Pencarian

Tanah Semenanjung 1

Tanah Semenanjung Karya Putu Praba Drana Bagian 1


Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Karya : Putu Praba Drana Dibuat ebook berdasarkan DJVU yang di scan oleh
BBSC yang dapat di download di
Djvu 01 dan Djvu 02 Ebook oleh : Dewi KZ http://kangzusi.com/ atau http://dewi.0fees.net/
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
BUKU KE SATU KATA PENGANTAR Semenanjung Blambangan adalah semenanjung timur di Pulau Jawa dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Jawa bahkan Indonesia. Namun dalam sejarahnya Blambangan memang memiliki kisah-kisah unik yang terlepas dari pengaruh Mataram, sehingga seolah terpisah dari sejarah Jawa.
Semenanjung Blambangan kini lebih dikenal dengan sebutan Banyuwangi. Berbagai pengaruh masuk ke wilayah ini, sehingga membentuk Banyuwangi dalam warna budaya seperti sekarang. Pada zaman Bhree Wirabhumi negeri ini dipasok senjata dan sukarelawan oleh Cina untuk melawan pengaruh Majapahit. Maka tidak mustahil terjadi kontak budaya. Hubungan dekatnya dengan Bali pun membuat suatu kultur yang seolah bukan Jawa. Selain itu, sebagai kota pelabuhan terbesar nomor dua di Jawa Timur saat itu, Blambangan pasti tak luput dari jamahan pengaruh asing.
Wilayah ini"seperti juga wilayah-wilayah budaya lainnya"bisa tumbuh dan mengembangkan warna budaya karena sanggup membentuk suatu tata pemerintahan yang mapan, tak lepas dari pergulatan politik, ekonomi, dan sosial budaya.
Masa lalu Blambangan kini tinggal mitos dan legenda, seperti juga masa lalu kerajaan-kerajaan lain di Jawa.
Salah satu tokoh legendaris yang punya realitas yang kuat dalam sejarah Blambangan, dan kini masih menjadi pujaan di wilayah itu, adalah Wong Agung Wilis, tokoh kisah ini.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Selama ini sebagian besar novel sejarah mengambil Mataram dan Majapahit sebagai latar belakang cerita.
Tanah Semenanjung karya Putu Praba Darana mengetengahkan kisah di bagian timur Pulau Jawa dengan latar belakang sejarah Blambangan, yang merupakan bagian dari suatu integral, yaitu sejarah Jawa khususnya dan sejarah Indonesia umumnya.
Penerbit Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
I. KEMBALI DARI LAGA Neraka itu sudah tertinggal jauh."Surabaya. Dan kini mereka menuju ke bumi kelahiran, setelah empat tahun ikut perang di Surabaya; Perang selamanya merupakan aniaya. Namun diperlukan untuk mempertahankan kehormatan, membendung kerakusan manusia lainnya, dan banyak alasan lain.
Umbul Songo, pemimpin laskar darat Blambangan itu, berulang menoleh ke belakang untuk mengetahui keadaan anak buahnya. Ah... jumlah mereka tinggal
separuh. Yang lain sudah punah dimakan meriam
kompeni Belanda. Tiba-tiba lamunan menyeretnya kembali pada
Tumenggung Surabaya, Adipati Ngabehi Sawunggaling.
" Muda. Perkasa!"Berapa kira-kira usia adipati itu"
Belum lebih dari dua puluh lima tahun. Semuda itu
mampu menciptakah neraka bagi VOC maupun
Mataram. Sahkan juga bagi sekutu Mataram lainnya.
Kini adipati itu telah gugur^ersama cita-citanya yang
luhur. Pemuda yang mampu membuat hampir semua
perwira kompeni putus asa.
Bahkan mampu mewariskan semangat tinggi bagi
segenap kawulanya. Dan kini ia tetap tinggal hidup
dalam hati Umbul Songo. Dengan melamun kelelahan agak terlupakan. Hanya
kadang-kadang saja Umbul Songo memperhatikan jalan
di depannya. Lebih sering memperhatikan panorama
cantik di kiri-kanan jalan, ada akar yang tergantung di
ranting-ranting pohon, ada sarang lebah... Ah, Pencipta
Alam sungguh mahabesar. Keindahan yang tak mungkin
diciptakan manusia tanpa anugerah Hyang Maha Dewa.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Peperangan tinggal merupakan kenangan pahit. Tapi
juga pelajaran mahal. Peperangan telah membuat
mereka seperti baja. Juga menjadi lebih trampil
menggunakan senjata-senjata yang sebelumnya tidak
pernah mereka jamah. Lamunannya tiba-tiba terhenti oleh mendekatnya kuda
Teposono. "Ada apa?" tanya Umbul Songo pada wakilnya itu.
"Kita perlu istirahat," Teposono menjawab lunglai.
Wajahnya sayu, garis ketuaan membayang samar.
Teposono menyadari ia mulai tua. Sedang Umbul Songo
masih kelihatan kuat. Perang malah menyegarkan
jiwanya. "Pasukan sudah lelah?"
"Kuda pun sudah lelah," Teposono menegaskan.
Umbul Songo mendengus. Kembali menoleh. Dan...
mendadak ia memerintahkan pasukannya berhenti.
Perintah itu disambung oleh tiap pimpinan pasukan.
Para prajurit segera mencari tempat untuk bersantai.
Ada yang mencari air. Ada yang langsung melempar diri
ke tempat teduh dengan tanpa peduli debu masih
mengotori tubuhnya. Di bagian lain Baswi, seorang perwira muda dari
pasukan penempur, mendekati salah seorang anak
buahnya. Sambil berjalan Baswi melihat anak buahnya
berbincang dalam istirahat be-riung-riung. Berbagai
masalah berkecamuk di dada mereka.
Tidak kurang-kurang yang takut kehilangan kesetiaan
istri mereka, karena tidak bersambung berita. Ada...
yang... ah... macam-macam.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bagi Baswi, Tumpak, seorang anak buahnya yang
sedang ia dekati, mengesankan. Betapa tidak! Anak itu
pernah menangis menghadapi hujan kanon Belanda di
dekat Bangil. Dan mereka semua merasa itu adalah
pengalaman pahit yang pertama.
"Tumpak..." sapa Baswi lirih.
"Ya... Tuan," Tumpak menoleh. "Ada perintah baru?"
"Ha... halia... ha!" Meledak suara tawa Baswi.
"Kenapa Tuan tertawa?"
"Lucu sekali, kau sekarang menjadi orang gagah
berani." "Ya, dulu hamba masih belum terlatih. Hamba hanya
ingin mewakili Ayah yang sudah tua." Tumpak tersipu-
sipu. "Kekasihmu tentu bangga menjemputmu." Wajah
Tumpak memerah mendengar itu. "Ah... Tuan, ada-ada
saja." "Cinta adalah bagian dari hidup. Kenapa malu,
Tumpak?" "Tapi... belum pernah sempat bercinta...."
Baswi mengangguk-angguk. Ia memaklumi Tumpak
memang terlalu muda waktu masuk laskar dulu. Bahkan
ia hampir menolak Tumpak ditempatkan di pasukannya.
Karena bisa menjadi beban belaka.
Namun kala ia merencanakan merebut sebuah
meriam Belanda di seberang Sungai Porong, Tumpak
memaksa ikut. Dan anak muda itu membuktikan diri tak
pernah menangis lagi. Tumpak pernah mendapat
pelajaran dari Daeng Sampala, pemimpin laskar Makasar
yang bergabung dengan Surabaya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kenapa belum sempat?" Baswi mencari bahan.
Tumpak tergagap. Tak tahu bagaimana menjawab.
Baswi tersenyum. "Orang muda seperti kita selalu mencari kesempatan
untuk bercinta. Dan bila sudah mendapatkannya, orang
tak akan pernah lupa lagi. Namun sayang, tidak sedikit
karena sudah mendapat cinta orang menjadi pengecut."
"Orang begitu selalu menghindari maut, bahkan tidak
jarang yang melalaikan tugas," sahut Tumpak ketus.
"Contoh sudah banyak sekali, Tuan. Biasanya orang
celaka karena cinta."
"Kau benar," sambung Baswi. "Mereka yang lalai itu salah. Gila dan buta...," kata Baswi sambil mengambil
tempat di rerumputan. Sebentar kemudian ia
melanjutkan. "Namun cinta itu tak terbatas pada kekasih, istri. Aku
berangkat ke Surabaya ini karena cinta negeri. Kau cinta
bapamu. Kau tak rela bapamu menjadi umpan pelor
Belanda. Bukankah begitu, Tumpak?"
"Ya... ya... Tuan."
"Sekali lagi cinta adalah sebagian dari hidup. Maka
orang tak akan pernah lepas daripadanya. Para dewa di
langit pun terpaut oleh urusan cinta ini."
Kini Tumpak mengangguk-angguk.
"Teman-temanmu ada yang nekat menggunakan
kesempatan dalam kesempitan ini untuk bercinta. Tanpa
mengingat gadis atau janda. Islam atau agama Ciwa.
Dan batasan itu menjadi kabur."
Tumpak tersenyum. Sudut hatinya terdalam tersentuh.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Sekarang aku melihat seleret kekecewaan dalam hati
mereka. Tapi aku tak dapat menolong. Dengan jalan apa
pun. Kecuali mereka bersedia tinggal di Surabaya."
Baswi berhenti lagi sambil mengawasi pemuda
kesayangannya itu. Dan dengan tergagap Tumpak buru-
buru menjawab : "Ah... Tuan, semua memaklumi. Sebagai laskar harus
patuh pada atasannya. Kehadiran kita di Ibukota nanti
akan membawa kesegaran baru. Karena tak lagi
terganggu oleh perang."
Karena tak lagi terganggu oleh perang" Baswi
mengulang dalam hati. Ah, ternyata hampir setiap orang
takut mati. Atau dia belum dengar tentang Blambangan
sekarang" Ibukota sudah dipindahkan dari Wijenan ke
Lateng. Dan Gusti Macana-pura telah diganti oleh Gusti
Purba. Yah... Tum-pak tak mengerti di Blambangan ada
peralihan kekuasaan____ Memang peralihan kekuasaan di Blambangan tak
sampai ke telinga para prajurit yang sedang bertempur.
Juga pemindahan ibukota. Namun keheranan merayapi
relung hati mereka kala di Pa-narukan iring-iringan tidak
berbelok ke Wijenan. Jalan yang mereka lalui dibangun sejak zaman
Majapahit. Dan pernah dilalui oleh Hayam Wu-ruk waktu
anjangkarya. Namun baik Baswi maupun anak buahnya
tidak pernah mengetahui sejarah jalan itu. Juga tidak
mengetahui bahwa keadaannya masih tetap seperti
semula. Yang paling celaka lagi adalah ketidaktahuan mereka
tentang korban dalam pembuatan jalan itu. Tawanan
perang dari negeri-negeri yang memberontak terhadap
tirani Majapahit telah dikerahkan dalam pembangunan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
jalan itu. Kekalahan harus mereka bayar dengan mahal
sekali. Menjadi budak, menebang hutan di bawah
pengawasan ujung senjata laskar Majapahit. Di antara
mereka ada juga laskar Blambangan sendiri. Hampir
semua budak-budak itu mati kelaparan seperti anjing
kurap di tengah hutan. Lamunan Baswi pudar kala tiba-tiba Tumpak memberi
tahu bahwa ia dipanggil Umbul Songo. Ia bangkit dan
bergegas ke tempat Umbul Songo dikelilingi oleh para
perwira lainnya. Umbul Songo duduk di bawah pohon
besar dan rindang, beralaskan akar pohon itu sendiri,
sedang berhadapan dengan wakilnya, Teposono.
Sardola, perwira pasukan meriam dan cetbang, duduk di
tanah dengan tanpa alas di sebelah kiri Umbul Songo. Di
sebelah kiri Sardola duduk Carang Mas, perwira pasukan
berkuda. Inilah perwira darat Blambangan yang tersisa.
Dalam perang Surabaya ini Belanda dibantu oleh wabah
sakit perut yang telah menewaskan puluhan ribu pasukan
sekutu Surabaya. Mereka memang tak tahu bagaimana
mengatasinya. Sungguh mereka tak berdaya
menghadapi wabah itu. Sambil duduk, Baswi memperhatikan wajah Panglima
yang masih pamannya itu. Dan Umbul Songo masih
menatap anak buahnya satu per satu seraya mengelus
kumis dengan tangan kirinya.
"Kita sudah masuk Blambangan. Dan kita akan terus
ke Lateng," Umbul Songo memberi keterangan.
Yang mendengar diam. Walau cuma kabar angin, para
perwira mendengar juga tentang perpindahan Ibukota.
Apalagi kala di Panarukan tadi tak ada penyambutan
bagi mereka. Kawula nampak takut. Takut pada laskar
Blambangan sendiri. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Sekalipun jumlah kita sangat berkurang dibanding
waktu berangkat dulu, kita akan tunjukkan bahwa kita
tidak pernah memalukan Blambangan.
Kita pulang dengan membawa sedikitnya dua puluh
tiga pucuk meriam rampasan dari kompeni. Belum kanon
darat dan bedil. Kita tidak usah ber-kecil hati," Umbul
Songo menambahkan keterangannya.
"Sekalipun begitu, sebaiknya kita tidak kehilangan
kewaspadaan. Sebab bahaya akan tetap mengancam,"
Baswi mengusulkan. "Tidak ada perang di Blambangan," Teposono yang
menjawab. "Kawula sudah bosan dengan peperangan.
Blambangan sekarang damai sejahtera." .
"Ingat, Paman, Pasuruan jatuh disusul Surabaya.
Apakah Blambangan tidak tunggu waktu" Apalagi kalau
kita lengah. Belanda kian rakus." Baswi tidak
mengacuhkan Teposono. Umbul Songo mengerutkan kening. Ia mengerti ke
mana arah larinya ucapan Baswi itu. Dan hatinya
memang berdesir. Tiba-tiba Teposono menyeringai,
"Tidakkah kita boleh percaya pada Sri Prabu"
Sekalipun sekarang ini yang marak Gusti Mas Purba"
Bukankah kita wajib tunduk pada raja sebagai wakil
Hyang Maha Qiwa?" Umbul Songo mengerti, kali ini pembicaraan itu akan
berkembang menjadi perdebatan. Maka ia perintahkan
mereka bubar dan menyiapkan diri untuk berangkat.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
II. PEKIK KEGEMPARAN Dua tahun memang terlalu pendek untuk dike-nangkan. Apalagi bagi yang hidup dalam limpahan kegembiraan. Tapi sangat berat dan lama bagi mereka yang sedang dalam kancah penderitaan.
Kini dua tahun itu telah berlalu. Waktu para istri menyambut suami dari medan laga. Orang mengelu-elukan pahlawan mereka yang mempersembahkan meriam dan kanon dan bedil hasil rampasan dari Belanda.
Sri Prabu sendiri berkenan memeriksa senjata-senjata itu. Dan orang ternganga menyaksikan senjata yang jauh lebih ampuh dari cetbang, senjata sisa peninggalan Majapahit. Suara meriam itu menggelegar, membelah angkasa. Seluruh pembesar negeri geleng kepala karena kagum. Senjata bikinan Atas Angin. Dan inilah senjata yang telah menelan beribu-ribu nyawa. Membuat manusia menjadi berkeping-keping. Membuat banyak wanita menangis karena kehilangan suami, anak, atau kekasih mereka yang punah tanpa ampun.
Sekarang mereka dikagetkan oleh tidak munculnya Panglima Umbul Songo di barak-barak laskar Blambangan seperti biasanya. Demikian pula Laksamana Haryo Dento yang terkenal gagah berani dan disegani dalam perang laut di Surabaya, kini tak pernah lagi muncul di dermaga.
Kawula lebih kaget lagi kala hari-hari belakangan ini mendadak jalan-jalan raya Ibukota menjadi sepi.
Penjagaan lebih diperketat dari biasanya.
Hanya hari Respati (kamis) saja jalan-jalan itu
kelihatan ramai. Karena para pedagang sibuk dengan
berbagai macam dagangan yang hendak dibawa ke
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pelabuhan. Di saat hari Kamis itu pedagang
diperkenankan membawa madu, kayu manis, sarang
burung, dan kulit macan yang biasanya menjadi monopoli
kerajaan. Kuwara Yana, menteri cadangan negara, pada hari
Kamis sering melakukan anjangkarya. Namun kali ini
tidak. Bawahannya tak mengerti alasan pokoknya.
Namun mereka tetap mendapat perintah agar


Tanah Semenanjung Karya Putu Praba Drana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memperketat pengawasan perdagangan itu.
Kediaman menteri itu juga dijaga ketat, lain dari
biasanya. Sebagai orang terkaya di bumi Blambangan,
istananya paling indah di antara istana para menteri
lainnya. Taman rumahnya menyamai milik
Paramesywari. Dan berapa sudah, wanita cantik yang
keluar-masuk taman tersebut.
Umur Kuwara Yana masih belum tua. Hidungnya
mancung, kulitnya kuning, sedang perutnya membuncit.
Kendatipun begitu tidak menjadikannya jelek, karena
tinggi badannya mencukupi. Sejak kecil ia memang
terlatih dalam perniagaan.
Penjaga gerbang istana Kuwara Yana mempersilakan
Teposono masuk. Mereka menuntun kuda orang itu dan
mengikatnya di bawah pohon serta memberi rumput
sebagaimana biasanya jika seorang pembesar bertamu
di Blambangan. Rupanya Teposono telah terbiasa masuk
rumah itu. Sendiri Kuwara Yana menyambutnya.
"Agak lama Yang Mulia tidak datang." Ia tersenyum.
"Sedang sibuk," jawab perwira tinggi itu.
"Ya... kami pun mengerti."
"Justru itu. Hamba mengharap dukungan dari semua
pihak terhadap usaha-usaha Sri Prabu ini. Hamba sendiri
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
merasa turut berdosa terlibat dalam perang Surabaya
yang menghamburkan cadangan negara itu."
"Bagus," ujar sang Menteri sambil mengajak tamunya
duduk di ruang tamu yang beralaskan permadani buatan
Mesir. Ruangan yang penuh dengan keramik buatan
Cina tahun-tahun silam. Hati Teposono menggapai-
gapai, kapan aku memiliki ruangan seperti ini"
"Nah... sekarang kita harus mengeluarkan lagi biaya
untuk mengurusi orang-orang yang sedang dan hendak
bernineyana (tidak disiplin/membeot) itu."
"Sebenarnya mereka adalah sisa-sisa pengikut Sri
Prabu Macanapura anumerta (gugur dalam
pertempuran/almarhum) yang buta dan penasaran."
"Ya, mereka sama sekali tak mau mengerti, mengapa
Mas Purba mengambil alih kekuasaan." Keduanya
menyatakan kekesalan hati masing-masing.
"Yang lebih buruk dari itu, Yang Mulia, mereka tidak
menyadari bahwa dengan membantu Surabaya kita telah
mengingkari Hyang Qiwa. Dan Sri Prabu Macanapura
telah terpengaruh oleh Adipati Ngabehi Sawunggaling
yang berdewa satu itu."
"Hyang Bathara!" Kuwara Yana menyahut.
"Mungkinkah ada saudagar yang berdiri di belakang
gerakan mereka ini?" "Kami belum pasti."
"Tentunya Yang Mulia bisa membantu kami?"
"Tentu. Kami akan usahakan."
"Dengan begitu akan ada hasil yang berharga yang
dapat kita persembahkan."
"Untuk keperluan biaya, Yang Mulia tak perlu
khawatir." Kuwara Yana tertawa. Disambung oleh
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Teposono. Kemudian keduanya berdiri berbareng.
Berjalan menuju ke satu tempat. Taman.
"Ada yang menyenangkan?" bisik Teposono.
"Cuma perawan desa."
"Perawan desa?"
"Ya. Sedah Lati, dari Tegal Delima."
"Cantikkah dia?"
"Ha... ha... ha... tidak begitu, Yang Mulia bisa
melihatnya sendiri. Di kamar belakang. Bila Yang Mulia
berkenan maka ia teman Yang Mulia pagi ini."
Mereka melangkah terus, melewati gang yang kiri-
kanannya ditanami mawar melati dan beraneka bunga
lainnya. Di depan bilik yang berdinding kayu ulin tua,
mereka disambut oleh seorang wanita setengah tua,
berkulit agak gelap. "Bagaimana keadaan Sedah Lati?" sang Menteri
bertanya. "Ada di dalam, Yang Mulia." Wanita itu tergopoh-
gopoh menyembah. Mereka pun masuk.
Sedah Lati terkejut. Ia duduk di lantai beralas tikar
pandan. Wajahnya tertunduk. "Sedah...," Kuwara Yana
menyapa. Menyembah tapi diam.
"Inilah, Yang Mulia," ujar Kuwara pada Teposono.
"Boleh juga." Teposono mengangguk-angguk puas.
"Beliau adalah perwira tinggi Blambangan, berilah
sembah, Sedah Lati!"
Sedah Lati mengangkat sembah lagi. Ia tak tahu
bagaimana harus berbuat terhadap penguasa itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bersembahlah!" Lagi suara Kuwara Yana agak keras.
Kini Sedah Lati pelan-pelan menatap Kuwara Yana
dengan sayu. Sesayu hatinya.
"Belajarlah berlaku hormat, kamu, Sudra!" Kuwara
Yana melotot. "Ampun, Yang Mulia. Kembalikan hamba pada orang
tua hamba." Suara Sedah Lati pilu.
Mata Kuwara Yana semakin melotot sampai-sampai
serasa mau melompat. Namun kemudian menoleh pada
Teposono. Dijawab dengan anggukan kepala. Kuwara
Yana pergi. Pintu ditutup.
Kini perwira tinggi itu melangkah maju. Pelan.
Tersenyum. Menelan ludah.
"Berdirilah, Manis!" katanya.
Lagi. Selangkah lagi. Makin dekat. Dan... mata kian
berbinar. Napas makin bergesa.
Sedah Lati tidak menjawab. Tubuhnya, buah dadanya
yang masih tegak itu semuanya menjadi gemetar. Ia
seperti melihat hantu. Wajahnya yang ayu menjadi pucat.
Sekali lagi ia mendengar Teposono memerintah. Namun
tiada kekuatannya untuk berdiri. "Berdirilah saja!" Suara itu berulang lagi. Dan mata orang itu lahap memandangi
tubuh Sedah. Rambutnya, dadanya...
"Jangan kau tunggu aku marah, Sayang!"
Sedah mengerti benar. Itu ancaman. Ia paksa berdiri
walau sulit. Teposono makin terpesona.
"Hyang Maha Dewa anugerahkan kau padaku."
Nampak gigi Teposono yang besar-besar dalam
senyumnya. "Tenanglah, Manis."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kian lemah persendian Sedah Lati. Mengelak juga tak
mampu, waktu tangan berbulu kasar itu merenggut
tubuhnya. Ia pejamkan mata. Bahkan tangan itu kini
membopongnya ke tempat tidur.
*** Penghadapan agung baru selesai. Dan. semuanya
masih berlaku sebagaimana biasa. Baginda saat itu
duduk di balairungsari. Sebentar kemudian ia
memerintahkan seorang caraka (utusan) untuk
menghadapkan Laksamana Haryo Dento.
Dalam kawalan ketat orang itu naik ke balairung.
Tombak-tombak terhunus ditujukan pada tubuhnya.
Sesekali ia menoleh para pengawal. Yang ditoleh
menjadi berdesir. Tubuhnya yang dahulu gempal telah kurus kering.
Cuma kumis dan jenggotnya yang nampak tumbuh
subur. Dengan tenang ia menyembah pada Sri Prabu
waktu sudah berhadapan. Baginda melambaikan tangan,
memberi tanda agar pengawal menjauh.
Sebelum bertitah ia pandangi Haryo Dento mulai dari
ujung kaki sampai ujung rambut. Namun yang dipandangi
tak menunjukkan rasa takut. Tak terkena wibawa
Baginda. "Sampai detik ini Yang Mulia masih diperkenankan
memandangi sinar mentari," Baginda memulai.
"Terima kasih, Sri Prabu," jawaban dengan suara
parau. "Masihkah Yang Mulia membenarkan Pa-manda
Macanapura" Pengiriman laskar ke Surabaya itu tidak
salah?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Sri Prabu anumerta telah menimbang dengan segala kebijaksanaan. Demi Blambangan, Demi Hyang Maha Dewa."
"Hyang Maha Dewa!" Danureja menyebut. "Tak terpikir oleh Laksamana bahwa itu menghamburkan cadangan negara."
"Demi Hyang Maha Dewa, biaya itu tak lebih besar daripada yang digunakan oleh para nara-praja untuk memperdewakan hati sendiri."
"Laksamana!" Danureja membentak kini, "Laksamana memaksudkan bahwa naraprajaku menghambur-hamburkan cadangan negara?"
Haryo Dento tak menjawab. Cuma pandangan mata yang tajam ia arahkan pada Sri Prabu.
"Laksamana tidak bertindak terhadap pelarian sepuluh kapal pemburu Blambangan itu" Mereka telah minta suaka ke Buleleng" Mengwi" Itukah darma Laksamana selama ini" Pengabdian?"
"Mereka melihat hari depan Blambangan yang suram.
Demi keagungan Hyang Maha Dewa Ciwa mereka menyerah pada Buleleng dan Mengwi yang akan menjadi pengayoman abadi."
"Dewa Bathara.... Laksamana memaksudkan aku tak mampu lagi mengayomi mereka" Tak ada wibawa mengayomi kawula?"
"Ampun, Sri Prabu... Bukan itu maksud hamba... tapi para narapraja yang baru itu...."
"Kebijaksanaanku di atas segala-galanya," potong Sri Prabu.
"Hamba percaya."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Dan kalian telah mabuk perang" Bangga dengan
hanya membawa beberapa puluh meriam dan bedil itu"
Kalian menghasut para narapraja untuk mempersiapkan
perang dengan Belanda" Perang yang tak pernah
menang itu?" "Tidak pernah...."
"Utusan!" Sri Prabu berteriak. Tidak mendengar suara Haryo Dento. "Panggil menghadap Arya Bendung dan
Yang Tersuci Dang Hyang Wena!"
Tanpa banyak bicara caraka itu pergi.
"Sekarang aku akan membuktikan bahwa Pamanda
anumerta salah. Karena beliau hanya mempertontonkan
kebesaran semu Blambangan. Cuma karena pengaruh
dari orang-orang yang ingin mencelakakan Blambangan.
Menyusutkan cadangan negara dengan persahabatan
yang tidak menguntungkan. Surabaya, Bali, Lombok"
Semua itu tidak tahu diri! Melawan VOC." Sri Prabu
mengumpat terus. "Seorang bijak selalu berangan-angan, berkata, dan
bertindak dengan menggunakan akal. Sebaliknya si
pandir hanya menggunakan perasaan dan kata hati
sendiri;" "Dewa Bathara! Jagat Pramudita! Begitu berani
Laksamana mengatakan hal itu. Aku juga punya
kemampuan untuk bertimbang. Bukan hanya
Macanapura!" "Ampun, Sri Prabu...."
"Kebiasaan Laksamana di atas lautan dibawa ke
istana. Di laut Laksamana bisa ber-nirneyana. Raja tanpa
dewa! Tapi di sini" Di hadapanku ini?"
"Bukan maksud hamba begitu."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Apa maksud Laksamana?"
"Hamba harus berani membenarkan apa yang
seharusnya dibenarkan. Demi Hyang Maha Dewa ?iwa,
Demi Hyang Bathara Widi Wasa."
"Bohong!" Bersamaan dengan itu Dang Hyang Wena, Arya
Bendung, dan Pangeran Pati yang masih belum dewasa,
masuk berbareng. Mereka nampak tergopoh-gopoh.
Karena panggilan itu tidak biasa.
"Putranda menghadap, Ramanda," Mas Nu-wong
menyembah. "Berdirilah di belakangku! Kau adalah Pangeran Pati
yang harus tahu segala hal tentang kerajaan. Saat ini
kau harus mulai belajar. Dari melihat dan mendengar kau
belajar." "Hamba, Sri Prabu." Anak itu kemudian melangkah ke
tempat yang ditunjukkan ayahnya. Melewati kanan api
kehidupan di sebelah kanan Sri Prabu. Api itu akan
menyala sepanjang raja beragama Ciwa berkuasa.
"Yang tersuci, apakah Laksamana Haryo Dento ini
bisa diampuni?" tanya Sri Prabu Danureja.
"Hyang Bathara Wasesa Jagat Pramudita, segala
purba wasesa yang menyangkut ketataprajaan ada di
tangan satria. Hamba hanya bisa bersembah bila
ternyata Laksamana mengingkari dharma yoga," orang
setengah tua yang berjubah kuning itu berkata.
Laksamana Haryo Dento menoleh pada pandita
kerajaan itu. Berani. Ia mengerti bahwa Dang Hyang
Wena akan mengaitkan masalahnya dengan darma pada
para dewa. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Baik. Bersembahlah, Arya Bendung! Amatilah, Yang Tersuci."
Penguasa tertinggi laskar darat merangkap menteri muka (menteri pertahanan) Blambangan itu menyembah hormat.
"Pelarian ribuan tantama, bintara, dan perwira menunjukkan adanya nirneyana. Sebagian besar dari mereka adalah yang pernah ikut bertempur di medan Surabaya."
"Mereka lebih baik berbuat begitu daripada harus juga meringkuk dalam penjara." Haryo Dento tetap pada pendiriannya.
"Yang Mulia membenarkan itu?" Arya Bendung terbelalak. "Laksamana merestui itu" Membantu Surabaya" Negeri berdewa satu" Islam?"
"Jatuhnya Surabaya berarti moncong meriam Belanda langsung teracung ke dada Blambangan."
"Yang Mulia begitu keras. Lupa bahwa dengan begitu telik Belanda akan tahu Blambangan terlibat perang melawan mereka."
"Memang bukan rahasia lagi. Bukankah dalam perang Surapati kita juga terlibat" Dan sekarang kita tidak menggunakan umbul Jingga sebagai tanda kerajaan kita.
Tak juga dwiwarna lambang Majapahit. Tapi semua mengibarkan bendera Surabaya."
'menteri penahanan "Jagat Pramudita...." Dang Hyang Wena menyebut.
Laksamana Haryo Dento tahu bahwa ia sedang menghadapi sandiwara untuk membunuhnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bendera kerajaan Islam?" Dang Hyang Wena
menyudutkan. "Kalau soalnya Islam, maka Mengwi pun akan ?
membiarkan saja Sawunggaling ditumpas kompeni. Tak
perlu ada pernyataan belasungkawa atas gugurnya
Jangrana." "Bali pun bukan sahabat sejati Blambangan," Baginda
menekan. "Permintaan suaka pada Mengwi bisa
dianggap pengkhianatan."
"Demi Hyang Maha Dewa, tak ada niat kami-untuk
mengkhianati bumi kelahiran sendiri."
"Laksamana! Mereka menentang kebijaksanaan Sri
Prabu!" Arya Bendung membentak.
"Ampun. Mereka cuma tak ingin menjadi korban
kebijaksanaan itu. Di bawah perwira-perwira muda yang
arif...." "Jagat Dewa! Dang Hyang Wena, bukankah
Laksamana Haryo Dento telah bersekutu dengan negara


Tanah Semenanjung Karya Putu Praba Drana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Islam?" Baginda menoleh pada Yang Tersuci. "Sehingga dengan begitu berani menyalahkan kebijaksanaan
kami?" Yang Tersuci Wena memandang Haryo Dento.
"Setelah dua tahun Yang Mulia diperkenankan
merenungkan segala hal, ternyata Yang Mulia tidak
menjadi jernih. Bahkan semakin keras. Dengan begitu
nasib Yang Mulia sudah bisa diramalkan sekarang,"
Dang Hyang Wena berkata dengan sabar. "Kiranya
Hyang Maha Dewa akan mengampuni bila Yang Mulia
mau menyadari setiap kesalahan. Dan bersedia
memanggil kembali mereka yang sudah lari. Demi Hyang
Maha Dewa, Sri Prabu akan mengampuni."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Haryo Dento diam. Juga yang lain. Walau masih
banyak lagi rentetan khotbah yang ia dengar. Ia merasa,
benar dua tahun ia telah dipenjara tanpa dilepas tanda-
tanda kebesarannya. Dua tahun ia terpisah dari anak
buahnya, anak-istrinya. Namun ia tak rela, dan tak akan
rela menyerahkan anak buahnya kepada kapak merta-
lutut (algojo) Setelah menarik napas panjang, dan dengan
pertimbangan yang matang ia menjawab,
"Dua tahun memang terlalu lama untuk menjernihkan
pikiran, Yang Tersuci. Dan dengan kejernihan yang ada
itu pula hamba menyerahkan nasib ke bawah duli
Baginda. Tak bisa lebih. Namun karena mereka hanya
melaksanakan perintah Sri Prabu Macanapura anumerta,
mereka tidak salah. Karena sudah mempersembahkan
segala karya dan darma untuk tanah kelahiran. Segala
titah Sri Prabu anumerta melalui mulut Haryo Dento. Dan
yang bertanggung jawab dalam pertempuran
sepenuhnya Haryo Dento dan Panglima IJmbul Songo.
Karenanya tak diperlukan lain orang ikut menerima
hukuman." "Bagus!" Sri Prabu sampai pada puncak
kemarahannya. "Arya Bendung, hukuman mati bagi
Haryo Dento! Lepas dari segala pangkat dan jabatan!
Dan kau, Caraka, panggil Umbul Songo."
Sesaat Haryo Dento menatap Sri Prabu. Tatapan
mata yang terlatih di atas lautan. Setelahnya tersenyum.
Entah bagaimana perasaannya, namun ia telah siap.
Sudah ia duga, akhirnya ia akan sampai di tiang
gantungan. Haryo Dento dibawa pergi. Sebagai gantinya Umbul
Songo. Masuk dengan kepala tertunduk. Semua
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
memandangnya dengan penuh perhatian. Umbul Songo
segera menyembah. "Duduklah, Yang Mulia!" Suara Sri Prabu
mendebarkannya. "Pandang semua yang hadir. Aku
memberi perkenan. Dan bila Yang Mulia masih berbakti
padaku, maka Yang Mulia akan mendapat perkenan
memandangi mentari lebih lama."
Wajah Umbul Songo makin pucat. Debar jantungnya
memburu. Perlahan ia mengangkat kepala. Dicobanya
menatap wajah Baginda. Merah membara. Memancarkan
gelombang api di dadanya. Umbul Songo tak kuasa
menentang wajah itu. Kembali tertunduk.
"Rencana apa yang telah dirundingkan dengan para
perwira muda waktu mendengar kami mengambil alih
kekuasaan?" "Ampun, Sri Prabu... tak ada...."
"Baswi meninggalkan baraknya sehari setelah Yang
Mulia diistirahatkan. Sudah direncanakan, bukan?"
"Ampun, Sri Prabu...."
"Menyadari bahwa semua itu merugikan
Blambangan?" "Hamba, Sri Prabu."
"Mereka juga melakukan pendurhakaan" Dan tahu
pulakah bahwa Surabaya negeri berdewa satu"
Memperkuat Surabaya berarti membiarkan Blambangan
runtuh ke dalam Islam?"
"Kami semua hanya melaksanakan titah Sri Prabu
anumerta." "Jadi hanya melaksanakan perintah?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Benar, Sri Prabu. Buat selamanya tak ada hak kami
membantah apa saja yang datang dari istana."
Sang Prabu membelalak. Mengerutkan dahi. Lalu,
"Dengan begitu Yang Mulia ingin mengatakan bahwa
setiap kesalahan bersumber dari istana sendiri?"
Danureja menoleh pada Menteri Muka. Sebentar
kemudian berkata lagi, "Arya Bendung, bersembahlah."
Dan Arya Bendung memandang Umbul Songo.
"Yang Mulia membiarkan laskar Surabaya melintasi
perbatasan. Bahkan menduduki daerah Blambangan.
Apakah ini tidak mungkin terjadi persekongkolan seperti
dengan Surapati dulu?"
"Ampun, Yang Mulia," Umbul Songo menarik napas.
Keadaan tubuhnya yang ringkih membuat pikirannya
juga ringkih. Tidak lebih baik dari keadaan Haryo Dento.
"Bukankah sebelum peristiwa itu terjadi, Yang Mulia
sendiri yang mengepalai telik Blambangan" Bukankah
sebenarnya waktu itu Yang Mulia sudah bisa mengambil
sikap?" Arya Bendung terkesiap. Umbul Songo sedang
berusaha menyudutkannya. Ia kini mengerutkan
keningnya. "Sekali lagi." Umbul Songo menegaskan, "kami adalah bawahan semata. Kami selalu satya a prabu, satya a
nagri (setia pada raja, setia pada negara) Itulah prasetya
(sumpah) kami." "Tapi bagaimana dengan dewa yang satu itu?" Dang
Hyang Wena yang bicara kini.
"Kami datang ke Surabaya bukan untuk
menghancurkan Islam. Tapi perampok dan perompak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
asing yang berkulit putih!! Karena mereka hendak
mengubur Nusantara kita ini ke dalam jurang kehinaan
yang paling dalam." "Dengan membiarkan Daeng Sampala menginjak-injak
wilayah Blambangan" Juga Segawe orang Madura itu?"
Kembali Arya menyudutkannya.
"Sekali lagi, kami tak berwenang mengusir mereka.
Apalagi mereka tak memusuhi Blambangan."
"Atau memang tak ada keinginan Yang Mulia
mengusir mereka?" Kini Danureja menggeram. "Ampun,
Sri Prabu...." Tiba-tiba terjadi kegaduhan yang tak terduga.
Semua mata memandang ke luar. Teposono naik ke
balairungsari. Kemudian menjatuhkan diri dan
menyembah di kaki Sri Prabu. Semua tindakannya
tampak tergopoh-gopoh. "Bukankah ini Teposono?"
"Hamba, Sri Prabu."
"Menghadap tanpa panggilanku" Atau perkenan dari
ratu anggabaya (orang yang diberi kuasa untuk menemui
orang sebelum menghadap raja dan punya kuasa
mewakili raja dalam keadaan tertentu) ?"
"Hamba." "Sesuatu yang penting hendak kaupersembahkan?"
"Hamba." "Bersembahlah!"
Teposono memandangi sekitarnya. Curiga. Tapi Sri
Prabu tak peduli. Segera ia membentak.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ampun, Yang Maha Mulia, satu satuan kita telah lari
lagi di bawah pimpinan Sardola...."
"Jagat Dewa!" Sri Prabu menyebut dalam kejutnya.
"Mereka membawa meriam dan kanon dan bedil hasil
rampasan perang Surabaya. Tapi sebagian dapat direbut
kembali oleh satuan pengejar kita."
Arya Bendung lebih terkejut lagi. "Pengkhianat!"
"Mereka juga menyerbu istana Menteri Kuwara Yana.
Merampas setiap saga emas dan catak perak yang ada
dalam istana itu." "Bagaimana halnya dengan Yang Mulia Menteri?"
Arya Bendung gelisah. "Selamat, karena beliau sedang beranjang-karya."
Danureja mengerutkan kening. Juga giginya berkerut-
kerut. "Ke mana mereka lari?"
"Ke arah utara. Kira-kira ke daerah Pasuruan."
"Yang Mulia Umbul Songo!" Sri Prabu berteriak
dengan suara gemetar. "Apa arti semua ini" Kalian telah
bersekongkol tidak hanya dengan sisa-sisa Untung
Surapati, tapi juga dengan para perusuh sisa kekuatan
Paman Macanapura! Satria yang khianat! Yang Mulia
mempertanggungjawabkan semua-mua!"
"Ampun, Sri Prabu. Hamba tak tahu apa-apa."
"Tidak tahu" Hemh...! Bagaimana mungkin" Begitu
Baswi begitu pula Sardola! Kalau Yang Mulia tidak
dikurung, tentu akan lebih banyak lagi nirneyana terjadi."
"Ampun, Sri Prabu."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Yang Mulia tidak berusaha mengembalikan mereka
ke induk pasukan. Yang Mulia tak menyadarkan mereka.
Tak patut lagikah Blambangan ini menjadi tempat
mengabdi" Juga. tak patut lagikah aku menjadi
junjungan kalian?" "Ampun, Sri Prabu."
"Yang Mulia Menteri Muka, copot Umbul Songo dari
semua pangkat dan jabatannya. Hukuman mati, ini
keputusanku!" Umbul Songo semakin lunglai mendengar itu. Matanya
tidak lagi bersinar. Harapannya pudar. Sang Prabu
benar-benar dalam genggaman para drubiksal Orang-
orang yang mementingkan diri sendiri. Tak pernah
memikirkan kejayaan Blambangan.
Ia menyerah saja kala kain sutra kuning dililitkan ke
tangannya. Sebagai tanda bahwa ia bekas perwira tinggi
yang terhukum. Masih sempat ia melirik mata Sri Prabu
yang berkilat-kilat. "Lakukan pengejaran terhadap mereka! Tangkap
seluruh perwira yang pernah bertempur di Surabaya,
Teposono! Kecuali orang-orangmu." Danureja amat
gusar. Danureja masuk bilik agung setelah memerintahkan
yang lain bubar. Mas Nuwong pun kembali ke kesatrian.
Semakin banyak laskar Blambangan yang lari,
semakin gelap alam pikirannya. Seolah tak ada
persoalan yang dapat ia selesaikan. Ternyata merebut
kekuasaan bukanlah soal yang mudah. Sebab persoalan
selalu berbuntut kian hari kian panjang. Walau ia telah
memerintahkan agar semua pekerjaan dilakukan dengan
penuh rahasia. Termasuk pengurungan Laksamana
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Haryo Dento maupun Panglima Umbul Songo. Tapi kini
tidak lagi menjadi rahasia.
Betapapun ia rasakan kepalanya semakin berat. Tiba-
tiba ia teringat Singamaya. Tumenggung Sumberwangi
yang telah menyerahkan gadis Bali sebagai
persembahan. Ni Ayu Sudiarti. Gadis sudra jelita, seperti
sekuntum mawar yang kini tinggal di tengah kaputren
Blambangan. Sri Prabu bangkit, tanpa ingat putra-putrinya lagi.
Tanpa ingat segala kesulitan. Memasuki tamansari.
Dengan kerelaan penuh gadis itu menyambut
kehadiran Sri Prabu. Sudiarti tersenyum seperti ketika
akan menari. Menawan senyum itu. Juga matanya yang
bening indah. Seindah wajahnya.
Malam itu ia tak lagi menari. Tapi menjadi selir-
baginda Blambangan. *** Arya Bendung bertindak semakin keras. Pembersihan
di kalangan balatentara darat dan laut bukan terbatas
pada perwira. Juga bintara dan prajurit. Sri Prabu juga
memerintahkan agar para menteri lama diperiksa.
Setidaknya mereka dituduh membiayai kerusuhan-
kerusuhan yang terjadi. Semua diganti dengan perwira-
perwira tinggi kepercayaan Baginda.
Para kawula semakin tidak mengerti. Mereka tak tahu
apa-apa. Terutama ayah dan keluarga para prajurit yang
ditangkap. Bertanya-tanya apa salah mereka itu"
Jawabnya hanya kabar pendurhakaan besar-besaran di
bumi Blambangan. Gerak mereka menjadi amat terbatas. Bukan hanya
gerak. Tapi bicara pun mereka harus berhati-hati.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kesalahan bicara bisa membuat mereka menjadi
penghuni penjara. Bahkan mungkin bisa kehilangan
kepala. Pihak istana selalu mencurigai setiap kerumunan
orang, setiap kelompok, juga setiap orang. Ketakutan
menjalar ke mana-mana. Sedah Lati masih juga takut. Walau kini ia sudah
berada jauh di luar kota Blambangan. Jauh dari Ibukota
Lateng. Bersama tiga wanita lainnya ia dibawa ke luar
istana Kuwara Yana oleh Sardola.
Sedang Sardola masih dalam ketegangan. Mukanya
merah padam. Asem Bagus telah sejak tadi mereka lalui.
Sengaja ia menyusur daerah pantai. Ia memperkirakan
pengejaran laut tidak mungkin ada. Bahkan ada
kemungkinan malah mendapat perlindungan dari laskar
laut yang banyak membelot juga. Hutan daerah pantai ini
amat lebat dan sangat mungkin dapat menyesatkan
orang yang tidak berpengalaman. Juga banyak binatang
liar. Diingatnya pesan Baswi, bahwa ia harus menuju
Raung. Karena itu ia kemudian memerintahkan laskarnya
berbelok ke barat. Baswi akan menjemput mereka. Dan
yang tidak boleh dilupakan bahwa ia harus mengambil


Tanah Semenanjung Karya Putu Praba Drana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

anak buyut (lurah) Tegal Delima dari istana Kuwara
Yana. Sardola menempatkan diri di belakang barisan.
Setengah hari sudah menempuh perjalanan. Namun
Sardola belum memerintahkan istirahat. Ia mengerti
empat orang wanita itu sudah lelah. Pikirannya masih
belum terlepas dari dua puluh
tujuh anak buahnya yang tewas melawan tentara
pemburu. Tiga belas lagi hilang entah ke mana. Dan
yang paling menggemaskan hati adalah meriam dan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kanon yang dapat direbut kembali oleh laskar
Blambangan. Walau sebagian besar masih sempat ia
bawa kabur. Karena itu ia belum bicara sejak tadi. Yang
lain tak berani bertanya apa-apa. Hingga pada tempat
tertentu Sardola berteriak, "Berhenti!"
Semua menoleh ke arahnya. Keringat membasahi
seluruh tubuhnya, seperti halnya beberapa kuda yang
menarik meriam mereka. Dan apabila memperhatikan
napas beberapa kuda itu mereka menjadi iba.
"Kita istirahat di sini. Pengejar kita telah kembali ke
Lateng," Sardola memastikan.
Dengan cepat mereka melepas beban masing-masing
dan mencari tempat teduh untuk istirahat. Wanita
berkumpul sesamanya. Dan masih saja tak jperkata apa-
apa. Sedang Sardola sibuk membantu orang-orangnya
yang melepas kuda dari beban mereka. Setelah itu
beberapa orang membagikan makanan persediaan.
Sambil menerima makanan itu mereka sibuk mengebas-
ngebaskan nyamuk hutan yang datang mengerumuni
mereka. Makin lama makin banyak. Walaupun sudah
beberapa puluh yang terbunuh dalam waktu beberapa
bentar. "Makanlah sekenyang mungkin. Dan istirahatlah
setenang-tenangnya!" perintah Sardola lagi.
Penjagaan segera diatur, sementara Sardola juga
makan. Dan sebagai prajurit mereka tidak membutuhkan
waktu lama untuk makan. Sekilas Sardola melirik para wanita yang mereka culik
itu. Makanan yang diberikan pada mereka belum
disentuh sama sekali. Dalam keheranannya Sardola
bangkit mendekati mereka.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kenapa tiada yang makan?" tanyanya.
Tiada jawaban. Suara nyamuk mengganggu Sardola.
Dedaunan bergoyang ditiup angin. Sardola berhenti
melangkah. Agak jauh dan mengamati mereka tajam-
tajam. "Jangan takut. Kami tidak bermaksud jelek pada
kalian," lanjut Sardola.
Mereka masih saja tertunduk. Takut melihat wajah
Sardola yang seram. Sedang Sardola tak mengerti
mengapa begitu. Bukankah ia telah membebaskan
mereka" Bukankah seharusnya mereka berterima kasih-
karena ditolong keluar dari penghinaan dan
kesengsaraan batin" Atau mereka tidak menyadari
keadaan itu" Sardola menebak-nebak dalam hati.
"Siapa di antara kalian yang bernama Sedah Lati?"
kini Sardola bertanya dengan suara mantap.
Sedah Lati gugup. Kejadian kemarin kala bersua
Teposono masih menghantuinya. Perbuatan Teposono,
merupakan siksaan batin. Dan rasa nyeri pada bagian
tubuhnya yang terlarang belum hilang.
"Atau aku salah" Tak ada di antara kalian yang
bernama Sedah Lati?" Sardola mulai jengkel. Sedah
makin gugup. "Inilah... hamba...," jawabnya terpaksa. Seribu
pertanyaan akan nasib selanjutnya menyatu dalam hati.
"Kenapa takut?" kata Sardola setelah bernapas
panjang. "Kejadian datang silih berganti di luar kehendakku,"
masih terpaksa mengeluarkan pendapat. Masih juga
takut. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Juga di luar kehendak kami semua," Sardola menambah.
"Tuan telah mengambil kami dengan paksa____"
"Sebab Saudari juga direnggut dengan paksa dari rumah."
Kini... tanda tanya kian membesar di kepala Sedah Lati.
Sardola melihat perubahan mukanya. Maka ia menegaskan,
"Tak usah terkejut. Bukankah Saudari kenal dengan Baswi" Dia yang meminta aku mengambil Saudari dari istana Kuwara."
Wajah Sedah merona seperti bunga kapas muda.
Debar jantungnya tiba-tiba mengeras dan tidak teratur.
"Hyang Dewa Ratu! " Sedah menyebut. "Jadi dia sudah tahu aku diambil Kuwara____"
"Demi Hyang Durga (kekuatan halus seperti wanita untuk menghancurkan semesta alam. Lengkapnya Hyang Durga Mahisasura Mardhini " mahisa: kerbau; sura kekuatan; mardhini: melingkupi semesta alam) kami hanya melaksana-kan permintaannya. Dan Saudari akan segera bersua dengannya."
"Ah..." Sedah mengeluh. "Tidak! Aku ingin kembali ke Tegal Delima." Sedah kini gemetar.
"Tidak ingin bersua Baswi?"
"Aku tidak akan berharga lagi di hadapannya."
"Saudari..." Sardola iba. Apalagi ia lihat Sedah tampak ketakutan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Demi Hyang Maha Dewa, jangan bawa aku padanya?"
"Laskar Blambangan akan menyusul Saudari ke Tegal Delima."
"Bukankah Tuan juga perwira Blambangan?"
"Aku telah menanggalkan tanda-tanda
keperwiraanku." "Tuan semua pelarian?" Sedah tercengang.
"Ya, sama dengan Baswi!"
"Jagat Dewa Bathara... Apakah yang telah terjadi di bumi Blambangan ini?"
Sardola tak bisa menyalahkan ketidaktahuan Sedah.
Sambil berpikir matanya sempat hinggap pada wanita lainnya. Tubuh mereka tampak segar dan terawat baik.
Masih belasan tahun usia mereka. Namun tiada kesempatan baginya untuk terpesona.
"Biarlah aku menjadi sayu (wanita yang telah disucikan oleh Brahmana Ciwa untuk kepentingan keagamaan kaum Ciwa)Demi Hyang Maha Dewa."
"Untuk apa, Saudari?" Sardola terkejut.
"Menebus dosa," suara Sedah haru. "Aku akan pasrahkan segala-galanya pada Hyang Ciwa."
"Bukankah Saudari diculik karena mereka mencari Baswi ke sana" Jadi Saudari tak perlu menebus dosa,"
Sardola menasihati. Hatinya menjadi iba. Sedang para wanita lain yang sejak tadi mendengar saja makin mengerti bahwa mereka bersama kaum pelarian.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kini Sardola melangkah maju. Dua langkah.
Pikirannya mulai ikut buntu. Kembali silir angin yang
bertiup menimpanya. "Langsung atau tidak kita sudah dilibatkan dalam
komplotan yang menantang Sri Prabu." Tiba-tiba seorang
di antara wanita itu bersuara pelan. Sardola
membeliakkan matanya. Terkejut.
"Kami tak melibatkan Saudari...."
"Tapi Tuan telah membawa kami."
"Kami memang salah," Sardola menyesal, "kami
hanya akan membebaskan Sedah. Sayang kami tidak
ada yang mengenalnya. Maka kami bawa kalian semua.
Pasukan Teposono terlalu cepat datang. Sehingga kami
tak sempat mengadakan penelitian."
"Apa dalih Tuan dengan kata pembebasan itu?"
"Saudari Sedah diculik. Dan ayahnya tak mampu
membelanya. Empat hari setelah itu ia sampai ke tangan
Kuwara Yana. Sebagai persembahan dari seorang
perwira. Semestinyalah aku mengatakan bahwa tindakan
kami ini sebagai pembebasan. Dan itu tak mungkin
terjadi tanpa kekerasan."
"Tuan seorang perwira. Kenapa tak bisa
merundingkan persoalan ini dengan damai?"
"Dia seorang menteri. Payungnya sudah tentu perwira
tinggi. Aku" Cuma manusia yang harus menjalankan
perintah semata-mata. Tidak mungkin. Tidak mungkin."
"Agar menjadi pengetahuan Tuan, sebaiknya aku
perkenalkan teman-teman ini. Di sebelahku ini, Ni Ayu
Sitra, dia... Ni Ayu Jenean," kata wanita muda yang
mengaku bernama Ratna Ayu Yistyani itu sambil
menunjuk temannya satu-satu. Kemudian lanjutnya,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kami semua punya persoalan yang tidak sama. Karena
itu punya pandangan yang tidak sama pula tentang apa
yang Tuan maksudkan dengan pembebasan itu."
"Kami pikir Saudari akan bergembira dengan
pembebasan ini. Tidak tahu jika sebaliknya. Menyesal
sekali." Berempat diam. Juga Sardola. Tak mengerti
bagaimana harus berbuat. Sedang anak buahnya telah
sejak tadi selesai makan.
"Baik," katanya menunjukkan keputusasaan. "Siapa yang ingin kembali ke Lateng, akan kami antar.
Begitupun Sedah?" "Semudah itu, Tuan?" potong Yistyani cepat. "Tak sadarkah Tuan bahwa itu menyerahkan kami ke tiang
gantungan?" Sardola terperanjat dalam bingungnya. Demikian pula
Sedah. Ia segera sadar bahwa kata-kata Yistyani
mengandung kebenaran. Kini Sedah menajamkan
matanya pada Yistyani. Wajahnya ayu, kepalanya cerah.
Sedah kagum. "Apa dalih mereka menghukum Saudari?" Sardola
mengerutkan keningnya. "Kami telah Tuan bawa. Sedang Tuan membawa serta
senjata-senjata milik kerajaan. Juga beberapa ribu saga
emas milik Kuwara Yana. Bahkan mungkin milik
kesatuan Tuan sendiri. Mereka tentu tahu semua itu.
Adakah alasan kami kembali dengan tanpa keterangan"
Mereka pasti bertanya ke mana kelanjutan perjalanan
Tuan. Padahal mana kami bisa tahu?"
"Saudari bisa kembali ke tempat asal____"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tak ada tempat aman di Blambangan. Juga di luar
kota. Tiap lembar daun pun akan dibalik."
Yistyani membuat Sedah tambah berdebar. Karena itu
ia perhatikan dengan seksama. Dan ia menjadi ragu
akan keputusan semula. Tak ada lagi tempat berlindung
di Blambangan. Juga Tegal Delima. Ia mengeluh dalam
hati. Tapi ia takut pada Baswi. Kesucian, keperawanannya
telah direnggut oleh orang yang memper-dewakan hati
sendiri. Ia tak punya lagi kesuburan untuk
dipersembahkan pada perjaka suci.
"Lalu maksud Saudari?" Sardola menantang. "Apa
jalan keluar yang akan diambil?"
Yistyani diam beberapa jenak. Kemudian menoleh
pada wanita lainnya. Seakan minta pertimbangan.
Namun tiada satu pun yang menjawab. Walau dengan
bahasa mata saja. "Tiada jalan lain," kini Yistyani menyerah sambil
menghela napas panjang. "Nah... makanlah!" Sardola sedikit lega. Seperti
terlepas dari sesuatu yang mengimpit tubuhnya.
Kemudian ia membalikkan badan.
Sambil memukuli nyamuk dengan telapak tangan
mereka menirukan Yistyani makan. Meskipun mereka
telah dipersudrakan tapi belum terbiasa makan dalam
keadaan seperti itu. Duduk di atas rumput, di bawah
naungan pohon-pohon rindang.
Dalam perjalanan selanjutnya Sardola mulai
membayangkan wajah Baswi. Tentunya pemuda itu telah
menunggu rombongannya di Raung. Betapa bahagia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Baswi bersua Sedah. Ia" Ia belum berpikir seperti apa
yang dipikirkan Baswi. Tanpa mengenal lelah yang tidak mau berdamai itu,
mereka terus menguak gerumbul semak. Melintas
belantara yang penuh rotan berduri. Mereka bertekad
mengalahkan setiap kesulitan. Sebab Sardola memang
menghindari desa yang memungkinkan bisa memberi
keterangan pada Lateng. Pikir Sardola, melintas dan
melintas terus mencari jalan terdekat.
Empat wanita itu tidak mau lagi berkuda seperti
semula. Mereka mulai ingin menyaturasa. Supaya
kemudian dapat menyatu pendapat. Namun setelah
candiala*) mulai nampak, perasaan letih sudah
tanda-tanda senja hari, biasanya disertai warna merah
lembayung di ufuk barat amat membelenggu. Gunung
Raung memang nampak semakin dekat. Dan kekuatan
mereka pun sudah surut. "Di mana kita akan menginap?" Yistyani membuka
pertanyaan. Namun tiada berjawab.
Perhatian Sardola sedang tertumpah pada meriam-
meriamnya. Apalagi setelah beberapa kuda yang
menarik meriam itu sudah tak kuat lagi berlari. Sesaat
matanya ia tatapkan pada Gunung Raung. Megah.
Angker. Serasa ingin ia menembus gerumbul semak
belukar. Dan ingin melihat gubuk-gubuk yang telah
didirikan Baswi dan teman-temannya.
"Ke mana kita akan menuju?" Kembali teriakan
Yistyani mengganggu. Bahkan mengejutkan Sardola. Ia
toleh mereka. "Tuan tidak dengar?" ulang Yistyani.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Panggil aku Sardola!" Sardola menyeringai. Tapi
Yistyani tidak menanggapi.
"Ke mana kita akan melangkah?" tanyanya lagi.
"Belum tahu." Sardola jengkel.
"Hai... hari sudah malam."
"Masih senja!" Sardola setengah berteriak.
"Jangan bergurau! Kita sudah semalam dan sehari
berjalan. Kami sudah sangat letih."
"Ya. Tapi setidaknya, kita masih harus berjalan
setengah malam lagi."
"Kita berhadapan dengan gunung____" Yistyani putus
asa. "Ya." Suara Sardola datar.
Yang lain tetap diam sambil berjalan terus dalam
keletihan yang amat sangat. Kemudian,
"Apa kita tidak istirahat dulu?" Suara Sedah yang
terdengar kini. "Jika kita berhenti, kita akan menjadi umpan nyamuk."
"Dewa Bathara!"
Surya telah benar-benar tenggelam di balik
perbukitan. Sardola memerintahkan beberapa orang


Tanah Semenanjung Karya Putu Praba Drana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk menyembunyikan meriam-meriam mereka ke
dalam semak. Kuda-kuda pun segera dilepaskan dari
beban masing-masing. Dan dengan dikawal beberapa
orang, kuda-kuda itu diberi waktu istirahat dan makan.
Demikian pun senjata yang disembunyikan dikawal oleh
behe-rapa orang di tempat terpisah. Sedang Sardola dan
yang lain meneruskan perjalanan. Tak seorang pun
berani membantah. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Sementara waktu biarlah bintang-bintang menyinari
perjalanan kita. Nanti jika sudah jauh dari persembunyian
meriam ini kita akan sulut obor." Sambil berjalan ia
memerintah. Setelah mencapai beberapa jarak, Yistyani tiba-tiba
berkata, "Aku lihat sinar! Lihat!" Ia mendekatkan diri pada Sardola. "Di sela pepohonan itu, aku lihat damar."
Semua terkesiap. Sardola pun terkejut.
"Betul." Seorang prajurit meyakinkan.
Sardola juga mengamati tempat yang ditunjuk
Yistyani. Untuk beberapa jenak jantungnya berdebar.
"Berhenti dulu!" perintahnya mendadak.
"Perkampungan," bisik Yistyani lagi.
"Tidak ada perkampungan di sini," bantah Sardola.
"Tidak mungkin," Yistyani menegaskan lagi.
Sekali lagi, Sardola dan kawan-kawannya yang telah
berpengalaman bertempur di Surabaya itu terheran-
heran. Kecerdikan Yistyani sejajar dengan para perwira
Blambangan. "Kalau begitu..." Sardola menghitung-hitung. "Kita harus mengadakan pengintaian. Dan jangan menyulut
api dulu!" Dan perintahnya segera dikerjakan. Dua belas orang
dengan pedang dan tombak terhunus berangkat. Sedang
yang sisa pada menegang napas.
Nyamuk-nyamuk juga mengganggu. Kulit mereka
sudah mulai gatal dan pedas. Mereka mengumpat dalam
hati sambil membunuhi makhluk yang tidak pernah sudi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berdamai itu. Sedang kegelapan semakin merajai
suasana. Tegang. Sardola tidak suka lagi berbincang dalam keadaan
begitu. Wajahnya tampak seperti harimau yang
menerkam mangsanya menandakan ketegangan
mencekam pikirannya. Andaikata tidak gulita orang akan
melihat codet di atas alis membuat wajah Sardola
nampak semakin seram. Tiada terdengar suara ranting patah karena injakan
kaki, Sardola lega. Menandakan bahwa sejauh itu
pengintainya belum berbuat kesalahan. Juga belum
terdengar gemerincingnya senjata. Berarti mereka belum
ketahuan. Perkampungan siapa, ya" gumam Sardola dalam hati.
Ia menajamkan mata dan pendengarannya. Antara sabar
dan tidak mereka mendekam di balik pohon-pohon besar.
Dan Sardola sebenarnya adalah seorang yang paling
tidak sabar. Gelisah sampai seorang pengiringnya
datang. "Perkampungan?" tanya Sardola segera.
"Bukan," jawab seorang pengintai.
"Apa kalau begitu?" Sardola heran.
"Pesanggrahan. Pesanggrahan kosong."
"Kenapa ada pelita?" Sardola kurang percaya.
"Awas jebakan orang istana," .Sedah Lati
memperingatkan. "Tak tahu kenapa ada damar," orang itu menjawab.
"Tapi... tak ada tanda-tanda bahwa itu merupakan
jebakan. Kami telah menyelidiki seputarnya.
Pesanggrahan itu tampaknya baru dibangun tadi siang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dan mungkin sekali sangat tergesa. Bahkan mungkin
sekali orang-orangnya baru saja meninggalkan tempat
itu. Ada persediaan makanan yang baru sedikit mereka
makan. Sedang pada periuk-periuk lain belum tersentuh.
Sisanya cukup untuk makan dua ratus orang lebih."
"Drubiksa!" Sardola menggertakkan gigi. "Sudah
kalian coba?" "Belum. Nasi itu masih di atas tungku. Masih panas."
"Dewa Ratu! Mungkin disediakan untuk kita." Sedah
memandang Yistyani. "Mungkin," Yistyani berpendapat.
Sardola diam. Juga lainnya. Sepuluh bentar mungkin.
Sunyi. Cuma suara binatang-binatang malam menguasai
rimba yang gelap. "Yah... kita istirahat di sana," putusnya kemudian.
"Esok kita berangkat lagi."
Tanpa melengahkan diri, mereka melaksanakan
segala perintah Sardola. Mereka memang terbiasa
berdamai dengan kepenatan. Di mana dan kapan pun.
Pesanggrahan itu ternyata tak lebih dari gubuk-gubuk
tidak berdinding. Bertiang bambu, sedang atapnya
terbuat dari ilalang yang dipasang sekena-nya saja.
Tidak kokoh. Dan bisa dirobohkan dengan cepat dan
mudah. Semua berukuran kira-kira lima kali lima depa.
Dalam kelelahan manusia tidak sama. Ada yang bisa
makan sampai kenyang, tapi tidak kurang-kurang yang
tidak doyan makan. Ada yang segera tidur pulas, ada
yang malah tidak mampu memejamkan mata.
Sardola menempatkan para wanita di gubuk tersendiri.
Sedang gubuk yang lain diisi dua puluh bahkan ada yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dua puluh lima orang. Kelihatan berjejal seperti teri.
Meski begitu delapan gubuk yang tersedia belum
mencukupi. Ada di antara mereka yang cuma bersandar
dahan-dahan kayu. Bahkan ada juga yang rela bersusah-
susah naik pohon besar dan tidur di cabangnya. Ulah
manusia aneh-aneh menurut selera sendiri.
Ukuran jam bagi mereka hanya perasaan yang
dituntun oleh bergesernya bintang-bintang di langit.
Sebab mereka tak punya alat penunjuk waktu seperti
kompeni. Tapi mata batin mereka telah terlatih benar.
Karena itu pergantian penjagaan berlangsung terus
sesuai dengan bergesernya waktu.
Pangantilan adalah kepala penjagaan tengah malam.
Seperti mimpi rasanya. Ia melihat titik-titik api berjalan di
kejauhan. Ia menggosok-gosok matanya. Titik-titik api itu
sebentar hilang sebentar muncul, di sela kepekatan
malam. Aku tidak mimpi, pikirnya.
"Obor..." desisnya.
"Ya!" jawab seorang anak buahnya.
"Semakin mendekat."
"Jelas mereka adalah pasukan yang sedang berjalan
kemari. Yah... pasukan yang sedang bergerak!"
"Amati terus! Aku akan melapor pada pimpinan."
Setelahnya Pangantilan melangkah surut. Sardola
yang tidur-tidur ayam, segera bangkit waktu mendengar
seseorang mendekat. "Oh... Pangantilan. Ada apa?"
bisiknya. "Ada pasukan lain mendekat."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Hai... Apa katamu?" Sardola melompat dalam
keterkejutannya. Ia tangkap bahu anak buahnya dan
mengguncangkannya. "Tuan bisa melihat sendiri!"
"Panggil namaku!"
"Demi Hyang Maha Dewa!"
"Drubiksa mana yang bosan hidup itu?" Sardola
menggeram. Kemudian berjalan ke tempat penjagaan
yang ditentukan. "Gila! Obor sebegitu banyak!" Sardola makin
terperanjat. "Tak mungkin dilakukan oleh perwira yang tak
berkekuatan besar." Kini Sardola tidak lagi berbisik. Dan obor-obor semakin jelas. Kepala Sardola bekerja cepat.
Ia akan menyambut mereka di luar perkemahan.
"Perintahkan semua bangun. Sebelum mereka dekat
benar kita bergerak maju. Menyambut mereka di depan!"
Pangantilan mengerjakan perintah Sardola tanpa ribut.
Walau ada juga yang gugup. Langsung mereka
diperintahkan bergerak dalam jajar Sapit Urang
(membentuk formasi seperti supit udang /tangan udang
yang ujungnya berbentuk seperti gunting)
Beberapa saat kemudian mereka merangkak seperti
binatang malam yang melata dalam gelap. Sedang obor-
obor itu pun semakin mendekat. Harapan Sardola adalah
tentara VOC yang lewat. Dengan begitu ia akan
mendapat tambahan perbekalan dan senjata. Sebab
menurut dugaannya, laskar Blambangan maupun sisa-
sisa laskar Surabaya tidak akan bergerak di bawah sinar
obor seperti itu. Kecuali dalam masa yang mereka
anggap damai. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Uh, mereka benar-benar tak tahu bahwa sebentar lagi
akan masuk Sapit Urang," kata Sardola dalam hati.
"Mereka tak menyiapkan jajar perang." Pangantilan
heran. "Mungkin mereka menganggap remeh pada kita.
Atau mereka tidak tahu."
"Tidak mungkin," jawab orang di sebelahnya. "Mereka tentu melihat api tungku dan lampu-lampu kita."
"Mungkinkah pengintai kita tadi sore salah?" Yang lain menyahut pula.
"Tidak! Kita tidak masuk jebakan. Sebab kita hanya
punya persoalan dengan Blambangan. Dan pasti mereka
tak akan berbuat begitu. Kita lebih dulu sampai di sini,
bukan?" Sardola menerangkan.
Pembawa obor pertama telah memasuki ujung
rerumputan di mana Sardola menyiapkan jajar Sapit
Urang-nya. Dan mereka tak memadamkan obor mereka.
Orang-orang Sardola makin tak mengerti. Juga Sardola.
Keringat mulai membasahi kaki dan tangannya.
"Drubiksa!" Sardola mengumpat lirih sekali.
Ia memberi isyarat agar laskarnya bergerak maju.
Merayap pelan-pelan. Namun kini mata Sardola
menangkap bahwa mereka bukan kompeni. Tidak
bertopi. Tapi berdestar seperti dia. Kini ujung tombak
orang-orang pembawa obor itu nampak berkilat
memantulkan sinar. Dan Sardola masih memaksakan diri
bersabar. "Orang Blambangan! Lihat tombak dan destar
mereka!" desis Sardola.
"Ya," jawab yang di sebelahnya lebih lirih. Begitu
orang terakhir memasuki Sapit Urang, Sardola tidak lagi
mampu menahan hatinya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Berhenti!!!" teriaknya pada laskar pembawa obor.
"Jangan seorang pun melangkah! Kalian telah
terkepung!" Serentak barisan pembawa obor itu berhenti.
Serempak pula tanpa ada perintah mereka mengatur diri.
Menghadap ke empat mata angin. Namun tetap tak
membuang obor-obor mereka. Dan terdengar lagi oleh
mereka suara Sardola bertanya,
"Adakah kalian membawa sirih?"
Baik prajurit Sardola maupun pembawa obor mengerti,
bahwa itu bahasa sandi. "Kami cuma membawa kapur," jawab salah seorang
dari mereka. "Adakah kalian membawa tempolong tempat dubang
(ludah merah karena bersirih /berkinang)" Sardola
meneruskan penelitiannya.
"Biarlah bumi menjadi merah karena dubang."
"Jagat Dewa," Sardola menyebut dengan suara keras.
"Adakah Baswi di antara kalian?" Kini suaranya
terdengar riang. Yang lain juga ikut gembira.
"Baswi ada di belakang."
Sardola melonjak kegirangan. Di bawah sinar obor itu
ia melihat bahwa mereka memang orang-orang yang
sedang dicari ke setiap penjuru
Blambangan. Segera ia turunkan perintah pada orang-
orangnya untuk kembali ke gubuk masing-masing.
Mereka mengerti benar bahwa Sardola tak ingin
membiarkan mereka berkerumun di padang rumput kecil
itu. Walau Sardola sudah membuang tanda
keperwiraannya, namun perintahnya tetap dipatuhi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Beberapa saat setelah Sapit Urang dibuka,
rombongan Baswi tiba dengan tanpa obor. Sardola
sangat kagum pada siasat yang dipakai oleh temannya
itu. Ia melonjak seperti anak kecil. Ia merangkul Baswi.
Begitu pula sebaliknya. Sama-sama melepas rindu.
"Hyang Durga Mahisasura Mardhini telah
mempertemukan kita, Kakang," suara Baswi haru.
"Demi Hyang Maha Dewa, aku tak menyangka kita
selamat." Yang lain juga terharu menyaksikan pertemuan ini.
Beberapa waktu kemudian mereka sudah berjalan
sebelah menyebelah, menuju gubuk-gubuk tempat
peristirahatan laskar Sardola.
"Sedah Lati sudah aku bawa serta."
"Ya"... Ah terima kasih." Baswi memandang Sardola
dan tidak bisa menyembunyikan perasaan girangnya.
Dengan semangat ia bertanya,
"Di mana ia sekarang?"
Sambil terus berjalan Sardola menceritakan
pengalamannya. Juga keputusan Sri Prabu atas
Panglima Umbul Songo maupun Laksamana Haiyo
Dento. Baswi menarik napas dalam-dalam mendengar
itu. Pamannya, Umbul Songo, tak mampu berbuat
sesuatu. Ah... tiada lagi kesempatan. Kemudian,
"Blambangan dalam kemelut," katanya lirih.
"Ya." Orang-orang yang kembali ke gubuk bercerita tentang
Baswi dan laskarnya. Perwira muda yang disegani waktu
perang Surabaya itu sudah di tengah-tengah mereka.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sedah Lati tersentak mendengar itu. Ia bangkit dari


Tanah Semenanjung Karya Putu Praba Drana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

duduknya. "Ada apa, Kang?" tanyanya pada salah seorang yang
lewat. Yistyani dan teman-temannya heran.
"Rombongan Baswi datang kemari."
"Apa katamu" Baswi?"
"Ya... Baswi sendiri yang memimpin penjemputan
kepada kita," orang itu menegaskan.
"Baswi" Oh..." Sedah Lati mengeluh. Duduk kembali.
Orang yang ditanya bengong melihat kelakuan Sedah.
Apalagi kini Sedah menjadi terkulai lemah bersandar
tiang. Bintang-bintang di langit terasa dekat sekali.
Bahkan seperti berputar-putar mengelilingi kepalanya.
"Ada apa, Adik Sedah?" Ni Ayu Sitra bertanya dengan
lembut. Sedah tak mampu menjawab. Bibirnya bergerak-
gerak tapi tak mampu mengeluarkan suara.
"Apakah Baswi seorang bengis" Kejam" Sehingga ia
menghantui pikiranmu?" Yistyani ikut iba. Perasaan
kewanitaannya tersentuh. Namun Sedah tidak
menjawab. Hanya suara desah yang didengar Yistyani.
"Kenapa jagat ini ada" Kenapa pula Hyang Maha
Dewa menciptakan aku?" berulang Sedah bertanya pada
angin. Berulang mengnempaskan napas panjang.
Yistyani tambah mengerti perasaan Sedah. Begitupun
lainnya. "Baswi... Baswi..." Sayup-sayup terdengar orang-
orang memanggil di kejauhan. Dan suara-suara itu makin
mendekat. Kemudian lebih dekat lagi. Dan dada Sedah
makin berguncang. Ah... dosa... dosa... aku harus
menebusnya di hadapan Hyang Maha Dewa.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Benarkah pertanyaan Yistyani itu?" Jenean yang kini mengusik. Dan Sedah menggeleng. Menggeleng lagi,
berkali-kali. Tapi bukan untuk memberikan jawaban pada
Jenean. Ia bermaksud mengebaskan beban yang ada di
kepalanya. Sebentar ia pandangi teman-temannya.
Mencari pembela. Namun tetap membisu.
Sementara itu Baswi melangkah terus. Angannya
menyusun-nyusun seribu satu kata dalam senyumnya
terhadap laskar Sardola yang mengelu-elukannya.
Sampai-sampai Sardola yang di sebelahnya itu tidak ia
perhatikan. Segala yang indah akan ia nyatakan hanya
untuk Sedah Lati. "Masihkah ia cantik?" tanyanya tiba-tiba pada Sardola.
"Ah... aku tak sempat menilainya," jawab Sardola
malu-malu. "Kamu memang cuma tahu menembakkan meriam.
Tak tahu bagaimana memanah."
"Kau menghina. Cuma memanah hati wanita saja kau
bangga. Hai." "Ha...ha... ha..." Berdua tertawa.
Rombongan tak tahu apa yang mereka tertawa kan.
Tapi turut gembira. Apalagi setelah sampai di gubuk-
gubuk. Laskar pelarian baru itu saling berpelukan dengan
laskar Baswi. Sesaat, dua saat, lima saat, sepuluh saat, dia dan
Sardola menunggu diberi jalan. Tapi mereka masih saja
berkerumun. Bahkan mengelu-elukan mereka di bawah
sinar obor. Sedah Lati menyaksikan semua itu. Juga Yistyani dan
Jenean dan Ni Ayu Sitra. Debar jantung Sedah bergesa.
Susul-semusul. Sedang baginya tak ada jalan melingkar.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Yistyani dan kedua kawannya memperhatikan
kegelisahan Sedah. Namun niat untuk menolong
menenangkan hati Sedah tertutup oleh sempitnya waktu.
Karena mereka sendiri juga sedang bergumul. Untuk
mengiakan atau tidak mengikuti terus setiap langkah
laskar pelarian itu. Bagi Ni Ayu Sitra harus menyeberang laut bila
menolak pelarian itu. Ia harus pulang ke Jem-branan.
Karena itu tak seorang pun mampu berbincang sampai
terdengar suara Sardola memerintahkan orang-orangnya
minggir. Gerumbul manusia itu menguak, memberi jalan
pada Sardola dan Baswi. Keduanya nampak tegap. Melangkah dengan tenang.
Setenang angin malam. Samar-samar tampak wajah
Baswi lebih muda, namun sama-sama perkasa.
Tangannya yang kekar mengenakan gelang akar hitam.
Mukanya lebih halus dibanding muka Sardola yang
bercodet di atas alisnya. Kulit mereka hampir tak
berbeda. Sawo matang. "Sedah Lati!" panggil Baswi tidak sabar.
Sedah mendongak. Badannya menggigil. Bibirnya tak
mampu berkata-kata. Ucapan yang akan ia keluarkan
berhenti di kerongkongan.
"Sedah Lati," sekali lagi Baswi menyapa. "Aku Baswi...
sudahkah kau lupa?" Sedah Lati menggeleng lemah. Sekali lagi. Dan
berulang kali. Ia bukan ingin memberi jawaban. Kembali,
ia ingin mengibaskan kabut yang membelenggu
kepalanya. "Berdirilah, Adikku!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Lagi, Sedah Lati menggeleng. Entah sampai berapa
gelengan. Baswi tegak dalam keheranannya.
Dipandangnya Sedah Lati mulai ujung dengkul sampai
kepala. Ia tak dapat melihat ujung kaki wanita itu. Karena
Sedah melipat kakinya untuk bersimpuh.
"Adakah aku tak patut lagi bertemu dengan seorang
yang bernama Sedah Lati?" Suara Baswi tersendat.
"Atau aku bukan lagi anak angkat buyut Tegal Delima"
Tak pantaskah aku?" Sedah Lati menjadi gugup.
"Oh... ma... ampun, Kakang...," suaranya tak lancar.
Baswi masih juga berdiri tak tenang. "Lalu, kenapa
begitu?" "Ampuni aku, Kakang...," bisik tersendat keluar dari bibir Sedah. Namun tak terdengar oleh Baswi. Kalah oleh
suara orang-orang lain yang seperti lebah di sarangnya.
Sardola mengerti itu. Lalu menoleh pada mereka,
dan... "Jangan hilangkan kewaspadaan!" Suaranya kembali
mengaum seperti harimau lapar. Semuanya menjadi
terkejut. Sehingga dengan begitu suara yang seperti
lebah itu lenyap sedikit demi sedikit.
Baswi tak memperhatikan semua itu. Matanya belum
mau berpindah dari wajah Sedah Lati. Gadis yang ia
rindukan siang-malam. Namun sikap Sedah telah
membuatnya putus asa. "Adikku, kau lebih berharga berbakti pada titisan
Bathara Kuwara daripada..."
"Kakang!" Sedah Lati memotong keras. Ia tak ingin
mendengar kelanjutan kata-kata Baswi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Di sana kau akan mendapat penghargaan. Lebih dari
itu kau akan mendapat segala-gala."
"Jangan ucapkan itu, Kakang!"
"Aku adalah seorang pelarian. Tak sepantasnyalah
seseorang menyertaiku. Aku tak berhak mencintai dan
dicintai." "Aku tak mungkin kembali, Kakang."
"Aku akan mengantar kau ke Tegal Delima. Atau
mungkin pada Yang Mulia Menteri Kuwara Yana.
Berbahagialah kau di sana."
Baswi membalikkan badan. Ia tak ingin lagi
mendengar jawaban Sedah Lati. Terdengar suara Sedah
memekik tertahan. Pilu sekali. Namun tak mengurungkan
niat Baswi berlalu. "Tuan Baswi, perwira muda Blambangan!" Suara
merdu yang lain menahan langkahnya kedua.
"Aku ingin bicara!" Suara itu bukan dari mulut Sedah.
Sardola yang sejak tadi tertegun, kini bisa bersikap.
Memberi tanda pada Baswi untuk berbalik lagi. Dan
Baswi menurut. Sekadar untuk menghormati teman
akrabnya. Tampak olehnya, Sedah Lati menunduk.
Sesaat kemudian meraba-raba mencari pegangan. Dan
mendapatkannya pada Yistyani. Butir-butir air mata mulai
melaju malas di atas kedua belah pipinya yang mulus.
"Siapa yang memanggil tadi?" Baswi bertanya dalam
suara yang berat. "Aku, Ratna Ayu Yistyani."
"Aku tidak mengenal Anda." Baswi menantang
pandang mata bening wanita yang menegurnya. Ah...
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
seperti mampu memantulkan sinar obor, keluh Baswi
dalam hati. "Sejak sekarang Tuan akan mengenal. Dan aku ingin
Tuan mulai mendengar suaraku."
Baswi terbelalak mendengar itu. Seperti ucapan kaum
Brahmana. Diamatinya tajam-tajam Ratna Yistyani yang
duduk seperti halnya Sedah Lati. Juga kedua gadis
lainnya. Namun gadis itu tidak memalingkan wajahnya. Ia
balas menatap Baswi. "Begitu cepatkah seorang perwira mengambil
keputusan" Dengan perasaankah seorang pimpinan
bertimbang" Tak berharga lagikah bagi Tuan, seorang
yang pernah tinggal di istana Kuwara Yana" Untuk
apakah Tuan memerintahkan orang mengambil Sedah
Lati" Untuk perlakuan semacam ini?"
Pertanyaan Yistyani susul-semusul seperti hujan dari
langit. Dada Baswi menjadi berguncah seperti air yang
hendak tumpah dari gelasnya. Namun ia berusaha
bersikap tenang. "Yang mana... yang harus kujawab?" Baswi berhati-
hati. "Semua!" tegas Yistyani.
"Semua?" "Ya." "Tak tahu aku menjawabnya."
"Begitu enteng, Tuan?" .
"Maafkan aku. Terlalu bodoh untuk dapat menjawab."
"Tuan tahu apa artinya bila Sedah Lati kembali ke
Tegal Delima" Atau ke Blambangan?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bukankah itu kehendaknya" Ke Lateng?"
"Tuan cuma tahu berperang. Membunuh dan
menaklukkan. Tapi Tuan tak tahu hati wanita. Adakah
Tuan akan membiarkan ia diseret ke depan algojo" Ya,
Tuan Baswi" Sedang Tuan sendiri yang mengambilnya
dari Lateng, dan sekarang Tuan akan menyerahkannya
ke bawah pedang algojo."
Sekali lagi darah Baswi terkesiap. Perasaan kagum
merayapi relung hatinya. Yistyani benar. Dan di sisi lain
Sedah memandang Yistyani dengan perasaan berterima
kasih. Kini Baswi dalam kebimbangan.
"Aku sendiri," Yistyani berkicau lagi, "diserahkan pada Kuwara Yana oleh kaum pedagang di Lumajang sebagai
persembahan. Itu memang berbeda dengan Sedah____"
"Cukup!!!" Baswi menghentikan kata-kata Yistyani.
Kemudian melangkah mendekati Sedah Lati.
"Berdirilah, Adikku," suaranya halus. "Maafkan aku."
Sedah Lati tak menjawab. Tangannya menyeka air
mata yang masih mengalir. Bahkan semakin deras.
"Mau ikut aku?"
Sebagai jawaban hanya anggukan. Isaknya tak lagi
keras. "Ke hutan belantara" Ke gunung-gunung?"
"Ke ujung langit pun." Kini Sedah sudah bisa bicara.
"Dewa Bathara, masih kau anugerahkan ia padaku."
0oo0 Cahaya merah bercampur kuning tampak semburat di
ufuk timur. Kawula Blambangan telah sejak tadi bergumul
dengan lumpur dingin. Menggarap sawahnya masing-
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
masing. Kabut masih menutupi jagat. Hari memang
masih terlalu pagi. Namun tidak berapa lama kemudian
mereka dikejutkan oleh suara bende yang mengalun,
menguak kesunyian pagi. Menghentikan nyanyian semua
petani yang sedang membajak. Bahkan juga
menghentikan langkah tiap kerbau yang sedang
membajak. Suara bende dipukul tujuh kali.-Berhenti
sebentar. Kembali berdengung, tujuh kali.
Dan beberapa bentar setelah itu beberapa perwira
penting tergopoh-gopoh menuju alun-alun. Yang berkuda
maupun berkereta ditarik kerbau. Tentu naluri
keperwiraan mengalahkan dinginnya udara pagi. Sampai
di depan istana kerajaan mereka dipersilakan oleh
prajangkara (protokol istana} untuk naik ke ruang
pagelaran. Tumenggung Singamaya, Arya Bendung, dan Bagus
Tuwi sudah duduk di sana. Singamaya yang sebenarnya
berumur tidak lebih dari empat puluh tahun nampak
sudah lebih tua dari usianya sendiri. Sri Danureja masuk
dengan diiringi oleh Pangeran Pati dan Pangeran Mas
Sirna. Di belakangnya lagi Dang Hyang Wena, pendeta
kerajaan Blambangan. Hadirin diam tanpa bisik kala Sri Prabu menebarkan
pandang ke seluruh ruangan pagelaran itu. Dengan
lirikan mata rasanya hadirin juga ikut menghitung berapa
kira-kira luas ruangan itu. Ada kira-kira dua puluh lima
depa kali lima puluh depa. Tiang-tiangnya berukir gambar
macam-macam. Yang lebih menarik perhatian hadirin
adalah saat itu Baginda mengenakah pakaian perang.
Tangan kirinya memegang tongkat kebesaran kerajaan.
Tongkat yang terbuat dari emas murni. Ujung
bawahnya tajam. Sedangkan bagian atasnya terukir
trisula yang merupakan lidah seekor ular naga. Badan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ular itu adalah kelanjutan ukiran yang membelit batang
tongkat. Beberapa bentar kemudian Sri Prabu bersabda, 'Tara
Yang Mulia, negara dalam keadaan bahaya. Karena
ulah dari orang-orang yang kurang puas terhadap


Tanah Semenanjung Karya Putu Praba Drana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tindakan kita mengambil alih kekuasaan dari tangan
Paman Macanapura. Mereka tidak menyadari bahwa
siasat perang melawan Belanda, adalah kekeliruan
besar. Membantu Surabaya berarti menghamburkan
biaya negara. Pamanda Pangeran Mas Gajah Binarong
tidak membenarkan daku menduduki singgasana ini.
Meninggalkan Wijenan dan hidup di Buleleng. Kini beliau
menyusun serangan atas kita dengan dibantu oleh laskar
laut kita yang bernirneyana. Juga sisa-sisa kekuatan
Gusti Panji Sakti. Untuk menegaskan keteranganku ini
ada baiknya bila para Yang Mulia mendengar langsung
laporan Yang Mulia Singamaya. Bersembahlah, Yang
Mulia!" Setelah menyembah Singamaya menoleh dan
membungkuk hormat pada Arya Bendung, Bagus Tuwi,
Dang Hyang Wena, kemudian pada para menteri lainnya.
"Benarlah sabda Baginda, para Yang Mulia. Laskar
yang berumbul-umbul Jingga, artinya sama dengan
umbul-umbul kita, telah menyerang satuan-satuan kita di
daerah terpencil. Sekarang telah menjadi satuan besar
yang sedang bergerak ke arah Lateng, ibukota kita ini.
Laskar laut mereka juga bergerak menuju ke arah
Gilimanuk. Beberapa waktu lagi menyeberang. Jadi kita
diserang dari dua jurusan. Timur dan utara. Bahkan
mereka juga berusaha mendaratkan pasukannya di
Grajagan, untuk menguasai Alas ^urwa. Dari mana
mereka akan mendapat pangkalan untuk mengepung
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kita dari selatan. Atas semua itu, segala purba wasesa di
tangan Sri Prabu." Singamaya duduk kembali. Laporannya selesai.
"Bersembahlah, Yang Mulia Siung Laut!" Sri Prabu
bertitah lagi. Dan Samodraksa (kepala staf Angkatan
Laut} Laksamana Siung Laut berbuat sama seperti
Singamaya tadi.' "Perang laut telah terjadi. Laskar laut lawan lebih dulu
menembaki kita. Mereka juga bersenjatakan meriam laut
bikinan negeri Portugal. Juga cetbang. Akibatnya dua
kapal pemburu Blambangan terkubur di dasar laut. Juga
di selatan. Mereka menyusuri pantai semenanjung dan
berusaha mendaratkan bala bantuan. Namun laskar laut
kita di bawah Yang Mulia Penjalu, telah menggagalkan
mereka. Itu pun harus ditebus dengan tenggelamnya lima
kapal pemburu kita ke dalam ombak segara kidul yang
gulung-gemulung. Sekalipun mereka mundur tapi Yang
Mulia Penjalu tetap meronda di selatan."
Siung Laut duduk kembali. Semua hadirin menarik
napas panjang. Tegang. Sri Prabu mengerutkan kening. Di kepalanya,
terbayang betapa gelap masa depan Blambangan dan
dirinya sendiri. Walau selama ini Blambangan tak pernah
kalah menghadapi pemberontakan-pemberontakan kecil.
Tapi kini pemberontakan besar!! Bahkan dipimpin
pamannya sendiri. Hatinya bimbang. Karena laskar Blambangan
sekarang telah menciut. Mereka telah banyak yang
bernirneyana. Sedang penambahan belum memadai.
Dan... lebih banyak lagi yang meringkuk dalam penjara.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Adakah sudah diperintahkan para adipati
mengirimkan bala bantuan kemari?" Ia menoleh pada
Menteri Muka. "Hamba, Sri Prabu," jawab Arya Bendung.
Bersamaan dengan itu para hadirin dikejutkan oleh
suara derap kuda yang bergesa menuju alun-alun.
Berhenti dan tanpa ragu ia menuju ke ruang pagelaran.
Pedang yang tergantung di pinggangnya menunjukkan
bahwa ia adalah perwira laskar laut. Semua orang
menoleh padanya. Juga Laksamana Siung Laut.
"Siapa itu, Yang Mulia?"
"Perwira kami, Sri Prabu."
"Adakah sesuatu yang penting?"
"Hamba." "Atas namaku, perintahkan ia masuk."
Siung Laut memerintahkan seorang pengawal untuk
menyampaikan perintah Sri Prabu. Dengan segala
hormat perwira itu mengendap-endap naik ke ruang
pagelaran. "Bersembahlah pada Sri Prabu!" ujar Siung Laut. Dan
orang itu merangkak ke hadapan Danureja.
"Hamba Makabehan, perwira laskar laut Blambangan
dari armada pertama." "Bersembahlah, Makabehan."
"Menjelang fajar tadi, armada lawan telah bergerak
lagi. Dari Buleleng. Dua Armada sekaligus bergerak
dalam jajar perang laut yang besar. Armada pertama
menyongsong mereka. Lawan menggunakan jajar
perang Kepiting Gangsir (bergerak bersama-sama
berendeng ke samping. Membuat lengkungan panjang
dan dua kapal bendera ditempatkan di lengkung annya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sehingga menyulitkan musuh menembak kapal bendera
tersebut. Bisanya tembakan dimulai dari ujung
lengkungan). Tembak-menembak masih berlangsung
terus sampai sekarang. Laskar kita telah melintasi
Gilimanuk. Hampir dua puluh kapal pemburu kita
tenggelam." "Dewa Bathara!" Siung Laut menyebut.
"Laksamana Buntaran memerintahkan hamba untuk
mempersembahkan semua ini ke bawah duli
Samodraksa Siung Laut. Begitu besarnya armada laskar
pembangkang yang bergabung dengan sisa-sisa armada
Gusti Panji Sakti itu. Seperti barisan cucut raksasa. Mati
satu' datang sepuluh. Hamba khawatir kalau-kalau
sekarang Laksamana Buntaran sudah kehabisan peluru
dan memerintahkan memasang cula-cula (alat dari besi
tajam berbentuk seperti pedang yang bisa dipasang di
anjungan kapal. Panjang dua meter, lebar hampir
setengah meter) ..."
Sri Baginda berdiri sebelum ucapan Maka-behan
berakhir. Ia angkat tongkatnya tinggi-tinggi.
"Yang Mulia Siung Laut!" suaranya lantang. "Atas namaku perintahkan semua kapal menyongsong mereka!
Bantu Laksamana Buntaran!"
"Hamba, Sri Prabu."
"Masih sanggupkah kalian bertempur untuk
Blambangan?" "Hamba, Sri Prabu," teriak hadirin bersama.
"Sanggup." "Berangkatlah!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Semua perwira laskar laut yang hadir menyertai Siung
Laut meninggalkan istana.
"Pembangkangan demi pembangkangan telah
melemahkan Blambangan. Ini tak pernah diperhitungkan
oleh mereka yang sedang membangkang," Sri Prabu
menggerutu sambil kembali duduk. "Mengwi akan
bertindak bila kita menyimpang dari ketentuan perjanjian.
Apalagi bila mereka tahu kita tak menghancurkan sisa-
sisa laskar Gusti Panji Sakti. Ingat kau, Pangeran Pati"
Bali terus mengintai kita! Sirna, ingat! Walau bundamu
seorang Bali." Mas Nuwong mengangguk. Sedang Pangeran Mas
Sirna diam saja. Ia memang belum tahu seluk-beluk
kerajaan. Tapi matanya yang kecil indah seperti bintang
timur ia gunakan untuk memandangi dengan cermat
setiap yang ada di situ. Kemudian Danureja meneruskan,
"Siasat kekuasaan tidak pernah mengenal ayah, ibu,
saudara ataupun bukan! Baik sekarang maupun nanti.
Tidak! Tidak akan pernah, Anak-anakku! Itu juga kalian
harus tahu. Harus' Yang penting adalah tujuan! Tujuan
dari siasat kekuasaan. Kalah atau menang. Dan..." Sang
Prabu mengeraskan suaranya lagi. "Menteri Muka!
Umumkan pada seluruh kawula dan satria, bahwa
Blambangan dalam keadaan perang."
Kemudian Baginda menoleh pada Dang Hyang Wena,
"Bapa Yang Tersuci, atas nama Blambangan kami
akan berangkat bertempur. Perintahkan pada setiap
brahmana agar menyanyikan Loka-nanta (mantera
pelebur dosa) di setiap penjuru Blambangan!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kini Sri Prabu berdiri lagi dan mengangkat tongkat
kebesarannya, "Anakku, terimalah ini. Selama perang kaulah
penguasa tertinggi!" Dan tongkat itu berpindah ke tangan
Mas Nuwong. "Kau, Bagus Tuwi, jangan berangkat
bertempur! Tapi dampingilah Pangeran Pati. Karena ia
belum dewasa. Tutuplah pintu benteng. Aku akan
bertahan di Sumber Wangi. Nah, Prajurit! Siapkan
kudaku! Aku akan songsong mereka dan orang-orang
Bali. Ingat, Anak-anakku! Orang Bali "
Setelannya Mas Purba yang bergelar Danureja itu
pergi. Juga kedua putranya. Mas Nuwong di sebelah
kanannya sedang Mas Sirna di sebelah kirinya.
"Akan ada perang, Ramanda?" tanva Pangeran Sirna
tiba-tiba. "Kau dan kakakmu tinggal saja di kesatrian."
"Hamba ingin tanya, apakah ada perang?" Sirna
mengejar. "Ya!" jawab Mas Purba sambil menoleh pada putranya
itu. "Tadi Ramanda bersabda tentang siasat kekuasaan.
Apa itu" Hamba sama sekali belum mengerti."
"Kau masih terlalu kecil, Sirna."
"Tapi bukankah tak ada larangan bagi seorang
pangeran mengetahui hal itu" Juga untuk mengetahui
segala-gala?" Dalam langkahnya Purba mengerutkan kening. Seleret
kekaguman terbayang di wajahnya. Kenapa itu justru
keluar dari bibir Sirna. Bukan dari Mas Nuwong"
Pangeran Pati Blambangan"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kau benar, Anakku. Kau boleh tahu segala-gala.
Karena kau akan menjadi patih Blambangan, yang
membantu kakakmu sebagai raja." Ucapan
Mas Purba meluncur tanpa melalui pikirannya. "Siasat
kekuasaan adalah akal manusia untuk menjangkau satu
tujuan. Terutama untuk merebut tata kehidupan di suatu
negeri. Dan kau sendiri akan tahu kelak bila sudah besar.
Sebab hidup tak pernah berpisah dengan siasat
kekuasaan. Kehidupan tak pernah berpisah dengan
akal." Kala Mas Sirna akan bertanya lagi, mereka sudah
sampai di depan sentong kuning (tempat peraduan raja)
Karena itu Mas Nuwong dan adiknya harus berbelok
ke kiri. Sedang ayahnya harus ke kanan, ke sentong
kuning. Sri Prabu menolak waktu Paramesywari akan
membasuh kakinya dengan air kembang, sebagaimana
biasa dilakukan seorang paramesywari.
"Hyang Dewa Ratu, apakah yang telah terjadi?"
Paramesywari terkejut, "Perang," jawab suaminya singkat.
"Dewa Ratu," sekali lagi Paramesywari menyebut.
"Perang, perang, dan perang lagi. Tanpa henti."
"Perang adalah siasat dengan jalan kekerasan,"
Danureja menegaskan. Kemudian ia melangkah ke
gedung pusaka. "Bacalah Lokananta, Adinda. Aku akan berhadapan
dengan Paman Gajah Binarong. Akan kuberitahukan
padanya bahwa aku tak pernah kalah. Dan tak akan
pernah kalah melawan pemberontakan siapa pun."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Paramesywari diam. Juga para dayang. Ia mengikuti
dari belakang seperti bayang-bayang. "Adakah Kanda
akan mempanglimai sendiri?" "Sudah kukatakan," potong Sri Prabu. "Dewa Ratu!"
"Mereka telah memulai. Dan tak akan pernah berhenti
sebelum menang atau punah sama sekali."
"Demi Hyang Dewa Ratu, seharusnya kita tempuh
jalan damai. Bukankah akan melawan paman sendiri"
Perang memusnahkan segala-gala. Suatu peradaban
yang paling tidak menyenangkan. Demikian pun akibat
dari perang itu. Apakah ia mengalahkan atau dikalahkan.
Semua harus menanggung akibat yang mengerikan."
"Tak ada jalan lain."
"Apa sebab?" "Kehormatan Blambangan. Kehormatanku. Dulu aku
telah memperolehnya lewat perang. Kini aku harus
mempertahankannya dengan perang pula."
Mereka melewati gapura. Di alun-alun tampak para
prajurit sudah siap. Menyandang senjata masing-masing.
Ujung tombak dan pedang terhunus berkilau tertimpa
mentari pagi. Sesaat Sri Prabu memandang wajah Paramesywari.
Hatinya berdebar. Kemudian memandang gapura. Istana.
Dan kembang-kembang yang ditanam di pinggir jalan.
Tapi ia tak mau lemah. Takkan menjadi lemah sekalipun
oleh butir-butir air mata istrinya. Karena itu beberapa saat
kemudian ia sudah duduk di punggung kudanya.
Gegap gempita sorai laskar Blambangan melihat
rajanya di punggung kuda. "Dirgahayu Sri Prabu!
Dirgahayu Blambangan. Demi Hyang Maha Dewa!!!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Danureja memberi isyarat dengan lambaian tangan
agar semua diam. Setelahnya Sri Prabu bersabda,
"Rakyan Ri Pakira-kiran (menteri yang membantu raja
bertimbang). Biasanya terdiri dari lima orang) umumkan
pada seluruh kawula agar mereka siap. Siap menghadapi
segala-gala. Kalah atau menang. Ya, kalah atau
menang." Sekali lagi Sri Prabu menoleh Paramesywari.


Tanah Semenanjung Karya Putu Praba Drana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Beberapa lama kemudian kudanya telah berlari lamban.
Pasukan berkuda di belakangnya. Setelahnya pasukan
yang berjalan kaki. Sambil mengacungkan bedil atau
tombak mereka berteriak sepanjang jalan, "Jayalah
rajaku!! Blambangan atau mati!"
Diiringi oleh biti-biti perwara istana, Paramesywari
kembali ke istana. Sunyi bagai mati. Di luar tembok
istana kegemparan mulai terdengar. Bahkan melanda
mana-mana. Suara bende sebagai tanda datangnya
perang benalu tiada henti. Ketakutan merayapi setiap
hati. Dupa dibakar di setiap pura. Bahkan di setiap
rumah. Doa diucapkan oleh setiap bibir. Bukan hanya
oleh brahmana. Sedang para saudagar sibuk menutup
kedai mereka, kala melihat arak-arakan yang berangkat
bertempur. Para ibu sibuk mengumpulkan anak-anaknya
yang sedang bermain bersama teman-temannya. Suara
teriakan ibu-ibu dan anak-anak berbaur menambah
paniknya suasana. Dentuman meriam tidak lagi di utara Gilimanuk. Siung
Laut telah mengirimkan berita pada Sri Prabu bahwa
Laksamana Buntaran gugur. Bersama kapal benderanya
ia menabrakkan cula-cula ke kapal bendera lawan. Sisa-
sisa armadanya yang telah compang-camping dan
kehabisan air tawar kembali ke pantai.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sebagai gantinya Samodraksa Siung Laut dengan
perasaan geram, memimpin langsung satu armada
besar. Terdiri dari lima puluh jung perusak, yang
dipersenjatai dengan meriam dan cetbang. Setiap jung
berukuran enam puluh koyang. Di samping itu juga ada
sembilan ratus kapal-kapal kecil, yang bertugas sebagai
kapal pemburu. Dipersenjatai sedikitnya satu meriam dan
satu cetbang. Kapal-kapal ini bergerak lincah, sesuai
dengan beratnya yang cuma dua puluh koyang. ;
Di bagian selatan pertempuran berkobar lagi. Penjalu,
pengganti Laksamana Haryo Dento, menembak semua
kapal Bali atau kapal asing lainnya, yang melintasi
perairan Blambangan tanpa izin. Ia juga telah merampasi
kapal-kapal milik pedagang yang masuk wilayah itu
dengan tuduhan mata-mata. Setiap pembangkangan
dijawab dengan tembakan meriam. Perang memang
tanpa ampun. Dan dengan lima buah kapal rampasan ia
mendaratkan bala bantuan dari Lumajang.
Usaha-usaha laskar Gajah Binarong, untuk mendarat
di pantai Alas Purwa menemui jalan buntu. Kemudian
mereka nekat, mencoba menerobos penjagaan armada
Penjalu. Namun Penjalu mengetahui hal itu. Bersama
para perwiranya ia memutuskan menggunakan jajar
perang Sembilang Berjajaran (berbaris membentuk
jajaran seperti rombongan sembilang yang berjajaran.
Bersusun miring membuat sudut tajam. Namun gerakan
mereka lamban. Karena menunggu serangan lawan)
Jung-jung musuh semakin dekat. Barisan terdepan
adalah kapal-kapal perusak. Menandakan mereka
menggunakan jajar perang Antaboga Bangun (berbaris
berkelok seperti tubuh ular naga, dengan kapal-kapal
perusak di depan menyusun barisan sebagai kepala
naga) Mengetahui hal itu Penjalu segera mengubah jajar
perangnya menjadi jajar perang Cucut Kelaparan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
(pemburu-pemburu buih putih. Apalagi pemburu-
pemburu Blambangan, berpencaran dengan lincahnya!-
Berkelok-kelok menghindari tembakan lawan. Benar-
benar seperti cucut kelaparan).
"Demi bumi Blambangan yang suci, tembak mereka!"
perintah Penjalu mendahului. Perintah itu diteruskan
melalui isyarat bendera. "Menang atau tenggelam!" seru Penjalu masih
terdengar oleh kapal-kapal terdekat.
Perang laut tak terhindarkan. Lupa takut. Lupa maut.
Perahu-perahu dengan berbagai ukuran bertebaran
membelah laut biru membercakkan
susunan yang tidak teratur dan bisa bergerak lincah.
Serangan mengandalkan Dengan mengambil pengalaman perang-perang
sebelumnya maka Penjalu tidak menghamburkan peluru
meriamnya. Demikian pun peluru cet-bangnya.
Gumpalan besi bulat yang dilontarkan melalui batang
besi berlobang, dan mempunyai panjang kurang lebih
satu setengah depa itu, telah mulai memakan korban.
Setiap kapal yang tiang agungnya tertimpa benda itu dan
patah, tidak mungkin lagi dapat menghindar pada
tembakan berikutnya. Dari akan dicabik-cabik peluru-
peluru berikutnya. Dan akan tenggelam. Apakah itu milik
Blambangan atau Gajah Binarong. Sudah sama-sama
kehilangan. Namun mereka tak sempat menurunkan
penolong. Penjalu tak ingin lengah dengan hanya menolong
perahu yang tenggelam. Dibiarkan mereka yang mampu
berenang mendekat sendiri pada perahu teman-
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
temannya. Juga Penjalu tak ingin kehilangan waktu. Ia
ingin pertempuran cepat selesai.
Secercah kegembiraan tersirat dalam hatinya kala
melihat beberapa pemburunya mendekati kapal bendera
lawan. Bersama dengan itu gumpalan awan datang
berarak-arak dari tenggara. Tanda hujan badai akan
segera tiba. Kapal bendera Penjalu pun mulai menembak
setiap jung lawan yang mendekat. Satu peluru lawan
jatuh di buritan kapal Penjalu. Meliuk seperti orang
timpang. "Gila!" Penjalu berteriak. "Memalukan!"
Namun suaranya ditelan dentuman berikutnya. Cuma
beberapa saat mereka kecewa. Penasaran. Setelah itu
mereka melihat tiang agung kapal bendera musuh
runtuh. Seluruh laskar laut Blambangan, yang melihat itu
bersorak. Beberapa bentar kemudian kapal itu tak
berdaya dan menjadi makanan empuk cetbang maupun
meriam Blambangan. Karena tak ada lagi layarnya yang
berkembang. Api berkobar di atasnya. Cetbang
Blambangan makin ganas. "Tenggelam-.
"Berkat Durga Bathara Istri!!" seru Penjalu riang.
"Jayalah Blambangan!" sorak lainnya.
Jung-jung kapal pemburu musuh masih sempat
menenggelamkan beberapa kapal Blambangan yang
terkepung. Namun mereka telah kehilangan pimpinan.
Yang sempat di antara mereka melarikan diri. Yang
compang-camping menyerah.
Penjalu tidak memerintahkan pengejaran. Ia tahu
persis lawannya akan segera dihadang oleh badai. Ia
memerintahkan mundur ke dermaga. Menyeret beberapa
kapal musuh yang menjadi tawanan. Sendiri ia melapor
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pada Danureja. Puas. Walaupun Penjalu menerangkan
juga bahwa kapal benderanya hampir lumpuh.
"Demi Hyang Maha Dewa, aku anugerahkan padamu
dan seluruh anak buahmu, kenaikan pangkat dan gaji
satu tingkat." "Terima kasih, Sri Prabu. Bagaimana kabar
Samodraksa?" tanya Penjalu. Ia tidak begitu gembira
mendengar anugerah yang diberikan baginya.
"Masih bertempur. Namun kalian belum waktunya
bergabung dengan mereka. Yang Mulia tetap bertugas di
gugusan selatan. Jangan biarkan musuh menerobos dari
sana!" "Inilah hamba."
"Kerjakan setelah kerusakan-kerusakan pada kapal
bendera diperbaiki."
"Hamba, Sri Prabu."
Danureja lega melihat kepergian Penjalu. Orang itu
begitu taat. Namun sesaat kemudian ia dikejutkan oleh
masuknya Menteri Muka ke dalam pesanggrahannya
bersama dengan Pangeran Mas Sirna.
"Anakku" Kau menyusul?" Danureja terkejut.
"Inilah daku, Ramanda."
"Apa maksudmu dengan pakaian keprajuritan?"
"Untuk Blambangan."
"Dewa Bathara!" Danureja terlonjak. "Kau akan ikut bertempur" Hai Yang Mulia, bagaimana bisa begini?"
"Putranda datang bersama dengan pasukan berkuda
Lumajang. Berjumlah seribu orang."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Siapa yang memimpin mereka?"
"Yang Mulia Adipati Agung sendiri," jawab Arya
Bendung. "Hadapkan dia!"
Arya Bendung melangkah surut. Pandangan Danureja
beralih pada putranya. Mulai ujung kaki sampai
rambutnya. Anak ini akan membawa kejayaan
Blambangan, gumamnya dalam hati.
"Sirna..." "Rama..." "Pulanglah, Anakku!"
"Tidak, Rama. Bukankah negara dalam keadaan
perang?" "Kau masih belum akil balik. Belum berhak maju
perang." "Bukankah Mas Sirna putra penguasa tertinggi
Blambangan" Sehingga ia berkewajiban membela dan
mempertahankan tiap hasta tanah semenanjung ini?"
Pertanyaan yang mengagumkan hati Sri Prabu. Sekali
lagi Sri Prabu menyesal, kenapa itu tidak keluar dari Mas
Nuwong" "Tapi... bukankah tidak ada perkenan untuk ikut
bertempur" Ini perintah Raja, Anakku."
Mas Sirna diam. Bola matanya yang bening menatap
wajah ayahnya. Tiba-tiba ia melepas destarnya. Lalu,
"Aku bukan lagi putra raja!" katanya sambil melempar destar itu ke hadapan kaki ayahnya. Kemudian juga
pending emas tanda kepangeranan yang melilit di
pinggangnya. Setelahnya ia membalikkan badan untuk
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berlari ke luar pesanggrahan. Mas Purba terkejut bukan
main. "Sirna!" panggilnya. Namun itu tak menghentikan
langkah Mas Sirna. Ini membuat Mas Purba melompat
tangkas, mengejar anaknya. Ia tangkap kedua tangan
anaknya dari belakang. Ia genggam keras-keras, walau
Sirna terus meronta. "Jangan, Sri Prabu. Sirna bukan lagi satria. Sirna
adalah anak sudra. Lepaskan!" anak itu terus berteriak.
"Kau tetap anakku." Napas Mas Purba memburu.
"Tenanglah, Anakku." Namun Sirna tetap meronta. Ia
makin mencengkeram. "Baiklah, bertempurlah! Belalah tanahmu." Danureja
menyerah. Air matanya mulai tersembul di kelopak mata.
Ia tahan agar tidak meleleh.
"Benarkah itu?" Sirna meyakinkan.
"Mengapa kau tidak percaya?"
Kini Sirna tersenyum. Diambilnya kembali destar dan
pending yang tergeletak di lantai. Beberapa saat
kemudian, Arya Bendung dan Gusti Adipati Agung
memasuki ruangan pesanggrahan itu.
Adipati Agung memperhatikan keadaan ruangan yang
dibangun sekenanya saja. Empat depa kali tiga depa,
berdinding daun kelapa yang dianyam, beratap ilalang.
Pesanggrahan dalam keadaan perang. Lantai juga tanah
liat biasa. "Duduklah, Yang Mulia Adinda."
"Inilah hamba, Kanda."
"Laskar Adinda telah tiba tadi pagi. Dan telah
bergabung dengan laskar kami."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Demi Blambangan, Demi Hyang Maha Dewa giwa."
"Duduklah, Anakku Sirna. Jangan terlalu lama berdiri."
Danureja menoleh pada anaknya. Yang diperintahkan
menurut. Duduk di sebelah kanan ayahnya. Bersila di
atas tikar pandan tua. Semua memandang heran.
"Sudah ada berita dari Yang Mulia Siung Laut?"
"Pertempuran berjalan terus" Arya Bendung
menguraikan. "Dari pagi sampai senja ini. Laskar
gabungan memang tak ada habisnya. Tiga pemburu
mereka tenggelam segera diganti tiga puluh lainnya."
"Dewa Bathara! Mereka telah benar-benar bertekad
menghancurkan aku." Danureja mengernyitkan dahinya.
"Masihkah sempat kita bertimbang, Kanda?" Adipati
Agung bertanya sambil tersenyum.
"Untuk apa?" "Mempelajari siasat yang keliru dari Kakanda."
"Adinda berniat menyalahkan aku" Atau barangkali
orang-orangku" Mungkin juga Adinda bermaksud aku ini
di bawah pengaruh orang-orang kepercayaanku" Tidak!
Tidak, Adinda! Jangan seperti orang-orang yang telah
kehilangan kesetiaan."
"Para satria, dan laksamana yang Kanda penjarakan
itu yang menyebabkan semua ini terjadi."
"Yang Mulia Arya Bendung, bersembahlah!"
"Tiada waktu untuk bertimbang soal ini, Yang Mulia
Adipati," Arya Bendung berkata. "Musuh sudah di depan pintu. Sekarang tiada pilihan lain. Mati atau menang."
"Benar! Tapi bukan indah sekali bila sebelum mati kita
berkesempatan mengenangkan kembali sedikit masa lalu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
itu" Kalau kita tetap hidup dan menang maka kesalahan
tidak akan terulang lagi."
"Kesalahan?" Sri Prabu dan Arya bareng bertanya.
"Ya. Kesalahan. Mengambil alih kekuasaan dengan
jalan kekerasan." "Karena Pangeran Prabu Macanapura
menghamburkan terlalu banyak cadangan negara.
Apalagi dengan menyokong perang melawan VOC."
"Menghindari pengeluaran biaya melawan VOC untuk
biaya perang yang lebih besar" Bahkan menindas puak


Tanah Semenanjung Karya Putu Praba Drana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sendiri?" "Pembangkangan akan tetap ada...."
"Tapi cuma pembangkangan orang-orang tertentu.
Tidak bergabung dengan laskar yang sedang dikejar-
kejar oleh Yang Mulia Menteri Muka." Adipati menuduh
kini, walau masih tetap tersenyum.
"Sudahlah, Adinda..." Danureja menengahi lagi.
"Semua telah terjadi. Musuh sedang di hadapan kita.
Siapa saja yang berusaha mengusik kewibawaan Raja,
ia adalah musuh." "Memang benar, Kanda. Tapi hamba ingin
mengingatkan, inilah karya Kanda selama ini."
Arya Bendung tertusuk mendengar itu. Namun
Baginda tak mempersoalkannya.
"Arya Bendung, bagaimana dengan bantuan dari
Jember dan Prabalingga" Atau Bondowoso?"
"Caraka belum kembali."
"Kemarin malam pasukan yang tidak kami kenal
bergerak memasuki Jember, Bondowoso, bahkan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Situbondo. Sandi kami melihat sebagian besar laskar
Panarukan dan Wijenan bertempur untuk pemberontak
Gajah Binarong," Gusti Adipati Agung yang menyahut.
"Hyang Bathara!" Sri Prabu terkejut. "Mungkin hari ini bergerak ke Lumajang atau kemari. Kaubiarkan
kadipaten itu, Adinda?"
"Raditya telah menunggu mereka di Lumajang."
"Percayakah kau akan laskarmu yang tinggal?"
"Serangan besar-besaran akan lebih banyak
tertumpah ke Lateng. Jika ada serangan ke Lumajang
pastilah hanya muslihat untuk mengosongkan
Blambangan." "Jagat Dewa!" Sekali lagi Sri Prabu menyebut. Arya
Bendung tak kurang terkejutnya. Dan baru saja tertutup
mulut Danureja, seorang prajurit memasuki ruangan
pesanggrahan itu. Pengawal tidak berani mencegah
demi melihat lencana burung Sriti tergantung di
kalungnya. Apalagi ia telah berkuda dalam jarak yang
amat jauh. "Utusan rahasia?" desis Sri Prabu.
"Inilah hamba." Orang itu melirik kiri-kanan.
"Bersembahlah."
"Laskar Panarukan dan Wijenan telah meninggalkan
Bondowoso dan bergerak kemari. Persenjataan mereka
diperlengkapi dengan meriam. Karena itu mereka
bergerak agak lamban. Tapi barisan terdepan mereka
telah diperintahkan bergerak dengan cepat, agar pada
kokok ayam yang pertama mereka telah sampai di
Lateng." "Apa lagi?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Laskar Situbondo dan Bondowoso diharuskan
berjalan di depan. Mereka akan menyusur pantai. Hanya
ini yang dapat kami laporkan."
"Baik. Pergilah ke pondokmu. Istirahatlah yang cukup."
"Terima kasih, Sri Prabu."
Orang itu segera lenyap dari pandangan mereka. Sri
Prabu segera membuka kembali persidangan. Sedang
Mas Sirna tetap menjadi pendengar.
"Bagaimana, Menteri Muka?"
"Kita memang terkepung," kata Arya Bendung dengan
muka merah membara. "Namun mereka akan tumbang.
Satu satuan pemburu kita akan menghabiskan mereka
dari laut." "Dengan cetbang" Juga meriam laut" Hyang
Bathara!" Adipati Agung heran.
"Ya," tegas Arya Bendung.
"Tak ada lagi yudha gama (aturan peperangan) yang
dipatuhi?" Adipati mengeluh.
"Bukan Blambangan yang memulai. Tapi mereka
memaksa." "Mereka akan musnah semua," Adipati keberatan.
"Blambangan bukan cuma terkepung oleh musuh dari
luar. Lebih banyak pembelotan yang dilakukan perwira-
perwira muda. Baik darat maupun laut. Inilah yang
berkembang menjadi pemberontakan. Akibatnya api
akan berkembang ke seluruh Blambangan." Sri Prabu
dalam kebingungan. "Kita akan padamkan satu-satu. Kita padamkan
semua," Arya Bendung membesarkan hati Sri Prabu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Adinda, tahan mereka! Bawa laskar secukupnya!"
"Aku serta!" tiba-tiba suara Mas Sirna menyela.
"Sirna?" Sri Prabu terkejut. Demikian pun yang lain.
"Bila hamba satria, maka hamba berangkat ke medan
laga. Bila hamba sudra, hamba toh juga akan mati di
tengah peperangan," Sirna menyatakan sebelum
ayahnya melarang. "Bawalah dia, Adinda. Cuma pesanku, bila tak
seorang pun di antara kami yang tersisa dalam
pertempuran nanti, ia adalah bakal patih amangkubumi
Blambangan." Sri Prabu menatap Mas Sirna. Sesaat kemudian
diraihnya anak itu. Dan diciumnya. Setelah puas, baru
dilepas. Seluruhnya merasakan betapa berat hati
Baginda. Adipati Agung tak dapat lagi membendung air
matanya. Dan baginya Sirna merupakan beban berat.
Pesan Sri Prabu merupakan sasmita sandi (kode
rahasia) untuk menyelamatkannya. Dan saat mereka
meninggalkan ruangan itu, Sri Prabu mengiringinya
dengan helaan napas. "Rasanya aku tak kan bersua dia lagi, Arya...."
"Jangan gelisah, Sri Prabu," Arya menghibur.
"Seharusnya dia lebih sesuai menjadi Pangeran Pati
daripada kakaknya." "Jangan menyalahi Yajur Weda, Baginda," Arya
memperingatkan. "Sayang..." "Ampunkan hamba, Sri Prabu. Masih banyak yang
harus dikerjakan." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Pergilah!" Usaha Arya Bendung selanjutnya ialah menemui
Tumenggung Singamaya. Baginya tidaklah sulit. Karena
orang itu selalu berada di pantai Sumberwangi. Sambil
memilin-milin kumisnya, Singamaya berdiri tidak sabar.
Ombak dan gelombang yang berkejaran dan akhirnya
menghantam karang di pantai tidak ia perhatikan.
Kendati udara basah membawa air laut sering menerpa
mukanya. Matanya menembus jauh. Ingin melihat langsung
pertempuran di tengah laut. Sebentar kemudian matanya
mengawasi gerumbul hijau di seberang selat. Siapa tahu
di balik kehijauan itu telah berbaris pasukan Gajah
Binarong yang siap menyeberang" Keringat jadi
melembabi telapak tangan dan kakinya. Ingin ia segera
meremas-remas Gajah Binarong yang membikin onar.
"Apa titah Baginda?" segera ia bertanya waktu Arya
datang. "Belum ada. Hanya pada Yang Mulia Adipati Agung
diperintahkan bergerak ke utara. Untuk menghadang
perembesan." "Gila! Apa mereka sudah melintasi Situbondo?"
"Bondowoso pun sudah."
"Drubiksa dari langit mana mereka itu" Begitu mudah
Bondowoso gulung tikar" Kenapa bukan kami yang
dititahkan ke sana" Menghadapi mereka?"
"Jangan terburu-buru, Yang Mulia. Yang dari Bali ini
lebih berbahaya." Sementara itu Gajah Binarong yang sudah berada di
dermaga Gilimanuk amat terkejut kala mendengar
laporan bahwa semua armadanya yang bergerak di
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
gugusan selatan musnah. Bukan hanya oleh Penjalu.
Tapi juga oleh hujan badai.
Karena itu ia memutuskan, agar secepatnya dapat
mendarat di pantai Ketapang atau Teluk Meneng,
sebelum Mengwi sempat campur tangan. Jika terlambat
maka tak ayal lagi Mengwi akan memukul dia dari
belakang. Dan hal itu akan menggagalkan rencananya
secara total. Maka dengan penuh keprihatinan ia
bersama Agung Keta, pembantunya terdekat, mengikuti
jalannya pertempuran. "Rupanya, Blambangan sedang kerahkan armadanya
secara besar-besaran."
"Memang, Yang Mulia. Tapi jangan khawatir. Sebab,
kita pun telah memusatkan serangan atas kota Lateng.
Dan kita juga telah memperoleh kemenangan-
kemenangan besar di gugusan utara."
Gajah Binarong tersenyum. Namun tidak puas. Ia
menilai gerakan laskarnya terlalu lamban. Maka ia mulai
menghitung-hitung, bagaimana jika Mengwi telah turun
tangan. Dengan cepat ia memberitahukan pada Agung
Keta. "Kita telah melangkah terlalu lamban. Kita tidak
memperhitungkan bahwa Mas Purba mampu menahan
kita dalam waktu demikian lama. Maka kita harus siap
mundur ke Lombok bila ternyata Cokorda Dewa Agung
Mengwi campur tangan. Di sana kita akan menyusun
kekuatan baru. Kalau perlu tidak hanya memukul
Blambangan. Kita akan bergabung dengan laskar lain
untuk merobohkan Cokorda Agung."
"Jangan mimpi, Yang Mulia."
"Tidak! Tapi kita akan bergabung dengan Lombok."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Hamba hanya mengikut rencana Yang Mulia."
Kini perhatian mereka tertuju ke laut. Mentari telah
mengulangi pekerjaannya yang kemarin. Menyusup ke
perut bumi. Dan kedua orang itu makin gelisah. Apalagi
sinar api yang muncrat ke atas di tengah laut itu makin
nampak jelas. Dari kejauhan pertempuran itu tak
ubahnya perlombaan kembang api yang indah. Namun
kapal kapal yang mengirim bahan makanan tidak dapat
kembali ke darat lagi. Siung Laut tahu persis, orang-orangnya telah menjadi
lemah. Tak seorang pun dari mereka sempat berpikir
lain. Mereka hanya tahu, bila tak menyulutkan api di
lubang kecil yang terletak di pangkal meriam itu, mereka
akan lebih dulu tenggelam. Jadi mereka harus
menembak dan terus menembak.
Sebaliknya laskar Gajah Binarong juga mengalami hal
sulit. Tak seorang pun sempat menyesali nasibnya. Tak
juga ada yang sempat memperhatikan apakah air laut
masih biru atau telah berubah menjadi merah karena
darah korban meriam. Atau mungkin juga ikan-ikan hiu
lagi panen di bawah permukaan laut itu. Tidak. Bahkan
mereka tidak lagi mendengar adanya perintah giliran
penggantian istirahat di darat. Sebab pemimpin mereka
sudah terlalu sering mengubah gelar perangnya. Dan itu
berarti mereka harus bergerak cepat.
Siung Laut sendiri menjadi amat letih melihat itu. Kesal
dan marah menjadi satu. Ia juga harus sering mengubah
gelar perangnya. Nasi yang disediakan untuknya hanya
ia nikmati sesuap. Malam telah menjadi kelam. .Hampir-
hampir tak dapat melihat mana kawan mana lawan.
Dentuman masih belum berkurang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kita harus istirahat!" salah seorang perwira
mengusulkan. Siung Laut mengerutkan kening. "Kita
sudah tak dapat melihat lagi," perwira itu menyambung.
Kembali Siung Laut mengerutkan giginya. Geram.
Memang benar. Isyarat sudah tidak terlihat lagi. Maka ia
perintahkan memasang cula-cula. Perintah itu diteruskan
melalui sangkakala (terompet terbuat dari kulit kerang
laut besar). "Lihat mereka mendesak terus," teriak Siung Laut
dalam kejengkelan. Dan seluruh kapal Blambangan
sudah memasang cula-cula di bagian depan kapal
masing-masing. Itu berarti siap untuk mati, atau
melompat ke air kemudian berenang. Entah mati atau
menyerahkan diri pada mulut hiu raksasa.
Justru saat itu sebuah tembakan cetbang menyasar ke
kapal Siung Laut. Api membakar sebuah layarnya.
"Padamkan! Cepat ganti dengan layar persediaan!"
perintah Siung Laut mengalir terus dengan suara amat
keras. Dijawab dengan kerja keras oleh awak yang
bertugas khusus untuk itu. Cepat. Yang bukan bertugas
tetap menghadapi apa yang menjadi tugasnya. Mereka
tidak boleh lengah. Mereka tidak ingat lagi berapa kapal
musuh yang telah mereka tenggelamkan. Atau berapa
peluru cetbang bahkan meriam yang telah mereka
muntahkan. Sekali lagi kapal iju terguncang keras. Anjungannya
tertembak sebuah meriam. "Atas nama Hyang Durga, balas tembakan ini!" lagi
perintah Siung Laut menggema. Ia semakin nekat.
Berusaha meneroboskan kapal benderanya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ke tengah-tengah jajaran kapal lawan. Satu pemburu
Buleleng hancur tertabrak culanya. Memang tidak
sebanding walaupun mampu membuat tiap orang dalam
kapal bendera itu terhuyung-huyung. Tak urung Siung
Laut terbahak. Juga yang lain menyempatkan diri
beriang-riang. Sesaat. Harapan Siung Laut terpenuhi.
Kini ia melihat di depannya kapal bendera lawan. Dan
jarak mereka telah terlampau dekat. Dan kapal itu segera
menyemburkan cetbang. Dan dibalas. Namun kini
senyum Siung Laut punah ketika satu tembakan lawan
mampu merobohkan lagi sebuah tiangnya. Kini Siung
Laut mengamati dengan seksama. Ternyata ia dalam
kepungan kapal perusak lawan. Sedang pemburu-


Tanah Semenanjung Karya Putu Praba Drana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pemburu Blambangan dengan jajar perang Cucut
Kelaparan berusaha keras mematahkan kepungan
terhadap samodraksanya itu. Namun Siung Laut tidak
sabar menunggu bantuan itu. Dan juga. tidak melihat
pilihan lain. Maka, "Jangan memalukan!!" teriaknya di antara dentuman
meriam. "Tabrak!!!"
Beberapa layar tak bekerja. Namun kapal itu masih
melaju. Terseot-seot. Pertimbangan mereka sudah habis.
Siung Laut tak mau menerima malu. Maka ia memilih:
mati. Suara menggelegar membelah lautan. Bersama
muncratnya air setinggi bukit. Dua kapal besar itu
tenggelam tanpa ampun lagi.
Serentak walau tanpa janji, para nakhoda kapal
pemburu-perusak Blambangan mengundurkan diri.
Mereka masih melihat betapa hebat benturan dua kapal
besar itu. Karena itu mereka terus mundur, walau sambil
menembak terus. Sedang yang lebih dulu menjangkau
pantai segera melapor. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Drubiksa!!" Singamaya menggeram.
"Kita sambut di sini!" Arya Bendung berseru.
Pendekar Bodoh 9 Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo Pendekar Kembar 2
^