Pencarian

Pedang Sakti Tongkat Mustika 19

Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto Bagian 19


banyak artinya. Memperoleh pikiran demikian, segera ia bangkit,
Maksudnya hendak kemulut sumur lagi dan berteriakteriak mint a pertolongan. Ia
akan menjelaskan, bahwa harta benda telah diketemukan. Baginya yang penting
hanyalah hendak menyerahkan peta itu kepada para
pejuang. "Kalau paman Songgeng Mint araga memperoleh peta
ini, Musafigiloh bukan berarti apa apa lagi?" pikirnya lagi
Tatkala tiba dipint u pualam, ia terperanjat. Ternyata
pintu yang tadi ditutupnya kini terkancing rapat. Ia
mencoba memasukkan kunci emasnya. Ternyata lubang
kunci tidak cocok. Sekarang t ahulah dia, bahwa pintu itu
mempunyai dua lubang kunci. Kunci dari luar dan kunci
dari dalanu Itulah suatu hal yang tak pernah terlint as
dalam pikirannya" "Aduh, celaka" ia mengeluh.
Kali ini ia mengeluh hebat. Sebab pintu itu tak dapat
digempurnya seperti pintu batu tadi, "Didalam ruangan
memang tersedia permata, emas dan perak. Tetapi t iada
sebutir beras dan seteguk air. Apakah gunanya hartabenda itu semua"
Kini ia terancam bahaya kelaparan dan dahaga. Eila
perut kosong dan tenggorokan kering akan merupakan
suatu siksa yang hebat luar biasa. Dalam kesedihan dan
kepiluannya, ia jadi berputus asa. Katanya:
"Akh! Agaknya aku ditakdirkan mati di Gunung Lawu.
Di Gunung Lawu ini ayahku terdidik. Di Gunung Lawu ini
pula, ayah bundaku dan sekalian saudaraku mati dengan
hati penasaran. Di Gunung Lawu ini, aku menderita luka
parah. Sekarang akupun bakal mati di Gunung Lawu
juga. Mati ditengah harta benda dan sebatang tongkat
mustika ..." Menghadapi ancaman maut, secara naluriah Lingga
W isnu lantas berteriak teriak. Harapannya, semoga
suaranya terdengar dari luar goa. Sepuluh lima belas k ali
ia berteak... sehingga telinganya terasa pengang dan tuli
akibat pentalan suaranya sendiri. Namun hasilnya sia-sia
belaka. Akhirnya ia duduk bersimpuh di depan pintu pualam
itu. Katanya kepada dirinya sendiri:
"Kata orang, seseorang dapat bertahan satu minggu
dengan perut kosong. Tetapi aku sudah berlatih semadi.
Barangkali masih dapat aku bertahan sampai sepuluh
hari. Selama sepuluh hari itu, biarlah aku berusaha melari
jalan keluar. Siapa tahu ...?"
Tentu saja perkataannya itu lebih condong kepada
kata-kata hiburan untuk diri sendiri. W alaupun demikian,
hatinya agak tenteram. Ia lantas bangkit dan berjalan
perlahan lahan, menghampiri timbunan harta benda,
Pada saat itu berbagai kenangan berkelebat di
benaknyac Teringatlah dia kepada ayah bunda dan
kelucirganya. Kepada kakek seperguruan dan paman
seperguruan yang sayang kepadanya. Kepada Palupi
gadis ajaib dilereng Gunung Merapi. Kepada Aruji, kakak
angkatnya. Paman Ganjur, gurunya Kyahi Sambang
Dalan dan Ki Ageng Gumprek. Dan yang terakhir Sekar
Prabasin i. "Akh, Prabasin i. Tiada harapan kita bakal dapat
bertemu kembali ..." keluhnya.
Boleh dikatakan belum lama berselang ia berkenalan
dengan Prabasini, Dalam kebanyakan hal, ia selalu
berselisih pendapat. Dia berhati keras dan bengis. Akan
tetapi kadang kala menjadi lemah lembut. T eringat akan
nasibnya yang sama dengan dirinya, ia jadi tertarik.
Malah merasa diri senasib sepenanggungan.
0odwo0 "Sekarang dia bakal hidup sebatang kara benar. T iada
ayah-bunda. Tiada saudara, Mungkin sekali ia akan
berusaha mencarimu, t etapi dimanakah dia akan mencari
diriku?" pikirnya lagi Justru dia berpikir demikian
teringatlah dia kepada gadis puteri pemilik rumah. Sifat
gadis itu lain lagi. Dia seorang yang lemah lembut, akan
tetapi berani bertanggung jawab. Pikirnya lagi didalam
hati: "Bila kedua sifat itu bergabung menjadi satu, aku akan
mempunyai seorang gadis yang sempurna wataknya.
Apalagi bila d itambah dengan sifat-sifat Suskandari,
Barangkali di dunia ini tiada bandingnya."
Terkurung didalam goa itu, perasaan Lingga W isnu
tergoncang sehingga bersifat liar. Ia jadi mengada-ada.
Sadar akan hal itu, ia mencoba mengatasi. Digerayanginya tongkat mustika yang berada ditangannya. Maka tiba-tiba ia menyentuh sebongkok
lembaran lontar lagi. Kali ini sudah tersulam rap i,
sehingga berbentuk sebuah kitab.
"Hai, Kitab apakah ini?" ia tertarik
Ia hendak membalik-balik lembaran lemrannya" Tibatiba ia tertarik kepada
setumpuk kertas minyak buatan
Tiongkok. Setelah dibaca ternyata meriwayatkan perjalanan dan perjuangan Trunajaya merebut kekuasaan Belanda. Tentu saja, ia tak merasa
berkepentingan. Sebab isinya hanya elan-elan perjuangan bangsa dan petunjuk-petunjuk caranya
melawan kesatuan Belanda.
Sekarang ia menekuni kitab lontar itu. Judulnya:
Rahasia Ilmu Manunggal, Ia membalik lembarannya
yang pertama. Kemudian membacanya. Beginilah bunyi
tulisan itu: "Hidup ini bergerak. Rasa ini tent eram. Anganangan itu kebijaksanaan. Budi
seumpama jiwa* Dan pakerti merupakan saluran."
"Apakah artinya ini?" ia berpikir. Ia seolah-olah pernah
menyentuh pengertian demikian. Maka ia membaca
terus. Lambat laun ia tertarik. Setelah t ammat ia menarik
napas dalam. Berkata kepada diri sendiri:
"Akh, barulah aku kini mengenal diriku. Dibandingkan
dengan penulis kitab ini, diriku tak lebih dari pada cahaya
kunang kunang, Ia mencoba mencari nama penulisnya. Hanya.
terdapat nama sandi yang berbunyi: Sabda Palon.
dibawahnya terdapat keterangan: Sabda itu wewengan.
Palon itu palu atau kepastian yang tak dapat ditawartawar. Barang siapa b isa
menyelami kitab ini. akan
memperoleh keyakinan yang tak tergoyahkan lagi.
Tertarik oleh bunyi elan itu, ia mengulangi membaca
lagi. Sedikit demi sedikit ia mencoba mendalami dan
memahami. Ternyata isi nya melingkupi seluruh ilmu
jasman i dan ilmu sakti. Keruan saja ia girang bukan
kepalang. Serunya didalam hati:
"Bila aku memahami isi kitab ini, maka aku akan
mengerti dan mengetahui seluruh int i ilmu-ilmu sakti
yang terdapat didunia ini "
Sekarang, samar samar ia mu lai mengerti apa sebab
tokoh-tokoh sakti memperebutkan tongkat mustika in i.
Ternyata isinya luar b iasa dahsyat dan luas. Pant aslah
bila disebut Kitab Ilmu Manunggal. Sebab semua sarwa
sakti yang terdapat didunia ini tercakup didalamnya.
Tetapi tiba-tiba teringatlah dia, bahw a dirinya kini
terkurung didalam sebuah goa yang dindingnya tak
dapat tertembus oleh senjata tajam macam apapun juga.
Semangatnya jadi runtuh. Namun Lingga W isnu seperti
sudah terlatih. Semasa kanak-kanak ia senantiasa
terancam bahaya maut. Didalam rasa putus harapan,
masih bisa ia tertawa. Maka kini pun begitu juga.
W alaupun tiada gambaran dan pegangan bagaimana
caranya dapat keluar dari kurungan goa. perasaannya
menyuruhnya agar membaca dan menekuni kitab
tertersebut. Katanya kepada dirinya sendiri:
"Dahulu aku hidup dengan tak set ahuku. Masakan aku
perlu memikirkan cara matiku?"
Ibarat pelita yang hendak
padam karena kehabisan minyak, tiba-tiba ia memperoleh percikan minyak
tanah. Seketika itu juga, dia
jadi acuh tak acuh terhadap
dirinya sendiri seperti dahulu
semasa kanak-kanak. Ia lantas membaca dan membaca. Mula-mu la rasa lapar dan
dahaga mengganggu dirinya Lambat-laun perasaan itu
menipis dan menipis. Tahu-tahu ia tertidur nyenyak
sekali. Tatkala terbangun, tak tahulah sudah berapa jam
tertidur demikian. Bukit permata yang didepannya tetap
menyala terang-benderang seperti t adi.
"Sekarang aku akan mencoba berlatih mengikuti
petunjuk-petunjuk kitab ini," katanya kepada diri sendiri.
Ia lantas membaca bagian pakarti yang mengutamakan tenaga himpunan. Setelah menarik napas
panjang, ia menghampiri dind ing goa. Kemudian tenaga
himpunan itu dilepaskan. Di luar dugaan, dinding batu itu
rontok beberapa bongkah. Menyaksikan hal itu, ia jadi
gembira. "Tenagaku bertambah. Tapi aku masih merasakan
suatu kekurangan. Apakah aku harus bergerak dengan
hati tenteram?" pikirnya.
Memperoleh pikiran demikian, segera ia melakukan.
Dipusatkan seluruh tenaganya. Kemudian dilepaskan
dengan hati tenang. Dan hatsilnya sungguh-sungguh
diluar dugaan, Dinding yang terbuat dari batu pualam itu
rompal sebagian. Puas hati Lingga W isnuc Ia yakin, bila rahasia
pengendapan itu sudah dapat dikuasai pasti akan dapat
merobohkan batu pualam itu. Akan tetapi hebatnya
adalah soal rasa dahaga. dengan mengeluarkan tenaga
himpunan, keringatnya terhisap keluar. Ia jad i merasa
dahaga sehingga tenggorokannya terasa kering, Menahan rasa lapar, rasanya ia masih sanggup untuk
satu atau dua hari lagi-Tetapi menahan rasa dahaga
kesulitannya sekian kali lipat..
Memang, menurut pengalaman seseorang, dapat
menahan lapar sampai seminggu lamanya. Kemudian
baru mati. Sebaliknya orang tak dapat menahan rasa
dahaga lebih dari tiga hari. Ia akan mati dengan tibatiba. Sekarang ia mencoba
menahan rasa lapar dan dahaga, Hebatnya tak terkatakan. Untuk sekedar
melupakan, ia kembali menekuni kitab lontar itu.
Kemudian tertidur dengan tak set ahunya. Tatkala
terbangun, kembali ia menghafal. Dan Dan pada saat itu
ia dapat, membaca bunyi kitab lontar itu diluar kepala
Pikirnya didalam hati: "Ilmu sakti warisan pendekar Bondan Sejiwan sudah
hebat luar biasa. Tetapi bila dibandingkan dengan isi
kitab ini, rasanya hanya, sebesar biji asam. Sayang ...
walaupun hebat luar biasa, tak dapat aku memperlihatkannya kepada para ahli.
Selagi berpikir demikian, tiba-tiba telinganya yang kini
menjadi tajam luar b iasa, menangkap suatu bunyi.
Terlalu perlahan bunyi itu. Setelah diperhatikan, rasanya
seperti seseorang sedang menggali t anah, diluar dinding.
"Siapa diluar?" ia berseru gembira. Ia yakin, orang itu
pasti mendengar suaranya, mengingat dirinyapun dapat
menangkap suara dari luar. Hal itu berkat dinding pualam
itu yang telah rompal sebagian. Tetapi ia lapa, bahw a
pendengaran orang itu kini berbeda jauh dengan


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pendengarannya, meskipun telinga seorang pendekar
"Siapa?" ia mengulang seruannya,
Tetap saja tiada jawaban. Sekarang ia yakin benar,
bahw a orang itu sedang membongkar dinding bagian
luar. Dengan bernapsu ia mengerahkan tenaganya dan
menggempur pintu. Kali in i, pintu batu pualam sama
sekali tak bergeming. Bahkan tangannya menjadi sakit
dan nyeri, "Akh, ya ..." ia menyadari kesalahannya. "Aku terlalu
bernapsu sehingga hanya bersumber kepada kekuatan
jasman iah. Sebaliknya kalau aku berlaku tenang,
sumbernya berada pada HIDUP yang tak terbatas.
Ia hendak mengulangi, akan tetapi takut kehilangan
tenaga terlalu banyak. Maka ia mencoba berseru untuk
yang ketiga kalinya. Tetapi tetap saja hening tak
terjawab. "Akh," ia mengeluh "Rupanya hanya seorang. apa
artinya tenaga seorang melawan batu pualam in i"
Kut aksir paling cepat sepuluh hari lagi baru sampai
dilapis dinding. Dan pada saat itu, aku sudah .,,"
Tengah ia melamun, t iba-tiba dilihatnya sepercik sinar
masuk ke dalam. Sinar itu datang dari bawah pintu batu
pualam. T ak usah dijelaskan lagi! bahwa orang itu sudah
berhasil membongkar tanah berbatu sebesar jari.
Bagaimanapun juga, hati Lingga W isnu lega juga.
"Apakah maksudnya" Apakah dia hanya bermaksud
membuat lobang untuk saluran makanan dari luar" Ya,
kukira begitu. Sebab, tenaga manusia saja tidakkan
mampu membongkar pintu pualam ini. Sekiranya
demikian, sudah semenjak dahulu goa ini kena bongkar
orang dari luar. Tapi mengapa lubang, terlalu kecil"
Untuk terowongan segenggam nasipun sudah sulit,
apalagi sepiring nasi atau semangkok air .."
Ia memasang kupingnya. Usaha membongkar tanah
berbatu dari luar berhenti. Sebagai gant inya, ia
mendengar sebuah benda keras didorong dari luar
melalu i lubang sebesar jari tangan itu. Ia lantas
menunggu. Tak lama kemudian percikan sinar dari luar itu padam.
Tetapi suara dorongan kian terdengar tajam. Tiba-tiba
klint ing! Ia melihat sebuah benda berwarna kuning.
"Hai, kunci!" serunya didalam hati,.
Teringatlah dia kepada kunci emasnya. Segera ia
memungutnya dan membandingkan. Bentuk dan panjangnya sama. Karena Berotak cerdas, lantas saja ia
dapat menebak. Pikirnya didalam hati;
"Entah siapa yang memiliki kunci itu. Barangkali inilah
kunci yang bertentangan,"
Segera ia memasukkan kelubang kunci. Benai-benar
tepat. Tak sabar lagi ia memut ar dan daun pintu batu
pualam itu terbuka. Dan didepannya berdiri seorang
gadis yang membuat penglihatannya hampir tak percaya,
"Sekar Prabasini!" serunya bergemetaran
Gadis itu tidak segera menjawab. Kedua matanya
nampak berlinang W aktu itu matahari hampir condong
kebarat. Sinarnya lembut di atas pegunungan. Air mata
Sekar Prabasini yang kena cahayanya jadi berkemilauan.
Dia membawa pedang ditangan kirinya. Sedang
tangan kanannya membawa sebatang linggis, Pada ujung
pedangnya masih nampak sisa lumpur. Tetapi yang
paling indah bagi penglihatan Lingga W isnu adalah
senyumnya yang membayangkan kebahagiaan hati.
'Sekar Prabasini!" kata Lingga W isnu mengulangi
seruannya.. "Siapakah yang membawamu kemari"
Perkenankan aku mengucapkan terima kasih kepadamu"
"Berterima kasih kepadaku?" sahut Sekar Prabasini.
"Hampir saja aku membunuhmu. Kenapa engkau
berterima kasih?" Setelah berkata demikian, ia memasuki ruang goa
dengan langkah perlahan lahan. Dengan pandang mata
berkilat-kilat ia melayangkan matanya. Tatkala melihat
timbunan permata yang cemerlang, ia berkata perlahan:
"Aku bersedih hati, tatkala kau meninggalkan aku
dengan begitu saja. Hatimu alangkah kejam! Kemudian
aku membongkar petunjuk petunjuk sandi di halaman
rumah Srimoyo. Kuketemukan dua buah kunci emas, dan
keterangannya yang menyebutkan kunci luar dan kunci
dalam. Maka sudahlah dapat aku mengira ngira
bagaimana tempat penyimpanan harta ini
"Kenapa engkau memancing anak buah pendekar
Srimoyo agar mengikuti perjalananmu?" Lingga W isnu
menyela.' "Karena aku khawatir, engkau akan kehilangan
jejakku," jawab Sekar Prabasini cepat. Aku Percaya., bila
mereka membicarakan dirku, pasti engkau tidak akan
tinggal diam mereka akan mengikuti jejakku. Sebaliknya
engkau akan menguntitnya. Mereka berjumlah seribu dua
ribu orang. Tetapi apa artinya bagimu" Bila engkau
berkemauan menyapu mereka, dengan mudah pasti
berhasil" '"Akh!" Lingga W isnu te rharu. Pikirnya didalam hati:
"Sebenarnya yang penting, ia berusaha merenggut
diriku dari Suskandari, Apabila ia dalam bahaya, masakan
aku akan tinggal diam. Bukankah aku meninggalkannya
karena hendak, menolong Suskandari yang berada dalam
bahaya pula?" "Keluarga yang memiliki rumah itu sebenarnya salah
seorang kakekku." kata Sekar Prabasini meneruskan
perkataannya. "Dialah satu-satunya keluarga yang
bermusuhan dengan keluarga Dandang-Mataun. Hal itu
baru kuketahui. setelah bertemu dan berbicara."
"Akh, pantas! Mereka mempunyai ilmu tata berkelahi
mirip keluarga Dandang Mataun'" potong Lingga W isnu.
"Siapakah namanya?"
"Eyang Argajati," sahut Sekar Prabasini. Kemudian
meneruskan dengan tersenyum:
"Dan puteri satu-satunya itu, bernama Saraswati.
Cant ik, bukan?" Panas wajah Lingga W isnu mendengar ucapan Sekar
Prabasin i. Gadis itu seperti dapat menebak hatinya.
Teringat akan lamunannya sebentar t adi, ia merasa malu
sendiri. "Oleh persetujuannya, aku sengaja meletakkan kunci
bagian luar ditepi telaga. Sekar Prabasini meneruskan
perkataannya lagi: "Bila sampai diket emukan orang,
diapun tidak akan dapat keluar lagi. Bukankah dia akan
mati terkunci didalam?"
"Tetapi bagaimana kalau dia t idak menutup pint u?"
"Hal itu sudah kita pikirkan masak-masak. Kita semua
sudah bersiaga di luar goa w"
"Lalu bagaimana kau tahu, bahwa akulah yang
membawa kunci itu"!"
"Sebenarnya mula-mula tidak kuketahui. Aku hanya
menyebut namamu dan sama sekali tidak menggambarkan perawakan tubuhmu. Nah, hampir saja
aku membuatmu susah." sahut Sekar Prabasini dengan
nada menyesal. Lingga W isnu menghela napas. Berkata:
"W aktu itu engkau berada dimana?"
"Aku berada diluar goa sebelah in i dan sedang
berusaha membongkar. Sebab jalan masuk belum
kuketahui. Tatkala engkau terperosok didalam lubang
sumur yang seolah olah jebakan itu, barulah terbuka
pikiranku." "Pantas. Saraswati berteriak terkejut. Kiranya dia pun
tidak mengetahui." pikir Lingga W isnu didalam hati.
Sekarang mereka berdua berada di dalam goa harta
karun. Masing-masing seperti telah memperoleh bagiannya. Sekar Prabasini puas karena dapat mencari
harta peninggalan ayahnya Sedangkan Lingga W isnu
puas dengan Tongkat Mustika yang diketemukan,
"Sekarang akan kita mengapakan harta sebanyak ini?"
Lingga W isnu mencoba memahami jalan pikiran Sekar
Prabasin i.. Gadis itu tersenyum manis. Jawabnya:
"Benarlah kata sepercik perkataan ayah didalam surat
wasiatnya. Bila harta karun, in i kita ketemukan, kita akan
menjadi manusia baru. Semua orang akan tunduk.
Betapa tidak" Harta in i seumpama dapat membeli bumi
tanah Jawa. Dan engkau memiliki kepandaian tinggi.
Siapakah yang dapat melawan?"
Lingga W isnu tersenyum. Katanya:
"Adik! Ilmu kepandaian ayahmu memang hebat.
Tetapi disini aku menemukan sebuah kitab lontar yang
rremuat seluruh rahasia int i ilmu sakti. Memang ,,.
setelah kubaca, kitab itu, rasanya ..."
Lingga W isnu tidak perlu menyelesaikan ucapannya.
Sekar Prabasini sudah dapat menebaknya. Pastilah kitab
itu merupakan mustika yang tak ternilai harganya, sebab
kitab itu akan merupakan pedoman hidup. Nilainya jauh
letih tinggi dari pada bukit harta itu sendiri
Demikianlah, setelah puas memeriksa harta peninggalan itu, mereka menutup pintu goa kembali.
Masing-masing membawa sebuah kunci sebagai hak
milik. Meskipun tidak terucapkan, masing-masing sadar
bahw a salah seorang tidak akan dapat memasuki goa itu,
Sebab kunci yang satu merupakan alat pembuka dari
luar. Sedang yang kedua kunci pembuka dari dalam.
Seumpama yang seorang dapat membuka pintu goa, ia
akan terhalang sebuah pintu yang melindungi timbunan
harta itu. Sebab sekatan pintu itu hanya dapat dibuka
dengan kunci kedua. "Mari kuperkenalkan dengan keluarga eyang Argajati."
kata Sekar Prabasin i. "Kau pun dapat nant i berbicara
sepuas puasmu dengan Saraswati. Kaupun dapat
mengawininya malahan sekaligus Suskandari pula ..."
"Hai! Mengapa demikian?" seru Lingga W isnu tak
mengerti. "Bukankah engkau kini sudah menjadi manusia
terkaya didunia" Jangan lagi hanya beristerikan dua atau
tiga orang. Seratus orangpun dapat. Akupun tak usah
khawatir tidak akan mendapat bagian cinta kasih. Sebab
kau kini telah menemukan rahasia ilmu tersakti didunia.
Pastilah t enagamu melebihi tenaga seribu kuda."
Lingga W isnu menggelitik pinggang Sekar Prabasini.
Dan Prabasin i lari kegelisahan.
o0dw0o DENGAN BERGANDENGAN tangan, mereka mendaki
ketinggian. T atkala tiba diatas t ebing mereka mendengar
suara berisik. Itulah suara beradunya beberapa senjata
tajam. Karena itu mereka terkejut. Kemudian lari
kencang seakan-akan sedang berlomba. Dan benar saja.
Dari kejauhan nampaklah delapan orang sedang
terkurung rapat diant ara dua tebing ketinggian Tatkala
tiba diatas tebing mereka mendapatkan dua tebing
ketinggian yang pernah menyulitkan kedudukan Lingga
W isnu tatkala kena serbu kerbau.
Letak tebing itu seperti pagar alam yang mengurung
satu petak seluas dua ratus persegi. Sebenarnya masih
cukup leluasa untuk gerakan delapan orang. Akan t etapi
karena luas petaknya tersekat onggok onggok batu,
bidang geraknya terasa sempit. Gerakan jasmani
seseorang seakan-akan mudah ditentukan oleh letak
tanah. Kakek Argajati. pemilik rum ah padepokan berdiri t egak
dibelakang sebuah batu raksasa. Dia membekal sepucuk
senjata yang luar biasa bent uknya. Sebatang tongkat
panjang yang dilengkapi dengan penggaet. Sedang
pangkalnya berbentuk bula. Bulatan itu terbuat dari baja
putih. Apabila tongkat digerakkan, cahayanya berkejapkejap kena pantulan cahaya
matahari. Ia menghadapi seorang musuh yang bergerak sangat
gesit. Musuh itu bersenjata pedang. Gerak-geriknya luar
biasa cepat. Setiap gerakan pedangnya membaca suara
berdengung, hingga membuat kakek Argajati berkecil
hati juga. Dia lebih perkasa dari pada laki-laki lainnya;
Pedangnya terus menerus menyambar-nyambar tiada
hentinya. Sekar Prabasini berhenti berlari. Dengan tegak ia
memperhatikan mereka dengan seksama. Ia melihat
kakek Argajati terkuiung musuh, akan tetapi nyaris
pertahanannya masih kuat, ingin membantu kakek itu,
karena dialah satu-satunya leluhur yang berpihak pada
ibunya. Bila sampai t ewas, ia akan kehilangan semuanya.
Oleh pertimbangannya itu, dengan serentak ia menghunus pedangnya. Tapi waktu hendak melompat
memasuki gelanggang ia melihat Lingga W isnu berdiri
terpaku dengan pandang terlongcng-longong,
"Hei! Kenapa?" tegornya. "Kau tadi yang bersemangat


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memburu kemari. Sekarang kau melihat kakekku dalam
bahaya, kenapa justeru tertegun" Sebenarnya kau mau
membantu atau tidak?"
"LihatlahI" Lingga W isnu mengeluh."Siapa mereka!"
Sekar Prabasin i melemparkan pandang ke arah
telunjuk Lingga W isnu. Hatinya tercekat melihat siapa
mereka berdua. Ternyata mereka Sugiri dan Sukesi,
kedua kakak seperguruan Lingga W isnu.
"Aku sudah berjanji hendak datang padanya. Tapi
karena terlibat persoalan ini, tak sempat lagi aku
mengingat-ingat perjanjian itu, Sekarang mereka datang
kemari. Bukankah mereka hendak melabrak diriku?" ujar
Lingga W isnu berkhawatir.
"T idak. Mereka datang kemari semata-mata karena
kemaruk harta karun ini," bantah Sekar Prabasini.
"Kedua kakakku itu bukan manusia rendah," potong
Lingga W isnu tersinggung,
"Siapa bilang mereka manusia rendah?" kata Sekar
Prabasin i tak sudi mengalah. "Tapi ingatlah kepada
Genggong Basuki, Ayu Sarini dan lainnya. Bukankah
mereka biasa berbuat demikian" Bagi mereka, harta
benda adalah t ujuan utamanya.
Lingga W isnu terdiam. Dalam hati ia mengakui
kemungkinan itu. Bukankah dengan mata kepalanya
sendiri ia menyaksikan perundingan antara pemuda itu
dengan Musafigiloh" Teringat hal itu, hatinya bergeridik.
"Saudara seperguruanmu itu bertabiat mau menang
sendiri. Cara berpikirnya pendek dan cupat. Kalau
Genggong Basuki bisa bekerja sama dengan Musafigiloh,
kenapa dia tak bisa mengambil-ambil hati kedua gurunya
itu"' kata Sekar Prabasini, .
"Benar," sahut Lingga W isnu setengah menggerendeng. W alaupun demikian belum juga ia
bergerak. Masih ia berbimbang bimbang. Pikirnya
didalam hati; "Mereka berkesan tak baik terhadapku
sehingga mengesankan salah paham. Bila aku berpihak
kepada paman Argajati, bukankah rasa permusuhan ini
kian menjadi besar" Tepat pada saat itu, ia melihat berkelebatnya pedang
pendekar Srimoyo menikam seorang tua. dialah
perempuan penjual kedai yang dahulu berpura-pura t uli,
tubuhnya lemah dan kakinya terantuk-antuk bila sedang
berjalan. Akan. tetapi gerak-geriknya kini bagaikan langit
dan bumi perbedaannya. Dengan gesit, ia mengadakan
perlawanan. Dia bersenjata tongkat pula. Tapi baru dua
gebrakan, Sugiri datang menolong. Hampir saja nyonya
itu terpapas kepalanya. Syukur, dia masih berkesempatan berlindung dibalik batu besar. Dan
menyaksikan hal itu, hati Lingga Wisnu tercekat.
"Bukankah penunggu warung yang baik hati
terhadapku?" serunya tertahan.
"Benar, Dialah isteri kakek Argajati, Dan yang
bergerak disampingnya itu, puterinya kedua. Namanya
Rara W itri," sahut Sekar Prabasini,
Ya Nama Rara W itri masih teringat segar dalam
benaknya, seorang gadis sederhana yang menyulam
kembang, apabila sudah melayani teh dan penganan
terhadap tetamunya, "Sebenarnya ilmu kepandaiannya tidak rendah. Hanya
saja, ia kin i menghadapi pendekar-pendekar yang sudah
mempunyai nama. Tentu saja, dia jad i kerepotan."
"Kalau k au senang padanya, kenapa t idak cepat-cepat
menolong?" tegor Sekar Prabasini tak sabar.
Gadis itu melihat Rara W itri terdesak. Dengan matimatian dia bertahan sedapat
dapatnya. Dia timbul dan hilang dari balik batu seakan-akan sedang bermain
kucing kucingan. Melihat ancaman bahaya. Sekar
Prabasin i tidak memperdulikan Lingga W isnu lagi,
Serentak ia melompat memasuki gelanggang dan merabu
seorang laki-laki yang mendesak Rara W itri.
Pada waktu itu Lingga W isnu sudah memperoleh
ketetapan hati. Ia berdoa semoga dengan perkelahian ini
kedua kakak seperguruannya dapat disadarkan. Maka
dengan menghunus pedangnya, dia berteriak nyaring:
"Hai! Kiranya tuan-tuan yang pernah kukenal"
Setelah berteriak demikian, ia melesat dan memukul
mundur penyerang Rara Witri. Berseru dengari gembira:
"Adik! Kau jagalah keblat barat daya. Sekar Prabasini
akan berada ditenggara. Dan adik Saraswati akan
menjaga keblat timur laut. Jangan biarkan mereka lolos!"
Dengan menjejakkan kakinya, ia melesat kesana
kemari. Enam pendekar yang pernah di kenalnya dalam
pesta perjamuan, dibuatnya bingung. Betapa tidak"
Karena tubuhnya mendadak saja berubah seumpama
sesosok bayangan yang dapat bergerak kesana kemari
dengan leluasa. Sebentar ia membantu kakek Argajati,Sebentar pula menolong
nyonya tua. Kemudian mengulurkan tangan terhadap kerepotan Saraswati dan
Rara W itri, Setelah merabu segerombolan musuh yang
membuat repot barisan petani yang sebenarnya belum
pandai berkelahi, 0odwo0 Sukesi dan Sugiri mendongkol. Lagi-lagi bocah itu!
Sebenarnya tiada niatnya datang kepinggang Lawu itu.
Mereka tiba di tempat perjanjian menjelang petanghari
menunggu Lingga W isnu. Akan tetapi Lingga Wisnu tidak
datang. Sebagai gant inya, Genggong Basuki yang
datang, Dengan memutar balikkan kenyataan, mereka
dibujuk untuk mengejar Lingga W isnu kepinggang
Gunung Lawu sambil mencari obat sakti dikabarkan,
bahw a disekitar t elaga Sarangan seringkali terdapat akar
akar obat y?ng luar biasa mustajab. Kyahi Basaman yang
sakti menggunakan waktu senggangnya menjelajah
wilayah itu. Karena disibukkan perkara anak dan Lingga
W isnu, Sukesi segera menerima ajakan Genggong
Basuki, Dan demikian, ia tiba di tempat itu dengan
suaminya Srimoyo serta pendekar-pendekar lainnya.
Sedang Genggong Basuki yang menggengam maksud
lain akan segera menyusul.
Srimoyo mendongkol terhadap nyonya tua penunggu
kedai. Dengan menudingkan jari t elunjuknya, ia berteriak
kepada Tawon Kemit: "Hai! Bukankah 'Dia sipenunggu kedai" Dimanakah
anak perempuannya yang menyulam bunga" Benar dia,
kan?" "Benar," sahut Tawon Kemit. "Tatkala kita lewat,
dialah yang menyuruh anaknya perempuan menyulam
bunga yang kesepuluh. Dia mencoba pula memperoleh
keterangan tentang Lingga W isnu. Agaknya dia kenal
pemuda itu. Kalau begitu, dialah kawan anak jadah itu!"
Lingga W isnu tahu, bahwa nyonya rumah itu
mengenal namanya berkat kisikan Sekar Prabasini.
Karena itu tak mengherankan, ia mencoba memperoleh
keterangan diantara pengunjung kedainya.
"Dia menyuruh menyulam bunga. Tapi sebenarnya
sedang mencatat kepala-kepala kita. Lihat', tuding
Srimoyo dengan gemetar. Tawon Kemit menebarkan penglihatan. Di atas tiap
batu yang nampak berserakan itu, nampak sebuah
kepala seolah-olah muncul di baliknya. Setelah diperhatikan, kepala kepala itu tidak bergerak. Dan
hatinya memukul tatkala mengenal wajah-wajahnya,
Bukankah itu kepala-kepala mereka yang pernah datang
di pesta pertemuan" "Bangsat!" teriak Tawon Kemit dengan dada serasa
hendak meledak. Delapan teman-temannya yang mendengar teriakan
Tawon Kemit segera mengerti peristiwa yang sudah
terjadi delapan kawannya yang mendahului perjalanan,
ternyata mengalami nasib buruk. Kepalanya kena
pancung dan kini diletakkan diatas batu-batu kubu
pertahanan . Sekarang hawa amarah mereka, ditumpukkan kepada
nyonya tua itu. Dengan serentak mereka menyerbu.
Akan tetapi kakek Argajati tentu saja tidak membiarkan
isterinya kena ancaman.. Dengan melambaikan tangannya, kedua anak serta petani-petani bergerak
menghalangi. Dan terjadilah pertempuran seru tak kenal
ampun lagi Hebat cara berkelahinya kakek Argajati. Kumis dan
jenggotnya yang sudah putih
berkibaran kena angin. Tangannya memutar senjatanya yang berbentuk
aneh. Sebentar ia melabrak
kesana dan sebentar lagi kemari? Ia dibantu oleh barisan petani yang membawa pacul dan linggis
sebagai senjata. Dan apabila
kena desak, petani-petani itu cepat cepat bersembunyi
dibalik kubu-kubu batu. Sukesi yang berdarah panas, penasaran menghadapi
cara pertahanan yang licik itu. Dengan penuh dendam ia
berseru: "Kalian bekuklah perempuan itu dahulu. Janganlah
kalian kena dikacaukan oleh jumlah lawan yang banyak.'
Betapapun juga, Sukesi termasuk seorang pendekar
yang berpengalaman dan berkepandaian tinggi. Pengliatannya tajam dan meyakinkan. Ia bahkan
mendahului menyerang Argajati untuk memecah kekuatan. Pedangnya berkelebat menangkis cempuling
Kemudian hendak membalas menikam. Akan t etapi baru
satu gebrakan saja, kakek itu telah lari bersembunyi
dibalik batu. Sebagai gantinya, isterinya menusuk dari
belakang. Segera ia memut ar dan membabatkan pedangnya.
Lagi-lagi ia kecew a. Setelah ia menyerang, nyonya tua itu
lari bersembunyi di balik batu yang berada disebelahnya.
.Sedang demikian, ia mendengar angin berdesir dari arah
samping. Ia berbalik dan tiba-tiba saja sebatang pedang
berkelebat didepan matanya. Cepat ia mengendapkan
diri sambil menangkis. "Bagus!" terdengar suara pujian.
Itulah pujian seorang gadis yang gagal menyerang
dirinya, "Siapa kau?" bentaknya.
"Aku Saraswati. Kau sendiri siapa?"
"Aku Sukesi. Nah, terimalah pe mbalasanku!"
"Hm. Masakah begitu mudah?" ejek Saraswati .
Kedua pendekar wanita itu lantas saja bertempur
dengan serunya. Akan t etapi Sukesi seorang ahli pedang
murid Kyahi Sambang Dalan, Saraswati bukan lawannya
yang setimpal. Dalam dua gebrakan saja, pedang
Saraswati hampir saja terlepas dari genggamannya.
Syukur, waktu itu nyonya tua muncul lagi dan
membantu anaknya. Dengan demikian Sukesi dikerubut
dua orang. Namun kepandaiannya masih jauh dari cukup
untuk menghadapi mereka berdua. Justeru dalam
keadaan demikian, Sugiri datang membantu. Sudah
barang tentu, nyonya tua dan Saraswati hampir tak
dapat bergerak lagi. "Jangan takut!" terdengar seru seorang, Dialah Sekar
Prabasin i yang masuk ke dalam arena pertarungan
dengan pedangnya. Sugiri terperanjat. Namun dia adalah guru Genggong
Basuki. W alaupun sedang menggendong anaknya, dapat
ia bergerak dengar, leluasa Dengan tongkatnya, ia
menangkis. Dan kena t angkisannya, pergelangan tangan
Sekar Prabasini tergetar.
"Hati-hati!" ia memperingatkan Argajati dan Rara W itri
yang datang membantu. Sekarang, pertarungan mati-matian terjadi pada satu
tempat. Anak-anak buah Argajati berjumlah jauh lebih
banyak. Akan tetapi mereka kena dikurung Sukesi
berdelapan. Maklum lah, pengikut Sukesi dan Sugiri, masih terdapat
Tawon Kemit, Srimoyo, Kajat Pace dan Kartala,


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sedangkan yang dua adalah pembantu Srimoyo yang
terpercaya, W alaupun kepandaiannya agak lemah,
namun jauh diatas ke pandaian para petani anakbuah
Argajati. Sukesi yang cerdas, melihat kekacauan mereka.
Segera ia mengerti apa sebabnya. Teriaknya
"Perhatikan letak batu-batu itu. Rupanya batu-batu
yang mereka sengaja atur demikian rupa sehingga
menjadi kubu-kubu pertahanan. Bila terdesak mereka
akan segera bersembunyi dibaliknya. Mungkin sekali
ada terowongan penghubungnya. Karena itu, jangan beri
kesempatan kepada mereka untuk dapat melarikan diri
Kita berjumlah delapan. Rasanya cukup untuk mengurung mereka seorang demi seorang."
Petunjuk Sukesi benar-benar tepat. Pengikutnya
segera mentaati. Masing-masing men cari lawan. Karena
itu, kakek Argajati dan semua anak buahnya tak dapat
berkutik lagi atau berusaha saling membantu seperti tadi.
Syukur pada saat itu, datanglah Lingga W isnu. Dengan
pedang Kebo W ulung yang t ajam luar biasa, pemuda itu
merabu mereka sekaligus. Untunglah, dia t ak bermaksud
melakukan pembunuhan. Bila mempunyai niat demikian,
mereka semua bukan lawannya.
Sukesi dan Sugiri yang merasa d ipermainkan Lingga
W iliiu dengar serentak maju berbareng Sebaliknya Lingga
W isnu tak sudi melayani kedua saudara seperguruannya
itu dengan sungguh-sungguh. Ia hanya memutar
pedangnya kencang-kencang tak ubah kitiran. Lalu
melesat kekiri kekanan, maju dan mundur untuk
menggebu lainnya. Pedangnya menikam, menusuk dan
membabat. Karena mereka semua kenal kepandaian
pemuda itu, tiada seorang pun yang berani mencobacoba menangkis. Hanya Sukesih
dan Sugiri saja yang berani menghadapi . "Akh, bagus! Bagus sekali!" seru Saraswati dengan
kagum. Ia sekarang mau mengerti bahwa kepandaian
Lingga W isnu sesungguhnya jauh sekali berada
diatasnya. Kalau dahulu bertempur dengan sungguhsungguh, dia dan ayahnya bukan
musuhnya yang set impal. Kakek Argajatipun diam-diam bergembira pula.
Dengan hati lega ia memandang, Sekar PrabasiniSerunya:
"Prabasin i! Kalau begitu, aku rela mati. Kau
memperoleh perlindungan seorang pendekar yang
berkepandaian sangat t inggi. Hidupmu akan aman damai
tak kurang suatu apa."
Sekar Prabasin i menoleh. Ia membagi senyumnya
dengan perasaan bahagia. Memang, dengan masuknya
Lingga W isnu semua musuh dapat diundurkan. Bahkan
Sukesi dan Sugiri. yang berkepandaian tinggi menjadi
bingung pula, "Prabasin i!" seru Saraswati. "Mari kita Ikut menghajar
salah seorang diantara mereka.."
Sekar Prabasini tertawa lebar. Dasar ia seorang gadis
yang berhati liar, maka ajakan itu sangat menggembirakan. Sahutnya penuh semangat;
"Mari! T api rezeki ini harus k ita bagi pula kepada Rara
W itri. Diapun harus membuktikan bahw a dirinya
sesungguhnya pandai menyulam."
Sekar Prabasini tidak begitu senang terhadap suami
isteri Sugiri. Maka mereka berdualah yang dijadikan
sasaran. Tetapi begitu terbentur pedang pendekar wanita
itu, senjatanya nyaris terpental keudara: Syukur selain
gesit ia memperoleh bantuan Saraswati dan Rara W itri,
Dengan demikian, ia memperoleh bantuan Saraswati dan
Rara W itri. Demikian, ia memperoleh kesempatan untuk
memperbaiki kedudukannya,
Sukesi seorang wanita pendekar pedang. Dialah murid
pendekar besar Kyabi Basaman. Gagal merabu Sekar
Prabasin i, dapat ia bergerak dengan gesit dan cekatan,.
Menghadapi serangan Saraswati dan Rara W itri, sama
sekali ia tak gentar atau gugup Dengan lincahnya ia
mengelak. Saraswati pun tidak mau kalah. Dia pun dapat
bergerak dengan cepat pula. Setelah menarik pedangnya, ia maju merangsak. Tikamannya mengarah
muka, dada dan pinggang. Sedang Rara W itri menyerang
kaki,. Dan diserang demikian, terpaksalah Sukesi mundur
karena bidang geraknya sangat sempit. Kecuali lapangan
penuh manusia, batu kubu-kubu merupakan penghalang
pula. Namun sebenarnya Sukesi dapat melawan mereka
berdua dengan mudahnya. Ia bergerak mundur untuk
menghimpun tenaga dan memusatkan pikiran. Diluar
dugaan, Saraswati dan Rara witri yang sudah terlatih
menghadapi lawan tangguh diant ara batu-batu kubunya
mendesak dari kiri kanan. Tiba-tiba sebilah pedang
memotong gerakan pedang mereka. Itulah pedang
Lingga W isnu yang tak rela menyaksikan kakaknya
seperguruan kena desak. "Hai! Kenapa begitu?" seru Saraswati heran..
"Biarlah aku sendiri yang membereskan, sahut Lingga
W isnu dengan tersenyum manis .
Saraswati t etap tak mengerti apa maksud pemuda itu.
Akan tetapi melihat senyumnya, hatinya jadi lapang. Ia
percaya, pemuda itu niscaya mempunyai t ujuan tertentu.
Maka itu dengan mengedipkan matanya ia memberi
isyarat kepada adiknya agar mundur.
Kakek Argajati yang menyaksikan pertempuran itu dari
luar gelanggang, heran pula. Bertanya kepada. Linggu
W isnu: "Sebenarnya siapakah dia?"
"Malah yang mengira aku sebagai musuhnya," sahut
Lingga W isnu dengan tertawa.
Sukesi mendongkol mendengar ucapan Lingga W isnu.
Dengan suara nyaring ia berkata:
"Hmm, Siapa kesudian menerima jasa-jasa baikmu.
Nanti atau esok, kau harus mencoba-coba merasakan
ujung pedangku. Kenapa kau tak menepati janji?"
"Sebentar lagi ayunda akan mengerti apa sebabnya.."
"Sebab apa?" Sukesi mendongkol.
"Itulah gara-gara muridmu yang sangat kau cintai dan
kau agul-agulkan." Jawab Lingga W isnu.
"Kenapa muridku Genggong Basuki?"
"Kau lihat sajalah nanti."
Makin mendongkol hati Sukesi. la merasa dipermainkan pemuda itu. Maka dengan sungguh
sungguh ia menyerang. Lingga W isnu tidak mau
melayani. Akan tetapi ia diserang. Karena itu terpaksa
pula ia menangkis. Hanya saja, ia tak mau pergunakan
pedangnya yang tajam luar b iasa. Sebab bila pedang
Sukesi sampai terbabat kutung, rasa permusuhannya
akan bertambah-tambah. Maka ia mengulurkan tangan
kirinya dan membentur pergelangan. Dan kena benturan
himpunan tenaga saktinya, Sukesi terpental mundur
hingga terhuyung beberapa langkah. Kali in i, Sukesi
benar-benar terkejut. "Hai!" serunya heran didalam hati "Itulah ilmu tenaga
sakti rumah perguruan Dieng, Benar-benarkah dia murid
guru?" Lingga W isnu tak mau memperlihatkan keunggulannya, Iapun berpura-pura mundur tiga
langkah. Lalu berkata menasehati:
"Lebih baik ayunda mundur.Ayunda masuk dalam
perangkap musuh," Mendengar kata-kata Lingga W isnu, hati Sukesi
terbakar. Dengan gusar ia membentak
"Ayunda" Kau menyebut diriku dengan ayunda"
Siapakah ayundamu?" Setelah berkata demikian, ia menyerang lagi dengan
hebat. Lingga W isnu mengelak sambil berkata lagi:
"Ayunda! Sebenarnya apakah kepentinganmu datang
kemari?" "Aku mencari dirimu. Kenapa kau mengingkari janji?"
"Bila hanya soal itu, kita nanti dapat membicarakan,"
Tiba-tiba Srimoyo ikut membuka mulutnya. Seru
pendekar itu:: "Saudara Lingga! Aku sudah kau kalahkan, sehingga
rumahku jatuh ditanganmu. Sekarang serahkan harta
yang berada disin i."
"Harta" Harta apa" Siapakah yang memberi keterangan padamu, bahwa aku mempunyai harta
disin i?" Lingga W isnu berpura pura dungu.
"Hm. Janganlah kau mengingusi diriku lagi. Semua
gerak-gerikmu tak luput dari pengamatan kami."
"Kami siapa?" Belum lagi Srimoyo sempat menjawab, sekonyongkonyong terdengarlah suara berisik.
semua penjuru muncul ah puluhan serdadu, Dan diant ara mereka
nampak Genggong Basuki dan Musafigiloh.
"Ha, apakah mereka yang mengkisiki dirimu?" Lingga
W isnu menegas. Srimoyo tertegun sejenak. Kemudian berseru setengah
tak percaya: "Memang dia.. Genggong Basuki. Tapi kenapa dia
berada ditengah-tengah serdadu kumpeni?"
Dengan munculnya puluhan serdadu itu, kedua belah
pihak menghentikan pertarungan. Lingga W isnu mengarahkan perhatiannya kepada Musafigiloh. Pendekar itu sudah dikenalnya semenjak beberapa hari
yang lalu. Ia belum mengenal tataran kepandaiannya.
Akan tetapi ia teringat, bahwa pendekar itu berotak
cemerlang sampai pernah membuat Kyahi Basaman
kagum. Genggong Basuki yang berada di sampingnya seperti
menjadi tawanannya. Rambutnya awut-awutan. Dahinya
pucat pandang matanya kuyu. Ia disampingi pula oleh
seorang perwira Maluku yang berkulit hitam.
Menyaksikan hal itu. Lingga W isnu menghela napas. Ia
jadi kasihan berbareng mendongkol. Pikirnya didalam
hati: "Rendah benar martabat pemuda itu. Rumah
perguruan kemasukan seorang penghianat. Alangkah
menodai nama guru. Dia pasti tahu pula, bahw a Sukesi
dan Sugiri hadlir pula. Kenapa dia berani memperlihatkan
dirinya" Akh, pastilah dia kena cekuk Musafigilch dan
perwira itu. Musafig iloh yang selama itu belum pernah mengadu
kepandaian dengan Lingga W isnu berpanas hati
mengingat peristiwa di benteng beberapa hari yang lalu.
Segera ia berseru nyaring:
"Hai, bangsat Lingga! Syukur kau berada disini,
pinggang gunung ini memang pantas untuk menjadi
tempat kuburmu." Setelah berseru demikian, dia melambaikan tangannya. Dan duapuluh orang serdadu segera
mendekam membidikkan senapannya. Menyaksikan hal
itu, Sukesi dan Sugiri saling pandang. Kenapa Genggong
Basuki ikut serta, dalam rombongan itu, pikirnya.
"Genggong!" seru Sukesi mencari keyakinan. "Apakah
kau kena tawan mereka" Berkatalah terus terang!
Jangan takut, kami akan se era menolongmu,"
Kedua bibir Genggong Basuki bergerak-gerak. Akan
tetapi Musafigiloh mendahului, kata pendekar cerdik itu:
"Saudara Genggong Basuki adalah anggauta kami
semenjak beberapa tahun yang lalu.. Dia kini berada
dalam dinasnya. Karena itu, tak dapat lagi mengenal
siapa guru dan siapa kawan,"
Sudah beberapa tahun" Sukesi tercengang Selagi
tercengang-cengang. Sekar prabasini menyahut :


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Memang hebat muridmu. Sudah sekian tahun kau
diingusi, namun belum sadar. Malahan mencurigai adik
seperguruan sendiri. Hebat! Sungguh!"
Merah padam wajah Sukesi mendengar dampratan
Sekar Prabasini. Sugiri suaminya yang menggendong
anak satu-satunya, tertegun-tegun. Tak terasa ia
menoleh kepada Lingga Wisnu, T atkala itu Lingga W isnu
sedang menegor Sekar Prabasini Kata pemuda itu:
"Adik, Siapapun takkan mengira. Karena ini jangan
kau persalahkan ayundaku.."
"Hm." dengus Sekar Prabasini. "Siapa ayundamu"
Bukankah dia tak sudi kau panggil ayunda. Inilah hebat!
Saudara seperguruan diingkari, sebaliknya mengakui
musuh menjadi murid yang harus dipercaya. Sungguh
bagus! Itulah pahlawan sejati."
Hebat benar sindiran Sekar Prabasin i. Dada Sukesi
seperti meledak. Akan tetapi tak dapat melampiaskan
rasa amarahnya kepada nona itu. Sebab ia menghadapi
suatu kenyataan Namun masih ia mencari suatu
keyakinan. Serunya: "Hai, Genggong Basuki! Benar-benarkah engkau
bekerja padanya?" W ajah Genggong Basuki nampak kian pucat. Jelas
sekali, bahw a hatinya menderita hebat. Namun
disampingnya berdiri Musafig iloh yang berbisik padanya:
"Jawablah terus-terang! Seorang laki-laki sejati bukan
seorang banci. Ataukah aku harus mengabarkan tentang
paman gurumu Purbaya?"
Mendengar nama Purbaya disebut sebut, tubuh
Genggong Basuki menggigil. Maka dengan memaksakan
diri, ia menjawab : "Y a ... memang ... aku ..."
Belum lagi ia menjelaskan jawabannya, Sukesi sudah
menjerit. Dengan pedang terhunus pendekar wanita itu
melompat menyerang. Lingga W isnu terkejut. Gugup ia
berteriak: "Ayunda! Jangan terburu napsu!'*
Peringatan Lingga W isnu tepat sekali. Pada detik itu,
tiba-tiba t erdengarlah suara meletus, Sukesi mengerang,
Lengannya kena sambar peluru, sehingga mencicirkan
darah segar "Semua bersembunyi dibalik batu!" seru Lingga W isnu.
Sekar Prabasini meloncat dibalik batu sambil berseru :
"Hai, pendekar-pendekar gagah! Apakah kamu
golongan mereka?" Srimoyo dan T awon Kemit berbimbang bimbang. Tibatiba terdengar Genggong Basuki
berteriak: "Saudara Srimoyo dan Tawon Kemit, jangan lepaskan
bocah itu! Rampas hartanya!"
Mendengar teriakan Genggong Basuki. Srimopyo dan
Tawon Kemit tertegun-tegun. Sebaliknya Sukesi dan
Sugiri gusar bukan kepalang. Tak peduli apakah seruan
Genggong Basuki itu akibat kena ancaman Musafigiloh,
akan tetapi Ucapannya benar-benar memuakkan. Teriak
Sukesi nyaring kepada Sugiri:
"Kakang! Jangan pedulikan diriku. Aku hanya luka
luar. Biarlah kugendong sibuyung. Bunuh dia!"
Sugiri menyerahkan anaknya kepada SukesihKemudian melompat dengan pedang terhunus. Lingga
W isnu yang senantiasa memperhatikan gerak-gerik
mereka berdua, cepat menyanggah.
"Kangmas, jangan terburu napsu! Menyingkirkan lawar
yang terang adalah mudah. Akan tetapi mengelakkan
panah dari balik punggung sangat susah. Mari, kita
bereskan dahulu laknat laknat ini!"
Sugiri pandai berpikir. Memang, semenjak melihat
sepak terjang dan gerak gerik Lingga W isnu, dalam
hatinya ia sudah setengah mengakui. Karena itu, dapat ia
menerima saran pemuda itu. Apalagi, nampaknya
bermaksud baik dan lebih dapat dipercayai daripada
Genggong Basuki. Maka serentak ia berbalik menghadap
Srimoyo dan Tawon Kemit. Inilah kejadian diluar dugaan dua pendekar itu. Buruburu mereka melompat Akan
tetapi gerakan Sugiri sangat cepat. Dengan t iba-tiba saja pedang Sugiri sudah
berkelebat didepan matanya. Dalam seribu kerepotannya, mereka masih bisa berdaya dengan
mengorbankan anak-buahnya. Seperti sudah berjanji,
mereka melemparkan dua orang anakbuahnya. Seketika
itu juga terdengarlah suara jerit menyayatkan hati. Dua
orang itu mati terpotong tubuhnya"
Sekarang pertempuran menjadi serabut an. Diantara
meletusnya senapan-senapan serdadu yang mengepung
rapat, empat orang lagi t erpotong pedang Sugiri, Dengan
demikian, kini tinggal Srimoyo dan Tawon Kemit yang
bertahan sedapat-dapatnya. Syukur, Musafigiloh tidak
tinggal diam. Beberapa orang ahli pedangnya datang
membantu. Kecuali itu senapan terus meletus tiada
hentinya. Lingga W isnu menjadi gelisah juga meskipun belum
ada yang jatuh menjadi korban selain Sukesi. Hal itu
disebabkan, karena letak lapangan pertempuran sangat
menguntungkan, Batu-batu raksasa yang merupakan
kubu-kubu pertahanan membantu melindungi. Juga
lempeng pegunungan dan semak belukar. Akan tetapi
bila diberondong terus menerus dan terkepung rapat,
lambat-laun akan terjepit pula. Maju menyerbupun tak
dapat. Maka satu-satunya jalan, hanyalah menunggu.
"Akh, menghadapi pertempuran jarak jauh semua
kepandaian jadi t ak berarti" ia mengeluh. Ia jadi t eringat
kepada peta di dalam goa. Sekarang iapun jadi mengerti
betapa besar faedah peta itu menghadapi suatu
pertempuran jarak jauh. Maka berkatalah ia didalam hati
: "Bila kesukaran in i dapat kuatasi. segera aku akan
mencari guru untuk menyerahkan peta warisan."
Selagi dalam keadaan demikian, tiba-tiba terjadilah
suatu perubahan yang mengherankan serdadu-serdadu
yang mengepung lereng pegunungan mendadak jadi
kacau balau. Dua bayangan berkelebat kesana kemari
Gerombolan serdadu yang diserbu roboh berserakan.
Karena serangan dua bayangan itu sangat cepat, tak
sempat lagi mereka mengisi bubuk mesiu, apalagi
mencoba-coba menembak. Lingga W isnu mengangkat kepalanya. Begitu memperhatikan, segera ia dapat mengenal dua bayangan
itu, Dengan gembira dia berseru kepada Sekar Prabasini:
"Adik! Lihat, siapa mereka berdua, Ki Ageng Gumbrek
dan kakang Botol Plnilis,"
Sukesi yang sedang menderita luka, terkejutmendengar seruan Lingga W isnu.
Dengan memeluk anaknya, ia berdiri tertatih tatih. Begitu melihat Botol
Pinilis ia tertegun keheranan. Apalagi, Lingga W isnu
menyebutnya sebagai kakak. Dan ucapannya benarbenar terpancar dari hati yang
tulus. Seketika itu juga,
delapan bagian rasa mendongkolnya terhadap Lingga
W isnu sirna, "Paman! Paman Gumbrek!" seru Sekar Prabasini. "Kau
datanglah kemari!" Ki Ageng Gumbrek t ak bersakit hati di panggil dengan
sebutan paman. Dengan tertawa lebar ia menyahut :
"Eh, anak nakal. Kau t unggulah saja! Sebentar lagi aku
akan datang padamu. Suruhlah muridku mendaki kemari,
agar kekunyuk-kekunyuk ini cepat mampus!"
Lingga W isnu yang mendengar seruan Ki Ageng
Gumbrek segera melesat keatas. Tahulah dia, bahwa
orang ini pasti menemukan suatu kesulitan. Tatkala tiba
diatas, Botol Pinilis segera menyambut :
"Adik! Kau baik-baik saja, bukan?"
"Berkat doa restu kakak. Bahkan ayunda Sukesi dan
kangmas Sugiri berada disin i pula." sahut Lingga W isnu.
"Ha, justru karena mereka berada disini, membuat aku
harus menyusulmu kemari." kata Bot ol Pinilis. Dan
selama dia berbicara, senjatanya terus-menerus menggebu musuh, "Anak. Lingga!" sambung Ki Ageng Gumbrek "W ilayah
ini sudah terkepung rapat Kau bicaralah yang banyak.,
Bukankah sebentar lagi kita akan berangkat bersama ke
neraka?" Lingga W isnu kenal perangai gurunya yang satu ini.
Dibalik sendau-guraunya, terdapat masalah sebenarnya
Dan selamanya dia tak pernah membicarakan sesuatu,
bila keadaan tidak terlalu sungguh-sungguh. Tak heran
hatinya tercekat. Segera ia berkata :
"Guru! Wilayah in i milik eyang Argajati."
"Siapa Argajati"!" potong Ki Ageng Gumbrek cepat.
"Dengan sendirinya pemilik wilayah ini. sahut Sekar
Prabasin i yang tiba-tiba saja sudah ikut pula menyusul.
"Bukankah kakang Lingga sudah ,.."
"Sst, Jangan bergurau" tegor Lingga Wisnu. Kemudian
meneruskan perkataannya kepada Ki Ageng Gumbrek :
"Apakah guru sudi menemui, Mungkin sekali d ia
mempunyai jalan keluar"
"Akh! Apakah dia mempunyai minuman keras dan
kecapi?" ujar Ki Ageng Gumbrek dengan tertawa.
Kemudian kepada Botol Pinilis:
"Hai, anak muda! Mari turun. Kita diundang tuan
rumah." Setelah berkata demikian, Ki Ageng Gumbrek
mendahului turun. Gesit sekali gerakannya, sehingga
Sekar Prabasini tak dapat menyusulnya, Syukur, ia
ditemani Botol Pinilis yang meninggalkan musuhmusuhnya. Katanya :
"Hanya adik Lingga yang dapat menjajari kegesitan
gurunya. Biarlah kita melindungi dari belakang."
Gerombolan serdadu yang kena serbu Ki Ageng
Gumbrek dan Botol Pinilis tak dapat berbuat sesuatu
kecuali hanya berteriak teriak dengan penasaran. Sedang
Musafig iloh dan Genggong Rasuki tiada nampak lagi
batang hidungnya. Dengan demikian, Bot ol Pinilis dan
Sekar Prabasini tiba didataran bawah dalam keadaan
selamat t ak kurang suatu apapun.
Lingga W isnu segera memperkenalkan Ki Ageng
Gumbrek kepada Argajati.. Setelah mendapat keterangan
siapa Ki Ageng Gumbrek, orang tua itu cepat-cepat
membungkuk hormat. Lalu berkata,
"Bila wilayah ini sudah terkepung rapat, mari kita
mencari jalan keluar, Kebetulan wilayah ini banyak
goanya. Leluhur kami dahulu membuat sebuah tembusan
secara iseng saja. Tak tahunya, pada hari ini ada
gunanya." Sugiri dan Sukesi terkejut tatkala melihat datangnya
kakaknya seperguruan Botol Pinilis. Cepat-cepat mereka
membungkuk hormat. Seru Botol Pinilis :
"Adik Sugiri dan Sukesi, Aku datang untuk kamu
berdua. Sebenarnya banyak yang hendak kubicarakan.
Tapi untuk sementara, kita tunda dahulu. Mari kita ikut i
dahulu petunjuk petunjuk tuan rumah,"
Gunung Lawu terletak di atas wilayah Madiun dan
Surakarta. Dan telaga Sarangan berada diwilayah Mad iun
atau W engker. Pada dewasa itu, letak tanahnya belum
seindah sekarang. Juga jalannya su lit penuh kerikil tajam
dan batu-batu licin. Semak belukar menutupi letak tanah.
Dan petak hutan yang tak pernah, teraba kaki manusia,
hampir menyerupai rimba raya yang menakut kan.
Manakala matahari nyaris condong kebarat, awan putih
menutupi persada gunung. Lalu embun dan titik hujan
mulai t urun dan memuramkan seluruh penglihatan.
Argajati segera memimpin perjalanan ke goa
persembunyian, sedang Saraswati menghampiri Sukesi
dengan pandang keibuan. Katanya lembut :
"Bibi, bolehkah aku menolongmu?"
Sukesi seorang pendekar w anita yang angkuh. Apalagi
Saraswati tadi berada di pihak lawannya. Meskipun
lengannya terluka, ia menyahut :
"Biarlah! Aku bisa menolong diriku sendiri."
Tapi Saraswati tak mau mengalah. Dengan suara tetap lembut, ia mengambil
hati. Katanya : "Adik kecil itu, biarlah aku
yang menggendongnya,"
Saraswati mengarahkan perhatiannya kepada si anak.
Hal itu menyentuh hati nuraninya si ibu. Sukesi lantas saja melemparkan pandang kepada Sugiri unt uk mint a pertimbangan. Sugiri
bersenyum seraya mengangguk kecil. Memperoleh
isyarat itu, dengan bersenyum pula ia menyerahkan
anaknya. Dan dengan hati lega Saraswati menerima


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sianak dalam gendongannya. Kedua matanya berseriseri. Bukankah dalam hal ini, ia
menang" Dan semuanya
itu tidak luput dari pengamatan Lingga W isnu. Pemuda
itu jadi terharu Dalam hati, ia kagum terhadap puteri
kakek Argajati, Lagak lagunya memang berbeda jauh
dengan Sekar Prabasini yang beradat panas dan liar.
Argajati tiba-tiba mendekam dan menempelkan
kupingnya ditanah. Ia hendak mengetahui, apakah
sekitar lembah itu terdapat seseorang atau tidak. Setelah
memperoleh keterangan keamanan, ia mengajak semua
pengikutnya melint asi rimba. Beberapa saat kemudian.
sampailah rombongan itu pada sebuah jurang yang
curam. Jurang curam yang tertutup semak belukar dan
rerumputan yang lebat. Sebuah batu menjarok diantara
tebing jurang, Dan berkatalah orang tua itu .
"Bukankah hanya mirip sebuah jurang yang berbatu
terjal" Mari! Kita lintasi batu itu. Dibaliknya, tuan-tuan
akan melihat peninggalan leluhur kami," ,
Mereka semua golongan pendekar yang berkepandaian tinggi. Maka dengan mudahnya, mereka
dapat meloncati seberang jurang. Kemudian melint asi
batu itu. Dan dibalik batu itu, nampaklah sebuah goa
yang tertutup rumpun rotan. Argajati menyibakkan
rumpun rotan itu, Lalu masuk kedalam goa. Lingga
W isnu, Botol Pinilis, Ki Ageng Gumbrek dan lain- lainnya
segera menyusul pula. Menarik benar bentuk goa itu. Kecuali panjang
terdapat undak-undakan. Dan setelah melint asi tangga
yang penghabisan, sampailah mereka pada sebuah
terowongan yang sempit. Banyak sekali terdapat
tikungan-tikungan dan simpangan-simpangannya. Dengan demikian, manakala seseorang dapat memasuki
goa itu niscaya takkan mudah mencapai akhir tujuan.
Dan bila sampai t ersesat, belum tentu dapat menemukan
jalan yang diambahnya tadi.
Demikianlah, setelah berjalan berliku-liku, sampailah
mereka diujung terowongan. Dan begitu tiba diujung
terowongan, mereka semua kagum. Mereka menghadapi
sebuah goa lebar dan luas. Sebuah goa tanpa langit.
Atau beratapkan langit. Tegasnya, sebenarnya
merupakan suatu bidang tanah, yang bertebing tinggi,
bila orang mendongak, ia akan melihat awan bergerak.
Dan bila merunt uhkan pandang, ia akan melihat suatu
bidang tanah rendah, Dlsana terdapat sebuah terowongan lagi. Kedalam terowongan itu mereka masuk. Empat orang
menyandang petani datang menyambut. Ruang goa
terang benderang oleh nyala api buah jarak dan obor
bambu. Didalaranya terdapat sebuah meja panjang dan
panjang dan belasan kursi terbuat dari batu tergosok
halus. "Mari duduk." Argajati mempersilahkan. "Sekarang kita
bisa berbicara seleluasa leluasanya, "
Mereka segera duduk diatas kursi masing masing.
isteri Argajati segera melayani Sukesi yang terluka.
W alaupun tidak senang memperoleh kemanjaan itu, akan
tetapi Sukesi tidak menolak. Ia tahu, bahwa nyonya
rumah sedang melakukan jasa-jasa baik terhadapnya.
Apalagi pandang mata Botol Pinilis yang berwibawa,
membuat hatinya jadi segan juga.
"Sukesi! Kau dengarlah kata-kataku," Botol Pinilis
mulai membuka suaranya, "Bagus! Bagus!" tungkas Ki Ageng Gumbrek dengan
tertawa terbahak-bahak, "Sebentar lagi akan terjadi
suatu pameran adu tinju, Memang, sudah lama aku ing in
melihat bagaimana cara kalian bertanding mengadu otot.
Pada hari ini aku bakal melihat siapa diant ara sesama
murid Sambang 'Dalan yang paling jempolan,
Lingga W isnu tercekat hatinya. Ia kenal adat dan
perangai gurunya yang satu ini. Di balik sendau guraunya
bersembunyi suatu sindiran yang tajam luar b iasa.
Bukankah di hendak berkata, bahwa diant ara sesama
murid Kyahi Sambang Dalan sebenarnya terjadi suatu
salah paham yang bisa mengakibatkan keretakan" Lingga
W isnu lantas mengerti, apa sebab Ki Ageng Gumbrek
dahulu menganjurkan supaya melawan t antangan Sukesi
dan Sugiri. Syukur, dia tidak jadi mengadu kepandaian
dengan kedua kakaknya seperguruan itu. Bila sampai
terjadi, niscaya ia akan d iejek terus menerus oleh Ki
Ageng Gumbrek. Botol Pinilis berdiri dari kursinya dengan serentak.
Buru-buru ia membungkuk hormat kepada Ki Ageng
Gumbrek sambil berkata: "Sama sekali kami tidak akan bertengkar. Kami hanya
ingin memberi keterangan atas dasar petunjuk-petunjuk
Ki Ageng." Botol Pinilis menyebut Ki Ageng Gumbrek dengan Ki
Ageng. Artinya, dia menghormati dan menjunjung tinggi.
Apabila dia membawa alasan, bahw a kata-katanya terjadi
atas dasar petunjuknya. Betapapun juga, hati Ki Ageng
Gumbrek puas juga. Orang tua itu lantas mengangguk
perlahan. Botol Pinilis kemudian berputar kepada Sukesi dan
Sugiri:" "Sukesi! Hampir saja kalian berdua meruntuhkan
nama perguruan kita. Bukankah kalian sudah mendengar, bahw a guru mengambil seorang pewaris
baru" Pew aris guru seorang pemuda yang masih sangat
muda usianya. Kenapa kalian tidak dapat menduga
sebelumnya" Bukankah gerak-gerik dan gaya ilmunya
akan segera mengingatkan kepada rumah perguruan
kita" Syukur, aku mendapat kisikan dari Ki Ageng. Kalau
tidak, kita bisa runyam."
Memperoleh tegoran Botol Pinilis. Sukesi dan Sugiri
berdiri dengan gugup. Kemudian dengan berbareng,
mereka membungkuk hormat kepada kakaknya seperguruan. Kata mereka hampir berbareng :
"Maaf. Mata kami benar-benar lamur."
"Kenapa lamur" Kukira, kalian sengaja menutup
penglihatan. Apakah dibelakang peristiwa ini terjadi
suatu unsur yang menjahati?" Botol Pinilis menegas.
"Benar," sahut Sukesi dengan menghela napas. "Itulah
anak didik kita Genggong Basuki."
"Y a, Genggong Basuki." ujar Botol Pinilis dengan nada
mengeluh. "Tak pernah kusangka. bahwa dia ...
Untunglah, lagi-lagi Ki Ageng yang berjasa dalam hal ini
Apalagi kita tadi sudah melihat buktinya.
Lingga W isfm jadi tak enak sendiri.. Segera ia
menyambung "Kakang Botol Pinilis, Tersesatnya Genggong Basuki
ada sebabnya. Dia harus berkata begitu karena tekanan"
"Tekanan seseorang belum merupakan alasan yang
tepat," tiba-tiba Sekar Prabasini memotong, Dia berlagak
seorang pendekar yang berani dan berkepandaian tinggi
seumpama tak pernah gentar terhadap tingginya
angkasa dan perkasanya sebuah gunung. Kenapa dia
mendadak bisa tunduk oleh suatu tekanan seorang
manusia yang terdiri dari darah daging" Kalau aku, lebih
baik mati dari pada ditekan begitu."
Tajam ucapan Sekar Prabasini, Akan tetapi dibalik
ketajamannya mengandung unsur kebenaran. Dan yang
paling tersinggung di antara mereka adalah Sugiri dan
Siukesi. Sebab didepan gadis itu, mereka berdua pernah
memperlihatkan keangkuhannya,
"Sudahlah.. Hatiku kini sudah lega, karena aku sudah
berhasil mendamaikan adik-adikku seperguruan. Kau
sendiri bagaimana Sukesi?" kata Botol Pinilis mengalihkan
pembicaraan. Tanpa berkata lagi, ia menghadap Lingga W isnu dan
membungkuk hormat. Sikapnya itu segera diikut i pula
oleh suaminya. Keruan saja yang keripuan adalah L ingga
W isnu. Maka itu cepat-cepat ia membalas hormat sambil
berkata: "Ayunda sekalian. Tak berani adikmu menerima
penghormatanmu. Biarlah untuk selama hidup?, aku
berbakti kepada ayunda berdua."
"Terima kasih. Akan tetapi di dalam hal ini, kami
berdua pantas memint a maaf."
"Sama sekali ayunda berdua tidak bersalah terhadapku. Sebab siapapun dapat bersikap demikian,"
jawab Lingga W isnu dengan sungguh-sungguh,
"Sudahlah, Sudahlah!" tungkas Ki Ageng Gumbrek.
"Hatiku senang sudah, karena kalian kin i sudah saling
mengenal. Akupun menjadi saksinya pula. bahw a bocah
itu benar benar murid Sambang Dalan. Bahkan dia
menerima pula beberapa jurus dariku. Apakah kalian
tidak percaya atau mau menguji diriku?"
Botol Pinilis tertawa. Sahutnya mewakili,
"Siapa yang berani mencoba-coba dengan Ki Ageng"
Guru kami sendiri tidak akan sanggup berlawan-lawanan
dengan Ki Ageng," "Bohong! Bohong! Itu sanjung puji berlebih-lebihan."
seru Ki Ageng Gumbrek dengan menggoyang-goyangkan
tangannya. Sampai disitu selesailah sudah suatu jurang salah
paham Sugiri, Sukesi dan Lingga W isnu sudah dapat
didamaikan. Sekarang mereka membicarakan masalah
Genggong Basuki, Suskandari dan Harimawan. Sementara itu tuan rumah telah menyajikan makan
minum dan minuman keras yang sangat memuaskan,
"Suskandari sebenarnya bukan muridku," kata Botol
Pinilis. "Hanya saja, ia rapat berhubungan dengan
muridku Harimawan.. Tadinya mereka kusuruh menunggu disuatu tempat. Tapi t atkala aku t iba ditempat
itu. mereka berdua tiada. A pakah adik Lingga mendengar
kabar beritanya?" Lingga W isnu kemudian menceritakan semua pengalamannya. Ia melihat Puguh Harimawan kena
tawanan tentara Belanda. W alaupun Suskandari hanya
dipercakapkan, akan tetapi jelas bahw a diapun kena
tawan pula. Bahkan dijadikan sandera demi kelancaran
mencapai maksud kumpeni. "Akh, kenapa tidak kau katakan dengan terus terang
saja?" tungkas Sekar Prabasin i tidak senang. "Bukankah
dia dijadikan alat pemikat pendekar besar Genggong
Basuki ?" Merah w ajah Lingga W isnu kena tegor Sekar Prabasini.
Sebagai seorang pemuda yang berperasaan halus, tak
dapat dia berkata dengan demikian dihadapan orang
banyak. Tapi karena Sekar Prabasin i sudah menegor
demikian, terpaksa ia menyatakan dugaannya.
Semua orang yang mendengar tutur-kata Lingga
W isnu menghela nafas. Dan pada hari. itu juga, mereka
bersepakat hendak mencari Suskandari dan menganggap
kumpeni Belanda sebagai musuhnya utama
ooodwooo PA DA MALAM hari itu, mereka masih berada didalam
goa. Karena goa mirip ruang rumah, kesedapan mulai
meresap didalam hati. Apalagi, dalam goa itu terdapat
beberapa bilik lengkap dengan alat tidurnya.
Isteri kakek Argajati, Saraswati dan Rra W itri sibuk
melayani para tamu. Mereka dibantu oleh beberapa
orang penduduk yang memakai pakaian petani. Maka
makan minum sangat lancar. Dalam hal ini, Ki Ageng
Gumbrek yang merasa gembira. Ia jadi teringat
kehidupan diatas Gunung Dieng tatkala bertemu untuk
pertama kalinya dengan Lingga W isnu.
Sukesi segera mengundurkan diri didalam b ilik
persediaannya. Ia mulai merasa demam. Apalagi
anaknya yang kesakit-sakitan perlu untuk dibawa tidur
siang-siang. Syukur, keluarga Argajati mempunyai obat
mujarab. W alaupun belum merupakan obat mustika


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dunia, akan tetapi menolong menidurkan sianak, De
ngan demikian agak meringankan penanggungan orang
tuanya. Sugiri yang pendiam menyertai isterinya masuk
kedalam kamar. Akan tetapi tatkala malam hari tiba, ia
keluar juga dan duduk di antara hadirin. Dengan penuh
minat, ia memperhatikan setiap pembicaraan orang, Dan
dengan diam-diam pula ia memperhatikan gerak gerik
Lingga W isnu yang halus dan sopan. Tanpa merasa, ia
mulai berkenan terhadap adik seperguruannya yang
bungsu itu "Eh, saudara Argajati! Kau tadi menerangkan, bahwa
leluhurmu yang membangun goa ini. Sebenarnya untuk
apa?" kata Ki Ageng Gumbrek mint a keterangan.
Kakek Argajati tersenyum lebar sambil meraba-raba
jenggotnya. Setelah diam menimbang-nimbang, ia
menyahut : "Panjang ceritanya. Apakah saudara-saudara sekalian
sudi mendengarkan peristiwanya"
"Malam in i, hatiku sedang tegar, Meskipun kita
terkepung musuh, akan tetapi aku bergembira karena
menyaksikan anak-anak murid sahabatku sudah damai
dan rukun kembali." ujar Ki Ageng Gumbrek dengan
tertawa. Argajati mengangguk. Lalu membagi pandangnya
kepada Botol Pinilis, Sugiri, Lingga W isnu dan Sekar
Prabasin i. Mereka semua menyatakan sependapat
dengan Ki Ageng Gumbrek Kata Botol Pinilis :
"Bila k isah itu terlalu panjang, biarlah kami bergadang
sepanjang malam. Aku tidak berkeberatan."
"Kalau begitu, aku mempunyai w aktu panjang, biarlah
kami bergadang sepanjang malam ..." ujar kakek
Argajati. Kemudian mulai bercerita :.
"Leluhurku bernama Pita W ahyu Absari,"
"Hai! Bukankah dia yang terkenal dengan gelar Rara
W indu?" Ki Ageng Gumbrek memotong.
"Benar, bagaimana saudara mengenal nama gelarnya?" pandang mata kakek Argajati berseri-seri.
"Pada zaman mudaku, siapapun kenal nama yang
menggetarkan jagad itu. Dialah seorang pendekar wanita
tanpa t anding pada zamannya. Bahkan, mungkin sampai
sekarangpun belum ada yang sanggup melawan
kesaktiannya andaikata dia masih hidup." sahut Ki Ageng
Gumbrek lancar Pernyataan Ki Ageng mungkin tidak berlebih lebihan.
Akan t etapi leluhurku itu mungkin wafat. Dialah b ibiku."
kata kakek Argajati dengan bangga.
"Apakah dia yang membangun goa ini?"
"Benar," "K&Iatf begitu, wajib aku menghormati." ujar Ki Ageng
Gumbrek,. Diluar dugaan orang tua itu lantas saja berdiri
tegak dan membungkuk hormat ke setiap penjuru
dinding. Keruan saja. Botol Pinilis, Sugiri dan Lingga
W isnu jadi keripuhan. Bila orang tua yang berwatak
angin-anginan bisa berbuat demikian niscaya tokoh Rara
W indu itu bukan sembarangan. Maka seperti berlomba
mereka bertiga ikut berdiri dan membungkuk hormat
pula. Menyaksikan peristiwa itu, pandang mata kakek
Argajati kian berseri-seri. Setelah mereka duduk kembali
diatas kursinya masing-masing, segera ia melanjutkan
ceritanya yang telah terpotong. Katanya :
"Leluhurku Pita W ahyu Absairi yang kelak bernama
Rara W indu, berasal dari Jawa barat. Dia bergaul rapat
dengan seorang pemuda bernama Kesawa. Mereka
berdua pemuja pemuja pahlawan negara seperti Raden
W ijaya pendiri kerajaan Majapah it Ciung W anara,
Panembahan Senopati dan lain-lainnya. Karena mereka
ahli-ahli pedang, masing-masing dilambungkan anganangannya hendak ikut serta
mendirikan suatu jasa besar
bagi negara dan bangsa. Tatkala itu Jawa Barat sedang dilanda kancah
peperangan. Itulah sepak terjang pahlawan pahlawan
Banten melawan kumpeni Belanda. Mereka menggabungkan diri dan berjuang dengan tujuan hendak
merebut dunia. Dalam beberapa waktu saja, mereka
berhasil membentuk laskar pejuang yang setia dan
setujuan. Mereka bergerak disekitar Sukabumi dan
Jayakarta. Seringkali mereka berhasil menumpas begundal-begundal kumpeni yang didatangkan dari
negeri seberang. Bahkan pula pernah menghancurkan
satu peleton serdadu Belanda,
"Sayang, sejarah menghendaki bangsa Belanda
menang perang. Daerah demi daerah bersedia tunduk
dan takluk pada panji-panji ben dera Eelanda. Rara
W indu terdesak mundur sampai disekitar w ilayah Gunung
Cakrabuwana. W alaupun demikian, dia tak kenal payah.
Dengan semangat yang tak terluntur, masih saja dia
melakukan perlawanan. Anak-buahnya kini terdiri dari
pemuda-pemuda Parahiyangan yang bersemangat kebangsaan. Kasawa berasal dari Jawa Tengah. Dia bersedih hati
karena mendengar warta tentang kemajuan tentara
Belanda melanda-hampir seluruh wilayah Jawa Tengah
dan Jawa Timur. Ingin sekali ia pulang ke kandang untuk
membendung pasukan pejuang penentang tentara
Belanda. Hal itu disampaikan kepada Kara windu dengan
maksud agar mendapat bantuan, Akan tetapi Rara W indu
bersikap dingin saja. Jawab Rara Windu :
"Kau sendiri tahu, bahwa akupun sedang sibuk
mengatasi masalahku sendiri. Bagaimana mungkin aku
mengulurkan tangan keseberang sedang ruhah sendiri
lagi kebakaran hebat,"
Sedih hati Kesawa memperoleh jawaban kekasihnya
itu.. Kemudian ia mencoba mint a pendapat pemudapemuda Jawa Barat. T api mereka
bahkan mengejek dan sama sekali t idak menghargai. Kata mereka serentak,
"Uruslah urusanmu sendiri. Kami rakyat Pasundan
pernah dikecewakan manusia Gajah Mada. Dahulu Gajah
mada menghancurkan raja dan rakyat kami. Kenapa kini
kau mengharapkan bantuan kami?"
Semenjak itu, Kesawa seringkali berselisih paham
dengan Rara W indu. Iapun melihat suatu pergaulan
terlalu bebas antara pemuda dan pemudinya bila
dibandingkan dengan adat istiadat Jawa Tengah yang
tertutup. Rara Windupun tak terkecuali Maka ia mencoba
memperingatkan. Dan oleh peringatan itu, lagi Rara
W indu memperlihatkan giginya. Mereka berdua lantas
bertengkar untuk kesekian kalinya. Dan akhirnya, Kesawa
mengambil keputusan pulang kekandang dengan
seorang diri. Ia melint asi hutan belukar dan mendaki
gunung Beberapa tahun kemudian, ia bermukim di
gunung ini. Gunung Lawu dan merubah namanya dengan
Kyahi Basaman ?"."
"Akh, eyang Basaman!" seru Lingga W isnu. "Dialah
kakek guruku. Guru almarhum ayahku,"
Kakek Argajati mengangguk dengan tersenyum manis.
Sahutnya : "Jadi, dialah kakek gurumu" Kalau begitu, kita
termasuk keluarga sendiri,"
Lingga W isnu hendak berbicara, karena berbagai
kenangan berkelebatan didalam ot aknya. Ia teringat
kepada ayah bunda dan saudara saudaranya. Teringat
kepada jembatan Jala Angin yang berada dipuncak
gunung. Teringat kepada pendekar berjubah kelabu yang
membawa kakaknya perempuan, Sudarawerti ,.., Akan
tetapi ia segera menahan diri.. karena tak mau
memotong cerita kakek Argajati yang mulai menarik hati.
"Sepuluh tahun lamanya mereka berdua berpisah,"
kakek Argajati meneruskan ceritanya. Karena Rara W indu
adalah seorang wanita yang berhati keras seumpama
baja. Tak sudi ia mencari atau menyusup. Dalam hal
keperibadian tak mau ia mengalah Tetapi setelah
berpisah sepuluh tahun, barulah ia sadar bahw a insan
yang sangat dicintainya hanyalah pemuda itu.. Banyak ia
bergaul dengan pemuda-pemuda lain Akan tetapi tiada
yang menyamai Kesawa. Baik dalam hal kepandaian,
maupun sepak terjangnya Sadar akan hal in i, barulah ia
menyesal Dengan menutup telinga dan membungkam mulut., ia
meninggalkan tanah Pasundan. Semua ejekan, sindiran
dan caci maki tak dihiraukan, Angin, hujan badai, hutan
rimba diterjangnya. Dan setelah berputar--putar beberapa lamanya, diket emukan tempat beradanya
Kesawa.. Akan tetapi pada saat itu Kasawa sedang turun
gunung membantu perjuangan Trunajaya melawan
kumpeni Belanda. Rara W indu salah paham. Ia mengira dirinya ditolak
mentah-mentah oleh Kesawa. Maka ia bersumpah akan
memusuhi Kesawa sepanjang hidupnya dan tak sudi
meninggalkan tempat beradanya. Demikianlah, maka
Rara W indu mendirikan pertapaan di tempat ini. ia
menamakan pertapaan Argajati. Dan nama pertapaan ini
kusematkan pada diriku sebegai batu peringatan.
Akan tetapi pada suatu hari ia didatangi seorang
pendekar yang menamakan diri W arok Jaganala. W arok
Jaganala tak senang melihat seorang wanita bermukim
di Gunung Lawu. itulah suatu penghinaan dan mengotori
kesucian gunung. Maka dia datang hendak mengusir
Tentu saja, Rara W indu yang berhati keras bersitegang.
Dia justru kian mantap hendak bermukim digunung.
Rupanya, hendak ia membawa pengaruh pergaulan di
Jawa Barat itu yang lebih bebas daripada disini Katanya :
"Apakah dunia ini dicipt akan hanya untuk laki-laki
saja?" Kedua orang itu lantas bertempur dengan sengitnya.
Akan tetapi W arok Jaganala adalah keturunan anak
murid W arok Suramenggala. Ilmunya hebat tak
terkatakan. Setiap gerakannya membawa angin berderun-derun sehingga ilmu parangnya terkenal
dengan sebutan. Ilmu Hujan Badai. Rara W indu kena
tikam dan roboh kedalam jurang. Syukur, dia bernasib
baik. Dia tertolong seorang sakti bernama Hajar
Pangurakan, Hajar Pengurakan sebenarnya kakak seperguruan
W arok Jaganala. W aktu itu dia sedang berpesiar ke
telaga Sarangan dengan salah seorang muridnya
bernama Kemasan. Tepat pada saat itu, ia mendengar
suara berderunya pedang W arok Jaganala yang terkenal
dengan nama parang. Bergegas ia menghampiri dan
melihat melayangnya tubuh Rara W indu jatuh kedalam
jurang. Bagaikan burung, ia melesat dan masih sempat
menolongfeeira W indu. "Jaganala adalah adik seperguruanku," kata Hajar
Pangurakan. "Dia memilih jalan sesat. Merampok,
memberandal dan berwatak mau menang sendiri.
Sebenarnya ingin aku memberantasnya. Akan tetapi guru
tidak memperkenankan, Karena itu, aku hanya dapat
mengeluh dari kejauhan. Sekarang engkau berada di sin i.
Biarlah aku mematangkan ilmu pedangmu. Harapanku
semoga dikemudian hari, kau dapat membatasi malang
melint angnya Jaganala."
"Rara W indu kemudian dibawa ke pertapaannya yang
berada diseberang Jembatan Jala Angin, Sepuluh tahun
lamanya d ia melatih diri. Setelah itu, tiada kabar
beritanya, Akan tetapi sebenarnya dia balik kemari
dengan membangun sebuah goa persembunyian. Dan
inilah goa buah karya leluhurku, Rara W indu.
Dipertapaan ini, ia mengambil seorang laki-laki yang
diangkatnya menjadi saudara tua. Itulah ayahku. Karena
Rara W indu sangat, baik, maka ayah menyematkan
nama pertapaannya kepadaku,"
"Oh, jadi ayahmu yang menyematkan nama Argajati?"
Ki Ageng Gumbrek menegas.
"Benar. Apakah ada celanya?"
"T idak! Sama sekali tidak. Artinya kau menyematkan
nama Argajati bukan atas kemauan sendiri. Sebaliknya
terjadi unt uk mengakrabkan suatu pergaulan "
"Benar." sahut kakek Argajati,
"Dan ayahmu itu niscaya yang bernama Kemasan.
Bukankah begitu?" "Kenapa Ki Ageng bisa menetak tepat?" kakek Argajati
heran, "Mudah sekali," sahut Ki Ageng Gumbrek dengan
tertawa menang. "Menurut ceritamu, Rara W indu
seorang wanita yang berhati sangat keras. Dalam hatinya
hanya ada seorang manusia yang kebetulan bernama


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kesawa. Karena itu, tidaklah mudah dia mengangkat
seorang saudara. Apalagi saudara itu diakuinya sebagai
saudara tua. Siapa yang dapat kebagian rezeki demikian
besar, selain Kemasan murid Hajar Pangurakan yang
kebetulan saja ikut serta menolong dirinya tatkala jatuh
ke dalam jurang." "Akh, benar-benar tepat penglihatan Ki Ageng," kakek
Argajati tertawa kagum. lalu ia meneruskan ceritanya:
"Dalam pada itu W arok Jaganala telah merajai dunia.
Ia merupakan seorang pendekar tanpa tanding. Tiada
seorangpun yang berani mencoba-coba, Sebab selain
berkepandaian sangat tinggi, diapun bersahabat dengan
Kesawa atau Kyahi Basaman. Juga dua saudara
seperguruan Kyahi Basaman yang bernama Anung
Danusubrata dan Prangwedani,
Pada suatu hari. W arok Jaganala, Anung Danusubrata
dan Parangwedani datang mengunjungi Kyahi Basaman,
Diluar dugaan, ia d icegat Rara W indu ditengah jalan.
Pendekar w anita itu berdiri dengan gagah ditengah jalan
dengan pedang panjang dipinggangnya, Ia tersenyum
manis Dan hal itu membuat W arok jaganala dan dua
kawannya tercengang-cengang. Bagaimana mungkin,
Rara W indu berkeliaran di tengah jalan dengan pedang
diwilayah Kyahi Basaman yang dengan demikian
bukankah berarti menantang Kyahi Basaman yang
berkepandaian tinggi" Mereka tak tahu, bahwa antara
Rara W ifldu dan Kyahi Basaman tersulam peristiwa
hubungan yang istimewa. "Jaganala! Aku tahu, pada suatu kali kau n iscaya
datang kemari. Karena itu aku sudah menghadangmu
semenjak beberapa waktu lamanya. Bukankah kau
mengira aku sudah mati?"
"Siluman perempuan! Benar-benarkah kau masih
hidup?" Jaganala heran berbareng terperanjat
"Aku benar-benar hidup. Semula aku menunggumu
dipertapaanku. Tapi kau tak datang-datang juga. Maka
tahulah aku, bahwa kau menganggap diriku sudah mati
di dasar jurang. Itulah sebabnya aku menghadangmu
kemari, karena mendengar kabar persahabatanmu
dengan pemilik w ilayah in i." sahut Rara W indu.
"Bagus! Jadi kau masih berpenasaran terhadapku"
Baiklah, mari kita uji kepandaian kita masing-masing.
Kebetulan sekali aku bawa dua sahabatku. Mereka bisa
menjadi saksiku. Nah, hunuslah pedangmu!"
"Aku tidak bersenjata pedang, tapi hanya sebatang
tongkat. Lihatlah yang jelas!" seru Rara W indu sambil
menghunus sebatang tongkat yang dari sebuah sarung
pedang. Ternyata sarung pedang yang berada di
pinggangnya itu sebenarnya pembungkus sebatang
tongkat yang merupakan senjata andalannya,
"Hm. Tongkat apa itu?" Warok Jaganala mendengus.
"Inilah sebatang tongkat mustika," jawab Rara Windu.
"Kau mencari matimu sendiri, hah" Bagaimana caramu bisa membunuh aku?" "Jaganala! Bukannya, aku
takut padamu, tetapi aku menerima tongkat ini sebagai
warisan leluhurmu. Karena
itu, meskipun kau pernah menikam diriku dan merobohkan aku ke dalam jurang, tapi aku tak berniat menuntut dendam untuk
membalasmu. Cukuplah sudah, bahw a didunia in i masih
ada aku yang dapat melawan kepandaianmu,"
W arok Jaganala tertawa? Ia mengira Rara
W indu takut kepadanya. Maka dengan senjata
parangnya yang termashur, ia maju selangkah sambil
menggertak : "Perempuan iblis, hayo majulah!"
Mereka berdua bertempur dengan sengit. W arok
Jaganala bersenjata parang. Gerakan parangnya membawa angin beiderun-derun. Sebaliknya, Rara Windu
melayani dengan cekatan. W alaupun hanya bersenjata
tongkat, namun parang tak dapat menahasnya. Setelah
bertempur kurang lebih dua ratus jurus, W arok Jaganala
mulai terdesak. Akhirnya parangnya kena terpental
miring dan terlepas dari t angannya.
"Nah, pergilah! Kau boleh mencari aku lima t ahun iagi,
untuk mencari keputihan. Dengan demikian, aku
memberi kesempatan padamu agar hatimu puas. Tapi
pada saat itu, aku tidak akan mengampuni kau lagi." kata
Rara W indu. Setelah berkata demikian Rara W indu melesat
meninggalkan gelanggang. Baik Anung Danusubrata dan
Prangwedani heran tak kepalang menyaksikan ketangguhan Rara W indu. Sebaliknya W arok Jaganala
amat penasaran. Hatinya panas, bagaikan seorang
kebakaran jenggot. Dia menyumpah-nyumpah dan
memaki-maki. Akhirnya memut uskan hendak, mencari
Rara W indu lagi setelah berlatih lima tahun.
Demikianlah, tahun berganti tahun. Hari yang
dijanjikan tiba. Anung Danusubrata dan Prangwedani
berkunjung kerumah W arok Jaganala. Kemudian mereka
bertiga mencari Rara W indu. Kali ini, mereka mendaki
pertapaan Argajati. Begitu bertemu berkatalah W arok
Jaganala i "W indu! Aimasih hendak bersenjata sebatang tongkat" W alaupun
mengenai diriku, niscaya tiada gunanya sama sekali.
Kulitku takkan mempan oleh semua senjata tajam
dipersada bumi ini. Percayalah!
Jawab Rara Windu : "Dengarkanlah kata-kataku. Lima tahun yang lalu, aku
telah mengampuni, Kedua teman mu itu pula yang
merjadi saksinya. Aku mengampuni karena mengingat
leluhurmu. Aku tidak membunuhmu atau melukaimu,
karena aku dahulu ditolong oleh kakakmu Hajar
Pangrakan. Tapi kita sekarang sudah cukup tua. Umur
kita masing-masing sudah melampaui limapuluh tahun,
Karena itu, kalau dapat, biarlah kita habisi saja
permusuhan ini. Sebab tongkat mustika ini sebenarnya
merupakan hadiah leluhurmu. Hal ini kukemukakan
bukan karena aku t akut padamu, Tapi demi tujuan hidup
manusia yang sejati."
W arok Jaganala tertawa terbahak bahak. Sahutnya :
"Benar-benar kau pandai berbicara. Kau berkata,
bahw a umurku sudah melampaui lima puluh tahun.
Justru demikian, kau harus sadar bahw a umur set inggi
itu tidak akan mudah terkecoh. Siapa yang sudi
mendengar ocehanmu kecuali kau harus meninggalkan
gunung Lawu. Inilah pertapaan guruku turun menurun.
Kau manusia dari barat, nah pulanglah kekandangmu,"
Panas hati Rara W indu mendengar ucapan W arok
Jaganala. Meskipun sudah lanjut usianya, namun
wataknya yang keras masih saja melengket pada
sanubarinya. Maka dengan sengit ia membentak :
"Jaganala! Benar-benar kau manusia jahat, Apakah
kau kira tongkat ini tak dapat memunahkan kesaktianmu" Karena kau menolak maksud baikku,
terpaksalah aku menghajarmu benar-benar. Nah,
berkatalah teras terang. Kau hendak melawan aku
seorang diri atau dengan bantuan dua orang temanmu
itu?" Membentak demikian, Rara W indu menyiratkan
pandang kepada Anung Danusubroto dan Prangwedari.
Anung Danusubrata kemudian menyahut,
"Rara w indu! Aku bernama Anung Danusubrata. Jelekjelek,
akulah ketua golongan Ugasrawa yang berkedudukan diatas gunung Cakrabuwana. Tegasnya,
aku dan kau berasal dari Jawa Barat- Belum pernah aku
bermusuhan denganmu. Juga untuk selama-lamanya
tidak. Aku datang kemari semata-mata menemani
saudara Jaganala. Sekarang kau dan saudara Jaganala
hendak menguji diri. Tapi bila saudara Jaganala kalah,
berilah aku kesempatan mencoba-coba kepandaianmu."
Mendengar kata-kata Anung Danusubrata, Rara Windu
membungkuk hormat. Katanya gembira :
"Oh, jadi engkau berasal dari Jawa Barat" Sudah
sering aku mendengar namamu Sekarang aku diperkenankan untuk dipertemukan dan dikenalkan.
Baiklah, aku menerima usulmu ,
Prangwedani yang belum memberi keterangan, segera
membuka mulutnya. Berkata :
"Aku Prangwedani, Ketua golongan Parwati yang
berkedudukan di Kartasura. Dalam hal ini, aku tak ikut
serta. Biarlah aku menjadi saksi saja. Kalau pada hari ini
aku berada difeini semata-mata karena Kyahi Basaman
termasuk sesama rumah perguruan dari leluhur kami."
Rara W indu mengangguk" Kemudian menatap W arok
Jaganala kembali. Serunya nyaring :
"Nah, mari kita mu lai. Kau menghendaki apa" Aku
bersedia meluluskan semua permint aanmu ."
Sebenarnya, dalam hati, Anung Danusubra tak ingin
membantu Jaganala. Akan tetapi teringatlah dia, bahw a
kegesitan, para W indu lima tahun lewat, la kagum dan
mengakui kalah. Sekarang lima tahun lewatlah sudah.
Niscaya kehebatannya jadi bertambah. Maka ia hendak
melihat dahulu. Bila rasa-rasanya dapat melawan, ia
akan mencoba Dalam, nada itu, W arok Jaganala menjawab
tancangan Rara W indu : "Aku ingin kalah dengan hati puas. Kembalilah
mengambil pedangmu. Tak mau aku kau lawan dengan
sebatang tongkat " Rara W indu tersenyum lebar. Jawabnya,
"Aku sudah berkeputusan hendak melayani kau
dengan sebatang tongkat. Jika kau memaksa aku harus
bersenjata pedang, cobalah usir aku dari t empatku!"
"Perempuan siluman!"
bent ak Jaganala sambil menghunus senjata parangnya.
"Bukan aku menghinamu. T api dengan pernyataanmu
jelaslah sudah, bahwa kau tidak memperoleh kemajuan
berarti selama lima tahun. Tak dapatkah engkau
menyadarkan diri, bahwa sebatang rumputpun dapat
digunakan sebagai senjata tajam melebihi sebatang
pedang?" "Hm, kau hendak menyatakan diri sudah mencapai
tingkatan setinggi itu" Kau perempuan siluman bermulut
besar!" Hati Jaganala mendongkol bukan main. Terus saja ia
melompat menikam, Akan tetapi itulah gerakan tipu
muslihat belaka. Yang benar adalah gerakannya yang
kedua. Tiba-tiba saja dengan suara mengaung,
parangnya membabat pinggang.
Itulah serangan yang hebat luar biasa. Terus saja
biasanya tak pernah ia gagal. Lima tahun sudah, ia
melatih dan mencobanya. Tikamannya itu berhasil dalam
satu kali jadi. Akan tetapi menghadapi Rara W indu, ia
menumbuk batu. Tiba-tiba saja ujung parangnya kena
tangkis tongkat. Ia kaget, tatkala parangnya kena
tergempur miring. Namun sama sekali ia tidak menjadi
gugup. Gesit luar biasa ia memut ar parangnya. Seketika
itu juga, tubuh Rara W indu kena terkurung rapat,
Rara W indu ternyata tak bergeming dari tempatnya.
Sama sekali ia tak menghiraukan serangan yang
berbahaya itu. Tongkatnya berputar pula dan menangkis
set iap titik bidang gerak, Dengan demikian, parang
W arok Jaganala tergempur miring pada saat-saat
tertentu. "Bagus! A da juga kemajuanmu. Hanya saja kau terlalu
bernapsu." serunya dengan tertawa.
Setelah berseru demikian, benar-benar ia dapat
membuktikan. Ia mundur selangkah kemudian meloncat
miring dan melesat kedepan sambil menikamkan


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tongkatnya. Dan pada detik itu, Warok Jaganala nampak
terhuyung huyung mundur langkah. Ia heran karena
Rara W indu mengetahui tata muslihatnya. Seketika itu
juga, wajahnya pucat dan bersemu merah.
"Janganlah kau cepat-cepat berbesar hati. Jaganala
adalah gudang semua rahasia ilmu sakti dibumi Jaw a in i.
Awas!" bentaknya dengan hati geram.
Rara W indu melayani serangannya yang kedua. Kali ini
lebih hebat. Akan tetapi dengan tenang, Rara W indu
mengejek : "Lima tahun kita berpisah. Ternyata kepandaianmu
sama saja. Sama sekali tiada kemajuanmu, Apakah
ilmumu hanya berpangkal pada tata muslihat belaka"
Mustahil kau dapat mengalahkan aku,"
Rara W indu tidak hanya mengejek. Berkali-kali ia
memperlihatkan kelebihannya. Maka mau tak mau,
Jaganala jadi berputus asa. Baru kali ini, ia kalah. Inilah
pengalaman nya yang pahit selama malang-melintang
tiada tandingnya. Karena merasa t idakkan dapat merebut
kemenangan, sekonyong-konyong ia melompat keluar
gelanggang dan membuang parangnya, la menghela
napas dan kepalanya tunduk.
Para W indu tidak memburu. Ia menatap wajah
Jaganala yang pucat lesi berbareng merah padam.
Terang sekali, ia berput us ask dan mendongkol. Seketika
itu juga, teringatlah dia kepada Hajar Pangurakan kakak
seperguruan Jaganala. Dialah yang memberi petunjuk
petunjuk berharga kepadanya, sehingga dapat mengalahkan Jaganala dengan mudah. Sebenarnya ilmu
sakti rumah perguruan Jaganala tak terlawan. Kepandaian Jaganala pun tidak rendah. Andaikata ia tak
memperoleh petunjuk kakaknya seperguruan belum
tentu dia dapat merobohkannya. Hanya saja Jaganala
terlalu berkepala tinggi. Dan ketinggian hatinya itu
membuat dirinya t erlalu menggampangkan lawan.
"Sayang! Andaikata hatinya lapang dan tidak bengis,
kemajuannya sekarang ini bukan main besarnya," Rara
W indu mengakui di dalam hati.
Selagi Rara windu bermenung-menung, ia melihat
wajah Jaganala kian pucat. Tubuhnya bergemetaran
pula. Itulah akibat rasa mendongkol dan penasaran yang
luar biasa. Terdorong oleh rasa itu, dia tadi menyerang
dengan mengerahkan seluruh kebisaannya. Sekarang
tenaganya terkuras habis. Tak mengherankan, ia
menggigil karena tubuhnya tak tahan lagi kena dingin
hawa gunung. "Mari masuk!" ajak Rara Windu.
Dengan berdiam diri, Jaganala mengikut i Rara W indu
masuk kedalam rumah pertapaan. Di dalam ruang
pertapaan terdapat pendiangan. Dapat ia memanaskan
badannya. Apabila rasa hangat mulai merayap t ubuhnya,
ia nampak menjadi segar. Kemudian berkata dengan
suara menyesali diri sendiri
"Sebenarnya hatiku harus terbuka tatkala kau
menyebutkan asal tongkatmu itu. Betapa gilanya aku
berlawan-lawanan dengan tongkat, leluhurku. Aku
merasa malu dan berdosa. Maafkanlah aku."
"Janganlah kakak bersedih hati". Rara W indu
menghibur. "Usia kita sudah mendekati tiga perempat
abad. Karena itu, tiada gunanya kita dibelenggu oleh
persoalan yang sudah lampau. Terus terang kukatakan padamu, bahwa ilmu kepandaianmu sebenarnya maju jauh,"
"Hm." Jaganala mendengus.
"Benar." kata Rara W indu meyakinkan. Hanya saja
kakak terlalu kena pengaruh w atak pribadi yang kurang
cermat. Hal itu disebabkan, karena kakak masih
dibelenggu napsu mau menang sendiri sehingga tidak
memperhatikan asal-usul perlawanan musuh, Kau lupa
bahw a aku berasal dari Jawa Barat Sedikit banyak aku
pernah belajar ilmu pedang, sebelum memperoleh
pelajaran dari Hajar pengurakan, .Dengan demikian, ilmu
pedangku merupakan ilmu gabungan antara rumah
perguruan kakak dan rumah perguruanku. Ilmu
kepandaianku sama dengan ilmu ke pandaian kakak Hajar
Pangurakan. Itulah sebabnva, mula-mula aku kalah
melawan dirimu. Selelah aku menerima petunjukpetunjuk dari kakak Hajar
Pangurakan, segera aku menggabungkan, akibatnya kau kena kukalahkan.
Sekarang kau mencoba melawan diriku dengan ilmu
kepandaianmu sendiri yang kau coba menggabungkan
dengan petunjuk-petunjuk dua sahabatmu ini. Usaha
penggabungan itu bagus sekali. Hanya saja terlalu
pendek. Kau hanya mempunyai waktu lima tahun.
Sedangkan aku sudah mahir, kakak baru mencoba-coba.
Inilah letak rahasia kekalahan kakak. Tapi apabila kakak
tidak terlalu terburu napsu lagi dan sudi. menekuni
sepuluh tahun lagi, hatsilnya akan mengagumkan. Pada
waktu itu aku pasti dapat kau kalahkan."
W arok Jaganala memanggutkan kepalanya. Lima
tahun memang cukup lama untuk menggertak kepandaian seorang pendekar berkepandaian sedang.
Tapi menghadapi Rara W indu sebenarnya ia harus
mempunyai perhitungan lain. Dia bukan seorang
pendekar sembarangan. Dan biasanya wanita lebih
cermat dari pada laki-laki. Memperoleh pertimbangan
demikian, segera ia membungkuk hormat sambil berkata
"Kalau begitu, biarlah adik yang mewarisi ilmu
kepandaian rumah perguruan kita. Biarlah aku pergi saja
..." "Kakak hendak kemana?" Rara W indu terperanjat,
"Y ang terang, aku tidak akan kembali ke wilayah ini.
Aku malu kepada guru yang mengasuh aku dengan
sungguh-sungguh dan penuh cinta kasih" jawab Jaganala
dengan suara penuh sesal Mendengar jawaban Jaganala, Rara W indu berkata
sungguh-sungguh dengan lembutnya
"Kakak! Aku memanggilmu dengan kakak, karena
petunjuk-petunjuk kakak kita Hajar Pangurakan Menurut
urut an tingkatan, aku berada dibawahmu. W alaupun aku
berasal dari Jawa Barat, tapi aku merasa hidup kembali
semenjak bertemu dengan kakak Hajar Pangurakan.
Bagaimana kalau kita sekarang hidup di atas Gunung
Lawu ini demi melanjutkan patilasan guru" Menurut
kakak Hajar Pangurakan, guru bermukim diseberang
Jembatan Jala Angin. Mungkin sekali, kita belum dapat
mencapai pertapaannya mengingat kepandaian kita
masih rendah. Tapi bila kita bertekun dengan sungguh
dan mau menekuni semua warisan guru, niscaya kita
berdua akan dapat menyusul guru, Kakak kita Hajar
Pangurakan sekarangpun sudah sanggup berada disana.
Untuk sementara biarlah kita bermukim dibawahnya.
Bagaimana" Apakah kau sudi menerima tawaranku?"
Selama hidupnya, W arok Jaganala tak pernah
berkeluarga. Karena itu, ia terharu mendengar tawaran
Rara W indu. Itulah suatu tawaran yang timbul dari hati
yang tulus bersih. Maka ia menatap adiknya seperguruan
yang sakti itu dengan penuh pertanyaan,
Anung Danusubrata dan Prangwedani yang ikut
mendengarkan, menganjurkan agar Jaganala menerima
tawaran Para W indu, Dan oleh anjuran itu akhirnya
W arok Jaganala mengangguk.
--ooo0dw0ooo-Jilid 11 Tamat
ANUNG DANUSUBRATA dan Prangwedani yang ikut
mendengarkan, menganjurkan agar Jaganala menerima
tawaran Rara W indu. Dan oleh anjuran itu, akhirnya
W arok Jaganala mengangguk .
"Rara W indu. Terimalah dahulu permint aan maafku.
Aku sekarang sudah sadar akan kesesatanku." kata
W arok Jaganala dengan sungguh sungguh."
"Rara.." Tiba-tiba Anung Danusubrata berkata:
"Saudara berdua kini bersatu padu. Bila ilmu yang
hendak saudara bina kelak menjadi suatu kenyataan,
hebatnya t ak terlukiskan lagi. Akan tetapi siapakah yang
baka! menerima warisan saudara berdua" Apakah di atas
gunung terdapat kahyangan bidadari" Atau saudara
berdua hendak membawa ilmu kepandaian saudara
keliang kubur?" Itulah suatu pernyataan yang mengejutkan hati
mereka berdua. Beberapa saat lamanya, mereka terdiam.
Akhirnya Rara Windu berkata:
"Aku berada diatas gunung ini beberapa tahun
lamanya. Selama itu, aku berkenalan dan menanam bibit
persahabatan Akupun tidak bermaksud-membawa ilmu
kepandaian guru ke liang kubur. Bahkan bila sampai
terjadi demikian aku berarti, menghianati dan membunuh
cita-cita guru. Hanya saja, untuk menemukan seorang
murid memang sangat sulit,"
Arung Danusubrata nampak gelisah. Prangwedani
yang semenjak tadi berdiam diri, menyumbangkan
pikirannya : "Hal itu janganlah saudara pikirkan. Percayalah,
bahw a didunia ini terdapat suatu perjodohan. Bila
perjodohan itu . tiba, Tuhan akan membawakan seorarg
murid untuk saudara berdua. Sebaliknya b ila Tuhan
menghendaki ilmu kepandaian saudara berdua musna
manusia seluruh dunia in i tidak akan dapat beriht iar
apapun juga." Rara W indu dan W arok Jaganala mengucapkan terima
kasih. Akan tetapi didalam hati Prangw edani dan Anung
Danusufcrata timbul suatu keyakinan, bahwa murid itu
sulit diperoleh. Hanya saja mereka berdua tidak
menyatakan hal itu, karena akan mementahkan suatu
persetujuan yang sudah matang.
Demikianlah, semenjak itu, hilanglah warta berita,
tentang Rara W indu dan Jaganala. Mengingat usianya,
mestinya mereka berdua sudah wafat. Bila sudah wafat,
kenapa di dunia belum terpercik suatu berita tentang
seorang pemuda atau pemudi yang berkepandaian
tinggi" Maka benarlah keyakinan pendekar Prangwedani
dan Anung Danusufcrata bahwa baik Rara W indu
maupun Jaganala akan sulit memperoleh pewarisnya
yang tepat, 0odwo0 SAMPAI DISITU, selesailah sudah cerita kakek
Argajati. Mereka yang mendengar, memperoleh kesannya masing-masing, Yang paling hebat adalah
Lingga W isnu, Berbagai ingatan dan kenangan berkelebat
didalam benaknya, Teringatlah dia, betapa ayah
bundanya dikejar oleh seluruh pendekar dipenjuru tanah
air ini. Mereka terdiri dari pendekar pendekar golongan
Parwati dan Ugrasena yang diketuai oleh Prangwedani
dan Anung Danusubrata, Pernah pula Kyahi Basaman
dikerumuni pendekar pendekar yang menanyakan
tentang tongkat mustika. Bukan mustahil, bahw a
Prangwedani dan Anung Danusubrata diam-diam tertarik
kepada tongkat mustika yang dibawa bawa Rara Windu.
Tiba-tiba suatu ingatan menusuk benaknya. Terus saja
ia bertanya kepada kakek Argajati;
"Apakah pendekar Jaganala senang mengenakan
jubah abu-abu?" Kakek Argajati tercengang mendengar pertanyaan itu,
Dengan menebak-nebak ia menjawab;
"Aku sendiri belum pernah bersua. Tapi menurut
kabar, dia senang jubah pendeta tatkala masih malang
melint ang. Hanya saja apakah jubahnya berwarna abu
abu atau hitam aku sendiri kurang jelas. Kenapa anak
tertarik soal itu?" Lingga W isnu tertegun. Mulutnya terbungkam, karena
ia teringat kepada ingatannya masa kanak-kanak tentang
seorang yang mengenakan jubah. Kakak perempuannya,
Sudarawerti hilang musna dengan munculnya seorang
pendekar yang mengenakan jubah abu-abu. Pendekar
jubah abu-abu yang menyibukkan dan mengherankan
ayah-bundarjya pula Sayang waktu itu dia setengah
pingsan. Ingatannya kabur antara munculnya tokoh
Podang W ilis, paman gurunya, dan pendekar jubah abuabu. Akan tetapi masih
teringat segar dalam ot aknya,
bahw a dia menyerukan hilangnya Sudarawerti diatas
punggung Podang wilis, Karena mereka semua menunggu jawabannya maka ia
mengisahkan riwayat hidupnya dan keanehan keanehan


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang ditanggung keluarganya. Dan mendengar riwayat
hidupnya, Sekar prabasini tertegun oleh rasa terharu.
Baru sekarang ia mendengar riwayat hidup pemuda yang
dipujanya itu. Diluar dugaannya, penderitaannya jauh
melebihi penderitaannya sendiri.
"Coba ulangi sekali lagi!" kata Ki Ageng Gumbrek.
Orang t ua ini agaknya menaruh perhatian besar. "Ulangi
sekali lagi seolah-olah kau berada ditengah kancah
pertempuran itu!'' Lingga W isnu meluruskan ingatannya. Kemudian ia
mengisahkan peristiwa yang menyedihkan hatinya itu
seolah-olah dirinya tak ikut serta memegang peranan.
Katanya tersekat-sekat tapi lancar
"T ak sempat lagi ayah berbicara berkepanjangan.
Beberapa orang datang meluruk kebawah. Gerak-gerik
musuh baru ini, lebih mantap dan perkasa. Namun ayah
sama sekali tak gentar. Dengan pandang tajam, ayah
mengawasi mereka. Tiba-tiba diatas ketinggian ayah
melihat seorang mengenakan jubah abu-abu. Siapa dia,
ayah tak dapat mengenalnya.
"Selagi ayah mencoba mengamat-amati orang
berjubah abu-abu itu, kakak Mardanus sudah melompat
menerjang sambil berteriak:
"Manusia serigala. Kalian ganas melebihi binatang.
Hayo maju!" Akupun ikut menyerbu. Sebenarnya aku sama sekali
tak berkepandaian. Hanya terdorong oleh hati kesal dan
panas, aku ikut ikutan saja. Tentu saja ayah jadi
berkhawatir. Terdengar ayah berteriak nyaring:
"Umardanus! Lingga! Kembali!"
Kakak terperanjat tatkala mendengar bahwa ayah
menyebut namaku. Dia menoleh dan melihat diriku.
Cepat-cepat ia mengurungkan ke hendaknya dan
menyeret aku mundur. "Dan orang berjubah abu-abu?" potong Ki Ageng
Gumbrek. "Dia berdiam saja. Akupun tidak sempat memperhatikan. Tatkala ayah bunda terbunuh dan kakak
Mardanus melompat ke dalam jurang, dia menyambar
kakakku perempuan Sudarawerti. Kakakku Sudarawerti
mencoba melawan. Akan tetapi tiada gunanya. Entah
bagaimana selanjutnya ingatanku sudah kabur." jawab
Lingga W isnu. Ki Ageng Gumbrek menghela napas. Dahinya
berkerut-kerut. Ia mencoba menduga duga. Lalu
mengerling kepada Argajati yang berdiri tertegun.
Bertanya minta pertimbangan :
"Bagaimana menurut pendapatmu?"
Kakek Argajati. berbimbang-bimbang. Lalu menjawab:
"Kalau menilik wilayah pertempuran, kemungkinan
besar dialah warok Jaganala. Apalagi dia mengenakan
jubah abu-abu. Akan tetapi masakah dia masih h idup"
Bila h idup, paling tidak sudah berumur seratus tahun
lebih." "Kyahi Basaman sampai sekarang masih hidup segar
bugar. Masakan Rara W indu dan warok Jaganala
mendahului usianya?"
Kakek Argajati tertawa. Menyahut:
"W alaupun usia manusia berada di tangan Tuhan,
akan tetapi pertimbangan Ki Ageng masuk akal. Namun
..." "Namun apa?" "Betapapun juga, aku masih ragu-ragu", jawab kakek
Argajati cepat. "Dalam usia selanjut itu, masakan dia
masih senang berkeliaran dan usilan terhadap segala
peristiwa di dunia?"
"Menurut tutur katamu, dia berwatak mau menang
sendiri. Dia malang melint ang tanpa tandingan. Dan
jangan lupa, dia membutuhkan seorang murid yang
hendak diwarisi kepandaiannya ."
Tiba-tiba Sekar Prabasin i menyambung:
"T api kenapa dia tidak sudi membantu ayah bunda
kakak Lingga?" Ki Ageng Gumbrek tertawa. Sahutnya:
"Sebenarnya otakmu cerdas. T api kau jadi tolol karena
terpengaruh cerita Lingga. Bukankah mereka yang
mengeroyok ayah Lingga terdiri dari kaum Parwati dan
Ugrasena" Setidak-tidaknya yang paling besar jumlahnya." "Y a, lantas apa alasannya?"
"Bukankah Anung Danusubrata dan Prangwedani
adalah sahabatnya" Menggebuk anjing piaraan samalah
halnya menggebuk majikannya."
Sekar Prabasin i sebenarnya dapat menjawab pertanyaannya sendiri tanpa bant uan siapapun. Akan
tetapi ia sengaja berbuat demikian untuk mengesankan
kisah h idup Lingga W isnu kepada Sugiri dan keluarga
Argajati. Dalam pada itu pagi hari telah menyingsing, dengan
tak terasa. Masing-masing terlibat dalam diri masingmasing. Akhirnya t uan rumah
berkata: "Mungkin sekali tenaga tuan-tuan sekalian sangat kita
butuhkan untuk mengusir serdadu Belanda yang
mengepung pertapaan ini. Karena itu, apakah tuan-tuan
tidak perlu beristirahat" Kami telah menyediakan kamar
peristirahatan walaupun sangat sederhana.
Mereka menerima saran tuan rumah. Dan masingmasing lantas memasuki kamar. Sekar
Prabasini berada dalam satu kamar dengan Saraswati. Sedang Rara W itri
menemani ibunya. Sekar Prabasini mencoba menidurkan diri tetapi
pikirannya terpancang terus kepada pendekar yang
mengenakan jubah abu-abu. Dia seorang gadis berhati
keras. Tak mengherankan, ia kena belenggu sifat
kekerasan hatinya. Sebaliknya Lingga W isnu memikirkan
tentang tongkat yang diketemukan di dalam goa.
Pikirnya: "Apakah tongkat yang dibawa pendekar wanita Rara
W indu bukannya tongkat yang kuketemukan di dalam
goa" Bila benar, bagaimana cara
Rara W indu memasukkan?" Hal itu membuat hatinya bimbang sendirl T etapi t okoh
Rara W indu tak pernah hapus dari ingatannya. Ia
memikirkan masa depan Sekar Prabasini. Karena jasa
Sekar Prabasin i, goa harta karun itu diketemukan. Dalam
hal ini, secara kebetulan pula ayahnya ikut mengambil
saham yang paling besar. Sekarang dia menemukan
tidak hanya t imbunan harta karun, tapipun sebuah kitab
himpunan ilmu sakti yang t iada taranya. Menurut pantas,
Sekar Prabasini berhak memiliki separohnya.
Dengan berbagai pikiran itu, Lingga W isnu bergulakgulik diatas tempat tidurnya.
Akhirnya ia tertidur juga
dengan tak setahunya sendiri. Tatkala bangun, mereka
semua sudah sibuk bersiap-siap.
Ki Ageng Gumbrek menyambut dengan tertawa lebar.
Serunya riang: "Hei bocah! Kita tidak boleh terkurung terus dalam
goa ini. Kita harus mencoba mendobrak. Mati atau hidup
bukan perkara kita. Serahkan saja nasib kita kepada
Tuhan diatas kepala kita ..."
"Benar." Lingga W isnu mengangguk. Kemudian
menoleh kepada kakek Argajati yang nampak berenungrenung. Meskipun tak
terucapkan, Lingga W isnu
bermaksud mint a pertimbangan. Sebab betapapun juga,
tuan rumah itu lebih faham liku-liku wilayahnya daripada
pihaknya. "Sebenarnya, ananda Sukesi harus sehat dahulu
seperti sediakala." ujar orang tua itu.
"Apakah pertapaan ini kian terkepung rapat?" Sekar
Prabasin i menegas. Dia seorang gadis yang senantiasa
tak bersabar hati. Kakek Argajati mengangguk. Jawabnya:
"Menurut laporan, mereka bahkan berusaha membongkari t anah."
Hati Lingga Lingga W isnu tercekat. Teringatlah dia
kepada Musafigiloh yang berotak encer. Kalau memperoleh kesempatan, pemuda itu niscaya dapat
menemukan lubang sumur goa harta benda. Dia
mempunyai tenaga serdadu yang dapat mendatangkan
meriam sew aktu-waktu. Dan dengan bantuan meriam,
pintu goa lambat-laun pasti terbongkar juga. Maka
dengan wajah berubaa ia berkata:
"Kalau begitu, biarlah kuselid iki."
Berkata demikian, ia memberi isyarat mata kepada
Sekar Prabasini. Dan pada saat itu ia melihat pandang
mata Saraswati yang lembut. Gadis itu seperti hendak
mengatakan sesuatu, akan tet api segera menahan diri.
Mereka berdua diant arkan seorang petani sampai di
mulut goa yang berada di seberang. Setelah itu mereka
melanjutkan perjalanannya tanpa petunjuk lagi. Seperti
kemarin, mereka melalui lorong-lorong yang berliku-liku.
Dan selama berjalan, mereka berdiam diri. Perjalanan
begini bagi Sekar Prabasini terasa membelenggu dirinya.
Maklum lah, dia seorang gadis berjiwa bebas, setengah
liar dan panas hati. Maka-meledaklah ucapannya:
"Apakah kau tak sudi berbicara lagi setelah berkenalan
dengan Saraswati" Gadis itu memang menarik."
Lingga W isnu tercengang berbareng geli. Sahutnya
bersenyum: "Adik" Mengintip musuh, kita harus dapat menahan
diri meskipun banyak yang hendak kukatakan padamu."
"Kalau mau bicara, berkatalah. Apa sih ruginya" Kalau
khawatir kena didengar musuh, bukankah kita bisa
berhenti dulu" Musuh yang mengepung pertapaan ini,
kan t idak bakal lari?"
"Benar. Tapi aku memikirkan goa itu. Goa warisan
ayaymu," ujar Lingga W isnu.
Mendengar ayahnya disebut-sebut, Sekar Prabasini
terdiam. Betapapun juga, kata-kata Lingga W isnu
mengenai lubuk hatinya dengan jitu. Sahutnya mengalah: "Apakah kau khawatir mereka dapat menembus goa
kita?" "Mereka memiliki meriam, sedang kita belum
mengambil faedah isi goa itu. Selain tongkat dan pedang
ini." "Pedang" Pedang apa?" Sekar Prabasini tercengang.
Lingga W isnu merandek. Kemudian memperlihatkan
tongkatnya. Katanya: "Lihat! Sepintas lalu hanya tongkat belaka. Tapi
sew aktu kuamat-amati, ternyata terdapat lapisan
didalamnya. Hal ini baru kuketahui kemarin siang tatkala
aku menghunusnya ." "Apakah kau menghunus pedang?" Sekar Prabasini
tertarik. "Benar. Lihat!" sahut Lingga W isnu seraya menarik.
Dan benar saja. Ia menarik sebilah pedang pendek. Tapi
pedang itu guram. Sama sekali tak menarik. Namun di
dalam hati Sekar Prabasini tahu bahwa pedang itu
niscaya pe dang pusaka. "Kau ambillah! Inilah milikmu," kata Lingga W isnu lagi.
"Milikku" Akh, tidak, kau yang menemukan, maka
engkaulah pemiliknya. Lagipula, kenapa diantara kita
masih ada hakku hakmu?" ujar Sekar Prabasini.
Terharu hati Lingga W isnu mendengar pernyataan
Sekar Prabasini, sekarang tahulah dia, bahwa dirinya
tidak lagi dianggap insan asing oleh gadis itu. Maka
berkatalah dia: "Adik! Tanpa pertolongan ayahmu, tak mungkin aku
menemukan goa itu. Akupun sudah memperoleh
bagianku. Itulah tongkat mustika yang berisikan
segulung peta perang. Kemudian sebuah kitab himpunan
ilmu sakti. Karena itu, pedang ini adalah milikmu. Aku tak
mau serakah hingga lupa daratan. Lagi pula, pernah aku
menerima pedang w arisan ayahmu yang t iada t aranya di
dunia ini. Kau terima lah! Bila kau menganggap pedang
ini tetap milikku, maka sebagai pemilik aku menghadiahkan kepadamu. Bagaimana?"


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sekar Prabasini merasa terdesak, maka ia menerima
pedang itu dengan berdiam diri. Ia mengamat-amati
sebentar, lalu berkata setengah berbisik:
"Apakah kebagusan pedang ini, sebenarnya aku tak
tahu. Sarungnyapun tiada. Masakan harus kuselipkan
saja dip inggang semacam belati panjang."
Lingga W isnu tertawa. Sahutnya:
"Untuk sementara biarlah demikian."
Sekar Prabasin i tertawa, lalu menyelipkan pedang
pendek itu dipinggangnya. Tiba-tiba seperti teringat
sesuatu: "Hai! Apa nama pedang ini?"
"Akh ya! Belum sempat aku memeriksa pamornya.
Mari kita periksa!" seru Lingga W isnu.
Tatkala itu matahari telah bersinar terang benderang.
Segera mereka memeriksa pamor pedang. Remangremang mereka melihat sebuah lukisan
seekor naga mencengkeram dunia. Inilah pamor yang belum pernah
mereka lihat. "Pernahkah kau melihat pedang berpamor" Lingga
W isnu mencoba minta pendapat gadisnya.
"Kata orang, memang terdapat juga,.akan tetapi
jarang sekali," sahut Sekar Prabasin i. "Agaknya pedang
ini berkeramat seperti sebilah keris pusaka."
"Pedang ini berpamor seekor naga. Apakah bukan
Nagasasra?" "Entahlah. Menurut kabar, pamor Nagasasra hanya
pant as disematkan pada sebilah keris." Sekar Prabasini
Mencari Bende Mataram 15 Pendekar Sakti Im Yang Karya Rajakelana Naga Pembunuh 8
^