Pencarian

Kaki Tiga Menjangan 26

Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung Bagian 26


lalu mengeluarkan uang untuk mereka yang terluka dan mereka diminta untuk tutup
mulut. Siau Po lalu pergi dan menunggu di luar kamar ibu suri.
Tak lama kemudian Siau Po dipanggil masuk ke dalam kamar Di dalam tampak raja
dan ibu suri sedang duduk berdampingan Cepat-cepat Siau Po memberi hormat pada
mereka. Siau Po lalu memberikan laporannya pada raja dengan mengatakan bahwa ia telah
mengancam pada mereka yang berani membocorkan rahasia ini dan mereka pada
ketakutan. Mendengarkan laporan Siau Po raja mengangguk-angguk.
"Jika Baginda menghendaki hamba akan menghabisi mereka!" katanya.
Mendengar demikian raja terdiam.
"Raja, kau harus memberikan kepadanya hadiah!" kata ratu.
Raja lalu memberikan sebuah gelar kebangsawanan tingkat empat pada Siau Po.
Setelah itu raja meminta pada Siau Po untuk meninggalkan mereka berdua karena
masih dilanda rasa rindu, juga masih ada pembicaraan yang sangat pribadi.
Sesampainya di luar Siau Po berpikir jika nanti moler tua itu pergi ke tempat Kaucu
tentulah aku akan mendapatkan bahaya.
Memikir demikian Siau Po mengambil kesimpulan akan menyerahkan kitab itu pada
Kaucu tetapi peta yang terdapat di dalamnya akan dia sembunyikan.
Kemudian Siau Po pergi ke suatu tempat di mana terdapat teman-temannya, Lalu
Siau Po meminta pada salah seorang temannya untuk mencarikan pahat dan martil.
Pabat dan martil itu digunakan untuk membuka peti mati yang berada dalam ruang
bawah tanah itu. sebelumnya Siau Po menugaskan pada kawan-kawannya untuk
berjaga-jaga, jangan sampai ada orang yang melihatnya.
Setelah peti itu terbuka Siau Po lalu mengambil kitab yang ia simpan di sana
berjumlah tujuh buah, Lalu kitab-kitab itu ia bungkus kertas minyak dengan rapi.
Di luar rumah itu terdengar suara berisik yang ternyata ada orang yang datang,
Namun Siau Po sangat mengenali suara itu, ia langsung berteriak teriak memanggil
orang tersebut yang ternyata guru Siau Po.
Siau Po lalu mengenali suara itu yang ternyata suara Kek Song dan ia berkata dalam
hati: "Apakah yang dicari oleh orang itu!"
Menyusul terdengar suara senjata yang beradu dan tak lama kemudian terdengar
suara jeritan lalu sunyi kembali.
Tak lama kemudian terdengar orang sedang berbicara, ia mengenal suara itu, ia tahu
itu suara gurunya yang sedang berbicara dengan Kek Song.
Terdengar suara Kek Song yang berkata dengan keras dan memerintahkan pada
guru Siau Po untuk memotong tangannya atau membunuh dirinya. Guru Siau Po
menolaknya dan terjadilah pertempuran yang sangat seru dari keduanya.
Guru Siau Po atau Kiu Lan di keroyok beberapa orang sedangkan ia tak meladeni
Kek Song. Pada suatu saat Kui Lan dapat dibacok oleh Kek Song dengan demikian Kiu Lan
meladeni dua orang dengan keadaan yang tak stabil.
Siau Po sangat bingung, ia harus menolong gurunya tetapi ilmu silatnya belum dapat
menandingi mereka, Namun kemudian Siau Po ditolong oleh akalnya.
Siau Po lalu berseru dengan suara sangat aneh, Ketiga orang yang sedang
bertempur itu menjadi kaget.
Kek Song yang memang takut pada setan itu segera menghentikan serangannya
karena takut, Apalagi setelah ia melihat kamar yang terdapat peti mati itu yang lalu
mengeluarkan semburan berupa abu putih, ia menjadi ketakutan.
Setelah menyaksikan hal itu ia lalu pergi meninggalkan rumah dengan sangat
ketakutan. Kiranya yang digunakan Siau Po adalah semen untuk menyembur
Siau Po lalu berusaha menyerang lawan yang tak melihat itu tetapi ia merasa takut
sebab orang yang akan mereka serang itu sangat lihay dalam ilmu silatnya,
Akhirnya Siau Po dapat mengusir guru Kek Song dan Kek Song sendiri dapat
ditundukkan. Siau Po lalu menolong gurunya yang terkena semen itu, Siau Po lalu mencuci mata
gurunya dengan minyak agar semen itu dapat hilang.
"The kongcu kau tidurlah di sini untuk beberapa hari. Anggap saja kau bernasib baik,
dan hutangmu padaku aku anggap impas!" kata Siau Po yang mengurung Kek Song
dalam peti itu. Dalam ruangan itu sudah berserakan kawan-kawan Siau Po yang tak berdaya, Kiu
Lan lalu melepaskan totokan itu, ternyata mereka itu ditundukkan satu persatu oleh guru
Kek Song. Setelah melihat gurunya yang sudah dapat melihat lagi Siau Po lalu berpura-pura
pingsan, hingga akhirnya ia diangkat oleh gurunya ke atas kursi untuk beristirahat.
Dalam berpura-pura itu sebenarnya Siau Po takut dihukum atau ditegur gurunya,
perbuatan yang dilakukan dengan semen walaupun untuk menolong gurunya tetapi itu
perbuatan yang tidak jantan.
Kemudian Kiu Lan meminta pada muridnya untuk mencari Kek Song dan gurunya,
Mereka tak mendapatkan orang yang dimaksud gurunya itu.
Tetapi Siau Po mengatakan kalau Kek Song dimasukkan ke peti mati itu, maka Kiu
Lan memeriksanya. "Eh, Siau Po! Bukankah kau telah memasukkan Kek Song ke dalam peti mati itu?"
tanya gurunya. "Tidak suhu! Mungkin saja Kek Song takut guru akan membunuhnya jadi ia masuk ke
peti mati itu dan memanteknya," jawabnya.
"Ngaco kamu! Ayo, cepat buka peti mati itu ia nanti bisa mati karena ia tak dapat
bernapas!" katanya. Setelah peti itu terbuka mereka semua merasa kaget sebab yang ada di dalam peti
mati itu adalah raja mudanya.
Mereka lalu mempertegas penglihatannya dan benar itu raja mudanya yang telah
menjadi mayat. Melihat kenyataan itu Kui Lan murka, ia menghajar peti mati itu sampai hancur.
"Jika aku tak berhasil membunuh si jahanam itu aku bersumpah aku tak sudi jadi
manusia!" katanya dengan bengis, karena ia tahu kalau itu perbuatan She Liong, musuh
besarnya. "Kalau demikian pastilah The kongcu telah mereka bawa lari!" kata Siau Po menerkanerka.
"Pasti demikian! Dan kita harus segera menolongnya!" kata Kiu Lan.
Kiu Lan lalu menghela napas.
"Kau benar juga, jika tadi bukan Siau Po yang berlaku sangat cerdik, pasti kita semua
sudah menjadi mayat, dan kita semua mati dengan kecewa! Namun..." kata Kiu Lan.
"Dia telah menuduh Thian Tee Hwee, kami telah tunduk pada orang Taiwan," Hian
Ceng ikut bicara. "Di Tionggoan sini saja dia berani berbuat demikian apalagi bila di Taiwan" pasti di
sana kita tak akan diberi kesempatan untuk membuka mulut kita!"
Jin Lau Pun juga berkata.
"Congtocu, sangat jujur dan setia terhadap keluarga The, akan tetapi sekarang kita
semua hampir mati dicelakakan Kek Song. inilah penasaran yang tak dapat ditelan
dengan begini saja.,.!"
Kui Lan kembali menghela napas.
"Seorang laki-laki sejati, harus bertindak dan melakukan sesuatu yang bakal
mengecewakan!" Kemudian katanya nyaring.
"Kalau kita benar dan orang disisi kita akan mengatakan sesuatu yang bertentangan
itu terserah pada mereka.! Maka jika sekarang ini biar bagaimana lebih dahulu kita
perlu menolong The Jie kongcu, setelah itu kita harus mencari She Liong, guna menuntut
balas bagi kau Jieko, Nah, bagaimana kita harus bekerja?" tanyanya,
"Langkah pertama kita harus pindah dari sini." Siau Po mengutarakan pikirannya.
"Kau benar." sang guru membenarkan
"Pikiranku sedang kacau sehingga aku lupa memikirkan hal yang seperti ini. Memang
ada kemungkinan She Liong sedang memerintahkan pasukannya untuk menyerang
kita." kata sang guru.
Maka ia menggali lobang untuk mengubur mayat Kwan An Kie yang kuburannya
tidak ditimbun dengan tinggi, bahkan diratakan dan disamarkan, agar tentara Boan tak
curiga dan membongkarnya, Kemudian mereka menangisinya, lalu pergi dengan
perpisahan Siau Po yang cerdik, mengambil kesempatan untuk memisahkan diri, Maka di lain
saat ia sudah sampai ke kamarnya lalu menguncinya dan mengambil kitab Sie Cap Ji.
Setelah meneliti setiap halaman ia mendapatkan lembaran dari kulit kambing yang
berupa kertas dan semua itu ia ambil dan ia rapikan lagi hingga tak tampak bekas
ambilannya, Setelah selesai merapikan ia dipanggil raja.
Raja ada di dalam keratonnya Setelah melihat Siau Po ia lalu berkata.
"Besok akan ada firman dan kau harus mengantarkan Kian Leng kongcu untuk
dinikahkan dengan putera dari Gao." katanya.
"Baik, baginda!" kata Siau Po yang memperlihatkan wajah sebal,
"Belum beberapa hari hamba melayani Tuan dan sekarang hamba harus pergi
meninggalkan baginda...."
"ltu tak apa." kata raja yang terus berkata dengan suara yang sangat perlahan.
"Tayhau, kau memberitahukan aku tentang sesuatu yang sangat penting, maka
sekarang kau pergi ke propinsi In Lam, sekalian melakukan sesuatu di sana."
"Baik Sri Baginda." kata si hamba.
"Thayhou, kau juga mengatakan budak jahat yang menyamar sebagai ibu suri dan ia
mempunyai maksud buruk yang sangat jahat sekali, ia mau mencari otot nadi naga dari
kerajaan Boan Cu kita."
"Untuk dirusaknya, Thayhau telah bertahan menderita tekanan lahir dan batin, Tak
sudi Thayhau memberikan keterangan sampai sekarang ini. Berkat pertolongan Tuhan
kau dapat selamat dan meloloskan diri."
"Sri baginda!" kata Siau Po, "Tentang rahasia kerajaan yang sangat besar ini jangan
baginda bicara pada hambamu ini, karena dengan demikian rahasianya nanti akan
mudah bocor...." Kaisar Kong Hie kagum. "Makin tambah usiamu makin tambah pengetahuanmu!" pujinya.
"Pengalamanmu terus bertambah, tetapi kau jangan khawatir! Cukup dengan kau
berhati-hati. Bukankah selama kau bekerja untukku, belum pernah kau membocorkan
sesuatu" jikalau aku tak percaya lagi denganmu, maka tak ada orang lain yang dapat
aku andalkan." "Sri baginda!" katanya sambil berlutut ia sangat puas dengan sanjungan dan
kepercayaan raja itu. "Karena baginda sangat percaya dengan hambamu ini maka
sekalipun lidah hambamu ini dipotong tidak akan hambamu berani membicarakan
rahasia ini." tambahnya.
Kaisar mengangguk. "Sebenarnya," katanya kemudian, "Rahasianya otot nadi naga kerajaan Ceng kami
itu tersimpan dalam delapan kitab pusaka Sie Cap Ji Cin Keng." sebenarnya hal itu
bukan lagi rahasia bagi Siau Po, hanya ia berpura-pura tak mengerti.
"Dahulu kala di masa Liap Ceng Ong To Jie Kun memasuki wilayah perbatasan,"
kata raja, "Maka semua kitab itu dibagi delapan Kun Cu dari Pat Kie. Kepala dari
delapan bendera dan salah satunya dipimpin oleh raja sendiri Maka ketika kitab itu
disimpan dalam istana, yang keraton...."
"Ya, hambamu ingat Sri baginda," kata Siau Po. "Ketika baru-baru ini baginda
menggeledah gudang Go Pay, maka si moler tua itu meminta pada hamba pergi ke
tempat itu untuk mengambil dua buah kitab itu. Maka hamba memastikan itu kitab yang
baginda maksudkan." "Benar." kata raja, "Di dalam keraton ada tiga kitab dan di gudang Go Pay ada dua
kitab, Sedang ayahanda raja memberikan satu kitab lagi, ialah kitab yang kau bawa
pulang dari Ngo Tay san. Sama sekali ada empat buah kitab dan kitab itu telah dicuri si
moler tua. Sungguh, mimpi pun aku tak tahu halnya, Kitab itu demikian pentingnya dan
aku begitu saja menyerahkannya pada si moler tua itu...."
"Jikalau demikian, mari kita cepat pergi dari sini ke Cu Leng Kiong untuk melakukan
pemeriksaan," ajak Siau Po. "Moler tua itu kabur dengan telanjang bulat, barang apa
pun tak sempat dibawanya...."
Di dalam hati Siau Po sangat khawatir kalau-kalau raja menggeledah kamarnya,
tentu kitab itu akan diketemukannya.
Kaisar menggelengkan kepala.
"Aku telah memeriksanya." katanya, "Apa pun tak terdapat di sana kecuali
seperangkat jubah biksu, Maka teranglah bahwa orang itu seorang pendeta."
Siau Po tertawa, tetapi kemudian ia menghentikan tawanya karena ia ingat akan
sesuatu. Raja tak mengatakan sesuatu, bahkan ia pun tertawa dan berkata.
"Gendaknya itu katai dan gemuk, maka si moler tua itu aneh. Kenapa ia tak mencari
lelaki lain yang hanya si kuntet?"
Mau tak mau Siau Po tertawa pula,
"Silabuh itu pandai main silat." katanya, "Kalau orang yang bertampang ganteng
mana mungkin ia dapat masuk istana,"
"Ya, kau pandai juga." kata raja yang terus tertawa dan ia menambahkan katakatanya
itu. "Memang kedua kitab lagi dibagikan pada bendera merah dan bendera biru,
sekarang dari bendera merah telah aku perintahkan untuk menyerahkannya padaku."
Mendengar kata-kata raja itu Siau Po berkata dalam hati.
"Kitab yang berada di bendera merah itu sudah dicuri oleh orang lain dan sekarang
kitab itu ada padaku."
Kaisar Kong Hie lalu berkata.
"Kiecu dari bendera biru ialah Hu Teng Lian, yang usianya masih muda sekali, Tadi
aku telah minta keterangan darinya, Menurutnya Kiecu, yang dahulu telah mati sewaktu
berperang di In Lam, mulai dari situ segalanya diurus oleh Gauw Sam Kui, Sewaktu
penyerahan, ia hanya menerima bendera kebesaran dan beberapa tail uang perak dan
yang lainnya tak ada lagi."
"Jikalau demikian, kitab tersebut telah ditelan oleh Gauw Sam Kui. Dengan sabar kau
tanyakan, dia sangat cerdik dan licik, kau harus dapat menyamar agar ia tak
mengetahui maksud kedatanganmu....
"Baik, baginda! Hambamu akan bekerja dengan hati-hati dan dengan melihat
kesempatan, agar hamba dapat memancingnya. Yang paling sulit adalah di mana si
moler tua itu menyimpannya...."
"Dan tak diketahui asal usulnya." sambung sang raja, "Aku percaya, dia telah
mempunyai teman dan dengannya ia bekerja sama, Dengan mendapatkan kitab-kitab
itu ia lalu menyelundupkan ke luar istana, Syukurlah katanya kitab-kitab itu harus di
dapat semuanya, jika kurang satu pun itu tak berguna, Maka sekarang asal kita berhasil
mendapatkan kedua kitab dari bendera merah dan biru dan memusnahkannya, itu
artinya segala sesuatunya sudah aman. Bukankah kita tak usah mencari nadi naga itu,
cukup asal orang lain tak mengetahuinya?"
Sebenarnya isi kitab bukan hanya mengetahui nadi naga, tetapi di situ diterangkan
tempat penyimpanan harta besar. Harta itu didapat dari perampok di saat tentara Boan
menyerang Tiongkok asli, Karena harta itu milik Pet Kie, maka rahasianya terdapat
pada delapan bendera itu. Hal ini dilakukan untuk mereka yang akan menguasai harta
itu. Pada jaman itu, setelah wafatnya pendiri kerajaan Boan Cu, para pemimpin bendera
yang terdiri dari para pangeran dan panglima perang besar mempunyai pengaruh
sangat besar, Karena didukung Pek Kie, maka pemerintahan Boan masih tetap
berlanjut dan pada akhirnya, pada masa kerajaan kaisar Kong Hie pengaruh Pek Kie
dapat dikekang dan dirobohkan secara perlahan-Iahan.
Ibu suri pernah mengutarakan pesan dari kaisar Sun Tie katanya, di Kian lee,
Tionggoan, jumlah rakyat Tionghoa adalah bangsa Han, jauh lebih banyak dari bangsa
Boan Cu. Maka jika bangsa Han berontak, pemberontakan itu tak dapat diringkus,
Tentu bangsa Boan Cu harus kembali ke Kwan Gee yaitu MaiHiuna, tempat asalnya,
Maka pada waktu itu Pet Kie akan membongkar harta itu untuk dibagi rata agar mereka
dapat hidup dengan tentram dan damai.
Kaisar Kong Hie kembali dari gunung Ngo Tay san, telah membawa pulang pesan
dari Sun Tie, ayahandanya.
"Di kolong bumi ini segalanya harus berjalan dengan wajar, jangan main paksa dan
paling baik adalah memberikan keberuntungan pada rakyat Dan andaikata bangsa Han
menghendaki kita pergi, maka kita harus pergi ke tempat asal. inilah pesan ayah raja."
Kaisar Kong Hie bercita-cita besar, ia merasa berat pergi kembali ke Mancuria, ia tak
ingin membagi harta itu pada delapan pemimpin bendera, Maka ia berkata.
"Soal itu tak dapat diberitahu pada rakyat Boan karena mereka nanti akan kembali ke
tempat mereka berasal jikalau terjadi orang Han berontak dan di saat genting itu
mereka tak ingin berkelahi "
Jadi maksud kaisar itu untuk mendapatkan kedelapan kitab itu bukannya akan
melindungi nadi naga, atau mengambil harta itu tetapi akan memusnahkan belaka, Dia
menghendaki kerajaan Boan tetap abadi selama-Iamanya, tak sudi mundur secara
terpaksa. Namun sebenarnya ibu suri itu tak mengetahui isi kitab yang mengatakan tersimpan
harta yang sangat banyak itu, melainkan ia hanya orang suruhan dari Sin Liong Kaucu,
karena mereka mengambil aliran naga sakti, ia menyamar sebagai dayang, untuk
mengetahui rahasia istana,.
Tetapi kemudian ia menjadi ibu suri palsu lalu mencari rahasia kedelapan kitab itu
dari mulut ibu suri yang asli, Namun ia tak berhasil mendapatkan keterangan darinya
walaupun yang asli telah mereka siksa.
Siau Po memperhatikan raja yang berjalan bolak-balik lalu ia mengingat sesuatu.
"Sri baginda!" katanya, "Jika moler tua itu telah menjadi pesuruh Gauw Sam Kui,


Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

maka ia yang akan mendapatkan tujuh kitab itu."
Kaisar nampak terperanjat keterangan anak muda itu sangatlah tepat dan benar.
"Panggil Siang Ie Kam!" perintahnya,
Tak lama maka muncullah thay-kam tua. ia lalu berlutut pada raja, Dialah thay-kam
kepala. "Apakah sudah diperiksa dengan jelas?" tanya sang raja.
"Sudah, sri baginda!" sahutnya, "Telah hamba periksa dengan seksama dan terbukti
jubah itu buatan kotaraja."
Raja lalu berkata dengan suara yang sangat pelan.
Mendengar perkataan mereka, Siau Po mengerti halnya raja memanggil orang itu.
Lalu orang itu berkata pada rajanya.
"Namun baju dan celana pria itu buatan Liau-tong, yang biasa terdapat di wilayah
Kimcu." Raja nampak girang. "Kau pergilah!" perintah raja.
Thay-kam itu lalu berlutut dan bergegas pergi.
"Mungkin terkaanmu benar "Kemudian raja berkata pada Siau Po. "Besar
kemungkinan si Ay Tong ada sangkut pautnya dengan Gauw Sam Kui."
"Dalam hal ini hamba tak mengerti." kata Siau Po.
"Gauw Sam Kui pernah memangku jabatan di San Hay Kwan." kata raja. "Dan kota
Kimcu termasuk dalam kekuasaannya, Mungkin sekali Ay Tong Kwa adalah
sebawahannya." Siau Po menjadi sangat girang.
"Benar kalau demikian." katanya, "Sri baginda sangat cerdas dan itu tak akan
meleset." Kaisar Kong Hie berpikir.
"Seandainya si moler tua itu kabur ke propinsi In Lam," katanya kemudian. "Maka
perjalananmu ini ada bahayanya, Karenanya kau harus mengajak lebih banyak Sie Wie
serta tiga ribu serdadu pasukan berkuda dari pasukan tangsi Jiau Kie Eng."
"Baik, Sri baginda!" sahut Siau Po. "Harap baginda jangan membuat khawatir.
Mudah-mudahan hamba berhasil menangkap si moler tua itu, guna menghukum
pancung pada mereka itu, agar penasaran ibu suri dapat terlampiaskan."
Kaisar menepuk-nepuk bahu Siau Po lalu berkata.
"Jikalau kau berhasil dalam tugasmu ini. Hm! Hm! sebenarnya kau masih sangat
muda tetapi jika berhasil kau akan naik pangkat, dan orang yang tua pasti akan
mengangkat jempol pada kita yang masih kecil-kecil ini."
"Memang usia baginda masih sangat muda tetapi baginda sangat cerdik," kata Siau
Po. "Sebenarnya sudah lama mereka itu sudah dibuat takluk, Maka itu jika kita berhasil
melakukan tugas yang besar seperti Gauw Sam Kui pastilah mereka akan lebih tunduk
lagi." "Ah, kau sangat hebat!" katanya, "Kau sangat cerdik sayang kau tidak terpelajar kau
belum pernah sekolah!"
Siau Po pun tertawa. "Sri baginda benar! Sri baginda benar!" katanya.
"Baik!ah jika nanti ada waktu senggang, hamba akan mempelajari ilmu sastra,
walaupun hanya beberapa hari saja...."
Kaisar Kong Hie tersenyum, ia merasa sangat senang berkawan dengan anak ini,
walaupun anak ini berasal dari rumah pelesiran.
Lalu Siau Po berpamitan pada raja, Baru saja Siau Po ke luar dari kamar itu ia sudah
disambut oleh salah seorang Sie Wie.
"Wie Congkoan, yang mulia Kong Jie Ong ingin bertemu denganmu entah congkoan
punya waktu atau tidak?" kata Sie Wie itu.
"Di mana adanya tuan pangeran sekarang?" tanya Siau Po.
"Sekarang ini Ongya sedang berada di dalam kamar Congkoan, ia sedang
menantikanmu!" sahut Sie Wie itu.
"Apakah ia datang seorang diri?" tanya Siau Po.
"Ya, benar katanya ingin mengundang congkoan minum arak sambil menonton
wayang, tetapi ia sangat khawatir sebab baginda telah memanggil congkoan dan
mungkin akan mendapat tugas baru."
Siau Po tertawa. "Ah, bisa sekali kau bicara!" katanya,
Sesampainya di kamar Sie Wie, ia menemukan pangeran itu sedang duduk
termangu, Tetapi setelah melihat kedatangan Siau Po ia lalu mendekati Siau Po dan
merangkulnya. "Saudaraku, sudah lama aku tak bertemu denganmu aku sangat kangen dan
memikirkanmu!" katanya.
Siau Po tersenyum. ia tahu kedatangan orang ini karena hilangnya kitab itu.
"Oh, Ongya!" katanya, "Jika ada sesuatu urusan, perintahkan saja orang untuk
memanggilku itu sudah cukup. Apalagi untuk minum dan memberikan santapan pada
hamba. Mustahil hambamu ini tidak segera datang, sekarang ini Ongya telah memberi
muka padaku sampai-sampai Ongya datang langsung pada hamba."
Kong Jie Ong tersenyum. "Pertunjukan wayang sudah siap," katanya,
"Aku hanya khawatir kau tak dapat menghadiri undanganku, Nah, dapatkah sekarang
juga kau pergi ke tempatku untuk duduk dan omong-omong barang sebentar?"
Siau Po tertawa. "Baik, Ongya!" katanya, "Hambamu sangat berterima kasih, Ongya akan
menghadiahkan pada hamba santapan, Coba jika baginda hendak menugaskan
padaku, meskipun orang tua hamba menutup mata, pasti hamba akan lakukan pergi ke
istana Ongya." Lalu mereka berdua ke luar dari kamar itu dan menaiki kuda untuk pergi ke istana
pangeran itu. Di sana meja perjamuan hanya berdua saja.
Selesai bersantap, Siau Po diajak ke kamar bacanya, Di sana mereka duduk ngobrol,
Pangeran itu sangat memuji Siau Po yang telah mewakilkan rajanya yang mensucikan
diri menjadi pendeta dalam kuil Siau Lim Sie sehingga ia dapat mengumpulkan jasa, ia
pun memuji pada Siau Po yang usianya sangatlah muda, ia sangat cerdas hingga
menjadi komandan muda, dari Gie Cian Sie Wie yaitu pasukan pribadi raja, merangkap
komandan pasukan berkuda istana.
"Maka itu saudaraku, masa depanmu tak akan ada batasnya." puji sang pangeran,
Siau Po malah merendahkan diri.
Tiba-tiba Kong Jin Ong menghela napas,
"Saudara," katanya, "Kita orang-orang sendiri, terhadapmu aku tak dapat
menyembunyikan apa-apa. Saudara tahu sekarang ini kakakmu sedang menghadapi
ancaman bencana besar dan itu tak luput denganku, keluarga, dan juga jiwaku...."
Siau Po mengawasi dengan tajam muka orang itu.
"Ongya, menjadi sanak dekat dengan raja dan raja pun sangat mempercayaimu lalu
ancaman dari manakah itu?" tanya Siau Po.
Kong Jin Ong menghela napas lagi, "Kau tak tahu, saudaraku!" katanya, "DahuIu
setelah kami bangsa Boan Cu memasuki wilayah Toanggoan, oleh raja kami almarhum,
setiap kepala pasukan bendera telah diberi hadiah kitab suci. Kami dari bendera merah,
aku pun mendapatkan kitab itu, Selang beberapa lama, raja memintaku untuk
menyerahkan kitab itu, itu soal biasa tetapi kitab yang kusimpan itu telah lenyap, dan
aku tak mengetahuinya siapa yang telah mencurinya." Siau Po berpura-pura heran.
"Sungguh aneh!" katanya, "Emas perak adalah benda yang biasa dicuri, tetapi kitab
apakah ada harganya" Atau kitab itu terbuat dari emas seluruhnya " Atau kitab itu
bertaburan permata yang harganya sangat besar?"
"ltu sama sekali bukan!" kata si pangeran "ltu hanya kitab biasa saja, Kesalahanku
adalah aku telah lalai menyimpan kitab itu dengan baik, benda pemberian almarhum
raja. Dan itu berarti sangat tidak menghormat Aku khawatir raja akan meminta kitab itu
dan mencari tahu, Maka aku meminta bantuan padamu agar aku dapat lolos dari
bahaya yang ada ini."
Selesai berkata, pangeran itu lalu memberi hormat pada Siau Po.
Melihat hal itu Siau Po menjadi sangat repot sekali untuk membalas hormatnya.
"Ongya terlalu merendah." katanya, "Hambamu dapat mati karenanya."
"Saudara!" katanya, "Jika kau tak dapat menolongku maka pada hari ini aku akan
membunuh diriku." kata sang pangeran tanpa menghiraukan orang yang di depannya
itu. "Agaknya Ongya menganggap persoalan ini sangat hebat, biar nanti hamba yang
menjelaskan pada raja tentang kitab itu, guna memohon keringanan Aku percaya,
paling Ongya akan dipotong gaji atau akan diserahkan pada Ong Jin Hu untuk ditegur
Hambamu percaya perkara ini tidak akan meminta jiwa.,,."
Pangeran itu lalu menggeleng kepala.
"Bagiku," katanya, "Asal jiwaku dapat terlindung, walaupun gelar ku dicopot, itu tak
apa, Aku bersedia menjadi rakyat jelata, Untuk itu kami akan berterima kasih kepada
langit dan bumi, Aku akan merasa puas."
"Benarkah kitab itu demikian pentingnya?" tanya Siau Po yang pandai bermain
sandiwara. "Oh, yah, Aku ingat sekarang, Baru-baru ini ketika di rumah Go Pay, ibu suri
memerintahkan aku untuk mencari kitab-kitab itu. Apakah Ongya kehilangan kitab
tersebut?" Pangeran itu mengangguk "Ya, aku kehilangan kitab itu." sahutnya mengatakan
dengan sebenarnya. "Selama menggeledah rumah itu, Go Pay ibu suri tak menemui apa-apa kecuali kitab
itu, maka kitab itu dianggap bukan barang berharga.... Nah, saudaraku apakah kau
sanggup mendapatkan kitab itu atau tidak?"
"Dapat dicari!" kata Siau Po.
"Go Pay si jahanam telah menyimpan kitabnya di goa dalam tanah, di bawah ubin
tempat tidurnya, hingga untuk mendapatkannya aku harus menguras keringat Apakah
yang aneh dari kitab itu" Mari akan aku ajak ke kuil pendeta Buddha untuk mengambil
kitab itu sebanyak delapan atau sepuluh jilid, Untuk Ongya aturkan pada raja."
Kong Cin Ong menggeleng kepala.
"Kau keliru." katanya, "Kitab itu lain dengan kitab-kitab yang ada di kuil itu."
"Jikalau demikian sukar juga." kata Siau Po yang terus berpura-pura tak mengerti.
"Habis Ongya dalam hal mengapa hamba yang diminta tolong ini!"
"Sebenarnya hal itu tak dapat menyebutnya." sahut pangeran, "Habis, mana dapat
aku menyuruh kau, saudaraku jadi menghina raja,
Siau Po menatap raja muda itu, Dia sangat kasihan dengannya, Siau Po bersedia
menggantikan raja muda itu untuk menerima hukuman dari raja.
Siau Po menyarankan agar raja muda itu memberitahukan pada raja kitab itu telah
dipinjamkan dan kali ini kitab itu hilang, Tetapi raja muda itu tak setuju dengan usul
Siau Po. Karena raja muda itu telah tahu kalau Siau Po itu buta huruf.
Siau Po tetap bersikeras akan membantu raja muda itu, ia akan memotong lehernya
sebagai tanda jika ia setia pada raja muda itu dan untuk membalas budi baiknya.
Raja muda itu lalu memerintahkan pada Siau Po untuk mencuri kitab yang ia
temukan di kamar ibu suri itu, Dia akan memalsukan kitab itu lalu yang palsu tersebut
serahkan pada raja muda yang selanjutnya diserahkan pada baginda raja Kong Hie
dengan demikian ia terbebas dari ancaman raja.
Siau Po lalu bertanya pada pengeran itu.
"Apakah kitab itu dapat dipalsukan hingga tak kentara yang mana yang asli dan yang
mana yang palsu?" tanyanya.
"Dapat, Pasti kitab itu akan dapat dipalsukan dengan sempurna selalu, Setelah
selesai kita menirunya, kitab harus dikembalikan pada pemiliknya, Aku akan menjamin
kitab itu tak kurang suatu apa, guna menjaga keselamatan kita."
Sebenarnya pangeran itu berniat jahat pada Siau Po. Apabila Siau Po berhasil
mencuri kitab itu ia akan menukar kitab yang palsu diberikan pada Siau Po sedangkan
yang asli akan ia serahkan pada raja.
Niat jahat raja itu tidak dapat diketahui oleh Siau Po, ia lalu kembali ke kamarnya,
sesampainya di kamarnya Siau Po mengambil kitab kitab itu yang jumlahnya baru tujuh
buah hanya kurang satu Kekurangan kitab yang hanya satu itu menjadikan kitab-kitab
itu tak berarti apa-apa. Setelah ia pikirkan dengan matang, ia mengambil kesimpulan bahwa ia tak akan
memberikan kitab yang diminta pangeran itu.
Besok pagi nya Siau Po berkata dalam hati, "Kong Cin Ong menjadi pemimpin utama
dari bendera merah, dan kitab yang dimaksud itu tentu kitab yang pinggirannya merah.
Karenanya baik aku berikan kitab yang pinggirannya kuning..."
lalu ia mengambil kitab kuningnya untuk diberikan pada pangeran itu.
Begitu diberitahukan kedatangan Siau Po, Dengan bergegas ia menyambutnya lalu
mengajak bersalaman dan menggenggam erat-erat tangan Siau Po.
"Bagaimana".... Bagaimana"...." Demikianlah pangeran itu bertanya pada Siau Po
dengan berulang-ulang. Siau Po mengernyitkan sepasang alisnya, ia memperhatikan wajah pangeran itu
sangat resah, ia pun menggelengkan kepalanya.
Bukan kepalang terperanjatnya si pangeran.
Dia merasa tertipu hatinya bagaikan tertindih berat sekali.
"Memang urusan sangat suIit.,." katanya.
"Tetapi, walaupun sekarang kita belum berhasil..."
Tidak menanti pangeran itu berbicara habis, Siau Po menyahut dengan perlahan.
"Sebenarnya kitab telah aku dapatkan, namun aku khawatir Dalam tempo sepuluh
hari atau setengah buIan, mungkin kita belum berhasil untuk menirunya...."
Mendengar demikian, pangeran mendadak menjadi girang, karena kitab itu telah
berhasil didapatkannya, ia bangun dan memeluk tubuh Siau Po terus thay-kam itu
diajak masuk kamar tulisnya.
Sesampainya Siau Po di kamar tulis raja, ia lalu mengeluarkan kitab itu dan
memberikannya pada pangeran.
"Benar. Tidak salah lagi maka mulailah kita meniru, Oh ya, aku dapat akal,
bagaimana jika aku pura-pura jatuh dari kuda dan setelah kitab itu selesai barulah aku
menyerahkan kitab itu pada raja, Coba kau pikir akal itu, dapat dipakai atau tidak?"
tanyanya. Siau Po menggelengkan kepala.
"Sri baginda sangat cerdik." katanya. "Akalmu itu tak sempurna bagaimana jika ia
curiga" Kau juga harus memikirkan kitab itu" Apakah cuma pinggirnya kuning" Apakah
tak ada kelainannya?"
"Memang cuma pinggirnya dan semuanya sama." katanya,
"Jikalau demikian coba Ongya ubah pinggirnya dan serahkan pada baginda!" kata
Siau Po. Pangeran itu berpikir Benar juga pendapat Siau Po, tetapi jika hal ini sampai
ketahuan raja maka bukan saja pangeran yang kena tetapi juga Siau Po.
Hati pangeran itu sangatlah risau memikirkan hal itu. Siau Po kembali ke istana dan
mengambil empat kitabnya terus pergi mencari Ay Cun Cia dan Liok Ko Han.
"Liok San Seng, cepat kau pergi dan serahkan keempat kitab ini pada Kaucu dan Hu
Jin dan katakan padanya bahwa aku telah berhasil mendapatkan kitab ini dan untuk
yang empatnya lagi aku sudah mendapatkan keterangan dan salah satu yang
mengetahui Gauw Sam Kui. Dan katakan padanya kalau aku akan setia, Dan aku
sekarang akan pergi ke propinsi In Lam dan akan mengajak kalian!"
Kedua orang tersebut diam saja dan menurut apa yang dikatakan Siau Po, dan Ay
Cun Cia berkata. "Saudara Liok, Pek Liong Sie, telah membuat jasa besar. Dengan demikian kita ada
manfaatnya dan bukankah Kaucu telah memberikan obat pemusnah racun padamu"
Maka kita harus cepat menyuruh orang pergi membawanya."
Liok Ko Han memberikan obat itu pada Siau Po lalu mereka berdua meminumnya
sehingga melayani atasannya yaitu Siau Po.
Siau Po tertawa. "Bagus.... Bagus.,.!" pujinya, "Kau begitu setia dan baik terhadapku Maka untuk itu
tak mungkin aku dapat melupakan kebaikkanmu."
"Semoga Pek Liong Su mendapat rejeki dan usianya sama dengan gunung selatan!"
kata mereka. Tak lama, sekembalinya Siau Po ia lalu dihampiri seorang thay-kam.
Thay-kam itu membawa keputusan raja yang menghadiahkan padanya Cu Ciak
tingkat satu, serta diangkatnya menjadi wakil dari raja untuk menghadiri pernikahan
putri raja dengan anak Gauw Sam Kui.
Gauw Sam Kui adalah seorang bangsawan yang menguasai propinsi In Lam dan ia
menjadi raja muda di sana, Anaknya yang akan menikah dengan putri itu mendapat
gelar Ceng Kie Niesaphoan tingkat tiga dengan tambahan wali putra mahkota.
Dalam hati Siau Po berkata putera Gauw Sam Kui telah diberi gelar yang sangat
tinggi itu semata-mata agar Gauw Sam Kui menganggap kaisar baik hati tetapi setelah
itu barulah kepalanya dipenggal.
Memikir demikian ia menjadi puas. ia lalu menjenguk raja untuk mengucapkan katakata
terima kasih dan ia berkata.
"Kali ini hambamu akan pergi ke In Lam untuk menjalankan tugas jika baginda
mempunyai pikiran yang baik sudilah Baginda memberitahukan pada hamba!"
Kaisar itu tertawa dan berkata. "Siau Kuicu tak terpelajar maka itu biarlah rahasia itu
ada pada kantungnya! Lagi pula rahasia itu tak dapat dibuka juga kepadamu!"
Ketika sedang berbincang-bincang, datanglah pengawal yang mengatakan bahwa
adik raja minta diri untuk menghadap, Baru saja pengawal itu berlalu putri sudah
muncul. Kedatangan putri kali ini sangatlah mengejutkan hati raja karena ia meminta agar raja
mau menarik keputusannya itu.
"Tidak... tidak! Aku tak mau menikah ke In Lam. Kakak raja, tolonglah aku, tarik
pulang keputusan itu!" ratapnya.


Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau seorang anak wanita dewasa, sudah selayaknya ia dinikahkan atau
mengawinkannya dan untuk keputusanku itu tak mungkin dapat ditarik kembali!" jawab
sang raja. "Benar.,., Benar!" sahut Siau Po.
"Pemuda calon tuan putri itu sudah kesohor ketampanannya. Dan baru-baru ini
ketika ia datang ke kotaraja ada beberapa wanita yang pada berkelahi karenanya itu!"
sahut Siau Po. Kian Leng kongcu melongo.
"Kenapa mesti terjadi hal yang demikian?" tanyanya.
"Putra Peng See Ong itu terkenal karena gantengnya!" kata Siau Po yang
mengetahui maksud hati raja.
"Maka itu sewaktu ia datang ke kotaraja banyak nona-nona yang ingin meIihatnya.
Mereka berdesak-desakan dan berkelahi satu dengan lainnya yang akhirnya ada di
antara mereka ada yang mati!" katanya.
Putri itu dari menangis menjadi tertawa.
"Kau mendustaiku!" katanya, "Tak mungkin terjadi peristiwa semacam itu!"
Siau Po tidak menjawab pertanyaan itu, ia hanya mengawasi tuan putri itu.
"Tuan Putri!" katanya, "Dapatkah Tuan Putri menerka hamba ditugaskan ke In Lam"
Bahkan hambamu juga dipesan untuk membawa banyak Sie Wie untuk melindungi
Tuan Putri?" tanyanya.
"Itu dikarenakan raja sangat menyayangi aku!" kata putri.
"Benar, Tuan Putri! ini juga menandakan bahwa Baginda sangat cerdas dan ia
berpikir ke depan! Coba pikir pemuda itu adalah orang yang terganteng di sana dan
Tuan Putri akan menjadikan dia suami, Bagaimana hati nona-nona itu. Mereka yang
patah hati biasanya suka melakukan perbuatan yang kurang sopan dan sembrono
maka itu di antara mereka itu pastilah ada yang pandai bermain silat, Untuk itu hamba
di perintahkan raja mengawal Tuan Putri dengan membawa banyak Sie Wie! Dapat
dibayangkan bagaimana sulitnya mencegah nona-nona yang sedang patah hati itu!"
katanya. Kian Leng kongcu tertawa..
"Ah, kau bisa saja, Kau pandai sekali berbicara tidak karuan arahnya!" tukas si putri
itu. Ketika tertawa putri raja itu tampak semakin cantik dan manis.
Kemudian Kian Leng berpaling pada raja dan berkata.
"Kakak raja, setelah aku menikah nanti biarlah ia tinggal bersamaku di sana untuk
teman ngobrolku, jika kakak raja tak mengabulkannya aku tak ingin berangkat ke sana."
Kaisar Kong Hie tertawa. "Baik... baiklah!" katanya, "Biarlah untuk beberapa waktu ia akan tinggal di sana
sampai kau merasa kerasan tinggal di sana!"
"Aku menghendaki ia tinggal bersamaku!" kata si putri, "Aku sangat tidak setuju
mendengarkan kata-kata itu."
"Mana mungkin!" katanya dengan cepat.
"Bagaimana kalau Gauw Eng Him bosan melihatku" Bukankah ia dapat membacok
batang leherku" jikalau sampai terjadi hal yang demikian maka tak mungkin hamba
dapat kembali ke mari!"
Kiang Leng mencibirkan bibirnya.
"Hm, tak mungkin ia berani demikian!" katanya sedang yang dituju yaitu calon
suaminya. Siau Po lalu berdiam dan tak lama kemudian ia lalu berpamitan pada raja,
sesampainya di luar Siau Po disambut oleh beberapa Sie Wie yang sangat girangnya
sebab yang diutus adalah Siau Po.
Bukan hanya Sie Wie tetapi juga thay-kam. Sie Wie itu mengharapkan dapat ikut
bersamanya, Mereka dapat melihat Gauw Sam Kui, kota yang mirip negara dan banyak
hartanya, Dengan demikian mereka jadi mendapatkan hasil banyak pergi ke sana.
"Saudaraku, kitab sudah ku berikan pada raja dan ia sangat memujiku!" kata sang
pangeran yang meniru kitab itu.
"Bagus itu!" ujar Siau Po.
Raja muda itu menjabat tangan Siau Po, lalu ditarik dan diajak ke luar istana, ia tak
membawa ke istananya tetapi ke arah timur di mana terdapat gedung yang sangat
megah. "Saudaraku, kau lihat bagaimana gedung ini!" katanya.
Siau Po mengawasi dengan kagum.
"Bagus dan megah!" ujar Siau Po.
Kemudian Siau Po diajaknya untuk masuk. Ternyata di dalam ruangan sudah
terdapat banyak orang, Merekalah para pembesar istana.
"Hari ini kita memberikan kata selamat pada Wie Tayjin karena telah naik pangkat
seharusnya ia mengambil tempat duduk pada meja istimewa yang dihormati Akan tetapi
karena gedung ini akan dilimpahkan kepada nya, maka, baiklah mari kita persilahkan ia
duduk selaku tuan rumah dan bukan tamu yang terhormat!" kata Kong Cin Ong.
Bagian 54 Siau Po heran mendengar ucapan yang terakhir tadi.
"Persahabatan kita lain dari pada yang lain, Dan diantara kita tak ada perbedaan!"
katanya! "Mari.... Mari, semuanya minum siapa yang tidak minum maka sampai sinting tak
akan dapat pulang kembali ke rumahnya masing-masing!"
Pesta benar-benar berjalan dengan sangat meriah
Siau Po berpikir dan berkata dalam hatinya, "Jika saja tempat ini aku jadikan sebagai
tempat pelesiran, tentu aku akan mendapatkan uang yang sangat banyak!"
Besok paginya Siau Po menemui Kui Lan untuk memberitahukan padanya, bahwa ia
akan pergi ke propinsi In Lam untuk melaksanakan tugas dari raja. Yaitu menikahkan
putri raja pada putra Gauw Sam Kui, Peng See Ong atau raja muda.
Siau Po sangat girang karena ia ditemani langsung olehnya dan ditambah lagi
dengan turutnya A Ko pada perjalanan itu.
Sebelurn berangkat Siau Po mampir pada gurunya dan melaporkan tugas itu.
"Raja demikian menghormatinya, dan hal itu hanya bersifat sementara, Hal itu yang
membuat kita menjadi sulit untuk menangkapnya, maka kita harus mencari-cari alasan
agar ia mau melakukan perlawanan pada kita dan membuat huru-hara, Sebab jika tidak,
maka kita yang akan dicurigai mereka. Dan karena Ji kongcu telah diculik maka aku
harus menolongnya, Karena itu aku tak dapat ikut serta dengan kalian, Jika kalian
memerluka bantuan, bawalah serta saudara-saudara seperguruannya.
"Suhu! Bukankah orang yang akan kau tolong itu orang jahat" Menurutku lebih baik
suhu tak usah menolongnya, karena aku khawatir nanti setelah kita menolongnya ia
akan mendatangkan bencana bagi kita!"
Tan Kiu Lan menghela napas panjang.
"Kau benar," katanya. "Akan tetapi Kok Seng Ya dan Ongya sangat baik sekali, Maka
untuk membalas budi mereka, meskipun harus mati tak mungkin aku dapat
membalasnya, sedangkan yang akan aku tolong adalah anak yang paling ia sayang!"
"She Liong sangat menjemukan! Bagaimana jika aku mengatakannya pada raja
untuk memenggal kepalanya?" tanya Siau Po.
Kiu Lan bangkit berdiri. "Janganlah kau berbuat demikian, Kalau kita melakukan hal
yang demikian maka itu bukanlah tindakan orang gagah!" kata gurunya.
"Baiklah kalau itu sudah menjadi keputusan suhu, aku pun tak akan membawa
saudara-saudara kami ikut denganku!" katanya.
Kiu Lan lalu menepuk bahu muridnya itu.
"Mengenai Gauw Sam Kui adalah hal yang sangat penting, maka itu kau harus
memusatkan pikiran dan juga tenagamu, Nanti setelah aku berhasil menolongnya, aku
akan menyusulmu ke sana, Aku tak menginginkan ia yang mendahului kita." kata
gurunya. Siau Po mengangguk. "Coba kau buka mulutmu?" kata gurunya.
"Racun dalam tubuhmu belum juga lenyap!"
Selang beberapa hari Siau Po mempersiapkan hal yang akan dibawanya menuju ke
In Lam. Setelah mohon diri pada raja dan ibu suri ia lalu berangkat beserta A Ko yang meniru
sebagai dayang, dan kawan-kawannya yang meniru sebagai para pengikut Siau Po.
Demikianlah perjalanan menuju ke In Lam.
Seperti biasanya tuan putri selalu memanggil Siau Po untuk teman bicaranya, Setiap
kali Siau Po dipanggil ia selalu membawa temannya sebagai pengawalnya.
Hal itu sering dilakukan Siau Po sewaktu mereka dalam perjalanan sampai sekarang
telah tiba di In Lam. Kali ini Siau Po dipanggil dengan tuan putrinya dan ia pun tak lupa membawa
kawankawannya itu. Tetapi kali ini tuan putri memanggil dan ia menggunakan pakaian yang
sangat tipis, Siau Po terus mengawasinya.
"Siau Po apakah kau merasa gerah?" tanya pengawalnya.
"Tidak!" jawabnya.
"Tetapi mengapa dahimu berkeringat?" tanyanya lagi.
Siau Po lalu mengusap dahinya yang berkeringat itu dengan ujung bajunya sampai
kering. Siau Po lalu diberi minum oleh tuan putrinya, Tetapi setelah mereka meminum arak
pemberian tuan putri itu kepala mereka menjadi sangat pusing dan satu persatu terjatuh
pingsan. Setelah beberapa waktu lamanya pingsan Siau Po tersadar Siau Po lalu mengawasi
isi kamar itu. Ternyata mereka hanya berdua saja dan yang lebih mengagetkannya yaitu
Siau Po berada dalam keadaan telanjang bulat.
"Mana kedua kawanku itu" Dan mengapa kau berbuat seperti ini apa yang kau
inginkan?" tanya Siau Po.
"Aku sebel dengan mereka itu! Para pengikutmu tadi sudah aku perintahkan untuk
memenggal mereka berdua!" kata tuan putri.
"Apakah sari buah tadi telah kau campur dengan obat bius?" tanya Siau Po.
Kian Leng kongcu tertawa, "Kau sungguh cerdik tapi sayang kau sudah terlambat."
kata tuan putrinya. "Dan pasti obat itu kau dapat dari para Sie Wie itu?" tanyanya.
Kembali Kian Leng tertawa.
"Segala sesuatu dapat kau ketahui, tapi kau tak mengetahui sari buah tadi ada obat
biusnya atau tidak." kata putri itu.
"Aku memang mengetahuinya, dan sekarang kau bebas melakukan apa yang akan
kau lakukan pada diriku ini. Bukankah kaki dan tanganku sudah kau ikat?" katanya.
Kian Leng kembali tertawa.
"Jika kau membuka mulut kau akan rasakan pisau belatimu ini!" ancam tuan putri itu.
Siau Po berpikir, tahu kalau tuan putrinya itu sangat takut pada setan atau pun
sejenisnya, Maka setelah ia mengetahui kelemahan lawan, ia berusaha
mempengaruhinya dengan cerita-cerita yang menakutkan itu.
"Jika hal itu sampai terjadi maka aku bukan lagi sebagai thay-kam hidup atau thaykam
mati, melainkan akan menjadi iblis yang sangat jahat dan aku akan menggodamu
selama-lamanya." "Kau akan menakut-nakuti aku, yah?" kata si putri.
Siau Po lalu didupak beberapa kali dan itu membuat Siau Po menjadi ingin
membuang hajat. "Aku paling suka rnencambuk orang." katanya dan lalu mengambil cambuk yang
terdapat di bawah kasur. Tubuh yang tanpa sehelai benang pun dicambuk beberapa kali dan akhirnya bekas
cambukan itu mengeluarkan darah segar.
Melihat hal itu tuan putri malah tertawa dengan senangnya dan ia mengusap-usap
luka yang terdapat pada tubuh Siau Po.
"Bukankah kau yang mengusulkan agar aku menikah dengan orang yang belum aku
kenal itu?" tanyanya.
"Bukan.,., Bukan aku, itu perintah raja." jawabnya.
"Tapi mengapa aku harus menikah dengan dia dan biasanya ibu suri sangat
menyayangi aku tetapi sewaktu aku hendak pamitan ia nampak acuh saja padaku?"
tanyanya. Setelah berkata demikian tuan putri itu mendekap mukanya dengan telapak
tangannya dan menangis. Hanya sebentar tuan putri itu menangis lalu kembali marah dan mendupak beberapa
kali pada Siau Po. Siau Po menahan rasa nyeri.
"Kongcu, kau tak ingin menikah dengannya mengapa kau tak mengatakan padaku"
Aku sudah mempunyai jalan yang terbaik untuk kita." kata Siau Po.
Kian Leng lalu menghentikan tendangannya, ia pun memasang telinganya untuk
mendengarkannya. "Kau akan mendustaiku" Lalu apa yang akan kau katakan?" tanya tuan putri itu.
"Memang tak ada yang dapat merubah keputusan raja tetapi kita dapat
melakukannya dengan tidak menentang keputusan itu." katanya.
"Lalu bagaimana caranya?" tanya tuan putri.
"Di sana ada orang yang sangat disegani dan raja sendiri tak dapat melakukan apaapa
kita butuh seseorang." katanya.
"Siapa orang itu?" tanya tuan putri.
"Dialah Giam Lo Ong, Nanti dia yang kita gunakan tenaganya untuk membekuk calon
suami putri dan nanti ia tak akan dapat menikah dengan tuan putri. Dengan demikian
kita tak melakukan pelanggaran pada keputusan raja." kata Siau Po.
Kian Leng tetap menatap wajah orang yang menjadi tahanan, ia heran dan berpikir.
"Kau mengajari aku membunuh suamiku?" tanyanya.
"Tidak, Bukan kita yang membunuhnya!" kata Siau Po.
Mendengar hal demikian tuan putri jadi marah dan ia memulai mencambuk tubuh
Siau Po yang sudah bermandikan darah itu lagi.
"Apakah kau merasa nyeri" Jika kau merasa nyeri aku semakin senang sekali."
Sambil berkata tangannya terus saja mencambuk tubuh Siau Po.
Kemudian tuan putri itu hendak membakarnya dengan terlebih dahulu ia menyiram
tubuh itu dengan minyak. Berpikir demikian, tuan putri itu pergi mencari minyak.
Siau Po berpikir bagaimana caranya dapat membebaskan diri dari tuan putrinya itu.
Tak lama terdengar suara yang berasal dari luar kamar tuan putri Siau Po mengenali
betul suara itu suara gurunya.
Siau Po sangat girang sekali kedatangan gurunya sangatlah tepat, Maka ia laju
mengatakan apa yang terjadi pada dirinya. Ternyata gurunya itu tak dapat
menolongnya, sebab Siau Po telanjang bulat sedang ia seorang peribadat dan yang
seorang lagi wanita. Belum sempat sang guru menolong muridnya, tiba-tiba terdengar suara tuan putrinya
yang kembali dari mencari minyak.
Tampak tuan putri itu tak membawa minyak tanah atau minyak sayur
Tuan putri itu lalu membakar dada Siau Po yang baunya sampai ke luar kamar Hal itu
membuat sang guru menjadi tak tahan lalu dengan cepat ia membuka pintu kamar itu
dan menyambar tubuh Siau Po.
"Lekas tolong Siau Po!" perintahnya pada nona A Ko.
A Ko bukannya menolongnya melainkan malah menyerang tuan putri dan
membuatnya tak berdaya. Menyaksikan hal itu tuan putri lalu mendamprat dengan kasarnya pada A Ko.
"Kau sendiri yang jahat masih mau ngomeli orang!" kata A Ko yang sedang dongkol
itu. Setelah mendamprat tuan putri, A Ko menangis. Hal itu yang membuat tuan putri
menjadi heran. Tak lama A Ko menangis, ia lalu mengambil pisau belati untuk membuka tambang
yang mengikat tangan Siau Po. ia lalu memberikan pisau itu padanya lalu meninggalkan
kamar itu. Para dayang sebenarnya telah mendengar suara ribut-ribut dalam kamar tuan
putrinya, tetapi karena sebelumnya semua sudah dipesan, maka mereka tak ada yang
berani berbuat yang tidak-tidak.
Setelah tangannya dibuka dari ikatannya Siau Po lalu membuka tutup mulut dan ikat
kakinya, ia mendekati tuan putri yang sedang merasakan sakit karena A Ko berhasil
mematahkan tangannya. Siau Po lalu mengikat tangan tuan putrinya dan menyobek baju wanita itu pada
bagian dadanya, Maka dengan demikian tampaklah buah dada yang montok dan mulus
itu. Saking bengisnya Siau Po lalu membakar dada nona itu.
Kian Leng kongcu menjerit menahan rasa sakit,
"Tak apa, kau pun harus merasakan rasa itu dan juga sari dari kaos kakiku ini." kata
Siau Po yang kemudian menyumbat mulut wanita itu dengan kaos kaki nya.
"Sudah, jangan kau sumbat mulutku aku berjanji tak akan membuka mulut lagi."
katanya. Siau Po tak jadi membakar tuan putrinya, "Kui Pee Lek, jika kau ingin membakar aku
maka bakarlah aku. Dan jika kau ingin mencambuk aku maka cambuklah aku biar
hatimu puas!" kata tuan putri itu.
"Memang aku akan mencambukmu dan membakarmu." jawab Siau Po.
Siau Po lalu menghajar tuan putri itu beberapa kali tetapi yang dihajar bukannya
merintih kesakitan melainkan sebaliknya malah tertawa kegirangan.
"Oh, budak hina! Kau merasa senang,ya?" tanya Siau Po.
"Ya. Akulah si budak hina dan kau hayo hajarlah aku!" kata tuan putri itu sambil
tertawa. "Mana pakaianku?" tanya Siau Po.
"ToIong perbaiki dahulu tulang sikutku, nanti aku akan membantumu mengenakan


Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pakaianmu." kata si putri.
Siau Po berpikir dan berkata dalam hati, "Aku harus menghajar dia agar mau
menunjukkan tempat pakaianku."
Tetapi malah sebaliknya tuannya itu malah tertawa.
"Cepat kau perbaiki tulang sikutku atau kau tak mendapatkan bajumu yang kusimpan
itu!" katanya. Terpaksa Siau Po menolongnya, sejak tadi tubuh mereka selalu beradu dan
keduanya tak mengenakan sehelai benang pun.
"Duduklah kau yang benar agar aku dapat menolongmu!" katanya.
"Lagakmu seperti lagak istriku saja!" kata Siau Po.
"Aku justru ingin kau anggap sebagai istrimu." katanya.
Setelah berkata demikian tuan putri merangkul tubuh Siau Po dengan eratnya dan
menciumnya. Tak lama kemudian tiba-tiba terdengar suara yang berasal dari luar kamar.
"Siau Po kau berada di dalamkah?" tanya A Ko.
"Ya.... Ya," sahut Siau Po.
"Sedang apakah kau?" tanya A Ko.
"Tidak, aku tidak berbuat apa-apa." jawab Siau Po.
"Siapa dia?" tanya tuan putri,
"Dialah istriku." jawab Siau Po. "Cepat kau suruh dia pergi bukankah aku ini istrimu?"
kata tuan putri, Mendengar ucapan itu A Ko cepat pergi, Dengan sakit hatinya karena mendengar
kata-kata putri itu. "Sucie.... Sucie!" panggil Siau Po berulang-ulang,
Tetapi A ko tetap saja pergi meninggalkan Siau Po.
Tidak ada jawaban dari A Ko.
Maka pada pagi harinya rombongan melanjutkan perjalanan ke propinsi In Lam.
Pada suatu hari mereka tiba juga di tempat tujuan, Belum lagi mereka memasuki batas
propinsi di sana sudah berada pasukan penyambut yang dikirim Gauw Sam Kui.
Pasukan itu berada di bawah pasukan pimpinan Ma Po. ia berpangkat brigadir jenderal
Siau Po pernah bertemu dengannya di kuil Siau Lim Sie.
Ketika itu Kian Leng bergaul dengan rapat dengan Siau Po mendengar Eng Him
yang menyambut kedatangannya. Maka tuan putri itu kumat tabiat aslinya.
Kian Leng menatap kekasihnya itu, ia mendongkol melihat Siau Po berdiam saja. ia
menegur dengan suara keras.
"Kenapa kau bungkam?" Bukankah kau yang mengatakan mulanya?" Pikiran itu toh
bukan ke luar dari hati mulutku untuk membunuh calon suamiku."
"Memang ia harus dibinasakan, akan tetapi kita harus menanti kesempatan yang
baik," kata Siau Po.
Mendengar kata-kata keras itu Siau Po menjadi gusar, Tangannya menampar telinga
putri sambil membentak. Yang dibentak malah tertawa.
Siau Po terdiam. Pada suatu hari mereka datang ke ibukota propinsi In Lam. Atas laporan yang
diberikan pada Siau Po, Peng See Ong datang menyambut tuan putri, ia menyambut
dengan beberapa tentara yang seragamnya sangat bagus.
Menyusul terdengar suara musik dan beberapa pasukan yang menggunakan
seragam merah, Siau Po mengawasi panglima perang itu sambit berdiri, Di sisi kereta,
ia lalu menyuruh seseorang untuk memberitahukan pada Gauw Sam Kui agar tidak
menggunakan adat yang berlebihan Gauw Sam Kui tertawa.
Tak tama rombongan itu telah sampai di In Lam. sambutan yang diberikan sangatlah
memuaskan hati rombongan Siau Po.
Keesokan harinya Siau Po diundang untuk memeriksa pasukan perang yang
dipimpin oleh Gauw Sam Kui dan puteranya.
Selesai Gauw Sam Kui memeriksa pasukan, Siau Po memberikan firman raja dan
meminta agar dibaca di depan umum.
Selesai membacakan firman raja itu, Gauw Sam Kui mengundang Siau Po untuk
minum arak, Pada saat itulah Siau Po menanyakan tentang Yo Ek Jie.
Gauw Sam Kui menjawab, kalau Yo Ek Jie sedang ditugaskan ke Tibet untuk
menyelesaikan suatu masalah.
Siau Po tidak percaya begitu saja, ia mengutus anak buahnya untuk mencari tahu di
mana sebenarnya Yo Ek Jie itu, Tak lama kemudian datanglah utusan itu dengan
membawa kabar bahwa Yo Ek Jie sekarang sedang dalam tahanan.
Mendengar keterangan itu Siau Po membagi tugas pada para bawahan untuk
menolong Yo Ek Jie dan ia mengundang anak Gauw Sam Kui untuk ditahan dan
dijadikan sandera. Tak lama kemudian para utusan yang menangani masalah itu telah kembali dengan
hasil yang baik. "Bagus.,, bagus...!" katanya, "Apakah kau telah berhasil membebaskan Yo Ek Jie
dan menawan anak Gauw Sam Kui itu untuk dijadikan sandera agar Gauw Sam Kui tak
dapat sembrono terhadapnya!"
Segera mereka menganggukkan kepala.
Setelah itu Siau Po memeriksa Yo Ek Jie yang seperti orang yang kurang sehat itu.
Siau Po sangat kaget karena Ek Jie telah kehilangan tangan dan kakinya hingga
tinggal tubuh dan kepalanya.
"Lidahnya telah dipotong dan matanya juga sudah dicongkel keluar!" Cen Tian Coan
memberikan laporannya. Usia Wie Siau Po masih sangat muda, namun pengalamannya sangat luas, setelah
melihat keadaan Ek Jie yang tidak memiliki tangan dan kaki ia menjadi sangat sedih,
karena keduanya sudah saling mengangkat saudara.
Siau Po menangis sejadi-jadinya lalu mengeluarkan pisau belatinya dan berkata
dengan suara nyaring. "Aku hendak mengutungkan kaki dan tangan Gauw Eng Him"
Hong Cie Tiong menarik tangan Siau Po.
"Sabar Hiocu... sabar!" ujarnya. "Kita harus berdamai dahulu."
She Hong mempunyai watak pendiam, tetapi sekali berbicara isi pembicaraannya
sangatlah bagus. Terhadap kawannya yang satu ini Siau Po sangat menghargainya.
"Toako benar," katanya.
Tian Coan telah menyelimuti Ek Jie.
"Kiranya urusan Ek Jie ini ada sangkut pautnya dengan kita." katanya, "Gauw Sam
Kui merasa tak puas Ek Jie telah bergaul denganmu, dan ia menuduh Ek Jie sebagai
orang yang suka membalikkan tangan atau ular berkepala dua."
"Mulai leluhurnya Gauw Sam Kui memang si kura-kura hitam yang mau mampus."
katanya dengan gemas. "Dengan Yo Toako yang bersahabat ia tak pernah berdusta, Dasar dialah si pengecut
dan pendurhaka yang tidak karuan Maka dengan demikian jelaslah sudah tujuan
pemberontakan sebenarnya apa sebabnya mereka memberontak?"
"Hiocu benar, sebaiknya melaporkan hal ini pada raja dan Hiocu yang langsung
menjadi saksinya..." kata Tin Loa Pun.
Siau Po tak menjawab, ia hanya menoleh.
"Toako, bagaimanakah kiranya hingga kau mengetahui halnya Gauw Sam Kui
menyiksanya karena ia bergaul denganku ?" tanya nya.
Ia tidak langsung menjawab pertanyaan Siau Po tetapi malah pergi ke luar, dan
kembali dengan membawa orang yang langsung dijatuhkan.
"Wi Hiocu, orang ini yang nama besarnya sering kita dengar Dia itu Yo It Hong," kata
orang She Jie itu. "Ah, rupanya kau, dulu di kotaraja kau bertindak sangat bebas sekali, Dulu kaupun
pernah ditendang oleh Gauw Eng Him dan mengapa sekarang berada di sini?" tanya
Siau Po. "ltu yang dikatakan musuh saling bertemu dalam tempat yang sempit," kata Cie Thian
Coan. "Jahanam itu justru sipir penjara besar Hek Kam Cu itu, Biar wajahnya berubah
menjadi abu, aku pasti dapat mengenalnya, Ketika kami menjadi pengikut Gauw Sam
Kui. ia mendatangi penjara yang lantas mempertontonkan lagak tengiknya, ia lalu
meminta tulisan tangan Peng See Ong, si celaka itu."
Siau Po mengangguk, "Ya, sungguh sangat kebetulan kita telah bertemu dengan makhluk ini. Dengan
demikian kita dapat lebih mudah menolong orang," katanya.
"Dia ini yang memberitahukan pada Gauw Sam Kui, Dia menganggap masalah ini
rahasia," katanya. Siau Po menendang orang yang berada di depannya itu. Maka tak
ayal lagi gigi orang yang ditendangnya itu copot, dan ia lalu berkata.
"Sekarang aku akan kembali ke Gauw Eng Him untuk menunggunya, Saudara
semua silakan memeriksa, jika ia memang tak mau bicara maka potong saja kedua
tangan dan kakinya itu."
"Aku.... Aku mau bicara," katanya dengan mulut yang masih bercucuran darah.
Orang itu cepat-cepat menjawab setiap pertanyaan karena takut kalau ia melakukan
hal yang serupa dengan yang terjadi pada Yo Ek Jie, yang terpotong tangan dan
kakinya ditambah lagi dengan mata dan lidahnya juga dicelakai.
Siau Po tidak langsung pergi, ia terlebih dahulu menghampiri Yo Ek Jie. "Toako...!"
panggilnya. Orang yang dipanggil itu lalu bergerak ingin bangun tetapi jatuh kembali Melihat hal
demikian Siau Po dan kawan-kawannya sangat terharu, ia menjadi benci pada Gauw
Sam Kui dan juga anaknya.
Siau Po mengusap air matanya, lalu pergi ke luar dan menuju pendopo besar itu
sambil berkata. "Sungguh sangat menarik hati!" kata Siau Po yang terus berusaha menyenangkan
hatinya. Sesampai mereka di pendopo besar itu, ternyata permainan wayang sudah berhenti
Tetapi begitu melihat tuannya datang, mereka mulai lagi.
"Maaf Sio Ongya, tadi aku dipanggil oleh Tuan putri untuk ditanya tentang lampang,
kegemaran dan sifat Sio Ongya, Kongcu menanya demikian banyak hingga Sio Ongya
menanti dengan lama..." kata Siau Po.
"Tidak.... Tidak apa," kata Eng Hian yang merasa gembira karena calon isterinya
sangat memperhatikannya, Selesai pertunjukan wayang, para tamu kembali ke tempat masing-masing, Siau Po
lalu pergi ke tempatnya dan di sana ia tak menemukan siapapun.
"Aneh.,., Apakah yang akan mereka lakukan?" tanya Siau Po dalam hatinya.
Siau Po menunggu sampai larut malam, barulah mereka kembali dengan membawa
tawanan yang lainnya. Mereka tadi berhasil mendapatkan keterangan dari tawanan yang pertama, bahwa
Gauw Sam Kui menyiksa Yo Ek sedemikian rupa sebab Yo Ek disangka bersahabat
dengan Siau Po, untuk sama-sama berkhianat pada raja atau karena putra raja dari
Mongolia. Akhir-akhir ini orang Mongolia erat hubungannya dengan orang She Gauw.
Tak putus-putusnya mereka masing-masing mengirim bingkisan. Dan akhir-akhir ini
ia telah mengirim utusan ke Bun Beng, untuk beberapa lama, Sewaktu mereka
mengadakan perundingan Yo Ek disangka telah mengetahuinya. Keterangan itu didapat
dari tawanan yang baru saja dapat.
Toan Coan lalu berunding untuk membahas masalah yang baru saja mereka
dapatkan itu, dan pada akhirnya mereka setuju akan terus menyamar sebagai pengawal
pribadi Gauw Sam Kui. Siau Po ternyata kenal dengan Kearltan yang sekarang menjadi tawanan, ia kenal
sewaktu bertemu di kuil Siau Lim Sie. pangeran itu besar kepala dan pernah juga
menyerang Siau Po dengan senjata rahasia Piauw, untunglah saat itu Siau Po
mengenakan pakaian wasiatnya hingga ia tak menemui celaka, Karena itu ia percaya
orang Mongolia yang baru saja ditemuinya itu pun bukan orang baik-baik.
"Coba bawa dia pergi melihat Yo Toako!" kata Siau Po.
Salah seorang anak buah Siau Po lalu membawa mereka pergi. Tiba-tiba terdengar
jeritan, ternyata orang Mongol itu telah melihat keadaan Yo Ek Jie. Setelah itu tawanan
tersebut dibawa kembali dan tampaknya ia sangat ketakutan.
"Kau sudah melihat orang itu?" tanya Siau Po pada tawanan itu.
Tawanan itu lalu mengangguk.
"Ada pertanyaan yang aku ajukan padanya, tetapi sewaktu menjawab ia tidak jujur,
Satu kata tak jujur maka satu kakinya pun hilang, dua kata tak jujur, kedua kakinya pun
hilang, sehingga akhirnya seperti itu," kata Siau Po.
"la telah berdusta tujuh kata," kata anak buah Siau Po.
"Ah, kalau demikian ia sudah terlalu banyak mendustaiku, Untuk itu maka sebaiknya
ia dipotong kaki dan tangannya, bola matanya, lidahnya baru kepalanya," kata Siau Po.
Setelah berkata demikian Siau Po mengambil pisaunya lalu menebas kaki kursi,
Sekali tebas saja kaki kursi itu buntung, Kemudian ia berkata pada tawanan itu.
"Kalau pisauku ini dipakai untuk memotong kaki atau tangan orang, sedikit saja tak
ada darah yang mengotori pisauku ini, Nah, apakah kau ingin merasakan tajamnya
pisauku ini?" tanya Siau Po.
"Pa.... Paduka, apa yang hendak paduka tanyakan pada hamba yang rendah ini, tak
berani hamba berdusta pada paduka barang setengah kata pun," kata Khantema itu,
"Bagus, Peng See Ong menghendaki agar aku menanya kau, yaitu kata-katamu
pada raja itu benar atau dusta belaka" Katakanlah!" katanya.
"Paduka, hamba mana berani berdusta pada raja," katanya.
Siau Po menggelengkan kepala.
"Akan tetapi Ongya tak percaya itu, katanya kau orang MongoI licik dan licin,
katakatamu tak dapat dipegang dan kau paling sering menyangkal kata Siau Po"
Tiba-tiba wajah orang tawanan itu berubah merah karena merasa dongkol dan ia
berkata dengan suara keras.
"Kami anak cucu Jenghiz Khan, jika kami mengatakan satu, maka satu dan satu itu
dua...!" katanya. Siau Po mengangguk. "Tidak salah," katanya, Tiga dikatakan tiga, Empat dikatakan empat...."
Khanlema itu terkejut ia bisa bicara Tionghoa dengan baik, tetapi mengenai pepatah
atau pribahasanya masih sangat terbatas, ia tak tahu kalau Siau Po telah menyindirnya,
Karena itu ia tak mengerti dan diam saja.
Siau Po memperhatikan wajah Khantema.
"Tahukah kau bahwa aku ini orang macam apa?" tanyanya dengan suara keras.
"Hamba tak tahu," jawab orang MongoI itu.
"Nah, cobalah kau terka!"
Khantema melihat bangunan An Hu Wan besar dan megah, Walaupun Siau Po
masih muda, tetapi sudah berpangkat tinggi, Hal itu terbukti dengan pakaian kerajaan
dan topi yang dihiasi dengan batu permata, ia seorang pemimpin pasukan pengawal
raja. "Maaf, hamba mempunyai mata tetapi seperti tak mempunyai bijinya, Kiranya
padukalah putranya Peng See Ong.,." kata orang MongoI itu dengan penuh hormat
pada Siau Po. Siau Po terbengong mendengar kata-kata orang itu, ia heran sekaligus dongkol.
"Apa katamu" Kau kira aku putra si penghianat besar itu" Dengan demikian
bukankah aku nantinya menjadi anak pengkhianat Si kura-kura hitam?" kata Siau Po
sambil tertawa dan berkata lagi.
"Kau benar cerdas luar biasa, tanpa lawan! PantasIah Kaerltan mengutusmu ke mari
dengan tugas begini besar! Memang juga pangeranmu erat hubungannya dengan aku.
pernah aku merundingkan soal ilmu silat yang ia pertontonkan padaku, pangeranmu
sungguh hebat.,." kata Siau Po.
Mendengar perkataan demikian, utusan MongoI itu menjadi sangat girang, hingga ia
memberikan pujian pada Siau Po.
"Kiranya paduka dan pangeran kami bersahabat erat sekali seperti keluarga sendiri!"
katanya kemudian "Apakah pangeranmu baik-baik saja" dan apakah pangeranmu itu masih suka
bergaul dengan lhama dari Tibet?" tanya Siau Po.
"Sekarang ini justru lhama itu sedang menjadi tamu pada istana pangeran kami itu,"
jawabnya. "Apa seorang Nona bernama A Kie dari Tiong-hoa yang biasa memakai pakaian
warna gelap ada dalam istanamu?" tanya Siau Po.
"Oh, kiranya paduka mengetahui semuanya sampai soal Nona itu, Paduka sangat
hebat.,." pujinya. Siau Po pun girang tak menyangka tebakannya itu benar, ia lalu tertawa.
"Pangeranmu itu tak menyembunyikan apa pun juga padaku, A Kie itu menjadi
kenalan baik pangeranmu, sedangkan adik nona itu, A Ko menjadi sahabatku Bukankah
dengan demikian kita bagaikan keluarga?" katanya.
Khantema turut tertawa. "Ayahandaku memerintahkan padaku untuk menanyakan masalah yang kau laporkan
itu benar atau tidak?" tanya Siau Po.
"Sio Ongya, kau dan pangeranku adalah sahabat yang kekal, bagaimana kau dapat
mencurigaiku?" tanya orang Mongol itu.
"Soalnya bukanlah demikian, Ayahanda mengatakan kalau seseorang bicara dusta
maka kata yang pertama dengan yang kedua tidak sama atau paling tidak ada beda
sedikit. Dalam hal ini jika kurang berhati hati maka kita nanti akan rugi, Oleh karena
itu ingin aku mendengarkan satu kata lagi langsung darimu, biar dapat diketahui apakah
ada perbedaannya atau tidak. Dan bukannya aku tak percaya, kita ini baru pertama kali
bertemu maka aku harus berhati-hati, harap kau menjadi maklum," kata Siau Po.
"Ya, memang kalau rahasia bocor, itu sangat berbahaya karena kita akan kehilangan
jiwa. Biasa Peng See Ong memang sangat teliti, ada empat keluarga yang akan
bergerak, dan masing-masing akan mengerahkan angkatan perangnya untuk
merampas negara-negara terdekat Peng See Ong itu sendiri mendapat wilayah


Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tionggoan, dan tiga yang lainnya pasti iri hati," katanya.
Mendengar keterangan tersebut Siau Po menjadi kaget, ternyata bukan hanya satu
tetapi ada empat keluarga yang akan berontak. Siau Po berpikir dan berkata dalam hati,
"Entah siapa mereka yang tiga tersebut" Kalau aku menanyakannya, nanti akan dapat
diketahui bahwa aku tak tahu menahu tentang masalah ini," berpikir demikian ia lalu
berkata. "Tentang masalah itu aku sudah merundingkannya pada pangeranmu, Akan tetapi
belum ada kepastian dari masing-masing dalam pembagian wilayah apabila maksud
kita ini berhasil sebenarnya apa kata rajamu?"
"Pangeranku tak serakah dalam pembagian daerah itu, hanya dalam soal berserikat
dengan negara Losat, agar negara itupun menurunkan tentaranya," kata orang Mongol
itu. Kembali Siau Po terkejut, namun ia sempat menyembunyikan rasa itu dan belum
sempat Siau Po berkata apa pun, orang Mongol itu melanjutkan lagi kata-katanya.
"Baru setelah pangeranku berbicara banyak, kesepakatan itu pun dapat diperoleh.
Tentara Losat itu sangat lihay dalam senjata api. Asal meriam dan senjatanya berbunyi,
tentara Ceng pastilah tak mampu menandinginya.
Negara itu berjanji akan mengirimkan pasukan perangnya, nanti Peng See Ong akan
menjadi kaisar besar di Tiongkok dan Ongya akan menjadi Cin Ong!" kata orang
Mongol itu. Losat atau Rusia adalah negara besar, dahulu tentaranya pernah bertempur dengan
tentara Ceng, namun mereka berhasil dikalahkan. Disamping itu kerugian tentara Ceng
sangat besar. Siau Po tak menyangka kalau Peng See Ong telah berserikat dengan negara Losat,
Maka hal ini sangatlah penting untuk diberitahukan pada raja agar ia mengadakan
persiapan. Orang Mongol itu heran melihat Siau Po terdiam saja.
"Sio Ongya, adakah petunjuk dari Sio Ongya?" tanyanya.
Ditanya demikian Siau Po lalu bangkit berdiri.
"Petunjuk apa dariku?" katanya dengan nada kesal, "Kalau Ongya menjadi raja,
kakakku yang akan menggantikannya lalu aku akan menjadi raja muda, untuk apakah
hal seperti itu?" lanjutnya.
Mendengar kata-kata Siau Po, orang Mongol itu tersadar lalu berkata.
"Pangeranku bersahabat dengan Ongya, maka nanti sepulangnya aku dari sini aku
akan memberitahukan pada pangeran tentang niat Ongya tersebut Nanti setelah usaha
kita berhasil, maka negaraku dan negara Losat ditambah dengan budha dari Tibet akan
mendukung Ongya, apa yang Ongya khawatirkan?" katanya.
"Kiranya empat keluarga yang dimaksud itu adalah MongoIia, Tibet, Losat dan Gauw
Sam Kui," kata Siau Po dalam hati.
"Jika kalian berusaha dengan sungguh-sungguh maka kekuasaan ada dalam
genggamanku, pasti aku akan membalas budi baik itu, tak akan aku dapat
melupakannya," kata Siau Po berdusta.
Berkata demikian lalu Siau Po mengambil uang dari sakunya dan memberikannya
pada orang Mongol itu. "Ambillah uang ini untuk berbelanja dan berpesta pora!" katanya.
Orang Mongol itu sangat girang dengan kemurahan pangeran yang sekarang berada
di depannya itu, ia menerima uang pemberian dari Siau Po yang dikiranya pangeran
anak dari Gauw Sam Kui, yang sedang memperebutkan kedudukan raja dengan
kakaknya. "Apakah kata pengeranmu setelah urusan mereka itu berhasil" Apakah negara dapat
dipecah-pecah menjadi beberapa bagian?" tanya Siau Po.
"Tentu saja dapat, Tionggoan ini bagian keluarga Gauw, bagian selatan masuk
bagian empat serikat Mongolia, See Coan dan Kokonor masuk pada pendeta Tibet dan
kedua serikat bagian barat Cahar Jehol, Suiyuan dan Sengtauw masuk pada kami
Mongolia," katanya. "Oh, wilayah itu luas sekali," kata Siau Po.
Sebenarnya Siau Po tak mengetahui wilayah yang telah disebutkan itu, Tetapi orang
itu telah memberikan gambaran padanya, hingga ia dapat mengira-ngiranya.
Khantema itu tersenyum. "Kami Bangsa MongoIia telah mengeluarkan dana yang cukup banyak untuk
membantu Ongya," katanya.
Siau Po mengangguk "Lalu bagaimana dengan negara Losat itu?" tanyanya.
"Kaisar Losat telah mengatakan bahwa wilayahnya perbatasan dengan wilayah
Ongya, ia berjanji tak akan melintasi perbatasan tersebut. Negara Losat hanya akan
mengambil seluruh wilayah Boancu, tak akan menduduki tanah Tiongkok," jawab
Khantema. "Begitu adil pembagian itu, lalu kapankah kita mulai bergerak menurut rajamu?"
tanya Siau Po. Dalam hal ini Ongyalah yang menentukannya, sedangkan tiga keluarga yang lainnya
hanya menyambut saja," jawab orang Mongol.
"Sekarang kau katakan, bagaimana cara kalian bergerak jika hal itu sudah
ditentukan?" tanya Siau Po.
"Mengenai hal itu janganlah menjadi pikiran, Sewaktu pasukan Ongya bergerak dari
Inlam, tentara kami bergerak dari barat ke timur, Tentara berkuda Losat dan pasukan
senapannya dari utara ke selatan untuk menggencet Pakhia, sedangkan pendeta dari
Tibet akan menyerbu propinsi See Coan, sementara pasukan agama Sin Liong Kau...."
"Oh!" kata Siau Po tertahan tetapi dengan segera menepuk pahanya dengan kedua
tangannya, "Kau pun tahu urusan Sin Liong Kau... apakah ketuanya Hong kaucu?"
tanyanya. "Urusan Sin Liong Kau itu, apakah Ongya telah bicarakan juga dengan Sio Ongya?"
Khantema itu balik bertanya.
Siau Po dengan cepat dapat menguasai dirinya.
"Kenapa tidak?" katanya, "Dengan Hong Kaucu dan Hong Hujin pernah dua kali aku
berbicara lama dengan mereka, bahkan aku telah menemukan Ngo Liong Su, kelima
naga petugasnya, Aku hanya mengira pangeranmu tidak mengetahui tentang kaum
agama itu." Khantema tersenyum. "Ketua kaum agama itu telah menerima anugerah dari Losat, oleh karena itu asal
Losat turun tangan, kaum itu pasti menyambutnya, maka kelak pulau di Tiongkok akan
menjadi tempat kaum agama itu, belum lagi dari propinsi yang lain, singkatnya jika
Ongya berbicara pasti mereka itu pada membantu, Bukankah dengan demikian wilayah
Boancu menjadi milik Ongya?"
Siau Po tertawa lagi. "Bagus, Bagus!" ia berkata dalam hatinya, sebaliknya ia mengeluh "Celaka....
Sungguh ceIaka.... Siapa sangka urusan ini akan menjadi sangat luas."
"Hubungan Ongya dengan pangeran kami sangatlah erat, begitu juga dengan hamba
Ongya yang sangat baik, Maka bila Ongya memiliki masalah, biar hamba yang
menyelesaikannya, walaupun tubuh hamba hancur, tak mungkin hamba dapat menoIaknya,"
kata orang Mongol itu. "Sebenarnya aku sedang memikir, jika kalian berpencar satu dengan yang lainnya
maka tugasku sangatlah berat,.," kata Siau Po yang telah dapat menguasai dirinya.
"Oh, kiranya kau mengkhawatirkan masalah itu! Kekhawatiranmu itu beralasan juga,"
katanya dalam hati. Karena berpikir demikian, maka ia pun berkata.
"Sio Ongya jika nanti Ongya berhasil memimpin negeri, segala Keng Ceng Tiong,
Shiang Ko Hie, dan Kong Su Ceng, mereka dapat disingkirkan satu demi satu.
Andaikata Ongya membutuhkan bantuan, kami akan membantu Ongya semampu
kami," katanya. "Terimakasih! Kau harus menyampaikan kata terimakasihku pada pangeranmu!
kaulah orang kepercayaannya, maka janji yang kau berikan sama dengan janji
pangeranmu," kata Siau Po.
Selesai bertanya Siau Po berkata.
"Sekarang beristirahatlah kau di sini! Aku hendak pergi untuk memberikan laporan
pada ayahandaku, Kau awas jangan sampai pembicaraan kita ini diketahui oleh
kakakku dan juga ayahku! Dia nanti akan marah dan akan menghukum kau dan juga
mengenai pertemuan kita!" ancam Siau Po.
Selesai berkata demikian Siau Po pergi ke luar hendak menemui sahabatnya,
Sebelum berangkat, ia menitip pesan pada anak buahnya agar menjaga orang Mongol
itu dengan baik, Kemudian ia menjenguk Yo Ek Jie. Sesampat mereka di sana, Siau Po
terkejut sekali melihat tubuh Yo Ek yang tanpa tangan dan kaki itu sudah tak bernyawa
lagi. Dan pada kasur tempat tidur Yo Ek itu tertulis kata-kata.
"Apakah bunyi semua hurup ini?" tanya Siau Po yang buta huruf.
"Tujuh huruf itu berbunyi, Gauw Sam Kui memberontak dengan menjual negara,"
kata Ma Can Ciauw. Siau Po menarik napas panjang.
"Kasihan kau Yo Toako!" katanya sedih. "Di saat kematiannya ia masih dapat
menulis dengan tangan buntungnya."
Segera setelah itu, Siau Po mengumpulkan kawan-kawannya untuk membicarakan
keterangan yang didapat dari orang Mongol itu. Mereka semua mengecam tindakan
Gauw Sam Kui yang berupa pengkhianatannya yang kedua.
"Saudara-saudara lihat!" kata Hian Ceng Ti Jin dengan nada suara kesal, sambil
membuka bajunya. Mereka kaget melihat bekas luka pada dada dan tangan orang itu dan dalam hati
mereka bertanyatanya bekas luka apakah itu.
"lnilah bekas luka dari senjata apinya Losat," kata Hian Ceng Tojin.
"Kami semua berjumlah sembilan, Saudaraku, ayahku, kakak dan adikku, semuanya
telah mati, tinggal aku yang hidup."
"Sekarang bangsa Losat bersatu dengan Gauw Sam Kui untuk merampas negara
Tatcu, ini ada baiknya, Kita menonton saja, mereka yang bertempur hingga terlihat
seperti langit roboh dan bumi meledak. Pada saat itu kita mengambil kesempatan untuk
membangun kembali kerajaan Beng kita," kata Cie Tian Coang.
"Tetapi kita harus waspada, sebab Bangsa Losat itu sangat kejam dan licik,
kemungkinan mereka tak puas dengan wilayah jajahannya dan bisa saja menyerang
kita," kata Hian Ceng.
"Habis apakah kita harus membantu bangsa Boancu?" tanya Cie Tian Coan.
"Sekarang kita tak usah cepat-cepat mengambil keputusan tentang usaha
pemberontakan itu, kita lebih baik membicarakan urusan yang ada di depan mata. Kita
telah membebaskan Yo Ek dan menawan orang Mongol itu dan usaha kita ini sudah
dapat dicium oleh Gauw Sam Kui. sekarang kalian pikirkan bagaimana cara kita
menghadapi raja muda yang akan berkhianat itu," kata Siau Po.
Mendengar pertanyaan Siau Po memang sangatlah tepat Mereka semua terdiam
berpikir keras. "Si kura-kura hitam dan Gauw Sam Kui banyak mempunyai perwira, Jika kita akan
pergi tak lama kita akan tertangkap, jika hendak melawan sekarang bukanlah saatnya,
Maka aku pikir sebaiknya kita bawa mayat Yo Ek Jie dan Yo It Hong kembali ke Hek
Kamcu..." kata Siau Po.
"Mengantarkan mereka kembali?" demikian pertanyaan mereka semua.
"Benar, untuk kita menggertak Yo It Hong itu agar tak membuka mulut Jika nanti ia
membuka mulut ia sendiri juga tidak lolos dari kecurigaan, dia akan bersangkut paut,
Karena Yo Toako telah mati, kita merasa sulit merawat mayatnya," kata Siau Po.
"Aku sangsi pada keteranganmu, apakah ia akan diam sementara urusan begini
besar?" kata Hian Ceng.
Siau Po tertawa. "Aku justru bukan mengkhawatirkan keberaniannya, tetapi ketololannya dan tak
bergunaannya, Dalam pepatah mengatakan, mendustakan itu ke atas bukan ke bawah
terserah keadaan mau bagaimana, sekarang sebaiknya kau bawa pembesar itu padaku
biar aku yang membuatnya sadar," kata Siau Po.
Selesai Siau Po berkata demikian salah seorang kawan Siau Po pergi untuk
mengambil tawanan itu, dan tak lama kemudian mereka datang kembali dengan
membawa tawanan yang dimaksud itu. Wajah tawanan itu pucat pasi karena ia khawatir
nanti akan disiksa. Melihat wajah tawanan itu Siau Po pun tertawa.
"Yo Toako kau tampak cape?" tanyanya.
"Oh, tidak Tidak!" jawab tawanan itu.
"Yo Toako, kaulah sahabat sejati, kau telah memberitahukan pada kami rahasia
Peng See Ong. Sahabat harus dibayar dengan persahabatan karenanya aku hendak
membebaskanmu, Kau harus percaya aku tak akan memberitahukan pada siapapun
Aku anggota Kangouw sejati, satu aku bilang satu, dua aku bilang dua, tidak sepertimu
yang membuka rahasia dengan begitu kau hendak menentang pada Peng See Ong,"
kata Siau Po. Berkata demikian Siau Po terus saja tertawa, Dia membawakannya dengan sikap
yang wajar-wajar saja. "Biar hamba ini mempunyai nyali setinggi langit tak akan hamba melakukan itu..."
katanya sambil tertawa. "Bagus," kata Siau Po. "Nah, saudara-saudaraku, cepat kalian antarkan ia ke
kantornya dan sekalian mayat Yo Ek agar dibawa dan jika nanti ia ditanya pada
atasannya dia dapat mempertanggung-jawabkan perbuatannya."
Lewat beberapa hari kawan-kawan Siau Po merasa tidak tenang, ia takut kalau orang
yang ia bebaskan itu membuka mulut dan mereka semua ditahan oleh Gauw Sam Kui.
"Sekarang begini saja," kata Siau Po yang ingin membuat kawan-kawannya merasa
tenang, "Aku akan mengunjungi Gauw Sam Kui untuk mengetahui apa yang ia akan
bicarakan." "Aku khawatir justru kau yang akan ditawan mereka, bukankah itu berbahaya"
Celaka jika ia menawanmu..." kata sang imam.
Siau Po tertawa. "Bukankah sekarang kita dalam genggamannya" Jika ia menginginkan mana kita tak
dapat lagi menyingkir," kata Siau Po.
Kemudian Siau Po membawa pasukannya dan para Sie Wie pergi ke istana Gauw
Sam Kui, dan langsung disambut oleh Gauw Sam Kui sendiri.
Ketika Siau Po dan pasukannya datang, langsung Gauw Sam Kui yang
menyambutnya, ia menjabat tangan Siau Po untuk selanjutnya mengajaknya masuk ke
dalam istananya. "Ada kabar apakah Wie Toutong?" tanya Gauw Sam Kui dengan wajah riang.
"Jikalau kau ada urusan tidakkah kau cukup memanggil anakku, Untuk apa Toutong
bersusah payah kemari." kata Gauw Sam Kui.
"Oh, Ongya sangat sungkan, bukankah pangkat ku sangatlah rendah" mana berani
aku memanggil anak Ongya?" kata Siau Po.
"Tapi Wie Toutong, kaulah perwira kesayangan baginda dan kau orang kepercayaan
raja," kata raja muda itu memuji.
"Hari depanmu masih panjang dan penuh dengan harapan, bahkan tak aneh jika
suatu hari kau yang menjadi raja muda di sini."
"Oh, Ongya kata-katamu itu tidaklah tepat," kata Siau Po.
"Mengapa tidak tepat" Bukankah usiamu baru lima atau enam belas tahun dan kau
sudah menjadi Hu Toutong dan merangkap menteri besar yang mendapat kepercayaan
raja" Maka untuk menjadi itu paling membutuhkan waktu yang tak lama lagi," katanya.
Berkata demikian Peng See Ong tertawa, Siau Po menggeleng-gelengkan kepala,
"Ongya, mari aku beritahu!" kata Siau Po. "Sewaktu aku diutus baginda raja, ia
memesan, kau anjurkan Gauw Sam Kui untuk baik-baik memangku jabatannya, karena
ia harus mengetahui bahwa nanti akan digantikan oleh Gauw Eng Him, iparnya, dan jika
nanti Gauw Eng Him telah mati, maka ia akan digantikan oleh anaknya, singkatnya
kedudukan Peng See Ong itu turun temurun, Ongya tahu baginda mengatakan
demikian secara sungguh-sungguh," kata Siau Po.
Dalam hati Gauw Sam Kui girang mendengarkan kata-kata itu.
"Benarkah baginda mengatakan demikian?" tanyanya.
"Mana dapat aku mendustaimu, hanya saja aku tidak boleh memberitahukanmu
dengan terburu-buru, sebab perlu dicari tahu Ongya menteri yang setia atau tidak"
Tetapi aku memikir lain hal itu toh sudah aku beritahukan padamu," kata Siau Po.
"Hm, sekarang kau telah mengatakannya padaku, bukankah dengan demikian kau
telah mengatakan bahwa aku menteri yang setia?" katanya.
"Kenapa tidak, jika Ongya saja sudah tak setia maka di kolong jagat ini sudah tak ada
lagi menteri yang setia," kata Siau Po.
Sambil berkata demikian mereka terus saja berjalan ke dalam, Gauw Sam Kui sangat
girang hingga ia tak lepas-lepasnya memegang erat tangan Siau Po.
"Mari.... Mari kita duduk dalam kamar tulisku saja!" ajaknya,
"Oh, Ongya kulit harimau itu mahal sekali, di istana saja tak ada sungguh mataku
terbuka," katanya. Kamar tulis yang menurut dugaan Siau Po hanya berisi buku-buku, kali ini lain dari
pada yang Iain. Ternyata kamar itu penuh dengan senjata yang dipampang pada
dinding kamar itu. "Ongya, benarkah Ongya seorang gagah, pendekar?" tanya Siau Po. "Sekalipun
dalam kamar tulis Ongya tersimpan senjata, aku memang tak dapat membaca tetapi
biasanya kamar baca itu isinya hanya buku, Maka sungguh di luar dugaanku kamar ini
sangat indah!" pujinya.
Gauw Sam Kui tertawa lebar.
"Semua senjata ini ada riwayatnya," katanya bangga. "Aku memajangnya di sini agar
menjadi peringatan bagi diriku."
"Oh begitu," kata Siau Po yang terus bermain komedi.
"Dahulu Ongya bersarang di barat dan timur, utara dan selatan hingga Ongya telah
berhasil membangun jasa yang sangat banyak, pastilah senjata-senjata ini yang pernah


Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

digunakan," kata Siau Po.
Gauw Sam Kui tersenyum dan tangannya mengelus-elus kumisnya, lalu ia pun
tertawa. "Benar," sahutnya, "Aku telah mengalami perang kecil dan perang besar beberapa
ratus kali, itu artinya keluar hidup masuk mati, atau tegasnya mati dan hidup, Jadi
kedudukan raja muda kuperoleh antara mati dan hidup," katanya dengan semangat.
Siau Po mengangguk-angguk.
"Benar," katanya, "Ongya ketika dahulu pernah memangku jabatan Sanhay Kwan,
senjata manakah yang Ongya pakai dan tanda jasa apa yang paling tinggi.,.?" tanya
Siau Po. Wajah raja muda itu secara tiba-tiba berubah. pertanyaan itu membuatnya kaget,
peperangan yang ia lakukan adalah melawan bangsa Boan, dan semakin besar
pertempuran maka semakin banyak korban bangsa Boan.
Karena ia merasa pertanyaan itu telah menyindirnya, maka ia menggenggam tangan
dengan erat maksudnya agar ia dapat menahan hawa napsunya.
Siau Po pura-pura tak mengetahui Peng See Ong menjadi gusar dan dongkoI serta
maIu. "Kata kaisar Eng Hek dari Ahala Beng telah Ongya kejar dari Inlam sampai ke Birma,
Di negara asing itu sang kaisar telah berhasil ditawan, lalu karena tali busur akhirnya
kaisar itu telah menemui ajalnya," katanya.
Berkata demikian Siau Po menghadap pada dinding yang terdapat panah dan ia
menambahkan kata-katanya.
"Bukankah panah itu yang Ongya gunakan?" tanyanya.
Peristiwa matinya kaisar itu sebagai bukti bahwa ia akan setia pada pemerintahan
Boanceng. Tetapi sekarang lain, dalam istananya ada orang yang menanyakan hal itu,
maka ibarat luka baru saja ingin sembuh sudah berdarah lagi.
"Wie Toutong," katanya dengan suara keras sebab ia sudah tak dapat menahan
amarah lagi, "Apakah maksud Toutong mengeluarkan kata-kata sindiran itu?" tanyanya.
Siau Po terperanjat. "Oh tidak... tidak," sahutnya dengan cepat "Mana berani aku
menyindir Ongya, sebenarnya selama di Pakhia aku mendengar para menteri yang
menceritakan sekalipun kaisar Beng telah Ongya jerat mati, hal ini yang membuat jasa
besar pada pemerintahan Ceng bahkan katanya menjerat kaisar itu sudah dilakukannya
dengan tangan sendiri hingga terdengarnya tali busur itu dan kaisar merintih, Ongya
terus tertawa dan berkata, bagus, bagus, bukankah itu yang menandakan kesetiaan
Ongya?" Gauw Sam Kui yang sedang duduk mendadak bangun. Sewaktu hendak mengumbar
nafsunya ia ingat akan sesuatu, Dalam pikirannya ia masih kecil, apakah mungkin jika
tak ada orang yang telah mengajarkannya, Mungkin raja cilik itu atau menteri ku yang
merasa iri denganku, mereka membuatku gusar dengan demikian akan mudah
menahanku. Karena memikir demikian maka Gauw Sam Kui tersadar lalu ia berubah manis dan
sangat sabar Sambil berkata-kata iapun tersenyum manis.
Siau Po tertawa. "Sungguh bagus seandainya sekarang ini ada orang yang akan memberontak
katanya dengan sikap wajar"
Hati Peng See Ong berdenyut keras. "Mengapa demikian?" tanyanya.
"Jikalau ada yang akan memberontak baginda memerintahkan aku untuk menumpas
pemberontak itu. Maka aku akan bertempur mati-matian dan pasti baginda
memerintahkan aku untuk memimpin pasukan perang yang sangat besar Di situ baru
aku dapat membuktikan bahwa aku setia pada raja dan nanti raja akan memberiku
istana dan aku sebagai raja mudanya," kata Siau Po.
"Apakah ada kemungkinan sekarang ini ada yang akan memberontak pada raja?"
tanyanya. Gauw Sam Kui terdiam sesaat.
Sambil berkata mata Siau Po terus saja diarahkan pada meja, karena pada meja itu
terdapat kitab yang sedang dicarinya, Dari memancing kemarahan dirubah menjadi
berkata yang membuat Gauw Sam Kui senang. Hal itu dilakukan karena ia
menginginkan kitab yang ada di meja itu.
"Jikalau aku menggunakan Firman palsu untuk mendapatkan kitab itu pastilah ia
akan menyerahkannya, tetapi aku khawatir kalau-kalau kitab itu palsu..." kata Siau Po
dalam hati, Memikir demikian, lalu Siau Po menarik tangan Gauw Sam Kui untuk diajaknya
berbicara secara perIahan-lahan.
"Ongya, sebenarnya hamba dititipi sebuah firman rahasia dari Sri Baginda Raja."
Peng See Ong terperanjat hingga ia berdiri "Hamba sedia menerima firman,"
katanya, "Baginda mengetahui bahwa Ongya seorang menteri yang setia pada kerajaan
Ceng yang maha agung. walaupun demikian berulang-ulang beliau memesan agar aku
tetap mencari tahu anak Tiong Sin atau Kan Sin. Apakah Ongya tahu apa maksud yang
sebenarnya dari raja?" katanya.
Gauw Sam Kui menggelengkan kepala, "Sebenarnya ada tugas yang besar untukmu,
Ongya!. Namun untuk itu baginda merasa ragu-ragu, nanti Ongya akan bekerja dengan
sungguh-sungguh atau tidak... baginda menikahkan Kian Leng Kongcu itulah
sebabnya..." "Jikalau baginda yang akan memerintahkan padaku pasti aku akan menjalankan
perintah itu dengan sungguh-sungguh," katanya.
"Tugas itu tugas yang sangat penting, sekarang begini saja, besok pada waktu yang
sama silakan Ongya menunggu di istana Ongya, dan nanti aku akan datang untuk
menyampaikan firman rahasia tersebut," kata Siau Po.
Besoknya Siau Po datang pada tempat dan waktu yang telah dijanjikan Kembali
mereka berkumpul dalam kamar tulis.
"Ongya," kata Siau Po setelah mereka mengambil tempat duduk, "Soal ini sangatlah
penting, Aku memesan agar rahasia ini jangan sampai bocor. Bahkan, sekalipun dalam
laporan Ongya terhadap baginda jangan disebut-sebut mengenai rahasia ini!" kata Siau
Po. "Baik, baik!" Gauw Sam Kui memberikan janjinya. "Pasti rahasia ini tak akan bocor."
"Sebenarnya baginda telah mendapatkan laporan rahasia bahwa Siang Ko Hie
bersama dengan Keng Ceng Tiong berniat mendurhaka, memberontak pada baginda..."
kata Siau Po dengan suara yang sangat pelan.
Bagian 55 Mendengar ucapan Siau Po itu Gauw Sam Kui kaget bukan kepalang dan mukanya
berubah pucat, sebagaimana Gauw Sam Kui ketahui bahwa mereka itu raja muda yang
sama kedudukannya, "Apa.... Apakah itu benar?" katanya.
"Tentu saja benar," kata Siau Po. "Biasanya baginda raja tak mudah mempercayai
segala laporan." "Namun kali ini lain," kata Siau Po yang pandai sekali memainkan peranannya, "Kali
ini baginda mempunyai bukti, walaupun demikian pemberontakan mereka belum
merupakan kenyataan, baginda masih sabar, tak ingin bergerak hingga bagaikan
menggeprak rumput dan ular kaget."
"Lalu tindakan baginda apa?" Si raja muda bertanya.
"Baginda menghendaki Ongya menyiapkan pasukan perang yang terdidik guna
memperkuat tapal batas kedua wilayah itu, dan nanti jika pemberontakan telah terjadi
Ongya diminta untuk menghentikan huru-hara dan membekuk pelaku utamanya. itu
merupakan jasa yang sangat besar," kata Siau Po.
Gauw Sam Kui lalu menjura.
"Hambamu menerima rahasia ini," katanya, "Jikalau kedua raja muda tersebut benarbenar
bertindak tersesat, hambamu akan segera menyerang dan menawan nya."
"Sri Baginda pun mengatakan keduanya adalah manusia-manusia yang tak berguna,
dan pasukannya pun bukanlah lawan yang tangguh bagi pasukan Ongya, Maka mereka
pasti bakal terbekuk tanpa bantuan dari bala tentara dari pusat," kata Siau Po.
Gauw Sam Kui tersenyum mendengarkan kata-kata Siau Po.
"Tolong Toutong sampaikan kepada baginda agar menenangkan hati saja," katanya,
"Hamba akan mengumpulkan pasukan khusus dan dalam latihan akan hamba latih
dengan sungguh-sungguh, supaya setiap waktu siap sedia menerima panggilan dari
pusat. Semua tentara dan perwira akan kulatih untuk setia pada baginda sampai mati."
"Ongya, aku akan menyampaikan kata-kata Ongya pada baginda raja, Aku percaya
baginda bakal menerimanya dengan senang," kata Siau Po.
Dalam hati Gauw Sam Kui merasa senang, karena dengan demikian apabila ia
mengirim pasukannya baginda tak mencurigainya,
Kemudian Siau Po berbicara dengan hal yang lainnya, ia menunjuk senjata yang
tergantung di dinding. "Ongya, apakah itu senjata api buatan Bangsa Barat?" tanyanya,
Gauw Sam Kui menganggukkan kepala.
"Seumurku, belum pernah aku menggunakan senjata api itu," kata Siau Po. "Apakah
dapat aku mencobanya barang satu kali saja?"
"Pasti dapat, hanya saja senjata ini biasa dipakai di medan perang, lagi pula kita
membawanya kurang leluasa, sebenarnya Bangsa Losat mempunyai senjata yang
gagangnya lebih pendek," sahut Gauw Sam Kui..
Gauw Sam Kui lalu mengambilkan senjata yang pendek yang orang Losat bilang
pistol Sewaktu Gau Sam Kui mengambil pistol itu, Siau Po mengambil kitab yang
berada di atas meja, lalu ditukarnya dengan kitab lain tapi warna kitab itu tidak sama,
Demikian cepat cara kerja Siau Po.
Ketika Gauw Sam Kui membalikkan tubuhnya, Siau Po telah selesai menukar kitab
itu, Gauw Sam Kui lalu menyerahkan pistol yang sudah diisi peluru itu pada Siau Po.
Siau Po lalu membidik sasaran yang dituju setelah itu ia menyalakan sumbu peluru
itu, maka meluncurlah peluru itu dengan cepat.
Siau Po pun merasa tangannya nyeri terkena getaran senjata itu.
"Ya, sungguh hebat barang mainan orang asing itu!" katanya.
Peng See Ong tertawa. "Dua buah senjata ini siiakan Toutong bawa pulang, dan senjata ini pun dapat
dijadikan mainan," katanya.
Setelah menolak beberapa kali barulah Siau Po menerimanya, ia lalu mengucapkan
kata terima-kasih berulang-ulang.
Demikianlah setelah mereka berbicara panjang lebar, barulah Siau Po pamit untuk
pulang, Sesampai di kamar Siau Po lalu mengunci kamarnya lalu mengeluarkan kitab
itu dengan cepat, ia mencari potongan yang terbuat dari kulit.
"Sekarang aku telah menemukan dengan lengkap sobekan dari dalam kitab itu," kata
Siau Po dalam hatinya, "Maka bagiku tinggal menunggu kesempatan mengumpulkan
dan mengakurkannya satu dengan yang lainnya, setelah itu maka nadi naga dan juga
harta karun itu dapat aku kuasai."
Berpikir demikian Siau Po lalu menyanyikan lagu yang biasa didengarnya di tempat
pelesiran, Ketika sedang asyik bernyanyi tiba-tiba ia mendengar pintu kamarnya diketuk
orang. Siau Po melangkah ke pintu itu dan membukanya. Tampak beberapa kawannya
dengan wajah yang menyiratkan ketegangan.
"Apa yang terjadi?" tanya Siau Po.
"Kami baru mendapat kabar dari para Sie Wie, bahwa anggota Peng See Ong
mencari orang Mongol, Yang dicarinya adalah orang yang kita tawan dan mereka itu
mencurigai kita, maka bagaimana pendapatmu?" tanya mereka.
"Jika demikian maka cepat kalian bawa orang Mongol itu ke kamarku dan kalian
sembunyikan dia di kolong pembaringanku, tak akan mereka berani menggeladah
kamarku," jawab Siau Po.
"Bagaimana jika ia datang saat kau tak ada, dan ia menggeladah dengan alasan
yang kuat?" tanya kawan-kawannya.
"Biar bagaimana jangan diijinkan mereka masuk. Jika mereka memaksa kalian dapat
menggunakan kekerasan, tak mungkin mereka berani," jawab Siau Po pada kawankawannya.
Justru ketika mereka hendak keluar, datang Cian Lao Pun mendekat pada mereka
dan berkata dengan suara keras.
"Si pengkhianat hendak melepas api untuk membakar," katanya.
"Apa?" tanya mereka.
"Selama beberapa hari ini aku melihat tempat kita ini baik di depan maupun di
belakang," sahut Lao Pun. "Aku selalu berjaga-jaga kalau-kalau si pemberontak itu
melakukan hal yang tidak-tidak.
Tadi dalam rimba, aku melihat ada orang yang mencurigakan Diam-diam aku
mengintai, mereka itu mendatangi karung dan bahan bakar lainnya,"
"Sungguh celaka! Begitu besarkah nyali para pengkhianat itu" benarkah ia akan
membakar utusan raja?" kata Siau Po.
"Sampai sejauh itu tentu tidak, yang benar mereka menyalakan api, rupanya mereka
mencurigai kita yang menculik orang Mongol itu, Mereka menyalakan api membakar
apa saja dan pada saat itu semua orang akan sibuk. Pada saat semua orang sibuk,
mereka mengadakan penggeladahan.,." kata Lao Pun.
Siau Po mengangguk "Tidak salah," katanya, "Pastilah mereka akan menggunakan akal bulus itu, lalu
bagaimanakah menurut kalian?"
"Kita bunuh dia dan kita hilangkan jejaknya dengan menyimpan tubuhnya, Hal ini kita
lakukan agar tidak ada kebocoran rahasia kita," kata Cie Tian Coan.
Melihat demikian Siau Po berkata dalam hati, "ltu biasa permainan ku. Dan itu
pekerjaan yang sangat mudah, Dengan demikian tubuh orang Mongol itu akan mencair
dan musnah, Namun ia orang penting yang telah memberikan laporan padaku, maka
dia harus dihadapkan pada raja cilik itu untuk diperiksa."
Karena memikirkan demikian maka ia lalu berkata.
"Si pengkhianat itu akan mengadakan pemberontakan dan hanya orang Mongol
itulah saksinya, Hingga ia perlu dikirim ke kotaraja untuk diperiksa."
"Maka dengan demikian para pemberontak itu mau tak mau pasti akan berontak juga,
jadi orang Mongol itu sangat penting bagi kita sebagai saksi utama."
Mereka bertiga membenarkan keterangan Siau Po dan berkata.
"Jikalau tidak Hiocu mengingatkan kita, pastilah kita akan bertindak keliru dan
dengan demikian maka usaha kita pun gagal," dalam hati mereka mengagumi cara
berpikir Siau Po yang masih muda tetapi pikirannya cerdik dan pintar.
"Sekarang ini," kata Cian Lao Pun yang turut bicara.
"Bagaimana langkah kita untuk mencegah orang yang akan membakar itu dan
bagaimana kita meloloskan orang Mongol itu, sedangkan penjagaan sangat ketat...!"
Siau Po tertawa. "Lao Pan," katanya, "Bukankah kau telah berhasil menyelundupkan seekor babi ke
dalam istana kaisar" Apakah tak dapat kau menyelundupkan yang lainnya guna keluar
dari kota ini?" Lao Pun tertawa. "Aku khawatir tak dapat meloloskan babi yang sangat gemuk melewati pintu kota,
Aku memikirkan untuk menggunakan akal untuk membawa peti mati yang isinya orang
hidup. itu pun sukar sebab akal yang demikian sudah terlalu umum."
"Bagaimana kalau kita membotak kepala, janggut dan kumisnya lalu kita suruh
memakai pakaian tentara kita, dan nanti ia digiring bersama dengan pasukan kita yang
lainnya, Aku ingin tahu apakah mereka itu berani memeriksa tentaranya," kata Siau Po.
Mereka semua bertepuk tangan.
Setelah itu Siau Po bertanya. "Di kota ini ada tempat pelesiran atau tidak?"
"Apakah kau ingin bersenang-senang di rumah pelesiran itu" pasti di sini ada," sahut
Lao Pun yang kemudian tertawa.
Siau Po tertawa. "Bagaimana kalau kita meminta pada Hian Ceng Totiang untuk pergi ke tempat
tersebut, apakah ia mau atau tidak?" tanya Siau Po.
Mereka semua heran karena yang dimaksud dengan Siau Po itu seorang yang taat
beribadah. Siau Po tertawa melihat mereka yang sedang bengong itu.
Totiang berbadan tinggi dan besar, di antara kita hanya tubuh dia yang sama dengan
tubuh Khantema..." kata Siau Po.
Setelah berkata demikian barulah mereka semua mengerti apa yang dimaksud oleh
Siau Po itu, ia bermaksud untuk menyamar sebagai orang Mongol dan pergi ke tempat
itu. "Sekarang kalian bantu kawan-kawan yang sedang membuka pakaian orang Mongol
itu, jangan lupa kita butuh kumis dan janggutnya untuk menyamar. Dan pakaian orang
Mongol itu nantinya kita pakaikan pada kawan kita itu," kata Siau Po.
Mendengar perkataan Siau Po, beberapa orang kawan-kawan nya itu lalu pergi
melaksanakan perintahnya.
"Setelah membereskan tugas, kalian juga harus mencarikan tempat pelesiran yang
paling bagus. Setelah itu kalian minum beberapa cawan arak dan lalu membuat huru
hara pada tempat itu, Pada saat itu salah satu dari kalian membunuh orang Mongol
palsu ini." kata Siau Po.
Mendengar kata membunuh mereka terbengong, tetapi mereka cepat sadar kalau
Siau Po itu cerdik maka mereka semua tertawa.
"Tetapi untuk hal itu kita berarti harus mempunyai satu mayat agar tipu daya kita
menjadi sempurna," kata orang She Cian.
Siau Po lalu mengangguk. "ltu tak salah, salah satu dari kalian harus mencari mayat lain untuk menggantikan
mayat kawan kita itu. jangan lupa kau mencari orang yang sama tinggi dan besarnya
dengan orang Mongol itu agar tidak timbul kecurigaan mereka," kata Siau Po.
Setelah mengatur kawan-kawannya dalam tugas itu, Siau Po lalu pergi ke kamar
tuan putrinya. Tuan putri itu telah menantinya dengan kesabaran yang hampir lenyap, setelah Siau
Po memasuki kamar, tuan putri lalu berkata dengan suara keras.
"Kenapa baru sekarang kau muncul?"
"Kau tahu mertuamu mengajak aku berbicara dengan panjang lebar jika aku tak pergi
mungkin ia masih menahanku untuk diajaknya bicara. Dia telah mengucapkan kata-kata


Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang kurang pantas, karena itu aku jadi berbantahan dengannya, Andai-kata aku tak
ingat kepadamu pastilah aku masih berbicara terus dengannya," kata Siau Po dengan
nada marah. "Apa kata dia itu?" tanya Kian Leng.
"Katanya, baginda mencurigai dia sebagai penghianat hingga membuat hatinya
menjadi tak tenang. Aku katakan padanya kalau baginda itu mencurigainya tak mungkin
putrinya dikawinkan dengan putranya, Apa kata Dia" Dia mengatakan kalau baginda tak
menyukaimu, makanya kau dikawinkan dengan anaknya, Hal itu dilakukan baginda
untuk mencelakaimu," jawab Siau Po.
Kian Leng gusar hingga ia menggebrak meja.
"Kura-kura hitam dan tua itu berbicara tidak karuan," teriaknya, "Aku hendak menarik
copot janggutnya itu, Kau.... Kau pergilah katakan padanya suruh ia kemari!" katanya
pula. Siau Po tetap menunjukkan roman muka gusar.
"Dia itu orang celaka," katanya dengan suara keras.
"Ketika itu aku mengatakan bahwa baginda sangat menyayangi adiknya yang cantik
dan pintar itu, mana putramu setimpal dengan putri baginda kataku, Lalu aku
mengeluarkan pisau belatiku untuk menghunusnya, Baiklah Kongcu tak jadi menikah
dengan putramu, dan besok kami akan kembali ke kotaraja. Orang semacam Kongcu
itu sudah banyak pemuda yang suka padanya, aku sendiri saja ingin menikahinya," kata
Siau Po dengan bersungguh-sungguh.
Mendengar kata-kata Siau Po tuan putri itu menjadi senang, maka hilanglah rasa
gusar dan mendongkolnya itu, lalu tertawa.
"Tepat.... Tepat!" katanya, "Kenapa kau tak mau mengatakan padanya" Siau Po
besok kita pulang ke Pakhia, aku hendak mengatakan pada kakak raja tidak dapat tidak
aku harus menikah denganmu...!"
Siau Po menggelengkan kepalanya.
"Si kura-kura itu melihat aku gusar maka pucatlah mukanya ia mengatakan bahwa
kata-katanya tadi itu hanya sekedar kata-kata dusta dan aku diminta untuk tidak
memberitahukan pada baginda dan juga pada Kongcu, Aku mana berani berkata dusta
pada Kongcu dan juga pada raja sekalipun hanya sepatah kata pun," kata Siau Po.
Mendengar kata-kata Siau Po itu, tuan putri itu merangkul Siau Po dan menciuminya,
membuat Siau Po menjadi kelabakan.
"Memang aku tahu kau setia padaku," kata tuan putri.
"Si kura-kura yang mendengar kata-kataku lalu bertekuk lutut dan memohon padaku
untuk tidak memberitahukan hal ini pada kongcu dan baginda, Aku diberikan hadiah dua
buah senjata dan kau dapat mencobanya," sambil berkata Siau Po memeluk tuan putri
itu dan menciuminya dengan berani sekali.
Siau Po lalu mengambil senjata itu dan mengisikan pelurunya lalu menyerahkannya
pada tuan putri itu untuk mencobanya, setelah senjata itu berbunyi maka sasaran yang
terkena adalah pohon, hingga pohon itu runtuh.
"Kongcu peganglah satu dan aku satu!" katanya, "Memang senjata ini sepasang."
Kian Leng menghela nafas.
Siau Po memeluk tuan putrinya lalu membuka baju tuannya itu hingga telanjang bulat
Kemudian tubuh tuan putri itu ditidurkan pada pembaringan dan diselimuti dengan kain
selimut yang halus, Dia berkata dalam hati, "Eh, kenapa para pengkhianat itu masih
belum membakarnya?" "Aku ingin tidur..." kata Kian Leng kemudian secara perlahan.
Tepat pada saat itu Siau Po mendengar orang yang meneriakkan kata "kebakaran"
berulang-ulang hingga terdengar sangat berisik.
Kian Leng Kongcu itu kaget dan ia memeluk tubuh Siau Po.
"Ada kebakaran?" tanyanya dengan takut.
"Setan alas!" teriak Siau Po dengan caciannya itu. ia tak menjawab pertanyaan tuan
putrinya, "lni tentu perbuatan anak buah si kura-kura itu. Jelas ia akan membakar kita
agar ia dapat menutup mulut," kata Siau Po.
"Habis bagaimana sekarang?" tanya tuan putri itu dengan suara bergetar.
"Kongcu tenang saja, api itu tak akan membakar kita, Yang jelas kura-kura itu akan
membekuk orang yang berbuat serong," katanya.
"Orang yang berbuat serong?" tanyanya heran.
"Sekarang kau tenang saja! Tidurlah dan tutuplah seluruh tubuhmu! Jika nanti api
akan mendekat aku akan menyelamatkanmu, Aku akan berjaga-jaga," kata Siau Po.
Siau Po lalu berjalan mendekati pintu dan ia berjaga-jaga dengan membawa senjata
pemberian Gouw Sam Kui itu.
Sedang ia berjaga tampak dari kejauhan Gouw Eng Him, putra Gouw Sam Kui yang
akan dinikahkan dengan Kongcu, ia menanyakan keadaan tuan putri itu.
"Apakah yang mulia tuan putri sehat walafiat?" tanyanya dengan suara nyaring.
Tak lama kemudian datanglah pasukan Siau Po yang berlari-larian dengan pakaian
yang tak sempurna, mereka semua sangat kaget dengan peristiwa itu sebab bila tuan
putrinya itu sampai celaka maka kepala mereka akan pisah dari badan.
Siau Po memerintahkan pada para Sie Wie untuk melakukan penjagaan yang ketat
terutama pada kamar tuan putrinya.
Setelah terdengar bahaya kebakaran segera pasukan Peng See Ong mengadakan
penggeledahan Maka terjadilah bentrokan.
Mereka berlompatan dari tembok pada empat penjuru, "Rupanya mereka itu sudah
siap dari tadi," kata Kong Lian dengan suara yang sangat pelan.
"ltu tak aneh," kata Siau Po. "Sudah jelas Gouw Sam Kui benar-benar ingin
memberontak pada pemerintah."
"Benarkah itu?" tanyanya dengan heran.
"Jangan halangi! Biar mereka menggeladah!" perintah Siau Po pada orang-orangnya
itu. Kong Lian mengangguk pada Siau Po lalu pergi untuk memberitahukan pada kawankawan
mereka yang sedang menunggu.
"Rupanya ramalan Sio Ongya sangat tepat, malam ini jam dua akan terjadi
kebakaran hingga Sio Ongya telah menyiapkan tentara untuk berebut masuk dan
berlompatan dari tembok pekarangan untuk memadamkan api. Ha... ha... ha! Ha... ha...
ha! Sungguh lihay Sio Ongya!"
Muka Eng Him menjadi merah.
"Sama sekali itu bukan disebabkan aku pandai meramal, sebenarnya soal kebetulan
saja, Tadi sore Hee Kok Sing suaminya kakakku, menjamu tamu-tamunya dan aku turut
diundang, Aku datang dengan mengajak para pengawalku, Pada waktu lewat di sini,
justru sedang terbit bencana api ini, maka segera kami mencoba memberikan bantuan."
Siau Po mengangguk. "Oh, kiranya demikian," katanya, "Pernah aku mendengar cerita ada orang yang
selalu berhati-hati, maka itu sekarang nyatalah kau yang pergi menghadiri undangan
dengan membawa pasukan pengawal dan juga anggota pemadam kebakaran yang
lengkap dengan peralatannya, Apakah itu yang disebut dengan kebetulan?" tanya Siau
Po. . Muka Eng Him menjadi merah ia merasa Siau Po telah mengetahui maksud dan
tujuannya, namun ia masih dapat mengelak
"Di musim kering dan banyak angin ini mudah sekali terjadi bahaya kebakaran. Untuk
itu aku sengaja menyiapkan peralatan, dan itu terbukti kalau ada persiapan maka
bencana pun dapat di-hadang."
"ltu benar tetapi sebaiknya kau juga menyiapkan tukang bangunan yang tujuannya
untuk memperbaiki bangunan yang terkena kebakaran," kata Siau Po.
Mendengar perkataan Siau Po, anak raja muda itu menjadi malu, Hanya ia pandai
sekali mengalihkan pembicaraan.
"Wie Toutong mendapat kenyataan barisan tukang pompa tidak bekerja dengan
sungguh-sungguh. Untuk itu cepat kau pergi panggil pemimpinnya dan patahkan
kakinya!" kata anak raja muda itu pada pengawalnya.
"Sio Ongya, Setelah pemimpinnya kau patahkan kakinya apakah ia tak jadi naik
pangkatnya?" tanya Siau Po.
"Wie Toutong, aku tak mengerti apa maksud kata-katamu ini?" tanya Si Ongya muda.
"Aku juga kurang jelas, namun menurut pikiranku sebaiknya kau membangun dua
rumah tahanan lagi dan mencari dua orang untuk sipir tahanan." kata Siau Po.
Tak lama datanglah pegawai rumah yang melaporkan tentang kebakaran yang
sedang melalap beberapa rumah dan kini rumah yang ditempati oleh tuan putri, maka
tak ayal lagi tuan putri itu diminta untuk meninggalkan tempat itu.
Siau Po dapat menduga pasukan Peng See Ong yang sedang mencari orang Mongoi
itu sudah mencari ke semua tempat tetapi belum juga menemukannya. Dan kini tinggal
kamar putri yang belum digeledahnya.
Mulanya Siau Po tak mengijinkan tetapi setelah didesak terpaksa Siau Po yang
mengetahui tanda rahasia tadi mempergunakannya.
Hal itu membuat Eng Him dan kawan-kawannya menjadi bengong.
"Wie.... Wie Toutong, apakah artinya ini?" tanya Eng Him pada Siau Po dengan
suara yang bergetar. Orang yang ditanya malah menatapnya.
"Mustahil kau tak mengetahui tanda isyarat ini." kata Siau Po yang mencontoh tanda
rahasia itu. "lsyarat-isyarat itu terputus-putus, ya aku mengerti sekarang, itu toh artinya uang
bukan" Bukankah yang Toutong maksudkan setelah ada uang barulah tuan putri dapat
diajak pindah?" tanyanya.
"Soal uang itu mudah," demikian katanya. "Bukankah kita berada dalam satu
keluarga sendiri" Soal ini dapat dimainkan," katanya pada Siau Po.
Tampak Eng Him ragu-ragu untuk masuk, sebentar ia mengangguk lalu memasuki ke
kamar Kian Leng dan dari luar kelambu Eng Him berkata dengan suara perlahan.
"Harap Kongcu ketahui bahwa api telah merambat, dan kini sedang menuju kemari,
Untuk itu aku meminta agar Kongcu menyingkir dari bahaya!" katanya.
Sesaat kemudian terdengarlah suara lemah lembut yang berasal dari dalam
Kembalinya Sang Pendekar Rajawali 39 Ikat Pinggang Kemala Sabuk Kencana Karya Khu Lung Pendekar Kembar 8
^