Pencarian

Kaki Tiga Menjangan 24

Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung Bagian 24


Tampak kedua pipi si nona bersemu dadu, wajahnya berseri-seri seakan senang
sekali dapat bertemu dengan pemuda pujaan hatinya, Siau Po merasa dadanya seperti
dihantam oleh martil dengan keras.
-- Apakah penunggang kuda itu kekasih nona A Ko" --, tanyanya dalam hati Lalu dia
berkata dengan suara perlahan kepada si nona, "Sekarang kita mau menyembunyikan
diri dari kejaran musuh. sebaiknya jangan sembarangan berbicara dengan orang yang
tak ada sangkut pautnya dengan kita."
A Ko seperti tidak mendengarkan kata-kata Siau Po.
"Ada keramaian apa di kota Ho Kan?" tanyanya kepada si penunggang kuda.
"Apakah kau belum mengetahuinya?" terdengar suara si penunggang kuda yang
sembari mengulurkan tangannya menyingkap tirai kereta sehingga kepalanya dapat
menjulur ke dalam. Wajah pemuda itu tampan sekali Usianya sekitar dua puluh tigaan tahun, apalagi
wajah itu penuh dengan senyuman sehingga tampak semakin manis dan ganteng.
"Di kota Ho Kan ada keramaian menyembelih kura-kura. Semua orang gagah di
seluruh negeri ini sedang menuju ke sana." katanya.
"Apa sih maksudnya menyembelih kura-kura?" tanya A Ko. "Kalau hanya
menyembelih kura-kura, apa yang bagus dilihat?"
"Memang yang dilaksanakan di sana menyembelih kura-kura." kata si penunggang
kuda sambil tersenyum "Tapi yang disembelih bukan kura-kura busuk, melainkan
seseorang yang akhir namanya menggunakan kata-kata Kui seperti bunyinya kurakura."
A Ko tertawa. "Ah! Mana ada orang yang namanya menggunakan huruf "Kui" kura-kura." katanya,
"Kau hanya membohongi aku."
Si penunggang kuda ikut tertawa.
"SebetuInya tulisannya memang tidak sama, Hanya bunyinya saja yang sama, Huruf
itu huruf Kui dari bunga Kui Hoa. Coba kau tebak siapa orangnya?"
Siau Po terkejut setengah mati, Dalam hati dia berpikir.
- Sejak tadi dia terus-terusan menyebut nama dengan huruf Kui, apakah dia bukan
bermaksud mengatakan Siau Kui Cu" Kalau benar, matilah aku! -Sementara itu, A Ko tertawa sambil bertepuk tangan.
"Aku tahu sekarang." katanya gembira, "Kau maksudkan si pengkhianat besar, Gouw
Sam Kui bukan?" Penunggang kuda itu lagi-lagi tertawa.
"Benar, Kau cerdas sekali. Satu kali terka saja langsung tepat." katanya.
"Eh, apakah kalian telah berhasil membekuk Gouw Sam Kui?" tanya A Ko.
"Belum sih," kata si penunggang kuda, "Kami semua justru ingin merundingkan cara
menyembelihnya." Siau Po bernapas 1ega. Jadi bukan dia yang dimaksudkan
-- pantas kalau begitu! - katanya dalam hati, --Aku si Siau Kui Cu hanya seorang
bocah cilik, untuk apa mereka membunuh aku" Lagi pula, kalau benar mereka ingin
membunuh aku, juga tidak perlu diadakan Cham Ku Tayhwe, pertemuan yang luar
biasa itu. Dasar aku yang apes! Mengapa justru kepilih orang yang bernama Siau Kui
Cu" -Pemuda itu tertawa manis sambil menjalankan kuda tunggangannya. Dia
memiringkan tubuhnya sedikit agar dia dapat melihat wajah si nona sementara
berbicara dengannya. Dari sikapnya ini saja dapat dibuktikan bahwa dia seorang
penunggang kuda yang baik.
Sementara itu, A Ko menoleh kepada Pek I Ni.
"Suhu," panggilnya dengan suara perlahan "Apakah kita ikut menyaksikan
keramaian?" Pek I Ni merenung sekian lama sebelum memberikan jawaban sebetulnya dia ingin
sekali menghadiri pertemuan besar itu, tapi dia juga mengingat keadaannya sendiri
yang sedang menjadi incaran musuh, seharusnya mereka menyembunyikan diri, masa
sekarang malah mau tampil di depan umum"
"Bagaimana menurutmu?" tanya Pek I Ni kepada Siau Po akhirnya.
Si anak muda sejak tadi berdiam diri saja, Hatinya masih panas melihat kemesraan A
Ko dengan pemuda yang menunggang kuda itu.
Sebenarnya dia merasa muak mendengar pembicaraan mereka dan mendongkol
melihat sikap si pemuda terhadap A Ko. Dia tidak ingin A Ko terus-terusan dekat
dengan pemuda itu. "Kalau rombongan Ihama jahat itu tiba, kita pasti kerepotan melayaninya. Lebih baik
kita cari tempat untuk singgah terlebih dahulu." sahutnya kemudian.
"Apa itu Ihama jahat?" tanya si pemuda.
"The toako, ini guruku." kata A Ko memperkenalkan. "Di tengah jalan kami bertemu
dengan satu rombongan Ihama jahat, mereka hendak mencelakai guruku ini. sekarang
guruku sedang terluka parah, sedangkan di belakang ada serombongan Ihama jahat
yang mengejar." "Oh, begitu!" kata si pemuda yang langsung berteriak nyaring kepada rombongan di
belakangnya kemudian menghentikan tunggangannya, Bahkan kedua kereta yang
ditumpangi Siau Po dan yang lainnya juga ikut berhenti.
Pemuda itu segera melompat turun dari keretanya lalu menyingkap tirai kereta
kemudian menjura sambit berkata.
"Boanpwe The Kek Song menghadap cianpwe!"
Pek I Ni menganggukkan kepalanya.
"Kalau baru beberapa orang Ihama, rasanya tidak perlu dijadikan bahan kecemasan,"
kata Kek Song kembali. "Cianpwe, boanpwe bersedia mewakili cianpwe membereskan
mereka." Mendengar kata-kata pemuda itu, A Ko langsung merasa senang sekali, Tapi di
samping itu, hatinya juga dilanda kekhawatiran....
"The toako, ilmu para Ihama itu tinggi sekali." katanya,
"Semua kawanku itu juga memiliki ilmu silat yang tidak lemah, Aku percaya mereka
bisa membereskan para Ihama itu," kata Kek Song. "Kalau enggan main keroyok, satu
lawan satu pun tidak menjadi masalah."
A Ko menoleh kepada gurunya seakan hendak meminta pendapat wanita itu.
"Tidak bisa!" sahut Siau Po cepat sebelum si bhikuni sempat menjawab "Suthay
begini lihay saja masih terluka di tangan mereka, Kalian hanya dua puluh orang lebih
jumlahnya, apa yang bisa kalian lakukan?"
"Aku tidak tanya pendapatmu!" bentak A Ko, "Untuk apa kau banyak mulut?"
"Aku hanya mengkhawatirkan keselamatan suthay." sahut Siau Po.
"Kau sendiri yang takut mati tapi kau menggunakan guruku sebagai alasan." kata A
Ko yang tetap gusar "Kau si kecil busuk! Hatimu selalu mengandung niat yang tidak
baik!" "Apakah orang she The ini kepandaiannya tinggi sekali?" tanya Siau Po yang tidak
memperdulikan caci maki gadis, "Apakah dia lebih lihay dari suthay sendiri?"
"Tapi dia membawa dua puluh orang lebih," kata A Ko berkeras, "Semua orang itu
lihay-lihay, Mustahil kalau dua puluh orang yang tidak bisa melawan tujuh Ihama?"
"Bagaimana kau bisa tahu kalau kedua puluh orang itu ilmunya lihay-Iihay?" tanya
Siau Po. "Dalam pengamatanku, ilmu mereka justru rendah sekali."
"Tentu aku tahu." kata A Ko. "Aku pernah menyaksikan mereka turun tangan, Setiap
orang dari mereka pasti bisa menghadapi seratus orang sebangsamu."
Sementara kedua bocah itu bersitegang, Pek I Ni tetap berdiam, ia memikirkan
kesehatannya sendiri meskipun dia juga ingin sekali menghadiri pertemuan Cham Ku
Tayhwe itu. Dia ingin tahu apa rencana mereka dalam menumpas Gou Sam Kui.
Tapi para Ihama jahat itu membuatnya pusing, Dia juga tidak sudi menerangkan
bahwa sekarang mereka bermaksud menyembunyikan diri untuk sementara, hal ini
hanya akan membuat dirinya malu saja.
"Silahkan, kongcu! silahkan kau lanjutkan perjalanannya." katanya kemudian "Para
Ihama itu hanya mencari aku, biarlah aku yang melayani mereka. Terima kasih banyak
untuk kebaikanmu, kongcu!"
"Harap suthay jangan sungkan!" kata Kek Song. "Sudah sepantasnya kalau dalam
perjalanan aku memberikan bantuan sekedarnya kepada orang yang membutuhkan
Apalagi suthay adalah guru nona A Ko, aku lebih-lebih harus membantu."
A Ko menundukkan kepalanya, wajahnya merah padam Dia merasa jengah karena
namanya disebut-sebut. "Baiklah kalau begitu." kata Pek I Ni akhirnya, "Mari kita berangkat bersama ke Hon
Kan untuk menyaksikan keramaian di sana! Tapi aku harap kau jangan menyebutnyebut
apa pun tentang aku, sebab aku tidak ingin menemui siapa pun!"
Kek Song gembira sekali. "Baik!" Dia memberikan janjinya.
"The kongcu, kau dari golongan mana" Dan siapa nama gurumu yang mulia?" tanya
Pek I Ni. "Boanpwe telah menerima budi tiga orang guru," sahut Kek Song. "Guru yang
pertama ialah Sie suhu, ahli silat dari Bu I Pai. Yang kedua Lau suhu, murid tidak
resmi Siau Lim Pay cabang Pou Tian, Ho Kian...."
"Apakah nama mulia Lau suhu itu?" tanya Pek INi.
"Lau suhu bernama Lau Kok Hian." sahut si pemuda.
Pek I Ni merasa heran, Ketika menyebutkan nama gurunya, Kek Song tidak
menunjukkan sikap yang menghormat sebagaimana biasanya seorang murid, Tiba-tiba
sebuah ingatan melintas dalam benaknya.
"Bukankah nama guru kongcu itu sama dengan nama Lau Toa Ciang Kun dari
Taiwan?" "Benar." sahut Kek Song. "Dia memang Lau toa ciang kun yang memangku jabatan
Te-kok di bawah perintah Yan Peng Kun Ong, raja muda dari Taiwan."
Te-kok berarti pangkat yang setara dengan Komandan utama dalam sebuah propinsi.
"Apakah The kongcu termasuk anggota keluarga Yan Peng Kun Ong yang agung
itu?" "Aku puteranya yang kedua."
Pek I Ni menganggukkan kepalanya.
"Kiranya turunan panglima perang yang setia kepada negara."
Raja muda Yan Peng Kun Ong adalah The Seng Kong yang telah berjasa merampas
pulang kepulauan Taiwan dari tangan bangsa Belanda, Dia dianugerahkan pangkatnya
di tahun Eng Lek kedua belas.
Pangkat militernya Ciau Ciang Kun, panglima perang. Pada tahun Eng Lek ke enam
belas, atau permulaan tahun kaisar Kong Hie bulan kelima, Teh Seng Kong menutup
mata. Tatkala itu, putera sulungnya, The Keng sedang memangku jabatan di Kim mui dan
He mui. Karena itu, The Sip, adiknya yang mewarisi jabatan sang ayah.
Sementara itu, The Keng mengajak Tay Ciang Kun Ciu Coan Pin, Tan Kin Lam dan
yang lainnya untuk berangkat ke Taiwan dan merampas kembali kedudukan ayahnya
itu, Ternyata dia berhasil The Keng mempunyai dua orang putera, Yang pertama
bernama The Kek Cong, dan yang kedua The Kek Song ini. .
The Keng tidak sudi menakluk pada bangsa Boan, sikapnya itu membuat dirinya
disanjung dan dikagumi oleh para pecinta negara. juga dihormati oleh segala kalangan.
Ketika menyebut nama ayahnya, Kek Song yakin si bhikuni akan menaruh sikap
hormat kepadanya. Ternyata sikap bhikuni itu biasa-biasa saja, Dia hanya
menganggukkan kepalanya sambil tersenyum.
Tentu saja dia tidak tahu kalau Pek I Ni justru putrinya kaisar Cong Ceng dan Lau
Kok Hian adalah bekas panglima ayahnya yang telah menakluk pada pemerintahan
Boan Ciu. Sementara itu, Siau Po berkata dalam hatinya.
- Memangnya apa yang hebat dari Yan Peng Kun Ong" --, dia tahu siapa raja muda
itu, bahkan gurunya sendiri, Tan Kin Lam adalah sebawahannya si raja muda.
Di lain pihak, dia merasa tidak enak hati melihat Kek Song kepada A Ko. Bukankah
pemuda itu putera seorang raja muda dan tampangnya juga jauh lebih ganteng
daripada dirinya sendiri"
Dia juga kalah dalam ilmu silat sedangkan dalam hal kepandaian dan usia, dia juga
tidak ungkuIan, Ada satu hal yang dikhawatirkannya, Kalau gurunya, Tan Kin Lam tahu
dia sedang memperebutkan seorang gadis dengan pemuda itu, bisa-bisa dia mati
digantung. -- Pek I Ni mengatakan, pemuda itu keturunan seorang panglima perang yang setia
kepada negara, Aku sendiri apa" - Demikian pikirnya lebih jauh, Dia kalah derajat,
malah dia anak seorang perempuan hina yang menjajakan diri di rumah pelesiran.
Pada saat itu, terdengar Pek I Ni berkata kembali.
"Jadi gurumu yang pertama adalah Sie Liang yang telah takluk pada bangsa Boan
Ciu?" "Benar," sahut Kek Song, "Dia memang orang yang tidak tahu malu, Sudah lama
boanpwe tidak mengakuinya sebagai guru, Bahkan lain kali, apabila kami sempat
bertemu muka, di medan perang boanpwe akan membasminya dengan tangan sendiri.
Ketika berbicara, nadanya bersemangat sekali, malah sepasang tangannya
dikepalkannya erat-erat. "Selama hampir sepuluh tahun ini," kata Kek Song pula, "Boanpwe selalu mengikuti
Phang suhu untuk belajar silat, Phang suhu adalah seorang tokoh utama Kun Lun pai
yang mempunyai julukan It Kiam Bu Hiat (Sekali tusukan pedang tanpa darah), Mungkin
suthay pernah mendengar nama beliau...."
"Apakah nama lengkapnya Phang Sek Hoan?" tanya Pek I Ni. "Tetapi mengenai asal
usulnya aku kurang jelas."
"llmu pedang Phang suhu lihay sekali," kata Kek Song. "Demikian pula tenaga
dalamnya yang sudah mencapai puncaknya, Dengan ujung lengan bajunya saja Phang
suhu dapat menotok jalan kematian seseorang. Apabila dia menotok, kulit tubuh orang
itu tidak terlihat luka dan tidak mengucurkan darah sama sekali."
"0h...!" seru Pek I Ni kagum, "llmu tenaga dalam yang demikian sempurna, pada
jaman ini mungkin hanya beberapa orang yang menguasainya, Berapa usia Phang
suhu itu?" Kek Song tampak puas sekali dengan pujian Pek I Ni.
"Pada musim dingin ini, boanpwe akan memberikan selamat kepadanya untuk ulang
tahun yang kelima puluh."
Pek I Ni menganggukkan kepalanya.
"Usianya belum lima puluh tahun, tapi tenaga dalamnya sudah semahir itu, Sukar
ditemukan orang sehebat dirinya."
Si bhikuni berdiam diri sesaat Kemudian dia baru bertanya lagi,
"Bagaimana dengan para pengikutmu, kongcu" Apakah ilmu mereka dapat
diandalkan?" "Mengcnai hal itu, harap suthay legakan hati." sahut Kek Song, "Mereka semua
merupakan pengikut-pengikut lihay yang telah dilatih dalam istana Yan Peng Kun Ong."
"Eh, suthay!" Tiba-tiba Siau Po nyeletuk, "Mengapa orang-orang lihay di kolong langit
ini demikian banyak" Lihat saja guru kongcu ini! Yang pertama ialah jago dari Bu I Pai,
yang kedua dari Siau Lim Pai, Dan yang ketiga dari Kun Lun Pai, Sudah begitu, para
pengiringnya semua lihay luar biasa."
Panas hati Kek Song mendengar ucapan Siau Po. Dia merasa dirinya sedang disindir
Tapi dia menahan kekesalan hatinya, Dia belum kenal siapa anak tanggung itu. Karena
dia melakukan perjalanan bersama nona Tan dan gurunya, mungkin dia mempunyai
hubungan dengan mereka. Sementara itu, terdengar A Ko berkata.
"Bukankah ada pepatah yang mengatakan apabila gurunya lihay, muridnya pasti
lihay juga. The kongcu telah dididik oleh tiga tokoh yang terkenal, tentu saja ilmunya
tinggi sekali." "Nona benar!" sahut Siau Po. "Aku bertanya demikian karena belum tahu sampai di
mana kelihayan The kongcu. Kalau dibandingkan dengan nona, entah ilmu siapa yang
lebih tinggi?" A Ko menoleh kepada Kek Song.
"Sudah tentu ilmu The kongcu yang lebih tinggi." sahutnya,
The Kek Song tertawa. "Ah.... Nona terlalu merendahkan diri sendiri." katanya.
Siau Po tertawa juga, bahkan dia mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Oh, begitu!" katanya, "Tadi Nona mengatakan apabila gurunya lihay, muridnya pasti
lihay juga, Dengan demikian guru nona sendiri pasti kurang lihay sehingga dia kalah
dengan guru-guru The kongcu."
Wajah A Ko berubah merah padam, Dia tergelincir oleh kata-katanya sendiri.
"Kapan aku mengatakan ilmu guruku rendah" Kau... kau sendiri yang mengoceh
tidak karuan." Pek I Ni memperhatikan sikap ketiga muda-mudi itu.
"A Ko," katanya, "Kalau mengadu lidah dengannya, mana mungkin kau menang?"
A Ko terdiam. Dia merasa malu sekali Kereta terus maju ke arah barat Kek Song
selalu mengiringi di sampingnya. Siau Po mengeluarkan tiga butir pil yang diberikan ibu
suri kepadanya. Dia menyodorkannya kepada Pek I Ni dan meminta wanita itu
menelannya. "Suthay, ini obat Soat Som, kabarnya bisa untuk memulihkan tenaga." katanya.
Pek I Ni menyambut pil itu seraya mengucapkan terima kasih, Dia langsung
menelannya sekaligus. Setelah itu, dengan perlahan-lahan dia bertanya kepada
muridnya. "Bagaimana kau bisa berkenalan dengan The kongcu itu?"
Wajah A Ko kembali menjadi merah padam.
"Pertama kali aku melihatnya di kota Kay Hong." sahutnya, "Ketika itu aku bersama
kakak dan kebetulan kami sedang menyamar sebagai pria, Karena itu dia menyangka
kami Iaki-Iaki sejati dan kami pun sedang berada di dalam rumah makan. The kongcu
mengundang kami duduk dan bersantap bersama."
"Nyali kalian benar-benar tidak kecil." kata Pek I Ni. "Dua orang nona berani
bersantap di rumah makan."
A Ko menundukkan kepalanya.


Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kami tidak benar-benar minum arak," sahutnya, "Kami hanya berpura-pura saja,
Kami menganggapnya sebagai permainan yang menarik."
"Nona A Ko," tukas Siau Po, "Wajahmu begitu cantik, meskipun menyamar sebagai
laki-laki, setiap orang pasti tahu dan dapat mengenali bahwa kau sebenarnya seorang
gadis, Dan The kongcu itu, aku rasa dia mengandung niat yang kurang baik
terhadapmu." "KauIah yang mengandung maksud kurang baik!" bentak si nona kesal.
Siau Po terdiam Dia hanya tersenyum simpul. Pek I Ni ikut-ikutan tersenyum
Rupanya dia menganggap tingkah kedua remaja ini sungguh jenaka.
Pada siang hari itu mereka tiba di Hong Ji Cung, dan segera singgah di sebuah
rumah makan besar Ketika melompat turun dari kudanya, Siau Po melihat sikap dan
tampang pemuda itu gagah sekali, Di pinggangnya terselip sebatang pedang yang pada
gagangnya bertaburkan batu permata, sinarnya berkilauan
A Ko menuntun Pek I Ni turun dari kereta, Mereka memasuki rumah makan itu lalu
mengambil tempat duduk, Siau Po hendak duduk di depan Pek I Ni, tapi dia dipelototi
oleh A Ko. "Di sana banyak tempat kosong, mengapa kau harus duduk di sini" Melihat
tampangmu, aku jadi tidak ada selera untuk makan." katanya.
Siau Po marah sekali, wajahnya berubah merah padam, Dia membungkam tapi
dalam hatinya dia memaki, -- lya, kalau The kongcu yang menemani kau makan, kau
langsung saja ada selera, -"A Ko, mengapa kau tidak bisa bersikap manis terhadap Siau Po?" tanya Pek I Ni.
"Karena dia orang busuk yang sanggup melakukan kejahatan apa saja," sahut si
nona. Siau Po mendongkol sekali, Dia terpaksa berjalan menuju sebuah meja yang ada di
sudut rumah makan itu, Dalam hati dia berkata.
-- Terang kau ingin menikah dengan The kongcu yang bau itu, Tapi apa kau kira aku,
Wi Siau Po akan mudah diperlakukan seperti ini" Hm! Lihat saja, nanti aku akan
mencari jalan membunuh pujaan hatimu sehingga sebelum menikah kau sudah menjadi
janda. pada saat itu, mau tidak mau kau pasti menjadi isteriku -Setelah pesanan datang, para pengikut The kongcu segera makan dengan lahap.
Siau Po sendiri segera mengambil delapan butir bakpao dan dibawanya untuk Hupian,
Dia merasa di antara semua orang itu, hanya si Ihama ini yang bisa diajak bicara.
Setelah itu dia kembali lagi ke mejanya sendiri.
Dengan wajah berseri-seri, A Ko berbicara dengan The kongcu sambil menikmati
hidangan di atas meja, Si kongcu juga tampak gembira sekali, Agaknya pergaulan
kedua orang itu semakin akrab dan pemandangan itu membuat Siau Po sukar menelan
hidangannya sendiri. -- Tidak mudah bagiku untuk membinasakan pemuda ini, Lagipula kalau A Ko sampai
tahu aku membunuhnya, bukan saja dia tidak sudi menjadi isteriku, bahkan ada
kemungkinan dia akan mencariku untuk membalas dendam. -, pikir Siau Po dalam hati.
Tiba-tiba, telinga Siau Po mendengar suara riuh derap kaki kuda, Kemudian tampak
serombongan orang tiba di depan rumah makan dan turun dari kuda masing-masing.
Melihat orang-orang yang baru datang itu, hati Siau Po tercekat Merekalah tujuh
orang berpakaian Ihama, Tapi sesaat kemudian hatinya merasa senang juga, Sebab dia
berpikir - Tadi The kongcu membual dengan mengatakan akan membereskan para
Ihama ini. Sekarang aku ingin melihat apa yang dapat dilakukannya, Aku akan
menonton, pasti menarik sekali -Begitu memasuki rumah makan dan melihat Pek I Ni wajah ketujuh Ihama itu
langsung berubah, Entah apa yang ada dalam hati mereka, Salah seorang yang
bertubuh tinggi kurus segera berkata dalam bahasa mereka, lalu mereka mengambil
tempat duduk di dekat pintu ke luar.
Mereka juga langsung memesan makanan. Selama itu mereka terus menatap ke
arah Pek I Ni. Wajah mereka muram sebagai tanda bahwa hati mereka sedang tidak
senang. Sementara itu, Pek I Ni juga sudah melihat kehadiran tujuh orang Ihama tersebut,
tapi dia tetap bersikap tenang seakan tidak ada kejadian apa-apa.
Tidak lama kemudian, salah seorang Ihama dari rombongan itu berdiri dan berjalan
ke hadapan Pek I Ni. Wajah orang itu tampak garang sekali.
"Hei, Bhikuni!" teriaknya, "Apakah kau yang mencelakai kawan-kawanku?"
Belum lagi Pek I Ni sempat menjawab, Kek Song sudah mencelat bangun.
"Hai, apa yang kau lakukan?" tegurnya. "Mengapa sikapmu demikian kasar dan tidak
tahu aturan?" "Makhluk apa kau ini?" tanya si lhama, "Aku sedang berbicara dengan bhikuni ini,
Apa urusannya denganmu?"
Melihat kongcunya diperlakukan dengan kasar, beberapa orang pengawal dari Yang
Peng Kun Ongi segera menghambur ke depan. Tangan mereka dijulurkan untuk
mendorong Ihama tersebut.
Sang Ihama segera menangkap tangan dua orang pengawal yang sampai terlebih
dahulu, sedangkan sebelah kakinya menendang seorang lainnya sehingga orang itu
terpental ke luar rumah makan dan terbanting di atas tanah.
Lalu tangannya menonjok hidung, orang yang tertangkap tangannya sehingga hidung
orang itu mengucurkan darah talu terguling pingsan.
Para pengawal yang lain menjadi terkejut dan bangun serentak.
"Maju!" teriak mereka sambil menghunuskan senjata masing-masing. Mereka
langsung melakukan penyerangan.
Lima orang Ihama segera bangun dan memberikan perlawanan Tinggal si Ihama
bertubuh tinggi kurus yang tetap duduk di tempatnya dan memperhatikan jalannya
pertarungan. Pertempuran berlangsung dengan seru. Suara bising beradunya senjata tajam
terdengar di sana-sini. otomatis meja dan kursi dalam rumah makan itu menjadi kacau
balau, Para pelayan dan tamu-tamu lainnya kucar-kacir karena takut kena sasaran.
The Kek Song dan A Ko menghunuskan pedangnya masing-masing dan berdiri di
samping kiri kanan Pek I Ni untuk melindunginya. Mata mereka terpentang lebar-Iebar
untuk menjaga segala kemungkinan.
Begitu kedua belah pihak bergebrak, segera terdengar suara jerita teraduh-aduh atau
suara napas yang tertahan secara mendadak. Semua itu diiringi suara bentakan dan
seruan para Ihama. Meskipun suasana di dalam rumah makan itu kalang kabut, hati Siau Po masih agak
lega sebab kawanan Ihama itu tidak langsung menyerang si bhikuni, Dan sikap wanita
itu masih tenang seperti sebelumnya. Lain halnya dengan wajah A Ko yang sudah
berubah pucat pasi. Kek Song sendiri juga menyiratkan kecemasan melihat kelihayan para Ihama itu.
Tidak lama kemudian, si tinggi kurus berdiri dan menghampiri The Kek Song. Pemuda
itu terkejut dan langsung bersiap siaga.
"Apa yang kau inginkan?" tanyanya.
"Kedatangan kami untuk mencari si bhikuni ini. Sama sekali tidak ada urusan
denganmu! Apakah kau muridnya?" tanya Ihama itu.
"Bukan!" sahut The Kek Song.
"Lalu, apa hubunganmu dengannya?"
"Tidak ada!" "Bagus!" kata si Ihama, "Kalau begitu, kau harus tahu diri, cepatlah kau pergi dari
sini!" "Sia... pakah Tuan?" tanya Kek Song gugup, "Sudilah kiranya Tuan memberitahukan
agar kelak di kemudian hari...."
Tiba-tiba lhama itu mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak.
"Namaku Sang Cie!" kata si Ihama, "Akulah Hu kau atau pelindung agama dari Dalai
Lhama, Buddha Hidup kami di Tibet, Kau mau apa, anak baik" Apakah kelak kau ingin
mencariku untuk membalas dendam?"
Kek Song mengeraskan hatinya, "Benar!"
Sang Cie tertawa lebar Dia mengibaskan ujung baju kirinya ke wajah pemuda itu.
Kek Song menangkis dengan pedangnya, Tapi si lhama lihay sekali, dengan jari
tengahnya dia menyentil dan pedang Kek Song pun terpental dan menancap di tiang
penglari. Lhama itu tidak berhenti sampai di situ saja, tangan kirinya terus bergerak Punggung
Kek Song kena dicengkeram lalu diangkat dan didudukan di atas sebuah kursi.
"Duduklah baik-baik!" Kek Song tidak dapat berkutik, jalan darahnya telah tertotok.
Terpaksa dia menyaksikan saja si lhama kembali ke mejanya.
Siau Po yang menyaksikan kejadian itu langsung berkata dalam hatinya.
-- Apalagi yang ditunggunya" Mengapa dia tidak segera turun tangan kepada Pek I
Ni" Apakah dia sedang menunggu datangnya bala bantuan?"
Tiba-tiba Siau Po ingat kepada Hupian yang masih ada di dalam kereta.
-- Celaka! Kalau keadaannya begini terus, tentu mereka sempat menolong Hupian,
Dan mereka pun akan tahu bahwa aku serombongan dengan bhikuni itu. Mereka juga
pasti tahu bahwa akulah yang mencelakai rekan-rekan mereka, Bisa-bisa aku Wi Siau
Po dikirim pulang ke alam bakal --, pikirnya kemudian.
Dia menoleh kembali kepada si lhama tinggi kurus yang masih duduk tenang-tenang.
-- Mungkin dia belum tahu kalau suthay terluka parah sehingga hatinya merasa jeri. -,
pikirnya. Tatkala itu, pelayan muncul dengan membawa barang hidangan. Tangannya
gemetar menyaksikan jalannya pertarungan Setelah meletakkan barang hidangan di
atas meja Sang Cie, pelayan itu cepat-cepat kembali ke dalam.
Siau Po segera mengintil di belakangnya, Dia melihat pelayan itu sedang mengisi
guci arak. "Apakah arak itu untuk tuan-tuan galak yang ada di depan?" tanyanya.
Pelayan itu terkejut, Dia menolehkan kepalanya dan melihat yang menegurnya hanya
seorang anak tanggung, hatinya jadi Iega.
"Benar!" sahutnya.
"Tanganmu gemetaran, nanti arak itu tumpah ke mana-mana, Biar aku
membantumu. Coba kau lihat sana, apakah para pendeta itu masih berkelahi atau
tidak?" Pelayan itu memandang Siau Po dengan tatapan berterima kasih, Dia segera menuju
ambang pintu ruangan dan melongok ke luar, Menggunakan kesempatan itu, Siau Po
mengeluarkan dua bungkus Bong Hoan Yok dan dimasukkannya ke dalam arak lalu
diguncang-guncangkannya agar larut.
Sementara itu, si pelayan sudah kembali lagi.
"Mereka masih berkelahi." katanya.
"Kau berhati-hatilah, Cepat antarkan arak ini. jangan sampai tuan yang galak itu
marah-marah lagi!" Cepat-cepat si pelayan membawa arak itu. setibanya di luar, para lhama itu sedang
tertawa-tawa karena pihak merekalah yang menang di atas angin, Secara bergantian
mereka meneguk arak dari guci besar itu.
Siau Po senang sekali melihatnya, Untung saja para lhama itu masih kurang
pengalaman walaupun sebenarnya ilmu mereka tinggi.
Salah satu lhama menghampiri A Ko dan menowel pipi si gadis dengan sikap ceriwis.
"Nona, apakah kau sudah menikah?"
A Ko gusar sekali, Tapi dia tidak dapat berbuat apa-apa. Demikian pula Pek I Ni,
wajahnya berubah merah padam karena menahan perasaan amarahnya.
Siau Po melihat gelagat yang kurang baik, Diam-diam dia mengeluarkan pisau
belatinya. Digenggamnya pisau belati itu sehingga tertutup oleh lengan jubahnya yang
lebar. "Eh, bapak Ihama, apa yang kau lakukan?" tanyanya dengan tertawa-tawa sembari
menggeserkan langkahnya merapat ke tubuh orang itu. Dengan segap dan gesit dia
menancapkan pisaunya di punggung Ihama itu berkali-kali.
Tanpa mengeluarkan suara sedikit pun si lhama terjengkang ke belakang dan mati
seketika, Kawan-kawannya heran menyaksikan keadaan itu. A Ko sendiri belum tahu
kalau jiwa si lhama sudah melayang. Dia menatap dengan mata membelalak.
Siau Po segera berkata dengan suara perlahan
"A Ko, cepat ikut aku menyingkir dari sini!"
Tanpa menunggu jawaban si nona, Siau Po segera menarik tangan Pek I Ni dan
diajaknya berjalan menuju depan pintu, Tapi beberapa lhama lainnya segera
menghadang langkah mereka.
"Tahan!" teriak Siau Po ketika melihat mereka mendekat "Guruku ini mempunyai ilmu
yang istimewa, Lihat saja lhama itu, Dia kurang ajar sekali sehingga dia sudah dihukum
mati, Kalau kalian ingin mendapatkan nasib yang sama, silahkan maju!"
Para Ihama itu menjadi ragu-ragu. Lalu terdengarlah suara buk! Buk. Dan dua orang
Ihama pun jatuh terkulai di atas tanah, Rupanya obat bius Siau Po sudah
memperlihatkan reaksinya, tapi tentu saja para Ihama itu tidak tahu.
Tidak lama kemudian, dua orang Ihama lagi menyusul roboh. Sang Cie
memperlihatkan tampang bingung. Dia langsung berdiri tegak, Hanya keadaannya yang
lebih baik, mungkin karena tenaga dalamnya lebih tinggi.
Siau Po menggunakan kesempatan itu untuk menarik tangan si bhikuni dan di
ajaknya berlari ke luar. A Ko mengajak Kek Song yang sebelumnya dilepaskan dulu dari
totokannya, Sang Cie berusaha menghalangi langkah mereka, tapi baru berjalan dua
tiga langkah, dia sendiri terhuyung-huyung lalu roboh terkulai seperti rekan-rekannya
yang sudah mendahuluinya.
Kedua sais kereta tidak kelihatan entah ke mana mereka, Dia segera memapah Pek I
Ni menaiki kereta, kemudian dia memegangi tali kendali dan menjalankannya.
Hupain masih ada dalam kereta, A Ko dan Kek Song naik di atas kereta yang
satunya lagi. Setelah berlari belasan li, keledai-keledai mereka sudah letih, terpaksa
kereta berjalan perlahan-lahan.
Tidak lama kemudian, dari belakang terdengar suara derap kaki kuda, Tampaknya
musuh sudah berhasil mengejar mereka.
"Sayang kita tidak mempunyai kuda, kalau tidak, binatang itu larinya lebih kencang
dan para Ihama itu pasti tidak bisa mengejar kita." kata Kek Song.
"Mana bisa?" sahut Siau Po. "Mana mungkin suthay menunggang kuda" Lagipula,
aku juga tidak mengajakmu naik kereta!"
Sembari berbicara, Siau Po menghentakkan tali kendali agar keledainya lari lebih
cepat Kek Song merasa kesal dengan kata-kata si anak muda, tapi dia tidak berani
membantah Ketika itu, derap kaki kuda di belakang sudah semakin mendekat
"Suthay, sebaiknya kita turun dari kereta dan cari tempat untuk menyembunyikan
diri." Dia melongokkan kepalanya ke luar jendela, tapi hatinya gundah karena dia tidak
melihat satu pun rumah penduduk. Di kiri kanan hanya tampak sawah dan ladang, Di
sana terdapat banyak pohon gandum dan rerumputan.
"Sebaiknya kita bersembunyi di ladang gandum saja!" kata Siau Po yang langsung
menghentikan keretanya. "Bagaimana kita dapat menyembunyikan diri di tempat seperti ini?" kata Kek Song,
"Apakah tidak malu apabila ada orang yang mengetahuinya" Bukankah itu bisa
menjatuhkan nama besar Yan Peng Kun ong?"
"Kau benar, kongcu!" kata Siau Po. "Kami bertiga ingin menyembunyikan diri di sini
silahkan kongcu menjalankan kereta itu untuk kabur dari sini sehingga perhatian musuh
jadi terbagi!" Tanpa menunda waktu lagi, Siau Po menuntun Pek I Ni turun dari kereta. Bhikuni itu
tidak menentang, dia menurut saja. A Ko sempat ragu-ragu sebentar. Kemudian dia
menggapai kepada Kek Song.
"Mari, kau juga ikut bersembunyi!" Kek Song tertegun melihat ketiga orang itu
memasuki ladang gandum. Tapi hanya sesaat dia merasa ragu, lalu dia ikut juga
bersembunyi di tempat itu.
Tiba-tiba Siau Po ingat sesuatu, Dia segera ke luar dari tempat persembunyiannya.
Dia menghampiri Hupian dan menikamnya berulang kali, sehingga jiwanya meIayang.
Setelah itu dia mengutungkan sebelah lengan orang itu, setelah itu dia menusuk
paha keledai sehingga binatang itu kesakitan dan lari sekencang-kencangnya.
Ketika para penunggang kuda itu mulai mendekat Siau Po sudah menyelinap
kembali ke ladang gandum, Dia membawa tangan Hupian yang telah dikutungkan,
Maksudnya hendak menakut-nakuti Kek Song.
Dengan tangan kanan dia memegangi lengan Hupian, tangan kirinya meraba-raba
sampai dia berhasil menyentuh kuncir Kek Song, Dia langsung menarik-nariknya.
Dia menghentikan gerakan tangannya dan mulai meraba lagi, Akhirnya dia
memegang sebuah pinggang yang kecil. Hatinya senang sekali. Dia tahu itulah
pinggang A Ko. Tiba-tiba dia mencubit seraya berseru.
"Eh, The kongcu, mau apa kau meraba-raba selangkanganku?"
"Tidak." sahut Kek Song menyangkal.
"Ah, kau pasti menyangka aku nona A Ko, bukan?" kata Siau Po yang sedang
bersandiwara, Kau sembarangan menggunakan tanganmu Kau benar-benar tidak tahu
adat" "Ngaco!" bentak Kek Song yang hatinya mendongkol sekali
Dengan tangan kirinya Siau Po kembali meraba dada A Ko, lalu cepat-cepat dia
menarik kembali tangannya seraya berteriak.
"Hai, The kongcu! Mengapa kau terus-terusan menggerayangi aku?"
Kali ini, selesai berkata, Siau Po menggunakan tangan Hupian untuk mengusap-usap
wajah dan leher si gadis, Selama itu, A Ko merasa ada tangan yang
menggerayanginya, Tapi dia diam saja karena merasa malu dan bingung, Dan dia jadi
terkejut sekali ketika ada tangan yang dingin menyentuh wajahnya.
-Pasti ini bukan tangan Siau Po, - katanya dalam hati -- Tangan si bocah tidak
mungkin sebesar ini Pasti ini tangannya The kongcu! -- Karena itu, dia diam saja, Dia
takut sang guru mengetahuinya, Lekas-lekas dia memalingkan wajahnya.
Siau Po membalikkan tangannya dan menyentil kuping orang,
"Bagus, Nona A Ko!" katanya, "Bagus sekali kau menghajarnya. Memang The
kongcu ini tidak tahu adat! Eh, eh, The kongcu! Kembali kau meraba-raba aku! Rupanya
kau ingin memfitnah aku, ya?"
Mendengar kata-katanya, A Ko berpikir lagi.
-- Rupanya benda ini bukannya tangan si bocah busuk! Tetapi pada saat itulah terdengar suara derap kaki kuda yang sedang mendatangi,


Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rupanya itulah gerombolan para lhama yang sudah menyusul tiba.
Lhama itu benar-benar tangguh. Obat bius yang diberikan Siau Po tidak membuat
mereka pingsan sampai lama, Ketika terhuyung-huyung, Sang Cie segera teringat
bahwa ada kemungkinan mereka telah dibius.
Dengan sisa kesadarannya dia menyuruh pelayan rumah makan mengambil
seember air dingin yang digunakan untuk mengguyur bagian kepala. Sesaat kemudian
dia merasa keadaannya sudah membaik, Dia segera memerintahkan mengambil air
dingin harus mengguyur kepala teman-temannya,
Setelah semuanya sadar, mereka segera berangkat untuk mengejar si bhikuni.
Sementara itu, A Ko mendongkol sekali dengan perlakuan Siau Po.
"Jangan!" katanya ketika merasa kembali ada tangan dingin yang menyentuh
wajahnya. Dalam waktu yang bersamaan, Siau Po menggerakkan tangannya menampar pipi si
pemuda. "Bukan aku" Bukan aku!" teriak Kek Song yang merasa penasaran.
Justru pada saat itulah rombongan Sang Cie sampai sehingga mereka sempat
mendengar suara teriakan si pemuda.
"Di sini!" teriak salah seorang lhama.
Seorang lhama segera melompat turun dari kudanya dan menghampiri pepohonan
yang lebat itu, Sebelah kaki Kek Song agak menjulur ke depan sehingga terlihat oleh
musuh. Lhama itu segera menariknya dan melemparkannya sekuat tenaga sehingga
tubuh anak muda itu terpental.
Setelah itu, tangannya kembali menyusup ke dalam gerombolan tempat Kek Song
bersembunyi dan mulai mencari-cari lagi, Siau Po bingung sekali.
Tiba-tiba dia ingat tangannya Hupian, cepat-cepat dia menyodorkan tangan itu,
Lhama itu merasa berhasil meraba tangan seseorang. Dia mengira pasti bisa menarik
tangan itu seperti halnya menangkap kaki Kek Song tadi, tapi ternyata dia keliru,
Begitu tangan itu ditariknya, dia malah terjengkang ke belakang.
"Ah!" serunya setelah melihat tegas apa yang tergenggam di tangannya.
Siau Po senang sekali menyaksikan orang itu jatuh, Dia segera menjumput
setumpukan rumput lalu digunakannya untuk menekap wajah Ihama itu. Lhama itu
terkejut dan cepat-cepat menyibakkan rumput itu dari wajahnya, tapi tiba-tiba dia
merasa dadanya nyeri, lalu dia tidak bergerak Iagi. Orang itu hanya sempat
mengeluarkan suara tertahan.
Rupanya itulah hasil kerja Siau Po yang menekap wajah orang dengan rumput,
sekaligus, menikamkan belatinya ke dada orang, Ketika menarik kembali pisau
belatinya, Siau Po mendengar lagi suara berisiknya beberapa orang lhama.
Diam-diam dia mengeluh Karena merasa kali ini mungkin tidak dapat meloloskan diri
lagi, Tapi dia belum mau menyerah begitu saja.
Perlahan-lahan Siau Po berdiri Dia menyimpan pisau belatinya di dalam lengan baju,
Dia mengangkat kepalanya dan berpaling. Tampak Sang Cie bersama sisa empat
lhama lainnya berada di tengah ladang gandum, jarak antara mereka dengan dirinya
kurang lebih tiga tombak.
Sang Cie masih belum tahu sebab musabab kematian temannya, Dia hanya melihat
rekannya roboh dan tidak bangun kembali Dia mengira si bhikuni telah membunuh
temannya itu entah dengan ilmu apa. Dengan demikian dia jadi tidak berani
sembarangan turun tangan.
Tiba-tiba terdengar suara si lhama tinggi kurus itu.
"Hai, bhikuni muda! Beruntun kau telah membunuh delapan orang rekanku, maka
permusuhan di antara kita sudah mendalam sekali, Mengapa kau bersembunyi di dalam
gerombolan pepohonan itu" Apakah perbuatanmu itu pantas disebut perbuatan orang
gagah?" Lhama ini menyebut bhikuni muda, padahal usia Pek I Ni lebih tua daripadanya, Hal
ini karena pandangan matanya yang keliru, Pek I Ni memang awet muda karena tenaga
dalamnya yang sudah mahir.
Telinga Siau Po serasa mendengung mendengar suara lhama itu. Hatinya juga
tercekat. -- Aneh! Mengapa dia bisa tahu kalau aku sudah membunuh delapan orang
rekannya" - katanya dalam hati,
Dengan membawa pikiran itu, Siau Po segera menghitung, Ternyata memang benar
jumlah lhama yang telah dibunuhnya ada delapan orang. Tapi yang sebenarnya, satu
diantaranya mati di tangan Pek I Ni.
Karena ketakutan, Siau Po menyurut mundur dua langkah, Tetapi dia segera
menjawab. "llmu silat guruku lihay sekali, Di kolong langit ini, tidak ada orang kedua yang dapat
menandinginya. Namun guruku itu pemurah hati dan berjiwa mulia. Dia tidak mau
sembarangan membunuh orang, sekarang kalian berlima, lekas angkat kaki, guruku
suka memberikan pengampunannya kepada kalian!"
"Tidak demikian mudah, sobat!" kata Sang Cie. "Hai, bhikuni muda, dengarlah! Cepat
kau kembalikan kitab Si Cap Ji CinKeng. Kalau kau tahu diri, Hudya tidak akan menarik
panjang urusan ini, Tapi sebaliknya, kalau kau mempunyai niat untuk kabur, sampai ke
ujung langit pun akan kukejar!"
Mendengar kata-kata itu, Siau Po segera menjawab.
"Apa" Kitab Si Cap Ji Cin Keng" Bukankah kitab itu terdapat di wihara mana pun,
siapakah yang kerakusan mengingatkannya ?"
"Tapi kami menghendaki kitab yang ada di tangan suthay itu!" kata Sang Cie.
"Kitab itu telah diserahkan kepada bocah itu oleh guruku," kata Siau Po sambil
menunjuk kepada Kek Song, "Kau tanya saja kepadanya!"
Pada saat itu, Kek Song baru saja merayap bangun. Tiba-tiba dia dihampiri seorang
lhama dan dicekal kedua lengannya, Kemudian seorang lhama lainnya langsung
merobek pakaiannya sehingga terbelah menjadi dua bagian dan uang serta emas
mutiaranya berjatuhan di atas tanah. Tapi kitab yang disebutkan justru tidak ada.
"The kongcu," kata Siau Po. "Di mana kau sembunyikan kitab itu" Beritahukanlah
kepada mereka, Bukankah kitab seperti itu tidak ada harganya?"
Panas sekali hati Kek Song dibuatnya. "Aku tidak memiliki kitab itu!"
"Plok! Tiba-tiba pipinya ditampar oleh salah seorang lhama.
"Ayo, kau mau bilang atau tidak?" tanya seorang lhama lainnya dengan bengis,
tangannya pun ikut melayang ke pipi pemuda itu.
Siau Po melihat kedua pipi Kek Song merah dan pengap, hatinya merasa puas
sekali. "The kongcu, antarkanlah beberapa orang Hudyaya ini mengambil kitab itu, Aku
melihat kau menggali tanah di rumah makan, bukankah kitab itu kau sembunyikan di
sana?" "Ya, itu benar!" kata Sang Cie yang senang sekali, "Kalau anak kecil yang bicara, dia
pasti tidak bohong. Ayo, seret dia kembali ke rumah makan!"
Seorang lhama menyahut "lya," kembali tangannya menggaplok pipi Kek Song.
A Ko dapat melihat semua kejadian itu, Hatinya menjadi tidak tega, Dia juga kurang
senang dengan Siau Po, maka dia memberanikan diri muncul dari tempat
persembunyiannya dan berkata kepada si lhama yang tinggi kurus.
"Bocah ini tukang bohong, jangan percaya dengan kata-katanya! sebenarnya The
kongcu tidak memiliki kitab itu, bahkan melihatnya saja pun tidak pernah."
Mendengar ucapannya, Siau Po segera berbisik kepadanya.
"Aku ingin menolong suthay dan kau, biarkan saja The kongcu yang mengalihkan
perhatian mereka!" "Aku tidak sudi ditolong olehmu! Kau sengaja memfitnah The kongcu, kau ingin
membunuhnya!" "Jiwa suthay dan jiwamu lebih berharga daripada jiwanya." kata Siau Po yang
merasa kurang puas melihat sikap si nona,
"Jangan bunuh dia!" kata Sang Cie kepada kawan-kawannya, Kemudian dia menoleh
kembali ke arah gerombolan pohon dan berkata kepada Pek I Ni. "Bhikuni muda, ke
luarlah, kita bersama-sama ke rumah makan untuk mengambil kitab itu!"
A Ko tetap marah. Dia tidak menghiraukan kata-kata Sang Cie. ia hanya berkata
dengan suara garang kepada Siau Po.
"Kau sendiri yang takut mampus! Sengaja mencari alasan untuk menolong suhu!
Kalau kau memang berani, hadapi para Ihama itu dan hajar mereka!"
Hati Siau Po jadi panas, Dia berkata dalam hati, -- Sampai sedemikian jauh, kau
masih tidak memandang sebelah mata terhadapku Taruh kata aku menghajar mati para
Ihama ini, apa artinya" --Terus dia berteriak "Berkelahi ya berkelahi! Aku tidak takut
mati! Mati pun aku tetap akan berdaya menolong suhu dan kau. Sebaliknya, bagaimana
kalau aku menang?" "Hm!" seru si nona dengan suara menghina, "Biar kau menjelma sekali lagi, tidak
mungkin kau menang! Kalau kau berhasil mengalahkan seorang Ihama saja, untuk
selama-lamanya aku akan tunduk kepadamu."
"Baik!" kata Siau Po. "Kalau aku dapat mengalahkan seorang Ihama saja, kau harus
menikah denganku dan menjadi istriku!"
"Ngaco!" bentak si nona, Hatinya panas sekali, "Kau seorang hwesio, bagaimana,.,
bagaimana...." "ltu bukan persoalan." kata Siau Po. "Aku bisa kembali ke asalku sebagai orang
biasa, pokoknya kau harus menikah denganku!"
"Suhu, dengarlah..." katanya bingung. "Sampai saat ini dia masih mengoceh yang
tidak-tidak." Pek I Ni menarik napas panjang sekian lama dia diam saja, otaknya bekerja keras.
pikirannya ruwet "Sebaiknya aku membunuh diri dengan memutuskan nadiku sendiri. Biar bagaimana,
aku tidak dapat membiarkan diriku terhina oleh para Ihama ini!"
Dengan membawa pikiran itu, dia segera berkata kepada Siau Po.
"Siau Po, masukkan tanganmu ke dalam sini!"
Siau Po mengiakan. Tangannya diulurkan ke dalam gerombolan pohon, dia merasa
tangannya menyentuh segulung kertas kecil, Lalu telinganya mendengar suara Pek I Ni
berkata. "Inilah peta yang disimpan dalam kitab, jangan perdulikan aku lagi! Menyingkirlah
kau seorang diri! Kalau kau berhasil mendapatkan ketujuh jilid kitab yang lainnya, maka
berarti ada harapan bagi bangsa Han dan kerajaan Beng kita untuk bangkit kembali, itu
lebih berharga dari satu dua jiwa."
Semangat Siau Po terbangun mendengar kata-kata si bhikuni. Dia lebih dihargai
ketimbang muridnya sendiri. Tiba-tiba saja satu pikiran melintas dalam benaknya, Dia
segera menghadapi para Ihama dan berkata.
"Kalian semua dengar, guruku orang paling lihay dijaman ini. Beliau tidak sudi
bertempur dengan kalian, Kalau kalian memang berani, hadapi dulu aku! Kalau kalian
menang, baru guruku akan turun tangan. Kita duel satu lawan satu. Aku rasa kalian
pasti takut, bukan" Kalau benar, cepat kalian goyangkan ekor dan merat dari tempat
ini!" Selagi berkata, diam-diam dia memasukkan gulungan kertas yang diberikan Pek I Ni
ke dalam saku pakaiannya.
Kelima Ihama itu tertawa terbahak-bahak. Mereka memang agak takut terhadap si
bhikuni, tapi tidak terhadap bocah ini. Salah satu dari mereka segera berkata.
"Dengan satu tonjokan saja kau akan roboh sungsang sumbel, Apa yang hendak
diadu" Angin busuk?"
Siau Po maju satu langkah.
"Mari!" tantangnya, "Mari kita bertempur "Terus dia menoleh kepada A Ko seraya
berkata, "Asal aku menang, kau adalah istriku. Awas, jangan kau menyangkal
nantinya!" "Kau tidak mungkin menang." sahut si nona, "Biar bagaimana juga, kau tidak
mungkin menang." "Kau harus tahu," kata si anak muda, "kalau seorang sudah bertekad, biar selaksa
orang pun tidak dapat menghalanginya, Demi dirimu, demi kau menjadi istriku, baiklah,
aku akan mengadu jiwa denganmu."
Sementara itu, si Ihama juga sudah maju beberapa langkah, dia tertawa.
"Benarkah kau ingin bertanding denganku?"
"Mana mungkin aku berbohong?" sahut si anak muda, "Mari kita bertempur satu
lawan satu! Guru-ku pasti tidak akan membantu aku. Tapi bagaimana dengan keempat
saudara seperguruanmu itu, Apakah mereka tidak membantumu?"
Sang Cie tertawa mendengar ucapan si bocah, "Pasti kami juga tidak akan
memberikan bantuan apa-apa."
"Bagaimana bila dengan satu tinju aku bisa membuat saudaramu mampus?" ujar
Siau Po meminta penegasan. "Bukankah kalian akan meluruk maju semua untuk
mengeroyok aku" Kalau kalian main keroyok, tentu aku tidak sanggup melawan,
Apabila hal ini sampai terjadi, guruku pasti akan turun tangan."
Mendengar kata-kata Siau Po, Sang Cie menjadi berpikir. Laki-laki itu memang jeri
terhadap Pek I Ni, sebab dia masih belum tahu mengapa demikian banyak kawannya
bisa mati di tangan bikhuni itu.
Karena itu, dia berpikir, ada baiknya apabila salah seorang saudara seperguruannya
bertarung dengan si bocah. Siapa tahu dari gerakan si anak muda itu, dia bisa
menjajaki sampai di mana kelihayan gurunya atau berasal dari persilatan yang mana.
"Baik, Kalian berdua boleh bertanding." kata Sang Cie akhirnya, "Siapa yang hidup
atau siapa yang mati, dia harus menerima nasibnya, Orang dari kedua belah pihak
sama-sama tidak boleh membantu."
"Kalau ada yang membantu, dialah si anak kura-kura." tukas Siau Po.
"Ya, kau benar." kata Sang Cie yang tidak sadar dirinya dipermainkan oleh si bocah
cerdik. "Bagus!" seru Siau Po tertawa, "Oh, Ihama besar, kau sungguh cerdas dan mengerti
keadaan, Aku benar-benar kagum kepadamu."
Sang Cie tersenyum. "Nah, majulah kau beberapa tindak lagi.,." katanya. ini disebabkan jarak antara si
bocah dengan persembunyian si bhikuni terlalu dekat Dia khawatir guru si bocah akan
memberikan bantuan tenaga daIam. Apabila hal ini sampai terjadi, sudah pasti adik
seperguruannya akan kalah.
"Kau jangan takut!" kata Siau Po. "Kami bangsa Han adalah bangsa yang terhormat
Kalau kami mencapai kemenangan, kami ingin menang dengan cemerlang, Kalau harus
kalah pun, kami akan kalah sebagai laki-laki sejati, Kami tidak akan main curang."
Pada saat itu, Pek I Ni berkata pada Siau Po dengan suara berbisik.
"Siau Po, kau tidak mungkin menang, sebaiknya setelah kau berkelahi dengannya
lalu pura-pura mundur terus kabur."
"Ya," sahut Siau Po seenaknya, karena ia telah mempunyai rencana tersendiri. Dia
segera maju tiga langkah sehingga jaraknya dengan Pek I Ni menjadi kurang lebih tiga
tombak. Dengan demikian, si bhikuni tidak bisa memberikan bantuan tenaga dalam
kepadanya. Lhama yang mau bertanding dengannya juga maju lagi beberapa tindak, sekarang
dia menjadi berhadapan dengan si bocah, Sambil tertawa dia bertanya.
"Nah, dengan cara bagaimana kita mengadu kepandaian?"
"Cara lunak boleh, cara keras pun boleh!" sahut Siau Po.
"Bagaimana caranya?" tanya si lhama. "Apa yang dimaksud dengan cara lunak dan
apa yang disebut cara keras?"
"Cara lunak misalnya begini, aku menghajar kau satu kali, lalu kau juga menghajarku
satu kali," kata Siau Po menjelaskan. "Setelah itu kau menghajar lagi padaku, demikian
pula sebaliknya sampai tujuh atau delapan puluh kali, Batas berhentinya sampai salah
satu orang roboh tidak berdaya.
Diwaktu kau menghajar aku, aku tidak boleh menghindarkan diri atau menggeser
tubuhku sedikit pun, aku harus berdiam diri sambil mengerahkan tenaga dalamku untuk
menahan pukulanmu. Demikian pula dengan engkau, ketika aku menghajarmu
Kalau cara keras, maksudnya kita berkelahi dengan cara biasa, bebas, boleh
menggunakan senjata tajam, boleh juga hanya mengandalkan kaki dan tangan, Dengan
demikian otomatis kita boleh menangkis atau mengelakkan diri dari serangan."
Mendengar kata-katanya, Sang Cie berpikir dalam hati.
-- Bocah nakal ini bertubuh lincah, kalau dia berkelahi sambil berloncatan, mungkin
adik seperguruanku tidak dapat merobohkannya dalam sekali pukulan saja, Bisa-bisa
dia menang di atas anginl
LagipuIa, ada kemungkinan dia menggunakan tipu muslihat! Bagaimana kalau dia
melompat ke gerombolan pepohonan untuk memancing adikku agar di sana secara
diam-diam gurunya bisa turun tangan, Kalau hal ini sampai terjadi, bukankah celaka
namanya" Bagian 50 Tapi kalau dengan cara lunak, kepalan tangan si bocah begitu kecil, meskipun dia
menghajar tujuh atau delapan puluh kali, pasti rasanya seperti digaruk saja! -Dengan membawa pikiran demikian, Sang Cie segera berkata kepada adik
seperguruannya dalam bahasa Tibet.
"Kau berkelahi dengan cara lunak saja, jangan kau lukai dia. Kalau perlu pancing dia
untuk bertempur agak lama supaya aku bisa mengenali golongan ilmu silatnya."
Siau Po yang tidak mengerti bahasa yang mereka gunakan segera berkata kepada
Ihama yang ada dihadapannya,
"Nah, kakak seperguruanmu sudah takut, Bukankah dia mencemaskan dirimu yang
nantinya tidak sanggup menghadapi aku" Tentunya dia menyuruh engkau menyerah
kalah saja, bukan?" Nada dan sikap Siau Po seakan sedang mengejek. Si lhama tertawa.
"Ah, setan cilik!" katanya, "Kau hanya mengoceh sembarangan saja, sebenarnya
kakakku kasihan kepadamu, aku dipesan agar jangan menghajarmu sampai mampus,
Kau masih kecil sekali. Karena itu, ilmu pukulanmu atau ilmu bersenjatamu pasti masih
terbatas, aku tidak mau berlaku curang. Mari aku layani kau dengan cara lunak saja!"
"Baiklah." sahut Siau Po yang langsung berdiri tegak, Dia membusungkan dadanya,
sedangkan kedua tangannya silipatkan di punggung, Sambil tertawa dia menambahkan


Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sekarang kau boleh menyerang aku dulu satu kali, Kalau aku berkelit atau menangkis,
maka aku bukanlah orang gagah."
Lhama itu tertawa. "Kau toh anak kecil," katanya, "Lebih tepat kalau kaulah yang menyerang terlebih
dahulu." Lhama ini langsung berdiri tegak, Dia pun membusungkan dadanya, kedua
tangannya di kebelakangkan Dengan berdiri tegak, dia menjadi jauh lebih tinggi
daripada Siau Po. wajahnya tersenyum berseri-seri. Tampaknya dia tidak memandang
sebelah mata kepada si bocah.
Siau Po langsung mengulurkan tangannya dan diluncurkan ke perut lawan Tapi
tangannya itu hanya menempel di perut lawan itu, lantas dia bergaya seakan-akan ingin
mencoba bagaimana mulai melakukan penyerangannya nanti.
Kelima Ihama itu tertawa ketika melihat kepalan kecil Siau Po.
"Baik!" seru Siau Po kemudian "Nah, aku mulai!"
Lhama yang menjadi lawannya tidak berani sembrono. Dia juga khawatir Siau Po
telah mewarisi ilmu gaib dari gurunya atau tokoh Kangouw lainnya sehingga tenaga
dalamnya sudah mahir sekali perutnya lantas diperkuat dengan memusatkan tenaga
dalam di bagian itu, Siau Po langsung melakukan penyerangan Mereka sudah sama-sama siap sedia.
Bocah itu menggunakan tangan kanannya, Dia bukan menyerang perut, melainkan
menyerang dada. Dengan demikian tidak tepatlah dugaan si Ihama, lagipula di saat
melakukan penyerangan, lengan bajunya ikut menyerang puIa, sehingga serangannya
tidak menimbulkan suara sedikit pun.
Sang Cie dan yang lainnya, langsung tertawa terbahak-bahak. Tapi, belum lagi
berhenti suara tawa mereka, tiba-tiba tampak tubuh si lhama yang menjadi lawan Siau
Po itu terhuyung-huyung dan otomatis mereka pun berhenti tertawa.
Ketika itu terdengar Siau Po berkata.
"Nah, sekarang giliranmu menghajar aku." sikapnya wajar sekali, seakan benarbenar
sedang bertanding. Lhama itu tidak menjawab kata-katanya, malah setelah terhuyung-huyung,
mendadak tubuhnya jatuh terguling dan tidak berkutik lagi.
Saking kagetnya, Sang Cie sekalian menghambur ke depan
"Tahan!" seru Siau Po. Dia melompat mundur ke tempat persembunyian" Siapa yang
maju, dialah si anak kura-kura, manusia busuk yang hina!"
Ke empat lhama itu berhenti seketika, Mereka tertegun mengawasi rekannya yang
masih tetap tidak bergeming, Mungkin dia terluka parah, atau napasnya tertutup
sehingga nyawanya tak tertahan lagi.
Siau Po langsung mengacungkan sepasang kepalan tangannya ke atas.
"llmu yang diajarkan guruku ini dinamakan, Ke San Pa Gu Sin Kun. walaupun seekor
kerbau besar," katanya dengan nada nyaring dan sombong, "Aku bisa menghajarnya
sampai mati, apalagi baru seorang lhama cilik, Nah, siapa yang tidak puas, segera
majulah untuk merasakan kepalan tanganku ini!"
Selesai bicara, dia berkata kepada nona A Ko dengan suara perlahan.
"Nah, A Ko, istriku, sekarang kau tidak dapat menolak lagi, bukan?"
A Ko sendiri sedang termangu-mangu dan keheranan melihat si bocah sanggup
menjatuhkan seorang lhama dengan sekali pukul saja, Dia menjadi lupa mencaci maki.
Matanya membelalak menatap si Ihama.
"Kau toh telah menerima baik, istriku yang manis!" kata Siau Po pula.
"Tidak!" bentak si nona yang bagai tersadar dari mimpi.
"Nah, kembali kau menyangkal!" kata si bocah nakal "Kau bukanlah seorang hohan
atau enghiong (Maksudnya orang gagah)."
"Bukan ya, bukan." sahut si nona ketus, "Memangnya kenapa?"
Pek I Ni yang matanya tajam dapat melihat ada darah yang merembes ke luar
setelah Siau Po menghajar si lhama, Dia langsung menyadari bahwa si bocah pasti
menyembunyikan senjata tajamnya di dalam lengan bajunya. Si bocah hanya pura-pura
menggerakkan tangan kirinya untuk mengelabui si lhama, Rupanya dia meninju sambil
menikam. Sang Cie segera memanggil-manggil lhama yang jatuh terkulai itu, tapi tidak ada
jawaban sama sekali Dia menjadi heran dan sangsi
Salah seorang lhama merasa penasaran, dia segera menghunus goloknya.
"Eh, setan cilik!" tegurnya, "Apa artinya kepalanmu yang lihay itu" Mari Sang Buddha
kamu melayani kau bermain-main dengan menggunakan golok."
Lhama itu berpikir, kalau Siau Po lihay dalam ilmu tangan kosong, tentu ilmu
menggunakan senjatanya tidak dapat diandalkan Karenanya, dia ingin mencoba.
Siau Po tertawa, Dia berani sekali.
"Mengadu golok juga boleh." sahutnya, "Nah, kau majulah ke mari!"
"Mari kita maju sama-sama!" tantang lhama itu,
"Baik," sahut Siau Po dan dia langsung maju tiga tindak.
Lhama itu juga melakukan hal yang sama, Kemudian dia memutar golok di bagian
atas kepalanya. Dia rupanya jeri terhadap ilmu Ke San Pa Gu Sin Kun dari Siau Po.
"Tak usah takut!" kata Siau Po tertawa, "Aku tidak akan menggunakan kepalan
saktiku ini." Si ihama tidak percaya dengan kata-katanya. Dia masih memutar-mutar goloknya.
"Kau majulah!" katanya setelah melihat Siau Po diam saja. "Cepat kau hunus
golokmu!" "Aku telah melatih diriku dengan ilmu Kim Kong Put Hoai Sin Kang." kata Siau Po.
"Kau boleh mencoba membacok batok kepalaku, nanti bacokanmu pasti mental kepada
dirimu sendiri. Aku mengatakannya terlebih dahulu agar jangan dianggap curang."
Lhama itu menjadi ragu. Bukankah kawannya dihajar mati dengan sekali pukul saja"
Bukankah bocah ini memiliki ilmu yang luar biasa hebatnya" Si lhama jadi jeri dan
raguragu. Siau Po memperhatikan orang sambil tersenyum.
"llmu silatmu terlalu rendah." katanya kemudian "Aku tidak mau mengadu silat
denganmu, Mari, kau bacok saja kepalaku, aku berjanji tidak akan menyerangmu. Tapi
ingat, kau hanya boleh membacok kepalaku, dadaku tidak boleh, sebab ilmuku ini
belum dilatih dengan sempurna, kalau kau membacok dadaku, pasti nyawaku akan
melayang seketika." "Benarkah batok kepalamu tidak mempan senjata tajam?" tanya si lhama ragu-ragu.
Siau Po membuka kopiahnya.
"Lihat kepalaku! Tidak ada rambut dan kuncir-nya bukan" Semakin aku berlatih ilmu
kebal itu, rambutku semakin pendek, tapi batok kepalaku akan semakin kuat, Kalau
rambut di kepalaku ini sudah botak sama sekali, Biar kau bacok dadaku, aku juga tidak
takut lagi." Ketika menjadi hwesio di kuil Ceng Liang Si, rambut Siau Po di cukur sampai gundul
Dan sekarang tumbuhnya belum ada satu dim. Jadi masih pendek sekali.
"Bocah, kau telah membunuh kakak seperguruanku untuk apa aku berlaku sungkan
kepadamu?" kata si lhama, Kemudian dia berpikir - Aku tidak percaya kepalanya kebal
terhadap bacokan! -"Tapi, aku peringatkan, jangan sekali-kali kau membacok batok kepalaku, kalau
golokmu terpental balik maka jiwamu sendiri bisa melayang!"
"Aku tidak percayai kata si lhama, "Kau jangan bergerak, aku akan membacokmu!"
Siau Po melihat si lhama benar-benar mengangkat goloknya ke atas, Hatinya
menjadi cemas, Kalau dia benar-benar dibacok dari atas kepala, tubuhnya pasti
terkutung menjadi dua bagian.
Tepat pada saat itu, terdengarlah suara Sang Cie yang berbicara dalam bahasa
Tibet. "Jangan membacok kepala atau leher bocah itu! Dia mempunyai ilmu siluman!"
"Apa yang ia katakan?" tanya Siau Po pada si Ihama, "Pasti dia melarang kau
membacok batok kepalaku, bukan" Kalian sangat licik. Kata-kata kalian tidak dapat
dipegang." "Bukan, Bukan." sahut si 1hama. "Kakak seperguruanku itu menyuruh aku agar
jangan mempercayai kata-katamu. Dia pasrah walaupun aku membacok kutung batok
kepalamu menjadi dua bagian"
Selesai berkata, dia langsung mengangkat goloknya ke atas.
-- Celaka aku! --, keluh Siau Po dalam hati. Tanpa sadar dia mengangkat kepalanya
lalu diperengkatkan. Golok itu turun terus, tapi bukan membacok batok kepala Siau Po, namun menebas
dadanya, Untung Siau Po membungkukkan tubuhnya sehingga golok itu mengenai
pinggangnya, Da!am waktu yang bersamaan, tangannya juga bergerak untuk menikam
perut lawan. Tidak kepalang tanggung, dia bahkan menikam sebanyak tiga kali. setelah itu, dia
menelusup kembali lewat selangkangan lhama itu dan berbalik ke tempat
persembunyiannya sambil berkaok-kaok.
"Kau curang! Katamu ingin membacok batok kepalaku, Aduh!"
Lhama itu menjerit kesakitan Dia mengira Siau Po menempel terus di tubuhnya,
sehingga dia membacok ke arah dirinya sendiri Tidak tahunya bocah itu sudah ngacir
ke tempat semula sehingga goloknya tepat membacok wajahnya sendiri.
Siau Po sendiri, setelah kembali ke tempatnya semula, Dia segera berteriak dengan
nyaring. "Suhu, lihat! Latihan punggungku telah berhasil Golok lawan mental ke mukanya
sendiri, sehingga dia seperti bunuh diri."
Sang Cie dan yang lainnya menjadi kaget. Mereka tidak dapat melihat dengan tegas
sehingga mereka percaya temannya membunuh diri sendiri. Mereka langsung
memanggil-manggil tapi tidak terdengar jawaban sama sekali.
Pek I Ni juga merasa puas, Siau Po benar-benar cerdik. Dengan kecerdikannya bisa
mengelabui lawan, sedangkan A Ko tidak tahu Siau Po mempunyai baju mustika.
Tadinya dia merasa agak cemas juga, Dia tidak menyangka si bocah bisa meraih
kemenangan Biar bagaimana, meskipun tidak terluka, punggungnya terasa nyeri juga, Pek I Ni
mengeluarkan pil soat som pemberian ibu suri dan disodorkannya kepada A Ko.
"Berikan obat ini kepada nya!"
A Ko menyampaikan obat itu kepada Siau Po.
"Aku tidak dapat bergerak." kata si bocah.
A Ko terpaksa menyuapinya, Melihat tangan A Ko yang demikian putih dan halus,
Siau Po menciumnya. Si nona langsung mendelikkan matanya tapi dia tidak berani
mengatakan apa-apa. Sementara itu, ketiga lhama lainnya segera mengadakan perundingan Kemudian
mereka mengeluarkan pelantik api dan menyulut beberapa batang gandum yang kering.
Mereka segera melemparkannya ke arah Pek I Ni.
Tapi, tiga kali mereka menimpuk, semuanya tidak tepat pada sasaran, Sang Cie
penasaran. Dia menyalakan batang gandum yang keempat, sembari berlari ke depan,
dia melemparkannya kuat-kuat, tapi karena khawatir dengan ilmu silat Siau Po. Dia
segera melompat mundur kembali.
Begitu terkena api, tumpukan rumput langsung menyala. Siau Po tidak sempat
memadamkan api itu. Dia mengajak Pek I Ni untuk diajaknya menyingkir. Dia melihat ke
sekitarnya, di sebelah barat ada sebuah goa. Maka dia berkata kepada A Ko.
"A Ko, lekas papan suhu ke goa itu, aku sendiri akan menghadang para lhama itu!"
Tanpa menunggu jawaban si nona, dia segera maju ke depan dan berkata dengan
suara lantang, "Nyali kalian sungguh besar! Sang Cie, kau sang pemimpin Majulah ke
mari dan rasakan kepalan tuan kecilmu ini!"
Gertakan itu hebat sekali, Sang Cie yang sejak semula memang berhati-hati jadi ragu
untuk menghampirinya. Dia ingat bagaimana kawan-kawannya telah terbunuh oleh
musuh ini. Tapi di samping itu, dia ingin sekali membalas dendam dan mendapatkan
kitab yang ada pada si bhikuni. Dan kalau melihat gerak-gerik wanita itu, tampaknya dia
seperti sedang terluka parah.
Diam-diam Siau Po menolehkan wajahnya, Dia melihat A Ko sudah membawa Pek I
Ni ke tempat persembunyian di dalam goa. Dia berkata lagi kepada Sang Cie.
"Kalau kalian tidak berani mendekat kepadaku, biar aku yang maju menghadapi
kalian, Lihat bagaimana aku nanti membunuh kalian semua, Apakah kalian masih
belum mau kabur?" Menurut suara hatinya, Siau Po telah mengeluarkan kata-katanya yang terakhir, dia
seakan membuka rahasianya sendiri Sang Cie menjadi berpikir -- Kalau kau benarbenar
lihay, mengapa kau tidak segera membunuh kami" Mengapa kau justru
menganjurkan aku melarikan diri" Kalau begitu, tentunya kau yang takut terhadap kami!
Tiba-tiba lhama ini memperdengarkan suara tawa yang tidak enak didengar Dia
segera maju dua langkah, Siau Po terkejut
- Celaka! Rupanya dia sudah menyadari gertakanku.,., sekarang, akal apa lagi yang
harus kugunakan" Akhirnya dia mengambil keputusan untuk bersembunyi terlebih dahulu, Dia
membayangkan dapat berduaan di dalam goa yang gelap dengan nona pujaan hatinya,
Dalam keadaan genting seperti ini, dia masih tidak melupakan hal kecil seperti itu,
Karena itu, kembali dia mengambil tangan Hupian dan disimpannya di dalam saku.
Ketika itu, Sang Cie sudah maju lagi dua tindak.
"Di sini terlalu panas," teriak Siau Po. "Aku tidak dapat menggunakan kepandaianku
Kalau kau memang berani, kita bertarung di sana!" Tanpa menunggu jawaban
lawannya, dia segera berlari ke arah goa.
Di dalam goa, Pek I Ni sedang duduk bersila di atas tanah, Kiranya itu hanya sebuah
lubang biasa, Tidak ada tempat yang dapat dijadikan persembunyian A Ko duduk rapat
dengan si bhikuni, maka Siau Po tidak mungkin menjahilinya.
Siau Po menarik napas dalam-dalam karena putus asa. Tatkala itu, Sang Cie dan
dua lhama lainnya sudah sampai di depan goa, jarak antara mereka hanya kira-kira tiga
tombak, Mereka berhenti dan menatap ke dalam goa.
"Kalian sudah tiba di jalan buntu." kata si lhama dengan suara lantang, "Kalian tidak
bisa kabur lebih jauh lagi Lekas ambil api!" "Kedua lhama lainnya segera mengambil
ikatan gandum dan kemudian diserahkan kepada sang pemimpin Siau Po dapat melihat
gerak-gerik mereka. Tapi dia berlaku tabah.
"Bagus, Lekas kalian lemparkan api itu ke sini! Kalau kami yang mampus, tidak apaapa.
Bagai-mana kalau kitabnya yang terbakar dulu?"
Sang Cie jadi ragu mendengar kata-kata si bocah. Dia pikir ucapan Siau Po memang
ada benarnya, Maka dia melemparkan apinya ke tanah dan berkata.
"Lekas serahkan kitab itu kepadaku! Hudyaya kamu akan berlaku murah hati dan
membuka jalan kehidupan untuk kalian."
Siau Po mengeluarkan suara tawa yang penuh ejekan. Sang Cie menjadi gusar Dia
melemparkan batang gandum yang masih menyala ke dalam goa, Kebetulan angin
berhembus, asap yang mengepul semakin tebal dan membuat mata Siau Po dan yang
lainnya menjadi perih dan kerongkongan terasa mampet, Tapi mereka tidak bisa
melakukan apa-apa. Pek I Ni memiliki ilmu yang tinggi, Dia tidak begitu terganggu, sedangkan kedua
lhama lainnya segera mengikuti tindakan pemimpinnya melemparkan api ke dalam goa.
"Suthay, kitab itu sudah tidak ada gunanya lagi." kata Siau Po. "Sebaiknya kita
serahkan saja pada mereka."
"Baiklah." kata Pek I Ni sambil mengeluarkan kitabnya.
Siau Po menyambut kitab itu, kemudian berkata lagi keras-keras,
"Di sini ada kitab yang kalian inginkan, tapi hanya satu. Aku akan melemparkannya
ke luar. Kalau terkena api dan terbakar, jangan menyesali"
Shang Cie gembira mendengar ucapan si bocah. Dia segera mengambil batu dan
memadamkan api yang masih menyala,
"Lekas lemparkan kitab itu!" kata nya.
"Baik." sahut Siau Po cepat "Kata guruku, kau mau membaca Kitab ini. itulah
tandanya kalian semua pengikut Buddha yang baik. Karenanya, aku dipesan agar
jangan mencelakai kalian...." Sembari berkata, Siau Po mengeluarkan pisau belatinya,
kemudian dia memotong lengan Hupian dan disusunnya di atas kitab itu, Lalu dengan
hati-hati dia menyiramkan obat istimewanya di atas kitab, sembari melakukannya, dia
berkata lagi, "Kata guruku, kitab ini berharga sekali di kota Peking, kalau kalian bisa
memahami artinya, agama Buddha bisa hidup makmur di tempat kalian, Semua orang
di dalam dunia ini akan mencapai kedamaian hidup."
Sementara itu, Shang Cie merasa senang sekali, Dia sudah tahu kalau kitab itu
berasal dari kotaraja dan di dalamnya mengandung sebuah rahasia besar. Tapi yang
pasti bukan menyangkut agama Buddha, Namun dia tidak mengatakannya kepada Siau
Po. Sementara itu, terdengar Siau Po berkata lagi.
"Guruku telah memikirkannya selama berhari-hari, tapi beliau belum sanggup
memecahkan arti kitab ini, sekarang kitab ini akan diserahkan kepadamu Guruku
berharap, kalau kau berhasil memecahkan rahasianya, harap kau sebarkan seluruh
ajarannya di daerah Tiong goan agar rakyat kami juga akan mendapat kemakmuran
hidup dalam agama!" "Jangan khawatir, aku berjanji akan melakukannya!" sahut Shang Cie.
"Guruku juga berpesan, kalau kau tidak sanggup memecahkan rahasia kitab itu,
sebaiknya kau bawa saja ke biara Siau Lim Sie dan merundingkan isinya dengan para
hwesio di sana, Selain itu, kalau kau memang senang membaca kitab agama Buddha,
di sana masih terdapat kitab-kitab yang lainnya. Kau bisa meminjamnya dan
membacanya sepuas hati."
"Baik, baik!" sahut Shang Cie yang mulai kurang sabar.
Siau Po melihat ke arah kitabnya, Cairan warna kuning itu sudah meresap
seluruhnya, Dia membuka sepatunya dan digunakannya untuk menjumput kitab itu lalu
dilemparkannya ke luar goa.
"lnilah kitab Si Cap Ji Cin Keng, terimalah!" katanya,
Shang Cie khawatir Siau Po menggunakan tipu muslihat Dia membiarkan kitab itu
terjatuh di atas tanah, Tapi dua rekannya segera mengambilnya.
"Suheng, benarkah ini kitabnya?" tanya mereka.
"Bawa ke sana, dan periksa yang teliti! jangan sampai kita mendapatkan kitab palsu."
"Toa suheng benar" kata kedua lhama itu yang langsung berjalan beberapa tindak


Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan kemudian memeriksa kitab tersebut
"Hati-hati!" kata Shang Cie ketika adik seperguruannya membalik-balik halaman kitab
itu. "Kertasnya agak basah, tampaknya kitab itu persis seperti yang dikatakan orang itu."
"Memang benar. Kitab ini asli."
Siang Po dapat mendengar kata-kata mereka, Dia segera berteriak dengan lantang.
"Eh, mengapa di wajah kalian ada kelabangnya?"
Kedua Ihama itu terkejut. Mereka mengusap-usap wajah mereka, Tentu saja tidak
ada kelabang di sana, Maka mereka langsung mengumpat.
"Dasar bocah nakal! Kau suka sekali mengoceh yang bukan-bukan."
Shang Cie juga mendengar kata-kata si bocah, tapi karena tidak merasa apa-apa, dia
tidak mengusap wajahnya, sementara itu, Siau Po masih ber-kaok-kaok.
"Ah, ah! Ada belasan kelabang yang menyusup masuk dalam pakaian mereka."
Lhama yang pertama tidak melayani nya. Namun yang kedua merasakan bagian
lehernya agak gatal, dengan demikian dia menggaruk-garuk, sekejap saja ke sepuluh
jari tangannya juga ikut terasa gatal, Cepat-cepat dia mengulaskan tangannya pulang
pergi di lengannya, Lhama yang pertama melihat keadaan kawannya. Tiba-tiba saja dia juga merasa
tangannya gatal Demikian pula dengan Shang Cie. Bahkan rasa gatal itu bertambah
dengan cepat Yang membuat mereka terkejut justru ketika melihat jari-jemari tangan
mereka mengeluarkan cairan kuning.
"Aneh!" seru mereka serentak, "Benda apa ini?"
Itu masih belum seberapa, Lhama yang pertama dan kedua merasa wajah mereka
juga gatal. Ketika mereka mengusapnya, ternyata wajah mereka juga mengeluarkan
cairan kuning. "Celaka!" teriak Shang Cie. "Kitab ini beracun!" Dan dia segera melemparkan kitab
yang dipegangnya. Dia melihat tangannya juga mengeluarkan cairan kuning seperti
kedua saudaranya. Cepat-cepat dia memasukkan tangannya ke dalam lumpur yang ada
di dekatnya dan menggosok-gosoknya,
Memang kedua Ihama lainnya sudah semakin tidak karuan bentuknya, Mereka tidak
dapat menahan rasa gatal yang semakin menjadi-jadi sehingga mereka menggaruk
semakin hebat Akibatnya mereka bergulingan di atas tanah.
Bekas garukan mereka mengeluarkan darah. Darah tersebut langsung berubah
menjadi cairan kuning, Obat yang Siau Po dapatkan dari lemari Hay Tay Hu memang
sangat istimewa, Katanya racun ini datang dari wilayah Sek Hek dan ditemukan oleh
seorang ahli racun, yakni Au Yong Hong seorang tokoh persilatan aneh yang hidup
dijaman kerajaan Song. Shang Cie menahan diri sebisanya, Dia tidak menggaruk-garuk wajah dan tangannya
yang gatal, Laki-laki itu membuka bajunya dan digunakan untuk membungkus kitab,
setelah itu dia lari terbirit birit meninggalkan tempat itu.
Kedua Ihama lainnya semakin kalap, mereka membentur-benturkan kepala mereka
pada batu, tidak lama kemudian mereka roboh pingsan tanpa dapat berkutik lagi.
Pek I Ni dan A ko dapat melihat semuanya dari tempat persembunyian mereka.
Keduanya tidak tahu racun apa yang digunakan Siau Po sehingga reaksinya demikian
hebat. A Ko sendiri sampai bergidik melihat penderitaan para Ihama itu.
Melihat Sang Cie sudah kabur dan kedua lhama lainnya sudah roboh, Siau Po
menyimpan kembali pisau belatinya lalu menghampiri The Kek Song.
"Nah, The kongcu, bagaimana kepandaianku?" katanya, "Apakah kau ingin
mencobanya?" Kek Song terkejut setengah mati. Tanpa sadar dia melompat mundur. Pemuda itu
mengepalkan tangannya seakan-akan siap melawan.
"Kau... kau jangan mendekati aku!" katanya.
A Ko marah sekali, untuk sesaat dia hanya dapat mendelikkan matanya tanpa
sanggup mengatakan apa-apa. Siau Po tertawa gembira dan segera menghampiri Pek I
Ni yang tampak sedang menarik napas panjang.
"Kalau bukan karena kecerdikanmu, hari ini tentu kita tidak akan terlepas dari maut.
Tapi kau harus tahu, menggunakan racun itu tidak baik, Kau tidak boleh melakukannya
lagi kalau tidak terpaksa."
"lya, aku juga melakukannya karena terpaksa." sahut Siau Po. "Sebagai seorang lakilaki
sejati, kalah atau menang, sudah seharusnya dilakukan secara terang."
Pek I Ni menatap si bocah tanggung lekat-lekat.
"Selama dua hari ini kau selalu menyebut suhu kepadaku, apakah kau ingin
mengangkat aku sebagai guru?" tanyanya.
Siau Po senang sekali mendengar pertanyaan itu, dia segera menjatuhkan dirinya
berlutut di hadapan wanita itu dan memanggilnya suhu.
"Suhu, dia pasti mempunyai niat buruk." kata A Ko.
Pek I Ni tersenyum. "Berniat mengangkat seseorang menjadi guru bukanlah niat yang buruk." katanya
A Ko tidak berani berkata apa-apa lagi, Siau Po segera mengajak Pek I Ni
melanjutkan perjalanan, Kek Song tetap ikut dengan mereka, Secara bergantian
mereka memondong sang bhikuni, Begitu sampai di sebuah kota kecil, Siau Po segera
mencari kereta agar mereka dapat meneruskan perjalanan.
Setelah menempuh perjalanan selama dua hari, mereka sampai di kota Ho Kan,
kesehatan Pek I Ni sudah berangsur-angsur sembuh, Mereka mencari sebuah
penginapan Kek Song segera ke luar untuk mencari keterangan tentang rapat besar
Cham Ku Tayhwe yang akan diadakan di kota itu. Malam harinya dia baru kembali dan
melaporkan barhwa rapat itu akan diadakan pada tanggal lima belas,
Pada malam itu juga Pek I Ni memberikan keterangan kepada Siau Po tentang
perguruannya. Nama sucinya ialah Kui Lan, mereka berasal dari perguruan Tiat Kiam
Bun. Siau Po dipesan agar bersikap baik dan jangan memalukan perguruan mereka.
Tepat pada tanggal lima belas, Kiu Lan menyuruh kedua muridnya berdandan.
Begitu pula dengan dirinya sendiri Siau Po yang cekatan telah menyiapkan segalanya.
Dalam sekejap mata, Kiu Lan sudah berubah menjadi seorang wanita setengah baya
dengan kulit pucat. Kedua muridnya berdandan sebagai para pelayannya.
Kira-kira jam satu kemudian datanglah rombongan yang menjemput Kek Song,
Mereka berangkat dengan sebuah kereta besar. Tempat rapat adalah sebuah tanah
luas yang ada di sekitar perbukitan. Di situ telah berkumpul banyak orang, Setelah
mereka melihat The Kek Song, langsung bersorak-sorai menyambutnya. sebagian
besar malah menghampirinya.
Kiu Lan dan kedua muridnya justru duduk di bawah sebatang pohon hoay yang
letaknya agak jauh dari keramaian
Dari empat penjuru, para tamu masih berdatangan Dalam sekejap mata para hadirin
di tanah kosong itu semakin banyak, sementara itu, sang putri malam terus merambat.
Pada saat itulah salah seorang yang duduk di bagian atas segera berdiri dan
merangkapkan sepasang tangannya.
"Para hadirin yang mulia, terimalah hormat dari Phang LanTek!"
Para hadirin segera berdiri dan membalas hormatnya.
"Sahabat-sahabat sekalian, tentulah kalian sudah tahu apa maksud pertemuan kita
malam ini. Karena sebuah cita-cita yang luhur Kerajaan Beng yang kita cintai telah
dirampas oleh bangsa Tatcu, Dalam hal ini, orang yang paling jahat, pengkhianat yang
terbesar ialah...." "Gouw Sam Kui!" teriak orang banyak.
"Pengkhianat besar!" susul beberapa yang lainnya. "Kura-kura! Anak haram! Aku
kutuk dia delapan belas turunan!" Demikianlah terdengar suara orang banyak memakimaki.
Baru saja suara makian itu agak reda. Terdengar seseorang berteriak.
"Aku kutuk dia sembilan belas turunan!" itulah suara Siau Po yang hatinya ikut
bersemangat. "Mengapa kau ikut mencaci?" tegur A Ko.
"Orang lain boleh mencaci, mengapa aku tidak?" sahut Siau Po.
Ketika terdengar lagi suara Phang Lan Tek. "Pengkhianat itu dibenci oleh orang
banyak! Lihat anak itu saja meluap rasa amarahnya! Nah, para hadirin, malam ini kita
hadir di sini, maksudnya ialah merundingkan jalan yang baik untuk membunuh
pengkhianat besar itu."
Orang banyak mengajukan beberapa usul Ada yang mengajak pergi ke In Lam dan
menyerbu istana Peng Si ong, ada yang mengusulkan untuk membunuhnya secara
diam-diam. Ada yang mengusulkan agar menculik selir kesayangannya, Tan Wan Wan,
agar Gouw Sam Kui menderita.
Sementara itu, hidangan mulai diantarkan, Phang Lan Tek menganjurkan agar
semuanya berdahar sambil memikirkan cara yang baik. UsuI itu langsung diterima, Siau
Po langsung makan hidangan itu dengan lahap. Begitu pula para tamu lainnya, Setelah
selesai bersantap, Phang Lan Tek berdiri dan berkata pula.
"Kita semua terdiri dari orang kasar yang hanya bisa menggunakan senjata
membunuh musuh, sedangkan pengetahuan kita dangkal sekali, Untuk itu, sebaiknya
kita meminta petunjuk Kou Teng Lim sianseng. Kou sianseng adalah seorang terpelajar.
Setelah negara kita runtuh, dia menjelajah ke seluruh negeri untuk mencari kawan
sehaluan demi membangun kembali kerajaan kita, Kalian pasti sangat mengaguminya,
bukan?" Banyak orang bersorak menyatakan persetujuannya karena Kouw Teng Lim ini
sangat terkenal Setelah suara berisik mereda, Kouw Teng Lim segera bangkit dan
memberi hormat kepada Phang Lan Tek.
"Phang tayhiap terlalu memuji, malu aku menerimanya. Aku juga telah mendengar
suara hati para hadirin yang semuanya cinta pada negara dan bersatu hati ingin
menyingkirkan si pengkhianat besar Aku pun kagum terhadap kalian. Memang! Kita
harus bersatu! Asal kita bekerja sama dengan baik, niscaya usaha kita akan berhasil."
"Akur! Akur..." terdengar sambutan orang banyak,
"Apa yang saudara-saudara sekalian kemukakan tadi, ada benarnya, Tapi kita harus
bisa bekerja mengikuti perkembangan yang ada, agar dapat merubah siasat setiap detik
dibutuhkan Kita pun dapat bekerja sendiri-sendiri. Yang penting urusan yang maha
besar ini jangan sekali-kali dibocorkan.
Kalau tidak, si pengkhianat besar keburu melakukan penjagaan ketat, Kedua, kita
jangan sembrono supaya kita tidak mengantarkan jiwa secara sia-sia. Dan yang ketiga,
karena kita semua sudah seperti saudara, kita jangan berebutan jasa. Hal itu akan
merusak persatuan dan merugikan usaha kita."
"Benar!" kata orang banyak.
"Jumlah kita besar, kita juga terdiri dari berbagai partai, Kalau kita bekerja secara
terpisah, posisi kita menjadi kurang kuat Sebaliknya, kalau kita bekerja berkelompok
jumlah kita menjadi terlalu besar dan kemungkinan mudah diketahui pihak musuh, Kita
harus mencari jalan untuk memecahkan persoalan ini."
Semua orang terdiam untuk menguras otaknya.
"Bagaimana menurut pemikiran sianseng sendiri?" tanya seseorang.
"Menurut aku, kita terpaksa membagi diri menjadi beberapa kelompok." kata Kouw
Teng Lim. "Bukankah kita terdiri dari orang-orang gagah dari delapan belas propinsi"
sebaiknya setiap propinsi bekerja sama dengan orang-orang dari propinsi masingmasing,
Dengan demikian usaha kita bisa berjalan dengan lancar Kita menggunakan
nama ikatan Membasmi Pengkhianat."
UsuI itu lagi-Iagi disambut dengan gembira, Pikiran Kouw sianseng ini diterima
dengan baik. "Kouw sianseng memang benar. Kalau para hadirin tidak ada yang memprotes, mari
kita buat delapan belas kelompok! Setiap propinsi memilih kepala ikatan yang terdiri
dari orang propinsi itu sendiri Bukan menurut asal kediamannya yang terakhir.
Misalnya, seorang hwesio dari Siau Lim Sie, tidak perduli asalnya dari Liau Tong
atau In Lam, dia tetap terhitung orang Ho Lam. Seperti juga setiap murid Hoa San Pay
terhitung orang Siam Say. Bagaimana pemikiran saudara-saudara sekalian?"
"Memang demikian seharusnya!" sahut seseorang. "Umpamanya pihak Siau Lim Sie,
kalau kita memakai dasar menyelidiki asal-usul, pasti sulit jadinya."
Orang banyak menyetujui pemikiran itu, tapi ada seseorang yang berteriak.
"Bagaimana dengan kami, orang-orang dari pihak Tian Te hwe" Cabang kami
banyak sekali dan pusat kami juga berpindah ke sana ke mari...."
Siau Po mengenali orang itu sebagai Cian Lao Pan. Hatinya senang sekali.
"Begini saja!" kata Kaow Teng Lim yang menjawab pertanyaan tadi. "Orang-orang
Tian Te hwe yang ada di kuil Kui Tang, masuk ikatan Pembasmi Pengknianat cabang
Kui Tang, demikian seterus-nya. Kita harus bersatu, bukan memecah diri berdasarkan
kelompok atau partai masing-masing, Bagaimana?"
"Bagus!" seru orang banyak.
Segera orang banyak mengumpulkan diri menjadi delapan belas kelompok Tapi
dilain pihak ada beberapa juga yang tidak menggolongkan diri dalam kelompok mana
pun seperti halnya Kui Lan serta A Ko.
Beberapa saat kemudian, beberapa propinsi sudah berhasil memilih ketuanya,
propinsi Ho Lam memilih Hui Cong Sian Su dari Siau Lim Sie.
propinsi Ouw Pak memilih Ceng Hoa tojin, ketua Bu Tong Pay. Untuk propinsi Siam
Say, yang terpilih ialah Pat Bin Wi Hong Phang Lan Tek, ketua dari Hoa San Pay.
Rombongan dari In Lam memilih Bhok Kiam Seng dari Bhok Onghu dan bagi propinsi
Ho Kian, orang mengangkat The Kek Song, putera kedua Raja muda Yan Peng Kun
Ong. Ada beberapa propinsi yang ragu-ragu memilih calon, mereka meminta pendapatnya.
Akhirnya mereka berhasil juga memilih ketuanya masing-masing. Ada tiga propinsi yang
ketuanya semua orang-orang dari Thian Te hwe.
Sampai di situ, Kui lan mengajak kedua muridnya pulang ke penginapan Dia merasa
sudah cukup melihat-lihat setuasi pertemuan itu. The Kek Song tidak turut dengan
rombongan mereka, hal ini membuat Siau Po senang sekali.
Siau Po segera mengoceh tentang Kek Song yang katanya akan membawa
beberapa orang nona untuk berpelesir ke Taiwan, A Ko hampir menangis mendengar
bualannya, hatinya mendongkol sekali.
Mereka tidak jadi pulang ke penginapan melainkan melanjutkan perjalanan seperti
permintaan Pek I Ni. sementara itu, A Ko tampak sedih sekali sejak mendengar ucapan
Siau Po tentang The Kek Song.
Kui Lan menegur murid barunya agar dia berhati-hati dengan mulutnya. Siau Po
terpaksa menurut. Perjalanan diteruskan sampai tengah hari Kemudian mereka singgah di sebuah
rumah makan untuk bersantap, Baru saja mereka selesai memesan hidangan, tiba-tiba
datang serombongan tamu lainnya yang meluruk masuk memasuki rumah makan
dengan suara bising. "Lekas potong ayam! sediakan hidangan yang enak-enak!"
Wajah A Ko langsung berseri-seri.
"Ah! The... kongcu!" ujarnya.
Rupanya rombongan yang baru masuk itu memang The Kek Song dengan para
bawahannya, Si pemuda mendengar seruan A Ko, dia segera menoleh dan
mengembangkan seulas senyuman seraya menghampiri.
"Oh, nona Tan, suthay! Rupanya kalian ada di sini."
Sementara itu, masuk lagi serombongan orang lainnya yang dikenali Siau Po
sebagai orang-orang dari Tian Te hwe, hatinya senang sekali orang-orang dari Tian Te
hwe itu langsung mengambil tempat duduk di sudut ruangan.
Karena rumah makan itu kecil, terpaksa Kek Song dan yang lainnya bergabung
dengan orang-orang Tian Te hwe itu.
Siau Po sendiri segera menghampiri Ci Thian Coan yang ada dalam rombongan
orang-orang Tian Te Hwe. Dia berkata dengan suara perlahan "Kalian jangan coba
mengenali aku!" Ci Thian Coan terkejut ketika mengetahui siapa yang berbicara
dengannya. Namun dia mengerti peringatan itu maka dia diam saja.
"Kita bersikap seperti belum pernah berkenalan Ci toako, kau beri bisikan kepada
yang lainnya!" kata Siau Po pula.
Thian Coan menuruti dia segera berdiri dan menghampiri meja Kwan An Ki dan Hoan
Kong serta Cian Lao Pan. "Wi hiocu kita ada di sini." Tapi kita tidak boleh menyapanya.
Kwan An Ki dan yang lainnya mendengar, tapi mereka diam saja, Hal ini
membuktikan bahwa mereka menuruti pesan tersebut Sesaat kemudian, orang-orang
dari rombongan Tian Te Hwe telah mengetahui tentang kehadiran hiocu mereka.
Di meja Kui Lan, Kek Song berkata dengan suara keras.
"Suthay, tadi malam dalam rapat, orang-orang telah memilih aku sebagai Bengcu
(ketua) untuk propinsi Ho Kian. Masih banyak urusan penting lainnya yang kami
bicarakan, ketika subuh aku kembali ke penginapan, ternyata suthay sekalian sudah
pergi, untung aku bisa menyusul."
"Selamat!" kata Kui Lan. "Tapi, The kongcu, urusan ini penting sekali, Harap kau
jangan sembarangan mengatakannya di depan umum!"
"lya, iya," sahut si pemuda, "Syukur di sini tidak ada orang luar. Mereka...." Dia
menunjuk pada rombongan Thian Coan. "Mereka hanya orang-orang kasar yang tidak
mengerti apa-apa." Sembari makan, Siau Po berkata dengan suara perlahan.
"Makhluk itu sungguh sembrono, kemungkinan kelak dia bisa merusak urusan besar
ini. Ci toako, Hong toako, harap kalian kasih pelajaran kepadanya! Selagi kalian
bertarung, aku akan datang menengahi, harap kalian pura-pura kalah...."
Hong Ci Tiong dan Ci Thian Coan segera menganggukkan kepalanya, Pada saat itu,
ada seorang bawahan Kek Song yang menghampiri Hoan Kong, Orang itu
mendorongnya keras-keras.
"Pergi kau duduk di sana!"
Inilah alasan yang tepat untuk mencari gara-gara, Ci Thian Coan segera meloncat
bangun dan berkaok-kaok. "Gila! Sudah kami berikan satu meja, masih belum cukup! Tuanmu ini paling benci
melihat lagak anak hartawan yang sok pamer!" Dia meludah ke arah Kek Song.
Pemuda itu sedang berbicara dengan A Ko, dia tidak bersiap sedia, Ketika ludah Ci
Thian Coan menyambar, dia masih berusaha berkelit, tapi terlambat Tidak sedikit air


Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

liur ini sempat muncrat ke punggungnya, Pemuda itu langsung merasa muak dan cepatcepat
mengeluarkan sapu tangan untuk menyusutnya.
"Ah, segala anak dusun kurang ajar!" teriaknya, "Hajar dia!"
Salah seorang pengiring Kek Song langsung menyerang Thian Coan.
"Aduh!" teriak orang yang dipukul meskipun tinjunya belum sampai Terus dia
menjatuhkan diri sambil berkaok-kaok, "Aduh Mati aku!"
The Kek Song yang menyaksikan hal itu langsung tertawa terbahak-bahak, Dalam
hatinya dia berkata, -- Dasar orang tua tidak punya guna! -Hong Ci Tiong segera bangun dan menuding Kek Song.
"Binatang, apanya yang lucu?"
Kek Song merasa gusar. "Aku mau tertawa, lalu kau mau apa?"
Ketika Kek Song berbicara, Ci Tiong berkelebat ke depannya dan terdengarlah suara
gaplokan sebanyak dua kali. Kek Song menjadi gelagapan saking nyerinya.
"Coba aku ingin lihat, apakah kau masih dapat tertawa?"
Tidak sampai di situ saja, Thian Coan ikut mendupak pantat Kek Song sehingga dia
teraduh-aduh. "Kau berani melawan kami, para berandal dari Hok Gu San, Aku, si A Gu akan
memberikan pelajaran kepadamu!" teriak Ci Thian Coan.
A Ko menjadi panik melihat Kek Song dihajar berulang-ulang oleh orang-orang kasar
itu. "Kau berbuatlah sesuatu! Mengapa kau diam saja?" tegurnya pada Siau Po.
"Bagimana, suhu?" tanya Siau Po pada Pek I Ni. "Bagaimana kalau aku menasehati
mereka agar jangan memukul The kongcu lagi?"
"Apa kepandaianmu?" sergah A Ko sinis, "Mana mungkin kau dapat menasehati
mereka?" "Meskipun kawanan berandal itu lihay-lihay, aku lihat mereka juga tetap memiliki
kelemahan. The kongcu tidak tahu kelemahan itu sehingga tidak mampu menghentikan
perbuatan mereka." kata Siau Po.
A Ko merasa penasaran Akan tetapi dia tidak bisa mengatakan apa-apa lagi,
sementara itu, terdengar Pek I Ni berkata pula.
"Asal-usul orang-orang itu masih belum jelas, Aku lihat mereka bukan orang-orang
jahat, jangan kau ganggu jiwa mereka, jangan kau merusak nama baik partai kita!"
"lya, iya." sahut Siau Po. "Akan ku ingat pesan suhu baik-baik."
Tepat pada saat itu, Hong Ci Tiong melancarkan sebuah serangan kepada Kek
Song, Kelima jarinya mencengkeram, tahu-tahu bagian dada pakaian pemuda itu sudah
koyak, kalau dia serius melancarkan serangannya pasti dada pemuda ini sudah terluka
parah. Bukan kepalang mendongkol dan malunya hati Kek Song. Dikeroyok sedemikian
rupa, dia tidak bisa melakukan apa-apa. Dia berusaha mengadakan perlawanan
sebisanya, dia menerjang ke depan, tapi celaka.
Tangannya malah tercekal oleh salah satu Iawannya, Dan itu masih belum seberapa,
orang itu segera menghentakkan tangannya dan melemparkannya ke udara sambil
berseru. "Sambutlah!" Seorang lawan lainnya segera menyambut tubuh Kek Song lalu
dilemparkannya lagi kepada temannya yang lain. Dalam sekejap saja Kek Song sudah
menjadi bulan-bulanan kawanan itu yang melemparkannya ke sana ke mari seperti
sebuah bola. Menyaksikan kejadian tersebut, Siau Po sampai lupa diri, Dia bertepuk tangan sambil
berseru, "Bagus! Bagus!" Dia baru berhenti ketika merasa batok kepalanya ditepuk oleh
seseorang. Rupanya A Ko lah yang menepuknya karena merasa tidak senang melihat sikap Siau
Po. "Kau... kau cepatlah tolong dia!" katanya tersendat-sendat.
Siau Po tersenyum. "Mereka toh sedang bermain-main, mengapa kau begitu gugup" Suhu sendiri tidak
merasa cemas." "Bukan!" sahut A Ko. "Mereka ingin menculiknya dan kemungkinan ingin meminta
tebusan dari ayahnya."
Hong Ci Tiong yang mendengar kata-kata si nona langsung berseru,
"Bagus." katanya, "UsuI yang bagus sekali, Kita minta tebusan sebanyak satu juta tail
saja." Wajah A Ko jadi pucat pasi, Dia sadar dirinya telah kelepasan bicara. sementara itu,
Siau Po tertawa. "Biar saja!" katanya, "Bukankah The kongcu anak orang kaya" Di rumahnya pasti
banyak uang, jangankan hanya satu juta, empat atau lima juta juga tidak menjadi
persoalan baginya." A Ko membanting kaki, dia kesal sekali dan hatinya bingung, Siau Po menjadi tidak
sampai hati. "Mudah untuk menolong dia." katanya, "Kita harus mengadakan perjanjian. Kau
harus mau menjadi istriku."
Si nona menjadi gusar. "Ngaco!" katanya.
Tepat pada saat itu, salah satu dari "kawanan berandal itu berteriak dengan lantang.
"Hai, kalian dengar! Cepat kalian pulang ke Yan Peng Onghu, raja muda kalian,
Kalian minta uang yang nanti harus kalian antarkan ke Hok Gu San! Uang itu untuk
menebus kongcu kamu ini! Lebih baik kalau secepatnya, Sekarang ini kami tidak akan
merampas jiwa kongcu kalian, dalam tiga hari kami hanya akan menghajarnya saja,
setiap hari dia akan dirotan sebanyak tiga ratus kali, Kalau uang tebusan cepat datang,
penderitaannya akan berkurang."
A Ko bingung sekali Dia menarik tangan Siau Po.
"Kau dengar sendiri Bagaimana baiknya sekarang?"
"ltu tidak apa." kata Siau Po. "Kau jangan khawatir! Kalau satu hari dirotan tiga ratus
kali, dua bulan baru tiga kali enam jadi delapan belas, jumlahnya baru seribu delapan
ratus...." "Bukan.,." sahut A Ko. "Selaksa delapan ratus...."
Siau Po tertawa. "lya, iya." sahutnya, "Aku tidak pandai menghitung, Tapi ada baiknya juga hajaran itu,
nanti pinggulnya menjadi kebal dan tahan pukulan."
A Ko semakin marah, Dia mendelik pada si bocah.
"Masa bodoh." katanya, "Aku tidak mau meladeni engkau lagi."
"Sudah, sudah!" kata Siau Po. "Jangan menangis. Nanti aku akan mencari daya
untuk menolongnya." "Cepat kau tolong dia!" bentak si nona, "Urusan lainnya kita bicarakan nanti."
Tatkala itu, kedua tangan Kek Song sudah diikat, anak buahnya tidak berani
melakukan apa-apa, karena takut tuan mudanya dicelakai kawanan berandal itu
menaikkannya di atas punggung kuda, terang mereka hendak membawanya ke gunung
Hok Gu San. Melihat itu, A Ko semakin bingung. Siau Po dapat melihat gelagat sekaranglah
waktunya untuk bertindak, Karena itu, dia segera menghambur ke depan pintu sambil
berseru, "Hai! Hai! Tay Ong dari Hok Gu San, mari! Aku yang rendah ingin berbicara sedikit
denganmu!" Rombongan Ci Thian Coan memang sedang menunggu panggilan itu, Dengan
tampang keenggan-engganan, mereka menolehkan kepalanya.
"Eh, saudara kecil, apa maumu?" tanya Kho Gan Ciau.
"Tahukah kalian siapa yang kalian tawan itu?" tanya Siau Po,
"Dialah putera kedua dari Yan Peng Kun Ong di Taiwan." sahut Gan Ciau, "Pasti kau
juga tahu siapa dia. Tapi dia ini benar-benar kurang ajar. Coba kami tidak memandang
kakek dan ayahnya, walaupun dia punya sepuluh kepala, tentu kami akan
mengutungkan semuanya, Dalam tangsi, kami mempunyai banyak anggota, kami
kekurangan biaya, karena itu sekarang kami tawan dia. Maksud-nya untuk ditahan
sementara waktu, Kami ingin meminjam uang dari ayahnya sebanyak satu juta tail."
"Satu juta tail?" kata Siau Po. "ltu urusan kecil, aku dapat memberikannya kepada
kalian." Kho Gan Ciau tertawa. "Eh, saudara kecil," katanya, "Apakah she dan namamu yang mulia?"
Siau Po tersenyum. "Aku bernama Wi Siau Po." sahutnya singkat "Oh!" seru Kho
Gan Ciau yang langsung merangkapkan sepasang tangannya untuk menjura, "Kiranya
kaulah Siau Pek Liong Wi Enghiong yang telah membunuh Go Pay, si orang Boan Ciu
paling kuat di jaman ini! Namamu sudah sangat terkenal Saudara kecil, kami semua
mengagumimu, pertemuan ini sungguh menggembirakan hati kami."
Siau Po membalas hormatnya. "Tidak berani aku menerima pujian yang demikian
tinggi." katanya. "Saudara kecil," kata Kho Gan Ciau, "Dengan memandang saudara, kami suka
membebaskan orang she The ini, uang satu juta yang tadinya hendak kami pinjam,
kami tidak mengingatkannya.
Ci Thian Coan mengeluarkan dua potong uang perak dari saku pakaiannya kemudian
diserahkan kepada si anak muda, sikapnya sangat menghormat "Wi Enghiong,
andaikata kau memerlukan uang untuk perjalananmu silahkan ambil uang seratus tail
ini!" katanya, Tanpa sungkan-sungkan lagi, Siau Po menerima pemberian Ci Thian Coan.
"Terima kasih!" katanya singkat Kemudian dia berpaling kepada A Ko untuk
menyerahkan uang itu kepada si nona, "Simpanlah yang ini, mungkin kita
membutuhkannya nanti.,,."
A Ko menjadi heran. Dia benar-benar tidak mengerti Sungguh di luar dugaan, orang
yang sangat dibencinya ini justru mempunyai nama besar, sampai segala berandal dari
Hok Gu San itu pun tahu dan menghormatinya sedemikian rupa, dia tidak tahu, bahwa
si bocah nakal ini justru pemimpin dari kawanan berandal tersebut.
"Ah!" Dia sampai mengeluarkan seruan tertahan Di dalam hati, dia merasa gembira
dan heran. Heran karena bocah itu bisa bergaul dengan siapa saja, gembira karena
pemuda pujaan hatinya akhirnya akan dibebaskan oleh kawanan berandal tersebut.
Sementara itu, kawanan berandal dari Hok Gu San semuanya menghampiri Siau Po
dan mengajaknya berkenalan Mereka tampaknya bersungguh-sungguh ingin mengenal
bocah itu lebih dekat saking kagumnya mendengar nama besar yang disandang si
bocah. Setelah selesai berkenalan Siau Po membalikkan tubuhnya untuk kembali memasuki
rumah makan Tiba-tiba Hong Ci Tiong memanggilnya kembali.
"Tunggu dulu, Wi Enghiong!" katanya. Dia memanggil si bocah dengan sebutan
Enghiong yang artinya pendekar "Kau telah berhasil membunuh Go Pay, kami semua
sangat mengagumimu, Tapi kita baru berkenalan kita tidak tahu satu dengan lainnya,
Karena itu kami mana tahu kau ini pendekar sejati atau pendekar palsu, Kalau ada
orang yang memalsukan nama Wi Enghiong dan mengakuinya, kami bisa saja
dikelabui, siapa tahu ada orang yang sengaja melakukannya untuk mencari
keuntungan?" "Kau benar juga." kata Siau Po. "Lalu apa yang harus aku lakukan agar kalian bisa
percaya." "Maaf kalau kami bernyali besar Wi Enghiong!" kata Ci Tiong dengan sikap
menghormat "Aku mohon sudilah kiranya Enghiong memberikan petunjuk kepadaku
barang tiga jurus.... jago Boan Ciu nomor satu saja bisa terbunuh di tangan Enghiong,
pasti kepandaian Enghiong tinggi sekali."
Siau Po menganggukkan kepalanya.
"Baiklah kalau itu yang kan inginkan." sahutnya "Tapi aku tidak ingin berkelahi secara
sungguh-sungguh, kita hanya saling mencoba saja, menang atau kalah tidak menjadi
persoalan, kita bermain-main sampai batas saling towel saja."
Hong Ci Tiong pun menganggukkan kepalanya,
"Benar begitu." katanya, "Aku harap Wi Enghiong menaruh belas kasihan kepadaku
sehingga aku tidak sampai terluka parah karenanya..."
Di dalam hatinya Siau Po tertawa.
-- Biasanya Hong toako ini tidak suka bicara, Tak disangka disaat bermain
sandiwara, dia bisa menjalankan perannya dengan demikian sempurna!-"Saudara, jangan sungkan" katanya kemudian.
"Mungkin aku bukan lawanmu yang setimpal Harap saudara juga jangan berlaku
terlalu keras kepadaku. Nah, mari kita mulai!"
Ci Thian Coan segera maju.
"Saudara, biar aku dulu yang mencoba Wi Enghiong!"
"Tidak bisa!" sahut Ci Tiong, "Aku yang memintanya terlebih dahulu. Jadi akulah
yang harus melawannya dulu, kau boleh menyusul belakangan."
Setelah berkata, dia menoleh kepada Siau Po dan berkata.
"Saudara, kau boleh mulai sekarang."
Siau Po langsung melakukan penyerangan Dia mengangkat tangan kirinya ke atas,
telunjuknya diayunkan, disusul dengan satu tepukan oleh tangan kanannya, Tapi baru
setengah jalan, tangan itu sudah diputar balik untuk menyerang dari samping. itulah
sebuah jurus tipuan yang bernama Bu Sek Bu Siang dari ilmu poan Jiak Ciang yang
diajarkan oleh Teng Koan taysu ketika dia berada di kuil Siau Lim Sie.
"Bagus." kata Hong Ci Tiong sambil mengacungkan jempolnya, "lnilah salah satu
bagian dari Poan Jiak Ciang yang dinamakan Bu Sek Bu Siang...." Dia segera
menangkis dan berhasil menghindarkan diri dari serangan itu.
Siau Po kembali maju selangkah, kaki kirinya ditendangkan ke samping. sekarang
dia menggunakan sebuah jurus yang pernah diajarkan oleh Hay Tay Hu, tapi dia lupa
apa nama jurus itu, Hong Ci Tiong bersikap seakan kurang bersiaga, Dia ingin
mengelakkan diri dari serangan itu, tapi apa daya kakinya telah tersepak sehingga dia
jatuh terguling roboh. Cepat-cepat dia bangkit kembali sementara itu, Siau Po tertawa lebar.
"Benar, tuan!" katanya, "Pandangan tuan sungguh tajam, ilmuku tadi dapat tuan
kenali dengan baik."
Meskipun mulutnya berbicara, Siau Po kembali melakukan penyerangan Tangan
kirinya diangkat ke samping, Dari kanan dibawa ke sebelah bawah kiri, Mendadak
kelima jari tangannya menyambar.
"Hebat!" seru Ci Tiong yang seakan masih belum kapok. Dia juga merasa agak
bingung, inilah pukulan Leng Ciu dari Poan Jiak Ciang juga."
Dia bergerak mundur, menyusul itu, dia menolakkan kedua tangan nya, gerakannya
perlahan sekali, Dengan demikian, telapak tangannya hanya beradu sedikit dengan jari
penyerangnya. "Aduh!" Dia menjerit seperti orang yang kesakitan dan tubuhnya langsung
berjumpalitan di udara dan terpental ke belakang seakan tidak sanggup bertahan.
Setelah itu, dia berdiri terdiam wajahnya merah padam laksana orang yang habis
meneguk puluhan cawan arak. Dia seperti malu dan bingung, Sampai cukup lama, dia
baru tersentak sadar, langsung jatuh terduduk, Kedua tangannya digoyang-goyangkan
sambil mulutnya berkata. "Aku sangat kagum kepadamu, Wi Enghiong. Ternyata kau memang lihay sekali,
tidak heran kau sanggup membunuh Go Pay, si jahanam bangsa Boan Ciu itu. Aku
benar-benar takluk kepadamu, Terima kasih karena tidak mengambil selembar jiwaku
ini. Kalau Wi Enghiong memerlukan bantuan kami, silahkan datang ke Hok Gu San,
jangan sungkan-sungkan, meskipun harus terjun ke lautan api atau gunung gotok, aku
pasti rela melakukan apa saja bagi Wi Enghiong."
A Ko dan Pek I Ni dapat melihat jelas semua kejadian itu, Tapi apa yang tersirat
dalam pikiran mereka sudah tentu berbeda, Pek I Ni dapat melihat dengan jelas bahwa
penyerangan yang dilakukan Hong Ci Tiong hanya pura-pura.
Hatinya jadi bertanya-tanya, permainan apa lagi yang dijalankan bocah ini, Dia juga
tidak percaya kawanan berandal itu berasal dari Hok Gu San sebagaimana pengakuan
mereka. Sedangkan A Ko menjadi bingung, Dia tidak menyangka Siau Po mempunyai
kepandaian yang begitu tinggi sehingga sanggup merobohkan salah satu dari kawanan
berandal itu, Kalau dilihat dari pertandingan yang berlangsung barusan, tampaknya ilmu
si bocah ini malah lebih tinggi dari Kek Song. Hatinya jadi tidak begitu benci lagi
kepada si bocah. Hanya perasaan mendongkolnya yang masih tersisa terus.
Sementara itu, Kek Song yang terikat di punggung kuda sudah dibebaskan oleh
kawanan Tian Te Hwe. Dia ikut menyaksikan jalannya pertempuran. Untung ilmunya
belum tinggi sekali sehingga dia tidak melihat bahwa sebenarnya Siau Po dan Hong Ci
Tiong hanya pura-pura berkelahi.
Dalam hatinya juga timbul keraguan Benarkah bocah itu demikian lihay" Atau dia
mempunyai ilmu siluman yang bisa membuat semua lawannya menjadi takluk dan
menyatakan menyerah dengan sendirinya" pikirannya kacau, belum lagi kepalanya
yang masih pusing karena diayunkan ke sana ke mari sejak tadi. Dia malas memikirkan
hal itu lebih jauh. Siau Po sendiri tenang-tenang saja. Bibirnya mesem-mesem. Beberapa pelayan
rumah makan pun menyaksikan jalannya pertarungan sekarang mereka menatap
kepada si bocah dengan pandangan kagum. Hal ini membuat Siau Po semakin bangga.
Dia menjadi besar kepala, Sudah terbayang dalam benaknya akan duduk bersanding
bersama A Ko yang cantik dan manis.
Bagian 51 Sian Po membalas hormat "Ah dasar kau yang mengalah, saudara silahkan diiduk!" katanya, ia pun berlaku
sungkan. Berkata demikian diam-diam kacung itu mengedipkan mata pada kawannya.
Hong Ci Tiong memainkan peranannya sangat bagus, dia berpura-pura malu,
"Wi Enghiong tersohor gagah. Sungguh itu sangat tepat. Namun enghiong, aku yang
rendah ini ingin juga mencoba barang tiga jurus. Apakab sudi melayani aku?" tanyanya
Siau Po mengangguk "Baik," sahutnya singkat dan ia pun maju untuk memutai menyerang. Tangan kirinya


Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyambar ke dada orang itu, dan tangan kanannya mencari rusuknya, itulah silat Siau
Lim Sie yang diberi nama Ciam Moa Kimna Chiu.
Tian Coan maju untuk bergurau saja, ia tak menyangka si kacung menggunakan tipu
silat yang terkenal. Diam-diam ia sangat kagum dan ia berkata dalam haii,
"Wie HiocU sangat cerdast" ia hanya menyangka ilmu silat itu sangat cepat sekali
hingga orang yang terkena tidak celaka karena Siau Po menggunakannya tanpa
dukungan tenaga dalam Dengan sabar ia membalas untuk melayani orang itu dalam berlatih Karena Siau Po
melayaninya dengan sungguh-sungguh maka ia pun sungguh-sungguh pula hingga
tampak mereka sedang bertempur
Lewat beberapa jurus, kelihatan mereka bergumul dan mendadak Tian Coan menjerit
"Aduh!" Lalu tangannya pun turun, Orang itu mundur beberapa langkah dan tangan
kirinya dipakai untuk memegangi tangannya yang kanan, ia berlagak seperti orang
terkilir. "Aku takluk." katanya sambil ia memegangi tangan sendiri yang keseleo itu. Hingga
sempurna sekali ia memainkan perannya itu,
Menyusul orang Sie Cie itu, Hoan Kong Hian dan Cian Lau pun menantang
bergebrak dengan cara bergantian Siau Po tetap menggunakan jurus itu dan dengan
hanya delapan jurus mereka satu persatu mengalah kalah.
"Kali ini kami melihat ilmu silat Wi Enghiong. Baru mata kami terbuka dan apabila
Enghiong lewat di Hok Gu San kami minta Enghiong sudi mampir barang beberapa
hari!" kata Ko Gan Ciau,
Semua kawanan berandal dari Hok Gu San memanggil "Enghiong" yang berarti
pendekar pada Siau Po. ia pun membawa aksi dengan baik,
"Pasti!" jawab Siau Po. "Namun harap saja kedatanganku tidak dijadikan
gangguan...!" Lalu kawanan perampok itu memberi hormat dan berlalu dari hadapannya sambil
menuntun kuda mereka, sampai jauh mereka baru menaiki kuda-kuda nya. Mereka
tidak berani menaiki kudanya di depan Siau Po.
Sampai di situ tak dapat The Kek Song tidak takluk, ia lalu menghampiri Siau Po dan
memberikan ucapan terima kasih.
"Jangan sungkan-sungkan, hanya nasib baik saja yang membuatku dapat
mengalahkan mereka itu!" kata Siau Po sambil tertawa.
Kali ini Siau Po berbicara dengan sungguh-sungguh akan tetapi dengan cara
merendah itu The Kek Song merasa malu dan hal itu yang membuat mukanya berubah
merah karena malu. Siau Po lalu melanjutkan perjalanan, dan malam itu Siau Po telah sampai di
kecamatan Hian Koan dan mereka mencari rumah penginapan.
Sewaktu mereka berada berdua Kui Lan berkata pada Siau Po.
"Orang yang bermain sandiwara tadi siang itu apakah sahabatmu?"
Guru itu sangatlah lihay hingga ia dapat melihat orang yang berlatih secara
sungguhsungguh dan orang yang sedang bermain-main, Cuma Kek Song saja yang dapat
dikelabuhinya. Siau Po tahu kalau gurunya itu dapat mengetahui sandiwaranya, maka ia
memberikan jawaban sambil tertawa.
"Mereka cuma kenalan biasa saja."
"Mereka semua berilmu sangat tinggi mengapa mereka mau berkelahi denganmu
secara main-main?" tanyanya.
Siau Po kembali menjawab.
"Mereka itu semua tidak puas menyaksikan kejumawaan The kongcu. ia sengaja
meminjam muridmu ini, suhu, buat memberi pelajaran kepada kejumawaan pemuda
takabur itu." kata Siau Po.
Kiu Lan berdiam sejenak, jawaban itu beralasan juga.
"Tadi ilmu silatmu itu kau jalankan dengan baik juga." kata Kiu Lan kemudian "ltuIah
gerak-gerik dari ilmu Poan Jiak Ciang."
"Sebenarnya itu tak ada harganya, itu hanya dapat dipakai untuk menggertak orang."
kata si anak muda yang tertawa pula.
Pembicaraan itu terhenti karena di luar rumah penginapan terdengar suara kuda
yang berisik, jelas ada orang yang mau bermalam di situ, Menyusul terdengar pula
suara keras dari seseorang.
"Kami membutuhkan sebuah kamar kelas satu yang paling baik, buat yang lainnya
seadanya saja pun boleh!"
Siau Po mengenali suara orang yang berbicara itu, ialah Yau Tau Say Cu Gou Lip
Sin. Lalu terdengar suara pemilik hotel yang menjamin kamarnya terpilih dan tak ada kutu
busuknya meski cuma satu ekor.
"Silahkan Tuan turut aku!" kata pemilik itu.
Siau Po lalu menanyakan pada gurunya.
"Suhu bukankah kita akan membinasakan Gouw Sam Kui?"
"Ya," sahut Kiu Lan. "Akan tetapi bukan sekarang. Aku memerlukan sebuah tempat
sunyi untuk aku beristirahat satu bulan lamanya guna memulihkan seluruh
kesehatanku, Tentang gerak-gerik kita lebih jauh akan aku tentukan nanti saja, Jika
sekarang aku menemukan lawan yang lihay, aku tak dapat melayaninya, Kau tahu
caramu mengacau itu tak cocok bagi kami kaum Tiat Kiam Bun."
Walaupun ia mengatakan demikian, Pek I Ni tersenyum. ia teringat semua perbuatan
Siau Po yang sangat jenaka.
Siau Po mengangguk. "Benar, Kesehatan suhu paling utama." katanya.
Kacung ini lantas membuka buntalannya dan mengeluarkan daun Teh Kie Ciou Ling
Ceng yang paling tersohor ia segera menyeduh daun teh itu. Setelah itu ia
menyuguhkannya kepada gurunya sambil berkata.
"Kelak di kemudian hari, apa bila aku sudah berhasil mempelajari ilmu silat dari suhu,
Setiap berhadapan dengan musuh, akan aku gempur musuh itu secara laki-laki sejati.
Suhu, aku ingin pergi ke luar untuk melihat-lihat ada sayuran apa yang masih segar."
Kiu Lan mengangguk memberikan perkenannya, maka muridnya itu pergi ke luar
Pertikaian Tokoh Tokoh Persilatan 9 Meteor Kupu Kupu Dan Pedang Karya Gu Long Renjana Pendekar 10
^