Pencarian

Lembah Merpati 2

Lembah Merpati Karya Chung Sin Bagian 2


Sejenak berkenalan dan berpisahan dengan si kakek nelayan yang jenaka, keadaan yang menyedihkan dari si nenek yang terbunuh, Hoe Tjoe yang sedang marah-marah manja. Satu persatu kejadian-kejadian itu merupakan kenangan yang tak mudah dilupakan.
Bukan main rasa sedih hatinya. Suatu keluarga yang tenang dan tentram, serta penuh kerukunan, karena disebabkan adanya dia seorang, mereka telah mengalami kejadian yang menyedihkan. Jika diusut dari asal mulanya, dialah yang menyebabkan terjadinya kejadian menyedihkan itu.
Mendadak, telinganya seperti menangkap suara tangisan yang sesenggukan seolah-olah suara ratapan: "Adik San, adik San, mengapa kau tidak menolongku......"
Dia lompat bangun, dia marah, tetapi dia harus duduk kembali dengan lesu. Kegusaran dan kekuatiran tidak ada faedahnya. Tidak ada seorangpun yang mengetahui, di mana letaknya Lembah Merpati. Juga tidak ada seorang pun yang mengetahui, siapa orangnya yang mendiami lembah itu.
Si Sastrawan Pan Pin menatap Koo San Djie sejenak, menghela napas panjang. Ia sudah melewatkan sebagian besar dari hidupnya dalam kalangan sungai telaga. Terhadap urusan yang bagaimana besar pun, hanya diganda tertawa saja. Tetapi tidak disangka, hari ini ia telah mendapatkan kesukaran dari sang saudara kecil yang belum lama berkenalan.
Setelah berpikir sebentar, ia berkata pula:
"Terhadap urusan ini, kiranya aku harus turut campur tangan juga. Mari aku ajak kau ke suatu tempat, mengadu peruntungan, tetapi tidak sembarang orang dapat sampai ke tempat ini. Salah sedikit saja, habislah jiwa kita di sana."
Pada waktu itu, kalau harus menerobos gunung berduri atau melewati minyak mendidih di atas kuali, pasti akan dilakukan oleh Koo San Djie, apa lagi hanya pergi ke suatu tempat saja. Maka dengan senang, sambil berlompat-lompatan, ia berkata:
"Kemana" Mari segera kita pergi."
"Sabar, duduklah dulu!" Pan Pin menggoyang-goyangkan tangan. "Dengarkan dulu penuturanku. Orang hanya mengetahui pukulan dari Lembah Merpati yang istimewa, tetapi sama sekali tidak mengetahui, bahwa pukulan itu adalah campuran dari pukulan yang istimewa dari kalangan Kang-ouw (Sungai telaga). Yang satu adalah Hian-oey-ciang dari perguruanmu dan yang lainnya ialah Wie-mo-ciang dari kepulauan Hay-sim. Dua macam pukulan keras dan lunak yang digabungkan itu menjadi satu ilmu pukulan yang sudah tidak ada taranya lagi dalam dunia Kang-ouw. Tetapi mengapa mereka dapat mempelajari kedua macam ilmu pukukan itu, masih belum ada seorang pun yang mengetahui, maka dari itu, sekarang aku akan mengajak kau ke pulau Hay-sim untuk menanyakan keterangan dari Hu-hay Sin-kun. Biarpun mempunyai kepandaian tinggi, tetapi adatnya Hu-hay Sin-kun ini sangat aneh sekali. Pada waktu itu, jika terjadi suatu apa, kau jangan sembarang membawa adatmu."
Koo San Djie manggut-manggutkan kepalanya, dia berjanji akan mengikuti petunjuk sastrawan tersebut.
Demikianlah, mereka lalu pergi ke pulau Hay-sim yang dikelilingi oleh air lembek, yang tidak dapat menahan barang yang bagaimana ringanpun juga. Siapa tahu, karena salah mengerti, hampir saja menyebabkan kedua jiwa tua dan muda ini hilang lenyap ditelan air itu.
Pulau Hay-sim terletak di tengah lautan Ceng-hay, dikelilingi dan dikitari oleh air lembek yang tidak mempunyai daya tahan sama sekali. Tidak pernah ada kapal atau perahu yang lewat melalui permukaan laut tersebut.
Hu-hay Sin-kun, setelah berhasil mempelajari ilmunya dan turun dari gunung es, dia telah memilih pulau yang sepi ini menjadi tempat kediamannya. Bersama dengan adik angkatnya yang bernama Lok-sui Cian-liong mereka membangun pulau tersebut. Usahanya berhasil telah membuat pulau yang sepi menjadi suatu tempat yang menarik hati.
Si Sastrawan Pan Pin bersama dengan Koo San Djie, setelah berjalan siang hari malam, tidak sampai setengah bulan kemudian, mereka sudah sampai di pinggir laut. Mereka hanya melihat seperti sungai yang sepi, tidak ada sebuah perahu pun berlayar di sana.
Di dalam rimba persilatan, Pan Pin pernah bertemu dengan Hu-hay Sin-kun beberapa kali, tetapi belum pernah datang ke pulau tempat kediamannya, dan tidak mengetahui, dengan cara bagaimana harus mendaratnya.
Hatinya timbul curiga. Bagaimanakah caranya orang keluar masuk pulau Hay-sim ini.
Mereka berdua mundar mandir di tepi laut sampai beberapa kali. Diambilnya setangkai batang pohon yang terdapat di pinggir laut itu, lalu dilemparkan ke arah laut.
"Plung", segera setelah terdengar bunyi itu, lantas terlihat suatu lingkaran di permukaan laut. Seperti sebuah batu saja agaknya, tangkai pohon tadi lantas tenggelam ke dasar laut.
Si Sastrawan Pan Pin melihat kejadian yang mengherankan itu, dia menggoyang-goyangkan kepalanya.
"Bagaimana?" tanya Koo San Djie yang menjadi tidak sabaran.
Tiba-tiba Pan Pin menggoyang-goyangkan tangannya, berkata pada si pemuda:
"Dengarlah! Ada orang sedang mendatangi."
Koo San Djie juga sudah mengetahui, beberapa kuda sedang mendatangi ke arah mereka, semakin lama, derapan kaki kuda semakin dekat saja, dan sebentar kemudian, kuda-kuda sudah sampai di depan mereka.
"Ouw!" Berbareng mereka mengeluarkan seruan kaget.
Ternyata yang mendatangi itu adalah keempat pengiring Hay-sim Kongcu.
Dengan cepat Koo San Djie menghampiri mereka dan menyapa:
"Hei, dapatkah kalian mengajak kami ke pulau Hay-sim?"
Keempat pengiring Hay-sim Kongcu saling pandang, tentu saja dengan perasaan heran, mereka tidak menjawab pertanyaan Koo San Djie, mereka balik bertanya:
"Kemana Kongcu kami?"
Koo San Djie dengan sembarangan berkata:
"Orang yang demikian besar, masa takut hilang" Mungkin juga telah kembali ke pulau."
Keempat pengiring itu berkumpul menjadi satu. Setelah berunding sejenak, salah satu dari antaranya maju ke muka.
Sambil bersenyum ia memberi hormat pada si Sastrawan dan berkata:
"Pulau Hay-sim jarang mendapat kunjungan, dan ada urusan apakah tuan-tuan datang mengunjungi pulau kami?"
Setelah membalas hormat, Pan Pin lantas berkata:
"Orang memberikan julukan padaku Sastrawan Pan Pin, adalah kenalan lama dari majikanmu, Hu-hay Sin-kun. Dengan mengajak saudara kecil ini, aku masih mempunyai sedikit urusan yang mau dirundingkan dengan majikan kalian."
Orang-orangnya Hu-hay Sin-kun setelah berpikir sebentar, lalu berkata:
"Jika kenalan lama dari majikan, silahkan ikut kami."
Dengan membalikkan badan, mereka sudah membawa Pan Pin berdua ke suatu tempat yang sepi di tepi laut itu. Secarik kertas yang ditulis lalu diikatkan ke kakinya seekor burung yang dibawa mereka, lalu dilepaskan.
Sang burung sudah lantas terbang ke udara, menuju pulau Hay-sim.
Mereka duduk, menanti di situ kira-kira satu jam lamanya. Tidak lama kemudian dari jauh terlihat sebuah perahu yang terbuat dari kulit sapi yang melembung.
Dengan pesat perahu kulit sapi itu datang ke arah mereka.
Koo San Djie tidak dapat menahan keheranannya, maka lantas berkata:
"Bukankah air laut ini tidak mempunyai daya tahan sama sekali" Mengapa perahu dapat berlayar di atasnya"
Salah seorang dari orang-orangnya Hu-hay Sin-kun dengan tertawa berkata:
"Memang betul air laut di sini tidak mempunyai daya tahan sama sekali, tetapi tidak seluruhnya demikian. Di beberapa bagian, ada juga yang mempunyai daya tahan yang dapat dilalui oleh perahu, hanya saja tidak ada orang luar yang mengetahuinya.
Dengan perahu itu, setelah sampai di pulau Hay-sim, di tepinya sudah terlihat beberapa orang yang datang menyambut mereka.
Hu-hay Sin-kun dan Lok-sui Cian-liong yang berdiri paling depan, setelah mengawasi si Sastrawan Pan Pin, sambil ketawa berkakakan Hu-hay Sin-kun berkata:
"Angin apa yang dapat membawa seorang dewa datang ke tempat yang sepi?"
Pan Pin juga tertawa berkakakan:
"Jika tidak mempunyai urusan, tidak berani aku sembarangan datang mengganggu kemari. Aku si Sastrawan miskin datang kemari, ada suatu urusan penting yang mau meminta petunjuk dari Sin-kun."
"Silahkan masuk. Kita beromong-omong di dalam saja," kata Hu-hay Sin-kun ketawa.
Mendadak matanya melihat di antara empat orang pengiring Hay-sim Kongcu, tidak terlihat mata hidungnya sang anak, maka mukanya berubah menjadi pucat. Dengan suara keras dan kasar ia membentak:
"Bagaimana urusan di telaga Pook-yang" Mengapa kongcu tidak datang bersama kalian?"
Hu-hay Sin-kun menginginkan nyali ikan emas untuk melatih semacam kepandaian yang akan digunakan untuk menghadapi musuh tangguhnya.
Sudah tigapuluh tahun lamanya ia menyembunyikan diri di pulau Hay-sim, dengan maksud menghindarkan diri dari musuhnya. Itu pula sebabnya, mengapa ia menghendaki nyali ikan emas. Ia sudah cukup mempunyai pengetahuan, hanya nyali ikan emas ini yang dapat menambah kekuatan tenaganya dan dapat digunakan untuk melawan musuh tangguh itu.
Keempat pengiring Hay-sim Kongcu melompat ke tepi, segera membungkukkan badan, memberi hormat dan berbareng mereka berkata:
"Sebenarnya, ikan emas telah dapat dilukai oleh Kongcu. Sewaktu kita semua mengurung untuk menangkapnya, mendadak datang tuan kecil ini yang menotok Hiat-to......" Sembari berkata demikian, tangannya menunjuk ke arah Koo San Djie, tetapi tidak berkata apa-apa.
Terdengar pula keempat pengiring Hay-sim Kongcu melanjutkan penuturannya:
"Kemudian Kongcu berkenalan, dan mengikat tali persahabatan...... Pada hari berikutnya, tuan kecil ini menyatakan maksudnya hendak pergi ke Lembah Merpati dan Kongcu pun telah mengikutinya, tanpa tidak menunggang kuda, menyuruh kami balik terlebih dahulu. Entah bagaimana, sekarang Kongcu tidak kembali bersama tuan kecil ini......"
Mukanya Hu-hay Sin-kun menjadi biru, tertawa dingin ia berkata kepada Koo San Djie:
"Katakan, sesudah itu, anakku pergi ke mana?"
Koo San Djie mempunyai adat keras, sebenarnya dia sudah menjadi marah, melihat sikap Hu-hay Sin-kun yang memperlakukan galak terhadap dirinya, tetapi memikir persahabatannya dengan Hay-sim Kongcu, terpaksa ia mengalah kepada Hu-hay Sin-kun, dia ayahnya Kongcu itu. Dengan membungkukkan badannya ia menjawab:
"Boanpwe dan anak Cianpwee berkenalan di pegunungan Hoay-giok di daerah perbatasan An-hui dan Cek-kiang pernah bersama-sama lawan dua orang dari Lembah Merpati. Tetapi anak cianpwee terkena serangan tangan boanpwee, dengan tidak disengaja, sehingga dua orang dari Lembah Merpati tadi dapat melarikan diri. Setelah anak cianpwe beristirahat di sana sebentar, dan boanpwe mengejar kedua orang tadi, kemudian tidak bertemu dengan dia lagi."
Hu-hay Sin-kun tertawa dingin dan berkata:
"Orang pulau Hay-sim hendak mengambil nyali ikan emas, ada hubungan apa dengan kau" Sehingga kau berani turut campur tangan, menghalang-halanginya dan lagi pula bersama-sama melawan musuh" Siapa yang bisa percaya, kau kesalahan pukul memukul kawan sendiri?"
Setelah berkata demikian, selangkah demi selangkah Hu-hay Sin-kun mendekati Koo San Djie, kemudian dengan suara nyaring ia berkata pula:
"Di sini jangan kau harap dapat membohongi orang! Sebenarnya siapa yang menyuruh kau berbuat begitu" Lekas katakan terus terang padaku!"
Si Sastrawan Pan Pin segera memisahkan kedua orang itu dan berkata:
"Harap Sin-kun jangan salah paham. Urusan dapat menjadi terang perlahan-lahan."
Tetapi Hu-hay Sin-kun dengan sikapnya dingin bertanya:
"Bagaimana hubunganmu dengan bocah ini" Kenal baru, atau kenal lama?"
"Biarpun belum lama berkenalan," jawab Pan Pin. "Tetapi, dengan perguruannya aku mempunyai perhubungan yang sangat erat."
Hu-hay Sin-kun mengibaskan lengan bajunya.
"Jikalau demikian, harap kau jangan turut campur tangan," katanya.
Sampai di sini Koo San Djie sudah tidak dapat menahan hawa amarahnya. Dengan suara yang tidak kalah kerasnya ia berkata:
"Bagaimana kejadian yang sebenarnya, boleh menunggu sampai anakmu pulang, tentu akan menjadi jelas sendiri. Kau orang tua begini galak, hendak menakuti siapa?"
Hu-hay Sin-kun tertawa terbahak-bahak dan berkata:
"Anak yang bernyali besar!" Kemudian ia mengangkat tangannya, dengan perlahan tangannya itu didorong ke depan.
Dengan cepat si Sastrawan Pan Pin menyelak:
"Sin-kun, sabar......! Jangan......!" dan badannya pun sudah melesat ke muka, menghalang-halanginya, tapi Koo San Djie sudah maju menyambuti serangan lawan. Ia mencoba untuk menahan dengan kekerasan.
Dua kekuatan tangan beradu. Jenggot yang panjang dari Hu-hay Sin-kun tertiup ke belakang. Kedua pundaknyapun bergoyang, tetapi Koo San Djie masih tetap berdiri di tempatnya.
Dengan tidak merasa bulu tengkuk Hu-hay Sin-kun berdiri, warna mukanya berubah. Biarpun ia hanya menggunakan setengah kekuatan tangannya, tetapi sudah cukup menggetarkan sembarang orang dari dunia Kang-ouw. Siapa nyana, anak kecil yang berada di hadapannya ini, dengan enak saja dapat menahan serangannya, bahkan ia merasa dirugikan. Bukankah merupakan suatu kejanggalan"
Dengan tidak memperdulikan si Sastrawan Pan Pin, ia berkata lagi:
"Sastrawan miskin, kau minggir dulu."
Kedua tangannya dengan cepat sudah melancarkan serangan saling susul, tiga kali ke arah Koo San Djie.
Koo San Djie ingin mencoba, sampai di mana kekuatan Wie-mo-ciang dari pulau Hay-sim yang sudah terkenal di kalangan sungai telaga.
Iapun telah menggunakan pukulan Hian-oey-ciang, menahan tiga serangan beruntun dari si orang tua.
Tiga serangan yang cepat dan hebat ini telah berhasil memaksa Hu-hay Sin-kun menahan serangannya.
Biarpun mereka dengan cepat telah bergebrak dalam tiga jurus, tetapi masing-masing masih tetap berdiri di tempat semula, tanpa bergerak sama sekali.
Hu-hay Sin-kun sudah siap akan menyerang lagi, tetapi sudah keburu ditahan oleh badan Pan Pin.
Dengan menunjukkan roman yang marah Pan Pin berkata:
"Hu-hay Sin-kun, apakah ini caranya penghuni pulau Hay-sim menerima tamu?"
Hu-hay Sin-kun menarik kembali serangan dengan menghela napas panjang ia berkata:
"Bukannya aku tidak kenal aturan. Hanya kawan kecil ini sungguh sangat mencurigakan hatiku. Bukan saja pukulannya sama dengan musuh lamaku......"
Si Sastrawan Pan Pin sudah tertawa berkakakan dan berkata:
"Pukulan Hian-oey-ciang dari si orang tua Berbaju Ungu dan Wie-mo-ciang dari kau, pemilik pulau Hay-sim disebut dua pukulan yang tertinggi dari dunia Kang-ouw. Sudah tentu tidak sembarangan orang dapat menirunya. Pukulan Hian-oey-ciang yang dipelajari oleh kawan kecilku ini adalah suatu bukti dari cianpwe Berbaju Ungu yang memberi pelajarannya. Apa kau masih belum mengenalnya?"
Hu-hay Sin-kun menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Sukar dikatakan, sukar dikatakan. Mari kita masuk ke dalam untuk memperbincangkannya," ia mengajak tetamunya.
Adat dari Hu-hay Sin-kun memang sudah terkenal aneh. Begitu ia berkata, hantam, ia sudah lantas turun tangan. Begitu ia berkata berhenti juga sudah lantas berhenti. Kelakuannya dapat berubah sewaktu-waktu."
Dengan sangat hormat, ia mempersilahkan kedua tamunya ini masuk ke dalam sebuah ruangan besar.
Baru ini kali Pan Pin dan Koo San Djie mendapat kesempatan untuk menyaksikan pemandangan dari pulau Hay-sim yang indah permai, juga sangat menawan hati.
Biarpun pulau ini terletak di tengah laut, tetapi setelah diubah oleh Hu-hay Sin-kun, sudah dapat dibuat menjadi suatu istana di tengah laut saja kelihatannya. Loteng yang bersusun juga menambah keindahan tempat itu. Di mana-mana ditanami bermacam-macam pohon bunga beraneka warna yang jarang terlihat, membuat siapa yang datang seperti memasuki pulau kahayangan saja.
Setelah beberapa orang tadi duduk di tempatnya masing-masing. baru Hu-hay Sin-kun menanyakan akan maksud kedatangannya dari si Sastrawan Pan Pin.
Terdengar Pan Pin berkata:
"Sebenarnya, kami datang kemari bermaksud untuk menanyakan kepada Sin-kun, tentang keadaan yang menyangkut dengan Lembah Merpati."
Koo San Djie pun menceritakan, bagaimana ia perkenalannya dengan Hay-sim Kongcu, bagaimana bersama-sama melawan orang dari Lembah Merpati, bagaimana ia salah tangan, melukainya dan kemudian berpisah sampai di situ.
Setelah selesai menceritakan ini semua, tidak lupa ia menceritakan, bagaimana nasib yang telah menimpa keluarga si kakek nelayan dengan berakhir terculiknya Ong Hoe Tjoe yang dicintai.
Kekhawatiran Hu-hay Sin-kun
Mendadak Hu-hay Sin-kun seperti mendapat pirasat yang tidak enak, sambil lompat dari tempatnya ia berkata:
"Jika demikian, kini anakku tentu sedang ada dalam bahaya!"
Dengan segera ia memanggil dua orangnya, lalu mengisiki beberapa perkataan.
Dua orang tadi setelah manggut-manggut, menandakan telah mengerti, lalu pergi meninggalkan ruangan.
Setelah Hu-hay Sin-kun menyelesaikan ini semua, baru ia berpaling kepada si Sastrawan Pan Pin dan berkata:
"Anakku yang nakal itu, biarpun tidak mempunyai kepandaian yang sangat tinggi, tapi di kalangan Kang-ouw sudah jarang ada orang yang dapat mengalahkannya. Tadi mendengar penuturan dari kawan kecilmu yang mengatakan bahwa ia telah salah melukainya, hatiku menjadi curiga, maka aku telah mencobanya, tidak disangka, dengan umurnya yang masih demikian muda, dia telah mempunyai kepandaian yang sangat tinggi......."
Setelah berhenti sebentar, terdengar ia meneruskan pembicaraannya:
"Jika bukan saudara yang mengatakannya, ia telah menjadi ahli waris dari Cianpwe Berbaju Ungu, sudah tentu menyangka kepada orang dari Lembah Merpati......"
Berkata sampai di sini, ia telah menghela napas panjang.
"Aku bersusah payah berusaha untuk mendapatkan nyali ikan mas dan usaha dari anakku dengan orang Lembah Merpati juga mempunyai maksud yang tertentu......" orang tua itu berkata pula.
Lalu dengan menahan perasaannya ia menceritakan pengalaman sedih yang telah menimpa dirinya.
Demikian ceritanya: Setelah ia menyelesaikan pelajarannya dan turun dari gunung es, dengan mengandalkan kepandaian yang telah ia dapatkan dari gurunya, tenaga Siauw-sin-san dan pukulan Wie-mo-ciang, ia berkelana di kalangan Kang-ouw. Dalam duapuluh tahun, belum pernah ia mendapat tandingan. Dan ilmu pukulan Wie-mo-ciang pun telah menjadi terkenal karenanya.
Tidak disangka, di daerah Kang-lam, ia telah menemukan seorang pemuda sekolah yang berparas cakap, berpakaian rapi yang mendapat julukan Phoa An Berhati Ular, yang mengatakan, ingin mencoba ilmu pukulan Wie-mo-ciang yang tersohor.
Demikianlah mereka berjanji, di suatu tempat pekuburan yang sepi untuk mengadu kekuatan. Setelah mengadu dua hari dua malam, berakhir dengan keadaan seri. Dan pukulan yang digunakan oleh si pemuda sekolahan ialah pukulan Hian-oey-ciang yang bersifat keras.
Pada hari ketiga, dua orang itu telah menjadi panas, hampir saja mau mengadu jiwa, dengan tenaga dalam untuk menentukan siapa yang menjadi juara. Pada waktu inilah mendadak datang seorang wanita berparas cantik yang memisahkan mereka berdua.
Yang heran setelah mendengar perkataannya wanita cantik itu, dengan tidak menanya dan memberi tahu nama lagi, Si Phoa An berhati Ular menjura dan ngeloyor meninggalkan mereka.
Seperginya pemuda sekolah berparas cakap itu, wanita cantik yang mengaku bernama Sui Yun Nio sudah menjadi demikian jinaknya, dengan Hu-hay Sin-kun berdua mengobrol ke barat dan ke timur.
Sejak jaman dahulu, orang-orang ternama selalu jatuh karena wanita. Demikian juga dengan Hu-hay Sin-kun, biarpun telah mempunyai istri, tidak urung masih jatuh juga dibawah kakinya Sui Yun Nio. Demikianlah, Sui Yun Nio telah dibawa masuk ke dalam pulau Hay-sim.
Sui Yun Nio bukan saja berparas cantik, juga pandai dan bisa mengambil hatinya Hu-hay Sin-kun. Karena Hu-hay Sin-kun sering pergi berjalan-jalan di dalam dunia Kang-ouw, demikian pula ibu dari Hay-sim Kongcu, Sie Toa Nio, tidak mau memperdulikan segala urusan di pulaunya, maka urusan-urusan besar dan kecil di atas pulau, lama kelamaan telah terjatuh ke dalam tangan Sui Yun Nio.
Hu-hay Sin-kun sedang tergila-gila kepada Sui Yun Nio, biarpun telah mengetahui semua kejadian ini, masih dianggap beruntung karena telah mendapatkan seorang pembantu yang pandai.
Hu-hay Sin-kun bukan saja mempasrahkan semua urusan-urusan di atas pulau ke dalam tangannya, sampai pun ilmu simpanannya, pukulan Wie-mo-ciang juga telah diturunkan kepadanya.
Sedari inilah, sifatnya Sui Yun Nio telah menjadi congkak dan sombong. Tidak lama kemudian, beberapa muridnya pun telah dibawa masuk ke dalam pulau untuk membantunya mengurus segala urusan-urusan.
Orang kepercayaannya Hu-hay Sin-kun satu persatu disingkirkannya. Pada waktu Hu-hay Sin-kun sedang berpergian keluar, Lok-sui Cian-liong sedang membangun daerah di sebelah barat pulau.
Beberapa orang di atas pulau sudah merasa urusan akan menjadi kalut, maka telah beberapa kali memberi kisikan kepada Lok-sui Cian-liong yang sedang repot membangun. Tapi Sui Yun Nio dapat bekerja dengan sebat sebelum Lok-sui Cian-liong dapat berbuat apa-apa, Sui Yun Nio beserta begundalnya sudah mendahuluinya turun tangan. Hanya dalam waktu semalam, orang-orang kepercayaan dari Hu-hay Sin-kun telah habis terbunuh semua, begitu juga dengan sang istri, Sie Toa Nio.
Pada waktu itu, Hay-sim kongcu baru berumur tiga tahun dan beruntung dapat dibawa lari ke daerah sebelah barat pulau.
Di waktu Lok-sui Cian-liong mengetahui, adanya pemberontakan, ia segera datang untak menolongi, tetapi Sui Yun Nio beserta kawan-kawannya sudah lari, dengan menggondol segala barang-barang yang berharga dari pulau Hay-sim.
Setelah Hu-hay Sin-kun mengalami perobahan besar ini, keadaannya sudah menjadi berobah. Ia berusaha akan membunuh Sui Yun Nio, demi membalaskan dendam dari Sie Toa Nio. Tapi dalam tigapuluh tahun ini ia tidak pernah mendapat kabar tentang jejaknya wanita yang berhati jahat itu.
Kepandaian simpanan dari pulau Hay-sim, ilmu pukulan Wie-mo-ciang tidak luput juga telah terjatuh ke dalam tangannya Sui Yun Nio.
Salah satu kepandaian yang tersohor dari Lembah Merpati, yaitu ilmu pukulan im-yang-ho-hap-ciang adalah pukulan Wie-mo-ciang yang digabung menjadi satu dengan pukulan Hian-oey-ciang. Dari bukti inilah, Hu-hay Sin-kun dapat memastikan, yang menduduki Lembah Merpati tentu tidak lain adalah Sui Yun Nio.
Karena letak tempatnya dari Lembah Merpati masih dalam keadaan gelap, dan umpama betul ia dapat menemukan lembah ini, dengan kepandaiannya yang hanya dimilikinya sekarang belum tentu dapat mengambil suatu tindakan.
Ketua dari Lembah Merpati, tidak perduli laki atau wanita, yang sudah pasti ia berkepandaiannya telah mendapat sari dari dua ilmu silat ternama.
Dengan kepandaian Hu-hay Sin-kun yang didapat dari gunung es, biarpun telah mencapai tarap yang tertinggi, masih tidak dapat untuk menandinginya. Cara satu-satunya ialah dengan menambah tenaga dalamnya. Maka ia telah berdaya untuk mendapatkan nyali ikan mas dari danau Pook-yang. Kini bayangan dari nyali ikan mas telah menjadi buyar maka habislah keinginannya untuk dapat membalas dendam.
Setelah selesai Hu-hay Sin-kun menceritakan semua kisahnya, tidak henti-hentinya ia menghela napas panjang.
Tapi, mendadak Koo San Djie berteriak dengan nada kaget:
"Kepandaian Hian-oey-ciang dari guruku, kecuali aku yang telah mempelajari, hanya diturunkan kepada Lam Keng Liu seorang. Apa bisa jadi ia berada di Lembah Merpati?"
Hu-hay Sin-kun berkata: "Dengan kepandaian yang telah kau miliki sekarang ini, biarpun sukar untuk mencari tandingannya dari kalangan Kang-ouw, tapi untuk menandingi Im-yang-ho-hap-ciang yang telah mendapat sari dari dua ilmu silat ternama, kukira masih menjadi suatu pertanyaan. Urusan ini harus dirundingkan dahulu dengan perlahan-lahan."
Biarpun mulut Koo San Djie tidak mengatakan apa-apa, tapi dalam hatinya berkata:
"Kau mana tahu" bahwa aku tidak dapat menandinginya" Masih banyak pelajaran dari kitab Im-hoe-keng yang belum aku keluarkan."
Hu-hay Sin-kun dan sastrawan Pan Pin mengetahui, apa yang dipikirkan oleh Koo San Djie.
Pan Pin tertawa dan berkata:
"Saudara kecil, aku mengetahui, kepandaianmu tidak dapat diukur, yang kami lihat baru sebagian saja. Tapi, dalam peribahasa mengatakan "Bersatu teguh, bercerai runtuh". Jika dengan kau sendiri saja, memasuki Lembah Merpati yang masih belum jelas......"
Dengan menghela napas Koo San Djie menjawab:
"Aku mengetahui kebaikan hatimu orang tua. Tapi menolong orang, bagaikan memadamkan api yang tidak dapat ditunggu-tunggu."
Bertiga mereka menjadi terdiam di tempat masing-masing.
Setelah sekian lama, baru Hu-hay Sin-kun berkata:
"Dari penyelidikanku dalam beberapa tahun, Lembah Merpati mungkin terletak di daerah......"
Baru berkata sampai di sini, mendadak orang kepercayaannya datang memasuki ruangan dan berbisik-bisik di kupingnya.
Hu-hay Sin-kun mengibaskan tangannya dan berkata:
"Silahkan mereka masuk."
Seperginya orang tadi, Hu-hay Sin-kun sudah akan melanjutkan perkataannya yang belum habis itu, tetapi tiba-tiba masuk pula seorang, dengan menunjukan rasa ketakutannya, sudah lari menghampiri sang majikan. Dengan napas yang masih sengal-sengal, ia telah memberi laporan.
Mukanya Hu-hay Sin-kun sudah menjadi berobah, ia segera berdiri dan berkata kepada Lok-sui Cian-liong:
"Anak Lui dalam keadaan bahaya, harap kau dapat segera melepas burung memberitahukan kepada beberapa daerah."
Lok-sui Cian-liong tidak menunggu sampai habisnya perkataan ini, badannya sudah terbang keluar, untuk menjalankan tugasnya.
Hu-hay Sin-kun hanya mempunyai seorang anak, itulah Hay-sim Kongcu, tidak heran kalau mendengar kabar yang mengatakan anaknya dalam keadaan bahaya, bukan main rasa kuatirnya. Kedua tangannya diremas-remas, mundar-mandir beberapa kali di dalam ruangan tadi. Mendadak ia berhenti di hadapan si Sastrawan Pan Pin dan berkata:
"Telah beberapa puluh tahun aku menyepi di pulau Hay-sim yang sepi ini, tidak pernah aku menanam bibit permusuhan. Tidak disangka, masih ada orang yang berani mengganggu anakku. Tidak lain, kecuali perbuatan orang Lembah Merpati, siapa yang berani mencari urusan dengan aku?"
"Entah di mana dia mendapat bahaya?" Sastrawan Pan Pin berkata.
"Orang bawahanku mengatakan," jawab Hu-hay Sin-kun, "di daerah pegunungan perbatasan An-hui dan Cek-kiang, telah dua kali mereka menemukan tanda bahaya dari anakku. Arahnya ialah Barat daya, dan setelah sampai di daerah Hu-lam hilanglah jejak-jejak ini. Menurut pendapatku, tentu perbuatan dari orang Lembah Merpati. Dalam beberapa tahun, penyelidikanku pun telah curiga, bahwa letak dari Lembah Merpati berada di daerah Barat daya.
Sedang bernapsunya ia berkata, dari luar terdengar suara teriakan yang dibarengi masuknya dua orang:
"Sin-kun tentu tidak menyangka akan kedatangannya aku, tamu yang tidak diundang ini......" Ouw, si Sastrawan miskinpun berada di sini......?"
Yang datang ialah Thian-mo Lo-lo dan Tju Thing Thing.
Dengan cepat Hu-hay Sin-kun memberi hormat dan menyilahkan mereka duduk.
"Lo-lo telah mencapaikan diri datang kemari, tentu akan memberi suatu petunjuk yang berharga," ia berkata.
Matanya Thian-mo Lo-lo dengan galak menyapu Koo San Djie sebentar, sampai ia lupa mendengar pertanyaannya Hu-hay Sin-kun.
Dalam hatinya Sastrawan Pan Pin tertawa dan berkata:
"Tentu dia masih mencurigai hubungannya Koo San Djie dengan Lam Keng Liu."
Maka, ia telah berdiri untuk mengenalkan saudara kecilnya ini dengan Thian-mo Lo-lo dan Tju Thing Thing. Terdengar ia berkata:
"Saudara kecil ini adalah murid terakhir dari cianpwee Berbaju Ungu bernama Koo San Djie. Ia telah dapat mewariskan semua kepandaian dari......"
Thian-mo Lo-lo hanya memanggutkan kepalanya sedikit, ia tidak mau melihat kepadanya. Hatinya sangat membenci Lam Keng Liu, sampai semua dari golongan ini turut dibencinya juga.
Tapi Tju Thing Thing bebas berdiri, dia memberi hormatnya, sambil tertawa ia berkata:
"Kami orang telah lama mengenalnya."
Koo San Djie mempunyai adat yang sedikit sombong, ia tidak suka kepada Thian-mo Lo-lo yang tidak ada sebab-sebabnya telah membenci kepadanya. Perasaan tidak suka ini telah terlihat dalam tingkah lakunya. Dengan membuang muka ia telah balik ke tempat duduk dan tidak mengatakan suatu perkataan pula. Biar bagaimanapun ia masih seorang anak-anak yang tidak dapat menyembunyikan segala perasaannya.
Justru hal ini telah membuat si Sastrawan Pan Pin berdiri, entah bagaimana ia harus menyelesaikan urusan itu. Untuk menyembunyikan rasa kurang enak yang terbenam di dalam hati.
Hu-hay Sin-kun sedang menguatirkan keselamatan anaknya, mana dapat memperhatikan semua ini" Dia segera mengulangi pertanyaannya:
"Lo-lo bukannya bersenang-senang di tempat Thian-mo, dari jauh-jauh telah datang ke tempat yang sepi , entah mempunyai maksud apa?"
Thian-mo Lo-lo menjawab: "Kepandaian simpanan dari pulau Hay-sim, ilmu pukulan wie-mo-ciang, kecuali Sin-kun seorang adakah telah diturunkan kepada orang lain?"
Hu-hay Sin-kun mengeluarkan elahan napas panjang, kemudian berkata:
"Tidak disangka, karena kebodohan pada suatu waktu, maka mengakibatkan jatuhnya nama perguruan. Yang Lo-lo artikan, apakah si budak hina dari Lembah Merpati?"
Kemudian di hadapan Thian-mo Lo-lo, dia ceritakan kembali riwayatnya yang tadi ia telah ceritakan. Pada akhir penuturannya, dengan penuh kebencian ia berkata:
"Sebetulnya, aku sedang berusaha, tapi tidak disangka, urusan datang terlalu cepat. Terpaksa aku harus melayani juga. Pada hari ini, aku akan terjun kembali ke kalangan Kang-ouw, untuk mencari anakku."
Thian-mo Lo-lo setelah selesai mendengarkan penuturannya Hu-hay Sin-kun, hatinya menjadi sedemikian panas. Dengan membanting-bantingkan kaki, ia berkata:
"Sedari dulu aku sudah curiga, ketua dari Lembah Merpati mesti ada dua. Yang satu perempuan, yalah Sui Yun Nio dan yang satu lagi laki sudah tentu si...... bajingan."
Thian-mo Lo-lo yang berangasan, selalu berkata dengan suara yang nyaring. Tapi sewaktu mengatakan "bajingan", suara ini sudah menjadi sangat perlahan, entah kenapa"
Thian-mo Lo-lo sudah menaruh dendam kepada Sui Yun Nio. Biarpun ia sangat membenci kepada si "Phoa An berhati ular" Lam Keng Liu yang tidak berbudi, tapi sudah menjadi satu sifat wanita, yang selalu memenangkan kekasih, dan menumpahkan semua kemarahannya kepada sang satru. Tidak terkecuali juga dengan Thian-mo Lo-lo ini.
Sedari tadi, Sastrawan Pan Pin tidak ada kesempatan untuk berbicara, sampai di sini baru membuka mulut:
"Urusan telah menjadi demikian mendesak, kita orang harus segera bertindak, berpisah menguber jejak mereka. Yang pertama, harus mencari Hay-sim Kongcu, dan kemudian menolong Ong Hoe Tjoe. Setelah selesai ini, baru kita sama-sama memasuki Lembah Merpati untuk membikin perhitungan."
Hu-hay Sin-kun ragu-ragu sebentar kemudian berkata juga:
"Menurut pendapatku, kita harus dipecah menjadi tiga rombongan. Aku beserta Lok-sui Cian-liong sutee satu rombongan, Lo-lo dan Sastrawan Miskin satu rombongan, dari kedua sisi maju ke depan dan menempatkan kedua kawan kecil kita di tengah rombongan, agar sewaktu-waktu dapat memberi pertolongan kepada mereka. Bagaimana pendapat kalian?"
Dia menempatkan Tju Thing Thing dan Koo San Djie pada rombongan ketiga.
Sastrawan Pan Pin sudah lantas menyetujui usul ini:
"Karena urusan sudah mendesak, mari segera berangkat!"
Biarpun Thian-mo Lo-lo tidak setuju, karena Tju Thing Thing ditaruh menjadi satu dengan Khoo San Djie, tapi orang bermaksud baik, dengan menempatkan mereka berdua di tengah agar sewaktu-waktu dapat memberi pertolongan yang dibutuhkan, maka dengan tidak mengatakan apa-apa lagi, ia menyetujuinya.
Demikianlah, mereka meninggalkan pulau menuju ke daerah Barat-daya.
Koo San Djie beserta Tju Thing Thing, telah meninggalkan pulau Hay-sim, dengan menggunakan ilmu mengentengi tubuh mereka yang bisa lari pesat. Ini karena menguatirkan keselamatannya Ong Hoe Tjoe, maka sebentar saja, sudah lewat lebih dari seratus lie. Hanya kasihan Tju Thing Thing telah mandi keringat, dengan napas yang sengal-sengal, ia berteriak-teriak:
"Dapatkah kau menahan sedikit langkahmu" Apa kau mau membuat orang mati lelah?"
Koo San Djie sudah menahan langkahnya. Dilihatnya Tju Thing Thing sedang mengurut-urut dada, berhenti dengan napas senen-kemis. Selebar mukanya telah menjadi merah, bagaikan warna apel yang matang. Keringat ketel-ketel turun dari atas jidat gadis itu.
Koo San Djie baru engah akan kecepatan kakinya. Ia lupa kawan di sebelahnya ini adalah seorang wanita, dan lagi kepandaiannya tidak setinggi dirinya. Tentu saja orang tidak tahan seperti ia yang lagi dengan tidak mengenal lelah. Maka dengan sangat menyesal ia berkata:
"Karena ingin cepat-cepat menolong enci Ong Hoe Tjoe, aku menyesal, telah lari begitu cepat sehingga menyebabkan Ciecie menjadi demikian lelah, harap kau jangan marah......"
Dengan cepat ia sudah mengeluarkan sapu tangan dan maju untuk membantu mengelap keringat kawannya.
Tapi saputangan ini belum sampai di atas jidat Tju Thing Thing, bau asam lelaki telah menyerang hidungnya. Maka dengan ketakutan si nona sudah membuang muka.
"Bau asam, aku tidak mau. Kau gunakan sendiri saja," katanya ketawa.
Sambil mengeringkan keringat dengan tertawa sang nona berkata lagi:
"Ong Hoe Tjoe mu itu dari golong mana" Cantikkah dia itu?"
Koo San Djie tidak bermaksud jelek, ia hanya ingin membantu mengelap keringatnya.
Sebentar ia mencium saputangan sendiri, dalam hatinya berkata:
"Sapu tangan tidak bau dikatakan bau asam?"
Ia mana tahu, perasaan wanita lebih tajam dari padanya. Tju Thing Thing yang sudah menjadi dewasa, mana mau mengijinkan sembarang lelaki membentur badannya.
Biarpun di muka ia mengatakan tidak suka, dalam hatinya merasa puas juga dengan tindakan pemuda itu.
Lelah dan letih baginya tidak menjadi soal, yang sangat ingin diketahuinya adalah asal usulnya Ong Hoe Tjoe dan hubungannya dengan anak muda.
Koo San Djie mendengar ia menanyakan pada Ong Hoe Tjoe, maka, wajah si gadis nelayan terbayang-bayang kembali. Bulu matanya yang lentik panjang, sepasang mata bola yang memancarkan sinar kepintaran, rambut hitam yang dikepang menjadi dua...... dan tidak lupa, tingkah lakunya sangat memperhatikannya dalam segala soal...... Semua itu telah terbayang di matanya Koo San Djie.
Hanya waktu yang pendek inilah ia menikmati kesenangan rumah tangga, suatu waktu yang bahagia, waktu yang sukar dilupakan......
Kesenangan ini telah dibikin buyar oleh datangnya tangan yang jahat. Lebih kejam dari sesuatu, lebih sedih dari rumah tangganya sendiri dirusak.
Lama kelamaan, hatinya yang panas bergolak, api kebencian telah membakar tubuh Koo San Djie, dan mengepal-ngepal tangannya, penuh kegusaran, sehingga ia lupa menjawab pertanyaannya nona Tju.
Tju Thing Thing melihat begitu, ia hanya menanyakan soal kehilangan Ong Hoe Tjoe maka Koo San Djie lantas seperti yang kehilangan semangat, hatinya tidak senang. Entah bagaimana, hatinya merasa cemburu dan jelus.
"Hai, apa kau tidur" Mengapa tidak menjawab pertanyaanku?" akhirnya ia menegur.
Bagaikan baru bangun tidur, Koo San Djie menghela napas dan menjawab:
"Ia hanya seorang anak nelayan yang tidak mempunyai kepandaian. Tapi keluarganya sangat baik kepadaku. Mereka sangat manis budi, mengenal aturan...... Ini kali, akulah yang telah merembet-rembet mereka, sehingga......."
Mendengar Ong Hoe Tjoe hanya seorang anak nelayan yang tidak berkepandaian, hati Tju Thing Thing merasa senang. Mengapa hatinya menjadi demikian" Ia sendiripun tidak dapat menjawabnya. Dalam hatinya ia memikir:
"Jika demikian, mungkin nelayan yang baik hati terbawa-bawa oleh urusannya, sehingga mengalami nasib jelek, menyebabkan ia tidak enak hati dan terburu-buru hendak menolong nona itu."
Maka, dengan setengah menghibur dia berkata:
"Kau jangan sibuk sendiri. Ong Hoe Tjoe yang baik tentu tidak akan mengalami kejadian apa-apa. Hanya biar bagaimanapun, kita akan berusaha untuk menolongnya."
Bagaikan orang yang belum pulih ingatan, Koo San Djie memanggut-manggutkan kepalanya . Tapi mendadak dengan kaget ia berkata:
"Hei, coba dengarkan, di sana ada orang bertarung?"
Tju Thing Thing mendengarkan dengan teliti, tapi apapun tidak terdengar olehnya, lalu bertanya:
"Di mana" Mengapa aku tidak dapat dengar?"
Koo San Djie menggandeng lengannya Tju Thing Thing, katanya:
"Mari kita melihat!"
Mendadak, badannya lompat melesat tinggi pergi ke arah tebing sebuah gunung yang agak menurun curam.
Tju Thing Thing merasa seperti dibawa terbang ke awan-awan, ia mengikutinya dengan kaki tidak membentur tanah. Hatinya menjadi kaget dan gembira. Ia kaget, melihat umur kawan itu yang demikian muda, ia kaget atas kepandaian yang begitu tinggi, sampaipun gurunya sendiri, Thian-mo Lo-lo juga tidak nempil. Ia gembira, karena telah mendapatkan kawan muda yang berkepandaian sangat tinggi dan parasnya tampan menawan hati.
Hanya dalam sekejapan saja, berdua sudah mencapai ke atas tebing gunung yang tinggi. Tju Thing Thing tertawa berseri-seri, baru dia mau mengatakan perkataan memuji, tapi keburu distop oleh Koo San Djie, dengan menggoyang-goyangkan kedua tangannya, sembari menunjuk ke sebelah bawah mereka, ia berkata dengan perlahan:
"Di bawah tebing, ada dua orang berkepandaian tinggi sedang mengadu kekuatan. Jangan sampai kita mengganggu mereka."
Tju Thing Thing menujukan pandangan matanya ke arah bawah, dan betul, dilihatnya seorang tua berbaju kuning berkepala botak sedang mengadu kekuatan dengan seorang hweshio beralis panjang. Tapi pandangannya tak setajam Koo San Djie, maka dengan menggerendeng ia minta datang ke tempat yang lebih dekat lagi.
Koo San Djie tidak membantah, maka dengan hati-hati mereka sudah turun mendekati, lalu duduk di sebuah batu besar, dengan tidak menimbulkan suara, menonton pertempuran tadi.
Tidak lama kemudian, Koo San Djie sudah menjadi begitu tertarik oleh kepandaian yang istimewa dari kedua orang tadi. Inilah untuk pertama kalinya, ia melihat orang yang mempunyai kepandaian tinggi mengukur tenaga. Dengan tidak terasa, perlahan-lahan ia menggunakan tangannya, mengikuti jalannya pertarungan. Ia telah memusatkan pikirannya untuk memecahkan serangan-serangan dari kedua orang tadi. sebentar saja ia merasa dirinya seperti sudah turun ke dalam medan pertarungan, ia mendapat serangan dari dua orang dalam beberapa jurusan. Ia coba mengeluarkan semua kepandaian yang belum habis dipelajari di dalam lembah gurunya.
Ia menjadi demikian tegang. Sebentar saja ia telah menjadi kelabakan. Kepalanya mengeluarkan asap putih yang halus, mengurung seluruh tubuhnya. Dengan cepat ia mengeluarkan pelajaran-pelajaran yang tertulis dalam kitab Im-hoe-keng, baru ia dapat mengimbangi keadaan. Inilah karena untuk pertama kalinya, ia menemui orang yang berkepandaian tinggi.
Setelah satu jam kemudian, barulah hatinya menjadi tenang, kedua matanya tidak hentinya berganti-ganti mengikuti gerakan-gerakan dua orang yang sedang bertempur itu. Badannya bagaikan patung terpaku di sana, hanya kedua tangannya yang mengikuti gerak gerik dari kedua orang itu.
Tju Thing Thing yang duduk di sebelahnya, sebentar melihat ke bawah tebing, sebentar pula melihat ke arahnya. Ia tidak mengerti, melihat Koo San Djie yang tidak bicara dan tidak bergeming. Tapi biar bagaimanapun ia adalah murid dari Thian-mo Lo-lo yang tersohor, melihat muka si pemuda yang bersungguh-sungguh, ia tidak berani sembarangan mengganggu.


Lembah Merpati Karya Chung Sin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Maka, dengan segera ia memusatkan pandangan ke arah bawah tebing. Ia telah merasakan kepandaiannya si kepala botak atau pun si alis panjang, semua berada di atas dari kepandaian gurunya. Umpama kata, ia yang turun ke gelanggang pertempuran, biarpun lawan tidak menggunakan tenaga dalamnya yang kuat, ia juga tidak dapat menahan sampai duapuluh jurus. Ia melihat sembari memikir, dengan tidak terasa ia telah menambah pengalamannya.
Tju Thing Thing mana mengetahui, dalam waktu yang sependek inilah Koo San Djie telah menerima ujian yang maha berat, ia seperti sedang terkurung oleh serangan-serangan dari dua orang yang berkepandaian tinggi.
Biarpun Koo San Djie menganggap dalam perumpamaan, tapi tidak beda dengan keadaan yang sebenarnya.
Sang waktu dengan cepat telah lewat, satu jam, dua jam......
Satu hari, dua hari......
Sehingga sampai hari ketiga, di bawah tebing batu terdengar bentakannya dari si orang tua berbaju kuning berkepala botak, dan kemudian berhenti menyerang. Dua orang terduduk di tempatnya masing-masing.
Koo San Djie juga mengeluarkan elahan napas lega dengan susah payah, barulah ia dapat menahannya. Ia mengira dua orang itu sudah bersedia mengadu tenaga dalam, maka ia sudah siap turun tangan untuk mendamaikannya.
Tapi mendadak si orang tua berbaju kuning berkepala botak berteriak nyaring, dengan termiring-miring ia telah mengeluarkan sebuah pukulan. Jika dilihat dalam sekelebatan, pukulan ini tidak mempunyai arti apa-apa, tapi setelah mengangkat tangan untuk menangkisnya, baru terasa perobahan-perobahannya yang sukar ditangkis. Jika sembarangan menangkis, mungkin bisa menjadi terluka.
Mendadak Koo San Djie telah mendapat cara untuk menangkisnya, dan sewaktu ia melihat si hweeshio beralis panjang yang juga telah mendapatkan cara untuk menangkisnya, mengangkat sebelah tangannya membuat sebuah lingkaran dan goresan, dengan perlahan-lahan didorongnya ke depan. Jurus ini sama dengan jurus yang Koo San Djie telah temukan.
Dua orang di bawah tebing belum berhenti, sejurus demi sejurus, segebrak demi segebrak, bertarung semakin ramai dan semakin aneh. Waktu yang diperlukan untuk memecahkan serangan, semakin lama juga semakin panjang. Tapi yang mempunyai otak lebih encer, setelah dapat membuka sebuah jalan, jurus-jurus yang selanjutnya dalam waktu yang singkat saja sudah dapat dipecahkan semua, bahkan masih ada waktu untuk balas menyerang sang lawan.
Pertarungan kepintaran dan kepandaian ini, setelah berjalan setengah harian, mendadak si hweeshio alis panjang berhenti menyerang dan berkata kepada lawannya:
"Saudara Tiauw, sampai di sini sajalah pertarungan kita ini. Seterusnya untuk menentukan siapa yang menang, marilah kita mengadu pandangan mata di atas badannya anak itu," tangannya menuujuk ke arah Koo San Djie.
Orang tua botak itu menengok ke atas, memandang Koo San Djie sebentar lalu menanya:
"Dengan cara yang bagaimana?"
Hweeshio alis panjang menggapaikan tangannya ke jurusan tebing dan berkata:
"Dua saudara kecil, mari turun ke bawah."
Koo San Djie dan Tju Thing Thing berpandangan sebentar, lalu kedua-duanya telah loncat turun ke bawah. Yang pertama loncat ialah Tju Thing Thing, dengan menutulkan sedikit ujung kakinya, bagaikan burung saja ia sudah terbang ke bawah. Turunnya bersikap duduk, kedua tangannya siap menekan ke tanah, badannya sudah meluncur dengan cepat. Disusul oleh Koo San Djie, setelah merendeng Tju Thing Thing, dia melempangkan badannya, mereka kedua sama-sama menginjak tanah.
Hweeshio alis panjang menunjuk ke arah Koo San Djie dan berkata kepada si orang tua botak:
"Kita berdua, sama-sama tidak mengetahui, dari mana asal perguruannya saudara kecil ini. Bagaimana jika kita mengadu pandangan mata, menebak tinggi rendahnya kepandaian dari saudara ini."
Orang botak itu tertawa berkakak.
"Bagus...... bagus....... Suatu cara yang baru......" jawabnya.
"Silahkan saudara Tiauw menebak terlebih dahulu," kata hweeshio alis panjang.
Orang tua botak setelah mengawasi Koo San Djie beberapa lama, lalu berkata:
"Anak ini mempunyai bakat tulang yang bagus, dasar tenaga yang dalam yang kuat. Kepandaiannya di atas dari anak-anak muda lainnya di kalangan Kang-ouw. Duapuluh tahun lagi kita pun bukan tandingannya pula."
Setelah menghela napas, hweeshio alis panjang berkata:
"Omitohud. Jangan kata duapuluh tahun, sekarangpun, di antara kita berdua, jangan harap dapat melawan sampai seratus jurus."
Orang tua botak dengan tertawa sombong berkata:
"Kau jangan mengangkatnya terlalu tinggi, aku Tiauw tua, jika dalam seratus jurus jatuh di bawah tangannya, dengan rela, aku jadi budak pengiringnya untuk melayaninya seumur hidup. Tapi jika dia kalah" Kau akan berbuat bagaimana?"
Hweeshio alis panjang tertawa, sambil menepok-nepok kepalanya ia berkata:
"Kepalaku ini akan kuserahkan kepadamu."
Mendengar pertaruhan itu, hati Koo San Djie menjadi tergetar. Maka, dengan cepat maju ke muka dan berkata:
"Boanpwe tidak sanggup menerima pertaruhan ini, harap kedua Cianpwee mencari pertaruhan yang lain saja."
Hweeshio alis panjang menggoyang-goyangkan tangannya.
"Legakan hatimu, jika terjadi sesuatu, aku tidak akan menyalahkan padamu," katanya penuh kepercayaan.
Orang tua botak mengerutkan keningnya.
"Aku Tiauw Tua, sebelumnya telah berkata, tidak mau aku menguntungi diri sendiri. Ini kau sendiri yang terlalu percaya kepada pandangan matamu. Tapi legakanlah hatimu, jika beruntung aku yang menang, cukup orang Kang-ouw mengetahui bahwa pandanganku Tiauw Tua lebih tinggi dari pandanganmu sedikit...... ha......ha."
Tingkah lakunya ini seperti telah memastikan bahwa kemenangan sudah berada di pihaknya.
Hweeshio alis panjang yang sudah percaya kepada dirinya, hanya tertawa dengan tenang.
"Silahkan mulai!" katanya.
Termakan Kesombongan Hati
Lalu ia menghadap ke arahnya Koo San Djie dan berkata:
"Kau lawanlah dengan tenang, semua akibat akan ku tanggung."
Koo San Djie terpaksa, sambil menjura ia berkata:
"Boanpwe terima perintah."
Ia cukup mengetahui adat dari orang-orang yang berkepandaian tinggi. Mereka selalu tidak mau menyerang terlebih dahulu. Maka setelah memberi hormatnya, ia mengangkat sebelah tangannya dan mengeluarkan sebuah pukulan ke depan.
Si orang tua kepala botak telah terkenal lama di kalangan Kang-ouw, kepandaiannya lebih tinggi setengah tingkat dari pada Thian-mo Lo-lo dan si Sastrawan Pan Pin, adatnya tidak kalah berangasannya dari pada Thian-mo Lo-lo. Sedari ia terjun di kalangan kang-ouw, kecuali si Hweeshio alis panjang ini yang masih dapat menandinginya, yang lain tidak ada yang dipandangnya dengan sebelah mata. Sebetulnya, si Hweeshio alis panjang tidak mempunyai niatan untuk mengadu kekuatan dengannya, tapi setelah didesaknya sampai beberapa kali, maka terjadi pertarungan yang seru ini.
Demikianlah, Tiauw Tua yang melihat Koo San Djie telah mulai menyerang, tentu menjadi kaget juga, melihat serangan si pemuda ternyata istimewa. Meskipun yang berada di hadapannya adalah seorang anak yang masih belasan tahun usianya, tapi setelah ia mengeluarkan seluruh kepandaiannya, tidak berani memandang enteng lagi. Ia lompat kekiri mengelakkan serangan, dan mulai balas menyerang.
Kepandaiannya telah diyakinkan selama puluhan tahun, ia lebih banyak pengalaman bertempur. Ilmu pukulannya Tiauw-liong-ciang dapat menghancurkan batu gunung. Setiap kali ia menyerang, tentu mengandung tenaga yang dahsyat. Dalam beberapa gebrakan saja, di sekitar tempat mereka bergerak terlihat bayangan-bayangan telapak tangannya.
Pertama kali Koo San Djie menemui lawan tangguh, dengan menggunakan pukulan Hian-oey-ciang, sejurus demi sejurus, ia melawan dengan hati-hati. Telah tiga hari ia menonton pertarungan dari atas tebing yang telah menambah banyak pengalamannya, maka ia dapat bertarung dengan leluasa. Semakin lama, gerakannyapun telah menjadi semakin lancar, hingga ia dapat melawan si orang tua kepala botak Tiauw Tua yang telah malang melintang di kalangan Kang-ouw puluhan tahun lamanya.
Gerakan-gerakan badan dari mereka sama cepatnya, serang menyerang dilakukan dengan saling susul. Sebentar saja, pertandingan sudah lebih dari sembilanpuluh jurus. Biarpun Tiauw Tua tidak menyangka kepandaian dari anak yang masih bocah ini sedemikian tangguhnya, tapi ia masih dapat menenangkan diri, ia percaya, dengan kepandaiannya, tentu dapat menahan sepuluh jurus lagi, walau dengan serangan yang bagaimana hebatpun juga.
Tju Thing Thing yang berdiri menonton pertandingan sudah menjadi gelisah bukan main. Seperti juga ia ingin membikin sadar kepada Koo San Djie, mulutnya dengan tidak terasa telah nyeletuk:
"Sembilanpuluh empat, sembilanpuluh lima, sembilanpuluh enam......"
Koo San Djie baru tersadar dari tidurnya.
Dalam hatinya berkata: "Cilaka, karena keenakan bertarung, sampai lupa akan menghitung jurus. Kini hanya tinggal empat jurus lagi......"
Hatinya sudah menjadi agak bingung. Ia lalu mengeluarkan beberapa jurus terakhir dari ilmu yang tertulis dalam kitab Im-hoe-keng. Dari samping, dia mengeluarkan jurus tipu yang bernama Langit dan Bumi Pandang Memandang.
Tiauw Tua yang melihat ini, tentu saja menjadi terbelalak kaget dan mundur beberapa tindak, ia belum pernah melihat kepandaian yang seperti itu. Belum juga ia hilang kagetnya, tiba-tiba jurus yang kedua dengan gaya pukulan Hujan dan Angin Menderu-deru, telah datang......
Bagaikan angin topan mengamuk dan gunung meletus, batu-batu pun terbang, mengelilinginya turun untuk menggencet.......
Tanpa diberi kesempatan untuk berpikir, jurus ketiga telah datang mengarah embun-embun Tiauw Tua.
Tigabelas jurus dari pelajaran kitab Im-hoe-keng yang terakhir diciptakan menurut arah jalan darah manusia. Jurus pertama begitu keluar, jurus kedua, ketiga....... sudah saling sambung menyambung. Sampai orang yang menggunakan ilmu pukulan yang ampuh itu sukar untuk menahannya. Koo San Djie tidak tahu akan kelihaian ilmu itu.
Sewaktu jurus kedua dilancarkan, Tiauw Tua sudah sampai di ujung maut. Sampai di sini Koo San Djie sudah ingin menahan serangannya, tapi bagaikan gendewa yang sudah ditarik penuh, jurus ketiga sudah tidak dapat, ditahan lagi......
Tiauw Tua sudah memejamkan mata, menunggu akan ajalnya. Tapi dalam keadaan genting itu mendadak terdengar teriakan yang memekakkan telinga, hweeshio alis panjang sudah lompat terbang ke sebelahnya Tiauw Tua, dengan cara bersama-sama, mereka berdua menahan serangan yang maha dahsyat dari jago kita. Dengan cara demikian nyawa Tiauw Tua tidak sampai melayang ke akherat.
Koo San Djie tergetar ke samping, dengan enteng turun menginjak tanah. Sangat beruntung, mereka bertiga tidak mengalami celaka apa-apa. Tapi Koo San Djie sudah mengeluarkan keringat dingin. Dalam hatinya berkata:
"Pantas guruku mengatakan, jangan sembarang menggunakan kepandaian ini, tidak disangka ia mempunyai kekuatan yang demikian hebat!"
Setelah sekian lama, baru Tiauw Tua dapat mengembalikan semangatnya, dengan tidak terasa telah mengelah napas. Si orang tua yang tadi begitu sombong dan mempunyai penuh kepercayaan atas dirinya sendiri, telah menjadi demikian lesunya.
Koo San Djie sudah merasa tidak enak hati. Ia lalu maju untuk meminta maaf. Dengan penuh rasa menyesal ia berkata:
"Locianpwe harap jangan gusar, boanpwee sudah tidak keburu untuk menarik kembali serangan tadi."
Tiauw Tua menggoyang-goyangkan kepalanya, dengan tertawa pahit ia berkata:
"Kau jangan merendah, jika kau tidak mengenal kasihan, mana aku masih mempunyai nyawa lagi sekarang" Dengan terus terang kukatakan kepadamu, bahwa aku kalah dengan sejujurnya. Sebelumnya aku telah mengatakan, jika aku kalah, dengan rela akan menjadi pengiringmu. Silahkan kau memberi perintah, tidak perlu sungkan-sungkan lagi."
Koo San Djie terkejut: "Locianpwe, jangan berkata demikian aku tidak dapat menerimanya."
"Kongcu jangan sungkan. Aku mana boleh menarik perkataanku. Kalau kau menolak berarti kau tidak memandang padaku."
Koo San Djie tidak berdaya terhadapnya, dengan terpaksa ia berkata:
"Bagaimana sajalah, aku membahasakan kau toako, dan kau memanggil adik padaku.
Tiauw Tua masih menggeleng-gelengkan kepalanya.
T"ju Thing Thing yang melihat dua orang membawa kemauannya sendiri-sendiri dan tidak ada habis-habisnya, sudah menyelak berkata kepada Tiauw Tua:
"Kau memaksa adik San menjadi majikanmu, maukah kau mendengar perintahnya?"
"Sudah tentu aku akan menurut segala perintahnya," Tiauw Tua menjawab dengan sungguh-sungguh. "Aku tidak akan menarik kembali perkataanku."
Tju Thing Thing tertawa cekikikan, katanya:
"Ia menyuruhmu membahasakan saudara kecil, mengapa kau tidak menurut?"
Baru sekarang Tiauw Tua tidak berdaya dengan terpaksa ia memanggut-manggutkan kepalanya.
Hweeshio beralis panjang, setelah menunggu sampai urusan mereka ini selesai, baru maju ke muka, dengan merangkapkan kedua tangannya ia berkata kepada Koo San Djie.
"Kongcu yang sangat mengerti aturan ini, dengan hati yang berbudi mempunyai hari depan yang gilang gemilang. Aku mempunyai beberapa perkataan, yang mungkin kurang enak untuk didengar, bersediakah kongcu mendengarnya?"
Dengan membongkokkan badannya, Koo San Djie berkata:
"Boanpwe yang rendah bersedia mendengarnya."
Hweeshio beralis panjang bersabda:
"Omitohud. Sukar untuk menemui orang yang mempunyai pandangan luas saperti kongcu ini...... Kongcu mempunyai bayangan rontok kembang yang mengandung banyak tali asmara, tapi alis yang berdiri tinggi, mengandung banyak pembunuhan. Semoga, dengan budi luhur yang tersimpan di dalam hati, harap kongcu dapat mengatasi ini semua...... Pada saat ini, hawa marah telah mengurung seluruh kepalamu, tapi di atas jidat, terbayang bintang yang mungkin mengandung marah bahaya. Harap kongcu dapat mengerjakan sesuatu dengan hati-hati. Biarpun demikian, urusan dapat berjalan dengan lancar, djika tiba pada saatnya, penolong akan datang tanpa diundang......"
Setelah mengatakan ini semua, hweeshio alis panjang itu sudah membalikkan badannya dan melesat pergi dari situ. Dari kejauhan, hanya terlihat jubahnya yang berkibaran.
Tapi Tiauw Tua tertawa berkakakan.
"Ha, ha,...... hweeshio tua," ia berkata, "Obrolanmu ini hanya dapat membohongi orang yang bodoh. Aku Tiauw Tua tidak percaya sama sekali. Jangan dikata, saudara kecil ini yang mempunyai kepandaian istimewa, biarpun aku Tiauw Tua, dengan mengandalkan kepandaian seupil inipun tidak pernah mengalami bahaya suatu apapun......"
Koo San Djie setengah percaya dan setengah tidak, dia telah menyelak:
"Ia memberi pesan untuk kebaikanku. Tidak perduli benar tidaknya, tidak ada salahnya untuk kita berhati-hati menjaga diri."
Melihat Koo San Djie mengatakan demikian juga, Tiauw Tua tidak membantah lagi, hanya menanyakan tentang soal selanjutnya.
Sampai di sini, baru Koo San Djie ingat akan urusannya Hay-sim Kongcu. Mulutnya terdengar beberapa kali berteriak:
"Cilaka! Aku di sini telah tertunda tiga hari. Urusan akan menjadi terlantar oleh karenanya."
Kemudian, diceritakan kejadian tentang Ong Hoe Tjoe dan Hay-sim Kongcu, tentu saja serba singkat.
Tiauw Tua belum bisa meninggalkan adatnya yang cepat naik darah, dia sudah menjadi marah. Dengan sangat sengit ia berkata:
"Di kalangan Kang-ouw, orang hanya memuji Lembah Merpati begini dan begitu, menganggap pemimpinnya sebagai dewa. Tapi aku Tiauw Tua mana percaya" Kini telah terbukti, bagaimana perbuatan mereka, nyalinya sudah menjadi semakin besar. Urusan tidak dapat ditunda pula, aku akan jalan terlebih dulu, agar bisa membuka jalan untukmu."
Ia telah melemparkan badannya, bagaikan asap kuning ia telah melesat terbang melewati tebing.
Tju Thing Thing sudah menjadi kegirangan, dengan bertepok-tepok tangan, ia berkata:
"Tidak disangka, dalam kesalahan telah mendapatkan seorang pengiring yang mempunyai kepandaian demikian tinggi. Suatu kejadian yang sangat lucu sekali."
"Dia adalah cianpwe dari rimba persilatan," Koo San Djie berkata, "Kita tidak dapat menganggapnya sebagai pesuruh, kita harus menghormatinya."
Tju Thing Thing sudah menjebikan bibirnya. Terdengar ia berkata:
"Apa kau saja yang mengetahuinya" Apa aku belum kenal" Terus terang kukatakan kepadamu, aku telah lama mendengar namanya, derajatnya lebih tinggi dari pada guruku. Siapa kata, aku tidak menghormatinya?"
Sampai di sini, Koo San Djie sudah tidak berani banyak mulut lagi.
"Mari kita melanjutkan perjalanan pula." Akhirnya ia mengajak si nona pergi.
Mereka berdua membuntuti bayangan Tiauw Tua, dengan cepat menuju ke arah selatan.
Kepandaian Tiauw Tua mana dapat dipandang ringan" Ditambah pula, Koo San Djie yang masih harus memperhatikan Tju Thing Thing, tidak dapat menambah kecepatannya. Maka sebentar saja, bayangannya sudah lenyap sama sekali. Di depan hanya tertampak gunung-gunung yang bersusun-susun. Haripun telah mulai menjadi gelap.
Tju Thing Thing sudah mengusulkan mencari tempat untuk mengasoh, Koo San Djie tidak berani tidak melulusi. Tapi sewaktu memandang ke sekitarnya, ia merasa cemas. Di daerah pegunungan yang sepi ini, mana ada orang yang berani tinggal" Maka dengan terpaksa mereka berdua melanjutkan perjalanan malam.
Tiba-tiba di antara lembah gunung, terlihat sinar api berkelebat. Tju Thing Thing sudah berteriak girang:
"Hura! Di tempat sinar terang itu, tentu akan dapat menemui rumah-rumah penduduk."
Dengan menambah kecepatan larinya, mereka sudah menuju ke arah sinar terang tadi. Tapi baru saja mereka berada di mulut lembah, suatu pemandangan yang sangat menakutkan telah terbentang di hadapan mereka. Hampir saja Tju Thing Thing menjadi pingsan. Dengan kedua tangannya yang masih ditaruh di atas dadanya yang berdebar-debar, ia menjerit sambil mundur beberapa tindak.
"Setan, setan......!"
Koo San Djie dengan cepat telah dapat memeganginya. Perlahan-lahan ia bertanya:
"Apa yang telah kau lihat?"
Dengan muka pucat, Tju Thing Thing menunjuk ke bawah lembah dan berkata:
"Kau lihat, lihat...... Ou, sangat menakutkan sekali."
Setelah berkata sampai d sini, ia sudah menyelipkan kepalanya di dalam pelukannya Koo San Djie.
Si pemuda mengarahkan pandangannya ke dalam lembah, menurut arah yang ditunjuk, ia telah menjadi kaget.
Dalam lembah yang demikian luasnya telah penuh dengan tulang kerangka manusia, di tengah-tengah dari tumpukan tulang-tulang putih itu ada duduk bersila seorang laki-laki dengan rambut panjang yang riap-riapan. Dari lubang telinga, hidung dau mulut, tidak henti-hentinya mengeluarkan gumpalan asap biru, mengikuti gerakan dari napas makhluk tersebut.
Ternyata orang ini sekarang meyakinkan semacam ilmu jahat yang lihay.
Terlihat ia meremas-remas kedua tangannya bagaikan mau mencengkeram tulang-tulang putih. Dari tumpukan tulang itu terlihat gumpalan api biru, yang oleh si orang aneh disambut dengan mengangakan mulutnya, dan masuklah gumpalan api biru tadi ke dalam tenggorokan.
Dengan cara demikian, ia tidak henti-hentinya menyedot gumpalan api biru tadi.
Mereka berdua sedang kememek melihatnya, mendadak Tju Thing Thing sudah berteriak pula:
"Kau lihat, di sanapun terdapat satu lagi!"
Koo San Djie menoleh ke arah yang ditunjuk oleh tangannya si gadis. Betul saja, dari tumpukan tulang putih itu muncul pula sebuah kepala orang. Yang ini adalah nenek bongkok dengan roman muka yang jahat, dari telinga, hidung dan mulutnya, juga mengeluarkan asap biru.
Ilmu Yun-ling-pay-kuk-kang yang Berbisa
Sepasang suami istri ini terkenal sebagai dua siluman dari kalangan Kang-ouw. Setan Gunung dan Kalong-wewe yang telah meyakinkan ilmu Yun-ling-pay-kuk-kang di gunung Fuk-niu, karena telah banyak membunuh orang, telah dihajar adat oleh si orang tua Berbaju Ungu.
Tidak disangka, mereka ini sudah pindah kemari, bahkan kepandaiannya Yun-ling-pay-kuk-kang sudah mencapai tingkatan yang kesembilan.
Tju Thing Thing yang sudah berteriak kalang kabut, menyebabkan terganggunya dua siluman ini. Dua pasang sinar mata yang biru, bagaikan pelita mencorot ke atas tebing, mulutnya mengeluarkan suara cit-citan seperti hantu. Mendadak, tubuh dari kedua jejadian ini terbang melambung ke atas, berdiri di atas tebing.
Sedari melihat, Tju Thing Thing tidak henti-hentinya menjerit-jerit, Koo San Djie sudah mengetahui, urusan tidak akan berakhir sampai di sini, ia sudah mengerahkan seluruh Bu-kit-sian-kang nya, siap sedia menghadapi segala kemungkinan. Dengan keras ia sudah membentak ketika dua orang aneh itu yang kini sudah berdiri di hadapannya:
"Kau ini manusia apa siluman" Mengapa menggunakan tulang manusia untuk melatih diri, apa memang kalian tidak mempunyai prikemanusiaan?"
Dengan suaranya yang gerowak gerowek, si Setan Gunung berkata:
"Apa yang dinamakan prikemanusiaan" Aku kebetulan sedang kurang sepasang muda mudi, dengan adanya kau di sini, seperti mengantarkan diri, memang sangat kebetulan sekali."
Tsdinya Tju Thing Thing ketakutannya setengah mati kini, setelah melihat si Setan Gunung bisa bicara, ia sudah tidak menjadi takut lagi. Ia segera menghunus pedang dari sarungnya. Terdengar ia membentak:
"Demi keamanan manusia, aku akan membunuh kau berdua."
Terlihat sinar pedang berkelebat, ia sudah berada di atas si Setan Gunung dan mengarahkan ujung pedangnya ke atas kepala orang.
"Berani kau melawan" Kau hanya mengantarkan jiwamu saja!" si Setan Gunung berteriak marah.
Ia telah mengeluarkan cengkraman setannya mengarah batang pedang.
Tju Thing Thing tidak membiarkan pedangnya direbut, ia memutarkan diri, berpindah kaki, pedangnya yang enteng sudah menyerang lagi......
Koo San Djie takut Tju Thing Thing mendapat rugi, maka dia maju untuk menggantikannya. Tapi, mendadak dari belakang terasa angin menyerang, dengan segera ia membalikkan badannya, jurus tipu Ombak Menyapu Tumpukan Sampah, telah keluar dan mendorong balik serangan tadi.
Yang menyerang dari belakang ialah Kalong Wewe, siapa sudah menjadi terpental beberapa tindak jauhnya. Dengan mengeluarkan suara yang lebih jelek dari suaranya burung hantu, ia berkata:
"Yang datang ialah orang dari setan Baju Ungu......"
Dengan tangannya yang hanya tinggal kulit pembungkus tulang, ia maju kembali. Dari serangan telapak tangannya terlihat gumpalan api biru, dengan bau bacin yang bisa dibikin mual orang yang menyedotnya. Dalam sekejapan mata saja, di sana sini terlihat berkeredepannya api biru yang sangat menakutkan.
Tapi dengan Bu-kit-sian-kang, Koo San Djie melindungi tubuhnya, dia tidak takut dengan segala kepandaian jahat ini. Dengan pukulannya yang istimewa ia sudah menyerang berkali-kali.
Tidak demikian dengan Tju Thing Thing, dia sedang melawan si Setan Gunung. Dalam duapuluh jurus yang pertama, ia masih dapat balas menyerang, tapi lama kelamaan, ia sudah terkurung oleh api biru si kakek.
Koo San Djie menjadi gelisah, dengan keras ia mendesak mundur si Kalong Wewe, maka dia bebas dan berbalik membantu si nona, tapi terlambat.
Tju Thing Thing sudah terkena pukulan di pundak. Dengan sekali menjerit ia rubuh di tanah.
Mata Koo San Djie sudah merah seperti memancarkan api, bergantian tangannya melepaskan pukulan-pukulan yang keras, inilah simpanan dari seluruh tenaganya. Bagaikan memecah batu menggetarkan bumi, angin pukulannya yang menderu-deru, membawa debu dan batu menyerang ke arahnya si Setan Gunung.
Setan Gunung mana berani menyambuti serangan ini, ia sudah melompat ke samping dengan meninggalkan Tju Thing Thing yang terluka.
Koo San Djie telah menggunakan kesempatan bagus, menyambar tubuh Tju Thing Thing, dengan menggunakan tipu Awan dan Asap Lewat di Mata, mereka menghilang dari tempat itu.
Dengan mengempit Tju Thing Thing, Koo San Djie berlari lama, demikian sehingga di depannya ada berdiri sebuah kuil kecil yang telah rusak. Maka dengan cepat dia lari masuk ke dalam kuil tadi.
Mendadak, dari samping telah muncul seorang dan berkata:
"Yang datang apakah saudaraku?"
Inilah suara Tiauw Tua. Seketika itu hati Koo San Djie menjadi lega.
"Toako, Tju Thing Thing telah terIuka......" katanya gugup.
Tiauw Tua menjadi kaget. "Siapa yang telah melukai?" tanyanya.
Bersama-sama, mereka masuk ke dalam pendopo yang telah terang, karena Tiauw Tua tadi telah menyalahkan api. Dengan meminjam terangnya api, baru mereka dapat melihat keadaannya Tju Thing Thing.
Muka Tju Thing Thing yang tadinya putih sudah menjadi hitam biru, begitu pula dengan seluruh tubuhnya, napasnyapun telah menjadi pendek-pendek, lupa orang. Ini membuat mereka menarik napas dan bingung.
Koo San Djie sudah menjadi gelisah, meremas-remas tangannya sendiri dan berkata:
"Toako, bagaimana?"
Dengan tegang Tiauw Tua mendekati Tju Thing Thing, pertama-tama, diperiksanya urat nadi, lalu menempelkan telinga di atas dada si gadis. Tapi hidungnya yang tajam sudah merasakan bau busuknya mayat. Maka ia bertanya:
"Inilah ilmu jahat dari Yun-ling-pay-kuk-kang. Di mana kalian telah bertemu dengan siluman itu?"
Koo San Djie menuturkan pengalamannya yang belum lama dialami olehnya.
Tiauw Tua menggeleng-gelengkan kepalanya. Terdengar ia berkata:
"Ini ilmu Yun-ling-pay-kuk-kang ada jahat sekali, siapa yang menerima pukulannya, dalam duabelas jam, akan menjadi bengkak dan lumer, berubah menjadi segumpalan cairan kuning. Kecuali mendapat obat pemunah dari si penyerangnya, tidak ada lain jalan."
Lalu, ia menjelaskan juga tentang Yun-ling-pay-kuk-kang ini.
"Untuk melatih ilmu ini, harus tidak mengenal prikemanusiaan. Dengan menggunakan tigaratus mayat manusia dan menyedot hawa busuk yang beracun, baru bisa menyelesaikannya. Jika bukan orang yang sudah hampir hilang ingatan, tidak nanti dapat meyakinkan ilmu ini. Kita harus dengan segera mencari si Setan Gunung untuk mendapatkan obat pemunahnya."
Mendengar bahwa Yun-ling-pay-kuk-kang demikian jahatnya, Koo San Djie menjadi marah. Orang yang kini berbaring di hadapannya, yang tadinya sangat cantik dan lincah, sebentar lagi akan menjadi segumpalan cairan kuning. Siapa yang menyaksikannya tidak akan menjadi sedih" Ia mempunyai perasaan yang sangat tajam, hatinyapun cepat tergerak dengan mudah.
Pengalaman yang pahit dari keluarga Ong Hoe Tjoe belum lagi lenyap, sudah ditambah lagi dengan cara meninggalnya Tju Thing Thing yang penasaran ini. Ia masih merupakan seorang anak yang baru belasan tahun, mana dapat ia menahannya" Pukulan-pukulan batin yang melampaui batas yang telah dideritanya telah menyebabkan ia hampir tidak dapat menguasai otaknya. Mendadak ia menjerit-jerit:
"Oh dunia, mengapa kau menciptakan demikian banyaknya orang jahat?"
Dengan sebat, tangannya mengeluarkan sebuah benda hitam mengkilap yang merupakan pit, dalam keadaan kalap ia berkata:
"Pit wasiat, aku akan mengandalkanmu, membunuh semua orang jahat yang ada dalam dunia. Aku Koo San Djie, jika lupa akan sumpahku di hari ini, sebagai inilah bagiannya."
"Plak," terdengar suara meja somplak yang telah terkena benturan Pit Badak Dewa tadi. Pecahan kayu meja telah berhamburan di mana-mana.
Keadaan yang kalap itu, telah membuat Tiauw Tua menjadi kuatir tapi ia lebih berpengalaman, mengetahui percuma saja sampai si pemuda melampiaskan hawa amarahnya. Tapi matanya yang telah membentur pada Pit Badak Dewa yang hitam mengkilap itu hatinya tiba-tiba menjadi sangat girang. Ia mempunyai pengetahuan yang luas, dan sudah dapat mengenalinya kepada Pit Badak Dewa yang dapat mempunahkan segala macam racun yang bagaimana jahat juga. Maka sambil berteriak-teriak girang, ia berkata:
"Sandaraku, tenang, tenang, nona Tju akan tertolong."
Koo San Djie membalikkan badannya dan menanya:
"Dengan cara apa?"
"Kau tunggu sebentar, aku akan menyediakan alat-alat keperluan."
Lalu, ia membalikkan badan, lari ke dalam ruangan untuk mencari sebuah teko dan mangkok air, kemudian berkata pada si pemuda:
"Bawa kemari Pit Wasiat Badak Dewamu itu!"
Dengan cepat, Koo San Djie menyodorkan barang yang diminta.
Tiauw Tua menerima pit tadi, lalu dimasukkannya ke dalam mangkok yang telah penuh air, kemudian diudek-udek sekian lama.
Koo San Djie menjadi agak engah, baru ia ingat gurunya pun pernah mengatakan kepadanya, bahwa pit wasiatnya dapat memunahkan segala macam racun mengapa ia tidak dapat mengingatnya"
Sebentar saja, air di dalam mangkok sudah menjadi keruh seperti susu, lalu dicekoki ke dalam mulut Tju Thing Thing.
Masih ada setengah mangkok sisanya, lantas disodorkan untuk dipegang oleh tangan Koo San Djie. Sambil menyobek sepotong kain dari bajunya Tju Thing Thing terus dicelupkan ke dalam sisa air tadi, Tiauw Tua berkata:
"Kini telah tiba akan giliranmu. Dengan menggunakan kain yang telah dicelupkan ke dalam air ini, gosokilah ke seluruh tubuhnya untuk membersihkan racun yang masih menempel di kulit. Aku akan keluar sebentar untuk melihat keadaan."
Koo San Djie tidak dapat menolak, sebab tidak ada orang lain yang dapat melakukannya, kain tadi lalu digosokannya di atas kulit Tju Thing Thing. Dan betul saja, kulit yang kena gosokan kain yang dicelup tadi sudah kembali kepada asalnya.
Demkianlah ia sudah menggosokkan kain tadi, dari kepala sampai tangan dan kaki. Tapi kini timbullah suatu kesukaran pula. Bagaimanakah dengan tubuh yang tertutup dengan baju" Setelah mundur maju setengah harian, dengan memberanikan diri, ia membuka kancing bajunya si nona, lalu menggosok dari atas pundak dan terus turun ke bawah......
Sewaktu tangannya menyentuh buah dada, deburan jantungnya bertambah cepat, kedua tangannya bergemetaran, otaknya sudah menjadi kosong sama sekali. Inilah suatu percobaan yang penting. Ia sudah menjadi kememek, berdiri di tempatnya, lupa akan tugas yang telah jatuh di atas pundaknya.
Tetapi, mendadak badannya Tju Thing Thing yang sudah hampir kaku perlahan-lahan sudah mulai bergerak. Koo San Djie baru mendusin, dalam hatinya ia memaki sendiri:
"Bagaimanakah aku ini?"
Untungnya dia mempunyai dasar kepandaian yang tinggi, setelah melihat keadaan tidak benar, sudah lantas dapat menenangkan dirinya. Sebantar saja, pikiran tadi telah lenyap terbang ditiup angin. Dengan perlahan-lahan berkata:
"Ciecie, Ciecie......"
Pada waktu itu, racun yang berada dalam badannya Tju Thing Thing sudah hampir menjadi bersih sama sekali. Lalu dibuka kedua matanya, dilihatnya ia tertidur di dalam sebuah kuil yang sangat kotor, dengan Koo San Djie yang sedang mengawasi berdiri di sampingnya.
Ia mencoba membalikkan badannya untuk berdiri, tapi mendadak badannya seperti merasa dingin. Ia sangat kaget dan melihat bajunya telah terbuka. Dengan mempelototkan kedua matanya, ia sudah menegur kepada Koo San Djie.
"Mengapa kau berdiri di sini saja?"
Sebenarnya ia sudah mengetahui orang membuka bajunya dengan kepentingan menolong jiwanya. Koo San Djie berdiri di sebelahnya adalah untuk menjaga. Tapi sudah menjadi suatu sifat wanita yang selalu menyalahkan orang lain. Dan yang mendapatkan kesalahan adalah orang yang dicintainya.
Koo San Djie menyodorkan mangkok yang masih berisi air pemunah racun kepadanya dan berkata:
"Masih ada kulit yang hitam, kau gosoklah dengan air ini, tentu sembuh."
Kedua kakinya bergerak, kemudian lompat keluar.
Tiauw Tua sedang mundar mandir di pekarangan luar, sambil menggendong tangan, dia menunggu perkembangan, melihat Koo San Djie sudah keluar sudah lantas bertanya:
"Bagaimana keadaannya?"
"Sudah sembuh!" jawab Koo San Djie girang.
Terdengar pula Tiauw Tua berkata:
"Bagus. Di depan telah terlihat pertandaan dari pulau Hay-sim, tentunya mereka sudah menemukan jejak musuh."
"Jika demikian, marilah kita pergi melihatnya," Koo San Djie mengajak.
Pada waktu itu Tju Thing Thing juga sudah lari keluar untuk menghampiri mereka.
Tiauw Tua melihat si nona sudah sembuh kembali, hatinya girang dan memuji Pit Badak Dewa milik Koo San Djie.
"Sebagaimana biasa, ini kalipun aku yang pergi terlebih dahulu untuk membuka jalan," berkata Tiauw Tua seraya ketawa.
Baru saja mereka keluar dari mulut lembah, di beberapa tempat telah terlihat tanda-tanda bahaya dari pulau Hay-sim. Tanda arah ialah jurusan Barat-daya."
Pada waktu itu telah sampai di akhir musim semi. Daun-daun telah mulai pada rontok. Di daerah pegunungan yang tandus, sewaktu-waktu masih terdengar berkicaunya burung-burung yang mengharukan. Demikianlah telah mengingatkan sang waktu yang ramai telah berlalu......
Berlalunya waktu tidak pernah dapat ditawan, dengan cepat dibawanya umur manusia ke tempat pintu akhir ajal.
Koo San Djie bersama Tju Thing Thing tidak mempunyai perasaan ini. Mereka sedang berusaha, bagaimana untuk menemukan sastrawan Pan Pin dan Thian-mo Lo-lo sekalian.
Baru saja lewat pada sebuah tikungan di pegunungan, di depan. terlihat pepohonan yang bukan main lebatnya. Mendadak, di antara sela-sela pepohonan tadi berkelebat dua bayangan dari sepasang muda mudi.
Koo San Djie mencurigai bayangan dari muda mudi tadi, ia selalu menganggap mereka tentu orang-orang yang datang dari Lembah Merpati. Maka, dengan cepat ia lalu menarik Tju Thing Thing, menyembunyikan diri di belakangnya pepohonan yang lebat.
Dua muda mudi tadi, yang laki-laki berpakaian imam, yang perempuan memakai pakaian ringkas berwarna merah. Setelah sampai di tanjakan, si laki-laki sudah memberhentikan langkahnya, dengan perasaan yang sangat menyayang ia berkata:
"Adik Shia, mari kita istirahat sebentar. Kau tentu sudah merasa lelah."
Si gadis setelah membereskan rambutnya yang kusut, dengan rupa yang sangat kolokan menjawab:
"Hee......" Kemudian dengan pandangan yang penuh arti, ia tertawa dan telah duduk numprah di tanah.
Si laki-laki menghela napas, juga duduk di sebelah kawannya, matanya memandang jauh ke langit. Dengan penuh rasa ngeri ia berkata:
"Aku juga mengetahui, meninggalkan perguruan berarti berkhianat, tapi dengan umur kita yang beberapa puluh tahun ini mana dapat dibuang percuma" Kepergian kita ini ke dalam Lembah Merpati, biarpun belum tentu dapat panjang umur, tapi setidak-tidaknya, kita telah dapat menikmati kehidupan manusia."
Mendengar disebutnya Lembah Merpati Koo San Djie sudah menjadi ketarik dan lebih memperhatikannya.
Dengan malas-malasan, si gadis menyenderkan kepalanya di atas dada si jejaka. Mulutnya seperti sedang mengoceh, berkata dengan perlahan:
"Ya, beruntung ada mereka yang datang, menjemput kita. Nanti, setelah kita sampai di sana, seperti mereka juga, kita akan menjadi pasangan yang tidak mengenal susah pula......"
Semakin lama, perkataannya semakin pelan sampai yang terakhir, hanya ia sendiri dapat mendengar.
Si jejaka meraihkan tangan dan memeluk pinggang yang ramping dari kawannya. Dengan bersender-senderan, mereka telah menikmati impian muluk, impian tentang Lembah Merpati yang dikatakan orang sebagai sorga dunia.
Perkataan indah yang diberitakan pada pasangan yang tak dikenal namanya telah membuat jejaka dan gadis ini telah meninggalkan perguruan mereka, cerita-cerita yang telah dilapisi oleh kembang gula telah menyebabkan dua muda mudi ini berani menempuh bahaya.
Sinar matahari yang mulai mendoyong ke barat menyinari dua bayangan ini. Dalam remang-remang, mereka seperti telah dapat merasai kesenangan seperti yang telah diceritakan tentang Lembah Merpati. Lama, lama sekali, baru mereka bermalas-malasan, mencoba berdiri lagi.
Tapi, mendadak di belakang mereka terdengar bentakan nyaring:
"Murid durhaka yang sangat kurang ajar, mengapa tidak lekas kembali?"
Dari sebelah bawah tanjakan melesat datang seorang imam tua yang berkumis panjang.
Dua orang yang melihatnya sudah ketakutan setengah mati, dengan terbirit-birit, mereka lari masuk ke dalam gerombol pepohonan.
Si imam tua berkumis panjang ketawa dingin, seiring dengan sambaran angin, ia telah mengulurkan kedua tangannya, menjambret kedua muda mudi tadi. Dalam sekejapan mata saja, jari-jari si imam tua berkumis panjang sudah mampir di leher baju kedua orang itu......
Mendadak, dari belakang sebuah pohon berkelebat bayangan yang berupa asap saja cepatnya, tangan bayangan itu dengan perlahan- lahan telah menekan pada bebokong si imam tua.
Koo San Djie dengan segera sudah dapat mengenali, itulah pukulan Wie-mo-ciang.
"Wah, celaka si imam tua!" ia berseru kaget.
Dengan cepat badannya sudah melesat ke arah bayangan tadi.
Tapi, gerakan dari bayangan tadi tidak kalah cepatnya.
Setelah melancarkan pukulan, sudah terus melesat masuk lagi ke dalam pepohonan, gerakan yang digunakannya pun "Awan dan Asap lewat di mata" juga.
Biar bagaimana, jarak Koo San Djie terlalu jauh. Ia tidak berdaya sama sekali.
Dengan telak, bebokong si imam tua telah terkena pukulan tadi. Dengan mengeluarkan jeritan ngeri, tubuhnya terpental lebih dari setumbak.
Sebenarnya, si imam tua ini bukan orang sembarangan, tapi karena perhatiannya sedang dicurahkan ke arah dua muridnya yang murtad, lagian Wie-mo-ciang dapat dilancarkan dengan tidak bersuara sama sekali, maka ia telah kena dibokong.
Koo San Djie tidak keburu untuk mengubar bayangan tadi yang telah masuk ke dalam pepohonan yang gelap. Dengan cepat ia menghampiri pada si imam tua yang luka.
Imam tua yang berkumis panjang yang sudah hampir tidak dapat bernapas, setelah di urut sebentar, membuka kedua matanya yang layu, dengan mengelah napas ia berkata pada Koo San Djie:
"Aku sudah tidak dapat berguna, urat nadiku telah putus."
Dengan memaksakan diri, ia telah mengeluarkan cap batu giok dari dalam sakunya dan menurunkan pula pedang dari bebokongnya, kemudian diserahkan kepada Koo San Djie. Dengan terputus-putus, ia berkata:
"Aku adalah Yun Yan Tjie dari Ciong-lam, aku mohon pertolonganmu, agar tanda cap batu giok dan pedang Hian-ling-kiam ini dapat disampaikan kepada saudara seperguruanku, katakanlah, aku terkena bokongan dari orang Lembah Merpati dan mati di rimba sepi ini......"
Berkata sampai di sini, mulutnya sudah beberapa kali menyemburkan darah hidup. Kasihan, satu pendekar dari Ciong-lam telah mati konyol, gara-gara muridnya yang murtad.


Lembah Merpati Karya Chung Sin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan menahan perasaan sedihnya, Koo San Djie menggeleng-gelengkan kepala. Ia menggali lobang untuk kuburannya si imam tua. Lalu ia memilih setangkai dahan kayu, dengan pedang ia menulis
"Yun Yan Tjie dari Ciong-lam"
yang lalu ditancapkan di makamnya. Kemudian dengan muka yang masih sedih ia berkata kepada Tju Thing Thing:
"Mari kita berangkat. Pada suatu hari, akan kita perhitungkan hutang-hutang dari orang Lembah Merpati."
Dengan tidak disengaja, ia telah terima pesanan yang terakhir dari Yun Yan Tjie, yang tidak disangka bahwa urusan itu bisa menambah kesukaran di belakang hari kepadanya.
Setelah bertahan beberapa lama, Koo San Djie dan Tju Thing Thing melanjutkan pula perjalanan mereka. Setelah keluar dari mulut gunung, di depan terlihat dataran luas.
Tiba-tiba Koo San Djie berkata:
"Lagi-lagi orang dari Lembah Merpati. Kali ini akan kutangkap mereka untuk petunjuk jalan."
Dengan tidak berkedip Tju Thing Thing memandang ke depan. Dan betul, dari jauh ada dua titik bayangan kecil, dengan berliku-liku sedang mendatangi ke arahnya. Ia sudah menjadi takluk betul-betul kepada Koo San Djie yang mempunyai pandangan tajam. Biarpun dengan jarak yang demikian jauh, telah dapat membedakan dengan jelas, warna baju dari orang yang datang tadi.
Semakin lama dua bayangan hitam semakin dekat, kini dengan jelas terlihat, mereka mengenakan pakaian kotak-kotak hitam. Pemuda yang di depan, lari dengan terburu-buru sebagai yang ketakutan, dilihat dari dalamnya, ternyata ia telah terkena luka yang tidak ringan. Pemuda yang di belakang, mengubar dengan tidak kalah kencangnya. Mukanya yang bengis menjadi penasaran, karena tidak dapat menyandak orang yang telah terluka itu.
Karena kelambatan dalam sedetik saja, telah menyebabkan kematiannya si imam tua. Hal ini sudah menyebabkan Koo San Djie sangat menyesal. Kini yang berada di hadapan matanya, seorang pula yang sedang menghadapi bahaya, tidak perduli orang ini jahat atau baik, yang pertama ia harus menolong terlebih dahulu. Tidak ada waktu untuk ia memanggil Tju Thing Thing, badannya sudah melesat ke depan dengan kecepatan luar biasa.
Tju Thing Thing merasa bagai ada angin topan lewat di sampingnya, lantas sudah kehilangan sang kawan. Beberapa puluh tombak di depannya, bagaikan gumpalan asap, Koo San Djie sedang menuju datangnya dua orang tadi.
Tapi, perhitungan dari manusia tidak secepat kejadian alam, hanya tinggal tigapuluh tumbak lagi, pemuda yang memang sudah sampai akan kematiannya telah tersandung jatuh.
Tangan kematian dari pemuda yang mengubar dari belakang, pada waktu itu, dengan cepat telah menempel di bebokongnya sang korban. Dan dengan kecepatan tangan yang lebih cepat dari tangannya seorang tukang copet, ia telah menjemput gulungan kertas dari tangannya sang korban.
Hati Koo San Djie menjadi tercekat. Dengan keras ia berseru:
"Hei jangan berbuat jahat!"
Bagaikan pesawat udara, ia sudah terbang mendatangi ke tempat kejadian tadi.
Orang yang tadi lari menguber dan berhasil telah membunuh mangsanya, telah menjadi kaget, tapi yang membikin ia lebih kaget lagi yalah, gulungan kertas yang ia dapat bersusah payah mendapatkannya, mendadak telah disambar, oleh sebuah tangan dari arah belakang. Orang yang belakangan ini datang lebih cepat dari padanya, sebentar saja sudah pergi meninggalkan puluhan tumbak.
Ia tidak mempunyai kesempatan buat meladeni Koo San Djie, dengan cepat ia sudah lari menguber bayangan orang yang baru datang tadi.
Semua kejadian ini telah terjadi demikian teraturnya, sangat mendadak dan sangat cepat. Jika saja, bukan Koo San Djie yang mempunyai pandangan tajam, tidak nanti dapat mengetahui akan apa yang terjadi.
Gerakan tubuhnya boleh dikatakan lebih cepat dari kecepatan kilat, tapi masih tak dapat menolongnya juga. Ia sampai di sana dan dapatkan sang korban dalam keadaan tidak bernyawa. Telah beruntun dua kali pembunuhan di hadapannya, tapi hanya kurang beberapa detik saja, ia sudah tidak dapat menahannya. Apa karena ia tidak berguna" Bukan demikian soalnya. Keadaan waktulah yang terlalu mendesak.
Dengan lesu, ia berdiri di situ sampai Tju Thing Thing datang menghampirinya. Memang menjadi sifatnya perempuan yang lebih teliti Tju Thing Thing yang melihat ke arah mayat tadi sudah berteriak:
"Adik San, kau perhatikan di tanah. Orang ini telah menulis beberapa huruf, sebelum ia menghembuskan napasnya yang terakhir."
Koo San Djie meneliti kembali. Betul saja, telunjuk orang ini masih menekan tanah, beberapa huruf yang ditulisnya yalah:
"Peta masuk ke dalam lembah......"
Tapi huruf ini sedemikian kalutnya, sehingga orang melihatnya hampir saja tidak mengerti sama sekali. Koo San Djie tidak dapat menjelaskan, apa yang diartikan sama sekali, mulutnya berkemak kemik:
"Peta masuk ke dalam lembah...... Peta masuk ke dalam lembah......" Apa bukannya......"
Tju Thing Thing sudah membuka mulut menyambung:
"Kau mengatakan kedua orang tadi mempunyai gerakan yang sama dengan orang dari Lembah Merpati. Apa bukannya gambar peta yang menunjukkan caranya masuk ke dalam Lembah Merpati?"
Koo San Djie menepok kepalanya dan berkata:
"Betul! Mungkin orang ini telah mengkhianati Lembah Merpati untuk dibuka di depan umum. Tidak disangka telah dapat dipergoki, dan telah diuber-uber disepanjang jalan. Berakhirlah sampai kejadian tadi. Tapi siapakah orangnya yang merebut peta tadi......?"
Ia mulai menduga-duga, ia sedang mengingat-ingat gambaran orang yang merebutnya peta tadi, itulah seorang tua berkupiah emas, berbaju biru. Biarpun gerakannya sangat cepat, tapi ia tidak lolos dari pandangannya Koo San Djie.
Mendadak, dari jauh terdengar siulan yang panjang tapi terang. Itulah suara dari Tiauw Tua yang telah memanggil mereka.
Maka, dengan segera Koo San Djie juga memekik, menyahutinya.
Bersama suara sahutan ini, sebuah bayangan, bagaikan sedang mengejar awan memburu kilat cepatnya, telah datang ke tempat itu. Dan betul saja, yang datang Tiauw Tua.
Setelah berhadapan, Tiauw Tua sudah berkata seperti mengandung penyesalan:
"Urusan sudah menjadi demikian mendesaknya, mengapa kau orang masih di sini saja?"
Koo San Djie mengelah napas, dan sambil menunjuk ke arah orang mati di hadapan ia berkata:
"Kau lihat!" Kemudian diceritakannya juga tentang meninggalnya Yun Yan Tjie tadi dan jalannya rebut-rebutan peta di sini.
Terdengar Tiauw Tua berkata:
"Jika demikian, bukan saja urusan sudah menjadi mendesak bahkan, semakin lama semakin rumit?"
Lalu, diceritakannya juga kabar yang telah dapat didengarnya, tentang ketua dari Lembah Merpati yang telah hampir selesai meyakinkan semacam ilmu, dan tidak berapa lama lagi, dedengkot misterius itu akan keluar di kalangan Kang-ouw, tentu dengan maksud untuk mengangkat nama. Maka, semua pengikut-pengikutnya, kini sudah tidak usah mengumpat-ngumpat lagi, tidak usah mereka menggunakan kedoknya yang palsu belaka.
Sebagaimana biasa, Koo San Djie membawakan sifatnya yang pendiam. Maka, Tiauw Tua sudah melanjutkan ceritanya:
"Sebelumnya, orang hanya menyangka bahwa Lembah Merpati adalah tempat dari orang-orang yang mempunyai kepandaian tinggi, dengan tidak mau mencampuri urusan dunia. Tapi, sebetulnya dia sudah mempunyai perhubungan yang gelap, karena sangat dirahasiakan, maka banyak yang tidak mengetahui benar tidaknya cerita ini."
"Toako, orang yang datang dari pulau Hay-sim berada di mana?" tanya Koo San Djie.
Tiauw Tua menjawab: "Barusan, aku telah menemukan Oey Liong si kurus yang sedang terburu-buru lari lewat di sebelah sini. Ia mengatakan, di arah barat daya telah mendatangi banyak sekali iblis-iblis dari kalangan hitam, yang menambah kecurigaannya. Maka ia telah pergi ke sana untuk mencari kabar terlebih jauh."
Berulang kali Koo San Djie memanggutkan kepalanya. Maka bertiga mereka sudah mulai pula melanjutkan perjalanan. Setelah berlari-larian sampai matahari terbenam, di depan telah terlihat puluhan lampu yang berkelak-kelik. Itulah kota Kun-beng, sebuah kota besar dari Tiongkok barat daya.
Perjalanan yang tidak mengenal waktu ini telah membuat Tju Thing Thing tersiksa. Jika tidak ada Koo San Djie yang sering menentengnya, sudah sedari tadi ia jatuh di jalan. Maka, setelah sampai di kota Kun-beng, biar matipun, ia tidak mau meneruskan perjalanannya pula, ia telah memaksa menginap di sini. Suatu hal kebetulan bagi Tiauw Tua. Ia tidak mempunyai kesukaan lain, kecuali arak yang dianggap sebagai nyawa kedua.
Jurus Terakhir Kitab Im-hoe-keng
Setelah sampai di dalam kota yang ramai, ia menarik tangannya Koo San Djie dan berkata:
"Mari kita minum dua cawan arak. Telah beberapa hari aku dibuat kehausan olehnya."
Setelah memasuki rumah makan, dua orang, satu tua dan satu muda ini sudah memilih kesukaannya masing-masing Yang satu menenggak minuman dengan sepuas-puasnya, yang satu sudah menggasak makanannya. Hanya Tju Thing Thing melihati mereka dengan tertawa. Ia hanya memilih sedikit dari makanan dan minuman.
Mendadak, di sebelah mereka, teraling oleh sebuah ruangan, terdengar seorang yang berlogat gunung, orang itu sedang bicara, katanya:
"Apa kau telah mendengar, di kalangan Kang-ouw telah bertambah seorang anak nelayan yang berkepandaian tinggi, sampaipun si Iblis Pencabut Roh juga telah terjatuh di bawah tangannya?"
Koo San Djie telah menjadi kaget, maka dengan penuh perhatian, ia memperhatikannya pembicaraan orang-orang itu.
Terdengar pula seorang lain yang berlogat daerah berkata:
"Orang hanya pernah mendengar, belum pernah melihatnya. Aku tidak percaya, dengan si Iblis Pencabut Roh, berpengalaman puluhan tahun dapat dikalahkan oleh seorang anak kecil."
Suara yang berlogat gunung berkata pula:
"Memang sukar dipercaya. Dalam beberapa hari ini, orang-orang dari Lembah Merpati yang kita ketemukan bukankah berumur muda" Tapi kepandaiannya...... Hm, bukan aku Ciauw Pat merendahkan diri, kita berdua tidak satu yang dapat menyaingi mereka."
Tiauw Tua yang mendengar perkataan ini sudah menegak minuman, dengan jari yang dicelup basah ia menulis beberapa huruf di meja:
"Empat orang aneh dari Kong-lu."
Koo San Djie memanggutkan kepala, tapi kupingnya masih terus mengikuti pembicaraan itu tadi.
Sayang, pembicaraan di sebelah semakin pelahan, sampai belakangan, hampir menjadi tidak kedengaran. Dengan lambat-lambat seperti terdengar disebut "Liong-sun-say" beberapa perkataan. Baru saja ia minta penjelasan dari Tiauw tua pembicaraan di sebelah sudah selesai.
Orang yang dengan berlogat daerah, dengan suara keras sudah memanggil jongos untuk membikin perhitungan.
Tiauw Tua dengan araknya sudah menulis pula di atas meja:
"Kuntit!" Setelah keluar dari rumah makan, baru dapat dilihatnya dengan tegas keadaan dari dua orang tadi. Yang satu menyoren golok, yang satu lagi membawa senjata yang sangat aneh. Pengawakan badan orang-orang tinggi besar.
Kepandaian empat orang dari Kong-lu tidak setinggi si Iblis Pencabut Roh dan Iblis Pipi Licin. Tapi mereka lebih disegani orang, karena mereka berempat telah menjadi satu, dan lagi, mereka mempunyai anak buah yang banyak yang tidak dapat ditinggalkan begitu saja.
Ini kali, mereka datang ke tempat itu tidak hanya kebetulan, maka Tiauw Tua sudah sangat memperhatikannya.
Dari jauh, Koo San Djie sudah mengikuti mereka, sampai di pinggir kota, mendadak, satu tanda yang menyolok mata telah membuat mereka bertiga menjadi kaget.
Pada tengah-tengah sebuah pohon tercetak tanda minta bantuan dari pulau Hay-sim. Dan di bawahnya masih ditambah dengan tiga buah tanda palang yang berarti sangat mendesak. Maka, dengan melepaskan penguntitan terhadap dua orang aneh dari Kong-lu, Tiauw Tua sudah berkata:
"Aku akan mendahului pergi ke sana."
Koo San Djie juga sudah menjadi gelisah, dengan menarik tangannya Tju Thing Thing, ia mengikuti jejaknya Tiauw Tua.
Sebentar saja, dengan pendengarannya yang tajam Koo San Djie sudah dapat mendengar bentakan-bentakan dan beradunya senjata. Maka, dengan tangan masih menggandeng tangannya Tju Thing Thing, ia sudah menambah kecepatannya. Biar tangannya masih membawa orang, tapi di kalangan Kang-ouw sudah jarang ada orang yang melebihi kecepatannya ini.
Sebentar saja San Djie sudah sampai di sebuah tempat di kaki gunung. Di sana telah berkumpul dengan banyak orang, mereka sedang kalang kabut, saling gempur dan saling serang menyerang. Keadaan ini menjadi tegang, karena di antara yang bertarung, terdapat banyak sekali orang-orang dari golongan kelas satu.
Hu-hay Sin-kun, dengan kumis dan berewok yang khas telah berdiri di sana, dia sedang asyik menandingi si Setan Gunung.
Thian-mo Lo-lo dengan bentakan-bentakannya menyerang ke arahnya si Kalong Wewe.
Sastrawan Pan Pin sedang terdesak oleh seorang tua tinggi besar berjubah merah.
Si Naga Penyelam dari pulau Hay-sim, Lok-sui Cian-liong sedang dikurung oleh dua orang berbaju hitam, dengan mati-matian dia mempertahankan kedudukannya. Dan di sana telah rebah beberapa tubuh dari para pengiring pulau Hay-sim.
Sepintas lalu, keadaan Hu-hay Sin-kun sekalian sudah tidak menguntungkan. Di bawah pohon masih berdiri Min Min Djie dan Si Iblis Pipi Licin berdua, mereka dengan tertawa-tawa.
Begitu badannya Tiauw Tua melesat naik dari kaki gunung, keadaan dari Sastrawan Pan Pin sudah sampai disaat yang tergenting, ia terdesak oleh si orang tua tinggi besar berjubah merah, sampai mundur-mundur beberapa tindak. Tapi si orang tua masih tidak mengasih hati, tangannya yang besar sudah menyerang pula, sebentar lagi Sastrawan Pan Pin akan menderita luka, akan mendapat cedera.
"Semua berhenti!" Tiba-tiba Tiauw Tua membentak nyaring.
Di antara angin ribut dan beterbangannya batu, Tiauw Tua sudah mengeluarkan pukulannya. Suara bentakannya belum juga lenyap, terdengar dua pukulan yang sama-sama kerasnya, mereka saling bentur. Karena ia harus membuka suara, tenaganya terbagi, maka ia telah terpukul mundur setindak, tapi si orang tua berjubah merah juga telah dibikin tergoyang-goyang.
Keadaan telah berubah dalam sekejap mata. Semua orang dari medan pertempuran tadi telah dibuat kaget oleh bentakan ini, maka dengan tidak terasa, semua telah memberhentikan serangan-serangannya. Setelah dilihatnya siapa datang, semuanya sudah menjadi terkejut.
Nama Tiauw Tua telah tersohor di kalangan Kang-ouw, karena sifatnya yang sangat jujur, maka ia disegani oleh segala orang, baik dari kalangan hitam atau putih. Demikianlah dengan gagahnya ia berdiri di tengah-tengah mereka. Setelah dipandangnya semua orang, ia berkata:
"Apa kau orang akan membunuh bersih semua orang di dunia?"
Si Setan Gunung dengan suaranya yang serak berkata:
"Tiauw Tua, jangan kau menjual di sini. Jangan menganggap dirimu lebih tua, dapat kau berbuat sesukamu?"
Tiauw Tua tertawa berkakakan.
"Binatang!" bentaknya. "Dengan tanganmu yang berlepotan darah, tentu akan mempercepat ajalmu. Apa kau kira aku tidak dapat membereskannya!"
Baru saja ia siap untuk turun tangan, Koo San Djie telah sampai di antara mereka. Min Min Djie yang melihat anak muda itu, tentu saja sudah merasa terkejut, dengan cepat ia berteriak:
"Hu-sie Tojin, inilah orangnya yang telah membunuh Iblis Pencabut Roh."
Tosu (imam) berjubah merah, dengan sinar matanya yang bercahaya sudah mengeluarkan suara tertawanya yang seram:
"Membunuh orang harus mengganti jiwa! Anjing kecil, mari sini aku cabut nyawamu!"
Dia bernama Hu-sie Tojin! Bagaikan gumpalan awan yang menutupi matahari ia sudah menubruk ke arahnya Koo San Djie.
Terdengar Tiauw Tua membentak:
"Tunggu sebentar, di antara kita berdua tadipun belum selesai."
Tadi karena urusan telah mendesak, maka ia dapat rugi. Ia mengetahui, jika dibiarkan tosu tua ini bertarung dengan Koo San Djie, maka tidak ada kesempatan pulalah baginya untuk menebus kerugian.
Tapi Koo San Djie tidak mengerti maksudnya ini. Dengan maju ke depan, setindak demi setindak ia berkata:
"Toako silahkan kau mundur. Jangan sampai dua siluman yang jahat itu dapat lolos."
Dengan cepat Tiauw Tua telah menyingkirkan diri, sambil membongkokkan badannya ia berkata:
"Silahkan, silahkan!"
Tiauw Tua lantas menghadapi si Setan Gunung.
Inilah suatu kejadian yang aneh. Semua orang dibuat bingung karenanya. Tiauw Tua dengan derajatnya yang tinggi di kalangan Kang-ouw, di antara mereka, kecuali Hu-sie Tojin yang masih dapat menandingi, yang lain, untuk menyingkir pun tidak gampang-gampang darinya. Tidak disangka terhadap seorang anak yang hanya berumur belasan tahun, ia telah berlaku demikian hormat.
Si Sastrawan Pan Pin duduk di pinggir, tentu saja harus menahan rasa sakit yang tidak terhingga, dengan mulut tidak henti-hentinya menyebut "heran...... heran......," ia yang mengenal betul tabiatnya Tiauw Tua yang berangasan. Seumur hidup Tiauw Tua, belum pernah tunduk kepada siapapun juga. Kelakuannya pada hari ini, yang telah diunjuki demikian takluknya kepada Koo San Djie, siapa yang tidak merasa heran"
Setelah menunggu sampai Tiauw Tua menyingkir, Koo San Djie menjura kepada Hu-sie Tojin, dia berkata:
"Tentang kematian dari adik seperguruan totiang, di sini boanpwee ada beberapa perkataan untuk menjelaskan......"
Tapi Hu-sie Tojin dengan marah-marah sudah membentak:
"Lekas! Supaya kau tidak mati dengan penasaran."
"Di kalangan Kang-ouw, yang penting yalah keberanian!" Koo San Djie berkata dengan nyaring. "Sebenarnya boanpwee dengan adik seperguruan totiang tidak mempunyai permusuhan. Disalah satu rumah makan, dengan tiada sebab musababnya dia telah menyerang kepadaku dan demikian juga dengan terjadinya kejadian di telaga Pook-yang. Terhadap semua ini boanpwee tidak tarik panjang. Pada pertandingan seterusnya, ia bersama-sama dengan Min Min Djie berdua menjadi satu usaha menahan seranganku......"
Ia baru berkata sampai di sini, Hu-sie Tojin sudah memotong:
"Katakanlah saja kematiannya, karena pelajarannya kurang sempurna. Ini hari, aku dengan tidak tahu diri akan meminta pelajaran darimu."
Sewaktu ia mendengar si Iblis Pencabut Roh dengan Min Min Djie berdua masih tidak dapat menahan serangannya, dalam hati kecilnya telah timbul rasa keder. Maka, bicaranya juga sudah mulai rada lunak.
Koo San Djie tidak berdaya, gagal membuat si tosu mengerti, maka terpaksa, dengan sabar ia berkata:
"Jika saja Locianpwee memaksa bertanding, silahkanlah menyerang!"
Hu-sie Tojin tidak malu-malu lagi, dia mulai serangannya. Koo San Djie yang merasa tidak enak, karena telah menyebabkan kematian adik seperguruannya, tidak balas menyerang, hanya memiringkan badannya menyingkir dari serangan.
Hu-sie Tojin telah mengeluarkan jurus yang pertama, kemudian disusul dengan jurus yang kedua. Tapi Koo San Djie sudah berkelit pula dengan menggunakan ilmu "Awan dan Asap Lewat di Mata."
Koo San Djie berbuat begini, karena ia tidak mengingini bertambahnya permusuhan. Tidak dikira, justru inilah yang dirasakan penghinaan yang besar bagi Hu-sie Tojin yang menganggap dengan derajatnya yang tinggi ia sudah kehilangan muka karena telah menyerang terlebih dulu, dan kini telah diganda mengeles saja oleh seorang anak kecil yang baru keluar kemarin. Maka dengan mengeluarkan suara dari hidung ia membentak:
"Jangan sombong!"
Mendadak, ia telah merobah cara berkelahinya, pukulan-pukulannya dengan saling menyusul telah datang bertubi-tubi. Tenaganya yang telah mendapat latihan puluhan tahun tidak berada di bawahnya Tiauw Tua, ditambah dengan keadaan marah, menyebabkan ia mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Semua orang yang melihat perobahan ini sudah menjadi tergetar.
Koo San Djie tidak berani memandang rendah kepada lawan tangguhnya ini, tenaganya telah dicurahkan di kedua belah tangan dengan pukulan-pukulan yang tidak kalah gencarnya, ia balas menyerang.
Dua orang jago kelas satu yang bertarung kian lama kian seru, pukulan yang hebat, serangan yang aneh, jurus-jurus yang tajam dan perobahan-perobahan yang tidak disangka-sangka, telah menyebabkan orang-orang yang melihatnya mengelah napas, mereka belum pernah menonton pertarungan yang seramai ini.
Biarpun tangan Koo San Djie menyerang, otaknya telah bekerja. Menghadapi Hu-sie Tojin yang mempunyai kepandaian tidak di bawah dari Tiauw Tua, untuk dapat menentukan kalah menangnya, paling sedikit juga sampai limaratus jurus lebih. Dan jika ia sampai gunakan kepandaian yang terakhir dari ilmu yang tertulis dalam kitab Im-hoe-keng, sang lawan tidak dapat tidak, tentu akan menderita luka. Ia tidak mau sembarangan melukai orang, sebelum mengetahui betul tentang kejahatan dari orang ini.
Maka, setelah berpikir bolak balik, dapatlah ia suatu akal, dengan mendadak ia berteriak:
"Berhenti!" Ia segera memutarkan badannya dan telah tujukan pukulannya ke arah tebing batu yang terletak dua tumbak dari tempat ia berdiri.
Terdengar suara gemuruh yang memekakkan telinga, batu-batu yang sebesar kepala manusia beterbangan, tebing tadi telah terbongkar hampir seluruhnya. Udara menjadi gelap karena debu-debu yang mengepul naik.
Inilah jurus yang terakhir dari ilmu yang tertulis dalam kitab Im-hoe-keng yang diberi nama Pukulan dan Geledek Berubar-ubaran. Kekuatan dari pukulan ini telah membuat Min Min Djie dan kawan-kawannya yang melihat menjadi meleletkan lidah, bagaikan patung saja mereka terpesona.
Hu-sie Tojin mendongak ke atas dan menghela napas panjang. Kini telah menjadi jelas baginya. Kekuatan dari sang lawan masih berada di atas kepandaiannya, dengan mengalihkan serangan berarti sang lawan masih menyayangi nyawanya agar ia dapat mundur sendiri. Maka ia sudah maju ke depan memberi hormat dan berkata:
"Saudara kecil mempunyai perasaan yang welas asih, aku tidak nanti dapat melupakannya. Tapi biarpun demikian, aku tidak dapat melupakan dendam dari adik seperguruanku, maka setelah lima tahun kemudian, aku akan meminta pelajaranmu pula."
Setelah ia bicara dengan mengibaskan lengan bajunya yang gedombrangan ia sudah melesat lari turun ke bawah tanjakan.
Berakhirlah pertarungan yang seru ini. Tapi di sana, suami istri siluman masih seru dengan lawan mereka, masing-masing Tiauw Tua dan Thian-mo Lo-lo.
Ternyata sewaktu Tiauw Tua menghalang di hadapannya si Setan Gunung, Thian-mo Lo-lo yang mendengar bahwa murid kesayangannya Tju Thing Thing hampir saja meninggalkan nyawanya, karena terkena ilmu jahat Yun-ling-pay-kuk-kang, tentu saja sangat marah. Maka, dengan cepat ia sudah mengeluarkan ilmu Hok-mo-ciang, ilmu pukulan penakluk iblis yang terkenal, dan mengurung si Kalong Wewe.
Tapi ilmu jahat dari si Setan Gunung dan Kalong wewe suami isteri Yun-ling-pay-kuk-kang tidak dapat dibuat gegabah. Setelah masing-masing mengeluarkan serangan-serangan sampai seratus jurus lebih, masih berimbang karena sama kuatnya.
Terhadap dua suami istri siluman yang jahat ini, Koo San Djie sudah menjadi demikian benci. Beberapa kali, ia sudah maju, ingin menalangi melawan mereka, tapi takut dapat menyinggung perasaan Tiauw Tua dan Thian-mo Lo-lo, maka ia membatalkan maksud tersebut.
Dalam keadaan ragu-ragu, mendadak, dari atas tebing terdengar suara tertawa dingin, disusul dengan suara congkak:
"Kawan-kawanku boleh mundur. Lihat dari mereka, siapa yang berani maju pula?"
Dua siluman yang memang sedang keadaan terdesak, mendengar perkataan ini sudah lantas loncat mundur.
Semua orang yang sedang menonton pertandingan mengarahkan pandangan ke atas tebing. Yang dua ialah dari empat orang aneh dari Kong-lu ialah yang tertua U-cit dan yang kedua Ciauw-pat.
Sebetulnya, dua orang ini tidak perlu dikuatirkan. Yang dikuatirkan ialah keselamatannya Hay-sim Kongcu yang berada dikempitannya, bahkan sebelah dari tangannya U-cit ditaruh di atas embun-embunnya Hay-sim Kongcu.
Hu-hay Sin-kun tertawa dingin, cepat bagaikan monyet, ia sudah merayap naik ke atas tebing. Yang tidak kalah cepat dengannya ialah Koo San Djie, si pemuda merendengi di sebelahnya
Liong-sun-say, Pesanggrahan yang Tidak Dikenal
Tapi, mandadak U-cit sudah membentak keras:
"Jika siapa di antara kau orang ada yang berani naik, dengan menambah sedikit tenaga saya, nyawa orang ini akan melayang."
Bentakan ini berhasil bagus. Hu-hay Sin-kun dan Koo San Djie yang telah menjadi ketakutan telah menjatuhkan dirinya kembali.
Terdengar U-cit membentak pula:
"Jika masih mengingini nyawanya, semua berdiri di tempatnya masing-masing."
Lalu menggapaikan tangannya ke arah dua jejadian dan kawan-kawannya yang sudah bersama-sama lari meninggalkan tempat itu.
Rambut yang putih dari Hu-hay Sin-kun seperti menjadi berdiri, tentu saja dia panas hati, sangat penasaran, kedua matanya seperti mau memancarkan api, tapi ia tidak berdaya sama sekali. Kedua kakinya bagaikan ditancapkan di tanah, tidak berani bergerak lagi.
Koo San Djie mengarahkan pandangannya ke tempat Tiauw Tua.
Tapi Tiauw Tua hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
Inilah suatu langkah yang sangat lihay, sehingga dapat memaksa demikian banyaknya orang berkepandaian tinggi menjadi takluk tidak berdaya, karena dalam genggamannya terdapat anak kesayangan dari Hu-hay Sin-kun. Salah sedikit saja, akan mengakibatkan penyesalan seumur hidup. Siapa yang berani menempuh bahaya"
Demikianlah, sampai rombongan kawan-kawan iblis tidak terlihat bayangan mata semua orang baru terdengar elahan napas dari Hu-hay Sin-kun.
Dalam ingatannya, terbayang pula pembunuhan kepada sang istri. Penyiksaan terhadap anaknya, semua kejadian-kejadian ini telah membuat Hu-hay Sin-kun, yang telah malang melintang puluhan tahun di kalangan Kang-ouw, menjadi lesu.
Hati Tiauw Tua menjadi tidak tega, dengan menepok pundak sang kawan, ia berkata:
"Kau jangan terlalu banyak makan hati. Di sini tersedia demikian banyaknya orang pandai, masakan takut mereka akan terbang ke langit" Mari kita berpencaran, membikin pengejaran."
Hu-hay Sin-kun baru seperti bangun dari tidurnya dan berkata:
"Dengan demikian, hanya akan menyusahkan kalian saja. Entah di mana sarang mereka itu?"
Tju Thing Thing yang berdiri di sebelahnya sudah menyelak:
"Di dalam rumah makan, mereka pernah mengatakan tentang Liong-sun-say, entah di sekitar sini benar terdapat suatu tempat yang bernama Liong-sun-say?"
"Liong-sun-say......" Hu-hay Sin-kun dengan kaget berkata.
Di kalangan Kang-ouw, nama Liong-sun-say ini tidak kalah ajaibnya dari pada Lembah Merpati. Biarpun dengan megah ia berdiri di bawah kaki gunung Pit-kie, tapi jarang ada orang yang berani datang.
Pendekar Sejagat 5 Pedang Pembunuh Naga Penggali Makam Karya Tan Tjeng Hun Pendekar Jembel 1
^