Pencarian

Pendekar Aneh Naga Langit 20

Pendekar Aneh Naga Langit Thian Liong Koay Hiap Karya Marshall Bagian 20


Koay Ji memulai dengan memperkuat organ-organ tubuh bagian dalam yang sempat terluka dan rusak. Untuk itu dia membutuhkan obat-obat penguat tenaga dan juga bantuan buah-buahan yang syukur mengalir lancar dengan batuan monyet-monyet yang memang dimintanya secara khusus. Tetapi, diapun harus bekerja keras karena dibutuhkan arus tenaga murninya untuk memaksa sari-sari kehidupan yang mujijat menuju ke bagian-bagian dalam tubuh Kat Thian Ho yang terluka. Sepanjang hari kedua dia melakukannya sejak pagi hingga menjelang malam hari, saat itu dia harus membersihkan tubuh Kat Thian Ho dari cairan-cairan membusuk yang merembes keluar dari dalam tubuhnya. Menjelang tengah malam, barulah Kat Thian Ho mulai mendapatkan atau menemukan kesadarannya kembali. Tetapi, sekaligus dia harus mulai merasakan kesakitan yang luar biasa dan membuat Koay Hiap berusaha keras untuk membangkitkan semangatnya.
"Engkau harus mampu dan harus kuat Kat Siauwheng, semangat hidupmu harus menguat agar organ-organ tubuhmu beroleh aliran positif yang akan mengokohkan dan menguatkan mereka. Ayo, jangan menyerah melawan rasa sakit, proses untuk menumbuhkan kembali sel organ tubuh yang rusak sudah dimulai, dan engkau akan dan harus melawan rasa sakit itu........" berkali-kali Koay Ji menyuntikkan semangat dan menggelorakan daya hidup Kat Thian Ho karena sadar, rasa sakit yang dialami Kat Thian Ho benar-benar berat. Tetapi, proses itu yang justru mendekatkan mereka dan menanamkan suara Koay Hiap dalam benak dan alam bawah sadar Kat Thian Ho. Apalagi karena suara penyemangat disertai bantuan hawa murni yang tidak kecil, dilakukan pada saat-saat Kat Thian Ho melawan MAUT.
Awalnya Kat Thian Ho meraakan betapa terkejutnya dia, karena seperti kenal tapi tidak kenal, pernah bertemu tapi tidaklah yakin. Tetapi yang jelas dia seperti sudah pernah akrab dengan sosok yang sedang membantu mengobati penyakitnya itu dan yang memompakan semangat hidupnya. Meski dia merasa asing dengan fisik sang tabib, tetapi perasaannya yang paling dalam memberi reaksi positif dan melahirkan kepercayaan yang besar kepada sosok Thian Liong Koay Hiap. Inilah modal utama dari proses penyembuhan dari dalam, sebab dengan cara itu, maka semua yang sedang dikerjakan Koay Ji menjadi semakin mudah.
"Kat siauwheng, proses pengobatan mulai besok pagi akan sangat tergantung dari semangat serta kemauan hidupmu. Jika engkau gagal menemukan alasan untuk tetap hidup, maka engkau akan mengurangi peluang untuk dapat disembuhkan. Satu hal yang patut menjadi kabar gembira bagimu adalah, engkau tidak kehilangan hawa murnimu, hanya hawa murnimu memang sudah menyebar kemana-mana karena pusat tan-tianmu mengalami guncangan berat yang bahkan sudah nyaris merusaknya secara permanen. Jikalau sudah sempat rusak sedemikian, maka amat sulit menemukan upaya pengobatannya atau dengan kata lain engkau tidak akan dapat melatih ilmu silatmu kembali untuk mencapai tingkatmu seperti saat ini. Untuk selanjutnya engkau sebaiknya beristirahat secara total, jangan pernah berusaha mengumpulkan tenagamu dan apa boleh buat, sepanjang malam ini, sesakti apapun yang engkau rasakan, janganlah berusaha melawannya. Biarkan rasa sakit itu menderamu sepanjang malam ini, karena sesungguhnya yang terjadi adalah proses perbaikan beberapa organ tubuh vitalmu yang mengalami kerusakan berat. Jika engkau mampu melewati proses yang amat menyakitkan ini hingga pagi hari, maka kesempatan sembuhmu bertambah semakin besar. Karena itu, kuatkan hatimu dan tahankan rasa sakit itu hingga selesai......."
Mendengar penjelasan Koay Hiap, Kat Thian Ho hanya bisa menganggukkan kepala dan mengiyakannya. Tetapi, kekeraskepalaan Kat Thian Ho memang menurun dari subonya yang sama aneh dan eksentriknya. Meski hanya menggeleng, tetapi dalam hatinya dia menertawakan rasa sakit. Karena rasa sakit yang lebih hebat, bahkan sakit fisik hingga sakit hati, semua sudah dilewatinya, sudah dilampauinya dan membawa keberadaannya hingga saat ini. Dibawah didikan dan bimbingan subo yang sangat keras, sangat disiplin, sangat aneh, namun sangat mengasihinya, Kat Thian Ho tumbuh menjadi pemuda aneh seaneh subonya. Tetapi, dia sadar betul, subonya sangat mengasihinya, memperlakukannya sebagai putra sendiri dan dalam dirinya subonya menaruh harapan yang sangat besar. Dan untuk membahagiakan subo yang amat mengasihinya itulah yang kemudian mendatangkan perasaan bakti dan sekaligus semangat berlebih untuk "menertawakan" rasa sakit itu.
Ketika keesokan harinya Koay Ji menemukan keadaan Kat Thian Ho, dia sampai menggeleng-gelengkan kepala karena dia tahu betapa hebat dan betapa keras Kat Thian Ho melawan rasa sakit. Koay Ji menemukannya pingsan saking tak kuatnya menahan rasa sakit yang menyerang, sakit di rongga dada, sakit di sekitar perut dan belum lagi rasa sakit yang menjalar ke seluruh kaki dan tangan. Koay Ji bisa dan dapat membayangkan bagaimana seorang Kat Thian Ho melewati setengah jam terakhir dalam derita dan dalam kesakitan yang sangat. Tetapi, justru itulah modal utama Kat Thian Ho untuk sembuh. Karena proses sepanjang malam itu adalah awal dari pemulihan organ-organ dalam yang terluka parah dan nyaris tidak dapat lagi berfungsi sebelum dirangsang dan "dihidupkan" kembali oleh obat2an dan juga kekuatan iweekang menyembuhkan Koay Ji.
Begitu melihat keadaan Kat Thian Ho, Koay Ji tersenyum dan kagum bukan main. Tetapi dia tahu, jika dibiarkan pingsan lebih lama, maka nafas Kat Thian Ho justru akan putus alias mati. Karena itu, diapun segera bekerja kembali, menata kembali organ dalam Kat Thian Ho dan kemudian memperlancar aliran darah dengan jalan menembus sumbatan darah kotor dan darah mati yang menyumbat peredaran darah Kat Thian Ho. Koay Ji melakukannya sampai tengah hari, sampai dia tidak sadar jika Sie Lan In sudah dua atau tiga kali memasuki ruangan tersebut dan menemukan mereka berdua berkutat sengit dengan malaikat elmaut. Dan betapa laparnya Koay Ji ketika dia akhirnya dapat beristirahat dan menemukan makanan yang terdiri dari buah-buahan segar serta menu ayam dimasak secara khusus oleh Sie Lan In sendiri. Tetapi sebelum dia sendiri makan, Koay Ji masih sempat memberi makan Kat Thian Ho dengan sari buah yang dia peras dari buah2an yang sudah pada saat itu. Baru setelah itu diapun makan.
Menjelang sore, kembali Koay Ji bekerja setelah beristirahat dan memulihkan diri selama beberapa jam saja. Pekerjaan yang meski tidak seberat sebelumnya, tetapi membutuhkan tingkat kehati-hatian yang sangat tinggi. Dan ini yang sebetulnya amat melelahkannya. Dan karena itu ketika menjelang tengah malam dia kembali sadar dan diapun menemukan Sie Lan In yang ada bersama mereka berdua dalam ruangan di rumah mungil itu, dia menjadi senang. Bahkan begitu melihat Sie Lan In diapun bergumam dalam nada suara yang terdengar sangatlah letih dan kelelahan, jelas terdengar dan terasa oleh Sie Lan In:
"Syukurlah kita berhasil merebut kembali nyawanya dari sabetan kejam sang giam lo ong,,,,, tapi proses besok, pengobatan dengan menggunakan jarum emas adalah bagian lain yang juga sangat menentukan untuk proses pemulihannya. Terutama menentukan apakah dia masih akan mampu melanjutkan latihan silatnya ataukah dia beroleh kemajuan hebat sebagai akibat dari pengobatan yang berhasil.......... Sie Kouwnio, siapkan buah-buahan hijau serta daun obat ini untuk dimasak bersama besok (sambil mengeluarkan kantong daun obatnya dan menyerahkan beberapa daun yang dikeringkan kepada Sie Lan In)" setelah berkata demikian, Koay Jie kembali tenggelam dalam istirahat.
Benar-benar luar biasa, selama dua hari berturut-turut Koay Ji menggunakan nyaris semua pengetahuan pengobatannya dan kekuatan iweekangnya hingga batas yang tertinggi. Yang dia tidak tahu, melakukan semua itu pada batas tertingginya namun dengan tetap terukur, juga membawa khasiat yang amat luar biasa bagi kekuatan iweekangnya. Tetapi dia sama sekali tidak menyadarinya karena saat itu dia merasa letih bukan main. Sampai dia harus memakan sebutir obat mujijat buatannya yang amat langkah untuk dapat mengembalikan konsentrasi dan kebugarannya. Setelah itu, dia kembali tenggelam dalam samadhi.
Proses yang lebih meletihkan dilakukan Koay Ji pada hari ketiga dan hari keempat, karena dia harus terjaga dan menggunakan segenap kekuatan iweekangnya. Dia nyaris tidak sadar jika dia sudah menggunakan secara bergantian baik iweekang Pouw Tee Pwe Yap Sian Sinkang maupun Toa Pan Yo Hiankang bergantian. Bahkan juga kombinasi kekuatan kedua iweekang dahsyat itu tanpa dia sadar bahwa dia mengalami kemajuan satu hingga dua tingkat lebih tinggi dibandingkan posisi sebelum pengobatan dimulai. Tetapi, karena melakukannya tanpa disadarinya maka dia tidak tahu dan tidak menyadari kemajuannya sendiri. Lagipula, selama proses pengobatan, dia menguras kekuatan iweekangnya dan menggunakan hingga ke titik berlebihan. Untungnya, kedua iweekang miliknya memang iweekang mujijat dan istimewa yang memiliki aspek penyembuh yang luar biasa, sehingga digunakan dalam manfaat pengobatan justru seperti tidak ada habisnya. Penguasaannya atas penggunaan kedua iweekang mujijatnya justru pada satu sisi semakin masak dan matang. Meskipun sebetulnya, kekuatan iweekang banyak mengalami pengurangan karena memaksakan diri melakukan pengobatan. Tetapi, karena kemujijatan kedua iweekangnya, tidak lama dia mampu mengumpulkan dan bahkan kelak meningkat kekuatannya tersebut. Hal yang terjadi belakangan.
Pengobatan pada hari ketiga, sepanjang hari dia menggunakan jarum emas. Mulai dari menusuk, mencabut, menyerap dan kemudian memasukkan sari-sari obat yang diraciknya sendiri beberapa waktu lalu. Sejak pagi hingga kemudian menjelang pagi hari lagi, dia melakukannya terus menerus tanpa henti. Hanya sesekali beristirahat dan emngumpulkan semangatnya lagi. Dan pada hari yang keempat, dia hanya beristirahat selama dua atau tiga jam dan langsung kembali memulainya. Pada hari keempat ini Kat Thian Ho mulai semakin terang menemukan kesadarannya meski tubuhnya seperti dilolohi karena sama sekali tidak bertenaga. Lemas seperti tanpa tulang. Tetapi, rasa sakit yang dia rasakan sudah banyak berkurang. Dan sejak hari keempat, pada saat dia sesekali menemukan kesadarannya, dia benar-benar merasa terharu dan merasa berhutang nyawa kepada Koay Ji. Terutama karena dia menyaksikan langsung bagaimana telatennya, bagaimana capainya dan bagaimana usaha tak kenal lelah Koay Ji untuk mengobatinya serta menyembuhkannya. Apalagi karena tanpa tahu jika Kat Thian Ho sudah mulai sadar, Koay Ji sesekali bergumam atas pilihan-pilihan yang harus dilakukannya:
"Jika memaksakan diri memasukan sari obat-obatan ini dan takarannya kurang pas, maka dia bisa kehilangan kekuatannya. Tetapi, sari obat ini penting untuk dapat memperkuat tan-tiannya. Cara yang paling sederhana adalah mengalirkan kekuatan iweekang Toa Pan Yo Hian Kang dan membungkus tan-tiannya selama setengah harian, tetapi akan mengurangi sebagian kekuatan kekuatan iweekangku. Acccch, sulit. Tetapi, sudahlah,,,,,,, sudah tanggung, semoga Kat Siauheng benar-benar dapat meniru subonya, meski eksentrik dan kukoay tetapi tetap berjalan di jalan kebenaran. Semoga saja........."
Koay Ji tidak menduga jika gumaman ini yang kelak terus menjaga dan akan terus dikenang Kat Thian Ho untuk menjaga nama baiknya sekaligus juga membayar hutang nyawanya kepada Thian Liong Koay Hiap. Karena kelak, ketika dia sadar, dia tidak lagi melihat dan menemukan Thian Liong Koay Hiap di tempat rahasia subonya. Dan sejak saat itu, Kat Thian Ho mengidolakan Thian Liong Koay Hiap dan menghormatinya bagai menghormati Subonya sendiri. Kelak, Kat Thian Ho yang beroleh keuntungan tidak kecil dari proses pengobatan oleh Thian Liong Koay Hiap, memang munculkan diri di rimba persilatan dan menjadi tokoh muda pilih tanding. Dia bahkan tidak kalah dari Sie Lan In yang juga banyak belajar dari subonya sendiri dan Kat Thian Ho tetap menjaga jalan hidupnya sebagai seorang pendekar yang berkelakuan nyentrik, sebagaimana subonya.
Hari kelima, seperti hari keempat, Koay Ji melanjutkan pengobatannya dengan tidak beristirahat barang sedikitpun. Terutama karena dia harus memantau proses reaksi tubuh Kat Thian Ho menjelang malam hari kelima dia mencabut jarum emasnya. Dan baru pada hari keenam dia memperoleh sedikit waktu untuk dapat beristirahat dan mengembalikan kebugarannya. Tetapi, Sie Lan In tahu dan melihat jelas betapa mata Koay Jie kini sudah menjadi cekung dan semangatnya benar-benar turun dengan sangat tajam. Tetapi Koay Ji tidak dapat beristirahat panjang pada hari keenam, janya 4,5 jam dia mengembalikan semangatnya dan setelah itu dia melanjutkan pengobatan hingga tengah malam. Rencana mencabut jarum emas baru dapat terlaksana hari keenam karena harus sesuai dengan reaksi tubuh Kat Thian Ho. Koay Ji benar-benar telaten dan mengurusinya secara tuntas, karena saat masuk ke penggunaan jarum emas, dia sendiripun harus merasa yakin baru dapat memulai proses ataupun mengakhirinya.
Dan setelah melihat reaksi positif yang semakin menguat, ditandai dengan reaksi organ tubuh Kat Thian Ho yang semakin membaik, dia akhirnya mencabut semua jarum emasnya. Dan reaksi positif yang langsung terlihat adalah, seri wajah Kat Thian Ho pada hari keenam mulai bersemu merah meski masih terlihat sedikit pucat seperti kurang darah. Tetapi, hal yang berbeda justru terjadi kepada Koay Hiap yang justru berubah pucat pasi dan awan putih pekat membubung di kepalanya. Hal ini boleh terjadi karena memang melepas jarum harus seiring dengan "merawat Kat Thian Ho" lewat penggunaan hawa mujijat dari iweekangnya. Bahkan hingga malam baru proses itu selesai secara tuntas. Namun ketika proses mencabut jarum emas usai, Koay Ji ternyata tak sanggup lagi berjalan jauh dan karenanya langsung bersila di lantai saking lelahnya. Sekali ini, dia tak mampu berbicara lagi dengan Sie Lan In dan Kat Thian Ho, hanya sepatah kata singkat:
"Saatnya kita semua beristirahat. Kat Siauwheng, berusahalah tidur, jangan sekali sekali melakukan tindakan fisik dan mengatur tenaga. Sie Kouwnio, engkau juga boleh beristirahat. Maaf, lohu letih sekali,,,,," setelah mengucapkan kalimat itu Koay Hiap kemudian menutup diri dan melakukan samadhi mengembalikan semangat, tenaga dan kebugaran tubuhnya. Dia bahkan melakukannya hingga melampaui pagi hari dan baru mulai merasa lebih baikan menjelang tengah hari, bertepatan dengan saat makan siang, yang untungnya sudah disiapkan oleh Sie Lan In. Tepat tengah hari, setelah beristirahat lebih kurang setengah hari, Koay Hiap kemudian tergugah dari samadhinya, tepat saat Sie Lan In masuk untuk memanggil dan mengajaknya makan siang. Sungguh tepat waktunya.
"Koay Hiap,,,,, sudah waktunya makan siang,,,,,,,,,," sapa Sie Lan In melihat Koay Hiap perlahan-lahan mulai tergugah dari samadhi dan sinar matanya sudah mulai bersinar hidup lagi, beda dengan semalam.
"Accchhhhh, tubuhku sudah mulai segar kembali. Terima kasih Sie Kouwnio, lohu memang snagat membutuhkan makanan sekarang ini,,,,,, mari,,,,"
"Tapi, bagaimana dengan Kat Suheng,,,,,?" tanya Sie Lan In sambil memandangi Kat Thian Ho yang masih tertidur.
"Tenang saja Sie Kouwnio, dia akan tertidur seperti ini sampai setidaknya dua hari kedepan. Sari obat dan makanan sudah kumasukkan secukupnya hingga menjaga kondisi tubuhnya tetap stabil. Setelah dia siuman, sudah boleh dikatakan SEMBUH dari semua penyakitnya......" setelah berkata demikian, Koay Hiap melangkah keluar dan diikuti oleh Sie Lan In. Dan sewaktu makan siang, merekapun kembali bercakap cakap seputar apa yang mereka hadapi. Koay Hiap secara khusus menjelaskan soal kondisi terakhir Kat Thian Ho;
"Sie Kouwnio, sesuai kemauanmu, lohu sudah berusaha keras bukan hanya untuk menyembuhkan Kat Siauwheng. Tetapi kondisi lukanya dan penggunaan obat-obatan serta kekuatan iweekang penyembuhku membuat apa yang dia peroleh justru bakalan lebih dari itu. Karena kelak, dia bakalan dengan kerja kerasnya akan mudah untuk mengalami kemajuan yang hebat dalam hal tenaga iweekangnya. Dan rasanya tidak akan butuh waktu lama dia mencapai tingkat ilmunya seperti sebelum terluka oleh lawannya, bahkan dengan kerja keras juga dapat menjejeri tingkatanmu yang sekarang ini. Engkau berikan obat-obatan ini kepadanya setelah dia siuman hingga pada hari ketujuh nanti. Jangan khawatir, perkataanku tidak akan salah, dia akan sadar dan bugar kembali pada hari ketiga atau dua hari lagi. Hanya, dia harus menunggu sampai sebulan penuh dan harus terus beristirahat total, dilarang untuk mengerahkan iweekang dan apalagi berlatih ilmu silat. Tunggu setelah sebulan berlalu, dia sudah kembali normal seperti keadaan sebelum dia terluka. Tetapi, berhubung tugasku sudah selesai, besok lohu akan segera menyusul untuk menuju Gunung Kiu Boa San. Menilik keadaannya, kita perlu membagi tugas dan harap Sie Kouwnio melanjutkan untuk menjaga Kat Thian Ho dan menyampaikan pesan-pesanku kepadanya. Pengobatan memang sudah selesai dan sudah tuntas, tetapi untuk kembali menjadi normal, sangat tergantung kepada dirinya sendiri......."
"Baiklah, terima kasih banyak atas nama Kat Suheng,,,,,,,, karena bantuanmu, biar besok kutugaskan Tiauw Ko untuk dapat menerbangkanmu ke Gunung Kiu Bo San. Tetapi, untuk sementara ijinkan aku menunggu kedatangan Bibiku guna mengetahui langsung darinya asal-usul serta keberadaan semua keluargaku. Sekaligus biar aku mencoba menemani Kat Suheng sampai dia pulih kembali. Mengenai Perjalanan Koay Hiap, kutanggung dalam setengah hari engkau sudah tiba disana, kelak aku menunggumu disini untuk melanjutkan perjalanan kembali menuju tempat yang dijanjikan Tek Ui Bengcu. Tiauw Ko hanya kuperintahkan mengantarmu, setelah itu dia akan terbang kembali kemari sendirian,,,,,,,"
"Baiklah, kita tetapkan demikian saja Sie Kouwnio. Besok tengah hari lohu akan terbang menuju Gunung Kiu Bo San, ijinkan lohu untuk sekali lagi beristirahat dan memulihkan diri hingga menjelang pergi sore hari nanti...."
"Baik, silahkan Koay Hiap......."
Benar saja, tidak menunggu Kat Thian Ho siuman, menjelang sore hari Koay Ji sudah terbang pergi dengan menunggang Sin Tiauw milik Sie Lan In. Dan menjelang malam hari, sebelum matahari masuk keperaduannya, dia sudah tiba di Gunung Kiu Boa San dan tinggal mencari dimana tepatnya letak tempat tinggal toa suhengnya, Jit Yang Sin Sian. Toa Suhengnya menurut yang diketahuinya, konon bertapa di satu tempat yang bernama Liong Tam Houw Siat (Gua Naga dan Sarang Harimau). Dimana tepatnya tempat tersebut masih merupakan tanda tanya dan Koay Ji sesungguhnya kebingungan untuk dapat menemukan tempat itu dengan mudah. Apalagi berhubung tidak lama, paling lama satu jam lagi gelap sudah akan menjelang datang melingkupi bumi.
Tetapi yang kurang dipahami oleh Koay Ji adalah, burung tunggangannya memiliki kemampuan yang sangat mujijat. Memang benar, burung itu tidak dapat berbicara kepadanya sebagaimana dia mampu berkomunikasi dengan pemilknya, Sie Lan In. Tetapi meski tidak bicara, tetapi naluri burung sakti itu sungguh luar biasa, karena tanpa diminta dia kemudian mencari-cari tempat yang dicurigai ditinggali orang. Dan dia mencari di tempat-tempat yang tidak biasa, karena tuannya di Laut Selatan memang seperti itu gaya dan juga tempat tinggalnya. Naluri burung itulah yang kemudian mengarahkan mereka ke sebuah tempat yang cukup tinggi sekaligus juga terpencil di satu lembah. Dan disanalah kemudian Rajawali Sakti itu menurunkan Koay Ji yang begitu turun dari punggung si Rajawali, kemudian menepuk-nepuk dan mengelus leher besar sang burung besar itu. Nampaknya burung itupun mulai merasa suka dengan Koay Hiap.
Tetapi ada satu hal yang menarik. Ketika sedang terbang, Koay Ji berada dalam samaran sebagai Thian Liong Koay Hiap, tetapi menjelang tiba, dia sadar dia harus dalam wujud aslinya. Terlebih karena dia harus menemui Toa Suhengnya dianggap orang yang dituakan dan sekaligus paling bijaksana dan dihormati dari semua anak murid suhunya. Atau diantara sesama saudara seperguruannya, rata-rata memandangnya seperti itu, menghormati dan segan kepada sang toa suheng. Karena itu, menemui toa suhengnya yang saleh bijaksana yang juga adalah seorang pertapa, Koay Ji merasa kurang enak jika tetap dalam samaran selaku Thian Liong Koay Hiap. Karena itu, dia kemudian melepas samarannya dan kembali dalam wujud aslinya sebagai seorang Koay Ji. Dan begitu sang Rajawali Sakti mendapati dan melihatnya dalam wujud Koay Ji, burung itu entah bagaimana merasa sangat gembira dan berkali-kali menunjukkannya dengan mendekatkan kepalanya kepada Koay Ji. Koay Ji sendiripun dengan senang dengan kelakuan burung besar itu hingga mengelus leher si burung sambil berkata dengan halus kepadanya:
"Sekarang engkau sudah boleh pergi Tiauw ko. Tetapi, tolong engkau jagakan Nona Sie Lan In ya, jangan engkau tinggalkan dia sendrian...... dan kelak kita pasti akan bertemu kembali dan melakukan perjalanan ke tempat-tempat yang lain yang lebih indah dan lebih lama ,,,,,,,,", kalimat itu diucapkan Koay Ji sambil terus mengelus leher si Burung Rajawali yang dengan akrab dan senangnya terus membiarkan Koay Ji melakukannya cukup lama.
Dan lebih anehnya lagi, burung besar itu seperti mengerti apa yang baru saja dikatakan oleh Koay Ji kepadanya. Karena itu, dia kemudian mengeluarkan suara teriaknya yang khas,,,,,,
"Arrrrccchhhhhhhhhhhh........"
Dan tidak berapa lama kemudian, Burung Besar itu terbang kembali ke udara, hanya dalam waktu singkat sudah lenyap dibalik awan dengan diiringi tatapan kagum Koay Ji. Sampai beberapa saat setelah burung itu lenyap dari pandangan, Koay Ji masih tetap mendongak keatas keatas seakan tak yakin jika burung besar itu sudah pergi meninggalkan dia seorang diri. Dia masih terus termenung meski menyadari jika ada yang sedang mendekati tempatnya berada:
"Heeeiiiiii, engkau, siapa engkau gerangan,,,,,,, mengapa termenung seorang diri di mulut lembah memasuki tempat rahasia kami Liong Tam Houw Siat (Gua Naga dan Sarang Harimau) ini" Apakah engkau tersesat kemari,,,,?" Terdengar sapaan seorang anak muda yang ketika Koay Ji berpaling untuk memandangnya menjadi tersentak karena si anak muda yang menyapanya terlihat lebih banyak usianya dibanding dirinya sendiri. Mungkin sudah berusia sekitar 30 tahunan, dan terlihat ada kemiripan wajah dewan Bun Siok Han murid toa suhengnya yang sudah ditemui dan dikenalnya sebelumnya. Tapi beda menyolok antara mereka adalah, wajah anak muda yang satu ini terlihat agak berbeda, seperti seorang yang ketololan namun berwajah jujur. Dan lebih hebat lagi, di belakangnya terlihat berdiri tiga ekor binatang hutan yang rata-rata lebih besar dari ukuran normal mereka dan sebetulnya saling memangsa jika hidup di alam bebas secara liar.
Binatang yang pertama adalah seekor harimau berwarna belang-belang, tubuhnya sangat besar, nyaris dua kali lipat dari ukuran normal yang sering terlihat manusia. Tetapi harimau itu duduk dengan manis di belakang si anak muda bertampang tolol itu, dia berada di tengah di apit oleh seekor monyet yang juga berukuran sangat besar tetapi tidak sampai mengagetkan seorang Koay Ji. Karena monyet yang lebih besar dari monyet berkulit hitam keabu-abuan dan lebih tinggi dari si anak muda yang datang, sudah pernah ditemui dan bahkan bersahabat dengannya. Dan yang terakhir adalah seekor beruang yang juga bertubuh amat besar, nyaris setinggi si monyet namun tubuhnya lebih tambun dan juga gemuk. Warnanya kecoklatan. Herannya, ketiga binatang itu berdiri tegak dan diam menyaksikannya dari belakang tubuh si anak muda yang bertampang tolol itu.
"Siauwte bernama Koay Jie,,,,,, siapakah gerangan engkau toako yang baik" Hewan hewan peliharaanmu sungguh sangat hebat dan gagah, bolehkah aku yang rendah berkenalan dan berteman dengan mereka...." jawab Koay Ji berusaha akrab setelah melihat keadaan dan kondisi pemuda yang nampak ketololan itu.
"Husssh, engkau sungguh lancang ,,,,, mereka-mereka ini sahabat-sahabatku. Yang ini Si Belang, yang sebelahnya si Coklat (sambil menunjuk sii beruang) dan yang ini si Kelabu (menunjuk si Monyet),,,, nach, engkau boleh berkenalan dengan mereka bertiga, mana tahu mereka juga mau bersahabat denganmu......." tegur si pemuda rada tolol sambil memperkenalkan ketiga temannya yang ikut datang menyertainya bertemu dengan Koay Ji.
"Accchhhh, maafkan aku toako,,,,, selamat berkenalan Belang, Coklat dan Kelabu" Koay Ji tanpa ragu meminta maaf dan kemudian menyapa ketiga sahabat si pemuda tolol. Bahkan ketika menyapa sang monyet alias si Kelabu, dia menambahkan dengan bahasa khusus yang dia yakin dimengerti dengan baik oleh si monyet. Dan memang benar, tidak berapa lama si Kelabu datang mendekatinya, mencium-cium pakaiannya dan bahkan tak berapa lama diapun berdiri di depan Koay Ji. Setelah dekat dan menciumi pakaian dan bau tubuh Koay Ji, monyet itu kelihatannya terkejut. Matanya yang tadi bersahabat dan simpti dengan Koay Ji, berubah menjadi sangat HORMAT dan segera terlihat dalam upayanya memberi salam dan hormat. Bahkan dia sudah hendak menjatuhkan diri untuk menyembah di hadapan Koay Ji jika tidak ditahan terlebih dahulu dan kemudian diangkat hingga dia bisa kembali berdiri di atas kedua kakinya.
"Hahahahaha, ternyata si Kelabu sungguh senang dengan dirimu dan itu tandanya engkau adalah orang baik. Apalagi si Belang dan si Coklat juga tidak terlihat marah dan membencimu,,,, hahahahah engkau orang baik, engkau orang baik,,,," teriak si pemuda dogol dengan senang dan terlihat sangat gembira. Ada beberapa saat dia berteriak kegirangan seperti itu sebelum akhirnya dia berhenti dan kemudian terlihat heran dan akhirnya bertanya:
"Accchhhh, tapi aku disuruh menunggu seorang yang setengah tua, tetapi mengapa engkau yang justru datang, anak muda yang masih bau kencur" Kemana mahluk bernama Thian Liong Koay Hiap yang katanya sangat hebat dan lihay itu" Mengapa belum datang juga.....?" gumam si dogol sambil memandang Koay Ji kebingungan. Bahkan, tak menunggu jawaban Koay Ji dia sudah langsung berkata kembali dalam bahasa untuk diri sendiri
"Accccch, engkau pasti bukan dia. Tapi, engkau sungguh baik,,,,,,, kita harus jadi teman dan boleh bermain-main dengan ketiga pengawalku ini" gumam si Dogol ini menandakan bahwa dia yang bertugas menjemput Koay Hiap tetapi menjadi pusing karena yang datang adalah wujud aslin KOAY JI bukannya dalam wujud Thian Liong Koay Hiap. Karena berpikir demikian, dia kemudian berkata:
"Toako yang, bolehkah engkau membawa aku untuk menemui majikanmu, Jit Yang Sin Sian,,,,,,, ataupun saudara Bun Siok Han sahabatku itu" Adikmu ini memiliki urusan maha penting dengan mereka berdua, bahkan bersahabat baik dengan Bun heng waktu bertemu di kota Cing Peng........"
"Ha,,,,,, engkau malah sudah mengenal Bun Toako dan juga Suhu,,,,, siapa engkau gerangan apa sebetulnya maksud kedatanganmu ke Liong Tam Houw Siat (Gua Naga dan Sarang Harimau) kami ini....?" si Dogol menjadi semakin heran dengan Koay Ji yang ternyata mengenal toako dan suhunya.
"Siauwte adalah sahabat Bun Heng dan kami bertemu di Kota Cing Peng dan Liang Ping. Sebetulnya kami berjanji untuk bertemu disini atas undangan Bu Heng yang ingin memperkenalkan dan memperlihatkan alam yang sangat indah di sekitar Liong Tam Houw Siat (Gua Naga dan Sarang Harimau) kalian ini, katanya tidak ada lagi pemandangan lain seindah daerah ini...."
"Ohhhhh, sahabat toako rupanya. Pastilah engkau orang baik,,, tapi, mengapa toako tidak pernah menceritakan tentang engkau dan tidak memberitahuku bahwa engkau akan datang mengunjunginya....." accccccchhhh, engkau terlihat orang baik, bahkan sangat disukai si Kelabu. Akupun suka kepadamu, tetapi kalau aku membawamu tanpa ijin Suhu, aku bisa kena hukuman. Acchhhhh, bagaimana baiknya ini......?" si dogol menjadi kebingungan dan jadi nyeletuk sendirian.
"Toako yang baik, kutanggung toakomu dan suhumu tidak akan menghukummu. Sebaliknya, mereka pasti justru akan memuji-muji kecerdikanmu, sebenarnya aku memiliki hubungan yang baik dengan Suhu dan juga tentu dengan toakomu yang baik hati itu,,,,,, naccchhh bagaimana.....?" bujuk Koay Ji yang rada kewalahan juga menghadapi si dogol. Dia berharap segera diajak menemui Jit Yang Sin Sian atau Bun Siok Han, apa daya, susah juga menghadapi si Dogol.
"Acchhhh tidak, tidak bisa. Tanpa ijin suhu siapapun dilarang memasuki tempat kami dan tidak boleh memberitahu kami tinggal dimana,,,,,,, tapi, ketiga sahabatku ini juga suka kepadamu, tandanya engkau pasti seorang yang baik. Waaaah, bagaimana baiknya ya,,,,,?" semakin bingung si dogol, semakin bingung juga Koay Ji. Karena bagaimanapun juga diapun tidak ingin menyulitkan si dogol yang memiliki kesan amat baik dimatanya ini. Dia yakin akan kejujuran si dogol, sama yakinnya dengan rasa persahabatan kental yang sudah ditunjukkannya serta dengan kehangatan persahabatannya. Tapi otaknya yang cerdik, pada saat itu bekerja dengan amat cepat. Maka diapun bertanya:
"Menurut toako dan suhumu, bagaimana cara orang sepertiku untuk dapat masuk dan menemui mereka kedalam,,,,,,?"
"Hmmmmmm, jika seseorang dapat mengalahkanku, melewati ketiga sahabatku, maka orang itu pasti bisa masuk,,,,,, tapi, engkau bisa terluka atau tewas jika sampai menghadapiku dan ketiga sahabatku yang besar-besar ini. Dan aku juga tidak menginginkannya, karena sudah kuyakin, engkau pasti orang yang baik,,,,,,," ujar si dogol dengan ragu dan tetap saja bingung.
"Jika memang demikian, siauwte akan mencoba jalan yang engkau katakan itu toako dan jangan engkau takut, aku tidak akan tewas di tangan sahabat-sahabatmu. Boleh aku menempuh jalan itu.......?" tanya Koay Ji ragu
"Engkau mau melawanku dan ketiga sahabatku,,,,,,," Tentu saja boleh, tetapi aku sungguh tidak tega melukaimu, lebih tidak tega lagi jika ketiga sahabatku sampai mengoyak tubuhmu yang lemah itu,,,,,, accch janganlah......." tolak si dogol karena sayang dan tidak sampai hati
"Yakinlah toako, aku akan baik-baik saja, tidak akan sampai terluka atau apalagi sampai terbunuh. Asalkan toako yang terlampau berat menyerangku,,,,, bagaimana menurut pertimbanganmu toako,,,,?" tanya Koay Ji hati-hati
"Accchhhhh, engkau benar. Aku bisa menyerangmu asal-asalan, tetapi masalahnya aku kurang mampu bertindak asal-asalan.,,,,,,,"
"Aku bisa mengingatkanmu toako,,,,,,"
"Tapi, jangan salahkan jika aku melukaimu ya,,,,, karena engkau baik kulihat,,,"
"Pasti akan kuingatkan toakom,,,,,,,,"
"Accch, bagus jika begitu. Tapi engkau harus hati-hati ya, jangan sampai terlanggar pukulanku dan termakan kuku dan taring sahabat2ku nanti,,,,,"
"Jangan takut toako, aku akan sangat berhati-hati,,,,,,"
"Baiklah, mari kita mulai jika memang engkau mendesak,,,,,"
Koay Ji kemudian bersiap dan menunggu serangan si dogol, tetapi setelah demikian lama, si dogol tetap saja tidak menyerang meski sudah dalam posisi siap bertempur. Setelah lama saling menunggu, Koay Ji jadi keki sendiri karena keduanya sudah dalam posisi siap berkelahi tetapi tidak ada diantara mereka berdua yang memulai untuk menyerang. Akhirnya diapun bertanya:
"Kenapa tidak segera menyerang toako,,,,,?"
"Akupun menunggu engkau menyerang, karena kalau aku menyerang berarti sama dengan aku yang mendesakmu. Engkau yang harus menyerangku,,,," berkeras si dogol dan membuat Koay Ji merasa lucu berbareng dongkol.
"Baiklah, jaga seranganku toako,,,,,,,"
Karena sudah mengetahui tingkat kepadaian Bun Siok Han, maka Koay Ji mengukur kekuatan serangannya agar tidak terlampau berat bagi si pemuda dogol yang dalam pikirannya adalah adik seperguruan Bun Siok Han. Dugaan Koay Ji memang tidak meleset jauh, pemuda dogol ini adalah murid bungsu Jit Yang Sin Sian dan memang benar adalah adik seperguruan Bun Siok Han. Tetapi yang dia keliru sangka adalah, jika kepandaian dan terutama kekuatan gwakang si dogol sangat jauh meninggalkan suhengnya. Inilah disebabkan latar belakang dan sejarah hidup si dogol yang memang amat aneh dan luar biasa. Boleh dibilang gwakangnya adalah karunia alam dan bukanlah sebagian besar sebagai hasil latihannya. Itu sebabnya Koay Ji sampai terdorong hingga 3 langkah ke belakang baru dapat tenang kembali akibat dorongan tenaga kasar atau tenaga luar si dogol yang luar biasa kuatnya. Dan ini juga mengagetkan si dogol yang langsung berkata:
"Accchhhh, sudahlah, engkau orang baik. Aku tidak ingin melukaimu, sebaiknya engkau pergi meninggalkan tempat ini. Besok-besok, senang aku jika dapat bermain denganmu lagi di sekitar tempat ini,,,,,,,,"
"Toako, jagalah aku belum kalah,,,,,,,," sambil berkata begitu Koay Ji mulai bersilat dengan gaya berbeda dan dengan kekuatan yang juga berbeda. Dan ternyata, benar hebat, begitu benturan kembali terjadi, Koay Ji sudah mampu mengimbangi karena berbarengan dia menotok dengan totokan khasnya. Apalagi jika bukan Ilmu Ci Liong Ciu Hoat (Ilmu Mengekang Naga), satu Ilmu totok yang amat mujijat dari Kitab Mujijat Pat Bin Ling Long. Dan akibatnya, si dogol yang kini jadi terdorong ke belakang karena kekuatan besarnya dapat dielakkan oleh Koay Ji, sementara satu totokan ringan Koay Ji memakan daerah lengannya. Tetapi, dengan hanya meringis sejenak, si dogol kini balik menyerbu secara liar meskipun terlihat jika dia bergerak dengan formula jurus tertentu.
Tidak salah lagi, gerak dan jurusnya jelas adalah aliran perguruannya yang sudah digubah menjadi lebih tepat dengan karakter dan dengan kepribadian si Dogol. Tapi sayang, Koay Ji dapat melihat jika gerak dan jurus-jurus si Dogol masih belum lagi tersusun secara baik. Meski demikian, Koay Ji dapatlah memastikan, di kalangan perguruannya saat ini, baik suhengnya maupun bahkan dirinya sendiri, pasti tidak akan mampu menandingi kemampuan dan kekuatan gwakang sutitnya yang satu ini. Gerakannya kuat dan gesit, kekuatan gwakangnya sangatlah mengagumkan bahkan mengherankan karena seperti tidak normalnya manusia. Daya kekebalannya sangat hebat dan kuat hingga Koay Ji mengaku sangat sulit untuk dapat mengalahkannya dengan mudah. Tetapi dalam kekuatan iweekang Koay Ji menang amat jauh atau menang amat mutlak, selain juga variasi jurus-jurus serangan serta ilmu totokan mautnya banyak membantunya. Bukan saja membuatnya mengurangi serangan si dogol, tetapi juga memundurkannya sekaligus mendorongnya hingga berapa langkah mundur dan menyakiti si dogol.
Dan akibatnya sungguh hebat. Beberapa kali Koay Ji menotok dan menampar si Dogol, tetapi pemuda itu hanya meringis sebentar untuk kemudian kembali maju menyerbu dengan ganasnya. Hal ini membuat Koay Ji merasa sulit, karena untuk dapat mengalahkan si dogol, dia perlu mengerahkan kekuatan iweekangnya supaya mampu menembus kekuatan gwakang dan terutama daya kebal lawan yang amat mujijat. Karena sekuat apapun pukulannya saat itu dengan kekuatan iweekang yang semakin meningkat, hanya dapat membuat si dogol sedikit meringis dan kemudian maju kembali untuk menerjangnya. Sementara jika menotoknya, entah bagaimana susunan jalan darah si pemuda dogol itu, karena nyaris tidak pernah totokan itu melumpuhkannya. "Masakan aku harus membuatnya merana dengan kekuatan pukulan yang hebat.....?" desis dan timbang Koay Hiap dalam hati mengetahui betapa sulitnya si dogol dikalahkan. Dia sungguh penasaran tetapi tetap tidak berniat turun tangan kejam.
Bukan apa-apa, kekuatan gwakang dan daya kebal si dogol benar-benar sangatlah mengejutkan. Kelihatannya bukan sesuatu yang normal. Belum lagi, jalan darahnya seperti tidak mempan ditotok. Masih untung, meski sulit ditotok, tetapi setiap totokan Koay Ji mampu mendatangkan rasa sakit dan perih hingga membuatnya tertahan sepersekian detik untuk dapat melakukan serangan balasannya. Tetapi ada juga sedikit keuntungan Koay Ji, yang mana semakin membuatnya menghayati gerakan mujijat miliknya, yakni Ilmu Langkah Thian Liong Pat Pian (Naga Langit Berubah Delapan Kali). Menghadapi gerakan yang sering serabutan dari si dogol, membuat Koay Ji bisa meneropong kembali dan menyusun sejumlah langkah antisipatif atas gerak-gerik tak terduga lawan. Karenanya, meski kerepotan, tetapi ada juga sisi yang baik dan positif bagi Koay Ji menghadapi serangan-serangan yang serabutan dari si dogol yang bertenaga kasar luar biasa. Perlahan namun pasti dia semakin mampu mengembangkan dan melengkapi serta menyempurnakan ilmu mujijatnya itu. Sehingga meski Tek Ui Sinkay dan juga sutenya sudah ikut menguasai ilmu itu, namun dalam hal keluasan, kesempurnaan dan keluwesan penggunaannya masih jauh lebih sempurna yang dikuasai Koay Ji. Bahkan beberapa variasi langkah baru juga sudah dapat disusun dan diciptakannya selama beberapa saat bertarung sengit dengan si dogol yang mujijat ini.
Menghadapi si dogol yang seperti tidak ada matinya, akhirnya Koay Ji memutuskan menggunakan iweekang mujijatnya terutama untuk menguras staminasi dogol. Maka tidak berapa lama, diapun memainkan prinsip-prinsip untuk menempel, menggiring ataupun melontarkan kekuatan pukulan lawan. Maka merekapun kembali bertarung dengan keuletan dan kekuatan yang luar biasa. Tetapi, semakin lama semakin Koay Ji jadi kagum dan menjadi semakin tidak mengerti, karena kekuatan gwakang yang besar luar biasa dari si dogol seperti tidak ada putus-putusnya. Selain berani adu kekuatan dengannya, diapun tidaklah takut mengumbar kekuatannya meski banyak pukulannya yang meleset atau melenceng. Meskipun demikian, si dogol tidaklah mengendur perlawanannya, justru dia semakin gembira karena memang jarang dia dapat bertarung demikian lama dengan tidak dapat segera menjatuhkan lawannya. Sebaliknya penasaran, justru dia sering terkekeh-kekehlah gembira.
Padahal, Koay Ji sendiri ketar-ketir menghadapinya. Dia harus mengerahkan tenaga dalam dengan takaran besar untuk dapat menembus daya kebal lawannya yang terkesan bodoh itu. Karena meski sudah berusaha menembusnya dengan kekuatan sebesar setengah bagian, tetapi dia tetap saja tak mampu melukai dan membuat si dogol jatuh dan kalah. Sebaliknya, kekuatan tenaga raksasanya seringkali membuat Koay Ji bergidik karena seakan kekuatan itu terus menerus mengalir tanpa henti. Kuat dan kasar mendorongnya dan membutuhkan banyak kekuatan iweekang untuk dapat menetralisasinya. Padahal, beberapa kali dan sudah tak terhitung banyaknya dia menggiring serta kemudian melontarkan kekuatan pukulannya. Tetapi sekian lama justru si dogol makin bertarung dengan penuh semangat dan penuh rasa gembira karena berjumpa lawan yang kuat, alot dan belum dapat ditundukkannya. Bahkan lebih banyak ruginya pula.
Memang sudah berkali kali dia merasa disakiti pukulan-pukulan dan sentilan totokan Koay Ji, sementara untuk sekedar menyentuh Koay Ji dia sama sekali tidak mampu melakukannya. Bahkan berkali-kali dia terlontar pontang-panting hingga berguling-guling akibat terbawa kekuatannya yang dilontarkan atau digiring Koay Ji. Atau juga berkali-kali dia meringis kesakitan karena terkena pukulan ataupun totokan Koay Ji yang sering tak mampu dia antisipasi dan tidaklah mampu dia ketahui darimana datangnya. Tetapi, begitupun, tetap saja dia terus bangkit, terus terkekeh-kekeh dan kemudian menyerang Koay Ji. Hebatnya, kekuatannya tidka berkurang, kecepatan juga sama saja, cepat, alot dan gesit. Bahkan dia mempertunjukkan gaya bertarung ala monyet yang lebih menarik, lebih variatif, meski tanpa dukungan daya iweekang yang baik dan memadai. Koay Ji merasa tertarik dan terus memancingnya bertarung dengan gaya tersebut untuk maksud mempelajarinya dan mengembangkannya sendiri menjadi jurus-jurus baru kelak.
Dan pada akhirnya, apa boleh buat, Koay Ji meningkatkan kekuatan iweekangnya sampai tujuh bagian besarnya dan dapat dibayangkan kehebatannya dengan tingkat kepandaian Koay Ji sekarang ini. Si dogol menjadi sulit mendekatinya, meskipun tiba-tiba Koay Ji sendiri menyadari bahwa kekuatannya belum sepenuhnya kembali setelah mengobati Kat Thian Hong. Benar, dia sudah memanfaatkan Guci Perak dan yakin dengan khasiatnya, tetapi dia belum cukup menghimpun kembali tenaga iweekangnya yang terkuras banyak mengobati Kat Thian Ho. Begitupun, dia melihat upayanya mendatangkan hasil, meski dia tetap saja tidak tega untuk menyakiti dan memukul si dogol sampai terluka. Tetapi, setiap sentilan dan juga totokannya kini mendatangkan rasa sakit dan rasa menyengat yang membuat si dogol mulai kesulitan. Bahkan kini dia mulai jeri. Ketika terakhir kali dia terlontar jatuh, tiba-tiba si Coklat dan si Belang meloncat ke sisi kiri dan kanan si dogol, sementara si Kelabu berdiri dengan ragu di belakang mereka bertiga. Tetapi, belum lagi mereka bertiga atau tepatnya berempat menyerang Koay Ji secara bersama, tiba-tiba:
"Siang ji, mundurlah,,,,,, bawa si Kelabu, Belang dan Coklat menyingkir. Dia masih bukan lawanmu,,,,,,,,, dan selain itu, dia justru orang sendiri,,,,,,," sambil berkata demikian, tak lama muncul disana dua orang yang berjalan perlahan memasuki arena. Mereka tak lain adalah Bun Siok Han bersama seorang tokoh yang nampak berwibawa, berambut panjang yang terurai dan mulai memutih. Tetapi, wajahnya mengingatkan Koay Ji wajah suhunya, karena sangat tenang, penuh wibawa dan menggambarkan seorang tokoh yang bijaksana dan berkarakter.
"Acccch, toako, suhu,,,,, saudara muda ini sungguh-sungguh hebat dan dia sangat baik. Dia pantas menjadi sahabat,,,,, sayang suhu melarang siapapun untuk dapat memasuki lembah dan gua tempat tinggal kita,,,," si dogol memberikan laporan yang membuat Koay Ji kaget. Dia bukannya menuduh atau menyudutkannya, tetapi tetap saja memujinya baik dan pantas menjadi sahabat, saat si dogol melapor kepada suhunya dan toakonya yang baru datang itu. Tetapi, Koay Ji sendiri sudah tahu jika saat itu dia sedang berhadapan dengan orang yang sedang dicarinya, yakni berdua Bun Siok Han dan juga Toa Suhengnya sendiri. Karena itu, diapan dengan segera menjumpai Jit Yang Sin Sian (Dewa Sakti Jit Yang) Pek Ciu Ping, tokoh tua itu, bahkan dengan cepat dan segera dia berlutut mirip atau sama dengan jikalau dia menjumpai suhunya sendiri dahulu. Dan sambil berlutut diapun berkata dengan suara penuh rasa haru:
"Tecu Koay Ji menemui toa suheng Jit yang Sin Sian..... dan mohon maaf atas keterlambatanku karena masih harus mengobati anak murid Bu Eng Ho Khouw Kiat (Si Rase Tanpa Bayangan) yang terluka amat parah karena bertarung dengan musuh-musuhnya dari Persia dan Hong Lui Bun,,,,,,"
Tetapi, sebelum tokoh itu menyambut dan menjawab perkataan Koay Ji barusan serta membangunkannya, dia terlebih dahulu melirik kedua muridnya, Bun Siok Han dan Bun Kwa Siang. Dan kemudian berkata dengan suaran lembut namun mengandung perintah yang cukup tegas:
"Han Ji dan juga engkau Siang Ji, pergi dan segera kembali ke gua kita, suhumu sebentar lagi akan segera menyusul. Dan engkau Siang Ji, bawalah ketiga kawan baikmu itu, karena sekarang kita tidak perlu lagi menjaga pintu masuk ke lembah dan gua kita untuk malam ini,,,,,,,"
Bun Siok Han sempat melirik Koay Ji yang masih belum begitu dikenalnya. Tapi dalam hati dia bergumam: "Masih sangat muda, tapi benarkah dia adalah "Paman Guruku yang terkecil?". Tapi karena saat itu suhunya sendiri sudah menyuruhnya pergi, maka tak ada kesempatan baginya untuk bertanya mencari tahu lebih jauh lagi. Apa boleh buat, dia memandangi adiknya serta ketiga hewan peliharaan dan kawan baik adiknya itu, dan tidak lama mereka sudah berlalu dari situ. Terlihat jelas betapa si dogol sangat menghormati kakaknya dan terutama suhunya, si pertapa yang kini sudah menghadapi Koay Ji dan sedang mengamatinya dengan teliti. Seakan ingin menjenguk kedalaman hati Koay Ji lewat pandangan matanya yang amat tajam menusuk itu.
"Hmmm, sudah kuduga engkau pastilah siauw suteku,,,,,, naccch, sekarang engkau bangunlah Koay Ji. Insu memang sudah mengirimkan suratnya kepadaku, bahkan para sute sudah berada di gua tempat tinggalku. Konon engkau akan datang dalam samaran sebagai Thian Liong Koay Hiap, tetapi entah mengapa engkau datang dalam wujud aslimu untuk datang menghadapku.....?"
Sambil berdiri dengan perlahan, dan dengan sikap sangat menghormat bagaikan menghormati suhunya sendiri, Koay Ji segera berkata dengan suara perlahan sambil memandangi wajah toa suhengnya itu meski dalam hati dia bergumam "sungguh banyak mirpnya dengan Suhu":
"Acccch, kisahnya cukup panjang dan rumit toa suheng. Semua berawal terutama ketika tecu menemukan kesulitan saat harus menolong kesulitan para suheng di kuil Siauw Lim Sie. Dan kebetulan secara bersamaan, juga harus menghadapi murid Lam Hay Sinni, dan semua itu membuat tecu dengan amat terpaksa mengenakan topeng dan berubah menjadi Thian Liong Koay Hiap. Siapa tahu, ketika dalam samaran sebagai Thian Liong Koay Hiap tersebut, tecu ternyata mengalami banyak sekali kejadian susul menyusul dan akhirnya lebih dikenal sebagai Thian Liong Koay Hiap. Dan paling akhir, untuk membantu keperluan Sam Suheng sebagai Bengcu Tionggoan, beliau meminta tecu untuk sementara tetap saja menampilkan diri sebagai Thian Liong Koay Hiap. Hanya saja, ketika datang untuk menemui Toa Suheng yang selalu dipujikan Insu, rasanya amat tidak sopan untuk datang bertemu dalam wujud yang berbeda. Karena itu, tecu memutuskan untuk datang dengan wujud asli sebagai Koay Ji,,, tecu merasa akan kurang menghormati toa suheng jika datang sebagai Thian Liong Koay Hiap. Maafkan tecu, toa suheng,,,,,,"
Mendengar penjelasan Koay Ji dengan bicara yang tak putus-putus, jernih dan juga menggambarkan ketulusan hatinya, Jit Yang Sin Siang - Pek Ciu Ping nampak menarik nafas panjang. Mau tidak mau dia haru mengakui betapa sopan serta juga spontannya siauw sutenya ini, dan rasa hormat kepadanya selaku TOA SUHENG tidaklah disembunyikannya. Bahkan ditunjukkannya secara terbuka dan sama sekali tidak nampak dibuat-buat. "Bagaimana Insu menemukan bocah muda yang begitu sopan, menghormat, tetapi amat tahu diri ini....?" tapi dia berkata melalui mulutnya apa yang dia rasakan:
"Hmmmm, Insu sungguh tepat menggambarkan keadaanmu siauw sute. Dan surat Sam Sute juga tidak jauh berbeda dalam memberikan gambaran yang jelas tentang keberadaanmu. Dapat kubayangkan Insu pasti akan sangat bangga dengan dirimu siauw sute, dan bisa kupastikan soal itu. Kuharap engkau terus berlaku seperti saat ini, tidak menjadi sombong, terus rendah hati dan menjaga nama besar Suhumu dan keluarga besar perguruanmu....."
"Tecu mengharapkan petunjuk dan bimbingan toa suheng lebih jauh lagi, apalagi setelah Insu memutuskan untuk menutup diri selama-lamanya......" jawab Koay Ji sambil memandang penuh harap wajah toa suhengnya.
"Siauw sute, urusan kita sesama saudara seperguruan tiba-tiba menjadi teramat banyak dan membutuhkan kesiapan kita semua. Tetapi, marilah kita masuk ke tempat tinggalku, karena perguruan kita sepertinya akan mengalami hal yang amat mengguncangkan. Juga akan merembet ke tugas Sam Sute selaku Bengcu Rimba Persilatan Tionggoan. Insu hanya mengingatkanku satu hal melalui suratnya, tetapi konon engkau akan membawa sesuatu yang akan membuktikannya, tetapi sampai saat ini terus terang saja, aku belum cukup memahami sepenuhnya. Maka, mari kita menemui para sute dan membicarakannya,,,,,,"
"Baiklah toa suheng, sutemu menurut saja......."
Sambil berjalan beriringan dengan Koay Ji yang merasa agak jengah namun amat senang dan gembira, mengikuti toa suhengnya dan merekapun mulai memasuki lembah. Koay Ji merasa amat gembira karena diperlakukan selayaknya dan seperti menemukan keluarganya sendiri, tempat dimana dia boleh bersandar dan tempat dimana dia diperlakukan sebagai orang atau figur yang punya makna. Hal yang sudah tentu membuatnya merasa menjadi seperti selayaknya manusia normal dan membangkitkan semangat mudanya yang bergelora.
Keluarga, meski banyak orang mengetahuinya namun jarang memaknainya, adalah orang-orang sekaligus suasana. Manusia yang menjadi keluarga kita, belum tentu akan sama-sama membentuk sebuah unit bernama keluarga yang mampu membuat semua yang terhisap dan termasuk didalamnya merasa aman, merasa disayangi, merasa dihormati, merasa punya makna. Keluarga dalam artian tersebut mestilah terbangun dengan pemahaman, penyerahan diri dan kepentingan, rasa hormat dan rasa menghargai yang lainnya. Maka akan terbentuk sebuah suasana yang sulit untuk digambarkan dengan kata-kata namun dapat dengan jelas dirasakan dan juga dihidupi. Suasana itu akan membentuk keluarga sebagai tempat perlindungan, satu tempat yang akan selalu dirindukan anggotanya, sebuah suasana yang membangun dan mendidik seseorang menjadi manusia yang memiliki makna dan arti. Semua yang berada dalam dan menjadi bagian keluarga seperti itu akan memiliki tempat terakhir yang susah direbut orang lain. Karena disana selalu terdapat rasa aman, rasa dihargai dan rasa dimiliki dan memiliki serta punya makna sebagai manusia, tidak akan mudah dirusak orang. Suasana seperti inilah yang selalu membuat siapa saja yang memiliki keluarga (orang dan suasana) akan teringat untuk PULANG saat dimanapun dia pergi mengembara maupun bertugas. Pulang ke tempat dimana dia merasa aman, nyaman dan dimiliki serta memiliki.
Perasaan seperti itu masih belum dimiliki oleh Koay Ji. Tetapi, kini, berjalan bersama Toa Suhengnya yang menerimanya dengan hangat, yang memperlakukannya layak sebagai anggota keluarganya, mendatangkan rasa hangat tak terhingga dalam hati serta sanubarinya. Itulah sebabnya Koay Ji berjalan layaknya "manusia sejati", dimana dia merasa sudah memiliki "keluarga" dalam artian di atas. Saat dia merasa disokong, dihargai, memiliki arti dan dipandang penting oleh bagian keluarga lain di sekitarnya. Kehangatan itu terus membuncah dan membuat Koay Ji dalam waktu yang singkat seperti menemukan kembali kepingan yang belum dia miliki secara penuh dalam perjalanan hidupnya.
"Sute, mari kita masuk.,,,,,,,," suara Jit Yang Sin Sian ini menyadarkan Koay Ji dari lamunan indah yang membuat perasaan dan semangatnya membubung sampai ke angkasa yang tinggi. Mereka sudah berada di pintu masuk sebuah gua yang terlihat masih alami, karena pintu gua itu sungguh tinggi dan besar dengan beberapa jenis tanaman menjuntai ke bawah. Tetapi, liang atau lubang gua yang ketika dia amati lebih teliti memang seperti berbentuk "harimau yang mendongak memandang ke kejauhan. Sungguh hebat.
Ketika memasuki gua tersebut, Koay Ji menjadi tersentak kaget, karena didalamnya bagaikan siang hari dan ramai dengan cahaya. Ruangan dalampun cukup lebar dan luas, bahkan tingginya dua kali lipat dari pintu masuk gua sehingga menciptakan satu perasaa yang lega dan luang. Dalam ruangan tersebut dia bertemu dengan Bun Siok Han dan Bun Kwa Siang, tetapi tanpa ditemani oleh ketiga hewan peliharaan dan sekaligus kawan dekat Bun kwa Siang. Ketika mereka masuk, serentak Bun Siok Han dan Bun Kwa Siang menyapa:
"Suhu, Siauw Susiok,,,,,,,,,"
Jit Yang Sin Siang mengangguk ke arah kedua muridnya dan kemudian berkata dengan suara lembut dan perlahan:
"Han Ji, Siang Ji, suhumu memiliki urusan penting dengan beberapa orang susiok kalian yang sudah berkumpul. Jangan sekali-kali kalian berusaha mendekati tempat kami semua bertemu, tetapi terus berjaga disini dan jangan biarkan ada tamu memasuki lembah kita......."
"Baik Suhu,,,,," jawab Siok Han penuh hormat, juga meski rada sangsi, tetapi diapun menujukan rasa hormatnya kepada Koay Ji.
"Siang Ji, bawa ketiga sahabat baikmu dan berjaga di luar gua, biarkan toakomu yang berjaga dalam ruangan ini,,,,,"
"Baik Suhu,,,,,," Kwa Siang langsung melesat keluar meninggalkan ruangan untuk mencari ketiga kawannya dan berjaga di luar gua.
Sementara itu, Jit Yang Sin Sian (Dewa Sakti Jit Yang) Pek Ciu Ping sudah kembali berjalan dan kini memasuki sebuah terowongan yang lebih sempit, namun muat dan bisa dilewati seseorang sambil berjalan. Mereka berjalan beberapa saat, bahkan sempat melewati sebuah ruang samadhi dan Jit Yang Sin Sian berbisik kepada Koay Ji dengan suara jernih:
"Siauw sute, disini biasanya suhengmu biasanya bersamadhi, dan kulakukan sudah sekitar 20 tahunan. Atau ada 10 tahun sejak turun gunung menuruti pesan serta amanat Insu untuk membaktikan ilmu yang diajarkannya....." Koay Ji menganguk sebagai responsnya, karena toch Toa Suhengnya tidak berhenti tetapi terus berjalan sampai beberapa saat mereka berbelok ke sebuah ruangan yang lain. Sebuah ruang yang cukup mengagumkan, karena ruang tersebut sebetulnya adalah ciptaan alam yang sangatlah menarik.
Dari ruangan atau tepatnya batas pintu masuk ke gua, ada kurang lebih15 meter panjang dan lebar 10 meter dengan tempat duduk bebatuan yang sepertinya sudah ditata lebih jauh oleh pemiliknya. Tempat itu tepatnya adalah ruangan menjorok karena setelah itu adalah tebing yang meski tidaklah tegak tetapi cukup landai, namun tetap saja pada malam hari dasarnya tidaklah terlihat. Hanya kegelapan yang membentang sejauh mata memandang, jikapun ada sinar yang menerangi tempat itu tidak lebih adalah obor sejumlah kurang lebih 20 yang dipasang di setiap sudut berbentuk setengah lingkaran. Ada sinar yang lain yang bisa ditangkap mata, yaitu sinar bulan yang bercahaya temaram ataupun kunang-kunang yang sesekali muncul bergerombol namun tidak cukup sering.
Ketika memasuki ruangan tersebut, Koay Ji tidaklah terlampau terkejut ketika dia melihat dan menjumpai disana sudah berkumpul keempat kakak seperguruan yang lain. Mereka masing-masing adalah Cing San Khek (Jago Berbaju Hijau) Tiat Kie Bu yang menjadi Ji Suhengnya, kemudian Ci Yan (Walet Ungu) Pek Bwe Li atau yang kini sudah berubah menjadi Pek Sim Nikouw yang merupakan Su Sucinya. Disitu juga nampak Pouw Ci Sui Beng (Jari Sakti Penghancur Nyawa) Siau Ji Po selaku Ngo Suheng dan terakhir Lam San Hong Ie (Bulu Hong Berbaju Biru) Oey Hwa sebagai Liok Sucinya. Yang belum dan memang tidak kelihatan karena justru adalah pengutus Koay Ji adalah Tek Ui Sinkay (Pengemis Sakti Bambu Kuning) Liauw Ji Ang selaku Sam Suheng dan Hoan Thian Ciu (Tangan Membalik Langit) Cu Ying Lun sebagai Chit Suheng.
Begitu memasuki ruangan tersebut, tanpa menunggu lama Koay Ji sudah memberi hormat kepada semua suheng dan sucinya:
"Tecu Koay Ji menjumpai dan memberi hormat kepada semua suheng dan suci yang baik....." dia memberi salam dan hormat dan kemudian menundukkan wajah karena sesungguhnya dia sangat terharu berada di tengah-tengah keluarga besar perguruannya. Bahkan dia nyaris menitikkan air mata karena terharu dan terkenang dengan suhunya yang membimbing dengan ketekunan dan dengan kecermatan yang amat luar biasa.
Menghadapi Koay Ji yang menyapa dan mengormati mereka semua, keempat suheng dan sucinya ikut berdiri menyambut karena Toa Suheng mereka masih tetap berdiri mendampingi Koay Ji. Bahkan seperti ada yang memberi komando, secara serempak mereka berkata:
"Selamat datang siauw sute,,,,,,,,"
Setelah semua saling memberi salam dan kini dapat memandangi wajah asli Koay Ji sute mereka yang paling muda. Dan kebetulan saat itu Koay Ji bukanlah dalam dandanan selaku Thian Liong Koay Hiap, sehingga dapat dikenali wujud aslinya oleh para sunheng dan sucinya. Dan baru beberapa saat kemudian Jit Yang Sin Sian (Dewa Sakti Jit Yang) Pek Ciu Ping angkat suara:
"Para sute dan sumoy, silahkan duduk dan selamat datang di tempatku yang amat sederhana dan jauh dari kemewahan. Secara khusus, selamat datang kepadamu siauw sute. Para suheng dan sucimu beberapa hari terakhir ini membicarakanmu dan sedikit menuduh Insu yang dianggap agak usil dan seakan-akan mengejek kami kami para suheng dan sucimu karena usiamu lebih tepat menjadi anak ataupun cucu bagi kami suheng dan sucimu. Tetapi, tidak ada seorangpun yang menyesalkan kelakuan dan prilakumu sute, kami yang menjadi suheng dan sucimu sungguh-sungguh gembira karena Insu benar-benar mengangkat seorang sute paling muda yang amat sopan dan santun serta menghormati kami suheng, sucimu yang berusia jauh lebih tua dalam banyak segi selain usia. Bahkan kamipun sudah mendiskusikan surat yang dikirimkan baik oleh Sam Sute, Tek Ui Sinkay dan Chit Sute Hian Thian Ciu Cu Ying Lun, maupun surat yang dikirimkan langsung oleh Insu. Semua sudah dijelaskan Insu dalam surat yang ditulisnya untuk semua muridnya, baik menjelaskan tentang keadaanmu selaku siauw sute, juga tentang kewajiban kami semua sebagai suheng dan sucimu....... Nach, sebelum kulanjutkan sebagai Toa Suheng kalian semua mewakili Insu kita, siauw sute, apakah ada sesuatu yang ingin engkau kemukakan kepada kami semua....?" bertanya Jit Yang Sin Sian sebelum melanjutkan untuk memimpin pertemuan antar saudara seperguruan itu.
Koay Ji tersentak kaget, tetapi tidak terlihat perubahan di wajahnya. Beberapa saat dia memang diterpa rasa gugup yang luar biasa, namun pengalaman beberapa waktu terakhir sudah menempanya menjadi lebih tenang dalam merespons keadaan yang sering berubah amat cepat. Apalagi, penerimaan dan suasana bersama semua suheng dan sucinya saat ini sungguh membangkitkan perasaan mesra yang luar biasa dalam dirinya. Karena itu, begitu Toa Suhengnya meminta, dengan perlahan Koay Ji memandang semua suheng dan sucinya dan kemudian berkata dengan nada suara yang lancar dan bahkan dengan gaya bahasa yang cukup menarik serta mudah dipahami semua:
"Para suheng dan suci, sesungguhnya tidak ada sesuatu yang patut dibanggakan untuk kuceritakan. Sebagaimana pasti sudah disampaikan oleh Insu, sejak berusia 5 tahun, tecu dibantu dan diselamatkan Sam Suheng untuk kemudian dibawah kepada Insu dan kelak diangkat menjadi murid yang terakhir. Sejak kecil memang tecu sama sekali tidak tahu dan tidak ingat siapa sajakah keluargaku, bahkan tak ada satupun yang mengendap dalam memoriku. Tetapi, sejak Insu mendidik dan kemudian Sam Suheng dan Chit Suheng begitu menyayangiku, bahkan juga Ji Suheng, Su Suci serta Ngo Suheng dan Liok Suci sama-sama sangat menyayangiku, membuatku merasa sudah punya keluarga sendiri. Itu pula yang dipesankan Insu sebelum tecu turun gunung, yakni agar tecu tidak gelisah dengan soal keluarga karena Insu merasa yakin para suheng dan suci akan dengan senang hati menganggapku bukan hanya sebagai siauw sute, tetapi juga sebagai adik dan bahkan anak bagi mereka. Itu sebabnya, tecu merasa sangat terharu dan merasa sangat senang boleh bertemu dengan para suheng dan suci di tempat toa suheng ini. Bahkan juga Toa Suheng sendiri begitu mempercayaiku dan menerimaku, padahal baru hari ini tecu berjumpa dengan Toa Suheng yang mulia......... mungkin karena itu kelak, sebagaimana Insu memesankan, jikalau ada soal antar saudara seperguruan, maka Toa Suheng yang harus bertugas menjadi wasit dan penengah. Sementara adalah Sam Suheng yang menemukan dan menolongku ditunjuk untuk menjadi waliku. Dan tecu harus banyak belajar soal kebijaksanaan hidup kepada Toa Suheng, dan harus menganggap para suheng dan suci sebagai keluarga tecu sendiri. Itu saja yang ingin tecu sampaikan, terima kasih para Suheng, Suci sekalian...."
Kata-kata yang mengalir dengan lancar, tidak dibuat-buat dan tampilan Koay Ji yang memang mudah membuat orang jatuh kasihan, membuat para suheng dan sucinya ikut merasa terharu. Merekapun sadar dan dengan mudah menerima kata-kata dan penegasan Koay Ji atas apa yang memang benar dimintakan suhu mereka bagi adik seperguruan paling muda ini. Pek Sim Nikouw dan terutama Oey Hwa sudah sejak mulai berkata-katanya Koay Ji, terus saja memandangi anak muda itu dengan mata nyaris basah. Mereka sangat bisa merasakan kesedihan seorang Koay Ji yang tidak mengetahui dimana dan siapa sajakah gerangan keluarga-keluarga terdekatnya. Ayahnya, ibunya, keluarga besarnya dan hal-hal terdekat yang dimilikinya pada saat kelahirannya. Bahkanpun, siauw sute mereka itu tidaklah mengetahui nama aslinya sendiripun dan tidak atau belum mengetahuinya sama sekali serta tak ada satupun petunjuk untuk ditelusuri. Bagaimana cara melacaknyapun pastilah bukan pekerjaan yang akan dapat dilakukan secara mudah. Karena kemana harus mencari orang yang tak dikenal di luasnya dunia ini".
"Baiklah siauw sute,,,,,, engkau sudah mengenal kami semua sebagai suheng atau juga sucimu. Tidak ada seorangpun yang keberatan untuk menjadi walimu kelak, bukan hanya Sam Suhengmu yang pasti amat bersedia, bahkan semua suheng dan sucimu pasti bersedia untuk itu. Kuharap engkau tidak berlaku sungkan terhadap kami semua, dan untuk engkau ketahui, meskipun kami semua tinggal berjauhan, tetapi kami semua terus saling menjaga kekeluargaan dan saling memberi kabar satu dengan yang lainnya. Untuk urusan keluarga perguruan kita, kelak bukan persoalan yang amat sulit karena memang perasaan sebagai satu keluarga, kami jaga dengan erat dan selalu saling menyayangi dan menghormati,,,,,," demikian Jit Yang Sin Sian menjelaskan dan menegaskan kata-kata yang dikeluarkan oleh Koay Ji barusan. Hal yang diiyakan dan dianggukkan oleh semua sumoy dan sutenya, termasuk juga oleh Koay Ji yang sedikit banyak sudah memperoleh gambaran tentang hal itu. Tentang persaudaraan para suadara seperguruannya.
Jit Yang Sin Sian berhenti sejenak untuk memandangi wajah dan mata semua sute dan sumoynya, dan setelah beberapa saat, akhirnya terdengar dia kembali bersuara untuk hal yang lain. Hal yang justru sangat penting dan harus mereka percakapkan sebagai satu keluarga perguruan:
"Para Sute dan Sumoy,,,,, pertemuan kita malam ini merupakan pertemuan awal sesama saudara seperguruan. Tetapi, pertemuan ini akan menentukan apakah kita akan kembali bertemu bahkan secara lengkap dengan meminta kehadiran Sam Sute dan Chit Sute ataukah tidak. Siauw Sute, dalam surat yang ditulis oleh Insu memang menyinggung tentang satu persoalan yang mengganjal dan bisa membuat semua kehidupan normal kita selama ini berubah total. Sebagai sebuah contoh, bukan tidak mungkin kehidupanku yang tenang selama ini akan berubah seratus delapan puluh derajat. Hal yang sejujurnya tidak ingin kulakukan, tetapi demi kepentingan bersama kita selaku satu perguruan, mau tidak mau tetap harus kulakukan. Siauw Sute, untuk tidak terlampau menghabiskan waktu dalam bercakap-cakap seperti ini, maka biar kukatakan saja apa yang dituliskan oleh Insu,,,,,,,,, menurut dia orang tua, engkau akan membawa sesuatu yang perlu kuuji dan jika memang terbukti, maka aku akan menceritakan secara ringkas satu kisah tua dan sudah dilupakan banyak orang. Tapi mari kita mulai dengan sesuatu yang mungkin engkau bawa itu......"
Jika Tiat Kie Bu dan Pek Sim Nikouw memandangnya dengan penasaran, maka Siau Ji Po dan Oey Hwa nampak tenang-tenang saja karena sepertinya memang sudah tahu. Awalnya Koay Ji sendiri juga tercengang dan kaget, bagaimana bisa Suhunya yang jauh di Thian Cong San mengetahui apa yang akan dan sedang terjadi di Kiu Boa San ini" atau apa yang dikerjakannya selama di Kota Liang Ping dan Cing Peng" Tetapi meski dia bertanya-tanya, Toa Suhengnya sudah berbicara tentang hal tersbut. Dan memang, merupakan salah satu tujuannya menuju Kiu Boa San justru adalah untuk bertanya kepada sang Toa Suheng tentang sebuah benda yang dia tahu menyimpan rahasia besar. Karena berpikir demikian, maka Koay Jie kemudian berkata sekaligus bertanya:
"Toa suheng dan para suheng, suci, sebetulnya kehadiran tecu disini adalah selain memberitahu maksud dan undangan Sam Suheng, juga sekaligus ingin melakukan dua hal lainnya. Karena menurut Bun Siok Han Sutit bahwa Toa Suheng sedang dalam keadaan sakit parah, maka ingin sekali tecu memeriksa dan mengobati Toa Suheng. Karena obat mujijat yang kukirimkan melalui Toat Suheng hanya berfungsi untuk memperkuat daya kemampuan toa suheng untuk sebulan, jika tidak diobati lebih jauh maka penyakit itu akan bisa datang kembali dengan lebih kuat dan lebih parah lagi. Penyakit Toa Suheng sendiri belum lagi dapat kupastikan apa, tetapi dari pendengaranku melalui kisah Bun Sutit, kemungkinan besar bersarang di tan tian atau tersumbatnya sejumlah jalan darah penting. Harus kulakukan penelitian lebih jauh secara langsung untuk memastikan dugaanku dan baru dapat mengobatinya secara tuntas...." Koay Ji berkata dengan suara jernih dan dapat dimengerti semua orang, termasuk terutama Toa Suhegnya.
"Hmmmm, terima kasih atas perhatianmu Siauw Sute, keadaan dan kondisiku yang sakit memang benar, setelah memakan obatmu rasanya banyakan lebih baiknya. Tetapi, sesekali memang masih terasa ada sesuatu yang sangat-sangat tidak menyenangkan, namun mengetahui engkau akan datang membuat sudah membuat Toa Suhengmu merasa sangat tenang saat sejak saat itu. Apalagi setelah kini engkau sudah datang. Tetapi, persoalan kesehatanku dapat kita tunda lebih dahulu pembahasannya, karena bila memang benar, maka masalah terakhir yang ingin engkau ketahui, sangat erat bersangkutan dengan sebuah sejarah besar yang akan melibatkan kita semua. Tetapi, masalah besar itu justru tidaklah diketahui orang orang Rimba Persilatan Tionggoan......."
"Baiklah Toa Suheng, terserah kebijaksanaan Toa Suheng sajalah. Hal kedua yang membuatku penasaran bertemu Toa Suheng adalah mengenai sebuah benda yang pernah kubaca dalam sebuah Kitab Pusaka yang berusia sudah amat lanjut dan juga ditulis dalam bahasa asing, yakni bahasa sansekerta. Nama pusaka itu adalah Guci Perak, Gin Cui Ouw. Pusaka ini jarang sekali dikenal di Tionggoan karena memang aslinya adalah pusaka dari Negeri Thian Tok dan entah bagaimana, Toa Suheng mengetahui rahasia pusaka tersebut menurut penuturan Bun Sutit. Padahal dalam pengetahuanku, benda tersebut belum munculkan dirinya di Tionggoan, tapi atas kisah Bun Sutit, tecu merasa curiga, jangan-jangan Toa Suheng mengetahui kisah lebih jauh tentang pusaka itu. Itulah sebabnya benda itu kupinjam dari Hek It Kaucu, tetapi entah mengapa tiba-tiba Kaucu itu justru menghadiahkannya kepada tecu dan benda itu sekarang berada di tanganku.... Apakah benda itu benar Guci Perak yang mujijat atau tidak, sungguh menggelisahkanku, karena tidak atau belum ada kisah benda itu masuk ke Tionggoan, sementara benda yang ditanganku, sudah bisa kupastikan adalah GUCI PERAK"
"Haaaa,,,,, benar-benarkah engkau memiliki benda itu Siauw Sute,,,,,,?" tanya sang Toa Suheng, Jit Yang Sin Sian dengan kening berkerut. Terkejut entah senang entah gelisah, entah apa perasaan yang terkandung dalam hatinya sesungguhnya. Koay Ji sulit menafsirkannya.
Tanpa berbicara panjang, Koay Ji kemudian mengeluarkan benda kecil, sekecil kepalan orang dan berbentuk sebuah guci kecil. Tetapi, yang membuat Koay Ji dan juga para suheng dan sucinya kaget adalah, guci kecil itu bersinar perak dan dalam pandangan Koay Ji jauh lebih gemilang ketimbang pertama kali memegang dan juga menerima guci tersebut. Untuk memastikannya, diapun meneliti ulang guci kecil itu dan mendapati, betapa bersihnya dan betapa gemilangnya warna guci itu sekarang dalam warna aslinya PERAK. Kekagetan Koay Ji beda dengan para suheng dan sucinya, karena dia kaget oleh sebab semakin bercahaya dan semakin gemilangnya warna yang dipancarkan guci itu.
"Toa Suheng, inilah Guci Perak itu......." berkata Koay Ji sambil mengantarkan guci kecil bercahaya perak itu kepada Toa Suhengnya yang menerimanya dengan amat berhati-hati dan memandanginya. Tidak lama kemudian sang Toa Suheng, Jit Yang Sin Sian (Dewa Sakti Jit Yang) Pek Ciu Ping terlihat mengangguk-angguk dan wajahnya berubah agak lebih tegang dari biasa. Hal yang membuat Koay Ji menjadi terperanjat. Ada apa gerangan"
"Toa Suheng, ada apa gerangan.....?" Pek Sim Nikouw yang agak teliti juga menjadi curiga melihat tanda-tanda kurang baik dalam sinar mata Jit Yang Sin Sian ketika tadi mengangguk namun matanya bersinar tegang. Pertanyaan Pek Sim Nikouw menyadarkan semua orang, termasuk juga Koay Ji jika memang benar, ada sesuatu yang menarik dari sikap sang Toa Suheng.
"Toa Suheng,,,,,, bisakah engkau menjelaskan mengapa engkau terlihat sedikit agak tegang ketika memegang Guci Perak itu......?" Siau Ji Po ikut bertanya ketika melihat sang Toa Suheng menggeleng-gelengkan kepalanya.
Mendapatkan pertanyaan dari kedua sute dan sumoynya, Jit Yang Sin Sian terlihat kembali mencoba menguasai dirinya. Pertama dia memandang Koay Ji dan diapun kemudian bertanya dengan suara kembali tenang:
"Siauw Sute, tahukah engkau khasiat dari Guci Perak ini dan caranya untuk dapat memastikan bahwa benda ini asli......?" bertanya Jit Yang Sin Sian langsung kepada Koay Ji dan memuat smeua saudara seperguruan mereka tertarik perhatiannya dan kini balik memandang Koay Ji.
"Toa Suheng, benda ini, Guci Perak ini memiiki khasiat yang luar biasa. Jika air yang direndam sehari dan semalam maka akan dapat memulihkan luka-luka fisik, luka akibat racun ringan termasuk juga mengembalikan kebugaran. Jika direndam dua hari dan dua malam, maka dapat mengembalikan kebugaran karena keletihan melatih tenaga iweekang, bahkan sekaligus juga dapat menyembuhkan iweekang yang terguncang serta luka akibat racun yang agak berat. Dibutuhkan waktu tiga hari tiga malam merendam air dalam guci untuk menyembuhkan luka-luka iweekang yang sangat parah, termasuk gejala tersesat dalam melatih iweekang. Tiga hal ini yang paling penting, karena setelahnya dibutuhkan waktu setengah tahun untuk dapat membantu latihan iweekang, dan waktu setahun untuk mendatangkan efek awet muda. Tentu saja fisik sebagaimana saat meminum air dalam Guci sangatlah menentukan hasilnya, jika seorang nenek meminumnya, maka awet muda yang didapatkannya ada dalam kondisi sebagai seorang nenek, beda dengan seorang Nona yang akan mendapat efek sebagai gadis muda jika meminum air pusaka yang direndam dalam guci ini. Hanya itu yang dapat kukatakan Toa Suheng sesuai dengan apa yang dicatat Kitab Pusaka itu......"
"Accchhhh sungguh hebat jika demikian, tetapi tahukah engkau keaslian dari Guci Perak itu..... dengan kata lain, asli atau palsukah benda itu....?" tanya Oey Hwa yang ikut tertarik mendengar kisah Guci Perak
"Oey Suci, kupastikan Guci Perak ini asli........" tukas Koay Ji
"Apa,,,, engkau berani memastikan Guci itu asli Siauw Sute...." bagaimana engkau berani memastikan Guci itu asli?" tanya Jit Yang Sin Sian kembali kaget dan tegang entah apa sebab dia menjadi tegang.
"Para Suheng dan Suci,,,,, Guci ini kusimpan dalam saku dan dalam keadaan buram dan kotor. Sekali pernah kutunjukkan kepada Siau Suheng dan Oey Suci suami-istri waktu itu, dan jika tidak keliru warnanya saat itu amat rada buram dan sedikit pudar dan jauh berbeda keadaannya seperti sekarang ini. Sekali pernah kucoba untuk membuktikan keaslian benda pusaka ini, yakni merendam air selama semalam untuk menyegarkan fisikku setelah mengobati murid si Rase Tanpa Bayangan. Dan ternyata memang benar, semangat dan keadaan fisikku dapat kembali segar setelah minum air yang direndam semalam dalam guci perak ini......"
Terlihat Oey Hwa dan Siau Ji Po mengangguk-angguk membenarkan kisah Koay Ji. Karena memang merekapun tidak terlampau berminat dengan kisah mengenai Guci Perak itu, meski Koay Ji pernah menunjukkan benda buram dan tidak menarik itu kepada mereka berdua. Melihat keduanya mengangguk tanda setuju, Jit Yang Sin Sian, Tiat Kie Bu dan Pek Sim Nikouw kembali memandang Koay Ji siap sedia untuk mendengar kelanjutan kisah itu. Dan Koay Ji kemudian melanjutkan penjelasannya mengenai Guci Pusaka itu:
"Bukti lainnya yang membuat tecu merasa yakin ini asli adalah, karena saat hendak mengobati cucu Siau Suheng dan Oey Suci, pernah sakuku kecipratan air cukup banyak. Yakni ketika bersama Oey Suheng kami mencari Siput Cangkang Ungu untuk mengobati cucunya yang sakit keracunan. Jubahku waktu itu terkena air cukup banyak, tetapi tanpa setahuku ternyata air merupakan sesuatu yang amat dekat dengan guci itu. Dan baru kuingat, untuk mencuci dan membersihkan guci itu cukup dengan merendam dalam air sekejap saja, dan Guci itu akan membersihkan dirinya sendiri. Begitu menurut Kitab Pusaka yang kuingat belakangan. Namun, pengetahuan itu, khusus mengenai kemujijatan Pusaka ini sebagaimana kukatakan tadi pernah kucoba karena air yang harus direndam haruslah air yang khusus, bukan air yang sudah dimasak, bukan air sungai, tetapi air yang terdapat dalam perut bumi. Air itulah yang dapat berubah atau dirubah menjadi air mujijat oleh Guci Perak dan bukan sembarangan air. Karena itu sudahlah dapat kupastikan jika Guci Perak ini asli dengan khasiat yang kujelaskan berdasar atas tulisan dalam Kitab Pusaka yang kubaca dahulu pada masa belajarku......."
"Hmmmm, cukup jelas jika demikian. Kita semua dapat mengujinya sekali lagi kelak. Tetapi, penjelasan Siauw Sute sudah membuatku yakin jika Guci Perak ini asli, dan jika asli, maka kita harus segera bergegas menuju ke Thian Cong San karena Insu dan kita semua perlu membicarakan sebuah persoalan masa lalu yang terkait dengan perguruan kita, bakan terkait sukong dan juga sukouw kita...."
Mendengar penjelasan Jit Yang Sin Sian yang terakhir, semua tercengang dan kini sadar mengapa Toa Suheng mereka setiap kali menyinggung keaslian Guci Perak itu selalu terlihat tegang.
"Toa Suheng, dapatkah engkau menjelaskan lebih jauh lagi......?" terdengar Tiat Kie Bu yang tadianya lebih banyak berdiam diri, kini justru bertanya dengan nada suara penasaran yang tak dia sembunyikan lagi. Bahkan dia memandang toa suhengnya dengan sorot mata penasaran.
"Hmmm, kalian semua tentu ingin tahu mengapa ini berhubungan dengan perguruan kita bukan. Bukankah demikian para sute, sumoy......?" pertanyaan Jit Yang Sin Sian ini dijawab dengan anggukan kepala oleh semua sute dan sumoynya. Dan karena itu, tanpa menunggu lama Jit Yang Sin Sian melanjutkan penjelasannya:
"Karena Guci Perak ini berhubungan dengan tiga tokoh berkepandaian setingkat Suhu dan mungkin saat ini, Lam Hay Sinni sukow sudah dapat menyusul dan mensejajarkan dirinya menurut ramalan Suhu. Dapat kalian bayangkan jika muncul 3 tokoh setingkat kepandaian Suhu yang kepandaiannya jelas masih mengatasi kepandaian seorang Pek Kut Lodjin bukan" Artinya, mereka bakalan menghadirkan potensi bencana lebih 3 kali lipat dibanding dengan seorang pek Kut Lodjin. Karena mereka bertiga dengan terpaksa dikurung oleh Sukong (Kakek Guru) kita ketika kalah bertaruh, atau tepatnya mereka dapat dikalahkan satu persatu oleh Kakek Guru kita. Kekalahan yang membuat mereka diikat untuk mengundurkan diri dari dunia ramai selama 75 tahun. Tetapi, jika Guci Perak muncul, maka berarti karena kehendak alam mereka bertiga akan munculkan diri karena terbebas dari janji mengundurkan diri selama 75 tahun..... Jika mereka sampai munculkan diri, maka sasaran mereka sudah pasti adalah Thian Cong Pay dan Laut Selatan........ nach, dapat kalian bayangkan masalahnya...?" dan belum lagi semua sute dan sumoynya bereaksi, Jit Yang Sin Sian sudah melanjutkan:
"Khusus untuk engkau Siauw Sute, Insu sudah memesan, bahwa kelak yang akan mewakili SUHU dalam urusan kepandaian silat adalah engkau seorang. Setiap tantangan adu kepandaian yang ditujukan kepada Insu, adalah engkau yang mesti menampilkan diri. Tapi, yang harus memimpin perguruan kita menghadapi ancaman musuh hingga urusan ini berakhir, adalah toa suhengmu ini, atau dengan kata lain, kita semua harus bersatu padu untuk menghadapi ancaman maut atas perguruan kita. Pada saat yang sama, meski kita butuh Sam Sute, tetapi urusan dan tugasnya sebagai bengcu, tidak boleh kita recoki....."
"Ach, toa suheng......" jerit Koay Ji tidak percaya
"Siauw Sute,,,,,,,,, kemampuanmu sudah diketahui kami semua, Insu bahkan tidak menyembunyikan kenyataan ini dari kami semua. Surat Insu menjelaskan soal bakat serta kemampuanmu, juga ketulusan hatimu selama dalam pendidikan Insu. Karena itu, Insu mempercayakan kebesaran namanya untuk engkau pikul dan engkau jaga dengan segala daya dan kemampuanmu. Bahkan menurut Insu, kemampuamu saat menghadiri pertemuan kita hari ini, sudah sedikit melampaui kemampuannya saat mengalahkan Pek Kut Lodjin puluhan tahun silam. Jadi, tidak ada alasan dan tidak ada rasa cemburu dari kami semua para suheng dan sucimu, karena kemajuanmu memang diperoleh secara tidak masuk akal. Terlebih karena Bu Te Hwesio ternyata juga ikut mendidikmu dan secara ajaib membaurkan dua iweekang mujijat kedalam dirimu. Dengan kata lain, engkau sekarang memikul tanggungjawab dari dua nama besar Dewa Tionggoan yang amat sangat dihormati orang-orang itu. Saat ini toa suhengmu dan semua suheng dan sucimu siap mendukungmu, pertama karena Insu meminta ini semua sebagai bakti kami kepadanya. Dan kedua, karena kami semua dapat melihat jelas kesungguhan dan perbuatanmu yang tanpa pamrih, hal yang juga dengan sangat jelas, terang dan tegas sudah dituliskan oleh Sam Suhengmu dan juga Chit Suhengmu......"
"Ach, Toa Suheng, Insu sungguh memberiku pekerjaan yang tak tertanggungkan. Sutemu masih terlampau muda, masih amat kurang pengalaman. Tapi jikapun harus memikul nama besar Insu, pastilah dengan taruhan nyawa akan sutemu lakukan. Toa Suheng boleh katakan apa yang harus kulakukan, maka pasti akan kulakukan dengan penuh rasa tanggungjawab......"
"Siauw Sute, bukan hanya engkau seorang, kita semua menerima perintah Insu, satu satunya perintah yang pernah dia orang tua keluarkan dan itu berarti WAJIB. Karena sebelumnya, belum pernah sekalipun Insu mengeluarkan perintah seperti ini bagi Toa Suhengmu dan bahkan semua Suheng dan Sucimu..... tetapi, menghadapi badai yang berkaitan dengan Guci Perak, ternyata Insu mengeluarkan perintah yang wajib bagi kita semua. Karena itu, malam ini kita akan melakukan persiapan dan dalam dua atau tiga hari kemudian kita semua akan berangkat menuju ke Gunung Thian Cong San. Karena Insu meminta kita semua berkumpul di Markas Perguruan Thian Cing Pay, dekat dengan Gua Pertapaannya. Disana Insu menyiapkan perintah lebih jauh kepada kita semua, dan untuk pertama kalinya Toa Suhengmu yang sudah tua ini akan memimpin semua adik seperguruannya guna menjaga sekaligus memasyurkan nama perguruan kita......"
"Tapi Toa Suheng........ engkau, kondisimu,,,,"
"Aku tahu, engkau pasti mengkhawatirkan kesehatanku..... jangan khawatir Siauw Sute, kita dapat gunakan Guci Perak dan itu adalah tugasmu. Kudengar engkau juga adalah seorang Tabib yang istimewa, maka buat apa lohu memiliki adik seperguruan yang merupakan Tabib Dewa jika menakutkan kesehatan sendiri....?"
Koay Ji menjadi malu sendiri. Padahal kekawatirannya tadi sungguh-sungguh dan bukannya untuk sekedar cari nama atau cari perhatian dihadapan Toa Suhengnya itu. Karena itu diapun berkata:
"Accch, Toa Suheng, engkau sungguh-sungguh mengerjai sutemu ini....."
"Hahahahaha, Siauw Sute, engkau terlampau serius. Mana bisa kami para suheng dan sumoymu khawatir lagi jika memiliki seorang sute dengan kemampuan dalam pengobatan sehebat dirimu....." Toa Suhengmu bukan mempermainkanmu, tetapi menegaskan betapa kami semua kini sangat mengandalkanmu. Engkau sudah boleh menyiapkan obat untuk menyembuhkanku, carilah Siang Ji, karena dia pasti tahu dan akan bersemangat untuk membantumu. Buatnya akan mudah menemukan dimana gerangan mendapatkan air di dalam perut bumi, karena dia memiliki beberapa teman yang bisa menolongnya dengan cepat menemukan air yang berada tepat di bawah goa toa suhengmu ini...."
"Ach, baiklah Toa Suheng...... sutemu akan segera menyiapkannya...." berkata Koay Ji dengan gembira dan begitu Jit Yang Sin Sian mengiyakannya, diapun keluar dari ruangan itu mencari Bun Kwa Siang. Dan begitu Koay Ji keluar dengan gembira hati, Jit yang Sin Siang menarik nafas panjang sambil bergumam dengan didengarkan oleh semua Sute dan Sumoynya:
"Insu sungguh bermata amat tajam, anak ini memang sangat polos. Dan hatinya sungguh amat baik, lihat dia amat memperhatikan keselamatan kita semua selaku saudara seperguruannya. Sam Sute sungguh beruntung, jika masih memungkinkan akupun ingin mengangkatnya menjadi anak angkatku......." desis Jit Yang Sin Sian yang dibenarkan oleh adik2 seperguruannya.
"Acccch, sesungguhnya kamipun sudah menganggapnya seperti anak sendiri Toa Suheng, apa yang dia lakukan untuk cucu kami serta anak menantu kami sangatlah mengharukan. Mati-matian dia menjaga nama baik kami dengan tidak sedikitpun mempermalukan nama besar kami, setelahnya dia memperdamaikan kami dengan semua perguruan di Kota Liang Ping, dan masih datang mengobati cucu dan anak kami. Bagaimana kami tidak jatuh sayang kepada Siauw Sute kita itu....?" berkata Siau Ji Po sambil dibenarkan oleh Oey Hwa.
"Amitabha, Accchhh, biasanya engkau agak pelit untuk mengasihi orang lain Hwa Moi,,,,,, Siauw Sute sungguh beruntung memiliki backing seperti engkau..." berkata Pek Sim Nikouw setengah mengolok.
"Acccchh, engkau Pek Suci, sudah menjadi Nikouwpun engkau masih selalu merasa sentimen denganku... hikhikhik, hati-hati, nanti kelak upahmu di akhirat bakalan akan berkurang sangat banyak....." balas Oey Hwa. Keduanya memang terkenal sangat dekat jika berjauhan dan slaing merindukan, tetapi jika dekat paling gemar saling olok-olokan satu dengan yang lain. Siau Ji Po dan Tiat Kie Bu hanya saling pandang melihat kedua suci dan sumoy mereka kembali ke kebiasaan lama.
Jit Yang Sin Sian membiarkan kedua sumoynya saling ledek untuk mengenang lagi masa-masa lalu dan masa belajar mereka dengan Suhu mereka. Meskipun dia tidak sangat lama tinggal dan berlatih bersama kedua sumoynya seperti Ji Sute dan Su Sutenya karena keburu disuruh turun gunung, tetapi didikan Suhu mereka membuat semua mereka merasa saling sayang dan saling hormat menghormati satu dengan yang lain. Bahkan, ketika mereka masing-masing sudah turun gunung dan mulai menentukan tempat tinggal masing-masing, merekapun mengikuti saran yang oleh Suhu mereka pesankan dengan berkata:
"Jika kalian semua bertahan hidup untuk berdekatan, maka kemungkinan bentrok satu dengan yang lain sangat besar. Tetapi, jika kalian tinggal dan hidup berjauhan, maka kasih antar saudara seperguruan akan terbina dan langgeng, kalian akan selalu saling merindukan. Tetapi, kelak, itu adalah keputusan kalian masing-masing dan sesuaikan dengan tuntutan kehidupan kalian pada saatnya nanti,,,,,,"
Dan memang itulah yang dijalani Jit yang Sin Sian Pek Ciu Ping. Setelah berkelana selama puluhan tahun, dia akhirnya memutuskan diri untuk mengikuti jejak Suhunya menjadi seorang pertapa dengan mengangkat dua orang pemuda menjadi murid pewarisnya. Tepatnya, mengangkat mereka berdua sebagai anak angkatnya, bukan hanya melatih mereka dalam Ilmu Silat, tetapi mendidik mereka dalam tata krama kehidupan yang mengutamakan kegagahan. Begitu juga dengan Tiat Kie Bu dan Pek Sim Nikouw yang punya kisahnya sendiri, serta Siau Ji Po yang memang sudah menjalin kasih sejak lama dengan Oey Hwa. Tetapi kini, mereka semua terhadap panggilan perguruan, harus kembali ke Thian Cong San, bahkan sang Toa Suheng sendiripun memutuskan akan membawa serta Bun Kwa Siang dan Bun Siok Han ke Thian Cong Pay. Untuk sementara Gua tempat tinggalnya akan ditinggalkan dahulu dan kelak akan kembali melanjutkan pertapaannya di tempat yang sudah terlanjur dia sukai dan cintai itu.
"Toa Suheng, bagaimana sebenarnya keadaanmu saat ini....?" terdengar Tiat Kie Bu bertanya kepadanya, karena dialah yang membawa obat mujijat titipan Koay Jie yang waktu itu dalam samaran sebagai Thian Liong Koay Hiap.
"Ji Sute, sejujurnya keadaanku baik-baik saja, tetapi penjelasan Siauw Sute tadi memang tepat sekali. Akupun merasakan betapa keadaan dan pusat pengerahan kekuatanku rada terganggu dan sejak pagi tadi, aku mengalami saat sesekali dimana amat sulit untuk menyalurkan iweekangku. Siauw Sute kita memang bukan orang sembarangan Ji Sute,,,, tak kuragukan itu......"
"Toa Suheng,,, aku tak meragukan siauw sute kita, bahkanpun murid Si Rase Tanpa Bayangan dengan upaya yang tidak main-main sedang dia sembuhkan ketika kami datang kemari. Apalagi engkau yang menjadi Toa Suhengnya, jujur kusaksikan betapa dia sangat gelisah dan ingin secepatnya mengobatimu. Kurasa tanpa Guci itupun dia memiliki keyakinan untuk menyembuhkanmu......"
"Tak kusangsikan penjelasanmu Ji Sute, karena bahkan Ngo Sute sekalipun punya kisah yang sama ketika cucunya disembuhkan. Jika waktu kita panjang, Jie Sute, Ngo Sute, tidak mesti kita buru-buru, kalian tahu sendiri, Insu tidak pernah begini formal dan rumit memberi kita pesan. Bahkan nyaris dia tidak memberi kita perintah untuk perguruan kita, kecuali untuk hal yang satu ini. Itulah sebabnya, tanda hormat kita kepada Insu, kita perlu secepatnya mencapai Thian Cong Pay guna memastikan kita mengerjakan perintah Insu secara cepat dan tepat....."
"Engkau benar Toa Suheng,,,,, kita memang harus cepat mencapai Thian Cong Pay. Entah mengapa, mendapatkan perintah Insu membuat kami suami-istri merasa agak gembira, karena sepertinya kami dapat sedikit saja membayar kebaikan dan budi Insu yang menggunung bagi kehidupan kami......."
Sebulan lebih sudah berlalu sejak Bu San (Koay Ji atau juga Thian Liong Koay Hiap) yang ikut dengan Tek Ui Sinkay pergi meninggalkan Benteng Keluara Cu. Artinya, sudah sebulan lewat sejak perayaan Ulang Tahun tokoh bernama Poen Loet Kiam Kek (Jago Pedang Pengejar Guntur) Hu Sin Kok yang ke 75. Setelah sebulan berlalu, kini tinggal Hu Sin Kok bersama saudara angkatnya Kim Shia (si sesat bercahaya emas) Sam Kun yang masih berada di benteng Keluarga Hu. Selain mereka berdua tentu saja masih tinggal disana sekitar 40-an penghuni Benteng Keluarga Hu yang memang tinggal bersama bekas Bengcu Tionggoan itu. Jika hari-hari sebelumnya Benteng Keluarga Hu pasti ramai dikunjungi tokoh-tokoh dunia persilatan, maka hari hari setelah dia melepaskan jabatan itu, Benteng Keluarga Hu mendadak menjadi lebih sepi dan kini jarang dikunjungi orang.
Bahkan, karena kesibukan untuk menghadapi Bu Tek Seng Pay, Benteng Keluarga Hu banyak ditinggal tokoh-tokoh mereka. Seperti anak Hu Sin Kok sendiri, yakni Hu Sin Tiong yang berjuluk Pat Ciu Thian Cun (Malaikat Tangan Delapan) bersama istrinya yang adalah tokoh Hoa San Pay, yaitu Hoa San Sian Li Kho Sian Lian sudah meninggalkan Benteng untuk bergabung dengan para pendekar. Selain itu, putri bungsunya Hu Wan Li juga keluar berkelana guna mencari suaminya Koay Ciu Su Seng (Si Pelajar Tangan Aneh) Oh Ci Hui yang entah mengapa sudah setahun lebih tidak mengirim kabar. Bahkan dalam acara Ulang Tahun Ayah Mertuanya juga tidak kelihatan batang hidungnya. Karena rengekan anak tunggal mereka, Oh Kun, maka Hu Wan Li turun ke gelanggang dan mengikuti toakonya Hu Sin Tion untuk berkelana sekaligus mencari jejak dimana suaminya berada.
Jadinya yang tertinggal adalah putri keduanya Hu Sian Li dan suaminya Kwee Hok bersama putri tunggal mereka Kwee Lan, kemudian putra tunggal Hu Wan Li bernama Oh Kun, dan kedua anak Hu Sin Tiong, masing-masing Hu Kong dan Hu Lan. Sejak mundur sebagai bengcu, adalah ketiga anak dan menantunya itu yang memang menjadi Pengurus Benteng Keluarga Hu dan yang sekaligus menemani Hu Sin Kok. Selain itu, tentu saja saudara angkatnya Kim Shia (Si Sesat Bercahaya Emas) Sam Kun masih tetap ada dan menemani bekas Bengcu yang kini entah mengapa sudah mulai merasa kesepian itu. Maklum, diusia yang semakin tua dan telah melepaskan jabatan, sudah semakin jarang orang yang datang mengunjungi dan bercakap-cakap dengannya. Berbeda dengan hari hari sebelumnya yang amat ramai dan sangat penuh warna.
Tetapi, bukan berarti semangat tokoh tua yang terkenal cerdik ini sudah habis sama sekali. Memang benar, kepandaian silatnya tidaklah sangat menonjol, tetapi dalam hal kecerdikan, dia sangatlah termasyur dan amat disegani baik oleh kawan maupun juga lawan-lawannya. Itu sebabnya, meski sudah mengundurkan diri, tetap saja Hu Sin Kok punya keinginan yang amat besar untuk memberikan bantuannya kepada kawan-kawan rimba persilatan Tionggoan. Terlebih karena dia sangat paham dan tahu, saat ini mereka sedang menghadapi ancaman besar dari Bu Tek Seng Pay. Dan untuk maksud itu, setelah beristirahat secukupnya selama sebulan terakhir dengan hanya ditemani putri dan menantunya serta juga saudara angkatnya, Hu Sin Kok sedang bersiap-siap untuk kembali melakukan perjalanan. Kepada Sam Kun dia berkata dengan suara penuh semangat:
"Kita harus membantu mereka, dan mudah-mudahan sekalli ini, benar-benar akan menjadi perjalanan terakhirku di dunia persilatan"
Perkataan yang dianggukkan dengan senyum oleh Sam Kun yang sangat kenal dan tahu gelora dalam jiwa saudara angkatnya ini. Dia paham benar, Hu Sin Kok tidak akan dapat hidup dan tinggal tenang disatu tempat jika mendengar ada kejadian yang mengguncang dan membutuhkan bantuan pikirannya. Jiwa dan hidup saudara angkatnya itu memang sejak jauh-jauh hari sudah diabdikan untuk keselamatan dan keamanan sesama Pendekar Rimba Persilatan Tionggoan. Pemahaman itulah yang membuat Sam Kun hanya tersenyum maklum dengan gumaman Hu Sin Kok, sang Pendekar Tua yang sudah dimakan umur tetapi masih tetap bersemangat. Tetapi, semangat dan pengorbanan Hu Sin Kok itu pula yang membuat Sam Kun tertarik dan rela mengabdi kepada Hu Sin Kok. Bukannya diterima sebagai PELAYAN, tapi Sam Kun justru diperlakukan seperti saudara sendiri oleh Hu Sin Kok meski tahu dia adalah bekas penjahat yang bergelimang darah.
Sebetulnya, pada saat itu, selain Hu Sin Kok dan Sam Kun, juga ada dua tokoh lain yang masih berada di Benteng Keluarga Hu. Mereka adalah Khong Yan dan Tio Lian Cu yang selama sebulan terakhir memang meminjam ruang rahasia milik Hu Sin Kok untuk berlatih. Adalah Bu Tee Hwesio sendiri, Suhu dari putra sulungnya yang justru mengajukan permohonan itu kepadanya secara langsung. Bahkan dengan disertai oleh seorang sesepuh Hoa San Pay yang juga sangat dikenalnya dan punya nama yang juga sangat harum dan cemerlang. Sama harum dan sama tingkatannya dengan suhu putra sulungnya itu. Dan karena itu, dengan tidak berpikir panjang, Hu Sin Kok menyerahkan dua ruangan yang adalah Ruang Rahasia bagi Benteng Keluarga Hu untuk tempat kedua anak muda itu berlatih. Menjadi lebih penting lagi, karena ternyata kedua anak muda itu sedang disiapkan Bu Tee Hwesio dan dan Thian Hoat Tosu untuk melawan tokoh tokoh sesat berkepandaian tinggi. Semangat kepahlawananya langsung membuncah tinggi dan dengan rela hati dia menyiapkan semua hal untuk membantu latihan dari Tio Lian Cu dan juga Khong Yan selama kurang lebih sebulan.
Dan kini, tidak terasa sebulan sudah berlalu. Sebetulnya Khong Yan sudah terlebih dahulu menyelesaikan samadhi dan latihannya, nyaris setengah hari lebih cepat daripada Tio Lian Cu. Bukan apa-apa, karena sebetulnya aliran perguruannya lebih dekat dengan Sie Lan In, bahkan sama-sama beraliran Budha. Yang membuat Bu Tee Hwesio masih belum mampu menemukan formula sebagaimana Lam Hay Sinni menemukannya dan tidak perlu menghabiskan waktu dan mengorbankan tenaganya adalah karena hal sepele. Lam Hay Sinni berlatih terus menerus guna menemukan dan sekaligus juga menyempurnakan formula latihan berdasarkan ilmu yang mereka bertiga pahami dan latih bersama. Sementara Bu Tee Hwesio lebih sibuk berkelana bahkan belakangan mengankat murid dan melatih Koay Ji serta Khong Yan menjadi murid-muridnya yang terakhir. Sementara Thian Hoat Tosu sedang sibuk dengan Kitab Mujijat perguruannya, selain memang, meski yang paling tua tetapi bukanlah berasal dari jalur iweekang Budha.
Karena itu, Bu Tee Hwesio dan Thian Hoat Tosu berbeda dengan Lam Hay Sinni, harus mengorbankan waktu setahun untuk pemulihan. Hal yang justru tidak perlu dilewati oleh seorang Lam Hay Sinni. Jikalau saja Bu Tee Hwesio sama dengan Lam Hay Sinni melakukan pendalaman secara serius dan tidak terputus-putus, maka dia pasti menemukan hasil serta cara yang kurang lebih sama dengan yang dicapai Lam Hay Sinni saat ini. Sayangnya, dia lebih menyibukkan diri dengan urusan-urusan lain dan jauh berbeda dengan Lam Hay Sinni yang menyibukkan diri dengan samadhi dan beroleh kemajuan yang hebat. Sama dengan Bu Te Hwesio, Thian Hoat Tosu juga memiliki kesibukannya sendiri yang terutama dimaksudkan untuk membangun masa depan perguruannya Hoa San Pay.
Wajar kemudian jika pada akhirnya, Lam Hay Sinni berhasil terlebih dahulu dalam menyempurnakan formula rahasia yang mereka ciptakan bertiga dan melatih Sie Lan In jauh lebih cepat. Tanpa kehilangan waktu setahun tetapi justru membuatnya meningkat lebih hebat dalam latihan-latihan iweekang dan penyempurnaan ilmunya. Hal ini yang justru masih belum disadari oleh Bu Tee Hwesio dan Thian Hoat Tosu, belakangan baru mereka paham sepenuhnya. Tapi apa boleh buat, mereka sudah melatihkannya masing-masing kepada murid mereka dan untuk itu mereka harus mengembalikan kebugaran selama setahun. Tetapi Khong Yan dan Tio Lian Cu sendiri harus belajar banyak dan memang sempat diberi petunjuk oleh Bu San (atau Koay Ji) sebelum dia meninggalkan Benteng Keluarga Hu bersama dengan Sam Suhengnya, atau tepatnya bersama Sie Lan In menuju ke Gunung Ciauw San.
Khong Yan yang sadar terlebih dahulu dan merasakan betapa tubuhnya jauh lebih enteng, tenaganya seperti bergelora namun lebih mudah dikuasai, digerakkan dan disalurkan ke seluruh tubuhnya. Bahkan, kekuatan besar itu kini dengan mudah dia dapat kuasai, bergerak ke seluruh tubuh dan mendatangkan kesegaran yang luar biasa. Maka sadarlah Khong Yan jika dia kembali sudah meningkat kemampuannya dan dia bersyukur karena paham jika Suhunya yang sudah melakukan untuk dirinya. Dan Khong Yan masih dapat mengingat dengan amat jelas betapa Suhunya pergi dengan wajah muram dan seperti kurang sehat setelah berlatih semalaman penuh dengannya. Sayangnya, ketika mereka berlatih bersama dengan iweekang khusus perguruan yang berlangsung selama sehari semalam, seusainya ketika Suhunya pamit untuk pergi, dia sedang tidak bisa melakukan apa-apa sama sekali. Tetapi, Suhunya masih meninggalkan berapa pesan dan apa yang harus dilakukannya setelah selesai dengan latihannya kelak. Bahwa dia harus menemukan Koay Ji atau Thian Liong Koay Hiap jika memang terjadi sesuatu hal yang tidak sesuai dengan harapan setelah sebulan masa berlatih lewat.
Siapa tahu, justru ketika sekali lagi dia berlatih dan kemudian mengembalikan lagi kebugarannya, dia melakukannya secara jauh lebih cepat. Dan kesegaran yang dia dapatkan juga terasa jauh berbeda, tenaga yang dapat dikumpulkan dan disalurkan olehnya, juga terasa jauh berbeda. Setelah menyelesaikan semuanya, dia mencoba untuk mengetahui apa yang dikerjakan Tio Lian Cu di ruangan sebelahnya, tetapi dia mendapat kenyataan jika Tio Lian Cu masih dalam keadaan terlelap dan belum lagi menunjukkan akan segera selesai. Awalnya dia tidak sadar bahwa kemampuan dalam menemukan dan mengetahui aktifitas di ruangan sebelah sebelumnya secara detail tak mampu dia lakukan sebelumnya. Tetapi sekarang, dia mampu mengikuti bahkan hingga jalan nafas Tio Lian Cu dan sekaligus juga tahu bahwa Tio Lian Cu masih sedang samadhi dan juga tahu dia masih akan butuh beberapa jam sebelum latihannya tuntas dan selesai.
Tarikan nafas Tio Lian Cu amat jelas baginya, berjalan normal dan juga sudah jelas sekali sudah jauh berbeda dengan sebelum-sebelumnya. "Hmmmm, Tio Sumoy juga mengalami kemajuan yang luar biasa, sebentar lagi dia akan menyelesaikannya" desis Khong Yan dalam hati. Dan karena memahamikenyataan itu, maka Khong Yan akhirnya menggunakan waktu yang masih dia miliki untuk menelaah kembali secara khusus warisan Thian Liong Koay Hiap, yakni bagian lengkap dari Ilmu Langkah Mujijat. Meskipun dia sudah menerima rincian dan contoh daya gerak dari Ilmu itu, tetapi dia masih harus menyingkap beberapa hal detail dari ilmu mujijat yang sudah dia buktikan keampuhannya pada bagian pertahanan.
Setelah lewat dua jam, dia sudah nyaris sepenuhnya menguasai ilmu langkah itu dan kemudian melatih dalam gerakan meski dalam ruangan yang sempit. Hebatnya dan membuatnya jadi sangat gembira adalah, dia mampu bergerak cepat, gesit dan bahkan di tengah ruangan yang sempit. Dia memainkan semua gerak dan jurus yang diajarkan baik oleh Koay Ji maupun juga oleh Thian Liong Kay Hiap sampai akhirnya dia berhenti dan nampak tersenyum senang dengan hasil yang dicapainya. Memang, dia harus menggunakannya dalam pertempuran sesungguhnya untuk dapat menilai sampai dimana kehebatannya. Seusai melatih ilmu itu, karena sadar jika dia masih memiliki beberapa jam lagi, diapun pada akhirnya juga mencoba mengkombinasikan langkah mujijat menyerang dengan ilmu-ilmu suhunya. Dan dia menjadi teramat kaget karena menemukan kenyataan betapa penggunaan dalam kombinasi itu juga mengalami peningkatan yang luar biasa. Jauh lebih tajam, lebih berbahaya dan pastilah sangat menyulitkan lawan jika bertarung secara terbuka. Menggunakan bagian penyerangan dari Ilmu Langkah Thian Liong Pat Pian, seperti membuatnya lebih tajam, lebih menusuk dan jauh lebih membahayakan karena bisa cepat menyutukan dan melukai lawan.
Tanpa disadarinya, Khong Yan berlatih penuh selama lima sampai enam jam dan baru kemudian dia mendengar jika Tio Lian Cu mulai tergugah dari samadhi dan latihannya selama sebulan kurang lebih. Atau sebetulnya lebih dari sebulan, meski hanya lebih beberapa jam belaka. Kebetulan dia sendiripun sudah selesai berlatih, dan karena itu dia kemudian kembali melakukan samadhi untuk dua hal; pertama memberi kesan kepada Tio Lian Cu bahwa dia belum selesai, dan yang kedua dia menata kembali seluruh kekuatannya dan mengendapkan apa yang baru saja dilatihnya dengan kekuatan dan iweekang baru yang kini sudah menanjak amat jauh tersebut. Dan hal ini berhasil dengan baik karena dia dapat mendengar di ruangan sebelah, sama dengan dirinya Lian Cu kini sedang terus berlatih sambil membenahi kondisinya sendiri. Dan, dia ikut menjadi amat gembira karena Tio Lian Cu dengan langkah ringannya dan ilmu-ilmu silatnya juga mengalami peningkatan yang juga tidak kurang darinya. Diam-diam diapun memuji akan kemajuan dan peningkatan kemampuan Tio Lian Cu, dan setelah sejam diapun selesai dengan semuanya.
"Apakah engkau sudah selesai Khong Suheng.....?" terdengar suara Tio Lian Cu dari ruangan sebelah. Nada suaranya amat gembira dan sangat ceria. Tanda jika dia amat puas dengan apa yang dia miliki saat itu. Dan dengan rendah hati Khong Yan kemudian menjawab pertanyaannya:
"Baru saja aku selesai Tio Sumoy ...... bagaimana keadaanmu....?" tanya Khong Yan untuk tidak membangkitkan kecurigaan Lian Cu
"Sudah selesai sejam sebelumnya Ji Suheng dan baru saja berlatih kembali dengan ilmu-ilmu warisan Suhu. Apakah Suheng perlu berlatih sebelum kita keluar...?" tanya Tio Lian Cu memberi waktu kepada Khong Yan.
"Rasanya tidak perlu lagi sumoy, sudah waktunya bagi kita untuk segera keluar. Bagaimana menurut sumoy sendiri....?" Khong Yan bertanya kembali, padahal dia sudah tahu jawaban sebenarnya.
"Jika suheng berkata demikian, baiklah, kita boleh segera keluar...." berkata Tio Lian Cu dan disambut dengan senyum oleh Khong Yan yang memang sudah menduga jawaban dan perkataan Tio Lian Cu itu.
Dan tidak berapa lama kemudian, kurang dari satu menit Khong Yan dan Tio Lian Cu sudah bertemu di tepi sungai. Ruang atau Tempat Rahasia yang dimaksud memang memiliki pintu khusus yang berujung di tepi sungai, meskipun juga memiliki pintu atau tembusan rahasia ke kamar Hu Sin Kok dan ruang kerjanya. Tetapi, baik Khong Yan maupun Tio Lian Cu memilih pintu yang tidak menembus tempat rahasia tuan rumah. Karena itu mereka menembus pintu ketiga atau pintu terakhir yang berujung ke tepi sungai, dan Khong Yan memberi kesempatan bagi Tio Lian Cu untuk mendahuluinya tiba di tempat tersebut. Dan sebagaimana sudah ditebak dan diduga Khong Yan, disana Tio Lian Cu sudah menunggunya dan kemudian dengan riang dan gembira menyambutnya:
Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun 3 Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo Jodoh Si Mata Keranjang 8
^