Pencarian

Mencari Bende Mataram 6

Mencari Bende Mataram Lanjutan Bende Mataram Karya Herman Pratikto Bagian 6


membebaskan diri dari bubuk racunnya. Begitu mencium
bahaya, tiba-tiba- saja matanya berkunang-kunang. Dan
ia roboh terjungkal dari kursi bertangga.
Ampyak Siti yang membentur tembok mendengar
pemberitahuan Kapten Merta Sasmita, la menguatkan diri
untuk meletik bangun. Tetapi sebelum sempat bergerak
dengan leluasa, Sanjaya sudah memegat jalan keluar.
Bentak Sanjaya: "Mau lari kemana?"
Berbareng dengan bentakannya, Sanjaya menyapu
dengan tangannya. Buru-buru Ampyak Siti berkelit, tetapi
Sanjaya lebih cepat. Tangannya mendarat jitu pada ping-
gang lawan. Tenaga sapuannya tadi dapat merontokkan
384 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
meja batu. Sekarang menggempur pinggang Ampyak
Siti. Tak mengherankan pendekar itu berkunang-kunang
matanya. "Mati aku!" ia mengeluh tinggi.
Tiba-tiba terdengarlah suara Kapten Merta Sasmita.
"Saudara, jangan gugup! Dia sudah terluka hebat, akibat
racunku. Sebentar lagi tenaganya bakal kurang. Kau
serang saja dia dengan berputaran!"
Mendengar perkataan itu, Ampyak Siti tersadar.
Benar"meskipun ia kena gempuran"tapi lukanya
tidaklah seberat Sanjaya yang kena digerumuti racun
berbisa dari dalam. Buru-buru ia menarik napas dalam
dan merangkak-rangkak bangun. Taker Urip yang
terkapar di atas tanah, kelihatan bergerak pula.
Dengan matanya yang celi, Ampyak Siti mengawaskan
lengan Sanjaya. Lengan Sanjaya seperti tergantung pada
pundaknya tanpa tulang lagi. Itu suatu bukti bahwa
lengan itu sudah tak dapat digerakkan dengan leluasa.
Ternyata ia bertempur dengan menggunakan lengan
kirinya saja. Namun lengan ini pun nampaknya kejang
juga. Pastilah akibat racun yang mulai mengamuk dalam
dirinya. Memang"begitu kena racun bubuk mesiu Kapten
Merta Sasmita lengan Sanjaya terasa menjadi kaku.
Setelah bertarung sekian lamanya, menjadi kejang dan
tak dapat lagi digerakkan dengan leluasa, la tahu"itulah
akibat racun ular yang sudah menjalari lengan dan
sebagian tubuhnya. Tadi"dalam pertempuran hidup dan
mati"ia melupakan rasa kejang itu. Dan dapat
menggempur musuh-musuhnya dengan tenaga penuh.
Tapi setelah itu, lengannya tak dapat diperintahnya lagi.
385 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Semenjak mudanya"Sanjaya mempunyai sifat yang
agak membandel, la tak gampang-gampang mau
menyerah. Sifat inilah yang pernah menjengkelkan
Titisari dan Nuraini. Sekarang sifat itu timbul dalam saat-
saat penentuan hidup dan matinya. Dengan
mengerahkan tenaga ia menghantam Ampyak Siti.
Pukulannya tepat mengenai sasarannya. Kalau
pukulannya dapat menggempur sebuah meja batu, kini
hanya mampu membuat mata Ampyak Siti berkunang-
kunang saja. Diam-diam ia mengeluh dalam hati.
Pada saat itu, Taker Urip sudah dapat berdiri. Ia
memungut goloknya kembali. Sambil menahan sakit, ia
mengawaskan lawannya. Disampingnya berdiri Ampyak
Siti yang sudah sempoyongan. Sedang kedua lengan
Kapten Merta Sasmita nampak sudah rusak. Kapten itu
mencoba berdiri dengan bersandar pada tembok.
Mukanya pucat bagaikan mayat.
Lima orang yang berada dalam kamar itu sebenarnya
sudah luka parah semua. Wiranegara sudah tak berkutik.
Ia terkapar mencium tanah dengan napas kempas kem-
pis. Kedua lengan dan dada Kapten Merta Sasmita telah
rusak, tulangnya remuk. Taker Urip yang kena
tendangan kaki, patah pula tulang pundaknya. Dan
Ampyak Siti yang tergempur pinggangnya tak ubah
sebuah dian berkelap-kelip. Sedang Sanjaya terancam
bahaya bisa ular yang jahat. Kedua lengannya tak dapat
digerakkan lagi. Seluruh anggota tubuhnya terasa copot.
Dibandingkan dengan keempat lawannya, dialah
sebenarnya yang menderita luka paling parah.
Kelima-limanya tadi sudah bertempur untuk
menentukan hidup matinya. Kini tinggal empat orang,
lantaran Wiranegara sudah tak dapat berkutik lagi.
386 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mereka bertarung lagi dengan dahsyat. Setelah melayani
belasan jurus, Sanjaya merasa diri tak dapat lagi
mengadakan perlawanan. Ia berpikir cepat. Katanya di
dalam hati, aku masih bisa menggerakkan tangan kiriku.
Tapi tidak untuk selamanya. Kalau aku tidak dapat
menggunakan semanfaat-manfaatnya, aku akan mati di
tengah jalan." Memikir demikian ia segera menyimpan tenaga
lengannya. Tiba-tiba ia melihat Ampyak Siti bergulingan.
Dengan membekal tongkat gaetan, pendekar yang
lukanya paling ringan itu menyapu kakinya. Buru-buru
Sanjaya menjejakkan kakinya ia melesat tinggi untuk
meloloskan diri. Tatkala melayang turun ia menubruk
Taker Urip. Tubrukan ini berada diluar dugaan Taker
Urip, sebelum dapat bergerak, Taker Urip kena tubruk
dan tubuhnya terpental kesamping.
Tapi dia bukan tak berdaya sama sekali. Dalam
kesibukannya tangannya yang masih menggenggam
golok digerakkan. Sayang" tangan Sanjaya lebih cepat.
Sebelum goloknya menemui sasarannya, pergelangan ta-
ngannya kena tangkap. Terdengar bentakan Sanjaya
mengguruh! "Kau rasakan betapa enaknya kalau lenganmu copot!"
Taker Urip kaget setengah mati. Dengan berteriak ia
mencoba menarik dengan menggulingkan badannya.
Tapi gerakan ini justru mempercepat ancaman. Tahu-
tahu, lengannya berbunyi krak"krak! Ia berteriak tinggi
menyayatkan hati. Goloknya terlempar di tanah. Dan
dengan bergulingan di tanah, tangan kirinya menekap
lengan kanannya yang copot dari tulang pundaknya.
387 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Hebat kejadian itu, Ampyak Siti dan Kapten Merta
Sasmita tertegun karena kaget. Mereka berdua
mempunyai kepandaiannya masing-masing. Mereka
berdua pernah mengalami pertempuran mati-hidup entah
sudah berapa kali. Tetapi malam itu, semangatnya
benar-benar terbang. Mereka merasakan suatu kengerian
yang menyeramkan. Pada saat itu kembali Sanjaya melesat tinggi. Itulah
salah satu jurus ilmu warisan Pringgasakti.
Cengkeramannya mengarah batok kepala. Barangsiapa
kena cengkeramannya akan mati tercublas. Apabila
mencengkeram tulang, tulang itu akan patah berantakan.
Buru-buru Ampyak Siti dan Kapten Merta Sasmita
melompat menyibakkan diri. Di luar dugaan, serangan
Sanjaya berhenti di tengah jalan. Tatkala mendarat di
tanah, tangannya sudah menggenggam sebatang pedang
berwarna kelabu. Itulah pedang warisan Pringgasakti.
Setelah ayah angkatnya mati sampyuh27) dengan
pendekar Kebo Bangah dan kakinya buntung sebelah.
Sanjaya menyimpan pedangnya. Ia bersumpah tidak
akan menggunakannya lagi. Tapi sekarang"karena
merasa diri sudah terdorong di garis mati hidup, ia tak
memedulikan lagi. Dan begitu pedangnya tercabut dari
sarungnya semangat tempurnya terbangun sekaligus. Ia
seumpama seekor harimau tiba-tiba mempunyai sayap.
Bukan main kagetnya Ampyak Siti dan Kapten Merta
Sasmita begitu melihat berkelebatnya sebatang pedang
27> sampyuh = berbareng 388 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
di depan hidungnya. Dengan paras pucat lesi, mereka
menjatuhkan diri dan menyingkir bergulingan.
"Binatang!" bentak Sanjaya kalap. "Jika hari ini kalian
bisa lolos dari pintuku, aku akan membunuh diri. Dan
semenjak ini, anggap saja dunia tak pernah melahirkan
Sanjaya." Baru saja Ampyak Siti melarikan diri, suatu kesiur
angin tajam memburu punggungnya. Pada detik-detik
itu"selagi Ampyak Siti membalikkan tubuh hendak
menangkis"tiba-tiba terdengar Sanjaya mengerang
kesakitan. "Binatang!" bentak Sanjaya dengan suara seram. "Kau
belum mampus?" Sambil berteriak ia menendang. Hampir berbareng.
Taker Urip menjerit tinggi. Tubuhnya bergulingan
beberapa kali. Dan nyawanya terbang ke langit ketujuh.
Sanjaya tadi tidak memperhatikan Taker Urip yang
menggeletak di atas tanah lantaran luka berat. Ternyata
Taker Urip yang licik, masih bisa menggerakkan sebelah
tangannya. Tatkala Sanjaya melesat menyambarkan
pedangnya, ia menimpuk dengan belati beracunnya. Dan
belati itu menancap pada lutut Sanjaya.
Menyaksikan hal itu, Kapten Merta Sasmita bersyukur
di dalam hatinya. Serunya lantas, "Saudara Ampyak Siti,
hayo bantulah aku! Dia kena belati beracun. Sekarang
tinggal mampusnya saja!"
Dengan terpaksa Ampyak Siti maju menyerang. Pada
waktu itu keadaan Sanjaya benar-benar sudah payah
sekali. Racun yang mengamuk dalam dirinya jadi
bertambah. Kaki dan tangannya terluka berat. Terasa
389 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sekali"bisa dan racun yang mengamuk di dalam
dirinya"mulai naik meraba jantung.
Sambil mengertak gigi, ia mengumpulkan sisa
tenaganya. Lalu menerjang kedua musuhnya dengan
berbareng. Sungguh tak memalukan Sanjaya menjadi
saudara-angkat Sangaji dalam saat-saat hidupnya yang
terakhir. Walaupun keadaannya tak ubah sebuah dian
sudah kehabisan minyak, namun masih bisa ia
melancarkan suatu serangan dahsyat.
"Jangan lawan dengan rapat. Mundur!" teriak Kapten
Merta Sasmita. "Paling lama dia tinggal bisa bertahan
setengah jam lagi." Ampyak Siti segera meloncat menjauhi. Begitu juga
Kapten Merta Sasmita. Sanjaya sudah barang tentu mengetahui keadaannya
sendiri. Tatkala itu, ia sudah tidak memikirkan mati
hidupnya lagi. Tujuannya hanya satu. Hendak gugur
berbareng musuh-musuhnya. Itulah sebabnya ia tak
memedulikan penjagaan dirinya. Terus saja ia
menyerang dengan menyam-barkan pedang.
Di antara dua orang itu, Ampyak Siti yang masih bisa
bergerak agak leluasa. Ia tadi hanya tergempur
pinggangnya oleh suatu tenaga yang sudah kurang
kedahsyatannya. Itulah sebabnya ia bisa berlari-larian
berputaran. Kadangkala melancarkan serangan balasan.
Dalam hatinya, ia menunggu saat robohnya Sanjaya oleh
serangan racun yang mulai meraba jantungnya.
Semakin lama, pandang mata Sanjaya makin menjadi
kabur. Sekarang tak dapat lagi ia melihat perawakan
tubuh kedua lawannya dengan tegas. Yang dilihatnya
390 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
hanya semacam gundukan remang-remang yang selalu
bergerak. Tiba-tiba ia mendengar pintu terbuka dari luar.
Siapakah yang membuka pintu" Tak sempat ia berpikir
banyak. Pada saat itu, ia melihat sesosok bayangan
berkelebat melesat ke pintu. Dialah Ampyak Siti. Sanjaya
menggerung dahsyat. Karena menggerung, pandang
matanya menjadi terang selintasan. Begitu melihat
melesatnya Ampyak Siti, tanpa berpikir panjang lagi ia
menimpukkan pedangnya. Tepat timpukannya. Dada
Ampyak Siti tertikam dari belakang, la roboh terjungkal
tanpa bersuara lagi. Mundingsari yang roboh kena sambaran racun, segera
duduk bersila menenteramkan diri. Kepalanya pusing
dengan mendadak. Untung ia hanya menyedot bubuk
mesiu beberapa tarikan napas saja. Setelah mengatur
perjalanan darah dan napasnya, tubuhnya terasa
menjadi segar kembali. "Saudara Mundingsari, bagaimana ini?" Letnan Johan
menghampiri dengan me-rangkak-rangkak.
"Sahabatmu Sanjaya ternyata seorang berandal,"
sambung Letnan Matulesi yang mendekatinya juga. "Dia
seorang pemberontak seperti Sangaji."
Mundingsari tak melayani mereka. Ia menempelkan
telinganya pada dinding kamar, mendengarkan suara
pertempuran. Sekarang ia mendengar beradunya
senjata. Ia jadi bingung sekali karena tak tahu siapa
yang berada dalam bahaya. Menyaksikan kelicikan
utusan-utusan Patih Danurejo IV dan Sultan Jarot, ia ikut
panas hati. Darahnya bergolak dan dadanya seakan-akan
391 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
hendak meledak. Dengan kalap ia menarik goloknya.
Kemudian membacoki pintu kamar kalang kabut.
Suara bacokan golok Mundingsari terdengar di
gelanggang pertempuran. Kapten Merta Sasmita
mengira, bahwa pembantu Sanjaya datang hendak
memberi bantuan. Karena pintu dikancing dari dalam, ia
mengira pembantu Sanjaya sedang menjebol pintu dari
luar. Dalam pada itu, setelah Sanjaya membereskan kedua


Mencari Bende Mataram Lanjutan Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lawannya, ia berputar menghadap Kapten Merta Sasmita.
Kapten itu kini baru mengerti artinya takut. Kena
pandang mata Sanjaya, tenaganya lenyap seakan-akan
terlolosi. la menjatuhkan diri dan merangkak-rangkak
mendekati. "Sekarang hanya ketinggalan kau seorang begundal
dan budak Belanda!" bentak Sanjaya dengan suara
menyeramkan. "Ya"ya, benar. Aku memang begundal Belanda. Aku
memang budak Belanda," sahut Kapten Merta Sasmita
dengan suara gemetaran. Sekarang nampaklah pamor-
nya28) dengan jelas. "Ampuni aku nDoro-mas. Ampuni
aku. Aku berjanji akan selalu teringat budimu."
Sanjaya mendelik. Ia sadar musuhnya itu sangat licik.
Dia mencoba mengajak berbicara berkepanjangan untuk
menunggu saat padamnya tenaganya. Teringat akan
racunnya yang sudah mengamuk ke seluruh tubuhnya, ia
segera membungkuk menjemput pedang Wiranegara.
Bentaknya: "Bukankah ini pedangmu?"
28> baca : kwalitas 392 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Benar nDoromas," sahut Kapten Merta Sasmita cepat.
"Dahulu kuperoleh dari Aceh."
"Pedang bagus!" kata Sanjaya. Tiba-tiba tangannya
bergerak menimpuk dengan tenaganya yang
penghabisan. Tanpa dapat bergerak lagi, pedang itu
menikam ulu hati majikannya sendiri sampai menembus
punggung. Kapten Merta Sasmita roboh terguling. Lalu
mati dengan berkelejotan.
Puas hati Sanjaya. la tertawa terbahak-bahak. Dengan
tertatih-tatih ia mencabut pedangnya dari dada Ampyak
Siti. Setelah menyingkirkan batu yang melintang di
depannya, ia menghampiri pintu kamar kurungan sambil
membentak. "Siapa di dalam" Keluar semua!"
Mundingsari mendorong daun pintu. Karena tiada
pengganjelnya lagi, pintu terjeblak dengan gampang. Ia
berjalan keluar dengan diikuti dua perwira di
belakangnya. Melihat Mundingsari melintangkan golok di depan
dadanya, Sanjaya lantas bertanya :
"Mundingsari! Kau datang kemari untuk apa" Siapakah
yang mengirimkan dua orang perwira ini?"
Kedua perwira itu pucat lesi. Jawabnya dengan suara
menggigil: "Kami... kami... datang untuk memohon
pertolongan Paduka."
"Apa?" bentak Sanjaya. "Setelah kalian pandai
memanggil paduka kepadaku, apa kalian kira mudah
keluar masuk halaman rumahku sesuka hatimu?"
393 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kedua perwira itu menggigil seluruh tubuhnya.
Sebaliknya, Mundingsari berduka melihat tubuh bekas
majikannya itu. Tatkala itu, seluruh tubuh Sanjaya sudah
berlumuran darah. Meskipun demikian, kewibawaannya
masih seperti dahulu. Teringat akan kedudukannya
dahulu, mata Mundingsari basah. Lantas saja ia
memegang pergelangan tangan Sanjaya, setelah
memindah goloknya ke tangan kiri. Katanya dengan
suara terharu: "Denmas Sanjaya... bagaimana
keadaanmu?" "Kenapa kau ajak mereka kemari?" bentak Sanjaya
tanpa memedulikan ucapannya.
"Denmas, kau beristirahat dahulu. Sebentar aku akan
menuturkan kata," jawab Mundingsari.
Sanjaya berbimbang-bimbang sebentar. Sejenak
kemudian memutuskan, "Baiklah!" la berjalan mendekati
dinding. Kemudian duduk bersila.
Buru-buru, Mundingsari mengeluarkan obat lukanya
untuk mengobati luka Sanjaya. Tapi baru saja tangannya
diulur, Sanjaya membentak.
"Kau mau apa" Taruh! Siapa kesudian melihat
lagakmu ini. Cepat katakan, siapa Tuan-tuan yang
terhormat ini?" Mundingsari segera meletakkan botol obatnya di atas
tanah, la duduk berhadap-hadapan. Setelah menelan
ludah beberapa kali, ia berkata: "Apa yang mereka
katakan, memang benar belaka. Dari Cirebon mereka
mengawal tiga kereta penuh muatan. Isinya tiga puluh
laksa ringgit untuk belanja tentara di Magelang. Tapi di
394 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tengah jalan, uang itu kena dirampok. Itulah sebabnya
mereka datang kemari untuk mohon bantuan Denmas."
"Apa sangkut pautnya dengan dirimu?" tanya Sanjaya.
"Aku ikut melindungi eh, mengawalnya."
"Hai! Kenapa kau sudi jadi begundal?" bentak Sanjaya.
Buru-buru Mundingsari membungkuk hormat. "Itulah
lantaran aku ditunjuk Sultan Kanoman untuk ikut serta
mengawal. Mengingat daerah hidupku berada dalam
kekuasaan Sultan Kanoman, tak dapat aku menolak....
Denmas! Bagaimana keadaan Denmas" "
Mundingsari kaget tatkala melihat tubuh Sanjaya
bergoyang-goyang. Tadi karena mengira kedua perwira
itu bermaksud jahat dapat Sanjaya mempertahankan
dirinya oleh rasa tegang. Sesudah mengetahui bahwa
kedatangan mereka tidak bermaksud jahat, hilanglah
rasa tegangnya. Tapi begitu rasa tegangnya hilang,
mukanya lantas berubah menjadi pucat. Dan tubuhnya
bergoyang tak dikehendaki sendiri. Melihat hal itu, gugup
Mundingsari mengulur tangannya hendak memberikan
pertolongan. "Tak usah!" Sanjaya menolak. "Selama aku masih
dapat berbicara, kau hanya mendengarkan kata-kataku
dengan baik. Nah, kau usirlah mereka dahulu keluar. Aku
ingin berbicara." Mundingsari menoleh dengan memberi isyarat mata.
Kedua perwira itu tahu diri. Cepat-cepat mereka mundur
dan keluar pintu. Di sana mereka menunggu di dalam
kepekatan malam. 395 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mundingsari kenal wataknya Sanjaya. Bekas putera
pangeran itu, biasanya bermanja-manja. Maka ia
mencoba memegang bahunya. Tetapi kali ini Sanjaya
benar-benar kukuh. Sifatnya dahulu tiada lagi bekasnya.
"Kau dengar saja!" bentak Sanjaya. "Kau mau
mendengarkan perintahku tidak" Nah, "kau gerayangi
saku Merta Sasmita. Mungkin di dalam saku terdapat
obat pemunah racun."
Mundingsari seperti diingatkan. Setelah melompat, ia
menghampiri mayat Kapten Merta Sasmita. Lalu
menggerayangi sakunya. Benar saja di dalamnya
terdapat sebotol obat pemunah yang encer. Buru-buru ia
membawanya ke depan Sanjaya.
"Kau kena racun berbahaya. Kau minumlah cepat!"
perintah Sanjaya. Mundingsari terkejut. Memang tadi, ia menyedot racun
selintasan. Siapa saja takkan melihat tanda-tandanya.
Tetapi dengan sekali pandang ternyata Sanjaya melihat
gejalanya. "Denmas! Racun yang kusedot tidak begitu banyak.
Denmas saja yang minum obat pemunah ini!"
Sanjaya tersenyum pahit. Jawabnya dengan suara
berduka. "Kalau satu jam tadi, mungkin masih ada
harapan. Sekarang meskipun memperoleh obat
malaikat"tidak akan mempan lagi. Kau saja! Jangan kau
kira, kau tidak terancam bahaya..."
Pucat wajah Mundingsari. Sebagai seorang pendekar
berpengalaman, kata-kata Sanjaya pasti beralasan, la tak
berani membangkang. Setelah dibuka penutup botolnya,
segera ia meneguk isinya sampai habis. Kemudian ia
396 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menatap wajah Sanjaya yang kini nampak berwarna abu-
abu. Sejenak lagi, warna abu-abu itu berubah menjadi
hitam. Terang sekali, seluruh tubuh Sanjaya sudah
diamuk racun. Tanpa merasa botol obat pemunah yang
berada dalam tangannya runtuh bergelontangan.
"Denmas Sanjaya!" pekiknya sambil berlutut. "Denmas
mempunyai pesan apa?"
Sanjaya tertawa. "Budi dan sakit hati sudah terbalas
semua. Isteri"aku pernah mempunyai. Ibu"pernah
menduduki tataran mulia. Apalagi yang akan
kupesankan" Hanya saja..." Hanya satu! Kau dengarlah!"
"Brt!" ia membesat bajunya yang ber-lepotan darah.
"Bawalah baju ini dan pedangku kepada saudara
angkatku Sangaji. Setelah uang kawalanmu dapat kau
peroleh kembali, kau harus mengabdi kepada Sangaji."
Dengan air mata bercucuran, Mundingsari menerima
robekan baju dan pedang Sanjaya. Dengan menguatkan
diri ia berkata: "Denmas berpesan apa lagi?"
"Ketika kau tiba di sini, apakah bertemu dengan
anakku Senot Muradi?" tanya Sanjaya.
"Katanya, dia pergi mencari Denmas," jawab
Mundingsari. Tubuh Sanjaya menggigil. Tetapi paras wajahnya
tetap tenang. Dalam menghadapi maut, Sanjaya yang
dahulu terkenal sebagai seorang licik, ternyata nampak
gagah dan sama sekali tak gentar. Mundingsari kagum
luar biasa. Alangkah besar perubahannya dalam belasan
tahun terakhir ini. 397 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dengan hati pilu ia menatap wajah bekas majikannya
itu. Keadaan Sanjaya ibarat nyala lilin mendadak terang
benderang sebelum padam sama sekali. Ia memejamkan
mata. Tiba-tiba menyenak. Lalu berkata dengan suara
terburu-buru. "Jika.... Senot masih hidup, berikan pedangku itu
kepadanya. Kau suruh dia mencari saudara angkatku
Sangaji. Setelah berkata demikian ia mengibaskan
tangannya. Berkata lagi: "Aku mempunyai hubungan baik
dengan penduduk dusun ini. Jenazahku pasti bakal
dirawatnya dengan baik. Kau saja, berangkatlah malam
ini juga. Aku telah membinasakan musuhku semua. Aku
pun sudah berhasil berdiri tegak sejiwa dengan cita-cita
almarhum ayahku. Meskipun kini mati, aku puas. Senot
Muradi tak perlu berkecil hati mempunyai ayah seperti
aku. Hanya satu hal yang mengganjel dalam hatiku
Tak dapat lagi aku melihat ibuku... saudaraku Sangaji...
dan belum sempat aku beramah tamah dengan Pangeran
Diponegoro... Hai, sayang!"
Suaranya makin lama makin menjadi lemah. Begitu
mengucapkan kata sayang, kedua matanya terpejam
rapat. Dan pulanglah ia ke rahmattullah dengan tenang.
Mundingsari menangis menggerung-gerung. Beginilah
akhir hidup Sanjaya. Pada zaman mudanya, ia hidup
makmur dan menjadi pujaan. Kemudian kakinya buntung
dan mengakhiri hidupnya hanya ditemani seorang teman
belaka. Mundingsari menjadi sedih. Dimanakah putera
satu-satunya kini berada" Maka terasalah dalam hati
Mundingsari, bahwa sesungguhnya lahir dan matinya
manusia ini seorang diri saja. Tanpa teman tanpa kawan.
398 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Setelah kenyang menangis, Mundingsari segera
berlutut di hadapan jenazah Sanjaya serendah tanah.
Kemudian dengan hati-hati, ia menidurkan di atas dipan
panjang. Di sini-kembali ia berlutut lagi sebagai
pemberian hormat yang terakhir. Pada saat itu,
mendengar suara gemeresak di luar.
"Ah, benar?" katanya di dalam hati. "Tak boleh aku
lama-lama berada di sini."
Buru-buru ia memasukkan robekan baju Sanjaya ke
dalam sakunya. Dan sambil menenteng29) pedang
Sanjaya, ia berjalan keluar halaman.
Dua perwira yang tadi menunggu di luar, segera
menghampiri. Melihat Mundingsari membawa-bawa
pedang dengan wajah pucat, mereka kaget setengah
mati. Dengan suara gemetaran Letnan Johan menegas
hati-hati. "Saudara Mundingsari... bagaimana?"
"Sebulan lagi, kalian tunggu kedatanganku di kaki
Gunung Damar," jawab Mundingsari dengan pendek.
"Sebulan lagi?" Mereka setengah memekik.
"Denmas Sanjaya sudah meluluskan permohonanmu,"
kata Mundingsari dengan suara malas. "Satu bulan lagi"
terhitung hari esok"kalian berdua menunggu kedatang-
anku di kaki Gunung Damar sebelah timur. Kalian akan
mendengar khabar kesudahan-nya."
"Massya Allah! Sebulan lagi" Bagaimana kami berdua
bisa menunggu selama itu?" kata mereka setengah
merengek. _ 1B> menenteng = membawa-bawa, menjinjing
399 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mundingsari lagi berduka. Sekarang mendengar
kerewelan mereka, ia jadi naik darah. Lantas
membentak. "Kalian bisa menunggu atau tidak" Kalau
tidak bisa menunggu, aku pun tak dapat menolong."
Suaranya keras dan dengan langkah panjang, ia
berjalan mengitari halaman menuju ke pekarangan
belakang. Kedua perwira itu tak berani menggerecoki
lagi. Terpaksalah mereka menghampiri kudanya dan
segera meninggalkan halaman rumah. Malam itu sangat
pekat. Dengan menahan napas, ia menggeprak kudanya
asal lari saja. Setelah membeloki sebuah tikungan,
bayangannya lenyap dari penglihatan.


Mencari Bende Mataram Lanjutan Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dalam pada itu Mundingsari telah memasuki
pekarangan samping. Tujuannya hendak mencari Senot
Muradi. Tatkala hendak membeloki dinding belakang,
tiba-tiba kakinya menyentuh sesosok tubuh. Ia kaget
sampai berjingkrak. "Siapa?" gertaknya.
Ia menunggu beberapa saat. Tubuh itu tidak bergerak.
Ia membuka matanya lebar-lebar untuk menajamkan
penglihatan. Tetapi malam itu benar-benar pekat. Tiada
sesuatu yang bisa nampak di depan hidungnya. Karena
penasaran, ia maju setindak. Kakinya dirabakan. Tubuh
yang menggeletak di atas tanah lantas didorongnya.
Ternyata tiada bertenaga sama sekali.
"Eh, di sini terdapat mayat. Mayat siapa?" ia berbisik
di dalam hati. Teringat lampu yang berada di dalam kamar tengah ia
segera berbalik. Kemudian dengan hati-hati ia
membawanya keluar. Membawa lampu di tengah
400 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kegelapan malam, besar bahayanya. Siapa tahu, ada
orang-orang tertentu yang bersembunyi. Tetapi ia cerdik.
Ia menimpukkan tinggi di udara, lalu mendekam
serendah tanah. Lampu penerangan pada zaman dahulu semacam obor
bertangkai. Tangkainya terbuat dari bambu dan
berukuran panjang. Sebelum menimpukkan, Mundingsari
menarik sumbunya panjang-panjang. Timpuk -annya ke
udara tidak sampai memadamkan nyalanya. Dan begitu
tiba di tanah, minyaknya muncrat berhamburan. Tanah
sekitarnya lantas saja terbakar.
Hati-hati, Mundingsari menebarkan penglihatannya.
Sekian lamanya ia menunggu, tiada yang terdengar
berkutik. Ketegangannya lantas surut. Kini ia
mengalihkan perhatiannya kepada pekarangan samping.
Samar-samar ia melihat beberapa mayat
bergelimpangan. Apakah artinya ini" pikirnya sibuk. Sebagai seorang
pendekar yang berpengalaman, ia dapat bertindak
dengan cepat. Ia melesat ke atas genting dan mengintai
dari atas. Sekarang ia dapat melihat sekitar rumah
dengan leluasa. Mayat yang bergelimpangan berjumlah
tujuh orang. Yang enam bertebaran, sedang yang seorang
bersandar pada lapisan batu ambang pintu. Orang itu
nampaknya sudah berhasil membuka pintu dari luar.
Tetapi kemudian roboh menghembuskan napasnya yang
penghabisan. Karena perbuatannya itulah, membuat
Ampyak Siti hampir dapat melarikan diri.
Kejapan sumbu obor yang terlepas dari tangkainya,
memang kurang memberi penerangan yang cerah.
401 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Namun Mundingsari tak berani sembrono. Setelah
mendekam sekian lamanya di atas genting dan suasana
sekitar pekarangan tetap sunyi senyap, barulah ia berani
meloncat turun. Dengan cekatan ia memasukkan sumbu
obor ke tangkainya. Lalu ia mulai mengadakan
pemeriksaan. Tatkala menyuluti wajah orang yang
hampir mencapai ambang pintu, ia menggigil. Tanpa
merasa ia mundur setindak.
"Ki Jaga Saradenta!" bisiknya.
Dengan tubuh bergemetaran ia membungkuki dan
memeriksa. Seluruh tubuh Ki Jaga Saradenta berlumuran
darah. Ia telah tewas. Melihat enam mayat
bergelimpangan dengan luka berat, Mundingsari lantas
dapat menduga-duga. Rupanya"tidak hanya Sanjaya
yang menghadapi lawan dengan tiba-tiba"tapi pun Ki
Jaga Saradenta. Hanya saja siapakah lawan Ki Jaga
Saradenta itu, tidaklah jelas.
Apakah Ki Jaga Saradenta sedang melindungi Senot
Muradi" pikirnya. Memperoleh pikiran demikian, ia jadi
kalap. Dengan membawa obor, ia lari mengitari rumah
sambil berteriak-teriak: "Senot! Senot!"
Seluruh ruang rumah digeledahnya. Setelah ternyata
tiada tanda-tandanya, segera ia lari menghampiri
kudanya. Ia melompat ke atas punggungnya.
Ditimpukkan tangkai berobor itu tinggi ke udara,
kemudian menggeprak kudanya.
"Senot! Senot! Kau dimana?" teriaknya kalap.
402 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
8 PENGORBANAN WIRAPATI EMPAT HARI KEMUDIAN, Mundingsari telah tiba di
Kota Magelang. Perjalanan pada waktu itu tidak boleh
dikatakan terlalu sukar. Jalan besar yang
menghubungkan Banyumas dan Magelang telah cukup
rata. Seseorang bisa mencapai Kota Magelang lebih
cepat dua hari daripada perjalanan Mundingsari. Tetapi
pikiran Mundingsari kala itu sangat kacau. Lagi pula
perjalanan yang ditempuhnya tidak lumrah. Ia menaruh
curiga kepada tempat-tempat tertentu untuk
dijenguknya. Siapa tahu, ia memperoleh hisapan berita
tentang lenyapnya Senot Muradi. Itulah sebabnya,
perjalanan ke Magelang ditempuhnya dalam empat hari.
Jalan-jalan di Kota Magelang, terhias dengan rapih.
Pagar dan rumah-rumah terlabur putih. Mula-mula
Mundingsari mengira, itulah kerapihan untuk
menyongsonghari raya beberapa hari yang lalu. Tiba-tiba
ia melihat suatu tulisan besar yang terpancang melintang
di tengah jalan. Begini bunyinya:
Sultan HB IV dengan bantuan pemerintah Belanda
naik tahta penuh-penuh. Rakyat Magelang mengucapkan
syukur ke hadiran Tuhan Yang Maha Esa.
Naiknya Sultan HB IV ke tahta, sudah didengar jelas
dari pembicaraan utusan-utusan yang datang ke rumah
403 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sanjaya. Kalau Bupati Danuningrat30) kini mengucapkan
selamat naik tahta, sudahlah semestinya. Karena dia
seorang hamba negeri. Tapi aneh adalah sikap
penduduk. Mereka nampak acuh tak acuh. Pandang
mukanya keruh dan berduka. Hal ini menarik perhatian
Mundingsari. Mundingsari memasuki rumah makan Tionghoa yang
agak mentereng. Ia melihat secoret tulisan Tionghoa
pada dnding. Tulisan itu sangat menyolok. Sayang tak
dapat ia membacanya. Tapi ia tidak kekurangan akal. Ia
menggapai seorang kacung31) Tionghoa. Setelah
memberi persen ia minta tolong apa bunyinya tulisan itu.
Segera anak itu membaca lancar.
"Jangan membicarakan urusan negara di sini."
Mundingsari memanggut-manggut. Ia tidak
mengucapkan sesuatu. Hanya saja pikirannya jadi sibuk.
Itulah disebabkan ia teringat kepada pertarungan hebat
antara Sanjaya dan utusan Raja. Kemudian dengan
mendadak utusan Patih Danurejo IV ikut bergabung pada
pihak utusan Raja. Ini adalah suatu keruwetan yang
terasa gawat. Dan kegawatan itu dikesankan lagi oleh
tulisan tersebut. Melihat beberapa tetamu melirik
kepadanya, ia jadi tak enak hati. Memang"pada waktu
itu"jarang terjadi seorang penduduk memasuki sebuah
rumah makan Tionghoa. Segera ia menggapai pelayan
itu lagi. Ia berpura-pura memesan makanan Jawa yang
tentu saja tak dapat disediakan di rumah makan
Tionghoa. Dengan alasan itu, ia meninggalkan rumah
makan tersebut. 30) Bupati Magelang yang setia kepada Belanda.
31) baca pelayan tanggung.
404 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Di sebelah jalan jurusan Purwokerto, ia melihat
sebuah warung. Segera ia memasuki. Beberapa orang
bergerombol menggerumiti nasi dan lauknya. Segera ia
ikut-ikutan memesan makanan.
Mula-mula tiada terjadi sesuatu yang menarik
perhatian. Tiba-tiba kupingnya yang tajam mendengar
suatu bisikan. Dan bisikan itu dijawab oleh si Penjual
makanan dengan terang-terangan. "Siapa yang mem-
punyai telinga dan mata, masakan tak mengetahui
kejadian ini. Pendekar Wirapati memang dimasukkan ke
penjara." "Benar. Cuma saja"apa alasannya?" menegas
seseorang. "Alasan kan bisa dibuat-buat. Siapa yang berkuasa, dia
bisa mengumbar mulut!" jawab penjual makanan dengan
suara sengit. "Kang Karto!" kata seorang laki-laki yang duduk di
pojok utara. Siapa saja memang bersedia dihukum untuk
kebersihan nama pendekar Wirapati. Hanya saja, lebih
baik kita berhati-hati. Dinding mempunyai mata dan
telinga." Kartodirun demikian nama penjual nasi itu merah
padam mukanya. Namun oleh nasihat itu, ia berusaha
mengendalikan diri. Setelah agak sabar ia berkata:
"Menurut pendapat kalian apakah alasan Bupati
Danuningrat menahan pendekar Wirapati?"
Beberapa saat lamanya tiada jawaban. Masing-masing
sedang menggerumiti pesanan makanannya. Tiba-tiba
seseorang menyeletuk. 405 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bupati ini hendak mencari muka kepada pemerintah
Belanda. Siapa saja tahu."
"Sst!" Temannya memperingatkan.
"Teruskan!" tungkas Kartodirun. "Peduli apa" Masakan
kita perlu takut membicarakan yang benar?"
"Dia mungkin tahu, bahwa pendekar Wirapati adalah
guru pendekar besar Sangaji yang mengangkat senjata
di Jawa Barat," kata orang itu. "Kukira Bupati
Danuningrat memaksa Wirapati agar menggunakan
pengaruhnya untuk memanggil Sangaji mengabdi kepada
Pemerintah Belanda. Tentu saja pendekar Wirapati tidak
sudi. Itulah sebabnya ia dipenjarakan."
"Bagaimana kau tahu?" bantah seorang lagi.
"Kalau tidak begitu, lantas apa alasan Bupati
Danuningrat menahan pendekar Wirapati?"
Mundingsari terkejut. Ia tahu pada zaman mudanya
Sangaji berguru kepada Wirapati dan Jaga Saradenta.
Teringat Ki Jaga Saradenta tewas tanpa keterangan yang
jelas, ia jadi menaruh perhatian besar terhadap
pembicaraan itu. Pikirnya di dalamhati: jangan-jangan, Ki
Jaga Saradenta tewas oleh kaki tangan Bupati
Magelang...." Mereka berbicara kasak-kusuk lagi. Tapi kali ini tak
keruan juntrungnya. Mereka mengadakan tafsiran-
tafsiran sendiri. Sekalipun demikian, jelasnya bahwa
mereka menaruh simpati32) kepada Wirapati.
Mundingsari lantas meninggalkan warung nasi itu. Dari
tempat ke tempat ia membuat penyelidikan keras. Sedikit
32) simpati = rasa tertarik
406 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
banyak ia memperoleh gambaran tentang keadaan Kota
Magelang. Bupati Danuningrat ini benar-benar seorang hamba
Pemerintah Belanda yang setia. Dengan terang-terangan
ia menyatakan rasa syukurnya atas bersatunya Patih
Danurejo IV dan Sultan HB IV. Ia menyatakan itu semua
terjadi atas jasa Pemerintah Belanda.
Sebagai seorang yang pernah pula bekerjasama
dengan Belanda, Mundingsari tidak merasakan suatu
keganjilan. Hanya saja setelah ia memperoleh pesan
Sanjaya dan melihat matinya Ki Jaga Saradenta ia sibuk
menduga-duga apakah alasan sebenarnya
memenjarakan pendekar Wirapati. Agaknya tafsiran
orang di warung Kartodirun ada benarnya.
Kira-kira menjelang jam tiga siang, ia balik kembali ke
warung Kartodirun. Ia sekarang bersikap ramah. Dia
seorang pendekar yang berpengalaman. Setelah
berbicara kesana kemari, dapat ia memikat Kartodirun.
"Penjara tempat menahan pendekar Wirapati berada
dimana?" Kartodirun terkesiap. Inilah suatu pertanyaan tiba-tiba
yang mengejutkan. Ia membalas bertanya pula.
"Saudara siapa?"
"Aku salah seorang sahabatnya. Kedatanganku kemari
memang untuk meng-hisap-hisap berita tentang dirinya,"
jawab Mundingsari. "Ah! Kalau begitu benar warta yang kudengar pagi
tadi. Kabarnya nanti malam beberapa pendekar hendak
datang membongkar penjara. Kiranya engkau pun ikut
407 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
golongan mereka. Selamat! Selamat!" kata Kartodirun
dengan gembira. la berbicara wajar saja, karena pada saat itu
warungnya sepi tiada seorang pembeli pun. Lalu berkata
lagi: "Memang mengherankan! Kabar yang kudengar
adalah begini. Padepokan Gunung Damar berada di
wilayah Menoreh. Bupati yang memerintah Menoreh,
bernama Aria Sumadilaga33) Dengan mengandalkan
pengaruhnya, dia memanggil pendekar Wirapati untuk
diminta keterangannya tentang pendekar besar Sangaji
yang mengangkat senjata di Jawa Barat. Apakah saudara
pernah mendengar nama itu?"
"Tentu saja. Aku berasal dari Cirebon," jawab
Mundingsari. "Dengan pendekar besar Sangaji, pernah
beberapa kali aku bertemu muka."


Mencari Bende Mataram Lanjutan Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Keterangan ini tidak terlalu membohong. Tatkala ia
ikut hadir di Kabupaten Pekalongan dahulu atas
panggilan Pangeran Bumi Gede, pernah ia melihat wajah
Sangaji. Hanya saja ia berada di pihak lawan.
"Bagus!" seru Kartodirun. Orang itu lantas hilang rasa
curiganya. "Pendekar Wirapati lantas diangkut ke kota
ini. Entah apa alasannya, ia dipenjarakan di rumah
penjara umum." "Kabarnya pendekar Wirapati mempunyai saudara-
saudara seperguruan."
"Tidak hanya mempunyai saudara-saudara
seperguruan. Tapi pun pengaruhnya besar. Siapa saja
kenal sepak terjangnya yang mulia. Raja memujanya
33) seperti Bupati Magelang, ia setia kepada Belanda
408 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sebagai pahlawannya. Itulah sebabnya, berita
penangkapannya tersiar dengan cepat."
Mundingsari mengela napas. Beberapa saat lamanya,
ia berbimbang-bimbang. Kemudian berkata seperti
kepada dirinya sendiri, "Kepandaian pendekar Wirapati
sangat tinggi. Apa sebab dia tak mampu membebaskan
dirinya?" "Benar. Orang-orang gagah yang singgah disini pun
membicarakan soal itu," sahut Kartodirun.
"Kemungkinannya hanya satu."
"Apa?" "Mungkin sekali penjagaan sangat kuat. Bukan
mustahil Bupati Danuningrat mendapat bantuan orang-
orang pandai." Mendengar alasan itu, Mundingsari tak berkata lagi. Ia
menunggu sampai malam hari tiba. Setelah ganti pakaian
hitam, ia membawa pedang Sanjaya. Kemudian dengan
mengindap-indap ia berjalan mengarah ke penjara.
Di luar penjara, serdadu-serdadu penjaga keamanan
mondar-mandir tiada hentinya. Mundingsari
mengawaskan dengan mata berkilat-kilat. Sekian
lamanya ia mengasah otak untuk mencari cara yang baik
untuk memasuki penjara yang berdinding tinggi itu. Tiba-
tiba ia mendengar terompet. Berbareng dengan itu, ia
melihat berkelebat-nya serombongan bayangan hitam
yang berlari-larian mengarah ke barat daya. Heran
Mundingsari melihat penglihatan itu. Apakah artinya
gerakan itu" Akan tetapi, itulah kesempatan yang luar biasa baik
baginya. Sebagai seorang pendekar yang
409 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berpengalaman, segera ia memungut dua butir batu.
Kemudian dilemparkan tinggi ke udara. Dua butir batu itu
berbenturan dengan agak nyaring. Dua penjaga pintu
penjara melompat keluar hendak membuat penyelidikan.
Tanpa bersangsi lagi, Mundingsari melesat ke atas dan
hinggap di atas dinding penjara.
Malam itu"seperti malam kemarin. Gelap pekat, tiada
bintang di langit. Bulan sisir yang berada di barat
tertutup gumpalan awan hitam. Seluruh alam menjadi
hitam. Dengan mengenakan pakaian hitam, Mundingsari
dapat menyelinapkan dirinya. Gerakannya yang cepat
lolos pula dari intaian penjaga-penjaga lainnya.
Hati-hati ia terus melesat ke atas genting. Sayup-
sayup ia mendengar teriakan-teriakan arah barat daya.
Sekarang tahulah dia, apa maksud gerakan serombongan
bayangan hitam tadi. Mereka sengaja menyesatkan
pengawasan penjagaan. Untuk kepentingan siapa, ia
kurang jelas. Memperoleh pikiran demikian, ia segera meloncat
turun di halaman penjaga. Sekonyong-konyong
terdengar kata-kata sandi menegurnya. "Apa khabar?"
Tentu saja Mundingsari tak dapat menjawabnya.
Tetapi ia seorang pendekar yang berpengalaman, la
lantas menggerendeng. "Kau bilang apa?" bentak orang itu sambil mendekat.
"Keras sedikit!"
Mundingsari meloncat. Ia menyergap dengan
belatinya. Dan orang itu roboh kena tikam
tenggorokannya. Dan tidak sempat berteriak. Mulutnya
kena sekap. 410 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mundingsari segera mebeleceti34) pakaian
seragamnya. Setelah dikenakan, dengan buru-buru ia
menyeret mayat penjaga itu ke tempat gelap. Ia
mendepaknya sekali, lalu berjalan perlahan-pelahan.
Ukuran sepatu penjaga itu ternyata agak kekecilan
dibandingkan dengan ukuran kakinya, la agak kesakitan,
namun tak dirasakan. Di tengah jalan ia berpapasan
dengan seorang penjaga yang membawa lentera.
Mundingsari meloncat menghampiri seraya mengibaskan
pedangnya. Membentak perlahan.
"Di kamar mana Wirapati disekap?"
Penjaga itu kaget setengah mati. Tapi setelah
mendengar pertanyaannya, wajahnya nampak girang.
Sahutnya menegas. "Kau maksudkan pendekar
Wirapati?" "Benar. Lekas bilang!"
"Di dalam sel hukuman mati. Kamar nomor delapan
dari samping. Dari sini jalan lencang. Tuu... kau beloklah
ke kanan. Lantas hitung. Kamar ke delapan adalah sel
pendekar Wirapati." Tercengang Mundingsari mendengar keterangannya.
Ia memasukkan pedangnya dengan penuh sangsi.
"Ssst! Kata sandi malam ini berbunyi: 'Apa khabar"'
Kau harus menjawabnya! 'Naik tahta!' Ingat-ingatlah
jangan sampai salah!"
Mendengar keterangan itu, hilanglah kesangsian
Mundingsari. Segera ia menuruti petunjuknya dengan
231 mebeleceti = menelanjangi, diwudani
411 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
hati tetap. Benar saja. Begitu melintas satu gang35)
terdengar teguran: "Apa khabar?" Dan dengan hati mantap, ia menjawab: "Naik tahta."
"Bagus! Selamat malam," kata pejaga itu.
Mundingsari tak memedulikan lagi. Ia meneruskan
berjalan dengan agak berjingkit-jingkit lantaran ukuran
sepatunya yang kekecilan.
Beberapakali ia bertemu dengan penjaga-penjaga.
Semuanya beres tiada yang merintangi. Hanya saja di
antara mereka ada yang menaruh curiga. Itulah
disebabkan ukuran sepatunya dan lagu suaranya, yang
asing. Namun mereka bersikap membungkam mulut.
Setelah membeloki sebuah tikungan, mulailah ia
menghitung. Tepat, di depan kamar nomer delapan, ia
melihat seorang penjaga dengan pedang terhunus. Mun-
dingsari menubruk dengan membabatkan pedangnya. Di
luar dugaan penjaga itu gesit luar biasa. Meskipun kena
serangan gelap, dapat ia mengelak.
"Celaka!" Mundingsari mengeluh.
Setelah mengelak, penjaga itu memutar tubuhnya.
Aneh! Dia nampak tersenyum dan sama sekali tiada
mempunyai gerakan hendak menyerang.
"Kau lukai aku cepat!" katanya.
Mundingsari tercengang. Tapi lantas saja menjadi
sadar. Rupanya penjaga itu menaruh simpati kepada
Wirapati dan bermaksud hendak menolong membe-
M' gang = simpang jalan (jalan kecil)
412 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
baskan pula. Entah apa alasanya. la jadi terharu.
Pikirnya, "Mulia sungguh orang ini." Hatinya tak sampai
untuk melukainya. "Cepat!" hardik penjaga itu. "Setengah jam lagi tukar
penjagaan." Sambil mengeraskan hati, Mundingsari menggerakkan
pedangnya dan menggurat kaki penjaga itu.
"Jangan begini! Lebih dalam sedikit!" kata penjaga itu.
Tiba-tiba ia merampas pedang Mundingsari dan
menyabet lututnya sendiri hingga berdarah. "Sekarang
pukul ah aku sampai pingsan!"
Tapi Mundingsari tak bergerak, la tertegun-tegun.
Melihat hal itu, penjaga yang merampas pedangnya
menghantam urat nadi tulung rusuknya. Dan ia roboh
lunglai di atas lantai dengan mulut tersenyum.
Mundingsari menghela napas. Sama sekali tak
mengira, bahwa pendekar Wirapati begini besar
pengaruhnya. Beberapa penjaga banyak yang menaruh
simpati kepadanya. Menimbang pengorbanan itu, ia
harus bekerja dengan sungguh-sungguh dan cepat.
Setelah memungut pedangnya, ia menghantam gerendel
pintu. Hebat pedang warisan Pringgasakti. Begitu kena
pangkas, gerendel pintu rontok somplak. Cepat-cepat
Mundingsari menyambarnya agar tak menerbitkan suara.
Pada saat itu, ia mendengar orang bersenandung di
dalam kamar. duh kulup putraningsun36) hidup satu
tahun menjadi kambing apakah enaknya, lebih baik kau
menjadi harimau meskipun hanya hidup untuk sehari
karena namamu akan terukir terus sepanjang masa
36> Duhai anakku sayang...
413 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dirimu ada gunanya dilahirkan ke dunia
Itulah kata-kata Wirapati dahulu kepada Sangaji
sewaktu melepaskan muridnya berangkat pulang ke
Batavia37) Mundingsari tak mengerti hal itu. Namun mendengar
bunyi senandung Wirapati, hatinya terharu berbareng
kagum luar biasa. Alangkah gagah orang ini. Menghadapi
fitnah dan maut, ia sama sekali tak gentar, pikirnya di
dalam hati. Perlahan-lahan ia menolak pintu dan tangannya
meraba-raba ke dinding kamar. Ruang di dalam luar
biasa gelapnya. "Siapa" Kilatsih?" bentak Wirapati dengan suara
perlahan, "Kenapa lagi-lagi datang kemari" Kau tak
mendengarkan kata-kataku" Kalau aku tidak membiarkan
diriku begini, anakku Sangaji akan tetap tidur
bersenggur." Oleh karena keadaan sangat mendesak, tak sempat
Mundingsari menduga-duga siapakah yang di sebut
Kilatsih. Buru-buru ia menyalakan korek api dan
menyulut sumbu penyala, sebagai pelengkap manakala
seseorang mengadakan perjalanan jauh pada dewasa itu,
setelah kamar terang, ia menyahut dengan berbisik:
XI 37> Bende Mataram jilid
414 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kakang38) Wirapati! Lihatlah yang terang. Aku
Mundingsari... bukan orang yang kausebutkan. Kau
nampaknya terluka. Bolehkah aku menggendongmu
keluar?" Di bawah penerangan nyala sumbu yang remang-
remang Mundingsari menatap wajah Wirapati. Pendekar
yang gagah perkasa itu, tidak seperti tatkala di
Pekalongan dahulu. Ia kini sudah berusia hampir men-
capai lima puluh tahun. Rambutnya sudah banyak yang
ubanan. Ia duduk bersila dengan tangan diborgol. Itulah
pemandangan yang menyedihkan. Meskipun demikian,
keangkarannya tidak berkurang.
"Siapa?" ia membentak
Hati Mundingsari berdebaran. Hampir saja ia tidak
kuasa menjawab oleh suatu keharuan, la lantas duduk
bersimpuh di hadapannya. Katanya perlahan: "Di
Pekalongan dahulu, memang aku berdiri sebagai lawan-
mu. Meskipun tidak langsung. Aku bekas pendekar
undangan Pangeran Bumi Gede. Namaku Mundingsari.
Aku datang kemari hanya secara kebetulan. Karena aku
membawa pesan untuk menghadap tuanku Sangaji."
"Oh!" Wirapati mengerti. "Kau hendak menemui
anakku Sangaji. Untuk apa" Dan siapa yang menyuruh?"
"Denmas Sanjaya dan... Ki.... Jagasaradenta," jawab
Mundingsari tersekat-sekat.
Wirapati mengerutkan keningnya. Lalu menegas, "Kau
berbicara tersekat-sekat. Kenapa?"
38> kakang = kakak 415 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dengan suara menggeletar, Mundingsari menjawab:
"Mula-mula aku datang ke Sigaluh hendak memohon
bantuan. Karena barang kawalanku kena rampas. Di luar
dugaan, Denmas Sanjaya sedang bertarung seru
melawan utusan Sultan Jarot dan Patih Danurejo yang
bergabung dengan tiba-tiba. Di antara mereka terdapat
pula seorang kapten kompeni. Mereka menyebut-nyebut
nama Sangaji. Dan membujuk Denmas Sanjaya agar ikut
mengabdikan diri kepada pemerintahan baru. Tapi
Denmas Sanjaya menolak. Dan terjadilah pertarungan
mati dan hidup." "Bagus!" Wirapati bersyukur. Matanya berkilat-kilat.
"Lalu bagaimana?"
"Keempat lawannya mati semua. Tetapi Denmas
Sanjaya pun gugur pula. Inilah pedang warisan Beliau
untuk disampaikan kepada tuanku Sangaji."
Mendengar kabar tewasnya Sanjaya, Wirapati tegak
tak berbicara. Mundingsari tahu, hati pendekar itu
tergerak. Khawatir uraiannya kurang jelas, ia segera
menceritakan semua yang dilihat dan didengarnya.
"Ah, bagus!" kata Wirapati dengan suara perlahan. "Ki


Mencari Bende Mataram Lanjutan Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hajar Karangpandan tak perlu malu lagi. Dia telah
menemukan muridnya kembali," ia berhenti sebentar.
Tiba-tiba matanya berkilat-kilat lagi. "Kau bilang ke
Sigaluh. Sanjaya berkumpul dengan rekanku Ki
Jaga Saradenta. Dimanakah dia waktu itu?"
"Kakang Wirapati," jawab Mundingsari dengan suara
parau. "Sewaktu aku mencari putera Denmas Sanjaya,
kutemui Ki Jaga Saradenta tewas bersandar pada batu
tangga ambang pintu. Enam mayat mati bergelimpangan
di sampingnya... Kakang! Kau kenapa?"
416 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mundingsari kaget. Ia melihat tubuh Wirapati
menggigil. Wajahnya berubah hebat. Tatkala tangannya
diulur hendak meraih Wirapati menolaknya.
"Tak usah," katanya. Ia nampak menguasai diri.
Dengan wajah guram, ia menegas : "Kau sendiri apa
perlu datang kemari?"
"Aku bermaksud hendak menolong Kakang," sahut
Mundingsari dengan mencabut pedang Sanjaya.
"Apakah kau kira, aku tak dapat membebaskan
diriku?" Mendengar perkataan Wirapati, Mundingsari menjadi
bingung. Tapi sebentar kemudian, ia jadi girang. Katanya
dengan suara melonjak. "Bagus! Kalau begitu, hayolah kita berangkat!
Tunggu apa lagi?" Wirapati tak bergerak.
"Kau membawa berita tentang Ki Jaga Saradenta.
Bagaimana agar aku bisa percaya?"
Itulah pertanyaan di luar dugaan. Sedetik Mundingsari
menjadi bingung kembali. Lalu menjawab: "Di Jagad ini
memang banyak bangsat. Untuk membuktikan
kesungguhanku, aku hanya bisa membawa bukti robekan
baju Denmas Sanjaya dan pedang ini. Kemudian pesan
Denmas Sanjaya untuk puteranya. Bahwasanya Senot
Muradi harus mengangkat tuanku Sangaji menjadi guru-
nya.... Aku telah menyaksikan suatu kemalangan besar
yang menimpa tuanku Sangaji. Dia kehilangan seorang
gurunya. Secara kebetulan aku lewat di kota ini.
Mendengar kemalangan Kakang Wirapati, tak boleh aku
berpeluk tangan. Kalau Kakang Wirapati membiarkan diri
417 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kena siksa, akan membuat hati tuanku Sangaji
berpenasaran. "Aku justru menghendaki anakku Sangaji
berpenasaran," potong Wirapati dengan tersenyum.
"Dahulu"dengan tak memikirkan keselamatan diri"ia
mencarikan obat pemunah racun yang mengeram dalam
diriku. Kini aku mengharapkan dia berjuang dengan
seluruh hatinya untuk menghancurkan penjajah Belanda
dengan segenap kaki tangannya yang menyiksa aku dan
mencincang aku." "Kakang! Kau bilang apa," Mundingsari terkejut.
"Dengarkan!" tungkas Wirapati. "Dua kali aku kena
jebak kelicinan musuh. Benar-benar aku ini manusia tak
ada gunanya. Seekor kuldi takkan terantuk batu yang
sama. Tapi aku manusia sampai kena tertipu dua kali.
Coba katakan apakah manusia seperti aku ini masih perlu
hidup terus?" "Kakang! Pertimbanganmu terlalu berat!" kata
Mundingsari. Seakan-akan tidak mendengarkan, Wirapati berkata
lagi: "Isteri Pangeran Diponegoro adalah murid adikku
seperguruan. Ah, hebat Suryaningrat. Matanya jauh lebih
tajam daripada aku. la seolah-olah sudah dapat
meramalkan. Pada waktu ini, Suryaningrat berkumpul
dengan muridnya di Tegalrejo. Pangeran Diponegoro
sudah bersiap-siap menghadapi kelicinan Patih Danurejo.
Aku lantas menyusul. Di tengah jalan aku disambut oleh
Bupati Menoreh. Di kadipeten aku makan dan minum:
Tak kukira, aku kena bubuk racun yang sangat halus.
Tenagaku hilang. Lihatlah aku tak kuasa lagi
418 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
merenggutkan diri dari borgol ini. Manusia semacam aku
ini, apa gunanya hidup terus!"
"Kakang! Kau jangan bilang begitu. Kau akan tersesat
apabila manusia membenci dirimu sendiri."
Wirapati tertawa mengejek dirinya sendiri.
"Lantaran tiada bertenaga lagi, mereka lantas
membuka kartunya. Mereka minta agar aku bisa
membawa anakku Sangaji menghadap. Mereka berkata
bahwa pada saat ini pembangunan besar-besaran untuk
memakmurkan rakyat akan segera dilaksanakan dengan
bantuan Pemerintah Belanda. Itulah sebabnya, Patih
Danurejo dan Sultan Jarot menunggal karena sadar akan
pentingnya kemakmuran rakyat. Sangaji diharapkan agar
ikut menyingsingkan lengan baju untuk menggalang
suatu kebangunan ini. Aku memakinya kalang kabut.
Karena itu aku dilemparkan kemari. Di Kadipaten
Magelang, Bupati Danuningrat masih mencoba
membujukku. Kini berganti lagu. Akulah yang diharapkan
membantu pelaksanaan pembangunan. Dengan
masuknya aku ke gologan mereka, akan menjadi contoh
anakku Sangaji di kemudian hari," katanya. Mereka
berkata lagi, "Apakah sih enaknya menjadi berandal.
Karena rasa gusar, aku ludahi mukanya. Lalu serdadu-
serdadu Jawa memukuliku. Tahu-tahu aku sudah berada
di sini." "Kakang Wirapati!" potong Mundingsari dengan suara
khawatir. Waktu sangat mendesak. Inilah kesempatan
yang bagus. Mari kita berangkat!"
"Berangkat kemana?" bentak Wirapati.
419 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mundingsari terlongong sejenak. Berkata dengan
tergagap-gagap, "Kakang! Apakah Kakang tidak menaruh
iba kepada tuanku Sangaji. Kalau terjadi sesuatu pada
diri Kakang, Dia bakal berduka dan berputus asa."
"Tidak! Aku justru ingin mati kena peluru Belanda,"
potong Wirapati galak. "Mengapa begitu?" Mundingsari setengah memekik.
"Mengapa begitu?" ulang Wirapati dengan pandang
heran. "Sudah beberapa tahun, kita kehilangan api
perjuangan. Belanda makin melebarkan sayapnya.
Sesudah Sultan Sepuh wafat, kasultanan mulai
digerayanginya. Dan Pangeran Diponegoro mulai
disingkirkan pula. Sebab dialah semenjak dahulu menjadi
panglima kepercayaan Sultan Sepuh. Belanda tahu akan
hal itu. Patih Danurejo tahu pula. Kau tahu apakah yang
dikerjakan Patih Danurejo IV selama pendudukan
Inggris" Dia merusak mata pencaharian rakyat dengan
membebani pajak beraneka warna. Rakyat mengeluh,
lantaran pajak itu memberi kesempatan penguasa-
penguasa pemerintahan mengumbar keserakahannya.
Sekarang aku bertanya, dimanakah orang-orang gagah
selama itu" Rakyat membutuhkan pimpinan yang tegas!
Rakyat membutuhkan tangan kuat! Tapi mereka
melempem seperti tempe kehujanan! Coba bilang
padaku, dimanakan mereka kini berada?"
Mundingsari terlongong-longong. la kagum luar biasa
mendengar pandangan dan sikap hidup guru Sangaji
yang perkasa itu. Sewaktu hendak membuka mulut,
Wirapati berkata lagi: "Sekarang tidak ada lagi waktu
untuk berbicara berkepanjangan. Sangaji anakku berada
420 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
di jauh. Dan meninggalkan halamannya sendiri yang
porak-poranda. Dia adalah seorang pendekar yang
mempunyai ilmu kepandaian tinggi. Dia seorang mulia
hati. Hanya satu kelemahannya dia tidak mempunyai
idaman cita-cita bangsa yang tegas. Ibunya tewas, kena
peluru Belanda. Ia lantas bisa berpihak. Hanya sayang
ibunya tewas bukan untuk suatu tujuan bangsa.
Sekarang gurunya Ki Jaga Saradenta tewas kena
perbuatan licik. Sayang lawan-lawannya belum tegas.
Aku khawatir, sasaran Sangaji belum tegas. Karena itu
perlu aku kini berkorban. Ingin aku mati di ujung sena-
pan Belanda. Dan aku percaya anakku Sangaji bakal
bangkit. Suruhlah dia bergabung dengan Pangeran
Diponegoro! Inilah pesanku. Nah, kau pergilah!"
Mundingsari hendak berkata, tapi telinganya
mendengar suara penjaga yang melukai dirinya tadi,
bergulingan menumbuk pintu. Itulah suatu peringatan
agar dia bekerja cepat. "Kakang Kakang," ia mengeluh. "Kau akan
membuat seluruh orang gagah berduka."
"Jangan kau mencoba membujuk aku lagi! Pergi!"
bentak Wirapati. "Meskipun tenagaku lumpuh, aku bisa
mendengar langkah orang-orang yang berkepandaian
tinggi. Kau pergilah cepat atau semuanya menjadi gagal.
Jika hal ini sampai gagal, arwahku akan mengutukmu
sebagai seorang pengkhianat!"
Tubuh Mundingsari menggigil mendengar ancaman
Wirapati. Itulah suatu ancaman yang mengerikan.
Dengan setengah meratap, ia berkata: "Baiklah, Kakang.
Maafkan semua kesalahanku zaman dahulu. Kau
sekarang hendak berpesan apa?"
421 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tak pernah aku berdosa terhadap siapa pun. Tuhan
tahu akan keadaan diriku. Hidupku inilah saksinya," sahut
Wirapati. Mundingsari bangkit dengan perlahan-lahan. Pedang
warisan Pringgasakti digenggamnya erat-erat. Ia berdiri
dengan lunglai di depan Wirapati.
"O ya ada sebuah pesan," sekonyong-konyong
Wirapati berkata. "Apa?" semangat Mundingsari timbul.
"Carilah anakku Sangaji sampai bertemu. Dia harus
kembali ke Gunung Damar untuk merawat kakek
gurunya. Kemudian suruhlah dia bergabung dengan
Pangeran Diponegoro! Katakan padanya, bahwa di alam
baka aku akan tetap melindunginya."
Bukan main terharunya rasa hati Mundingari. Ia
menunduk dengan air mata bercucuran. Sahutnya
dengan suara parau: "Kakang! Kau legakan hatimu.
Selama aku masih bisa bergerak, aku akan mencari
muridmu Sangaji." Baru saja ia mengucapkan kata-kata itu, pintu sel kena
tendang dari luar. Beberapa orang melompat masuk
sambil berteriak: "Sel terbongkar. Siapa di dalam?"
Buru-buru Mundingsari meniup sumbu
penerangannya. Menggunakan gelapnya kamar, ia
melesat keluar sambil membabatkan pedangnya. Trang!
Senjata mereka kena terbabat putus. Mereka kaget
sampai meloncat mundur dengan berbareng. Dan
kesempatan itu dipergunakan Mundingsari untuk
meloncat ke atas genteng.
422 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bangsat, jangan lari!" bentak seseorang.
Mundingsari tak menghiraukan bentakan itu. Ia sadar
akan bahaya. Cepat ia melesat ke depan. Sekonyong-
konyong suatu kesiur angin mengubar punggungnya.
Cepat ia mengelak sambil menyambarkan pedangnya.
Dengan suatu suara nyaring pedangnya berbenturan.
Dan lentikan api mengejap seakan-akan bunga api.
Mundingsari kaget bukan main. Pedang warisan
Pringgasakti ternyata tidak mampu mengutungkan
senjata lawan. Selain itu, tangannya sakit dan lengannya
kesemuten. Siapa dia" Dengan mata mengejap-ejap ia
mengamat-amati wajah lawan. Dia seorang laki-laki
berperawakan cakap. Tangan kanannya terbebat
kencang dan tergendong melintang dadanya. Sedang
tangan kirinya menggenggam sebatang golok besar
seberat lima puluh kati. Ia mengenakan pakaian seragam
perajurit istana. Kesannya gagah berwibawa.
Golok besar yang dibawanya biasanya merupakan
golok latihan berperang di atas kuda. Seseorang harus
memegang dengan kedua belah tangannya semacam
tombak. Bahwasanya perwira itu dapat menggerakkan
golok sebesar itu dengan sebelah tangan dan mampu
pula membawa meloncat ke atas genteng berbareng
mengejar, membuktikan betapa tinggi ilmu kepandai-
annya. "Di sini Wiranegara. Bangsat, kau siapa?" bentaknya.
Mendengar dia menyebut diri dengan nama
Wiranegara, Mundingsari kaget sampai berjingkrak
mundur. Ia menajamkan penglihatannya. Tak salah.
Melihat perawakan tubuh dan suaranya dia benar-benar
Wiranegara empat hari yang lalu. Terang sekali, dia kena
423 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
gempur kaki Sanjaya. Rupanya dia tidak mati. Karena
tulang pundaknya patah ia berpura-pura mati. Dengan
begitu ia lolos dari pengamatan Sanjaya. Ah, benar-benar
licik orang ini, pikir Mundingsari.
"Ah, kukira kau sudah mampus di tangan pendekar
Sanjaya. Ternyata dengan sebelah tanganmu, masih bisa
kau memanggul golok besar," sahut Mundingsari dengan
suara mengejek. "Hai, kau tahu?",Wiranegara kaget. "Kalau begitu tak
peduli siapa dirimu kau harus mampus malam ini juga.
Hai, penjaga! Mana lainnya?"
Dengan sebat Mundingsari mendahului menyabetkan
pedangnya. Buru-buru Wiranegara melintangkan golok
besarnya yang terbuat dari besi bercampur baja. Trang!


Mencari Bende Mataram Lanjutan Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Goloknya bergoyang-goyang. Heran Wiranegara kena
benturan itu. Lawannya yang berberewok itu ternyata
mempunyai tenaga dahsyat pula. la lantas membalas
menyerang. Mereka berdua lantas bertempur dengan serunya.
Selagi Mundingsari bergerak hendak mundur, tiba-tiba
dibelakangnya sudah berdiri dua orang lagi yang
bersenjata pedang. Juga disamping Wiranegara ber-
tambah seorang lagi. Dengan demikian ia kena keroyok
empat orang sekaligus. Gerakan empat lawannya bukan main gesitnya. Mau
tak mau, ia jadi sibuk luar biasa. Dengan membolang-
balingkan pedangnya, ia melindungi diri. Suatu kali suatu
kesiur tajam mengarah kepalanya. Buru-buru ia
menunduk. Tak urung serumpun rambutnya terbabat
kutung. Hatinya terkesiap.
424 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dalam pada itu dari jarak sepanjang ombak
Wiranegara segera melancarkan serangannya. Ia dibantu
oleh rekanya yang berada di sampingnya. Orang itu
bersenjata rantai panjang. Itulah piranti39) untuk mem-
belenggu orang. Rupanya dia berkeyakinan pasti akan
dapat meringkus Mundingsari dengan cepat. Setelah
memutar rantainya berdesingan, ia mencambukkan.
Mundingsari kaget. Buru-buru ia melesat mundur
sambil membabatkan pedangnya. Tepat pada saat itu,
kedua lawannya menyerang punggungnya dengan
berbareng. Suatu benturan senjata tak dapat dielakkan
lagi. Untung dia memiliki pedang warisan Pringgasakti.
Kedua pedang lawannya somplak seketika itu juga.
Tetapi dengan demikian, tak dapat ia meloloskan diri dari
kepungan yang rapat luar biasa.
Tiba-tiba di sebelah kanan terdengar bentakan.
Sesosok bayangan hitam berkelebat memasuki
gelanggang pertempuran. Begitu bayangan itu
menggerakkan senjatanya, kedua pundak Mundingsari
terancam dengan sekaligus. Buru-buru Mundingsari
membungkuk. Pedangnya memukul balik serangan lawan
dan kakinya menendang. Lalu ia melesat ke samping.
Bayangan yang memasuki gelanggang itu,
berperawakan pendek kecil. Dia mengenakan pakaian
serdadu. Senjata yang digunakan sepasang pedang tipis.
Bahwasanya orang sekecil itu menggunakan pedang tipis
demikian"membuktikan bahwa ia bertenaga besar. Tiap
gerakan pedangnya, mengeluarkan kesiur angin dahsyat.
39' peranti = alat, perkakas
425 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mundingsari merinding40) bulu kuduknya. Seumpama
ia memiliki ilmu kepandaian dua kali lipat lebih tinggi
daripada sekarang, masih ia tak sanggup mengadakan
perlawanan. Apalagi berangan-angan untuk
mengalahkan. Mereka yang membantu Wiranegara adalah orang-
orang sebawahannya. Meskipun beradu di bawah
komandonya, namun sebenarnya mereka anggota
Kompeni Belanda. Mereka datang dari Aceh,
Kalimantan, Makasar dan Ambon. Mereka termasuk
serdadu kelas satu. Kepandaiannya tinggi dan menjadi
pengawal pribadi Residen Nahuys yang berkedudukan di
Jogjakarta. Sebentar saja, mereka dapat melibat Mundingsari.
Pendekar ini menjadi bingung sekali. Baru melampaui
dua puluh jurus, ia sudah merasa tak tahan lagi.
Dalam pada itu, serdadu-serdadu penjaga lainnya
yang berjumlah belasan orang sudah mulai meloncat ke
atas genteng. Sedang di bawah atap belasan orang lagi
berentep mengepung rapat. Mereka berteriak-teriak
nyaring. Di antaranya terdengar teriakan untuk
menembak mati saja dengan senapan.
"Jangan! Mereka sedang bergulat rapat. Siapa
menjamin pelurumu tidak menyasar?" cegah yang lain.
Mundingsari mengertak giginya, la berkelahi seperti
orang gila. Tanpa memedulikan keselamatan diri, ia
mengamuk dengan menebaskan pedangnya asal jadi
saja. Untuk sementara, musuh-musuhnya agak segan
menyaksikan kekalapannya. Pada detik yang sangat
40> merinding = meremang
426 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berbahaya, tiba-tiba berkelebatlah sesosok bayangan
berpakaian serba putih di atas bubungan atap.
Melihat gerak-geriknya, Mundingsari pernah merasa
bertemu. Hanya saja tak dapat ia teringat dengan
segera. Pada saat itu pula serdadu yang berperawakan pendek
kecil tadi berhasil melancarkan serangan pedangnya.
"Kena!" serunya girang. Sepasang pedangnya memba-
bat. Mundingsari mengeluh. Karena baru saja menangkis
golok Wiranegara, tak sempat lagi ia membela diri.
Dalam keadaan terdesak, ia menahan napasnya
menunggu maut. Matanya sudah dipejamkan. Tiba pada detik itu,
serdadu yang hendak menghabisi nyawanya menjerit
tinggi. Dan sepasang pedangnya terpental ke samping.
Secara kebetulan kedua senjatanya itu menghantam
golok Wiranegara dan pedang rekannya. Benturan itu
membuat senjata mereka runtuh bergelontangan.
Mundingsari menyenakkan matanya. Apa yang telah
terjadi" Ia mendengar suara tertawa nyaring halus.
Dilemparkan pandangnya ke arah suara itu. Sejarak
sepuluh langkah berdiri seorang pemuda berpakaian
serba putih. Kedua tangannya bergerak menyambitkan
sisiran bambu. Di dalam malam gelap gulita sama sekali
tidak nampak. Tapi tiba-tiba ke empat musuhnya ber-
teriak kesakitan. Mereka yang kena bidikan"mimpi pun tak pernah"
bahwa sisir bambu bisa mempunyai daya bidik setajam
peluru. Siapa yang kena bidikannya, roboh pada detik itu
juga. Dalam waktu sekejap saja belasan penjaga roboh
bergelimpangan di atas genteng. Sasaran bidikan
427 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pemuda itu tidak memandang bulu. Ia main
menghantam saja. Sebab sisir bambu mengenai lengan
Mundingsari. Dan lengan pendekar itu lantas saja lumpuh
tak dapat digerakkan. "Cepat panggil Letnan Mangun Sentika!" teriak
Wiranegara. Sebuah sisir bambu berdesing menyambar
lututnya. Ia sempoyongan beberapa langkah. Kemudian
roboh tidak berkutik. Mundingsari tak berani berayal-ayalan lagi. Sambil
memindahkan pedangnya ke tangan kiri, ia menarik
napas dalam-dalam. Lalu kabur dengan secepat-
cepatnya. Setelah melewati dua bubungan atap, ia
menoleh. Dua bayangan nampak berkejar-kejaran. Yang
satu si Baju putih. Dan yang lain seorang perwira
bersenjata pedang panjang. Mereka mengarah ke barat
daya. Mundingsari berdiri tertegun dengan memeras
ingatannya. Tiba-tiba suatu ingatan menusuk benaknya.
Ia terkejut sampai memekik tertahan. Katanya didalam
hati: "Ah, dialah yang menggoda Senot dahulu. Benar...
benar!" Pada saat itu lonceng tanda bahaya bergema
bersambung-sambung. Beberapa serdadu lari
berserabutan dengan membawa obor. Mundingsari tak
berani sembrono. Cepat ia melesat turun. Benar saja.
Beberapa orang berteriak-teriak mencoba mengejarnya.
Untung dia telah melesat mendahului. Merasa diri
berkepandaian rendah, tak berani ia mengumbar adat
menghadapi orang-orang yang berkepandaian tinggi.
428 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ah, biarlah!" ia mengeluh di dalam hati. "Biarlah
Wirapati kena ditolong pemuda itu." Ia lantas kabur
secepat-cepatnya mengarungi kegelapan malam.
Sewaktu tiba di penginapan, angin fajar hari telah
serasa meraba tubuhnya. Segera ia membuka bajunya.
Syukurlah luka yang dideritanya hanya luka luar. Tapi
baru saja ia menaruhkan bubuk obat luka di atasnya,
mendadak kepalanya terasa pusing. Matanya berkunang-
kunang pula. Dan ia roboh di atas pembaringan.
Berjam-jam, ia roboh pingsan. Tatkala siuman, ia
melihat nyala dian berkelip-kelip. Ia memiringkan
badannya. Hatinya tercekat. Kartodirun sudah berada di
dekatnya dengan mengenakan pakaian serba hitam.
Itulah pakaian berkabung. Dugaannya tak salah lagi.
Kedua mata Kartodirun nampak merah bendul.
"Hai"aku belum mati! Kenapa kau menangis?"
Mundingsari minta keterangan.
"Pendekar Wirapati....," sahut Kartodirun tersekat-
sekat. "Pendekar Wirapati sudah pulang kembali ke alam
baka." "Kau bilang apa?" teriak Mundingsari sambil
menegakkan badannya. "Pagi tadi Beliau pulang," Kartodirun berkata
menegaskan. Sambil menundukkan kepalanya, ia
meneruskan: "Seluruh penduduk yang kenal siapakah dia
berkabung pada hari ini. Hanya begundal-begundal
bangsat yang bersuka ria di rumah-rumah makan."
Dengan satu teriakan menyayatkan hati, Mundingsari
roboh pingsan kembali di atas pembaringan.
429 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Serasa hanya sedetik, ia sadar kembali. Kartodirun
masih berada di sampingnya.
"Jam berapa sekarang?" Mundingsari bertanya.
"Kau pingsan satu hari setengah malam," jawab
Kartodirun. "Sekarang kau memasuki hari kedua."
Mundingsari menegakkan tubuhnya dengan berenung-
renung. Hatinya seperti tersayat-sayat. Sama sekali tak
pernah diduganya, bahwa Bupati Danuningrat meng-
hukum sesama bangsanya begitu kejam demi
perhambaannya kepada majikan yang menghidupi
keluarganya. "Saudara Mundingsari," kata Kartodirun. "Bagaimana
keadaanmu sekarang" Jika engkau sudah mampu
berjalan, cepat-cepatlah meninggalkan kota terkutuk ini!"
"Mengapa?" Mundingsari tak mengerti.
"Pedangmu masih berlumuran darah. Pada saat ini
desas-desus hebat mengumandang di seluruh kota.
Khabarnya siapa saja yang mempunyai hubungan
dengan pendekar Wirapati, harus ditangkap atau
dibunuh. Karena itu lebih baik saudara menyingkir
dahulu!" Mundingsari melompat dari pembaringan sambil
menyambar pedangnya, la menghela napas dalam.
Berkata setengah mengutuki diri sendiri.
"Aku berlagak memasuki penjara dan membuat onar
tak keruan. Akibatnya, aku mempercepat kematian
pendekar Wirapati. Ah, apa guna aku hidup lebih lama
lagi" Aku pun ternyata tak dapat menolong seorang
430 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ksatria besar dari belenggu gerombolan penjilat
Belanda..." "Saudara! Tak boleh kau berpikir begitu cepat!"
potong Kartodirun. "Yang mati tidak akan dapat hidup
lagi. Sebaliknya yang masih hidup harus
mempertahankan hidupnya untuk meneruskan
perjuangannya. Pendekar Wirapati mempunyai seorang
murid yang bisa menggoncangkan tanah Pasundan. Aku
percaya, bahwa dia bakal datang kemari untuk menuntut
balas. Saudara sudah memasuki penjara. Apakah belum
bertemu dengan pendekar Wirapati?"
Diingatkan hal itu, Mundingsari kaget, la menatap
wajah Kartodirun, menegas.
"Sebenarnya kau siapa?"
"Aku seorang penjual nasi. Tidak kurang tidak lebih,"
jawab Kartodirun. Mundingsari menarik napas sambil menyarungkan
pedangnya. Berkata kepada dirinya sendiri.
"Di saat-saat ini kawanan penjilat berkeliaran dimana-
mana. Sebaliknya di antara rakyat jelata, masih terdapat
seorang ksatria seperti engkau. Jelaslah."bahwa
pengucapan bangsa tidak dapat diwakili pembesar-
pembesarnya melulu. Apalagi kalau pembesar-pembesar
itu kena ancam senjata uang dan kekuasaan"dia justru
berada di seberang hati nuraini rakyat," ia berdiam lama
sekali. Kemudian bertanya, "Apakah jenazah Kakang
Wirapati sudah terawat baik?"
"Terawat baik?" ulang Kartodirun dengan berduka.
"Menurut khabar"atas perintah Bupati Danuningrat"
431 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kepalanya dipancung. Kini berada di atas tembok
pesanggrahan kompeni sebelah timur kota."
Mundingsari berjingkrak berbareng menjerit keras.
Kedua matanya mendelik. Gundunya berputaran karena
rasa gusarnya. Dengan tubuh gemetaran ia berkata
memerintah. "Berilah aku makanan sedikit!"
Kartodirun mengundurkan diri dan kembali dengan
membawa makanan malam. Tak berkata sepatah kata
lagi, Mundingsari menyapu bersih makanan malam itu.
Kemudian - setelah membayar uang sewa kamar dan
uang makan ia segera berkemas-kemas.
"Terima kasih atas segala budi kebaikanmu. Kita


Mencari Bende Mataram Lanjutan Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berharap dapat bertemu kembali,"katanya pendek.
Setelah itu ia melompat keluar melalui jendela.
Gesit gerakan Mundingsari. Dengan cepat ia
mengarungi kepekatan malam. Untunglah"malam itu
bulan sisir muncul di langit sebelah barat. Meskipun
cuaca remang namun matanya yang tajam dapat
menembus tirai malam. Bagaikan terbang ia berlari-larian
menuju ke timur kota. Sebentar saja sampailah dia di
pesanggrahan kompeni. Pesanggrahan kompeni ternyata
bertembok tinggi"merupakan sebuah benteng.
Mundingsari mendongak ke atas. Di atas pintu
benteng sebelah utara, tertancap sebatang tiang bendera
berukuran tinggi. Biasaya kompeni mengerek41) bendera
kebangsaannya di atasnya. Tapi kali ini, bendera
kebangsaannya tak nampak. Sebagai gantinya, pada
41' mengerek = menaikkan 432 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ujungnya tergantung sebuah benda bulat seperti kepala
manusia. Melihat pemandangan itu, tak saggup lagi Mundingsari
menguasai dirinya lagi. la lantas menangis tersedu-sedu.
Tanpa menghiraukan segala bahaya, ia menjejak tanah.
Tubuhnya melayang tinggi dan hinggap di atas pagar
tembok. Dengan sekali tarik, ia mencabut pedang
warisan Pringgasakti. Lalu membabat tiang bendera
dengan hati meluap-luap. Mulia maksud hatinya. Hanya saja kurang
berwaspada. Sebab sesungguhnya kompeni sedang
memasang jebakan. Kepala Wirapati yang digantung di
ujung tiang bendera di atas tembok tinggi, dimaksudkan
untuk menjerat kawan-kawan Wirapati yang memasuki
penjara kemarin malam. Ternyata jebakannya berhasil.
Mundingsari yang terlalu menuruti raungan hatinya
masuk perangkap. Selagi pedangnya membabat, tiba-tiba
sesosok bayangan menerjang dengan tertawa melalui
hidungnya. Dan pedangnya kena terpukul balik.
Mundingsari kaget. Buru-buru ia melompat tinggi
untuk menghindari sabetan golok lawan. Pedangnya
dipapaskan ke bawah untuk membalas menerjang.
"Hiaa...," lawannya tertawa merendahkan. "Tepat
sekali perhitungan Letnan Suwangsa. Seekor kodok
buduk bakal masuk perangkap."
Mundingsari tak sempat berpikir siapakah Letnan
Suwangsa itu. Hatinya diamuk rasa mendongkol setinggi
gunung. Dengan gerakan ibarat angin puyuh, ia
membabat dengan pedangnya.
433 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Eh, pedang bagus!" terdengar seseorang berseru.
Mundingsari menoleh. Hatinya tercekat setelah mengenal
orang itu. Dialah yang kemarin yang disebut Letnan
Mangun Sentika. Kata Mangun Sentika lagi: "Tinggalkan
pedangmu. Dan aku akan mengampuni engkau. Eh,
tidak. Kau pun harus takluk pula."
"Kau hendak minta pedang ini?" bentak Mundingsari
dengan mendongkol. "Nih, ambil!" Berbareng dengan
ucapannya, ia memangkaskan pedangnya. Kaget Letnan
Mangun Sentika, menghadapi serangan tiba-tiba itu.
Untuk menyelamatkan diri ia bergulingan di atas genteng
yang berada di sebelah tembok.
Mundingsari agak berbesar hati. Dengan
mengandalkan pedang warisan Pringgasakti yang tajam
dan ulat luar biasa, ia menghadapi dua pengeroyoknya,
la mengincar kelemahan orang yang memental balik
pedangnya. Orang itu mengenakan seragam militer.
Senjatanya berbentuk setengah golok dan setengah
pedang. Bentuknya melengkung seperti bulan sisir.
Dengan gesit ia membabat betis Mundingsari.
Pada detik yang sangat berbahaya, Mundingsari
meloncat tinggi. Pedangnya berkelebat menyambar
leher. Orang itu kaget bukan main. Sama sekali tak
diduganya, bahwa Mundingsari masih bisa membalas
menyerang. Karena bingungnya, ia mengambil keputusan
cepat. Dilepaskannya pedang bengkoknya dan ia lantas
bergulingan menjauhi. Mundingsari tidak sudi memberi kesempatan. Cepat
dia hendak memburu. Sekonyong-konyong betis kirinya
terasa sakit, sebatang belati menancap hampir sejari
434 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dalamnya. Dengan mengertak gigi, ia mencabut belati
itu. Kemudian disambitkan ke arah lawan gelap.
Orang yang melemparkan belati dengan cara
menggelap tadi sama sekali tak mengira bahwa dia bakal
dibalas begitu juga. Tahu-tahu belatinya sendiri
berkelebat di depannya. Buru-buru ia hendak menggu-
lingkan" diri. Tapi sudah kasep. Dengan berteriak
kesakitan pundak kanannya termakan oleh belatinya
sendiri. Puas Mundingsari melihat timpukannya berhasil. Ia
lantas berkelahi dengan kalap. Dan melihat
kekalapannya, betapapun juga tiga orang lawannya
menjadi gentar. "Hm, benar-benarkan kalian tak dapat menangkap
seekor katak buduk!" terdengar Letnan Mangun Sentika
menggerutu. "Minggir! Biar aku sendiri yang menangkap-
nya." Dengan mata merah Mundingsari berkelahi. Kini
gerak-geriknya agak terganggu karena lukanya. Ia
mundur setindak demi setindak. Dua rekan Letnan
Mangun Sentika tak mau kehilangan kesempatan. Takut
jasanya akan berkurang, mereka lantas ikut mengepung.
Dan dikepung tiga orang, Mundingsari benar-benar
dalam bahaya. Pada saat itu, tiba-tiba suatu ingatan berkelebat di
dalam benaknya. Pikirnya di dalam hati, "Aku biasa
menggunakan golok, tapi kurang mahir menggunakan
pedang. Apakah pedang ini tidak dapat kugunakan
sebagai golok?" Memikir demikian, ia lantas sengaja
membuka suatu lowongan. Dua serdadu pembantu
Letnan Mangun Sentika, girang bukan main. Seperti
435 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berlomba; mereka maju menerjang. Tapi begitu
menerjang Mundingsari membacok dengan sekuat
tenaga. "Trang!" Mereka berdua tercekat. Senjata mereka somplak
sebagian. Tidak hanya itu. Tangan mereka berdarah
dengan mendadak. Untung, mereka pun bukan orang
sembarangan. Sekali pun tangannya berdarah, namun
mereka masih bisa mempertahankan senjatanya masing-
masing. Mundingsari menggeram bagaikan seekor harimau
terluka. Segera ia menerjang pula. Pada saat itu
lawannya terancam bahaya. Letnan Mangun Sentika
menangkis dengan pedangnya sambil membentak.
"Manusia tolol! Kalian berdua masakan tidak sanggup
menangkap seekor katak buduk yang sudah terluka" Aku
bilang tadi, minggir!"
Mundingsari berputar mengarah kepada Letnan
Mangun Sentika. Hebat orang itu. Ia berperawakan tinggi
semampai. Dengan pedang dibolang-balingkan ia berkata
tajam. "Pedang itu"bukankah pedang Sanjaya" Bagaimana
bisa jatuh di tanganmu" Hayo serahkan!"
"Sanjaya meminjamkan pedangnya kepadaku. Beliau
memberi perintah padaku untuk mengutungi lehermu,"
jawab Mundingsari sambil menabas.
Letnan Mangun Sentika gusar bukan main. Bentaknya
nyaring: "Saat mampusmu sudah berada di depan
436 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
matamu"eh" mudah saja kau mengumbar mulut
seenaknya sendiri." Mundingsari malas melayani dengan mulutnya. Lagi-
lagi ia menabas. Sebentar saja ia telah melancarkan
serangan beruntun. Ternyata pedangnya digunakan
sebagai golok. Gerakannya membacok dan membabat.
Semua bacokannya mengancam maut. Tapi Letnan
Mangun Sentika benar-benar hebat. Tapi"dalam suatu
perkelahian pengeroyokan"kepandaiannya tidak nam-
pak. Ia seperti memberi kesempatan kepada dua orang
pembantunya. Tapi kini setelah dua orang pembantunya,
diperintahkan minggir"ia mulai memperlihatkan kepan-
daiannya. Dengan gampang saja, ia dapat memunahkan
setiap serangan Mundingsari.
"Bagaimana?" ejeknya dengan setengah tertawa. "Eh,
kau membandel. Mengapa kalau kau tidak diberi hajaran
sedikit, tidak akan tahu kepandaian Mangun Sentika.
Lihatlah yang terang!"
Letnan Mangun Sentika adalah wakil Wiranegara.
Beradanya di dalam pesanggrahan kompeni memang
atas perintah atasannya. Dia diperintahkan membantu
mengawasi keamanan. Ilmu kepandaiannya tinggi.
Dibandingkan dengan Wiranegara terpautnya tidak
banyak. Malah-malah dia bisa lebih berbahaya daripada
komandannya itu. Sebaliknya, Mundingsari yang gampang tersinggung
terlonjak darahnya begitu kena ejek. Dengan hati
berkobar-kobar, ia mengerahkan seluruh tenaganya.
Pedangnya berkelebatan tiada hentinya. Kadang-kadang
ia menggunakan ilmu pedang. Kadang ia menggunakan
pedangnya sebagai golok. 437 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Namun Letnan Mangun Sentika tetap saja membawa
sikap tenangnya. Dengan gesit ia memukul balik setiap
serangan Mundingsari. Pedangnya berkelebatan pula.
Dan tenaganya jauh lebih kuat daripada Mundingsari.
Perwira itu lantas menggunakan pikirannya.
Pada saat itu, Mundingsari menabaskan pedangnya
dengan tenaga yang luar biasa besarnya. Ia lantas
menangkis dan menempelnya. Dan kena ditempel
demikian, hati Mundingsari terkesiap. Buru-buru ia
menariknya dengan sekuat tenaga. Tapi tetap saja
pedangnya tak dapat membebaskan diri dari tempelan
lawan. Letnan Mangun Sentika tertawa ber-kakakkan.
Pedangnya lantas dibolang-ba-lingkan. Anehnya pedang
Mundingsari kena di bolang-balingkan juga. Dalam hal
ini, Mundingsari kalah dalam beberapa hal. Selain
tenaganya, juga ilmu pedangnya. Ia memang biasa
menggunakan sebatang golok. Tadi dia bisa
menggunakan pedangnya sebagai golok. Tapi setelah
kena tempel, sifat pedangnya tak dapat dirubahnya.
Maka ia menjadi bingung bagaimana caranya bisa lolos
dari tempelan itu. Setelah kena diputar-putar beberapa
saat lamanya matanya jadi berkunang-kunang.
Dalam bingungnya dengan mendadak kedua kakinya
bergerak sendiri menendang dua kali beruntun.
Berbareng dengan itu, tangannya menarik pedangnya.
Inilah suatu gerakan naluriah di luar kesadarannya
sendiri. Dan begitu terlepas dari tempelan, pedangnya
dibacokkan kalang kabut. Letnan Mangun Sentika boleh memiliki kepandaian dua
kali lipat lagi. Tapi menghadapi renggutan naluriah itu,
438 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
untuk sementara ia menjadi kaget berbareng heran.
Sama sekali tak diduganya bahwa lawannya berani
menendang kedua kakinya selagi pedangnya kena
tempel. Inilah gerakan melanggar ketentuan-ketentuan
ilmu pedang yang pernah dikenalnya. Sebab tatkala itu
sedang mengadu kekuatan kaki.
Sebenarnya ia dapat membalikkan tangannya dengan
membalas menabas. Tapi bila tebasan itu dilakukan,
Mundingsari akan mati terkutung. Hal ini tidak dikehen-
dakinya. Untuk sedetik dua detik, ia menjadi bengong.
"Aku ingin manangkap untuk mengorek
keterangannya. Dan bukan untuk membunuhnya,"
pikirnya dalam detik itu.
Dengan pikiran demikian ia melesat mundur sambil
melintangkan pedangnya. Akan tetapi Mundingsari berkelahi secara nekat.
Tidaklah mudah menangkap orang dengan tata berkelahi
demikian dengan mudah. Sesudah bertempur lagi dua
puluh jurus, akhirnya Letnan Mangun Sentika berhasil
menggores pundak Mundingsari. Dan tendangannya jitu
mengenai pergelangan tangan.
Mundingsari kaget, karena pedangnya terpental.
Dengan berteriak bergulingan ia memburu pedangnya.
"Ringkus!" perintah Letnan Mangun Sentika
mengguntur. Dua serdadu pembantunya segera melompat maju
hendak meringkusnya. Tapi begitu hendak menyambar
tubuh Mundingsari, sekonyong-konyong terdengarlah
suatu suara gemertak yang luar biasa bunyinya, mereka
menoleh dengan serentak. 439 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sesosok bayangan yang mengenakan topeng, muncul
dengan tiba-tiba. Gerakannya gesit luar biasa. Dengan
beberapa loncatan saja dia sudah berhasil berada di atas
tembok. Lalu menghantam tiang bendera sehingga patah
gemeretak. Tiang bendera itu terbuat dari tembaga murni yang
tak mudah patah kena sabetan padang maupun kampak.
Bahwasanya dengan sekali menghantam saja orang itu


Mencari Bende Mataram Lanjutan Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dapat mematahkan tiang bendera"membuktikan betapa
hebat tenaganya. Dua serdadu yang hendak meringkus Mundingsari
tertegun melihat kejadian itu. Mundingsari tak sudi
menyia-nyiakan kesempatan baik itu. Segera ia meletik
bangun. Tangannya diayun hendak menebaskan
pedangnya. Tapi ia kaget setengah mati. Pundaknya
yang kena gores pedang Letnan Mangun Sentika terasa
sakit luar biasa, sehingga tangannya tak mau mengikuti
kemauan hatinya. Pada saat itu, dua pembantu Letnan Mangun Sentika
tersadar. Segera mereka meloncat menubruk dengan
berbareng. Dengan sebelah tangan yang baru saja sem-
buh akibat bidikan pemuda berpakaian putih dahulu, dan
kini dengan lengan yang tak dapat digerakkan dengan
leluasa, masih Mundingsari berusaha mempertahankan
diri sebisa-bisanya. Namun ia sudah boleh dikatakan
setengah lumpuh. Dengan tak berdaya ia mengawaskan
berkelebatnya senjata dua lawannya mengancam
jiwanya. Hatinya mencelos, karena merasa diri tak
sanggup lolos dari ancaman itu.
Akan tetapi di luar dugaan"pada detik yang sangat
berbahaya"dua serdadu itu menjerit tinggi dan roboh
440 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
terguling di atas genteng. Tatkala Mundingsari
menebarkan matanya, ia melihat Letnan Mangun Sentika
sudah bertempur seru dengan seorang bertopeng di
bawah tiang bendera. Mundingsari heran bukan kepalang. "Siapa?" batinnya
sibuk menduga-duga. "Bagaimana caranya ia menimpuk
dua serdadu itu dengan pisau belatinya sambil melayani
pedang Mangun Sentika?"
Jarak antara tiang bendera dan tempatnya bertempur,
kurang lebih dua puluh meter. Sungguh ia tak mengerti,
bahwa dengan jarak sejauh itu dia masih sanggup mem-
bunuh dua serdadu sambil melayani ilmu pedang
Mangun Sentika. la tadi merasakan sendiri, betapa tinggi
ilmu kepandaian Letnan Mangun Sentika. Dalam suatu
pertempuran melawan seorang musuh berat, siapa pun
takkan berani membagi perhatian.
Tapi nyatanya, orang bertopeng itu sanggup berbuat
demikian. Itulah sebabnya ia kagum luar biasa.
"Terang sekali ia kena kurung pedang Mangun
Sentika. Namun sambaran belatinya mengenai jitu. Ah,
benar-benar hebat!" pikirnya. Mendadak saja semangat
tempurnya terbangun degan sekaligus. Segera ia
memindahkan pedangnya di tangan kiri. Lalu bergerak
hendak memasuki gelanggang pertempuran.
Sekonyong-konyong ia mendengar Letnan Mangun
Sentika berteriak kesakitan. Lalu lari terbirit-birit dan
meloncat dengan terburu-buru dari atas pagar tembok.
Dan orang bertopeng itu memperdengarkan tertawanya.
Dengan tangan kanan memegang tongkat panjang
dan tangan kiri membawa kepala Wirapati, orang
441 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bertopeng itu lantas melompat turun pula. Tubuhnya
melayang bagaikan seekor burung elang menyambar
mangsanya. Hati Mundingsari tercekat. Ia seperti pernah
mendengar suara tertawa itu. Dan menilik gerak-
geriknya, dialah si Penjahat bertopeng yang merampas
uang kawalannya di timur Banyumas dahulu.
Sebagai seorang pendekar yang berpengalaman, ia
segera membuat suatu pemeriksaan. Ia melemparkan
pandang kepada dua serdadu yang mati tanpa berkutik
lagi di dekatnya. Setelah kena didepak, punggung mereka tertembus
sebatang sisir bambu masing-masing. "Hai," ia kaget.
Sisir bambu ini adalah senjata bidik pemuda yang
berpakaian putih. Apakah penjahat bertopeng dahulu
sesungguhnya pemuda yang berpakaian putih?"
"Ah, tidak mungkin!" ia membantah pikirannya sendiri.
"Perawakan tubuhnya lain. Suara tertawanya lain pula.
Kalau begitu, apakah si Penjahat bertopeng itu dapat
pula menggunakan sisir bambu sebagai senjata bidik!"
Mundingsari jadi terlongong-longong sendiri. Ia
dibingungkan oleh suatu teka-teki yang tidak gampang-
gampang dapat dijawabnya sengan pasti.
Tiba-tiba di tengah kesunyian malam, terdengarlah
suatu suara suitan nyaring, la berpaling dan melihat dua
batang sisir bambu lewat di kedua sisi badannya dan
runtuh memukul genting sehingga pecah berantakan.
Begitu menoleh kembali, dihadapannya sudah berdiri si
Pemuda berpakaian putih. Ia kaget dan heran setengah
mati. 442 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Apakah dia setan?" pikirnya. "Bagaimana mungkin!
Belum habis suara sambaran senjata bidiknya, tahu-tahu
orangnya sudah berdiri di hadapanku."
Pemuda itu tertawa nyaring halus. Tanyanya tegas.
"Apakah orang bertopeng itu temanmu berjalan?"
"Bukan," jawab Mundingsari.
Paras muka pemuda itu berubah. Dengan mendadak
ia memutar badannya dan melesat turun ke bawah.
"Saudara! Nanti dulu. Bolehkah aku mendengar
namamu?" seru Mundingsari dengan hormat.
Tetapi ia tak memperoleh jawaban. Dengan gerakan
secepat kilat, bayangan putih itu berkelebat di depan
matanya. Lalu hilang dari pengamatan memasuki tirai
malam yang remang-remang. Mundingsari berdiri
tertegun. Ia kagum luar biasa.
443 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
MENCARI BENDE MATARAM - 4
9 SEIRING SETUJUAN PADA KEESOKAN HARINYA dengan seekor kuda dan
sebatang pedang pemberian Sanjaya, Mundingsari
meneruskan perjalanannya. Sebelum berangkat mening-
444 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
galkan Kota Magelang, ia memberi khabar tentang
tercurinya kepala Wirapati kepada Kartodirun. Penjual
nasi itu setengah girang, setengah berduka pula. Setelah
berpikir dengan seksama, ia menganjurkan agar
Mundingsari segera meninggalkan Kota Magelang untuk
mencari Sangaji. Kuda tunggangannya termasuk seekor kuda jempolan.
Dalam waktu setengah hari saja, ia sudah meninggalkan
Kota Magelang puluhan kilometer jauhnya. Ia mengambil
jalan pegunungan dan jalan pedusunan yang sunyi.
Itulah sebabnya, disepanjang jalan ia tak kena ganggu
gugat. Selagi melarikan kudanya kencang-kencang secara
iseng ia menoleh. Ternyata dikuntit oleh seorang yang
mengenakan pakaian saudagar. Bajunya potongan
Cina1). Bercelana panjang, bersarung di atas lutut, dan
mengenakan peci muslim. Semuanya dari bahan tipis. Ia
seperti seorang perantau dari Minangkabau.
Tunggangannya seekor kuda Kuningan2) kecil namun
kuat. Ia bersikap acuh tak acuh.
Mundingsari biasanya senang mencari kawan berjalan.
Tapi kini hatinya murung. Setelah memperoleh kesan
siapa yang mengikuti dirinya, ia tak menaruh perhatian
lagi. Pada waktu magrib tiba, sampailah dia di kota kecil,
lima puluh kilometer dari Banyumas. Ia berhenti di
sebuah losmen. Sewaktu menambatkan kudanya, tak
sengaja ia menoleh. Mendadak ia melihat saudagar tadi.
Ia terkejut. Bagaimana mungkin saudagar itu dapat
mengejar dirinya, sedang kuda tunggangannya kuda
pasaran. Begitu memasuki losmen, ia lantas bersikap
445 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
waspada. Tapi ternyata saudagar itu tidak menginap di
losmennya. Ia jadi tertawa sendiri.
Mundingsari memang seorang pendekar kawakan3).
Meskipun saudagar itu tidak terlalu mencurigakan, akan
tetapi bersikap waspada jauh lebih baik daripada tidak.
Memperoleh pikiran demikian, ia segera mengobati
lukanya. Kemudian duduk bersemadi menghimpun
semangat. Tatkala tidur, ia berbantal pedang pemberian
Sanjaya. Dan keesokan harinya, ia berangkat sebelum
fajar menyingsing. Si pelayan heran, apa sebab ia berangkat begitu
tergesa-gesa. Setengah bergurau pelayan itu berkata,
"Tuan! Pada zaman ini, banyak penyamun berkeliaran
dimana-mana akibat pajak negeri yang bermacam-
macam banyaknya. Karena itu, pernah aku mendengar
suatu nasihat: 'Sebelum malam tiba, lekaslah cari
penginapan. Dan berangkatlah setelah terang tanah'!"
Mundingsari tidak melayani. Ia hanya tersenyum.
Setelah membayar sewa kamar, ia benar-benar
berangkat menyongsong fajar hari. Jalan yang
diambahnya sunyi sepi. Sampai di luar kota, ia
mendongak ke angkasa. Bulan sisir masih memancarkan
cahayanya. Bintang minting bergetar lembut.
Burung yang beristirahat dalam mahkota daun, belum
memperdengarkan kicaunya. Itulah suatu tanda, bahwa
pagi hari masih agak jauh. Cepat ia mengaburkan
kudanya mengarah ke barat.
Menjelang tengah hari, sampailah dia di perbatasan
Karesidenan Banyumas dan Jawa Barat. Karena matahari
terasa terik, ia mencari pohon rindang. Ia menahan
kudanya. Tatkala menjelajahkan pandangnya ke semua
446 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
penjuru, ia melihat saudagar kemarin, la kaget dan
kecurigaannya makin kuat. Pikirnya, "Tidak mungkin
secara kebetulan ia sejalan dengan jalan yang kuambah.
Aku berangkat sebelum fajar hari. Masakan dia pun
secara kebetulan merencanakan berangkat sebelum fajar
hari pula" Agaknya ia sengaja mengikuti perjalananku."
Sekarang ia mengamat-amati orang itu lebih cermat.
Ternyata paras mukanya agak berminyak. Penutup
kepalanya tidak lagi sebuah peci muslim. Tapi topi besar
dari daun pisang. Sebuah bungkusan memanjang
menggamblok pada punggungnya. Dilihat sepintas lalu
mirip kantong bekal makan berbentuk panjang. Kesan
muka, dandanan dan kudanya tetap mengingatkan orang
sebagai seorang saudagar. Kalau saja
Mundingsari tidak mempunyai prasangka yang bukan-
bukan, orang itu tak lebih daripada manusia lumrah.
Setelah mengerling sekali lagi, Mundingsari melecut
kudanya, dan kabur dengan secepat-cepatnya. Ia hendak
mengujinya sekali lagi pula untuk memperoleh keyakin-
an. Satu jam kemudian, ia menoleh. Saudagar itu tak
nampak bayangannya. Hatinya jadi lega.
Mundingsari adalah seorang pendekar yang sangat
berhati-hati. Meskipun hatinya lega masih ia merasa
perlu untuk menghindar sejauh mungkin. Kudanya
dilarikan terus menerus. Ia memotong jalan atau menye-
berangi sawah ladang. Pada waktu magrib, tibalah ia di
Kota Banjar. Banjar sebuah kota lebih kecil apabila dibandingkan
dengan Banyumas. Rumah penginapannya hanya
sebuah. Setelah mendapat kamar dan makan malam,
segera ia hendak beristirahat. Ia merasa pasti, bahwa
447 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
saudagar itu tidak bakal sampai di kota secepat dia. Tapi
baru saja ia hendak berbaring, mendadak ia mendengar
suara pelayan ribut menyambut tetamu. Ia melongok.
Ternyata saudagar itu sudah tiba di penginapan.
Sekarang benar-benar ia kaget. Ia tak bersangsi lagi.
Saudagar itu memang sedang menguntitnya. Cepat-cepat
ia mengunci pintu kamarnya sambil memasang kuping.
Ia mendengar saudagar itu memesan makan malam dan
minta pula disediakan air panas pencuci muka. Dan
setelah makan, ia memasuki kamar yang berada di
depan kamarnya. Hati Mundingsari jadi gelisah. Ia menenteramkan diri
sambil memegang pedangnya erat-erat. Setelah malam
ia menunggu. Keadaannya aman tenteram. Mau tak mau
ia terpaksa berpikir. Katanya di dalam hati, "Bilamana ia
bermaksud jahat, dalam dua hari ini pasti dia akan
menyerang. Sebaliknya bilamana bermaksud baik
semenjak tadi dia harus sudah menegurku. Apa sebab
dia tidak menyerang maupun menegur aku" Lawan atau
kawan?" Karena belum memperoleh kepastian, ia perlu berlaku
cermat. Buntalan pakaiannya yang berada di atas meja di
hadapkan ke timur. Dan semua barang bekalnya, ditaruh
dengan diberi tanda-tanda tertentu. Setelah selesai ia
hendak memancing. Dengan membawa pedangnya, ia
keluar kamar mencari kamar mandi. Perlahan-lahan ia
mencuci mukanya agar memperoleh kesegarannya
kembali. Tatkala membuka pintu kamar mandi, ia
mengintip keluar. Tiba-tiba ia melihat sesosok bayangan
berkelebat. Dan berbareng dengan bergeraknya pintu
kamar mandi, bayangan itu meloncat di atas genteng
dan mendekam rendah. Cepat luar biasa Mundingsari
448 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
melesat keluar sambil menimpukkan butiran batu.
"Siapa?" Tetapi bayangan itu seperti bisa melenyapkan diri.


Mencari Bende Mataram Lanjutan Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mundingsari bercuriga. Dia tadi bermaksud hendak
mengintip. Tak tahunya, dia sendiri malah kena intip.
Dengan langkah panjang ia kembali ke kamarnya dan
membesarkan nyala lampunya. Perubahan besar tiada,
namun hatinya terkejut juga. Buntalan di atas meja yang
tadi menghadap ke timur nampak bergeser kiblatnya.
Terang sekali akibat kena sentuh orang, la lantas
memeriksa. Ternyata tali ikatannya terlepas. Buru-buru ia
membuka mulut kantong. Ia heran karena baik pakai-
annya maupun uangnya tidak terganggu sama sekali.
Setelah menimbang-nimbang sebentar. Mundingsari
memutuskan untuk kabur secepat mungkin. Setengah
jam-an lamanya ia membiarkan kudanya lari menubras-
nubras. Tatkala melihat sepetak hutan menghadang di
depannya, ia melompat turun. Kemudian memasuki
hutan belantara itu dengan menuntun kudanya.
Belum lama ia beristirahat, tiba-tiba terdengarlah
ringkik kuda yang dilarikan cepat pula. Anehnya, kuda
yang mendatang itu memasuki hutan pula. la melongo
dan melihat si saudagar semalam.
Melihat saudagar itu tidak berkawan, hati Mundingsari
jadi mantap. Sambil mencabut pedangnya, ia meloncat
menghadang. "Apa sebab Tuan menguntit aku?"
Saudagar itu tertawa melalui hidungnya berbareng
menahan kendali kudanya. Ia menyalakan korek. Lalu
dilemparkan pada tebaran rumput kering. Sebentar saja
449 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
rumput kering itu terbakar. Setelah mengembarakan
pandangnya, barulah dia menjawab.
"Kau jalanlah menyusur jalanmu sendiri. Dan aku akan
berjalan pula di atas jalanan sendiri. Mengapa Tuan
bercuriga tak keruan?"
Mundingsari tahu, apa maksud orang itu membakar
rumput di sekitarnya. Itulah cara untuk memeriksa
keadaan di sekelilingnya. Siapa tahu ada musuh yang
bersembunyi. Inilah suatu bukti, bahwa saudagar itu se-
orang perantau yang berpengalaman. Ia kagum atas
tindakannya yang cepat dalam waktu sependek itu.
Mundingsari lantas melintangkan pedangnya. Ia
tertawa terbahak-bahak. "Perjalanan Tuan di tengah malam buta ini, benar-
benar mengherankan aku. Eh" bagaimana bisa sama
dengan keputusanku. Apakah ini suatu kebetulan
belaka?" Orang itu tertawa pula terbahak-bahak.
"Di tengah malam buta mengaburkan kuda
tunggangannya begitu cepat, bukankah suatu perbuatan
yang mengherankan aku pula?"
Mundingsari melengak4). Ia memuji kecerdikan orang
itu. Mau tak mau ia menghela napas.
"Baiklah. Mari kita berbicara terus terang saja,"
akhirnya ia berkata mengalah. "Aku seorang buruan.
Siapakah kau?" "Kau buruan dan aku adalah seorang yang menguntit
buruan," ujar orang itu.
450 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Jika begitu"paling tidak kau seorang alat negara,"
kata Mundingsari dengan tertawa besar. "Baiklah"aku
bersiap sedia melayani engkau."
"Bukan aku"tapi engkau yang berkata begitu," ujar
orang itu lagi. "Siapakah kesu-dian berkelahi denganmu"
Jika engkau seorang buruan, mengapa tak cepat-cepat
kabur?" Mundingsari heran. "Sebenarnya, siapakah engkau!"
"Di hadapan seorang ksatria seperti dirimu, tidak bakal
aku berdusta. Tapi tolong katakan, sebenarnya engkau
siapa?" "Bukankah aku sudah memberi keterangan?"
"Apakah sebab musababnya engkau menjadi buruan?"
Orang itu minta keterangan lebih jelas lagi, "Kau berdosa
apa?" "Aku menyelundup ke dalam pesanggrahan hendak
mencoba mencuri kepala seorang pendekar, Wirapati
namanya," jawab Mundingsari dengan berani.
"Kepala siapa kau curi" Wirapati?" Orang itu menegas.
"Nah, aku sudah berbicara terus terang kepadamu.
Sekarang giliranmu, siapakah engkau!" tanya
Mundingsari dengan hati mendongkol. Ia merasakan
kelicikannya. Selalu saja dia main bertanya tanpa mem-
beri keterangan tentang dirinya dengan berterus terang.
"Aku adalah seorang yang telah melindungimu dengan
diam-diam," jawab orang itu di luar dugaan. "Kita
sebenarnya adalah seiring dan sejalan. Ingin aku
451 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bertemu dengan pendekar yang sudah berhasil mencuri
kepala Wirapati. Aku mohon kau antarkan."
Gundu mata Mundingsari bergerak-gerak. Ia jadi
beragu. Katanya di dalam hati, "Agaknya dia tidak
bermaksud menangkap diriku. Tapi apa sebab ia ingin
bertemu dengan si pencuri kepala?"
"Apakah engkau masih bersangsi terhadapku?" Orang
itu menegas. "Pertimbangkan dan pikirkan! Seumpama
aku ini seorang hamba pemerintah, pastilah aku sudah
turun tangan terhadapmu. Aku mengikutimu dua hari
dua malam. Namun aku belum turun tangan juga..."
Mundingsari tak menyahut. Ia mendekati kuda
tunggangan orang itu dengan langkah perlahan. Ia
mengamat-amatinya sebentar. Dan kuda itu lantas
mengangkat kepalanya begitu kena didekati seorang
asing. "Kuda ini termasuk kuda Kuningan. Pendek kecil tapi
kuat. Namun kalau diharapkan bisa berlari kencang...
Hm. Karena itu sungguh mengherankan, bagaimana
caramu bisa membawanya berlari cepat."
Mundingsari kagum. Tiba-tiba ia menyambar sadainya.
"Hai! Mau apa?" bentak orang itu.
Begitu sadai kena raba, kuda itu berjingkrak sambil
mengangkat kapalnya. Mundingsari mundur selangkah.
Tetapi dengan selintas pandang, ia melihat sebuah cap
api bersembunyi di belakang sadai. Itulah cap kesatuan
Kompeni Mangkunegaran. Lantas saja ia tertawa
berkakakkan. 452 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Sekarang tahulah aku, siapa dirimu," katanya
nyaring. Mundingsari memang seorang pendekar yang bersikap
hati-hati, berwaspada dan cermat. Ia seorang
berpengalaman pula. Pengalamannya tatkala ikut
membantu Pangeran Bumi Gede, mengkisiki bahwa
semua kuda kompeni atau kuda kesatuan militer pasti
mempunyai tanda cap api. Ia bercuriga terhadap
potongan kuda sekecil itu. Sebagai seorang pendekar
yang dilahirkan di daerah Cirebon, ia kenal jelas kuda
asal Kuningan. Kuda itu meskipun kuat, tetapi tak dapat
berlari cepat. Keistimewaannya terletak pada
keuletannya mendaki tanjakan. Karena Kuningan terletak
di atas pegunungan. Teringat betapa dengan kuda
demikian, saudagar itu bisa mengejar kepesatan
kudanya"ia menduga"pastilah kudanya termasuk
seekor kuda yang terlatih baik. Siapa yang bisa melatih
kuda Kuningan menjadi kuda jempolan selain kesatuan
militer" Dugaannya tepat. Ia lantas menyingkap sadai
dan melihat cap api tanda kesatuan militer dalam waktu
sekelebat. Memang"orang yang menyamar sebagai saudagar itu
sesungguhnya seorang perwira dari istana
Mangkunegoro. Tidak hanya itu. Dia bahkan menantu Sri
Mangkunegoro.5) Pangkatnya waktu itu letnan satu.
Menjabat komandan kompeni kesatuan laskar Mang-
kunegoro yang diperbantukan di Magelang. Sengaja ia
membiarkan Mundingsari bebas bergerak. Tujuannya
yang utama hendak menangkap si pencuri kepala
Wirapati. Ia merasa pasti, bahwa pencuri kepala Wirapati
setidak-tidaknya kawan Mundingsari. Dengan
membiarkan Mundingsari bebas bergerak, ia berharap
453 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
akan bertemu dengan pencuri yang dikehendaki, apabila
sudah bertemu dua-duanya akan dibereskan. Itulah yang
dinamakan, sekali menepuk dua lalat mati sekaligus.
Begitu mendengar ucapan Mundingsari, hatinya tidak
menjadi gugup. Kedoknya memang dapat terbongkar,
namun ia bisa berkedok lain dengan tertawanya. Itulah
suatu bukti, bahwa dia bukan seorang perwira biasa.
Paling tidak"ia seorang perwira"yang mengenal politik.
Dia mendadak bisa licin bagaikan belut. Katanya dengan
suara nyaring. "Benar-benar hebat mata Tuan. Kalau begitu Tuan
cukup berharga untuk menjadi sahabatnya." la tertawa
berkakakkan lagi. Sejenak kemudian meneruskan:
"Apakah engkau pernah mendengar nama Letnan
Suwangsa" Jika engkau mengharap agar aku tidak
mengambil tindakan kekerasan terhadapmu, nah"
antarkan aku kepada orang yang mencuri kepala
Wirapati?" Mundingsari tercekat hatinya. Pada dewasa itu
terdapat empat orang perwira Kompeni Belanda yang
terdiri dari bangsa sendiri. Keempat-empatnya terkenal
sebagai ahli pedang kenamaan. Di Barat, Kapten Merta
Sasmita yang tewas menghadapi Sanjaya. Di CJtara, Aria
Prawira. Kelak diangkat menjadi Bupati Tegal. Di Selatan,
Letnan Mangun Sentika. Dan di Timur, Letnan Suwangsa.
Di antara empat orang tersebut, Suwangsa merupakan
ahli pedang yang berbahaya dan paling unggul. Dengan
pedangnya itulah, ia menarik perhatian Sri
Mangkunegoro. Lalu dipungut menjadi menantunya.
Mundingsari pernah menyaksikan ketangguhan Kapten
Merta Sasmita tatkala perwira itu bertempur mati-matian
454 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
melawan San-jaya. Dibandingkan dengan dirinya, ia
kalah jauh dalam segala halnya. Kemudian ia pernah
mengadu kepandaian melawan Letnan Mangun Sentika di
atas dinding pesanggrahan Kompeni Magelang. Dalam
beberapa gebrakan saja, ia sudah merasa tak berdaya.
Kini ia berhadap-hadapan dengan Letnan Suwangsa. Dan
kepandaian perwira ini, melebihi ketiga rekannya. Mau
tak mau ia menarik napas dalam-dalam untuk menen-
teramkan hatinya. "Baiklah," katanya setelah berdiam beberapa saat
lamanya. "Aku akan mengantarkan engkau. Aku menjadi
orang berjasa pula bukan?"
Ia maju mendekati dengan langkah kuyu. Mendadak di
luar dugaan siapa saja" pedangnya menebas"Letnan
Suwangsa kaget bukan kepalang. Dalam kagetnya ia
melompat ke samping. Gerakannya cepat luar biasa.
Dengan tertawa merendahkan, jari-jarinya menyentil.
Hebat akibatnya. Tebasan pedang Mundingsari
mempunyai daya berat melebihi seratus kati. Namun
kena sentilan Letnan Suwangsa, terpukul balik dengan
sekaligus. Dan pada detik itu, tangan Letnan Suwangsa
sudah menggenggam sebatang pedang yang bersinar
hijau. Terang sekali itulah pedang istana Mangkunegoro.
"Kau jaga lututmu!"
Mundingsari sudah kenyang berlawanan dengan
musuh-musuh tangguh. Detik-detik merupakan saat-saat
yang menentukan. Maka ia terus mencecar dengan
tikaman-tikaman maut. Namun Letnan Suwangsa sama
sekali tak gentar. Dengan tertawa lebar, ia membalas
menikam. Bret! Dan pundak Mundingsari. tergores
pedangnya. 455 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Hati Mundingsari tercekat, la tahu maksud lawannya
itu. Sekiranya dia berkelahi dengan sungguh-sungguh, ia
tadi dapat mencoblos tulang pundaknya. Sebaliknya dia
hanya menggores pundaknya belaka. Maka teranglah
maksudnya, bahwa dia hanya ingin menawannya untuk
memperoleh keterangan-keterangan yang
dikehendakinya. Dahulu sewaktu mengabdi kepada Pangeran Bumi
Gede, Mundingsari berkedudukan setingkat dengan
Suwangsa. Ilmu kepandaiannya tidak boleh dipandang
rendah. Ia mempunyai ilmu keturunan keluarga yang
menjadi pamor dan ciri khas perguruannya. Itulah
pukulan Menahan Laut Membongkar Bumi. Dalam
keadaan terjepit, ia hendak menggunakannya. Tiba-tiba
saja pedangnya menebas ke samping merupakan suatu
babatan mengarah pinggang. Itulah gerakan menahan
laut. Dan kedua kakinya membarengi dengan meloncat
seraya menendang. Barangsiapa menghadapi serangan
ini, tidaklah dapat terlolos. Bilamana dapat mengelakkan
babatan pedangnya, dia akan termakan tendangan
kakinya. Sebaliknya bila menghindari tendangan,
pinggang atau lengannya bakal kena terbabat kutung.
Tetapi Letnan Suwangsa benar-benar seorang jago
pedang yang tinggi ilmu kepandaiannya. Diserang secara
demikian, dengan gampang ia melesat mundur. Dan
mendorong kaki Mundingsari dengan tangan kirinya dari
samping. Dan serangan Mundingsari menumbuk udara
kosong. Mundingsari sadar akan bahaya. Pukulan andalannya
ternyata gampang digagalkan. Cepat-cepat ia
melancarkan serangan berantai. Pedangnya diobat-


Mencari Bende Mataram Lanjutan Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

abitkan6). Lalu melompat mundur dengan mendadak.
456 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Letnan Suwangsa tahu, bahwa ia akan kabur. Letnan itu
lantas memburu. Di luar dugaan, Mundingsari
menghantam sebatang pohon kering yang kena jilat api.
Batang kering itu dilemparkan kepada kuda lawan. Dan
pada saat itu, ia sudah berada di atas punggung
kudanya. Inilah suatu tipu muslihat untuk memperoleh waktu.
Begitu kena sambaran barang berapi, kuda Letnan
Suwangsa berjingkrakan. Gntuk menguasainya kembali,
Letnan Suwangsa membutuhkan waktu beberapa saat
lamanya. Dan pada saat itu, Mundingsari telah kabur
jauh. Letnan Suwangsa tertawa berkakakkan untuk
menghibur kemendongkolannya. Sebagai seorang jago
pedang, keberaniannya melebihi manusia lumrah. Lantas
saja ia mengeprak kudanya. Lalu mengubar buruannya
dengan pedang diancamkan.
Mundingsari sibuk bukan kepalang. Dalam
kekalapannya, ia menggunakan tipu muslihat gertakan,
la berteriak-teriak. "Kawan! Bantulah aku!"
Di luar dugaannya sendiri, di dalam hutan mendadak
terdengar meringiknya seekor kuda, ia jadi tercengang.
Inilah yang dinamakan orang: main-main jadi
sungguhan. Sebaliknya Letnan Suwangsa tidak takut.
Dengan berseru keras, ia menantang. "Suruh keluar
semua kawan-kawanmu! Aku tak takut!"
Tetapi ia perlu berwaspada, karena Mundingsari
benar-benar mempunyai kawan yang bersembunyi.
Sekarang rasa mendongkolnya berubah menjadi gusar.
457 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pada saat itu ia mengambil keputusan cepat. Katanya di
dalam hati, "Dialah barangkali yang mencuri kepala
bangsat Wirapati. Kalau begini anjing itu harus kubunuh
dahulu, agar tak menyukarkan aku...." Dan berpikir
demikian ia menghantam perut kudanya berlari lebih
cepat lagi. Betapapun juga, Mundingsari berdoa juga di dalam
hati. Mudah-mudahan pendatang yang masih berada di
pinggir hutan itu seorang pendekar tangguh yang dapat
diandalkan. Setelah berdoa demikian, ia kini berjuang
untuk meloloskan diri dari kejaran Letnan Suwangsa. Ia
lantas main petak, la menerobos pagar hutan, berbelok,
menikung dan menerjang semak belukar. Dengan cara
demikian, Letnan Suwangsa dapat dibuatnya terhambat
gerakannya. Meskipun demikian, Letnan Suwangsa memang bukan
seorang perwira lumrah. Otaknya cerdas dan cemerlang.
Melihat musuhnya main petak, ia pun segera
mengimbangi dengan bermain potong. Beberapa kali ia
berhasil. Hanya saja untuk segera dapat membekuk
Mundingsari dalam dua tiga gebrakan, tidaklah mungkin.
Lambat-laun ia menjadi jengkel. Dengan mata merah,
ia meraup segenggam peluru timah. Lalu ditimpukkan
dengan sekaligus. Semuanya mengarah kepada bagian-
bagian tubuh yang berbahaya. Dan mendengar
sambaran peluru itu, buru-buru Mundingsari mendekam
di atas punggung kudanya sambil menyapukan
pedangnya, la berhasil menghalau beberapa butir
peluruh timah. Tiba-tiba Letnan Suwangsa menabas
empat batang pohon yang menjadi perintangnya. Begitu
pohon-pohon itu roboh tertabas, sebuah pelurunya
menyambar. 458 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Sekarang, cobalah elakkan! Aku ingin tahu!" serunya.
Mundingsari lagi menghalau sisa sambaran peluru
yang terdahulu. Sekarang dengan tiba-tiba ia kena
diserang selagi sibuk. Maka tanpa dapat berdaya lagi punggungnya kena
timpuk, la meloncat turun ke tanah sambil membolang-
balingkan pedangnya. Kemudian lari dengan membung-
kukkan badan memasuki semak belukar.
Tatkala itu"ia sudah sampai di tengah hutan"yang
penuh semak berduri. Tak menghiraukan segala, ia
menusup masuk. Pedangnya ditabas-tabaskan untuk
membuka jalan. Tentu saja tak dapat ia mengharapkan
bisa kabur secepat-cepatnya. Tetapi Letnan Suwangsa
pun tertambat-tambat duri semak-semak pula. Beberapa
kali, pakaiannya terkait-kait ranting-ranting tajam. Ia
memaki kalang kabut. Pedangnya terpaksa digunakan. Ia
berhasil. Tetapi dengan demikian, buruannya jadi dapat
kabur jauh. Tatkala itu belum fajar penuh-penuh. Suasana hutan
masih gelap pekat . Dengan cara menusup-nusup,
gerakan Mundingsari tak mudah terlihat. Letnan
Suwangsa murka bukan main. la menyalakan api dan
membakar rumput-rumput kering. Beberapa saat
lamanya petak itu lantas terbakar. Ia tak menunggu
Harimau Mendekam Naga Sembunyi 2 Balada Pendekar Kelana Karya Tabib Gila Kisah Si Pedang Kilat 10
^