Pencarian

Dendam Sembilan Iblis Tua 3

Dendam Sembilan Iblis Tua Karya Kho Ping Hoo Bagian 3


amat kuat, temboknya tebal, dan di depan pintu kamar itu selalu
ada beberapa orang yang berjaga dengan senjata di tangan.
Andaikata mereka berdua dapat melumpuhkan beberapa orang
penjaga di depan kamar itu, di sana masih terdapat banyak sekali
anak buah, dan terutama terdapat Ang I Sian-li yang amat lihai.
Tidak banyak kesempatan untuk lolos dan mereka harus hati-hati.
Betapapun juga, suami isteri itu merasa lega bahwa mereka
ditahan dalam satu kamar, tidak dipisahkan. Maka, mereka saling
menghibur dan bersabar hati, tetap waspada.
"Y" Di kota Han-cang dekat Telaga Po-yang, nama kakak beradik
Kam amat terkenal dan dihormati orang. Sang Kakak bernama
Kam Sun Ting, berusia sekitar duapuluh lima tahun, seorang
perjaka yang bertubuh tegap dan kokoh kuat, tubuhnya ramping
namun berotot dan wajahnya tampan. Adapun adiknya, seorang
gadis bernama Kam Cian Li, berusia sekitar duapuluh dua tahun,
juga bertubuh ramping padat dan wajahnya cantik manis.
Kakak beradik ini memiliki bentuk tubuh yang mengagumkan,
dengan tangan dan kaki panjang dan sempurna lekuk
lengkungnya. Hal ini tidak mengherankan karena sejak kecil,
144 kakak beradik ini terkenal sebagai ahli-ahli renang yang pandai,
ahli-ahli penyelam yang jarang ditemukan tandingannya karena
mereka pandai bermain di air seperti ikan-ikan saja.
Yang membuat mereka dikenal orang bukan hanya karena
keahlian mereka menyelam, bukan pula ilmu silat mereka yang
hanya lumayan saja, tidak dapat dibilang ahli, bukan pula hanya
karena mereka itu tampan dan cantik dan keduanya gagah. Akan
tetapi karena mereka itu kaya raya dan dermawan!
Keduanya belum menikah, tinggal di sebuah rumah yang tidak
sangat besar namun mungil dan indah, dikelilingi taman bunga
yang terawat amat indahnya. Rumah dan taman mereka menjadi
kebanggaan penduduk kota Nan-cang! Dan kalau kakak beradik
ini rindu akan air, mereka memiliki sebuah perahu yang sedang
besarnya, yang berada di Telaga Po-yang, dirawat seorang
nelayan. Kalau mereka berperahu, mengenakan pakaian penyelam yang
ketat, lalu keduanya bermain-main di air telaga, banyak orang
menonton dengan kagum. Banyak pemuda tergila-gila kalau
melihat Cian Li berpakaian penyelam yang mencetak bentuk
tubuhnya yang membuat setiap pemuda terpesona, juga banyak
gadis yang sampai mimpi merindukan Sun Ting yang gagah dan
tampan. Namun sungguh aneh, biarpun usia pemuda itu sudah duapuluh
lima tahun dan adiknya sudah duapuluh dua tahun, mereka masih
juga belum berumah tangga dan selalu menolak halus kalau ada
orang memperlihatkan sikap tertarik dan mencinta. Bahkan Cian
145 Li sudah menolak banyak pinangan secara halus. Kakak beradik
ini hidup berdua karena sudah yatim piatu.
Tidak begitu mengherankan kalau Sun Ting dan Cian Li belum
juga mau menikah karena keduanya masih belum sembuh dari
luka karena cinta gagal. Sun Ting mencinta Hek-liong-li,
sedangkan Cian Li mencinta Pek-liong-eng. Cinta mereka matimatian, bahkan mereka telah menumpahkan rasa cinta dengan
penyerahan diri, namun mereka hanya dapat memiliki tubuh
kedua pendekar itu selama beberapa hari saja, namun tidak
dapat memiliki hati mereka!
Pek-liong dan Liong-li tidak mau jatuh cinta dan diikat pernikahan.
Kakak beradik itu pernah membantu kedua pendekar itu
memperebutkan harta karun dan setelah berhasil, sepasang
pendekar itu menyerahkan sebagian dari harta karun kepada
mereka, akan tetapi meninggalkan mereka yang menjadi patah
hati. Sun Ting dan Cian Li menjadi dua saudara yang kaya raya akan
tetapi dengan hati merana karena cinta gagal! Dan karena
mereka berdua tidak atau belum dapat melupakan Pek-liong dan
Liong-li, maka keduanya tak pernah memperhatikan gadis dan
pemuda lain. Keadaan itulah yang membuat kakak beradik ini
dikenal oleh semua orang di Nan-cang, terutama mereka yang
tinggal di sekitar Telaga Po-yang.
Pada suatu senja yang indah, kakak beradik ini masih berada di
atas perahu mereka setelah berenang dan bermain-main. Telaga
146 itu sudah sunyi dan mereka berada di bagian selatan, jauh
keramaian. Senja itu angin berembus dengan kencangnya. Mereka duduk di
kepala perahu sambil menikmati langit di barat yang bagaikan
terbakar oleh sinar matahari senja, membentuk istana-istana
kelabu yang serba indah, ada pula bentuk binatang-binatang ajaib
yang seolah berenang di laut api.
Tiba-tiba Cian Li yang kebetulan menoleh ke utara, terbelalak dan
ia memegang lengan kakaknya dan berbisik. "Lihat, apa itu?"
Sun Ting menengok dan diapun terbelalak, bahkan mereka
menggosok kedua mata seolah tidak percaya akan apa yang
mereka lihat. Apakah ada satu di antara mahluk ajaib dari
angkasa di timur itu turun ke atas permukaan air telaga"
Mereka melihat sesosok tubuh meluncur di atas air, seperti
bersayap dan didorong angin yang datang dari utara! Kini makin
nampak jelas bahwa yang meluncur di atas permukaan air itu
adalah seorang manusia! Mungkinkah itu" Bagaimana mungkin ada manusia berlari atau
meluncur di atas air begitu saja, dengan jubah dikembangkan di
kanan kiri tubuhnya, menggembung tertiup angin dari belakang"
Akan tetapi setelah kini dekat terpisah beberapa meter, mereka
berdua yakin bahwa yang meluncur di atas air menghampiri
mereka itu memang seorang manusia! Seorang pria yang usianya
sekitar enampuluh tahun. Tubuhnya jangkung kurus dan kelihatan
lemah, pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang sasterawan,
147 akan tetapi dilengkapi jubah yang lebar dan tebal, yang
dipergunakan sebagai layar.
Kedua kakinya yang bersepatu kain itu ternyata menginjak dua
potong papan kayu tebal yang ujungnya runcing seperti bentuk
perahu. Itulah sebabnya mengapa dia dapat mengambang dan
meluncur karena jubahnya menjadi layar yang tertiup angin.
Biarpun demikian, selama hidupnya kakak beradik yang ahli
bermain di air ini belum pernah melihat ada orang yang mampu
berbuat seperti itu! Kalau orang ini tidak memiliki gin-kang (ilmu
meringankan tubuh) yang amat hebat, tidak mungkin dia dapat
bertahan meluncur seperti itu.
"Selamat sore, orang-orang muda! Apakah kalian yang bernama
Kam Sun Ting dan Kam Cian Li dari Nan-cang?" Suara pria itu
lembut dan sopan, juga wajahnya yang masih nampak tampan
halus itu tersenyum ramah.
Kedua orang kakak beradik itu mengangguk membenarkan,
saking heran dan kagumnya, mereka sampai tidak mampu
mengeluarkan suara, hanya nengangguk.
"Bagus sekali!" Pria itu berseru gembira. "Kalau begitu tidak siasia perjalananku. Bolehkah aku naik perahu kalian" Aku sengaja
mencari kalian, diutus oleh sahabat-sahabatku, Pek-liong dan
Hek-liong-li." Mendengar disebutnya nama dua orang pendekar itu dan orang
itu mengaku sebagai sahabat dan utusan, tentu saja kakak
beradik itu merasa girang bukan main.
148 "Silakan, Locianpwe (orang tua gagah), silakan naik ke perahu
kami!" kata Sun Ting.
Kini kakak beradik itu melihat bukti dugaan mereka bahwa
mereka berhadapan dengan seorang locianpwe yang sakti. Pria
itu seperti seekor burung bangau saja, meloncat dan melayang
naik ke atas perahu, kedua kakinya meninggalkan dua potong
papan yang tadi dipergunakan untuk meluncur dan ketika kedua
kakinya hinggap di atas perahu, perahu itu sedikitpun tidak
terguncang! Begitu tiba di atas perahu, orang itu berkata, "Orang muda, cepat
kaulayarkan perahumu ke barat. Pek-liong-eng dan Hek-liong-li
mengutusku untuk menjemput kalian dan agar kalian secepatnya
menemui mereka." "Di manakah tai-hiap dan li-hiap itu, locianpwe?"tanya Kam Cian
Li, hatinya tegang karena akan bertemu dengan Pek-liong, pria
yang selalu dipuja di dalam hatinya.
Pria itu menghela napas panjang, mengeluarkan sebuah kipas
dari saku jubahnya dan mengipas tubuhnya dengan lagak
seorang sastrawan, lalu berkata,
"Mereka berpesan agar aku tidak boleh memberitahukan di mana
mereka berada. Yang penting, mereka terancam bahaya dan
hanya kalian berdua dengan kepandaian kalian dalam air yang
dapat menolong dan menyelamatkan mereka. Cepatlah layarkan
perahu ke barat, aku lelah sekali dan ingin beristirahat dan tidur.
Kecuali kalau kalian tidak ingin menolong mereka, terpaksa aku
akan pergi lagi." 149 "Tentu saja kami suka sekali menolong mereka, locianpwe!" kata
Sun Ting cepat-cepat dan diapun sudah mengatur layar dan kini
perahu mulai meluncur ke arah barat.
Pria itu sudah merebahkan dirinya di tengah perahu dan sebentar
saja dia sudah tidur mendengkur! Agaknya dia memang lelah
sekali sehingga kakak beradik itu tidak berani dan tidak tega
mengganggunya. Mereka mengatur layar dan kemudi perahu. Angin kencang
membuat perahu itu meluncur cepat ke arah barat. Akan tetapi,
walaupun kakak beradik itu, selalu memandang ke barat, kini
mereka tidak melihat lagi keindahan langit senja di barat karena
pikiran mereka penuh dengan bayangan Pek-liong-eng dan Hekliong-li dan hati mereka dicekam kekhawatiran. Ingin mereka
cepat-cepat dapat bertemu dengan kedua orang pendekar itu.
Senja telah diselimuti kegelapan malam ketika perahu itu tiba di
tepi pantai barat. Melihat pria itu masih tidur, Sun Ting
mendekatinya dan dengan lirih dia menggugahnya.
"Locianpwe, kita sudah tiba di tepi pantai barat. Di mana
mereka?" Pria itu bergerak menggeliat dan bangkit duduk, memandang ke
sekeliling. "Ehh" Sudah gelap" Sudah tiba di tepi pantai barat?"
"Benar, locianpwe," kata Cian Li. "Di mana Pek-liong-eng?"
150 "Nanti dulu, mereka bilang akan menjemput kita dengan kereta di
sini. Nah, itu di sana kukira keretanya," kata pria itu dan pada
saat itu terdengar ringkik kuda.
"Mari, keretanya di sana. Kita harus melanjutkan perjalanan naik
kereta yang sudah disediakan."
Dia meloncat ke darat. Kakak beradik itu saling pandang di
keremangan malam yang hanya diterangi bintang, akan tetapi
keraguan mereka dikalahkan keinginan bertemu dengan
sepasang pendekar itu. Maka, merekapun mengikatkan tali
perahu pada sebatang pohon, lalu merekapun mendarat dan
mengikuti kakek itu. Benar saja, tak jauh dari pantai terdapat sebuah kereta dengan
dua ekor kudanya. Di bangku kusir duduk seorang laki-laki tinggi
besar. Dia duduk seperti patung dan sama sekali tidak
menengok, dan juga kakek sastrawan itu sama sekali tidak
bertanya atau menegurnya.
"Marilah, kalian naik kereta ini bersamaku,"
mempersilakan kakak beradik itu naik ke kereta.
katanya "Ke manakah kita akan pergi, locianpwe" Di mana mereka
berdua itu?" tanya Sun Ting.
"Naik sajalah, nanti kalian akan mengetahuinya sendiri," katanya.
Begitu mereka bertiga duduk di dalam kereta, kendaraan itu
segera bergerak cepat. Dua buah lentera di kanan kiri kereta
bergoyang-goyang dan kereta itu bergerak cepat.
151 Sun Ting mulai merasa curiga. "Locianpwe ini siapakah"
Siapakah nama locianpwe dan apa yang yang terjadi dengan
Pek-liong-eng dan Hek-liong-li?"
"Benar, ceritakan kepada kami, locianpwe, agar hati kami tidak
merasa ragu dan bimbang. Apa yang terjadi dengan mereka dan
di mana mereka sekarang?" kata pula Cian Li.
"Kalian ingin mengetahui siapa aku" Orang menyebut namaku
Kim Pit Siu-cai (Sastrawan Pena Emas)," kata pria itu dan di
dalam suaranya halus itu kini terkandung kebanggaan hati.
Akan tetapi, melihat wajah kedua prang kakak beradik itu tertimpa
sinar lentera itu tidak kelihatan kaget, bahkan agaknya tidak
mengenal nama julukan itu, alis Kim Pit Siu-cai berkerut. Tentu
saja kakak beradik itu tidak mengenal nama datuk besar ini.
Mereka berdua bukanlah orang-orang kang-ouw dan kalau
mereka berdua menjadi sahabat Pek-liong-eng dan Hek-liong-li,
hal itu hanya kebetulan saja. Mereka bukan ahli-ahli silat dan
bukan pendekar, tidak mengenal dunia kang-ouw dan para
tokohnya, maka nama itupun sama sekali tidak mereka kenal.
"Tapi di mana kedua pendekar itu dan bahaya apakah yang
mengancam mereka?" tanya Cian Li.
Melihat kenyataan bahwa dua orang kakak beradik itu tidak
terkejut mendengar namanya, hal ini saja sudah membuat Kim Pit
Siu-cai penasaran dan marah sekali. Kalau saja dia tidak
membutuhkan dua orang kakak beradik ini, tentu akan
dibunuhnya mereka seketika untuk memuaskan hatinya yang
152 merasa penasaran. Tidak dikenal nama besarnya sama saja
dengan suatu penghinaan baginya!
"Kalian tidak mengenal nama besar Kim Pit Siu-cai?" tanyanya,
kini suaranya terdengar ketus. "Ketahuilah bahwa aku adalah
seorang di antara Kiu Lo-mo!"
Akan tetapi, kembali dia tertegun, penasaran dan wajahnya
berubah merah sekali. "Kiu Lo-mo" Siapakah mereka itu?" tanya Cian Li, juga Sun Ting
memandang tak mengerti. Kalau saja dia bukan sastrawan, tentu Kim Pit Siu-cai sudah
menyumpah-nyumpah dan memaki-maki saking jengkelnya. Lalu
dia teringat sesuatu dan membentak, "Coba katakan, apakah
kalian tidak mengenal nama Siauw-bin Ciu-kwi?"
Mendengar disebutnya nama ini, kakak beradik itu terkejut. "Aih,
iblis tua yang amat jahat itu?" tanya Cian Li.
Kini Kim Pit Siu-cai tertawa bergelak dan ketika dia tertawa,
lenyaplah semua sikap halus dan sopannya. Di dalam suara
tawanya terkandung kekejaman yang mengerikan.
"Ha-ha-ha, kalian mengenal Siauw-bin Ciu-kwi, bukan" Ha-ha-haha!"
"Tapi iblis tua yang jahat itu telah mati!" kata Sun Ting.
153 "Dia telah mati, akan tetapi aku belum! Dan aku adalah
saudaranya, dan aku akan membalas dendam kematiannya!"
"Ahhh......!!" tentu saja kakak beradik itu terkejut bukan main,


Dendam Sembilan Iblis Tua Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

wajah mereka berubah pucat dan mata mereka terbelalak. "Kalau
begitu, engkau bukan sahabat Pek-liong-eng dan Hek-liong-li!"
"Ha-ha-ha-ha, sahabat" Mereka adalah musuh-musuh besar
yang harus kubunuh! Dan kalian akan menjadi umpan agar
mereka berdua datang!"
"Tidak, aku tidak sudi!" teriak Cian Li dan kakaknya juga menjadi
marah sekali. Keduanya bergerak hendak melompat keluar dari dalam kereta.
Akan tetapi, kipas di tangan Kim Pit Siu-cai bergerak lebih cepat
lagi. Dia duduk berhadapan dengan kedua orang kakak beradik
itu dan begitu kipasnya bergerak dua kali, Sun Ting dan Cian Li
sudah menjadi lemas tak mampu bergerak lagi karena sudah
tertotok ujung gagang kipas! Mereka hanya duduk lemas
bersandar dan dengan mata terbelalak marah mereka hanya
dapat memandang kepada Kim Pit Siu-cai yang tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, tanpa kalian pun kami akhirnya akan dapat
membunuh Pek-liong dan Liong-li. Akan tetapi dengan kalian,
akan lebih mudah memancing mereka. Kalau kalian tidak
memberontak, kami akan menerima kalian sebagai tamu, akan
tetapi kalau kalian memberontak, terpaksa kalian akan ku
perlakukan sebagai tawanan. Nah, kalian tinggal pilih saja!"
154 Cepat sekali kipasnya bergerak dan kedua orang kakak beradik
itu sudah dapat bergerak kembali. Cian Li mengepal tinju, akan
tetapi kakaknya segera memegang lengannya dan menggeleng
kepala. "Adikku, kita bukan tandingannya, tidak perlu melawan," katanya
dan Cian Li mengerti. Keadaan bagi mereka akan semakin buruk
kalau mereka melawan. Selain percuma saja melawan, mereka
akan menjadi tawanan, tertotok, atau terbelenggu, dan siapa
tahu, sebagai tawanan mereka akan diperlakukan lebih buruk
lagi. "Ha-ha-ha, itu baru bijaksana namanya. Nah, sekarang tidak perlu
banyak bertanya lagi. Pendeknya, kalian akan menjadi tamu-tamu
kami di suatu tempat, di lembah Huang-ho, dan jangan banyak
membuat ulah." Kakak beradik itu tidak membuat ulah, bahkan tidak bicara lagi
kepada penawan mereka. Mereka kini tidak mengkhawatirkan diri
sendiri karena tahu bahwa mereka hanya ditawan sebagai umpan
untuk memancing datangnya Hek-liong-li dan Pek-liong-eng.
Mereka gelisah memikirkan keselamatan dua orang pendekar
yang mereka cinta itu. Kakek yang menawan mereka itu demikian
lihai, jahat dan kejam sekali nampaknya, walaupun sikapnya
halus dan wajahnya masih tampan. Tampak mengerikan.
Biarpun mereka diam saja, namun di dalam hati kedua orang
kakak beradik ini, mereka mengambil keputusan untuk membantu
Liong-li dan Pek-liong sedapat mungkin, dan mereka hanya dapat
menunggu. Di balik semua perasaan khawatir itu, juga terdapat
155 keinginan tahu apakah sepasang pendekar itu akan dapat
dipancing dengan umpan diri mereka, apakah sepasang
pendekar itu masih memperdulikan mereka" Ada harap-harap
cemas tersembunyi di lubuk hati mereka.
Kakak beradik ini memang tidak membuat usaha melarikan diri
atau melawan lagi sampai perjalanan itu berakhir di lembah
Huang-ho, di rumah gedung yang menjadi tempat tahanan Song
Tek Hin dan isterinya, Su Hong Ing yang ditawan oleh Ang I Sianli, seorang di antara Sembilan Iblis. Akan tetapi karena kamar
mereka terpisah, mereka tidak saling mengetahui bahwa ada
tawanan lain di samping mereka.
Seperti juga suami isteri itu, Kam Sun Ting dan Kam Cian Li
mendapat kebebasan, namun mereka tidak melihat sedikitpun
kesempatan untuk dapat melarikan diri dari tempat yang terjaga
ketat dan di mana terdapat orang-orang yang memilliki ilmu
kepandaian tinggi seperti Kim Pit Siu-cai dan Ang I Sian-li. Kakak
beradik itu, seperti juga halnya suami isteri itu, hanya dapat
menanti dengan hati tegang dan khawatir.
Dibandingkan tugas dua orang rekannya, yaitu Kim Pit Siu-cai
yang menangkap kakak beradik Kam, dan Ang I Sian-li yang
menangkap Song Tek Hin dan isterinya, tugas yang dilaksanakan
Pek-bwe Coa-ong jauh lebih sukar. Sebagai orang tertua di
antara tiga orang sisa Sembilan Iblis Tua itu, Pek-bwe Coa-ong si
Raja Ular ini memang sengaja menangani tugas sukar ini sendiri.
Tugasnya ialah menangkap Cian Hui dan isterinya yang bernama
Cu Sui In. 156 Tentu saja tugas.ini tidak mudah dilaksanakan oleh karena Cian
Hui bukan orang sembarangan. Dia adalah Cian Ciang-kun,
seorang panglima muda yang gagah perkasa dan yang di kota
raja sudah terkenal sebagai seorang penyelidik atau detektip
yang sudah banyak berhasil membongkar berbagai kejahatan.
Sebagai seorang panglima, tentu saja Cian Ciang-kun
mempunyai kekuasaan atas sepasukan perajurit keamanan yang
tangguh, dan dia sendiri memiliki ilmu silat yang lihai di samping
kecerdikannya sebagai seorang pemberantas kejahatan.
Cian Hui yang sudah berusia empatpuluh tiga tahun itu masih
nampak tegap dan gagah, wajahnya kejantanan, wajahnya
berbentuk segi empat, dagunya berlekuk keras, alisnya hitam
tebal sekali, hidungnya besar mancung dan mulutnya cerah,
matanya lebar, suaranya juga tegas dan nyaring, tubuhnya tinggi
tegap. Ilmu silatnya adalah ilmu silat keturunan keluarga Cian,
senjatanya sebatang suling baja yang ampuh.
Dengan jenggot kumis terpelihara rapi, panglima ini memang
nampak gagah berwibawa, membuat gentar hati para penjahat
yang bertemu dengan dia. Selama tiga tahun sudah Cian Hui
menikah dengan Cu Sui In, dan mereka mempunyai seorang
anak perempuan berusia dua tahun yang diberi nama Cian Hong.
Kalau Cian Hui pandai ilmu silat keluarganya, isterinya yang
murid Kun-lun-pai itu lebih lihai lagi! Cu Sui In seorang wanita
cantik berusia duapuluh sembilan tahun, keturunan bangsawan
pula. Ia seorang janda, empat tahun yang lalu suaminya tewas
dibunuh penjahat yang dipimpin Kui-eng-cu, yang sesungguhnya
157 adalah dua orang di antara Sembilan Iblis Tua, yaitu mendiang
Lam-hai Mo-ong dan Tiat-thouw Kui-bo.
Dalam memerangi gerombolan Kui-eng-cu (Si Bayangan Iblis)
inilah ia bertemu dengan Cian Hui, dan bertemu pula dengan
Hek-liong-li dan Pek-liong-eng. Kalau Cian Hui tergila-gila kepada
Liong-li, Sui In tergila-gila kepada Pek-liong. Akan tetapi karena
sepasang pendekar itu tidak mau terlibat dalam pernikahan,
hubungan cinta itu gagal, dan kalau tadinya mereka saling
menghibur, akhirnya Cian Hui dan Cu Sui In saling tertarik dan
menikah. Dari pernikahan ini mereka mendapatkan seorang anak
perempuan. Suami isteri jagoan ini tinggal di sebuah gedung yang mungil di
kota raja. Biarpun dia seorang panglima, namun Cian Ciang-kun
tidak suka hidup gemerlapan dengan kemewahan. Rumahnya
tidak terlalu besar seperti rumah para panglima lainnya, namun
karena dia menyadari bahwa dia dimusuhi banyak penjahat dan
tokoh sesat yang pernah diberantasnya, maka siang malam
selalu ada saja pasukan khusus yang melakukan penjagaan di
sekitar rumah Cian Ciang-kun untuk menjaga keselamatan, untuk
mencegah agar tidak ada tokoh sesat yang datang membalas
dendam kepada keluarga itu.
Sebetulnya, penjagaan ini dilakukan oleh Cian Hui semenjak
isterinya melahirkan seorang anak. Sebelum itu, dia tidak pernah
menyuruh anak buahnya melakukan penjagaan, karena dia
merasa bahwa dia sendiri bersama isterinya cukup tangguh untuk
membela diri kalau terjadi penyerangan. Akan tetapi setelah
158 puterinya lahir, dia melakukan penjagaan itu demi keselamatan
puterinya. Itulah sebabnya mengapa Pek-bwe Coa-ong mengalami kesulitan
untuk dapat menculik Cian Hui dan isterinya seperti yang telah
direncanakannya bersama dua orang rekannya, yaitu Kim Pit Siucai dan Ang I Sian-li dalam usaha mereka membalas dendam
kepada Pek-liong-eng dan Hek-liong-li.
Telah sepekan dia berada di kota raja, setiap hari melakukan
pengintaian namun tak pernah mendapatkan kesempatan untuk
melakukan usahanya itu. Dia tidak berani melakukan kekerasan
terhadap Cian Hui dan isterinya di kota raja karena dimaklum
betapa besar bahayanya kalau sampai para jagoan istana dan
pasukan keamanan mengepung dan mengeroyoknya. Kalau dia
hendak membunuh panglima itu dan isterinya, hal itu agaknya
akan dapat dia lakukan lebih mudah, apalagi dia memang
sengaja membawa Thai-san Ngo-kwi untuk membantunya.
Akan tetapi justeru kesukarannya terletak pada tidak harus
melakukan pembunuhan. Kalau panglima dan isterinya itu
dibunuh, hal itu sama sekali tidak ada gunanya lagi. Mereka
harus dapat ditangkap hidup-hidup, dijadikan tawanan sebagai
umpan agar Liong-li dan Pek-liong berdatangan,untuk
menyelamatkan sahabat baik itu. Pada suatu sore, Pek-bwe Coa-ong yang selalu melakukan
pengintaian itu melihat Cian Hui dan isterinya keluar dari rumah
mereka. Suami isteri itu agaknya hendak berjalan-jalan mencari
hawa sejuk karena udara sore hari itu agak panas dan mereka
tidak membawa pengawal. 159 Diam-diam Pek-bwe Coa-ong membayangi mereka dan
melakukan persiapan karena dianggapnya bahwa hal itu
merupakan kesempatan yang baik sekali. Atas isyaratnya Thaikwi dan Ji-kwi ikut pula melakukan pengintaian dan kini dua orang
di antara Thai-san Ngo-kwi itu ikut pula membayangi suami isteri
yang sama sekali tidak mengira bahwa dalam suasana yang
aman dan nyaman itu, mereka terancam bahaya.
Cian Hui dan Sui In memasuki sebuah taman di kota raja. Taman
umum itu indah terpelihara baik-baik dan luas, terdapat banyak
pohon dan rumpun bunga-bunga beraneka warna. Sore itu,
banyak juga orang berjalan-jalan di taman umum itu karena hawa
udara di situ lebih sejuk. Akan tetapi, karena taman itu luas, maka
banyak bagian yang nampak sepi.
Ketika Cian Hui dan Sui In sedang berjalan perlahan-lahan di
bagian yang sunyi dekat sebuah kolam ikan sambil bercakapcakap, tiba-tiba muncul dua orang laki-laki yang berjalan dari
depan. Tanpa curiga Cian Hui dan isterinya memandang kepada
mereka. Seorang tinggi besar berkulit hitam dan seorang lagi
pendek gendut, usia mereka empatpuluh tahun lebih.
Ketika dua orang itu telah datang dekat, tiba-tiba saja mereka
menyerang suami isteri itu dengan pukulan yang dahsyat, tanpa
memberitahu lebih dahulu. Tentu saja suami isteri itu terkejut
bukan main. Namun, mereka adalah ahli-ahli silat kelas satu,
maka cepat mereka dapat meloncat ke samping mengelak.
Si tinggi besar terus menyerang Cu Sui In, sedangkan yang
pendek gendut menyerang Cian Hui. Tentu saja kedua orang itu
160 adalah Thai-kwi dan Ji-kwi yang telah mendapat perintah dari
Pek-bwe Coa-ong untuk melakukan penyerangan kepada suami
isteri yang sejak tadi mereka bayangi. Karena mereka
sebelumnya sudah melakukan penyelidikan dan tahu bahwa Sui
In lebih lihai dari Cian Hui, maka Thai-kwi menyerang Sui In dan
Ji-kwi yang menyerang Cian Hui.
"Heii, gilakah kalian tanpa sebab menyerang kami?" Cian Hui
membentak dan kembali dia mengelak dari serangan si pendek
gendut yang amat lihai itu.
"Cian Hui, engkau dan isterimu harus mati untuk menebus
dosamu terhadap banyak saudara kami yang kautawan dan
kaubunuh!" teriak Thai-kwi yang juga mendesak Sui In.
Mengertilah Cian hui bahwa dia berhadapan dengan golongan
sesat yang memusuhinya untuk membalaskan para penjahat
yang pernah ditangkapnya atau dibasminya, maka tanpa banyak
cakap lagi diapun membalas serangan si pendek gendut. Akan
tetapi, sekali ini dia terkejut karena si gendut ini benar-benar amat
lihai. Ketika si gendut itu menangkis pukulannya, dia merasa betapa
lengan kanannya tergetar hebat dan terasa nyeri. Ia menunjukkan
bahwa si gendut ini memiliki tenaga yang amat kuat. Juga ketika
dia melirik ke arah isterinya, dia melihat isterinya terdesak oleh si
tinggi besar. "Singg......!" Cian Hui mencabut pedangnya, akan tetapi pada
saat itu, lawannya juga mengeluarkan sebatang golok yang
berkilauan saking tajamnya. Mereka kembali saling serang dan
161 ternyata ilmu golok lawannya itupun hebat sehingga sebentar
saja gulungan sinar pedangnya terhimpit. Tentu saja Cian Hui
merasa khawatir sekali, terutama terhadap keselamatan isterinya.
Cu Sui In adalah murid Kun-lun-pai yang tangguh, bahkan tingkat
ilmu silatnya lebih tinggi dibandingkan suaminya. Akan tetapi
sekali ini ia bertemu tanding yang amat kuat. Apalagi ketika
lawannya menggerak-gerakkan kedua lengan secara aneh dan
nampak kedua lengan itu kemerah-merahan, tahulah Sui In
bahwa lawannya memiliki ilmu yang aneh dan tangannya
mengandung hawa panas seperti api.
Tidak seperti suaminya yang tak pernah ketinggalan membawa
pedang, nyonya muda ini tidak membekal senjata, karena niatnya
meninggalkan rumah hanya untuk jalan-jalan mencari hawa
sejuk. Akan tetapi agaknya lawannya seorang yang tinggi hati
karena melihat ia tidak bersenjata, lawannya juga tidak mencabut
golok yang tergantung di punggungnya. Biarpun demikian, tetap
saja dia mulai terdesak. Tiba-tiba, di antara beberapa orang yang mulai tertarik dan
nonton perkelahian itu, muncul seorang kakek yang rambutnya
sudah putih semua. "Siapa berani mengganggu Cian Ciang-kun?"
bentaknya halus dan diapun melompat ke dalam kalangan
perkelahian, tangannya yang hampir tak nampak tertutup lengan
baju yang lebar dan panjang itu digerakkan dua kali ke arah Thaikwi dan Ji-kwi.
Angin yang kuat sekali menyambar dari lengan baju itu dan kedua
orang yang menyerang suami isteri itu terdorong dan terhuyung
162 ke belakang! Mereka berdua maklum bahwa kakek yang
membela suami isteri itu memiliki kesaktian, maka tanpa banyak
sikap lagi keduanya lalu berlompatan melarikan diri dengan cepat
sekali. Tentu saja Cian Hui dan isterinya merasa lega dan berterima
kasih sekali kepada kakek yang amat lihai itu. Mereka
memandang dengan penuh perhatian dan merasa kagum.
Kakek itu usianya sekitar enampuluh lima tahun, rambutnya
sudah putih semua dan wajahnya nampak tua sedangkan
tubuhnya kecil kurus dan kelihatan ringkih. Siapa tahu, dia
memiliki sin-kang sedemikian hebatnya sehingga sekali
menggerakkan tangan, hawa pukulannya membuat penjahat
yang tangguh tadi terdorong dan terhuyung! Cian Hui dan


Dendam Sembilan Iblis Tua Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

isterinya cepat memberi hormat kepadanya dan Cian Hui berkata
dengan suara yang mengandung rasa kagum dan hormat.
"Kami menghaturkan terima kasih kepada locianpwe yang telah
menolong kami. Agaknya lo-cianpwe sudah mengetahui bahwa
saya bernama Cian Hui dan ini isteri saya, Cu Sui In. Bolehkah
kami mengenal nama besar locianpwe yang mulia?"
Kakek itu tersenyum dan mengeluarkan suara tawa aneh dan
lirih. "Heh-heh, namaku tidak ada artinya bagi Ciang-kun, yang
lebih penting Ciang-kun ketahui bahwa saya memang mencari
Ciang-kun berdua isteri karena saya membawa pesan dari
sahabat baik saya Pek-liong-eng......"
163 Mendengar ini, Cian Hui dan isterinya terkejut akan tetapi juga
girang. Kiranya kakek lihai ini adalah sahabat Pek-liong-eng Tan
Cin Hay. Pantas demikian lihainya!
Akan tetapi karena di situ terdapat banyak orang yang berkumpul
karena merasa tertarik oleh perkelahian tadi, Cian Hui berkata,
"Locianpwe, tidak leluasa untuk bicara di sini. Mari, kami
persilakan locianpwe berkunjung ke rumah kami di mana kita
dapat bicara dengan leluasa."
"Heh-heh, begitupun lebih baik......" kakek itu menganggukangguk lalu mereka bertiga meninggalkan taman dan pergi ke
rumah panglima itu. Setelah mereka duduk di dalam ruangan tamu, Cian Hui dan
isterinya yang duduk berhadapan dengan kakek itu segera
bertanya apakah pesan yang dibawa oleh kakek itu dari Pekliong, dan siapa pula nama kakek yang lihai itu.
"Heh-heh, sudah saya katakan bahwa nama saya tidak ada
artinya bagi ji-wi (kalian berdua). Nama saya Gan Ki dan saya
adalah seorang sahabat baik dari Pek-liong-eng dan Hek-liong-li.
Pek-liong-eng yang mengutus saya mencari Ciang-kun dan
nyonya. "Apakah pesan itu, Gan-locianpwe?" tanya Cian Hui.
"Dia berpesan agar sekarang juga ji-wi datang kepadanya. Dia
berada dalam bahaya maut dan hanya ji-wi yang akan dapat
menyelamatkannya. Saya diutus menjemput ji-wi dan sudah
disediakan kereta untuk ji-wi di luar pintu gerbang selatan kota
164 raja. Karena tidak ingin menarik perhatian orang, sengaja kereta
itu saya tinggalkan di sana, siap untuk mengantar ji-wi ke tempat
Pek-liong-eng berada."
Tentu saja suami isteri itu terkejut bukan main mendengar bahwa
Pek-liong berada dalam bahaya maut!
"Di mana dia sekarang?" Sui In tak dapat menahan kecemasan
hatinya dan bertanya. Bagaimanapun juga, Pek-liong merupakan
orang yang pernah menjadi kekasihnya dan ia tidak pernah dapat
melupakan pendekar itu. "Di suatu tempat di lembah Huang-ho. Marilah kita segera
berangkat, saya khawatir kita akan terlambat," kakek itu
mendesak. Cian Hui teringat akan sesuatu. "Locianpwe, kalau Pek-liong
berada dalam bahaya maut, kenapa lo-cianpwe mencari kami,
bukan mencari Liong-li?"
"Liong-li" Ah, kaumaksudkan Hek-liong-li Ciang-kun" Ia tidak
berada di tempat tinggalnya dan menurut Pek-liong-eng, Hekliong-li juga terancam maut. Karena itu, marilah cepat-cepat kita
pergi agar jangan terlambat, Ciang-kun. Sebaiknya Ciang-kun
pergi berdua seperti pesan Pek-liong-eng, jangan bawa pasukan
pengawal karena hal ini tentu akan diketahui oleh pihak musuh
dan celakalah Pek-liong-eng!"
Suami isteri itu saling pandang, wajah Sui In membayangkan
kecemasan. "Mari kita cepat pergi dan menolongnya!" kata
nyonya muda itu. 165 "Mari, kita berkemas dulu. Harap locianpwe menunggu sebentar
di sini, kami hendak membuat persiapan dan berkemas," kata
Cian Hui. Kakek itu mengangguk sambil tersenyum dan suami isteri itu
masuk ke dalam. Setelah tiba di dalam, Cian Hui menarik tangan isterinya diajak ke
belakang. "Aku curiga kepadanya, kita harus membuat persiapan," bisiknya
dan diapun menulis surat dengan cepat, memanggil kepala
penjaga lalu menyerahkan surat itu dengan pesan agar cepatcepat surat itu diserahkan kepada Teng Gun atau Teng Ciangkun.
Setelah kepala penjaga itu pergi dengan cepat, dia dan isterinya
lalu membawa bekal dan tidak lupa mereka mempersiapkan
pedang dan senjata rahasia, juga obat-obatan. Sui In memesan
kepada pelayan agar menjaga Cian Hong baik-baik dan agar para
pengawal menjaga keselamatan anak itu, barulah mereka pergi
ke ruangan tamu kembali dan disambut dengan senyum gembira
oleh kakek rambut putih itu.
"Bagus, ji-wi tidak membuang-buang waktu. Mari kita cepat
berangkat!" katanya dan suaranya terdengar gembira.
"Akan tetapi agar tidak menarik perhatian, kita jangan terlalu
cepat berjalan selama berada dalam kota," kata Cian Hui.
"Ketahuilah, locianpwe, saya mempunyai tugas pekerjaan, akan
166 tetapi terpaksa saya tinggalkan demi menolong Pek-liong-eng,
sahabat baik kami." Kakek itu mengangguk-angguk. "Saya tahu, kalau bukan sahabat
baik, tentu Pek-liong-eng tidak menyuruh saya mencari ji-wi."
Mereka bertiga lalu keluar dari rumah Cian Hui dan berjalan
dengan santai menuju ke selatan, ke arah pintu gerbang selatan.
Tidak nampak ketegangan di wajah Cian Hui, apa lagi ketika dia
melihat beberapa orang dalam penyamaran mengamati mereka,
yaitu para jagoan istana yang menjadi sahabat-sahabatnya.
Kiranya Teng Ciang-kun, pembantunya yang setia, dapat bekerja
dengan cepat sekali sesuai dengan isi suratnya yang
dikirimkannya tadi. Tidak terjadi sesuatu selama mereka melakukan perjalanan
santai menuju ke pintu gerbang selatan. Setelah keluar dari pintu
gerbang, kakek itu berkata, "Kami telah mempersiapkan sebuah
kereta untuk melanjutkan perjalanan. Di sana keretanya, Ciangkun," dia menunjuk ke kiri, ke lorong yang menyimpang dari jalan
raya. Cian Hui dan Sui In mengikutinya memasuki lorong yang sepi itu,
dan dari jauh nampak sebuah kereta sudah menanti.
Tempat itu memang sepi, apa lagi cuaca mulai gelap remangremang. Ketika sudah tiba di dekat kereta, suami isteri itu melihat
dua orang berada di atas kereta, di bangku kusir dan mereka
terkejut bukan main mengenal bahwa mereka itu bukan lain
167 adalah si tinggi besar muka hitam dan si gendut yang tadi
menyerang mereka di dalam taman!
"Heil! Apa artinya ini?" seru Cian Hui dan bersama isterinya
diapun memutar tubuh untuk menghadapi kakek yang mengaku
bernama Gan Ki. Kakek itu berdiri menyeringai dan kini wajahnya yang nampak tua
dan ringkih itu kelihatan licik dan kejam.
"Artinya, kalian berdua menjadi tawanan kami."
"Siapakah engkau sebenarnya dan mengapa pula hendak
menawan kami?" Cian Hui bertanya dengan suara lantang karena
marah. Kini kakek yang sudah merasa yakin akan keberhasilannya,
tertawa mengejek. "Ha-ha-ha, namaku memang Gan Ki walaupun tak pernah aku
mempergunakan nama kecil itu. Dunia kang-ouw mengenalku
sebagai Pek-bwe Coa-ong (Raja Ular ekor Putih)."
Cian Hui terkejut. "Seorang di antara Kiu Lo-mo?"
"Heh-heh, engkau memang cerdik, Cian Ciang-kun. Memang
benar sekali dugaanmu itu."
"Lalu mengapa engkau menawan kami?"
168 "Agar Pek-liong-eng dan Hek-liong-li datang untuk menolong
kalian. Bukankah kalian sahabat sahabat baik mereka" Kalian
kami tawan untuk menjadi umpan. Setelah dapat ikannya, kalian
akan kami bebaskan."
"Tidak sudi kami dijadikan umpan!" bentak Cu Sui In marah dan ia
sudah mencabut pedangnya, diikuti suaminya yang juga
mencabut pedang. "Kalian hendak melawan" Ha-ha, menghadapi Thai-kwi dan Jikwi saja kalian tidak mampu menang, dan kalian hendak
melawan aku?" Cian Hui dan Cu Sui In yang sudah marah sekali tidak perduli dan
menerjang kakek itu dengan pedang mereka. Pek-bwe Coa-ong
tersenyum dan tubuhnya membuat gerakan seperti ular, lalu
kedua lengannya didorongkan ke depan menyambut serangan
itu. "Wuuuuuttt......!" Angin dahsyat menyambut suami isteri itu dan
betapapun mereka sudah mengerahkan sin-kang mempertahankan diri, tetap saja Cian Hui terjengkang dan Cu Sui
In yang lebih tangguh, terdorong ke belakang dan terhuyung!
Cian Hui cepat mengeluarkan peluit kecil dan meniupnya.
Terdengar suara nyaring dan belasan bayangan berkelebat.
Mereka adalah jagoan-jagoan istana yang sudah berloncatan
keluar dengan senjata di tangan dan di belakang mereka masih
nampak puluhan orang perajurit.
169 Melihat ini, Pek-bwe Coa-ong terkejut, dan dua orang dari Thaisan Ngo-kwi juga terbelalak. Sama sekali tidak mereka sangka
bahwa suami isteri yang sudah mereka jebak itu berbalik
memasang perangkap bagi mereka!
Melihat bahwa keadaannya menjadi berbahaya karena diapun
maklum bahwa jagoan-jagoan dari kota raja amat lihai dan jumlah
mereka amat banyak, kakek itu mengeluarkan teriakan nyaring
memberi isyarat kepada dua orang pembantunya dan merekapun
berlompatan melarikan diri dengan cepat sekali, meninggalkan
kereta dan kuda mereka. Mereka hanya bermaksud menawan
suami isteri itu untuk dijadikan umpan. Usaha mereka telah gagal
maka mereka tidak ingin terlibat dalam perkelahian dan
permusuhan melawan pasukan keamanan pemerintah.
Cian Hui dan isterinya segera pulang dengan hati lega, akan
tetapi setelah tiba di rumah, Sui In bertanya, "Bagaimana engkau
bisa tahu bahwa dia berniat jahat dan telah mengerahkan bala
bantuan?" Cian Hui menghela napas. "Berkat pengalamanku selama
bertahun-tahun, aku selalu waspada dan teliti. Ada banyak hal
yang ganjil ketika kakek itu bercerita tentang Pek-liong-eng.
Pertama kalau dia memang mencariku, bagaimana kita dapat
bertemu dengan dia di taman, tepat pada saat kita diserang
kedua orang itu" Kebetulan yang agaknya disengaja atau diatur.
Kalau benar dia mencariku untuk menyampaikan pesan dari Pekliong-eng tentu dia akan langsung saja datang ke rumah, bukan
berkeliaran di taman. 170 "Kedua, kalau benar Pek-liong-eng membutuhkan bantuan kita,
tentu dia akan mengirim surat, bukan secara lisan. Ketiga, kakek
itu memiliki kepandaian tinggi, kalau dia benar sahabat baik dari
Pek-liong-eng, mengapa dia jauh-jauh mencari kita dan bukan dia
sendiri saja yang menolong Pek-liong" Kepandaiannya jauh di
atas kita, lalu mencari kita apa gunanya" Keempat, dia bilang
menyiapkan kereta untuk kita, dan tidak ingin menarik perhatian
maka keretanya ditinggalkan di luar pintu gerbang.
Hal ini tidak masuk diakal. Kalau kedatangannya bermaksud baik,
kenapa dia menjauhkan perhatian orang" Pendeknya, banyak
sekali pada dirinya yang menimbulkan kecurigaan, maka ketika
kita masuk untuk berkemas, aku mengirim surat kepada Teng
Ciang-kun agar dia mengirim bala bantuan yang kuat dan
memasang barisan pendam di luar pintu gerbang, melihat
perkembangan." Isterinya mengangguk-angguk dan memandang kagum kepada
suaminya, "Engkau memang cerdik sekali. Kalau begitu, jelas
bahwa Pek-liong dan Liong-li sebenarnya tidak berada dalam
ancaman bahaya maut."
"Engkau keliru. Kakek itu adalan Pek-bwe Coa-ong, seorang di
antara Sembilan Iblis Tua. Setahuku, Pek-liong dan Liong-li telah
membunuh empat orang di antara mereka, dan dua orang lagi,
yaitu Lam-san Siang-kwi (Sepasang Iblis Gunung Selatan) telah
lebih dahulu tewas. Jadi sisanya tinggal tiga orang lagi, yaitu Pekbwe Coa-ong, Kim Pit Siu-cai dan Ang I Sian-li.
171 "Mereka adalah orang-orang yang amat lihai dan berbahaya
sekali. Siapa tahu mereka bertiga itu kini bersatu untuk membalas
dendam atas kematian rekan-rekan mereka. Kalau mereka gagal
menawan kita untuk dijadikan umpan, tentu mereka akan
mempergunakan cara lain untuk membalas dendam kepada Pekliong dan Liong-li. Dan aku harus cepat memberi kabar untuk
memperingatkan mereka akan ancaman ini."
"Engkau hendak pergi berkunjung kepada Pek-liong dan Liong-li"
Akan tetapi, hal itu berbahaya sekali karena Pek-bwe Coa-ong
dan kawan-kawannya tentu akan berusaha menangkapmu."
Cian Hui menggeleng kepala. "Aku sudah mereka kenal, aku
akan menyuruh seorang pembantu yang cerdik untuk membawa
suratku kepada Pek-liong, dan seorang pembantu lagi kusuruh
mengantar surat kepada Liong-li."
Demikianlah, malam hari itu juga Cian Hui membuat dua buah
surat dan menyuruh anak buah yang pandai, seorang pergi ke
dusun Pat-kwa-bun mencari Pek-liong-eng, dan seorang lagi
pergi ke kota Lok-yang mencari Hek-liong-li.
"Y" Hek-liong-li Lie Kim Cu duduk seorang diri di ruangan dalam
rumahnya. Ia duduk seenaknya, mengangkat kedua kaki yang
ditekuk lututnya ke atas kursi, nongkrong seorang diri di pagi hari
itu. Rambutnya masih kusut, pakaiannya juga kacau dan tidak
rapi karena ia baru saja bangun tidur dan belum sempat mandi
dan bertukar pakaian karena pagi-pagi sudah disibukkan dengan
termenung seorang diri. 172 Kadang-kadang ia menggosok-gosok hidungnya yang tidak gatal
dan kesibukan menggosok hidung ini bagi yang sudah
mengenalnya menjadi tanda bahwa wanita cantik jelita yang
gagah perkasa ini sedang tenggelam dalam pikirannya sendiri,
sedang mengerjakan kecerdasan otaknya untuk memecahkan
persoalan yang rumit. Dan memang Liong-li sedang termenung memikirkan semua
peristiwa yang menimpa dirinya. Ia sudah mengerahkan semua
pembantunya, beberapa hari yang lalu ia membawa sembilan
orang pembantunya, semua bersenjata lengkap, mendaki puncak
Thai-san hendak menyerbu sarang Thai-san Ngo-kwi. Akan
tetapi, ternyata yang disergapnya hanyalah sarang yang kosong
belaka. Semua burung sudah meninggalkan sarang, atau lebih tepat lagi,
semua srigala telah meninggalkan sarang mereka. Tak
seorangpun dari Thai-san Ngo-kwi maupun anak buah mereka
dapat ia temukan. Saking kecewa dan marahnya, Liong-li dan
anak buahnya membakar sarang itu sampai habis rata dengan


Dendam Sembilan Iblis Tua Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanah. Akan tetapi perbuatan itu masih belum menenangkan hatinya.
Jelas bahwa Thai-san Ngo-kwi memusuhinya karena hendak
membalas dendam kematian guru mereka, yaitu Siauw-bin Ciukwi. Akan tetapi, agaknya mereka tidak berdiri sendiri.
Nenek pesolek yang lihai itu tentu yang menjadi dalangnya dan ia
tidak.mengenal nenek itu. Tidak tahu pula di mana sekarang
173 mereka berada. Dan selama ia belum dapat membasmi mereka,
tentu ia akan selalu terancam.
Sekarangpun ia melarang anak buahnya keluar seorang diri.
Tidak aman bagi mereka. Diancam musuh yang bergerak secara
bersembunyi sungguh tidak mengenakkan hati, selalu tegang dan
harus waspada setiap saat.
Ia harus dapat menghancurkan mereka. Akan tetapi di mana
mereka" Ia teringat kepada Pek-liong. Kenapa belum juga ada
balasan dari Pek-liong"
Tiba-tiba daun pintu ruangan itu diketuk seorang pembantunya.
Ang-hwa yang berpakaian serba merah itu muncul.
"Li-hiap ada seorang tamu hendak bertemu dengan li-hiap,
katanya dia membawa surat dari Song Tek Hin dan Kam Sun
Ting." Liong-li mengerutkan alisnya. Terlalu banyak nama yang
dikenalnya, maka untuk mengingat dua nama itu ia harus
menggali ingatannya. Kemudian ia teringat. Song Tek Hin adalah pemuda tegap
tampan yang dikenalnya lima tahun yang lalu, dan Kam Sun Ting
adalah seorang pemuda ramping tegap kokoh kuat, perenang
dan penyelam tangguh di Telaga Po-yang itu yang dikenalnya
tiga tahun yang lalu. Kedua pemuda itu adalah sahabat-sahabat
baiknya, bukan sekadar sahabat malah, mereka pernah menjadi
kekasihnya dan teringat kepada mereka mendatangkan
kehangatan di hatinya. 174 "Suruh dia menunggu di ruangan tamu dan ingat, jaga dia baikbaik, awasi gerak-geriknya dan cegah sesuatu terjadi kepadanya.
Aku mau mandi sebentar."
Ang-hwa mengangguk dan pergi. Liong-li cepat mandi air dingin
dan tak lama kemudian ia telah memasuki ruangan tamu dengan
wajah segar dan pakaian yang rapi, pakaian serba hitam yang
selalu menutupi tubuhnya. Seorang laki-laki berusia limapuluh
tahun, melihat pakaiannya tentu seorang desa, bangkit dari
tempat duduknya dan memandang kepada Liong-li dengan
kagum. Biarpun ia berhadapan dengan seorang dusun yang sederhana,
namun karena orang itu menjadi tamunya, Liong-li cepat
mengangkat kedua tangan, depan dada, lalu berkata, "Apakah
paman hendak bertemu dengan saya?"
Pria itu nampak bingung. "Saya ingin berjumpa dengan...... yang
namanya Hek-liong-li....."
Liong-li tersenyum. Jelas bahwa orang ini belum pernah
melihatnya, juga agaknya tidak tahu bahwa Hek-liong-li adalah
sebuah julukan. Orang ini jelas seorang petani sederhana biasa,
sehingga semakin menarik mengapa orang seperti ini hendak
bertemu dengannya. "Akulah Hek-liong-li, paman. Ada keperluan apakah paman
hendak bertemu dengan aku?"
175 Dengan gugup orang itu mengeluarkan dua sampul surat dari
dalam saku bajunya, "Aku hendak menyampaikan surat dari Song
Tek Hin dan Kam Sun Ting."
Demikian cepat dia mengucapkan dua nama itu seolah-olah dua
nama itu telah dihafalkan berulang kali. Dia menyerahkan dua
sampul surat itu kepada Liong-li yang menerimanya. Dua macam
tulisan tangan di luar sampul yang menyebutkan namanya
dengan jelas, nama berikut julukannya, yaitu Hek-liong-li Lie Kim
Cu. Tentu saja ia tidak mengenal bagaimana bentuk tulisan dua orang
pria itu, dan tidak tahu apakah dua sampul surat ini benar dari
mereka ataukah hanya tulisan palsu. Ia mengangkat mengamati
wajah yang sederhana itu.
"Siapakah namamu, paman?"
"Namaku" Namaku Theng Kiu, nona."
"Tempat tinggal paman?"
"Di luar kota ini, sebelah barat, dekat sungai. Aku seorang petani,
juga nelayan........"
"Paman mengenal Song Tek Hin dan Kam Sun Ting?"
Petani itu menggeleng kepala. "Sama sekali tidak mengenal
mereka, melihatpun belum."
"Lalu bagaimana surat-surat ini......?"
176 "Aku menerimanya dari seorang laki-laki. Malam tadi ketika aku
sedang menjala ikan di pantai sungai, muncul seorang laki-laki
dan dia menyerahkan dua buah surat ini kepadaku dengan pesan
agar aku menyampaikannya kepada Hek-liong-li yang tinggal di
rumah ini." "Paman begitu taat kepadanya. Siapakah dia yang menyerahkan
surat itu?" "Aku tidak tahu, nona. Dia menyerahkan dua buah surat ini dan
aku diberi upah sepotong perak, dengan pesan agar aku
menyampaikan surat-surat ini dan jangan melupakan nama-nama
pengirimnya. Karena hari telah malam, maka aku menunda
sampai pagi ini." Liong-li mengangguk-angguk, memuji kecerdikan si pengirim
surat. "Apakah paman dapat menceritakan bagaimana rupanya
orang itu?" "Malam itu gelap sekali di tepi sungai, nona. Aku tidak dapat
melihat wajahnya dengan jelas, hanya dia seorang laki-laki yang
bertubuh tinggi besar. Itu saja yang kuketahui."
Kembali Liong-li mengangguk-angguk karena ia sudah menduga
demikian. Kiranya tidak ada yang dapat ia harapkan memperoleh
keterangan dari orang ini, maka iapun mengeluarkan sepotong
perak dan menyerahkan kepadanya.
"Ini hadiah untukmu, paman. Kalau orang itu muncul lagi dan
paman mengenalnya, harap paman suka cepat memberitahu
kepadaku, dan aku akan memberi hadiah yang lebih banyak."
177 Wajah itu berseri dan tangan itu gemetar ketika menerima
sepotong perak itu. Selama hidupnya, baru dua kali ini dia melihat
sepotong perak yang amat berharga, yaitu malam tadi dan pagi
ini. Dia mengangguk-angguk mengucapkan terima kasih dan berjanji
akan memenuhi permintaan Liong-li. Kemudian dia pamit dan
meninggalkan runah itu dengan hati yang gembira bukan main.
Dalam waktu singkat dia telah memperoleh hasil melebihi hasil
dia bekerja selama dua bulan!
Dengan tenang Liong-li membuka sampul surat dan membacanya
sambil tetap duduk di ruangan tamu itu, tenggelam ke dalam
sebuah kursi yang besar. Alisnya berkerut ketika membaca dua
buah surat itu. Tulisan tangannya berbeda, akan tetapi isinya
senada, yaitu keduanya mengatakan bahwa mereka telah
menjadi tawanan musuh di lembah Huang-ho dan kalau ia tidak
segera datang menolong mereka, tentu mereka akan dibunuh!
Liong-li menggosok-gosok hidungnya, kedua matanya terpejam.
Ia membayangkan dua orang pemuda itu, terutama watak
mereka. Song Tek Hin adalah seorang pemuda yang memiliki ilmu silat
yang cukup lihai, berjiwa pendekar. Sama sekali bukan seorang
yang berwatak pengecut dan takut mati. Apa lagi Kam Sun Ting.
Penyelam yang gagah ini seorang yang jantan, biarpun ilmu
silatnya tidak?lah sehebat ilmunya menyelam, namun dia berhati
baja dan pemberani. Juga sama sekali bukan seorang pengecut.
178 Kesimpulannya adalah bahwa ada dua kemungkinan. Surat ini
bukan tulisan mereka, atau kalau benar tulisan mereka, tentu ada
sesuatu yang memaksa mereka menulis surat seperti ini. Dan
jelas ini merupakah suatu jebakan baginya. Tentu pihak penulis
surat palsu, atau pihak penawan kedua orang pemuda itu sengaja
memancingnya datang ke lembah Huang-ho dan sudah bersiapsiap untuk mencelakakannya.
Ada dua hal yang mempertebal dugaannya bahwa ini bukan surat
palsu. Pertama, siapakah orangnya yang tahu bahwa kedua
orang pemuda ini merupakan orang-orang yang dekat dengan
hatinya sehingga kalau mereka ditawan, tentu ia akan mencoba
untuk menolong mereka" Kedua, mengapa kedua orang pemuda
ini yang dipilih untuk dijadikan umpan baginya"
Jelas, ada musuh-musuhnya yang menggunakan siasat ini untuk
memancingnya masuk ke dalam perangkap. Ini tentu ada
hubungannya dengan gangguan yang dilakukan orang
kepadanya beberapa hari yang lalu. Thai-san Ngo-kwi" Dan
nenek itu" Liong-li menggosok-gosok hidungnya lagi. Ia mengingat kembali
peristiwa apa yang mempertemukan ia dengan kedua orang
pemuda itu. Ia bertemu dengan Song Tek Hin ketika ia bersama
Pek-liong membasmi gerombolan yang dipimpin Hek-sim Lo-mo,
seorang di antara Kiu Lo-mo (Sembilan Ib1is Tua). Dan ia
bertemu dengan Kam Sun Ting ketika ia bersama Pek-liong
membasmi gerombolan yang dipimpin oleh Siauw-bin Ciu-kwi,
juga seorang di antara Kiu Lo-mo dalam peristiwa perebutan
Patung Emas! 179 Ah, dua peristiwa yang didalangi oleh tokoh-tokoh Kiu Lo-mo!
Berarti Kiu Lo-mo berdiri di belakang ini. Apa lagi Thai-san Ngokwi yang mencoba untuk mengganggu rumahnya juga
merupakan murid-murid mendiang Siauw-bin Ciu-kwi!
Liong-li menggosok-gosok hidungnya yang kecil mancung sampai
menjadi kemerahan. Kini seluruh perhatian dan ingatannya ia
kerahkan untuk mengingat tentang keadaan Kiu Lo-mo. Ia pernah
bersama Pek-liong melakukan penyelidikan, mencari keterangan
di dunia kang-ouw tentang Kiu Lo-mo.
Mereka itu terdiri dari sembilan orang tokoh sesat yang amat
terkenal, 1ihai dan jahat sekali. Dan biarpun mereka berdiri
sendiri-sendiri, namun ada semacam ikatan di antara mereka,
semacam setia kawan yang membuat mereka dijuluki Sembilan
Iblis Tua. Dua orang di antara mereka yaitu Lam-san Siang-kwi (Sepasang
Iblis Gunung Selatan) telah tewas ketika bentrok dengan pasukan
yang dipimpin para jagoan istana, belasan tahun yang lalu.
Kemudian ia bersama Pek-liong telah menewaskan empat orang
di antara mereka, yaitu Hek-sim Lo-mo (Iblis Tua Berhati Hitam),
Siauw-bin Ciu-kwi (Setan Arak Muka Tertawa), Lam-hai Mo-ong
(Raja Iblis Lautan Selatan) dan Tiat-thouw Kui-bo (Siang Iblis
Kepala Besi). Jadi sekarang, yang masih hidup tinggal tiga orang
lagi di antara Sembilan Iblis Tua, yaitu Kim Pit Siu-cai (Sastrawan
Pena Emas), Ang I Sian-li (Dewi Pakaian Merah), dan Pek-bwe
Coa-ong (Raja Ular Ekor Putih).
180 Ang I Sian-li! Ah, kenapa ia begitu bodoh" Liong-li menepuk
kepalanya sendiri. Tentu saja! Nenek berpakaian merah yang
pesolek itu, siapa lagi kalau bukan Ang I Sian-li, seorang di antara
Kiu Lo-mo" Pantas begitu kuat!
Jelaslah sekarang, tentu sisa dari Kiu Lo-mo yang berada di balik
semua peristiwa ini. Kalau ketiga iblis tua itu masih hidup dan kini
berusaha membalas dendam atas kematian empat orang iblis
tua, tidak mengherankan kalau mereka itu menawan Song Tek
Hin dan Kam Sun Ting! Agaknya mereka telah mengetahui akan
semua peristiwa kematian saudara-saudara atau rekan-rekan
mereka, melakukan penyelidikan dan tahu bahwa kedua pemuda
itu terlibat dalam urusan pembasmian tokoh-tokoh Kiu Lo-mo itu.
Liong-li kembali mengingat-ingat. Belum lama ini, ketika ia dan
Pek-liong membasmi Lam-hai Mo-ong dan Tiat-thouw Kui-bo, ada
pula seorang pria yang terlibat, yaitu Cian Hui atau Cian Ciangkun, panglima muda di kota raja. Apakah dia juga menjadi
sasaran tiga orang dari Kiu Lo-mo"
Liong-li mengepal tinju. Bagaimanapun juga, merupakan jebakan
atau tantangan, betapapun besar bahaya yang ia hadapi, ia harus
menolong dua orang pemuda itu! Tidak mungkin ia membiarkan
mereka berkorban karena perbuatan ia dan Pek-liong.
Ah, Pek-liong tentu akan melakukan hal yang sama. Ia mengenal
benar isi hati Pek-liong. Tiba-tiba ia teringat kembali. Kalau ia
mengalami serangan, dan kini menerima surat-surat yang
agaknya merupakan umpan perangkap baginya, tentu Pek-liong
juga tidak akan dilupakan oleh sisa Kiu Lo-mo! Apakah Pek-liong
181 juga mengalami serangan seperti yang ia alami" Dan menerima
surat-surat seperti ini"
Tidak, ia tidak akan menanti surat balasan dari Pek-liong. Akan
terlalu lama dan ia khawatir terlambat. Ia harus segera pergi
menolong dua orang pemuda itu, dan sembilan anak buahnya
sudah lebih dari cukup untuk membantunya.
Liong-li lalu memanggil sembilan orang pembantunya. Dengan
cepat mereka berdatangan dan sepuluh orang gadis-gadis cantik
itu mengadakan perundingan di dalam kamar rahasia di rumah
besar itu. Liong-li mengatur rencana siasatnya untuk melakukan
penyelidikan di lembah Huang-ho dan membagi-bagi tugas.
Sembilan orang anak buahnya memperhatikan dan mencatat
dalam hati semua tugas yang diserahkan kepada mereka.
Kemudian mereka membuat persiapan dan berkemas.
Liong-li sendiri membuat sehelai surat untuk Pek-liong dan ia
meletakkan surat itu di tempat rahasia depan rumahnya, tempat
rahasia yang hanya diketahui oleh ia dan Pek-liong berdua. Lalu
sehelai surat lagi ia buat untuk Cian Hui dan surat ini ia titipkan
kepada seorang anak tetangga yang biasa ia suruh-suruh,
seorang anak yang cerdik dengan pesan kalau ada seseorang
yang gambarannya seperti Cian Hui, agar surat itu diserahkan
setelah orang itu mengaku siapa namanya.
Pada hari itu juga, berangkatlah Liong-li dan sembilan orang
pembantunya. Akan tetapi, kalau ada orang mengintai di sekitar
tempat itu, tidak nampak sepuluh orang wanita yang pergi
bersama, karena masing-masing mengambil jalan sendiri melalui
182 pintu-pintu dan lorong-lorong rahasia. Hanya nampak Liong-li
seorang yang meninggalkan pekarangan rumahnya dengan
langkah santai. "Y" Tepat seperti dugaan Liong-li, Pek-liong juga menerima surat
yang senada. Hanya saja, pendekar ini menerima jauh lebih lama
dari pada Liong-li menerimanya karena tempat tinggal Pek-liong
jauh di selatan. Ketika Pek-liong menyuruh pembantunya menyelidiki daerah
Sungai Yang-ce di mana mendiang Thian-te Siang-houw
merajalela, dia tidak mendapatkan keterangan yang meyakinkan.
Dia tetap tidak percaya kalau Thian-te Siang-houw memusuhinya
tanpa ada yang mendalangi mereka, karena dua orang sesat
setingkat mereka itu tidak, mungkin akan berani mengusiknya


Dendam Sembilan Iblis Tua Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanpa ada pendorong yang lebih kuat. Akan tetapi mereka telah
tewas dan pembantunya tidak berhasil mendapat keterangan
siapa kiranya yang merupakan pendukung mereka.
Kemudian datanglah surat dari Liong-li. Ketika dibacanya surat itu
yang menceritakan tentang peristiwa yang dialami orang yang
paling dipuja, paling dicinta, paling dihormati dan dihargainya di
seluruh dunia itu, Pek-liong tersenyum. Tak salah dugaannya.
Serangan dan gangguan itu bukan hanya menimpa dirinya
sendiri. Bahkan Liong-li tertimpa lebih hebat lagi. Diapun
mengangguk-angguk ketika membaca bahwa yang mengganggu
Liong-li adalah Thai-san Ngo-kwi, murid-murid dari mendiang
Siauw-bin Ciu-kwi. 183 Pek-liong meraba-raba dagunya sambil melamun. Inilah ciri
khasnya kalau dia sedang menggunakan daya pikirannya untuk
memecahkan sesuatu. Murid-murid Siauw-bin Ciu-kwi, berarti ada
hubungannya dengan Kiu Lo-mo.
Sudah tiga kali dia dan Liong-li bentrok dengan Kiu Lo-mo.
Bentrokan pertama membuat mereka berhasil menewaskan Heksim Lo-mo, bentrokan kedua mereka menewaskan Siauw-bin Ciukwi, dan dalam bentrokan terakhir, yang ketiga kalinya mereka
menewaskan Lam-hai Mo-ong dan Tiat-thouw Kui-bo.
Dia lalu berpikir apakah Thian-te Siang-houw juga mempunyai
hubungan dengan Kiu Lo-mo" Jelas bahwa bukan Liong-li saja
yang diincar musuh. Dia sendiripun menjadi sasaran musuh, yang
belum diketahuinya siapa penggerak dari Siang-houw itulah.
Entah siapa Pouw Bouw Ki, kakak dari nona Pouw Bouw Tan,
dibunuh orang karena bentuk tubuh dan wajahnya mirip dia.
Mungkin pembunuhnya adalah Thian-te Siang-houw.
Dan dia sendiri didatangi orang yang tewas dalam rumahnya,
terjebak alat rahasia sehingga terjepit kepalanya dan hancur
wajahnya sehingga tidak dapat dikenali siapa. Jelas bahwa Liongli dan dia sedang diincar oleh orang-orang yang menghendaki
kematian mereka. Akan tetapi siapa"
Beberapa hari kemudian, seorang kanak-kanak berusia sepuluh
tahun datang mengantar dua buah surat kepadanya. Anak itu
menceritakan pengalamannya. Dia putera seorang nelayan di tepi
Telaga Barat (See Ouw). Pagi tadi, seorang laki-laki setengah tua
184 yang mukanya hitam dan tubuhnya tinggi besar menghampirinya
ketika dia sedang mengail ikan di tepi telaga.
"Hei, anak baik, apakah engkau tahu di mana rumahnya Pekliong-eng?"
Anak yang disebut A-sam itu tentu saja tahu. Nama besar Pekliong-eng dikenal oleh seluruh orang di sekitar telaga itu, dari
kanak-kanak sampai orang tua. Siapa tidak mengenal pendekar
yang dermawan itu" "Saya tahu, rumahnya di dusun Pat-kwa-bun!" kata anak itu
dengan suara bangga. "Bagus! Anak baik, maukah engkau mendapatkan upah sebanyak
ini?" Orang itu mengeluarkan uang tembaga yang cukup banyak,
bahkan terlalu banyak bagi A-sam yang anak keluarga nelayan
miskin. "Tentu saja saya mau!" kata anak itu, heran dan tidak percaya
bahwa orang itu akan memberi uang sedemikian banyaknya.
"Bagus, kalau begitu, berikan surat-surat ini kepada Pek-liongeng, dan semua uang ini menjadi milikmu. Maukah engkau?"
"Mau, tentu saja saya mau!" kata anak itu, melepaskan
pancingnya saking girang hatinya.
"Nah, simpanlah surat ini baik-baik dan terimalah uang ini. Akan
tetapi hati-hati kau, kalau engkau berbohong dan tidak
menyampaikan surat ini kepada Pek-liong-eng, aku akan datang
185 lagi dan akan kuhancurkan kepalamu seperti ini!" Orang itu
meninju sebongkah batu sebesar kepala anak itu dan batu itupun
hancur! Tentu saja A-sam menjadi pucat dan dengan suara gemetar dia
berkata. "Akan saya sampaikan, saya tidak berani berbohong."
Demikianlah keterangan A-sam ketika dia menyerahkan surat
kepada Pek-liong dan menjawab pertanyaan pendekar itu. Ketika
ditanya tentang gambaran orang itu, A-sam hanya ingat bahwa
orang itu tinggi besar bermuka hitam. Itu saja.
Pek-liong memberi upah, menyuruh A-sam pergi dan dia lalu
membaca dua buah surat itu. Tulisannya berbeda, namun
nadanya sama. Sebuah surat ditulis oleh Su Hong Ing, dan yang
kedua oleh Kam Cian Li, dan keduanya memberitahukan bahwa
mereka ditawan musuh di lembah Huang-ho dan mereka
mengharapkan pertolongan Pek-liong. Hanya itu saja.
Seperti yang dilakukan Liong-li, Pek-liong tenggelam dalam
lamunan ketika membaca kedua buah surat itu. Dua orang gadis
yang pernah menjadi kekasihnya, yang mencintanya. Dia
mendengar bahwa Su Hong Ing telah menjadi isteri Song Tek
Hin, dan Su Hong Ing adalah murid Bu-tong-pai yang pandai dan
lihai. Juga Kam Cian Li telah menjadi gadis hartawan di samping
kakaknya, Kam Sun Ting. Bagaimana kedua orang wanita itu kini menjadi tawanan musuh"
Siapakah musuh itu" Tidak mereka sebutkan dalam surat.
186 Dan dia tahu benar bahwa dua orang wanita itu amat mengagumi
dan mencintanya, sehingga tidak mungkin mereka mau
mencelakakan dia. Akan tetapi kenapa mereka membuat surat
seperti itu" Pada hal, jelas surat itu merupakan pancingan agar
dia datang menolong mereka dan musuh itu tentu akan
menyambutnya dengan perangkap.
Pek-liong masih terbenam dalam lamunan setelah menerima
surat itu dan kembali dia meraba-raba dagunya. Otaknya yang
cerdik bekerja keras. Merupakan hal yang amat mencurigakan
betapa dua orang wanita itu, Su Hong Ing dan Kam Cian Li dapat
menjadi tawanan dalam waktu yang bersamaan, dan keduanya
juga bersama-sama menyurati dia.
Yang seorang tinggal di dekat kota Cin-an, yang kedua tinggal di
Nan-cang dekat telaga Po-yang, terpisah jauh. Bagaimana kini
mereka dapat berkumpul sebagai tawanan" Apa yang membuat
musuh-musuh itu menawan kedua orang wanita ini"
Jelas, surat itu untuk memancingnya agar dia mau datang ke
lembah Huang-ho untuk menolong mereka. Akan tetapi mengapa
kedua orang itu" Pada hal, teman-temannya banyak. Mengapa
justeru mereka" Dia mengingat kembali pertemuannya dengan mereka. Su Hong
Ing dijumpainya ketika dia bersama Liong-li membasmi Hek-sim
Lo-mo, dan Kam Cian Li dijumpainya ketika dia bersama Liong-li
membasmi Siauw-bin Ciu-kwi! Dan Liong-li diserang oleh Thaisan Ngo-kwi, murid-murid mendiang Siauw-bin Ciu-kwi. Dalam
suratnya, secara singkat Liong-li juga menyebut adanya nenek
187 berpakaian merah yang amat lihai, yang membantu Thai-san
Ngo-kwi. "Ah, tidak salah lagi. Tentu mereka yang mendalangi semua ini.
Sisa Kiu Lo-mo tinggal tiga, Ang I Sian-li, Kim Pit Siu-cai, dan
Pek-bwe Coa-ong! Siapa lagi kalau bukan mereka yang hendak
membalas dendam atas kematian empat orang rekan mereka
yang kubasmi bersama Liong-li" Ini berbahaya, mereka adalah
orang-orang lihai yang amat jahat!"
Tiba-tiba dia teringat. Ketika dia bersama Liong-li membasmi
Lam-hai Mo-ong dan Tiat-thouw Kui-bo, juga ada dua orang yang
terlibat, yaitu Cian Hui dan Cu Sui In. Kalau memang sisa Kui Lomo hendak menangkap orang-orang yang terlibat tentu Cian Hui
dan Sui In yang menjadi isterinya itu akan terancam pula. Akan
tetapi dia teringat betapa cerdiknya Cian Hui dan sebagai
seorang panglima muda yang berkedudukan di kota raja,
kedudukannya kuat karena dia memiliki pasukan.
Selain itu, Cian Hui jauh lebih lihai dibandingkan dua orang
wanita yang ditawan musuh, bahkan isterinya, Cu Sui In yang
murid Kun-lun-pai, lebih lihai lagi. Agaknya kawanan penjahat
tidak dapat menawan Cian Hui dan isterinya, maka tidak ada
surat dari mereka kepadanya!
Pek-liong berpendapat bahwa bukan hanya dua orang wanita itu
saja yang terancam bahaya seperti tertulis dalam surat mereka,
walaupun dia belum yakin apakah surat-surat itu tidak palsu,
melainkan juga Liong-li terancam bahaya. Dia harus bertindak,
dan karena sekali ini, kalau perhitungannya tepat, dia akan
188 berhadapan dengan sisa Kiu Lo-mo, yaitu tiga orang datuk sesat
yang lihai, dia membutuhkan bantuan enam orang pelayan yang
juga menjadi pembantunya, juga boleh dibilang murid-muridnya
karena dia telah menggembleng mereka menjadi pembantupembantu yang dapat diandalkan dan pandai ilmu silat, juga
cerdik dan setia. Cepat dia mengumpulkan enam orang pembantunya dan
menceritakan kepada mereka semua yang terjadi, lalu mengatur
siasat dan membagi tugas. Enam orang pembantunya itu secara
berpencar dia beri tugas untuk melakukan penyelidikan ke
lembah Huang-ho yang patut dicurigai menjadi sarang musuhmusuh itu, kemudian menanti dia di sana, siap untuk
membantunya. Dia sendiri akan lebih dahulu singgah ke Lok-yang
di selatan Sungai Kuning (Huang-ho) untuk mencari Liong-li
sebelum berangkat pula ke lembah Huang-ho.
Di dalam surat kedua orang wanita itu, hanya minta agar dia
datang menolong mereka yang ditawan di lembah Huang-ho di
perbukitan Hek-san (Bukit Hitam). Pada hal perbukitan itu
panjang dan luas, maka harus diselidiki di mana kiranya sarang
mereka yang menawan dua orang wanita itu.
"Y" Bagaimana dua pasang suami isteri dan kakak beradik yang
ditawan itu sampai mau mengirim surat kepada Liong-li dan Pekliong" Pada hal, mereka berempat adalah orang-orang gagah
yang tidak akan sudi membantu penjahat untuk menjadi umpan
189 dan memancing datangnya dua orang yang mereka sayangi dan
hormati itu masuk dalam perangkap penjahat.
Perkembangan yang tidak menguntungkan mereka telah terjadi di
tempat tawanan itu. Baru sehari setelah menjadi tawanan di situ,
Song Tek Hin dan Su Hong Ing yang mendapat kebebasan
walaupun selalu diawasi, tak pernah menyia-nyiakan kesempatan
untuk meloloskan diri atau memberontak kalau perlu.
Mereka melihat ketika kakak beradik Kam datang sebagai
tawanan pula dan ditempatkan di kamar nomor dua, tak jauh dari
kamar mereka. Mereka memang tidak saling mengenal, akan
tetapi dari sikap masing-masing, mereka dapat saling menduga
bahwa mereka berempat mempunyai nasib yang sama.
Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Su Hong Ing yang
melakukan pendekatan kepada Kam Cian Li. Para penjaga tidak
melarang ketika dua orang wanita ini bercakap-cakap dan dalam
percakapan itu, dengan hati-hati mereka saling bertanya dan
betapa kaget hati mereka bahwa mereka benar-benar mengalami
nasib yang sama. Keduanya ditangkap untuk dijadikan umpan
bagi Pek-liong dan Liong-li!
"Kita harus menggunakan kesempatan ini untuk meloloskan diri!
Kita tidak boleh menjadi umpan untuk mencelakai Pek-liong dan
Liong-li," bisik Su Hong Ing.
"Engkau benar, enci. Akan tetapi bagaimana caranya" Mereka
amat lihai, kita tidak mungkin dapat menang, tidak mungkin dapat
lolos dari tempat ini," jawab Kam Cian Li sambil berbisik pula.
190 "Kita harus berani mencoba. Memang kami berdua juga tertawan
karena kalah oleh iblis betina itu, dan tentu kakek yang menawan
kalian itu lihai pula karena mereka adalah para tokoh Kiu Lo-mo.
Akan tetapi kalau kita berempat bersatu, tentu kita akan menjadi
lebih kuat. Bagaimana mungkin kita berdiam diri saja dan
membiarkan kita dijadikan umpan yang akan mencelakakan dua
orang yang kita sayang dan hormati, lebih dari pada lain orang?"
Cian Li mengangguk-angguk, bangkit semangatnya. Tentu saja
gadis yang masih selalu terkenang dengan penuh kerinduan
kepada Pek-liong, kekasih pertamanya itu, tidak rela melihat Pekliong celaka.
"Aku siap, enci, dan akan kuberitahu kakakku. Tapi kapan dan
bagaimana?" "Malam nanti. Yang bertugas adalah penjaga-penjaga biasa. Kita
menyelinap keluar dan kita bunuh kalau ada penjaga yang
mencoba menghalangi. Memang berbahaya. Akan tetapi siapa
berani menjamin bahwa kita akan dibebaskan kalau Pek-liong
dan Liong-li sudah terpancing ke sini, kemudian kedua orang
pendekar itu dapat mereka tangkap" Mungkin kita semua juga
akan dibunuh. Dari pada dibunuh seperti babi, bukankah lebih
baik mati seperti harimau yang melawan dengan gagah?"
Ucapan Su Hong Ing yang membakar semangat itu membuat
Kam Cian Li berkobar dan gadis ini lalu membisikkan rencana
untuk kabur itu kepada kakaknya, dan Hong Ing juga membujuk
suaminya. Dua orang pria itupun akhirnya setuju karena mereka
191 yakin apakah kalau Pek-liong dan Liong-li dapat tertawan atau
terbunuh oleh para penjahat, mereka akan dibiarkan pergi.
Demikianlah, malam itu kebetulan gelap gulita Dua pasang pria
wanita itu saling memberi isyarat, lalu bersama-sama menyelinap
keluar dari kamar mereka. Yang bertugas jaga di dekat kamar
mereka masing-masing hanya dua orang. Dengan sigap dan tidak
banyak kesukaran, dua pasang tawanan itu dapat merobohkan
empat orang penjaga itu dan merampas pedang mereka.
Kemudian mereka menyusup-nyusup mencari jalan keluar melalui
tempat-tempat yang gelap dalam kompleks bangunan itu.
Keadaan nampak sunyi sehingga melegakan hati empat orang
buronan itu. Mereka menyelinap dengan hati-hati dan akhirnya
dapat tiba di dekat pintu gerbang di depan.
Hanya dari pintu itulah mereka dapat melarikan diri karena pagar
tembok yang mengitari perumahan itu amat tinggi dan di atas
pagar tembok itu dipasangi besi-besi runcing. Tak mungkin
melompati pagar tembok itu. Juga tidak ada tali yang panjang
untuk memanjat. Satu-satunya jalan hanyalah menyerbu keluar
melalui pintu gerbang. Song Tek Hin dan Su Hong Ing mengintai dari sebelah kiri pintu
gerbang, sedangkan kakak beradik Kam mengintai dari sebelah
kanan. Jantung mereka berdebar tegang. Hanya ada dua
kemungkinan: Sekarang berhasil atau selamanya gagal. Hidup
atau mati. Mereka sudah nekat.
Di pintu gerbang itu terdapat selosin orang penjaga. Kalau
kepandaian mereka hanya biasa saja, tentu mereka berempat
192 akan mampu mengalahkan selosin orang itu dan ini berarti lolos!
Song Tek Hin yang kini menjadi pimpinan, memberi isyarat, lalu
bersama isterinya dia melompat keluar, menyerbu ke arah para
penjaga yang sedang mengobrol. Kakak beradik Kam juga
berloncatan keluar dan menyerbu.
Tentu saja para penjaga menjadi kaget dan kacau balau. Namun
seorang di antara mereka meniup peluit berkali-kali sedangkan
teman-temannya melakukan perlawanan dengan golok mereka.
Empat orang buronan itu mengamuk, akan tetapi diam-diam
mereka mengeluh karena ternyata selosin orang itu bukan lawan
yang lunak dan dapat mereka robohkan dalam waktu singkat.
Setelah bertempur beberapa lamanya, mereka baru berhasil
merobohkan empat orang. Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring, "Mundur kalian semua!"
Para penjaga mundur dan cepat mereka menyalakan lebih


Dendam Sembilan Iblis Tua Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

banyak obor untuk menerangi tempat itu. Ketika empat orang
buronan itu mengangkat muka memandang, mereka melihat lima
orang yang bersikap bengis berdiri menghadang di depan
mereka. Empat orang buronan itu merasa lega karena tidak
nampak si nenek pakaian merah dan kakek sastrawan pakaian
putih yang amat lihai itu.
Tidak ada dua orang dari Kiu Lo-mo. Maka, dengan nekat dan
semangat berkobar empat orang buronan itu menggerakkan
pedang rampasan dan menyerang ke arah lima orang yang
berdiri menghadang itu. 193 Mereka sama sekali tidak tahu bahwa mereka berhadapan
dengan Thai-san Ngo-kwi yang lihai bukan main. Biarpun tingkat
kepandaian Thai-san Ngo-kwi belum setinggi tingkat Kiu Lo-mo,
akan tetapi jelas mereka ini jauh lebih kuat dari pada empat orang
buronan itu. Thai-san Ngo-kwi tertawa mengejek, mereka sudah mencabut
golok dan menyambut serangan dua pasang tawanan itu. Dalam
waktu belasan jurus saja, empat batang pedang rampasan itu
patah-patah dan dua pasang tawanan itupun roboh dan diringkus
kembali. Dalam keadaan terbelenggu mereka digiring kembali ke
dalam kamar mereka, didorong masuk ke dalam kamar dalam
keadaan terbelenggu dan kamar mereka dikunci dari luar!
Gagallah usaha pelarian itu dan pada keesokan harinya, mereka
berempat di seret satu demi satu dihadapkan kepada Kim Pit Siucai, Ang I Sian-li, dan Pek-bwe Coa-ong, sedangkan Thai-san
Ngo-kwi juga hadir di ruangan itu.
Biarpun dihadapkan seorang diri saja di depan pimpinan
gerombolan penjahat itu, empat orang gagah ini tidak bersikap
takut. Dengan gagah mereka itu memiliki sikap yang sama, yaitu
menentang dan tidak sudi dijadikan umpan untuk memancing
datangnya Pek-liong dan Liong-li!
Ang I Sian-li tidak menjadi marah-marah seperti dua orang
rekannya menghadapi kekerasan kepala empat orang itu. Ia
memerintahkan kepada Thai-san Ngo-kwi untuk menghadapkan
para tawanan itu sepasang, pertama dimulai dengan pasangan
suami isteri Song Tek Hin dan Su Hong Ing.
194 Setelah dua orang yang terbelenggu ini dihadapkan mereka,
suami isteri itu berdiri tegak dan memandang dengan mata penuh
kemarahan dan kebencian, sedikitpun tidak mau tunduk.
Ang I Sian-li lalu berkata kepada mereka. "Kalian berdua suami
isteri memang mengagumkan sekali dan pantaslah menjadi
sahabat-sahabat baik Pek-liong dan Liong-li. Akan tetapi, sikap
kalian ini hanya merugikan kalian sendiri. Kami hanya
menghendaki agar kalian menulis surat dan minta pertolongan
kepada Pek-liong dan Liong-li. Itu saja. Kenapa kalian berkeras
kepala menolak" Apakah kalian lebih suka mati dari pada
menuruti permintaan kami dan mendapat kebebasan setelah itu?"
"Kami tidak takut mati!" bentak Su Hong Ing
"Lebih baik kami mati dari pada harus mengkhianati Pek-liong
dan Liong-li!" kata pula Song Tek Hin dengan sikap gagah.
Ang I Sian-li terkekeh genit. "Bagus, bagus, kalian memang
gagah perkasa. Akan tetapi dengarlah baik-baik, buka telinga dan
perhatikan kata-kataku. Kalau kalian mau menulis surat yang
kami butuhkan itu, setelah Pek-liong dan Liong-li dapat kami
bunuh, kalian akan kami bebaskan, dan ini janji seorang datuk
persilatan yang tidak akan kami langgar! Akan tetapi, sebaliknya
kalau kalian berkeras tidak mau bekerja sama dengan kami,
terpaksa kami akan melakukan hukuman yang akan membuat
kalian menyesal telah dilahirkan di dunia ini."
"Kami tidak takut!" seru suami isteri itu hampir berbareng.
195 "Benarkah" Dengar, pertama aku akan menyiksa si suami di
depan si isteri, dengan membuntungi seluruh jari tangan dan
kakinya satu demi satu! Kami akan menyiksanya akan tetapi
membiarkan dia hidup agar dia dapat menyaksikan ketika kami
menyuruh anak buah kami memperkosa si isteri di depan si suami
sampai si isteri mati."
Song Tek Hin dan Su Hong Ing menjadi pucat mendengar ini,
akan tetapi mereka masih berusaha mengeraskan hati. "Gertak
kosong!" teriak mereka.
Ang I Sian-li dengan cerdiknya menggiring suami isteri itu ke tepi
jurang kengerian dengan ancaman-ancaman yang lebih
mengerikan dari pada maut, sampai akhirnya mereka tidak tahan
dan tidak ada jalan lain bagi mereka kecuali menyerah dan
membuatkan surat itu. Song Tek Hin menulis surat kepada Hekliong-li dan Su Hong Ing menulis surat kepada Pek-liong-eng,
isinya minta bantuan mereka karena suami isteri itu ditawan
musuh di pegunungan Hitam lembah Sungai Kuning.
Demikian pula dengan kakak beradik Kam. Mereka kalah jauh
dalam hal siasat oleh Kiu Lo-mo, dan akhirnya semangat
merekapun dapat dipatahkan dan untuk saling menjaga, kakak
beradik ini terpaksa membuat pula surat seperti yang telah
dilakukan suami isteri itu.
Empat orang ini tidak dapat terlalu disalahkan. Mereka bukan
orang-orang yang suka berkhianat demi keuntungan sendiri. Akan
tetapi di bawah ancaman mengerikan itu, tentu saja mereka tidak
berdaya. Apa lagi mereka berpikir bahwa orang-orang sakti
196 seperti Pek-liong dan Liong-li tidak mungkin dapat dijebak begitu
saja. Bahkan diam-diam mereka mengharapkan agar sepasang
pendekar sakti itu benar-benar akan dapat menolong dan
membebaskan mereka. Bagaimanapun juga, Ang I Sian-li memegang janji. Setelah dua
pasang tawanan itu menulis surat, merekapun dibebaskan
berkeliaran di perumahan yang terkurung tembok tinggi dan
terjaga kuat itu, tidak lagi dibelenggu.
Memang, bagi tiga orang tokoh Kiu Lo-mo, empat orang ini tidak
ada artinya. Yang penting bagi mereka adalah Pek-liong dan
Liong-li. Dua pasang tawanan itu hanya umpan, dan kalau sudah
tidak dibutuhkan lagi, di lepas juga tidak mengapa bagi mereka.
Walaupun kini mereka bebas dalam perumahan itu, tetap saja
dua pasang tawanan itu selalu merasa gelisah dan tidak berani
lagi mencoba untuk melarikan diri. Mereka gelisah dan perasaan
hati mereka tegang menanti munculnya Pek-liong dan Liong-li,
gelisah membayangkan betapa kedua orang yang mereka
sayang itu akan tertangkap pula dan disiksa dibunuh di depan
mata mereka! "Y" Sesosok bayangan putih berkelebat dan lenyap di balik pagar
tembok yang mengelilingi pekarangan rumah mungil milik Hekliong-li. Kalau pun kebetulan ada yang melihatnya pada senja hari
itu, tentu orang ini akan mengira bahwa bayangan putih yang
berkelebat itu bukan manusia, saking cepatnya gerakan orang itu.
197 Pada hal, bayangan putih itu adalah Pek-liong-eng Tan Cin Hay.
Sebelum dia pergi melakukan penyelidikan ke pegunungan Hitam
di Lembah Huang-ho (Sungai Kuning), dia ingin berkunjung lebih
dulu ke tempat kediaman Liong-li. Akan tetapi, seperti sudah
diduganya, tentu terjadi sesuatu pula dengan Liong-li, dia melihat
tempat itu sunyi dan kosong ketika beberapa kali dia melewati
jalan di depan rumah itu.
Dan pintu gerbang depan tertutup. Maka, pada senja hari itu
diapun menyelinap dan melompati pagar tembok yang tinggi
dengan gerakan ringan dan cepat sehingga tidak ketahuan orang
lain. Begitu menghampiri halaman depan, dia terbelalak memandang
ke arah kolam ikan di halaman depan. Biasanya, dia amat
menyukai kolam itu, terutama arca putri menunggang angsa, arca
yang buatannya halus dan indah sekali.
Kini, hanya tinggal batu berserakan. Arca itu telah pecah
berantakan! Dan agaknya Liong-li tidak sempat membangun
kembali arca itu, bahkan membiarkan batu-batu bekas arca itu
berserakan. Tentu telah terjadi sesuatu yang hebat, pikirnya dan
hatinya mulai khawatir. Tidak mungkin Liong-li tertimpa bencana. Tempat ini sunyi, jelas
ditinggalkan dan tidak ada manusianya. Sembilan orang pelayan
Liong-li juga tidak berada di situ. Ini hanya berarti bahwa Liong-li
menghadapi peristiwa besar seperti diceritakan dalam suratnya
kepadanya, peristiwa besar yang membutuhkan seluruh tenaga
Liong-li untuk menghadapinya, dibantu oleh sembilan orang
198 pelayannya. Tak salah lagi, tentu Liong-li menerima pula suratsurat seperti yang diterimanya dari Hong Ing dan Cian Li.
Tanpa ragu lagi Pek-liong menghampiri sebuah arca singa yang
berada di sebelah kiri pintu beranda. Dikerahkannya tenaganya
dan didorongnya singa batu itu dengan tangan kanan. Ketika arca
itu miring, dia mengambil sehelai surat di bawahnya. Itulah
tempat rahasia kalau Liong-li meninggalkan pesan kepadanya,
yang hanya mereka ketahui berdua. Dia segera membacanya.
Tepat seperti yang diduganya. Liong-li menerima surat dari Song
Tek Hin dan Kam Sun Ting yang isinya sama dengan surat dari
Hong Ing dan Cian Li kepadanya. Kedua orang pria itu ditawan di
pegunungan Hitam Lembah Sungai Kuning dan mereka mohon
pertolongan dari Liong-li.
Pek-liong meraba dagunya. Ini berarti bahwa suami isteri Song
Tek Hin dan Su Hong Ing, juga kakak beradik Kam tertawan
semua. Makin jelaslah kini bahwa yang berada di belakang
semua peristiwa ini, yang menjadi dalangnya, tentu seorang di
antara sisa Kiu Lo-mo, atau mungkin bahkan ketiga-tiganya. Yang
ditawan adalah teman-teman yang pernah terlibat ketika dia dan
Liong-li membasmi orang-orang Kiu Lo-mo dan tiba-tiba dia
teringat bahwa ketika dia dan Liong-li membasmi Lam-hai Mo-ong
dan Tiat-thouw Kui-bo dalam peristiwa Bayangan Iblis, terlibat
pula Cian Hui dan Cu Sui In!
Kenapa kedua orang yang kini menjadi suami isteri itu tidak
tertawan" Dia harus cepat menghubungi Cian Hui di kota raja!
199 Karena khawatir akan keadaan panglima muda dan isterinya itu,
Pek-liong melakukan perjalanan cepat ke kota raja. Dia tidak
khawatir akan keadaan Liong-li karena dia percaya sepenuhnya
akan kelihaian dan kecerdikan Liong-li, apa lagi ia dibantu oleh
sembilan orang pembantunya, para gadis yang amat lihai itu. Dia
lebih mengkhawatirkan keadaan Cian Hui.
Setelah tiba di kota raja, dia langsung ke rumah panglima muda
itu dan betapa lega hatinya melihat Cian Hui dan Cu Sui In
menyambutnya dengan gembira. Suami isteri itu tidak kalah lega
dan gembiranya melihat pendekar pujaan mereka dalam keadaan
selamat dan sehat. "Aih, tai-hiap! Engkau sudah menerima suratku?" tanya Cian Hui
dengan heran karena menurut perhitungannya, utusannya yang
mengirim surat itu tentu belum tiba di tempat kediaman pendekar
ini. Pek-liong menggeleng kepala dan pandang matanya yang serius
membuat suami isteri itu dapat menduga bahwa tentu telah terjadi
sesuatu yang penting, maka mereka segera mempersilakan
pendekar itu untuk masuk dan diajak bicara di ruangan sebelah
dalam. Setelah mereka semua duduk dalam ruangan tertutup itu, Pekliong segera bertanya, "Ciang-kun, apakah tidak terjadi sesuatu
kepada kalian berdua?"
Dia memandang kepada Cu Sui In. Wanita yang pernah jatuh
cinta kepadanya ini, dan yang kini menjadi isteri Cian Hui dan
kabarnya telah mempunyai seorang putera, masih nampak cantik
200 jelita, akan tetapi wajah
kegelisahan. yang cantik itu kini dibayangi "Benar dugaanmu, tai-hiap. Pek-bwe Coa-ong, seorang di antara
Kiu Lo-mo telah datang untuk melawanku, akan tetapi masih
untung kami dapat menghindarkan diri," kata Cian Hui dan diapun
menceritakan peristiwa yang menimpa dia dan isterinya.
Diam-diam Pek-liong bersyukur dan kagum akan kecerdikan
panglima ini sehingga usaha seorang di antara Kiu Lo-mo itu
gagal. "Setelah terjadi peristiwa itu, aku menduga bahwa tentu tai-hiap
dan li-hiap terancam bahaya pula, maka cepat-cepat aku menulis
dua pucuk surat untuk kalian dan mengirimkannya melalui
seorang pembantu yang kupercaya. Agaknya tai-hiap bersimpang
jalan dengannya. Syukur bahwa tai-hiap dalam keadaan selamat,
dan entah bagaimana dengan Hek-liong-li. Mudah-mudahan
iapun dalam selamat."
Dengan singkat Pek-liong menceritakan tentang penyerangan
yang dilakukan musuh kepadanya dan kepada Liong-li, juga
tentang surat-surat yang menyatakan bahwa dua pasangan yang
menjadi sahabat-sahabat baik dia dan Liong-li telah menjadi
tawanan dan mereka itu minta pertolongan dia dan Liong-li.
Diceritakannya pula bahwa ketika dia singgah di rumah Liong-li,
pendekar wanita itu telah pergi bersama sembilan orang
pelayannya yang lihai. Mendengar ini, Cian Hui menjadi khawatir sekali. "Aih, jelas
bahwa surat-surat itu tentu dimaksudkan untuk memancing tai201
hiap dan li-hiap untuk datang ke tempat mereka ditawan. Di mana
tempat itu?" "Di pegunungan Hitam lembah Sungai Kuning."
"Hemm, tempat itu berbahaya sekali, dan sejak dahulu memang
terkenal menjadi tempat pelarian para penjahat yang menjadi
buronan!" kata Cian Hui. "Akan kurundingkan dengan para
panglima dan kalau perlu kami akan memimpin pasukan besar
untuk membasmi gerombolan mereka!" katanya penuh semangat.
"Jangan dulu, Ciang-kun!" kata Pek-liong.
"Akan tetapi, kenapa engkau melarangnya, tai-hiap" Keadaan
dapat berbahaya sekali karena menurut dugaanku, bukan hanya
Pek-bwe Coa-ong seorang yang menjadi dalangnya. Mungkin
sekali semua sisa Kiu Lo-mo, yaitu dia, Kim Pit Siu-cai dan Ang I
Sian-li telah mengambil keputusan untuk membalas dendam
kepada tai-hiap dan li-hiap. Dan ini bisa berbahaya sekali, mereka
pantas dibasmi dengan kekuatan pasukan!"
Pek-liong tersenyum, diam-diam merasa iba kepada tiga orang
dari Kiu Lo-mo itu. Agaknya mereka itu tidak memperhitungkan
adanya Cian Ciang-kun ini yang dapat merupakan lawan yang
amat tangguh dengan adanya kekuasaannya atas pasukan
keamanan kerajaan! Juga panglima ini amat cerdik sehingga
bukan hanya dia dan Liong-li yang dapat menduga siapa yang
mendalangi semua peristiwa itu.
"Ada dua hal yang membuat aku terpaksa tidak menyetujui
rencanamu untuk menyerbu dengan pasukanmu, Ciang-kun.
202 Pertama, urusan ini adalah urusan pribadi, permusuhan antara
Kiu Lo-mo dengan kami berdua. Mereka hendak membalas


Dendam Sembilan Iblis Tua Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dendam maka demi kehormatan, harus kami hadapi tanpa
campur tangan pasukan pemerintah. Kedua, kalau pasukan
menyerbu, sukar untuk dapat menyelamatkan empat orang
tawanan, para sahabat kami itu."
Cian Hui termenung. Dia maklum akan harga diri dan kehormatan
seorang pendekar yang sekali-kali tidak mau berbuat curang
mengandalkan pengeroyokan untuk mencari kemenangan.
"Akan tetapi, itu berbahaya sekali, tai-hiap! Kalau benar mereka
itu bertiga, dibantu pula oleh orang-orang pandai seperti dua
orang yang menyerang kami, dan tentu mereka telah siap pula
dengan banyak anak buah, maka tai-hiap dan li-hiap akan masuk
perangkap," kata Cian Hui.
"Apa yang dikatakan suamiku benar, tai-hiap," kata pula Cu Sui
In. "Saya tahu bahwa tai- hiap dan li-hiap memang harus bersikap
jantan dan demi kehormatan seorang pendekar, namun kiranya
sikap seperti itu hanya dapat dipakai kalau kita menghadapi
orang-orang yang juga menghargai kegagahan. Akan tetapi,
menghadapi iblis-iblis berbentuk manusia yang tidak segan
mempergunakan segala macam kecurangan, seperti dilakukan
mereka, dengan menawan empat orang itu, untuk memancing taihiap dan li-hiap, masih perlukah tai-hiap mempergunakan
kehormatan pendekar itu" Biarkan suamiku memimpin pasukan
besar untuk menyerbu mereka dan membasmi mereka demi
keselamatan tai-hiap dan li-hiap!"
203 Pek-liong menggeleng kepala dan tersenyum.
"Cian Ciang-kun, kalau kau melakukan penyerbuan itu, tidak
memenuhi permintaanku, tentu Liong-li akan merasa tidak
senang sekali, dan aku sendiri akan merasa kecewa. Ketahuilah
bahwa tadi aku menceritakan semua yang terjadi kepada kalian
berdua bukan dengan maksud minta bantuan, melainkan karena
aku percaya kepada kalian sebagai sahabat-sahabat kami yang
baik. Nah, sekali lagi, kuharap engkau tidak mengerahkan
pasukan. Setidaknya, sebelum kami berusaha menghadapi
mereka secara jantan. Setelah itu, terserah kepadamu, akan
tetapi dengan alasan bahwa pasukanmu itu bukan untuk
membantu kami, melainkan sebagai tugas dari hamba
pemerintah untuk menumpas kejahatan."
Tentu saja Cian Hui dan Cu Sui In sama sekali tidak ingin
membikin kecewa dan tidak senang hati Pek-liong dan Liong-li,
maka Cian Hui lalu berjanji bahwa dia akan menahan diri.
"Baiklah, tai-hiap. Akan tetapi, aku akan melakukan penyelidikan
dan siap dengan pasukanku, bukan untuk mengeroyok,
melainkan untuk membasmi kejahatan yang mengancam
keamanan negara dan rakyat "
Setelah bercakap-cakap dan beramah-tamah, Pek-liong lalu
meninggalkan rumah Cian Hui. Setelah pendekar itu pergi, Cian
Hui termenung. Isterinya segera menghiburnya.
"Kurasa tidak perlu engkau terlalu mengkhawatirkan mereka.
Pek-liong dan Liong-li bukanlah orang-orang yang akan mudah
dicelakakan begitu saja, biar oleh tiga orang datuk sesat itu
204 sekalipun! Mereka berdua sakti dan amat cerdik, dan tentu telah
membuat persiapan sebelum berusaha untuk menolong empat
orang tawanan itu." "Tapi, untuk menyelamatkan empat orang, mempertaruhkan keselamatan nyawa mereka!"
mereka "Tentu saja! Ingat, andaikata kita berdua sampai tertawan pula
oleh para penjahat, tentu mereka berdua pun akan rela
mempertaruhkan nyawa untuk menolong kita, bukan?"
Cian Hui menghela napas panjang dan mengangguk-angguk.
"Engkau benar, dan inilah yang menggelisahkan hatiku. Aku akan
membawa pembantu-pembantu yang pandai dan menyelidiki
pegunungan Hitam itu untuk mencari letak sarang mereka dan
siap untuk menyerbu andaikata kedua orang pendekar itu gagal
atau bahkan kalau mereka terancam."
Cu Sui In mengangguk. "Aku akan menyertaimu."
"Sebaiknya engkau tinggal di rumah menjaga Hong-ji (anak
Hong)," cegah suaminya, "walaupun aku dapat memaklumi
bahwa engkau mengkhawatirkan keselamatan Pek-liong." Dia
teringat betapa isterinya ini, sebelum menjadi isterinya, adalah
seorang pendekar wanita tokoh Kun-lun-pai yang pernah jatuh
cinta kepada Pek-liong. Sui In mengerling kepada suaminya penuh arti dan tersenyum.
"Engkau salah sangka! Sekali ini, seperti engkau mengkhawatirkan aku dan menyuruh aku tinggal di rumah,
akupun mengkhawatirkan keselamatanmu di atas keselamatan
205 seluruh manusia di dunia ini. Aku tidak ingin kehilangan suami
yang tercinta." Cian Hui terbelalak, tertawa dan merangkul isterinya. "Maafkan
aku, bukan maksudku untuk..... cemburu......"
"Akupun tidak cemburu kepada Liong-li. Kita sudah suami isteri
dan ayah ibu anak kita bukan?"
Suami isteri itu membuat persiapan untuk melakukan
penyelidikan bersama para pembantu yang dipilih oleh Cian Hui,
dan pada keesokan harinya, setelah melapor kepada rekan dan
atasannya, Cian Hui dan rombongannya berangkat ke lembah
Huang-ho untuk melakukan penyelidikan.
"Y" Tiga orang tokoh Kiu Lo-mo itu memang telah membuat
persiapan yang amat baik. Kim Pit Siu-cai, Ang I Sian-li dan Pekbwe Coa-ong sekali ini ingin membuat pembalasan yang berhasil
terhadap Pek-liong-eng dan Hek-liong-li. Mereka bukan saja
dibantu oleh Thai-san Ngo-kwi, lima orang murid mendiang
Siauw-bin Ciu-kwi, akan tetapi juga lima orang ini mengerahkan
para tokoh sesat yang pernah takluk kepada mereka, dibawa ke
lembah Huang-ho itu. Juga tiga orang datuk besar golongan sesat itu mengajak anak
buah mereka sehingga di lembah itu sekarang berkumpul tidak
kurang dari seratus orang anak buah, yang rata-rata merupakan
orang-orang kang-ouw yang lihai! Pendeknya, mereka telah
membuat persiapan sehingga sekali Pek-liong dan Liong-li berani
206 memasuki daerah itu, sepasang pendekar ini akan disambut
secara dahsyat dan mereka berdua pasti akan dapat ditangkap
atau dibunuh! Bukan hanya kekuatan orang yang mereka miliki, juga keadaan
alam di lembah Huang-ho itu, di pegunungan Hitam amat
membantu. Daerah itu amat berbahaya dan sukar dilalui manusia.
Penuh dengan jurang-jurang yang curam, rawa-rawa yang
berbahaya, bahkan di situ terdapat beberapa buah hutan di mana
terdapat binatang buas. Terutama sekali binatang sejenis
harimau besar yang amat ditakuti mereka yang lewat dekat
daerah itu, karena harimau-harimau ini besar, kuat dan buas.
Daerah yang berbahaya ini oleh tiga orang sisa Sembilan Iblis
Tua itu dimanfaatkan dan menjadi semakin berbahaya karena
mereka pasangi banyak perangkap dan jebakan yang berbahaya.
Lubang-lubang besar yang ditutupi ranting dan daun kering.
Lumpur-lumpur berpusing yang di tutupi daun-daun pohon rumput
hidup. Anak-anak panah beracun yang dipasang di antara daundaun pohon yang siap meluncur dari busurnya yang terpentang
dan dihubungkan dengan tali yang direntang di antara semak
belukar, dan masih banyak alat rahasia lainnya.
Pendeknya, sekali ini tiga orang Iblis Tua itu siap untuk perang! Di
sekeliling daerah sarang mereka di bukit yang berada di tengahtengah antara semua perbukitan Hitam, telah dijaga oleh anak
buah mereka sambil bersembunyi, akan tetapi siang malam
selalu ada penjaga yang mengawasi daerah itu sehingga tidak
mungkin ada yang lewat tanpa diketahui. Pendeknya, Pek-liong
207 dan Liong-li tidak akan dapat memasuki daerah itu dari arah
manapun tanpa diketahui para penjaga.
Liong-li dan sembilan orang pembantunya sudah sampai di
sebuah tempat tersembunyi, tidak jauh dari perbatasan sarang
musuh! Dengan kepandaiannya yang tinggi dan kecerdikannya
yang luar biasa, Liong-li berhasil memimpin sembilan orang
pembantunya melewati jurang dan melalui hutan-hutan yang
berbahaya itu tanpa cedera. Memang beberapa kali, di antara
pembantunya ada yang hampir terperosok ke dalam perangkap
musuh, namun selalu dapat ia tolong dan selamatkan, sampai
akhirnya mereka tiba di dekat daerah sarang musuh.
Berhari-hari mereka sepuluh orang wanita yang lihai itu telah
mempelajari daerah itu, dan mereka maklum bahwa sarang
musuh merupakan benteng alam yang amat kuat dan terjaga
ketat. Bahkan bagian yang tidak terjagapun tak mungkin dijadikan
jalan masuk, karena terhalang jurang yang lebarnya tidak
mungkin dapat dilompati manusia, betapapun lihainya.
Kini mereka, atas isyarat Liong-li, berkumpul di balik semak
belukar yang lebat, dan sembilan orang wanita itu, masingmasing dengan perbekalan dalam buntalan tergantung di
punggung dan pedang di bawah buntalan, berjongkok mengeliling
Liong-li yang duduk di atas rumput. Satu demi satu, sembilan
orang itu memberi laporan tentang hasil penyelidikan mereka
masing-masing sehingga yakinlah Liong-li bahwa memang tidak
ada jalan masuk kecuali menyerbu melalui tempat-tempat yang
terjaga. Setelah meraba dan menggosok hidungnya untuk
mencurahkan pikirannya, ia lalu berkata dengan suara lirih.
208 "Sekarang tiba saatnya yang paling gawat dan berbahaya. Sekali
salah langkah dan kurang berhati-hati, nyawa taruhannya. Dari
pengumpul hasil penyelidikan kita semua, jelas bahwa pihak
musuh mempunyai anak buah yang puluhan orang banyaknya,
mungkin ada seratus orang. Sarang mereka terjaga ketat, dan
bagian yang tidak terjaga dihalangi jurang yang lebar dan curam.
Aku tidak ingin mengorbankan kalian. Kalau ada yang ragu-ragu
dan jerih, masih belum terlambat untuk mundur dan pulang ke
Lok-yang." Liong-li memendang kepada sembilan orang pembantu yang
berjongkok dan mengelilinginya dalam setengah lingkaran di
depannya itu dengan sinar mata penuh selidik.
Sembilan orang gadis yang usianya antara duapuluh lima sampai
tigapuluh tahun dan rata-rata cantik dan lihai itu terkejut dan
saling pandang, lalu mereka memperlihatkan wajah penasaran.
Ang-hwa (Bunga Merah), yaitu nama sebutan gadis yang
berpakaian merah dan yang merupakan pembantu utama karena
ia merupakan pembantu yang paling lihai di antara sembilan
orang gadis itu, mewakili semua rekannya.
"Li-hiap, bagaimana li-hiap dapat berkata seperti itu" Apakah lihiap masih belum yakin akan kesetiaan kami sembilan orang
yang menjadi pelayan, pembantu, sahabat, juga murid dari lihiap" Li-hiap sudah mendidik kami, melatih kami, melimpahkan
segala kebaikan kepada kami. Li-hiap selalu menolak kalau kami
mohon untuk membantu li-hiap menghadapi lawan. Sekarang,
pada saat li-hiap menghadapi ancaman dari lawan-lawan yang
jauh lebih banyak dan berat, li-hiap menganjurkan kami untuk
209 pulang! Li-hiap, berilah kesempatan kepada kami untuk
membalas semua kebaikan li-hiap kepada kami dan kami rela
berkurban nyawa kalau perlu, demi untuk li-hiap!"
Liong-li tersenyum. Ia memang sudah dapat menjenguk isi hati
mereka, akan tetapi ia tahu benar betapa bahayanya tugas sekali
ini, maka ia merasa tidak tega kalau sampai para pembantunya
itu terancam bahaya maut karena dirinya. Kini mendengar
jawaban itu, iapun berkata,
"Terima kasih! Kalian memang para sahabatku yang baik.
Memang dalam perjuangan melawan kejahatan, yang ada
hanyalah menang atau kalah, hidup atau mati. Matipun tidak akan
penasaran kalau kita tewas dalam membela kebenaran dan
menentang kejahatan. Nah, kalau begitu, dengarkan baik-baik
rencana siasatku. Kita harus dapat mengacaukan pertahanan
mereka dengan gangguan dari beberapa tempat. Aku hanya ingin
agar mendapat kesempatan menyusup ke dalam dan kalau aku
sudah berada di depan sarang mereka, aku akan menantang
ketiga datuk sesat itu untuk mengadu ilmu secara gagah."
Mereka lalu berbisik-bisik dan Liong-li membagi-bagi tugas.
Kemudian, sesuai dengan siasat yang telah diatur oleh Liong-li, di
balik semak belukar itu, sembilan orang pelayan menanggalkan
pakaian luar mereka dan berganti pakaian. Ketika akhirnya
mereka itu satu demi satu menyelinap keluar dari semak-semak,
maka yang nampak hanyalah berkelebatnya sembilan sosok
bayangan hitam! Liong-li sendiri juga menyelinap keluar.
210 Mula-mula para penjaga yang bersembunyi dan mengamati
bagian barat daerah tapal batas penjagaan mereka, yang terkejut
melihat berkelebatnya bayangan hitam, tak jauh dari tempat
mereka bersembunyi. Tak lama kemudian, bayangan hitam yang
memiliki gerakan cepat itu nampak berdiri di atas sebongkah batu
besar dan memandang ke arah belakang mereka, ke arah sarang
mereka yang tertutup pohon-pohon dan tidak nampak dari situ.
"Hek-liong-li......!" mereka berbisik dan jantung mereka berdebar
tegang. Mereka sudah mendapat peringatan dari para pimpinan agar
berhati-hati kalau melihat seorang wanita cantik berpakaian hitam
dan memakai tusuk sanggul perak berbentuk naga kecil di atas
bunga teratai. Dan kini mereka melihat wanita itu tak jauh dari
tempat mereka bersembunyi.
Hanya sebentar wanita itu nampak karena sekali berkelebat iapun
menghilang kembali. Tentu saja tiga orang penjaga itu menjadi
panik dan seorang di antara mereka cepat melapor bahwa di
bagian sebelah barat itu telah muncul Hek-liong-li, seorang di
antara dua musuh yang ditunggu-tunggu, yaitu Hek-liong-li dan
Pek liong-eng. Kim Pit Siu-cai, Ang I Sian-li dan Pek-bwe Coa-ong tentu saja
menjadi girang akan tetapi juga merasa tegang hati mereka ketika
mendengar laporan dari para penjaga bahwa Hek-liong-li telah
muncul di bagian barat. Cepat mereka menyuruh Thai-san Ngokwi untuk membagi anak buah mereka dan sekelompok besar
211 terdiri dari duapuluh orang dipimpin oleh Ngo-kwi (Setan kelima)
segera menuju ke daerah itu untuk melakukan penjagaan.
Akan tetapi baru saja kelompok itu berangkat, dari timur datang
penjaga melapor bahwa Hek-liong-li nampak di daerah timur! Tiga
orang datuk itu merasa heran. Bagaimana mungkin Hek-liong-li
dapat bergerak secepat itu" Thai-san Ngo-kwi kembali mengirim
Su-kwi memimpin duapuluh orang anak buah lari ke timur untuk
memperkuat penjagaan.

Dendam Sembilan Iblis Tua Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan berdatanganlah para penjaga melaporkan bahwa mereka
melihat Hek-liong-li di tempat-tempat penjagaan yang terpisahpisah.
"Aih, tidak mungkin ini!"'seru Ang I Sian-li penasaran.
"Ia bukan manusia tetapi setan!" kata Kim Pit Siu-cai dan
wajahnya agak berubah. "Bagaimana mungkin seseorang dapat
bermunculan di berbagai tempat dalam waktu hampir
bersamaan" Kecuali setan yang pandai menghilang!"
"Jangan panik," kata Pek-bwe Coa-ong. "Biarpun kita belum
pernah jumpa dan bertanding melawan Hek-liong-li, kecuali Sianli yang hanya bentrokan sejenak, kita tahu bahwa ia seorang
yang amat lihai. Entah siasat apa yang ia pergunakan, karena
kabarnya selain lihai ilmu silatnya, juga ia amat cerdik. Kita harus
waspada dan mari kita selidiki sendiri keanehan ini!" kata-kata ini
menyadarkan dua orang rekannya dan merekapun berpencar
melakukan penyelidikan. 212 Liong-li menggunakan kepandaiannya untuk menyusup ke depan.
Ia telah melihat hasil dari pengacauan yang dilakukan para
pembantunya. Nampak banyak anak buah penjahat berbondongbondong berlari-larian ke berbagai jurusan, dan ia melihat dari
atas puncak pohon yang tinggi betapa di puncak bukit itu terdapat
sebuah perkampungan atau perumahan yang terdiri dari sebuah
rumah besar dengan banyak rumah kecil di sekitarnya.
Tak lama kemudian, ia telah tiba di pintu gerbang pagar tembok
yang mengelilingi tempat itu dan melihat bahwa di situ hanya
terdapat lima orang penjaga yang bersenjata tombak dan golok.
Seorang penjaga yang tinggi besar dan ada codet di pipi kirinya
berjaga paling depan dan dia kelihatan sombong, bahkan dengan
dada dibusungkan dia mengeluarkan ucapan yang cukup nyaring
untuk membual kepada empat orang kawannya.
"Kenapa sih ribut-ribut hanya karena munculnya Hek-liong-li"
Kabarnya ia hanya seorang wanita muda yang cantik jelita! Hem,
kalau ia muncul ke sini, tentu akan kutangkap dan kubawa ke
pondokku untuk menemaniku malam ini, ha-ha!"
"Tukk!!" Laki-laki itu roboh dan matanya mendelik karena tepat di
antara kedua matanya nampak tanda merah dan ketika empat
orang kawannya menghampiri, si pembual itu telah tewas dengan
dahi tertembus sebuah batu kerikil yang masuk ke dalam
kepalanya. Gegerlah empat orang itu, apa lagi ketika muncul seorang wanita
cantik berpakaian hitam di depan mereka.
213 "Hek-liong-li!" seru seorang di antara mereka dan mereka pun
cepat menggerakkan senjata di tangan untuk mengeroyok. Liongli melompat ke belakang dan berkata dengan suara lantang,
"Benar, aku Hek-liong-li. Panggil para tua bangka sisa Kiu Lo-mo
itu keluar untuk bicara denganku!"
Akan tetapi, empat orang itu tidak menjawab melainkan terus
mengeroyok karena bagaimanapun juga, mereka memandang
rendah kepada musuh yang hanya seorang wanita muda yang
cantik dan nampak lemah. Melihat keganasan empat orang itu,
Liong-li yang tadinya hendak menantang pimpinan gerombolan,
terpaksa menyambut dengan tamparan dan tendangan. Dengan
gerakan yang lincah sekali, tubuhnya berkelebatan dan dalam
waktu beberapa jurus saja, empat orang itupun sudah
terpelanting ke kanan kiri, tak dapat bangkit kembali.
Akan tetapi, terdengar teriakan orang dan muncullah seorang
laki-laki tinggi kurus bersama sepuluh orang anak buahnya yang
segera mengepung Hek-liong-li dengan senjata di tangan.
Sepuluh orang itu bersenjata golok, dan si tinggi kurus itupun
memegang sebatang golok besar yang tipis dan tajam berkilauan.
Dari gerakan si kurus tinggi ini, tahulah Liong-li bahwa ia
berhadapan dengan seorang lawan yang cukup tangguh.
"Hek-liong-li, engkau datang mengantar nyawa!" kata laki-laki
tinggi kurus berusia empatpuluh tahun itu. Dia bukan lain adalah
Sam-wi, orang ketiga dari Thai-san Ngo-kwi.
Liong-li memandang tajam dan segera mengenal seorang di
antara Thai-san Ngo-kwi itu. Ia tidak ingin bentrok hanya dengan
214 anak buah para datuk itu, karena kalau hanya Sam-kwi bersama
Kehidupan Para Pendekar 2 Pedang Bunga Bwee Karya Tjan I D Dendam Empu Bharada 36
^