Pencarian

Anak Pendekar 19

Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen Bagian 19


bersih nama baik perguruan. Masih ada Cun-seng Siansu dan Tohian
Siansu yang melacak jejaknya."
Mendengar penjelasan Ting Tiau-bing, Tay-ciok malah menghela
napas lega. Dengan tertawa Ting Tiau-bing meneruskan, "Ucapan toheng
memang betul, keparat ini adalah murid yang hendak dibekuk
kembali ke Siau-lim-si, umpama toheng memberi bantuan kepada
Siau-lim-si, berarti memberi muka pada mereka. Hehe, kalau kau
melindungi dia, berarti kau mencari perkara dengan pihak Siau-lim."
Kiat Hong gugup, teriaknya, "Tay-ciok toheng, berilah keadilan.
Kami, kami...." Lekas Auwyang Ya memberi kedipan mata kepadanya, lalu
meneruskan, "Kiat-heng datang bersama aku, jelek-jelek adalah
tamu kalian, sebagai tuan rumah mana boleh berpeluk tangan bila
orang luar menghina tamunya?"
Tay-ciok Tojin memang pandai bersandiwara, katanya bersikap
apa boleh buat, "Serba susah bagi aku. Dengan pihak Siau-Iim aku
tidak berani bermusuhan, tapi sebagai tuan rumah aku pantang
menyakiti tamuku. Kukira begini saja, urusan kalian boleh selesaikan
sendiri, tapi sudilah memberi muka kepada kami, jangan bentrok di
atas Kong-tong-san."
Belum habis Tay-ciok Tojin bicara, Kiat Hong sudah tahu
maksudnya, segera dia angkat langkah seribu.
Ting Tiau-bing membentak, "Mau lari ya?"
Lekas Auwyang Ya menarik Tay-ciok Tojin, tanpa kuasa Tay-ciok
ikut mencegat Ting Tiau-bing. "Ting tayhiap," seru Tay-ciok Tojin,
"sudilah memberi muka kepada kami, bertarunglah di bawah
gunung." Pada saat itulah Kiat Hong mengganas, mendadak dia menubruk
ke arah Teng Bing-cu. Karena tidak siaga dan menduga, baru saja
Teng Bing-cu berjingkat kaget, per-gelangan tangannya sudah
terpegang orang. Karuan bukan kepalang gusar Ting Tiau-bing, "Wut" kontan dia
memukul Auwyang Ya. Lekas Auwyang Ya melompat jauh, serunya,
"Ting Tiau-bing, bukan aku jeri menghadapimu, tapi aku harus
menghargai saran tuan rumah, di atas Kong-tong-san aku tidak
akan melawan kau." Ting Tiau-bing menerjang sambil membentak, "Bukan aku tidak
menghargai saran tuan rumah. Tay-ciok Toheng, kalau kau
menghadang lagi, jangan salahkan kalau aku tidak sungkan
terhadapmu." Mana Tay-ciok Tojin berani melawan dia, lekas dia menyingkir
sambil membanting kaki, "Baiklah, aku tak mau campur urusan
kalian, boleh kalian selesaikan sendiri."
Kiat Hong sudah punya sandera, maka dia tidak perlu takut, Teng
Bing-cu diangkat tinggi di atas kepala lalu diputar-putar, serunya
sambil bergelak tawa, "Kau ingin jiwa keponakanmu tidak" Coba
maju, akan kubanting keponakanmu."
Terpaksa Ting Tiau-bing berhenti.
"Lekas mundur seratus langkah," bentak Kiat Hong.
Ting Tiau-bing mati kutu, sementara Kiat Hong sudah lari ke
pinggang gunung, serunya, "Ting Tiau-bing, akan kuhitung sampai
sepuluh, kalau kau tidak patuh, jangan menyesal kalau aku
bertindak kepada keponakanmu." Lalu mulutnya mulai menghitung,
"Satu, dua, tiga...." Sambil menghitung dia berlari, jaraknya tingggal
Iimapuluhan langkah dari tempat sembunyi Beng Hoa.
Pada saat itulah mendadak seseorang membentak, "Berhenti!"
Dibawah keremangan cahaya bulan, tampak seorang berbaju hitam
menerobos keluar dari semak rumput mencegat di depan Kiat Hong.
Terdengar Teng Bing-cu berteriak, "Siang-hun!"
Beng Hoa juga terbeliak girang di tempat sembunyinya, yang
muncul ternyata Kang Siang-hun, su-heng Kim Bik-ki.
Kiat Hong mencengkeram kuduk Teng Bing-cu serta disodorkan
ke depan, bentaknya, "Kang Siang-hun, kiamhoat-mu lihay, coba
tusuk." Kang Siang-hun menghardik bagai guntur menggelegar, yang
digunakan adalah Say-cu-hong yang dapat menyedot sukma orang,
belum lenyap gema bentakannya, mendadak dia melabrak maju,
gertakannya hendak mengaburkan perhatian Kiat Hong, di luar
tahunya Kiat Hong juga belajar lwekang aliran murni,
ketenangannya cukup baik. Baru saja pedang Kang Siang-hun
mengincar lawan, Kiat Hong sudah menarik Teng Bing-cu untuk
menangkis pedangnya. Untung Kang Siang-hun menarik pedang,
namun Teng Bing-cu hampir tertusuk.
Karena tersandera, sudah tentu Teng Bing-cu gusar dan malu,
teriaknya, "Kang-kongcu, bunuh saja keparat ini, aku mati tidak jadi
soal." Sambil berteriak dia meronta sekuat tenaga. Meski tahu
dirinya takkan lolos dari cengkeraman iblis, tapi dia nekad gugur
bersama musuh. Kalau dia mati di tangan Kiat Hong, Kiat Hong pasti
terbunuh oleh Kang Siang-hun.
"Ingin mampus kau!" bentak Kiat Hong. Dasar licik, sudah tentu
dia tidak akan membunuh Teng Bing-cu, namun tindakannya
mengejutkan Kang Siang-hun, bentaknya, "Berani kau mengusik
seujung rambutnya, akan kupenggal kepalamu. Hayo turunkan. Apa
kehendakmu, coba katakan."
Kedua pihak mempertahankan ancamannya. Pedang Kang Sianghun
siap menusuk hiatto mematikan di tubuh Kiat. Hong, sementara
tangan kiri Kiat Hong sudah bergerak hendak menotok hiatto lemas
Teng Bing-cu supaya dia tidak bersuara lagi. Entah kenapa sebelum
jarinya menotok hiatto Teng Bing-cu, Sam-li-hiat di bagian lutut
sendiri mendadak kesemutan dan linu, tanpa kuasa dia tersungkur
ke depan. Betapa cepat gerak pedang Kang Siang-hun, begitu melihat
peluang, "Sret", pedangnya segera menusuk tepat mengenai Koangoan-
hiat. Kiat Hong tak mampu mengerahkan tenaga untuk
mencelakai Teng Bing-cu. .
Begitu Kiat Hong tersungkur ke depan, Teng Bing-cu juga
meronta lepas terus berjumpalitan setombak jauhnya.
Teng Bing-cu berdiri tersengal, katanya, "Kang-kongcu, untung
serangan pedangmu lihay."
Kang Siang-hun melengak, katanya, "Kan kau sendiri yang
meronta lepas, bukan aku yang menolongmu."
Kedua orang ini saling duga, tak tahunya ada orang membantu
secara diam-diam. Dan pembantu gelap ini adalah Beng Hoa.
Dengan Tam-ci-sin-thorig, dalam jarak limapuluh langkah Beng Hoa
menjentik sebutir kerikil kecil dan tepat mengenai hiatto Kiat Hong.
Tiga bulan yang lalu Beng Hoa tak mampu, sekarang bukan saja
mengelabui Kang Siang-hun dan Teng Bing-cu, Ting Tiau-bing juga
tidak menyadari. Lekas, Ting Tiau-bing memburu datang. "Susiok," seru Teng
Bing-cu, "dia inilah Kang-kongcu yang pemah kuceritakan kepadamu
pernah membantu kami menggebah keparat ini."
Kang Siang-hun menggusur Kiat Hong kepada Ting Tiau-bing,
katanya tertawa, "Ting tayhiap, silakan kau serahkan keparat ini
kepada Cun-seng Siansu dan To-hian Siansu, aku sendiri tidak ingin
bertemu mereka." "Jadi Kang-kongcu sudah bertemu dengan kedua paderi Siau-limsi
itu?" "Dalam perjalanan pulang dari Wi-kiang aku bersua dengan
mereka, baru aku tahu kalian sedang melacak keparat ini di sini."
Teng Bing-cu heran, katanya,
"Dari ma"na kau tahu keparat ini lari ke Kong-tong-san?"
"Aku sih tidak pandai meramal, kejadian malam ini hanya
kebetulan saja. Aku mencari suhu." Lalu Kang Siang-hun berpaling
ke arah Tay-ciok Tojin, katanya, "Aku tidak tahu apakah Kiat Hong
tamu undangan kalian, kalau bicara tentang aturan, anggap saja
aku yang bersalah." "Ah, mana berani," ucap Tay-ciok Tojin "Kiat Hong tidak
diundang, kejadian ini juga di luar tahuku, terserah bagaimana
tindakan Kang-kongcu?"
Auwyang Ya berdiri di samping tak mampu bicara, sikapnya
tampak kikuk. "Kabarnya suhu-ku akan datang, apakah beliau sudah tiba di
sini?" tanya Siang-hun.
"Masih ada tiga hari, Kim tayhiap belum datang, tapi beliau pasti
datang. Bagaimana kalau Kang-kongcu mampir dulu sambil
menunggu kedatangan gurumu."
"Banyak terima kasih. Masih ada tiga hari, biar aku temani
mereka turun gunung." Sambil berjalan Kang Siang-hun berkata,
"Masih ada berita baik yang perlu kuberitahukan kepada kalian,
begundal Kiat Hong juga sudah beres. Bukankah dia Pek-san Hwesio
dari Jian-hud-si di Tun-hong?"
"Ya, tapi aku tidak tahu kalau dia hwesio Jian-hud-si."
"Kedua paderi Siau-lim-si sudah mendapat berita bahwa Pek-san
Hwesio sudah pulang ke Jian-hud-si siap menerima hukuman
perguruan, kedua paderi Siau-lim-si itu sudah dalam perjalanan
pulang. Nona Teng, coba terka, siapakah yang menyampaikan
berita ini kepada kedua paderi Siau-Iim itu?"
Teng Bing-cu melenggong, katanya, "Mana bisa kuterka."
"Yang memberi kabar adalah Beng Hoa. Beng Hoa yang pernah
berkelahi dengan aku di luar kota Cau-hoat lantaran kau itu." Merah
muka Teng Bing-cu, katanya lirih, "Karena diriku" Kukira...."
"Waktu itu aku membencinya karena menganggap dia pemuda
bangor, memincut sumoay-ku juga merayu engkau. Aku pun curiga
dia sebagai mata-mata kerajaan."
"Yang benar dia orang baik. Hari itu setelah kau pergi, aku pun
berpisah dengan dia. Berdasar apa kau bilang dia merayu aku"
Kang-kongcu, terlalu besar rasa curigamu."
"Ya, baru sekarang sadar, aku salah paham kepadanya. Ternyata
dia adalah putera Beng tayhiap Beng Goan-cau, sering membantu
gerakan laskar gerilya pula. Dengan sumoay-ku mereka sudah saling
mencintai." "Apa sumoay-mu yang memberi tahu kepadamu?"
"Suhu yang menjelaskan asal-usulnya kepadaku. Sumoay juga
menyalahkan aku terlalu salah paham kepadanya. Aku amat
menyesal, di hadapan sumoay pernah aku memakinya sebagai
pemuda bangor, tapi sumoay malah mempercayainya. Dari mulut
kedua paderi Siau-lim lebih banyak aku mendapat bahan tentang
sepak terjangnya. Tidak bisa tidak aku harus mengakui bahwa
sikapku terhadapnya sebelum ini memang keliru."
Teng Bing-cu tertawa, katanya, "Setiap orang pasti pemah
berbuat salah, berani mengakui kesalahannya adalah sikap jantan.
Syukurlah kalau kau tidak mengukuhi penda-patmu yang salah itu."
Mereka berjalan sambil bercakap-cakap. Ting Tiau-bing yang
menggusur Kiat Hong sengaja memperlambat langkah memberi
kesempatan mereka berbicara secara lebih bebas. Di tempat
sembunyinya, Beng Hoa mendengar percakapan mereka, bukan saja
lega, senang pula hatinya. Bukan saja Kang Siang-hun tidak salah
paham lagi kepadanya, hubungannya dengan Teng Bing-cu
gelagatnya juga lebih akrab.
Sementara itu Beng Hoa sudah naikkeToan-hun-gay. Sementara
itu Tay-ciok Tojin dan Auwyang Ya juga sedang berjalan cepat
pulang ke Jing-hi-koan. Maka perhatian Beng Hoa ditujukan kepada
dua orang di depannya. Didengarnya Auwyang Ya sedang berkata, "Kau tidak perlu
khawatir, urusan takkan menyangkut kalian guru dan murid."
"Kalau dia langsung dihukum mati masih mending, khawatirnya
begitu tergusur ke Siau-lim-si, demi mempertahankan jiwanya di
hadapan ciangbunjin Siau-lim-pay, mungkinkah dia masih mau
menyimpan rahasia itu."
"Tidak sedikit kejahatan yang pernah dilakukan, tapi kasus itu
sendiri jarang orang tahu, kan bukan dia yang menjadi biang keladi.
Kukira duduk persoalan yang sebenarnya dia belum tentu jelas."
"Ya, tapi bila dia membeber apa yang dia ketahui, kita bisa
celaka." "Sebagai orang cerdik, meski untuk mempertahankan hidup,
yakin takkan membeberkan seluruh rahasia yang pernah dilakukan,
kalau orang lain tidak tahu kenapa dia harus bicara" Apalagi kalau
dibeber bukan mustahil menambah berat hukumannya. Tentu dia
tahu Siau-lim-pay mau mengampuni jiwanya, aku dan gurumu
takkan mengampuninya."
"Ya, namun saksi hidup berada di tangan orang, apa pun hatiku
tidak lega. Auwyang-tayjin, coba kau terangkan berapa banyak
rahasia yang diketahui Kiat Hong?"
"Aku hanya memberi tahu, bahwa gurumu dan Jik-supekmu dulu
merupakan dwi tunggal. Persoalan lain aku tidak banyak bicara."
Tay-ciok tampak kaget, serunya, "Itu sudah cukup. Kalau dia
membocorkan ucapanmu ini pihak yang bersangkutan tentu dapat
membayangkan bahwa guruku juga ikut campur dalam kasus itu."
"Aku yakin dia tidak berani mengatakan. Baiklah supaya kau tidak
khawatir, biar kuberi satu akal kepadamu. Caranya gampang, bunuh
saja supaya tutup mulut."
"Dia sudah terjatuh di tangan Ting Tiau-bing dan Kang Sianghun,
bagaimana kita bisa turun tangan?"
"Kita memang tidak mampu melakukan, tapi orang yang
berkepandaian lebih tinggi dari Ting Tiau-bing dan Kang Siau-hun
masih ada, apalagi bertindak secara gelap."
"Ya, betul, tapi ke mana kita mencari jago lihay yang mau
ditugaskan membunuh Kiat Hong?"
"Nanti setelah berhadapan dengan gurumu, kau akan tahu tidak
sukar mencari jago kosen."
"Siapakah jago kosen yang kau maksud" Boleh kau beritahukan
kepadaku?" "Baiklah, dekatkan telingamu." Jarak Beng Hoa dengan mereka
ada seratusan langkah, tak mungkin dia mencuri dengar bisikan
orang. Beberapa kejap kemudian baru terdengar Tay-ciok Tojin
berkata, "Ha, paling lambat besok juga pasti sudah tiba, kalau benar
dia, yakin dapat mengejar mereka."
Beng Hoa terus menguntit, tapi tidak berani terlalu dekat,
percakapan mereka makin lirih, akhirnya dia tidak mendengar
percakapan mereka. Namun setelah mencuri dengar percakapan
mereka, Beng Hoa lantas berpikir dalam hati. Rahasia mereka entah
ada sangkut pautnya dengan kasus gurunya.
Tengah Beng Hoa gundah dan risau, sukar dia menganalisa
bahan-bahan yang sudah terkumpul dalam benaknya, mendadak
turun hujan. Hujan secara mendadak dan turun dengan lebat.
Jing-hi-koan masih jauh di atas gunung, maka Auwyang Ya dan
Tay-ciok Tojin juga kehujanan. Setelah halilintar menggelegar Beng
Hoa sempat menangkap teriakan Tay-ciok Tojin yang gugup dan
takut, "Auwyang-tayjin, kau... kenapa kau?"'
Di tengah berkelebatnya sambaran kilat, Beng Hoa hanya melihat
bayangan Tay-ciok Tojin saja, Auwyang Ya entah ke mana.
Tay-ciok Tojin masih berteriak-teriak, "Auwyang-tayjin, kau
dengar suaraku?" Hujan selebat ini, jawaban Auwyang Ya tidak
terdengar. Untunglah hujan ini cepat datang, perginya juga segera, tak lama
kemudian hujan sudah reda, rembulan muncul dari balik awan.
Tay-ciok Tojin keheranan, karena keadaan gelap dia menyulut
obor lalu memeriksa sekitarnya. Dari atas lereng samping ke bawah


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gunung, tapi jejak Auwyang Ya tidak kelihatan, orang lenyap secara
misterius. Kebetulan angin berhembus kencang hingga obor di tangan Tayciok
Tojin padam. Orang yang dicari tidak ketemu, betapapun besar
nyalinya merinding juga Tay-ciok dibuatnya. Lekas dia membuang
obornya terus lari ke atas sambil memutar pedangnya.
Setelah Tay-ciok Tojin pergi. Beng Hoa juga memeriksa dengan
cermat, namun dia pun tidak menemukan jejak Auwyang Ya. Tak
lama kemudian hari sudah akan terang tanah. Beng Hoa tidak
percaya adanya setan tapi kejadian ini pun membuatnya bingung. Di
tengah hujan dia hanya mendengar jeritan Auwyang Ya, Tay-ciok
Tojin juga melihat temannya jatuh. Tay-ciok Tojin segera memburu
dan memanggilnya tapi tidak terdengar sahutannya.
Karena susah diduga, Beng Hoa kesampingkan kejadian ini. Hari
itu dia bersembunyi dalam hutan. Setelah fajar menyingsing banyak
murid-murid Kong-tong yang keluar. Beng Hoa mendekam di tanah
mendengar percakapan mereka, semua membicarakan Auwyang Ya
yang lenyap secara misterius semalam.
Murid-murid Kong-tong-pay itu berombongan mencari ke lereng
gunung. Untung ginkang Beng Hoa tinggi telinganya pun tajam, bila
ada orang datang dia sudah menyingkir lebih dulu. Tay-ciok Tojin
juga keluar ikut rombongan kedua, saudara seperguruannya ribut
menanyakan kejadian semalam, agaknya Tay-ciok tidak bilang
bahwa Kiat Hong datang bersama Auwyang Ya, dia hanya bilang
diperintah gurunya menyambut kedatangan Auwyang Ya saja.
Mengingat Auwyang Ya orang penting dari kalangan pemerintah,
kedatangannya tidak suka diketahui orang banyak maka dia minta
dijemput dari jalan belakang. Penjelasan ini masuk akal, meski ada
yang curiga, namun mereka takkan menduga bahwa Tay-ciok
dengan gurunya sekongkol dengan Auwyang Ya.
Menjelang magrib, rombongan demi rombongan yang ditugaskan
mencari jejak Auwyang Ya mulai berdatangan. Yang pulang paling
akhir adalah Tong-bing-cu dengan muridnya Tay-ciok Tojin. Kapan
Tong-bing-cu keluar, tidak diketahui oleh Beng Hoa.
Terdengar Tay-ciok Tojin berkata, "Betapa aneh kejadian ini,
kemungkinan Auwyang-tayjin mengalami nasib jelek."
Dari percakapan ini Beng Hoa lantas menduga bahwa usaha
pencarian sehari ini gagal total.
"Kukira ada jago kosen bersembunyi di sana serta menyergapnya
secara mendadak," demikian ucap Tong-bing-cu.
Dugaan Tong-bing-cu cocok dengan terkaan Beng Hoa.
"Waktu itu aku berjalan di depan, jaraknya hanya beberapa
langkah, siapa punya kemampuan selihay itu" Apakah Kim Tiok-liu"
Kabarnya hubungannya dengan Tan Khu-seng amat baik, bukan
mustahil dalam kasus itu dia minta perlindungannya."
"KimTiok-liu harus menjaga nama sebagai pendekar besar, mana
dia mau main sergap. Aku malah mencurigai seorang yang.lain,"
ujar Tong-bing-cu. "Suhu, siapa yang kau curigai?"
"Kemungkinan Tan Khu-seng sendiri."
"Apakah Tan Khu-seng mampu berbuat demikian?"
"Kau tidak tahu, Tan Khu-seng memang seangkatan dengan kau,
tapi kepandaiannya tidak lebih rendah dibanding aku. Setelah
sepuluh tahun bersembunyi di Ciok-lin, bukan mustahil Bu-kang-pitkip
peninggalan Thio Tan-hong sudah menjadi miliknya."
"Iya, kenapa tidak kupikirkan hal ini?" demikian batin Beng Hoa
girang. "Jikalau yang menculik Auwyang Ya betul guruku, urusan
akan lebih cepat dibereskan."
Percakapan guru dan murid ini secara langsung memberi
penjelasan bagi dugaan Beng Hoa, Auwyang Ya pasti punya sangkut
paut dengan kasus gurunya, kalau tidak, tidak mungkin mereka
mencurigai gurunya yang menculik Auwyang Ya.
Tay-ciok Tojin berkata, "Kalau benar Auwyang Ya jatuh di tangan
Tan Khu-seng, bisa celaka kita."
"Jangan khawatir," ucap Tong-bing-cu, "aku sudah punya akal
menghadapi dia. Jikalau betul dia yang melakukan kejadian ini, aku
masih bisa menambah dosanya."
"Tapi wakil komandan Gi-lim-kun lenyap di tempat kita, kalau
tidak ketemu, kalau pihak kerajaan menjatuhkan vonisnya, apa kita
berani memikulnya?" Tong-bing-cu tertawa, katanya, "Muridku, ada satu soal yang
belum kau ketahui." "Boleh aku tahu, suhu?"
"Boleh, tapi jangan kau bocorkan."
Lekas Tay-ciok Tojin angkat sumpah, maka Tong-bing-cu berkata
perlahan, "Kau hanya tahu Auwyang Ya adalah kenalan baikku, tapi
tidak tahu bahwa atasannya juga punya hubungan baik dengan
aku." "O, maksud suhu adalah Hay-tayjin?"
"Ya, Hay-tayjin juga akan datang, tapi kehadirannya harus
dirahasiakan. Jikalau Auwyang Ya tidak ditemukan, akan kulaporkan
Tan Khu-seng yang melakukan. Hehe, aku malah mengharap benar
Tan Khu-seng yang membunuh Auwyang Ya."
"Jadi suhu punya tulang punggung sebesar ini, maklum kau tidak
gentar." "Ya, aku sudah memperhitungkan kemungkinan yang paling
buruk, umpama Kiat Hong membocorkan rahasia, seluruh pendekar
di kolong langit ini menentangku juga tak perlu gentar. Paling-paling
aku tidak menjabat ciangbun Kong-tong-pay. Bila terpaksa, boleh
kau ikut aku ke kota raja menjabat pangkat. Mereka yang
menentang aku jangan harap bisa turun dari gunung ini."
Tay-ciok Tojin berkata, "Lebih baik hal ini tetap dirahasiakan.
Suhu, bukankah kau minta bantuan seseorang membunuh Kiat
Hong, apakah ada harapan?"
"Dia bekerja secara gelap, apalagi dia seorang ahli menggunakan
racun. Betapapun cerdik dan cermat Ting Tiau-bing juga takkan
menduga. Kang Siang-hun bocah ingusan itu tidak kupandang
sebelah mata." "Wah, jadi suhu hendak meracun mati Ting Tiau-bing dan Kang
Siang-hun pula?" "Ya, kalau mau kerja jangan kepalang tanggung."
"Kang Siang-hun adalah putera Kang Hay-thian murid Kirh Tiokliu.
Ting Tiau-bing adalah- murid Thian-san-pay angkatan kedua,
apa orang itu tidak takut berhadapan dengan Kang Hay-thian, Kim
Tiok-liu dan Teng King-thian" Bila peristiwa ini betul terjadi,
kasusnya akan lebih besar dan menggemparkan dibanding kasus
yang menimpa keluarga Boh dulu."
"Umpama terbongkar juga mereka tidak akan curiga kepadaku.
Orang itu tidak kenal takut kepada siapa pun."
Sampai di sini, pembicaraan mereka makin lirih karena jaraknya
terlalu jauh dan tak terdengar oleh Beng Hoa. Maka dia kembali
dalam guanya semula. Hari sudah petang, meski hatinya gelisah,
banyak persoalan yang ingin dilakukan, namun seorang diri jelas tak
mungkin dia turun gunung memberi kabar ke pelbagai pihak.
Akhirnya dia buang segala pikiran yang membuat gundah hatinya.
Beng Hoa tetap tidak berani tidur, dia duduk bersemadi. Menjelang
kentongan ketiga, mendadak dia mendengar "Plok, plok, plok" tiga
kali tepukan tangan. Beng Hoa terjaga, hatinya senang karena dia
yakin jalan penting naik ke atas Toan-hun-gay ini memang selalu
dilewati orang. Diam-diam dia ke luar gua, seperti kemarin malam, dia
bersembunyi di belakang batu besar. Didengarnya tepukan tangan
tiga kali lagi, maka muncullah dua sosok bayangan orang di sebelah
timur dan barat. "Kiranya dua orang ini berjanji bertemu di sini
dengan isyarat tiga kali tepukan tangan. Gerak-gerik mereka
sembunyi-sembunyi, jelas bukan orang baik," demikian batin Beng
Hoa. Malam ini bulan lebih terang. Beng Hoa memasang mata, tibatiba
dirasakannya orang yang muncul dari arah barat seperti pernah
dikenalnya. Orang ini bukan lain adalah gembong iblis Yang Kekbeng,
sepuluh tahun yang lalu pernah diusir dari Ciok-lin oleh samsuhu-
nya, belakangan datang lagi menuntut balas hingga kedua
pihak hampir ajal. Sikap Yang Kek-beng amat hormat terhadap orang yang muncul
di sebelah timur, sapanya, "Hay-tayjin, pagi juga kedatanganmu.
Apakah Tong-bing-cu sudah tiba?"
"Hay-tayjin bukankah tulang punggung Tong-bing-cu. Terhadap
muridnya pun dia tidak memberi tahu apa yang mereka bicarakan di
sini?" demikian batin Beng Holi
Terdengar Hay-tayjin sudah buka suara, "Aku juga baru tiba, tapi
Tong-bing-cu akan terlambat satu jam, baru akan menyambut
kedatangan kita." "Tong-bing-cu kenapa tidak tahu aturan, berani menyuruh Haytayjin
menunggu satu jam di sini?"
Hay-tayjin tertawa, "Aku sengaja berjanji satu jam lebih lama
dengan dia." "Lho kenapa?" "Ada satu hal perlu kurunding-kan dulu dengan kau."
"Hay-tayjin terlalu sungkan, bila tenagaku diperlukan silakan beri
petunjuk saja." "Pertama, sebutan 'Hay-tayjin' selanjutnya jangan digunakan.
Mulai besok aku sudah menjadi kacung serabutan yang bekerja di
dapur Jing-hi-koan."
"Wah, kenapa Hay-tayjin merendahkan derajat?"
"Lo-yang," desis Hay-tayjin melotot, "kenapa lupa?"
"Maaf, aku sudah biasa memanggil demikian, sukar mengganti
dalam waktu dekat. Lalu bagaimana aku harus memanggilmu?"
"Aku memanggil kau Lo-yang, kau boleh panggil aku Lo-hay saja.
Tapi mulai besok, di hadapan orang banyak tak usah kau menyapa
aku." Yang Kek beng mengiakan, lalu mengulang pertanyaannya, "Lohay,
sebetulnya kau bisa muncul sebagai tamu undangan, kenapa
harus merendahkan derajat?"
"Aku tidak ingin orang tahu asal-usulku. Tahukah kau wakilku
sudah mengalami musibah?"
"Aku belum bertemu murid-murid Tong-bing-cu, maka tak berani
aku tanya murid Kong-tong-pay yang lain. Tapi kudengar katanya
Kiat Hong digusur oleh putera Kang Hay-thian, Auwyang-tayjin juga
lenyap tak karuan, entah betul tidak?"
Dari pertanyaan Yang Kek-beng ini Beng Hoa dapat
menyimpulkan siapa sebenarnya Hay-tayjin ini, dia bukan lain
adalah komandan Gi-lim-kun Hay Lan-ja adanya. Maka Beng Hoa
lebih memperhatikan percakapan mereka.
Didengarnya Hay Lan-ja berkata, "Sudah tentu benar, Kiat Hong
digusur pulang ke Siau-lim-si oleh putera Kang Hay-thian dan Ting
Tiau-bing murid Thian-san-pay. Tapi Auwyang Ya dibokong siapa,
bagaimana mati hidupnya, sampai sekarang belum jelas,
kemungkinan jiwanya tidak selamat."
"Lo-hay, kau mana boleh dibandingkan dengan Auwyang Ya,
siapa berani membokong engkau?"
"Memang aku tidak gentar menghadapi mereka, namun asalusulku
harus tetap dirahasiakan. Soal inilah yang ingin kubicarakan
dengan kau," ucap Hay Lan-ja. "Besok lusa pertemuan besar Kongtong-
pay akan dibuka, pertemuan besar ini bukan maksud
ciangbunjin Tong-cin-cu sendiri."
"Ya, ada sebuah pertanyaan ingin kutanyakan. Usia Tong-cin-cu
belum tua kenapa dia mau mundur?"
"Karena terdesak keadaan, jadi terpaksa. Kau harus tahu, sejak
lama Tong-bing-cu bermimpi ingin jadi ciangbunjin Kong-tong-pay.
Panjang kalau dibicarakan sebab musababnya, karena soal ini
menyangkut Tan Khu-seng yang terlibat dalam kasus lama."
"Konon dahulu waktu Tong-biau-cu menyerahkan jabatannya
kepada Tong-cin-cu juga dipaksa oleh situasi?"
"Ya, waktu itu Tong-hian-cu dan Tong-bing-cu bersekongkol
mendukung Tong-cin-cu serta memaksa Tong-biau-cu menyerahkan
jabatannya. Untuk mempertahankan jiwa muridnya, terpaksa Tongbiau-
cu menuruti kehendak mereka. Padahal waktu itu Tong-hian-cu
sendiri yang ingin jadi ciangbun, karena modal pribadinya tidak
mencukupi, terpaksa dia mendukung ji-suheng-nya. Maksud semula
menjadikan Tong-cin-cu sebagai ciangbun boneka, bila sudah tiba
saatnya baru akan memaksa Tong-cin-cu menyerahkan
kedudukannya. Tak nyana sebelum kesempatan yang ditunggu tiba,
Tong-hian-cu keburu mati di Ciok-lin. Ambisi Tong-bing-cu makin
besar, setelah Tong-hian-cu mati dia menunggu tiga tahun lebih,
hingga sekarang sudah tidak sabar lagi. Dia ingin jadi ciangbun,
yang paling dikhawatirkan bukan sesama perguruan, tapi takut bila
Tan Khu-seng tahu muslihatnya dan menentang dia, maka dia
merasa perlu turun tangan lebih dulu, dengan-alasan mencuci bersih
nama baik perguruan, kembali memeriksa ulang kasus lama, dalam
pertemuan besar ini menjatuhkan vonis hukuman mati kepada Tan
Khu-seng. Tapi sudah diduganya pula bahwa persoalan lain mungkin
timbul." "Karena itu dia memerlukan dukunganmu?"
"Kenapa kau lupakan dirimu sendiri. Dia pun memerlukan
dukunganmu. Sekarang ingin aku mendengar pendapatmu."
"Ah, aku tunduk saja bagaimana kehendak Hay-tayjin, apalagi
Tan Khu-seng kan juga musuh besarku "
"Kau lupa pula, kenapa memanggilku Hay-tayjin. Lo-yang walau
kita harus mendukung dia tapi harus ada imbalannya. Terus terang,
aku menganggap kerja ini sebagai barter saja."
"Lo-hay, barter yang bagaimana, aku patuh kepadamu saja."
"Tong-bing-cu menyerahkan kuasa padamu, bagaimana tamu
tamu yang kau undang untuk mem bantu dia?"
"Aku mengundang Bwe-san ji koay, Tang-hay-sam-sia dan...."
"Tak perlu disebut satu per salu. apakah mereka dapat dipercaya
" Bisa tiba tepat pada waktunya?"
"Mereka dapat dipercaya," sahut Yang Kek-beng. "Mulai besok
mereka akan berdatangan. lo-hay. masih ada pesan lain?"
"Terus terang, kedatangan mereka akan kuperalat untuk
menghadapii murid-murid Kong-tong-pay, atau Tong-bing-cu
sendiri." Yang Kek-beng terkejut, serunya, "Lo-hay aku tak mengerti
maksudmu. Bukankah kita membantu Tong-bing-cu?"
"Memang, tapi dia kau harus membantu juga. Tong-bing-cu takut
menghadapi kaum pendekar, aku sudah membuat rencana supaya
dia menghadapi mereka tanpa gemetar. Tapi aku juga tahu maksud
Tong-bing-cu, meski dipersiapkan, syukur kalau tidak sampai terjadi
bentrokan, jelas dia tidak berani menghadapi peristiwa besar yang
mungkin berbuntut panjang. Tapi aku justru menggunakan
kesempatan baik ini. Hal ini takkan kuutarakan kepadanya sebelum
kejadian, bila tiba saatnya, menjadi tugasmu untuk turun tangan.
Tong-bing-cu atau siapa saja kalau berani merintangi, bunuh saja
habis perkara." Mengkirik bulu kuduk Beng Hoa mendengar mereka, betapa
kejam dan licin Hay Lan-ja ini, entah rencana apa yang telah
dirancangnya" Sampai di sini percakapan mereka mendadak tidak terdengar,
entah dia sedang menjelaskan rahasia rencananya" Beng Hoa
memusatkan perhatian mendengar dengan seksama, akhirnya baru
dia mendengar 'sekali jaring pukul seluruhnya', lalu gelak tawa Hay


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lan-ja. Dugaan Beng Ho tidak meleset, mereka memang sedang
membicarakan rencana itu, sudah tentu yang dimaksud akan
dijaring termasuk kaum pendekar. Karuan berdebar jantung Beng
Hoa. Semoga besok dirinya bisa bertemu dengan Kim tayhiap serta
menyampaikan rencana jahat musuh ini, yang pasti Beng Hoa harus
bersembunyi lebih hati-hati supaya jejaknya tidak ketahuan.
Yang Kek-beng terdengar berkata, "Rasanya sudah satu jam
lebih, kenapa Tong-bing-cu belum juga datang?"
"Betul. Kita bicara soal lain saja. Eh, agaknya ada langkah orang
datang, tapi arahnya kok terbalik?"
"Ya, datangnya dari arah Toan-hun-gay di bawah sana, bukan
dari Jing-hi-koan di sebelah atas."
Pada saat itulah mendadak berkumandang teriakan seorang
perempuan, "Tolong, tolong!" Menyusul suara seorang perempuan
tua membentak, "Budak busuk, di atas Kong-tong-san kau kira ada
orang bakal menolongmu, tak usah ya, berani pentang bacot lagi
biar kucekik mampus dirimu."
Ternyaya gadis itu makin keras suaranya, "Baik, kau cekik saja,
cekik aku sampai mati. Biar mati aku tetap tak mau kau siksa
begini." Dalam waktu singkat ini Beng Hoa sungguh terkejut sampai menjublek.
Teriakan gadis itu, bukankah itu suara Kim Bik-ki"
Mungkin mendengar di sini ada percakapan orang, maka Kim Bikki
lantas berteriak minta tol6ng. Tadi Beng Hoa khawatir
jejaknya'ketahu-an mereka, kini setelah mendengar teriakan Kim
Bik-ki, meski langit ambruk juga tidak dihiraukan lagi.
Hay Lan-jajuga heran, tanyanya lirih kepada Yang Kek-beng,
"Siapakah perempuan galak itu" Kau kenal dia?"
"Kelihatannya Tok-jiu-koan-im (Dewi Koan-im tangan gapah)."
Hay Lan-ja kaget, katanya, "O, jadi perempuan bawel ini adalah
Tok-jiu-koan-im yang dijuluki ahli racun nomor satu di kalangan
Kang-ouw itu" Sejak lama sudah ingin aku merangkulnya. Tapi
jangan kau jelaskan dulu kepadanya siapa diriku."
"Ya, aku tahu," sahut Yang Kek-beng. Sementara itu langkah kaki
sudah makin dekat, tapi teriakan Kim Bik-ki sudah berhenti,
mungkin hiatto-nya tertotok hingga tak mampu bersuara.
Yang Kek-beng segera berseru, "Apakah Sin Jit-nio di sana?"
"Ya," sahut perempuan tua itu. "Siapa kau?"
"Aku adalah Yang Kek-beng murid angkatan ketiga Beng Sinthong.
Sepuluh tahun yang lalu pernah bertemu sekali dengan kau
orang tua." "O, kau juga datang karena undangan Tong-bing-cu ya" Siapa
yang datang bersama kau?"
"Seorang teman. Hei, gadis siapa " yang kau bekuk itu?"
Perempuan tua itu terbahak-bahak, katanya, "Kalau kukatakan
tanggung kau terkejut. Ayah budak ini adalah jago pedang nomor
satu di dunia, namanya Kim Tiok-liu."
Yang Kek-beng amat kaget, katanya, "Sin Jit-nio, besar sekali
nyalimu. Kenapa kau menawan puteri Kim Tiok-liu?"
Perempuan tua yang bernama Sin Jit-nio tertawa dingin, "Siauyang,
kalau kau takut lekas lari turun gunung supaya jangan
terlibat." "Orangnya sudah kau tangkap dan bawa kemari, takut apalagi"
Baiklah, kabarnya puteri Kim Tiok-liu cantik rupawan, aku ingin
melihat apa betul dia ayu seperti yang dikatakan orang."
Sambil bicara Yang Kek-beng menyongsong ke depan. Kebetulan
saat itu perempuan tua itu sudah lari tak jauh dari tempat
persembunyian Beng Hoa. Di bawah cahaya rembulan kelihatan
jelas, Kim Bik-ki dikempitnya tak mampu bergerak.
Sin Jit-nio tidak sadar bahwa bahaya mengancam dirinya, dengan
tertawa dia berkata, "Siau-yang, boleh melihat tidak boleh
menyentuhnya. Jangan kau nanti tergila-gila melihat paras cantik,
puteri Kim Tiok-liu ini akan kugunakan sebagai sandera, jangan kau
mengusiknya. Aduh, aduh, kurang ajar! Yang Kek-beng berani kau
membokong Lo-nio (nyonya tua)?"
Yang Kek-beng kaget, serunya, "Hei, aku tidak membokongmu,
pasti ada musuh sembunyi di sini, lekas gebah dia keluar."
Tanpa digerebek orangnya sudah keluar menubruk ke arah Sin
Jit-nio. Ternyata Beng Hoa menggunakan cara lama, dengan Tamcin-
sin-thong sekaligus dia menjentik tiga buah kerikil, satu di
antaranya tepat mengenai Hoan-tiau-hiat di lutut Sin Jit-nio.
Tapi kepandaian Sin Jit-nio jauh lebih tinggi dari Kiat Hong, meski
hiatto tersambit kerikil ternyata dia tidak terjungkal roboh. Tapi
cepat sekali, begitu sinar pedang berkelebat, ujung pedang Beng
Hoa tahu-tahu sudah mengancam leher Sin Jit-nio.
Sin Jit-nio tidak tahu siapa pe-nyergap dirinya, dalam keadaan
genting ini, tak sempat dia berpikir, terpaksa dia lemparkan Kim Bikki
seraya berteriak, "Yang Kek-beng, jagalah budak ini." Sebelah
tangan segera bergerak siap melawan.
Sinar pedang laksana kilat, di tengah berkelebatnya bayangan
orang, "Cret" lengan baju Sin Jit-nio tertabas secuil, namun dalam
waktu yang sama dari lengan bajunya menyembur keluar segulung
asap tebal. Dari percakapan Hay Lan-ja dengan Yang Kek-beng, Beng Hoa
tahu bahwa perempuan tua ini ahli racun, sambil menyergap dia
juga sudah siaga, begitu pedang di tangan kanan menusuk, Bikkhong-
ciang dengan tangan kiri juga menyusul tiba sambil menahan
napas. Siapa menghirup sedikit saja asap tebal Sin Jit-nio pasti jatuh
pingsan seketika, bila terkena bubuk racun, badan akan membusuk.
Tak nyana semburan racunnya ternyata dipukul buyar dan balik oleh
Beng Hoa. Beng Hoa menyergap dengan menyerempet bahaya, tapi Kim
Bik-ki di tangan orang, Yang Kek-beng juga di situ, posisinya jelas
lebih kuat, jadi tak mungkin Sin Jit-nio membunuh Kim Bik-ki. Beng
Hoa juga yakin dengan pedang kilatnya dapat mendesak lawan
dalam satu gebrakan. Sayang perhitungannya hanya tepat separo, dengan sergapan
kilat dia pikir melukai musuh menolong orang, Sin Jit-nio memang
dipaksa melepaskan Kim Bik-ki, tapi serangan kilat pedangnya
ternyata tidak berhasil seperti yang diharapkan. Sin Jit-nio hanya
tertabas lengan bajunya saja.
Melihat Kim Bik-ki dilempar perempuan jahat beracun ini,
tubuhnya sedang menggelinding di lereng gunung, entah terluka
atau mati, sudah tentu hatinya amat kaget dan kasihan, tak sempat
dia menyerang perempuan itu lagi.
"Adik Ki, jangan gugup, aku menolongmu. Kau dengar tidak" Aku
adalah Hoa-ko." Sambil' berteriak Beng Hoa memburu ke drah Kim
Bik-ki yang masih menggelinding ke bawah. Sebelum Kim Bik-ki
jatuh ke bawah ngarai dia harus berhasil menolongnya.
Tapi Sin Jit-nio justru tidak berpeluk tangan. Di mana dia ayun
tangan, entah amgi apa yang disambitkan, yang jelas mengeluarkan
suara "ting tang" yang ramai, belum serangan tiba bau amis sudah
menyambar hidung. "Bocah bagus, jangan harap kau dapat
menolong budak itu." Setelah menyambitkan senjata rahasianya, Sin
Jit-nio ikut mengejar datang.
Beng Hoa tertawa dingin, katanya, "Biar kau tahu kelihayanku."
Saat itu amgi sudah memberondong dari berbagai penjuru, Beng
Hoa kalem saja, pedangnya berputar satu lingkaran, terdengarlah
dering ramai, potongan logam kecil-kecil bertaburan. Senjata
rahasia Sin Jit-nio ini adalah cincin yang dipakainya di sepuluh
jarinya, sudah tentu cincinnya ini juga sudah direndam dalam air
racun. Hanya sejurus permainan pedang kilat, Beng Hoa merontokkan
seluruh cincin beracun, betapa luas pengetahuan Sin Jit-nio belum
pernah menyaksikan kiamhoat sebagus ini, seketika dia melongo.
Tapi Beng Hoa sudah terkejar olehnya.
"Coba mengejar lagi, biar kubunuh kau," ancam Beng-Hoa.
Sin Jit-nio tertawa dingin, je-ngeknya, "Umpama kau bisa
merebut dia dari tanganku, tanpa obat penawar dari aku, jangan
harap kau bisa menolong jiwanya."
Beng Hoa sadar, mendadak dia membalik menubruk ke arah Sin
Jit-nio. "Keparat, ingin mampus kau!" hardik Sin Jit-nio, tahu-tahu
tangannya sudah memegang sebuah bumbung bambu, sekali tekan
tombol dari bumbung itu menyemprot air beracun, terpaksa Beng
Hoa melompat menyingkir, air beracun menyambar di samping
tubuhnya, baunya amis menyesakkan napasnya.
Beng Hoa gusar, baju luar dicopot dia putar dengan kencang,
bentaknya, "Paling terkena racunmu, sebelum kau serahkan obat
penawarnya, jangan harap kau bisa lolos dari pedangku."
Sebelum dia adu jiwa dengan Sin Jit-nio, mendadak segulung
angin dingin menggulung dirinya. "Ternyata kau murid cilik Tan
Khu-seng itu. Hmm, masih berani bertingkah kau bocah," jengeknya
dingin. Siu-Io-im-sat-kang yang diyakinkan Yang Kek-beng sekarang
sudah maju setingkat dibanding empat tahun yang lalu, namun
kemajuan lwekang Beng Hoa justru tak terukur. Siu-lo-im-sat-kang
Yang Kek-beng tetap tak mampu melukai dia. Tapi karena lawan
menyerang sepenuh tenaga, paling Beng Hoa hanya bergidik
kedinginan saja. Beng Hoa balas menjengek, "Ya, aku pun ingin membuat
perhitungan dengan kau." Sinar pedang berkelebat laksana kilat
seperti ke kiri atau ke kanan, enteng dan mengambang. Sin Jit-nio
dan Yang Kek-beng merasakan pedang lawan seperti menusuk ke
arah dirinya. Sin Jit-nio sudah merasakan kelihayan pedang lawan,
saking kaget lekas dia jumpalitan ke belakang. Karena khawatir
melukai Yang Kek-beng, dia tidak berani balas menyerang dengan
am-gi beracun. Dalam sekejap itu beruntun Yang Kek-beng sudah mengalami
beberapa kali bahaya, karuan terkejut dan iri lagi. Dia menduga
bocah ini pasti sudah memperoleh ajaran pedang peninggalan Thio
Tan-hong di Ciok-lin, maka Siu-lo-im-sat-kang-nya tak mampu
mengalahkan lawan, jelas dirinya tak mungkin mengalahkan orang.
Ingin minta bantuan Hay Lan-ja tapi malu, terpaksa dia
mengembangkan Siu-lo-im-sat-kang sekuat tenaga, tak usah
melukai lawan asal diri sendiri selamat.
Beng Hoa yakin dirinya mampu mengalahkan orang, tapi dalam
dua tiga gebrak tak mungkin tercapai, apalagi Sin Jit-nio membantu
dari samping, sedikit lena kemungkinan dirinya bisa keracunan.
Apalagi dia menguatirkan keselamatan Kim Bik-ki. "Sret, sret, sret"
Yang Kek-beng diserangnya dengan gencar sehingga mencakmencak
seperti joget kera. Sebat sekali Beng Hoa menyelinap keluar
terus melompat ke bawah. Rasa terkejut Sin Jit-nio dan Yang Kekbeng
belum hilang, mana berani mereka mengejar.
Bayangan Kim Bik-ki tidak kelihatan, jantung Beng Hoa melonjaklonjak
saking gugup, entah Kim Bik-ki masih hidup atau sudah ajal.
Sambil lari dia berteriak lagi, "Adik Ki, kau dengar suaraku"
Bagaimana keadaanmu?"
Tiba-tiba didengarnya suara lirih dan lemah berkata, "Bengtoako,
apakah kau" Aku di sini, lekas kemari." Walau lemah
suaranya, namun Beng Hoa kenal itulah suara Kim Bik-ki.
Girang Beng Hoa seperti mendapat lotre, lekas dia lari ke arah
datangnya suara, teriaknya, "Adik Ki, kau tidak apa-apa?"
"Tidak apa-apa, sayang tak bisa bergerak."
Mendengar suaranya, Beng Hoa sudah tahu bahwa Kim Bik-ki
hanya tak mampu mengerahkan tenaga karena hiatto tertotok
sehingga suaranya menjadi lemah, jadi bukan karena luka dalam.
Legalah hatinya. Ternyata Sin Jit-nio hanya menotok hiatto-nya, lemparannya tadi
juga menggunakan'tenaga lunak seperti orang menurunkan benda
secara perlahan. Kim Bik-ki hanya luka lecet karena menggelinding
di lereng tadi. -Untung dia terhalang oleh lebatnya semak rumput
yang tumbuh setinggi manusia hingga tubuhnya tidak
menggelinding lebih jauh.
Namun racun Sin Jit-nio di dalam tubuhnyajelas sementara belum
bisa dipunahkan. Sin Jit-nio mence-kokkan Hap-kut-san (Puyer
pelemas tulang), jiwanya sih tidak terancam namun tujuh hari
kemudian, kalau racun tidak ditawarkan, otot mengejang tulang
menjadi lunak, bila terlambat diobati selamanya akan menjadi tapa
daksa. Perlu diketahui, lahirnya Sin Jit-nio bilang tidak takut, padahal
terhadap Kim Tiok-liu ayah Kim Bik-ki, takutnya luar biasa, maka dia
hanya berani menggunakan caranya itu untuk menyandera puteri
orang, tidak berani mengancam jiwanya.
Lwekang Kim Bik-ki juga mendapat ajaran.murni keluarganya,
walau dia terpengaruh oieh racun dalam tubuhnya, tenaganya tak
mampu dikerahkan untuk bergerak bebas, tapi untuk mengerahkan
hawa murni membebaskan totokan hiatto masih lebih dari mampu.
Setelah menggelinding jauh dan berhenti, dalam beberapa kejap
kemudian, totokan hiatto-nya pun sudah bebas.
"Adik Ki, tak usah gelisah, aku akan turun gunung bersamamu.
Bagaimana Kang-suheng-mu, apa kau tahu?" teriak Beng Hoa.
Tiba-tiba dia ingat Tong-bing-cu bilang hendak minta bantuan
seorang ahli racun untuk membokong Kang Siang-hun, Ting Tiaubing
dan Teng Bing-cu, Kiat Hong pun akan dikorbankan pula.
Sekarang baru dia tahu, ahli racun yang dimaksud pasti Sin Jit-nio
ini. Beng Hoa tidak habis mengerti kenapa justru Kim Bik-ki yang
jatuh ke tangan orang, hatinya pun khawatir akan keselamatan
orang-orang yang akan diracun Sin Jit-nio, maka sambil lari dia
tanya keadaan Kang Siang-hun.
Senang juga hati Kim Bik-ki karena Beng Hoa tetap
memperhatikan keselamatan Kang-suheng-nya yang dahulu pernah
memusuhi dan menuduhnya yang bukan-bukan. Lekas dia menarik
napas serta membesarkan suara, "Kang-suheng tidak apa-apa, tak
usah khawatir, nanti kujelaskan."
Saat mana Beng Hoa sudah melihat Kim Bik-ki, Kim Bik-ki juga
melihatnya. Entah dari mana datangnya tenaga, saking senang Kim
Bik-ki melompat berdiri, teriaknya, "Ah, Beng-toako, benar kau.
Apakah ini bukan mimpi?" Jarak mereka tinggal tigapuluhan
langkah, Beng Hoa memburu datang dengan langkah cepat, tanpa
sadar Kim Bik-ki menyongsong maju dua langkah sambil membuka
kedua tangan. "Adik Ki, diam di tempatmu, awas jatuh," teriak Beng Hoa girang.
"Ini bukan mimpi, coba lihat, bukankah aku berdiri di depanmu"
Jangan gugup, nanti kugendong kau turun gunung."
Mendengar itu, baru Kim Bik-ki tersentak sadar, teriaknya, "Hei,
kenapa aku bisa bergerak?" Seketika dia merasa lutut lemas, "Bluk"
kali ini dia benar-benar jatuh.
"Lha, kau tidak mendengar nasihatku. Tak usah gugup, biar
kuperiksa, terluka tidak?"
Jarak mereka tinggal sepuluh langkah, baru dia mengulur tangan
hendak menarik Kim Bik-ki, pada saat itulah terasa angin kencang
menderu. Seseorang mendadak menyergap dari belakang. Mungkin
menyadari cara menyergap begini menurunkan martabatnya, meski
menubruk, dia bersuara lebih dulu, "Bocah, kau ingin membopong
budak ini turun gunung, jangan mimpi!"
Begitu angin menyerang tiba, Beng Hoa tahu orang hendak
mencengkeram tulang pundaknya. Secara reflek dia menurunkan


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pundak sambil balas menyodok dengan siku, sementara tangan
yang lain menepuk ke belakang. "Biang", telapak tangan beradu.
Karena belum berdiri tegak Beng Hoa tertolak sempoyongan tiga
langkah. Pundaknya terasa panas dan pedas.
Beng Hoa kaget karena lwekang orang ini jauh lebih tinggi
dibanding Yang Kek-beng dan Sin Jit-nio. Bila dia membalik badan
melihat jelas penyergapnya, ternyata komandan Gi-lim-kun Hay Lanja
adanya. "Hm, tidak malu, sebagai komandan Gi-lim-kun juga main
bokong, cerdik juga kau."
Merah muka Hay Lan-ja, katanya, "Kalau aku tidak bersuara
memberi peringatan, memangnya kau mampu lolos dari
cengkeraman-ku" Nah sekarang, mari kita ukur kepandaian siapa
lebih unggul. Aku akan mengalah kepadamu, cabut pedangmu. Aku
hanya melawan dengan tangan kosong, buktikan apa kau mampu
lolos dari tanganku?" Lahirnya dia bersikap ramah, padahal
nafsunya sudah timbul. "Bocah ini tahu rahasiaku, harus dibunuh,"
demikian pikirnya. Beng Hoa insaf kedudukannya tidak menguntungkan, harus
memikirkan keselamatan Kim Bik-ki lagi, maka dia tidak perlu
sungkan lagi. "Sret" pedang terlolos, kontan dia menyerang dengan
jurus Hian-ciau-hoat-soa. "Ingin aku buktikan, kau yang mampus di
bawah pedangku atau aku yang lolos dari tanganmu."
"Serangan bagus," puji Hay Lan-ja. Tangan diulur mencengkeram
ke ujung pedang. Bu-beng-kiam-hoat amat lincah dan enteng,
bergerak mengikuti situasi. Kungfu lawan makin tinggi
permainannya pun makin lihay dan tarafnya juga lebih tinggi, sukar
diraba pula. Tahu lwekang lawan di atas dirinya, maka begitu
gebrakan dimulai Beng Hoa lantas melancarkan kemurnian Bu-bengk'iam-
hoat dengan seluruh kemampuannya. Jurus Hian-ciau-hoatsoa
itu mengandung tujuh gerak perubahan, sudah terbayang
dalam benaknya bagaimana reaksi Hay Lan-ja dalam menghadapi
setiap perubahan pedangnya.
Tapi reaksi Hay Lan-ja dalam menghadapi serangannya justru di
luar dugaannya. Menurut ajaran ilmu silat umumnya, umpama
seseorang menggunakan Khong-jiu-ji-pek-to melawan senjata lawan
juga harus menghindar serangan telak lawan baru mencari
kesempatan balas menyergap merebut senjata lawan. Tapi Hay Lanja
secara langsung mengulur tangan menangkap pedang.
Tahu lawan memang punya kemampuan tersendiri, Beng Hoa
tetap meneruskan tabasan pedangnya, hanya sedikit
kecerobohannya ini, hampir saja dia terjebak oleh akal Hay Lan-ja.
Ternyata pedangnya seperti menyentuh sebuah benda empuk
lemas hingga susah dia mengerahkan tenaga. Ternyata dalam
waktu genting itu, Hay Lan-ja menarik tangannya ke dalam lengan
baju, berbareng kain bajunya menggulung balik ke atas
membungkus ujung pedang Beng Hoa, yang digunakan adalah daya
lengket yang hebat. Agaknya Hay Lan-ja sudah sempurna
meyakinkan Iwekang-nya hingga cukup ampuh untuk menggunakan
daya lengket ini. Sebetulnya Beng Hoa juga mahir menggunakan daya lengket ini
untuk memunahkan serangan telapak tangan atau pukulan lawan,
namun tak pernah terpikir bahwa daya lengket begini juga berguna
untuk menghadapi senjata. Apalagi seperti permainan Hay Lan-ja
yang menakjubkan, jelas dirinya tak mampu melakukan.
Hanya sejurus Hay Lan-ja sudah berhasil, dengan senang segera
dia membentak, "Lepas pedang!" Dia yakin pedang pusaka Beng
Hoa pasti bisa direbutnya.
"Belum tentu," tiba-tiba Beng Hoa mengejek. Sinar kilat
berkelebat, lengan bajunya malah yang tertabas oleh pedang
pusaka Beng Hoa. Syukur Beng Hoa lekas sadar akan
kelengahannya, begitu merasakan pedang tersedot oleh lengan baju
lawan, otaknya lantas teringat ajaran lwekang yang baru
dipelajarinya dari kungfu Persia, ada semacam cara yang mampu
memunahkan daya lengket seperti ini. Segera dia praktekkan,
ternyata hasilnya memang memuaskan'.
Setelah gebrakan pertama ini Beng Hoa tak berani lengah lagi,
hati Hay Lan-ja juga terkejut, baru sekarang dia maklum kenapa Sin
Jit-nio pun kecundang oleh bocah ini. Selanjutnya dia pun tak berani
menggunakan daya lengket, mendadak dia berputar, kini kedua
tangan bergerak menggempur Beng Hoa. Bergontai badan Beng
Hoa, pedang panjangnya bergerak dengan jurus Kim-ciam-to-koat
(Jarum emas melawan bencana) menyendal ke atas. Hay Lan-ja
seperti sudah menduga gerakan ini, maka dia merebut maju
selangkah, sambil berkelit dari serangan, berbareng melancarkan
serangan mematikan. Kaki Hay Lan-ja tidak bergerak, pedang Beng Hoa jelas sudah
hampir menusuk lambungnya, baru mendadak dia mengempeskan
dada menyedot perut, tubuhnya menyurut ke belakang dua dim.
Tubuhnya yang segede kerbau itu hanya sekali menarik napas
mendadak berubah mengecil. Betapa hebat dan menakjubkan
penggunaan lwekang tingkat tinggi ini, bukan saja Yang Kek-beng
berseru kaget memuji, Beng Hoa juga tidak menduga sama sekali.
Hanya sekejap mata posisi kedua pihak dari yang diserang
berbalik balas menyerang, perubahan terjadi secara singkat. Perut
Hay Lan-ja mendadak mengecil dua dim, lengannya mendadak
seperti mulur lebih panjang tiga dim, dari telapak tangan berubah
tinju, memukul dengan jurus Heng-sin-bak-hau (Melintangkan tubuh
memukul harimau). Adu kepandaian dua jago yang diutamakan hanya merebut
kesempatan. Jelas pukulannya ini tak mungkin dikelit lagi oleh Beng
Hoa Kim Bik-ki yang rebah di tanah tak tertahan menjerit khawatir,
sayang dirinya tak mampu bergerak untuk membantu, terpaksa dia
memejamkan mata tak berani menyaksikan pujaan hatinya terhajar
luka parah. Tak nyana kungfu Hay Lan-ja memang serba sempurna dan
banyak yang di luar dugaan Beng Hoa, namun kiamhoat Beng Hoa
juga jauh di luar dugaan orang lain.
Di tengah sambaran tinju dan berkelebatnya sinar pedang,
lengan panjang Hay Lan-ja tampak melingkar balik. Beng Hoa
melompat dan berkelebat, ujung pedangnya menyerempet ketiak
lawan. Cepat sekali bayangan kedua orang mendadak berpencar,
betapa cepat dan menakjubkan, beberapa gerakan yang
menakjubkan ini sukar dilukiskan dengan kata-kata. Yang Kek-beng
yang menonton dengan jantung berdetak juga tidak melihat jelas,
tak habis herannya kenapa jotosan Hay Lan-ja yang lihay itu tidak
mengenai Beng Hoa. Jurus Kim-ciam-to-koat yang dilancarkan Beng Hoa kelihatannya
mirip Tat-mo-kiam-hoat Siau-fim-pay, namun hanya mirip gayanya
tidak kenyataannya Di saat Hay Lan-ja melontarkan pukulannya,
pedang Beng Hoa juga mendadak berubah, tiba-tiba menusuk dari
posisi yang tidak terduga oleh Hay Lan-ja Jikalau pukulannya
diteruskan, Beng Hoa memang akan terpukul luka parah, tapi Hay
Lan-ja harus mengorbankan sebelah lengannya. Sudah tentu Hay
Lan-ja tak mau dirugikan, terpaksa dia mengubah permainannya.
Begitu mundur, Hay Lan-ja maju lagi, bentaknya, "Bocah,
kiamhoat-mu memang lihay, tapi jangan harap dapat mengalahkan
aku. Mengingat usiamu masih muda, kalau kau mau ikut aku,
tanggung hidup senang seumur hidup."
Beng Hoa ogah banyak omong, makinya, "Kentut busuk, lihat
pedang." Hanya empat patah kata terlontar dari mulutnya, tapi
sekaligus dia sudah menyerang tigapuluh enam jurus.
Hay Lan-ja gusar, bentaknya, "Keparat tidak tahu diri. Biar kau
tahu kelihayanku." Makin menyerang, kedua pihak bergerak makin
cepat, siapa pun tak mau kalah, saling merebut kesempatan.
Pertarungan makin sengit, agaknya kedua orang ini bertemu
tandingan setimpal. Beng Hoa mengutamakan permainan Bu-bengkiam-
hoat dilandasi golok kilat keluarganya. Dalam permainannya
sering juga dia selingi ilmu pedang Kong-tong-pay dan Thian-sankiam-
hoat. Makin bertempur makin bersemangat, gerakannya makin
lancar dan wajar, otak pun bekerja sehingga banyak teori yang
selama ini belum dipahami ternyata lancar dalam praktek, malah
dalam menghadapi serangan musuh sering pula dia menciptakan
jurus baru. Dalam sekejap seratus jurus telah tercapai, permainan
pedang Beng Hoa mencakup berbagai intisari ilmu pedang berbagai
perguruan yang rumit dan banyak variasinya, tiada satu jurus sama
yang pernah dilontarkan Beng Hoa. Kalau Yang Kek-beng menonton
dengan pandangan kabur, Hay Lan-ja sendiri juga sukar menjajaki
dasar permainannya. Tapi pukulan telapak tangan Hay Lan-ja yang diselingi tinju itu
pun aneh dan menakjubkan, meski serangan pedang Beng Hoa
cepat dan deras bagai hujan lebat, langkah kakinya lincah mengikuti
pat-bun dan ngo-pou, sedikit pun tak pernah gugup atau ngawur.
Perubahan maju mundur pat-bun dan ngo-pou ini mengutamakan
dengan lunak mengatasi keras, betapa hebat tinju dan telapak
tangan Hay Lan-ja, sementara kakinya bergerak dengan langkah
yang lembut gemulai, keras dan lunak dikombinasikan saling isi dan
bantu. Jikalau Iwekang dan latihan kungfunya belum mencapai taraf
tinggi, jelas hal ini tak mampu dilakukan. Seratus jurus mereka
serang menyerang, sedikit pun Beng Hoa tidak memperoleh
keuntungan. Kalau Beng Hoa kaget, Hay Lan-ja juga heran namun juga
penasaran. Melihat Beng Hoa bertemu tandingan tangguh, Sin jit-nio maju
menghampiri Yang Kek-beng dan bertanya, "Siau-yang, kungfu
temanmu ini hebat benar, siapakah dia?"
Entah tidak berani membocorkan asal-usul Hay Lan-ja atau
terpesona menonton pertarungan itu, Yang Kek-beng diam saja.
Setelah menyaksikan sebentar, Sin Jit-nio berkata, "Ilmu pukulannya
dari Tiang-pek-pay di Kwan-gwa, lwekang-nya masih lebih tinggi
dari Tiang-pek ciangbunjin yang pernah kusaksikan tigapuluh tahun
yang lalu, kelihatannya dia seorang Boanciu, benar tidak" Siauyang,
aku sudah tahu, dia adalah jago kosen nomor satu di Kwangwa
atau komandan Gi-lim-kun yang sekarang yaitu Hay Lan-ja.
Siau-yang, kau punya tulang punggung segede ini, tak heran kau
tidak jeri berhadapan dengan Kim Tiok-liu dan Tan Khu-seng."
Kungfu Sin Jit-nio belum terhitung kelas satu, namun
pengetahuannya ternyata lumayan.
Yang Kek-beng berkata perlahan, "Tak jadi soal kau tahu, jangan
banyak mulut pada orang lain."
Sin Jit-nio kurang senang, katanya, "Ah, kenapa tegang" Hm,
Hay-tayjin memang lihay, tapi belum tentu dia dapat mengalahkan
bocah itu." Lalu dia meninggikan suara, "Hay-tayjin, apa perlu kami
membantu?" "Tak usah," jawab Hay Lan-ja dingin. Karena kerepotan
menghadapi tujuh jurus serangan pedang Beng Hoa, bani beberapa
kejap kemudian dia bersuara.
Merasa tidak diperhatikan, kecut rasa Sin Jit-nio, katanya tawar,
"Baiklah, karena Hay-tayjin tidak memerlukan bantuanku, biarlah
aku yang berangkat ke Jing-hi-koan terlebih dahulu." Lalu dia jinjing
Kim Bik-ki serta menjengek dingin, "Budak busuk, kau tetap tak bisa
lolos dari tanganku bukan?"
Saking sedih Kim Bik-ki memejamkan mata, katanya menghela
napas, "Kukira aku tidak mimpi, ternyata memang bermimpi buruk."
Belum hilang suaranya, Sin Jit-nio sudah menotok hiatto-nya.
Terkejut dan gugup Beng Hoa dibuatnya, hampir saja dia terkena
pukulan telak Hay Lan-ja, pundak yang terserempet tangan orang
seperti dikelupas kulitnya. Hay Lan-ja membentak, "Bocah, coba
masih berani kau...." Sebelum dia sempat mengatakan "bertingkah",
"Sret" pedang Beng Hoa sudah menusuk miring menciptakan dua
lingkaran cahaya, pedangnya mengandung banyak perubahan,
bukan saja cepat lincah lagi, kembali di luar dugaan Hay Lan-ja,
maka terdengarlah suara robek panjang, lengan bajunya kembali
tertabas lebih besar. Maka Beng Hoa berpikir, "Adik Ki jelas sudah menjadi tawanan
mereka, sementara biar aku tenangkan diri."
Di tengah pertarungan seru itulah, dari arah Toan-hun-gay
terdengar tiga kali tepukan tangan.
"Nah, itu Tong-bing-cu datang," seru Yang Kek-beng girang.
Seluruh perhatian Hay Lan-ja dipusatkan melayani serangan
pedang Beng Hoa, maka dia tidak sempat bertepuk tangan
membalas isyarat. "Hay-tayjin," ucap Yang Kek-beng, "kau pasti dapat mengalahkan
bocah ini, Tong-bing-cu segera datang, mohon kau memberi
kesempatan supaya aku ikut membereskan bocah.ini. Bagaimana?"
Lwekang Yang Kek-beng lebih tangguh dari Beng Hoa, Siu-lo-imsat-
kang-nya juga tak perlu khawatir dapat melukai Hay Lan-ja
Hay Lan-ja juga khawatir, seorang diri dia tak mampu
mengalahkan bocah ingusan, kalau dilihat Tong-bing-cu memang
amat memalukan. Maka dia menjawab tawar, "Baiklah."
Tambah satu lawan tangguh sudah tentu Beng Hoa makin
kepayahan, posisinya terdesak di bawah angin.
Di atas Toan-hun-gay lapat-lapat terdengar suara Sin jit-nio yang
bicara dengan Tong-bing-cu, "Hah, Jit-nio, ternyata engkau. Gadis
keluarga siapa yang kau bawa itu?"
"Gadis ini lebih berharga dari Kang Siang-hun, dia puteri Kim
Tiok-liu, apakah tidak lebih berharga dari muridnya?"
Tak sempat Tong-bing-cu menanyakan kejadiannya, tanyanya,
"Jit-nio, apa kau melihat Yang Kek-beng dan seorang temannya?"
"Temanmu itu komandan Gi-lim-kun Hay Lan-ja bukan?"
"Lho, kau sudah tahu?"
"Selamat ya, kau memperoleh tulang punggung segede itu, tapi
kalau kau ingin minta bantuannya, sekarang kau harus
membantunya lebih dulu."
"Apa" Hay-tayjin dia... dia kenapa?"
"Bersama Yang Kek-beng, Hay-tayjin-mu sedang menempur
bocah she Beng, kurasa mereka berdua belum tentu dapat
mengalahkan bocah itu."
Sudah tentu Tong-bing-cu kaget dan tidak mau percaya. Meski
Beng Hoa mendapat kemajuan berlipat ganda setelah mempelajari
kiamhoat peninggalan Thio Tan-hong, Hay Lan-ja takkan gampang
dikalahkan. Saat itu tiga kali tepukan tangan Yang Kek-beng sudah terdengar
dari bawah, Tong-bing-cu pasang telinga, memang di bawah
terdengar suara pertempuran. Dengan rasa was-was cepat dia lari
turun gunung. Saat mana Beng Hoa sudah terdesak di bawah angin, beberapa
kali jiwanya terancam, namun dalam waktu singkat Hay Lan-ja tetap
tak mampu merobohkan dia.
Setelah mendengar tiga kali tepukan tangan, Beng Hoa tahu
Tong-bing-cu sebentar akan datang, terpaksa dia harus berani
bertindak melihat gelagat, situasi tidak menguntungkan lebih baik
mengundurkan diri dulu, cari upaya pada lain kesempatan.
Memang, dia bukan tandingan Hay Lan-ja dan Yang Kek-beng,
tapi untuk meloloskan diri masih cukup berlebihan. Dengan jurus
Ce-han-hu-jay dia maju menyerang untuk mundur, itulah Thian-sankiam-
hoat untuk mengalahkan musuh di saat dirinya terdesak,
belum lama berselang berhasil dia pelajari dari Teng King-thian.
Sekali putar gagang pedang, batang pedangnya lantas bergetar
menerbitkan sinar dingin laksana taburan bintang-bintang di langit,


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berhamburan ke empat penjuru.
Kelihatannya Beng Hoa sudah kehabisan tenaga, Yang Kek-beng
tak menduga bocah ini masih mampu balas menyerang dengan
serangan sehebat ini. Karena pernah ke-cundang oleh Beng Hoa,
hatinya sudah jeri, lekas dia melompat mundur menyelamatkan diri.
Terdengar Hay Lan-ja bersuara heran, dia tahu serangan Beng Hoa
hanya gertakan. Setelah bersuara heran dia hanya menggerakkan
sepasang tangannya; di bawah landasan tenaga dalamnya, taburan
sinar bintang yang berhamburan itu telah disampuknya, tujuannya
untuk menyelamatkan jiwa sendiri. Cepat sekali Beng Hoa sudah
menerobos keluar, ginkang-nya lebih tinggi dari Hay Lan-ja, dalam
sekejap jejaknya telah lenyap.
Khawatir dirinya belum juga mengalahkan Beng Hoa dan dilihat
oleh Tong-bing-cu, dirinya tentu malu meski orang mungkin tak
berani menertawakan dirinya secara langsung. Syukur Beng Hoa
sudah melarikan diri, kebetulan malah, maka dia bergelak tawa,
serunya, "Lawan sudah tari, tak usah dikejar." Suaranya lantang
sengaja biar didengar oleh Tong-bing-cu. Betul juga tak lama
kemudian Tong-bing-cu sudah muncul. Tapi di luar dugaan Hay Lanja,
Beng Hoa tidak lari jauh, dia hanya menyingkir agak jauh lalu
bersembunyi lagi. Mendekam di tanah, Beng Hoa mencuri dengar Tong-bing-cu
sedang bertanya, "Siapakah bangsat cilik itu, besar nyalinya."
"Siapa lagi, Beng Hoa murid Tan Khu-seng itu," sahut Yang Kekbeng.
Tong-bing-cu pura-pura kaget, serunya, "Gurunya belum datang,
bangsat ini berani datang lebih dulu. Tak nyana berani menyergap
Hay-tayjin lagi." "Bangsat cilik itu tak boleh dipandang ringan, kiamhoat-nya
cukup lihay, tapi...."
"Kepandaian bangsat itu memang lihay tapi tetap bukan
tandingan Hay-tayjin," demikian Yang Kek-beng mengumpak.
Hay Lan-ja tersenyum, katanya, "Sebetulnya bisa aku bekuk
bangsat itu, tapi toheng sudah datang. Aku tidak ingin
menggagalkan urusan besar kita, terpaksa kubiarkan dia sementara
ini. Yakin dia takkan lolos dari kelihayan toheng." Beberapa patah
kata saja, tugas meringkus Beng Hoa secara langsung dia alihkan ke
pundak Tong-bing-cu. "Betul, kalau bangsat itu tidak ditangkap kelak akan menjadi bibit
bencana kita," Yang Kek-beng memberi dukungan pada usul Hay
Lan-ja. "Besok pagi akan kukerahkan murid kami untuk mencari
jejaknya. Yang-heng teman-teman yang kau undang, apakah besok
bisa tiba?" "Sebagian besar di antaranya pasti sudah datang. Ya, kita bisa
bekerja sama menggerebek bocah itu, dengan tenaga sebanyak itu
pasti dapat membekuknya. Semoga malam ini dia tidak melarikan
diri." "Gurunya belum datang, kuduga dia tidak akan turun gunung,"
demikian ucap Tong-bing-cu. "Tapi malam ini tidak leluasa
mengerahkan banyak orang."
"Ya, jangan mengejutkan orang banyak. Kedatanganku ini tidak
ingin diketahui orang, marilah kita kembali ke Jing-hi-koan dulu,
urusan besar kita harus lekas dibicarakan. Bangsat itu tentu sudah
pecah nyalinya, mana berani mengganggu lagi. Eh, apakah
kedatanganku tidak diketahui orang lain?" demikian tanya Hay Lanja.
Tong-bing-cu menjawab, "Hay-tayjin sudah berpesan supaya
merahasiakan hal ini, terhadap muridku sendiri juga tidak kuberi
tahu." "Bagus sekali. Tapi ada satu hal perlu kutekankan kepadamu.
Mulai sekarang jangan kau memanggilku Hay-tayjin. Aku adalah
kacung sera-butan sementara, untuk membantu kesibukan di dapur
kalian." "Jangan khawatir, aku mengerti," sambil bicara Tong-bing-cu
menunjukkan jalan. Percakapan selanjutnya Beng Hoa sudah tidak
bisa menangkapnya Waktu Beng Hoa mengangkat kepalanya rembulan tepat
bergantung di tengah angkasa ternyata sudah tengah malam.
Kekasihnya hilang, musuhnya telah pergi. Malam sunyi tenang tapi
perasaan Beng Hoa justru gundah dan ruwet.
Kejadian malam ini di luar dugaan sehingga seluruh rencananya
semula menjadi batal. Bukan saja jejaknya diketahui musuh, karena
dia sudah tahu rahasia hubungan Tong-bing-cu dengan Hay Lan-ja,
mereka pasti akan membunuh dirinya. Itu berarti dia takkan bisa
menemui ciangbunjin Kong-tong-pay sebagai wakil Thian-san-pay.
Beberapa jam lagi hari sudah akan terang tanah, besok lawan
akan mengerahkan banyak orang mencari dirinya. Apakah dia
mampu menyembunyikan diri"
"Semoga besok pagi sam-suhu dan Kim tayhiap bisa tiba dan aku
bisa bertemu. Tapi pertemuan besar itu masih ada dua hari, tak
mungkin besok mereka datang. Celakanya begitu aku muncul,
musuh segera mengepung diriku, apakah mereka mau memberi
kesempatan kepadaku untuk bertemu dengan Kim tayhiap dan
suhu" Lalu bagaimana baiknya?"
Angin pegunungan yang dingin menjernihkan pikiran Beng Hoa.
Lalu dengan cermat dia menyelusuri percakapan Tong-bing-cu
dengan Hay Lan-ja dan Yang Kek-beng. Mendadak dia mendapat
akal, akal yang berani dan menyerempet bahaya
"Mereka mengira aku tidak berani mengganggu mereka, aku
justru bertindak di luar dugaan mereka Sebelum mereka mencari
aku, malam ini aku justru datang ke tempat mereka. Asal aku
bertindak dengan cermat, berani dan tabah, bukan mustahil aku
bisa mencari kesempatan menolong adik Ki. Kalau adik Ki tertolong,
Kim tayhiap takkan diperas mereka"
Siang tadi dia sudah menyelidiki di mana letak Jing-hi-koan,
maka dia naik ke Toan-hun-gay, kira-kira menjelang kentongan
keempat dia sudah sampai di Jing-hi-koan. Tapi bangunan Jing-hikoan
amat besar, kamarnya ada ratusan, entah Tong-bing-cu
tinggal di sudut atau di kamar mana"
Sebelum dia bertindak, mendadak di belakang rumah sana
seperti ada dua orang tengah bicara di antara pepohonan cemara.
Beng Hoa mengembangkan ginkang-nya dan merunduk ke sana
Sejenak dia mendengarkan, diam-diam hatinya bersorak girang.
Satu di antaranya dia kenal suaranya yaitu murid Tong-bing-cu yang
bernama Tay-ciok Tojin, dari percakapan mereka dia tahu seorang
lagi adalah sute-nya Sute Tay-ciok Tojin sedang mengomel, "Suhu terlalu banyak
curiga. Larut malam begini mana ada mata-mata berani
menyelundup ke Jing-hi-koan kita" Selama ini belum pernah
diadakan jaga malam, malam ini justru kita harus menghirup malam
dingin." Selanjutnya mereka bicara tentang tamu-tamu yang datang
secara misterius dan disambut guru mereka secara ramah dan
hormat. Sin Jit-nio menyekap diri dalam kamar bersama gadis
tawanan entah di kamar mana
Beng Hoa agak kecewa mendengar percakapan mereka, semula
dia bermaksud untuk membekuk Tay-ciok Tojin dan memaksanya
menunjukkan tempat Kim Bik-ki dikurung, agaknya perhitungannya
meleset. "Satu hal aku merasa heran," ucap sute Tay-ciok Tojin. "Suhu
menyuruh aku mencari sepuluh perangkat pakaian para kacung di
dapur kita, kau tahu untuk apa pakaian itu?"
"Aku tahu. Untuk dipilih supaya ada yang cocok untuk perawakan
tamu kita itu." "Kau bilang tamu itu punya kedudukan terhormat, kenapa mau
menyamar menjadi kacung dapur?"
"Kenapa aku tidak tahu. Suhu hanya berpesan besok menyuruh
aku membawanya menghadap koki dan berpesan kepada koki,
supaya memberi kebebasan kerja apa saja yang ingin dia lakukan,
tidak boleh mencampuri urusannya."
"Kau tidak dengar persoalan apa yang dibicarakan suhu dengan
dia?" "Waktu itu mereka sudah selesai bicara, dengan sikap hormat
dan membungkuk-bungkuk suhu sedang persilakan tamu itu
beristirahat." Sampai di sini mendadak Beng Hoa mendapat akal lain, dia
melompat keluar. Sekali tuding dia totok hiatto sute Tay-ciok Tojin,
sebelum Tay-ciok sempat menjerit, kuduknya sudah dicengkeram
Beng Hoa. Tangan Beng Hoa yang lain mengancam Tay-cui-hiat di
punggungnya, katanya lirih di pinggir telinganya, "Patuhi perintahku
dan lakukan, awas jiwamu."
Tay-cui-hiat adalah salah satu hiatto besar yang mematikan. Tayciok
Tojin tahu jiwanya terancam, lekas dia meratap, "Hohan (orang
gagah) ada pesan apa?"
"Bawa aku menemui gurumu." "Itu mudah, tapi...." "Tapi apa?"
"Coba jelaskan, sebelum bertemu dengan guruku, kalau ada
orang bertanya bagaimana aku harus memberi jawaban."
"Bukankah kau bilang gurumu hanya mengutus kalian berdua
jaga malam" Apalagi kau murid tertua" Kecuali gurumu, tamu yang
kau bawa masuk siapa berani tanya?"
"Sekarang ada orang luar dalam biara besar kami, umpama
kepergok mereka dan terjadi sesuatu yang di luar dugaan, jangan
kau limpahkan kesalahan kepadaku lho." Bukan dia khawatir Beng
Hoa membunuh gurunya, tapi dia takut kalau Beng Hoa membunuh
dia malah. Dia mengira Beng Hoa bukan tandingan gurunya, di luar
tahunya tiga tahun yang lalu Tong-bing-cu sudah pernah dikalahkan
oleh Beng Hoa. "Baiklah, kalau terjadi sesuatu aku yang akan menghadapi, kau
tak perlu khawatir. Asal kau patuh akan perintahku, aku tidak akan
membunuhmu." Lalu dia lepaskan Tay-ciok Tojin lalu melepaskan
pakaian sute-nya. Setelah mengenakan jubah orang, Beng Hoa menurunkan
capingnya hingga menutupi mukanya, lalu dia bebaskan hiatto Tayciok
Tojin, katanya, "Jangan berusaha lari, aku menutup hiatto yang
tersembunyi. Boleh kau coba mengerahkan tenaga coba
membebaskan totokanku. Gurumu pun takkan mampu
membebaskan. Kalau kau ngotot berusaha membebaskan
totokanku, dalam tiga hari urat nadimu akan pecah dan jiwa
melayang- Jangan kau kira aku menggertakmu."
Tay-ciok coba mengerahkan hawa murni, seketika perutnya
kesakitan seperti diiris-iris, karuan tersi-rap darahnya.
"Baiklah, hayo jalan, kau tahu keadaan di sini, lewatlah jalan
yang tak mungkin dilihat orang. Asal kau tak mengerahkan tenaga
menjebol totokan, ginkang-mu masih bisa kau kembangkan. Begitu
bertemu dengan gurumu, segera kubebaskan totokan yang
tersembunyi itu." Karena dia menyamar menjadi sute Tay-ciok Tojin,
berjalan bersama sang suheng dengan leluasa mereka masuk ke
dalam biara. Malam gelap orang sukar melihat wajahnya, meski "
kepergok beberapa murid Kong-tong-pay yang bertugas malam,
ternyata mereka tiada yang curiga.
Tujuan Beng Hoa adalah menggunakan cara yang sama
membekuk Tong-bing-cu sebagai sandera. Maklum tiga tahun yang
lalu Tong-bing-cu sudah bukan tandingannya, selama tiga tahun ini
dia yakin kemajuannya jauh di atas Tong-bing-cu. Dengan gerak
kilat dia yakin dapat membekuk Tong-bing-cu. Dalam Jing-hi-koan
yang dikhawatirkan hanya Hay Lan-ja seorang, tapi dia
memperkirakan orang sudah masuk kamar beristirahat.
Tay-ciok Tojin membawanya berputar-putar, makin lama makin
dalam, saat itu mereka berjalan ke arah timur, mendadak Beng Hoa
menangkap pembicaraan orang di arah barat. Bila dia perhatikan
suaranya seperti Tong-bing-cu. Tapi jaraknya jauh, terpaut
beberapa bangunan rumah lagi hingga percakapan mereka kurang
jelas. Seorang lagi juga bicara, setelah didengarnya Beng Hoa kenal itu
suara Sin Jit-nio, karena suaranya lebih keras, kedengarannya
sedang membicarakan Kim Bik-ki.
Pendengaran Tay-ciok Tojin tidak setajam Beng Hoa, dia masih
terus beranjak ke timur, mendadak Beng Hoa meraihnya dan
berbisik di pinggir telinganya, "Gurumu ada di sebelah barat."
Tay-ciok Tojin melenggong, katanya, "Ah, tak mungkin" Kamar
tidur guruku ada di sebelah timur, setelah melewati dua pekarangan
lagi akan sampai." "Jangan sampai kau menipuku," ucap Beng Hoa dingin. "Aku
sudah mendengar suaranya."
"Aku masih ingin hidup, mana berani menipumu. Kau bilang dia
di barat, boleh kita ke;sana. Mungkin dia punya urusan dan sedang
bicara dengan tamu."
Setelah beberapa jauh mereka menuju ke arah barat, percakapan
Tong-bing-cu dengan Sin Jit-nio makin jelas, kini Tay-ciok Tojin juga
sudah mendengar. Tong-bing-cu sedang berkata,
"Bukan aku takut kepada Kim Tiok-liu, tapi kau harus tahu, kalau
tidak terpaksa ciangbun suheng-ku tidak mau bermusuhan dengan
dia. Maka puterinya harus kita layani secara baik, jangan
menyiksanya." "Oh, maksudmu akan menyerahkan budak itu kepada suhengmu?"
"Bukan begitu, walau tahu akan hal ini, suheng tidak mau turut
campur. Tapi dia pernah berpesan kepadaku, maka tidak enak aku
mengingkari pesannya. Tolong kau berikan obat penawarnya
kepadaku, biaraku sendiri yang mengawasinya."
"Kau tuan rumah, boleh saja kalau kau mau mengawasinya.
Kenapa kau minta obat penawar?"
Tong-bing-cu tertawa, katanya, "Umpama kungfunya pulih juga
dia takkan lolos dari tanganku. Kita hanya menyandera dia, buat
apa harus membuatnya menderita. Kalau kita menawannya secara
wajar dan baik, bila kelak terjadi sesuatu yang tidak
menguntungkan kita, kita masih punya muka untuk berhadapan
dengan Kim Tiok-liu."
Sin Jit-nio geram, katanya, "Yang terang kau takut kepada Kim
Tiok-liu. Bila perlu kau bisa menjadi orang baik, perbuatan kotor dan
jahat kau limpahkan padaku."
Tong-bing-cu berkata, "Jangan salah paham, langkahku ini untuk
menjaga segala kemungkinan. Kan kita sudah sepakat maju mundur
bersama. Jikalau kau masih khawatir, biar aku bersumpah kepada
Yang Maha Kuasa, jikalau Sin Jit-nio tertimpa malang, biar Tongbing-
cu mendapat ganjaran yang lebih."
Sementara itu Beng Hoa sudah menggusur Tay-ciok memasuki
pekarangan. Tay-ciok Tojin juga mendengar apa yang diucapkan
Tong-bing-cu. Tergerak hati Tay-ciok Tojin, pikirnya, "Kenapa suara suhu
berbeda?" Karena curiga dia membatin, "Waktu bersumpah kenapa
suhu tidak menyebut 'aku*, tapi menggunakan gelarnya"
Mungkinkah ada orang menyamar menjadi suhu, dia bilang Tongbing-
cu mendapat ganjaran setimpal, berarti tiada sangkut paut
dengan dirinya." Didengarnya Sin Jit-nio sedang berkata, "Jangan serius, kau tuan
rumah, bagaimana kau ingin mengurus budak itu terserah saja, kau
ingin obat penawarnya, ini...."
"Sin Jit-nio," ucap Tong-bing-cu tertawa, "masa kau tidak
percaya kepadaku?" Mendengar Tong-bing-cu bersikap sopan terhadap tawanannya,


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kesan Beng Hoa terhadapnya agak berubah, maka dia bertekad
melaksanakan' rencana semula. Setelah membebaskan totokan Tayciok
Tojin, dia berkata perlahan, "Tiada urusanmu lagi, enyahlah
kau." Tay-ciok Tojin menjadi bimbang, khawatir guru palsu berhasil
menipu obat penawar, maka dia berlari seraya berteriak, "Suhu,
lekas kemari." Sementara itu Sin Jit-nio baru mengeluarkan obatnya dan belum
diserahkan kepada Tong-bing-cu. Mendengar teriakan Tay-ciok
Tojin, segera dia batal memberikan obatnya.
Beng Hoa memang kurang pengalaman, tidak menyadari bahwa
Tong-bing-cu yang ada di rumah ini adalah samaran orang, dalam
sedetik itu dia tidak memikirkan kenapa Tay-ciok Tojin memanggil
gurunya. Sebat sekali laksana panah terlepas dari busur dia
meluncur ke dalam rumah turun di depan Tong-bing-cu, dengan
serangan kilat dia menusuk Tong-bing-cu.
Setelah menyimpan obat penawarnya, Sin Jit-nio juga melompat
ke pinggir. Sementara pedang Beng Hoa sudah mengancam hiatto
pelemas di bawah iga Tong-bing-cu.
"Cret" pakaian Tong-bing-cu berlubang, namun tusukan kilat
Beng Hoa yang lihay ternyata tidak menusuk hiatto-nya. Sekali
berkelebat, sebat sekali orang berhasil mengelak. Karuan Beng Hoa
heran, kenapa ginkang Tong-bing-cu mendadak setinggi ini"
Sepertinya dia sudah kenal gerakan ginkang tinggi ini, namun sukar
diingatnya lagi. Gerak-gerik orang ini memang luar biasa, di bawah rangsakan
pedang kilat Beng Hoa ternyata dia masih bergerak bebas, malah
Sin Jit-nio yang menonton dari samping sudah yakin pedang Beng
Hoa beberapa kali sudah menusuk tubuhnya, tapi dia tidak luka,
hanya bayangannya tak lepas dari lingkaran pedang Beng Hoa.
"Ya, orang ini bukan Tong-bing-cu," akhirnya Beng Hoa sadar
dan ingat akan satu orang. Baru saja dia mau menghentikan
serangan, pada saat itulah didengarnya seseorang membentak,
"Siapa bernyali besar berani menyamar diriku?" Maka melompatlah
seseorang yang berwajah mirip Tong-bing-cu, ternyata Tong-bingcu
yang asli datang. Saat itu Tong-bing-cu palsu juga baru mengenali Beng Hoa,
sebelum Tong-bing-cu menubruk tiba, serangan Beng Hoa juga
mendadak berhenti, maka lekas dia berteriak, "He, kau adalah Beng
Hoa, lekas-lekas lari."
Begitu orang ini buka suara, Beng Hoa lantas tahu siapa dia.
Ternyata maling sakti nomor satu sejagat Kwi-hwe-thio yang pernah
beberapa kali membantu dirinya.
Bukan saja Kwj-hwe-thio terkenal sebagai maling sakti nomor
satu sejagat, kepandaian tata riasnya hanya dapat ditandingi oleh
teman baiknya, Li-ma-cu, si maling nomor dua di kolong langit.
Begitu menyadari penyamarannya, sungguh kaget, girang, tapi juga
menyesal Beng Hoa, kenapa bekerja kurang teliti;
bukan saja rencananya gagal, usaha Kwi-hwe-thio menipu obat
penawar juga gagal. Kwi-hwe-thio tidak sempat bicara, setelah
menyuruh Beng Hoa lekas lari, dia pun melompat tinggi ke luar
pekarangan. Sin Jit-nio menyambut dengan tiga amgi beracun, tapi
mana mampu mengenainya" .
Pada saat itulah seseorang mendadak membentak, "Hayo turun!"
B.elum datang orangnya, Bik-khong-ciang sudah melanda Kwi-hwethio.
Tapi Kwi-hwe-thio bukan jatuh ke dalam tapi terjungkal ke luar
tembok. Begitu jatuh segera dia merangkak bangun dan berlari.
Yang memukul dengan Bik-khong-ciang adalah Hay. Lan-ja
Ternyata pendengaran Kwi-hwe-thio lebih tajam, sebelum Beng Hoa
tahu, dia sudah mendengar langkah Hay Lan-ja yang lari
mendatangi, maka dia menyuruh Beng Hoa lekas lari. Dia tahu
ginkang Beng Hoa bukan tandingannya, tapi masih lebih tinggi dari
Hay Lan-ja Dia mengira Beng Hoa akan ikut dia lari, maka dia tidak
khawatir Beng Hoa tidak akan lolos. Tiada tempo dia menunggu
Beng Hoa karena dia harus mengerjakan tugas lain yang lebih
penting. Rencana Beng Hoa hendak membekuk Tong-bing-cu sebagai
sandera, melihat Tong-bing-cu muncul, kesempatan tidak disiasiakan.
Di saat Hay Lan-ja memukul Kwihwe-thio, saat itu pula dia
cecar Tong-bing-cu dengan pedang kilat.
Tong-bing-cu sudah mendengar suara Hay Lan-ja, maka dia tidak
gentar, bentaknya, "Bocah keparat, kiranya kau!"
"Trang" pedang beradu, Tong-bing-cu hampir tak kuat
memegang pedangnya. Namun Tong-bing-cu mengubah gerakan
dengan sebat, membungkukkan tubuh dengan gaya Hu-te-jam-hou
(Mendekam di tanah membabat harimau). Gerakannya cukup
tangkas, tapi Beng Hoa lebih cepat. Sebelum ujung pedangnya
menyentuh tumit Beng Hoa, terasa pundaknya dingin, ternyata
pakaiannya sudah berlubang oleh ujung pedang Beng Hoa yang
mengancam Jian-kin-hiat-nya. Takut tulang pundaknya tertusuk,
lekas dia menarik pundak menurunkan rubuh, berbareng dengan
jurus Ki-hwe-liau-thian pedangnya menyampuk ke atas seraya balik
menusuk lambung Beng Hoa. Jurus ini sebetulnya cukup lihay,
mengancam jiwa lawan sebelum melukai dirinya, sayang
gerakannya lebih lambat, terdengar "Trang" kali ini pedang panjang
Tong-bing-cu mencelat terbang, pundaknya juga tergores luka
untung tidak melukai tulang pundaknya.
Dalam tiga gebrak Beng Hoa memang berhasil memukul jatuh
pedang Tong-bing-cu dan melukainya, tapi belum berhasil
membekuknya sebagai sandera. Maklum Tong-bing-cu adalah jago
pedang nomor satu dari Kong-tong-pay, jikalau Beng Hoa
menyergapnya di saat dia tidak siaga mungkin bisa berhasil dalam
segebrak. Kini tiga jurus baru ' memukul jatuh senjatanya,
sementara bantuan musuh sudah tiba.
Tahu dirinya tak mampu mengejar Kwi-hwe-thio, segera Hay
Lan-ja memburu ke dalam. Sebelum tiba dia lontarkan Bik-khongciang,
hingga tusukan pedang Beng Hoa ke arah Tong-bing-cu
dipukulnya miring. Dengan jungkir balik menggunakan gerakan Burung Bangau
Terbang ke Langit, Beng Hoa melompat tinggi melampaui tembok.
Sin Jit-nio bersembunyi di sudut tembok, melihat orang melayang ke
atas tembok dia kaget dan mendekam, namun tak lupa dia
menyambitkan sebuah cincin.
Beng Hoa tak sempat menghiraukan perempuan beracun ini, di
tengah udara dia memutar pedang, "Trang" cincin itu dipukulnya
jatuh menjadi dua. "Bocah, mau lari ya?" bentak Hay Lan-ja. Sigap sekali dia pun
melompat ke atas tembok, lalu melontarkan Bik-khong-ciang ke
arah muka Beng Hoa. Lwekang Beng Hoa memang tidak setangguh Hay Lan-ja, tapi
dipukul jarak jauh pantasnya takkan tergetar jatuh, tapi entah
kenapa, begitu kaki menyentuh tembok, sebelum Beng Hoa
melompat, mendadak dadanya sesak, tahu-tahu dia terjungkal oleh
pukulan orang. Sebelum menyentuh tanah, pedang panjang Beng Hoa membalik
menusuk tembok sehingga tubuhnya mencelat balik ke atas. "Sret"
tusukannya menyongsong Hay Lan-ja yang menubruk turun.
Beng Hoa mengertak gigi, dengan jurus Ban-li-hwi-siang (Salju
beterbangan laksaan li) menyusul dengan jurus Jian-san-lok-bok
(Balok jatuh di ribuan gunung) hanya sekejap tampak pekarangan
seperti dipenuhi kilauan sinar pedang. Sebatang pedang di
tangannya seperti berubah menjadi ratusan batang, lapisan sinar
pedang menusuk dengan gencar dari berbagai arah kepada Hay
Lan-ja. Hay Lan-ja menyaksikan lawan telah terpukul jatuh oleh
pukulannya, tak nyana kiamhoat-nya masih begini lihay, mau tidak
mau terkejut hatinya, sepenuh perhatian dia hadapi rangsakan Beng
Hoa. Beng Hoa melancarkan ilmu pedang adu jiwa, sekaligus tigapuluh
enam jurus serangannya tidak membawa hasil, mendadak dia
merasa tenaganya tidak mampu dikerahkan sesuai keinginan,
karuan dia kaget juga heran, "Kenapa aku jadi begini tak becus?"
Setelah ganti napas, baru Sin Jit-nio berteriak, "Hay-tayjin, tak
perlu kau adu jiwa dengan bocah itu, cukup kau melibatnya saja, dia
tidak akan bisa lari."
Ternyata cincin sambitan Sin Jit-nio tadi kosong bagian
tengahnya, di dalamnya ada tersimpan bubuk racun yang amat
lihay. Karena Beng Hoa menabas kutung cincin itu hingga bubuk di
dalamnya berhamburan, tanpa sadar dia sudah menghirup bubuk
racun itu. Baru sekarang Beng Hoa sadar telah kecundang oleh kelicikan
musuh. Pikirnya, "Tak mampu lari juga aku pantang jatuh di tangan
musuh" Baru saja dia membalikkan pedang hendak menggorok
leher sendiri, mendadak pandangannya menjadi gelap, "Trang"
goloknya terpukul jatuh oleh Hay Lan-ja, orangnya pun jatuh
pingsan. Entah berselang beberapa lamanya, baru Beng Hoa siuman.
Semula kepala masih pusing tujuh keliling, sesaat lamanya baru dia
ingat kejadian yang menimpa dirinya, dia insyaf bahwa dirinya
sudah tertawan musuh. Dia coba bergerak, ternyata badannya tak
bertenaga. Setelah pikirannya lebih jemih, Beng Hoa baru tahu dirinya
disekap dalam sebuah kamar gelap, di luar seperti ada orang bicara.
Memang dia rebah di tanah, walau kungfunya punah tapi
kepandaian mendekam di tanah mendengarkan suara masih mampu
dilakukan, dengan seksama dia mendengar sebuah suara serak
berkata, ''Tidak boleh."
Menyusul suara Tong-bing-cu berkata, "Suheng, kau masih
mempertahankan jiwa bocah itu?"
"Betul," sahut suara serak tua itu, "kejadian ini harus dibereskan
secara baik, kularang kau membunuh bocah she Beng itu."
Beng Hoa tahu yang berdebat dengan Tong-bing-cu adalah
ciangbunjin Kong-tong-pay yaitu Tong-cin-cu. Tong-bing-cu
bertekad membunuhnya, tapi Tong-cin-cu melarangnya. Timbul
sepercik harapan dalam diri Beng Hoa.
Didengarnya nada Tong-bing-cu berubah dingin, "Suheng,
tahukah kau siapa bocah she Beng itu" Dialah murid Tan Khu-seng.
Kali ini kita mengadakan pertemuan besar dengan tujuan mencuci
bersih nama baik perguruan, membabat rumput kalau tidak seakarakarnya,
kelak mendatangkan bencana."
"Aku tahu," ujar Tong-cin-cu. "Tapi apa kau tahu kedatangannya
sekarang sebagai apa?" "Sebagai apa?"
"Sekarang belum bisa kupastikan, tapi kalau kotak sutera ini di
tangannya, perlu aku tanya dulu kepadanya."
Setelah Beng Hoa tertawan, Tong-bing-cu menggeledah
badannya dan menemukan kotak sutera milik suheng-nya yang
dikirim kepada Teng King-thian. Setelah tahu isi kotak itu hatinya
amat kaget. meski ciangbun suheng-nya membela dirinya.
Urusan tidak boleh gegabah, meski tujuannya hendak merebut
jabatan ciangbun dari tangan sang suheng. Maka lahirnya dia tetap
bersikap patuh dan hormat kepadanya. Setelah hal ini dia laporkan
kepada sang suheng, bila berhasil membujuknya baru membunuh
Beng Hoa. Di luar dugaannya, suheng-nya menentang langkahnya.
"Suheng, kotak ini kau titipkan kepada Teng Ka-gwan untuk
diserahkan kepada ayahnya, bukan?"
"Ya, kenapa?" "Kepandaian Beng Hoa bocah itu lebih lihay dari Tan Khu-seng,
namun dengan bekal kepandaiannya untuk merebut kotak ini dari
tangan Teng King-thian tidak mungkin, tapi kalau merebut dari
tangan Teng Ka-gwan mungkin masih mampu. Aku tidak percaya
persoalan besar yang begini rahasia, Teng King-thian mau
menyerahkan kepada bocah ini."
"Apa pun harus ditanyakan dulu. Coba kau masuk dan periksa
apakah dia sudah siuman?"
"Bocah itu menghirup Bit-hun-hiang Sin Jit-nio, malah dicekoki
Hap-kut-san lagi. Paling cepat besok baru dia sadar."
Beng Hoa sadar, keadaannya seperti Kim Bik-ki, di samping
menghirup Bit-hun-hiang dia juga dicekoki Hap-kut-san, tapi karena
dia memiliki ajaran lwekang Thio Tan-hong dan ajaran Persia dalam
tiga jam dia sudah sadar.
"Apa kau tidak bisa minta obat penawarnya kepada Sin Jit-nio?"
desak Tong-cin-cu. "Suheng," desis Tong-bing-cu dingin, "bukan kau tidak tahu
watak Sin Jit-nio, aku tak mau ketemu batu. Semalam ada orang
menyaru diriku hendak menipu obat penawarnya, maka dia tidak
mau memberikan obatnya kepada siapa pun."
"Obat penawar Hap-kut-san boleh tidak usah, apakah penawar
Bit-hun-hiang juga tidak boleh kau minta?"
"Aku yakin dia tidak mau memberi. Suheng, boleh kau
mencobanya sendiri."
Tong-cin-cu agak marah, katanya, "Baiklah, pertemuan besar
akan dibuka besok siang, besok pagi yakin dia sudah sadar, masih
ada waktu aku bertanya kepadanya, kau serahkan dia kepadaku."
"Kau hendak membawanya, memangnya kau tidak percaya
kepadaku?" "Bukan tidak percaya, aku hanya ingin lekas tahu duduk
persoalannya, begitu dia sadar aku akan segera tanya. Bila dia di
tempatku, aku tak usah pergi datang. Kau tidak mau menyerahkan
padaku, memangnya kau tidak percaya kepadaku?"
Didesak oleh ciangbun suheng, Tong-bing-cu tak bisa menolak
lagi, katanya, "Suheng, setelah kau tahu duduk perkaranya, apa
tindakanmu?" "Kalau dia bukan utusan Teng King-thian kuserahkan kepadamu,
boleh kau membunuhnya."
"Kalau betul dia utusan Teng king-thian?"
"Aku punya cara untuk menyelesaikan urusan ini, pendek kata
aku tidak akan membebaskan dia secepatnya hingga dia
mempersulit dirimu, jangan khawatir."
Tong-bing-cu masih ingin bicara, Tong-cin-cu segera mendahului,
"Puteri Kim Tiok-liu aku serahkan kepada kalian, bocah she Beng ini
harus kau serahkan kepadaku."
Diam-diam Tong-bing-cu kaget, "Kukira dia tidak tahu, entah
siapa memberi tahu kepadanya, aku harus memeriksa secara teliti,"
demikian batinnya. Beng Hoa pura-pura tidur pulas, pemapasan sengaja dia bikin
lemah. Terdengar langkah kaki mendekati dirinya, Tong-cin-cu
meraba pemapasannya serta memegang tangan mengguncang
tubuhnya, terasa oleh Beng Hoa pergel angan tangannya linu dan
gatal. Untung hawa murni dalam tubuhnya masih terus bekerja,
maka dia masih kuat bertahan tidak sampai mengeluarkan suara.
"Racun Sin Jit-nio memang li-hay, dia belum siuman. Aku
khawatir dia keracunan terlalu berat, duabelas jam juga belum tentu
siuman. "Aku sudah menyerahkan dia kepadamu, mati hidupnya menjadi
tanggungjawabmu. Suheng, bagaimana kau akan membawanya"
Kuharap kejadian ini tidak diketahui banyak orang."
"Ya, suruhlah Tay-ciok kemari," ucap Tong-cin-cu. Setelah Tayciok
masuk, dia berkata pula, "Sute, pinjam kopor pakaianmu ini.
Kopor sebesar ini tentu cukup untuk muat satu orang."
Tong-bing-cu mengeluarkan pakaiannya, Tay-ciok menggotong


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Beng Hoa dan memasukkannya ke dalam kopor. Tay-ciok Tojin
memanggul kopor ini ke kamar sang supek.
Dalam kopor gelap pekat, Beng Hoa tak dapat melihat apa-apa,
namun terasa perjalanan cukup jauh, belak-belok lagi, akhirnya Tayciok
Tojin menurunkan kopor itu. Lalu katanya, "Supek masih ada
pesan apa?" "Tidak ada urusanmu di sini, kembalilah. Kejadian hari ini jangan
kau katakan kepada yang lain."
"Tecu mengerti," sahut Tay-ciok Tojin. Lalu dia mohon diri.
Beng Hoa mendengar suara pintu ditutup perlahan. Di saat dia
berpikir bagaimana nanti harus bicara dengan Tong-cin-cu, apakah
sekarang masih perlu pura-pura pingsan" Tiba-tiba Tong-cin-cu
membuka tutup kopor dan berkata, "Jangan pura-pura lagi,
keluarlah." Tong-cin-cu memang bukan tan-dingan Tong-bing-cu, tapi
latihan lwekang-nya jauh lebih tinggi dari sang sute. Waktu
memegang tangan Beng Hoa dan mengguncang badannya tadi, ibu
jarinya tepat menekan urat nadinya, berarti memeriksa denyut
nadinya. Saat itu juga dia sudah tahu kalau Beng Hoa hanya purapura
pulas. Cuma yang belum berani dia pastikan ialah apakah
kungfunya sudah pulih atau belum"
"Harap tay-susiok periksa adanya. Tecu memang sudah sadar
setengah jam tapi tenaga untuk merangkak masih belum ada."
Maka Tong-cin-cu mencengkeram pundaknya lalu menjinjingnya
keluar. Didapatinya kungfu Beng Hoa memang lumpuh, tenaganya
juga lemah mirip orang yang baru sakit lama. Legalah hatinya,
katanya, "Kau sudah siuman setengah jam, berarti kau sudah
mendengar percakapanku dengan sute?"
"Mohon ampun tay-susiok, tecu mencuri dengar tidak sengaja."
Tong-cin-cu menarik muka, katanya, "Gurumu sudah diusir dari
perguruan, kau juga pernah melukai Tong-bing-cu sute. Mana
berani aku menerima panggilan tay-susiok?"
"Tecu dipaksa turun tangan kepada Tong-bing-cu." Karena mem-
. benci Tong-bing-cu, maka dia menyebut langsung namanya.
Karuan Tong-cin-cu lebih kurang senang. "Kepandaianmu
memang lebih tinggi dari semua orang-orang Kong-tong-pay, tak
perlu kau basa-basi lagi. Marilah kita bicara terus terang saja.
Setelah kau mendengar percakapanku tadi, tentu kau tahu soal apa
yang ingin kutanyakan kepadamu. Jawablah."
Beng Hoa tidak mau banyak bicara, karena dirinya tidak dihargai
maka dia tidak mau balas menghargai, maka dia mengubah sikap,
"Dugaan kau orang tua memang betul. Kotak sutera itu memang
kuterima langsung dari ciangbunjin Thian-san-pay Teng King-thian
untuk dikembalikan kepadamu."
Tong-cin-cu kaget, katanya, "Kalau begitu kau datang mewakili
Teng King-thian. Berdasar apa kau berani mewakili dia datang
kemari?" "Aku datang sebagai dua pihak."
"Dua pihak?" "Satu sebagai murid angkat Thian-san-pay, kedua sebagai murid
Tan Khu-seng yang telah dipecat dari Kong-tong-pay."
"Bagaimana kau bisa menjadi murid angkat Thian-san-pay?"
"Panjang ceritanya. Kuharap ciangbun percaya, ufusan cukup
penting, aku tak berani menipu kau orang tua."
"Jadi Teng King-thian menerima kau sebagai murid angkatnya?"
"Berkat penghargaan ciangbunjin Thian-san-pay, beliau
mengangkatku sebagai murid angkat Thian-san-pay, tapi bukan
muridnya." Tong-cin-cu maklum, rasa kagetnya lebih besar, katanya, "Kalau
demikian bukankah Teng King-thian anggap kedudukanmu setingkat
dengan dia?" Beng Hoa rikuh memberi jawaban, maka dia diam saja sebagai
jawaban. Di samping kaget Tong-cin-cu juga merasa mendongkol, katanya,
"Teng King-thian mengapa demikian, apa sih maksudnya?"
"Dia mengharap persoalan didamaikan. Maka dia menyuruh aku
datang menemuimu dengan dwi fungsi. Di samping mewakili dia
menjadi penengah, lalu sebagai murid Tan Khu-seng yang sudah
dipecat mohon kau orang tua memaklumi keadaan guruku."
Tong-cin-cu menarik muka, katanya, "Sebagai Kong-tong
ciangbun, dalam hal membersihkan nama baik perguruan, pasti
akan kuselesikan secara adil, orang luar tak perlu banyak mulut. Dwi
fungsimu tidak berguna." Habis berkata dia menge-bas lengan baju
lalu berdiri. "Bukankah kau mengundang Teng tayhiap kemari supaya dia
menegakkan keadilan" Jikalau orang luar tidak boleh omong,
bagaimana orang luar bisa menegakkan keadilan?"
Tong-cin-cu makin gusar, katanya, "Yang kuundang adalah
ciangbunjin Thian-san-pay Teng Kingthian Teng tayhiap. Meski kau
mewakili dia, belum setimpal kau kemari menegakkan keadilan."
Matanya mendelik penuh emosi, sorot matanya memancarkan sinar
dingin, jelas nafsunya telah bangkit.
Maksud Tong-cin-cu mengundang Teng King-thian menegakkan
keadilan, tujuannya adalah untuk menghadapi Kim Tiok-liu. Dengan
harapan setelah membaca berkas-berkas dalam kotak sutera, Teng
King-thian percaya bahwa Tan Khu-seng memang setimpal dihukum
mati, serta mendukungnya membersihkan nama baik perguruan.
Maka dia tidak perlu gentar meski Tan Khu-seng membawa Kim
Tiok-liu sebagai tulang punggungnya.
Sungguh di luar dugaan bahwa wakil yang diutus Teng King-thian
justru Beng Hoa murid Tan Khu-seng. Jikalau malam ini Beng Hoa
tidak tertimpa musibah masih mending, tapi Beng Hoa bentrok
dengan Tong-bing-cu dan tertawan. Betapa celaka urusan ini,
sungguh membuatnya bingung dan kehabisan akal. Jelas dia tidak
bisa mengharapkan bantuan Beng Hoa untuk menegakkan keadilan
karena posisinya yang tersudut. Apalagi ada beda pendapat antara
dia dengan sang sute, namun kepentingan mereka dalam perguruan
tak berbeda jauh, maka sikapnya terhadap Beng Hoa pun menjadi
kasar. Beng Hoa gugup, katanya, "Baiklah, biar aku bicara sebagai murid Tan Khu-seng. Ciangbun,
kalau kau bertindak secara adil memang patut dipuji, kuharap kau
tidak hanya mendengar tuduhan sepihak. Harap ciangbun maklum,
dalam perkara ini guruku difitnah."
Tergerak hati Tong-cin-cu, dia tekan amarahnya, katanya, "Dari
mana kau tahu dia difitnah" Kau punya bukti apa?" Agaknya dia
curiga Tan Khu-seng membeber perkaranya kepada muridnya, kalau
Beng Hoa tahu, tentu Teng King-thian juga tahu:
"Walau aku tidak mendapatkan bukti, tapi bersama Teng tayhiap
aku sudah mempelajari berkas-berkas itu, terasa banyak segi-segi
kelemahan dalam bahan-bahan yang terkumpul dan patut dicurigai.
Ciangbun, menurut pendapat kami kemungkinan kau telah ditipu
dan dikelabui oleh Tong-hian-cu dan Tong-bing-cu. Tong-hian-cu
sudah meninggal, hanya Tong-bing-cu saja yang bisa memberi
keterangan sebenarnya."
Uraian Beng Hoa masih samar-samar, hanya merasa curiga saja,
hal ini melegakan hati Tong-cin-cu, katanya, "Aku tidak mau
mendengar omonganmu, seharusnya aku harus menghukummu
karena kurang ajar kepada orang tua. Tapi memandang muka Teng
tayhiap, hukumanmu kuubah kurungan duapuluh tahun." Duapuluh
tahun lagi Teng Kingthian sudah meninggal. Boleh tidak usah
menepati janjinya semula.
Gugup dan gusar hati Beng Hoa, teriaknya, "Kau tua bangka
yang ceroboh. Tahukah kau Tong-bing-cu sudah sekongkol dengan
Hay Lan-ja hendak merebut jabatan ciang-bun-mu?"
"Bukan saja kurang ajar, kau berani memecah belah hubungan
baik kami sesama saudara seperguruan. Haaa! Sungguh
menggelikan, ja-batanku ini memang hendak kuserahkan
kepadanya, buat apa harus merebut?"
Beng Hoa mengira orang percaya kata-kata Tong-bing-cu,
melihat orang hendak pergi, saking gugup mendadak dia menubruk
maju serta memegang pinggangnya, teriaknya, "Ciangbun...."
Tong-cin-cu kaget, bentaknya, "Apa yang kau lakukan?" Kedua
tangannya terayun ke belakang. "Bluk" Beng Hoa terpental jatuh
dengan keras. Merasa tenaga orang memang belum pulih legalah
hati Tong-cin-cu. Beng Hoa lemas lunglai tak mampu bergerak, mendadak dia bisa
melompat, meski sebera dihempaskan oleh Tong-cin-cu namun
kejadian ini cukup membuatnya kaget dan heran. "Aneh kenapa aku
mampu bergerak dan punya sedikit tenaga?" Tapi setelah terbanting
dia tak mampu bangun lagi.
"Ciangbun, kau tidak tahu, dia bersekongkol dengan Hay Lan-ja
dan membuat rencana jahat hendak menjaring seluruh tamu-tamu
yang hadir termasuk Kim tayhiap, mampukah kau memikul
tanggung jawab?" seru Beng Hoa dengan tersengal.
Berubah air muka Tong-cin-cu, bentaknya, "Omong kosong,
untuk mengadu domba kami, tak usah kau mengarang cerita
bohong." "Tapi itu kenyataan, bukan bohong, kuharap kau dengar...."
"Jangan membual, aku tak mau mendengar ocehanmu," bentak
Tong-cin-cu, sebelah kakinya mendadak terangkat dan dihentakkan
ke lantai. Terdengar suara berkeretekan, lantai kamar itu mendadak anjlok
ke bawah. Beng Hoa yang lunglai kontan melorot jatuh ke bawah.
Ternyata di bawah kamar terdapat kamar tahanan bawah tanah
setinggi tujuh tombak. Untung Beng Hoa sudah siaga, begitu
mendengar suara ke-retekan diam-diam dia mengerahkan tenaga
dalamnya, maka dia tidak jatuh pingsan, cuma pusing tujuh keliling.
Lama kemudian baru pikiran Beng Hoa jernih, semangat pun
agak pulih, tapi sekujur badan linu pegal hingga tenaga pun tak
mampu dikerahkan. Sejak mengembara tidak jarang Beng Hoa hidup sengsara dan
menderita, tapi tidak menderita seperti sekarang. Seperti
dijebloskan ke neraka paling bawah, menghadapi kegelapan melulu,
dia sudah mulai putus asa.
Tapi lama terbenam dalam kegelapan juga membuat gejolak
hatinya makin tenteram, pikirannya makin tenang dan dapat berpikir
secara cermat. Dikurung di tempat gelap yang tinggi, orang luar
jelas tak mungkin menolongnya. Untuk keluar dari sini harus
berjuang dengan kekuatannya sendiri.
Dalam gugupnya tadi tanpa sadar dia mampu menubruk Tongcin-
cu. Walau tenaga hanya timbul sekejap, namun sudah berarti
mampu mengerahkan tenaga. Waktu itu, dia pun keheranan, entah
dari mana datangnya tenaga ini" Kini setelah pikiran tenang, dia'
mulai menerawang, "Mungkinkah lwekang sim-hoat yang pernah
kupelajari di Thian-san, di luar sadarku telah menimbulkan reaksi
dalam tubuhku?" Dia memejamkan mata mengulangi kembali ajaran lwekang dari
Thian-tiok serta lwekang dari Persia. Akhirnya timbul harapan dalam
benak, "Di dalam ajaran lwekang Persia ada suatu cara menyalurkan
tenaga, cara ini dapat membantu seorang yang sakit parah sembuh
dari keadaan yang lumpuh, entah cara ini mampu menawarkan
kadar Hap-kut-san di tubuhku, kenapa aku tidak mencobanya."
Dalam kamar tahanan di bawah tanah tiada orang mengganggu,
tempat yang cocok untuk bersemadi dan meyakinkan ilmu, maka
Beng Hoa membuang segala pikiran, duduk bersemadi memejamkan
mata mulai menyalurkan tenaga murni. Tanpa terasa dia sudah
tenggelam dalam semadi. Entah berapa lama kemudian, semadi yang pertama telah usai,
begitu dia membuka mata sekelilingnya tetap gelap pekat, mungkin
sudah tengah malam. Semangatnya terasa lebih baik, namun perut amat lapar. Beng
Hoa mencoba berdiri, ternyata tenaganya sudah sedikit pulih. Dia
mencoba menggerakkan kaki tangan serta memainkan beberapa
jurus silat. Meski napas memburu jantung berdetak, tinju yang
dipukulkan juga tak bertenaga, tapi lebih mending karena dia sudah
bisa bergerak seperti biasa.
Waktu dia menendang dan meninju, terasa ujung kakinya
menyentuh sebuah keranjang, waktu dia meraba ternyata dalam
keranjang berisi makanan, ada nasi dan lauk pauk, namun
semuanya sudah dingin. Dikurung di tempat gelap begini, Beng Hoa sudah tidak
memikirkan racun lagi, dia makan habis makanan yang disediakan
untuk dirinya, tenaga mulai timbul setelah perut kenyang. Beberapa
kejap istirahat dia mulai bersemadi lagi meyakinkan ajaran lwekang
dari Persia untuk digabungkan dengan ajaran Tay-ciu-thian-to-na
warisan Thio Tan-hong. Semadi seperti ini tak ubahnya orang tidur.
Bila dia usai dengan semadinya, ternyata kamar tahanan yang gelap
gulita terasa sedikit terang, mungkin sudah pagi hari kedua.
Entah Tong-cin-cu lupa, menganggap dia sudah terkena Hap-kutsan,
maka senjata dan segala miliknya tidak dilucuti. Maka waktu
jatuh ke kamar tahanan bawah tanah ini, Beng Hoa tetap membawa
pedangnya. Kira-kira duabelas jam kemudian, Beng Hoa mencoba lagi. Kali ini
dia mainkan golok kilat keluarganya dengan pedang. Waktu
permainan mencapai kecepatan tinggi, dia merasa kepala pusing.
Dia yakin tenaganya sudah pulih dua bagian. Ini menandakan
bahwa kadar Hap-kut-san belum tuntas dari tubuhnya.
Dari atas orang mengantar makanan lagi, Beng Hoa diam saja.
Orang di atas membuka tutup besi, seutas tali yang ujungnya
dipasang kaitan diturunkan.,Keranjang kosong di bawah dikerek
naik dulu, lalu diganti dengan keranjang yang berisi makanan. Beng
Hoa mendengar orang di atas menggumam, "Selera makan bocah
ini sungguh besar, kalau aku, pasti tak punya selera makan di
tempat gelap." Beng Hoa tidak peduli, makan pagi ini dia habiskan lagi. Dalam
sehari yang pendek ini, berapa tenaga yang dapat dipulihkan sukar
dia perkirakan. Umpama tenaga pulih apakah dapat keluar dari sini,
juga masih merupakan tanda tanya Namun apa pun dia harus
berusaha sekarang dia berusaha dengan ajaran lwekang yang
berhasil dipelajarinya dari Si-lo Hoatsu, belakangan dia minta
petunjuk kepada Teng King-thian, di mana di dalam .ajaran lwekang
ini ada semacam cara "cuci sumsum ganti otot", konon ajaran murni
peninggalan Tat-mo Cosu. Ajaran yang dipandang pusaka bagi
kaum persilatan umumnya Ilmu ini bila diyakinkan mencapai puncak
tertinggi, seseorang seolah-olah lahir kembali menjadi manusia
baru. Bila orang mengantar rnakanan untuk kedua kalinya, terasa oleh
Beng Hoa badannya jauh lebih segar. Setelah makan siang dia
mencoba lagi. Kali ini dia mainkan Thian-san-kiam-hoat, ternyata
rasa pusing sudah tidak terasa lagi, pertanda bahwa tenaganya
sudah bertambah besar. Dinding batu kamar tahanan ini tumbuh lumut yang licin, tapi
Beng Hoa sudah mampu menggunakan ilmu cecak merambat ke
atas. Tangannya meraba besi penutup kamar tahanan yang dingin,
didorong tidak bergerak, ditusuk pedang tidak tembus, diam-diam
dia mengeluh dalam hati. Terpaksa dia turun dan pasrah nasib saja
Dalam Hian-kang-pwe-coat warisan Thio Tan-hong ada sejenis
latihan untuk menambahkan tenaga dan memperkokoh kekuatan.
Racun dalam tubuh Beng Hoa sudah punah, tenaganya sudah pulih


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

separo, menggunakan ilmu lwekang tingkat tinggi ini adalah cara
terbaik untuk memupuk kekuatannya
Tapi cara latihan yang satu ini harus dilakukan dengan lambat,
setengah hari sudah berselang latihan yang dicapai Beng Hoa belum
ada separo. Terpaksa setelah makan malam dia membuang segala
pikiran, melanjutkan latihannya.
Waktu dia selesai dengan latihan dan membuka mata, kamarnya
yang gelap gulita terasa agak terang, gelagatnya sudah hari kedua.
Beng Hoa mencoba tenaganya, "Wut" sekali jotos tonggak batu
besar di pojok sana telah dipukulnya patah. Seketika dia melonjak
girang, hampir saja dia berteriak. Angin dingin menghembus dari
celah-celah batu gunung, pikiran Beng Hoa seketika jernih. Tenaga
sudah pulih, namun masih terkurung di sini. Padahal pertemuan
besar diadakan hari ini, apakah dia bisa meloloskan diri dan hadir
dalam pertemuan besar itu"
Menurut pengalamannya kemarin, orang itu mengantar makanan
pagi dua jam setelah fajar menyingsing. Pertemuan besar orangorang
Kong-tong-pay mungkin sudah dibuka, maka Beng Hoa
menunggu dengan perasaan gugup. Di luar dugaan, hanya satu jam
dia menunggu, pengantar makanan ternyata telah datang, lebih dini
dari biasanya Pengantar makanan itu menggerutu, "Sial, suhu memberi tugas
ini kepadaku. Saudara yang lain bisa melihat keramaian kenapa aku
harus memberi makan kepada bocah itu. Untung aku tidak bodoh,
pagi hari ini kuantar lebih dini, siang dan malam boleh terlambat,
mumpung ada kesempatan aku bisa melihat keramaian. Bocah itu
dikurung di bawah, tanpa sayap mana bisa keluar."
Waktu tali yang berujung kait besi diturunkan, jantung Beng Hoa
sudah berdebar. Mendadak dia bertindak, tali ditangkapnya terus
ditarik sekuatnya, berhasil atau gagal tergantung langkahnya sekali
ini. Walau cepat dia bertindak, kalau orang di atas cukup cerdik,
merasa tali ditarik segera melepasnya terus menutup lubang, jelas
Beng Hoa tetap takkan lolos. Untung orang di atas tidak menduga
sama sekali, di saat dia terkejut, sebelum tali dia lepas, gentakan
tenaga Beng Hoa sudah menarik tubuhnya maju dan tersungkur
jatuh ke dalam lubang. Karuan orang itu kaget. Saking takut dia sempat minta tolong
sekali. Beng Hoa mengulur tangan menangkapnya, desisnya, "Kalau
masih ingin hidup, jangan buka suara." Kamar tahanan ini terletak di
bawah kamar pribadi Tong-cin-cu, sejak pagi tadi Tong-cin-cu sudah
meninggalkan kamarnya, tanpa disuruh murid-murid Kong-tong-pay
tjada yang berani masuk ke kamarnya, umpama berteriak-teriak di
kamar bawah tanah itu juga takkan terdengar orang. Karena
kuduknya dicengkeram Beng Hoa, orang itu ketakutan, untuk sekian
lamanya tak mampu bersuara
"Ya, ya, aku hanya bertugas mengantar makanan, kapan pernah
bermusuhan dengan kau, jangan kau...." Khawatir dibunuh, orang
itu bicara dengan gugup. Beng Hoa sebal dibuatnya, bentaknya, "Tidak setimpal aku
membunuhmu, setiap pertanyaanku harus kau jawab, tapi jangan
ngelan-tur." "Silakan siauhiap tanya saja." "Pertemuan besar Kong-tong-pay
kalian sudah dibuka belum?"
"Begitu terang tanah, seluruh anak murid perguruan kami sudah
berkumpul di tempat pertemuan. Para tamu juga dipersilakan
duduk. Tapi sekarang sudah mulai belum aku tidak tahu."
"Di mana letak pertemuan?"
"Di lapangan rumput yang terletak antara Toan-hun-gay dan
Jing-hi-koan." "Kim Tiok-liu Kim tayhiap sudah datang belum?"
"Aku yang rendah tidak tahu." Masih ada beberapa pertanyaan
ingin diajukan, namun Beng Hoa tahu kedudukan orang ini rendah,
ditanyakan juga percuma, maka dia berkata, "Baiklah, boleh kau
istirahat di sini saja. Duabelas jam kemudian hiatto-mu akan terbuka
sendiri." Lalu dia totok hiatto tidur orang serta melucuti jubahnya.
Sekali ayun Beng Hoa timpuk-kan kaitan besi di ujung tali hingga
menancap di dinding batu di luar lubang. Sigap sekali dia sudah
merambat ke atas.' Beng Hoa menyamar sebagai tosu, dengan berlenggang dia
keluar dari kamar pribadi Tong-cin-cu. Jing-hi-koan sepi lengang,
hanya beberapa murid yang bertugas jaga. Dua orang yang
bertemu Beng Hoa telah ditotok hiatto-nya, sebelum orang lain
melihat jejaknya dia sudah lari ke luar. Setelah melihat sinar mentari
Beng Hoa menarik napas panjang, semangatnya menyala.
Dilihatnya beberapa murid Kong-tong-pay masih sibuk mengantar
rombongan tamu menuju ke lapangan sana. Lega hati Beng Hoa,
agaknya pertemuan belum dimulai. Dengan ginkang-nya yang tinggi
sengaja dia menyingkir dari tempat ramai. Lekas sekali lapangan
hijau yang dimaksud sudah kelihatan di depan, lapangan sebesar itu
sudah penuh sesak oleh manusia yang berjubel.
Tiba-tiba didengarnya suara Tong-cin-cu sedang memberi kata
sambutan, "Pertemuan besar perguruan kami hari ini, dihadiri oleh
dua paderi agung dari Siau-lim-si, Liu-tianglo dari Bu-tong-pay, Kim
tayhiap dan kawan-kawan lain dari berbagai perguruan, sungguh
merupakan kebanggaan bagi kami. Dalam pertemuan besar kali ini,
ada dua persoalan besar akan dibicarakan. Pertama, memilih calon
pengganti ciangbun, kedua adalah membersihkan perguruan dari
anasir jahat. Jikalau sesama saudara perguruan tiada usul dan
pendapat lain, pertemuan besar ini akan segera dimulai."
Jantung Beng Hoa berdebar, sukar dia menentukan langkah,
apakah langsung terjun di tengah pertemuan membongkar intrik
Tong-bing-cu dengan Hay Lan-ja atau menunggu bila acara sudah
mulai membicarakan kasus gurunya" Mendadak seseorang
menangkap dan menarik dirinya.
Padahal Beng Hoa sudah waspada memperhatikan orang di
sekelilingnya, tak nyana orang ini menariknya secara mendadak,
karuan terkejutnya bukan kepalang. Untung otaknya bekerja cepat,
ginkang orang tinggi, kalau musuh selayaknya mencengkeram
pundaknya. Sebelum dia mengerahkan tenaga, orang itu sudah
berbisik di pinggir telinganya, "Jangan gugup, inilah aku." Hilang
rasa terkejutnya, hati Beng Hoa bersorak girang. Orang yang
menarik dirinya adalah Kwi-hwe-thio.
"Jangan bersuara, ikuti aku," bisik Kwi-hwe-thio. Beng Hoa
ditariknya ke tempat yang jauh, bersembunyi di belakang batu
besar. Setelah melihat tiada orang di sekitarnya, dia mengeluarkan
sebuah ked.ok muka kulit manusia dan diserahkan kepada Beng
Hoa, katanya, "Pakai ini, orang tak akan mengenalimu lagi."
"Komandan Gi-lim-kun Hay Lan-ja sekongkol dengan Tong-bingcu
hendak menggaruk seluruh kaum persilatan yang hadir, lekas
beri tahu Kim tayhiap," ucap Beng Hoa gugup.
"Aku sudah tahu. Kau tak usah khawatir, aku bisa
menghadapinya. Soal ini jangan dibongkar sekarang, malah tiada
bukti." Lega hati Beng Hoa, masih banyak yang ingin dia tanyakan, tapi
Kwi-hwe-thio sudah berkata gugup, "Masih ada urusan penting yang
harus diselesaikan, kau bertindaklah menurut keadaan. Sekali
berkelebat, bayangannya telah lenyap.
Beng Hoa ingin menanyakan apa orang sudah menolong Kim Bikld,
Persekutuan Tusuk Kundai Kumala 11 Pendekar Pemabuk Karya Kho Ping Hoo Pedang Golok Yang Menggetarkan 11
^