Pencarian

Kaki Tiga Menjangan 44

Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung Bagian 44


Baginda mengetahuinya, beliau segera mengutus kakakmu ini membangunnya kembali.
Bahkan dalam firman kaisar tidak disebut berapa biaya yang dibataskan untuk
membangunnya, malah tercantum bahwa setiap kekurangan silahkan ambil pada
bagian keuangan. Gedung ini merupakan hadiah dari Sri Baginda, maka aku yang jadi
kakakmu rasanya tidak perlu berhemat bagimu, Karena itu aku pun memilih semua
bahan yang terbaik untuk membangunnya, Adik Wi, coba kau !ihat, apakah rumah ini
sesuai dengan seleramu?"
Siau Po cepat-cepat mengucapkan terima kasih, Begitu masuk melalui pintu gerbang
utama, tampak tata ruangan di dalamnya sangat mewah dan indah. BoIeh dibilang tidak
kalah dengan gedung Kong Cin Ong Hu sendiri.
Para pembesar yang ikut mengantarnya segera menyatakan pujian dan kekaguman
mereka atas keindahan gedung baru Siau Po ini.
"Gedung ini sudah selesai dibangun cukup lama, Tinggal menunggu adik Wi kembali
ke Kotaraja untuk menempatinya, Tapi kakakmu ini tidak tahu pangkat apalagi yang
akan dianugerahkan Sri Baginda kepada mu. itulah sebabnya papan nama di atas pintu
gerbang masih dibiarkan kosong, sekarang kami baru saja mengetahuinya, nama
gedung Xu Ting Kong Hu" (Sesuai dengan pangkat Siau Po) biar aku suruh Guru besar
Li menuliskannya untukmu," kata Kong Cin Ong.
Li Wei merupakan juru Tulis Kerajaan yang telah memperoleh gelar Guru Besar
(Sekarang kita sebut Profesor), Pendidikannya dianggap tertinggi di antara Keranikerani
lain dari istana, Dia juga sudah lama mengenal Siau Po sehingga tidak menolak
permintaan Kong Cin Ong. Dia segera menyuruh orang menurunkan papan nama itu dan menulis empat huruf
"Lu Ting Kong Hu" di atasnya, Setelah itu dia menyuruh beberapa orang tukang yang
ahli untuk menyemprotnya dengan tinta air emas. Setelah selesai baru digantung
kembali Tampak huruf-huruf itu bertengger di atas pintu gerbang dengan megah.
Malam harinya "Lu Ting Kong Hu" mengadakan perjamuan besar-besaran, Sejumlah
pembesar istana dan sahabat-sahabat Siau Po diundang Bahkan The Kek Song dan
Pang Ci Hoan juga menyuruh orang mengantarkan hadiah kepada Siau Po, namun
mereka tidak menghadiri perjamuannya.
Sesudah mengantarkan tamu-tamunya pulang, kembali Siau Po mengadakan
perjamuan keluarga, Ketujuh orang istrinya memberikan ucapan selamat kepadanya.
Saat itulah Siau Po mengungkit urusan bahwa dia akan membawa Song Ji
menyertainya ke utara, Keenam istrinya yang lain langsung protes, Mereka mengatakan
Siau Po pilih kasih, Siau Po terpaksa mengoceh sembarangan. Kepergian Song Ji
merupakan Firman Kaisar Kong Hi, katanya sebagai alasan, Akhirnya keenam istrinya
yang lain tidak berani memrotes lagi.
Untung saja Song Ji mempunyai sifat lembut, hubungannya dengan istri-istri Siau Po
yang lain juga sangat akrab, jadi mereka tidak terlalu cemburu terhadapnya, Hanya Kian
Leng kongcu seorang yang masih mendongkol. Dia merasa status dirinya sebagai adik
kaisar, lebih tinggi dari istri Siau Po yang lain, namun nilainya ternyata masih
dikalahkan oleh seorang budak. Tentu saja diam-diam dia merasa tidak puas, Disamping itu, dia juga sadar bahwa
dirinyalah yang akan dikeroyok oleh istri-istri "Siau Po yang lain bila mempersoalkan
masalah ini. Siau Po juga jarang membelanya.
Dalam beberapa tahun belakangan ini si Tuan Puteri sudah muIai belajar
mengendalikan perasaannya, tidak seperti dulu yang suka meledakkan emosi di depan
orang banyak. Kecsokan harinya Siau Po menyuruh Song Ji mengeluarkan surat pernyataan hutang
The Kek Song yang disimpannya tempo hari, Setelah itu dia memanggil To Lung untuk
menghadap, Diserahkannya surat pernyataan hutang itu kepada si komandan siwi.
Tentu saja To Lung merasa senang sekali.
"Dengan adanya surat pernyataan hutang ini, biar dari dalam batu dia juga harus
memeras minyaknya, Kalau dia berani tidak membayar hutangnya, maka kami para siwi
dan prajurit tidak punya muka lagi untuk tetap mencari makan di Kotaraja ini."
Selama beberapa hari sejak itu, setiap harinya Siau Po pasti mendapat panggilan
untuk menemui raja di ruang perpustakaan, Kong Hi menjelaskan bagaimana caranya
melakukan penyerangan membuat benteng pertahanan, dan melakukan transaksi
dengan pihak musuh, Kalau ada hal-hal yang kurang jelas bagi Siau Po, Kong Hi akan
menggambarkannya di atas sehelai kertas dan mengulangi keterangannya.
"Pokoknya hamba hanya mewakili Sri Baginda dalam peperangan ini, Hamba tidak
mengerti apa-apa, juga tidak berani sembarangan mengambil keputusan, semuanya
tinggal mengikuti ajaran Sri Baginda saja. Kalau tidak, meskipun hamba berhasil
memenangkan peperangan ini, Sri Baginda juga tidak merasa senang karenanya,"
sahut Siau Po. Kong Hie menganggukkan kepala sambil tersenyum, Kata-kata Siau Po barusan
cocok sekali dengan keinginan hatinya, Sejak kecil dia sudah mempelajari ilmu politik
dan ilmu perang, namun selama ini dia tidak pernah mendapat kesempatan untuk
mempraktekkannya. Di masa kecil dia hanya pernah bermain gulat dengan Siau Po. Setelah agak besar
sedikit, setiap urusannya diserahkannya kepada bocah itu, Dalam hati diam-diam dia
mengumpamakan Siau Po sebagai dirinya yang menjalani berbagai tugas.
Padahal usia Siau Po lebih muda sedikit dibandingkan dengan usianya, Baik dalam
ilmu silat, surat maupun politik, bocah itu tidak seujung kuku dirinya, sedangkan
setiap tugas yang diberikan selalu dapat diselesaikan oleh Siau Po dengan baik, apalagi kalau
dirinya sendiri yang turun tangan. Dengan memberikan tugas kepada Siau Po dia
mendapat kepuasan sendiri yang sulit dikatakan.
Tidak lama lagi Siau Po akan menjalankan tugasnya. Dia tidak berani menemui
rekan-rekannya dari perkumpulan Thian Te hwee, Dalam hati dia berpikir.
- Sri Baginda tidak menyuruhku membasmi perkumpulan Thian Te hwee, ini
merupakan cara untuk menyatakan dirinya telah mengalah terhadapku. Boleh dibilang
aku sudah diberikan muka yang terang, Kalau aku masih tidak tahu diri dan pergi
menemui Ci Thian Coan dan yang Iainnya, kelak semua dosa-dosaku akan diungkit
kembali. Sama saja aku menimpukkan batu di atas mata kakiku sendiri Jadi orang tidak boleh
terlalu bodoh, juga jangan terlalu menonjolkan kepintaran Setelah menentukan hari baik, rombongan Siau Po pun berangkat menuju utara,
Banyak sekali pembesar atau pun para siwi dari istana yang mengantarkan
keberangkatannya, Ketika mereka melihat Siau Po mengenakan jubah kebesarannya,
diam-diam mereka merasa geli dalam hati.
Mana tampak wibawa sedikit pun pada diri anak muda itu" Malah lebih mirip pemain
sandiwara di atas panggung, Meskipun demikian, mereka tahu bahwa Siau Po telah
mengangkat saudara dengan Kong Cin Ong, siapa yang berani menertawakan nya
secara terang-terangan"
Siau Po sudah sering mendapat tugas dari Kaisar Kong Hi, namun wibawanya tidak
seperti hari ini. Diam-diam dia merasa bangga sekali, Dia juga sadar masalah yang
ditanganinya kali ini merupakan kaliber atas, maka dia berusaha keras menunjukkan
wibawanya. Selama perjalanan dia tidak berani mengajak bawahannya bermain judi, Kalau terasa
iseng, pa!ing-paling dia mengajak beberapa orang yang dekat dengannya untuk
melempar dadu, main tebakan atau minum arak.
Tidak sampai satu hari, mereka sudah tiba di wilayah utara yakni Liau Tong. Di
daerah ini Siau Po pernah tinggal beberapa lama bersama Song Ji. Di sini mereka
berburu menjangan untuk menangsal perut. Keadaan saat itu tentu jauh berbeda
dengan sekarang. Angin musim semi berhembus sejuk. Para prajurit dari rombongan Siau Po
meneruskan perjalanan jarak antara tempat itu dengan kota Ya Ke Lung masih ada
ratusan li. Utusan dari pasukan terdepan kembali dengan laporan: Mereka mendapat kabar dari
penduduk setempat bahwa para prajurit Lo Sat menyusahkan rakyat, dengan
seenaknya membunuh orang atau pun membakar rumah.
Tidak satu kejahatan pun yang tidak mereka lakukan Rakyat tampak sengsara sekali
hidup dalam penindasan Belasan hari sekali mereka pasti muncul untuk menimbulkan
keonaran Mereka yakin dalam beberapa hari lagi para prajurit Lo Sat itu pasti kembali
lagi. Siau Po sudah mendapat pengarahan dari Kaisar Kong Hi. Mereka mencari tempat
yang agak jauh lagi terpencil untuk membangun tenda, sedangkan di dekat perbatasan
para prajuritnya harus mendirikan kelompok, jumlahnya sepuluh kelompok, tiap
kelompok terdiri dari seratus orang.
Mereka harus berpencar untuk menyembunyikan diri. Bila jumlah pasukan Lo Sat
yang datang besar sekali, mereka tidak boleh memperlihatkan diri terlebih dahulu,
Dengan demikian dapat dijaga kemungkinan jatuh korban banyak, sedangkan kalau
yang datang jumlahnya sedikit, mereka harus bergerak cepat melakukan penyerangan,
jangan sampai ada yang berhasil meloloskan diri lalu mengirim berita untuk
mendatangkan bala bantuan.
Beberapa hari kemudian, dari kejauhan terdengar suara tembakan yang tiada
hentihentinya, Siau Po tahu pasukannya yang terdepan sudah berperang melawan prajurit
Lo Sat. Hati Siau Po berdebar-debar untuk mengetahui akhir ceritanya, sampai menjelang
sore, Ho Yu (Komandan Pasukan Terdepan) mengutus anak buahnya untuk
memberikan laporan, mereka berhasil membunuh dua puluh lima orang prajurit Lo Sat
dan masih ada dua belas orang yang berhasil diringkus hidup-hidup. Menjelang malam
hari, kedua belas tawanan perang itu pun digiring ke tenda Siau Po.
Tentu saja Siau Po senang sekali dengan hasil gebrakan pertama ini. Dia
mengumumkan bahwa dia sendiri yang akan menginterogasi kedua belas tawanan
tersebut, Para tawanan menjadi heran ketika mengetahui bahwa Siau Po mengerti
bahasa Lo Sat mereka, Namun mereka memprotes, kekalahan mereka tidak perlu
disalahkan Mereka mendapat tekanan karena jumlah prajurit Ceng banyak sekali,
Mereka juga menyatakan bahwa kemenangan pihak Siau Po tidak membawa
kegemilangan bagi kerajaan Ceng,
Siau Po marah sekali mendengar protes mereka, Dia segera menyuruh beberapa
anak buahnya untuk menggiring dua tawanan Lo Sat ke hadapannya, Begitu mereka
masuk ke tenda Siau Po, anak muda itu langsung menyerahkan dua butir dadu kepada
kedua tawanan itu. "Ayo, kalian lempar dadu itu!" bentaknya.
Melempar dadu merupakan permainan sejak jaman dulu bagi dunia barat, Caranya
pun tidak berbeda dengan Tiongkok, Tentu saja kedua tawanan itu tahu bagaimana
cara memainkannya, namun mereka tidak mengerti untuk apa Sang panglima musuh
yang masih muda itu meminta mereka melempar dadu, Karena merasa tidak merugikan
pihak mana pun, mereka segera melemparkan dadu ke atas meja seperti apa yang
disuruh Siau Po. Kedua butir dadu itu berputar Yang satu menunjukkan tujuh titik, sedangkan yang
lainnya menunjukkan lima titik.
Siau Po menunjuk kepada tawanan yang dadunya menunjukkan lima titik.
"Kau sudah kalah, mampuslah!" Dia menoleh kepada seorang cong peng dan
memberi perintah, "Bawa dia ke luar dan penggal kepalanya!"
Empat orang cong peng segera mengiakan, lalu mereka menyeret tawanan itu ke
luar Tidak lama kemudian mereka kembali lagi dengan membawa batok kepala orang
itu. Tentu saja kesebelas tawanan yang lain terkejut setengah mati melihat hal itu.
Wajah mereka langsung berubah pucat pasi.
Siau Po menunjuk lagi kepada dua tawanan Lo Sat lainnya.
"Sekarang giliran kalian berdua yang melempar dadu!" katanya.
Sudah pasti kedua tawanan itu tidak sudi jiwa mereka dijadikan pertaruhan dalam
permainan tersebut karenanya serentak mereka berteriak.
"Kami tidak mau!"
"Baik, tidak apa-apa kalau kalian memang tidak mau." Siau Po menolehkan
kepalanya kepada empat orang cong peng tadi dan menurunkan perintah.
"Seret kedua-duanya dan penggal kepala mereka !"
Dalam sekejap mata kembali dua orang tawanan kehilangan batok kepalanya.
Sekali lagi Siau Po menunjuk kepada dua orang tawanan Lo Sat yang lainnya.
"Sekarang giliran kalian berdua!"
Kedua orang itu sadar, apabila mereka menolak, mereka berdua pasti akan
mengalami nasib yang tragis seperti kedua rekannya barusan.
Tapi kalau mereka bersedia melemparkan dadu, masih ada kesempatan lima puluh
persen untuk hidup, Dengan ragu-ragu mereka masing-masing mengambil sebutir
dadu, Baru saja mereka bermaksud melemparkannya, tiba-tiba salah seorang rekan
tawanan itu mengangkat telunjuknya ke atas.
"Biar aku saja yang melempar," katanya kepada Siau Po. sikapnya sombong sekali.
Siau Po tertawa. "Bagus! Ternyata kau berani menentang aku. Nah, kau dulu yang lempar!" katanya.
Tawanan itu melemparkan dadunya, Dia memperoleh tujuh titik, sedangkan Siau Po
memperoleh sepuluh titik, Sekali lagi Siau Po tertawa.
"Bagaimana?" tanyanya.
Mimik wajah tawanan itu menunjukkan kekecewaan.
"Memang nasibku saja yang sedang apes, apalagi yang harus kukatakan!"
"Ketika kau datang ke negara kami, berapa banyak bangsa kami yang telah kau
bunuh?" tanya Siau Po pula.
Tawanan itu tampak agak bingung.
"Aku tidak ingat lagi, mungkin paling tidak ada tujuh atau delapan belas orang, Kau
boleh membunuhku sekarang, pokoknya aku masih tidak merasa dirugikan," sahutnya
berani. Siau Po memberi perintah untuk memenggal kepala orang itu, lalu menunjuk kepada
seorang tawanan lainnya, Dengan gemetar orang itu melemparkan dadu tersebut ke
atas meja, Setelah bergerak ke sana ke mari, jumlah yang ditunjukkan sebanyak
sebelas titik, Berarti kesempatan untuk menang besar sekali.
Siau Po bermaksud main curang, lagipula dia memang ahlinya melempar dadu,
namun kali ini ternyata gerakan tangannya kurang meyakinkan, angka yang terlihat
justru hanya dua titik, untuk sesaat dia sampai tertegun, kemudian dia tertawa
terbahakbahak. "Aku menang!" seru nya.
"Jumlah dadu yang kulemparkan sebelas titik, sedangkan jumlah dadumu hanya dua
titik, bagaimana mungkin kau yang menang?" sahut tawanan itu cepat.
"Kali ini jumlah yang kecillah yang menang, yang besar justru kalah!" kata Siau Po
seenaknya. Tawanan itu merasa tidak puas.
"Tentu saja yang jumlahnya besar yang menang, Di negara Lo Sat kami
peraturannya juga begitu!"
Mimik wajah Siau Po langsung berubah sehingga tidak sedap dilihat.
"Sekarang kau ada di Negara Lo Sat atau negara Tiongkok?" tanyanya dengan suara
tajam. "Negara.,., Ti... Tiongkok," sahut tawanan itu gugup.
"Kalau tahu kau ada di Negara Tiongkok, maka peraturan Tiongkoklah yang dipakai,
Lain kali kalau aku mengunjungi negara Lo Sat, baru kita gunakan peraturan negaramu
itu. Mampuslah kau!"
Kembali Siau Po memerintahkan anak buahnya agar menyeret orang itu ke luar
untuk dipenggal kepalanya, Setelah itu kembali dia menunjuk kepada seorang tawanan
Lo Sat lainnya. Tampaknya tawanan yang satu ini lebih cerdas dari teman-temannya yang lain,
Sebelum melemparkan dadu, dia bertanya terlebih dahulu.
"Kalau menurut peraturan Tiongkok, kali ini yang besar yang menang atau yang kecil
yang menang?" "Menurut peraturan negara kami, Bangsa Tiong-hoalah yang menang, Kalau biji dadu
yang dilemparkan Bangsa Tionghoa kecil, maka yang kecil yang menang, Kalau biji
dadu yang dilemparkan bangsa kami menunjukkan jumlah besar, maka yang besarlah
yang menang." Tawanan itu kesal sekali dibuatnya.
"Kau benar-benar keterlaluan! itu namanya tidak pakai peraturan!"
"Tentara Lo Sat yang datang ke negara kami dan sembarangan merebut tempat
serta membunuh orang, bukan bangsa kami yang datang ke negaramu untuk
membunuh bangsamu, Coba kau katakan, siapa yang keterlaluan dan tidak tahu
aturan?" Tawanan itu terdiam. "Cepat lempar dadunya!" bentak Siau Po.
"Biar bagaimana toh aku yang akan kalah, buat apa melempar dadu lagi?" kata
tawanan itu. "Tidak mau" Mampuslah kau!" teriak Siau Po,
Kembali dia memanggil seorang tawanan Lo Sat untuk maju ke depan, orang itu
bertubuh tinggi besar, wajahnya penuh dengan cambang.
"Budak Cina, kau tidak perlu main gila, Bunuh saja aku sesuka hatimu, Kali ini jumlah
kalian banyak, Lagipula kalian bersembunyi di bawah salju lalu tiba-tiba menyerbu
keluar, Menang juga tidak perlu dibanggakan Suatu hari pasukan besar negara kami
akan menyerang kembali dan membunuh kalian semua!" katanya dengan suara keras.
"Jadi karena kalian berhasil kami ringkus lalu kalian merasa tidak puas?" tanya Siau
Po. "Tentu saja tidak puas!" sahut tawanan itu dengan berani.
"Dalam anggapanmu, kalau kita berhadapan dengan jumlah yang sama maka
pihakmu yang akan meraih kemenangan, begitu?" tanya Siau Po pula.


Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan sombong tawanan itu menjawab.
"Sudah pasti, Bangsa Lo Sat kami satu orang bisa mengalahkan bangsa kalian lima
orang, Kalau tidak, kami juga tidak berani datang ke negara Tiongkok kalian. Aku berani
bertaruh denganmu, Kau perintahkan lima orang dari pihakmu ke luar ke depan, suruh
mereka berkelahi denganku, Kalau kalian menang, silahkan penggal kepalaku, Tapi
kalau aku yang menang, kau harus melepasku!"
Orang ini merupakan prajurit yang gagah dalam pasukan Lo Sat. Tenaganya besar
sekali, Dia melihat setiap prajurit yang dipimpin Siau Po rata-rata lebih pendek satu
kepala darinya, maka biar pun satu lawan lima, kemungkinan menangnya masih lebih
besar. Sejak tadi Song Ji duduk di samping, Mendengar nada suara orang itu yang
sombong, hatinya jadi mendongkol.
"Orang Lo Sat, tidak ada gunanya kau sesumbar. Wanita Cina saja masih dapat
mengalahkan dirimu," katanya sambil berdiri dan berjalan ke samping Siau Po.
Tawanan menjadi "Apakah Siau Po tawanan itu melihat tubuh Song Ji yang kecil sekali, wajahnya juga cantik jelita, Dia
geli sehingga tertawa terbahak-bahak.
kau ingin melawanku?" tanyanya.
menyuruh seorang cong peng melepaskan tali yang mengikat kedua tangan
tersebut Sambil tersenyum dia berkata.
"Song Ji ku yang baik, biar dia rasakan kelihaian wanita Cina kita!"
"Wanita Cina bisa berbahasa Lo Sat, bagus sekali, bagus seka li!" seru tawanan itu.
Bahasa Lo Sat Song Ji masih kalah jauh dibandingkan dengan Siau Po, karenanya
dia tidak sudi banyak bicara, Tangan kirinya memukul ke depan, sebuah jurus pukulan
dilancarkan ke arah muka tawanan itu.
Tawanan itu cepat-cepat menundukkan kepalanya, Namun dalam saat yang
bersamaan Song Ji juga mengirimkan sebuah tendangan. Perut si tawanan telak
terkena sehingga orang itu terkejut setengah mati.
Sambil meraung keras-keras, kedua tinjunya menghantam ke depan, Dia adalah jago
tinju di Negara Lo Sat, gerakannya cepat dan tinjunya kuat sekali, Song Ji bisa melihat
kehebatan orang itu, Dia berkelebat ke bagian punggung si Tawanan dan dengan
gerakan yang indah dia mengeluarkan sebuah jurus andalannya, Plak! Plok! Terdengar
suara keras dua kali berturut-turut pinggang kiri dan kanan si tawanan kembali terkena
tendangan maut Song ji. Tawanan itu menjerit kesakitan.
"Kau menggunakan kaki, curang! Curang!" teriaknya marah.
Rupanya ada peraturan bagi Bangsa Lo Sat yang sedang mengadu tinju. Mereka
tidak boleh menggunakan kaki untuk menyerang lawan.
"lni Negara Cina, berkelahi juga harus mengikuti peraturan Cina!" kata Siau Po
sambil tertawa. "Menggunakan cara Lo Sat aku juga akan menang!" seru Song ji.
Secepat kilat tinju kanannya menghantam ke depan, Tawanan itu berusaha
menangkis, ternyata jurus yang dikerahkan Song Ji adalah jurus tipuan, Belum apa-apa
dia sudah menarik kembali tinju kanannya sementara itu tinju kirinya sudah bergerak
pula ke depan. Berulang kali hal ini terjadi, sebetulnya tidak berbeda dengan adu tinju di Negara Lo
Sat. Kadang-kadang lawan justru terkecoh dengan siasat ini. Hanya saja gerakan Song
Ji jauh lebih cepat beberapa kali lipat dibandingkan orang-orang Lo Sat.
Tawanan itu menangkis beberapa kali, namun setiap kali dia gagal. Akhirnya dia
tertawa terbahak-bahak. "Permainan wanita Cina juga tidak berarti.,." Belum lagi kata-katanya selesai, kedua
pipinya sudah terkena pukulan tinju Song Ji. Dia jadi marah sekali Kedua tangannya
langsung menghantam ke atas dan ke bawah secara serampangan.
Song Ji menggeser tubuhnya sedikit untuk menghindar. Kedua jari telunjuk dan jari
tengahnya menjulur ke depan, tahu-tahu Tay Yang Hiat orang itu sudah ditotoknya.
Tawanan itu merasa kepalanya pusing tujuh keliling.
Tubuhnya terhuyung-huyung, Song Ji mencelat ke atas melampaui tubuh si tawanan,
telapak tangannya menepuk bagian belakang kepala lawannya. Meskipun tubuh
tawanan itu tinggi besar, namun dia juga tidak sanggup menahan diri dari pukulan Song
Ji. Tubuhnya terkulai di atas tanah dan tidak sanggup bangkit kembali.
Siau Po senang sekali melihatnya, Dia menggandeng tangan Song Ji lalu
didupaknya kepala tawanan itu satu kali.
"Apakah kau sudah merasa puas sekarang?" tanyanya.
Tawanan itu masih merasa pusing.
"Wanita Cina... menggunakan ilmu... sihir, Dukun wanita yang.,,."
Siau Po marah mendengar makiannya terhadap Song Ji, dan segera menukas
ucapan orang itu. "Babi busuk, ilmu sihir apa" Seret dia ke luar dan penggal kepalanya! Kalian para
prajurit Lo Sat, siapa yang masih belum puas" Aku ke luar dan kita mengadakan
pertandingan lagi!" teriaknya keras.
Sisa lima orang tawanan itu saling memandang.
Mereka melihat si Hercules yang tenaganya besar saja sudah dikalahkan dengan
mudah oleh perempuan di samping panglima itu, tentu mereka juga bukan
tandingannya. Tidak ada seorang pun yang berani mengajukan diri.
"Kalau kalian menyatakan takluk, maka aku tidak akan membunuh kalian, Bila tidak,
coba saja adu lempar dadu lagi denganku, Kita gunakan cara Tiong-kok, yang bisa
mengalahkan aku boleh terus hidup!" kata Siau Po pula, Dia membuat gerakan isyarat
dengan tangannya yang artinya memenggal kepala orang.
Ke lima tawanan itu berpikir dalam hati.
-- Kalau menggunakan cara Cina, berapa jumlah dadu yang ke luar pun tetap kau
yang menang! Salah seorang di antaranya segera membungkukkan tubuhnya memberi hormat dan
berkata. "Aku menyatakan takluk!"
"Bagus! Ambil arak dan daging, kasih dia makan!" seru Siau Po.
Beberapa orang cong peng segera mengambil arak dan daging semangkok penuh,
Setelah itu dia melepaskan ikatan tangan si tawanan dan mempersilahkannya makan.
Negara Lo Sat dingin sekali, setiap penduduknya suka minum minuman keras,
Meskipun Siau Po sendiri tidak begitu suka minum arak, namun persediaan yang
dibawakan para anak buahnya merupakan arak kelas satu sehingga baunya harum
sekali. Ke empat orang tawanan lainnya masih ragu-ragu, namun ketika mencium bau
harum arak, air liur mereka terasa akan menetes. Dan saat melihat rekannya makan
minum dengan lahap, rasa yang meng-gelitik dalam perut mereka tidak tertahankan
lagi. Satu per satu segera menyatakan takluk kepada Siau Po. Beberapa orang cong peng
diperintahkan untuk melepaskan ikatan tangan mereka, Lalu seperti rekannya yang
pertama, mereka juga disediakan arak dan daging, semuanya makan dengan lahap.
Kalau mengingat kembali bahwa jiwa mereka berhasil diselamatkan bahkan diberi
makan minum yang enak, mereka bersyukur sekali, Beramai-ramai mereka menyatakan
terima kasih kepada Siau Po.
Beberapa di antaranya malah minum sampai mabuk, Mereka menari-nari dan
bernyanyi Tentu saja para prajurit Siau Po tidak mengerti lagu apa yang mereka
nyanyikan, tapi kalau didengar lama-lama iramanya lumayan juga.
Selama beberapa hari berturut-turut, komandan barisan terdepan Ho Yu berhasil lagi
meringkus beberapa tawanan Lo Sat, Kadang-kadang jumlahnya mencapai tujuh belas
orang, paling sedikitnya satu dua orang, Siau Po sengaja menjalankan siasatnya.
Para tawanan itu tidak langsung dibunuh, melainkan dibiarkan bertemu dengan
beberapa kawannya yang sudah menyatakan takluk, Dari mulut rekan-rekannya itulah,
para tawanan itu mengetahui apabila mereka mau diajak melempar dadu dengan Siau
Po, satu per satu pasti dihukum penggal kepala.
Namun apabila mereka menyatakan takluk, setiap hari mereka malah disediakan
arak mahal dan makanan yang enak-enak. Oleh karena itu, setiap tawanan yang
berhasil ditangkap, boleh dibilang semuanya menyatakan takluk.
Bangsa Lo Sat adalah bangsa yang besar. Saking besarnya negara itu,
perekonomian mereka jadi kacau. Banyak penduduknya yang hidup di jalan sesat.
Umpamanya mencuri, merampok atau membunuh pun dihalalkan agar bisa
menyambung jiwa keluarganya.
Demikian pula para tentara negara itu, mereka tidak merasa takut terhadap siapa
pun, Selama ini sikap mereka sombong sekali, Apalagi setelah berhasil menduduki
wilayah Cina dan dalam anggapan mereka rakyat Cina terlalu lemah serta tidak berani
memberikan perlawanan. Sampai Siau Po membawa pasukannya datang ke daerah tersebut dan langsung
memamerkan hukuman penggal kepala, mereka baru tahu kelihaian Bangsa Cina.
Pada saat itu, Komandan Pasukan Kolichin telah mendapat perintah dari Ratu
Sophia agar kembali ke Moskow untuk menduduki jabatan yang lebih tinggi, sedangkan
panglima perang yang memimpin Ya Ke Lung bernama Alexi Tolbusin.
Beberapa kali dia mengirim pasukan kecil untuk meninjau daerah Liau Tong, Tapi
semuanya hilang tanpa kabar berita, Tolbusin menyuruh orang menyelidiki masalah ini,
namun tetap tidak mendapat jawaban yang memuaskan.
Dia segera sadar ada sesuatu yang tidak beres di balik semua ini, Akhirnya dia
mengambil keputusan untuk memimpin dua ribu orang prajuritnya dan menyelidiki
sendiri apa yang telah terjadi.
Dalam perjalanannya, Tolbusin tidak melihat apa-apa yang mencurigakan Apabila
mereka bertemu dengan penduduk Cina yang kebanyakan merupakan petani, dia
segera memerintahkan anak buahnya untuk membakar ladang orang tersebut dan
membunuh pemiliknya. Kira-kira menempuh perjalanan sejauh dua puluh li, tiba-tiba dia mendengar derap
suara kaki kuda, serombongan pasukan berkuda mendatangi ke arahnya.
Tolbusin segera memerintahkan anak buahnya untuk berpencar Tampak
serombongan prajurit Kerajaan Ceng dengan menunggang kuda menyerbu ke arah
mereka. Prajurit Kerajaan Ceng langsung membidikkan anak panah. Tolbusin tertawa
terbahak-bahak melihatnya.
"Bangsa Cina yang bodoh hanya bisa membidikkan anak panah, mana bisa melawan
pasukan kita yang mempunyai senjata api lengkap?" katanya.
Dia langsung menurunkan perintah untuk melepas tembakan, Dalam waktu yang
singkat belasan prajurit Ceng telah terkulai dari kuda masing-masing.
Dari antara pasukan berkuda Ceng terdengar suara teriakan keras. Mereka segera
memutar arah dan lari ke selatan, Tolbusin tidak sudi melepaskan mereka begitu saja.
Dia memerintahkan para serdadunya untuk mengejar.
Kuda yang ditunggangi prajurit Kerajaan Ceng merupakan kuda-kuda pilihan. Larinya
cepat sekali. Untuk sesaat pasti tidak bisa tersusul Setelah mengejar kurang lebih
tujuh delapan li, tiba-tiba serdadu Lo Sat melihat ada sebuah bendera kuning bergambar
naga terpancang pada dahan sebatang pohon.
Setelah agak dekat mereka baru tahu bahwa prajurit kerajaan Ceng mendirikan
beberapa puluh tenda di sana. Serdadu Lo Sat segera melepaskan tembakan
serombongan prajurit Kerajaan Ceng berhamburan ke luar dan membidikkan anak
panah. Setelah itu mereka melompat naik ke punggung kuda dan melarikan diri ke arah
selatan. Bagian 91 Di saat pasukan negara Lo Sat sampai di depan tenda-tenda itu, mereka tidak
melihat batang hidung seorang prajurit Kerajaan Ceng di sana, Tolbusin menerjang ke
dalam tenda yang paling besar Di sana tampak makanan yang masih mengepulkan
asap dan kendi arak berserakan di mana-mana, juga terdapat berbagai jenis batu
permata, mantel berbulu tebal serta benda-benda berharga lainnya yang bertaburan di
dalam tenda. Tolbusin girang sekali melihatnya.
"Ha, ini pasti tenda Panglima bangsa bodoh itu. karena diserang secara tiba-tiba dia
langsung mengambil langkah seribu serta tidak sempat lagi membereskan semua ini,
Cepat kalian kejar! Tangkap panglima bangsa bodoh itu, Siapa yang berhasil akan
mendapat hadiah besar Kalau dilihat dari isi tenda nya, barang-barang berharga yang
dibawa orang itu pasti banyak sekali!" perintahnya.
Para serdadu Bangsa Lo Sat yang melihat harta sebanyak itu langsung menjadi hijau
matanya. Mereka segeraberebut mengambili batu permata, emas intan yang
berserakan di dalam tanah. Ada pula yang langsung mengambil kendi arak dan
meneguknya sampai kering, Beberapa yang lainnya mencomot makanan lezat yang
banyak sekali jumlahnya. Setelah mendengar perintah panglimanya, mereka baru berbondong-bondong ke luar
untuk naik ke atas kuda dan mengejar ke arah selatan.
Di sepanjang perjalanan tampak berceceran uang emas, batu permata, golok
panjang, busur, dan anak panah, Para serdadu Lo Sat menduga bahwa prajurit
Kerajaan Ceng terkejut setengah mati melihat kedatangan mereka lalu lari terbiritbirit.
Bahkan senjata serta benda berharga yang jatuh berceceran pun tidak mereka
perdulikan lagi, Mereka meneruskan pengejaran Tidak seberapa jauh kemudian mereka kembali
melihat sepasang sepatu dan beberapa topi tergeletak di tengah jalan.
"Rupanya panglima bangsa yang bodoh itu sudah mengganti pakaiannya untuk
menyamar Kemungkinan sekarang dia menyamar menjadi prajurit biasa, jangan sampai
terkecoh olehnya!" teriak Tolbusin.
"Ciangkun selalu meramal sesuatu dengan tepat, pasti begitulah kejadiannya!" sahut
beberapa orang pengikutnya.
Tolbusin juga menyuruh anak buahnya untuk mengambil sepatu serta topi yang
mereka temukan. "Kalau kita berhasil meringkus prajurit bangsa yang bodoh itu, suruh dia mengenakan
sepatu dan topi itu untuk dicocokkan. Bagi yang pas, kemungkinan dialah sang
panglima yang kita cari," katanya.
Sekali para serdadu Lo Sat memuji panglimanya, Siapa manusia di dunia ini yang
tidak senang mendengar pujian"
Pengejaran pun diteruskan Tidak lama kemudian mereka kembali menemukan
sebuah tenda besar Kecuali uang emas dan batu permata, kali ini tampak pakaian
dalam wanita berserakan di mana-mana, warnanya mencolok pandangan mata, jantung
para serdadu jadi berdegup-degup melihat pemandangan itu.
"Cepat kejar! Prajurit-prajurit bangsa bodoh itu juga membawa beberapa wanita!"
teriak beberapa diantara nya.
Yang lain juga ikut bersemangat Apalagi di dalam tenda itu juga tercium bau pupur
serta wewangian yang menyengat hidung, Mereka jadi yakin prajurit Kerajaan Ceng
membawa sejumlah perempuan sebagai hiburan.
Mereka melanjutkan pencarian Dalam perjalanan mereka masih menemukan tujuh
buah tenda lainnya, dari kejauhan terdengar suara teriakan hiruk-pikuk, Tulbosin segera
mengeluarkan alat peneropong jarak jauh. Dia melihat sejumlah prajurit Ceng sedang
berlari serabutan Rupanya pasukan mereka telah terpecah belah, Melihat keadaan ini
hati Tulbosin jadi senang tidak terkatakan.
"Kita berhasil menyusul mereka!" serunya sambil menghunus goloknya dan diayunayunkannya
ke atas. "Serang... Bunuh!" teriaknya dengan keras.
Dia segera memimpin pasukannya untuk menyerbu ke depan, Di tengah perjalanan
mereka melihat beberapa ekor kuda milik prajurit Kerajaan Ceng tergeletak lemas.
Bahkan ada beberapa diantaranya yang sudah mati.
"Kuda tunggangan bangsa bodoh itu tidak punya tenaga untuk berlari lagi!" seru
beberapa serdadu Lo Sat. Mereka melarikan kudanya dengan cepat, setelah agak dekat, mereka melihat para
prajurit menyusup masuk ke sebuah celah di antara dua bukit.
Tolbusin mengejar sampai di depan bukit tersebut Untuk sesaat dia tertegun melihat
keadaan di depan mata yang tidak menguntungkan bagi pihaknya.
-- Apabila pihak musuh tiba-tiba menyerbu ke luar, kami akan kewalahan
menghadapinya. -- pikirnya dalam hati.
Tiba-tiba dari dalam bukit terdengar seseorang berteriak dengan menggunakan
Bahasa Lo Sat. "Hei, prajurit bangsa bodoh, jadi kalian sudah menyerah" Bagus! Bagus!"
Kemudian ada orang lainnya yang berseru pula.
"Ha ha ha! Kali ini prajurit Bangsa Cina mengalami kekalahan dengan
mengenaskan!" Suara orang itu terdengar seperti logat orang setempat Hal ini tidak perlu diragukan
lagi. Tolbusin gembira sekali, Tanpa curiga sedikit pun, dia memimpin pasukannya
menerjang ke celah di antara dua bukit Prajuritnya yang berjumlah dua ribu orang pun
segera mengikuti di belakangnya.
"Pasukan mana yang ada di depan" Di mana kalian?" teriak Tolbusin.
Dari tengah bukit terdengar sahutan puluhan orang.
"Kami di sini! Prajurit bangsa bodoh ini sudah menyerahkan diri!"
"Bagus!" seru Tolbusin, Baru saja dia menarik tali kendali kuda tunggangannya, dari
belakang terdengar suara tembakan yang memekakkan telinga.
Tolbusin terkejut setengah mati. Dia membalikkan tubuhnya, tampak pepohonan di
kedua sisi bukit penuh dengan asap tebal Cahaya api memijar-mijar. Di kedua sisi bukit
muncul moncong senapan yang berbaris rapi, para serdadu Lo Sat menjerit-jerit kalang
kabut. "Membalik! Kita ke luar dari celah bukit ini!" teriak Tolbusin.


Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Terdengar teriakan beribu-ribu orang dari kedua sisi bukit itu.
"Tentara Lo Sat, menyerahlah! Menyerahlah!" Suara itu begitu keras sehingga
memekakkan telinga. Sementara itu, ratusan batu dilempar ke luar sehingga menutupi jalan masuk celah
kedua bukit itu. para serdadu Lo Sat menjadi panik, mereka saling mendorong untuk
meloloskan diri, namun keadaannya justru semakin parah, Belum lagi bidikan anak
panah yang gencar milik prajurit Kerajaan Ceng dari segala penjuru.
Diam-diam Tolbusin mengeluh, dia baru sadar dirinya telah terjerat perangkap yang
dipasang musuh. Sekarang jalan masuk sudah tertutup, terpaksa dia memutar kembali
kuda tunggangannya untuk menerjang ke arah lain.
"Semuanya terjang ke depan!" teriaknya memerintahkan.
Baru saja melarikan kudanya beberapa depa, tiba-tiba dari arah depan terdengar
suara ledakan dahsyat Berpuluh-puluh meriam ditembakkan ke arah mereka, Tampak
berpuIuh-puluh serdadu Lo Sat yang memimpin di depan langsung mati terkena
ledakan meriam. Kekagetan Tolbusin jangan ditanyakan lagi, sukmanya seakan melayang entah ke
mana, Dia tidak pernah menyangka bahwa pasukan Kerajaan Ceng juga mempunyai
perlengkapan senjata api yang tidak kurang hebatnya.
Apalagi mereka sudah mempersiapkan meriam-meriam di ujung celah kedua bukit
itu. Dengan panik dia melompat turun dari kudanya.
"Tinggalkan kuda kalian! Gunakan senapan untuk menyerbu ke luar dari arah kita
masuk tadi!" teriaknya gugup.
Para serdadu itu segera melompat turun dari kuda masing-masing, Keadaan
semakin kacau, beratus-ratus orang berusaha memanjat ke atas bebatuan untuk
meloloskan diri, namun masih ada tersisa beberapa puluh orang yang masih bisa
menggunakan akal sehatnya.
Mereka menembaki prajurit Kerajaan Ceng untuk melindungi teman-temannya yang
sedang berusaha meloloskan diri, Tembakan para serdadu itu cukup hebat Belasan
prajurit Kerajaan Ceng terkena sasarannya.
Tapi meriam yang ditembakkan oleh pihak Siau Po juga tidak kurang dahsyatnya.
Beratus-ratus serdadu Lo Sat berusaha melarikan diri, namun meriam-meriam serta
granat yang dilemparkan ke arah mereka mencegahnya, Suara dentuman yang keras
semakin menggema di udara, sebagian serdadu itu tidak sempat menyelamatkan diri,
Kepala mereka terpisah dari leher karena ledakan meriam, ada pula yang kehilangan
empat anggota tubuhnya, sedangkan yang belum terkena musibah segera
mengundurkan diri daripada mati konyol
Tampaknya kalau perang ini dilanjutkan pihak seradu Lo Sat akan mengalami
kekalahan tragis, bahkan ada kemungkinan semuanya mati tanpa tersisa seorang pun.
Melihat situasi yang gawat ini, Panglima Tolbusin segera berteriak.
"Jangan menembak lagi! Kami menyerah!" sayangnya suara ledakan meriam dan
tembakan senapan terlalu keras sehingga menutupi teriakannya. Tidak ada yang
mendengar Buktinya meriam masih diledakkan dan senapan pun tetap mengeluarkan
tembakan. Beberapa serdadu yang ada di sisinya segera ikut berteriak.
"Hentikan tembakan! Hentikan tembakan!"
Prajurit Kerajaan Ceng pun berhenti menembak. Terdengar seseorang berseru
dengan bahasa Lo Sat. "Lemparkan senapan kalian, buang senjata yang lain, lepaskan semua pakaian
kalian!" Tulbusin marah sekali mendengar teriakan itu.
"Kami akan membuang semua senjata tapi tidak boleh menyuruh kami melepaskan
pakaian!" sahutnya lantang.
Dari antara prajurit Kerajaan Ceng kembali terdengar seruan.
"Buang senapan kalian, lepaskan pakaian! Siapa yang menurut akan diundang
minum arak, yang membangkang pasti mati!"
"Kami tidak akan melepaskan pakaian!" sahut ToIbusin sekali lagi.
Baru saja teriakannya lenyap, kembali terdengar suara ledakan, Rupanya prajurit
Kerajaan Ceng menembakkan meriam mereka sekali lagi, Sebagian besar serdadu Lo
Sat takut mati, mereka segera melemparkan senapan atau senjata lainnya dari tangan
masing-masing lalu mulai membuka pakaiannya satu per satu.
ToIbusin mengeluarkan sebatang tombak pendek lalu ditimpukkannya ke arah salah
seorang serdadunya yang sedang melepaskan pakaian sehingga orang itu mati
seketika. "Siapa yang berani melepaskan pakaiannya akan mendapat hukuman mati!"
teriaknya. Meskipun demikian, di bawah tembakan meriam yang semakin lama semakin
gencar, mereka terpaksa mengabaikan perintah panglimanya, Belasan serdadu segera
membuka pakaian mereka sehingga telanjang bulat Setelah itu mereka memanjat ke
atas bebatuan. pemandangan itu tentu lucu sekali Para prajurit Kerajaan Ceng tertawa
terbahak-bahak sambil bertepuk tangan.
"Cepat buka pakaian kalian!" seru mereka beramai-ramai.
Serdadu yang melepaskan pakaiannya semakin lama semakin banyak, Lagi-lagi
ToIbusin menimpuk dengan tombak pendeknya, Dua serdadu yang terkena sasaran
mati seketika. Tapi bagaimana mungkin dia sanggup membunuh serdadu yang
jumlahnya demikian banyak"
Prajurit Kerajaan Ceng tidak menembakkan meriam lagi, Dari atas bukit terdengar
seseorang berseru. "Siapa yang ingin hidup cepat lepas pakaiannya dan panjat ke mari!"
Pada saat itu, hampir seluruh serdadu Lo Sat tidak berniat melakukan perkelahian
lagi, Mereka sibuk melepaskan ikat pinggang dan seluruh pakaian.
ToIbusin menarik nafas panjang, Dia mengangkat tombak pendeknya ke atas dan
bersiap-siap untuk menghunjamkan senjata itu ke ubun-ubun kepalanya sendiri, namun
seorang serdadu yang rupanya merupakan wakil komandan pasukan pertama segera
menarik tangannya dan berkata.
"Ciangkun, kau tidak boleh berbuat demikian. Elang yang mempunyai sayap baru
bisa terbang tinggi di atas gunung!"
Pepatah dalam Bahasa Lo Sat itu kira-kira mempunyai arti yang sama dengan
pepatah "Selagi gunung masih menghijau, jangan takut kekurangan kayu bakar" dari
Cina. Dari antara para prajurit Kerajaan Ceng kembali terdengar seseorang berteriak
dengan menggunakan Bahasa Lo Sat.
"Kalian lekas buka pakaian Tolbusin, kemudian kalian ke luar bersama-sama! Kalau
tidak, aku akan memerintahkan orang-orangku untuk menembakkan meriam lagi!"
Kata Bahasa Lo Sat ini diucapkan dengan fasih, Yang menyerukannya justru para
serdadu negara Lo Sat yang telah menyerahkan diri. Tentu saja mereka dipaksa untuk
menyerukannya. Hawa amarah Tolbusin benar-benar meluap, Tapi berpuluh-puIuh pasang mata anak
buahnya menatap dirinya lekat-lekat. Dia tahu mereka juga merasa malu, Akhirnya dia
bertekad untuk membunuh diri. Tangannya segera terjulur untuk menghunus pedang
panjang di pinggangnya. Namun baru saja berhasil menyentuh gagang pedang tersebut, tujuh delapan
serdadu sudah menomplok ke arah tubuhnya dan meringkusnya hidup-hidup, Ada yang
memegangi kepalanya, ada yang sibuk melepaskan pakaiannya. Dalam sekejap mata
Tolbusin sudah telanjang bulat. Tubuhnya diangkat oleh para serdadu dan digotong ke
luar dari celah bebatuan.
Setiap ada serdadu Lo Sat yang memanjat ke luar maka ada dua orang prajurit
Kerajaan Ceng yang menghampirinya lalu mengikat kedua tangannya ke belakang.
Setelah itu mereka digiring meninggalkan tempat itu sejauh beberapa li. Dalam
gebrakan kali ini, hampir seluruh serdadu Lo Sat kecuali yang mati sebanyak enam
ratus orang lebih telah terikat tangannya dan dijejerkan di sebuah tanah kosong.
Tubuh mereka semuanya telanjang bulat Ketika angin dingin berhembus, tampak
tubuh mereka menggigil kedinginan.
Prajurit Kerajaan Ceng menggiring Tolbusin dan menempatkannya di barisan paling
depan, padahal saat itu serdadu Lo Sat sendiri merasa kecewa sekali sehingga mereka
menundukkan kepalanya dalam-dalam.
Namun ketika mereka melihat sang panglima yang sehari-harinya sangat garang dan
saat ini dapat diperlakukan sedemikian rupa, diam-diam jadi merasa geli, Ada beberapa
serdadu yang merasa lucu melihat pantatnya yang bulat sehingga tertawa cekikikan
yang lainnya pun jadi ikut memperhatikan.
Dalam waktu yang singkat suasana di tempat itu jadi riuh karena suara tertawa yang
ramai. Hampir seluruh serdadu Lo Sat yang kena ditawan dan para prajurit Kerajaan
Ceng tertawa terbahak-bahak menyaksikan pemandangan tersebut.
Tolbusin marah sekali, dia menolehkan kepalanya dan membentak.
"Siapa! Apa yang kalian tertawakan?" Namun kata-katanya terhenti seketika, Dia
baru ingat bahwa saat ini dia tidak mengenakan sehelai benang pun, dengan bersikap
garang seperti ini kelihatannya malah semakin lucu, walaupun dalam hati mereka masih
tersisa rasa gentar akan wibawa yang ditunjukkan sang panglima sehari-harinya,
namun pada saat ini siapa yang sanggup menahan rasa geli dalam hatinya"
Tiba-tiba terdengar suara tembakan meriam sebanyak tiga kali Kemudian tampak
serombongan pasukan berkuda mendatangi orang yang ada di bagian terdepan
membawa bendera biru. Di belakangnya menyusul lagi rombongan berkuda yang lain, kali ini yang dibawanya
bendera kuning, sedangkan rombongan yang terakhir membawa bendera merah
bertuliskan "Tay Ceng Lu Ting Kong Wi" yang artinya pangkat Lu Ting Kong, orangnya
she Wi dan mewakili Kerajaan Ceng yang besar.
Setelah sampai di hadapan para tawanan, rombongan berkuda yang membawa
bendera biru dan kuning menggeser diri menjadi dua rombongan di kanan kiri
sedangkan rombongan bendera merah berbaris rapi di tengah-tengah.
Tampak di bagian paling depan duduk bertengger di atas kudanya seorang pemuda
yang mengenakan mantel berwarna merah, topinya berwarna merah juga dan
tangannya sedang mengibaskan sebuah kipas, Lagaknya lucu sekali Dia tentu si
pemuda konyol Wi Siau Po.
Dia menggerakkan kudanya ke depan lalu tertawa terbahak-bahak pada saat itu
Tolbusin sedang gusar sekali, sedangkan dia tidak mempunyai wadah untuk
melampiaskannya. Sejak tadi hatinya sudah dingin, dia sudah tidak memperdulikan mati hidupnya lagi
Karena itu dia memaki dengan suara lantang.
"Bocah Cina, kau menggunakan siasat jahat untuk meringkus kami, itu bukanlah
perbuatan para pendekar! Kalau mau bunuh, silahkan, Kenapa kau harus
memperlakukan kami dengan cara demikian" Mengapa kau harus mempermalukan
kami di depan umum?"
Siau Po tertawa. "Bagaimana aku membuatmu malu?" tanyanya santai.
Tolbusin semakin berang. "Kau lihat sendiri ke... adaanku i... ni, apakah ini bukan suatu hinaan namanya?"
Kembali Siau Po tertawa. "Celanamu itu... siapa yang melepaskannya?"
Tolbusin segera sadar bahwa tuduhannya tidak tepat, Sudah jelas celananya
dilepaskan dengan paksa oleh anak buahnya sendiri, bagaimana mungkin dia
menyalahkan pemuda pesolek ini" Dalam keadaan marah besar, wajahnya berubah
merah padam. Dia lalu memberontak dan menerjang ke depan seakan hendak
mengadu jiwa dengan Siau Po.
Empat orang prajurit segera mengangkat senapan mereka dan menudingkannya ke
arah Tolbusin. Panglima itu merasa tidak berdaya, terpaksa dia menghentikan gerakan
kakinya, Tanpa sadar dia menurunkan tangannya untuk menutupi bagian bawah
tubuhnya (memang hanya Tolbusin seorang yang tangannya diikat ke depan).
Tindakannya itu justru menimbulkan lagi rasa geli di hati kedua belah pihak sehingga
suara tawa kembali riuh. "Kalau kau benar-benar menyerah, maka kau harus mengikuti Kerajaan Ceng kami
yang besar, sekarang juga kau berangkat ke Pe King untuk menyembah kepada Sri
Baginda," kata Siau Po.
"Aku tidak akan menyerah! Biar pun tubuhku dipotong menjadi beberapa bagian, aku
tidak akan menyerah!" sahut Tolbusin.
Siau Po mengeraskan suaranya untuk bertanya kepada para serdadu Lo Sat.
"Bagaimana dengan kalian" Apakah kalian menyatakan takluk kepada Kerajaan
Ceng kami yang besar?"
Tidak ada jawaban atau pun reaksi dari para serdadu itu. Mereka menundukkan
kepalanya dalam-dalam. "Baik, rupanya kalian tidak benar-benar menyerah panggil tukang masak!" teriak Siau
Po pula. Sepuluh orang tukang masak berjalan ke luar, di belakangnya mengiringi beberapa
orang cong peng yang membawakan sebuah tungku api. Mereka berdiri untuk menanti
perintah selanjutnya. Siau Po menoleh kembali kepada Tolbusin.
"Di Negara Lo Sat kalian ada semacam hidangan yang bernama "Sia sunik", rasanya
boleh juga, sekarang tiba-tiba saja aku kepingin makan lagi hidangan itu. Sudah cukup
lama aku tidak merasakannya yakni sejak kembali dari Moskow!" katanya kemudian
menoleh lagi kepada ke sepuluh orang tukang masak tadi dan memerintahkan "Buatkan
hidangan "Sia sunik"
"Terima perintah," sahut ke sepuluh tukang masak itu serentak.
Tungku api dinyalakan, di atasnya disampirkan selembar jala kawat. Dalam sekejap
mata jala kawat itu sudah merah membara karena apinya yang besar, Para serdadu Lo
Sat saling memandang. Mereka tidak tahu permainan apa lagi yang akan ditunjukkan
oleh para prajurit Cina itu.
Siau Po mengibaskan tangannya, dua puluh anak buahnya segera menyeret ke luar
sepuluh serdadu Lo Sat. Dengan Bahasa Lo Sat Siau Po berseru.
"Potong bagian bawah tubuh mereka untuk dijadikan "Sia sunik"!"
Sia sunik adalah sejenis hidangan seperti sosis yang dipanggang di atas api.
Hidangan khas ini sangat terkenal di Negara Lo Sat.
Sepuluh orang koki tadi segera menghampiri serdadu Lo Sat yang diseret ke luar,
Golok mereka yang berkilau saking tajamnya diangkat tinggi ke atas lalu dibacokkan ke
bawah kemudian terdengar suara jeritan yang memilukan.
Ketika para serdadu itu diseret ke daerah perbukitan, di atas tanah tampak sisa
darah yang berceceran Seakan suatu hal yang sudah biasa, tukang masak Siau Po
langsung menusuk setiap alat kelamin ke dalam sebatang pesi panjang lalu
dipanggangnya di atas api.
Suara peletekan dan bau hangus pun tersebar Dapat dibayangkan bagaimana
perasaan para serdadu Lo Sat lainnya ketika melihat daging rekan mereka dipanggang
sedemikian rupa, Wajah mereka tampak pucat pasi dan kepala mereka semakin
menunduk. "Seret lagi sepuluh serdadu Lo Sat untuk dibuat "Sia sunik"!" teriak Siau Po sekali
lagi. Dua puluh prajurit Cina pun ke luar menyeret mereka, Di antara sepuluh serdadu
yang terpilih, empat di antaranya sudah tidak dapat menahan diri lagi.
"Menyerah! Menyerah!" teriak mereka serentak.
"Baik, Bagi yang menyerah boleh kalian bawa ke bagian bendera putih di sana!" kata
Siau Po sambil menunjuk pada sebuah bendera putih yang entah sejak kapan
dipalangkan pada dahan sebatang pohon.
Empat serdadu itu dibawa ke bawah pohon, Tidak lama kemudian ada prajurit yang
datang mengantarkan arak dan makanan.
Beberapa prajurit kembali menyeret ke luar empat orang serdadu lainnya untuk
melengkapi jumlah yang sudah berkurang. Empat serdadu itu melihat rekan-rekannya
yang sudah menyerah malah mendapat arak dan makanan, sedangkan yang keras
kepala akan ditebas bagian bawah tubuhnya untuk dijadikan "Sia sunik", mereka segera
mengambil keputusan. "Menyerah! Kami menyerah!"
Sedangkan ke enam serdadu yang pertama-tama diseret keluar juga sadar apa yang
sedang mereka hadapi, maka mereka pun ikut berseru.
"Menyerah! Kami juga menyerah!"
Kalau sudah ada satu yang mulai, biasanya pengikut yang latah pasti banyak,
apalagi untuk urusan yang enak, Suara teriakan "menyerah" memecahkan kesunyian
yang mencekam Malah sebagian besar tidak perlu diseret keluar lagi oleh para cong
peng. Mereka berhamburan lari ke bawah bendera putih.
Dalam sekejap mata seribu lebih serdadu Lo Sat sudah menyerahkan diri, Di tempat
semula hanya tertinggal Tolbusin seorang yang masih berdiri dengan tegak.
"Bagaimana" Apakah kau sudah mau menyerah sekarang?" tanya Siau Po.
"Lebih baik mati daripada menyerah!" sahut Tolbusin tegas.
"Baiklah, aku akan mengembalikan kau ke Ya Ke Lung!" ujar Siau Po, lalu
memerintahkan anak buahnya untuk mengantar Totbusin ke Ya Ke Lung.
Tadinya Tolbusin sudah yakin, kalau dia bersikap keras kepala, paling-paling dia
akan dibunuh oleh prajurit-prajurit Kerajaan Ceng ini. Ternyata sekarang dia mendengar
perintah untuk melepaskan dirinya, hal ini benar-benar di luar dugaan Tolbusin.
"Kalau kau memang bersedia melepaskan aku, kembalikanlah pakaianku!" kata
ToIbusin. Siau Po tersenyum. "Pakaian sih tidak boleh dikembalikan lagi," katanya. Dia lalu menurunkan perintah
lagi kepada anak buahnya, "Kalian antar dia sampai perbatasan kota Ya Ke Lung,
sampaikan pesanku bahwa untuk sementara peperangan dihentikan. Kalian harus
menggiring manusia bugil ini keliling tembok kota sebanyak tiga kali baru boleh
membawanya masuk."

Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ang Cao yang selaku Komandan segera mengiakan Di bawah suara tertawa yang
riuh dari para prajurit, dia membawa pasukannya untuk menggiring Tolbusin
meninggalkan tempat itu. "Mohon bertanya kepada Panglima, kita sudah berhasil menangkap panglima musuh,
mengapa kemudian dilepaskan lagi?" tanya Lim Heng Cu. "Apabila dibalik persoalan ini
ada siasat yang ajaib, bolehkah panglima menjelaskan nya kepada kami?"
Siau Po tertawa. "Hari ini kita berhasil memenangkan peperangan dengan gemilang, tahukah kalian
siasat apa yang kupakai?"
"Otak Thayswe (Panglima) sangat cerdas, siasat yang terpikirkan pun pasti ajaib
tidak terkira, dalam hal ini hamba-hambamu merasa kagum sekali," sahut Li Heng Cu.
Siau Po menggelengkan kepalanya.
"Bukan siasatku yang ajaib, melainkan strategi sakti yang disusun oleh Sri Baginda,
Beliau berkata, dulu Cu Kek Liang berhasil memenangkan peperangan dengan
gemilang, kita harus banyak belajar dari pengalaman tokoh besar itu. Apakah kau
pernah menonton sandiwara tentang tokoh Cu Kek Liang" Taruhlah kau tidak pernah
menonton sandiwara ini, tetapi pasti kau pernah mendengar kisahnya dari gurumu,
bukan" Cu Kek Liang memerintahkan Wei Seng untuk berperang, dia hanya boleh kalah
tidak boleh menang, Wei Seng mengalami kekalahan selama lima belas kali berturutturut
dan pihak Beng Hok berhasil merebut tujuh buah tenda mereka, Kemudian Beng
Hok dipancing masuk ke Lembah Pan Coa Kok, akhirnya dengan api Wei Seng
mengurung musuhnya sehingga terbakar hidup-hidup di dalam lembah. Siasat yang kita
gunakan hari ini merupakan pemikiran Cu Kek Liang tempo dulu," katanya menjelaskan.
Para prajurit menyatakan kekaguman.
"Sri Baginda berjiwa pengasih, Beliau mengatakan bahwa cara Cu Kek Liang
membakar hidup-hidup musuhnya di dalam lembah Pan Coa Kok terlalu sadis, Kita
bangsa yang beradab dan sudah lebih pandai lagi harus bisa mengendalikan diri.
Apabila para serdadu Lo Sat memang benar-benar takluk, kita harus mengampuni jiwa
mereka," kata Siau Po pula.
"Kalau bukan Thayswe yang cerdas menggunakan siasat "Sia sunik" dan
memanggang daging beberapa orang dari mereka, belum tentu serdadu-serdadu itu
sudi menyerahkan diri. Mereka begitu keras kepala. Namun setiap manusia pasti ada
rasa takut menghadapi kematian, apalagi dengan cara sedemikian rupa. Menurut
hamba, siasat Thayswe kali ini bahkan lebih cemerlang daripada siasat Cu Kek Liang
tempo dulu," sahut seorang komandan pasukan.
Siau Po tertawa. "Aku tidak akan berbuat sekejam itu, sebetulnya di dalam saku para tukang masak itu
sudah tersedia sepuluh potongan daging sapi yang masih segar. Kami sudah yakin
bahwa tidak ada seorang pun yang sampai hati melihat dengan mata terbelalak di saat
temannya dihukum mati. Apalagi dengan cara demikian padahal beberapa cong peng itu sudah mendapat
kisikan, mereka hanya menebas bagian paha para serdadu itu sehingga darah
berceceran Biar bagaimana rasa sakitnya pasti tidak berbeda jauh, itulah sebabnya
mereka menjerit histeris. sedangkan yang dipanggang di atas api tidak lain dari sepuluh
potong daging sapi yang telah disediakan Kalau kalian ingin tahu bagaimana rasanya,
silahkan mencobanya sendiri."
Tentu saja prajurit yang lain jadi tertawa terbahak-bahak. Mereka segera mengambil
potongan daging sapi dari atas tungku pembakaran Ternyata apa yang dikatakan Siau
Po memang benar, rasanya gurih dan lezat.
"Thayswe melepaskan panglima musuh begitu saja, apakah maksudnya agar dia
menjadi jera serta tidak berani lagi memimpin pasukan untuk menyerang kita?" tanya
beberapa orang prajurit. "Bukan begitu maksudku, Tentang urusan ini, ketika di Kotaraja aku pun pernah
menanyakannya kepada Sri Baginda, Aku menyebut Hong Siang sebagai Niau Seng Hi
Tong. jiwanya besar dan berbudi tinggi, Apakah kita harus meniru cara Cu Kek Liang,
yakni setelah berhasil menangkap panglima Lo Sat lalu melepaskannya sebanyak tujuh
kali" Sri Baginda mengatakan bahwa itu merupakan suatu kesalahan.
Cu Kek Liang berhasil meringkus seorang raja, sedangkan yang tertangkap oleh kita
kemungkinan hanya seorang panglima, Andaikata dia menyatakan bahwa dia tidak
berani memberontak lagi, tetap saja tidak ada gunanya, karena tampuk kekuasaan
bukan terletak pada dirinya, Raja atau ratu dari Lo Sat masih bisa mengutus panglima
yang lain untuk menyerang kita," kata Siau Po menjelaskan.
Para prajurit membenarkan pendapat rajanya, "Serdadu Lo Sat yang berjaga di Ya
Ke Lung sangat kejam, Persenjataan yang dimiliki mereka pun hebat sekali, Kalau kita
membunuh panglimanya tadi, mereka masih bisa memilih seorang panglima yang lain
untuk memimpin pasukan yang lebih besar berperang mati-matian dengan kita.
Tapi aku justru menyuruh orang-orang kita menggiring panglimanya yang telanjang
bulat kembali ke sana, mereka harus mengaraknya mengelilingi tembok kota sebanyak
tiga kali, Serdadu Lo Sat pasti melihatnya, dan sejak sekarang panglima itu tidak
dihargai lagi. Kelak apabila dia memberikan perintah apa pun, anak buahnya belum
tentu mau mendengarkan," kata Siau Po pula.
Sekali lagi para prajuritnya mengiakan "Apakah Sri Baginda pula yang berpesan agar
seluruh pakaian panglima itu harus dilepaskan?" tanya Lim Heng Cu.
Siau Po tertawa terbahak-bahak "Mana mungkin Sri Baginda berbuat senekad itu"
Beliau hanya menyuruhku mencari akal agar semangat kita tetap terbangun dan musuh
menjadi gentar sehingga kita sanggup mengalahkan Bangsa Lo Sat. Sri Baginda
berkata: Serdadu Lo Sat bertubuh tinggi besar, seluruh tubuh tertutup oleh bulu yang
lebat puIa, dan tampangnya seperti orang liar.
Senjata api mereka hebat-hebat pula, Apabila para prajuritku melihat tampang
mereka yang kasar, mungkin bisa timbul rasa takut dalam hati, Begitu semangat pudar,
maka untuk mencapai kemenangan bukanlah hal yang mudah lagi, Sri Baginda berkata
pula. "Siau Kui Cu, kau paling banyak akal muslihatnya, pokoknya aku tidak mau tahu, kau
harus melakukan sesuatu agar para prajuritku memandang hina serdadu bangsa liar
itu", sepanjang malam aku tidak bisa tidur, aku terus mengasah otak mencari jalan
melaksanakan pesan Sri Baginda, sampai lama aku kebingungan. Akhirnya aku teringat
masa kecilku ketika suka bermain judi."
"Apa hubungannya antara serdadu Lo Sat dan kisah berjudi Thayswe di masa kecil?"
tanya seorang prajurit. "Ketika kecil aku sering bermain judi di kota Lok Yang, sifatku memang jelek. Kalau
menang masuk kantong, kalau kalah justru tidak mau mengakuinya, Diajak berkelahi
selalu ayo saja, tidak pernah ada rasa takut terhadap siapa pun, Sampai suatu hari aku
benar-benar kapok dibuatnya.
Orang yang memenangkan perjudian menyuruh rekan-rekannya meringkusku,
Setelah celanaku juga dilepasnya, lalu aku disuruh pulang dengan tubuh telanjang,
sepanjang perjalanan aku ditertawai oleh para penduduk, malunya bukan main.
Untuk selanjutnya aku tidak berani main gila lagi, Kalau kalah ya kalah, kalau
menang, boleh saja main curang asal jangan ketahuan pihak lawan."
Anak buahnya tertawa terbahak-bahak mendengar ceritanya.
"Sri Baginda mengatakan bahwa dalam perangan kita harus banyak akal dan pandai
melihat situasi Sri Baginda memang bisa memberikan berbagai saran, tapi sampai
waktunya bagaimana pun harus menjalani sendiri Aku ingat ketika aku kecil saja masih
tahu betapa malunya kalau celanaku dilepaskan orang, masa Bangsa Lo Sat tidak takut
diperlakukan serupa" Ternyata memang sama, begitu disuruh telanjang, mereka
segera menyatakan takluk," kata Siau Po selanjutnya.
Para prajurit memuji dirinya, dan merasa kagum sekali Beberapa diantaranya
berpikir. -- ilmu melepas celana ini belum pernah ada, bahkan dari jaman Dinasti Sung.
Ternyata ilmu panglima Wi cukup lihai Setelah itu, Siau Po menyuruh para serdadu Lo Sat untuk mengganti pakaiannya
dengan seragam Kerajaan Ceng lalu di bawah iringan seorang komandan, mereka
berangkat menuju Kotaraja untuk dipersembahkan kepada Kaisar Kong Hi.
Dalam rombongan Siau Po sekarang hanya tertinggal dua puluhan serdadu Lo Sat.
Dia mempertahankan sedikit sisanya agar dapat dimanfaatkan apabila terjadi kesulitan
dalam berkomunikasi. Malam itu juga Siau Po memanggil ketiga panglima lainnya, mereka diharuskan
menggempur Kota Ya Ke Lung. Keesokan harinya, dia pribadi membawa sepasukan
prajurit untuk menyusul mereka, Dari jauh saja sudah terdengar suara dentuman
meriam Asap senjata-senjata api yang digunakan sampai mengepul ke atas langit.
Suara bentakan dan jeritan kedua belah pihak terdengar dari dalam maupun luar kota.
Komandan pasukan Peng Cun yang mendapat tugas menyerang kota tersebut
melaporkan bahwa senjata api serta meriam serdadu Lo Sat hebat sekali. Banyak
prajurit Kerajaan Ceng yang menjadi korban.
"Tambah meriam kita dan gempur terus!" teriak Siau Po.
Peng Cun segera melaksanakan tugas yang diberikan Tidak lama kemudian
berpuluh-putuh meriam dipencarkan ke sekeliling tembok kota, Kali ini dentuman
meriam yang terdengar lebih dahsyat dari sebelumnya.
Selama beberapa hari berturut-turut peperangan terus berlangsung. Tampaknya
kedua pihak sama-sama dirugikan. Malah kalau dihitung-hitung, lebih banyak prajurit
kerajaan Ceng yang mati atau terluka parah.
Pelipis kanan panglima Lu Pu Suk terserempet peluru, untung Lim Heng Cu dengan
sigap menariknya ke luar dari kancah peperangan panglima Lung segera mendapatkan
pertolongan. Tampaknya nasib orang ini masih cukup terang, peluru yang mengenai
dirinya tidak sampai menembus ke dalam otak.
Siau Po memberikan hadiah kepada Lim Heng Cu atas jasanya, Dia juga
memerintahkan anak buahnya untuk mendirikan tenda sejauh lima li dari pintu gerbang
kota. Beberapa prajurit memberikan pendapatnya kepada Siau Po.
Ada yang mengusulkan anak muda itu menggunakan cara yang sama dengan
sebelumnya yakni memancing musuh ke tempat yang sudah terkepung sehingga dapat
diledakkan sekaligus, ada pula yang menyarankan agar menggali jalan dari bawah
tanah untuk melakukan penyerangan.
Cara menggali jalan di bawah tanah ini memang sudah Iama ada di Negara Cina.
Beberapa kali negara ini berhasil dalam perang justru menggunakan tradisi kuno ini.
Dan saran yang diberikan oleh salah seorang prajurit Kerajaan Ceng tersebut justru
memberi ilham kepada Siau Po.
Dia tahu di dalam kota Ya Ke Lung memang ada sebuah jalan di bawah tanah, di
situlah dia pernah memeluk tubuh Ratu Sophia yang bugil, Rasanya ingin sekali
kembali ke masa itu. Tanpa sadar mimik wajahnya jadi aneh, bibirnya tersenyumsenyum.
Para prajurit yang menyaksikan hal itu mengira panglima-nya telah menemukan
siasat yang jitu untuk menggempur lawan, karena itu tidak ada seorang pun yang berani
membuka suara. Dalam hati Siau Po berpikir.
- Bagaimana kalau Ratu Sophia tiba-tiba muncul di kota Ya Ke Lung dan memimpin
pasukannya untuk menyerang kami" Kali ini aku harus memeluknya lebih erat, Oh,
indahnya tubuh yang penuh dengan bulu emas itu! -Para prajuritnya masih menantikan keputusan Siau Po. Mereka tidak mengerti apa
yang dipikirkan Siau Po. Tampang anak muda itu aneh sekah, Kadang-kadang matanya
setengah terpejam seakan sedang membayangkan sesuatu yang indah, Kadangkadang
bibirnya bergerak-gerak seakan sedang bersenandung, namun mereka tetap
tidak berani mengganggunya.
Tiba-tiba terdengar Siau Po berkata, "Kurang ajar, bikin orang penasaran!"
"Memang betul," sahut Ang Cao. "Sudah berapa kali kita menyerang serdadu Lo Sat,
namun hasilnya tidak memuaskan, kota Ya Ke Lung masih belum berhasil kita rebut
kembali Bagaimana kita tidak jadi penasaran dibuatnya?"
Namun Siau Po sedang memikirkan tubuh ratu Sophia yang halus, telinganya seakan
tersumbat sehingga dia tidak mendengar apa yang dikatakan Ang Cao.
Terdengar dia menggumam kembali, "Aih, masa bodoh! Biar barang rongsokan dari
Lo Sat itu bagaimana lihainya, suatu hari aku pasti mendapatkan jalan ke luar untuk
mengatasinya!" "Apa yang dikatakan Thayswe memang benar, bagaimana pun lihainya Bangsa Lo
Sat, kita pasti akan menemukan jalan untuk mengalahkannya," sahut Peng Chun.
Siau Po seperti tersentak mendengar kata-katanya,
"Apa" Kau juga ingin meraba perempuan rongsokan itu" Boleh! Boleh! Tapi kau
harus hati-hati, jangan sampai melupakan anak istrimu di rumah!" katanya sambil
tertawa terbahak-bahak Peng Cun kebingungan namun tidak berani banyak bertanya, Siau Po menggebrak
meja keras-keras. "Bagus! ide saudara-saudara sekalian semuanya bagus! Tapi jalan di bawah tanah
itu terlalu sempit, lagipula tembusnya ke kamar sang Panglima, kemungkinan sekarang
sudah disumbat Mulai besok pagi kalian harus mulai menggali lagi!"
Para prajurit tentu saja merasa senang mendengar usul mereka dapat digunakan
walaupun dalam hati mereka menganggap sikap Siau Po angin-anginan, Kadangkadang
mereka tidak mengerti jalan pikiran anak muda itu.
Pada keesokan harinya mereka mulai menggali terowongan, Selama itu peperangan
masih berlangsung. Prajurit Siau Po masih belum berhasil menemukan titik kelemahan
lawan, Korban yang jatuh semakin banyak, Apalagi setelah Tolbusin mendengar
selentingan bahwa pihak Kerajaan Ceng sedang menggali jalan di bawah tanah. Diamdiam
dia meletakkan beberapa bom di sana sehingga ratusan anak buah Siau Po mati
seketika. Siau Po semakin kesal, Kepalanya terasa hendak pecah memikirkan jalan untuk
memenangkan peperangan ini. sedangkan cuaca semakin hari semakin dingin. wilayah
ini merupakan wilayah paling dingin di utara, Begitu masuk musim gugur saja, angin
sudah terasa menggigilkan, apalagi musim salju di penghujung tahun.
Setiap air yang menetes segera berubah menjadi es. Hidung dan telinga terasa akan
copot dari tempatnya, Kaki dan tangan membeku. para sukarelawan yang membantu
prajurit Kerajaan Ceng merasa tidak tahan lagi, Mereka mengatakan bahwa mereka
ingin memohon diri untuk kembali ke tempat masing-masing. Sampai tahun depan
musim semi mereka baru datang lagi untuk memberikan bantuan,
Lung Pu Suk dan Pa Hai pernah tinggal lama di daerah utara, Mereka tahu
bagaimana dinginnya cuaca di musim salju, Tidak mengherankan apabila sebagian
prajurit bisa mati kedinginan Apalagi mereka tidur di dalam tenda.
Berbeda dengan serdadu Lo Sat yang tinggal di dalam rumah. Tembok rumah lebih
lama menyerap hawa dingin daripada tenda yang terbuat dari kain terpal.
Akhirnya Siau Po mengambil keputusan untuk mengundurkan diri sementara,
Mereka harus menemukan cara yang lebih efisien untuk mengalahkan Bangsa Lo Sat.
Ketika serdadu Lo Sat melihat prajurit Kerajaan Ceng mengundurkan diri, mereka
menganggap lawannya sudah keok. Mereka bersorak dan bertepuk tangan keras-keras,
bahkan ada sebagian yang naik ke atas tembok kota dan membuka celananya serta
seenaknya membuang air kecil.
Tentu saja Siau Po mendongkol sekali, Tangannya menunjuk ke arah tembok kota
dan memaki-maki, Salah seorang prajuritnya berkata.
"Serdadu-serdadu Lo Sat seperti binatang liar, Thayswe tidak usah memperdulikan
mereka." "Tidak bisa! Kekalahan kita terlalu memalukan!" teriaknya, Kemudian dia menyuruh
anak buahnya membawakan selang air yang besar.
Selang air itu gunanya untuk memadamkan kebakaran Dalam peperangan mereka
selalu menyediakannya, sebab ada kemungkinan tenda-tenda mereka dibakar musuh
atau kejadian lainnya yang tidak terduga-duga,
Para prajurit Kerajaan Ceng membawakan belasan selang air yang besar Namun
benda-benda itu tidak ada gunanya karena tidak dapat menyedot air. Bukannya tidak
bisa tapi air sungai telah membeku menjadi es. Sekali lagi Siau Po menyuruh anak
buahnya menyediakan kuali raksasa.
Mereka segera menyalakan api dan memasak es dari salju sehingga mencair
Setelah itu air panas dituang ke dalam sebuah corong yang mengalir ke dalam selang,
Siau Po membuka celananya lalu mengencingi air panas tersebut.
"Semburkan ke arah kota!" perintahnya.
Para prajurit tahu bahwa Siau Po telah mendapatkan akal yang jitu untuk membalas
hinaan pihak Lo Sat, Tanpa disuruh lagi mereka segera turun tangan membantu Ada
yang memasak es, ada yang menuangkannya ke dalam selang dan sisanya
menyemprotkan air panas itu ke arah kota, Beberapa diantaranya malah berseru,
"Wi Thayswe mempersembahkan sirop air seni untuk diminum serdadu Lo Sat!"
Begitu air panas menyemprot ke dalam kota, para serdadu Lo Sat segera
menghindarkan diri sambil mencaci maki.
-- Anak muda ini benar-benar iseng! -- pikir beberapa komandan pasukan Namun
ada sebagian pula yang ingin mengambil hati panglima besarnya sehingga bertepuk
tangan menyerukan pujian.
Sayangnya cuaca terlalu dingin, air yang dimasukkan ke dalam selang pun sebentar
saja sudah membeku jadi es. Para prajurit Kerajaan Ceng terpaksa menggodoknya
kembali. Siau Po merasa bangga sekali akan hasil pemikirannya, Dia memuji dirinya sendiri.
"Cu Kek Liang menggunakan api membakar seluruh Pan Coa Kok, aku Wi
menggunakan air seni menyembur Gunung Lu Ting San. Sungguh suatu kebanggaan
yang tidak terkirakan!" serunya.
Seorang prajurit yang berdiri di sampingnya segera menukas.
"Wi Thayswe menggunakan air seninya untuk menenggelamkan semangat Bangsa
Lo Sat!" Siau Po tertegun sejenak mendengar ucapan orang itu. Suatu pernikiran kembali
melintas dalam benaknya. Tiba-tiba dia tertawa terbahak-bahak.
"Bagus sekali! Bagus sekali!" serunya sambil melonjak-lonjak kegirangan.
Siau Po memerintahkan anak buahnya memukul tambur sebagai tanda bahwa dia
ingin segera bertemu dengan wakil-wakiInya. Setelah mereka berkumpul, Siau Po


Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bertanya. "Berapa banyak selang air yang kita miliki?"
Salah seorang komandan yang menangani bagian perbekalan muncul dan
menjawab. "Jumlah seluruhnya ada delapan belas buah."
Siau Po mengerutkan keningnya.
"Kurang, masih kurang banyak! Mengapa tidak membawa lebih banyak?"
Komandan itu tidak menjawab, namun dalam hatinya dia berkata,
-- jarang sekali terjadi kebakaran dalam peperangan Kalaupun ada delapan belas
buah selang sudah cukup untuk memadamkan api, -"Aku menginginkan seribu buah selang, Cepat sebar orang untuk membelinya di
desa-desa terdekat Kira-kira kapan semuanya bisa tersedia?" tanya Siau Po pula.
Wilayah itu merupakan perbatasan utara, Tempatnya luas namun penduduknya
sedikit Desa atau kota yang terdekat saja jaraknya mencapai seratus li. Setiap desa
atau kota hanya dihuni oleh ratusan keluarga, Kehidupan mereka sulit sekali, belum
tentu mereka mempunyai selang air yang besar, Bila menginginkan seribu selang besar
dalam waktu yang singkat siapa pun tidak ada yang berani menjanjikannya.
Komandan itu menampakkan tampang serba salah.
"Harap Thayswe ketahui, di dalam perbatasan jarang ada yang menjual selang
besar, jumlahnya tidak mungkin mencapai demikian banyak. Kalau di luar perbatasan
kemungkinannya lebih besar, misalnya di Tian Cin atau Pe King, Kita harus menyuruh
orang pergi memesannya dan minta dikirim ke mari secepat nya."
Siau Po marah sekali. "Kentut busuk! Berangkat ke Pe King atau Thian Cin hanya untuk memesan selang
besar" Kau kira berapa lama waktu yang diperlukan" Untuk urusan perang, terlambat
setengah jam pun tidak boleh!" teriaknya keras-keras.
Komandan itu mengiakan berkali-kali, wajahnya berubah murung seketika, Dalam
hati dia berpikir. -- Celaka! Kemungkinan batok kepalaku ini tidak dapat dipertahankan lebih lama lagi.
-Salah seorang prajurit yang duduk di dekatnya mencoba memberikan saran kepada
Siau Po. "Thayswe, air senimu yang berharga sudah menyebar di tempat Bangsa Lo Sat Yang
penting mutu-nya, bukan banyaknya, Menurut pandangan saudaramu yang dangkal ini,
lebih baik kita hentikan saja semburan ini, toh kita sudah menunjukkan keangkeran
kita!" Siau Po menggelengkan kepalanya.
"Tidak bisa! Tanpa seribu selang besar, urusan yang besar ini tidak akan dapat
diselesaikan!" Dalam hati komandan tadi berpikir.
- Panglima yang satu ini benar-benar pengacau! Urusan rasa kesal yang disebabkan
air seni saja harus diperpanjang sedemikian rupa. Toh semua ini tadinya hanya gurauan
dan tidak akan melukai siapa pun, apa untungnya" Raja yang masih muda pasti senang
menggunakan tenaga panglima yang muda pula, Hubungan mereka atasan dan
bawahan begitu dekat, siapa yang berani banyak mulut"
Tapi kalau permainannya sudah mencapai batas yang keterlaluan toh kita sendiri
yang akan menjadi bahan tertawaan orang-orang sedunia! -Baru saja dia akan menasehati Siau Po sekali lagi, tiba-tiba terdengar anak muda itu
bertanya. "Saudara-saudara sekalian, siapakah diantara kalian yang dapat menemukan cara
terbaik untuk mendatangkan selang besar secepatnya" Kalau bisa mendapatkannya,
maka akan menjadi jasa yang tidak terkatakan besarnya."
"Mohon bertanya kepada Thayswe, apakah... apakah seribu selang besar ini... akan
digunakan untuk menyemprotkan air seni ke dalam kota?" tanya Peng Cun.
Siau Po tertawa. "Kalau kita sudah memiliki seribu selang besar dan akan kita gunakan untuk
menyemprotkan air kencing ke dalam kota, coba aku ingin tahu, dari mana kita
menemukan orang yang bisa buang air seni sebanyak itu?"
"Memang benar, Hamba sungguh bodoh, Biar semua prajurit membuang air kecil
sepanjang hari, jumlahnya juga tidak akan cukup untuk mengisi seribu selang, Hamba
mohon petunjuk dari Thayswe," sahut Peng Cun.
"Tadi aku melihat air seniku yang berharga telah menyemprot ke dalam tembok kota
dan dalam sekejap mata saja sudah membeku menjadi salju, Nah, kalau kita
menggunakan seribu selang lebih untuk menyemprotkan air ke dalam tembok kota itu
selama beberapa hari beberapa malam, apa yang akan terjadi?" tanya Siau Po.
Para prajurit tertegun sejenak, orang yang otaknya lebih encer segera bersorak
gembira, kemudian yang lainnya juga ikut mengerti. Dari dalam tenda besar terdengar
seruan-seruan yang memekakkan telinga.
"Siasat yang bagus! Strategi yang jitu! Air memenuhi kota Ya Ke Lung! Salju
membeku di gunung Li Ting San!" Demikian teriak mereka.
Beberapa saat kemudian, seruan mereka baru mereda, terdengar ada seseorang
yang berkata. "Walaupun harus ke Kotaraja atau Tian Cin, kita tetap harus mengusahakan seribu
selang besar itu!" Bahkan ada beberapa komandan pasukan yang memberanikan diri memohon surat
ijin agar mereka dapat segera berangkat mencari selang besar tersebut.
Kedudukan Ang Cao tidak begitu tinggi. Sejak tadi dia berdiri di bagian belakang dan
mendengarkan saja percakapan Siau Po dengan anak buahnya, Pada saat itu dia
membungkukkan tubuhnya dan berkata.
"Lapor Thayswe, hamba mempunyai sebuah pandangan yang dangkal, bolehkah
hamba mengungkapkannya?"
"Katakanlah!" sahut Siau Po.
"Begini, hamba adalah orang dari propinsi Hok-kian, Kampung halaman hamba itu
merupakan daerah yang miskin, maka kami tidak sanggup membeli selang air. Apabila
terjadi kebakaran di desa kami, para penduduk menggunakan pompa air dari bambu
yang besar untuk memadamkan api, Kami membuatnya sendiri dengan menggunakan
bahan bambu dan kayu. Dari sebelah atas dibuka sebuah liang kecil untuk
memasukkan air, sedangkan kayu yang panjang kita gunakan untuk mendorong air
sehingga menyembur ke luar," kata Ang Cao menjelaskan.
Siau Po menganggukkan kepalanya beberapa kali, Kemudian dia merenungkan cara
pemakaian pompa air itu. "Harap Thayswe ketahui, bentuk pompa air ini bisa kecil namun bisa besar juga,"
kata Ho Yu, "Ketika kecil hamba sering bermain dengan teman-teman, kami
menggunakan pompa air semacam itu untuk menyemprot lawan, Memang
menyenangkan juga. sayangnya daerah ini tidak banyak batang bambu yang besar
Untuk membuat pompa air yang besar, mau tidak mau kita juga harus mencari
bambunya di seberang sungai."
"Apakah kau mempunyai jalan keluar yang lebih baik?" tanya Siau Po kepada Ang
Cao. "Hamba rasa bambu besar memang sulit ditemukan di daerah ini. Namun pohon
siong dan lainnya banyak, Kita dapat menebang batang pohon itu lalu bagian
tengahnya kita lubangi untuk dijadikan pompa air besar," sahut Ang Cao.
"Untuk melubangi batang pohon Siong rasanya juga tidak begitu mudah, bukan?"
kata Siau Po. Salah seorang wakil komandan pasukan Siau Po merupakan keturunan tukang kayu,
dia segera menyatakan pendapatnya.
"Lapor Thayswe, pekerjaan itu tidak terlalu sulit dilaksanakan Mula-mula kita belah
dulu batang pohon itu menjadi dua bagian lalu masing-masing di-korek sehingga
berbentuk setengah lingkaran, lalu kita serut sehingga rata dan terakhir kedua bagian
itu kita satukan kembali Dengan demikian di bagian tengahnya sudah terdapat lubang
seperti bambu, untuk merapatkan kedua bagian batang pohon itu kita pantek saja
dengan paku besar." Siau Po gembira sekali mendengarnya.
"Bagus! Untuk membuat sebuah pompa air sebesar itu, kira-kira berapa lama waktu
yang dibutuhkan?" "Kalau hamba turun tangan sendiri, satu hari rasanya bisa menyelesaikan satu buah,
Apabila ditambah dengan kerja malam, mungkin satu hari bisa menyelesaikan dua
buah," sahut orang tadi,
Siau Po mengerutkan keningnya.
"Terlalu lambat. Kau harus pergi ke setiap tenda dan mencari orang yang mengerti
pertukangan. Kau jadi mandornya, dalam waktu sesingkat mungkin kau harus
mengajarkan mereka cara membuatnya, Pompa air ini merupakan barang kasar, bukan
bahan untuk membangun rumah seorang hartawan atau bahan untuk peti mati seorang
pembesar. Kulit luar batang pohon itu juga tidak perlu dikelupas, pokoknya harus bisa
menghemat waktu, tidak penting bagusnya, asal dapat digunakan secepatnya.
sekarang juga kau mencari tenaga untuk membuat pompa air sebanyak mungkin!"
perintahnya. Prajurit itu mengiakan, lalu segera mencari orang untuk pergi menebang batang
pohon, Beberapa puluh di antaranya mendapat tugas mendatangi rumah penduduk
untuk meminjam berbagai alat pertukangan.
Daerah luar perbatasan penuh dengan pohon Siong, malah di sepanjang tepi sungai
merupakan hutan yang luas, Selama ratusan tahun penduduk di sekitar daerah itu tidak
pernah mengeluh kekurangan kayu bakar, mungkin saking luasnya hutan tersebut.
Para prajurit segera bekerja, Dalam setengah hari mereka sudah berhasil menebang
ribuan batang pohon, Ada ratusan prajurit yang tadinya memang tukang kayu, Wakil
Komandan mereka mengumpulkan orang-orang itu menjadi satu. Setelah itu dia
mencari lagi empat lima ratus orang untuk membantu, Selama beberapa hari beberapa
malam mereka bekerja tanpa mengenal waktu untuk menyelesaikan pompa air yang
besar itu. sedangkan jumlah yang diperlukan juga banyak sekali, jadi mereka agak
kewalahan juga. Begitu selesai satu, Siau Po menyuruh anak buahnya mengadakan percobaan,
Pompa air itu diisi dengan air panas, enam orang mendorongnya, Ternyata air panas itu
bisa menyembur sampai sejauh dua ratusan depa.
Melihat hasil percobaan itu, Siau Po tidak henti-hentinya memuji.
"lni sih bukan pompa air, lebih cocok dinamakan meriam air. Tapi seharusnya kita
mencari nama yang lebih bagus lagi seperti.,., Pek.Liong Cui Pao (Meriam air Naga
Putih)," katanya seakan untuk dirinya sendiri. "
Kemudian dia mengeluarkan uang perak untuk diberikan kepada Wakil Komandan
dan rekan-rekannya, lalu memerintahkan mereka agar bekerja lebih giat lagi.
Tolbusin melihat para prajurit Kerajaan Ceng yang sudah mundur, sekarang balik
kembali. Namun mereka berdiri di kejauhan dan memandang ke arah tembok kota,
Dengan alat teropongnya dia juga melihat musuhnya mengumpulkan batang pohon
dalam jumlah yang banyak sekali, Dalam hati dia berpikir.
-- Bangsa Cina yang bodoh itu menebangi batang pohon, mungkin untuk
menghangatkan tubuh, Kalau melihat caranya, tampaknya mereka tidak akan
meninggalkan tempat ini dengan segera.
Hm, lewat setengah bulan lagi, kalian akan mendapat kese-nangan. Biarpun api yang
lebih besar lagi, tetap saja tidak bisa mengalahkan hawa dingin seperti di neraka ini.
Dia menyuruh anak buahnya menambah kayu di tungku perapian, setelah itu
menuangkan secawan arak Lo Sat dan meminta dua orang gadis Cina yang
didatangkan dari dalam perbatasan untuk menemaninya.
Bagian 92 Peng Cun, Ho Yu membawa sejumlah prajurit untuk membantu penduduk
mendatangkan lebih banyak lagi alat pertukangan ke tenda mereka. Dalam waktu
beberapa hari, meriam air yang diperlukan sudah selesai. Siau Po segera
memerintahkan agar meriam-meriam air itu diangkut ke atas bukit, dan moncongnya
diarahkan ke tembok kota.
Para prajurit bersorak-sorai, Meriam ditembakkan sebanyak tiga kali sebagai tanda
perang akan dimulai. Kuali besar juga sudah disiapkan, bongkahan salju dimasukkan ke
dalam kuali panas dan dididihkan, Setelah itu mereka menggunakan tong untuk
menuangkannya ke dalam meriam air itu.
Saat itu Tolbusin sedang tertidur lelap di balik selimutnya yang tebal, Tiba-tiba dia
mendengar suara meriam ditembakkan, Cepat-cepat dia melompat bangun dan secepat
kilat pula mengenakan pakaiannya, dia berlari ke luar untuk melongok lewat tembok
kota. Ketika itu angin bertiup dengan kencang dan langit gelap, Dalam remangremangnya
cuaca dian melihat para prajurit Kerajaan Ceng sedang meng-isikan
sesuatu ke dalam batang pohon, Maka hatinya bertanya-tanya, Tiba-tiba terdengar
seruan para prajurit itu disusul dengan semprotan air dari beribu-ribu batang pohon.
Tolbusin terkejut setengah mati.
"Aduh!" jeritnya keras-keras, sekumpulan air panas menyembur ke arah dadanya,
walaupun cuaca sangat dingin dan air panas yang mencapai tubuhnya hanya terasa
suam-suam kuku, namun derasnya air membuat tubuhnya terpelanting ke belakang.
Beberapa serdadu yang berdiri di dekatnya cepat-cepat membangunkan panglima
itu, namun dalam waktu yang bersamaan mereka juga memekik terkejut. Pancuran air
yang jumlahnya tidak terkirakan menyemprot ke arah mereka. Dalam sekejap mata
seluruh kota Ya Ke Lung penuh dengan uap putih, hal ini disebabkan hawa air hangat
yang mengenai salju di atas tanah.
Hati Tolbusin menjadi panik melihatnya.
"Bangsa Cina yang bodoh kembali menggunakan ilmu sihir!" teriaknya histeris.
Dari dalam batang pohon tahu-tahu bisa menyemprotkan air, tentu saja mereka
menganggapnya sebagai ilmu sihir, Dengan gugup dia berkata pula.
"Cepat tembak! jangan sampai Bangsa Cina yang bodoh itu memanjat ke atas
tembok kota!" Sejak hari itu dia ditelanjangi anak buahnya dan diarak kembali ke kota, wibawanya
sudah jatuh, Serdadunya tidak terlalu memperdulikan perintahnya lagi, Mereka
meninjau situasi yang sedang dihadapi. Kalau membahayakan jiwa, mereka memilih
tidak menuruti perintah panglimanya, sedangkan saat ini mereka melihat pancuran air
yang tidak henti-hentinya menyembur ke dalam kota, setiap orang berusaha
menghindarkan diri, siapa yang kerajinan menuruti perintah Tolbusin.
Para laki-laki Cina yang ada di dalam kota Ya Ke Lung sejak semula sudah dibunuh
oleh anak buah Tolbusin, Yang tersisa hanya beberapa perempuan yang masih muda,
Mereka dipaksa menjadi gundik para pembesar Lo Sat.
Bagi yang tidak mau akan dihukum mati juga, Jadi, dalam kota itu sekarang hampir
seluruhnya merupakan Bangsa Lo Sat. Ketika terjadi keributan, mereka berbondongbondong
ke luar untuk melihat apa yang terjadi otomatis mereka pun terkena semprotan
air dari meriam batang pohon yang dilancarkan prajurit Siau Po.
Tubuh mereka dari kepala sampai ke kaki basah seketika, Mula-mula airnya memang
terasa hangat di badan, namun karena dinginnya cuaca, sebentar saja pakaian mereka
sudah berlapis es. Bangsa Lo Sat terkejut setengah mati.
Cepat-cepat mereka membuka seluruh pakaian dan sepatu, Mereka sadar apabila
hal ini tidak cepat dilakukan, maka dengan bertambah dinginnya cuaca, pakaian serta
sepatu mereka akan membeku menjadi es. Saat itu apabila mereka ingin melepasnya,
pasti sudah sulit sekali, namun kalau dibiarkan akan lebih berbahaya, Bayangkan tubuh
yang ditutupi pakaian dari es. Dalam waktu beberapa jam saja mereka akan mati
membeku. Suasana di dalam kota Ya Ke Lung jadi kacau balau, Suara jeritan dan tangisan
membaur menjadi satu. Air yang menyembur di atas tanah sebentar saja sudah
menggumpal seperti bubur, Kaki Bangsa Lo Sat yang telanjang menginjak di atasnya,
dinginnya jangan ditanyakan lagi.
Suara jeritan semakin menjadi-jadi. Mereka berdesak-desakan untuk memanjat ke
tempat yang lebih tinggi, bahkan sebagian di antaranya naik ke atas genteng.
Tolbusin mengenakan mantel yang terbuat dari kulit harimau, tangannya membawa
sebuah payung besar, Dia kembali ke arena untuk melihat perkembangan. Tiba-tiba dia
mendengar salah seorang serdadunya berseru.
"Lebih baik kita menyerah saja!" Tolbusin marah sekali.
"Siapa yang berani mengacau di sini" Seret dia ke luar dan penggal kepalanya!"
bentaknya garang. Para serdadunya melihat Tolbusin mengenakan mantel kulit yang tidak dapat
merembes air. Pasti tubuhnya hangat sekali, Dan sekarang dia berdiri sambil bertolak
pinggang dan marah-marah. Tentu saja anak buahnya merasa tidak puas, Salah satu di
antaranya mengambil sebongkah es batu dan dilemparkannya ke arah sang Panglima.
Tolbusin marah sekali, lalu mencabut pistol pendeknya dan Banggg!!
Dada orang itu tertembak dan mati seketika, sekarang giliran serdadunya yang
berang, Beramai-ramai mereka memunguti bongkahan salju dan ditimpukkan ke arah
panglimanya, Bahkan ada beberapa di antaranya yang menerjang ke arah Tolbusin
hingga orang itu jatuh bergulingan di atas hamparan salju.
Di saat ribut-ribut itu, sepasukan serdadu lainnya muncul dari dalam kota, Serdadu
yang mula-mula menerjang TuIbosin takut akan timbul keonaran di antara orang sendiri,
maka terpaksa mereka melepaskan sang panglima, Baru saja TuIbosin berusaha
bangkit dari hamparan salju, dua semburan air yang keras mengenai kepalanya
sehingga dia kebasahan juga, Kakinya mencak-mencak, air yang mengalir lewat kerah
mantelnya membasahi tubuhnya sehingga dia merasa kedinginan. Dalam keadaan
demikian terpaksa dia meminta anak buahnya untuk melepaskan pakaian dan
sepatunya. Prajurit Kerajaan Ceng yang melihat kepanikan serdadu Lo Sat tentu saja merasa
senang sekali, Ada yang bertepuk tangan keras-keras, ada yang bersuit sambil
menarinari, ada yang menyanyikan lagu macam-macam, bahkan ada yang menyenandungkan
lagu "Raba sana raba sini" gubahan Siau Po.
Peng Cun dan yang lainnya bertambah sibuk, Bongkahan salju yang diambil semakin
banyak. Api terus membara di bawah kuali, dan air panas yang disemprotkan ke arah
tembok kota pun semakin meluap.
Siapa pun tidak menyangka kedahsyatan meriam air yang dilancarkan Siau Po.


Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Serdadu Lo Sat kehilangan kendali Masih ada sebagian yang bisa berpikir panjang,
mereka mengeluarkan meriam untuk balas menembak, namun hal ini tidak berlangsung
lama. Air yang menyembur mengenai moncong meriam, dalam sekejap juga membeku
menjadi es. Meriam-meriam itu malah menjadi barang rongsokan yang tidak terpakai.
Atap rumah, jendela dan bagian lainnya yang terkena guyuran air juga langsung
membeku Cuaca di dalam kota itu semakin dingin, pakaian kering yang disimpan untuk
salin menyerap hawa dingin sehingga tidak dapat dikenakan.
Bahkan lantai didalam rumah pun tidak luput dari genangan air yang akhirnya
membeku menjadi salju pula, Ke-adaan di dalam kota itu hampir tidak terkendalikan
lagi, Siau Po senang sekali melihatnya.
Dia bermaksud menyuruh anak buahnya untuk mempergencar serangan, namun
tiba-tiba melihat bongkahan salju di permukaan sungai tinggal sedikit, paling-paling
untuk mengisi puluhan meriam batang pohon lagi, Hatinya menjadi kecewa seketika,
dan wajahnya pun berubah murung, Dia benar-benar tidak tahu cara apa lagi yang
harus ditempuh apabila serangan kali ini gagal. Namun justru di saat itulah pintu
gerbang utama kota terpentang lebar, ratusan serdadu berhamburan ke luar sambil
berteriak. "Menyerah! Kami menyerah!"
Luka di kepala Lung Pu Suk seperti sembuh setengahnya begitu mendengar suara
itu. Dia segera memerintahkan seribu prajurit dari pasukan berkudanya untuk maju ke
depan menghampiri para serdadu yang menyerahkan diri itu.
"Yang menyerah duduk di atas tanah!" teriaknya lantang.
Serdadu Lo Sat tidak mengerti apa yang dikatakannya Mereka saling memandang
dengan rekan-rekannya, Seorang prajurit Kerajaan Ceng menunjuk ke atas tanah dan
berkata. "Duduk! Duduk!"
Tepat pada saat itulah pintu gerbang kota dirapatkan kembali Dari atas tembok
muncul beberapa moncong meriam dan ditembakkan ke bawah sehingga puluhan
serdadu Lo Sat mati seketika terkena ledakannya.
Prajurit Kerajaan Ceng membidikkan meriam air ke arah atas tembok kota. Begitu
serdadu Lo Sat menembakkan meriam, mereka juga menyemprotkan air dalam waktu
yang bersamaan Meriam yang meluncur ke depan langsung terpental membalik oleh
kencangnya semburan air, jatuhnya tepat di atas tembok tempat para serdadu Lo Sat
sedang mengintai Blammm! Terdengar suara dentuman meriam disusul dengan jeritan yang menyayat hati,
Serdadu Lo Sat yang ada di atas tembok mati dengan tubuh hancur akibat "Senjata
yang makan tuan. Siau Po bertepuk tangan keras-keras, Dia tidak menyangka semburan air yang kuat
dapat membalikkan meriam yang sedang meluncur, semangatnya terbangkit kembali
Keyakinannya juga semakin bertambah.
Tulbosin membentak dengan suara keras, dia menyuruh anak buahnya yang lain
menggantikan kedudukan serdadu-serdadu yang mati, Tapi anak buahnya malah
memalingkan kepala, tidak ada seorang pun yang menuruti perintahnya.
Tulbosin marah sekali, dia mengulurkan tangannya untuk memukul salah seorang
serdadu yang ada di dekatnya, Serdadu itu menggeser tubuhnya sedikit untuk menghindar,
Tentunya Tulbosin tidak sudi melepaskan orang itu begitu saja, dia langsung
mengejarnya. Tapi apa mau dikata, tiba-tiba kakinya tergelincir dan jatuh terpeleset, ini yang
dinamakan "Sudah jatuh tertimpa tangga pula, Seorang serdadunya yang lain cepatcepat
mendorong Tulbosin sehingga dia terjatuh ke dalam sebuah lubang yang tadinya
digunakan untuk menempatkan meriam.
Tulbosin berusaha memanjat ke atas, tapi salju yang terdapat di sekeliling liang itu
licin sekali, Berkali-kali Tulbosin mencoba, namun berkali-kali pula dia terperosok
lagi. "Tolong aku! Tolong aku!" serunya, sementara itu, air yang deras masih menyembur
ke dalam kota, Lubang tempat Tulbosin terperosok pun tergenang air, Tulbosin semakin
kelabakan, sedangkan para serdadunya malah berkerumun untuk melihat keadaannya
yang mengenaskan. Air yang menggenang di dalam lubang perlahan-lahan membeku menjadi salju,
TuIbosin berusaha meronta, namun tidak ada gunanya, Sesaat kemudian, setengah
tubuhnya sudah tertimpa salju.
Sementara itu, tampaknya para serdadu Lo Sat sudah bersatu hati, Mereka
membuka pintu gerbang lalu berhamburan ke luar sambil berseru, "Menyerah!"
Karena perasaan hatinya yang terlampau gembira, Siau Po sampai melompat turun
dari kudanya, lalu menari-nari. Mulutnya mengoceh macam-macam, namun tidak ada
seorang prajurit mengerti apa yang diperintahkannya, Untung masih ada beberapa
Komandan lain yang sudah berpengalaman dalam peperangan.
Dia segera mengambil alih tugas Siau Po. Serdadu Lo Sat yang menyerah segera
dikumpulkan menjadi satu, Kemudian dia memerintahkan ratusan anak buahnya agar
masuk ke kota untuk mengambil benda-benda yang bermanfaat bagi mereka.
Dalam keadaan seperti ini, otomatis Siau Po, So Ngo Ta dan beberapa pembesar
lainnya juga mendapatkan banyak rejeki, sebagian harta benda yang tidak terkirakan
nilainya dibawa ke hadapan Siau Po.
Pihak mereka sudah berhasil memenangkan perang kali ini. Malam harinya diadakan
perjamuan besar-besaran, sebagian besar prajurit Kerajaan Ceng masih bekerja keras,
Kalau tadi mereka membekukan Kota Ya Ke Lung, sekarang mereka justru mencairkan
esnya agar mengalir kembali ke dalam sungai, pekerjaan ini pun bukan pekerjaan yang
mudah. Akhirnya mereka memutuskan untuk melakukannya sedikit demi sedikit.
So Ngo Ta dan lainnya memberikan pujian kepada Siau Po. Mereka mengatakan
belum pernah ada peperangan yang berhasil segemilang ini dari jaman dulu.
Salah seorang utusan kaisar yang kebetulan masih ada di sana berkata.
"Ketika hamba berangkat dari Kotaraja, Sri Baginda menyuruh hamba melihat
perkembangan yang sedang berlangsung, Beliau juga meminta hamba menyampaikan
kepada Wi Thayswe agar jangan terlalu banyak melakukan pembunuhan.
Ternyata hari ini Wi Thayswe benar-benar berhasil dengan gemilang, Yang
mengagumkan justru tidak adanya korban yang jatuh di pihak kita, walaupun lawan
menggunakan senjata api yang dahsyat.
Sejak jaman dulu, mungkin hanya Wi Thayswe seorang yang sanggup melakukan
nya. Bahkan kelak di kemudian hari belum tentu ada orang yang sanggup menyamai Wi
Thayswe." Siau Po merasa bangga sekali, dan sifat membualnya kumat lagi.
"Untuk menghancurkan sebuah kota seperti Ya Ke Lung sebetulnya juga bukan
urusan yang sulit Satu-satunya kesulitan yang kita temui justru terletak pada sikap Sri
Baginda yang pemaaf, Beliau tidak ingin banyak orang menjadi korban walaupun yang
dimaksud itu musuh negaranya sendiri itulah sebabnya aku menunggu sampai hari ini
baru mengeluarkan strategi yang satu ini.
Maksudnya untuk membuktikan kebaikan Sri Baginda, Kita semua bekerja untuk Sri
Baginda, melakukan peperangan tanpa perduli berapa banyak korban pun yang jatuh
merupakan urusan yang mudah sekali Tapi bila ingin memenuhi firman kaisar yakni
menang dalam perang tanpa jatuh korban, ini memang agak sulit sedikit."
Tentu saja para prajurit tahu bahwa anak muda ini sedang membual, namun untuk
memenangkan perang tanpa jatuh korban dari pihak sendiri mereka mengakui memang
bukan hal yang mudah. "Hal ini merupakan rejeki dari Sri Baginda dan bakat ajaib dari Wi Thayswe," kata So
Ngo Ta. "Dalam peperangan kali ini, dari yang pangkatnya tinggi sampai rendah, semuanya
telah mendirikan jasa yang besar Kalau bukan nasib baik yang dibawa oleh utusan
kaisar dan So Tayjin, kita juga tidak mungkin memenangkan peperangan ini," sahut
Siau Po. Tentu saja utusan Kaisar dan So Ngo Ta senang sekali mendengar kata-katanya.
Mereka merasa terharu atas kebaikan hati Siau Po. Padahal, ketika perang berlangsung
mereka berdua selalu menyembunyikan diri jauh-jauh.
Kedua-duanya takut terkena sasaran tembakan atau pun ledakan meriam, Apa
hubungannya dengan "nasib baik" yang dikatakan Siau Po" Tapi dengan ucapan Siau
Po barusan, berarti mereka berdua juga ikut mendirikan jasa besar dalam peperangan
kali ini. Hadiah bagi yang berjasa dalam perang paling banyak dibandingkan hadiah
untuk jasa lainnya. Siau Po paling pandai melihat situasi Membagi jasa kepada utusan kaisar ini tidak
akan merugikan dirinya, malah sebaliknya akan mendatangkan keuntungan baginya.
Sekembalinya utusan ini ke Kota-raja, dia pati akan membual tentang dirinya setinggi
langit di hadapan Sri Baginda, Taruhlah jasanya hanya lima bagian juga akan dikatakan
sebanyak sepuluh bagian. Kalaupun ada sedikit kesalahan yang pernah dilakukannya, baik sang utusan
maupun So Ngo Ta pasti akan ditutupinya, Mereka akan menutup mulut rapat-rapat.
Mereka makan minum dengan lahap, Seorang prajurit datang melaporkan bahwa
mereka mendapat kisikan dari serdadu Lo Sat yang menyerah bahwa mereka telah
mengeluarkan tubuh Tolbusin, Saat itu sang panglima sudah mati beku, Seluruh
tubuhnya berubah menjadi kehijau-hijauan.
"Ketika masih bayi, orang ini diberi nama yang salah, Dia tidak boleh menggunakan
nama Tolbusin (Sin merupakan terjemahan dari Cing yang artinya hijau), seharusnya
dia bernama Tolbucai (Cai = rejeki) agar rejekinya banyak dan panjang umur, Kalau
begitu dia tidak perlu menjadi hijau, malah menjadi kaya," kata Siau Po sembari
menarik nafas panjang, Kemudian dia memerintahkan anak buahnya untuk pergi
membeli peti mati guna pemakaman jenasah ToIbusin.
Setelah menyelesaikan berbagai hal yang diperlukan Siau Po mengutus So Ngo Ta
bersama utusan kaisar segera memacu kuda mereka kembali ke Kota-raja memberikan
laporan kepada Kaisar Kong Hi.
Malam harinya Siau Po dan Song Ji bermalam di rumah yang tadinya ditempati oleh
Gubernur setempat Tungku api membara, selimut dari kulit harimau menutupi tubuh.
suasananya romantis sekali.
Tempat ini merupakan tempat nostalgia bagi Siau Po. Ketika dia membuka sebuah
peti yang terdapat di samping tempat tidur, isinya ternyata baju seragam serta senapan
api. Song Ji tersenyum. "Apakah Siangkong berharap dari dalam peti keluar seorang ratu negara Lo Sat?"
tanyanya menggoda. Siau Po tertawa. "Kau kan Tuan Puteri dari Tiongkok, jauh lebih baik daripada seorang ratu dari
Negara Lo Sat," sahutnya tak mau kalah.
Song Ji menjadi geli mendengarnya.
"Sayangnya Puteri Tiongkokmu yang asli masih ada di Peking, bukan di sini,"
katanya. "Song Ji ku yang baik, bukankah pekerjaan kita hari ini dapat dikatakan sebuah "jasa
yang bukan main besarnya?"" goda Siau Po.
Wajah Song Ji menjadi merah padam. Untuk sesaat dia tersenyum tersipu-sipu,
Meskipun dia sudah cukup lama menjadi istri Siau Po, namun mendengar godaan
suaminya, dia masih merasa jengah.
Siau Po meraih pinggang Song Ji dan diajaknya duduk di tepi tempat tidur.
"Berkat bantuanmu, akhirnya kita berhasil merebut kembali Gunung Lu Ting San. Sri
Baginda menganugerahi aku pangkat Lu Ting Kong, Tampaknya wilayah ini akan
menjadi kekuasaanku Di dalam gunung ini banyak tersimpan emas permata, Perlahanlahan
kita menggalinya, Suatu hari kelak namaku harus diganti menjadi Wi Tuo Po (Wi
banyak harta)," katanya.
"Siangkong sudah memiliki banyak uang emas maupun perak, Biar digunakan
sampai seumur hidup juga masih berlebihan sedemikian banyaknya emas permata juga
tidak ada gunanya, Aku rasa sebaiknya Siangkong tetap menjadi Wi Siau Po (Wi yang
harta-nya sedikit)," sahut Song Ji.
Siau Po mengecup pipi Song ji dengan lembut.
"Benar, benar! Selama beberapa hari ini aku terus dicekam keraguan, Kalau hanya
menggali harta saja sih tidak apa-apa, Takutnya salah menggali sehingga memutuskan
urat nadi naga Bangsa Boan Ciu. Dengan demikian aku telah mencelakai Sri Baginda,
Selama ini Sri Baginda selalu memperlakukan diriku dengan baik,
Bukanlah suatu perbuatan yang terpuji bila aku malah mencelakakannya. Namun
kalau harta itu tidak digali, rasanya sayang juga, Lebih baik begini saja, untuk
sementara kita jangan menggali harta karun ini. Apabila suatu hari nanti Sri Baginda
sudah wafat, tentunya kita juga sudah jatuh miskin. Sampai saat itu toh masih belum
terlambat untuk menggali harta karun ini," katanya pula.
Baru berkata sampai di sini, tiba-tiba dari dalam peti kemas terdengar suara
samarsamar. Kedua orang itu saling melirik sekilas, lalu mengalihkan pandangannya ke arah
peti, Sampai sekian lama tidak terlihat gerakan apa-apa.
Perlahan-lahan Siau Po menepuk tangannya tiga kali, Song Ji keluar untuk
memanggil ke empat penjaga yang meronda di depan, Siau Po menunjuk ke arah peti
dan berkata dengan suara berbisik. "Di dalam peti ada orang!"
Keempat penjaga itu terkejut setengah mati, Mereka segera membuka tutup peti,
tampak di bagian atasnya penuh dengan pakaian seragam, Siau Po memberi isyarat
dengan gerakan tangan. Para penjaga itu mengerti lalu mereka mengangkat pakaian
seragam itu satu per satu sampai akhirnya tampak sebuah lubang, Tepat pada saat
itulah terdengar suara, Dor! Moncong sebuah senapan tersembul ke luar. Salah
seorang penjaga yang berada di bagian paling depan menjerit satu kali kemudian roboh
terjengkang ke belakang. Song Ji segera menarik Siau Po lalu berlindung di punggungnya, Siau Po menunjuk
ke arah tungku api dan memberikan isyarat kembali dengan tangannya. Seorang
penjaga mengajak rekannya mengangkat tungku api itu lalu dituangkannya ke dalam
lubang. Terdengar seseorang berteriak dengan Bahasa Lo Sat dari dalam lubang tersebut.
"Jangan buang bara api, aku akan menyerah!" Disusul dengan suara batuk-batuk
yang tidak henti-hentinya, Mungkin nafasnya sesak karena asap yang keluar dari bara
api. "Lemparkan dulu senapanmu, lalu merangkaklah ke luar perlahan-lahan!" kata Siau
Po dengan bahasa Lo Sat. Dari dalam lubang menyembul ke luar sebuah senapan pendek, kemudian tampak
seseorang merangkak ke luar, Seorang penjaga menjambak rambut orang itu lalu
menariknya ke atas, sedangkan seorang penjaga yang lain segera melintangkan
goloknya di leher orang itu.
Janggut orang itu mengeluarkan asap, tampaknya api yang membakar jenggot itu
masih belum padam sehingga dia meraung-raung kesakitan.
"Apakah di bawah sana masih ada orang lain?" bentak Siau Po.
Terdengar sahutan dari dalam lubang.
"Masih ada satu orang lain lagi! Aku menyerah! Aku menyerah!"
"Lempar ke luar senapanmu!" teriak Siau Po.
Tampak sekilas cahaya dari dalam lubang berkelebat sebuah golok dilempar ke luar
disusul dengan setumpukan kobaran api yang menyala, Rupanya orang yang satu ini
mengalami kebakaran di rambut kepalanya.
Para tentaranya atau prajurit yang berada di depan kamar Siau Po mendengar suara
gempar di dalam Mereka segera berhamburan datang untuk melihat kejadian apa yang
menimpa Panglima Besar-nya.
Tujuh delapan orang prajurit segera memadamkan api yang membakar rambut dan
jenggot kedua orang itu. Setelah itu kedua tawanan tersebut baru diikat dengan tali
kuat-kuat. Tiba-tiba Siau Po menunjuk kepada salah seorang Bangsa Lo Sat sambil berkata.
"Kau adalah Wang Pat Se Ki (Si Kura-kura Ayam Mampus)!"
Tawanan itu menunjukkan wajah berseri-seri. "BetuI, betul Pembesar bocah
Tiongkok, aku memang bernama Walpatsky!"
Seorang tawanan Lo Sat lainnya juga ikut berseru.
"Pembesar bocah Tiongkok, aku bernama Che-konof!"
Untuk sesaat Siau Po menatap mereka dengan pandangan ragu, jenggot dan rambut
mereka terbakar sehingga tidak karuan, sedangkan wajah mereka merah membengkak
Namun masih bisa dikenali Karena itu dia tertawa terbahak-bahak.
"Benar, benar, Kau memang Cu Ke Juo Fu (Manusia rendah turunan Babi)!"
Chekonof gembira sekali, dia tidak paham apa arti kata-kata Siau Po dalam bahasa
Cinanya. "Betul pembesar bocah Tiongkok, aku kawan baikmu!"
Walpatsky dan Chekonof merupakan dua orang di antara para siwi Ratu Sophia,
Tempo hari mereka berdua mengiringi Siau Po berangkat ke Moskow dari kota Ya Ke
Lung. Ketika terjadi keributan tempo hari, ada empat orang siwi bawahan Ratu Sophia yang
telah mendirikan jasa besar sehingga pangkatnya naik menjadi Komandan pasukan
Perang. Di saat terjadi bentrokan kembali dengan pasukan Kerajaan Ceng, keempat orang ini
diutus kembali untuk meredakannya, akan tetapi kali ini keadaannya justru terbalik,
pihak mereka yang mengalami kekalahan.
Dua di antaranya mengalami musibah, yang satu mati kena ledakan, sedangkan
satunya lagi mati kedinginan Sisa dua orang lainnya segera bersembunyi di jalan
bawah tanah, mereka berharap dapat melarikan diri ke luar kota.
Tidak disangka-sangka kalau ujung jalan satunya sudah tersumbat, sedangkan ujung
sebelah sini merupakan kamar tidur sang Panglima, Mereka jadi mundur salah maju
salah, akhirnya malah ketangkap basah.
Tempo hari Siau Po memang memanggil mereka sebagai Wang Pat Se Ki dan Cu Ke


Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Juo Fu, Kedua orang ini tentu saja tidak tahu arti yang sebenarnya, Mereka mengira
orang Cina aksennya tidak becus sehingga kata-kata yang diucapkannya agak aneh
kedengarannya, itulah sebabnya mereka langsung mengiakan panggilan Siau Po tadi.
Selain itu, mereka sering mendengar Ratu Sophia memanggil Siau Po sebagai
"Bocah Tiongkok", Pada mulanya mereka juga menyebut Siau Po sebagai Bocah
Tiongkok, tapi setelah Siau Po mendirikan jasa dan dianugerahi pangkat oleh Ratu
Sophia, maka mereka menyebutnya "Pembesar Bocah Tiongkok"
Siau Po menanyakan awal kedatangan mereka, lalu menyuruh para prajurit
melepaskan ikatan pada kedua tangan tawanan tersebut, kemudian mengajak mereka
ke luar untuk menikmati hidangan yang telah disajikan.
Para prajurit khawatir kalau-kalau di dalam lubang masih terdapat para serdadu
Bangsa Lo Sat. Mereka lalu menyusup masuk untuk mengadakan pemeriksaan.
Akhirnya mereka tahu bahwa lubang itu telah tersumbat di ujungnya sehingga tidak ada
jalan untuk melarikan diri.
Komandan para penjaga segera menghadap Siau Po dan memohon pengampunan
atas keteledorannya. Diam-diam dia membayangkan, apabila ada beberapa serdadu Lo Sat yang
bersembunyi di dalam lubang itu dan Siau Po serta Song Ji kebetulan tidak
memergokinya, lalu kedua suami istri itu terbunuh pada malam harinya, kemungkinan
kepalanya sendiri harus dipenggal lima belas kali atas tanggung jawab yang mesti
dipikulnya. Keesokan harinya, Siau Po memanggil Walpatsky dan Chekonof untuk menanyakan
keadaan Ratu Sophia, Kedua orang itu mengatakan bahwa Ratu Sophia pandai
mengatur politik di negara nya.
Para menteri maupun pembesar setempat tidak ada yang berani membantah apapun
yang dikatakannya, sedangkan kedua pangeran lainnya masih kecil-kecil, tentu saja
mereka menurut saja apa yang dikatakan oleh kakaknya.
Chekonof tertawa sambil berkata, "Tuan puteri kami rindu sekali kepada pembesar
Bocah Tiongkok, Kami diperintahkan ke mari untuk mencari berita tentang Anda.
Apabila kami berhasil bertemu dengan Anda, maka kami harus mengundang Anda
untuk bermain-main lagi ke Moskow, Pasti ada hadiah besar yang menanti Anda di
sana." "Tuan Puteri tidak tahu kalau pembesar Bocah Tiongkok yang memimpin
peperangan ini, kalau tidak, semuanya toh merupakan sahabat sehati, kawan karib,
tentunya peperangan ini tidak perlu dilanjutkan lagi," kata Walpatsky.
"Ah, kalian hanya mengacau, bohong!" teriak Siau Po.
Kedua orang segera bersumpah seberat-beratnya, mereka menyatakan bahwa apa
yang dikatakannya adalah kebenaran yang sejati dan tidak mengada-ada.
Siau Po berpikir dalam hati.
- Sri Baginda toh menyuruhku mencari jalan agar dapat berdamai dengan negara Lo
Sat, Ada baiknya aku meminta kedua orang ini menjadi penengahnya.
Oleh karena itu, dia berkata,
"Aku ingin menulis sepucuk surat, kalian harus menyerahkannya kepada Tuan Puteri.
Namun tulisan ceker ayam saja aku tidak bisa, apalagi tulisan Ceng-corang Bangsa Lo
Sat. Karena itu aku meminta kalian yang mewakili aku menulisnya."
Untuk sesaat kedua tawanan itu saling memandang sejenak, wajah mereka
menunjukkan roman serba salah. Sejak kecil mereka biasa hidup kasar, setelah dewasa
diharuskan berlatih agar dapat diandalkan dalam peperangan.
Mana mereka punya waktu untuk bersekolah" pada dasarnya kedua tawanan itu
tidak berbeda dengan Siau Po. Mereka juga buta huruf Akhirnya Chekonof mendapat
jalan. "Pembesar Bocah Tiongkok ingin menulis surat cinta, kita tidak akan mengerti
Para Ksatria Penjaga Majapahit 13 Asmara Berdarah karya Kho Ping Hoo Kemelut Kerajaan Mancu 4
^