya."
Hian song terkesiap, "Apakah engkau hendak bunuh diri?"
Siu-lam tertawa masam, " Jika engkau benar benar melenyapkan kepandaianku, apa
perlunya aku hidup didunia lagi?"
"Ketika masih hidup, kakek pernah berkata kepadaku. Jika kau ingin hidup bahagia,
janganlah mempelajari ilmu silat. Lebih baik hidup mengasingkan diri sebagai petani atau
nelayan-Kupikir, ucapan kakek itu memang tepat"."
"Sekianpun benar tetapi waktunya sudah terlambat. Kita sudah terlanjur berkecimpung
dalam dudia persilatan dengan segala kebaikan dan kejahatannya. sekalipun kita takkan
campur urusan dunia persilatan lagi tetapi mereka tetap akan mencari kita. Untuk
menghindarkan diri dari gejolak dunia persilatan memang hanya mudah dalam kata-kata
saja." Hian Song tertawa, "Karena itu maka aku hendak mencari sebuah tempat yang
terpencil untuk menghindari orang. Masakan dalam dunia yang begini luas, kita tak dapat
memperoleh suatu tempat menetap yang tenang dan aman"."
Tiba tiba dara itu hetikan kata katanya, Mukanya tersipu sipu merah. tertawa dan


Wanita Iblis Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menundukkan kepala. Siu-lam makin terkejut. Tetapi karena kedua kaki tangannya terikat rantai dan lukanya
pun belum sembuh ia tak dapat berbuat apa apa,
"Ah, aku harus menanak nasi," tiba tiba Hian Song memandang ke cakrawala dan
berbangkit lalu melangkah keluar. Ia membuat tungku dari tumpukan batu, membuat api
lalu memasokkan kayu bakar.
Siu-lam hanya terlongong mengawasi dara itu sibuk mencuci mangkuk, memotong
sayur dan membasuh beras. Mulutnya selalu tersenyum. Rupanya dara itu gembira sekali
melakukan pekerjaan itu. Siu-lam menghela napas dan palingkan muka. Diam-diam ia mencari akal bagaimana
cara untuk menyadarkan dara itu. Tetapi sampai tiga hari tiga malam, Siu-lam tetap belum
memperoleh suatu daya dan harus mengalami siksaan.
selama tiga hari itu, Hian Song bertikap ramah sekali kepadanya. Ganti pakaian dan
makan dan meladeni dengan tekun sekali. Kecuali rantai pengikat itu. Hian Song selalu
melakukan apa saja yang diperintah Siu-lam.
setelah beristirabat beberapa hari, Siu-lam rasakan tenaganya pulih kembali. Diam-diam
ia menimang, "Besok pagi akan kucari akal untuk menyuruhnya pergi. Lalu kucoba untuk
memutuskan tali pengikatku ini."
Keesokan harinya Siu-lam sengaja bersikap gembira. Berkatalah ia dengan ramah
kepada Hian Song, "Sumoay, tempat apakah ini" Rupanya seperti dibawah cekung karang,
bukan?" "Benar, cekung karang ini terletak disamping sebuah gunung yang menjulang kelangit.
Dibawah tempat ini terentang karang yang curam sekali!"
"Tempat ini gersang sekali. Tiap hari yang kulihat hanya gunduk karang yang kering.
Tak pernah kunikmati rumput hijau dan bunga-bunga yang cantik. sumoay pernah
mengatakan tantang tempat yang indah alamnya, entah masih berapa jauhkah tempat itu
dari sini?" "Sudah dekat sekali ialah dibalik gunung ini terdapat sebuah puncak lagi"
"Kapankah sumoay hendak pindah kemana?" tanya Siu-lam pula,
"Akan kudirikan sebuah rumah kayu di atas puncak itu untuk tempat tinggalmu!"
"Kapan sumoay hendak mulai?" diam-diam Siu-lam girang dalam hati.
"Sebenarnya segera juga akan kumulai. Tetapi mengingat gerak gerikmu masih belum
seperti biasa, aku tak sampai hati meninggalkanmu," Hian Song menghela napas.
Siu-lam tertawa, "Silahkan sumoay mulai mengerjakan agar kita lekas pindah kesana."
sejenak merenung, Hian Song mengiakkan. Dan supaya jangan menimbulkan
kecurigaan, Siu-lam tak mau mendesaknya lagi.
setelah menyediakan makanan disamping Siu-lam, dara itu menyambar golok dan
melangkah keluar. setelah dara itu pergi, diam diam Siu-lam kerahkan tenaganya. Dengan sekuat kuatnya
is meronta. Ah".tali rantai itu kuat sekali. sekalipun sudah mengerahkan seluruh
tenaganya, namun Siu-lam tak berhasil memutuskannya.
Ia menghela napas panjang lalu mulai mengerahkan tenaga lagi. setelah merasa
penuh, ia mulai meronta lagi sekuat kuatnya. Ia yakin tentu mampu memutuskan. Tapi
hasilnya tetap gagal. "Hai, apakah tenaga dalamku masih belum pulih atau memang rantai ini yang luar
biasa?" diam-diam ia terkejut.
Diamat amatinya rantai itu. Besarnya hanya seperti jari kelingking, samar samar rantai
itu seperti memancarkan sinar emas warnanya. Tak tahu ia, dari bahan apakah rantai itu
dibuatnya. Masih dicobanya lagi untuk memutuskan rantai itu. Tapi sampai beberapa kali, tetap
belum berhasil juga. Tengah ia berusaha untuk mengerahkan tenaga, tiba tiba muncullah seorang lelaki
aneh di mulut karang. Dikata aneh karena wajahnya pucat seperti mayat. Pakaian hitam,
menyanggul sebatang pedang dipunggung. Orang itu tegak di mulut karang.
"Siapakah kau!" tegur Siu-lam.
Rupanya orang itu tak mendengar teguran Siu-lam Ia melangkah masuk pelahan lahan.
Diam diam Siu-lam mengeluh, "Menilik pakaian dan wajahnya yang seram,
kemungkinan besar orang itu tentu seorang manusia ganas. Dia tentu takkan melepaskan
aku. Ah, hari ini aku pasti binasa"."
sekalipun sadar bahwa ia tak dapat melawan namun Siu-lam tetap diam diam kerahkan
tenaganya dan bersiap siap. Dia tak mau mati sia-sia dan memberi perlawanan sekuat
tenaganya. Orang aneh baju hitam itu perlahan lahan menghampiri kesudut dan duduk bersila,
serunya, "Apakah engkau hendak bunuh diri atau hendak hidup?"
Dalam berkata kata, orang aneh itu memandang keluar. Siu-lam pun mernanpang
keluar. setelah tak melihat barang sesuatu, ia baru bertanya, "Apakah engkau berkata
kepadaku?" Orang aneh itu tertawa dingin, serunya, "Tidak dengan engkau, habis apakah aku
bertanya pada diriku sendiri?"
Siu-lam batuk-batuk kemudian "Kalau mau mati bagaimana kalau hidup bagaimana?"
Orang aneh itu tertawa dingin, "Mau mati mudah saja. Akan kujadikan engkau sasaran
untuk latihanku bermain pedang. Mau hidup" Juga gampang. Engkau harus menjawab
pertanyaanku dengan jujur!"
"Kedua kaki tanganku sedang terikat. Tak mungkin dapat melawan. Jika sampai
terbunuh begitu saja, bukankah akan penasaran"."
diam diam Siu-lam menimang.
Lalu ia menyahut, "Akan kudengar dulu bagaimana pertanyaanmu, baru nanti
kuputuskan aku harus mati atau harus hidup?"
"Ringkas saja pertanyaanku ini," kata si orang aneh, "tetapi sepatah saja engkau berani
bohong, jangan harap hidup lagi."
sahut Siu-lam, "Mati hidup apa yang harus ditakutkan" Tanyalah!"
"Apakah didalam cekung gunung ini terdapat seorang nona?"
"Bagaimana engkau tahu?" Siu-lam heran.
"Tetapi kulihatnya dan kulihat pakaiannya berada disini maka kusimpulkan dia tentu
tinggal disini!" "Kalau sudah tahu mengapa menanyakan?" sahut Siu-lam.
sepasang mata orang aneh itu berkilat kilat menumpah kearah Siu-lam, serunya dingin,
"Jika dalam keadaan biasa, biarpun nyawamu rangkap sepuluh tentu akan amblas dibawah
pedangku!" "Mengapa hari ini engkau tak berani membunuhku?" tanya Siu-lam.
Orang aneh itu tertawa. "Mengapa tak berani" Karena aku tak suka melibat ceceran
darah mengotori cengkung hingga memuakkan pemandangan" ia menjemput sebutir batu
dan dilemparkan. Melihat lontaran batu orang itu menghambur kearah ke dua belas jalan darahnya, Siulam
terkejut. Tetapi apa daya, ia tak dapat berkutik kecuali ngangakan mulut dan
menggigit batu itu Ia rasakan gigi dan gerahamnya hampir copot. Diam diam ia terkejut atas tenaga orang
itu Kembali tiga butir batu melayang. Kali ini Siu-lam tak berdaya menghindar lagi. sebutir
batu telah menimpa jalan darahnya. seketika tubuhnya kesemutan dan terkapar ditanah.
Untung kesadaran pikirannya masih terang hanya tak dapat berkutik dan bicara.
setelah dapat, merubuhkan Siu-lam, orang itupun duduk bersemedhi diujung ruang
cekung itu. Haripun makin gelap dan cekung itupun makin gelita sekali. Tiba-tiba dari luar
terdengar derap kaki yang ringan dan menyusul terdengar suara teriakan melengking,
"Suheng, kupetikKan seikat bunga untukmu!"
Dan sesaat kemudian Hian Song pun menerobos masuk. Bukan main kejut Siu-lam.
Tetapi ia tak dapat berbuat apa apa karena tak dapat bicara. Hatinya gelisah bukan
kepalang. Hian-Song melihat juga Siu-lam yang rebah berdiam diri ditanah. Tiba tiba ia menghela
napas panjang dan menghampiri. Diletakkannya ikat bunga hutan itu disamping Siu-lam
dan ditepuknya pelahan lahan tubuh pemuda itu, "Suko, apakah engkau tidur?"
Dalam rebah tadi tanpa disengaja, siu-lam letakkan rantai pengikatnya diatas mukanya
dan menutupi kedua mata. Dari celah-celah lubang rantai ia dapat mengikuti gerak gerik si
dara. Tetapi sidara tak dapat melibat wajahnya dan menyangkanya tidur.
Orang aneh tadi tiba tiba berbangkit tanpa mengeluarkan suara apa apa, ia sudah
menghampiri dan berdiri di belakang Hian-song.
Siu-lam makin gelisah. Diam diam ia kerahkan tenaga dalam untuk membuka jalan
darahnya yang tertutuk itu. Tetapi lantaran orang itu berat sekali sehingga ia tak mampu
membuka jalan darahnya itu.
Perlahan-lahan orang aneh itu ulurkan tangannya yang kurus kering seperti cakar,
mencengkeram bahu Hian-song. semeutara Hian Song masih belum menyadari dan tetap
berjongkok disamping Siu-lam.
Keadaan Siu-lam saat itu benar benar seperti orang kebakaran. Darahnya tiba tiba
menebar keras sehingga air mukanya merah padam.
Melihat itu Hian Song malah tundukkan kepala dan berseru mesra, "Ai, engkau pulas
sekali rupanya. Engkau tak tahu hatiku lebih menderita dari engkau"."
Belum selesai ia mengucap tiba-tiba bahunya kesemutan. Jalan darahnya telah
dicengkeram orang dengan kuat.
Dan sesaat itu terdengar suara orang tertawa dingin, "Siapakah orang itu" Mengapa
kau begitu mesra kepadanya?"
Pengalaman yang penuh derita, telah menyebabkan Hian-Song cepat matang. Ia tak
lekas gugup menghadapi bahaya. Diam diam ia kerahkan tenaga murni untuk siap
lancarkan serangan balasan. Tetapi ia pura pura diam saja lalu menyahut dingin,
"Siapakah engkau?"
"Aku yang bertanya kepadamu!" bentak Orang itu.
"Sudah lamakah engkau masuk tadi?" Hian Song simpangkan jawaban.
"Sudah setengah hari aku duduk disini!"
"Kalau begitu, engkau tentu menutuk jalan darah suhengku itu!" kata Hian-song. Diam
diam ia memaki dirinya sendiri yang begitu tolol. Mengapa ia tak cepat menyadari keadaan
Siu-lam. Orang itu tertawa mengekeh."Hooo, dia suhengmu?"
Hian-Song rssakan jalan darahnya yang tercengkeram itu makin lama semakin
mengencang keras. Rupanya karena tahu dara itu memiliki tenaga dalam yang tinggi, si
orang aneh kuatir. Ia harus cari akal untuk menghilangkan kecurigaan orang itu kemudian baru perlahanlahan
mencari peluang untuk turun tangan.
"Benar, dia memang suhengku!" sahutnya.
"Apakah di dalam cekung ini hanya kalian berdua saja?" tanya orang aneh itu pula.
"Kecuali tambah engkau lagi, memang sebelumnya hanya kami berdua," jawab Hian-
Song Tiba tiba orang aneh itu berganti dengan nada dingin, "Anak perempuan kalau bicara
harus yang lembut. Atau apakah engkau menganggap pedangmu kurang tajam?"
"Caramu menyerang secara gelap. Bukanlah laku seorang ksatriya!" seru Hian song.
Orang aneh itu tertawa gelak-gelak, "Budak yang bermulut tajam, jangan coba coba
membuat panas hatiku"." ia agak gemetar lalu, "Siapa yang merantai suhengmu itu?"
Diam diam Hian Song menimang. Jika tak menghiraukan, ia kuatir orang itu akan
curiga. Maka tenang-tenang saja ia menyahut, "Aku!"
Karena kepalanya tak dapat berpaling dan tubuh tak dapat berkutik, ia tak dapat
melihat bagaimana wajah orang itu. Hanya dari nada suara yang bengis, ia duga orang itu
tentu seorang ganas. Rupanya orang itu merasa aneh. Beberapa saat kemudian ia berkata, "Engkau
merantainya disini?"
"Ya" tiba tiba Hian Song geliatkan bahunya. Tetapi ternyata jari orang itu kuat sekali.
Bukan saja gagal menyentakkan, bahkan Hian Song rasakan bahunya makin kesemutan
dan tenaganya lenyap. "hooo, jangan coba-coba menyiasati aku. Berani meronta lagi, berarti engkau cari
mampus ?endiri!" terdengar pula orang itu berseru.
Hian-Song tahankan sakit dan menyahut angkuh, "Engkau mencengkeram jalan
darahku secara gelap sekalipun dapat membunuh, tapi aku tetap penataran!"
Orang aneh itu tertawa nyaring, "Sekali pun kulepaskan, engkaupun bukan
tandinganku!" "Lepaskan aku dan mari kita adu kepandaian. Jika engkau menang, aku akan tunduk
padamu!" sambut Hian Song serempak.
"Minta di lepas, mudah saja. Tetapi kau harus bicara jujur. Aku tak mau menggunakan
cara paksaan padamu. Tetapi kalau engkau nanti kalah, engkau harus bersedia melakukan
tiga buah syaratku!"
Karena ingin lekas bebas, Hian Song segera menyahut, "Jika benar-benar kau mampu
mengalahkan aku dengan kesaktian, jangankan hanya tiga, sekalipun tiga puluh syarat,
aku akan melakukan!"
"Jangan terburu-buru meluluskan dulu agar kau jangan menyesal di belakang. Akan
kukatakan dulu ketiga syaratku itu agar engkau dapat mempertimbangkan."
"Katakanlah!" seru Hian song
"Yang pertama, engkau harus mengangkat aku gebagai guru!"
Hian Song yang sudah banyak pengalaman tentang urusan dunia persilatan, cepat
menghindari pertanyaan itu, "Katakanlah syarat kedua!"
"Bunuhlah suhengmu dengan segera!"
Hian Song tercengang, serunya, "Dan yang ketiga?"
"Engkau hatus mengangkat sumpah berat untuk mematuhi peraturan dari perkumpulan
agama Yu beng-kau. Peraturan yang pertama, segala apa harus dipersembahkan demi
kepentingan guru. Apapun yang kusuruh, engkau tak boleh menolak dan membangkang!"
Diam diam hati Hian Song memaki tetapi mulutnya bertanya, "Jika aku tak
meluluskan?" "Pun engkau terpaksa harus meluluskan. Nanti kuhapuskan pertandingan itu!" tukas si
Orang aneh. "Hm, lebih baik engkau bunuh aku saja!"
"Ho, tak semudah itu!" sahut siorang aneh, "tetap akan kupaksa engkau masuk dalam
perkumpulan Yu beng kau itu dengan cara lain!"
"Tidak, aku tak mau masuk kedalam perkumpulan agamamu itu"."
"Tak seorang manusia didunia yang tahan menderita siksaan dari Hun kin jo kut (urat
ambyar, tulang meleset) yang hebat. Aku tak percaya engkau seorang manusia besi!"
tukas orang aneh itu. Hian Song menggigil. Diam diam ia menimang. Jalan darahnya tertutuk dan Siu-lam
rebah dengan tubuh terantai. Keduanya tak dapat berkutik. Jika ia berkeras kepala, hanya
kebinasaan yang akan diterimanya. Lebih baik untuk sementara ia meluluskan syarat
orang itu dan pelahan lahan mencari kesempatan.
"Kecuali syarat yang kedua, aku dapat meluluskan semua!" serunya
Jilid 42 ORANG ANEH itu tertawa keras. Nadanya macam harimau terluka. Kumandangnya jauh
menggema ke selurub pegunungan. Lama sekali baru ia hentikan tertawanya.
"Ho, engkau masih sayang jiwanya?" serunya.
"Sebagai kakak-beradik seperguruan yang bergaul lama, sudah tentu mempunyai
perasaan begitu. Apanya yang lucu?" sabut Hian-Song.
"Aku hendak mencari seorang ahli waris. Wajah dan bakatmu, termasuk pilihan. Maka
dapatlah kuberi pengecualian. sebenarnya sekali pun engkau tak tega membunuhnya, dia
juga tak dapat lolos dari kematian!" kata si orang aneh seraya peiahan lahan longgarkan
cengkeramannya. Begitu jalan darahnya longgar, Hian Song cepat menendang jalan darah sin lam yang
tertutuk dan ia sendiri pun cepat berputar tubuh.
Ilmu meringankan tubuh orang itu hebat sekali. Gerakannyapun gesit. Begitu lepaskan
cengkeramannya ia terus loncat mundur.
sejenak memandang kearah orang itu, Hian Song muak melibat wajahnya yang seram.
Orang itu tertawa dingin, "Hehe, heh, ku-berimu kesempatan untuk mengunjuk
kepandaian ku. Tetapi bagaimana kalau engkau kalah?"
Hian Song merenung sejenak lalu menyahut "Aku tak biasa bertanding dengan tangan
kosong. Jika engkau yakin dapat mengalahkan aku, mari kita bertanding dengan
menggunakan senjata!"
setelah mempunyai pengalaman beberapa kali bertempur, Hian-Song merasa ilmu
pedangnya telah mendapat kemajuan. Maka ia menantang orang aneh itu dengan pakai
senjata. "Tangan kosong maupun pakai senjata, aku dapat melayanimu. Tetapi engkau harus
meluluskan sebuah permintaanku dulu. Ialah, kalau kau kalah, engkau harus jadi
muridku!" "Kalau engkau kalah?" balas Hian-song.
"Aku akan angkat kaki dari sini!"
"Ih, mungkin saat itu sudah terlambat," ejek Hian-song.
Orang itu kerutkan dahi dan berseru marah, "Budak hina, rupanya percuma kupakai
cara lunak terhadapmu"." serempak dengan kata-kata itu, orangnyapun sudah menyerbu
Gerakannya luar biasa cepatnya.
Hian-Song cepat menghindar kesamping lalu melesat untuk mengambil pedangnya
yang terletak diujung ruang.
Orang aneh itu tak mau mengejar. Ia menunggu. Rupanya ia yakin sekali tentu dapat
mengalahkan dara itu. setelah mencekal pedang, semangat Hian-kong bangkit kembali. setelah menghunus, ia
tertawa dingin, "Pakailah senjatamu!"
Orang aneh itu tertawa gelak-gelak, "Jika mengalahkan eegkau dengan pedang,
bagaimana layak menjadi gurumu?"
Hian Song taburkan pedang sebentar lalu berseru, "Kalau tak mau menggunakan
senjata, Itu salahmu sendiri!"
Hiansoog menutup kata-katanya dengan membuka serangan pertama. Jurus pertama
dia gunakan jurus Bidadari mendayung. Ujung pedang bertebar menjadi tiga kuntum


Wanita Iblis Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bunga pedang masing masing menusuk tiga buah jalan darah lawan.
Pembukaan itu telah membuat si Orang aneh tergetar hatinya dan cepat-cepat
menghindar ke samping. Hian-Song membayanginya. Pedang ditaburkan ke kanan-kiri. sinar pedang
menghambur ke arah tujuh buah jalan darah orang.
Tetapi gerakan orang aneh itu teramat gesit. Tubuhnya laksana kupu kupu dihembus
angin sekalipun cepat serangan Hian Song namun orang itu tetap dapat menghindarinya.
Tiba tiba Hian-Song menarik pulang pedangnya dan menegur, "Mengapa engkau tak
mau membalas?" Tampak olehnya bahwa wajah orang aneh yang pucat lesi itu, samar samar seperti
mengembang warna merah. Orang aneh itu mengangguk angguk lalu berkata, "Tenaga dan Ilmu pedangmu benar
benar diluar dugaanku"." ia tertawa seram lalu melanjutkan pula, "Seorang dara cantik
yang jarang terdapat"."
"Jangan ngaco belo!" bentak Hian-Song seraya menahas dengan jurus Pohon besi,
bunga perak. Kali ini si orang aneh tak mau menghindar melainkan mencengkeram pergelangan
tangan Hian Song. Dara itu turunkan tangannya kebawah untuk memapas kelima jari
lawan. Tetapi laksana angin orang itu menggeliat menghindar ke samping lalu secepat kilat
menusuk lengan. Hian Song menyadari kedudukannya. Orang aneh berwajah buruk dan berpakaian
hitam itu, selain tenaga dalamnya tinggi, gerakannya aneh, pun selalu cepat sekali
bergerak. seolah olah sudah mengetahui jurus yang dimainkan dara itu. Dan sebelum Hian
Song bergerak tentu didahuluinya sehingga dara itu tak dapat mengembangkan
permainannya. setelah dua puluh jurus, tiba tiba orang aneh itu bebalik yang menyerang. Jari jarinya
selalu membayangi pergelangan tangan Hian Song.
setiap kali dara itu hendak bergerak, tentu si orang aneh mendahului menyambar
pergelangan tangannya. Mau tak mau Hian Song terpaksa berganti jurus.
Tiba-tiba orang aneh itu bersuit aneh dan seketika pergelangan tangan Hian-Song
terasa kesemutan. Tahu tahu pedangnya sudah berpindah ke tangan orang aneh. Dalam
kejutnya Hian Song cepat menendang orang itu.
Tetapi orang itu lebih cepat. setelah merebut pedang, tangan kirinyapun
mencengkeram pergelangan tangan si dara. Ketika kaki Hian-Song baru berayun setengah
jalan, tiba-tiba separoh tubuhnya terasa kesemutan, tenaganyapun lenyap dan kakinya
pelahan lahan terkulai turun.
setelah menutuk dua buah jalan darah Hian-song, orang aneh itu meletakkan pedang si
dara lalu tersenyum, "Ilmu pedangmu benar istimewa, tetapi kurang gesit. Namun
menurut tingkatan dunia persilatan, engkau sudah tergolong jago kelas satu."
Walaupun tertutuk jalan darahnya, tetapi pikiran Hian-Song masih sadar. Bisa bicara
tetapi hanya tak dapat berkutik. Ia mendengus dingin, "Tak perlu engkau puji, hm! Karena
sudah tertangkap, bunuhlah. sekalipun aku seorang anak perempuan tetapi tak takut
mati!" Orang aneh itu tertawa hambar, "Jika memang hendak membunuhmu, masakan aku
mau memberi kelonggaran sampai dua puluh jurus kepadamu"."
sesungguhnya orang aneh itu bersikap ramah, tetapi karena wajahnya buruk, maka
sekali pun dengan tersenyum tawar, Wajahnya tetap tak sedap dipandang.
"Siapa menyuruhmu jangan melukai aku, huh. Jika melihat wajahmu yang se-ngeri itu,
mati sekalipun aku tak mau menjadi muridmu!"
Wajah orang aneh itu berobah, geramnya, "Arak penghormatan engkau tolak
sebaliknya engkau mencari arak pahit. Engkau kira aku tak sanggap menekanmu supaya
menyerah?" sesaat orang aneh itu berganti nada ramah ujarnya, "Sejak dilahirkan, aku mempunyai
dua keinginan. Pertama, membalas dendam masa yang dulu. Kedua, mencari seorang ahli
waris yang mewarisi kepadaianku. Cukup engkau dapat menerima delapan atau sembilan
bagian saja, dalam dunia persilatan tiada seorang yang mampu melawanmu. Bakatmu
bagus sekali maka pilihanku jatuh kepada dirimu!"
Diam diam tergerak hati Hian song, pikirnya, "Kepandaianku masih kalah setingkat dari
Bwe Hong Swat. Tadi kalau pertandingan, tak sampai tiga puluh jurus saja, dia sudah
dapat merebut pedangku. Jelas dia lebih sakti dari kakekku. Jika dapat mewarisi
kepandaiannya, kelak aku tentu dapat mempermainkan Bwe Hong Swat."
Walaupun dara itu berdiam diri merenung, tetapi orang aneh itu dapat melihat
perobahan wajahnya. Ia lihat hati Hian Song mulai tergerak.
"Dalam dunia hanya Lo Hian dan seorang paderi sakti dari siau lim si yang dapat
menandingi aku. Tetapi sudah berpuluh tahun aku mengasingkan diri meyakinkan
kepandaian. Dan sekali muncul didunia persilatan lagi, tentulah paderi sakti dari siau lim si
itu tak mampu melawan aku. Karena Lo Hian telah dicelakai oleh muridnya sendiri dan
menderita luka berat, kemungkinan saat ini tentu sudah meninggal!" kata orang aneh itu.
Makin keras renungan Hian Song akan diri Hong Swat yang diduganya tentu
memperoleh ajaran sakti dari Lo Hian.
"Mengapa engkau juga takut kepada Lo. Hian," sesaat kemudian ia bertanya.
Wajah orang aneh itu berobah gelap, ujarnya, "Sepuluh tabun lamanya ku pendam diri
di-Laut Timur. Telah berhasil kuyakinkan beberapa macam ilmu kesaktian yang istimewa.
sekalipun Lo Hian masih hidup, belum tentu dia dapat menandingi aku"." ia berhenti
sejenak lalu, "Tetapi kukira dia tentu sudah binasa."
Karena tutukan yang dilakukan orang aneh itu hanya ringan maka Hian Song masih
dapat bicara dan bergerak. Ketika berpaling dara itu melihat Siu-lam memandang
kearahnya. Tiba tiba timbullah pikiran dara itu, "Tindakanku yang begitu takut mati, tentu akan
dihina Pui suheng"."
Dengan pemikiran itu, tiba-tiba berobahlah pendirian Hian song. Ia terawa dingin.
serunya kepada orang aneh itu, "Tak perlu engkau memikir aku! sekalipun kepandaian mu
memuncak kelangit, aku tak sudi menjadi muridmu!"
Marahlah orang aneh itu, "Seumur hidup tak pernah aku bicara begini ramah kepada
orang. Hmm, aku tak percaya engkau dapat menahan siksaan dari tulang yang copot dan
urat urat yang meleset!"
"Matipun tak gentar apa lagi hanya tulang copot dan urat meleset saja!" seru Hian Song
dengan gagah. "Ho, budak yang tahu tingginya langit, dalamnya bumi! Biarlah engkau rasakan sedikit
pelajaran!" Orang aneh itu menampar lambung kiri Hian-song.
Dara itu mengerang pelahan. Tubuhnya bercucuran keringat.
Orang aneh itu ulurkan tangan kanannya mengurut beberapa jalan darah Hian song.
Dengan menahan kesakitan tukng iga kirinya yang copot dari tempatnya itu, Hian Song
loncat bangun. Tetapi orang aneh itu lebih cepat lagi. Tangan kanannya memauk paha
kanan Hian Song. seketika tulang tulangnya copot dan sebelum dara itupun menjerit
rubuh lagi. "He, be, hendak kulepaskan seluruh tiga ratus enam puluh lima buah tulang tubuhmu
dan menceraikan urat uratmu!" Orang aneh itu tertawa mengekeh. Dan serentak
tangannyapun mengurut tubuh dara itu.
seketika Hian-Song rasakan kesakitan yang luar biasa yang belum pernah dialami
seumur hidup. Keringatnya bercucuran seperti banjir. Tubuhnya basah kuyup. Dara itu
mengerang". sehabis melakukan siksaan, orang aneh itu pun segera duduk bersila dan pejamkan
mata. Ia tak menggubris Hian-Song lagi.
Dengan tahan rasa kesakitan yang hebat, Hian song memandang kearah Siu-lam
dengan pandang derita sengsara".
Melihat keadaan dara itu, hati Siu-lam seperti disayat sembilu, ia menghela napas,
serunya, "Sumoay, luluskan untuk menjadi muridnya!"
Dengan kerahkan seluruh sisa tenaganya, Hian-Song meronta, "Pui suheng, engkau".
segera bunuh saja aku. Aku". tak tahan penderitaan ini"."
Siu-lam gelengkan kepala, "Dia takkan membunuhmu, lebih baik engkau luluskan saja!"
Orang aneh itu tiba tiba membuka matanya, "Benar, memang aku takan
membunuhnya." Siu-lam memandang kearah orang aneh itu, serunya, "Lekas sambung lagi tulang
tulangnya, nanti akan kunasehatinya supaya meluluskan syaratmu!"
Orang aneh itu tertawa dingin, "Sekalipun engkau berhasil membujuknya, tetapi engkau
sendiri takkan kuberi ampun!"
"Hal itu lain soal lagi, jangan dicampur adukkan. Aku sendiri tak berniat minta ampun!"
sahut Siu-lam. "Bagus, bagus, atas perkataanmu sendiri itu, akan kuberimu suatu kelonggaran yang
menggembirakan," dengan cepat orang aneh itu gerakkan kedua tangannya untuk
mengembalikan tulang tulang Hian-song.
setelah rasa sakitnya lenyap, Hian Song pun duduk dan mengusap keringatnya.
Katanya setengah memaki, "Hm, caramu tadi benar benar kejam sekali!"
"Memang aku selalu ganas tetapi terhadap anak murid sendiri selalu menyayang dan
tak pernah membikin susah," kata orang aneh, itu.
Kuatir dara itu menolak lagi, Siu-lam buru buru berseru, "Kalau sumoay mengangkat
guru kepadanya dan dapat mewarisi kepandaiannya, kiranya tidak rugi!"
Dara itu pelahan lahan beralih pandang ke pada Siu-lam, "Apakah engkau sungguh
sungguh menyuruh aku berguru kepadanya?"
"Kalau sumoay menolak tentu akan mengalami penderitaan yang menyiksa sekali. Hal
itu kurang perlu!" than-Song menghela napas panjang, "Jika engkau dapat bergerak, kita dapat melarikan
diri"." Siu-lam tertawa hambar, "Kenyataan sudah begini, tak perlu diomongkan lagi. Harap
sumoay suka mendengar kataku dan meluluskan syaratnya!"
Hian-Song alihkan mata memandang orang aneh itu, serunya, "Boleh, aku mau menjadi
muridmu tetapi engkau harus mengampuni jiwa suhengku!"
Orang aneh itu mendengus. "Aku tak pernah menelan ludahku lagi. Mengatakan satu,
tetap satu. Tak pernah tawar menawar dengan orang!"
"Jika engkau tak meluluskan syaratku itu, biar engkau bunuh, aku tetap tak mau
menjadi muridmu!" Orang aneh itu tertawa dingin, "Dalam saat ini, engkau tak mempunyai kemampuan
untuk bunuh diri. Jika engkau yakin dapat menahan derita siksaan dari tulang tulang yang
terlepas, boleh saja engkau menolak syaratku itu!"
Teringat akan penderitaan yang dialaminya tadi, gemetarlah Hian song. Tetapi cepat ia
tenang kembali dan berseru, "Baiklah, biarlah kami berdua sumoay suheng mati bersama.
silahkan bunuh saja."
Orang aneh itu tertegun, "Benar benar budak perempuan yang keras kepala sekali!"
Tiba tiba Siu-lam menyeletuk, "jika lo-cianpwe memang hendak membunuh aku,
sumoay tentu akan menolak. Aku mempunyai saran, entah apakah locianpwe suka
mendengarkan!" "Baik, katakanlah!"
"Dalam keadaan dan saat seperti ini, memang mudah sekali lo cianpwe hendak
membunuh aku. Pertama, karena lo cianpwe memang sudah tetap memutuskan untuk
membunuh. Dan kedua, karena akupun tak mau meminta ampun!"
"Apa yang telah kukatakan tak pernah ku-tarik kembali!" seru seorang aneh itu.
"Tetapi kedua hal itu tak dapat dilakukan dalam waktu yang serempak "
Orang aneh itu kerutkan alis. Ia merenung diam. Dari ucapan Hian Song tadi, memang
kata kata Siu-lam itu benar.
"Jalan satu satunya"." tiba-tiba Siu-lam menyeletuk lagi, "harap lo cianpwe suka
mendekat kemari hendak kubisiki!"
Orang aneh itu mendengus, "Aku tak takut kau hendak main gila!" ia terus acungkan
kepala mendekat ketempat Siu-lam.
Dengan bisik Siu-lam pun berkata, "Lebih baik lo ciaDpwe mengabulkan permintaannya,
Yang penting supaya dia menjadi murid lo Cianpwe dulu. Nanti dalam kesempatan
memberikan pelajaran kepadanya, lo cianpwe tetap membunuhku. Bukan sekali tepuk dua
lalat?" Orang aneh itu mengangguk menyetujui.
"Pui suheng, apa yang kalian bicarakan?" tiba tiba Hian-Song melengking.
Siu-lam hanya tersenyum tak menyabut. Bagiannya, hanya mati. Dan ia tak
menghiraukan segala apa lagi.
"Aku setuju syaratmu!" seru siorang aneh,
"Benarkah?" Hian Song tertegun.
"Ya, memang benar," sambung Siu-lam, "lekas kau jalankan peradatan mengangkat
suhu!" Tiba-tiba Hian Song mengucurkan airmata dan berkemak kemik seperti berdoa.
"Harapanku semoga aku dan pui suheng dapat menjadi suami isteri petani dan hidup
dengan tenang. siapa tahu ternyata Tuhan tak meogabulkan dan harus mengalami nasib
begini." "Entah berapa banyak orang yang kepingin sekali menjadi muridku. Tetapi kutolak,
Masakan engkau berani banyak tingkah lagi!" seru orang aneh itu.
Hian Song pelahan lahan bangkit dan memberi hormat tiga kali kepada orang aneh itu
selaku murid. Kemudian mengucap sebutan "suhu".
Orang aneh itu tertawa gelak gelak, "Kalau sudah menjadi murid harus taat pada
peraturan!" "Murid mengerti," sahut Hian Song.
Siu-lam menghela napas. sesungguhnya hatinya pilu tetapi ia pura pura gembira.
Katanya pelahan, "Selamat sumoay, engkau telah memperoleh seorang guru yang sakti.
Mudah-mudahan kelak engkau menjadi seorang pendekar wanita yang tiada tandingannya
di dunia persilatan!"
Hian Song tundukkan kepala tak mengucap apa apa. Hatinya rawan sekali tetapi sulit
untuk menyatakan. Hanya si orang aneh itu tertawa riang gembira, "Hari ini lebih dulu akan kubeRImu
pelajaran dasar darI ilmu tenaga dalam perguruan ku. Dan besok pagi mulai kuajarkan
ilmu silat. Dalam waktu satu bulan, engkau harus ikut aku tinggalkan tempat ini!"
"Kemana?" "Mencari seseorang!"
Karena orang aneh ini tak mau menyebut nama orang yang hendak dicarinya itu, Hian-
Song pun tak mau mendesak. Ia beralih tanya. "Murid sudah mengangkat guru, tetapi
belum tahu siapakah nama suhu itu?"
"Dalam dunia hanya ada seorang lain yang namanya sejajar dengan Lo Hian. Nah,
itulah suhumu!" sahut orang itu.
Hian-Song kerutkan kening. Tetapi sampai beberapa saat ia belum menemukan. "Aku
jarang keluar ke dalam dunia persilatan. Tak tahu nama tokoh-tokoh yang termasyhur.
Harap suhu suka memberitahukan."
Baru orang aneh itu hendak membuka mulut, tiba tiba terdengar suara nyaring
melantang. "Lihatlah, di samping gunung itu terdapat sebuah batu menonjol, rupanya di
bawah batu itu tentu sebuah cekung guha. Ayo kita kesana. Jika mencocoki, kita menetap
disitu beberapa hari dulu. setelah selesai mempelajari beberapa ilmu barulah kita pergi
lagi!" Terdengar nada seorang perempuan menyahut. Tetapi kaiena pelahan sekali, tidak
dapat terdengar jelas. "Suhu, ada orang datang," kata Hian song.
"Bagus, kita tunggu saja siapa yang datang itu. sudah berpuluh tahun aku tak keluar ke
dunia persilatan. Banyak sekali tokoh-tokoh muda yang bermunculan!"
Terdengar derap orang menghampiri ke cekung karang situ. Tak berapa lama,
muncullah dua orang, seorang pria dan seorang wanita.
Ketika berpaling mengawasi, Siu-lam tersirap kaget. Pendatang lelaki rambut dan
jenggotnya terurai memanjang tetapi disisir rapi. Demikian juga pakaiannya. Ternyata
orang itu adalah Gan Leng poh si tabib sakti. Hanya sekarang tabib itu tidak seperti orang
gila lagi. sedang yang perempuan bukan lain adalah si nona baju merah, murid kedua dari ketua
Beng gak. seketika teringatlah Hian-Song akan siksaan yang diterimanya dari nona baju merah itu.
Ia kerutkan dahi, berkata, "Hm, penasaran memang sempit jalannya. Kalian juga muncul
kemari!" Cepat sekali nOna baju merah itu melibat Siu-lam tak berkutik karena diikat dengan
rantai. Dan siapa orang aneh yang menjadi gurunya Hian Song itu, ia tak tahu. Menurut
perhitungannya, ia anggap hanya Hian Song yang merupakan musuh berat.
setelah memperhitungkan, ia percaya fihaknya takkan menderita kerugian. Walaupun
tak menang tetapipun tak nanti kalah.
Nona baju merah itu segera tertawa mengikik, "Bagus, memang manusia itu selalu
berjumpa. Tak kira kalau disini aku berjumpa lagi dengan kalian berdua suheng sumoay!"
sambil menundukkan kepala, ia melangkah masuk diikuti sitabib Gan Leng poh.
Siu-lam mengangguk memberi hormat seraya mengucap, "Gan locianpwe, apakah
selama ini sehat sehat saja?"
Gan Leng poh tertawa dingin, "Eh, siapakah yang mengikat tubuhmu itu" Hm, benarbenar
cari bahaya!" serentak Hian Song tak tahan lagi dan melengking, "Peduli apa engkau, hem"."
Tabib itu tertawa tawar, "Uh, apakah aku tak boleh bertanya?"
Hian-Song mencabut pedangnya, "Guha ini sudah kami miliki, lekas keluar!"
Nona baju merah tiba-tiba tertawa nyaring, "Nona Tan. bicaralah yang lembut. Jika
suheng mu itu tidak terikat dan lukanya sudah sembuh. Jika dua lawan dua, kita tentu
berimbang!" Hian Song serentak loncat bangun dan menghardik, "Kalian mau pergi atau tidak?"
Nona baju merah itu melirik kearah siorang aneh yang saat itu masih pejamkan mata,
duduk bersila. seolah olah tak menghiraukan kedatangan kedua orang itu dan ramai-ramai
yang terjadi saat itu.

Wanita Iblis Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

serentak timbullah nyali sinona baju merah. Ia mencabut pedang dan tertawa, "Apakah
engkau sungguh sungguh hendak berkelahi dengan aku?"
"Masakan hanya pura pura saja!" sahlut Hian soog seraya menahas dengan jurus Biang
lala mengurung langit. Nona baju merah itu melesat dengan pedangnya menghindari tabasan lalu menusuk
dada dengan jurus Bidadari melempar tali.
Penasaran yang mengamuk dalam hati Hian Song terhadap orang aneh tadi, kini
ditumpati kan habis habisan kepada sinona baju merah. Ia menutup serangan orang
dengan lintangkan pedangnya keatas.
Tetapi rupanya nona baju merah itu tak mau adu kekerasan. Ia endapkan tangan dan
merobah pedangnya dalam jurus Tirai menggulung angin barat. Pedangnya melambung
menusuk dari samping. Hian-Song mendengus dingin. sambil lintangkan pedang menangkis, ia berseru,
"Berhenti, aku hendak bertanya kepadamu!"
Nona baju merah hentikan pedangnya dan tertawa, "Lekas bilang! Jangan mengulur
saat kematianmu!" "Dimanakah Ceng Hun totiang, Ciok sam kong dan lain lainnya itu?" tanya Hian song.
"Entah!" nona baju merah gelengkan kepala ierus menyerang lagi.
setelah menangkis tiga buah serangan. Hian Song hendak membalas. Tetapi tiba-tiba
nona baju merah itu hentikan pedangnya dan loncat mundur.
Kiranya nona baju merah itu timbul pikirannya secara mendadak. Bahwa Siu-lam terikat
dalam guha itu tentu ada sesuatu peristiwa yang tidak wajar. Ia duga terjadi sesuatu
antara Hian long dengan pemuda itu.
"Engkau menanyakan Ciok sam kong dan kawan kawannya itu?" serunya.
"Hm, bagaimana?" balas Hian-Song gusar.
"Sederhana sekali," sahut nona baju merah, "asal engkau memberitahukan siapa yang
mengikat suhengmu itu, tentu segera kuberitahukan ditoana Ciok sam kong serta kawankawannya
itu." "Apa hargannya memberitahukan kepadamu" Kan hari ini kalian jangan harap dapat
pergi dari sini dengan masih bernapas!"
si nona baju merah tudingkan pedang ke arah si oraog aneh, "Siapakah orang itu?"
"Suhuku"." sahut Hian Song perlahan-lahan.
Nona baju merah terkesiap, "Suhumu?" ia menegas.
"Bagaimana" Engkau tak percaya"."
baru Hian-Eong berkata begitu, si orang aneh mendadak membuka mata. sepasang
matanya yang berkilat-kilat tajam menumpah kebadan sinona baju merah, serunya,
"Engkau juga tak kenal padaku?"
sinona baju merah terkejut. Diam diam ia menimang, "Luar biasa sekali sorot mata
orang tua baju hitam itu. seperti dapat menembus ulu hatiku"."
"Tokoh tokoh dunia persilatan banyak sekali. Bagaimana aku dapat mengenal paman?"
sahutnya. Otang aneh itu tertawa dingin, "Kenalkah engkau pada Lo Hian?"
"Lo Hian adalah orang pendekar luar biasa. setiap orang tentu tahu. sekalipun belum
berjumpa tetapi sudah mendengar," jawab nona baju merah.
sementara sitabib Gan Leng-poh tak henti hentinya mengamati orang aneh itu dengan
penuh perhatian. sepasang alisnya sebentar naik sebentar turun seperti kenal-kenal lupa
akan orang aneh itu. Orang aneh itu tertawa dingin, "Tak kira, angkatan muda sekarang tak kenal orang lagi.
Bahkan diriku juga tak diketahui!"
Gan Leng poh batuk batuk lalu tiba tiba menyeletuk, "Bukankah locianpwe ini yang
disebut Dewa setan Ban Thian seng?"
Tiba-tiba orang aneh itu tertawa keras, serunya, "Bagus, kiranya diatas dunia masih
ada orang yang mengetahui namaku! Menilik engkau tahu namaku, kali ini kuberi ampun
jiwamu!" Nona baju merah kicupkan mata, ujarnya, "Ban Thian seng, aku tak pernah kudengar
orang menceritakan nama itu."
Dewa setan Ban Thian seng tertawa tawar, serunya. "Ketika aku mengundurkan diri
dari dunia persilatan, engkau masih belum lahir. Tak tahu namaku, memang sudah
sewajarnya!" Tampak wajah sitabib Gan Leng poh berrubah pucat. sikapnya pun amat menghormat
sekali. Tersipu sipu ia memberi hormat, "Murid, Gan Leng poh dari perguruan Lo Hian,
menghaturkan hormat kepada locianpwe!"
"Apakah Lo Hian masih hidup?" tanya Dewa setan Ban Thian seng.
"Suhu sudah meninggal dunia"."
Ban Thian seng berbangkit serentak- "Benarkah itu?" bentaknya.
"Bagaimana murid berani membohongi locianpwe?" sahut Gan Leng poh.
Mendadak Dewa setan Ban Thian-seng tertawa nyaring. Nadanya ssseram suara burung
hantu. Kumandangnya jauh menembus keluar dan menusuk anak telinga orang".
Gan Leng-poh berpaling memandang kearah guha. Rupanya ia memikirkan rencana dan
lalu melarikan diri. Tiba tiba Ban Tbian seng berhenti tertawa dan berseru, "Didalam tanganku, belum
pernah terdapat manusia yang dapat meloloskan diri-Kecuali memang ku berinya hidup!"
Gan Leng poh tertegun diam.
Melibat gelagat itu, diam diam Siu-lam kerahkan tenaga untuk beringsut
menghindarkan diri dari pancaran mata siorang aneh Ban Thian seng. Kemudian ia
gunakan ilmu menyusup suara Coan-im jib bi kepada Hian-song. "Sumoay, walaupun
kepala batu tetapi Gan Leng-poh itu bukan orang jahat. saat ini hanya engkaulah yang
mampu menyelamatkan jiwanya!"
Hian Song batuk batuk pelahan sebagai tanda sudah menangkap kata Siu-lam Ia
turunkan pedangnya dan berpaling kepada Ban Thian seng, serunya, "Suhu"."
"Mengapa?" Ban Thian seng berpaling dengan pandang hambar.
"Kedua orang itu walaupun telah bersalah kepada suhu dan harus dihukum mati, tetapi
kalau dibunuh dengan sekali tebas saja, masih terlalu murah," kata Hian-sOng. Kini dara
itu sudah semakin masak dalam soal tipu siasat.
"Baiklah, katakan dengan cara bagaimana untuk menyiksa mereka," sahut Ban Thian-
Beng. Kata Hian song, "Kami berdua dan mereka pun dua orang, yang satu lelaki yang satu
perempuan. Maksud murid, lebih baik tutuk saja jalan darah mereka dan jadikan mereka
budak kita selama lamanya!"
Ban Thian seng merenung sejenak lalu berkata, "Dapat menjadi budakku, juga suatu
bal yang patut dibanggakan. Coba tanyakan, apakah mereka mau?"
Hian Song beralih memandang kepada kedua Orang itu, "Suhuku, kali ini memberi
kelonggaran besar. Memberi kalian sebuah jalan hidup dengan menerima kalian menjadi
budak kami. Lebih baik kalian meluluskan saja agar jangan cari mati!"
Dalam kata kata itu, Hian Song samar samar menasehati kepada kedua orang supaya
jangan melawan. Nona baju merah yang tak tahu siapa. Dewa setan Ban Thian-seng itu. segera
menyambut dengaa tertawa mengejek, "Mengandalkan engkau"."
Belum selesai ia mengucap, tiba tiba Dewa setan Ban Thian seng mengangkat tangan,
menutukkan sebuah jarinya dari kejauhan. Nona baju merah yang sudah siap, cepat
menghindar ke samping. "Ho, engkau masih dapat menghindar?" Ban Thian seng tamparkan tangannya kiri.
Kelima jarinya serempak bergerak.
Kali ini sinona baju merah tak mampu menghindar lagi. seketika tubuhnya kesemutan.
Tiga buah jalan darah pada tubuhnya tertutuk oleh tamparan jari Ban Thian seng.
Memang ilmu lwekang Untuk menutuk jalan darah dari jarak jauh, bukanlah suatu ilmu
yang mengherankan, Tetapi sekali bergerak dapat menaburkan kelima jarinya, benar
benar suatu ilmu yang tak pernah terdapat didunia persilatan.
Noaa baju merah itu terhuyung huyung. Pedangnya terlepas jatuh dan orangnyapun
pelahan lahan duduk ditanah.
Tahu gelagat tak baik, pada saat Ban Thian seng sedang menyerang sinona baju merah
tabib Gan Leng-pob cepat loncat keluar.
Tetapi diluar dugaan, kepandaian Dewa setan Ban Thian seng itu benar benar telah
mencapai tingkat yang tinggi. Begitu Gan Leng-poh berputar tubuh. Dewa setan itu sudah
kebutkan lengan bajunya. Baru kaki sitabib tiba diluar.
ia rasakan dua buah jalan darah tubuhnya kesemutan. Bluk". ia jatuh telentang.
Hian soug terkejut saksikan kesaktian gurunya itu. Diam diam ia mengakui bahwa
kepandaian Ban Thian seng itu memang tiada tandingannya. Andaikata Lo Hian masih
hidup, pun hanya setaraf itulah kepandaiannya.
Ketika melirik, Hian-Song dapatkan Siu-lam terlongong. Tentulah pemuda itu terpesona
menyaksikan kesaktian Dewa-setan Ban Thian seng.
Hian Song hendak membuka mulut tetapi tak jadi. Ia merasa heran dalam hati atas
ilmu tutukan Ban Thian seng. sekalipun sudah tertutuk jalan darahnya tetapi Gan Leng
poh dan siaona baju merah masih dapat bergerak. Benar benar suatu ilmu tutukan yang
luar biasa! Kini kecongkakan sinona baju merah lenyap seketika. Ia kerutkan dahi dan mengerang.
Rupanya bagian jalan darah yang tenutuk itu sudah mulai bekerja.
Hian-Song menghampiri gurunya. "Suhu akan diapakan kedua orang itu?"
Tanpa berpaling, Ban Thian seng menyahut tawar, "Tak perlu mengurusi mereka.
setengah jam lagi, luka mereka akan bekerja. sakitnya melebihi Hun kin ja kut atau tulang
copot, urat lepas. Yang satu menangis, yang satu tertawa".hm, biarlah engkau
menyaksikan kepandaian suhumu sebelum kau menyadari betapa bangga engkau dapat
kuterima sebagai murid!"
Hian tong tidak menyahut. Tetapi dalam hati ia membatin. Jika memang kepandaian
orang itu luar biasa saktinya, tidaklah rugi ia menjadi muridnya. Kelak ia tentu dapat
menjuarai dunia persilatan. Dan yang penting tak akan ada gadis lain yang dapat merebut
Pui suhengnya". Tiba-tiba nona baju merah itu tertawa mengikik. Hian Song cepat berpaling. Dilihatnya
dahi nona baju merah itu mengucurkan keringat. suatu tanda bahwa ia sedang menderita
kesakitan hebat. Tetapi kenapa ia tertawa?".
Tiba tiba terdengar suara tangis perlahan. Nadanya sedih sekali seperti orang yang
kematian orang tuanya. Belum sempat Hian Song memeriksa siapakah Orang yang menangis itu, tiba-tiba
terdengar si nona baju merah tertawa lagi. Kali ini bahkan keras dan lama sekali. hampir
seperminum teh lamanya baru berhenti.
suara tangis itupun tak mau kalah. Tangisnya makin mengguguk keras. Dengan
demikian terdengarlah perpaduan antara suara tangis dan tertawa yang riuh rendah.
Siu-lam menghela napas. Katanya seorang diri, "Benar-benar suatu hukuman yang
paling ngeri di dunia!"
Tangis dan tawa itu makin lama semakin keras dan keadaan si nona baju merah serta
Gan Leng pohpan makin ngeri. Tubuh mereka basah Oleh keringat.
Hian Song dan Siu-lam seperti di tusuki jarum hatinya. Tetapi Ban Thian seng masih
tetap pejamkan mata duduk betsemadhi.
sekonyong konyong terdengar sebuah suitan panjang menyusup kedalam suara tangis
dan tawa itu. Ban Thian seng tiba tiba membuka mata dan serentak ayunkan kedua tangannya,
menutuk dari kejauhan pada kedua orang itu.
sesungguhnya Siu-lam diam-diam sudah memperhatikan bagian jalan darah yang mana
yang di tutuk Ban Thian seng itu. Tetapi ia tetap tak dapat mengetahui. Hanya yang jelas,
suara tangis dan tawa itu sudah berhenti.
Rupanya Gan Leng poh dan si nona baju merah sudah kehabisan tenaga. Mereka
menggeletak di tanah tak berkutik.
"Seret mereka ke sudut goa. Ada orang persilatan datang lagi. suhumu akan
merubuhkan beberapa orang lagi agar kemunculanku di dunia persilatan kali ini, diketahui
orang!" ucap Ban Thian seng kepada Hian song.
Hian song segera melakukan perintah. setelah meletakkan kedua orang itu di sudut
ruang, ia teringat bahwa sudah beberapa lama Siu-lam belum makan. Kuatir kalau
sahengnya itu kelaparan ia segera bertanya kepada Bau Thian-seng, "Apakah suhu hendak
dahar?" "Tak perlu. Orang itu sudah tiba dibawah cekung karang ini," sahut Ban Thian seng.
Di luar guha keadaannya sunyi senyap. Ban Thian seng kerutkan alis dan berbisik,
"Orang itu licik sekali. Rupanya dia curiga mendengar suara tangis dan tawa tadi dan
hentikan langkahnya kesini."
"Perlukah murid keluar meninjau?" tanya Hian song.
"Tak perlu," sahut Ban Thian seng. "Masakan mereka dapat bersabar lama. Tentu akan
segera memanjat kemari!"
Hian Song letakkan pedangnya dan duduk bersemedhi memulangkan tenaga. Diam
diam ia merenungkan peristiwa yang di alaminya hari itu. Ia menyesal karena telah
mengikat Siu-lam sehingga pemuda itu tak dapat berbuat apa-apa. Namun iapun tak
berani untuk membuka rantai itu karena kuatir akan menimbulkan kemarahan Ban thian
seng. sekali orang aneh itu marah, di kuatirkan segera akan membunuh Siu-lam.
Karena pikirannya gundah, walaupun bersemedi tetapi ia tak memperoleh ketenangan.
Kebalikannya, karena sudah tahu akan mati, Siu-lam bahkan tenang tenang saja. Ia
sudah sedia untuk mati setiap waktu".
Aneh juga Ban thian seng itu. Ia tak segera membunuh Siu-lam. Rupanya orang aneh
itu sengaja hendak menyuruh Siu-lam menderita lebih lama sebelum mati.
Diam diam Siu-lam menghela napas. Ia memandang keluar guha. sebelum mati, ingin
ia menikmati pemandangan alam dunia.
Tiba-tiba matanya tertumbuk pada dua buah kitab yang menggeletak diatas tanah. Ia
terke siap, pikirnya, "Kedua buah kitab itu tentu milik Gan Leng poh dan sinona baju
merah yang berasal dari peninggalan Lo Hian"."
Baru ia merenung begitu, tiba tiba dari mulut guha muncul sesosok kepala orang.
Ketika melihat wajah orang itu, Siu-lam serentak kaget. Demikianpun orang itu Kejutnya
bukan kepalang sebmgga lupa untuk menarik keluar lagi.
Mengapa" siapakah orang itu sehingga membuat Siu-lam terkejut seperti melihat
setan" Kiranya kepala orang itu bukan lain adalah sumoay kawan sepermainannya dimasa
kanak-kanak, yakni Ciu Hui Ing!
setelah pulih ketenangannya, buru buru Siu-lam memberi isyarat dengan gelengkan
kepala. Maksudnya menyuruh sumoay itu lekas-lekas tinggalkan tempat itu.
Tetapi hai itu bahkan menimbulkan salah faham. Begitu melihat Siu-lam, Hui ing terus
melangkah masuk. "Sumoay, jangan masuk, pergilah lekas!" teriak Siu-lam gugup.
"Mengapa?" Hui ing heran.
Hian Song tiba tiba loncat menghadang Hui ing, bentaknya, "Berhenti, siapa engkau!"
Hui ing tertawa hambar, "Aku Ciu Hui ing."
Hian Song agak pucat. Pelahan lahan ia turunkan pedangnya, tegurnya, "Engkau kenal
padanya?" Hui ing tersenyum, "Sejak kecil aku sama sama bermain hingga sampai dewasa.
Mengapa tak kenal?" Tiba tiba Hian Song gunakan ilmu menyusup suara Coan im jip bi berkata kepada Hui
ing, "Percuma, kau teniu tak mampu menolongnya-sekalipun tokoh tokoh silat yang sakti,
pun sukar menolongnya. Aku sendiripun tak dapat menolongnya, tetapi akan berusaha
sekuat tenagaku untuk menyelamatkannya. silahkan kau tinggalkan tempat ini"."
"Hayo, enyahlah!" cepat cepat ia berganti nada dan berseru keras agar jangan
ketahuan Ban Thian-seng. Hui ing memandang kesekeliling guha itu. Tampak diujung ruangan, menggeletak
seorang lelaki dan seorang nona. Dan seorang kakek muka panjang berpakaian hitam,
tengah duduk bersila, disamping mereka.
Hui ing tertawa hambar, "Soal yang paling penting dalam hidup manusia itu hanya
mati, Tapi mengapa kita harus takut mati?" ia menyelinap disamping Hian tong terus
menghampiri Siu-lam. Hian Song terpaksa menebaskan pedangnya kepinggang nona itu. Tetapi dengan cepat
Hur Ing menampar siku lengan kanan Hian song.
sebenarnya Hian Song bermaksud baik kepada Hui-ing. Tetapi tak disangkanya Hui-Ing
tidak menghiraukan peringatan itu. Apa boleh buat, terpaksa Hian-Song gunakan
pedangnya untuk menghalau pedang nona itu.
Ia endapkan tangasnya, setelah menghindari tamparan, ia menusuk dua kali. Jurus itu
cukup hebat setangga Hui-ing terpaksa mundur dua langkah.
Pada saat Hian Song hendak menyusul lagi serangannya supaya Hui ing mundur keluar,
tiba tiba Ban Thian seng membuka mata dan berseru, "Jangan melukainya, biarkan ia
masuk!" Hian Song tertegun. Terpaksa ia menyimpan pedangnya dan mundur.
Tanpa memandang kepada orang aneh itu, Hui-ing terus melangkah masuk dan
menghampiri Siu-lam. Ia berjongkok, mencekal tali yaug mengikat lengan kiri Siu-lam dan
diam diam kerahkan tenaganya.
Tiba tiba terdengar suara orang berseru dingin. "Lepaskan tali itu!"
Hui ing berpaling. Ternyata yang berseru itu adalah Ban Thian seng. Nona itu tertawa
hambar, tanyanya, "Mengapa?"
"Pernah apa engkau dengan dia?" seru Ban Thian seng.
"Aku sumoaynya, mengapa" Engkau siapa" " Hui irng bal&s bertanya.
"Aku Dewa setan Ban Thian Seng!" Hui ing kerutkan kening. sesaat kemudian baru ia
berkata, "Pernah kudengar cerita orang engkau sangat sakti dan bersahabat baik dengan
Lo Hian." Ban Thian seng tertawa gelak gelak, serunya, "Bagus, ternyata dalam angkatan muda
masih terdapat orang yang mengenal diriku!"
"Tetapi, walaupun lahirnya bersahabat baik dalam batin engkau membenci Lo Hian.
setiap saat ingin hendak membunuhnya"."
Mendengar ucapan Hui ing itu, Ban Thian-Seng terbeliak, "Hai, bagaimana engkau
tahu?"

Wanita Iblis Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Memang banyak hal yang kutahu," sahut sinona, "meskipun engkau mendendam
rencana untuk mencelakai Lo Hian, tetapi engkau tak berani bertindak."
"Mengapa?" seru Ban Tbian seng.
"Karena engkau tak punya keyakinan pada dirimu sendiri, adakah engkau dapat
mengalahkannya. Oleh karenanya rencana pembunuhan itu tetap terkandung dalam angan
angan saja!" sepasang mata Ban Thian seng berkilat-kilat menyala. Tetapi pada lain saat ia tindas
perasaannya. "Dari siapa engkau mendengar hal itu?"" serunya.
"Siluman tulang kumala Ih Ing hoa"."
serentak melonjakkan Ban Thian seng dari duduknya, serunya kalap, "Siluman tulang
kumala" Dimanaa ia sekarang?"
Hu ing geleng geleng kepala tak menyahut.
"Apakah engkau tak tahu?" Ban Thian-seng menegas.
"Tahu sih tahu tetapi tak perlu memberi tahu kepadamu!"
"Hai apakah kau hendak mencoba rasanya siksaan yang paling hebat dalam dunia?"
teriak Ban Thian seng dengan murka seraya ulurkan tangan menyambar tangan Hui ing.
"Sekalipun engkau dapat menggunakan siksaan yang paling ngeri dalam dunia untuk
menyiksa diriku, tetapi akupun dapat membunuh diri di hadapanmu!"
Ban Thian seng tertegun dan lepaskan cekalannya, "Mengapa engkau tak mau
beritahukan (empat tinggal Ih Ing-hoa?"
"Ketahuilah, kuberitahukan kepadamu sekalipun aku juga takkan hidup!" Hai ing
tertawa. "Engkau takkan kubunuh, bilanglah!"
"Dan bebaskan dulu suhengku itu, baru nanti aku bilang!"
Ban Thian-seng terpaksa ulurkan tangan mencekal rantai pengikat siu-lam. sekali
kerahkan tenaga, tali rantai itupun putus berkeping keping.
"Nah, sekarang bilanglah!" serunya.
Hui ing geleng geleng kepala, "Tidak jadi, sekarangpun tak dapat kukatakan!"
"Mengapa?" bentak Ban Thian seng marah.
"Karena jika tadi, engkau hanya membunuh aku seorang. Tetapi jika sekarang, engkau
tentu membunuh aku berdua dengan suhengku!"
"Engkau begitu pintar, apa Ih Ing Hoa yang mengajarkan kepadamu?" seru Ban Tbian-
Seng. "Benar, kecuali dia, siapakah yang mampu memberi ajaran tentang cara menjaga hati
orang yang gampang berobah itu?" sabut Hui-ing.
"Lalu bagaimana kehendakmu?" seru Ban Thian seng.
"Antar aku keluar dari guha ini dulu, baru nanti kukatakan!"
"Baik," sahut Ban Thian seng seraya menyambar tubuh Siu-lam terus dibawa loncat ke
luar guha. Hian Song tak mengira bahwa Hui ing dengan mudah dapat menolong Siu-lam. Ia tidak
tahu bagaimana perasaannya saat itu ketika melihat Siu-lam dibawa keluar oleh Ban Thian
seng. Darahnya tersirap dan seketika timbullah rasa gundah dalam hatinya. serentak ia
menghunus pedang dan mengikuti dibelakang Hui ing.
Dalam membawa tubuh Siu-lam. Ban Thian seng hanya menggunakan sebelah
tangannya dan dengan ringan sekali ia berlompatan seperti di tanah datar. sekalipun Hui
ing mengejar dengan sekuat tenaga, tapi tetap tak dapat menyusul.
Melibat ilmu meringankan tubuh dari Hui-ing itu tak dibawabnya, diam diam Hian-Song
terkejut. Ia kuatir tak dapat menyusul. Cepat ia melambung keatas sebuah batu gunung
lalu loncat turun kebaWah, tepat dibadapan Hui ing.
Hui-ing terpaksa berhenti. "Mau apa kau?"
"Ada beberapa hal yang hendak kutanya kan kepadamu?" jawab Hian song.
"Apa?" kata Hui-ing seraya lanjutkan larinya agar jangan kehilangan jejak Ban Thian
seng. Terpaksa Hian-Song mengikutinya.
"Hendak engkau bawa kemanakah engkoh Siu-lam itu?" tanya Hian Song sambil
berjalan. "Entah, mungkin aku sendiripun tak dapat lolos," sahut Hui-ing.
"Apakah engkau sungguh-sungguh tahu di mana tempat si Tulang kumala itu?" tanya
Hian-fOng pula. "Sudah tentu tahu," sahut Hui ing. "Ah, aku sendiripun dalam keadaan terdesak. Kalau
tidak mengangkat guru kepadanya, Pui suheng tentu dibunuh!" kata Hian song.
Hui ing tertawa hambar, "Dia mati, bukan urusanku. Tetapi sekali berjumpa, tak sampai
hati jika tak menolongnya!"
Dalam pada bercakap cakap itu, keduanya telah tiba dikaki gunung Disitu Ban Thianieng
sudah menunggu. Hui ing menatap Ban Thian seng dengan pandang yang jernih, ujarnya, "Jika diam diam
engkau menutuk jalan darahnya"."
Ban Thian seng cepat menyeletuk dengan marah, "Engkau anggap aku ini orang
bagaimana" Masakan aku tak pegang janji. Jika sudah kutuluskan membebaskan dia, tak
nanti aku mencelakainya secara diam diam!"
Hui Ing tersenyum, "Kawan sepermainan sejak kecil sampai berangkat dewasa, pun tak
dapat dipercaya. Apalagi kita yang baru saja bertemu. Masakan begitu saja aku percaya
penuh!" Tiba tiba Ban Thian seng tertawa gelak gelak, "Bagus, sekarang tulang kumala telah
menghasilkan seorang murid yang benar benar lain dari yang lain. Baiklah, akan kubuka
jalan darahnya!" Beberapa kali jari orang aneh itu menepuk tubuh Siu-lam. Kemudian meletakkan Siulam
dan berpaling kepada Hui-Ing, "Nah, sekarang katakanlah."
Hui ing gelengkan kepala, "Belum dapat!"
"Kalau masih ada permintaan lagi, katakan semua!" seru Ban Thian seng.
"Diantara kita berempat ini, hanya aku sendiri yang tahu dimana tempat tulang kumala,
benar tidak?" kata Hui-ing.
"Benar, jika ada lain orang lagi, tentu tak sudi aku begini sungkan kepadamu," sahut
Ban Thian-seng dengan mengkal mengkal geram.
"Kalau begitu tahanlah, aku seorang dan suruhlah suhengku pergi dari sini!"
sejenak Ban Thian seng memandang kearah Siu-lam, lalu berkata, "Mudahlah untuk
melepaskannya, tetapi engkau harus mengatakan dulu tempat tinggal Tulang kumala itu!"
"Sesungguhnya aku bukan murid dari Tulang-kumala, tetapi memang kenyataannya
ada pertalian guru dan murid itu. Ketika berpisah, ia pernah memberitahukan kepadaku.
Tak peduli apapun yang terjadi, tak boleh kupercaya pada orang. Pedang harus tetap
berada dalam tanganku," kata Hui-ing.
"Itulah kelicinan dari siluman perempuan lh Ing hoa!" seru Ban Thian seng lalu
melambai kepada Siu-lam, "Lekas, tinggalkan tempat ini jangan sampai terlambat, aku
nanti merobah hati ku dan membunuhmu!"
Tergerak hati Siu-lam melihat pengorbanan yang dilakukan Hui ing kepadanya. Dengan
berlinang linang air mata, ia berseru tak lampias, "Sumoay, engkau"."
"Lekaslah pergi, jangan sampai hatiku berubah dan tak suka menolongmu lagi!" tukas
Hui ing menirukan nada Ban Thian seng.
"Tetapi dia seorang ganas. Jika aku pergi dia tentu tak mau melepaskan engkau!"
bantah Siu-lam. "Tak apa, aku masih harus membawanya mencari Tulang kumala. Masih ada sedikit
waktu bisa hidup!" Hui ing tertawa.
saat itu barulah Siu-lam menyadari bahwa dara Hui ing yang dahulu menjadi kawan
sepermainannya, kini telah menjadi seorang nona yang dewasa pikirannya. Tenang, dingin
dan tak mengacuhkan segala apa".
Tiba tiba Hui ing memanggil Ban Thian seng, "Locianpwe"."
"Meugapa?" pelahan lahan Ban Thian seng memalingkan kepala.
"Jika dia tak mau pergi, tandanya dia tak niat pergi. Potonglah kedua kakinya saja!"
kata Hui ing. Siu-lam terkejut. Ia menghela napas dan berkata, "Sumoay berdua harap menjaga diri
baik baik!" ia memberi salam, terus melangkah pergi.
Dua butir air mata meleleh dari sudut mata ketika mengantar pandang pada bayangan
Siu-lam. "Suhu, bolehkah aku mengantar suheng sebentar?" pintanya dengan rawan.
"Tidak!" Ban Thian-seng gelengkan kepala seraya menuding ke arah jalan darah di
paha dara itu. Hian Song lunglai dan jatuh terduduk. Memandang ke arah Hian-song, Hui ing bertanya
kepada Ban Thian seng, "Apakah nona itu muridmu?"
Ban Thian seng mengiakan.
"Siluman Tulang kumala memberi tahu kepadaku bahwa Lo Hian itu seorang licin dan
engkau seorang ganas. Agaknya memang benar," kata Hui ing seraya terus berputar
tubuh terus melangkah kemuka pelahan lahan.
"Berhenti!" bentak Ban Thian-seng, "hendak kemana engkau!"
seenaknya saja Hui ing berpaling dan melengking, "Hendak membawamu mencari
Tulang kumala!" "Dimana?" "Kira kira seratus li, tak sampai selengah hari tentu akan dapat menemukannya," kata
Hui ing seraya cepatkan langkah seperti anak panah terlepas dari busur.
Ban Thian seng menjinjing tubuh Hian- Song dibawa mengejar. Dengan ilmu
meringankan tubuh yang hebat, dalam berapa kejab saja ia sudah dapat menyusul
dibelakang Hui-ing. "Jika engkau berani menipu itu, akan kulepaskan semua tulang belulangmu dan
kulempar ke dalam lembah, biar engkau digerogoti semut sampai mati!" serunya
memperingatkan Hui ing. Hui ing tetap tentang. Ia acuh tak acuh menangapi ancaman itu. Larinya tak pernah dikendorkan.
dalam pada itu, baiklah kita ikuti perjalanan Siu-lam. Ketika lari beberapa waktu, tiba
tiba ia rasakan kedua lututnya sakit. Ia duga Ban Thian-seng tentu telah melakukan
sesuatu terhadap dirinya. Terpaksa ia berhenti dibawah sebatang pohon siong. Ketika
memeriksa, ternyata kedua lututnya itu memang bengkak merah segera ia duduk
menyalurkan tenaga murni. Mudah-mudahan setelah dapat menghidupkan lagi urat-urat
nadinya, ia dapat melanjutkan pejalanan lagi.
setelah mengalami beberapa siksaan, hati Siu-lam makin teguh. Ia menyadari bahwa
lukanya itu sukar disembuhkan sendiri. Ia segera bangun dan lanjutkan perjalanan. Tetapi
luka-lukanya makin lama makin sakit sekali sehingga sukar untuk dibawa jalan. Akhirnya ia
mencari dahan kayu untuk tongkat.
Dengan bantuan tongkat itu, walaupun sudah menempuh perjalanan semalam
setengah hari, tentu ia dapat keluar dari daerah gunung. Kemudian untuk menghilangkan
jejak, ia menyewa sebuah kereta. selama perjalanan, ia menutup tenda kereta agar
jangan diketahui orang. Kini ia mulai mengakui bahwa dunia persilatan itu memang penuh bahaya, tipu muslihat
dan segala macam kejahatan. setiap saat selalu terancam bahaya maut. Ah, jika dia dulu
dulu tak belajar silat, tentulah ia tak usah menderita masih begitu. Ia tentu dapat hidup
tenang di rumah. Tetapi kesemuanya itu sudah terlanjur. setelah belajar silat, ia harus memanfaatkan
untuk membalas dendam kematian gurunya".
Tiba tiba ia teringat akan tindakan Hui-ing yang berani menipu Ban Thian-seng hanya
demi menyelamatkan jiwanya ( Siu-lam ). Tetapi pengorbanan itu terlalu besar. Ia
memang selamat tetapi sumoaynya itu jatuh ketangan seorang iblis seganas Ban Thian
seng. Jelas wanita. Tulang kumala Ih Ing-hoa itu sudah meninggal, tentu Ban Thian seng
akan menyadari kalau dirinya ditipu. Ban Thian seng pasti akan melakukan siksaan yang
paling mengerikan kepada Hui-lng. Ah, mengapa ia tek berbuat sesuatu untuk menolong
jiwa sumoaynya itu" Tetapi, kesemuanya itu harus mengandalkan kepandaian silat yang
sakti"." Tiba-tiba lamunannya itu dibuyarkan oleh bunyi derap kuda mencongklang. seekor
kuda dengon cepat lalu disamping keretanya.
Walaupun terluka lututnya dan tak dapat berjalan tapi kepandaian Siu-lam masih belum
lenyap. Mendengar pesatnya lari kuda itu, ia juga penunggangnya tentu mempunyai suatu
urusan penting yang harus cepat cepat dilakukan.
Tiba tiba ia dikejutkan Oieh teriakan seseorang, "Hai, kuda mengkejutkan orang sampai
mati!" Dan teriakan itu segera bersambut dengan suara hiruk pikuk orang ribut ribut. Karena
Siu-lam pun tepaksa berhenti. Karena Ingin tahu, Siu-lam menyingkap ujung tenda dan
melongok keluar. seorang penunggang kuda tengah dihadang oleh puluhan orang seorang perempuan
berumur tiga puluh tahun tengah memeluk seorang anak yang berlumuran darah. sambil
menangis, perempuan itu menjerit-jerit dengan kalap.
"Ganti jiwa anakku! Hayo, ganti jiwa anak ku ini!" teriaknya sambil menangis.
Penunggang kuda itu tertawa dingin".
"Anakmu sendiri yang menubruk kudaku. Jangan banVak urusan, aku masih ada lain
ke-pentingan. Nih, kuberi ganti sekedarnya!" seru penunggang kuda itu.
Makin keraslah tangis wanita itu, "Sekali pan kau ganti seribu tail emas, tak nanti dapat
mengembalikan jiwa puteraku!"
Penunggang kuda itu gelengkan kepala, "Orang yang mati tentu tak mungkin hidup
kembali. Adakah aku harus mengganti jiwanya?"
"Benar, kau harus mengganti jiwanya"." teriak wanita itu.
Siu-lam gelengkan kepala, pikirnya, "Hutang jiwa memang harus ganti jiwa. Tetapi jelas
dia tak sengaja. Kurang layak kalau diharuskan mengganti jiwa"."
Tiba tiba serangkum angin meniup. Ketika Siu-lam berpaling, tampak seorang pemuda
berbaju biru menyusup masuk kedalam keretanya. Diam-diam Siu-lam kerahkan tenaga
dan memperhitungkan gerak-gerik pemuda itu.
Pemuda itu seenaknya saja menggulung tenda kereta lalu duduk pejamkan mata.
sedikitpun tak menghiraukan Siu-lam.
Memang Siu-lam menduga pemuda itu tentu memiliki kepandaian istimewa. Tetapi ia
percaya, bahwa kecuali bertemu dengan tokoh-tokoh sakti setarap ketua Beng gak. ia
masih dapat menghadapi. Mengingat dijalan banyak orang berkerumun, ia tak mau
memaksa pemuda itu turun.
Tiba tiba pemuda itu masuk kedalam gerbong kereta. Terpaksa Siu-lam bersiap siap. Ia
tak sempat lagi memperhatikan keadaan diluar.
Keretapun berjalan lapi. Ia kira tentulah peristiwa tubrukan itu sudah selesai.
Memandang kearah pnmuda itu, tampak dia masih pejamkan mala seperti tidur. Diamdiam
Siu-lam heran mengapa begitu ceroboh sekali orang itu. Jika bertemu dengan orang
jahat, tentu mudah dicelakai.
Beberapa kejap kemudian, pemuda itu membuka mata, memandang Siu-lam. "Terima
kasih atas budi pertolongan anda!"
"Ah, tak perlu mengucapkan begitu,"Sahut Siu-lam.
Pemuda itu memberi hormat dan minta diri.
"Tunggu sebentar, aku hendak bertanya."
"Silahkan," kata pemuda itu dengan hormat.
"Bagaimana anda mengatakan bahwa aku telah menolong jiwa anda?" tanya Siu-lam.
Pemuda itu menghela napas pelahan, "Aku telah dikejar orang. Dalam gugup terpaksa
menyelundup kadalam kereta ini. Harap saudara maafkan," ringkas saja pemuda itu
memberi keterangan tanpa menyinggung sebab-sebab pengejaran itu.
Siu-lam pua tak mau mendesak dan mempersilahkan pemuda itu melanjutkan
perjalanan. Beberapa langkah jauhnya, pemuda itu balik kembali dan mengamati kedua
lutut Siu-lam yang bengkak.
"Apakah lutut saudara terluka?" tanyanya. Siu-lam memandang lututnya. Ah, ternyata
makin besar bengkaknya. iapun mengiakan.
"Apakah luka itu karena dipukul orang?" kembali pemuda itu bertanya.
"Benar, dipukul orang dengan pukulan ganas."
Pemuda itu mengangguk, "Mengingat saudara telah menolong jiwaku, akan
kuberitahukan tempat untuk berobat"." berhenti sejenak, ia melanjutkan pula, "dan
tempat itu dekat dari sini. Ilmu pengobatan orang itu, pada dewasa ini termasuk yang
nomor wahid. selain dia, mungkin luka saudara itu sukar disembuhkan!"
Menyadari bahwa lukanya memang parah benar dan kemungkinan tak dapat mencapai
gunung Ko san, Siu-lam pun segera meminta keterangan tentang tempat itu.
"Terpisah dari sini hanya kurang lebih sepuluh li. Dari sini terus menuju ketimur
terdapat sebuah kuil kecil. Disitu tinggal seorang imam tua yang buta matanya. Asal
saudara mohon kepadanya, jangan hanya luka begitu, sekalipun yang lebih berat lagi, dia
tentu dapat mengobatinya!"
"Eh, apakah dia tak mau menolong orang?" tanya Siu-lam.
"Tergantung dari peruntungan saudara. Jika dia senang, tentu mau menolong siapa
saja. Tetapi jika tak senang, dia akan biarkan saudara menunggu sampai tiga hari tiga
malam tak digubris!" habis berkata tanpa menunggu penyahutan Siu-lam lagi, pemuda itu
terus lari pergi. Diam-diam Siu-lam menimang. Baiklah ia mencoba ketempat itu. siapa tahu".
Baru ia berpikir begitu, tiba tiba dari jauh terdengar suara pemuda tadi, "Jika imam itu
menanyakan dari siapa engkau mengetahui dirinya, harap jangan memberitahukan bahwa
aku yang kasih tahu Karena kalau tahu, bukan melainkan kakimu tak sembuh, juga jiwamu
terancam hilang!" Siu-lam menyingkap tenda kereta. Ternyata pemuda itu sudah berada satu li jauhnya.
Kereta segera diluncurkan ketimur.
Ternyata apa yang dikatakan pemuda tadi memang benar. Kurang lebih sepuluh li,
tibalah ia disebuab kuil kecil. Siu-lam hentikan kereta dan perlahan lahan turun. Ia
terpaksa berjalan dengan dua buah tongkat.
Ternyata dalam kuil itu tiada terdapat suatu apa. Halaman kuil penuh ditumbuhi rumput
ilalang sehingga menutup jalan masuk kedalam kuil.
setelah berhasil masuk, Siu-lam melihat seorang imam rambut panjang yang tidur
telentang dimuka meja pemujaan. selain tumpukan rumput kering untuk alas tidur, lain
lain barang tak terdapat dalam ruang itu.
Siu-lam batuk batuk dan berssru pelaban, "Locianpwe". "diulangnya beberepa kali


Wanita Iblis Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tetapi imam itu tetap diam saja.
selama mengalami peristiwa peristiwa, banyak dan pengalaman Siu-lam selama ini. Ia
tak mau menggunakan kekerasan dan hanya duduk bersila menunggu.
sepernanak nasi lamanya, barulah imam itu terjaga dari tidurnya. sambil mengeliat
malas, ia menegur, "Uh, siapakah itu?"
"Aku yang rendah bsrnama Pui Siu-lam."
Imam itu berbaiik tubuh membelakangi Siu-lam, serunya, "Mau apa engkau kemari?"
"Aku hendak mohon pengobatan!"
"Aku sendiri hampir mati, bagaimana mampu menolong orang" Pergilah, jangan
mengganggu tidurku!" seru imam itu.
"Biarlah kutunggu sampai nanti lo cianpwe bangun lagi, " kata Siu Jam dengan sabar.
Tiba-tiba imam itu tertawa gelak gelak. "Apakah engkau terluka berat" "tanyanya. Dan
imam yang buta kedua matanya itupun serentak berbangkit duduk, "Siapa yang memberitahu
kepadamu tentang diriku ini?"
Siu-lam hendak mengatakan diri pemuda baju biru itu tetapi tiba tiba ia teringat akan
pesannya. Ia tak menyahut.
Walaupun matanya buta, tetapi imam itu mesmiliki perasaan yang tajam sekali, "Hm.
aku paling benci kepada seorang pembohong. Jika engkau berani bohong, jangan harap
engkau dapat tinggal tempat ini!"
Nadanya bengis dan penuh wibawa. "Orang yang memberilahu kepadaku itu. pesan
wanti wanti supaya aku jangan mengatakan dirinya. Dan akupun sudah berjanji
kepadanya. Jika lo cianpwe hendak memaksa, berarti membikin susah padaku, "Sahut Siulam
beberapa saat kemudian. "Bukan orang itu seorang pemuda yang berumur dua puluh tigaan tahun, perawakan
sedang dan kulitnya putih bersih?" tanya siimam buta.
Mendengar itu Siu-lam terkesiap. Imam itu buta tetapi mengapa dapat menggambar
wajah orang sedemikian tepatnya"
"Jika engkau tak mau menerangkan berarti membenarkan dugaanku tadi!" seru siimam
pula. "Ah, maafkan, aku mohon diri saja, " kata Siu-lam seraya menyambar tongkat dan
ayunkan langkah. "Berhenti!" imam buta itu mendadak berteriak. ia tak sangka kalau Siu-lam hendak
pergi dengan begitu saja.
Siu-lam berhenti "Apakah kehendak locianpwe?"
"Karena berjalan dengan tongkat, lukamu tentu berat sekali, bukan?"
"Kedua kakiku membengkak besar, darah tak dapat mengalir lancar. Rasanya kaku
seperti mati separuh!"
Siu-lam menghaturkan terima kasih dan kembali ia mohon diri hendak pergi.
Imam buta itu terkesiap, "Eh, perlu apa engkau datang padaku?"
"Berobat!" "Kalau berobat mengapa belum diobati, eagkau sudah terburu-buru hendak pergi?"
"Walaupun memang ingin sekali aku mohon pengobatan kepada lo-cianpwe, tetapi aku
tak mau karena hal itu harus merusak kepercayaan orang terhadap diriku. Ialah untuk
memberitahukan orang yang kasih tahu tempat lo-cianpwe ini " sahut Siu-lam.
Imam buta itu menghela napas, "Rupanya engkau seorang yang jujur."
"Ah, lo cianpwe keliwat memuji!"
Imam buta itu melambaikan tangannya, "Kemarilah, akan kuperiksa lukamu!"
Jilid 43 Walaupun buta, tetapi ternyata imam itu seperti dapat melihat. Dengan cepat ia
mencekal kedua lutut Siu-lam. setelah mengurut beberapa jenak, wajah imam itu
mengerut gelap dan menghela napas.
"Ah ternyata benar luka akibat soh meh-chiu," katanya, "dan orang itu telah
menggunakan tenaga berat agar kedua kakimu lumpuh. Untunglah engkau segera datang
kemari. Terlambat dua tiga hari lagi, aku tentu tak dapat menolongmu. Kecuali harus
memotong kedua kakimu, barulah engkau dapat hidup. Karena kalau dibiarkan, luka itu
akan membusuk dan akan menjalar ke seluruh tubuhmu hingga engkau binasa!"
Diam diam Siu-lam bersyukur karena tak terlambat datang kesitu.
Imam buta itu menerangkan pula babwa urat nadi ruas tulang lutut pemuda itu sndah
mulai membusuk. Siu-lam terbeliak, "Terima kasih atas per tolongan lo cianpwe. Tetapi entah berapa
lama luka itu dapat sembuh?"
"Paling tidak harus sebulan!"
"Sebulan"!" Siu-lam terperanjat.
"Itu paling cepat. Jika mendapat halangan kemungkinan tentu akan lebih lama lagi"."
kata imam itu, "aku meluluskan untuk mengobatimu sampai sembuh. Tetapi aku tak mau
memaksa. Jika engkau merasa terlalu lama, silahkan tinggalkan aku. Karena setiap kali
mengobati orang, aku tak mau setengah-setengah"."
"Tetapi hendak kuberitahukan kepadamu." kata imam buta itu pula, "dalam dunia ini
kecuali aku seorang, mungkin tiada orang lain lagi yang dapat mengobati lukamu itu.
Camkan dan pikirlah baik-baik!"
Diam diam Siu-lam menimang, Jika kedua kakinya lumpuh, tentu tak mungkin ia akan
meyakinkan ilmu silat sakti Padahal ia harus menolong Hui Ing dan Hian song yang sedang
berada dalam Cengkeraman si manusia aneh Ban Thian-seng. Tanpa ilmu silat sakti, tak
mungkin ia dapat mengatasi manusia Ban Thian seng itu.
"Baiklah, aku bersedia tinggal di sini dan menerima pengobatan lo cianpwe. sebentar
akan kusuruh kereta itu pergi, segera aku balik ke mari"." akhirnya Siu-lam memutuskan.
Imam buta itu memberi isyarat supaya Siu-lam jangan bicara. Siu-lam terkesiap dan
memasang telinga. Ah, ternyata terdengar suara mendengung lemah, mirip suara tawon.
"Hanya suara tawon"."
"Tak mungkin tawon begitu keras suaranya," tukas si imam buta seraya memungut
sebutir batu sebesar telur, dari samping meja.
Siu-lam melirik. Ternyata di tepi meja sembahyang tersebut terdapat setumpuk batu
kecil kecil. Entah jumlahnya berapa ratus biji.
"Hm, rupanya dia memang sudah siap sedia. Untuk menghadapi gangguan musuh,"
pikir Siu-lam. suara mendengus itu makin lama makin dekat dan masuk dalam ruang.
"Hai, tawon raksasa!" teriak Siu-lam ketika berpaling.
serempak dengan teriakan itu, siimam buta pun sudah ayunkan tangannya. Dengan
telinga sebagai ganti matanya yang buta, dapatlah ia membedakan letak arah sasarannya.
Bluk, tawon raksasa itu terhantam jatuh.
"Hebat!" Siu-lam memuji.
Imam buta itu kerutkan alis lalu menyuruh Siu-lam memeriksa keadaan tawon itu.
"Tiga kali lipat besarnya dari tawon biasa!" kata Siu-lam.
Tiba tiba imam buta itu berdiri, ujarnya, "Kedatanganmu memang kebetulan tepat
sekali. Terlambat setengah hari saja, mungkin aku sudah pergi dari sini!"
setelah berhenti sejenak, wajah imam buta itu mengerut serius, "Pergilah kepada
keretamu dan siapkan makanan yang lebih banyak. Dan
lekas engkau kembali kemari, aku akan mencarikan daun obat untukmu!"
Siu-lam melakukan apa yang diperintah itu lalu bergegas gegas masuk kedalam kuil
lagi. Tampak siimam menyanggul sehelai karung kain dibahunya, menjemput dua
genggam batu dimasukkan kedalam karung itu lalu mengambil tongkatnya.
"Duduklah kemari, akan kubuka urat nadi lututmu yang terkunci itu," serunya.
setelah mengurut urut kedua lutut Siu-lam imam itu mengambil sebuah botol obat,
katanya, "Dalam botol ini terisi tiga puluh butir pil. se belum matahari terbit, tiap pagi
engkau tuakan sebutir. Lalu hancurkan dua pil dan lumurkan pada lututmu. Cukup untuk
dipakai sepuluh hari. Aku hendak mencari daun obat. Paling lama sepuluh hari, tentu akan
kembali!" Siu-lam mengiakan dan mengucap terima kasih.
Berkata pula imam buta itu, "Setelah ku buka jalan darah urat nadimu, sejam kemudian
engkau tentu merasa sakit pada lututmu. Dan sakitnya makin lama makin keras. Tiap hari
engkau harus menderita siksaan sampai empat jam. Biarkan saja derita kesakitan itu,
jangan coba engkau lawan dengan mengerahkan tenaga dalam. Agar jangan salah terus!"
Siu-lam mengatakan. Ketika melangkah sampai diambang pintu, imam buta itu tiba tiba
berpaling lagi, "Masih ada sebuah hal lagi. Hampir saja aku lupa memberitahu kepadamu!"
"Silahkan lo-cianpwe memberi pesan."
"Pada saat aku pergi, jika ada orang datang kemari, sekali kali jangan engkau marah
dan berkelahi. Biarlah dia menghina habis-habisan, engkau harus tahan diri!" kata imam
buta itu terus loncat keluar dan lenyap.
Siu-lam pejamkan mata mulai bersemedhi lagi. Dalam terapat yang sesunyi itu, desir
angin kedengaran menyeramkan sekali. Entah selang berapa lama, tiba tiba Siu-lam
Kemelut Di Majapahit 9 Rahasia Dewi Purbosari Karya Aryani W Rahasia 180 Patung Mas 13
^