Pencarian

Mencari Bende Mataram 4

Mencari Bende Mataram Lanjutan Bende Mataram Karya Herman Pratikto Bagian 4


hal yang tidak diharapkan, kami semua diwajibkan me-
manggilnya dengan kakak. Tak peduli umur kita jauh
lebih tua daripadanya."
"Eh, mengapa begitu?" Titisari heran. "Apakah kakek
guru sudah tahu, bahwa ada di antara murid-muridnya
yang jatuh cinta begitu bertemu pandang yang pertama
kalinya?" "Benar. Dialah adik seperguruanku Cakra-dara," sahut
Gagak Seta. "Cakradara seorang pemuda yang sangat
tampan. Kami sering menyebutnya sebagai titisan Dewa
Kamajaya. Tetapi sebenarnya yang jatuh cinta tidaklah
dia seorang. Kukira, saudaraku seperguruan lainnya tak
terkecuali. Tetapi karena kami bertujuh menghormati
Guru, maka rasa cinta kami hanya kami pendam
dengan diam-diam. Diluar dugaan, hati Sirtupelaheli
dinginnya seperti es. la bersikap galak dan ganas
terhadap siapa saja yang berani menimbulkan soal
cinta." "Kala itu masa perang. Meskipun Perang Giyanti boleh
dikatakan sudah selesai, tetapi pengaruhnya masih
besar.22) Dimana-mana seringkali terjadi bentrokan-
bentrokan antara Kompeni Belanda dengan laskar-laskar
perjuangan. Karena itu Guru masih memandang perlu
menghimpun laskar yang bisa menghadapi Belanda
sewaktu-waktu. Kebanyakan mereka terdiri dari pemuda-
pemuda sukarela yang gagah tampan. Namun melihat
mereka, Sirtupelaheli seperti melihat gundukan batu
yang tiada pengaruhnya sama sekali."
"Pada suatu kali isteri guru, pernah mencoba
membicarakan perkara perjodohan. Maklumlah, usia
Sirtupelaheli sudah tujuh atau delapan belas tahun. Bagi
ukuran pedu-sunan, umur itu sudah terlalu tua. Keba-
nyakan gadis-gadis dikawinkan pada umur menjelang
empat belas tahun. Malahan ada pula yang sudah
berumah tangga sewaktu lagi berumur sepuluh atau dua
belas tahun. Dan tatkala mendengar hal itu, diluar duga-
an Sirtupelaheli menghunus sebilah belati. Di hadapan
kami dia bersumpah siapa yang berani menimbulkan soal
perjodohannya akan ditikamnya mati atau ia membunuh
diri. Kami semua kaget menyaksikan kekerasan hatinya.
Semenjak itu, tak berani lagi kami mencoba-coba
?) Perang Giyanti berakhir 13 Pebruari 1755. Pangeran Mangkubumi
menjadi Sultan Yogya dengan resmi (1755-1792).
menimbulkan soal cinta. Malahan mendekati nona galak
itu, terasa segan. Satu tahun kemudian datanglah seorang pemuda yang
mengaku berasal dari Banyuwangi. Ia bernama Dipajaya
anak seorang Pendekar Dipanala pada zaman dua puluh
tahun yang lalu. Dipanala adalah musuh Guru di zaman
mudanya. Dengan membusungkan dada, Dipajaya menerangkan
maksud kedatangannya. Ialah: hendak membalas sakit
hati ayahnya. Perawakan dan tampang Dipajaya tidak
luar biasa. Bahkan ia mirip-mirip pemuda dusun.
Sekarang berani menantang Guru. Tentu saja kesannya
menggelikan, sehingga banyak di antara kami yang tak
dapat menahan rasa tertawanya. Sebaliknya, Guru sen-
diri, tidak berani memandang enteng terhadap pemuda
itu. Ia bahkan menyambut Dipajaya dengan hormat sekali dan menjamunya
makan seperti terhadap seorang pembesar tinggi.
Adapun latar belakang pembalasan sakit hati itu
adalah begini. Karena suatu salah paham, Guru
bertempur dengan Dipanala ayah pemuda itu. Dengan
pukulan Kumayan Jati, pendekar Dipanala kena dilukai
Guru. Habislah sudah segala ilmu saktinya. Lalu
bersumpah, bahwa pada suatu kali ia akan menuntut
dendam. Kalau dirinya keburu mati, ia akan mengirimkan
anaknya laki-laki atau perempuan, untuk membalas
dendam. Guru menjawab, bahwa ia akan mengalah
dalam tiga pukulan. Pendekar Dipanala berkata, bahwa
Guru tak usah bersikap begitu. Ia hanya minta, agar
meluluskan anaknya kelak untuk memilih macam
pertandingan, tanpa berpikir panjang lagi, Guru melulus-
kan. Tak terduga sama sekali, bahwa belasan tahun
kemudian, Dipanala benar-benar mengirimkan anaknya
laki-laki untuk menantang Guru.
Waktu itu, Guru baru pada puncaknya kesanggupan
manusia. Ilmu sakti Guru sedang mencapai puncak
kesempurnaan. Dalam dunia kurasa tiada lagi terdapat
tandingnya. Sebaliknya Dipajaya masih sangat muda.
Dalam usia semuda itu, tidak mungkin memiliki suatu
kepandaian melebihi Guru. Bahkan merendengi saja
mustahil. Menimbang hal itu, kami semua berhati lega.
Tiada alasan untuk dikhawatirkan. Hanya saja satu hal
yang masih mengganjal dalam hati. Ialah: macam
pertandingan yang akan dipilihnya.
"Pada keesokan harinya, Dipajaya mengingatkan janji
Guru kepada almarhum ayahnya. Ialah: Guru meluluskan
dia untuk memilih macam pertandingan. Diingatkan janji
itu, Guru tak bisa mundur lagi. Kemudian Dipajaya
berkata lagi bahwa ia ingat kepada macam pertandingan
antara Baron Sekeber dan Adipati Pragola. Mereka
berdua menyelam dalam air, siapa yang betah berselam
dalam air, dialah yang menang. Dan siapa yang kalah,
dia harus bunuh diri di hadapan orang banyak.
Tantangan itu, bagaikan halilintar meledak di tengah
hari bolong. Semua orang mence-los hatinya. Sebab
siapa saja tahu, Guru tak bisa berenang. Celakanya,
kolam yang dipilih Dipajaya adalah Telaga Sarangan.
Pada musim hujan, dinginnya sampai merasuk ke dalam
tulang sungsum. Kalau Guru menerima tantangan itu,
berarti mengantarkan jiwa dengan sia-sia. Kami semua
lantas saja ber-gusar dan memaki-maki pemuda itu..."
"Guru." Sangaji menyela. "Urusan ini memang sangat
sulit. Ucapan seorang laki-laki harus ditepati. Kata orang
harganya setinggi gunung. Sekali seorang laki-laki
mengingkari perkataannya, dia tiada harganya lagi.
Seumpama mati dalam hidup. Bukankah begitu" Kakek
guru sudah berjanji. Sudah barang tentu, tak pantas
Beliau mengingkari."
Titisari tersenyum mendengar kata-kata suaminya.
"Benar, benar...Ucapan seorang laki-laki memang
harganya setinggi gunung. Kau sudah berjanji hendak
mengambil aku sebagai isterimu, apa sebab hampir-
hampir kau memeluk seorang gadis Indo" Kalau hal itu
benar-benar terjadi anakmu bakal berambut pirang. Dia
bakal bergelar Sinyo Sangaji. .
"Hayooo..." Sangaji memotong sambil memijit
isterinya." Bukankah aku akhirnya menepati janji pula?"
"Iddi i... kalau tidak kuubar sampai ke Jawa Barat,
masakan kau ingat aku."
"Sudahlah, sudahlah." Gagak Seta menengahi.
"Sangaji ke Jawa Barat bukankah untuk memperlihatkan
kejantanannya" Kalian kini menjadi suami isteri. Hatiku
bersyukur bukan kepalang. Coba, kalau Titisari sampai
tidak jadi kawin... huh, huh! Pastilah bakal dikawinkan
dengan iblis atau siluman."
"Mengapa begitu?" Titisari memberengut.
"Karena ayahmu seorang siluman. Masakan tak tahu?"
Gagak Seta tertawa berkakak-kan.
Sakit hati Titisari, mendengar ayahnya disebut sebagai
siuman. Tapi memang semenjak lama, ayahnya disebut
orang Siluman dari Karimun Jawa. Jadi kesalahan itu,
tidak dapat ditimpakan ke pundak gurunya. Maka ia
berdiam diri dengan pandang memberengut.
"Bagaimana" Kuteruskan tidak ceritaku ini." Gagak
Seta menguji. Titisari tertawa. Ia tahu, gurunya sedang
menggodanya segera ia mengangguk. Sahutnya dengan
wajah terang: "Masakan berhenti di tengah jalan" Apa
sih enaknya?" Gagak Seta mendehem. Kemudian meneruskan:
"Sesudah berdiam beberapa waktu lamanya, guru
akhirnya berkata mengakui: 'Dipajaya memang aku telah
mengadakan perjanjian dengan ayahmu, seorang laki-
laki tidak boleh menyalahi janji. Aku mengaku kalah. Kini
aku bersedia patuh kepada semua keputusanmu'."
"Tangan Dipajaya tiba-tiba bergerak dan ia sudah
menggenggam sebatang pisau berkilat yang terus
ditudingkan ke arah jantungnya sendiri. Katanya, 'Pisau
ini adalah warisan ayahku. Aku hanya minta, engkau
berlutut dan bersembah di bawah pisau ini. Kupinta pula
mulai dari tempat dudukmu sampai ke depanku, harus
berjalan dengan merangkak-rangkak. Dengan begitu aku
benar-benar yakin, bahwa engkau takluk sampai tujuh
turunan terhadap keturunan ayahku'."
"Mendengar" perkataan Dipajaya, kami gusar bukan
main. Ini adalah suatu hinaan luar biasa. Mana bisa Guru
dihina begitu macam. Tetapi setelah Guru menyatakan
kalah, memang dia harus patuh dan tunduk kepada
segala keputusan pihak yang menang."
"Suasana dalam rumah perguruan itu berubah menjadi
panas. Semuanya ingin mencincang tubuh Dipajaya.
Tetapi Dipajaya sendiri, sudah tidak memikirkan hidup
lagi. Sekali kami bergerak, dia akan segera mencubleskan
belatinya pada dadanya sendiri. Dan kalau ini sampai
terjadi, biarpun Guru lahir ke dunia tujuh kali lagi tidak
akan dapat menghapus aibnya."
"Untuk beberapa saat, ruang rumah perguruan sunyi
senyap bagaikan kuburan. Cakradara dan Sotor yang
biasanya pandai mencari akal, kali itu menghadapi jalan
buntu. Pada saat itu, sekonyong-konyong Sirtupelaheli
keluar dari ruang dalam dan berkata kepada guru: 'Ayah,
orang lain mempunyai seorang anak yang berbakti.
Masakan ayah tidak" Dipajaya datang untuk menuntut
balas ayahnya. Biarlah aku yang melayani. Yang tua
melawan yang tua. Yang muda biarlah berlawanan
dengan yang muda.' "Mendengar Sirtupelaheli memanggil guru dengan
sebutan 'ayah' semua orang kaget berbareng heran. Tapi
segera kami mengerti apa maksudnya. Untuk
menyingkirkan marabahaya, Sirtupelaheli sudah
mengambil tindakan demikian rupa. Ia mengaku Guru
sebagai ayah kandungnya. Inilah suatu kejadian yang
luar biasa pada masa itu. Benar, Guru adalah seorang
pendekar besar. Tapi ayah Sirtupelaheli seorang Bupati
Mancanegara. Kedudukannya sangat tinggi. Sebaliknya
kami semua lantas mempunyai timbangan yang lain lagi.
Dia berani melayani Dipajaya. Ia mempunyai kepandaian
apa" Di rumah perguruan, dia lagi belajar satu tahun
tidak penuh. Apakah dia mampu menyelam dalam air
melebihi kemampuan Dipajaya."
Selagi berpikir-pikir demikian, Dipajaya terdengar
berkata dengan tertawa. "Untuk menuntut dendam ini kami sudah
mempersiapkan diri siang-siang. Di dalam dasar Telaga
Sarangan, Ayah telah membuat sebuah gua. Kesanalah
aku bakal berenang dan memasuki. Ayah sudah menyim-
pan makan minum untuk satu tahun lamanya. Apakah
Nona sanggup menyelam di dalam air selama satu
tahun" Ha... ha...ha... Memang bagus seorang anak
berani mewakili ayahnya sewaktu berada dalam kesulit-
an. Tetapi pikirkanlah yang lebih tenang lagi. Selain
engkau bakal mati tak bernapas, ayahmu tetap kutuntut
agar datang me-rangkak-rangkak di depan pisau belati
ini untuk berlutut memohon maaf sebesar-besarnya...."
"Hm," dengus Sirtupelaheli. "Belum tentu aku kalah.
Sebab begitu aku mencebur ke dalam telaga, kau akan
kutikam dengan pedang dan belatiku...."
Lagi-lagi Dipajaya tertawa merendahkan. "Mudah
dikatakan, tapi sukar dilakukan.
Benar-benarkah kau sanggup melawan aku di dalam
permukaan air?" "Mengapa tidak" Karena itu, kalau kau kalah
bagaimana?" "Kalau aku kalah, kau boleh mencincang aku atau
membunuh aku," jawabnya.
"Baiklah. Mari kita pergi!" kata Sirtupelaheli dan ia
mendahului berjalan. Tentu saja Guru tidak membiarkan Sirtupelaheli
mengorbankan jiwanya dengan sia-sia. Segera guru
mencegah. "Sirtupah! Tak usahlah engkau mencampuri urusan
Ayah!" Sirtupelaheli tersenyum. Sikapnya tenang luar biasa.
Sahutnya seraya berlutut. "Ayah, tak usah kau cemas.
Anakmu pasti kembali dengan selamat."
"Ketenangan Sirtupelaheli menarik perhatian kami.
Nampaknya ia sudah mempunyai pegangan, sehingga
kepercayaannya kepada diri sendiri sangat besar. Karena
itu, guru tidak menghalang-halangi lagi. Memang,
sebenarnya sudah tiada jalan lain lagi yang lebih baik
daripada menerima tantangan Dipajaya. Maka dengan
suatu isyarat, Guru memberi perintah kami semua agar
mengikuti perjalanan Sirtupelaheli mengiringkan
kemauan Dipajaya." "Telaga Sarangan terletak di sebelah utara Gunung
Lawu. Tatkala itu angin utara sedang meniup dengan
kerasnya. Pada musim angin demikian seringkali
penduduk kehilangan atap rumahnya. Selain itu, angin
membawa hawa dingin pula. Beberapa orang yang tak
tahan menggigil kedinginan. Apalagi air telaga yang
nampak dingin berkerut-kerut. Betapa dinginnya sudah
dapat dibayangkan." "Melihat air berkerut-kerut, tiba-tiba Guru berseru
kepada Sirtupelaheli: 'Sirtupah! Aku tahu hatimu sangat
mulia. Tetapi biarlah aku saja yang melayani Dipajaya'."


Mencari Bende Mataram Lanjutan Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seraya berseru demikian, Guru sudah menanggalkan
jubah luar siap untuk terjun. Dia merasa tak dapat
membiarkan puteri Bupati itu berkorban untuknya.
"Sebaliknya Sirtupelaheli tersenyum. 'Ayah! Anakmu
ini semenjak kanak-kanak sudah pandai berenang. Kau
tak usah mencemaskan. Bukankah Pacitan berada di
pinggir laut" Setiap hari aku bergurau dengan ombak
kecil dan ombak besar'."
"Dengan menghunus pedangnya, Sirtupelaheli lantas
meloncat ke dalam telaga. Gesit gerakannya. Sampai
sekarang masih saja terkenang betapa indah gerakan
tubuhnya sewaktu terjun ke permukaan air."
"Dia mengenakan pakaian biru muda. Kulitnya yang
bersih dan kejelitaan wajahnya, kukira tiada yang
menandingi pada dewasa itu. Barangkali dialah
penjelmaan bidadari Ratih. Mungkin pula titisan Ken
Dedes yang bisa menggugurkan hati Ken Arok. Kena
tiupan angin utara, bajunya berkibar-kibar bergeribikan.
Tatkala dengan tiba-tiba ia terjun ke dalam air, tidak
hanya kami yang terkejut, tapi pun Dipajaya.
Pemuda itu yang tadinya bersikap angkuh, sirna
kejumawaannya. Dengan memegang pisau belatinya, ia
ikut terjun ke dalam telaga.
Menyaksikan suatu adu jiwa dengan berteka-teki
merupakan siksaan batin sendiri. Betapa tidak" Kami
tidak dapat melihat jalannya perkelahian. Yang nampak
hanyalah goyangnya permukaan air. Mengingat kami
seorang wanita muda, maka takmengherankan kami
semua merasa cemas. Mendadak saja tak lama kemudian nampaklah warna
bentong-bentong merah tersembul di permukaan air.
Terang, itulah darah. Tapi darah siapa" Dipajaya atau
Sirtupelaheli yang terluka"
Pada saat itu, mendadak saja Dipajaya tersembul di
permukaan air. Kemudian melompat ke tepi dengan
napas tersengal-sengal. Tanpa merasa kami serentak
bertanya: dimana Sirtupelaheli"'
Ia tak menjawab. Pisau belatinya sudah tiada dalam
genggaman. Tetapi nampak tertancap pada dadanya.
Kedua belah pipinya nampak terdapat beberapa goresan
luka. Selagi hati kami bergelisah, permukaan air bergerak
lagi. Seperti ikan terbang, Sirtupelaheli meletik keluar
sambil memutar pedangnya. Ia nampak segar-bugar.
Sudah barang tentu begitu mendarat di tepi telaga, ia
kami sambut dengan sorak sorai.
Dengan mulut membungkam lantaran terharunya,
Guru menekap pergelangan tangan Sirtupelaheli. Mimpi
pun tidak, bahwa puteri Bupati Pacitan itu memiliki suatu
kepandaian di luar dugaan siapa saja. Ia membalas
tekapan tangan Guru dengan pandang berseri-seri.
Kemudian setelah mengerling kepada Dipajaya, dia
berkata manja: "Ayah! Pemuda itu sangat berbakti kepada ayahnya.
Ia berjuang bukan untuk kepentingan diri sendiri.
Mengingat demikian, seyogyanya Ayah mengampuni
jiwanya." Sudah barang tentu Guru meluluskan
permohonannyanya. Malahan, Guru lantas menyerahkan
perawatannya kepadanya. Ia dibantu oteh salah seorang
bidai kami yang pandai ilmu ketabiban.
Malam itu, guru mengadakan pesta besar.
Sirtupelaheli telah membuat jasa besar. Ia menjadi
pahlawan kami. Coba, tanpa pertolongannya nama
perguruan kami pada malam itu akan hapus dari
permukaan bumi. Ibu guru menghadiahi pedang pusaka
perguruan kepadanya. Itulah suatu pedang yang
bersarung seperti tongkat. Meskipun nampaknya tak
menarik, tapi mempunyai khasiat hebat. Pedang itu bisa
melawan senjata macam apa saja betapa tajam pun.
Kami semua menyetujui. Malahan tatkala dia pun
diangkat menjadi ketua murid perguruan, kami semua
tiada yang menyatakan keberatan. Tetapi di luar dugaan,
kejadian itu mempunyai ekornya yang panjang. Dipajaya
telah dikalahkan. Tetapi sebenarnya dia menang
seluruhnya...'" "Menang seluruhnya bagaimana?" Titisari tertarik.
"Entah bagaimana caranya, ia berhasil merebut hati
Sirtupelaheli. Rasa cinta Sirtupelaheli bersemi tatkala ia
merawat lukanya. Atau mungkin jatuh cinta sewaktu lagi
bertempur. Mungkin pula ia merasa menyesal sampai
melukainya. Entahlah, semuanya merupakan teka-teki
besar bagi kami. Yang terang, setelah sembuh
Sirtupelaheli mengumumkan bahwa ia akan kawin
dengan Dipajaya. Pengumuman itu mengejutkan kami semua. Ada yang
berduka, ada pula yang bersyukur. Ada yang dengki, ada
pula yang bergusar. Dipajaya adalah musuh besar Guru. Belum habis ia
menghina Guru, kini malah merampas hati satu-satunya
murid wanita guru. Keruan saja, beberapa saudara-
seperguruan yang panas hati lantas melabrak. Mereka
mengira, Sirtupelaheli kemasukan jompa-jampi yang
tidak wajar. Diluar dugaan pula, dengan menghunus pedang di
tangan Sirtupelaheli berdiri garang di depan pintu kamar.
Katanya tegas: "Mulai hari ini Dipajaya adalah suamiku.
Siapa yang berani menghinanya, boleh mencoba
tajamnya pedang pemberian ibu guru..."
Melihat kenekatannya, kami semua mundur. Bukan
kami tidak sanggup melawan, tapi kami merasa harus
mengalah. Dan upacara pernikahan segera
dilangsungkan beberapa hari kemudian.
Keenam saudara-seperguruan kami tidak sudi hadir.
Yang hadir hanya aku seorang. Mengingat jasanya, Guru
dan aku berusaha sedapat-dapatnya untuk memenuhi
semua keinginannya. Demikianlah, perkawinan itu terjadi
dengan tak kurang suatu apa. Tetapi masuknya Dipajaya
ke perguruan, ditentang hebat oleh saudara-saudara
seperguruan. Guru sendiri tak dapat menindih tentangan
itu. Dia lantas merantau entah pergi kema-na. Sampai
hari ini, aku belum berhasil menemukan beritanya...
"Jadi kakek guru menghilang dengan begitu saja
sampai sekarang?" Titisari dan Sangaji terkejut.
Gagak Seta menghela napas seraya mengangguk.
Sejenak kemudian ia bere-nung-renung. Kemudian
meneruskan dengan suara berduka.
"Mengingat usiaku sendiri sudah lanjut, mestinya guru
sudah wafat." Sangaji dan Titisari ikut berduka mendengar suara
Gagak Seta. Selamanya belum pernah mereka melihat
wajah Gagak Seta semuram itu. Mereka mau menghibur,
tapi tak tahu bagaimana caranya. Selagi demikian,
terdengar Gagak Seta berkata lagi.
"Kedukaan kami tidak hanya sampai disitu saja.
Rupanya Sirtupelaheli mendendam terhadap keenam
saudaraku seperguruan. Mereka berdua lantas berunding
bagaimana hendak menghajar adat. Diluar dugaan
Sirtupelaheli, Dipajaya mendatangi keenam saudaraku
seperguruan dan mengajukan tantangan. Inilah kelak
yang menyengsarakan hati Sirtupelaheli.
Dipajaya menantang keenam saudaraku seperguruan
untuk menentukan siapa yang lebih unggul, dengan
meminum racun. Hebat bunyi tantangan itu. Dan
celakanya diumumkan di hadapan orang banyak. Demi
menjaga pamor perguruan, keenam saudaraku
seperguruan tidak dapat mundur lagi. Mereka lantas
menerima tantangan itu. Hal itu terjadi, dua tahun
kemudian dari hari perkawinan yang mengoncangkan
rumah perguruan kami... "Kemudian bagaimana, Guru?" Titisari bernapsu.
Gagak Seta menundukkan kepala. Lama ia berdiam
diri. Kemudian menjawab dengan suara perlahan.
Waktu itu, aku baru saja datang dari perantauan
dalam usaha mencari jejak Guru. Merasa tak berhasil,
aku segera pulang ke rumah perguruan untuk memberi
kabar. Begitu tiba di perguruan aku mendengar tentang adu
unggul itu. Tempat yang dipilihnya dekat persimpangan
jalan sebelah timur petak hutan.
Selagi aku berjalan menuju ke tempat itu, aku melihat
berkelebatnya bayangan Sirtupelaheli. Ia nampak
tergesa-gesa. Heran aku, apakah dia pun tidak
mengetahui terjadinya adu unggul itu"
"Ini gila! Gila!" katanya. "Siapa yang suruh mengadu
keunggulan dengan minum racun?"
Melihat wajahnya yang sungguh-sungguh dan gugup,
aku percaya ia benar-benar berkata dengan tulus-hati.
Katanya lagi: "Memang siapa saja tidak menghina suamiku. Tapi
kalau sampai mengambil kepu-tusan nekat-nekatan,
adalah keterlaluan..."
Kami berdua lantas berlomba mencapai tempat
pertandingan. Ternyata kami sudah kasep. Mereka tak
terkecuali Dipajaya telah rebah di tanah tanpa
berkutik..." Melihat jalan ceritanya, Sangaji dan Titisari sudah
dapat menebak apa yang bakal terjadi. Tetapi
mendengar rebahnya ketujuh pendekar itu akibat racun,
tak urung mereka masih kaget dengan memekik
tertahan. "Meninggal?" mereka menegas dengan serentak.
"Sewaktu aku memeriksa napasnya, keadaannya
sangat menyedihkan," jawab Gagak Seta. "Mereka pun
mati tak lama kemudian. Hanya pernapasan Dipajaya
yang terdengar aneh. Kadang cepat, kadang pula
perlahan. Ia masih dapat mempertahankan diri kala itu.
"Aneh," pikirku. "Meskipun dipaksa, aku takkan
percaya bahwa tenaga saktinya lebih tinggi daripada
keenam saudaraku seperguruan, sehingga dia dapat
mempertahankan diri. Selain dia masih muda belia,
keenam saudaraku seperguruan hampir mencapai
tataran kesempurnaan. Apakah dia sudah minum obat
pemunah sebelumnya?"
Selagi aku dalam keragu-raguan, Sirtupelaheli
menghampiri tubuh suaminya. Setelah memeriksa
sebentar, ia berputar menghadap padaku. Katanya
dengan air mata berlinangan:
"Adikku, aku menyesal atas terjadinya semua ini. Aku
akan membawa Dipajaya pulang. Dan semenjak ini,
jangan sebut aku sebagai salah seorang saudara
seperguruanmu lagi...."
Dia seorang gadis yang angkuh luar biasa.
Bahwasanya dia bisa mengeluarkan air mata dan berkata
demikian, itulah sudah melanggar kebiasaannya. Waktu
itu, hatiku sangat pepat sehingga aku hanya
mengangguk dengan kepala kosong.
Masih teringat dalam benakku, betapa dia memanggul
tubuh suaminya di atas pundaknya. Kemudian memasuki
petak hutan dan menghilang dari pengamatan.
Aku sendiri jadi penasaran. Pada malam harinya, aku
mengintip mereka. Ternyata Dipajaya masih menggeletak
di atas tempat tidur dengan menyenak-nyenakkan napas.
Kutaksir, dia pun tidak bakal dapat menyelamatkan
jiwanya. Sirtupelaheli berdiri tegak di tepi ranjang. Tangannya
menggenggam semacam benda tipis. Setelah mengamat-
amati tubuh Dipajaya, dia berkata seperti kepada dirinya
sendiri: "Dipajaya, kau membuat rusak seluruh hidupku. Kalau
aku menolongmu, berarti aku sudah memihak. Guruku
pergi entah kemana, karena engkau. Sekarang adik-
adikku seperguruan mati, karena kau pula. Maka demi
menegakkan keadilan, mulai saat ini aku bukan milik
siapa saja..." Setelah berkata demikian, tangannya bergerak
mengusap mukanya. Tiba-tiba ia sudah mengenakan
topeng seorang nenek-nenek tua bangka bangka. Aku
terkejut. Mengapa begitu" Pada saat itu, aku mendengar
dia berkata lagi seorang diri: "Aku kawin denganmu.
Untuk apa" Mengapa" Itulah demi tugas suci yang kita
bawa bersama. Aku melihat kau datang. Hatiku
bersyukur, karena ternyata kau dari aliran yang sama.
Meskipun kita berpura-pura hidup sebagai suami isteri,
namun upacara perkawinan benar-benar terjadi.
Sekarang tugas yang harus kulakukan, gagal lantaran
keceroboh-anmu. Dan aku tidak mau menerima hukum
bakar hidup-hidup. Karena itu, mulai saat ini tiada lagi
Sirtupelaheli..." 6 PERTARUNGAN YANG MENENTUKAN
TITISARI ADALAH seorang wanita yang berotak
cemerlang. Mendengar cerita Gagak Seta, lantas saja ia
sudah bisa menebak delapan bagian. Katanya untuk
meyakinkan hatinya sendiri.
"Guru hendak berkata, bahwa baik Bibi Sirtupelaheli
maupun Dipajaya adalah anggota aliran Utusan Suci
sebelum tiba di perguruan?"
"Benar," jawab Gagak Seta.
"Menurut yang kudengar kemarin, mereka datang dari
Pulau Lombok. Bagaimana mungkin Bibi menjadi anggota
aliran itu" Apakah kau kira aliran itu hanya mendekam di
atas pulaunya sendiri" Lihatlah sasaran bidikannya Pulau
Jawa. Lagipula mereka menyematkan suatu elan:
pembawa perdamaian dunia. Dengan sendirinya,
sayapnya sangat luas," sahut Gagak Seta. Kemudian
menerangkan: "Tata kerja dan gerak-geriknya sukar
diamat-amati. Anggota-anggotanya tingkat atas selalu
membawa sikap seorang brahmana. Mereka sabar,
penyayang dan telaten. Sasaran bidiknya terhadap
kanak-kanak yang berbakat. Terlebih-lebih yang hidup


Mencari Bende Mataram Lanjutan Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sengsara. Umpamanya. Dipajaya. Ayah Dipajaya mati
karena menderita luka oleh pukulan guruku. Dengan
sendirinya, Dipajaya menjadi sasaran yang baik. Dengan
dalih hendak mendidik Dipajaya menjadi manusia
berkepandaian tinggi, ayahnya sebelum mati pasti
merasa bersyukur. Malahan merasa berhutang budi pula.
Sedangkan tujuan Utusan Suci yang benar ialah, hendak
menggunakan Dipajaya sebagai alat untuk mencapai
tujuannya;" "Tapi Bibi Sirtupelaheli?"
"Meskipun alasannya lain, tapi dasarnya sama. Melihat
bibimu bertulang bagus, mereka berusaha mendapatkan
dengan jalan apa saja. Kabarnya, kalau perlu mencekoki
dengan ramuan obat semacam bius. Dan semenjak itu,
bibimu menjadi tawanannya. Sunguh kasihan....
Tergetar hati Sangaji mendengar keterangan Gagak
Seta. Teringat akan bunyi igauan Fatimah, mau ia
menduga bahwa gadis itu pun sudah menjadi korbannya
pula. Dalam mengigaunya, Fatimah menjerit tinggi. Ia
dipaksa minum semacam obat oleh Dipajaya.
"Ah!" Titisari setengah mengeluh. "Jadi... Terjadinya
perkawinan antara Bibi Sirtupelaheli dan Dipajaya
sebenarnya atas perintah Utusan Suci?" Gagak Seta
mengangguk. - ' Menurut kepercayaan itu, dalam alam
semesta ini terdapat unsur Terang dan unsur Gelap.
Unsur Terang dari Tuhan. Unsur Gelap dari setan. Utusan
Suci itu menganggap bahwa yang membuat gelap adalah
segala ilmu yang mengajar manusia melebihi kodrat.
Karena itu anggotanya wajib memberantas ilmu-ilmu
sakti. Mereka menggunakan semacam obat bius untuk
menawan orang. Seperti apa yang pernah dilakukan oleh
kaum Assassin pada tahun 1090 dengan ramuan obat
hashish yang memabukkan. "Bagaimana Guru mengetahui, bahwa mereka anggota
aliran Utusan Suci?" Titisari menegas.
"Hal itu kuketahui dikemudian hari, setelah aku
menerima sepucuk surat dari Guru," jawab Gagak Seta.
"Apakah kakek guru pulang?" Titisari setengah girang.
"Tidak. Guru tidak pernah kembali ke rumah
perguruan. Aku menerima surat itu dari tangan seorang
bidai." Gagak Seta memberi penjelasan." Bunyinya
begini: Betapa pun juga, anakku... kita harus bersyukur
karena engkau masih hidup. Artinya ilmu perguruanmu
bakal ada yang melanjutkan. Kakakmu Sirtupelaheli perlu
kau tolong. Kalau tidak mungkin, kau cukup menjaga
semua peninggalan perguruanmu agar jangan kena
rampas. Kasihanilah dia! Kau kularang mengusik
selembar rambutnya. Dia bekerja di bawah sadarnya,
karena dia kena bius aliran terkutuk...
"Sirtupelaheli sudah meniadakan dirinya sendiri
dengan mengenakan topeng seorang nenek-nenek. Ia
mengira, tiada yang melihat. Seringkali ia datang dengan
diam-diam ke rumah perguruan. Mula-mula kukira
lantaran rasa rindunya atau digerakkan oleh suatu
kenangan tertentu. Lambat-laun aku curiga, karena dia
selalu mengincar rumah perpustakaan Guru yang berada
di dalam gandok tengah. Aku lantas menghadangnya.
Tujuh kali aku bertempur melawan dia. Merasa diri tak
ungkulan, ia lantas menghilang tiada menampakkan
batang hidungnya." Kudengar hidupnya lantas menjadi ber-larat-larat. Ia
keluar masuk ke berbagai-bagai aliran ke perguruan.
Akhirnya memasuki istana dan menjadi dayang-dayang.
Kemudian menjadi selir... ah, entahlah. Benar-benar dia
hidup seperti berada di bawah sadar. Aku tak pernah
melihat Sirtupelaheliku dahulu..." sampai di sini Gagak
Seta berhenti dengan menghela napas panjang sekali.
"Guru." Titisari mencoba menghibur. "Barangkali Bibi
selalu gagal menunaikan tugas untuk merampas tiap
sumber ilmu sakti yang dikehendaki ketua alirannya.
Karena takut kena ancaman bakar hidup-hidup, ia
mencoba mencari perlindungan di dalam kalangan istana.
Kurasa dia mengenakan topeng bukan lantaran demi
pernyataan duka cinta terhadap kematian paman-paman
guru. Tapi demi kepentingan diri sendiri, agar luput dari
pengamatan aliran Utusan Suci."
"Tepat! Kau memang anak siluman!" kata Gagak Seta.
"Sebenarnya dengan ilmu kepandaiannya, masakan
Bibi tidak mampu merampas kitab sakti yang
dikehendaki?" Titisari tak memedulikan pujian Gagak
Seta. "Tentu saja tidak. Karena kitab sakti yang diintipnya
sudah berada dalam dada Sangaji."
"Pusaka warisan Pangeran Semono?" Titisari menegas.
"Ya," sahut Gagak Seta membenarkan.
Ketiga orang itu lantas berdiam diri dengan pikirannya
masing-masing. Cahaya terang, mulai masuk ke dalam
ruang gubuk. Gandarpati yang berada di belakang pintu,
dengan diam-diam mengintip keluar. Suasana di sebelah
jembatan batu sunyi lengang. Sebenarnya hal ini
mengherankan, tapi merasa agaknya lagi tenggelam
dalam kesan hatinya sendiri.
Sekonyong-konyong Sangaji menepuk lututnya sambil
berseru tertahan. "Benar. Ya, benar!"
"Benar bagaimana?" Titisari tertarik.
"Aku ini berotak lamban, biarlah aku mengulangi tutur
kata Guru," katanya. "Jadi terangnya, sebelum Bibi
Sirtupelaheli tiba di perguruan, sebenarnya ia sudah
menjadi anggota aliran Utusan Suci semenjak lama.
Bukankah begitu?" Titisari menoleh kepada Gagak Seta. Dan Gagak Seta
mengangguk. "Bagus!" Sangaji girang lantaran mengagumi
pikirannya sendiri. "Tugasnya untuk mencuri rahasia ilmu
sakti kakek guru. Ia disambut terlalu baik oleh kakek
guru, sehingga ia dalam ragu-ragu. Ia bersyukur
diangkat menjadi anak angkat. Dengan begitu, tak
usahlah ia main mencuri. Dikemudian hari bisa
mengharapkan sebagai pewarisnya. Benar tidak?"
"Benar." Titisari girang. "Otakmu kali ini cemerlang
juga." "Kemudian datanglah Dipajaya. Inilah kesempatan
bagus untuk membuat jasa. Dengan begitu akan
menghapus rasa jelus atau iri hati murid-murid kakek
guru lainnya. Di luar dugaan ia jatuh cinta kepada
Dipajaya." Titisari mencubit pahanya sambil membenarkan.
"Benar. Otaknya kali ini cemerlang juga."
"Dalam perawatan, rupanya Dipajaya mulai
memperkenalkan kartunya dan juga membuka kartu Bibi
Sirtupelaheli. Mungkin pula Dipajaya membicarakan
ancaman hukuman aliran Utusan Suci yang akan dija-
tuhkan kepada Bibi Sirtupelaheli, bila gagal dalam
melakukan tugasnya. Karena merasa takut, Bibi
Sirtupelaheli membutuhkan perlindungan atau setidak-
tidaknya kawan sepaham. Maka ia mempercepat
perkawinan. Bagaimana?"
"Sekalipun kurang tepat, tapi garis besarnya kurasa
benar." Titisari memberikan pertimbangan. "Bagaimana
Guru?" Gagak Seta mengangguk menyatakan persetujuannya.
Dan melihat gurunya menyetujui, hati Titisari bersyukur
bukan main. Memang sebenarnya, Sangaji bukan se-
orang pemuda tolol dalam arti sesungguhnya.
Kesederhanaannya hanyalah disebabkan kemuliaan
hatinya. Ia hanya lamban berpikir, bila dibandingkan
dengan Titisari. Tetapi penglihatannya sesungguhnya
tepat. "Ternyata apa yang sesungguhnya diharapkan,
meleset sekali," Sangaji meneruskan. Bibi Sirtupelaheli
terpukul, tatkala kakek guru pergi dari rumah perguruan.
Mungkin sekali, kakek guru sudah mencium rahasia
hatinya-. Hanya, karena Bibi Sirtupelaheli mempunyai
jasa lagipula puteri seorang sahabatnya yang
dipercayakan kepadanya, ia tidak mau membuka kartu.
Satu-satunya jalan, kakek guru hendak meletakkan
Bibi Sirtupelaheli pada kedudukannya semula, dengan
meninggalkan rumah perguruan. Dengan begitu, Bibi
Sirtupelaheli tanpa perlindungan lagi. Berarti pula, murid-
murid lainnya boleh bertindak apabila Bibi Sirtupelaheli
benar-benar hendak melaksanakan niatnya merampas
atau mencuri rahasia ilmu sakti rumah perguruan. Karena
itu, ia menganjurkan suaminya agar menyingkirkan ketu-
juh murid kakek-guru..."
"Eh, kau maksudkan"ia justru yang menganjurkan
Dipajaya agar menantang mengadu racun?" Gagak Seta
tiba-tiba terloncat bangun.
"Benar. Ia tidak hanya mengharap agar ketujuh murid
kakek guru mati, tetapi Dipajaya juga."
"Benar, benar... benar..." Gagak Seta berbisik
perlahan-lahan sambil berkerut-kerut. "Kalau begitu..."
"Kalau begitu, sesunguhnya ia tahu kena intip guru,"
Titisari meneruskan. "Dia benar-benar seorang wanita
yang licin dan berbahaya."
"Benar! Kalau begitu kata-katanya hanyalah suatu
permainan sandiwara untuk mengelabui mataku yang
lamur," kata Gagak Seta dengan suara luar biasa. "Coba
teruskan!" "Selanjutnya terjadilah seperti ceritera guru. Dengan
mengenakan topeng, ia mencoba menyateroni rumah
perguruan. Ia bertempur sampai tujuh kali melawan
Guru. Artinya, tekatnya sudah penuh. Kemudian dia
menghilang. Apa sebab" Kurasa berhubungan dengan
Dipajaya. Diluar dugaan Dipajaya ternyata masih hidup
segar-bugar. Bukankah satu-satunya orang yang
mengenal dia, hanyalah Dipajaya. Dia boleh
menggunakan topeng dan tipu daya lainnya. Tapi
Dipajaya pernah hidup berkumpul sebagai suami-isteri
selama dua tahun. Masakan dia bisa dikelabui?"
"Eh, eh! Semenjak kapan suamimu ini pandai
berbicara?" Gagak Seta heran.
"Semenjak jadi raja," sahut Titisari menggoda.
"Hayooo..." Sangaji menyanggah.
Titisari tertawa. Gagak Seta tertawa. Kedua-duanya
lantas tertawa berbareng. Hanya Gandarpati yang
merasa diri tak pantas mengangkat sama derajat, tak
berani menarik mulutnya. Matanya hanya berseri-seri
untuk menyatakan rasa senangnya.
"Aku benar-benar kagum kepada otakmu," kata Gagak
Seta sungguh-sungguh. "Biasanya otakmu tolol, tapi kali
ini cemerlang. Dengan sekali mendengarkan ceriteraku,
kau sudah bisa tahu bahwa Dipajaya masih hidup.
Sedangkan aku baru tersadar setelah mendengar napas
Fatimah yang mengingatkan aku kepada napas Dipajaya.
Coba, aku sadar semenjak dahulu, pastilah akan lain
jadinya." Gagak Seta menyenak napas. Ia seperti memikirkan
sesuatu. "Bibi Sirtupelaheli mengenakan topeng. Bukankah
untuk meluputkan diri dari incaran Utusan Suci?" Sangaji
berkata" lagi. "Ia masuk ke istana pula dengan
mengorbankan kecantikannya, bukankah untuk melu-
putkan diri" Kemarin dalam satu gebrakan saja, dia
membiarkan diri kena ringkus. Bukankah untuk
meluputkan diri?" "Hai tak terduga, bahwa sampai berusia lanjut
dia ternyata belum dapat meluputkan diri dari
pengamatan Utusan Suci..."
Hebat pengaruh kata-kata Sangaji yang terakhir ini,
sampai Gagak Seta nampak ter-longong-Iongong. Tetapi
sejenak kemudian, sifatnya yang bergembira menindih
semua perasaannya. Lalu tertawa terbahak-bahak.
"Hari sudah siang! Hai, kenapa mereka masih tenang-
tenang saja" Celakalah, kalau mereka sengaja
membiarkan kita mati kelaparan. Hai, Gandarpati!
Apakah gurumu tidak menyimpan makanan kering?"
Gandarpati seperti diingatkan. Segera ia melompat
bangun dan lari ke belakang. Tak lama kemudian, ia balik
sambil berkata: "Makanan yang ada tiada berharga sama sekali. Guru
dahulu menyamar sebagai penjual tahu, pisang goreng
dan panganan keras lainnya. Karena itu yang ada hanya
beberapa bongkok ketela, pisang dan tahu mentah..."
"Itu pun boleh. Disini ada seorang siluman yang
pandai masak. Anakku Titisari, kau sudah bergerak atau
belum?" kata Gagak Seta.
"Biarlah aku saja yang menyediakan makanan
seadanya," tungkas Gandarpati.
Sambil menggerumuti bakaran ketela dan pisang,
mereka kini mulai merundingkan ilmu sakti ketiga Utusan
Suci yang aneh luar biasa.
"Guru!" kata Titisari. "Dalam satu gebrakan, Bibi
Sirtupelaheli kena dirobohkan. Tetapi itulah hanya suatu
akal untuk mengelabuhi mereka. Setelah ketiga Utusan
Suci masih saja mengenal dia meskipun sudah
mengenakan topeng, pastilah Bibi kini berdaya mati-
matian menghadapi mereka bertiga. Apakah menurut
pendapat Guru, ilmu silat mereka benar-benar hebat tak
terlawan?" "Sebenarnya, ilmu silat mereka tidak hebat. Hanya inti
kerjasamanya yang aneh. Kalau ayahmu berada di sini
apalagi ditambah Kyai Kasan Kesambi"hm, semuanya
tidak akan menyukarkan lagi," jawab Gagak Seta.
Sekonyong-konyong Fatimah mengigau lagi dengan
gigi berceratukan, Sangaji meraba dahi Fatimah yang
masih panas luar biasa. Ia menghela napas. Nampaknya
luka yang diderita gadis itu makin lama makin berat.


Mencari Bende Mataram Lanjutan Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Guru," kata Sangaji setelah berpikir sejenak.
"Keadaan Fatimah makin lama makin berat. Kalau kita
tidak berhasil menolong Bibi Sirtupelaheli, Fatimah harus
kita tolong." "Tentu saja. Hanya dengan cara bagaimana?"
Sangaji menoleh kepada Titisari mencari bantuan.
Puteri Adipati Surengpati itu lantas berkata: "Kalau kita
selamat syukur pula bisa menolong Bibi Sirtupelaheli dia
akan kubawa menyeberang ke Karimun Jawa. Sekiranya
tidak mungkin, kita akan segera kembali ke Jawa Barat
memberi kabar Manik Angkeran."
"Siapa Manik Angkeran?"
"Tunangan Fatimah."
"Dia bisa apa?"
"Selain sudah mewarisi ilmu ketabiban seorang tabib
sakti, dia pun seorang pemuda yang mewarisi ilmu
kepandaian tinggi." "Kalau begitu, semuanya sudah beres. Tinggal
menghadapi mereka. Hari sudah siang. Apakah kamu
berdua sudah bersiaga bertempur?"
"Kami mengharapkan petunjuk-petunjuk Guru," sahut
Sangaji. "Hanya senjata senapan dan meriamnya,
menyukarkan kita." "Tidak"kalau kita bisa mendekati" kedua senjata itu
tidak banyak gunanya..." Gagak Seta meyakinkan.
Kata-kata Gagak Seta itu beralasan. Dewasa itu
senjata bidik harus diisi dengan bubuk mesiu dahulu.
Kalau seorang musuh bisa mendekati kemudian
menubruk, orang takkan mempunyai kesempatan untuk
mengisi bubuk mesiu dan menembak.
Setelah menyelimuti Fatimah dan memesan kepada
Gandarpati agar menjaganya baik-baik, mereka bertiga
lantas keluar dari gubuk. Matahari kala itu sudah
sepenggalah tingginya. Kabut pegunungan sudah buyar
semenjak tadi. Semuanya jadi nampak segar. Kesejukan
hawanya ditambah kelembutan angin pagi hari meresapi
hati. Batu-batu yang masih meningalkan bekas hujan;
nampak menghitam berkilat. Semuanya merupakan
rangkuman pengucapan alam yang indah tapi
menyendiri. "Guru," kata Sangaji. "Satu hal yang masih belum
kumengerti. Guru berkata, bahwa Kompeni Belanda ada
di belakangnya. Mengapa bukan Inggris?"
"Aku hanya menduga saja. Tapi nanti kita buktikan,"
jawab Gagak Seta. "Melihat Inggris bercokol di bumi
Jawa, masakan Belanda akan tinggal bertopang dagu
saja?" Titisari seorang wanita berotak cerdas. Meskipun
menderita luka, tidaklah terganggu kecermelangannya.
Segera ia dapat menebak. Katanya: "Keadaan di Jawa
Barat kukira sama saja dengan yang terjadi disini.
Dengan diam-diam Belanda membantu unsur-unsur
perjuangan yang menentang pemerintahan sekarang.
Sultan sekarang adalah buatan Inggris. Dengan
sendirinya Belanda membantu mereka yang menentang.
Apakah Guru mau berkata, bahwa mereka ini
sesungguhnya gerombolan penentang Sultan sekarang?"
"Kalau tidak, Belanda membonceng di belakangnya..."
jawab Gagak Seta. Perlahan-lahan mereka menuruni bukit. Sangaji
memeluk pinggang Titisari. Meskipun Titisari terluka dan
belum dapat bergerak dengan leluasa, namun hatinya
mantap apabila dia berada disampingnya. Sebab yang
penting adalah otaknya. "Gagak Seta berada di depan. Tatkala membeloki
tikungan ia berseru tertahan: "Celaka! Mereka
membakari kampung... atau mereka sedang membakar
Sirtupelaheli hidup-hidup?"
Bukan biasanya Gagak Seta berseru mengandung
kecemasan. Biasanya menghadapi bahaya betapa besar
pun, masih saja ia nampak tenang. Malahan bisa
berlagak kegila-gilaan. Tapi memikirkan keselamatan
Sirtupelaheli ia jadi gugup.
Dengan mempercepat langkah, Sangaji dan Titisari
menghampiri. Karena kena pantulan cahaya surya, sinar
api yang menjilat udara hanya nampak lapat-lapat.
"Guru." Sangaji mencoba menghibur. "Kita pasti
berusaha menolong Bibi. Hanya aku masih belum
mengerti. Kalau yang terbakar ini sebuah kampung atau
dusun, apa sebab sedikit-sedikit mereka main bakar?"
Titisari tertawa. Katanya: "Hai! Kau tadi sudah
kelihatan pintar, mengapa kembali menjadi tolol lagi?"
"Selamanya, bukankah aku ini anak tolol?"
Tergetar hati Titisari mendengar jawaban Sangaji. Ia
memeluk dan mencium pipi suaminya. Katanya setengah
berbisik: "Maaf, Aji. Aku hanya bergurau. Mulutku.ini me-
mang..." "Bukan begitu. Kau berdua memang tolol!" Gagak Seta
menimbrung. "Sudah terang, musuh berada di depan.
Kalian berbicara yang bukan-bukan. Mereka membakari
kampung untuk membuat kekacauan. Penduduk lantas
tak puas terhadap pemerintahan sekarang. Nah,
bukankah gampang jawabnya?"
Sangaji tertawa menyeringai. Titisari pun tertawa
merasa. Kedua-duanya lantas tertawa berbareng.
"Tuuu...." bisik Titisari. "Kita jangan bergurau..."
"Bukankah kau yang mengajak bergurau?" Sangaji
menjawab sambil menggelintik iga-iganya.
"Aji!" Titisari tiba-tiba bersungguh-sungguh. "Kukira
mereka takkan membakar Bibi Sirtupelaheli dengan
segera. Seumpama aku jadi mereka, Bibi Sirtupelaheli
akan kugunakan sebagai perisai untuk mendekati gubuk
di atas." "Mengapa begitu?"
"Sebab tujuan mereka yang pokok ialah mendapatkan
ilmu warisan Patih Lawa Ijo. Mereka tahu, Bibi
Sirtupelaheli adik seperguruan Paman Gagak Seta.
Mereka tahu pula, Paman Gagak Seta mempunyai se-
orang murid yang sudah mewarisi ilmu sakti yang sedang
diburunya." "Ah, benar!" seru Sangaji. "Terlebih-lebih pula, kalau
Bibi Sirtupelaheli bisa memberi keterangan bahwa akulah
murid yang dimaksudkan mereka. Sekarang bagaimana
baiknya?" "Bibi Sirtupelaheli merupakan sandera yang berharga
bagi kita. Kalau kau bisa merampas kembali senjata
andalan ketiga Utusan Suci itu, mungkin dapat kita
pertukarkan. Mohe, Jahnawi dan Jinawi menganggap
senjata andalannya sebagai jiwanya sendiri," kata
Titisari. Mendengar kata-kata Titisari, timbullah semangat
Sangaji. Lantas saja ia berseru: "Mari kita bekerja!"
Mereka bertiga adalah tokoh-tokoh yang
berpengalaman. Kecuali itu, ilmu kepandaiannya sangat
tinggi. Dengan berlindung pada batu-batu bukit, mereka
dapat mendekati sasaran. Ternyata mereka yang menamakan diri Utusan Suci
berkemah di bawah bukit. Tenda yang didirikan
berjumlah lima belas. Dengan menyamar sebagai
penduduk kampung yang rumahnya kena bakar, Gagak
Seta, Sangaji dan Titisari dapat mendekati sekelompok
tenda yang berada di timur.
"Kami penduduk yang tidak berdosa, mohon
diperkenankan lewat," kata Titisari. Ia memang sedang
terluka. Kesan mukanya benar-benar nampak kuyu.
"Kenapa kemari?" bentak seorang yang mengenakan
jubah biru muda. "Untuk menyatakan terima kasih atas kebijaksanaan
tuan-tuan." "Bagaimana" Kau bilang apa?"
"Bahwasanya keluarga kami tidak Tuan ganggu. Kalau
cuma rumah yang terbakar lain hari bisa kami bangun
kembali. Tapi jiwa kami, ternyata Tuan lindungi," jawab
Titisari mengada-ada. Sudah barang tentu, orang itu setengah percaya
setengah tidak mendengar ocehannya. Ia berpaling
kepada pemimpinnya yang berdiri di dekat pintu tenda.
Orang itu sedang memandang ke atas bukit. Tatkala
sedag mendengarkan laporan si jubah biru dalam bahasa
Lombok, tiba-tiba Gagak Seta melesat dan menghantam.
Pemimpin itu kaget bukan kepalang. Gesit ia
melompat kesamping. Tetapi menghadapi Gagak seta,
biarpun memiliki kepandaian sepuluh kali lipat daripada
yang dimilikinya sekarang, masih merupakan makanan
empuk. Begitu ia bergerak tiba-tiba iga-iganya sudah
kena sambar dan dibanting di atas tanah, la lantas tak
dapat berkutik lagi. Puluhan anak buahnya yang berada di situ segera
menjadi kalut. Mereka menghunus senjatanya dan
segera mengepung. Nampaknya mereka mengenal ilmu
silat. Tetapi dibandingkan dengan Mohe dan kedua
temannya, terpaut masih jauh.
"Aji! Kau bawa orang itu mundur ke atas bukit!" seru
Titisari. Sangaji segera bekerja. Tangannya bergerak dan
memanggul pemimpin mereka di atas pundaknya.
Kemudian dengan tangan kirinya ia menyibakkan
kepungan. Titisari memutar pedangnya Sangga Buwana sambil
mundur. Sedangkan Gagak Seta melindungi dengan
sekali-kali melepaskan pukulan geledek. Ilmu sakti
Kumayan Jati, bukanlah sembarang ilmu sakti.
Tenaganya sangat dahsyat. Jangan lagi manusia yang
terdiri dari darah dan daging, sedangkan batu gunung
bisa rontok berguguran. Maka begitu kena hantaman
Kumayan Jati, puluhan orang Utusan Suci mati terkapar.
"Mari kita lari!" ajak Titisari.
Sangaji tahu, Titisari sedang menderita luka. Meskipun
tidak membahayakan jiwanya, namun ia tidak boleh
bergerak terlalu banyak. Gagak Seta tahu kesukaran itu.
Lantas berkata: "Kau lemparkan kemari orang itu. Biar
aku yang mengurus." Sangaji benar melemparkan orang itu. Kemudian
menyambar pinggang Titisari. Dalam pada itu, terdengar
Gagak Seta berteriak mengguruh.
"Hai, kamu binatang! Barangsiapa berani mendekati
kami, akan kubinasakan orang ini terlebih dahulu..."
Orang yang kena tawan itu, ternyata mempunyai
kedudukan tinggi. Titisari yang cerdik segera
mengetahui. Mereka hanya berteriak-teriak, tetapi tiada
yang berani bergerak mendekati.
"Bagus!" serunya girang. "Guru, kau jaga orang itu
baik-baik. Mungkin sekali bisa kita tukarkan dengan
Bibi...." Tiba-tiba terdengarlah suara kesiur angin tajam.
Sangaji memutar pinggang Titisari. Tangannya bergerak
melindungi. Sepintas pandang, ia melihat berkelebatnya
suatu senjata, la segera mengelak berbareng me-
nendang. Sebelum sempat memutar tubuh, sebatang
senjata berengsel berkelebat dari samping, la mengeluh.
Itulah senjata andalan ketiga Utusan Suci yang disegani.
Selagi mengerahkan tenaga sakti untuk pukulan yang tak
mungkin dihindari, tiba-tiba Gagak Seta mendepak
tawanannya. Orang itu terbang ke atas dan ternyata
digunakan Gagak Seta sebagai perisai.
Orang yang memukul dengan senjata engsel adalah
Mohe. la terkejut dan dengan mati-matian menarik
senjatanya, la berhasil, tapi justru demikian terdapatlah
bagian bawah tubuhnya yang terbuka. Tentu saja
Sangaji tidak menyia-nyiakan lowongan itu. la
melepaskan pelukannya dari pinggang Titisari, kemudian
kakinya menyerobot menendang.
Jahnawi dan Jinawi kaget. Cepat mereka menolong
dengan serangan dahsyat, sehingga tendangan Sangaji
meleset. Dengan begitu Mohe terlepas dari mara bahaya.
Mereka bertiga lantas mengepung Sangaji.
Kerjasamanya yang rapi dan cepat tetap saja
membingungkan Sangaji. Tetapi Sangaji tidak mau main
coba-coba lagi. Teringat betapa Titisari memilih hendak
bunuh diri daripada menyaksikan perlawanannya yang
tidak sungguh-sunnguh, lantas saja ia mengerahkan
tenaga saktinya sembilan bagian. Hebat kesudahannya.
Mohe, Jahnawi dan Jinawi tak dapat mendekati seperti
semalam. Sesudah lewat beberapa jurus tiba-tiba Mohe
menyabetkan senjatanya dengan pukulan yang sangat
aneh. Sangaji memapaki senjata itu dengan berperisai
tubuh si Pemimpin dengan gerakan yang aneh pula.
"Plak!" Senjata engsel Mohe singgah tepat di pipi kiri orang
itu. Bukan main kagetnya Mohe. Mukanya sampai berubah
pucat. Kedua temannya tak terkecuali. Mereka lantas
berbicara dengan bahasa Lombok seraya membungkuk-
bungkuk hormat kepada orang yang ditawan Sangaji.
"Ah, benar-benar seorang pemimpin yang berharga!"
pikir Sangaji. Susunan aliran Utusan Suci tataran atas terdiri dari
tiga tingkat. Yang pertama seorang. Dia sebagai
ketuanya. Kemudian tiga penasehatnya. Dan tingkat tiga
terdiri dari dua belas orang. Mereka ini berkedudukan
sebagai pelindung. Orang yang kena tawan tadi adalah seorang anggota
dari tingkat kedua. Karena itu, kedudukannya sangat
tinggi. Dia salah seorang penasehat yang dikirimkan
ketuanya menyeberang ke Pulau Jawa, begitu
mendengar kabar tentang beradanya tiga pusaka warisan
Pangeran Semono yang dianggapnya sebagai warisan
sah anak keturunan aliran Kapakisan.
Mohe telah memukul pipinya. Walaupun tidak sengaja,
tetapi hal itu benar-benar mengejutkan dan menciutkan


Mencari Bende Mataram Lanjutan Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hati mereka bertiga. Mereka tidak berani meneruskan
pertarungannya. Dan dengan saling memberi isyarat,
mereka melompat mundur berbareng.
Sangaji segera menyerahkan tawanannya kembali
kepada Gagak Seta. Ia tahu, bahwa orang itu
mempunyai kedudukan penting di dalam aliran
kepercayaannya. Ia berharap pula, orang itu bisa
ditukarkan dengan Sirtupelaheli.
la memeriksa pipinya yang terluka kena sabetan
engsel Mohe. Untung, tidak membahayakan jiwanya.
Hanya bengkak dengan goresan melempuh. Rupanya
pada detik terakhir, Mohe berusaha menarik pulang tena-
ga pukulannya, sehingga tidak sampai mematahkan
tulang pipi. Dalam pada itu laskar Utusan Suci sangat penasaran.
Meriam dan senapannya mulai diarahkan. Ternyata tiada
seorang serdadu Belanda berada di antara mereka.
Dengan begitu benarlah dugaan Gagak Seta, bahwa
Belanda hanya memboncengi kepentingan mereka.
Tujuan Belanda, hanyalah untuk mengeruhkan suasana
dalam negeri. Sekonyong-konyong, Mohe berteriak nyaring: "Gagak
Seta! Dua belas Utusan Suci tingkat ketiga berada di sini
semua. Kedosaan kalian melawan kami, sudah diampuni
asal saja kau membebaskan tawanan itu. Sesudah kau
mengembalikan tawanan itu, kau boleh pergi tanpa kami
ganggu-ganggu lagi...."
Gagak Seta tertawa berkakakan. Sahutnya: "Gagak
Seta bukan anak kemarin sore yang belum pandai
beringus. Begitu kami berjalan turun naik bukit,
bukankah meriam kalian bisa mengejar punggung kami?"
"Kurangajar!" bentak Mohe bergusar. Kalau kau tidak
sudi mendengarkan perkataan kami, apakah meriam
kami tidak bisa meledak di hadapanmu?"
"Silakan! Orang ini pun juga bakal meledak seperti
jagung bakar." Gagak Seta tertawa geli.
"Bangsat!" maki Mohe.
"Kau lepaskan Sirtupelaheli. Mana dia" Kalau dia
sudah kau bebaskan, nah"kita bisa berbicara..."
Mereka lalu kasak-kusuk berbicara. Kemudian Jahnawi
mewakili mereka: "Sirtupelaheli sudah lama membuat
kesalahan. Dia harus dibakar hidup-hidup..."
"Apa kesalahannya?"
"Dia tidak menunaikan perintah atasan."
"Dia sudah bekerja sungguh-sungguh," kata Gagak
Seta. "Hanya saja dia gagal, karena kepandaian kami.
Coba pikirkanlah, baru saja kalian, menghadapi seorang
pemuda kemarin sore, sudah tak sanggup mengalahkan.
Padahal pemuda seperti dia berjumlah ribuan di bumi
Jawa ini." "Hm, kau mengira begitu?" bentak Jahnawi. Kemudian
ia memberi laporan kepada atasannya. Tiba-tiba dua
orang yang bertubuh besar tinggi melompat menyerang.
Teriak Jahnawi: "Siapa bilang kami tak mampu. Kau
saksikan sekarang!" Sangaji segera menyambut. Dengan telapak
tangannya, ia mendorong. Kedua orang itu ternyata tidak
menangkis. Mereka malahan membalas menyerang.
Tangan kirinya menyambar dan yang kanan mencengke-
ram kepala. Hampir berbareng yang satunya menerjang
sambil memapak tenaga dorong Sangaji.
Untuk menghindari cengkeraman, Sangaji terpaksa
membatalkan terkamannya sambil melompat ke samping.
Ia kaget. Ilmu silat kedua lawannya itu, aneh pula.
Mereka merupakan suatu kerjasama yang rapih dan erat,
sehingga ia seperti menghadapi seorang lawan yang
mempunyai empat kaki dan empat tangan.
Tetapi kepandaian mereka agaknya masih kalah
daripada Mohe dan kedua temannya. Meskipun gerakan-
gerakannya aneh, tetapi tidak secepat Mohe, Jahnawi
dan Jinawi. Tadinya ketiga Utusan Suci bisa membuat Sangaji
kelabakan dengan jurus tiga kosong tujuh berisi. Kini,
Sangaji menggunakan jurus itu. "Aku seperti mengenal
gerakan ini. Tapi dimana?" pikir Sangaji bolak-balik.
Tiba-tiba suatu ingatan menusuk benaknya sampai ia
kaget berbareng heran. Pikirnya, hai! Bukankah ini
gerakan ukiran keris Kyai Tunggulmanik bagian pertama"
Meskipun sudah memperoleh ingatan, namun hatinya
masih sangsi. Segera ia memperhatikan gerak-gerik
mereka dan perubahan gerak tipunya yang aneh. Setiap
gerakannya sukar diraba. Tetapi setelah lewat beberapa
puluh jurus, ia dapat mengatasi dan mengalahkan
mereka. Pada saat itu, mendadak Mohe membentak. Orang itu
terus melesat hendak merampas pemimpinnya yang kena
sabet senjata engsel. Hatinya penuh sesal apa sebab ia
sampai melukai. Karena itu, ia bertekat untuk
merebutnya kembali. Melihat Sangaji kena libat, ia
merasa pasti dapat merampasnya dengan mudah. Kadua
rekannya tahu maksudnya. Segera mereka berdua
melesat pula mengiringkan.
Gagak Seta berpikir cepat. Tubuh si Pemimpin
disambarnya dan diputar-putarkan dijadikan senjatanya.
Sudah barang tentu, Mohe dan kedua rekannya tak
berani menyerang dengan sembarangan.
Mereka hanya bisa berlari-lari mengitari Gagak Seta
dengan harapan memperoleh lowongan.
Beberapa saat kemudian, terdengarlah suatu teriakan
kesakitan. Sangaji berhasil menendang salah seorang
lawannya. Mendadak. Mohe, Jahnawi dan Jinawi melesat
dan menyerang Sangaji. Hebat dan dahsyat
serangannya. Sangaji yang sedianya akan membungkuk
untuk menawan lawannya yang kena dirobohkan, gagal
oleh serangan itu. la terpaksa mundur. Dan pada detik
itu, Mohe dan kedua kawannya berhasil menggondol
orang yang sudah kena tendangan Sangaji. Sayang!
Sungguh sayang! Ternyata orang yang kena dirobohkan
Sangaji, sebenarnya salah seorang anggota pelindung
Utusan Suci tingkat tiga. Begitu Mohe dan kedua
kawannya dapat merebutnya, mereka lantas
mengundurkan diri. Setelah menentramkan semangat, Sangaji berkata:
"Guru, mari kita kembali dahulu ke bukit. Ada sesuatu
yang hendak kubicarakan."
Dengan mendukung Titisari, Sangaji mendahului
mendaki bukit. Gagak Seta pun segera mengikuti dari
belakang sambil memanggul si Pemimpin, la tidak berani
menyakiti, lantaran takut pembalasan mereka terhadap
Sirtupelaheli. Sebaliknya laskar Utusan Suci tidak berani
mengganggu mereka. "Guru!" kata Sangaji setelah berada di dalam gubuk.
"Orang-orang itu seperti sudah mempelajari ilmu sakti
yang terdapat pada keris Kyai Tunggulmanik. Tetapi yang
mengherankan, pukulan-pukulan mereka berbeda.
Mereka sudah sukar dilawan."
"Aku sudah memberi penjelasan kepadamu, bahwa
warisan Patih Lawa Ijo yang dilukis pada dinding gua
Kapakisan, dipindahkan ke dalam pusaka warisan
Pangeran Semono. Mereka semua mengaku sebagai
anak keturunan Empu Kapakisan. Tak mengherankan,
sedikit banyak mereka mengenal ilmu sakti itu. Tapi
menurut pendapatku, apa yang dipelajari mereka hanya-
lah kulitnya belaka. Sedangkan yang ada padamu adalah
intinya. Itulah sebabnya, mereka menugaskan
Sirtupelaheli untuk mencari ketiga pusaka warisan
Pangeran Semono." "Menurut Guru, apa yang kumiliki sekarang adalah
intinya?" Sangaji menegas.
"Ya. Kulihat engkau hanya menguasai cara
mengerahkan tenaga saktinya. Sedangkan ilmu tata
berkelahi yang kau gunakan adalah ilmu kepandaian
warisanku, warisan Kyai Kasan Kesambi dan gabungan
ilmu kepandaian lain yang kau peroleh dari
pengalamanmu belaka," kata Gagak Seta.
"Ah, benar!" Sangaji tersadar.
Memang keragaman ilmu silat Sangaji, sebenarnya
berpangkal pada ajaran-ajaran Gagak Seta, Kyai Kasan
Kesambi dan sari-sari ilmu kepandaian para pendekar
Jawa Barat tatkala bertempur mengadu kepandaian di
atas dataran tinggi Gunung Cibugis.
Sadar akan hal ini, ia jadi perihatin. Lantas saja ia
bersila memejamkan mata. Ia berusaha mengumpulkan
ingatannya untuk mencoba mengenal semua gerakan
lawannya. Benar-benar terasa sejalan dengan lekak-lekuk pamor
keris Kyai Tunggulmanik. Hanya saja. cara
menggunakannya sangat luar biasa.
Gagak Seta tahu, Sangaji sedang mengerahkan
ingatannya. Ia mengedipi Titisari dan Gandarpati agar
jangan mengganggunya. Setelah memeriksa
tawanannya, ia kemudian duduk bersila pula
menghimpun semangat. "Guru!" tiba-tiba Titisari berkata kepada Gagak Seta.
"Guru berkata, bahwa ilmu sakti Kyai Tunggulmanik yang
ada pada Sangaji hanyalah cara mengerahkan tenaga
sakti belaka. Aku hafal ukiran pamor Kyai Tunggulmanik.
Cobalah Guru lihat, apakah gerakan mereka sama
dengan gerakanku." Sesudah berkata demikian, Titisari segera
menggerakkannya tangan dan kakinya tanpa tenaga, la
mengikuti lekak-lekuk pamor keris. Setelah berputar-
putar beberapa saat lamanya, Gagak Seta menggaruk-
garuk kepalanya. "Ya benar, itu tidak hanya inti cara menggerakkan
tenaga sakti. Tapi benar-benar merupakan ragam ilmu
berkelahi yang tinggi," katanya.
"Apakah sama dengan gerakan mereka?" Titisari
menegas. "Ya dan tidak."
"Kalau begitu, aku berani bertaruh bahwa gerakan
mereka bukan gerakan rahasia sakti ilmu Kyai
Tunggulmanik. Memang mirip, sebabnya sumbernya
sama. Semua-semuanya adalah warisan ilmu sakti Lawa
Ijo, yang dialihkan kepada ketiga pusaka Pangeran
Semono. Sebatang keris, sebuah bende dan jala. Apakah
bukan ilmu sakti Jala Karawelang"
"Bagaimana kau bisa berkata begitu?" Gagak Seta
minta keyakinan. "Aku hafal pada guratan-guratan yang terdapat pada
alas Bende Mataram. Ternyata berbeda jauh dengan
gerakan mereka," jawab Titisari.
Sepercik cahaya bersinar pada mata Gagak Seta.
Tetapi hanya sebentar. Setelah itu pudar kembali.
Katanya: "Selamanya aku menganggap khabar itu tak
beda dengan sebuah dongeng kanak-kanak. Kalau saja
hari ini, aku tidak menyaksikan suatu kenyataan, sampai
jadi setan pun aku tidakkan percaya bahwa warisan ilmu
sakti tersebut benar-benar ada. Hai! Rupanya sampai
mati pun, aku tidak akan mengetahui semua rahasia
hidup!" Sekonyong-konyong di seberang jembatan"jauh di
bawah tikungan jalan"terdengar suara sorak-sorai
berulang kali. Gandarpati yang menjaga pintu, lantas lari
menyeberangi jembatan dan melongok dari tikungan.
Setelah mengamat-amati beberapa saat lamanya, ia balik
kembali dan lapor. "Mereka datang berarak-arak. Yang di depan
membawa bendera putih. Mereka berteriak-teriak minta
ijin untuk berbicara dari hati ke hati."
"Bagus!" kata Titisari. "Mereka mau berbicara itulah
lebih baik. Tetapi jangan biarkan mereka mendekati
jembatan batu. Lebih baik kita menyeberangi jembatan.
Sekiranya mereka membandel senjata pemunah kita
masih bisa bekerja seperti semalam."
Mereka lalu menyeberangi jembatan dengan
membawa tawanannya. Tak lama kemudian mereka tiba
dan berhenti di depan tikungan. Dua belas orang
berpakaian putih berdiri berderet di belakang seorang
yang mengenakan pakaian merah membara. Karena
jalan sangat sempit, mereka terpaksa berbaris berempat
berleret ke belakang. Dan melihat orang yang
mengenakan pakaian merah itu, Titisari tersadar.
Katanya: "Pakaian tawanan kita sama rupanya dengan
pakaian seorang itu . Kalau begitu kedudukannya lebih
tinggi daripada yang mengenakan pakaian putih. Lihat,
Mohe, Jahnawi dan Jinawi termasuk anggota dua belas
yang berdiri megiringkan."
"Kurasa begitu," Sangaji membenarkan. "Tawanan kita
berkedudukan sangat tinggi. Dengan begitu kupercaya,
sedikitnya untuk sementara waktu mereka tidak akan
berani menyerang. Kalau sambil menyerang, kita bisa
menggebahnya dengan batu. Tetapi mereka pun bisa
menghancurkan gubuk kita dengan meriamnya."
Sampai di situ Sangaji berhenti dengan mendadak. Ia
melihat Mohe bertiga datang menghadap orang yang
berpakaian merah dengan membungkuk hormat. Mereka
membawa seorang tawanan yang berjalan terbongkok-
bongkok. Sangaji, Titisari dan Gagak Seta terkejut. Mereka
segera mengenali bahwa tawanan yang berjalan dengan
terbongkok-bongkok itu adalah Sirtupelaheli.
Dengan membentak-bentak orang yang berpakaian
merah mengajukan beberapa pertanyaan dengan bahasa
Melayu. Sirtupelaheli berlagak tolol. Dengan memiring-
miringkan kepalanya, ia menyahut: "Tuan berkata apa"
Aku tidak mendengar...."
Yang berpakaian merah tertawa mendongkol.
Katanya: "Aku Mahendratta berani memasuki bumi Jawa,
masakan bisa kau kelabui?"


Mencari Bende Mataram Lanjutan Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah berkata demikian, tangannya bergerak
menyambar muka Sirtupelaheli. -Dengan sekali tarik,
rambut palsu Sirtupelaheli jebol. Sekarang terlihatlah
rambut aslinya yang masih hitam mulus.
Sirtupelaheli mencoba memiringkan kepalanya. Tapi
tangan kanan Mahendratta dengan cepat singgah ke
mukanya dan membeset selapis kulitnya. Pada saat itu,
topeng Sirtupelaheli terlocot. Meskipun Sangaji sudah
pernah melihat topeng Sirtupelaheli, namun tak urung
hatinya masih kaget juga menyaksikan Sirtupelaheli kena
dilocoti. Titisari biasanya mengagulkan kecantikannya sendiri.
Kini setelah melihat wajah asli Sirtupelaheli, hatinya
memukul keras. Katanya di dalam hati: Ah, benar-benar
luar biasa kecantikan Bibi Sirtupelaheli. Guru tidak
mengobrol tanpa alasan. Hai! Apakah Guru tidak sudi
kawin, lantaran diam-diam menaruh hati kepadanya"
Sesudah kena dilocoti, sikap Sirtupelaheli menjadi
garang. Dengan melintangkan tongkatnya di depan
dadanya, ia mundur beberapa langkah. Katanya nyaring:
"Aku gagal membawa ilmu saktinya. Tetapi aku
berhasil membawa pedang pusakanya."
Lantang ucapannya. Angin pegunungan kala itu
meniup pakaiannya berkibaran. Melihat kegagahan
Sirtupelaheli, Sangaji dan Titisari seperti berjanji teringat
kepada cerita Gagak Seta tatkala Sirtupelaheli me-
ngenakan pakaian biru muda siap bertanding di tepi
telaga Sarangan. Sekarang saja dalam usia lanjut,
kecantikannya masih mengejutkan. Apalagi pada zaman
mudanya. Tak mengherankan kedatangannya di rumah
perguruan, membuat gempar hati anak-murid Ki Gede
Rangsang. Mahendratta dan Sirtupelaheli terlibat dalam suatu
perdebatan lagi. Sedangkan ke dua belas pelindung
Utusan Suci yang berleret di belakang pemimpinnya,
kadang-kala ikut membentak-bentak dengan me-
mancarkan pandang mata berapi-api.
Jarak antara mereka dan Sangaji kurang lebih seratus
meter. Meskipun suara perdebatan itu dapat didengar,
namun kurang jelas. Itulah disebabkan ikut campurnya
ke dua belas anggota Pelindung yang membentak-bentak
berserabutan. Mereka pun menggunakan bahasa
daerahnya masing-masing. Terdorong oleh rasa ingin mengetahui dengan jelas,
Gagak Seta membawa tawanannya kesamping. Katanya
"Kau dengarkan baik-baik, apa kata mereka!"
Sudah barang tentu, tawanan itu bersikap
membandel. Sekonyong-konyong Titisari melompat
menghampiri dan mengamat-amati pipinya yang kena
pukul engsel Mohe. la mengawasi beberapa deretan
bentong bekas pukulan senjata Mohe dengan pandang
terlongong-longong. Dahinya berkerinyit sehingga
menarik perhatian Sangaji.
Ttisari, kau melihat apa?" Sangaji minta keterangan.
Ia kenal lagak-lagu Titisari.
Manakala Titisari memperoleh kesan sesuatu, dahinya
berkerinyit dan alisnya bangun pula.
"Aku seperti melihat goresan ini," bisik Titisari. "Tapi
dimana" Ah! Bukankah ini huruf Palawa?"
Huruf Palawa berasal dari India. Umurnya sudah tiga
atau empat ribu tahun yang lalu. Sewaktu pedagang-
pedagang India datang ke Pulau Jawa, huruf Palawa
mulai diperkenalkan. Tetapi huruf tersebut hanya hidup
di kalangan para brahmana dan raja yang benar-benar
terpelajar. Adipati Surengpati adalah seorang terpelajar.
Ia bisa membaca huruf Palawa. Dan pengetahuan itu,
diajarkan kepada puterinya.
"Goresan ini banyak miripnya dengan goresan keris
Kyai Tungulmanik dahulu. Juga sama rupa dengan goresan yang terdapat di
Bende Mataram, sayang kata Titisari hanya mengenal
abjadnya. Kalau kau suruh membaca aku membutuhkan
waktu lama." "Kau cobalah!" bujuk Sangaji.
Titisari segera memeriksa pipi tawanan itu yang
bengkak. Ia melihat tiga baris huruf Palawa yang
tercetak pada daging pipinya. Ternyata setiap bagian
senjata Mohe yang berengsel, terdapat ukiran huruf-
huruf Palawa seperti yang terdapat pada keris Kyai
Tunggulmanik dan Bende Mataram. Dan pukulan Mohe
yang keras meninggalkan bekas. Tapi yang yang
membekas pada pipi hanyalah sebagian deretan huruf,
sehingga sukar untuk dibaca.
Tetapi Tisari adalah seorang wanita berotak cerdas
dan cemerlang pada zaman itu. Selain demikian, ia hafal
pula ukiran huruf Palawa yang terdapat pada keris Kyai
Tunggulmanik dan Bende Mataram. Ia sendiri tidak
pernah melatihnya. Tapi oleh rasa cintanya kepada
suaminya yang berotak lamban, ia merasa diri perlu
untuk ikut mengingat-ingat.
Perlahan-lahan ia mencontoh huruf cetak itu di atas
tanah. Deretan kalimatnya terputus-putus. Segera ia
memeras ingatannya dengan merenungi beberapa saat
lamanya. Mendadak berserulah dia: "Ah, benar! Inilah
Jala Karawelang. Hai! Kalau kusambungkan dengan
bunyi ukiran huruf Palawa yang terdapat pada keris Kyai
Tunggulmanik, benar-benar serasi."
"Serasi bagaimana?" desak Sangaji dengan suara
gemetaran. Titisari tidak segera menyahut. Ia berenung-renung
kembali. Sejenak kemudian barulah dia berkata perlahan.
"Ah, bukan! Nampaknya tiada sambung-
menyambungnya. Apakah memang diatur demikian"
Nanti dulu! Witaradya dibagi menjadi dua pula. Bagian
atas dan bagian bawah. Apakah ilmu sakti Keris Kyai
Tunggulmanik dan Jala Karawelang merupakan satu
rumpun ilmu sakti yang memang dipisahkan menjadi dua
bagian" Hai jangan-jangan, yang terdapat pada pusaka
Bende Mataram adalah titik penyambungnya."
"Bagaimana bunyinya?" Sangaji tak sabar.
"Menyambut kiri berarti depan. Menyambut kanan
berarti belakang. Tiga kosong, tujuh berisi. Langit persegi
Bumi bulat. Ada di dalam tidak ada.... Begitulah kalau
diterjemahkan. Yang di sebelah bawah tidak dapat
dibaca lagi." Mendengar bunyi kata-kata itu Sangaji merasa seperti
ada hubungannya dengan dirinya. Ia seakan-akan
melihat di antara gumpalan awan hitam mendadak
mengejap suatu cahaya terang. Kemudian gelap kembali
seperti semula. Meskipun demikian, cahaya itu memberi
harapan kepadanya. Seperti orang linglung ia menghafal:
Menyambut kiri berarti depan. Menyambut kanan
berarti belakang..."
Dia berotak lamban, tetapi cermat dan ulet. Ia
mencoba menghubung-hubungkan dengan ukiran yang
terdapat pada keris Kyai Tunggulmanik. Kemudian
merenungi lekak-lekuk huruf Palawa yang tertulis di atas
tanah. Ia mencoba membayangkan gerakannya. Selang
beberapa saat, ia seperti sudah berhasil tapi belum
berhasil. Sudah bisa menembus kabut, tapi mendadak
terbentur suatu kabut lagi.
Tiba-tiba terdengar suara Gagak Seta: "Anakku!
Mereka sudah mengeluarkan perintah untuk menyerang.
Mohe akan menyerang engkau. Jahnawi akan
menghadapi aku. Sedang Jinawi akan mencoba merebut
tawanan kita." Titisari terkesiap. Katanya kepada Sangaji: "Kau
gunakan pedang Sokayana dengan sepenuh hati. Aku
sendiri akan melintangkan pedang Sangga Buwana di
atas kepala tawanan kita."
Sangaji hanya memanggut. Mulutnya masih berkomat-
kamit. "Menyambut kiri berarti depan. Menyambut kanan
berarti belakang. Tiga kosong tujuh .berisi. Langit persegi
bumi bulat. Ada di dalam tidak ada..."
"Aji tol... Sekarang bukanlah waktu untuk belajar silat.
Kau harus bersiap!" potong Titisari. Hampir saja dia
menyebutnya kembali dengan si Tolol.
Sangaji seperti tersadar. Melihat ketiga Utusan Suci
bergerak dengan berbareng, ia berseru: "Guru, Titisari!
Mundurlah ke seberang jembatan. Aku akan mencoba
ketiga Utusan Suci itu di sini. Kalau terpaksa, aku akan
melawannya di atas jembatan batu untuk mencegah
kerjasama mereka." Itulah pikiran yang bagus. Sebab jembatan batu hanya
muat seorang belaka. Dengan begitu kemungkinan
besar, mereka tidak bisa bekerjasama. Tetapi Titisari
mempunyai perhitungan lain. Ia melihat tiga orang lagi
mengiringkan ketiga Utusan Suci. Dengan begitu
berjumlah enam orang. Untuk menggertak mereka dia
justru hendak menggunakan tawanannya. Kalau terpaksa
mundur, rasanya belum kasep. Bukankah Gagak Seta
bisa melindungi, selagi ia menggusur tawanannya
menyeberangi jembatan"
Perhitungan Titisari ternyata tepat. Mereka tidak
berani menggunakan senjata, karena takut melukai
pemimpinnya yang kena tawan. Keenam orang itu hanya
bergerak mengepung dengan tangan kosong.
Titisari melintangkan pedang Sangga Buwana di atas
leher tawanannya yang ditengkurapkan di atas tanah.
Sedang Gagak Seta mendampinginya dengan senjata
tongkatnya untuk menjaga serangan mendadak.
Setiapkali dalam keadaan bahaya, Titisari
menggerakkan pedangnya untuk menikam tawanannya.
Melihat Titisari hendak menikam pemimpinnya, mereka
membatalkan niatnya hendak mencoba merampas. Se-
rangannya cepat-cepat dibelokkan ke sasaran lain. Dalam
keadaan demikian, Gagak Seta menyapu dengan
tongkatnya. Hebat kesudahannya. Meskipun bisa
mengelak tapi kena tekanan tenaga Kumayan Jati,
mereka jadi jungkir balik.
Di sudut lain, Sangaji sudah bertempur melawan Mohe
dan Jahnawi. Sesudah mendapat pengalaman beberapa
kali, mereka berdua tidak berani memandang enteng.
Segera mereka memanggil Jinawi agar meninggalkan
dahulu tugas merampas pemimpin keduanya. Dengan
demikian, kembali lagi Sangaji menghadapi tiga sekawan
Utusan Suci. Lewat beberapa jurus, tiba-tiba Mohe memukulkah
senjata engselnya. Melihat gerakannya, sasaran
bidikannya akan mendarat pada pundak kiri. Tapi di luar
dugaan, waktu berada di tengah udara, arahnya
berubah. Dengan gerakan yang luar biasa, haluan
berbelok cepat dan menghantam leher.
Sangaji kesakitan hebat. Matanya berkunang-kunang.
Tapi justru kena pukulan itu, otaknya yang lamban
mendadak tersenak bangun. Tiba-tiba semua teka-teki
menjadi terang baginya. Katanya di dalam hati:
"Menyambut kiri berarti belakang. Menyambut kiri berarti
belakang Menyambut kiri berarti belakang
Ah, mengertilah aku sekarang. Ini adalah suatu tipu
mengelabui lawan. Yang diincar belakang, tapi dimulai
dengan gerakan menyabet dari depan.... Ya, benar.
Benar. Benar begitu!"
Ternyata ilmu sakti ketiga Utusan Suci itu adalah
lanjutan dari dasar pertama huruf Palawa yang terdapat
pada keris Kyai Tungulmanik. Sejarah menyebutnya
sebagai ilmu sakti Jala Karawelang. Karena harus
dikerjakan menurut tata gerak yang rapih dan cepat.
Sifatnya benar-benar seperti jala. Perubahan gerakannya
menguasai danmenutup semua bidang. Tapi
mengherankan bahwa gerakan mereka membuat lumpuh
setiap lawannya. Tegasnya, ilmu sakti mereka
sesungguhnya adalah pemecahan perincian ilmu sakti
yang terdapat pada keris Kyai Tunggulmanik. Kalau yang
terdapat pada keris Kyai Tunggulmanik adalah intinya
maka yang terdapat pada senjata engsel mereka adalah
perinciannya. Tak mengherankan, Sangaji kena dikelabui.
Tetapi sekarang setelah dapat memecahkan teka-teki
empat baris pertama yang lainnya terasa menjadi
mudah. Itulah disebabkan, ilmu sakti yang dimilikinya
adalah inti dari gerakan mereka. Yang masih belum bisa
ditembus tinggal kalimat berikutnya. Yakni: Langit
persegi bumi bulat. Tiba-tiba timbul ah pikirannya. Kalau
hendak memecahkan ilmu sakti mereka secara
menyeluruh, ia harus bisa merampas semua senjata
engsel mereka. Memperoleh pikiran ini, terbangunlah
semangat tempurnya. Terus saja ia membentak dan mengerahkan tenaga
saktinya sembilan bagian. Sekarang ia tak bersegan-
segan lagi. Sekali menggerakkan tangan, ia menyerang
bagaikan kilat tangannya menyambar. Dengan satu jurus
tiga kosong tujuh berisi, ia berhasil merampas dua
senjata engsel dari tangan Mohe dan Jinawi. Inilah
namanya senjata makan tuan. Tadinya ketiga Utusan
Suci bisa membuat Sangaji kelabakan dengan jurusnya
tiga kosong tujuh berisi. Kini, Sangaji menggunakan jurus
itu. Tiga kali ia memukul gertakan. Kemudian disusul
dengan tujuh kali yang benar-benar berisi. Mereka tidak
mengira, bahwa Sangaji bisa memiliki jurus demikian.
Sebelum sadar apa sebabnya, dua senjata mereka sudah
berpindah tangan. Pada detik itu pula, dengan menggunakan jurus 'ada
di dalam tidak ada', Sangaji berhasil merebut dua senjata
Jahnawi dengan sekaligus. Dengan begitu, ia kini sudah
mengantongi empat renteng senjata engsel dalam dua
jurus saja. Ketiga Utusan Suci itu terbang semangatnya. Mereka
sampai berdiri terpaku. Bagaimana mungkin pemuda itu
bisa merampas dalam dua gebrakan saja" Dia seperti


Mencari Bende Mataram Lanjutan Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggunakan jurusnya sendiri. Malahan lebih dahsyat.
Mereka tak tahu, bahwa tenaga sakti Sangaji pada
hakekatnya tiada tertandingi di dalam jagad ini.
Dalam pada itu, setelah mengantongi empat renteng
senjata rampasannya, Sangaji mendadak membalik dan
mencengkeram pengeroyok Gagak Seta. Dengan sekali
membentak, mereka dilontarkan balik ke bawah
tanjakan. Mereka yang berada di tikungan jalan,
berteriak kaget menyaksikan kejadian di luar
perhitungannya. Mustahil! Sungguh mustahil bahwasanya
di dunia ini terdapat seorang manusia yang bisa melawan
ilmu sakti warisan Empu Kapakisan di zaman Majapahit.
Tetapi kenyataan yang disaksikan tidak dapat dipungkiri.
Akhirnya mereka berterian-teriak kalut.
Selagi mereka kalut, tubuh Sangaji telah melesat
menghampiri. Mahendratta pemimpin berbaju merah
kaget setengah mati. Buru-buru ia memutar badannya
hendak melarikan diri. Tapi gerakkan Sangaji cepat luar
biasa. Dengan sekali sambar, kedua kakinya kena
tangkap. Tubuhnya lantas terbetot. Dan dua renteng
senjata engselnya yang berada dalam sakunya lenyap.
Sebelum ia sempat berteriak kaget, tubuhnya sudah kena
dilemparkan ke belakang dan disambut oleh Gagak Seta
dengan tertawa berkakakan.
Mohe, Jahnawi dan Jinawi terbang semangatnya.
Dengan menggunakan seluruh kepandaiannya, mereka
melompat dengan berbareng dan melarikan diri lewat
samping Sangaji. Kemenangan itu tidak hanya menggirangkan hati
Sangaji sendiri, tapi pun Gagak Seta, Titisari dan
Gandarpati yang berdiri berjaga-jaga di depan pintu
gubuk. Dengan beramai-ramai mereka membawa kedua
tawanannya menyeberangi jembatan. Sampai di gubuk
Gagak Seta minta keterangan kepada Sangaji,
bagaimana caranya dapat merampas enam renteng
senjata andalan kaum Utusan Suci dengan mudah.
"Semuanya ini berkat bantuan isteriku, Guru," jawab
Sangaji dengan tertawa. Secara kebetulan Mohe
memukul pipi pemimpinnya. Bekas lukanya kena dibaca
Titisari. Lalu terbukalah rahasia ilmu silat mereka. Hanya
ada sederet kalimat yang menyebutkan, Langit persegi
bumi bulat" belum dapat kupahami."
Ia mengeluarkan enam renteng senjata rampasannya
dan diserahkan kepada Titisari. Katanya penuh terima
kasih, "Sekiranya kau sanggup, bacalah dan
terjemahkan." "Baik. Tapi harus ditukar," sahut Titisari.
"Ditukar bagaimana?" Sangaji tak mengerti.
"Tukar jasa," jawab Titisari sederhana. "Aku akan
menterjemahkan. Dan kau harus membeli dengan cinta
kasihmu yang penuh."
"Hai!" Sangaji tertegun. "Tentu saja."
Pembawaan Sangaji bukan romantis. Karena itu, ia
hanya mampu menjawab dengan kata-kata pendek dan
wajah bersemu merah. Bagi Titisari yang mengenal pri-
badinya, sudahlah lebih dari cukup.
Gagak Seta sendiri semenjak dahulu kenal lagak lagu
mereka berdua. Dia malahan pernah menjadi comblang.
Melihat mereka bermesra-mesraan, hatinya ikut
bersyukur. Pikirnya di dalam hati: "Mereka sudah bukan
pengantin baru lagi. Tetapi cara bergaulnya masih
sepanas dahulu. Aku ingin tahu, apakah mereka akan
tetap begini seumpama kelak sudah mempunyai telor...."
Memikir demikian, ia tersenyum-senyum sendirian.
Kemudian mengalihkan perhatiannya kepada enam
renteng senjata rampasan.
Senjata berengsel itu sebenarnya bernama Harda
Dedali. Di sebut pula Pelangi Mustika Dunia. Maksudnya
lambing kecerahan dunia. Bahannya bukan emas, bukan
batu, bukan besi dan bukan baja. Itulah suatu logam
yang mempunyai kadar aneh. Selain mengandung
bahan-bahan keras, juga memiliki tenaga menarik.
Anehnya pula terdapat kadar air raksa. Benar-benar
suatu benda ajaib yang pernah dilahirkan di dunia.
Keenam Pelangi Mustika Dunia itu, tidak sama panjang
dan berbeda pula ukurannya. Warnanya putih kebiru-
biruan. Di dalamnya nampak sinar cerah seperti setengah
berlian setengah emas murni. Warna-warninya selalu
bergerak dan berubah-ubah. Kesannya sangat indah,
bening serta meresapkan. Bentuknya logam padat yang
bersambung-sambung. Setiap potongan terdapat ukiran
huruf-huruf Palawa. Mereka semua sadar, jika ingin meloloskan diri dari
bahaya, harus dapat memahami rahasia ilmu silat kaum
Utusan Suci. Karena itu"letak kuncinya"ada pada
Titisari. Kalau dia sanggup menerjemahkan dalam waktu
sesingkat-singkatnya, akan memberi waktu kepada
Sangaji untuk dapat memahami.
"Gandarpati!" kata Gagak Seta. "Senjata batu gurumu
benar-benar besar daya gunanya. Malam nanti kita
membutuhkan bantuannya. Kau berjagalah di seberang
jembatan. Jika mereka nampak mengadakan gerakan
untuk mendaki bukit, kau guguri dengan batu seperti tadi
malam." Gandarpati memanggut dan terus menyeberangi
jembatan. "Guru!" Titisari berkata. "Sebenarnya siapakah yang
memindahkan bunyi ilmu sakti dari dinding gua
Kapakisan?" "Kau berkata tepat, anakku. Kau memang anak
siluman benar-benar," sahut Gagak Seta sambil tertawa.
Memang ini adalah hasil pemindahan. Mungkin sekali
penyalinnya, kekurangan bahan tulis. Setelah pusaka
warisan Pangeran Semono terisi penuh, ia menulis pada
pusaka ini. Atau mungkin, memang pusaka-pusaka yang
dikehendaki sudah disiapkan sebelumnya."
"Apakah Guru menduga, penulisnya lebih dari satu
orang?" Gagak Seta mendongak mengawasi atap rumah.
"Bukankah saudara seperguruan Empu Kapakisan
yang pandai menulis ada tiga orang" Prapancha,
Brahmaraja dan Kertayasya" Bukan tidak mungkin,
bahwa mereka bertiga bisa saling bersaing dan
berebutan sehingga pusaka-pusaka itu bertebaran.
Entahlah. Pokoknya warisan sakti yang terukir pada
dinding gua Kapakisan, sudah dipindahkan oleh tangan-
tangan yang mengenal Empu Kapakisan. Kalau tidak,
masakan mungkin berani mendaki dan memasuki gua
Kapakisan yang diceriterakan sangat gawat" Hanya saja
aku tak mengerti apa sebab pusaka ini berada di Pulau
Lombok." Sangaji adalah seorang pemuda yang berotak
sederhana. Ia tidak begitu gemar membicarakan sesuatu
hal berkepanjangan. Teringat betapa bahaya keadaan
mereka, ia lantas memotong: "Bagaimana Guru, kalau
Titisari segera menterjemahkan" Kurasa perlu pula kita
membawa kedua tawanan ini diseberang jembatan.
Mereka berdua harus diancam dengan menanggalkan
pedang Sangga Buwana pada batang lehernya. Kalau
mereka main tembak, kita harus mengancam untuk
membunuhnya." "Bagus! Biarlah aku yang menjaga...." sahut Gagak
Seta. Gagak Seta segera membawa kedua tawanannya
menyeberangi jembatan dengan pedang Sangga Buwana
di tangan. Mereka berdua ditengkurapkan di atas batu
besar yang dapat terlihat jelas dari bawah tanjakan.
Pedang Sangga Buwana yang berkilauan, diancamkan di
atas kepala mereka. Titisari sendiri segera bekerja. Ia memilih Pelangi
Mustika Dunia yang berukuran paling pendek. Jumlah
hurufnya paling sedikit pula. Maksudnya agar dapat
diterjemahkan dengan cepat. Setelah direnungi beberapa
saat, ia menerjemahkan. Diluar dugaan, kependekannya justru membuat sulit
untuk ditangkap dan dimengerti. Beberapakali Sangaji
mencoba menelaah artinya, tapi tetap saja ia gagal, la
menjadi bingung. "Titisari, otakku ini benar-benar tumpul!" katanya
setengah mengeluh. Kali ini Titisari malah menghibur. Katanya dengan
tertawa manis luar biasa.
"Siapa bilang otakmu tumpul" Dalam hal ini, akulah
yang salah duga. Lantaran pendeknya, sifatnya jadi
ringkas dan padat. Biarlah kumulai saja dari yang
meninggalkan bekas pukulan pada pipi orang itu."
Memperoleh pikiran demikian, buru-buru ia mencari
senjata yang dimaksudkan. Ternyata ukuran panjang
senjata itu adalah yang nomor dua. Ia segera
menerjemahkan. Kali ini, Sangaji dapat menangkap
artinya tujuh delapan bagian. Hal itu disebabkan, ia telah
paham sebagian kata-katanya.
Titisari bersyukur. Lantas ia beralih kepada yang
berukuran paling panjang. Baru saja ia menerjemahkan
beberapa patah perkataan, Sangaji sudah berseru
gembira. "Benar! Makin panjang, makin gampang dimengerti.
Intisarinya samalah dengan ukiran huruf pertama pada
keris Kyai Tunggulmanik. Sekarang aku mengerti. Ini
semua adalah pecahannya. Teruskan!"
Senang Titisari menyaksikan suaminya jadi bernapsu.
Sebab tidak biasanya ia begitu. Selamanya ia tidak
tertarik terhadap soal-soal yang rumit"
Pelangi Mustika Dunia itu sendiri, sebenarnya adalah
buah karya pujangga Prapancha. Menyaksikan
pertengkaran antara Mapatih Gajah Mada dan Empu
Kapakisan, pujangga itu membawa dua saudara
seperguruannya mendaki bukit Kapakisan untuk
merundingkan suatu perdamaian. Tetapi gua Kapakisan
ternyata sudah kosong. Empu Kapakisan telah wafat.
Setelah memeriksa gua, mereka bertiga terkejut melihat
huruf-huruf Palawa yang ditulis oleh tangan lain pada
dinding. Merasa keluarbiasaan hakekat kesaktiannya,
segera mereka bertiga mengambil keputusan untuk
menghapusnya. Dengan begitu akan menghilangkan
coreng rumah perguruannya. Tetapi kalau dihapus
dengan begitu saja, mereka merasa sayang.
Maklumlah"mereka golongan pujangga yang dapat
menghargai arti sastera. Lantas tulisan tangan lain itu dialihkan kepada dasar
logam ketiga jenis pusaka dengan pertolongan seorang
empu ter-masyur pada zaman itu. Dialah Empu Dadali.
Itulah sebabnya, pusaka Pelangi Mustika Dunia bernama
pula: Harda Dadali. Artinya selain untuk memperingatkan
nama empunya, juga bermakna: napsu burung layang-
layang. Makin diselami kata-kata warisan sakti itu, hati mereka
makin terasa seakan-akan kena guyur angin
dingin.Ternyata warisan sakti itu benar-benar bisa
menindih kehebatan ilmu sakti rumah perguruan mereka
yang, diwarisi Empu Kapakisan. Tegasnya selagi Empu
Kapakisan dan Gajah Mada mengadu ilmu kepandaian
dan ilmu kesaktian, seorang lain yang tidak ternama
melindas kedua-duanya. Inilah suatu kejadian yang
menyedihkan. Syukur, mereka berdua sudah tiada di
dunia. Sekiranya menyaksikan hal itu, mati pun tidaklah
meram. Pusaka-pusaka warisan itu, lantas menjadi bahan
perebutan yang mengakibatkan korban jiwa tak terhitung
lagi jumlahnya. Dari zaman ke zaman, benda-benda itu
berpindah tangan. Akhirnya hilang tak kabarkan lagi.
Yang berada di Lombok adalah kumpulan Pelangi
Mustika Dunia tersebut. Entah siapa yang membawa
menyeberang sampai di sana. Sejarah tiada mencatat.
Ternyata selain Pelangi Mustika Dunia buah karya
Prapanca diketemukan pula di Pulau Lombok.
Mereka yang menemukan anak keturunan Empu
Kapakisan, menganggap warisan sakti itu sebagai
warisannya sekaligus musuh besarnya. Untuk dapat
mengangkat derajat, mereka berkewajiban mempela-
jarinya dan menguasainya agar tidak jatuh di tangan
orang lain. Inilah bahaya.
Tetapi sayang, apa yang terdapat pada Pelangi
Mustika Dunia"hanyalah kulitnya saja seperti nama
bendanya. Sarinya tak ubah seperti burung layang-
layang yang berada di angkasa tanpa hinggapan. Karena
intinya berada pada ketiga pusaka lain. Dalam hal ini,
keris Kyai Tunggulmanik. Itulah sebabnya, pewaris-pewarisnya makin lama
makin kehilangan pokok dasarnya. Setiap jatuh pada
angkatan mendatang, selalu menjadi kurang. Mohe,
Jahnawi dan Jinawi sebenarnya hanya menguasai tiga
atau empat bagian belaka. Sebab semuanya tergantung
pada tenaga sakti pribadi masing-masing, sebagai dasar
pokok. Makin kurang dasar pokoknya makin kurang pula
tataran yang dicapainya. Sadar akan hal itu, anak keturunan Empu Kapakisan
lalu bertekat untuk bisa mendapatkan ketiga pusaka lain
yang memuat inti mengerahkan tenaga sakti. Tekad ini
diwariskan kepada angkatan ke angkatan yang
mendatang. Diluar dugaan siapa saja"apa yang diidam-idamkan
mereka"diperoleh Sangaji secara mudah sekali. Sangaji
mendapatkan dua pusaka di antara ketiga pusaka secara
kebetulan. Malahan setelah merampas enam renteng
Pelangi Mustika Dunia, jadi lengkap. Karena enam
renteng Pelangi Mustika Dunia itulah yang sebenarnya
disebut Jala Karawelang. Mengapa begitu" Sebab seseorang yang menemukan


Mencari Bende Mataram Lanjutan Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pelangi Mustika Dunia adalah seumpama mendapatkan
sebuah jala tanpa ikan. Meskipun sudah hebat, tapi
belum terlalu hebat. Namun untuk mendapatkan ikannya,
orang harus menggunakan jala tersebut. Tegasnya
begini: Yang berada di keris Kyai Tunggulmanik dan
Bende Mataram adalah"rahasia himpunan tenaga
sakti." yang berada pada Pelangi Mustika Dunia adalah
jalur-jalur penuangan himpunan tenaga sakti.
Seseorang memperoleh keris Kyai Tunggulmanik dan
Bende Mataram, adalah seumpama menemukan sebuah
granat tanpa sumbu (dektonator). Kedua pusaka itu tak
lebih hanya sebatang senjata tusuk dan sebuah bende
untuk ditabuh. Di sini terbukti betapa dalam cara berpikir
orang-orang zaman dahulu. Selain maknanya tinggi, dia
pandai memilih bentuk dan sifat benda yang akan dibuat
mengalihkan hakekat ilmu yang dikehendaki.
Sebaliknya seseorang yang memperoleh Pelangi
Mustika Dunia, adalah seumpama menemukan sebuah
granat tanpa isi. Pelangi Mustika Dunia terdiri dari
beberapa renteng. Artinya dikesankan, bahwa untuk
menyelami keseluruhan warisan ilmu sakti Patih Lawa ljo,
seseorang harus sudah memiliki tenaga dahsyat
seumpama tenaga gabungan beberapa orang sakti.
Benar-benar mengagumkan orang yang memilih benda-
benda ini sebagai penuang hakekat ilmu sakti warisan
Patih Lawa ljo. Masing-masing mempunyai makna tinggi
dan bisa mengelabuhi orang.
Sangaji dalam hal ini adalah tokoh yang dikehendaki
sejarah hidup. Seumpama, dia tidak minum getah sakti
Dewadaru. Seumpama dia tidak memiliki ilmu Bayu
Sejati. Seumpama dia tidak memiliki ilmu Kumayan Jati.
Seumpama dia tidak dicekik Bagus Wilatikta, sehingga
membuat tiga unsur tenaga sakti itu lebur menjadi satu
keris Kyai Tunggulmanik dan Bende Mataram yang
diperolehnya secara kebetulan pula, tiada artinya sama
sekali. Maka terasalah dalam hati manusia, bahwa segala
apa yang terjadi di atas dunia ini, sesungguhnya
tergantung belaka pada nasib manusia yang sebenarnya
sudah dikehendaki h i d u p itu sendiri. Seseorang tidak
bisa mengada-ada atau mencapai tujuannya atas
kehendaknya sendiri betapa sadar pun. Sebab ia akan
digagalkan oleh suatu kekuasaan di atas kodrat manusia.
Demikianlah"tanpa memedulikan segalanya, Sangaji
terus bersila. Sepatah demi sepatah, Titisari membisikkan
kata-kata terjemahannya. "Ohoi anakku!" terdengar Gagak Seta berseru.
"Mereka mencoba mendaki bukit. Kita ladeni tidak?"
Sangaji terus memeras otaknya tanpa memedulikan
semua yang terjadi di sekitarnya. Memang ia pun
mendengar seruan gurunya di seberang jembatan.
Namun tak berani ia membagi perhatian. Sebaliknya
Gandarpati yang berada di seberang jembatan di
samping Gagak Seta, gelisah bukan kepalang melihat
persiapan-persiapan lawan. Gagak Seta sendiri menjadi
bingung. Itulah lantaran ia melihat Sirtupelaheli diborgol
kaki dan tangannya. Sebelas orang yang menamakan diri
pelindung agama sucinya, sudah menanggalkan, pakaian
jubahnya. Mereka kini mengenakan pakaian singsat.
Kemudian menyengkelit semacam benda lemas. Tak.
usah dikatakan lagi, itulah senjata mereka dan mereka
siap untuk bertempur. Di atas dinding ketinggian, belasan orang memasang
gendewa-gendewa yang sudah dipentang. Anak panah
dibidikkan ke arah gubuk. Yang mengkhawatirkan empat
orang bersenjata kampak raksasa berdiri tegak di
belakang punggung Sirtupelaheli. Sebagai seorang
pendekar yang berpengalaman tahulah Gagak Seta,
bahwa mereka akan merencanakan suatu maksud
dengan kekerasan. Jika hati mereka tak berkenan, maka
empat orang itu akan menghabisi jiwa Sirtupelaheli
dengan satu kali aba-aba.
Tatkala itu matahari telah condong ke barat! Sinarnya
mulai terasa lembut. Hawa pegunungan jadi segar bugar.
Angin melayah rendah menggeribiki mahkota semak
belukar yang mencongakkan diri dari sela-sela batu.
Suasana demikian, sebenarnya tidaklah cocok menjadi
latar belakang suatu ancaman pertempuran yang bakal
menentukan. Sekonyong-konyong sebelas orang pelindung Utusan
Suci membentak dengan berbareng. Lalu mereka
merangsak dengan berbareng dengan menggusur
punggung Sirtupelaheli semacam perisainya.
Sangaji yang berada di dalam gubuk kaget. Ia
melemparkan pandang keluar pintu. Sebelas orang
pelindung Utusan Suci sudah hampir sampai mencapai
seberang jembatan. Gagak Seta nampak tenang, la
melintangkan tongkat bajanya. Sedang Gandarpati telah
mendekati senjata pemunahnya"bukit batu yang bisa
digugurkan ke bawah tanjakan.
"Gandarpati!" seru Gagak Seta. "Senjata gurumu itu
tepat di waktu malam. Sekarang"lebih baik kau kutungi
leher tawanan itu. Niih... pedang ini jauh lebih berguna
daripada senjata tumpukan batu!"
Gagak Seta lantas mengangsurkan pedang Sangga
Buwana. Dan buru-buru Gandarpati menerimanya dan
ditandalkan di atas leher tawanannya. Pedang Sangga
Buwana memangnya pedang mustika. Begitu dihunus,
sinarnya berkilauan menyilaukan mata.
"Bagus! Bagus!" Gagak Seta lagi-lagi tertawa
berkakakan. "Jika mereka berani majn gila, kau sabetkan
pedang itu sedikit saja. Tanggung kepala mereka bakal
copot!" Jahil kata-kata Gagak Seta. Tapi dengan begitu,
membuat gerakan mereka jadi merandek. Mereka
mengawaskan dengan mata melotot. Wajahnya kelihatan
gusar bukan kepalang. Seorang laki-laki yang mengenakan jubah hijau, tiba-
tiba tampil ke depan. Kemudian berseru dalam bahasa
Melayu: "Dengarkan! Kami adalah Ketua dari semua
orang yang berada di sini. Nah, kalian lepaskan orang-
orang kami! Dan kami akan mengampuni jiwa kalian. Di
mata kami, tawananmu itu tak lebih daripada seekor babi
dan kambing sembelihan. Mereka tidak berharga sedikit
pun. Apa perlu kalian mengandalkan pedang di atas leher
mereka. Percayalah anjing buduk lebih berharga daripada
rriereka. Kalian tak percaya" Baik, kalian bunuh saja! Di
dalam aliran kami, terdapat puluhan ribu orang yang
derajatnya sama dengan mereka. Mampusnya mereka,
tiada artinya...." "Kau mengoceh seperti burung!" tiba-tiba suatu suara
bening jernih. Dialah Titisari yang telah keluar dari
gubuk. Sambil berjalan melintasi jembatan batu, ia
berkata meneruskan: "Kami tahu, mereka berdua adalah
duta-duta suci kalian yang lebih tinggi kedudukannya.
Kau mengatakan anjing buduk jauh lebih berharga
daripada mereka" Baik, itu kata-katamu sendiri. Memang
mereka lebih menyerupai anjing kudisen!"
Alis orang berjubah hijau itu terbangun. Setelah
menimbang-nimbang sebentar, lalu menyahut nyaring:
"Di dalam aliran kami, terdapat tiga ratus enam puluh
pemimpin kelompok. Mahendratta dan Udayana me-
nempati kedudukan yang ke tiga ratus enam puluh
delapan dan sembilan. Kami mempunyai seribu dua ratus
orang Utusan Suci. Nah, tahulah kami kini"bahwa
mereka berdua bukan tokoh yang penting. Bunuhlah
saja, kalau kamu bosan!"
"Baiklah!" kata Titisari. "Paman! Kau bunuhlah kedua
tawanan itu. Kami sudah bosan!"
"Baik!" sahut Gagak Seta. Sekali meloncat ia
merampas pedang Sangga Buwana yang berada di dalam
genggaman Gandarpati. Kemudian menyabet kepala
Mahendratta dan Udayana dengan berbareng. Sebelum
Utusan Suci yang berada di belakang orang berjubah
hijau itu, memekik kaget. Tetapi tebasan Sangga Buwana
betapa dapat mereka rintangi. Mereka hanya melihat
pedang Sangga Buwana. Dalam jarak setebal jari pedang
itu menabas kepala Mahendratta dan Udayana dengan
sekali gerak. Dan rambut mereka terpapas sebagian dan
terbang tertiup angin. Kembali lagi Gagak Seta
mengangkat pedang Sangga Buwana dan menabas dua
kali berturut-turut. Akibatnya sama pula. Setiap kali hen-
dak mengenai batok kepala, tiba-tiba berbelok arah
dalam satu detik saja. Kini menyentuh jubah mereka.
Dan kainnya terobek menjadi potongan berhamburan.
Itulah suatu keahlian luar biasa. Mahendratta dan
Udayana pingsan lantaran ketakutan.
Sedang sebelas orang rekannya berdiri terpaku oleh
rasa kagum luar biasa. "Apa kamu sudah pernah melihat ilmu sakti Gagak
Seta?" teriak Titisari. "Dalam kalangan kami, Gagak Seta
menduduki kursi pendekar yang ketiga ribu lima ratus
empat puluh sembilan. Kepandaiannya belum boleh
dikatakan berarti. Apabila dengan mengandalkan jumlah
besar kamu menyerang kami, para pendekar di seluruh
Pulau Jawa akan bangkit membalaskan sakit hati kami.
Mereka akan menyapu bersih aliran kamu, meskipun
kamu sudah mencoba lari mengungsi ditengah-tengah
Pulau Lombok. Apakah kamu sanggup melawan
kehebatan mereka" Itulah sebabnya jalan satu-satunya
yang paling baik ialah berdamai dengan kami...."
Orang berjubah hijau itu, bukan manusia goblok. Ia
tahu, Titisari sedang mengoceh seperti dirinya untuk
menggertak. Tapi dia sendiri tak tahu apa yang harus
dilakukan. Mendadak seorang berperawakan tinggi besar
yang membawa kampak di belakang punggung
Sirtupelaheli, berkata nyaring: "Tiada gunanya kita
mencoba menginsyafkan. Kita habisi saja nyawa
perempuan ini...." Sangaji terkejut. Kalau ancaman itu benar-benar
dikerjakan, Sirtupelaheli akan tewas seketika itu juga.
Rasanya ia ikut bertanggungjawab. Gurunya yang
terkenal berani dan gesit, bersikap hati-hati menghadapi
mereka. Itulah suatu tanda bahwa dia mau mengalah
demi keselamatan Sirtupelaheli. Menimbang demikian, ia
lantas melesat keluar gubuk. Hebat gerakannya. Karena
kaget, gusar dan bersungguh-sungguh"ia menggunakan
sepenuh tenaga saktinya. Sekali menggenjotkan kaki,
tubuhnya terbang melayang melintasi jembatan dan
turun dengan manisnya di depan orang berjubah hijau
itu. "Mau apa kau!" bentak empat orang berkampak
dengan berbareng. Mereka sekarang tidak hanya
bersenjata kampak, tapi pun mengeluarkan cambuk,
martil, pedang dan golok. Lalu menyerang dari samping.
Orang berjubah hijau sendiri, pada saat itu tertegun
karena rasa kagum dan kaget. Karena rasa kagum dan
kaget itulah, dia kehilangan dirinya. Untung"empat
orang anak buahnya telah bergerak melindungi. Kalau
tidak, dengan mudah saja Sangaji dapat menawannya.
Dalam pada itu melihat empat orang menyerang
dengan berbareng, Sangaji membawa sikapnya yang
tenang luar biasa, la kini sudah paham tentang kunci-
kunci rahasia ilmu silat aliran Suci. Geraknya yang
pertama hanya merupakan suatu gerakan tipu muslihat.
Itulah sebabnya, ia tidak memedulikan. Sebaliknya
dengan gerakan kilat, tangannya menyambar dan men-
cengkeram jalan darah dua orang yang menyerang mula-
mula. Dengan menggunakan jurus ada di dalam tiada,
sekonyong-konyong senjata mereka berbelok arah dan
saling bentrok sangat nyaringnya. Begitu kebentrok,
serangan mereka lantas tiada mempunyai sasaran lagi.
Kesempatan itu dipergunakan Sangaji untuk menyambar
orang berjubah hijau. Dengan menghentakkan tangan, ia
melemparkan tawanannya yang baru lewat di atas
kepalanya. Tubuh orang itu melambung tinggi di udara.
Begitu melayang turun, Gagak Seta menggantolnya
dengan tongkat bajanya dan dilemparkan jungkir-balik
menyeberangi jembatan batu.
Inilah suatu tontonan yang menarik. Seorang manusia
yang berkedudukan tinggi kena dilontarkan jungkir balik
di tengah udara tak ubah bola keranjang. Empat orang
bawahannya terkesiap. Belum lagi tahu apa yang harus
dikerjakan, kaki mereka kena kesapu. Dengan memekik
kaget, mereka terpental jauh dan menggelundung ke
dalam jurang bersusun tindih.
Tiba-tiba seorang berjubah putih yang bersenjata
sepasang pedang pendek menikam. Sangaji mengelak
dan menendang pergelangan tangannya. Secepat kilat
orang itu menyilangkan kedua tangannya dan menikam
kempungan. Tikaman itu cepat dan diluar dugaan. Untuk
menyelamatkan jiwa, terpaksa Sangaji melompat tinggi.
Ternyata orang itu adalah pengawal pribadi si Jubah
hijau. Dialah jago nomor dua dalam kalangan Utusan
Suci. Setelah gagal, ia terus merangsak dan mengirimkan
serangan berantai. Sangaji melayani dengan tenang.
Setelah bertempur sembilan jurus, diam-diam Sangaji
memuji kepandaian orang itu.
Biarpun sudah memahami ilmu sakti Utusan Suci,
tetapi karena belum pernah berlatih Sangaji belum juga
dapat mempergunakan dengan lancar. Dalam belasan
jurus yang pertama, ia hanya bisa mempertahankan diri
dengan ilmu kepandaiannya sendiri. Setelah dua puluh
jurus, barulah ia bisa menggunakan ilmu sakti Utusan
Suci dengan agak licin. Orang itu bernama Warmadewa. Sebenarnya itulah
suatu gelar kehormatan. Warmadewa pada tahun 915,
dikenal sebagai leluhur raja-raja Bali yang memerintah
Pejeng dan Bedulu. Mamanya sendiri: Ugrasena. Karena


Mencari Bende Mataram Lanjutan Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ilmu kepandaiannya sangat tinggi, ia memperoleh gelar
kehormatan itu. Tugasnya mewariskan semua ilmu sakti
Utusan Suci. Tugas suci itu seumpama seorang
keturunan dewa melahirkan anak keturunannya.
Dalam kalangannya, ia sudah mendapat lawan yang
setanding. Itulah sebabnya begitu menghadapi Sangaji,
ia kaget berbareng geram. Itulah pula pengalamannya
yang pertama kali, ia berhadapan dengan seorang lawan
yang luar biasa tangguhnya.
Sesudah bertanding kurang lebih tiga puluh jurus,
tiba-tiba Sangaji menggunakan salah satu jurus yang
terdapat pada senjata engsel pelangi mustika dunia. Ia
memeluk betis Ugrasena. Jurus itu merupakan jurus
rahasia yang belum pernah digunakan oleh Ugrasena
sendiri. Begitu betisnya kena peluk, Sangaji
mencengkeramkan tangannya. Ugrasena lantas saja
roboh dengan lemas, la menghela napas dan menyerah
kalah. Mendadak saja, timbullah rasa sayang Sangaji
terhadap kepandaian Ugrasena. Sambil melepaskan
pelukannya, ia berkata: "Kepandaianmu sangat tinggi.
Biarlah kau mempertahankan terus nama besarmu.
Pergilah dengan damai!"
Ugrasena merasa sangat berterimakasih bercampur
malu. Inilah kekalahannya untuk yang pertama kalinya.
Buru-buru ia melompat balik memasuki gerombolannya.
Tatkala itu, Titisari dan Gandarpati telah menyeret si
Jubah hijau menyeberang jembatan. Mahendratta dan
Udayana dibawa pula menyeberang. Kemudian mereka
berdua menjaga tawanan itu dengan Sangga Buwana
terhunus. Gagak Seta sendiri"setelah memperlihatkan
kepandaiannya"tidak membutuhkan pedang tajam itu
lagi. Dengan melintangkan tongkat bajanya di depan
dadanya, ia berkata nyaring: "Lekas kalian antarkan
Sirtupelaheli kemari! Ketiga orang ini akan kami serahkan
pula..." Sebelas pelindung Utusan Suci lantas sibuk berunding
dengan suara perlahan. Mereka menggunakan bahasa Lombok. Karena itu
sesungguhnya tidak perlu mereka berbicara kasa-kusuk.
Setelah selesai berunding, Mohe mewakili mereka.
"Kami bersedia meluluskan permintaan kalian. Tapi kalian
harus menjawab pertanyaan kami. Ilmu kepandaian
pemuda itu, terang sekali ilmu kepandaian kami.
Darimanakah dia memperolehnya" Berilah kami
keterangan sejelas-jelasnya!"
Sambil menahan rasa geli. Titisari menjawab, "Kamu
semua sekumpulan manusia-manusia tolol. Dengarlah!
Pemuda itu adalah murid ke delapan Paman Gagak Seta.
Tujuh kakak seperguruan dan tujuh adik sepergu-
ruannya, tak lama lagi akan tiba di sini. Kalau mereka
semua tiba, kamu sekalian akan dibasmi. Nah"apa perlu
rewel tak keruan?" Mohe sebenarnya seorang yang cerdas otaknya.
Hanya saja ia kurang menguasai bahasa Melayu selancar
Titisari. Ia tahu, gadis itu sedang mengarang suatu
cerita. Setelah berpikir sejenak, ia berteriak: "Baiklah"
kami menyerah. Saudara-saudara, antarkan
Sirtupelaheli!" Dua orang anggota Utusan Suci lantas mengantarkan
Sirtupelaheli ke seberang jembatan. Tangan dan kakinya
masih terborgol kencang dengan rantai besi. Titisari jadi
mendongkol. Pikirnya, manusia-manusia yang
menamakan diri Utusan Suci ini mengapa menganggap
manusia lain seperti bukan manusia penuh-penuh"
Mereka memborgol orang semacam binatang galak.
Kalau tidak diajar rasa, sampai kapan mereka terbuka
matanya.... Memperoleh pikiran demikian, dengan dua
kali menyabetkan pedang Sangga Buwana ia
memutuskan rantai pengikat kaki dan tangan
Sirtupelaheli. Dan melihat ketajaman pedang itu, kedua
pengantar ketakutan setengah mati dan buru-buru
kembali dalam rombongan mereka.
"Sirtupelaheli sudah kalian terima kembali. Sekarang
tinggal menunggu janji kalian...." teriak Mohe.
Sangaji maju tiga langkah, sambil merangkapkan
tangannya, ia menyahut: "Lombok"Bali"Sumbawa
adalah negara Nusantara. Kita semua adalah sesama
saudara, sesama bangsa dan setanah air. Kami
mengharap dengan kejadian ini, janganlah mengecilkan
hati tuan-tuan. Dengan demikian tidak akan menerbitkan
suatu salah paham di kemudian hari.
Sebenarnya secara kebetulan, kami bersompokan
dengan tuan-tuan. Seumpama gubuk itu adalah gubuk
kami, maka kami akan mengundang tuan-tuan makan
minum di sini. Untuk segala kesalahan dan kekurangan
ini, kami mohon maaf sebesar-besarnya...."
Mohe tertawa terbahak-bahak. "Kami semua kagum
kepada ilmu kepandaianmu yang . sangat tinggi. Apakah
tidak semestinya, di kemudian hari kami akan terus
mempelajari ilmu sakti leluhur kita itu" Kami datang dari
jauh. Karena itu, izinkan kami pulang ke pulau kami...."
Mendengar kata-kata yang sopan itu, Sangaji
membungkuk memberi hormat. "Tepat sekali kata-kata
Tuan. Nah, selamat jalan...."
Setelah berkata demikian, ia memutar tubuh dan
berjalan menyeberangi jembatan batu. Ia menjenguk
Fatimah. Gadis yang bernasib malang itu masih dalam
keadaan lupa-lupa ingat. Lukanya tidak menjadi parah,
tapi pun tidak menjadi kurangan. Melihat keadaannya,
hati Sangaji jadi berduka.
Sirtupelaheli kala itu berdiri termenung-menung di tepi
jembatan, la sama sekali tidak menengok, tatkala
mendengar langkah Sangaji menghampiri. Pemuda itu
jadi memperoleh kesempatan untuk mengamat-amati
perawakan tubuhnya dari belakang. Dia sebenarnya
bukan seorang pemuda bongor. Tapi betapa pun juga,
dia seorang laki-laki. Dengan rasa kagum ia mengawaskan potongan tubuh
Sirtupelaheli yang langsing gemulai. Sebagian rambutnya
yang hitam lekam bergeribik kena tiup angin senja hari
dan kulitnya yang kuning keputih-putihan seakan-akan
batu pualam. Gurunya Gagak Seta - mengesankan,
bahwa Sirtupelaheli adalah seorang wanita tercantik yang
pernah dilahirkan dunia. Pujiannya benar-benar terbukti.
Pantaslah pada zaman mudanya dahulu rumah
perguruan gurunya pernah tergoncang imannya.
Dalam pada itu, ketika tawanannya telah dibebaskan
dari belenggunya, Sangaji lantas menghampiri dan
membungkuk hormat berulangkali.
"Tuan-tuan sekalian kini bebas merdeka. Enam senjata
warisan leluhur kita ini, biarlah kami bertiga yang
menjaga. Sebab kalau sampai hilang atau kena rampas
seorang jahat, kami jadi ikut bertanggungjawab."
"Tidak-tidak begitu!" potong si Jubah hijau. "Itulah
pusaka turun-temurun kami. Biarlah kami yang menjaga.
Tuan hidup dalam perantauan. Kemungkinan hilangnya
jauh lebih besar daripada kami. Meskipun Tuan seorang
berkepandaian tinggi, mustahil dapat melawan kawanan
penjahat dengan seorang diri. Kalau sampai kena ram-
pas, bagaimana kami harus bertanggung-jawab di depan
leluhur kami kelak?"
"Pelangi Mustika Dunia adalah pusaka leluhur kami
semua," sambung Gagak Seta. "Bukan pusaka
segolongan orang. Kalau Tuan berebut hak"kamilah
sebenarnya yang lebih tepat. Sebab pusaka itu berasal
dari tanah Jawa. Kalau sekarang berada di sini artinya
seperti kerbau kembali ke kandangnya. Bagaimana
mungkin kami akan menyerahkan kepada Tuan-tuan?"
Tapi Mahendratta bertiga tidak mau mengerti. Si
Jubah hijau terus memohon-mohon. Lambat-laun Sangaji
berpikir di dalam hati. "Biarlah aku membuka matanya
sedikit. Kalau tidak tersadar sekarang, di kemudian hari
bisa menjadi penyakit." Berpikir demikian ia lantas
berkata memutuskan. "Kami sebenarnya bersedia
mengembalikan barang ini kepada Tuan-tuan. Hanya
saja kami khawatir, bagaimana cara Tuan-tuan menja-
ganya. Kepandaian Tuan-tuan masih sangat rendah.
Mustika ini pasti bakal hilang. Daripada kena rampas
orang, bukankah lebih baik berada dalam penjagaan
kami?" "Hm, bagaimana orang luar bisa merampasnya?"
Mahendratta dan Udayana berkata berbareng.
"Jika tak percaya, boleh Tuan-tuan coba," sahut
Sangaji. Ia lantas menyerahkan enam renteng pusaka
Pelangi Mustika Dunia. Si Jubah hijau girang. Tapi baru saja mengucapkan
kata terima kasih, tiba-tiba saja Sangaji menyambarnya
kembali dan merebut dengan mudah.
"Curang!" teriak Mahendratta dengan suara bergusar.
"Tuan mendahului sebelum dia memegang erat-erat."
Sangaji tertawa. "Tak apa"boleh tuan coba." Dan ia
menyerahkan enam senjata Mustika Dunia kepada
Mahendratta. Sesudah memasukkan empat renceng ke dalam
sakunya, yang dua digenggamnya erat-erat pada
tangannya. Kemudian ia memasang kuda-kudanya.
"Sekarang boleh coba!" tantangnya.
Serangan Sangaji dipapaki dengan pukulan pada
pergelangan tangan. Jurus demikian ini memang akan
berhasil terhadap lawan setaraf rekan-rekannya. Tapi
Sangaji memiliki tenaga raksasa yang berada di luar
perhitungan nalar. Dengan mudah saja, ia membalikkan
tangan. Kemudian menyambar dua renceng Pelangi Mustika
Dunia sekali renggut. Karena tenaga yang dipergunakan
sangat besar, kedua senjata itu tergoncang dan saling
berbenturan. Sudah demikian, Sangaji dengan diam-diam
mengirimkan pula tenaga dahsyatnya melalui lengan.
Tahu-tahu tenaga Mahendratta sirna larut. Kedua lengan
Mahendratta bergantungan tanpa tenaga lagi. Dan
dengan tenang, Sangaji merogoh keempat renceng
Pelangi Mustika dari dalam sakunya. Setelah itu
memungut dua renceng Pelangi Mustika lainnya, yang
runtuh di tanah akibat suatu benturan tadi.
"Bagaimana" Apakah Tuan-tuan masih ingin mencoba
lagi?" gertak Sangaji dengan suara rendah.
Paras muka Mahendratta, Udayana dan si Jubah hijau
pucat lesi. Dengan berbareng mereka berkata
gemetaran. "Kkkau kau bukan manusia. Kau setan!"
Mahendratta lalu mendahului melompat. Di luar
kesadarannya sendiri, ia roboh terguling. Udayana dan si
Jubah hijau segera menolong membangunkan. Kemudian
mendukungnya dan dibawanya lari menuruni tanjakan.
"Selamat jalan! Maafkan kami... kami telah membuat
kesalahan terlalu banyak..." seru Sangaji dari seberang
jembatan. Mereka menggerutu dan memaki-maki kalang-kabut.
Takut kalau makiannya kena didengar Sangaji, mereka
mempercepat larinya seperti diubar setan. Sebentar saja
tubuh mereka lenyap di balik tikungan jalan.
Lanjutan Bende Mataram Karya : Herman Pratikto Ebook oleh : Dewi KZ http://kangzusi.com/ atau http://
http://dewikz.byethost22.com/
MENCARI BENDE MATARAM - 3
7 GUGURNYA SEORANG PAHLAWAN
TAK TERASA TUJUH TAHUN telah lewat dengan diam-
diam. Banyak sekali yang telah terjadi. Sirtupelaheli telah
hilang dari percaturan. Gagak Seta melanjutkan peran-
tauannya seperti dahulu. Kedua pendekar angkatan tua
itu berada pada jalan hidupnya masing-masing. Dunia
seolah-olah melupakan. Tetapi sebenarnya tidaklah
demikian. Pada saatnya nanti mereka pasti dimunculkan
kembali di layar percaturan hidup oleh yang mengadakan
kehidupan ini. Juga Sangaji, Titisari, Fatimah dan Gandarpati. Mereka
ikut disembunyikan pula di balik layar. Setelah peristiwa
senja hari itu, Sangaji dan Titisari membawa Fatimah
menyeberang ke Karimun Jawa. Gandarpati dengan
sendirinya ikut serta. Di pulau itu, mereka bertemu
dengan Adipati Surengpati yang sedang menolong jiwa
Astika. Itulah kebetulan sekali. Fatimah lantas
diserahkan. Setelah berada beberapa minggu di pulau
itu, Sangaji dan Titisari balik kembali ke Jawa Barat.
Mereka menunaikan tugasnya beberapa tahun lagi. Lalu
pindah ke Jawa Tengah. Hal itu terjadi karena perubahan
kancah perjuangan tanah air.
Kemudian tahun 1821 tiba dengan diam-diam.
WAKTU ITU pesta Hari Raya Idulfitri telah lewat tiga
hari. Meskipun demikian suara keriuhan kanak-kanak
masih terdengar memecahkan kesunyian Dusun Sigaluh.
Rumah-rumah penduduk yang mencongakkan diri dari
rumpun bambu dan pohon-pohon kelapa, masih nampak
bersih terkapur. Kesannya semarak.
Sawah dan ladang yang membatasi perkampungan
itu, kelihatan penuh-penuh. Padi menjanjikan musim
Hati Budha Tangan Berbisa 9 Pusaka Golok Iblis Dari Tanah Seberang Seri Pengelana Tangan Sakti Karya Lovelydear Istana Pulau Es 7
^