Pencarian

Anak Pendekar 20

Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen Bagian 20


apa boleh buat terpaksa dia kembali ke lapangan dan
mencampurkan diri di antara orang banyak.
Kebetulan Tong-cin-cu sedang mengumumkan calon pilihan
pengganti ciangbunjin. Siapa calon ciangbunjin mereka, banyak
murid Kong-tong sudah tahu, maka hanya murid-murid Tong-bing-cu
dan kambrat-kambratnya saja yang memberi aplus dengan tepuk
tangan dan sorak-sorai. Sewajarnya Tong-bing-cu berpura rikuh dan menolak. Tapi Tongcin-
cu berkata, "Aku sudah tua, lemah tenaga dan pikiran, sejak
lama sudah bermaksud mengundurkan diri. Sute, kau lebih cerdik
pandai, lebih cekatan dan trampil bekerja, kalau tugas berat ini tidak
mau pikul lalu siapa yang harus memikulnya" Hayolah tak usah
sungkan." Urusan sudah sejauh ini, Tong-bing-cu juga tak perlu main
sandiwara lagi, setelah batuk-batuk dua kali dia tarik suara, "Aku
tidak becus...." Baru saja dia angkat bicara murid-muridnya sudah
bersorak sorai lagi sambil bertepuk tangan.
Di tengah hiruk pikuk itulah seseorang tiba-tiba berkata,
"Memang kau tidak setimpal menjadi ciang-bun." Suaranya jernih
melengking seperti mengambang di udara, padahal sekian banyak
orang bersorak, ternyata suaranya masih jelas terdengar oleh setiap
hadirin. Lebih menusuk pendengaran lagi, suara ini berkumandang dari
rombongan murid murid Kong-tong-pay, jelas ada murid-murid
Kong-tong yang tidak terima, sudah tentu para tamu menjadi heran
dan bingung, murid-murid Kong-tong juga celingukan saling
pandang keheranan. Kejadian secara mendadak ini di luar dugaan Tong-bing-cu,
setelah membuka kata dengan "aku tidak becus" akan dilanjutkan
dengan perkataan "aku tidak setimpal jadi ciangbun" tak nyana
orang itu sudah mendahuluinya
Mimpi pun tak pernah terpikir oleh Tong-bing-cu bahwa di antara
murid-murid Kong-tong ada yang menentang pencalonan dirinya di
depan umum, padahal menurut rencananya baru akan menerima
pencalonan ini di hadapan tokoh-tokoh silat yang hadir dengan
mendapat dukungan mutlak dari seluruh murid Kong-tong-pay,
secara terpaksa. Siapa duga terjadi peristiwa yang memalukan ini.
Untuk mempertahankan muka, Tong-bing-cu anggap tidak
mendengar, dengan muka merah dia melanjutkan, "Sebetulnya aku
tidak berani memikul tanggung jawab berat ini, berkat penghargaan
suheng...." Sampai di sini suara melengking tadi berkumandang
pula, "Penghargaan apa, yang terang bersekongkol dan
menurunkan secara pribadi, tidak tahu malu." Kali ini tiada orang
bersorak, maka hadirin mendengar lebih jelas.
Sekarang Tong-bing-cu tak bisa berpura-pura tidak mendengar,
bentaknya gusar, "Siapa yang bicara, hayo berdiri!"
Orang itu bilang bersekongkol, berarti Tong-cin-cu juga terlibat,
walau gusar namun hatinya juga lega dan senang, katanya, "Sute,
meski saudara itu bicara tanpa aturan, karena kita dituduh
mewariskan jabatan secara pribadi, maka kita pakai saja cara umum
supaya orang luar tidak curiga"
"Cara umum apa?" tanya Tong-bing-cu pusing.
Tong-cin-cu berseru lantang, "Siapa tidak terima Tong-bing-cu
menjadi ciangbun, silakan usulkan calon kedua, ketiga" Murid-murid
Tong-bing-cu segera bersorak-sorai lagi mendukung guru mereka.
Beruntun tiga kali Tong-cin-cu membuka kesempatan, tapi tiada
orang lain yang mencalonkan diri.
Sedikit banyak Tong-bing-cu merasa lega, sebelum membuka
suara, suara itu telah berkata pula, "Kau memupuk kambratkambrat-
mu melakukan ancaman dan pemerasan, dengan kekuatan
menindas yang lemah, ciangbun suheng-mu pun takut kepada kau,
siapa berani menentang secara terang-terangan, apa kau tidak takut
mendapat hukuman setimpal dari Yang Kuasa?"
Tong-bing-cu menyeringai dingin, bentaknya, "Orang itu jelas
bukan murid perguruan kita, sengaja mau mengacau, lekas periksa
dan tangkap mata-mata."
Anehnya suara itu benar berkumandang dari rombongan muridmurid
Kong-tong, tapi setiap kali suara itu bicara semua murid
saling memperhatikan orang di kanan kirinya, ternyata tiada yang
menemukan siapa yang bicara. Di tengah kebingungan orang
banyak, suara itu berkata, "Siapa yang jadi mata-mata" Kukira
justru kaulah yang jadi mata-mata dan bersekongkol dengan pihak
kerajaan." Tong-bing-cu menarik muka sambil memberi tanda supaya
murid-muridnya tidak ribut, katanya, "Hadirin tentu sudah tahu
orang itu menyamar murid kami, mau mengacau dan mencari
perkara, dengan tujuan nnemecah belah hubungan kita, menghasut
murid-murid kami berontak. Tujuannya jahat dan patut dikutuk,
apakah hadirin masih percaya kata-katanya?"
Maka Tay-ciok Tojin murid Tong-bing-cu yang tertua berdiri dan
berkata, "Betul, apa pun maksud orang ini, persoalan dalam
perguruan kami, orang luar tak perlu turut campur. Sekarang
seluruh anggota perguruan kami secara bulat mendukung
pencalonan ciangbun yang baru, kurasa acara dilanjutkan saja
sesuai rencana." Terdesak oleh keadaan, terpaksa Tong-cin-cu mengumumkan,
"Aku usul Tong-bing-cu mewarisi ja-batanku sebagai ciangbun
ketiga-puluh tiga Kong-tong-pay, sekarang mendapat dukungan
secara bulat." "Nanti dulu," tiba-tiba sebuah suara serak tua berteriak, "aku
ingin bicara." Hadirin melenggong dan menoleh, tampak seorang tojin tua
beruban, dengan memegang tongkat, mendatangi tengah lapangan
dengan langkah tertatih-tatih.
Di antara para tamu yang hadir termasuk Kim Tiok-liu tiada yang
kenal siapa tosu tua ini. Hanya Lui-tin-cu dari Bu-tong-pay dan
kedua paderi agung dari Siau-lim-si saja yang kenal orang tua ini,
adalah Giok-hi-cu tianglo, satu-satunya tianglo Kong-tong-pay yang
masih hidup. Giok-hi-cu adalah guru Tong-biau-cu yang pernah menjabat
ciangbun angkatan ketigapuluh, atau susiok dari Tong-cin-cu dan
Tong-bing-cu. Tahun ini sudah berusia sembilanpuluh tahun. Sejak
tigapuluh tahun yang lalu waktu muridnya masih menjabat
ciangbun, dia sudah mengundurkan diri dan diangkat sebagai
tianglo, selama tigapuluh tahun ini tak perlu mencampuri urusan
perguruannya. Dia tetirah di dalam sebuah gua di gunung belakang,
boleh dikata tak pernah keluar dari gua itu. Hanya murid-murid
berusia limapuluhan dari- Kong-tong-pay sekarang yang tahu bahwa
mereka masih punya tianglo seperti Giok-hi-cu ini.
Tong-cin-cu dan Tong-bing-cu amat kaget. "Supek," sapa mereka
bersama, "untuk apa kau orang tua kemari?"
Giok-hi-cu membanting tongkat ke tanah katanya, "Urusan besar
menyangkut perguruan kita, mana aku tidak boleh kemari?" Entah
karena terlalu tua atau karena terlalu emosi, di saat bicara tubuhnya
bergoyang-goyang seperti api lilin yang tertiup angin dan hampir
jatuh. Lekas Tay-ciok Tojin memburu maju memapahnya, Giok-hi-cu
mengayun tongkatnya, sentaknya, "Minggir, tak perlu kalian
bermuka-muka di depanku."
Tay-ciok Tojin sempoyongan mundur lalu berdiri dengan menyengir
getir dan jeri, tak nyana tay-supek-nya yang sudah tua dan loyo
ini masih punya tenaga sebesar ini.
Giok-hi-cu tertawa dingin, je-ngeknya, "Kau kira aku tak bisa
jalan." Tapi kenyataan tubuh yang sudah bungkuk ini setiap
melangkah sekujur badan gemetar.
Seorang laki-laki baju hijau tiba-tiba tampil ke muka dan berkata,
"Lo-totiang, jalanlah dengan betul. Tak usah marah kepada mereka,
mari kupapah engkau."
Karena dipapah, tubuh Giok-hi-cu mendadak menjorok ke depan
malah hampir jatuh. Tapi orang itu terpaksa melepaskan
pegangannya karena Giok-hi-cu mengebaskan lengan bajunya,
terpaksa orang ini juga mundur sambil menggerutu, "Lo-totiang,
aku bermaksud baik, kau tidak mau terima kebaikanku tak perlu kau
memukulku." Giok-hi-cu mendengus, sentaknya, "Siapa kau?"
"Aku... aku... aku adalah...." Dari samping Tay-ciok Tojin segera
menimbung, "Orang ini tenaga bantuan di dapur."
Giok-hi-cu mendengus saja tanpa bicara, tongkatnya menutul
tanah, langkahnya mendadak enteng dan sebat seperti terbang,
kejap lain dia sudah berada di depan^Tong-cin-cu dan Tong-bingcu.
Sebetulnya diamerasakan laki-laki tadi mempunyai kepandaian
luar biasa, pasti bukan kacung biasa, tapi karena urusan lebih
penting maka dia tidak tanya lebih lanjut asal-usulnya.
Beng Hoa yang mencampurkan diri di tengah orang banyak
membatin, "Mungkin keparat tadi samaran Hay Lan-ja?" Di tengah
keributan laki-laki baju hijau itu sudah menyelinap mundur dan tidak
kelihatan lagi. Tong-cin-cu berdiri hormat dan menyapa dengan tertawa, "Supek
ada petunjuk apa?" "Kabarnya kau tidak mau menjabat ciangbun lagi, pertemuan hari
ini hendak memilih penggantimu betul" Urusan besar begini kenapa
tidak memberi tahu kepadaku?"
"Kupikir setelah ciangbunjin baru menerima jabatan, baru akan
kuantar menghadap supek sambil memberi laporan, sebelumnya tak
berani aku mengganggu kau orang tua."
"Apa salahnya kau menjadi ciangbun, kenapa mendadak ingin
mengundurkan diri?" "Harap supek maklum, tahun ini sutit sudah enampuluh dua.
Supek, bukankah kau orang tua pada usia enampuluh enam telah
mengundurkan diri menjadi tianglo" Kupikir biarlah generasi muda
ikut memikul tanggung jawab berat ini."
"Membimbing generasi baru memang baik. Siapakah calon
ciangbunjin baru?" "Kuusulkan sam-sute Tong-bing-cu meneruskan jabatanku,
seluruh murid menerima dengan suara bulat."
Mendadak Giok-hi-cu membalik serta menyapukan pandangan ke
segenap penjuru, katanya perlahan, "Kabarnya Tan Khu-seng juga
datang, di mana dia?"
Tong-cin-cu kikuk dan risi, katanya tergagap, "Tan Khu-seng dia
sudah... sudah...." "Dia kenapa?" sentak Giok-hi-cu mendelik bengis.
Tak tahan lagi Tan Khu-seng berdiri seraya berteriak, "Suco!"
Lalu berkata pula, "Ciangbun susiok, mohon perkenankan tecu
sebagai murid berdosa bersembah sujud kepada suco."
Giok-hi-cu mendengus geram, serunya kepada Tong-cin-cu, "O,
jadi kau yang melarang dia menemui aku, dia pernah berbuat dosa
apa?" Meski sebagai ciangbun, tapi
Tong-cin-cu tak berani kurang ajar kepada tianglo katanya, "Tan
Khu-seng kemarilah kau. Baiklah, ku-perkenankan kau bersembah
sujud kepada supek."
Giok-hi-cu mengelus kepala Tan Khu-seng katanya, "Sun-sun
cilik, kenapa kau pergi selama delapan-belas tahun tak pernah
menjengukku, betapa rinduku kepadamu?"
Perlu diketahui, Tan Khu-seng adalah anak sebatang kara maka
sejak kecil dia diasuh dan dibesarkan oleh Tong-biau Cinjin.
Resminya sebagai guru dan murid, padahal hubungan mereka
seperti anak.dan ayah. Giok-hi-cu juga ikut membimbing bocah ini
hingga dewasa, seperti sang kakek sayang kepada cucunya. Sunsun
cilik adalah panggilannya kepada Tan Khu-seng sejak dia masih
bayi. Tan Khu-seng tersendat haru, katanya, "Mohon ampun, cucu
murid tidak berbakti, sebagai murid yang sudah dipecat dari
perguruan, tak boleh kembali menjenguk kau orang tua."
Tong-cin-cu berkata, "Lapor supek, delapanbelas tahun yang lalu,
dia...." Tegak alis Giok:hi-cu, tukasnya, "Aku tak percaya dia berbuat
dosa, memang aku ingin bicara"
Apa boleh buat terpaksa Tong-cin-cu berkata, "Silakan supek
menjelaskan, biar nanti kulaporkan persoalannya"
"Enampuluh dua belum terhitung tua, tapi kalau kau ingin
membimbing generasi muda, ciangbunjin biar dijabat oleh anakanak
muda. Aku pun setuju."
"Calon ciangbun sudah diusulkan dan sudah diterima oleh seluruh
anggota secara bulat, mereka memilih Tong-bing-cu sute."
Giok-hi-cu mendelik, sentaknya, "Aku belum bicara, kenapa kau
bilang secara bulat."
"Ya, ya, karena tecu tak berani mengganggu ketenangan kau
orang tua, maka kami tidak tanya dulu kepadamu. Apakah supek
juga punya calon yang akan diajukan?"
Mendengar pertanyaan Tong-cin-cu, seketika membesi hijau
muka Tong-bing-cu. "Sudah tentu ada," sahut Giok-hi-cu. "Apa kau sudah lupa apa
cita-cita suheng-mu waktu masih hidup?"
Tong-cin-cu tahu tapi pura-pura bertanya, "Entah soal apa yang
supek maksud?" "Semasa hidupnya, suheng-mu sudah menentukan Tan Khu-seng
sebagai ahli warisnya, bukan karena dia berat sebelah memilih
muridnya sendiri, tapi karena Tan Khu-seng memang pilihan paling
setimpal, tiada orang kedua yang menandingi dia dalam
angkatannya." Seluruh hadirin mendengarkan penuh perhatian, terutama muridmurid
Kong-tong-pay, semua melongo saling pandang, suasana
menjadi sunyi senyap. Tong-cin-cu kaget, entah sudah pikun atau sengaja hendak
mencari perkara supek yang sudah loyo ini, segera dia berkata,
"Lapor supek, siapa pun asal dia murid perguruan kita boleh
menjadi ciangbun, tapi Tan Khu-seng justru tidak boleh."
"Kenapa tidak boleh?" Tong-bing-cu yang membesi hijau
mukanya segera menjengek dingin, "Apakah di waktu masih hidup
Biau-suheng tidak memberi laporan kepadamu dosa apa yang
pernah dilakukan muridnya?"
"Usiaku sudah tua, mungkin sudah melupakan, coba kau
terangkan." "Delapanbelas tahun yang lalu Tan Khu-seng sudah dipecat dari
perguruan," seru Tong-bing-cu. "Tong-biau suheng sendiri yang
memberi hukuman di waktu dia masih menjabat ciangbun."
"Dosa apa yang pernah dia lakukan?"
"Kejadian sebetulnya merupakan keburukan keluarga yang
memalukan, tapi karena kau orang tua yang bertanya terpaksa tecu
menjelaskan. Kesalahan Tan Khu-seng adalah membunuh sesama
saudara perguruan, kemaruk harta, menculik gadis. Setelah diusir
dari perguruan, dia masih berani berlaku kurang ajar. Melawan
angkatan tua perguruan kita. Bagaimana duduk persoalannya harap
Tong-cin suheng sebagai ciangbunjin menjelaskan."
"Tak usah kalian banyak mulut lagi," tukas Giok-hi-cu. "Meski tua
aku belum pikun, aku sudah ingat."
Berubah air muka Tong-bing-cu, katanya, "Supek ingat apa?"
"Laporan Tong-biau kepadaku justru terbalik dan berbeda."


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Berubah air muka Tong-bing-cu, katanya, "Apa kau orang tua
tidak salah ingat" Entah apa yang dilaporkan Tong-biau suheng
kepada kau orang tua?"
Giok-hi-cu batuk-batuk, katanya lebih lanjut, "Masih segar dalam
ingatanku, laporan Tong-biau justru tidak mengatakan dosa-dosa
seperti apa yang kalian tuduhkan kepada Tan Khu-seng."
"Kalau demikian, kenapa dia memecat, mengusir muridnya dari
perguruan?" desak Tong-bing-cu.
"Dia juga tidak bilang memecat dan mengusir Tan Khu-seng dari
perguruan. Dia hanya bilang sementara menyuruh Tan Khu-seng
menyingkir dari Kong-tong. Walau tahu muridnya pasti penasaran,
namun demi kekuatan Kong-tong-pay, apalagi Tan Khu-seng sendiri
rela memikul dosa dan menahan penghinaan, maka kejadian pun
berlarut sampai sekarang."
"Aku tak berani mencurigai kau orang tua, tapi umpama benar
Tong-biau suheng pernah memberi laporan seperti keteranganmu,
itu karena dia tidak ingin kau orang tua terlalu bersedih, maka
sengaja dia menyembunyikan dosa muridnya. Kalau tidak, masa
urusan hanya diselesaikan setengah jalan?"
"Dia memang tidak menjelaskan duduk perkaranya kepadaku,
tapi aku masih ingat dia pernah bilang dua patah kata kepadaku."
Dapat dibayangkan bahwa kedua patah kata itu merupakan kunci
rahasia seluruh persoalan yang berbelit-belit ini, maka seluruh
hadirin pasang telinga. Terutama Beng Hoa yang paling tegang,
semoga apa yang diucapkan Giok-hi-cu akan membongkar seluruh
kasus ini. Peristiwa aneh mendadak terjadi. Di tengah ketegangan itu,
tampak Giok-hi-cu sudah membuka mulut, namun dua patah kata
itu ternyata tak terlontar juga dari mulutnya. Tan Khu-seng paling
dekat dan melihat gejala yang tidak normal, segera dia berteriak,
"Suco, kau, kenapa kau?" Belum lenyap teriakannya, Giok-hi-cu
sudah roboh. Bergegas Tan Khu-seng memapah sang suco, ternyata
tangannya menyentuh tubuh dingin. Giok-hi-cu sudah putus
napasnya. Tong-bing-cu membentak, "Bagus. Tan Khu-seng, berani kau
membunuh suco." Kaget dan gusar, Tan Khu-seng balas membentak, "Kau orang
jahat menuduh lebih dulu, justru kaulah yang turun tangan."
Tong-bing-cu menyeringai, katanya, "Giok-hi-cu tianglo mati di
pelukanmu, aku kan tidak menyentuhnya. Di hadapan sekian
banyak orang, berani kau mungkir."
"Kentut," maki Tan Khu-seng gusar. "Kenapa aku membunuh
suco, hanya kau yang patut dicurigai karena perkataan suco
merugikan dirimu." "Sret" Tong-bing-cu melolos pedang, bentaknya, "Hadirin
menyaksikan, murid murtad yang kurang ajar seperti ini apa tidak
pantas dibunuh?" "Kau menuduh dan memfitnah aku. Suco sudah kau bunuh,
masih akan merusak jenazahnya" Bukan aku gentar terhadapmu,
setelah mengebumikan suco, apa kehendakmu kuiringi."
Tong-cin-cu segera melerai, "Betul, kita harus menyelidiki dulu
apa sebab kematian supek." Dari tangan Tan Khu-seng dia terima
jenazah Giok-hi-cu, lalu diperiksanya dengan seksama, katanya,
"Badannya tiada luka juga tiada tanda keracunan. Giok-hi supek
sudah berusia sembilanpuluh, badan lemah kesehatan terganggu,
karena terlalu emosi mendadak meninggal dunia, kejadian seperti ini
memang sering terjadi."
"Walau suco sudah tua, tapi langkahnya masih sebat dan lincah,
pantasnya tak mungkin dia mati secara mendadak," debat Tan Khuseng.
"Baik, kau ingin mencari sebab kematiannya, coba kau sendiri
yang menyelidikinya," teriak Tong-bing-cu. Sikapnya pongah,
seolah-olah dia yakin dirinya benar dan pasti menang.
Tong-cin-cu berkata, "Untung di antara para tamu yang hadir ada
tabib sakti nomor satu di seluruh jagat Yap Im-kiau siansing dan
jago pedang nomor satu Kim tayhiap Kim Tiok-liu, mohon mereka
berdua bantu menyelidiki sebab kematian supek kami, bagaimana?"'
Maka Yap Im-kiau dan Kim Tiok-liu tampil ke muka. Setelah
memeriksa dengan teliti, Yap Im-, kiau bicara lebih dulu, "Bukan
mati lantaran racun, namun Ki-king-pat-meh ada gejala terkenal
getaran. Apa penyebab kematiannya kukira Kim tayhiap bisa
memberi keterangan."
Kim Tiok-liu masih memeriksa lebih seksama, lalu berkata kepada
Tong-cin-cu, "Mohon ciangbun tak perlu bersedih hati, menurut hasil
pemeriksaanku, aku yakin Giok-hi-cu tianglo kalian mati karena
dibo-kong orang." Sebenarnya Tong-cin-cu sudah menduga, namun dia pura-pura
kaget, katanya, "Cara bagaimana orang itu membokong supek-ku"
Kim tayhiap dapatkah kau memberi keterangan?"
"Sejenis pukulan dingin beracun yang amat ganas, kalau tidak
salah adalah Jit-sat-ciang yang dapat menggetar putus Ki-king-patmeh,
Jit-sat-ciang dari Tiang-pek-pay di Koan-gwa."
Hadirin gempar. Tapi kejadian membuktikan bahwa
pembunuhnya bukan murid Kong-tong-pay sendiri, berarti Tan Khuseng
dan Tong-bing-cu lepas dari tuduhan.
Tong-bing-cu memang kaget, tapi lega juga hatinya. Dasar licik
dan licin, pandai main sandiwara lagi, dia pura-pura bersedih dan
mencucurkan airmata segala.
Tong-cin-cu angkat bicara sebagai ciangbun yang masih
berkuasa, "Siapa pembunuhnya harus diselidiki dan kita harus
menuntut balas. Tapi tujuan pertemuan hari ini harus terus
dilaksanakan, sakit hati ini biar ditunda sementara."
Menekan rasa sedihnya, Tan Khu-seng berkata, "Pertemuan
besar tetap dilangsungkan tapi tugas mengejar pembunuh juga tak
boleh diabaikan. Menurut pendapatku, kacung yang tadi keluar
memapah suco patut dicurigai."
Kim Tiok-liu mengangguk, katanya penuh sesal, "Semula aku
sudah menduga dia pandai silat, sayang tidak tahu kalau dia jago
kosen yang memiliki tenaga dalam tangguh, maka tidak sempat aku
memberi peringatan kepada Giok-hi-cu cian-pwe."
Terpaksa Tong-bing-cu pura-pura menerima usul Tan Khu-seng,
"Baiklah, suruh Tay-ciok bertanggung jawab mengejar jejak
pembunuh itu." Tan Khu-seng berseru, "Mohon ciangbunjin berkenan memberi
izin supaya tecu ikut membantu."
Tong-bing-cu menyeringai sinis, katanya, "Tianglo memihak
dirimu, tapi sekarang kau bukan anggota Kong-tong, soal menuntut
balas ini, tak usah kau turut campur."
"Betul," timbrung Tong-cin-cu. "Tan Khu-seng kasusmu sendiri
belum jernih, kau dilarang meninggalkan tempat ini. Tay-ciok sutit,
pilihlah sepuluh murid kita yang berkepandaian tinggi, cari si
pembunuh, segera dilaksanakan."
Kalau seluruh hadirin heran, bingung dan tidak mengerti, siapa
pembunuh Giok-hi-cu yang menyamar jadi kacung itu. Sekian
banyak hadirin hanya ada dua orang saja yang tahu. Kim Tiok-liu
hanya tahu kematian Giok-hi-cu dibokongoleh pukulan Jit-sat-ciang,
namun tak pernah terpikir olehnya bahwa pembunuhnya adalah
komandan Gi-lim-kun Hay Lan-ja adanya.
Beng Hoa sudah tidak sabar, dia sudah ingin tampil,membongkar
jejak pembunuh. Tiba-tiba didengarnya suara yang dikenalnya
berbisik, "Belum tiba saatnya, jangan tergesa-gesa." Itulah suara
Kwi-hwe-thio, orang bicara dengan ilmu mengirim gelombang
panjang, walau suasana sedang ramai tapi dia hanya mengantar
suaranya ke telinga Beng Hoa.
Beng Hoa sadar, sebelum mendapat bukti dan membekuk Hay
Lan-ja, tiada guna dia membongkar kasus pembunuhan ini. Gerakgerik
Kwi-hwe-thio serba misterius, begitu dia menoleh bayangan
orang sudah tidak kelihatan, entah bersembunyi di mana.
Dugaan Beng Hoa memang betul, pembunuh Giok-hi-cu memang
Hay Lan-ja, tapi yang membuatnya bingung adalah dari Hay Lan-ja
membokong Giok-hi-cu sampai orang mati terpaut beberapa kejap
lamanya, apakah Gibk-hi-cu tidak sadar kalau dirinya terbokong,
padahal dengan tingkat kepandaiannya, tidak mungkin dia tidak
tahu. Kalau tahu, sebelum dia ajal kenapa tidak dikatakan"
Ternyata Jit-sat-ciang yang diyakinkan Hay Lan-ja sudah
mencapai puncak kesempurnaan, yang digunakan untuk
membokong Giok-hi-cu lunak tapi ganas beracun. Semula penderita
tidak merasakan kelihayan pukulan lunak ini, akibat yang fatal
karena yakin akan keampuhan lwe-kang sendiri, dia mengira luka
dalam yang dideritanya ringan dan tidak jadi soal, dia pikir
persoalan dibicarakan dulu baru mencari tahu siapa kacung itu. Di
luar perhitungannya, di saat genting itu tenaga lunak yang
tersembunyi dalam tubuhnya mendadak kumat, akibatnya memang
fatal, jiwanya putus seketika.
Setelah keributan mereda, murid-murid Kong-tong-pay telah
rhengusung jenazah Giok-hi-cu kembali ke Jing-hi-koan. Tak lama
kemudian Tay-ciok Tojin sudah kembali melaporkan bahwa kacung
itu sudah menghilang dan pengejaran diteruskan ke bawah gunung.
Setelah menyatakan duka cita sedalam-dalamnya, maka Tongcin-
cu mengumumkan bahwa pertemuan besar terus diadakan.
Suasana belum tenteram, di sana sini orang masih kasak-kusuk.
Suara aneh itu mendadak berkumandang pula disertai tawa dingin,
"Tong-bing-cu masih ada muka kau bilangseluruh anggota Kongtong-
pay secara bulat mendukungmu" Jenazah Giok-hi-cu locianpwe
belum dingin, apa yang diucapkan beliau hadirin mendengarkan, dia
adalah tianglo Kong-tong-pay kalian, jadi bukan orang luar lho."
Maka Tong-cin-cu bicara perlahan dengan jalan tengah, "Sute,
bagaimana pendapatmu?"
Tong-bing-cu masih pura-pura sedih dan berduka atas kematian
Giok-hi-cu, maka sekian lama baru dia bicara, "Usul tianglo memang
harus dihargai, tapi usia beliau sudah tua...." Dia urung bilang sudah
pikun. "Aku orang luar, tiada hak bicara soal pencalonan ini," demikian
tim-brung Kim Tiok-liu, "biarlah aku bicara sebagai penonton saja
Setahuku sebelum ajal Giok-hi tianglo dalam keadaan sehat dan
sadar." "Kim tayhiap kau tidak tahu, tianglo itu sejak kecil terlalu sayang
dan berat sebelah kepada cucu kecilnya, tak berani aku bilang dia
ceroboh atau pikun, tapi seorang yang sudah tua, sering kali
melantur kalau bicara, memihak sebelah juga sudah biasa. Acara
kedua pertemuan besar ini adalah membersihkan nama baik
perguruan. Tan Khu-seng adalah murid murtad yang perlu
dibersihkan itu." Lui-tin-cu tianglo Bu-tong-pay berwatak jujur dan keras, segera
dia berkata lantang, "Ya, membersihkan nama baik perguruan
adalah urusan dalam perguruan kalian. Tapi menurut aturan Bulim,
jikalau kasus ini masih mencurigakan, bila tertuduh tidak menerima
tuduhan, orang luar boleh campur bicara. Kalau tidak, buat apa
kalian mengundang kami?"
Tong-bing-cu tertawa menye-ngir, katanya, "Nanti kalau tiba
saatnya mengadili kasus Tan Khu-seng, pasti kami akan mohon
pertimbangan kau orang tua." Secara tidak langsung dia mau
mengatakan, sekarang sedang memilih pejabat ciangbun baru, Luitin-
cu tidak perlu banyak mulut.
Lui-tin-cu mendengus, katanya, "Kurasa kedua persoalan ini
justru berkaitan satu dengan yang lain."
"Kim tayhiap," kembali Tong-cin-cu berkata, "bagaimana
pendapatmu" Mohon petunjukmu."
"Ah, tidak berani. Karena aku dimintai pendapat, aku sih ingin
mengajukan usul. Mohon ciangbun mempertimbangkan apakah
usulku bisa dilaksanakan."
"Silakan Kim tayhiap jelaskan."
Perlahan Kim Tiok-liu berkata, "Menurut pendapatku, bagaimana
kalau acara ini diputar balik?"
"Diputar balik bagaimana?"
"Pertemuan besar ini ada dua acara, memilih pengganti
ciangbun, lalu diteruskan membersihkan nama baik perguruan,
betul?" "Ya, betul." "Maksudku susunan kedua acara ini diputar balik, jadi acara
membersihkan nama baik perguruan didahulukan, bagaimana?"
Giok-hi-cu sudah berpesan, kini diajukan pula oleh Kim Tiok-liu,
sebagai ciangbunjin, tak bisa Tong-cin-cu menolak usul Kim Tiok-liu,
katanya, "Begitu pun baik. Tong-bing sute, bagaimana
pendapatmu?" Apa boleh buat, terpaksa Tong-bing-cu berkata, "Kalau suheng
setuju, siaute akui; saja."
Kelihatannya susunan acara yang diputar balik ini urusan sepele
saja, namun justru menyangkut banyak hal.
Maka sebagai ciangbun, Tong-cin-cu mengumumkan acara
dimulai dengan membersihkan nama baik perguruan, katanya,
"Sekarang kita mengadili dulu kasus Tan Khu-seng, jikalau dia tidak
berdosa boleh dia kembali ke perguruan sebagai salah satu calon
ciangbun. Tapi kalau terbukti dia bersalah, maka dia harus
mendapat hukuman setimpal sesuai hukum perguruan yang berlaku.
Tan Khu-seng, kau punya usul apa?"
"Pencalonanku tidak kupikirkan, aku pun tidak ingin jadi
ciangbun. Semoga saja pengadilan ini dapat menegakkan
kebenaran, maka terkabullah keinginan tecu."
"Sebagai ciangbun, aku pasti tidak akan mengabaikan pesan
tianglo kita, kasus ini akan dibereskan secara adil. Jadi kau tiada
usul?" Tan Khu-seng mengiakan. "Baik. Tong-bing sute, tolong
sementara kau menjadi penuduh (jaksa), silakan umumkan dosa
Tan Khu-seng." Tong-bing-cu pura-pura menghela napas, lalu serunya perlahan,
"Bicara tentang kasus ini sesungguhnya merupakan peristiwa yang
memalukan Kong-tong-pay kami. Tapi urusan sudah berlarut sejauh
ini, tak bisa kukendalikan bahwa keburukan rumah tangga pantang
diketahui orang luar. Setelah kubacakan, harap para saudara
memberikan keputusan, mohon pula para sesepuh perguruan lain
sesama kaum persilatan ikut memberikan pandangannya, apakah
pantas kami menuduh Tan Khu-seng sebagai murid murtad yang
berani melawan orang tua.
"Delapanbelas tahun yang lalu, murid bernama Ho Lok berangkat
ke Bi-ci menjemput calon istrinya dari puteri tunggal Koan-tiong
Tayhiap Boh It-hang. Tan Khu-seng diminta menyertai. Tak nyana
Tan Khu-seng menyeleweng setelah melihat paras cantik, saudara
seperguruan dicelakai jiwanya. Maka mantan ciangbunjin Tong-biau
Cinjin memecatnya dan mengusirnya dari perguruan, ternyata dia
belum kapok dan tidak bertobat, selama ini dia bersikap
bermusuhan dengan perguruan kita, malah berani melukai angkatan
tua kita...." Lalu Tong-bing-cu membeber saru per satu kejahatan Tan Khuseng
disertai keterangan yang memberatkan dosa Tan Khu-seng.
Beng Hoa sudah pernah melihat dan tahu apa yang diuraikan ini,
tapi kaum persilatan yang hadir merasa kaget dan heran. Banyak
orang berpendapat Tan Khu-seng mustahil melakukan kejahatan
seperti itu, namun ada juga yang berpendapat karena bukti sudah
nyata, maka mereka menghela napas, watak manusia memang


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak bisa diukur dari wajahnya.
Di tengah kasak-kusuk orang banyak, Tong-bing-cu berseru,
"Tan Khu-seng, apa yang akan kau katakan?"
Tan Khu-seng mengangkat kepala membusungkan dada, serunya
lantang, "Aku tidak berdosa."
"Baik, kau tidak menerima tuduhan, boleh kau memberikan
pembelaanmu." "Aku tidak akan membela diriku," tegas dan tandas suara Tan
Khu-seng. Tong-cin-cu mengejek, katanya, "Tuduhan Tong-bing-cu disertai
buk,ti-bukti, kalau kau sendiri tidak bisa menerangkan alibimu,
berarti kau memang berdosa sesuai tuduhannya."
Kim Tiok-liu tiba-tiba menimbrung, "Kurasa kasus ini banyak yang
patut dicurigai, entah sebagai orang luar dapatkah kalian memberi
kesempatan aku bicara?"
Untuk menghargai orang terpaksa Tong-cin-cu unjuk tawa,
katanya, "Silakan Kim tayhiap bicara."
"Tan Khu-seng dituduh mencelakai saudara seperguruan, siapa
yang menyaksikan?" "Dua orang kacung keluarga Boh pernah menyaksikan," sahut
Tong-bing-cu. "Mana kedua kacung itu?" "Sudah lama mati. Tapi Tong-hian-cu
suheng pernah menemukan mereka sebelum mati, dari pengakuan
mereka dia membuat surat kesaksian dan diserahkan kepada
ciangbun suheng. Surat itu juga masih tersimpan, apa perlu Kim
tayhiap membacanya?"
"Tidak perlulah. Yang kuinginkan adalah saksi hidup."
"Sayang Tong-hian sudah meninggal empat tahun yang lalu, dia
mati di bawah pedang Tan Khu-seng."
"Menurut apa yang kutahu, su-heng-mu Tong-hian-cu bukan mati
di tangan Tan Khu-seng. Untuk menghindari kasus ini bercabang,
sementara hal ini kukcsampingkan dulu. Kembali atas tuduhan
bahwa Tan Khu-seng membunuh saudara seperguruan, kalau saksi
hidup tiada, lalu siapa berani bilang kalau surat itu asli atau palsu"
Kurasa kurang kuat untuk dijadikan bukti."
"Baik, umpama surat itu kurang kuat sebagai bukti. Ho Lok mati
terbunuh adalah kenyataan. Hanya Tan Khu-seng yang mengiringi
Ho Lok menjemput calon istrinya ke Bi-ci, apa tidak pantas kalau dia
dicurigai?" "Betul," ucap Tong-cip-cu. "Hanya berdasar kecurigaan belum
boleh menjatuhkan hukuman. Tapi karena dicurigai, maka dia harus
membela diri. Kalau tidak bagaimana dia bisa membersihkan dirinya
dari kecurigaan orang?"
"Apa yang perlu kukatakan, tadi suco sudah mewakili aku bicara,"
ujar Tan Khu-seng. "Benar, tianglo Giok-hi-cu bilang kau tidak berdosa. Tapi beliau
tidak memberikan bukti apa pun untuk membebaskan dosamu."
"Betul, suara tianglo memang harus dihargai. Tapi kasus ini
menyangkut kepentinganmu sendiri, maka kau sendiri yang harus
membela dirimu sendiri," demikian desak Tong-cin-cu.
"Delapanbelas tahun yang lalu aku sudah menjelaskan kenapa
aku tidak mau berdebat soal ini. Kepada suhu almarhum aku pernah
bersumpah, kecuali suhu, selama hidup takkan memberi tahu
kepada orang ketiga. Tapi aku tidak percaya bahwa kalian tidak
tahu seluk beluk persoalan ini."
Tong-cin-cu punya ganjalan hati, namun tak berani dia
mengingkari suara hatinya, namun dia pura-pura marah, bentaknya,
"Aku belum menjatuhkan hukuman, kau malah menggigit aku. Hm,
apa maksud perkataanmu" Apakah kau anggap putusanku sebagai
ciangbunjin tidak adil, sengaja ingin mencelakai dirimu?"
Tan Khu-seng masih mengindahkan pendapatnya, hatinya rikuh
dan tak enak melawannya, dengan menunduk dia berkata, "Tecu
tidak berani. Jikalau ciangbun susiok memang tidak tahu, mana tecu
berani main tuduh." "Aku tidak tahu," seru Tong-bing-cu. "Yang kutahu adalah guru-,
mu sendiri yang mengusir kau dari perguruan." Tujuannya
menyudutkan posisi Tan Khu-seng. "Gurumu sendiri pun memvonis
kesalahanmu." "Ingin aku bicara beberapa patah kata lagi," timbrung Kim Tiokliu.
"Jikalau betul Tan Khu-seng melakukan dosa sebesar itu, apakah
gurunya menghukumnya dengan hanya mengusirnya dari
perguruan" Hadirin dengar sendiri apa yang diucapkan Giok-hi-cu
cianpwe, bahwa mantan ciangbun yang dahulu pernah bilang, demi
kerukunan dan keutuhan perguruan terpaksa dia harus
mengorbankan muridnya Walau tidak dijelaskan alasannya, tapi
nadanya dapat dirasakan oleh siapa pun, sebetulnya Tan Khu-seng
hanya difitnah atau dijadikan kambing hitam. Dia tidak mau
berdebat atau membela diri, kurasa karena dia punya kesulitan."
Tong-bing-cu merasa terancam, lekas dia berkata, "Bukan aku
mau bilang Tong-biau suheng berat sebelah dan membela
muridnya, tapi resminya Tan Khu-seng adalah muridnya padahal
hubungan mereka seperti ayah dan anak, terlalu disayang dan
dimanja kan juga biasa." Sampai di sini dia berhenti dan menoleh
kepada Tong-cin-cu, "Pendek kata kasus ini tidak boleh diselesaikan
secara ngawur, kalau tidak, bagaimana kita harus bertanggung
jawab kepada arwah Tong-hian suheng dan Ho Lok yang sudah di
alam baka." Tong-cin-cu bersikap apa boleh buat, katanya, "Tan Khu-seng,
aku tidak tahu apa kau punya kesulitan, tapi sebagai ciangbunjin,
aku harus menyelesaikan kasus ini secara adil. Jikalau kau tidak
mau membela diri, terpaksa aku menjatuhkan hukuman kepadamu."
"Kesulitan apa, yang jelas dia sadar akan kesalahan, sukar
membela diri," jengek Tong-bing-cu.
Berubah airmuka Tan Khu-seng, alisnya sudah berdiri, agaknya
dia sudah siap bersuara. Tapi kejap lain sikapnya sudah berubah
kelam, mulutnya yang sudah terbuka tertutup lagi.
"Tan-heng, jikalau kau punya pantangan apa dan segan bicara di
depan umum, bagaimana jika diubah caranya, biar aku yang
bersama tianglo Bu-tong-pay serta dua paderi sakti dari Siau-lim-si
menjadi saksi mendengarkan pembelaanmu di hadapan ciangbunjin
kalian." Usul Kim Tiok-liu masuk di akal dan cara yang paling tepat serta
sempurna, tak nyana Tan Khu-seng menggelengkan kepala, katanya
menghela napas, "Pernah aku bersumpah di hadapan guru, kecuali
padanya aku tidak akan bicara dengan siapa pun lagi."
Diam-diam Kim Tiok-liu memperhatikan mimik muka orang,
meski kelihatan keren, tapi rasa senang hatinya terbayang dari sorot
mata dan ekspresi mukanya, maka Kim Tiok-liu yakin bahwa Tan
Khu-seng memang difitnah dan jadi kambing hitam Sayang dia tidak
punya bahan untuk membela Tan Khu-seng.
"Baiklah," seru Tong-cin-cu. "Karena kau mengabaikan
kesempatan membela diri, terpaksa sesuai keadaan aku
menjatuhkan vonisku."
Karuan Beng Hoa gugup dan gelisah, suara Kwi-hwe-thio
ternyata juga mengiang di kupingnya, "Sekarang kau boleh keluar,
tapi jangan singgung Hay Lan-ja dulu."
Di saat Tong-cin-cu hendak mengumumkan keputusannya,
mendadak seseorang berteriak, "Tunggu sebentar!" Seorang lain
mendahului Beng Hoa tampil ke muka.
Orang ini adalah ji-suhu Beng Hoa yaitu Toan Siu-si.
Begitu Toan Siu-si muncul, Tong-cin-cu tahu maksudnya, namun
sebagai ciangbunjin dia harus mempertahankan harga dirinya, maka
sapanya dengan getir, "Ada petunjuk apa Toan tayhiap?"
"Memberi petunjuk tidak berani. Aku harap setelah mendengar
keteranganku baru ciangbun menjatuhkan keputusanmu."
"Entah Toan tayhiap ada petunjuk apa?"
Lantang suara Toan Siu-si, "Kehadiranku ini untuk menjadi saksi
Tan Khu-seng. Tadi Tong-bing to-tiang memberikan tuduhan yang
salah kepadanya," "Tuduhan mana yang salah?"
"Akulah yang membunuh Tong-hian-cu, tapi kalian menuduh dia
yang melakukan, apakah tidak ngawur?"
Sudah tentu pengakuan Toan Siu-si menimbulkan pelbagai
reaksi, ada yang memuji ada pula yang mencaci maki, terutama
murid Tong-hian-cu yang tertua Tay-kok Tojin berjingkrak gusar,
serunya, "Jadi kaulah yang membunuh suhuku, sakit hati ini harus
kami balas." Tong-cin-cu mengerutkan alis, sentaknya, "Tay-kok, jangan ribut,
dengarkan penjelasan Toan-sian-sing. Tdan-siansing, lantaran soal
apa kau membunuh sute-ku."
"Hari itu sute-mu datang ke Ciok-lin bersama gembong iblis Yang
Kek-beng. Katanya Yang Kek-beng hendak merebut Ciok-lin, maka
sute-mu diundang untuk membantu, kebetulan waktu itu aku juga
di sana." "Apakah sute-ku tidak menjelaskan kedatangannya hendak
membersihkan nama baik perguruan?"
"Aku hanya mendengar dia hendak menangkap Tan Khu-seng
dan digusur ke gunung, tidak pernah aku mendengar dia bilang
membersihkan nama baik perguruan segala."
Ditangkap dan digusur balik ke gunung kemungkinan untuk
membersihkan nama baik perguruan, padahal istilah membersihkan
nama baik perguruan baru terakhir ini tercantum sebagai salah satu
acara pertemuan besar ini. Empat tahun yang lalu Tong-hian-cu
jelas tidak leluasa menggunakan istilah ini.
Sadar keliru menggunakan kata-kata, terpaksa Tong-cin-cu
membalik, "Tong-hian-cu adalah susiok Tan Khu-seng, kalau kau
tahu Tonghian-cu hendak menangkapnya pulang kenapa kau
mencampuri urusan perguruan kami?"
Tawar suara Siu-si, katanya, "Aku tahu bahwa Tan Khu-seng
sudah dipecat dari perguruan, menurut aturan Bulim tidak patut dia
menyebut Tong-hian-cu sebagai susiok lagi. Bicara keadaan waktu
itu, sebagai teman baik Tan Khu-seng kan wajar kalau aku membela
temanku yang dikeroyok kawanan iblis."
"Apa?" Tay-kok Tojin berjingkrak gusar pula. "Berani kau memaki
guruku sebagai kawanan iblis?"
Toan Siu-si hanya mendengus dan tak peduli ocehan Tay-kok
Tojin. Yang' Kek-beng sudah terkenal sebagai orang jahat, tiada orang
yang berani membela dia. Walau penasaran mendengar nama
gurunya dirugikan oleh perkataan Toan Siu-si, tapi Tay-kok tidak
berani mungkir. Lebih jauh Toan Siu-si berkata, "Mengingat hubungan sesama
perguruan, Tan Khu-seng tidak berani melawan Tong-hian-cu. Tapi
Tong-hian-cu malah mengajak Yang Kek-beng mengeroyoknya,
terpaksa aku membantu dia melawan mereka. Kali itu aku dan Tan
Khu-seng juga luka parah hampir ajal. Tong-hian-cu berhasil
kubunuh, siapa di antara kalian ingin menuntut balas, seorang diri
aku akan memikulnya. Tapi ingin aku bertanya, kalau hari itu aku
yang terbunuh olehnya, apakah kalian berpendapat bahwa kematianku
itu setimpal?" Tong-bing-cu terdiam tak mampu bicara, Tong-cin-cu sendiri juga
malu. Khawatir Toan Siu-si makin mengorek borok pihaknya, Tongcin-
cu berkata, "Kematian Tong-hian sute di Ciok-lin disaksikan oleh
orang kami, apakah kejadian sesuai yang diceritakan Toan-siansing
kita tidak perlu meributkan. Umpama betul Tan Khu-seng tidak
membunuh susiok-nya, dosanya hanya sedikit lebih ringan, jangan
dianggap bahwa tuduhannya yang lain fitnah belaka. Jikalau dia
tidak mau membela dirinya, aku tetap akan menjatuhkan vonisku."
Toan Siu-si berkata dingin, "Satu hal mencakup persoalan lain.
Tan Khu-seng hanya tidak mau berdebat, siapa tahu dosa yang
dituduhkan kepadanya apa bukan fitnah seperti yang kalian
tuduhkan bahwa dia yang membunuh Tong-hian-cu?"
"Toan-siansing," kata Tong-cin-cu, "kau bilang satu hal dapat
mencakup persoalan lain, kurasa uraian-mu ini juga tidak bisa
menjernihkan persoalan. Menurut pendapatku, kita harus menilai
persoalan berdasarkan kenyataan, harus dibicarakan satu per satu."
Lui-tin-cu, tianglo Bu-tong-pay berdiri, katanya melerai,
"Bagaimana kasus Tan Khu-seng sebenarnya sukar aku
memahaminya, maka tak berani aku bicara. Tapi kematian Tonghian-
cu di Ciok-lin sudah jelas duduk perkaranya, maka ingin aku
bicara secara adil."
"Silakan Lui-locianpwe."
"Menurut pendapatku, kejadian ini hanya boleh dianggap
malapetaka, juga tak boleh menyalahkan Toan Siu-si saja. Bicara
kenyataan dari kejadian itu, menurut aturan Bulim, peristiwa itu
hanya boleh dianggap sebagai permusuhan pribadi."
Tong-cin-cu pandai melihat arah angin, keadaan memaksa dia
menerima pendapat Lui-tin-cu, maka dia menyatakan kematian
Tong-hian-cu tiada sangkut paut dengan Tan Khu-seng. Menyusul
dia berkata, "Tan Khu-seng, tuduhan atas dirimu tentang
pembunuhan itu kubatalkan, tapi dosamu yang lain, jika kau tetap
tidak mau memberi keterangan, maka akan kuanggap kau
menerima tuduhan itu. Baiklah, sekarang kutegaskan lagi, kau mau
menerangkan tidak?" "Sudah kukatakan, kecuali suhu almarhum hidup kembali, kepada
siapa pun aku tidak akan bicara"
"Baiklah, dalam menangani kasus membersihkan nama baik
perguruan, aku sudah bertindak sesuai peraturan Bulim, sudah tiga
kali aku mengulangi pertanyaanku kepada Tan Khu-seng, dia juga
menjawab tegas takkan mau memberi keterangan. Sekarang biar
kutanya sekali lagi, masih adakah orang lain yang hendak membela
Tan Khu-seng?" Dua kali Tong-cin-cu mengulangi pertanyaannya, maka terdengar
seseorang berseru lantang, "Ada!" Orang itu Beng Hoa
Beng Hoa menanggalkan kedok mukanya. Di bawah pandangan
orang banyak dia berjalan tegap ke tengah lalu melompat ke atas
panggung. Kemunculan Beng Hoa secara mendadak membuat Tong-cin-cu
dan Tong-bing-cu seperti melihat setan, saking terkejut mereka
terdiam. Mimpi juga mereka tidak menduga Beng Hoa yang sudah
keracunan Hap-kut-san, disekap dalam kamar tahanan di bawah
tanah, ternyata muncul dalam keadaan segar bugar.
Kim Tiok-liu justru kegirangan, katanya, "Hoa-ji, kukira terlibat
urusan penting apa hingga terlambat datang, ternyata kau sudah
datang sejak tadi." Karena kaget, ngeri dan takut, Tong-cin-cu dan Tong-bing-cu
mundur tanpa berjanji, keduanya memegang gagang pedang,
teriaknya, "Kau... kau... untuk apa kau kemari?"
Sudah tentu hadirin heran, kenapa ciangbunjin Kong-tong-pay
bersikap begitu gugup dan ketakutan terhadap seorang cucu
muridnya. Setelah mengangguk ke arah Kim Tiok-liu, Beng Hoa menjura
kepada Tong-cin-cu, katanya,
"Terima kasih akan pelayanan ciangbun yang luar biasa
semalam, mohon maaf, pagi hari ini tanpa diundang aku datang
sendiri. Aku hendak membela guruku."
Lega hati Tong-cin-cu karena Beng Hoa tidak membongkar
perbuatannya semalam, katanya "De-lapanbelas tahun yang lalu kau
baru dilahirkan. Kau tahu apa, berani kau membela guru?"
Tak tahan Kim Tiok-liu bertanya, "Beng Hoa, bukankah kau baru


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pulang dari Thian-san" Apakah ciangbunjin Thian-san-pay Teng
King-thian titip pesan kepadamu?"
Tong-cin-cu mengira Kim Tiok-liu sudah tahu bahwa Beng Hoa
hadir sebagai wakil Thian-san-pay, cepat dia berkata "Betul. Beng
Hoa mengaku sebagai wakil Teng-ciang-bun, tapi aku belum
percaya" "Aku yakin bocah ini tidak beranibohong. Satu hal dapat dibuat
bukti, belum lama aku bertemu dengan Teng Ka-gwan dari Thiansan-
pay, katanya ciangbun ada titip suatu barang untuk diserahkan
kepada ayahnya apa betul?"
Hal ini memang kenyataan, maka dia mengangguk sambil
mengiakan. Kim Tiok-liu berkata lebih lanjut, "Menurut Teng Ka-gwan, karena
dia ada urusan lain, tak keburu pulang ke Thian-san maka dia
titipkan pula barang titipan ciangbun itu kepada Beng Hoa."
Beng Hoa berkata, "Memang setelah memeriksa berkas-berkas
yang dikirim tay-susiok itulah, maka beliau minta tecu mewakili dia
serta mengakui diriku sebagai murid angkat Thian-san-pay,
mewakilinya hadir dalam pertemuan besar ini."
"Baiklah, jadi kau ingin bicara atas nama ciangbun Thian-san,
atau atas nama pribadimu membela gurumu?"
"Apa yang ingin dibicarakan Teng-ciangbun, semalam sudah
kusampaikan kepadamu. Kau tidak menerima nasihatnya, maka tak
perlu kuulangi lagi. Sekarang atas nama pribadiku, aku hendak
membela guruku." Merah padam muka Tong-cin-cu, katanya, "Langkah Tengciangbun
kurasa keluar batas, maka semalam aku tidak begitu yakin
akan omonganmu. Kalau kau sekarang bukan bicara atas nama
murid Thian-san, maka kuanggap kau sebagai murid dari murid
murtad' perguruan kita."
Tawar suara Kim Tiok-liu, "Kurasa tidak usah meributkan dia
bicara atas nama siapa, kita nilai saja apakah keterangannya dapat
dipercaya?" Tong-bing-cu menimbrung dingin, "Apa yang dikatakan suheng
memang benar, delapanbelas tahun yang lalu, dia masih bayi, apa
yang bisa dia ketahui" Mana mungkin membela gurunya, kurasa
hanya membual belaka."
Beng Hoa menyeringai dingin, jengeknya, "Aku belum bicara, dari
mana kau tahu kalau aku membual?" Menoleh ke arah Tong-cin-cu,
suaranya lebih kalem, "Kejadian delapanbelas tahun yang lalu, tecu
memang tidak tahu. Tapi kejadian tiga tahun yang lalu, tecu sendiri
yang melakukan, mungkinkah aku tidak tahu?"
Tong-cin-cu sudah menduga, namun sengaja bertanya,
"Bukankah kau bilang mau membela gurumu" Kenapa bicara
tentang perbuatanmu sendiri" Apa yang pernah kau lakukan?"
Berdiri alis Beng Hoa, matanya mendelik, katanya menuding
Tong Bing-cu, "Dia bilang pernah dilukai guruku, lalu menuduh
guruku kurang ajar berani melawan orang tua. Padahal bukan
demikian kejadiannya. Hakekatnya guruku tidak pernah bergebrak
dengan dia, orang yang pernah melukai dia adalah aku."
Muka Tong-bing-cu pucat hijau lalu merah, kalau ada lubang
ingin rasanya dia bersembunyi saja. Sudah tentu hadirin jjempar,
ribut dan keheranan. Maklum Tong-bing-cu adalah jago pedang
nomor satu dari Kong-tong-pay, hal ini diakui oleh kaum persilatan.
Beng Hoa belum genap duapuluh, benarkah dia mampu melukai
Tong-bing-cu" Kejadian memang sukar dipercaya oleh hadirin. Tapi
setelah melihat sikap kikuk dan malu-malu Tong-bing-cu, mereka
yang semula curiga terpaksa goyah pendirian dan bimbang.
Tong-cin-cu sengaja hendak membuat malu sute-nya, katanya,
"Tong-bing sute, apa benar begitu?"
Tong-bing-cu tergagap, "Kejadian... kejadian...." Tak mampu dia
memberj penjelasan. Beng Hoa tidak memberi kelonggaran, jengeknya sinis, "Jikalau
ciangbun tay-susiok tidak percaya, sekarang juga aku berani
bertanding lagi di hadapan umum dengan dia, biar hadirin
membuktikan kebenaran keteranganku."
Sebetulnya Tong-bing-cu ingin menyangkal tuduhan Beng Hoa,
namun untuk kejadian ini tak berani dia membantah. Karena dalam
situasi seperti ini jikalau dia menyangkal maka dia harus bertanding
pedang, kalau hal ini terjadi, dirinya jelas bukan tandingannya.
Mana berani dia bertanding"
Dalam waktu singkat otaknya bekerja kilat, tak habis dimengerti
Beng Hoa yang terkena racun Hap-kut-san ternyata bisa lolos,
namun tenaganya pasti berkurang separo, namun dia khawatir bila
perhitungannya meleset. Beng Hoa berani menantang dirinya, tentu
dia yakin dirinya pasti menang. Tiga tahun yang lalu dia bukan
tandingan Beng Hoa, meski tenaga Beng Hoa berkurang, dia tidak
yakin dirinya dapat mengalahkan bocah ini.
Dibayangi ketakutan, Tong-bing-cu tidak berani mengaku juga
tidak menyangkal, terpaksa dia mengada-ada, katanya pura-pura
marah, "Kurang ajar dan mustahil, mana sudi aku bertanding
pedang dengan cucu murid." Sembari bicara sengaja dia memberi
kedipan kepada murid kepercayaannya Tay-ciok Tojin.
Tay-ciok Tojin cukup cerdik untuk menangkap arti kedipan sang
guru, pikirnya, "Aku disuruh mencoba bocah ini, apakah tenaganya
sudah pulih. Ya. kalau menang aku terpuji, bukan mustahil calon
ciangbun yang akan datang adalah diriku, tapi kalau kalah bukankah
kebalikannya buat aku?" Maklum dia pernah dibekuk Beng Hoa,
terbayang akan kelihayan Beng Hoa, dia masih merinding dan
berdiri bulu kuduknya. Di saat dia berdiri bimbang itulah, seorang murid Tong-bing-cu
yang lain sudah melompat keluar. Yaitu Tay-siong Tojin, murid
kedua Tong-bing-cu, dia belum pernah merasakan kelihayan Beng
Hoa, apalagi melihat usianya masih muda, biasanya dia iri kepada
sang suheng yang selalu mendapat kepercayaan dari sang guru,
maka kali ini dia ingin merebut pahala
"Kalau ada urusan sang murid yang harus menunaikan. Kita
jangan membiarkan saja keparat ini bertingkah. Keparat, kau berani
menghina guruku. Toa-suheng, kau diam saja. biar aku yang
menghajarnya." "Sute, jangan salah paham," sahut Tay-ciok Tojin. "Bukan aku
tidak mau urus, tapi kau harus tahu, bocah ini terhitung angkatan
yang lebih rendah dari kita, kan wajar kalau suhu tidak sudi
bergebrak dengan dia, aku pun harus berpikir dua kali."
Kim Tiok-liu tahu kedua tojin ini maju bersama juga bukan
tandingan Beng Hoa, maka dia tampil sebagai Bulim cianpwe yang
ingin menegakkan keadilan, katanya, "Umumnya kalau angkatan tua
bergebrak dengan angkatan muda dianggap menindas yang kecil.
Tapi Beng Hoa bilang dia pernah melukai Tong-bing toheng, jelas
orang banyak tidak percaya, kalau murid Tong-bing toheng yang
mencoba kepandaiannya juga boleh. Aku tahu Beng Hoa
mengangkat beberapa guru, sekarang Tan Khu-seng belum
dianggap mund Kong-tong, jadi Beng Hoa belum termasuk murid
Kong-tong-pay. Kalau dia bergebrak dengan kedua toheng ini,
jangan lantas dikatakan melanggar kebiasaan Bulim."
Terpaksa Tay-ciok harus mengeraskan kepala, katanya, "Baiklah,
bocah keparat, suhu tidak sudi bertanding dengan kau. Biar aku
yang menguji kemampuanmu."
Khawatir kehilangan kesempatan merebut pahala, Tay-siong
berebut maju, katanya, "Suheng, biar aku saja yang menghajarnya."
Beng Hoa tertawa lebar, katanya, "Dengan cara apa kalian
hendak menghajar aku."
Tay-siong Tojin berkata, "Kalau kau tak mampu mengalahkan
pedang di tanganku, terbukti kau hanya membual. Maka hukuman
apa yang setimpal untukmu, biar para Bulim cianpwe yang hadir
menjatuhkan vonisnya."
Beng Hoa bergelak tawa, katanya, "Baiklah, aku memang ingin
mencoba Lian-hoan-toh-bing-kiam-hoat kalian. Kalian tidak usah
berebut." Tay-ciok Tojin mendengus, hatinya lega dan senang, katanya,
"Kau ingin merasakan kelihayan Lian-hoan-toh-bing-kiam-hoat kami,
nah rasakan!" "Sret" serempak dia mencabut pedang bersama Tay-siong Tojin.
Sejak Kong-tong-pay berdiri, hanya tiga orang yang mampu
mengembangkan ilmu pedang yang satu ini. Pertama adalah cosu
pendiri atau cikal bakal Kong-tong-pay, seorang lagi adalah Tongbiau
Cinjin, guru Tan Khu-seng, seorang lagi adalah Tong-bing-cu
yang diagul-kan sebagai jago pedang nomor satu dari Kong-tongpay,
malah ada orang bilang ilmu pedang yang diyakinkannya jauh
lebih bagus dari cosu mereka dulu. Tapi sekarang Beng Hoa berani
menantang dan melawan murid Tong-bing-cu yang mahir ilmu
pedang itu. Dengan Lian-hoan-toh-bing-kiam-hoat, dahulu Tong-bing-cu
dikalahkan Beng Hoa di Ciok-lin, maka dia tidak banyak komentar,
hanya pura-pura tak acuh dan menghina.
"Baiklah, boleh kalian serang lebih du'u," tantang Beng Hoa.
"Apa, bedebah, kami harus menyerang dulu?" damprat Tay-siong
Tojin. "Guru kalian bukan tandingan-ku, kalian maju berdua, aku tetap
tidak akan mengambil keuntungan," ujar Beng Hoa tertawa.
"Baik, keluarkan dulu pedangmu," seru Tay-siong Tojin.
Beng Hoa menyeringai, ejeknya, "Menghadapi gentong nasi
seperti kalian buat apa pakai pedang" Tanpa pedang pun aku
mampu memainkan ilmu pedang. Hayolah maju saja."
"Baiklah, kau memang ingin mampus," damprat Tay-siong Tojin.
"Biar kuantar jiwamu ke alam baka." Di tengah hardikannya, pedang
panjang di tangannya disendai ke atas terus menusuk dada Beng
Hoa. Ternyata kedua saudara seperguruan ini mempunyai jalan
pikiran yang sama, maka kerja sama mereka cukup baik dan serasi.
Sebelum Beng Hoa mundur, Tay-siok Tojin merendahkan tubuh,
pedangnya ikut turun dan "sret" menusuk Ih-khi-hiat di bawah
ketiak kanan Beng Hoa, demikian pula pedang Tay-siong
Tojin menusuk Ih-khi-hiat sebelah kiri. Gerakan cepat, mantap
tapi keji. Yang hadir tidak sedikit ahli pedang, mereka terkejut
menyaksikan permainan pedang kedua tojin ini. "Lian-hoan-tohbing-
kiam-hoat Kong-tong-pay memang lihay."
Kejadian amat cepat, tusukan pedang laksana sambaran kilat,
anehnya Beng Hoa tetap berpeluk tangan, tubuhnya meiompat
berkelebat, di tengah sinar pedang yang menusuk silang itu
bayangannya menyusup kian kemari.
Beng Hoa menghela napas, katanya, "Goblok, goblok, bagaimana
kau belajar" Ilmu pedang tingkat tinggi sebagus ini sia-sia kalian
pela-jari. Bukan saja kurang cepat, tempo yang digunakan juga
tidak tepat. Nah lihatlah biar jelas, jurus ini harus begini
memakainya" Sembari bicara,- Beng Hoa menyerang dengan jari tangan
sebagai pedang. Sebagian besar jago kosen yang hadir banyak yang
tidak melihat jelas, namun Tay-ciok dan Tay-siong kelihatan
terdesak mundur. Dalam waktu sesingkat itu, Tay-ciok dan Tay-siong sama
merasakan ujung jari Beng Hoa seperti menyodok Ih-khi-hiat di
bawah ketiak mereka, reaksinya tidak begitu hebat, mereka hanya
merasa kesemutan sedikit.
Harapan timbul dalam benak Tay-ciok, dia kira tenaga Beng Hoa
belum pulih setelah terkena Hapkut-san, maka totokan jarinya
hanya membuat badannya linu sebentar. Maka dia memaki,
"Bedebah, jangan besar mulut, coba buktikan berapa jurus kau
mampu melawan?" Setelah memberi kedipan mata kepada sang
Sute, segera merangsak dengan kecepatan pedangnya.
Beng Hoa tertawa, katanya, "Jurus ini keliru lagi. Lian-hoan-tohbing-
kiam-hoat mengutamakan perubahan selintas sebelum dan
sesudah bergerak, gerakannya di samping lembut juga sambung
menyambung bagai rantai, bukan saja harus cepat lagi ganas, tapi
tak boleh terlalu mengadu kecepatan saja."
Padahal kedua tosu ini termasuk susiok Beng Hoa, namun Beng
Hoa justru bertingkah seperti guru sedang mengajar murid. Tampak
sambil bicara Beng Hoa bergerak kian kemari, jarinya bergerak
laksana pedang, seorang diri dia mengembangkan Lian-hoan-tohbing-
kiam-hoat yang ruwet dan banyak perubahannya lagi. Setiap
jurus dia bergerak, jari Beng Hoa seperti menusuk ke hiatto
mematikan di tubuh Tay-ciok dan Tay-siong, karuan mereka
terdesak hingga napas seperti sesak. Sudah tentu tak berani banyak
bacot lagi. "Kali ini aku menggunakan jurus Kim-ciam-to-koat, kalian harus
memunahkan dengan Hun-hoa-hud-liu," demikian bentak Beng Hoa.
Mulut bicara serangan pun dilancarkan, merangkap dua jari Beng
Hoa menusuk dengan gaya lurus yang dilancarkan memang betul
jurus Kim-ciam-to-koat. Dalam bertanding, jurus serangan apa yang dilancarkan
diberitahukan dulu kepada lawan adalah kejadian aneh dan jarang
terjadi, dia ajarkan pula bagaimana harus mematahkan
serangannya, ini pun janggal, apalagi Beng Hoa sebagai angkatan
muda dikeroyok dua orang angkatan lebih tinggi. Maka para tamu
tak kuat menahan geli, katanya, "Begini kok bertanding ilmu
pedang, lebih mirip mendidik murid." Tay-ciok dan Tay-siong malu
bukan main, dalam benak mereka justru bertekad tak mau
mendengar petunjuk orang, tak nyana jurus Kim-ciam-to-koat yang
dilancarkan Beng Hoa memang lihay sekali, serempak mereka
merasakan Beng-bun-hiat dirinya terancam oleh ujung jari lawan.
Jikalau tidak segera mematahkan dengan jurus Hun-hoa-hud-liu
mungkin jiwa mereka terancam.
Justru karena mereka sudah terlalu mahir menggunakan Lianhoan-
toh-bing-kiam-hoat, secara otomatis kecuali jurus Hun-hoahud-
liu memang tidak mungkin mereka mematahkan serangan Beng
Hoa, waktu sudah mendesak, tak mungkin mereka berpikir, maka
tanpa sadar terpaksa mereka mengabaikan keinginan hati sendiri
melancarkan jurus yang diserukan Beng Hoa.
Beberapa kali Beng Hoa mempermainkan kedua tosu ini dengan
caranya itu. Maka tepuk sorak para hadirin makin ramai, gelak tawa mereka,
terasa menusuk telinga. Membesi muka Tong-bing-cu, bentaknya, "Kalian masih
bertanding apa" Kembalilah!"
Padahal kedua muridnya terbelenggu dalam gerakan pedang
yang dimainkan Beng Hoa, mana mungkin meloloskan diri. Ada
hasrat mundur tapi mereka tak kuasa mengendalikan diri.
Beng Hoa berkata, katanya menggoda, "Pepatah bilang guru
pandai melahirkan murid pintar, kau tidak salahkan dirimu sendiri
yang tidak becus menjadi guru, kenapa malah menyalahkan
mereka. Sungguh tidak tahu malu, baiklah aku tidak akan
mempersulit mereka, biarlah mereka kembali." Lalu dia meninggikan
suara membentak, "Tapi kalian tidak setimpal bermain pedang,
tinggalkan senjata kalian untukku."
Belum habis dia bicara, dua pedang Tay-ciok dan Tay-siong
sudah berpindah ke tangan Beng Hoa. Tak tertahan Lui-tin-cu dari
Bu-tong-pay berseru memuji, "Khong-jiu-jip-pek-to yang hebat."
Kecuali beberapa tokoh kosen, banyak hadirin tiada melihat jelas
dengan cara apa Beng Hoa melucuti senjata kedua tosu itu.
Terdengar suara "Pletak" dua kali, sekaligus Beng Hoa mematahkan
kedua batang pedang mereka tepat di bagian tengah.


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kalau tadi dia pamer ilmu pedang, sekarang dia
mendemonstrasikan tenaga dalamnya. Seluruh murid-murid Kongtong-
pay menyaksikan dengan melongo, terutama Tay-ciok Tojin
yang paling ketakutan, dua kali dia kecundang di tangan Beng Hoa.
Beng Hoa membuang kutungan pedang lalu melompat naik ke
panggung, setelah memberi hormat kepada Tong-cin-cu, berkata,
"Entah ciangbun tay-susiok sudah mau percaya kepadaku" Kalau
belum percaya, boleh kau suruh Tong-bing-cu sendiri bertanding
dengan aku." Tong-cin-cu ingin menjatuhkan pamor Tong-bing-cu, tanyanya,
"Sute, bagaimana pendapatmu?"
Sudah tentu Tong-bing-cu tidak berani bertanding dengan Beng
Hoa, katanya marah, "Suheng, dalam pertemuan besar perguruan
kita ini siaute sebagai calon tunggal pewaris ciangbun, apa aku
pantas bertanding pedang dengan dia?"
"Sute, kau salah paham. Bukan aku memaksamu bertanding
dengan dia, cuma soal ini harus dipertanggungjawabkan."
Maka Lui-tin-cu membuka suara sebagai Bulim cianpwe yang
memberikan keadilan, "Betul,Tong-bing toheng, kau sendiri juga
harus memberi pernyataan, katakan apakah betul pembelaan Beng
Hoa atas tuduhan yang ditujukan kepada gurunya?"
Merah padam muka Tong-bing-cu saking malu, katanya tersekat,
"Dia... dia adalah murid Tan Khu-seng, perbuatan jahat muridnya,
apa saiahnya kalau diperhitungkan kepada gurunya, kurasa tuduhan
itu juga tidak meleset terlalu jauh?" Secara tidak langsung dia
mengakui bahwa dirinya memang pernah dilukai oleh Beng Hoa.
Tong-cin-cu harus mempertahankan gengsi seorang ciangbun,
setelah dia menjatuhkan.pamor sute-nya, dia harus memberi muka
pula kepadanya, maka dia berkata dengan nada adil, "Murid berbuat
salah, guru harus bertanggung jawab, hal ini memang benar.
Baiklah, Tan Khu-seng, tuduhan Tong-bing-cu tentang kekurang
ajaranmu melawan orang tua boleh dibatalkan. Biarlah tuduhan ini
kuubah menjadi dosa kelalaianmu mengabaikan murid berbuat
kurang ajar. Kau terima tidak?"
"Tak perlu aku memberi komen-? tar, karena bagaimana
kejadian waktu itu aku tidak tahu."
"Aku malah ingin bicara secara adil," timbrung Lui-tin-cu.
"Umpama betul Beng Hoa melukai Tong-bing-heng, kukira tidak bisa
menyalahkan dia sebagai kurang ajar kepada orang tua. Karena
waktu dia mengangkat Tan Khu-seng sebagai guru, Tan Khu-seng
sudah dipecat dari perguruan."
"Aku tidak terima," seru Beng Hoa lantang. "Mohon perkenan
ciangbun tay-susiok supaya aku menceritakan keadaan waktu itu."
Berkerut alis Tong-cin-cu, katanya, "Kasus yang menyangkut
dirimu termasuk sebagian kecil saja dalam kasus keseluruhan yang
melibatkan gurumu. Aku tidak ingin urusan bercabang dan
menimbulkan akibat lain yang tidak kuinginkan, tapi karena kau
tidak terima, boleh kau bicara secara singkat saja."
"Hari itu dia datang ke Ciok-lin bersama seorang murid Yang Kekbeng
dari suku Biau, ketika itu aku tidak kenal dia. Waktu itu suhu
sudah lama meninggalkan Ciok-lin, sementara orang Biau itu dulu
pernah ikut Yang Kek-beng membuat onar di Ciok-lin, hari itu
mereka...." Belum habis Beng Hoa bicara, mendadak seseorang melompat
keluar, serunya, "Seperti yang dikatakan Tong-cin-cu ciangbun,
persoalan itu urusan kecil, kalau duduk persoalannya sudah jelas,
kukira tak perlu diungkit-ungkit lagi. Tapi, ada satu hal lain kurasa
ciangbun kalian harus tanyakan dulu supaya jelas."
Orang yang tampil bicara ini seorang laki-laki pendek gemuk
dengan hidung betet, melihat tampangnya jelas bukan orang Han,
maka orang bertanya-tanya. Syukur ada orang yang kenal dia,
katanya, Orang ini adalah Thian-lam-kiam-pa Liong Bok-kong.
Asalnya penduduk Hay-lam dari suku Le di Ngo-ci-san.
"O, kiranya dia. Aneh, tempat tinggalnya jauh di selatan,
bagaimana dia punya hubungan erat dengan pihak Kong-tong?"
Hadirin bisik-bisik, mereka bukan heran karena Liong Bok-kong
orang selatan kenapa jauh-jauh me'.uruk datang dan agaknya
punya ikatan dengan pihak Kong-tong, tapi lebih penting karena
Liong Bok-kong terkenal sebagai tokoh kalangan sesat, walau
kejahatannya tidak seburuk gembong iblis Yang Kek-beng. Selama
ini dia hanya beroperasi di daerah selatan, maka dia memperoleh
julukan Thian-lam-kiam-pa (Buaya pedang dari selatan). Hadirin
tidak puas dan heran kenapa Kong-tong-pay juga mengundang
manusia jahat ini. Sudah tentu hadirin tidak tahu kesulitan Tong-cin-cu. Karena
tampilnya Liong Bok-kong di hadapan umum, sikap Tong-cin-cu
kelihatan runyam. Perlu diketahui bahwa kedatangan Liong Bok-kong adalah
diundang atas nama Tong-bing-cu dan yang mewakili Tong-bing-cu
mengundang Liong Bok-kong adalah Yang Kek-beng. Di belakang
Yang Kek-beng masih ada tulang punggung yang mengendalikan
segala muslihat ini yaitu komandan Gi-lim-kun Hay Lan-ja. Jadi
kalau dinilai keseluruhannya, Yang Kek-beng dan Tong-bing-cu tak
lain tak bukan hanyalah boneka Hay Lan-ja belaka, Hay Lan-ja pula
yang menganjurkan supaya meminjam nama Tong-bing-cu
mengundang teman-teman dari aliran sesat untuk membantu.
Sementara Tong-cin-cu dipaksa untuk menyetujui.
Sebetulnya mereka sudah berjanji kepada Tong-cin-cu untuk
tidak tampil di depan umum, tapi Liong Bok-kong melanggar janji.
Meski Tong-cin-cu bersikap runyam, terpaksa harus bertanya
kepadanya secara sopan, "Entah persoalan apa yang ingin Liongsiansing
tanyakan?" "Bocah ini mengaku sebagai wakil ciangbunjin Thian-san-pay,
kalau demikian tentu dia termasuk murid Thian-san-pay. Kalau tidak
mana setimpal mewakili ciangbun mereka?"
"Kan sudah dijelaskan lagi bahwa dia hanya murid angkat Thiansan-
pay." "Tapi ucapannya aku justru tidak percaya," jengek Liong Bokkong.
"Dengan cara apa baru kau mau percaya?"
"Aku ingin mencoba Thian-san-kiam-hoat-mu."
"Liong Bok-kong," kata Lui-tincu, "apa kau tidak menyudutkan
orang. Beng Hoa hanya sekali pergi ke Thian-san, mana mungkin
bisa mempelajari Thian-san-kiam-hoat?"
"Aku tidak peduli berapa lama dan berapa banyak dia pernah
belajar, kalau dia tidak mahir Thian-san-kiam-hoat mungkinkah
Teng-ciangbun mengutusnya kemari" Mengangkatnya menjadi
murid angkat segala" Kejadian yang jarang terjadi dan rasanya
janggal, kukira Teng-ciangbun takkan melakukan. Karena itu aku
tidak percaya." Lui-tin-cu sudah buka mulut, tapi Beng Hoa sudah mendahului,
"Thian-san-kiam-hoat adalah ilmu tinggi, luas dan mendalam, sudah
tentu sukar aku menguasainya, namun untuk menghadapi kaum
kero-co kukira cukup berkelebihan bagiku. Kalau kau ingin coba
silakan maju." Liong Bok-kong bergelar Thian-lam-kiam-pa, sudah tigapuluhan
tahun dia angkat nama, namun di mulut Beng Hoa dirinya dianggap
kaum keroco, betapa hatinya takkan berang" Segera dia mencabut
pedang serta membentak, "Keparat, berani menghina aku,
mampuslah kau!" Bentuk pedangnya aneh dan lain dari pada yang
lain, batang pedangnya lebar, tapi panjangnya hanya dua kaki,
ujungnya memancarkan kilauan cahaya biru dingin, bagi pesilat
kawakan sekali pandang lantas tahu pedangnya itu'dilumuri racun
jahat. Di antara hadirin ada guru kun-thau tua dari Jiangciu bernama
Tio It-bu, orangnya jujur, segera dia berdiri dan berteriak,
"Pertandingan ini hanya untuk mencoba apakah Beng-siauhiap ini
betul-betul mahir menguasai Thian-san-kiam-hoat, Liong Bok-kong
menggunakan pedang beracun untuk mencoba orang, apa sih
maksudnya?" Belasan tamu lain dari tokoh-tokoh silat kenamaan ikut
mendukung suara Tio It-bu.
Liong Bok-kong tertawa dingin, katanya, "Selama puluhan tahun
aku selalu memakai pedang ini. Belum pernah aku dengar adanya
peraturan dalam Bulim melarang seseorang menggunakan
senjatanya di saat bertanding. Hehe, pedangku ini memang
beracun, bocah she Beng kalau kau takut, mengaku kalah sajalah."
Tujuan Liong Bok-kong memang keji, bertanding pedang hanya
alasan saja untuk membunuh Beng Hoa. Maklum sebagai komplotan
Yang Kek-being dia merasa perlu tampil bicara karena khawatir
Beng Hoa bicara kejadian di Ciok-lin dulu, maka untuk melindungi
Yang Kek-beng yang secara langsung juga melindungi dirinya, maka
dia memutuskan membunuh Beng Hoa.
Di tengah keributan hadirin, sikap Beng Hoa justru tenang dan
kalem, hakekatnya dia tidak gentar menghadapi pedang beracun
Liong Bok-kong. 'Terima kasih aras perhatian para cianpwe kepada
wanpwe. Pedang beracun memang lihay, tapi apakah mampu
membunuh orang, tergantung kepada si pemakai. Manusia jahat ini
tak lebih bangkotan keroco dalam pandanganku, betapapun jahat
pedang beracunnya, yakin dia takkan mampu menyentuh tubuhku."
"Beng-siauhiap," seru Tio It-bu, "bajingan ini terkenal jahat dan
keji, jangan kau memandang enteng dia."
Membulat mata Liong Bok-kong, katanya menyeringai, "Tio It-bu,
kuingat makianmu itu. Setelah kubereskan bocah ini, nanti aku buat
perhitungan dengan kau."
Segera dia menegakkan pedang dan "sret" menusuk ke arah
Beng Hoa seraya membentak, "Anak jadah, kau ingin mati, biar
kuantar kau ke akhirat."
Bentuk pedangnya saja sudah ganjil, ternyata jurus pedangnya
juga berbeda dengan ilmu pedang umumnya. Ilmu pedang
mengutamakan enteng dan lincah, pedang beracun lebar ini justru
dimainkan sebagai golok besar, menabas dan membacok serabutan
secara keras. Penonton dalam jarak tigapuluhan langkah juga
mencium bau amis yang memualkan. Khawatir terkena racun,
penonton banyak yang mundur.
Tampak pedang Beng Hoa berputar, seperti menusuk ke kiri
namun di tengah jalan mendadak berubah menjadi lingkaran, tajam
pedangnya mengiris ke kanan malah. Penonton yang juga ahli
dalam permainan pedang segera bersorak memuji, "Bagus, itulah
jurus Hong-wi-loh-coan tulen dari Thian-san-pay." Belum habis
orang ini bersuara, Liong Bok-kong sudah berputar, "wut" pedang
racunnya menyambar lewat di atas kepala Beng Hoa, hanya terpaut
setengah senti, kulit kepala Beng Hoa sudah terpapas olehnya.
Di tengah teriakan kaget hadirin, sebat sekali Beng Hoa berputar,
secara tepat pedangnya sudah mengancam dada Liong Bok-kong.
Liong Bok-kong berjingkat kaget, pedang diturunkan terus menyapu
miring. Tapi gerakan Beng Hoa laksana kilat, pedangnya menyeret
serta menuntun, dengan mudah dia mematahkan serangan keji
Liong Bok-kong. Penonton juga melongo terpesona, yang bermata
tajam berteriak memuji, "Jurus Pay-hun-ji-thian (Menata mega
mengemudi kilat) yang bagus."
Begitu merebut inisiatif, Beng Hoa tidak memberi angin lagi
kepada Liong Bok-kong, bentaknya, "Biar matamu terbuka, rasakan
Tui-hong-kiam dari Thian-san-pay." Sesuai namanya Tui-hcng-kiamhoat
amat lincah dan tangkas. Beng Hoa sudah punya dasar dari
golok kilat keluarganya, untuk mengembangkan Tui-hong-kiam tidak
menjadi halangan baginya, malah kecepatannya melebihi kilat, jago
kelas satu dari murid-murid Thian-san-pay sendiri juga tiada yang
bisa menandingi kecepatannya. Hanya sekejap mata Liong Bok-kong
telah terbungkus di dalam cahaya pedang, tampak sinar kilat
sambar menyambar menyilaukan mata, penonton pun kabur
pandangannya. Kiamhoat yang diyakinkan Liong Bok-kong termasuk jenis yang
ganas dan keras, permainannya beringas. Tapi sekarang membela
diri pun dia kerepotan, mana mampu balas menyerang" Memang
penonton banyak yang benci dan sebal melihat tampang orang jahat
ini, melihat keadaannya yang makin runyam, penonton bersorak dan
mengolok. Terutama Tio It-bu bersuara paling lantang, "Thian-lamkiam-
pa apa, di mana kegaranganmu tadi" Kukira lebih setimpal
kalau dijuluki Thian-lam-ji-hu (Kaum ke-roco dari Thian-lam)."
Hampir meledak kepala Liong Bok-kong saking gusar dan malu,
sifat buasnya lantas kumat, bentaknya beringas, "Keparat, biar aku
adu jiwa dengan kau." Meski dalam kurungan cahaya pedang lawan
juga tidak dipedulikan lagi, mendadak dia melambungkan tubuhnya
ke udara, dengan gerak tubuh Hwi-ciau-to-lin (Burung terbang
hinggap di hutan) pedangnya berputar dengan tubuh menukik.
Agaknya insaf dirinya bukan tandingan Beng Hoa maka dia nekad
mengadu jiwa. "Pergilah!" bentak Beng Hoa. Dengan jurus Ki-hwe-liau-thian,
pedang beradu, meminjam tenaga menggunakan tenaga, dituntun
lalu didorong pergi, tubuh Liong Bok-kong sudah menukik turun
langsung terbang serong, untung kungfunya tidak lemah, di udara
dia berjumpalitan baru kedua kakinya hinggap di tanah tidak sampai
jatuh. Tapi begitu dia berdiri tegak, orang banyak lantas melihat
jelas, seketika sorak-sorai gegap gempita.
Ternyata rambut, alis dan jenggot Thian-lam-kiam-pa Liong Bokkong
telah dicukur kelimis oleh pedang kilat Beng Hoa, bukan saja
jadi hwesio, tanpa jenggot tak beralis lagi.
Tio It-bu berteriak, "Bagus, Beng-siauhiap kau memang bajik dan
penuh cinta kasih. Orang sejahat ini kenapa kau hanya mencukur
rambutnya." Liong Bok-kong merasakan kepalanya dingin, tfcnpa sadar
tangannya meraba kepala, baru disadarinya bahwa kepalanya sudah
gundul. Kekalahan begitu runyam, kalau tidak bunuh diri
sepantasnya mengaku kalah, namun bola matanya malah mendelik
merah, seperti kerbau gila mendadak dia menerjang ke arah Beng
Hoa. Beng Hoa tertawa dingin, katanya, "Agaknya kau belum terima
kalah, biar kau kenal betapa lihaynya Tay-si-mi-kiam-sek dari Thiansan-
kiam-hoat." Tay-si-mi-kiam-hoat adalah salah satu ilmu pedang Thian-sanpay
yang paling ruwet, mendalam dan sakti. Mendengar Beng Hoa
akan mengembangkan kiamhoat yang menakjubkan ini, jago
pedang yang hadir membelalakkan mata menonton dengan penuh
perhatian. Tampak Beng Hoa bergerak lambat seperti ujung pedangnya
sangat berat, menuding ke timur menggaris ke barat, meski lambat
namun gerak pedangnya bersambung, selintas pandang seperti
tidak karuan, juga amat makan tenaga.
Kelihatannya Tay-si-mi-kiam-hoat kebetulan berlawanan dengan
Tui-hong-kiam-hoat. Tui-hong-kiam-hoat lincah seperti angin,
cepatnya seperti kilat, lincah dan gemulai, sebaliknya Tay-si-mikiam-
hoat berat lamban, gerak pedangnya seperti orang bodoh
menari. Kecuali beberapa tokoh silat tingkat atas yang betul-betul mahir
dalam ilmu pedang, banyak hadirin yang tidak percaya bahwa Taysi-
mi-kiam-hoat yang hebat dan lihay dari Thian-san-kiam-hoat
ternyata begitu jelek gaya permainannya. Maka ada yang curiga,
Beng Hoa mulai kehabisan tenaga setelah beberapa kali turun
gelanggang.

Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi kenyataannya memang aneh. Di bawah serangan gencar
Liong Bok-kong yang kalap, Beng Hoa tetap berdiri tegak sekokoh
gunung. Padahal pedang racun Liong Bok-kong laksana lidah ular
yang bermain tangkas dan liar, menyerang dengan sengit dan
nekad, tapi setiap mendekati tubuh Beng Hoa selalu tertahan seperti
terhalang oleh dinding baja yang tidak kelihatan, betapapun kuat
dia menusuk, pedangnya tak mampu melukai lawan. Pedangnya
selalu tergetar mundur dalam jarak tiga kaki dari tubuh Beng Hoa,
ujung pakaiannya pun tak mampu disentuhnya.
Seperti mabuk laksana melamun Lui-tin-cu menyaksikan
permainan pedang Beng Hoa, akhirnya dia yang mendahului
bertepuk tangan dan bersorak memuji. Kim Tiok-liu juga menonton
dengan terbeliak dan alis terangkat tinggi, namun dia menghela
napas malah-, katanya, "Gelombang memang saling dorong silih
berganti, patah tumbuh hilang berganti. Tigapuluh tahun yang lalu
pernah aku menyaksikan Teng-lociangbun (Teng Hiau-lan ayah
Teng King-thian) mendemonstrasikan ilmu pedang ini. Tak nyana
hari ini aku dapat menyaksikan sekali lagi. Kiamhoat Beng-lote boleh
dikata tidak lebih rendah dibanding permainan Teng-lociangbun
dulu. Sepuluh tahun mendatang, aku pun harus mengaku kalah
kepadanya." Setelah mendengar pujian dua jago silat seperti Lui-tin-cu dan
Kim Tiok-liu, baru orang banyak kaget dan melongo saling pandang.
Apalagi Kim Tiok-liu yang diagulkan sebagai jago pedang nomor
satu di seluruh jagat juga memberi pujian kepada kiamhoat Beng
Hoa, maka tidak sedikit ahli-ahli pedang ternama yang hadir merasa
menyesal dan malu, heran dan kaget pula. Namun mereka juga
merasa lega dan senang karena mendapat kesempatan
menyaksikan tontonan yang tak mungkin disaksikan dalam seratus
tahun mendatang, sayang tidak banyak . yang bisa mereka selami
dari Tay-si-mi-kiam-hoat yang hebat ini.
Tay-si-mi-kiam-sek memang kelihatan berat dan lambat, namun
setiapjurus mengandung perubahan yang sukar diraba dan
mendalam. Memang Beng Hoa sengaja mendemonstrasikan Tay-simi-
kiam-hoat, supaya hadirin menyaksikan secara lengkap, kalau
tidak, hanya tiga jurus jiwa Liong Bok-kong sebetulnya sudah bisa
direnggutnya. Sementara itu Liong Bok-kong sudah mandi keringat, otot hijau
di atas jidatnya juga menonjol, sifat buasnya sudah lenyap,
gerakannya ngawur dan pontang-panting mengikuti gerakan pedang
Beng Hoa, seperti binatang buas yang terperosok di dalam liang
perangkap. Mendadak Beng Hoa membentak, "Selama hidup kau melukai
orang dengan pedang beracun, sekarang biar kau merasakan
betapa nikmat pedang beracunmu sendiri." Di tengah hardikannya,
dia menusuk dengan jurus Sam-coan-hoat-lun, perlahan saja
gerakannya. Liong Bok-kong tahu lawan hendak memelintir
pedangnya lalu menggetarkannya hingga terlepas, namun dia tak
kuasa menyingkir lagi. Tampak selarik sinar biru berkilauan melesat
dari tangan Liong Bok-kong, di tengah udara pedang beracun itu
berputar arah lalu meluncur turun dan tepat menancap di pundak
Liong Bok-kong. Liong Bok-kong menjerit keras, tubuhnya terkapar terus
bergulingan, mulutnya berteriak panik, "Lekas... lekas ambilkan obat
penawarnya." Padahal obat penawar berada di dalam kantong
bajunya sendiri. Ternyata tenaga untuk merogoh kantong
mengambil obat pun tak ada. Khawatir menimbulkan masalah,
sudah tentu komplotannya tiada yang berani tampil membantunya.
Liong Bok-kong meronta-ronta dan bergulingan sambil menjeritjerit
serak. Dengan sisa tenaganya dia menjerit penuh penasaran,
"Kalian mengundangku kemari untuk membantu berbuat jahat, tapi
melihat ajalku sudah dekat kalian tidak mau menolong. Hm, kalian
tidak kenal setia kawan, jangan salahkan aku, aku akan bilang...."
Suaranya mendadak putus, badan terkulai, darah hitam meleleh dari
mata, hidung, telinga dan mulutnya, jiwanya sudah di ambang
maut. Karena tidak tega, ingin tahu siapa biang keladi yang
bersembunyi di belakang layar, maka Beng Hoa berkata, "Baik,
jiwamu boleh kuampuni, asal kau bicara jujur."
Tak nyana sebelum Liong Bok-kong buka suara, belum sempat
Beng Hoa mengambil obat penawar di kantongnya, mendadak
didengarnya suara "piuk", entah dari mana melesatnya, sebutir batu
kecil telak mengenai Thay-yang-hiat Liong Bok-kong, seketika
jiwanya amblas. Lui-tin-cu gusar, serunya, "Ini jelas membunuh orang menutup
mulut, kasus ini makin mencurigakan. Tong-cin totiang, kuharap kau
mengusut perkara ini secara tuntas."
"Aku pasti akan mengusutnya," sahut Tong-cin-cu pura-pura
marah. Lalu dia perintahkan beberapa muridnya mengadakan
pemeriksaan, sudah tentu tidak menemukan apa pun.
Maka Tong-cin-cu bersikap apa boleh buat, katanya, "Musuh
Liong Bok-kong amat banyak, ketika ada kesempatan bukan
mustahil orang membokongnya, belum tentu kema-tiannya ada
hubungan dengan kasus ini. Pembunuh Giok-hi-cu tianglo juga
belum tertangkap, sungguh aku menyesal, mohon para hadirin suka
membantu aku." Beng Hoa sudah kembali berada di atas panggung, katanya,
"Lapor ciangbun, Liong Bok-kong sudah mencoba Thian-san-kiamhoat-
ku, apakah tay-susiok sudah percaya bahwa aku mewakili
Teng-ciang-bun?" "Sejak tadi aku sudah percaya. Pertempuran tadi hanya untuk
meyakinkan hadirin agar mempercayaimu. Apa yang ingin kau
katakan sudah kau sampaikan, boleh kau mengundurkan diri. Aku
pasti menyelesaikan kasus ini secara adil."
Beng Hoa menjura lalu mengundurkan diri ke bawah panggung.
Setelah Beng Hoa mundur, maka Tong-bing-cu angkat bicara
pula, "Suheng, Tan Khu-seng sudah menyatakan tidak akan
membantah tuduhan, kini tiada orang lain membela dirinya, tunggu
apa lagi tidak segera kau putuskan hukumannya."
Tong-cin-cu dan Tong-bing-cu memang punya tekad yang sama
yaitu jangan memberi kesempatan Tan Khu-seng untuk mewarisi
jabatan ciangbun, maka Tong-cin-cu bermuka-muka lagi, serunya,
"Baik, kutanyakan sekali lagi, bila tiada orang membela kepentingan
Tan Khu-seng aku akan menentukan hukumannya."
Sebelum dia menjatuhkan vonisnya, mendadak, "Tunggu dulu!"
Tampak serombongan orang sedang mendatangi dengan langkah
cepat, yang berlari paling depan dan berteriak "tunggu dulu" adalah
seorang pemuda cakap. Ada yang tidak kenal pemuda ini, bertanya,
"Siapa pemuda ini?" Seorang lain menjawab, "Ah, masa kau tidak
tahu" Dia inilah putera kedua Kang tayhiap, murid Kim tayhiap.
Kang Siang-hun." Yang membuat heran orang banyak bukan saja kedatangan Kang
Siang-hun tapi juga orang-orang yang datang bersamanya.
Di belakang Kang Siang-hun adalah murid Thian-san-pay Ting
Tiau-bing dan seorang gadis cantik, seorang lagi adalah laki-laki
yang ada codet luka di mukanya. Orang ini diseret oleh Ting Tiaubing,
gelagatnya dia digusur kemari sebagai tawanan.
Orang banyak menjadi gempar, seseorang berteriak, "Lha,
bukankah itu Kiat Hong, murid murtad Siau-lim-pay?"
"Aku tahu itulah puteri Teng-lopiauthau dari Hou-wi Piaukiok di
Hok-ciu yang bernama Teng Bing-cu. Ting Tiau-bing adalah susioknya."
Pergaulan Ting Tiau-bing ?imat luas, maka banyak hadirin yang
mengenalnya. Begitu Ting Tiau-bing menggusur Kiat Hong ke tengah
gelanggang, bukan hanya dua.paderi agung Siau-lim saja yang
girang, Beng Hoa pun tak terkecuali.
Mendadak Kim Tiok-liu berteriak, "Awas amgi!" Belum lenyap
suaaranya, "Ting" sebat sekali Kang Siang-hun mengayun
pedangnya memukul jatuh sebutir kerikil. Kerikil itu meluncur ke
batok kepala Kiat Hong, tapi dengan mengayun balik pedangnya,
Kang Siang-hun berhasil memukulnya jatuh dengan tepat seperti di
belakang kepalanya tumbuh mata saja. Dalam waktu yang sama,
Ting Tiau-bing melepaskan Kiat Hong lalu melompat ke tengah
orang banyak untuk mencengkeram satu orang.
Orang itu berteriak, "He, penasaran aku. Kau salah tangkap."
"Kusaksikan kau yang bergerak, masih berani mungkir?" sentak
Ting Tiau-bing. Orang itu membuka lebar mulutnya hendak membela diri,
mendadak mukanya berubah pucat, berubah merah lalu menghitam,
dari mata, hidung, telinga dan mulut mengalirkan darah. Sebelum
bicara, tubuhnya sudah ambruk, jiwa pun melayang.
Ada orang yang kenal korban ini, katanya, "Orang ini salah satu
dari Ui-ho-ngo-kui, Lo-sam Kiau-kiau." Dalam kalangan jiitam, Ui-hongo-
kui hanya termasuk golongan rendah kelas tiga.
"Ting tayhiap," ucap Kang Siang-hun, "mungkin kau memang
keliru, serangan kerikil tadi jelas menggunakan Tam-ci-sin-thong,
tenaga dalamnya amat kuat. Ui-ho-ngo-kui jelas tak memiliki
lwekang setangguh ini." Meski berhasil memukul jatuh kerikil itu,
namun telapak tangan Kang Siang-hun juga terasa pedas.
Ting Tiau-bing juga ahli, katanya, "Ya benar, aku yang tertipu.
Agaknya orang itu sengaja mendorongnya dari belakang, untuk
dijadikan kambing hitam."
Waktu penyambit gelap itu mendorong orang ini, dia pun
membokongnya dengan racun jahat sehingga jiwanya melayang.
"Kejadian kecil ini boleh dikesampingkan dulu," demikian kata
Kim Tiok-liu. "Apa yang ingin kalian bicarakan katakan dulu."
Ting Tiau-bing menyeret Kiat Hong ke depan kedua paderi Siaulim-
si, katanya, "Syukur tugas dapat kami tunaikan dengan baik,
bersama Kang-jikongcu, kami berhasil membekuk murid murtad
kalian. Sekarang kuserahkan supaya pihak kalian yang
menghukumnya tapi aku ingin memohonkan keringanan
kepadanya." Cun-seng Siansu adalah kepala dari Cap-pwe-Io-han dari Siaulim-
pay, katanya heran, "Murid murtad ini juga musuh suheng-mu,
kenapa kau mohon keringanan hukumannya malah?"
"Karena waktu aku berhasil membekuknya, terjadi peristiwa yang
mengherankan." Belum habis Ting Tiau-bing bicara, Tong-bing-cu mendadak
menimbrung, "Aku tidak berani mencampuri urusan Siau-Iim-pay,
apakah tidak selayaknya menggusur dia ke Siau-lim-si dan tentukan
hukumannya di sana?"
"Menurut aturan memang demikian, kami tidak pantas
mengganggu acara kalian, tapi Kiat Hong ada sangkut paut dengan
kasus Tan Khu-seng, maka mohon kepada ciangbunjin memberi
kesempatan kepadanya untuk bicara, aku pun mohon kesempatan
untuk bicara." Di hadapan umum, sudah tentu Tong-cin-cu tak berani membela
sute sendiri katanya, "Baik boleh silakan Ting tayhiap bicara."
"Pertama ingin aku memberi tahu kepada hadirin di mana kami
berhasil membekuk murid murtad Siau-lim-pay ini. Yaitu tiga malam
yang lalu kami membekuknya di Toan-hun-gay di gunung Kong-tong
ini." Hadirin heran dan kaget, maka timbul lagi suara berisik.
"Aneh, kenapa dia lari ke Kong-tong-san malah?"
"Hm, kukira pasti ada tujuan, mungkin di sini ada tulang
punggungnya, kalau tidak mana dia berani kemari?"
"Ya, hongtiang Siau-lim-si sudah memberi tahu kepada berbagai
pihak hendak membekuknya. Sebelum Kong-tong-pay membuka
pertemuan besar, dia justru datang ke sini, bukankah seperti ikan
masuk jaring, kejadian ini memang harus diperhatikan."
Menyusul Kang Siang-hun berkata dingin, "Malam itu masih ada
seorang lagi bersama keparat ini yang berada di bawah Toan-hungay,
coba hadirin terka, siapa orang itu?"
"Siapa?" "Wakil komandan Gi-lim-kun Auwyang Ya. Waktu itu murid tertua
Tong-bing-cu yaitu Tay-ciok Tojin sedang turun gunung menyambut
kedatangan mereka." Keributan hadirin yang berbisik-bisik seketika sirap, keheningan
mencekam, sorot mata mereka tertuju ke arah Tong-cin-cu dan
Tong-bing-cu. Perlahan Tong-cin-cu berkata, "Sute, berilah penjelasan.
Auwyang Ya adalah orang undanganmu."
Tahu hal ini tak bisa disembunyikan lagi, Tong-bing-cu berusaha
menenangkan hati, katanya, "Sebenarnya tidak perlu dibuat heran.
Beginilah kejadiannya, pertemuan besar seluruh anggota Kongtong-
pay kami kali ini juga mengundang banyak sahabat Bulim,
jelek-jelek Auwyang Ya termasuk orang terkemuka dari alirannya,
kalau aku mengundangnya bukan lantaran pangkatnya. Apalagi aku
pun sudah mendapat persetujuan ciangbunjin suheng."
Seorang tamu yang berangasan segera bertanya, "Memangnya
kenapa kau pun mengundang Kiat Hong?"
"Agaknya kalian salah paham. Kiat Hong bukan tamu kami,
malam itu hakekatnya kami tidak tahu kalau Auwyang Ya juga
membawa Kiat Hong." Maka Tay-ciok Tojin berdiri, serunya, "Auwyang Ya sendiri bilang
Kiat Hong adalah temannya, terpaksa aku menyambut juga. Tapi
setelah Ting tayhiap dan Kang-kongcu datang dan menyatakan
hendak membekuk dia, aku tidak turut campur. Aku juga sudah
menyatakan kepada Ting tayhiap dan Kang kongcu, Kiat Hong
bukan tamu undangan kami, betul tidak?"
"Betul, waktu itu sikapmu membela Auwyang Ya dan Kiat Hong,
kenyataan memang seperti yang kau katakan. Tapi aku ingin
menuntut kepadamu supaya menyuruh seorang keluar untuk
berhadapan dengan Kiat Hong."
Berdebar jantung Tong-bing-cu, tanyanya, "Siapa?"
"Tamu undanganmu itu, wakil komandan Gi-lim- kun Auwyang
Ya." Lega hati Tdng-bing-cu, katanya dingin, "Maaf, aku tidak bisa
memenuhi permintaanmu."
"Kenapa, kau takut bila Auwyang Ya berhadapan dengan aku.
Atau kau anggap aku ini orang awam tidak setimpal berhadapan de-
. ngan pembesar tinggi seperti dia?"
"Kang-kongcu kau tidak tahu, Auwyarg Ya memang datang
malam itu, tapi sekarang aku pun ingin tahu di mana dia sekarang?"
"Lho, apa yang terjadi?" tanya Ting Tiau-bing.
Tay-ciok Tojin bicara, "Tidak lama setelah kalian pergi malam itu,
dia pun hilang. Waktu itu aku membawanya ke atas gunung, di
tengah hujan lebat mendadak dia menjerit sekali, begitu aku
menoleh, bayangannya ternyata sudah lenyap."
"Apa betul ada peristiwa seaneh ini?" tanya Kang Siang-hun.
"Kenapa kami harus berbohong. Sebagai undangan kami dia
boleh datang secara terang-terangan, kenapa harus sembunyisembunyi"
Kalau tidak percaya, tidak sedikit tamu yang datang lebih
dini, apakah mereka pemah melihat Auwyang Ya?"
"Baik, anggaplah kami percaya kepadamu. Syukur dapat
menemukan Auwyang Ya, kalau tidak ketemu jaga tidak usah
mengulur panjang urusan ini," demikian ucap Ting Tiau-bing.
Tong-bing-cu tampak bangga, katanya, "Persoalan sudah
kujelaskan. Kalian sudah puas?"
"Benar, kalian hanya membekuk Kiat Hong di Kong-tong-san


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kenapa dikatakan dia ada hubungan dengan kasus Tan Khu-seng?"
Kiat Hong melirik Tong-bing-cu sekejap lalu memandang Kim
Tiokliu, katanya, "Terus terang aku memang salah satu dari pelaku
kasus itu. Tapi aku takut bila urusan ku-beber, jiwaku tidak
selamat." "Kemarilah kau, bicaralah di depanku dan Lui-locianpwe," kata
Kim Tiok-liu. Di bawah perlindungan Kim Tiok-liu dan Lui-tin-cu, di
kolong langit ini yakin tiada orang yang mampu membokongnya.
Di saat Kiat Hong beranjak ke arah Kim Tiok-liu, Kang Siang-hun '
juga melihat Beng Hoa di antara orang banyak, segera dia menyapa
dan menghampiri, "Ah, Beng-heng, secepat ini kau sudah pulang
dari Thian-san, apakah kau sudah bertemu dengan adikmu?"
Beng Hoa tidak sempat ngobrol, katanya, "Pengalamanku kelak
kuceritakan, tahukah kau bagaimana keadaan Bik-ki?"
Kang Siang-hun melengak, katanya, "Sejak berpisah dengan kau
di Cau-hoat tempo hari aku tidak pernah melihatnya. Kenapa" Kau
tidak mendengar dia ke mana?"
Orang-orang di sampingnya mendesis mulut supaya mereka tidak
bicara keras-keras. Ternyata Kiat Hong sudah naik di atas panggung
dan mulai bicara. Di bawah pengawasan Kim Tiok-liu dan Lui-tin-cu, Kiat Hong
tidak perlu merasa takut, maka dia menghadap ke arah Tong-cin-cu
tapi matanya melirik kepada Tong-bing-cu, katanya perlahan, "Yang
akan kuceritakan adalah kejadian delapanbelas tahun yang lalu,
waktu itu aku sudah lari dari Siau-lim-si menjadi begal tunggal yang
melakukan kejahatan di Kangouw.
"Tahun itu terjadi peristiwa yang cukup menggemparkan dunia
Kangouw. Koan-tiong Tayhiap Boh It-hang mendadak meninggal
dunia, puteri tunggalnya akan menikah dengan tunas muda Kongtong-
pay, kecantikan Boh-siocia juga sudah terkenal di kalangan
persilatan. Banyak orang bilang mereka adalah pasangan setimpal.
Tapi yang menimbulkan banyak perhatian adalah keluarga Boh kaya
raya, salah saru keluarga hartawan yang ada di Bulim. Setelah dia
meninggal seluruh kekayaan yang tidak bergerak telah dijual dan
diwariskan kepada puteri-nya untuk bekal mas kawinnya. Uang
perak, emas disimpan dalam beberapa peti besar.
"Menurut berita yang kuterima waktu itu, Ho Lok diiringi Tan
Khu-seng menjemput istrinya di Bi-ti, setelah tiba di Kong-tong baru
akan melangsungkan pernikahan. Perjalanan mereka sejauh ribuan
li. "Berita ini terutama menimbol-kan perhatian golongan hitam,
semua bilang Ho Lok kejatuhan rejeki, dapat istri ayu memperoleh
kekayaan lagi, namun tidak berani coba mengusiknya.
"Terus terang, aku juga permah berusaha mencari tahu, tapi
insyaf bukan tandingan Ho Lok dan Tan Khu-seng, maka aku tak
berani mencoba-coba untuk merampas harta itu.
"Sungguh mimpi pun tak pernah terduga, aku tidak berani
mengusiknya, tapi kejadian justru melibatkan diriku."
Kejadian sudah delapanbelas tahun berselang, membayangkan
kejadian lalu, tanpa terasa Kiat Hong meraba codet di mukanya,
seperti mengigau Kiat Hong melanjutkan ceritanya, "Suatu malam
aku berhasil merampok seorang pedagang perhiasan yang pulang
ke rumah, hatiku senang sekali. Tak nyana setiba di rumah,
mendadak kudapati seorang tak kukenal telah menunggu aku.
"Aku kaget, kutegur dia, 'Siapa kau" Kenapa masuk ke rumahku"'
Orang itu bergelak tawa, katanya, 'Apa kau tidak mengenalku" Aku
Ho Lok dari Kong-tong-pay, bukankah kau sendiri biasa masuk ke
rumah orang"' Di tengah tawanya mendadak sinar pedang
berkelebat, di atas dinding kontan tertusuk sembilan lubang.
"Ho Lok sering berkelana di Kangouw, walau belum pernah
melihatnya, tapi dari teman-teman sering aku mendengar tentang
dirinya Wajahnya memang mirip apa yang pernah kudengar.
Permainan pedangnya itu juga aku tahu adalah Lian-hoan-toh-bingkiam-
hoat dari Kong-tong-pay, maka aku tidak curiga lagi bahwa
orang ini adalah Ho Lok. "Ho Lok tertawa, katanya, 'Jangan gugup, bicaralah sambil
duduk. Kau adalah begal tunggal dari golongan hitam yang
berkepandaian paling tinggi, sungguh tak nyana begini.kecil
nyalimu.' "Setelah aku duduk, baru berkata, 'Bukan nyaliku kecil, soalnya
kedatanganmu mendadak, di luar dugaan lagi. Seumpama air kali
tak bercampur dengan air sumur, kenapa kau kemari"'
"Ho Lok berkata, 'Kau baru pulang operasi bukan" Bagaimana
hasilnya"' "Aku kira dia diutus pemilik barang meminta kembali
rampasanku, kataku, 'Tidak banyak juga tidak sedikit. Nilainya
sekitar tigaribu tahil. Aku boleh membagi separo kepadamu.'
"Tak nyana Ho Lok bergelak tawa, katanya, 'Terlalu sempit
pandanganmu, beberapa ribu tahil uang itu tak terpandang olehku.
Terus terang kedatanganku ini akan memberi obyek besar
kepadamu. Nilainya ada limapuluhan ribu tahil perak, jauh lebih
besar dari hasilmu malam ini bukan"'
"Sudah tentu aku terkejut juga heran dan bimbang, kataku, 'Apa"
Jadi kau ajak aku bekerja sama untuk melakukan dagang tanpa
modal"'" "Omong kosong," bentak Tong-bing-cu. "Ho Lok sutit mana
mungkin menjadi perampok?"
"Biarkan dia bicara habis, baru nanti kita nilai bersama apakah
ceritanya dapat dipercaya," demikian kata Lui-tin-cu.
"Ya, malam itu Ho Lok bilang demikian, 'Bukan aku
mengundangmu untuk merampok, kalau aku mau, uang sebesar itu
sebetulnya memang milikku. Tapi aku sengaja memberi rejeki besar
kepadamu.' "Aku jadi ragu-ragu dan tak berani segera menerima tawarannya.
Selama ini aku tidak kenal dia, tanpa sebab kenapa dia mau
memberi uang sebanyak itu kepadaku"
"Ho Lok berkata, 'Begini, karena kau adalah begal tunggal yang
mempunyai kepandaian paling tinggi, aku pun tahu kau murid
murtad Siau-lim-pay, kaum pendekar adalah musuhmu. Umpama
kau tidak menerima tawaranku, yakin kau takkan berani bicara
dengan pihak mereka.' "Karena tak tahan aku lantas berkata, 'Dagang macam apakah
sebetulnya" Kan harus dijelaskan dulu, baru aku bisa memberi
keputusan apakah aku akan menerimanya.'
"'Baiklah,' kata Ho Lok. 'Biar kujelaskan, dua hari lagi aku akan
menjemput calon istriku di Bi-ti, calon istriku adalah puteri Koantiong
Tayhiap Boh It-hang. Keluarga Boh terkenal sebagai hartawan
di Bulim.' "Peristiwa besar yang menggemparkan Bulim ini juga
kudengar, maka aku mengucapkan selamat kepadanya.
"Ho Lok tersenyum, katanya, 'Sama-sama, aku pun perlu
memberi selamat kepadamu.'
"Aku melenggong, kataku, 'Ho-siansing, kau dapat istri
memperoleh harta, sebaliknya kenapa kau memberi selamat
kepadaku malah"' "Ho Lok berkata, 'Dengan dasar inilah, kuharap kau merampok
mas kawin nona Boh itu, dan kau pun harus menculiknya.'
Cerita ini seketika menggemparkan seluruh hadirin, tak tahan
Tong-bing-cu menuding Kiat Hong, dampratnya, "Mana ada kejadian
seperti bualanmu itu, menyuruh orang lain menculik istri sendiri"
Kecuali lelaki abnormal yang sudah sinting, siapa percaya ceritamu."
Lui-tin-cu mengerut kening, katanya, "Tong-bing toheng, kuharap
kau tidak mengganggu ceritanya lagi, umpama betul dia membual,
apa salahnya kita mendengar penjelasannya."
Kiat Hong berkata perlahan, "Memang tak mengherankan kalau
hal ini membuat Tong-bing totiang heran dan kaget, waktu itu aku
pun sangsi akan pendengaranku sendiri. Aku berkata, 'Ho-sianseng,
kau tidak mengajakku berkelakar bukan" Kau pergi menjemput
calon istrimu, kenapa aku harus merebut bakal istrimu itu"'
"Ho Lok menarik muka, katanya, 'Siapa berkelakar dengan kau.
Jelasnya begini, aku ini penyewa tenagamu, menyewamu untuk
melakukan tugas untuk aku. Setelah berhasil, pesalin yang dibawa
istriku akan kuserahkan separo kepadamu.'
"Saking heran dan kaget, aku berkata, 'Kau... apa kau tidak
mencintai puteri Boh lt-hang"' Ho Lok berkata, 'Siapa bilang aku
tidak mencintainya, justru karena aku amat mencintainya maka
kuminta bantuanmu.'"
Ceritanya makin mengejutkan, juga lucu dan mengherankan,
maka hadirin banyak yang berpikir, "Mungkinkah di balik peristiwa
ini masih ada persoalan yang terselu-bung?"
'"Ho-siansing, maaf kalau aku ini bodoh. Mendengar ucapanmu
aku semakin bingung malah. Kalau kau betul-betul mencintainya,
kenapa kau suruh aku merebutnya"'" demikian Kiat Hong
mengisahkan peristiwa itu lebih lanjut.
"Ho Lok bergelak tawa, katanya, 'Kau kira ak,u tega membiarkan
calon istriku yang secantik itu kau rebut" Semua rencanaku ini
hanyalah sebuah sandiwara saja'
"Penjelasan ini membuatku paham sedikit, aku berkata, 'O, aku
mengerti. Jadi kau minta aku memerankan bajingan, dan kau
pendekar pembela dan pelindungnya"'
Ho Lok tertawa lebar, katanya, 'Betul, kau menculiknya, lalu aku
merebut dan menolongnya. Demikian pula pesalinnya, aku hanya
berhasil merebut separo, separo yang lain boleh kau bawa kabur
sebagai imbalan permainanmu. Ketahuilah, separo dari jumlah
pesalin itu nilainya ada dua tigalaksa tahil perak, kau puas tidak"'
"Alasan sudah dia jelaskan, tapi aku masih menaruh curiga.
Memang dengan berhasilnya dia melindungi sang kekasih, tentu
Boh-siocia itu amat terharu dan berterima kasih kepadanya. Padahal
mereka sudah resmi sebagai calon suami istri yang akan segera
menikah, kepergiannya juga akan menjemput istrinya, memangnya
dia khawatir Boh-siocia menolak kedatangannya" Kalau hanya untuk
menarik simpati istrinya, apa setimpal dia mengatur permainan
sandiwara ini" Apalagi harus mengorbankan perasaan dan ketakutan
istrinya" "Melihat aku masih menaruh curiga dan belum segera menerima
permintaannya, dia agaknya menebak perasaan hatiku, maka dia
berkata, 'Tak usah kau banyak tanya, pendek kata aku tidak akan
menipu dan membuatmu rugi, kerjakan apa petunjukku, tanggung
kau akan menerima rejeki sebesar yang kukatakan.' '
"Tigapuluh laksa tahil memang merupakan daya tarik yang
teramat besar bagiku, aku menjadi bimbang, kemelut terjadi dalam
benakku, maka aku bertanya pula, 'Ho-siansing, mungkin ada
persoalan terselubung yang sukar kaujelaskan. Kau adalah penyewa
tenagaku, aku tak bisa memaksa penyewaku menjelaskan
rahasianya. Tapi aku menuntut tanggung jawabmu bahwa dalam
permainan sandiwara ini aku tidak akan berkorban jiwa dan raga.'
"Ho Lok berkata, 'Kan sudah kujelaskan hanya bermain
sandiwara satu babak, mana mungkin mengorbankan jiwamu"'
"Aku bertanya, 'Di waktu kau berusaha menolong istrimu, apa
kau tidak akan melukai aku"'
"Dia bilang, 'Tergantung perbuatanmu sendiri, kalau di waktu
melaksanakan tugas, kau timbul keinginan tidak senonoh atau
berbuat kurang ajar terhadap istriku, sudah tentu aku takkan
mengampuni jiwamu.' "Setelah mendapat jaminanku bahwa tidak akan bertindak tidak
senonoh terhadap istrinya, maka dia berkata, 'Kati tidak usah
khawatir, paling aku hanya akan sedikit membuatmu terluka, supaya
permainan sandiwara ini lebih nyata, tapi pasti tidak akan
mengganggu kesehatanmu.' "Mendadak aku teringat, kecuali dia masih ada Tan Khu-seng,
kataku, 'Dalam rencanamu ini, apakah temanmu itu tidak tahu"' Ho
Lok berkata, 'Maksudmu Tan Khu-seng" Dia tidak tahu!'
"Aku bilang, 'Kalau demikian, mana bisa kau menanggung jiwa
ragaku tidak akan terancam bahaya"' Ho Lok berkata, 'Aku tahu kau
pasti mengajukan pertanyaan ini, tapi kau tidak usah khawatir, aku
sudah mengatur segala sesuatu demi kelancaran kerja ini.'
"Urusan menyangkut jiwa ragaku, aku bersikap tegas minta
penjelasannya, apa yang sudah diatur baru bisa lega perasaanku."
Cerita kini menyangkut Tan Khu-seng, semula hadirin ada yang
berbisik-bisik, kini suasana menjadi hening, pasang telinga menaruh
perhatian. Terdengar Kiat Hong melanjutkan ceritanya, '"Kau ingin tahu apa
yang telah kuatur" Pertama, kecuali kau, aku juga menggunakan
dua orang lain yang akan bertindak pula pada malam hari itu
bersama kau. Tapi kau tak usah khawatir bahwa mereka akan
menuntut bagian dari-mu, karena mereka bukan orang golongan
hitam yang kemaruk harta, mereka hanya membantu aku
menyempurnakan rencana ini.' Sampai di sini Ho Lok mengeluarkan
sebuah topi yang terbuat dari kulit beruang, topi sejenis ini sering
dipakai orang-orang pemetik jinsom di tanah bersalju di
pegunungan Tiang-pek untuk menahan dingin, dalam perbatasan
jarang orang melihat topi sejenis ini.
"Ho Lok berkata, 'Waktu menjalankan tugas malam itu, kau harus
memakai topi ini secara terbalik arahnya. Melihat topimu ini kedua
orang itu akan tahu bahwa kau membantuku.'
"Tak kuat menahan rasa ingin tahu, aku bertanya, 'Apa aku boleh
tahu siapa kedua orang itu"' Agaknya Ho Lok kurang senang,
jawabannya dingin, 'Asal-usul kedua orang ini luar biasa, lebih baik
kau tidak tahu siapa mereka.' Sudah tentu tak enak aku mendesak,
terpaksa hal ini sampai sekarang masih merupakan teka-teki
bagiku." Sampai di sini cerita Kiat Hong, suara berisik timbul lagi dari
hadirin, "Asal-usulnya luar biasa, bukan dari golongan hitam lalu
siapakah kedua orang itu?"
"Topi pencari obat di luar perbatasan, memangnya mereka tokoh
silat dari luar perbatasan?"
"Kejadian ini belum diketahui, buat apa menebak-nebak?"
Di antara sekian banyak hadirin, hanya Beng Hoa yang tahu
duduk persoalannya, "Hay Lan-ja adalah tokoh Tiang-pek-pay di luar
perbatasan, walau waktu itu dia belum menjadi komandan Gi-limkun,
tapi sudah menduduki jabatan tertentu. Kuyakin saru di antara
kedua orang itu pasti dia adanya."
Setelah beristirahat sejenak, Kiat Hong meneruskan ceritanya,
"Walau sudah ada pembantu, tapi kau masih merasa takut, tentu
kau pun tidak akan mempertemukan aku dengan mereka, begitu"
"Ho Lok berkata, 'Sudah tentu.' Lalu aku berkata pula, 'Kalau
begitu sukar bisa tiba di tempat tujuan dalam waktu yang sama, bila
kebetulan aku tiba lebih dulu, aku tahu tak kuat menghadapi Tan
Khu-seng.' "Kelihatannya Ho Lok mendorong semangatku, katanya, 'Tak
usah kau merendahkan dirimu sendiri. Coba kaujawab pertanyaanku
sejujurnya, tak usah sungkan. Kau pernah menyaksikan Lian-hoantoh-
bing-kiam-hoat yang kulancarkan tadi, menurutmu, berapa jurus
kau kuat melawan"' "Kujawab kira-kira kuat bertahan antara tigapuluh sampai iimapuluh
jurus. Mendengar jawabanku, Ho Lok tampak berseri girang,
katanya, 'Sudah cukup. Aku bicara sejujurnya, kiamhoat Tan Khuseng
memang lebih unggul dari aku, kalau kau kuat melawan
tigapuluh jurus sampai limapuluh jurus seranganku, paling sedikit
kau mampu melawan belasan jurus serangan Tan Khu-seng.'
"Kutanya, 'Setelah sepuluh jurus, bagaimana"' Ho Lok bergelak


Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tawa, katanya, 'Goblok, kau mampu melawan belasan jurus, orang
yang secara diam-diam akan membantu engkau memangnya
berpeluk tangan menyaksikan kau disembelih Tan Khu-seng" Waktu
itu dia pasti sudah berada di belakang Tan Khu-seng dan segera
menyergapnya.'" Sampai di sini cerita Kiat Hong, bagi hadirin yang biasa pandai
menggunakan otaknya tentu sudah dapat menduga siapa orang
yang dimaksud dalam ceritanya. Maka terdengar Kiat Hong berkata,
"Aku sudah beberapa bagian menduga persoalannya, tapi sengaja
aku bertanya, 'Kalau bukan kedua orang yang kau undang untuk
membantu, lalu siapa pula yang akan membantuku secara diamdiam"
Kalau kau tidak memberi tahu sejelas-jelasnya, terus terang
hatiku tidak. akan lega.'
"Setelah kudesak supaya dia menjelaskan, Ho Lok mengeratkan
kening, akhirnya dia berkata, 'Kau pura-pura pikun atau memang
tidak tahu, orang yang akan membantumu secara diam-diam jauh di
ujung langit dekat di depan matamu, aku inilah.'"
Seluruh hadirin menjadi gempar. Alis Tong-bing-cu berkerut
dalam, lagaknya seperti hendak memaki Kiat Hong, namun setelah
dua kali disemprot Lui-tin-cu, walau hati merasa gusar dan kaget,
namun dia tidak berani membuka mulut lagi.
Pelan Kiat Hong menyambung, "Akhirnya aku jelas seluruhnya,
ternyata dia hendak meminjam tanganku untuk membunuh Tan
Khu-seng, maksudnya sudah jelas supaya tiada saingan untuk
memperebutkan kedudukan ciangbun yang akan diwariskan kepada
generasi yang lebih muda. Padahal istilah yang kugunakan,
meminjam tangan, juga kurang tepat. Hehe, tipu muslihatnya boleh
dikata amat keji juga lihay, tapi juga telengas. Kalau Tan Khu-seng
sedang bergebrak dengan aku, dari belakang mendadak dia
menusuk punggung Tan Khu-seng, siapa yang mengira?"
Kali ini ciangbunjin Kong-tong-pay Tong-cin-cu dipaksa membuka
suara, katanya, "Kau mengukurjiwa ksatria dengan jiwa kerdilmu
sendiri, seluruh warga Kong-tong-pay kami dari yang kecil sampai
yang tua seluruhnya sama tahu bahwa Ho-sutit seorang jantan
berjiwa jujur dan merupakan murid teladan kami, mana mungkin dia
memiliki jiwa dan tujuan sejahat dan sehina itu" Memang bicara
keadaan dulu, kecuali kungfunya lebih tinggi setingkat, Tan Khuseng
dalam menghadapi persoalan dan menjalankan tugas tidak
lebih pintar dibanding dia, maka tiada alasan dia harus membunuh
Tan Khu-seng, supaya tiada calon kuat lain untuk saling
memperebutkan jabatan ciangbunjin yang akan diwariskan."
Karena Tong-cin-cu bicara sebagai ciangbunjin, sudah tentu Luitin-
cu tak enak mendebatnya, tapi ia berkata kepada Kiat Hong,
"Kau bicara sejujurnya sesuai kenyataan, tidak perlu memberi
komentar atau menanggapi pertanyaan. Kelanjutannya bagaimana,
coba diteruskan saja." Secara tidak langsung dia pun mencerca
Tong-cin-cu yang cerewet.
Akan tetapi meski kebanyakan hadirin paham bahwa Tong-cin-cu
berusaha membela nama baik Ho Lok tapi mereka juga
beranggapan, apa yang menjadi dugaan Kiat Hong juga masuk akal.
Hanya Beng Hoa seorang yang punya dugaan lain, "Ho Lok punya
maksud jahat hendak membunuh guruku, kurasa tidak perlu
diragukan lagi, namun tujuan ini hanya maksud sampingan belaka.
Persoalan kurasa tidak semudah yang diduga orang, hanya karena
ingin melenyapkan saingan memperebutkan kedudukan ciangbunjin
saja." Setelah didesak oleh hadirin yang menanti dengan perasaan tidak
sabar, maka berceritalah Kiat Hong tentang kejadian malam itu.
"Ho Lok sudah mengatur perjalanan, malam ketiga dalam
perjalanan pulang setelah dia menjemput calon istrinya dari Bi-ti, dia
akan bermalam di sebuah kuil yang berada di atas pegunungan. Dia
berjanji dengan aku akan turun tangan malam itu. Malam itu aku
datang ke tempat itu sesuai janji, tak nyana perkembangannya
ternyata jauh di luar dugaanku. Waktu aku tiba di kuil kuno itu,
kudengar di dalam ada suara rintihan orang, seperti ada orang
terluka parah." Lui-tin-cu bertanya, "Yang terluka Tan Khu-seng atau Ho Lok?"
"Bukan semua," sahut Kiat Hong. "Mereka adalah kacung
keluarga Boh yang ikut mengiring pesalin nona Boh."
"Aku mendengar orang sedang memaki perampok laknat, ada
pula yang sedang berteriak, 'Tidak lekas kau cari siocia.' Jantungku
berdebar, kukira ada orang lain mendahului aku merebut mempelai
perempuan dan pesalinnya itu.
"Waktu aku menerjang ke dalam kuil, dua kacung yang tidak
terluka segera memekik, 'He, rampoknya datang lagi!' Apa boleh
buat terpaksa kubunuh mereka. Waktu aku meneliti keadaan, di
dalam kuil menggeletak kacung keluarga Boh, ada pula yang
menggeletak sekarat menunggu ajal, tapi tiada seorang pun yang
mampu berbicara. Memangnya kejadian apa yang barusan
berlangsung" "Bayangan Tan Khu-seng tidak kelihatan, demikian pula Ho Lok
tidak tampak, nona Boh entah pergi ke mana.
"Sudah tentu yang paling kuperhatikan adalah beberapa peti
pesalin, untung tidak digotong orang. Waktu kubuka salah satu peti,
isinya ternyata memang emas perak dan perhiasan. Girangku bukan
kepalang, apalagi Tan Khu-seng tidak kelihatan bayangannya, tak
perlu aku menyerempet bahaya menem-pur dia. Dalam keadaan
seperti itu, sudah tentu tak sempat aku peduli mati hidup Ho Lok.
"Bergegas aku naikkan beberapa peti pesalin itu ke atas kereta
keledai, tapi di saat aku hendak minggat, mendadak Tan Khu-seng
kembali." "Hanya dia seorang saja?" Lui-tin-cu menegas.
"Ya, hanya dia seorang diri, Ho Lok tetap tidak menampakkan
diri. Saking ketakutan, aku menjadi linglung, terpaksa aku
mengeraskan kepala melabraknya.
"Sialnya, kalau Ho Lok mengira aku kuat melawan belasan jurus
" demikan pula dugaanku"tapi perhitungan Ho Lok ternyata
meleset. "Hanya tiga jurus, aku sudah tertusuk luka oleh Tan Khu-seng.
Nih, kalian lihat, codet di mukaku ini adalah peninggalan Tan Khuseng!"
Sambil bicara dia meraba codet di mukanya, terbayang
betapa ngeri dan takut hatinya saat itu.
Tong-cin-cu berkata dingin, "Kenapa Tan Khu-seng mengampuni
kau dan membiarkan kau pergi?" Dia mengira mendapat peluang
untuk balas mendesak orang.
Kiat Hong menjawab, "Menyelamatkan jiwa lebih penting, apa
boleh buat, terpaksa aku membongkar rahasia, aku berteriak, *Ho
Lok yang menyuruhku kemari. Aku hanya membantu saja, jangan
kau membunuhku." "Mendengar teriakanku, kelihatannya Tan Khu-seng melenggong,
pada saat itulah dari kejauhan berkumandang sebuah suitan
Perguruan Sejati 10 Panji Sakti (jit Goat Seng Sim Ki) Panji Hati Suci Matahari Bulan Karya Khu Lung Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 8
^