Pencarian

Pendekar Aneh Naga Langit 19

Pendekar Aneh Naga Langit Thian Liong Koay Hiap Karya Marshall Bagian 19


"Tecu Sie Lan In dari datang bertamu atas petunjuk dan sekaligus mewakili Tek Ui Sinkay, Kaypang Pangcu yang sekarang menjadi Bengcu Rimba Persilatan di Tionggoan. Mohon untuk sekiranya diperkenankan bertemu dengan Cing San Khek (Jago Berbaju Hijau) Tiat Kie Bu Locianpwee..."
"Hmmmm, apakah engkau murid dari Sam Susiok...?" tanya si Perempuan dengan nada menyelidik dan kelihatan bercuriga. Maklum, dia masih belum mengenali keberadaan Sie Lan In.
"Bukan, bukan. Tecu bukanlah anak murid dari Tek Ui Sinkay, tetapi saat ini sedang membawa pesan dan amanat beliau selaku Bengcu Tionggoan untuk disampaikan secara langsung kepada Tiat Kie Bu Locianpwee. Menurut keterangan Tek Ui Pangcu, disinilah tempat tinggal Tiat Locianpwee....."
"Adakah tanda bahwa Kouwnio benar-benar utusan dari Sam Susiok, Tek Ui Sinkay yang menjadi Pangcu Kaypang saat ini....?" bertanya si perempuan sementara laki-laki yang datang dengan seorang anak perempuan kecil terlihat berdiam diri dan seperti tidak mau mencampuri urusan saat itu. Dia membiarkan saja si perempuan bertanya jawab dengan Sie Lan In.
"Tecu membawa surat, sebagaimana juga Thian Liong Koay Hiap membawa surat yang sama ke Kota Cing Peng menemui kedua Locianpwee Pouw Ci Sui Beng (Jari Sakti Penghancur Nyawa) Siau Ji Po dan juga Lam San Hong Ie (Bulu Hong Berbaju Biru) Oey Hwa..." sambil berkata demikian, Sie Lan In mengeluarkan surat yang dibawanya dan langsung kemudian menunjukkan surat yang dibawanya itu kepada si perempuan.
Melihat surat yang ada tanda pengenal Tek Ui Sinkay yang kelihatannya dikenal dengan baik olehnya, akhirnya si perempuan itupun menarik nafas panjang tanda lega dan senang. Wajahnya langsung berubah menjadi lebih ramah memandang Sie Lan In. Bahkan beberapa saat kemudian, diapun tersenyum dan menyapa Sie Lan In dengan suara ramah, jauh berbeda dengan suara sebelumnya yang bersifat menyelidik dan sangat bercuriga:
"Accchhh, kiranya benar orang sendiri. Iya, aku dapat mengenali tanda pengenal Sam Susiok, tetapi, maaf Kouwnio, perguruan kami memang tidak saling mengenal dan mengetahui dengan amat baik. Selain itu, Sam Susiok sendiri sangat jarang datang berkunjung. Tetapi, baiklah, perkenalkan namaku Lui Sian Ho, murid tertua dari Suhu Cing San Khek (Jago Berbaju Hijau) Tiat Kie Bu. Suamiku, adalah seorang petani yang tidak mengerti Ilmu Silat bernama Coa Hok dan anak kami yang bungsu, seorang perempuan cilik bernama Coa Siok Ah. Kami yang selalu menemani Suhu sambil bertani disini karena Suhu sesungguhnya tinggal seorang diri. Kami memiliki rumah sendiri di dusun yang berjarak kurang lebih 5 atau 6 km dari sini, dusun asal suamiku, tetapi karena menemani Suhu, kami lebih sering berada dan bertani disini. Mohon maaf karena kedua sute sedang mengembara, bahkan siauw sute baru mengirim kabar akan bergabung dengan Sam Susiok dan sedang dalam perjalanan menuju Pek In San......"
Mendengar perkenalan Lui Sian Ho yang kini memandang dan memperlakukannya kini sebagai "orang sendiri", Sie Lan In menjadi sangat senang. Apalagi ketika dia kemudian dikenalkan dengan si gadis kecil Coa Siok Ah yang rada lucu dan tidak pemalu, semakin senang suasana hatinya. Karena itu, diapun berkata:
"Accchhh, senang sekali bertemu dengan Lui Suci sekeluarga. Lebih senang lagi boleh bertemu adik Siok Ah, bagaimana kabarmu nona cilik....?" tegur Sie Lan In menjadi ramah dan tidak dibuat-buat.
"Bibi..... benarkah namamu Sie Lan In...." tegur si bocah dengan tidak takut dan tidak malu-malu sebagaimana anak-anak seusianya.
"Benar adikku...... engkau cantik sekali, secantik ibumu.... hikhikhik, tetapi engkau harus mengajak bibimu ini jalan-jalan mengitari perkebunan luas ini ya....."
"Pastilah bibi yang cantik, jika engkau mau, Siok Ah akan mengajak berjalan-jalan. Tapi, harus diijinkan Ibu nantinya....." sambil berkata demikian, si cantik Siok Ah memandang ibunya mengharapkan persetujuan.
"Hikhikhik, coba lihat engkau Ah ji, begitu bertemu bibi Sie sudah langsung senang dan ingin mengantarkannya berjalan-jalan. Tetapi, nantilah, mari ajak bibimu masuk ke rumah dan kita berbicara dalam rumah saja....."
Tidak lama kemudian, merekapun sudah berada dalam rumah besar itu, tetapi tetap saja ruangan dalam rumah itu bergaya petani. Tidak ada perabotan mewah, yang ada adalah meja dan tempat duduk yang terbuat dari bahan kayu, mungkin kayu dari pohon di sekitar hutan. Jelas bukan perabotan seperti di kota yang terkesan mewah, perabotan rumah besar itu terkesan buatan tangan sendiri dan tidak mendatangkan kesan mewah. Untungnya, tata letak dan kebersihan rumah itu benar-benar amat diperhatikan. Dan ini mendatangkan rasa senang dan rasa suka serta kerasan dalam hati Sie Lan In. Tetapi, tetap saja dia tidak melupakan misi dan tujuannya datang ke tempat tersebut. Karenanya, setelah mereka berada dalam rumah dan suasanya berubah menjadi akrab danCoa Hok langsung menuju dapur dan menyiapkan hidangan ringan, Lan In berkata:
"Lui cici,,,,,,, mengapa aku tidak melihat dan mendengar keberadaan Tiat Kie Bu Locianpwee.... apakah beliau tidak berada disini....?"
Mendengar pertanyaan Sie Lan In, Lui Sian Ho berubah wajahnya menjadi muram dan berduka. Bahkan dia terdiam beberapa saat dan Sie Lan In harus menunggu beberapa saat baru mendengar jawaban Lui Sian Ho:
"Acccchhh, adik Sie Lan In, sebetulnya bukan hanya Suhu seorang, tetapi juga Pek Sim Nikouw yang datang dua hari berselang, sedang tidak berada disini. Mereka sedang menghadapi sebuah urusan yang cukup pelik dan agak sulit untuk mereka dapat kerjakan jika hanya sendirian......." berkata Lui Sian Ho secara hati-hati, namun seri wajahnya yang muram menarik rasa ingin tahu Sie Lan In.
"Hmmm, ada apa gerangan disini cici, urusan apakah gerangan....?" kejar Sie Lan In ingin tahu, sangat ingin tahu malahan. Karena ternyuata, kedua orang tua yang sedang dicarinya, sebagaimana dugaannya semula, sudah berada di depan mata. Tetapi, sedang berada dimana saat ini tepatnya, masih belum jelas karena konon sedang mengerjakan satu urusan.
"Adik Sie, awalnya kukira urusan ini hanyalah urusan biasa dan dapat ditangani Suhu sebagaimana biasanya. Tetapi, belakangan, ternyata Suhu berurusan dengan tokoh besar rimba persilatan yang masih sejaman dengan Sukong kami, bahkan setingkat dengan 3 Dewa Tionggoan. Tokoh hebat dan urakan itu dikenal dengan nama julukannya yang teramat aneh namun berpengaruh besar, yaitu Bu Eng Ho Khouw Kiat (Si Rase Tanpa Bayangan). Konon menurut Suhu, tidak ada yang tahu dan mengenal nama aslinya, bahkan juga Suhu sendiri......"
"Ha.... apa benar Bu Eng Ho Khouw Kiat (Si Rase Tanpa Bayangan) locianpwee yang munculkan diri disini..... bagaimana pula kisahnya Lui cici" konon jejaknya sangat misterius dan tidak pernah lagi ada tokoh persilatan yang mengetahui keberadaannya selama puluhan tahun terakhir ini....." tanya Sie Lan In dengan amat terkejut dan guncang. Bagaimana tidak kaget, sebagai murid dari seorang tokoh dewa lainnya, Lam Hay Sinni, jelas saja dia mengetahui meski belum pernah bertemu dengan tokoh berjulukan keren dan misterius ini, Bu Eng Ho Khouw Kiat (Si Rase Tanpa Bayangan). Dia tahu Subonya saling kenal dengan tokoh ini, bahkan suatu saat pernah Subonya bercerita dengan cukup detail hubungan mereka berdua. Karena itu, diapun memiliki cukup kesan dan impressi tentang tokoh yang memang terkenal sangat misterius itu. Yang pasti, tokoh itu setingkat dan setanding dengan Subonya, termasuk setanding dalam ilmu ginkang yang menjadi kebanggan mereka berdua. Bahkan mereka berdua terkenal sebagai tokoh dengan kemampuan ginkang yang paing hebat dan selalu berada di peringkat utama di Tionggoan. Hal yang mengejutkan bertemu si Rase di Gunung Ciauw San.
"Benar Adik Sie Lan In, Suhu sendiri juga bingung dan heran. Bahkanpun, meski mereka sempat bentrok, Suhu tetap tidak mampu mengetahui dan mengenali jatidiri sesungguhnya dari tokoh itu. Belakangan baru Suhu mulai menyadari siapa tokoh itu yang sebenarnya, dan itu membuatnya sangat kaget. Tetapi, begini kisahnya yang sebenarnya..... kira-kira 4 hari yang lalu, seorang aneh melintas di perkebunan di bukit sana yang berisi tanaman-tanaman obat. Pada saat itu, teramat kebetulan Suhu sedang melakukan pengecekan dan pemeliharaan atas beberapa jenis tanaman di sana. Secara tiba-tiba, begitu melihat Suhu yang sedang merawat kebun tanaman obatnya, manusia aneh itu bertanya: "di mana aku dapat menemukan rumput mestika Peng Lian Leng Cau...?"". Pertanyaan yang sangat mengagetkan berhubung menurut Suhu, rumput mestika itu, meski dia tahu berada dimana dan disimpan siapa, tetapi tidak leluasa dan tidak mungkin memberitahu siapapun. Karena itu, Suhu menjawab secara spontan: "tidak tahu.....". Manusia itu sebetulnya sudah akan tinggal pergi berhubung Suhu agak sibuk dengan tanaman tanaman kesayangannya itu. Tetapi, melihat cara Suhu merawat tanaman dan gerakan Suhu yang cepat dan gagah, manusia itupun merasa aneh dan akhirnya bertanya lebih jauh. Dari tanya jawab itu, akhirnya mahluk tersebut jadi mengetahui jika Suhu adalah anak murid dari Sukong Bu In Sinliong. Pengetahuan itu membuat Suhu jadi dalam keadaan runyam dan akhirnya bertarung dengan manusia aneh tersebut. Tetapi, menurut Suhu, dia orang tua hanya dapat bertahan sampai jurus ke-30 dan kalah dengan telak. Pada saat itu, manusia aneh itupun berkata, bahwa dia memberi waktu kepada Suhu selama 3 hari untuk mengantarkan rumput mestika Peng Lian Leng Cau. Dan harus diantarkan ke gua tempat tinggalnya yang berjarak 2,3 km kearah puncak Gunung Ciauw San. Kekalahan itu membuat Suhu khawatir dan tanpa sepengetahuan Suhu, kupanggil Pek Sim Nikouw atau yang juga adalah Liok Sukouw kami. Mereka berdua saat ini sedang memenuhi janji untuk menemui kembali manusia aneh yang disebutkan Suhu sebagai locianpwee angkatan tua dan terkena bernama Bu Eng Ho Khouw Kiat (Si Rase Tanpa Bayangan). Nona Sie, meski sudah dibantu Bibi Seperguruan kami, tetapi Suhu tidak punya pegangan untuk menang. Dan jika tidak keliru, maka sebentar lagi Suhu akan kembali, entah bagaimana hasil pertemuan mereka hari ini......"
"Accchhhh, jika memang benar tokoh itu adalah Bu Eng Khouw Kiat, Si Rase yang sangat misterius itu, maka memang amat sulit untuk menghadapi tokoh sehebat itu. Lui cici, dimana dapat kutemukan mereka sekarang ini....?" Sie Lan In bertanya karena bermaksud untuk menyusul kedua orang yang dicarinya dan menyelesaikan tugasnya. Memberikan surat-surat kepada alamat yang dituju. Syukur-syukur dapat membantu mereka yang sedang berhadapan dengan tokoh mujijat Si Rase Tanpa Bayangan itu. Tokoh sakti yang menggetarkan.
Tetapi, belum sempat Lui Sian Ho menjawab pertanyaan Sie Lan In, tiba-tiba terdengar suara yang datang dari arah puncak:
"Tidak perlu Nona muda...... kami sudah kembali dan waktu yang tersedia kini sudah amat terbatas. Ho Ji, bawakan ramuan obat luka luar kita, malam ini juga kita menyusun rencana lanjutan....."
Dan begitu suara itu sirap dan berlalu, beberapa detik kemudian terdengar dua langkah manusia yang memasuki rumah. Dan benar saja, tak lama kemudian masuk dua orang, sepasang perempuan dan laki-laki yang usia mereka jika ditaksir sudah 60 tahun atau bahkan mungkin lebih. Keduanya adalah orang-orang yang sedang dicari oleh Sie Lan In saat itu, yakni Cing San Khek (Jago Berbaju Hijau) Tiat Kie Bu, dan Ci Yan (Walet Ungu) Pek Bwe Li atau nama Budhanya adalah Pek Sim Nikouw. Begitu masuk, sekali pandang Sie Lan In sudah paham jika keduanya terluka meski tidaklah terlampau parah. Tetapi, fakta bahwa keduanya bisa pulang adalah tanda bahwa tokoh yang melukai mereka memang tidak berniat mengambil jiwa lawannya. Karena itu, Tiat Kie Bu dan Pek Sim Nikouw dapat pulang kembali dengan luka yang sebenarnya tidaklah terlampau parah. Bahkan dapat mencapai rumah Tiat Kie Bu dengan kondisi fisik yang masih cukup baik. Begitu melihat kedua orang itu, Sie Lan In sudah langsung tahu, apalagi karena salah seorangnya adalah seorang wanita tua dalam dandanan sebagai seorang Nikouw:
"Tecu Sie Lan In mewakili Tek Ui Sinkay menjumpai jiwi locianpwee..... hmmmm, sungguh keadaan jiwi locianpwee sedang kurang baik....."
"Sam Sute mengirimkanmu Nona Sie..... cukup baik, tetapi keadaan sekarang sungguh sangat tidak menyenangkan. Sayang kita tidak punya waktu cukup untuk membicarakan urusan lain, juga untuk sekedar bertukar banyak kisah. Karena bahkan bersama Su Sumoy pun kami masih belum mampu menandingi manusia itu sampai lebih dari 100 jurus. Sungguh-sungguh dia bergerak terlampau cepat dan tidak mampu kami mengikuti gerakannya itu sama sekali, karenanya kami berdua jelas tak mampu menandinginya......" berkata Tiat Kie Bu begitu tahu siapa Sie Lan In dan siapa yang mengutusnya. Sam sutenya.
"Amitabha....... Sie Kouwnio, bagaimana gerangan kabar Sam Suhengku" Apakah dia baik-baik saja sekarang ini....?" jika Tiat Kie Bu terlihat agak "payah" dan rada tegang, maka Pek Sim Nikouw bagi Sie Lan In masih lebih hangat dan lebih dapat mengendalikan diri. Karena itu, dia merasa lebih diasmbut oleh Nikouw itu. Dengan cepat diapun berkata kepada kedua orang itu:
"Pek Sim Subo,,,,,,, Tek Ui Pangcu baik-baik saja, hanya, kesibukan dan tanggung jawabnya saat ini sungguh amat besar. Selain mengurusi Kaypang sebagai Pangcu, baru-baru ini, diapun diangkat sebagai Bengcu Tionggoan. Dan untuk membantunya saat ini tecu datang menjumpai jiwi locianpwee dengan mengantarkan surat penting yang menurut Tek Ui Pangcu sangat penting. Bahkan teramat penting dan karena itu hanya bisa diserahkan langsung kepada jiwi locianpwee...." sambil berkata demikian Sie Lan In menatap wajah Pek Sim Nikouw dan Tiat Kie Bu bergantian. Keduanya terlihat tersentak hebat, tetapi dengan cepat Tiat Kie Bu berkata:
"Acccccchhhh, Sam Sute memang berbakat untuk urusan seperti ini. Dalam urusan mencampuri urusan dunia persilatan memang dialah juaranya, tetapi, bagaimanapun dia adalah saudara seperguruan yang sangat baik. Karena itu Sie Kouwnio, tolong engkau tunjukkan surat yang dimaksudkan oleh Sam Sute......."
"Amitabha...... benar Sie Kouwnio, Sam suheng adalah saudara seperguruan kami yang sangat peduli dengan kami-kami saudara seperguruannya. Jika sampai dia mengutus Nona Sie menjumpai dan mengirimi kami surat, maka bisa dipastikan itu adalah urusan besar......" Pek Sim Nikouw menguatkan kata-kata Tiat Kie Bu dan meminta Sie Lan In menunjukkan dan memberikan kepada mereka surat yang diantarkan Sie Lan In buat mereka.
Tentu saja Sie Lan In tidak bodoh. Tadinya dia ingin menunda memperlihatkan surat yang dibawanya untuk kedua tokoh itu melihat keadaan mereka yang "terluka" meski tidak terlampau berat. Tetapi, setelah kedua orang tua itu sama memintanya untuk memperlihatkan surat yang dikirimkan Tek Ui Sinkay bagi mereka berdua, maka tak ada alasan lagi menundanya. Karena itu, dengan perlahan Sie Lan In mengambil kedua surat itu dari balik jubahnya dan kemudian menyerahkan masing-masing satu surat kepada Tiat Kie Bu dan kepada Pek Sim Nikouw. Sambil menyerahkan surat itu Sie Lan In berkata dengan suara perlahan:
"Baiklah jiwi locianpwee, inilah surat yang dimintakan untuk tecu antarkan kepada jiwi locianpwee. Menurut Tek Ui Pangcu, surat itu berisi banyak hal yang sayangnya tidak perlu disampaikan kepada tecu karena urusan perguruan dan sekaligus juga hal yang mesti dikerjakan kedepan. Silahkan jiwi locianpwee....." Sie Lan In sudah tidak menunggu berlama-lama lagi dan dengan hikmat dan hormat menyerahkan surat itu kepada Tiat Kie Bu dan Pek Sim Nikouw.
Tidak menunggu lama, setelah saling pandang sejenak, Pek Sim Nikouw dan Tiat Kie Bu perlahan-lahan membuka sampul surat itu dan tak lama kemudian sudah terlihat membaca surat yang dikirimkan Tek Ui Sinkay. Keduanya terlihat sangat tenang dan khusyuk mengikuti dan membaca surat dari Tek Ui Sinkay itu. Beberapa saat kemudian kedua tokoh itu terlihat terdiam dan tenggelam dalam pikiran masing-masing. Entah apa yang sednag mereka pikirkan, tetapi jelas menganalisa isi surat yang baru saja mereka baca itu. Dan adalah Pek Sim Nikouw yang terlebih dahulu mendesis dan memuji kebesaran Budha dalam suara perlahan:
"Amitabha ........"
Dan sesudahnya hening. Terlihat Pek Sim Nikouw terpekur, sementara hal yang sama juga dilakukan oleh Tiat Kie Bu. Tetapi, tidak lama karena terdengar dia kemudian berkata atau bertanya:
"Sie Kouwnio, engkau mestinya datang bersama siauw.... ech Thian Liong Koay Hiap, kemana gerangan sahabatmu yang satu itu....?"
"Mohon maaf locianpwee, karena waktu yang mendesak, kami berdua berpisah jalan dan tecu yang bertugas mengantarkan surat itu kemari, sementara Thian Liong Koay Hiap mengantarkan surat menuju Kota Cing Peng. Tetapi, Thian Liong Koay Hiap akan menemui tecu setelah selesai tugas mengantarkan surat kemari......" Sie Lan In menjelaskan dengan suara terang dan membuat Tiat Kie Bu terlihat mengangguk tanda mengerti dan paham.
"Baiklah Sie Kouwnio, kami berdua memahami isi surat ini dan akan melakukan apa yang diminta Sam Sute melalui surat ini. Tetapi, meskipun demikian, kami berdua masih harus menyelesaikan urusan disini berhubung Si Rase Sakti itu berkeras untuk memaksa kami. Padahal, kami sama sekali tidak memiliki lagi barang yang diminta Rase Sakti tersebut...... acchhhhh, sungguh menjengkelkan...." desis Tiat Kie Bu dalam nada suara penasaran.
"Apakah yang mengganggu jiwi locianpwee adalah tokoh dewa Bu Eng Ho Khouw Kiat (Si Rase Tanpa Bayangan)..." tanya Sie Lan In dengan nada suara penasaran dan rasa ingin tahu yang kuat.
"Amitabha...... dari mana Sie Kouwnio tahu..." biarkan kami berdua yang tua-tua mengurus si Rase sakti itu....." berkata Pek Sim Nikouw, kaget ketika mendapati bahwa ternyata Sie Lan In tahu apa atau siapa yang mereka hadapi.
"Apa gerangan yang dilakukan Bu Eng Ho Khouw Kiat (Si Rase Tanpa Bayangan) Locianpwee kepada Jiwi Locianpwee....?" bertanya Sie Lan In dalam nada suara yang tetap sama, penasaran dan ingin tahu.
"Sudahlah Sie Kouwnio, ini urusan kami yang tua-tua......"
"Jika Tiat Locianpwee berkenan, tecu Sie Lan In mungkin dapat memikirkan jalan keluar dari masalah tersebut......" berkeras Sie Lan In
"Dia hanya mengira jika kami atau tepatnya perguruan kami menyimpan Rumput Mestika Peng Lian Leng Cau. Sepengetahuan kami, sangat mungkin Suhu masih terus menyimpannya, tetapi tidak mungkin lagi kami berdua menanyakannya kepada Suhu. Karena beliau, Suhu kami yang baik itu telah lama menutup diri dan putus hubungan sejak lama dari dunia persilatan....."
"Tetapi Bu Eng Ho Khouw Kiat (Si Rase Tanpa Bayangan) Locianpwee berkeras memintanya kepada jiwi locianpwee....?" tanya Sie Lan In penasaran
"Amitabha..... benar Sie Kouwnio, dia mengalahkan kami sebelum 100 jurus dan bahkan mengancam akan memunahkan ilmu kepandaian kami jika tidak kembali membawa rumput mujijat itu ke guanya dalam dua hari kedepan..."
"Dua hari..." darimana kita mendapatkan rumput mujijat itu...." ach, sungguh amat keterlaluan Bu Eng Ho Khouw Kiat (Si Rase Tanpa Bayangan) Locianpwee itu. Tidak dapat dibenarkan dia orang tua melakukannya...."
Betapa terkejutnya Pek Sim Nikouw dan Toat Kie Bu mendengar Sie Lan In amat berani dan lancang menyebut nama Bu Eng Ho Khouw begitu saja. Bahkan terkesan mencela apa yang dilakukan tokoh tua itu. Bahkan mereka berdua sekalipun masih tak berani menegur dan menyebut nama tokoh tua itu secara sembarangan. Betapa mungkin justru Sie Lan In menyebutnya dengan tidak hormat"
"Amitabha....... hussshhhh Nona cilik, perlahankan suaramu. Agak menjadi repot jika Locianpwee itu mendengarkanmu berbicara demikian......" tegur Pek Sim Nikouw dengan maksud baik. Betapapun Pek Sim Nikouw terkesan baik dengan Sie Lan In yang jauh-jauh datang membawakan surat saudara seperguruannya.
"Pek Sim Subo, Tiat Locianpwee, apa yang menjadi ancaman terakhir Bu Eng Ho Khouw Kiat (Si Rase Tanpa Bayangan) Locianpwee...?" tanya Sie Lan In yang menjadi semakin penasaran dan sepertinya tidak takut menghadapi si Rase Tanpa Bayangan yang satu angkatan dengan Subonya sendiri.
"Hmmmm, kami diberi waktu 2 hari untuk datang menyampaikan Rumput Mestika itu ke Gua tempatnya melakukan samadhi. Dan jika tidak membawa Rumput Mestika itu, maka dia memberi kami kesempatan untuk menandinginya dalam 100 jurus. Jika tetap kalah juga, maka dia akan menghukum kami berdua bersama seluruh anak murid kami. Meski jenis hukuman yang akan dijatuhkannya sama sekali tidak atau masih belum disebutkannya....."
"Hmmm sungguh sombong Bu Eng Ho Khouw Kiat (Si Rase Tanpa Bayangan) Locianpwee itu. Tetapi, konon, memang seperti itulah kelakuannya yang rada aneh dan kukoay serta membawa adatnya sendiri. Mestinya dia dilawan dengan juga tidak memakai adat istiadat....." bergumam Sie Lan In
"Sie Kouwnio, betapapun dan bagaimanapun, dia orang tua, masih seangkatan dengan Suhu kami..... karenanya, tidaklah mungkin kami tidak menaruh hormat kepadanya...." berkata Tiat Kie Bu bernada menyesalkan Sie Lan In yang ceroboh mencela perbuatan si Rase itu.
"Iya, selagi Locianpwee menghormati dan menghargai dia dalam tata krama yang normal, sebaliknya dia orang tua sama sekali tidak menaruh perhatian terhadap tata krama yang dijunjung tinggi jiwi locianpwee......" tegas Sie Lan In yang membuat Tiat Kie Bu sampai saling pandang dengan Pek Sim Kouwnio. Berapa lama mereka berdua terdiam sampai akhirnya Pek Sim Kouwnio berkata atau tepatnya bertanya kepada Sie Lan In:
"Amitabha....... Jika memang begitu pemikiran Sie Kouwnio, mohon tanya, ada ide apakah untuk menghadapi si Rase aneh itu....?"
"Mudah saja Pek Sim Subo, kitapun jangan memakai tata krama dan aturan yang berlaku selama ini. Kita ikuti keanehannya dan jika jiwi locianpwee setuju, tecu akan menggunakan cara yang biasa dilakukan Subo untuk menghadapi locianpwee itu. Tetapi, jiwi locianpwee dilarang bertanya dan dilarang untuk membatasi tindakan, kata-kata dan strategiku...... apakah jiwi locianpwee setuju.....?"
"Eccchhhh, subomu, siapa gerangan subomu itu.....?" bertanya Tiat Kie Bu yang tiba tiba sadar jika dia sama sekali belum mengenal Sie Lan In. Pertanyaan yang sama hendak tercetus dari bibir Pek Sim Kouwnio hanya saja didahului oleh suhengnya, Tiat Kie Bu dalam mencetuskannya
"Penjaga gelora laut di pintu selatan........"
"Ha....." Lam Hay Sinni...." engkau benar-benar murid Sinni...?" tanya Toat Kie Bu nyaris bersamaan dengan pertanyaan sejenis yang terlontar dari mulut Pek Sim Nikouw. Keduanya saling berpandangan setelah bertanya dalam nada terkejut dan kemudian memandang Sie Lan In yang tersenyum sambil mengangguk kepada kedua tokoh tua itu.
"Accchhhh, menurut berita, Lam Hay Sinni adalah tandingan dalam segala hal dari
Bu Eng Ho Khouw Kiat (Si Rase Tanpa Bayangan). Baiklah, engkau boleh meladeni Rase Aneh itu. Tetapi, ingat, tidak boleh sampai terluka dan gunakan strategi dalam menghadapinya......."
"Jiwi locianpwee, jika menghadapinya dalam ilmu silat, kita bertiga masih belum dapat menandinginya. Tetapi, dengan mengetahui kelemahannya, maka kita masih punya kesempatan untuk menghadapinya....." jelas Sie Lan In yang pada saat itu padahal masih belum punya strategi pas untuk menghadapi si Rase Tua, tokoh besar seangkatan suhunya.
"Ha..... jadi, dengan apa engkau akan menghadapi tokoh sekelas Rase Aneh itu Nona Sie, sadarkah engkau jika kepandaiannya amat hebat dan luar biasa....?" tanya Tiat Kie Bu terkejut.
"Dengan strategi...... Subo pernah membisikiku kelemahannya. Syaratnya, Jiwi locianpwee dilarang bertanya, tidak boleh melarang ini dan itu, pokoknya cukup mengikuti dan jangan ikut campur. Bagaimana.....?"
"Amitabha..... asalkan tidak melanggar aturan Budha......" terdengar Pek Sim Nikouw bersuara memberikan pendapat dan persetujuannya
"Ingat Jiwi locianpwee, kita menggunakan cara Bu Eng Ho Khouw Kiat (Si Rase Tanpa Bayangan) Locianpwee. Tidak mengindahkan aturan, mesti dilawan dengan cara yang sama.,,,,,, pokoknya biarkan tecu yang meladeninya....."
"Kita lihat saja jika demikian,.,,,,," menggerutu Tiat Kie Bu, tak berdaya mendesak Sie Lan In untuk mengetahui strateginya
"Eiiit, Locianpwee, harus setuju menggunakan caraku dan dilarang bertanya. Maka kutanggung urusannya bisa beres..... bagaimana.....?"
"Baik, terserah caramu Sie Kouwnio, lohu ikut saja......."
"Pek Sim Subo.....?"
"Amitabha..... asal tidak melanggar asas Budha...." Pek Sim Nikouw masih tetap dengan kalimatnya yang mengambang, meski jelas tidak menentang.
"Baiklah,,,,,,, menurut tecu, jiwi locianpwee setuju dengan caraku. Nach, kapan kita akan menemui Bu Eng Ho Khouw Kiat (Si Rase Tanpa Bayangan) Locianpwee untuk memenuhi perjanjian itu....?"
"Dua hari lagi kita menuju Guanya....... kami perlu mengobati luka kami terlebih dahulu, engkau boleh istirahat juga Sie Kouwnio...... mari, sumoy...."
==================== Luka Pek Sim Kouwnio dan Tiat Kie Bu sesungguhnya tidaklah terluka parah. Semalaman mereka berdua mengobati diri, dan keesokan harinya mereka sudah sembuh seperti sedia kala. Dan sepanjang hari, mereka terus menerus bercakap dan ditanyai oleh Sie Lan In tentang urusna yang mereka hadapi. Dan ketika mereka akhirnya menyaksikan bagaimana Sie Lan In berlatih merekapun kaget dan bahkan terkejut dengan sangat. Hal yang membuat mereka kaget dan geleng-geleng kepala adalah, karena mereka sadar jika mereka masih tertinggal dalam hal kepandaian Ilmu Silat dibandingkan dengan Sie Lan In yang masih muda. Hal yang membuat keduanya saling pandang dan kemudian geleng-geleng kepala memuji kepandaian dan kecerdasan Sie Lan In yang berusaha menemukan titik kelemahan dalam ilmu Bu Eng Ho Khouw Kiat (Si Rase Tanpa Bayangan) yang diserapnya melalui kisah Tiat Kie Bu dan Pek Sim Nikouw. Karena itu, mereka berdua seperti berlomba untuk menceritakan gerakan dan gaya si Rase kepada Sie Lan In.
"Pantas Lam Hay Sinni memberanikan diri melepas anak ini, kepandaiannya benar benar hebat sumoy, bahkan sudah setingkat atau dua tingkat di atas kita berdua" bergumam Tiat Kie Bu menyaksikan Sie Lan In berlatih.
"Benar Ji Suheng...... anak ini benar-benar berbakat hebat dan sudah dididik secara luar biasa oleh Lam Hay Sinni,,,,,, entah bagaimana dengan siauw sute kita yang amat misterius tetapi dipuji-puji sam suheng itu. Apakah sehebat Nona murid Lam Hay Sinni ini ataukah malah lebih hebat...." bisik Pek Sim Nikouw yang sama mengagumi kepandaian Sie Lan In saat itu.
"Sie Kouwnio, harus kuakui kepandaian kami berdua sudah tertinggal dengan tingkat kepandaianmu saat ini. Tetapi, kelihatannya selain kecepatanmu yang sudah nyaris mendekatinya, dalam hal pengalaman, kekuatan sakti dan juga kematangan, engkau masih sulit menandingi si Rase itu......." berkata Tiat Kie Bu setelah Sie Lan In usai berlatih dan berbincang kembali dengan mereka berdua.
"Tiat Locianpwee, bukankah sudah kukatakan untuk menghadapinya membutuhkan strategi dan bukan hanya kepandaian...." nach, semua harus kita optimalkan untuk melawan Rase itu....." jawab Sie Lan In sambil tersenyum,
"Accchhh, tapi strategi seperti apa Kouwnio....?"
"Masih rahasia, tunggu tanggal mainnya...." jawab Sie Lan In misterius dan membuat kedua tokoh tua itu urut-urut dada tak mengerti.
"Amitabha...... sekali lagi semoga tak menyalahi jalan Budha....."
"Semoga saja begitu...."
Hal yang membuat Sie Lan In lupa adalah, semestinya hari dia harus adu strategi dengan Bu Eng Ho Khouw Kiat (Si Rase Tanpa Bayangan) adalah hari dia sudah berjanji untuk bertemu dengan Thian Liong Koay Hiap di kota Liang Ping. Tetapi, saking asyiknya dan tegangnya mempersiapkan diri, dia lupa sama sekali jika waktu mereka berjanji sudah tiba. Mana bisa dia mengingatnya sementara dia bersama dengan kedua tokoh atau saudara seperguran Koay Ji, sedang berjalan mendekati gua tempat tinggal si Rase Tanpa Bayangan......"
"Bu Eng Ho Khouw Kiat (Si Rase Tanpa Bayangan) Locianpwee, kami sudah tiba dan datang dengan maksud untuk berunding lebih jauh agar tidak muncul masalah di kemudian hari nanti....."
"Hahahahahaha, kalian datang membawa tenaga baru rupanya...... tetapi bagus juga, mana tahu mampu membuat kalian melewati batas pertarungan 100 jurus. Jika itu terjadi, syukur, tidak perlu aku berurusan dengan si Naga Sakti yang selalu dan selalu sembunyi dari hadapan banyak orang........"
"Kami datang memenuhi janji untuk kembali kemari setelah 2 hari. Tetapi, seperti kemaren, kami tegaskan sekali lagi, kami sama sekali tidak tahu dan tidak memiliki Daun Mestika yang engkau minta....." Tiat Kie Bu langsung berbicara ke inti masalah yang sedang mereka hadapi saat itu.
"Aku tahu kalian tidak memilikinya, tetapi Guru kalian memilikinya. Karena gangguan gadis cilik ini maka kalian tidak berani memikirkan kemungkinan yang lain. Huh, benar-benar menyebalkan. Tetapi, baiklah, kuberi kesempatan kalian untuk lepas dari hukumanku dengan menahan 100 jurus seranganku sebagaimana janjiku dua hari yang telah lewat......."
"Hikhikhik..... Bu Eng Ho Khouw Kiat (Si Rase Tanpa Bayangan) Locianpwee sungguh terlampau sungkan. Mohon maaf jika keponakan Sie Lan In dari Lautan Selatan datang mengunjungi locianpwee..... apakah Bibi sehat-sehat saja...?" Sie Lan In tiba-tiba mengambil alih peran Tiat Kie Bu.
"Haaaaaa...... engkau si nakal cilik itu..." hmmmm, rupanya Subomu sudah amat percaya dengan kemampuanmu sehingga berani mendatangi tempat tinggalku yang buruk ini......" tidak terdengar nada kaget sedikitpun dalam nada suara Bu Eng Ho Khouw Kiat (Si Rase Tanpa Bayangan).
"Berkat doa restu Bibi maka sekarang tecu sudah bisa berkelana di dunia persilatan. Tapi, tecu menyampaikan salam dari Subo buatmu Bibi......." berkata Sie Lan In dengan berkali-kali menyinggung dan membawa nama Gurunya.
"Apakah engkau berharap dengan membawa-bawa nama Lam Hay Sinni Subomu maka akan membuat tuntutanku melunak In Ji....?"
"Tentu saja tidak Bibi...... karena keponakanmu ini akan mengikuti aturan yang Bibi tetapkan, menghadapi 100 jurus serangan tanpa terkalahkan. Tecu menyediakan diri untuk mewakili mereka agar Bibi tidak peru bermusuhan dengan Suhu mereka. Cukup adil bukan.....?" jawab Sie Lan In aleman dan membuat Tiat Kie Bu dan Pek Sim Kouwnio kaget setengah mati.
"Engkau mau menggantikan mereka berdua dan berharap tidak kujatuhkan tangan keras selama 100 jurus itu" Acchhhhh, sungguh-sungguh engkau berharap yang terlalu tinggi In Ji. Betapapun aku harus memberi pelajaran kepada mereka karena sudah melalaikan permintaanku kepada mereka......"
"Tetapi, tetap saja menantang untuk kucoba Bibi....... apakah Bibi keberatan untuk aku berusaha menahan 100 jurus serangan maut Bibi....?"
"Bukan..... bukan begitu, tetapi Bibimu takut gara-gara kegagalanmu engkau harus menanggung beban atas hukumanku kepada seluruh keluarga perguruan Tiat Kie Bu dan Pek Sim Nikouw.... bukankah itu akan terlampau berat buatmu In Ji....?" halus namun dengan ancaman keras jawaban Si Rase Tanpa Bayangan.
"Tapi, bukankah In Ji juga punya peluang untuk menahan Bibi sampai 100 jurus" Paling tidak Bibi tidak akan mungkin sampai menurunkan tangan kejam kepadaku..." licin juga jawaban Sie Lan In dan hal ini terang saja membuat si Rase jadi bingung dan susah mau berkata apa lagi.
"Tapi, jika sangat terpaksa, apa boleh buat, Bibimu harus turun tangan. Karena jika tidak, maka murid kesayanganku akan mengalami keterlambatan....." apa boleh buat si Rase harus memberi jawaban memang
"Accchhh, In Ji kurang percaya jika ada sesuatu yang dapat membuat Bibi merasa nelangsa dan terancam gagal melakukan sesuatu. Subo mengatakan, dalam hal kecepatan boleh saja berimbang dengan Bibi, tapi dalam keuletan menemukan dan mengerjakan sesuatu, In Ji harus meneladan Bibi......."
"Hikhikhik, sungguh licik engkau mengapusiku In Ji...... mana pernah dan mana bisa Lam Hay Sinni begitu murah hati memujiku...." hikhikhik, sungguh engkau kelewatan bercanda dengan bibimu ini In Ji......"
"Toch yang tinggal bertahun-tahun dengan Subo adalah In Ji dan bukannya Bibi. Darimana Bibi tahu jika kata-kataku kosong dan dusta belaka...." Sie Lan In bicara dengan mengikuti arah dan kecenderungan kata-kata Si rase Tanpa Bayangan. Tetapi, selalu menyisakan sesuatu yang tidak mudah dicerna si mahluk aneh yang dia tahu betul tingkat kesaktiannya.
"Benar In Ji, tetapi watak, kelakuan dan bagaimana Subomu memperlakukanku, tentunya aku tahu dan paham benar...... tidak perlu engkau mengapusiku untuk hal itu In Ji..." tangkis Si Rase dengan tetap cerdik?
"Tetapi, memangnya ada apa dengan dengan Kat Thian Ho Suheng" Apakah dia sedang berhalangan sehingga Bibi harus berkeras sedemikian rupa...?" bertanya Sie Lan In begitu mengerti jika rupanya untuk urusan muridnya maka si Rase Tanpa Bayangan jadi bertingkah seperti itu.
Benar saja, begitu Sie Lan In bertanya, dia melihat wajah Bu Eng Ho Khouw Kiat (Si Rase Tanpa Bayangan) berubah menjadi kelam. Meskipun hanya sekilas tetapi sudah cukuplah bagi Sie Lan In untuk mengerti bahwa memang benar ada sesuatu yang terjadi dengan Kat Thian Ho, murid bungsu dari Si Rase Tanpa Bayangan ini. Setelah terdiam hingga beberapa saat, akhirnya Si Rase Tanpa Bayangan berkata dengan suara perlahan dan penuh rasa penasaran:
"Dia terluka di tangan musuh-musuhnya yang berasal dari Hong Lui Bun dan juga dari Liga Pahlawan Bangsa Persia..... lawan-lawan yang tangguh memang. Tapi,,,,, Hmmm, bagaimanapun juga, kekalahannya itu harus dapat dia bayar secara lunas dalam waktu dekat....." tajam kata-kata si Rase Tanpa Bayangan dan membuat Sie Lan In jadi paham jika memang ada alasan khusus tokoh hebat itu jadi bertindak agak keras terhadap angkatan dibawahnya sekalipun.
"Baiklah Bibi yang baik. Keponakanmu dapat memahaminya jika memang demikian. Untuk memudahkannya, bisakah Bibi hapuskan pertikaian dengan pihak Tiat Kie Bu Locianpwee dan juga Pek Sim Nikouw dan sebagai gantinya, keponakanmu akan mengupayakan pengobatan lain dari tabib yang ampuh dan tepat hingga tanpa mesti merepotkan orang lain......"
"In Ji, engkau tidak paham apa yang sedang engkau katakan dan hadapi sata ini. Tidak akan ada satu tabibpun lagi yang akan berkemampuan unutk menangani Ho Ji, dan hanya dengan rumput mujijat itu baru berhasil. Selain itu, mereka berduapun pantas mendapat hukuman agar sekalian disampaikan kepada Suhu mereka bahwa Bu Eng Ho Khouw Kiat sudah keluar dan bertindak. Dengan demikian dia mau tidak mau harus menemuiku kelak....."
Kini pahamlah Sie Lan In, sebagaimana juga Tiat Kie Bu dan Pek Sim Nikouw apa sebab mereka dalam keadaan seperti itu. Tidak lain dan tidak bukan sebenarnya adalah persoalan dari Suhu mereka dengan si Rase Tanpa Bayangan itu. Dan jika dilihat jalannya percakapan, maka tidak akan salah lagi bahwa Suhu mereka punya hubungan dengan Si Rase Tanpa Bayangan dan juga pastinya dengan Lam Hay Sinni. Meskipun dengan Lam Hay Sinni mereka sudah mengerti meski masih sedikit, bahwa memang perguruan mereka atau setidaknya Suhu mereka memiliki sebuah hubungan yang amat dekat.
"Bibi, percayalah, ponakanmu ini mengenal seorang tabib yang maha luar biasa. Meski benar dia masih sangat muda dan baru munculkan diri di Rimba Persilatan, tetapi dia memiliki ilmu pertabiban yang teramat hebat dan mujijat. Pengetahuannya akan racun, tata letak jalan darah, alur jalannya pernafasan dan hawa sakti, serta racun dan tumbuhan mujijat sudah dikuasainya dengan amat baik. Jika memang Bibi berkenan, biar ponakanmu sendiri yang akan memintanya datang untuk mengobati Kat Suheng,,,,,,, bagaimana...?"
"In Ji, pertama-tama engkau menyingkirlah terlebih dahulu..... bagaimanapun juga aku harus menghukum kedua orang yang sudah berani membangkang atas apa yang kuperintahkan kepada mereka berdua. Dan kedua, biar Guru mereka yang sangat gemar sembunyi bersedia untuk datang menemuiku. Urusan muridku biar kuurus belakangan saja, karena masih bisa ditunda sampai beberapa lamanya" ujar Si Rase Tanpa Bayangan masih tetap berkeras untuk menghajar Tiat Kie Bu dan juga Pek Sim Nikouw berdua.
"Acccchhhh, sayang sekali Bibi,,,,,, keponakanmu yang bodoh ini sudah berjanji akan mewakili mereka menerima serangan Bibi,,,,,,,, sekali lagi ponakanmu mohon maaf sebesar-besarnya. Selain itu, yang mungkin perlu Bibi ketahui, saat ini Subo sendiri sudah memutuskan mengundurkan diri dari Rimba Persilatan setelah tahu dengan jelas bahwa ternyata Bu In Supek sudah menutup diri selama lamanya dalam gua pertapaannya........"
"Ha...... In Ji, jangan engkau mengapusi orang tua terlampau berlebihan. Engkau sendiri tahu dan paham bahwa aku berhak menghukummu jika mendustai generasi lebih tua daripadamu dan bertindak kurang sopan......."
"Tahukah Bibi tahu jika In Ji sekarang ini sedang berkelana dengan menggunakan Tiauw Ko" dan jika seperti itu pastilah Bibi paham artinya bukan.....?" berkata Sie Lan In sambil memandang lekat Bibinya yang aneh dan mujijat itu. Kata-katanya terlihat telak dan membuat si Rase Tanpa Bayangan terdiam dan terlihat berpikir keras. Keningnya berkerut. Bahkan beberapa saat kemudian terlihat tokoh itu memandang ke atas dan menarik nafas panjang sampai akhirnya berkata dengan nada suara rawan dan bergetar.....
"Bemar-benarkah dia, subomu Lam Hay Sinni itu sudah menyerahkan Rajawali Sakti kesayangannya kepadamu..." dimanakah gerangan Sin Tiauw itu..........?" tanyanya sambil menoleh kesamping bagaikan sedang mencari-cari sesuatu, dan sudah barang tentu mencari Rajawali Sakti itu.
"Tentunya Bibi sangat mengerti artinya,,,,,,, perjalananku ini dalam rangka sekaligus mencari dimana Toa Suci berada dan kelak harus menyerahkan Pek Tiauw Ko kepadanya. Dan itu berarti sekaligus menyerahkan tugas dan jabatan Lam Hay Sinni kepada Toa Suci untuk melanjutkannya,,,,,,,,,," ujar Sie Lan In begitu melihat jika Si Rase Tanpa Bayangan mulai goyah.
Kata-kata terakhir Sie Lan In membuat si Rase Tanpa Bayangan semakin rawan pandang mata dan raut wajahnya. Bahkan Sie Lan In sendiri tidak mengerti apa makna dari perubahan wajah Bibinya, meski dia paham bahwa si tokoh mujijat sedang tergetar perasaannya. Karena itu, diapun segera memandang ke atas dan kemudian bersiul dengan getaran suara tinggi. Dan tak berapa lama kemudian segera terdengar sahutan di udara, sebuah teriakan yang amat keras yang membuat banyak binatang-binatang hutan tersentak. Tetapi, meski begitu si Rase Tanpa Bayangan tetap tercenung seperti sedang berpikir keras. Sanga jelas jika diapun sudah mendengar teriakan sang Rajawali Sakti beberapa saat lalu.
"Hmmmm, baiklah jika memang demikian. In Ji, engkau boleh menerima serangan 100 jurusku,,,,,,, dan jika engkau berhasil, maka persoalan dengan kedua orang itu dan juga Suhu mereka kuanggap selesai sampai disini. Engkau bersiaplah. Tapi ingat, engkau harus sangat awas karena aku akan menghajarmu dengan amat keras dan serius,,,,,,, sekaligus, (dengan suara perlahan hanya ditujukan kepada Sie Lan In) berusahalah dengan keras untuk mengingat-ingat semua gerakan serta jurus jurus bersama gerak perubahannya,,,,, kelak akan berguna untukmu......" kalimat terakhir dari si Rase Tanpa Bayangan dilepaskan hanya didengar oleh Sie Lan In sendiri. Tentu saja Sie Lan In menjadi sangat senang karena paham jika Bibinya sudah percaya dengan kalimat-kalimat yang tadi disampaikannya. Dan menimbang keanehan bibinya, dia tahu jika serangannya bakalan tidak main-main dan artinya dia harus snagat berhati-hati.
"Baik Bibi, In Ji bersiap............" Sie Lan In segera mengumpulkan semangatnya dan juga perhatiannya karena mengerti siapa lawannya. Lawan yang Subonya sendiri tak mampu mengalahkannya alias SETANDING.
"Awas,,,,,,,,,"
Belum lagi selesai kata "awas" diucapkan, tubuh Si Rase Tanpa Bayangan sudah bergerak dengan kecepatan yang teramat sulit untuk diikuti dengan pandangan mata biasa. Bahkan angin serangannya sudah terasa di sekujur tubuh Sie Lan In yang dengan sebat dan nyaris sama cepatnya sudah bergerak sambil mengibaskan lengannya dan membuatnya terlepas dari sergapan cepat Si Rase Tanpa Bayangan. Dari Subonya, Sie Lan In sudah mendengar betapa si Rase Tanpa Bayangan suka bermain tanpa aturan, tanpa terduga, karena itu sejak awal Sie Lan In sudah sangat siap menghadapi si Rase yang terkenal sangat sakti itu. Dan meski gerakan si Rase Tanpa Bayangan sangat cepat, tetapi sebagai seorang yang juga memiliki gerak cepat yang sama, dia dapat mengawasi dan mengantisipasinya secara sangat baik. Maka pecahlah tarung keduanya.
Sesungguhnya, gerakan awal Si Rase Tanpa Bayangan adalah gerakan sederhana dalam jurus Hui Hong Soan Tah (Angin puyuh mengitari pagoda). Jurus yang dengan cepat sudah mengancam Sie Lan In, tetapi Sie Lan In sendiri sudah maju sangat jauh dan hebat. Dia dengan sebat bergerak dalam jurus Thian Lie Pian In (Bidadari menari di dalam awan), jurus yang membuatnya bergerak effisien dan effektif. Lebih sedikit gerakan, lebih sedikit ruang, tetapi mampu memanfaatkan celah dan ruang sempit untuk mengelakkan semua serangan si Rase Sakti Tanpa Bayangan dengan tidak menderita kerugian sedikitpun.
"Hmmmmm, rupanya "dia" sudah tuntas mendidikmu, itulah sebabnya engkau sudah memiliki kepercayaan diri yang sangat tinggi sekarang ini. Bagus,,,,,,, dia sungguh tidak mengingkari janji dan sumpahnya. Tetapi, awas........" pujian si Rase yang membangkitkan semangat Sie Lan In, tetapi bersamaan dengan itu kembali dia sudah diserang secara hebat.
Dengan kecepatan yang kini tak dapat diikuti mata biasa, bahkan juga sulit diikuti Tiat Kie Bu dan Pek Sim Nikouw hingga mereka sampai harus mengerahkan kekuatan iweekang baru mampu tidak "pusing" karenanya, si Rase Tanpa Bayangan kembali menyerang. Sekali ini dia menggunakan tipu 'Siao Khauw Tek Ko' (Anak monyet petik buah) dan gerakan Siang Liong Coan Tah (Dua naga menembusi menara). Jurus-jurus serangan dari dua ilmu andalannya sekaligus Sam Teng Jin Thian (Tiga Kali Melompat Memasuki Langit) dan Cui Hun Ciap Ji Kiam Ciang (Dua Belas Jurus Mengusir Setan). Akibatnya sungguh luar biasa, dengan ginkang yang teramat mujijat si Rase Tanpa Bayangan mengejar dan mencecar Sie Lan In. Nama yang belakangan jelas menjadi amat kaget karena Bibi Gurunya begitu cepat memasuki tahapan serius dalam upaya untuk menyerang dan mengalahkannya dibawah 100 jurus saja.
"Bibi, Maaf........" sambil berseru demikian, Sie Lan In yang tahu bahwa dia masih kalah matang dan kalah pengalaman, memutuskan untuk mengeluarkan semua kebisaan yang dilatihnya bersama Koay Ji dan juga dimatangkan Subonya selama berapa saat terakhir di Lautan Selatan. Dengan cepat dia mengembangkan Ilmu To Im Cih Yang (Menyambut Dengan Keras Mendorong Dengan Lunak) untuk bisa menghalau serangan-serangan lawan dan diikuti dengan gerak cepat Sian Ing Tun Sin Hoat (Ilmu Bayangan Dewa Menghilang). Ilmu yang terakhir bahkan Subonya sekalipun terkejut karena sudah mendapatkan beberapa perubahan yang sangat hebat hasil diskusinya dengan Koay Ji. Dengan kedua ilmu tersebut Sie Lan In coba untuk menandingi dan mengurangi desakan si Rase Tanpa Bayangan yang terus menerpa dan menerjangnya tanpa ampun.
Dalam waktu singkat, sesuai nama julukannya Long Li Hu Tiap (Kupu-Kupu di Tengah Ombak) Sie Lan In terlihat sudah seperti seekor kupu-kupu yang terbang tak terduga di tengah hempasan ombak dan angin menderu. Kadang terlihat bagai terhempas menjauh, tetapi segera terlihat kembali terbang mendekat dan terus menyelinap dibalik gerakan-gerakan mujijat Lam Hay Liu Sui (Air mengalir dari Laut Kidul). Jadilah dia seperti benar-benar sedang mengalir bersama sekaligus menunggangi ombak laut selatan yang maha ganas dan mematikan. Sementara Si Rase Tanpa Bayangan benar-benar terlihat seperti Rase yang sedang mengejar lawannya dengan gaya yang amat liar dan tak kenal aturan. Jika gerakan si kupu-kupu amat indah dan menggemaskan serta menarik, maka sergapan-sergapan si Rase benar benar menggetarkan, amat liar, buas dan sering sangatlah tak terduga. Karakter keduanya yang ditandakan dalam julukan mereka masing-masing sungguh-sungguh tergambarkan dari ketat dan menariknya pertarungan mereka. Pertarungan antara gerak-gerik seekor kupu-kupu yang terbang menunggang gelombang laut selatan dengan seekor Rubah yang memiliki gerakan seperti siluman saja layaknya. Cepat dan seperti dapat menghilang layaknya.
"Ini benar-benar ciri khas dua tokoh kenamaan Rimba Persilatan yang jarang dapat kita saksikan dalam dunia persilatan selama ini......" desis Tiat Kie Bu kepada Pek Sim Nikouw yang juga sedang terpana mengikuti tarung itu.
"Amitabha ..... siancay,,,,, siancay......."
Tanpa terasa mereka berdua sudah bergerak hingga dua puluh jurus. Jelas bagi mereka berdua dan bahkan juga Tiat Kie Bu dan Pek Sim Nikouw, bahwa Sie Lan In masih kalah pengalaman, kalah kuat dan juga kalah matang. Tetapi, tidaklah mudah bagi si Rase Tanpa Bayangan untuk dapat menjatuhkannya pada saat itu. Apalagi harus mengalahkannya dibawah 100 jurus. Jelas teramat sulit. Karena Sie Lan In ternyata memiliki gerakan-gerakan selingan yang amat mujijat yang membuat sudah setidaknya dua kali dia dalam posisi kalah, tetapi dapat lolos dan bahkan berbalik menyerang lawannya dengan hebatnya. Hal yang sangat mengagetkan si Rase Tanpa Bayangan, tetapi menghadapi serangan aneh dan mujijat itu, justru membuat wajah si tokoh aneh itu nampak senang. Malahan sangat senang.
"Hikhikhik,,,,,, ternyata engkau malah sudah memiliki variasi gerak yang lebih kaya dan lebih mujijat dibandingkan Subomu sendiri,,,,,, hikhikhik sungguh menarik, tetapi awas, hati-hatilah engkau, Bibimu masih punya amat banyak jurus dan kemampuan untuk dapat mengalahkanmu......."
Sambil berkata demikian Si Rase Tanpa Bayangan kembali meningkatkan baik kecepatannya maupun kekuatannya. Sekali ini, dalam ilmu Kan Goan Cit Sin Kong (Jari sakti menembus baja) sesekali diselingi dengan kombinasi Ilmu Sah Cap Lak Cau Hui Su Cong (serangan tinju terbang dengan 36 perubahan). Kecepatan geraknya, jangan lagi ditanya. Susul menyusul dia mencecar Sie Lan In dalam jurus
Kim So Heng Kong (Rantai emas melintangi sungai), tipu Hay Tee Tam Cu (Mencari mutiara di bawah laut) dan gerakan Pek Wan Hoan Sin (Lutung putih jungkir balik). Jurus serangan Rantai Emas Melintangi Sungai dari Ilmu Sah Cap Lak Cau Hui Su Cong mengawali cecaran si Rase Tanpa Bayangan. Kilatan emas berupa cepatnya pukulan lengan bagaikan menutup semua jalan keluar dan juga kemungkinan pembelaan diri Sie Lan In.
Tetapi, Sie Lan In tidaklah bodoh, sebaliknya dia justru amat cerdik dan dengan cepat dapat menyadari bahaya jika tetap menggunakan ilmu yang sama terus menerus. Bibinya itu tentu sudah mengenali semua ilmu dan jurus serangan subonya dan ini repot jika dia melakukan sesuai "teori" atau sesuai kebiasaan. Untungnya, pada saat itu selain kepercayaan Sie Lan In atas diri sendiri sudah mulai terpupuk ditambah dengan jurus dan gerak yang diajarkan oleh Koay Ji kepadanya benar-benar mengganggu Si rase Tanpa Bayangan. Memang benar bahwa Subonya pernah memuji keistimewaan gerak tersebut dengan cara yang wajar, tetapi begitu menggunakannya dan sampai mampu untuk mendesak Si Rase Tanpa Bayangan membuat hati Sie Lan In menjadi semakin besar. Dia benar-benar tak menduga jika tip dan gerak ciptaan Koay Ji benar hebat dan membuatnya amat takjub.
Karena itu. untuk dapat terus mengimbangi tokoh seangkatan Subonya itu, Sie Lan In kembali membuka ilmu yang baru dan kini menggunakan Ilmu To Im Cih Yang (Menyambut Dengan Keras Mendorong Dengan Lunak) dan dikombinasikan dengan Ilmu yang lain, yakni Ilmu Kim Kong Ciang Hoat (Ilmu Pukulan Cahaya Emas). Dan menghadapi kepungan pukulan lawan yang mencecarnya dari segala penjuru, dengan tenang Sie Lan In menghadapinya dan menggunakan prinsip dasar iweekangnya sendiri. Menyambut dengan keras dan mendorong dengan lunak, atau juga sebaliknya. Tidak semua pukulan lawan dia hadapi dan tangkis, tetapi hanya pukulan-pukulan berisi yang ditahannya dan kemudian dipentalkannya meskipun dengan cepat kembali berubah arah dan cara untuk terus menggempurnya lagi. Dengan cara begitu dia mampu menanggulangi terjangan si Rase Tanpa Bayangan tanpa kesulitan yang berarti.
Serbuan si Rase Tanpa Bayangan tidak berhenti disitu saja, justru semakin lama semakin berbahaya karena menggunakan ilmu yang lebih membahayakan. Dengan cepat ketika terjangan pukulan berantainya dipunahkan lawan, tiba-tiba kedua kaki bergerak menendang. Bukan hanya itu, bahkan jari jemarinyapun dapat ikut memberikan tekanan dengan ketajaman yang tak perlu dipertanyakan lagi. Baru desirnya saja sudah membuat Sie Lan In sampai bergidik, apalagi jika sampai dapat mengenai bagian tubuhnya yang lemah tak terlindung. Tetapi gadis itu tidaklah takut, malahan dengan amat cepat diapun menyambut pukulan-pukulan lawan dalam dua jurus bersambungan Jurus Giok Lie Tou So (Bidadari menenun) dan langsung disambung dengan Jurus Ki Hwe Siauw Hian (Angkat obor membakar langit). Karena tetap menggunakan prinsip iweekang perguruannya, maka diapun tidak khawatir meski kekuatan iweekangnya masih belum sekuat lawan.
Dalam gerak yang susah diikuti pandangan mata, kembali keduanya saling serang dan saling bertahan dengan frekwensi penyerangan lebih banyak dilakukan oleh si Rase Tanpa Bayangan. Jurus Bidadari Menenun dimanfaatkan secara maksimal oleh Sie Lan In untuk memunahkan serangan berantai atau tendangan berantai lawan. Sementara Jurus Angkat Obor Membakar Langit digunakannya untuk dapat memunahkan serangan jari yang suara desiran serangannya saja sudah mampu membuat hati berdesir jerih. Ada sebanyak tiga kali mereka adu kekuatan, tetapi dengan cerdiknya Sie Lan In menyiasati kekuarangan iweekangnya dengan tidak berhadapan secara langsung. Meski dia terserang, tetapi dia sadar posisinya masih amat kokoh dan masih belum dapat dihitung terdesak menghadapi tokoh yang amat ditakuti rimba persilatan Tionggoan itu. Dan kenyataan ini mengembangkan rasa percaya dirinya dan sekaligus mulai membuatnya mengalir dalam melakukan perlawanan terhadap si Rase Tanpa Bayangan. Sesekali dia membiarkan dirinya dalam desakan lawan dan bahkan bergerak mengikuti irama serangan yang terus menderanya itu tanpa khawatir terluka.
Apalagi ketika pada peralihan jurus, dia teringat dengan sebuah totokan khas dan sederhana yang diajarkan Koay Ji kepadanya di Benteng Keluarga Hu. Sebuah gerakan umum namun sangat sulit dilatih tanpa iweekang memadai yang bernama Jurus Yu Liong Tam Jiau (Naga Bermain Mengulurkan Kukunya). Jurus yang terlihat sederhana ini berupa sebuah totokan tak terduga pada jalan darah Yang Kok Hiat, satu jalan darah penting pada pergelangan tangan lawan dan gerakannya itu sungguh amat tak terduga lawan. Tetapi, karena efek kejutan ini, serangan Si Rase Tanpa Bayangan selanjutnya, meski berlangsung pada 3-4 gerakan, tetapi sama sekali sudah kehilangan momentum dan keistimewaannya. Dan keduanya paham dengan kejadian tersebut. Dan ha ini, membuat Si Rase Tanpa Bayangan mulai terkejut dan was-was dengan peluang menangnya karena setidaknya ada tiga kali lawan mudanya ini mengejutkannya dengan jurus aneh, sederhana, tetapi sungguh amat efektif dan sangat manjur. Sie Lan In semakin menemukan momentum dalam melanjutkan perlawanannya, percaya dirinya meningkat dan mengalirlah jurus-jurus serangan dan pertahanannya secara otomatis.
Bentrokan keduanya sampai sepuluh jurus kedepan hingga kini sudah mencapai jurus ke-50, masih belum dapat menentukan siapa yang terdesak. Logikanya, begitu menurut pikiran si Rase Tanpa Bayangan, Sie Lan In mestinya sudah terdesak hebat dan tinggal menunggu gebukan terakhir. Tetapi, apa daya, ada setidaknya tiga kali dia bersiap untuk mendesak dan menciptakan posisi kalah yang tak terelakkan oleh Sie Lan In. Tetapi apa lacur, dia menghadapi gerak yang sederhana namun berakibat secara tiba-tiba dia yang malahan secara mujijat terserang secara hebat. Hal itu bukan hanya membuatnya sangat terkejut tetapi juga mampu memunahkan semua skema serangan maut yang direncanakannya. "Hmmmmm, sangat alot dan satu kemajuan yang sungguh amat luar biasa bagi anak ini...." desis Si Rase Tanpa Bayangan dalam hati. Tentu saja dia malu untuk langsung mengucapkannya keluar, meski dalam hati dia benar sangat kagum dengan kemajuan yang dicapai Sie Lan In. Kemajuan yang membuatnya kerepotan dan sekaligus membuatnya menimbang ilmu apa yang harus dikeluarkannya untuk menang"
Pada sisi lain, semakin Sie Lan In menyadari kemujijatan gerak-gerak sisipan yang diajarkan Koay Ji semakin dia curiga dengan keberadaan dan kondisi Koay Ji yang terlampau sulit untuk dipahami. Mana bisa seorang Koay Ji yang tanpa kepandaian mampu menciptakan gerakan-gerakan maut yang bahkan dapat menggoyahkan dan mengejutkan Rase Tanpa Bayangan ini" Padahal dia tahu betul sampai dimana kemampuan dan tingkat kepandaian bibi gurunya yang termasuk tokoh paling tinggi di Tionggoan saat itu. Meski penasaran dengan diri Koay Ji tetapi disisi lainnya kepercayaannya terhadap kepandaian yang sudah diselipi berapa rangkaian jurus Koay Ji, justru semakin meningkat. Berbeda dengan Si rase Tanpa Bayangan yang justru semakin penasaran, dan sebagaimana wataknya yang rada kukoay, kini justru mengganggu keseimbangannya. Bagaimana bisa seorang anak semuda Sie Lan In dapat mengimbanginya sampai sedemikian lama" Kenyataan yang sungguh amat sulit untuk dapat dipahami dan diterimanya.
Sebuah serbuan cepat dan dengan kekuatan luar biasa kembali dilakukan oleh si Rase Tanpa Bayangan. Dalam jurus sederhana yakni jurus Thian Lie Tek Hoa (Bidadari memetik kembang), dia menerjang Sie Lan In dan mengincar jalan darah di pergelangan tangan kiri Sie Lan In. Belum lagi secara bersamaan dia segera menyusulkan dengan gerakan Yan Cu Tui In (Burung wallet mengejar mega), yang bermaksud untuk segera menutup jalan mundur Sie Lan In. Kondisi yang sebetulnya genting bagi Sie Lan In karena kecepatan dan kekuatan pukulan lawan yang luar biasa. Tetapi, anehnya, kini Sie Lan In yang sudah mampu menemukan momentum dan rasa percaya dirinya, tidaklah kaget dan bergerak terburu-buru seperti awalnya. Melainkan mulai mampu lebih fleksible dan mengalir melakukan perlawanan dengan jurus-jurus yang sudah dikuasainya.
Dengan dua gerakan beruntun, dia bukan pergi dan lari menghindar, tetapi malah maju setengah tindak dan balas menotok dengan jurus gerakan Ban Li In San (Awan gunung tampak selaksa li). Bukannya mengindar, dia justru berbalik menotok di tiga tempat sekaligus dalam kecepatan yang sama dengan Rase Tanpa Bayangan dan langsung disusulnya dengan jurus Coan Ping Kiu Siau (Burung garuda berputar sembilan kali di kabut). Jurus terakhir sama dengan bermain petak umpet dengan jurus lawan dan akhirnya membuat mereka saling intip dan saling menunggu kesempatan lawan menggunakan jurus yang salah dan kemudian akan membombardirnya dengan jurus serangan selanjutnya. Tetapi, sampai si Rase Tanpa Bayangan dan Sie Lan In bertukar jurus sekian kali, mereka tetap sulit guna menemukan peluang tersebut. Adalah Rase Tanpa Bayangan yang khawatir karena kembai 10 jurus berlalu tanpa ada peluang yang nyata baginya untuk mendesak dan menyudutkan Sie Lan In guna meraih kemenangan.
Teringat dengan kemenangan, tiba-tiba si Rase Tanpa Bayangan merubah lagi strateginya. Kini dia memainkan jurus Mo In Kim Ci (Mengusap awan dengan sayap emas) dan disambung dengan jurus Can Goat Siau Seng (Bulan sabit menyinari bintang). Sie Lan In nyata-nyata melihat pada jurus ke 73 bahwa Bibi Gurunya ini menyerang dengan tiga buah gerakan memutar dan mengancam tiga titik pada leher serta wilayah pundaknya. Tetapi, entah bagaimana dia justru merasa seperti sedang diserang pada 10 titik sekaligus, sementara si Rase Tanpa Bayangan terlihat melompat-lompat ringan bagaikan capung yang tak memiliki beban berat. Dalam sepersekian detik dia merasakan adanya hawa yang aneh mencoba menyusup dan menyerang konsentrasinya dan berusaha merusaknya. Dan diapun segera paham jika ada hawa aneh sejenis hawa sihir yang sedang dihadapinya, dan dia ingat jika bibinya memiliki sebuah Ilmu bernama Ilmu Cui Hun Ciap Ji Kiam Ciang (12 Jurus Mengusir Setan) dan gerakan melompat itu pastilah Ilmu Sam Teng Jin Thian (Tiga Kali melompat Memasuki Langit).
Tebakan Sie Lan In sekali lagi memang sangat tepat. Bukanlah maksud Si Rase Tanpa Bayangan menyerang dengan menggunakan kekuatan sihir, tetapi jurus-jurus serangan dalam ilmunya memang mengandung hawa mujijat yang mempengaruhi semangat para lawannya. Untunglah Sie Lan In cepat menyadarinya dan karena itu, meskipun dia kehilangan waktu sepersekian detik, tetapi tidaklah sampai membuat ataupun membawa akibat fatal dalam perlawanannya. Dan yang paling penting adalah, Sie Lan In paham dan tahu bagaimana bereaksi guna melawan pengaruh aneh itu dan memilih serangan pertahanan yang pas dan tepat. Dan diapun segera melakukannya tanpa pikir panjang.
Dengan cepat Sie Lan In memainkan dua jurus secara bersamaan yakni jurus Gwat Beng Seng See (Bulan terang bintang jarang) dan disusul dengan jurus Ki Ku Sian Thian (Memukul tambur menggetar langit). Jurus yang kedua dilakukan dalam pengerahan ilmu mujijatnya untuk menolak hawa sihir yang membuatnya melihat setiap serangan lawan menjadi dua kali lipat banyaknya. Dengan getaran kekuatan iweekangnya dia dapat memandang kembali jurus serangan lawan secara normal dan kemudian menyingkap rahasia pukulan itu dalam jurus selanjutnya. Tetapi, peralihan penggunaan Ilmu si Rase Tanpa Bayangan memang hebat, dan ini menggoyahkan perlawanan Sie Lan In yang kehilangan waktu sepersekian detik mengantisipasi serangan lawan. Dan itu cukup bagi si Rase Tanpa Bayangan untuk mengambil alih pertempuran guna membuat peluang mendesak dan mengalahkan Sie Lan In. Apalagi, kini pertarungan mereka sudah menginjak jurus ke delapan puluh. Tetapi, sekali lagi untuk kesekian kalinya yang tak diduga oleh Si Rase Tanpa Bayangan kembali terjadi. Karena secara tiba-tiba dalam posisi terdesak, Sie Lan In bergerak dalam sebuah jurus sela, yakni menggunakan sebuah jurus bernama In Liong Sam Sian (Naga di awan muncul tiga kali).
Sebetulnya jurus itu merupakan salah satu gubahan Koay Ji dari Ilmu Liu Yun Ciang Hoat (llmu pukulan Awan Terbang) miliknya sendiri. Tidak ada yang sangat luar biasa dari jurus tersebut, hanya penggunaan pada waktu yang tepat disertai pengerahan kekuatan yang memadai dan menghasilkan perbawa yang luar biasa jika dibandingkan digunakan dalam situasi rangkaian Ilmu Liu Yun Ciang Hoat. Pada posisi sedikit terdesak itu, kepercayaan dan rasa cintanya kepada Koay Ji membuat Sie Lan In mengingat kembali sebuah kalimat Koay Ji tentang jurus In Liong Sam Sian: " Jurus ini adalah jurus yang cukup hebat dalam rangkaian Ilmu Liu Yun Ciang Hoat, tetapi jika dilakukan pada saat terdesak dan amat membutuhkan peralihan penggunaan ilmu yang baru, dengan lawan yang sedang menyerang dan engkau menggandakan iweekang dalam setiap lompatan dan serangan balasan, maka lawan akan mampu diredam semua serangannya.... lakukan dengan mengalir, hatimu akan menuntunmu untuk melakukannya secara benar....."
Dan Si Rase Tanpa Bayangan serta Sie Lan In sendiri menjadi tersentak kaget ketika secara mendadak dalam tiga kali upayanya keluar dari jeratan lawan justru membuatnya mampu berbalik mendesak lawan. Pukulan pertama dari jurus itu dengan mudah dipunahkan Rase Tanpa Bayangan, tetapi pukulan kedua dan ketiga jadi membuatnya tersentak karena kekuatan pukulan melonjak drastis sementara dia jadi batal menyerang balik karena kekagetannya itu. Awalnya dia mengira Sie Lan In sudah kehabisan nafas yang dibutuhkan untuk melakukan serangan kedua dan ketiga, tetapi entah bagaimana Sie Lan In justru melakukan apa yang dibayangkan sebagai sesuatu yang mustahil. Akibatnya, kembali kini Rase Tanpa Bayangan yang kaget kehilangan momentum dan malah berbalik kehilangan waktu sepersekian detik dan dimanfaatkan dengan baik oleh Sie Lan In.
Dengan serentak Sie Lan In balik menyerang dalam rangkaian jurus Siang Liong Chio Cu (sepasang naga merampas mutiara) langsung dilanjutkannya dengan jurus To Pu Tu Kang (pengayuh kayu menampar air). Kedua jurus itu memiliki empat buah gerakan berbeda yang menyerang Si Rase Tanpa Bayangan dari empat sisi berbeda dan dalam kecepatan yang luar biasa. Dalam sekejap bagian dada, pinggang, leher dan pangkal paha Rase Tanpa Bayangan berada dalam cecaran maut Sie Lan In. Satu saja terserempet angin pukulan akan berakibat yang amat besar bagi Rase Tanpa Bayangan. Tetapi, percuma tokoh itu menjadi tokoh besar jika dapat diapusi oleh Sie Lan In dengan demikian mudahnya. Dia memang kaget dan memang kehilangan waktu sepersekian detik, tetapi tidak kehilangan hal yang amat penting bagi seorang petarung. Ketenangan, kepercayaan diri dan waspada untuk menyesuaikan dengan serangan lawan dan antisipasi atas apa yang perlu untuk segera dia lakukan.
Itu sebabnya dalam jurus tunggal yang membuatnya mengerahkan banyak kekuatan saktinya, yakni jurus Pay San Hu Ciong atau menghalau gunung menggempur karang dengan cepat Rase Tanpa Bayangan mengokohkan kembali posisinya. Tapi, dengan kesadaran dia sudah kehilangan peluang besar untuk mengalahkan Sie Lan In, dan rasanya dia cukup sadar jika ponakan perempuannya ini sudah berada dalam tataran yang tidak jauh dengan dirinya sendiri. Inilah yang membuat Si Rase Tanpa Bayangan menjadi senang. Tetapi, rasa senangnya itu membuatnya ingin lebih meyakinkan dirinya dengan menggunakan 10 jurus tersia guna menguji tingkat kemampuan Sie Lan In dan meyakinkan dirinya sendiri.
Maka diapun bergerak sambil berbisik kepada Sie Lan In:
"Engkau harus mampu menghadapi kedua ilmu andalanku jika memang benar nekad dan berkeinginan membantu kedua orang tua yang tak ada hubungannya dengan dirimu itu... maka berhati hatilah, karena jika gagal maka engkau mengalami kerugian yang tidak kecil..."
Mendengar bisikan bibinya itu, Sie Lan In tersentak kaget. Benar-benarkah bibinya itu akan menyerangnya dengan kedua ilmu pusakanya" Ilmu Sihir Mi Cin Li Hun (Menyesatkan pikiran & mengusir roh) yang bisa dilakukan dengan seruling namun juga bisa dengan lantunan suara bibinya itu. Dan terkahir Ilmu Sie Tie Kan Kun (Seruling Sakti Menggetarkan Jagad) yang bentuk terhebatnya dilakukan dengan bantuan suara seruling. Dan tentunya Sie Lan In paham bahwa kedua ilmu tersebut adalah ilmu simpanan yang mengangkat nama si Rase Tanpa Bayangan di Tionggoan. Kekuatannya boleh dibilang pada penguasaan dan penggunaan ilmu sihir yang mampu mengeluarkan suara yang mempengaruhi sekaligus merusak konsentrasi lawan. Bahkan pada kemampuan tertingginya, suara mujijat itu mampu membuat orang mengerjakan apa yang diinginkan serta diperintahkan oleh si peniup seruling. Sementara ilmu yang terakhir adalah penggunaan kekuatan murni yang disalurkan melalui suara dan mampu menggedor pertahanan lawan sehebat apapun. Dapat dibayangkan kehebatan Si Rase Tanpa Bayangan jika memang benar akan melepas kedua ilmu pusakanya itu.
Dan sudah barang tentu Sie Lan In paham dan mengerti bahwa dia membutuhkan hal yang lebih dari biasanya untuk menahan kedua serangan itu. Dan memang jika amat dibutuhkan, maka mau tidak mau dia harus menggunakan senjata andalannya Thian Liong Po Kiam (Pedang Pusaka Naga Kahyangan) dan dikombinasikan dalam tingkatan tertinggi Imu Pedangnya. Yakni sejenis Ilmu Kepandaian Kiam Jin Hip It (pedang dan tubuh terhimpun menjadi satu) yang mujijat, baru dengan itu dia akan memiliki cukup peluang untuk sekedar menahan serangan lawannya itu. Tetapi, itupun hanya sampai pada tingkatan bertahan karena dia amat sadar, dengan keterbatasan kekuatan batinnya, maka dia masih belum mampu menerobos masuk ke inti pertahanan bibinya itu. Hal ini sudah dengan jelas disampaikan subonya pada saat-saat terakhir ketika dia digembleng habis-habisan sebelum sang subo akhirnya menutup diri.
Kelihatannya Si Rase Tanpa Bayangan memberi waktu yang cukup kepada Sie Lan In untuk mempersiapkan dirinya. Dan memang benar, Sie Lan In memanfaatkan waktu yang tersedia untuk mengumpulkan seluruh semangatnya, mengumpulkan seluruh hawa murninya dan kemudian melepas untuk pertama kalinya Pedang Pusaka yang selalu dibawahnya dan disembunyikan dibalik jubahnya. Itulah Thian Liong Po Kiam atau Pedang Pusaka Naga Khayangan yang memancarkan sinar keputihan yang menyilaukan mata. Pedang itu kemudian diangkat menunjuk keatas, keangkasa dan sebelah lengan Sie Lan In bersedekab didada. Dan inilah posisi kepandaian pedang langkah yang sudah teramat jarang munculkan diri di rimba persilatan lagi. Inilah Ilmu Pedang yang dinamakan Hui Sian Hui Kiam (Pedang terbang memutar) yang akan dimainkan dalam tingkatan tertinggi Ilmu Pedang, yakni tingkatan Kiam Jin Hip It (pedang dan tubuh terhimpun menjadi satu). Mimik wajah Sie Lan In sudah terlihat sangat serius karena segenap semangat dan kekuatan iweekangnya disalurkan dan digerakkan keujung pedang, sementara semangatnya terpusat dan menghadirkan tatap mata yang amat tajam tanda Sie Lan In sudah sangat siap.
"In Ji,,,,, awas,,,,,,,,,"
"Tringgggg,,,,,,,,"
Peringatan Si Rase Tanpa Bayangan adalah pembukaan serangan yang segera membuat Sie Lan In bergerak. Dia ingat betul saran Koay Jie, bergerak dan terus bergerak sesuai dengan tuntutan dan arahan hati, semangat dan kemauan berpadu dan biarkan melahirkan gerak sesuai dengan tuntutan hati dan tubuh. Dan kibasan pertama Sie Lan In berbenturan dengan peringatan "awas" yang dilepaskan oleh Rase Tanpa Bayangan yang sebenarnya adalah sebuah serangan berbahaya. Dan akibatnya terdengar benturan seperti pedang beradu dengan pedang. Padahal yang terjadi adalah serangan suara Rase Tanpa Bayangan yang membentur deru angin tangkisan Sie Lan In. Tetapi, pertarungan mereka selanjutnya justru senyap dan tidak terdengar telinga Tiat Kie Bu dan Pek Sim Nikouw adanya desiran angin pukulan maupun suara berkesiutan suara pedang. Sebaliknya, meski Sie Lan In terlihat bergerak memukul tetapi sebagian besar menangkis tetapi sama sekali arena itu sepi dan senyap. Sungguh luar biasa.
Padahal, pada saat itu Sie Lan In sedang digempur habis-habisan oleh angin suara tak berwujud yang ingin membuatnya tunduk atas kemauan Rase Tanpa Bayangan. Tetapi, kepercayaan diri yang tinggi, keyakinan terhadap ilmu warisan subonya dan juga kepercayaan dan kasihnya yang semakin tebal kepada Koay Ji, membuatnya mampu bertahan. Serangan suara Rase Tanpa Bayangan bagaikan meteor yang terus menerjang sekujur tubuh Sie Lan In yang untungnya terus bergerak baik menghindar maupun memunahkan serangan lawan dengan pedangnya. Dan yang hebat dan mengagumkan Rase Tanpa Bayangan adalah bagaimana Sie Lan In menghadapi serangan suaranya. Dia tidak hanya bersembunyi dibalik bayangan pedangnya, tetapi sesekali keluar menyerangnya dan seringkali menarik dengan pedangnya di tengah hujan cecaran serangannya. Dan yang terpenting, sama sekali tidak nampak raut wajah yang panik, tergesa-gesa ataupun gelisah menghadapi badai serangannya yang terus mengancam.
Keadaan itu berlangsung sampai bahkan melebihi jurus ke-100, tetapi tidak terlihat niat Si Rase Tanpa Bayangan untuk berhenti. Sebaliknya, dengan pandang mata kagum dan senang dia malah berdesis: "Terima kasih enci Sie Chen, engkau benar sudah mengurusnya dengan sangat baik...". Dan beberapa saat setelah melampaui 100 jurus, diapun berbisik atau tepatnya mengirimkan suara kepada Sie Lan In yang sedang berkonsentrasi menghadapi serangannya: "sekali lagi perhatikan dengan cermat apa yang kulakukan......". Sebetulnya Sie Lan In kaget, tetapi jelas sekali dia mendengar apa yang disampaikan oleh Si Rase Tanpa Bayangan. Dan segera dia sadar bahwa mereka sudah melampaui 100 jurus dan kini bibinya itu seperti sedang berusaha membimbing dan mengajarnya. Dia merasakannya dan membuatnya berdebar karena jelas gerakan dan serangan Si Rase Tanpa Bayangan merupakan ulangan atas serangan-serangan sebelumnya. Maka, tanpa sedikitpun mengurangi kewaspadaannya, diapun kini mulai lebih memperhatikan gerak-gerik, jurus dan juga terutama ginkang dan kecepatan si Rase Tanpa Bayangan.
Kejadian itu berlangsung lumayan lama dan dalam kecepatan yang terlampau sulit dilacak orang lain, bahkan Tiat Kie Bu dan Pek Sim Nikouw hanya mampu untuk megikutinya secara samar. Tetapi, mereka berdua paham kalau pertarungan sudah melampaui 100 jurus, tetapi entah mengapa kedua perempuan beda generasi itu masih terus bertarung dengan hebat. Hanya, sekali ini mereka tidak lagi merasa takut dan sangsi dengan Sie Lan In karena melihatnya mampu meladeni serangan maut si Rase Tanpa Bayangan. Setelah sekian lama mereka menyaksikan dan akhirnya menunggu dengan perasaan gelisah, tiba-tiba mereka terkejut melihat bayangan si Rase Tanpa Bayangan berkelabat menjauh. Bahkan sesaat kemudian mereka mendengar tokoh itu berkata dari kejauhan dengan suara yang masih sangat bening dan jelas di telinga:
"Baiklah, sekali ini kalian berdua kulepaskan dan tidak akan kuganggu lagi. Tetapi, jika bertemu suhu kalian, laporkan bahwa Rase Tanpa Bayangan menantang dan menunggu kunjungannya di tempatku. Dia tahu bagaimana menemukanku dan bagaimana menyelesaikan semua hutang diantara kami....."
Apa gerangan yang terjadi" Bagaimana bisa seorang bernama besar semisal Bu Eng Ho Khouw Kiat (Si Rase Tanpa Bayangan) bisa meninggalkan arena tarung seperti itu" Mari kita ikuti bagian-bagian selanjutnyan guna memahami apa yang sebenarnya baru saja terjadi.
Si Rase Tanpa Bayangan sebetulnya meihat dan menyadari bahwa meskipun Sie Lan In sudah maju sangat jauh, tetapi masih belum memguasai beberapa jurus pamungkas Lam Hay Sinni. Dan dia akan dapat mengalahkan gadis itu, tetapi untuk itu diapun harus berkorban sangat besar. Padahal, muridnya pada saat itu sangat membutuhkannya karena berada pada saat yang sangat kritis. Tetapi, pada sisi yang lain, dia justru sangat gembira sekaligus terkejut setengah mati karena pada dasarnya tingkat kemampuan Sie Lan In sudah maju teramat jauh. Kemampuannya bahkan sudah setingkat dengan kemampuannya pada usia 50an, pada masa-masa kejayaannya bersama Lam Hay Sinni. Hanya soal kematangan, pengalaman dan sepenggal kekuatan batin yang berkembang seiring dengan kemampuan mengalami dan menata pengalaman hidup agar selaras dengan perkembangan kemampuan ilmu silatnya. Dan ini sangat menggembirakan Si Rase Tanpa Bayangan. Itulah sebabnya dia dengan rela hati mengulangi serangannya setelah melewati angka 100 jurus pertarungan mereka. Dan benar saja, dia melihat Sie Lan In dengan cerdik mampu memperhatikan semua formula gerak, jurus dan ginkangnya. Inilah yang diinginkannya dan memang dirancangkannya. Maka setelah akhirnya merasa cukup, diapun meninggalkan tempat itu.
Apakah selesai" Pada dasarnya memang selesai. Setidaknya urusan Tiat Kie Bu dan Pek Sim Nikouw sudah selesai. Apalagi jaminannya sudah dilontarkan oleh Si Rase Tanpa Bayangan barusan. Tetapi, Sie Lan In merasa terkejut dan termenung begitu Si Rase Tanpa Bayangan berlalu, bahkan bertanya-tanya dalam hatinya. Sesaat kemudian dia terkenang dengan subonya dan teringat dengan sebuah pesan dan titipan subonya itu sebelum perjalanannya yang pertama ke Tionggoan. Pesan dan titipannya disampaikan secara rahasia dan dalam percakapan dari hati ke hati ketika dia menanyakan asal-usul serta keluarganya yang sebenarnya. Teringat akan Subo dan titipan subonya itu, Sie Lan In terlihat sedikit tenang dan dia memutuskan akan memeriksa titipan subonya. Dia ingat betul kejadian dan rangkaian kejadian ketika dia merengek kepada subonya mengenai siapa dirinya yang sesungguhnya. Dan subonya menjawab:
"Suatu saat ketika engkau menemukan Bibimu Bu Eng Ho Khouw Kiat (Si Rase Tanpa Bayangan) boleh engkau bertanya lebih jauh kepadanya. Tetapi, bacalah terlebih dahulu surat subomu ini yang baru boleh dibuka setelah engkau bertemu dengan dia untuk pertama kalinya. Ingat sekali lagi, surat ini baru boleh engkau buka setelah bertemu dengannya pertama kali, dan setelah itu, ikutilah suara hatimu. Tetapi untuk bercakap dengan Bibi gurumu engkau harus teramat sabar serta jangan sekali-kali mendesaknya. Pada dasarnya dia adalah orang yang baik, tetapi penderitaan yang panjang membentuknya menjadi amat keras, aneh dan juga eksentrik. Nach, itu saja pesan Subomu untuk menjawab pertanyaanmu kemarin mengenai asal-usulmu dirimu In Ji..... sekarang engkau sudah boleh pergi untuk melakukan tugasmu dan berusaha mencari Sucimu...."
Lamunan Sie Lan In terhenti ketika dia mendengar teguran dan ucapan terima kasih dari Tiat Kie Bu dan Pek Sim Nikouw:
"Sie Kouwnio, kami berdua mengucapkan terima kasih atas bantuan dan atas semua upaya yang engkau lakukan untuk kami,,,,,,,"
"Accchhhhh, Paman Tiat Kie Bu, Pek Sim Nikouw tidak ada yang luar biasa. Bukankah itu adalah kewajiban antar sesama pendekar di Tionggoan kita ini. Tapi, sebaiknya mari kita cepat tinggalkan tempat ini sekarang, ada suatu urusan yang harus cepat kukerjakan,,,,,,"
Dan tak lama kemudian Sie Lan In sudah berada dalam ruangan kecil di rumah unik milik Tiat Kie Bu. Dan dengan hati-hati dia mengeluarkan surat titipan subonya, membukanya perlahan-lahan dan kemudian membaca tulisan subonya yang amat singkat namun padat:
Sie Lan In muridku,,,, Bu Eng Ho Khouw Kiat (Si Rase Tanpa Bayangan) nama aslinya adalah Sie Hoa dan merupakan nenek buyutmu. Ibumu adalah cucu dari Sie Hoa, dan Sie Hoa adalah adik bungsu Subomu. Cari Nenek buyutmu itu dan mintalah dia menceritakan prihal asal-usulmu........."
Lam Hay Sinni Tergetar perasaan Sie Lan In membaca surat singkat Subonya. Yang pasti sang Subo tidak mungkin mendustainya. Tetapi, mengapa dia sendiri memakai nama She Nenek buyut dan Subonya yang juga adalah bibi nenek buyutnya" Pertanyaan ini menggantung dan tak dapat dijawabnya sendiri. Karena itu, diapun memutuskan untuk pergi menemui Nenek Buyutnya itu guna bertanya mengenai asal usulnya dan juga mengenai kedua orang tuanya.
Tapi,,,,,, inilah soalnya. Dan ini membawa pertentangan batin dalam hati Sie Lan In serta memusingkannya: "Accchhh, aku tadi sudah menggagalkan satu upaya nenek buyut mengobati muridnya,,,,,, bagaimana baiknya ya......." hmmmmm, lebih baik kutemukan Bu San terlebih dahulu baru mengunjungi Nenek buyut. Tapi, achhhh, aku lupa dengan Thian Liong Koay Hiap,,,,, apa kata Subo nanti....?", dengan pikiran itu Sie Lan In akhirnya memutuskan untuk menemukan Thian Liong Koay Hiap terlebih dahulu. Dan dalam waktu kurang dari sejam, dia sudah berada di kota Liang Ping, tetapi celakanya waktu sudah senja dan menjelang malam. Sementara mereka berjanji untuk bertemu siang hari. "Bagaimana menemukan Thian Liong Koay Hiap?" ini yang menjadi persoalan baru bagi Sie Lan In.
Setelah berpikir sekian lama, Sie Lan In tidak mau bertindak tanggung, dia punya cara "mengundang" Thian Liong Koay Hiap. Maka diapun kemudian menuju titik pertama atau tempat mereka masuk ke kota Liang Ping. Setelah berada disana, diapun menyuruh Rajawali Saktinya untuk "berteriak" dan kemudian menyuruhnya untuk secepatnya terbang pergi ke angkasa. Dan memang, seperti yang sudah ditebaknya, tidak beberapa lama kemudian terlihat Thian Liong Koay Hiap sudah datang untuk menemuinya disitu.
"Acccchhh, mengapa menggunakan Burung Rajawalimu untuk menghentak seisi kota ini..." bukankah engkau dapat menemuiku di hotel terakhir sebelum kita berpisah Sie Kouwnio...?" sungut Thian Liong Koay Hiap ketika akhirnya menemukan Sie Lan In yang memang sengaja menunggunya.
"Waktunya terbatas Koay Hiap, aku harus pergi menemukan Bu San, bibiku amat memerlukannya. Hanya dia yang dapat mengobati murid bibiku dan hanya bibiku yang dapat menceritakan asal-usulku......."
"Sakit apa gerangan murid bibimu Sie Kouwnio.....?"
"Entahlah, tapi kuduga, hanya Koay Jie yang dapat mengobatinya....."
"Engkau meragukan ilmu pengobatanku Sie Kouwnio..." engkau harus tahu, dalam hal pengobatan Koay Jie tidak lebih hebat dari diriku......." berkata Koay Hiap dengan suara tawar dan tidak terkesan menyombongkan diri. Pastilah, karena sesungguhnya dia dan Koay Jie adalah tokoh yang sama.
"Apa....." engkaupun ahli dalam pengobatan...?" jerit Sie Lan In kaget antara terkejut dan senang dengan apa yang didengarnya.
"Apa perlu kubuktikan......?" jawab Thian Liong Koay Hiap dengan santai sambil memandang Sie Lan In dengan sedikit menggoda.
"Tidak perlu kau buktikan disini, lebih baik engkau buktikan dengan menyembuhkan murid dari bibiku itu....."
"Dimana ...?" "Di dekat tempat tinggal Tiat Kie Bu Locianpwee ..... jika engkau siap, sekarang juga kita akan segera berangkat...."
"Apa" tidak menunggu sampai besok...?"
"Aku tidak sabar menunggu kalau terkait dengan kisah asal usulku, siapa orang tuaku dan keluarga terdekatku yang lain....."
Mendengar perkataan Sie Lan In segera Koay Hiap terdiam. Dia setuju, kisah soal asal usul terlampau penting untuk dinomor duakan. Apalagi karena Koay Ji sendiri memang bernasib mirip dan sama dengan Lan In, itu sebabnya dia dapat menerima dan memahami alasan Sie Lan In untuk berkeras melakukan perjalanan saat itu juga. Karena itu, diapun pada akhirnya dengan suara tegas menentukan sikap dan berkata kepada Sie Lan In:
"Baik, demi dan untuk kisah serta asal-usul dirimu mari kita berangkat. Tapi biar kuberitahu beberapa orang agar menyusul segera........"
Setelah kembali sebentar ke hotelnya, saat itu juga keduanya berkelabat menuju ke tempat tinggal Tiat Kie Bu. Tetapi, pada saat itu Pek Sim Nikouw sudah pulang ke kuilnya dan konon akan kembali dua hari kedepan untuk melakukan perjalanan menuju ke tempat toa suheng mereka. Meski berlarian selama 2 jam lebih dalam kecepatan tinggi, tetapi Sie Lan In terlihat seperti tidak lelah dan memaksa untuk segera menuju ke tempat tinggal si Rase Tanpa Bayangan. Tetapi, setelah diberi penjelasan dan pertimbangan terutama oleh Tiat Kie Bu, pada akhirnya Sie Lan In dapat menerima untuk besok pagi akan menemui kembali Si Rase Tanpa Bayangan. Malam itu mereka dapat beristirahat dengan tenang, terutama bagi Tiat Kie Bu setelah selama beberapa hari mengalami ketegangan berhadapan dengan si Rase Tanpa Bayangan yang mengancam mereka.
Tetapi, sayang sekali, keesokan paginya tetap saja mereka terlambat. Jika memaksa datang semalampun, tetap saja mereka terlambat karena Si Rase Tanpa Bayangan sudah langsung pergi tidak berapa lama setelah pertarungannya dengan Sie Lan In. Hal ini akan mereka ketahu belakangan. Yang ditemukan Sie Lan In, Tiat Kie Bu dan Thian Liong Koay Hiap hanyalah sebuah gua yang sudah kosong melompong. Tetapi itupun setelah Thian Liong Koay Hiap dengan susah payah menembus tirai sihir yang kelihatannya sengaja dipasang penghuninya.
"Accchhhhh, kosong juga ...." keluh Sie Lan In begitu menemukan gua tempat tinggal Si Rase Tanpa Bayangan ternyata sudah kosong. Dia seperti ingin menumpahkan kekesalannya karena ditahan-tahan semalam, namun untung dia masih dapat menahan dirinya. Sementara Sie Lan In mengeluh dan kecewa, Koay Hiap terlihat tetap tenang dan terlihat terus-menerus mengawasi sekeliling gua tersebut. Dia seperti mencurigai sesuatu, tidak percaya jika gua itu sudah ditinggal pergi dan ditinggalkan kosong begitu saja. Apalagi dia mendengar dari Sie Lan In bahwa murid bungsi penghuni yang mereka cari sedang dalam keadaan terluka hebat. Dalam keadaan seperti itu tidak mungkin mereka meninggalkan gua begitu saja, tentunya ini mencurigakan. Dan Koay Ji menduga ada sesuatu yang tersembunyi.
"Hmmmm, ini bukan ruangan utama tempat tokoh tua itu tinggal..... tetapi dia cerdik dengan memasang tirai sihir di tempat ini dan membuat banyak orang akan salah duga. Tetapi, tidak mudah mengibuliku" desis Koay Hiap dalam hatinya dan terus mencari dengan teliti. Sementara Sie Lan In terlihat terpukau dan menarik nafas penuh kekecewaan, sedangkan Tiat Kie Bu terlihat berusaha untuk menghibur si dara yang sedang kecewa berat itu.
"Tempat ini bukan tempat tinggal Si Rase Tanpa Bayangan,,,,,, ini sejenis tempat biasa, menerima tamu atau sejenisnya. Jelas tokoh itu tidak tidur di tempat ini, dia mestinya memiliki ruangan lain yang lebih tersembunyi. Jangan bersedih dahulu, kita mesti dapat menemukan tempat itu......" berkata Koay Hiap dengan lebih berusaha lagi, bahkan kini berusaha mengerahkan konsentrasi dan kekuatan batinnya untuk bisa melihat lebih detail posisi ruangan tersebut. Tetapi, sekian lama, tetap saja dia tidak dapat menemukan sesuatu yang mencurigakan. Ruangan gua tersebut memiliki atau terbagi dalam 3 ruangan berbeda, tetapi Koay Hiap merasa pasti bukan disitu tempat tinggal si Rase Tanpa Bayangan. Tetapi dimana" Karena ketiga ruangan itu sudah diteliti dan diselidiki Koay Hiap tanpa ada tanda-tanda yang mencurigakan. Di atas, di lantai, di dinding, tetap saja tidak terlihat ada jalan menuju ke ruangan lain yang lebih tersembunyi.
"Sudahkah engkau temukan......?" desis Sie Lan In yang juga sama penasarannya dan kini kewaspadaannya kembali normal setelah ditegur dan diingatkan oleh Koay Hiap beberapa waktu sebelumnya.
"Belum, tetapi kita pasti akan dapat menemukannya......" jawab Koay Hiap sambil lalu lalang dan bahkan kemudian keluar kembali dari gua itu dan memandangi gua tersebut dari luar. Tetap dia tak menemukan satu apapun yang patut dijadikan petunjuk untuk mengetahui adanya ruangan rahasia.
"Hmmmm, untuk apa dia memasang tirai pembatas yang tidak sembarangan orang mampu mengurainya di pintu masuk gua itu.....?" demikian Koay Hiap bertanya-tanya dan semakin merasa penasaran. Bahkan kini, perlahan-lahan kembali dia melangkah masuk ke dalam gua itu.
"Tidak mungkin dia orang tua pergi jauh, muridnya sedang terluka parah" desis Sie Lan In dan dapat didengarkan oleh Koay Hiap. Dan pada saat dia mulai masuk kedalam pintu gua itu, perasaannya sedikit tersentuh, dan dia paham apa artinya. Karena itu dia memandang ke sebelah kanan, sumber dimana dia merasa ada sesuatu yang lain disana.
"Hmmmm, Si Rase Tanpa Bayangan memang cerdik. Dia memasang tirai sihir bukan hanya di pintu masuk utama ini, tetapi juga bahkan memasang tirai itu dengan menyamarkan pintu masuk yang kedua. Sungguh hebat dan sulit ditebak...." desis Tian Liong Koay Hiap yang kemudian berjalan perlahan bergeser kekanan karena dia menduga disitu pastilah ada pintu masuk yang lain lagi. Dia mengibaskan lengan kanannya yang dipenuhi kekuatan mujijat dan benar saja, lengannya itu terpental ke belakang tanda betapa kuatnya tirai sihir tersebut. Ini membuatnya tersenyum dan menjadi yakin, itulah yang dicarinya.
"Disini ....." desis Koay Hiap antara kaget dan tak menduga. Tetapi, jeritan kecilnya terdengar oleh Sie Lan In dan juga Tiat Kie Bu. Tetapi keduanya heran melihat Koay Hiap berada diantara ilalang dan rerumputan dan terlihat menggapai-gapa untuk menyibakkan rerumputan dan ilalang itu. Padahal, sebetulnya pada saat itu dia sedang berusaha menyibak rahasia tirai sihir yang dipasang hingga memanipulasi pandang mata orang. Bahkan tokoh sehebat Sie Lan In dan Tiat Kie Bu sekalipun masih tertipu, apalagi mata orang biasa.
Adalah Koay Hiap yang dengan menggunakan gabungan sinkang istimewa miliknya dan kemudian mengerahkan kemampuan sihirnya baru dapat melihat betapa memang ada dinding lain yang tersembunyi dibalik tirai sihir. Bahkan ketika mulai menyibakkan tirai sihir itu perlahan-lahan, dia dapat mengidentifikasi adanya suara pernafasan yang amat lemah. Tetapi, itulah satu-satunya jejak manusia dalam gua yang pintunya dipagari sihir itu.
"Kita sudah menemukannya......." desis Koay Hiap yang kini setelah mengerahkan kemampuan istimewanya mulai meninggalkan lubang sihir yang lebar dan terlihat sebagian kecilnya oleh Sie Lan In dan Tiat Kie Bu. Kini, mereka mulai dapat melihat jika Koay Hiap bukan hanya membelai dan menyibak ilalang, tetapi ada dinding gua lain di luar yang terletak kurang lebih 2-3 meter dari pintu masuk gua pertama. "Sungguh hebat orang ini....." desis Tiat Kie Bu kagum dengan apa yang dilakukan oleh Thian Liong Koay Hiap. Sementara Sie Lan In yang sudah tahu sampai dimana kehebatan Thian Liong Koay Hiap tidak banyak memuji tetapi langsung mendekati pintu gua dan berkata lirih:
"Sungguh pintar bibi menyamarkan pintu masuk guanya........"
"Ada deru nafas berat didalam, kelihatannya disinilah kediaman Si Rase Tanpa Bayangan,,,,," bisik Koay Hiap yang diiyakan dengan antusias oleh Sie Lan In, karena dia juga sudah dapat melacak deru nafas lemah dari dalam gua itu. Meski memang agak lemah tetapi kemampuannya sudah lebih dari cukup untuk dapat menangkap deru nafas tersebut.
"Tiat heng,,,,, beberapa saat lagi engkau akan kedatangan tamu beberapa saudara seperguruanmu. Biarlah urusan dengan Si Rase Tanpa Bayangan kami selesaikan dan lebih baik saudara menyambut kedatangan tamu-tamu tersebut, mereka berjalan bersamaku kemaren, tetapi hari ini mereka akan segera tiba. Rasanya tidak lama lagi mereka sudah akan berada di tempat saudara......."
"Acchhhh benarkah Koay Hiap" Siapa-siapakah gerangan yang akan berkunjung ke tempatku ini....?" bertanya Tiat Kie Bu dengan suara antusias.
"Saudara seperguruan Tiat Heng yang berasal dari Kota Cing Peng, suami istri saudagar sukses di kota itu akan datang berkunjung......"
"Accchh, suheng dan suci akan datang......?" desis Tiat Kie Bu sambil bertanya, meski dia juga sadar, Thian Liong Koay Hiap sengaja ingin menyingkirkannya dari tempat itu. Hal yang bisa diterimanya mengingat adanya ganjalan perguruannya dengan si Rase Tanpa Bayangan. Berpikir demikian, diapun akhirnya mengangguk dan berkata untuk kemudian berlalu:
"Lohu menunggu jiwi nanti di rumah sederhanaku........"
Sepeninggal Tiat Kie Bu, Thian Liong Koay Hiap memandang Sie Lan In untuk kemudian berkata dengan suara perlahan:
"Sie Kouwnio, satu-satunya tarikan nafas yang dapat kulacak dan kudengar adalah tarikan nafas orang yang sedang terluka. Nampaknya terluka agak parah. Jika benar Si Rase Tanpa Bayangan berada di dalam gua ini, maka semestinya dia sudah keluar menemui kita. Satu-satunya kemungkinan yang masuk akal adalah, Si Rase Tanpa Bayangan sedang tidak berada di tempat..... entah kemana"
"Hmmmm, akupun berpikir demikian Koay Hiap. Tetapi, adalah jauh lebih baik kita segera masuk untuk dapat membuktikan dugaan kita itu....." sambil berkata demikian Sie Lan In perlahan mengambil inisiatif dan mulai maju kedepan. Dia mendorong ataupun menyibak sekumpulan tanaman yang menghalangi pintu masuk gua dan kemudian perlahan berjalan masuk gua. Secara otomatis Than Liong Koay Hiap juga ikut melangkah maju dan memasuki gua tersebut. Tetapi, ternyata gua itu lebih pendek dibanding gua yang disampingnya, hanya sekitar 20 meter panjangnya dan terdapat pintu keluar di bagian belakang. Tidak terdapat apa-apa sepanjang gua yang lurus sepanjang 10 meter dan kemudian membelok kekanan. Disana terdapat sebuah pintu keluar ke alam bebas.
Mengikuti jalanan yang terlihat jelas buatan manusia dan mengikuti petunjuk tarikan nafas lemah orang yang sakit, mereka kemudian berbelok kekanan, menyusurinya hingga 20 meter lagi berulah berbelok ke kiri. Disana setelah melangkah sampai sekitar 5-6 meter mereka menemukan sebuah rumah mungil yang amat sederhana tapi terlihat terurus dengan baik. Tetapi di depan rumah mungil itu berdiri dengan gagah sesosok tubuh bertinggi besar, bercambang lebat namun sebagian terbesarnya sudah terlihat memutih. Tidak salah lagi, orang itupun kelihatannya sudah lanjut usia, meskipun fisik atau tubuhnya masih terlihat tegap, tegak dan gagah. Begitu melihat kedatangan Sie Lan In dan Thian Liong Koay Hiap, matanya menatap tajam dan kemudian dia bertanya:
"Hmmmmm, cepat benar kedatangan kalian. Adakah diantara kalian yang bernama Sie Lan In, seorang nona berparas cantik jelita....?" tanyanya dengan mata menyorot tajam memandangi baik Thian Liong Koay Hiap maupun Sie Lan In yang sudah langsung mengiyakan pertanyaan orang itu.
Jelas saja, karena hanya ada satu orang gadis muda yang datang, tetapi masih juga dia bertanya seperti itu. Dan lagi, dia memandangi kedatangan Sie Lan In bersama Thian Liong Koay Hiap dengan sorot mata selalu terpancang kewajah Sie Lan In terus menerus. Entah apa maksudnya......
"Siauwte bernama Sie Lan In........." Sie Lan In berkata sambil maju setindak lebih dekat kearah manusia aneh itu. Dan orang itu menatap sekilas dan kemudian terlihat berpikir keras dan menimbang-nimbang apa yang lebih baik untuk dilakukannya. Melihat itu Sie Lan In dan Thian Liong Koay Hiap saling pandang dan sadar bahwa sosok manusia tinggi besar dan gagah itu kelihatannya adalah orang yang kurang waras alias kesehatan jiwanya terganggu. Matanya yang jelajatan dan teramat sering bergerak menandakannya.
"Menurut majikan, jika seorang gadis cantik bernama Sie Lan In yang datang, maka boleh langsung masuk saja.Pesannya, sembuhkan dahulu tuan mudaku, lain-lainnya tanyakan kepadanya kelak...." dan sambil berkata demikian, manusia gagah itu kemudian bergeser memberi celah menuju pintu masuk kepada Sie Lan In dan Thian Liong Koay Hiap. Tetapi ketika Thian Liong Koay Hiap akan melangkah maju, dengan suara menggeledek dia kembali berkata alias bertanya:
"Siapa dia..........?" sambil jari tangannya menunjuk kearah Thian Liong Koay Hiap, wajahnyapun sangar dan amat menakutkan.
"Dia adalah tabib yang akan menyembuhkan tuan mudamu........" jawab Sie Lan In cepat atas pertanyaan manusia tinggi besar itu.
"Ooooh Tabib,,,,, boleh masuk..... boleh masuk...... cepat sembuhkan tuan mudaku, kalau tidak, awas kau"
Mendengar gumaman manusia aneh itu, Thian Liong Koay Hiap akhirnya berjalan perlahan dan menyusul Sie Lan In masuk ke dalam rumah. Sementara Sie Lan In kemudian berbisik kepada Koay Hiap:
"Jangan sampai engkau gagal menyembuhkan suhengku,,,,,,,,"
"Biarlah kita lihat nanti Sie Kouwnio........"
Ketika akhirnya masuk kedalam rumah mungil itu, keduanya terkejut karena tidak ada ruangan lain disana. Hanya satu ruangan belaka dan di satu sudut ruangan, tepatnya dekat jendela darimana sinar matahari biasanya masuk, tergeletak sosok pemuda yang pernah dilihat Koay Ji atau Thian Liong Koay Hiap. Siapa lagi jikalau bukan Kat Thian Ho, murid bungsu atau entahlah mungkin juga murid tunggal Si Rase Tanpa Bayangan. Melihatnya Koay Hiap bergumam:
"Hmmmm, sudah kuduga dia ini murid SI Rase Tanpa Bayangan Bu Eng Ho Khouw Kiat (Si Rase Tanpa Bayangan). Tapi kelihatannya luka dalamnya teramat parah, kita harus segera menolongnya sebelum semuanya terlambat...." Koay Hiap berkata sambil mendekati tubuh Kat Thian Ho yang terlihat semakin lemah. Matanya sempat menatap nanar tetapi terlihat jelas dia semakin redup daya hidup akibat luka dalamnya yang memang amat parah.
"Cepatlah engkau memeriksanya Koay Hiap, jangan sampai terlambat. Kelihatannya dia semakin parah, tenaga dalamnya seperti semakin membuyar. Jika terlambat bukankah akan sulit ditolong lagi.......?"
"Engkau benar Sie Kouwnio,,,,, tetapi jangan khawatir, dia masih akan mampu untuk bertahan setidaknya sampai satu bulan kedepan. Mungkin bahkan lebih. Tetapi, sebulan kemudian, setelah obat mujijat yang diminumnya kehabisan daya, maka dia tidak akan mampu bertahan lebih lama lagi, bahkan saat itu meskip ada obat dewa sekalipun dia tidak akan tertolong lagi.." berkata Koay Hiap setelah memegang nadi Kat Thian Ho sejenak dan tahu jika ada obat mujijat yang sempat ditelan oleh Kat Thian Ho. Sementara itu, Kat Thian Ho sendiri sejak kedatangan mereka berdua memang sudah semaput dan tidak mampu lagi berbuat apa-apa.
Setelah berpikir beberapa saat, Koay Hiap terlihat merenung beberapa saat. Seperti sedang berpikir keras dan keadaan ini membuat Sie Lan In menjadi terkejut karena amat jarang dia melihat Koay Hiap sebegitu serus seperti saat itu. Karena keadaan yang dia sadar agak genting, maka Sie Lan In memilih berdiam diri dan memberi waktu dan kesempatan Koay Hiap mengerjakan tugasnya. Setelah hening sekian lama, akhirnya terdengar Koay Hiap berkata:
"Sie Kouwnio, luka Kat Siauheng ini teramat parah dan berat. Untuk menyembuhkan dan membuatnya pulih kembali bukanlah perkara ringan, setidaknya kita bakalan menghabiskan waktu seminggu di tempat ini. Padahal masih ada tugas yang harus kulakukan, yakni untuk menemui dan mengantarkan surat kepada Jit yang Sin Sian (Dewa Sakti Jit Yang). Menilik keadaannya, maka lohu harus meminta mereka yang berkumpul di rumah Tiat Heng untuk berangkat terlebih dahulu dan kita akan menyusul seminggu kedepan ke Gunung Kiu Boa San Propinsi Kwi Ciu. Tetapi, waktu kita menjadi semakin sempit karena perjalanan menuju Gunung Kiu Boa San konon memakan waktu sampai seminggu kurang lebih,,,,,,,,,"
Setelah berkata demikian Thian Liong Koay Hiap terlihat berpikir keras. Tetapi Sie Lan In tidak begitu memikirkan cara mencapai Gunung Kiu Boa San, dia tetap saja berkonsentrasi menyembuhkan Kat Thian Ho. Bukan kenapa-kenapa, karena Sie Lan Ini sebetulnya sudah memikirkan cara mencapai Gunung Kiu Boa San lebih cepat. Bahkan kurang dari sehari dengan menggunakan Rajawali Sakti miliknya. Karena itu diapun berkata:
"Engkau segeralah sembuhkan Suhengku itu, mengenai perjalananmu biar menjadi cepat dan singkat ke Kiu Boa San kelak, biar aku yang memutuskan dan mencari jalan keluarnya,,,,,,,, kutanggung pasti beres"
"Hmmmm, aku tahu maksudmu Sie Kouwnio,,,,,, tapi baiklah, selamatkan jiwa orang lebih penting untuk saat ini. Jika demikian, aku akan bekerja mempersiapkannya, dan saat tengah hari akan menemui mereka di rumah Tiat Heng menyelesaikan urusan yang satu itu biar lebih baik........"
Memperhatikan sikap, tindak-tanduk, serta juga cara bertindak Thian Liong Koay Hiap, mendadak Sie Lan In teringat kemiripannya dengan seseorang. Tetapi Sie Lan In tidak dapat berpikir lebih jauh dan lebih teliti karena pada saat itu, dibenaknya hanyalah "memaksa" bagaimana Kat Thian Ho cepat disembuhkan oleh Koay Hiap. Karena dia teramat sangat membutuhkan informasi penting dari Kat Thian Ho dimana adanya bibinya, Rase Tanpa Bayangan itu.
Sie Lan In tidak dapat bertanya lebih banyak lagi, karena Thian Liong Koay Hiap sudah bekerja dan sepertinya cara kerjanya agak berat. Karena meski baru sekitar setengah jam bekerja, dia melihat awan putih tipis mengepul sudah dari kepalanya. Dan Sie Lan In segera sadar jika pekerjaan yang dilakukan Koay Hiap bukanlah sebuah pekerjaan mudah dan ringan saja. Padahal, tadi Koay Hiap menyebutkan pekerjaannya saat itu baru merupakan persiapan, karena pekerjaan mengobati akan berlangsung selama satu minggu baru dapat dipastikan kesembuhannya. Baru saja Sie Lan In ingin beranjak pergi, tiba-tiba dia melihat Koay Hiap melepaskan usapan-usapannya pada bagian dada hingga perut Kat Thian Ho dan kemudian bersedekab sejenak untuk memulihkan diri. Sekian waktu yang tidak lama, dia sudah membuka mata dan kemudian berkata:
"Sie Kouwnio, luka Kat Siauwheng ini ternyata lebih parah dan lebih berat dari yang kuperkirakan. Jika bukan karena obat mujijat yang dimakannya, sejak jauh-jauh hari nyawanya sudah sulit dipertahankan. Terdapat gumpalan darah yang sudah mulai membusuk di sekitar paru-parunya, kemudian beberapa jalan darahnya sudah mulai tersumbat oleh darah mati. Dan yang yang paling berat adalah pusat penghimpunan kekuatan iweekang juga sudah goyah dan nyaris rusak permanen hingga bakalan membutuhkan waktu panjang untuk mengobatinya. Juga untuk dia kelak dapat memulihkan diri butuh waktu yang cukup panjang. Hanya ada beberapa hal saja yang cukup menguntungkannya. Tetapi, jika dia dengan semangatnya mampu bertahan dalam 2-3 hari ini, maka proses selanjutnya akan lebih jadi mudah untuk dilakukan. Untuk kesembuhannya lohu tak bakalan dapat mempersingkat waktunya agar kurang dari seminggu, tetapi untuk proses pemulihannya akan dapat lohu atur hingga membuatnya beroleh sedikit keuntungan. Setidaknya tidak perlu sampai setahun lebih. Untuk itu, lohu butuh bantuan Sie Kouwnio........" berkata Koay Hiap setelah memulihkan dirinya dan menganalisa luka Kat Thian Ho.
Sie Lan In melihat tingkat keseriusan yang luar biasa dalam kata-kata dan sikap Thian Liong Koay Hiap. Betapapun dia sudah tahu jelas, Kat Thian Ho terhitung sute atau suhengnya karena baginya status Si Rase Tanpa Bayangan sudah amat jelas disebutkan Subonya. Mendengar permintaan Koay Hiap, tanpa berpikir panjang dia segera menyahut tegas:
"Apapun yang engkau butuhkan akan kusiapkan dan kulakukan Koay Hiap. Engkau cukup mengatakannya kepadaku...."
"Hmmmm, baiklah...... selama pengobatan keadaan kami nyaris sama dengan bayi yang tak berdaya. Serangan kecil sekalipun dapat menewaskan kami berdua. Selain itu, makan minum kami harus tersedia setidaknya dua kali sehari dengan porsi buah yang memadai. Itu berarti Sie Kouwnio harus menjadi pelayan kami berdua selama seminggu ini...... dan, lohu membutuhkan air bersih dan khusus malam hari selama 3 malam berturut membutuhkan air panas untuk pengobatan. Terakhir, terpaksa lohu harus merepotkan Sie Kouwnio, karena ada beberapa obat yang harus dimasak namun lohu tak akan punya waktu memasaknya. Lohu akan memberitahu Nona caranya dan apa boleh buat, Nona yang harus memasaknya karena tenaga kita disini sangat terbatas. Bersediakah Sie Kouwnio melakukannya.....?"
"Sudah pasti, jangan engkau khawatir soal itu Koay Hiap,,,,,,,,"
"Baiklah,,,,,, lohu akan memulai prosesnya setelah kembali dari rumah Tiat heng. Sekaligus memberitahu mereka untuk berangkat lebih dahulu dan kelak menunggu kita di Gunung Kiu Boa San. Menurut perkiraan lohu, akan memakan waktu lebih kurang tujuh hari untuk memastikan kesembuhan Kat siauwheng, karena itu kuminta mereka menunggu kita di Gunung Kiu Boa San sampai setidaknya beberapa hari setiba mereka semua kelak disana. Sie Kouwnio, menunggu lohu membicarakan hal ini dengan Tiat heng, adalah baik jika engkau menyiapkan air dan makanan yang cukup dan memadai karena begitu kembali lohu akan langsung memulai proses pengobatan atas Kat siauwheng ini,,,,,,,"
"Baiklah Koay Hiap...... apakah ada yang lain lagi.....?"
"Kulihat, manusia penunggu rumah ini adalah pelayan setia dari Si Rase Tanpa Bayangan, mungkin engkau bisa meminta bantuannya......." sambil berkata demikian Koay Hiap sendiri sebetulnya sudah menyusun rencananya. Dia memutuskan untuk sendirian menemui Tiat Kie Bu dan saudara seperguruannya yang lain karena ada dua alasan. Pertama agar leluasa bercakap dengan saudara-saudara seperguruan yang lama tak ditemuinya. Dan kedua, dia ingin meminta bantuan dari kawan-kawan monyet di sekitar pegunungan itu untuk membantunya. Terutama untuk persediaan makanan atau buah-buahan sehat baginya dan bagi Kat Thian Ho. Dan dia tentunya harus melakukannya tanpa terlihat dan tanpa sepengetahuan Sie Lan In.
Dan itulah yang terjadi kemudian, beberapa hal tidak dimengerti dan dipahami oleh Sie Lan In. Karena entah mengapa di radius beberapa ratus meter dia menemukan begitu banyak monyet yang besar-besar seperti sedang berjaga dan berlaku hormat kepadanya. Bahkan, bukan sekali dua kali dia menemukan adanya buah-buahan yang sulit ditemukannya, tetapi diantarkan kepadanya oleh seekor atau dua ekor monyet kepadanya. Dengan cara itu Sie Lan In benar-benar merasa terbantu dan berterima kasih kepada pasukan monyet yang berjaga dalam radius seratus atau dua ratus meter dari rumah mungil.
Sementara itu, Koay Ji yang mulai menangani Kat Thian Ho yang sudah mulai kehilangan kesadarannya dan hanya tinggal mengandalkan kemujijatan obat yang diberikan suhunya menemukan betapa berat pekerjaannya. "Dia terpukul hebat oleh sejenis pukulan berat dan masih ditambah dengan beberapa sentilan dengan daya dan kekuatan yang besar. Akibatnya, luka-luka dalam tubuhnya terdapat di banyak tempat dan melukai kekuatan hawa murninya dan juga mengurangi daya tahan fisik. Dan ini boleh terjadi, terutama karena belum ditangani secara baik dan tepat selama beberapa hari terakhir. Satu hal yang menguntungkan, hawa murni yang membuyar tidak merembes keluar tapi menyebar kemana-mana hingga sesekali mendatangkan sedikit kesadaran meski hanya sekejap saja.
Pendekar Bodoh 11 Harpa Iblis Jari Sakti Karya Chin Yung Seruling Gading 13
^