Pencarian

Sepasang Naga Penakluk Iblis 1

Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 1


SEPASANG NAGA PENAKLUK IBLIS
Asmaraman S Kho Ping Hoo.
Telaga Se-ouw merupakan telaga yang amat
indah. See-ouw atau Telaga Barat ini adalah
satu di antara telaga-telaga yang terbesar dan
terkenal di seluruh daratan Tiongkok. Hampir setiap hari telaga itu
ramai dikunjungi orang dari dekat maupun jauh, untuk berperahu atau
hanya menikmati keindahan alam di sekitar telaga. Terutama sekali
pada hari besar dan hari pesta. Telaga itu penuh dengan perahu besar
kecil yang dihias serba indah, dan terdengarlah musik bersaingan
hiruk pikuk dari perahu-perahu besar dan dari tepi telaga.
Banyak seniman mengagumi keindahan See-ouw. Pelukis-pelukis
berdatangan untuk mengabadikan keindahan telaga dengan lukisan
mereka, di waktu pagi, siang atau senja di mana terjadi perubahan
keindahan pada telaga itu. Para penyair juga berdatangan dan
mengungkapkan kekaguman mereka terhadap keindahan telaga dalam
bentuk sajak-sajak. Alam memang indah, baik itu di sekitar telaga, di tepi laut, atau di
puncak gunung. Keindahan yang hidup, bukan seperti keindahan
benda buatan manusia yang mati dan membosankan, karena
keindahan alam tidak dibuat-buat, wajar, sedangkan keindahan buatan
manusia hanya ciptaan yang berdasarkan selera nafsu sementara saja.
Keindahan alam semesta tidak pernah sama, tidak mati, setiap saat
berubah, dan mengandung kedalaman yang tidak terukur oleh pikiran
manusia. 1 Menghadapi kebesaran dan keindahan alam, apa lagi ketika berada
seorang diri, baru terasalah betapa kecil tiada artinya diri kita ini. Kita
hanya sebagian kecil saja dari semua keindahan itu, kita termasuk di
dalamnya. Akan tetapi kalau kita sudah menempatkan diri di luar,
sebagai penonton dan menikmati keindahan, maka keindahan itupun
akan mati seperti keindahan selera nafsu, dan akan menjadi
membosankan. Pada pagi hari itu, tidak begitu banyak tamu mengunjungi telaga.
Hanya ada belasan buah perahu saja, itupun perahu-perahu kecil, dan
hanya ada sebuah perahu besar dari mana terdengar suara musik dan
nyanyian. Namun, kesunyian itu bahkan menambah menonjolnya
keindahan See-ouw. Biasanya, kalau terlalu ramai, keadaan menjadi
terlalu gaduh dan sibuk sehingga buyarlah keindahan itu, terganti oleh
kesenangan manusia yang membisingkan.
Dan banyaklah manusia yang mengeluh dan kecewa kalau keadaan
sepi seperti itu. Mereka adalah para pedagang makanan dan minuman,
para tukang perahu yang menyewakan perahunya, para gadis penyanyi
dan pelacur yang biasa disewa oleh mereka yang beruang dan yang
menghibur hati dengan cara mereka sendiri, yaitu ditemani gadisgadis penghibur yang cantik.
Hanya sebuah perahu besar yang membuat suasana agak meriah
karena perahu besar itu milik Koan Tai-jin seorang pembesar yang
terkenal dengan keroyalannya. Koan Tai-jin adalah seorang pembesar
yang sudah pensiun dan kini tinggal di dusun Tiang-cin, menjadi
seorang hartawan besar di dusun tempat asalnya itu. Rumahnya besar
dan megah, dan hampir seluruh sawah ladang yang paling baik
tanahnya di daerah itu adalah miliknya.
2 Dia hidup seperti seorang raja muda saja di daerah Tiang-cin. Bahkan
lurah dusun sendiri menjadi kaki tangannya, tunduk kepadanya! Hal
ini tidaklah mengherankan karena Koan Tai-jin, selain amat kaya raya
sehingga mampu membeli kepala orang-orang yang menjadi
lawannya, juga mampu membeli bantuan pembesar manapun juga,
selain itu, dia mempunyai banyak kenalan baik yang menjadi
pembesar di kota raja! Semua orang mengejar kekuasaan! Demikian penting kekuasaan
agaknya bagi semua orang. Dengan kekuasaan, orang akan merasa
dirinya besar, penting, menonjol, dan juga aman! Dengan kekuasaan
orang akan mampu menuruti segala kehendaknya, melampiaskan
segala nafsunya, dan karena itulah maka orang-orang berlumba untuk
memperoleh kekuasaan selagi hidup di dunia. Kekuasaan mereka
anggap dapat diperoleh melalui kedudukan, melalui harta kekayaan,
melalui kekuatan dan kepandaian, dan sebagainya. Pada hal,
kekuasaanlah yang menyeret manusia ke dalam lembah kesengsaraan,
ke dalam pertentangan, permusuhan, kebencian, bahkan perang!
Koan Tai-jin bernama Koan Ki Sek, seorang laki-laki yang berusia
kurang lebih limapuluh tahun. Tubuhnya tinggi kurus dengan
punggung agak bongkok. Sepasang matanya sipit sekali, hidungnya
besar dan mulutnya selalu menyeringai, dengan bibir dan gigi
menghitam karena racun tembakau yang selalu dibakar dan diisapnya
dengan sebatang huncwe (pipa tembakau) dari emas. Di dalam
rumahnya yang seperti istana itu, sudah terdapat seorang isteri yang
usianya empatpuluhan tahun, masih cantik, juga ada lima orang selir
yang muda-muda dan cantik manis.
3 Namun, Koan Ki Sek yang kini lebih terkenal dengan sebutan Koan
Wan-gwe (Hartawan Koan) memang seorang hidung belang yang
selain mata keranjang, juga bernafsu besar sekali sehingga belum akan
puas rasa hatinya kalau belum berhasil meniduri wanita yang memikat
hatinya. Banyak sudah isteri atau gadis orang menjadi korban
nafsunya dan dia lebih sering berhasil menyeret wanita yang
disukainya, dengan pengaruh uangnya atau kekuasaannya.
Wanita-wanita yang menjadi korbannya hanya mampu menangis,
suami dan ayah mereka hanya mampu mengepal tinju. Namun, kepada
siapa penghuni dusun Tiang-cin harus mengadu kalau kepala dusun
sendiri menjadi kaki tangan hartawan itu"
Seperti biasa, senjata kaum lemah tertindas hanya mengadu kepada
Langit dan Bumi, kepada Tuhan dengan tangis mereka, namun
nampaknya, seperti juga Langit dan Bumi, Tuhanpun diam saja!
Demikian memang kalau kita mengukur kekuasaan Tuhan secara
manusiawi, mengukur keadilan Tuhan seperti keadilan yang kita
kenal! Tuhan Maha Kuasa dan Maha Adil, namun kekuasaan dan
keadilannya itu maha besar, tak terjangkau oleh akal budi kita. Karena
itu, apabila timbul penafsiran manusia, akan terjadi salah tafsir.
Rahasia Gaib tersembunyi di dalam kekuasaan Tuhan, dan
bagaimanapun nampaknya dalam pengertian manusiawi, kekuasaan
Tuhan adalah Maha Benar dan Maha Adil!
Dan pada pagi hari itu, selagi keadaan telaga sunyi, Koan Ki Sek
sudah pelesir dengan perahunya yang besar dan megah. Dia tidak
perduli akan kesepian telaga karena dia sama sekali tidak merasa sepi
dengan adanya tiga orang gadis panggilan yang menghiburnya,
menemaninya berpesta, makan enak dan minum arak, ada yang
4 menyuapinya, ada yang duduk di pangkuannya, ada pula yang
memijatinya, sedangkan serombongan gadis penghibur lain bermain
musik, menyanyi dan menari!
Dalam bersenang-senang ini, Koan Wan-gwe ditemani oleh tiga orang
jagoannya yang juga menjadi pengawal-pengawal pribadinya. Tiga
orang jagoan inilah membuat Koan Wan-gwe ditakuti orang, karena
sekali saja hartawan itu memberi isyarat, maka tiga orang jagoan itu
tentu akan turun tangan dan akan celakalah lawannya!
Tiga orang jagoan ini amat terkenal di daerah See-ouw karena mereka
merupakan tokoh atau datuk golongan hitam yang merajalela di
daerah itu. Dikenal dengan juiukan See-ouw Sam-houw (Tiga
Harimau See-ouw). Mereka bertiga itu masih saudara seperguruan.
Yang pertama bernama Ban Sun usianya empatpuluh tahun, bermuka
hitam maka dijuluki Hek-bin-houw (Harimau Muka Hitam), tubuhnya
pendek gendut dan sikapnya kasar, selalu tertawa lebar dan amat
sombongnya. Dia merupakan saudara tertua dan paling lihai di antara
mereka bertiga, terkenal sekali dengan permainan goloknya yang lebar
panjang dan berat. Orang kedua bernama Kim Lok, usianya tigapuluh delapan tahun,
mukanya kuning seperti berpenyakitan, tubuhnya tinggi kurus dan
matanya yang sipit itu liar dan tajam seperti mata burung elang,
sikapnya pendiam namun dalam hal kekejaman, dia paling terkenal.
Kim Lok ini pandai sekali bermain sepasang pedang yang selalu
tergantung di punggungnya.
Adapun orang ketiga bernama Phang Ek, usianya tigapuluh enam
tahun, tubuhnya tinggi besar dan gagah, nampak kuat sekali, dengan
5 wajah yang menyeramkan, penuh berewok. Phang Ek ini tidak
nampak memegang atau menyimpan senjata besar seperti kedua orang
suhengnya, akan tetapi di balik jubahnya, kalau disingkap, akan
nampak bahwa ikat pinggangnya dari kulit itu penuh dengan pisaupisau yang belasan batang banyaknya. Pisau-pisau inilah yang
membuat dia terkenal dan ditakuti, karena selain dia dapat memainkan
pisau-pisau yang panjangnya hanya satu kaki itu sebagai senjata yang
ampuh, juga dia dapat menyambitkan pisau-pisau itu menjadi pisau
terbang yang dapat mencabut nyawa lawan. Dia dijuluki Hui-to (Pisau
Terbang), sedangkan Kim Lok dijuluki Siang-kiam-houw (Harimau
Berpedang Dua). See-ouw Sam-bouw ini tadinya merupakan tokoh-tokoh hitam di
telaga besar itu, dengan memungut semacam pajak liar dari para
tukang perahu, rumah makan, bahkan ada kalanya berani membajak
para tamu yang sedang pesiar di telaga. Akan tetapi, setelah mereka
ditarik oleh Koan Wan-gwe menjadi kaki tangannya tiga tahun yang
lalu, See-ouw Sam-houw tidak lagi mau mengganggu Telaga Seeouw. Kehidupan mereka sudah lebih dari cukup, mewah dan semua
keperluan mereka dipenuhi belaka oleh majikan mereka.
Sesuai dengan keadaan hidup mereka sebagai penjahat dan kini
sebagai tukang-tukang pukul, See-ouw Sam-how tidak pernah kawin
dan menjadi langganan rumah-rumah pelesir di kota-kota. Juga dalam
hal mengganggu wanita baik-baik, mereka hanya kalah oleh majikan
mereka saja. Pagi hari itu Koan Wan-gwe mengajak tiga orang jagoannya untuk
menemaninya pelesir, bukan sekedar untuk menjaganya di telaga itu.
Untuk tiga orang jagoan itu, dia juga mendatangkan tiga orang
6 perempuan panggilan yang kini masing-masing dipangku oleh para
jagoan yang sudah mulai mabok-mabokan itu.
Pagi ini Koan Wan-gwe memang mengadakan pesta untuk
menyenangkan hati See-ouw Sam-houw karena mereka bertiga
dianggap telah berhasil melaksanakan tugas mereka baru-baru ini.
Selama hampir satu bulan tiga orang jagoannya itu melaksanakan
tugas dan baru kemarin mereka pulang dengan hasil yang amat
memuaskan, karena buktinya ada sepucuk surat pribadi yang
ditandatangani oleh Hek-sim Lo-mo (Iblis Tua Berhati Hitam) sendiri
yang menyatakan bahwa Koan Wan-gwe diterima menjadi "sahabat"
dan dilindungi oleh Kiu Lo-mo (Sembilan Iblis Tua) yang semenjak
beberapa bulan ini menguasai atau merajai dunia sesat!
Bukan main girangnya hati hartawan itu, karena tanpa perlindungan
para datuk baru itu, tidak ada artinya segala kekayaan dan
kekuasaannya. Bahkan dia tidak mungkin dapat mempergunakan
kekuasaan para pembesar untuk melindungi dirinya, kekayaan dan
keluarganya. Sebaliknya, begitu Kiu Lo-mo menyatakan bahwa dia
adalah seorang yang dilindungi, tidak ada seekorpun setan berani
mengganggunya! Inilah yang menggirangkan hatinya walaupun dia
telah mengeluarkan banyak sekali emas dan perak yang dibawa oleh
tiga orang jagoannya untuk tanda hormat kepada para datuk sesat itu.
Dunia kang-ouw memang baru saja sempat dibuat geger oleh berita
tentang Kiu Lo-mo itu. Sembilan Iblis Tua itu adalah datuk-datuk
sesat yang sudah belasan tahun tidak pernah memperlihatkan diri
sehingga banyak orang mengira bahwa mereka telah tiada. Kiranya
mereka itu bertapa di tempat masing-masing dan kini mereka keluar
dari pertapaan dan bersekutu, membentuk pimpinan di atas semua
7 kelompok sesat, dan kabarnya Sembilan Iblis Tua itu kini menjadi
semakin sakti dan galak. Munculnya Kiu Lo-mo ini disambut dengan gembira oleh dunia
hitam, karena dengan adanya para datuk ini, kaum sesat tidak lagi
harus tunduk dan takut terhadap para pendekar yang selalu menentang
semua perbuatan jahat mereka. Kini ada Kiu Lo-mo yang melindungi
mereka dan kemunculan sembilan orang datuk ini disambut dengan
pesta pora berupa kejahatan-kejahatan yang dilakukan secara serentak
di mana-mana, membuat para pendekar menjadi terkejut bukan main.
Koan Wan-gwe dan tiga orang jagoannya itu kini semakin gembira
karena perut mereka kenyang dan kepala mereka penuh hawa arak.
Mereka tertawa-tawa dan tangan mereka semakin berani membuat
para wanita panggilan itu menggeliat dan tertawa cekikikan dan
kecabulanpun terjadilah di depan para gadis penabuh musik dan
penyanyi, tanpa ada lagi sopan santun. Kesusilaan tidak berlaku lagi
bagi empat orang yang menjadi hamba nafsu kesenangan ini, bahkan
mereka tidak perduli akan pandang mata segan dan takut namun ingin
tahu dari para penghuni perahu-perahu kecil yang kadang-kadang
mendekati perahu besar mereka.
Agak jauh dari perahu besar itu, nampak sebuah perahu lain. Perahu
ini kecil hanya dimuati dua orang saja, dengan payon rendah dan di
atas perahu kecil inipun terjadi kemesraan antara seorang pria dan
seorang wanita. Namun, sungguh sama sekali berbeda dengan
kemesraan mesum yang terjadi di atas perahu besar, antara pria-pria
pengejar nafsu jalang dan wanita-wanita pengejar uang. Yang terjadi
di atas perahu kecil itu adalah kemesraan yang terjadi antara dua orang
yang saling mencinta. 8 Pencurahan kemesraan karena kasih sayang ini nampak halus dan
mengharukan. Me- reka duduk berdampingan, saling berpegang
tangan, jari-jari tangan mereka saling cengkeram dan saling bergelut,
memancarkan getaran-getaran kasih dan setiap kali mereka bertemu
pandang, bibir mereka tersenyum dan dari pandang mata itu terpancar
cinta kasih yang amat dalam, jauh melebihi air telaga itu dalamnya.
Mereka seakan lupa diri dan lupa keadaan, bukan karena nafsu berahi
dan kesenangan, melainkan karena kebahagiaan. Bagi pria dan wanita
yang saling mencinta, nafsu berahi menjadi alat pencurahan kasih
sayang dan kemesraan, tidak seperti mereka yang di atas perahu, yang
menjadikan nafsu berahi sebagai majikan yang menguasai dan
membutakan mereka. Pria dan wanita dalam perahu kecil itu masih amat muda. Pria itu baru
berusia delapanbelas tahun, dan wanita itu tujuhbelas tahun. Dari
sikap mereka yang tidak canggung dalam pernyataan cinta mereka,
walaupun dalam batas-batas yang sopan karena di dalam cinta kasih
mereka terdapat pula saling menghargai dan saling menghormati,
mudah diduga bahwa mereka itu adalah suami isteri. Dan hal ini
memang benar. Mereka itu suami isteri, bahkan masih pengantin baru
karena baru lima bulan mereka menikah. Kini, isteri muda itu telah
mengandung hampir tiga bulan!
Suami muda itu bernama Tan Cin Hay, putera seorang guru dusun
yang miskin, dan isterinya bernama Gu Ci Sian, puteri seorang kepala
dusun sederhana pula. Selain mempelajari ilmu surat dari ayahnya
sendiri sejak kecil, juga Cin Hay pernah menjadi murid kuil Siauwlim-si, mempelajari ilmu silat Siauw-lim-pai yang terkenal hebat.
Selama lima tahun dia mempelajari ilmu silat dengan tekun dan kini
9 dia telah memiliki ilmu silat yang cukup lumayan, yang membuat dia
menjadi seorang pemuda yang bukan saja pandai baca tulis, akan
tetapi juga pandai ilmu silat dan bertubuh kuat.
Sejak tadi Cin Hay memandang wajah isterinya. Makin dipandang
semakin mempesona wajah itu, cantik manis bagaikan setangkai


Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bunga mawar yang baru saja disiram embun, segar kemerahan
tertimpa sinar matahari pagi. Dia menoleh ke kanan kiri. Tidak ada
lain perahu dekat situ, maka tanpa dapat menahan rasa cintanya yang
mendalam, dia lalu merangkul dan mencium mulut isterinya dengan
sepenuh kasih sayangnya. Ci Sian gelagapan, akan tetapi membalas ciuman suaminya. Ketika
mereka saling melepaskan ciuman dengan napas memburu, wajah
isteri muda itu menjadi semakin kemerahan dan sambil cemberut
manja ia berkata, "Ih, bagaimana kalau kelihatan orang lain?" Ia
menoleh ke kanan kiri dan merasa lega bahwa di situ tidak nampak
perahu lain dekat. Cin Hay tersenyum, "Maafkan, aku tadi lupa diri. Habis melihat
bibirmu demikian segar kemerahan......"
Isterinya menghela napas penuh kebahagiaan dan menyandarkan
kepalanya di pundak suaminya, matanya menatap jauh penuh
lamunan. Cin Hay mendekap erat. "Isteriku sayang, bahagiakah hatimu?"
bisiknya. Sang isteri mengangguk, akan tetapi alisnya berkerut. "Aku...... aku
merasa khawatir, 10 Koko......" "Khawatir" Mengapa?"
"Aku khawatir kalau keadaan ini akan berobah, tidak akan seterusnya
begini, koko......" "Ihh, kenapa kau berkata demikian, moi-moi" Bukankah aku cinta
padamu dan kau cinta padaku" Dan di dalam perutmu ini terdapat
calon anak kita! Ingat, calon anak kita pertama, isteriku. Matahari
akan selalu cerah, kehidupan kita akan selalu berbahagia, penuh cinta
kasih......" Namun Ci Sian menggeleng kepalanya yang masih bersandar pada
pundak suaminya, matanya memandang jauh ke atas dan telunjuk
kirinya menuding, "Lihat itu, koko. Matahari tidak selalu cerah......"
Cin Hay cepat mengangkat mukanya dan diapun melihat adanya awan
mendung yang cukup tebal datang mengancam matahari. Agaknya
gumpalan-gumpalan awan hitam tipis itu berkumpul menjadi
mendung yang tebal dan tak lama kemudian, sinar matahari yang
tadinya cerah mulai menjadi redup.
Melihat datangnya mendung hitam, bahkan kini mulai turun hujan
gerimis, para penghuni perahu-perahu kecil menjadi panik. Bagaikan
anak-anak ayam berlari-larian, mereka mendayung perahu-perahu
mereka ke tepi telaga. Melihat ini, mereka yang berpesta di perahu
besar dan yang mulai bosan dengan gadis-gadis panggilan mereka
yang sudah mulai mabok-mabokan pula, mendapatkan kegembiraan
baru. 11 Koan Wan-gwe dan tiga orang jagoannya sudah meninggalkan meja,
berdiri di tepi perahu yang terlindung, menyoraki perahu perahu kecil
yang kehujanan itu. Mereka sendiri merasa aman di perahu besar,
aman dari air hujan, juga aman kalau-kalau air telaga akan
bergelombang. Akan tetapi para gadis panggilan itu ikut pula merasa
panik, apa lagi mereka sudah terlalu banyak minum dan di antaranya
ada yang sudah muntah-muntah. Mereka ingin segera menerima upah
untuk kembali ke tempat penampungan mereka.
Tiba-tiba mata Koan Wan-gwe menangkap perahu kecil yang
ditumpangi Cin Hay dan Ci Sian. Biarpun dia sudah tigaperempat
mabok, namun matanya selalu masih tajam untuk dapat melihat
seorang wanita yang amat memikat hatinya. Dan Ci Sian memang
seorang wanita muda yang amat menarik hati, cantik jelita dan lembut.
Sungguh jauh bedanya dengan para gadis panggilan yang merupakan
boneka-boneka hidup dengan bedak dan yan-ci (pemerah) yang terlalu
tebal itu. Mata hartawan hidung belang ini terbelalak dan dia
mengambil huncwe emas dari mulutnya yang ternganga ketika dia
melihat Ci Sian di atas perahu kecil itu.
"Wah, bukan main......! Hayaaa...... betapa manisnya......" berulangkali
hartawan itu berseru kagum.
Sikapnya ini menarik perhatian tiga orang jagoannya dan merekapun
memandang dan segera mereka tahu apa yang membuat majikan
mereka demikian terkagum-kagum. Kiranya seorang wanita muda
dalam perahu itu yang seperti perahu-perahu lain, sedang didayung
oleh seorang laki-laki muda menyingkir ke pantai.
12 "Ha-ha-ha, kiranya lo-ya (tuan besar) naksir, ya?" Hek-bin-houw Ban
Sun tertawa- tawa. "Kalau naksir, ambil saja ia ke sini!" kata Kim Lok Si Harimau
Berpedang Dua. "Majukan perahu, kejar perahu kecil itu!" kata Phang Ek, Harimau
Pisau Terbang memerintah kepada tukang perahu.
Koan Ki Sek tersenyum menyeringai, mengangguk-angguk sebagai
jawaban atas pertanyaan Ban Sun dan kawan-kawannya, mulutnya
menggumam, "Bagus sekali, perempuan-perempuan panggilan itu
membosankan. Undang saja penghuni perahu itu naik ke sini, biar
menjadi tamuku, tamu kehormatan yang manis, heh-heh-heh!"
Sebentar saia perahu kecil yang didayung menuju ke tepi oleh Cin
Hay itu dapat disusul dan Cin Hay terkejut dan marah ketika tiba-tiba
saja ada perahu besar mendahuluinya dan perahu itu melintang di
depannya, membuat dia cepat memutar perahu kalau tidak mau
bertabrakan dan terguling.
"Heiii......! Mengapa kalian lakukan ini?" bentaknya marah sambil
menuding dengan telunjuknya ke arah beberapa orang yang
menjenguk dari atas perahu besar itu sambil tertawa-tawa.
Akan tetapi tidak ada yang menjawabnya, bahkan tiba-tiba perahu
kecil itu terkait dari atas! Cin Hay makin kaget, akan tetapi ketika
perahunya itu ditarik ke atas, dan melihat isterinya ketakutan dan
merangkulnya, diapun hanya dapat melindungi isterinya dan
memeluknya sambil menghiburnya.
13 Perahu kecil terus ditarik ke atas oleh beberapa orang, disambut suara
ketawa bergelak. "Aha, sekali ini kita dapat ikan besar!"
"Ikannya cantik dan mulus, tentu lezat sekali!"
"Wah, ini tanda bahwa rezeki lo-ya memang hebat!"
Cin Hay melompat keluar dari perahunya sambil memeluk tubuh
isterinya. Dia melihat bahwa di perahu besar itu terdapat seorang lakilaki tinggi kurus agak bongkok yang memegang huncwe emas, dan
melihat pakaiannya yang mewah, mudah diduga bahwa dialah
majikannya. Dan tiga orang itu tentu tukang pukul karena sikap
mereka yang kasar dan sombong. Sedangkan selebihnya adalah anak
buah. Ada pula perempuan-perempuan berbedak tebal berkumpul di
sudut, nampaknya ketakutan.
"Sebetulnya apakah artinya semua ini" Mengapa kalian melakukan hal
ini kepada kami, padahal kami sama sekali tidak mengenal kalian?"
Cin Hay kembali bertanya, menahan kemarahannya dan kini
memandang kepada laki-laki yang memegang huncwe emas itu.
See-ouw Sam-houw yang tadi menarik perahu kecil ke atas, hanya
menyeringai dan menanti majikan mereka untuk mengambil
keputusan dan menjawab pertanyaan Cin Hay.
Koan Wan-gwe menghisap huncwe itu, lalu mengepulkan asap
tembakau ke atas, lalu matanya melirik ke arah Ci Sian yang masih
merangkul suaminya, kemudian berkata, "Tadi aku melihat nona ini
kehujanan dalam perahu kecil, maka aku merasa kasihan dan aku yang
sedang kesepian ingin mengundang ia minum arak hangat di perahuku
ini. Marilah, nona."
14 Cin Hay merasa seolah-olah dadanya akan meledak saking marahnya.
"Ia adalah seorang wanita sopan dan baik-baik, tidak sepatutnya
menghadapi sikap yang begini kurang ajar dan tidak mengenal
kesusilaan! Kalian anggap siapa kalian ini?"
Koan Wan-gwe mengerutkan sepasang alisnya dan dengan sikap
congkak, dia memandang pemuda itu dari atas, seperti seorang
bangsawan memandang kepada seorang budak belian saja.
"Huh, orang tak tahu diri. Apamukah nona ini?"
"Ia isteriku!" jawab Cin Hay marah.
Pada saat itu, Hek-bin-houw Ban Sun sudah melangkah maju
menghadapi Cin Hay seperti hendak melindungi majikannya. "Orang
muda! ketahuilah bahwa majikan kami ini adalah Koan Wan-gwe
yang dulu pernah menjadi Koan Tai-jin. Siapa tidak mengenal Koan
Wan-gwe dari dusun Tiang-cin" Harap engkau suka tahu diri sedikit
dan bersikap hormat kepada beliau."
Cin Hay maklum bahwa dia berada di tempat berbahaya, apa lagi dia
harus melindungi isterinya. Akan tetapi, selama lima tahun dia belajar
silat di kuil Siauw-lim-si yang selain menggemblengnya dengan ilmu
silat pilihan, juga telah menanamkan watak pendekar pada batinnya.
Di samping itu, kemarahannya karena isterinya dihina orang membuat
dia merasa sukar untuk mengalah.
"Akan tetapi, kami tidak bersalah. Kami tidak mengenal kalian dan
kami tidak melakukan kesalahan apapun. Kalian membawa kami ke
sini dengan paksa, bahkan kalian menghina isteriku. Bagaimana aku
15 harus bersikap hormat?" bentaknya dan dia sudah mengepal kedua
tinjunya, siap untuk melawan.
"Bocah sombong! Majikan kami telah mengundang isterimu untuk
menemaninya minum arak, itu suatu kehormatan dan engkau
sepatutnya menghaturkan terirna kasih!" bentak Kim Lok sambil
mengerutkan alisnya. "Kalau majikan kami hendak meminjam sebentar isterimu, engkau
boleh merasa bangga!" Phang Ek juga berteriak marah.
Cin Hay melotot memandang kepada mereka. "Kenapa kalian tidak
meminjamkan saja isteri kalian kepadanya" Kalau aku, jangan harap
dapat menyentuh isteriku sebelum melewati mayatku!" Cin Hay
mendorong dengan lembut agar isterinya mundur dan menjauh di
belakangnya. Dengan ketakutan Ci Sian lalu mundur sampai menyentuh langkan di
tepi perahu besar di mana ia berdiri merangkul papan langkan dengan
tubuh gemetar dan muka pucat.
"Heh-heh, agaknya anjing kecil ini baru mulai belajar menggonggong
maka dia berani!" kata Hek-bin-houw Ban Sun dan laki-laki muka
hitam perut gendut ini sudah menerjang maju, tangan kanannya
menyambar ke arah kepala Cin Hay dengan cengkeraman kuat,
disusul hantaman ke arah perut pemuda itu. Serangan ini cepat dan
kuat sekali dan kalau satu di antara serangan itu mengenai sasaran,
agaknya akan celakalah pemuda itu.
Namun, tidak percuma Cin Hay mempelajari ilmu silat selama lima
tahun dalam kuil Siauw-lim. Cepat dia sudah mengangkat lengan
16 kirinya menangkis ke atas. Dan tangan kanannya juga menangkis ke
bawah, lalu tangan kanan itu begitu bertemu lengan lawan, diteruskan
ke bawah dan tangannya yang terbuka menusuk ke arah perut lawan.
"Hukkk!" Otomatis Hek-bin-houw membungkuk ketika perutnya
tertusuk tangan yang miring, dan pada saat itu, Cin Hay mengangkat
kaki kirinya sehingga lututnya menghajar dagu si gendut pendek.
"Dukkk!" Tubuh gendut pendek itu hampir terjengkang, terhuyung
dan matanya terbelalak, mukanya yang hitam menjadi lebih hitam
karena darah telah naik ke mukanya.
Sebetulnya, satu di antara See-ouw Sam-houw ini bukan orang lemah
dan kalau tadi dengan amat mudahnya dia terkena tusukan tangan dan
tendangan lutut adalah karena dia terlalu memandang rendah
lawannya. Memandang rendah lawan merupakan pantangan besar bagi
seorang ahli silat, karena hal ini mendatangkan kelengahan pada diri
sendiri. "Aha, kiranya bukan hanya menggonggong, akan tetapi sudah belajar
menggigit pula anjing cilik ini!" teriaknya untuk menutupi rasa malu,
dan dengan marah tangannya sudah mencabut golok besarnya.
Nampak sinar berkilauan ketika dia memutar golok besar itu di atas
kepalanya. Melihat ini, Cin Hay maklum bahwa perkelahian mati-matian tak
dapat dihindarkan lagi. Dia harus membela keselamatan dirinya, juga
membela kehormatan isterinya, maka karena dia tidak membawa
senjata, cepat dia menyambar dayung kayu yang tadi dia pakai
mendayung perahu kecil. Dia memegang dayung itu seperti sebatang
17 toya, senjata yang pernah dipelajarinya secara tekun di kuil Siauwlim.
Datanglah serangan golok itu, bertubi-tubi. Sinar golok bergulunggulung dan menyambar-nyambar dahsyat, namun Cin Hay dapat
mengelak dan menangkis dengan baiknya, bahkan membalas dengan
dayungnya. Permainan silat nya mantap dan sukarlah bagi Hek-binhouw untuk mendesaknya. Bahkan belasan jurus kemudian, sapuan
dayung itu menyerempet tulang kering kaki kiri Ban Sun yang
berteriak kesakitan sambil terpincang-pincang.
Melihat ini, Kim Lok sudah membantu temannya, menyerang dengan
sepasang pedangnya. Gerakannya cepat dan kuat, mengejutkan hati
Cin Hay yang maklum bahwa lawan baru ini tidak kalah hebatnya
dibandingkan lawan pertama. Apa lagi Phang Ek juga sudah
mengeroyoknya pula, kedua tangannya memegang masing-masing
sebatang pisau yang panjangnya satu kaki, runcing dan tajam sekali
sehingga ketika dimainkan kedua pisau itu mengeluarkan suara
berdesing. Kini Cin Hay dikeroyok tiga! Karena pemuda ini hanya bersenjatakan
sebuah dayung, tentu saja dia mulai kewalahan menghadapi
pengeroyokan tiga orang jagoan yang tingkat kepandaiannya masingmasing sudah cukup tinggi dan tidak kalah olehnya itu. Sedapat
mungkin dia membela diri, namun makin lama dia semakin terdesak.
Dia teringat akan isterinya dan hal ini membuat dia menjadi semakin
gugup dan semakin kacau pertahanannya.
Ketika dia harus menangkis golok dan sepasang pedang sekaligus,
dayungnya tidak kuat bertahan dan patah menjadi dua, tubuhnya
18 terhuyung dan pada saat itu, sinar pedang, golok dan pisau
menyambar-nyambar. Cin Hay berusaha mengelak, namun sebuah
bacokan golok merobek kulit pahanya dan sebuah tusukan pedang
menyerempet pundaknya. Dia terjungkal mandi darah. Saat itu, sambil
tertawa Hek-bin-houw Ban Sun menendangnya, keras sekali dan
tubuh Cin Hay terlempar keluar perahu dan tercebur ke dalam air
telaga. "Hay-koooo......" Ci Sian yang sejak tadi berpegang pada langkan dan
nonton pertandingan dengan muka pucat dan tubuh gemetar, begitu
melihat suaminya roboh dan ditendang keluar perahu, menjerit dan
berusaha untuk meloncat keluar, menyusul suaminya. Akan tetapi
pada saat itu, dengan lagak seorang pendekar menolong orang, kedua
tangan Koan Ki Sek sudah merangkul pinggangnya dan menariknya
dari langkan. "Sudahlah, manis, jangan perdulikan dia lagi. Mari bersenang dengan
aku, heh-heh." Dan Koan Wan-gwe terus menariknya.
Ci Sian menjerit dan meronta, bahkan lalu menjatuhkan diri di atas
lantai perahu, namun hartawan itu sambil tertawa-tawa lalu
menyeretnya, dan memerintahkan dua orang gadis panggilan untuk
membantunya. Tubuh Ci Sian yang masih meronta dan menjerit
itupun diseret ke dalam bilik perahu.
Sementara itu, biarpun paha dan pundaknya sudah terluka, Cin Hay
masih berhasil memegang tali perahu besar dan berusaha memanjat
naik lagi. Melihat ini, Hui-to-houw Phang Ek lalu menggerakkan
kedua tangannya. 19 "Sing! Sing!" Dua batang pisau terbang ke bawah dan menancap pada
betis kiri dan bahu kanan Cin Hay yang mulai memanjat tali besar itu.


Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tentu saja pemuda itu harus melepaskan pegangannya dan terjatuh
lagi ke dalam air, dengan dua luka tambahan karena kedua pisau itu
masih menancap di tubuhnya.
Namun, begitu tubuhnya menimpa air, hanya sebentar Cin Hay
tenggelam. Semua orang yang nonton dari langkan perahu melihat
betapa pemuda yang tahan derita itu sudah muncul kembali dan masih
berusaha untuk menangkap tali perahu! Melihat ini, Hek-bin-houw
Ban Sun tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, anjing tolol! Dari pada menerima hadiah besar dari Koan
Wan-gwe, engkau memilih mampus. Baru tahu sekarang kelihaian
See-ouw Sam-houw!" Dia lalu mengambil perahu kecil yang tadi
ditumpangi Cin Hay dan isterinya, mengangkatnya dengan kedua
tangannya yang kuat lalu melemparkan perahu itu ke arah Cin Hay!
Semua orang melihat betapa perahu itu menimpa tepat di atas kepala
pemuda itu dan Cin Hay tidak nampak lagi.
Tiga orang jagoan itu tertawa-tawa ketika mendengar jerit tangis Ci
Sian dari bilik perahu makin melemah, sementara hujan turun dengan
amat derasnya. Perahu besar bergerak perlahan menjauh dan di bawah
hujan deras, keadaan di atas telaga indah itu menjadi menyeramkan
sekali. Keindahannya lenyap berganti keadaan yang penuh dengan
kekejian manusia. Di atas telaga tidak nampak perahu lain kecuali
perahu besar yang masih bergerak perlahan.
Kurang lebih dua jam kemudian, Koan Ki Sek membuka daun pintu
bilik perahu dari dalam dan masih terdengar isak lemah dari dalam
20 bilik. Pakaian hartawan ini tidak karuan dan yang lebih hebat lagi,
rambutnya awut-awutan dan mukanya berdarah, ada bekas-bekas
guratan dan cakaran kuku pada seluruh mukanya. Wajahnya
membayangkan kemarahan ketika dia memanggil tiga orang
jagoannya yang masih menggeluti para gadis panggilan.
Ketika tiga orang jagoan itu tergesa-gesa datang, dia berkata seram,
"Anjing betina itu menyakiti aku, kuberikan kepada kalian!"
Mendengar ini, tiga orang jagoan itu menyeringai dan Hek-bin-houw
Ban Sun meloncat ke dalam dan tak lama kemudian dia sudah keluar
lagi memondong tubuh Ci Sian yang hanya mampu mengerang
dengan tubuh terbungkus pakaiannya yang tadi, pakaian warna kuning
yang kini sudah robek-robek. Tiga orang jagoan itu lalu pergi menuju
ke bilik kedua dan terjadilah kekejaman yang melampaui segala batas
prikemanusiaan. Biarpun mereka semua itu mengetahui bahwa isteri muda itu dalam
keadaan hamil, namun Koan Ki Sek dan tiga orang jagoannya sama
sekali tidak ambil pusing, sama sekali tidak menaruh hati kasihan.
Mereka itu tiada ubahnya segerombolan srigala yang haus darah, dan
Ci Sian bagaikan seekor domba muda yang terjatuh ke dalam
cengkeraman gerombolan srigala itu!
Setiap orang manusia harus selalu ingat dan waspada. Ingat selalu
kepada Tuhannya, kepada yang menciptakan dirinya, yang
menghidupkannya dan yang kelak menentukan kematiannya, ingat
bahwa Tuhan tidak pernah membenarkan setiap perbuatan yang jahat
dam kejam terhadap sesama hidup. Dan selalu harus waspada terhadap
dirinya sendiri, terhadap setiap langkah hidupnya, setiap
21 perbuatannya. Setan berada di dalam diri sendiri, di dalam pikiran.
Suara setan selalu membisikkan bujuk rayu mengejar kesenangan.
Pikiran selalu mengenang dan membayangkan kesenangan sehingga
kita terlena, kita menjadi budak dari nafsu. Dan sekali kita menjadi
budak nafsu, maka kita tidak melihat lagi bahwa keadaan ini membuat
kita menjadi kejam. Kita seperti buta, tidak menyadari bahwa apa
yang kita lakukan itu sungguh sesat.
Seperti juga Koan Ki Sek dan tiga orang jagoannya itu. Mereka tidak
lagi menyadari bahwa mereka telah melakukan hal amat jahat. Mereka
hanya menganggap bahwa mereka berhak bersenang-senang selagi
masih hidup! Mereka adalah budak-budak nafsu mereka sendiri.
Kita tengok kembali keadaan Tan Cin Hay, suami muda yang bernasib
malang itu. Benarkah seperti dugaan mereka yang berada di atas
perahu besar bahwa pemuda itu tewas dengan kepala remuk tertimpa
perahunya sendiri yang dilontarkan oleh Hek-bin-houw Ban Sun dari
atas perahu besar" Nampaknya memang demikian, namun mati hidup
seseorang sepenuhnya berada di tangan Tuhan. Kalau Tuhan
menghendaki bahwa orang itu masih hidup, diusahakan bagaimanapun
juga, orang itu akan tetap hidup. Sebaliknya kalau Tuhan
menghendaki dia mati, tidak diapa-apakan pun dia akan mati sendiri!
Ketika perahu kecil itu melayang turun dari atas, Cin Hay masih
dalam keadaan sadar dan diapun maklum akan datangnya bahaya maut
atas dirinya. Maka, hanya beberapa sentimeter selisihnya sebelum
perahu itu menimpa kepalanya, diapun menyelam dan perahu itu
menimpa air. Cin Hay lalu bersembunyi di bawah perahu yang
kebetulan jatuhnya menelungkup dan berpegang kepada tepi perahu
22 yang perlahan-lahan terbawa ombak dan pergi menjauh di bawah
siraman air hujan yang semakin deras.
Banyak darah yang keluar dari luka-lukanya, membuat tubuhnya
terasa lemas dan rasa nyeri yang amat sangat, membuat kesadarannya
hampir hilang. Dalam keadaan setengah pingsan, Cin Hay bergantung
dengan sisa tenaganya pada perahu menelungkup itu. Ombak
mendorong perahu itu menuju ke sebuah tepian.
Bunyi guntur menggelegar dibarengi kilat menyambar mengejutkan
Cin Hay dan membuatnya kembali ke alam sadar. Begitu sadar
sepenuhnya, dia terkejut dan berteriak sekuatnya karena dia teringat
akan semua yang telah dialaminya, terutama sekali teringat betapa
isterinya, Ci Sian, tertinggal di alas perahu besar bersama para
penjahat itu! Akan tetapi, teriakannya tidak mengeluarkan suara keras,
hanya rintihan. "Sian-moi...... Sian-moi...... isteriku......!"
Dia mengeluh dan hampir menangis. Dipandangnya ke kanan kiri,
cuaca sudah gelap karena kiranya siang telah berganti malam, dan dia
tidak melihat sebuahpun perahu, juga perahu besar yang dicarinya
tidak nampak. Sebaliknya, remang-remang dia melihat daratan dengan
pohon-pohon yang menggelantung dan menjulurkan dahan-dahan dan
daun-daunnya ke air. Timbul semangatnya. Dia harus menyelamatkan diri ke daratan, dia
harus berusaha mencari perahu besar itu, mencari isterinya. Kalau
dibiarkan terlalu lama dia di air, dia tidak akan kuat dan tentu akan
tenggelam. 23 Teringat akan isterinya, semangat untuk mencari dan berusaha
menyelamatkan isterinya, memberi kekuatan baru kepada Cin Hay
dan diapun berenang ke tepi. Biarpun tepi tidak jauh lagi, namun dia
merasa tenaganya habis dan akhirnya, terengah-engah dia dapat
menjangkau dahan pohon itu, menarik tubuhnya ke tepi dan berhasil
merangkak naik ke darat. Akan tetapi, napasnya terengah-engah,
dadanya nyeri, pandang matanya berkunang dan diapun tidak ingat
apa-apa lagi, menggeletak pingsan, terlentang di atas tanah dengan
kedua kakinya masih di dalam air.
Dia tertidur atau pingsan sampai pagi. Sinar matahari telah mengusir
embun dan halimun di permukaan air telaga ketika sayup-sayup Cin
Hay mendengar suara isterinya memanggil-manggil namanya.
Anehnya, suara isterinya itu amat merdu, dan memanggil-manggilnya
seperti orang bernyanyi, dengan suara naik turun, tinggi rendah.
Cin Hay mendengar dengan jelas, akan tetapi merasa tubuhnya
sedemikian lemahnya sehingga tidak mampu bangkit. Jangankan
bangkit, menggerakkan kaki atau tangan saja dia tidak kuat, tenaganya
habis. Dia lalu mengumpulkan sisa tenaganya, membuka mulutnya
dan memanggil, sekali ini berhasil. Terdengar teriakan dari mulutnya,
walaupun lemah namun cukup lantang.
"Sian-moi......!" Dan dia terkulai lagi.
Yang disangkanya suara isterinya memanggil-manggil tadi tiba-tiba
berhenti. Itu bukanlah suara isterinya memanggil, melainkan suara
suling yang ditiup orang. Peniupnya seorang kakek tua renta yang
rambut, kumis dan jenggot panjangnya sudah putih semua. Agaknya
teriakan Cin Hay terdengar olehnya dan kakek itu yang tadi berjalan
24 perlahan sambil meniup suling, menghentikan tiupan sulingnya dan
menghampiri tepi danau. Ketika dia melihat tubuh Cin Hay yang menggeletak seperti tak
bernyawa lagi itu, dia menyelipkan sulingnya di ikat pinggang, lalu
berjongkok, mulutnya berkata lirih, "Ya Tuhan, apakah yang telah
terjadi denganmu, orang muda?" Dengan lembut dan cepat, kakek itu
memeriksa keadaan tubuh Cin Hay, pemuda yang pakaiannya robekrobek, tubuhnya luka-luka dan ada dua batang pisau menancap di betis
kaki kiri dan di bahu kanan. Wajah Cin Hay pucat seperti mayat,
pernapasannya lemah dan tinggal satu-satu, megap-megap seperti ikan
sekarat di daratan. Setelah memeriksa nadi pemuda itu beberapa lamanya, kakek tadi
mengangguk-angguk. "Bagus, hanya kehabisan darah, tidak ada luka
di dalam......" katanya dan dia menurunkan ciu-ouw (tempat arak)
yang terbuat dari kulit waluh yang dikeringkan, juga mengeluarkan
bungkusan kain terisi pel-pel merah. Diambilnya tiga butir pel merah,
lalu dia membantu Cin Hay menelan pel-pel itu, dimasukkan ke mulut
pemuda itu dan didorong oleh arak yang memancar keluar dari tempat
arak dengan kuat ketika tempat arak itu dipencetnya. Tiga butir pel itu
tertelan. Kemudian, dengan hati-hati kakek itu mencabut dua batang pisau,
diperiksanya sebentar pisau-pisau itu lalu dilemparkannya ke dalam
telaga, lalu diobatinya luka-luka di tubuh Cin Hay dengan semacam
obat bubuk putih. Yang terakhir, dia menempelkan telapak tangan
kirinya di dada Cin Hay dan dari telapak tangan itupun mengalir
keluar hawa yang panas dan yang membuat seluruh tubuh Cin Hay
tergetar hebat. 25 Tak lama kemudian terdengar Cin Hay smengeluh dan dia membuka
kedua matanya. Kakek itu kembali mengangguk-angguk dan
tersenyum, lalu berkata, "Bagus, engkau memang memiliki tubuh
yang kuat. Engkau telah terhindar dari maut, orang muda."
Cin Hay segera sadar dan dapat menduga bahwa kakek ini tentulah
orang yang menolongnya. Dia teringat akan isterinya dan memandang
ke kanan kiri. Melihat ini, kakek itu membantu Cin Hay bangkit
duduk dan bertanya lembut, "Siapa yang kaucari, orang muda?"
"Isteri saya...... ah, isteri saya dilarikan orang......" Dia lalu
menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu, "Locianpwe, tolonglah
saya, selamatkan isteri saya......"
"Isterimu dilarikan orang" Di mana" Oleh siapa?" kakek itu bertanya.
Sikapnya tenang sekali sehingga Cin Hay yang merasa khawatir akan
nasib isterinya, menjadi tidak sabar dan mencoba bangkit berdiri.
Akan tetapi dia terhuyung dan tentu roboh kalau tidak cepat dirangkul
kakek itu. Cin Hay merasa betapa rangkulan lembut itu mengandung
tenaga yang amat kuat. "Mereka...... orang-orang jahat di perahu besar...... mereka melarikan
isteriku....... ohhhh......"
"Tunggu, kuambil perahu itu," kata kakek itu ketika melihat sebuah
perahu kecil mengapung tak jauh dari tepi, hanya dalam jarak belasan
meter saja. Dia membantu Cin Hay duduk kembali, lalu meninggalkan
pemuda itu. 26 Cin Hay memandang dengan heran ketika melihat kakek itu
mematahkan dua batang dahan pohon, kemudian melepaskan dua
batang dahan itu ke atas air dan kakek itupun melompat ke atas dua
batang dahan yang besarnya hanya sebetis kaki. Kemudian, kakek itu
menggerak-gerakkan kedua lengannya seperti burung yang hendak
terbang dan tubuhnya meluncur ke depan, ke arah perahu! Cin Hay
bengong. Bagaimana mungkin orang dapat menggunakan dua batang
dahan untuk mengambang di atas air dan bahkan meluncur secepat
itu" Kakek yang bertubuh tinggi kurus itu kini sudah memegang perahu,
dibalikkannya perahu itu dan diapun meloncat ke dalam perahu, lalu
menggunakan sebatang di antara dua dahan itu untuk mendayung
perahu ke tepi. Dia meloncat ke darat menarik perahu ke darat pula,
kemudian dengan mudah sekali dia memondong tubuh Cin Hay dan
membawanya ke perahu, mendudukkan tubuh pemuda itu di dalam
perahu. Dan diapun mendorong kembali perahu ke air dan
didayungnya ke tengah. Cin Hay merasa seperti dalam mimpi. Perahu itu meluncur dengan
kecepatan yang tak masuk akal rasanya! Perahu itu berkeliling ke
seluruh permukaan telaga, dan akhirnya kakek itu meluncurkan
perahunya ke arah perahu besar yang berlabuh di pusat pelesiran
Telaga See-ouw, di mana terdapat rumah-rumah makan dan
pedusunan. Ketika kakek itu mendaratkan perahunya dan menuntun Cin Hay
turun, ternyata perahu besar itu telah kosong. Tubuh Cin Hay telah
mulai agak kuat dan ternyata pcngobatan yang diberikan kakek itu
27 sungguh mujarab sekali. Cin Hay melakukan penyelidikan, bertanyatanya tentang para penghuni perahu besar.
Seorang nelayan tua tergopoh menghampirinya. "Orang muda,
siapakah yang kaucari?"
"Para penghuni perahu besar itu. Ke mana mereka?" tanya Cin Hay,
sedangkan kakek tua penolongnya hanya berdiri memandang.
"Maksudmu, Koan Wan-gwe dan anak buahnya" Mereka telah pergi,
pagi tadi, pagi sekali mereka telah pergi."
"Dan...... wanita muda itu......?"" tanya Cin Hay, hatinya penuh
kegelisahan. "Huh, perempuan-perempuan panggilan itu" Merekapun sudah pergi
semua......!" "Bukan, bukan mereka maksudku. Wanita muda...... yang menjadi
tawanan mereka!" "Wanita...... wanita muda......" Pakaian...... pakaian kuning?" nelayan
tua itu menegaskan, mukanya berubah dan suaranya agak gemetar.
"Benar! Benar ia! Di manakah ia, paman" Apakah mereka itu
membawanya pergi?" Dengan mata terbelalak nelayan tua itu menjawab, suaranya lirih dan
gemetar. "Wanita muda berpakaian kuning itu......, bukankah ada tahi
lalat kecil di dagunya......?"
28 "Benar! Benar ia, isteriku!"
"Isterimu orang muda" Ya Tuhan......! Isterimu......?"
Cin Hay tidak sabar lagi. Dia memegang lengan nelayan tua itu dan
biarpun dia baru saja sembuh, namun tenaganya memang besar
sehingga ketika dia memegang dengan pengerahan tenaga, nelayan itu
menyeringai kesakitan dan mengaduh. Cin Hay baru menyadari, make
cepat dia mengendurkan pegangannya.
"Maaf, paman, akan tetapi cepat katakanlah, apa yang telah terjadi
dengan Ci Sian, isteriku, wanita muda berbaju kuning itu" Di mana
ia?" Dengan tangan gemetar, nelayan tua itu menunjuk ke arah bukit kecil,
tak jauh dari situ. "Ia...... ia di sana......"
Cin Hay menoleh ke arah bukit itu, terbelalak.
"Paman, tunjukkanlah di mana ia berada......" Dan tersaruk-saruk
diapun mengikuti nelayan tua itu mendaki bukit kecil. Di
belakangnya, bagaikan bayangan saja, kakek penolongnya mengikuti.
Cin Hay agaknya sudah melupakan kakek itu, saking tegangnya ingin
bertemu dengan isterinya yang menurut nelayan tua itu berada di


Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bukit. Akan tetapi, nelayan tua itu berhenti di lereng bukit kecil, berhenti di
depan sebuah gundukan tanah yang masih baru, dan suaranya seperti
29 berbisik ketika dia berkata sambil menunjuk ke arah gundukan tanah
itu, "Ia...... ia berada di sini, terkubur di sini......"
Wajah yang sudah pucat itu kini semakin pucat seperti mayat,
matanya terbelalak, kedua lengannya terpentang dan mulutnya
mengeluarkan jerit menyayat hati, "Sian moi......!!!" dan tubuh Cin
Hay terkulai dan diapun terjatuh ke dalam rangkulan kakek yang
berdiri di belakangnya dalam keadaan pingsan.
Ketika dia siuman kembali, Cin Hay segera teringat dan diapun
bangkit duduk. Sebuah tangan dengan lembut menyentuh pundaknya
dan suara kakek yang lembut itu berkata, "Orang muda, bersikaplah
tenang. Seorang laki-laki bagaimanapun juga tidak boleh terseret oleh
duka dan memperlihatkan kelemahan. Tenang dan tegaklah
menghadapi kenyataan hidup!"
Cin Hay merasa seolah-olah kepalanya disiram air dingin. Teringat dia
akan gemblengan batin yang pernah diterimanya di kuil Siauw-lim,
maka diapun menahan perasaannya, memandang ke arah gundukan
tanah, lalu menoleh kepada nelayan tua yang masih duduk berjongkok
dekat kuburan baru itu. Kata-kata lembut kakek tua renta itu menyadarkannya dan kini dia
dapat menenteramkan hatinya. "Paman," katanya kepada nelayan tua
itu, "yang terkubur di sini adalah isteriku. Tolonglah paman ceritakan,
apa yang telah terjadi pagi tadi di sini."
Nelayan itu memandang dengan alis berkerut dan sinar mata penuh
rasa iba, lalu dia menarik napas panjang dan bercerita, "Pagi tadi, baru
30 saja terang tanah, perahu besar itu minggir. Pemiliknya, Koan Wangwe, tergesa-gesa turun bersama para gadis panggilan dan penyanyi
itu, naik dua kereta yang sudah menunggu di sini dan mereka lalu
pergi. Tak lama kemudian, muncul See-ouw Sam-houw, tiga orang
jagoan yang kami takuti itu. Mereka adalah kaki tangan Koan Wangwe, akan tetapi dahulu pernah menjadi jagoan di telaga ini. Mereka
lalu memerintahkan kami, yaitu aku sendiri dan tiga orang kawan
nelayan untuk membantu mereka. Kami disuruh mengangkat jenazah
seorang wanita muda yang cantik, berpakaian kuning. Karena aku
mengangkat bagian kaki, aku melihat tahi lalat ke?cil di dagunya
itu......" "Sudahlah, paman, ia isteriku. Akan tetapi tahukah paman mengapa
ia...... ia mati......" Adakah luka-luka ......?"
Nelayan itu menggeleng kepala. "Aku tidak tahu, tidak nampak lukaluka, akan tetapi pakaiannya bagian bawah penuh darah......"
"Ahhh......!" Cin Hay menutupi kedua mukanya, seolah-olah dia tidak
ingin melihat pemandangan yang membayang di depan matanya.
Isterinya sedang hamil tiga bulan, dan banyak darah itu hanya punya
satu arti, yaitu isterinya keguguran!
Sebuah tangan menepuk pundaknya dan Cin Hay kembali dapat
mengusai hatinya dan dia mengangkat muka memandang nelayan itu
dengan wajah pucat. "Lalu bagaimana, paman" Teruskanlah ceritamu," katanya lirih.
"Tiga orang jagoan itu memaksa kami untuk menggotong jenazah itu
ke tempat ini, menyuruh kami menggali lubang dan mengubur jenazah
31 itu setelah kami dipaksa untuk mencari sebuah peti mati sederhana.
Semua kami terpaksa melakukannya karena kami takut kepada
mereka. Setelah penguburan selesai, mereka pergi begitu saja tanpa
ucapan terima kasih kepada kami."
Suara itu bernada marah dan jelaslah bahwa dengan menceritakan
semua ini, nelayan tua itu melampiaskan dendam dan kemarahannya
kepada See-ouw Sam-houw. Cin Hay merasa berterima kasih sekali kepada nelayan tua itu dan tiga
orang temannya. Dia mengeluarkan semua sisa uang yang
disimpannya dalam saku bajunya, menyerahkannya kepada nelayan
tua itu sambil berkata, "Paman, tolong belikan bahan sembahyang
sederhana, dan sisa uangnya harap paman bagikan dengan tiga orang
teman paman yang telah membantu pemakaman jenazan isteriku."
Nelayan miskin itu tentu saja menjadi girang sekali. Jumlah uang itu,
setelah dibelikan alat sembahyang, masih bersisa amat banyak bagi
dia dan kawan-kawannya. Maka sambil berterima kasih dan
membungkuk-bungkuk, dia cepat pergi untuk mencari dan membeli
bahan sembahyang seperti hio, hidangan sederhana, dan lain-lain
keperluan sembahyang. Setelah nelayan itu pergi, Cin Hay berlutut di depan makam isterinya
dan tenggelam dalam samadhi, tidak teringat lagi kepada kakek tua
renta yang masih duduk dengan tenang tak jauh dari situ, di atas
sebuah batu datar sambil mengamati pemuda yang baru tertimpa
malapetaka itu. Ketika nelayan tua itu datang membawa bahan sembahyangan yang
sederhana. Cin Hay segera bersembahyang di depan makam isterinya,
32 dan terdengar bisikannya yang penuh duka, "Ampunkan aku, isteriku.
Aku suamimu yang tidak berharga telah gagal melindungimu dari
tangan para penjahat terkutuk itu....."
Setelah selesai bersembahyang, Cin Hay bersila di depan makam,
memandang ke arah asap hio yang mengepul ke atas dan tenggelam
dalam lamunan. Nelayan tua itu telah pergi, namun kakek tua renta masih duduk
bersila di atas batu tadi.
"Orang muda, apakah yang akan kaulakukan sekarang?"
Suara yang lembut itu memecah kesunyian dan seolah-olah
mempunyai kekuatan gaib yang menarik semangat Cin Hay kembali
ke alam kenyataan yang pahit ini. Cin Hay bangkit berdiri, lalu
menghampiri kakek itu dan menjatuhkan diri berlutut. Baru teringat
dia bahwa kakek ini yang telah menyelamatkannya, juga telah
membawanya ke sini sehingga dia berhasil menemukan isterinya,
walaupun hanya tinggal makamnya.
"Locianpwe, saya menghaturkan terima kasih atas segala pertolongan
locianpwe kepada saya yang malang ini. Apakah yang dapat saya
lakukan sekarang, locianpwe" Saya telah kehilangan segalanya. Satusatunya keinginan hati saya hanyalah mencari penjahat-penjahat yang
menganiaya dan membunuh isteri saya, mengadu nyawa dengan
mereka!" "Hemm, orang muda. Apakah engkau merasa bahwa kepandaianmu
sudah cukup untuk menentang mereka?"
33 Mendengar ini, Cin Hay menarik napas panjang. "Saya tidak akan
mampu mengalahkan mereka, locianpwe, dan saya tentu akan mati di
tangan mereka pula. Akan tetapi, itulah yang saya kehendaki, agar
saya dapat mati dan menyusul isteri saya......"
"Kalau begitu berarti engkau hanya ingin membunuh diri, dan bunuh
diri adalah suatu pekerjaan terkutuk dan pengecut."
Cin Hay terkejut, mengangkat muka memandang dan makin kagetlah
dia melihat betapa sepasang mata kakek itu mengeluarkan sinar
mencorong yang menakutkan.
"Maaf, locianpwe, bukan niat saya untuk bunuh diri, akan tetapi apa
lagi yang dapat saya lakukan untuk membalas dendam kematian isteri
saya?" "Tahu akan kelemahan diri namun nekat menempuh maut merupakan
bunuh diri yang konyol, bodoh dan sama sekali bukan sikap seorang
gagah. Orang muda, para korban kejahatan seperti isterimu dan orangorang lain, mengharapkan orang-orang gagah untuk menentang
kejahatan di dunia ini, bukan orang-orang lemah yang nekat saja. Dan
bukanlah orang gagah dia yang hatinya diracuni dendam. Ada dua hal
yang harus kaulakukan kalau engkau ingin menjadi orang gagah, yaitu
pertama memperdalam ilmu silatmu, dan kedua melenyapkan dendam
dari hatimu. Kalau engkau sanggup, aku suka sekali untuk
membimbingmu, orang muda."
Mendengar ini, sadarlah Cin Hay bahwa kakek yang sakti ini
berkenan mengambilnya sebagai murid. Melihat betapa hidupnya
kosong dan dia akan merana tanpa isterinya, Cin Hay melihat
34 kemungkinan hidup baru sebagai murid orang sakti ini. Maka dia lalu
menjatuhkan diri memberi hormat sampai dahinya menyentuh tanah.
"Teecu berterima kasih sekali dan bersumpah untuk menjadi seorang
murid yang baik. Akan tetapi untuk melenyapkan dendam, teecu
masih harus banyak belajar dan menerima petunjuk suhu."
Kakek itu tersenyum dan mengelus jenggotnya yang putih panjang
lalu mengangguk. Engkau jujur, dan memang tidak mudah untuk
membebaskan diri dari nafsu sendiri. Engkau masih harus belajar
banyak sekali, muridku. Akan tetapi kiranya sudah sepatutnya kalau
engkau memperkenalkan namamu kepadaku."
Cin Hay lalu menceritakan riwayatnya secara singkat. Dia bernama
Tan Cin Hay, sudah yatim karena ayah meninggal dunia ketika ada
wabah mengamuk di dusun mereka. Ayahnya seorang guru dusun
yang miskin sederhana, meninggal beberapa tahun yang lalu. Cin Hay
hidup sebatang kara dan dia pernah belajar selama lima tahun di kuil
Siauw-lim-si. Baru setengah tahun dia menikah dengan Gu Ci Sian, puteri seorang
lurah dusun. Kemarin, dia bersama isterinya berpesiar ke telaga itu
untuk memenuhi keinginan hati isterinya yang sudah lama ingin
melihat dan pesiar di Telaga See-ouw yang terkenal indah, dan
ternyata terjadi malapetaka yang membuat isterinya tewas dan
selamanya terkubur di dekat telaga itu, di sebuah lereng bukit dari
mana kuburan itu dapat melihat keindahan telaga setiap hari!
Mendengar cerita Cin Hay, kakek itu mengangguk-angguk. "Engkau
memang agaknya ditakdirkan untuk menjadi muridku, Cin Hay.
Engkau berbakat, bertulang baik dan memiliki semangat pendekar,
35 mudah menguasai dan merobah diri, sudah yatim pula dan dengan
kematian isterimu maka engkau menjadi bebas tanpa ada ikatan
apapun. Ketahuilah, aku disebut Pek I Lojin (Kakek Baju Putih)
karena aku selalu mengenakan baju putih. Siapa nama aseliku, aku
sendiri sudah lupa. Akan tetapi, apa artinya nama" Setelah engkau
menjadi muridku, marilah engkau ikut bersamaku, ke tempat tinggal
sementara yang kupilih. Lihat di puncak bukit itu, puncak Bukit
Bambu Sisik Naga." Cin Hay memberi hormat dan ikut berdiri ketika gurunya bangkit
berdiri. "Maaf, suhu. Bukankah sepatutnya kalau teccu berkunjung
kepada mertua teecu untuk memberi kabar tentang kematian isteri
teecu?" Pek I Lojin mengangguk-angguk, "Memang sepatutnya demikian.
Akan tetapi, marilah ikut ke pondokku lebih dulu, baru dari sana
engkau pergi berkunjung dan memberi kabar kepada keluarga
mertuamu." Setelah beberapa kali menoleh, memandang ke makam isterinya,
akhirnya Cin Hay melangkah dengan lebar mengejar Pek I Lojin yang
sudah berjalan pergi tanpa menengok-nengok lagi. Guru dan murid ini
tanpa banyak cakap pergi mendaki bukit yang cukup tinggi dan penuh
dengan hutan bambu itu. Pek I Lojin tinggal di puncak bukit itu, di tengah hutan bambu yang
bentuknya aneh. Bambu yang disebut Bambu Sisik Naga ini
bentuknya seperti badan ular, ruasnya pendek-pendek dan bentuknya
seperti sisik ikan dengan warna hijau kekuningan. Di tengah hutan
bambu itu Pek I Lojin mendirikan sebuah pondok bambu yang
36 sederhana, namun tempat itu bersih dan pemandangannya pun indah
sekali, hawanya sejuk menyenangkan dan tak jauh dari hutan bambu
itu terdapat ladang yang subur di mana kakek tua renta ini menanam
sayur-sayuran dan padi-padian yang hasilnya cukup untuk dimakan
sekeluarga. Setelah tiba di pondok gurunya, Cin Hay diperkenankan turun bukit
untuk memberi kabar kepada mertuanya tentang malapetaka yang
menimpa isterinya. Ketika dia tiba di rumah mertuanya. tiba-tiba dia merasa kasihan
sekali kepada keluarga isterinya itu dan Cin Hay mendapat pikiran
untuk tidak bercerita terus terang mengenai kematian isterinya. Ayah
dan ibu mertuanya menyambutnya dengan heran mengapa mantu
mereka datang sendirian saja dan wajahnya nampak pucat dan lesu.
Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati mereka ketika Cin Hay
menceritakan bahwa isterinya telah meninggal dunia karena korban
pembajakan di Telaga See-ouw! Ibu mertuanya langsung pingsan
mendengar ini sehingga sekeluarga itu menjadi repot dan dilanda
kedukaan. Setelah ibu mertuanya sadar, barulah Cin Hay disuruh menceritakan
apa yang telah terjadi. Cin Hay bercerita bahwa ketika dia dan
isterinya sedang berpesiar di telaga, tiba-tiba saja mereka diserang
oleh bajak telaga itu. Dia melakukan perlawanan dan dipukul sampai
terjatuh ke air dan dia terbawa hanyut dalam keadaan pingsan.
"Untung saya dapat diselamatkan oleh seorang tua yang sakti, akan
tetapi Ci Sian......"dia menarik napas panjang. "Isteri saya terkasih itu
tewas karena perahu terbalik. Karena kami berpisah, dan jenazah isteri
37 saya ditemukan oleh para nelayan, maka mereka lalu mengubur
jenazah isteri saya di sebuah bukit dekat telaga. Baru pada keesokan
paginya saya mendapat keterangan tentang ini dan saya telah
bersembahyang di kuburan Ci Sian......"
Hujan tangis terjadi di rumah keluarga lurah dusun itu. "Siapakah
bajak-bajak itu" Kita harus bertindak! Akan kukerahkan semua
penjaga dan pemuda dusun ini!"
Cin Hay sudah menduga bahwa ayah mertuanya yang menjadi kepala
dusun tentu marah dan hendak menuntut balas. Dia tahu bahwa para
penjaga keamanan dusun dan para pemuda bukanlah lawan orangorang yang berilmu tinggi seperti See-ouw Sam-houw, apa lagi
kemungkinan besar Koan Wan-gwe masih mempunyai lebih banyak
lagi kaki tangan yang pandai. Kalau mertuanya melakukan hal itu,
tentu akan jatuh lebih banyak korban di pihak keluarga mertuanya.
Pula, kedudukan ayah mertuanya pun dapat terancam kalau
bermusuhan deagan seorang hartawan berpengaruh seperti Koan Wangwe. Maka, dia memang sudah siap untuk berbohong demi
keselamatan mertuanya. "Saya tidak mengenal mereka, dan begitu mereka membalikkan
perahu kami, mereka lalu pergi dengan perahu-perahu mereka."
Cin Hay lalu mendapat tugas untuk mengantar ayah dan ibu
mertuanya mengunjungi kuburan isterinya, di mana kedua orang tua
itu menangisi kematian puteri mereka. Kemudian, setelah mereka
kembali ke dusun, Cin Hay berpamit kepada ayah dan ibu mertuanya
untuk memperdalam ilmu silatnya.
38 "Saya harus belajar sampai pandai agar kelak saya dapat membasmi
atau menantang penjahat-penjahat seperti mereka yang telah
menyebabkan kematian isteri saya."
Ayah dan ibu mertuanya tentu saja tidak dapat bersikap lain kecuali
menyetujui dan memberi ijin. Maka pergilah Cin Hay ke rumahnya
sendiri di dusun lain, berpamit kepada ibunya, kemudian diapun
membawa pakaian pergi ke bukit Bambu Sisik Naga untuk mulai
berguru kepada Pek I Lojin.
"Y" Kita tinggalkan dulu Cin Hay yang mulai berlatih silat dengan penuh
semangat, untuk mengikuti peristiwa lain yang melibatkan diri
seorang gadis yang kelak akan menjadi tokoh utama pula dalam kisah
ini. Waktu itu yang menjadi kaisar adalah Tang Kao Cung (650-683) dari
Dinasti Tang (618-?907). Kota Lok-yang merupakan kota besar kedua
setelah Tiang-an yang menjadi ibu kota atau kota rajanya. Akan tetapi


Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

karena kota Lok-yang merupakan kota besar kedua, di sini tinggal
pula banyak bangsawan, pangeran dan keluarga mereka, juga
bangsawan tinggi yang menjadi pejabat-pejabat penting.
Lie Kim Cu adalah seorang gadis yang amat cantik jelita dan manis.
Dalam usia enambelas tahun, ia bagaikan setangkai bunga yang mulai
mekar semerbak mengharum. Nampaknya ia lemah lembut, dengan
wajah cantik manis dan tubuh lemah gemulai, namun sesungguhnya,
sejak kecil ia suka akan ilmu silat. Ketika masih kecil, diam-diam ia
memaksa kepala pengawal ayahnya untuk mengajarkan ilmu silat
kepadanya. 39 Ketika ayahnya mengetahui, melihat bakat puterinya, ayah ini lalu
mengundang seorang ahli silat wanita untuk memberi pelajaran
kepada Lie Kim Cu. Maka, setelah berusia enambelas tahun, gadis
yang nampak cantik jelita dan lemah lembut, pandai membuat sajak
dan membuat lukisan atau tulisan halus, pandai bermain yang-kim dan
meniup suling, pandai menyulam, sebetulnya juga memiliki
kepandaian silat yang lumayan. Dua orang laki-laki biasa saja jangan
harap akan mampu menangkapnya, dan seorang laki-laki bertubuh
kuat yang memiliki ilmu silat pasaran saja akan mudah dapat ia
robohkan! Ayah Lie Kim Cu seorang pejabat menengah. Sebagai seorang pejabat
menengah di dalam jaman yang penuh dengan pejabat korup itu,
keadaan keluarga Lie-taijin cukup kaya raya. Penghasilan sampingan
karena kekuasaannya jauh berlipat kali lebih besar dari pada gajinya.
Dan Lie-taijin seorang pejabat yang cakap sehingga menyenangkan
hati Pangeran Coan Siu Ong, yaitu bangsawan tinggi yang menjadi
atasannya. Lie-taijin hanya mempunyai seorang anak, yaitu Lie Kim Cu. Dari
beberapa orang selirnyapun dia tidak memperoleh keturunan sehingga
tidaklah mengherankan bila Kim Cu disayang oleh seluruh keluarga
sebagai anak tunggal, biarpun wanita. Karena dimanja, maka sampai
usia enambelas tahun, ia belum juga bertunangan walaupun pinangan
sudah datang amat banyaknya, karena gadis itu selalu menolak dan
orang tuanya tidak mau memaksanya.
Kecantikan Kim Cu terkenal di Lok-yang dan banyak sekali pemuda
tergila-gila padanya walaupun banyak di antara mereka belum sempat
40 melihat sendiri gadis itu, hanya mendengar kecantikannya dipuji-puji
setinggi langit oleh mereka yang pernah melihat Kim Cu.
Akan tetapi, keadaan hidup manusia tidaklah abadi, ada pasang
surutnya seperti air lautan, ada terang gelapnya seperti cuaca.
Demikian pula dengan keadaan keluarga Lie-taijin. Semenjak setahun
yang lalu, pejabat yang cakap ini terjerat kesenangan yang amat
berbahaya dan merusak, yaitu berjudi!
Judi adalah satu di antara kemaksiatan yang paling berbahaya di
antara segala kemaksiatan yang lain. Di dalam perjudian, banyak sifat
buruk bermunculan dan bermaharajajela. Kemurkaan, keinginan
memperoleh uang sebanyaknya dengan cara yang paling mudah
meracuni hati, membuat orang mencandu dan lupa diri, sama sekali
tidak menyadari bahwa dirinya telah dicengkeram iblis yang amat
jahat, bahkan sampai habis-habisan pun belum sadar. Kesadaran
datang setelah terlambat, dan biasanya, kalau keadaan sudah mending,
kesenangan itu akan menggerogoti hatinya lagi dan menyeretnya
kepada kebiasaan perjudian lagi.
Dalam perjudian hati kita dipermainkan oleh harapan-harapan yang
amat merangsang, digoda oleh kemenangan-kemenangan sementara
yang amat memuaskan hati. Kalau kita kalah, timbul harapan besar
untuk meraih kembali uang kita yang hilang akibat kekalahan kita.
Kalau kita menang, timbul harapan besar untuk meraih kemenangan
yang lebih besar lagi. Dengan demikian, kalah menang sama saja
akibatnya, menyeret kita lebih dalam lagi terperosok ke dalam lumpur
perjudian. 41 Dalam perjudian kitapun menjadi sadis dan kejam sekali. Dengan hati
enak dan senang kita mentertawakan seorang kawan yang ludes dan
kalah! Kalau kita kalah, kita terhibur oleh kekalahan seorang sahabat
yang lebih banyak lagi. Kalau kita menang, kita merasa iri karena
kemenangan teman lebih besar dari pada kemenangan kita. Iri, dengki,
tamak, kejam, semua ini bermunculan di dalam perjudian.
Lebih jahat lagi, perjudian membuat pikiran menjadi gelap, lupa
segala, dan siap mengorbankan segala yang kita sayangi demi
berlangsungnya kesenangan yang disebut perjudian itu. Tercatat di
dalam sejarah ataupun dongeng, betapa sejak jaman dahulu sekali
manusia telah dipermainkan kesenangan judi ini. Ada raja kehilangan
mahkotanya karena dipertaruhkan dalam perjudian. Suami kehilangan
isterinya atau bapak kehilangan puterinya yang dipertaruhkan dalam
perjudian! Apa lagi perjudian tingkat tinggi seperti yang dimasuki Lie-taijin.
Karena yang berjudi adalah para bangsawan dan hartawan, maka
tempatnyapun mewah, serba menyenangkan, dengan hidangan yang
lezat, arak yang harum, musik dan nyanyi oleh gadis-gadis cantik, dan
dilayani oleh gadis-gadis panggilan kelas tinggi. Suasananya serba
mewah, nikmat, dan menyenangkan!
Lie-taijin yang belum berpengalaman itu menjadi korban ular-ular
perjudian yang bermain curang. Dia habis-habisan dan karena haus
akan uang untuk modal judi, mulailah dia memakai uang pemerintah,
mencuri, melakukan kecurangan dan korupsi! Perhiasan para isterinya
satu demi satu dimintanya, bahkan perhiasan yang menempel di tubuh
Kim Cu juga dikorbankan dalam perjudian. Ini semua masih belum
42 memuaskan iblis perjudian yang melahap kesemuanya tanpa
mengenal cukup. Lie-taijin masih terlibat hutang ke sana-sini. Aneh memang, dalam
perjudian, orang mudah sekali mendapatkan hutang, seolah-olah
semua teman seperjudian siap untuk memberi pinjaman. Sebaliknya,
untuk modal bekerja, jauh lebih sulit untuk memperoleh hutang!
Seperti telah kita ketahui, Kim Cu adalah seorang gadis yang mulai
dewasa dengan kecantikan yang mengguncangkan banyak hati pria di
kota Lok-yang. Hal inipun akhirnya terdengar oleh Pangeran Coan Siu
Ong, atasan Lie-taijin. Pangeran Coan Siu Ong yang bertubuh tinggi
besar berkulit hitam itu sudah berusia limapuluh tahun, akan tetapi dia
terkenal sebagai seorang laki-laki bangsawan yang gila perempuan.
Dengan kekayaannya, juga dengan kebangsawanannya dan
kedudukannya, banyak sudah wanita cantik terjatuh ke dalam
pelukannya, dengan suka rela maupun dengan paksa. Ketika
mendengar akan kecantikan Kim Cu, pangeran ini mencari jalan untuk
membuktikannya dengan mata sendiri. Sebagai atasan Lie-taijin, tentu
saja mudah baginya untuk dapat melihat Kim Cu dan sekali melihat
gadis itu, diapun menahan air liurnya dan tergila-gila! Akan tetapi,
tentu saja dia tidak dapat berbuat sembarangan saja terhadap puteri
bawahannya ini. Dia hanya menahan rindu di dalam hatinya dan
beberapa malam sekali tentu bermimpi tentang gadis jelita itu yang
berhasil didekapnya. Kemudian, para penyelidiknya menyampaikan tentang keadaan Lietaijin kepada Pangeran Coan Siu Ong. Betapa Lie-taijin kini menjadi
43 seorang penjudi kelas berat, betapa pejabat itu habis-habisan,
berkorupsi dan mempunyai banyak sekali hutang!
Mendengar ini, Pangeran Coan Siu Ong hampir saja menari
kegirangan" Terbukalah jalan yang amat lebar baginya untuk
mendapatkan bunga yang sudah lama dirindukannya itu. Dia lalu
mengutus kaki tangannya untuk menghubungi para ular judi dan
dengan imbalan yang cukup, Pangeran Coan Sin Ong memerintahkan
mereka untuk memeras habis-habisan Lie-taijin sehingga semakin
dalam pejabat itu akan terperosok ke dalam lumpur!
Pada suatu hari, Pangeran Coan Siu Ong pergi mengunjungi Lie-taijin
yang menyambutnya dengan jantung berdebar penuh ketegangan dan
rasa gelisah. Sudah terlalu banyak dia menggunakan uang negara, dan
terlalu banyak hutangnya di luar. Dia takut kalau-kalau atasannya ini
mengetahuinya atau mengadakan pemeriksaan. Namun, hatinya
menjadi lega ketika Pangeran Coan Siu Ong yang berpura-pura tidak
tahu akan keadaannya, bahkan menitipkan sekantung uang emas
kepadanya. "Emas seratus tail ini milikku pribadi untuk keperluanku pribadi.
Karena aku hendak pergi ke kota raja selama beberapa hari, maka
kutitipkan kepadamu. Sepulangku dari kota raja, akan kuambil
kembali." Demikian kata Pangeran Coan Siu Ong dan penitipan uang
emas seratus tail itu disaksikan oleh dua orang pengawal pangeran itu,
dan oleh seorang pembantu Lie-taijin. Lie-taijin menerima kantung
itu, menghitung isinya dan berjanji akan menyimpannya dengan hatihati.
44 Setelah Pangeran Coan Siu Ong pergi, maka para ular judi lalu
berdatangan membujuk Lie-taijin untuk berjudi. Mula-mula, Lie-taijin
tidak berani mengusik emas titipan itu, akan tetapi setan judi yang
sudah menghuni kepalanya tiada hentinya berbisik-bisik dan akhirnya
karena oleh setan judi itu digambarkan kemenangan besar.
Lie-taijin tidak dapat menahan keinginan hatinya. Karena sudah
kehabisan modal, dia lalu mengambil beberapa tail emas untuk modal
berjudi. Tentu saja dia kalah. Karena khawatir akan hilangnya
beberapa tail yang ludes di meja judi, Lie-taijin ingin menarik kembali
kekalahannya dengan melanjutkan perjudian, dengan modal baru yang
diambilnya dari kantung terisi emas itu. Kalah lagi dan demikian
selanjutnya sehingga seminggu kemudian, kantung itu telah kosong!
Dan tepat setelah kantung kosong, muncullah Pangeran Coan Siu Ong
yang tentu saja sudah tahu belaka akan semua yang terjadi menimpa
diri Lie-taijin! Lie-taijin menyambut kedatangan Pangeran Coan Siu Ong dengan
muka pucat dan tubuh gemetar. Ketika pangeran itu mengatakan
bahwa kedatangannya untuk mengambil emas yang dititipkannya, Lietaijin segera menjatuhkan berlutut dengan tubuh gemetar. Dia
mengaku terus terang bahwa emas titipan itu telah habis dan
dikalahkan di medan perjudian, dan dia berjanji dengan sumpah akan
mengembalikan uang emas itu.
Pangeran Coan Siu Ong bangkit dari tempat duduknya dan
menggebrak meja. "Ah, jadi yang selama ini kudengar sebagai desas
desus ternyata benar" Bahwa engkau telah menjadi seorang penjudi
sehingga hartamu ludes, bahkan engkau korupsi, menggunakan uang
45 pemerintah dan berhutang di sana-sini" Sungguh celaka! Aku harus
mengadakan pemeriksaan sekarang juga di kantormu!"
Dengan muka semakin pucat, terpaksa Lie-taijin mengantar atasannya
dan beberapa orang pejabat pemeriksa pembukuan dan keuangan
untuk mengadakan perhitungan dan pemeriksaan di kantornya. Tidak
sukar bagi para pemeriksa itu untuk menemukan bahwa Lie-taijin
memang benar telah korupsi, menggunakan uang negara dalam jumlah
yang banyak sekali! Dan Pangeran Coan Siu Ong dengan marah lalu
memerintahkan petugas untuk menangkap Lie-taijin dan memasukkan
ke dalam tahanan! Tentu saja keluarga Lie-taijin menjadi geger. Para isterinya menangis.
Lie Kim Cu membanting-banting kakinya.
"Sungguh celaka, mengapa ayah menjadi terperosok sedalam ini?"
kata Lie Kim Cu sambil memukul-mukulkan tangan kanan terkepal ke
atas telapak tangan kirinya sendiri dan beberapa kali membanting kaki
kanan saking jengkelnya. "Sudah berkali-kali kuperingatkan ayah,
akan tetapi dia malah marah-marah. Sungguh heran sekali, mengapa
watak ayah menjadi berubah seperti itu setelah dia gemar berjudi?"
Mereka tak dapat berbuat sesuatu kecuali menangis dan mengeluh.
Sementara itu, Pangeran Coan Siu Ong lalu menyuruh seorang
kepercayaannya untuk mengunjungi Lie-taijin di dalam kamar
tahanannya. Utusan ini adalah seorang laki-laki yang biasa menjadi
comblang (perantara perjodohan) dan pandai sekali berbicara dan
membujuk. Setelah mengeluarkan basa-basi seperti merasa iba, ikut prihatin dan
sebagainya, comblang itu lalu berkata dengan lirih, "Lie-taijin,
46 keadaan ini sukar untuk dapat ditolong lagi. Taijin akan dijatuhi
hukuman berat, semua rumah dan isinya akan disita untuk
mengembalikan uang negara dan membayar hutang. Keluarga Taijin
akan terpaksa keluar dan tidak membawa barang apapun, dan akan
terlantar......" "Ahhh......!" Lie-taijin menutupi mukanya dengan kedua tangan dan
dari sela-sela jari tangannya menitik air matanya. "Semua karena
perbuatanku, semua karena kesalahanku......"
"Lie-taijin, penyesalan saja saya kira tidak ada gunanya. Yang penting
haruslah mencari jalan bagaimana baiknya agar keluarga Taijin jangan
sampai terlantar, dan kalau mungkin, agar nama baik Taijin pulih
kembali dan Taijin dapat menduduki jabatan lama......"
LIE-TAIJIN menurunkan kedua tangannya dan sepasang matanya
yang merah memandang wajah comblang itu dengan terbelalak tak
percaya. "Bagaimana...... bagaimana mungkin......?"
Comblang itu tersenyum tenang, "Taijin, saya kira, satu-satunya jalan
untuk menyelamatkan keluarga dan nama baik Taijin adalah kalau
Taijin dapat menjadi keluarga Pangeran Coan Siu Ong!"
Sepasang mata merah itu makin terbelalak. "Apa maksudmu?"
"Apakah Taijin lupa bahwa Taijin memiliki seorang puteri yang
cantik jelita dan terkenal sebagai kembangnya kota Lok-yang?"
Comblang itu memainkan matanya yang sipit. "Bukan rahasia lagi
47 bahwa setiap orang pria, tanpa kecuali, ingin memetik kembang yang
tumbuh subur di dalam taman keluarga Taijin itu."
"Hemm, itukah maksudmu" Berbesan dengan Pangeran Coan" Akan
tetapi...... aku tidak melihat adanya seorang putera Pangeran Coan
yang sudah dewasa untuk dapat berjodoh dengan puteriku."
"Aih, Taijin salah sangka. Bukan berjodoh dengan putera beliau......"
"Habis dengan siapa?"
"Dengan Pangeran Coan Siu Ong......"
Melihat Lie-taijin membuat gerakan memprotes, comblang itu cepat
mengangkat tangannya ke atas dan berkata. "Sabarlah. Sesungguhnya,
Pangeran Coan juga termasuk seorang di antara para pria yang tergilagila kepada puteri Taijin. Bahkan, beliau sendiri yang mengutus saya
untuk menyampaikan pinangannya kepada Taijin, untuk minta
persetujuan Taijin agar puteri Taijin itu menjadi...... seorang
isterinya." "Selirnya, maksudmu?" kata Lie-taijin dengan suara mengandung
kemarahan. "Selirnya atau isterinya sama saja, Taijin. Harap Taijin ingat baik-baik
dan dapat membuat perbandingan. Menjadi selir Pangeran Coan
merupakan suatu penghormatan besar dan bahkan akan mengangkat
derajat Taijin! Kalau puteri Taijin menjadi isteri Pangeran Coan, tentu
Taijin akan tertolong, tidak jadi dituntut, bahkan tidak kehilangan
kedudukan dan nama baik, dan soal keuangan, tentu Pangeran Coan
akan membereskan karena beliau tentu akan merasa malu kalau ayah
48 mertuanya terlibat hutang! Bandingkan keadaan itu dengan keadaan
kalau Taijin menolak! Taijin akan dituntut, menjadi orang hukuman,
semua harta disita dan keluarga Taijin akan terlantar dan terhina!"
Lie-taijin tak dapat berkata-kata lagi. Alangkah mudahnya membuat
perbandingan seperti itu! Agaknya memang tidak ada jalan lain!
Bagaimana kalau Kim Cu tidak mau" Gadisnya itu pasti menolak
untuk dijadikan selir Pangeran Coan, sedangkan pinangan-pinangan
para muda yang tampan dan bangsawan saja ditolaknya mentahmentah. Akan tetapi ia harus mau kali ini! Demi seluruh keluarga!


Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Melihat betapa Lie-taijin termenung, comblang yang cerdik itu
berkata. "Lie-taijin, untuk membuktikan iktikad baik dari Pangeran
Coan Siu Ong, sekarang juga Taijin dapat keluar dari dalam tahanan
ini. Saya sudah membawa surat perintah pembebasan Taijin untuk
diberikan kepada para penjaga tempat tahanan ini." Dia mengeluarkan
surat perintah itu. "Dan kereta sudah saya persiapkan di luar. Taijin
dapat segera pulang untuk membicarakan pinangan itu dengan
keluarga Taijin. Besok pagi-pagi saya datang berkunjung ke rumah
Taijin untuk minta keputusan."
Kini Lie-taijin benar-benar mati kutu dan tidak dapat mengeluarkan
sepatahpun kata. Dia menurut saja dan pulang dengan kereta yang
sudah disediakan di luar tempat tahanan. Tentu saja pulangnya
disambut gembira oleh para isterinya dan juga Kim Cu. Juga para
pelayan menyambut dengan gembira.
Lie-taijin lalu mengumpulkan isteri-isterinya dan juga Kim Cu ke
dalam kamarnya. Semua pelayan dilarang untuk berada di dekat
49 kamar itu. Setelah mereka semua berkumpul, Lie-taijin lalu berkata,
suaranya berat dan terpaksa sekali.
"Yang dapat menolong kita hanyalah Pangeran Coan Siu Ong
seorang. Dia yang membebaskan aku, bahkan mengembalikan
kedudukanku dan akan melunasi semua hutangku, dan hal ini dia
lakukan kalau pinangannya diterima."
"Pinangan.......?" Serentak beberapa suara bertanya, di antaranya suara
Kim Cu. Lie-taijin menghela napas panjang. Tak perlu berpanjang kata,
pikirnya, dan dia mengangguk. "Pinangan atas diri Kim Cu untuk
menjadi...... seorang isterinya."
"Selirnya" Tidak! Aku tidak sudi......!!"
Kim Cu berteriak marah, matanya terbelalak dan kedua tangannya
dikepal. Lie-taijin menundukkan mukanya, sedih sekali rasa hatinya. "Terserah
kepadamu, Kim Cu. Kalau engkau menolak, ayahmu ini akan
dihukum, mungkin dibuang selamanya, seluruh harta milik kita disita
dan kalian semua akan diharuskan pergi dari sini tanpa membawa
apapun. Ibu-ibumu dan engkau akan terlantar. Kim Cu, keselamatan
seluruh keluarga berada di tanganmu, akan tetapi...... aku takkan
memaksa, tergantung kepadamu seorang, anakku."
Mendengar ini, ibu kandung Kim Cu menangis tersedu-sedu sambil
merangkul anaknya, dan para selir menjatuhkan diri berlutut di depan
kursi yang diduduki Kim Cu. Bagaikan burung-burung berkicau
50 mereka itu menangis dan memohon belas kasihan Kim Cu agar suka
menerima pinangan itu demi menyelamatkan semua anggauta
keluarga dari malapetaka yang amat mengerikan itu.
Kim Cu merasa terpukul batinnya dan iapun terhenyak duduk seperti
patung. Tentu saja ia kurang memperdulikan ratap tangis para ibu
tirinya dan melihat ibunya sendiri masih merangkulnya sambil
menangis tersedu-sedu, ia lalu balas merangkul dan bertanya, "Ibu,
bagaimana pendapatmu, ibu" Haruskah anakmu ini menyerahkan diri
kepada pangeran tua itu untuk menjadi selir yang entah ke berapa
belas kalinya" Hanya engkau yang boleh menentukan nasibku, ibu,
dan aku akan menurut apa yang ibu putuskan."
Ibu kandungnya menangis sesenggukan dan sampai lama tidak dapat
menjawab. Tangisnya berbaur dengan ratap tangis para madunya yang
semua tentu saja mengharapkan Kim Cu menerima pinangan itu.
Akhirnya, setelah dapat meredakan tangisnya, ibu kandung Kim Cu
berkata, "Anakku, ibu mana yang senang hatinya melihat anak
perempuannya menjadi selir" Akan tetapi, anakku, adakah pilihan
lain" Seperti juga kata ayahmu tadi, kami tidak dapat memaksamu,
akan tetapi engkau tentu dapat melihat, bahwa apabila engkau
menolak, ayahmu dihukum selama hidup, dan kita akan terlantar!
Apabila engkau menerima, berarti engkau berkorban, engkau
mengorbankan dirimu, akan tetapi belum tentu kalau engkau akan
sengsara, anakku. Menjadi selir seorang pangeran yang tinggi
kedudukannya seperti Pangeran Coan, akan membuat engkau hidup
mulia, kecukupan dan terhormat."
"Kalau begitu, ibu menganjurkan aku untuk menerima pinangan itu?"
51 "Sudah kukatakan tadi, ibu tidak memaksamu, anakku. Akan tetapi,
demi nama baik ayahmu dan seluruh keluarga, demi keselamatan
ayahmu dan keselamatan kita semua, kurasa tidak ada lain jalan yang
dapat kauambil kecuali menerima pinangan itu. Engkau berkorban,
akan tetapi engkau menjadi anak berbakti, engkau penyelamat seluruh
keluarga kita, anakku, dan aku...... aku bangga dengan itu......"
Semua ibu tirinya kini berkali-kali memberi hormat sambil berlutut
dan menghaturkan terima kasih kepada Kim Cu dan ibunya. Kim Cu
mengerutkan alisnya. Ia tidak menangis akan tetapi sepasang matanya
basah ketika ia berkata kepada ayahnya.
"Baik, ayah. Aku menerima pinangan itu!"
"Anakku......!" Dan Lie-taijin jatuh pingsan di atas kursinya.
Ketegangan dan kegelisahan yang melanda hatinya, kini secara tibatiba dibebaskan oleh jawaban Kim Cu dan diapun tidak kuat menahan
guncangan ini sehingga pingsan. Kini semua isterinya sibuk
menolongnya, memijat-mijat, menggosok-gosok, memanggil-manggil,
sedangkan Kim Cu duduk saja bengong seperti patung di atas
kursinya! "Y" Dengan pakaian pengantin, Lie Kim Cu diboyong ke istana Pangeran
Coan Siu Ong. Berita tentang dipersuntingnya Lie Kim Cu, kembang
kota Lok-yang oleh Pangeran Coan Siu Ong, menggemparkan kota itu
dan membuat hati banyak pemuda menjadi patah!
52 Akhirnya, kembang yang membuat banyak pemuda tergila-gila itu
hanya menjadi selir seorang pangeran tua! Tentu saja banyak pemuda
merasa kecewa sekali, akan tetapi siapakah yang telah demikian gila
untuk berani memperlihatkan kekecewaan ini, siapa yang berani
mencela dan menentang Pangeran Coan Siu Ong, seorang di antara
mereka yang memiliki kekuasaan besar sebagai keluarga kaisar dan
juga sebagai pejabat-pejabat tinggi"
Kim Cu tidak menangis ketika diboyong ke istana itu, dinaikkan
sebuah kereta yang indah dan mewah, ditarik oleh empat ekor kuda
besar. Akan tetapi wajahnya pucat dan sepasang matanya sayu. Tak
pernah ia menjawab pertanyaan atau kata-kata hiburan wanita yang
diutus menjemputnya, seorang wanita setengah tua yang pandai bicara
dan yang di sepanjang perjalanan memuji-muji kebaikan hati dan
kekayaan Pangeran Coan, juga menceritakan tentang keadaan
keluarga pangeran itu agar Kim Cu mengenal lingkungan.
Ketika tiba saat yang dinanti-nanti dengan penuh ketegangan hati Kim
Cu, setelah tadi ia meninggalkan orang tuanya yang menangisinya
tanpa ditanggapinya, gadis itu mengangkat pandang matanya dan
sekilas pandang ia melihat pangeran yang menyambutnya dengan
tersenyum simpul. Begitu melihat pangeran ini, seketika timbul
kebencian di dalam lubuk hatinya. Seorang laki-laki yang usianya
limapuluh tahunan, bertubuh tinggi besar dan berkulit hitam sehingga
muka itu nampak kasar dan kotor walaupun tubuhnya mengenakan
pakaian serba indah dari sutera-sutera halus.
Bagaikan boneka hidup, Kim Cu meniru saja apa yang dicontohkan
wanita penjemputnya itu, ia menurut saja ketika disuruh berlutut
memberi hormat kepada Pangeran Coan Siu Ong yang akan menjadi
53 suaminya, juga memberi hormat kepada isteri dan para selir yang
lebih tua. Kemudian, sambil tersenyum gembira di bawah godaan para
selirnya, Pangeran Coan Siu Ong menggandeng tangan Kim Cu dan
diajaknya memasuki sebuah kamar yang sudah dihias indah dan
berbau harum, kamar pengantin!
Jantung Kim Cu berdebar penuh ketegangan, kemarahan yang
ditahan-tahan dan juga kedukaan. Ketika pangeran itu mengunci daun
pintu dari dalam, kemudian dengan tenang menanggalkan pakaian
luarnya sambil tersenyum memandang kepada Kim Cu. Gadis ini
merasa tubuhnya panas dingin. Ia berdiri dan mundur ke sudut,
memandang dengan mata terbelalak, ngeri dan jijik melihat betapa
baju pria itu terbuka, nampak dadanya yang lebar, hitam dan ada
sedikit rambut di tengah-tengah dada.
Melihat gadis itu berdiri di sudut, pangeran itu tertawa, lalu
menghampiri meja di mana telah tersedia arak dan hidangan yang
masih mengepul hangat, lalu dia minum secawan arak merah dan
menggapai ke arah Kim Cu.
"Heh-heh, manisku, sayangku, mari ke sinilah, jangan malu-malu.
Mari kita makan minum dulu agar engkau tidak malu-malu lagi. Mulai
saat ini, aku adalah suamimu dan kewajibanmu melayani aku dan
menyenangkan hatiku. Aih, betapa cantik jelita engkau, Lie Kim Cu.
Sudah lama aku tergila-gila kepadamu, kesinilah, sayang......"
Sama sekali Kim Cu tidak merasa takut kepada pria itu, hanya ia
merasa ngeri dan jijik, membayangkan apa yang akan dialaminya di
dalam kamar itu. Karena ia sudah mengambil keputusan untuk
mengorbankan diri demi keselamatan orang tua dan keluarganya,
54 maka iapun menekan perasaannya dan melangkah maju, lalu duduk di
atas kursi di seberang meja, tidak mau duduk di kursi yang
berdampingan dengan pangeran itu. Melihat ini, Pangeran Coan Siu
Ong tersenyum saja, menganggap bahwa pengantinnya yang masih
amat muda itu tentu masih malu-malu dan hal ini akan lebih
menyenangkan dan memuaskan hatinya kalau nanti akhirnya
pengantinnya itu menyerahkan diri kepadanya.
Ia menuangkan arak secawan dan menyuguhkannya kepada Kim Cu.
Gadis ini bukan seorang peminum apalagi pemabok, namun ia bukan
asing dengan minuman arak, maka sambil membisikkan terima kasih,
ia menerima cawan itu dan minum araknya sedikit demi sedikit.
Ketika sang pangeran menawarkan makan, ia menggeleng kepala,
mengatakan bahwa ia tidak lapar. Pangeran itu masih tetap tersenyum
dan melahap daging dan sayur yang tersedia di situ.
Setelah selesai, dia bertepuk tangan tiga kali dan muncullah dua orang
pelayan wanita dari pintu samping yang tertutup tirai sutera biru. Dua
orang wanita itu tersenyum-senyum akan tetapi tanpa banyak cakap
segera membersihkan meja dan menyingkirkan semua sisa makanan,
hanya meninggalkan guci arak dan dua cawan di atas meja yang kini
sudah bersih. Tak lama kemudian, "sepasang mempelai" itu ditinggal
berdua saja lagi. "Nah, sekarang kita bersenang-senang!" kata sang pangeran sambil
bangkit berdiri dan menghampiri Kim Cu, "Mari kubantu engkau
membuka pakaianmu, manisku." Tangannya sudah menjangkau, akan
tetapi tiba-tiba Kim Cu meloncat ke belakang dan menggeleng kepala
keras-keras! Ia tidak dapat menahan rasa jijiknya.
55 Pangeran itu tertawa dan menghampiri sambil mengembangkan kedua
lengannya. "Manis, tidak perlu malu-malu lagi. Di sini tidak ada orang lain
kecuali kita berdua. Nah, mari berilah aku beberapa ciuman yang
manis dan hangat." Dia melangkah maju dan merangkul hendak
mencium, akan tetapi Kim Cu mengelak dengan cepat sehingga
pangeran itu hanya merangkul angin saja.
"Ehh! Engkau mau main-main dulu, ha-ha-ha! Baiklah, aku menjadi
kucingnya dan engkau tikusnya, tikus kecil putih yang manja dan
nakal!" Kini sambil tertawa-tawa pangeran itu mengejar dan mencoba untuk
menangkap dan merangkul, dengan perkiraan bahwa akhirnya
pengantin itu akan menyerah dan pengelakan ini hanya main-main
atau malu-malu saja. Akan tetapi, Kim Cu selalu mengelak dengan
cepat dan kemahirannya dalam ilmu silat memudahkannya untuk
mengelak dan meloncat ke sana-sini. Akhirnya, pangeran itu mulai
berkeringat dan alisnya mulai berkerut.
"Cukuplah main-main ini! Mari, mari sini, biarkan aku memelukmu,
menciummu dan memondongmu ke pembaringan, sayang!" Dia
mengembangkan kedua lengannya dan menggapai. Akan tetapi Kim
Cu yang sudah berdiri di sudut lagi, juga mengerutkan alisnya. Ia
mulai marah melihat betapa pangeran itu hendak memaksanya, dan ia
kini menggeleng kepala dengan keras.
"Hmm, jangan membuat aku kehabisan kesabaran, sayang. Mari,
kesinilah!" 56 Ketika Kim Cu tetap menggeleng kepala, pangeran itu lalu berlari ke
depan dan menubruk, bukan main-main lagi melainkan bersungguhsungguh, mengembangkan kedua lengan yang panjang dan besar itu
dari kanan kiri merangkul seperti seekor biruang menubruk
mangsanya! Karena ia berada di sudut kamar, dan di sebelah kirinya
terdapat pembaringan, sedangkan sebelah kanan sudah dihadang oleh
lengan kiri pangeran itu, Kim Cu lalu menerobos di bawah lengan
sambil menggunakan tumit kakinya menendang ke arah lutut kaki
Pangeran Coan Siu Ong. "Aduhh......!" Ditendang lututnya, kaki itu kehilangan tenaga dan
pangeran itu jatuh berlutut, dahinya terbentur dinding karena
tubrukannya luput. Dia marah sekali, bangkit berdiri sambil
mengerutkan alis, dan kini memandang kepada Kim Cu dengan
marah. "Gila! Berani engkau menendangku" Hayo, ke sinilah, atau aku harus
mempergunakan kekerasan?"
Kim Cu kini juga sudah marah sekali. Ia sudah lupa akan keputusan
hatinya untuk mengorbankan diri demi keselamatan orang tua dan
keluarganya. "Tidak, aku tidak sudi!" katanya, dan ia menentang pandang mata
pangeran itu dengan berani.
Hampir saja pangeran itu tidak percaya apa yang didengarnya. "Lie
Kim Cu, engkau sudah diserahkan kepadaku, sudah menjadi isteriku.
Mengapa sikapmu seperti ini" Ke sinilah, sekali lagi, kalau tidak,
terpaksa akan kupergunakan kekerasan!"
57 Pangeran itu dengan langkah lebar menghampiri, dan kini dengan
kasar tangannya menjangkau untuk menangkap dan mencengkeram.
Kim Cu juga sudah marah. Ia memang memiliki keberanian dan
kekerasan hati, dan sekarang, lupa akan segala, ia sudah memutuskan
untuk melawan mati-matian dan tidak akan menyerahkan diri begitu
saja kepada laki-laki yang dibencinya ini.
Entah mengapa, melihat wajah Pangeran Coan Siu Ong yang
walaupun berkulit hitam termasuk pria berwajah tampan dan gagah, ia
merasa benci sekali. Ketika Kim Cu melihat tangan yang besar hitam
itu mencengkeram, iapun mengangkat tangan kiri menangkis, kembali
kakinya bergerak menendang dan tubuh tinggi besar itupun kini
terpelanting! Pangeran Coan Siu Ong berteriak-teriak memanggil pengawal
pribadinya. Dari pintu samping yang tersembunyi itu, muncullah dua orang lakilaki setengah tua yang pakaiannya ringkas. Mereka berloncatan ke
dalam dan terheran-heran melihat betapa majikan mereka sedang
merangkak bangun dan dahinya benjol, dan pengantin wanita berdiri
dengan muka merah dan pandang mata marah.
Pangeran Coan Siu Ong bangkit berdiri, menuding ke arah Kim Cu
dan memerintah kepada dua orang pengawalnya. "Tangkap
perempuan binal ini! Tangkap dan belenggu kaki tangannya!"
Dua orang pengawal pribadi itu sejenak merasa heran dan terkejut,
akan tetapi sebagai dua orang yang banyak pengalamannya, mereka
segera dapat menduga apa yang telah terjadi. Agaknya pengantin
wanita ini tidak mau menyerah bahkan melawan dan kalau sang


Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

58 pangeran yang tinggi besar dan bertenaga kuat itu sampai minta
bantuan mereka dan tadi bahkan nampaknya dihajar jatuh, berarti
bahwa pengantin wanita ini bukan orang sembarangan!
Mereka berdua mengangguk, lalu menghampiri Kim Cu dari kanan
kiri. Gadis ini sudah siap siaga dan melihat mereka datang dengan
wajah mengancam, iapun sudah memasang kuda-kuda, siap untuk
melakukan perlawanan mati-matian!
"Nona, menyerahlah, tidak ada gunanya melawan perintah Sang
Pangeran!" kata seorang di antara dua pengawal itu yang bertubuh
pendek gendut. Akan tetapi, orang kedua yang tinggi kurus sudah
bergerak ke depan, tangan kanannya menyambar untuk menangkap
pundak Kim Cu. Kim Cu menangkis dengan memutar lengan kirinya ke atas, kakinya
menyambar dengan tendangan yang cepat ke arah perut lawan yang
hendak menangkap pundaknya itu. Akan tetapi, orang itu dapat
menangkis tendangan dan pada saat itu, si pendek gendut sudah
menerjang maju untuk menangkap lengan Kim Cu. Gadis ini menarik
lengannya dan iapun nekat melakukan perlawanan, memukul dan
menendang dengan sengitnya.
Kalau saja dua orang lawannya itu hanya laki-laki biasa, atau yang
memiliki ilmu silat pasaran saja, tentu tidak akan mampu
mengatasinya. Akan tetapi, dua orang itu adalah pengawal pribadi
seorang pangeran yang tinggi kedudukannya. Tentu saja mereka
berdua adalah jagoan-jagoan pilihan yang memiliki kepandaian tinggi
dan juga gaji yang banyak. Tingkat ilmu silat mereka jauh lebih tinggi
dari pada kepandaian Kim Cu, maka selama belasan jurus saja,
59 mereka telah berhasil menotok roboh gadis itu sehingga tidak mampu
menggerakkan kaki tangannya lagi.
"Bagus, ikat ia di pembaringan!"
Kemudian terjadilah malapetaka itu! Setelah dua orang pengawal
pribadinya disuruh pergi, pangeran itu melampiaskan semua
kemarahan dan kedongkolan hatinya kepada Kim Cu. Dengan
buasnya dia mencabik-cabik pakaian Kim Cu, kemudian dia
memperkosa gadis itu dengan kasar, berulang kali sampai Kim Cu
tidak merasakan apa-apa lagi karena jatuh pingsan!
Nafsu apa saja, kalau sudah menguasai batin manusia, membuat
manusia itu menjadi seperti gila, menjadi buas melebihi binatang yang
paling buas dan menjadi kejam, jahat dan kehilangan prikemanusiaan.
Gairah berahi merupakan satu di antara nafsu yang ada pada kita sejak
kita lahir, dan merupakan suatu kebutuhan yang amat mutlak dan
penting. Nafsu berahi yang mendorong manusia untuk dapat
berkembang biak, dan berahi merupakan kembangnya cinta kasih
antara pria dan wanita. Pernyataan kasih sayang, permainan cinta antara pria dan wanita,
hubungan kelamin, merupakan sesuatu yang indah dan suci, kalau
dilakukan oleh dua orang yang saling mencinta, dengan penuh
kepasrahan, kerelaan dan sukacita. Akan tetapi, kalau dilakukan
dengan kekerasan, dengan paksaan dan perkosaan, maka menjadilah
suatu perbuatan yang terkutuk, keji dan kotor! Kita harus menjadi tuan
dari nafsu-nafsu kita, bukan menjadi budak! Kita harus menguasai
nafsu, bukan dikuasai. 60 Nafsu ibarat kuda penarik kereta. Tanpa kuda, kereta tidak akan
bergerak maju. Akan tetapi, membiarkan kuda menguasai keadaan,
amatlah berbahaya mungkin sekali kereta akan dibawa terjun ke dalam
jurang dan hancurlah semuanya! Kuda penarik kereta haruslah
ditundukkan sehingga dapat menarik kereta ke arah yang benar,
karena itu haruslah selalu dikendalikan. Dan kendalinya adalah
kewaspadaan dan kesadaran. Mawas diri agar tidak menjadi lengah.
Ketika siuman kembali, Kim Cu merasa betapa seluruh tubuhnya
sakit-sakit. Panas, pedih dan lelah, kepalanya pening dan seluruh
tubuhnya seperti remuk rasanya. Ia merintih lirih dan membuka mata,
dan teringatlah semuanya itu!
Ia masih terlentang di atas pembaringan, kaki tangannya masih terikat,
kuat sekali. Mendengar suara dengkur di sebelahnya, ia melirik dan
melihat kepala Pangeran Coan Siu Ong di dekatnya. Pangeran itu tidur
mendengkur, kelelahan. Ingin Kim Cu menjerit, menangis, namun
ditahannya. Dikeraskan hatinya.
Pikirannya bekerja, ia tahu apa yang telah terjadi dengan dirinya. Ia
telah diperkosa oleh pria di sebelahnya ini. Terkutuk! Dan ia tahu
bahwa kalau ia tetap berkeras, ia akan terus diperlakukan seperti ini.
Diperkosa, dihina, diperlakukan seperti binatang! Ia mengatur
pernapasannya, seperti yang pernah dipelajarinya dari mereka yang
melatihnya ilmu silat. Pernapasan yang panjang dapat menenangkan
batinnya yang porak poranda. Ia menjadi tenang, ia menjadi diam,
penuh perhitungan, mengatur akal untuk membalas!
Ia harus menanti sampai tengah malam, barulah pangeran itu
terbangun. Begitu terbangun, pangeran itu batuk-batuk, lalu bangkit
61 duduk, memandang kepada Kim Cu yang nampak tidur memejamkan
mata, terkekeh puas, lalu meraih cawan arak, diminumnya arak yang
masih setengah lebih. Lalu ia duduk, memandangi Kim Cu, dari atas
ke bawah dan agaknya nafsunya bangkit kembali.
"Heh-heh, apakah engkau masih hendak melawan, manis" Engkau
sungguh manis dan cantik, sayang sekali engkau liar dan binal.
Hemm, mulutmu begini manis, bibirmu begini merah dan hangat
lembut, hemmm......" Pangeran itu menundukkan mukanya dan
menciumi mulut Kim Cu. Dia terkejut sekali ketika merasa betapa
mulut itu terbuka hangat dan membalas ciumannya dengan penuh
kemesraan! Pangeran Coan Siu Ong mengangkat mukanya memandang dan
melihat betapa Kim Cu sudah membuka matanya yang jeli, dan mulut
yang manis itu tersenyum kepadanya! Tentu saja sang pangeran
girang bukan main. "Aih, sayang, engkau...... engkau tidak melawan lagi sekarang?"
Dengan sikap malu-malu dan kerling tajam disertai senyum simpul
manis, Kim Cu berkata lirih manja, "Setelah kini menjadi isterimu,
perlu apa aku melawan lagi" Tadi sih aku takut, malu......"
"Ah, manisku! Sayangku! Aku cinta padamu......!" Pangeran itu lalu
memeluk menciumi muka Kim Cu yang mandah saja.
"Akan tetapi, kaki dan tanganku rasanya seperti akan patah tulangnya,
seluruh tubuhku sakit-sakit. Bagaimana aku dapat enak melayanimu
kalau diikat seperti ini, Ong-ya?"
62 Pangeran Coan Siu Ong tersenyum. "Kasihan engkau! Salahmu
sendiri, tadi engkau begitu buas. Kalau seperti sekarang, ahhh......
tentu lebih menyenangkan. Akupun tidak ingin menggunakan
kekerasan, aku sayang padamu, Kim Cu......" Dan pangeran itu lalu
mengambil sebatang pedang kecil, lalu memotong tali-tali pengikat
pada kaki tangan gadis itu.
Kim Cu menahan rasa nyeri ketika darahnya jalan kembali. Bekas
ikatan pada pergelangan kaki dan tangan itu terasa nyeri dan
berdenyut-denyut. Ia menggosok-gosok keempat pergelangan kaki
tangannya, dan sang pangeran ikut pula menggosok-gosok dengan
minyak panas, menciumi seluruh tubuh yang mulus itu. Kim Cu
mandah saja, bahkan sekali-sekali balas mencium dan merangkul,
membuat sang pangeran semakin bergairah.
Akan tetapi, ketika pangeran itu hendak merangkulnya dan
merebahkannya, tiba-tiba tangan Kim Cu menampar.
"Plakkk!" Muka pangeran itu kena ditampar, demikian kerasnya
sehingga tubuh yang tinggi besar berkulit hitam itu terpelanting ke
bawah pembaringan! Saking kagetnya, pangeran itu sampai tak sempat berteriak, hanya
terbelalak memandang kepada Kim Cu, seluruh gairahnya lenyap
terganti rasa kaget dan takut melihat betapa wanita cantik jelita
bertubuh mulus itu kini meloncat turun, tubuh yang telanjang bulat
namun yang kini amat menakutkan.
"Desss......!" Sebuah tendangan kilat menyambar dan mengenai ulu
hati Pangeran Coan. Biarpun tendangan itu dilakukan dengan kaki
63 telanjang, namun datangnya cukup keras, membuat tubuh pangeran itu
terjengkang dan kepalanya membentur lantai.
"Uakkk......!" Pangeran itu muntahkan darah segar dan kepalanya
terasa pening ketika terbanting keras membentur lantai.
"Jahanam busuk! Akan kubunuh kau......, akan kucincang
tubuhmu......!" Kim Cu berseru dan kembali kakinya menendang,
sekali ini mengarah selangkang pangeran itu. Pangeran itu mencoba
untuk menarik tubuhnya, akan tetapi tendangan itu masih
menyerempet anggauta badan yang paling berbahaya di
selangkangnya. "Aduuuhhh...... tolongggg...... toloooooggg......!" Pangeran itu
menggunakan kedua tangannya mendekap bagian yang tertendang,
dan melolong-lolong ketakutan, apa lagi melihat Kim Cu menyambar
pedang pendek di atas meja, pedang yang tadi dipergunakan Pangeran
Coan Siu Ong untuk memotong putus tali-tali pengikat kaki
tangannya. Dengan muka beringas Kim Cu memegang pedang itu,
berniat untuk mencincang tubuh orang yang amat dbencinya seperti
ancamannya tadi. Akan tetapi pada saat itu, dua orang pengawal pribadi yang berjaga di
luar pintu samping, mendengar suara gaduh disusul teriakan majikan
mereka, sudah berloncatan ke dalam kamar. Melihat majikan mereka
bergulingan di atas lantai sambil mengaduh-aduh, mulutnya berdarah,
kepalanya benjol-benjol, kedua tangan mendekap selangkangan,
sedangkan gadis yang tadi diikat di atas pembaringan itu, dengan
telanjang bulat kini berdiri memegang pedang dan agaknya hendak
64 menyerang majikan mereka, cepat mereka
menghadang sambil mencabut golok mereka!
lalu berloncatan Melihat munculnya dua orang pengawal pribadi ini, Kim Cu menjadi
semakin marah. Ia tidak takut, bahkan memaki. "Kalian anjing-anjing
penjilat juga harus mampus!"
Dan iapun menyerang dengan pedang pendeknya, menusuk dan
membacok kalang kabut. Dua orang pengawal itu menggerakkan
golok mereka untuk menangkis dan melindungi diri mereka. Mereka
tidak berani menyerang dengan golok mereka untuk melukai apa lagi
membunuh Kim Cu tanpa perintah pangeran, maka karena ilmu silat
mereka jauh lebih tinggi, dengan mudah akhirnya si tinggi kurus
menendang pergelangan tangan Kim Cu sehingga pedang yang
dipegangnya terlepas dan terlempar.
Dengan mudah dua orang pengawal itupun lalu merobohkan Kim Cu
dan setelah seorang di antara mereka membungkus tubuh telanjang
bulat itu dengan selimut. Orang kedua segera mengikat kaki
tangannya sehingga gadis itu tidak mampu bergerak lagi.
Mereka berdua lalu menolong Pangeran Coan Siu Ong yang masih
mengaduh-aduh, menyumpah-nyumpah dan mendekap selangkangannya. Dadanya juga terasa sakit sekali, juga dua buah
giginya rontok akibat tamparan tadi. Dia lalu diangkat ke atas
pembaringan dan direbahkan. Pangeran itu mengerang kesakitan, akan
tetapi dia masih mampu memperlihatkan kemarahannya kepada Kim
Cu. "Perempuan itu jahat sekali! Ia pura-pura menyerah dan setelah
kubebaskan tiba-tiba menyerangku, bahkan nyaris membunuhku!
65 Bawa ia sekarang juga, jual murah saja kepada rumah bordil yang
terbesar dan yang mempunyai tukang pukul yang pandai dan kuat.
Cepat, bawa ia pergi! Jual ke rumah bordir, tempat paling hina dan
kotor bagi seorang perempuan! Itulah hukumannya! Kalau dibunuh
begitu saja, terlalu enak baginya!"
Dua orang pengawal itu tidak berani membantah dan malam itu juga,
mereka mengangkat Kim Cu yang masih terbelenggu, membawanya
dengan kereta menuju ke rumah bordil Bibi Ciok di sudut kota.
Tentu saja Bibi Ciok girang bukan main mendapatkan kembang baru
ini, dengan harga murah lagi. Apa lagi ketika ia mendapat kenyataan
bahwa gadis yang dijual kepadanya dengan murah itu bukan lain
adalah Lie Kim Cu, kembang kota Lok-yang yang siang tadi diambil
selir oleh Pangeran Coan Siu Ong! Wah, tentu ia akan kebanjiran
uang! Tentang peringatan dua pengawal pribadi pangeran itu bahwa Kim Cu
pandai silat dan lihai, Bibi Ciok tidak khawatir. Ia mempunyai banyak
tukang pukul, ada duabelas orang, yang kesemuanya pandai silat dan
tentu dapat membuat gadis itu tidak berdaya.
Kemarahan Pangeran Coan Siu Ong tidak dapat dipadamkan hanya
dengan menjual Kim Cu ke rumah pelacuran. Dia merasa ditipu,
merasa dirugikan dan malam itu juga dia memerintahkan orangorangnya untuk menangkap kembali Lie-taijin dan melempar orang ini
ke dalam kamar tahanan! Dan pada keesokan harinya, pengadilan menjatuhkan hukuman buang
selama hidup kepada Lie-taijin karena korupsi, menggunakan uang
negara, dan karena hutang-hutangnya yang banyak, juga karena dia
66 telah menggelapkan uang emas milik Pangeran Coan Siu Ong yang
dititipkan kepadanya! Rumah dan semua isinya disita dan semua
isterinya diusir keluar dari rumah itu tanpa membawa apapun kecuali
pakaian yang menempel di tubuh mereka! Tidak ada yang boleh
membawa keluar sebuahpun perhiasan berharga!
Tentu saja hal ini merupakan pukulan batin yang hebat bagi keluarga
Lie, apa lagi ketika Nyonya Lie mendengar bahwa suaminya dihukum
buang selama hidup dan puterinya kini dijual ke rumah pelacuran. Ia
tidak kuat menahan derita batin ini. Ia jatuh sakit sampai meninggal
dunia, diurus secara sederhana sekali oleh para madunya yang
kemudian pulang ke tempat asal masing-masing. Hancurlah keluarga
Lie, hancur hanya karena akibat perjudian!
Lie-taijin sendiri merasa berduka bukan main. Dia tahu akan nasib
yang menimpa keluarganya, bahkan sebelum dia berangkat ke tempat
pembuangan, dia mendengar pula akan nasib puterinya yang dijual ke
rumah pelacuran. Hal ini membuatnya menjadi nekad dan ketika dia
melakukan perjalanan tiba di tepi sebuah jurang yang curam, tiba-tiba
saja dia meloncat ke dalam jurang itu dan tentu saja tubuhnya remuk
dan diapun tewas seketika!
Yang sudah mati memang sudah tamat riwayatnya dan sudah berakhir
pula penderitaannya di dunia. Akan tetapi Kim Cu masih hidup! Gadis
yang bernyali besar ini masih harus mengalami penderitaan yang
bertubi-tubi dan amat hebatnya ketika ia terjatuh ke tangan rumah
pelacuran yang dipimpin Bibi Ciok. Terlepas dari tangan Pangeran
Coan Siu Ong terjatuh ke tangan pelacuran, berarti terlepas dari mulut
seekor harimau lalu terjatuh ke dalam kepungan segerombolan srigala
buas! 67 Mula-mula ia diperlakukan dengan baik, dimandikan, diberi pakaian
yang indah, dirias dan diminyaki rambutnya, kemudian dibujuk untuk
menjadi kembang rumah pelesiran itu, untuk dengan suka rela
menerima tamu-tamu yang akan membayar mahal untuk dirinya, agar
ia suka melayani para tamu dengan ramah tamah dan baik. Akan
tetapi, Kim Cu marah-marah ketika mendapat kenyataan bahwa ia


Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berada dirumah pelacuran dan bahwa ia dibujuk untuk menjadi
seorang pelacur yang baik! Ia memaki-maki dan mengamuk,
memukuli para wanita yang merawat dan membujuknya.
Para tukang pukul datang dan iapun dikeroyok, dirobohkan dan
kembali ia mengalami siksaan. Ia diancam bahwa ia akan disuguhkan
kepada para pria yang berani membayarnya dalam keadaan terikat,
agar ia diperkosa oleh mereka secara bergantian sampai ia mati!
"Anak manis, ingatlah baik-baik!" demikian antara lain Bibi Ciok
sendiri datang membujuk ke jendela sel di mana Kim Cu menggeletak
kelaparan setelah tiga hari tidak diberi makan atau minum.
"Tidak perlu lagi engkau berlagak dan menjual mahal. Ingat, engkau
bukan lagi puteri Lie-taijin, juga engkau bukan lagi selir Pangeran
Coan Siu Ong! Engkau seorang budak belian, sudah dijual kepadaku!
Aku telah mengeluarkan uang untuk membeli tubuhmu, maka
engkaupun harus menjual diri untuk membalas budiku. Engkau
seorang pelacur! Kalau engkau berkeras tidak mau tunduk, baik,
betapapun aku harus mendapatkan kembali uangku darimu. Engkau
akan kujual begitu saja, dalam keadaan telanjang dan dibelenggu kaki
tanganmu, kepada siapa yang suka membayar dan memperkosamu
sepuas hatinya. Biar dengan harga murah engkau kuserahkan kepada
mereka yang akan bergantian memperkosamu sampai engkau mati!
68 Atau, kalau engkau pintar, engkau dapat menurut keinginanku, engkau
layani laki-laki terhormat dan kaya raya, dengan suka rela engkau
menyenangkan hati mereka. Engkau mendapat perlayanan manis,
pakaian indah, bahkan engkau akan memperoleh kesenangan dari para
pria yang mengagumimu, dan memperoleh bayaran tinggi! Nah, pilih
mana" Mati terhina atau menjadi wanita yang dicinta oleh ribuan pria
yang memujamu?" Kim Cu adalah seorang gadis yang cerdik. Ia maklum bahwa ia
terjatuh ke dalam tangan orang yang amat kejam, yang bukan hanya
mengancam atau menggertak, melainkan akan membuktikan
ancamannya itu. Ngeri juga hatinya membayangkan betapa ia akan
diperkosa bergantian, terbayang akan pengalamannya ketika ia
diperkosa oleh Pangeran Coan Siu Ong! Ia tentu akan mati, dan kalau
ia mati, semua manusia jahat itu tidak akan ada yang menghukumnya.
Tidak, ia tidak boleh mati. Ia harus tetap hidup untuk kelak dapat
membalas semua kejahatan itu. Ia harus hidup walaupun ia harus
melakukan apa saja. Ia berani berkorban apa saja sekarang, setelah apa
yang ia alami di dalam kamar Pangeran Coan Siu Ong! Kalau ia masih
hidup, tentu akan terbuka jalan baginya untuk membebaskan dirinya!
"Baiklah, aku menyerah. Aku..... aku tidak ingin diperkosa lagi......
aku ingin hidup....."
Bibi Ciok tersenyum lega. "Dan engkau akan mau bersolek, melayani
para tamu terhormat itu dengan suka rela, dengan senyum dan
ramah?" 69 Kim Cu yang sudah lemah itu mengangguk. "Aku...... akan kulakukan
semua itu...... asal aku jangan diperkosa...... jangan diperkosa dan
dibiarkan hidup......"
Bibi Ciok tersenyum cerdik. "Lie Kim Cu, jangan dikira bahwa aku
bodoh, ya" Kalau kau pura-pura menyerah kemudian memberontak,
ada banyak tukang pukulku yang akan merobohkanmu lagi. Dan
sekali kau memberontak, engkau takkan kuberi kesempatan lagi,
langsung kujual obral biar diperkosa oleh puluhan orang yang suka
membelimu dengan murah, sampai kau mampus!"
Kim Cu lalu diberi makan minum, dikeluarkan dari sel, dan tubuhnya
yang mulai kurus karena dicambuki, dibuat kelaparan, kini mulai
menjadi montok lagi setelah lewat beberapa hari. Setengah bulan
kemudian, ia sudah nampak cantik jelita lagi, dengan pakaian indah
dan senyum manis selalu menghias wajahnya yang cantik jelita.
Sementara itu, sebelum mengeluarkan "simpanannya", yaitu kembang
baru yang namanya sudah membuat banyak orang laki-laki tergilagila, Bibi Ciok tentu saja sudah membuat propaganda. Dan memang
benar, puluhan orang pria, tua dan muda, membanjiri rumah pelacuran
itu. Mereka berebutan mendaftarkan diri sebagai tamu untuk dilayani
Kim Cu. Bahkan tarip yang amat mahal yang dipasang oleh Bibi Ciok,
mereka berani membayar, bayar di muka lagi!
Hal ini membuat Bibi Ciok kewalahan dan segera tarip dinaikkan,
sampai empat kali lipat, namun tetap saja kaum pria itu berebutan!
Akhirnya, Kim Cu harus menerima tamu pertama, yaitu seorang
pemuda bangsawan yang merupakan pembayar paling tinggi dan
pendaftaran pertama! Biarpun hatinya merasa tersiksa bahwa ia barus
70 melayani seorang pria yang tidak dicintanya dengan penyerahan
dirinya, walaupun pria itu muda dan tampan, namun Kim Cu yang
sudah bertekad untuk mencari kebebasan itu melayaninya dengan
senyum manis, dengan sikap yang ramah. Bahkan ia berusaha
memikat hati pria itu sehingga pria itu tidak meninggalkannya sampai
semalam suntuk! Inilah akal Kim Cu agar ia tidak usah melayani lebih dari seorang pria
setiap malam! Setiap kali menerima tamu, Kim Cu berhasil menempel
tamu itu sehingga tamu itu tidak mau meninggalkannya sebelum
keesokan harinya. Demikianlah, sampai hampir satu bulan Kim Cu menjadi pelacur.
Persekutuan Tusuk Kundai Kumala 22 Senja Jatuh Di Pajajaran Trilogi Pajajaran Karya Aan Merdeka Pahlawan Dan Kaisar 1
^