Pencarian

Pendekar Pedang Pelangi 15

Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono Bagian 15


lebih tinggi daripada tenaga dalamnya, sehingga dia harus berhati-hati.
Chin Tong Sia lalu melompat ke samping. Dari tempatnya berdiri ia melihat
pertempuran lain di dekatnya. Dan ia benar-benar kaget ketika melihat beberapa
orang Mo Hou lain di arena itu. Beberapa orang Mo Hou lain itu sedang mendesak
gadis berwajah ayu. Otak cerdas Chin Tong Sia segera melihat dan meyimpulkan keanehan itu. Untuk
mengalahkan semua bentuk semu itu, dia harus tahu dulu mana yang asli. Dan untuk
mencari yang asli, semua bentuk semu itu harus dikumpulkan dan tidak boleh ada
yang bersembunyi. 1165 Demikianlah, karena ingin , memilih sosok Mo Hou yang asli, maka Chin Tong Sia
segera bergeser mendekati arena pertempuran gadis ayu itu. Dan seperti yang ia
inginkan, empat bayangan itu terus memburunya pula. Maka di lain saat mereka
telah berbaur dalam arena pertempuran Souw Giok Hong.
Chin Tong Sia berdiri di sebelah Souw Giok Hong, sementara delapan sosok
bayangan Mo Hou itu menebar di sekeliling mereka.
"Hei, Saudara Chin! Akhirnya kau datang juga....!"
Souw Giok Hong menyapa dengan lega begitu melihat Chin Tong Sia.
Tentu saja Chin Tong Sia bingung. Dia tak mengenal wajah Souw Giok Hong. Dia tak
tahu kalau Souw Giok Hong adalah Souw Hong Lam.
Souw Giok Hong segera menyadari kekeliruannya.
Sambil bertempur dia lalu bercerita tentang dirinya.
"Ah, jadi kau ini puteri Souw Tai-hiap. Kalau begitu malah kebetulan sekali.
Sebentar lagi Souw Tai-hiap dan isterinya akan datang. Dia ingin berjumpa dengan
Souw Hong Lam." "Ayah-ibuku juga datang?" Gadis itu tidak dapat menyembunyikan kegembiraannya.
Demikianlah, Souw Giok Hong lalu bertempur berpasangan dengan Chin Tong Sia,
sehingga delapan bayangan Mo Hou itu harus bekerja keras menghadapi mereka.
Chin Tong Sia bergeser mendekati Souw Giok Hong, lalu berbisik, "Nona Souw.
Suhengku pernah 1166 mengatakan bahwa manusia-manusia tiruan ini dikendalikan oleh yang asli. Semakin
tinggi tenaga dalam pemiliknya, maka semakin dahsyat pula kekuatan mereka. Untuk
mengalahkan mereka, kita harus dapat mengetahui yang asli."
Souw Giok Hong memandang Chin Tong Sia, lalu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia
menjawab dengan suara lirih pula,
"Aku tahu. Tapi bagaimana caranya?" "Sebenarnya mudah, tapi sulit melakukannya.
Pertama-tama kita harus dapat melacak sumber tenaga yang menggerakkan boneka-
boneka ini. Caranya, setiap kali mereka bergerak dan menyalurkan tenaga, kita
lihat dan kita rasakan. Kita lihat, siapa diantara mereka itu yang menjadi
sumbernya, yang menyalurkan tenaganya kepada yang lain. Getaran tenaga itu yang
harus kita lacak. Memang sulit, karena orang itu akan selalu berusaha
mengacaukan indera kita."
"Suhengmu benar. Memang sulit melakukannya.
Apalagi mereka berjumlah delapan, sementara kita hanya berdua. Kita bertahan
saja sudah sulit, apalagi harus melacak sumber tenaga mereka. Belum sampai
ketemu, kita sudah mati duluan."
"Ah, jangan patah semangat dulu. Kita belum mencobanya. Ayoh, sekarang lindungi
saja aku. Akulah yang akan melacak sumbernya."
"Baiklah," Souw Giok Hong menarik napas panjang.
1167 Keduanya lalu berdiri berendeng. Ketika salah satu dari Mo Hou itu menyerang,
Souw Giok Hong cepat melangkah ke depan melindungi Chin Tong Sia.
Dibiarkannya pemuda itu mencari Mo Hou asli.
Tapi delapan orang Mo Hou itu terus saja bergerak ke sana kemari. Bagai kawanan
burung elang yang mengincar anak ayam, mereka menyambar-nyambar dari segala
jurusan. Souw Giok Hong terpaksa jatuh bangun melindungi Chin Tong Sia.
"Bagaimana, Saudara Chin" Belum kau dapatkan?"
"Wah, sulit sekali! Setiap kali kutemukan, mereka cepat bergeser .dan berbaur
lagi." Ternyata Mo Hou mengetahui maksud Chin Tong Sia dan Souw Giok Hong. Buktinya
pemuda itu lalu meningkatkan serangannya. Delapan sosok bayangannya menyerang
habis-habisan, sehingga Chin Tong Sia dan Souw Giok Hong menjadi kalang-kabut
mempertahankan diri. Keinginan Chin Tong Sia untuk mencari Mo Hou asli, tidak
dapat terlaksana. Pat-sian-ih-hoat memang terlalu sulit untuk dilawan. Ilmu silat bercampur ilmu
sihir itu tidak mungkin dihadapi dengan ilmu silat biasa. Untunglah Souw Giok
Hong mengenakan mantel pusaka dan Chin Tong Sia mahir Cuo-mo-ciang. Walaupun
kalah, tapi setiap kali terjepit masih dapat meloloskan diri.
"Sayang sekali suhengku tidak ada di sini. Kalau ada dia... hm, orang ini sudah
lari terbirit-birit sejak tadi." Chin Tong Sia bergumam dengan suara dongkol.
1168 Begitu ingat suhengnya, gerak-gerik Chin Tong Sia tiba-tiba berubah linglung.
Mulutnya melantunkan pantun sekenanya. Suaranya sumbang dan sama sekali tidak
enak untuk didengar. Kalau saja burung gagak itu datang padaku, Matahari pun terpaksa sembunyi.
"Saudara Chin, kau...?" Souw Giok Hong kaget.
Tapi Chin Tong Sia tidak peduli. Sambil bergumam tak jelas pemuda itu menyerang
lawan yang berada di depannya. Wajahnya kelihatan. keras dan kaku.
Pukulannya juga kuat mengejutkan!
Demikianlah, walau terdesak dan tak bisa berbuat apa-apa lagi, tapi Chin Tong
Sia dan Souw Giok Hong tetap melawan dengan gigih. Mereka mencoba bertahan
dengan berpasangan. Masing-masing saling membantu dan saling melindungi.
Tapi bagaimanapun juga delapan bayangan Mo Hou itu terlalu berat bagi mereka.
Seorang Mo Hou saja sudah sulit dilawan, apalagi sampai delapan orang. Maka
dapat dimaklumi kalau akhirnya mereka menjadi bulan-bulanan serangan Mo Hou.
Karena marah dan kesal Chin Tong Sia mengumpat dan memaki sambil bernyanyi.
Gerakannya juga semakin ngawur ternyata pemuda itu justru semakin berbahaya.
Tampaknya saja ngawur, tapi ternyata gerakannya semakin sulit diduga. Seringkali
pertahanannya juga terbuka dan tak terjaga. Namun 1169
anehnya, pukulan lawan justru sulit sekali mengenainya.
Babi, monyet, kerbau sialan....!
Tahu ada ekor, tetap saja mencari Dasar binatang bodoh!
Tentu saja Souw Giok Hong yang belum tahu adat kebiasaan Chin Tong Sia menjadi
bingung dan risih. Bingung karena mendadak Chin Tong Sia berlagak seperti orang tidak waras. Risih,
karena pemuda itu mengucapkan kata-kata kasar di depannya.
Tapi seperti halnya Chin Tong Sia, Souw Giok Hong tidak punya banyak waktu untuk
berpikir. Gempuran Mo Hou benar-benar membuatnya putus asa. Beberapa kali pukulan dan
tendangan Mo Hou mengenai tubuhnya. Untung saja mantel pusaka itu melindunginya.
Walau sakit, tapi tidak sampai melukai bagian dalam tubuhnya.
Sebuah tendangan juga tidak bisa dihindari Chin Tong Sia. Begitu kerasnya
sehingga Chin Tong Sia terlempar menabrak tembok bangunan. Rasanya seluruh
bangunan itu ikut bergoyang.
"Aduh! Monyet gundul menampung air, Sahabat dekat menggali kubur,
Monyet tua sialan....!"
1170 Sambil berteriak kesakitan Chin Tong Sia berpantun. Sebuah pantun konyol yang
diteriakkan sesukanya. Tapi dalam keributan itu tiba-tiba terdengar suara pantun lain. Serangkai pantun
yang dinyanyikan dengan suara lebih sumbang dan lebih jelek, tapi dengan
dorongan kekuatan tenaga dalam yang menggetarkan hati.
"Monyet mati belum tentu jadi mayat.
Apa gunanya menampung air"
Bila sahabat tidak putus asa.
Apa gunanya menggali kubur?"
Ketika orang berpantun itu tiba-tiba muncul di arena, Mo Hou benar-benar kaget
setengah mati. Penyanyi bersuara jelek itu tidak lain adalah Put-pai-siu Hong-jin, manusia
bertampang jelek yang dulu melukainya.
"Kau lagi...!" Pemuda itu menggeram marah.
Seperti orang tidak bersalah Put-pai-siu Hong-jin tertawa terkekeh-kekeh. Entah
apa sebabnya, kali ini dia datang tanpa baju, sehingga tulang-tulangnya yang
kurus itu menonjol kesana-kemari. Wajahnya yang buruk itu sangat mengerikan,
sehingga Souw Giok Hong tidak berani menatapnya lama-lama.
Sebaliknya Chin Tong Sia kelihatan gembira dan berseri-seri. "Nona Souw,
inilah... suhengku. Dia benar-benar datang!"
1171 Souw Giok Hong berusaha tersenyum. Namun senyumnya segera hilang dan berubah
kecut ketika Put-pai-siu Hong-jin tertawa kepadanya. Lobang mulut yang lebar itu
sama sekali tidak ada giginya.
Kosong melompong. "Waduh, temanmu cantik sekali....!"
"Suheng, jangan macam-macam!" Chin Tong Sia membentak.
"Baiklah. Aku tidak akan mengganggunya.
Sekarang pergilah kau membantu teman-temanmu itu!
Serahkan saja anak penyihir ini kepadaku. Akan kuajak dia main sihir-sihiran,
heh-heh-heh." Chin Tong Sia mengerutkan dahinya. "Suheng, kau juga mempunyai ilmu sihir?"
Put-pai-siu Hong-jin tertawa terkekeh-kekeh.
"Konyol kau! Siapa bilang aku bisa ilmu sihir" Ilmu bohong-bohongan itu tidak
ada gunanya untuk dipelajari."
Mo Hou benar-benar marah sekali, begitu geramnya dia, sehingga semua bentuk
kembarannya berteriak bersama-sama, lalu menerjang Put-pai-siu Hong-jin.
"Monyet ompong! Kubunuh kau!"
Delapan orang Mo Hou itu menggempur Put-pai-siu Hong-jin dari empat penjuru.
Tidak sesosok bayangan pun yang peduli pada Chin Tong Sia dan Souw Giok Hong
lagi. Sehingga kesempatan itu dipergunakan pula oleh mereka untuk meloloskan
diri dari tempat itu. 1172 Mereka menyelinap kembali ke tempat Pangeran Liu Wan Ti berada. Namun baru
beberapa langkah mereka berjalan, sesosok bayangan telah berdiri bertolak
pinggang di depan mereka. Seorang gadis cantik bermata liar dan ganas yang tidak
lain adalah Mo Goat atau Tiau Hek Hoa!
"Saudara Chin, awaaas... dia Tiau Hek Hoa!
Pengkhianat itu!" Souw Giok Hong yang amat mengenal Tiau Hek Hoa itu menjerit.
"Jadi kau gadis bermuka hitam itu, heh?" Chin Tong Sia yang telah dikhianati
oleh Mo Goat itu membentak marah.
"Bocah bodoh...! Memang benar aku! Mau apa?"
"Huh! Sudah kuduga bahwa kau seorang pengkhianat! Menjebloskan aku ke dalam
perangkap! Lalu kembali ke rombongan dan membohongi mereka! Sungguh licik!" Chin Tong Sia
berseru marah. "Biar saja! Aku adalah puteri Raja Mo Tan, yang mendapat tugas untuk mencari dan
membunuh bekas Panglima Yap Kim! Aku melakukan apa saja untuk melaksanakan tugas
itu. Dan ternyata aku berhasil mendapatkan buruanku itu. Nah, kalian mau apa"
Mau menghalangi aku" Huh! Jangan harap! Lihat saja sekelilingmu! Pasukanku telah
menguasai benteng ini!"
Selesai bicara gadis itu mengerahkan tenaga dalamnya, kemudian memecah diri
menjadi empat bayangan. Dan bayangan itu segera bergeser ke 1173
samping untuk mengepung Chin Tong Sia dan Souw Giok Hong.
"Saudara Chin, hati-hati dengan senjata gelapnya!
Gadis itu suka menggunakan racun!" Liu Wan Ti memberi peringatan.
Mo Goat menoleh. Dia segera mengenal wajah Liu Wan yang pernah berkelahi dengan
dia di kota Hang-ciu lima tahun lalu.
"Bagus. Sebenarnya aku sudah curiga padamu, karena aku pernah melihat ilmu
pukulanmu. Kau bukan seorang tabib. Tapi aku tak menyangka kalau kau masih
begini muda...." "Adik Goat! Jangan lepaskan orang itu! Dia itu Liu Wan Ti! Putera Mahkota Han
yang kita cari selama ini!" Tiba-tiba Mo Hou berteriak dari tempatnya begitu
melihat kedatangan adiknya.
"Putera Mahkota" Wah, aku benar-benar terkecoh dalam beberapa hari ini!
Aku sama sekali tidak mengenalnya walau sudah berkumpul berhari-hari!"
Chin Tong Sia dan Souw Giok Hong saling pandang. Ternyata terlepas dari mulut
singa, mereka jatuh ke taring serigala pula. Puteri Raja Mo Tan itu tidak kalah
berbahayanya daripada Mo Hou.
Tio Ciu In yang duduk di sebelah Liu Wan Ti menjadi cemas pula. Dia teringat
peristiwa lima tahun lalu, pada saat Mo Goat melukai Ku Jing San sehingga pemuda
itu harus dipotong kakinya.
"Liu Toako, eh... Pangeran Liu" Bagaimana ini?"
1174 "Bagaimana dengan lukamu sendiri" Sudah lebih baik?" Pangeran Mahkota itu balik
bertanya. . "Lumayan. Tapi aku belum berani mengerahkan tenaga dalam. Aku khawatir
darahnya akan keluar lagi."
Panglima Yap Kim menghela napas panjang.
"Jangan dipaksa. Istirahat sajalah barang sebentar lagi.
Aku juga sedang berusaha mengembalikan tenagaku.
Aku sebenarnya tidak terluka. Aku hanya kehilangan tenaga karena tadi terlalu
memaksa diri." Pangeran Liu Wan Ti mengangguk-angguk, lalu menatap Tio Ciu In kembali. Kenangan
masa lalu kembali terbayang di depan matanya. Sungguh tidak diduga ia masih bisa
berjumpa dengan gadis yang pernah merampas hatinya itu.
"Nona Tio, dimana saja kau selama ini" Aku benar-benar tidak mengira bahwa kita
bisa bertemu lagi. Pada waktu itu aku dan para tokoh Im-yang-kau melihat sendiri gua yang runtuh
itu. Kami semua berpendapat bahwa kau telah terkubur di gua itu.
Apalagi kami menemukan sepatu dan ikat pinggangmu..." Liu Wan Ti berbisik
perlahan. Tio Ciu In tertunduk dalam-dalam. "Pendekar Buta itu menyelamatkan aku. Aku
dibawa ke tempat tinggalnya dan diambil sebagai murid."
Selesai berkata gadis itu tiba-tiba tersentak. Dia ingat gurunya Si Pendekar
Buta, yang juga datang ke benteng ini bersamanya.
1175 "Lalu dimana Pendekar Buta itu sekarang, Nona Tio?"
"Eh, dia... dia juga berada di benteng ini! Aku tidak tahu, dimana dia sekarang.
Mungkin masih di dapur atau... di gudang penyimpanan kayu bakar."
"Dia" Dia ada di sini....?"
Sementara itu rombongan Souw Thian Hai masih berkutat dengan pasukan Bayan Tanu
yang mengeroyok mereka. Walaupun pasukan pilihan itu tidak dapat mendekati
mereka, namun Souw Thian Hai dan rombongannya juga tidak bisa mengalahkan
barisan pengepung itu. Mereka bertempur sambil terus bergeser mendekati arena
pertempuran Mo Hou dan Put-pai-siu Hong-jin.
Souw Thian Hai berpasangan dengan isterinya, Chu Bwe Hong. Tio Siau In
berpasangan dengan Yok Ting Ting. Sedangkan Giam Pit Seng berpasangan dengan
muridnya, Tan Sin Lun. Mereka berenam selalu menjaga jarak agar pasangan mereka
tidak terpisah satu sama lain. Hanya dengan berpasangan mereka mampu bertahan
dari kurungan lawan. Dua kelompok pasukan pilihan itu dipimpin oleh Bayan Tanu. Dibantu Ho Bing,
Siang-kim-eng, Tiat-tou dan lain-lain. Dilihat dari segi ilmu silat, mereka itu
memang bukan lawan Souw Thian Hai dan Tio Siau In. Namun karena mereka dibantu
oleh pasukan pilihan yang sudah dipersiapkan untuk menghadapi jago silat tinggi,
maka mereka sangat sulit dikalahkan.
1176 Setiap kali terdesak atau mendapat bahaya, mereka selalu dilindungi barisannya.
Ketika pertempuran itu terus bergeser maju dan akhirnya sampai di tempat
Pangeran Liu Wan Ti berada, tiba-tiba Panglima Yap Kim bangkit berdiri.
Bekas panglima itu segera mengenal Souw Thian Hai dan isterinya!
"Saudara Souw...! Souw Hujin! Selamat bertemu!"
Ternyata tidak hanya bekas panglima itu saja yang gembira melihat kedatangan
rombongan itu. Ternyata Tio Ciu In dan Souw Giok Hong juga gembira sekali.
"Suhu...! Siau In!"
"Ayah! Ibu...,!"
Panggilan atau seruan itu benar-benar mengejutkan rombongan pendekar Souw Thian
Hai. Bahkan Souw Thian Hai sendiri sampai lupa bahwa dia sedang berkelahi dengan
Bayan Tanu. Dan kelengahan itu benar-benar dimanfaatkan oleh Bayan Tanu. Tombak
rantainya menerobos pertahanan lawan dan melukai paha Souw Thian Hai.
"Souw Tai-hiap, awas...!" Giam Pit Seng berteriak.


Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi mata tombak itu sudah terlanjur mengenai sasarannya. Darah memancar dari
luka itu, membuat Souw Thian Hai menyeringai kesakitan. Sekejap kaki kanan itu
seperti lumpuh karena mata tombak itu tepat mengenai urat pokok.
"Aduuuh...!" Giam Pit Seng yang baru saja memberi peringatan itu tiba-tiba
menjerit pula. 1177 Ternyata pedang Siang-kim-eng juga menerobos pertahanan Giam Pit Seng dan
menyambar lengan pendekar itu. Sebuah goresan yang panjang dan dalam membuat
lengan itu tidak bisa digerakkan lagi.
Otomatis senjata pit yang dipegangnya terlepas.
Seperti berlumba Chu Bwe Hong dan Tang Sin Lun memberi pertolongan. Chu Bwe Hong
menolong suaminya, sedangkan Tan Sin Lun menolong gurunya.
Walau kaget mendengar suara panggilan kakaknya, namun Tio Siau In tidak
mengurangi kewaspadaannya, sehingga rasa kaget itu tidak sampai mencelakakannya. Sambil
berseru girang ia meloncat keluar arena. Dia berlari menuju ke arah Tio Ciu In.
Tapi jeritan Giam Pit Seng mengejutkan Tio Siu In.
Sekejap pikirannya bingung. Siapa yang harus dia lihat lebih dulu" Gurunya yang
berada dalam bahaya atau kakaknya yang sudah lima tahun berpisah"
Akhirnya Tio Siau In berbalik kembali. Dia tidak bisa meninggalkan gurunya.
Dengan pedang pendeknya dia menerjang Siang-kiam-eng.
"Cici, maaf! Aku akan menolong Suhu dulu!"
Di pihak lain Souw Giok Hong tak dapat berbuat apa-apa melihat bahaya yang
mengancam ayahnya. Dia dan Chin Tong Sia benar-benar tak berkutik menghadapi delapan bayangan Mo
Hou. Dia hanya bisa melihat, bagaimana sibuknya ibunya bersama Yok Ting Ting
menolong ayahnya. Demikianlah situasi benar-benar buruk bagi pihak Pangeran Liu Wan Ti. Pasukan
para pendekar yang 1178 bergabung dengan perajurit benteng itu tidak mampu bertahan lagi. Banyak
diantara mereka yang tewas atau terluka. Bahkan banyak pula diantara mereka yang
tertawan. Terompet kemenangan telah ditiup di segala tempat.
Matahari tepat di atas kepala. Akhirnya pertempuran usai juga. Panas matahari
tidak menghalangi kegembiraan pasukan Hun. Mereka bersorak sambil membunyikan
terompet dan tamburnya. Benteng itu telah mereka taklukkan dan mereka kuasai.
Kalaupun masih ada pertempuran, maka
pertempuran itu hanya pertempuran kecil, yaitu pertempuran beberapa tokoh
persilatan yang dikepung prajurit Hun. Walau tidak memiliki kawan lagi, tapi
tokoh seperti Kwe Tiong Li, Kwe Tek Hun, Jing-bin Lo-kai, dan lainnya lagi,
masih tetap bertempur sekuat tenaga. Seperti halnya rombongan Souw Thian Hai,
mereka tetap tidak mau menyerah.
Pangeran Liu Wan Ti merasa sangat sedih.
Walaupun serangan ke dalam benteng itu bukan rencananya, tapi kekalahan para
pendekar persilatan tersebut benar-benar menyakitkan hatinya. Rasanya ia ikut
bersalah atas kejadian itu.
Panglima Yap Kim juga menyesal sekali. Semua itu hanya karena dia. Dua kekuatan
besar yang sama-sama menginginkan dirinya. Yang satu ingin membebaskan dia,
sementara yang lain ingin membunuh dirinya. Dan ternyata kekuatan yang 1179
menginginkan kematiannya itu telah mengalahkan kekuatan yang hendak membebaskan
dia. Yap Kim benar-benar sedih dan menyesal sekali.
Ratusan korban telah jatuh di kalangan pendekar persilatan. Mereka mati hanya
karena mau membebaskan dirinya. Benar-benar suatu pengorbanan besar, pengorbanan
yang sangat menyentuh jiwa dan semangatnya.
Perasaan seperti itu menghinggapi pula hati Pangeran Liu Wan Ti. Pangeran itu
tak kuasa menyembunyikan rasa sedihnya. Berkali-kali dia berdesah panjang.
"Ciangkun, apa yang harus kita lakukan sekarang"
Para pendekar itu telah dikalahkan. Tinggal tokoh-tokohnya saja yang masih
bertahan. Dan mereka juga akan tergilas oleh pasukan Hun," Pangeran Liu Wan Ti
mengeluh sedih. Yap Kim tidak menjawab. Matanya menatap ke sekelilingnya. Dilihatnya A Liong,
Souw Thian Hai, Giam Pit Seng, Put-pai-siu Hong-jin, Chin Tong Sia, dan yang
lain lagi. Semuanya bertempur dengan susah payah. Lawan mereka memang hebat.
Pasukan dan jago yang dibawa Mo Hou memang benar-benar pilihan.
Karena tempat itu lebih tinggi dari tempat lain, maka Yap Kim juga dapat
menyaksikan sisa-sisa pertempuran di sekitarnya. Ia masih melihat para tokoh
Tiat-tung Kai-pang yang mati-matian bertahan dari kurungan pasukan Hun.
1180 Bahkan dengan ketajaman matanya ia juga dapat melihat sahabat lamanya, Kwe Tiong
Li dan puteranya, berkelahi dengan gagah perkasa. Keadaan mereka tidak kalah
sulitnya dibandingkan tokoh-tokoh Tiat-tung Kai-pang. Barisan yang mengepung
mereka terdiri dari empat lapis, yang secara bergantian menyerang mereka dari
empat jurusan. Ketika pandangan Yap Kim bergeser ke selatan, tiba-tiba matanya terbelalak.
Lebih kurang seratus tombak jauhnya dari tempat itu, dia melihat keributan kecil
diantara kerumunan pasukan Hun. Belasan orang prajurit Hun tampak beterbangan,
terlempar ke kanan dan ke kiri, seolah-olah ada gajah mengamuk di tengah-tengah
mereka. Namun ketika kerumunan itu menyibak, bukan gajah yang muncul, tapi seorang
lelaki berpakaian tukang kebun dengan topi lusuh di kepalanya. Orang itu
melangkah perlahan, sambil sebentar-sebentar memasang telinganya. Wajahnya tidak
dapat terlihat dengan jelas, karena rambut putih di bawah topi lusuh itu
dibiarkan terurai lepas menutupi mukanya.
"Siapa dia...?" Tak terasa bibir Yap Kim itu bergumam.
"Ada apa, Panglima?" Pangeran Liu Wan Ti dan Tio Ciu In bertanya kaget.
"Ah, tidak. Aku... aku hanya sedih sekali. Begitu tulus perjuangan para pendekar
itu, sehingga mereka lebih rela mati daripada menyerah kepada musuh.
Lihatlah! Masih banyak pendekar yang tidak mau 1181
meninggalkan benteng ini walau perang sudah usai.
Mereka memilih gugur daripada pulang menanggung malu." Yap Kim menjawab hampir
tidak terdengar. -- o0d-w0o -- JILID XXVIII O HOU dan pengikut-pengikutnya
memang tidak bisa ditahan lagi. Walau dia dan Liok-kui-tin belum bisa
Mmenaklukkan lawan masing-masing,
tetapi Mo Goat dan yang lain sudah
dapat menguasai keadaan. Bahkan Tan
Sin Lun dan Giam Pit Seng sudah terkapar di atas tanah. Ketlatangan Tio Siau In
untuk menolong mereka sudah tidak keburu lagi. Siang-kim-eng bersama Tiat-tou
telah mengakhiri perlawanan mereka. Sabetan golok dan tusukan pedang membuat
guru dan murid itu jatuh terluka parah.
"Suhu...!" Tio Siau In menjerit, namun tak bisa menolong karena pasukan Ho Bing
segera mencegatnya. Sebaliknya, pendekar Souw Thian Hai masih dapat diselamatkan oleh isterinya.
Karena keduanya selalu berdampingan, maka kesulitan Souw Thian Hai segera dapat
ditolong oleh Chu Bwe Hong. Bahkan pada 1182
waktu menolong tadi, pedang Chu Bwe Hong nyaris menebas leher Bayan Tanu.
Namun demikian luka di paha Souw Thian Hai itu benar-benar mengganggu sepak-
terjangnya. Kaki yang luka itu menjadi sulit digerakkan, sehingga Souw Thian Hai
menjadi lamban dan kurang bersemangat. Pendekar itu lebih banyak diam di
tempatnya, dan bersama Chu Bwe Hong mencoba bertahan sekuat tenaga.
Yok Ting Ting yang berhadapan langsung dengan Ho Bing juga tidak mampu berbuat
apa-apa. Meskipun ilmu silat gadis itu jauh lebih tinggi daripada lawannya, tapi Ho Bing
mendapat dukungan pasukan khususnya. Pasukan khusus yang sudah dilatih dan
dipersiapkan untuk melayani jago silat berkepandaian tinggi. Mereka bergerak
dalam kelompok atau barisan, seperti layaknya kawanan semut yang selalu bekerja
bersama-sama. Melawan satu dari mereka, berarti harus menghadapi seluruhnya.
A Liong sendiri masih terus berupaya menekan lawannya. Dengan habisnya
perlawanan para pendekar, maka arena pertempuran itu menjadi longgar. A Liong
tidak merasa takut lagi mengeluarkan ilmu pedang pelanginya. Kilatan-kilatan
cahaya segera memancar dari pedang bengkoknya. Berkelebatan kesana-kemari,
memburu dan mengurung anggota Lok-kui-tin.
1183 Lok-kui-tin dengan Barisan Enam Hantunya memang dapat melayani kedahsyatan sinar
pelangi tersebut. Dengan cara mempersatukan tenaga dan pikiran mereka, Lok-kui-
tin selalu berusaha memantulkan cahaya yang menyerang mereka. Dan sebagai
balasannya, mereka ganti , menyerang dengan segala macam senjata rahasia mereka.
"Baiklah. Akan kulihat sampai di mana kalian bisa bertahan. Bagaimana kalau
senjata rahasia itu habis?"
A Liong mengejek. Lok-kui-tin menggeram. Mereka benar-benar menjadi gemas dan penasaran.
Baru sekarang mereka menemukan lawan
setangguh A Liong. Biasanya mereka tidak pernah bertempur sesulit ini. Satu atau
dua orang diantara mereka, biasanya cukup untuk menyelesaikan masalah mereka.
"Marilah! Menang atau hancur!" Hek-kui berseru keras.
Demikianlah walau sangat sulit, A Liong mampu mengimbangi keuletan Lok-kui-tin.
Bahkan pemuda itu selalu berada di atas angin. Celakanya, A Liong yang kurang
pengalaman itu belum mampu menilai keadaan. Pikirannya hanya tertumpah pada
pertempurannya sendiri. Dia hanya berpikir, bagaimana mengalahkan Lok-kui-tin.
Sama sekali tidak terpikir olehnya akan hasil akhir dari pertempuran itu.
1184 Sementara itu Chin Tong Sia dan Souw Giok Hong masih juga bertahan terhadap
kurungan Mo Goat. Sebenarnya ilmu silat mereka berdua tidak kalah hebatnya dengan ilmu silat Mo
Goat. Namun karena mereka berdua tidak mampu mencari Mo Goat asli diantara enam
bayangan itu, mereka segera jatuh di bawah angin. Bagaimanapun juga dahsyatnya
ilmu silat mereka, tapi bayangan-bayangan itu tidak dapat diserang atau dilukai
dengan pukulan atau senjata mereka.
Sebaliknya seperti yang dikhawatirkan Liu Wan Ti, bayangan Mo Goat itu mulai
melepaskan senjata rahasianya. Senjata rahasia yang amat berbahaya karena
mengandung racun. Tapi Chin Tong Sia yang cerdik itu ternyata berpendapat lain.
"Bagus! Walau lebih berbahaya, tapi aku justru dapat mengetahui aslinya! Hanya
yang asli yang melepaskan senjata rahasia, karena yang lain tidak mungkin
melepas senjata betulan! Nah, Nona Souw...
lindungi aku! Akan kucekik dia!" Chin Tong Sia berbisik kepada Souw Giok Hong
dengan ilmu Coan-im-ji-bit, yaitu ilmu mengirim gelombang suara.
"Baik. Mari kita lakukan!" Souw Giok Hong mengangguk.
Dengan mantel pusakanya Souw Giok Hong memang tidak dapat dilukai oleh senjata
rahasia Mo Goat. Sebaliknya, setiap kali senjata rahasia itu meluncur dari
tangan Mo Goat, maka Chin Tong Sia 1185
segera menyerang lawannya. Beberapa kali pukulan Chin Tong Sia yang amat
mematikan itu nyaris mengenai tubuh Mo Goat asli, sehingga gadis itu segera
menyadari kesalahannya. Ternyata maksudnya untuk segera mengakhiri pertempuran
itu justru membahayakan dirinya.
"Kau benar-benar cerdik...!" Gadis itu berseru.
Mo Goat menarik kembali niatnya untuk mempergunakan senjata rahasia. Dia kembali
mengurung Chin Tong Sia dan Souw Giok Hong dengan ilmu silat Pat-sian-ih-
hoatnya. Karena tingkatan ilmu silat Mo Goat sekarang sudah lebih tinggi, maka
dia sudah dapat mengubah dirinya menjadi enam sosok bayangan kembar. Dan semua
itu amat merepotkan lawan-lawannya.
Sementara itu arena pertempuran di dekat mereka juga berlangsung tidak kalah
sengitnya. Mo Hou dengan Pat sian-ih-hoatnya melawan Put-pai-siu Hong-jin dengan
Cuo-mo-ciangnya! Tapi kali ini Mo Hou benar-benar ketemu batunya.
Pat-sian-ih-hoat yang ia bangga-banggakan itu ternyata tidak mampu mengelabuhi
mata Put-pai-siu Hong-jin. Seperti memiliki mata malaikat kakek tua jelek rupa
itu dapat memilih Mo Hou asli diantara delapan sosok kembarannya. Walau orang
tua itu harus menerobos kesana-kemari menghindari lima bayangan Mo Hou palsu,
namun dia terus saja memburu Mo Hou asli. Pukulan dan tendangan 1186
kakinya yang berbahaya itu hampir tidak pernah keliru memilih sasaran.
"Monyet buruk!" Mo Hou mengumpat tidak habisnya.
"Sudahlah, menyerah sajalah! Kau tidak bisa mengakali aku dengan bentuk-bentuk
palsumu itu. Meskipun hidungku ini bengkok dan jelek, tapi daya ciumnya tajam sekali. Aku
dapat membedakan bau keringatku dan bau keringatmu. Sementara semua bentuk
palsumu itu tidak berkeringat, bukan" Heh-heh-heh!"
"Kurang ajar!" Mo Hou terkejut melihat kecerdikan lawannya.
Put-pai-siu Hong-jin tertawa puas. Saking senangnya mulutnya segera berdendang.
Dendang yang tidak keruan lagunya.
"Bersampan di atas telaga,
Airnya bening bagai kaca.
Melihat rambut beralih rupa,
Serasa mimpi jadi bayangan."
Karena bibirnya tebal dan lebar, sementara giginya juga sudah ompong, maka suara
dendang yang keluar dari mulut kakek jelek itu lebih menyerupai omelan daripada
nyanyian. Namun demikian, apa yang terjadi sungguh diluar dugaan. Semakin
panjang dan semakin getol kakek itu mengomel, semakin hebat pula jurus-jurus
yang dia keluarkan. Benturan-benturan tenaga 1187
yang terjadi, semakin lama semakin menggoyahkan kuda-kuda Mo Hou.
"Monyet tua! Monyet gila!"
Tiba-tiba gerakan Mo Hou berubah.
Satu persatu kembarannya menghilang. Put-pai-siu Hong-jin tidak mau terkecoh.
Setelah kini tinggal satu, Mo Hou justru bergerak lebih cepat. Demikian cepatnya
sehingga tubuh pemuda itu kadang-kadang menghilang dari pandangannya.
"Heh-heh-heh! Ilmu apa lagi yang kau keluarkan?"
Put-pai-siu Hong-jin terkekeh-kekeh.
Sungguh mendebarkan. Mo Hou mulai menapak ke tingkat akhir dari Pat-sian-ih-
hoat, yaitu membuat tubuhnya menghilang. Dengan tenaga dalamnya yang tinggi,
disertai dengan kemampuan sihirnya yang hebat, pemuda itu mulai mengecoh
pandangan Putpai-siu Hong-jin.
Semakin cepat gerakan Mo Hou, maka semakin sering pula Put-pai-siu Hong-jin
kehilangan lawannya. Ketika akhirnya pemuda itu mengerahkan segala kemampuannya,
maka Put-pai-siu Hong-jin tidak dapat melihat lawannya lagi. Pemuda itu hanya
kelihatan bila sedang mengambil napas.
"Ah! Bocah itu benar-benar hebat dan menakjubkan!" Yap Kim yang tidak pernah
melepaskan matanya dari pertempuran itu memuji kedahsyatan ilmu silat Mo Hou.
Sekarang Put-pai-siu Hong-jin kebingungan.
Dengan ketajaman indera dan perasaannya, 1188
sebenarnya dia dapat melacak keberadaan Mo Hou.
Tapi karena situasi di arena itu sangat riuh, dan gerakan Mo Hou juga sangat
cepat, maka langkahnya selalu lebih lambat dari lawannya. Akibatnya serangan Mo
Hou yang datang bertubi-tubi membuatnya kalang-kabut.
"Tikus busuk memakan cacing!
Cacing kurus kepanasan Perubahan yang sangat mendadak itu sungguh mengejutkan Pangeran Liu Wan Ti.
Sungguh tidak terduga keadaan menjadi berbalik seperti itu.
Tampaknya semua orang memang akan dikalahkan oleh pasukan Hun.
Satu persatu tokoh Tiat-tung Kai-pang jatuh ke tanah. Demikian pula dengan tokoh
persilatan lainnya, hingga akhirnya tinggal rombongan pendekar Pulau Meng-to
saja yang masih bertahan. Namun demikian mereka juga sudah kepayahan, sementara
pasukan Hun terus mendesak dan memburu mereka. Akhirnya rombongan itu sampai
juga di tempat Pangeran Liu Wan Ti berada.
Demikianlah, akhirnya seluruh pasukan Hun mengepung tempat itu. Mereka bersorak
sambil meniup terompet dan menabuh tambur perang.
Suasana benar-benar ramai dan hingar-bingar.
Panglima Yap Kim dan Pangeran Liu Wan Ti mulai putus asa. Seluruh kekuatan di
pihak mereka sudah 1189 kalah. Tiada lagi yang dapat mereka andalkan.
Tinggal A Liong yang masih berada di atas angin.
Tapi apa gunanya kemenangan A Liong itu kalau seluruh kekuatan lainnya kalah"
Oleh karena itu pertempuran selanjutnya boleh dikatakan cuma menunggu waktu
saja. Menunggu saat jatuhnya para pendekar itu seorang demi seorang.
Dan semuanya memang tak bisa dihindarkan lagi.
Dengan dukungan pasukan khususnya, Ho Bing dan para pembantunya mulai mendesak
Tio Siau In dan Yok Ting Ting. Tongkat Ho Bing mulai menyentuh kulit Tio Siau In
dan Yok Ting Ting. Tapi sentuhan itu belum sampai membahayakan jiwa mereka.
Namun ketika akhirnya tongkat itu sering menyentuh tubuh mereka, otomatis


Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perlawanan mereka menjadi terganggu. Apalagi ketika pasukan yang mengepung
mereka itu semakin kuat mendesak mereka.
Tio Ciu In benar-benar sedih melihat kesulitan adiknya. Matanya berkaca-kaca.
Lima tahun mereka berpisah. Kini mereka bertemu justru dalam situasi yang tidak
menyenangkan. Dan celakanya dia sendiri juga terluka parah, sehingga tidak bisa
menolong adiknya. "Tak kusangka nasib kami sangat menyedihkan.
Tidak ada orang tua, tidak ada kebahagiaan. Ada guru yang membesarkan kami, tapi
sekarang guru juga menjadi korban keganasan perang. Aaah...."
1190 Dalam kesedihannya tiba-tiba terlintas wajah Pendekar Buta, gurunya yang lain.
Meski buta pendekar itu memiliki kesaktian yang hebat.
"Ah, di mana Guru sekarang" Apakah dia juga menjadi korban perang besar ini"
Mengapa dia tidak muncul-muncul?"
Saking tegangnya bibir Tio Ciu In bergetar menyanyikan lagu kesukaan Pendekar
Buta. Mulanya hanya perlahan, tapi semakin lama semakin keras, sehingga akhirnya
suara itu melengking tinggi penuh getaran tenaga dalam.
"Apabila di malam yang gelap gulita, Tiba-tiba muncul bulan purnama,
Alam pun tersentak dari tidurnya, Untuk menyambut kehangatan Sang Pelita Malam.
Kekasihku......! Aku selalu mengharapkan kehadiranmu !"
Pangeran Liu Wan Ti dan Panglima Yap Kim kaget. Bekas panglima itu memandang Tio
Ciu In dengan bingung. Sekilas ia menyangka gadis itu menjadi gila. Namun dugaan
itu segera dihapuskannya.
Sebaliknya Pangeran Liu Wan Ti menjadi berdebar-debar hatinya. Masih teringat di
benaknya peristiwa lima tahun lalu di kota Hang-ciu. Kala itu Tio Ciu In juga
bernyanyi seperti sekarang, dan tiba-1191
tiba muncul seorang pendekar sakti bermata buta menolong mereka.
"Apakah Nona Tio hendak meminta pertolongan pendekar buta itu lagi?"
Ternyata nyanyian itu sampai ke telinga Kwe Tek Hun pula. Pemuda yang sedang
bertempur di samping ayahnya itu mempunyai pendapat yang sama dengan Pangeran
Liu Wan Ti. Ia juga teringat peristiwa mengerikan di kota Hang-ciu itu.
Peristiwa yang membuat Ku Jing San kehilangan salah satu kakinya.
Belum juga lagu itu habis dinyanyikan oleh Tio Ciu In, tiba-tiba terdengar suara
gemuruh mendekati tempat itu. Suara itu seperti suara angin atau badai yang
menerjang pepohonan. "In-ji...!" Aku datang! Bertahanlah!"
Bersamaan dengan hilangnya suara gemuruh itu, seorang lelaki separuh baya telah
berdiri di depan Tio Ciu In. Wajahnya sama sekali tidak kelihatan karena
tertutup oleh rambut putih yang terurai lepas di mukanya.
"Auuh...!" Pada saat yang sama Chin Tong Sia justru mengeluh karena pundaknya
tergores kipas Mo Goat. Souw Giok Hong terkejut. "Saudara Chin, kau terluka....?"
Walau tidak parah, tetapi kipas itu mengandung racun, sehingga bahu Chin Tong
Sia terasa linu sekali. Untung pemuda itu selalu membawa obat pemunah 1192
racun di sakunya. Walau tidak segera sembuh, tapi racunnya tidak berbahaya lagi.
"Nona Souw, berhati-hatilah! Kipas itu mengandung racun!"
Sementara itu Pendekar Buta telah memegang lengan Tio Ciu In. Tubuhnya tiba-tiba
bergetar begitu mengetahui keadaan gadis itu.
"Siapa yang melukaimu" Siapa" Katakan!" Katanya kaku.
Tio Ciu In tak kuasa lagi membendung air matanya.
"Suhu, tolonglah mereka! Mereka itu para pendekar persilatan yang ingin
membebaskan Panglima Yap Kim. Sekarang mereka dalam kesulitan. Pasukan Hun telah
mengepung tempat ini. Tidak ada jalan untuk meloloskan diri."
"Apakah panglima itu sudah dapat dibebaskan?"
"Sudah, Suhu. Beliau juga ada di sini sekarang.
Beliau berada di sebelah kananmu."
Wajah tertutup rambut itu kelihatan kaget sekali.
"Baiklah, aku akan mencoba menolong mereka."
Ucapnya kemudian dengan terburu-buru.
Tapi ketika Pendekar Buta hendak berlalu, Tio Ciu In cepat meraih lengannya.
"Suhu! Di sini juga ada Pangeran Liu Wan Ti."
"A-apa...?" Sekali lagi Pendekar Buta itu terkejut.
"Benar, Suhu. Beliau duduk di dekat Panglima Yap Kim. Mereka berdua terluka
parah seperti aku." Pendekar itu menundukkan mukanya dalam-dalam.
Sejenak tubuhnya seperti bergoyang-goyang mau 1193
jatuh. Tentu saja Tio Ciu In menjadi kaget sekali.
"Suhu! Suhu! Kau kenapa....?" Wajah itu tengadah kembali. Sambil menghela napas
ia berkata, "Tidak apa-apa. Aku tidak apa-apa. Jangan khawatir. Emmm, In-ji.
Coba katakan! Siapa saja pendekar persilatan yang ada di tempat ini" Sebutkan
satu persatu!" Tio Ciu In menjadi lega kembali. Lalu disebutnya pendekar yang berada di arena
itu satu persatu. Pendekar yang belum pernah dia kenal, hanya ia sebutkan ciri-cirinya. Disamping
itu Tio Ciu In juga menyebutkan lawan yang mereka hadapi.
Pendekar itu tertegun ketika Tio Ciu In menyebutkan nama Hong-gi-hiap Souw Thian
Hai. Tapi ia segera mengalihkan perhatiannya.
"Jadi mereka itu benar-benar... pasukan Hun"
Baiklah, In-ji. Aku akan mencoba menolong Panglima Yap Kim keluar dari benteng
ini. Tapi kau jangan pergi ke mana-mana. Tetaplah di tempat ini.
Berteriaklah kalau ada yang mengganggumu."
Sementara itu Panglima Yap Kim hampir tidak berkedip memandang pendekar itu.
Ternyata orang itu adalah orang yang dilihatnya melempar-lemparkan prajurit Hun
tadi. Dan setelah dekat, serasa ada sesuatu yang dikenalnya pada pendekar itu.
Di lain pihak, Pendekar Buta telah berjalan mendekati pertempuran, yaitu
pertempuran antara Mo Goat dengan Chin Tong Sia dan Souw Giok Hong.
Semua orang melihat ada enam orang Mo Goat yang mengurung Chin Tong Sia. Tetapi
bagi orang 1194 buta seperti Pendekar Buta, yang mengamati pertempuran itu dari indera tubuhnya
yang lain, pertempuran di depannya itu hanya berlangsung antara seorang melawan
dua orang saja. Memang menurut pengamatan Pendekar Buta, orang dikeroyok itu memiliki ilmu silat
yang sangat aneh. Orang itu mampu memecah tenaganya menjadi beberapa bagian, dan
setiap bagian dapat digunakan untuk menyerang lawan dari berbagai arah.
Sementara itu munculnya Pendekar Buta di arena itu benar-benar mengejutkan Mo
Goat. Walau sudah lima tahun, tapi gadis itu tidak pernah melupakan orang yang
pernah mengalahkan ilmu silatnya.
"Hou-ko! Kau ingat orang yang kuceritakan itu"
Dia berada di sini...!" Gadis itu berteriak kepada Mo Hou.
Chin Tong Sia dan Souw Giok Hong terkejut, tapi tidak tahu apa yang dimaksudkan
lawannya. Mereka berdua hanya melihat seorang lelaki mengenakan pakaian tukang
kebun, datang menghampiri mereka.
Lelaki separuh baya itu kelihatan sedang mengerahkan tenaga saktinya.
Terdengar suara desis dari sela-sela bibir Pendekar Buta, seperti suara desis
ribuan ular berbisa yang keluar dari liangnya. Dan berbareng dengan itu tercium
pula bau amis yang menyengat hidung.
"Dia... dia...!" Panglima Yap Kim gelagapan.
Sekonyong-konyong tubuh Pendekar Buta itu mencelat ke depan. Demikian cepatnya,
sehingga 1195 orang hanya melihat hembusan asap yang meluncur ke arena pertempuran. Gulungan
asap itu menyambar salah seorang dari enam orang Mo Goat itu.
Mo Goat menghindar secepatnya, kemudian berbaur dengan Mo Goat yang lain. Tetapi
Pendekar Buta itu terus saja memburunya, seolah-olah tidak ada Mo Goat lain di
arena itu. Dia hanya mengelak atau menangkis bila Mo Goat yang lain itu
menyerangnya. Kesempatan itu dipergunakan oleh Chin Tong Sia dan Souw Giok Hong untuk keluar
dari arena. Mereka segera menghambur ke arena Hong-gi-hiap Souw Thian Hai dan
Tio Siau In. Kedatangan Souw Giok Hong segera disambut ayah-ibunya dengan penuh kegembiraan.
Begitu berjumpa gadis ayu itu segera melapor.
"Ayah! Ibu! Aku sudah menemukan Cici Lian Cu....!"
Sebaliknya, Chin Tong Sia yang memilih arena Tio Siau In, juga berkata keras,
"Souw Tai-hiap! Itu dia yang bernama Souw Hong Lam!"
"Apaaaa...?"" Souw Thian Hai dan Chu Bwe Hong berteriak bersama-sama. Begitu
kerasnya teriakan mereka, sehingga Bayan Tanu menjadi kaget pula.
"Nanti aku ceritakan...!" Souw Giok Hong berseru gembira. Lupa bahwa mereka
dalam kepungan musuh. Tapi kedatangan Chin Tong Sia di arena Tio Siau In, disambut dengan bentak
kemarahan oleh gadis itu.
1196 Marah, karena tongkat Ho Bing mulai menyakiti tubuhnya.
"Mau apa kau ke sini" Mau ikut mengeroyok aku"
Majulah!" Chin Tong Sia gelagapan tak dapat menjawab, sehingga Yok Ting Ting menjadi
kasihan melihatnya. Sebenarnya gadis remaja ini amat senang dengan bantuan Chin Tong Sia. Dia dan
Tio Siau In memang berada dalam kesulitan.
"Sudahlah, Cici. Dia hanya ingin membantu kita.
Biarkan saja. Urusan lain bisa dilesaikan nanti."
Bahu Chin Tong Sia masih terasa sakit, namun tidak sesakit bentakan Siau In di
hatinya. Tapi ketika dia bermaksud meninggalkan tempat itu, Tiat-tou
menyerangnya dari belakang. Wuuuus!
Chin Tong Sia segera menghindar. Otomatis tangannya menyambar lengan Tiat-tou.
Thaaaas! Kedua lengan mereka bentrok satu sama lain.
Akibatnya Si Kepala Besi itu terdorong mundur beberapa langkah. Untung
pasukannya segera menolong. Mereka menyerbu Chin Tong Sia dari segala jurusan.
Chin Tong Sia tidak bisa mundur lagi. Dia terpaksa bertempur melawan pasukan
khusus itu bersama-sama Tio Siau In dan Yok Ting Ting. Dan kedatangannya itu
memang sangat membantu gadis itu. Paling tidak mengurangi lawan Tio Siau In.
Di lain pihak kedatangan Pendekar Buta benar-benar menjadi neraka buat Mo Goat.
Walaupun sudah 1197 berusaha sekuat tenaga, tapi gadis itu tetap tak bisa menghindar dari kejaran
Pendekar Buta. Celakanya, setiap kali menangkis atau membentur tenaga Pendekar
Buta, gadis itu tentu terlempar ke tanah.
Akhirnya, satu persatu kembaran Mo Goat itu menghilang. Dan selanjutnya hanya
tinggal Mo Goat asli yang bertempur dengan Pendekar Buta.
"Kurang ajar! Kubunuh kau, orang buta....!"
Namun Mo Goat memang bukan lawan yang setimpal buat Pendekar Buta. Ilmu silat
dan tenaga dalam gadis itu sama sekali belum apa-apa bila dibandingkan dengan
Pendekar Buta. Selain pendekar itu mampu bergerak dua kali lebih cepat dari
gerakan Mo Goat, tenaga dalamnya juga jauh di atas tenaga dalam gadis itu.
Itulah sebabnya setiap kali membentur tangan Pendekar Buta, tubuh Mo Goat
terlempar ke atas tanah. Untung saja orang tua itu tidak ingin membunuhnya.
Tetapi ketika prajurit-prajurit Hun yang mengepung tempat itu berteriak dan
menabuh genderangnya, Pendekar Buta menjadi cemas. Dalam keributan atau
pertempuran yang hingar-bingar dia tak mungkin bisa menolong Panglima Yap Kim.
Oleh karena itu dia harus segera meringkus gadis itu sebagai sandera.
Pendekar Buta lalu mengerahkan ilmu silatnya yang lain, yang jarang sekali ia
keluarkan. Terdengar tulang dan urat-uratnya saling membelit dan beradu satu
sama lain. 1198 Ketika akhirnya Mo Goat yang marah itu menyerang dengan jarum-jarum beracunnya,
kedua tangan Pendekar Buta itu segera menyambar ke depan. Taburan jarum beracun
itu tersapu habis oleh kibasan tangan kirinya, sementara tangan kanannya tetap
melaju ke depan, menuju ke arah muka Mo Goat.
Mo Goat cepat menarik kepalanya ke belakang.
Tapi mulutnya menjerit keras sekali, ketika tangan itu tetap saja memburunya.
Mati-matian gadis itu membanting tubuhnya ke belakang.
Namun sekali lagi gadis itu berteriak ngeri. Lengan Pendekar Buta itu terus saja
bertambah panjang, sehingga tangan itu tidak bisa dicegah lagi saat mencengkeram
pundak Mo Goat. Di lain saat gadis itu telah ditangkap oleh Pendekar Buta.
"Hou-ko! Tolong...!" Mo Goat menjerit keras.
Mo Hou terperanjat. Tanpa berpikir lagi pemuda itu melompat meninggalkan Put-
pai-siu Hong-jin. Karena saat itu dia sedang mengerahkan Pat-sian-ih-hoat pada
lapis yang teratas, maka gerakannya sama sekali tidak terlihat oleh semua orang.
Tahu-tahu dia telah berdiri di depan Pendekar Buta.
Put-pai-siu Hong-jin yang ditinggalkan, termangu-mangu di tempatnya. Kakek buruk
rupa itu tidak segera tahu kalau lawannya telah pergi.
"Tikus kecil! Dimana kau....?"
1199 "Suheng, mengapa kau memaki aku" Apa kau tidak mempunyai lawan lagi?" Tak
terduga Chin Tong Sia menjawab umpatan Put-pai-siu Hong-jin.
Dasar manusia sinting, kakek itu sudah melupakan keinginannya untuk mencari Mo
Hou. Suara Chin Tong Sia telah merubah jalan pikirannya. Tiba-tiba saja ia ingin
menggoda pemuda itu. "Hei, Bocah Gendeng. Mengapa kau bersama gadis itu lagi" Apa gigimu ingin
dipatahkan lagi?" "Suheng, kemarilah! Bantu aku! Jangan berdiri diam saja."
"Hohoho, baik. Aku senang sekali. Di situ banyak musuhnya."
Lalu tanpa berbasa-basi lagi kakek buruk rupa itu segera menghambur ke dalam
pertempuran. Gayanya yang kocak dan seenaknya sendiri itu membikin gemas dan
marah lawan-lawannya. Apalagi begitu masuk kakek itu sudah mengobral pukulan dan
tendangan yang sulit dihindarkan.
Sementara itu para prajurit Hun yang mengepung tempat tersebut menjadi beringas.
Mereka menjadi marah karena Mo Goat tertangkap musuh. Hampir saja mereka
menyerbu ke dalam arena pertempuran, kalau Mo Hou tidak segera menghentikan
mereka. Mo Hou sangat mengkhawatirkan keadaan adiknya. Dia takut orang buta itu
akan membunuh Mo Goat "Bagus. Tampaknya kau yang memimpin pasukan ini. Siapakah namamu, Anak Muda"
Apakah kau salah seorang dari panglima Raja Mo Tan?" Sambil 1200
tetap mencengkeram punggung Mo Goat, Pendekar Buta bertanya kepada Mo Hou.
Mo Hou menggeram menahan marah. "Namaku Mo Hou, putera Raja Mo Tan. Memang aku
yang memimpin pasukan ini. Nah, lepaskan adikku! Kalau tidak, pasukanku akan
segera membunuh teman-temanmu!"
Pendekar Buta mengangkat mukanya. Suaranya terdengar kaku ketika menjawab ucapan
Mo Hou, "Kalau benar-benar putera Raja Mo Tan, engkau tentu mengenal Bok Siang Ki, ketua
partai Soa-hu-pai." "Beliau adalah guruku, beliau telah diangkat menjadi Pendeta Agung Ulan Kili
oleh ayahku." "Pendeta Agung" Apakah dia telah menyelesaikan tingkat terakhir dari Pat-sian-
ih-hoat" Dia sudah mahir menghilang?"
Bukan main kagetnya Mo Hou. Orang buta di depannya itu seperti mengetahui segala
hal tentang gurunya. Siapa dia"
"Kau... kau mengenal guruku" Siapakah kau?"
"Sudahlah. Lebih baik kautanyakan sendiri kepada gurumu. Yang jelas gurumu tentu
akan memperingatkan, agar kau tidak terlalu dekat dengan aku. Apalagi sampai melawan
aku." "Sombong sekali!"
Pendekar Buta menghela napas panjang. "Sudahlah, perintahkan saja prajurit-
prajuritmu menyingkir. Biarkan kami membawa Panglima Yap Kim keluar 1201
dari benteng ini. Di luar nanti akan kulepaskan adikmu."
"Tidak bisa! Lepaskan adikku, atau...
kuperintahkan pasukanku membunuh kalian semua!"
Mo Hou berseru marah. "Begitukah" Baik! Majulah! Akan kuremukkan dulu kepala gadis ini, baru kita
berkelahi!" Pendekar Buta berseru pula. Tangannya diangkat ke atas, siap untuk
menghajar kepala Mo Goat.
Pasukan Hun menjadi beringas lagi. Mereka mengacung-acungkan senjata mereka dan
siap untuk menerjang ke arena.
Sebaliknya Mo Hou menjadi bimbang. Wajahnya bertambah kusut.
"Pengecut! Kalau berani, lawanlah aku! Jangan berlindung di balik nyawa
perempuan! Bertempurlah dengan aku! Satu lawan satu!" Akhirnya Mou Hou menjerit
marah.

Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pendekar Buta tertegun. "Kau menantang aku"
Wah, kau akan benar-benar dimarahi gurumu nanti."
"Diam! Lihat pukulanku!"
Mo Hou tidak dapat mengekang diri lagi. Tubuhnya melesat ke depan sambil
mengayunkan kipasnya. Begitu bergerak dia sudah menggunakan tingkat akhir dari Pat-sian-ih-hoatnya.
Tak seorang pun dari sekian ratus orang yang mengurung tempat itu, yang dapat
melihat dirinya. Semuanya mengira kalau tubuhnya hilang begitu saja. Kali ini Mo
Hou memang ingin menunjukkan kesaktiannya.
1202 Semua orang memang melihat bahwa Mo Hou menghilang Tapi tidak demikian halnya
dengan Pendekar Buta. Sebagai orang buta yang biasa mengandalkan perasaan dan
indera tubuh selain matanya, ia tetap dapat merasakan hembusan angin yang datang
menerpa dirinya. Dan sentuhan angin lembut itu sudah cukup memberitahukan dia,
bahwa ada orang yang mendekat dan menyerang tubuhnya.
Tanpa melepaskan tubuh Mo Goat, Pendekar Buta mengelak ke samping, lalu membalas
dengan menyodokkan siku kanannya ke belakang. Mo Hou yang tidak terlihat oleh
mata itu terperanjat, dan cepat-cepat melenting menjauhkan diri. Sesaat pemuda
itu merasa heran melihat lawannya tidak terpengaruh oleh ilmunya. Namun sebentar
kemudian ia menjadi sadar pula akan kebodohannya. Lawannya buta, sehingga tidak
ada bedanya, dirinya kelihatan atau tidak.
Mo Hou lalu berputar sambil menotok bahu kanan Pendekar Buta. Wusss! Kipasnya
yang tergulung itu menyambar bahu lawannya. Sengaja dia menyerang sambil
berputar untuk mengurangi getaran udara yang keluar dari kipasnya.
Sambil mengempit tubuh Mo Goat di ketiaknya, Pendekar Buta merendahkan tubuhnya.
Betapapun kecil getaran itu, ternyata Pendekar Buta masih dapat menciumnya.
Bahkan sambil merendah pendekar itu masih sempat menyabetkan rambut panjangnya
ke 1203 leher Mo Hou. Taaaar! Ujung rambut itu melecut di udara, karena Mo Hou keburu
mengelak ke samping. Demikianlah mereka bertempur semakin lama semakin sengit. Dan pertempuran itu
sama sekali tidak dimengerti oleh orang lain. Bagi mereka Pendekar Buta itu
bermain silat sendirian. Kalaupun sekali-sekali tubuh Mo Hou itu kelihatan,
mereka juga tidak dapat melihatnya dengan jelas.
Namun bagi Panglima Yap Kim dan Pangeran Liu Wan Ti, pertempuran itu benar-benar
mentakjubkan. Mereka memang tidak dapat melihat Mo Hou, tapi mereka yakin bahwa Pendekar Buta
itu sedang bertempur dengan Mo Hou. Oleh karena itu bagi mereka kesaktian
Pendekar Buta sungguh amat hebat.
Betapa tidak" Ilmu sihir aneh yang sempat membingungkan Put-pai-siu Hong-jin itu
ternyata tidak berpengaruh apa-apa terhadap Pendekar Buta.
Padahal pendekar itu masih membawa tubuh Mo Goat pula.
Sementara itu situasi pertempuran di arena yang lain tetap belum berubah. Souw
Thian Hai dan anak-isterinya tetap dikepung Bayan Tanu bersama pasukan
pilihannya. Pasukan khusus yang berkelompok dan berlapis-lapis sehingga sulit
sekali ditembus. Demikian pula dengan keadaan Tio Siau In dan Yok Ting Ting. Walaupun sudah
dibantu Chin Tong Sia dan Put-pai-siu Hong-jin, mereka tetap belum bisa keluar
dari kepungan. Memang, kedatangan Put-pai-siu Hong-jin dan Chin Tong Sia sangat
menolong 1204 mereka. Tetapi pasukan khusus itu memang kuat sekali. Untunglah dengan gaya
bertempur Put-pai-siu Hong-jin yang angin-anginan itu, pasukan pilihan itu tidak
berani terlalu mendesak. Hanya pertempuran A Liong yang mulai
menampakkan hasilnya. Walau seorang diri harus menghadapi enam jago pilihan dari
Raja Mo Tan, tapi akhirnya pemuda itu dapat menguasai lawannya. Ilmu Pedang
Pelangi yang belum pernah terlihat di dunia persilatan itu ternyata dapat
menggempur Barisan Enam Hantu. Satu persatu Barisan Enam Hantu yang sangat
ditakuti orang itu terlepas dari kelompoknya.
Mula-mula Ang-kui atau Si Hantu Merah, hantu paling muda dalam kelompok itu,
terpental keluar dari barisannya. Hantu Merah itu tergores pedang pelangi pada
betisnya, yaitu pada saat dia dan saudaranya gagal menangkis pedang A Liong.
Barisan Enam Hantu itu semakin kacau. Hek-kui segera berteriak mengatur barisan
mereka. Ui-kui yang terluka lengannya segera menempatkan diri di belakang
barisan. Sedangkan Ang-kui yang terluka betisnya, tidak mampu bangkit lagi.
Darah mengalir deras dari luka itu.
"Kalian tetap belum mau menyerah. Baik! Akan kupotong kaki kalian satu persatu!"
A Liong mengancam. Benar juga. Belum habis pemuda itu mengucapkan ancamannya, pedang bengkoknya
telah terlepas dari tangan, dan terbang berputar-putar di udara. Ketika 1205
kemudian A Liong mengalihkan perhatian mereka dengan pukulan jarak jauhnya,
tiba-tiba pedang itu menukik kembali dan menyambar Ui-kui di belakang barisan.
"Aduh...!" Hantu Kuning itu menjerit kesakitan.
Ui-kui jatuh ke tanah sambil memegangi lengan kirinya. Kini kedua lengannya
tidak dapat digunakan lagi. Pisaunya juga hilang entah ke mana.
Kini tinggal empat orang saja diantara Lok-kui-tin yang masih dapat bertempur.
Hek-kui saling pandang dengan saudara-saudaranya. Mereka mulai berpikir untuk
mengerahkan pasukan khusus.
Namun sebelum Hek-kui memberi perintah, tiba-tiba terdengar suara jeritan Mo
Hou! Ketika Lok-kui-tin memandang ke arena itu, mereka menyaksikan dua majikan
mudanya telah berada dalam genggaman Pendekar Buta!
"Apa... a-apa yang terjadi?" Hek-kui memekik bingung.
A Liong juga melihat ke tempat itu. Dia melihat seorang lelaki berpakaian tukang
kebun mencengkeram punggung Mo Hou dan Mo Goat. A Liong juga diam saja ketika
sisa-sisa Lok-kui-tin itu menghampiri Pendekar Buta.
Mo Hou tidak berkutik di tangan Pendekar Buta.
Dia sama sekali tidak menduga kalau lawannya memiliki ilmu silat aneh, yang
dapat mengecoh dirinya, sehingga dia terjebak pula seperti adiknya.
1206 Ternyata Pendekar Buta itu dapat membuat tangan atau kakinya lebih panjang
daripada semestinya. Bahkan yang lebih mengerikan lagi, Pendekar Buta itu dapat melepas engsel
sendinya, sehingga lengan dan kakinya dapat ditekuk dan digerakkan ke segala
arah. Mo Hou juga terjebak ketika suatu saat berada di belakang Pendekar Buta. Sama
sekali dia tak menyangka ketika tiba-tiba tangan pendekar itu menghantam ke
belakang seperti layaknya kalau tangan itu menghantam sasaran di mukanya. Ketika
dia mencoba menghindar, ternyata lengan itu bertambah panjang, sehingga dengan
mudah menotok urat di lehernya.
"Nah! Kau kalah, Anak Muda. Kau bukan tandinganku. Mungkin hanya gurumu yang
dapat melayani aku. Itu pun kalau ilmunya sudah lebih baik daripada dulu."
Pendekar Buta berkata ketus.
"Apa maumu sekarang?" Mo Hou berseru kesal.
Pendekar Buta membawa kedua tawanannya itu ke depan Tio Ciu In. Ketika Hek-kui
bersama tiga saudaranya mengejar dan mengurung, Pendekar Buta menghardik mereka.
"Semuanya berhenti bertempur! Lihat...! Nyawa pimpinan kalian berada dalam
genggamanku! Apakah kalian menginginkan kematian mereka?"
Suara Pendekar Buta itu benar-benar mengejutkan prajurit Hun. Semuanya berhenti
bertempur. 1207 Termasuk juga Bayan Tanu, Ho Bing, dan seluruh pasukan khusus mereka.
Para tokoh persilatan yang tersisa segera berkumpul di dekat Pangeran Liu Wan
Ti. Mereka menunggu perintah Pendekar Buta.
"Suhu! Para pendekar telah berkumpul di sini. Apa yang harus kami lakukan?" Tio
Ciu In bertanya kepada gurunya.
Pendekar Buta mengangguk, kemudian membentak Hek-kui dan Pek-kui yang berdiri di
depannya. "Bagus! Nah, kalian dengar itu" Sekarang perintahkan kepada pasukan kalian untuk
mundur! Aku tidak main-main! Kedua orang ini menjadi jaminannya!"
"Hek-kui...! Kau...!" Mo Hou membuka mulutnya.
Tapi belum juga habis ucapan itu keluar dari mulutnya, Pendekar Buta sudah lebih
dulu menotok urat gagunya.
Hek-kui bertukar pandang dengan Pek-kui. Mereka merupakan pimpinan tertinggi
setelah Mo Hou dan Mo Goat. Dengan tertangkapnya kedua pimpinan mereka itu,
otomatis kini mereka berdua yang harus menentukan jalan pertempuran selanjutnya.
"Cepat lakukan! Atau kalian ingin gadis ini yang kubunuh lebih dahulu"
Baik...!" Pendekar Buta menggertak sambil mengangkat Mo Goat di atas kepalanya.
1208 Pendekar Buta sengaja mencengkeram jalan darah pao-si-hiat di dekat tulang
punggung Mo Goat, sehingga gadis itu meringis kesakitan.
Hek-kui gemetar. Pikirannya menjadi bingung. Dia dan saudara-saudaranya tak
mungkin bisa hidup bila kedua putera Raja Mo Tan itu mati. Tapi kalau mereka
melepaskan Panglima Yap Kim dan Pangeran Liu Wan Ti, mereka akan mendapat marah
pula. "Baiklah! Akan kami lakukan!" Tiba-tiba Pek-kui berseru.
"Pek-kui...?" Hek-kui berbisik pelan.
"Apa boleh buat. Masih ada waktu lain untuk membunuh mereka. Tapi tak ada
kesempatan kedua bila dua junjungan kita itu mati. Bagaimana pendapatmu, Hek-
kui?" Pek-kui menarik napas pedih.
Hek-kui mengangguk-anggukkan kepalanya. Tapi bibirnya tetap terkatup rapat.
Pendekar Buta bernapas lega. Tangannya turun kembali.
"Kalau begitu lekas kalian perintahkan mereka untuk memberi jalan kepada kami!
Siapkan pula dua perahu besar dan satu sampan kecil untuk kami!"
"Suhu...?" Tio Ciu In mendekati gurunya.
"In-ji! Kumpulkan teman-temanmu! Minta kepada mereka untuk mengikut di
belakangku!" Pek-kui dan Hek-kui terpaksa menuruti perintah Pendekar Buta. Mereka menyibakkan
prajurit Hun yang memenuhi tempat itu. Mereka juga harus menghalangi serta
membujuk keberingasan prajurit 1209
Hun. Mereka benar-benar tidak menginginkan orang buta itu membunuh Mo Hou dan Mo
Goat. Dalam perjalanan ke pintu gerbang itulah Tio Siau In bertemu dengan A Liong.
Betapa gembiranya gadis itu, sehingga Chin Tong Sia menjadi iri melihatnya.
Sebaliknya pertemuan antara Kwe Tek Hun dengan Pangeran Liu Wan Ti dan Tio Ciu
In terasa kaku dan kikuk, karena Liu Wan yang mereka kenal dulu ternyata adalah
Pangeran Liu Wan Ti. Ketika melewati kumpulan tawanan yang masih hidup, A Liong berteriak,
"Locianpwe! Bagaimana dengan teman-teman kita yang tertawan itu?"
"Bawa mereka!" Pendekar Buta berseru tegas.
"Baik!" A Liong melesat pergi, diikuti Chin Tong Sia dan Kwee Tek Hun. Bertiga mereka
mengurus para pendekar persilatan yang tertawan itu dan membawa mereka pergi.
Para pendekar yang terluka dipapah atau digendong pendekar lainnya.
Akhirnya rombongan itu menjadi banyak sekali.
Mungkin lebih dari tiga puluh orang. Mereka berbondong-bondong pergi ke pintu
gerbang benteng. Setiap kali melewati mayat-mayat para pendekar yang tewas mereka berdesah sedih.
Matahari mulai bergulir ke barat. Panasnya benar-benar menyengat ubun-ubun. Di
depan pintu gerbang, di bawah tangga, telah disiapkan dua perahu besar dan satu
sampan kecil. Tampak belasan prajurit Hun berjaga-jaga di sekitar perahu
tersebut. 1210 "Aku mendengar suara air. In-ji, apakah kita telah sampai di pintu gerbang
benteng" Apakah mereka telah menyiapkan perahu untuk kita?"
"Sudah, Suhu. Ada belasan prajurit yang menjaga perahu itu."
"Suruh mereka pergi!"
Hek-kui memberi isyarat kepada prajurit-prajurit itu agar pergi meninggalkan
perahu. A Liong dan Chin Tong Sia segera meloncat ke depan mendahului yang lain.
Mereka memeriksa perahu tersebut lebih dahulu.
"Bagaimana, Saudara Chin"' Baik dan aman?"
Souw Giok Hong berseru kepada Chin Tong Sia.
"Marilah! Semuanya beres!" A Liong menjawab seruan itu.
"Nanti dulu...!" Pek-kui berseru dan melompat ke depan Pendekar' Buta.
"Bagaimana dengan kedua pimpinan kami itu" Kami telah menuruti permintaanmu.
Sekarang kau harus menepati janji pula. Bebaskan mereka!"
Pendekar Buta menggeram. "Jangan takut. Aku tentu akan membebaskan mereka. Tapi
aku juga tidak sebodoh yang kau kira. Kami baru melepas mereka setelah semuanya
pergi." "Suhu..." Engkau tidak pergi bersama-sama kami?"
Tio Ciu In memegangi lengan gurunya.
"Jagalah dirimu baik-baik, In-ji. Aku tentu mencarimu nanti. Nih! Ambil
saputangan ini! Berikan kepada Pangeran Liu Wan Ti dan Panglima Yap Kim setelah
semuanya aman! Mengerti....?"
1211 "Tapi, Suhu...."
"Sudahlah. Ikuti saja perintahku."
A Liong maju ke depan. "Locianpwe, biarlah aku menemanimu. Siapa tahu mereka
berlaku curang?" "Tidak usah, Anak Muda. Kau pergi saja bersama yang lain."
Para pendekar itu- mengikuti Panglima Yap Kim dan Pangeran Liu Wan Ti ke dalam
perahu. Mereka dibagi menjadi dua bagian, dan masing-masing mendapat satu
perahu. Panglima Yap Kim dan Pangeran Liu Wan Ti berada dalam satu perahu,
sementara Souw Thian Hai dan keluarganya di perahu lainnya. Mereka segera
berangkat setelah mengucapkan terima kasih kepada Pendekar Buta.
Beberapa waktu kemudian dua perahu besar itu telah menghilang dari pandangan.
Kini tinggal Pendekar Buta yang masih tinggal di tempat itu. Dia tinggal
sendirian, dikelilingi Hek-kui dan saudara-saudaranya. Bahkan ribuan prajurit
Hun yang ada di dalam benteng itu ikut mengepung pula.
Perlahan-lahan Pendekar Buta membawa Mo Hou dan Mo Goat menuruni tangga. Hek-kui
dan saudara-saudaranya mengikuti dari belakang. Sementara itu Bayan Tanu dan
pasukannya tetap mengawasi dari kejauhan. Semuanya siap untuk menyerang Pendekar
Buta. Sampai di bawah Pendekar Buta memasang telinganya. Suara kecipak air menjilat
kayu, memberi 1212 petunjuk dimana sampan kecil itu berada. Dan pendekar itu segera melompat ke
dalam sampan. "Nih, terimalah!" Pendekar itu berseru sambil melemparkan tubuh Mo Hou dan Mo
Goat ke atas tangga. Selesai mengembalikan tawanan pendekar itu menepukkan tangannya ke dalam air.
Plak! Plak! Plak! Tiba-tiba sampan kecil itu terbang ke tengah sungai. Ratusan anak panah
segera bertaburan dari atas tembok, memburu sampan itu. Ternyata para prajurit
Hun yang berada di atas tembok telah menyiapkan serangan anak panah.
Pendekar Buta segera melepas bajunya dan menangkis hujan anak panah itu. Cuma
sebentar, karena hujan panah itu segera berhenti. Sampan itu telah berada diluar
jangkauan anak panah. Sementara itu perahu yang ditumpangi Panglima Yap Kim dan Pangeran Liu Wan Ti
melaju terus tanpa berhenti. Semuanya lupa lapar, lupa haus, dan lupa lelah.
Yang mereka pikirkan hanya menyingkir jauh-jauh dari benteng itu.
Akhirnya mereka mendarat di sebuah dusun di tepian sungai. Penduduknya menyebut
dusun itu Ui-kang-cung. Kepala dusun Ui-kang-cung segera menyongsong dan menjamu mereka. Apalagi ketika
dia tahu bahwa yang datang adalah Pangeran Liu Wan Ti dan bekas Panglima Yap
Kim. Daerah itu memang daerah para pengagum Panglima Yap Kim.
1213 "Pangeran...! Kedatangan Pangeran di dusun ini sungguh suatu keberuntungan yang
tidak kami sangka sebelumnya. Bagaimana tidak" Kebetulan sekali dusun ini
menjadi ajang perjuangan para pendekar yang ingin menumbangkan kekuasaan Ouyang
Goanswe." Kepala Dusun itu melapor kepada Liu Wan Ti.
"Menjadi ajang perjuangan para pendekar...?"
Pangeran Liu Wan Ti mengerutkan keningnya.
"Benar, Pangeran. Akan hamba tunjukkan tempat mereka bila Pangeran menghendaki."
Pangeran Liu Wan Ti mengawasi Panglima Yap Kim untuk meminta pendapat. Dan
panglima itu segera menganggukkan kepalanya.
"Lebih baik kita melihatnya, Pangeran."
Demikianlah, Kepala Dusun itu lalu membawa mereka ke suatu tempat di pinggiran
sungai. Di sana tampak ribuan tenda memenuhi tepian Sungai Huangho.
"Gila! Ini benar-benar kekuatan yang maha dahsyat!" Panglima Yap Kim berdesah
sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.


Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Siapa yang memimpin para pejuang ini?"
Pangeran Liu Wan Ti bertanya kepada Kepala Dusun Ui-kang-cung.
"Jenderal Yo Keng, Pangeran."
Pangeran Liu Wan Ti terkejut. "Kaumaksudkan...
Jenderal Yo Keng dari perbatasan itu?"
1214 "Benar, Pangeran. Dulu beliau diutus Kongsun Goanswe ke kota raja untuk menemui
Menteri Kui Hua Sin. Tapi sampai di istana beliau malah hampir dibunuh oleh
Auyang Goanswe. Akhirnya Jenderal Yo Keng pulang, dan di sepanjang jalan beliau
mengumpulkan para pejuang yang ingin
menumbangkan kekuasaan Auyang Goanswe.
Sekarang pejuang yang bergabung dengan Jenderal Yo Keng telah mencapai ribuan."
Demikianlah, malam itu juga Panglima Yap Kim dan Pangeran Liu Wan Ti menemui
Jenderal Yo Keng. Bukan main gembiranya jenderal itu karena sejak dulu ia sangat
mengagumi Panglima Yap Kim maupun Pangeran Liu Wan Ti. Bahkan
kedatangannya ke kota raja dulu juga untuk memberitahukan munculnya Pangeran Liu
Wan Ti di perbatasan. Ketika berita kedatangan Panglima Yap Kim dan Pangeran Liu Wan Ti itu diumumkan
kepada para pejuang, mereka menyambut dengan gegap gempita.
Dan jadilah malam itu mereka berpesta-pora menyambut kehadiran Panglima Yap Kim
dan Putera Mahkota. Kebetulan malam itu bulan muncul dengan terangnya. Maka dengan disaksikan oleh
gemerlapnya bintang di langit, Panglima Yap Kim dikukuhkan sebagai pimpinan dari
para pejuang itu. Sementara para pendekar yang lain, seperti Hong-gi-hiap Souw
Thian Hai, Kwe Tai-hiap, Put-pai-siu Hong-jin, A 1215
Liong, Tio Ciu In dan lain-lainnya, ikut membantu pula dari belakang.
Para pendekar itu lalu berkumpul di tepian sungai.
Mereka bergerombol sambil menikmati aliran sungai di atas bebatuan.
"Sayang sekali Pendekar Buta tidak ikut hadir di tengah-tengah kita. Di mana dia
sekarang?" Panglima Yap Kim bergumam perlahan.
"Benar, Saudara Yap. Kita banyak berhutang budi kepadanya. Tanpa pertolongannya,
kita semua sudah mati di dalam benteng itu. Ilmu silatnya benar-benar hebat..."
Souw Thian Hai berkata pula.
"Tapi omong-omong... rasanya aku pernah mengenal gaya ilmu silatnya. Tapi aku
benar-benar sudah lupa. Apakah Souw Tai-hiap juga berpikir demikian?"
"Entahlah. Semuanya serba cepat, dan aku sendiri sedang repot menghadapi lawan,
sehingga tidak memperhatikan ilmu silatnya."
"Hai...!" Tiba-tiba Panglima Yap Kim tersentak kaget. "Aku ingat sekarang! Ilmu
silat itu... ilmu silat itu..." Ah, dia... Pangeran Liu Yang Kun!"
"Pangeran... Liu Yang Kun?" Semuanya berseru kaget.
"Benar, Souw Tai-hiap. Sekarang aku ingat ilmu silat yang digunakan untuk
menangkap putera Raja Mo Tan itu. Namanya... Kim-coa-ih-hoat (Baju Ular Emas)!
Yah, benar... namanya Kim-coa-ih-hoat!
1216 Hanya Pangeran Liu Yang Kun saja di dunia ini yang memiliki ilmu silat itu."
"Benarkah" Jadi... dia masih hidup?"
"Wah, sungguh menyenangkan kalau dia masih hidup. Kita dapat mempertemukan Enci
Lian Cu dengan suaminya." Sekonyong-konyong Souw Giok Hong bersorak gembira
sambil memeluk ibunya. "Eh, aku lupa membawa titipan saputangan dari guruku!" Tio Ciu In ikut-ikutan
berteriak. Gadis itu merogoh sakunya dan mengeluarkan saputangan putih. Saputangan itu lalu
diserahkan kepada Pangeran Liu Wan Ti.
"Maaf, Pangeran. Aku benar-benar lupa. Guruku berpesan untuk memberikan
saputangan ini kepadamu atau kepada Panglima Yap Kim."
Pangeran Liu Wan Ti menerima saputangan itu dengan perasaan heran. Tapi
jantungnya segera berdegup keras ketika melihat tulisan di atas saputangan itu.
Adikku, Kau yang berbakat mengurus negara.
Kuserahkan segalanya kepadamu.
Kakakmu, "Benar. Dia... dia memang Pangeran Liu Yang Kun!" Panglima Yap Kim berdesah
panjang. Sejenak pertemuan itu menjadi sunyi, masing-masing memikirkan sepak terjang
pangeran yang amat 1217 sakti itu. Hanya golongan muda seperti A Liong yang tidak tahu cerita tentang
Pangeran Liu Yang Kun. "Wah, tampaknya ilmu silat Pangeran itu tinggi sekali, ya?" A Liong yang duduk
di dekat Tio Siau In itu berkata perlahan.
"Tentu saja. Bagaimana mungkin dia bisa menyelamatkan kita kalau ilmu silatnya
biasa-biasa saja. Lalu... bagaimana dengan keinginanmu dulu"
Katanya kau ingin mendaki Gunung Hoa-san"
Bagaimana" Jadi tidak?" Tio Siau In tersenyum menggoda.
"Wah, Cici. Kau ini baru bertemu sudah mengajak berantem."
Demikianlah, mulai malam itu Pangeran Liu Wan Ti dan Panglima Yap Kim bersumpah
untuk melawan kekuasaan Auyang Goanswe. Mereka bahu-membahu memimpin para
pejuang demi menegakkan keadilan di negeri mereka.
SEKIAN Yogyakarta, 31 Maret 1995.
1218 Document Outline Daftar Isi : JILID I JILID II JILID III JILID IV JILID V JILID VI JILID VII JILID VIII JILID IX JILID X JILID XI JILID XII JILID XIII JILID XIV JILID XV JILID XVI JILID XVII JILID XVIII JILID XIX JILID XX JILID XXI JILID XXII JILID XXIII JILID XXIV JILID XXV JILID XXVI JILID XXVII JILID XXVIII Pertemuan Di Kotaraja 3 Gajahmada Karya Langit Kresna Hariadi Peristiwa Merah Salju 13
^