Pencarian

Mencari Bende Mataram 5

Mencari Bende Mataram Lanjutan Bende Mataram Karya Herman Pratikto Bagian 5


panen yang bagus. Di pinggir pengempangan terdengar
gemercik air pegunungan yang mengalir tiada hentinya.
Itulah sebabnya, sebagian sawah yang terletak di bawah
bukit sebelah timur mulai digarap lagi.
Pada pinggang bukit itu terdapat sebuah danau kecil.
Penduduk mengairi sawah dan ladangnya dari danau itu.
Karena danau itu tidak pernah kering sepanjang musim,
penduduk menamakannya dengan Telaga Impian,
sebagai pernyataan rasa syukurnya.
Sekawanan anak nakal pada pagi hari itu, sedang
bermain-main di pinggir empang yang berair lendut.
Mereka bermain juru silam berbareng berhantam baku.
Tak peduli hawa pagi hari itu masih terasa dingin
lembap, mereka bertelanjang bulat. Mukanya dipupuri
Lumpur basah. Lalu berteriak-teriak atau menandak-
nandak seperti sekumpulan anak siluman.
Di antara mereka terdapat seorang anak laki-laki kira-
kira berumur dua belas tahun.
Perawakan anak ini tegap berwibawa.
Pandang matanya tajam. Kedua kakinya pengkuh23.
Urat-uratnya berwarna hijau kelabu dan mendosol
penuh. Ia bergaya seorang jagoan yang berani
menentang malaikat. Tiba-tiba berdiri tegak sambil
berseru nyaring : "Hayoo.... siapa berani berlomba dengan aku mencari
ikan dalam Telaga Impian. Hayoo... siapa berani?"
Setelah berkata demikian, ia melumpuri seluruh
tubuhnya. Kemudian lari mendahului mendaki bukit.
Kawan-kawannya lantas ikut serta, meskipun tiada
seorang pun yang berani menerima tantangannya.
Mereka hanya ikut berlari asal ikut saja. Mereka percaya,
bahwa sebentar lagi si Jagoan itu bakal menciptakan
suatu permainan yang menarik.
23 ) Pengkuh = kokoh Setelah tiba di tepi Telaga Impian, seorang kanak-
kanak yang sebaya umurnya mencelupkan kakinya ke
dalam permukaan air. Lalu berseru sambil menarik
kakinya. "Kau gila! Air begini dingin. Kau mau mencebur"
Nyeburlah sendiri!" "Kenapa tidak?" si jagoan menyahut. "Kau ikut nyebur
atau tidak?" "Tidak!" jawab anak itu.
"Huuu... dasar semua setan-setan pengecut!" gerutu
si jagoan kecil. "Tak ada seorang pun yang berani?"
Anak-anak menjawab koor: "Tidak."
Si Jagoan kecil itu nampak kecewa. Ia jadi uring-
uringan. Dengan mata menyala ia menatap kepada
seorang anak yang berperawakan gendut bulat. Berkata
memerintah: "Bolot! Hayo, kau saja yang ikut aku men-
cari ikan. Jangan takut! Siapa saja yang ikut Sentot, pasti
disayang Tuhan!" "Aku lebih senang mencium kakimu daripada
mencebur," sahut Bolot. "Senot! Kau seorang yang kuat.
Engkau sakti seperti Ontoseno, mana bisa kita
melawannya?" "O, begitu" Baiklah. Mari sini!" perintah Senot.
Tanpa purbasangka Bolot mendekat. Sekonyong-
konyong ia kena sambar dan dilemparkan ke dalam
telaga. Senot lalu menyusul. Telaga itu sebenarnya lebih
mirip dengan kubang air. Permukaan airnya setinggi
pundak bocah belasan tahun. Dengan demikian, tidak
membahayakan jiwa. Hanya saja airnya dingin luar biasa.
"Mati aku! Mati aku! Dinginnya luar biasa!" Bolot
mengeluh. "Kau bilang aku Ontoseno. Kau pun sakti pula!" kata
Senot. Rupanya bocah itu tidak senang apabila diumpak.
Dan kawan-kawannya yang berdiri di pinggiran, berso-
rak-sorak riuh. "Bawa saja menyilam! Bawa saja
menyilam!" teriaknya menganjurkan.
Selagi ramai bersenda gurau, terjadilah suatu
perubahan dengan tiba-tiba. Mereka tidak bersuara lagi.
Dan seperti berjanji mereka berpaling ke arah barat.
Senot heran oleh perubahan mendadak itu. Ia lantas
berdiri tegak dan melemparkan pandang ke arah
perhatian mereka. Dari celah-celah bukit muncullah tiga
orang menunggang kuda. Dusun Sigaluh boleh dikatakan terletak di tengah-
tengah barisan gunung dan bukit-bukit. Di sebelah
utaranya berdiri deretan Gunung Tugel dan Gunung
Rogojembangan. Dan di sebelah timur lautnya Gunung
Sindoro, Bhisma, Perahu dan pegunungan Dieng.
Di sebelah barat barisan bukit itu, terdapat sebuah
jalan raya ke Kota Waringin" Wonosobo. Dahulu jalan
raya itu terpelihara baik-baik. Setelah terkena serangan
banjir, lebih merupakan sebuah jalan pegunungan.
Penduduk mencoba memperbaiki sebisa-bisanya.
Meskipun tak dapat pulih seperti sediakala, tapi lumayan
juga. Pedagang-pedagang, para pembesar pemerintah
dan tentara berkuda masih menggunakan jalan itu
sebagai urat nadi perhubungan. Dengan begitu
sebenarnya kedatangan tiga orang berkuda itu, tidak
usah menarik perhatian kawanan kanak-kanak. Bukankah
mereka sering melihat rombongan orang berkuda pergi
dan datang" Tapi kanak-kanak di seluruh dunia ini cepat tertarik
kepada penglihatan pertama. Mereka yang datang itu,
terdiri dari seorang preman dan dua orang perwira.
Kedua perwira itu mengenakan sepatu tinggi. Dan yang
preman berbrewok tebal. Ia nampak gesit. Pandang
matanya terang. Usianya sekitar empat puluh tahun.
Ketiga orang itu berpakaian rapih, tapi compang-
camping tak keruan. Di sana-sini nampak debu dan
percikan darah. Terang sekali mereka habis berkelahi.
Tatkala mereka harus melintasi sebuah parit pengairan
sawah, mereka turun dari kudanya. Dan berjalan
pelahan-lahan dengan muka kuyu. Penglihatan inilah
yang menarik perhatian kawanan kanak-kanak.
Melihat kedatangan mereka, Senot dan Bolot segera
melompat ke tepi. Kemudian buru-buru mengenakan
pakaiannya kembali. Senot yang dianggap sebagai
jagoan kawan-kawan sebayanya, benar-benar paling
gagah dan berani. Dengan berdiri tegak di tepi telaga, ia
mengawaskan ketiga orang itu. Matanya bersinar tajam.
Namun mulutnya membungkam rapat-rapat.
"Letnan Johan!" kata si Brewok setelah memandang
Senot selintasan. "Tadinya aku tak percaya"bahwa di
dusun ini bersembunyi seorang pandai. Tapi sekarang,
kabar itu makin meyakinkan hatiku. Benar-benar Demang
Sigaluh tidak boleh dianggap enteng."
Orang yang dipanggil Johan itu, seorang perwira yang
berkulit kuning keputih-putihan. Dia berasal dari Menado.
Sedang kawannya, bernama Matulesi. Dia seorang
Ambon. Mendengar kata-kata si Brewok, mereka berdua
mengamat-amati Senot sambil menuntun kudanya.
Tiba-tiba di belakang mereka, terdengar suara ringikan
kuda. Serentak mereka menoleh dan melihat seekor kuda
putih lari mendatangi dengan kecepatan kilat. Suara
ringikannya tadi terang sekali masih berada jauh di
belakangnya. Begitu menoleh, tahu-tahu suatu kesiur
angin lewat di sampingnya. Lalu dengan suara berderap,
kuda itu melintasi parit pengairan dengan penung-
gangnya sekaligus. Johan dan Matulesi saling pandang dengan perasaan
kaget. Sedang kawanan kanak-kanak bersorak-sorak
kagum. Lalu seperti berjanji, mereka lari bersama
meninggalkan telaga. Begitu tiba di seberang parit, penunggangnya turun
dari kudanya. Dia seorang pemuda yang berparas sangat
cakap. Dengan menggeribiki pakaiannya ia mengusap-
usap kudanya yang putih mulus tak ubah kapok.
Johan berubah wajahnya. Dengan mulut berkomat-
kamit ia berkata berbisik kepada dirinya sendiri.
"Apakah mataku sudah lamur" Bukankah dia.... Eh,
masakan dia muncul pula di sini?"
Matulesi tak keruan pula kagetnya. Dengan mata
tajam ia mengamat-amti pemuda itu. Usia pemuda itu,
kurang lebih sembilan belas tahun. Badannya ramping
dan parasnya cakap luar biasa. Kulitnya kuning langsat.
Gerak-geriknya halus dan keayu-ayuan. Ia menuntun
kudanya, dan menghampiri gerombolan kanak-kanak
yang mengaguminya. Setelah menyiratkan pandang, ia
tersenyum manis sekali. Kemudian menggapai Senot.
Katanya lembut, "Adik kecil! Kau naiklah ke punggung
kuda ini!" Senot maju dengan hati-hati. Pandangnya bercuriga.
Sahutnya menaksir-naksir, "Aku belum kenal engkau.
Mengapa kau memanggil aku?"
Perawakan tubuh Senot hanya kalah seibu jari
tngginya daripada pemuda itu. Malahan ketegaran
tubuhnya nampak lebih kokoh. Melihat kesan itu, kawan-
kawannya menjadi berani pula. Mereka ikut mendekat.
Mendengar keangkuhan hati Senot, pemuda itu
tertawa perlahan. Suaranya nyaring merdu meresapkan
pendengaran. Sebaliknya, Senot merasa tersinggung
kehormatannya. Dengan mata melotot, ia membentak:
"Hai! Kenapa kau tertawa" Apa. yang kautertawai"
Apakah lantaran mukaku kaya badut?"
Pemuda itu masih tertawa selintasan. Sahutnya
dengan muka bersemu merah, "Siapa yang bilang
engkau bermuka badut" Mukamu tidak buruk. Malahan
menarik. Pakaianmu basah kuyup. Apakah engkau tidak
kedinginan?" "Tidak," jawab Senot dengan suara ketus, "Hanya
kawanan setan pengecut yang takut dingin. Hm... aku
kini malah merasa kepanasan kena terik matahari."
Kembali lagi pemuda itu tersenyum. Katanya
mengamini, "Benar. Aku pun merasa panas. Orang-orang
gagah memang takkan merasa kedinginan pada pagi hari
secerah ini." Setelah berkata demikian, ia mengeluarkan
saputangan dan mengusap keringat di dahinya.
Sikap Senot lantas berubah, la tertawa sambil
mengawasi. Katanya tak kurang angkuhnya, "Ya, kau
pun nampaknya orang gagah pula. Baiklah, kau boleh
menyebut diri seorang gagah. Hm"untuk apa kau
memanggil aku?" "Aku hanya ingin bertanya"dimanakah rumah
Demang Sigaluh?" Pertanyaan pemuda itu disambut dengan suara
tertawa berbareng. Kata seorang di antara mereka,
"Dialah cucu Gelondong Sigaluh. Bukankah yang kau
maksudkan: Kakek Jaga Saradenta?"
"Bukan... bukan," sahut pemuda itu. "Yang
kumaksudkan ialah Paman Sanjaya. Kabarnya dia berada
di rumah Demang Sigaluh. Dia pindah kemari dari Dusun
Karangtinalang, setelah isterinya wafat."
"Benar. Dialah putera nDoromas Sanjaya," seru anak
itu. "Mamanya Raden Mas Senot Muradi."
Pemuda itu nampak girang luar biasa. Ulangnya,
"Senot Muradi" Kalau begitu, dia benar-benar adikku.
Hayo, tolong antarkan aku kepada ayahmu!"
Senot Muradi membungkam mulut. Suara tertawanya
lenyap. Sebaliknya ia mengamat-amati pemuda itu
dengan pandang curiga. Lalu menegas. "Kau ingin
bertemu dengan ayahku?"
"Benar," jawab pemuda itu. "Bukankah ibumu Bibi
Nuraini" Nah, antarkan aku. Nanti kuperseni engkau
dengan sekantung kembang gula..."
Tiba-tiba Senot Muradi menggerakkan tangannya.
Sebelum orang sadar apa maksudnya, tahu-tahu kedua
tangannya menyambar ke arah muka pemuda itu.
Keruan saja kawan-kawannya terkejut dan mundur
bubaran. Mereka memang tahu Senot Muradi anak nakal
dan berani. Hanya saja tak pernah menduga, bahwa ia
seberani itu. Memukul seorang tetamu yang bersikap
sopan adalah sangat keterlaluan.
Pemuda itu nampaknya terkejut. Akan tetapi bibirnya
terus menyungging senyuman manis. Katanya sambil
mengibaskan sapu tangannya.
"Senot Muradi! Aku tak mempunyai waktu untuk
bermain jago-jagoan."
Hebat kibasan sapu tangannya. Sekalipun tidak
disertai tenaga penuh, namun berkelebatnya
mengejutkan Johan dan kedua temannya. Sekarang
muka Senot Muradi yang kena ancaman. Kibasan itu
menghantam muka. Cepat Senot Muradi mundur. Justru mundur, kakinya
tercebur di dalam kubangan air. Namun ia tak sudi
mengalah. Teriaknya gusar.
"Aku pun tak mempunyai waktu untuk mengantar
engkau. Ayahku tak sudi menemui siapa saja. Apalagi
engkau...!" "Belum tentu. Ayahmu tak mungkin menolak
kedatanganku," sahut pemuda itu dengan tertawa. "Dia
justru ingin bertemu dengan aku."
"Tidak mungkin! Tidak mungkin!" jerit Senot Muradi
dengan melotot. "Ayahku tak sudi bertemu dengan siapa
saja. Pergi! Pergi!"
"Senot Muradi, janganlah kau tertalu nakal," kata
pemuda itu menyabarkan. "Kau antarkan aku! Lihatlah"
aku mempunyai sekantung kembang gula."
"Apa anehnya kembang gula" Apakah aku ini anak
kelaparan sehingga ngilar melihat sebungkus kembang
gula?" bentak Senot Muradi.
"Pergi! Jangan ganggu aku! Kalau berani hayo sini
turun ke air?" Setelah berkata begitu, ia mundur ke
tengah kubang air sambil menepuk-nepuk
permukaannya.

Mencari Bende Mataram Lanjutan Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pemuda itu nampak berkerut, la jadi mendongkol.
Katanya, "Senot" Kau benar-benar anak bandel. Aku
akan memaksamu naik ke darat...."
"Boleh coba!" tantang Senot Muradi.
"Kau tak percaya?" pemuda itu tertawa geli. "Aku akan
memaksamu." Pemuda itu membungkuk dan memungut segenggam
kerikil. Dengan sekali gerak, ia mengayunkan tangannya.
Dan segenggam batu kerikil itu berhamburan ke udara.
Heran sungguh! Nampaknya ia seperti seorang pemuda
tak berdaya. Tak terduga tenaganya sangat besar.
Segenggam batu kerikil itu meluruk ke pengempangan.
Begitu runtuh di permukaan air, percikannya memukul
muka Senot Muradi. Buru-buru Senot Muradi men-
jatuhkan diri dan menyelam. Tapi air terlalu dangkal.
Benar kepalanya sudah berada di dalam permukaan air
tetapi punggungnya masih menongol. Dan pemuda itu
nampaknya seorang penyabar. Dia membiarkan Senot
Muradi menyelam sepuas-puasnya. Begitu mukanya di
angkat, kembali ia melunaki batu kerikil.
Diperlakukan begitu, Senot Muradi jadi kuwalahan. Ia
terpaksa mundur dan mundur. Karena kena dikejar batu,
tak terasa ia mundur berputar. Tahu-tahu ia sudah
meloncat tinggi ke tepi kubangan air dengan pakaian
basah kuyup. "Nah"bagaimana?" kata pemuda itu dengan tertawa.
Bolot"si Gendut"menonton pertunjukkan itu dengan
hati berdebar-debar. Meskipun tadi ia kena dijeburkan ke
dalam telaga oleh Senot Muradi, tetapi dia tetap
kawannya. Melihat kawannya kena di desak orang, ia
sangat khawatir. Tiba-tiba ia melihat Senot Muradi menggapai padanya.
Tak memedulikan apa saja, ia lantas lari menghampiri.
Untung pemuda itu tidak berniat menghajar Senot
Muradi benar-benar. Khawatir kalau timpukannya
mengenai Bolot, ia menghentikan dan membiarkan Bolot
mendekati Senot Muradi. Senot Muradi membisikkan sesuatu. Bolot
memanggut. Lalu tiba-tiba didorong pergi. Dia sendiri
lantas melompat kembali ke dalam kubang air.
Teriaknya, "Mana dapat kau memaksa aku naik ke darat"
Boleh coba! Boleh coba!"
Pemuda itu jadi mendongkol. Ancamnya, "Aku tetap
mengehendaki kau mengantarkan aku." Dan ia
menimpuk makin gencar. Mau tak mau, Senot Muradi
terpaksa berputar-putar lagi. Tahu-tahu ia sudah
melompat ke darat. Pemuda itu tertawa girang, selagi
demikian tiba-tiba ia mendengar suatu bentakan.
"Benar-benar tak tahu malu! Kenapa menggangu
kesenangan seorang anak kecil?"
Pemuda itu menoleh dan melihat si Brewok datang
menghampiri dengan muka gusar. Kedua perwira yang
berada disampingnya terkejut melihat kawannya itu maju
dengan gusar. Mereka ingin mencegah, tetapi sudah
kasep. "Aku hanya bermain-main. Kenapa kau usilan?" balas
pemuda itu. "Kau lihat sendiri apakah aku mengenai
seujung rambutnya?" "Dia memang anak nakal. Tapi apakah kau pun bukan
bocah liar?" bentak si Brewok tak menghiraukan
ucapannya. "Aku Mundingsari, tidak akan membiarkan
tindakan sewenang-wenang berlaku di depan mataku.
Senot, "kau balaslah! Gebuk padanya. Apakah aku harus
menggebuknya untukmu?"
Pemuda itu tertawa melalui hidungnya.
Gerendengnya: "Hm.... Orang gagah dari-mana kau ini,
sampai berani berlagak di sini" Bulumu masih basah
kuyup. Meskipun demikian masih berani berkokok di
depan mataku." Paras muka Mundingsari lantas menjadi merah.
Bentaknya kasar, "Binatang kecil" Kau bilang apa?"
Setelah membentak demikian, tangannya berkelebat
menghantam dada. Pemuda itu yang masih menggenggam sapu tangan,
mengibas menangkis. Buru-buru Mundingsari
menancapkan kuda-kudanya untuk menghadapi segala
kemungkinan. Tapi dia menyaksikan, bahwa tenaga
pemuda itu bukan sembarangan tatkala menimpukkan
segenggam kerikil kepada Senot Muradi. Ia menduga,
pastilah pemuda itu memiliki tenaga sakti tersembunyi.
Dugaannya ternyata tepat. Nampaknya ia hanya
mengibaskan sapu tangan. Akibatnya suatu kesiur angin
menyambar mukanya. Ia lantas menyodok memunahkan.
Cepat-cepat pemuda itu membuat suatu lingkaran
dengan sapu tangannya. Dengan mendadak ia
menangkis dengan tangan kiri. Dan sapu tangannya
menyapu muka. Mundingsari terpaksa mundur selangkah. Dengan
menggunakan tenaga sakti, ia menyambut kibasan itu
dengan suatu tamparan. Itulah jurus membuka jendela
melihat rembulan. Dalam segebrakan, kedua orang itu
sadar bahwa lawannya bukan orang sembarangan.
Tetapi bila diamat-amati, ilmu kepandaian Mundingsari
setingkat lebih rendah daripada pemuda itu. Lewat
segebrakan lagi, ia kena diundurkan beberapa langkah.
Melihat kedua orang itu bergebrak makin lama makin
seru, gerombolan kanak-kanak itu berdiri berpencaran
jauh-jauh. Mereka menonton sambil bertepuk sorak.
Bolot yang basah kuyup juga ikut berdiri menonton di
antara kawan-kawannya. Tiba-tiba Senot Muradi
mendeliki. Dan kena pandang yang mengerikan itu, Bolot
lantas menangis sambil lari pulang.
"Aku pulang... Aku pulang! Awas kau Senot....
Kubilangkan ayahmu..."
Kawan-kawannya pada heran mendengar dan melihat
Bolot menangis pulang. Apa sebab dia menangis tak
keruan" Mereka tahu"meskipun dia bukan sebandel
Senot tapi pun tidak gampang-gampang menangis.
Apalagi sampai menjadi pengecut cengeng. Sungguh!
Belum pernah mereka melihat Bolot jadi seorang
pengecut cengeng. Tetapi mereka tak dapat berpikir
berkepanjangan. Perhatian mereka segera terenggut oleh
jalannya pertempuran. Tatkala itu, tiga serangan berantai Mundingsari dapat
dipunahkan oleh pemuda lawannya. Dan pemuda itu
membalas satu serangan. Juga serangannya dapat
dielakkan Mundingsari. Setiap kali Mundingsari maju,
pemuda itu dapat mendesaknya ke tempatnya kembali.
Sebaliknya setiapkali pemuda itu bergerak maju, ia kena
dipukul mundur pula. Dia memang berada di atas angin.
Tapi tak dapat segera menjatuhkan lawannya. Dengan
demikian, kedua-duanya belum memperoleh kesempatan
untuk memutuskan menang kalahnya.
Diam-diam Mundingsari mengeluh. Sebagai seorang
kenamaan yang sudah berumur sekitar empat puluh
tahun, ia merasa malu sekali tak dapat menjatuhkan
lawannya semuda itu. Padahal dia sudah bertempur
beberapa waktu lamanya. Dalam jengkelnya, ia lantas
mengeluarkan ilmu simpanannya yang bernama: pukulan
Arca. Hebatnya tak terkatakan. Setiap pukulannya
mengandung angin dahsyat. Tetapi dengan begitu,
terpaksa ia menggunakan tenaga yang berlebih-lebihan.
Sesudah lima gerbrakan, pemuda itu tiba-tiba berkata
nyaring: "Maaf"aku tak mempunyai waktu untuk
melayani kau. Sampai di sini saja!"
la melesat tinggi ke udara dan hinggap di atas
kudanya. Kemudian melarikannya secepat kilat memasuki
desa. Inilah suatu kegesitan luar biasa. Baik Mundingsari
maupun kedua temannya, berdiri tertegun keheranan.
Terang-terangan"pemuda itu menang di atas angin. Apa
sebab tiba-tiba kabur melarikan diri" Pasti dia menggeng-
gam maksud tertentu. Tatkala itu Senot Muradi sudah naik ke darat. Dengan
menepuk-nepuk tangan, ia berseru nyaring: "Bagus!
Inilah baru pertarungan bagus sekali!"
Muka Mundingsari merah padam.
"Senot! Apakah ayahmu berada di rumah?"
"Kau pun menanyakan ayahku?" sahut Senot Muradi
dengan melototi. Tiba-tiba tangannya menghantam dada
Mundingsari. Mundingsari cepat-cepat mengelak. Kakinya
menggaet. Dan Senot Muradi roboh terjengkang. Tapi
begitu jatuh si Bandel meletik bangun dengan gagahnya.
"Apakah kau yang bernama Mundingsari, seorang
pendekar bekas bawahan Ayah?" ia bertanya.
"Benar," Mundingsari menyahut sambil memanggut-
manggut. "Jadi kau masih ingat aku?"
Sebenarnya Senot Muradi belum lagi dilahirkan di
dunia tatkala Mundingsari menghamba kepada Pangeran
Bumi Gede. Mundingsari adalah salah seorang pendekar
Pangeran Bumi Gede. Hanya saja empat tahun yang lalu
ia pernah datang mengunjungi ayah Senot di
Karangtinalang. Ia menginap satu malam. Sebagai
kenang-kenangan ia mengajari sejurus ilmu menggaet
kepada Senot Muradi. Itulah sebabnya, begitu kena gaet
dan jatuh terjengkang, bocah itu segera teringat kembali
pada malam menerima ajaran jurus tersebut. Ia lantas
mengamat-amati Mundingsari. Dahulu ia tidak
berberewok seperti sekarang. Tetapi setelah mengamat-
amati sejenak, ia lantas tertawa riang :
"Benar... engkau adalah kakakku. Bukankah aku
berhak memanggilmu kakak setelah kau mengajari aku
beberapa jurus ilmu pukulan kosong?"
Lega hati Mundingsari mendengar pertanyaan Senot
Muradi. Ia membalas dengan tertawa bersyukur. "Benar,
aku memang kakakmu seperguruan."
"Kau tadi memukul dengan tiga jurus berantai
terhadap pemuda sombong itu. Dia kena kauundurkan
setiap kali hendak merangsak maju. Kau ajari aku tiga
jurus itu!" Mundingsari tertawa terbahak-bahak sambil
menggeribiki percikan lumpur akibat sambaran tangan
Senot Muradi yang kotor. Kemudian menyahut :
"Adik Senot! Kau bocah jempolan. Selang dua tahun
lagi, kakakmu bukan lagi tandinganmu. Baiklah aku
berjanji akan mengajarimu. Mari kita berangkat
sekarang!" "Kau bertiga?" sahut Senot Muradi menegas.
"Benar," jawab Mundingsari. "Kedua perwira ini
sahabat-sahabatku. Mereka bernama Letnan Johan dan
Matulesi." Mendengar pembicaraan itu, Letnan Johan dan
Matulesi kagum pada si Bocah. Ia belum boleh dikatakan
cukup umur, namun pengetahuannya tentang ilmu silat
tak tercela. Malahan pengetahuannya berada di atas
mereka. Mereka berdua lantas datang menghampiri
mengulurkan tangan. Di luar dugaan, si Bandel tidak sudi mengangsurkan
tangannya. Ia hanya melirik seakan-akan seorang
pembesar tinggi. Sama sekali ia tak melihat pula.
Katanya kepada Mundingsari, "Kak Mundingsari! Lantaran
memandang mukamu, aku akan mengantarkan engkau
menghadap Ayah. Akan tetapi apakah Ayah mau
menemuimu atau tidak, jangan salahkan aku."
Mundingsari tertawa geli dalam hati. Pikirnya, dia
masih bocah ingusan. Tapi gayanya seperti seorang
pendekar kawakan. Sebaliknya dua orang perwira yang
terbentur tembok, mendongkol hatinya melihat sikap
Senot Muradi. Tentu saja, ia tak dapat melampiaskan
rasa mendongkolnya di depan Mundingsari. Terpaksa
mereka menelan mentah-mentah.
Sambil menuntun kudanya, mereka bertiga mengikuti
Senot Muradi. Setelah berjalan kurang lebih setengah
jam, sampailah mereka pada jalan pedusunan yang
berliku-liku. Ternyata dusun yang dihampiri bukan Dusun
Sigaluh. Tetapi suatu perkampungan sendiri yang
memencil. Letaknya dibawah bukit. Sebuah rumah batu
berbentuk benteng kuno nampak menjulang tinggi di
antara rumpun pohon. Pekarangannya luas. Dan di
depannya terdapat beberapa batang pohon kamboja.
Mundingsari dan kedua kawannya segera
menambatkan kudanya masing-masing. Kemudian
menghampiri sebuah pintu masuk yang tertutup rapat.
Senot Muradi kala itu sudah mendahului masuk dengan
berlari-lari sambil berseru: "Ayah! Kakak Mundingsari
datang berkunjung, la kini berberewok."
Tetapi seruan itu tiada yang menjawab. Di dalam
rumah sunyi senyap. Tiada yang terdengar berkutik.
Senot Muradi berpaling kepada tetamunya. Berkata
mengajak : "Kak Mundingsari, mari! Mari masuk!"
Mundingsari dan kedua perwira itu lalu memasuki
ruang depan. Pada dinding sebelah kanan, mereka
melihat tiga coretan kecil. Coretan kecil itu merupakan
suatu rangkaian gambar. Gambar sebuah keris, jala
berkembang dan bende. Melihat tanda gambar itu, Mundingsari terkesiap.
Terang sekali gambar itu baru saja tergambar pada
dinding. Entah siapa yang membuat. Segera ia
mengelanakan pandangnya ke seluruh pendapa. Ia
memberanikan diri untuk menjenguki kamar-kamar.
Semuanya kosong dan tiada sesuatu yang terganggu
atau kena sentuh tangan jahil.
"Mungkin sekali gambar itu tanda pengenal seorang
penjahat yang terlalu percaya kepada kemampuannya
sendiri," kata Letnan Johan.
Mendengar kata-kata Letnan Johan, Senot Muradi
bersenyum merendahkan, la seperti hendak berkata,
bahwa hal itu cukup terang benderang. Apa perlu
dikatakan. "Mungkin sekali tanda pengenal yang ditinggalkan


Mencari Bende Mataram Lanjutan Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pemuda tadi," kata Letnan Johan lagi.
"Benar!" Letnan Matulesi menyambung. "Mundingsari!
Sembilan bagian pasti dia!"
"Pemuda itu berilmu tinggi," Letnan Johan mengakui.
"Apakah tidak mungkin sahabat yang hendak kau temui
kena dibinasakan olehnya?"
"Mana bisa!" bentak Senot Muradi. "Meskipun ayahku
bercacat kaki tapi untuk membunuh penjahat semacam
pemuda tadi gampangnya seperti membalikkan tangan-
nya sendiri. Apalagi, disamping Ayah masih ada Kakek.
Kau bilang ayahku, kena dibinasakan pemuda tadi. Hm,
apakah kau hendak main coba-coba adu kepandaian de-
ngan Ayah?" Letnan Johan jadi naik darah. Mukanya merah padam.
Segera ia hendak melampiaskan rasa gusarnya. Tetapi
Mundingsari sempat mencegah dengan menarik lengan-
nya ke samping. Kemudian berkata membujuk kepada
Senot Muradi. "Maksud Letnan ini baik sekali, la tidak pernah
mengatakan, bahwa ilmu kepandaian ayahmu rendah."
Senot Muradi tetap memberengut. Hatinya masih
tersinggung. Mundingsari yang mengenal keadaan
ayahnya, memaklumi. Seperti diketahui, Sanjaya kena
senjata berbisa ayah angkatnya sendiri, tatkala sedang
mengadu kepandaian dengan pendekar Kebo Bangah.
Dengan tak sengaja, butiran senjatanya mengenai
kakinya. Untuk merebut jiwanya, Wirapati memangkas
kutung kaki kanannya. Kemudian ia dibawa pergi Nuraini
ibu si Bocah itu. "Adik Senot!" kata Mundingsari lagi. "Coba kau
masuklah dahulu. Ayahmu sudah pulang atau belum.
Kami menunggu di sini. Besok pagi aku akan
mengajarimu tiga pukulan berantai. Dari jauh kakakmu
ini datang. Masakan kau main bersungut-sungut terus-
menerus?" Mendengar kata-kata Mundingsari, Senot Muradi
tertawa. "Kak Mundingsari! Aku ingat, kau gemar minum-
minuman keras. Waktu itu kau mengajari aku dengan
diam-diam. Hampir-hampir ketahuan Ayah. Baiklah Kakek
Jaga Saradenta mempunyai simpanan arak buatan
sendiri. Nanti kucurikan barang sebotol. O ya kami masih
mempunyai simpanan daging babi hutan."
"Aduh! Babi hutan?" Mundingsari mengambil-ambil
hati. "Babi hutan di sini terkenal ganas. Pastilah engkau
sendiri yang membunuhnya."
Mendengar sanjungan yang nyaman itu, Senot Muradi
menjadi puas sekali. Ia lantas berjalan dengan langkah
ringan. Katanya menambahi kegagahannya, "Babi hutan
di sini memang biadab sekali. Entah sudah berapakali ia
mencelakai orang-orang kampung. Ini adalah salah
seekornya yang paling kecil."
"Ah!" Mundingsari memperlihatkan rasa kagumnya.
"Kalau begitu engkau pernah membunuh yang lebih
besar!" Senot Muradi tertawa senang. Lalu mempersilakan
duduk ketiga tetamunya dalam ruang tengah. Ia sendiri
terus berjalan ke belakang dengan mengangkat
mukanya. Setelah pintu ditutup, tak terdengar lagi
langkah kakinya. "Bocah itu berkepala besar. Entah bagaimana
ayahnya," gerendeng Letnan Johan. "Mundingsari apakah
pendekar besar yang kau sebutkan adalah ayahnya?"
"Tak salah," sahut Mundingsari. "Dalam rumah ini
berdiam dua orang pendekar yang namanya pernah
menggetarkan dunia. Yang satu seorang berusia tua,
bekas Demang Sigaluh. Namanya Ki Jaga Saradenta.
Yang lain Raden Mas Sanjaya putera almarhum Pangeran
Bumi Gede." "Apakah benar-benar kita dapat mengharapkan
bantuan mereka?" "Itu tergantung kepada nasib kita belaka," sahut
Mundingsari. "Ki Jaga Saradenta sebenarnya sudah
menutup pintu, lantaran usianya sudah terlalu lanjut.
Sedang Raden Mas Sanjaya tidak bersemangat lagi
setelah kematian isterinya. Kalau sekarang masih
mempunyai kemauan hidup, semata-mata mengingat
pendidikan anaknya dan ketenangan hidup ibunya."
"Kalau begitu, apa perlu kau mengajak kami kemari?"
Letnan Johan tidak puas. "Urusan kami ini perlu mendapat pertolongan secepat
mungkin. Sekiranya mereka sudah tak bersemangat lagi,
bukankah perjalanan ini jadi sia-sia?"
"Mungkin sekali dengan mengingat diriku, Raden Mas
Sanjaya akan mengulurkan tangan," Mundingsari
menghibur. "Sekiranya kau berdua merasa kurang tepat
mengharap pertolongannya. Baiklah kalian mencari orang
lain saja! Aku sendiri tidak dapat melihat jalan lain lagi."
Kedua perwira itu saling memandang dengan
membungkam mulut. Mereka lantas menarik kursi dan
duduk dengan menghempaskan diri. Sekian lamanya
mereka menunggu, tetapi Senot Muradi belum muncul
juga. Mereka lalu membuka baju luarnya dan membedaki
lukanya dengan obat bubuk baru.
"Bangsat bertopeng itu, benar-benar hebat!"
terdengar Letnan Matulesi berkata setengah mengeluh.
"Di antara puluhan orang, ternyata kau sendirilah yang
tidak menderita luka."
"Sekalipun demikian, bukan berarti aku bebas dari
ancaman bahaya," tangkis Mundingsari. "Hampir-hampir
saja aku kena sabet pedangnya."
"Apakah salah seorang dari pendekar yang mendiami
rumah ini bisa melawan bangsat bertopeng itu?" Letnan
Johan minta diyakinkan. "Ki Jaga Saradenta adalah guru pendekar yang paling
besar pada zaman ini. Dan Raden Mas Sanjaya adalah
saudara angkat pendekar yang paling besar pada zaman
ini. Kalau salah seorang dari mereka berdua mau tampil
mengulurkan tangan semuanya akan menjadi besar,"
jawab Mundingsari dengan suara mantap.
"Kau menyebut orang pendekar paling besar pada
zaman ini sampai dua kali berturut-turut. Sebenarnya
siapakah dia?" "Kuterangkan atau tidak, apakah faedahnya," kata
Mundingsari dengan suara malas.
Kedua perwira itu tak berani terlalu mendesak. Mereka
lantas membicarakan kegagahan orang yang di sebut
sebagai bangsat bertopeng itu.
"Jika gagal, habislah sudah seluruh jiwa sanak-
keluargaku," Letnan Johan mengeluh sedih. "Ya,
Tuhan.... malapetaka begini mengapa justru meluruki
aku." "Karena itu, satu-satunya jalan hanya menjauhkan
harapan kepada dua pendekar yang mendiami rumah
ini," tungkas Letnan
Matulesi. "Kita masih beruntung bisa sampai di sini
dan berusaha. Karena itu, janganlah kau meramalkan
dahulu yang jelek-jelek."
Mundingsari bersikap dingin. Agaknya ia mendongkol
mendengar pembicaraan mereka yang seolah-olah tidak
menghargai jasanya. Selagi demikian, mendadak pintu
dalam terjeblak lebar dan muncullah Senot Muradi. Anak
itu melompat masuk dengan mulut terkunci rapat. Kesan
mukanya tidak mengenakkan hati.
Mundingsari terkejut. Melihat Senot Muradi datang
tidak membawa botol arak dan daging babi hutan seperti
yang dijanjikan, ia segera bersikap hati-hati. Tanyanya
mencoba : "Adik"kau kenapa?"
"Kak Mundingsari! Sebenarnya kau menghargai
persahabatan atau tidak?"
"Eh"apa katamu?" Mundingsari berdiri dari kursinya
dengan pandang menebak-nebak.
"Kalau kau menghargai persahabatan kita, coba
terangkan maksud kedatanganmu ini. Kalau kau tidak
mau menerangkan, aku akan bilang kepada Ayah agar
tak usah menemui kalian," sahut Senot Muradi dengan
nada gusar. "Kau tahu ayahmu kini berada dimana?" Mundingsari
menegas. "Tentu saja aku tahu," jawab Senot Muradi ketus.
"Nah, katakan dan terangkan dengan jelas. Kau hendak
mengajak ayahku bertempur melawan siapa?"
Heran Mundingsari mendengar ucapan anak itu. la tak
tahu bahwa bocah itu sendiri mencari ayahnya ubek-
ubekan. Setelah sekian lamanya mencari dan ayahnya
tiada nampak, dalam otaknya yang kecil timbullah suatu
dugaan. Pastilah menghilangnya ayahnya mempunyai
hubungan rapat dengan kedatangan tetamu-tetamu itu.
Juga kedatangan pemuda tadi. Ia lantas balik ke ruang
tengah. Tepat pada saat itu, ia mendengar pembicaraan
Letnan Johan dan Letnan Matulesi perkara bangsat
bertopeng. Ia jadi curiga. Apakah mereka hendak
mengajak ayahnya kena celaka pula" Itulah sebabnya, ia
lantas menegur Mundingsari yang dikenalnya.
Beberapa saat lamanya, Mundingsari berbimbang-
bimbang. Ia melirik kepada dua perwira itu. Kemudian
menjawab perlahan. "Baiklah"sekalipun kau masih kanak-kanak"tetapi
engkau lain bila kuban-dingkan dengan bocah-bocah
yang pernah kutemui. Aku akan berbicara terus terang
kepadamu." Ia mendeham dua tiga kali. Setelah memandang
kedua perwira temannya berjalan, meneruskan: "Letnan
Johan dan Letnan Matulesi ini masing-masing adalah
komandan peleton kompi B yang berada di Cirebon. Aku
diminta mereka untuk ikut mengawal barang angkutan
ke Magelang. Tadinya kami bermaksud melalui jalan raya
Semarang. Tapi berhubung jalan dimana-mana dilanggar
banjir, kami lantas memutuskan melalui jalan
Purwokerto-Magelang. Letnan Johan membawa tiga
puluh anak buah. Letnan Matulesi tiga puluh dua orang.
Eh, sama sekali tak terduga, bahwa setelah sampai di
sebelah timur Banyumas, angkutan kami yang berisi
uang bernilai ratusan ribu ringgit, kena dirampas oleh
seorang penjahat yang mengenakan topeng."
"Kak Mundingsari! Engkau pendekar gagah semenjak
kau ikut Ayah. Apakah kau tak sanggup melawan?"
potong Senot Muradi. Mundingsari tertawa pedih. Sahutnya dengan muka
bersemu merah: "Adik! Kalau aku bisa melawan dia,
perlu apa aku datang kemari. Kedua perwira ini,
menderita luka. Anak buahnya tersapu bersih. Ditawan
atau dibunuh. Hanya kita bertiga masih beruntung, bisa
merangkak-rangkak sampai di sini."
"Kalau begitu, penjahat itu tangguh luar biasa!" Senot
Muradi jadi tertarik. "Benar. Itulah sebabnya aku berani mengganggu
ketenteraman ayahmu. Aku datang kemari untuk
memohon pertolongan Beliau. Kalau ayahmu tidak
mengulurkan tangan siapa lagi yang bisa membekuk
penjahat itu?" Betapapun juga, hati Senot Muradi ikut berbangga
mendengar ayahnya disanjung puji. Tetapi dia ternyata
seorang anak yang cukup cerdik dan tebal firasatnya. Ia
lantas mundur ke ambang pintu sambil berkata: "Kak
Mundingsari! Kau ternyata tidak sayang kepada seorang
sahabat." "Tak sayang bagaimana?" Mundingsari tak mengerti.
"Kau sudah tahu"Ayah seorang cacat kaki. Cacat ini
diperoleh karena menghamba pemerintah. Karena itu
Ayah kini benci kepada semua yang berbau pemerintah.
Apalagi dengan segala pembesar yang suka menjilat-jilat
pantat. Apa sebab engkau kini datang dengan bertujuan
hendak mengajak Ayah menolong seorang budak
Belanda yang kehilangan barangnya" Seumpama Ayah
bercelaka di tangan orang bertopeng itu, apakah kedua
pembesar ini akan berduka cita" Huh! Mana bisa begitu.
Tidak, aku tidak akan mengijinkan Ayah ikut campur!"
Mundingsari dan kedua perwira itu terbelalak. Mereka
terlongong mendengar ucapan si anak di luar dugaan.
Selagi terlongong demikian, tiba-tiba mereka tersadar
oleh suara gabrukan pintu yang keras. Ternyata Senot
Muradi melompat masuk dan menutup pintu rapat-rapat
sebelum ketiga tetamu sadar dari rasa kagetnya.
Daun pintu itu terbuat dari kayu besi setebal satu kaki.
Selain dilengkapi dengan gerendel, diganjal palang
melintang terbuat dari balok. Kalau sudah diganjal,
biarpun lima orang takkan kuat mendorong sehingga bisa
terbuka. Mundingsari dan kedua perwira itu buru-buru
menghampiri pintu itu. Mereka mencoba mendorong.
Selagi berkutat, pintu masuk di belakang tertutup pula.
Mereka kaget setengah mati. Dengan satu lompatan
mereka memburu pintu masuk. Tapi pintu ini pun sudah
kena diganjal pula. Dengan begitu kini mereka kena
terkurung seakan tiga ekor binatang galak. Mereka jadi
mendongkol sekali. "Adik Senot! Adik Senot!" Mundingsari mencoba
memanggil dengan nada bujukan.
Mereka mendengar langkah ringan berlari-larian kian
menjauh. Tahulah mereka, bahwa Senor Muradi justru
lari menjauhi begitu mendengar panggilan itu. Kedua
perwira itu jadi uring-uringan.
"Anak jahanam!" Letnan Johan memaki lantaran
mendongkolnya. Lalu ia menubruk pintu. Namun pintu
sama sekali tak bergeming. Rekannya mencoba
membantu. Setelah berkutat sekian lamanya, tahulah
mereka bahwa usaha itu sia-sia belaka. Mereka lantas
memaki kalang kabut.

Mencari Bende Mataram Lanjutan Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ruang yang mirip ruang tengah itu, tidak berjendela.
Di atas hanya terdapat sebuah lubang angin. Lubang
angin itu menghadap ke dalam. Karena itu lebih tepat
kalau dinamakan lubang keluar masuknya hawa.
Letnan Johan dan Letnan Matulesi gusar bukan main.
Sesudah memaki kalang kabut, mereka menggerendengi
Mundingsari "Mengapa mengajaknya kemari."
Kata Letnan Johan "Kau sudah tahu" sahabatmu itu
benci kepada semua hamba negeri. Apa sebab kau
membawa kami datang kemari?"
"Pastilah dia golongan penjahat pula,"
Letnan Matulesi menguatkan. "Mundingsari,
sebenarnya apa maksudmu ini?"
Paras muka Mundingsari berubah menjadi gusar.
Jawabnya dengan suara keras: "Saudara berdua jangan
berkata yang bukan-bukan! Kalian tahu siapakah yang
mendiami rumah ini! Kedudukannya dahulu lebih tinggi
daripada majikan kalian."
Mendengar keterangan Mundingsari, kedua perwira itu
kaget berjingkrak. Serentak mereka bertanya minta
keterangan: "Siapa" Kau bilang sebagai sahabatmu. Kau
menyebut-nyebut seorang Demang. Yang mana"yang
berkedudukan tinggi melebihi majikan kami?"
Melihat kesangsian mereka, Mundingsari tersenyum.
"Yang tua memang hanya seorang Demang. Artinya dia
mengepalai sepuluh atau lima belas kepala kampung.
Kalian berdua hanyalah seorang komandan peleton yang
mengepalai beberapa puluh orang. Dibandingkan dengan
kedudukkan-nya, dia lebih tinggi daripada kedudukan
kalian berdua. Dan yang lain adalah putera seorang
Pangeran. Artinya dia cucu Sultan yang memerintah
kasultanan Jogjakarta. Kalian berdua tidak bisa
dibandingkan. Seorang Kolonel Belanda tidak berani
gegabah menghadapi dia," ia berhenti mengesankan.
Meneruskan dengan suara ditekan-tekan. "Dia bernama
Raden Mas Sanjaya. Ilmu kepandaiannya tinggi pula.
Mula-mula belajar pada Ki Hajar Karangpandan.
Kemudian diam-diam berguru kepada pendekar besar
Pringgasakti. Setelah cacat kaki, dia mewarisi sebagian
ilmu sakti saudara angkatnya yang menggemparkan
seluruh dunia. Kalian tahu siapakah saudara angkatnya
itu?" "Siapa?"
"Dialah Sangaji. Di Jawa Barat dia disebut Gusti Aji.
Karena dialah raja yang menguasai laskar Himpunan
Sangkuriang yang menggetarkan jantung Kompeni
Belanda. Masakan kalian tak tahu?" kata Mundingsari
dengan mulut mengulum ejekan.
"Sangaji," kedua perwira itu terkejut sampai mukanya
pucat. '"Tak salah! Sangaji"seorang pendekar besar pada
zaman ini. Jangan lagi manusia yang terdiri dari darah
daging. Iblis pun tak berani menyebut-nyebut namanya,"
sahut Mundingsari dengan suara menang.
Letnan Johan dan Letnan Matulesi makin nampak
pucat. Keringat dingin membasahi sekujur badannya.
Manusia di penjuru pulau Jawa ini, siapakah yang tak
pernah mendengar nama Sangaji"
Mereka tadi mendengar pula, bahwa Demang Sigaluh
Ki Jaga Saradenta adalah guru saudara angkat penghuni
rumah ini. Kalau begitu, bukan sembarang orang.
Raden Mas Sanjaya dikabarkan sebagai saudara
angkat Sangaji. Pada zaman mudanya ia berjuang di sisih
Kompeni Belanda sebagai lawan Sultan HB II. Ke-
dudukannya sangat tinggi di mata pemerintah Belanda.
Teringat kata-katanya yang tidak enak terhadap tuan
rumah, mereka merasa resah sendiri.
Mereka melihat Mundingsari duduk bersandar pada
dinding dengan bersenyum-senyum tanpa mengeluarkan
sepatah kata lagi. Sikap diamnya kian meresahkan hati
mereka. Setelah saling pandang beberapakali akhirnya Letnan
Johan berkata minta maaf.
"Saudara Mundingsari. Kami memang mempunyai
mata, tetapi ternyata lamur. Kami tak tahu, bahwa
saudara sebenarnya seorang berilmu tinggi yang tak mau
menonjolkan diri. Kalau tidak, mustahil bisa bersahabat
dengan kedua tuan rumah ini. Kami menyesal atas
perlakuan kami yang Kurang baik terhadap saudara."
Permintaan maaf ini mempunyai latar belakangnya. Ia
dan Letnan Matulesi dipercayai mengawal tiga laksa
ringgit untuk uang belanja kompeni yang berada di
Magelang. Sultan Kanoman dari Cirebon menyarankan,
agar pengawalan ditambah dengan seorang yang
bernama Mundingsari. Dia adalah seorang pendekar
kenamaan. Sudah barang tentu saran Sultan Kanoman ini
memperoleh perhatian Komandan Kompeni B. Komandan
itu menyetujui. Sebaliknya mereka berdua jadi mendongkol. Mereka
berdua mempunyai anak buah pilihan hampir mendekati
enam puluh lima orang. Semuanya bersenjata dan
merupakan peleton yang sudah berkali-kali berperang.
Masakan perlu mendapat bantuan tenaga seorang lagi"
Apalagi tenaga itu seorang preman. Tetapi di depan
komandannya, tak berani mereka membuka mulut.
Sebelum berangkat, mereka mengadakan penyelidikan
terlebih dahulu sebenarnya siapakah Mundingsari itu.
Hasil dari penyelidikan itu menyatakan, bahwa Munding-
sari hidup tak lebih daripada seorang rakyat jelata. Sama
sekali ia tak ternama. Meskipun demikian, mereka harus
menerima tenaganya. Kalau menolak dengan terang-
terangan, mereka bisa dipelototi komandannya.
Di sepanjang jalan, mereka bersikap dingin terhadap
Mundingsari yang dianggapnya sebagai. saingannya. Di
luar dugaan, Mundingsari ternyata mempunyai kepandai-
an yang sangat tinggi. Pada waktu terjadinya
perampokan, hanya dia seorang yang dapat bertempur
puluhan jurus melawan penjahat bertopeng tanpa
mendapat luka. Sekarang ia pun mempunyai hubungan
rapat dengan putera Pangeran Bumi Gede yang
menyembunyikan diri di Dusun Segaluh. Kalau dia
memang saudara angkat Sangaji yang menggemparkan
persada bumi Jawa Barat, memang orang itu merupakan
pilihan yang paling tepat untuk mengatasi kesukarannya.
Penjahat bertopeng itu boleh hebat. Tapi menghadapi
saudara angkat guru Sangaji, masakan berani banyak
bertingkah. Mundingsari bersenyum mendengar permintaan maaf
mereka. "Ah, Tuan Letnan jangan bicara begitu. Aku hanya
seorang rakyat jelata. Mana bisa tingkatanku sejajar
dengan Tuan-tuan." Setelah berkata demikian, ia
bersandar pada tembok sambil memejamkan matanya.
Hati kedua perwira tambah tidak enak, mendengar
istilah tuan. Sebenarnya ingin mereka minta keterangan
hubungannya dengan Ki Jaga Saradenta dan Sanjaya.
Akan tetapi setelah mendengar nada suaranya yang
tawar, mereka tak berani membuka mulut lagi.
Pada saat itu, otak Mundingsari sedang meraba-raba
teka-teki yang terjadi pada diri Sanjaya. Ia kenal siapa
Sanjaya. Dialah putera Pangeran Bumi Gede yang dahulu
bercita-cita besar. Benarkah putera pangeran itu, kini
membenci semua yang berbau pembesar negeri"
Berkumpulnya Sanjaya dengan Ki Jaga Saradenta dalam,
satu rumah, sebenarnya sudah merupakan suatu
pertanyaan besar semenjak beberapa tahun yang lalu.
Apakah alasannya" Ia merasakan sesuatu yang mengerikan. Tetapi tak
tahu apa yang menyebabkan ngeri itu. Apakah dia sudah
kena bujuk Sangaji" Apakah dia berada di Sigaluh karena
pesan istrinya" Apakah karena Senot Muradi kini menjadi
murid Ki Jaga Saradenta" Pertanyaan yang lain-lain
saling susul menyusul, lenyap tanpa jawaban.
Hai! la mengeluh di dalam hati, Kalau Raden Mas
Sanjaya kini bukan Raden Mas Sanjaya yang dahulu ini
artinya aku mencari penyakit sendiri.
Memang semenjak runtuhnya perjuangan Pangeran
Bumi Gede, ia pulang ke Cirebon. Ia menyekap diri.
Karena itu, tak tahu perkembangan yang terjadi. Ia
hanya mendengar khabar selentingan. Raden Mas
Sanjaya cacat kakinya akibat senjata ayahnya sendiri.
Lalu kawin dengan Nuraini. Dari perkawinan itu, lahirlah
Senot Mi radi. Ia pun pernah membuktikan. Kabar itu
ternyata benar. Hanya saja ia tak tahu, bahwa Sanjaya
dahulu bukanlah Sanjaya sekarang. Dia kini benci kepada
pemerintah Belanda dan segalanya yang berbau
pembesar negeri. Mungkin sekali, karena ia kecewa di
dalam hidupnya. Angan-agannya dahulu bubar buyar
kena diruntuhkan satu kenyataan.
Memperoleh pikiran demikian, ia mengeluh lagi di
dalam hati. Ia menyesali diri sendiri, apa sebab mau
menerima tugas pengawalan ini. Memang setelah hidup
kembali menjadi orang preman, ia harus memperhatikan
dua hal. Yang pertama: butuh perlindungan. Dalam hal
ini Sultan Kanoman yang menguasai daerah tempat ia
menumpang hidup. Yang kedua: uang untuk bekal hidup
tenteram. Dan kedua-duanya ini dipenuhi oleh tugas
pengawalan itu. la ditunjuk Sultan Kanoman berbareng
menerima upah besar. Itulah sebabnya, ia tak me-
medulikan sikap kedua perwira temannya berjalan.
Di sepanjang jalan ia mengadakan perhubungan
dengan pendekar-pendekar yang menguasai wilayah-
wilayah tertentu. Kenalannya memang banyak. Selain
para pendekar, juga para begal. Dengan demikian,
kereta kawalannya selamat tiada yang mengganggu.
Sebaliknya Letnan Johan dan .Letnan Matulesi
menganggap amannya perjalanan itu berkat keangkeran
pasukannya. Waktu itu hari raya sedang meriah-riahnya.
Mereka berdua lantas menghambur-hamburkan hadiah,
sambil menggenderangkan berita bahwa pasukannya
merupakan peleton pilihan. Di Banyumas mereka
beristirahat. Tiba-tiba datanglah segerombol pengemis
minta sedekah. Pengemis itu berkata, bila memberi
sedekah kepada mereka, perjalanan akan selamat.
Letnan Johan dan Letnan Matulesi tersinggung. Mereka
memberi perintah kepada anak buahnya agar mengusir
dan menggebuki segerombol manusia yang tak tahu adat
itu. Di luar dugaan, gerombolan pengemis itu pergi
dengan meninggalkan suara nyaring.
Sebagai seorang pendekar berpengalaman,
Mundingsari menaruh curiga. Ia menduga akan terjadi
suatu akibat yang jelek. Maka buru-buru ia menghadap
kedua letnan itu agar memanggil gerombolan itu kembali
untuk minta maaf! Tentu saja, rasa harga diri kedua letnan itu kian
tersinggung. Dengan suara keras mereka berkata: "Kami
kau suruh minta maaf kepada gerombolan pengemis" Eh,
sebenarnya kau ini siapa sampai berani berkata lancang
di depan kami?" Mundingsari tak sudi berbicara lagi. Ia lantas
memasuki kamarnya dan mengunci pintunya dari dalam.
Keesokan harinya, setelah menyeberangi tikungan Kali
Serayu, segerombolan begal yang mengenakan pakaian
pengemis menghadang di tengah jalan. Dan
pertempuran segera terjadi dengan sengit.
Mula-mula Mundingsari bersikap acuh tak acuh. Tetapi
setelah melihat kedua perwira itu terancam bahaya,
segera ia memacu kudanya dan menghantam empat
pembegal yang bersenjata golok, dengan pedangnya, la
berhasil mengundurkan mereka dan menolong kedua
perwira itu. Selagi demikian, tiba-tiba seorang penjahat
bertopeng datang dengan memacu kudanya. Dia
bersenjata sebatang tongkat panjang. Dengan sekali
sabet, pundak kedua perwira itu kena dilukai.
Mundingsari melompat melindungi mereka. Suatu
benturan terjadi dengan dahsyat. Sesudah bertempur
seru kurang lebih tiga puluh jurus, pedang Mundingsari
somplak sebagian. Penjahat bertopeng itu tertawa terbahak-bahak.
Katanya nyaring, "Kau boleh dihitung seorang gagah.
Nah, pergilah! Aku takkan mengusik kulitmu!"
Setelah berkata begitu, ia menarik kendali kudanya
dan menjauhi Mundingsari. Dengan cepat ia
menghampiri tiga kereta yang penuh uang. Setelah tiga
kali menghantam dengan tongkatnya, lapisan kereta itu
pecah. Isinya berantakan dan berhamburan di tanah.
Anak buahnya segera mengumpulkan dan memunguti
hamburan uang itu. Dalam pada itu"enam puluh dua anak buah peleton"
kena terbunuh atau tertawan. Habislah sudah
keangkeran peleton Kompeni B yang dibangga-
banggakan kedua perwiranya. Letnan Johan dan Letnan
Matulesi kala itu, tiada berdaya. Mereka
Penjahat bertopeng itu tertawa terbahak-bahak.
Katanya nyaring: "Kau boleh dihitung seorang gagah.
Nah, pergilah! Aku takkan mengusik kulitmu!"
jatuh tertelungkup mendekami tanah. Buru-buru,
Mundingsari merampas dua ekor kuda dan diserahkan
kepada mereka berdua. "Lari sebelum kasep."
Dengan menguatkan diri, mereka melompati
punggung kudanya. Dan melarikan diri dengan petunjuk
Mundingsari. Di sepanjang jalan Mundingsari memutar
otaknya menebak-nebak siapakah penjahat bertopeng
itu. Teringatlah dia, bahwa wilayah itu termasuk daerah
kekuasaan Demang Sigaluh. la tahu pula, bahwa Raden
Mas Sanjaya berada pula di sana. Kalau dua pendekar itu
sudi mengulurkan tangan, penjahat bertopeng yang
berhasil merampas uang negara bukan merupakan soal
lagi. Sama sekali tak terduga, bahwa kedua pendekar itu
membenci segala yang berbau pembesar negeri. Sikap Ki


Mencari Bende Mataram Lanjutan Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jaga Saradenta dapat dimengerti. Sebab semenjak
mudanya ia bermusuhan dengan Belanda. Tetapi Raden
Mas Sanjaya adalah lain. Benarkah dia ikut-ikutan
membenci pembesar negeri"
Sekarang ia berada di dalam rumahnya. Ki Jaga
Saradenta tidak muncul. Raden Mas Sanjaya tidak
menampakan batang hidungnya. Sedang pintu kena
terganjel dari luar oleh si bocah nakal. Benar-benar sial!
Selagi melamun demikian, tiba-tiba ia mendengar
suara Letnan Matulesi : "Bocah.... Bocah baik itu, kenapa belum juga balik
kemari" Bisa-bisa.... kita mati kelaparan di sini."
Sebenarnya ia ingin mengutuk Senot Muradi. Tapi ia
menguasai diri. Mundingsari tertawa geli. Ia membuka matanya. Di
luar lubang angin tiada nampak lagi cahaya terang. Siang
sudah berganti petang" Ia pun sebenarnya merasa lapar
juga seperti kedua perwira itu. Cepat-cepat ia duduk
bersemedi menenteramkan hati.
Diam-diam Mundingsari berkuatir. Dusun Sigaluh tidak
boleh dikatakan terlalu besar. Tapi mengapa Senot
Muradi belum berhasil menemukan ayahnya" Apakah dia
tidak mencarinya" Atau apakah ayahnya menjumpai
suatu perkara pelik! Teringatlah dia kepada kedatangan
pemuda tadi pagi. Pemuda itu memang gagah. Tetapi tak
mungkin dia bisa mengalahkan Raden Mas Sanjaya atau
Ki Jaga Saradenta andaikata sampai terjadi suatu
perselisihan. Kalau begitu, mengapa kedua-duanya
belum juga pulang" Petang kini sudah benar-benar memasuki malam hari.
Ruang menjadi gelap ketat.
Hawa dingin mulai menyusup kulit, dan daging. Makin
lama makin tajam. Itulah suatu tanda, bahwa malam hari
kian merangkak-rangkak lebih jauh.
Kedua perwira itu menarik kursinya dan dipipitkan
kepada dinding. Mereka lantas saling berdesakan untuk
memperoleh hangat. "Saudara Mundingsari!" bisik Letnan Johan.
"Ada apa?" sahut Mundingsari.
"Sebenarnya bagaimana hubunganmu dengan majikan
rumah ini?" Letnan Johan minta keterangan.
"Empat tahun yang lalu, pernah aku datang kemari,"
jawabnya. "Celaka!" Letnan Johan terkejut. "Kalau begitu,
hubunganmu tidak serapat kusangka. Aku khawatir,
mereka tidak hanya tidak sudi menolong tapi pun
membiarkan kita bertiga mati kelaparan di sini.
Sebenarnya, apa sebab mereka membenci pemerintah
Belanda?" Mundingsari mendongkol berbareng geli. Jawabnya
dengan suara tawar: "Ki Jaga Saradenta adalah seorang
pendekar besar. Raden Mas Sanjaya adalah putera
seorang pangeran. Jika mereka menghendaki jiwa kita,
tidak perlu menggunakan akal bulus dengan membiarkan
mampus kelaparan di sini."
Kedua perwira itu menegakkan badannya. Terdengar
Letnan Johan berkata dengan suara gemetaran: "Kau...
kau bilang apa" Mereka memang menghendaki jiwa
kita?" Mundingsari tertawa bergerak. "Orang-orang yang
mati di dalam tangannya adalah orang-orang besar yang
mempunyai nama. Orang-orang semacam kita ini, tidak
cukup berharga untuk mati di dalam tangannya. Kalian
tak usah khawatir!" "Tapi kenapa mereka tidak mau melepaskan kita?"
Letnan Matulesi menyambung. "Malahan si Bocah.... si
Bocah baik itu, tidak muncul lagi. Pastilah dia menerima
kisikannya." "Bagaimana aku tahu?" Mundingsari membalas
dengan suara geram. Baru saja kedua perwira itu hendak membuka mulut,
tiba-tiba lubang angin di atas nampak suatu sinar cerah.
Semangat hidup mereka lantas terbangun. Sekonyong-
konyong mereka mendengar suara tertawa aneh mirip
jeritan seekor babi kena sembelih. Dan mendengar bunyi
suara demikian, bulu roma mereka bergidik.
"nDoro Mas Sanjaya!" terdengar suara seseorang.
"Benar-benar nikmat hidup bersembunyi di tengah dusun
yang sunyi ini. Hampir-hampir putus asa kami
mencarimu." Hati Mundingsari tercekat. Tahulah dia sekarang
Sanjaya sudah pulang. Siapakah tetamu yang memiliki
suara begitu jelek" Menilik lagu suaranya, dia bersikap
memusuhi. Sebagai seorang yang berpengalaman, segera ia
merasakan suatu ancaman bahaya. Segera ia menekan
pergelangan tangan kedua perwira itu agar jangan
bersuara atau berkutik. Ia sendiri lantas menumpuk dua
kursi pada tembok. Kemudian dengan hati-hati berdiri
mengintip di atasnya"melalui lubang angin.
Kamar yang berada disebelah merupakan kamar
gandok tempat penerima tetamu. Di tengah-tengah
kamar terdapat sebuah meja bundar dan empat kursi
pendek setengah bangku. Di pojok berdiri sebuah almari
besar. Tiga orang duduk di atas kursi berhadap-hadapan.
Yang menghadap ke arah Mundingsari adalah Sanjaya.
Waktu itu usia Sanjaya sekitar tiga puluh tujuh tahun, la
masih nampak cakap seperti pada zaman mudanya.
Angkar dan berwibawa. Tetamunya yang duduk di
sebelah kirinya berkepala luar biasa besarnya dan
berperawakan pendek kecil. Kesannya lantas aneh dan
lucu, yang berada di kanannya seorang yang berwajah
beku. Kedua pipinya menonjol ke atas. Sekilas pandang
tahulah Mundingsari, bahwa orang itu pasti memiliki
suatu keistimewaan yang tersembunyi. "Sebenarnya
apakah maksud kedatangan Tuan-tuan kemari?" Sanjaya
bertanya sabar setelah mendeham beberapa kali.
"Hampir lima belas tahun, nDoromas menyekap diri di
pedusunan. Meskipun cita-cita kita dahulu gagal, namun
Sultan yang bertahta sekarang masih teringat padamu."
Sanjaya tertawa perlahan melalui hidungnya. Katanya
malas: "Sewaktu kita mengadakan gerakan, Sultan yang
bertahta sekarang baru belajar merangkak-rangkak."
"Benar," sahut si Kepala gede dengan cepat. "Tetapi
nDoromas tahu, bahwa Sultan Jarot mempunyai
perwalian yang terdiri dari tiga orang. Gusti Patih
Danurejo IV, Raden Tumenggung Pringgadiningrat dan
Raden Tumenggung Mertanegara. Beliau bertiga inilah
yang selalu teringat kepada keberanian dan kepandaian
nDoromas. Tiga kali, kami berdua diperintahkan mencari
nDoromas. Tapi tiga kali pula kami gagal. nDoromas
ternyata sudah lama pindah dari Desa Karangtinalang.
Hai, tak tahunya nDoromas hidup begini senang di
tempat ini. Kami mengetahui, bahwa hidup tanpa ikatan
adalah senang. Tetapi sesudah lima belas tahun
menganggur, sudah semestinya kini nDoromas
membantu pekerjaan Beliau bertiga."
Sanjaya menatap wajah mereka dengan mata berkilat-
kilat seakan-akan ingin menjenguk isi perutnya. Meskipun
dia hidup memencil di sebuah dusun, pergolakan yang
terjadi di kota raja diketahuinya belaka. Semenjak
Gubernur Daendels memerintah di Batavia, istana
Jogjakarta terguncang hebat. Patih Danureja II
membantu Daendels menjatuhkan Sultan Sepuh. Sultan
HB III lantas naik tahta. Tetapi tatkala Inggris
menggantikan pemerintahan, Sultan Sepuh diangkat
kembali menjadi raja. Dan Sultan HB III diturunkan dari
tahta dan menduduki tempatnya semula sebagai Adipati
Anom. Akibat dari pergantian-pergantian Sultan ini,
terjadilah pengikut-pengikut yang saling bersaing dan
bermusuhan. Patih Danureja II mati terbunuh. Sebagai
penggantinya Adipati Sindurejo diangkat menjadi patih
oleh Sultan Sepuh. Lalu mulailah suatu pembersihan.
Kemudian Inggris datang lagi, Sultan Sepuh dibuang ke
Penang. Dan HB III diangkat kembali menjadi Sultan.
Patih Sindurejo dipecat dan kedudukannya diganti oleh
Raden Tumenggung Sumadipura"bupati Jipang" dan
kemudian bergelar Patih Danurejo IV. Pemerintahan baru
ini mengadakan pembalasan dendam terhadap pengikut-
pengikut Sultan Sepuh. Tiba-tiba Sultan HB III wafat
pada tanggal 3 November 1814. Dan kegoncangan
terjadi lagi. Sultan Jarot lantas naik tahta. Lantaran
masih belum cukup umur, pemerintahannya diwakili tiga
orang Menteri. Orang berkepala gede dalam pada itu, tertawa haha
hihi. "Negara memang kacau balau semenjak sepuluh
tahun yang lalu. Sekarang, meskipun Sultan Jarot sudah
akil baliq, kekuasaannya masih menyangsikan. Itulah
sebabnya Gusti Patih teringat kepada panglimanya
dahulu yang pernah mengguncangkan pemerintahan
Sultan Sepuh. Tegasnya kami khawatir, bahwa Beliau
tidak akan mengijinkan nDoromas Sanjaya hidup terus
secara begini." "Saudara Taker Urip dan Ampyak Siti," kata Sanjaya.
"Saudara berdua keliru alamat. Sekalipun berada di
tengah-tengah dusun sesunyi ini, kebetulan aku tahu
bahwa orang-orang yang mendampingi Gusti Patih tidak
terhitung jumlahnya. Semuanya berkepandaian tinggi.
Sedangkan saudara Taker Urip dan Ampyak Siti
merupakan dua tiang agung penjaga kesejahteraan Gusti
Patih. Apakah gunanya manusia seperti aku ini yang
sudah buntung kakinya. Kecuali itu aku mengetahui pula,
bahwa negara kini sudah aman tenteram. Karena itu,
saudara keliru bila berkata bahwa negara kini masih
dalam keadaan kacau balau. Sungguh! Aku kurang
mengerti kata-kata kalian berdua."
Kata-kata Sanjaya bernada sopan-santun, tetapi tajam
tak ubah sebatang golok tajam. Dan Ampyak Siti orang
yang berwajah beku"lantas tertawa terbahak-bahak.
Katanya sambil mendongak ke atap, "nDoromas Sanjaya!
Kami adalah orang-orang yang berisi perut lurus dan
tidak biasa berbicara berputar-putar tak keruan
juntrungnya. Apakah nDoromas Sanjaya tahu, bahwa Sri
Paku Alam telah menyerahkan kekuasaan pemerintahan
satu tahun yang lalu kepada Sultan Jarot" Ha, inilah
soalnya, apa sebab kami datang mencari nDoromas."
Sanjaya semenjak mudanya memiliki otak yang hidup.
Kedua tetamu itu boleh licin. Tapi dibandingkan dengan
keenceran otaknya, mereka belum nempil. Ia tahu"
pemerintah Inggris dahulu"tidak menyetujui perwalian
tiga orang itu. Pangeran Natakusuma (Sri Paku Alam)
ditunjuk untuk menggantikan mereka bertiga. Sudah
barang tentu, mereka bertiga bersakit hati. Sekarang ia
mendengar kata-kata Taker Urip dan Ampyak Siti yang
mengesankan sebagai utusan Patih Danurejo IV. Dengan
cepat saja, ia lantas tahu kedudukan mereka berdua.
"Sudah sepuluh tahun lebih aku hidup mengasingkan
diri," kata Sanjaya dengan tenang. "Sebagai rakyat
pegunungan, aku tak tahu menahu lagi perkara
pemerintahan. Lebih-lebih urusan keluarga raja. Karena
itu, rasanya kalian berdua salah alamat, apabila kalian
berdua mengajak aku untuk membicarakan urusan
pemerintahan." "Ada yang berkata"diam-diam"nDoromas Sanjaya
meninggalkan kawan perjuangan lama dan dengan diam-
diam pula menjagoi Sultan Jarot. Benarkah itu?"
"Siapa yang menjadi raja, bagi aku tiada bedanya. Aku
seorang rakyat pegunungan. Kalau sudah dapat hidup
tenang dan tenteram, apa lagi yang hendak
kuharapkan?" Taker Urip"si Kepala gede"tertawa terkekeh-kekeh.
Katanya sambil menyemburkan ludah: "Kalau begitu"
benarlah kata orang. Kau memang menjagoi Sultan baru
itu. Sebenarnya, apa sih yang kauharapkan dari Sultan
yang masih berbau kanak-kanak itu?"
Suara tertawa dan lagu kata-kata Taker Urip benar-
benar tidak sedap dalam pendengaran. Betapa Sanjaya
berusaha menguasai hatinya, tak urung mukanya terasa
panas. Dengan menerkam pinggiran meja, ia menjawab
dengan suara keras : "Jika Gusti Patih Danurejo IV sangsi kepadaku"perlu
apa dia mengirim kalian berdua kemari" Panggil saja aku
ke kota raja dengan suatu surat perintah. Bukankah lebih
gampang untuk membunuh aku?"
"nDoromas berbicara terlampau berat," tungkas
Ampyak Siti dengan suara dingin. "Justru Gustu Patih
percaya kepadamu, Beliau memberi perintah kami
berdua untuk mencarimu. Itulah membuktikan betapa
bijaksana tindakan Gusti Patih. Coba"pertimbangkan
baik-baik. Pemerintah Inggris sudah gugur. Kini tak dapat
lagi ikut campur urusan pemerintahan Kasultanan. Inilah
saatnya yang baik untuk menunjukkan gigi. Mumpung
kekuasaan Sultan Jarot belum kuat," ia berhenti
mengesankan. Kemudian meneruskan, "nDoromas
Sanjaya seorang pejuang di sisi almarhum Gusti Patih
Danurejo II. Otak nDoromas cemerlang. Terus terang
saja, Gusti Patih Danurejo IV membutuhkan tenagamu..."
"Itu benar," Taker Urip menguatkan. "Tadi aku
berkata, bahwa negara dalam keadaan kacau balau
semenjak sepuluh tahun yang lalu. Bukan karena kena
kericuan pergantian pemerintah di Batavia, tapi karena
urusan dalam negeri. Terus terang saja, Gusti Patih
sekarang lagi menyusun suatu kekuatan untuk
membersihkan penjahat-penjahat yang berlindung di
belakang Sultan sekarang. Sekiranya Gusti Patih tidak
menganggap nDoromas sebagai orang sendiri, tak
mungkin Beliau mengijinkan kami berdua untuk berbicara


Mencari Bende Mataram Lanjutan Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkepanjangan mengenai urusan keruwetan dalam
negeri kepada nDoromas."
Mendengar keterangan Taker Urip, darah Sanjaya
makin bergolak. Dia sekarang memang bukan Sanjaya
dahulu yang kemaruk kekuasaan. Semenjak hidup di
tengah desa bersama Nuraini dan semenjak bergaul agak
rapat dengan Sangaji dengan guru-gurunya, penglihatan
hidupnya sudah berubah. Ia merasakan suatu kekotoran
yang menjijikkan bila seseorang membicarakan perkara
angan-angan kekuasaan. Itulah sebabnya, saking
bergusarnya ia duduk tak bergerak dengan mata berkilat-
kilat. Taker Urip tidak memedulikan keadaannya. Ia tertawa
haha-hehe seperti orang gendeng. Berkata lagi dengan
suara dikecilkan: "Dahulu"sewaktu nDoromas dan
almarhum Pangeran Bumi Gede"mengalami malapetaka,
kami berdua terpaksa membantu Gusti Patih Danurejo II
mati-matian, alangkah berat! Tapi sekarang, aku boleh
bersyukur. Karena tidak lama lagi, nDoromas akan
menggantikan tugasku. nDoromas Sanjaya! Janganlah
kau berpura-pura! Jabatan yang hendak nDoromas
pangku, sangat tinggi dan mulia martabatnya. Inilah
surat keputusan Perwalian Sultan. Coba dengar!"
Mengangkat Pangeran Sanjaya dalam jabatannya semula
sebagai pengganti almarhum ayahnya... Coba dengar!
nDoromas disebut sebagai pangeran . Artinya, nDoromas
diakui sebagai putera Sultan entah yang keberapa..."
Makin hebat pergolakan darah Sanjaya. Dadanya
serasa akan meledak. Betapa goblok seseorang"pastilah
akan segera mengerti"bahwa si Penulis surat perintah
itu merencanakan hendak menggulingkan Sultan
sekarang. Kemudian"belum-belum"sudah mengangkat
dirinya menjadi puteranya dengan sebutan pangeran. Ah,
dia sudah yakin akan berhasil menggulingkan tahta
kerajaan, pikir Sanjaya dengan hati menggigil.
Mundingsari yang berada di belakang dinding, terkejut
mendengar pembicaraan itu. Sanjaya dahulu semasa
perjuangan Patih Danurejo II berkedudukan sebagai
panglima perang. Taker Urip dan Ampyak Siti
menerangkan, bahwa Sanjaya akan menggantikan
kedudukannya. Kalau begitu, mereka berdua ini panglima
laskar kepatihan. Menjabat sebagai panglima perang,
tidaklah mudah. Paling tidak, ilmu kepandaiannya harus
tinggi. Memang, mereka berdua adalah dua pendekar kelas
berat. Pada zaman Patih Danurejo II, mereka merupakan
pendekar andalan disamping Pringgasakti. Dengan
mengandalkan pukulan-pukulannya yang berbisa, mereka
pernah mematahkan lengan dua belas pengawal
kepatihan. Itulah sebabnya nama mereka dengan cepat
dikenal orang. Taker Urip"si Kepala gede"mahir dalam ilmu
pedang. Meskipun potongan tubuhnya lucu seperti badut,
namun gesit luar biasa. Sedang Ampyak Siti termasyur
dalam ilmu pukulan kosong.
Tatkala itu paras muka Sanjaya merah padam. Dengan
sengit ia memotong kata-kata Taker Urip. "Surat
pengangkatan itu, tak berani aku menerima. Kau
bawalah pulang!" "Apakah kurang tinggi," Taker Urip menegas.
"Seorang yang boleh dikatakan cendekiawan tidak
boleh bekerja hanya menuruti kemauan majikannya.
Sebaliknya dia akan membimbing majikan itu ke jalan
yang benar," sahut Sanjaya. "Ingin aku bertanya kepada
kalian berdua. Kalau negara pecah"kalau persatuan
rakyat retak pecah, apakah yang kalian kerjakan"
Mencoba mempersatukan kembali atau justru meniup api
untuk mengobar-obarkan nafsu pertentangan?"
Kedua orang itu terkejut. Inilah suatu pertanyaan yang
tajam luar biasa. Mereka tak pernah menduga, bahwa
pertanyaan demikian akan meletus dari mulut Sanjaya.
Itulah suatu kecaman yang terlalu berani terhadap kedua
belah pihak. Baik pihak Patih Danurejo IV maupun pihak
Sultan Jarot. Tapi begitu hilang kagetnya, Taker Urip tertawa
terbahak-bahak. Katanya, "Ah, benar-benar suatu
kemajuan. Rupanya nDoromas Sanjaya kini banyak
membaca buku, sehingga kata-katanya lebih menyerupai
seorang sasterawan yang lemah. nDoromas Sanjaya
terasa saja, pembicaraan tadi sebenarnya menyeleweng
jauh dari suatu tata-santun."
"Apa?" bentak Sanjaya dengan mata mendelik.
"Perebutan tahta antara Sultan Sepuh dan Sultan
Raja, siapa pun tak berani diungkiri. Kalau pengikut-
pengikutnya masing-masing pihak kini meneruskan cita-
cita pemimpinnya, bukankah sudah wajar," jawab Taker
Urip dengan suara keras. "Inilah suatu kenyataan yang
tak dapat dicegah atau dihalang-halangi. Sebab
semuanya kini, sejarah yang menghendaki. Seorang
ksatria akan tetap setia kepada satu majikan. Dan bukan
berpindah-pindah dan membunglon. Sekarang jawablah
terus terang, sebenarnya siapakah majikanmu?"
"Aku majikan dari diriku sendiri," jawab Sanjaya
dengan suara dingin. "Kau belum puas" Baik,
kuterangkan. Aku ini tak lebih dan tak kurang hanya
seorang rakyat kecil yang kebetulan hidup di tengah
dusun sunyi. Sudah kukatakan tadi, bagiku siapa yang
menjadi penguasa tidak menjadi soal. Aku toh tetap
membayar pajak." Taker Urip menggaruk-garuk kepalanya. Ia benar-
benar kuwalahan menghadapi seorang yang gagah dan
cemerlang otaknya. Akhirnya dengan suara terpaksa, ia
berkata pula: "Baiklah nDoromas berhak sepenuhnya
menentukan keputusannya sendiri. Memang manusia ini
kalau bisa, ingin menjadi majikan atas dirinya sendiri.
Sebaliknya kami berdua ini memang budak-budak tak
mempunyai guna-faedah. Bagaimanakah cara kami nanti
memberi laporan kepada Gusti Patih?"
Sanjaya hendak menyumbangkan pikirannya. Tiba-tiba
Ampyak Siti tertawa melalui dadanya. Kata si Wajah beku
itu, "Aku bukan seorang peramal. Tapi satu hal aku bisa
bilang. Jika Sultan Jarot berhasil menancapkan
pengaruhnya ada seorang besar yang bakal mati tanpa
liang kubur." "Siapa?" Sanjaya terkejut.
"Pangeran Diponegoro," jawab Ampyak Siti dengan
suara pasti. "Mengapa Beliau?"
"Siapa saja tahu"Pangeran Diponegoro sebenarnya
ingin pula naik tahta menggantikan kedudukan
ayahandanya." "Bohong!" bentak Sanjaya dengan suara gemetar.
"Itulah fitnah!"
Ampyak Siti tertawa haha-hehe beberapa saat. Lalu
berkata, "Fitnah atau bukan, tetapi begitulah suara
orang." "Hm, siapa saja tahu, bahwa padamnya gerakan kita
dahulu disebabkan munculnya Pangeran Diponegoro.
Coba tidak ada dia, Sultan Sepuh atau Sultan Raja akan
runtuh," Sanjaya mempertahankan.
"Bagus!" teriak Ampyak Siti dengan suara setengah
bersorak. "nDoromas sekarang tahu, bahwa di dalam
Kasultanan terjadi tiga pihak yang kelak akan saling
berhantam. Pihak satu, Sultan Jarot dengan begundal-
begundalnya termasuk kompeni Belanda. Pihak kedua,
Gusti Patih dengan bantuan kompeni Belanda yang
insyaf. Dan pihak ketiga Pangeran Diponegoro. Karena
Pangeran Diponegoro ikut terancam, pastilah Beliau akan
bergabung dengan Gusti Patih. Karena itu... Kau
sekarang berpihak pada yang mana?"
Sanjaya mengerinyitkan dahi. Ia benar-benar jadi
sibuk. Kata-kata Ampyak Siti memang tajam luar biasa.
Orang itu tahu, bahwa ia bermusuhan dengan Pangeran
Diponegoro. Beberapakali pernah ia mengadu kekuatan
senjata dalam medan peperangan. Pihaknya yang selalu
kalah. Menurut jalan pikiran yang lurnrah, sedikit banyak
ia menggenggam dendam. Tetapi ia teringat
kata-kata Sangaji. Bahwa yang membuat kegelapan ini
adalah Belanda. Karena itu musuh utamanya harus Belanda. Itulah
sebabnya Sangaji mengangkat senjata dengan
memimpin seluruh perjuangan rakyat Jawa Barat. Dan
Pangeran Diponegoro adalah musuh Belanda. Pikirnya,
bukan mustahil yang meniup-niupkan kabar bohong ini
akal Belanda. Aku tak percaya, bahwa Beliau berangan-
angan ingin menjadi raja.
Pada saat itu, ia mendengar Taker Urip berkata
membujuk: "nDoromas! Kau terima saja pengangkatan
Gusti Patih ini. Percayalah Pangeran Diponegoro akan
berpihak kepada Gusti Patih. Kalau Pangeran Diponegoro
berada di pihak kita, pahlawan siapa lagi yang dapat
diandalkan Sultan Jarot?"
Tiba-tiba paras muka Sanjaya berubah. Ampyak Siti
yang hendak membuka mulutnya, mengurungkan
niatnya. Ia memasang telinga.
"Siapa?" tanyanya setengah berbisik.
Sanjaya menghela napas. Katanya setengah
menggerendeng: "Ah, hari hampir mendekati tengah
malam. Siapa lagi yang datang ini?"
Mundingsari yang sedang mengintip di belakang
lubang angin, melihat Taker Urip dan Ampyak Siti
menyimpan surat pengangkatan yang dibawanya.
Setelah dimasukkan ke dalam saku, Taker Urip berkata:
"nDoromas Sanjaya! Celaka atau selamat, kini berada di
dalam keputusanmu. Terserah!"
Sesudah berkata demikian, ia menarik lengan
kawannya dan diajaknya bersembunyi di belakang
almari. Dan menyaksikan gerak-gerik mereka,
Mundingsari jadi keheran-heranan. Tatkala itu, Sanjaya
berdiri dengan tertatih-tatih. Perlahan-lahan ia berjalan.
Kaki kanannya yang buntung terselu-bung pipa celana
yang panjang. Duk! Duk! ftulah suara bamboo penyambung kakinya.
Nampaknya ia dapat menggerakkan kakinya tanpa suatu
kesukaran. Tiba di ambang pintu, segera ia menjeblak
daunnya. Lalu menyambar obor. Kerut wajahnya nampak
seram. Sekonyong-konyong berbareng dengan suatu
gemeresak, dua bayangan berkelebat memasuki pintu.
Mereka mengenakan pakaian seragam. Gerakan mereka
luar biasa cepatnya. Kepandaian mereka terang berada di
atas Taker Urip dan Ampyak Siti yang berkesan licik.
Sanjaya membungkuk memberi hormat. Kedua tetamu
itu tertawa terbahak-bahak. Kata yang seorang, "Ah kita
sesama kalangan sendiri. Tidak perlu menggunakan
adat-istiadat berlebihan."
"Hampir lima belas tahun aku sudah mendengar nama
Sanjaya yang termasyur. Orangnya baru malam ini aku
kenal," kata yang lain.
Sambil menekan pinggiran lubang angin, Mundingsari
menjenguk lebih tinggi lagi untuk memperoleh
penglihatan yang agak luas. Orang yang berbicara
pertama kali, seorang laki-laki berwajah cakap. Pera-
wakan tubuhnya singsat. Sedang yang lain, seorang laki-
laki berberewok berperawakan tinggi besar.
"Kangmas Wiranegara!" sahut Sanjaya kepada orang
yang berperawakan singsat. "Siapakah sahabat ini"
Mataku kini sudah lamur."
Orang yang disebut Wiranegara tertawa berkakakan.
la lantas memperkenalkan.
"Dialah wakil komandan Kompeni Belanda yang
berada di Jogjakarta. Gampangnya dialah orang
kepercayaan Residen Nahuys. Namanya Merta Sasmita.
Dengan dimas Sanjaya memang baru untuk pertama kali
ini bertemu muka. Tapi seperti katanya sendiri, nama
dimas sudah dikenalnya semenjak lama."
Sanjaya tertawa seraya berkata: "Ah! Benar-benar
malam ini aku seperti kejatuhan bintang. Bukankah
saudara Merta Sasmita komandan kompeni yang dahulu
berkuasa di Cirebon" Dialah satu-satunya seorang bumi
putera yang bisa berpangkat kapten. Kalau tidak besar
jasanya, betapa mungkin dapat menduduki tempat
setinggi itu." Mundingsari terkejut. Wiranegara adalah komandan
pasukan istana Jogjakarta. Sedang Merta Sasmita
memang satu-satu orang Jawa yang berpangkat Kapten.
Dia merupakan singa ganas. Tegasnya seorang
pembunuh besar yang dilindungi undang-undang. Semua
orang berasal dari Cirebon mengetahui belaka
keganasannya. Sekarang dua orang komandan tentara
datang menemui Sanjaya. Pastilah menggenggam tugas
yang maha penting. Dan memperoleh pikiran demikian,
hati Mundingsari berdenyutan.
"nDoromas Sanjaya!" seru Merta Sasmita dengan
tertawa pula. "Mulai sekarang, kita adalah teman-teman
seperjuangan di sisi pemerintah Belanda. Pemerintah
Inggris sudah masuk kubur. nDoromas Sanjaya semenjak
dahulu terkenal berotak tajam. Kami berdua
membutuhkan petunjuk-petunjukmu. Ijinkanlah aku
memberi hormat padamu."
Sanjaya terkesiap. Cepat ia melompat ke samping
untuk menghindari pemberian hormat Merta Sasmita.
"Saudara Merta Sasmita! Apa artinya ini?" tanyanya
menegas. "Firman Sri Baginda Sultan Jarot ada di sini. Harap
nDoromas Sanjaya menerimanya dengan baik," kata
Merta Sasmita. Kapten Merta Sasmita bisa menggunakan
adat pergaulan istana dengan manis. Ia tetap memanggil
Sanjaya dengan ndoromas sebagai penghargaan
keturunan darah.

Mencari Bende Mataram Lanjutan Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mundingsari yang berada di dalam kamar kurungan
menjadi bingung. Dalam beberapa waktu saja, di
depannya tergelar dua firman yang masing-masing
menyatakan suatu kekuasaan yang terakui.
"Sebenarnya apa yang telah terjadi di kota raja?"
pikirnya di dalam hati. "Yang pertama firman dari
perwalian pemerintahan Kasultanan. Yang kedua, firman
Sultan Jarot. Apakah antara Sultan dan perwalian
pemerintahan terjadi suatu perselisihan?"
Pada waktu itu, Sanjaya menerima surat firman Sultan
dengan kedua belah tangannya, la membuat sembah
terlebih dahulu. Kemudian dikembalikan lagi ke tangan
Kapten Merta Sasmita. Katanya setelah menyembah lagi:
"Aku mohon dengan sangat, sudilah saudara berdua
memaafkan. Aku tak berani menerima firman itu.
Cobalah beri penjelasan dahulu, agar aku dapat
mengerti." Mundingsari sekarang jadi mengerti. Memang lantaran
Sultan Jarot masih muda perwalian pemerintahan berada
pada tangan Patih Danurejo IV, Tumenggung Pringga-
diningrat dan Tumenggung Mertanegara. Tetapi
kemudian Inggris tidak menyetujui. Yang ditunjuk adalah
Pangeran Natakusuma yang sekarang menjadi Sri Paku
Alam I. Kemudian menyerahkan pemerintahan kepada
Sultan Jarot pada tanggal 27 Januari 1820, setelah
dewasa. Semenjak itu Sultan Jarot berhak penuh
membuat surat-surat pengangkatan atau surat perintah
yang lazim sebagai surat firman raja.
Tatkala itu Wiranegara nampak terkejut. Berkata
dengan suara tinggi. "Dimas Sanjaya adalah putera seorang pangeran yang
berani melawan Sultan Sepuh. Dan Sultan Jarot sekarang
adalah putera Sultan Raja. Kalau Sultan Jarot kini masih
ingat akan jasamu, itulah suatu bukti bahwa baginda
menghargai perjuanganmu. Apa sebab engkau menolak
firman Sri Baginda?"
Sanjaya tidak menjawab. Ia mendengarkan
keterangan Wiranegara dengan sikap tenang. Dalam
telinganya, kata-kata Sangaji masih terdengar nyata. Ia
harus berhati-hati menghadapi siasat adu domba
pemerintah Belanda. Sekarang ia melihat, Kapten Merta
Sasmita datang dengan membawa surat firman Sultan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Apakah tidak mungkin akal licin pemerintah Belanda"
Kalau benar sebuah firman yang terlahir dari Sultan Jarot
yang tulus bersih, apa sebab tidak utusan hamba
sahajanya" Benar, Wiranegara adalah komandan tentara
istana. Tetapi kedudukannya masih menyangsikan.
Sebagai seorang yang pernah bekerjasama dengan
Belanda, ia segera mencium keadaan yang tidak beres.
Hanya saja masih samar-samar.
"Dimas Sanjaya, dengarkan!" kata Wiranegara.
"Sekarang ini Sultan Jarot sudah memerintah penuh-
penuh. Kata-katanya adalah undang-undang. Pemerintah
Belanda menyetujui. Bahkan kini menaruhkan
detasemennya di tengah-tengah kota untuk menjaga
istana. Untuk apa detasemen ini" Semuanya ini demi
menjaga tindakan Patih Danurejo IV yang mungkin
bersakit hati. Tapi meskipun penjagaan sudah cukup
kuat, Sri Baginda ternyata masih ingat kepadamu.
Kuulangi lagi keteranganku. Kalau Dimas tidak
mengangkat senjata melawan Sultan Sepuh, tak mungkin
ayahanda Baginda berkesempatan naik tahta. Itulah
sebabnya Sultan Jarot mengirimkan kami berdua
meninjau rumahmu." Sanjaya tertawa pahit. Hatinya seperti tersayat apabila
diingatkan kepada tingkah lakunya dahulu mengangkat
senjata melawan Sultan Sepuh. Itu semua adalah akibat
bujukan ayah-angkatnya Pangeran Bumi Gede"yang
bersekutu dengan Patih Danurejo II. Setelah sadar, ia
menyesali perbuatan itu. Ia bersumpah tidak akan tahu
menahu tentang segala hal yang menyangkut kene-
garaan. "Kangmas Wiranegara," katanya. "Sultan Jarot
seorang yang paling dihormati di jagad ini. Apa perlunya
362 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sri Baginda menambah seorang bawahan lagi seperti
aku?" "Aku sendiri kurang tahu," jawab Wiranegara. "Yang
kudengar, Dimas Sanjaya mempunyai pengalaman
melawan laskar Pangeran Ontowirya. Terhadap tingkah-
laku Patih Danurejo IV Sri Baginda tidak perlu. Takut.
Yang harus dijaga adalah justru Pangeran Ontowirya
yang kini bermukim di Tegalrejo. Dialah kakak Sri
Baginda sekarang. Sanjaya mengerutkan alisnya. Tanyanya menegas.
"Lantas bagaimana?"
Wiranegara dan Kapten Merta Sasmita tertawa dengan
berbareng. Kata Kapten Merta Sasmita, "Menurut pantas,
bukankah dia yang berhak naik tahta kerajaan?"
Mendongkol hati Sanjaya mendengar ucapan Kapten
Merta Sasmita. Terang"ini adalah fitnah. Memang ia
belum pernah bertemu dengan Pangeran Diponegoro
selain di tengah pertempuran. Tetapi ia kenal pribadinya
lewat tutur kata Sangaji. Saudara-angkatnya itu boleh
dikatakan sering bertemu pada akhir-akhir ini, berhubung
dengan isteri Pangeran Diponegoro, Dyah Ayu
Ratnaningsih isteri Pangeran Diponegoro"adalah adik
seperguruan Sangaji. Dia murid Suryaningrat. Menurut
tutur kata Sangaji, Pangeran Diponegoro justru
memperihatinkan cara pemerintahan Patih Danurejo IV.
Pangeran itu menaruh curiga kepadanya. Sebab"
disengaja atau tidak"dia membebani pajak beraneka
macam kepada rakyat. Dengan demikian, meninggalkan
tata pemerintahan yang buruk kepada Sultan Jarot.
Merasa diri tak sependapat dengan Patih Danurejo IV,
Pangeran Diponegoro lalu hidup mengasingkan diri ke
363 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tegalrejo. Dengan demikian, apabila kepergiannya itu
dianggap lantaran mempunyai idaman hendak naik tahta
adalah suatu fitnah. "Kangmas Wiranegara! Perhatian Sri Baginda terhadap
diriku sangat mengharukan hatiku," kata Sanjaya yang
lantas ingat kepada cara hidupnya sendiri. "Hanya saja,
aku sudah biasa hidup mengasingkan diri. - Disini aku
sudah memperoleh ketenteraman hidup. Lihatlah"aku
sudah buntung kaki. Untuk apa manusia seperti aku ini?"
Begitu mengucapkan kata-kata yang terakhir, tiba-tiba
suatu ingatan menusuk benaknya. Pikirnya di dalam hati,
ah ya... aku sudah cacat kaki. Tapi aneh"apa sebab
tiba-tiba aku menjadi bahan perebutan" Apakah tidak
mungkin sebenarnya untuk mengkait saudaraku Sangaji!
Ah! Jangan-jangan memang begitu!
"Saudaraku Sanjaya!" Kapten Merta Sasmita berkata
lagi. Ia kini menyebut Sanjaya dengan suara untuk
mengesankan keangkaran. "Jangan tergesa-gesa meng-
ambil keputusan. Coba baca dahulu surat Sri Baginda."
Sanjaya menurut, la menerima surat firman kembali
dan dibacanya. Di dalam firman itu disebutkan, bahwa ia
diangkat dalam jabatan lama sebagai pengganti
kedudukan ayahnya. Dan setelah membaca surat
keputusan tersebut, ia harus segera berangkat ke Jogja
untuk menghadap. "Bagaimana" Apakah saudara sudah mengerti bunyi
surat firman itu?" Kapten Merta Sasmita menegas.
Sanjaya membungkuk membuat hormat.
364 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bumi dan langit menyaksikan bahwa aku sangat
berterima kasih. Hanya saja aku tak berani menerima
tugas Sri Baginda. Tulang-tulangku sudah keropos."
"Jadi kau menolak?"
"Sanjaya adalah manusia biasa. Sebenarnya bukan
anak seorang Pangeran," jawab Sanjaya dengan suara
tegas. "Kalau dahulu aku ada harganya, lantaran ayahku
bekerjasama dengan almarhum Patih Danurejo II."
"Ah, itulah yang kausangsikan?" Wiranegara dan
Kapten Merta Sasmita tertawa berbareng. Kata
Wiranegara dengan suara nyaring, "Dimas"kau
dengarkan baik-baik. Kau mengira, bahwa di dalam
kasultanan ada dwi pemerintahan. Itu tidak benar!
Semenjak kemarin, Patih Danurejo IV sudah masuk
istana dengan disaksikan oleh Residen Nahuya!
Perwalian sudah hapus. Sultan Jarot dan Patih Danurejo IV kini merupakan
dwi-tunggal. Tidak lagi berpisah atau berdiri sendiri-
sendiri." Ini adalah suatu keterangan yang mengejutkan dan
mengherankan Sanjaya. Baru saja"Patih Danurejo IV"
mengirimkan utusannya, untuk membujuk dirinya. Belum
lagi selesai berbicara, kini datanglah utusan lain lagi yang
mengabarkan bersatunya Patih Danurejo IV dengan
Sultan HB IV dengan pengawasan pemerintahan
Belanda. Inilah aneh dan mencurigakan.
Mundingsari yang berada di dalam kamar kurungan,
heran pula. Pikirannya ikut sibuk. Apakah artinya ini"
Patih Danurejo IV terang-terangan bermusuhan dengan
Sultan Jarot. Ia sengaja mengacau ketertiban dan
365 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ketenteraman rakyat dengan membuat bermacam-
macam pajak dan peraturan sewa tanah. Ini semua
adalah suatu persiapan sendiri untuk menggulingkan
kedudukan Sultan Jarot. Apa sebab dalam setengah
malam saja, kedudukannya berubah dengan mendadak?"
Tatkala itu, Wiranegara terdengar berkata lagi:
"Bagaimana" Dimas masih bersangsi" Apakah yang
kausangsikan?" Sanjaya berdiri tegak tak berkutik.
Pandang matanya tajam luar biasa seolah-olah ingin
menjenguk isi perut mereka. Tiba-tiba suatu ingatan
berkelebat di dalam benaknya. Terus saja bertanya,
"Bagaimana dengan Pangeran Diponegoro?"
Wiranegera dan Kapten Merta Sasmita kaget seperti
tersambar geledek. Inilah suatu pertanyaan di luar
dugaan. Tapi mereka berdua adalah orang peperangan.
Mereka segera dapat menguasai ketenangannya kembali.
Lalu tertawa dengan saling memandang. Kata
Wiranegara di antara tertawanya. "Hai! Kau menanyakan
musuh besarmu" Ah, lebih baik kau tanyakan sendiri
kepada Sri Baginda. Kami berdua hanya ingin
memperoleh kepastian. Kau terima surat pengangkatan
ini atau tidak?" Sanjaya mendongak menatap atap rumah. Lalu
menjawab dengan tegas. "Aku menolak."
Ketegangan lantas terjadi. Beberapa saat kemudian,
Wiranegara berkata dengan suara lunak. "Dimas Sanjaya
adalah seorang laki-laki. Dan seorang laki-laki akan
berkata sekali saja. Kalau demikian keputusanmu, baiklah
ijinkan kami berdua berpamit. Hanya saja kami
366 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mengharap agar Dimas menjaga kesehatan diri sendiri
sebaik-baiknya." Heran Sanjaya mendengar kata-kata perpisahan itu. Di
dalamnya bersembunyi suatu ancaman. Ia lantas berkata
dengan hati-hati: "Kangmas"maafkan aku! Aku mengharap saja agar
Kangmas dapat mempersembahkan sujudku ke hadapan
Sri Baginda dengan sungguh-sungguh. Syukur bila
Kangmas sudi menyampaikan kata-kataku ini: hendaklah
Sri Baginda memilih pembantu yang tepat."
"Kau maksudkan siapa," potong Wiranegara dengan
suara tak senang. "Pangeran Diponegoro."
Dengan berdiam diri, Wiranegara menggulung surat
firman Raja kemudian diberikan kepada Kapten Merta
Sasmita. Kapten ini lantas menyimpan surat itu di dalam
sakunya. Selagi Sanjaya memperhatikan hal itu, tiba-tiba
ia melihat tangan Wiranegara berkelebat menghantam
pundaknya. Kedua orang itu sebenarnya mendapat perintah
rahasia untuk membunuh Sanjaya, apabila menolak.
Sebab membiarkan orang sebagai dia hidup di tengah
rakyat samalah halnya menambah jumlah duri. Daripada
kelak akan menyukarkan jalan pemerintahan gabungan
antara Belanda"Patih Danurejo IV dan Sultan Jarot,
lebih baik dimusnahkan sekarang.
Sanjaya telah kehilangan ilmu sakti Pringgasakti
karena dimusnahkan Adipati Surengpati. Untung"ilmu
sakti warisan Ki Hajar Karangpandan tidak ikut termusna.
Setelah cacat kaki, Sangaji mengajarkan rahasia ilmu
367 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sakti yang terdapat pada keris Kyai Tunggulmanik. Sebab
menurut pembagian, keris tersebut sebenarnya milik
Sanjaya. Hanya secara kebetulan saja, Sangaji mewarisi.
Untuk mewarisi ilmu sakti keris Kyai Tunggulmanik,
seseorang harus sudah memiliki tenaga dahsyat seperti
yang terdapat dalam diri Sangaji. Sebaliknya Sanjaya
hanya memiliki ilmu warisan Ki Hajar Karangpandan yang
belum sempurna. Meskipun demikian, ajaran keris Kyai
Tunggulmanik lewat kesabaran Sangaji" tidaklah sia-sia.
Lantaran tenaga saktinya terbatas, ia hanya bisa
mewarisi tiga bagian. Walaupun demikian, bila
dibandingkan dengan orang-orang sakti lainnya, Sanjaya
tidak perlu kalah. Gerak-geriknya gesit dan tenaga
saktinya bertambah tiga kali lipat dari semula.


Mencari Bende Mataram Lanjutan Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Begitu ia melihat bahaya secara otomatis ia
mengerahkan tenaga sakti keris Kyai Tunggulmanik
untuk melindungi pundaknya yang terancam. Duk!
Pundaknya terhantam. Tapi pada saat itu juga,
Wiranegara terpental menumbuk dinding.
"Manusia rendah! Kau berani menyerang dengan
menggelap!" bentak Sanjaya.
Dalam pada itu, Kapten Merta Sasmita sudah
mencabut pedangnya yang istimewa. Bentuknya seperti
pedang biasa. Hanya lencang sebesar jari. Sifatnya
lemas. Begitu digerakkan, lantas saja memantul berge-
taran. Melihat serangan licik itu, Mundingsari yang berada di
dalam kamar gusar bukan kepalang. Hanya sayang"ia
tak dapat mendobrak pintu untuk membantu Sanjaya.
Wiranegara sendiri seorang komandan laskar istana.
Tentu saja ia bukan orang lemah. Begitu terguling
368 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dengan suatu gerakan ia meletik bangun. Lalu dua
belatinya melesat dari tangannya. "Sanjaya! Meskipun
engkau mempunyai kepandaian menembus langit, malam
ini kau jangan bermimpi dapat meloloskan diri."
Dengan tangan kiri menindih pedang Merta sasmita,
tangan kanannya mengebas. Dan belati Wiranegara
terhantam balik mengancam majikannya.
MENCARI BENDE MATARAM Gubahan : HERMAN PRATIKTO
7 sambungan Pedang Kapten Merta Sasmita bukan sembarangan
pedang. Sudah sifatnya lemas, ulat pula. Begitu kena
tindih, logamnya melengkung. Namun tidak patah.
Segera ia mengerahkan tenaga untuk membetotnya.
Kulitnya terbeset dan darahnya mengucur seperti parit, la
kaget bukan main. la memang tahu, setidak-tidaknya
Sanjaya pasti mempunyai kepandaian. Tetapi sama sekali
tak mengira, bahwa tenaga yang dimiliki tak ubah tenaga
raksasa. Dalam kagetnya, tangannya yang kiri mencabut
pistolnya. Pistol zaman dahulu belum berisikan pelor.
369 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tetapi bubuk mesiu. Pistol itu harus diisi dahulu
setelah ditembakkan sekali.
Tapi sebelum memasuki rumah Sanjaya"Merta
Sasmita sudah mengisinya.
Sekarang ternyata ada gunanya. Begitu tercabut,
lantas saja ia menarik pelatuknya.
Sanjaya terkejut. Tetapi ia membungkuk seraya
menarik tindihannya. Karena goncangan tangan
ditambah suatu kegesitan, arah bidikan menyasar
mengenai lengan. Kapten Merta Sasmita terbang
semangatnya. Ia adalah seorang Kapten bumi putera
satu-satunya. Keistimewaannya menembak tepat. Ia bisa
menembak runtuh burung sedang terbang dengan tubuh
membalik. Selamanya tidak pernah meleset. Tapi kini ia
menghadapi suatu kenyataan lain. Kegesitan Sanjaya
ternyata melebihi gesitnya seekor burung. Tenaga
goncangannya hebat pula. Sama sekali tak terduga,
bahwa bidikannya bisa meleset. Benar"mesiunya masih
mengenai lengan"tapi ia tidak puas.
Pada saat itu, Sanjaya merasakan lengannya menjadi
pegal nyeri. Buru-buru ia menekan urat bahunya untuk
menahan mengucurnya darah. Selagi demikian,
Wiranegara membuat lompatan harimau. Dengan suara
"heh" ia menghantam. Tapi kali ini, Sanjaya sudah
bersiaga. Komandan laskar Istana itu tidak dapat
membokong24) lagi. Dengan membalikkan tangannya,
24 ' membokong = secara gelap tidak terang-terangan 370 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sanjaya memapak hantaman itu. Tenaga saktinya
dikerahkan. Wiranegara kaget bukan main. Ia mencoba menahan
lompatannya. Tentu saja tidak keburu lagi. Pergelangan
tangannya kena terhajar dan patah pada saat itu juga.
Kapten Merta Sasmita tidak tinggal diam. Tiga kali ia
menikamkan pedangnya. Kemudian berputar hendak
melarikan diri. Terdengar Wiranegara berseru, "Jangan lari! Jangan
beri kesempatan dia bernapas. Kalau hari ini dia tidak
mampus, jiwa kita berdua sukar dipertahankan lagi."
Sanjaya menggerung karena marahnya. Dengan sekali
menjejakkan tanah, ia melesat mendahului. Tahu-tahu,
ia sudah berdiri tegak di ambang pintu keluar. "Apa
sebab kalian berdua menyerang aku" Lekas bilang! Jika
tidak, jangan harap kau bisa lolos dengan selamat."
Wiranegara ketakutan setengah mati. Ia melirik
kepada Kapten Merta Sasmita yang berdiri dengan
menggigil. Entah sudah berapakali perwira ini mengalami
pertempuran-pertempuran mengadu jiwa. Tapi rasa
ngerinya, tidaklah seperti menghadapi Sanjaya yang
berdiri gagah tak ubah malaikat. Selagi hendak membuka
mulut, tiba-tiba Wiranegara menjerit. Pergelangan
tangan yang kena hantam tadi"tidak hanya patah"tapi
pun getaran pukulan Sanjaya menggeser tulangnya.
Dapat dibayangkan betapa hebat penderitaan itu.
Meskipun dia seorang komandan laskar Istana, tak urung
menjerit kesakitan juga. Cepat-cepat Kapten Merta Sasmita memberi isyarat
agar melarikan diri. Tetapi
371 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Wiranegara ternyata seorang komandan yang bandel.
Katanya sambil menahan sakit: "Saudara Sasmita, tak
dapat kita melepaskan dia. Lebih baik kita mati
berbareng. Jangan takut! Dia sudah kena pelurumu. Bukankah
bubuk mesiumu kau campuri bubuk beracun pula"
Meskipun hanya mengenai lengan, tapi pada saat ini
racunmu pasti sudah bekerja."
Kapten Merta Sasmita seperti diingatkan. Memang"
bubuk mesiunya"tercampur bubuk racun ular berbisa. Ia
memperoleh kepandaian itu dari seorang tawanan
Kalimantan. Seseorang yang kena bubuk mesiunya tidak
hanya terancam jiwanya, tapi pun terancam racun
berbahaya. Sebenarnya lebih tepat apabila mesiu itu
digunakan sebagai alat siksa. Tapi sadar bahwa musuh
yang bakal dihadapi adalah seorang pendekar yang
berkepandaian tinggi, teringatlah dia untuk
menggunakan bubuk beracunnya itu. Mungkin sekali
Sanjaya bisa mengelakkan sasaran tembakan karena
kecepatannya. Tetapi bubuk racunnya bakal kena sedot
pernapasannya. Ternyata perhitungannya hampir tepat.
Sanjaya tidak hanya menyedot bubuk racun, tapi pun
menderita luka. Pada saat itu, lengan Sanjaya terasa menjadi kaku.
Sebagai seorang yang pernah kena senjata berbisa, ia
segera mengetahui dirinya terancam racun. Cepat-cepat
ia mengerahkan tenaga penolak untuk menahan
menjalarnya. Tetapi dengan demikian, pemusatan
tenaganya jadi terbagi. Dengan mati-matian ia melayani dua orang musuhnya.
Satu lawan dua. Meskipun masih unggul, lambat laun ia
372 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
merasa payah juga. Itulah sebabnya ia segera menge-
luarkan pukulan-pukulan maut.
Wiranegara yang telah menderita luka berkelahi
dengan licik. Tak berani ia mendekati Sanjaya.
Sebaliknya ia menyerang dari jauh atau membokong.
Berkali-kali ia berteriak :
"Sanjaya! Lebih baik kau membunuh diri saja. Dengan
begitu namamu akan tetap terkenal sebagai seorang
pendekar yang gagah. Sebaliknya, kalau kau sampai
mampus di tangan kami"habis ludaslah keangkeranmu."
"Binatang!" maki Sanjaya dengan bergusar. "Kau
boleh mencincang atau menyembelih aku, tetapi kalau
sudah melalui mayatku."
"Sanjaya!" bentak Kapten Merta Sasmita.
"Malam ini kami berdua lagi melakukan perintah Raja
untuk menghabisi jiwamu. Melakukan perintah, alangkah
nikmat. Setidak-tidaknya ada yang dipegang. Sebaliknya
engkau" kau bakal mati penasaran. Bakal mampus tanpa
liang kubur!" Terang sekali maksud Kapten Merta Sasmita. Sebagai
seorang militer yang berpengalaman, ia hendak
memecahkan pemusatan pikiran lawan dengan suatu
ejekan. Kecuali itu, dia mempunyai maksud tertentu. Ia
percaya bahwa di dalam diri Sanjaya pasti masih
mempunyai sisa-sisa angan-angan suatu kekuasaan.
Di ngatkan demikian, dalam diri Sanjaya pasti terjadi
suatu pertempuran dahsyat. Benar-benar cerdik dia.
Hanya saja"ia tak pernah me-ngira-bahwa pengaruh
Sangaji sangat besar dalam diri Sanjaya. Sanjaya yang
373 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dahulu kemaruk25) kekuasaan, kini berubah menjadi
manusia lain. Ia tak sudi lagi menjadi korban rumpun
keluarga yang sedang berebut kekuasaan.
Pengalamannya yang pahit banyak memberi pelajaran
baginya. Mendengar ejekan Kapten Merta Sasmita, darahnya
naik tinggi. Lalu membalas membentak pula.
"Kau berkulit sawo matang seperti aku dan temanmu
itu. Meskipun demikian, kau sudi berhamba kepada
seorang kulit putih. Untuk pengabdianmu itu, kau rela
mengorbankan kesejahteraan bangsamu. Apa sih
enaknya makan minum kenyang di atas penderitaan
orang lain" Kau manusia rendah, kini mencoba hendak
mengambil darahku untuk menaikkan pangkat dan de-
rajatmu. Bagus! Boleh kau coba!"
Sambil memaki, Sanjaya melepaskan pukulan berat
dan cepat luar biasa. Tiba-tiba tangannya menghantam
dada Wiranegara. Duk! Dan Wiranegara terpental untuk
kedua kalinya menumbuk dinding. Kali ini hebat
akibatnya. Begitu terbentur dinding, ia jatuh pingsan.
Melihat, robohnya Wiranegara, buru-buru Kapten
Merta Sasmita melompat melindungi. Lalu berteriak,
"Sanjaya! Sri Baginda benar-benar tepat perhitungannya.
Siang-siang Beliau telah mengetahui, bahwa engkau
mempunyai tulang punggung seorang berandal.
Dimanakah Sangaji" Kau tahu, seorang berandal harus
dihukum." Sakit hati Sanjaya, mendengar Kapten Merta Sasmita
menamakan saudara angkat nya sebagai berandal. Tapi
25) kemaruk = serakah 374 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dengan demikian, kedudukan Kapten Merta Sasmita jadi
jelas. Sekarang ia tahu pula, apa sebab dirinya dijadikan
manusia rebutan. Itulah karena Sangaji, sebab kalau
Sangaji mendengar khabar ia ditawan di Jogjakarta,
pastilah tidak akan tinggal diam.
Dia pasti berusaha menyusul. Dan menyusulnya ke
Jogjakarta, berarti meninggalkan kancah perjuangan
Jawa Barat. Memperoleh pikiran demikian, Sanjaya menggerung.
Dengan hebat ia mengirimkan tiga pukulan berantai.
Kapten Merta Sasmita boleh gagah. Tapi menghadapi
pukulan ilmu sakti Kyai Tunggulmanik yang istimewa, ia
mundur beberapa tindak. "Kau tak mampu melawan kegagahan saudara
angkatku. Kini hendak menjual omongan besar kepada
majikanmu yang baru. Bagus!" ejek Sanjaya.
Kapten Merta Sasmita merah wajahnya. Membentak,
"Bangsat! Siapa tak tahu engkau sebenarnya berandal
pula" Setiap orang tahu, perhubunganmu dengan babi
Sangaji. Apa sebab kau tak rela kena ringkus. Bukankah
di dalam undang-undang berbunyi: barangsiapa
bersekutu dengan pemberontak membantu atau
melindungi akan dihukum sama beratnya dengan pem-
berontak itu sendiri."
"Baik. Kau boleh bilang aku seorang pemberontak.
Seorang berandal. Kau mau apa" Kalau kau mempunyai
kepandaian, cobalah ringkus aku!" potong Sanjaya
dengan semangat bergelora.
Kapten Merta Sasmita tertawa lantaran mendongkol.
Ia jengkel, karena tak dapat memperoleh kesempatan
375 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
untuk mengisi mesiu. Namun ia licin, la berbicara lagi
untuk membuat lemah. Katanya, "Kau mengoceh perkara
Pangeran Diponegoro. Manusia apa dia" Dia anak
seorang selir. Apakah pantas berangan-angan menjadi
Raja" Kau pun begitu juga. Siapa yang tak tahu, kau
sebenarnya anak orang gelandangan. Karena bernasib
baik saja, kau bisa diakui sebagai anak pangeran. Itulah
lantaran jasa emakmu menjual diri. Bukankah begitu?"
Mendengar ucapan Kapten Merta Sasmita, gundu
mata Sanjaya berputar. Rambutnya berdiri tegak oleh
rasa gusarnya. Inilah suatu ejekan di luar batas
kesopanan. Dengan suara bergelora ia membentak.
"Benar! Meskipun aku anak seorang gelandangan, tapi
lebih baik daripada anak kampungan yang bermulut
kotor. Hm... jadi kau hendak bilang pula, bahwa


Mencari Bende Mataram Lanjutan Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pangeran Diponegoro seorang berandal" Kau hendak
bilang pula, bahwa dia jadi seorang pangeran lantaran
ibunya kebetulan menjual diri kepada seorang Sultan"
Bangsat!" "Habis" Apa lagi yang harus dibilang?" ejek Kapten
Merta Sasmita sambil bersenyum-senyum. "Lihat sajalah
nanti. Sultan Jarot sudah bersatu dengan Patih Danurejo
IV. Sebentar lagi Pangeran Diponegoro bakal masuk
kurungan. Kau percaya, tidak" Dia kelak akan diseret di
depan Mahkamah Agung. Dia bisa apa" Dia bisa
membuka mulutnya, tapi Mahkamah Agung mempunyai
caranya sendiri. Dosanya akan segera diumumkan."
"Apa dosanya?" bentak Sanjaya.
"Itukan perkara gampang. Membangkang pemerintah,
umpamanya. Atau kita tuduh hendak menggulingkan
kekuasaan Sultan. Ah, itu kan perkara gampang."
376 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Fitnah!" "Lantas dia kita seret di tengah alun-alun untuk
menerima hukuman picis. Hihi haha...," Kapten Merta
Sasmita tak mendengarkan sangkalan Sanjaya.
Mata Sanjaya berkunang-kunang. Hampir saja ia
roboh pingsan karena marahnya. Melihat kesempatan
bagus itu Kapten Merta Sasmita segera menggerakkan
pedangnya menyerang dengan bertubi-tubi.
Tiba-tiba Sanjaya berkata keras. "Sudahlah! Sudahlah!
Jika Pangeran Diponegoro bisa diseret ke depan
Mahkamah Agung sebagai seorang pemberontak
memang pantas aku kau namakan berandal. Baiklah
memang aku seorang berandal. Dan tindakan pertama
yang harus dilakukan seorang berandal adalah mencabut
jiwa seorang begundal Kompeni Belanda."
Berbareng dengan perkataannya. Sanjaya lantas
menerjang dengan hebat. Ia kini menggunakan seluruh
kepandaian dan pengalamannya dengan tenaga
dahsyatnya. Hebat terjangannya.
Kapten Merta Sasmita belum mengenal ilmu
kepandaian Sanjaya sebenarnya, la mengira, betapa
tinggi ilmu kepandaiannya, tapi kakinya buntung sebelah.
Betapa pun juga, tidaklah sehebat orang sangka. Maka
begitu melihat Sanjaya menerjang dengan mengerahkan
seluruh tenaga simpanannya, buru-buru ia menutupi
dadanya dengan kedua belah tangannya dengan pedang
dilintangkan. Kaki bambu Sanjaya menghantam pedang.
Dan yang kiri membentur tangan kirinya pula, Prak!
Seketika itu juga, kedua lengannya patah, la
menyemburkan darah segar.
377 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Meskipun demikian, mulutnya yang jahil masih saja
bisa berkaok-kaok. "Saudara Wiranegara, -bangun! Bangun! Jangan beri
dia kesempatan untuk bernapas. Racun bubukku pasti
sudah bekerja." Pada saat itu, Wiranegara sudah siuman kembali.
Melihat pedang Kapten Merta Sasmita terpelanting di
atas tanah"segera ia memungutnya. Kemudian dengan
mengandal kepada pedang panjang itu ia menyerang
dengan berlari-larian. Kaki Sanjaya buntung sebelah. Itulah sebabnya, tak
dapat ia melawan kegesitan dengan suatu kegesitan. Ia
hanya bisa berputar-putar menjaga diri. Sebaliknya"
melihat kelemahan lawan"Wiranegara menambah
kecepatannya, la berlari-larian memutari kamar sambil
menyerang pada saat-saat tertentu. Dilawan secara
demikian, untuk sementara Sanjaya habis dayanya.
Racun Kapten Merta Sasmita memang jenis racun
yang hebat. Tatkala lagi mengenai sasaran hanya
meninggalkan rasa kaku. Sanjaya masih bisa menahan
menjalarnya. Akan tetapi setelah bertempur sekian lamanya,
lengannya yang terluka mulai kesemutan. Makin lama
makin hebat. Kini terasa menjadi kejang dan tak dapat
digerakkan dengan leluasa lagi.
Wiranegara celi26) matanya. Melihat Sanjaya
menderita demikian, ia tertawa terbahak-bahak. Ia
meniru cara Kapten Merta Sasmita mengacaukan
26' celi = tajam, awas 378 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pemusatan pikiran lawan. Katanya dengan suara
mengejek. "Sanjaya! Dian yang menyala terang akan
segera padam. Saatmu sudah tiba. Kau mau berpesan
apa" Cobalah katakan! Betapapun juga, kita berdua
pernah bekerjasama. Mengingat hubungan itu, biarlah
aku bersedia mendengarkan pesananmu...."
Sanjaya tahu, bahwa tujuan ejekan itu untuk
membuat hatinya panas dan bergusar. Jika ia bergusar,
darahnya akan bergolak. Artinya, racun yang sudah
mengeram dalam dirinya akan segera menjalar dengan
cepat. Namun ia sudah tidak memikirkan mati-hidupnya
lagi. Hatinya terlalu mendongkol terhadap mereka
berdua. Ejekan kapten Merta Sasmita tentang ibunya
tadi, sangat menusuk perbendaraan rasanya. Dadanya
terasa hendak meledak. Ia lantas menghantam meja batu yang melintang di
depannya. Dan kena hantamannya, meja batu itu rontok
berguguran. Setelah itu ia meremukan perabot-perabot
lainnya. Begitu hancur berantakan, kamar lantas menjadi
lapang tiada sesuatu yang merintangi.
Semangat Wiranegara terbang sekaligus. Sekarang,
tak dapat lagi ia lari berputar-putar mengelilingi meja dan
perabot lainnya untuk membuat jarak. Ini artinya,
bahaya besar mulai mengancam dirinya. Ia mundur dan
melesat dari tempat ke tempat.
Sanjaya sudah kalap. Ia memburu dengan mengandal
kepada kaki kirinya. Untuk sementara dua orang itu
ibarat seekor kucing sedang mengubar-ubar seekor tikus.
Beberapa kali si tikus dapat lolos dari sambarannya.
Tetapi Sanjaya seorang cerdik semenjak zaman
mudanya. Ia kini maju mempersempit daerah gerak. Lalu
379 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menubruk dengan suatu bentakan keras. Tangannya
berhasil menangkap gagang pedang Wiranegara.
Wiranegara kaget setengah mati. Buru-buru ia
melepaskannya. Lalu mengulingkan diri sampai di bawah
almari. Sanjaya tidak memberi kesempatan lagi. Ia
melompat dan menendang. Dengan suara
bergedubrakan, kakinya menghantam almari. Karena
hebatnya tenaga yang dikeluarkan, almari itu roboh
berantakan. Dan di antara suara hancurnya sebuah
almari, tiba-tiba terdengar suara teriakan: "Awas!"
Hampir berbareng Taker Urip dan Ampyak Siti yang
bersembunyi di belakang almari melompat keluar.
"Ampyak Siti!" seru Taker Urip dengan tertawa
berkakakan. "Mampuskan berandal ini!"
Sanjaya kaget mendengar bunyi seruan itu. Ia tak
pernah bermimpi bisa kejadian begitu. Taker Urip dan
Ampyak Siti adalah komandan-komandan laskar
Kepatihan. Selamanya mereka bermusuhan dengan
Wiranegara. Kapten Merta Sasmita yang berpihak kepada
Sultan, dengan sendirinya musuhnya pula. Menurut
perhitungan Sanjaya, meskipun mereka berdua tidak
bakal membantu padanya, tapi pun tidak akan
membantu Wiranegara dan Merta Sasmita.
Ampyak Siti adalah seorang pendekar kelas satu
semenjak belasan tahun yang lalu. Waktu itu ia berada
dekat di belakang Sanjaya. Begitu mendengar aba-aba rekannya,
tangannya lantas mencengkeram pundak Sanjaya.
380 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sanjaya sama sekali tidak mengira akan terjadi
demikian. Tahu-tahu pundaknya terasa sakit luar biasa.
Tenaga tubuhnya bagian atas lemas tak bertenaga lagi.
Taker Urip si Kepala gede waktu itu telah
mengeluarkan goloknya yang beracun. Ia melompat
maju sambil membentak. "Sanjaya! Hari ini tibalah saat mampusmu. Kau jangan
menyesal." "Bagus! Bagus!" seru Wiranegara sambil merangkak-
rangkak bangun. Ia menyambar pedangnya kembali. Lalu
berkata penuh semangat. "Saudara berdua! Mulai detik
ini, memang kita sudah menjadi kawan sehidup semati.
Kalian benar pandai melihat gelagat! Kalian dengar,
majikanmu sudah berhamba kepada Sultan Jarot. Lantas
kalian dengan cepat bisa mengambil keputusan. Itulah
keputusan yang mengagumkan! Mari.... Mari kita
mampuskan bangsat ini! Jasamu kulaporkan kepada Sri
Baginda." Setelah berkata demikian, dengan bergulingan ia
menyabatkan pedangnya. Hebat ancaman ini. Dengan
mati-matian Sanjaya mencoba membebaskan diri. Semua
pengalaman dan keragaman ilmu kepandaiannya, ia
gunakan dengan sepenuhnya. Tetapi ilmu cengkeraman
Ampyak Siti benar-benar sukar dilawan. Lima jarinya
seperti melengket pada pundaknya. Dalam pada itu,
golok Taker Urip dan pedang Wiranegara merangsak
tiada hentinya. Pada detik yang sangat berbahaya itu, tiba-tiba saja
Sanjaya membentak bagaikan guntur. Itulah ilmu sakti
warisan keris Tunggulmanik bagian atas. Sayang, dia
tidak memiliki tenaga dahsyat seperti Sangaji. Sekalipun
381 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
demikian perbawanya luar biasa besar. Dengan
sekonyong-konyong pandang wajahnya berubah seperti
harimau terluka. Taker Urip, Ampyak Siti dan Wiranegara kaget
sehingga tertegun. Pedang dan golok terhenti di tengah
udara. Pada saat itulah kedua kaki Sanjaya menendang.
Dua orang musuhnya terpental dan jatuh terbanting
menumbuk tembok. Setelah menendang, ia menyikut
dada Wiranegara. Tangan kanannya mencengkeram
tengkuk, lalu membanting. Wiranegara jatuh
bergulingan. Darah segar kembali terlontak. Dasar telah
terluka, penderitaannya tak tertanggungkan lagi. Ia
menjerit tinggi seperti babi terjepit.
Sebenarnya, apakah dasar alasan Taker Urip dan
Ampyak Siti tiba-tiba berbalik membantu Wiranegara"
Taker Urip adalah seorang manusia licik. Tadi, selagi
bersembunyi di belakang almari, ia mengikuti pem-
bicaraan utusan Sultan dengan jelas. Diluar
pengetahuannya sendiri, ternyata Patih Danurejo IV
sudah bersatu kembali dengan Sultan HB IV. Kalau
majikannya sudah berhamba, perlu apa ia mengotot.
Lantas saja mengambil keputusan untuk mengabdi
kepada majikan baru. Pikirnya di dalam hati, Pemerintah
Belanda"Sultan Jarot dan Gusti Patih Danurejo sudah
bersatu. Pemerintah Belanda sangat benci kepada
Sangaji dan semua sanak saudaranya. Meskipun Sangaji
seorang pendekar besar yang berkepandaian sangat
tinggi, tapi dimana dia kini berada hanya setan yang
tahu. Yang ketinggalan di sini hanya Sanjaya. Sultan
mencoba memancing dengan pangkat dan derajat untuk
nanti dibekuk setelah tiba di Jogjakarta. Hai" iblis yang
licik ini"seperti mempunyai mata. Ia menolak! Jika aku
382 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bisa membekuk atau membinasakannya, bukankah aku
mempunyai barang pengantar untuk mengabdi kepada
Sultan" Ia bergembira memperoleh pikiran demikian. Hanya
saja, ia agak takut berlawan-lawanan dengan Sanjaya
yang berkepandaian tinggi. Setelah menimbang-
nimbang beberapa saat lamanya, ia memperoleh pikiran
baru. "Lebih baik aku menonton dahulu pertarungan
antara harimau-harimau itu," katanya di dalam hati.
"Setelah mereka rusak, barulah aku turun tangan. Kapten
Merta Sasmita dan Wiranegara boleh hebat. Tetapi
menghadapi Sanjaya, mereka bakal menderita luka
berat. Aku tinggal menambahi beberapa tikaman saja,
sudah beres. Lalu siapa lagi yang bakal mengantongi
jabatan komandan istana, selain aku" Inilah yang
dinamakan sekali tepuk dua lalat mampus."
Demikianlah ia menunggu sambil memasang telinga
dan mata. Tak tersangka sama sekali, gelanggang
pertarungan mendadak pindah di depan almari. Sanjaya
menendang almari tempat persembunyiannya hingga
hancur berantakan. Terpaksalah ia keluar sebelum
waktunya. Ia mengetahui lengan Sanjaya sudah terluka
kena mesiu bubuk beracun. Segera ia mengkisiki Ampyak
Siti agar menerkam pundaknya. Jika pundak Sanjaya
kena terkam cengkeraman Ampyak Siti yang terkenal
berbahaya semenjak belasan tahun, ia sendiri akan turun
tangan membinasakannya. Akan tetapi perhitungannya ternyata meleset. Sebab
dalam detik yang sangat berbahaya Sanjaya ternyata
masih mempunyai tenaga membalas. Tiba-tiba dadanya
kena tendang. Ia jatuh terpelanting menumbuk tembok.
Baru saja hendak merangkak bangun, tangan Sanjaya
383 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mencengkeram tulang pundak. Dengan suatu teriakan
hebat, ia berontak. Tetapi tulang pundaknya tetap
tercengkeram dengan keras. Ia kena dibanting untuk
yang kedua kalinya. "Awas!" terdengar suara teriakan peringatan. Itulah


Mencari Bende Mataram Lanjutan Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

suara peringatan Mundingsari yang berada di kamar
sebelah. Dengan berteriak demikian, Kapten Merta
Sasmita yang terkapar kempas kempis terbangun kesa-
darannya. Kedua lengannya boleh dikatakan sudah
hancur. Namun masih bisa ia menggerakkan sebelah
kanannya meskipun sakit luar biasa. Dengan menguatkan
diri ia mengisi pistolnya yang tadi terlempar di tanah.
Kebetulan sekali berada dekat padanya. Setelah berkutat
sekian lamanya, ia berhasil mengisinya. Kemudian
dengan tangan gemetaran, ia menarik pelatuknya.
"Di kamar sebelah ada orang!" teriaknya membarengi.
Pistol meletus. Buru-buru Mundingsari mengendapkan
kepalanya. Ia dapat menyelamatkan diri, karena Kapten
Merta Sasmita sudah terluka hebat. Tetapi ia tak dapat
Harpa Iblis Jari Sakti 34 Bagus Sajiwo Karya Kho Ping Hoo Tujuh Pedang Tiga Ruyung 6
^