Perawan Lembah Wilis 25
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo Bagian 25
pasukan yang menyambut tujuh orang wanita cantik itu,
menerima mereka di paseban luar dan menjamu mereka,
sedangkan Retna Wilis sudah siap duduk di atas kursi
gading berukir yang berada di ruangan besar sebelah dalam.
Ratu muda belia ini duduk sendiri tanpa pengawal dan
tanpa abdi, sengaja menanti kedatangan dua orang tamu
agung itu. Di luar, pasukan penghormatan sudah siap
menyambut kedatangan dua orang kakek itu. Akan tetapi
sampai lama, yang ditunggu-tunggu belum juga muncul.
Ketika Adiwijaya bertanya kepada pasukan wanita itu,
mereka hanya tersenyum penuh rahasia dan menjawab
bahwa mereka hanya bertugas menyampaikan berita akan
kedatangan dua orang kakek itu, adapun cara mereka
datang bagaimana, pasukan wanita itu menyatakan tidak
tahu. Mendengar ini, Adiwijaya menjadi waspada dan
cepat ia memberi tanda rahasia kepada pasukan pendam
agar siap dan waspada, dan dia sendiri pun lalu
bersembunyi tak jauh dari ruangan besar sebelah dalam,
siap membela junjungannya yang duduk sendirian kalau-
kalau terancam marabahaya.
Para pasukan pengawal yang menjadi barisan rahasia itu
tidak ada yang dapat melihat ruangan itu, mereka hanya
bersembunyi dan menanti isyarat dari Ki Patih Adiwijaya.
Yang dapat mengintai ke ruangan itu dan mendengarkan
semua yang akan dipercakapkan hanyalah Adiwijaya
sendiri. Tiba-tiba mata Adiwijaya terbelalak penuh
keheranan ketika ia mendengar suara Wasi Bagaspati yang
terdengar dekat sekali, terdengar dari dalam ruangan,
padahal orangnya tidak tampak!
"Ha-ha-ha! Sang Ratu yang muda belia, cantik jelita dan
sakti mandraguna. Kami telah datang berkunjung, apakah
Paduka belum mengetahui?"
Ki Patih Adiwijaya membelalakkan mata, jelilatan
memandang ke sana ke mari, dan bulu tengkuknya bangun
satu-satu karena ia sungguh tidak melihat di mana adanya
kakek yang suaranya amat dikenalnya itu. ia lalu
memandang kepada ratunya penuh harapan, dan melihat
betapa Retna Wilis duduk dengan sikap angkuh dan tenang,
kemudian ratu muda belia itu tanpa menggerakkan tubuh,
tanpa menoleh, menjawab, suaranya lantang dan halus,
namun penuh wibawa seorang ratu besar,
"Sang Wasi Bagaspati dan Wasi Bagaskolo! Permainan
kanak-kanak yang kalian perlihatkan ini tidak ada artinya
bagiku. Sudah sejak tadi kalian berdiri di dekat tiang di
sebelah kanan itu, siapakah yang tidak melihatnya" Sang
Wasi Bagaspati, Andika mengangkat tinggi-tinggi tongkat
Andika sehingga gelang emas tangan kanan Andika turun
sampai ke siku, mau apakah" Dan mengapa Andika
meraba-raba jenggot Andika yang sudah putih" Wasi
Bagaskolo, mengapa Andika menggunakan tusuk konde
untuk menghias kepala" Tusuk konde Andika itu dari emas,
apakah Andika masih suka bersolek" Biarpun pesolek kalau
pikun sehingga tidak merasa betapa baju Andika di pundak
kiri robek sedikit tidak dijahit, apa artinya?"
Ucapan Retna Wilis itu tentu saja mengejutkan dan
mengherankan hati Adiwijaya yang kini mengejap-
ngejapkan mata dan terbelalak memandang ke arah tiang
yang disebut oleh ratu gustinya, akan tetapi tidak melihat
apa-apa! Yang lebih kaget lagi adalah dua orang kakek yang
mengerahkan aji kesaktian. Ternyata ratu yang begitu muda
itu hebat, dapat melihat mereka dengan jelas tanpa
menengok sehingga dapat mengikuti gerak-gerik mereka
dan melihat keadaan mereka dengan sejelasnya! Sambil
menarik napas panjang penuh kagum mereka lalu
melepaskan aji panglimuman sehingga kini Adiwijaya dapat
pula melihat mereka. Berdiri bulu tengkuk ki patih ini dan
ia pun menghela napas. Semua kesaktian yang pernah ia
pelajari, kalau dibandingkan dengan kedua orang kakek ini
sungguh tidak ada artinya! Namun, dengan hati bangga ia
memandang ratunya yang biarpun masih begitu muda belia,
ternyata tidak kalah saktinya oleh kedua kakek itu sehingga
biarpun kedua orang kakek itu seperti siluman dapat
"menghilang", Retna Wilis dapat melihat mereka!
"Heh-heh, benar-benar awas sekali pandanganmu, Sang
Ratu yang muda belia!" kata Wasi Bagaspati yang kini
sudah tampak dan di belakang kakek ini Wasi Bagaskolo
memandang kepada Retna Wilis dengan mata terbelalak
penuh keheranan. "Sebelum kita berkenalan dan bicara lebih lanjut, ingin
aku menguji sampai di mana kesaktianmu, Sang Ratu,"
kata pula Wasi Bagaspati.
"Terserah kepadamu, Sang Wasi Bagaspati. Aku adalah
pemilik rumah dan lebih muda, sedangkan Andika adalah
tamu dan lebih tua. Aku siap melayani segala
kehendakmu," jawab Retna Wilis tanpa menoleh, masih
duduk dengan tegak di atas kursinya.
Akan tetapi sebelum Wasi Bagaspati bergerak, lengan
kirinya disentuh Wasi Bagaskolo, "Biarkan aku mengujinya, Kakang Wasi," bisiknya. Kemudian, setelah
kakak seperguruannya mengangguk, ia melangkah maju
dan memutar, menghadapi ratu yang muda belia itu.
Sejenak mereka bertemu pandang dan jantung Wasi
Bagaskolo berdebar ketika sinar mata Retna Wilis seolah-
olah menembus dadanya dan menjenguk hatinya, apalagi
kalau ia teringat bahwa dara perkasa ini adalah murid
tunggal Nini Bumigarba yang amat ditakutinya.
"Sang Ratu, sebagai tamu, perkenankantah aku
menghadiahkan tusuk konde yang kausebut tadi kepadamu,
harap Paduka suka menerimanya!" Sambil berkata
demikian, Wasi Bagaskolo mencabut tusuk kondenya
sehingga rambutnya yang hanya sedikit dan digelung di atas
kepala menjadl gelung kecil itu terurai. Sejenak ia
memandang tusuk konde kecil itu, kemudian membuka
kepalan tangannya dengan telapak tangan di atas. Tusuk
konde yang terletak di atas telapak tangannya itu tiba-tiba
saja bergerak dan terbang ke atas!
Melihat ini, dari tempat persembunyiannya, Ki Patih
Adiwijaya memandang terbelalak penuh keheranan.
Pandang matanya mengikuti gerakan tusuk konde itu yang
mengeluarkan sinar cemetlang dan yang kini terbang ke atas
berputar-putaran, makin lama makin cepat dan berputaran
di seluruh ruangan itu, mengeluarkan bunyi mengaung
seolah-olah seekor burung beterbangan.
Dengan bibir tersenyum akan tetapi matanya tetap
dingin, Retna Wilis melirik ke atas, kemudian menggapai
dengan tangan kirinya ke arah benda kecil yang
beterbangan itu. "Cringggg '" Tusuk konde yang tadinya beterbangan itu
tiba-tiba saja runtuh di atas lantai, mengeluarkan bunyi
berkerincing, jatuh ke depan kaki Wasi Bagaskolo yang
memandang dengan muka merah.
"Wasi Bagaskolo, biarpun Andika jauh lebih tua
daripada aku, patutkah kalau seorang tamu menghaturkan
persembahan dengan menaruh benda itu di atas lantai?"
Wajah Wasi Bagaskolo menjadi makin merah. Ucapan
itu halus, akan tetapi selain mengandung suara dingin
sekali, juga jelas merendahkannya, menyebut bahwa dia
"menghaturkan persembahan"! Ia telah memperlihatkan
kesaktiannya yang berdasarkan tenaga batin, namun
ternyata ratu muda belia itu dapat mengatasinya, maka kini
ia ingin menguji kedigdayaan atau ketangkasannya.
"Maaf, Sang Ratu, kalau tadi saya bersikap kurang
hormat," katanya sambil membungkuk dan karena tusuk
konde itu berada di lantai depan kaki Retna Wilis, maka
ketika membungkuk untuk mengambil benda itu seolah-
olah ia menghaturkan sembah kepada ratu muda itu. Retna
Wilis menggerakkan lengan kanan dengan sikap seorang
ratu menerima dan membalas. penghormatan itu.
"Sang Ratu Wilis, terimalah persembahanku Tiba-tiba
Wasi Bagaskolo menggerakkan jari telunjuk kanannya yang
menyepit tusuk konde dan tusuk konde itu meluncur ke
depan, ke arah tenggorakan Retna Wilis secepat metesatnya
anak panah dari busurnya. Jarak antara mereka hanya lima
meter kurang lebih, maka dapat dibayangkan betapa
berbahayanya serangan ini!
Patih Adiwijaya yang menyaksikan serangan ini hampir
saja mengeluarkan seruan kaget kalau saja ia tidak cepat
menahan hatinya dengan penuh kepercayaan akan
kesaktian Ratu Wilis. Akan tetapi betapa kecut dan gelisah
rasa hatinya ketika ia melihat betapa Retna Wilis sama
sekali tidak menggerakkan tangan untuk menangkis atau
menggerakkan tubuh untuk mengelak. Tusuk konde yang
berubah menjadi sinar cemerlang itu seolah-olah tak dapat
dihindarkan lagi akan menancap di kerongkongannya!
Setelah sinar itu datang dekat sekali, hanya satu jengkal lagi
jauhnya, bibir yang merah dan berbentuk indah itu tiba-tiba
diruncingkan dan ditiupkan. Sinar menyilaukan dari tusuk
konde itu tiba-tiba membalik dan kini menyambar ke arah
pemiliknya, ke arah tenggorokan Wasi Bagaskolo sendiri!
"Hebat ........" Wasi Bagaskolo berseru kaget dan cepat ia
menggunakan jari tangannya untuk menyentil tusuk konde
yang akan menjadi senjata makan tuan. Terpaksa ia harus
mengirim kembali tusuk konde itu karena kalau ia
menerimanya, sama artinya dengan tidak rela "mempersembahkan" benda itu kepada sang ratu!
"Tringgg ........ !" Hebat sekali sentilan jari tangan kakek
ini karena tusuk konde itu melesat kembali ke arah Retna
Wilis. "Andika memaksa menghaturkan persembahan, sungguh
sungkan sekali, Wasi Bagaskolo. Biarlah aku menerimanya!" kata Retna Wilis, tangan kirinya diangkat
dan ........ tusuk konde itu menancap ke tangannya sampai
tembus di punggung tangan! Adiwijaya hampir berteriak
kaget, akan tetapi hatinya lega ketika melihat bahwa benda
kecil runcing itu bukan menancap di telapak tangan,
melainkan terselip dan terjepit di antara dua buah jari
tangan yang kecil mungil! Diam-diam ia menjulurkan lidah.
Kakek itu hebat, akan tetapi ratunya lebih hebat lagi. Siapa
orangnya berani menerima serangan tusuk konde seperti
itu" Meleset sedikit saja tentu tangan yang berkulit putih
halus itu akan terluka! Retna Wilis sudah menancapkan tusuk konde di lengan
kursinya dan ia sudah duduk tegak dengan sikap angkuh
dan berwibawa, menghadapi Wasi Bagaspati yang kini
berdiri di hadapannya, menggantikan Wasi Bagaskolo yang
agaknya sudah puas menguji kesaktian murid tunggal Nini
Bumigarba itu. "Ternyata Paduka tidak mengecewakan sebagai murid
Nini Bumigarba, Sang Ratu. Akan tetapi hati saya tidak
akan puas kalau tidak menguji sendiri. Sekutu tidak hanya
harus mengenal kekuatan lawan, akan tetapi juga perlu
sekali mengenal kekuatan kawan sehingga dapat sama-sama
mengatur sepak terjang dan siasat dalam menghadapi
lawan." "Silahkan, Sang Wasi," jawab Retna Wilis dengan suara
tenang, akan tetapi kini ratu muda ini turun dari kursinya
dan berdiri tegak menghadapi Wasi Bagaspati. Agaknya
Retna Wilis maklum bahwa ilmu kesaktian kakek ini tentu
jauh lebih hebat daripada kesaktian Wasi Bagaskolo, maka
dia pun tidak berani memandang rendah dan siap untuk
menghadapi musuh asing yang hendak ditarik menjadi
sekutu sementara ini. Seperti juga ketika berhadapan dengan Wasi Bagaskolo
tadi, kini Retna Wilis beradu pandang mata dengan Wasi
Bagaspati. Kakek itu mengerahkan tenaga yang timbul dari
dasar batin, dari kemauan dan ciptanya, sehingga sepasang
matanya seolah-olah memancarkan cahaya berapi-api yang
panas membakar, juga mengandung daya yang menggetarkan. Baru pandang mata ini saja tentu akan dapat
melumpuhkan lawan dan memang kakek ini hendak
menguji ratu muda belia itu, karena musuh yang hendak
mereka hadapi adalah musuh berat di mana terdapat
banyak sekali manusia-manusia sakti. Akan tetapi, dara
remaja yang sakti mandraguna ini menghadapi pandang
mata kakek itu dengan tenang dan dingin, seperti air telaga
yang amat dalam, sedikit pun tidak terpengaruh, bahkan
kekuatan mujijat yang terpancar keluar dari sepasang mata
kakek itu seolah-olah tenggelam dalam sinar mata dara ini!
"Sang Ratu, bagaimana Paduka akan menghadapi
tongkat ularku ini?" Wasi Bagaspati melepaskan tongkatnya
ke atas lantai dan tongkat itu berubah menjadi seekor ular
cobra yang berkulit hitam, yang "berdiri" di atas perutnya
dan mendesis-desis mengembangkan leher amat menyeramkan. Adiwijaya terbelalak penuh kekhawatiran
menyaksikan peristiwa ini. Biarpun ia maklum bahwa
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bantuannya tidak akan ada artinya, namun ia sudah siap-
siap untuk mengerahkan barisan pasukan pengawal, dan
kalau perlu seluruh bala tentara Wilis untuk melindungi
junjungannya. Retna Wilis menunduk, memandang tongkat yang telah
berubah menjadi seekor ular itu dengan tenang dan bibir
tersenyum, kemudian ia berkata, "Sang Wasi, permainanmu ini baik sekali. Kalau dia ini benar seekor
ular, seharusnya kuinjak hancur kepalanya dengan tumit
kakiku, akan tetapi ular ini berasal dari tongkat maka
kembahlah menjadi tongkat!" Ucapan ini dibarengi dengan
gerakan kaki kirinya menyambar ke arah ular itu. Ular
Cobra yang kelihatan buas dan galak itu menyambut kaki
Retna Wilis dengan gigitan, akan tetapi gerakan ular kalah
cepat dan kaki itu sudah mengelak lalu menginjak kepala
ular dari atas. Begitu kepala ular itu kena diinjak, seketika
berubah lagi menjadi sebatang tongkat!
Menyaksikan pertandingan ilmu yang seperti sihir atau
sulap ini, hampir saja Adiwijaya bersorak girang. Mampus
kau, kakek yang sombong, makinya di dalam hati sambil
mengintai dan memandang wajah Wasi Bagaspati yang
mengerutkan kening dan matanya menjadi merah. Ketika
patih ini mengalihkan pandangnya kepada wajah Retna
Wilis, pandang matanya berubah penuh kagum dan taat,
seolah-olah ia melihat seorang Dewi dari Kahyangan.
"Terimalah kembali tongkat Andika, Sang Wasi
Bagaspati!" Retna Wilis berkata dan jari kakinya yang
menginjak tongkat bergerak menyentil tongkat itu yang
meluncur ke arah pemiliknya. Akan tetapi Wasi Bagaspati
sudah mendorongkan tangan kanannya dengan telapak
tangan ke depan. Angin pukulan yang dahsyat sekali
menyambar ke depan ke arah tongkatnya yang terhenti
luncurannya, bahkan membalik dan meluncur ke arah
Retna Wilis. "Paduka telah menundukkan ularku, harap
tangkis tongkatku, Sang Ratu!" kakek itu berkata
nyaring. Retna Wilis tiba-tiba mendorongkan tangan kanannya pula ke depan seperti yang dilakukan Wasi
Bagaspati dan serangkum tenaga yang halus meniup ke
depan, ke arah tongkat. Seketika tongkat itu berhenti
di tengah udara, di antara
kedua orang sakti yang mendorongkan lengan ke depan itu. Tongkat itu tidak
bergerak seperti terjepit oleh tenaga yang tak tampak,
terhimpit di tengah-tengah dan kalau diperhatikan betul,
baru tampak betapa tongkat itu kadang-kadang menggeser
ke kanan kadang-kadang ke kiri, dan barulah diketahui
bahwa sesungguhnya memang ada dua tenaga sakti yang
saling mendorong sehingga tongkat yang berada di tengah
itu terhimpit! Dalam pertandingan mengadu kekuatan
tenaga sakti ini, kedua pihak diam-diam menjadi kagum
dan tahu bahwa lawan memiliki kesaktian yang hebat dan
merupakan lawan yang kuat akan tetapi merupakan kawan
yang boleh diandalkan. Betapapun juga, keduanya memiliki
kekerasan hati dan tidak mau mengalah, merasa penasaran,
maka mereka mengerahkan tenaga sehebatnya pada saat
yang berbareng. "Krekk! Krekk!" Tongkat itu hancur berkeping-keping
dan keduanya lalu menurunkan lengan tangan masing-
masing. Satu-satunya tanda bahwa mereka tadi telah
mengerahkan tenaga hanya tampak pada kulit muka Retna
Wilis yang menjadi kemerahan dan beberapa titik keringat
yang membasahi dahi Wasi Bagaspati.
"Maaf, Sang Wasi. Aku telah membikin rusak
tongkatmu," Retna Wilis berkata, teringat bahwa ia harus
bersikap baik terhadap dua orang kakek yang akan
dijadikan sekutu itu. Wasi Bagaspati menyeringai dan memandang tongkatnya yang sudah hancur dan berserakan di atas
lantai. "Bukan kesalahan Paduka, Sang Ratu. Pula, mudah
saja membuat tongkat pengganti yang rusak dan senjata
saya bukanlah tongkat itu, melainkan ini!" Sambil berkata
demikian, Wasi Bagaspati meraba di balik jubahnya dan
tiba-tiba tampak sinar menyilaukan ketika tangannya sudah
memegang sebuah senjata yang bentuknya seperti Cakra.
Mata Adiwijaya menjadi silau dan kedua kakinya gemetar.
Demikian hebat pengaruh mujijat yang keluar dari senjata
di tangan kanan kakek itu!
"Senjatamu ampuh sekali, Sang Wasi. Akan tetapi aku
pun mempunyai sebuah pusaka yang patut kuperlihatkan
kepada orang-orang sakti seperti Andika berdua. Inilah
pusakaku Pedang Sapudenta!" Adiwijaya tak dapat
mengikuti gerak tangan Retna Wilis karena tangan kanan
ratu itu demikian cepatnya bergerak sehingga tahu-tahu
tangannya telah memegang sebatang pedang yang
mengeluarkan cahaya berkilauan. Adiwijaya sampai
memejamkan mata karena sinar yang amat terang seperti
menusuk matanya. Ketika ia membuka matanya kembali,
kakinya menggigil. Pedang pusaka di tangan ratunya itu
benar-benar amat ampuh dan mengeluarkan hawa mujijat.
Kini ruangan itu penuh dengan hawa mujijat yang keluar
dari kedua buah senjata pusaka ampuh itu.
Biarpun kedua kakinya menggigil dan wajahnya pucat
terkena perbawa (pengaruh) kedua senjata mujijat itu, Ki
Patih Adiwijaya memaksa diri dan memberanikan hatinya
untuk keluar dari tempat sembunyi, memasuki ruangan itu
dan langsung menjatuhkan diri berlutut dan bersila di depan
ratunya sambil berkata, "Mohon ampun atas kelancangan hamba. Akan tetapi
kini bukan saatnya senjata pusaka ampuh dilolos keluar dari
warangka (sarung). Dengan sepasang pusaka yang amat
ampuh ini hamba yakin kelak semua musuh dapat
ditundukkan!" "Ha-ha-ha-ha! Andika terlalu curiga, Ki Patih Adiwijaya!" Wasi Bagaspati berkata. "Kesaktian dan senjata
ratu gustimu benar-benar hebat, hatiku puas sekali!" Tiba-
tiba hawa panas dingin yang menyeramkan lenyap dari
ruangan itu dan sukar dikatakan siapa yang lebih cepat
menyimpan kembali kedua pusaka itu karena tiba-tiba saja
kedua pusaka itu lenyap dari tangan masing-masing.
"Sang Wasi berdua, silahkan duduk!" kata Retna Wilis,
menunjuk ke arah kedua buah kursi yang memang sudah
disediakan di ruangan itu. Dua orang kakek itu lalu duduk
di atas kursi berhadapan dengan Ratu Wilis, sedangkan Ki
Patih Adiwijaya tetap duduk bersila penuh hormat.
Dimulailah perundingan antara Retna Wilis dan Wasi
Bagaspati dan dengan terus terang Retna Wilis menceritakan cita-citanya untuk menaklukkan seluruh
kerajaan dengan janji bahwa jika Wasi Bagaspati sebagai
utusan Negeri Cola suka membantunya sehingga cita-
citanya berhasil, kelak ia akan menganggap Kerajaan Cola
sebagai negara sahabat dan memberi kebebasan kepada
Wasi Bagaspati untuk menyebarkan agamanya. Sebaliknya
Wasi Bagaspati juga menyatakan bahwa sesungguhnya
tugasnya hanya memperkembangkan agama, akan tetapi
karena selalu menghadapi tentangan, terpaksa ia mempergunakan kekerasan, dan betapa sampai kini ia
selalu mengalami kegagalan.
"Mengapa utusan Sriwijaya tidak ikut datang berkunjung?" Patih Adiwijaya bertanya. "Bukankah
Sriwijaya juga mempunyai utusan yang dipimpin oleh Sang
Biku Janapati" Kalau kekuatan kita semua digabung, tentu
akan lebih mudah menundukkan Jenggala dan Panjalu
yang terkenal kuat."
"Hemm, pendeta gundul itu sungguh menjemukan!"
Wasi Bagaspati mengepal tinju dan giginya berkerot. "Dari
seberang lautan kami datang sebagai sekutu, akan tetapi
setelah tiba di sini, dia menyeleweng. Sesungguhnya semua
kegagalan kami adalah karena si gundul itu! Kalau dia
membantu, tentu sudah berhasil usaha kami."
"Sriwijaya adalah negara yang besar dan kuat, sejak lama
menaruh dendam permusuhan dengan Mataram dan hanya
berhenti sebentar karena mendiang Gusti Sinuwun
Airlangga menikah dengan Puteri Sriwijaya. Akan tetapi
dendam lama masih ada, mengapa sekarang utusan
Sriwijaya tidak membantu Sang Wasi dalam menghadapi
Jenggala dan Panjalu yang menjadi pecahan dari Kerajaan
Mataram lama?" tanya Ki Patih Adiwijaya yang dalam
perundingan ini mewakili gustinya karena dialah yang lebih
tahu akan persoalan kerajaan.
"Si kakek gundul menjemukan itu memang tidak tahu
diri. Mereka mengira bahwa Sriwijaya amat besar dan kuat,
lupa betapa dahulu Raja Sriwijaya, Sinuwun Tunggawarman pernah dikalahkan dan ditawan oleh raja
kami, Sinuwun Rajendracola. Setelah tiba di sini, pendeta
gundul itu hanya bergerak memperkembangkan agamanya
secara diam-diam, bahkan kini merantau ke ujung Nusa
Jawa, ke pantai timur dan menyeberang ke Balidwipa.
Menjemukan sekali!" Retna Wilis tersenyum, memandang rendah menyaksikan betapa kakek sakti ini masih mudah dikuasai
nafsu amarah. "Sang Wasi, mengapa mengharapkan
bantuan orang yang tidak suka bersekutu" Kurasa, dengan
kesaktian yang dimiliki oleh Andika berdua, sudah cukup
untuk menundukkan musuh yang bagaimanapun juga."
Kesempatan ini ditunggu-tunggu oleh Sang Wasi
Bagaspati, maka ia segera mempergunakannya untuk
"membakar" hati Retna Wilis. ia menarik napas panjang
dan berkata, "Ahh, kalau menghadapi orang-orang sakti yang
manapun juga di seluruh Panjalu dan Jenggala, saya
sanggup mengalahkannya. Akan tetapi ........ ah, usaha kita
akan gagal kalau tidak ada yang dapat melawan Bagus
Seta!" Retna Wilis mengerutkan kening. "Bagus Seta?" ia
teringat akan cerita ibunya bahwa ramandanya masih
mempunyai seorang putera yang bernama Bagus Seta.
"Tentu Paduka mengenal nama itu karena dia adalah
rakanda Paduka sendiri. Terus terang saja, kesaktian Bagus
Seta amat hebat, tidak ada manusia yang akan mampu
menandinginya." "Apakah Andika sudah kalah olehnya, Sang Wasi?"
Merah wajah Wasi Bagaspati, akan tetapi karena ia
cerdik, ia menunduk dan menjawab, "Pernah kami
bertanding dan saya tidak mampu mengatasinya. Saya
mendatangkan adik seperguruan saya, Wasi Bagaskolo ini,
akan tetapi masih saya ragukan apakah tenaga kami berdua
akan mampu menandinginya. Bahkan Paduka yang
memiliki kesaktian tinggi, kiranya belum tentu akan dapat
menang?"." "Apa ........ " Sang Wasi, seorang yang memiliki
kesaktian seperti Andika, mengapa berhati begini kecil" Aku
akan menandingi Bagus Seta!"
Wasi Bagaspati mengangguk-angguk, menekan hatinya
yang merasa girang akan hasil pembakarannya, dan ia
berkata lesu, "Saya percaya akan kesaktian Paduka, akan
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tetapi masih saya ragukan apakah paduka akan dapat
menangkan murid Bhagawan Ekadenta itu!"
Tiba-tiba Retna Wilis tertawa, suara ketawanya merdu
akan tetapi menyeramkan sehingga Adiwijaya berdongak
memandang dengan bulu tengkuk meremang. "Hi-hi-hik!
Murid Ekadenta" Sang Wasi, tahukan Andika bahwa
pusakaku Sapudenta ini khusus untuk menandingi
Bhagawan Ekadenta" Kalau dia tidak ada dan yang muncul
adalah muridnya, aku yang akan menandingi dan
menyapunya dari permukaan bumi!"
Adiwijaya bergidik dan diam-diam merasa prihatin sekali
mendengar betapa orang yang dijunjungnya, yang
dikasihinya, kini mengancam kepada kakaknya sendiri,
kakak seayah! "Bagus! Kalau begitu, ada sedikit harapan di hati saya.
Dengan majunya kita bertiga, biarpun Ekadenta sendiri
muncul, akan dapat kita hancurkan! Jangan khawatir, Sang
Ratu. Biarpun sekarang pasukanku hanya tinggal seribu
orang yang sudah digembleng oleh muridku, Cekel
Wisangkoro, akan tetapi tanpa adanya Bagus Seta, kia akan
dapat mudah menaklukkan Jenggala dan Panjalu sekalipun!
Senopati-senopati sakti mereka, serahkan saja kepada kami
berdua, akan kami binasakan semua!"
Perundingan ditanjutkan dan rencana penyerbuan ke
Jenggala dibicarakan. Penyerbuan akan dilakukan dalam
waktu singkat setelah persiapan-persiapan dibuat dan Wasi
Bagaspati menyanggupi untuk menggabungkan pasukannya
ke Wilis dalam waktu dekat. Kemudian, setelah kedua
orang kakek itu menikmati hidangan yang disajikan,
mereka kembali ke gunung Arjuna diiringkan tujuh orang
perajurit wanita. -oo(mch-dwkz)oo- Malam itu bulan purnama siddhi menerangi permukaan
bumi di pegunungan Wilis, menciptakan pemandangan
yang amat indah dan menyejukkan. Namun, keindahan
saat itu tidak tampak oleh Retna Wilis yang sedang duduk
termenung seorang diri di dalam taman bunga di belakang
istananya dengan hati yang sama sekali tidak sejuk. Ratu
muda belia yang gagah perkasa ini sedang duduk dan
gelisah memikirkan keadaan keluarganya. Betapapun ia
telah mewarisi watak gurunya, akan tetapi dia tetap
manusia dan kalau ia mengenangkan ibunya, hatinya
tergerak dan menggetar juga. Dan kini dia sedang
mempersiapkan pasukan untuk menggempur Jenggala,
untuk berhadapan sebagai musuh ayah bundanya, para
bibinya, dan bahkan ia telah mengambil keputusan untuk
menandingi Bagus Seta, kakaknya! Semua ini tidak
menggelisahkan hatinya, akan tetapi kalau ia teringat akan
ibunya, hatinya trenyuh juga sungguhpun tidak begitu
mendalam karena tertutup oleh sifatnya yang dingin seperti
dasar taut kidul. Ia tidak perduli kalau harus bermusuh dengan ayahnya.
Dia tidak suka kepada Ki Patih Tejolaksono, ayah
kandungnya yang belum pernah dilihatnya karena dia
menganggap bahwa Tejolaksono telah menyia-nyiakan
ibunya sehingga ibunya terlunta-lunta sampai ke Wilis. Ia
tidak perduli akan Bagus Seta karena pemuda itu adalah
putera Tejolaksono dari lain ibu. Bahkan ia harus
memperlihatkan bahwa sebagai putera Endang Patibroto,
dia tidak akan kalah oleh putera Ayu Candra! Apalagi kalau
ia ingat bahwa Bagus Seta adalah murid Bhagawan
Ekadenta, hal ini justeru mendorongnya untuk mengalahkan pemuda itu. Ia tidak memperdulikan pula
bermusuh dengan para bibinya Setyaningsih dan Pusporini
karena kalau mereka itu menentangnya, menghalangi cita-
citanya, berarti mereka pun musuh. Akan tetapi, bagaimana
ia akan dapat memusuhi ibu kandungnya"
Dengan pikiran melayang-layang dalam renungan, Retna
Wilis memandang bulan yang tampaknya bergerak
perlahan, berenang di antara ombak-ombak mega putih di
lautan langit biru. Kadang-kadang bulan yang bundar
cemerlang itu bersembunyi di balik awan hitam tipis
sehingga tampak seperti wajah puteri jelita bersembunyi di
balik tirai sutera hitam, kemudian tirai itu terbuka lagi dan
tampaklah senyum yang cerah. Namun Retna Wilis tidak
melihat bulan, melainkan melihat wajah ibunya menggantikan Sang Dewi Candra. Kemudian sejalan
dengan pikirannya yang mengenangkan wajah-wajah
keluarganya, bulan itu berubah menjadi wajah ibunya,
Setyaningsih yang tersenyum-senyum dan membelainya di
waktu ia masih kecil. Ia cepat mengusir kenangan ini dan
membayangkan wajah keluarganya yang belum pernah ia
lihat, bibi Pusporini dan terutama wajah ramandanya.
Seperti apakah wajah ayahnya, Ki Patih Tejolaksono yang
terkenal seorang pria yang tampan dan gagah perkasa itu"
Sukar baginya untuk membayangkan wajah ayahnya.
Tiba-tiba bulan yang ia bayangkan sebagai wajah seorang
pria yang direka-rekanya patut menjadi wajah ayahnya itu
berubah menjadi wajah seorang pria muda yang tampan,
yang tersenyum bibirnya akan tetapi yang memandang
dengan sinar mata tajam menembus jantung. ia terkejut
sekali ketika wajah itu dapat bergerak, mata itu hidup.
"Ahhhh ......." Retna Wilis sadar dari lamunannya dan
ketika ia meloncat bangun dari bangku yang didudukinya
dan berdiri memandang, kiranya di depannya telah berdiri
seorang pemuda tampan yang sikapnya tenang dan sabar
sekali, berpakaian serba putih yang amat sederhana.
Pemuda yang memandangnya dengan sinar mata lemah
lembut namun amat tajam menjenguk isi hatinya! Kiranya
wajah yang dilihatnya menggantikan bulan itu adalah
wajah pemuda inilah! Dalam kagetnya, Retna Wilis merasa marah dan
penasaran sekali, rasa penasaran yang timbul dari rasa malu
betapa dia, seorang yang memiliki aji kesaktian tinggi dan
yang memiliki penglihatan dan pendengaran lebih tajam
daripada manusia biasa, sampai tidak tahu, tidak melihat
maupun mendengar akan kedatangan seorang pemuda di
depannya! "Si keparat kurang ajar berani engkau datang tanpa
dipanggil dan bersikap begini tak tahu aturan dan lancang?"
Ia mengira bahwa pemuda ini tentu seorang di antara
kawula Wilis, akan tetapi siapa pun juga, termasuk
patihnya sendiri, kalau datang menghadap tentu berlutut
dan menyembah, tidak seperti pemuda ini yang berdiri
seperti arca, sama sekali tidak ada tampak sikapnya
menghormat! "Aku bernama Bagus Seta dan kalau aku tidak salah
menduga, Andika tentulah adikku Retna Wilis, puteri
kanjeng rama dan kanjeng ibu Endang Patibroto. Benarkah
dugaanku?" Retna Wilis terkejut sekali dan beberapa detik pandang
matanya menjelajahi wajah dan tubuh pemuda itu penuh
selidik. Jantungnya berdebar, akan tetapi suaranya
terdengar dingin ketika ia menjawab, "Benar, aku Retna
Wilis, Ratu Kerajaan Wilis! Jadi engkau inilah yang
bernama Bagus Seta, putera Tejolaksono dan Ayu Candra"
Hemmm ......." Bagus Seta mengerutkan keningnya, akan tetapi sikapnya
masih tenang dan ia berkata halus, "Adinda Retna Wilis,
aku rakandamu, kita saudara seayah ........"
"Aku tidak perduli akan hal itu! Bagus Seta, engkau
datang seperti siluman mau apakah?"
"Adikku sayang Retna Wilis. Aku sengaja datang
mejumpaimu dengan maksud ingin mengingatkanmu akan
kesalahan langkah hidup yang kautempuh. Engkau telah
salah melangkah, Adikku, dan kini masih belum terlambat.
Sadarlah bahwa apa yang sedang kaurencanakan bersama
Wasi Bagaspati bukanlah hal yang benar, Adikku."
"Huh! Ke manapun juga aku melangkahkan kaki, apa
pun juga yang akan kuperbuat, ada sangkut-pautnya apakah
dengan engkau" Segala langkah dan perbuatanku ditentukan oleh aku sendiri dan segala akibatnya pun akan
kutanggungkan sendiri. Aku tidak membutuhkan peringatanmu!" "Benar sekali, Retna Wilis. Memang seharusnya
demikianlah, setiap perbuatan ditentukan oleh diri pribadi
dan ditanggungkan akibatnya oleh diri sendiri pula. Aku
pun tidak ingin mempengaruhi, apalagi memaksamu. Akan
tetapi manusia telah dianugerahi akal budi dan pertimbangan yang menciptakan kewaspadaan dan kebijaksanaan, maka sudah sepatutnya pula kalau manusia
berpikir dan mempertimbangkan lebih dulu sebelum
melangkah sehingga setiap perbuatannya tidak terdorong
oleh nafsu semata." Segala kata-kata yang keras dan kasar dan sudah
berkumpul di ujung lidah Retna Wilis tertahan saking
herannya melihat keadaan kakaknya ini. Dia mendengar
bahwa kakaknya yang bernama Bagus Seta ini adalah
seorang yang memiliki kesaktian luar biasa, maka tadinya ia
menggambarkan bahwa kakakny a tentu seorang pria yang
gagah dan tampak gagah dan kuat. Akan tetapi kini ia
berhadapan dengan seorang pemuda lemah lembut
sikapnya, halus tutur sapanya, bahkan yang mengeluarkan
ucapan mengandung penuh kesabaran dan ketenangan,
sikap yang sepantasnya hanya dimiliki oleh kaum pendeta
atau pertapa yang sudah tua renta dan pikun! Saking
herannya, ia hanya dapat memandang dan mendengarkan
pemuda itu bicara terus tanpa dapat mencela atau
menjawab. "Retna Wilis, Adikku sayang. Apakah sesungguhnya
yang kaucari" Apakah yang kaucita-cita dan idamkan" Apa
yang tersembunyi di dalam usahamu menghimpun tentara,
menaklukkan seluruh kadipaten dan kerajaan ini" Apakah
engkau mengejar kedudukan sebagai seorang ratu besar
yang oleh manusia dianggap kemuliaan" Itukah kemuliaan"
Ah, engkau akan kecewa, Adikku, apa pun hasilnya
daripada kekerasan yang hendak kaulakukan. Bukan di
sanalah letak kebahagiaan, Adikku. Selama engkau
menuruti hasrat dorongan nafsu untuk mengejar kesenangan, engkau takkan pernah merasakan kepuasan.
Nafsu mengejar kesenangan untuk dinikmati merupakan
kehausan manusia, dan hal ini adalah manusiawi dan
menjadi hak manusia pula untuk memuaskan dahaga
mereka. Akan tetapi, dahaga tidak akan lenyap dan puas
apabila diminumi air yang terlalu manis, bahkan makin
banyak diberi yang manis-manis akan menjadi makin haus.
Demikian pula dengan nafsu. Makin dituruti tanpa
dikendalikan sampai berlebihan, akan menjadi makin besar
membakar seperti api diberi umpan kayu kering. Adikku,
insyaflah dan jangan menurutkan kata hati yang
dikuasai nafsu." Retna Wilis sudah dapat mengatasi keheranannya dan
ia marah sekali. "Bagus Seta!
Kiranya engkau yang disohorkan orang memiliki
kesaktian yang hebat ternyata
hanya memiliki lidah yang
pandai bergoyang! Aku tahu
mengapa engkau berpidato sepanjang itu. Engkau tentu '
diutus Panjalu yang gentar
menghadapi ancaman penyerbuanku, untuk membujuk aku
karena kalian menganggap aku ini adikmu yang sepatutnya
tunduk dan taat kepada engkau yang merasa sebagai
kakakku! Engkau kecelik, Bagus Seta. Tentu saja engkau
berpihak kepada Jenggala dan Panjalu karena seluruh
keluargamu menghamba di sana, bahkan ayahmu menjadi
Patih Panjalu, dan mereka yang duduk di kursi pimpinan
Jenggala juga keluargamu. Akan tetapi, aku tidak akan
tunduk oleh obrolanmu yang kosong! Nah, engkau mau apa
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sekarang" Mau menggunakan kesaktian yang kata orang
kau miliki itu" Keluarkanlah semua kesaktianmu, aku tidak
takut!" Bagus Seta tetap tenang sungguhpun senyumnya
mengandung keprihatinan. "Adikku, keliru pendapatmu
bahwa aku datang sebagai pembela keluarga maupun
Kerajaan Panjalu dan Jenggala, sungguhpun tidak
kusangkal bahwa aku memang membujukmu agar engkau
sadar. Ini menjadi kewajibanku. Ketahuilah bahwa aku
hanya membela kebenaran, Adikku. Biar keluarga sendiri,
biar Panjalu maupun Jenggala, kalau tindakannya
menyeleweng daripada kebenaran, adalah menjadi kewajibanku untuk menentang, karena aku bukanlah
seorang punggawa kerajaan mana pun. Berbeda dengan
kanjeng rama, kanjeng ibu atau para kanjeng paman dan
bibi, mereka terikat oleh tugas kewajiban sebagai
punggawa, sebagai perajurit sehingga yang dikenal
hanyalah melaksanakan tugas tanpa pamrih berdasarkan
kesetiaan terhadap kerajaan sebagai sifat setap satria.
Engkau telah bersekutu dengan Wasi Bagaspati, Adikku,
dalam hal ini saja sudah tidak benar. Wasi Bagaspati adalah
seorang manusia yang menyeleweng daripada kebenaran,
bahkan menentang kebenaran demi nafsu-nafsunya.
Sekarang engkau bersekutu dengan dia untuk menaklukkan
jenggala dan Panjalu, hal ini merupakan penyelewengan
hidup yang amat besar, apalagi kalau diingat engkau adalah
puteri Patih Panjalu, sedangkan kanjeng ibu Endang
Patibroto seorang tokoh yang amat dihormati dan disegani
di Panjalu dan Jenggala. Sadar dan insyaflah sebelum
terlambat, Retna Wilis adikku."
"Heh si keparat Bagus Seta! Tak perlu banyak cakap lagi
karena aku tidak sudi mendengarnya! Ketahuilah bahwa
aku adalah murid tunggal Nini Bumigarba dan engkau
adalah murid Bhagawan Ekadenta! Aku telah berjanji
kepada guruku untuk mengalahkan Bhagawan Ekadenta
dan Sekarang biarlah engkau menjadi wakilnya. Hayo
kerahkan semua aji kesaktianmu dan lawanlah aku, Retna
Wilis yang juga menjadi Ratu Wilis, aku hanya Perawan
Lembah Wilis bocah gunung, tidak seperti engkau putera
Patih Jenggala, seorang priyayi, seorang bangsawan agung.
Hayo kita mengadu aji kesaktian!"
Melihat Retna Wilis bertolak pinggang dan menggerak-
gerakkan lengan kanan menantangnya, wajah tampan
Bagus Seta menyuram, akan tetapi sikapnya masih sabar.
"Tugasku bukan menentang Nini Bumigarba atau Retna
Wilis melainkan menentang kejahatan yang menimbulkan
kesengsaraan kepada manusia, Adikku. Aku tidak berniat
untuk bertanding melawanmu."
"Eh, Bagus Seta, kiranya engkau hanya seorang
pengecut! Engkau takut melawanku, engkau takut
kepadaku! Katakanlah bahwa engkau takut kepadaku dan
aku akan mengampunimu!"
Bagus Seta tersenyum penuh kesabaran, dan memandang
adiknya seperti Pandang mata seorang dewasa melihat
seorang anak kecil yang nakal. "Aku tidak takut kepadamu,
Adikku, juga tidak takut terhadap diri sendiri dan segala
tindakanku. Rasa takut adalah tidak wajar dan dibuat
sendiri, dan setiap perbuatan yang dilakukan karena takut
adalah perbuatan yang tidak wajar, karenanya tidak benar.
Manusia yang sadar akan kekuasaan Yang Maha Kuasa,
yang maklum dengan penuh keyakinan bahwa segala
sesuatu yang terjadi adalah wajar,,, dan yang dengan segala
kewajaran hatinya mengerti akan benarnya setiap perbuatan
yang dilakukannya, akan terbebas daripada rasa takut."
"Sombong! Bagus Seta, hanya ada dua pilihan bagimu.
Melawan aku atau engkau menyatakan bahwa. engkau
takut kepadaku, baru aku akan membiarkanmu pergi tanda
mengganggumu." "Kalau keduanya tidak kulakukan?"
"Aku akan membunuhmu!"
Bagus Seta menarik napas panjang. "Ah, berkali-kali
terbukti olehku betapa kekuasaan Sang Hyang Widhi tidak
dapat dilawan oleh siapa pun, bahwa keputusan Sang
Hyang Widhi tidak dapat diubah oleh manusia. Aku telah
berusaha secukupnya, namun keputusannya terserah
kepada Sang Hyang Widhi Wisesa!"
Pada saat itu, Retna Wilis sudah menerjang maju dan
mengirim pukulan dengan kedua tangannya berturut-turut
sampai tujuh kali. Cepat sekali gerakannya ini karena dia
mempergunakan gerakan Ilmu Pukulan Pancaroba, seperti
sambaran kilat kedua tangannya dengan jari terbuka
menghantam ke arah bagian-bagian tubuh Bagus Seta.
Pemuda ini dengan sikap tenang sekali, tanpa mengubah
kedudukan sepasang kaki yang terpentang, memutar kedua
lengan di depan tubuhnya dan berturut-turut dapat
menangkis tujuh kali pukulan ampuh itu. Dua tenaga yang
dahsyat bertemu, dan akibatnya Bagus Seta terpaksa
melangkah mundur tiga tindak saking hebatnya tenaga
serangan Retna akan tetapi dara sakti ini terdorong oleh
tenaga tangkisan lawan dan ditambah dorongan tenaga
serangan sendiri yang membalik, terhuyung ke belakang
dan hampir terpelanting! "Aiiihhhh!!" Retna Wiles menjerit, meloncat ke atas
mematahkan tenaga dorongan dan tubuhnya dari atas
menukik ke arah Bagus Seta sambil memukul dengan aji
pukulan Wisalangking. Bagus Seta miringkan tubuh
mengelak sehingga angin pukulan menyambar rumput-
rumput yang segera menjadi layu dan membusuk!
"Kasihan engkau, Adikku!" Bagus Seta berkata, manaruh
kasihan melihat betapa adiknya dikuasai nafsu amarah
sehingga menjadi mata gelap. Akan tetapi Retna Wilis yang
sudah diperhamba kemarahan itu, menerima ucapan ini
sebagai ejekan, maka ia lalu memekik dan mencabut
pedang pusaka Sapudenta! Tampak sinar berkilat di bawah
sinar bulan itu ketika pedangnya berkelebat menyambar
tubuh Bagus Seta. Pemuda ini maklum akan kesaktian
adiknya, maklum pula akan ampuhnya pusaka itu, maka ia
menggunakan kepandaiannya melesat jauh dan terus pergi
melarikan diri dari tempat itu.
"Bagus Seta keparat! Jahanam pengecut! Jangan lari
......!" Retna Wilis mengejar cepat. Namun ia telah
kehilangan jejak pemuda itu yang lenyap di antara bayang-
bayang hitam di malam terang bulan itu dan setelah
mengejar cukup jauh, Retna Wilis berhenti, dadanya
berombak, napasnya terengah saking marahnya. Matanya
beringas memandang ke kanan kiri, kemudiati mulutnya
memekik, tubuhnya bergerak dan pedang pusaka di
tangannya digerak-gerakkan menjadi gulungan sinar
menyilaukan yang menyambar-nyambar dan membentuk
lingkaran-lingkaran menerjang di antara pohon-pohon.
Terdengar suara hiruk-pikuk ketika banyak batang pohon
tumbang oleh sinar pedangnya. Setelah menumbangkan
pohon-pohon di sekelilingnya, baru agak mereka kemarahan yang menyesak di dada. Retna Wilis herdiri di
tengah-tengah tumpukan batang, cabang, dan daun pohon
yang berserakan di sekelilingnya, seperti arca, pedang
pusaka masih di tangan kanan, mukanya menunduk.
"Gusti Puteri ........ ahhh, apakah yang terjadi ........ Hati
hamba tercekap rasa khawatir ........ mengapa Paduka
marah dan seperti orang berduka ........ ?" Patih Adiwijaya
muncul dari balik daun-daun pohon yang bertumpuk,
sedangkan dari jauh, para pengawal hanya memandang
bingung, tidak berani mendekat.
Bagaikan baru sadar dari sebuah mimpi buruk, Retna
Wilis membalikkan tubuhnya, memandang beringas dan
dengan pedang di tangan. Akan tetapi ketika ia mengenal
patihnya, ia menghela napas dan perlahan-lahan menyarungkan pedang pusakanya di punggung, kemudian
memejamkan mata sebentar, membukanya lagi dan
menggerakkan pundak. "Aku hanya berlatih, Paman.
Paman, kirimlah utusan kepada Sang Wasi Bagaspati,
minta agar pengiriman pasukan dipercepat karena aku ingin
secepat mungkin menyerbu Jenggala!"
Retna Wilis meninggalkan patihnya yang melongo di
tempat itu sambil memandangi pohon-pohon yang
tumbang. Dalam pandang mata patih ini, di bawah sinar
bulan purnama yang berselimut awan hitam, cabang-cabang
pohon yang berserakan itu seperti tubuh-tubuh manusia
yang tidak utuh lagi, mayat-mayat bergelimpangan akibat
amukan Retna Wilis dengan pedang pusaka Sapudenta.
Adiwijaya bergidik. Banyak sudah ia menyaksikan perang,
banyak menyaksikan manusia-manusian saling menyembelih dalam perang, akan tetapi belum pernah
menyaksikan keganasan yang luar biasa seperti yang pasti
akan dapat ia saksikan jika Retna Wilis mengamuk di
medan perang dengan pedangnya!
Peristiwa di malam terang bulan itu, pertemuan antara
kakak dan adiknya yang terjadi amat aneh tanpa disaksikan
manusia lain, ternyata merupakan dorongan yang
mempercepat penyerbuan bala tentara Wilis ke Jenggala.
Tentu saja peristiwa penyerbuan ke Jenggala ini
menimbulkan geger dan seperti telah lajim terjadi semenjak
manusia mengenalnya sampai kini, perang selalu mendatangkan malapetaka dan sengsara bagi rakyat jelata.
Penduduk dusun-dusun yang dilanda barisan Wilis lari
pontang-panting pergi mengungsi, menyelamatkan nyawa
meninggalkan segala benda miliknya yang didapatnya
dengan cucuran peluh setiap hari. Para iblis dan siluman
mengamuk, menggunakan kesempatan itu untuk mempengaruhi batin manusia yang tidak kuat sehingga di
mana-mana terjadi pelangggaran perikemanusiaan dan
hukum rimba merajalela. Pihak Jenggala segera mendengar berita akan datangnya
bala tentara Wilis yang hendak menyerbu, maka persiapan-
persiapan lalu dibuat, pasukan-pasukan penjaga diatur
ketat, bahkan Tejolaksono dan Endang Patibroto telah
mohon perkenan dari sang prabu di Panjalu untuk
membantu Jenggala karena suami isteri ini berprihatin
sekali, merasa bertanggung jawab atas penyerbuan tentara
Wilis yang dipimpin oleh putera mereka. Untuk mencegah
terjadinya hal yang tidak baik, Ayu Candra tidak
diperkenan ikut. Demikianlah, ketika pasukan-pasukan Wilis sudah tiba
di perbatasan kota raja Jenggala, Tejolaksono dan Endang
Patibroto sudah slap pula memperkuat barisan Jenggala,
bahkan mereka berdua memimpin pasukan inti di samping
Joko Pramono yang menjadi patih dan merangkap senopati
Jenggala di samping isterinya yang sakti Pusporini.
Pasukan terdepan dari Wilis adalah pasukan bantuan
dari Sang Wasi Bagaspati, pasukan yang dipimpin oleh
Cekel Wisangkoro dan pasukan yang dipimpin oleh seorang
senopati pembantu Ki Patih Adiwijaya. Penyerbuan
pasukan terdepan dari Wilis ini menghadapi sambutan yang
panas dan keras dari pasukan yang dipimpin sendiri oleh
Joko Pramono dan Pusporini. Hebat bukan main perang
campuh ini, tanpa upacara dan tanpa banyak cakap lagi.
Perang campuh yang terjadi selama setengah hari, dari
tengah hari sampai menjelang senja ini mendatangkan
korban amat banyak, baik di pihak Jenggala maupun di
pihak pasukan Wilis. Akan tetapi, amukan Joko Pramono
dan Pusporini yang amat dahsyat itu membangkitkan
semangat para perajurit Jenggala sehingga pihak Wilis
kocar-kacir dan didesak mundur. Bahkan mendekati petang
hari, ketika pasukan Wilis terdesak dan Cekel Wisangkoro
yang menjadi penasaran dan marah itu mengamuk,
merobohkan banyak perajurit lawan dengan tongkat ular
hitamnya sehingga semangat pasukannya bangkit kembali,
perang menjadi makin menghebat.
Ceker Wisangkoro tentu saja merasa takut kepada Wasi
Bagaspati dan merasa malu kepada Ratu Wilis kalau
sampai pasukannya kalah dalam perang campuh pertama
ini, maka ia lalu berteriak-teriak membangkitkan semangat
pasukannya dan dia sendiri maju sampai ke tengah medan
pertempuran, menggunakan segala aji kesaktiannya untuk
membunuh pihak musuh sebanyak mungkin.
Menghadapi amukan Cekel Wisangkoro yang mengeluarkan semua ilmu hitamnya ini, pihak pasukan
Jenggala mawut. Empat orang perwira Jenggala yang
terkenal gagah perkasa roboh tewas di tangan Cekel
Wisangkoro. Ketika Ki Patih Joko Pramono mendengar
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
akan hal ini, ia menjadi marah sekali dan cepat ia
menerjang ke tengah medan pertempuran sehingga setelah
membuka jalan berdarah, merobohkan banyak perajurit
musuh, akhirnya ia dapat menemukan Cekel Wisangkoro
yang mengamuk itu. Memang hebat sepak terjang murid
Wasi Bagasati ini. Tubuhnya diselimuti asap menghitam
sehingga sukar bagi pihak lawan untuk menerjangnya,
sebaliknya dari dalam asap hitam itu, tongkat kakek itu
menyambar-nyambar merupakan cakar maut yang setiap
kali menyambar tentu merenggut nyawa seorang lawan.
"Cekel Wisangkoro, akulah lawanmu!" Joko Pramono
membentak yang menggunakan kedua tangannya mendorong sambil melompat ke depan. Terkena dorongan
kedua tangan itu, asap hitam membuyar dan tampaklah
kakek itu mengobat-abitkan tongkatnya yang berbentuk ular
hitam. Kini dua orang sakti itu berhadapan, saling pandang
dengan mata beringas. Cekel Wisangkoro segera mengenal orang muda itu yang
pernah bertanding dengannya ketika Joko Pramono,
Pusporini, dan Bagus Seta dahulu menolong Tejolaksono
dan kedua orang isterinya yang tertawan oleh Wasi
Bagaspati. Dahulu Cekel Wisangkoro terpaksa melarikan diri
karena tidak kuat menghadapi Joko Pramono dan
Pusporini, akan tetapi sekarang, menghadapi Joko
Pramono seorang diri saja, apalagi dalam sebuah perang
campuh, ia tidak menjadi gentar dan ia menudingkan
tongkatnya sambil membentak,
"Babo-babo, Joko Pramono! Engkau telah menjadi patih
Jenggala, ya" Bersiaplah engkau untuk mampus bersama
Jenggala yang sekali ini pasti akan kami hancurkan!"
"Ha-ha-ha, Cekel Wisangkoro dukun lepus! Berkali-kali
engkau dan kawan-kawanmu menurutkan angkara murka,
tidak tahu malu dan lupa bahwa engkau dahulu telah
menjadi pecundang, lari terbirit-birit ketika melawanku.
Sekarang engkau datang menyerahkan nyawa, bagus,
majulah!" "Lihat ular saktiku menelanmu!" Tiba-tiba Cekel
Wisangkoro melemparkan tongkatnya yang berubah
menjadi seekor ular besar sekali, dengan mulut yang lebar
penuh gigi dan siung beracun, menyemburkan uap hitam
hendak menerjang Joko Pramono. Ki patih tersenyum,
merendahkan tubuhnya dengan kedua lutut agak ditekuk,
kemudian ia membentak, "Permainan ini menjemukan.
Heiiittt!" Kedua tangannya mendorong ke depan, ke arah
ular dengan pengerahan aji pukulan Cantuka-sekti.
Serangkum hawa pukulan sakti menyambar ke depan dan
"ular" itu terpelanting, terlempar ke depan Cekel
Wisangkoro, berubah menjadi tongkat hitam lagi.
"Keparat!" Cekel Wisangkoro menyambar tongkatnya
dan bagaikan gila ia menerjang ke depan dengan
tongkatnya. Namun sambil tersenyum Joko Pramono
berhasil mengelak dan balas memukul. Seperti biasa, murid
Sang Resi Mahesapati ini tidak mempergunakan senjata
dalam menghadapi lawan, hanya mengandalkan kegesitan
tubuhnya dan keampuhan pukulan dan tendangannya.
Dalam waktu tak lama, ia telah berhasil mendesak Cekel
Wisangkoro yang menjadi kempas-kempis napasnya. Kakek
ini berusaha untuk mainkan tongkatnya sehebat mungkin,
namun selalu tusukan dan hantamannya mengenai tempat
kosong dan beberapa kali ia terhuyung karena pukulan
Cantuka-sekti yang biarpun tidak mengenainya dengan
tepat, namun hawa pukulan yang dahsyat itu membuat ia
hampir tidak dapat menahannya.
Pertandingan hebat antara dua orang sakti yang
memimpin pasukan pertama ini dijadikan tontonan oleh
para perajurit kedua pihak sehingga mereka yang tadinya
bertanding di dekat tempat itu, otomatis menghentikan
pertandingan mereka dan menjadi penonton sambil
berteriak-teriak dan bersorak-sorak menjagoi pimpinan
masing-masing. Mereka yang berada jauh dari medan
pertandingan ini masih terus berperang penuh semangat,
karena kini pihak Wilis telah bangkit kembali semangatnya
oleh sepak-terjang Cekel Wisangkoro tadi.
Di lain tempat, di ujung kiri, Pusporini juga mengamuk,
bahkan lebih hebat daripada suaminya. Berbeda dengan
Joko Pramono yang mendapatkan tandingan kuat, wanita
perkasa ini hanya dikeroyok oleh lawan-lawan yang
baginya terlalu lunak sehingga pihak musuh roboh
berserakan seperti sekumpulan laron menyerbu api.
Kembali pihak Wilis menjadi mawut dan cerai-berai setiap
kali Pusporini menerjang maju. Para perwira Wilis sudah
roboh semua dan tiba-tiba majunya Ni Dewi Nilamanik
merupakan pendorong bagi perajurit Wilis untuk tidak lari.
Ni Dewi Nilamanik maju dan menyambut amukan
Pusporini sehingga kembali perang tanding berlangsung
makin seru. Seperti juga suaminya, Pusporini menghadapi
Ni Dewi Nilamanik yang mengamuk dengan senjata
kebutannya itu dengan tangan kosong saja.
Kalau dibuat perbandingan, tingkat kesaktian Ni Dewi
Nilamanik masih lebih tinggi daripada kepandaian Cekel
Wisangkoro. Apalagi setelah wanita cabul ini menerima
banyak petunjuk dari Wasi Bagaspati, ia merupakan lawan
yang berat bagi Pusporini. Maka pertandingan antara kedua
orang wanita sakti ini lebih dahsyat dan biarpun aji
kesaktian Pusporini "murni", namun ia kalah pengalaman,
juga kebutan di tangan wanita itu benar-benar ampuh.
Agaknya, biarpun tidak terancam dan tidak terdesak oleh
lawannya, Pusporini harus mengerahkan seluruh kepandaiannya dan makan banyak waktu untuk dapat
merobohkan wanita yang mengaku sebagai penitisan
Bathari Durgo ini! -ooo0dw0ooo- Jilid XLVI JOKO PRAMONO yang mulai mendesak Cekel
Wisangkoro, dapat melihat dari jauh betapa isterinya
mendapatkan lawan yang amat tangguh, maka ia lalu
mengeluarkan pekik sakti yang dahsyat sekali, menubruk
maju memapaki sambaran tongkat Cekel Wisangkoro.
Tongkat yang menyambar ke arah kepalanya itu
ditangkis oleh Joko Pramono dengan lengan tangan terus
dicengkeram dan ditekuk ke bawah lengan, dikempit
sehingga tongkat itu tidak dapat ditarik kembali oleh
pemiliknya. Kesempatan ini
dipergunakan oleh Cekel Wisangkoro untuk menggerakkan tangan kirinya
yang terbuka jarinya, menampar ke arah pelipis Joko Pramono. Pemuda sakti
yang menjadi Patih Jenggala
ini maklum bahwa kalau ia
tidak cepat dapat merobohkan
lawan tangguh ini maka pertempuran akan berlarut-
larut dan ia mengkhawatirkan
keselamatan isterinya yang
menghadapi Ni Dewi Nilamanik yang sakti. Maka ketika
pukulan atau tamparan tangan kiri Cekel Wisangkoro
menyambar pelipisnya dari atas, ia tidak mengelak atau
menangkis melainkan miringkan kepala dan menyambut
tamparan itu dengan pundaknya, akan tetapi pada detik itu
juga, tangan kanannya sendiri menghantam dengan telapak
tangan dengan pengerahan Aji Cantuka-sekti, ke arah perut
lawan. "Dessss ........ Ngekkk ........ !!" Tubuh Cekel Wisangkoro
terpental dan kakek ini roboh dan tewas seketika dengan
darah mengucur dari semua lubang di tubuhnya, isi
perutnya hancur oleh pukulan Joko Pramoiio. Patih muda
ini sendiri terhuyung ke belakang akan tetapi tidak terluka
dan. beberapa, menit kemudian ia telah meloncat dan
membantu isterinya menghadapi Ni Dewi Nilamanik.
Melihat majunya Joko Pramono, Ni Dewi Nilamanik
menjadi gugup. Kebutannya diputar, akan tetapi karena
perhatiannya ia tujukan kepada Joko Pramono, ia menjadi
kurang waspada terhadap serangan Pusporini yang
menampar dengan Aji Pethit Nogo. Biarpun Ni Dewi
Nilamanik berhasil mengelak, namun ia terhuyung dan saat
itu dipergunakan oleh Joko Pramono untuk mencengkeram
ke butannya dan menyendalnya tiba-tiba. Ni Dewi
Nilamanik mempertahankan.
"Brettttl" Kebutan itu putus di tengah-tengah dan tubuh
Ni Dewi Nilamanik terjengkang. Pusporini dan Joko
Pramono menerjang maju untuk "menghabiskan" wanita
itu, akan tetapi tiba-tiba ada angin besar menyambar dari
depan, membuat mereka terhuyung ke belakangl Kiranya di
situ telah berdiri scorang dara muda jelita yang matanya
seperti berapi dan kcningnya dikerutkan, sikapnya angkuh
dan garang. "Kau ........ kau ........ Retna Wilis !" Pusporini berkata,
menduga-duga, Sedangkan Joko Pramono juga memandang
dengan kagum akan tetapi juga penasaran karena hatinya
tidak senang mendengar betapa puteri Endang Patibroto ini
menentang semua keluarga termasuk ibunya sendiri.
"Kalian tentu Bibi Pusporini dan Paman Joko Pramono,
lebih baik Andika berdua mundur." Dara jelita yang bukan
lain adalah Retna Wilis sendiri ini menoleh kepada Ni
Dewi Nilamanik dan berkata, "Andika mundurlah" Ni
Dewi Nilamanik menjadi merah mukanya. ia amat tidak
suka menyaksikan sikap Ratu Wilis yang tidak pernah
menghormat siapa pun juga ini, akan tetapi karena ia tadi
telah ditolong, diselamatkan dan bahaya maut, ia tidak
membantah dan mundur, menyelinap di antara para
perajurit. Pusporini yang memiliki hati keras dan galak, segera
menudingkan telunjuknya kepada Retna Wilis dan
membentak; "Bocah kurang ajar! Begiriikah sikapmu
terhadap bibi dan pamanmu" Kami adalah perajurit-
perajurit sejati, lebih baik mati di medan laga daripada
mundur!" Retna Wilis tersenyum mengejek. "Kalau aku yang maju,
Andika berdua mau apa" Melawanku" Tiada gunanya!"
"Bocah murtad! Durhaka!" Pusporini sudah menerjang
maju dan menghantam dengan Pethit Nogo mengarah
kepala Retna Wilis. Akan tetapi dengan tenang Retna Wilis
menggerakkan tangan, menangkap pergelangan Pusporini
sehingga wanita ini tak dapat bergerak, kemudian sekali ia
mendorong, tubuh Pusporini terlempar sampai lima meter
lebih, menimpa dua orang perajurit yang roboh terpelanting. "Keparat ......!" Pusporini maju lagi, akan tetapi
suaminya mencegahnya. Terdengar sorak-sorai riuh dan kini perang makin
menghebat. Majunya Retna Wilis dibarengi majunya Wasi
Bagaspati dan pasukan ini dari depan, sedangkan dari
kanan maju pasukan yang dipimpin Wasi Bagaskolo, dan
dari kiri maju pasukan yang dipimpin Patih Adiwijaya. Bala
tentara Jenggala mawut tidak karuan, banyak yang tewas
dan sisanya lari mundur! Tiba-tiba di antara hiruk-pikuk pasukan kedua pihak
yang berperang campuh, terdengar melengking suara Retna
Wilis, "Pasukan Wilis, dengar ratumu bicara! Tarik mundur
semua perajurit dan jangan bergerak sebelum kuberi
komando!" Hebat memang suara Retna Wilis ini. Terdengar sampai
jauh dan hebat pula ketaatan para pasukan Wilis yang
serentak menghentikan pengejaran bahkan mundur dan
tidak mengeluarkan suara berisik. Retna Wilis mengeluarkan pekik ini karena ia melihat munculnya
beberapa orang menghadapinya, di antarnya adalah ibu
kandungnya, Endang Patibroto! Ia memandang tajam,
meneliti seorang demi seorang. Akan tetapi yang maju
mendekatinya hanya empat orang dan karena ia sudah
mengenal ibunya, Joko Pramono, dan Pusporini, maka
dengan mudah ia dapat menduga bahwa pria gagah perkasa
setengah tua yang berpemandangan tajam sekali dan berdiri
di samping ibunya itu tentulah orang yang disebutkan
sebagai ayah kandungnya, yaitu Ki Patih Tejolaksono,
Patih Muda Panjalu! "Retna! Engkau lanjutkan perbuatanmu yang laknat ini?"
Endang Patibroto sudah tidak dapat menahan lagi
kemarahannya, mukanya merah matanya menyinarkan api
dan kedua tangannya mengepal tinju.
"Ibu, sudah kukatakan bahwa apa pun juga tidak akan
dapat menghentikan aku mengejar dan mencapai cita-
citaku," jawab Retna Wilis dengan sikap tenang, sedangkan
di samping dan belakangnya berdiri Wasi Bagaspati, Wasi
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bagaskolo, dan Ni Dewi Nilamanik. Mereka bertiga ini,
terutama sekali Wasi Bagaspati, merasa kecewa dan tidak
senang hatiriya mengapa Retna Wilis menahan pasukannya
yang sudah hampir berhasil menaklukkan Jenggala.
"Engkau bersekutu dengan orang jahat, dan demi
mengejar cita-citamu yang gila untuk menjadi ratu terbesar,
engkau sampai hati untuk mengorbankan nyawa laksaan
orang bahkan sampai hati menentang aku, ibumu sendiri
dan Ki Patih Tejolaksono, ayah kandungmu ini?"
Retna Wilis memandang ayahnya itu dengan sinar mata
memandang rendah, kemudian berkata, "Kalau Ibu tidak
menghendaki jatuh banyak korban yang sudah menjadi hal
wajar dalam perang, Ibu usahakan agar Jenggala dan
Panjalu menakluk kepadaku tanpa perang. Kalau mereka
itu mau mengakui Ratu Wilis sebagai ratu terbesar dan
menjadi kerajaan-kerajaan bawahanku, aku tidak akan
menyerang. Adapun mengenai ........ ayahku, aku merasa
tidak mempunyai seorang ramanda yang sejak kecil bahkan
sejak lahir tidak pernah menjengukku, seorang yang telah
menyia-nyiakan Ibu. Orang seperti itu sepatutnya menjadi
musuhku, bukan ayahku!" Ucapan ini mengandung
kepahitan yang membuat wajah Tejolaksono menjadi
pucat. Endang Patibroto marah bukan main.
"Retna Wilis! Biarlah engkau atau aku yang mati di sini!"
ia sudah akan bergerak menyerang, akan tetapi lengannya
dipegang oleh Ki Patih Tejolaksono.
"Bersabarlah, Diajeng." Kemudian dengan tenang
Tejolaksono menghadapi Retna Wilis dan berkata, "Retna
Wilis, tidak perlu kiranya kami membela diri, karena
memang setiap orang manusia itu tentu mempunyai sifat-
sifat buruk yang dilakukan di waktu ia lupa di samping
sifat-sifat baiknya. Kalau engkau menentang ayah bunda
dan keluargamu, hal itu hanya merupakan penyelewengan
pribadi saja. Akan tetapi apa yang kaulakukan ini, hendak
menaklukkan Jenggala dan Panjalu, keturunan Mataram,
dan bersekutu dengan orang-orang dari kerajaan asing Cola,
benar-benar merupakan pengkhianatan terhadap bangsa
dan tanah air. Apakah gurumu tidak pernah memberi
ajaran tentang ini?"
"Ha-ha-ha! Tejolaksono sejak dahulu sombong dan
keminter (tinggi hati)! Sang Ratu, ayahmu yang tidak patut
menjadi ayah ini malah berani menghina gurumu, Nini
Bumigarba yang mulia!" kata Wasi Bagaspati sambil
tertawa-tawa. Muka Retna Wilis menjadi merah sekali. "Kehadiranku
di sini membawa bala tentara Wilis yang jaya bukan untuk
mengobrol tentang keluarga, melainkan sebagai Ratu Wilis
yang mengadakan perang terhadap Jenggala! Pendeknya,
harap kalian sampaikan pesanku kepada kedua Raja
Jenggala dan Panjalu, bahwa kalau dalam waktu tiga bulan
sejak hari ini kedua raja itu tidak datang menghadap
padaku di Wilis menyatakan takluk, aku akan memimpin
barisan dan menggempur Jenggala dan Panjalu yang akan
kujadikan karang abang (lautan api)!"
Saking marah dan duka hatinya, tiba-tiba Endang
Patibroto mengeluh dan roboh pingsan dalam pelukan
suaminya yang cepat merangkulnya. "Retna Wilis,
beginikah engkau membalas budi orang yang menjadi ibu
kandungmu" Engkau menghancurkan hati ibumu." Tejolaksono berkata sambil memandang penuh penyesalan.
"Bukan aku yang menyuruh dia seperti itu. Mengapa ibu
sendiri tidak membantu aku agar cita-cita anaknya
tercapai?" Retna Wilis mendengus, sedikit pun tidak
kelihatan kasihan atau terharu menyaksikan keadaan
ibunya. Wasi Bagaspati tertawa bergelak, sungguhpun
hatinya amat tidak setuju akan sikap yang diambil Retna
Wilis mengenai Jenggala dan Panjalu. Jenggala sudah
hampir takluk, kalau penyerbuan dilanjutkan, besok pagi
tentu Jenggala sudah terjatuh ke tangan mereka, tinggal
meneruskan penyerbuan ke Panjalu. Akan tetapi daging
yang sudah berada di depan mulut dilepas lagi oleh Retna
Wilis, bahkan diberi waktu tiga bulan. Tentu saja waktu itu
dapat dipergunakan oleh Jenggala dan Panjalu untuk
memperkuat penjagaan! Pusporini melangkah maju, dan menudingkan telunjuknya, kemarahan besar membuat dadanya yang
membusung itu naik turun, matanya seperti mengeluarkan
sinar berapi. "Retna! Tidak ada kejahatan manusia yang
melebihi kejahatan seorang anak mendurhaka terhadap
orang tua, terutama terhadap ibu kandungnya! Perbuatanmu ini akan dikutuk para Dewata !"
"Dinda Pusporini! Jangan berkata demikian!" Tejolaksono membentak dan Joko Pramono juga menarik
tangan isterinya, disuruh mundur. Joko Pramono maklum
betapa sakit dan hancur hati Tejolaksono dan Endang
Patibroto. Betapa ia pun juga, Retna Wilis adalah anak
mereka! Retna Wilis hanya tersenyum dingin mendengar kutukan
bibinya itu, ia lalu mundur dan memerintahkan semua
pasukannya untuk kembali ke Wilis. Biarpun hatinya
merasa kecewa sekali, apalagi kalau diingat bahwa dalam
perang yang singkat itu ia telah kehilangan muridnya, Cekel
Wisangkoro, Wasi Bagaspati terpaksa membawa pula sisa
pasukannya kembali ke Wilis. Betapapun juga tiga bulan
bukanlah waktu yang lama dan kalau sampai kelak Cola
berhasil menguasai Jawadwipa dengan jalan ini, tentu dia
akan menjadi seorang yang amat besar jasanya bagi
negaranya. Di sepanjang jalan mundur ke Wilis, Pasukan
yang merasa sebagai bala tentara yang menang perang,
berpesta pora dengan perampokan harta benda dan
perkosaan wanita di sepanjang jalan keluar masuk dusun.
Sebaliknya, Jenggala berkabung karena kematian banyak
perajurit dan senopatinya, juga berduka dan cepat
mengingat akan ancaman Retna Wilis yang akan
menjadikan Jenggala dan Panjalu karang abang kalau
dalam waktu tiga bulan raja kedua kerajaan itu tidak datang
menghadap ke Wilis menyatakan takluk! Yang paling
prihatin menghadapi ancaman adalah Tejolaksono dan
Endang Patibroto. Tiga hari kemudian, datanglah Bagus Seta menghadap
ramandanya di Jenggala dan kedatangannya disambut
girang oleh Endang Patibroto yang menyandarkan
harapannya kepada pemuda ini, akan tetapi Tejolaksono
menyambut puteranya dengan penyesalan,
"Bagus Seta! Bagaimana baru sekarang engkau datang"
Bagaimana hasilmu membujuk adikmu Retna Wilis" Dia
datang menyerbu dan mendatangkan banyak korban dalam
perang setengah hari lamanya! Ke mana saja engkau pergi?"
Dengan sabar dan tenang Bagus Seta lalu menceritakan
usaha pembujukannya yang gaga!, kemudian berkata,
"Kanjeng Rama, segala peristiwa yang terjadi memang telah
digariskan dan dikehendaki oleh Hyang Widdhi. Malapetaka takkan menimpa manusia kalau tidak
dikehendaki oleh Hyang Widdhi, sungguhpun sebab-
sebabnya timbul dari perbuatan manusia sendiri. Sekarang,
lebih penting kita membiarkan hal yang akan datang
dengan ikhtiar kita sebagai manusia, sekuatnya untuk
mencegah terjadinya hal-hal yang merupakan malapetaka
besar." "Dia mengancam hendak membikin Jenggala dan
Panjalu menjadi karang abang kalau dalam waktu tiga
bulan raja-raja kedua negara ini tidak datang menghadapnya di Wilis dan menyatakan takluk. Betapa
kurang ajarnya bocah itu!" kata Endang Patibroto. "Ah,
puteraku angger Bagus Seta, hanya engkaulah harapan
kami. Apa yang harus kami lakukan" Dia amat sakti
mandraguna, ditambah, bantuan Wasi Bagaspati dan Wasi
Bagaskolo yang sukar ditandingi."
"Menurut pendapat hamba, Retna Wilis telah melakukan
penyelewengan besar dan dia bersama sekutunya merupakan ancaman bagi Jenggala dan Panjalu. Oleh
karena itu, sudah menjadi kewajiban Kanjeng Rama dan
Ibu untuk menyelamatkan negara. Jalan terbaik adalah
mempersiapkan pasukan gabungan dari Jenggala dan
Panjalu, kemudian mendahului mereka menyerbu ke Wilis
sebagai barisan kerajaan yang hendak menumpas daerah
yang memberontak. Dengan demikian, lebih mudah
menghancurkan mereka dalam sarang mereka sendiri.
Kalau hamba tidak salah menafsir, yang menjadi biang
keladi daripada kesemuanya adalah utusan-utusan Cola dan
di samping adinda Retna Wilis tentu ada orang yang
mengatur kesemuanya ini. Hamba akan menyertai barisan
penumpas pemberontak ini."
Tejolaksono setuju sekali, lalu Patih Panjalu ini
menghadap adik iparnya, raja di Jenggala untuk berunding.
Raja Jenggala yang muda tentu saja menurut akan siasat
penumpasan pemberontak Wilis ini, dan ketika Tejolaksono
menghadap Raja Panjalu, kerajaan ini pun setuju. Maka
dalam waktu sebulan saja terbentuklah barisan gabungan
yang terdiri dari pasukan-pasukan pilihan dari Panjalu dan
Jenggala, dipimpin oleh Tejolaksono dan Endang Patibroto
sebagai senopati Panjalu, dan Joko Pramono berdua
isterinya Pusporini sebagai senopati Jenggala. Jumlah bala
tentara gabungan ini tidak kurang dari tiga laksa orang.
Berbeda dengan penyerbuan tentara Wilis ke Jenggala yang
cepat terdengar oleh pihak Jenggala, kini gerakan pasukan
gabungan yang menyerbu ke Wilis ini terjadi dengan diam-
diam dan tidak sampai diketahui pihak Wilis. Hal ini
adalah karena rakyat di sepanjang perjalanan barisan itu
semua mendukung bala tentara Jenggala dan Panjalu yang
bersikap tertib dan tidak pernah mengganggu rakyat
sehingga rakyat malah membantu dan menumpas setiap
mata-mata yang menyelidik.
Karena itu, dapat dibayangkan betapa kagetnya Retna
Wilis, Wasi Bagaspati dan sekutunya ketika tiba-tiba
mendengar pelaporan penjaga di kaki gunung yang
bermuka pucat bahwa gunung Wilis telah dikurung oleh
barisan yang amat besar jumlahnya dari Jenggala dan
Panjalu! Wasi Bagaspati membanting kaki dengan penuh
kegemasan ketika mendengar laporan ini. "Aahhh!"
Bentaknya mencela Retna Wilis. "Inilah akibatnya! Paduka
telah bersikap terlalu lunak terhadap mereka dan ini gara-
garanya karena Paduka masih memandang muka ayah
bunda Paduka. Kalau dahulu kita terus menyerbu Jenggala,
tentu tidak akan terjadi hal seperti yang terjadi sekarang!"
Retna Wilis memandang tajam dan berkata dingin,
"Sang Wasi Bagaspati! Akulah pemimpin tertinggi di Wilis
dan Andika hanya membantuku. Segala keputusan datang
dariku, dan aku yang bertanggung jawab. Kalau kita
sekarang dikurung oleh barisan Jenggala dan Panjalu, apa
Andika kira bahwa kita pasti kalah" Biar aku menemui
pimpinan mereka. Paman Adiwijaya, persiapkan pasukan
pengawal dan perintahkan agar seluruh pasukan siap untuk
menggempur begitu ada perintah dariku!"
"Siap melaksanakan perintah Paduka!" jawab Patih
Adiwijaya yang cepat pergi untuk mentaati perintah
junjungannya. Wasi Bagaspati menjadi merah, akan tetapi
ia hanya memberi isyarat mata kepada Wasi Bagaskolo dan
Ni Dewi Nilamanik untuk menemani Retna Wilis turun
dari puncak menghadapi para pimpinan barisan musuh
sambil mempersiapkan sisa pasukan mereka yang selama
sebulan ini telah digembleng oleh Wasi Bagaspati sendiri
sehingga pasukan yang hanya terdiri dari lima ratus orang
itu merupakan pasukan siluman yang menggiriskan.
Ketika rombongan Ratu Wilis bersama pasukan
pengawalnya ini menuruni puncak, tiba-tiba terdengar suara
halus yang terdengar jelas oleh mereka, datang seperti
dibawa angin lalu, "Retna Wilis, sebelum kami memerintahkan barisan yang mengurung menyerbu, engkau
diberi kesempatan terakhir untuk berunding dengan
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu. Turunlah!"
Suara yang halus lirih namun amat jelas itu
membuktikan bahwa pemiliknya adalah orang yang sakti
mandraguna. Rombongan Retna Wilis mengenal suara ini
dan wajah Wasi Bagaspati berubah.
"Itulah suara Bagus Seta," suaranya agak gemetar. Dia
tidak tahu bahwa Retna Wilis pernah berjumpa dengan
kakaknya itu, "Sang Ratu, dia memiliki kesaktian yang luar
biasa dan kiranya hanya Padukalah yang akan sanggup
menandinginya, dibantu oleh adikku Wasi Bagaskolo.
Adapun mengenai tokoh-tokoh yang lain, serahkan saja
kepada saya. Kalau kita serentak turun tangan apabila
berhadapan dan berhasil membunuh para pimpinan,
dengan sendirinya barisan yang besar itu takkan ada
gunanya lagi dan akan dapat kita hancurkan dengan
mudah." Retna Wilis cemberut. "Sang Wasi, aku akan menemui
mereka dan bagaimana nanti keputusanku, Andika tunggu
dan dengarlah saja."
Wasi Bagaspati tidak membantah lagi, akan tetapi ia
berjalan mendekati Ni Dewi Nilamanik dan Wasi
Bagaskolo, berbisik-bisik merundingkan sesuatu tanpa
diperdulikan oleh Retna Wilis. Sungguhpun ia setuju
dengan siasat kakek itu, akan tetapi hatinya yang angkuh
dan keras tidak menginginkan orang lain mendahuluinya
seolah-olah dia yang harus taat dan dipimpin.
Tak lama kemudian mereka telah saling berhadapan,
para pimpinan Wilis yang turun dari puncak dengan para
pimpinan barisan penyerbu yang menanti di lereng bawah.
Retna Wilis berdiri tegak, rambutnya berkibar tertiup angin,
sikapnya dingin sekali namun sepasang matanya bersinar-
sinar seperti mengeluarkan kilat. Di sampingnya berdiri
Wasi Bagaspati, Wasi Bagaskolo, dan Ni Dewi Nilamanik.
Adiwijaya tidak nampak karena patih yang takut sekali
bertemu dengan Endang Patibroto itu sudah menyelinap di
belakang rombongan dan hanya melihat dan mendengarkan
dari tempat aman dan tidak tampak. Adapun yang berdiri di
bawah adalah Ki Patih Tejolaksono bersama isterinya,
Endang Patibroto. Di sebelah kanan berdiri Bagus Seta dan
sebelah kiri berdiri Joko Pramono dan Pusporini. Barisan
kedua pihak sudah slap siaga dan setiap saat mereka tentu
akan saling gempur begitu ada aba-aba dari atasan mereka.
Keadaan amat gawat dan tegang sehingga tidak ada suara
berisik terdengar. "Retna Wilis!" Terdengar suara Ki Patih Tejolaksono
penuh wibawa. "Wilis telah terkurung rapat oleh barisan
Panjalu dan Jenggala yang jumlahnya jauh lebih besar
daripada seluruh pasukanmu. Akan tetapi, mengingat
bahwa engkau masih muda dan perlu disadarkan, kami
tidak langsung menyerbu, melainkan ingin mengingatkan
bahwa usahamu memberontak ini adalah jalan sesat.
lnsyaflah dan menakaluklah. Kami akan menanggungmu
agar engkau mendapat hukuman ringan dari gusti
sinuwun." "Ki Tejolaksono! Akulah Perawan Lembah Wilis, yang
kini menjadi Ratu Kerajaan Wilis yang jaya! Jangan
mengira aku takut akan kepungan barisanmu. Hanya
kematian yang akan dapat menghentikan aku mencapai
cita-citaku!" "Bocah keparat, tak tahu disayang orang tua! Biar lah
aku akan melihat kematianmu sebagai melihat pecahnya
sebutir telur!" Endang Patibroto berseru, mengangkat
tangan kanannya ke atas dan memekik dengan suara
melengking dahsyat, "Serbu ........!"
Retna Wilis juga mengangkat tangan kanan ke atas,
kemudian terdengar suara lengkingnya yang jauh lebih
nyaring dan tinggi daripada pekik ibunya, "Serbu ?"!"
Bagaikan rombongan-rombongan semut pindah yang
ditiup, barisan kedua pihak bergerak, pasukan-pasukan
Wilis menyerbu dari atas sedangkan pasukan gabungan
Panjalu dan Jenggala menyerbu dari bawah. Pecahlah
perang campuh yang amat hebat, suaranya menggegap-
gempita, seolah-olah menimbulkan gempa bumi di seluruh
permukaan pegunungan Wilis.
Dengan didahului Endang Patibroto, Joko Pramono dan
Pusporini menerjang maju menyerang Retna Wilis. Sejenak
Tejolaksono ragu-ragu dan mengeluh sambil menengadah,
"Ya Dewa Yang Maha Agung! Anakku ........ mengapa
begini" Dewa ........ ampuni dosa-dosa hamba !l" kemudian,
teringat akan kewajibannya, ia pun mengeraskan hati dan
ikut menerjang maju. Retna Wilis menyambut terjangan
empat orang keluarganya itu dengan kelincahan tubuhnya
yang mengelak ke kanan kiri.
Wasi Bagaspati dan Wasi Bagaskolo, sesuai dengan
rencana mereka, cepat maju untuk menandingi Tejolaksono
dan keluarganya, akan tetapi tiba-tiba menyambar
bayangan putih dan terdengar suara halus, "Orang luar
tidak boleh mencampuri pertikaian antara keluarga. Akulah
lawan kalian, Wasi Bagaspati dan Wasi Bagaskolo!"
Melihat Bagus Seta menghadang di depannya, kedua
orang kakek ini menjadi marah. Wasi Bagaspati maklum
akan kesaktian pemuda ini yang pernah mengalahkannya,
akan tetapi karena sekarang di sampingnya ada adik
seperguruannya, dia tidak takut. Apalagi melihat bahwa di
situ terdapat pula Retna Wilis yang tentu akan
membantunya menghadapi lawan tangguh ini. Maka ia
berteriak keras dan bersama adik seperguruannya ia
menerjang maju, disambut dengan tenang oleh Bagus Seta.
Adapun Ni Dewi Nilamanik yang maklum pula bahwa dia
bukanlah tandingan Bagus Seta, segera maju menyerbu dan
membantu Retna Wilis menghadapi empat orang keluarganya sendiri. Joko Pramono yang merasa agak segan untuk ikut
mengeroyok Retna Wilis karena ia merasa bahwa dia
hanyalah paman luar dari dara itu, cepat menyambut Ni
Dewi Nilamanik sehingga terjadi pertandingan seru di
antara mereka, sedangkan Retna Wilis dikeroyok oleh ayah
bunda dan bibinya. Adiwijaya yang tidak berani memperlihatkan diri di
depan Endang Patibroto, merasa gelisah sekali, akan tetapi
ia sibuk mengatur barisan untuk menyambut serbuan
pasukan musuh yang datang bergelombang seperti angin
taufan mengamuk. Namun, ia tidak pernah terlalu jauh
meninggalkan Retna Wilis dan selalu memperhatikan
keadaan junjungannya yang dipuja dan dikasihinya itu.
Namun segera ternyata bahwa barisan Wilis kewalahan
menghadapi serbuan barisan yang jauh lebih besar
jumlahnya itu. Apalagi karena di antara barisan Panjalu
terdapat tiga orang tokoh Wilis, yaitu Limanwilis,
Lembuwilis dan Nogowilis yang telah memberi gambaran
dan penjelasan kepada pasukannya tentang keadaan di
pegunungan ini sehingga barisan yang mereka pimpin dapat
maju dengan mudah karena telah mengenal keadaan
pegunungan itu. Mulailah terjadi banjir darah dan mayat
bertumpuk-tumpuk, ada yang terguling ke dalam jurang.
Pekik dan sorak bercampur aduk membubung tinggi ke
angkasa. Ni Dewi Nilamanik terdesak hebat oleh terjangan-
terjangan Joko Pramono. Wanita sakti ini telah
menggunakan sebuah kebutan baru dan ia berusaha
membendung serangan Joko Pramono yang membanjir,
namun tetap saja ia terdesak hebat dan tidak mampu
membalas sedikit pun juga terhadap patih muda dari
Jenggala ini. Bahkan dua kali ia telah kena diserempet
pukulan pada pundaknya sehingga ia terhuyung dan hampir
roboh. "Retna Wilis, bantulah aku .......!" Berkali-kali ia
berteriak minta bantuan Ratu Wilis yang bertempur tak
jauh dari situ. Akan tetapi Retna Wilis seolah-olah tidak
mendengarnya, atau tidak memperdulikannya.
Retna Wilis sendiri bertanding seperti orang mimpi,
seperti orang bingung. Melihat pukulan-pukulan ampuh
yang dipergunakan ayah bunda dan bibinya terhadap
dirinya, ia hanya mengelak dan kadang-kadang kalau
terpaksa karena tidak sempat mengelak, ia mengangkat
tangan menangkis. Setiap kali menangkis, Tejolaksono atau
Endang Patibroto, bahkan Pusporini sendiri yang memiliki
kesaktian hebat, tentu terpelanting dan merasa lengan yang
tertangkis seperti lumpuh. Kalau Retna Wilis menghandaki,
tentu dengan mudah ia akan dapat merobohkan dan
menewaskan tiga orang pengeroyoknya. Apalagi kalau ia
mau mencabut pedang pusaka Sapudenta. Akan tetapi, dara
perkasa ini tidak mau melakukannya, bahkan ia menjadi
bingung dan segan. Berkali-kali ia berkata lirih,
"Aku tidak suka menyakiti kalian ........ tidak mau
membunuh kalian .......!" Ucapannya berkali-kali yang
keluar dari lubuk hatinya ini tidak diperdulikan oleh
Tejolaksono, Endang Patibroto, dan Pusporini yang sudah
marah sekali. Dara ini, biarpun merupakan anak dan
keponakan yang dekat, yang mereka sayang, harus
dibinasakan karena telah menimbulkan bencana perang
yang hebat. Kini mereka bertiga berjuang untuk
mengalahkan seorang musuh yang jahat dan berbahaya,
bukan lagi merasa berhadapan dengan seorang anak dan
keponakan. Karena pihak Retna Wilis hanya mengelak
dan kadang-kadang menagkis
tanpa balas menyerang, maka
pertandingan itu berlangsung
lama dan aneh. Yang tiga orang terus menerjang dan
mengirim serangan maut, yang dikeroyok hanya meloncat ke sana-sini dan
menagkis, seolah-olah mempermainkan tiga orang pengeroyoknya. Pertandingan antara Bagus
Seta yang dikeroyok dua oleh Wasi Bagaspati dan Wasi
Bagaskolo, juga terjadi amat seru dan hebatnya, bahkan
lebih hebat daripada perang campuh itu sendiri karena
masing-masing selain mengeluarkan kedigdayaan, juga
mengerahkan aji kesaktian yang mujijat. Wasi Bagaspati
mendorongkan kedua telapak tangannya ke depan dan asap
hitam bergumpal-gumpal menyambar ke arah Bagus Seta.
Namun pemuda ini dengan tenang juga mendorongkan
telapak tangan kirinya dan asap hitam itu membuyar
lenyap, bahkan menyambar kembali ke arah Wasi
Bagaspati sendiri. Wasi Bagaskolo memekik dan dari
mulutnya menyambar uap panas, namun Bagus Seta
menghalau uap panas dengan tiupan mulutnya. Ketika
Wasi Bagaspati memekik dan mengeluarkan api menyala-
nyala dari mulut dan kedua tangannya, lidah api menjilat-
jilat ke arah Bagus Seta, panasnya melebihi kawah, Bagus
Seto meloncat ke atas dan kedua telapak tangannya
mengeluarkan hawa dingin yang serentak memadamkan api
itu. Karena selalu dapat dipunahkan segala ilmu yang
dikeluarkan, bahkan mereka itu beberapa kali terdorong
mundur oleh hawa pukulan yang panas dan ampuh, yang
menyambar keluar dari telapak kedua tangan Bagus Seta,
berkali-kali, seperti halnya Ni Dewi Nilamanik, Wasi
Bagaspati berteriak-teriak,
"Retna Wilis, lekas bantu kami .......!"
Namun teriak-teriakannya tidak didengar atau tidak
diperdulikan oleh Retna Wilis yang masih selalu mengelak
dan menangkis hujan serangan ayah bunda dan bibinya.
Melihat ini. Wasi Bagaspati berseru marah, "Retna Wilis,
engkau berpihak kepada siapakah" Robohkan mereka dan
bantu kami menewaskan bocah ini, baru cita-citamu
berhasil!" "Hemm, belum lecet kulitmu, belum patah tulangmu.
Beginikah sikap seorang perajurit?" Bagus Seta mencela.
"Babo-babo, Bagus Seta! Jangan sombong, lihat
senjataku!" Tangan Wasi Bagaspati bergerak dan senjata
cakra yang mencorong cahayanya telah dipegangnya. Alga
Wasi Bagaskolo telah mencabut keluar sebuah senjata keris
berwarna hitam yang ber-eluk tiga dan gagangnya diukir
gambar kepala Bathara Kala. Keris hitam ini tidak
mencorong cahayanya, akan tetapi begitu tercabut, tercium
bau yang amis seperti darah dan busuk seperti bangkai.
"Sungguh sayang senjata yang ampuh disalahgunakan!"
kata Bagus Seta dan ketika kedua tangannya bergerak,
tangan kirinya telah memegang setangkai bunga cempaka
putih dan tangan kanannya telah melolos tali sutera
pengikat rambutnya. Kini rambut yang tadinya digelung ke
atas itu terlepas dan terurai di kanan kiri kepalanya,
menutupi pundak, sebagian ke depan dan sebagian ke
belakang. Wajah yang tampan itu kelihatan agung dan
berwibawa, namun penuh ketenangan dan kehalusan.
Sang Wasi Bagaspati menerjang maju dengan senjata
cakra di tangan, menghantam dada, sedangkan dari sebelah
kanan, Wasi Bagaskolo menusukkan kerisnya ke lambung
kanan pemuda itu. Bagus Seta tidak bergerak dari
tempatnya, hanya mengembangkan kedua tangan, kembang
cempaka putih menangkis cakra, sutera pengikat rambut
melecut dan menangkis keris. Empat buah senjata aneh itu
tidak sampai bersentuhan, akan tetapi seolah-olah ada hawa
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang amat kuat keluar dari benda-benda keramat itu dan
bertumbukan sehingga terdengar suara meledak-ledak.
Wasi Bagaspati dan Wasi Bagaskolo terdorong mundur,
memandang dengan mata terbelalak, hampir tidak kuat
menentang lama-lama sinar yang memancar dari sepasang
mata Bagus Seta, mereka menggerakkan kaki mundur-
mundur perlahan. Pada saat itu terdengar teriakan nyaring
yang keluar dari mulut Ni Dewi Nilamanik,
"Retna Wilis ........ tolong ........ !!!"
Ni Dewi Nilamanik telah jatuh terjengkang disambar
tendangan Joko Pramono, kebuatannya mencelat dan kini
Joko Pramono sudah meloncat maju untuk mengirim
pukulan maut yang terakhir ketika Ni Dewi Nilamanik
menjerit minta tolong kepada Retna Wilis saking takutnya
menyaksikan jangkauan tangan maut yang hendak
mencabut nyawanya. Jerit melengking itu seolah-olah menyadarkan Retna
Wilis dari keadaannya yang seperti dalam mimpi. ia
terkejut, sekaligus menangkis pukulan tiga orang pengeroyoknya sehingga Tejolaksono, Endang Patibroto
dan Pusporini terlempar ke belakang, kemudian tubuh
Retna Wilis melesat ke dekat Ni Dewi Nilamanik dan sekali
tangannya mendorong ke depan, tidak saja pukulan maut
Joko Pramono tertangkis, bahkan tubuh Patih Muda
Jenggala ini pun terlempar dan terbanting ke atas tanah
dalam keadaan nanar dan matanya berkunang!
Endang Patibroto memekik marah, lalu bersama-sama
Tejolaksono dan Pusporini, ia menerjang maju menghantam Retna Wilis dengan aji pukulannya yang
paling ampuh, yaitu Wisangnolo, sedangkan Tejolaksono
memukul dengan pukulan Bojrodahono, dan Pusporini
menampar dengan aji pukulan Pethit Nogo. Kini dalam
keadaan marah sekali, tiga orang gagah ini sekaligus
menyerang dengan sepenuh tenaga.
"Buk, plak, plak!" Tiga pukulan itu diterima oleh Retna
Wilis yang mengerahkan kesaktiannya, dan kedua
tangannya mendorong. Tubuhnya terkena hantaman tiga
pukulan sakti itu dan tergetar, akan tetapi tiga orang
lawannya terlempar seperti daun kering tertiup angin dan
terbanting roboh keras sekali dalam keadaan pingsan!
"Terlalu ......!" Bagus Seta berkelebat datang, namun
terlambat karena tiga orang sakti itu telah terlempar.
Melihat kedatangan Bagus Seta, Retna Wilis kembali
mendorongkan kedua tangannya. Bagus Seta menerima
dengan telapak tangan pula.
"Dessss!" Kini tubuh Retna Wilis yang terpental ke
belakang dan roboh terguling. Pada saat itu terdengar pekik
nyaring sekali yang keluar dari mulut Wasi Bagaspati dan
tiba-tiba tempat itu menjadi gelap oleh uap hitam seperti
mendung tebal. Para perajurit Jenggala dan Panjalu
menjadi panik, apalagi ketika dari gumpalan uap hitam itu
menyambar-nyambar kilat yang merobohkan. banyak
orang, dan terdengar desis menyeramkan dari ratusan ekor
ular yang merayap-rayap dan menyerang perajurit-perajurit
itu! Mereka menjadi ketakutan, menjerit-jerit dan ada pula
yang lari. Bagus Seta cepat memejamkan mata mengerahkan
kekuatan batinnya, kemudian bertepuk tangan tiga kali.
Tepukan tangan ini menimbulkan bunyi seperti guntur
menggelepar dan seketika lenyaplah uap hitam yang
ditimbulkan oleh ilmu hitam Wasi Bagaspati, dan ular-ular
yang diciptakan Wasi Bagaskolo kini ternyata hanya
segenggam daun kamboja kering! Para perajurit tidak panik
lagi dan dengan penuh semangat mereka menyerbu ke atas.
Bagus Seta memandang dan ternyata Retna Wilis, Wasi
Bagaspati, Wasi Bagaskolo dan Ni Dewi Nilamanik telah
lenyap dari situ. Akan tetapi dia tidak ingin mengejar
karena ia harus cepat menolong Tejolaksono, Endang
Patibroto, dan Pusporini yang masih pingsan. Joko
Pramono juga cepat menghampiri isterinya.
Setelah memeriksa sebentar, Bagus Seta menarik napas
panjang. "Hebat sekali tenaga saktinya, akan tetapi syukur
kepada Dewata bahwa dia tidak sampai membunuh ayah
bundanya sendiri. Paman, harap jangan khawatir. Mereka
hanya pingsan oleh getaran hawa sakti, sebentar lagi tentu
siuman kembali." Benar saja, tak lama kemudian tiga orang sakti itu
siuman dan tidak mengalami luka. Mereka lalu memimpin
pasukan menyerbu terus ke puncak Wilis. Bala tentara
Wilis yang kehilangan pimpinan, bahkan Patih Adiwijaya
juga lenyap tanpa pamit, segera membuang senjata dan
berlutut, menakluk. Tejolaksono lalu memerintahkan Limanwilis, Lembuwilis, dan Nogowilis untuk mengatur keadaan Wilis
dan memulihkan keamanan, karena ketiga orang tokoh itu
lebih mengenal keadaan. Kemudian ia membicarakan
tentang lenyapnya Retna Wilis.
"Apakah yang terjadi, Puteraku?" tanyanya kepada
Bagus Seta. "Bagaimana Retna Wilis dapat lenyap?"
Bagus Seta menceritakan keadaan tadi dan dia sendiri
tidak tahu ke mana perginya Retna Wilis, kedua orang
Wasi, dan Ni Dewi Nilamanik. Seorang di antara Para
perajurit taklukan yang ditanya segera mengaku bahwa tadi
ia melihat Retna Wilis dalam keadaan pingsan dipondong
pergi oleh Wasi Bagaspati yang melarikan diri bersama
Wasi Bagaskolo, Ni Dewi Nilamanik dan Ki Patih
Adiwijaya, memimpin pasukan siluman yang terdiri dari
beberapa ratus orang, menuju ke selatan.
"Kita harus mengejarnya! Aku amat mengkhawatirkan
keadaan Retna Wilis," kata Tejolaksono mengerutkan
kening. "Hemm, bocah durhaka macam itu perlu apa ditolong"
Biarkan dia bersama sekutunya yang jahat!" dengus Endang
Patibroto dengan hati sakit.
Tejolaksono memegang kedua pundak isterinya dan
memaksa isterinya bertemu pandang dengan dia. "Diajeng,
betapa mungkin hati orang tua menegakan anaknya" Aku
tahu bahwa engkau pun hanya terdorong oleh kemarahan,
akan tetapi di dasar hatimu, engkau amat mencinta puteri
kita itu ........" Endang Patibroto tersedu dan menyembunyikan muka di
dada suaminya, menangis terisak-isak. Joko Pramono dan
Pusporini memandang penuh keharuan. Bagus Seta
menghela napas panjang. "Memang tepat apa yang diucapkan Kanjeng Rama. Kita
harus menolongnya, bukan semata-mata karena dia
keluarga kita, melainkan terutama sekali untuk menghalangi perbuatan keji manusia sesat seperti Wasi
Bagaspati dan kawan-kawannya. Marilah kita mengejar ke
selatan sebelum terlambat."
Serentak keluarga yang sakti itu berangkat mengejar,
menuju ke selatan, tidak ingat lagi akan tubuh mereka yang
lelah sehabis mengalami pertandingan yang dahsyat itu.
-oo(mch-dwkz)oo- Apakah yang telah terjadi dengan Retna Wilis" Ke mana
perginya" Seorang yang memiliki watak keras, angkuh, dan
aneh sekali seperti dara perkasa itu memang tidak mungkin
kalau melarikan diri menghadapi kekalahan dalam
pertandingan. Endang Patibroto maklum akan hal ini
karena dia sendiri pun dahulu merupakan seorang wanita
keras hati yang tidak pernah mau kalah atau menyerah,
apalagi melarikan diri! Padahal watak puterinya lebih keras
lagi, dan jauh lebih aneh.
Memang Retna Wilis sama sekali tidaklah melarikan
diri, melainkan dilarikan oleh Wasi Bagaspati. Kakek ini
sejak pertama kali dikecewakan Retna Wilis, yaitu ketika
mereka menyerbu ke Jenggala dan Retna Wilis tidak mau
terus menduduki Kota Raja Jenggala, telah menaruh curiga
kepada Retna Wilis. Diam-diam ia menyatakan ketidakpuasan hatinya itu kepada Wasi Bagaskolo dan Ni
Dewi Nilamanik, menyatakan bahwa sungguhpun Retna
Wilis memiliki kesaktian yang boleh diandalkan, namun
dara itu bukan merupakan sekutu yang baik dan masih
mempunyai hati sungkan dan sayang kepada keluarganya,
maka ia memesan agar pembantu-pembantunya berhati-
hati. Ketika barisan Jenggala dan Panjalu datang menyerbu,
diam-diam ia sudah mengatur siasat dengan para
pembantunya, menyatakan bahwa apabila keadaan tidak
menguntungkan, agar melarikan diri dan ia akan berusaha
menculik Retna Wilis. Maka ketika ia melihat bahwa tepat
seperti dugaannya, Retna Wilis yang menghadapi ayah
buda dan bibinya itu tidak bertanding sungguh-sungguh,
tidak mau membunuh mereka, bahkan tidak mau
membantu kedua orang kakek melawan Bagus Seta, apalagi
ketika ternyata betapa barisan Wilis tidak mampu
membendung penyerbuan barisan musuh yang jauh lebih
kuat, Wasi Bagaspati lalu mempergunakan siasat. Dia harus
mengakui bahwa menculik seorang yang sakti mandraguna
seperti Retna Wilis bukanlah hal yang mudah. Akan tetapi
ia melihat kesempatan yang baik ketika Retna Wilis
terlempar dalam benturan tenaga sakti melawan Bagus Seta.
Maka ia menggunakan ilmu hitamnya, membuat tempat itu
menjadi gelap oleh awan hitam, kemudian secepat kilat ia
mendekati Retna Wilis yang roboh terguling dan masih
pening itu dan menggunakan kesaktiannya untuk mengetok
tengkuk Retna Wilis dengan jari tangannya sehingga dara
perkasa yang sudah nanar dan tidak menyangka-nyangka
karena mengira bahwa kakek itu hendak menolongnya,
menjadi pingsan. Dengan mudah Wasi Bagaspati lalu
memondong tubuh Retna Wilis, kemudian pergi melarikan
diri bersama Wasi Bagaskolo, Ni Dewi Nilamanik, dan
Adiwijaya yang telah berhasil menarik kepercayaan Wasi
Bagaspati. Karena kakek ini menganggap bahwa Adiwijaya
seorang yang cerdik dan pandai mengatur siasat, pula yang
telah ia ketahui "sepak terjangnya" semenjak menjadi Patih
Warutama di Jenggala, maka ia tidak ragu-ragu lagi bahwa
Adiwijaya bukanlah orang setia kepada Retna Wilis. Dalam
hal ini, Wasi Bagaspati telah salah duga dan kembali
membuktikan pandainya Adiwijaya bermain sandiwara
sehingga seorang seperti Wasi Bagaspati yang sudah
kawakan dan berpengalaman pun dapat ia kelabui.
Sebelah utara pantai laut selatan terdapat barisan
gunung-gunung, yang memanjang dari barat sampai ke
utara dan lajim disebut pegunungan Seribu. Memang amat
banyak gunung-gunung dalam barisan ini, sukar dihitung
jumlahnya dan mungkin lebih dari seribu gunung kecil-kecil
yang sebagian besar adalah gunung batu gamping.
Kekuasaan alam memang hebat dan aneh. Barisan gunung
Seribu ini seolah-olah merupakan tanggul yang menjaga
daratan Pulau Jawa agar jangan sampai diamuk ombak laut
kidul yang dahsyat! Sisa pasukan yang melarikan diri bersama Wasi
Bagaspati bersembunyi di sebuah di antara pegunungan ini,
di daerah yang tidak begitu tandus sehingga mereka dapat
tinggal di sutu tanpa dapat dilihat orang dari jauh. Retna
Wilis yang dilarikan Wasi Bagaspati juga dibawa ke gunung
kecil ini. Dalam perjalanan melarikan diri, Retna Wilis
telah diberi minum jamu buatan Ni Dewi Nilamanik yang
disebut "madu perampas semangat", sehingga ketika Retna
Wilis siuman dari pingsannya, ia seperti orang yang tidak
mempunyai semangat dan kemauan lagi. Ia lupa segala dan
hanya menurut apa yang dikatakan Ni Dewi Nilamanik
atau Wasi Bagaspati. Adiwijaya yang menyaksikan keadaan
junjungannya itu, menjadi gelisah dan prihatin sekali. Akan
tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa dan ia setiap saat
memutar otak untuk mencari akal agar dapat membebaskan
Retna Wilis. Kalau saja tidak untuk membela gadis itu,
tentu dia tidak sudi ikut melarikan diri bersama Wasi
Bagaspati, dan sudah pergi sendiri merantau ke tempat
jauh. Namun, tak mungkin ia dapat meninggalkan Retna
Wilis dan kalau perlu ia berani mempertaruhkn nyawa
untuk menyelamatkan dara itu. Tentu saja ia tidak mau
berbuat sembrono mempergunakan kekerasan, karena kalau
hal ini ia lakukan, ia tidak akan berhasil menyelamatkan
Retna Wilis, juga berarti ia hanya akan mengorbankan
nyawa dengan sia-sia belaka. Ia harus menggunakan akal,
dan memang amatlah sukar untuk melawan orang-orang
yang sakti dan cerdik seperti Wasi Bagaspati dan kawan-
kawannya. ia harus menanti kesempatan baik untuk itu.
Retna Wilis bersandar di batang pohon dalam keadaan
terikat. Ia menundukkan mukanya yang agak pucat,
tubuhnya lemas dan pandangan matanya tidak hidup,
seperti mata orang mimpi atau termenung dalam sekali. Ia
berada dalam pengaruh jamu yang setiap hari diminumkan
kepadanya secara paksa oleh Ni Dewi Nilamanik. Biarpun
dara perkasa ini sudah tidak berdaya karena semangatnya
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tertutup atau seperti dirampas ramuan jamu mujijat itu,
namun Ni Dewi Nilamanik yang gentar menghadapi
kesaktian Retna Wilis masih merasa perlu untuk
membelenggunya. Pada saat itu, Ni Dewi Nilamanik duduk di atas batang
pohon yang telah ditebang, bersama Wasi Bagaspati, di
depan Retna Wilis yang terikat di pohon. Wasi Bagaspati
kelihatan muram wajahnya dan ia mendengarkan
keterangan yang diberikan oleh Ni Dewi Nilamanik.
"Dia ini memang hebat sekali, Kakangmas Wasi!
Semangat dan kemauannya dapat kupengaruhi, akan tetapi
nafsunya tak dapat kubangkitkan. Sudah banyak jamu
kuminumkan, bahkan madu asmara sudah banyak ia
minum, akan tetapi keadaannya sama saja. Ia tidak
terangsang. Lalu bagaimana baiknya?"
Dengan wajah murung Wasi Bagaspati mengelus
jenggotnyaa. "Sudah tiga hari kita berada di sini. Kalau
sampai mereka datang menyusul, kita bisa celaka. Aku
harus dapat menguasai bocah ini, karena dengan bantuan
kesaktiannya, baru aku akan dapat menghadapi si keparat
Bagus Seta, bersama adi Bagaskolo. Akan tetapi kalau dia
ini tidak dapat dikuasai, tentu celaka. Hemm ........ , siapa
tahu keadaan hati bocah ini. Kalau ia membalik,
mengkhianati dan melawan kita, bisa konyol kita! Daripada
demikian, lebih baik kubunuh saja dia sekarang!"
Ni Dewi Nilamanik mengerlingkan matanya yang indah
dan bibirnya yang merah merekah. "Kakangmas Wasi, dari
dulu juga aku tidak suka kepadanya dan menaruh curiga.
Memang kurasa lebih baik dibunuh saja bocah ini, karena
kelak hanya akan menimbulkan kesusahan saja bagi kita."
Tiba-tiba Wasi Bagaspati menoleh ke arah pohon-pohon
di belakangnya dan membentak, "Siapa di sana?""
Pendengaran kakek ini memang tajam sekali sehingga ia
dapat mendengar suara napas Adiwijaya yang tersentak
kaget mendengar betapa Retna Wilis akan dibunuh.
Adiwijaya cepat muncul keluar dan menghadap mereka,
duduk di atas tanah. "Saya sengaja mencari Paduka, karena merasa cemas
mengapa sampai sekarang masih belum diambil keputusan
mengenai bocah liar ini." Ia menuding ke arah Retna Wilis
yang masih menunduk seolah-olah tidak mendengar apa
yang dibicarakan di depannya. "Kalau tidak segera diambil
keputusan mengenai dirinya, tentu akan berbahaya sekali.
Saya berani bertaruh bahwa saat ini pihak Panjalu dan
Jenggala tentu sedang berusaha keras untuk mencari kita
dan menolongnya." Wasi Bagaspati termenung dan mengomel, "Memang
aku dan Ni Dewi sedang membicarakan tentang dia. Aku
mengambil keputusan untuk membunuh saja bocah ini!"
Sambil berkata demikian, kakek itu menatap wajah
Adiwijaya dengan penuh perhatian, amat tajam dah seolah-
olah hendak menjenguk isi hati Adiwijaya. Laki-laki ini
menekan keras batinnya yang terguncang dan dia
menggeleng-geleng kepala.
"Kalau saja ia tidak berguna, memang lebih baik
dibunuh. Akan tetapi kalau dia dibunuh, rencana kita akan
macet semua, Sang Wasi. Kita sudah kehilangan banyak
tenaga pembantu yang cakap, bahkan Cekel Wisangkoro
pun sudah gugur. Bocah ini merupakan tenaga yang amat
cakap, memiliki kesakitan yang kiranya akan dapat
menandingi Bagus Seta. Kalau dibunuh, berarti kita
merugikan diri sendiri."
"Hemm, kalau begitu, menurut pendapatmu bagaimana
baiknya?" Sejenak Adiwijaya bingung. Dia pun tidak tahu
bagaimana baiknya dan tadi ia mengeluarkan kata-kata itu
hanya untuk mencegah gadis ini dibunuh. Otaknya bekerja
cepat. Pokoknya asal gadis ini terhindar daripada bahaya
maut lebih dulu, pikirnya.
"Bukankah saya telah menganjurkan agar Paduka
menundukkan dia dengan pengaruh kesaktian Paduka, agar
dia menjadi isteri Paduka sehingga dengan demikian dia
akan membantu segala usaha Paduka dengan penuh
kesetiaan?" "Aahhh, usaha itu telah kami lakukan," kata Ni Dewi
Nilamanik sambil memandang wajah Adiwijaya yang
masih tampan dan gagah itu. "Sudah banyak obat guna-
guna kumasukkan, akan tetapi agaknya dasar hati bocah ini
masih terlalu kosong dan bersih sehingga tidak mempan.
Jamu-jamu perangsang pun tidak ada gunanya, agaknya dia
tidak mempunyai nafsu berahi!"
Adiwijaya memandang Ni Dewi Nilamanik dengan hati
ngeri dan bulu tengkuk meremang. Betapa cantiknya wanita
ini dan dia sendiri sudah beberapa, kali merasakan
kelembutan dan kenikmatan bersama wanita cantik ini
berenang dalam cinta, bersama-sama mereguk madu
asmara yang memabukkan. Betapa indah sepasang mata
itu, betapa menggairahkan dan menantang mulut yang
merah itu, betapa halus kuning kulitnya. Akan tetapi betapa
keji hatinya. Teringat Adiwijaya akan buah mangga yang
melihat kehalusan dan warna kulitnya menimbulkan gairah,
akan tetapi yang kemudian ternyata betapa di balik kulit
yang halus kemerahan dan sedap maunya itu tersembunyi
daging busuk yang masam dan banyak ulatnya! Betapapun
benci hatinya mendengar perlakuan wanita ini terhadap
Retna Wilis, ia memaksa diri tersenyum dan berkata,
"Ni Dewi, dan Sang Wasi. Betapapun juga, harus
diusahakan agar bocah liar ini dapat tunduk dan menurut
kepada Paduka. Dengan kekerasan kita gagal, namun kalau
dia ini dapat dikuasai, kemudian secara halus Paduka,
dibantu oleh Sang Wasi Bagaskolo, dan Retna Wilis ini
mendatangi Panjalu dan Jenggala, membunuh para tokoh
yang berkuasa di sana, saya kira tidak akan sukar lagi kalau
kemudian kita mengerahkan barisan untuk menaklukkan
dua kerajaan itu. Saya sendiri sanggup untuk menghimpun
pasukan yang cukup besar."
"Akan tetapi bagaimana" Dia tidak mudah dipengaruhi
guna-guna ........ " kata kakek itu kehilangan akal karena
belum pernah ia menghadapi seorang korban yang begini
ulet seperti Retna Wilis.
"Mengapa tidak dapat, Sang Wasi" Saya pernah
menyaksikan pengaruh gaib yang datang mempengaruhi
jiwa para wanita di waktu diadakan upacara pemujaan
Sang Bathari Durgo. Mengapa tidak mengandalkan
kekuasaan dan bantuan Sang Bathari" Andaikata pengaruh
gaib itu masih tidak mempan, Paduka dapat melakukan
kekerasan dan saya rasa, sekali dia ini telah Paduka renggut
kehormatan tubuhnya, kemudian saya sendiri akan
mempengaruhinya dengan nasehat-nasehat, percayalah, dia
boleh dibebaskan dari pengaruh jamu perampas semangat
dan dalam keadaan sadar itu dia tentu akan tunduk. Kalau
dia, biarpun terjadi di luar kehendaknya, telah menjadi
isteri Paduka, dan mendengarkan nasehat-nasehat saya,
kiranya dia akan melihat kenyataan bahwa tidak ada jalan
lain baginya kecuali melanjutkan cita-citanya dengan
bantuan Paduka Sang Wasi."
Wasi Bagaspati mengangguk-angguk dan lenyaplah
sedikit kecurigaannya terhadap Adiwijaya yang muncul
secara tiba-tiba itu. "Kurasa benar apa yang ia katakan itu,
Ni Dewi. Buatlah persiapan, malam nanti kita adakan
upacara pemujaan Sang Bathari dan kita lihat hasilnya!"
"Akan tetapi, malam hari ini bulan belum purnama,
Kakangmas Wasi, dan pengaruh hikmat itu tidaklah amat
kuat ?""."
"Tidak apa. Kalau terlalu lama ditunda, khawatir
terlambat. Siapa tahu Bagus Seta sudah mencari sampai
dekat tempat ini. Andaikata tidak berhasil, masih belum
terlambat untuk membunuhnya!"
Demikianlah, pada malam hari itu, di sebuah lapangan
terbuka di puncak gunung kecil, dikelilingi pohon-pohon
jarang yang tumbuhnya tidak subur di daerah kapur itu,
diadakan tari-tarian seperti biasa dilakukan pada upacara
pemujaan Sang Bathari Durgo. Sebuah arca Bathari Durgo
berdiri di sudut, di samping kiri kursi tempat duduk Sang
Wasi Bagaspati. Karena mereka tidak ingin menarik
perhatian, maka dalam upacara tari-tarian ini tidak diitingi
suara gamelan, melainkan diiringi suara wanita-wanita
cantik bertembang dengan tepuk tangan dan berkerincingnya gelang kaki. Upacara tari-tarian ini amat
sederhana, akan tetapi karena sekali ini yang menari-nari, di
samping tiga orang gadis cantik, juga diikuti oleh Ni Dewi
Nilamanik sendiri yang ternyata amat pandai menari
dengan pakaian setengah telanjang sehingga tampak lekuk-
lengkung tubuhnya yang menggairahkan dan amat
mengherankan karena usianya yang sudah tua itu ternyata
tidak menghilangkan keindahan tubuhnya, maka tari-tarian
itu amat menggairahkan. Selain Ni Dewi Nilamanik dan
tiga orang pembantunya, juga tampak seorang gadis yang
amat cantik jelita, kecantikannya cemerlang dan menyuramkan kecantikan wanita lain, bahkan Ni Dewi
Nilamanik kelihatan tidak menarik. Akan tetapi sungguh
sayang, kalau Ni Dewi Nilamanik dan tiga orang
pembantunya menari-nari dengan gerakan lemah-gemulai
dan menimbulkan rangsangan berahi dengan gerakan-
gerakan leher, pundak, perut, dan pinggul, adalah dara
cantik ini menari-nari dengan gerakan lucu dan kaku. Dia
bukan menari, melainkan bersilat! Kalau empat orang
penari lain melakukan gerakan dengan lengan lemas seperti
orang melambai dan mengajak disertai senyum memikat,
dara ini menggerakkan tangan ke depan dengan kaku, jari-
jarinya terbuka dan bukan melambai, melainkan lebih tepat
memukul atau menampar musuh! Kalau penari yang
membuang sampur ke sisi dengan gerakan lincah dan mata
mengerling mulut tersenyum, dara ini membuang lengan ke
sisi dengan gerakan cepat seperti orang menangkis pukulan
atau tendangan lawan! Dara cantik jelita yang memiliki
tubuh indah menggairahkan seperti bunga sedang mekar
atau buah sedang ranum ini bukan lain adalah Retna Wilis.
Ni Dewi Nilamanik menari-nari di depan Retna Wilis,
membujuk-bujuk dan memberi contoh gerakan tari yang
dikuti dengan patuh oleh Retna Wilis dengan gerakannya
yang kaku. Dari tempat duduknya, Wasi Bagaspati yang
mengenakan pakaian merah serba baru itu memandang
penuh perhatian dan ia tersenyum gembira. Biarpun tarian
dara perkasa itu tidak indah, namun gerakan-gerakan
tubuhnya membayangkan kelemasan dan kelembutan yang
tersembunyi tenaga mujijat. Melihat betapa mulut yang
segar dan manis itu mulai tersenyum-senyum, dengan hati
girang Wasi Bagaspati mengerti bahwa biarpun tidak
sepenuhnya, namun dara itu mulai terkena pengaruh
hikmat gairah nafsu berahi yang amat merangsang di saat
itu, terbawa oleh asap dupa dan dibangkitkan oleh tari-
tarian yang membayangkan dorongan nafsu berahi. Ia akan
berhasil, pikirnya. Kalau Retna Wilis menyerahkan
kehormatannya tanpa paksaan, tentu dara ini setelah sadar
akan tunduk dan mudah ia kuasai.
Tari-tarian mencapai puncaknya menjelang tengah
malam. Ni Dewi Nilamanik yang mengerahkan aji mantera
guna-guna sambil menari-nari menyentuh, mengelus dan
membelai bagian tubuh Retna Wilis yang mudah
terangsang, untuk membangkitkan berahi gadis itu. Suasana
di situ penuh dengan pengaruh mujijat sehingga Adiwijaya
sendiri yang duduk menonton, tak dapat menahan getaran
yang merangsang dan membangkitkan nafsu. Ia memandangi penari-penari itu dengan mata lapar dan liar
seolah-olah hendak dilahapnya tubuh-tubuh yang montok
setengah telanjang itu. Akan tetapi kalau ia melihat Retna
Wilis, seketika nafsu berahinya lenyap terganti rasa gelisah.
Ia menanti saat sebaiknya untuk bertindak. Sampai malam
ini, ia telah berhasil menyelamatkan nyawa gadis pujaannya
itu, sehingga tidak sampai dibunuh. Akan tetapi ia tahu
bahwa nasib yang lebih mengerikan menanti diri Retna
Wilis dan ia harus merenggut dara itu dari tangan Wasi
Bagaspati, kalau perlu ia akan berkorban nyawa.
Retna Wilis yang menjadi murid Nini Bumigarba dan
sudah digembleng dengan segala macam ilmu, yang keras
hati dan berperasaan dingin, betapapun juga hanya seorang
manusia dari darah daging. Kini ia berada di bawah
kekuasaan yang tidak wajar, di bawah pengaruh jamu
perampas semangat sehingga ia seperti orang kehilangan
ingatan dan kemauan. Kemudian, di bawah hikmat malam
pemujaan Sang Bathari Durgo yang seperti ayunan ombak
laut memabukkan, perlahan-lahan ia hanyut dan terbawa,
apalagi ditambah belain-belaian tangan Ni Dewi Nilamanik, mendengarkan bisikan-bisikan tentang cinta
nafsu, tentang kenikmatan badani, ia makin hanyut dan
sepasang matanya mulai bersinar-sinar dan seperti mata
orang mengantuk, tanda bahwa ia mulai terangsang.
Sambil menari, Ni Dewi Nilamanik memberi isyarat
kepada Wasi Bagaspati yang tertawa lebar, bangkit berdiri
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan menghampiri tempat tarian, mendekati Retna Wilis
dan memegang tangan gadis itu yang memandangnya
dengan mata sayu. "Marilah, Retna Wilis, marilah isteriku yang tercinta.
Mari kuberikan cintaku untuk memuaskan dahaga hatimu
......." ia berkata lalu menuntun Retna Wilis turun dari
tempat tarian menuju ke sebuah pondok yang dibangun di
tempat itu. Retna Wilis hanya menurut saja, kedua
lengannya masih bergerak-gerak seperti orang menari, tidak
membantah sedikit pun juga seperti seekor domba yang
dituntun ke tempat penyembelihan!
Perbuatan Wasi Bagaspati ini seolah-olah merupakan
pertanda bagi para penari dan yang hadir di situ untuk
mulai dengan pesta gila-gilaan. Tiga puluh orang wanita
anggauta pasukan Ni Dewi Nilamanik menyerbu ke tempat
tari-tarian diikuti anggauta pasukan pria dan mereka mulai
menari sambil berpelukan, berdekapan dan berciuman. Ni
Devil Nilamanik sendiri yang sudah terangsang hebat,
mencari-cari dengan pandang matanya. Akan tetapi
Adiwijaya yang dicarinya tidak tampak di situ, maka ketika
Wasi Bagaskolo sambil tertawa memeluk pinggangnya, ia
pun balas memeluk leher kakek itu sambil mengeluarkan
suara merintih seperti seekor kucing dielus-elus punggungnya! "Sang Wasi Bagaspati ........ ! Celaka ........ !!" Pintu
pondok itu didorong terbuka dari luar oleh Adiwijaya. Wasi
Bagaspati yang sudah membuka jubahnya itu cepat
membalikkan tubuh dengan sikap marah karena terganggu.
ia mengikatkan lagi ikat pinggangnya di luar jubah dan
membentak, "Keparat, Adiwijaya! Apa kehendakmu?"
Adiwijaya melirik ke arah Retna Wilis yang tergolek
terlentang di atas pembaringan dan diam-diam mengucap
syukur bahwa ia tidak terlambat, hanya selendang yang tadi
menutupi dada Retna Wilis yang sudah terbuka. Gadis ini
memejamkan mata dan bibirnya tersenyum lebar!
"Celaka, Sang Wasi ........ ada serbuan ........ dipimpin
oleh Bagus Seta ........ Mereka ........ mereka datang dari
lereng di timur ........ cepat ........ biar saya berusaha
menyadarkan Retna Wilis dan membujuknya agar ia dapat
membantu kita!" "Sialan ......!" Wasi Bagaspati mendengus, lalu melompat
ke pintu, akan tetapi ia teringat, mengeluarkan sebungkus
obat dari saku jubahnya kepada Adiwijaya, "Nih,
kausadarkan dia dan bujuk sampai dia dapat membantu!"
lalu tubuhnya berkelebat keluar dari pondok.
Adiwijaya cepat menghampiri Retna Wilis, dengan jari-
jari tangan gemetar ia memasangkan kembali selendang
menutupi dada yang terbuka itu, kemudian membuka
bungkusan obat dan setengah memaksa membuka mulut
Retna Wilis, menuangkan isi bungkusan yang berwarna
bubuk putih ke mulut dara itu. Retna Wilis tidak
Pangeran Perkasa 16 Wanita Iblis Karya S D Liong Anak Berandalan 9
pasukan yang menyambut tujuh orang wanita cantik itu,
menerima mereka di paseban luar dan menjamu mereka,
sedangkan Retna Wilis sudah siap duduk di atas kursi
gading berukir yang berada di ruangan besar sebelah dalam.
Ratu muda belia ini duduk sendiri tanpa pengawal dan
tanpa abdi, sengaja menanti kedatangan dua orang tamu
agung itu. Di luar, pasukan penghormatan sudah siap
menyambut kedatangan dua orang kakek itu. Akan tetapi
sampai lama, yang ditunggu-tunggu belum juga muncul.
Ketika Adiwijaya bertanya kepada pasukan wanita itu,
mereka hanya tersenyum penuh rahasia dan menjawab
bahwa mereka hanya bertugas menyampaikan berita akan
kedatangan dua orang kakek itu, adapun cara mereka
datang bagaimana, pasukan wanita itu menyatakan tidak
tahu. Mendengar ini, Adiwijaya menjadi waspada dan
cepat ia memberi tanda rahasia kepada pasukan pendam
agar siap dan waspada, dan dia sendiri pun lalu
bersembunyi tak jauh dari ruangan besar sebelah dalam,
siap membela junjungannya yang duduk sendirian kalau-
kalau terancam marabahaya.
Para pasukan pengawal yang menjadi barisan rahasia itu
tidak ada yang dapat melihat ruangan itu, mereka hanya
bersembunyi dan menanti isyarat dari Ki Patih Adiwijaya.
Yang dapat mengintai ke ruangan itu dan mendengarkan
semua yang akan dipercakapkan hanyalah Adiwijaya
sendiri. Tiba-tiba mata Adiwijaya terbelalak penuh
keheranan ketika ia mendengar suara Wasi Bagaspati yang
terdengar dekat sekali, terdengar dari dalam ruangan,
padahal orangnya tidak tampak!
"Ha-ha-ha! Sang Ratu yang muda belia, cantik jelita dan
sakti mandraguna. Kami telah datang berkunjung, apakah
Paduka belum mengetahui?"
Ki Patih Adiwijaya membelalakkan mata, jelilatan
memandang ke sana ke mari, dan bulu tengkuknya bangun
satu-satu karena ia sungguh tidak melihat di mana adanya
kakek yang suaranya amat dikenalnya itu. ia lalu
memandang kepada ratunya penuh harapan, dan melihat
betapa Retna Wilis duduk dengan sikap angkuh dan tenang,
kemudian ratu muda belia itu tanpa menggerakkan tubuh,
tanpa menoleh, menjawab, suaranya lantang dan halus,
namun penuh wibawa seorang ratu besar,
"Sang Wasi Bagaspati dan Wasi Bagaskolo! Permainan
kanak-kanak yang kalian perlihatkan ini tidak ada artinya
bagiku. Sudah sejak tadi kalian berdiri di dekat tiang di
sebelah kanan itu, siapakah yang tidak melihatnya" Sang
Wasi Bagaspati, Andika mengangkat tinggi-tinggi tongkat
Andika sehingga gelang emas tangan kanan Andika turun
sampai ke siku, mau apakah" Dan mengapa Andika
meraba-raba jenggot Andika yang sudah putih" Wasi
Bagaskolo, mengapa Andika menggunakan tusuk konde
untuk menghias kepala" Tusuk konde Andika itu dari emas,
apakah Andika masih suka bersolek" Biarpun pesolek kalau
pikun sehingga tidak merasa betapa baju Andika di pundak
kiri robek sedikit tidak dijahit, apa artinya?"
Ucapan Retna Wilis itu tentu saja mengejutkan dan
mengherankan hati Adiwijaya yang kini mengejap-
ngejapkan mata dan terbelalak memandang ke arah tiang
yang disebut oleh ratu gustinya, akan tetapi tidak melihat
apa-apa! Yang lebih kaget lagi adalah dua orang kakek yang
mengerahkan aji kesaktian. Ternyata ratu yang begitu muda
itu hebat, dapat melihat mereka dengan jelas tanpa
menengok sehingga dapat mengikuti gerak-gerik mereka
dan melihat keadaan mereka dengan sejelasnya! Sambil
menarik napas panjang penuh kagum mereka lalu
melepaskan aji panglimuman sehingga kini Adiwijaya dapat
pula melihat mereka. Berdiri bulu tengkuk ki patih ini dan
ia pun menghela napas. Semua kesaktian yang pernah ia
pelajari, kalau dibandingkan dengan kedua orang kakek ini
sungguh tidak ada artinya! Namun, dengan hati bangga ia
memandang ratunya yang biarpun masih begitu muda belia,
ternyata tidak kalah saktinya oleh kedua kakek itu sehingga
biarpun kedua orang kakek itu seperti siluman dapat
"menghilang", Retna Wilis dapat melihat mereka!
"Heh-heh, benar-benar awas sekali pandanganmu, Sang
Ratu yang muda belia!" kata Wasi Bagaspati yang kini
sudah tampak dan di belakang kakek ini Wasi Bagaskolo
memandang kepada Retna Wilis dengan mata terbelalak
penuh keheranan. "Sebelum kita berkenalan dan bicara lebih lanjut, ingin
aku menguji sampai di mana kesaktianmu, Sang Ratu,"
kata pula Wasi Bagaspati.
"Terserah kepadamu, Sang Wasi Bagaspati. Aku adalah
pemilik rumah dan lebih muda, sedangkan Andika adalah
tamu dan lebih tua. Aku siap melayani segala
kehendakmu," jawab Retna Wilis tanpa menoleh, masih
duduk dengan tegak di atas kursinya.
Akan tetapi sebelum Wasi Bagaspati bergerak, lengan
kirinya disentuh Wasi Bagaskolo, "Biarkan aku mengujinya, Kakang Wasi," bisiknya. Kemudian, setelah
kakak seperguruannya mengangguk, ia melangkah maju
dan memutar, menghadapi ratu yang muda belia itu.
Sejenak mereka bertemu pandang dan jantung Wasi
Bagaskolo berdebar ketika sinar mata Retna Wilis seolah-
olah menembus dadanya dan menjenguk hatinya, apalagi
kalau ia teringat bahwa dara perkasa ini adalah murid
tunggal Nini Bumigarba yang amat ditakutinya.
"Sang Ratu, sebagai tamu, perkenankantah aku
menghadiahkan tusuk konde yang kausebut tadi kepadamu,
harap Paduka suka menerimanya!" Sambil berkata
demikian, Wasi Bagaskolo mencabut tusuk kondenya
sehingga rambutnya yang hanya sedikit dan digelung di atas
kepala menjadl gelung kecil itu terurai. Sejenak ia
memandang tusuk konde kecil itu, kemudian membuka
kepalan tangannya dengan telapak tangan di atas. Tusuk
konde yang terletak di atas telapak tangannya itu tiba-tiba
saja bergerak dan terbang ke atas!
Melihat ini, dari tempat persembunyiannya, Ki Patih
Adiwijaya memandang terbelalak penuh keheranan.
Pandang matanya mengikuti gerakan tusuk konde itu yang
mengeluarkan sinar cemetlang dan yang kini terbang ke atas
berputar-putaran, makin lama makin cepat dan berputaran
di seluruh ruangan itu, mengeluarkan bunyi mengaung
seolah-olah seekor burung beterbangan.
Dengan bibir tersenyum akan tetapi matanya tetap
dingin, Retna Wilis melirik ke atas, kemudian menggapai
dengan tangan kirinya ke arah benda kecil yang
beterbangan itu. "Cringggg '" Tusuk konde yang tadinya beterbangan itu
tiba-tiba saja runtuh di atas lantai, mengeluarkan bunyi
berkerincing, jatuh ke depan kaki Wasi Bagaskolo yang
memandang dengan muka merah.
"Wasi Bagaskolo, biarpun Andika jauh lebih tua
daripada aku, patutkah kalau seorang tamu menghaturkan
persembahan dengan menaruh benda itu di atas lantai?"
Wajah Wasi Bagaskolo menjadi makin merah. Ucapan
itu halus, akan tetapi selain mengandung suara dingin
sekali, juga jelas merendahkannya, menyebut bahwa dia
"menghaturkan persembahan"! Ia telah memperlihatkan
kesaktiannya yang berdasarkan tenaga batin, namun
ternyata ratu muda belia itu dapat mengatasinya, maka kini
ia ingin menguji kedigdayaan atau ketangkasannya.
"Maaf, Sang Ratu, kalau tadi saya bersikap kurang
hormat," katanya sambil membungkuk dan karena tusuk
konde itu berada di lantai depan kaki Retna Wilis, maka
ketika membungkuk untuk mengambil benda itu seolah-
olah ia menghaturkan sembah kepada ratu muda itu. Retna
Wilis menggerakkan lengan kanan dengan sikap seorang
ratu menerima dan membalas. penghormatan itu.
"Sang Ratu Wilis, terimalah persembahanku Tiba-tiba
Wasi Bagaskolo menggerakkan jari telunjuk kanannya yang
menyepit tusuk konde dan tusuk konde itu meluncur ke
depan, ke arah tenggorakan Retna Wilis secepat metesatnya
anak panah dari busurnya. Jarak antara mereka hanya lima
meter kurang lebih, maka dapat dibayangkan betapa
berbahayanya serangan ini!
Patih Adiwijaya yang menyaksikan serangan ini hampir
saja mengeluarkan seruan kaget kalau saja ia tidak cepat
menahan hatinya dengan penuh kepercayaan akan
kesaktian Ratu Wilis. Akan tetapi betapa kecut dan gelisah
rasa hatinya ketika ia melihat betapa Retna Wilis sama
sekali tidak menggerakkan tangan untuk menangkis atau
menggerakkan tubuh untuk mengelak. Tusuk konde yang
berubah menjadi sinar cemerlang itu seolah-olah tak dapat
dihindarkan lagi akan menancap di kerongkongannya!
Setelah sinar itu datang dekat sekali, hanya satu jengkal lagi
jauhnya, bibir yang merah dan berbentuk indah itu tiba-tiba
diruncingkan dan ditiupkan. Sinar menyilaukan dari tusuk
konde itu tiba-tiba membalik dan kini menyambar ke arah
pemiliknya, ke arah tenggorokan Wasi Bagaskolo sendiri!
"Hebat ........" Wasi Bagaskolo berseru kaget dan cepat ia
menggunakan jari tangannya untuk menyentil tusuk konde
yang akan menjadi senjata makan tuan. Terpaksa ia harus
mengirim kembali tusuk konde itu karena kalau ia
menerimanya, sama artinya dengan tidak rela "mempersembahkan" benda itu kepada sang ratu!
"Tringgg ........ !" Hebat sekali sentilan jari tangan kakek
ini karena tusuk konde itu melesat kembali ke arah Retna
Wilis. "Andika memaksa menghaturkan persembahan, sungguh
sungkan sekali, Wasi Bagaskolo. Biarlah aku menerimanya!" kata Retna Wilis, tangan kirinya diangkat
dan ........ tusuk konde itu menancap ke tangannya sampai
tembus di punggung tangan! Adiwijaya hampir berteriak
kaget, akan tetapi hatinya lega ketika melihat bahwa benda
kecil runcing itu bukan menancap di telapak tangan,
melainkan terselip dan terjepit di antara dua buah jari
tangan yang kecil mungil! Diam-diam ia menjulurkan lidah.
Kakek itu hebat, akan tetapi ratunya lebih hebat lagi. Siapa
orangnya berani menerima serangan tusuk konde seperti
itu" Meleset sedikit saja tentu tangan yang berkulit putih
halus itu akan terluka! Retna Wilis sudah menancapkan tusuk konde di lengan
kursinya dan ia sudah duduk tegak dengan sikap angkuh
dan berwibawa, menghadapi Wasi Bagaspati yang kini
berdiri di hadapannya, menggantikan Wasi Bagaskolo yang
agaknya sudah puas menguji kesaktian murid tunggal Nini
Bumigarba itu. "Ternyata Paduka tidak mengecewakan sebagai murid
Nini Bumigarba, Sang Ratu. Akan tetapi hati saya tidak
akan puas kalau tidak menguji sendiri. Sekutu tidak hanya
harus mengenal kekuatan lawan, akan tetapi juga perlu
sekali mengenal kekuatan kawan sehingga dapat sama-sama
mengatur sepak terjang dan siasat dalam menghadapi
lawan." "Silahkan, Sang Wasi," jawab Retna Wilis dengan suara
tenang, akan tetapi kini ratu muda ini turun dari kursinya
dan berdiri tegak menghadapi Wasi Bagaspati. Agaknya
Retna Wilis maklum bahwa ilmu kesaktian kakek ini tentu
jauh lebih hebat daripada kesaktian Wasi Bagaskolo, maka
dia pun tidak berani memandang rendah dan siap untuk
menghadapi musuh asing yang hendak ditarik menjadi
sekutu sementara ini. Seperti juga ketika berhadapan dengan Wasi Bagaskolo
tadi, kini Retna Wilis beradu pandang mata dengan Wasi
Bagaspati. Kakek itu mengerahkan tenaga yang timbul dari
dasar batin, dari kemauan dan ciptanya, sehingga sepasang
matanya seolah-olah memancarkan cahaya berapi-api yang
panas membakar, juga mengandung daya yang menggetarkan. Baru pandang mata ini saja tentu akan dapat
melumpuhkan lawan dan memang kakek ini hendak
menguji ratu muda belia itu, karena musuh yang hendak
mereka hadapi adalah musuh berat di mana terdapat
banyak sekali manusia-manusia sakti. Akan tetapi, dara
remaja yang sakti mandraguna ini menghadapi pandang
mata kakek itu dengan tenang dan dingin, seperti air telaga
yang amat dalam, sedikit pun tidak terpengaruh, bahkan
kekuatan mujijat yang terpancar keluar dari sepasang mata
kakek itu seolah-olah tenggelam dalam sinar mata dara ini!
"Sang Ratu, bagaimana Paduka akan menghadapi
tongkat ularku ini?" Wasi Bagaspati melepaskan tongkatnya
ke atas lantai dan tongkat itu berubah menjadi seekor ular
cobra yang berkulit hitam, yang "berdiri" di atas perutnya
dan mendesis-desis mengembangkan leher amat menyeramkan. Adiwijaya terbelalak penuh kekhawatiran
menyaksikan peristiwa ini. Biarpun ia maklum bahwa
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bantuannya tidak akan ada artinya, namun ia sudah siap-
siap untuk mengerahkan barisan pasukan pengawal, dan
kalau perlu seluruh bala tentara Wilis untuk melindungi
junjungannya. Retna Wilis menunduk, memandang tongkat yang telah
berubah menjadi seekor ular itu dengan tenang dan bibir
tersenyum, kemudian ia berkata, "Sang Wasi, permainanmu ini baik sekali. Kalau dia ini benar seekor
ular, seharusnya kuinjak hancur kepalanya dengan tumit
kakiku, akan tetapi ular ini berasal dari tongkat maka
kembahlah menjadi tongkat!" Ucapan ini dibarengi dengan
gerakan kaki kirinya menyambar ke arah ular itu. Ular
Cobra yang kelihatan buas dan galak itu menyambut kaki
Retna Wilis dengan gigitan, akan tetapi gerakan ular kalah
cepat dan kaki itu sudah mengelak lalu menginjak kepala
ular dari atas. Begitu kepala ular itu kena diinjak, seketika
berubah lagi menjadi sebatang tongkat!
Menyaksikan pertandingan ilmu yang seperti sihir atau
sulap ini, hampir saja Adiwijaya bersorak girang. Mampus
kau, kakek yang sombong, makinya di dalam hati sambil
mengintai dan memandang wajah Wasi Bagaspati yang
mengerutkan kening dan matanya menjadi merah. Ketika
patih ini mengalihkan pandangnya kepada wajah Retna
Wilis, pandang matanya berubah penuh kagum dan taat,
seolah-olah ia melihat seorang Dewi dari Kahyangan.
"Terimalah kembali tongkat Andika, Sang Wasi
Bagaspati!" Retna Wilis berkata dan jari kakinya yang
menginjak tongkat bergerak menyentil tongkat itu yang
meluncur ke arah pemiliknya. Akan tetapi Wasi Bagaspati
sudah mendorongkan tangan kanannya dengan telapak
tangan ke depan. Angin pukulan yang dahsyat sekali
menyambar ke depan ke arah tongkatnya yang terhenti
luncurannya, bahkan membalik dan meluncur ke arah
Retna Wilis. "Paduka telah menundukkan ularku, harap
tangkis tongkatku, Sang Ratu!" kakek itu berkata
nyaring. Retna Wilis tiba-tiba mendorongkan tangan kanannya pula ke depan seperti yang dilakukan Wasi
Bagaspati dan serangkum tenaga yang halus meniup ke
depan, ke arah tongkat. Seketika tongkat itu berhenti
di tengah udara, di antara
kedua orang sakti yang mendorongkan lengan ke depan itu. Tongkat itu tidak
bergerak seperti terjepit oleh tenaga yang tak tampak,
terhimpit di tengah-tengah dan kalau diperhatikan betul,
baru tampak betapa tongkat itu kadang-kadang menggeser
ke kanan kadang-kadang ke kiri, dan barulah diketahui
bahwa sesungguhnya memang ada dua tenaga sakti yang
saling mendorong sehingga tongkat yang berada di tengah
itu terhimpit! Dalam pertandingan mengadu kekuatan
tenaga sakti ini, kedua pihak diam-diam menjadi kagum
dan tahu bahwa lawan memiliki kesaktian yang hebat dan
merupakan lawan yang kuat akan tetapi merupakan kawan
yang boleh diandalkan. Betapapun juga, keduanya memiliki
kekerasan hati dan tidak mau mengalah, merasa penasaran,
maka mereka mengerahkan tenaga sehebatnya pada saat
yang berbareng. "Krekk! Krekk!" Tongkat itu hancur berkeping-keping
dan keduanya lalu menurunkan lengan tangan masing-
masing. Satu-satunya tanda bahwa mereka tadi telah
mengerahkan tenaga hanya tampak pada kulit muka Retna
Wilis yang menjadi kemerahan dan beberapa titik keringat
yang membasahi dahi Wasi Bagaspati.
"Maaf, Sang Wasi. Aku telah membikin rusak
tongkatmu," Retna Wilis berkata, teringat bahwa ia harus
bersikap baik terhadap dua orang kakek yang akan
dijadikan sekutu itu. Wasi Bagaspati menyeringai dan memandang tongkatnya yang sudah hancur dan berserakan di atas
lantai. "Bukan kesalahan Paduka, Sang Ratu. Pula, mudah
saja membuat tongkat pengganti yang rusak dan senjata
saya bukanlah tongkat itu, melainkan ini!" Sambil berkata
demikian, Wasi Bagaspati meraba di balik jubahnya dan
tiba-tiba tampak sinar menyilaukan ketika tangannya sudah
memegang sebuah senjata yang bentuknya seperti Cakra.
Mata Adiwijaya menjadi silau dan kedua kakinya gemetar.
Demikian hebat pengaruh mujijat yang keluar dari senjata
di tangan kanan kakek itu!
"Senjatamu ampuh sekali, Sang Wasi. Akan tetapi aku
pun mempunyai sebuah pusaka yang patut kuperlihatkan
kepada orang-orang sakti seperti Andika berdua. Inilah
pusakaku Pedang Sapudenta!" Adiwijaya tak dapat
mengikuti gerak tangan Retna Wilis karena tangan kanan
ratu itu demikian cepatnya bergerak sehingga tahu-tahu
tangannya telah memegang sebatang pedang yang
mengeluarkan cahaya berkilauan. Adiwijaya sampai
memejamkan mata karena sinar yang amat terang seperti
menusuk matanya. Ketika ia membuka matanya kembali,
kakinya menggigil. Pedang pusaka di tangan ratunya itu
benar-benar amat ampuh dan mengeluarkan hawa mujijat.
Kini ruangan itu penuh dengan hawa mujijat yang keluar
dari kedua buah senjata pusaka ampuh itu.
Biarpun kedua kakinya menggigil dan wajahnya pucat
terkena perbawa (pengaruh) kedua senjata mujijat itu, Ki
Patih Adiwijaya memaksa diri dan memberanikan hatinya
untuk keluar dari tempat sembunyi, memasuki ruangan itu
dan langsung menjatuhkan diri berlutut dan bersila di depan
ratunya sambil berkata, "Mohon ampun atas kelancangan hamba. Akan tetapi
kini bukan saatnya senjata pusaka ampuh dilolos keluar dari
warangka (sarung). Dengan sepasang pusaka yang amat
ampuh ini hamba yakin kelak semua musuh dapat
ditundukkan!" "Ha-ha-ha-ha! Andika terlalu curiga, Ki Patih Adiwijaya!" Wasi Bagaspati berkata. "Kesaktian dan senjata
ratu gustimu benar-benar hebat, hatiku puas sekali!" Tiba-
tiba hawa panas dingin yang menyeramkan lenyap dari
ruangan itu dan sukar dikatakan siapa yang lebih cepat
menyimpan kembali kedua pusaka itu karena tiba-tiba saja
kedua pusaka itu lenyap dari tangan masing-masing.
"Sang Wasi berdua, silahkan duduk!" kata Retna Wilis,
menunjuk ke arah kedua buah kursi yang memang sudah
disediakan di ruangan itu. Dua orang kakek itu lalu duduk
di atas kursi berhadapan dengan Ratu Wilis, sedangkan Ki
Patih Adiwijaya tetap duduk bersila penuh hormat.
Dimulailah perundingan antara Retna Wilis dan Wasi
Bagaspati dan dengan terus terang Retna Wilis menceritakan cita-citanya untuk menaklukkan seluruh
kerajaan dengan janji bahwa jika Wasi Bagaspati sebagai
utusan Negeri Cola suka membantunya sehingga cita-
citanya berhasil, kelak ia akan menganggap Kerajaan Cola
sebagai negara sahabat dan memberi kebebasan kepada
Wasi Bagaspati untuk menyebarkan agamanya. Sebaliknya
Wasi Bagaspati juga menyatakan bahwa sesungguhnya
tugasnya hanya memperkembangkan agama, akan tetapi
karena selalu menghadapi tentangan, terpaksa ia mempergunakan kekerasan, dan betapa sampai kini ia
selalu mengalami kegagalan.
"Mengapa utusan Sriwijaya tidak ikut datang berkunjung?" Patih Adiwijaya bertanya. "Bukankah
Sriwijaya juga mempunyai utusan yang dipimpin oleh Sang
Biku Janapati" Kalau kekuatan kita semua digabung, tentu
akan lebih mudah menundukkan Jenggala dan Panjalu
yang terkenal kuat."
"Hemm, pendeta gundul itu sungguh menjemukan!"
Wasi Bagaspati mengepal tinju dan giginya berkerot. "Dari
seberang lautan kami datang sebagai sekutu, akan tetapi
setelah tiba di sini, dia menyeleweng. Sesungguhnya semua
kegagalan kami adalah karena si gundul itu! Kalau dia
membantu, tentu sudah berhasil usaha kami."
"Sriwijaya adalah negara yang besar dan kuat, sejak lama
menaruh dendam permusuhan dengan Mataram dan hanya
berhenti sebentar karena mendiang Gusti Sinuwun
Airlangga menikah dengan Puteri Sriwijaya. Akan tetapi
dendam lama masih ada, mengapa sekarang utusan
Sriwijaya tidak membantu Sang Wasi dalam menghadapi
Jenggala dan Panjalu yang menjadi pecahan dari Kerajaan
Mataram lama?" tanya Ki Patih Adiwijaya yang dalam
perundingan ini mewakili gustinya karena dialah yang lebih
tahu akan persoalan kerajaan.
"Si kakek gundul menjemukan itu memang tidak tahu
diri. Mereka mengira bahwa Sriwijaya amat besar dan kuat,
lupa betapa dahulu Raja Sriwijaya, Sinuwun Tunggawarman pernah dikalahkan dan ditawan oleh raja
kami, Sinuwun Rajendracola. Setelah tiba di sini, pendeta
gundul itu hanya bergerak memperkembangkan agamanya
secara diam-diam, bahkan kini merantau ke ujung Nusa
Jawa, ke pantai timur dan menyeberang ke Balidwipa.
Menjemukan sekali!" Retna Wilis tersenyum, memandang rendah menyaksikan betapa kakek sakti ini masih mudah dikuasai
nafsu amarah. "Sang Wasi, mengapa mengharapkan
bantuan orang yang tidak suka bersekutu" Kurasa, dengan
kesaktian yang dimiliki oleh Andika berdua, sudah cukup
untuk menundukkan musuh yang bagaimanapun juga."
Kesempatan ini ditunggu-tunggu oleh Sang Wasi
Bagaspati, maka ia segera mempergunakannya untuk
"membakar" hati Retna Wilis. ia menarik napas panjang
dan berkata, "Ahh, kalau menghadapi orang-orang sakti yang
manapun juga di seluruh Panjalu dan Jenggala, saya
sanggup mengalahkannya. Akan tetapi ........ ah, usaha kita
akan gagal kalau tidak ada yang dapat melawan Bagus
Seta!" Retna Wilis mengerutkan kening. "Bagus Seta?" ia
teringat akan cerita ibunya bahwa ramandanya masih
mempunyai seorang putera yang bernama Bagus Seta.
"Tentu Paduka mengenal nama itu karena dia adalah
rakanda Paduka sendiri. Terus terang saja, kesaktian Bagus
Seta amat hebat, tidak ada manusia yang akan mampu
menandinginya." "Apakah Andika sudah kalah olehnya, Sang Wasi?"
Merah wajah Wasi Bagaspati, akan tetapi karena ia
cerdik, ia menunduk dan menjawab, "Pernah kami
bertanding dan saya tidak mampu mengatasinya. Saya
mendatangkan adik seperguruan saya, Wasi Bagaskolo ini,
akan tetapi masih saya ragukan apakah tenaga kami berdua
akan mampu menandinginya. Bahkan Paduka yang
memiliki kesaktian tinggi, kiranya belum tentu akan dapat
menang?"." "Apa ........ " Sang Wasi, seorang yang memiliki
kesaktian seperti Andika, mengapa berhati begini kecil" Aku
akan menandingi Bagus Seta!"
Wasi Bagaspati mengangguk-angguk, menekan hatinya
yang merasa girang akan hasil pembakarannya, dan ia
berkata lesu, "Saya percaya akan kesaktian Paduka, akan
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tetapi masih saya ragukan apakah paduka akan dapat
menangkan murid Bhagawan Ekadenta itu!"
Tiba-tiba Retna Wilis tertawa, suara ketawanya merdu
akan tetapi menyeramkan sehingga Adiwijaya berdongak
memandang dengan bulu tengkuk meremang. "Hi-hi-hik!
Murid Ekadenta" Sang Wasi, tahukan Andika bahwa
pusakaku Sapudenta ini khusus untuk menandingi
Bhagawan Ekadenta" Kalau dia tidak ada dan yang muncul
adalah muridnya, aku yang akan menandingi dan
menyapunya dari permukaan bumi!"
Adiwijaya bergidik dan diam-diam merasa prihatin sekali
mendengar betapa orang yang dijunjungnya, yang
dikasihinya, kini mengancam kepada kakaknya sendiri,
kakak seayah! "Bagus! Kalau begitu, ada sedikit harapan di hati saya.
Dengan majunya kita bertiga, biarpun Ekadenta sendiri
muncul, akan dapat kita hancurkan! Jangan khawatir, Sang
Ratu. Biarpun sekarang pasukanku hanya tinggal seribu
orang yang sudah digembleng oleh muridku, Cekel
Wisangkoro, akan tetapi tanpa adanya Bagus Seta, kia akan
dapat mudah menaklukkan Jenggala dan Panjalu sekalipun!
Senopati-senopati sakti mereka, serahkan saja kepada kami
berdua, akan kami binasakan semua!"
Perundingan ditanjutkan dan rencana penyerbuan ke
Jenggala dibicarakan. Penyerbuan akan dilakukan dalam
waktu singkat setelah persiapan-persiapan dibuat dan Wasi
Bagaspati menyanggupi untuk menggabungkan pasukannya
ke Wilis dalam waktu dekat. Kemudian, setelah kedua
orang kakek itu menikmati hidangan yang disajikan,
mereka kembali ke gunung Arjuna diiringkan tujuh orang
perajurit wanita. -oo(mch-dwkz)oo- Malam itu bulan purnama siddhi menerangi permukaan
bumi di pegunungan Wilis, menciptakan pemandangan
yang amat indah dan menyejukkan. Namun, keindahan
saat itu tidak tampak oleh Retna Wilis yang sedang duduk
termenung seorang diri di dalam taman bunga di belakang
istananya dengan hati yang sama sekali tidak sejuk. Ratu
muda belia yang gagah perkasa ini sedang duduk dan
gelisah memikirkan keadaan keluarganya. Betapapun ia
telah mewarisi watak gurunya, akan tetapi dia tetap
manusia dan kalau ia mengenangkan ibunya, hatinya
tergerak dan menggetar juga. Dan kini dia sedang
mempersiapkan pasukan untuk menggempur Jenggala,
untuk berhadapan sebagai musuh ayah bundanya, para
bibinya, dan bahkan ia telah mengambil keputusan untuk
menandingi Bagus Seta, kakaknya! Semua ini tidak
menggelisahkan hatinya, akan tetapi kalau ia teringat akan
ibunya, hatinya trenyuh juga sungguhpun tidak begitu
mendalam karena tertutup oleh sifatnya yang dingin seperti
dasar taut kidul. Ia tidak perduli kalau harus bermusuh dengan ayahnya.
Dia tidak suka kepada Ki Patih Tejolaksono, ayah
kandungnya yang belum pernah dilihatnya karena dia
menganggap bahwa Tejolaksono telah menyia-nyiakan
ibunya sehingga ibunya terlunta-lunta sampai ke Wilis. Ia
tidak perduli akan Bagus Seta karena pemuda itu adalah
putera Tejolaksono dari lain ibu. Bahkan ia harus
memperlihatkan bahwa sebagai putera Endang Patibroto,
dia tidak akan kalah oleh putera Ayu Candra! Apalagi kalau
ia ingat bahwa Bagus Seta adalah murid Bhagawan
Ekadenta, hal ini justeru mendorongnya untuk mengalahkan pemuda itu. Ia tidak memperdulikan pula
bermusuh dengan para bibinya Setyaningsih dan Pusporini
karena kalau mereka itu menentangnya, menghalangi cita-
citanya, berarti mereka pun musuh. Akan tetapi, bagaimana
ia akan dapat memusuhi ibu kandungnya"
Dengan pikiran melayang-layang dalam renungan, Retna
Wilis memandang bulan yang tampaknya bergerak
perlahan, berenang di antara ombak-ombak mega putih di
lautan langit biru. Kadang-kadang bulan yang bundar
cemerlang itu bersembunyi di balik awan hitam tipis
sehingga tampak seperti wajah puteri jelita bersembunyi di
balik tirai sutera hitam, kemudian tirai itu terbuka lagi dan
tampaklah senyum yang cerah. Namun Retna Wilis tidak
melihat bulan, melainkan melihat wajah ibunya menggantikan Sang Dewi Candra. Kemudian sejalan
dengan pikirannya yang mengenangkan wajah-wajah
keluarganya, bulan itu berubah menjadi wajah ibunya,
Setyaningsih yang tersenyum-senyum dan membelainya di
waktu ia masih kecil. Ia cepat mengusir kenangan ini dan
membayangkan wajah keluarganya yang belum pernah ia
lihat, bibi Pusporini dan terutama wajah ramandanya.
Seperti apakah wajah ayahnya, Ki Patih Tejolaksono yang
terkenal seorang pria yang tampan dan gagah perkasa itu"
Sukar baginya untuk membayangkan wajah ayahnya.
Tiba-tiba bulan yang ia bayangkan sebagai wajah seorang
pria yang direka-rekanya patut menjadi wajah ayahnya itu
berubah menjadi wajah seorang pria muda yang tampan,
yang tersenyum bibirnya akan tetapi yang memandang
dengan sinar mata tajam menembus jantung. ia terkejut
sekali ketika wajah itu dapat bergerak, mata itu hidup.
"Ahhhh ......." Retna Wilis sadar dari lamunannya dan
ketika ia meloncat bangun dari bangku yang didudukinya
dan berdiri memandang, kiranya di depannya telah berdiri
seorang pemuda tampan yang sikapnya tenang dan sabar
sekali, berpakaian serba putih yang amat sederhana.
Pemuda yang memandangnya dengan sinar mata lemah
lembut namun amat tajam menjenguk isi hatinya! Kiranya
wajah yang dilihatnya menggantikan bulan itu adalah
wajah pemuda inilah! Dalam kagetnya, Retna Wilis merasa marah dan
penasaran sekali, rasa penasaran yang timbul dari rasa malu
betapa dia, seorang yang memiliki aji kesaktian tinggi dan
yang memiliki penglihatan dan pendengaran lebih tajam
daripada manusia biasa, sampai tidak tahu, tidak melihat
maupun mendengar akan kedatangan seorang pemuda di
depannya! "Si keparat kurang ajar berani engkau datang tanpa
dipanggil dan bersikap begini tak tahu aturan dan lancang?"
Ia mengira bahwa pemuda ini tentu seorang di antara
kawula Wilis, akan tetapi siapa pun juga, termasuk
patihnya sendiri, kalau datang menghadap tentu berlutut
dan menyembah, tidak seperti pemuda ini yang berdiri
seperti arca, sama sekali tidak ada tampak sikapnya
menghormat! "Aku bernama Bagus Seta dan kalau aku tidak salah
menduga, Andika tentulah adikku Retna Wilis, puteri
kanjeng rama dan kanjeng ibu Endang Patibroto. Benarkah
dugaanku?" Retna Wilis terkejut sekali dan beberapa detik pandang
matanya menjelajahi wajah dan tubuh pemuda itu penuh
selidik. Jantungnya berdebar, akan tetapi suaranya
terdengar dingin ketika ia menjawab, "Benar, aku Retna
Wilis, Ratu Kerajaan Wilis! Jadi engkau inilah yang
bernama Bagus Seta, putera Tejolaksono dan Ayu Candra"
Hemmm ......." Bagus Seta mengerutkan keningnya, akan tetapi sikapnya
masih tenang dan ia berkata halus, "Adinda Retna Wilis,
aku rakandamu, kita saudara seayah ........"
"Aku tidak perduli akan hal itu! Bagus Seta, engkau
datang seperti siluman mau apakah?"
"Adikku sayang Retna Wilis. Aku sengaja datang
mejumpaimu dengan maksud ingin mengingatkanmu akan
kesalahan langkah hidup yang kautempuh. Engkau telah
salah melangkah, Adikku, dan kini masih belum terlambat.
Sadarlah bahwa apa yang sedang kaurencanakan bersama
Wasi Bagaspati bukanlah hal yang benar, Adikku."
"Huh! Ke manapun juga aku melangkahkan kaki, apa
pun juga yang akan kuperbuat, ada sangkut-pautnya apakah
dengan engkau" Segala langkah dan perbuatanku ditentukan oleh aku sendiri dan segala akibatnya pun akan
kutanggungkan sendiri. Aku tidak membutuhkan peringatanmu!" "Benar sekali, Retna Wilis. Memang seharusnya
demikianlah, setiap perbuatan ditentukan oleh diri pribadi
dan ditanggungkan akibatnya oleh diri sendiri pula. Aku
pun tidak ingin mempengaruhi, apalagi memaksamu. Akan
tetapi manusia telah dianugerahi akal budi dan pertimbangan yang menciptakan kewaspadaan dan kebijaksanaan, maka sudah sepatutnya pula kalau manusia
berpikir dan mempertimbangkan lebih dulu sebelum
melangkah sehingga setiap perbuatannya tidak terdorong
oleh nafsu semata." Segala kata-kata yang keras dan kasar dan sudah
berkumpul di ujung lidah Retna Wilis tertahan saking
herannya melihat keadaan kakaknya ini. Dia mendengar
bahwa kakaknya yang bernama Bagus Seta ini adalah
seorang yang memiliki kesaktian luar biasa, maka tadinya ia
menggambarkan bahwa kakakny a tentu seorang pria yang
gagah dan tampak gagah dan kuat. Akan tetapi kini ia
berhadapan dengan seorang pemuda lemah lembut
sikapnya, halus tutur sapanya, bahkan yang mengeluarkan
ucapan mengandung penuh kesabaran dan ketenangan,
sikap yang sepantasnya hanya dimiliki oleh kaum pendeta
atau pertapa yang sudah tua renta dan pikun! Saking
herannya, ia hanya dapat memandang dan mendengarkan
pemuda itu bicara terus tanpa dapat mencela atau
menjawab. "Retna Wilis, Adikku sayang. Apakah sesungguhnya
yang kaucari" Apakah yang kaucita-cita dan idamkan" Apa
yang tersembunyi di dalam usahamu menghimpun tentara,
menaklukkan seluruh kadipaten dan kerajaan ini" Apakah
engkau mengejar kedudukan sebagai seorang ratu besar
yang oleh manusia dianggap kemuliaan" Itukah kemuliaan"
Ah, engkau akan kecewa, Adikku, apa pun hasilnya
daripada kekerasan yang hendak kaulakukan. Bukan di
sanalah letak kebahagiaan, Adikku. Selama engkau
menuruti hasrat dorongan nafsu untuk mengejar kesenangan, engkau takkan pernah merasakan kepuasan.
Nafsu mengejar kesenangan untuk dinikmati merupakan
kehausan manusia, dan hal ini adalah manusiawi dan
menjadi hak manusia pula untuk memuaskan dahaga
mereka. Akan tetapi, dahaga tidak akan lenyap dan puas
apabila diminumi air yang terlalu manis, bahkan makin
banyak diberi yang manis-manis akan menjadi makin haus.
Demikian pula dengan nafsu. Makin dituruti tanpa
dikendalikan sampai berlebihan, akan menjadi makin besar
membakar seperti api diberi umpan kayu kering. Adikku,
insyaflah dan jangan menurutkan kata hati yang
dikuasai nafsu." Retna Wilis sudah dapat mengatasi keheranannya dan
ia marah sekali. "Bagus Seta!
Kiranya engkau yang disohorkan orang memiliki
kesaktian yang hebat ternyata
hanya memiliki lidah yang
pandai bergoyang! Aku tahu
mengapa engkau berpidato sepanjang itu. Engkau tentu '
diutus Panjalu yang gentar
menghadapi ancaman penyerbuanku, untuk membujuk aku
karena kalian menganggap aku ini adikmu yang sepatutnya
tunduk dan taat kepada engkau yang merasa sebagai
kakakku! Engkau kecelik, Bagus Seta. Tentu saja engkau
berpihak kepada Jenggala dan Panjalu karena seluruh
keluargamu menghamba di sana, bahkan ayahmu menjadi
Patih Panjalu, dan mereka yang duduk di kursi pimpinan
Jenggala juga keluargamu. Akan tetapi, aku tidak akan
tunduk oleh obrolanmu yang kosong! Nah, engkau mau apa
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sekarang" Mau menggunakan kesaktian yang kata orang
kau miliki itu" Keluarkanlah semua kesaktianmu, aku tidak
takut!" Bagus Seta tetap tenang sungguhpun senyumnya
mengandung keprihatinan. "Adikku, keliru pendapatmu
bahwa aku datang sebagai pembela keluarga maupun
Kerajaan Panjalu dan Jenggala, sungguhpun tidak
kusangkal bahwa aku memang membujukmu agar engkau
sadar. Ini menjadi kewajibanku. Ketahuilah bahwa aku
hanya membela kebenaran, Adikku. Biar keluarga sendiri,
biar Panjalu maupun Jenggala, kalau tindakannya
menyeleweng daripada kebenaran, adalah menjadi kewajibanku untuk menentang, karena aku bukanlah
seorang punggawa kerajaan mana pun. Berbeda dengan
kanjeng rama, kanjeng ibu atau para kanjeng paman dan
bibi, mereka terikat oleh tugas kewajiban sebagai
punggawa, sebagai perajurit sehingga yang dikenal
hanyalah melaksanakan tugas tanpa pamrih berdasarkan
kesetiaan terhadap kerajaan sebagai sifat setap satria.
Engkau telah bersekutu dengan Wasi Bagaspati, Adikku,
dalam hal ini saja sudah tidak benar. Wasi Bagaspati adalah
seorang manusia yang menyeleweng daripada kebenaran,
bahkan menentang kebenaran demi nafsu-nafsunya.
Sekarang engkau bersekutu dengan dia untuk menaklukkan
jenggala dan Panjalu, hal ini merupakan penyelewengan
hidup yang amat besar, apalagi kalau diingat engkau adalah
puteri Patih Panjalu, sedangkan kanjeng ibu Endang
Patibroto seorang tokoh yang amat dihormati dan disegani
di Panjalu dan Jenggala. Sadar dan insyaflah sebelum
terlambat, Retna Wilis adikku."
"Heh si keparat Bagus Seta! Tak perlu banyak cakap lagi
karena aku tidak sudi mendengarnya! Ketahuilah bahwa
aku adalah murid tunggal Nini Bumigarba dan engkau
adalah murid Bhagawan Ekadenta! Aku telah berjanji
kepada guruku untuk mengalahkan Bhagawan Ekadenta
dan Sekarang biarlah engkau menjadi wakilnya. Hayo
kerahkan semua aji kesaktianmu dan lawanlah aku, Retna
Wilis yang juga menjadi Ratu Wilis, aku hanya Perawan
Lembah Wilis bocah gunung, tidak seperti engkau putera
Patih Jenggala, seorang priyayi, seorang bangsawan agung.
Hayo kita mengadu aji kesaktian!"
Melihat Retna Wilis bertolak pinggang dan menggerak-
gerakkan lengan kanan menantangnya, wajah tampan
Bagus Seta menyuram, akan tetapi sikapnya masih sabar.
"Tugasku bukan menentang Nini Bumigarba atau Retna
Wilis melainkan menentang kejahatan yang menimbulkan
kesengsaraan kepada manusia, Adikku. Aku tidak berniat
untuk bertanding melawanmu."
"Eh, Bagus Seta, kiranya engkau hanya seorang
pengecut! Engkau takut melawanku, engkau takut
kepadaku! Katakanlah bahwa engkau takut kepadaku dan
aku akan mengampunimu!"
Bagus Seta tersenyum penuh kesabaran, dan memandang
adiknya seperti Pandang mata seorang dewasa melihat
seorang anak kecil yang nakal. "Aku tidak takut kepadamu,
Adikku, juga tidak takut terhadap diri sendiri dan segala
tindakanku. Rasa takut adalah tidak wajar dan dibuat
sendiri, dan setiap perbuatan yang dilakukan karena takut
adalah perbuatan yang tidak wajar, karenanya tidak benar.
Manusia yang sadar akan kekuasaan Yang Maha Kuasa,
yang maklum dengan penuh keyakinan bahwa segala
sesuatu yang terjadi adalah wajar,,, dan yang dengan segala
kewajaran hatinya mengerti akan benarnya setiap perbuatan
yang dilakukannya, akan terbebas daripada rasa takut."
"Sombong! Bagus Seta, hanya ada dua pilihan bagimu.
Melawan aku atau engkau menyatakan bahwa. engkau
takut kepadaku, baru aku akan membiarkanmu pergi tanda
mengganggumu." "Kalau keduanya tidak kulakukan?"
"Aku akan membunuhmu!"
Bagus Seta menarik napas panjang. "Ah, berkali-kali
terbukti olehku betapa kekuasaan Sang Hyang Widhi tidak
dapat dilawan oleh siapa pun, bahwa keputusan Sang
Hyang Widhi tidak dapat diubah oleh manusia. Aku telah
berusaha secukupnya, namun keputusannya terserah
kepada Sang Hyang Widhi Wisesa!"
Pada saat itu, Retna Wilis sudah menerjang maju dan
mengirim pukulan dengan kedua tangannya berturut-turut
sampai tujuh kali. Cepat sekali gerakannya ini karena dia
mempergunakan gerakan Ilmu Pukulan Pancaroba, seperti
sambaran kilat kedua tangannya dengan jari terbuka
menghantam ke arah bagian-bagian tubuh Bagus Seta.
Pemuda ini dengan sikap tenang sekali, tanpa mengubah
kedudukan sepasang kaki yang terpentang, memutar kedua
lengan di depan tubuhnya dan berturut-turut dapat
menangkis tujuh kali pukulan ampuh itu. Dua tenaga yang
dahsyat bertemu, dan akibatnya Bagus Seta terpaksa
melangkah mundur tiga tindak saking hebatnya tenaga
serangan Retna akan tetapi dara sakti ini terdorong oleh
tenaga tangkisan lawan dan ditambah dorongan tenaga
serangan sendiri yang membalik, terhuyung ke belakang
dan hampir terpelanting! "Aiiihhhh!!" Retna Wiles menjerit, meloncat ke atas
mematahkan tenaga dorongan dan tubuhnya dari atas
menukik ke arah Bagus Seta sambil memukul dengan aji
pukulan Wisalangking. Bagus Seta miringkan tubuh
mengelak sehingga angin pukulan menyambar rumput-
rumput yang segera menjadi layu dan membusuk!
"Kasihan engkau, Adikku!" Bagus Seta berkata, manaruh
kasihan melihat betapa adiknya dikuasai nafsu amarah
sehingga menjadi mata gelap. Akan tetapi Retna Wilis yang
sudah diperhamba kemarahan itu, menerima ucapan ini
sebagai ejekan, maka ia lalu memekik dan mencabut
pedang pusaka Sapudenta! Tampak sinar berkilat di bawah
sinar bulan itu ketika pedangnya berkelebat menyambar
tubuh Bagus Seta. Pemuda ini maklum akan kesaktian
adiknya, maklum pula akan ampuhnya pusaka itu, maka ia
menggunakan kepandaiannya melesat jauh dan terus pergi
melarikan diri dari tempat itu.
"Bagus Seta keparat! Jahanam pengecut! Jangan lari
......!" Retna Wilis mengejar cepat. Namun ia telah
kehilangan jejak pemuda itu yang lenyap di antara bayang-
bayang hitam di malam terang bulan itu dan setelah
mengejar cukup jauh, Retna Wilis berhenti, dadanya
berombak, napasnya terengah saking marahnya. Matanya
beringas memandang ke kanan kiri, kemudiati mulutnya
memekik, tubuhnya bergerak dan pedang pusaka di
tangannya digerak-gerakkan menjadi gulungan sinar
menyilaukan yang menyambar-nyambar dan membentuk
lingkaran-lingkaran menerjang di antara pohon-pohon.
Terdengar suara hiruk-pikuk ketika banyak batang pohon
tumbang oleh sinar pedangnya. Setelah menumbangkan
pohon-pohon di sekelilingnya, baru agak mereka kemarahan yang menyesak di dada. Retna Wilis herdiri di
tengah-tengah tumpukan batang, cabang, dan daun pohon
yang berserakan di sekelilingnya, seperti arca, pedang
pusaka masih di tangan kanan, mukanya menunduk.
"Gusti Puteri ........ ahhh, apakah yang terjadi ........ Hati
hamba tercekap rasa khawatir ........ mengapa Paduka
marah dan seperti orang berduka ........ ?" Patih Adiwijaya
muncul dari balik daun-daun pohon yang bertumpuk,
sedangkan dari jauh, para pengawal hanya memandang
bingung, tidak berani mendekat.
Bagaikan baru sadar dari sebuah mimpi buruk, Retna
Wilis membalikkan tubuhnya, memandang beringas dan
dengan pedang di tangan. Akan tetapi ketika ia mengenal
patihnya, ia menghela napas dan perlahan-lahan menyarungkan pedang pusakanya di punggung, kemudian
memejamkan mata sebentar, membukanya lagi dan
menggerakkan pundak. "Aku hanya berlatih, Paman.
Paman, kirimlah utusan kepada Sang Wasi Bagaspati,
minta agar pengiriman pasukan dipercepat karena aku ingin
secepat mungkin menyerbu Jenggala!"
Retna Wilis meninggalkan patihnya yang melongo di
tempat itu sambil memandangi pohon-pohon yang
tumbang. Dalam pandang mata patih ini, di bawah sinar
bulan purnama yang berselimut awan hitam, cabang-cabang
pohon yang berserakan itu seperti tubuh-tubuh manusia
yang tidak utuh lagi, mayat-mayat bergelimpangan akibat
amukan Retna Wilis dengan pedang pusaka Sapudenta.
Adiwijaya bergidik. Banyak sudah ia menyaksikan perang,
banyak menyaksikan manusia-manusian saling menyembelih dalam perang, akan tetapi belum pernah
menyaksikan keganasan yang luar biasa seperti yang pasti
akan dapat ia saksikan jika Retna Wilis mengamuk di
medan perang dengan pedangnya!
Peristiwa di malam terang bulan itu, pertemuan antara
kakak dan adiknya yang terjadi amat aneh tanpa disaksikan
manusia lain, ternyata merupakan dorongan yang
mempercepat penyerbuan bala tentara Wilis ke Jenggala.
Tentu saja peristiwa penyerbuan ke Jenggala ini
menimbulkan geger dan seperti telah lajim terjadi semenjak
manusia mengenalnya sampai kini, perang selalu mendatangkan malapetaka dan sengsara bagi rakyat jelata.
Penduduk dusun-dusun yang dilanda barisan Wilis lari
pontang-panting pergi mengungsi, menyelamatkan nyawa
meninggalkan segala benda miliknya yang didapatnya
dengan cucuran peluh setiap hari. Para iblis dan siluman
mengamuk, menggunakan kesempatan itu untuk mempengaruhi batin manusia yang tidak kuat sehingga di
mana-mana terjadi pelangggaran perikemanusiaan dan
hukum rimba merajalela. Pihak Jenggala segera mendengar berita akan datangnya
bala tentara Wilis yang hendak menyerbu, maka persiapan-
persiapan lalu dibuat, pasukan-pasukan penjaga diatur
ketat, bahkan Tejolaksono dan Endang Patibroto telah
mohon perkenan dari sang prabu di Panjalu untuk
membantu Jenggala karena suami isteri ini berprihatin
sekali, merasa bertanggung jawab atas penyerbuan tentara
Wilis yang dipimpin oleh putera mereka. Untuk mencegah
terjadinya hal yang tidak baik, Ayu Candra tidak
diperkenan ikut. Demikianlah, ketika pasukan-pasukan Wilis sudah tiba
di perbatasan kota raja Jenggala, Tejolaksono dan Endang
Patibroto sudah slap pula memperkuat barisan Jenggala,
bahkan mereka berdua memimpin pasukan inti di samping
Joko Pramono yang menjadi patih dan merangkap senopati
Jenggala di samping isterinya yang sakti Pusporini.
Pasukan terdepan dari Wilis adalah pasukan bantuan
dari Sang Wasi Bagaspati, pasukan yang dipimpin oleh
Cekel Wisangkoro dan pasukan yang dipimpin oleh seorang
senopati pembantu Ki Patih Adiwijaya. Penyerbuan
pasukan terdepan dari Wilis ini menghadapi sambutan yang
panas dan keras dari pasukan yang dipimpin sendiri oleh
Joko Pramono dan Pusporini. Hebat bukan main perang
campuh ini, tanpa upacara dan tanpa banyak cakap lagi.
Perang campuh yang terjadi selama setengah hari, dari
tengah hari sampai menjelang senja ini mendatangkan
korban amat banyak, baik di pihak Jenggala maupun di
pihak pasukan Wilis. Akan tetapi, amukan Joko Pramono
dan Pusporini yang amat dahsyat itu membangkitkan
semangat para perajurit Jenggala sehingga pihak Wilis
kocar-kacir dan didesak mundur. Bahkan mendekati petang
hari, ketika pasukan Wilis terdesak dan Cekel Wisangkoro
yang menjadi penasaran dan marah itu mengamuk,
merobohkan banyak perajurit lawan dengan tongkat ular
hitamnya sehingga semangat pasukannya bangkit kembali,
perang menjadi makin menghebat.
Ceker Wisangkoro tentu saja merasa takut kepada Wasi
Bagaspati dan merasa malu kepada Ratu Wilis kalau
sampai pasukannya kalah dalam perang campuh pertama
ini, maka ia lalu berteriak-teriak membangkitkan semangat
pasukannya dan dia sendiri maju sampai ke tengah medan
pertempuran, menggunakan segala aji kesaktiannya untuk
membunuh pihak musuh sebanyak mungkin.
Menghadapi amukan Cekel Wisangkoro yang mengeluarkan semua ilmu hitamnya ini, pihak pasukan
Jenggala mawut. Empat orang perwira Jenggala yang
terkenal gagah perkasa roboh tewas di tangan Cekel
Wisangkoro. Ketika Ki Patih Joko Pramono mendengar
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
akan hal ini, ia menjadi marah sekali dan cepat ia
menerjang ke tengah medan pertempuran sehingga setelah
membuka jalan berdarah, merobohkan banyak perajurit
musuh, akhirnya ia dapat menemukan Cekel Wisangkoro
yang mengamuk itu. Memang hebat sepak terjang murid
Wasi Bagasati ini. Tubuhnya diselimuti asap menghitam
sehingga sukar bagi pihak lawan untuk menerjangnya,
sebaliknya dari dalam asap hitam itu, tongkat kakek itu
menyambar-nyambar merupakan cakar maut yang setiap
kali menyambar tentu merenggut nyawa seorang lawan.
"Cekel Wisangkoro, akulah lawanmu!" Joko Pramono
membentak yang menggunakan kedua tangannya mendorong sambil melompat ke depan. Terkena dorongan
kedua tangan itu, asap hitam membuyar dan tampaklah
kakek itu mengobat-abitkan tongkatnya yang berbentuk ular
hitam. Kini dua orang sakti itu berhadapan, saling pandang
dengan mata beringas. Cekel Wisangkoro segera mengenal orang muda itu yang
pernah bertanding dengannya ketika Joko Pramono,
Pusporini, dan Bagus Seta dahulu menolong Tejolaksono
dan kedua orang isterinya yang tertawan oleh Wasi
Bagaspati. Dahulu Cekel Wisangkoro terpaksa melarikan diri
karena tidak kuat menghadapi Joko Pramono dan
Pusporini, akan tetapi sekarang, menghadapi Joko
Pramono seorang diri saja, apalagi dalam sebuah perang
campuh, ia tidak menjadi gentar dan ia menudingkan
tongkatnya sambil membentak,
"Babo-babo, Joko Pramono! Engkau telah menjadi patih
Jenggala, ya" Bersiaplah engkau untuk mampus bersama
Jenggala yang sekali ini pasti akan kami hancurkan!"
"Ha-ha-ha, Cekel Wisangkoro dukun lepus! Berkali-kali
engkau dan kawan-kawanmu menurutkan angkara murka,
tidak tahu malu dan lupa bahwa engkau dahulu telah
menjadi pecundang, lari terbirit-birit ketika melawanku.
Sekarang engkau datang menyerahkan nyawa, bagus,
majulah!" "Lihat ular saktiku menelanmu!" Tiba-tiba Cekel
Wisangkoro melemparkan tongkatnya yang berubah
menjadi seekor ular besar sekali, dengan mulut yang lebar
penuh gigi dan siung beracun, menyemburkan uap hitam
hendak menerjang Joko Pramono. Ki patih tersenyum,
merendahkan tubuhnya dengan kedua lutut agak ditekuk,
kemudian ia membentak, "Permainan ini menjemukan.
Heiiittt!" Kedua tangannya mendorong ke depan, ke arah
ular dengan pengerahan aji pukulan Cantuka-sekti.
Serangkum hawa pukulan sakti menyambar ke depan dan
"ular" itu terpelanting, terlempar ke depan Cekel
Wisangkoro, berubah menjadi tongkat hitam lagi.
"Keparat!" Cekel Wisangkoro menyambar tongkatnya
dan bagaikan gila ia menerjang ke depan dengan
tongkatnya. Namun sambil tersenyum Joko Pramono
berhasil mengelak dan balas memukul. Seperti biasa, murid
Sang Resi Mahesapati ini tidak mempergunakan senjata
dalam menghadapi lawan, hanya mengandalkan kegesitan
tubuhnya dan keampuhan pukulan dan tendangannya.
Dalam waktu tak lama, ia telah berhasil mendesak Cekel
Wisangkoro yang menjadi kempas-kempis napasnya. Kakek
ini berusaha untuk mainkan tongkatnya sehebat mungkin,
namun selalu tusukan dan hantamannya mengenai tempat
kosong dan beberapa kali ia terhuyung karena pukulan
Cantuka-sekti yang biarpun tidak mengenainya dengan
tepat, namun hawa pukulan yang dahsyat itu membuat ia
hampir tidak dapat menahannya.
Pertandingan hebat antara dua orang sakti yang
memimpin pasukan pertama ini dijadikan tontonan oleh
para perajurit kedua pihak sehingga mereka yang tadinya
bertanding di dekat tempat itu, otomatis menghentikan
pertandingan mereka dan menjadi penonton sambil
berteriak-teriak dan bersorak-sorak menjagoi pimpinan
masing-masing. Mereka yang berada jauh dari medan
pertandingan ini masih terus berperang penuh semangat,
karena kini pihak Wilis telah bangkit kembali semangatnya
oleh sepak-terjang Cekel Wisangkoro tadi.
Di lain tempat, di ujung kiri, Pusporini juga mengamuk,
bahkan lebih hebat daripada suaminya. Berbeda dengan
Joko Pramono yang mendapatkan tandingan kuat, wanita
perkasa ini hanya dikeroyok oleh lawan-lawan yang
baginya terlalu lunak sehingga pihak musuh roboh
berserakan seperti sekumpulan laron menyerbu api.
Kembali pihak Wilis menjadi mawut dan cerai-berai setiap
kali Pusporini menerjang maju. Para perwira Wilis sudah
roboh semua dan tiba-tiba majunya Ni Dewi Nilamanik
merupakan pendorong bagi perajurit Wilis untuk tidak lari.
Ni Dewi Nilamanik maju dan menyambut amukan
Pusporini sehingga kembali perang tanding berlangsung
makin seru. Seperti juga suaminya, Pusporini menghadapi
Ni Dewi Nilamanik yang mengamuk dengan senjata
kebutannya itu dengan tangan kosong saja.
Kalau dibuat perbandingan, tingkat kesaktian Ni Dewi
Nilamanik masih lebih tinggi daripada kepandaian Cekel
Wisangkoro. Apalagi setelah wanita cabul ini menerima
banyak petunjuk dari Wasi Bagaspati, ia merupakan lawan
yang berat bagi Pusporini. Maka pertandingan antara kedua
orang wanita sakti ini lebih dahsyat dan biarpun aji
kesaktian Pusporini "murni", namun ia kalah pengalaman,
juga kebutan di tangan wanita itu benar-benar ampuh.
Agaknya, biarpun tidak terancam dan tidak terdesak oleh
lawannya, Pusporini harus mengerahkan seluruh kepandaiannya dan makan banyak waktu untuk dapat
merobohkan wanita yang mengaku sebagai penitisan
Bathari Durgo ini! -ooo0dw0ooo- Jilid XLVI JOKO PRAMONO yang mulai mendesak Cekel
Wisangkoro, dapat melihat dari jauh betapa isterinya
mendapatkan lawan yang amat tangguh, maka ia lalu
mengeluarkan pekik sakti yang dahsyat sekali, menubruk
maju memapaki sambaran tongkat Cekel Wisangkoro.
Tongkat yang menyambar ke arah kepalanya itu
ditangkis oleh Joko Pramono dengan lengan tangan terus
dicengkeram dan ditekuk ke bawah lengan, dikempit
sehingga tongkat itu tidak dapat ditarik kembali oleh
pemiliknya. Kesempatan ini
dipergunakan oleh Cekel Wisangkoro untuk menggerakkan tangan kirinya
yang terbuka jarinya, menampar ke arah pelipis Joko Pramono. Pemuda sakti
yang menjadi Patih Jenggala
ini maklum bahwa kalau ia
tidak cepat dapat merobohkan
lawan tangguh ini maka pertempuran akan berlarut-
larut dan ia mengkhawatirkan
keselamatan isterinya yang
menghadapi Ni Dewi Nilamanik yang sakti. Maka ketika
pukulan atau tamparan tangan kiri Cekel Wisangkoro
menyambar pelipisnya dari atas, ia tidak mengelak atau
menangkis melainkan miringkan kepala dan menyambut
tamparan itu dengan pundaknya, akan tetapi pada detik itu
juga, tangan kanannya sendiri menghantam dengan telapak
tangan dengan pengerahan Aji Cantuka-sekti, ke arah perut
lawan. "Dessss ........ Ngekkk ........ !!" Tubuh Cekel Wisangkoro
terpental dan kakek ini roboh dan tewas seketika dengan
darah mengucur dari semua lubang di tubuhnya, isi
perutnya hancur oleh pukulan Joko Pramoiio. Patih muda
ini sendiri terhuyung ke belakang akan tetapi tidak terluka
dan. beberapa, menit kemudian ia telah meloncat dan
membantu isterinya menghadapi Ni Dewi Nilamanik.
Melihat majunya Joko Pramono, Ni Dewi Nilamanik
menjadi gugup. Kebutannya diputar, akan tetapi karena
perhatiannya ia tujukan kepada Joko Pramono, ia menjadi
kurang waspada terhadap serangan Pusporini yang
menampar dengan Aji Pethit Nogo. Biarpun Ni Dewi
Nilamanik berhasil mengelak, namun ia terhuyung dan saat
itu dipergunakan oleh Joko Pramono untuk mencengkeram
ke butannya dan menyendalnya tiba-tiba. Ni Dewi
Nilamanik mempertahankan.
"Brettttl" Kebutan itu putus di tengah-tengah dan tubuh
Ni Dewi Nilamanik terjengkang. Pusporini dan Joko
Pramono menerjang maju untuk "menghabiskan" wanita
itu, akan tetapi tiba-tiba ada angin besar menyambar dari
depan, membuat mereka terhuyung ke belakangl Kiranya di
situ telah berdiri scorang dara muda jelita yang matanya
seperti berapi dan kcningnya dikerutkan, sikapnya angkuh
dan garang. "Kau ........ kau ........ Retna Wilis !" Pusporini berkata,
menduga-duga, Sedangkan Joko Pramono juga memandang
dengan kagum akan tetapi juga penasaran karena hatinya
tidak senang mendengar betapa puteri Endang Patibroto ini
menentang semua keluarga termasuk ibunya sendiri.
"Kalian tentu Bibi Pusporini dan Paman Joko Pramono,
lebih baik Andika berdua mundur." Dara jelita yang bukan
lain adalah Retna Wilis sendiri ini menoleh kepada Ni
Dewi Nilamanik dan berkata, "Andika mundurlah" Ni
Dewi Nilamanik menjadi merah mukanya. ia amat tidak
suka menyaksikan sikap Ratu Wilis yang tidak pernah
menghormat siapa pun juga ini, akan tetapi karena ia tadi
telah ditolong, diselamatkan dan bahaya maut, ia tidak
membantah dan mundur, menyelinap di antara para
perajurit. Pusporini yang memiliki hati keras dan galak, segera
menudingkan telunjuknya kepada Retna Wilis dan
membentak; "Bocah kurang ajar! Begiriikah sikapmu
terhadap bibi dan pamanmu" Kami adalah perajurit-
perajurit sejati, lebih baik mati di medan laga daripada
mundur!" Retna Wilis tersenyum mengejek. "Kalau aku yang maju,
Andika berdua mau apa" Melawanku" Tiada gunanya!"
"Bocah murtad! Durhaka!" Pusporini sudah menerjang
maju dan menghantam dengan Pethit Nogo mengarah
kepala Retna Wilis. Akan tetapi dengan tenang Retna Wilis
menggerakkan tangan, menangkap pergelangan Pusporini
sehingga wanita ini tak dapat bergerak, kemudian sekali ia
mendorong, tubuh Pusporini terlempar sampai lima meter
lebih, menimpa dua orang perajurit yang roboh terpelanting. "Keparat ......!" Pusporini maju lagi, akan tetapi
suaminya mencegahnya. Terdengar sorak-sorai riuh dan kini perang makin
menghebat. Majunya Retna Wilis dibarengi majunya Wasi
Bagaspati dan pasukan ini dari depan, sedangkan dari
kanan maju pasukan yang dipimpin Wasi Bagaskolo, dan
dari kiri maju pasukan yang dipimpin Patih Adiwijaya. Bala
tentara Jenggala mawut tidak karuan, banyak yang tewas
dan sisanya lari mundur! Tiba-tiba di antara hiruk-pikuk pasukan kedua pihak
yang berperang campuh, terdengar melengking suara Retna
Wilis, "Pasukan Wilis, dengar ratumu bicara! Tarik mundur
semua perajurit dan jangan bergerak sebelum kuberi
komando!" Hebat memang suara Retna Wilis ini. Terdengar sampai
jauh dan hebat pula ketaatan para pasukan Wilis yang
serentak menghentikan pengejaran bahkan mundur dan
tidak mengeluarkan suara berisik. Retna Wilis mengeluarkan pekik ini karena ia melihat munculnya
beberapa orang menghadapinya, di antarnya adalah ibu
kandungnya, Endang Patibroto! Ia memandang tajam,
meneliti seorang demi seorang. Akan tetapi yang maju
mendekatinya hanya empat orang dan karena ia sudah
mengenal ibunya, Joko Pramono, dan Pusporini, maka
dengan mudah ia dapat menduga bahwa pria gagah perkasa
setengah tua yang berpemandangan tajam sekali dan berdiri
di samping ibunya itu tentulah orang yang disebutkan
sebagai ayah kandungnya, yaitu Ki Patih Tejolaksono,
Patih Muda Panjalu! "Retna! Engkau lanjutkan perbuatanmu yang laknat ini?"
Endang Patibroto sudah tidak dapat menahan lagi
kemarahannya, mukanya merah matanya menyinarkan api
dan kedua tangannya mengepal tinju.
"Ibu, sudah kukatakan bahwa apa pun juga tidak akan
dapat menghentikan aku mengejar dan mencapai cita-
citaku," jawab Retna Wilis dengan sikap tenang, sedangkan
di samping dan belakangnya berdiri Wasi Bagaspati, Wasi
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bagaskolo, dan Ni Dewi Nilamanik. Mereka bertiga ini,
terutama sekali Wasi Bagaspati, merasa kecewa dan tidak
senang hatiriya mengapa Retna Wilis menahan pasukannya
yang sudah hampir berhasil menaklukkan Jenggala.
"Engkau bersekutu dengan orang jahat, dan demi
mengejar cita-citamu yang gila untuk menjadi ratu terbesar,
engkau sampai hati untuk mengorbankan nyawa laksaan
orang bahkan sampai hati menentang aku, ibumu sendiri
dan Ki Patih Tejolaksono, ayah kandungmu ini?"
Retna Wilis memandang ayahnya itu dengan sinar mata
memandang rendah, kemudian berkata, "Kalau Ibu tidak
menghendaki jatuh banyak korban yang sudah menjadi hal
wajar dalam perang, Ibu usahakan agar Jenggala dan
Panjalu menakluk kepadaku tanpa perang. Kalau mereka
itu mau mengakui Ratu Wilis sebagai ratu terbesar dan
menjadi kerajaan-kerajaan bawahanku, aku tidak akan
menyerang. Adapun mengenai ........ ayahku, aku merasa
tidak mempunyai seorang ramanda yang sejak kecil bahkan
sejak lahir tidak pernah menjengukku, seorang yang telah
menyia-nyiakan Ibu. Orang seperti itu sepatutnya menjadi
musuhku, bukan ayahku!" Ucapan ini mengandung
kepahitan yang membuat wajah Tejolaksono menjadi
pucat. Endang Patibroto marah bukan main.
"Retna Wilis! Biarlah engkau atau aku yang mati di sini!"
ia sudah akan bergerak menyerang, akan tetapi lengannya
dipegang oleh Ki Patih Tejolaksono.
"Bersabarlah, Diajeng." Kemudian dengan tenang
Tejolaksono menghadapi Retna Wilis dan berkata, "Retna
Wilis, tidak perlu kiranya kami membela diri, karena
memang setiap orang manusia itu tentu mempunyai sifat-
sifat buruk yang dilakukan di waktu ia lupa di samping
sifat-sifat baiknya. Kalau engkau menentang ayah bunda
dan keluargamu, hal itu hanya merupakan penyelewengan
pribadi saja. Akan tetapi apa yang kaulakukan ini, hendak
menaklukkan Jenggala dan Panjalu, keturunan Mataram,
dan bersekutu dengan orang-orang dari kerajaan asing Cola,
benar-benar merupakan pengkhianatan terhadap bangsa
dan tanah air. Apakah gurumu tidak pernah memberi
ajaran tentang ini?"
"Ha-ha-ha! Tejolaksono sejak dahulu sombong dan
keminter (tinggi hati)! Sang Ratu, ayahmu yang tidak patut
menjadi ayah ini malah berani menghina gurumu, Nini
Bumigarba yang mulia!" kata Wasi Bagaspati sambil
tertawa-tawa. Muka Retna Wilis menjadi merah sekali. "Kehadiranku
di sini membawa bala tentara Wilis yang jaya bukan untuk
mengobrol tentang keluarga, melainkan sebagai Ratu Wilis
yang mengadakan perang terhadap Jenggala! Pendeknya,
harap kalian sampaikan pesanku kepada kedua Raja
Jenggala dan Panjalu, bahwa kalau dalam waktu tiga bulan
sejak hari ini kedua raja itu tidak datang menghadap
padaku di Wilis menyatakan takluk, aku akan memimpin
barisan dan menggempur Jenggala dan Panjalu yang akan
kujadikan karang abang (lautan api)!"
Saking marah dan duka hatinya, tiba-tiba Endang
Patibroto mengeluh dan roboh pingsan dalam pelukan
suaminya yang cepat merangkulnya. "Retna Wilis,
beginikah engkau membalas budi orang yang menjadi ibu
kandungmu" Engkau menghancurkan hati ibumu." Tejolaksono berkata sambil memandang penuh penyesalan.
"Bukan aku yang menyuruh dia seperti itu. Mengapa ibu
sendiri tidak membantu aku agar cita-cita anaknya
tercapai?" Retna Wilis mendengus, sedikit pun tidak
kelihatan kasihan atau terharu menyaksikan keadaan
ibunya. Wasi Bagaspati tertawa bergelak, sungguhpun
hatinya amat tidak setuju akan sikap yang diambil Retna
Wilis mengenai Jenggala dan Panjalu. Jenggala sudah
hampir takluk, kalau penyerbuan dilanjutkan, besok pagi
tentu Jenggala sudah terjatuh ke tangan mereka, tinggal
meneruskan penyerbuan ke Panjalu. Akan tetapi daging
yang sudah berada di depan mulut dilepas lagi oleh Retna
Wilis, bahkan diberi waktu tiga bulan. Tentu saja waktu itu
dapat dipergunakan oleh Jenggala dan Panjalu untuk
memperkuat penjagaan! Pusporini melangkah maju, dan menudingkan telunjuknya, kemarahan besar membuat dadanya yang
membusung itu naik turun, matanya seperti mengeluarkan
sinar berapi. "Retna! Tidak ada kejahatan manusia yang
melebihi kejahatan seorang anak mendurhaka terhadap
orang tua, terutama terhadap ibu kandungnya! Perbuatanmu ini akan dikutuk para Dewata !"
"Dinda Pusporini! Jangan berkata demikian!" Tejolaksono membentak dan Joko Pramono juga menarik
tangan isterinya, disuruh mundur. Joko Pramono maklum
betapa sakit dan hancur hati Tejolaksono dan Endang
Patibroto. Betapa ia pun juga, Retna Wilis adalah anak
mereka! Retna Wilis hanya tersenyum dingin mendengar kutukan
bibinya itu, ia lalu mundur dan memerintahkan semua
pasukannya untuk kembali ke Wilis. Biarpun hatinya
merasa kecewa sekali, apalagi kalau diingat bahwa dalam
perang yang singkat itu ia telah kehilangan muridnya, Cekel
Wisangkoro, Wasi Bagaspati terpaksa membawa pula sisa
pasukannya kembali ke Wilis. Betapapun juga tiga bulan
bukanlah waktu yang lama dan kalau sampai kelak Cola
berhasil menguasai Jawadwipa dengan jalan ini, tentu dia
akan menjadi seorang yang amat besar jasanya bagi
negaranya. Di sepanjang jalan mundur ke Wilis, Pasukan
yang merasa sebagai bala tentara yang menang perang,
berpesta pora dengan perampokan harta benda dan
perkosaan wanita di sepanjang jalan keluar masuk dusun.
Sebaliknya, Jenggala berkabung karena kematian banyak
perajurit dan senopatinya, juga berduka dan cepat
mengingat akan ancaman Retna Wilis yang akan
menjadikan Jenggala dan Panjalu karang abang kalau
dalam waktu tiga bulan raja kedua kerajaan itu tidak datang
menghadap ke Wilis menyatakan takluk! Yang paling
prihatin menghadapi ancaman adalah Tejolaksono dan
Endang Patibroto. Tiga hari kemudian, datanglah Bagus Seta menghadap
ramandanya di Jenggala dan kedatangannya disambut
girang oleh Endang Patibroto yang menyandarkan
harapannya kepada pemuda ini, akan tetapi Tejolaksono
menyambut puteranya dengan penyesalan,
"Bagus Seta! Bagaimana baru sekarang engkau datang"
Bagaimana hasilmu membujuk adikmu Retna Wilis" Dia
datang menyerbu dan mendatangkan banyak korban dalam
perang setengah hari lamanya! Ke mana saja engkau pergi?"
Dengan sabar dan tenang Bagus Seta lalu menceritakan
usaha pembujukannya yang gaga!, kemudian berkata,
"Kanjeng Rama, segala peristiwa yang terjadi memang telah
digariskan dan dikehendaki oleh Hyang Widdhi. Malapetaka takkan menimpa manusia kalau tidak
dikehendaki oleh Hyang Widdhi, sungguhpun sebab-
sebabnya timbul dari perbuatan manusia sendiri. Sekarang,
lebih penting kita membiarkan hal yang akan datang
dengan ikhtiar kita sebagai manusia, sekuatnya untuk
mencegah terjadinya hal-hal yang merupakan malapetaka
besar." "Dia mengancam hendak membikin Jenggala dan
Panjalu menjadi karang abang kalau dalam waktu tiga
bulan raja-raja kedua negara ini tidak datang menghadapnya di Wilis dan menyatakan takluk. Betapa
kurang ajarnya bocah itu!" kata Endang Patibroto. "Ah,
puteraku angger Bagus Seta, hanya engkaulah harapan
kami. Apa yang harus kami lakukan" Dia amat sakti
mandraguna, ditambah, bantuan Wasi Bagaspati dan Wasi
Bagaskolo yang sukar ditandingi."
"Menurut pendapat hamba, Retna Wilis telah melakukan
penyelewengan besar dan dia bersama sekutunya merupakan ancaman bagi Jenggala dan Panjalu. Oleh
karena itu, sudah menjadi kewajiban Kanjeng Rama dan
Ibu untuk menyelamatkan negara. Jalan terbaik adalah
mempersiapkan pasukan gabungan dari Jenggala dan
Panjalu, kemudian mendahului mereka menyerbu ke Wilis
sebagai barisan kerajaan yang hendak menumpas daerah
yang memberontak. Dengan demikian, lebih mudah
menghancurkan mereka dalam sarang mereka sendiri.
Kalau hamba tidak salah menafsir, yang menjadi biang
keladi daripada kesemuanya adalah utusan-utusan Cola dan
di samping adinda Retna Wilis tentu ada orang yang
mengatur kesemuanya ini. Hamba akan menyertai barisan
penumpas pemberontak ini."
Tejolaksono setuju sekali, lalu Patih Panjalu ini
menghadap adik iparnya, raja di Jenggala untuk berunding.
Raja Jenggala yang muda tentu saja menurut akan siasat
penumpasan pemberontak Wilis ini, dan ketika Tejolaksono
menghadap Raja Panjalu, kerajaan ini pun setuju. Maka
dalam waktu sebulan saja terbentuklah barisan gabungan
yang terdiri dari pasukan-pasukan pilihan dari Panjalu dan
Jenggala, dipimpin oleh Tejolaksono dan Endang Patibroto
sebagai senopati Panjalu, dan Joko Pramono berdua
isterinya Pusporini sebagai senopati Jenggala. Jumlah bala
tentara gabungan ini tidak kurang dari tiga laksa orang.
Berbeda dengan penyerbuan tentara Wilis ke Jenggala yang
cepat terdengar oleh pihak Jenggala, kini gerakan pasukan
gabungan yang menyerbu ke Wilis ini terjadi dengan diam-
diam dan tidak sampai diketahui pihak Wilis. Hal ini
adalah karena rakyat di sepanjang perjalanan barisan itu
semua mendukung bala tentara Jenggala dan Panjalu yang
bersikap tertib dan tidak pernah mengganggu rakyat
sehingga rakyat malah membantu dan menumpas setiap
mata-mata yang menyelidik.
Karena itu, dapat dibayangkan betapa kagetnya Retna
Wilis, Wasi Bagaspati dan sekutunya ketika tiba-tiba
mendengar pelaporan penjaga di kaki gunung yang
bermuka pucat bahwa gunung Wilis telah dikurung oleh
barisan yang amat besar jumlahnya dari Jenggala dan
Panjalu! Wasi Bagaspati membanting kaki dengan penuh
kegemasan ketika mendengar laporan ini. "Aahhh!"
Bentaknya mencela Retna Wilis. "Inilah akibatnya! Paduka
telah bersikap terlalu lunak terhadap mereka dan ini gara-
garanya karena Paduka masih memandang muka ayah
bunda Paduka. Kalau dahulu kita terus menyerbu Jenggala,
tentu tidak akan terjadi hal seperti yang terjadi sekarang!"
Retna Wilis memandang tajam dan berkata dingin,
"Sang Wasi Bagaspati! Akulah pemimpin tertinggi di Wilis
dan Andika hanya membantuku. Segala keputusan datang
dariku, dan aku yang bertanggung jawab. Kalau kita
sekarang dikurung oleh barisan Jenggala dan Panjalu, apa
Andika kira bahwa kita pasti kalah" Biar aku menemui
pimpinan mereka. Paman Adiwijaya, persiapkan pasukan
pengawal dan perintahkan agar seluruh pasukan siap untuk
menggempur begitu ada perintah dariku!"
"Siap melaksanakan perintah Paduka!" jawab Patih
Adiwijaya yang cepat pergi untuk mentaati perintah
junjungannya. Wasi Bagaspati menjadi merah, akan tetapi
ia hanya memberi isyarat mata kepada Wasi Bagaskolo dan
Ni Dewi Nilamanik untuk menemani Retna Wilis turun
dari puncak menghadapi para pimpinan barisan musuh
sambil mempersiapkan sisa pasukan mereka yang selama
sebulan ini telah digembleng oleh Wasi Bagaspati sendiri
sehingga pasukan yang hanya terdiri dari lima ratus orang
itu merupakan pasukan siluman yang menggiriskan.
Ketika rombongan Ratu Wilis bersama pasukan
pengawalnya ini menuruni puncak, tiba-tiba terdengar suara
halus yang terdengar jelas oleh mereka, datang seperti
dibawa angin lalu, "Retna Wilis, sebelum kami memerintahkan barisan yang mengurung menyerbu, engkau
diberi kesempatan terakhir untuk berunding dengan
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu. Turunlah!"
Suara yang halus lirih namun amat jelas itu
membuktikan bahwa pemiliknya adalah orang yang sakti
mandraguna. Rombongan Retna Wilis mengenal suara ini
dan wajah Wasi Bagaspati berubah.
"Itulah suara Bagus Seta," suaranya agak gemetar. Dia
tidak tahu bahwa Retna Wilis pernah berjumpa dengan
kakaknya itu, "Sang Ratu, dia memiliki kesaktian yang luar
biasa dan kiranya hanya Padukalah yang akan sanggup
menandinginya, dibantu oleh adikku Wasi Bagaskolo.
Adapun mengenai tokoh-tokoh yang lain, serahkan saja
kepada saya. Kalau kita serentak turun tangan apabila
berhadapan dan berhasil membunuh para pimpinan,
dengan sendirinya barisan yang besar itu takkan ada
gunanya lagi dan akan dapat kita hancurkan dengan
mudah." Retna Wilis cemberut. "Sang Wasi, aku akan menemui
mereka dan bagaimana nanti keputusanku, Andika tunggu
dan dengarlah saja."
Wasi Bagaspati tidak membantah lagi, akan tetapi ia
berjalan mendekati Ni Dewi Nilamanik dan Wasi
Bagaskolo, berbisik-bisik merundingkan sesuatu tanpa
diperdulikan oleh Retna Wilis. Sungguhpun ia setuju
dengan siasat kakek itu, akan tetapi hatinya yang angkuh
dan keras tidak menginginkan orang lain mendahuluinya
seolah-olah dia yang harus taat dan dipimpin.
Tak lama kemudian mereka telah saling berhadapan,
para pimpinan Wilis yang turun dari puncak dengan para
pimpinan barisan penyerbu yang menanti di lereng bawah.
Retna Wilis berdiri tegak, rambutnya berkibar tertiup angin,
sikapnya dingin sekali namun sepasang matanya bersinar-
sinar seperti mengeluarkan kilat. Di sampingnya berdiri
Wasi Bagaspati, Wasi Bagaskolo, dan Ni Dewi Nilamanik.
Adiwijaya tidak nampak karena patih yang takut sekali
bertemu dengan Endang Patibroto itu sudah menyelinap di
belakang rombongan dan hanya melihat dan mendengarkan
dari tempat aman dan tidak tampak. Adapun yang berdiri di
bawah adalah Ki Patih Tejolaksono bersama isterinya,
Endang Patibroto. Di sebelah kanan berdiri Bagus Seta dan
sebelah kiri berdiri Joko Pramono dan Pusporini. Barisan
kedua pihak sudah slap siaga dan setiap saat mereka tentu
akan saling gempur begitu ada aba-aba dari atasan mereka.
Keadaan amat gawat dan tegang sehingga tidak ada suara
berisik terdengar. "Retna Wilis!" Terdengar suara Ki Patih Tejolaksono
penuh wibawa. "Wilis telah terkurung rapat oleh barisan
Panjalu dan Jenggala yang jumlahnya jauh lebih besar
daripada seluruh pasukanmu. Akan tetapi, mengingat
bahwa engkau masih muda dan perlu disadarkan, kami
tidak langsung menyerbu, melainkan ingin mengingatkan
bahwa usahamu memberontak ini adalah jalan sesat.
lnsyaflah dan menakaluklah. Kami akan menanggungmu
agar engkau mendapat hukuman ringan dari gusti
sinuwun." "Ki Tejolaksono! Akulah Perawan Lembah Wilis, yang
kini menjadi Ratu Kerajaan Wilis yang jaya! Jangan
mengira aku takut akan kepungan barisanmu. Hanya
kematian yang akan dapat menghentikan aku mencapai
cita-citaku!" "Bocah keparat, tak tahu disayang orang tua! Biar lah
aku akan melihat kematianmu sebagai melihat pecahnya
sebutir telur!" Endang Patibroto berseru, mengangkat
tangan kanannya ke atas dan memekik dengan suara
melengking dahsyat, "Serbu ........!"
Retna Wilis juga mengangkat tangan kanan ke atas,
kemudian terdengar suara lengkingnya yang jauh lebih
nyaring dan tinggi daripada pekik ibunya, "Serbu ?"!"
Bagaikan rombongan-rombongan semut pindah yang
ditiup, barisan kedua pihak bergerak, pasukan-pasukan
Wilis menyerbu dari atas sedangkan pasukan gabungan
Panjalu dan Jenggala menyerbu dari bawah. Pecahlah
perang campuh yang amat hebat, suaranya menggegap-
gempita, seolah-olah menimbulkan gempa bumi di seluruh
permukaan pegunungan Wilis.
Dengan didahului Endang Patibroto, Joko Pramono dan
Pusporini menerjang maju menyerang Retna Wilis. Sejenak
Tejolaksono ragu-ragu dan mengeluh sambil menengadah,
"Ya Dewa Yang Maha Agung! Anakku ........ mengapa
begini" Dewa ........ ampuni dosa-dosa hamba !l" kemudian,
teringat akan kewajibannya, ia pun mengeraskan hati dan
ikut menerjang maju. Retna Wilis menyambut terjangan
empat orang keluarganya itu dengan kelincahan tubuhnya
yang mengelak ke kanan kiri.
Wasi Bagaspati dan Wasi Bagaskolo, sesuai dengan
rencana mereka, cepat maju untuk menandingi Tejolaksono
dan keluarganya, akan tetapi tiba-tiba menyambar
bayangan putih dan terdengar suara halus, "Orang luar
tidak boleh mencampuri pertikaian antara keluarga. Akulah
lawan kalian, Wasi Bagaspati dan Wasi Bagaskolo!"
Melihat Bagus Seta menghadang di depannya, kedua
orang kakek ini menjadi marah. Wasi Bagaspati maklum
akan kesaktian pemuda ini yang pernah mengalahkannya,
akan tetapi karena sekarang di sampingnya ada adik
seperguruannya, dia tidak takut. Apalagi melihat bahwa di
situ terdapat pula Retna Wilis yang tentu akan
membantunya menghadapi lawan tangguh ini. Maka ia
berteriak keras dan bersama adik seperguruannya ia
menerjang maju, disambut dengan tenang oleh Bagus Seta.
Adapun Ni Dewi Nilamanik yang maklum pula bahwa dia
bukanlah tandingan Bagus Seta, segera maju menyerbu dan
membantu Retna Wilis menghadapi empat orang keluarganya sendiri. Joko Pramono yang merasa agak segan untuk ikut
mengeroyok Retna Wilis karena ia merasa bahwa dia
hanyalah paman luar dari dara itu, cepat menyambut Ni
Dewi Nilamanik sehingga terjadi pertandingan seru di
antara mereka, sedangkan Retna Wilis dikeroyok oleh ayah
bunda dan bibinya. Adiwijaya yang tidak berani memperlihatkan diri di
depan Endang Patibroto, merasa gelisah sekali, akan tetapi
ia sibuk mengatur barisan untuk menyambut serbuan
pasukan musuh yang datang bergelombang seperti angin
taufan mengamuk. Namun, ia tidak pernah terlalu jauh
meninggalkan Retna Wilis dan selalu memperhatikan
keadaan junjungannya yang dipuja dan dikasihinya itu.
Namun segera ternyata bahwa barisan Wilis kewalahan
menghadapi serbuan barisan yang jauh lebih besar
jumlahnya itu. Apalagi karena di antara barisan Panjalu
terdapat tiga orang tokoh Wilis, yaitu Limanwilis,
Lembuwilis dan Nogowilis yang telah memberi gambaran
dan penjelasan kepada pasukannya tentang keadaan di
pegunungan ini sehingga barisan yang mereka pimpin dapat
maju dengan mudah karena telah mengenal keadaan
pegunungan itu. Mulailah terjadi banjir darah dan mayat
bertumpuk-tumpuk, ada yang terguling ke dalam jurang.
Pekik dan sorak bercampur aduk membubung tinggi ke
angkasa. Ni Dewi Nilamanik terdesak hebat oleh terjangan-
terjangan Joko Pramono. Wanita sakti ini telah
menggunakan sebuah kebutan baru dan ia berusaha
membendung serangan Joko Pramono yang membanjir,
namun tetap saja ia terdesak hebat dan tidak mampu
membalas sedikit pun juga terhadap patih muda dari
Jenggala ini. Bahkan dua kali ia telah kena diserempet
pukulan pada pundaknya sehingga ia terhuyung dan hampir
roboh. "Retna Wilis, bantulah aku .......!" Berkali-kali ia
berteriak minta bantuan Ratu Wilis yang bertempur tak
jauh dari situ. Akan tetapi Retna Wilis seolah-olah tidak
mendengarnya, atau tidak memperdulikannya.
Retna Wilis sendiri bertanding seperti orang mimpi,
seperti orang bingung. Melihat pukulan-pukulan ampuh
yang dipergunakan ayah bunda dan bibinya terhadap
dirinya, ia hanya mengelak dan kadang-kadang kalau
terpaksa karena tidak sempat mengelak, ia mengangkat
tangan menangkis. Setiap kali menangkis, Tejolaksono atau
Endang Patibroto, bahkan Pusporini sendiri yang memiliki
kesaktian hebat, tentu terpelanting dan merasa lengan yang
tertangkis seperti lumpuh. Kalau Retna Wilis menghandaki,
tentu dengan mudah ia akan dapat merobohkan dan
menewaskan tiga orang pengeroyoknya. Apalagi kalau ia
mau mencabut pedang pusaka Sapudenta. Akan tetapi, dara
perkasa ini tidak mau melakukannya, bahkan ia menjadi
bingung dan segan. Berkali-kali ia berkata lirih,
"Aku tidak suka menyakiti kalian ........ tidak mau
membunuh kalian .......!" Ucapannya berkali-kali yang
keluar dari lubuk hatinya ini tidak diperdulikan oleh
Tejolaksono, Endang Patibroto, dan Pusporini yang sudah
marah sekali. Dara ini, biarpun merupakan anak dan
keponakan yang dekat, yang mereka sayang, harus
dibinasakan karena telah menimbulkan bencana perang
yang hebat. Kini mereka bertiga berjuang untuk
mengalahkan seorang musuh yang jahat dan berbahaya,
bukan lagi merasa berhadapan dengan seorang anak dan
keponakan. Karena pihak Retna Wilis hanya mengelak
dan kadang-kadang menagkis
tanpa balas menyerang, maka
pertandingan itu berlangsung
lama dan aneh. Yang tiga orang terus menerjang dan
mengirim serangan maut, yang dikeroyok hanya meloncat ke sana-sini dan
menagkis, seolah-olah mempermainkan tiga orang pengeroyoknya. Pertandingan antara Bagus
Seta yang dikeroyok dua oleh Wasi Bagaspati dan Wasi
Bagaskolo, juga terjadi amat seru dan hebatnya, bahkan
lebih hebat daripada perang campuh itu sendiri karena
masing-masing selain mengeluarkan kedigdayaan, juga
mengerahkan aji kesaktian yang mujijat. Wasi Bagaspati
mendorongkan kedua telapak tangannya ke depan dan asap
hitam bergumpal-gumpal menyambar ke arah Bagus Seta.
Namun pemuda ini dengan tenang juga mendorongkan
telapak tangan kirinya dan asap hitam itu membuyar
lenyap, bahkan menyambar kembali ke arah Wasi
Bagaspati sendiri. Wasi Bagaskolo memekik dan dari
mulutnya menyambar uap panas, namun Bagus Seta
menghalau uap panas dengan tiupan mulutnya. Ketika
Wasi Bagaspati memekik dan mengeluarkan api menyala-
nyala dari mulut dan kedua tangannya, lidah api menjilat-
jilat ke arah Bagus Seta, panasnya melebihi kawah, Bagus
Seto meloncat ke atas dan kedua telapak tangannya
mengeluarkan hawa dingin yang serentak memadamkan api
itu. Karena selalu dapat dipunahkan segala ilmu yang
dikeluarkan, bahkan mereka itu beberapa kali terdorong
mundur oleh hawa pukulan yang panas dan ampuh, yang
menyambar keluar dari telapak kedua tangan Bagus Seta,
berkali-kali, seperti halnya Ni Dewi Nilamanik, Wasi
Bagaspati berteriak-teriak,
"Retna Wilis, lekas bantu kami .......!"
Namun teriak-teriakannya tidak didengar atau tidak
diperdulikan oleh Retna Wilis yang masih selalu mengelak
dan menangkis hujan serangan ayah bunda dan bibinya.
Melihat ini. Wasi Bagaspati berseru marah, "Retna Wilis,
engkau berpihak kepada siapakah" Robohkan mereka dan
bantu kami menewaskan bocah ini, baru cita-citamu
berhasil!" "Hemm, belum lecet kulitmu, belum patah tulangmu.
Beginikah sikap seorang perajurit?" Bagus Seta mencela.
"Babo-babo, Bagus Seta! Jangan sombong, lihat
senjataku!" Tangan Wasi Bagaspati bergerak dan senjata
cakra yang mencorong cahayanya telah dipegangnya. Alga
Wasi Bagaskolo telah mencabut keluar sebuah senjata keris
berwarna hitam yang ber-eluk tiga dan gagangnya diukir
gambar kepala Bathara Kala. Keris hitam ini tidak
mencorong cahayanya, akan tetapi begitu tercabut, tercium
bau yang amis seperti darah dan busuk seperti bangkai.
"Sungguh sayang senjata yang ampuh disalahgunakan!"
kata Bagus Seta dan ketika kedua tangannya bergerak,
tangan kirinya telah memegang setangkai bunga cempaka
putih dan tangan kanannya telah melolos tali sutera
pengikat rambutnya. Kini rambut yang tadinya digelung ke
atas itu terlepas dan terurai di kanan kiri kepalanya,
menutupi pundak, sebagian ke depan dan sebagian ke
belakang. Wajah yang tampan itu kelihatan agung dan
berwibawa, namun penuh ketenangan dan kehalusan.
Sang Wasi Bagaspati menerjang maju dengan senjata
cakra di tangan, menghantam dada, sedangkan dari sebelah
kanan, Wasi Bagaskolo menusukkan kerisnya ke lambung
kanan pemuda itu. Bagus Seta tidak bergerak dari
tempatnya, hanya mengembangkan kedua tangan, kembang
cempaka putih menangkis cakra, sutera pengikat rambut
melecut dan menangkis keris. Empat buah senjata aneh itu
tidak sampai bersentuhan, akan tetapi seolah-olah ada hawa
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang amat kuat keluar dari benda-benda keramat itu dan
bertumbukan sehingga terdengar suara meledak-ledak.
Wasi Bagaspati dan Wasi Bagaskolo terdorong mundur,
memandang dengan mata terbelalak, hampir tidak kuat
menentang lama-lama sinar yang memancar dari sepasang
mata Bagus Seta, mereka menggerakkan kaki mundur-
mundur perlahan. Pada saat itu terdengar teriakan nyaring
yang keluar dari mulut Ni Dewi Nilamanik,
"Retna Wilis ........ tolong ........ !!!"
Ni Dewi Nilamanik telah jatuh terjengkang disambar
tendangan Joko Pramono, kebuatannya mencelat dan kini
Joko Pramono sudah meloncat maju untuk mengirim
pukulan maut yang terakhir ketika Ni Dewi Nilamanik
menjerit minta tolong kepada Retna Wilis saking takutnya
menyaksikan jangkauan tangan maut yang hendak
mencabut nyawanya. Jerit melengking itu seolah-olah menyadarkan Retna
Wilis dari keadaannya yang seperti dalam mimpi. ia
terkejut, sekaligus menangkis pukulan tiga orang pengeroyoknya sehingga Tejolaksono, Endang Patibroto
dan Pusporini terlempar ke belakang, kemudian tubuh
Retna Wilis melesat ke dekat Ni Dewi Nilamanik dan sekali
tangannya mendorong ke depan, tidak saja pukulan maut
Joko Pramono tertangkis, bahkan tubuh Patih Muda
Jenggala ini pun terlempar dan terbanting ke atas tanah
dalam keadaan nanar dan matanya berkunang!
Endang Patibroto memekik marah, lalu bersama-sama
Tejolaksono dan Pusporini, ia menerjang maju menghantam Retna Wilis dengan aji pukulannya yang
paling ampuh, yaitu Wisangnolo, sedangkan Tejolaksono
memukul dengan pukulan Bojrodahono, dan Pusporini
menampar dengan aji pukulan Pethit Nogo. Kini dalam
keadaan marah sekali, tiga orang gagah ini sekaligus
menyerang dengan sepenuh tenaga.
"Buk, plak, plak!" Tiga pukulan itu diterima oleh Retna
Wilis yang mengerahkan kesaktiannya, dan kedua
tangannya mendorong. Tubuhnya terkena hantaman tiga
pukulan sakti itu dan tergetar, akan tetapi tiga orang
lawannya terlempar seperti daun kering tertiup angin dan
terbanting roboh keras sekali dalam keadaan pingsan!
"Terlalu ......!" Bagus Seta berkelebat datang, namun
terlambat karena tiga orang sakti itu telah terlempar.
Melihat kedatangan Bagus Seta, Retna Wilis kembali
mendorongkan kedua tangannya. Bagus Seta menerima
dengan telapak tangan pula.
"Dessss!" Kini tubuh Retna Wilis yang terpental ke
belakang dan roboh terguling. Pada saat itu terdengar pekik
nyaring sekali yang keluar dari mulut Wasi Bagaspati dan
tiba-tiba tempat itu menjadi gelap oleh uap hitam seperti
mendung tebal. Para perajurit Jenggala dan Panjalu
menjadi panik, apalagi ketika dari gumpalan uap hitam itu
menyambar-nyambar kilat yang merobohkan. banyak
orang, dan terdengar desis menyeramkan dari ratusan ekor
ular yang merayap-rayap dan menyerang perajurit-perajurit
itu! Mereka menjadi ketakutan, menjerit-jerit dan ada pula
yang lari. Bagus Seta cepat memejamkan mata mengerahkan
kekuatan batinnya, kemudian bertepuk tangan tiga kali.
Tepukan tangan ini menimbulkan bunyi seperti guntur
menggelepar dan seketika lenyaplah uap hitam yang
ditimbulkan oleh ilmu hitam Wasi Bagaspati, dan ular-ular
yang diciptakan Wasi Bagaskolo kini ternyata hanya
segenggam daun kamboja kering! Para perajurit tidak panik
lagi dan dengan penuh semangat mereka menyerbu ke atas.
Bagus Seta memandang dan ternyata Retna Wilis, Wasi
Bagaspati, Wasi Bagaskolo dan Ni Dewi Nilamanik telah
lenyap dari situ. Akan tetapi dia tidak ingin mengejar
karena ia harus cepat menolong Tejolaksono, Endang
Patibroto, dan Pusporini yang masih pingsan. Joko
Pramono juga cepat menghampiri isterinya.
Setelah memeriksa sebentar, Bagus Seta menarik napas
panjang. "Hebat sekali tenaga saktinya, akan tetapi syukur
kepada Dewata bahwa dia tidak sampai membunuh ayah
bundanya sendiri. Paman, harap jangan khawatir. Mereka
hanya pingsan oleh getaran hawa sakti, sebentar lagi tentu
siuman kembali." Benar saja, tak lama kemudian tiga orang sakti itu
siuman dan tidak mengalami luka. Mereka lalu memimpin
pasukan menyerbu terus ke puncak Wilis. Bala tentara
Wilis yang kehilangan pimpinan, bahkan Patih Adiwijaya
juga lenyap tanpa pamit, segera membuang senjata dan
berlutut, menakluk. Tejolaksono lalu memerintahkan Limanwilis, Lembuwilis, dan Nogowilis untuk mengatur keadaan Wilis
dan memulihkan keamanan, karena ketiga orang tokoh itu
lebih mengenal keadaan. Kemudian ia membicarakan
tentang lenyapnya Retna Wilis.
"Apakah yang terjadi, Puteraku?" tanyanya kepada
Bagus Seta. "Bagaimana Retna Wilis dapat lenyap?"
Bagus Seta menceritakan keadaan tadi dan dia sendiri
tidak tahu ke mana perginya Retna Wilis, kedua orang
Wasi, dan Ni Dewi Nilamanik. Seorang di antara Para
perajurit taklukan yang ditanya segera mengaku bahwa tadi
ia melihat Retna Wilis dalam keadaan pingsan dipondong
pergi oleh Wasi Bagaspati yang melarikan diri bersama
Wasi Bagaskolo, Ni Dewi Nilamanik dan Ki Patih
Adiwijaya, memimpin pasukan siluman yang terdiri dari
beberapa ratus orang, menuju ke selatan.
"Kita harus mengejarnya! Aku amat mengkhawatirkan
keadaan Retna Wilis," kata Tejolaksono mengerutkan
kening. "Hemm, bocah durhaka macam itu perlu apa ditolong"
Biarkan dia bersama sekutunya yang jahat!" dengus Endang
Patibroto dengan hati sakit.
Tejolaksono memegang kedua pundak isterinya dan
memaksa isterinya bertemu pandang dengan dia. "Diajeng,
betapa mungkin hati orang tua menegakan anaknya" Aku
tahu bahwa engkau pun hanya terdorong oleh kemarahan,
akan tetapi di dasar hatimu, engkau amat mencinta puteri
kita itu ........" Endang Patibroto tersedu dan menyembunyikan muka di
dada suaminya, menangis terisak-isak. Joko Pramono dan
Pusporini memandang penuh keharuan. Bagus Seta
menghela napas panjang. "Memang tepat apa yang diucapkan Kanjeng Rama. Kita
harus menolongnya, bukan semata-mata karena dia
keluarga kita, melainkan terutama sekali untuk menghalangi perbuatan keji manusia sesat seperti Wasi
Bagaspati dan kawan-kawannya. Marilah kita mengejar ke
selatan sebelum terlambat."
Serentak keluarga yang sakti itu berangkat mengejar,
menuju ke selatan, tidak ingat lagi akan tubuh mereka yang
lelah sehabis mengalami pertandingan yang dahsyat itu.
-oo(mch-dwkz)oo- Apakah yang telah terjadi dengan Retna Wilis" Ke mana
perginya" Seorang yang memiliki watak keras, angkuh, dan
aneh sekali seperti dara perkasa itu memang tidak mungkin
kalau melarikan diri menghadapi kekalahan dalam
pertandingan. Endang Patibroto maklum akan hal ini
karena dia sendiri pun dahulu merupakan seorang wanita
keras hati yang tidak pernah mau kalah atau menyerah,
apalagi melarikan diri! Padahal watak puterinya lebih keras
lagi, dan jauh lebih aneh.
Memang Retna Wilis sama sekali tidaklah melarikan
diri, melainkan dilarikan oleh Wasi Bagaspati. Kakek ini
sejak pertama kali dikecewakan Retna Wilis, yaitu ketika
mereka menyerbu ke Jenggala dan Retna Wilis tidak mau
terus menduduki Kota Raja Jenggala, telah menaruh curiga
kepada Retna Wilis. Diam-diam ia menyatakan ketidakpuasan hatinya itu kepada Wasi Bagaskolo dan Ni
Dewi Nilamanik, menyatakan bahwa sungguhpun Retna
Wilis memiliki kesaktian yang boleh diandalkan, namun
dara itu bukan merupakan sekutu yang baik dan masih
mempunyai hati sungkan dan sayang kepada keluarganya,
maka ia memesan agar pembantu-pembantunya berhati-
hati. Ketika barisan Jenggala dan Panjalu datang menyerbu,
diam-diam ia sudah mengatur siasat dengan para
pembantunya, menyatakan bahwa apabila keadaan tidak
menguntungkan, agar melarikan diri dan ia akan berusaha
menculik Retna Wilis. Maka ketika ia melihat bahwa tepat
seperti dugaannya, Retna Wilis yang menghadapi ayah
buda dan bibinya itu tidak bertanding sungguh-sungguh,
tidak mau membunuh mereka, bahkan tidak mau
membantu kedua orang kakek melawan Bagus Seta, apalagi
ketika ternyata betapa barisan Wilis tidak mampu
membendung penyerbuan barisan musuh yang jauh lebih
kuat, Wasi Bagaspati lalu mempergunakan siasat. Dia harus
mengakui bahwa menculik seorang yang sakti mandraguna
seperti Retna Wilis bukanlah hal yang mudah. Akan tetapi
ia melihat kesempatan yang baik ketika Retna Wilis
terlempar dalam benturan tenaga sakti melawan Bagus Seta.
Maka ia menggunakan ilmu hitamnya, membuat tempat itu
menjadi gelap oleh awan hitam, kemudian secepat kilat ia
mendekati Retna Wilis yang roboh terguling dan masih
pening itu dan menggunakan kesaktiannya untuk mengetok
tengkuk Retna Wilis dengan jari tangannya sehingga dara
perkasa yang sudah nanar dan tidak menyangka-nyangka
karena mengira bahwa kakek itu hendak menolongnya,
menjadi pingsan. Dengan mudah Wasi Bagaspati lalu
memondong tubuh Retna Wilis, kemudian pergi melarikan
diri bersama Wasi Bagaskolo, Ni Dewi Nilamanik, dan
Adiwijaya yang telah berhasil menarik kepercayaan Wasi
Bagaspati. Karena kakek ini menganggap bahwa Adiwijaya
seorang yang cerdik dan pandai mengatur siasat, pula yang
telah ia ketahui "sepak terjangnya" semenjak menjadi Patih
Warutama di Jenggala, maka ia tidak ragu-ragu lagi bahwa
Adiwijaya bukanlah orang setia kepada Retna Wilis. Dalam
hal ini, Wasi Bagaspati telah salah duga dan kembali
membuktikan pandainya Adiwijaya bermain sandiwara
sehingga seorang seperti Wasi Bagaspati yang sudah
kawakan dan berpengalaman pun dapat ia kelabui.
Sebelah utara pantai laut selatan terdapat barisan
gunung-gunung, yang memanjang dari barat sampai ke
utara dan lajim disebut pegunungan Seribu. Memang amat
banyak gunung-gunung dalam barisan ini, sukar dihitung
jumlahnya dan mungkin lebih dari seribu gunung kecil-kecil
yang sebagian besar adalah gunung batu gamping.
Kekuasaan alam memang hebat dan aneh. Barisan gunung
Seribu ini seolah-olah merupakan tanggul yang menjaga
daratan Pulau Jawa agar jangan sampai diamuk ombak laut
kidul yang dahsyat! Sisa pasukan yang melarikan diri bersama Wasi
Bagaspati bersembunyi di sebuah di antara pegunungan ini,
di daerah yang tidak begitu tandus sehingga mereka dapat
tinggal di sutu tanpa dapat dilihat orang dari jauh. Retna
Wilis yang dilarikan Wasi Bagaspati juga dibawa ke gunung
kecil ini. Dalam perjalanan melarikan diri, Retna Wilis
telah diberi minum jamu buatan Ni Dewi Nilamanik yang
disebut "madu perampas semangat", sehingga ketika Retna
Wilis siuman dari pingsannya, ia seperti orang yang tidak
mempunyai semangat dan kemauan lagi. Ia lupa segala dan
hanya menurut apa yang dikatakan Ni Dewi Nilamanik
atau Wasi Bagaspati. Adiwijaya yang menyaksikan keadaan
junjungannya itu, menjadi gelisah dan prihatin sekali. Akan
tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa dan ia setiap saat
memutar otak untuk mencari akal agar dapat membebaskan
Retna Wilis. Kalau saja tidak untuk membela gadis itu,
tentu dia tidak sudi ikut melarikan diri bersama Wasi
Bagaspati, dan sudah pergi sendiri merantau ke tempat
jauh. Namun, tak mungkin ia dapat meninggalkan Retna
Wilis dan kalau perlu ia berani mempertaruhkn nyawa
untuk menyelamatkan dara itu. Tentu saja ia tidak mau
berbuat sembrono mempergunakan kekerasan, karena kalau
hal ini ia lakukan, ia tidak akan berhasil menyelamatkan
Retna Wilis, juga berarti ia hanya akan mengorbankan
nyawa dengan sia-sia belaka. Ia harus menggunakan akal,
dan memang amatlah sukar untuk melawan orang-orang
yang sakti dan cerdik seperti Wasi Bagaspati dan kawan-
kawannya. ia harus menanti kesempatan baik untuk itu.
Retna Wilis bersandar di batang pohon dalam keadaan
terikat. Ia menundukkan mukanya yang agak pucat,
tubuhnya lemas dan pandangan matanya tidak hidup,
seperti mata orang mimpi atau termenung dalam sekali. Ia
berada dalam pengaruh jamu yang setiap hari diminumkan
kepadanya secara paksa oleh Ni Dewi Nilamanik. Biarpun
dara perkasa ini sudah tidak berdaya karena semangatnya
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tertutup atau seperti dirampas ramuan jamu mujijat itu,
namun Ni Dewi Nilamanik yang gentar menghadapi
kesaktian Retna Wilis masih merasa perlu untuk
membelenggunya. Pada saat itu, Ni Dewi Nilamanik duduk di atas batang
pohon yang telah ditebang, bersama Wasi Bagaspati, di
depan Retna Wilis yang terikat di pohon. Wasi Bagaspati
kelihatan muram wajahnya dan ia mendengarkan
keterangan yang diberikan oleh Ni Dewi Nilamanik.
"Dia ini memang hebat sekali, Kakangmas Wasi!
Semangat dan kemauannya dapat kupengaruhi, akan tetapi
nafsunya tak dapat kubangkitkan. Sudah banyak jamu
kuminumkan, bahkan madu asmara sudah banyak ia
minum, akan tetapi keadaannya sama saja. Ia tidak
terangsang. Lalu bagaimana baiknya?"
Dengan wajah murung Wasi Bagaspati mengelus
jenggotnyaa. "Sudah tiga hari kita berada di sini. Kalau
sampai mereka datang menyusul, kita bisa celaka. Aku
harus dapat menguasai bocah ini, karena dengan bantuan
kesaktiannya, baru aku akan dapat menghadapi si keparat
Bagus Seta, bersama adi Bagaskolo. Akan tetapi kalau dia
ini tidak dapat dikuasai, tentu celaka. Hemm ........ , siapa
tahu keadaan hati bocah ini. Kalau ia membalik,
mengkhianati dan melawan kita, bisa konyol kita! Daripada
demikian, lebih baik kubunuh saja dia sekarang!"
Ni Dewi Nilamanik mengerlingkan matanya yang indah
dan bibirnya yang merah merekah. "Kakangmas Wasi, dari
dulu juga aku tidak suka kepadanya dan menaruh curiga.
Memang kurasa lebih baik dibunuh saja bocah ini, karena
kelak hanya akan menimbulkan kesusahan saja bagi kita."
Tiba-tiba Wasi Bagaspati menoleh ke arah pohon-pohon
di belakangnya dan membentak, "Siapa di sana?""
Pendengaran kakek ini memang tajam sekali sehingga ia
dapat mendengar suara napas Adiwijaya yang tersentak
kaget mendengar betapa Retna Wilis akan dibunuh.
Adiwijaya cepat muncul keluar dan menghadap mereka,
duduk di atas tanah. "Saya sengaja mencari Paduka, karena merasa cemas
mengapa sampai sekarang masih belum diambil keputusan
mengenai bocah liar ini." Ia menuding ke arah Retna Wilis
yang masih menunduk seolah-olah tidak mendengar apa
yang dibicarakan di depannya. "Kalau tidak segera diambil
keputusan mengenai dirinya, tentu akan berbahaya sekali.
Saya berani bertaruh bahwa saat ini pihak Panjalu dan
Jenggala tentu sedang berusaha keras untuk mencari kita
dan menolongnya." Wasi Bagaspati termenung dan mengomel, "Memang
aku dan Ni Dewi sedang membicarakan tentang dia. Aku
mengambil keputusan untuk membunuh saja bocah ini!"
Sambil berkata demikian, kakek itu menatap wajah
Adiwijaya dengan penuh perhatian, amat tajam dah seolah-
olah hendak menjenguk isi hati Adiwijaya. Laki-laki ini
menekan keras batinnya yang terguncang dan dia
menggeleng-geleng kepala.
"Kalau saja ia tidak berguna, memang lebih baik
dibunuh. Akan tetapi kalau dia dibunuh, rencana kita akan
macet semua, Sang Wasi. Kita sudah kehilangan banyak
tenaga pembantu yang cakap, bahkan Cekel Wisangkoro
pun sudah gugur. Bocah ini merupakan tenaga yang amat
cakap, memiliki kesakitan yang kiranya akan dapat
menandingi Bagus Seta. Kalau dibunuh, berarti kita
merugikan diri sendiri."
"Hemm, kalau begitu, menurut pendapatmu bagaimana
baiknya?" Sejenak Adiwijaya bingung. Dia pun tidak tahu
bagaimana baiknya dan tadi ia mengeluarkan kata-kata itu
hanya untuk mencegah gadis ini dibunuh. Otaknya bekerja
cepat. Pokoknya asal gadis ini terhindar daripada bahaya
maut lebih dulu, pikirnya.
"Bukankah saya telah menganjurkan agar Paduka
menundukkan dia dengan pengaruh kesaktian Paduka, agar
dia menjadi isteri Paduka sehingga dengan demikian dia
akan membantu segala usaha Paduka dengan penuh
kesetiaan?" "Aahhh, usaha itu telah kami lakukan," kata Ni Dewi
Nilamanik sambil memandang wajah Adiwijaya yang
masih tampan dan gagah itu. "Sudah banyak obat guna-
guna kumasukkan, akan tetapi agaknya dasar hati bocah ini
masih terlalu kosong dan bersih sehingga tidak mempan.
Jamu-jamu perangsang pun tidak ada gunanya, agaknya dia
tidak mempunyai nafsu berahi!"
Adiwijaya memandang Ni Dewi Nilamanik dengan hati
ngeri dan bulu tengkuk meremang. Betapa cantiknya wanita
ini dan dia sendiri sudah beberapa, kali merasakan
kelembutan dan kenikmatan bersama wanita cantik ini
berenang dalam cinta, bersama-sama mereguk madu
asmara yang memabukkan. Betapa indah sepasang mata
itu, betapa menggairahkan dan menantang mulut yang
merah itu, betapa halus kuning kulitnya. Akan tetapi betapa
keji hatinya. Teringat Adiwijaya akan buah mangga yang
melihat kehalusan dan warna kulitnya menimbulkan gairah,
akan tetapi yang kemudian ternyata betapa di balik kulit
yang halus kemerahan dan sedap maunya itu tersembunyi
daging busuk yang masam dan banyak ulatnya! Betapapun
benci hatinya mendengar perlakuan wanita ini terhadap
Retna Wilis, ia memaksa diri tersenyum dan berkata,
"Ni Dewi, dan Sang Wasi. Betapapun juga, harus
diusahakan agar bocah liar ini dapat tunduk dan menurut
kepada Paduka. Dengan kekerasan kita gagal, namun kalau
dia ini dapat dikuasai, kemudian secara halus Paduka,
dibantu oleh Sang Wasi Bagaskolo, dan Retna Wilis ini
mendatangi Panjalu dan Jenggala, membunuh para tokoh
yang berkuasa di sana, saya kira tidak akan sukar lagi kalau
kemudian kita mengerahkan barisan untuk menaklukkan
dua kerajaan itu. Saya sendiri sanggup untuk menghimpun
pasukan yang cukup besar."
"Akan tetapi bagaimana" Dia tidak mudah dipengaruhi
guna-guna ........ " kata kakek itu kehilangan akal karena
belum pernah ia menghadapi seorang korban yang begini
ulet seperti Retna Wilis.
"Mengapa tidak dapat, Sang Wasi" Saya pernah
menyaksikan pengaruh gaib yang datang mempengaruhi
jiwa para wanita di waktu diadakan upacara pemujaan
Sang Bathari Durgo. Mengapa tidak mengandalkan
kekuasaan dan bantuan Sang Bathari" Andaikata pengaruh
gaib itu masih tidak mempan, Paduka dapat melakukan
kekerasan dan saya rasa, sekali dia ini telah Paduka renggut
kehormatan tubuhnya, kemudian saya sendiri akan
mempengaruhinya dengan nasehat-nasehat, percayalah, dia
boleh dibebaskan dari pengaruh jamu perampas semangat
dan dalam keadaan sadar itu dia tentu akan tunduk. Kalau
dia, biarpun terjadi di luar kehendaknya, telah menjadi
isteri Paduka, dan mendengarkan nasehat-nasehat saya,
kiranya dia akan melihat kenyataan bahwa tidak ada jalan
lain baginya kecuali melanjutkan cita-citanya dengan
bantuan Paduka Sang Wasi."
Wasi Bagaspati mengangguk-angguk dan lenyaplah
sedikit kecurigaannya terhadap Adiwijaya yang muncul
secara tiba-tiba itu. "Kurasa benar apa yang ia katakan itu,
Ni Dewi. Buatlah persiapan, malam nanti kita adakan
upacara pemujaan Sang Bathari dan kita lihat hasilnya!"
"Akan tetapi, malam hari ini bulan belum purnama,
Kakangmas Wasi, dan pengaruh hikmat itu tidaklah amat
kuat ?""."
"Tidak apa. Kalau terlalu lama ditunda, khawatir
terlambat. Siapa tahu Bagus Seta sudah mencari sampai
dekat tempat ini. Andaikata tidak berhasil, masih belum
terlambat untuk membunuhnya!"
Demikianlah, pada malam hari itu, di sebuah lapangan
terbuka di puncak gunung kecil, dikelilingi pohon-pohon
jarang yang tumbuhnya tidak subur di daerah kapur itu,
diadakan tari-tarian seperti biasa dilakukan pada upacara
pemujaan Sang Bathari Durgo. Sebuah arca Bathari Durgo
berdiri di sudut, di samping kiri kursi tempat duduk Sang
Wasi Bagaspati. Karena mereka tidak ingin menarik
perhatian, maka dalam upacara tari-tarian ini tidak diitingi
suara gamelan, melainkan diiringi suara wanita-wanita
cantik bertembang dengan tepuk tangan dan berkerincingnya gelang kaki. Upacara tari-tarian ini amat
sederhana, akan tetapi karena sekali ini yang menari-nari, di
samping tiga orang gadis cantik, juga diikuti oleh Ni Dewi
Nilamanik sendiri yang ternyata amat pandai menari
dengan pakaian setengah telanjang sehingga tampak lekuk-
lengkung tubuhnya yang menggairahkan dan amat
mengherankan karena usianya yang sudah tua itu ternyata
tidak menghilangkan keindahan tubuhnya, maka tari-tarian
itu amat menggairahkan. Selain Ni Dewi Nilamanik dan
tiga orang pembantunya, juga tampak seorang gadis yang
amat cantik jelita, kecantikannya cemerlang dan menyuramkan kecantikan wanita lain, bahkan Ni Dewi
Nilamanik kelihatan tidak menarik. Akan tetapi sungguh
sayang, kalau Ni Dewi Nilamanik dan tiga orang
pembantunya menari-nari dengan gerakan lemah-gemulai
dan menimbulkan rangsangan berahi dengan gerakan-
gerakan leher, pundak, perut, dan pinggul, adalah dara
cantik ini menari-nari dengan gerakan lucu dan kaku. Dia
bukan menari, melainkan bersilat! Kalau empat orang
penari lain melakukan gerakan dengan lengan lemas seperti
orang melambai dan mengajak disertai senyum memikat,
dara ini menggerakkan tangan ke depan dengan kaku, jari-
jarinya terbuka dan bukan melambai, melainkan lebih tepat
memukul atau menampar musuh! Kalau penari yang
membuang sampur ke sisi dengan gerakan lincah dan mata
mengerling mulut tersenyum, dara ini membuang lengan ke
sisi dengan gerakan cepat seperti orang menangkis pukulan
atau tendangan lawan! Dara cantik jelita yang memiliki
tubuh indah menggairahkan seperti bunga sedang mekar
atau buah sedang ranum ini bukan lain adalah Retna Wilis.
Ni Dewi Nilamanik menari-nari di depan Retna Wilis,
membujuk-bujuk dan memberi contoh gerakan tari yang
dikuti dengan patuh oleh Retna Wilis dengan gerakannya
yang kaku. Dari tempat duduknya, Wasi Bagaspati yang
mengenakan pakaian merah serba baru itu memandang
penuh perhatian dan ia tersenyum gembira. Biarpun tarian
dara perkasa itu tidak indah, namun gerakan-gerakan
tubuhnya membayangkan kelemasan dan kelembutan yang
tersembunyi tenaga mujijat. Melihat betapa mulut yang
segar dan manis itu mulai tersenyum-senyum, dengan hati
girang Wasi Bagaspati mengerti bahwa biarpun tidak
sepenuhnya, namun dara itu mulai terkena pengaruh
hikmat gairah nafsu berahi yang amat merangsang di saat
itu, terbawa oleh asap dupa dan dibangkitkan oleh tari-
tarian yang membayangkan dorongan nafsu berahi. Ia akan
berhasil, pikirnya. Kalau Retna Wilis menyerahkan
kehormatannya tanpa paksaan, tentu dara ini setelah sadar
akan tunduk dan mudah ia kuasai.
Tari-tarian mencapai puncaknya menjelang tengah
malam. Ni Dewi Nilamanik yang mengerahkan aji mantera
guna-guna sambil menari-nari menyentuh, mengelus dan
membelai bagian tubuh Retna Wilis yang mudah
terangsang, untuk membangkitkan berahi gadis itu. Suasana
di situ penuh dengan pengaruh mujijat sehingga Adiwijaya
sendiri yang duduk menonton, tak dapat menahan getaran
yang merangsang dan membangkitkan nafsu. Ia memandangi penari-penari itu dengan mata lapar dan liar
seolah-olah hendak dilahapnya tubuh-tubuh yang montok
setengah telanjang itu. Akan tetapi kalau ia melihat Retna
Wilis, seketika nafsu berahinya lenyap terganti rasa gelisah.
Ia menanti saat sebaiknya untuk bertindak. Sampai malam
ini, ia telah berhasil menyelamatkan nyawa gadis pujaannya
itu, sehingga tidak sampai dibunuh. Akan tetapi ia tahu
bahwa nasib yang lebih mengerikan menanti diri Retna
Wilis dan ia harus merenggut dara itu dari tangan Wasi
Bagaspati, kalau perlu ia akan berkorban nyawa.
Retna Wilis yang menjadi murid Nini Bumigarba dan
sudah digembleng dengan segala macam ilmu, yang keras
hati dan berperasaan dingin, betapapun juga hanya seorang
manusia dari darah daging. Kini ia berada di bawah
kekuasaan yang tidak wajar, di bawah pengaruh jamu
perampas semangat sehingga ia seperti orang kehilangan
ingatan dan kemauan. Kemudian, di bawah hikmat malam
pemujaan Sang Bathari Durgo yang seperti ayunan ombak
laut memabukkan, perlahan-lahan ia hanyut dan terbawa,
apalagi ditambah belain-belaian tangan Ni Dewi Nilamanik, mendengarkan bisikan-bisikan tentang cinta
nafsu, tentang kenikmatan badani, ia makin hanyut dan
sepasang matanya mulai bersinar-sinar dan seperti mata
orang mengantuk, tanda bahwa ia mulai terangsang.
Sambil menari, Ni Dewi Nilamanik memberi isyarat
kepada Wasi Bagaspati yang tertawa lebar, bangkit berdiri
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan menghampiri tempat tarian, mendekati Retna Wilis
dan memegang tangan gadis itu yang memandangnya
dengan mata sayu. "Marilah, Retna Wilis, marilah isteriku yang tercinta.
Mari kuberikan cintaku untuk memuaskan dahaga hatimu
......." ia berkata lalu menuntun Retna Wilis turun dari
tempat tarian menuju ke sebuah pondok yang dibangun di
tempat itu. Retna Wilis hanya menurut saja, kedua
lengannya masih bergerak-gerak seperti orang menari, tidak
membantah sedikit pun juga seperti seekor domba yang
dituntun ke tempat penyembelihan!
Perbuatan Wasi Bagaspati ini seolah-olah merupakan
pertanda bagi para penari dan yang hadir di situ untuk
mulai dengan pesta gila-gilaan. Tiga puluh orang wanita
anggauta pasukan Ni Dewi Nilamanik menyerbu ke tempat
tari-tarian diikuti anggauta pasukan pria dan mereka mulai
menari sambil berpelukan, berdekapan dan berciuman. Ni
Devil Nilamanik sendiri yang sudah terangsang hebat,
mencari-cari dengan pandang matanya. Akan tetapi
Adiwijaya yang dicarinya tidak tampak di situ, maka ketika
Wasi Bagaskolo sambil tertawa memeluk pinggangnya, ia
pun balas memeluk leher kakek itu sambil mengeluarkan
suara merintih seperti seekor kucing dielus-elus punggungnya! "Sang Wasi Bagaspati ........ ! Celaka ........ !!" Pintu
pondok itu didorong terbuka dari luar oleh Adiwijaya. Wasi
Bagaspati yang sudah membuka jubahnya itu cepat
membalikkan tubuh dengan sikap marah karena terganggu.
ia mengikatkan lagi ikat pinggangnya di luar jubah dan
membentak, "Keparat, Adiwijaya! Apa kehendakmu?"
Adiwijaya melirik ke arah Retna Wilis yang tergolek
terlentang di atas pembaringan dan diam-diam mengucap
syukur bahwa ia tidak terlambat, hanya selendang yang tadi
menutupi dada Retna Wilis yang sudah terbuka. Gadis ini
memejamkan mata dan bibirnya tersenyum lebar!
"Celaka, Sang Wasi ........ ada serbuan ........ dipimpin
oleh Bagus Seta ........ Mereka ........ mereka datang dari
lereng di timur ........ cepat ........ biar saya berusaha
menyadarkan Retna Wilis dan membujuknya agar ia dapat
membantu kita!" "Sialan ......!" Wasi Bagaspati mendengus, lalu melompat
ke pintu, akan tetapi ia teringat, mengeluarkan sebungkus
obat dari saku jubahnya kepada Adiwijaya, "Nih,
kausadarkan dia dan bujuk sampai dia dapat membantu!"
lalu tubuhnya berkelebat keluar dari pondok.
Adiwijaya cepat menghampiri Retna Wilis, dengan jari-
jari tangan gemetar ia memasangkan kembali selendang
menutupi dada yang terbuka itu, kemudian membuka
bungkusan obat dan setengah memaksa membuka mulut
Retna Wilis, menuangkan isi bungkusan yang berwarna
bubuk putih ke mulut dara itu. Retna Wilis tidak
Pangeran Perkasa 16 Wanita Iblis Karya S D Liong Anak Berandalan 9