Pencarian

Sang Fajar Bersinar 18

Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana Bagian 18


menapaki tangga pura Besakih, tidak seorang pun
menghiraukan lelaki tua itu keluar dari Pura Besakih.
1236 Sementara itu waktu sepertinya terus perlahan
berputar searah perjalanan matahari yang semakin turun
menggelantung di barat cakrawala langit.
"Berbanjarlah sesuai tempat asal kalian", berkata
Jero Mangku Sanga mengumpulkan pasukannya yang
bersal dari beberapa Kademangan yang berada disekitar
lereng Gunung Agung. Terlihat orang-orang yang berasal dari Kademangan
itu berbanjar sesuai tempat asal mereka bergabung
dengan sekitar tujuh ratus orang prajurit bayaran yang
terlihat dengan bahasa dan pakaian mereka.
Ternyata Jero Mangku Sanga bukan seorang
pemimpin tunggal, bersamanya ada delapan orang yang
berpakaian sebagaimana Jero Mangku Sanga kenakan.
Terlihat berada di kesatuannya masing-masing.
Suasana menjadi sunyi dan lengang manakala
terlihat sebuah iring-iringan pengawal berjalan bersama
seorang yang memakai tahta dikepalanya. Disampingnya
berjalan bersama seorang yang berjubah pendeta.
"Pendeta Guru Dewa Palaguna!!", berkata Mahesa
Amping dalam hati mengenal orang berjubah itu. Diamdiam bersyukur berada dibagian tengah dari
rombongannya. "Selamat datang para putra Kademangan, para putra
lereng Gunung Agung. Bakti kalian telah diterima oleh
para dewa yang menjaga kawasan suci ini", berkata Raja
Adidewalancana dengan suara yang tinggi yang
menandakan sebuah kekuatan tenaga dalam yang kuat
yang dimiliki. "Selamat datang juga kepada para lelaki pemberani
dari berbagai penjuru nagari", berkata kembali Raja
1237 Adidewalancana yang disambut gemuruh tujuh ratus
prajurit bayaran dengan penuh kebanggaan disebut
sebagai para lelaki pemberani.
"Hari ini para prajurit Singasari dengan segala
keangkuhannya akan merebut kekuasaan pura Besakih
milik para dewa. Mereka akan berhadapan dengan para
dewa. Keangkuhan mereka akan dihancurkan oleh para
dewa", berkata Raja Adidewalancana dengan suara
penuh semangat. "Para dewata telah berdiri dibelakang
kita !!", berkata kembali Raja Adidewalancana yang
disambut oleh gemuruh suara semua orang yang
mendengarnya. Sementara itu di waktu yang sama Ki Demang telah
berada di Paras Kademangan yang sudah sepi. Hanya
ada beberapa kedai yang masih buka, itu pun karena
pemiliknya tinggal dan tidur disitu.
"Aku kawan Rangga Mahesa Amping, apakah kamu
yang bernama Sukra?", berkata Ki Demang kepada
seorang lelaki yang berdiri didepan sebuah kedai dengan
tanda-tanda tertentu yang sama sesuai yang ditunjukkan
oleh Mahesa Amping kepadanya.
"Benar, namaku Sukra", berkata orang itu yang tidak
lain adalah petugas sandi.
Ki Demang langsung menyampaikan berita bahwa
Mahesa Amping dan pasukannya telah masuk menyusup
ke sarang lawan. "Aku sendiri yang mengantar mereka sampai ke Pura
Besakih", berkata Ki Demang meyakinkan.
"Hari ini pasukan induk telah bergerak kembali
mendekati sasaran", berkata petugas sandi itu
menyampaikan berita terakhir.
1238 "Untuk saat ini hubungan kita terputus, Pura Besakih
tidak mudah didekati pada saat seperti ini", berkata Ki
Demang kepada petugas sandi itu.
"Benar, untuk saat ini hubungan kita terputus",
berkata petugas sandi itu menyayangkan hal terputusnya
berita antara kelompok Mahesa Amping dan pasukan
induk. "Mudah-mudahan besok ada perkembangan baru,
aku akan datang lagi menemuimu", berkata Ki Demang.
"Aku disini dipasar ini sepanjang hari", berkata
petugas sandi itu. "Sebagai apa kamu dikedai ini?", berkata Ki Demang
kepada petugas sandi itu.
"Pemilik kedai ini menerima diriku sebagai
pembantunya", berkata Sukra dengan wajah penuh
senyum. "Baik-baiklah kamu bekerja", berkata Ki Demang
kepada Sukra ketika akan melangkah pergi.
Sementara itu di Pura Besakih kunjungan Raja
Adidewalancana diakhiri dengan upacara restu dewa
yang dilakukan oleh Pendeta Guru Dewa Palaguna
menyiram air kelapa kesegala penjuru arah.
Setelah upacara itu berakhir, iring-iringan Raja
Adidewalancana berkenan meninggalkan altar kembali
ke Pura Dalem Astana. Semua pasukan telah diperintahkan kembali ke
baraknya masing-masing untuk beristirahat.
Sebagaimana yang dikhawatirkan oleh Ki Demang,
Pura Besakih telah memperketat penjagaannya.
1239 Siapapun tidak dapat leluasa bergerak masuk dan keluar
Pura Besakih saat itu. "Malam ini aku ingin menghirup udara diluar Pura
Besakih bersamamu", berkata Mahesa Amping kepada
Ki Jaran Waha yang mendapat tugas membawa ransum
untuk semua pasukan. "Aku akan menjemputmu", berkata Ki jaran Waha
penuh kepastian. Maka menjelang malam di Pura Besakih, disaat
semua orang tertidur nyenyak . Terlihat dua bayangan
melesat terbang begitu cepatnya kesebuah tepian jurang.
Sebuah tempat yang tidak ada penjagaan sama sekali
karena menurut perkiraan tidak ada seorangpun yang
akan mengorbankan dirinya terjun kejurang itu.
Tapi ternyata kedua bayangan itu terlihat telah terjun
ke bawah jurang yang terjal itu. Siapapun akan terkesima
bahwa kedua bayangan itu tidak langsung terjun
meluncur kebawah, tapi terlihat berpijak beberapa kali di
beberapa tonjolan batu karang dan akhirnya seperti
melayang terbang turun kebawah dengan begitu
ringannya. Akhirnya kedua bayangan itu sudah tidak terlihat lagi,
telah menghilang ditelan kelamnya malam.
Sementara itu di Kademangan Rendang, Ki Demang
malam itu masih juga belum dapat memejamkan
matanya. Meski sudah berbaring diperaduan, pikirannya
selalu tertuju kepada pasukan Mahesa Amping yang saat
itu telah masuk menyusup di Pura Besakih.
"Apa jadinya pasukan kecil itu seandainya kehadiran
mereka tercium oleh pihak lawan", berkata Ki Demang
dalam hati sambil berbaring diperaduannya.
1240 Namun telinganya yang tajam tiba-tiba saja
mendengar suara burung Prenjak berbunyi jelas sekali
diluar biliknya. "Mahesa Amping?", berkata dalam hati Ki Demang
ingat akan salah satu isyarat rahasia yang telah
disampaikan oleh Mahesa Amping.
"Aku akan keluar sebentar Nyi", berkata Ki Demang
kepada Nyi Demang yang terbangun melihat Ki Demang
turun dari peraduannya. Ketika Ki Demang membuka pintu utama, maka
dilihatnya sudah ada dua orang duduk di pendapa
rumahnya. "Ternyata kamu Mahesa Amping", berkata Ki
Demang kepada salah satu dari kedua orang yang ada
dipendapa rumahnya yang tidak lain adalah Mahesa
Amping bersama Ki Jaran Waha.
"Aku tidak lama Ki Demang, hanya ingin
menyampaikan berita kepada pasukan induk", berkata
Mahesa Amping sambil menyampaikan dengan rinci
tentang gerakan mereka besok malam.
"Tadi sore aku sudah bertemu dengan petugas
sandimu, beritanya pasukan induk sudah bergerak
mendekati Pura Besakih", berkata Ki Demang kepada
Mahesa Amping. "Maaf, kalian belum kusediakan minuman", berkata Ki
Demang ketika Mahesa Amping dan Ki Jaran Waha
mohon pamit diri kembali ke Pura Besakih.
"Terima kasih Ki Demang, Nyi Demang lama
menunggu didalam", berkata Mahesa Amping kepada Ki
Demang langsung melangkah menuruni anak tangga
pendapa. 1241 Diiringi pandang mata Ki Demang yang dalam malam
tersamar masih dapat melihat Mahesa Amping dan Ki
jaran Waha tengah berjalan di halaman rumahnya. Tapi
keduanya tiba-tiba saja melesat seperti burung camar
laut terbang melompati pagar batu halaman rumahnya
dan menghilang ditelan kegelapan malam.
Ki Dalang terlihat menarik nafas dalam mengagumi
kedua tamunya yang ternyata memiliki ilmu yang
mumpuni, dapat berlari cepat seperti angin dan terbang
cepat layaknya burung camar laut menangkap ikan
dipermukaan air. Ketika masuk ke biliknya, Ki Demang tidak
mengatakan apapun kepada Nyi Demang yang ternyata
sudah tertidur. Sementara itu di Pura Besakih, kembali dua sosok
bayangan melesat dari tepian jurang dan berendap di
kegelapan malam yang berkabut, akhirnya kedua
bayangan itu telah menyusup masuk ke sebuah barak
tanpa diketahui oleh siapapun, kecuali para penghuni
barak itu sendiri yang tidak tidur menunggu dan menjaga
kedatangan mereka. "Pasukan induk sudah bergerak mendekati Pura
Besakih, besok malam kita bergerak bersama menguasai
Pura Besakih ini", berkata Mahesa Amping kepada
kawan-kawannya. "Saatnya kita beristirahat", berkata Ki Jaran Waha
yang terlihat merapatkan kakinya didalam kain sarungnya
siap-siap untuk tidur. Terlihat dua orang petugas ronda malam melewati
barak mereka, maka perlahan mereka merebahkan diri
berbaring layaknya orang yang sudah lama tertidur.
1242 Tapi ketika penjaga itu telah menjauh melewati barak
mereka, tidak ada satupun yang bangun. Ternyata udara
yang dingin dan berkabut membuat mereka semakin
merapatkan kaki dibalik kain sarungnya, dan tertidur
melepaskan kepenatan dan kelelahan berharap besok
pagi terbangun dengan badan yang kembali segar.
Pagi itu Mahesa Amping telah terbangun diantara
hiruk pikuk beberapa orang yang terlihat berlalu lalang
sesuai kepentingannya masing-masing diatas puncak
Pura Besakih tempat dimana barak-barak darurat telah
didirikan menampung pasukan yang cukup besar sekitar
seribu orang. "Siapkan semua orangmu, nanti malam kita
bergerak", berkata Mahesa Amping kepada Ki Jaran
Waha di pagi itu yang tengah mengantar ransum untuk
semua orang di barak-barak.
"Kami akan melakukannya dengan cara kami",
berkata Ki Jaran Waha dengan sebuah senyumnya.
*** Sementara itu di Pura Dalem Astana, Raja
Adidewalancana tengah mendapat laporan bahwa
pasukan Singasari telah berada di Kademangan
Rendang. "Mereka tidak akan mampu memasuki Pura Besakih",
berkata Raja Adidewalancana dengan wajah penuh
keyakinan kepada pembantu setianya bernama Jero
Mangku Sapta "Pasukan pemanah telah kami siagakan", berkata
Jero Mangku Sapta menjelaskan beberapa hal yang
telah mereka persiapkan."kami juga telah memenuhi
hutan dengan beberapa ranting kering tersembunyi yang
1243 siap membakar mereka", berkata kembali Jero mangku
Sapta kepada Raja Adidewalancana.
"Para Dewa akan memanggang tubuh mereka
sampai hangus, itulah hukuman bagi para penyerang
Pura Besakih", berkata Raja Adidewalancana dengan
penuh keyakinan bahwa Dewa Perang akan berpihak
kepadanya. Ternyata keyakinan Raja Adidewalancana cukup
beralasan, disamping lokasi Pura Besakih yang mirip
dengan sebuah benteng yang kokoh, juga kecerdikan
mereka yang telah membuat sebuah jebakan besar,
sebuah jebakan yang sangat berbahaya siapapun yang
akan menyerang Pura Besakih. Beberapa ranting kering
telah mereka tempatkan diberbagai tempat tersembunyi
siap menjadikan hutan sekeliling Pura Besakih sebagai
lautan api. Sementara itu sebagaimana yang telah diketahui
bersama oleh pihak dari Pura Besakih, ternyata pasukan
induk dari Singasari yang dipimpin oleh seorang Senapati
muda Mahesa Bungalan memang telah sampai di
Kademangan Rendang. Agar tidak mengganggu dan
meresahkan warganya, pasukan induk itu telah membuat
barak-barak darurat di luar Padukuhan di sebuah tempat
yang cukup lapang yang cukup aman.
"Apakah aku berhadapan dengan Ki Demang


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Amararatu?", berkata Mahesa Bungalan bersama dua
orang perwiranya ketika datang ke rumah Ki Demang.
"Tuan tidak salah menyebutnya, itulah namaku
sebenarnya", berkata Ki Demang yang menemui Mahesa
Bungalan di Pendapa rumahnya.
1244 "Terima kasih atas segala bantuan yang Ki Demang
lakukan kepada kami", berkata Mahesa Bungalan kepada
Ki Demang. "Semua yang aku lakukan semata-mata untuk
kepentingan warga Balidwipa dimasa yang akan datang",
berkata Ki Demang "Secara pribadi, aku sangat membenci peperangan
dimanapun", berkata Mahesa Bungalan membuka
sebuah awal pembicaraan dengan sebuah nada suara
yang halus. Diam-diam Ki Demang mulai menyukai orang
dihadapannya ini, seorang Senapati yang tidak
menonjolkan kekuasaannya sebagaimana yang biasa
dilihat dan ditemui dari beberapa pejabat Pura Besakih.
"Tapi kita harus melihat tujuan dari peperangan itu
sendiri", berkata Ki Demang menanggapi pembicaraan
Mahesa Bungalan. "Selama masih ada jalan selain peperangan, kita
harus mengupayakannya", berkata Mahesa Bungalan
kepada Ki Demang. "Masih adakah upaya menghindari peperangan ini",
sementara segelar sepapan pasukan Singasari sudah
siap selangkah lagi", berkata Ki Demang.
"Masih ada satu kesempatan, meminta Penguasa
Pura Besakih menyerahkan diri", berkata Mahesa
Bungalan. "Sebuah permintaan yang sangat mahal, aku belum
yakin apakah Penguasa Pura Besakih dapat
mengabulkannya", berkata Ki Demang.
1245 "Tidak ada salahnya berupaya selama masih ada
kesempatan", berkata Mahesa Bungalan dengan suara
yang datar penuh ketenangan.
"Tuan benar, sebuah upaya selama ada kesempatan", berkata Ki Demang sepertinya ikut
menyetujui. "Hari ini kami sudah mengirim seorang utusan
perdamaian itu", berkata Mahesa Bungalan kepada Ki
Demang. "Aku berharap utusan itu kembali membawa sebuah
kabar baik", berkata Ki Demang.
"Kita mempunyai harapan yang sama", berkata
Mahesa Bungalan dengan wajah penuh senyum.
Diam-diam Ki Demang sangat mengagumi kepribadian Mahesa Bungalan yang sangat penuh
ketenangan sepertinya tidak menghadapi sebuah urusan
besar. "Kita serahkan semua kepada Gusti Yang Maha
Kuasa, Gusti Yang Maha Berkehendak. Kemarin, hari ini
dan besok adalah urusannya, kita hanyalah sebuah
wayang yang ada didalam genggamannya", berkata
Mahesa Bungalan seperti tahu apa yang ada didalam
pikiran Ki Demang. "Dengan pasrah berserah diri, jiwa dan pikiran kita
menjadi jernih", berkata Ki Demang menambahkan.
Sementara itu dari dalam Nyi Demang terlihat
membawa beberapa makanan dan minuman.
"Silahkan dinikmati", berkata Nyi Demang mempersilahkan tamu-tamunya kemudian masuk kembali ke dalam rumahnya.
1246 Sambil mencoba menikmati hidangan yang
disediakan, perbincanganpun berlanjut dalam berbagai
macam perbincangan, mulai dari panen padi sampai
dengan perdagangan kuda. "Aku sangat menyukai kuda, bahkan pernah ada niat
menjadi peternak kuda", berkata Mahesa Bungalan.
"Sebuah niat yang baik, jauh dari sebuah
peperangan", berkata Ki Demang menambahkan.
Sementara itu ditempat berbeda, seorang utusan
Singasari telah diterima di Pura Dalem Astana.
"Senapatimu telah mengirim rontal ini hanya untuk
menghinaku", berkata Raja Adidewalancana setelah
membaca sebuah rontal yang dibawa oleh utusan itu.
"Berikan rontal ini kepada Senapatimu, katakan
kepadanya bahwa Raja Adidewalancana tidak akan
gentar menghadapi siapapun", berkata Raja Adidewalancana setelah menulis rontal balasan.
"Hamba akan membawa pesan tuan", berkata utusan
itu sambil pamit diri untuk keluar dari Pura Besakih.
Terlihat utusan itu telah keluar dari Pura Besakih
dengan berkuda langsung menuju Kademangan
Rendang. Jarak antara Pura Besakih dan Kademangan
Rendang hanya sepenginangan, Sementara itu matahari
dilangit cakrawala telah semakin merayap naik
mendekati puncaknya. Terlihat seorang prajurit berkuda
tengah mendekati Kademangan Rendang langsung
menuju pasukan induknya. "Senapati Mahesa Bungalan tengah berada di
Rumah Ki Demang", berkata seorang perwira atasan
utusan itu memberitahukannya.
1247 "Aku akan menemuinya langsung", berkata utusan itu
kepada atasannya untuk menemui Senapati Mahesa
Bungalan. "Aku akan menugaskan seorang prajurit untuk
menemanimu", berkata perwira atasannya itu sambil
memanggil seorang prajurit untuk menemani utusan itu
kerumah Ki Demang. Sementara itu dirumah Ki Demang terlihat Mahesa
Bungalan dan dua orang perwiranya masih berada
bersama Ki Demang diatas pendapa tengah berbincang
berbagai hal. Ternyata Ki Demang adalah seorang yang
pandai mengisi cerita dalam setiap perbincangan, terlihat
kadang mereka tertawa bersama mendengar cerita dan
tanggapan Ki Demang yang menggelikan.
"Akhirnya prajurit yang kita nantikan telah sampai",
berkata Mahesa Bungalan ketika melihat dua orang
prajurit masuk dan melangkah di halaman Ki Demang.
"Aku membawa rontal Raja Adidewalancana untuk
tuan", berkata salah seorang prajurit itu setelah naik
kependapa menemui Mahesa Bungalan.
"Terima kasih, kembalilah kalian ke pasukan induk",
berkata Mahesa Bungalan ketika telah menerima rontal
yang diberikan oleh utusan itu.
=PURA BESAKIH MILIK PARA DEWA, SIAPAPUN
YANG DATANG MENDEKAT SEBAGAI MUSUH AKAN
TERBAKAR = "Raja Adidewalancana bukan hanya yakin atas
keberadaan Pura Besakih yang berujud sebagai benteng
yang kuat, disekitar hutannya juga telah menyiapkan
berbagai jebakan", berkata Mahesa Amping setelah
1248 membaca langsung rontal yang ditulis oleh Raja
Adidewalancana. Mahesa Bungalan memberi kesempatan dua orang
perwiranya dan Ki Demang untuk membaca rontal yang
dikirim oleh Raja Adidewalancana.
"Tugaskan lima orang prajurit yang ahli dalam
membaca jejak bersamamu untuk memeriksa keadaan
sekitar hutan di Pura Besakih", berkata Mahesa
Bungalan kepada salah seorang perwiranya.
"Segera kami akan memeriksanya", berkata salah
seorang perwira yang ditugaskan untuk memeriksa
keadaan hutan disekitar hutan Pura Besakih sambil pamit
diri langsung ke pasukan induknya untuk membawa lima
orang prajurit yang ahli didalam membaca berbagai jejak.
Sementara itu diam-diam Ki Demang mengagumi
kecerdikan Senapati muda dihadapannya itu setelah
membaca rontal dari Raja Adidewalancana.
"Ternyata Senapati muda ini telah memasang dua
kail bercabang bersama utusan perdamaiannya itu",
berkata Ki Demang dalam hati mengagumi kecerdikan
Senapati muda dihadapannya itu.
"Mungkin kami terlalu lama mengganggu ketenangan
Ki Demang", berkata Mahesa Bungalan yang bermaksud
untuk keluar dari rumah Ki Demang.
"Aku tidak merasa terganggu, bahkan kehadiran tuan
Senapati telah banyak memberikan ketenangan di rumah
ini", berkata Ki Demang kepada Mahesa Bungalan.
"Terima kasih untuk hidangannya", berkata Mahesa
Bungalan bersama seorang perwiranya ketika telah turun
dari pendapa rumah Ki Demang.
1249 Sementara itu diwaktu yang sama, Mahesa Amping
dan pasukan kecilnya yang telah berada menyusup di
Pura Besakih terlihat masih dibaraknya.
"Ransum siang telah siap", berkata Ki Jaran Waha
yang datang ke barak Mahesa Amping.
"Dalam kehidupan selanjutnya, mungki Ki Jaran
Waha akan menjelma sebagai seorang juru masak",
berkata Mahesa Amping sambil menerima ransum besar
dari Ki jaran Waha. "Menurutku justru dalam kehidupanku sebelumnya,
aku pernah menjadi seorang juru masak", berkata Ki
Jaran Waha sambil tersenyum sepertinya menikmati
tugas yang diberikan atas dirinya sebagai juru masak di
Pura Besakih. "Kulihat kesiagaan di Pura Besakih sudah semakin
ketat", berkata Mahesa Amping yang diam-diam
memantau keberadaan para prajurit disetiap tempat
dalam setiap kesempatan. "Tanganku menjadi tidak sabaran menanti saat
malam", berkata Ki Jaran Waha.
"Atau Ki Jaran Waha sudah bosan menjadi juru
masak?", bertanya Mahesa Amping menggoda.
Ki Jaran tidak langsung menjawab hanya
melemparkan senyumnya dan langsung melangkah ke
barak lain sambil membawa ransum untuk dibagikan.
Sementara itu diwaktu yang tidak begitu berbeda di
Kademangan Rendang terlihat Mahesa Bungalan tengah
menunggu laporan dari perwiranya yang saat itu telah
ditugaskan memeriksa keadaan sekitar hutan Pura
Besakih. 1250 Akhirnya menjelang saat matahari mulai turun ke
barat memancarkan cahayanya yang menjadi semakin
redup, perwira itu bersama kelima orang prajuritnya telah
kembali ke Kademangan Rendang langsung menghadap
Mahesa Bungalan. "Yang tuan Senapati khawatirkan ternyata terbukti",
berkata perwira itu yang sudah datang menemui Mahesa
Bungalan di barak khususnya.
"Apa yang kalian temui di hutan sekitar Pura Besakih
itu ?", bertanya Mahesa Bungalan kepada perwiranya.
"Mereka telah memasang ranjau api diberbagai
tempat disekitar hutan itu", berkata perwira itu. "Kami
telah memunahkannya, semoga tidak ada lagi yang
tersisa", berkata kembali perwira itu.
"Bagus, persiapkan dirimu dan pasukanmu, nanti
malam kita bergerak melakukan penyerangan", berkata
Mahesa Bungalan kepada perwiranya itu.
Sementara itu waktupun terus bergeser, matahari
senja sudah terlihat di cakrawala langit belahan barat
menyinari bumi dengan cahaya yang semakin redup.
Kabut perlahan telah mulai turun menyelimuti puncak
Pura Besakih yang berada di tanah tinggi lereng Gunung
Agung yang menjulang bagai raksasa hitam
menyanggah langit berdiri diatas bumi.
Langit senja pun akhirnya perlahan menghilang
berganti kekelaman dan kegelapan malam. Udara malam
yang dingin di puncak Pura Besakih terlihat menjadi
begitu hening, beberapa orang terlihat sudah berada di
baraknya masing-masing. Sementara itu jarak pandang
sudah mulai terbatas, kabut begitu pekat menggulung
puncak Pura Besakih. 1251 Disaat seperti itulah terlihat Ki Jaran Waha telah
mempersiapkan dirinya duduk bersila sempurna
memejamkan matanya. Sementara semua pengikutnya
terlihat telah melakukan hal yang sama.
"Lindungilah mereka", berkata Mahesa Amping
kepada pasukannya yang tahu apa yang akan dilakukan
Ki jaran Waha bersama semua pengikutnya.
"Aku mengajak Paman Sembaga melihat-lihat


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keadaan", berkata Mahesa Amping kepada Sembaga.
Maka dibawah kabut yang pekat, terlihat Mahesa
Amping dan Sembaga telah menyusup berendap
diberbagai tempat mengamati persiapan lawan. Ternyata
tidak satu pun tempat yang tidak dijaga oleh para
pemantau. Bersama mereka terlihat pasukan pemanah
yang telah siap dengan busur dan anak panahnya.
"Apakah Paman Sembaga merasakan semangat diri
mulai surut dan rasa kantuk yang berat?", bertanya
Mahesa Amping kepada Sembaga di sebuah tempat
yang terlindung oleh kegelapan malam.
"Apa yang kamu katakan sudah mulai menjangkiti
diriku", berkata Sembaga yang merasakan semangatnya
seakan surut bersama rasa kantuk yang sangat berat.
"Ki Jaran Waha telah menyebarkan gendam
keseluruh penghuni Pura Besakih", berkata Mahesa
Amping kepada Sembaga yang langsung menguatkan
dirinya dengan memusatkan semua panca indera dan
pikirannya kedalam pencitraan hati yang suci,
mengheningkan rasa dan segala cipta.
"Ajian peluluh sukma", berkata Mahesa Amping
kepada Sembaga sambil tersenyum.
1252 "Ajian peluluh sukma!!", berkata Dewa Palaguna
dalam hati yang langsung melesat terbang memeriksa
keadaan diluar. Bukan main terkejutnya Dewa Palaguna menyaksikan hampir semua orang yang ditugaskan
memantau keadaan telah tertidur, juga para pasukan
pemanahnya. "Aku harus memusnahkan sumbernya", berkata
Dewa Palaguna dalam hati mencoba mencari sumber
kekuatan gendam yang kuat itu.
Belum sempat melangkah, Dewa Palaguna
terperanjat melihat sebuah panah sanderan melesat
kelangit malam seperti api terbang memecah kegelapan
malam. "Semoga pasukan induk melihatnya", berkata
Mahesa Amping kepada Sembaga setelah melepas
panah sanderan dari busurnya.
"Serang !!!!!" Terdengar suara yang mengguntur dari kegelapan
malam bersama dengan derap langkah kaki yang terlihat
muncul berlari menuju ke arah tangga seribu yang
terbentang tinggi. "Kubunuh kalian semua!!!", berkata Dewa Palaguna
ketika sampai di puncak Pura Besakih bermaksud
menemuai sumber ajian peluluh sukma itu berasal.
Namun yang dihadapinya adalah sekumpulan pasukan
kecil yang siap melindungi Ki Jaran Waha dan
pengikutnya. "Mereka bukan tandingan tuan pendeta", Tiba-tiba
saja Dewa Palaguna mendengar suara dari arah
belakangnya. 1253 Bukan main terkejutnya Dewa Palaguna ketika
melihat sesosok tubuh yang pernah dikenalnya yang
tidak lain adalah Mahesa Amping yang tengah berdiri
tersenyum memandangnya. "Kita berjumpa kembali tuan pendeta", berkata
Mahesa Amping penuh percaya diri.
"Jangan terlalu percaya diri", berkata Dewa Palaguna
yang langsung menerjang ke arah Mahesa Amping
dengan tongkatnya. Mahesa Amping tidak membiarkan tongkat itu
menyentuh tubuhnya, terlihat Mahesa Amping melenting
kesamping dan balas menyerang Dewa Palaguna
dengan tendangan yang meluncur tajam.
Ternyata Dewa Palaguna terlalu picik, mengetahui
bahwa dirinya tidak akan mampu menandingi pemuda
dihadapannya itu yang diketahui mempunyai ilmu yang
sangat mumpuni yang telah mengalahkan gurunya. Maka
Dewa Palaguna bukan sekedar menghindar, tapi
melenting jauh masuk mendekati Ki Jaran Waha yang
tengah melepaskan ajian ilmunya.
Bukan main terkejutnya Mahesa Amping melihat
Dewa Palaguna yang mencoba mendekati Ki Jaran
Waha. Seorang prajurit yang menghadangnya langsung
terjengkang tidak mampu menghentikannya.
Terlihat tangan Dewa Palaguna hanya tinggal
beberapa jengkal lagi dari batok kepala Ki jaran Waha
yang telah buta tuli tidak melihat dan mendengar apapun
karena masih melepaskan ajian peluluh sukma bersama
para pengikutnya. Semua mata para pasukan yang ditugaskan
melindungi Ki Jaran Waha dan pengikutnya itu seperti
1254 putus asa, tidak cukup bagi mereka melangkah
menghentikan tangan Dewa Palaguna yang nyaris
menghantam batok kepala Ki Jaran Waha.
Kebo Arema, Ki Amararaja, Mahesa Semu, Wantilan
dan Sembaga juga tidak dapat berbuat apa-apa untuk
menahan tangan licik Dewa Palaguna.
Jalan satu-satunya adalah terbang dan melesat
seperti kilat. Tapi siapa yang punya sayap?"
Namun belum lagi tangan Dewa Palaguna nyaris
menghancurkan batok kepala Ki Jaran Waha, terdengar
suara keras keluar dari mulut Dewa Palaguna menahan
rasa sakit yang sangat. Achhh !!!! Terlihat tangan Dewa Palaguna tertahan dan tercium
aroma sengit daging terbakar.
Ternyata Mahesa Amping telah melepaskan ilmu
andalannya lewat sorot matanya telah menyambar
tangan Dewa Palaguna. Seketika tangan itu terbakar
terkena seleret cahaya yang terpancar dari sorot mata
Mahesa Amping. Ternyata suara desah menahan rasa sakit yang
sangat itu telah membangunkan Ki Jaran Waha. Bukan
main terkejutnya Ki Jaran Waha melihat Dewa Palaguna
dengan tangan tertahan kearah kepalanya. Maka dengan
diluar sadarnya sebagai seorang yang sudah berilmu
tinggi tiba-tiba saja tangannya bergerak kearah tepat di
dada Dewa Palaguna. Bukk !!!! Terdengan suara dada yang terhantam tangan yang
dilambari kekuatan tenaga dalam yang sangat kuat dari
1255 dalam diri Ki jaran Waha yang terlepas begitu saja
berawal dari keterkejutan yang sangat.
Pukulan itu memang sangat mematikan, terlihat
tubuh Dewa Palaguna limbung terjengkang menimpa
seorang pengikut Ki Jaran Waha yang terdekat.
Bersama dengan sadarnya Ki Jaran Waha, ajian
peluluh sukmanya telah ikut habis.
Sementara itu setengah pasukan pimpinan Mahesa
Bungalan telah meresap masuk ke Pura Besakih, bukan
main terkejutnya pasukan pemanah yang baru terbangun
dari tidurnya melihat pasukan lawan tengah mendekatinya. "Lepaskan panah api", berkata seorang pasukan
pemanah yang ditugaskan untuk membakar hutan
disekitar Pura Besakih. Maka terlihatlah puluhan panah berapi melintas
diudara langit malam yang gelap dan masuk kedalam
hutan. "Gila !!!, panah api kita tidak membakar apapun
dihutan sana", berkata seorang pemanah api yang
melihat hutan didepannya tidak juga terbakar.
Ternyata mereka tidak tahu bahwa segala rantingranting kering yang mereka pasang sebagai bahan
pencetus api kebakaran hutan itu telah dipunahkan oleh
pasukan Singasari. Akibatnya tidak satupun panah api
yang dapat membakar hutan.
Sementara itu para pasukan pemanah yang tengah
terkejut dan baru tersadar dari tidurnya tidak ingin
menjadi makanan pedang dari sejumlah prajurit Singasari
yang semakin mendekat. Terlihat beberapa orang
pasukan pemanah itu telah melepaskan anak panahnya
1256 kearah pasukan Singasari. Ada beberapa anak panah
yang tepat menembus tubuh lawan, tapi pasukan lawan
yang datang seperti ombak itu terus maju menerjang,
maka tanpa ampun lagi pasukan pemanah itu termakan
tebasan pedang yang tajam berkilau. Darah terlihat
memuncrat dari beberapa tubuh yang terkena kibasan
pedang. Darah terlihat memercik menodai dindingdinding batu Pura Besakih. Dan darah terlihat sudah
mengalir merambas tanah dan batu lantai di Pura
Besakih. Sementara itu dipuncak pura besakih, telah terjadi
pertempuran yang kurang seimbang antara pasukan
Pura Besakih yang baru tersadar dari rasa kantuknya
dengan pasukan kecil Mahesa Amping yang telah
menghadang mereka turun menjaga pintu tangga seribu
yang tengah dimasuki para pasukan Singasari.
Terlihat pasukan kecil Mahesa Amping dengan gagah
berani menyumbat pintu pergola menuju arah bawah.
Ternyata tidak mudah menembus pasukan kecil Mahesa
Amping yang telah membentuk lingkaran gelar perang
Cakra Buyha, maka siapapun yang datang mendekat
akan hancur binasa. Kekuatan pasukan kecil Mahesa Amping sempat
memang membuat keputus asaan beberapa orang
kepercayaan yang setia kepada Raja Adidewalancana.
Akhirnya mereka memerintahkan sebagian pasukannya
melewati dinding pagar batu.
Terlihat beberapa orang sudah berhasil melompati
dinding batu, tapi pasukan Singasari hampir dapat
dipastikan telah seluruhnya merembes masuk siap
menghadapi lawan yang akan datang mendekat. Bahkan
sebagian pasukan telah mencapai puncak Pura Besakih
1257 datang membantu pasukan kecil Mahesa Amping yang
tetap bertahan menutup jalan keluar.
Maka terlihatlah sebuah pertempuran di berbagai
tempat, mayat sudah mulai terlihat bergelimpangan di
berbagai tempat dari kedua belah pihak, dan darah pun
terlihat mengalir membasahi lantai Pura Besakih itu.
"Buka gelar barisan kalian, biarkan pasukan induk
memasuki medan perang", berkata Mahesa Amping
kepada pasukannya ketika melihat pasukan induk sudah
mulai merembes masuk. Maka terjadilah pertempuran brubuh diatas puncak
Pura Besakih antara pasukan Singasari yang sudah
mulai datang bergelombang memasuki puncak pura
Besakih dengan orang-orang yang sebagian besar
adalah para prajurit bayaran.
Ternyata tidak mudah menghadapi pasukan
Singasari yang kuat. Satu persatu pasukan lawan mulai
berguguran, pasukan singasari ternyata begitu tangguh.
Dimana sebagian prajuritnya adalah orang-orang yang
sudah memiliki pengalaman bertempur yang matang.
Meski mereka bertempur menghadapi perang brubuh,
kedisiplinan mereka masih tetap dipertahankan, mereka
masih tetap dalam kelompoknya untuk saling membantu.
Pasukan Pura Besakih sudah semakin cepat
menyusut manakala terlihat dua buah cambuk menyapu
siapapun yang datang mendekat.
Gelegar !!!! Terdengar suara cambuk yang dihentakkan keudara
menimbulkan suara seperti guntur dilangit malam
menyiutkan dan menggetarkan hati siapapun yang
mendengarnya. Ternyata suara cambuk itu berasal dari
1258 seorang lelaki yang sudah cukup berumur yang tidak lain
adalah Kebo Arema. Tidak ada sutupun gerakannya
yang luput dari sasaran. Ujung-ujung cambuknya telah
menjatuhkan beberapa lawan yang datang mendekat.
Gelegar !!!! Terdengar lagi suara yang sama yang ternyata
berasal dari seorang pemuda yang tidak lain adalah
Mahesa Amping. Suara gelegar kedua ini semakin terasa
meruntuhkan semangat pihak lawan. Meski hanya
melepaskan sepersepuluh kekuatannya, cambuk ditangan Mahesa Amping telah berhasil menyapu
puluhan tubuh lawan yang langsung terjengkang tidak
mampu berdiri lagi merasakan tulang tubuh seperti
remuk patah. Disisi yang lain, Ki Jaran Waha bersama pengikut
lapisan utamanya telah membuat jerih pihak lawan.
Mereka seperti barisan obor ditengah kumpulan semutsemut hitam. Pihak lawan seperti tergilas pasukan yang
kokoh terus bergerak. "Beruntunglah bahwa kami tidak meracuni makananmu", berkata Ki Jaran Waha
ketika

Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menempeleng seorang yang berwajah bringas yang
sangat sombong sering membuat ulah ketika dirinya
mengantarkan ransum ke baraknya.
"Barisan juru masak ini ternyata adalah orang-orang
yang berilmu tinggi", berkata seorang lagi dalam hati
dengan perasaan jerih menghindari berhadapan
langsung dengan Ki Jaran Waha dan pengikutnya.
Tapi beberapa orang tidak lagi dapat kesempatan
menghindar, langsung terkibas terjengkang tersapu
bersih oleh Ki Jaran dan pengikutnya yang bertempur
1259 dengan trengginas tanpa pilih tebu. Semua diterjang
runtuh. Ternyata semua tidak luput dari pengamatan Mahesa
Bungalan yang dengan seksama mengapati semua
medan pertempuran. "Tekan lawan agar menyerah", berkata Mahesa
Bungalan kepada seorang perwira penghubung.
Maka perwira penghubung itu secara berantai telah
menyampaikannya kesemua pasukan agar melakukan
penekanan agar pihak lawan menyerah tanpa
menambah korban. "Senapati kita adalah seorang yang penuh kasih",
berkata seorang prajurit yang telah mendengar perintah
untuk tidak banyak menambah korban.
"Menyerahlah", berkata seorang pajurit Singasari
ketika bertiga mereka mengepung seorang musuh yang
sudah terluka. "Aku menyerah", berkata orang yang sudah terluka
itu seperti mendapat sambungan nyawanya yang hampir
terlepas. Maka terlihat orang itu tanpa perlawanan menerima
dirinya diikat sebagai tawanan perang.
Sementara itu disisi yang lain, seorang lelaki tertawa
mendengar tawaran sepuluh orang prajurit yang tengah
mengepungnya untuk menyerahkan diri.
"Kalianlah yang seharusnya menyerah", berkata lelaki
itu sambil tertawa. Ternyata lelaki itu bukan sedang membual,
ucapannya itu langsung dibuktikan. Kesepuluh prajurit itu
terjungkal dan terlempar kocar-kacir keberbagai tempat
1260 terkena pukulan dan tendangannya. Satu orang prajurit
terlihat mengejang karena terkena sabetan keris lelaki itu
yang nampaknya mengandung racun yang sangat keras.
"Siapa lagi yang ingin merasai kerisku?", berkata
lelaki itu sambil mengacungkan kerisnya tinggi-tinggi.
Beberapa prajurit yang melihat kawannya mati kejang
terkena goresan keris itu menjadi berdebar dan jerih.
"Keris jigja lekuk sembilan itu sangat indah, sayang
telah di waluri racun yang kuat", berkata seseorang yang
muncul datang mendekat yang tidak lain adalah Mahesa
Bungalan. "Aku juga menyayangkan bila keris pusakaku ini
hanya melukai seorang prajurit rendahan", berkata lelaki
itu menatap tajam Mahesa Bungalan.
Terkejut lelaki itu ketika tatapan matanya beradu
mata Mahesa Bungalan. Mata lelaki itu seperti tertarik
kesebuah sumber mata air yang dalam tak terbatas.
"Aku Senapati Singasari, mudah-mudahan diriku ini
layak menjadi lawanmu", berkata Mahesa Bungalan
dengan penuh rasa percaya diri yang tinggi.
"Hanya Raja Singasari yang patut menjadi lawanku",
berkata lelaki itu penuh jumawa.
"Sri Baginda Maharaja Singasari telah berkenan
memberikan tanda kebesarannya kepadaku, mewakili
dirinya dan atas namanya aku datang di Balidwipa ini",
berkata Mahesa Bungalan yang mulai tidak menyukai
kesombongan lelaki itu. "Itu artinya bahwa rajamu sangat takut berhadapan
langsung denganku", berkata lelaki itu masih dengan
sikap yang sangat jumawa.
1261 "Kalau boleh tahu, siapa gerangan dihadapanku ini
yang menyetarakan dirinya dengan tuanku Sri baginda
Maharaja Singasari?", berkata Mahesa Bungalan dengan
suara bergetar menahan diri atas kesombongan lelaki
dihadapannya itu. "Pasang telingamu tajam-tajam, kamu berhadapan
dengan Penguasa Pura Besakih", berkata lelaki itu yang
ternyata adalah Raja Adidewalancana yang berharap
Mahesa Bungalan terkejut mendengar siapa dirinya.
Tapi Mahesa Bungalan seperti tidak merasa terkejut,
sedari awal sudah menduga bahwa lelaki dihadapannya
ini sudah terbiasa dikelilingi oleh banyak orang yang
memujanya. "Ternyata hamba berhadapan dengan tuan Raja
Adidewalancana", berkata Mahesa Bungalan layaknya
seorang hamba kepada rajanya.
"Kukira kamu akan langsung lari mendengar
namaku", berkata Raja Adidewalancana kepada Mahesa
Bungalan. "Hamba seperti mendapat sebuah kehormatan
berhadapan langsung dengan tuanku", berkata Mahesa
Bungalan masih dengan sikap hormat.
"Bersiaplah mati terhormat merasai keris pusaka ini",
berkata Raja Adidewalancana sambil mengayunkan
kerisnya dengan cepat mengarah keleher Mahesa
Bungalan. Mahesa Bungalan merasakan pamor keris itu lewat
anginnya yang lewat sangat dekat dari kepalanya ketika
bergeser sedikit menghindari sambaran ayunan keris
Raja Adidewalancana yang keras dan cepat.
1262 Melihat Mahesa Bungalan dapat menghindar begitu
mudahnya pada serangan pertamanya, secepat kilat
Raja Adidewalancana menyusul dengan serangan kedua
yang nyaris lebih keras dan lebih cepat dari sebelumnya.
Kembali Mahesa Bungalan dapat menghindar,
namun kali ini langsung balas menyerang Raja
Adidewalancana dengan sebuah sabetan pedang
mengarah pada dua kaki Raja Adidewalancana.
Terkejut Raja Adidewalancana mendapatkan serangan balik yang tidak kalah cepatnya dari
serangannya. Terlihat Raja Adidewalancana melompat
sambil menjulurkan kerisnya menusuk cepat kearah dada
Mahesa Bungalan yang terbuka. Kembali Mahesa
Bungalan dengan cepat mengelak keluar dari serangan
Raja Adidewalancana sambil balas menyerang
menghindari serangan beruntun yang berakibat
membahayakan diri sendiri.
Demikianlah serang dan balas menyerang antara
Mahesa Bungalan dan Raja Adidewalancana berlangsung dengan cepat. Semakin lama menjadi
semakin kuat dan cepat karena keduanya setahap demi
setahap terus meningkatkan tataran ilmunya masingmasing.
"Senapati muda ini ternyata sangat alot", berkata
Raja Adidewalancana dalam hati merasa penasaran
bahwa Mahesa Bungalan masih dapat mengimbangi
serangannya. Sementara itu pertempuran diberbagai tempat dan
sisi sudah mulai nampak mengendur, satu persatu pihak
lawan dari Pura Besakih terlihat putus asa menghadapi
pasukan Singasari yang berjumlah melebihi jumlah
mereka. Hingga akhirnya pasukan Singasari telah dapat
1263 menguasai jalannya pertempuran. Satu persatu pihak
lawan roboh, satu persatu pihak lawan menyerah
melemparkan senjatanya. Dan akhirnya pasukan Singasari sudah benar-benar
memenangkan jalannya pertempuran, menguasai setiap
tapak Pura Besakih tanpa ada lagi perlawanan.
"Menyerahlah !!", berkata seorang prajurit bersama
lima orang kawannya kepada seorang lawannya yang
terlihat sudah terluka. Orang yang sudah terluka di beberapa bagian
tubuhnya itu terlihat sudah tidak mampu lagi mengangkat
senjatanya. "Aku menyerah", berkata orang yang terluka itu
dengan suara yang lemah sambil melepaskan senjatanya
dari genggaman tangannya.
Bersamaan dengan semua itu, semburat warna
merah sudah terlihat hampir merata memenuhi
cakrawala langit diatas Pura Besakih. Sang Fajar
nampaknya sudah bersiap menampakkan dirinya
menghiasi wajah bumi pagi.
"Kakang Mahesa Bungalan masih bertempur",
berkata Mahesa Amping kepada Mahesa Semu sambil
melangkah mendekati arena pertempuran.
"Lawannya adalah Raja Addewalancana", berkata
Mahesa Semu kepada Mahesa Amping ketika telah
benar-benar mendekati arena pertempuran.
Ternyata sebagaimana yang dilihat oleh Mahesa
Amping dan Mahesa Semu, cuma ada pertempuran
tunggal di Pura Besakih itu yaitu antara Mahesa
Bungalan dan Raja Adidewalancana.
1264 Raja Adidewalancana telah merasa dipuncak
ilmunya, namun belum juga dapat mengalahkan seorang
Senapati muda. "Kakang Mahesa Bungalan masih belum meningkatkan tataran ilmunya yang sebenarnya", berkata
Mahesa Amping kepada Mahesa Semu yang berada
didekatnya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Mahesa Amping,
ternyata Mahesa Bungalan masih belum meningkatkan
tataran ilmunya lebih tinggi lagi. Nampaknya Mahesa
Bungalan masih ingin menjajagi sampai dimana kekuatan
lawan. Sementara itu beberapa orang terlihat mendekati
arena pertempuran antara Mahesa Bungalan dan Raja
Adidewalancana yang semakin seru. Mereka bergerak
semakin cepat, tanah dan batu kadang terlempar
beterbangan tergilas terjangan kaki mereka yang kadang
turun menghentak bumi. Arena itu akhirnya telah menyerupai sebuah arena
yang melingkar, semua orang menyaksikan pertempuran
itu dengan perasaan yang tegang. Hampir semua orang
berharap Senapatinya dapat mengalahkan lawannya.
Raja Adidewalancana mulai merasa putus asa,
Mahesa Amping ternyata lawan yang tangguh.
"Senapati muda ini benar-benar tangguh", berkata
Raja Adidewalancana yang mulai merasa putus asa
setelah sekian jurus dan meningkatkan tataran ilmunya
masih belum dapat juga menundukkan dan mengalahkan
lawannya. 1265 Sementara itu udara pagi sudah mulai menghangat,
cahaya matahari sudah bersinar terang menyinari dan
menerangi Pura Besakih. "Menyerahlah tuan, orang-orang Pura Besakih semua
sudah menyerah", berkata Mahesa Bungalan kepada
Raja Adidewalancana. "Jangan terlalu percaya diri, akulah yang akan
menghabisi nyawamu dan semua orangmu", berkata
Raja Adedewalancana sambil berloncat menerkam
kearah Mahesa Bungalan dengan keris ditangan siap
menghujam tubuh Mahesa Bungalan.
Mahesa Bungalan telah melihat nafas dan tenaga
Raja Adidewalancana sudah mulai mengendur. Dan
nampaknya Mahesa Bungalan ingin segera mengakhiri
pertempuran itu. Maka dibiarkannya keris itu meluncur menuju
tubuhnya. Akhirnya dengan perhitungan yang matang
dan kecepatan yang diluar perhitungan Raja
Adidewalancana, tiba-tiba saja kaki Mahesa Bungalan
menyepak keras punggung telapak tangan Raja
Adidewalancana yang masih menggenggam kerisnya.
Akibatnya sungguh diluar jangkauan pikiran Raja
Adidewalancana, punggung telapak tangannya merasakan panas yang tidak terkira bercampur dengan
rasa ngilu dan nyeri. Maka tanpa sadar keris ditangannya
telah terlepas dan terlempar jauh.
"Menyerahlah", berkata Mahesa Bungalan kepada
Raja Adidewalancana yang terlihat memegang
tangannya yang masih sangat sakit.
1266 Tapi Raja Adidewalancana menjawabnya dengan
melompat terbang seperti rajawali terbang menerkam
mangsanya. Dengan tenang Mahesa Bungalan bergeser dengan
kecepatan yang tidak dapat dibaca oleh mata Raja
Adidewalancana. Akibatnya terjangan Raja Adidewalancana mengenai
tempat kosong. Brakkkk !!!

Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Terlihat tanah dan batu berhamburan terhantam
terjangan Raja Adidewalancana.
"Aku disini tuanku", berkata Mahesa Bungalan sambil
melempar pedangnya. Terlihat mata Raja Adidewalancana begitu nanar
penuh kemurkaan. Seperti seekor banteng yang terluka
langsung menerjang Mahesa Bungalan.
Tapi Mahesa Bungalan telah bergerak dengan cepat,
tidak banyak orang yang dapat mengikuti gerak Mahesa
Bungalan yang telah menerapkan ilmu peringan tubuh
yang sudah mendekati puncak kesempurnaannya. Yang
banyak orang lihat adalah tiba-tiba saja Mahesa
Bungalan telah berpindah tempat seperti tidak
melangkah. Kembali Raja Adidewalancana menemui tempat
kosong meluncur berguling-guling terbawa tenaganya
sendiri. "Aku disini tuanku", berkata kembali Mahesa
Bungalan sambil berdiri tegak dihadapan Raja
Adidewalancana yang tengah rebah telentang ditanah.
1267 Ternyata Raja Adidewalancana sudah kehabisan
nafas dan tenaga. "Jangan permalukan aku, bunuhlah aku", berkata
Raja Adidewalancana dengan nafas yang memburu.
"Tidak semua kematian di medan perang sebuah
kehormatan, mengakui dan menerima sebuah kekalahan
jauh lebih mulia", berkata Mahesa Bungalan kepada Raja
Adidewalancana. "Kamu benar anak muda, selama ini aku merasa
paling kuat, selama ini aku merasa sangat berkuasa, dan
selama ini aku merasa semua orang memujaku. Tapi hari
ini aku dikalahkan oleh seorang Senapati muda
sepertimu. Baru kali ini aku merasakan kelemahanku,
baru kali ini aku meresakan kenistaanku. Ternyata
kelemahan dan kenistaan telah menyempurnakan
perjalanan hidupku mengenal pemilik kekuatan dan
kemuliaan yang sebenarnya", berkata Raja Adidewalancana berusaha bangkit duduk bersila
mengatur nafasnya. Matanya terlihat terpejam.
Mahesa Bungalan membiarkan Raja Adidewalancana
mengembalikan tenaganya. "Aku menyerahkan diriku kepadamu, saat ini aku
adalah tawananmu", berkata Raja Adidewalancana ketika
merasakan nafasnya tidak lagi memburu, sedikit demi
sedikit dirasakan tenaganya mulai datang kembali, meski
belum pulih seutuhnya. "Kami akan tetap menghormati tuan, menjaga seluruh
keluarga di Pura Dalem Astana", berkata Mahesa
Bungalan kepada Raja Adidewalancana ketika akan
melangkah diiringi sejumlah prajurit Singasari menuju
Pura Dalem Astana. 1268 Sementara itu matahari pagi telah bergeser semakin
naik, semilir angin sejuk mengurangi panas cahaya
matahari pagi. Beberapa orang prajurit terlihat tengah
mengumpulkan mayat-mayat yang bergelimpangan baik
kawan maupun dari pihak lawan.
"Makamkan mereka disebelah bukit kecil itu, agar
semua yang datang ke Pura Besakih dapat melihat dan
berdoa untuk mereka", berkata Mahesa Bungalan
memberi petunjuk dimana sebaiknya mayat-mayat itu
dimakamkan. Para prajurit Singasari nampaknya telah melupakan
kelelahannya, meski setelah sepanjang malam
bertempur, hari itu terlihat sibuk mengurus pemakaman
kawan-kawan mereka yang tidak lagi dapat kembali
selamanya, tidak akan ditemui lagi oleh sanak
keluarganya, istri dan kekasih pujaan hatinya di kampung
halamannya, di tanah Singasari.
Para prajurit Singasari juga telah memperlakukan
mayat-mayat musuhnya sebagaimana mestinya dalam
pemakaman yang terpisah dengan penuh penghormatan
sebagaimana pemakaman kawan-kawan mereka.
Sementara itu beberapa orang yang terluka juga
diperlakukan dengan sama, tidak melihat kawan maupun
lawan. Terlihat Mahesa Amping bersama kawankawannya dari Padepokan Bajra Seta yang sedikit
banyak mengenal ilmu pengobatan tengah mengobati
beberapa orang yang terluka.
"Jaga lukamu agar tidak terkena air, mudah-mudahan
akan membantu menjadi lekas kering", berkata Mahesa
Amping kepada seorang yang terluka dibagian pangkal
pahanya yang cukup dalam.
1269 Kesibukan ternyata tidak juga terhenti, beberapa
perwira terlihat membagi tugas kepada prajuritnya. Ada
yang mendapat tugas memperbaiki barak-barak yang
hancur, menjaga keamanan sekitar Pura Besakih dan
tentunya ada beberapa orang prajurit yang bertugas di
dapur umum. "Kenapa tidak menunggu besok pagi?", bertanya
Mahesa Amping kepada Ki Jaran Waha yang bermaksud
untuk pamit diri kembali ketempat kediamannya.
"Aku takut pengikutku akan menyusutkan ransum
persediaan", berkata Ki Jaran Waha bercanda.
"Kami tidak akan melupakan apa yang telah kalian
perbuat untuk kami", berkata Mahesa Bungalan yang ikut
mengantar Ki Jaran Waha dan pengikutnya yang akan
meninggalkan Pura Besakih.
"Kebahagiaan kami adalah telah berbakti bagi
kehidupan dan kemakmuran Balidwipa", berkata Ki Jaran
sambil melangkah meninggalkan Pura Besakih diikuti
oleh para pengikutnya. Sementara itu waktu terus berlalu dan berganti,
wajah senja yang bening tidak lagi menghiasi Pura
Besakih karena malam yang gelap telah datang
menyelimutinya. Taburan jutaan bintang dilangit malam
telah menjadi hiasan malam diatas bumi Pura Besakih.
Hawa dingin begitu terasa menusuk kulit.
"Aku mempercayakan pengawalan Raja Adidewalancana dan permaisurinya kepada Kebo
Arema", berkata Mahesa Bungalan di Pendapa Bale
Guru di Pura Besakih tengah membicarakan rencana
untuk membawa Raja Adewalancana dan permaisurinya
ke Singasari sebagai bukti bahwa Balidwipa telah
ditaklukkan. 1270 "Paman Wantilan, Paman Sembaga dan Kakang
Mahesa Semu dapat mendampinginya", berkata Mahesa
Amping ikut mengusulkan. "Aku setuju, kehadiran tiga orang cantrik utama
Padepokan Bajra Seta sebanding dengan lima puluh
orang prajurit", berkata Kebo Arema menyetujui usulan
itu sambil melirik kepada Mahesa Semu, Wantilan dan
Sembaga yang juga ada dihadapannya.
"Kami merasa tersanjung dikatakan sebanding
dengan lima puluh orang prajurit, yang pasti kami akan
segera pulang melihat urusan di tanah Bali ini sepertinya
sudah selesai", berkata Mahesa Semu mewakili
Sembaga dan Wantilan. "Badrun dan anak buahnya juga dapat diandalkan",
berkata Kebo Arema menambahkan jumlah orang yang
akan ikut bersamanya mengawal tawanan kehormatan
yaitu Raja dan permaisuri Pura Besakih.
"Raja dan permaisuri Pura Besakih adalah tawanan
kehormatan kita, semoga kalian dapat menjaga
memperlakukan mereka dengan baik", berkata Mahesa
Bungalan. Demikianlah, hingga jauh malam banyak sekali yang
mereka perbincangkan. "Malam sudah menjadi begitu dingin", berkata
Mahesa Bungalan yang pamit untuk memeriksa keadaan
prajuritnya. "Aku ikut menemani Kakang Mahesa Bungalan",
berkata Mahesa Amping kepada Mahesa Bungalan.
Maka terlihat Mahesa Bungalan dan Mahesa Amping
tengah menuruni anak tangga pendapa Bale Guru. Di
sebuah kelokan mereka tidak terlihat lagi.
1271 Terlihat Mahesa Bungalan dan Mahesa Amping
menemui beberapa prajurit di gardu penjagaannya yang
dibuat secara darurat di beberapa tempat di Pura
Besakih agar dapat mengawasi dan menjaga Pura
Besakih dari hal-hal yang tidak diinginkan
"Selamat malam tuan Senapati", berkata seorang
prajurit kepada Mahesa Bungalan merasa bangga
pimpinannya telah datang menjenguk.
"Mudah-mudahan petugas di dapur umum tidak lupa
mengirim ransum ke gardu ini", berkata Mahesa
Bungalan kepada prajurit itu.
"Ransum itu sayangnya sudah lewat", berkata salah
seorang prajurit lainnya."Maksudku sudah lewat perutku",
berkata prajurit itu menyambung ucapannya yang belum
selesai yang ditanggapi derai tawa dari semua yang
mendengarnya. Canda prajurit itu telah menghangatkan suasana
dingin malam di Pura Besakih yang terus berkabut.
"Mari kita beristirahat, hari sudah begitu larut malam",
berkata Mahesa Bungalan kepada Mahesa Amping
setelah merasa cukup memeriksa keadaan prajuritnya
diberbagai tempat di Pura Besakih.
Demikianlah malam yang dingin di Pura Besakih
sepertinya telah menyirep sebagian penghuninya tertidur
pulas. Namun ada beberapa orang yang terluka parah
semalaman tidak dapat memejamkan matanya
sedikitpun. Rintihan mereka kadang cukup mengganggu
kawan disebelahnya yang sudah lama tertidur.
Akhirnya sang malam perlahan meninggalkan bumi
berganti pagi. Pagi di Pura Besakih ditandai dengan
kabut yang pekat. Selapis-demi selapis kabut akhirnya
1272 tersibak menghilang bersama semakin benternya sinar
matahari menembus udara pagi di Pura Besakih.
Terlihat sekumpulan orang berkuda di Pura Besakih
yang akan melakukan sebuah perjalanan jauh.
"Kutitipkan segala isi di Pura Besakih ini kepadamu
wahai Senapati Muda", berkata Raja Adidewalancana
kepada Mahesa Bungalan yang turut mengantar
kepergiannya ke Singasari.
"Akan kujaga pesan tuan sebagaimana aku menjaga
diriku", berkata Mahesa Bungalan kepada Raja
Adidewalancana. "Sampaikan salamku kepada semua sahabat di
Tanah Singasari", berkata Mahesa Amping kepada Kebo
Arema, Mahesa Semu, Wantilan dan Sembaga yang ikut
mengawal Raja Adidewalancana dan permaisurinya ke
Singasari. Awan langit pagi diatas Pura Besakih yang cerah
tiba-tiba saja berubah menjadi mendung kelabu bersama
keluarnya iring-iringan Raja Adidewalancana dan para
pengawal Singasari menuruni anak tangga seribu.
Langit mendung diatas Pura Besakih akhirnya tak
tertahan menitikkan hujan gerimis kecil seperti ikut
berduka mengiringi kepergian seorang punguasa Pura
Besakih yang pasrah dan rela menjalani kehidupan yang
berbeda sebagai manusia biasa, sebagai seorang
tawanan perang yang harus dikucilkan jauh dari
tempatnya, jauh dari tanah tempat kelahirannya.
Terlihat beberapa pelayan Pura dalem Astana
menitikkan air matanya mengiringi kepergian tuannya
yang sudah tidak terlihat lagi terhalang kerimbunan
1273 batang pohon kayu yang tumbuh tersebar mengelilingi
Pura Besakih. "Hujan gerimis seperti ini biasanya akan lama sekali",
berkata Mahesa Bungalan kepada Mahesa Amping
mengajaknya kembali ke Bale Guru Pura Besakih yang
untuk sementara menjadi tempat resmi selama di Pura
Besakih menjalani tugasnya sebagai seorang Senapati
untuk mengatur segala sesuatunya setelah peperangan
berakhir di Balidwipa. Hujan gerimis kecil akhirnya reda juga. Tanah basah
darah peperangan terlihat sudah hilang terbawa air
hujan, matahari kembali bersinar menerangi Pura
Besakih, menerangi meru berundak tempat arca dan
pelinggih berdiri menjadi saksi bisu perjalanan manusia,
dalam perang dan damai. Cuaca diatas cakrawala langit Pura Besakih terlihat
begitu cerah. Bangunan Pura Besakih seperti lukisan
alam yang elok begitu indah di kaki lereng Gunung
Agung yang dikitari kabut abadi.
Hari itu adalah purnama ke tujuh setelah usainya
penaklukan Balidwipa, sebuah iring-iringan prajurit
Singasari terlihat memasuki gapura Pura Basakih dengan
membawa umbul-umbul dan panji-panji kebesaran
Singasari. Bersama mereka berjalan didepan memimpin
barisan seorang yang sudah terlihat begitu tua namun
masih nampak tegar dan gagah penuh wibawa dengan
belitan jubah pendeta yang tidak lain adalah Empu
Dangka yang telah resmi diangkat sebagai Pandita Guru
Istana Singasari. Barisan itu berhenti di altar persinggahan.
1274

Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Selamat datang di Pura Besakih wahai pendeta guru
yang bijaksana", berkata Mahesa Bungalan kepada
Empu Dangka. "Selamat bertemu kembali wahai tuan Rakrian
Demung Sasanabungalan", berkata Empu Dangka
kepada Mahesa Bungalan yang telah menjabat resmi
sebagai seorang Demung, pejabat perwakilan Singasari
di Balidwipa. Para prajurit Singasari yang baru tiba itu
dipersilahkan beristirahat, sementara Empu Dangka
terlihat berjalan bersama Mahesa Bungalan ke Pura
Dalem Astana. "Sri Maharaja Singasari telah menitahkan diriku
menjadi Pendeta guru suci di Balidwipa ini, mengajarkan
kitab tattwa kepada semua orang, membangun pura di
berbagai tempat. Pura dan Tattwa bukan hanya milik
para Bhirawa dan para raja", berkata Empu Dangka di
Bale Witana kepada Mahesa Bungalan.
"Sebuah Bungalan. tugas yang mulia", berkata Mahesa "Aku juga membawa sebuah kekancingan untuk
Anakmas Mahesa Amping", berkata Empu Dangka.
"Saat ini Mahesa Amping masih menjalankan
tugasnya sebagai perwira tinggi pasukan telik sandi di
Balidwipa ini. Dari Pura Indrakila Mahesa Amping
mengatur seluruh pasukannya, jalur telik sandinya telah
terbangun dengan baik. Mahesa Amping telah banyak
membantu kami, meredam setiap gerakan yang
tersembunyi", berkata Mahesa Bungalan kepada Empu
Dangka. "Tugas baru apakah yang akan diemban untuk
Mahesa Amping dari Sri Maharaja Singasari?", bertanya
Mahesa Bungalan kepada Empu Dangka.
1275 "Sebagaimana diriku seorang pendeta pengembara,
Mahesa Amping telah dianugerahi menjadi seorang
Senapati agung, membangun kekuatan angkatan perang
yang mandiri di berbagai tempat di Balidwipa", berkata
Empu Dangga menjelaskan tugas Mahesa Amping di
Balidwipa selanjutnya. "Membangunkan jiwa-jiwa muda
sebagai seorang pecalang muda yang siap membela dan
melindungi buminya dari setiap gangguan di segenap
Kademangan Balidwipa", berkata Empu Dangka.
"Sebuah gagasan yang luar biasa, Balidwipa akan
menjadi sebuah bumi tanpa prajurit, tapi Balidwipa juga
akan menjadi sebuah pulau yang paling aman dan
tentram sepanjang masa", berkata Mahesa Bungalan
memuji gagasan itu yang akan menjadi tugas baru
Mahesa Amping. Demikianlah, perlahan dibawah kendali seorang
Demung yang bijaksana, kemakmuran mulai berpijak
merata di seluruh penjuru, keamanan dan ketentraman
jiwa sepertinya mulai hidup berkembang sejalan.
Rakrian Demung Sasanabungalan telah mempersatukan kembali Balidwipa dan Jawadwipa yang
terpisah, yang dulu pernah ada terikat dalam satu
daratan pulau yang satu. Dan mereka memang terlahir
dari satu keluarga, dari satu tanah air yang satu.
(TAMAT) Situ Cipondoh, Mei 2012 1276 Mencari Bende Mataram 11 Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo Pedang Kayu Harum 10
^