Pencarian

Pendekar Pedang Dari Bu-tong 20

Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng Bagian 20


tidak tahan menghadapi racun dari bunga iblis, ternyata bocah
keparat ini masih mampu bertarung seimbang melawanku!'
Dalam terkejut bercampur ragunya, karena kuatir situasi bakal
berubah tidak menguntungkan pihaknya maka napsu membunuh
pun seketika menyelimuti hatinya.
Waktu itu Seebun-hujin sedang duduk bersila sambil setengah
pejamkan matanya, mendadak dia berseru, "Jalan ke Jian (baratlaut)
berputar ke Sun (tenggara), Kim-ku-lui-ming (tambur emas
guntur menggelegar)"
Jian (Langit/barat-laut), Kun (Bumi/barat-daya), Ken
(Gunung/timur-laut), Sun (Angin/tenggara), Kan (Air/utara), Li
(Api/Selatan), Ceng (Guntur/timur), Tui (Jeram/barat) merupakan
delapan unsur yang menunjuk kan arah yang berbeda dalam Patkwa,
namun bila digunakan dalam ilmu silat maka bukan saja hanya
menunjukkan arah mata angin bahkan memiliki pula makna mana
yang saling menghidupkan dan mana yang saling bertentangan.
Bu-tong-pay merupakan pusat agama To, semua ilmu silatnya
mengandung makna Ngo-heng dan Pat-kwa, jelas merupakan suatu
keistimewaan dari ilmu silat aliran Bu-tong.
Begitu mendengar petunjuk itu, tanpa berpikir panjang lagi Bouw
It-yu bergerak menuju arah yang ditunjuk Seebun-hujin, pedang
dan pukulan digunakan bersama, dia segera mengeluarkan jurus
Kim-ku-lui-ming (tambur emas guntur menggelegar) yang maha
dahsyat. Jurus pembunuh yang dilancarkan Liok Ki-seng memang tertuju
ke bagian tubuhnya yang kosong, dengan perputaran itu maka
secara persis dia malah menyumbat bagian yang kosong itu bahkan
melancarkan serangan setengah langkah cepat, dari posisi yang
diserang kini dia malah menjadi pihak yang menyerang.
Begitu Bouw It-yu mendapat petunjuk dari Seebun-hujin,
walaupun tenaga dalamnya masih kalah dari musuhnya, namun
setiap jurus serangan yang dilancarkan selalu berhasil
mengendalikan situasi lebih dulu, hal ini menyebabkan Liok Ki-seng
jadi keteter hebat dan kalang kabut dibuatnya.
Cepat Liok Ki-seng merangkap tangannya di depan dada dan
berdiri tegap tanpa melancarkan serangan lagi. Karena dia tidak
bergerak, petunjuk dari Seebun-hujin pun segera berhenti.
Tiba tiba Liok Ki-seng membentak nyaring, "Kalian tidak usah
berlagak mampus, ayoh cepat bangun dan turun tangan!"
Ke lima orang anak buah yang dibawa dari daratan Tionggoan itu
semula masih tergeletak 'sakit' dalam kondisi yang parah, kini tibatiba
saja melompat bangun dalam keadaan segar bugar.
Sasaran pertama yang mereka serang tentu saja Seebun-hujin.
Paras muka Seebun-hujin sama sekali tidak berubah, mendadak
terdengar suara orang menjerit kesakitan, orang pertama yang
menubruk ke arahnya tahu-tahu sudah tergelepar lagi diatas tanah.
Rupanya orang itu hendak menggunakan Seebun-hujin sebagai
sandera, siapa tahu meski tenaga dalam yang dimiliki perempuan ini
telah punah namun ilmu silatnya sama sekali tidak lenyap, sejak
awal secara diam diam dia sudah menyembunyikan sebatang tusuk
konde di balik telapak tangannya.
Begitu orang itu menyerang, diapun langsung menotok urat
nadinya, kemudian dengan tehnik empat tahil membelokkan seribu
kati dia lempar tubuh orang itu ke belakang.
Dengan ilmu silat tenaga luar yang dimiliki orang itu, bagaimana
mungkin dia dapat menghadapi ilmu silat tingkat tinggi, tidak ampun
lagi tubuhnya roboh tertelentang ke tanah.
Tusuk konde perak itu memang sengaja disembunyikan di balik
telapak tangan, rekan orang itu yang ikut menerjang ke muka sama
sekali tidak tahu apa yang telah terjadi dengan temannya, dia hanya
melihat begitu orang itu menerjang maju tahu-tahu sudah roboh
terjengkang, disangkanya Seebun-hujin masih memiliki ilmu
simpanan yang maha dahsyat, hal mana membuatnya terkesiap dan
langsung berdiri mematung.
Dengan tatapan tajam Seebun-hujin mengawasi wajahnya,
kemudian berkata hambar, "Lay Po-ji, kau pun sudah berpindah
keluarga" Bagus, kalau begitu majulah, akan kusempurnakan
keinginanmu itu!" Ternyata orang yang bernama Lay Po-ji ini adalah pelayan
mendiang suaminya dulu, meski sudah lewat dua puluhan tahun
namun sikapnya terhadap perempuan itu masih takut bercampur
hormat. Dalam terperanjatnya buru-buru dia berseru, "Hamba tidak
berani!" Kakinya seolah menginjak minyak pelumas saja, begitu
membalikkan tubuh langsung melarikan diri terbirit-birit.
Mana dia tahu kalau saat itu kondisi Seebun-hujin sudah amat
parah, bukan saja amat lelah bahkan sudah kehabisan tenaga.
Untuk melakukan tehnik empat tahil membelokkan seribu kati,
paling tidak dia harus memiliki modal tenaga sebesar empat tahil,
padahal jangan lagi empat tahil, kekuatan setahil pun saat ini sudah
tidak dimilikinya. Andaikata dia berani maju menyerang, niscaya Seebun-hujin
akan berhasil dibekuknya.
Orang ke tiga jauh lebih licik, dia tidak berani maju menyerang
Seebun-hujin namun diapun tidak melarikan diri, hanya berganti
sasaran saja, kini dia berbalik menerjang ke arah Seebun Yan.
Saat ini untuk berdiri pun sudah tidak sanggup, bagaimana
mungkin Seebun-hujin dapat menolong putrinya"
"Sudah kalian lihat sendiri bukan!" bentak Liok Ki-seng,
"perempuan bangsat itu sudah ibarat patung lumpur menyeberangi
sungai, untuk menyelamatkan diri sendiripun sudah tidak mampu,
apa lagi yang kalian takuti?"
Baru selesai dia berteriak, kembali terlihat ada dua orang jatuh
bersama keatas tanah. Ternyata Peng-toaso telah memeluk kencang
orang itu, maka mereka berdua pun menggelinding bersama diatas
tanah. Peng-toaso memang pada dasarnya memiliki tenaga alam yang
sangat kuat, biarpun sudah keracunan hebat, biarpun kekuatan
tenaganya sudah hilang tujuh, delapan bagian, namun serangan
yang dilancarkan dalam keadaan kritis dan berbahaya ini benarbenar
menakutkan. Mana mungkin dalam keadaan panik dan cemas orang itu dapat
melepaskan diri dari rangkulannya"
Seebun Yan segera mencabut pedangnya dan langsung
ditusukkan ke punggung orang itu.
Tenaga yang dimilikinya saat itu hanya cukup untuk memegang
kencang gagang pedangnya, sewaktu ditusukkan ke depan, ujung
pedangnya bergetar tiada hentinya, Peng-toaso harus menggunakan
seluruh tenaga yang dimilikinya untuk membenturkan punggung
orang itu dengan ujung pedang.
Pada tusukan ke tigalah ujung pedang itu baru tembus ke dalam
punggungnya. Seketika orang itu tidak bergerak lagi sedang Pengtoaso
pun jatuh tidak sadarkan diri....
"Traaang...." pedang Seebun Yan terjatuh ke tanah, sama seperti
ibunya, diapun kehabisan tenaga dan tidak sanggup bergerak lagi.
Masih untung dua orang jagoan yang lain sedang membantu Liok
Ki-seng menyerang Bouw It-yu, agaknya mereka tidak menyangka
kalau orang itu ternyata tidak mampu mengatasi Peng-toaso.
Setelah berhasil menenangkan diri, buru-buru Seebun-hujin
berteriak lagi, "Berputar ke arah Li, menyeberang ke Sun, balik
tangan menusuk ke belakang!"
Waktu itu Bouw It-yu sedang diserang habis habisan hingga tidak
sanggup berganti napas, dia segera mengikuti petunjuk dengan
melakukan tusukan membalik.
Benar saja, tusukan itu langsung menembusi jalan darah seorang
diantaranya, menyusul kemudian tusukan berikut membuat seorang
jago yang tersisa menderita luka pula.
Tampaknya orang itu keder dan tidak berani bertarung lebih
jauh, tergopoh-gopoh dia melarikan diri.
Dari lima orang anak buah yang dibawa Liok Ki-seng, dua orang
telah melarikan diri, tiga orang terkapar dalam keadaan terluka
parah dan kehilangan kesadaran, kini yang tersisa tinggal dia
seorang diri. Menyadari akan posisinya yang berbahaya, Liok Ki-seng jadi
gugup bercampur panik, serangannya pun mulai kalut.
Dalam pada itu tenaga dalam yang dimiliki Bouw It-yu makin
pulih kembali, dalam keadaan begini, sekalipun tidak ada petunjuk
dari orang lain pun dia sudah memiliki kemampuan untuk meraih
kemenangan. "Blaaaam....!" sebuah pukulan keras bersarang telak di atas dada
Liok Ki-seng, membuat tubuhnya mencelat ke belakang.
"Perempuan bangsat, aku akan beradu jiwa denganmu!"
teriaknya kalap. Bouw It-yu khawatir dia akan melukai Seebun-hujin, dengan satu
gerakan cepat dia menghadang di depan perempuan itu sambil
melepaskan sebuah bacokan kilat.
Ternyata bentakan itu hanya gertak sambal, menggunakan
kesempatan itu Liok Ki-seng berjumpalitan di udara dan berusaha
melarikan diri. Tampaknya pukulan yang bersarang di dadanya menimbulkan
luka yang cukup parah, semburan darah yang muntah keluar dari
tenggorokannya dipaksa untuk ditelan kembali, bentaknya,
"Bajingan muda, dua lawan satu terhitung jagoan macam apa kau,
kalau bernyali ayoh bertarung satu lawan saru!"
Bouw It-yu tertawa dingin.
"Yang berlagak sok jagoan bukan aku, kalau memang bernyali
jangan melarikan diri!"
Padahal Liok Ki-seng memang sengaja bicara sesumbar untuk
menutupi rasa takutnya, begitu selesai berteriak, dia langsung
membalikkan tubuh dan melarikan diri terbirit-birit.
Sampai musuhnya lenyap dari pandangan, Seebun-hujin baru
menghembuskan napas lega, membayangkan kembali ancaman
bahaya yang baru lewat, tanpa terasa peluh dingin membasahi
seluruh tubuhnya. "Anak Yu, untung ada kau!" bisiknya lirih.
"Bukankah semuanya ini berkat petunjukmu," sahut Bouw It-yu
hambar. Ternyata dia tidak menyebut 'ibu angkat' sebaliknya langsung
menggunakan sebutan 'kau' 'aku'. Seebun Yan masih tidak seberapa
memperhatikan, sebaliknya Seebun-hujin nampak tertegun, apalagi
setelah melihat perubahan aneh di wajah pemuda itu.
Sementara itu Seebun Yan berhasil menenangkan hatinya,
dengan perasaan girang serunya, "Bouw-toako, tenaga dalam dari
Bu-tong-pay kalian memang bukan nama kosong, ibu saja berhasil
dipecundangi bajingan itu, ternyata kau sendiri malah tidak apa
apa!" "Anak Yu, apakah sewaktu keluar tadi kau telah memperoleh
penemuan luar biasa?" tanya Seebun-hujin.
"Akupun tidak tahu apakah kejadian ini termasuk satu penemuan
luar biasa, tapi persoalan ini bisa kujelaskan di kemudian hari saja."
"Benar, yang penting sekarang adalah menyelamat kan orang
lebih dulu," seru Seebun Yan, "toako, cepat kau periksa Peng-toaso,
coba lihat apakah dia masih dapat ditolong?"
"Tidak usah diperiksa lagi, dia hanya menggunakan tenaga
kelewat batas hingga jatuh tidak sadarkan diri. Asal dicekoki obat
penawar racun dan biarkan dia tidur sejenak, kondisi tubuhnya
segera akan pulih kembali."
"Aaah, jadi kau mempunyai obat penawar racun?" seru Seebun
Yan kegirangan. "Benar, hanya saja obat penawar ini mempunyai sedikit
keistimewaan." "Keistimewaan apa?" Bouw It-yu segera menjejalkan obat
penawar racun ke mulut Peng-toaso kemudian membaginya pula
untuk Seebun Yan dan Hong-sihu masing-masing sebutir, setelah itu
baru ujarnya, "Bukan sesuatu yang amat istimewa, hanya saja obat
itu baru berkhasiat jika kalian telah tidur sejenak."
Bicara sampai disitu dengan kecepatan tinggi dia langsung
menotok jalan darah tidur di tubuh Seebun Yan serta Hong-sihu.
Ilmu menotok jalan darah yang digunakan Bouw It-yu bukanlah
ilmu totokan berat yang bisa merugikan badan, namun tidak urung
menimbulkan kecurigaan juga dalam hati Seebun-hujin.
"Darimana kau dapatkam obat pemunah racun itu" Kenapa baru
berkhasiat bila jalan darah tidur mereka ditotok" Rasanya aku belum
pernah mendengar tentang hal ini," kata Seebun-hujin. Sementara
dalam hati diapun merasa keheranan, mengapa Bouw It-yu tidak
membagikan obat penawar racun itu untuknya.
"Sebenarnya mah tidak perlu," sahut Bouw It-yu kemudian,
"hanya saja aku tidak ingin ada orang ke tiga yang ikut
mendengarkan pembicaraan kita berdua."
"Masalah apa yang ingin kau bicarakan denganku?" tanya
Seebun-hujin terperanjat.
Dengan sorot mata yang bening, dingin dan tajam bagai mata
pedang Bouw It-yu menatap perempuan itu tanpa berkedip, berapa
saat kemudian dia baru berkata, "Hingga kini aku tidak habis
mengerti, mengapa kau bersikap begitu baik kepadaku?"
"Dan sekarang kau sudah mengerti?" tanya Seebun-hujin.
Bouw It-yu manggut-manggut. "Apa yang telah kau pahami?"
desak Seebun-hujin lebih jauh.
"Kau sedang menebus dosa!" jawaban Bouw It-yu dingin
bagaikan es. "Menebus dosa?" paras muka Seebun-hujin tiba tiba berubah jadi
pucat pias bagaikan kertas, "aku sedang menebus dosa siapa?"
"Kau tidak perlu berlagak pilon, dalam hati kecil-mu kau sudah
tahu dengan jelas." "Anak Yu, apakah kau telah mendengar desak desus dari
seseorang?" tanya Seebun-hujin lembut.
"Tidak perlu diberitahu orang lain, aku pernah melihat lukisan
wajahmu di kamar baca ayahku!"
"Haaah?" Seebun-hujin ternganga lebar saking kagetnya, untuk
sesaat dia tidak mampu berkata.
"Ayah menyembunyikan lukisan wajahmu dengan sangat rapi,"
ujar Bouw It-yu lebih lanjut, "aku menemukannya tanpa sengaja."
"Terus" Apa saja yang kau ketahui?"
"Aku tahu, sikap ayah kepadamu jauh lebih baik ketimbang
sikapnya terhadap ibuku! Benar bukan perkataanku ini?"
Seebun-hujin tidak menyangkal, namun dihati kecilnya dia
berpekik, "Kau keliru besar, justru ayahmu bersikap paling baik
terhadap ibumu." Sambil menggigit bibir kembali Bouw It-yu berkata, "Tahukah kau
bagaimana ibuku meninggal" Dia mati karena dibuat jengkel
olehmu! Selama hidup aku tidak akan melupakannya, malam itu
adalah malam menjelang tahun baru Imlek, ibu sangat berharap
ayah pulang ke rumah, hari sudah terang tanah, bunyi mercon telah
bergelegar di udara, tapi ayah belum juga kembali.
Di tengah bunyi petasan yang ramai itulah ibu menghembuskan
napasnya yang penghabisan. Tapi sesaat sebelum ajalnya tiba, dia
sempat meninggalkan pesan kepadaku, dia bilang, "Nak, jangan
salahkah ayahmu, jangan salahkan perempuan itu, dia bukan


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perempuan liar." "Ibumu sungguh orang baik, aku merasa bersalah kepadanya,"
gumam Seebun-hujin. "Oleh karena itu kau harus menebus dosa, benar bukan" Tapi
aku minta kau dengar baik-baik, bagaimana pun juga aku tidak
bakal memaafkan diri-mu!"
Tiba-tiba Seebun-hujin menghela napas panjang, katanya, "Aku
menghormati ibumu, akupun iri kepada ibumu."
Bouw It-yu tertawa dingin, tukasnya, "Seharusnya ibuku yang
mengucapkan perkataan itu. Kau telah merebut suaminya, tapi dia
tidak iri kepadamu, justru sekarang kau yang iri kepadanya!"
"Dalam kejadian ini bukan aku yang salah, juga bukan kesalahan
ayahmu." "Memangnya kesalahan ibuku?"
"Tidak, tidak ada yang salah, kami semua hanya dipermainkan
oleh takdir!" "Takdir" Enak amat kau cuci tangan. Hmmm! Coba katakan, apa
yang kau irikan darinya?"
Seebun-hujin tertawa getir.
"Dia mempunyai seorang anak yang berbakti macam kau,
sementara aku tidak punya!"
Bicara sampai disini, tanpa terasa dia sedikit emosi, jeritnya
dengan suara parau, "Thian memang tidak adil kepadanya, tapi
lebih tidak adil lagi terhadap diriku!"
Bouw It-yu tidak habis mengerti mengapa dia nampak begitu
emosi, terasa sorot matanya tampak aneh sekali dan entah
mengapa ternyata dia merasa sedikit takut saling bersentuhan
dengan sorot matanya itu.
Tangannya mulai meraba gagang pedang, dia ingin secepatnya
menyelesaikan persoalan ini, tapi jantungnya terasa berdebar keras,
jari tangannya ikut gemetaran, dia tidak tahu haruskah membunuh
perem-puan ini atau jangan dibunuh.
"Anak Yu, kau tidak boleh...." teriak Seebun-hujin.
Teriakan itu bukan jerit ketakutan atau ngeri, panggilan "anak
Yu" justru seolah muncul dari hati sanubarinya, penuh diliputi cinta
kasih seorang ibu. Bouw It-yu merasakan hatinya bergetar keras, ujarnya agak
bimbang, "Kau telah mencelakai ibuku hingga mati, kenapa aku
tidak boleh membunuhmu?"
Secara lamat-lamat dia sudah mulai merasakan sesuatu yang
'tidak beres', pertanyaan yang dia ajukan hanya mempertegas
niatnya untuk membalas dendam, tapi sebelum melakukannya dia
mohon kepada Seebun-hujin untuk memberikan sebuah penjelasan
yang nyata. Dalam waktu singkat pelbagai ingatan berkecamuk dalam hati
Seebun-hujin, pikirnya, 'Justru disaat kau mengetahui kejadian yang
sesungguhnya, selama hidup kau bakal menyesal!'
Namun pada akhirnya dia berkata begini, "Aku bukannya takut
mati, tapi paling tidak aku pernah hidup bersama ayahmu. Aku tidak
ingin membiarkan kau memikul dosa karena membunuhku....
kau.... lemparkan pedangmu kepadaku, aku masih mempunyai
kekuatan untuk bunuh diri! Ehmm, kenapa kau masih termangu"
Aaai.... baiklah, biar kau pandang aku berapa kejap lebih lama!"
Dari balik sorot matanya Bouw It-yu dapat merasa kan luapan
perasaan cinta kasihnya yang tebal, tapi dia tidak kuasa menahan
diri, akhirnya pemuda itu melakukan satu tindakan yang sama sekali
diluar dugaan Seebun-hujin.
Yang dia melemparkan ke hadapan Seebun-hujin bukan senjata,
melainkan obat penawar racun.
"Kau pernah selamatkan jiwaku, kuberikan obat pemunah ini
untukmu, mulai sekarang kita sama-sama tidak ada yang berhutang.
Kau tidak perlu bersikap baik kepadaku, kau pun jangan berharap
aku bisa melupakan dirimu sebagai orang yang telah mencelakai
ibuku hingga mati!" Air mata mulai membasahi kelopak mata Seebun-hujin,
mengawasi bayangan punggung Bouw It-yu yang semakin menjauh,
gumamnya, "Anak Yu, maafkan, semua ini merupakan rahasia,
selamanya aku tidak akan membiarkan kau tahu."
Bouw It-yu mengambil jalan semula, sepanjang jalan dia
menjumpai bekas-bekas kaki kuda yang baru, terlihat pula dua
gumpal bekas cairan darah, tidak usah ditanya pun dapat diketahui
kalau kesemuanya itu ditinggalkan oleh Liok Ki-seng.
Pada mulanya Bouw It-yu masih agak kuatir bila dia balik ke kota
Uh-sah-tin dan memberi laporan, tapi kini dia merasa lega sekali,
pikirnya, 'Bajingan penghianat ini bukan saja gagal mencelakai
orang, dia pun tidak bisa mempertanggung jawabkan tugasnya,
dalam keadaan begini, balik ke tempat Kim Teng-hap sama artinya
mencari penghinaan dan cemoohan buat diri sendiri, tidak heran
kalau dia langsung kabur balik ke daratan Tionggoan'
Jalanan yang dilalui adalah jalan bukit yang sepi dari lalu lalang
manusia. Tidak lama kemudian dari bawah bukit dia menyaksikan
ada satu rombongan manusia sedang bergerak lewat.
Dua orang yang berjalan dipaling depan tidak lain adalah Han
Cau dan Eng Siong-leng. Bouw It-yu tidak ingin jejaknya ketahuan, cepat dia
menyembunyikan diri dibalik semak belukar.
Waktu itu Han Cau dan Eng Siong-ling sedang bercakap-cakap,
cepat Bouw It-yu menempelkan telinganya diatas permukaan tanah
untuk ikut mendengarkan. Terdengar Han Cau sedang berkata, "Hingga kini kita belum
memperoleh kabar berita tentang Lan Giok-keng, tapi menurut
dugaan Tauke, kemungkinan besar dia telah berangkat ke KimTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/
leng." "Kenapa?" tanya Eng Siong-leng.
"Sebab surat dari Kwik Bu telah terjatuh ke tangannya."
Siapakah Kwik Bu" Bouw It-yu tidak tahu, apa sebabnya Lan
Giok-keng berangkat ke Kim-leng setelah memperoleh surat itu"
Bouw It-yu pun tidak paham.
Tapi Eng Siong-leng sangat paham, segera sahutnya, "Kalau
begitu urusan disini boleh dibilang telah selesai, mungkin kitapun
harus berangkat ke Kim-leng."
"Kim-lopan memang punya niatan begitu, tapi masalah yang
didepan mata saat ini belum diketahui apakah bisa berjalan lancar
sesuai dengan dugaan, terus terang aku merasa sedikit...."
"Kau tidak perlu kuatir," tukas Eng Siong-leng sambil tertawa,
"kau anggap bubuk siu-lo-san dari Ka-cok Hoatsu adalah obat
pemabuk yang biasa dan umum" Aku rasa biar perempuan busuk itu
memiliki kepandaian yang lebih hebat pun pasti akan terkena juga.
Apalagi sekarang terdapat Liok Ki-seng yang menjadi musuh dalam
selimut, kau jangan anggap saudaramu itu adalah orang yang tidak
berguna." Ketika berbicara sampai disini, rombongan itu sudah pergi sangat
jauh sehingga kata berikut tidak kedengaran lagi.
Kini Bouw It-yu baru tahu, ternyata Han Cau sekalian sudah
mempunyai janji dengan Liok Ki-seng, itulah sebabnya walaupun
Liok Ki-seng tidak memberikan laporannya namun mereka tetap
datang meminta orang sesuai dengan pernjanjian.
Pada detik itu juga Bouw It-yu nyaris tidak kuasa menahan diri
untuk tampil ke depan dan berteriak keras, dia berniat memancing
perhatian orang orang itu agar datang mengejarnya.
Tapi sayang pertama karena rombongan itu sudah pergi jauh,
kedua menurut perhitungannya, di saat Han Cau sekalian tiba di
tempat mereka mendirikan tenda tadi, Seebun-hujin sudah hampir
setengah jam lamanya minum obat pemunah.
"Antara aku dengan dia sudah putus hubungan dan tidak saling
berhutang, urusannya biar dia selesaikan sendiri, mau selamat atau
berbahaya, kenapa aku musti menguatirkannya?"
Dia sendiripun merasa sedikit agak heran, mengapa dia bersikap
begitu perhatian terhadap Seebun-hujin.
Dengan pikiran bimbang dia meneruskan perjalanannya, namun
suara teriakan Seebun-hujin yang penuh dengan emosi seolah
masih terdengar disisi telinganya.
"Dia punya seorang anak yang berbakti macam kau, sementara
aku tidak punya! Thian memang tidak adil kepadanya, tapi lebih
tidak adil terhadap diriku!"
Sorot matanya yang menggetarkan sukma seakan masih
mengawasinya, sinar mata penuh amarah namun terselip juga sorot
mata penuh kasih sayang. Mendadak seakan tersadar akan sesuatu, pikirnya, Aaah, dia baik
kepadaku bukan karena ingin menebus dosa, dia memang menaruh
perasaan kasih yang sangat mendalam kepadaku, kasih seorang
sanak' Segulung angin berhembus lewat, menggoyangkan daun dan
ranting pohon Siong, suara deruan itu bercampur dengan suara
deburan ombak samudra....
persis sama seperti perasaan hatinya yang sedang diombang
ambingkan oleh ombak perasaan.
Ketika Han Cau sekalian tiba ditempat yang telah dijanjikan Liok
Ki-seng, mereka jumpai ada dua buah kereta kuda parkir di tepi
jalan, menemukan pula tenda tenda yang dibangun di sana.
Tapi suasana di seputar sana sangat hening, tidak terdengar pula
sesuatu suara dibalik tenda.
Dengan kening berkerut Han Cau segera berbisik, "Tampak
gelagatnya tidak beres."
Eng Siong-leng pun seorang jago kawakan, katanya pula, "Benar,
jangan buru-buru masuk."
Kemudian setelah menarik napas, serunya lantang, "Seebunhujin,
Khan mengundangmu berkunjung ke kotaraja, aku orang she-
Eng sengaja datang untuk menyambutmu."
Tiada jawaban. "Liok-toako!" teriak Han Cau pula. Masih tidak ada jawaban.
"Kalau tidak ada orang yang keluar, segera akan kulepaskan api!"
Eng Siong-leng sengaja mengancam.
Ancaman hendak membakar tentu saja bohong, tapi Seebunhujin
yang berada dalam tenda justru cemas bercampur panik.
Ternyata walaupun Seebun-hujin telah menelan pil pemunah itu,
namun karena pukulan batin yang diterimanya kelewat besar, untuk
sesaat dia tidak mampu menenangkan kembali pikirannya.
Dengan dasar tenaga dalam yang dimilikinya, sebetulnya seperti
yang di duga Bouw It-yu, dalam setengah jam kemudian kekuatan
tubuhnya dapat pulih kembali, tapi berhubung pikirannya tidak
tenang, dengan sendirinya tahap penyembuhan yang diperoleh pun
jadi sangat lamban. Saat ini tenaga dalamnya baru pulih tiga bagian, untuk
menghadapi Han Cau seorang memang masih bisa, tapi bila
ditambah Eng Siong-leng, dia tidak yakin bisa menghadapinya.
Di samping itu masih ada satu hal lagi yang membuatnya kuatir,
hingga kini putrinya belum mendusin kembali. Andaikata rombongan
orang itu benar-benar menyerbu masuk ke dalam tenda, dapatkah
dia jamin keselamatan putrinya"
Untung saja Han Cau sekalian banyak curiga dan ragu sehingga
mereka tidak berani menyerbu masuk ke tenda.
Dengan setengah berbisik Han Cau segera berkata, "Aku rasa
mungkin sudah terjadi perubahan yang sama sekali tidak terduga,
hingga sekarang kita belum tahu apakah Liok-toako masih ada di
dalam atau tidak, kita tidak boleh sembarangan bertindak hingga
berakibat sama-sama rugi."
Eng Siong-leng segera mengedipkan mata, memberi isyarat kalau
rencananya membakar hanya gertak sc-.mbal, kemudian dengan
suara keras serunya, "Lebih baik kita hancur bersama, apa pun yang
terjadi kita harus paksa mereka untuk keluar! Aku akan mulai
menghitung sampai angka tiga, bila tidak ada yang keluar lagi, akan
kulepaskan panah berapi!"
Kemudian dia pun mulai menghitung, "Satu.... dua.... tiga!"
Pada saat itulah terdengar Seebun-hujin berseru sambil tertawa
dingin, "Bukankah kalian menginginkan orang-orangmu" Baik,
kukembalikan orangmu!"
Di tengah suara tertawa dingin tampak dua orang manusia
"terbang" keluar dari balik tenda.
Pada saat yang bersamaan Eng Siong-leng telah melepaskan
panahnya, tentu bukan panah berapi.
Han Cau segera mengenali siapakah kedua orang itu, dengan
terperanjat buru-buru teriaknya, "Mereka adalah orang sendiri!"
Sayang keadaan sudah terlambat.
Begitu anak buah Eng Siong-leng melihat ada orang melompat
keluar dari balik tenda, mereka segera melepaskan hujan panah.
Tidak ampun kedua orang itu segera terkena bidikan panah,
hanya saja dibalik ketidak beruntungan masih ada keuntungan juga.
Orang pertama yang jalan darahnya sudah ditotok Seebun-hujin
dengan tusuk kondenya, karena totokan belum dibebaskan maka
tubuhnya tidak mampu bergerak, seketika itu diapun terhujan panah
dan mati seketika. Orang kedua hanya pingsan karena dihajar Peng-toaso, begitu
termakan bidikan panah, dia segera tersadar dari pingsannya karena
kesakitan. Untung nasibnya tidak terlalu jelek, panah itu tidak
bersarang di bagian tubuhnya yang mematikan.
Di saat tubuhnya sedang bergulingan di atas tanah, hujan panah
pun berhenti seketika. Buru-buru Eng Siong-leng dan Han Cau membangunkan orang
itu dan bertanya cemas, "Apa yang telah terjadi?"
"Apakah perempuan busuk itu tidak keracunan?"
"Mana Liok-toako?"
"Mana rekan-rekan lainnya?"
Orang ini adalah anak buah andalan Liok Ki-seng, sekalipun
reaksinya cukup cepat, namun berhubung dia baru sadar dari
kesakitan, lagipula sekaligus menghadapi serentetan pertanyaan
yang bertubi-tubi, untuk sesaat dia jadi bingung dan tidak tahu
pertanyaan penting mana yang harus di jawab dulu.
Akhirnya sambil menahan sakit teriaknya, "Hujin hanya pura-pura
kehilangan ilmu silat, kalian harus berhati-hati!"
Perlu diketahui, dia menyaksikan dengan mata kepala sendiri
bagaimana seorang rekannya roboh terjungkal persis di hadapan
Seebun-hujin, menyusul kemudian diapun tidak sadarkan diri hingga
kejadian selanjutnya tidak diketahui olehnya. Dalam anggapannya,
Liok Ki-seng serta ke tiga orang rekan lainnya telah tewas di tangan
Seebun-hujin. Sementara Eng Siong-leng yang berada diluar tenda merasa
terperanjat bercampur sangsi, Seebun-hujin yang berada dalam
tenda justru merasa terkejut bercampur gembira.
Ternyata Seebun Yan hanya ditotok jalan darah tidurnya oleh
Bouw It-yu dengan ilmu tunggalnya, tujuan Bouw It-yu hanya tidak
ingin gadis itu ikut mendengarkan pembicaraannya dengan Seebunhujin.
Karena itulah totokan yang digunakan tidak terlalu berat, bahkan
sudah memperhitungkan dengan tepat bahwa dia dapat mendusin
sendiri satu jam kemudian.
Dan saat itulah kebetulan dia baru mendusin dari tidurnya.
Begitu mendengar suara hiruk pikuk di luar tenda, dia sangka
Liok Ki-seng belum sempat melarikan diri, tanpa berpikir panjang
lagi dia segera mencabut pedangnya sambil menerjang keluar.


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Semula Seebun-hujin merasa gembira, menyusul kemudian
dengan perasaan terkejut buru-buru dia ikut menerjang keluar.
Begitu panah dari Eng Siong-leng meluncur datang, Seebun Yan
segera menangkis dengan pedangnya, anak panah itupun
melenceng dan terbang ke samping.
Pada saat yang bersamaan itulah Seebun-hujin telah muncul di
belakang putrinya dan menangkap anak panah itu.
Dengan perasaan takut buru-buru Han Cau membalikkan tubuh
sambil kabur. "Kau bukan dalang dari semuanya ini, hukuman mati boleh
dihindari, hukuman hidup tidak bisa dielakkan!" bentak Seebun-hujin
nyaring. Sepacang jarinya menyentil ke depan dan mementalkan balik
anak panah tadi. Panah itu melesat dengan kecepatan tinggi dan
secara kebetulan menembusi tulang Pi-pa-kut di tubuh Han Cau,
seketika itu juga ilmu silatnya punah.
Sebetulnya Eng Siong-leng masih sangsi dengan perkataan orang
itu, setelah melihat kejadian ini, mana dia berani menjajal lagi ilmu
silat Seebun-hujin, dengan cepat dia melompat naik ke punggung
kudanya dan kabur lebih cepat ketimbang Han Cau.
"Dasar sekawanan gentong nasi!" umpat Seebun Yan sambil
tertawa, "dengan kemampuan macam beginipun ingin mencari gargara.
Ibu, obat penawar racun dari Bouw-toako sungguh mustajab,
ilmu silatku telah pulih kembali. Bajingan tua itu sangat
memuakkan, mari kita mengejarnya balik!"
Diam-diam Seebun-hujin bersyukur, cegahnya, "Tidak usah
banyak urusan." Ternyata tenaga dalamnya baru pulih tiga bagian, untuk
mementalkan balik panah dari Han Cau, dia telah menggunakan
seluruh sisa kekuatan yang dimilikinya.
Melihat paras muka ibunya pucat pasi, dengan rasa kaget Seebun
Yan segera menegur, "Ibu, kenapa kau?"
"Tidak apa-apa," sahut Seebun-hujin sambil tersenyum, "hanya
saja bila panah tadi kusambitkan ke arah Eng Siong-leng, mungkin
rahasiaku segera akan terbongkar."
Kini Seebun Yan baru sadar akan apa yang terjadi, serunya
tertahan, "Oooh, rupanya mereka kabur lantaran termakan
gertakanmu." Mendadak dia teringat kembali akan Bouw It-yu, setelah
memandang sekejap sekeliling tempat itu, Seebun Yan pun berseru
tertahan, "Aaaah, kenapa tidak nampak Bouw-toako?"
"Dia telah pergi."
"Bukankah dia akan menemani kita naik ke Bu-tong?" seru
Seebun Yan agak heran, "kenapa sebelum aku tersadar kembali, dia
sudah pergi seorang diri?"
"Aku sendiripun tidak tahu mengapa dia pergi secara tiba-tiba,
tapi setiap orang memang memiliki masalah pribadi yang tidak ingin
diketahui orang lain, lagian diapun bukan anak kandungku, mana
boleh aku menanyainya secara detil?"
Walaupun dia gunakan perkataan itu untuk menyumbat agar
putrinya tidak banyak bertanya, tapi dihati kecilnya dia merasa kecut
bercampur sedih. Sementara itu Hong-sihu dan Peng-toaso telah sadar kembali dari
pingsannya. Maka Seebun Yan pun bertanya lagi, "Bagaimana rencana kita
sekarang" Apakah masih akan naik ke gunung Bu-tong untuk
menghadiri upacara penguburan Bu-siang Cinjin?"
"Lebih baik kita masuk dulu ke daratan sebelum bicara lagi,"
sahut Seebun-hujin murung.
Ooo)*(ooO BAB XV Mengenang kekasih dalam kompleks kuburan.
Mencuri dengar rahasia besar.
Gunung Bu-tong, bawah puncak Ci-siau-hong, terlihat seorang
tosu setengah umur sedang berlatih pedang.
Puncak Ci-siau-hong merupakan tempat dimana Thio Sam-hong,
Couwsu pendiri Bu-tong-pay berlatih diri tempo dulu.
Kini dibekas rumah gubuk yang pernah ditinggali Thio Sam-hong
telah dibangun istana Ci-siau-kiong yang besar dan megah dan
menjadi markas besar dari perguruan Bu-tong-pay.
Dari bawah memandang ke atas, pada puncak Ci-siau-hong
seolah terdapat berpuluh bangunan gedung dan loteng yang sedang
timbul tenggelam di tengah lautan awan.
Istana Ci-siau-kiong dibangun dengan menempel di atas bukit,
bangunan dalam istana terdiri dari pintu gerbang Toa-kiong-bun,
dua buah prasasti, dua pintu pintu istana, pelataran penyembahan,
gedung Ci-siau-tian serta beratus buah undak-undakan batu yang
lebar dan tersusun rapi ke arah atas.
Waktu itu fajar baru menyingsing, tiada awan di angkasa, sejauh
mata memandang lamat-lamat masih terlihat bayangan manusia di
bawah prasasti, di atas undakan batu dan di depan pintu gedung.
Mereka seakan para dewata yang sedang naik gunung untuk
berpesiar. Tentu saja orang-orang itu bukan para dewata yang sudah tidak
suka dengan hidangan ke duniawian, mereka adalah para tamu
undangan yang berbondong bondong naik ke gunung Bu-tong untuk
ikut hadir dalam upacara penguburan jenasah Bu-siang Cinjin. Di
samping para tosu yang mendampingi para tetamunya.
Hari penguburan jenasah Bu-siang Cinjin masih ada dua hari, tapi
sudah tidak sedikit tamu yang berdatangan. Itulah sebabnya
suasana di seputar istana Ci-siau-kiong tampak jauh lebih ramai
daripada keadaan biasa. Namun suasana di bawah puncak Ci-siau-kiong, di sisi jembatan
Yu-ci-kiau terasa begitu hening dan sepi, di sana hanya ada toosu
setengah umur seorang diri.
Luas jembatan Yu-ci-kiau tidak terlalu lebar, bangunan itu
didirikan diatas sebuah jeram yang sempit, jembatan yang sempit
lagi tinggi tergantung memberikan pemandangan yang indah di
sekitar tepat itu. Bila melewati jembatan tadi maka tibalah di sebuah kompleks
pekuburan yang baru saja selesai dibangun, kompleks pekuburan ini
disiapkan untuk mengubur jenasah Bu-siang Cinjin.
Tosu setengah umur itu adalah orang yang diberi tugas
membangun kompleks pekuburan itu, dia adalah satu-satunya murid
Bu-siang Cinjin yang masih tersisa, semasa masih preman bernama
Ko Ceng-kim dan kini bernama Put-ji Tojin.
Biarpun sedang berlatih pedang, disaat berlatih pedang pikiran
harus jernih dan tenang, namun dia nampak gelisah dan tidak
tenang. Di atas kepalanya terdapat sebuah pohon yang tumbuh
menjulang dari tebing karang, ranting yang besar malang melintang
kemana-mana, tampak dia melambung ke udara sambil
mengeluarkan jurus Pek-hok-liang-ci, dimana cahaya pedang
berkilat, tujuh lembar daun berguguran ke tanah. Bahkan setiap
daun itu telah terpapas kutung sama besar sama rata.
Bisa melatih ilmu pedangnya hingga mencapai taraf sehebat itu
sesungguhnya merupakan satu peristiwa yang luar biasa, namun dia
nampak murung dan masgul sehabis melihat dedaunan yang
berguguran itu, gumamnya, "Apa yang sedang terjadi dengan diriku,
mengapa latihanku pada hari ini bukan saja tiada kemajuan, bahkan
jauh lebih mundur daripada hasil latihanku kemarin."
Ketika berlatih kemarin, dia berhasil memapas rontok sembilan
lembar daun, tapi hari ini bukan hanya berkurang dua lembar,
bahkan salah satu diantaranya gagal ditebas sama sisi dan sama
besarnya. Di atas tebing batu yang curam terdapat sebuah tebing kecil
yang disebut Thay-cu-po, di bawah tebing curam terdapat sebuah
sumur kuno yang disebut Mo-ciam-cing sumur penggosok jarum,
sementara kompleks tanah pekuburan yang baru selesai dibangun
berada di samping tebing Thay-cu-po dan tidak jauh dari sumur Mociam-
cing. Dengan sedih dia menarik kembali pedangnya dan mengalihkan
pandangan matanya ke arah sumur penggosok jarum, kemudian
gumamnya sambil menghela napas, "Sudah tujuh belas tahun
lamanya aku berlatih ilmu pedang, tapi belum mampu mencapai
setengahnya kemampuan suhu. Aaai.... hingga kini aku masih
belum sanggup mengendalikan pikiran dan perasaanku yang
bergejolak, benar-benar membuat malu suhu yang sudah banyak
tahun mendidikku...."
Ternyata tebing pangeran atau Thay-cu-po dan sumur
penggosok jarum Mo-ciam-cing mendapat nama dari cerita yang
terdapat dalam kitab agama To.
Dalam To-keng yang bernama Sam-po-toa-yu-kim-su disebutkan,
ada seorang pangeran dari negeri Cing-lok-kok pada usia lima belas
tahun berpamitan kepada orang tuanya untuk bertapa di atas
gunung, di atas tebing inilah sang pangeran mendapat ajaran dari
Giok-ceng-seng-cou Ci-hian-kun.
Suatu hari dia ingin meninggalkan gunung dan tidak melanjutkan
semedinya lagi, dia berjalan menuju ke tepi sebuah sumur, di sana
tampak seorang nyonya tua sedang mengasah tongkat besinya
diatasbatu. Diapun bertanya kepada perempuan tua itu, mengapa mengasah
tongkat besinya diatas batu, jawab perempuan tua itu, dia ingin
menggosok tongkat besi itu menjadi sebatang jarum.
Diapun bertanya, bukankah sangat sulit untuk berbuat begitu"
Perempuan tua itupun menjawab: bila kau punya tekad, akhirnya
pasti akan berhasil. Petunjuk ini seketika membuat sang pangeran tersadar kembali
akan kesalahannya, maka diapun balik ke atas gunung untuk
melanjutkan pertapaannya dan terakhir berhasil mencapai
kesempurnaan. Ketika di kemudian hari dia naik ke atas langit, jadilah pangeran
itu sebagai Tin-bu Thay-tee.
Tin-bu Thay-tee merupakan dewa pelindung dari bukit Bu-tong.
Karena itulah sewaktu pertama kali Bu-siang Cinjin mengajarkan
ilmu pedang kepada muridnya, Put-ji, dia tidak memilih tempat lain
tapi secara khusus mengajaknya naik ke tebing Thay-cu-po di
samping sumur Mo-ciam-cing. Tentu saja tujuan gurunya adalah
agar dia menirukan pengalaman dari pangeran negeri Cing-lok-kok
dan melatih ilmu dengan tekun.
Waktu itu gurunya sempat berkata begini, "Bakatmu sebetulnya
tidak terlalu jelek, tapi belum terhitung bakat alam yang hebat,
karena itu "dengan rajin menambal kekurangan" merupakan kata
kunci yang paling cocok untukmu."
Pelbagai kenangan lama pun satu per satu melintas kembali
dalam benaknya, dia tertawa getir, tiba tiba bayangan seseorang
muncul dalam benaknya. "Tidak heran kalau sumoay menyukai Keng-sute, diluar masalah
tampang yang dia memang lebih ganteng ketimbang aku, bakat
ilmu silatnya memang jauh lebih bagus daripada diriku. Aku telah
mendapat bimbingan langsung dari Ciangbunjin, tujuh belas tahun
sudah aku melatih diri namun belum pernah mencapai kesempurna
an dalam permainan Thay-kek-kiam-hoat, coba kalau diganti dia,
mungkin tidak sampai tujuh tahun keberhasilannya sudah jauh
melebihi kemampuanku hari ini!" demikian Put-ji berpikir dalam hati.
Selama banyak tahun dia berusaha keras untuk menekan
perasaan hatinya itu, tidak ingin memikirkan Keng King-si lagi. Tapi
sekarang tanpa disadari secara tiba-tiba dia teringat akan dirinya.
Tentu saja bukannya tanpa sebab dia bersikap begitu, dia bisa
secara tiba-tiba teringat akan Keng Kingsi tidak lain karena
terpengaruh oleh pemandangan alam yang terpampang di depan
mata. Dalam kompleks pemakaman yang berada di hadapannya
sekarang, kecuali bagian tengah yang disediakan secara khusus
untuk mengubur jenasah Bu-siang Cinjin, di sampingnya terdapat
pula sebuah kuburan yang agak kecil, biarpun kuburan itu hanya
satu namun dibawahnya terkubur tiga sosok kerangka manusia,
salah satu diantaranya adalah adik seperguruannya, Keng King-si.
Padahal Keng King-si tidak lebih hanya seorang murid dari
kalangan preman yang rendah kedudukannya, mengapa kerangka
tubuhnya bisa dikuburkan dalam satu kompleks pemakaman yang
sama dengan Ciangbunjinnya"
Dalam hal ini memang ada penyebabnya dan penyebab itu timbul
karena sekilas pikiran egois dari Put-ji Tojin.
Keng King-si, Ho Giok-yan, Ho Liang serta Bu-kek Totiang ketua
Tianglo dari Bu-tong-pay tewas pada hari dan tempat yang sama,
Keng King-si mati karena 'salah bunuh', Ho Liang mati karena
dibokong Siang Ngo-nio sedang Ho Giok-yan bunuh diri setelah
melahirkan putranya. Setelah peristiwa itu, lebih kurang satu jam kemudian dia
menghantar bayi yang baru lahir itu ke rumah keluarga Lan,
menyusul kemudian Bu-kek Totiang yang terluka parah pun muncul
disana. Ketika Bu-kek Totiang selesai menyampaikan pesannya, dia
pun ikut tewas secara mengenaskan.
Terdorong rasa egonya pula, dia enggan menguburkan jenasah
Keng King-si dan Ho Giok-yan dalam satu liang, tapi membuang dua
liang yang beda, satu untuk mengubur jenasah Ho Giok-yan dan
satu lagi untuk mengubur jenasah Bu-kek tianglo, Keng King-si serta
Ho Liang. Tahun berselang Bu-siang Cinjin menitahkan murid pertamanya,
Put-coat pergi ke bukit Boan-liong-san untuk membawa kerangka
Bu-kek tianglo agar bisa dikubur di atas bukit, setelah lewat enam
belas tahun, jenasah yang dikubur tanpa peti mati pasti sudah lapuk
dan hancur, yang tersisa hanya tulang belulang belaka.
Terpaksa Put-coat mengumpulkan ke tiga sosok kerangka itu
menjadi satu karung dan dibawa pulang ke gunung, kerangka yang
tercampur sudah pasti tidak bisa dibedakan lagi kerangka orang per
orang. Ditambah lagi Put-coat sendiri diserang musuh tangguh di bukit
Boan-liong-san hingga terluka parah, beruntung muncul Bouw It-yu
yang menyelamatkan jiwanya, tapi begitu tiba di gunung Bu-tong,
pada hari yang sama dia iku t meninggal dunia.
Kedudukan Bu-kek Tianglo dalam partai Bu-tong menempati
posisi di bawah Bu-siang Cinjin, sudah sepantasnya bila jenasahnya
dikuburkan dalam kompleks pemakaman ini.
Oleh karena tulang belulang ke tiga orang itu sudah membaur
jadi satu dan tidak mungkin dipisahkan lagi, maka bukan hanya
Keng King-si saja yang mendapat upacara penguburan istimewa, Ho
Liang si pelayan tua keluarga Ho pun mendapatkan perlakuan yang
sama. Tapi kini, Put-ji yang berhadapan dengan kom-pleks pemakaman
itu benar-benar dibuat menangis tidak bisa, tertawapun tidak dapat.
"Kau sudah mati tapi keadaanmu jauh lebih enak ketimbang aku
yang masih hidup, setiap hari setiap saat aku harus merasakan
kemurungan, kekhawatiran dan kesedihan yang luar biasa," pikir
Put-ji sambil tertawa getir.
Peristiwa lama satu demi satu melintas kembali dalam benaknya.
Tentu saja yang paling membuatnya tidak dapat melupakan adalah
Siau-sumoaynya Ho Giok-yan.
"Siau-sumoay, kau jangan marah kepadaku karena setelah


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

matipun aku tidak membiarkan jenasahmu terkubur dalam satu
liang dengan Keng-sute, biarpun aku sudah banyak melakukan
kesalahan kepadamu, paling tidak ada satu hal aku dapat
mempertanggung jawabkan kepadamu, anak Keng mu, sesuai
dengan permintaanmu terakhir, telah kupelihara hingga dewasa."
Memandang awan putih yang bergerak di angka-sa, kembali dia
berguman sambil menghela napas, "Sejak anak Keng turun gunung,
hingga kini belum terdengar kabar beritanya lagi, entah ke manakah
dia telah pergi" Aaaai, aku telah memeliharanya hingga tumbuh
dewasa, tapi setiap hari aku harus merasakan ketegangan dan rasa
takut yang luar biasa, aku selalu kuatir suatu saat nanti dia tahu
kejadian yang sebenarnya dan datang mencari balas kepadaku!"
Perasaan hatinya pada Lan Giok-keng memang serba salah dan
saling bertentangan, disatu sisi dia merindukan bocah itu, berharap
dia segera kembali, tapi disisi lain diapun kuatir bila bocah itu tahu
teka-teki tentang asal usulnya, kemudian menganggapnya sebagai
musuh besar pembunuh orang tuanya. Kalau sampai terjadi begini,
apa yang harus dia lakukan"
Sementara pikirannya sedang kusut dan kalut, tiba tiba terlihat
ada seorang tosu kecil berjalan turun dari tebing Thay-cu-po sambil
memanggilnya lirih, "Susiok-tianglo!"
Tosu kecil itu adalah murid Suhengnya Put-po Tojin bergelar Goseng.
Put-po Tojin adalah murid tertua dari Bu-kek Totiang, dalam
deretan angkatan "put" dia mempunyai posisi yang paling tinggi,
sejak Bu-siang Cinjin meninggal dunia, ketua penggantinya Bu-beng
cinjin (yaitu Bouw Ciong-long, ayah Bouw It-yu) mengusulkan agar
mengangkat dua orang murid dari angkatan "put" menjadi tianglo
baru. Maka diangkatlah dua orang tianglo baru untuk mengisi
kekosongan dalam jabatan tersebut, mereka adalah Put-ji Tojin
serta Put-po Tojin. Sejak naik ke gunung Bu-tong dan menjadi Tosu, Put-ji selalu
tampil murung, tidak banyak bicara dan berwajah serius, begitu
seriusnya hingga tosu kecil yang berdiri dihadapannya pun seolah
merasa ngeri dan ketakutan.
"Ada urusan apa?" tanya Put-ji.
"Ti.... tidak ada apa apa, hanya saja...." jawaban Go-seng
kedengaran tergagap. "Hanya saja kenapa, cepat katakan!"
"Bouw-susiok telah kembali, suhu minta aku menyampaikan
kabar ini. Sekarang Bouw-susiok berada di ruang Ci-siau-kiong,
apakah tianglo berniat...."
Rupanya berhubung selama berapa bulan ini Put-ji harus
bertugas mengawasi pembangunan kompleks pemakaman itu, maka
untuk sementara waktu dia mendirikan sebuah rumah gubuk di
dekat kompleks itu dan tinggal disana.
Kini, walaupun pembangunan di kompleks pemakaman telah
usai, namun dia belum pindah ke tempat tinggalnya semula, itulah
sebabnya Go-seng khusus datang kesana untuk mencarinya.
Dalam hati Put-ji merasa terkejut, namun paras mukanya sama
sekali tidak berubah, tukasnya hambar, "Aku sudah tahu, kau boleh
pergi dari sini." Karena dia tidak memberi pernyataan apakah akan menjumpai
Bouw It-yu atau tidak, terpaksa Go-seng berlalu lebih dulu.
Mendapat tahu kalau Bouw It-yu telah kembali, perasaan hati
Put-ji bertambah kusut dan tidak tenang. Bouw It-yu lah yang telah
menerima karung yang berisikan tulang belulang Bu-kek tianglo,
Keng King-si serta Ho Liang dari tangan Put-coat, bahkan dia sendiri
yang menyerahkan karung itu ke tangan Bu-siang Cinjin.
Angin berhembus lembut menggoyangkan ranting dan dedaunan,
seharusnya suara itu halus dan lembut, namun dalam pendengaran
Put-ji justru seolah suara gemerutuknya tulang belulang yang
diletakkan diatas meja. "Baiklah, sekarang keluarkan tulang itu satu per satu dan
letakkan di atas meja, akan kuperiksa dengan seksama!"
Ucapan gurunya kepada Bouw It-yu pada saat itupun sepatah
demi sepatah seakan mengiang kembali disisi telinganya. Waktu itu
dia bersembunyi diluar ruang tidur gurunya sambil mencuri dengar.
Sebuah teka teki besar yang selama ini tersimpan dalam hatinya,
hingga kini belum pernah terungkap.
"Apakah suhu telah mengetahui rahasiaku?"
Tapi "untung" gurunya telah meninggal dunia, sekarang hanya
satu yang dia kuatirkan. "Entah berapa banyak rahasiaku yang telah diketahui Bouw It-yu
si bocah keparat itu?"
Setelah peristiwa itu, secara tidak langsung Bouw It-yu pernah
memberi kisikan kepadanya bahwa dia telah membantunya,
merahasiakan sejumlah persoalan, termasuk 'lenyap' nya sekerat
tulang tengkorak di tengah jalan (apakah dalam tulang tengkorak
itu tertinggal sebatang jarum Lebah hijau")
Justru karena dia pernah memperoleh "ancaman" dari Bouw It-yu
(sekalipun Bouw It-yu tidak pernah menerangkan secara jelas),
maka mau tidak mau, meski dengan perasaan tidak puas dan
terpaksa, dia harus menunjukkan sikap loyal dan dukungannya
terhadap Ciangbunjin baru.
Biarpun dia banyak membungkam dan jarang berbincang dengan
rekan seperguruannya, namun berita tentang Bouw It-yu yang turun
gunung dengan cepat telah masuk ke dalam telinganya. Dia bahkan
tahu kalau Bouw It-yu pernah keluar perbatasan dan dalam
perjalanan kembalinya sempat mampir di kota Kim-leng.
"Apakah ketika berada di luar perbatasan, dia pernah melewati
kota Uh-sah-tin?" Put-ji pernah mendapat perintah dari gurunya untuk berkunjung
ke kota Uh-sah-tin dan menyelidiki Keng King-si saat hidup ditempat
itu, dan di saat berada di kota Uh-sah-tin itulah dia bertemu dengan
Jit-seng-kiam-kek dan kabur pulang dengan membawa luka di
tubuh. Terbayang kalau Bouw It-yu besar kemungkinan telah datang
pula ke Uh-sah-tin, pikiran dan perasaan hatinya makin kalut dan
tidak tenang. "Aaai, terlepas seberapa banyak yang berhasil dia ketahui, yang
penting aku harus berhasil melatih ilmu pedangku."
Dia paksakan diri untuk berkonsentrasi dan mulai berlatih pedang
kembali. Perangainya memang sekokoh batu karang, ketika sekali
mengalami kegagalan dia segera melatih satu kali lagi, tanpa terasa
semua kemurungan dan kemasgulan pun terbuang jauh-jauh dari
benaknya. Di saat seluruh konsentrasinya terpusat untuk berlatih pedang
inilah, mendadak terdengar seseorang memuji, "Ilmu pedang yang
hebat!" Desingan angin tajam membelah angkasa disusul bergugurannya
dedaunan. Kali ini dia berhasil menebas sembilan lembar daun dan
setiap lembar berhasil ter-belah persis di bagian tengahnya.
Begitu menarik kembali pedangnya, dia melihat seorang lelaki
berwajah sangat umum, tidak tampan pun tidak jelek, kesan yang
ditinggalkan orang itu hanyalah orang umum yang setiap saat dapat
kau jumpai dimana pun dan setelah lewat sama sekali tidak
meninggakan kesan apa pun.
Tapi lelaki yang berwajah amat umum itu sedang mengawasinya
dengan sorot mata yang sangat aneh.
"Siapa kau?" sambil menarik kembali pedangnya Put-ji menegur.
Tiba-tiba orang itu tertawa cekikikan, "Masa aku pun sudah tidak
kau kenali?" sapanya.
Suaranya merdu bercampur genit, coba kalau orang itu bukan
berbicara persis dari hadapannya, dia tidak bakalr.n percaya kalau
suara yang merdu merayu itu berasal dari mulu t seorang lelaki
yang begitu bersahaja. Namun yang membuatnya terperanjat bukan hanya begitu saja,
tapi suara panggilan yang merdu itu telah membangkitkan kembali
kenangannya di masa silam.
Kalau berbicara soal waktu, kenangan ini sudah teramat lama
sekali, namun tidak pernah terlupakan olehnya.
Suara itu pernah membuatnya terbuai, pernah membuatnya
tergila-gila dan kehilangan sukma, pernah membuat hatinya
berdetak keras, takut, ngeri dan merasa seram.
Lama setelah berdiri mematung, akhirnya agak tergagap dia
berbisik, "Kau.... kau.... kau adalah Ngo...."
Siang Ngo-nio tertawa terkekeh.
"Terima kasih banyak kau masih ingat namaku," katanya, "tapi
aku hanyalah Ngo-nio mu, bila berada dihadapan orang lain, kau
jangan memanggil namaku."
"Ngo-nio," ujar Put-ji Tojin setelah berhasil menenangkan
hatinya, "ilmu merubah wajahmu sungguh luar biasa. Tapi,
kendatipun tidak ada yang mengenalimu, tidak seharusnya kau
mengambil resiko sebesar ini untuk datang kemari. Mau apa kau
kemari?" "Mau apa" Tentu saja datang mencarimu!"
"Mencari aku?" berubah paras muka Put-ji, "tahukah kau apa
posisiku saat ini?" "Aku tahu, sekarang kau sudah menjadi tianglo di Bu-tong-pay!
Hmm, kenapa" Setelah jadi tianglo, kau tidak mau memperdulikan
aku lagi?" "Ngo-nio, tolong jangan berteriak-teriak disini" bisik Put-ji dengan
suara lirih, "coba dengarkan dulu perkataanku...."
Siang Ngo-nio sama sekali tidak ambil perduli, setelah tertawa
dingin kembali ujarnya, "Dasar bocah yang tidak punya perasaaan,
masih ingat tidak ketika dulu kau tidur seranjang denganku, berapa
banyak kata mesra dan hangat yang pernah kau bisikkan disisi
telingaku" Dan sekarang, kau memandangku dengan wajah dingin
membeku! Pepatah mengatakan: semalam jadi suami istri...."
Buru-buru Put-ji Tojin mendekap mulutnya sambil berbisik, "Ngonio,
aku mohon.... jangan sembarangan bicara, sebenarnya apa
yang ingin kau katakan?"
"Aku ingin kau melaksanakan janjimu dulu, mengambil aku
sebagai istrimu!" "Tolong, janganlah bergurau terus!" seru Put-ji sambil tertawa
getir, "aku sudah lama jadi pendeta, bahkan sekarang telah menjadi
tianglo dalam perguruan ku."
"Kalau jadi tianglo lantas kenapa" Orang yang sudah jadi pendeta
pun dapat kembali jadi preman! Eeei Ceng-kim, aku lihat
kehidupanmu sebagai seorang tosu pun tidak terlalu nyaman dan
gembira, aku rasa lebih banyak kesulitan yang bakal kau jumpai
daripada kesenangan! Mumpung disini tidak ada orang, bagaimana
kalau kita kabur saja ke ujung dunia!"
Tiba-tiba saja nada suaranya berubah, berubah jadi sangat halus
dan lembut, membuat Put-ji Tojin semakin kelabakan dan tidak tahu
apa yang musti dilakukan.
Sadar kalau dia tidak bakal lolos dari cengkeraman perempuan
itu, satu ingatan segera melintas dalam benaknya. Katanya
kemudian, "Lusa adalah saat jenasah guruku dikebumikan, semisal
harus pergi pun, aku tidak mungkin bisa pergi pada hari ini. Ngonio,
berilah waktu kepadaku untuk berpikir, tapi sebelum itu aku
ingin menanyakan satu hal lebih dulu kepadamu."
"Baik, tanyalah!"
"Kenapa kau bisa sampai disini?"
Berlagak tidak mengerti sahut Siang Ngo-nio, "Aku toh bukan
pincang, tentu saja dengan mengandalkan kedua kakiku aku sampai
disini!" Put-ji mendengus. "Hmm, tidak usah berlagak bodoh, kau harus mengerti apa
maksud pertanyaanku ini! Tidak salah, kau telah berganti rupa,
mungkin tiada orang di sepanjang gunung Bu-tong yang bisa
mengenali raut wajah aslimu, tapi masa tidak ada yang bertanya
siapa dirimu?" "Sebenarnya aku memang sudah siap bila ada yang bertanya
kepadaku, sayang tidak ada kesempatan bagiku untuk
mempraktekkan kemampuanku berbohong. Sejak melangkah masuk
dari pintu Hian-gak-bun, entah mengapa, para murid perguruanmu
yang bertugas menerima tamu tidak ada yang menaruh curiga
kepadaku, bahkan bertanya setengah kecap pun tidak."
"Hmm, kalau begitu kemampuanmu memang benar-benar luar
biasa!" dengus Put-ji sambil melototkan matanya.
Dari balik sorot matanya Siang Ngo-nio dapat menangkap cahaya
yang sangat aneh, saat itulah dia baru tidak memperolok dirinya
lagi, sambil tersenyum ujarnya, "Bukan kemampuanku yang hebat
dan luar biasa, aku hanya naik gunung mengikuti seseorang, kalau
dibilang ada yang memiliki kemampuan hebat, orang itu pasti bukan
aku melainkan orang tersebut."
"Siapa?" "Bouw It-yu!" "Untung aku tidak bertindak gegabah," pikir Put-ji dengan
perasaan terperanjat. Tampaknya Siang Ngo-nio dapat menebak jalan pikirannya,
dengan senyum tidak senyum katanya lagi, "Ceng-kim, bukankah
kau menganggap aku telah membawa kesulitan bagimu, bukankah
kau ingin membunuhku" Hehehehe.... ilmu pedangmu telah kau
latih hingga mencapai taraf begitu sempurna, bila ingin
membunuhku, sebetulnya hal ini bisa kau lakukan dengan gampang
sekali, justru yang sulit adalah bisa membunuh aku tanpa diketahui
siapa pun!" Put-ji tertawa paksa, ujarnya, "Ngo-nio, kau terlalu banyak
curiga, mana mungkin aku ingin membunuhmu" Lagipula kau telah
berlatih ilmu senjata rahasia aliran keluarga Tong, aku merasa tidak
punya kemampuan untuk membunuhmu!"
"Baiklah, anggap saja aku memang menggunakan pikiran
seorang siaujin untuk mencurigai seorang kuncu. Apa yang sedang
kau pikirkan sekarang?"
"Apakah kau bertemu Bouw It-yu di luar perbatasan?"
"Benar, bertemu di sebuah kota yang bernama Uh-sah-tin, bukan
hanya bertemu Bouw It-yu, disana pun aku telah berjumpa pula
dengan anak angkatmu!"
"Lan Giok-keng" Kau.... kau pun telah bertemu dengannya?"
"Aku rasa sudah waktunya kau mengubah panggilannya sebagai
Keng Giok-keng bukan?"
Put-ji merasakan hatinya sangat tergoncang, serunya tanpa
sadar, "Jadi dia sudah mengetahui orang tua aslinya?"
"Aku tidak tahu seberapa banyak yang teLih dia ketahui, tapi aku
rasa dia sudah bukan seperti dulu lagi, yang sama sekali tidak tahu
apa-apa." Paras muka Put-ji berubah hebat, mulutnya melongo tapi tidak
sanggup berbicara. Sambil tersenyum kembali Siang Ngo-nio berkata, "Aku bahkan
mengetahui pula akan satu hal, bila sekarang kau ingin
membunuhnya, mungkin tidak gampang kau lakukan, karena ilmu
pedangnya sekarang sudah jauh lebih hebat daripada kepandaian
yang kau miliki!" "Omong kosong!" seru Put-ji dengan wajah serius, "akulah yang
telah mendidik ilmu silatnya, bukan saja hubungan kami adalah guru
dan murid bahkan keakraban kami melebihi seorang ayah dan anak.


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Untuk menyayangi dirinya saja aku masih tidak sanggup, mana
mungkin akan mencelakainya?"
Siang Ngo-nio segera tertawa terkekeh.
"Benarkah begitu?" ejeknya, "menurut apa yang kuketahui, ilmu
pedang yang kau ajarkan kepadanya sepertinya aspal, asli tapi
palsu, bukan begitu" Untung saja dia dapat melatih diri sendiri
hingga menguasai ilmu pedang tingkat tinggi, kalau tidak, kasih
sayangmu kepadanya mungkin akan mencelakainya hingga mati."
Put-ji berlagak sedih, ujarnya sambil menghela napas, "Ngo-nio,
apakah sampai kau pun tidak bisa menyelami perasaan hatiku"
Padahal aku berbuat begitu pun demi kebaikannya, aku hanya ingin
dia hidup tenang tenteram sepanjang masa di atas gunung Bu-tong.
Kau pun seharusnya tahu, orang persilatan yang bisa hidup bahagia
hingga tua biasanya malah mereka yang ilmu silatnya biasa-biasa
saja. Orang kuno mengatakan: orang bersahaja banyak rejeki nya
ternyata memang tidak keliru."
"Tapi sayang Keng Giok-keng bukan termasuk manusia biasa!"
"Perkataanmu benar sekali. Tapi maksud utamaku adalah baik,
aku tidak menyangka kalau Sucouww nya bakal menyuruh dia turun
gunung, bahkan mewariskan pula kiam-boh perguruan kepadanya."
"Sekarang dia sudah tahu kalau ilmu pedang asli tapi palsu yang
kau ajarkan kepadanya tidak berguna sama sekali, apakah kau
sangka dia tetap menganggapmu berniat baik" Itupun baru sebatas
masalah ilmu pedang, bila diapun tahu kalau ayah kandungnya
ternyata tewas diujung pedangmu, kau sangka...."
"Jangan dilanjutkan!" jerit Put-ji, "bagaimanapun juga dia
tumbuh dewasa di bawah didikanku, aku telah membuang banyak
tenaga maupun pikiran untuk merawatnya dan dia seharusnya tahu
akan hal ini! Kalau dia tahu maka dia seharusnya percaya
kepadaku!" "Gurumu saja sepertinya tidak percaya lagi kepadamu, kalau
tidak, masa tanpa memberitahukan kepadamu, dia sudah menyuruh
Giok-keng turun gunung. Kau sangka Giok-keng si bocah itu masih
mau percaya kepadamu setelah mengetahui kejadian yang
sebenarnya" Hehehe.... mungkin itu hanya keinginanmu sepihak?"
Ucapan ini mengena langsung pada penyakit hati Put-ji, kontan
saja seperti ayam jago yang kalah bertarung dia tundukkan
kepalanya dengan wajah murung.
"Ceng-kim, lebih baik kau bersama aku kabur ke ujung dunia
saja. Aku punya cara untuk membantumu, sekalipun Keng Giokkeng
telah mengetahui duduk perkara yang sebenarnya, aku pun
bisa mengalihkan dendam kesumatnya dari dirimu kepada diriku,"
bujuk Siang Ngo-nio. Tergerak hati Put-ji sesudah mendengar ucapan itu, tapi ingatan
lain segera melintas, "Setelah melakukan satu kesalahan, aku tidak
boleh mengulang lagi kesalahan yang sama, apalagi sepanjang
hidup berada bersama siluman perempuan ini!"
Dari perubahan mimik mukanya, agaknya Siang Ngo-nio sudah
dapat menebak perubahan yang terjadi dalam hatinya, sambil
menghela napas kembali ujarnya, "Ceng-kim, ternyata kau begitu
muak terhadapku" Aaai, kusangka kita berasal dari jenis manusia
yang sama." "Terima kasih banyak atas niat baikmu, tapi aku lebih rela
mampus di ujung pedang anak Keng, seandainya dia benar-benar
tidak mau memaafkan diriku."
"Kau tidak bakal menyesal?"
."Paling banter juga mati, aku seharusnya sudah mati sejak
delapan belas tahun berselang, tapi karena sumoay telah
menyerahkan bayi yang baru dilahirkan kepadaku, bagaimana pun
aku tidak boleh menyia-nyiakan harapannya, itulah sebabnya aku
bertahan hidup hingga sekarang. Kini anak Keng telah tumbuh
dewasa, biar harus mati secara mengenaskan pun aku tidak bakalan
menyesal!" Siang Ngo-nio pura-pura ikut menghela napas, katanya,
"Ternyata dalam hati kecilmu selama ini hanya terdapat sumoaymu
seorang, bagimu, Siang Ngo-nio yang masih hidup segar bugar tidak
bisa menandingi Ho Giok-yan yang telah lama meninggal. Hmmm,
anggap saja aku telah salah mengenalimu, tapi masa kau sama
sekali tidak ada pertanggungan jawab sedikit pun terhadapku?"
"Ko Ceng-kim yang pernah kenal denganmu pada delapan belas
tahun berselang telah lama mati, yang ada sekarang adalah tianglo
dari Bu-tong-pay, Put-ji!"
"Aku tidak perduli siapa dirimu, aku hanya ingin tanya, apa yang
hendak kau lakukan terhadapku?"
"Katakan saja sendiri, kecuali aku tidak bisa mengabulkan ajakan
mu untuk pergi bersama, apa pun yang kau inginkan, selama aku
dapat melakukannya pasti akan kukabulkan."
"Baik, kalau begitu aku akan memohon satu hal kepadamu,
bawalah aku menjumpai Ciangbunjin baru perguruanmu. Tapi dalam
hal ini aku tidak ingin ada pihak ke tiga yang ikut mengetahui."
"Mana boleh begitu?" seru Put-ji setelah tertegun beberapa saat
saking terkejutnya. "Kalau tidak kau kabulkan, maka selamanya aku akan hidup
bersamamu selama kau masih hidup dan mati bersamamu bila kau
mati!" Berdiri semua bulu kuduk Put-ji saking seramnya, cepat-cepat dia
berseru, "Jadi kau tetap bersikeras ingin melihat namaku hancur
posisiku musnah" Baik, kalau begitu hadiahkan saja sebatang jarum
Lebah hijau ke tubuhku!"
"Bila kau tidak punya perasaan, kenapa musti marah bila aku
tidak setia kawan!" ucap Siang Ngo-nio, "terus terang saja aku
beritahu, bila persoalan apa pun tidak mau kau lakukan untukku,
aku pasti akan membuat kau hidup tidak bisa, matipun tidak dapat!
Percaya-kah kau kalau aku mempunyai kemampuan seperti ini" Tapi
bila kau bersedia mengaturkan pertemuanku dengan Bouw Cionglong,
kujamin kau pasti akan aman tenteram tidak kekurangan
sesuatu apa pun." Tergerak hati Put-ji setelah mendengar ucapan itu, katanya,
"Kau.... kau.... jadi Bouw Ciong-long pun merupakan bekas....
bekas...." "Hey, lari ke mana jalan pikiranmu?" tukas Siang Ngo-nio dengan
wajah memerah, "memangnya setiap orang yang ingin kujumpai
pasti merupakan bekas kekasihku?"
"Lalu apa sebabnya kau ingin bertemu dengannya" Kenapa
berani memberikan jaminan kepadaku?"
"Inilah rahasiaku, bila kau bersedia menjadi suami ku, rahasia ini
pasti akan kuberitahukan kepadamu."
"Kalau begitu kau tidak perlu beritahu kepadaku, tapi mengapa
kau tidak minta bantuan kepada Bouw Ityu" Bukankah dia bersedia
mengajakmu naik ke gunung Bu-tong?"
Siang Ngo-nio segera tertawa.
"Aku adalah perempuan jahat yang sudah tersohor di kolong
langit, mana ada seorang anak mengaturkan pertemuan rahasia
bagi bapaknya dengan seorang wanita jahat!"
Put-ji ikut tertawa geli, pikirnya, 'Hahahaha.... kenapa aku tidak
pernah berpikir sampai ke situ" Jika Bouw Ciong-long benar-benar
adalah bekas kekasihnya, tentu saja dia tidak ingin Bouw It-yu
mengetahui rahasianya, apalagi minta bantuan kepadanya untuk
mengaturkan sebuah pertemuan'
Terdengar Siang Ngo-nio berkata lebih lanjut, "Aku hanya
mengikuti Bouw It-yu naik gunung, bukan Bouw It-yu yang
mengajakku naik gunung. Pada hakekatnya dia malah tak tahu
siapakah diriku. Lagipula dia tidak berhutang apa-apa kepadaku,
aku toh tidak bakalan sembarangan minta tolong kepada orang
lain." Perkataan itu setengahnya jujur tapi setengahnya lagi bohong,
namun dalam pendengaran Put-ji, dia hanya bisa tertawa getir.
"Betul, Ngo-nio, aku memang pernah berhutang cinta kepadamu,
tapi dalam kejadian itu...."
"Kalau kau tidak bersedia, lebih baik tidak usah banyak bicara.
Kita lihat saja nanti!" tukas Siang Ngo-nio sambil tertawa dingin.
Paras mukanya tiba-tiba berubah jadi dingin bagaikan lapisan salju.
Buru-buru Put-ji berseru, "Bukankah menampik permintaanmu,
bagaimana pun kau harus memberi waktu kepadaku untuk berpikir."
Selang berapa saat kemudian kembali Siang Ngo-nio bertanya,
"Sudah kau pikirkan baik-baik?"
"Ssttt!" mendadak Put-ji mendesis lirih, "ada orang datang, kau
cepat pergi dulu!" Siang Ngo-nio jadi gusar.
"Sebenarnya kau...."
Baru berbicara berapa patah kata, Put-ji telah mendekap
mulutnya sambil berbisik, "Aku berjanji, malam nanti datanglah ke
kompleks pemakaman. Cepat pergi, cepat pergi, jangan sampai
terlihat orang lain!"
Siang Ngo-nio adalah seorang jago senjata rahasia,
pendengarannya jauh lebih tajam daripada orang lain, saat itu
secara lamat-lamat dia telah mendengar ada orang sedang bergerak
mendekat. Dengan ilmu meringankan tubuhnya yang lihay, cepat dia
membalikkan tubuh, melompat naik ke atas tebing curam dan
menyembunyikan diri dibalik pohon-pohonan.
Baru saja Put-ji menghembuskan napas lega, terlihat Put-hui
Tokouw dengan menggandeng seorang gadis muda telah berjalan
menghampirinya. Put-ji tertegun, tapi cepat serunya sambil berlagak sangat
gembira, "Sui-leng, ternyata kau telah kembali!"
"Sejak kemarin Leng-ji sudah kembali," sahut Put-hui suthay,
"sebenarnya dia ingin segera melapor kepadamu, tapi berhubung
hari sudah malam, aku menyuruhnya datang hari ini."
Adik Lan Sui-leng adalah putra angkat Put-ji, selama banyak
tahun berbagai masalah yang ada di rumahnya selalu mendapat
perhatian dan bantuan darinya, menurut keadaan pada umumnya,
begitu gadis ini sampai di gunung, dia seharusnya langsung datang
menghadap. Oleh karena itu Put-ji sama sekali tidak merasa keheranan. Yang
membuatnya heran adalah kenapa Put-hui Suthay punya waktu
menemani muridnya datang mencari dia. Padahal pada saat seperti
ini seharusnya Put-hui Suthay berada di istana Ci-siau-kiong.
Mimik muka Put-hui Suthay kelihatan sedikit aneh, baru saja Putji
hendak mengajukan pertanyaan kepada Lan Sui-leng, dia sudah
berkata duluan, "Aku seperti mendengar ada seseorang sedang
berbicara denganmu, mana dia sekarang?"
Perasaan hati Put-ji tergoncang, tapi rasa kagetnya sama sekali
tidak ditampilkan di wajahnya, buru-buru sahutnya, "Benar, tadi
memang ada tamu, baru saja pergi."
"Tamu itu adalah...." Put-hui suthay tampak masih curiga.
Put-ji berusaha menenangkan hatinya, lalu menjawab dengan
hambar, "Aku tidak bertanya siapa namanya."
"Kenapa dia bisa datang kemari?" desak Put-hui suthay lagi
dengan kening berkerut. "Tamu ini sedikit agak ceroboh, bukan saja telah berpesiar di
seluruh bukit bahkan katanya ingin masuk kompleks pemakaman
untuk berpesiar, sudah kukatakan kalau kompleks ini tertutup bagi
orang awam sebelum upacara penguburan diselenggarakan, tapi dia
ngotot terus, akhirnya setelah kutampik secara tegas, dia baru pergi
dengan wajah bersungut-sungut."
Pihak Bu-tong-pay memang tak pernah melarang tamunya untuk
berpesiar di atas gunung, misalnya muncul orang tidak tahu aturan
yang bersikeras ingin berkunjung ke kompleks pemakaman lantaran
rasa hormatnya kepada Bu-siang Cinjin, hal semacam inipun lumrah
dan tak aneh. Karena itulah perasaan curiga Put-hui suthay seketika
berkurang banyak setelah mendengar alasan tersebut.
"Oooh, rupanya begitu," dia berkata.
Diam-diam Put-ji menghembuskan napas lega, ujarnya
kemudian, "Suci, kenapa kau tidak berada di istana Ci-siau-kiong
untuk membantu melayani tamu?"
"Mungkin Ciangbunjin tahu kalau aku tidak terbiasa melayani
kunjungan orang, mungkin juga khawatir aku tidak tahan lelah,
maka kecuali memerintahkan aku untuk ikut hadir dalam upacara
pemakaman lusa, aku telah dibebaskan dari tugas apa pun. Padahal
luka ku telah sembuh, sekalipun dalam seharian harus beberapa kali
naik turun puncak Ci-siau-hong pun tidak menjadi masalah bagiku."
"Suhu," timbrung Lan Sui-leng, "sekembali ke atas gunung, aku
baru tahu kalau kau telah terkena jarum Lebah hijau milik Siang
Ngo-nio, perempuan siluman itu hingga nyaris harus berbaring
hampir setengah tahun lamanya. Konon jarum Lebah hijau miliki
siluman wanita itu merupakan senjata rahasia yang sangat beracun,
biarpun kini telah sembuh, lebih baik jaga dirimu dengan seksama."
"Benar," sahut Put-hui Suthay sambil tersenyum getir, "biarpun
lukaku telah sembuh, namun ilmu meringankan tubuhku sedikit
terkendala, mungkin butuh berapa waktu lagi sebelum dapat pulih
kembali seperti sedia kala."
Diam-diam Put-ji sendiripun tertawa getir, pikirnya: 'Untung dia
tidak tahu kalau orang yang baru saja disini adalah si Lebah hijau
Siang Ngo-nio. Mungkin seandainya kungfu yang dia miliki tidak
menyusut mundur gara-gara lukanya, perkembangan cerita bisa jadi
lain.' Khawatir Put-hui Suthay bertanya lebih jauh, buru-buru dia
mengalihkan pokok pembicaraan, katanya, "A-Leng, kau turun
gunung sudah setengah tahunan, apakah mendengar sesuatu berita
tentang adikmu?" "Aku malah pernah bertemu dengannya sewaktu ada di Toanhun-
kok, hanya karena dia bersama Hwee-ko Thaysu dari biara
Siau-lim-si akan pergi ke luar perbatasan, lagian dia melarangku ikut
serta. Terpaksa aku pulang seorang diri."
Dalam hati kecilnya Put-ji merasa gugup bercampur panik,
namun dia berusaha tidak menampilkan kecemasan itu di wajahnya.
"Oooh, jadi dia telah pergi ke luar perbatasan bersama Hwee-ko
Thaysu," katanya, "aku benar-benar tidak menyangka akan hal ini.
Tahukah kau karena urusan apa mereka keluar perbatasan?"
"Tidak tahu. Justru karena itulah aku ingin bertanya kepada
tianglo, apakah sudah mendapat kabar tentang dirinya. Semasa
hidup dulu Sucouww paling menyayanginya, seharusnya dia akan
mengejar waktu untuk balik ke gunung."
"Aaai, akupun sedang berharap bocah ini segera pulang ke
gunung, tapi hingga hari ini masih belum mendapat kabar berita
tentang dirinya." Biarpun dia sedang berbohong (belum lama berselang dia telah
mendapat kabar tentang Lan Giok-keng dari cerita Siang Ngo-nio),
namun perasaan kasih sayangnya antara ayah angkat dengan
putranya terlihat kentara sekali.
Sebenarnya tujuan kedatangan Lan Sui-leng kali ini hanyalah
untuk melakukan sebuah kunjungan penghormatan saja, terhadap
Put-ji dia sama sekali tidak menyimpan pengharapan apa pun.
Oleh sebab itu walau tidak mendapat berita tentang adiknya, dia
sama sekali tidak merasa kecewa.
Tapi di saat dia hendak mohon diri itulah mendadak terdengar
Put-ji berkata lagi, "Hanya saja...."
Buru-buru Lan Sui-leng menelan kembali ucapan 'pamitan' nya
dan segera bertanya, "Hanya saja kenapa?"


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Walaupun Giok-keng si bocah ini belum kembali, tapi salah
seorang murid perguruan kita yang ikut melakukan perjalanan jauh
bersamanya telah kembali."
"Siapa?" buru-buru Lan Sui-leng bertanya dengan perasaan hati
berdebar. "Bouw It-yu. Menurut apa yang kuketahui, tujuannya turun
gunung kali inipun sepertinya pergi juga ke luar perbatasan."
Perlu diketahui, berita kembalinya Bouw It-yu ke atas gunung
biar tidak dia katakan pun, orang lain pasti akan mengatakannya
juga, oleh sebab itu dia mengatakannya segera. Dia butuh
ketenangan, berharap Put-hui Suthay dan Lan Sui-leng dapat segera
meninggalkan tempat itu secepatnya.
Tiba-tiba saja paras muka Lan Sui-leng berubah jadi pucat pias
seperti mayat. Melihat itu dengan perasaan kaget Put-hui Suthay menegur,
"Anak Leng, kenapa kau?"
"Tidak apa-apa. Aku hanya merasa sedikit takut. Siau-susiok
telah kembali, kenapa adik tidak ikut kembali."
"Walaupun mereka menuju ke sebuah tempat yang sama, belum
tentu secara begitu kebetulan bisa saling bersua muka, kalau
bertemu saja belum tentu, mana mungkin bisa pulang bersamasama"
Kau tidak usah sembarangan berpikir, kalau memang Bouw
It-yu sudah kembali, lebih baik kita mencari kabar darinya."
Darimana dia tahu kalau yang ditakutkan Lan Sui-leng bukan
kemungkinan adiknya tertimpa bencana atau musibah diluar
dugaan, tapi dia takut bertemu dengan Bouw It-yu, namun mau
tidak mau diapun harus pergi menjumpainya.
Dengan mulut membungkam dia berjalan mengikuti di belakang
gurunya, dari jembatan Yu-ci-kiau menuju ke jembatan Kim-sohkiau,
dari kejauhan bangunan istana Ci-siau-kiong sudah kelihatan.
Di bawah undak undakan batu yang lebar terdapat sebuah tanah
berumput yang luas, di tempat itulah tempo hari Tonghong Liang
menantang duel jago jago dari Bu-tong-pay.
Sambil menghela napas ujar Put-hui Suthay, "Waktu berlalu
begitu cepat, peristiwa Tonghong Liang menantang berduel hari itu
seolah masih berada di depan mata, tanpa terasa mendiang
Ciangbunjin sudah hampir setahun meninggalkan kita semua. Aku
masih ingat, dia sempat mengeluh tentang minimnya orang orang
berbakat dalam partai Bu-tong gara-gara harus menghadapi
tantangan duel itu, beruntung Ciangbunjin yang sekarang tiba tepat
pada saatnya hingga nama baik perguruan terselamatkan.
"Dikemudian hari kami baru tahu, rupanya sejak awal dia telah
berjanji untuk melepaskan status sipilnya untuk menjadi Ciangbunjin
saat ini, tapi berhubung Ciangbunjin belum datang juga seperti
waktu yang telah dijanjikan, akibatnya mendiang Ciangbunjin
sempat ikut dibuat panik dan gelisah. Aaai.... setiap kali teringat
kejadian ini, aku ikut merasa malu sendiri, dasar bakat-ku memang
terbatas, kemajuan yang bakal diperoleh di kemudian haripun sudah
pasti terbatas pula. Tampaknya semua pengharapan hanya bisa
kutumpukan pada kalian generasi berikut!"
Tokoh ini jadi heran ketika tidak mendengar tanggapan dari
muridnya meski dia telah berbicara panjang lebar, sewaktu
berpaling, dilihatnya Lan Sui-leng seperti kehilangan konsentrasi dan
berdiri melamun, dengan perasaan tercengang segera tegurnya,
"Anak Leng, apakah kau mempunyai masalah dalam hati kecil mu?"
"Tii.... tidak ada, benar tidak ada!" sahut Lan Sui-leng gugup,
ketika dilihatnya sorot mata gurunya masih mengawasi wajahnya
tanpa berkedip, cepat ia menambahkan lagi, "kecuali merasa kuatir
akan keselamatan adikku, masalah apa lagi yang bakal mengganjal
pikiran ku?" Padahal didalam kenyataan, bukan saja dia mempunyai ganjalan
hati, bahkan masalah yang dia hadapi bukan hanya satu!
Sewaktu gurunya menyinggung tentang Tonghong Liang,
persoalan yang sedang dia pikirkan pun tak lain adalah masalahnya
dengan pemuda itu. Dia seperti terbayang kembali pengalamannya ketika selama
berapa hari melakukan perjalanan bersama Tonghong Liang,
teringat bagaimana ketika turun hujan deras pada malam itu,
Tonghong Liang telah memberikan satu satunya gua yang bisa
dipakai untuk berteduh dari air hujan kepadanya, bahkan menjaga
keamanannya sepanjang malam ditengah hujan badai.
Setiap kali terbayang kejadian itu, ia merasakan hatinya diliputi
kehangatan yang luar biasa, tapi sayang perasaan yang kemudian
muncul adalah teror perasaan takut yang luar biasa.
Sebab setiap kali teringat akan diri Tonghong Liang, otomatis dia
teringat pula akan Bouw It-yu. Bayangan wajah Bouw It-yu selalu
menyingkirkan bayangan Tonghong Liang dan perasaan teror, horor
dan takut menggantikan kehangatan perasaan hatinya.
Sikap Bouw It-yu terhadapnya bukannya jelek atau tidak baik,
tapi Bouw It-yu telah memaksanya untuk menganggap Tonghong
Liang sebagai musuh, bahkan mengintruksikan dirinya untuk
membunuh Tonghong Liang dengan menghalalkan segala cara,
tentu saja bila terbukti Tonghong Liang benar-benar telah mencuri
belajar ilmu pedang dari Bu-tong-pay.
Dia menaruh curiga kalau adiknya secara sembunyi telah
mengajarkan ilmu pedang perguruannya kepada Tonghong Liang,
walaupun dengan pelbagai cara dia sudah berusaha membelai
adiknya, namun paman gurunya itu tidak pernah mau percaya.
Dia tidak berani melaporkan kejadian ini kepada gurunya, karena
dia tidak ingin gurunya mengetahui rahasia hatinya.
Apalagi dari nada pembicaraan gurunya ketika menyinggung
kembali peristiwa di kala Tonghong Liang datang ke Bu-tong untuk
menantang berduel, dapat diketahui kalau pandangannya terhadap
Tonghong Liang mungkin sama persis seperti pandangan dari Bouw
It-yu. Dengan tatapan tajam Put-hui Suthay mengawasi gadis itu
berapa saat, kemudian serunya, "Aaaah, tidak benar, kau seperti
sedang takut akan sesuatu?"
Lan Sui-leng mencoba tertawa paksa.
"Ketika baru balik ke atas gunung, perasaan hatiku memang
sedikit merasa takut," katanya, "tapi setelah berada disisi suhu, aku
sudah tidak merasa ketakutan lagi."
Put-hui Suthay manggut-manggut, katanya, "Aku bisa
memaklumi bila dihati kecilmu, kau merasa ngeri bercampur takut
terhadap Put-ji tianglo. Terus terang, sewaktu kutemukan kalau dia
mengajarkan adikmu dengan ilmu pedang aspal, asli tapi palsu,
timbul juga perasaan curiga, ragu dan tidak tenang di hati kecilku.
Tapi bila dilihat dari sikap rindu dan sayangnya terhadap Giok-keng,
rasanya luapan emosinya itu bukan pura-pura saja, lagipula dalam
setahun belakangan dia hidup di tengah kesedihan dan kepedihan
yang mendalam, aku rasa perasaan semacam ini tidak mungkin bisa
dilakukan dengan pura-pura. Adikmu adalah cucu murid yang paling
disayang mendiang Ciangbunjin, sedang diapun sedih karena
kehilangan gurunya. Menurut nalar yang sehat, tidak sepantasnya
dia menaruh maksud jahat atau rencana busuk terhadap adikmu."
"Sejak dia mengangkat adikku sebagai anak angkatnya, dia
memang selalu bersikap sangat baik dan sayang kepadanya, aku
sendiripun tidak percaya kalau dia berniat mencelakai adikku, tapi
dalam peristiwa ini.... aku sendiripun jadi bingung."
Tiba-tiba Put-hui Suthay menyela, "Akupun menghadapi satu
masalah yang membingungkan, ingin kudengar penjelasan darimu."
"Suhu, apa yang ingin kau ketahui?" tanya Lan Sui-leng
terperanjat. "Sejak sekembalimu dari merantau, meski aku belum punya
waktu untuk menjajal kungfu mu, tapi dapat kulihat kalau ilmu
silatmu telah mengalami kemajuan yang pesat. Terutama dalam
ilmu meringankan tubuh, aku lihat kehebatanmu sudah jauh
melebihi kemampuanmu dulu, tapi akupun merasa tidak mirip
dengan kungfu yang kuajarkan. Kenapa bisa demikian?"
Diam-diam Lan Sui-leng merasa terperanjat juga akan ketajaman
mata gurunya, segera sahutnya, "Tecu tidak berani berbohong,
apalagi merahasiakan kejadian ini. Benar, dalam perantauanku kali
ini, tecu memang telah menjumpai pengalaman aneh. Telah
berkenalan dengan seorang sahabat dari aliran perguruan lain...."
"Oooh.... sahabat seperti apakah itu?"
"Seorang gadis yang usianya hampir sebaya denganku, dia dari
marga Seebun bernama Yan."
Begitu tahu kalau sahabatnya adalah seorang gadis, tanpa terasa
Put-hui Suthay menghembuskan napas lega, tapi begitu mendengar
nama marga tersebut, dia seolah tersentuh akan sesuatu, setelah
tertegun, ulangnya, "Dia dari marga Seebun?"
"Benar, ayahnya adalah Seebun Mu, Liok-lim Bengcu wilayah
utara pada tiga puluh tahun berselang, tapi masalah ini baru
kuketahui belakangan."
"Seebun Mu sudah lama meninggal, tentunya putri dia bukan
bandit wanita bukan?"
"Tatkala ayahnya meninggal, dia baru berusia dua-tiga tahunan.
Sejak ayahnya meninggal, ibunya segera mengundurkan diri dari
dunia persilatan dan membawa nya hidup mengasingkan diri di
tengah gunung. Aku pernah bertemu ibunya, ibunya pun bersikap
sangat baik kepadaku, malah menerima aku sebagai putri
angkatnya." "Kalau begitu pastilah Seebun-hujin yang pernah mengajarkan
ilmu silat kepadamu?" desak Put-hui Suthay.
"Harap suhu mau memaafkan kelancangan tecu. Benar, tecu
merasa tidak leluasa untuk menampik niat baiknya. Tapi aku hanya
tinggal sebulan lamanya di rumah mereka, jadi sesungguhnya tidak
banyak yang sempat kupelajari."
Padahal dalam kenyataan, ilmu meringankan tubuh yang dia
miliki berasal dari ajaran Tonghong Liang, hanya saja hal mana
tidak berani dia ungkap kepada gurunya.
"Aku memandang hambar soal pandangan fanatik perguruan.
Apalagi diapun ibu angkatmu, sedang hingga kini kau baru menjadi
murid tidak resmi diriku. Sekalipun mengikuti peraturan persilatan
yang paling ketat pun aku masih belum berhak untuk melarangmu
mempelajari ilmu silat dari aliran lain."
"Terima kasih banyak atas pengertian suhu, tecu ingin sekali
memohon sesuatu hal kepada suhu."
"Katakan." "Harap suhu mau secara resmi menerimaku sebagai muridmu."
Ternyata dia teringat kembali dengan janji Bouw It-yu ketika
waktu itu minta tolong kepadanya untuk 'menghadapi' Tonghong
Liang, saat itu dia berjanji akan memohon kepada ayahnya untuk
menerima dia sebagai muridnya.
Namun Lan Sui-leng tidak ingin memperoleh 'kemuliaan' tersebut
dengan melanggar 'kebiasaan' yang berlaku.
"Aku pun mempunyai niat begitu," jawab Put-hui Suthay
kemudian, "tapi untuk penerimaan murid wanita yang berasal dari
kalangan preman, menurut aturan Sam-ceng-kau, aku harus
melaporkan dulu hal ini kepada Ciangbunjin. Nanti bila bertemu
Ciangbunjin dan ada kesempatan untuk berbicara, akan kusinggung
hal ini dengannya. Kalau segala prosedur berjalan menurut aturan,
aku rasa dia tidak mungkin akan keberatan."
"Terima kasih banyak suhu!"
"Apakah Seebun-hujin berwajah sangat cantik?" tiba-tiba Put-hui
Suthay bertanya. "Bila berdiri bersanding dengan putrinya, mereka mirip seperti
kakak beradik. Putrinya sudah cantik bagaikan sekuntum bunga
segar, tapi ketika berdiri disisi ibunya, kecantikan wajahnya justru
nampak suram karena kalah dengan kecantikan ibunya."
Put-hui Suthay menghela napas panjang, katanya, "Tidak heran
bila dimasa lampau dia disebut orang sebagai Bu-lim Tee-it-bi-jin
(wanita paling cantik dari dunia persilatan), sayang aku tidak
bersempatan bertemu dengannya."
Put-hui Suthay sebenarnya adalah seorang tokoh berwajah dingin
berperasaan hangat, dia jarang bergurau apalagi bicara tidak
berguna. Maka tidak heran bila Lan Sui-leng tercengang dibuatnya
setelah mendengar perkataan itu, dia heran, mengapa gurunya bisa
mempunyai pandangan dan ingatan semacam itu terhadap Seebunhujin.
Tampaknya Put-hui Suthay dapat menebak jalan pikirannya, dia
segera menjelaskan, "Aku menjadi pendeta setelah usiaku
melampuai dua puluh tahun. Pada dua puluhan tahun berselang,
aku tinggal di kota Siok-ciu, waktu itu In Beng-cu pernah tinggal di
rumah Cihu nya dikota Hangciu, In Beng-cu adalah perempuan yang
kemudian bernama Seebun-hujin. Waktu itu aku masih muda dan
rasa ingin tahuku besar, pernah terlintas ingatan untuk datang ke
kota Hangciu untuk melihat, sampai dimanakah kecantikan wajah
perempuan yang disebut Bulim Te-it-bi-jin ini. Sayang belum sempat
terpenuhi keinginanku itu, In Beng-cu sudah keburu meninggalkan
kota Hangciu." "Suhu, di saat masih muda dulu, kau pasti seorang wanita cantik
juga. Aku duga kau pasti ingin membandingkan kecantikanmu
dengan kecantikan In Beng-cu bukan?" kata Lan Sui-leng sambil
tertawa. "Dasar budak edan, bicara sembarangan saja, masa berani
menggoda gurumu sendiri!" seru Put-hui Suthay berlagak marah,
"sudah, kita kembali ke pokok persoalan, rasanya cerita tentang
'pengalaman aneh'mu belum selesai bukan."
"Panjang kalau ingin membicarakan pengalamanku selama
setengah tahun ini. Gedung Ci-siau-kiong sudah hampir tiba, lebih
baik nanti malam saja aku baru bercerita lagi."
Sebagaimana diketahui, dia tidak ingin menceritakan kisahnya
yang menyangkut Tonghong Liang kepada gurunya, kalau bisa
"memangkas" ceritanya, tentu saja dia ingin berbuat begitu.
Menyinggung tentang Seebun Yan, bagaimana mungkin dia bisa
menghindari pemikirannya tentang Tonghong Liang serta Bouw Ityu.
"Entah enci Yan berhasil menemukan Tonghong-toako atau tidak,
ehmm.... dia begitu tergila-gila terhadap Tonghong-toako, tapi
tampaknya Tonghong-toako justru berniat menghindarinya. Semoga
saja mereka tidak selalu memainkan permainan petak umpat seperti
ini. Kalau permainan berlanjut terus, bisa saja rasa cemburu dan iri
enci Yan bakal dilimpahkan kepadaku."
Tanpa terasa dia jadi teringat kembali dengan usaha Seebun Yan
yang ingin menangkapnya, tujuannya waktu itu adalah agar dia
tidak bisa berkeliaran di luaran hingga muncul kesempatan
berdekatan dengan Tonghong Liang, setiap kali teringat akan hal ini,
dia benar-benar merasa konyol.
Waktu itu, Bouw It-yu lah yang telah membantu dia menghadapi
Seebun Yan, meskipun selama ini dia tidak menaruh kesan baik
terhadap Bouw It-yu, namun dalam peristiwa tersebut mau tidak
mau gadis ini tetap merasa berterima kasih sekali kepadanya.
"Peristiwa yang terjadi di dunia ini memang sukar diduga, ketika
aku pergi meninggalkan mereka saat itu, dari perkataan terakhir
yang sempat kudengar, tampaknya enci Yan sudah tergerak hatinya
oleh bujukan Bouw It-yu, semoga saja dia memang pergi bersama
ke luar perbatasan untuk mencari Tonghong toako. Aneh, darimana
pula Bouw-susiok bisa tahu kalau Tonghong toako sedang ke luar
perbatasan" Kini Bouw-susiok telah kembali, apakah dia telah
berhasil membantu enci Yan menemukan kembali Tonghong toako?"


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Walaupun dalam hati kecilnya dia ingin sekali mengetahui
jawaban dari teka-teki ini, namun dia tetap merasa takut sekali
untuk berjumpa dengan Bouw It-yu.
Karena ada pikiran yang mengganjal hatinya, Lan Sui-leng pun
mempercepat langkahnya sambil memanggil lirih, "Suhu, suhu!"
Put-hui Suthay berpaling, melihat paras muka gadis itu pucat pias
segera tegurnya, "Ada apa" Merasa kelelahan" Kita segera akan
sampai di tempat tujuan!"
"Aku tidak ingin masuk."
"Kenapa?" "Sebagian besar tamu yang pantas diundang masuk ke istana Cisiau-
kiong adalah tokoh-tokoh luar biasa, sementara para petugas
penerima tamu pun kebanyakan adalah para Cianpwee dari
perguruan kita, aku tidak lebih hanya seorang murid tidak resmi,
rasanya...." "Kenapa musti takut, toh ada aku," tukas Put-hui Suthay cepat,
"tenangkan pikiranmu, jangan membuat lelucon hingga aku sebagai
gurumu ikut jadi malu."
"Suhu, aku bukannya takut bertemu para tamu, hanya.... hanya
saja aku.... aku tidak ingin.... lebih baik tidak usah ikut ke sana."
"Bukankah kau ingin mencari berita tentang adikmu dari mulut
Bouw It-yu?" "Suhu, alangkah baiknya bila kau saja yang sekalian mencarikan
berita. Semisal ada aku, mungkin pembicaraan kalian malah kurang
leluasa." "Aaah, benar juga," batin Put-hui Suthay, "kenapa aku tidak
berpikir sampai ke situ."
Perlu diketahui, dalam suasana pertemuan akbar semacam ini,
dapat dipastikan Bouw It-yu sangat sibuk melayani para tamunya,
bila dia mengajak muridnya datang ke sana, lalu mengajak Bouw Ityu
ke pojokan untuk berbicara, tindakan semacam ini sudah pasti
akan menimbulkan perhatian orang lain.
Akan tetapi dia sendiripun bukan termasuk seseorang yang kaku
memegang peraturan, maka setelah berpikir sejenak katanya, "Toh
kita sudah sampai disini, lihat saja perkembangannya nanti. Selama
ikut masuk ke sana nanti, lebih baik kau tidak usah banyak bicara,
ikuti aku saja nonton keramaian!"
Lan Sui-leng tidak berani mengemukakan alasan sebenarnya dari
perasaan takutnya itu kepada gurunya, terpaksa dia mengikutinya
dari belakang. Tapi gurunya bukannya melanjutkan perjalanan, dia malah
menghentikan langkahnya. Waktu itu mereka telah melewati prasasti dan sedang berjalan
memasuki sebuah hutan pohon siong, lapangan luas di depan istana
Ci-siau-kiong telah muncul di depan mata.
Waktu itu banyak orang sedang berkumpul di tanah lapang tadi.
Bahkan terlihat ada dua orang sedang cekcok ramai.
"Bocah keparat, perkataanmu tajam dan tidak enak didengar,
memangnya berniat menantang aku beradu kekuatan?" yang
berbicara adalah seorang lelaki kurus ceking.
"Menantang mah tidak berani, tapi tidak keberatan untuk
memberi petunjuk bukan?" orang yang diumpat sebagai bocah
keparat itu adalah seorang pemuda berdandan sastrawan, dia
menanggapi ucapan lawan sambil tertawa ringan.
"Hmmm, manusia macam kau belum pantas untuk minta
petunjuk!" kembali lelaki ceking itu mendengus.
Para penonton yang menyaksikan keramaian itu semuanya
berharap mereka bisa segera bertarung, maka ucapan pun bergema
simpang siur, ada yang berkata begini, "Pantas atau tidak baru
bakal ketahuan kalau sudah bertarung!"
Ada pula yang berseru begini, "Benar, saling menjajal ilmu silat
adalah kejadian lumrah. Apalagi disini hadir begini banyak orang,
masa kalian takut kehilangan nyawa?"
Bahkan ada pula yang bicara lebih kasar, "Kau bilang
perkataannya menyindir tidak enak didengar, memangnya kau
anggap ungkapanmu sendiri enak didengar."
"Aku bukannya takut menghadapi dia," sahut lelaki ceking itu
segera, "tapi asal usul bocah keparat ini tidak jelas...."
"Hahahaha.... aku lihat asal-usulmu sendiripun rada kurang
jelas!" jawab 'bocah keparat' itu sambil tertawa.
"Kurangajar, kau belum pantas untuk mengetahui asal usulku!"
teriak lelaki ceking itu makin gusar.
'Bocah keparat' itu manggut-manggut, sahutnya, "Ucapanmu
tepat sekali, justru karena itu maka aku ingin minta petunjukmu!"
Untuk sesaat lelaki itu seperti belum memahami maksud di balik
ucapan lawannya, tapi sebelum dia mengucapkan sesuatu, dari sisi
arena sudah ada yang menanggapi, "Tepat sekali, kami semua
memang belum tahu asal usul perguruan kalian berdua. Kau
menuduh asal-usulnya tidak jelas, diapun menuduh asal-usulmu
tidak jelas. Kalau memang kedua belah pihak sama sama tidak mau
berterus terang, cara yang terbaik adalah diselesaikan dengan
pertarungan! Disini hadir jago-jago berpengalaman, asal
pertarungan dimulai, bukankah segala sesuatunya akan jadi jelas!"
Beberapa orang jago lainnya serentak berseru pula, "Benar,
percuma kalau cekcok mulut melulu, terhitung enghiong macam apa
kalau hanya beraninya pentang bacot, hmmm! Jadi anjing atau
beruang saja!" Hasutan dan provokasi dari para penonton kontan saja membuat
emosi lelaki ceking itu meluap, dengan wajah merah padam
bentaknya, "Baiklah, bocah keparat, ayoh menyeranglah!"
Oleh karena di tengah lapangan ada perkelahian, terpaksa Puthui
Suthay menunda perjalanannya dan berhenti di sisi arena.
Ketika melihat Lan Sui-leng sedang menonton dengan
kesemsem, sambil tertawa segera tegurnya, "Apa bagusnya
menonton perkelahian orang orang persilatan semacam mereka?"
Darimana dia tahu kalau terperangahnya Lan Sui-leng karena ada
penyebab lain. "Bocah keparat" itu berdandan sebagai seorang sastrawan,
wajahnya bersih dan tampan, suaranya halus lagi merdu, tapi entah
mengapa, justru mendatangkan perasaan aneh dalam
pendengarannya. Tiba-tiba satu ingatan melintas dalam benak Lan Sui-leng,
pikirnya, Aneh sekali, padahal aku belum pernah bertemu dengan
orang itu, mengapa rasanya seperti pernah kukenal"'
Belum habis ingatan itu melintas, terdengar bocah keparat itu
sudah berkata, "Akulah yang ingin minta petunjuk darimu, tidak
usah sungkan-sungkan, ayoh mulailah melancarkan serangan!"
Lelaki ceking itu mendengus, tanpa banyak bicara lagi
kepalannya langsung dijotoskan ke muka.
Siapa pun tidak ada yang tahu jurus serangan apa yang dia
gunakan, tampak tangan kirinya mengepal kencang, tulang jari yang
mengepal justru menonjol keluar bagaikan tanduk, sementara jari
tangan kanannya lurus bagaikan tombak, di bawah perlindungan
pukulan kepalan yang gencar, dia sodok sepasang mata lawannya.
Sebagaimana diketahui, semua yang hadir di tempat itu
merupakan tamu-tamu undangan dari Bu-tong-pay, kendatipun
terjadi perselisihan paham, pertarungan pun seharusnya hanya
terbatas saling menutul, tidak pantas bila serangan dilancarkan
begitu ganas dan telengas.
Tidak heran kalau suasana menjadi gempar setelah jurus
serangan itu dilancarkan, malahan ada diantara mereka yang mulai
mengumpat dan mencaci maki lelaki ceking itu.
Gerakan tubuh yang dilakukan kedua belah pihak sangat cepat,
belum sempat orang itu mengumpat lelaki ceking itu, tampak bocah
muda itu sudah melambung sambil berkelebat, bagaikan capung
yang menutul di permukaan air, seperti juga burung walet terbang
di bawah wuwungan rumah, dengan satu gerakan yang cepat dia
sudah terhindar dari semua ancaman itu.
Tempik sorak pun berkumandang memecahkan keheningan.
Semula, Put-hui Suthay memandang rendah kemampuan dua
orang jagoan itu, tapi kini mau tidak mau dia ikut berseru tertahan.
Ternyata gerakan tubuh bocah itu selain lincah dan cekatan,
tampak indah menawan, sudah jelas yang digunakan adalah ilmu
meringankan tubuh tingkat tinggi.
Sebaliknya di balik pukulan lelaki ceking itu terselip serangan jari
tangan yang mengancam jalan darah musuh, sudah jelas dia pun
bukan tokoh silat sembarangan.
Lan Sui-leng benar-benar terpana hingga untuk sesaat hanya
bisa berdiri melongo. Baginya, gerakan tubuh anak muda itu sangat
dikenal dan hapal diluar kepala, sekalipun belum sempat melihat
jelas raut wajah aslinya, tapi selain Seebun Yan, siapa pula orang
itu" Dia masih ingat sangat jelas, ketika pertama kali bertemu Seebun
Yan dan tertawan oleh gadis itu, gerak-an tubuh burung walet
melintas di bawah wuwungan inilah yang telah digunakan Seebun
Yan. Dalam pada itu lelaki ceking tadi telah membuntuti lawannya
bagaikan bayangan tubuh, dia ikut melambung ke udara, kali ini
kepalan tinjunya diarahkan ke punggung lawan.
Dengan saru gerakan menggeser tubuh beralih posisi, bocah
muda itu balas membacokkan dua pukulan. Biar berada di bawah
serangan gencar musuh, bukan saja orang itu bisa melancarkan
serangan balasan, bahkan gerakan tubuhnya tetap nampak indah
dan menawan. Sekali lagi tempik sorak bergema gegap gempita.
Melihat Lan Sui-leng berdiri kesemsem, Put-hui Suthay kembali
berkata, "Meski ilmu pukulan bocah itu hebat, sayang tenaga
dalamnya belum cukup sempurna, aku rasa serangan itu hanya
indah dipandang, kurang mantap hasilnya."
Baru selesai ia berbicara, situasi dalam arena pertarungan
kembali telah berubah, kini pertarungan berlangsung dalam jarak
dekat. Jari tangan lelaki ceking itu menjojoh berulang kali melepaskan
serangan yang ganas dan gencar, khususnya ke dua jari tangan
kanannya, setiap serangan yang dilancarkan selalu tertuju ke jalan
darah mematikan di tubuh lawan. Hal ini membuat anak muda
tersebut mulai keteter dan kewalahan.
Kembali terdengar Put-hui Suthay berseru tertahan, kepada Lan
Sui-leng ujarnya, "Ilmu menotok jalan darah yang digunakan lelaki
itu hebat sekali, tampaknya merupakan perubahan dari ilmu pena
dari keluarga Lian."
Ilmu menotok jalan darah dengan Poan-koan-pit dari keluarga
Lian diwilayah Sam-say merupakan salah satu ilmu langka dalam
dunia persilatan, dengan sepasang pit nya empat nadi penting bisa
terancam dalam waktu bersamaan. Apalagi bila dua orang bekerja
sama menggunakan ilmu poan-koan-pit tersebut, dengan empat pit
mereka bisa menotok delapan nadi penting sekaligs.
Atau dengan perkataan lain, dalam satu gebrakan mereka dapat
mengancam delapan nadi lawan secara bersamaan dan
mengurungnya di bawah lingkaran pengaruhnya, dalam keadaan
begini, salah satu di antara delapan nadi itu pasti akan menjadi
sasaran. Terdengar Put-hui Suthay kembali berkata, "Tampaknya lelaki itu
masih agak sangsi dan takut, apakah kau dapat melihatnya"
Walaupun ilmu pukulannya tampak garang, padahal dia gunakan
untuk melindungi diri. Coba dia berani menggunakan kedua
tangannya berbarengan, sudah pasti ilmu sepasang pit menotok
empat nadi nya bisa dikembangkan lebih sempurna. Dalam keadaan
begitu, biar gerakan tubuh bocah itu lebih cepat pun pasti tidak
akan sanggup menahan serangannya!"
Waktu itu Put-hui Suthay berbicara di dalam hutan Siong, orang
yang berada di lapangan sudah pasti tidak akan mendengarnya.
Namun tampaknya lelaki ceking itupun punya pikiran yang sama,
benar saja, dia segera menarik kembali ilmu pukulannya dan
menggunakan ke dua belah tangannya untuk melancarkan totokan.
Tampak ke empat jari tangannya sebentar menyodok sebentar
ditarik, bagaikan lidah empat ekor ular berbisa mengancam kian
kemari. Rupanya dia sudah menjajal kalau tenaga dalam yang dimiliki
lawannya masih cetek, meski tubuhnya kena pukulan pun, serangan
tersebut tidak akan berakibat fatal baginya.
Dalam waktu singkat bocah muda itu mulai keteter hebat dan
dipaksa berada di bawah angin, tiba tiba dengan satu gerakan cepat
dia berjumpalitan mundur ke belakang.
"Bocah busuk, mau mencoba melarikan diri?" bentak lelaki ceking
itu nyaring. Baru selesai dia membentak, tiba-tiba bocah itu sudah
membalikkan tubuh sambil melepaskan sebuah pukulan, gerak
serangannya jauh berbeda dari serangannya semula, setiap
serangan diiikuti dengan gerakan melingkar, walaupun gerakannya
jauh lebih lamban namun selalu berhasil memunahkan datangnya
ancaman lawan yang garang.
Begitu bocah itu membalikkan tubuh menyongsong kedatangan
lawannya, dengan tangan kiri dia menciptakan gerakan melingkar,
tangan kanannya membabat melintang pergelangan tangan lawan,
atau terkadang tangan kanan yang menciptakan gerakan melingkar,
tangan kiri menusuk bagaikan ujung tombak.
Begitu ilmu pukulan itu dikembangkan, tidak sampai puluhan
gebrakan kemudian, dari posisi terdesak kini dia memegang
peranan di atas angin. Sekali lagi Put-hui Suthay berseru tertahan, dia seolah merasa
sangsi dan tidak habis mengerti.
Namun bagi Lan Sui-leng, dia mengetahui dengan sangat jelas,
karena ilmu pukulan yang digunakan pemuda itu merupakan
perubahan yang diciptakan dari ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat.
Bukan saja Lan Sui-leng tahu kalau ilmu pukulannya merupakan
perubahan dari ilmu pedang, bahkan tahu dengan jelas sumbernya.
Ketika dia masih tinggal di rumah Seebun Yan tempo hari,
Seebun-hujin pernah mengajarkan ilmu pedang kepadanya. Waktu
itu ibunya memberi pelajaran sementara putrinya menjadi patner
berlatih. Jurus serangan itu bernama Liong-bun-tiap-long (ombak berlapis
menerjang pintu naga), merupakan jurus serangan yang paling
banyak dipraktekkan bersama Seebun Yan.
Kini dia sudah tidak ragu lagi, dia yakin bocah muda
dihadapannya sekarang tidak lain adalah penyamaran dari Seebun
Yan. Pada dasarnya watak Seebun Yan adalah gadis yang suka akan
keindahan, biarpun sedang menyamar sebagai pria, diapun tetap
menyaru sebagai seorang sastrawan yang tampan.
Kini Lan Sui-leng sudah amat yakin kalau dugaannya tidak salah,
ketika diamati lagi dengan lebih seksama, benar saja, dia segera
menjumpai raut muka aslinya.
Maka sambil tertawa geli, diam-diam ia memaki kebodohan
sendiri, "Masa aku pun mau dikelabuhi dia dengan menyamar jadi
seorang pemuda tampan...."
Begitulah, sementara guru dan murid masing-masing tercekam
dalam jalan pemikiran sendiri, menang kalah di tengah arena segera
telah ketahuan hasilnya. Tampaknya lelaki ceking itu sudah merasa kalau gelagat tidak


Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menguntungkan, dalam cemas bercampur gelisah, dia buru-buru
ingin meraih kemenangan. Tiba-tiba badannya merangsek maju ke depan, ke lima jari
tangannya digenggam kemudian disentilkan ke depan, dalam sekali
gebrakan dia mengurung jalan darah Thian-sian, Tee-kue, Giok-bun,
Sian-ki, Yang-tiong lima buah jalan darah.
Ke lima buah jalan darah yang menjadi incarannya ini termasuk
dalam rangkaian empat nadi utama, jalan darah mana pun yang
tertotok pasti akan menyebab kematian atau paling tidak
menyebabkan luka yang cukup parah.
Tidak sedikit jago totokan yang hadir di seputar arena saat itu,
meski mereka tidak mengenali ilmu tadi merupakan gubahan dari
ilmu pena dari keluarga Lian, namun semua orang tahu kalau
serangan tersebut sangat lihay seketika itu juga jeritan kaget
bergema di udara. Semua orang mengira Seebun Yan bakal sulit lolos dari serangan
maut itu, diluar dugaan apa yang kemudian terjadi segera membuat
semua orang terperangah. Terdengar jeritan ngeri yang menyayatkan hati bergema
memecahkan keheningan, tahu-tahu tubuh lelaki ceking itu sudah
mencelat sejauh beberapa depa (satu depa = 1,33 meter), lengan
kanannya terlihat lunglai lemas dan tidak bisa diangkat kembali.
Ada begitu banyak orang yang hadir di seputar arena, ternyata
tidak ada yang melihat dengan jelas, ilmu apa yang telah digunakan
bocah keparat itu, tahu-tahu saja lengan kanan lelaki ceking itu
sudah dipatahkan tulangnya.
Belum lewat rasa kaget yang mencekam perasaan semua orang,
satu peristiwa aneh kembali berlangsung di tengah arena.
Tiba-tiba dari balik kerumunan orang banyak muncul seseorang,
orang itu langsung mencengkeram lelaki ceking itu sambil
membentak, "Siapa kau" Cepatmengaku!"
Ternyata orang itu tidak lain adalah putra ketua Bu-tong-pay saat
itu, Bouw It-yu. Seharusnya, bila ada tamu bertarung dan terluka, sebagai tuan
rumah apalagi putra ketua Bu-tong-pay, dia harus turun tangan
mencegah, kendatipun kedatangannya agar terlambat sehingga
tidak sempat mencegah, paling tidak dia harus membantu sang
korban untuk merawat lukanya.
Tapi tindakan yang dilakukan Bouw It-yu saat ini jauh diluar
kebiasaan, bukan saja tidak menolong malah menginterogasi orang
itu dengan nada yang keras.
Sambil menahan rasa sakit yang luar biasa lelaki ceking itu
protes, "Kenapa kau tidak menginterogasi juga bangsat cilik itu?"
Peluh sebesar kacang kedela bercucuran membasahi seluruh jidat
dan wajahnya. Ada diantara penonton yang tidak tega, mereka mulai berbisik
bisik, "Benar juga, kalau mau di interogasi, seharusnya mereka
harus dipandang sama! Lagipula menurut peraturan...."....
Menurut peraturan yang berlaku, bila asal-usul kedua belah pihak
sama-sama tidak jelas namun ada salah satu pihak yang terluka,
maka orang yang tidak terbukalah yang harus diinterogasi lebih
dulu. Entah apakah Bouw It-yu ikut mendengar perkataan itu atau
tidak, baru selesai orang itu berkata, Bouw It-yu telah menyindir
dengan nada dingin, "Dia adalah tamu kami, sedang kau adalah
mata mata yang khusus menyelinap ke gunung kami, memangnya
aku harus pandang kalian sama rata?"
Begitu ucapan tersebut diutarakan, semua orang yang berbisik
bisik pun membungkam seketika.
Dengan keringat bercucuran membasahi wajahnya, lelaki ceking
itu kembali berteriak parau, "Aku.... aku pun diundang oleh Bu-tongpay
kalian!" "Siapa yang mengundangmu?"
Entah karena sudah kehabisan tenaga hingga tidak mampu
menjawab atau karena alasan lain, lelaki ceking itu nampak hanya
bisa membuka lebar mulutnya namun sama sekali tidak terdengar
suara apapun. Di tengah arena hadir seorang busu tua yang mempunyai sedikit
hubungan dengan ayah Bouw It-yu, dengan lagaknya dia
menimbrung, "Hiantit, coba kau bubuhi obat luka dulu kemudian
baru ditanyai." "Hmm, dia hanya berlagak mampus!" seru Bouw It-yu. Sambil
berkata dia cengkeram tulang Pi-pa-kut di tubuh lelaki ceking itu,
kontan orang itu menjerit keras seperti babi yang mau disembelih.
Tapi orang itu benar-benar keras kepala, untuk menarik simpatik
orang lain kepadanya, kembali protesnya, 'Manusia she-Bouw, kau
telah menghina aku habis habisan, sampai mati pun aku tidakbakal
mengaku!" "Hmm, tidak kau katakan pun aku juga tahu siapa dirimu,"
dengus Bouw It-yu dingin, "aku hanya ada satu hal yang belum
jelas, ingin minta petunjukmu lebih dulu."
Mendadak nada suaranya berubah jadi amat sungkan.
Lelaki ceking itu agak tertegun, kemudian tanyanya, "Petunjuk
apa yang kau inginkan?"
"Sewaktu berada di tebing Yan-cu-ki, siapa yang memerintahkan
dirimu untuk menyergap aku?"
Lelaki ceking itu nampak sangat ketakutan, jeritnya tertahan,
"Kau.... kau.... apa kau bilang" Mana.... mana ada kejadian seperti
ini!" "Bouw-kongcu, mungkin kau salah orang," kembali busu tua itu
menimbrung, "coba lihat, dia benar-benar mempunyai tanda bukti
sebagai tamu yang kalian undang."
Ternyata dari sakunya dia telah berhasil menggeledah keluar
selembar berita duka, tentu saja tanda itu merupakan ciri khusus
dari Bu-tong-pay. Sebagai tanda undangan untuk ikut menghadiri
upacara pemakaman dari Bu-siang Cinjin.
Bouw It-yu mengambil lembaran undangan itu, lalu katanya,
"Bagus, asal kau mengaku, segera akan kubebaskan dirimu. Siapa
yang memberi surat undangan ini" Jika tidak kau jawab, jangan
salahkan kalau aku akan bertindak telengas!"
Lelaki ceking itu membuka mulutnya lebar-lebar seperti ingin
mengatakan sesuatu, tiba-tiba biji matanya membalik, tubuhnya
mengejang keras lalu tidak bergerak lagi.
Dengan perasaan terkejut buru-buru busu tua itu menariknya
bangun sambil memeriksa dengus napasnya. Tiba-tiba terdengar
seseorang berteriak keras, "Tidak boleh, tidakboleh!"
"Tidak boleh apa?" tanya busu tua itu tertegun, tapi baru selesai
bicara mendadak seperti terkena serangan jantung, badannya
mengejang keras dan ikut roboh ke tanah.
Pada saat yang bersamaan tampak seseorang berlari mendekat,
sambil berlari kembali dia berteriak, "Jangan sentuh tubuhnya, dia
terserang racun yang sangat ganas!"
Tapi sayang peringatan itu sudah menjadi peringatan yang
terlambat datangnya. Dengan cepat orang itu menjejalkan sebutir pil ke dalam mulut
busu tua itu, ujarnya setelah mengamati berapa saat, "Untung
kedatanganku belum termasuk terlambat, meski sudah terkena
racun namun jiwanya masih tertolong. Hanya saja lelaki itu...."
Dia tidak meneruskan ucapannya dan hanya gelengkan kepala
berulang kali. Orang lain tidak butuh penjelasannya lebih jauh, kalau si busu
tua yang baru menyentuh badan lelaki ceking itupun sudah jatuh
pingsan karena keracunan, bisa diduga lelaki itu pasti sudah
menemui ajalnya. Dalam waktu singkat suasana jadi heboh, terdengar berapa
orang diantara mereka berteriak, "Swan-sianseng, kau sangat ahli
dalam bidang ini, racun apa yang telah bersarang ditubuh lelaki itu"
Kenapa begitu lihay?"
Ternyata orang itu bernama Swan Ji-cing, dia adalah seorang
tokoh ternama yang sangat mendalami ilmu obat-obatan.
Menyinggung soal ilmu menggunakan racun, keluarga Tong dari
Suchuan terhitung jagoan nomor satu, keluarga Bok dari Soatsay
terhitung nomor dua dan keluarga Swan dari Kamsiok terhitung jago
nomor tiga. Swan Ji-cing adalah jagoan dari keluarga Swan di Kamsiok.
Walaupun ilmu racunnya belum bisa memadahi keluarga Tong dari
Suchuan atau keluarga Bok dari Soatsay, namun kemampuannya
memunahkan racun konon masih jauh diatas kehebatan keluarga
Bok. Dengan seksama Swan Ji-cing memeriksa seluruh tubuh lelaki
ceking itu, biarpun dia berusaha mengendalikan ketenangannya,
namun tidak urung mimik mukanya tetap menampilkan perasaan
ngeri dan horor yang menggelayut perasaan hatinya.
"Racun.... racun ini adalah racun jahat dari Suchuan...."
Bicara sampai disitu dia berhenti sejenak dan tidak berani
melanjutkan kembali kata-katanya, jelas dia tidak cukup nyali untuk
menyebut nama keluarga Tong dari Suchuan.
Dalam pada itu sudah ada orang menebak pohon untuk
membuat sebuah tandu. Swan Ji-cing pun mengenakan sarung tangan kulit menjangannya
kemudian mengangkat tubuh busu tua itu dan diletakkan di atas
tandu. Tampak busu tua itu membuka sedikit mulutnya, seperti akan
mengucapkan sesuatu, namun tidak kedengaran ada suara.
"Apa yang dia katakan?" tanya Bouw It-yu kemudian.
"Tampaknya dia seperti bilang, diatas alis mata lelaki itu terdapat
sebuah lubang jarum," Swan Ji-cing menerangkan.
Untuk mengucapkan beberapa patah kata itu, kelihatannya si
busu tua tadi telah menggunakan seluruh tenaga yang dimilikinya,
begitu selesai mengucapkan kata-kata tadi, kembali dia jatuh tidak
sadarkan diri. Ke empat orang rekannya segera menggotong tubuh busu tua itu
ke arah istana Ci-siau-kiong.
Bouw It-yu betul-betul merasakan hatinya bergoncang keras,
dengan pandangan tajam dia mencoba memeriksa sekeliling tempat
itu, namun tidak menemukan Siang Ngo-nio yang menyamar berada
diantara kerumunan orang orang itu, setelah yakin, dia baru merasa
sedikit agak lega. Di hati kecilnya dia tahu perbuatan itu pasti hasil karya Siang
Ngo-nio, walaupun dia tidak habis mengerti mengapa Siang Ngo-nio
harus membinasakan saksi hidup itu, namun dia tahu dengan
kecerdasan perempuan itu, dia pasti sudah kabur secara diam diam
begitu berhasil dengan serangan bokongannya.
Peristiwa ini terjadi kelewat mendadak, suasana di seputar arena
pun jadi gaduh dan ramai. Semua orang datang mengerubung,
pelbagai pembicaraan pun bergema simpang siur. Tentu saja ada
diantara mereka yang segera menegur, "Bouw-kongcu, darimana
kau bisa tahu kalau orang ini adalah mata-mata?"
Bouw It-yu tidak berbicara, tiba-tiba dia merobek pakaian sendiri
dan dipakai untuk membalut tangan kanannya, lalu dengan sekali
bacokan dia babat wajah lelaki itu.
Kalau tadinya raut muka orang itu nampak sedikit sembab
Kisah Pedang Bersatu Padu 17 Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long Bunga Ceplok Ungu 7
^