Pencarian

Matahari Esok Pagi 1

Matahari Esok Pagi Karya S H Mintardja Bagian 1


Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Matahari Esok Pagi Karya : SH Mintardja Sumber DJVU http://gagakseta.wordpress.com/
Convert by : Dewi KZ Editor : Dino
Ebook oleh : Dewi KZ http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Jilid 1 KEDATANGANNYA kembali diterima dengan penuh haru
oleh orang-orang Kademangan Kepandak, terutama orang-
orang di padukuhan Gemulung. Lebih dari sepuluh tahun ia meninggalkan rumah itu.
Tetapi kini ia terpaksa kembali.
Suaminya, seorang prajurit Mataram telah gugur dalam
pengabdiannya kepada Tanah Kelahiran, pada saat pasukan Mataram atas perintah
Sultan Agung menyerang Betawi yang diduduki oleh orang-orang Kulit Putih
berkebangsaan Belanda. Dan Nyai Wiratapa yang sudah menjadi janda itu terpaksa pulang ke rumah orang
tuanya. Ayahnya adalah orang tua yang sudah berkeriput. Dan ibunya sudah mulai
terbongkok-bongkok. Rambutnya sudah menjadi putih. Umur mereka telah melampaui
pertengahan abad, dan bahkan, laki-laki tua itu sudah lebih dari enampuluh
tahun. Namun meskipun demikian, laki-laki tua itu masih kuat mengangkat cangkul di atas
pundaknya. Setiap hari ia masih pergi ke sawahnya yang tidak terlampau luas.
Sekedar cukup memberinya makan sekeluarga.
Kini anaknya yang menjanda dan seorang cucunya ada
diantara mereka. Tetapi atas kemurahan hati Sultan Agung, prajurit-prajuritnya
yang gugur di medan perang, mendapat anugerah sebidang tanah meskipun hanya
sekedarnya, di daerah yang dipilih oleh jandanya, Dengan demikian maka Nyai
Wiratapapun mendapat sebidang tanah yang diserahkannya kepada ayahnya yang tua itu pula untuk
digarap. Sejak kehadiran Nyai Wiratapa dan anaknya Sindangsari, rumah mereka banyak
dikunjungi oleh para tetangga. Mereka menyampaikan salam bela sungkawa. Bahkan
ada diantara mereka yang sambil memeluk Sindangsari, menangis tersedu-sedu.
Kepergian mereka sepuluh tahun yang lalu seakan-akan baru saja kemarin terjadi.
Dan gadis yang sekarang sudah
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
dewasa itu, adalah seorang gadis kecil yang manis pada saat mereka berangkat ke
kota. "Semua yang terjadi tidak dapat disesali" berkata seorang laki-laki tua, setua
kakek Sindangsari. Nayi Wiratapa beserta ayah ibunya yang tua itupun
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi Sindangsari tidak dapat menahan titik air
yang mengambang di matanya.
"Tuhan Maha Tahu" orang tua itu melanjutkan "dan Tuhan itu Maha Pengasih dan
Maha Penyayang. Apa yang terjadi adalah cobaanNya. Memang terasa pahit oleh
kita" Nyai Wiratapa mengangguk-angguk meskipun tenggorokannya terasa menjadi pepat.
Namun keakraban sikap tetangga-tetangga itu dapat sedikit memberikan
ketenteraman di hati Nyai Wiratapa. Meskipun sepuluh tahun ia tidak ada di rumah
itu, namun ia merasa bukan orang asing ketika ia kembali berkumpul dengan ayah
dan ibunya serta tetangga-tetangganya.
Bahkan bukan saja orang-orang tua yang datang
berkunjung ke rumah janda itu, tetapi gadis-gadis yang sebaya dengan
Sindangsaripun berdatangan pula. Mereka adalah kawan bermain-main semasa mereka
masih kanak-kanak. Dan kini mereka bertemu kembali di usia dewasa.
Demikianlah Nyai wiratapa segera dapat menyesuaikan
dirinya hidup di padukuhannya kembali. Keramah-tamahannya sangat menarik hati
orang-orang di sekitarnya, sehingga iapun segera mendapat tempat yang baik di
dalam lingkungannya. Orang-orang di sekitarnya menganggap Nyai Wiratapa sebagai seorang yang
mempunyai pengalaman agak lebih banyak dari mereka,
sehingga perempuan-perempuan padukuhannya
selalu datang berkunjung kepadanya untuk mendapatkan
beberapa petunjuk dan nasehat tentang bermacam-macam
hal. Nyai Wiratapa dapat memberi beberapa petunjuk
memasak berbagai macam makanan yang belum dikenal oleh
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
orang Gemulung. bahkan orang-orang seluruh Kademangan Kepandak.
Sejalan dengan itu, gadis-gadis Gemulungpun banyak
mendapat ceritera tentang kota Mataram dari Sindangsari.
Jalan-jalan yang lebar dan regol-regol halaman yang tinggi dan besar. Rumah-
rumah joglo bertiang sebesar pohon randu alas pojok desa, dan pintu-pintu
berukir yang disungging dengan warna-warna emas.
Dan gadis-gadis desa itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Mata mereka memmancarkan kekaguman hati.
Satu dua diantara mereka memang ada yang pernah pergi ke kota, tetapi hanya satu
dua hari mengunjungi sanak saudara.
Tetapi merekapun akan segera kembali sebelum mereka
melihat terlalu banyak seperti yang dilihat oleh Sindangsari.
Bukan saja gadis-gadis yang sering mendengarkan ceritera Sindangsari.
Kadang-kadang anak-anak mudapun mengerumunminya di tepian apabila Sindangsari bersama kawan-kawan gadisnya
sedang mencuci di kali. "Aku pernah melihat" berkata salah seorarlg anak muda yang berwajah keras
"tetapi hanya sehari"
"Aku bermalam sepekan di Mataram" berkata yang lain.
"Aku melihat cukup banyak"
"Tetapi belum sebanyak Sindangsari" potong seorang
gadis. "Tentu" jawab pemuda itu "meskipun demikian lebih
banyak dari kau" Gadis itu mengerutkan keningnya. Katanya "Aku sebulan berada di rumah paman di
Mataram" Anak muda itu mengerutkan keningnya. Ketika ia
memandang berkeliling dilihatnya senyuman di setiap bibir.
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Tiba-tiba terpercik warna merah di pipinya, sehingga tanpa sesadarnya iapun
berkisar surut, sehingga akhirnya ia berada di paling belakang.
Seperti ibunya, di lingkungan anak-anak muda dan gadis-gadis, Sindangsari segera
mendapat banyak kawan. Ia ramah dan cerdas, melampaui kawan-kawan sebayanya.
Lebih dari itu, ia mempunyai sedikit kelainan di mata anak-anak
mudanya. Meskipun gadis-gadis Gemulung tidak kurang yang secantik Sindangsari,
tetapi cara mengetrapkan pakaiannya, cara berjalan dan berbicara, Sindangsari
mempunyai kelainan. Sebagai seorang gadis yang pernah tinggal di kota kerajaan yang besar,
Sindangsari mempunyai kebiasaan yang agak berbeda dengan gadis-gadis desa
asalnya, Gemulung. Dan karena itulah, maka kehadiran Sindangsari justru telah menumbuhkan
persoalan-persoalan baru di padukuhannya.
Persoalan-persoalan anak-anak muda yang mulai mengaguminya. Di saat-saat matahari terbit, dihampir setiap pagi,
Sindangsari beserta dua tiga kawan-kawannya selalu pergi ke sungai
untuk mencuci pakaian. Mereka berusaha menyelesaikan pekerjaan mereka pagi-pagi, supaya pakaian-pakaian itu segera
kering pula. Apalagi apabila langit mendung dan hujan turun. Selain itu, mereka
masih mendapat kesempatan pergi ke pasar untuk berbelanja kebutuhan
sehari-hari. Tanpa disadarinya, setiap pagi apabila Sindangsari pergi ke kali sepasang mata
selalu memandanginya dari balik pintu regol rumahnya. Sebuah rumah yang cukup
besar dan berhalaman luas menurut ukuran padukuhan Gemulung,
bahkan menurut ukuran Kademangan Kepandak. Rumah itu
adalah rumah seorang pedagang ternak yang kaya.
Ketika pagi itu Sindangsari lewat pula bersama tiga orang kawannya, mata itupun
mengikutinya pula sampai gadis itu hilang di balik rimbunnya rumpun bambu di
halaman sebelah. Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Sambil mengerutkan keningnya orang itu melambaikan
tangannya, memanggil seseorang yang sedang bekerja di halaman.
"He, gadis itu lewat lagi" desisnya.
Orang yang dipanggilnya itupun mengerutkan keningnya.
Sejenak ia mencoba memandang kebalik pintu regol. Tetapi ia tidak melihat
sesuatu. "Ia sudah jauh" bentak orang yang berdiri di muka regol.
Orang yang datang itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kepalanya yang botak. Wajahnya yang kasar menjadi
berkerut-kerut sejenak. Tetapi tubuhnya yang tinggi besar itu tegak seperti
patung. "Apakah maksudmu dengan gadis itu" Apakah aku harus
mengambilnya?" "Bodoh, kau memang bodoh"
Orang yang bertubuh tinggi besar berkepala botak itu diam mematung. Tatapan
matanya yang kosong menyentuh wajah orang yang memanggilnya, namun wajah itupun
segera berpaling. "Jadi apakah maksudmu?" ia bertanya tanpa memandang
wajah lawan bicaranya, seorang anak muda yang gagah
dalam pakaian yang bagus rapi.
Ank muda itu termenung sejenak. Namun kemudian ia
berkata "Tidak apa-apa"
Orang yang bertubuh tinggi besar itu terheran-heran
sejenak. Kemudian iapun meninggalkan anak muda itu.
Langkahnya satu-satu seperti derap kaki seekor gajah.
"Lamat" tiba-tiba anak muda itu memanggil.
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Dan orang yang bertubuh tinggi besar itu terhenti.
Kemudian sambil memutar tubuhnya ia bertanya "Kau
memanggil aku?" Anak muda itu tidak menjawab. Tetapi ialah yang datang mendekat.
"Kau pernah melihat gadis itu bukan"
"Ya" "Cantik?" "Cantik" "Huh, kau memang tidak mempunyai otak yang dapat kau
pergunakan untuk berpikir. Kau menjawab asal saja menjawab
" Orang yang tinggi besar itu mengerutkan keningnya.
Desisnya "Tetapi bukankah ia memang cantik?"
"Sejak kapan kau mengenal seorang perempuan cantik?"
Lamat, orang yang botak itu tidak menjawab. Ditatapnya saja wajah anak muda yang
kini tersenyum. Perlahan-lahan anak muda itu mendekatinya, kemudian menepuk
bahunya "Tentu, kaupun tentu mengenal wajah cantik seorang
perempuan, meskipun agaknya kau sama sekali tidak tertarik.
Terbukti sampai sekarang kau tidak mau kawin juga"
Laki-laki itu tidak menjawab.
"He, kenapa kau tidak kawin Lamat?"
Laki-laki botak itu menarik nafas dalam-dalam. Pandangan wajahnya kemudian
terlempar kekejauhan. Jawabnya lambat
"Wajahku terlampau jelek buat seorang perempuan"
Anak muda itu tertawa "Kau terlampau perasa. Betapapun jeleknya wajah seorang
laki-laki, tetapi itu tidak berarti menutup segala kemungkinan untuk beristeri.
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
"Kau tidak pernah mengerti perasaanku, karena wajahmu tidak jelek"
Anak muda itu masih saja tertawa.
"Pergilah" desis anakmuda itu "mungkin pada suatu ketika aku memerlukan kau"
Lamat menganggukkan kepalanya. Kemudian ia melangkahkan kakinya kembali kepekerjaannya. Memecah
kayu bakar di halaman, dengan sebuah kapak yang besar dan bertangkai panjang.
Sejenak anak muda itu memandanginya. Kemudian
mengangguk-anggukkan kepalanya sambil melangkah, meninggalkan halamannya, keluar regol dan menyusur di sepanjang jalan.
Semula ia tidak tahu, kemana ia harus pergi. Namun tanpa disadarinya ia telah
pergi ke kali, menyusul gadis-gadis yang sedang mencuci.
Tetapi anak muda itu berhenti beberapa puluh langkah dari tepian. Ia menjadi
ragu-ragu untuk mendekat, Kadang-kadang ia melihat seorang dua orang anak-anak
muda berada di tepian itu juga dengan berbagai macam alasan. Ada yang mencuci
cangkul, ada yang mencuci rumput yang baru
disabitnya, atau mencuci apapun. Tetapi karena tidak
seorangpun yang tampak, anak muda itu menjadi segan juga mendekat. Karena itu,
maka iapun kemudian melangkah
kembali, berjalan dengan tergesa-gesa ke sawah ayahnya yang luas, untuk melihat
orang-orangnya yang sedang
bekerja. Sindangsari yang sedang mencuci itu sama sekali tidak menyadari, bahwa dirinya
telah menarik banyak perhatian.
Anak-anak muda. Karena itu, sikapnya sama sekali tidak berubah. Ia bersikap
ramah kepada siapapun, kepada anak-anak muda yang manapun. Juga kepada anak muda
anak pedagang ternak yang kaya itu, yang bernama Manguri, tetapi
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
juga dengan anak-anak muda yang tidak begitu kaya, bahkan dengan anak-anak muda
yang miskin sekalipun. Itulah sebabnya, maka Sindangsari tidak segan-segan
berhenti di pematang apabila ia mendengar seruling seorang gembala
yang

Matahari Esok Pagi Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seakan-akan menyentuh perasaannya. Meskipun gembala itu duduk di bawah sebatang pohon yang rindang tanpa memakai
baju. selain sehelai kain yang lungset dan celana hitam yang longgar.
Tetapi suara seruling itu sangat menarik perhatiannya, seperti kicau burung yang
berloncatan di dahan-dahan. Lincah disela-sela desir angin yang lembut membelai
batang-batang padi yang hijau.
"Kehidupan dipedesan mempunyai keindahannya tersendiri"
desisnya "tenang, damai seakan-akan tidak diburu-buru oleh persoalan-persoalan
yang memeningkan kepala"
Tetapi ketenangan hidup Sindangsari yang telah mulai
mapan itu segera goyah. Adalah mengejutkan sekali ketika pada suatu hari seorang datang berumahnya.
Seorang perempuan tua yang berpakaian rapi.
"Aku diutus oleh angger Manguri Nyai" berkata perempuan itu kepada Nyi Wiratapa.
"Siapakah angger Manguri itu?" bertanya Nyai Wiratapa itu.
"Putera seorang pedagang ternak yang paling kaya di
seluruh Gemulung" Nyai Wiratapa mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Aku diutus menyerahkan bingkisan ini kepada puteri Nyai yang bernama
Sindangsari" Sepercik warna merah menyala di wajah perempuan itu.
Dengan ragu-ragu ia bertanya "Apakah isi hingkisanitu?"
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
"Sepengadeg kain, baju dan kelengkapannya"
"He" Nyai Wirata terkejut bukan buatan. "Apakah
maksudnya?" "Tidak apa-apa Nyai. Sekedar sebagai tanda persahabatan.
Bukankah Nyai sedang dirundung oleh kesusahan karena
kehilangan suami dan angger Sindangsari kehilangan ayah?"
"Tetapi, tanda persahabatan itu berlebih-lebihan"
"Jangan memikirkan yang tidak-tidak" Nyai Wiratapa
terdiam sejenak. Dipandanginya sebungkus bingkisan yang menurut keterangan
perempuan yang membawanya berisi
sepengadeg pakaian. Perempuan itu menarik nafas dalam-dalam.
Tetapi kemudian ia berkata "Terima kasih atas kebaikan hati angger Manguri. Tetapi
maaf, bukan maksudku menolak tanda
persahabatan. Namun saat ini aku belum dapat menerimanya.
Anakku seorang gadis dan angger Manguri adalah seorang anak muda. Seandainya
anakkkupun seorang anak muda
seperti angger Manguri, maka aku akan menerimanya dengan senang hati"
"O" perempuan itu mengerutkan keningnya maksud Nyai,
Nyai tidak dapat menerima bingkisan ini?"
"Maaf, saat ini belum"
Perempuan itu menjadi tegang sejenak. Tetapi kemudian ia tersenyum "Nyai, adalah
suatu kehormatan yang tidak ada taranya karena angger Manguri telah memberikan
bingkisan sebagai tanda keakraban itu"
Nyai Wiratapa memandang perempuan itu semakin tajam.
Senyumnya adalah senyum yang tidak wajar. Semakin lama justru semakin memuakkan.
Agaknya perempuan tua itu salah menilai Nyai Wiratapa yang pernah hidup di dalam
pergaulan yang lebih luas. Justru
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
perempuan tua yang mencoba tersenyum-senyum itulah yang sama sekali tidak dapat
mengerti, siapakah lawan bicaranya.
Kebiasaan yang dilakukan sebelumnya dengan tingkah laku yang dibuat-buat itu
selalu berhasil. Tetapi terhadap perempuan-perempuan
yang picik dan kurang dapat menanggapi keadaan. Bukan terhadap Nyai Wiratapa.
"Jangan menyia-nyiakan kehormatan ini Nyai" desis
perempuan tua itu sambil bergeser maju. Didorongnya
bingkisan yang dibawanya sambil tertawa "Tidak akan ada seseorang yang berbaik
hati seperti angger Manguri"
Nyai Wiratapa menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia
bertanya "Nyai, apakah tidak ada pamrih apapun di balik pemberian ini"
"O, tentu tidak. Tentu tidak Nyai. Aku mengenal angger Manguri dengan baik. Anak
itu sudah seperti anakku sendiri"
jawab perempuan tua itu. "Jangan seperti sedang merayu anak perawan Nyai. Kita sudah cukup berpengalaman.
Aku pernah menjadi seorang gadis muda dan kaupun pernah. Bagaimana perasaanmu
selagi kau seorang gadis remaja vang mendapat bingkisan dari seorang anak muda?"
"Ah, kau berpikir terlampau jauh. Itu berlebih-lebihan Nyai.
Tetapi apabila perkembangan persahabatan anak-anak kita akan sampai kesana, itu
bukan persoalan kita yang tua tua lagi. Bukankah wajar sekali, bahwa pergaulan
anak-anak muda akan sampai ke puncaknya dan diakhiri dengan
perkawinan yang bahagia?"
Nyai Wiratapa mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya "Nah, bukankah itu tujuannya. Apapun yang kau lakukan, tetapi kau
sedang diutus oleh angger Manguri untuk merayu anakku. Itulah"
Semburat warna merah membayang di wajah perempuan
tua itu. Belum pernah ia mengalami perlakuan yang demikian
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
selama berpuluh-puluh tahun ia menjalankan tugasnya untuk berpuluh-puluh anak-
anak muda. Karena itu maka sejenak ia justru terdiam. Meskipun bibirnya
bergerak-gerak, tetapi tidak sepatah katapun yang diucapkannya. Sama sekali
berbeda dengan kebiasaannya. Ia selalu banyak berbicara apabila ia sedang
menghadapi seorang ibu dari seorang gadis yang sedang dibujuknya. Sambil tertawa
dan tersenyum-senyum diserahkannya sebuah bingkisan ke tangan perempuan yang
beranak gadis itu. Biasanya ia tidak gagal. Ia tahu pasti, ibu gadis itu akan
merasa berhutang budi, sehingga dengan segala usaha ia akan mendorong gadisnya
untuk menerima tawaran apapun dari anak muda yang berbudi, yang telah
melimpahkan kebaikan hati kepadanya. Tetapi ibu yang
dihadapinya kali ini ternyata agak berbeda, meskipun ia tahu pasti, bahwa janda
inipun masih banyak memerlukan barang-barang serupa itu untuk mencukupi
keperluan anak gadisnya karena penghasilan sawahnya yang tidak seberapa luas.
"Nyai" berkata Nyai Wiratapa kemudian kepada perempuan tua itu "sekali lagi aku
minta maaf. Sebenarnyalah bahwa aku sangat berterima kasih. Tetapi aku tidak mau
memacu perhubungan anakku dengan siapapun juga. Biarlah hati anak-anak itu berkembang
dengan wajar. Apabila kelak anakku tertarik oleh anggger Manguri, aku tidak akan
keberatan. Tetapi biarlah semuanya berjalan sewajarnya"
Wajah perempuan tua itu kini benar-benar menjadi merah.
Ditatapnya Nyai Wiratapa dengan tajamnya. Tetapi perempuan tua itu kini sudah tidak lagi dapat memilih kata-kata yang paling
manis. Debar jantungnya yang semakin cepat itu membuatnya gemetar, sehingga
kata-kata yang keluar dari mulutnya adalah kata-kata yang kasar "Kau menghina
angger Manguri Nyai. Kalau kau tidak boleh anakmu bergaul dengan anak pedagang
yang paling kaya itu, maka kau adalah janda yang paling bodoh. Bukan saja anakmu
akan menjadi menantu orang yang kaya raya itu tetapi kalau nasibmu baik, kau sendiri akan
mendapat kesempatan menjadi isteri
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
pedagang kaya itu. Baru-baru ini isterinya yang keempat baru saja dicerainya,
karena ia kedapatan mencuri beberapa helai kain, justru yang akan diberikan
kepadanya sendiri" Terasa sebuah tamparan menyengat pusat syarat Nyai
Wiratapa. Hampir saja ia tidak dapat mengendalikan dirinya.
Tetapi sebagai seorang perempuan yang lebih bayak
mengenal sudut-sudut penghidupan, maka ditahankannya
hatinya. Dengan susah payah ia menjawab sareh "Terima kasih atas kebaikan hati
itu. Tetapi maaf, bahwa semuanya aku tidak memerlukan. Sekarang aku persilahkan
kau membawa barang-barang itu kembali kepada angger Manguri, meskipun aku tidak akan
melarang anakku bergaul dengannya sebagai kawan se padukuhan"
Perempuan tua itu sudah tidak dapat berkata apapun.
Dihentakkannya bingkisan yang sudah diletakkannya di amben bambu itu, kemudian
dengan wajah yang berkerut merut, tanpa minta ijin lagi ia segera berdiri dan
melangkah keluar pintu. Meskipun demikian Nyai Wiratapa masih mengantarkannya sampai ke muka pintu.
Namun ketika perempuan itu telah melintasi halaman rumahnya dan turun kejalan,
maka segera ia masuk kembali. Tanpa sesadarnya ia terduduk di amben sambil
mengusap dadanya. Ia tidak berhasil membendungnya, ketika titik-titik air yang
jernih meleleh di pipinya. Betapa pedihnya hidup menjanda, menghadapi orang-
orang yang tidak berperasaan itu. Nyai Wiratapa cepat menyeka matanya ketika ia
mendengar langkah kaki ayahnya. Sambil berdesah panjang orang tua itu melangkah
masuk. Melepaskan caping bambunya dan menyangkutkannya di dinding, di sisi pintu.
Kemudian meletakkan cangkulnya di sudut ruangan.
"Panasnya bukan main" gumamnya.
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Nyai Wiratapa segera menghampirinya. Semua kesan di
wajahnya telah berhasil dihalaukannya. Sambil tersenyum ia mengambil sebuah
gendi berisi air "Ayah haus" desisnya.
Orang tua itu menerima gendi dari tangan anaknya.
Kemudian meneguknya. Segar sekali.
"Dimana anakmu?" bertanya laki-laki tua itu.
"Keluar, ayah" jawab Nyai Wiratapa.
Laki-laki tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian sambil mengusap keringat di wajahnya yang sudah berkeriput ia berkata
"Udara panas sekali. Sebaiknya anakmu tinggal di rumah"
Nyai Wiratapa menganggukkan kepalanya "Ya ayah. Aku
akan memberitahukannya nanti"
"Panas yang tajam dapat menimbulkan penyakit. Apalagi anakmu. Ia tidak biasa
berada di sawah dan berjemur di terik matahari"
"Ya ayah" Laki-laki tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian ia melangkah masuk keruang dalam. Sementara ibu Nyai Wiratapa lagi
sibuk menyiapkan makan di dapur.
Namun sementara itu, Sindangsari memang lagi bermain
bersama beberapa orangkawannya di pinggir desa. Beberapa orang gadis yang baru
pulang dari sawah, berhenti sebentar untuk beristirahat dan bergurau.
Tiba-tiba Sindangsari mengangkat wajahnya ketika suara seruling lamat-lamat
menyentuh telinga. Suara itu serasa langsung menyusup ke dalam dadanya.
Dalam panasnya udara, suara seruling itu dapat memberikan kesegaran di hatinya.
"Apa yang kau dengar?" bertanya seorang kawannya.
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
"Seruling. Siapakah yang meniup seruling itu?" jawab
Sindangsari sambil bertanya pula.
"Disini hampir setiap orang dapat meniup seruling. Akupun dapat. Ruri, Sasi, dan
beberapa orang lainpun dapat pula"
Sindangsari mengangguk-anggukkan kepalanya. Ternyata
gadis-gadis itu juga dapat meniup seruling. Tetapi bunyi seruling ini agak lain
dari bunyi seruling yang sudah sering di dengarnya. Suara seruling ini seakan-
akan sebuah alunan perasaan yang mengambang dibawa angin mengembara
sampai ke batas yang jauh sekali.
"Tetapi" berkata Sindangsari kemudian"aku belum pernah mendengar suara seruling
seperti ini. Lagu apakah yang dibawakannya?"
"Entahlah. Agaknya ia asal saja membunyikan serulingnya tanpa patokan. Bukan
Dandanggula, tetapi juga bukan yang lain. Mirip sedikit dengan Asmaradana
dipermulaannya, tetapi kemudian berpindah pada Pangkur. Agaknya ia tidak
mengenal gending" "Ya. Tetapi justru dengan demikian perasaannya dapat
bebas mengembara didunianya. Tanpa kekangan yang dapat membatasi sayap-sayap
yang sudah mengembang, terbang
tinggi di langit berlapis tujuh"
Kawan-kawan Sindangsari mengerutkan keningnya. Tetapi merekapun kemudian
tersenyum "Kau lucu"
Sindangsari yang semula bersungguh-sungguh, kemudian
tersenyum pula. "Suara itu datang dari balik gerumbul di pinggir parit di sudut pategalan itu"
tiba tiba salah seorang kawannya berdesis.
"Siapakah yang sering berada di sana?"
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
"Anak-anak kecil sering menggembala kambing di sana.
Kadang-kadang kakak mereka yang sedang beristirahat dari kerja mereka di sawah,
berteduh pula di sana"
"O, aku tahu" sahut yang lain "yang sering bermain seruling di sudut pategalan
itu adalah Pamot" "Tidak hanya Pamot, juga Windan dan Wisesa"
Gadis-gadis itu tersenyum, sedang Sindangsari menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Jadi yang bermain seruling itu mungkin Pamot, mungkin Windan dan mungkin pula
Wisesa" "Mungkin yang lain lagi" sahut kawannya. Dan gadis-gadis itupun tertawa.
Tetapi suara tertawa mereka segera terputus ketika mereka melihat sesosok tubuh
meloncat pematang di sisi batang-batang jagung muda. Ketika orang itu berada di
pinggir jalan, barulah mereka jelas, bahwa yang meloncati pematang itu adalah
Manguri. "He, Manguri" desis seorang gadis.
"Ya. Darimana dia?"
"Tentu dari sawahnya"
Sindangsari mengerutkan keningnya ketika kemudian ia
melihat kawan-kawannya kemudian bersikap lain. Ada yang dibuat-buat, tetapi ada
juga yang justru menundukkan
kepalanya. Ketika anak muda. itu, lewat di hadapan mereka, maka
salah seorang kawannya menegur
dengan ramahnya "Darimana kau Manguri?"
Langkah Manguri terhenti. Sambil tersenyum ia menjawab
"Dari sawah" "Matahari terlampau terik. Kenapa kau memerlukan pergi ke sawah juga?" bertanya
yang lain. Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
"Apa salahnya. Anak-anak muda yang lain juga pergi ke sawah"
Tetapi kau tidak perlu. Kau dapat mengupah orang.
Ayahmu terlampau kaya"


Matahari Esok Pagi Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Manguri tertawa. Jawabnya "Itu adalah pikiran yang salah.
Bagaimanapun juga aku harus belajar bekerja. Kalau tidak, maka kekayaan ayah
nanti pasti akan segera habis. Aku justru harus mengembangkannya"
Gadis-gadis itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan tatapan mata kekaguman
mereka memandang senyum Manguri yang jernih itu. Dan tiba-tiba ia bertanya "Kenapa kalian disini?"
"Beristirahat. Panasnya bukan main"
"Di sebelah ada penjual dawet cendol aren. Kalian dapat minum di sana"
"Darimana kami akan membayar?" tiba-tiba salah seorang gadis memotong dengan
manjanya. Manguri tersenyum. Kemudian tangannya dimasukkannya
ke dalam sakunya. Katanya "Ini ada beberapa keping uang.
Cukup buat membeli dawet cendol.
Berebutan gadis-gadis itu meloncat maju menerima uang dari tangan Manguri. Salah
seorang yang paling dahulu berteriak "Aku yang diberinya"
"Buat kalian semua" desis Manguri.
"Terima kasih" Manguri mengangguk-anggukkan kepalanya. Senyumnya
yang cerah masih saja menghiasi bibirnya. Namun kemudian tanpa berkata sepatah
katapun juga ia melangkah pergi.
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Tetapi beberapa langkah kemudian ia berpaling. Kali ini ia berusaha menatap
salah satu saja dari wajah gadis-gadis yang sedang kegirangan itu. Sindangsari.
Tanpa sesadarnya Manguri menarik nafas dalam-dalam.
Wajah itu memang tidak terpaut banyak dari gadis-gadis cantik di Gemulung.
Tetapi Manguri melihat kelainan pada wajah itu.
Namun Manguri kemudian meneruskan langkahnya. Ditinggalkannya gadis-gadis yang sedang berebut uang
beberapa keping itu . "Aku, aku saja yang membawa" gadis yang menerima uang itu mempertahankan.
"Bagi, bagi saja"
Yang agak lebih dewasa kemudian berkata "Kita
pergunakan bersama-sama. Mari, kita pergi ke penjual dawet itu. Dawet dengan
cendol dan legen aren"
Gadis itupun kemudian berlari-larian pergi ke sebelah tikungan.
Tetapi langkah merekapun kemudian tertegun. Ternyata
diantara gadis-gadis itu, seseorang tidak ikut berlari-lari.
Bahkan dengan termangu-mangu ia memandangi kawan-
kawannya yang seakan-akan telah melupakan panasnya udara yang telah memeras
peluh mereka. "He Sari, Mari, kita minum"
Sindangari menggelengkan kepalanya sambil menjawab
"Aku tidak haus"
"He, udara begini panas. Alangkah segarnya kita minum dawet cendol"
Sekali lagi Sindangsari menggelengkan kepalanya. Katanya
"Silahkan" Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
"Kenapa kau" Malu?"
"Tidak. Tetapi kepalaku sering menjadi pening apabila aku minum air tawar di
udara yang begini panas"
Kawan-kawannya saling berpandangan sejenak. Namun
salah seorang dari mereka berkata "Cobalah. Beginilah kehidupan kami di
Gemulung. Mungkin memang agak berbeda dengan di kota Mataram"
"Tidak. Bukan begitu" sahut Sindangsari cepat-cepat
"bukan maksudku berkata begitu. Tetapi itu adalah sekedar kebiasaan saya
sendiri, karena kelemahanku. Aku tidak tahan minum air mentah apabila keringatku
sedang mengalir sebanyak ini" Sekali lagi gadis itu saling memandang, kemudian salah seorang dari mereka
berkata "Baiklah. Tunggulah di situ atau kau ikut kami ke sebelah tikungan"
Sindangsari menganggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak
beranjak. Dipandanginya kawan-kawannya yang hilang di balik tikungan.
Gadis itu menjadi heran melihat sikap kawan-kawannya.
Apakah ini memang sudah menjadi kebiasaan mereka,
menerima pemberian Manguri" Tetapi itu tidak baik baginya.
Ia tidak boleh menerima pemberian begitu saja. Apalagi dari seorang anak muda.
Karena itu, betapapun ia menahan haus, tetapi ia tidak beranjak dari tempatnya.
Bahkan kemudian dicarinya tempat di bawah sebatang pohon rindang, untuk duduk
beristirahat sambil bersandar batangnya. Dipandanginya cahaya terik matahari yang seakan-akan
membakar dedaunan. Di kejauhan tampak seakan-akan uap air yang memenuhi udara.
Menggelepar kepanasan. Bahkan seakan-akan tampak bayangan lamat-lamat meloncat-
loncat seperti berpijak pada bara. Endeg pangamun-amun.
Sindangsari menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak beranjak dari tempatnya.
Panas udara serasa semakin
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
membakar kulitnya, sedang kawan-kawannya yang sedang
pergi membeli dawet aren masih juga belum tampak kembali.
"Haus sekali" desisnya. Tetapi untuk ikut bersama kawan-kawannya Sindangsari
masih belum sampai hati. Namun tiba-tiba Sindangsari mengangkat wajahnya. Lamat-lamat ia mendengar suara
seruling. Semakin lama menjadi semakin dekat. Seolah-olah seruling yang
mendendangkan kidung yang segar itu sedang terbang melayang mendekatinya. Tetapi akhirnya suara seruling itu tidak lagi bergerak di tempatnya, meskipun
suaranya menjadi semakin jelas
terdengar. Sindangsari perlahan-lahan berdiri. Ditajamkannya telinganya untuk mengetahui, darimanakah arah suara
seruling itu. "Agaknya tidak terlampau jauh" katanya kepada diri sendiri.
Tanpa sesadarnya Sindangsari itupun berkisar dari
tempatnya. Selangkah demi selangkah ia berjalan menyusur jalan di pinggir desa
sepanjang rimbunnya dedaunan. Kadang-kadang ia berhenti termangu-mangu. Namun
suara seruling yang anehku menarik perhatiannya. Justru karena lagu yang
dibawakannya tidak terikat oleh bentuk-bentuk yang sudah ada.
Ketika Sindangsari sampai di sudut desa. Ia melangkah sebuah parit kecil.
Kemudian disusunnya tanggul parit yang membujur di sepanjang pagar batu.
Suara seruling itu menjadi semakin dekat" gumamnya "aku pergi ke arah yang
benar" Namun akhirnya ia terhenti. Ia menjadi ragu-ragu. Apakah ia akan berjalan terus
mencari sumber suara itu" Apakah itu baik". Beberapa langkah lagi" desisnya.
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
"Apakah salahnya?" ia bertanya kepada dirinya. "Suara seruling itu sangat
menarik" Sindangsari menarik nafas dalam-dalam. Tetapi seperti di tarik oleh sebuah
pesona yang tidak dimengertinya,
Sindangsaripun kemudian melangkah terus.
Ia tersadar ketika tiba-tiba saja suara seruling itu berhenti.
Alangkah terkejutnya gadis itu ketika tiba-tiba saja ia mendengar seseorang
menyapanya. Hampir saja ia meloncat terjun ke dalam parit yang mengalirkan air
yang gemericik bening. "Sindangsari" terdengar suara yang berat dari balik pagar batu
"kemana kau?" Sindangsari berpaling. Dilihatnya sebuah kepala tersembul dari balik pagar batu
beberapa langkah di hadapannya.
"Oh" Sindangsari
menarik nafas dalam-dalam "kau
membuat aku sangat terkejut. Hampir saja aku lari tunggang langgang"
Seorang anak muda muncul dari balik pagar. Di tangannya tergenggam sebatang
seruling yang panjang. "Kenapa kau menyusuri parit itu he" Apakah sawah
kakekmu kering?" bertanya anak muda itu.
Sindangsari bingung sesaat. Tetapi kemudian ia menggelengkan kepalanya sambil berkata "Tidak. Aku tidak sedang mencari air"
"Lalu, kenapa kau menyusur tanggul itu?" Sindangsari
menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab
pertanyaan itu. Bahkan ialah yang kemudian bertanya
"Kaukah yang baru saja bermain dengan serulingmu itu?"
Anak muda itu mengerutkan keningnya. Diamat-amatinya
seruling di tangannya seakan-akan baru pertama kali itu di lihatnya.
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
"Apakah anehnya?"
"Tidak apa-apa. Tetapi caramu meniup seruling acak
berbeda dengan kawan-kawanmu yang lain"
"Apakah bedanya?"
"Kau tidak mengikuti ikatan-ikatan gending yang sudah ada"
Anak muda itu tertawa. Katanya "Mungkin aku memang
tidak dapat memahami gending-gending itu. Tetapi mungkin juga karena aku tidak
puas dengan ikatan-ikatan yang ada"
"Itulah yang menarik"
Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba ia berkata "Kemarilah.
Halaman ini adalah halaman kakekku.
Karena kakek sudah terlampau tua dan tinggal bersama ayah dan ibu, maka halaman
ini menjadi kosong" Sindangsari berpikir sejenak. Tetapi kemudian ia menggelengkan kepalanya "Terima kasih. Kalau ada waktu, biarlah lain kali saja
aku datang" "Kenapa tidak sekarang?"
"Kau sendiri?" "Ya" "Terima kasih" Anak muda itu mengerutkan keningnya. Dengan heran ia
bertanya "Lalu apakah maksudmu sebenarnya?"
"Tidak apa-apa. Hanya sekedar ingin tahu"
"Kau aneh. Aku tidak dapat mengerti"
Sindangsari tidak segera dapat menjawab. Ia sendiri
menjadi bingung apa yang harus dilakukannya. Sementara itu anak muda itu telah
meloncati dinding batu dan berdiri di hadapannya.
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
"Aku akan pulang" gumam Sindangsari.
"He" anak muda itu menjadi semakin heran "lalu apakah kepentinganmu dengan suara
seruling itu?" "Hanya ingin tahu. Sindangsari tidak menunggu jawaban anak muda itu lagi.
Segera ia memutar tubuhnya dan berjalan tergesa-gesa
meninggalkan anak muda yang keheranan sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Ketika Sindangsari meloncati parit kecil di pinggir desa itu, terdengarlah suara
kawan-kawannya hampir berbareng "Itu.
itulah Sindangsari" Dan yang lain berteriak "Sari, darimana kau?"
Sindangsari tidak segera menjawab. Dengan tergesa-gesa ia pergi mendapatkan
kawan-kawannya. "Darimana kau he?" bertanya salah seorang dari mereka.
"Mencuci kaki diparit itu. Panasnya bukan main"
"Apakah baru sekarang kau sadari" Salahmu. Kau tidak
mau minum bersama kami. Alangkah segarnya"
"Salahmu" sahut yang lain.
Sindangsari tersenyum. Jawabnya "Justru karena panasnya bukan main itulah aku
tidak berani minum air mentah.
Bukankah sudah aku katakan?"
Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian salah seorang dari mereka bertanya "Sekarang, setelah kita tidak haus
lagi, kemana kita pergi" Apakah kita akan kembali ke sawah?"
"Tidak" salah seorang menyahut sambil menggelengkan
"aku segan" Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
"Kalau aku, mau tidak mau harus kembali lagi ke sawah.
Biyungku ada di gubug itu. Ia pasti akan menunggu aku sampai aku datang kesana"
"Kenapa kau sekarang berada disini?"
"Panas sekali. Aku tidak tahan berada ditengah-tengah sawah meskipun di dalam
gubug" "Bohong" jawab yang lain lagi "kau tahu Manguri akan
lewat disini" "Ah, tentu tidak. Siapa tahu ia akan lewat disini. Aku tidak tahu bahwa ia ada
di sawahnya" "Bohong, bohong" yang lain hampir berbareng. Dan gadis itu menjadi merah padam.
"Sudahlah, jangan mengganggu. Aku akan kembali ke
sawah" "Sebentar lagi Manguri akan menyusul"
"Embuh ah" dan gadis itupun kemudian dengan tergesa-
gesa meninggalkan kawannya. Tetapi beberapa langkah ia berpaling sambil
melambaikan tangannya. Sindangsari sama sekali tidak ikut di dalam sendau gurau itu. Ia masih belum
terbiasa dengan gadis-gadis kawan sepermainannya. Hubungannya masih terbatas
meskipun semakin lama menjadi semakin akrab. Tanpa prasangka
apapun ia bertanya kepada salah seorang kawannya "Apakah menjadi kebiasaan
Manguri membagikan uangnya?"
"Sering benar ia berbuat demikian" jawab salah seorang gadis "ia terlalu baik"
ulang Sindangsari. "Ia tidak pernah mendendam" desis yang lain "ketika ia ditinggal oleh kekasihnya


Matahari Esok Pagi Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang dahulu, ia sama sekali tidak menuntut apapun. Baik dari gadis itu, maupun
dari laki-laki yang melarikannya"
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Sindangsari mengerutkan keningnya. Apalagi ketika yang lain menyambungnya "Sudah
lebih dari tiga kali ia ditinggal oleh gadis-gadis yang semula tampaknya akrab
sekali. Ketiganya dilarikan oleh laki-laki lain setelah mereka mendapat terlampau banyak
dari Manguri" "Sampai tiga kali dan bahkan lebih?"
"Ya. Dan Manguri sama sekali tidak bersedih karenanya.
Meskipun untuk sehari dua hari ia tidak keluar dari rumahnya"
Sindangsari mengangguk-anggukkan kepalanya. Di dalam
hatinya ia berkata "Itulah agaknya sebabnya, kenapa Manguri senang sekali
bergaul dengan gadis-gadis. Agaknya ia ingin melupakan yang telah hilang itu"
"Kasian anak muda itu"terdengar suara seorang gadis
dalam nada yang rendah. Kawan-kawannya berpaling
kepadanya, dan seorang berkata "He, apakah kau ingin
menggantikan yang hilang itu?"
Jawabnya benar-benar di luar dugaan Sindangsari
Bukankah kita sama-sama menginginkannya?"
"Ah" gadis-gadis itu mengerutkan keningnya. Namun
kemudian mereka tertawa hampir meledak.
Sindangsari tidak dapat ikut tertawa, karena ia tidak mengerti apakah yang harus
ditertawakannya. Bahkan ia menaruh iba terhadap Manguri yang sudah tiga kali
bahkan lebih kehilangan kekasihnya.
"Marilah kita pergi ke sawah" berkata salah seorang gadis diantara mereka.
"Marilah. Kalau nasib kita baik, kita akan bertemu lagi dengan Manguri. Di
tengah-tengah bulak itu ada penjual rujak nanas"
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Beberapa orang diantara mereka berpikir sejenak. Dan
hampir berbareng mereka berkata "Mari, mari kita pergi ke sawah"
Sindangsari menjadi ragu-ragu. Ia tidak mempunyai banyak kepentingan di sawah.
Apalagi panasnya liukan main. Ia tidak biasa berada di teriknya matahari,
meskipun ia mencoba untuk menyesuaikan diri. Tetapi kadang-kadang kepalanya
masih terasa pening. Dan belum lagi ia mendapat keputusan, dilihatnya seorang laki-laki tua berjalan
sambil memanggul cangkul di pundaknya.
Di kepalanya tersangkut sebuah caping bambu yang kasar.
Laki-laki itu adalah kakeknya.
"Itu kakek" desisnya.
Kawan-kawannya memandang serentak kepada laki-laki tua itu. Salah seorang
diantara mereka berkata "Nah, kau dapat bersama-sama dengan kakekmu"
Sindangsari menganggukkan kepalanya.
Tetapi ketika laki-laki tua itu sampai ke tempatnya, maka iapun berkata
"Pulanglah Sari. Ibumu menunggumu"
Sindangsari mengerutkan keningnya. Jawabnya "Aku akan pergi ke sawah bersama
kawan-kawan kakek" Kakeknya berhenti sejenak. Dipandanginya gadis-gadis
yang ada di sekitarnya. Gadis Gemulung. Gadis-gadis yang telah biasa berada di
terik matahari, sehingga kulit mereka menjadi merah tembaga. Namun karena
kebiaaan mereka bekerja, tubuh merekapun menjadi ketat berisi. Tetapi kakek tua itu berkata "Pulanglah. Kau harus
membiasakan dirimu sedikit demi sedikit, supaya kau tidak sakit"
Sindangsari menjadi kecewa. Tetapi ia tidak berani
membantah. Karena itu, maka ia berdesis kepada kawan-
kawannya "Aku akan pulang"
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepala mereka.
Mereka menyadari bahwa Sindangsari tidak dapat melanggar pesan kakeknya.
Karena itu, maka Sindangsari tidak ikut bersama dengan gadis-gadis itu ketika
mereka berjalan berjingkat-jingkat di panasnya matahari yang seakan-akan telah
membakar debu di jalan-jalan.
Kini yang berdiri di hadapannya tinggallah kakeknya.
Dengan mengusap keringat di keningnya laki-laki tua itu berkata "Kau belum biasa
membakar diri di terik matahari Sari.
Pulanglah" Sindangsari mengangguk "Ya kakek"
Maka ketika kakeknya meneruskan perjalanannya ke
sawah, Sindangsaripun kemudian berjalan pulang ke rumahnya. Belum lagi ia duduk ketika ia memasuki ruang depan
rumahnya, ibunya telah bertanya kepadanya "Darimana kau Sari?"
"Dari sudut desa ibu. Bermain-main dengan kawan-kawan"
Ibunya memandanginya dengan sorot mata yang aneh.
Sorot mata yang seolah-olah belum dikenal oleh Sindangsari.
Tetapi Sindangsari tidak berani bertanya.
"Keringatmu terlampau banyak Sari" berkata ibunya sambil mengusap keningnya
perlahan-lahan "kau dapat menjadi sakit karenanya. Wajahmupun jadi merah seperti
terbakar. Apakah kau berjemur di panas matahari?"
"Tidak ibu. Aku berada di tempat yang teduh. Tetapi udara memang panas sekali"
"Lain kali jangan terlalu lama pergi"
Sindangsari mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Di pojok desa aku bermain-main dengan kawan-kawan"
berkata Sindangsari "mereka sedang beristirahat sebentar"
"Apakah yang mereka kerjakkan?" bertanya ibunya.
"Macam-macam" jawab Sindangsari "ada yang menunggui
padi yang sedang bunting. Ada yang mengirimkan makanan ke sawah. Ada yang
bermain-main saja" Ibunya mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Anak-anak muda juga banyak yang beristirahat di pojok desa dan di pojok
pategalan. Mereka bermain seruling bu.
Alangkah merdunya" "Siapa?" Hampir semua anak-anak muda dan gadis-gadis Gemulung
dapat bermain seruling"
Ibunya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dan tiba-tiba ibunya mengerutkan keningnya ketika
anaknya berkata "Manguri juga lewat di pojok desa itu"
"Manguri?" ulang ibunya.
"Ya. Anak pedagang ternak yang kaya itu. Ia sangat baik"
Kerut-merut di wajah ibunya menegang. Dengar nada yang datar perempuan itu
bertanya "Apakah yang telah di lakukan?"
"Membagi uang" "Membagi uang" mata ibunya terbelalak karenanya "Kau
diberinya juga?" Sindangsari menggelengkan kepalanya "Tidak. Aku tidak ikut memiliki pemberian
itu. Kawan-kawan membeli dawet aren beramai-ramai dengan uang pemberian Manguri.
Tetapi aku tidak mau"
"Bagus Sari. Kau harus bersikap demikian. Tidak baik
menerima pemberian orang tanpa alasan"
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
"Tetapi Manguri biasa berbuat demikian. Ia memang anak yang baik bu. Baik
sekali. Ramah dan tidak kikir"
Ibunya tidak segera menjawab. Di tatapnya saja wajah
anaknya dengan saksama. "Hampir semua kawan-kawan mengatakan tentang Manguri. Bahkan ia tidak mendendam ketika kekasihnya lari bersama laki-laki
lain" "Ah. Kau mengerti terlalu banyak tentang anak muda itu"
"Kawan-kawan menceriterakan tanpa aku minta"
"Ibunya menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya
"Sudahlah. Sebaiknya kau beristirahat. Kalau sudah kering keringatmu, pergilah
mencuci muka. Kau belum makan
bukan?" Sindangsari menganggukkan kepalanya. Kemudian iapun
pergi ke sumur untuk mencuci mukanya.
Setelah makan siang. Sindangsari pergi ke kebun di
belakang rumahnya. Di bawah pohon yang rindang ia
membentangkan sehelai tikar pandan. Kemudian di lingkarkannya sehelai tali di pinggangnya bertaut dengan ujung kakinya. Sejak ia
kembali ke padukuhan Gemulung ia sudah mempelajari cara-cara menganyam tikar,
dan agaknya Sindangsari cepat dapat mengerti.
Meskipun demikian, meskipun jari-jarinya yang panjang telah memegang helai-helai
pandan yang sudah mulai teranyam, namun kali ini, tangan itu sama sekali tidak bernafsu untuk bergerak.
Sekali-sekali terbayang wajah kawan-kawannya dipermainkan di pojok desa. Wajah
Manguri yang tersenyum cerah. Kemudian suara seruling yang
mengalun di sela-sela desau angin yang panas.
"Hal yang tidak pernah aku alami di kota" desisnya.
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya Sindangsari
merenungi dedaunan yang bergerak-gerak dibelai angin.
Kadang-kadang terasa sentuhan daun-daun kering yang jatuh menimpanya.
Angin yang silir telah membuatnya mengantuk. Tanpa
sesadarnya kadang-kadang kepalanya tertunduk. Namun
kemudian ia terkejut dan berusaha membuka matanya
selebar-lebarnya. "Kau lelah Sari" terdengar suara ibunya dari pintu belakang dapur.
Sindangsari berpaling sambil tersenyum "Udara membuat aku sangat mengantuk.
"Tidurlah" Tetapi Sindangsari menggeleng "Tidak ibu. Itu akan
menjadi kebiasaan" Ibunya tersenyum pula. Perlahan-lahan ia berjalan
mendekati anaknya dan kemudian duduk di sampingnya.
Perlahan-lahan tangannya membelai rambut anaknya yang hitam.
"Sari" berkata ibunya kemudian "kau sudah menjadi
semakin besar" Sindangsari mengerutkan keningnya.
"Kau sekarang sudah menjadi gadis remaja" Sindangsari masih belum menyahut. Dan
ibunya berkata terus "Dengan demikian kau harus menyadari, bahwa seandainya
bunga, kau sudah hampir mekar"
"Ah" gadis itu berdesah.
Ibunyapun menarik nafas dalam-dalam. Tetapi i ba-tiba saja ia menjadi ragu-ragu
untuk mengatakan bahwa Manguri telah menyuruh seseorang datang memberikan hadiah
kepadanya. Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Kesan yang ditangkap oleh Nyai Wiratapa dari ceritera anaknya tentang Manguri
telah membuatnya bimbang.
Mungkin anak itu memang baik. Mungkin Kegagalannya yang berulang kali itulah
yang membuatnya berlaku aneh.
"Tetapi cara itu sama sekali tidak aku sukai" berkata Nyi Wiratapa di dalam
hatinya "aku lebih senang perhubungan yang wajar di antara mereka. Tetapi dengan
menyuruh perempuan tua itu datang ke rumah ini, penilaianku terhadap Manguri menjadi
lain" Dan Nyai Wiratapa memang tidak dapat menghapuskan
kesan itu. Meskipun ia belum mengenal Manguri dari dekat, tetapi ia sudah tidak
menyukainya. Dalam keragu-raguan itu ia mendengar Sindangsari berkata
"Ibu, pada suatu saat, aku ingin berbuat seperti kawan-kawan di padukuhan ini.
Menyampaikan makanan ke sawah, atau membantu menunggui padi. Bahkan beberapa
orang kawan-kawanku dapat juga menyiangi tanaman dan menunggu air"
Ibunya mengangguk-anggukkan kepalanya "Sedikit demi
sedikit kau akan dapat menyesuaikan dirimu Sari. Tetapi tidak dengan tiba-tiba.
Kau harus membiasakan dirimu lebih dahulu"
"Aku tidak mau disebut anak manja ibu. Apalagi kakek
seakan-akan bekerja sendiri di sawah. Sedang kakek sudah tua. Apakah salahnya
kalau aku bekerja seperti kawan-kawanku yang lain" Aku bukan anak orang kaya"
Nyai Wiratapa mengangguk-anggukkan kepalanya "Bagus
Sari. Kau memang anak yang baik. Tetapi kau harus
menyesuaikan kemampuanmu. Aku tidak berkeberatan,
bahkan aku senang melihat kau bekerja di sawah kelak, apabila kau sudah mampu
melakukannya" "Tentu aku akan mampu ibu. Sedang Manguri, anak
pedagang yang kaya raya itupun bekerja pula di sawah.
Katanya tidak baik orang bermalas-malas.
Betapapun Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
kekayaan tertimbun di rumah, tetapi kekayaan itu kelak akan habis.
Nyai Wiratapa mengangguk-anggukkan kepalanya pula.
Ternyata Manguri menyadari kewajibannya meskipun ia anak seorang yang kaya raya.
"Bukankah begitu ibu?"
"Tentu, tentu Sari. Pada saatnya kau akan bekerja pula di sawah"
Sindangsari tersenyum. Kemudian di pandanginya anyaman tikar yang sudah di
mulainya. Sesaat kemudian jari-jarinya telah mulai menari, mempermainkan helai-
helai pandan yang putih. Selarik demi selarik tikar itupun seakan-akan tumbuh
menjadi tikar pandan yang semakin lebar meskipun belum begitu halus.
Ibunya yang duduk di sampingnya masih saja bimbang.
Apakah ia harus mengatakannya kepada Sindangsari bahwa ada seorang utusan
Manguri yang datang untuk menyerahkan sepengadeg pakaian".
"Anak ini sudah dewasa" katanya di dalam hati ia harus mulai mengerti persoalan-
persoalan yang menyangkut dirinya"
Karena itu, maka dengan hati-hati Nyai Wiratapa
mengatakan, apa yang terjadi, selagi ia tidak berada di rumah.
"Perempuan itu adalah utusan Manguri" berkata ibunya
kemudian. Sindangsari terkejut. Tetapi sepercik kebanggaan menggelora di dadanya. Ia ternyata mendapat perhatian jauh lebih banyak dari
kawan-kawannya, justru Kawan-kawannya yang ingin dekat dengan anak muda itu.
Teringat olehnya salah seorang kawannya yang menjadi kemerah-merahan
ketika kawan-kawannya wanita lain mengganggunya, dan
menghubung-hubungkannya dengan Manguri.
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/


Matahari Esok Pagi Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tetapi ternyata akulah yang mendapat perhatian lebih banyak dari mereka; Mereka
hanya mendapat uang pembeli dawet cendol aren. Tetapi aku mendapat sepengadeg
pakaian" Namun ibunya justru menjadi cemas melihat kesan vaug
tersirat di wajah gadis itu. Karena itu, maka iapun segera menyambung "Tetapi
Sari, Sudah tentu ibu tidak dapat
menerimanya" Sekali lagi Sindangsari terkejut. Dan ia mendengar ibunya menjelaskan "Itu tidak
baik. Seorang gadis menerima
pemberian seorang anak muda. Kau sudah bersikap benar, bahwa kau tidak ikut
membelanjakan uang pemberiannya.
Dan kaupun tidak akan dapat menerima pemberian-pemberian yang lain"
Sindangsari menundukkan kepalanya dalam-dalam.
Kau harus tahu Sari, bahwa pemberian serupa itu pasti mempunyai pamrih"
Sindangsari tidak menyahut. Tetapi hal itu di sadarinya.
"Cobalah mengerti, kenapa ibu menolak pemberian itu.
Bukan karena ibu tidak senang melihat kau berpakaian baik.
dan mahal. Tetapi, pakaian itu akan mengikatmu. Mengikat perasaanmu"
Sindangsari tidak menjawab. Bahkan kepalanya menjadi
semakin tertunduk. "Itulah yang ibu maksudkan. Kau sudah menjadi dewasa
sekarang. Anak-anak muda mulai memandangmu dari sudut yang lain. Bukan sekedar
kawan bermain kejar-kejaran lagi"
Sindangsari seakan-akan justru membisu. Dan ibunyapun mengerti, bahwa
Sindangsari tidak akan mengatakan apapun juga. Karena itu sambil mengusap dahi
gadisnya yang berkeringat Nyai Wiratapa berkata "Kau harus menjadi
semakin berhati-hati"
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Tanpa sesadarnya kepala gadis itu terangguk kecil.
"Nah, teruskanlah anyamanmu. Ibu akan membantu nenek
di rumah" Sindangsaripun kemudian ditinggalkannya sendiri, duduk di bawah pohon yang
rindang di kebun rumahnya. Tetapi
kembali tangannya seakan-akan membeku. Helai-helai pandan di tangannya sama,
sekali sudah tidak bergerak lagi. Sedang tatapan matanya jauh hinggap pada
bayangan matahari yang bermain-main di atas tanah yang kering.
Sindangsari tidak menyadari, betapa lama ia duduki
termenung. Ia terperanjat ketika ia mendengar derik sapu lidi di halaman depan.
Ternyata neneknya sudah mulai menyapu halaman. Adalah kebiasaannya membantu
neneknya dengan membersihkan kebun belakang.
Karena itu, iapun segera membenahi anyamannya yang
hampir tidak bertambah sama sekali. Dimasukkannya helai-helai pandan yang putih
ke dalam bakul. Kemudian disimpannya semuanya itu di dalam biliknya. Dan sejenak kemudian Sindangsari
telah memegang sebuah sapu lidi dan ambil terbungkuk-bungkuk ia membersihkan
kebun di belakang rumahnya. Sindangsari menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat ibunya membawa kelenting
di lambung, mengusung air dari sumur ke dalam dapur. Sepercik perasaan iba
menyentuh pusat jantungnya. Tetapi kemudian terdengar desah lirih
"Kami harus bekerja keras. Jangankan kami, sedang Manguri anak seorang yang kaya
raya itupun bekerja dengan keras pula"
Dengan demikian maka tangannyapun segera bergerak
kembali, mengayun-ayunkan sapu lidinya dan beringsut
setapak demi setapak maju.
Ketika ia menyimpan sapu lidi di sisi dapur, maka dilihatnya kakeknya sudah ada
di rumah. Laki-laki itu sedang sibuk
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
membersihkan lampu minyak di longkangan belakang.
Tampaklah keringatnya masih membasah di punggung dan
keningnya. "Kakek baru pulang dari sawah?" bertanya Sindangsari.
Kakeknya berpaling, kemudian kepalanya terangguk-
angguk "Ya Sari. Aku baru pulang"
Sindangsari menengadahkan kepalanya. Dilihatnya warna-warna senja yang
tersangkut di dedaunan. Dan sekali lagi ia berdesah di dalam hati "Kami memang
harus bekerja keras"
Sejenak kemudian setelah semua pekerjaan selesai,
barulah mereka seorang demi seorang mandi. Kemudian
seperti hampir di setiap sore, mereka duduk-duduk di amben bambu,
melingkari mangkuk-mangkuk makanan yang sederhana. Tetapiv Sindangsari kali ini agak berubah dari kebiasaannya. Ia tidak banyak berbicara dan bertanya tentang bermacam-macam
persoalan. Begitu ia selesai makan, maka iapun segera minta ijin untuk masuk ke
dalam biliknya. "Kenapa kau Sari" bertanya neneknya.
"Kepalaku agak pening nek" jawab gadis itu.
"Nah" sahut kakeknya "itulah akibatnya. Kau terlampau lama berjemur di terik
matahari siang tadi. Ingat Sari, kau belum biasa dibakar oleh udara sepanas itu"
Sindangsari menganggukkan kepalanya.
"Di dalam geledeg masih ada beberapa buah jeruk dan
segumpal enjet. Lekatkan sepotong jeruk enjet di keningmu.
Mudah-mudahan pening kepalamu segera sembuh" berkata
neneknya. Sindangsari mengangguk. Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
"Marilah Sari" ajak ibunya "aku bantu kau mengobati
peningmu itu" Sekali lagi Sindangsari mengangguk.
Keduanyapun kemudian berdiri. Ibunya mengambil pisau di dapur dan Sindangsari
mengambil sebuah jeruk pecel di geledeg dan sedulit enjet putih.
Setelah membantu Sindangsari sejenak, dan membaringkannya di pembaringannya, maka Nyai Wiratapapun kembali duduk-duduk di amben bersama ayah dan ibunya untuk
berbincang. Di pembaringannya Sindangsari sama sekali tidak dapat memejamkan matanya.
Sekali-sekali dipandanginya nyala lampu minyak kelapa yang kekuning-kuningan.
Lamat-lamat ia mendengar ibunya masih berbicara
perlahan-lahan dengan kakek dan neneknya. Tetapi betapapun ia mencoba menangkap pembicaraan mereka,
namun ia tidak berhasil sama sekali. Sepatah katapun tidak ada yang dapat di
dengarnya dengan jelas. Sehingga akhirnya Sindangsari tidak menghiraukannya
lagi, meskipun kadang-kadang timbul keinginannya untuk ikut berbicara diantara
mereka seperti hari-hari sebelumnya. Tetapi ia sudah terlanjur minta diri dan
mengatakan kepada mereka bahwa kepalanya sedang pening.
Karena itu, maka Sindangsaripun tetap berbaring di
tempatnya. Namun angan-angannya tidak dapat dibatasinya.
Ditembusnya dinding-dinding ruangan yang sempit itu,
menerawang jauh sekali tanpa batas.
Terbayang semuanya yang terjadi di siang hari. Manguri yang tersenyum cerah.
Gadis-gadis yang manja dan keping-keping uang yang di berikan oleh anak pedagang
yang kaya raya itu. Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Sindangsari menarik nafas dalam-dalam. Terbersitlah
sebuah kekecewaan di hatinya karena ibunya telah menolak pemberian Manguri
kepadanya. Sindangsari menarik nafas dalam-dalam. Namun tiba-tiba telinganya menangkap
suara ibunya agak mengeras "Begitulah menurut Sindangari ayah"
Kakeknya yang tua tidak segera menjawab. Tetapi kata-
kata itu sangat menarik perhatian Sindangari. Perlahan-lahan iapun kemudian
bangkit dari pembaringannya dan berjalan berjingkat melekat dinding. Beberapa
langkah ia berhasil mendekati tempat duduk ibu dan kedua kakek dan neneknya.
Ternyata pembicaraan merekapun menjadi agak mengeras
"Kau harus berhati-hati mengurusi anakmu itu Wiratapa"
berkata kakeknya "Aku tidak senang ia bergaul dengan
Manguri" "Aku sudah mencoba memberitahukannya ayah"
"Kau sudah bertindak tepat. Jangan menerima pemberian apapun dari padanya"
"Ya ayah" jawab ibunya.
Sejenak kemudian menjadi sepi. Baik ibunya, maupun
kakek dan neneknya tidak segera berbicara apapun.
Tiba-tiba kakeknya bertanya "Apakah Sari sudah tidur?"
"Entahlah" jawab ibunya.
"Lihatlah" Ketika ibunya berdiri, maka sambil berjingkat Sindangsari pergi tergesa-gesa ke
pembaringannya. Dibaringkannya
tubuhnya sambil membentangkan selimut, sehelai kain
panjang di atas tubuhnya.
Sindangsari mendengar pintu lereg biliknya berderit. Hanya sebentar. Dan ketika
untuk kedua kalinya pintu itu berderit
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
kembali, ia membuka matanya perlahan-lahan. Ternyata pintu kamarnya telah
tertutup rapat. "Agaknya anak itu telah tidur ayah" Sindangsari mendengar suara ibunya.
"Kemarilah, aku ingin memberitahukan sesuatu kepadamu"
Sejenak tidak terdengar sesuatu kecuali derak amben
bambu tempat ibu dan kakeknya berbicara.
Tetapi pembicaraan yang kemudian sama sekali tidak dapat di dengar oleh
Sindangsari, selain gemeremang suara kakek, nenek dan ibunya berganti-ganti.
Meskipun Sindangsari kemudian bangkit dari pembaringannya dan melekatkan
telinganya di dinding, namun pembicaraan orang-orang tua itu sama sekali tidak
jelas baginya. Hanya sekali-sekali ia mendengar namanya di sebut, kemudian nama
Manguri dan nama beberapa orang lain.
"Huh" akhirnya gadis itu menjadi kesal "biarlah mereka berbicara tentang
persoalan yang tidak mereka mengerti"
Tetapi tiba-tiba gadis itu menutup mulutnya dengan telapak tangannya. Meskipun
kata-kata itu hampir tidak terdengar sama sekali, meskipun oleh dirinya sendiri,
namun ia menyesal sekali. Tidak pernah ia mempunyai perasaan yang demikian
terhadap ibu, kakek dan neneknya. "Tetapi, tetapi" Sindangsari mencoba memperbaiki "maksud ibu, kakek dan nenek
pasti untuk kebaikanku. Pasti"
Sindangsaripun kemudian meletakkan tubuhnya di pembaringannya kembali. Ditariknya selimutnya untuk menutup hampir sekujur tubuh, selain kepalanya.
Dan Sindangsari benar-benar tidak mendengar ketika
kakeknya berkata "Memang demikianlah kesan hampir setiap anak-anak muda di
Gemulung tentang Manguri. Anak itu
memang terlampau julig, sehingga semua perbuatannya sama
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
sekali tidak berbekas. Tetapi hal yang serupa itu tidak boleh terjadi atas Sari"
Dengan mulut ternganga Nyai Wiratapa mendengarkan
ceritera ayahnya. Namun tanpa di sadarinya ia brdesis
"Apakah memang demikian?"
"Ya. Hanya orang yang sangat terbatas yang mengetahui keadaan yang sebenarnya.
Dengan bujukan yang hampir tidak terelakkan ia mencari anak-anak muda sebayanya.
Dengan dibekali uang, pakaian dan bermacam macam janji, maka anak muda itu di
suruhnya membawa gadis yang sudah
dinodainya itu. Memang tidak ada pilihan lain bagi gadis yang demikian. Sebab
mereka merasa, bahwa tidak mungkin dapat memaksa Manguri untuk bertanggung
jawab. Mereka sadar, bahwa Manguri dapat melakukan kekerasan atas mereka,
justru karena ia kaya raya" orang tua itu berhenti sejenak, lalu
"demikianlah yang sudah terjadi, tiga atau empat kali. Gadis yang telah ternoda
itu dipaksanya pergi bersama laki-laki yang telah disuap dengan apapun. Mereka
akan kawin dan bebaslah Manguri dari segala macam pertanggungan jawab"
"O" keringat dingin mengalir di punggung Nyai Wiratapa
"Mengerikan sekali"
"Demikianlah yang sebenarnya terjadi. Namun kesan yang dibuat dari peristiwa itu
adalah, seakan-akan gadis-gadis Manguri itu meninggalkannya dan lari dengan
laki-laki lain" Nyai Wiratapa mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi
dadanya serasa menjadi pepat. Ia tidak menyangka, bahwa hal yang serupa itu
dapat terjadi. "Sekali dua kali, tidak ada seorangpun yang menaruh
curiga. Tetapi ketika hal itu terulang kembali, maka mulailah beberapa orang
tua-tua bertanya-tanya"
"Apakah orang tuanya tidak berbuat sesuatu" bertanya Nyai Wiratapa.
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Ayahnya yang tua itu menarik nafas dalam-dalam.
Jawabnya "Memang kita tidak akan menghukum Manguri
sebagai seorang anak yang binal tanpa menghiraukan orang tuanya. Kesalahannya
memang tidak seluruhnya terletak pada anak itu" laki-laki tua itu berhenti
sejenak; kemudian "Ayah Manguri adalah seorang pedagang ternak yang kaya raya.
Ia jarang sekali berada di rumahnya. Hampir setiap hari ia berkeliling dari
pasar ternak yang satu ke pasar yang lain.
Kemudian melakukan jual beli dalam jumlah yang besar
dengan pedagang-pedagang dari Utara. Dari Mataram, dari Bagelen dan dari daerah-
daerah yang lain" Nyai Wiratapa mengangguk-anggukkan kepalanya "Jadi
anak itu tidak mendapat pengawasan secukupnya bukan"
Tetapi bagaimana dengan ibunya?"
"Ibunya terlampau memanjakannya" jawab ayahnya,
kemudian suaranya menurun "tetapi lebih dari pada itu.
Ayahnya adalah seorang laki-laki yang tidak terkekang. Hampir di segala sudut


Matahari Esok Pagi Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

daerah Selatan mi ia mempunyai isteri. Bahkan kadang-kadang ia masih juga
mengganggu isteri orang" laki-laki tua itu berhenti sebentar, kemudian dan
isterinya, ibu Manguri itu, di dalam kesepian ia telah melakukan hubungan yang
terlarang. Dan hubungan itu diketahui oleh anak laki-lakinya. Celakanya, anak
laki-laki itu sudah pandai memeras ibunya. Setiap kali ia mengancam akan
mengatakannya kepada ayahnya apabila ibunya tidak memenuhi permintaannya. Apapun"
"Gila, gila" tanpa sesadarnya Nyai Wiratapa memotong
kata-kata ayannya" "Sst" desis ibunya "jangan terlampau keras, kau akan
membangunkan anakmu"
Sebenarnyalah Sindangsari terkejut mendengar suara
ibunya. Tetapi ia tidak tahu, apakah yang sebenarnya sedang di persoalkan.
Karena itu, maka ia tidak mengacuhkannya lagi.
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Mungkin ibunya sedang menilai anak-anak muda padukuhan Gemulung yang sudah
menjadi kawan-kawanya bermain.
"Ayah" desis Nyai Wiratapa perlahan-lahan "jadi benar juga kata-kata perempuan
tua yang datang untuk menyerahkan pakaian sepengadeg itu. Katanya, kalau nasibku
baik, bukan saja Sindangsari yang akan mendapat tempat di dalam
keluarga yang kaya raya itu, tetapi mungkin aku juga akan diambil selir oleh
pedagang kaya itu" "Yang benar adalah, perempuan itu berkata demikian"
sahut ayahnya "tetapi belum tentu hal itu akan sebenarnya terjadi"
Nyai Wiratapa menundukkan kepalanya. Terdengar ia
berdesis perlahan "Sudah demikian parahkah keadaan
padukuhan ini, sehingga tidak lagi ada tata kehidupan?"
"Jangan salah sangka Wiratapa" berkata ibunya "tidak
semua orang Gemulung berbuat seperti itu"
Nyai Wiratapa mengangguk-angguk perlahan.
"Mudah-mudahan aku dapat menyingkirkan anakku dari
bencana ini" berkata Nyai Wiratapa di dalam hatinya.
Sementara itu Sindangsari masih saja berbaring diam di dalam biliknya. Matanya
berkejap-kejap memandang langit-langit di atas biliknya. Kadang-kadang seekor
cicak melintas sambil menciap, seperti anak burung yang memanggil
induknya dari sarang. Tiba-tiba Sindangsari mengerutkan keningnya. Di kejauhan terdengar suara tembang
yang mengambang di sepinya
malam. Tembang macapat, seakan-akan merambat di dinding biliknya.
"Asmaradana" desis gadis itu, lalu "kenapa masih sesore ini orang itu memilih
lagu Asmaradana dan bukan Dandanggula?"
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Namun suara tembang itu mengalun semakin jelas
menyentuh telinga Sindangsari.
Tanpa sesadarnya terbayanglah seorang anak muda yang
meloncat dari balik dinding batu di pinggir desa siang tadi.
Anak muda yang bermain seruling dengan nada-nada yang lain dari tembang-tembang
macapat seperti yang didengarnya itu.
Dan tanpa sesadarnya Sindangsari telah memperbandingkannya dengan anak muda periang yang
bernama Manguri, anak seorang pedagang ternak yang kaya raya.
"Lain" desisnya "keduanya mempunyai cirinya tersendiri.
Manguri adalah seorang periang yang tampaknya tidak pernah bersungguh-sungguh,
ia berbuat sesuka hatinya, apa saja yang sedang di ngatnya di lakukannya. Tetapi
anak yang berseruling itu bukanlah seorang yang berbuat apa saja sesuka
hati. Ia mempunyai pertimbangan dan ada kesungguhan, meskipun ia tidak seriang Manguri"
Sindangsari menarik nafas dalam-dalam. Pada anak muda itu yang paling menarik
baginya adalah suara serulingnya.
"Namanya tidak begitu baik. Pamot" gadis itu berdesis.
Namun sementara itu suara tembang di kejauhan masih
saja membelai telinganya, sehingga lambat laun, seperti silirnya angin malam,
telah mendorongnya ke dalam alam yang lamat-lamat. Perlahan-lahan ia mulai
terlena, sehingga akhirnya Sindangsari tertidur dengan nyenyaknya. Ia sudah
tidak mendengar lagi ketika suara tembang itu kemudian beralih kepada nada-nada
yang lebih keras, sehingga
sampailah kemudian ke dalam suasana perang yang dahsyat
"Durma" Ketika matahari terbit di keesokan paginya. Sindangsari benar-benar merasa
pening di kepalanya. Belahan jeruk yang semalam dilekatkan di keningnya sudah
terjatuh di sisinya Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
berbaring. Tetapi ia tidak mau tetap berada di dalam biliknya.
Seperti biasa ia bangun dan membantu neneknya menyapu halaman.
Tetapi pembicaraan ibu serta kakek dan neneknya semalam selalu
dikenangnya. Meskipun ia tidak mendengar pembicaraan itu, tetapi ia merasa bahwa mereka sedang berbicara tentang dirinya.
Setelah selesai menyapu halaman, maka seperti biasanya Sindangsari mengumpulkan
pakaian-pakaian kotor yang akan dicucinya di kali bersama beberapa orang kawan
gadisnya. Tetapi tidak seperti biasanya, ibunya mendapatkannya
sambil berkata "Hati-hatilah Sari. Jangan terlalu lama"
Sindangsari menganggukkan kepalanya. Jawabnya "Ya bu.
Kepalaku juga agak pening"
Sindangsari hanya menunggu sebentar ketika beberapa
orang kawannya lewat di muka rumahnya. Kemudian
bersama-sama mereka pergi ke sungai sambil menjinjing bakulnya masing-masing.
Sementara itu, beberapa pasang mata sedang mengintai.
Tetapi mata itu kini memancarkan perasaan yang bergejolak dan jantung yang
berdentangan. "Lamat" Manguri memanggil orangnya yang tinggi besar
"Lihat, gadis itu lewat lagi"
Lamat berjalan dengan langkahnya yang berat mendekati Manguri.
"Sindangsari telah menolak pemberianku. Sesuatu yang
selama hidupku belum pernah terjadi" berkata Manguri "setiap gadis pasti tunduk
di bawah pengaruhku, bahkan apapun yang aku minta pasti diberikannya tanpa
banyak persoalan. Dan kini aku belum meminta sesuatu. Justru aku baru memberi.
Tetapi ia sudah menolak"
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Lamat mengerutkan keningnya. Kemudian terdengar
suaranya datar "Yang manakah gadis yang bernama
Sindangsari?" "Bodoh, bodoh kau. Kau memang bodoh seperti kerbau"
Lamat tidak menjawab. "Lihat, gadis yang berkain lurik hijau gadung itu"
"Yang menjinjing bakul?"
"Semua menjinjing bakul. Apakah kau tidak melihat?"
Lamat terdiam. "Berkain lurik hijau gadung dan berbaju coklat muda"
Lamat tidak menjawab. Tetapi kepalanya terangguk-angguk
"Kau lihat he?"
"Ya, ya. Aku melihat"
"Nah, gadis itu yang sudah menghinaku. Mengerti"
Lamat mengangguk-angguk kepalanya. Lalu ia bertanya
"Apakah aku harus mengambilnya dan membawanya kemari"
Manguri tidak segera menjawab. Tetapi melihat sikap gadis itu ia menjadi ragu-
ragu. Sindangsari bersama beberapa kawannya masih saja berjalan seperti
biasanya. Kadang-kadang mereka berpaling memandangi pintu regol yang
tampaknya tertutup. Tetapi mereka tidak tahu bahwa Manguri sedang mengintip
mereka dari balik pintu yang mereka sangka tertutup rapat itu.
"Tidak" kemudian ia menjawab "Tidak sekarang. Aku ingin tahu, apakah anak itu
atau keluarganyalah yang berkeberatan.
Mungkin aku masih mempunyai cara lain. Tetapi kalau cara itu semuanya gagal,
barulah aku memerlukan kau"
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Orang yang bertubuh tinggi besar itu tidak menjawab.
Dipandanginya saja anak muda itu dengan kerut-merut di keningnya.
"Sebaiknya aku menemuinya dan bertanya langsung
kepadanya" gumam Manguri kepada diri sendiri.
Lamat masih tetap berdiri di tempatnya. Dan tiba-tiba saja Manguri berteriak
"Pergi, pergi kau"
Perlahan-lahan Lamat melangkah surut. Kemudian dengan kepala tunduk ia kembali
ke pekerjaannya. Meskipun ia masih mendengar Manguri bersungut-sungut sambil
mengumpat-umpat, tetapi ia sudah tidak berpaling lagi.
Sejenak kemudian Manguripun segera berlari masuk ke
dalam rumahnya. Ditemuinya ibunya sedang melipat pakaiannya di dalam biliknya.
"Bu, aku perlu uang"
Ibunya mengangkat wajahnya. Di pandanginya anaknya
yang tampak tergesa-gesa.
"Untuk apa?" bertanya ibunya.
"Aku akan menemui gadis itu langsung. Belum pernah
seseorang menolak pemberian kita.
Ibunya menarik nafas dalam-dalam. Dengan ragu-ragu ia bertanya "Manguri, apakah
kau mash juga akan berbuat
demikian" - Manguri mengerutkan keningnya "Maksud ibu?"
"Duduklah" Manguri tertegun sejenak. Tetapi iapun melangkah maju dan duduk di amben.
"Manguri, umurmu semakin lama menjadi semakin
bertambah" Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
"Ya" "Kau harus menyadari, bahwa hidupmu kelak akan
tergantung kepadamu sendiri. Ayah dan ibu tidak akan dapat membimbing kau untuk
seterusnya. Suatu ketika ayahmu
menjadi tua dan tidak dapat mencari uang lagi. Kalau kau tidak belajar sejak
sekarang, maka kau akan mengalami kecanggungan kelak"
Manguri terdiam sejenak. Tetapi tiba-tiba ia tertawa.
Katanya "Nasehat ibu baik sekali. Tetapi ayah dapat
melakukan kedua-duanya berbareng. Mencari uang dan
perempuan" Ibu Manguri menarik nafas dalam-dalam. Ia memang tidak dapat ingkar. Karena itu
maka katanya "Kau benar Manguri.
Kalau aku memberi kau nasehat lebih lanjut, mungkin kau akan menyentuh kesalahan
ibumu pula. Aku tidak ingkar.
Ayahmupun tidak akan ingkar. Hidupku dan ayahmu bukanlah contoh yang baik.
Tetapi sudah tentu aku tidak ingin melihat anakku berbuat seperti itu"
Manguri masih tertawa. Katanya "Tidak. Aku tidak akan menunjuk kesalahan ibu.
Aku tidak peduli. Aku merasa bahwa aku sudah cukup dewasa menanggapi keadaan.
Seharusnya aku tidak menjadi seorang anak muda yang cengeng. Yang merintih
sepanjang hidupnya karena kesalahan orang lain.
Tidak" Manguri berhenti sejenak, lalu "Tetapi beri aku uang"
"Manguri" suara ibunya merendah "kau harus sudah mulai berpikir tentang masa
depanmu" "Ya, aku memang sudah memikirkannya ibu, Masa depan
yang paling menyenangkan adalah cara hidup yang ditempuh oleh ayah"
"Oh" ibunya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi Manguri sama sekali tidak
menghiraukan desah ibunya. Bahkan ia mendesak "Ibu, beri aku uang"
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Ibunya yang tidak dapat mengatasi permintaan itu, seperti biasanya lalu berkata
"Ambil ah di dalam kampil itu"
Manguripun segera meloncat mengambil uang di dalam
kampil di geledeg. Tanpa di hitungnya. Dan uang yang
segenggam itupun kemudian dimasukkannya ke dalam
kantong ikat pinggangnya. Beberapa keping berjatuhan di lantai tanpa di
hiraukannya. "Kemana kau Manguri?" ibunya masih bertanya.
"Ke sawah. Mungkin aku akan dapat bertemu dengan
Sindangsari seperti! kemarin. Ia bermain-main di pinggir desa bersama beberapa
orang gadis" Ibunya tidak bertanya lagi. Dibiarkannya Manguri meninggalkan biliknya. Namun sepercik kecemasan telah merayapi jantungnya.
Bagaimanakah masa depan anaknya
itu" Bagaimanapun gila ayahnya terhadap perempuan di
segala tempat, namun ayahnya dapat mencari uang untuk membeayai kegilaannya, dan
membeayai rumah tangganya
yang sudah ada. Meskipun sifat-sifatnya kurang disukai oleh orang-orang
Gemulung, tetapi ia tetap seorang yang
terhormat karena ia kaya. Bahkan dirinya sendiri yang tidak bersih lagi itupun
masih tetap mendapat tempat yang baik, karena ia dapat memberi pekerjaan dan
sumber hidup bagi tetangga-tetangganya yang ikut membantu di rumahnya dan
memelihara sawah dan ternak.
Tetapi Manguri tidak dapat berbuat seperti ayahnya. Ia hanya meniru satu segi
dari kehidupan ayahnya. Justru kelemahannya. Bukan kecakapan berusaha dan
tanggung jawabnya. Sampai umurnya yang telah menginjak dewasa Manguri
sama sekali tidak mempunyai tanda-tanda bahwa ia rajin bekerja seperti ayahnya.
Bahwa ia mampu melakukan pekerjaan yangberat dan bertanggung jawab. Yang Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
dilakukannya sehari-hari adalah menghamburkan uang untuk kepuasan semata-mata.
Dan ibunya menjadi sedih karenanya. Betapa kelamnya hati seorang ibu, namun ia
masih juga ingin melihat hidup anaknya yang cerah. Tetapi Manguri tidak dapat


Matahari Esok Pagi Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diharapkannya sama sekali.
Sementara itu Manguri berjalan tergesa-gesa di sepanjang jalan padesan. Semula
ia akan menyusul gadis-gadis yang pergi mencuci ke sungai. Tetapi niat itu
diurungkannya. Ia masih juga segan turun ke sungai menunggui gadis-gadis yang
sedang mencuci dan mandi. Karena itu, maka iapun pergi meniti pematang ke
sawahnya, meskipun hanya sekedar tidur di dalam gubug. Menghentikan penjual
apapun yang lewat untuk menghabiskan waktu, kemudian pergi menemui gadis-gadis
di pinggir desa. "Aku harus tidak hanya sekedar lewat dan memberikan
uang. Aku harus berhenti dan mencoba melakukannya sendiri.
Tidak dengan perantara-perantara yang bodoh. Aku tidak mau gagal kali ini.
Jarang aku menemui gadis seperti Sindangsari sepanjang hidupku. Juga di masa
yang akan datang" Dan bayangan-bayangan yang menegangkan urat syarafnya selalu mengganggunya. Selagi ia berbaring di dalam gubug di tengah-
tengah sawahnya, hatinya selalu saja gelisah.
Sama sekali tidak ada perhatiannya atas burung-burung yang berterbangan di atas
batang-batang padi yang mulai
menguning, seperti segumpal asap yang berputar-putar.
Kemudian menukik bertebaran di atas bulir-bulir padi yang mulai menunduk. Namun
sejenak kemudian terdengar
penunggu-penunggu sawah itu berteriak-teriak sambil mnarik tali-tali penggerak
orang-orangan di tengah-tengah sawah itu.
Dan burung-burung itupun menghambur berterbangan dalam gumpalan-gumpalan
memenuhi udara yang bersih.
Dalam pada itu Sindangsari dan kawan-kawannya lagi sibuk mencuci di pinggir
kali. Tetapi Sindangsari tidak segembira
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
biasanya. Ia tiba-tiba saja menjadi pendiam yang kadang-kadang merenung untuk
sesaat, sehingga kawan-kawannya menjadi heran melihat perubahan itu.
"He, Sari. Kenapa kau selalu merenung" bertanya Kandi tiba-tiba "apakah semalam
kau bermimpi?" Sindangsari terkejut. Ia mencoba tersenyum, tetapi terasa senyumnya hambar.
"Ya, pasti bermimpi" sahut kawannya yang lain "ayo
katakan Sari, kau mimpi apa?"
"Aku tidak pernah bermimpi" jawab Sindangsari.
"Bohong" hampir berbareng kawan-kawannya menyahut
"tidak ada orang yang tidak pernah bermimpi. Dan agaknya semalam kau bermimpi
bagus sekali" "Bermimpi tentang apa Sari. Ayo katakan"
"Sungguh. Aku tidak bermimpi" Sari mengelak "aku tidak bermimpi tentang apapun"
"Sari" berkata kawannya yang lain. Tampaknya wajahnya menjadi sangat bersungguh-
sungguh "Dengar. Aku tahu pasti, bahwa kau bermimpi digigit ular"
"Ya, mimpi digigit ular" hampir berbareng kawan-kawannya menjerit.
Sindangsari menundukkan kepalanya dalam-dalam. Wajahnya menjadi kemerah-merahan. Tetapi ia tidak marah.
Ia tahu, bahwa kawan-kawannya hanya sekedar bergurau.
Dan kawannya yang bertubuh kecil dan pendek tiba-tiba berkata dengan suara yang
dibuat-buat "Eyang, akhirnya ular sebesar ibu jariku itu lenyap. Yang ada adalah
seorang kesatria yang gagah dan tampan. Wajahnya cerah seperti matahari. Namanya
..........eh, siapa namanya Sari"
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Sekali lagi suara kawan-kawannya berderai. Dan Sindangsari menjadi semakin tunduk, meskipun ia mencoba tersenyum.
"Sebaiknya kau berterus-terang" desis kawannya yang duduk di sampingnya.
Dan tiba-tiba saja gadis itu terpekik karena Sindangsari mencubitnya di pahanya.
"Jangan Sari, jangan" Tetapi Sindangsari tidak melepaskannya. Sehingga gadis itu mencoba meronta untuk melepaskan diri. Karena
hentakannya sendiri itulah ia kehilangan keseimbangan. Sejenak kemudian ia
terdorong dan jatuh ke dalam air.
Gadis-gadis itupun menjadi semakin riuh. Mereka justru menyiram gadis itu
bersama-sama, sehingga dengan demikian perhatian mereka beralih dari Sindangsari
yang ikut pula menyiram gadis itu sampai terengah-engah.
Senda gurau itu membuat Sindangsari melupakan dirinya sendiri untuk sejenak.
Tetapi setelah anak-anak itu tidak lagi berteriak-teriak, pening di kepalanya
terasa lagi. Dan sebelum kawan-kawannya mengganggunya, maka
Sindangsari mendahului berkata "Kepalaku memang agak
pening" Kandi yang agak lebih tua dari kawan-kawannya
mendekatinya sambil bertanya* "Sejak kapan kau merasa pening?"
"Kemarin sore" "Nah, kau kehausan kemarin" potong seorang kawannya.
Tetapi yang lain tidak menyambung ketika mereka melihat Kandi meletakkan
tangannya di dahi Sari. "Jangan terlalu lama berendam" berkata Kandi "kau
memang agak panas" Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Kawan-kawannya mengerutkan keningnya. Salah seorang
dari mereka bertanya "Apakah kau benar-benar pening Sari?"
Sindangsari menganggukkan kepalanya dan kawannya
yang lain menyahut "Kalau begitu, marilah kita cepat pulang"
"Apakah kau nanti tidak bermain di pinggir desa, di waktu kami beristirahat dari
kerja kami di sawah?"
Sindangsari mengerutkan keningnya. Jawabnya "Kalau
kepalaku masih pening, aku tidak pergi ke pinggir desa"
Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi salah seorang yang lain menyahut "Kau tidak ingin minum dawet cendol atau
rujak nanas Sari?" Sindangsari menggelengkan kepalanya.
"Ayo, cepat. Kita harus segera pulang. Matahari menjadi semakin tinggi. Ayah
menunggu aku di sawah" berkata Kandi.
Dan gadis-gadis itu mempercepat kerja mereka, supaya
mereka segera dapat pulang.
Dengan demikian, maka Sindangsari tidak dapat pergi ke pinggir desa hari itu. Ia
berbaring saja di pembaringannya.
Badannya terasa agak panas. Tetapi tidak terlampau tinggi, sehingga tidak begitu
menggelisahkan ibu, kakek dan
neneknya. Tetapi yang masih saja gelisah adalah Manguri. Sekalisekali ia bangkit dan duduk
di bibir gubug yang berkaki tinggi.
Kemudian berbaring lagi. Bahkan kadang-kadang ia meloncat tunrun dan berjalan
hilir mudik di pematang. Namun terasa waktu berjalan terlampau lamban.
"Apakah gadis-gadis itu sudah berada di pinggir desa" ia bertanya kepada diri
sendiri. Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Setiap kali Manguri menengadahkan kepalanya. Setiap kali ia mencoba melihat
kalau-kalau ia melihat gadis-gadis yang pergi berteduh ke pinggir desa.
"Sudah waktunya" tiba-tiba ia berdesis ketika ia melihat di kejauhan seorang
gadis berjalan berjingkat-jingkat ke pinggir desa untuk berteduh "mereka pasti
sudah berkumpul di sana. Aku akan memberi mereka beberapa keping. Tetapi aku akan minta Sindangsari
tinggal. Aku ingin berbicara"
Manguripun kemudian berjalan tergesa-gesa menyusur
pematang seperti yang dilakukannya kemarin. Ketika ia meloncat turun ke jalan,
maka ia mendengar beberapa orang gadis
menyebut namanya. Justru sengaja agar ia mendengarnya. Tetapi Manguri tetap mencoba menenangkan dirinya. Ia berjalan
seperti kemarin mendekati gadis-gadis itu.
Tetapi semakin dekat, hatinya menjadi semakin berdebar-debar. Ia tidak melihat
Sindangsari di antara gadis-gadis itu.
Meskipun demikian ketika gadis-gadis itu menegurnya
iapun berhenti pula. Seperti kemarin diberikannya beberapa keping uang kepada
mereka. Tetapi kali ini ia bertanya "Di mana Sindangsari?"
Gadis-gadis itu saling berpandangan sejenak. Kemudian sambil tertawa tertahan
mereka saling mencubit. "Dimana?" Manguri mendesak.
"Sindangsari sedang sakit. Ia tidak keluar rumah siang ini"
"Sakit" bertanya Manguri sambil mengerutkan keningnya.
"Ya. Kepalanya pening. Semalam ia mimpi di gigit ular"
yang lain berkelakar, dan suara tertawanya meledaklah.
Manguri tersenyum. Tetapi tanpa berkata apapun ia
melangkah meninggalkan gadis-gadis itu.
Sebenarnya hatinya menjadi sangat kecewa. Ia ingin
segera bertemu gadis itu sendiri. Penolakan atas Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
pemberiannya itu benar-benar telah menyakitkan hatinya.
Kalau penolakan itu benar-benar dilakukan oleh Sindangsari, maka ia harus
berbuat sesuatu. Kalau perlu dengan
kekerasan, atau dengan cara lain.
"Mungkin aku dapat membelinya. Ibunya adalah seorang
janda, dan kakeknya seorang petani miskin" Manguri
menggeram "mereka tidak akan dapat bertahan melihat uang yang cukup banyak.
Bahkan mungkin dua ekor lembu yang besar cukup untuk menukar gadis itu. Aku
tidak akan memerlukan sepasang lembu itu, bahkan dengan bajaknya sama sekali, agar kakek
tua itu dapat bekerja dengan baik di sawahnya"
Dan tiba-tiba Manguri itu bergumam "Aku akan pergi ke rumahnya sekarang. Aku
tidak mau terlambat"
Dan langkah Manguripun menjadi semakin cepat. Meskipun hatinya agak berdebar-
debar juga, tetapi ia melangkah terus.
Ia harus segera mendapat penjelasan, kenapa, pemberiannya itu terpaksa ditolak.
Apakah perempuan yang di suruhnya itu berkata sebenarnya, atau sekedar dibuat-
buat. Yang ingin diketahuinya, siapakah yang sebenarnya telah menolak
pemberiannya itu. "Apakah benar ibunya, seperti yang dikatakan oleh
perempuan bodoh itu, yang menolak pemberianku, atau
memang Sindangsari sendiri?" Manguri menggerutu di
sepanjang jalan "aku harus mengetahuinya"
Dan langkahnyapun menjadi semakin cepat.
Sementara itu Sindangsari masih saja terbaring di dalam biliknya. Ia tidak dapat
melupakan perasaannya, bahwa ibu, kakek dan neneknya sedang mempersoalkannya
semalam. Tetapi ia tidak tahu, apakah yang dipersoalkan itu.
Dalam arus angan-angannya yang menggelepar di dalam
dadanya itu, tiba-tiba terselip gema suara yang lain. Suara yang seakan-akan
bergetar dari alam yang asing.
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Namun Sindangsaripun segera menyadari. Bahwa yang di
dengarnya itu adalah suara seruling. Sehingga karena itu, maka tanpa sesadarnya
ia mengangkat kepalanya. "Begitu dekat" desisnya.
Sindangsari kini sudah mengerti, bahwa anak muda yang bermain seruling dengan
cara yang tersendiri itu adalah Pamot. Dan suara seruling yang di dengarnya kini
adalah suara seruling Pamot itu pula.
"Tetapi dimana anak itu bermain?" Sindangsari bertanya kepada diri sendiri
"Rumahnya tidak berada di sekitar tempat ini. Bahkan agak jauh di pinggir desa.
Namun anak yang sedang agak sakit itu tidak dapat
mengekang dirinya. Perlahan-lahan ia bangkit dan berjalan ke pintu biliknya.
Ketika ia menjengukkan kepalanya, dan tidak seorangpun yang dilihatnya di ruang
dalam, maka tertatih-tatih ia melangkah keluar biliknya dan langsung ke pintu
depan. "Dimanakah ibu dan nenek" desisnya. Tetapi ia tidak
melihat keduanya. "Mungkin mereka ada di dapur" ia mencoba menjawabnya
sendiri. Karena itu, maka tanpa minta diri kepada siapapun
Sindangsari berjalan melintasi halaman, turun ke jalan.
Dipasangnya telinganya baik-baik, sehingga segera ia tahu arah suara itu.
"Di perempatan sebelah" desisnya.
Seperti di tuntun oleh suara yang mengumandang dari
ujung seruling bambu itu. Sindangsari berjalan terus. Tidak terlampau jauh.
Hanya beberapa puluh langkah dari regol halamannya.
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Sindangsari berhenti di muka sebuah gardu peronda.
Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata "Kau Pamot"
Pamot mengangkat serulingnya dari mulutnya. Sambil
tersenyum ia bertanya "He, aku dengar kau sedang sakit Sari"
"Darimana kau tahu?"
"Aku bertemu Kandi di sawah"
"O, hanya sedikit" jawab Sindangsari "tetapi apa kerjamu disini"
"Meniup seruling"
"Kau perlukan datang ke gardu ini sekedar meniup
seruling?" Pamot tertawa. Sambil menunjuk seikat kayu bakar ia
berkata "Aku mengantar kayu itu pulang dari pategalan.
Tetapi agaknya aku kelelahan, sehingga aku beristirahat di gardumu ini sebentar
sambil meniup seruling"
Sindangsari memandang seonggok kayu disamping gardu
itu. Dengan dahi yang berkerut-merut ia bertanya "Kau kuat mengangkat kayu
sebanyak itu seorang diri?"
"Kenapa?" tanya Pamot "setiap kali aku mengantar kayu sebanyak itu dari
pategalan" "Kau kuat sekali"
Pamot tersenyum "Bagi anak-anak muda Gemulung, kerja
ini adalah kerja yang kami lakukan sehari-hari"
"Aku tahu" sahut Sindangsari "tetapi anak-anak muda yang lain tidak sekuat kau"
Kini Pamot tertawa berkepanjangan.


Matahari Esok Pagi Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun tiba-tiba suara tertawanya terputus ketika ia
melihat seseorang berjalan tergesa-gesa ke gardu itu pula.
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Dengan wajah yang tegang ia memandangi Sindangsari dan Pamot berganti-ganti.
"Sst, kau lihat anak itu?" desis Pamot.
Sindangsari berpaling. Di lihatnya Manguri berjalan cepat-cepat ke arahnya.
Tetapi Manguri tidak tersenyum seperti biasanya. Dan wajah itu tidak secerah
wajah yang dilihatnya kemarin.
Bahkan Sindangsari terkejut ketika ia mendengar Manguri itu bertanya kepadanya,
sebelum ia berhenti. "He Sindangsari.
Apa kerjamu di situ?"
Sindangsari heran mendengar pertanyaan itu. Tetapi ia berusaha untuk bersikap
wajar. Ketika Manguri kemudian berhenti dan berdiri di hadapannya, barulah ia
menjawab "Aku mendengarkan suara seruling"
"Seruling apa?"
"Pamot" Manguri berpaling. Kini di pandanginya wajah Pamot yang masih duduk dengan
tenangnya di bibir gardu.
"Kenapa kau berada di sini?"
Pamot tersenyum. Jawabnya "Melepaskan lelah sebentar"
Manguri mengerutkan keningnya. Ia melihat seikat kayu bakar di samping gardu,
sehingga ia tahu bahwa pamot
sedang mengantarkan kayu itu pulang ke rumah.
"Tidak biasa kau lewat jalan ini sejak kau kanak-kanak"
bentak Manguri. Pamot tidak segera menjawab, tetapi sorot matanya
memercikkan keheranan. "Kalau kau mau pulang, cepat, pulanglah" berkata Manguri pula.
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Pamot menjadi semakin heran. Bahkan ia bertanya "Kenapa kau berkeberatan aku
berada di sini?" Wajah Manguri menjadi semakin tegang. Dan tiba-tiba ia memandang Sindangsari
yang berdiri termangu-mangu sambil berkata "Sari, pulanglah. Bukankah kau sedang
sakit?" Sindangsari menjadi terheran-heran. Ia tidak mengerti, hak apakah yang mendorong
Manguri untuk berlaku demikian
kepadanya. Sebagai seorang gadis Sindangsari dalam
hidupnya sehari-hari adalah seorang yang rendah hati. Tetapi menghadapi sikap
Manguri, tiba-tiba hatinya justru mengeras.
Dengan nada datar ia bertanya "Kenapa aku harus pulang sekarang" Aku sedang
mendengarkan Pamot bermain dengan serulingnya"
"Tetapi kau sedang sakit" jawab Manguri "sebaiknya kau tetap berada di rumah"
"Aku sudah sembuh"
"Kau masih pucat sekali"
Sindangsari menarik nafas dalam-dalam. Kini ia menjadi ragu-ragu. Dan Manguri
berkata selanjutnya "Kalau kau tidak segera sembuh, aku akan dapat membantumu,
mencari obat" Sindangsari masih belum menjawab. Kini hatinya dicengkam oleh kebimbangan. Hampir saja ia menuruti kata-kata Manguri, karena
kemudian kata-kata itu terasa sebagai ungkapan persahabatan mereka. Tetapi niat
itu justru diurungkannya ketika Manguri kemudian mengulangi kata-katanya kepada Pamot "Kau
beristirahat terlampau lama di sini. Kenapa tidak di gardu simpang empat sebelah
pohon orah itu?" Pamot mengerutkan keningnya. Dan Sindang-saripun mulai menilai sikap Manguri.
"Akulah yang sakit" berkata gadis itu "bukan Pamot"
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
"Ya, kaulah yang sakit. Karena itu kau sebaiknya pulang.
Tetapi Pamot itu ternyata telah mengganggu istirahatmu hingga kau terpaksa
keluar rumah dan pergi ke gardu ini"
"Itu terserah kepadaku"
Pamot yang duduk keheran-heranan itu menjadi semakin
heran. Ia belum pernah melihat Sindangsari bersikap begitu keras. Karena itu ia
mulai menimbang-nimbang. Agaknya Manguri meletakkan kesalahan itu kepadanya. Dan
ia masih segan untuk bertengkar dengan anak pedagang ternak yang kaya itu.
Karena itu, maka iapun kemudian berkata kepada Sindangsari "Memang sebaiknya kau
pulang Sari. Kau masih terlampau pucat"
Dan sebelum Sindangsari menjawab, Pamot telah meloncat dari bibir gardu dan
berjalan dengan langkah gontai ke sisi gardu. Perlahan-lahan ia merunduk.
Kemudian dengan satu hentakan ia mengangkat seikat kayu itu di atas kepalanya.
"Aku juga akan pulang" desisnya "aku sudah tidak lelah"
Sindangsari masih tetap berdiam diri. Di pandanginya saja langkah Pamot menjauh.
Semakin lama semakin jauh sambil membawa kayu di atas kepalanya.
Tiba-tiba Sindangsari berdesis "Aku akan pulang"
"Tunggu" sahut Manguri dengan serta-merta "tunggu
sebentar" "Aku sedang sakit"
"Aku ingin bicara dengan kau, Hanya sebentar" Sindangsari tertegun sejenak.
"Hanya sebentar Sari"
"Tetapi bukankah kau minta aku segera pulang karena aku masih sakit"
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
"Ya, tetapi aku minta kau mendengarkan kata-kataku
sejenak" Sindangsari mencoba untuk mengerti atas keadaan yang
sedang dihadapinya. Sementara hatinya masih diamuk oleh kebimbangan, ia berkata
kepada diri sendiri "Inilah sebabnya, kenapa Manguri seakan-akan mengusir Pamot
dari gardu ini. Agaknya ia mempunyai suatu kepentingan khusus dengan
aku" Tiba-tiba dada Sindangsari menjadi semakin berdebar-
debar. Terngiang kata-kata kawan-kawannya, gadis-gadis Gemulung tentang Manguri.
Sebagai seorang gadis yang
sudah menjelang dewasa penuh Sindangsari segera dapat mengerti, hasrat apa yang
terimpan di dalam hati anak muda itu. Apalagi Manguri telah pernah mencoba
memberinya sesuatu, tetapi ditolak oleh ibunya.
Dan terngiang kata-kata kawannya di pinggir desa kemarin
"He, apakah kau ingin menggantikan yang hilang itu?"
Dan kawannya yang lain menjawab "Bukankah kita sama-
sama menginginkannya?"
Sindangsari menarik nafas dalam-dalam. Pada saat ia
mendengar dari ibunya bahwa Manguri menyuruh seseorang untuk menyerahkan
sepengadeg pakaian kepadanya, ia
menjadi bangga. Kalau kawan-kawannya bersama-sama ingin mendapat perhatian lebih
banyak dari Manguri, maka ia adalah yang terbanyak.
Tetapi tiba-tiba membersit pertanyaan di dadanya "Apakah hanya aku seorang diri
yang pernah mendapat pemberian serupa itu?"
Dan pertanyaan itu dijawabnya sendiri "Kalau ada orang lain yang pernah
mendapatkannya, mereka pasti akan
bercerita dengan dada tengadah"
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Sindangsari terkejut ketika ia mendengar suara Manguri
"Sari, Kau mau mendengarkan bukan?"
Sindangsari tidak menjawab.
"Kenapa pemberianku kemarin ditolak oleh ibumu" Menurut perempuan tua itu.
Ibumulah yang menolaknya. Apakah benar begitu?"
Terasa desir yang lembut menyentuh dada Sindangsari.
Dan hatinya yang lembut pula itupun segera bergolak. Ia tidak membebankan
penolakan itu kepada ibunya semata-mata.
Karena itu, maka sejenak ia justru terbungkam.
"Aku ingin mendengar keteranganmu Sari"
Sindangsari menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia
bertanya "Kenapa kau memberikan itu kepadaku"
"Kau akan mengerti maksudnya kelak" Tetapi tiba-tiba
Sindangsari menggelengkan kepalanya "Tetapi tidak sekarang Manguri. Aku tidak
dapat menerima pemberian itu"
Sepercik warna merah membayang di wajah anak muda itu
"Jadi kau memang menolaknya?"
"Bukan maksudku menolak. Tetapi aku masih belum dapat menerima sekarang"
Tiba-tiba dada Manguri bergetar. Belum pernah ia
mendengar penolakan serupa itu, sehingga tiba-tiba saja perasaannya
menjadi meluap "Sari. Belum pernah pemberianku kembali seperti yang terjadi kali ini. Semua gadis yang didatangi
oleh pesuruhku itu selalu
menerima pemberianku sambil terbungkuk-bungkuk. Bahkan seandainya aku menyebar pakaian di
simpang empat ini, maka gadis-gadis di seluruh padukuhan Gemulung, bahkan
seluruh Kademangan Kepandak, akan ikut berebutan"
Tetapi luapan perasaan itu telah mengejutkan Sindangsari, sehingga hampir tanpa
sesadarnya ia bertanya "jadi kau
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
pernah memberikan barang-barang serupa kepada banyak
gadis-gadis" Pertanyaan itu tidak diduga sama sekali oleh Manguri, sehingga sejenak ia
tergagap. Namun kemudian ia menjawab
"Ya Sari. Aku pernah memberikannya kepada beberapa orang gadis. Pemberianku itu
diterimanya dengan baik. Tetapi akhirnya satu-satu mereka lari dengan laki-laki
lain. Sindangsari mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya
kemudian "Hal yang serupa jangan sampai terulang lagi Manguri. Itulah sebabnya
aku tidak dapat menerimanya, supaya aku tidak menambah deretan nama-nama gadis-
gadis yang meninggalkan kau"
"Maksudmu?" mata Manguri terbelalak.
"Hubungan yang bersungguh-sungguh tidak dapat tumbuh
dalam waktu yang singkat. Atau sesudah aku menerima
pemberianmu. Tidak Manguri. Ada atau tidak ada pemberian serupa itu, apabila
hati bertaut, maka tidak akan ada apapun yang dapat menghalangi. Tetapi
pemberian serupa itu memang dapat menumbuhkan salah sangka. Dengan senang
hati seorang gadis menerima pemberianmu. Tetapi tanpa pertautan hati yang
sebenarnya, maka akan terulanglah peristiwa-peristiwa itu sekali lagi dan sekali
lagi" Manguri terdiam beberapa saat.
"Karena itu Manguri. Bukan cara itu yang sebaik-baiknya kau tempuh"
Belum pernah Manguri menjumpai gadis seperti Sindangsari. Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa gadis itu akan dapat berkata
tentang masalah serupa itu. Gadis-gadis Gemulung yang selalu dijumpainya setiap
hari, akan bersorak-sorak menerima beberapa keping uang daripadanya. Yang lain
akan kegirangan setengah mati menerima pemberiannya,
sepengadeg pakaian, sehingga persoalan-persoalan selebihnya berjalan terlampau
lancar. Tetapi gadis ini berbicara tentang
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
masalah yang belum pernah dipikirkannya. Selama ini ia merasa, bahwa ia adalah
laki-laki yang paling mengerti tentang perempuan dan gadis-gadis.
Bahkan dengan mudahnya ia akan dapat menguasai sepuluh atau duapuluh orang gadis sekaligus
apabila ia menghendaki. Dengan sedikit umpan, maka ia pasti sudah akan berhasil
membawa siapapun. Tetapi kali ini ia menjumpai seorang gadis yang lain.
Dalam pada itu, selagi Manguri termangu-mangu, Sindangsari berkata "Sudahlah Manguri. Aku akan pulang.
Kepalaku masih terasa pening"
"Tunggu, tunggu Sari. Jadi bagaimana jawabmu"
Sindangsari berpaling sejenak. Sambil melangkah ia berkata
"Aku sudah menjawab"
"Sari, tunggu" Manguri mencoba uuntuk mengikuti Sindangsari dan berjalan disampingnya. Tetapi Sindangsari tidak berhenti.
"Dengarlah, aku belum selesai"
"Kepalaku pening lagi Manguri. Jangan kau bebani lagi aku dengan persoalan-
persoalan yang akan menambah sakit saja.
Kau seharusnya dapat mencari maksud kata-kataku"
"Tetapi." Namun Sindangsari tidak berhenti, sehingga ketika mereka sampai di regol halaman
gadis itu. Manguri terhenti. Ia hanya dapat memandangi gadis itu berjalan
tergesa-gesa melintasi halaman dan naik tangga rumahnya. Ketika ia membuka
pintu, dilihatnya ibunya berdiri beberapa langkah di hadapannya.
Sindangsari menundukkan kepalanya dalam-dalam. Ia tidak berani memandang tatapan
mata ibunya, yang seolah-olah langsung menembus ke pusat jantungnya.
"Darimana kau Sari?" bertanya ibunya.
"Dari gardu disimpang empat itu ibu" jawabnya.
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
"Bersama Manguri?"
Sindangsari mengerutkan keningnya. Agaknya ibunya
melihat ia berjalan bersama-sama Manguri sampai ke depan regol.
"Hanya kebetulan saja ia lewat di jalan ini"
Ibunya menarik nafas dalam-dalam. Tatapan matanya
menjadi aneh, sehingga ketika sekilas Sindangsari melihatnya, iapun menjadi
semakin tunduk "Apakah betul hanya suatu kebetulan Sari"
Dada Sindangsari menjadi berdebar-debar. Kini mengerti, kenapa tatapan mata
ibunya itu terasa aneh. Agaknya ibunya tidak begitu mempercayai keterangannya.
"Ya ibu. Hanya kebetulan"
"Dan kenapa kau pergi kegardu itu"
Sindangsari menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi lebih baik berterus terang
daripada dituduh yang bukan-bukan. Maka Jawabnya "Aku mendengar suara seruling,
ibu. Aku tertarik sekali, sehingga aku tidak dapat menahan diri untuk keluar
sejenak" "Manguri bermain seruling?"
"Sindangsari mengegelengkan kepalanya "Bukan. Bukan
Manguri" "Siapa?" "Pamot" "Tetapi kenapa kau berjalan bersama Manguri?"
"Kebetulan. Hanya suatu kebetulan"
Ibunya tidak segera menyahut. Tetapi matanya menjadi
semakin redup. Perlahan-lahan didekatinya anaknya.

Matahari Esok Pagi Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kemudian dielusnya ujung rambutnya yang berjuntai
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
"Sindangsari. Seumur hidupku kau tidak pernah berdusta kepada ibu. Kenapa kau
sekarang berdusta" "Ibu" Sindangsari terkejut "aku tidak berdusta ibu" Dan Sindangsari menjadi
semakin terkejut ketika ia melihat sorot mata ibunya yang sedih.
Sindangsari" berkata ibunya "aku melihat kau berjalan bersama Manguri. Tetapi
kau mengatakan itu hanya suatu kebetulan. Padahal sepengetahuan ibu, jarang
sekali Manguri berjalan lewat jalan ini, dan apalagi kau tadi ibu tinggalkan
kebelakang sedang terbaring di pembaringanmu"
"Tetapi, tetapi.........." Sindangsarti tergagap.
"Apapun yang kau lakukan Sari, sebenarnya ibu lebih
senang kalau kau berkata terus terang"
"Aku sudah berterus-terang ibu" Terasa tenggorokan
Sindangsari mulai tersumbat.
Namun kemudian mereka terkejut ketika terdengar suara berat di luar pintu, suara
kakek Sindangsari "Sari berkata sebenarnya Wiratapa"
"O" Nyai Wiratapa berpaling. Ketika pintu kemudian terbuka semakin lebar,
tersembullah tubuh laki-laki tua itu dengan sebuah cangkul di pundaknya dan
caping tua di tangannya. "Apakah ayah mengetahuinya" bertanya Nyai Wiratapa.
"Aku melihatnya" jawabnya "aku lagi singgah di rumah
sebelah gardu itu, melihat ayam jantan aduan yang baik sekali. Aku melihat Sari
datang ke gardu itu selagi Pamot sedang bermain dengan serulingnya. Kemudian aku
melihat pula angger Manguri datang"
Nyai Wiratapa mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Pamotlah yang pulang lebih dahulu, kemudian baru
Sindangsari diikuti oleh angger Manguri.
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
Nyai Wiratapa mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini
ditatapnya wajah anaknya yang menunduk.
Desisnya "Ternyata ibu keliru Sari. Menuruti kakekmu, kau sudah berkata sebenarnya"
Sindangsari tidak menjawab. Meskipun ibunya mengakui
kekeliruannya, tetapi terasa, bahwa ibunya tidak senang melihatnya berjalan
bersama Manguri. "Dan apakah kau sudah tidak pening lagi?" Sindangsari menjadi ragu-ragu. Tetapi
ia tidak dapat menganggukkan kepalanya, meskipun kepalanya memang masih terasa
pening. Bahkan kemudian ia menjawab "Tidak ibu. Aku sudah
sembuh" "Bagus" jawab ibunya "kau sudah dapat membantu nenek"
Perlahan-lahan kepala Sindangsari terangguk. Dan sebelum beranjak dari tempatnya
kakeknya yang baru saja meletakkan cangkulnya di sudut rumah berkata "Pamot
memang pandai bermain seruling. Hampir setiap orang tertarik kepada suara
serulingnya yang justru tidak lajim. Agaknya Sindangsari tidak pernah
mendengarnya di kota"
Nyai Wiratapa mengerutkan keningnya. Dan laki-laki tua itu berkata selanjutnya
"Dan Pamot adalah anak yang baik"
Nyai Wiratapa masih berdiam diri. Tetapi ia melihat
Sindangsari menarik nafas dalam-dalam.
"Biarlah anak ini beristirahat" desis kakek gadis itu
"seandainya ia telah sembuh, biarlah sakitnya tidak kambuh kembali"
Nyai Wiratapa tidak menjawab. Di pandanginya saja
anaknya yang masih menundukkan kepalanya.
"Masuklah ke bilikmu" berkata kakeknya pula.
Dengan langkah yang tertegun-tegun oleh keragu-raguan Sindangsari melangkah ke
dalam biliknya. Kemudian setelah
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
menutup pintu, dibantingnya dirinya di atas pembaringannya sehingga amben bambu
itu berderak-derak. Ketika ia mencoba memejamkan matanya, maka melintaslah bayangan-bayangan yang kalut bercampur-baur.
Kemudian sedikit demi sedikit bayangan-bayangan itu mulai saling berpisah.
Akhirnya Sindangsari melihat wajah-wajah yang berkesan di hatinya. Wajah Manguri
yang riang, dan wajah Pamot yang bersungguh-sungguh.
Tetapi kini Sindangsari sudah mempunyai bahan banding yang lebih lengkap.
Ternyata Manguri yang riang itu agak terlampau kasar.
"Mungkin demikianlah kebiasaannya di rumah. Karena ia anak seorang yang kaya
raya, maka ia biasa berlaku kasar terhadap orang-orangnya" berkata Sindangsari
di dalam hatinya "tetapi apakah ia berhak berbuat demikian juga kepadaku, kepada
Pamot dan kepada kawan-kawannya
bermain?" Tanpa disadarinya Sindangsari
menggeleng-gelengkan kepalanya. "Agaknya Pamot dapat bersikap lebih baik dari Manguri" ia meneruskan di dalam
hatinya "Tetapi sayang, Pamot
terlampau asing bagi kawan-kawan, gadis-gadis Gemulung"
Sindangsari menarik nafas dalam-dalam "Suara seruling itu"
ia berdesah. Maka mau tidak mau, Sindangsari harus menilai keduanya di dalam dirinya. Bahkan
ia merasa menyesal, bahwa ia mengenal keduanya dan tertarik oleh sifat yang
khusus dimiliki oleh masing-masing anak muda itu.
Sementara itu, Manguri berjalan dengan tergesa-gesa
pulang ke rumahnya. Meskipun masih jugu terpercik secercah harapan, tetapi ia
merasa tersinggung sekali oleh sikap Sindangsari.
Biasanya gadis-gadis Gemulung segera Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
bersimpuh di hadapannya, apabila ia mulai menaburkan
keping-keping uang dan pakaian kepadanya. Tetapi Sindangsari bersikap lain.
"Aku tidak sabar" desisnya. Namun terasa sesuatu yang lain bergetar di hatinya.
Penilaiannya terhadap Sindangsari, ternyata berbeda justru karena ia merasa
tersinggung karenanya. Ada sepercik keseganan menyentuh jantungnya.
"Anak ini memang lain"
Namun dengan demikian, keinginannya untuk menaklukkan Sindangsari menjadi
semakin menyala di dalam dadanya.
"Aku harus dapat mengambil dengan segala macam cara.
Kalau perlu dengan kekerasan" tetapi kemudian ia mengerutkan keningnya "aku akan membelinya dari kakeknya yang tua. Ia harus
menyerahkan gadis itu kepadaku. Aku harus membuktikan kepada Sindangsari, tidak
seorang gadispun dapat melawan kehendakku"
Manguripun kemudian menghentakkan tangannya sambil
menggeram "Pada saatnya kau akan tunduk di bawah
kehendakku. Ikhlas atau tidak ikhlas"
Pikiran Manguri dihari-hari berikutnya, terpusat pada usahanya untuk menaklukkan
Sindangsari dengan segala
macam cara. Namun sejalan dengan usahanya itu, penilaiannya terhadap Sindangsari justru menjadi semakin mantap. Maksudnya untuk
mendapatkan Sindangsari sekedar untuk melepaskan dendam hatinya, semakin
bergeser. "Aku tidak dapat menganggapnya seperti gadis-gadis
Gemulung yang lain" desisnya "aku harus mengambilnya
dengan sungguh-sungguh. Kalau aku masih menginginkan
yang lain, itu tidak apa. Tetapi aku harus mempunyai seorang isteri yang baik"
Dan Manguripun harus mengakui, bahwa ia mempunyai
perasaan yang lebih mendalam pada gadis ini dari gadis-gadis
Tiraikasih Website ht p://kangzusi.com/
yang pernah bergaul terlampau rapat dengannya. Dan
Manguri yang sudah menjadi semakin dewasa itu mulai dapat membedakan, bahwa
terhadap Sindangsari ia tidak sekedar dicengkam oleh nafsu semata-mata. Tetapi
ia benar-benar mulai mencintainya.
"Perasaan apapun yang tersimpan di dalam hati" katanya kepada diri sendiri
"tetapi aku harus mendapatkannya lebih dahulu, sebelum orang lain mengambilnya"
Dengan demikian, maka cara yang dianggapnya terbaik
itulah yang akan dilakukannya.
Ketika matahari yang terik berada di pusat langit, Manguri berjalan tergesa-gesa
menyusur pematang pergi ke sawah yang sedang digarap. Sawah yang ditumbuhi oleh
batang-batang padi muda yang hijau segar. Dibatasi oleh pematang yang ditanami
kacang panjang dengan lanjaran bambu yang berjajar-jajar.
Seorang laki-laki tua yang sedang menyiangi tanamannya, terbungkuk-bungkuk di
teriknya panas matahari. Seluruh tubuhnya telah menjadi basah oleh keringat,
sedang kakinya yang terendam di air setinggi mata kakinya itu berlumuran dengan
lumpur-lumpur yang kehitam-hitaman.
Orang tua itu tertegun ketika ia mendengar seseorang
memanggilnya "Kakek. Apakah kakek tidak beristirahat" Tidak baik bekerja tepat
di tengah hari" Laki-laki tua itu menggeliat sambil menekan lambungnya dengan kedua tangannya
Eng Djiauw Ong 28 Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Pedang Berkarat Pena Beraksara 9
^