Pencarian

Pendekar Pedang Pelangi 13

Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono Bagian 13


dapat dihindari lagi. Kalaupun A Liong sempat menangkis, maka tak mungkin dapat ditangkis semuanya.
997 "Gila...!" A Liong mengumpat lirih.
Kemudian dengan gerakan yang mentakjubkan, tubuh pemuda itu meliuk ke kanan dan
ke kiri sambil menggeser ke samping, sehingga badannya yang kekar itu terperosok
keluar perahu. "A Liong...!?"" Souw Hong Lam yang berada di dekat pemuda itu berteriak kaget.
Bergegas ia melongok ke bawah.
"Bagaimana...?" Liu Wan ikut melongok ke bawah pula.
"Heran. Tidak terdengar suara dia tercebur air."
"Ciok Sin-she, aku di sini! Jangan khawatir, aku tidak apa-apa..." Tiba-tiba
terdengar suara A Liong di buritan. Pemuda itu baru saja mengangkat kakinya dari
pagar perahu. "Kau..."!?" Tiau Hek Hoa memekik dan siap menyerang kembali.
"Aduh, tahaaaan! Kenapa sebenarnya kalian ini?"
Liu Wan cepat melerai di tengah-tengah mereka.
"Ciok Locianpwe, menyingkirlah! Akan kubunuh kerbau dungu ini!" Tiau Hek Hoa
menggeram. Sebaliknya A Liong tetap bersikap tenang. "Aku sudah dua kali bersikap sabar
kepadamu. Tapi kesabaran orang tentu ada batasnya. Terserah kepadamu. Yang jelas
aku tidak takut pada wajah hitammu itu. Dan harap kauketahui juga, bahwa kau
tidak akan mudah mengalahkan aku. Sebaliknya, aku justru mempunyai kesempatanku
lebih banyak untuk mengalahkanmu. Mau coba?"
998 "Kau menantang aku?" Wajah hitam itu semakin kelam.
"Sudahlah! Kalian ini mau melanjutkan perjalanan kita atau tidak" Kalau tidak,
silakan turun dari perahu!
Lo-hu dan Saudara Souw akan berangkat sendiri!
Marilah, Saudara Souw... kita turunkan mereka ke pinggir! Kita berdua saja!" Liu
Wan berseru marah. "Baik, Locianpwe...." Souw Hong Lam mengangguk.
Tiba-tiba A Liong mengangkat tangannya. "Maaf, Ciok Sin-she. Aku mengaku salah.
Tak kusangka tadi membuat marah Nona Tiau. Biarlah aku meminta maaf kepadanya."
Dan pemuda pendekar itu benar-benar
membungkuk di depan lawannya. Liu Wan dan Souw Hong Lam tercengang. Bagi mereka
A Liong sebenarnya tidak bersalah. Justru Tiau Hek Hoa yang mereka anggap
keterlaluan. Gadis itu yang seharusnya meminta maaf kepada A Liong.
Tiau Hek Hoa membuang muka. Tapi keinginan untuk berkelahi sudah tidak ada.
Ternyata pada saat yang tepat pikiran sehatnya telah muncul kembali. Dia ingat
tugas yang diberikan oleh ayahnya. Bersama Mo Hou, dia ditugaskan untuk
mengawasi gerakan para tokoh persilatan di daerah Tiong-goan.
Kebetulan dalam perjalanan mereka di Tai-bong-sui, mereka mencium berita tentang
pertemuan para pendekar persilatan daerah utara. Dan secara kebetulan pula
mereka mendengar rencana 999
pembebasan Panglima Yap Kim. Mereka lalu membagi tugas. Mo Goat menyusup di
antara para pendekar sebagai Tiau Hek Hoa, sementara Mo Hou melindunginya dari
kejauhan. Panglima Yap Kim memang sangat disegani Mo Tan. Beberapa kali raja suku bangsa
Hun itu menelan kekalahan bila berperang melawan pasukan Yap Kim.
Oleh karena itu Mo Hou bersama Mo Goat harus dapat menggagalkan rencana
pembebasan itu. Bahkan kalau dapat, mereka harus bisa melenyapkan panglima
perang yang tersohor itu.
Semakin ke timur, suasana perang semakin terasa panas. Pasukan Mo Tan yang
dipimpin oleh Panglima Yeh Sui, tampaknya sudah tidak main kucing-kucingan lagi.
Kelihatannya pasukan itu sudah mulai menyerang dengan terang-terangan. Dan
kemungkinan besar pasukan itu sudah bertemu dengan pasukan Ciang Kwan Sit,
sehingga pasukan Au-yang Goanswe yang sedianya akan menangkap Pangeran Liu Wan
Ti itu berhadapan dengan mereka.
Pertempuran dahsyat tak bisa dielakkan lagi.
Korban berjatuhan. Pasukan Han sebenarnya lebih banyak dan lebih lengkap
peralatannya, tapi semangat tempur mereka ternyata tidak setinggi pasukan Mo
Tan. Pasukan Ciang Kwan Sit yang telah terbiasa hidup enak itu segera kocar-
kacir dilanda pasukan Yeh Sui.
Akibatnya dapat diduga. Kekalahan itu membuat penduduk di sekitar daerah
pertempuran menjadi 1000 kalang-kabut. Mereka menerima perlakuan kasar dari pasukan Mo Tan. Seperti
halnya negeri yang kalah perang, tempat itu dijarah rayah oleh pemenangnya.
Benar juga. Berita tentang pertempuran itu segera mereka dengar dari para
pengungsi. Bahkan diberitakan pula bahwa Panglima Ciang Kwan Sit terbunuh dalam
pertempuran itu. "Celaka! Sekarang di kota raja tidak ada panglima perang yang pandai. Semua
jendral yang setia kepada Panglima Yap Kim telah dibuang atau dipenjarakan.
Bagaimana mungkin negeri ini dapat
mempertahankan diri" Ah! Mo Tan sungguh pintar dan licik! Bertahun-tahun dia
telah mempersiapkan penyerangan ini...." Liu Wan bergumam perlahan.
Suaranya gemetar mencerminkan kegelisahan hati.
-- o0d-w0o -- SEMENTARA itu Chin Tong Sia yang terkurung di ruang bawah tanah, terkejut sekali
ketika siuman dari pingsannya. Sepasang kaki dan tangannya terikat rantai besi.
Dan dia tidak tahu di mana dia berada.
Ruangan luas itu hanya diterangi oleh sebuah lampu minyak di pojok ruangan. Dan
sinarnya yang lemah hanya mampu menggapai meja kecil tempat ia diletakkan.
"Anak muda..." Engkau siapa" Apakah kau juga ditangkap oleh Liok-kui-tin?" Tiba-
tiba terdengar suara berat dari pojok ruangan.
1001 Chin Tong Sia berpaling kaget. Tapi sinar lampu terlalu lemah untuk mencapai
tempat itu, sehingga matanya tak mampu melihat siapa yang berbicara.
Matanya hanya mampu menangkap dua sosok bayangan kehitaman.
"Aku... eh, kau.... siapa?" Pemuda itu balik bertanya. Otomatis kaki tangannya
bersiaga. "Aku bernama Souw Thian Hai. Ini isieriku....
Kami berdua juga ditawan oleh pengawal Raja Mo Tan itu."
"Hong-gi-hiap Souw Thian Hai?"
Terdengar gemerincing suara rantai ketika pendekar ternama itu mendekati Chin
Tong Sia. Dan sesaat kemudian terlihatlah bayangannya di keremangan lampu.
Pendekar itu datang bersama Chu Bwe Hong, isterinya. Mereka masih tampak kuat
dan bersemangat walaupun rambutnya telah memutih.
Meski sudah sering melihat dan mendengar namanya, tapi baru sekali inilah Chin
Tong Sia berhadapan langsung dengan Souw Thian Hai dan isterinya.
"Locianpwe, seorang pemuda yang katanya masih keluarga dekat sedang mencarimu.
Namanya Souw Hong Lam. Sekarang dia juga ada di kota ini. Kami bersama beberapa
teman bermaksud pergi ke suatu tempat. Sayang aku terperangkap di sini...."
Souw Thian Hai memandang Chu Bwe Hong.
Dahinya berkerut. 1002 "Souw Hong Lam..." Siapakah dia" Rasanya tak ada nama itu di keluarga Souw kami.
Berapakah usianya?" Chu Bwe Hong berbisik sambil tetap mengawasi suaminya.
"Masih muda. Mungkin empat atau lima tahun lebih muda dariku. Tinggi langsing
dan ganteng." Souw Thian Hai menggeleng lemah."Sudahlah, nanti kalau sempat bertemu, tentu
akan saling mengenal. Sekarang kita pikirkan dulu keadaan kita.
Emmm, kau tadi belum menyebutkan namamu."
"Namaku Put-tong-sia, dari Beng-kau...."
Terdengar jerit lirih dari bibir Chu Bwe Hong.
Wanita tua yang masih tampak cantik itu menatap wajah Chin Tong Sia seperti
melihat hantu. "Kau... kau putera Put-ceng-li Lo-jin?" Souw Thian Hai bertanya pula dengan
suara sedikit gemetar. Sekejap Chin Tong Sia menjadi gugup. Sikap suami-isteri ternama itu tiba-tiba
terasa aneh. Mereka kelihatan kaget sekali ketika mendengar namanya.
"Benar, Locianpwe. Aku memang putera mendiang Put-ceng-li Lo-jin. Mengapa
Locianpwe kelihatan kaget?"
Souw Thian Hai memandang isterinya, dan tiba-tiba wanita cantik itu menubruk
serta menangis di dadanya. Tentu saja Chin Tong Sia semakin bingung.
Sambil mengelus rambut isterinya, Souw Thian Hai berpaling kepada Chin Tong Sia.
1003 "Tapi, maaf... kami... kami tidak pernah tahu kalau Put-ceng-li Lo-jin sudah
pernah menikah. Sejak kami saling mengenal, orang tua itu selalu sendirian."
Chin Tong Sia menghela napas panjang. Wajahnya kelihatan sedih. "Menurut
penuturan Ayah, Ibu meninggal pada saat melahirkan aku. Dan Ayah tidak pernah
kawin lagi...." Tak terduga Chu Bwe Hong semakin terisak-isak.
"Jadi kau belum pernah melihat wajah Ibumu"
Apakah Put-ceng-li Lo-jin juga tidak pernah bercerita tentang Ibumu?" Souw Thian
Hai bertanya seolah tak percaya.
Chin Tong Sia menatap wajah pendekar ternama itu lekat-lekat. Ada perasaan tidak
enak di hatinya. Orang tua itu menanyakan hal-hal yang terlalu pribadi baginya.
Dan kebetulan pula mengenai masalah yang kurang begitu disukainya.
Tapi wajah pendekar tua itu kelihatan bersungguh-sungguh. Bahkan kulit mukanya
tampak pucat dan serba salah.
Chin Tong Sia menggelengkan kepalanya.
"Apakah... Locianpwe mengenal Ibuku?"
Souw Thian Hai menepuk punggung isterinya.
"Sudahlah, Put-ceng-li Lo-jin memang seorang lelaki sejati. Meskipun
pembawaannya seperti orang yang tidak beradab, tetapi ia seorang yang tahu
memegang janji dan sumpahnya. Sekarang semuanya tergantung kepadamu. Apakah
engkau sudah dapat menghapus kebencian itu?"
1004 "Aku... aku, oh... entahlah."
Chin Tong Sia semakin tak mengerti. Kelakuan sepasang pendekar ternama itu
terasa sangat aneh baginya. Mula-mula mereka kaget ketika mendengar nama dan
asalnya. Lalu isteri pendekar tua itu menangis terisak-isak setelah ia bercerita
tentang ayah-ibunya. "Locianpwe, apakah sebenarnya yang terjadi"
Tampaknya Locianpwe berdua sangat mengenal Ayah-ibuku...."
Chu Bwe Hong semakin kuat tangisnya, sehingga Souw Thian Hai terpaksa
membujuknya. "Baiklah.... Kau tidak usah memikir-kannnya lagi kalau memang belum dapat
melupakan peristiwa itu. Tapi kuminta kau jangan menyakiti hatinya.
Bagaimanapun dia tidak bersalah. Dia tidak tahu apa-apa...." Akhirnya Souw Thian
Hai menghibur isterinya. "Maaf, Locianpwe... aku menjadi bingung. Apa yang telah terjadi sebenarnya" '
Apakah ada sesuatu yang Locianpwe ketahui tentang kedua orang tuaku?"
Souw Thian Hai melepaskan pelukan isterinya melangkah mendekati Chin Tong Sia.
Pendekar itu lalu mengangkat tangannya dan menepuk pundak Chin Tong Sia,
sehingga rantai besi yang terikat di pergelangan tangannya saling bergesekan dan
menimbulkan suara gemerincing nyaring.
"Kau tidak perlu bingung. Kami berdua memang mempunyai sebuah rahasia besar
tentang orang 1005 tuamu. Tapi sekarang belum saatnya rahasia itu dibeberkan. Aku berjanji, suatu
saat kami berdua tentu akan memberitahukannya kepadamu. Kau tidak usah
khawatir...." Souw Thian Hai berkata perlahan.
Chin Tong Sia mengerutkan keningnya. Wajahnya kelihatan kecewa. Tapi dia memang
tidak dapat memaksa. "Tong Sia bagaimana ceritanya sehingga kau berada di sini" Apakah orang-orang Mo
Tan itu bermusuhan denganmu?" Souw Thian Hai mengalihkan pembicaraan.
"Benar, Locianpwe. Semula aku tidak menyangka kalau mereka orang Hun. Tapi
setelah pemuda yang berhadapan dengan aku itu menyebut dirinya putera Raja Mo
Tan, baru aku sadar bahwa aku berhadapan dengan pasukan asing. Sayang jumlah
mereka sangat banyak sehingga aku tak berdaya melawannya."
Souw Thian Hai mengangguk-anggukkan
kepalanya. "Tak kusangka semuanya berubah dengan cepat sekali. Semenjak
pengkhianatan Auyang Goanswe itu berkuasa dan berhasil mempengaruhi Ibu Suri
negeri ini benar-benar kacau."
Chin Tong Sia mengangkat wajahnya. "Kudengar Locianpwe pergi ke Pondok Pelangi
dalam lima tahun ini. Benarkah?"
Pendekar itu menatap Chin Tong Sia kemudian mengangguk. Lengannya yang masih
kelihatan kokoh disilangkan di depan dadanya.
1006 "Sebenarnya aku belum sampat, di sana. Sulit sekali mencapai tempat itu. Utusan
Pondok Pelangi yang membawa aku dan isteriku, ternyata juga tidak mampu pulang
ke tempat tinggalnya. Mereka tak mampu mengatasi keganasan laut utara. Kami
terdampar di sebuah pulau kecil yang hampir selalu diselumuti es."
"Khabarnya Kwe Taihiap dari Pulau Meng-to juga pergi ke Pondok Pelangi.
Locianpwe bertemu dengan dia?"
"Tidak. Aku justru mengetahui hal itu setelah pulang dan sana. Mungkin utusan
Pondok Pelangi yang membawa Kwe Taihiap justru dapat membawanya ke Pondok
Pelangi. Aku belum sempat bertemu dengan Kwe Taihiap."
"Em, Locianpwe... kudengar Utusan Pondok Pelangi itu sangat sakti. Benarkah?"
Souw Thian Hai menghela napas panjang. Terasa nada kecewa dalam suaranya.
"Benar. Selama hidupku baru sekali itu aku dikalahkan orang dengan amat
mudahnya. Ilmu silat yang kupelajari selama ini bagaikan permainan anak kecil
saja bagi mereka. Sungguh mentakjubkan...."
"Akh!" Chin Tong Sia berdesah hampir tak percaya. Jago-jago silat ternama
seperti Hong-gi-hiap Souw Thian Hai dikalahkan orang dengan mudah"
"Untunglah mereka bukan orang-orang jahat.
Setelah bertahun-tahun tidak mampu kembali ke Pondok Pelangi, kami berdua
diperbolehkan pulang. 1007 Bahkan selama lima tahun itu mereka telah memberikan tambahan penjelasan tentang
ilmu silat secara panjang lebar."
"Begitu sulitkah mencari jalan ke Pondok Pelangi"
Rasanya sangat aneh kalau orang tak mampu mencari jalan pulang ke rumah
sendiri." Souw Thian Hai tersenyum. "Anak muda, kau memang belum menyaksikan sendiri
kedahsyatan Laut Utara. Apabila kau sudah pernah ke tempat itu, kau baru akan
percaya kata-kataku. Jadi bukannya mereka tak mampu mencari jalan pulang, tapi
kedahsyatan alamlah yang menghalangi mereka untuk mencapai tempat tersebut."
"Oooh... ".!?" Chin Tong Sia menarik napas panjang.
-- o0d-w0o -- JILID XXIV ENING sejenak. Terdengar suara
jengkerik di pojok ruangan.
"Ah, tampaknya hari sudah malam.
HHong-moi, kau istirahatlah. Kita perlu banyak menyimpan tenaga untuk dapat
keluar dari tempat ini." Pendekar tua itu berkata kepada isterinya.
1008 Chu Bwe Hong beringsut dan duduk kembali di dekat lampu. Chin Tong Sia benar-
benar kagum melihatnya. Nenek itu tentu telah berusia lebih dari setengah abad,
tapi wajah dan penampilannya masih kelihatan cantik dan anggun. Coba kalau
rambutnya yang putih itu dicat kembali dengan warna hitam, niscaya orang akan
mengira kalau dia masih muda.
"Kudengar kesaktian suami-isteri ini sangat disegani di dunia persilatan.
Bagaimana mungkin mereka dikalahkan oleh Mo Hou dan para pengawalnya itu?" Chin
Tong Sia berkata di dalam hatinya.
Seperti tahu apa yang dipikirkan Chin Tong Sia, pendekar itu bergumam perlahan.
"Sejak mendengarkan penjelasan tentang ilmu silat dari Utusan Pondok Pelangi,
aku merasa ilmu silatku sudah jauh lebih baik lagi. Tapi dugaanku meleset.
Ternyata ilmu silat orang lain pun dapat bertambah tinggi pula. Buktinya ilmu
silat para pengawal Raja Mo Tan itu juga bertambah hebat pula dibandingkan dulu.
Dua puluhan tahun yang lalu pernah kukalahkan. Kini ketika ilmuku sudah
bertambah, mereka justru dapat mengalahkan aku."
"Tetapi... mereka menang karena kau belum pulih dari lukamu. Coba kalau luka
dalam akibat sabetan ekor ikan paus itu sudah sembuh, mungkin kau tidak akan
dikalahkan oleh mereka." Chu Bwe Hong menghibur suaminya.
1009

Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Chin Tong Sia terkesiap. "Apakah yang Locianpwe maksudkan itu... Lok-kui-tin,
pengawal Mo Hou?" "Benar, selain sebagai pengawal keluarga raja, enam hantu itu sebenarnya adalah
murid Ulan Kili, Pendeta Agung suku bangsa Hun. Sebelum menjadi Pendeta Agung,
Ulan Kili bernama Bok Siang Ki, jago silat nomor dua di seluruh negeri ini.
Seperempat abad yang lalu ia kabur keluar Tembok Besar, karena dikalahkan oleh
Pangeran Liu Yang Kun. Maka kau jangan kaget kalau melihat murid-muridnya sangat
lihai." "Locianpwe benar. Kepandaian Lok-kui-tin memang benar-benar hebat. Saya juga
tidak berdaya melawan mereka, walaupun dalam perkelahian tadi dapat kurobohkan
tiga orang diantaranya!"
Souw Thian Hai terkejut. "Kau dapat merobohkan tiga orang di antara mereka"
Benarkah" Wah, ilmu silatmu tentu hebat sekali! Sungguh tidak kusangka Put-ceng-
li Lo-jin dapat mewariskan ilmunya kepadamu."
Tiba-tiba Chin Tong Sia menundukkan mukanya.
Pujian itu justru menyadarkannya. Tidak seharusnya ia mengatakan seperti itu.
Bagaimanapun juga robohnya ketiga orang itu lebih disebabkan oleh
keberuntungannya, bukan karena ilmu silatnya yang lebih baik. Coba kalau sejak
semula lawannya itu tidak memandang rendah kepadanya, dan melawannya dengan
hati-hati, mungkin kesudahannya akan menjadi lain.
1010 Chin Tong Sia menengadahkan kepalanya kembali.
Namun ketika mulutnya hendak mengatakan hal tersebut, di luar kamar terdengar
suara langkah orang mendatangi. Souw Thian Hai bergegas mendekati isterinya.
Matanya mengawasi pintu yang terbuat dari besi itu dengan penuh kewaspadaan.
"Silakan makan malam...! Baru besok pagi Kongcu dapat menemui kalian." Terdengar
suara penjaga di luar pintu.
Lobang kecil di bagian bawah pintu terbuka.
Sebuah nampan berisi makanan dan minuman disorongkan masuk.
"Koko, jangan diambil! Makanan itu beracun." Chu Bwe Hong memperingatkan
suaminya. "Tenanglah...! Kau tidak perlu kuatir. Mereka belum bermaksud membunuh kita.
Mereka masih menginginkan sesuatu dari kita. Kalau mereka menghendaki, mereka
tidak perlu menggunakan segala macam racun. Tanpa diberi racun pun kita akan
mati kelaparan di ruang pengap ini."
"Locianpwe benar. Kalau mereka menginginkan nyawa kita, mereka tak perlu
menyekap kita di sini. Mereka akan segera membunuh lawan yang tidak mereka butuhkan." Chin Tong Sia
sependapat. "Lalu... apa yang akan kita kerjakan?" Chu Bwe Hong akhirnya dapat menerima
alasan Chin Tong Sia dan suaminya.
"Biarlah saya mengambil makanan itu, Nyonya.
Saya akan mencobanya lebih dahulu. Mati dan hidup 1011
tidak ada bedanya bagiku. Tak seorang pun di dunia ini yang peduli akan
kehidupan atau kematianku.
Sekarang yang penting adalah memanfaatkan apa saja yang perlu bagi kesehatan
tubuh kita. Siapa tahu kita dapat meloloskan diri dari penjara ini?"
Chin Tong Sia bangkit, kemudian menyeret rantai yang mengikat, kedua kakinya.
Diambilnya nampan berisi makanan itu dan dia letakkan di atas meja di depan Chu
Bwe Hong. Tanpa rasa gamang sedikit pun ia mengambil sebagian dari makanan itu
dan menelannya. Kemudian dengan tenang pula ia menyambar cangkir teh dan
meminumnya. "Nah, Nyonya Souw... silakan!"
Wanita cantik itu menatap wajah Chin Tong Sia seperti menatap wajah hantu.
Matanya yang telah mulai berkeriput itu terbelalak bagaikan mata burung hantu
yang menyimpan berbagai macam perasaan.
Tak terasa mata itu kembali berair.
"Sudahlah, mari kita makan!" Souw Thian Hai merangkul istrinya dan membagi
makanan itu menjadi tiga bagian.
Chin Tong Sia juga tidak segan-segan lagi. Pemuda itu menyingsingkan lengan
bajunya, sehingga tahi lalat lebar di bawah sikunya terlihat jelas oleh Souw
Thian Hai suami-isten. Tubuh Chu Bwe Hong kembali bergetar. Tak terasa tangannya juga meraba siku
kirinya pula. "Kita memang tidak dapat mengelakkannya, Moi-moi. Thian telah memberikan tanda
yang tak bisa 1012 dipungkiri lagi. Pertemuan yang tidak diduga-duga ini pun merupakan petunjuk
dari Thian. Tapi, sudahlah...
kalau kau belum siap menerima... tak perlu memaksa diri. Marilah, kau
makanlah...!" Mereka lalu makan tanpa bicara lagi. Chin Tong Sia yang sejak kecil biasa
bersikap acuh tak acuh itu segera makan dengan lahapnya, sementara Souw Thian
Hai dan isterinya sebentar-sebentar tampak melirik kepadanya.
Malam itu mereka benar-benar istirahat. Mereka duduk bersamadhi sambil berusaha
mengumpulkan seluruh tenaga sakti mereka. Walaupun rantai besi membuat gerakan
mereka terganggu, tapi mereka tetap berusaha sekuatnya.
Asap tipis berwarna merah dan putih mengepul keluar dari kepala Souw Thian Hai,
sementara Chu Bwe Hong duduk tegak di sebelahnya. Butit-butir keringat tampak
mengalir membasahi kening dan lehernya.
Chin Tong Sia berada di pojok ruangan. Caranya bersemadhi memang lain dari pada
yang lain. Ia berjungkir balik dengan kepala sebagai alas tubuhnya.
Kedua kakinya tegak lurus ke atas, sementara kedua lengannya dilipat di depan
dada. Rantai yang mengikat kaki dan tangannya seperti tidak mengganggunya.
Dan malam itu berlalu tanpa terjadi peristiwa apa-apa. Cuma, pagi harinya Chin
Tong Sia sedikit terkejut ketika tiba-tiba Souw Thian Hai dan isterinya 1013
telah berada di depannya. Pemuda itu buru-buru melompat dan berdiri kembali di
atas kakinya. "Wah, aku terlambat bangun rupanya." Chin Tong Sia menyapa mereka.
"Anak muda, kita harus berusaha keluar dari tempat ini. Malam tadi aku sempat
menguping pembicaraan para penjaga. Mereka mengatakan bahwa pimpinan mereka
sedang meninggalkan tempat ini untuk sesuatu urusan. Berarti saat ini kita
mempunyai kesempatan untuk melepaskan diri. Hmm, apakah kau punya usul yang
baik?" Souw Thian Hai berkata perlahan.
Chin Tong Sia memandang pintu besi yang kokoh kuat itu. Keningnya berkerut.
"Entahlah. Saya belum memikirkannya. Bagaimana dengan Locianpwe sendiri?"
"Mungkin gabungan dari kekuatan kita bertiga dapat merobohkan pintu besi itu.
Tapi... kalau gagal, keadaan kita justru akan semakin sulit."
"Benar, Koko. Aku juga sangsi. Tak mungkin mereka mengumpulkan kita di sini,
kalau kekuatan gabungan kita akan dapat merobohkan pintu itu." Chu Bwe Hong
tidak sependapat dengan usul suaminya.
"Kau punya pendapat lain?"
Chu Bwe Hong menggelengkan kepalanya. "Aku juga belum mendapatkannya. Sebentar
aku pikirkan..." Chin Tong Sia menyeret kakinya mendekati pintu.
Sambil melangkah ia mencoba mencari akal untuk 1014
keluar dari tempat itu. Dia lalu memperhatikan pintu besi itu lekat-lekat,
kalau-kalau ada bagian yang dapat dipergunakan untuk meloloskan diri.
Pemuda itu berjongkok di depan lubang kecil, tempat menyodorkan makanan kemarin.
Lubang itu hanya pas untuk lewat makanan. Kepala manusia pun tak mungkin dapat
memasukinya. "Makanan datang...!" Tiba-tiba terdengar suara penjaga mendatangi.
Raut muka Chin Tong Sia menjadi tegang. Apalagi ketika lobang kecil itu terbuka
dan makanan disorongkan masuk.
"Ambil makanan ini! Lalu kembalikan bekas tempat makanan kemarin ke sini!
Cepat...!" Penjaga itu berteriak dari luar pintu.
Chin Tong Sia mengambil makanan itu, kemudian menyodorkan bekas tempat makanan
mereka kemarin. Tapi bersamaan dengan bergesernya nampan tersebut, tangan Chin Tong Sia juga
ikut bergeser keluar di bawah nampan. Begitu tangan penjaga itu terulur untuk
memungut nampan, cepat bagai kilat tangan Chin Tong Sia menyambar.
Wuuus... sst! Pergelangan tangan penjaga itu berhasil dicengkeram. Selanjutnya
lengan itu ditarik dengan paksa sehingga penjaga itu terjungkal mencium lantai.
Di lain saat jari telunjuk Chin Tong Sia telah menekan urat gagunya.
"Berikan kunci pintu ini atau... kau tak ingin melihat isteri dan anakmu lagi?"
Pemuda itu 1015 mengancam sambil menekan jarinya sehingga menimbulkan sakit yang luar biasa.
"Uh-uh-uh...!" Penjaga itu kesakitan namun tak bisa bersuara karena urat gagunya
telah ditotok Chin Tong Sia.
"Cepat! Aku .tahu kau tidak bisa menjawab! Tapi aku tak peduli! Sekali lagi
kuminta kau tak memberikannya, jariku akan mencoblos tengkorakmu!
Nah, berikan!" Sekali lagi pemuda itu menghardik.
Suaranya terdengar sungguh-sungguh.
Tiba-tiba terdengar suara gemerincing. Tangan kiri penjaga itu melemparkan
seuntai kunci melalui lobang tersebut.
"Locianpwe, bukalah...!" Chin Tong Sia memberikan kunci itu kepada Souw Thian
Hai, sementara tangannya yang lain tetap mencengkeram lengan lawannya.
Souw Thian Hai mencoba kunci tersebut satu persatu, sehingga akhirnya pintu itu
terbuka. Selanjutnya pendekar itu mencoba pula kunci-kunci yang lain untuk membuka rantai
di tubuh mereka. Semua itu berlangsung dengan cepat, seolah-olah rencana pembebasan tersebut
telah mereka atur secara rapi.
"Bagus...! Benar-benar rencana yang hebat! Tapi...
bagaimana kau bisa tahu penjaga itu membawa kunci?" Souw Thian Hai berdesah
dengan suara gembira. 1016 Sambil melepaskan tubuh penjaga yang lemas itu Chin Tong Sia mengebut-ngebutkan
lengan bajunya. "Rencana itu juga timbul dengan mendadak saat mendengar suara gemerincing di
antara suara langkahnya. Sebenarnya saya juga tidak yakin kalau dia membawa
kunci itu. Semuanya hanya untung-untungan saja...." Chin Tong Sia menjelaskan.
Suara ribut-ribut itu terdengar pula oleh penjaga yang lain. Sebentar saja
tempat itu telah dipenuhi para pengawal.
Pertempuran pun tidak dapat dielakkan lagi. Tapi mana mungkin para pengawal itu dapat menahan Souw Thian Hai bertiga" Sekejap saja mereka telah bergelimpangan di lantai. Semuanya tertotok lemas tanpa bisa bangun lagi. Souw Thian Hai menggandeng isterinya untuk menaiki tangga. Sementara Chin Tong
Sia mengikut 1017 di belakang mereka sambil menyeret rantai yang tadi mengikat lengannya.
Beberapa saat kemudian mereka telah sampai di atas tangga. Sekejap mata mereka
menjadi silau oleh sinar matahari yang menyorot ke dalam ruangan itu.
"Serang...!" Sekonyong-konyong terdengar aba-aba di sekeliling mereka.
Belasan anak panah meluncur ke arah mereka bertiga. Bahkan panah berikutnya
telah menyusul pula sebelum yang pertama sampai di tujuan.
"Cepat bertiarap di lantai!" Souw Thian Hai berseru sambil melepaskan baju
luarnya. Baju itu diputar-putar di sekeliling tubuhnya dan tubuh isterinya.
Chin Tong Sia juga memutar rantai besi di tangannya. Panah berjatuhan di sekitar
mereka. Tetapi lawan terus saja melepaskan panah, sehingga Souw Thian Hai dan
Chin Tong Sia juga tidak berani pula menghentikan gerakan mereka. Keduanya tetap
saja memutar-mutar senjata mereka seperti baling-baling.
Akhirnya Chin Tong Sia menjadi marah. Hujan anak panah itu segera diterjangnya
dengan berani. Sambil memutar rantainya dia melepaskan pukulan-pukulan jarak jauhnya. Beberapa
anak panah yang lolos dari sabetan rantainya, ternyata juga tidak dapat melukai
tubuhnya. Anak panah itu hanya mampu menggores kulit dan merobek pakaiannya.
Traaaang! Traaaaang....! Braaak! Braaaakk!
Dalam kemarahannya Chin Tong Sia tidak lagi memilih-milih sasaran. Rantai besi
itu menyapu apa 1018 saja yang menghalang di depannya. Tembok, jendela dan pintu ruangan itu hancur
bertaburan terkena sabetan rantainya. Para pemanah yang bersembunyi di sana
segera berlari menyelamatkan diri. "Awaaaas...!
Lari!" Mereka berteriak dan berhamburan seperti kawanan lebah yang dihancurkan
sarangnya. Namun demikian beberapa orang diantara mereka tidak sempat
meninggalkan tempatnya. Mereka tewas terkena sambaran rantai Chin Tong Sia.
Kesempatan itu dipergunakan pula oleh Souw Thian Hai dan isterinya. Keduanya
bangkit berdiri dan mengamuk pula. Ternyata kepalan tangan mereka justru lebih
berbahaya daripada senjata tajam.
Sesekali tampak sinar putih atau kemerahan melesat dari ujung jari Souw Thian
Hai. Dan sinar itu melesat bagaikan mata pedang yang mampu merusak segala macam
benda penghalangnya. Tembok, kayu, perabotan rumah, semuanya hancur terkena
kilatan sinar tersebut. Bahkan barang-barang yang terbuat dari besi pun menjadi
rusak terkena sambaran sinar yang keluar dari ujung jari pendekar itu.
Pertunjukan kesaktian itu benar-benar mengecutkan hati para pengawal Mo Hou.
Mereka segera lari berserabutan meninggalkan tempat itu.
"Gila! Mengapa kalian lari! Lawan terus!" Ho Bing dan kawan-kawannya tiba-tiba
muncul dari ruang dalam. Pengemis berpakaian rapi itu berteriak marah.
1019 "Bagus, kita ketemu lagi!" Chin Tong Sia berseru gembira.
Sesaat pertempuran itu berhenti. Mereka saling berhadapan. Ho Bing dibantu Tiat-
tou dan Siang-kiam-eng, berhadapan dengan Chin Tong Sia beserta Souw Thian Hai
suami-isteri. Sementara itu para pengawal rumah itu menjadi besar lagi hatinya
menyaksikan Ho Bing telah berada diantara mereka.
Mereka segera bersiap lagi mengepung tempat tersebut.
"Kalian bertiga... menyerahlah! Tempat ini penuh dengan jebakan! Kalian tidak
mungkin dapat meninggalkan tempat ini! Sekali aku memberi perintah, maka jebakan
demi jebakan akan menghalangi langkah kalian!" Ho Bing berseru dengan penuh
keyakinan. Souw Thian Hai, Chu Bwee Hong dan Chin Tong Sia saling memandang satu sama lain.
Ancaman itu membuat mereka menjadi was-was juga.
"Sudahlah! Apa pun yang terjadi kita wajib berusaha. Kita tidak boleh menyerah
begitu saja. Siapa tahu Thian memberi jalan kepada kita?" Souw Thian Hai berbisik kepada Chin
Tong Sia. Chin Tong Sia tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Di dalam benaknya juga
tidak ada kata-kata untuk menyerah. Sambil menggeram rantai di tangannya kembali
berkelebat menyerang lawannya.
"Jangan banyak bicara! Lakukanlah kalau kau mampu!"
1020 Siiiiing! Rantai itu melesat ke depan dengan cepatnya. Ujungnya mematuk ke arah
dada Ho Bing. "Baiklah. Kau memang perlu diberi pelajaran!
Pengawal, semprotkan bubuk pelemas...!" Ho Bing mengelak sambil berseru memberi
perintah. Tiba-tiba dari langit-langit ruangan itu bertaburan bubuk putih ke bawah. Dalam
sekejap ruangan itu bagaikan dilanda hujan abu.
"Hong-moi, awaaaas...! Tahan napasmu! Cepat keluar dari tempat ini!" Souw Thian
Hai memperingatkan isterinya.
Ruangan itu menjadi gelap, penuh dengan taburan bubuk putih yang berhamburan
dari atap ruangan tersebut. Meskipun tidak berani membuka mata, tapi Souw Thian
Hai dapat mengenali gerakan lawannya.
"Ha-ha-ha, jangan harap bisa lolos! Pengawal, siapkan jaring-jaring perangkap!"
Terdengar suara teriakan Ho Bing diantara kelamnya kabut putih itu.
Chin Tong Sia terpaksa kembali untuk menolong Souw Thian Hai dan isterinya.
Pemuda itu telah menutupi wajah dan seluruh kepalanya dengan sobekan kain
bajunya.

Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Locianpwe, tutuplah kepala dengan sobekan kain apa saja! Walau tidak dapat
menangkal sepenuhnya, tetapi paling tidak dapat mengurangi pengaruh racun bubuk
putih ini!" Pemuda itu berbisik di telinga Souw Thian Hai.
"Benar. Tapi kita tidak dapat melihat jaring yang mereka siapkan! Apa yang harus
kita perbuat?" 1021 "Kita terjang saja jaring-jaring itu! Locianpwe dapat merusaknya dengan Tai-kek-
sin-ciang tadi!" Chin Tong Sia berdesah dengan nada geram.
"Wah, sayang sekali! Tai-kek-sin-ciang justru tidak berguna bila berhadapan
dengan benda lentur. Kekuatannya akan hilang, bahkan bisa memantul balik." Pendekar itu menerangkan.
"Lepaskan jaring perangkap....!" Ruangan itu kembali bergema oleh suara perintah
Ho Bing. Souw Thian Hai dan Chin Tong Sia benar-benar kaget ketika melihat jaring besar
jatuh dari atap ruangan. Otomatis tangan mereka bergerak. Souw Thian Hai
melepaskan totokan ujung jarinya, sedangkan Chin Tong Sia segera mengayunkan
rantainya. Masing-masing berusaha merusakkan perangkap itu.
Wuuut! Wuut! Dhugg! Benar juga. Tai-kek-sin-ciang yang ampuh itu sama sekali tidak berdaya
menghadapi kelenturan jaring perangkap. Tali jaring terbuat dari kulit kerbau
itu hanya mental terkena sambaran Tai-kek-sin-ciang.
Bahkan rantai di tangan Chin Tong Sia pun tak mampu merusakkannya.
"Celaka! Locianpwe, apa yang harus kita perbuat?"
Pemuda itu berteriak cemas.
"Kita kembali ke ruang bawah tanah! Cepat! Hong-moi, ikut aku!" Souw Thian Hai
berseru pula. 1022 Hampir saja jaring itu menggulung mereka.
Untunglah dengan lincah mereka lebih dulu masuk ke lubang tangga ruang bawah
tanah. "Nah, apa kataku" Kalian tidak akan dapat .keluar dari tempat ini! Akhirnya
kalian kembali juga ke dalam penjara! Ha-ha-ha-ha! Hei Penjaga...! Tutup
pintunya!" Pintu rahasia ke ruang bawah tanah itu segera ditutup, dan lorong sempit menuju
ke bawah itu menjadi gelap. Hanya ada satu lampu minyak di tempat itu.
"Hai-ko, kita benar-benar terperangkap sekarang."
Chu Bwe Hong berdesah. "Sssst, dengar...! Ada keributan di luar! Seperti suara perkelahian...." Tiba-
tiba Souw Thian Hai meletakkan jarinya di atas bibir.
"Benar. Rasanya aku mendengar suara Ho Bing mengumpat dan memaki-maki!" Chin
Tong Sia berkata pula. "Ho Bing" Siapa itu... Ho Bing?"
"Pengemis bermuka kelimis yang berada di antara penjaga tadi. Dia telah
berkhianat dan menjadi kaki tangan Raja Mo Tan. Beberapa hari yang lalu, dia
berusaha membunuh utusan Kong-sun Goanswe di kota Lu-feng! Untung aku dapat
menggagalkan rencananya dan menyelamatkan utusan itu." Chin Tong Sia
menjelaskan. "Ooh..."!" Souw Thian Hai mengangguk-angguk.
1023 Chin Tong Sia lalu menempelkan telinganya di atas pintu. Lapat-lapat terdengar
jeritan perempuan di antara umpatan Ho Bing.
"Tiau Hek Hoa...?" Chin Tong Sia menduga-duga.
"Bagaimana...?" Souw Thian Hai bertanya pelan.
Chin Tong Sia menggeleng kepalanya. "Benar.
Memang ada suara pertempuran di luar. Tapi... kita tak mungkin dapat keluar dari
sini. Pintu ini terbuat dari besi tebal."
"Kalau begitu... kita cari jalan keluar yang lain!"
"Air! Air...!" Chu Bwe Hong yang sudah berada di bawah tangga itu tiba-tiba
menjerit. Souw Thian Hai melompat turun dengan tergesa-gesa. Dan kakinya segera menginjak
genangan air yang entah dari mana datangnya. Ternyata tempat itu telah dibanjiri
air setinggi mata kaki. "Wah, tampaknya mereka ingin membenamkan kita di sini!" Pendekar tua itu
menggeram. "Ular! Hai-ko, ulaaaar...! Lihat! Banyak sekali!"
Sekali lagi Chu Bwe Hong menjerit keras sekali.
Chin Tong Sia melongok ke bawah. Di antara kelap-kelipnya lampu minyak, terlihat
banyak sekali ular berenang di dalam air itu. Sungguh menjijikkan dan sekaligus
juga menakutkan! "Locianpwe! Naiklah ke atas tangga!"
Akan tetapi permukaan air itu juga bertambah naik pula. Dan beberapa ekor ular
mulai menaiki tangga. Souw Thian Hai segera menghalaunya.
1024 "Wah kita terpaksa harus menjebol pintu! Mari kita coba!" Souw Thian Hai berkata
agak cemas. Tapi bukan mencemaskan keselamatannya sendiri. Dia lebih memikirkan
keselamatan isterinya. Mereka lalu menghimpun tenaga bersama-sama, kemudian mendorong pintu itu.
Sekejap lempengan besi tebal itu bergetar dengan hebat. Namun sampai di puncak
kekuatan mereka, ternyata pintu itu tetap tak bergeming.
"Pintu ini kuat bukan main!" Chin Tong Sia terengah-engah.
"Oh! Air sudah mencapai tangga! Hai-ko, lihat! Ular- ular itu juga berebut naik pula!" Chu Bwe Hong berseru tertahan. Cuuus! Cuuuus! Cus...! Cahaya putih kemerahan meluncur dari ujung jari Souw Thian Hai, menerjang gerombolan ular yang sedang berebut naik tangga. Binatang melata itu terpental 1025
kembali ke dalam air. Tubuh mereka terpotong menjadi beberapa bagian, bagai
direjam oleh pisau tajam.
Diam-diam Chin Tong Sia tergetar juga. Pendekar itu benar-benar hebat sekali.
Tampaknya sulit sekali bagi orang lain untuk menghindar dari sinar berbahaya
itu. "Tapi setinggi apa pun ilmu silat seseorang tentu ada titik kelemahannya. Tak
terkecuali Tai-kek-sin-ciang ini, tentu ada titik kelemahan juga. Hmm, bila Su-
heng Put-pai-siu Hong-jin ada di sini, tentu dia dapat menemukan titik kelemahan
itu." Semakin lama air di dalam lorong itu semakin naik pula. Souw Thian Hai dan Chin
Tong Sia semakin sibuk melayani ular-ular yang naik ke atas tangga.
Darah ular yang terbunuh membuat ruangan itu menjadi amis sekali.
"Hai-ko, bagaimana ini...?" Chu Bwe Hong berdesah cemas. Wajahnya pucat.
Akhirnya permukaan air mulai menyentuh sepatu.
Dan mereka tidak mungkin dapat naik lagi. Punggung mereka sudah menempel pada
pintu besi. Ular-ular itu seperti tidak mati pula. Meski banyak yang mati, namun mereka
tetap saja menyerang. Justru Chu Bwe Hong yang akhirnya menjadi ketakutan. Wanita tua yang masih tetap
cantik itu hampir pingsan menyaksikan kenekatan binatang-binatang menjijikkan
tersebut. Sambil menjerit-jerit tangannya memukuli pintu.
1026 "Naiklah ke punggungku, Hong-moi!" Souw Thian Hai berseru.
"Locianpwe, mari kita coba mendorong pintu ini sekali lagi. Mumpung air belum
menenggelamkan tubuh kita!" Chin Tong Sia berteriak pula.
Mereka lalu mengerahkan tenaga dalam lagi.
Bahkan semua yang ada pada mereka. Kemudian mendorong pintu besi itu sekali
lagi! Hup! Pintu besi itu kembali tergetar dengan hebat, sehingga debu dan pasir
berjatuhan mengotori tubuh mereka.
Namun pintu tetap tak tergoyahkan. Kekuatan gabungan mereka sama sekali tak
berdaya untuk menggerakkannya.
"Aduh...!" Tiba-tiba Souw Thian Hai menjerit kecil. Tangannya menyambar ke
bawah, dan dua ekor ular loreng terpental remuk menghajar diding.
Chu Bwe Hong berdesah kaget. "Hai-ko" Ular itu mematuk kakimu...?"
Pendekar tua itu mengangguk sambil menotok beberapa jalan darah di kakinya.
Dalam keadaan terpojok seperti itu Souw Thian Hai masih tetap berusaha bersikap
tenang "Locianpwe, aku punya obat! Silakan makan!
Jangan sampai terlambat!" Chin Tong Sia merogoh sakunya dan memberikan sebotol
obat kepada pendekar tua itu.
Air semakin tinggi. Kaki dan perut mereka mulai tenggelam pula. Diam-diam Chu
Bwe Hong mulai 1027 putus asa. Meski tidak bersuara, tapi air matanya mengucur semakin lama menjadi
semakin deras. "Hai-ko...!" Ia berbisik pelan sambil memeluk suaminya.
Souw Thian Hai tidak tahan pula. Pendekar tua yang sudah kenyang menikmati asam
garam kehidupan itu balas memeluk isterinya. Keduanya berpelukan seolah tak
ingin berpisah lagi. Hanya Chin Tong Sia yang masih kelihatan tenang.
Pemuda itu benar-benar seperti tidak peduli akan hidupnya. Pemuda itu tetap
waspada terhadap ular-ular yang berseliweran di sekitar mereka.
"Lihatlah, Hong-moi! Apakah dalam keadaan seperti ini, kau masih belum mau
berterus terang juga kepadanya" Apakah akan kita pendam terus rahasia ini sampai
mati?" Souw Thian Hai berbisik di telinga Chu Bwe Hong seraya melirik Chin Tong
Sia. Chu Bwe Hong menangis tersedu-sedu. Air mulai membasahi dagunya, dan sekejap
lagi dia tidak akan dapat bernapas lagi.
"Hai-ko, aku... aku...."
Braaaaak! Tiba-tiba pintu besi itu terbuka dengan keras. Sinar matahari
menerobos masuk dan menyilaukan pandangan mereka.
"Pintu terbuka! Locianpwe, kita keluar!" Chin Tong Sia berteriak gembira, lalu
melompat keluar. Sambil memeluk pinggang isterinya Souw Thian Hai meloncat keluar pula. Mereka
bertiga segera bersiap-siaga menghadapi segala kemungkinan.
1028 Ho Bing dan kawan-kawannya tidak terlihat lagi di tempat itu. Sebaliknya mereka
melihat . seorang gadis cantik bertubuh kecil bertolak pinggang di depan mereka.
Kedua tangannya memegang sepasang pedang pendek. Gadis itu sedang mengawasi para
penjaga yang tergeletak di sekitarnya.
Chin Tong Sia mengusap-usap matanya. Dia seperti tak percaya akan penglihatannya
sendiri. Beberapa kali ia mengawasi gadis cantik itu.
"Kau... kau..." Ah!" Pemuda itu berdesah gugup seperti layaknya jejaka yang
tiba-tiba bertemu dengan gadisnya.
Ternyata tidak hanya Chin Tong Sia yang kaget.
Gadis itu bahkan lebih kaget daripada Chin Tong Sia.
"K-k-kau...?" Gadis yang tidak lain adalah Tio Siau In itu menjerit. Kulit mukanya berubah
merah seketika. Peristiwa memalukan yang terjadi di pinggiran kota Hang-ciu lima tahun lalu,
kembali terbayang di matanya.
"Bagus! Ternyata... kau yang berada di ruang bawah tanah itu! Hmmh! Lihat
pedangku...!" Tio Siau in memekik sambil mengayunkan pedangnya.
Souw Thian Hai dan Chu Bwe Hong terkejut.
Tusukan pedang itu sangat cepat dan mematikan.
Namun demikian Chin Tong Sia sama sekali tak bereaksi! tiba-tiba saja pemuda itu
seperti orang kehilangan akal.
Criiiiiing! 1029 Ujung pedang Siau In tiba-tiba tergetar ke samping!
Dalam situasi yang sangat gawat itu, ternyata Souw Thian Hai tidak dapat tinggal
diam! Seleret sinar putih terlepas dari ujung jarinya dan menghantam pedang Siau
In! Demikian kuatnya sehingga pedang itu hampir terlepas dari tangan Siau In.
"Hong-gi-hiap..." Benarkah Locianpwe ini...?" Tio Siau In tergagap. Pedangnya
cepat ia sarungkan kembali. Ilmu dahsyat yang baru saja menghantam pedangnya itu
hanya dimiliki keluarga Souw, keluarga gurunya.
"Nona, bersabarlah...! Kita bicarakan dulu segala sesuatunya dengan baik. Engkau
telah menyelamatkan jiwa kami. Tentu saja kami bertiga sangat berterima kasih
sekali. Lo-hu, Souw Thian Hai, mewakili isteriku dan temanku ini, mengucapkan
rasa terima kasih yang tak terhingga kepadamu."
"Oh, Souw Locianpwe... terimalah hormatku!
Siauw-te... tidak bermaksud kurang ajar di hadapanmu, Siauw-te sebenarnya...
ehm... sudahlah. Biarlah lain kali saja aku menagih hutang kepada bocah ini!"
Tio Siau In yang biasanya bersikap liar dan berani itu, tiba-tiba menjadi kikuk
dan salah tingkah. Dia telah diberi tahu oleh Souw Lian Cu dan Han Tui Lan,
siapakah sebenarnya Hong-gi-hiap Souw Thian Hai itu.
Selama ini Siau In, Yok Ting Ting dan Souw Giok Hong, tinggal bersama Souw Lian
Cu dan Han Tui 1030 Lan. Mereka belajar silat dengan tekun, sehingga kepandaian Giok Hong, Siau In
dan Ting Ting maju dengan pesat. Masing-masing belajar menurut alirannya
sendiri. Sebagai bekas murid pendeta Im-yang-kauw, Han Tui Lan menurunkan semua ilmu
Aliran Im-yang-kau kepada Tio Siau In. Bahkan wanita sakti itu juga menurunkan
ilmunya yang lain, yang dulu pernah ia pelajari bersama Liu Yang Kun.
Sedang Yok Ting Ting, karena bukan anak murid Im-yang-kau, hanya diberikan ilmu-
ilmu Han Tui Lan yang lain.
"Cici In, orang-orang itu sudah pergi semua!" tiba-tiba seorang gadis cantik,
berkulit pucat dan agak kurus, berlari masuk ke dalam ruangan itu.
"Ting Ting, jangan kurang ajar di depan Souw Locianpwe!" Tio Siau In menegur.
Gadis kurus itu terbelalak mengawasi Souw Thian Hai dan isterinya. Dia baru
tergagap dan memberi hormat kepada Souw Thian Hai ketika Tio Siau In menepuk
pundaknya. Souw Thian Hai dan Chu Bwe Hong telah terbiasa menerima perlakuan seperti itu.
Sebagai tokoh persilatan ternama, mereka berdua sangat dikenal dan selalu
dihormati orang. Namun demikian melihat gadis-gadis ini, Souw Thian Hai seperti merasakan sesuatu
yang aneh. Tidak terasa kakinya melangkah ke depan.
1031 "Siapakah kalian berdua ini" Tampaknya kalian telah mengenal kami dengan
baik...." Sekonyong-konyong Tio Siau In dan Yok Ting Ting saling berpelukan dengan wajah
gembira sekali. Dengan berdiri berendeng mereka sekali lagi memberi hormat.
"Souw Locianpwe, terimalah hormat kami berdua...!"
Souw Thian Hai dan Chu Bwe Hong tertegun.
Jantung mereka berdebar dengan cepat. Jelas kedua gadis itu mempunyai maksud
tertentu kepadanya. Siapa sebenarnya mereka"
"Kalian...?" Chu Bwe Hong berdesah bingung.
Tio Siau In biasanya memang berwatak liar dan suka mengganggu orang. Namun
sekali ini ia tak berani kurang ajar. Souw Thian Hai adalah ayah Souw Lian Cu,
wanita yang selama ini dia anggap sebagai pengganti gurunya. Oleh karena itu
dengan jujur dia bercerita apa adanya. Betapa mereka selama ini mencari Souw
Thian Hai. Bukan main gembiranya hati pendekar itu. Bahkan kegembiraan itu benar-benar
terasa lengkap dan utuh. Sudah lama mereka berusaha menemukan Souw Lian Cu. Malahan ketika pulang dari
Laut Utara, mereka tidak terus pulang ke rumah, tapi tetap meneruskan
pengembaraan mereka, mencari puteri mereka itu.
Chu Bwe Hong menangis di dada suaminya. Berita itu sangat membahagiakan hatinya


Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pula. Walaupun Souw Lian Cu bukan puteri kandungnya, tapi ia telah 1032
menganggapnya sebagai puteri sendiri. Apalagi ternyata Souw Giok Hong, puteri
kandungnya, juga dalam keadaan baik-baik bersama Souw Lian Cu.
Souw Thian Hai menarik napas panjang. Diam-diam ia bersyukur di dalam hati.
Ternyata semua yang ia yakini selama ini benar-benar membuahkan hasil.
Souw Lian Cu masih hidup.
Di dalam keharuannya itu tak terasa mata Souw Thian Hai melirik ke arah Chin
Tong Sia. Pemuda itu masih tampak bingung menyaksikan pertemuan tersebut.
Sebenarnya, kebahagiaan itu benar-benar lengkap bagi Chu Bwe Hong. Selain dapat
menemukan kembali Souw Lian Cu dan Souw Giok Hong, sebenarnya Chu Bwe Hong juga
menemukan seorang anaknya yang lain, yang selama ini tak pernah dipikirkannya.
Chin Tong Sia yang sejak kecil dipelihara dan diasuh oleh Put-ceng-li Lojin,
sesungguhnya adalah puteranya pula. Namun karena anak itu lahir dari seorang
penjahat yang amat dibencinya, maka Chu Bwe Hong tak pernah mengakuinya.
Dahulu, sebelum menjadi isteri Souw Thian Hai, Chu Bwe Hong mendapat musibah
yang amat mengerikan. Dia diculik dan dibawa lari Hek-eng-cu, seorang Datuk
Kejahatan, sehingga dia hamil dan melahirkan Chin Tong Sia. Karena sangat
membenci penjahat itu, maka Chu Bwe Hong tidak mau mengurusi bocah itu. Anak tak
berdosa itu diasuh oleh 1033
Put-ceng-li Lo-jin dan diakui sebagai anaknya. ( Baca
: Memburu Iblis) Kini secara tak terduga anak itu muncul di depan mereka. Maka tidak mengherankan
bila terjadi perang batin di hati Chu Bwe Hong. Dia sama sekali tidak
menginginkan anak itu. Namun di sisi lain, dia juga tidak dapat mengingkari pula
bahwa anak itu adalah darah dagingnya.
"Biarlah Chu Bwe Hong sendiri yang memutuskan.
Tampaknya rahasia itu benar-benar dijaga oleh Bengkau, sehingga anak ini juga
tidak mengetahui tentang dirinya." Souw Thian Hai berkata di dalam hatinya.
Demikianlah mereka lalu keluar dari rumah itu.
Ternyata matahari mulai naik ke atas kepala. Entah mengapa, Chin Tong Sia masih
merasa takut berdekatan dengan Siau In. Peristiwa lima tahun lalu masih membekas
di hatinya. Bahkan kenangan itu tak pernah lepas dari pikirannya.
Sebenarnya Chin Tong Sia tak pernah melupakan wajah Siau In. Selama ini wajah
gadis itu selalu mengganggu hatinya. Entah sudah berapa ratus kali dalam lima
tahun ini Chin Tong Sia berkeliaran di daerah pantai timur Tiongkok, dengan
harapan dapat berjumpa kembali dengan Siau In. Tetapi secara tak terduga gadis
itu justru ia temukan di tempat ini, jauh dari daerah wilayah kekuasaan Giam Pit
Seng. Maka tidak mengherankan bila ia sampai bingung begitu melihat Siau In.
1034 Bahkan ia sama sekali tak mau mengelak ketika pedang gadis itu menyambarnya.
Untunglah Souw Thian Hai menyelamatkannya.
"Saudara Chin, bagaimana sekarang" Lo-hu hendak mencari puteriku bersama gadis-
gadis ini. Mau ke mana kau sekarang?" Mendadak terdengar suara Souw Thian Hai
bertanya. Chin Tong Sia menjadi gugup. Dia tak ingin kehilangan Siau In lagi. Tapi,
bagaimana caranya" Tiba-tiba Chin Tong Sia menepuk jidatnya. "Ah, Locianpwe. Bagaimana dengan
temanku yang bernama Souw Hong Lam itu" Apakah Locianpwe tak ingin melihatnya"
Siapa tahu dia dapat menunjukkan tempat puteri Locianpwe itu?"
"Ah, benar. Di mana sekarang dia berada?"
Chin Tong Sia mengajak rombongan itu ke rumah makan, tempat pemuda itu bersama
rombongannya kemarin berhenti. Tapi pemilik rumah makan itu mengatakan bahwa
rombongan Chin Tong Sia sudah berangkat lebih dahulu dengan naik kuda.
"Locianpwe, bagaimana sebaiknya" Pemuda yang bernama Souw Hong Lam itu telah
berangkat ke Sungai Huang-ho. Apakah Locianpwe akan mengejar dia" Kalau memang
demikian, kita dapat bersama-sama mengejarnya."
Souw Thian Hai memandang Tio Siau In. "Eh, Siau In... apakah kau mengenal pemuda
bernama Souw Hong Lam" Mungkin dia pernah mengunjungi Souw Lian Cu?"
1035 "Souw Hong Lam" Maaf, kami belum mengenalnya, Locianpwe."
"Baik kita kejar saja mereka. Ehm, apakah ada sesuatu yang akan dikerjakan oleh
teman-temanmu di perairan Sungai Huang-ho itu?" Pendekar tua itu bertanya kepada
Chin Tong Sia. Chin Tong Sia mengangguk, tapi tak mau mengatakan tujuannya.
"Baiklah. Lo-hu takkan ikut campur urusan kalian.
Lo-hu hanya ingin melihat wajah Souw Hong Lam, yang mengaku keluarga kami dan
sedang mencari aku itu."
Siang itu juga mereka berlima mencari kuda dan berangkat menuju ke Sungai Huang-
ho. Seperti halnya rombongan Liu Wan, mereka menerobos hutan dan perkampungan
penduduk. Di sepanjang jalan mereka juga melihat banyak desa yang telah
ditinggalkan penduduknya.
"Ah... perang lagi! Mengapa orang tak bosan-bosannya berperang?" Pendekar tua
itu berdesah sedih. Karena bulan bersinar dengan terang, maka mereka berjalan terus tanpa berhenti.
Menjelang tengah malam mereka tiba di pinggir Sungai Huang-ho. Chin Tong Sia
segera mencari tahu tentang teman-temannya di tempat persewaan perahu. Dia
mendapatkan berita tentang mereka.
1036 "Mereka itu temanmu" Wah, mereka telah berangkat pagi tadi. Mungkin mereka sudah
sampai di tujuan." Pemilik perahu itu menerangkan.
"Locianpwe, mereka telah berangkat ke selatan dengan perahu. Apakah Locianpwe
tetap ingin melanjutkan juga perjalanan ini?"
Souw Thian Hai terdiam.. Hari telah larut malam, namun pinggiran sungai itu
masih banyak terlihat kesibukan.
"Bagaimana Hong-moi" Rasanya aku sangat penasaran dengan pemuda bernama Hong Lam
ini. Kita teruskan perjalanan ini?"
Chu Bwe Hong tersenyum, lalu mengangguk.
Walaupun lelah wanita tua itu masih tampak cantik dan anggun.
"Bagaimana dengan gadis-gadis ini" Apakah mereka tidak kelelahan?" Chu Bwe Hong
balik bertanya pula. "Ah, kami juga sudah terbiasa berjalan jauh.
Apalagi di atas perahu kami dapat beritirahat." Yok Ting Ting menyahut dengan
cepat. Demikianlah, Souw Thian Hai lalu menyewa perahu yang agak besar. Karena tak
seorang pun di antara mereka yang dapat mengemudikan perahu, maka pendekar tua
itu minta kepada pemilik perahu untuk memberinya seorang tukang perahu.
"Cu-wi mau berangkat malam ini juga?"
"Benar. Tidak bisa?" Chin Tong Sia memotong dengan tergesa-gesa.
1037 "Bukan itu maksudku. Justru kebetulan sekali, karena ada seorang anak buahku
yang ingin lekas-lekas kembali ke hilir."
"Bagus sekali...." Souw Thian Hai berseru gembira.
Setelah mengisi perut dan menyiapkan bekal secukupnya, malam itu juga mereka
berangkat. Tukang perahu yang kebetulan hendak pulang ke hilir itu masih tampak muda, walau
usianya telah mencapai empat puluhan tahun. Badannya masih kekar dan kuat.
Souw Thian Hai dan Chu Bwe Hong duduk di belakang bersama tukang perahu,
sementara Tio Siau In dan Yok Ting Ting menikmati cerahnya sinar rembulan di
ujung depan. Semuanya kelihatan gembira dan bersemangat, kecuali Chin Tong Sia.
Pemuda itu duduk lesu di bawah atap perahu.
Matanya menatap jauh ke langit, di antara gemerlapnya sinar bintang di angkasa.
Sesekali matanya yang redup itu mencuri pandang ke arah Siau In. Tak jarang
bibirnya berdesah panjang sekali.
Sesungguhnya bahwa hati Chin Tong Sia sedang gundah. Kemunculan Tio Siau In yang
tak terduga itu benar-benar seperti mengoyakkan luka lama. Sejak pertemuan
mereka yang pertama di Hang-ciu lima tahun lalu, Chin Tong Sia tak pernah,
melupakan gadis itu. Bagi Chin Tong Sia, awal pertemuan mereka benar-benar
seperti impian. Impian yang belum pernah dia rasakan selama hidupnya.
1038 Kemulusan tubuh Siau In pada saat berganti pakaian di tengah semak belukar itu,
benar-benar membuat Chin Tong Sia terpesona. Baru sekali itulah Chin Tong Sia
melihat bentuk seorang wanita.
Sungguh suatu pemandangan yang mendebarkan.
Begitu hebatnya pengaruh impian itu di hati Chin Tong Sia, sehingga pemuda itu
bagaikan jatuh cinta pada pandangan pertama. Beberapa waktu lamanya pemuda itu
tidak dapat melupakan peristiwa itu.
Akhirnya seperti orang sinting, Chin Tong Sia berkeliaran mengelilingi Propinsi
Tse-kiang dan Kiang-su, hanya untuk mencari Tio Siau In.
Tapi sampai berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, Chin Tong Sia tidak pernah
dapat menemukan Tio Siau In. Malah sekarang, setelah pemuda itu putus asa dan
tidak punya pengharapan lagi, tiba-tiba Tio Siau In muncul di depannya.
Begitulah, sementara Chin Tong Sia duduk melamun memikirkan Tio Siau In,
ternyata di ujung perahu, gadis itu justru sedang terlibat dalam percakapan yang
menggembirakan dengan Yok Ting Ting. Mereka sangat senang sekali dapat bertemu
Souw Thian Hai. Kini mereka berharap dapat segera mempertemukan pendekar tua itu
dengan Souw Lian Cu dan Souw Giok Hong.
"Sayang sekali Cici Giok Hong memisahkan diri.
Kalau tidak, dia sudah dapat bertemu orang tuanya."
Yok Ting Ting menyesali kepergian Souw Giok Hong.
1039 Setelah lima tahun tinggal bersama di balik air terjun itu, ternyata hubungan
mereka bertiga seperti layaknya saudara kandung. Bagi Tio Siau In, keberadaan
Souw Giok Hong bagaikan pengganti kakaknya. Sementara bagi Souw Giok Hong dan
Yok Ting Ting sendiri, keberadaan yang lain merupakan tambahan kebahagiaan bagi
diri mereka yang selama ini selalu sendiri.
Dan ternyata kebahagiaan mereka itu juga membuat cerah pula suasana di tempat
tersebut. Suasana gua yang semula terasa sedih dan dingin, akhirnya berubah
menjadi ceria dan bersemangat.
Kebahagiaan itu pula yang akhirnya membuat hati Souw Lian Cu dan Han Tui Lan
mencair. Kedua wanita sakti itu kembali menemukan semangat untuk mengarungi
kehidupan mereka. Mula-mula Souw Giok Hong membujuk Souw Lian Cu untuk mencari ayah mereka. Gadis
itu mengatakan bahwa ayah-ibunya belum kembali semenjak pergi dengan Utusan
Pondok Pelangi. Tak terduga permintaan itu diluluskan oleh Souw Lian Cu, karena wanita itu
ternyata telah berembug dengan Han Tui Lan, dan sudah memutuskan untuk kembali
lagi ke dunia ramai. Agar tidak terlalu menyolok, serta lebih cepat dapat menemukan Souw Thian Hai,
mereka lalu berpencar menjadi dua rombongan. Rombongan pertama, Souw Lian Cu dan
Han Tui Lan, menuju ke arah utara.
Sementara rombongan ke dua, Souw Giok Hong 1040
bersama Tio Siau In dan Yok Ting Ting, berangkat ke arah barat.
Sayang sekali, di tengah jalan Souw Giok Hong memisahkan diri, karena gadis ayu
itu hendak berkunjung dulu ke Gunung Hoa-san.
Jadilah Tio Siau In mengembara berdua saja dengan Yok Ting Ting. Mereka berjalan
terus ke arah barat sambil selalu mencari berita tentang Souw Thian Hai. Dan
ternyata jerih payah mereka memperoleh hasil. Secara tidak sengaja Tio Siau In
melihat Lok-kui-tin membawa kereta tawanan.
Tio Siau In masih ingat akan peristiwa di tepi pantai Hang-ciu lima tahun lalu.
Enam hantu dari luar Tembok Besar itu telah membantai prajurit-prajurit Han.
Bahkan hampir membunuh gurunya, Giam Pit Seng.
Tio Siau In tidak tahu siapa tawanan itu, tetapi ia telah berketetapan hati
untuk menolongnya. Namun demikian ia harus berhati-hati, karena Lok-kui-tin
sangat lihai. Demikianlah setelah seharian mengikuti kereta itu, akhirnya mereka sampai di
rumah besar itu. Tio Siau In dan Yok Ting Ting semakin waspada ketika melihat Mo
Hou dan seorang gadis berkulit hitam di tempat itu. Mereka bersembunyi di
halaman belakang. Tio Siau In maupun Yok Ting Ting tidak melihat kedatangan Chin Tong Sia. Mereka
tetap bersembunyi dan menanti kesempatan untuk membuka pintu ruang bawah tanah
itu. Mereka juga tidak tahu kalau Chin 1041
Tong Sia dikeroyok dan dijebloskan ke dalam penjara tersebut. Bahkan keduanya
menunggu kesempatan itu semalam penuh.
Keesokan harinya Tio Siau In dan Yok Ting Ting baru berani bergerak ketika
melihat Mo Hou dan seluruh anak buahnya meninggalkan tempat tersebut.
Tapi di ruang belakang mereka dihadang oleh anak buah Ho Bing. Dan perkelahian
pun berlangsung dengan seru.
Sementara itu Chin Tong Sia dan Souw Thian Hai suami isteri juga dapat
meloloskan diri mereka dari penjara. Di ruang tengah mereka dihadang pula oleh
anak buah Ho Bing. Maka terjadilah pertarungan hebat di seluruh rumah itu.
Selanjutnya, seperti telah diceritakan di bagian depan, Souw Thian Hai dan Chin
Tong Sia kembali terkurung di Ruang Bawah Tanah. Untunglah Tio Siau In dan Yok
Ting Ting dapat mengalahkan Ho Bing dan anak buahnya.
"Cici, ternyata justru kita berdua yang dapat menemukan Souw Locianpwe. Ah,
betapa senangnya mereka nanti." Yok Ting Ting meremas tangan Tio Siau In.
"Benar. Tapi... di mana kita harus mencari Bibi Lian Cu?"
Yok Ting Ting terdiam. "Bagaimana kalau Souw Locianpwe itu kita ajak saja ke gua
kita?" Ucapnya kemudian dengan ragu.
1042 Tio Siau In menoleh ke belakang. Tetapi matanya justru bentrok dengan mata Chin
Tong Sia. Otomatis kulit mukanya menjadi merah.
"Cici, eh... omong-omong, pemuda itukah yang kauceritakan dulu?" Yok Ting Ting
yang melihat keadaan itu berbisik sambil mengedipkan matanya.
Siau In mengangguk. Wajahnya berubah menjadi keruh.
"Benar. Suatu saat akan kubunuh dia. Sekarang biar saja dia bersenang-senang di
depan Souw Tai-hiap."
"Ah, sayang sekali. Wajahnya cukup tampan." Ting Ting tersenyum menggoda.
Siau In melotot. "Ngaco! Kubunuh kau...."
"Tapi kau pernah mengatakan bahwa ilmu silatnya sangat tinggi. Bagaimana Cici
dapat mengalahkan dia nanti" Jangan-jangan Cici akan kalah lagi."
"Apa katamu" Kau menyangsikan kemampuanku?"
"Sabar, Cici. Bukan itu maksudku. Aku hanya ingin mengingatkan agar kau berhati-
hati. Tentu saja aku tidak akan tinggal diam. Aku akan membantumu."
"Huh, lihat saja nanti. Selesai mempertemukan Souw Taihiap dengan Bibi Lian Cu,
aku akan menantang dia!" Tio Siau In menggeram.
Ketika melewati tikungan berbahaya, tukang perahu memperingatkan mereka untuk
berpegangan dengan kuat. Orang itu sama sekali tidak menyadari bahwa
penumpangnya adalah jago-jago silat berkepandaian tinggi.
1043 Perahu besar itu berkelak-kelok mengikuti arus air.
Demikian besarnya ombak yang menghempas dinding perahu itu, sehinga mereka
berlima seperti sedang berlayar di lautan lepas. Beruntung sekali perahu itu di
bawah tangan seorang ahli. Demikian lihainya tukang perahu itu membawa kemudinya
sehingga perahu tersebut selalu terhindar dari kesulitan.
"Untunglah kita membawa dia. Heemm, coba kalau kita berangkat sendiri. Mungkin
perahu ini sudah kandas menghantam batu." Souw Thian Hai berkata kepada
isterinya. "Ah, paling-paling kita berenang lagi seperti di Laut Utara itu." Chu Bwe Hong
menyahut. Souw Thian Hai tersenyum dan merangkul pundak isterinya. Pengalaman mereka di
laut ganas itu memang jauh lebih mengerikan.
"Benar. Tapi kalau kita tidak berjumpa dengan pemuda perkasa itu, hem... mungkin
kita sudah dimakan hiu dan takkan bertemu dengan Lian Cu...."
"Benar, suamiku. Aku juga kagum sekali kepada bocah itu. Umurnya masih sangat
muda, jauh lebih muda dari Giok Hong, tapi kepandaiannya benar-benar
mentakjubkan. Dan bicara sejujurnya, eh....
rasanya kepandaian kita belum dapat menyamainya, bukan?"
Souw Thian Hai menganggukkan kepalanya.
"Kau benar isteriku. Rasanya tokoh semacam Bok Siang Ki pun belum tentu dapat
menandinginya. Tenaga dalamnya benar-benar tidak terbatas. Hem, 1044
mungkin hanya Pangeran Liu Yang Kun yang mampu menandingi dia."
"Ah, kau teringat lagi pada menantu kita."
Pendekar tua itu menghela napas panjang. Sinar matanya meredup. Setiap kali
teringat Pangeran Liu Yang Kun, perasaannya sangat sedih. Dia langsung ingat
akan cucu-cucunya yang telah tiada.
"Aaaaah... di mana dia sekarang berada" Dua puluh tahun lamanya dia menghilang.
Mungkinkah dia sudah benar-benar tiada" Aaaah...!"


Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Yah, mungkin memang sudah tiada."
Malam semakin larut. Embun mulai turun membasahi pakaian mereka. Demikian
dinginnya sehingga mereka tidak merasa bahwa aliran sungai mulai berbelok ke
arah selatan. Sungai besar itu mulai lewat di tengah-tengah tanah perkampungan
penduduk yang padat. Namun yang sangat mengherankan mereka, perumahan padat di tepian sungai itu
tampak lengang dan sepi. Tidak secercahah sinar lampu pun yang menyorot keluar
dari lubang dinding mereka.
Kampung itu seperti tak berpenghuni lagi. Satu-satunya suara yang terdengar cuma
lolongan anjing lapar di kejauhan.
"Gila! Tampaknya Mo Tan telah sampai di daerah ini." Souw Thian Hai tiba-tiba
menggeram sambil mengepalkan tangannya.
"Benar, Tuan. Pasukan Hun memang sudah menyusup sampai di kota Sing-yun. Itulah
sebabnya 1045 aku ingin segera pulang, karena kota itu hanya seratus lie dari kampungku. Aku
harus cepat-cepat mengungsikan anak isteriku." Tukang perahu itu memotong
perkataan Souw Thian Hai.
"Benarkah" Cepat sekali...! Setengah bulan yang lalu kota itu masih aman dan
tenang. Bahkan Lo-hu sempat menyaksikan pesta perkawinan di sana."
"Pasukan Hun memang seperti siluman. Pasukan perbatasan dibawah pimpinan Kong-
sun Goanswe tidak berdaya menahan mereka. Pasukan Jendral Ciang Kwan Sit, yang
dikirim dari kota raja juga mereka hancurkan dengan mudah. Bahkan Jendral Ciang
Kwan Sit sendiri juga terbunuh dalam pertempuran itu."
Souw Thian Hai mengerutkan keningnya. Tukang perahu itu tahu banyak sekali
tentang medan pertempuran.
"Oh, lihat...! Ada pertempuran di sana!"
Sekonyong-konyong Yok Ting Ting berseru sambil mengangkat jari telunjuknya ke
depan. Dua buah perahu besar penuh prajurit kerajaan tampak dikepung oleh pasukan asing
yang menggunakan sampan-sampan kecil. Anak panah beterbangan di udara, sementara
beberapa buah sampan kecil berusaha mendekati perahu besar itu.
Balasan orang tak berseragam berebut naik ke atas, sehingga pertempuran sengit
segera berlangsung dengan hebatnya. Suara pedang dan tombak berdentang memecah
kesunyian. 1046 Traaaang! Trang! Traaaaang...!
Souw Thian Hai dan Chu Bwe Hong melompat ke depan, diikuti pula oleh Chin Tong
Sia. Mereka menyaksikan pertempuran itu dengan perasaan tegang. Demikian
tegangnya hingga Tio Siau In-lupa bahwa di tempat itu dia terpaksa berdesakan
dengan Chin Tong Sia. "Melihat seragamnya... mereka seperti pasukan kerajaan! Tapi siapa lawan
mereka?" Souw Thian Hai bergumam pelan.
"Marilah kita mendekat!" Chu Bwe Hong berseru.
"Tapi... tapi aku tidak berani, Tuan. Kita kembali saja." Tukang perahu itu
berseru gemetar. "Tidak apa-apa. Berbaringlah di bilik perahu."
Souw Thian Hai memberi perintah.
Perahu itu mereka bawa ke tempat pertempuran.
Chin Tong Sia terpaksa mengemudikannya. Dan kedatangan mereka segera menarik
perhatian orang-orang itu. Tampaknya masing-masing mencurigai mereka.
"Benar, Locianpwe. Mereka memang prajurit Han.
Dan segerombolan orang tak berseragam itu adalah kaki tangan Raja Mo Tan. Lihat,
mereka mengenakan rompi dari kulit binatang!" Chin Tong Sia berseru lantang.
Pertempuran di atas perahu besar itu semakin tampak brutal dan mengerikan.
Masing-masing berusaha untuk membunuh lawan sebanyak-banyaknya. Namun karena
jumlah pasukan 1047 berseragam itu lebih kecil maka lambat laun mereka terdesak. Apalagi ketika
orang-orang di atas perahu kecil itu memanggil bala bantuan dengan panah apinya.
Sekonyong-konyong dari dalam perkampungan sepi di pinggir sungai itu muncul
ratusan obor menyambut kilatan panah berapi tadi. Terdengar jerit penyerbuan
ketika para pembawa obor itu berlari ke sungai dan menyiapkan sampan-sampan
mereka. Tukang perahu yang ditumpangi Souw Thian Hai menjadi pucat pasi wajahnya. Seluruh badannya gemetar dan akhirnya jatuh pingsan di bawah bangku. "Bagaimana, Locianpwe" Kita menolong para prajurit itu?" Chin Tong Sia meminta pendapat Souw Thian Hai. 1048 "Benar, anak muda. Pergilah bersama nona-nona ini ke perahu besar itu dan
selamatkan prajurit yang tersisa! Aku akan mencegah bala bantuan yang datang
itu!" Bagai panglima perang pendekar itu membagi tugas.
"Aku bagaimana, Hai-ko?" Chu Bwe Hong mengerutkan dahinya.
"Kau tetap di perahu ini! Dan... jangan terlampau dekat dengan pertempuran!
Perahu ini akan sangat penting bila kebakaran terjadi! Lihat mereka mulai
melepaskan panah-panah api!"
"Tapi...?" "Sudahlah, Hong-moi. Ikutilah kata-kataku!"
Selesai berkata pendekar sakti itu mencabut dua potong kayu penahan atap,
kemudian mengikatnya di bawah sepatu. Kemudian tanpa membuang waktu lagi
pendekar tua itu telah meloncat ke dalam air.
Bagaikan seekor capung orang tua itu meluncur di atas permukaan sungai.
Chin Tong Sia juga tidak mau kalah. Dia mengambil bangku tempat duduk, lalu
mematahkannya menjadi beberapa bagian. Ia mengambil dua potong dan sisanya ia
berikan kepada Yok Ting Ting.
"Hati-hati...!" Tak terasa bibir Chu Bwe Hong berdesah pelan.
Demikianlah anak-anak muda itu seperti berlomba dengan ilmu meringankan tubuh
mereka. Siau In dan Ting Ting yang mendapatkan pelajaran ilmu 1049
meringankan tubuh Bu-eng Hwe-teng (Loncat Terbang Tanpa Bayangan) dari Tui Lian,
berloncatan di atas permukaan air seperti burung camar yang beterbangan mencari
ikan. Potongan kayu yang mereka ikat di bawah sepatu merupakan landasan untuk
tidak tenggelam ke dalam sungai.
Gerakan Chin Tong Sia memang tidak sebagus gadis-gadis itu. Ilmu meringankan
tubuh Aliran Bengkau lebih bertumpu pada kekuatan tenaga dalamnya.
Dengan perhitungan yang tepat, antara kelincahan gerak dan pengerahan tenaga
dalam, maka Ilmu Meringankan Tubuh dari Aliran Beng-kau sangat sulit dicari
tandingannya. Mereka hampir berbareng tiba di perahu besar itu.
Mereka segera berhadapan dengan pasukan Mo Tan yang menyamar seperti rakyat
biasa. Mereka kelihatan beringas sekali. Senjata mereka telah berlepotan darah
para prajurit Han, yang di atas perahu itu kini tinggal beberapa orang saja
lagi. Seorang perajurit Han berpangkat Cian-bu masih tampak tegar memimpin kawan-
kawannya. Dia sendiri sedang berhadapan dengan empat orang pengeroyok. Goloknya
terayun ke sana ke mari mencari mangsa. Dan beberapa orang lawan segera tergores
kulitnya. Karena tidak ingin dekat dengan Chin Tong Sia, maka Tio Siau In mengajak Yok
Ting Ting ke bagian belakang. Di sana mereka menyaksikan pertempuran yang lain.
Sepuluh orang perajurit Han berhadapan 1050
dengan belasan anak buah Mo Tan. Mereka bertempur dengan kacau. Mereka tidak
memilih lawan lagi. Musuh yang berada di dekat mereka adalah lawan yang harus dibunuh.
Tio Siau In melihat seorang lelaki pendek kekar, bersandar di pagar perahu.
Lengannya panjang sekali.
Lebih panjang dari kebanyakan orang.
"Hati-hati, Ting-moi. Orang yang berdiri di pagar perahu itu tentu sangat
berbahaya." Tio Siau In berbisik.
Sementara itu para penyerbu mulai melepaskan panah api dari sampan mereka.
Beberapa anak panah menancap di geladak dan mulai membakar kayu-kayu kering.
"Ting-moi, mari kita padamkan dulu api-api itu!"
-- o0d-w0o -- JILID XXV ING MOI, mari kita padamkan dulu api-
api itu!" Tio Siau In dan Yok Ting Ting berusaha T memadamkan api yang mulai berkobar di
atas geladak. Keduanya bergerak dengan cepat, walaupun mereka selalu dirintangi
1051 oleh orang-orang yang menyerang perahu itu. Tapi pukulan dan tendangan mereka
membuat orang-orang itu terlempar ke dalam sungai.
Kehebatan Tio Siau In dan Yok Ting Ting segera menarik perhatian lelaki pendek
kekar itu. Orang itu bergeser dari tempatnya, kemudian menyerang Yok Ting Ting
dari samping. Lengannya yang panjang menyambar ke arah pinggang Yok Ting Ting.
Hembusan angin tajam mengejutkan Yok Ting Ting. Gadis itu sadar akan bahaya.
Dengan tangkas dia menarik tubuhnya ke belakang, kemudian meloncat tinggi ke
udara. Sambil berjumpalitan gadis itu ganti menyerang dengan sisi tangannya.
Gerakannya sungguh lincah dan gesit, seperti seekor tupai meloncat di atas
pohon. Sementara dari kedua belah telapak tangannya terhembus angin dingin ke
segala penjuru. Lelaki pendek itu terkejut. Sekejap udara di sekelilingnya terasa berat dan
sulit untuk bernapas. Otomatis gerakannya terganggu. Untunglah dengan mengerahkan tenaga sepenuhnya,
ia masih mampu menghindar dari pukulan Yok Ting Ting. Namun demikian jantungnya
terasa berdegup dengan keras.
"Siapa kau..." Apa hubunganmu dengan partai Soa-hu-pai?" Lelaki pendek itu
berseru kaget. Yok Ting Ting memang menggunakan ilmu meringankan tubuh ajaran Han Tui Lan, yang
bersumber pada ilmu warisan Bit-bo-ong (Raja Kelelawar) almarhum. Ilmu tersebut
diberi nama Bu-1052 eng Hwe-teng (Loncat Terbang Tanpa Bayangan), yang merupakan salah satu dari
tiga ilmu silat ciptaan Bit-bo-ong.
Bit-bo-ong hidup hampir setengah abad yang lalu.
Sebenarnya ia adalah anak murid Soa-hu-pai, yang membelot dan memusuhi
perguruannya sendiri. Dia mampu menemukan rahasia ilmu perguruannya, sehingga
mampu menciptakan ilmu silat yang tiada taranya. Dengan ilmu ciptaannya itu ia
malang-melintang sebagai raja iblis di dunia persilatan. Tak seorang pun mampu
menandinginya. Bahkan datuk-datuk persilatan yang hidup pada zaman itu,
kewalahan pula menghadapinya. ( Baca: Pendekar Penyebar Maut dan Memburu Iblis)
Ilmu ciptaan Bit-bo-ong yang menggegerkan persilatan itu adalah Pat-hong-sin-
ciang (Telapak Sakti Delapan Penjuru), Kim-liong-sin-kun (Pukulan Sakti Naga
Emas) dan Bu-eng Hwe-teng (Loncat Terbang Tanpa Bayangan). Karena tokoh itu
memang bekas murid Soa-hu-pai maka tidak mengherankan kalau ilmu ciptaannya juga
tidak jauh berbeda dengan ilmu silat Soa-hu-pai. Seperti halnya ilmu silat Soa-
hu-pai, maka ilmu ciptaannya juga mengandung kekuatan sihir. Bahkan bisa
dikatakan kalau ilmu ciptaannya itu bertumpu pada kekuatan sihirnya.
Sehingga makin tinggi dan makin dalam ilmu tersebut dipelajari, maka akan
semakin kuat pula cengkeraman ilmu sihirnya.
1053 Dan takdir telah menentukan, bahwa ilmu ciptaan Bit-bo-ong itu secara tidak
sengaja jatuh ke tangan Han Tui Lan dan Pangeran Liu Yang Kun. Keduanya
mempelajari ilmu tersebut, walau akhirnya Han Tui Lan tidak berani
meneruskannya. Selain amat dahsyat, ternyata ilmu itu juga dapat mempengaruhi jiwa pemiliknya.
Ilmu yang diciptakan dengan semangat dan nafsu tamak, serakah, kejam dan tak
mengenal belas kasih itu, ternyata juga menyeret jiwa dan pikiran pemiliknya ke
jalan yang kelam. Hanya Pangeran Liu Yang Kun yang mampu mempelajari ilmu-ilmu tersebut sampai
tuntas. Walaupun semasa mudanya pangeran itu juga pernah menapak di jalan kelam, namun
dengan kekuatan tenaga dalamnya yang dahsyat, dia dapat menjinakkan pengaruh
buruk dari ilmu tersebut.
Oleh karena itu Han Tui Lan juga tidak berani menurunkan ilmu silat tersebut
kepada Yok Ting Ting maupun Tio Siau In. Dia hanya berani mengajarkan ilmu
meringankan tubuhnya saja, yakni Bu-eng Hwe-teng. Dan salah satu geraknya telah
dilakukan oleh Yok Ting Ting tadi.
Siapa sangka lelaki pendek itu ternyata sangat awas. Sekalipun hanya sekilas,
ternyata orang itu dapat menebak asal-usul gerakan Yok Ting Ting.
Namun karena selama ini Yok Ting Ting juga tidak pernah diberitahu oleh Han Tui
Lan, maka gadis itu juga tidak dapat menjawab pertanyaan lawannya.
1054 "Aku tidak memiliki hubungan sedikit pun dengan Partai Soa-hu-pai. Apabila ilmu
silatku hampir sama dengan mereka, hemm... mungkin cuma kebetulan saja.
Sudahlah, kau sendiri siapa" Mengapa kau dan orang-orangmu ini menyerang
prajurit-prajurit pemerintah" Apakah kau mau berontak?"
"Hohoho...! Berontak" Kaukira siapa kami ini, heh"
Kami bukan orang Han. Kami datang dari utara untuk menaklukkan negeri ini!
Dan... akulah pemimpin pasukan ini. Namaku... Yuen Ka, pembantu terpecaya
Panglima Yeh Sui." Yok Ting Ting tidak kaget mendengar perkataan lawannya. Khabar tentang pasukan
Mo Tan yang menyerbu ke selatan, memang sudah banyak ia dengar dalam perjalanan.
"Bagus. Kalau begitu biarlah kubunuh kau lebih dulu, agar kawan-kawanmu segera
menyerah!" Begitulah, mereka segera terlibat dalam perkelahian seru. Yok Ting Ting yang
kini telah tumbuh menjadi seorang gadis lihai, berhadapan dengan Yuen Ka,
seorang pembantu dekat Panglima Yeh Sui. Yuen Ka memiliki ilmu silat dari utara.
Turun-temurun keluarganya mengabdi pada keluarga Mo Tan.
Sementara itu panah berapi semakin banyak beterbangan di atas perahu. Chin Tong
Sia yang berada di bagian depan juga sibuk menghadapi keroyokan gerombolan
penyerang itu. Dan ternyata jumlah mereka semakin lama semakin banyak.
Mereka berebut naik ke atas perahu dan menyerang 1055
para prajurit Han dengan ganasnya. Mereka menyerang seperti kawanan lebah yang
tidak takut mati. Di beberapa tempat api tidak bisa dipadamkan lagi.
Api berkobar dan membakar apa saja di dekatnya, sehingga perahu itu mulai
miring. Beberapa orang mulai terjun ke dalam sungai. Mereka tidak ingin
terpanggang dalam panasnya api. Suasana menjadi kacau-balau.
Tidak berapa jauh dari perahu itu Souw Thian Hai masih mencoba menghalangi para
penyerang yang lain. Pendekar sakti itu menyongsong kedatangan mereka dan
menenggelamkan sampan yang mereka tumpangi. Kekuatan dan kesaktian pendekar itu
benar-benar menggiriskan hati.
Namun demikian usaha untuk menolong prajurit-prajurit kerajaan itu tetap sia-
sia. Begitu banyaknya gerombolan yang menyerang, sehingga prajurit-prajurit itu
tidak mampu bertahan lagi. Satu-persatu mereka mati di tangan gerombolan
penyerang. Bahkan perahu besar itu akhirnya mulai tenggelam pula.
"Tong Sia! Siau In! Ting Ting! Kita tinggalkan tempat ini! Cepat...!" Tiba-tiba
terdengar teriakan Souw Thian Hai, mengatasi suara hiruk-pikuk di atas air
tersebut. 1056 Sementara itu Chu Bwe Hong telah membawa perahunya jauh ke hilir. Wanita tua
yang masih amat cantik itu tetap mentaati perintah suaminya. Dia menghindar dari
arena pertempuran, dan membawa perahunya terus ke hilir. Panah dan api yang

Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nyasar ke perahunya, dihalaunya dengan dayung. Yok Ting Ting dan Tio Siau In juga mendengar perintah Souw Thian Hai. Mereka segera bersiap untuk pergi. Sambil menghindari serangan Yuen Ka, Yok Ting Ting
berteriak ke arah Tio Siau In.
"Cici! Ayoh, kita pergi dari tempat ini!"
Tapi dengan wajah beringas Yuen Ka mencoba menghalang-halanginya.
"Hoho, jangan harap bisa lolos...!" Yuen Ka mengejek sambil menghadang langkah
Yok Ting Ting. 1057 Namun belum juga hilang gema suaranya, lelaki pendek kekar itu tiba-tiba
menjerit kesakitan! Tio Siau In yang sejak tadi berada di dekatnya, sekonyong-
konyong berbalik dan menyerang dengan pedang pendek! Cresss...! Pedang itu
menyerempet pinggangnya! Maka tiada ampun lagi dia terdorong mundur dan jatuh
keluar perahu! Byuuurr! "Ayolah, Ting-moi! Kita jangan sampai kehilangan, Souw Taihiap! Marilah...!"
Tio Siau In dan Yok Ting Ting segera mencari sampan kosong dan bergegas pergi
dari tempat itu. Beberapa orang yang berusaha menghalangi mereka langsung saja mereka bereskan.
Sementara itu di bagian depan, Chin Tong Sia masih berkutet dengan para
pengeroyoknya. Pemuda itu berusaha menolong perwira kerajaan yang pada akhirnya
harus berjuang sendirian melawan gerombolan penyerang itu.
Chin Tong Sia tidak ingin ditinggalkan Tio Siau In maupun Souw Thian Hai. Tetapi
pemuda itu juga tak ingin meninggalkan perwira tersebut. Oleh karena itu tiada
jalan lain baginya selain mengeluarkan ilmu pamungkasnya, Cuo-mo-ciang! Perwira
itu harus segera dibawa pergi!
Hanya sesaat saja pemuda itu bersiap, maka seluruh tenaga saktinya telah
berkumpul di dalam perutnya.
Ketika kemudian ia berteriak dan menerjang kepungan lawan, maka hasilnya benar-
benar menggiriskan! Wuuuuus!
1058 Tujuh orang penyerang yang mengeroyok perwira itu tiba-tiba terpental pergi,
bagai dilanda angin puting-beliung. Tubuh mereka terlempar tinggi ke udara dan
jatuh di luar perahu. "Cian-bu! Tinggalkan saja perahu ini! Tidak ada harapan untuk mempertahankannya
lagi! Semua prajuritmu telah habis dan perahu ini juga akan tenggelam! Ayoh,
ikutlah aku!" Pemuda itu menyambar lengan perwira itu dan mengajaknya turun ke
sebuah sampan kecil yang tiada penghuninya lagi.
Chin Tong Sia lalu mendayung sampan tersebut ke daratan. Puluhan anak panah
bertaburan bagai hujan ke arah mereka, namun dengan mudah mereka menangkisnya.
Beberapa orang yang mencoba menghalang di depan mereka, mereka singkirkan pula.
Ilmu silat Chin Tong Sia memang menakutkan.
Selain sangat ganas juga aneh luar biasa.
Mereka mendarat di tepi sungai hampir berbareng dengan sampan Tio Siau In. Souw
Thian Hai yang telah tiba lebih dahulu, segera mengajak mereka pergi
meninggalkan tempat itu. Mereka berlalu menyusuri sungai ke arah hilir.
"Marilah! Isteriku tentu sudah tidak sabar lagi menantikan kita!"
Perahu Chu Bwe Hong memang belum terlalu jauh, sehingga mereka segera dapat
bergabung kembali. Souw Thian Hai memerintahkan Tukang Perahu yang 1059
telah siuman, untuk memacu perahu mereka. Souw Thian Hai tidak ingin terkejar
lawan. Sementara itu cahaya kemerahan mulai mengintip di balik pepohonan. Dan beberapa
saat kemudian gelombang air yang bergulung di sekitar perahu mereka pun tampak
dengan jelas. Apalagi setelan kehangatan matahari mulai menepis kabut yang ada.
Rasa lega tampak di wajah rombongan itu.
Perasaan tegang serasa hilang bersamaan dengan hilangnya kabut itu. Kini
semuanya dapat saling bertatap muka. Dan semua mata tertuju ke arah perwira itu.
"CianBu...! Apa sebenarnya yang telah terjadi"
Mengapa pasukanmu sampai bentrok dengan pasukan asing itu?" Souw Thian Hai
bertanya pelan. Perwira itu menarik napas panjang. Rasa sesal tampak sekali di matanya.
"Terima kasih atas pertolongan Tai-hiap. Terus terang aku tidak mengenal
Saudara-saudara, tetapi aku percaya bahwa Saudara semua adalah pendekar-pendekar
yang mencintai negeri ini. Aku Li Ku Si, perwira pada pasukan Jenderal Ciang
Kwan Sit. Pasukan kami digempur habis-habisan oleh pasukan Mo Tan yang dipimpin oleh
Panglima Yeh Sui. Kami tercerai berai dan berusaha mencari keselamatan sendiri-
sendiri. Aku terpaksa membawa sisa pasukanku ke selatan, menyusuri sungai ini.
Tapi di sini pasukanku tetap saja dihancurkan lawan. Tak 1060
seorang pun lolos dari tangan Mo Tan. Aku benar-benar sangat menyesal...."
"Sudahlah, Li Cianbu. Tidak seorang pun menyalahkanmu. Mereka memang lebih kuat.
Sekarang Li Cianbu harus cepat-cepat melaporkan keadaan ini. Apabila terlambat,
maka negeri ini akan benar-benar dikuasai Mo Tan. Kami akan membantu, meskipun
hanya sebatas tenaga saja, karena soal tatacara atau siasat perang kami tidak
mengerti." Tak terduga wajah Li Kui Si semakin kusam.
"Justru hal tersebut yang memprihatinkan kami.
Sebenarnya dilihat dari jumlah prajurit dan perlengkapannya, kami sama sekali
tidak kalah. Keadaan kami malah lebih baik dari mereka. Tapi perang bukan hanya mengandalkan
jumlah dan perlengkapan saja. Taktik dan siasat perang justru memegang peranan
yang lebih penting. Mereka dipimpin oleh jago-jago perang yang hebat, sementara
kami hanya mengandalkan kekuatan dan
perlengkapan saja. Bagaimana mungkin bisa menang?"
Souw Thian Hai terbelalak. "Bagaimana hal itu bisa terjadi" Di mana jendral-
jendral perang yang dulu kita banggakan?"
Li Ku Si berdesah pendek. "Aku tidak berani mengatakannya."
Souw Thian Hai mengangguk-angguk. Dia memang sudah banyak mendengar tentang
keadaan di 1061 kota raja. Oleh karena itu dia dapat mengerti ucapan Li Ku Si.
Tapi tidak demikian dengan Chin Tong Sia.
Pemuda itu menjadi marah. Ucapan Li Ku Si benar-benar membuatnya penasaran.
Serentak dia berdiri dan berseru keras sekali.
"Suasana di kota raja sekarang memang tidak sehat.
Manusia-manusia tamak dan bodoh, yang cuma mengandalkan mulut manis dan kata-
kata busuk, dibiarkan memimpin negara. Sebaliknya pahlawan-pahlawan kebanggaan
rakyat justru dibuang dan dijebloskan ke dalam penjara. Mana mungkin negeri ini
bisa bertahan?" "Saudara Chin...!" Souw Thian Hai berbisik.
"Biarlah, Taihiap. Kesal rasanya kalau perasaanku ini tidak aku keluarkan.
Biarlah semua orang tahu.
Biarlah mereka mengerti. Negeri ini dalam bahaya.
Kita harus bangkit. Kita harus menyelamatkannya.
Kalau perlu kita singkirkan orang-orang bodoh dan tamak itu! Kita kembalikan
pahlawan-pahlawan yang masih ada! Mumpung musuh belum menduduki negeri ini!"
Suara Chin Tong Sia makin bersemangat.
"Saudara Chin, tenanglah...! Dinginkan hatimu!
Kau berbicara di depan petugas kerajaan. Apakah kau tidak takut dituduh sebagai
pemberontak?" Souw Thian Hai membujuk.
"Biarlah, Souw Taihiap. Aku tidak takut. Biarlah Au-yang Goanswe dan para
begundalnya memburu aku. Yang penting, negeri ini harus diselamatkan!"
1062 Li Ku Si menatap Souw Thian Hai dengan mata terbelalak. "Jadi Tuan ini ....
Hong-gi-hiap Souw Thian Hai yang terkenal itu?"
"Benar, Cianbu. Perkenalkan ini... isteriku. Dan anak-anak muda ini adalah teman
puteriku. Maafkanlah mereka. Usia mereka masih terlalu muda untuk mengerti urusan negara."
"Ah, tidak apa... Souw Taihiap. Apa yang diucapkan anak muda ini memang benar.
Kalau boleh memilih, sungguh menyenangkan sekali di bawah pimpinan Yap Tai-
ciangkun dulu. Sayang beliau dianggap bersalah terhadap negara, sehingga harus
menjalani hukuman di Benteng Langit. Coba kalau beliau masih berkuasa, hem...
tidak mungkin Mo Tan berani menyerang negeri ini!"
"Bagus. Ternyata Cianbu masih memiliki kecintaan terhadap tanah ini. Namun
demikian kecintaan itu tidaklah lengkap tanpa diikuti dengan semangat
berkorban." Chin Tong Sia kembali berseru.
"Anak muda, apa maksudmu?" Li Ku Si mengerutkan keningnya.
"Melihat dan menyadari kekeliruan, tetapi tidak berani bertindak, sama saja
dengan pengecut. Nah, kalau keadaan negeri sudah begini, mengapa kita tidak
berusaha menyelamatkannya.
"Saudara Chin, katakan yang jelas! Apa maksudmu" Kami belum bisa mencerna kata-
katamu...." Souw Thian Hai berdesah.
1063 Chin Tong Sia menatap semua orang yang ada di perahu itu. Tatapan matanya yang
dingin dan keras itu menggetarkan juga hati Li Ku Si maupun yang lain.
"Li Cian-bu, Souw-taihiap...! Hanya seorang saja di negeri ini yang sangat
disegani Mo Tan! Dia adalah...
Panglima Yap Kim! Nah, mengapa tidak kita keluarkan saja panglima itu dari
penjara" Kita minta beliau untuk memimpin para pejuang!"
Kata-kata yang keluar dari mulut Chin Tong Sia itu benar-benar mengejutkan
mereka. Ucapan itu terlalu berani, karena ucapan seperti itu sudah cukup untuk
menuduhnya sebagai pemberontak.
Akhirnya Souw Thian Hai maju ke depan. Dengan sareh ia berkata.
"Saudara Chin, sadarlah. Kami paham perasaanmu.
Tapi hati-hatilah berbicara. Ucapan itu sangat membahayakan jiwamu. Kau...
hem... lebih baik kau segera meminta maaf kepada Li Cian-bu." Souw Thian Hai
berkata tegas. Tidak terduga Li Ku Si maju ke depan dan memegang lengan Souw Thian Hai. Ucapan
yang keluar dari mulutnya justru lebih mengagetkan dari pada perkataan Chin Tong
Sia. "Souw Tai-hiap, biarlah. Kurasa apa yang dikatakan anak muda ini memang benar
semua. Dalam situasi seperti ini pikiranku justru terbuka. Kita memang harus berani
berkorban demi negeri ini.
Berapalah harganya jiwa ini kalau dibandingkan dengan kepentingan negara"
Mengapa kita harus takut 1064
mati" Mengapa kita harus takut sengsara dan menderita" Hmmh... aku setuju untuk
mengeluarkan Yap Tai-ciangkun dari Benteng Langit!"
Semuanya terdiam. Ucapan perwira kerajaan itu bagaikan petir yang menyambar
lubuk hati mereka. Kesadaran mereka timbul. Terutama Hong-gi-hiap Souw Thian Hai. Di waktu muda
pendekar itu pernah berjuang bersama Panglima Yap Kim menegakkan negeri ini.
Sekarang setelah semuanya menjadi baik, seorang pengkhianat justru menjebloskan
pahlawan itu ke dalam penjara.
"Baik! Aku juga setuju! Mari kita buat rencana untuk membebaskan dia!" Tiba-tiba
pendekar tua itu berkata tegas.
"Hai-ko...?" Chu Bwe Hong menyentuh lengan suaminya.
Souw Thian Hai merangkul pundak isterinya. "Aku tahu bahwa usiaku sudah tua,
Hong-moi. Tapi bila kuingat saat-saat kita berjuang bersama Saudara Yap, hatiku
kembali terbakar. Sungguh tidak adil. Seorang pahlawan dan pejuang besar, yang
ikut menegakkan negeri ini malah dikurung di dalam penjara! Sungguh tidak adil!
Almarhum Kaisar Liu Pang tentu tidak akan menerima perlakuan ini. Kita harus
berbuat sesuatu!" "Jadi....?" Chu Bwe Hong menatap wajah suaminya.
"Benar apa yang dikatakan Saudara Chin. Kita harus berani berkorban. Kalau anak
muda seusia dia 1065 saja berani mengngorbankan nyawanya, apalagi kita yang sudah mau masuk liang
kubur ini!" "Baiklah, Hai-ko. Aku juga setuju pada niatmu.
Kita berangkat bersama! Kita tunda dulu urusan anak kita."
Wajah Chin Tong Sia yang dingin itu menjadi lega dan gembira sekali. Tanpa harus
membujuk atau memberi alasan macam-macam, mereka telah memutuskan sendiri untuk
pergi ke Benteng Langit! Kini tinggal Tio Siau In dan Yok Ting Ting yang belum bicara.
"Bagaimana dengan Ji-wi Li-hiap?" Pemuda itu bertanya dengan suara kaku.
Tio Siau In dan Yok Ting Ting saling pandang.
Keduanya memang belum mengenal Panglima Yap Kim. Tapi melihat Souw Thian Hai
yang terkenal itu ingin pergi ke Benteng Langit, mereka merasa tertarik pula.
Tak terasa keduanya mengangguk.
"Bagus. Kalau begitu sekarang juga kita ke sana...!"
Chin Tong Sia berseru lega. Lalu sambil berjalan pemuda itu menjelaskan apa yang
hendak dia kerjakan di Benteng itu bersama teman-temannya.
"Jadi... itukah yang hendak kau kerjakan bersama teman-temanmu" Ah, Lo-hu
semakin menjadi tidak sabar untuk melihat Souw Hong Lam. Siapa sebenarnya anak
itu?" Souw Thian Hai berdesah dengan suara gemetar.
"Tai-hiap dapat menemuinya nanti. Tapi yang jelas kita harus segera menemui
mereka. Kita harus 1066 memberitahu bahwa salah seorang dari mereka adalah penyelundup."
"Benar. Sementara itu aku bisa mengumpulkan sisa-sisa pasukan Jendral Ciang Kwan
Sit yang kita temui. Siapa tahu mereka dapat membantu rencana ini?" Li Ku Si
berseru pula dengan wajah gembira.
Demikianlah mereka lalu mempercepat jalan perahu mereka. Benteng Langit tinggal
setengah hari perjalanan lagi. Sambil melaju mereka juga melihat-lihat, kalau
ada sisa-sisa prajurit Jendral Ciang Kwan Sit yang dapat mereka kumpulkan.
SEKARANG kita ikuti kembali rombongan Liu Wan yang telah tiba lebih dulu di
Benteng Langit. Rombongan itu tiba tepat pada waktu tengah malam, di saat rombongan Chin Tong
Sia bertempur melawan pasukan Yuen Ka.
Seperti yang pernah mereka dengar sebelumnya, benteng itu didirikan Kaisar Chin
di atas tanah karang luas. di tengah-tengah pertemuan dua aliran sungai besar,
yaitu Sungai Huang-ho dan Sungai Huai. Tanah berkarang terjal itu menjulang
tinggi di atas permukaan air, sehingga sulit dijangkau dari daratan.
Dan tempat itu sangat berbahaya bagi perahu-perahu yang lewat. Selain
gelombangnya besar, di tempat itu juga banyak pusaran air akibat pertemuan dua
aliran sungai. Untuk memasuki benteng juga hanya satu jalan, yaitu dari pintu gerbang depan. Di
bagian ini 1067 dibangun anak tangga menuju gerbang. Sementara bagian samping dan belakang hanya
terdiri dari bangunan tembok tinggi di atas karang terjal.
Meskipun demikian tadi malam Liu Wan dan rombongannya telah berhasil memasuki
benteng. Mereka merayap seperti cecak di atas dinding terjal itu. Kenyataan di mana
selama ini tidak pernah seorang pun berani memasuki benteng itu, membuat
penjaganya lengah, tidak seorang pun menyadari bahwa benteng mereka dimasuki
orang. Akan tetapi Liu Wan dan kawan-kawannya menjadi bingung setelah berada di dalam
benteng. Tempat itu demikian luas dan rumit. Puluhan gedung atau bangunan
tersebar di mana-mana. Ratusan kamar dan ruangan terdapat di dalamnya. Mereka
tidak tahu, di mana Panglima Yap Kim disekap.
Semalam mereka mondar-mandir. Dengan
kesaktian mereka, tidak seorang penjaga pun mampu melihat mereka. Namun demikian
mereka tetap tidak dapat menemukan Panglima Yap Kim. Sampai matahari terbit
usaha mereka belum membawa hasil.
Terpaksa mereka mencari tempat bersembunyi.
Akhirnya mereka menyelinap di gudang bawah tanah.
"Wah! Sama sekali tidak terbayangkan olehku, bahwa benteng ini demikian luasnya.
Bagaimana kita dapat menemukan ruang itu, tanpa petunjuk dari orang-orang dalam
benteng ini sendiri...?" A Liong yang belum pernah melihat benteng itu
bersungut-sungut. 1068 "Kau benar. Kita memang harus menangkap seorang dari penjaga itu. Kita paksa dia
menunjukkan tempatnya. Benar, cuma itu yang dapat kita tempuh!"
Tiau Hek Hoa tersentak lega, seakan dapat menemukan sebuah benda berharga.


Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Liu Wan mengangguk-angguk. "Baik. Kita coba setelah hari menjadi gelap nanti.
Sekarang sangat berbahaya. Lebih baik kita beristirahat dan menyusun tenaga.
Rencana kita ini harus berhasil. Apabila gagal, maka Panglima Yap Kim akan
mereka sembunyikan di tempat yang
lebih sulit lagi!" Mereka lalu mencari tempat sendiri-sendiri yang mereka anggap nyaman untuk beristirahat. Gudang itu sangat luas dan kurang terawat. Rongsokan senjata atau bekas peralatan bangunan banyak berserakan di tempat itu. 1069 A Liong mendapatkan tempat tersembunyi di bawah tangga. Badannya yang besar
seperti kerbau jantan itu segera tergeletak di atas papan kayu.
"Awas! Kalau sampai mendengkur, kubunuh kau!"
Terdengar suara ancaman Tiau Hek Hoa di belakangnya.
A Liong menoleh. Dilihatnya gadis berkulit hitam itu melotot di pojok ruangan,
tidak jauh dari tempatnya. Tidak terasa bibir A Liong tersenyum.
"Apakah kau tega membunuh aku" Lihatlah baik-baik! Betapa tampannya aku! Sayang,
bukan?" Pemuda itu meledek dengan suara tertahan.
Srettt! Gadis bermuka hitam itu tiba-tiba melompat dan menyerang A Liong!
Tangannya telah menggenggam kipas baja!
"Kerbau jelek! Lebih baik kubunuh saja kau sekarang!"
A Liong mengelak. Pemuda itu telah bersiap sejak tadi. Dua kali dibokong Tiau
Hek Hoa, membuat A Liong selalu waspada terhadap gadis itu. Ternyata benar juga
kekhawatirannya, gadis berkulit hitam itu telah membokongnya lagi.
"Ssst! Jangan berisik, atau... kita akan menggagalkan tugas ini!" A Liong
menggeram. Kali ini suaranya berubah tegas dan bersungguh-sungguh.
Tiau Hek Hoa menahan tangannya. Matanya melirik. Sekilas ia melihat rasa kesal
dan marah di wajah Tabib Ciok dan Souw Hong Lam. Otomatis tangannya menurun.
1070 "Baik. Kita tunda dulu urusan kita. Tapi setelah tugas ini selesai, hemm...
jangan harap bisa lolos dari tanganku!" Tiau Hek Hoa tetap mengancam.
A Liong tersenyum geli. Sambil merebahkan tubuhnya kembali, ia menjawab
seenaknya. "Ah, peduli amat! Kalau nasibku memang akan mati, orang lain pun bisa
membunuhku. Tidak perlu harus menggunakan tanganmu. Hehehehe...! Apa bedanya
mati di tangan gadis ayu atau nenek-nenek jelek?"
"Apa katamu...?" Tiau Hek Hoa hampir kehilangan kendali lagi.
"Tiau Li-hiap...! Saudara A Liong!" Liu Wan berdesah pendek. "Kuharap kalian
dapat saling menahan diri."
Souw Hong Lam menggeleng-gelengkan
kepalanya. "Seperti anjing dan kucing saja...."
Hari itu terasa panjang sekali. Tiau Hek Hoa selalu bersungut-sungut dan mondar-
mandir mengelilingi ruangan itu. Gadis yang biasanya bergerak bebas dan berbuat
apa saja itu benar-benar merasa tersiksa harus menunggu. Ingin benar rasanya dia
mendobrak pintu ruangan dan mengamuk di luar sana.
Untunglah Liu Wan selalu membujuknya. Sambil bermain "petak kerikil", pemuda itu
berusaha mendinginkan hati Tiau Hek Hoa.
"Waduh, perutku mulai lapar...! Sialan!" Tiba-tiba A Liong bangkit dari tidurnya
dan menggerutu. 1071 Liu Wan dan Souw Hong Lam tersenyum.
"Badanmu terlalu besar sehingga cepat lelah dan lapar." Liu Wan menggoda.
Pemuda itu tidak meladeni kelakar Liu Wan.
Perlahan-lahan dia melangkah-ke pintu samping.
"Hai, Saudara A Liong... mau ke mana kau" Di luar banyak prajurit berjaga."
"Ciok Sinshe, jangan khawatir. Aku cuma ingin mengintip saja. Siapa tahu di luar
ada makanan. Bisa melihat pun sudah cukup bagiku...."
"Silakan saja, asal tidak keluar!"
"Beres, deh!" A Liong menjawab santai sambil tetap melangkah melintasi ruangan
itu. Mula-mula pemuda itu memang hanya mengintip saja dari celah-celah daun pintu.
Tapi begitu melihat di luar kelihatan sepi dan kosong, dia segera menyelinap
keluar dengan mengendap-endap. Seluruh uratnya menegang, suatu tanda bahwa dia
dalam keadaan siap-siaga penuh.
Ternyata lorong di luar pintu itu menembus ke bangunan belakang. Bau asap yang
terbawa oleh angin menunjukkan bahwa bangunan tersebut adalah dapur. Diam-diam A
Liong gembira. Sungguh sangat kebetulan baginya.
Beberapa saat lamanya A Liong berdiam diri di mulut lorong. Matanya beredar ke
segala penjuru. Setelah yakin tidak ada orang, baru dia menyelinap ke luar. Dalam sekejap
tubuhnya telah melesat ke atas bangunan.
1072 Dari atas A Liong dapat melihat beberapa orang petugas sedang menanak nasi dan
membuat bubur panas. "Nasi itu tentu untuk para penjaga, sedangkan buburnya untuk para tawanan." A
Liong berkata dalam hati.
Ilmu meringankan tubuh A Liong sungguh hebat sekali. Meskipun bertubuh besar,
namun A Liong mampu bergerak cepat dan lincah. Pemuda itu berloncatan di atas
penglari rumah, seperti seekor tupai berkejaran. Demikian ringan dan gesit
gerakannya, sehingga petugas dapur itu tidak ada yang tahu.
A Liong cepat berlindung di balik kayu ketika seorang prajurit masuk ke dalam
ruangan. Prajurit itu duduk di atas bangku sambil mengeluh.
"Uh, gila! Semalaman aku tak bisa tidur! Kini harus berkumpul pula! Huh! A-sam,
berilah aku semangkuk bubur dulu! Lapar sekali perutku...."
"Berkumpul" Bukankah sekarang belum waktunya untuk berganti pasukan?" Seorang
tukang masak mendekat sambil membawakan bubur panas.
Demikian gemuk badannya, sehingga langkahnya terasa berat sekali.
"Bukan itu sebabnya. Katanya tadi malam ada utusan dari kota raja masuk ke dalam
benteng ini. Utusan itu memperingatkan kita, agar bersiap-siaga menerima kedatangan musuh."
1073 "Hei...?"?" Semua orang yang berada di dalam ruangan itu tersentak kaget.
Prajurit itu tidak peduli. Sambil menikmati buburnya, dia melanjutkan ceritanya.
"Katanya... pasukan Raja Mo Tan telah merembes ke selatan. Kemarin telah terjadi
pertempuran di hulu-sungai, antara sisa-sisa pasukan Jendral Ciang Kwan Sit
melawan pasukan Mo Tan. Dan sisa-sisa pasukan itu dibabat habis oleh mereka.
Sekarang pasukan Mo Tan dalam perjalanan ke daerah ini. Diperkirakan mereka akan
sampai di sini besok lusa."
"Aduh, celaka! Bagaimana mereka dapat menyeberangi Tembok Besar" Bukankah di
sana ada bala tentara Jendral Kongsun yang kuat dan besar jumlahnya?"
"Ah, piciknya pengetahuanmu! Pasukan Raja Mo Tan juga banyak sekali jumlahnya.
Panglima-panglima mereka juga terkenal gagah berani. Kau pernah mendengar
nama... Panglima Solinga"
Panglima Yeh Sui" Atau... Panglima Huang Yin"
Huh, mereka itu tidak kalah hebatnya dengan bekas Panglima Yap Kim!"
A Liong kaget juga mendengar cerita itu. Ternyata keadaan telah berubah dengan
cepat. Pasukan Mo Tan benar-benar bergerak sangat cepat. Belum ada sepekan
khabar tentang gerakan pasukan itu, kini sebagian dari mereka telah menyeberangi
Propinsi Syan-si. 1074 "Panglima Solinga yang terkenal kejam itu" Tentu saja semua orang mengenalnya.
Memang hanya Panglima Yap Kim yang dapat menandingi dia!"
Salah seorang dari tukang masak itu kelepasan bicara.
"Sssst! Berani benar kau omong seperti itu?"
Kawannya cepat menyodok pinggangnya.
"Tapi... tapi aku hanya mengikuti omongan dia!"
Tukang Masak itu menunjuk ke arah prajurit yang sedang makan bubur.
"Sudahlah. Tidak apa-apa. Kita cuma berbicara tentang kehebatan bekas panglima
itu. Kita tidak berbuat hal-hal yang menyalahi aturan. Bekas panglima itu memang
hebat dan sangat pandai ilmu perang. Tidak salah, bukan?" Prajurit itu tersenyum
santai. Tukang Masak itu menjadi lega. Sambil mengambilkan semangkuk bubur lagi, dia
duduk di sebelah prajurit itu.
"Eh! Omong-omong tentang bekas panglima itu, emm... bagaimana khabarnya
sekarang" Apakah dia baik-baik saja?"
Sambil menyambar bubur yang disodorkan kepadanya, prajurit itu mendengus. "Tentu
saja keadaannya tetap baik. Sebagai bekas panglima, ia tetap diperlakukan secara
khusus. Ruangannya selalu bersih. Makanannya pun selalu teratur."
"Ah! Baik sekali kalau begitu. Bagaimanapun juga dia pernah ikut berjasa
mendirikan negeri ini. Ehm, lalu... apakah ruangnya masih tetap di atas Ruang
1075 Penyiksaan itu" Tidak dipindah-pindahkan lagi?"
Tukang Masak yang gemuk itu bertanya lagi dengan suaranya yang nyaring.
"Dulu memang harus selalu dipindah pindah untuk mengelabuhi kawan dan para
pendukungnya. Tapi sekarang" Sudah bertahun-tahun tidak ada orang yang datang
kemari. Mereka telah bosan. Kekuatan mereka telah habis. Sekarang kita tak perlu
khawatir lagi." A Liong beringsut. Tiba-tiba muncul sebuah rencana di dalam benaknya. Prajurit
itu dapat dipergunakan sebagai penunjuk jalan menuju ruang penjara.
Selesai menghabiskan dua mangkuk bubur, prajurit itu menguap. Sambil mengelus-
elus perutnya, ia melangkah ke luar menuju baraknya. Di luar pintu ia berpapasan
dengan petugas pengambil air, seorang lelaki tua berambut putih. Orang tua itu
memikul dua gentong besar tanpa kesulitan.
"Persediaan air di sini masih cukup banyak, Lo Liu.
Kau tidak perlu menambahnya lagi." Prajurit itu menegur sambil menghadang di
depan Tukang Air. Tukang Air itu berhenti. Tanpa meletakkan pikulannya dia memasang telinga,
sementara matanya justru terpejam.
"Ah, Prajurit Go rupanya. Maaf. Air di dapur ini memang masih banyak. Tapi aku
ingin menambahnya lagi barang sepikul...."
1076 "Hohoho, ternyata ingatan dan pendengaranmu hebat sekali. Hanya dengan mendengar
suaraku, kau langsung bisa menebak namaku."
"Prajurit Go, orang buta seperti aku harus dapat menggunakan panca indera yang
lain sebaik-baiknya."
"Baiklah, silakan...."
A Liong tertegun. Tukang air itu ternyata buta.
Namun demikian langkahnya amat mantap dan tegas.
Sama sekali tidak canggung atau ragu. Gerakannya seperti orang waras saja.
Ketika lewat di bawah penglari di mana A Liong bertengger, tukang air bernama Lo
Liu itu berhenti sebentar. Mulutnya terbatuk-batuk, kemudian berjalan lagi.
A Liong berdebar-debar. Dia merasa orang itu tahu akan kehadirannya.
"Wah, kalau orang itu benar-benar pekerja beteng ini, aku harus berhati-hati.
Firasatku mengatakan kalau dia memiliki kepandaian sangat tinggi."
Ketika orang-orang itu mulai bekerja lagi, A Liong lalu beringsut keluar.
Dilihatnya prajurit Go itu masih berjalan santai menuju baraknya. Sebuah barak
panjang di dekat kandang kuda. Dan di depan barak itu berkumpul belasan prajurit
lainnya. A Liong melihat seorang Tukang Kuda melintas di dekat gudang penyimpan jerami.
Dan kesempatan itu tidak disia-siakannya. Wus! Sekejap saja ia telah berada di
belakang orang itu. Tukk! Tukk! Tukang Kuda itu roboh pingsan terkena
totokannya. 1077 Sebelum ada yang tahu, orang itu telah diseret A Liong ke dalam gudang jerami.
Bergegas celana dan bajunya dia ambil dan dipakai. A Liong tidak peduli meskipun
agak kekecilan. Setelah menyembunyikan tubuh Tukang Kuda itu di balik tumpukan jerami, A Liong
keluar sambil menggendong seikat jerami.
"Prajurit Go...!" A Liong memanggil prajurit yang sedang melangkah ke barak itu.
Prajurit itu menoleh. "Ada apa..." Hmm, kau Tukang Kuda baru, ya?" Kata prajurit
itu kemudian sambil melangkah kembali mendekati A Liong.
A Liong melirik ke sekelilingnya. Perasaannya menjadi lega ketika para prajurit
di depan barak itu tidak melihat ke arahnya.
"Prajurit Go, di dalam gudang jerami ada... kantung emas. Lihatlah!" Setelah
berhadapan A Liong berbisik.
Mendengar perkataan "emas", prajurit itu segera kehilangan kewaspadaannya.
Dengan wajah kaget prajurit itu segera: masuk ke dalam gudang.
"Mana....?" Tapi belum juga habis perkataannya, jari A Liong telah menotok pangkal lehernya.
Bruuug! Prajurit itu terpuruk di atas jerami.
"Bagus. Sekarang tinggal memikirkan, bagaimana caranya membawa dia ke gudang
bawah tanah." A Liong berpikir.
1078 Belasan orang petugas telah mulai membawa nasi dan bubur dari dapur ke beberapa
tempat. Dalam kesibukan seperti itu A Liong menyelinap keluar dengan sebongkok
besar jerami di atas kepalanya. Dia sengaja mengambil jalan memutar, melewati
semak-semak perdu yang banyak terdapat di antara kandang kuda dan dapur.
Seorang petugas dapur melihatnya, tetapi dia menyangka A Liong sedang
memindahkan jerami ke bangunan belakang.
"Hei, apakah gudang jeramimu sudah penuh?"
Tanpa mengendorkan langkahnya A Liong mengiyakan. Tapi demikian lolos dari
penglihatan semua orang, pemuda itu segera masuk ke dalam lorong bawah tanah.
Dan tentu saja kedatangannya sangat mengagetkan kawan-kawannya. Apalagi setelah
dari gulungan jerami yang dibawanya itu muncul tubuh Prajurit Go tadi.
"Saudara A Liong, dari mana kau dapatkan orang ini...?" Liu Wan bertanya dengan
suara tegang. "Benar, kemana saja kau ini...?" Souw Hong Lam mendesak pula.
"Dia seorang prajurit penjaga benteng ini. Aku membawanya kemari karena dia
mengetahui tempat Panglima Yap Kim disembunyikan. Dia dapat menunjukkan tempat
itu." Dengan tenang A Liong menjelaskan.
1079 Begitu siuman, prajurit itu terkejut sekali. Dia segera bangkit, namun segera
jatuh kembali di atas lantai. Tiau Hek Hoa menghantam tengkuknya dengan gagang
kipasnya. "Kau tidak boleh pergi. Kau harus menunjukkan tempat di mana Panglima Yap Kim
dikurung." Gadis itu mengancam.
"Kalian siapa" Kalian mau menyerang benteng ini?" Dalam keadaan terdesak
prajurit itu mencoba menggertak.
"Jangan banyak bicara! Pilih saja salah satu!
Mengantar kami ke tempat Panglima Yap Kim nanti malam, atau ...kubunuh saja kau
sekarang!" Tiau Hek Hoa yang kejam itu menghardik.
"Nona Tiau, jangan terlalu keras...!" Liu Wan berdesah pendek.
Prajurit itu melirik Liu Wan, lalu ia menggeram.
"Bagaimana kalau aku tidak bersedia?"
Tiba-tiba tangan kiri Tiau Hek Hoa mencengkeram rambut prajurit itu, sementara
tangan kanannya mengeluarkan sebutir pel merah dari kantungnya.
Sebelum yang lain dapat mencegah, pel itu telah dijejalkan ke mulut Prajurit Go.
"Nah! Dengarlah...! Tanpa obat pemunah dari aku, jangan harap kau bisa hidup!
Lihatlah....!" Sekali lagi gadis itu bergerak. Kali ini dia menyambar cecak yang sedang merayap
di atas dinding. Binatang itu lalu diletakkan di depan Prajurit Go. Cecak itu
lalu dijejali dengan pel yang sama.
1080 Hanya kali ini tidak diberikan seluruhnya, tapi hanya sepotong kecil saja.
"Nih, lihatlah...!" Gadis itu lalu meletakkan binatang tersebut di atas lantai.
Baik A Liong maupun Liu Wan hanya saling pandang sambil mengerutkan dahi mereka.
Seperti halnya Souw Hong Lam, mereka juga belum memahami maksud Tiau Hek Hoa.


Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nona Tiau, kasihan cecak ini. Kembalikan dia ke...."
Belum habis kata-katanya, mata Liu Wan terbelalak. Tubuh cecak yang menggeliat-
geliat di atas lantai itu tiba-tiba mencair. Mula-mula dari kepalanya, kemudian
merata ke seluruh badannya.
Sebentar saja binatang itu telah berubah menjadi cairan kuning kehijauan!
"Oooh...!" Prajurit Go memekik ketakutan.
Tapi bukan hanya prajurit itu yang merasa ngeri melihat keganasan pel Tiau Hek
Hoa. Ternyata A Liong, Liu Wan, dan Souw Hong Lam pun diam-diam merasa ngeri
juga. "Gadis ini sungguh berbahaya...." Masing-masing berkata di dalam hati.
Sekarang Prajurit Go benar-benar ketakutan setengah mati. Dia tak ingin
dagingnya mencair seperti cecak itu.
"Li-hiap, to-tolonglah...! Jangan bunuh aku! Akan aku tunjukkan tempat itu!
Percayalah! Tapi... t-tapi...
berilah aku obat pemunahnya dulu! Tolonglah!"
1081 Tiau Hek Hoa mencibirkan bibirnya. "Huh, aku tidak sebodoh yang kau kira. Obat
pemunah itu baru akan kuberikan kepadamu setelah kau menunjukkan tempat Panglima
Yap Kim. Untuk sementara kamu tak usah takut pada Pel Pemusnah Dagingku. Aku
hanya memberimu sebutir pel saja. Berarti tubuhmu masih dapat bertahan sampai
besok pagi. Percayalah!"
"Jadi... jadi....?""
"Sudahlah. Kita tunggu saja sampai matahari terbenam. Setelah kautunjukkan ruang
Panglima Yap Kim, pel pemunahnya akan kuberikan padamu."
Gadis itu sekali lagi mencibirkan bibirnya.
Liu Wan menggeleng-gelengkan kepalanya.
Meskipun gertakan itu sangat jitu, namun rasanya terlalu keji dan semena-mena.
"Tapi... Li-hiap, bagaimana kalau racun pel itu terlanjur merusak isi perutku"
Li-hiap, kumohon... berikan obat pemunahnya sekarang! Aku bersumpah tidak akan ingkar janji!
Kasihanilah aku...." Prajurit itu merintih dan mengiba-iba di depan Tiau Hek
Hoa. "Diam kau! Sekali kukatakan nanti... ya nanti!
Keputusanku tidak dapat diubah-ubah lagi!" Tiau Hek Hoa membentak.
A Liong merasa kasihan. Bagaimanapun juga dialah yang membawa prajurit itu ke
sini. "Ah! Mengapa kita harus takut padanya" Berikan saja pel pemunahmu itu! Aku
tanggung dia takkan berani melarikan diri!"
1082 Mata Tiau Hek Hoa mendelik. Suaranya terdengar kaku dan ketus ketika menjawab
Hati Budha Tangan Berbisa 10 Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long Misteri Rumah Berdarah 7
^