Pencarian

Dendam Sembilan Iblis Tua 4

Dendam Sembilan Iblis Tua Karya Kho Ping Hoo Bagian 4


belasan orang anak buahnya itu saja, tidak perlu ia bersusah
payah datang ke tempat itu.
"Pergilah kalian kalau tidak ingin mati. Panggil saja tiga orang dari
Kiu Lo-mo ke sini untuk menemuiku," katanya tenang.
Akan tetapi, karena dia membawa banyak anak buah, pula
mengingat bahwa di tempat itu terdapat banyak sekali kawannya,
juga terdapat tiga orang datuk yang lihai, Sam-kwi timbul
semangat dan keberaniannya. Dia mengeluarkan aba-aba
kepada sepuluh orang anak buahnya dan dia sendiri menerjang
dengan goloknya. "Singg......!"Golok itu berdesing, menjadi sinar yang menyilaukan
mata, diikuti hujan senjata dari anak buahnya yang sudah
mengeroyok Liong-li. Wanita perkasa ini tidak menjadi gugup. Dengan langkah ajaib
Liu-seng-pouw (Langkah Bintang Cemara) ia dapat menghindarkan diri dengan mudah dari sambaran sebelas batang
golok itu. Melihat bahwa ilmu golok Sam-kwi cukup berbahaya
untuk dihadapi dengan tangan kosong apa lagi dia dibantu oleh
sepuluh orang anak buahnya yang rata-rata memiliki ilmu silat
yang lumayan, Liong-li meraba punggungnya dan nampaklah
sinar hitam yang menyilaukan mata, ketika Hek-liong-kiam
(Pedang Naga Hitam) telah tercabut di tangannya!
Kini ia melompat ke belakang. Si tinggi kurus itu masih mengejar
bersama sepuluh orang anak buahnya, golok mereka sudah
menyambar-nyambar lagi dengan ganasnya karena mereka
215 mengira bahwa Liong-li merasa jerih menghadapi pengeroyokan
sebelas orang itu. Juga mereka memandang rendah kepada
sebatang pedang hitam di tangan wanita itu.
Liong-li menjadi gemas dan begitu pedangnya diputar, sinar hitam
bergulung-gulung dan terdengar suara berkerontangan ketika
golok sepuluh orang itu buntung dan empat orang roboh terkena
sabetan pedang, terkena tamparan dan tendangan Liong-li! Enam
orang anak buah yang lain menjadi terkejut dan otomatis mereka
mundur, akan tetapi Sam-kwi bahkan menjadi semakin
penasaran dan marah melihat ini. Dia berseru keras dan goloknya
menyambar dahsyat. "Trangggg......" Golok itu tertangkis Hek-liong-kiam dan terpental,
sedangkan pedang hitam itu sendiri seperti terpental pula, akan
tetapi bukan terpental membalik, melainkan terpental ke bawah
dan secepat kilat memasuki dada Sam-kwi, lalu tercabut lagi.
Saking cepatnya gerakan Liong-li, pedang itu tidak bernoda darah
akan tetapi dada Sam-kwi telah ditembusi pedang. Dia masih
memegang goloknya, mencoba untuk membacok, matanya
terbelalak dan diapun terhuyung, tidak jadi membacok melainkan
roboh menelungkup tak bergerak lagi. Enam orang anak buahnya
cepat memukul tanda bahaya yang tergantung di gardu
penjagaan! Liong-li maklum bahwa kalau semua orang berdatangan, tentu ia
tidak akan mampu melawan, maka iapun berkelebat lenyap di
balik semak dan pohon-pohon karena ia harus melihat keadaan
para pembantunya yang melakukan pengacauan tadi.
216 Di lain bagian dari tempat itu, dua sosok bayangan hitam
berindap-indap di balik semak-semak menghampiri empat orang
penjaga yang celingukan dengan golok di tangan, seperti
mencari-cari. Tadi mereka melihat Hek-liong-li di bawah pohon,
akan tetapi tiba-tiba saja bayangan wanita berpakaian hitam itu
lenyap. Seorang kawan sudah melapor dan mereka tetap berjaga di situ
untuk mengawasi gerak gerik Hek-liong-li dengan hati tegang dan
agak jerih karena mereka sudah mendengar kabar betapa
lihainya pendekar wanita itu. Dua bayangan hitam yang
menyamar dengan pakaian Hek-liong-li itu adalah Bunga Hijau
dan Bunga Kuning yang bertugas mengadakan pengacauan di
bagian itu. "Cepat, kita robohkan dua orang di antara mereka," bisik Bunga
Hijau. Mereka lalu mengeluarkan busur kecil yang mereka bawa,
memasang anak panah, membidik lalu menarik busur dan
melepaskan talinya. "Wirrr....... wirrr.....!" Dua batang anak panah melesat dengan
cepatnya ke arah empat orang itu dan dua orang di antara
penjaga itu berteriak dan roboh dengan leher tertancap anak
panah kecil. Dua orang lainnya terkejut dan ketika mereka
memandang ke arah dari mana datangnya anak panah, mereka
melihat Hek-liong-li berdiri sambil memegangi busur dan
tersenyum. "Hek-liong-li......!" teriak mereka dengan kaget dan Bunga Hijau
yang tadi sengaja memperlihatkan diri, menyelinap kembali ke
217 balik semak belukar sedangkan Bunga Kuning sudah menyusup
ke kanan, menjauhi kawannya.
Kini bala bantuan anak buah gerombolan yang menerima
perintah dan dipimpin oleh Ngo-kwi tiba. Mereka bertanya-tanya
di mana adanya Hek-liong-li. Dua orang penjaga itu menunjuk ke
arah Bunga Hijau tadi berdiri.
Ngo-kwi yang melihat dua orang anak buahnya roboh dengan
leher tertusuk anak panah, menjadi marah dan diikuti pasukan
kecilnya, dia meloncat ke tempat itu untuk mencari Hek-liong-li.
Namun, di balik semak belukar itu mereka tidak menemukan apaapa karena Bunga Hijau sudah lari ke sebelah kiri, berpencar dari
Bunga Kuning. Kini Bunga Kuning yang berada jauh di sebelah kanan, melepas
sebuah anak panah lagi yang merobohkan seorang anggauta
gerombolan. Ngo-kwi melihat ia sebagai Hek-liong-li maka diapun
melakukan pengejaran akan tetapi Hek-liong-li itu telah lenyap.
Seperti telah mereka rencanakan, Bunga Kuning menyusupnyusup ke tempat di mana ia berjanji untuk bertemu lagi dengan
Bunga Hijau. Akan tetapi, tiba-tiba ia berhenti bergerak dan cepat
ia masuk ke dalam semak-semak yang penuh duri, tidak perduli
tubuhnya tertusuk duri. Kini ia aman dan tidak nampak dari luar, dan diapun mengintai
dari celah-celah daun semak belukar, matanya terbelalak dan
mukanya pucat melihat betapa Bunga Hijau telah berhadapan
dengan seorang kakek berpakaian sastrawan sutera putih. Kakek
itu memegang sebuah kipas lebar di tangan kirinya dan dia
218 berwajah tampan dan gerak geriknya halus, namun senyumnya
mengejek dan dingin. "Ha-ha-ha, kiranya Hek-liong-li hanyalah seorang penakut yang
beraninya hanya menyerang anak buah kami secara menggelap.
Hek-liong-li, engkau berhadapan dengan Kim Pit Siu-cai,
menyerahlah agar aku tidak terpaksa menggunakan kekerasan."
Biarpun sikapnya memandang rendah dan ucapannya mengejek,
namun sebenarnya dia merasa tegang dan agak jerih maka
tangan kanannya meraba gagang mouw-pitnya yang terbuat dari
emas, senjata ampuh yang menjadi andalannya. Bagaimana pun
juga, empat orang rekannya tewas di tangan Hek-liong-li dan
Pek-liong-eng, maka dalam hatinya dia sama sekali tidak berani
memandang rendah. Wanita-cantik berpakaian hitam itu membentak, "Hek-liong-li tidak
sudi menyerah terhadap siapa pun juga!"
Setelah berkata demikian, Bunga Hijau yang seperti semua
rekannya menyamar sebagai Hek liong-li itu telah mencabut
pedangnya, sebatang pedang hitam yang bentuknya persis Hekliong-kiam, akan tetapi tentu saja hanya pedang tiruan, dan
dengan dahsyatnya iapun menyerang dengan tusukan
pedangnya. Melihat pedang hitam itu, Kim Pit Siu-cai menjadi semakin jerih
dan sama sekali tidak berani memandang ringan. Dia cepat
melompat ke samping untuk menghindarkan diri sambil mencabut
senjata kim-pit (pena emas) dari pinggangnya. Akan tetapi wanita
itu sudah menyerang lagi dengan bacokan pedangnya.
219 Sungguhpun pandang mata yang jeli dari Kim Pit Siu-cai melihat
bahwa serangan Hek-liong-li itu tidak terlalu berbahaya, kurang
sekali dalam hal kecepatan maupun tenaga, namun dia tetap
tidak berani menggunakan senjatanya untuk menangkis pedang
hitam yang dikenalnya sebagai Hek-liong-kiam yang amat ampuh
itu. Dia kembali mengelak dan kini menggerakkan kipasnya ke arah
muka Hek-liong-li untuk mengebut dan disusul gerakan kim-pit
yang melakukan gerakan totokan bertubi-tubi. Ini merupakan
serangan andalan dari Kim Pit Siu-cai. Penggunaan senjata
istimewa ini telah mengangkat namanya tinggi-tinggi karena
memang hebat sekali. Begitu senjata itu membalas, maka dia
telah mengirim totokan ke arah tigabelas jalan darah di bagian
tubuh depan lawan, susul menyusul dan dengan kecepatan luar
biasa. Bunga Hijau terkejut dan berusaha untuk mengelak, akan tetapi
pada totokan keempat, ia tidak mampu mengimbangi kecepatan
lawan dan iapun terkena totokan pada pundaknya dan roboh
terguling! Kim Pit Siu-cai terkejut dan juga girang bukan main. Dia mengira
bahwa tentu Hek-liong-li memandang rendah kepadanya maka
dapat dia robohkan sedemikian mudahnya, atau mungkin itu
hanya siasat saja bagi wanita sakti itu. Maka untuk meyakinkan
hatinya bahwa dia benar-benar memperoleh kemenangan,
secepat kilat senjata pena emas itu meluncur ke arah leher Hekliong-li dan senjatanya itu menembus leher itu dengan mudah!
Hek-liong-li mengeluh lirih dan terkulai!
220 Hampir Kim Pit Siu-cai tidak percaya. Akan tetapi melihat darah
mengalir keluar dari luka di leher wanita yang kini tidak bergerak
lagi itu, dia hampir bersorak. Disambarnya tubuh yang sudah
lemas itu, dipanggulnya dan diapun lari secepatnya ke arah
sarang gerombolannya sambil berteriak-teriak seperti orang
kesetanan. "Aku telah berhasil membunuh Hek-liong-li......!" berkali-kali.
Anak buah gerombolan itu bersorak gembira ketika melihat
betapa musuh yang amat ditakuti itu telah tewas dan mayatnya
dipanggul dan dibawa lari oleh Kim Pit Siu-cai.
Sementara itu, di dalam semak-semak, Bunga Kuning menahan
diri untuk tidak menjerit ketika menyaksikan betapa rekannya
roboh dan terbunuh oleh kakek itu, bahkan tubuh rekannya yang
entah mati ataukah hidup itupun dilarikan oleh pihak musuh. Ia
tidak berani keluar karena maklum bahwa hal itu berarti hanya
mati konyol, pada hal ia harus mengabarkan tentang kematian
rekannya itu kepada Hek-liong-li.
Air matanya bercucuran dan ia menangis tanpa mengeluarkan
suara, lalu setelah gerombolan itu meninggalkan tempat itu, ia
menyusup keluar dari semak-semak, tidak merasakan betapa
bajunya robek-robek dan kulitnya juga babak belur berdarah, lalu
ia berlari secepatnya untuk mencari Hek-liong-li di tempat
pertemuan antara mereka semua yang telah ditentukan oleh
pemimpin mereka. 221 Di bagian lain, Bunga Biru yang menyamar sebagai Hek-liong-li,
seorang diri membuat kekacauan di bagian itu dengan muncul
sebagai Hek-liong-li. Ketika para penjaga menjadi panik dan melapor, Bunga Biru
seperti yang telah ditugaskan kepadanya, menggunakan anak
panah menyerang para penjaga dan berhasil merobohkan
seorang di antara mereka.
Ketika datang banyak anggauta gerombolan yang dipimpin oleh
seorang yang bertubuh pendek gendut, Bunga Biru cepat
melarikan diri dengan menyelinap di antara pohon-pohon. Akan
tetapi betapa kagetnya ketika tiba-tiba ada bayangan berkelebat,
bayangan merah dan tahu-tahu di depannya telah berdiri seorang
nenek yang dikenalnya sebagai Ang I Sian-li.
Lan-hwa (Bunga Biru) pernah melihat nenek itu ketika membantu
Thai-san Ngo-kwi, maka tentu saja ia terkejut bukan main. Di lain
pihak, Ang I Sian-li juga merasa jerih dan hanya karena di situ
terdapat banyak anak buahnya maka ia berani membentak
nyaring. "Hek-liong-li, engkau tidak akan dapat lolos lagi dari tangan kami!"
Nenek itu sudah menerjang dengan tamparan tangannya.
Tangan nenek itu berubah kehijauan karena ia menggunakan
pukulan beracun untuk melawan Hek-liong-li yang ia tahu amat
lihai itu. Dan pukulan Tangan Racun Hijau ini merupakan ilmunya
yang baru, yang dikuasainya dengan cara yang amat keji, yaitu
menghisap darah banyak anak bayi. Karena sudah pernah
merasakan kehebatan tenaga sakti dari Hek-liong-li, maka begitu
222 menampar Ang I Sian-li mengerahkan tenaga beracun yang amat
keji ini. Bunga Biru yang menyamar Hek-liong-li , tentu saja tidak
mengenal tamparan maut ini dan ia menyambutnya dengan
pedang tiruan Hek-liong-kiam, membabat ke arah lengan si nenek
yang menampar. Melihat Hek-liong-kiam, pedang hitam yang
pernah didengarnya, nenek itu merasa ngeri dan otomatis iapun
menarik kembali tamparannya.
Pada saat itu, belasan orang anak buah gerombolan penjahat
berdatangan dan Ang I Sian-li yang jerih terhadap pedang di
tangan Hek-liong-li, cepat memerintahkan anak buahnya untuk
mengeroyok. Belasan batang golok menyerang dari segala
jurusan. Melihat dirinya dikeroyok, Lan-hwa cepat memutar pedangnya.
Bagaimanapun juga, ia telah digembleng oleh Hek-liong-li dan ia
sudah mahir memainkan pedang tiruannya. Terdengar suara
berdencing ketika pedangnya menangkisi semua golok yang
menyambarnya . Ang I Sian-li terbelalak dan mengeluarkan suara tawa mengejek.
Kiranya pedang Hek-liong-kiam yang terkenal itu hanya semacam
itu saja, hanya sebanding dengan golok para anak buahnya.
Golok-golok itu hanya tertangkis dan tidak menjadi rusak!
Padahal, kedua lengannya lebih kuat dibandingkan golok para
anak buah itu. Timbul keberaniannya dan sambil memekik
nyaring, kembali ia menyerang, tubuhnya melompat seperti
223 seekor burung terbang menyambar arah Lan-hwa dan mengirim
tamparan mautnya yang mengandung racun jahat.
Saat itu, Lan-hwa sedang sibuk menangkisi banyak golok,
bagaimana mungkin ia mampu menghindarkan diri dari tamparan
itu. Andai kata ia tidak sedang menghadapi pengeroyokan
sekalipun, andai kata ia siap dengan pedang di tanganpun belum
tentu ia akan dapat menahan dahsyatnya tamparan Ang I Sian-li.
Ia masih mencoba untuk mengelebatkan pedangnya menyambut


Dendam Sembilan Iblis Tua Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tamparan itu. Akan tetapi, angin tamparan yang hebat membuat
pedangnya menyeleweng dan tahu-tahu dadanya telah terkena
tamparan tangan Ang I Sian-li.
"Plakk!" Lan-hwa mengeluh dan roboh terjengkang, tewas
seketika dengan tubuh menjadi kehijauan!
Ang I Sian-li berdiri bengong, merasa seperti mimpi ketika anak
buahnya bersorak gembira melihat Hek-liong-li tewas! Akan
tetapi, kemudian meledaklah kegembiraan dan kebanggaannya.
Ia menyambar rambut Lan-hwa, menyeret mayat itu dan
membawanya lari untuk dipamerkan kepada dua orang rekannya!
"Aku telah membunuh Hek-liong-li......!"
Sambil menyeret mayat wanita berpakaian serba hitam itu pada
rambutnya, Ang I Sian-li bersorak dan berteriak-teriak penuh
kebanggaan. Ketika ia tiba di sarang mereka, Ang I Sian-li yang
tadinya gembira dan bangga itu memandang bingung.
224 Ia melihat bahwa semua rekannya telah berkumpul di situ dan di
atas tanah, di depan mereka, berserakan mayat-mayat para
anggauta anak buah mereka, termasuk Sam-kwi, yaitu orang
ketiga di antara Thai-san Ngo-kwi. Dan di dekat mayat San-kwi
menggeletak pula mayat...... Hek-liong-li!
Kalau tadinya ia berteriak-teriak telah berhasil membunuh Hekliong-li, kini ia memandang bingung dan melemparkan mayat
yang tadi diseretnya ke dekat mayat berpakaian serba hitam yang
sudah lebih dahulu menggeletak di situ.
"Siapakah mayat itu?" tanyanya kepada dua orang rekannya
sambil menuding ke arah mayat Hek-liong-li pertama.
"Hek-liong-li-palsu, mungkin seperti yang kaubawa ke sini, aku
yang telah membunuhnya dengan mudah," kata Kim Pit Siu-cai.
"Aihh.....!" Sepasang mata nenek cantik pesolek itu terbelalak.
"Kalau begitu yang kubunuh inipun palsu" Akan tetapi...... kenapa
banyak yang menyamar Hek-liong-li" Pantas kepandaiannya
rendah saja, akan tetapi ia membawa Hek-liong-kiam!" katanya
dengan nada suara penuh kekecewaan.
"Coba lihat, samakah Hek-liong-kiam itu dengan yang ini?" Kim
Pit Siu-cai mengeluarkan sebatang pedang hitam yang tadi
dirampasnya dari wanita yang disangkanya Hek-liong-li.
Ang I Sian-li mengeluarkan pedang itu. Memang serupa. Mereka
berdua memegang pedang dengan kedua tangan dan sekali
mengerahkan tenaga, pedang itu patah menjadi dua potong.
225 Dengan hati sebal kedua orang datuk itu melemparkan pedang
rampasan mereka yang palsu itu ke atas tanah.
"Sialan! Kita dipermainkan Hek-liong-li!" kata Ang I Sian-li
bersungut-sungut dan marah sekali.
"Tenanglah, Sian-li," kata Pek-bwe Coa-ong yang merupakan
orang tertua di antara tiga datuk sisa Sembilan Iblis itu.
"Bagaimanapun juga, dua orang gadis yang menyamar Hek-liongli ini pasti anak buahnya atau pembantunya, maka dapat
membunuh dua orang inipun sudah merupakan pukulan bagi
Hek-liong-li. Cepat atau lambat, Hek-liong-li pasti akan terjatuh ke
tangan kita, mati atau hidup!"
"Memang lumayan dapat membunuh dua orang pembantunya,
akan tetapi kitapun menderita kerugian yang tidak sedikit!
Delapan orang anak buah kita tewas, belum dihitung yang
terluka, dan terutama sekali Sam-kwi telah terbunuh oleh Hekliong-li!"
Empat orang sisa Thai-san Ngo-kwi yang berada di situ dan
memandang kepada jenazah rekan mereka dengan wajah duka,
kini mengepal tinju. "Aku bersumpah," kata Thai-kwi, orang pertama yang tinggi besar
hitam dan berusia empatpuluh lima tahun, dengan suara geram,
"Kalau Hek-liong-li terjatuh ke tangan kami, akan kami
permainkan dan kami perhina dan siksa sampai puas, baru akan
kami bunuh, tubuhnya kami cincang dan dagingnya kami berikan
kepada anjing!!" 226 "Aku akan minum darahnya!" kata pula Ji-kwi yang pendek
gendut. "Akan kumakan mentah-mentah sebagian jantungnya!" kata Sukwi yang tinggi besar agak bongkok.
"Aku...... aku akan memperkosanya sepuas hati," kata Ngo-kwi
yang sedang tubuhnya, galak dan mata keranjang, orang termuda
dari mereka berusia tigapuluh lima tahun.
"Harap kalian tenang dan kalau sampai Hek-liong-li terjatuh ke
tangan kita, aku tidak akan melupakan kalian untuk berpesta.
Akan tetapi, bukan Hek-liong-li saja yang kita hadapi. Masih ada
Pek-liong-eng dan para pembantunya. Kita harus berhati-hati dan
memperkuat penjagaan. Sian-li, Siu-cai, mari kita berunding di
dalam," kata Pek-bwe Coa-ong dan dia memerintahkan empat
dari Ngo-kwi untuk mengurus jenazah-jenazah itu, dan
menambahkan, "Gantung mayat dua orang Hek-liong-li palsu itu
di pohon di luar pagar agar terlihat oleh Hek-liong-li!"
Tiga orang datuk itu lalu masuk dan mengadakan perundingan.
"Jelas bahwa kini Liong-li sudah menerima tantangan kita. Ia pasti
akan berdaya upaya untuk menyerbu masuk dan mencoba untuk
membebaskan dua pasang tawanan kita. Mereka kini harus
ditahan dalam kamar dan jangan sampai mereka itu mudah
dibebaskan dari luar," kata Pek-bwe Coa-ong.
"Jangan khawatir, Coa-ong. Mereka sudah kusuruh keram dalam
kamar, bahkan aku telah menotok mereka dan kaki tangan
mereka terbelenggu," kata Ang I Sian-li.
227 "Bagus! Sekarang mari kita bicara tentang dua orang Hek-liong-li
palsu itu. Kita ketahui bahwa Hek-liong-li mempunyai sembilan
orang pembantu yang juga merupakan anak buah mereka.
Jelaslah bahwa dua orang Liong-li palsu itu pasti dua orang di
antara sembilan orang pembantunya. Berarti kini ia berada di luar
bersama tujuh orang pembantunya.
"Kalau melihat betapa di seluruh penjuru bermunculan Hek-liongli, jelas bahwa mereka semua itu mengenakan pakaian hitam dan
menyamar sebagai Liong-li. Akan tetapi, di antara mereka, hanya
Liong-li yang aseli saja yang harus kita hadapi dengan hati-hati.
Kita harus mengerahkan tenaga, memasang barisan pendam dan
sedapat mungkin membunuh semua pembantu Liong-li."
"Coa-ong, kita jangan terlalu memusatkan perhatian kepada
Liong-li seorang. Kita harus ingat bahwa di sana terdapat Pekliong-eng pula. Dan diapun mempunyai enam orang pembantu
pria yang lihai. Mungkin diapun seperti Liong-li, akan datang
dibantu enam orang pelayannya itu," kata Ang I Sian-li.
Mereka berunding dan mengatur siasat karena mereka bertiga
mengambil keputusan nekat bahwa sekali ini mereka harus
mampu membalas dendam kematian semua rekan mereka yang
terbunuh oleh Pek-liong dan Liong-li. Sekarang atau tidak ada
harapan lagi, pikir mereka.
Dan saat itu, kedudukan mereka memang kuat. Bukan saja
mereka bertiga merupakan lawan-lawan yang amat tangguh bagi
Pek-liong dan Liong-li, juga mereka dibantu oleh Thai-san Ngo-
228 kwi yang kini tinggal empat orang dan ratusan orang anak buah
mereka! "Y" Delapan sosok bayangan orang itu menyelinap di balik semaksemak dan pohon-pohon. Hek-liong-li dan para pembantunya
yang tinggal tujuh orang itu, dengan pakaian hitam-hitam,
merangkak dan menyusup di antara semak-semak mendekati
pohon besar di mana tergantung dua buah mayat berpakaian
hitam itu. Terdengar isak tertahan di sana-sini ketika mereka
melihat bahwa yang tergantung itu adalah mayat Bunga Biru dan
Bunga Hijau! Liong-li cepat membuat suara mendesis lirih untuk mengingatkan
anak buahnya agar menahan isak mereka dan jangan membuat
gaduh. Ia sendiri, menggigit bibir ketika melihat keadaan dua
orang anak buahnya itu. Baju kedua mayat itu di bagian dada terobek dan nampak
payudara mereka juga robek-ro bek tergores pedang. Dan
pedang mereka, Hek-liong-kiam palsu yang sudah patah,
ditusukkan di bawah perut sehingga tinggal nampak gagangnya
saja. "Jahanam busuk," ia memaki dalam hati. Sungguh mereka itu
bukan manusia, melainkan iblis yang teramat kejam, menyiksa
jenazah seperti itu. Penghinaan yang luar biasa besarnya.
Biarpun ia marah sekali, namun ia tetap tenang dan
kemarahannya segera padam.
229 Ia tidak boleh marah karena tentu tiga orang datuk itu sengaja
memperlakukan dua buah mayat itu sedemikian rupa untuk
memancing kemarahannya. Dan orang marah tentu akan
kehilangan keseimbangan dan akan mengambil tindakan yang
nekat dan ceroboh. Tidak, ia tidak boleh marah. Pihak musuh
terlalu berbahaya. "Kalian kurung tempat ini dan tunggu saja, biar aku yang
memeriksa keadaan lapangan. Begitu muncul pihak musuh, lima
orang membantuku, dan engkau, Ang-hwa (Bunga Merah) dan
Pek-hwa (Bunga Putih), kalian yang kutugaskan menurunkan dan
mengambil dua jenazah Bunga Hijau dan Bunga Biru. Akan tetapi
tunggu, sampai aku memberi tanda aman, baru kalian berdua
boleh bergerak. Yang lain-lain juga harus menunggu isyaratku,
baru boleh membantuku." Liong-li berbisik-bisik mengatur siasat
dan membagi tugas. Setelah semua mengerti betul, Liong-li membawa sebatang
tongkat dari cabang pohon yang panjangnya tidak kurang dari
dua setengah meter, lalu meloncat keluar dari tempat
pengintaiannya. Malam itu tidak gelap sekali karena ada bulan tiga perempat
menerangi bumi. Kebetulan langit bersih sehingga cahaya bulan
tiga perempat itu tidak terhalang awan.
Dengan tongkatnya, Liong-li mencari jalan dengan hati-hati,
mencoba dan meneliti di sebelah depan dengan tongkatnya agar
tidak sampai terperangkap. Ternyata tempat itu tidak dipasangi
jebakan. Liong-li maju terus menghampiri pohon di mana dua
230 orang anak buahnya mati tergantung, tetap waspada ketika
melangkah maju dengan perlahan dan hati-hati.
Biarpun ia tidak mengeluarkan suara menangis, namun kedua
matanya menjadi basah ketika ia tiba di bawah pohon, melihat
dua orang anak buahnya tergantung seperti itu. Mereka tewas
karena membantunya! Tadinya ia sudah khawatir dan tidak ingin
mengorbankan anak buahnya, akan tetapi mereka memaksa.
Mereka rela mati demi membantunya! Mulutnya bergerak
membaca doa dan mengucapkan selamat jalan kepada Bunga
Hijau dan Bunga Biru. Tiga orang datuk membuat perhitungan bahwa Liong-li yang amat
cerdik itu pasti akan mudah terpancing dengan dua buah mayat
itu. Mereka memperhitungkan bahwa yang mencoba untuk
mengambil mayat tentu hanya anak buah Liong-li. Maka
merekapun hanya menyuruh empat orang Thai-san Ngo-kwi
untuk mewakili mereka membawa anak buah menjaga tempat itu.
Mereka tidak tahu bahwa justeru perhitungan mereka ini sudah
diperhitungkan pula oleh Liong-li.
Gadis perkasa ini memperhitungkan bahwa tiga orang datuk itu
tentu tidak mengira ia berani nekat membahayakan diri
menghampiri mayat. Justru karena ini, maka ia malah datang!
Bagaikan bermain catur, kalau para datuk sesat membuat
perhitungan sampai tiga langkah, Liong-li membuat perhitungan
sampai empat-lima langkah!
Ketika Thai-kwi yang memimpin pengepungan itu melihat
munculnya seorang wanita berpakaian hitam, dia tersenyum.
231 Hemm, tidak mungkin aku dapat dikelabuhi lagi, pikirnya. Liong-li,
aku tahu bahwa yang muncul itu tentu seorang di antara anak
buahmu yang menyamar! Bersama semua anak buahnya yang
berjumlah duapuluh orang, dia dan adik-adiknya mengikuti gerakgerik bayangan hitam itu.
Liong-li dapat menduga bahwa semua gerakannya tentu diikuti
banyak pasang mata dari pihak lawan. Ia tetap berhati-hati, sudah
memperhitungkan pula bahwa tentu ia dianggap seorang di
antara Liong-li palsu. Ia merasa lega bahwa tempat itu tidak
dipasangi jebakan sehingga memudahkan anak buahnya untuk
merampas mayat. Dengan tongkatnya, ia memeriksa tali gantungan. Tidak
dipasangi perangkap pula. Ia masih menanti munculnya serangan
musuh, dan diam-diam, tangan kirinya sudah mempersiapkan
segenggam jarum hitamnya di tangan kiri.
Jarang Liong-li mempergunakan senjata rahasia, jarum-jarum
hitamnya selalu tersimpan saja dalam kantung kecil yang
tergantung di pinggang. Akan tetapi sekali ini, ia menghadapi
musuh yang mempunyai banyak anak buah dan ia sudah
mengambil keputusan untuk tidak bersikap lunak terhadap
mereka, apa lagi setelah dua orang pembantunya tewas dan
disiksa seperti itu. Melihat belum juga ada gerakan dari pihak musuh, tiba-tiba
Liong-li meloncat ke atas, sinar hitam berkelebat dan dua sosok
tubuh mayat yang tadinya tergantung itu terjatuh ke atas tanah.
232 Pada saat itulah, dari arah belakang dan sebelah kirinya,
meluncur puluhan batang anak panah ke arah dirinya! Ia memutar
pedangnya dan semua anak panah runtuh, dan sambil memutar
pedang, ia menggerakkan tangan kirinya dan sinar lembut hitam
meluncur ke berbagai arah, yaitu ke arah dari mana datangnya
anak panah tadi. Terdengar pekik kesakitan di sana sini dan Liong-li tersenyum
karena ia tahu bahwa seperti telah diaturnya tadi, tujuh orang
anak buahnya sudah pula melepas senjata mereka, yaitu
anakpanah-anakpanah kecil yang bisa dilepas dari busur sekali
tarik lima batang! Tujuh orang anak buahnya sudah menyerang,
membarengi serangan musuh, menjatuhkan beberapa korban
yang tadi terdengar menjerit tanpa tempat sembunyi anak
buahnya diketahui musuh. Thai-kwi menjadi marah dan dia memberi aba-aba. Duapuluh
orang anak buahnya tinggal limabelas orang karena yang lima
orang terjungkal, terkena senjata rahasia lawan. Limabelas orang
itu, ditambah dia dan adik-adiknya yang semua berjumlah empat
orang, menyerbu dengan teriakan marah ke arah Liong-li.
Liong-li kembali tersenyum dan pada saat itu, lebih banyak lagi
anak panah menyambar, menyongsong belasan orang yang
menyerbu itu dan kembali terdengar teriakan-teriakan kesakitan
dan empat orang roboh! Kini tinggal empatbelas orang lagi dan
iapun memberi isyarat dengan mengangkat pedangnya ke atas.
Melihat isyarat ini, muncullah lima orang wanita berpakaian hitam,
menyambut serbuan belasan orang itu, sedangkan Liong-li sendiri
233 menghadapi pengeroyokan Thai-kwi, Ji-kwi, Su-kwi dan Ngo-kwi.
Sementara itu, Ang-hwa dan Pek-hwa sudah meloncat dan cepat
mereka menyambar dua buah mayat rekan mereka dan
membawanya pergi. "Tangkap hidup-hidup! Yang inilah Liong-li yang aseli!" teriak
Thai-kwi dan bersama tiga orang adiknya dia menyerang dengan


Dendam Sembilan Iblis Tua Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membabi-buta kepada Liong-li. Lima orang anak buah
menyambut lima orang anak buah Liong-li, sedangkan lima orang
lain sudah ikut mengeroyok Liong-li!
Thai-kwi meniup tanda bahaya yang melengking-lengking. Liongli maklum bahwa keadaannya bisa berbahaya kalau tiga orang
datuk itu muncul. Sekarangpun, tanda bahaya itu sudah
mengundang datangnya belasan orang anak buah lain yang
kebetulan berada di sekitar tempat itu sehingga ia dan lima orang
anak buahnya harus menghadapi pengeroyokan banyak sekali
lawan. Selagi Liong-li dan para pembantunya mengamuk, merobohkan
banyak pengeroyok yang rata-rata memiliki kepandaian yang
cukup tangguh, tiba-tiba nampak sinar api berkobar di sana sini
dan teriakan kebakaran. Ternyata sarang ketiga Kiu Lo-mo itu
terbakar di sana sini! Tentu saja para pengeroyok menjadi panik dan Thai-kwi sendiri
memberi aba-aba agar anak buahnya mundur karena dia ingin
membawa anak buahnya membantu memadamkan kebakaran
yang terjadi di sedikitnya enam tempat itu!
234 "Jangan kejar!" Liong-li berseru dan mengajak lima orang
pembantunya menyusup dan menghilang di antara pohon-pohon,
menyusul Ang-hwa dan Pek-hwa yang sudah membawa dua
buah mayat rekan mereka itu ke seberang sungai,
mempergunakan perahu yang mereka sembunyikan di tepi
sungai, dalam semak belukar.
Liong-li tersenyum puas, bukan hanya karena mereka telah
berhasil merobohkan lagi beberapa orang anak buah musuh, juga
bukan hanya karena ia berhasil mengambil jenazah dua orang
pembantunya agar dapat dikubur dengan baik, akan tetapi
terutama sekali melihat adanya kebakaran di enam tempat tadi.
Hatinya tidak syak lagi, itu pasti hasil perbuatan Pek-liong-eng!
Siapa lagi kalau Pek-liong yang datang di saat sedemikian
tepatnya, dan menggunakan siasat demikian cerdiknya untuk
mengacaukan musuh dan menolong ia dan para pembantunya
yang sedang terkepung dan terancam"
Malam itu juga, Liong-li dan tujuh orang pembantunya mengubur
dua jenazah dengan sederhana namun penuh khidmat. Setelah
melakukan sembahyang secara sederhana di depan kedua
makam itu, Liong-li dan anak buahnya berunding di depan
makam, duduk di atas rumput.
"Kematian Bunga Biru dan Bunga Hijau membuktikan betapa lihai
dan berbahayanya pihak musuh," Liong-li berkata. "Tiga orang
datuk itu, sisa dari Sembilan Iblis, agaknya menyusun kekuatan
dan bertekad untuk membalas dendam dan membunuh aku dan
Pek-liong. Melihat betapa dua orang rekan kalian telah tewas,
235 dan mengingat akan besarnya bahaya, sekali lagi aku
peringatkan kepada kalian. Aku tidak ingin melihat jatuhnya lebih
banyak korban lagi di antara kita, maka kalian boleh
meninggalkan aku. Aku akan berjuang sendiri menentang
mereka, bersama Pek-liong."
Ang-hwa (Bunga Merah) segera mendahului teman-temannya
menjawab. "Li-hiap, kenapa lagi-lagi Li-hiap berkata demikian" Li-hiap, sudah
bertahun-tahun li-hiap membimbing kami, mengajarkan kami
bagaimana sikap seorang gagah sehingga kami merasa menjadi
manusia yang berarti. Dalam suatu pertentangan, di mana kita
berdiri sebagai penentang perbuatan jahat, tentu saja terjadi
korban. Dua orang rekan kami tewas, namun mereka tewas
sebagai naga, sebagai harimau, dan di pihak musuh juga banyak
yang tewas, lebih banyak dari pada kerugian yang kita derita.
"Li-hiap, kalau kami tewas, seperti Bunga Hijau dan Bunga Biru,
kami akan merasa bangga. Bukan karena kami tewas membantu
li-hiap, melainkan tewas karena menentang kejahatan. Bukankah
li-hiap selalu mengatakan lebih baik mati sebagai harimau
melawan musuh yang jahat, dari pada mati sebagai babi
disembelih atau lari seperti anjing yang ketakutan" Saya sendiri,
saya akan tetap bersama li-hiap menghadapi tiga orang datuk
dari Kiu Lo-mo itu?"
Enam orang temannya serentak menyatakan setuju dan tak
seorangpun yang mau meninggalkan Liong-li.
236 Liong-li merasa terharu. "Baiklah, kalau begitu, kita lanjutkan
usaha kita membasmi mereka, bersama Pek-liong. Akan tetapi
karena pihak lawan sudah mengetahui keadaan kita, maka kita
akan menanti dulu sampai ada berita dari Pek-liong sehingga kita
dapat bekerja sama dengan dia. Pihak musuh terlalu tangguh
untuk kita hadapi sendiri."
"Y" Dugaan Liong-l.i memang benar. Yang melakukan pembakaranpembakaran di sarang gerombolan pada malam hari itu adalah
Pek-liong-eng dan enam orang pembantunya. Setelah Pek-liong
menemukan surat yang ditinggalkan Liong-li untuknya dan dia
mengadakan pembicaraan dengan Cian Hui dan isterinya, Cu Sui
In, dia lalu pergi ke lembah Sungai Kuning dan di suatu tempat
yang memang telah dia janjikan kepada enam orang
pembantunya, dia mengadakan pertemuan dengan mereka.
Tempat pertemuan itu di sebuah kuil tua yang tidak dipergunakan
lagi, yang letaknya di lereng bukit kecil di pantai Sungai Kuning.
Dalam petualangannya dahulu, Pek-liong pernah mempergunakan kuil tua ini sebagai tempat bersembunyi, maka
kini diapun hendak memanfaatkan tempat itu untuk menjadi
tempat pertemuannya dengan enam orang pelayan atau
pembantunya. Bukit itu tak pernah dikunjungi orang, dan kuil itu
terlalu tua untuk dijadikan kuil baru, dan terlalu seram untuk
dijadikan tempat tinggal, tempatnya sunyi dan jauh tetangga.
Setelah enam orang pembantunya lengkap berada di situ, Pekliong menyuruh seorang pembantu berjaga di luar dan seorang
237 lagi di belakang kuil, kemudian dia mengajak empat pembantu
lain untuk bicara di dalam. Dia mendengar laporan hasil
penyelidikan mereka bahwa di lembah Sungai Kuning terdapat
sebuah tempat yang agaknya dijadikan sarang penjahat.
Mereka berenam belum melihat adanya tiga datuk besar sisa Kiu
Lo-mo, akan tetapi mereka melihat adanya Thai-san Ngo-kwi dan
ratusan orang anak buahnya, yaitu orang-orang kang-ouw yang
termasuk golongan sesat. Juga bahwa tempat itu amat
berbahaya, agaknya dipasangi banyak perangkap dan dijaga
ketat. "Apakah kalian sudah melihat tanda-tanda hadirnya Hek-liong-li di
sana" Atau para pembantunya?" tanya Pek-liong.
"Kami hanya beberapa kali melihat sosok bayangan hitam-hitam
berkelebat dan menyusup-nyusup di antara pohon dan semak,
akan tetapi kami belum jelas apakah mereka itu Liong-lihiap
dengan para pembantunya. Seperti pesan tai-hiap, kami tidak
mengadakan kontak dengan siapapun, hanya melakukan
penyelidikan di sekitar Hek-san (Bukit Hitam) di lembah Huang-ho
(Sungai Kuning)." Pek-liong mengangguk-angguk. "Baiklah, mulai sekarang, untuk
sementara kita jadikan kuil ini sebagai markas. Bukit Hitam
berada di depan, tak jauh dari sini dan malam ini kita melakukan
penyelidikan ke bukit itu, menyelidiki sarang gerombolan yang
kalian temukan. Persiapkan segalanya, juga minyak bakar, siapa
tahu kita dapat mempergunakannya, setidaknya untuk
menggunakan siasat membakar semak memaksa ular keluar dari
238 sarangnya. Aku ingin memperoleh kepastian apakah gerombolan
yang kalian temukan itu benar merupakan anak buah tiga orang
datuk Kiu Lo-mo ataukah bukan."
Demikianlah, setelah hari mulai gelap, Pek-liong dan enam orang
pembantunya mendaki bukit Hitam, melakukan penyelidikan.
Mereka berpencar, bergerak naik walaupun mereka menjaga
jarak agar dapat saling berhubungan melalui isyarat yang biasa
mereka lakukan dalam gelap, yaitu suara burung malam. Untuk
keperluan penyelidikan kali ini, Pek-liong mempergunakan jubah
luar yang berwarna biru yang panjang dan lebar menutupi
pakaiannya yang serba putih.
Ketika dia menggunakan ilmunya bergerak ringan dan cepat
menyusup di antara semak dan pohon itulah Pek-liong melihat
adanya dua buah mayat wanita yang digantung di pohon besar, di
luar perkampungan gerombolan. Dia terkejut juga melihat betapa
dua orang wanita yang telah tewas itu mengenakan pakaian
hitam-hitam seperti pakaian Liong-li, juga gagang pedang yang
menancap di bawah perut mereka adalah gagang pedang mirip
Hek-liong-kiam. Dan diam-diam dia mengeluarkan makian marah melihat keadaan
dua buah mayat yang tersiksa secara mengerikan itu. Tak syak
lagi, inilah bekas tangan keji seorang datuk! Hanya manusia yang
berhati kejam seperti iblis sajalah yang mampu melakukan
perbuatan keji terhadap manusia lain seperti itu.
Kemudian pandang matanya yang tajam melihat pergerakan di
balik semak dan dia melihat sesosok bayangan yang mendekati
239 pohon di mana dua mayat itu tergantung. Jantungnya berdebar.
Dia yakin bahwa sosok itu adalah Liong-li. Memang wajahnya
tidak nampak jelas dan demikian pula bentuk tubuhnya karena
dia berpakaian serba hitam. Akan tetapi gerakan tubuh itu ketika
melangkah, menyelinap dan memegang tongkat panjangnya.
Itulah Liong-li, tak salah lagi!
Dia memberi isyarat kepada enam orang pembantunya dengan
suara burung malam yang memanjang satu kali. Panjang satu kali
berarti agar mereka berhenti di tempat dan waspada, menanti
perintah berikutnya! Pek-liong melihat betapa Liong-li membabat putus tali gantungan
kedua mayat itu dan pada saat itu, datanglah serangan anak
panah dari barisan pendam pihak musuh. Pek-liong tersenyum
ketika melihat Liong-li beraksi menyebar jarum dan diikuti anakanak panah kecil dari para pembantu pendekar wanita itu. Akan
tetapi, walaupun pertempuran itu tidak membutuhkan bantuannya
karena Liong-li tidak akan kalah, namun ketika para gerombolan
datang semakin banyak, Pek-liong cepat memberi isyarat kepada
para pembantunya untuk mengikutinya merayap naik ke bukit
Hitam. Dan selanjutnya, dari luar perkampungan itu, mereka menyerang
perkampungan dengan anak panah yang membawa kain yang
dicelup minyak dan dibakar sehingga perkampungan gerombolan
itu dihujani api dari atas dan terjadilah kebakaran-kebakaran yang
membuat para gerombolan panik dan membuat empat orang sisa
Thai-san Ngo-kwi terpaksa menarik mundur anak buahnya yang
sedang mengeroyok Liong-li dan lima orang pembantunya.
240 Setelah berhasil mengacaukan perkampungan itu dan melihat
betapa Liong-li dan para pembantunya dapat melarikan diri
terlepas dari kepungan banyak lawan, Pek-liong dan kawankawannya juga turun dari Hek-san dan menuju ke kuil tempat
persembunyian mereka. Pada keesokan harinya, Pek-liong dan enam orang pembantunya
keluar dari kuil untuk melakukan penyelidikan lagi karena dia
belum merasa yakin apakah benar gerombolan di Hek-san itu
dipimpin oleh tiga datuk dan di situ pula ditahannya Song Tek Hin
dan Su Hong Ing, dan kakak beradik Kam Sun Ting dan Kam
Cian Li. Mereka bertujuh kini menyamar dan karena Pek-liong memang
ahli dalam ilmu penyamaran, enam orang pembantunya juga
menyamar dengan baik sekali sehingga sukar dikenali keadaan
aselinya. Pek-liong sendiri menyamar sebagai seorang laki-laki
berusia enampuluhan tahun, rambutnya sudah putih semua dan
demikian pula kumis dan jenggotnya, putih tidak teratur seperti
seorang petani tua yang punggungnya agak bongkok dan
berjalan memegang sebatang tongkat bambu butut.
Tak seorangpun tahu bahwa di dalam bambu itu tersembunyi
Pek-liong-kiam! Dia memesan kepada enam orang pembantunya
agar berhati-hati menyelidiki sekitar perkampungan gerombolan
di bukit Hitam, sedangkan dia sendiri ingin mencari di mana
Liong-li dan para pembantunya berada.
Dari puncak bukit dimana kuil tua itu berdiri, Pek-liong lebih
dahulu meneliti keadaan. Nampak bukit Hitam menjulang di
241 depan, penuh dengan hutan lebat. Bukit itu berada di pantai
sungai Kuning, yang airnya tenang dan keruh.
Liong-li selalu berhati-hati, pikirnya. Tentu ia tidak mau tinggal
terlalu dekat di kaki Hek-san, akan tetapi juga tidak terlalu jauh
sehingga dapat selalu mengawasi sarang gerombolan itu. Dan
semalam, mereka berhasil mengambil dua jenazah yang
digantung di pohon, ini berarti bahwa mereka dapat dengan
leluasa mendaki Hek-san. Tentu mereka tidak jauh dari Bukit Hitam itu, pikirnya. Akan tetapi
di mana" Kalau di seberang sana, tentu terlalu jauh.
Tiba-tiba pandang matanya bersinar gembira Ah, tentu saja!
Perahu-perahu itu! Banyak perahu nelayan di sana, dan perahu
para pedagang yang lalu lalang. Kalau Liong-li tinggal di dalam
perahu, tentu tidak akan dicurigai siapapun dan ia dapat selalu
dekat dengan pantai di mana Hek-san berdiri, dapat selalu
mengamati bukit itu. Tak lama kemudian, kakek yang agak bungkuk itu berhasil
menyewa sebuah perahu kecil yang di dayungnya sendiri. Perahu
kecil itu didayungnya mendekati perahu-perahu lain sampai
akhirnya dia melihat sebuah perahu kecil yang didayung dua
orang gadis yang segera dikenalnya sebagai dua di antara para
pembantu Liong-li. Di perahu itu nampak pula panci-panci yang
agaknya penuh masakan. Tentu kedua orang wanita itu baru saja
pulang membeli makanan ke pedusunan di tepi sungai, pikir Pekliong dan tanpa menimbulkan kecurigaan, diapun mendayung
perahu mengikuti perahu kecil itu.
242 Hek-liong-li sungguh berhati-hati sekali, pikir Pek-liong. Untuk
membeli makanan saja, yang disuruhnya adalah Ang-hwa dan
Pek-hwa, dua orang yang paling lihai dan paling dipercaya di
antara semua pembantunya. Ini tentu untuk menjamin agar tidak
terjadi sesuatu ketika mereka mencari makanan.
Perahu kecil yang didayung Ang-hwa dan Pek-hwa itu mendekati
sebuah perahu besar cat hitam. Ang-hwa melemparkan tali yang
ujungnya ada kaitannya dan kaitan itu membuat perahu kecil
terikat dengan perahu besar.
Seorang wanita pembantu Liong-li lainnya menurunkan sebuah
tangga kayu dan kedua orang wanita itu lalu naik ke perahu besar
melalui tangga kayu, membawa panci-panci yang kelihatannya
terisi makanan yang masih panas. Tentu saja kedua orang wanita
itu tidak mau melompat begitu saja ke perahu besar karena hal itu
tentu akan menarik perhatian orang-orang, yang berada di
perahu-perahu lain.

Dendam Sembilan Iblis Tua Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ang-hwa dan Pek-hwa disambut para pelayan lain dengan
gembira. "Wah, sungguh beruntung sekali kita hari ini dapat
makan masak daging sapi dan ayam panggang. Juga ada anggur
merah yang sedap," kata Ang-hwa.
Tentu saja rekan-rekannya merasa heran dan bertanya dari mana
Ang-hwa dan Pek-hwa bisa mendapatkan masakan-masakan
mewah itu. "Enci Ang-hwa, apakah ada restoran besar di tepi sungai?" tanya
seorang pembantu. 243 Ang-hwa tertawa. "Ihh, mana ada restoran besar di tepi pantai
yang hanya ada dusun" Restoran besar hanya terdapat di kota
besar. Kami berdua memang sedang mujur. Ketika kami
bertanya-tanya kepada penghuni dusun itu, kebetulan sekali yang
kami tanyai adalah sepasang suami isteri tua, yang dahulu di
waktu mudanya pernah bekerja sebagai juru masak di rumah
makan besar di kota. "Nah, mereka suka sekali menolong dan kami memberi bahan
dan bumbu, membeli daging sapi dan menyembelih ayam dan
merekapun memasakkan untuk kami dengan sedikit imbalan. Dan
setelah kami mencicipi sedikit, ternyata masakan mereka
memang lezat bukan main."
"Wah, kalau begitu kalian telah mendahului makan?" para
pelayan itu menggoda. "Hussh, mana kami berani?" kata Pek-hwa. "Sebelum li-hiap
makan, kami tidak berani mendahuluinya. Kami hanya mencicipi
sedikit ketika mereka masak di dapur, lalu kami menunggu di
ruangan depan rumah mereka."
Tiba-tiba muncul Liong-li dari dalam bilik perahu besar itu. Alisnya
berkerut ketika ia memandang kepada dua orang pembantunya
itu dan menegur mereka, "Ang-hwa, Pek-hwa, kalian terlalu
senang sehingga menjadi lengah."
Dua orang pembantu itu saling pandang, lalu memandang
kepada Liong-li. Ang-hwa bertanya, "Li-hiap, apa yang li-hiap
maksudkan dengan kelengahan kami?"
244 "Dari atas perahu, aku melihat bahwa kalian berdua dibayangi
orang, dan kalian tetap tidak tahu. Bukankah itu lengah
namanya?" "Ehh......!!" Mereka berdua segera menengok dan memandang ke
sekeliling. Akan tetapi tidak melihat hal yang mencurigakan.
Perahu-perahu nelayan tetap seperti tadi, juga perahu-perahu
para pedagang yang hilir mudik. Seorang kakek dengan caping
lebar sedang duduk di perahu kecilnya, tak jauh dari situ, dan dia
mengail ikan. "Maaf, li-hiap. Kami tidak melihat hal-hal yang mencurigakan."
"Lihat baik-baik pengail tua itu. Di bagian air di mana dia mengail,
arusnya begitu kuat, bagaimana mungkin mendapatkan ikan
mengail di air yang deras itu" Itu menunjukkan bahwa dia bukan
pengail atau memang sedang memancing perhatian kita," kata
Liong-li. "Ah, li-hiap benar!" seru Pek-hwa.
"Maafkan kelengahan kami, li-hiap. Mungkin dia mata-mata
musuh, maka biarlah saya membocorkan perahunya dengan
anak panah," kata Ang-hwa, marah kepada kakek pengail itu.
Liong-li hanya tersenyum dan mengangguk, matanya bersinarsinar.
Dari balik bangunan bilik perahu, agar tidak kelihatan orang lain,
Ang-hwa memasang dua batang anak panah kecil yang busurnya
dan sekali jepret, dua batang anak panah itu meluncur ke arah
245 perahu kecil, mengarah badan perahu bagian bawah karena Anghwa ingin kedua batang anak panahnya menembus bagian itu
sehingga perahu itu akan menjadi bocor.
Akan tetapi, semua orang di atas perahu besar itu melihat betapa
pengail tua itu menggerakkan batang kailnya dan tali kail itu
menyambar ke arah anak-anak panah sehingga kedua batang
anak panah itu tertangkap di ujung tali kail. Dia mengangkat
kailnya dan memandang dua batang anak panah yang terkait
atau terlibat itu, tertawa dan berkata dengan suara lirih, namun
karena digerakkan dengan khi-kang maka terdengar jelas oleh
mereka yang berada di perahu besar.
"Ha-ha-ha, di perahu besar diadakan pesta makan enak, di
perahu kecil aku hanya mendapatkan dua batang anak panah.
Mengail ikan mendapatkan anak panah, sungguh sungai yang
aneh!" Mendengar ejekan ini, tujuh orang pembantu Liong-li memandang
marah, akan tetapi Liong-li tersenyum. "Ang-hwa dan Pek-hwa,
aku memaafkan kelengahan kalian berdua. Tentu saja kalian
tidak tahu kalau Pek-liong yang membayangi kalian!"
"Dia..... dia....... Pek-liong-eng.....?" Para pembantu itu berseru
lirih. Liong-li berdiri di tepi perahu dan menjenguk ke bawah, lalu
berkata sambil tersenyum. "Pengail tua, kami mengundangmu
untuk ikut makan enak, naiklah ke sini!"
246 Pengail tua yang bukan lain adalah Pek-li-ong itu, menoleh,
tersenyum dan berkata, "Terima kasih!" Dia mendayung
perahunya mendekat, tangga diturunkan dan diapun naik ke atas
perahu besar, disambut oleh Liong-li dengan senyum gembira
dan mereka segera memasuki bilik perahu.
Setelah duduk berhadapan dan Pek-liong menanggalkan
capingnya, mereka saling pandang sampai beberapa menit
lamanya, tanpa mengeluarkan suara, akan tetapi dua pasang
mata itu saling tatap dan dari sinar mata mereka seolah mereka
dapat menjenguk isi hati masing-masing.
"Liong-li, aku merasa ikut prihatin melihat engkau kehilangan dua
orang pembantumu." Pek-liong akhirnya berkata dengan suara
serius. Liong-li menghela napas panjang. "Sekali ini, kita tidak
menghadapi ancaman yang main-main dan boleh dipandang
ringan. Agaknya Kim Pit Siu-cai, Ang I Sian-li dan Pek-bwe Coaong. bekerja sama dan mati-matian mereka menyusun kekuatan
untuk menghancurkan kita."
Mereka lalu saling menceritakan pengalaman mereka semenjak
mereka diganggu anak buah musuh di rumah masing-masing
sampai mereka menerima surat dari sahabat-sahabat mereka
yang telah ditawan oleh pihak musuh. Liong-li menceritakan pula
tentang tewasnya Bunga Biru dan Bunga Hijau dan tentang tekad
sisa pembantunya yang masih tujuh orang itu untuk
membantunya menghadapi gerombolan musuh dengan taruhan
nyawa. 247 Ketika tiba giliran Pek-liong menceritakan pengalamannya,
pendekar ini menceritakan pula tentang Cian Hui dan Cu Sui In.
"Mereka, gerombolan musuh itu, telah mencoba pula untuk
menawan Cian Ciang-kun dan isterinya. Bahkan Pek-bwe Coaong sendiri yang turun tangan memimpin anak buahnya untuk
menculik Cian Hui dan Cu Sui In, akan tetapi untung sekali bahwa
Cian Ciang-kun amat cerdik dan telah mencurigai pihak musuh.
Dia telah mempersiapkan pasukan sehingga ketika dia dan
isterinya akan diculik, pasukannya menerjang dan gerombolan
itupun melarikan diri."
Liong-li merasa kagum. "Cian Ciang-kun memang seorang yang
cerdik sekali." "Ya, dan diapun menawarkan diri untuk membantu kita
menghadapi gerombolan dengan mengerahkan pasukan. Akan
tetapi tawaran itu kutolak. Aku tidak ingin melihat dia terlibat, apa
lagi sampai terancam bahaya kalau dia membantu kita. Tiga
orang datuk sisa Kiu Lo-mo itu mempunyai dendam dan
perhitungan dengan kita berdua, maka tidak pantaslah kalau kita
sampai melibatkan Cian Ciang-kun dan membuat dia dan
isterinya terancam bahaya.
Liong-li menjulurkan tangannya ke seberang meja dan
menangkap tangan kanan pendekar itu. Liong-li memandang
kagum. Rekannya ini selalu memikirkan kepentingan orang lain!
Betapa bijaksananya. Pek-liong dapat merasakan isi hati Liong-li dan diapun membalas
dengan memegang tangan pendekar itu. "Liong-li, sekali ini kita
248 harus berhati-hati. Pihak musuh amat lihai, juga amat cerdik di
samping mereka mempunyai banyak anak buah. Kita harus
mencari akal untuk lebih dahulu membebaskan kakak beradik
Kam dan Song Tek Hin bersama isterinya."
"Engkau benar, Pek-liong. Mereka ditawan karena kita, maka kita
harus dapat menolong mereka sebelum kita hadapi tiga orang
datuk itu untuk membuat perhitungan sampai tuntas."
Pada saat itu terdengar ketukan perlahan di pintu ruangan.
Mereka menoleh dan melihat Ang-hwa berdiri di ambang pintu.
"Maafkan saya, Li-hiap, Tai-hiap, kalau saya mengganggu. Akan
tetapi masakan itu akan menjadi dingin kalau tidak segera
dihidangkan." Pek-liong dan Liong-li saling pandang lalu tertawa. "Baik, bawa
masuk hidangan itu dan karena sekarang kita semua sedang
berjuang, maka untuk sementara ini kalian adalah kawan-kawan
seperjuangan. Kalian semua boleh menemani kami berdua
makan minum," kata Liong-li dan ajakan itu disambut dengan
gembira oleh tujuh orang pembantunya.
Mereka adalah pembantu-pembantu dan pelayan yang setia,
akan tetapi juga amat mengagumi, menghormati dan menyayang
Liong-li, maka diajak makan semeja ini merupakan suatu
kehormatan dan kebahagiaan besar bagi mereka. Apa lagi di situ
terdapat pula Pek-liong-eng yang mereka kagumi.
249 Sayang enam orang pembantu Pek-liong tidak ikut makan minum
pula, pikir mereka. Kalau ada enam orang pembantu Pek-liong,
lengkaplah sudah pasukan mereka!
Sehabis makan, Pek-liong dan Liong-li melanjutkan perundingan
mereka untuk mengatur siasat.
"Keadaan sarang mereka kuat sekali, akan sukar ditembus kalau
kita menggunakan kekerasan saja, Pek-liong," kata Liong-li.
"Engkau benar, akupun sudah melakukan penyelidikan. Selain
mereka melakukan penjagaan kuat, agaknya empat orang
sahabat kita itupun dikeram dalam rumah tahanan dan tentu
dijaga kuat. Berusaha menyusup ke sana sama saja dengan
membiarkan diri terperosok ke dalam jebakan."
"Pek-liong, bagaimanapun juga, kita harus membebaskan
mereka. Mari kita mencari siasat yang paling baik. Bagaimana
menurut pendapatmu" Akal apa yang harus kita pergunakan?"
"Liong-li, biasanya engkau yang mendapatkan akal, bukan aku.
Karena itu, pertanyaanmu itu ku kembalikan kepadamu dan aku
siap mendengar pendapatmu."
Mereka saling pandang, penuh pengertian dan keduanya tertawa.
Mereka berdua itu sudah sehati dan sejalan saling pandang saja
cukup untuk membuat mereka dapat menjenguk isi hati masingmasing. Mereka saling menghargai, saling mengagumi dan saling
menyayang, maka selalu saling merendahkan diri untuk
membiarkan yang lain menonjol.
250 "Kita tuliskan saja akal kita masing-masing lalu kita membuat
perbandingan. Dengan demikian, tidak ada yang menjadi orang
pertama dan orang kedua. Bagaimana?"
"Setuju, akan kutuliskan akal dan pendapatku itu di atas meja ini,"
kata Pek-liong yang segera membuat guratan dengan kuku jari
telunjuk kanannya ke atas meja sambil menutupinya dengan
tangan kiri. Liong-li yang tersenyum juga melakukan hal yang
sama. Mereka selesai dalam saat yang bersamaan pula dan sambil
saling pandang, keduanya membuka tangan kiri yang menutupi
guratan pada papan meja di depan masing-masing. Keduanya
memandang tulisan itu dan keduanya tertawa gembira.
Dalam keadaan seperti itu, lupalah mereka akan ancaman
mereka. Ternyata guratan di depan masing-masing itu hanya
sebuah huruf yang sama, yaitu huruf
"API." Betapa sama jalan pikiran mereka. Dalam saat yang genting dan
gawat itupun mereka mempunyai akal yang sama.
"Tepat sekali, Liong-li. Hanya ini satu-satunya jalan bagi kita
untuk dapat menyelundup masuk dan berusaha membebaskan
empat orang sahabat kita itu," kata Pek-liong sambil menekan
dengan jarinya menghapus guratan di depannya. Hal yang sama
dilakukan oleh Liong-li. 251 "Begitu melihat caramu menolong kami dari kepungan musuh
semalam, akupun tahu bahwa api merupakan satu-satunya cara
untuk menyerang musuh yang sarangnya demikian kuat, Pekliong. Akan tetapi, itu hanya kita lakukan untuk mengacaukan
mereka. Mungkin dalam kekacauan itu kita dapat menyelundup
masuk, akan tetapi mengajak empat orang sahabat kita lolos dari
sana, itu merupakan hal lain yang jauh lebih sukar."
"Liong-li, tentu engkau pernah melakukan penelitian terhadap
sarang itu dari puncak bukit, bukan" Dan engkau tentu melihat
bahwa ada sebuah anak sungai mengalir melalui sebelah dalam
perkampungan gerombolan itu!"
Liong-li mengerutkan alisnya, menunduk dan menggosok-gosok
hidungnya dengan jari tangan, tanda bahwa ia sedang mengasah
otaknya. Kemudian ia mengangkat muka memandang kepada
Pek-liong dengan wajah berseri.
"Anak Sungai......" Anak sungai, air dan...... ada kakak beradik
Kam di sana! Ah, aku mengerti, Pek-liong, dan memang tepat
sekali!" Pek-liong mengangguk dan tersenyum kagum.
"Ada air, ada kakak beradik Kam, dan pelarian mereka berempat
itu akan dapat dilakukan dengan mudah tanpa terlalu
membahayakan mereka."
Mereka lalu mengatur siasat. Dua buah otak yang amat cerdas itu
dikerjakan dengan cermat sehingga mereka dapat menyusun
rencana siasat yang akan mereka laksanakan malam nanti.
252 Mereka lalu bercakap-cakap melepas rindu dan pertemuan antara
mereka sekali ini terasa lain dari pada pertemuan yang sudahsudah. Sekali ini mereka sama-sama menyadari bahwa keadaan
mereka yang saling berpisah dan berjauhan itu membuat mereka
tidak lengkap, mudah diserang musuh dan hidup terasa timpang.
"Pek-liong, lama-lama aku menjadi bosan juga. Rasanya
semenjak aku menguasai ilmu silat, tiada hentinya aku terlibat
permusuhan dengan orang-orang kang-ouw dan terutama
dengan golongan sesat. Hemm, entah kapan hidup ini dapat
kunikmati dengan tenteram dan penuh damai.
Mendengar ucapan itu dan melihat betapa wanita yang cantik
jelita itu duduk termenung dengan pandang mata yang biasanya
mencorong itu kini agak sayu, mulut yang biasanya penuh
senyum cerah itu agak cemberut, tangan kiri bertopang dagu.
Pek-liong tersenyum lebar dan hatinya merasa geli, walaupun
ucapan itu membuat dia terkejut karena akhir-akhir ini dia juga
mempunyai perasaan yang serupa!
"Liong-li, kiranya tidak perlu kita mengeluh. Pada saat kita


Dendam Sembilan Iblis Tua Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mempelajari ilmu silat, kita sudah terlibat dan tergelincir masuk ke
dalam dunia kekerasan. Masih untung bagi kita bahwa kita berdiri
di pihak yang membela kebenaran dan keadilan, membela yang
lemah tertindas, menentang yang jahat sewenang-wenang
sehingga tidak percuma kita mempelajari ilmu silat, dapat
dipergunakan untuk hidup yang benar sebagai seorang ahli silat."
"Akan tetapi, Pek-liong, apakah kalau tidak pandai ilmu silat lalu
tidak ada persoalan" Aih, sebelum pandai silat dahulu, aku malah
253 menderita hebat sebagai korban kejahatan. Di mana-mana
terdapat orang jahat, di mana-mana terdapat kesengsaraan, di
samping kebaikan yang hanya sedikit, di dunia.ini agaknya
kejahatan yang memegang peran penting dalam segala
lapangan. Di antara sepuluh orang, mungkin hanya dua yang baik
dan delapan yang jahat, hanya dua yang kaya dan delapan yang
miskin, dua yang pandai dan delapan yang bodoh."
"Itu sudah merupakan keadaan kehidupan manusia di dunia,
Liong-li. Kenapa mesti dipersoalkan" Baik dan buruk sudah
menjadi pasangannya, seperti ada siang tentu ada malam, ada
atas ada bawah, ada kanan ada kiri. Kalau tidak ada susah di
dunia ini, mana mungkin kita mengenal senang" Kalau tidak ada
yang dinamakan jahat di dunia ini, mana mungkin kita tahu apa
itu yang dinamakan baik"
"Sebaiknya kita tidak membiarkan diri terseret ke dalam
pergolakan antara baik dan buruk ini, Liong-li, karena sekali
terseret, kita akan menjadi mangsanya. Kalau kita tetap sadar
dan tidak terseret, akan nampaklah bahwa memang demikian
keadaan hidup di dunia. Hidup berarti perjuangan, Liong-li,
perjuangan menghadapi segala macam tantangan yang kita
namakan persoalan. Seni kehidupan ini justeru menghadapi dan
menanggulangi semua tantangan itu! Barulah hidup itu berarti."
"Hemm, apakah kita tidak boleh mengharapkan untuk dapat hidup
tenang?" Pek-liong tertawa. "Tentu saja boleh, siapa yang dapat melarang
seseorang untuk mengharapkan sesuatu yang baik" Akan tetapi
254 harus menyadari bahwa justeru menginginkan sesuatu itulah
pangkal tolak terjadinya hal yang bertentangan dengan yang
diinginkan. Kalau kita menginginkan senang, sudah pasti kita
bertemu pula dengan susah, kalau kita menginginkan
ketenangan, sudah pasti kita bertemu dengan ketidak-tenangan.
Keduanya itu tak terpisahkan. Keinginan adalah nafsu, dan nafsu
pula penggerak semua hal yang saling bertentangan itu."
"Aihh, kalau sudah bicara tentang kehidupan aku merasa seperti
seorang anak kecil mendengarmu, Pek-liong. Aku mengaku
bodoh dalam hal ini. Sukar bagiku untuk mengerti, kenapa di
dunia ini demikian banyaknya orang jahat. Pada hal, mereka yang
jahat itu bukanlah orang bodoh, melainkan orang yang pintar dan
mengerti. Kenapa mereka melakukan kejahatan"
"Sepatutnya, mereka yang pintar itu tahu bahwa kelakuan mereka
itu tidak benar, mengakibatkan malapetaka bagi orang lain
maupun bagi diri sendiri. Akan tetapi kenapa mereka
melakukannya juga" Kalau mereka bodoh dan tidak mengerti, hal
itu mudah dimaklumi. Akan tetapi mereka itu orang-orang yang
pandai dan pintar......"
"Liong-li, kenyataan itu tidak mengherankan. Manusia adalah
mahluk yang amat ringkih dan lemah karena kuatnya nafsu yang
menguasai diri. Nafsu daya rendah sudah mencengkeram kita,
membonceng pada kita, pada setiap anggauta tubuh, bahkan
menyusup ke dalam akal pikiran kita sehingga apapun yang kita
pikirkan, apapun yang kita ucapkan dan lakukan, semua itu
dikendalikan oleh nafsu yang sifatnya hanya mengejar
255 kesenangan bagi diri sendiri, diri yang sudah menjadi satu
dengan nafsu. "Kepintaran yang berada dalam otak tidak berdaya melawan
nafsu. Tidak ada pencuri yang tidak tahu bahwa mencuri itu tidak
baik, tidak ada perampok yang tidak tahu bahwa merampok itu
jahat. "Setiap orang manusia tahu dan mengerti belaka melalui akal
pikiran mereka bahwa melakukan segala macam bentuk
kejahatan itu tidaklah baik. Namun, pengertian ini tidak dapat
menghentikan nafsu yang mendorong kita melakukan kejahatan.
Akal pikiran dapat menimbulkan penyesalan setelah kita
melakukan perbuatan jahat, akan tetapi di lain saat, dorongan
nafsu menang lagi dan kita didorong untuk mengulang kejahatan
yang tadi disesalkan akal pikiran.
"Demikian seterusnya, maka tidak aneh kalau engkau melihat
seorang yang pintar dan pandai melakukan kejahatan. Dia
menyadari perbuatan itu tidak baik, namun tidak kuasa menolak
dorongan nafsu, bahkan akal pikiran yang sudah bergelimang
nafsu membela perbuatan jahat itu dengan bermacam dalih dan
alasan untuk membenarkan atau setidaknya mengurangi
keburukannya." Dalam hal ilmu silat dan kecerdikan akal, Liong-li memang
termasuk seorang wanita yang jarang ditemui keduanya. Namun,
begitu Pek-liong bicara tentang kehidupan, ia merasa bingung
dan menyadari kekurangannya.
256 Pek-liong-eng Tan Cin Hay memang sudah memiliki kesadaran
akan kenyataan hidup seperti yang diterangkannya kepada Liongli. Namun, dia sendiri belum tahu bagaimana agar dia dapat
terbebas dari cengkeraman nafsu-nafsunya sendiri.
Seperti telah dikatakannya, pikiran dan semua ilmu pengetahuan
dan kepintarannya, tidak dapat mencegah manusia dari
perbuatan jahat dan sesat, karena akal pikiran tidak kuasa
melawan pengaruh nafsu. Contohnya yang paling sederhana,
semua orang yang kecanduan arak tahu belaka bahwa minum
arak merupakan perbuatan yang amat tidak baik, merugikan diri
sendiri, merusak badan merusak batin, dapat mengakibatkan
orang menjadi mabok dan melakukan hal-hal yang jahat.
Semua peminum arak tahu dan mengerti akan hal ini. Akan tetapi
apa daya! Pengertian itu tidak dapat menundukkan keinginan
untuk minum arak, yaitu dorongan nafsu yang mendatangkan
kesenangan! Kalaupun ada usaha akal pikiran yang sadar untuk
menentang keinginan minum arak, maka pikiran itu sendiri yang
dicengkeram nafsu menjadi pembela dengan bisikan bahwa
minum sedikit tidak mengapa, bahwa minun arak adalah untuk
keakraban pergaulan, bahkan minum arak amat baik untuk
kesehatan dan sebagainya lagi!
Demikian selanjutnya, kalau dibesarkan seorang koruptor bukan
tidak tahu bahwa korupsi itu tidak baik, namun tidak kuasa
menolak dorongan nafsu yang ingin mencari kesenangan melalui
tindak korupsi. Akal pikirannya akan membela perbuatan itu
dengan bisikan bahwa dia bukan sendirian, semua orang juga
melakukan bahkan lebih besar lagi, atau bisikan bahwa dia
257 membutuhkan uang untuk keluarga, bahwa dia terpaksa
melakukannya, bahwa dia berhak melakukannya untuk imbalan
jasanya, dan sebagainya lagi. Bahkan seorang pembunuh akan
dibela oleh pikirannya bahwa dia membunuh karena terpaksa,
karena dia tidak bersalah dan seribu satu macam alasan lagi
untuk menghapus dosa atau setidaknya menguranginya.
Jelas bahwa nafsu menyeret kita ke dalam dosa. Maka, mungkin
jutaan orang yang setelah melihat kenyataan ini lalu berusaha
untuk mengalahkan nafsu, untuk mengendalikan nafsu dengan
bermacam cara. Dengan samadhi, dengan bertapa, dengan
penyiksaan diri, mengurangi makan tidur, memaksa diri tidak
melakukan segala macam keinginan, bahkan tidak memenuhi
kebutuhan badan, dan segala macam cara lagi hanya dengan
maksud agar dapat menguasai, mengalahkan dan mengendalikan nafsu, bahkan ada yang berniat untuk mematikan
nafsu. Betapa kenyataan menunjukkan kegagalan semua usaha ini!
Nafsu yang dikekang dengan paksa, seperti api yang ditutup
sekam, nampaknya saja padam akan tetapi sebetulnya membara
di sebelah dalam dan kalau mendapat kesempatan, tertiup sedikit
saja lalu berkobar! Semua usaha itu hanya merupakan keinginan
untuk mencapai sesuatu, dan keinginan ini justeru hasil kerja dari
nafsu! Nafsu melihat betapa menuruti nafsu mendatangkan akibat yang
tidak menyenangkan, maka nafsu lalu mendorong timbulnya
keinginan untuk mengekang nafsu! Tentu agar tidak lagi dilanda
258 akibat yang tidak menyenangkan tadi. Karena itu gagal. Mana
mungkin nafsu mengekang nafsu, api memadamkan api"
Nafsu merupakan anugerah bagi kita. Nafsu merupakan bahan
bakar yang menggerakkan kendaraan tubuh jasmani ini. Tanpa
nafsu, pergerakan ini akan macet dan mati. Segala macam
kenikmatan dalam hidup ini adalah berkat adanya nafsu. Yang
kita kenal sebagai yang enak, yang merdu, yang indah, yang
nyaman dan segala macam keadaan yang menyenangkan,
adalah berkat adanya nafsu. Nafsu mutlak penting untuk hidup.
Tuhan Maha Bijaksana. Menyertakan nafsu kepada kita pasti ada
hikmahnya, ada manfaatnya, bukan untuk dijadikan penggoda.
Akan tetapi, nafsu dapat pula menjadi pembujuk yang menyeret
kita ke dalam lumpur dosa. Bukan salah nafsu, melainkan salah
kita sendiri. Nafsu ibarat api, tergantung kita yang mengaturnya, sesuai
dengan kebutuhan hidup. Kalau dibiarkan merajalela, api akan
membakar segalanya, seperti nafsu akan melahap segalanya.
Lalu bagaimana" Dibiarkan berkuasa, kita dijerumuskan dalam
jurang kesengsaraan. Dimatikan, tidak mungkin, dikendalikan
juga amatlah sukarnya. Lalu bagaimana" Demikianlah
pertanyaan abadi yang dicari jawabannya oleh semua manusia di
dunia. Kalau akal pikiran sudah tidak mampu bekerja lagi untuk
menemukan jawabannya, maka seyogianya kita kembali kepada
sumber, kepada asal. Nafsu diikutsertakan kepada kita oleh
Kekuasaan Tuhan Maha Pencipta! Karena itu, untuk
259 menghadapinya, kita kembalikan kepada Kekuasaan Tuhan. Kita
menyerahkan kepada Tuhan karena hanya kekuasaan Tuhan
jualah yang akan mampu menjinakkan nafsu yang meliar.
Menyerah, pasrah dengan sabar, dengan ikhlas, dengan tawakal
kepada Tuhan! Ini merupakan suatu kewaspadaan yang pasip, kewaspadaan
tanpa pamrih, dilandasi penyerahan. Tanpa adanya keinginan,
tanpa adanya pamrih, berarti tidak memberi umpan kepada api
nafsu. Segala macam keinginan, bahkan keinginan untuk
menghentikan atau mengendalikan nafsu, justeru menjadi umpan
atau bahan bakar bagi api nafsu, mempertahankan kelangsungan
hidupnya, "Y" Malam itu hawanya dingin menyusup tulang. Langit cerah oleh
cahaya bulan dan awan berkumpul jauh di barat, membuat
cahaya bulan dengan bebasnya memandikan permukaan bukit
Hitam. Suasana mencekam. Kalau Pek-liong dan Liong-li, siang tadi mengatur siasat mereka,
pihak lawan merekapun tidak tingggal diam. Penyerbuan yang
dilakukan Liong-li dan para pembantunya cukup menggegerkan,
apa lagi setelah timbul kekacauan karena penyerangan anak
panah berapi yang mengakibatkan kebakaran.
Biarpun mereka berhasil membunuh dua orang anak buah Liongli, namun merekapun kehilangan banyak anak buah. Dan bukan
para pembantu Liong-li dan Pek-liong yang mereka kehendaki,
melainkan sepasang naga itu sendiri.
260 Mereka kini dapat menduga siapa yang menghujankan anak
panah berapi, karena di antara para penjaga ada yang sempat
melihat berkelebatnya bayangan pria dari arah datangnya anak
panah berapi, Siapa lagi kalau bukan Pek-liong-eng, pikir tiga
orang datuk itu. "Pek-liong-eng sudah datang, kini lengkaplah sudah. Hek-liong-li
dan Pek-liong-eng sudah datang dan agaknya mereka membawa
para pembantu mereka," kata Ang I Sian-li. Suaranya
membayangkan ketegangan karena selain gembira akan dapat
melaksanakan dendamnya, juga diam-diam ia merasa gentar
juga menghadapi Pek-liong-eng dan Hek-liong-li.
"Liong-li telah kehilangan dua orang pembantunya. Tinggal tujuh
orang lagi pembantunya, dan Pek-liong mempunyai enam orang
pembantu. Kita harus mengadakan persiapan. Mereka pasti akan
berusaha untuk membebaskan tawanan kita," kata Pek- bwe
Coa-ong yang memimpin gerombolan pendendam itu.
"Mereka itu membikin repot saja. Setelah Pek-liong dan Liong-li
datang, apakah tidak lebih baik kalau kita bunuh saja empat
orang tawanan itu"' Kim Pit Siu-cai mengajukan usul.
"Ah, engkau keliru sekali, Siu-cai!" cela Pek-bwe Coa-ong. "Apa
gunanya membunuh mereka" Malah.merugikan sekali, merusak
rencana siasat kita. Mereka adalah umpan untuk memancing
datangnya Pek-liong dan Liong-li. Kalau umpannya kita
hilangkan, tentu ikannya tidak akan tertarik lagi dan tidak dapat
kita pancing. Justeru Pek-liong dan Liong-li bernapsu untuk
datang adalah karena adanya empat orang tawanan itu. Kalau
261 mereka dibunuh, tentu Pek-liong dan Liong-li tidak begitu bodoh
untuk membahayakan diri memasuki tempat ini. Kita bahkan
harus menambah daya tarik umpan kita. Lepaskan mereka dari
belenggu dan biarkan mereka berada di luar karena malam ini
mereka pasti akan muncul di sini!"
Tiga orang datuk itu mengatur siasat untuk menjaga segala
kemungkinan. Yang menjadi sasaran utama adalah hadirnya Pekliong dan Liong-li di dalam sarang mereka. Kalau dua orang
musuh besar itu sudah berhadapan dengan mereka, maka
mereka yakin akan mampu mengalahkan sepasang musuh besar
itu. Anak buah mereka hanya akan menghadapi para pembantu
Pek-liong dan Liong-li. Pek-bwe Coa-ong dan dua orang rekannya juga memperhitungkan kemungkinan berulangnya serangan anak
panah berapi. Akan tetapi mereka tidak khawatir. Andaikata
sarang mereka terbakar seluruhnya, bangunan itu hanya
bangunan darurat. Mereka rela kehilangan semua bangunan itu


Dendam Sembilan Iblis Tua Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

asalkan mereka dapat menangkap atau membunuh Liong-li dan
Pek-Iiong. Penjagaan diatur dan diam-diam Pek-bwe Coa-ong sudah
memasang barisan pendam di luar sarang, untuk menyerang
anak buah Pek-liong dan Liong-li kalau mereka menyerang
dengan anak panah berapi atau kalau muncul di sekitar sarang
itu. Ini juga merupakan pancingan seolah-olah anak buah mereka
meninggalkan sarang sehingga mendorong dua orang musuh itu
untuk berani memasuki sarang, apa lagi kalau empat orang
tawanan itu mereka biarkan berada di luar kamar tahanan.
262 Song Tek Hin dan isterinya, Su Hong Ing merasa lega ketika
mereka dibebaskan dari ikatan kaki tangan mereka dan digiring
oleh belasan orang pengawal keluar dari kamar tahanan.
Semalam suami isteri ini mendengar keributan yang timbul
karena kebakaran di sana sini.
Mereka mendengar teriakan-teriakan kebakaran dan hati mereka
merasa gembira bercampur tegang dan cemas. Gembira karena
mereka dapat menduga bahwa tentu Pek-liong dan Liong-li sudah
datang untuk menolong mereka, akan tetapi juga tegang dan
cemas karena mereka khawatir sekali sepasang pendekar yang
mereka hormati dan sayangi itu akan terperangkap oleh pihak
musuh yang licik, cerdik dan lihai.
Ketika suami isteri ini tiba di luar, di bawah sinar lampu gantung
yang mendatangkan cahaya remang-remang, mereka melihat
betapa kakak beradik Kam juga sudah berada di luar. Kam Sun
Ting dan adiknya, Kam Cian Li, tidak lagi dibelenggu dan mereka
berdua duduk di atas bangku di ruangan depan bangunan yang
tadinya menjadi tempat tahanan, nampak jelas dari luar karena di
ruangan itu dipasangi lampu-lampu gantung yang terang. Di
tempat itu nampak pula banyak penjaga yang mengepung.
Ketika suami isteri itu disuruh duduk pula di ruangan itu,
merekapun duduk dan hanya saling pandang dengan kakak
beradik itu. Agaknya mereka berempat memang sengaja
dikumpulkan di situ dan mereka dapat menduga bahwa hal ini
dilakukan oleh para pemimpin gerombolan agar mereka dapat
menarik perhatian Pek-liong dan Liong-li untuk masuk ke tempat
itu dan berusaha menolong mereka. Diam-diam mereka merasa
263 tidak enak dan menyesal, merasa seperti menjadi umpan yang
akan mencelakakan dua orang pendekar yang mereka sayang
dan hormati. "Kita dijadikan umpan di tempat terbuka ini," bisik Song Tek Hin
kepada isterinya dan kakak beradik Kam ketika mereka duduk di
atas bangku mengelilingi sebuah meja. Tidak ada penjaga yang
mendekati mereka. Para penjaga itu mengepung rumah tahanan
dengan ketat. "Song-toako, aku merasa tidak enak sekali kalau sampai Pekliong-eng dan Hek-liong-li terjebak dan celaka karena hendak
menolong kita," kata Kam Sun Ting yang telah akrab dengan
suami isteri itu selama mereka berempat menjadi tawanan di situ.
"Bagaimana kalau kita melarikan diri saja sebelum mereka
berdua terjebak di sini?" kata Kam Cian Li.
"Bagaimana caranya?" Su Hong Ing, isteri Song Tek Hin,
bertanya, memandang ke sekeliling di mana terdapat sedikitnya
tigapuluh orang yang nampak melakukan pengepungan. "Tempat
ini terkepung rapat!"
"Tidak perduli, kita terjang saja keluar dan melawan mati-matian"
kata Kam Cian Li dengan nekat. "Apa lagi enci Hong Ing dan
Song-toako memiliki ilmu silat yang tangguh. Takut apa?"
Song Tek Hin tersenyum. "Kita tentu saja tidak takut. Akan tetapi,
berusaha melarikan diri seperti itu hanya membuang tenaga siasia belaka. Selain kita dikepung oleh puluhan orang anak buah
gerombolan, juga kalau seorang saja di antara tiga datuk itu
264 keluar, kita tidak akan mampu berkutik. Mereka itu bukan lawan
kita." "Aku tidak perduli," kata Kam Cian Li nekat. "Lebih baik aku mati
dikeroyok dari pada harus melihat Pek-liong-eng dan Hek-liong-li
terjebak dan celaka karena hendak menolongku di sini!"
"Li-moi, tidak bijaksana kalau kita mati konyol begitu saja. Kalau
kita melakukan kenekatan berarti kita membunuh diri. Dan kalau
sampai terjadi kita mati konyol begitu, bukankah Pek-liong-eng
dan Hek-liong-li akan merasa kecewa dan menyesal sekali"
Mereka bersusah-payah berusaha menolong kita, bahkan
kemarin telah ada dua orang pembantu Hek-liong-li yang tewas
dalam usaha mereka menolong kita, dan kita malah membunuh
diri!" kata Kam Sun Ting menegur adiknya yang kini tak dapat
menahan mengalirnya air mata dari kedua matanya.
"Akan tetapi, koko! Bagaimana mungkin aku berdiam saja di sini
melihat mereka berdua terjebak dan mendapat bencana karena
aku?" adiknya membantah.
"Tentu saja kita harus berusaha, akan tetapi usaha itu bukan
bunuh diri. Kita harus berusaha melarikan diri, akan tetapi
menggunakan cara yang tepat dan menanti kesempatan yang
baik, bukan asal nekat saja. Aku yakin bahwa saat ini Pek-liongeng dan Hek-liong-li juga sedang menanti kesempatan untuk
menyerbu ke sini. Nah, kalau terjadi keributan, kalau mereka
menyerbu ke sini kita harus menggunakan kesempatan itu untuk
lari ke arah sungai yang mengalir di bagian barat sarang
gerombolan ini." 265 "Ke arah sungai" Kenapa ke sungai dan bukan berusaha keluar
dari kepungan dan dari sarang gerombolan ini?" tanya Song Tek
Hin heran. "Kalau kita berempat mengamuk, sedangkan tiga
orang datuk sibuk menyambut Pek-liong-eng dan Hek-liong-li,
kiraku kita berempat akan mampu membobolkan pengepungan
mereka. Tentu saja diharapkan keempat orang Thai-san Ngo-kwi
juga tidak menghalangi kita."
"Begini, Song-toako," kata Kam Sun Ting. "Kurasa, akan percuma
saja kalau kita nekat melawan mereka. Engkau dan isterimu saja
yang memiliki ilmu silat tinggi masih tidak mampu menandingi
mereka, apa lagi kami berdua yang hanya mengerti sedikit ilmu
silat. Andaikata kita bisa lolos dari sarang mereka ini, mereka
akan melakukan pengejaran dan kita yang belum mengenal
daerah bukit ini tentu akan tersesat dan tentu akan tertawan
kembali. Karena itu, aku mengajurkan agar kita lari ke sungai
saja." "Akan tetapi mau apa kita ke sungai" Apakah kita dapat lolos dari
pengejaran mereka kalau kita lari ke sungai?" tanya Su Hong Ing
penasaran. "Begini, enci Hong Ing, setelah koko menyatakan pendapatnya,
baru aku tahu bahwa memang sungai itulah satu-satunya jalan
bagi kita untuk menyelamatkan diri dan tidak menyeret Pek-liongeng dan Hek-liong-li ke dalam bahaya."
"Sebetulnya, apa yang kalian maksudkan?" tanya Su Hong Ing.
"Apakah kalian sudah menyediakan perahu di sungai itu untuk
kita pakai melarikan diri?" tanya pula suaminya.
266 Kam Sun Ting menoleh ke kanan kiri dan setelah merasa yakin
bahwa tidak ada orang lain kecuali mereka berempat yang dapat
mendengarkan percakapan mereka yang dilakukan dengan suara
lirih, diapun memberi penjelasan.
"Melarikan diri dengan perahu akan percuma. Akan tetapi kami
berdua memiliki keahlian di dalam air. Kami dahulu bekerja
sebagai penyelam-penyelam dan begitu kami berdua dapat terjun
ke dalam sungai, mereka pasti tidak akan menemukan kami lagi.
Dengan cara menyelam kami dapat melarikan diri. Karena itu,
kalau keadaan di sini kacau seperti kemarin malam misalnya, dan
semua orang sibuk dan panik menghadapi serbuan Pek-liong-eng
dan Hek-liong-li, kita berempat dapat melarikan diri ke sungai dan
selanjutnya kita terjun ke air dan menghilang."
"Akan tetapi aku tidak dapat renang!" kata Cu Hong Ing.
"Dan akupun hanya dapat berenang biasa saja!" sambung
suaminya. "Kami dapat membantu, enci Hong Ing," kata Kam Cian Li. "kalau
aku menggunakan tali ikat pinggang dan engkau memegangi tali
itu, lalu menahan napas, maka aku akan menarikmu dan
membantumu melarikan diri sambil menyelam. Dan koko akan
membantu Song-toako."
Suami isteri itu saling pandang dan mengangguk-angguk.
Agaknya memang jalan itu yang terbaik. Kalau hanya bertahan
napas, mereka tentu kuat karena mereka sudah mempelajari
banyak latihan pernapasan untuk memperkuat diri.
267 Melihat empat orang tawanan itu bicara berbisik-bisik, Ngo-kwi,
orang ke lima dari Thai- san Ngo-kwi, berjalan santai
menghampiri mereka dan berjalan-jalan dekat mereka. Matanya
yang galak itu mengerling secara kurang ajar kepada Su Hong
Ing dan Kam Cian Li, mulutnya tersenyum mengejek.
Dua orang wanita itu membuang muka, tidak mau memandang.
Mereka maklum bahwa kalau saja mereka tidak diperlukan oleh
ketiga datuk sebagai umpan memancing munculnya Pek-liongeng dan Hek-liong-li, maka tidak ada harapan mereka akan
selamat di tangan seorang tokoh sesat seperti Thai-san Ngo-kwi.
Pandang mata Ngo-kwi itu saja sudah jelas menunjukkan
wataknya yang mesum. Melihat empat orang tawanan itu kini
menghentikan percakapan mereka, Ngo-kwi pergi menjauh lagi
karena dia tidak melihat sesuatu yang mencurigakan.
Malam semakin larut. Bulan naik semakin tinggi, akan tetapi langit
tidak sebersih tadi. Awan berarak datang dari barat menghampiri
bulan. Walaupun hanya awan tipis dan putih, namun cukup
mengganggu kecerahan sinar bulan. Udara semakin dingin dan
kerik jengkerik dan belalang semakin nyaring, namun tidak
mengganggu keheningan malam itu. Semua suara itu bahkan
menjadi bagian dari keheningan. Wajar. Wajar itu hening.
Empat orang tawanan itu tidak bercakap-cakap lagi. Mereka
duduk di bangku dengan punggung tegak lurus dan santai,
bernapas dalam-dalam menghimpun tenaga. Sikap ini
mengendurkan ketegangan yang menghamburkan tenaga karena
mereka menanti datangnya detik-detik yang mereka harapkan.
268 Sesuai dengan rencana mereka, Pek-liong dan Liong-li
mempergunakan kepandaian mereka untuk menyusup mendekati
sarang gerombolan. Mereka berpencar, mengambil jalan masingmasing dari arah kanan dan kiri. Semua anak buah mereka sudah
memasang posisi dengan perlengkapan anak panah, kain dan
minyak. Mereka hanya menanti tanda dari kedua orang pendekar
itu. Pek-liong merangkak di balik semak belukar, terus menghampiri
sarang. Akan tetapi, terpaksa dia berhenti ketika melihat bahwa di
luar sarang terdapat banyak anak buah gerombolan yang
melakukan penjagaan sambil bersembunyi. Barisan pendam ini
memang sudah dia perhitungkan dengan Liong-li, maka dia lalu
meloncat dengan hati-hati ke atas pohon. Dia maklum bahwa
Liong-li tentu melakukan hal yang sama.
Dari atas pohon yang tinggi, terlindung daun-daun yang lebat,
Pek-liong mengintai ke balik pagar tinggi. Dia tidak melihat
banyak penjaga di dalam sarang itu, hanya beberapa orang saja
yang nampak berlalu-lalang di antara bangunan-bangunan.
Kemudian, dia melihat empat orang tawanan itu duduk
mengelilingi meja. Mereka duduk dengan tubuh tegak dan
punggung lurus, nampak santai dan diam-diam dia merasa
girang. Mereka itu telah bersiap-siaga, pikirnya. Agaknya mereka
sudah menduga bahwa dia dan Liong-li pasti akan turun tangan
malam ini! Pek-liong tersenyum.
Muncul kenangan-kenangan manis ketika dia memandang ke
arah empat orang itu. Sahabat-sahabatnya yang baik! Dan
269 sekarang mereka menderita karena dia dan Liong-li. Kalau
mereka bukan sahabatnya, tidak mungkin tiga orang datuk
mengganggu mereka. Akan tetapi Pek-liong mengerutkan alisnya.
Mereka itu dibiarkan berada di luar, nampak tak terjaga.
Jelas ini merupakan umpan! Nampaknya saja sarang itu kosong
dan lemah penjagaannya, akan tetapi di luar sarang terdapat
banyak sekali anak buah gerombolan yang memasang barisan
pendam. Agaknya pihak lawan menggunakan siasat mengosongkan sarang dan bersembunyi di luar, memancing
harimau memasuki sarang! Kalau dia dan Liong-li sudah masuk
ke sarang itu, puluhan bahkan mungkin ratusan orang anak buah
gerombolan itu agaknya tentu akan mengepung tempat itu dan
tidak ada jalan keluar lagi!
Pek-liong tersenyum dan dia tahu bahwa saat itu Liong-li tentu
juga tersenyum mentertawakan siasat pihak lawan. Kalau hanya
dikepung anak buah gerombolan, apa sukarnya bagi mereka
untuk lolos" Apa lagi di sana ada sungai, dan ada kakak beradik
Kam! Dia dan Liong-li akan mengelabui mereka.
Pek-liong sudah mengambil busur yang tergantung di
punggungnya. Pada saat itu nampak sinar meluncur dari arah
kirinya, menuju ke dalam sarang gerombolan. Pek-liong tahu
bahwa itu adalah isyarat yang diberikan Liong-li kepada para
pembantunya. Benar saja, luncuran anak panah berapi itu segera
disusul oleh banyak sekali anak panah berapi yang beterbangan
menuju ke sarang gerombolan.
270 Pek-liong cepat meluncurkan isyaratnya dan kini dari arah kanan,
beterbangan sinar-sinar dari anak panah berapi menyerang
sarang itu. Melihat ini, empat orang tawanan itu menjadi tegang. Mereka
mengharapkan para anggauta gerombolan menjadi panik dan
beramai-ramai sibuk memadamkan ke bakaran seperti yang
pernah terjadi. Akan tetapi mereka menjadi heran dan bingung
karena gerombolan itu kelihatan santai saja. Bahkan tidak
nampak Thai-san Ngo-kwi memimpin anak buah mereka untuk
memadamkan api yang sudah mulai membakar di sana sini.
"Ini sebuah perangkap, kita jangan ceroboh dan tergesa-gesa,"
kata Song Tek Hin yang menjadi curiga.
Sementara itu, para anak buah gerombolan yang memasang
baris pendam di luar sarang, sesuai dengan rencana tiga orang
datuk, begitu melihat hujan anak panah berapi, segera keluar dari
tempat persembunyian mereka dan menyerang ka arah dari
mana datangnya anak-anak panah itu.
Pek-liong dan Liong-li dapat memasuki sarang itu dengan mudah.
Mereka berdua merobohkan beberapa orang yang bertemu
dengan mereka, dan keduanya kini bergabung, terus maju
menghampiri empat orang tawanan yang tadi mereka lihat dari
atas pohon. Song Tek Hin, Su Hong Ing, Kam Sun Ting dan Kam Cian Li
menjadi girang bukan main melihat munculnya Pek-liong dan
Liong-li, akan tetapi mereka juga khawatir karena pada saat itu,
271

Dendam Sembilan Iblis Tua Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

belasan orang penjaga yang tadinya bersembunyi di sekitar
rumah itu, serentak datang mengepung mereka.
"Serbu!" Song Tek Hin memberi aba-aba kepada yang lain dan
empat orang itupun mengangkat bangku masing-masing dan
menerjang ke arah anggauta gerombolan yang mengepung dan
agaknya menjaga mereka agar jangan melarikan diri. Para
penjaga itu menggerakkan senjata untuk melawan, akan tetapi
sebentar saja, empat orang tawanan berhasil merobohkan empat
orang anak buah gerombolan dan merampas empat batang
pedang. Dengan senjata rampasan ini di tangan, mereka siap
untuk mengamuk. Tiba-tiba terdengar suara tawa yang menyeramkan dan empat
orang tawanan itu terkejut bukan main karena suara itu
mengandung getaran yang membuat mereka menggigil! Bahkan
para, anak buah gerombolan juga menggigil dan untuk sementara
pengeroyokan itu dihentikan.
"Ha-ha-ha, si keparat Pek-liong-eng dan Hek-liong-li!" kata Pekbwe Coa-ong (Raja Ular Ekor Putih) Gan Ki yang tertawa tadi.
"Akhirnya kami dapat berhadapan dengan kalian berdua.
Bersiaplah untuk menghadap para rekan kami yang kalian bunuh
untuk membayar hutang kalian di akhirat!"
Melihat betapa tiga orang datuk besar musuh mereka itu telah
berdiri di situ, Liong-li bertolak pinggang dan berkata dengan
suara mengejek. "Hemm, sejak orang pertama sampai yang terakhir, Kiu Lo-mo
terkenal sebagai datuk sesat yang tak tahu malu, suka
272 menggunakan kecurangan dan bersikap pengecut. Pek-bwe Coaong, Kim Pit Siu-cai dan Ang I Sian-li! Kalau memang kalian
bertiga ingin mampus di tangan kami berdua, kenapa tidak
langsung saja datang dan menantang sehingga kita dapat
bertanding sebagai orang gagah" Kalian menculik para sahabat
kami untuk memancing kami, apakah itu perbuatan orang
gagah?" Terdengar suara tawa terkekeh genit. "Hi-hi-hik, bicaramu besar
sekali, menunjukkan kesombonganmu, Hek-liong-li. Sekarang
kami berhadapan dengan kalian, boleh kita bertanding dan kalian
akan mati di tangan kami. Adapun empat orang ini, karena
mereka adalah sahabat-sahabatmu, mereka akan mampus pula,
hik-hik!" Pek-bwe Coa-ong memberi isyarat kepada anak buahnya yang
kini sudah berkumpul di situ, sebanyak duapuluh orang lebih.
"Tangkap mereka berempat!"
Dan dia sendiri bersama dua orang rekannya sudah mengepung
Pek-liong dan Liong-li. Kim Pit Siu-cai (Sastrawan Pena Emas)
sudah mencabut senjatanya yang istimewa, yaitu sebuah kipas
lebar dan sebatang pena bergagang emas. Senjata inilah yang
memberinya nama besar di dunia persilatan.
Ang I Sian-li juga mencabut sepasang pedangnya. Tanpa siangkiam (pedang pasangan) itupun iblis betina ini sudah lihai sekali
dan tingkat kepandaiannya hanya kalah sedikit dibandingkan
tingkat kedua orang rekannya. Di samping ilmu silatnya tinggi dan
tenaga sin-kangnya kuat, wanita ini juga mempelajari ilmu-ilmu
273 sesat, ilmu hitam yang diperkuat oleh hasil kekejiannya yang
mengerikan, yaitu suka menghisap habis darah bayi.
Orang tertua di antara mereka bertiga, yaitu Pek-bwe Coan-ong,
memegang sebatang tongkat ular yang berekor putih. Tongkat
Pek-bwe-coa (ular berekor putih) ini yang membuat dia dijuluki
Pek-bwe Coa-ong dan selain dia paling lihai dalam hal ilmu silat
dan paling kuat tenaganya, juga dia memiliki ilmu memanggil dan
menguasai ular, seorang pawang ular yang amat lihai dan
berbahaya. Karena mereka datang dengan tujuan terutama sekali untuk
menolong empat orang tawanan itu, maka Pek-liong dan Liong-li
segera berloncatan mendekati mereka berempat yang sedang
mengamuk. Begitu mereka menggerakkan-tangan, nampak sinar
hitam Hek-liong-kiam dan sinar putih Pek-liong-kiam dan robohlan
empat orang pengeroyok. Empat orang tawanan itu bertambah
semangat mereka, apalagi ketika Liong-li berkata lirih, "Sun Ting,
ajak mereka lari ke sungai!"
Diam-diam Kam Sun Ting kagum bukan main. Kiranya, begitu
datang ke tempat itu, Hek-liong-li telah melihat pula kemungkinan
mereka meloloskan diri lewat air!
Akan tetapi kini tiga orang datuk itu menerjang maju dan karena
mereka maklum bahwa empat orang tawanan itu bukanlah lawan
tiga orang sakti itu, Pek-liong dan Liong-li cepat menggerakkan
pedang menyambut mereka. Mereka berdua juga maklum betapa
lihainya tiga orang lawan itu.
274 Apa lagi di situ masih terdapat banyak sekali anak buah para
datuk itu, maka begitu menggerakkan pedang, tanpa berunding
lagi, mereka keduanya sudah memainkan Sin-liong-kiam-sut (Ilmu
Pedang Naga Sakti), yaitu ilmu pedang yang dirangkai oleh
mereka berdua. Nampaklah gulungan sinar hitam dan putih saling
belit dan saling tunjang, saling melindungi dan dari gulungan
kedua sinar ini mencuat sinar yang menyerang tiga orang
lawannya. Namun, sekali ini sepasang pendekar itu berhadapan dengan tiga
orang lawan yang amat tangguh. Tingkat kepandaian tiga orang
ini masing-masing sudah seimbang dengan tingkat Pek-liong dan
Liong-li, maka kini mereka berdua dikeroyok tiga, sungguh
merupakan lawan yang amat berat.
Apalagi mereka bermaksud untuk menolong empat orang
sahabat mereka, tentu saja mereka tidak dapat mencurahkan
seluruh perhatian sepenuhnya untuk melawan tiga orang datuk.
Maka, mereka menggabungkan sinar pedang mereka,
membentuk benteng pertahanan untuk melindungi diri dari
desakan tiga orang lawan sambil kadang memperhatikan
keadaan empat orang sahabat yang sedang berusaha melarikan
diri itu. Dipimpin oleh Song Tek Hin yang paling lihai di antara mereka,
empat orang tawanan itu mengamuk dengan pedang rampasan.
Song Tek Hin adalah seorang jago pedang yang tingkat
kepandaiannya sedikit lebih tinggi dari pada isterinya, Su Hong
Ing, murid Bu-tong-pai yang lihai. Adapun kakak beradik Kam
hanya memiliki tubuh yang kuat dan gesit, tidak memiliki ilmu silat
275 tinggi akan tetapi kedua orang kakak beradik yang pernah
menjadi kekasih Pek-liong dan Liong-li ini pernah menerima
petunjuk ilmu silat dari kedua orang pendekar itu.
Dengan hati yang penuh keberanian dan semangat karena
hadirnya Pek-liong dan Liong-li, empat orang itu berhasil
membobolkan kepungan dan mereka membela diri sambil menuju
ke sungai. Melihat ini, Pek-liong dan Liong-li juga bersilat membela diri saling
melindungi sambil mundur mengikuti empat orang sahabat
mereka. Mengerti bahwa empat orang tawanan dan dua orang
pendekar itu menuju ke sungai, tiga orang datuk itu diam-diam
mentertawakan mereka. Bagaimana mungkin mereka akan dapat melarikan diri kalau
menuju ke sungai" Mereka tidak mempunyai perahu dan
andaikata mempunyai perahu sekalipun, tentu perahu itu akan
terhadang perahu-perahu anak buah mereka, baik di anak sungai
itu maupun di Sungai Kuning, di mana air sungai itu bergabung.
Maka, mereka tidak menghalangi, bahkan menggiring enam
orang itu agar sampai di tepi sungai dan mendapatkan jalan
buntu Mereka sudah merasa yakin bahwa enam orang itu tidak akan
mampu lolos. Pek-bwe Coa-ong yakin akan hal ini. Bahkan
andaikata terjadi suatu keajaiban sehingga mereka dapat lolos
dia masih memegang suatu kekuasaan yang dapat dia
pergunakan untuk memaksa Pek-liong dan Liong-li datang
membayar hutang kepada Kiu Lo-mo!
276 Sementara itu, keempat orang Thai-san Ngo-kwi memimpin anak
buah mereka yang banyak sekali jumlahnya, melakukan
penyerbuan ke arah enam orang pembantu Pek-liong dan tujuh
orang pembantu Liong-li yang melakukan serangan dengan anak
panah berapi dari sisi kanan dan kiri ke arah sarang gerombolan.
Serangan yang dilakukan gerombolan penjahat itu begitu tiba-tiba
datangnya sehingga mengejutkan para pembantu kedua
pendekar itu. Namun dengan gigih mereka melakukan
perlawanan. Bagaimanapun juga, baik enam orang pembantu Pek-liong
maupun tujuh orang pembantu Liong-li, tak lama kemudian
terdesak hebat. Terutama sekali empat orang Thai-san Ngo-kwi
merupakan lawan yang teramat berat bagi mereka sedangkan
anak buah merekapun banyak. Thai-kwi dan Ji-kwi memimpin
tigapuluh orang anak buah mengeroyok enam orang pembantu
Pek-liong, sedangkan Su-kwi dan Ngo-kwi memimpin tigapuluh
orang lebih mengeroyok tujuh orang pembantu Liong-li!
Para pembantu sepasang pendekar itu mengamuk dan melawan
mati-matian. Banyak juga anak buah gerombolan yang tewas
oleh amukan mereka, akan tetapi akhirnya mereka sendiri tak
mampu menahan dan di antara enam orang pembantu Pek-liong,
tinggal dua orang yang berhasil melarikan diri, yang empat orang
roboh dan tewas di bawah hujan senjata pengeroyok. Demikian
pula para pembantu Liong-li, hanya dua orang yang dapat lolos
dengan luka-luka ringan, yang lima orang lagi tewas. Hanya Anghwa dan Pek-hwa yang dapat lolos.
277 Biarpun anak buah mereka sendiri banyak yang tewas, namun
empat orang dari Thai-san Ngo-kwi membawa anak buah mereka
pulang ke sarang dengan tawa kemenangan dan ketika mereka
tiba di sarang, mereka melihat betapa Pek-liong dan Liong-li
bersama empat orang tawanan itu mengamuk, dikeroyok dan
didesak oleh tiga orang datuk. Enam orang itu telah terdesak
mundur sampai ke tepi sungai!
Melihat ini, tiga orang datuk tertawa-tawa. Enam orang itu telah
terkepung dan tidak dapat mundur lagi karena di belakang
mereka terdapat sungai yang cukup lebar dan dalam. Di situ tidak
ada perahu, sedangkan anak buah mereka sudah siap dengan
perahu-perahu yang disembunyikan di darat.
"Ha-ha-ha, Pek-liong dan Liong-li. Kalian tidak dapat lolos dari
tangan kami sekarang!" kata Pek-bwe Coa-ong yang semakin
gembira melihat empat orang dari Thai-san Ngo-kwi sudah
kembali sehingga keadaan mereka semakin kuat. Kepada dua
orang rekannya dia berkata, "Kita tangkap mereka hidup-hidup!"
Tentu saja dia dan dua orang rekannya ingin menangkap dua
orang musuh besar itu dalam keadaan hidup agar mereka dapat
membalas dendam dan melampiaskan kebencian mereka dengan
menyiksa dulu musuh mereka sepuas hati sebelum membunuh
mereka! Kebencian membuat manusia manapun juga menjadi
buas. Hati yang panas dan diracuni dendam kebencian baru akan
merasa puas dan senang melihat orang yang dibencinya tersiksa!
Melihat munculnya Thai-san Ngo-kwi dan anak buah mereka,
Pek-liong dan Liong-li tahu bahwa kalau dilanjutkan perkelahian
278 itu, mereka berenam akan kalah atau setidaknya, empat orang
sahabat mereka akan dapat tertawan kembali. Liong-li segera
berseru. "Semua ke air!"
Kedua orang pendekar itu melihat betapa Kam Cian Li sudah
menggandeng tangan Su Hong Ing dan menariknya loncat ke
dalam sungai, demikian pula Kam Sun Ting menarik Song Tek
Hin meloncat ke air. Mereka berdua juga cepat meloncat dan
kembali air di permukaan sungai itu memercik ketika tertimpa
tubuh dua orang pendekar itu.
"Tai-hiap, ke sini dan pegang ujung tali ini!" Kam Sun Ting
berseru dan Pek-liong gembira dan kagum. Kiranya Kam Sun
Ting sudah mempersiapkan diri!
"Sini Li-hiap, dan pegang ujung taliku!" kata pula Kam Cian Li
yang berenang sambil membantu Su Hong Ing.
Setelah sepasang pendekar itu berenang menghampiri dan
mereka menangkap ujung tali yang dililitkan di pinggang kakak
beradik ahli selam itu, Kam Sun Ting dan adiknya berseru. "Ambil
napas sebanyaknya dan tahan napas!"
Seruan ini ditujukan kepada Song Tek Hin dan Su Hong Ing
karena Pek-liong dan Liong-li sudah tahu apa yang harus mereka
lakukan. Setelah mereka semua menghirup udara sebanyaknya
memenuhi paru-paru mereka dan menahan napas, kakak beradik
itu menyelam dan lenyap dari permukaan air, dan bersama
dengan mereka, lenyap pula tubuh suami isteri itu dan sepasang
pendekar. 279 Tadinya tiga orang datuk itu tertawa-tawa melihat enam orang
buronan itu terjun ke dalam sungai. "Tangkap mereka hiduphidup, gunakan perahu!" kata Pek-bwe Coa-ong yang merasa
yakin bahwa mereka tidak akan mungkin.berenang jauh.
Akan tetapi, begitu dia melihat enam orang itu lenyap, dia menjadi
terkejut. Demikian pula dua orang rekannya, juga Thai-san Ngokwi dan para anak buah mereka menjadi panik.
"Kejar mereka!"
"Cari......!!" Mereka yang merasa pandai renang segera melompat ke air.
Akan tetapi tidak banyak di antara mereka yang pandai
menyelam. Empat orang yang merasa memiliki keahlian
menyelam, segera menukik dan menyelam, akan tetapi sebentar
saja empat orang ini sudah tersembul lagi dalam keadaan tak
bernyawa! Tiga orang datuk menjadi terkejut dan mereka
berloncatan ke perahu-perahu yang sudah ditarik keluar dari balik
semak-semak dan mereka bertiga memimpin sendiri pengejaran
itu, menggunakan perahu-perahu.
Akan tetapi, amat sukar menemukan enam orang buronan yang
lenyap dari permukaan air itu. Awan yang berarak semakin tebal
sehingga cahaya bulan menjadi redup, dan gerakan banyak
perahu itu membuat permukaan air berombak, sehingga biar pun
kadang-kadang kepala para pelarian itu menonjol keluar sebentar
untuk berganti udara dalam pernapasan mereka lalu menyelam
lagi, tidak sempat diketahui mereka yang melakukan pencarian.
280 Tiga orang datuk itu menjadi penasaran sekali. Tak mungkin
enam orang itu lenyap begitu saja, kecuali kalau mereka itu mati
tenggelam. Akan tetapi, melihat betapa empat orang anak buah
yang menyelam tadi tewas terbunuh, membuktikan bahwa enam
orang pelarian itu masih hidup. Mereka sama sekali tidak
memperhitungkan bahwa mereka berenam mampu meloloskan
diri dengan cara menyelam dalam air sungai.
Sampai pagi mereka mencari-cari, namun tidak berhasil karena
saat itu, enam orang pelarian telah pergi jauh, bahkan telah
mengurus jenazah para anak buah Pek-liong dan Liong-li dengan
sedih. Hek-liong-li, wanita berhati baja yang gagah perkasa dan hampir
tak pernah bersedih, pagi hari itu nampak menangis terisak-isak
di depan makam tujuh orang pembantunya. Dua buah makam
baru kemarin dulu ditimbun, kini ditambah lima buah makam para


Dendam Sembilan Iblis Tua Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pembantunya yang tewas diserbu Su-kwi dan Ngo-kwi bersama
anak buah mereka. Pek- liong hanya termenung, juga penuh
kedukaan di depan makam empat orang pembantunya yang
setia. Kini tinggal dua orang pembantu Liong-li dan dua orang pula
pembantu Pek-liong. Mereka juga berkabung. Bahkan Song Tek
Hin dan Su Hong Ing, Kam Sun Ting dan Kam Cian Li, ikut pula
bersembahyang dan berkabung.
"Aihh, semua ini adalah kesalahan kami berempat," kata Song
Tek Hin dengan suara menyesal. "Kalau kami berempat tidak
menjadi tawanan dan tidak mau menulis surat kepada Tai-hiap
281 dan Li-hiap, tentu tidak akan terjatuh begini banyak korban.
Mereka ini tewas karena kami berempat."
"Saudara Song Tek Hin jangan bicara begitu," kata Pek-liong
sambil mengerutkan alisnya. "Mati hidup ditentukan oleh Tuhan,
bukan oleh manusia! Kalau dicari sebab sebabnya, amatlah
banyak dan berantai amat panjang. Kalau dianggap bahwa
kematian mereka disebabkan kalian berempat ditawan, maka
kalian berempat ditawan karena kalian menjadi sahabat-sahabat
baik kami berdua! "Tidak ada yang bersalah dalam hal ini, yang bersalah adalah Kiu
Lo-mo karena mereka adalah manusia-manusia sesat yang suka
melakukan perbuatan jahat. Kita adalah orang-orang yang
menentang kejahatan, maka terjadi bentrokan antara mereka dan
kita. Kalau jatuh korban dalam bentrokan ini, hal itu sudah
sewajarnya." "Pek-liong berkata benar," kata Liong-li yang telah dapat
mendinginkan hatinya dan tenang kembali walaupun kedua
pipinya masih basah. "Tujuh orang pembantuku dan empat orang
pembantunya tewas sebagai orang-orang gagah, hal itu tidak
perlu terlalu disedihkan. Aku akan membalaskan kematian
mereka! Kiu Lo-mo tinggal tiga orang lagi dan aku bersama Pekliong pasti akan dapat membasmi mereka! Kalian berempat
sebaiknya cepat pulang saja agar jangan terlibat, dan bersikaplah
hati-hati menjaga diri."
Pek-liong mengangguk-angguk. "Memang sebaiknya memenuhi
permintaan Liong-li. Kalian berempat pulanglah, dan juga masing282
masing pembantu kami sebaiknya mengundurkan diri agar jangan
jatuh korban lebih banyak lagi. Aku dan Liong-li berdua yang akan
menghancurkan mereka, tanpa membahayakan keselamatan
orang-orang yang menjadi sahabat baik kami."
"Li-hiap, kami berdua tidak mau meninggalkan li-hiap! Apa lagi
tujuh orang rekan kami telah tewas dan kami disuruh
mengundurkan diri" Tidak, li-hiap, kami akan membantu li-hiap
dengan mempertaruhkan nyawa ini, untuk menuntut balas atas
kematian tujuh orang rekan kami!" kata Ang-hwa dengan suara
masih mengandung tangis. "Kamipun tidak mau meninggalkan tai-hiap, lebih baik kami mati
pula di tangan para penjahat dari pada harus lari setelah empat
orang rekan kami tewas," kata dua orang pembantu Pek-liong.
"Kami juga tidak mau pulang, kami ingin membantu tai-hiap dan
li-hiap!" kata kakak beradik Kam dengan suara hampir berbareng.
"Demikian pula kami. Kami akan membantu sekuat tenaga," kata
Song Tek Hin dan isterinya mengangguk, membenarkan
suaminya. Pek-liong dan Liong-li saling pandang dan merasa terharu. Tidak
ada yang lebih indah dari pada persahabatan yang tulus ikhlas
dan setia. Akan tetapi mereka juga merasa khawatir sekali. Pihak
musuh terlampau kuat dan amat berbahaya bagi empat orang
sahabat dan empat orang pembantu mereka itu kalau mereka
membantu. 283 Mereka sudah kehilangan sebelas orang pembantu. Mereka tidak
ingin melihat ada korban lagi. Pula, kalau mereka berdua dibantu,
menghadapi lawan yang amat kuat dan berbahaya, berarti
mereka berdua bahkan harus melindungi para pembantunya itu
sehingga mereka tidak dapat bergerak dengan leluasa. Untuk
menghadapi para anak buah tiga orang datuk itu tentu saja para
pembantu ini masih menguntungkan, akan tetapi kalau
berhadapan dengan tiga orang datuk itu atau Thai-san Ngo-kwi,
mereka terancam bahaya maut.
Selagi dua orang pendekar itu meragu, tiba-tiba terdengar derap
kaki kuda dan seorang penunggang kuda mendaki bukit itu. Pekliong dan Liong-li bangkit dan memandang dengan penuh
kewaspadaan. Seorang laki-laki berusia tigapuluhan tahun, bertubuh tinggi
besar, meloncat turun dari atas punggung kudanya, membawa
sebuah bungkusan dan menghampiri Pek-liong dan Liong-li
dengan sikap gentar. "Siapa engkau" Mau apa?" tanya Pek-liong singkat.
Orang itu membungkuk. "Saya adalah utusan pimpinan kami Pekbwe Coa-ong untuk menyerahkan buntalan ini kepada Pek-liongeng dan Hek-liong-li."
"Aku Pek-liong-eng, berikan kepadaku!" kata Pek-liong.
Orang itu menyerahkan buntalan kain kuning kepada Pek-liong,
kemudian dia membalikkan tubuh hendak pergi.
Pecut Sakti Bajrakirana 2 Bara Dendam Menuntut Balas Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M Patung Emas Kaki Tunggal 15
^