Pencarian

Pendekar Pedang Pelangi 2

Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono Bagian 2


Otomatis langkahnya dipercepat. Tapi orang-orang itu juga mempercepat langkah
kaki mereka pula. Siau In menjadi penasaran, ia lalu meningkatkan kemampuannya
berlari lagi. Tapi keenam orang itu ternyata juga menambah kecepatan mereka.
Terjadilah kejar mengejar yang mengasyikkan di siang hari bolong itu. Mereka
mulai menginjak daerah pertambakan garam. Di sana-sini, di kanan kiri jalan,
yang terlihat cuma genangan air garam melulu.
Barulah beberapa saat kemudian tampak sebuah perkampungan petani tambak di depan
mereka. Siau In lalu mengeluarkan seluruh kemampuan ginkangnya. Tubuhnya yang mungil itu
melesat ke depan bagai anak panah yang terlepas dari busurnya.
Dan para pengejarnya segera tertinggal jauh di belakang. Namun demikian ketika
sampai di mulut perkampungan petani tambak itu, Siau In menghentikan langkahnya.
Gadis yang amat berani itu hendak men coba, apakah para lelaki hidung belang 86
itu masih berani mengganggunya di perkampungan penduduk.
Tapi perkiraan Siau In itu ternyata salah. Ketika satu persatu para pengejarnya
tadi datang dengan napas memburu, semuanya justru menampilkan wajah yang amat
lega. "Bagus-bagus! Ternyata Nona juga berhenti kelelahan di sini. Sungguh kebetulan
sekali, hoh-hoh-hoh! Inilah kampung tempat tinggal kami! Selamat datang.hoh-hoh-
hoh...! Marilah singgah sebentar ...!"
Si Pemimpin itu berkata gembira.
Tentu saja kenyataan itu amat mengejutkan hati Siau In. Ternyata perkiraannya
meleset. Perkampungan itu justru merupakan tempat tinggal para lelaki hidung belang
tersebut. Bahkan ketika menengok ke sebuah pintu rumah yang paling megah di
pinggir jalan itu, ia melihat papan nama yang dipasang secara menyolok sekali.
Papan nama itu bertuliskan huruf : HEK TO PAI!
"Celaka...! Ternyata aku berada di sarang buaya!"
gadis itu berkata di dalam hatinya.
Tapi sedikit pun Siau In tidak gentar! Gadis periang dan pemberani itu malah
tersenyum menghadapi para pengganggunya.
"Cu-wi (Tuan semua) ingin agar aku singgah sebentar di kampung ini" Ah, maaf...
lain kali saja. Siau-te (Aku yang rendah) sedang tak pernah enak badan. Siaute hendak pergi ke
pantai untuk membuang rasa sebal dan dongkol dulu. Nah, maaf..."
87 Siau In cepat berbalik dan hendak pergi meninggalkan tempat itu, tapi orang-
orang Hek-to-pai itu dengan cepat mengepungnya. Malahan salah seorang di antara
mereka segera berlari ke perkampungan memanggil teman-temannya.
"Nanti dulu, Nona. Kau tidak boleh menolak undangan kami. Sekali kami mengundang
orang, orang itu harus datang. Menolak undangan kami berarti menghina Hek-to-
pai! Dan... siapapun juga yang berani menghina Hek-to-pai tentu tidak akan
berumur panjang!" si pemimpin itu mengancam.
Bukan main marahnya hati Siau In. Orang-orang berkulit hitam itu benar-benar
telah meremehkan dirinya. Karena ia cuma seorang perempuan muda, apalagi hanya
seorang diri, mereka lalu main paksa seenak mereka sendiri, seolah-olah dia itu
cuma seorang perempuan desa murahan. Apalagi cara mereka memaksa itu dengan
kedok dan selubung Hek-to-pai. Siau In benar-benar muak sekali.
"Anjing-anjing keparat! Kaukira aku gentar melihat tampang-tampang hitammu yang
menjijikkan itu, hah" Meskipun kau berlindung di balik perkumpulan orang-orang
yang berjalan di jalan hitam (hek-to), aku tidak takut! Suruh semua orang-
orangmu ke sini! Suruh ketuamu sekalian ke mari! Akan kucuci habis-habisan muka kalian yang hitam
legam itu agar kalian bisa melihat hal-hal yang terang dari wajah kalian itu!"
Siau In berteriak lantang.
88 Betapa hebatnya penghinaan itu! Tak heran bila orang-orang Hek-to-pai itu tak
dapat menahan amarahnya. Apalagi gadis itu dengan seenaknya mengubah arti dari
nama perkumpulan mereka, dari Hek-to yang bermakna Golok Hitam menjadi Hek-to
yang bermakna Jalan Hitam. Kedua buah ucapan itu memang hampir sama.
"Babi betina yang tak tahu diri! Kau memang pantas mati dengan mengenaskan! Akan
kubelejeti pakaianmu, lalu akan kunista dirimu beramai-ramai di air tambak itu,
sehingga kau akan mengalami penderitaan yang tak mungkin bisa kaulupakan seumur
hayatmu! Ayoh, kawan-kawan... bekuk dia!"
si pemimpin itu mengumpat dan mengancam.
Si pemimpin itu sendiri lalu minggir untuk memberi kesempatan empat orang
temannya untuk membekuk gadis sombong itu. Ia masih beranggapan bahwa Siau In
tidak berbahaya dan hanya pandai berlari saja. Ia menganggap empat orang
temannya itu sudah lebih dari cukup untuk menangkap betina galak tersebut.
Dan kesombongan orang itu benar-benar harus dibayar mahal oleh teman-temannya.
Dalam waktu singkat, hanya dengan empat kali gerakan tangan, ke empat orang itu
telah menjerit kesakitan dan kemudian terlempar bergelimpangan terkena ujung
sepatu Siau In! Begitu singkatnya, sehingga orang-orang yang sangat memandang
rendah Siau In itu tidak sempat mempergunakan golok hitam 89
kebanggaan mereka! Masing-masing tergeletak pingsan dengan pisau kecil menancap
di keh-jin-hiat mereka. Si pemimpin itu melongo sambil mengucak-ucak matanya. Ia sama sekali belum sadar
apa yang telah terjadi, dan sama sekali juga belum bisa percaya bahwa semuanya
itu bisa terjadi. Semuanya berlangsung dengan begitu cepat. Cepat sekali,
sehingga rasa-rasanya suara perintahnya tadi masih terngiang-ngiang di
telinganya sendiri. "Hayo! Mengapa kau berdiri bengong saja di tempat itu" Majulah! Akan kulemparkan
bangkaimu nanti ke tengah-tengah air tambak itu, agar rohmu menderita pula di
alam baka!" Siau In yang sudah menjadi buas itu menjerit marah. Di telapak
tangannya masih tersisa sebilah pisau.
"Kau... lukai mer-mereka... semua" Kau benar-benar setan betina!!" dengan suara
hampir tidak jelas si pemimpin itu mengumpat dan menerjang.
Tangannya telah menggenggam golok hitam yang berkilauan saking tajamnya.
"Heeiitt!" Siau In meloncat ke kiri dengan sigapnya.
Tangannya terayun, tapi bukan untuk melemparkan pisaunya. Tangan yang kecil itu
dipakai untuk menghantam pergelangan tangan lawannya yang mencekal golok.
Sementara kaki kanannya yang bersepatu tipis itu menerjang tinggi ke arah ulu
hati. Gerakan bertahan dan menyerang ini adalah sebagian 90
dari jurus Naik Tangga Memandang Bulan, di mana tangan kiri yang memukul
pergelangan tangan lawan itu diibaratkan sedang menguak rintangan penutup
rembulan, dan kaki kanan yang melayang naik ke ulu hati itu diibaratkan sebagai
kaki sedang menaiki tangga.
-- o0d-w0o -- JILID III AMUN meski marah si pemimpin itu
sudah sadar siapa lawannya. Ia tidak mau bernasib seperti kawan-kawannya itu,
N sehingga pada saat menyerang tadi ia juga tidak lupa akan pertahanannya. Maka
ketika serangan balik Siau In itu hampir mengenai sasarannya, ia terlebih dulu
menggeliat ke kiri cepat sekali, hingga serangan itu lewat hanya sejengkal saja
dari tubuhnya. Kemudian sebelum Siau In menarik kaki dan tangannya, ia lebih
dulu memanfaatkan kesempatan itu dengan menyabetkan golok hitamnya yang
berselubung racun ke arah lawan.
Serangan si pemimpin itu benar-benar bagus dan ganas luar biasa. Sepintas lalu
serangan itu tidak mungkin tidak pasti akan mengenai sasarannya.
91 Dalam keadaan serta kedudukan tubuh seperti itu tak mungkin Siau In dapat
menghindar lagi. Tubuh yang molek itu tentu akan terbelah menjadi dua bagian.
Atau paling tidak, kaki dan tangan yang mungil itu tentu akan terlepas dari
tubuhnya. Namun apa yang kemudian terjadi ternyata juga di luar dugaan si pemimpin itu.
Dalam keadaan terjepit ternyata Siau In melakukan langkah yang boleh dikatakan
amat berbahaya sekali buat dirinya sendiri, lapi tampaknya gadis itu memang
telah yakin benar akan kekuatannya, sehingga golok hitam yang lebarnya setelapak
tangan orang dewasa itu tiba-tiba hanya ditangkis dengan pisau kecilnya yang tak
lebih besar daripada jari tangannya sendiri!
Traaaaaang!!! , Terdengar suara nyaring disertai percikan api yang amat hebat. Siau In mengeluh
pendek karena jari-jari tangannya yang kecil halus itu tergetar dengan
dahsyatnya sehingga tak kuasa memegangi pisaunya.
Pisau itu terlepas jatuh. Namun sebelum menyentuh, tanah, tiba-tiba ujung sepatu
kiri gadis itu menyambar, gagangnya. Thaaak! Dan pisau itu meluncur ke atas
dengan cepatnya! Si pemimpin itu telah bersorak di dalam hati. Tapi kegembiraannya itu mendadak
hilang dan diganti dengan jeritannya yang menyayat hati. Pisau kecil itu
ternyata menyambar urat nadinya, sehingga golok hitamnya itu terlempar ke udara!
92 Darah mengucur dengan derasnya dari pergelangan tangan si pemimpin itu. Pisau
Siau In telah menembus tulang dan memutuskan urat nadinya. Sakitnya tiada
terkira. Sebaliknya Siau In sendiri ternyata juga tidak terbebas begitu saja. Walaupun
ayunan golok lawan dapat ia tahan sepenuhnya, tapi guncangannya masih mampu
mengoyakkan kulit telapak tangannya.
Bahkan ujung golok itu juga masih dapat: merobek lengan bajunya pula.
Kini Siau In benar benar tidak bisa menahan marahnya lagi. Dengan cepat
tangannya mencabut pedang pendek yang terselip di balik bajunya, lapi sebelum
dia mempergunakan pedang itu, dan dalam perkampungan petani tambak tersebut
tiba-tiba muncul berpuluh-puluh anggota Hek-to-pai yang lain.
Mereka berbondong bondong mengiringkan seorang lelaki tegap berkumis dan
berjenggot lebat. Begitu melihat kawan-kawan mereka yang bergelimpangan, mereka
bergegas menghampiri. "Siapa yang berani mengacau perkampungan ini?"
lelaki bercambang lebat itu membentak. Suaranya keras dan berwibawa.
"Suhu, dialah gadis yang kukatakan tadi." anggota Hek-to-pai yang melapor tadi
memberi tahu. Siau In berdiri tegak di hadapan lelaki itu. Pedang pendeknya ia sembunyikan di
balik lengan bajunya. Ia sama sekali tidak takut menghadapi lawan yang 93
banyak sekali itu. Bahkan ia balas menentang pandang mata lelaki bercambang
lebat tersebut. "It Hou...! Bukankah kau tadi kusuruh membawa adik-adikmu pergi ke kota untuk
mencari susiok-susiokmu (paman paman gurumu) yang bermain barongsai di halaman
rumah Bupati" Mengapa kalian telah berada di sini lagi dalam keadaan seperti
ini?" Lelaki bercambang lebat itu tiba-tiba membentak si pemimpin tadi.
It Hou yang terluka pergelangan tangannya itu terdiam tak bisa menjawab. Ia
hanya bisa menundukkan kepalanya sambil terus memijit-mijit lukanya yang parah.
"Baiklah, kau boleh menjawabya nanti. Sekarang uruslah Adik-adikmu yang terluka
ini. Bawalah mereka ke Balai Latihan Silat!"
"Ba-baik, Suhu...." It Hou menjawab, lalu mengajak beberapa orang adik
seperguruannya yang lain untuk membantu membawa orang-orang yang pingsan itu ke
Balai Latihan Silat. Laki-laki bercambang lebat itu lalu menghadapi Siau In kembali. Beberapa saat
lamanya ia hanya mengawasi saja tubuh Siau In dari kaki sampai ke kepala. Baru
setelah itu ia menggeleng-gelengkan kepala seraya berdecak kagum.
"Bukan main. Masih begini muda, tapi sudah mampu mengalahkan murid kepalaku It
Hou, Hmm, Nona... perkenalkanlah, namaku It Kwan. Aku adalah Ketua Hek-to pai
yang bermarkas di perkampungan 94
petani tambak ini. Bolehkah aku tahu namamu, nama gurumu, dan nama perguruanmu?"
Halus sekali nada suara ketua Hek-to-pai tersebut.
Tapi bagi Siau In suara itu tetap terasa sombong dan menekan dirinya. Bahkan
suara itu masih terasa mengandung nada penasaran dan kemarahan. Maka Siau In
tetap tidak mau mengendurkan
kewaspadaannya. Pedang pendeknya sewaktu-waktu masih siap untuk dipergunakan.
"Namaku Siau In, Tio Siau In. Aku adalah murid Giam Pit Seng, pimpinan Cabang
Im-yang-kau bagian timur. Aku tidak bermaksud melukai...."
"Aaaaaa... jangan sungkan-sungkan." It Kwan cepat memotong perkataan Siau In.
"Jadi... Nona ini murid Giam Taihiap yang terkenal itu" Wah, pantas...
pantas. Nama gurumu memang menjulang tinggi sejak lima tahun yang lalu, sebelum
ia dipilih sebagai pimpinan Cabang Im-yang-kau daerah timur.
Namanya boleh disejajarkan dengan Keh-sim Siau-hiap (Pendekar Patah Hati). Tung-
hai-tiauw (Rajawali Laut Timur), Tung-hai Nung-jin (Petani Laut Timur), dan Lam-
hai-kiam (Pedang Laut Selatan), vang hidup pada dua puluh tahun lalu...."
Keempat tokoh yang disebutkan oleh It Kwan itu adalah tokoh-tokoh persilatan
ternama di daerah pantai timur Tiongkok pada dua puluh atau dua puluh lima tahun
yang lalu. Keh-sim Siau-hiap adalah pemilik Pulau Meng-to (Pulau Mimpi),
sedangkan tiga tokoh yang lain itu adalah bajak laut terkenal 95
yang menguasai Lautan Timur dan Selatan. Nama mereka sangat ditakuti di pantai
timur Tiongkok, sampai pada suatu saat mereka dikalahkan oleh seorang tokoh
jahat bernama Hek eng-cu (Bayangan Hitam). Sejak itu nama nama mereka hilang tak
terdengar lagi. Siau In tidak suka nama gurunya diperbandingkan dengan tokoh yang sudah tiada
atau tidak pernah muncul lagi itu.
"Maaf, Pangcu. Kalau Pangcu memang benar-benar tidak ingin memperpanjang urusan
ini lagi, aku akan mohon diri. Aku...?"
"Eit, nanti dulu. Aku memang tidak akan memperpanjang masalah ini, karena aku
menghormati gurumu. Apalagi aku tidak ingin berselisih dengan aliran Im-yang-
kau. Tapi... kuminta kau singgah dulu di Hek-to-pai!"
Mata yang sudah mulai meredup itu tampak menyala lagi. Malahan bibirnya yang
kecil tipis itu kini digigit karena menahan geram.
"Hmm! Sedari tadi kau selalu berbicara manis, padahal maksudmu sebenarnya juga
tidak berbeda dengan murid-muridmu itu! Huh, marilah! Kau tak perlu sungkan
menghadapi gadis muda seperti aku!
Tapi ketahuilah, kaki tanganku ini juga takkan sungkan-sungkan pula untuk
membunuh orang agar aku bisa keluar dari perkampungan bobrok ini!" gadis itu
menggeram marah. 96 "Eeee... Nona salah sangka! Aku...." It Kwan masih mencoba membujuk dengan kata-
kata halus. Tapi Siau In tak bisa diajak bicara lagi. Gadis itu cepat melompat ke samping
kanan It Kwan dan berusaha menerobos ke depan. Pedangnya tetap dia simpan di
balik lengan bajunya. Gadis itu telah bergerak cepat, tapi ternyata It Kwan lebih cepat lagi. Lelaki
bercambang lebat itu memutar badannya ke kanan sambil melepaskan tinju kirinya
lurus ke depan. Hal ini berarti bila Siau In meneruskan maksudnya, ia tentu akan
dihajar oleh kepalan itu.
Bagaimanapun juga It Kwan memang masih merasa sungkan melayani Siau In. Sebagai
ketua perguruan yang cukup punya nama di daerah itu, sebenarnya ia tak ingin
berhadapan langsung dengan gadis ingusan seperti Siau In. Namun apa daya, murid
pertama dan juga puteranya sendiri itu ternyata tak mampu melawan Siau In.
Sayang dua orang adik seperguruannya kini berada di kota ikut berlomba
barongsai. Oleh karena itu dalam melepaskan pukulannya It Kwan sengaja tidak mengerahkan
seluruh tenaganya, la hanya melepaskan setengah bagian saja dari seluruh
kemampuannya. Apalagi ia memang tidak ingin melukai gadis itu. Bagaimanapun juga
ia tidak ingin bermusuhan dengan aliran Im-yang-kau yang sangat besar. Dia hanya
ingin memberi sekedar pelajaran saja 97
kepada gadis itu, agar gadis itu juga mengetahui bahwa Hek-to-pai tidak boleh
dipandang enteng. Tapi inilah kesalahan It Kwan. Kalau ia bertempur dengan sungguh-sungguh,
mungkin ia masih bisa menghadapi Siau in tanpa menderita malu. Namun karena dia
hanya setengah-setengah, padahal Siau In berkelahi dengan seluruh kemampuannya,
maka akibat yang kemudian terjadi benar-benar memerahkan telinga ketua Hek-to-
pai itu. Begitu melihat lawannya tergeser ke kiri sambil melontarkan pukulan untuk
menghadang dirinya, Siau In segera menyiapkan pedang pendeknya, Pada saat yang
tepat pergelangau tangannya berputar sehingga pedang itu keluar dan menabas
kepalan tangan It Kwan. Ketua Hek-to-pai itu terkejut setengah mati.
Padahal tadi ketika ia merasa lawannya tak bisa mengelak lagi, ia lalu
mengurangi pula tenaganya.
Tak disangka-sangka gadis itu ternyata telah memasang jebakan yang berbahaya,
sehingga ia benar-benar sulit menyelamatkan diri sekarang.
Namun sebagai ketua partai persilatan yang cukup berpengalaman, It Kwan tidak


Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

segera berputus asa. Dengan sekuat tenaga ia menghentikan laju kepalannya, kemudian secepat kilat
menekuk pergelangan tangannya sehingga kepalan itu paling tidak tertarik dua
inchi ke belakang. Dan bersamaan dengan itu pula dia juga menyemburkan sesuatu
dan mulutnya, untuk menahan laju pedang Siau In.
98 Tinggg! Sssrrt! "Ough!" U Kwan mengaduh pendek seraya melihat ke punggung tangannya.
Ternyata meski telah berupaya dengan segala macam cara, pedang pendek itu masih
juga menyerempet punggung tangan It Kwan, sehingga kulitnya terkelupas dan
mengeluarkan darah. Betapa marah dan terhinanya ketua Hek-to-pai itu tak bisa
dilukiskan lagi. Giginya gemeratak. Matanya melotot.
Dan kumisnya yang lebat itu kelihatan bergetar menahan geram.
"Kuntilanak busuk tak tahu diuntung ...!" umpatnya kasar, sehingga kelihatan
benar watak aselinya. It Kwan memang bekas anak murid dari seorang pendeta di puncak Gunung Kun Lun.
Tapi karena tabiatnya yang kurang baik, ia diusir dari perguruannya. Ia lalu
mengembara jauh sekali ke bagian ti mur negeri Tiongkok dengan bekal ilmu
goloknya. Karena wataknya memang kurang baik, maka di dalam perjalanannya itu ia
juga selalu berbuat yang merugikan orang lain, seperti memeras, merampok,
membegal, dan sebagainya. Namun sejalan dengan berbagai pengalamannya itu, maka
ilmu goloknyapun juga semakin bertambah matang pula. Bahkan ia telah menambah,
mengubah, serta menyesuaikan jurus-jurusnya, sehingga akhirnya ilmu goloknya
menjadi lain, tapi amat cocok dengan wataknya sendiri. Malahan untuk lebih
memperdahsyat ilmu goloknya, It Kwan lalu memoles 99
goloknya dengan racun, sehingga golok itu menjadi hitam dan mengerikan. Akhirnya
ia sampai di kota Hang-ciu. Di tempat ini ia mendapatkan jodohnya dan mendirikan
sebuah perguruan yang dinamakan Hek-to-pai, sesuai dengan senjata yang menjadi
andalannya. It Kwan mengerahkan seluruh tenaga saktinya.
Tulang-tulangnya sampai bergemeratak menahan kekuatannya. Wajahnya yang hitam
legam itu tampak menjadi ganas dan mengerikan. Matanya liar mengungkapkan hawa
pembunuhan. Namun demikian ketua Hek-to-pai itu belum merasa perlu mengeluarkan
golok hitamnya. "Kubunuh kau betina memuakkan! Aku tidak peduli lagi kalau Si Tua Bangka Giam Pit Seng itu akan memusuhi aku! Dan aku juga tidak peduli lagi misalkan seluruh tokoh Im- yang-kau menuntut balas ke mari! Lihat pukulan...!" Ngeri juga hati Siau In menyaksikan wajah 100 lawannya yang berubah menjadi sangat menyeramkan itu. tapi perasaan itu segera
dibuangnya jauh-jauh. Sebagai seorang gadis yang telah digembleng ilmu silat tinggi oleh gurunya, ia
telah mampu menguasai perasaan takutnya. Ia segera menundukkan tubuhnya untuk
mengelakkan pukulan lawannya, lalu balas menusukkan pedang pendeknya ke arah
perut. Tapi dengan cepat It Kwan mengibaskan tangannya yang lain, sehingga ujung pedang
Siau In seperti terdorong oleh sebuah tenaga raksasa dan melenceng ke samping.
Terpaksa untuk menjaga keseimbangannya Siau In ikut bergulir ke samping pula. Bahkan untuk menjaga
segala kemungkinan gadis itu lalu menambah lagi dengan melangkah ke kiri dua
tindak. It Kwan membalikkan tubuhnya. Sekali lagi ia mempersiapkan seluruh tenaga
saktinya. Kakinya lalu menjejak tanah dan kedua lengannya terulur ke depan,
membentuk cakar untuk merobek robek badan Siau In. Jurus ini ia beri nama
Harimau Tutul Menyergap Anjing!
Walau belum banyak pengalaman, namun Siau In sadar bahwa tenaga dalam orang tua
itu lebih tinggi daripada tenaga dalamnya. Berdasarkan hasil dari beberapa
gebrakan tadi, Siau In bisa menyimpulkan bahwa berhadapan langsung dengan
lawannya adalah tidak menguntungkan. Ia harus lebih banyak mengandalkan
kelincahan dan kehebatan ilmu pedangnya.
101 Ilmu pedang Siau In memang aneh dan lain daripada yang lain, karena ilmu pedang
ciptaan suhunya itu sebenarnya hanya gubahan saja dari ilmu Hok-hong Pit-hoat
(Ilmu Menulis Menaklukkan Angin) andalan gurunya. Suhunya sebelum menjadi
pemimpin cabang Im-yang-kau memang seorang pendekar silat bersenjatakan sepasang
pena (pit). Ilmu Hok-hong Pit-hoat sangat dikagumi dan disegani lawan di daerah
pantai timur Tiongkok sejak beberapa tahun yang lalu. Ketika kemudian gurunya
itu menerima murid, ia menjadi bingung karena dua di antara tiga muridnya
ternyata adalah wanita. Padahal senjata pena tersebut hanya cocok untuk laki-
laki. Oleh karena itu terpaksa gurunya mengubah dan menyesuaikan jurus-jurus Hek-hong
Pit-hoat itu ke dalam permainan pedang pendek, agar cocok dan sesuai dengan
kedua orang murid perempuannya.
Hanya Sin Lun saja sebagai lelaki yang mempelajari Hok-hong Pit-hoat yang aseli.
Melihat lawannya menerkam seperti harimau, Siau In menggeser kakinya ke samping,
lalu meloncat ke atas pula seperti lawannya. Pedang pendeknya menyabet ke depan
untuk menabas putus kedua lengan It K wan. Jurus ini sebenarnya adalah gubahan
dari jurus ke sebelas dari Hok-hong Pit-hoat, yaitu Melukis Dua Mata di Lamping
Gunung. Gerakan aslinya ialah menusukkan dua mata pena (pit) ke arah pelipis dan
siku lawan. Tapi oleh gurunya gerakan itu diubah dengan menyabetkan dua buah
pedang ke 102 leher dan lengan musuh. Namun karena yang dipegang oleh Siau In sekarang hanya
sebatang saja maka tabasan tersebut hanya tertuju pada lengan lawan saja.
It Kwan meraung marah. Meskipun masih amat muda ternyata Siau In sangat lincah
dan cerdik. Dengan indah It Kwan menggeliatkan tubuhnya di udara untuk menghindari tabasan
pedang Siau In. Begitu kakinya menginjak tanah lagi, ketua Hek to pai itu segera menerjang
kembali dengan sabetan sisi telapak tangannya terarah ke pinggang Siau In.
Anak murid It Kwan yang mengepung arena itu kelihatan tegang dan cemas. Meskipun
mereka sangat percaya pada kesaktian guru mereka, lapi mereka juga melihat bahwa
gadis muda itu memiliki ilmu pedang yang luar biasa pula. Malahan pada gebrakan
pertama tadi gurunya sempat mendapat luka di punggung tangannya. Mereka menjadi
tidak sabar, kenapa gurunya tidak lekas-lekas saja mempergunakan goloknya.
Dua puluh jurus telah berlalu, lapi It Kwan yang berjanji hendak membunuh Siau
In itu tetap belum bisa melaksanakan niatnya. Gadis muda itu ternyata sangat
alot dan licin bukan main. Bahkan beberapa kali malah ia sendiri yang hampir
termakan oleh pedang pendek itu.
Tiga puluh jurus telah berlalu pula. Malahan beberapa waktu kemudian empat puluh
jurus pun telah terlampaui juga. Meskipun demikian ketua Hek-103
to-pai itu tetap tak mampu melumpuhkan perlawanan Siau In. Sebaliknya gadis itu
malah lebih sering mendesaknya ke dalam kesulitan.
Akhirnya It Kwan sadar bahwa lawannya memang memiliki kepandaian tinggi. Kalau
dia tetap bertahan dengan kesombongannya, bukan mustahil ia sendiri malah yang
akan terkapar di atas tanah. Oleh karena itu ia segera mengesampingkan perasaan
malunya dan memberi tanda kepada salah seorang muridnya untuk memberinya sebilah
golok. Murid itu segera melemparkan golok hitamnya.
Kini It Kwan berdiri dengan golok di tangan. Matanya tajam mengawasi lawannya
yang masih amat muda itu. Hawa pembunuhan benar-benar telah terpancar dari sorot
matanya. Dan golok hitam di tangannya itu tiba-tiba seperti berkilau mengerikan.
Sekejap bergetar juga hati Siau In. Gadis itu menyadari bahwa dengan golok di
tangan, It Kwan benar-benar akan seperti harimau tumbuh sayap.
Maka untuk melindungi keselamatannya, Siau In cepat mengeluarkan pula pedang
pendeknya yang lain. Kini kedua belah tangannya benar-benar telah memegang
senjata andalannya, sepasang pedang pendek!
Sementara itu matahari telah condong ke barat, dan pertunjukan di halaman rumah
Bupati itu pun sudah hampir selesai pula. Semua penonton sudah mengumpul dan
tertumpah semua di sekeliling panggung lui-tai. Pertandingan barongsai dan tari-
104 tarian telah rampung, sehingga seluruh penontonnya berpindah ke panggung lui-
tai. Juara pertama di panggung barongsai adalah pemain barongsai dari Ui-thian-
cung. Walaupun betisnya telah dilukai Siang-hai-coa dari Ang-lian-pang, namun
dua saudara Ui itu tetap bisa memenangkan pertandingan melawan ba-rongsi dari
Pek-hok-bio dan Hek-to-pai.
Sekarang di atas pangung lui-tai sedang berlaga dua orang lelaki bersenjatakan
pedang dan tongkat besi. Keduanya telah bertarung lebih dari tiga puluh jurus, namun belum ada juga yang
kalah atau menang. Sedangkan di bawah panggung, di dekat tempat duduk wasit atau panitia, telah
berdiri dua orang pemenang yang telah lolos dari ujian pertama, yaitu
memenangkan peserta lain tiga kali berturut-turut.
Siu Lun dan Ciu In masih sibuk mencari Siau In.
Sepasang merpati itu terduduk lesu di pintu gerbang halaman. Wajah mereka tampak
sedih dan khawatir. "Suheng..." Ke manakah sebenarnya Siau In"
Jangan-jangan telah terjadi sesuatu pada dirinya. Oh, Suheng...." Ciu In mulai
berkaca-kaca matanya. Sin Lun berdiri dari duduknya. "Marilah kita cari di jalan. Mungkin ia marah
karena kita tinggalkan tadi, lalu pergi meninggalkan kita ke jalan raya."
Mereka lalu berjalan perlahan-lahan sambil memasang mata dan telinga, kalau-
kalau mereka melihat atau mendengar orang berbicara tentang Siau In. Di depan
pasar di mana Siau In tadi juga berdiri, mereka berhenti sebentar. Di pondok
perempatan 105 jalan di muka mereka, tampak beberapa orang berdiri bergerombol sambil berbicara
dengan riuhnya. "Ayo kita mendekati mereka! Siapa tahu mereka pernah melihat Siau In lewat." Sin
Lun menarik lengan Ciu In dan mengajak gadis itu berjalan lagi.
Orang orang itu segera menoleh dan melihat kepada mereka, terutama kepa da Ciu
In yang cantik dan lembut.
"Cuwi, maaf... bolehkan kami bertanya"
Tampaknya baru ada sesuatu yang terjadi di tempat ini?" dengan sopan Sin Lun
menegur orang-orang itu. "Benar. Di sini baru saja ada seorang gadis yang pingsan dengan mendadak." salah
seorang dari orang-orang itu memberi jawaban.
Hati Sin Lun dan Cui In berdesir. Tiba-tiba mereka menjadi khawatir, jangan
jangan gadis itu adalah Siau In.
"Seorang gadis...?" Sin Lun menegaskan. "Apakah gadis itu masih sangat muda dan
cantik?" "Ya-ya, Sicu (Tuan) benar." orang-orang itu menjawab serentak. "Apakah Sicu
kenal gadis itu?" Dengan gugup dan suara serak Cui In maju ke depan. "Apakah... apakah gadis itu
mengenakan baju warna merah muda?" tanyanya harap-harap cemas.
"Ya, betul! Gadis itu memang mengenakan baju warna merah." orang-orang itu
menjawab tidak bersamaan.
"Oh, Suheng... dia... dia memang Siau In." Ciu In mulai menangis perlahan.
106 Tentu saja orang-orang itu menjadi kaget. Mereka saling pandang dan tak tahu
harus berbuat apa. Untunglah Sin Lun dengan sigap lalu meminta agar salah seorang menceritakan apa
yang telah terjadi. Sin Lun berkata kepada orang-orang itu bahwa ia adalah kakak
dari gadis yang pingsan tersebut.
Ternyata beberapa saat yang lalu ada seorang gadis muda dan cantik berjalan
sendirian di tempat itu. Beberapa orang di antara orang-orang itu malah sempat pula menggodanya. Namun
gadis itu tidak meladeni godaan mereka. Mungkin karena risi gadis itu lalu
menyeberang jalan. Dan pada saat itu ada sebuah gerobag kuda yang kebetulan
lewat pula. Entah mengapa, tiba-tiba gadis itu lalu terkulai jatuh ke jalan.
Mereka dan beberapa orang yang kebetulan lewat segera memberi pertolongan,
termasuk juga penumpang gerobag kuda tadi. Tapi sampai beberapa saat lamanya
gadis itu tidak juga siuman. Kemudian diambil keputusan untuk membawa gadis itu
ke rumah tabib yang tinggal di bagian barat kota. Pemilik gerobag itu lalu
menawarkan diri untuk membawa gadis itu ke sana, dan semua orang menyetujuinya.
"Jadi gadis itu dibawa ke rumah tabib" Oh, di manakah rumah tabib itu?" dengan
gugup Sin Lun bertanya kepada orang yang bercerita itu.
"Sicu ambil saja jalan yang menuju ke barat ini.
Jangan berbelok sebelum sampai di sebuah kuil besar di pinggir jalan. Kalau Sicu
sudah sampai di kuil Pek-107
hok-bio itu, silakan berbelok ke kanan. Kira-kira seratus tombak dari kuil
itulah rumah Tabib Ciok. Setiap orang tahu rumahnya."
"Terima kasih...!" Sin Lun menjura, lalu menarik lengan Ciu In untuk diajak
berlari ke rumah tabib itu.
Keduanya tak mempedulikan orang-orang lain yang keheranan melihat mereka
berlari-lari. "Kenapa Siau In bisa pingsan" Apakah ia sakit"
Bukankah tadi ia sehat-sehat saja" Jangan-jangan ada sesuatu yang tidak
beres...." sambil berlari Ciu In menduga-duga.
"Aku juga bingung. Masakan gadis kuat seperti Siau-sumoi bisa pingsan tanpa
sebab" Jangan-jangan dia bukan Siau-sumoi, tapi orang lain...." Sin Lun
mengemukakan kebimbangannya pula.
"Benar. Mudah-mudahan demikian.... Tapi kita harus membuktikannya dahulu."
Dua lie kemudian mereka sampai di jalan yang sepi. Di kanan kiri jalan hanya
kebun kebun kosong milik penduduk. Namun demikian jalan itu amat teduh dan
nyaman karena di pinggir jalan ditanam orang pohon-pohon siong besar yang rimbun
daunnya. "Suheng, lihat! Itu kuilnya...! Ciu In berseru seraya menunjuk ke sebuah halaman
yang amat luas dengan banyak sekali pohon-pohon besar sebagai pelindung.
"Benar. Aku hampir tak melihatnya karena pohon-pohon besar itu hampir menutupi
genting-gentingnya. Padahal bangunan itu demikian besar dan tinggi ....
Kalau begitu kita harus berbelok ke kanan. Kata orang 108
tadi di depan kuil ada jalan yang menuju ke rumah tabib itu. Marilah...."
Sin Lun menyambar telapak tangan Ciu In dan mencengkeramnya, lalu ditariknya
lengan itu ke depan. Entah mengapa, tanpa kehadiran Siau In di dekatnya, Sin Lun
merasa bebas dan senang sekali memegangi jari-jari tangan yang lentik serta
berkulit halus itu. Padahal sejak kecil mereka selalu bersama sama dan Sin Lun
acap kali juga memegangi tangan itu.
"Nanti dulu, Suheng.... aku seperti mendengar suara ringkik kuda di dalam kuil
itu." "Ah... apa anehnya suara ringkik kuda?" Sin Lun berkata gemas. "Oh, maksudmu...
kau menduga pemilik gerobag kuda yang membawa Siau In itu berada di dalam kuil
itu" Wah, kau ini ada-ada saja.
Orang yang memiliki gerobag kuda bukan hanya seorang saja. Ayoh, kita nanti
terlambat sampai di rumah tabib itu!"
"Baiklah... baiklah!" Ciu In merengut dan bersungut-sungut.
Selama ini Sin Lun tak pernah melihat Ciu In bersikap manja atau "ngam-bek"
seperti itu. Di hadapan siapa saja gadis itu selalu bersikap dingin, serius,
tegas, namun juga tampak lembut dan anggun.
Apalagi di depan guru dan saudara-saudara seperguruannya.
Tapi sekarang, ketika mereka hanya berduaan, entah mengapa tiba-tiba Ciu In
dapat bersikap lain. 109 Gadis ini merengut dan bersungut-sungut dengan sikap yang dibuat-buat. Bahkan
beberapa kali mata yang redup itu melirik ke arahnya.
Sin Lun tak tahan lagi. Hatinya tergetar dengan hebat. Wajah lembut itu seperti
menantangnya. Maka tanpa pikir panjang lagi kedua tangannya menyambar pundak Ciu


Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

In, lalu diciumnya pipi gadis itu dengan bersemangat. Tapi ketika bibirnya
hendak bergeser ke mulut, dengan cepat Ciu In mendorongnya.
"Ssssu-su-heng..." Kkkk-kau...?" Cui ln menjerit lirih. Pipinya menjadi merah
seperti buah tomat tua. Matanya berkaca-kaca mau menangis.
Sin Lun sendiri menjadi salah tingkah dan gugup sekali. Berulang kali pemuda itu
menoleh ke sana ke mari, seakan-akan ia takut perbuatannya tadi diketahui orang.
"Sumoi, ma-ma-maafkan aku...." akhirnya pemuda itu berkata dengan ketakutan. "A-
aku tak tahan lagi. Habis kau... kau cantik sekali!"
Terdengar suara sesenggukan ketika Cui In kemudian berlari meninggalkan Sin Lun.
Gadis itu berlari-lari kecil menuju ke rumah Tabib Ciok. Sin Lun yang merasa
bersalah itu menjadi gelagapan.
Otomatis kakinya melangkah mengejar sumoinya.
Di sepanjang jalan menuju ke rumah tabib itu Sin Lun meratap-ratap minta ampun,
tapi Cui In tak menggubrisnya. Gadis itu telah berjalan biasa lagi. Air matanya
yang mengalir juga sudah dihapusnya.
Namun gadis itu tetap saja berdiam diri. Wajahnya 110
yang cantik itu hanya memandang ke arah jalan yang hendak diinjak atau
dilangkahinya. Sama sekali ia tak melayani rengekan Sin Lun yang mengemis-ngemis
minta dikasihani. "Baiklah, kalau Sumoi memang tidak mau memaafkan aku... aku nanti akan pergi.
Biarlah aku mencari Siau-sumoi sendirian. Setelah Siau-sumoi ketemu, aku akan
pergi jauh sekali. Biar Suhu tidak marah kepadaku...." akhirnya Sin Lun berkata
dengan suara sedih. "Mengapa Suhu harus marah kepadamu?" tiba-tiba Ciu In menyahut dengan suara
ketus. Sin Lun terbelalak girang. Namun kegembiraannya itu segera lenyap kembali.
Ternyata sumoinya itu masih tetap marah kepadanya.
"Habis, kau tentu mengadu kepada Beliau, sehingga aku tentu akan diusirnya."
jawabnya memelas. Mendadak Cui In menghentikan langkahnya. Gadis itu menatap wajah Su-hengnya
dengan wajah keruh. "Siapa yang akan mengadu kepada Suhu" Ngaco!"
serunya gemas, kemudian melangkah lagi dengan cepat.
"Jadi... jadi Sumoi tidak akan mengadukan peristiwa tadi kepada suhu" Oh, terima
kasih Sumoi... terima kasih!" Sin Lun bersorak gembira, lalu seperti anak kecil ia berjungkir
balik di belakang Ciu In.
Ciu In membuang muka seolah-olah tak melihat tingkah laku suhengnya yang konyol
itu. Tapi kegembiraan suhengnya itu tampaknya tidak lama, 111
karena di lain saat dia telah berjalan lesu kembali di belakangnya.
"Sumoi memang tidak akan mengadu kan hal itu kepada Suhu, tapi... tapi Sumoi
sendiri masih tetap marah kepadaku. Sumoi belum mau memaafkan aku.
Sumoi, aku menyesal sekali.... Maukah kau memaafkan aku?" Sin Lun kembali
merengek-rengek. Sebenarnya Siu In sudah tidak marah lagi kepada suhengnya. Namun untuk berbicara
panjang lebar atau bertatap muka dengan suhengnya ia masih sungkan.
Sebagai seorang gadis yang belum pernah dicium oleh seorang lelaki, meskipun
yang dicium itu hanya pipinya, ia belum dapat dengan segera membenahi
perasaannya kembali. Sebaliknya Sin Lun yang juga belum
berpengalaman menghadapi wanita, menganggap bahwa diamnya Ciu In itu disebabkan
karena marah dan bencinya gadis itu terhadapnya, sehingga gadis itu sama sekali
tak mau mengampuninya lagi.
"Baiklah, Sumoi. Aku memang biadab dan tak pantas untuk dimaafkan lagi. Laki-
laki seperti aku memang hanya memuakkan saja. Baiklah, aku minta diri saja.
Biarlah kita berpisah untuk mencari Siau In sendiri-sendiri. Selamat, tinggal,
Sumoi. Jagalah dirimu baik-baik!" akhirnya Sin Lun berkata dengan suara putus
asa. Sekejap Ciu In tak tahu apa yang harus ia perbuat.
Ia ingin menahan suhengnya, tapi mulutnya sulit untuk diajak berbicara. Bahkan
perasaan sungkan dan 112 malunya pun belum bisa hilang dari dadanya, sehingga untuk menoleh pun ia juga
masih belum berani pula. Beberapa waktu kemudian baru gadis itu menoleh karena langkah kaki suheng-nya
tidak terdengar lagi. Namun ia terlambat. Sin Lun telah pergi. Pemuda itu sudah menghilang di balik
lebatnya pepohonan yang tumbuh di kanan kiri jalan sepi itu. Pemuda itu benar-
benar telah pergi membawa kekecewaannya yang mendalam.
"Suheng...?" Cui In tiba-tiba menangis sedih.
Berbagai macam perasaan menggumpal di dadanya, namun sulit untuk dikeluarkan.
Lama sekali Cui In menangis di tempat itu.
Untunglah jalan itu memang jalan kecil yang jarang sekali dilalui orang. Mungkin
memang hanya tabib itu saja yang sering melewatinya. Ia baru berhenti menangis
ketika telinganya mendengar desir langkah kaki orang mendekatinya.
Untuk sesaat Cui In menyangka yang datang itu adalah suhengnya, sehingga ia
cepat-cepat menghapus air matanya, dan bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-
apa pada dirinya. Namun harapan itu menjadi kendor kembali. Orang yang berada di
depannya ternyata bukan suhengnya.
Orang yang baru saja datang itu menatapnya dengan rasa heran dan ingin tahu.
Wajahnya sangat tampan, lebih tampan daripada suhengnya. Tapi usianya agak lebih
tua, yaitu antara dua puluh lima 113
atau dua puluh enam tahun. Pakaiannya sangat longgar seperti pakaian seorang
pelajar atau sasterawan. "Nona kehilangan jalan..." Atau... Nona baru saja diganggu orang?" pemuda tampan
itu bertanya halus. Ciu In menghela napas panjang sambil menata kembali perasaannya. Ia dapat
bersikap tenang dan wajar di depan orang yang masih sangat asing baginya itu,
"Maaf, aku baru saja bertengkar dengan Kakakku.
Aku tidak apa-apa. Sekarang biarlah aku pergi...."
kata Cui In kemudian dengan suara masih kaku.
"Eee, nanti dulu. Mengapa Nona sangat tergesa gesa" Apakah Nona takut atau
mencurigai aku sebagai orang jahat?" pemuda itu cepat menahan dengan ucapan yang
masih tetap sopan. "Tidak. Aku tidak mencurigai, Tuan. Aku ingin cepat-cepat pulang." Cui In
berdusta. "Ooo... di manakah rumah Nona?" pemuda itu tetap mengejar.
C iu In mulai jengkel. Pemuda di hadapannya itu criwis sekali serta selalu ingin
tahu urusan orang lain. Karena kesal Ciu lu lalu menjawab sekenanya. Ia menunjuk ke depan, ke tempat di
mana rumah tabib Ciok tinggal.
"Eh, di sana hanya ada sebuah rumah saja dan tidak ada rumah yang lain. Rumah
itu adalah rumah seorang tabib."
Pemuda tampan itu keheranan.
114 "Aku memang tinggal di sana!" Ciu In menjawab kesal.
"Nona..! Nona tinggal di sana" Eh... bagaimana ini?" Pemuda itu kelihatan
bingung. "Memangnya aku tinggal di sana. Mengapa Tuan menjadi kebingungan begitu" Tuan
tidak percaya?" Karena sudah terlanjur berdusta, maka Ciu In tidak bisa mundur lagi. la harus
bisa menyakinkan kepada pemuda itu bahwa ia memang tinggal di sana, sehingga ia
bisa segera lepas dari gangguannya.
"Lalu... Nona ini apanya Tabib Ciok?" Pemuda itu bertanya sambil menggaruk-garuk
kepalanya yang tidak gatal.
"Tentu saja aku ini... anaknya!" karena , benar-benar sudah jengkel Ciu In
membentak. "Hah...?" tiba-tiba pemuda itu berseru kaget dan melangkah mundur. Air mukanya
semakin tampak kebingungan.
Ciu In puas sekali. Ia mengira pemuda itu menjadi ketakutan mendengar kenyataan
bahwa ia adalah puteri Tabib Ciok. "Tahu rasa kau. Makanya jadi orang jangan
usil dan suka mencampuri urusan orang.
Hi-hi-hi... tampaknya Tabib Ciok itu orang yang disegani juga...." ucapnya di
dalam hati. "Nona..." Apakah Nona tidak salah?" pemuda itu masih berani bertanya pula.
"Eh, Tuan ini mau bertanya atau mau menyelidiki asal-usul orang" Enak saja
bertanya terus menerus. Huh, Tuan sendiri siapa?"
115 "Akulah... Tabib Ciok itu!" pemuda itu menjawab pendek.
"Ooooh...!!!" Saking kagetnya Ciu In menjadi lemas. Untunglah pemuda itu cepat-cepat menahan
tubuhnya. "Sudahlah, Nona. Nona tak perlu berpikir macam-macam. Aku tahu Nona sedang sedih
dan bingung. Marilah kita berteduh di bawah pohon itu...." pemuda itu berkata dengan lembut. Suaranya seperti mengandung wibawa yang sangat kuat. Tidaklah mengherankan bila Ciu In menjadi lemah seperti itu. Dalam waktu yang hampir berurutan gadis itu menerima hantaman perasaan yang bertubi-tubi. Pertama kali ia kehilangan adik yang disayanginya. Kedua
kali, suheng yang dihormati dan juga dicintainya itu tiba-tiba pergi
meninggalkannya. 116 Ciu In menurut saja ketika pemuda yang baru dikenalnya itu menuntunnya ke bawah
pohon yang rindang. Bahkan ia juga menerima saja ketika pemuda itu memberinya
selembar saputangan, padahal ia sendiri juga membawa.
"Usaplah keringat yang menempel di dahi Nona, agar Nona menjadi tenang!" pemuda
itu memberi perintah. Makin lama Ciu In memang menjadi semakin tenang. Air mukanya yang berubah-ubah
tadi, kini telah menjadi semakin dingin dan anggun seperti biasanya. Tatapan
matanya yang tajam dan liar telah berubah menjadi redup pula kembali. Kini mata
itu memandang ke arah Tabib Ciok yang masih muda itu,
"Benarkah Tuan adalah Tabib Ciok?" akhirnya gadis itu bertanya dengan nada
sedikit sungkan, "Benar, aku memang orang yang disebut Tabib Ciok di sini. Aku baru sebulan
tinggal di rumah itu, tapi orang di sekitar tempat ini tahu saja kalau aku
seorang tabib, sehingga setiap hari ada saja yang datang berobat ke rumahku.
Ehmmm, siapakah nama Nona" Apakah Nona juga akan berobat ke rumahku?"
dengan ramah pemuda itu memberi keterangan.
"Namaku Ciu In, Tio Ciu In! Aku ke mari memang hendak ke rumah Tuan. Kata orang
adikku telah pingsan di jalan, kemudian dibawa berobat ke mari.
Oh, Tuan..., benarkah adikku berada di rumahmu?"
"Ah, beberapa saat yang lalu juga ada seorang pemuda yang datang untuk bertanya
adik 117 perempuannya yang hilang. Kini Nona bertanya pula tentang adikmu kepadaku.
Apakah kalian masih bersaudara?"
"Oh, jadi Suhengku sudah lebih dulu bertemu dengan Tuan?" tiba-tiba Ciu In
berseru dengan penuh pengharapan.
"Betulkah pemuda itu suherigmu" Dia seorang pemuda jangkung, agak kurus, matanya
sedikit cekung, berpakaian kelabu,... Dan aku melihat sepasang senjata berbentuk
pit (pena) di balik bajunya."
"Benar. Orang itu memang benar Suhengku. Lalu...
ke mana dia sekarang?" Ciu In mengangguk-angguk dengan amat bersemangat.
"Dia telah pergi lagi, setelah aku katakan bahwa tak seorang gadis pun yang
dibawa orang untuk berobat ke rumahku. Memang mulanya ia tak percaya, sehingga
ia bersikeras menggeledah rumahku. Tapi setelah ia yakin bahwa aku memang tidak
membohonginya, ia lalu pergi dengan lesu. Ia tampak sangat sedih sekali. Bahkan
kelihatan seperti orang yang sudah berputus asa."
"Oooh, Suheng...!" Ciu In kembali merintih.
Semangatnya yang melonjak tadi telah patah pula kembali. Suhengnya telah pergi,
adiknya pun hilang. Tabib muda yang selalu memperhatikan gerak-gerik Ciu In itu menarik napas
panjang sekali. Walaupun masih muda, namun wajahnya yang tampak angker dan berwibawa itu seperti
dapat 118 memaklumi apu yang terkandung di dalam hati Ciu In. Dibiarkannya, gadis itu
tenggelam di dalam lamunan sedihnya, ia hanya duduk saja mengawasinya. Baru
setelah itu sadar akan keadaannya, ia beringsut mendekatinya.
"Maaf, Tuan .... Ternyata aku telah lupa bahwa aku tidak sendirian di tempat
ini. Aku... aku terlalu larut dalam perasaanku sendiri." dengan air muka bersemu
merah Ciu In meminta maaf.
"Nona tak perlu meminta maaf kepadaku. Menurut perasaanku, apa yang Nona lakukan
tadi adalah wajar. Aku bisa menyelami perasaan Nona. Sudah kehilangan saudara, masih harus
berselisih dengan orang yang amat disayangi pula. Bukankan begitu, Nona" Oh,
maaf... aku tidak bermaksud mencampuri'
masalah pribadi Nona. Aku hanya ingin membantu memecahkannya, kalau boleh."
Ciu In menatap wajah pemuda di depannya itu dengan tajamnya. Tiba-tiba kulit
mukanya terasa panas. Setelah memperhatikan betul, tampak benar bahwa pemuda itu
memang ganteng bukan main.
Dahinya lebar, hidungnya mancung, alisnya tebal, dagunya kokoh kuat.
Perawakannya sedang, tidak tinggi tapi juga tidak pendek, namun dadanya yang
bidang itu benar-benar mencerminkan kejantanan yang luar biasa.
"Tuan... Tuan ini siapa sebenarnya" Mengapa seakan-akan mengetahui keadaanku?"
Ciu In bertanya dengan suara yang agak sedikit gemetar. Kini Ciu In 119
benar-benar merasa kikuk dan agak gemetar menghadapi pemuda yang memiliki wibawa
yang amat mengagumkan itu.
Pemuda itu tertawa perlahan. Giginya yang putih itu kelihatan berderet rapih dan
kokoh. "Nona jangan memandangku seperti itu. Aku ini hanya seorang perantau
biasa, yang suka bertualang mencari pengalaman di mana saja. Kebetulan aku
melihat suatu kejahatan di suatu daerah, dan aku turun tangan mencampurinya.
Orang jahat itu dan perkumpulannya aku porak-porandakan. Namun ternyata ada
seorang penjahat yang bisa meloloskan diri. Orang itu lari ke kota ini. Karena
orang itu sangat berbahaya bagi masyarakat, terutama terhadap wanita dan
gadisnya, maka aku mengejarnya pula ke kota ini. Sayang aku kehilangan jejak.
Tapi aku telah mencurigai sebuah tempat yang mungkin menjadi tempat
persembunyiannya. Maka aku lalu menyamar menjadi seorang tabib dan bertempat
tinggal di tempat ini. Namaku yang sebenarnya adalah Liu Wan. Nama margaku sama dengan nama marga
keluarga istana, mungkin nenek moyang kami dulu memang ada pertalian saudara."
pemuda itu menutup keterangannya dengan gurauan.
"Oh, kalau begitu ilmu silat Tuan tentu tinggi sekali." Ciu In memandang dengan
kagum. "Ah, tidak. Ilmu silatku biasa-biasa saja. Tidak lebih tinggi daripada ilmu
silat pedang Nona." 120 Ciu In terperanjat. "Tuan tahu aku bisa memainkan pedang?" tanyanya kaget.
"Ketika memegangi lengan Nona tadi aku merasa menyentuh sepasang pedang di balik
baju Nona." "Oh...!" Wajah Ciu In menjadi kemerah-merahan.
Tiba-tiba Liu Wan menjadi bersungguh-sungguh.
"Nona Tio, kalau engkau mau, nanti malam kita bersama sama mencari adikmu. Kita
dalangi tempat yang lelah kucurigai itu. Aku percaya adikmu ada di sana.
Penjahat itu memang selalu menculik seorang wanita setiap pergantian tahun baru.
Tahun ini tampaknya adikmulah yang hendak dijadikan korbannya."
"Ohhh, apa..." Adikku hendak dijadikan korban"


Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Korban apa?" Ciu In menjerit ketakutan.
"Tenang Nona. Ini baru dugaanku saja. Marilah ke rumahku dulu. Nanti kuterangkan
marilah...!" "Mengapa tidak sekarang saja kita berangkat ke tempat itu" Mengapa harus
menunggu nanti malam?"
Cui In mencengkeram lengan Liu Wan.
"Tenang, Nona. Sekali lagi... tenanglah! Percayalah kepadaku. Sampai tengah
malam nanti adikmu, tidak akan diapa-apakan oleh mereka. Mereka masih
menyembunyikannya dengan rapi. Kita tidak akan bisa menemukannya sekarang. Salah
salah mereka malah akan membawanya pergi kalau kita bergerak sekarang. Lebih
baik kita menunggunya sampai mereka sendiri yang mengeluarkannya tengah malam
nanti. Pada saat itulah kita bergerak untuk 121
menyelamatkannya. Sekalian .mengobrak-abrik tempat tinggal mereka itu. Nah,
marilah...!" dengan suara yang tenang, namun terasa tegas dan berwibawa, Liu Wan
membujuk Ciu In. Ciu In menundukkan kepalanya. "Baiklah, aku menurut...." desah gadis itu
kemudian dengan nada pasrah.
Liu Wan lalu mengajak Ciu In melangkah menuju ke pondoknya. Sebuah pondok keril
di tengah-tengah empang yang cukup luas, di mana bermacam-macam ikan kecil
berenang di dalamnya. "Oh, bukan main indahnya tempat ini. Tuan sungguh pandai sekali memilih tempat
tinggal." Cui In berseru memuji sambil melangkah perlahan-lahan di jembatan kayu
yang membentang ke tengah-tengah empang.
"Tempat ini memang bekas peristirahatan. Rumah di tengah empang itu semula sudah
tidak dipergunakan lagi. Atapnya sudah bocor, dinding sudah retak dan hancur.
Aku dan pembanluku kemudian berusaha membangunnya kembali, walaupun cuma
sederhana." "Pembantu..." Siapakah pembantu tuan" Di manakah mereka?"
Belum juga hilang gaung suara Ciu In di telinga, dua orang lelaki tua tiba-tiba
keluar dari pondok di tengah empang itu. Bergegas mereka menyambut kedatangan
Liu Wan. Ciu In tercengang melihat wajah mereka yang presis satu sama lain.
122 "Itulah kedua orang pembantuku. Maaf, mereka berdua tidak bisa berbicara. Mereka
bisu, karena lidah mereka cacad sejak kecil. Tapi mereka sangat setia kepadaku.
Merekalah yang membantu aku melayani para pendatang yang ingin minta obat
kepadaku." "Mereka... kembar?" Ciu In menegaskan Liu Wan mengangguk. "Mereka bernama Lo.
Kang dan Lo Hai. Tapi jangan kau tanyakan yang mana Lo Kang dan yang. mana Lo
Hai, karena aku sendiri juga tak dapat membedakannya. Kalau butuh mereka, aku
ngawur saja memang gilnya...."
Demikianlah, mereka lalu masuk ke dalam pondok di tengah empang itu. Lo Kang dan
Lo Hai berjaga-jaga di luar. Seperti dua ekor anjing penjaga mereka duduk
melenggut di depan pintu.
Begitu berada di dalam pondok Ciu In semakin merasa kagum kepada Liu Wan. Selain
menguasai ilmu pengobatan pemuda itu ternyata juga menguasai bidang kesusastraan
pula. Beberapa buah tulisan sanjak dan lukisan tergantung dengan indahnya di
setiap dinding-dinding-nya. Semuanya tertulis atas namanya.
"Seluruhnya Tuan yang membuatnya. Indah sekali...!" Ciu In tak tahan pula untuk
tidak memuji. "Aku memang menyukai keindahan. Semua keindahan. Baik keindahan yang tersembunyi
dalam gerakan ilmu silat. keindahan terselubung yang ada di dalam ilmu
pengobatan, keindahan nyata yang terpancar di dalam lukisan, dan keindahan rasa
di 123 dalam ilmu kesusasteraan. Semuanya itu aku senang sekali menghayatinya." Liu Wan
menerangkan seperti orang yang sedang membacakan sajak.
Ciu In mendekati sebuah sajak yang tergantung di atas meja tulis. Sajak itu
diberi bingkai kayu berukir yang bagus sekali. Cui In lalu membacanya.
BURUNG HONG DALAM SANGKAR EMAS
Elok dipandang mata, tapi sedih dipendam hati.
Meski seribu warna ada di sayapnya.
Meski segala hiasan ada di sangkarnya.
Tapi kebebasan tiada diberi.
Apa indahnya jadi burung Hong"
Apa nikmatnya di dalam sangkar emas"
Elok dipandang mata, tapi sedih dipendam hati!
Liu Wan. Ciu In membalikkan tubuhnya dan ia sangat kaget ketika Liu Wan tepat berada di
depannya. Ia sama sekali tidak mendengarkan langkah kaki pemuda itu di
belakangnya. "Oh, Tuan mengagetkan aku...! Aku sama sekali tidak mendengar langkah kaki
Tuan." gadis itu menjerit kecil seraya melihat papan kayu yang menjadi alas
lantai pondok itu. Liu Wan tersenyum. "Lantai papan ini memang berderit bila terinjak kaki. Tapi
Nona tampaknya 124 terlalu asyik membaca sajak itu sehingga tak mendengar suaranya."
"Ah, Tuan ini pandai benar merendahkan diri.
Lantai ini memang berderit bila yang menginjaknya adalah seorang jago silat,
pasaran. Tapi akan lain halnya bila yang berjalan di atasnya adalah seorang jago
silat berkepandaian tinggi."
Liu Wan tak menanggapi bantahan Cui In. Ia melangkah ke depan dan mengambil
bingkai sajak itu.. Perlahan-lahan ia membacanya.
"Tampaknya sanjak Tuan ini mengandung perasaan sedih. Mengapa?" Ciu In tiba-tiba
bertanya kepada Liu.Wan. Liu Wan menjadi gugup, satu hal yang belum pernah dilihul oleh Ciu In.
"Ah, aku hanya membuatnya secara serampangan saja di kala hatiku sedang sunyi
dan sepi. Aku seperti tidak mempunyai siapa-siapa di dunia ini. Dan kesepianku
itu aku tuangkan dalam sajak ini. Aku mengibaratkan diri sebagai Burung Hong
yang kesepian di dalam sangkar emasnya." dalam kegugupannya Liu Wan mencoba
menjelaskan. Ciu In merasakan kejanggalan jawab an pemuda itu, tapi ia tak ingin mendesaknya
lagi. Hanya di dalam hatinya Ciu In mulai merasakan keanehan-keanehan yang ada
pada diri pemuda itu. "Uh uh... uh uh!"
Tiba tiba salah seorang dari pembantu Liu Wan masuk ke dalam pondok. Dengan
suara tak jelas orang 125
itu mencoba melapor, bahwa di luar ada orang yang ingin bertemu.
Liu Wan cepat membuka sebuah laci, lalu mengambil kumis tiruan dan jenggot
tiruan. Kedua buah alat yang biasa dipakai oleh para pemain sandiwara itu lalu
dipasangnya di mukanya. Sekejap saja pemuda yang tampan itu menjadi seorang
kakek berkumis dan berjenggot lebat.
"Maaf, Nona Tio.... Ini wajah Tabib Ciok sehari-hari...." pemuda itu berkelekar.
Ciu In tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Gadis itu semakin
bertambah lagi kagumnya kepada Liu Wan. Ternyata pemuda tampan itu masih
memiliki satu kepandaian lagi, yaitu kepandaian menyamar.
Tak terasa Ciu In mengambil bingkai sanjak burung hong itu. Sekali lagi
dibacanya sanjak itu di dalam hatinya. Rasanya isi sanjak seperti tertuju pula
pada dirinya. Ia merasa seperti burung hong pula, karena burung itu seperti
telah lekat pada dirinya. Perlahan-lahan ia memeluk bingkai sanjak itu di dada
kirinya, tempat burung hong-nya selama ini bersemayam.
Sementara Liu Wan menemui tamunya di atas jembatan penyeberangan. Mereka terdiri
dari empat orang lelaki bersenjatakan tongkat besi.
"Apakah kau yang bernama Tabib Ciok?" salah seorang dari lelaki itu bertanya
dengan suara kasar. 126 "Benar, Tuan. Tuan siapa...?" Liu Wan menjawab tenang. Sama sekali tidak
terpengaruh oleh kekasaran lawannya.
"Kami dari Kuil Pek-hok-bio! Pendeta kami sedang sakit dan kini membutuhkan kau!
Maka dari itu kau harus ikut kami!"
Liu Wan memandang tamunya dengan curiga.
Jangan-jangan penyamarannya telah diketahui oleh lawannya.
"Maaf, Tuan. Aku juga sedang melayani tamuku.
Lebih baik Tuan membawa pendeta itu ke sini saja.
Nanti aku akan mencoba mengobatinya." Liu Wan membuat alasan.
"Tidak bisa! Kau harus ikut dengan kami! Kalau tidak mau, kami berempat akan
memaksamu!" orang itu mengancam.
Kedua pembantu Liu Wan mulai beranjak dan tempat mereka, tapi dengan cepat Liu
Wan memberi isarat agar mereka tetap berdiam diri. Sementara itu Ciu In segera
melangkah keluar pula begitu mendengar suara ribut-ribut mereka. Dengan cepat
gadis itu berlari mendekati Liu Wan.
"Ada apa, Tuan?" gadis itu bertanya kepada Liu Wan.
"Mereka memaksa aku untuk ikut ke tempat mereka, tapi aku tidak mau. Dan
sekarang mereka akan memaksa aku dengan kekerasan. Bagaimana ini, Nona" Nona
tahu, aku tak begitu pandai bersilat...."
Liu Wan pura-pura bingung.
127 Ciu In hendak tertawa, namun tiba-tiba saja telinganya mendengar suara pemuda
itu. "Nona! Mereka ini anak buah orang yang saya cari.
Tampaknya mereka ditugaskan untuk menyelidiki aku. Sekarang tolonglah aku
bersandiwara. Biarlah aku berlagak sebagai orang yang benar-benar tak begitu
mengerti silat. Setelah itu aku nanti minta tolong kepadamu untuk mengusir
mereka. Apakah kau berani melawan mereka?"
Ciu In memandang Liu Wan yang telah
mengirimkan suaranya dengan ilmu coan-im-ji-bit.
Pemuda itu sekilas memberi tanda dengan kedipan matanya. Ciu In menarik napas
panjang, pemuda itu benar-benar lihai bukan main.
"Jangan banyak alasan! Ayoh... ikut kami!"
Sambil membentak empat orang anak buah Pek-hok-bio itu menubruk Liu Wan. Seorang
memegang lengan kanan dan seorang lagi memegang lengan kiri Liu Wan. Sedangkan
dua orang lainnya mencegat Ciu In dan dua orang pembantu Liu Wan. Semuanya sudah
menyiapkan tongkat besi mereka.
Liu Wan pura-pura melawan. Dengan sebagian kecil saja dari tenaganya, pemuda itu
pura-pura mengibaskan kedua lengannya yang diringkus. Tentu saja usahanya itu
sia-sia saja, karena orang yang ditugaskan Pek-hok-bio itu memang memiliki
kepandaian yang cukup tinggi. Namun demikian Liu Wan masih tetap berpura pura
mencoba untuk membebaskan diri dengan sekuat tenaganya. Bahkan 128
pemuda itu juga mempergunakan kedua kakinya pula untuk menyepak ke sana kemari.
Kedua orang yang memegangi lengan Liu Wan menjadi jengkel dan marah. Keduanya
segera mempergunakan lengan mereka yang masih bebas untuk menampar pipi Liu Wan.
Wuuut! Liu Wan pura-pura ingin mengelak sambil mengerahkan tenaga sakti ke
pipinya. Namun pemuda itu sengaja memperlambat gerakannya sehingga kedua
tamparan lawannya masih menyerempat pipinya.
Plaak! Plaak! Liu Wan sengaja menjerit keras sekali, kemudian mulutnya menyemprotkan rontokan
gigi dan darah segar yang cukup banyak. Setelah itu, seperti orang yang tidak
takut mati saja, Liu Wan menendang ke kanan kiri ke arah kaki orang yang
meringkus tangannya. Beberapa kali kaki pemuda itu hampir mengenai kaki lawannya
sehingga orang-orang Pek-hok-bio menjadi dongkol sekali. Mereka segera membalas
tendangan Liu Wan itu dengan tendangan kaki mereka pula. Blug! Blug...!
Tendangan mereka tepat mengenai paha Liu Wan!
Lagi-lagi Liu Wan meraung keras sekali! Bahkan kali ini sampai mengeluarkan air
mata pula. Tentu saja Ciu In dan kedua pembantu Liu Wan menjadi kaget bukan main. Tapi
sebelum mereka bergerak maju, telinga mereka lagi-lagi mendengar suara Liu Wan
yang dikirim dengan ilmu Coan-im-ji-bit!
129 "Lo Kang dan Lo Hai jangan ikut campur. Kalian justru harus berpura-pura
ketakutan malah. Dan Nona Tio, kau cepatlah menghajar mereka! Jangan biarkan
mereka berlaku semaunya terhadapku! Aku bisa benar-benar kehilangan kesabaranku
nanti!" "Baik...!" Ciu In berseru keras tak terasa.
"Uuuh...!" Lo Kang dan Lo Hai mengeluh kecewa, kemudian seperti orang yang
menjadi ketakutan mereka mundur kembali ke pintu pondok.
Ciu In mencabut pedang pendeknya, lalu menerjang orang yang tadi menghadangnya.
Pedangnya yang sebelah kiri tetap bertahan di depan dadanya, sementara pedang
kanannya menabas ke depan, ke arah dua orang Pek-hok-bio yang menghalangi
jalannya. Jembatan itu memang tidak begitu lebar, dan hanya cukup dua orang yang berjalan
berbareng. Oleh karena itu ke dua orang lawan yang ada di depannya memang harus
disingkirkan dulu oleh Ciu In untuk membantu Liu Wan.
Kedua orang Pek-hok-bio itu ternyata cukup berhati-hati. Melihat Ciu In memegang
sepasang pedang pendek dengan gerakan yang tangkas dan cekatan, mereka segera
bisa menduga kalau gadis itu seorang pendekar wanita yang pandai
mempergunakan pedang. Oleh karena itu mereka tak segera melayani serangan
pertama Ciu In itu. Mereka justru bersiap siaga terhadap perkembangan dari
serangan berikutnya. Keduanya tidak menangkis atau 130
balas menyerang, tapi malah melompat ke samping, dengan bertengger di atas pagar
jembatan. Kecurigaan mereka itu ternyata memang benar.
Serangan pertama Ciu In tadi memang hanya sebuah pancingan.
Demikian lawannya menangkis dengan tongkat besi mereka, Ciu In bermaksud
menyusulinya dengan serangan pedang kirinya yang telah siap di depan dadanya.
Serangan itu tentu akan sulit sekali dihindarkan oleh lawan, karena senjata
mereka sedang mereka gunakan untuk menangkis pedang kanannya.
Tapi karena orang-orang Pek-hok-bio itu tidak terjebak ke dalam pancingannya,
bahkan kedua orang itu sekarang justru berada di kanan kirinya, Ciu In terpaksa
mengambil jalan paling aman, yaitu berjumpalitan terus ke depan. Dan langkahnya
ini memang telah menyelamatkan tubuhnya dari gebugan tongkat besi lawannya.
Namun pada saat itu juga tiba-tiba terdengar suara lengking kesakitan dari mulut
Liu Wan! Dan ketika Ciu In menoleh, dilihatnya tubuh pemuda itu terlempar ke
dalam empang! "Biarkan tabib yang tak berguna itu terbenam di dalam air. Kita ringkus saja
gadis cantik itu untuk hiburan nanti malam!" Salah seorang dari kedua orang yang
memegangi tangan Liu Wan itu berseru.
Ciu In berdiri tegak kembali. Sekarang ia benar-benar dikepung oleh empat orang
lawan. Dua orang di depan dan dua orang di belakangnya. Tapi ia sama 131
sekali tidak merasa gentar, la sangat percaya pada ilmu pedangnya yang telah ia
tekuni lebih dari sepuluh tahun lamanya.
Matahari telah jauh bergulir ke arah barat. Pada saat yang bersamaan, Siau In
sedang berlaga dengan maut.
Gadis centil itu juga sedang memegang sepasang pedang pendeknya untuk menghadapi
golok hitam ketua Hek-to-pai! Keduanya sedang berputar-putar di arena untuk
mencari kelengahan lawan.
Ketika kemudian It Kwan menggerung keras sambil menyabetkan goloknya ke pinggang
Siau In, gadis itu cepat-cepat menjejakkan kakinya ke tanah, sehingga tubuhnya
yang mungil itu melesat ke atas seperti burung walet meninggalkan sarangnya.
Sambil melayang gadis itu berusaha menghunjamkan kedua bilah pedangnya ke dahi
dan leher It Kwan. Jurus itu dinamakan Burung Rajawali Menyambar Mutiara dan
merupakan jurus ke empat dari ilmu pedang ajaran pendekar Giam Pit Seng.
It Kwan tergetar hatinya. Walaupun masih amat muda ternyata lawannya memang
benar-benar lihai bukan main. Ilmu silatnya ternyata tidak lebih rendah dari
pada ilmunya sendiri. Bahkan ginkang gadis itu terasa lebih gesit daripada ilmu
meringankan tubuhnya. "Gila! Giam Pit Seng memang bukan orang sembarangan!" umpat It Kwan di dalam
hatinya. 132 Tubuhnya cepat merendah untuk menghindari patukan pedang lawannya.
Begitu tubuh Siau In lewat dari atas kepalanya, It Kwan segera membalikkan
badannya seraya mengayunkan goloknya ke depan. Lagi-lagi ia menyerang pinggang
Siau In yang baru saja mendarat ke atas tanah. Dan kali ini tampaknya mata golok
itu benar-benar akan bisa membelah pinggang Siau In.
Meskipun pengalamannya masih kurang, namun Siau In telah dibekali dengan ilmu
silat tinggi oleh gurunya. Sambaran golok It Kwan yang meluncur dari arah
belakang itu segera dicium oleh nalurinya.
Sambaran udara dingin yang disertai bau amis itu cepat dielakkannya dengan cara
meliukkan tubuhnya ke depan, disertai dengan jejakan ujung sepatunya ke atas
tanah yang baru saja dipijaknya. Otomatis badan Siau In bergeser ke depan,
sehingga tabasan golok It Kwan yang meluncur ke arah pinggangnya itu membabat
udara kosong. Demikianlah keduanya tak pernah mengendorkan senjata mereka. Dengan pedang


Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pendeknya Siau In tampak lebih lincah dan lebih gesit gerakannya daripada It
Kwan yang sudah berumur dan bersenjata golok hitam yang amat berat. Tetapi
sebaliknya, dengan jenis senjatanya yang lebih berat, pengalamannya yang lebih
luas, dan kematangannya yang lebih mendalam daripada Siau In maka It Kwan bisa
melayani kelincahan gerak dan kehebatan ilmu 133
pedang gadis itu. Yang jelas Siau In tidak berani beradu tenaga dengan ketua
Hek-to-pai tersebut. Belasan jurus segera berlalu dengan cepatnya.
Kelincahan dan kegesitan Siau In mulai kendor pula akhirnya. Namun sebaliknya
tenaga dan kemampuan It Kwan pun juga telah menyusut pula. Tentu saja keadaan
ini benar-benar di luar dugaan ketua Hek-to-pai itu. Sebagai seorang ketua
perguruan yang cukup ternama di daerah itu, ia benar-benar merasa malu dan
terpukul harga dirinya. Masakan seorang lelaki tua yang sudah kenyang makan
garam di dunia persilatan, sehingga ia mampu memimpin sebuah partai persilatan
yang memiliki banyak murid, seperti dirinya, ternyata hanya dipermalukan oleh
seorang bocah perempuan yang belum hilang bau pupuknya.
"Betina busuk! Akan kurejam tubuhmu! Akan kucincang dagingmu!" berulang kali ia
mengumpat dan memaki saking geramnya.
-- o0d-w0o -- JILID IV KHIRNYA It Kwan tak sabar lagi. la
mulai menggunakan siasat-siasat yang
Acukup berbahaya, la tak lagi
mempedulikan harga dirinya sebagai
134 ketua sebuah perguruan silat ternama. Serangannya mulai menjamah ke arah bagian-
bagian tubuh yang terlarang bagi wanita. Tentu saja kelakuannya itu membuat Siau
In menjadi malu dan marah sekali.
Ketika suatu saat tangan It Kwan mencengkeram ke arah dadanya, Siau In yang
nakal dan bengal itu segera membalasnya dengan tak kalah kotornya.
Dengan tangkas gadis itu mengelak sambil meludahkan air liurnya ke muka lt Kwan!
"Cuuh!" It Kwan menjadi merah padam mukanya, meskipun air ludah itu dapat dielakkannya.
Dengan beringas ia menubruk ke depan dengan goloknya. Kali ini yang diserang
adalah bagian kepala Siau In. Namun ketika Siau In mengangkat pedang kanannya
untuk mengincar pergelangan tangannya, It Kwan tiba-tiba mengulurkan tangan
kirinya untuk mencengkeram kemaluan Siau In.
"Iiih...!" Siau In menjerit jijik dan malu.
Karena merasa jijik dan tak ingin bertempur lebih lama lagi melawan orang yang
tak mengindahkan tata-susila kesopanan itu, maka Siau In pun lalu menempuh
siasat yang nekad dan berbahaya pula.
Gadis itu mula-mula seperti membiarkan jari-jari lawan menyentuh kain celana
yang dikenakannya. Bahkan untuk lebih meyakinkan lawan bahwa ia sudah tidak bisa mengelakkan
serangan tersebut, Siau In melepaskan pedangnya yang sebelah kiri. Namun pada
saat yang bersamaan pula gadis itu melepaskan 135
tiga buah pisau kecilnya yang selalu terselip di pergelangan tangannya! Ssiuut!
Siiuutt! Ssiiuut! "Adooouuuh...!" It Kwan berteriak nyaring.
Meskipun ia berusaha menghindar, tapi tetap saja sebuah dari pisau terbang
tersebut menancap di lehernya!
"Iiiih!" Siau In menjerit keras pula karena celananya di bagian depan terkoyak
lebar direnggut jari tangan It Kwan. Tentu saja pahanya yang putih mulus itu
tampak dengan nyata. Tapi tak seorangpun anak murid Perguruan Hek-to-pai itu yang memperhatikan paha
Siau In, karena perhatian mereka tercurah semua pada keadaan guru mereka. Darah
mengalir dengan derasnya dari luka di leher It Kwan. Pisau kecil itu kebetulan
mengenai urat nadinya, sehingga tokoh tingkat tinggi seperti It Kwan pun tak
bisa bertahan lagi. Ketua Hek-to-pai itu segera terjerembab kesakitan.
Anggota Hek-to-pai yang mengepung tempat itu menjadi gempar. Sebagian mengurusi
guru mereka, dan yang sebagian segera mengepung Siau In kembali. Tanpa banyak
cingcong lagi orang-orang yang mengepung Siau In itu segera mengeroyok dengan
senjata andalan mereka. Traaaang! Triiing! "Aaaaaah!" "Adduuuuuuh!" "Ough!" 136 Siau In juga tidak sungkan-sungkan lagi gadis itu cepat mengambil pedangnya
kembali dan mengamuk bagai singa betina. Pedangnya menyambar-nyambar ke sana ke
mari sambil meninggalkan korban yang tidak sedikit. Lawan-lawannya
bergelimpangan dengan luka yang menganga di sekujur tubuh mereka.
"Berhenti...!!!"
Tiba-tiba terdengar suara bentakan yang menggelegar bagaikan guntur yang meledak
di telinga setiap orang, termasuk pada telinga Siau In pula!
Gadis itu terhuyung-huyung sambil mengerahkan tenaga sakti untuk melawan
gempuran suara yang mengandung tenaga khikang tinggi itu.
Kalau Siau In saja sampai terhuyung-huyung akibat gempuran Sai-cu Ho-kang
(Tenaga Sakti Auman Singa) itu, apalagi para anggota perguruan Hek-to-pai yang
masih rendah ilmunya. Mereka segera bergelimpangan sambil menutup telinga
mereka. Untunglah orang yang baru datang dan menghentikan ilmu tersebut tidak meneruskan
serangannya, sehingga semuanya segera bisa menguasai diri mereka kembali.
Kesempatan itu cepat digunakan oleh Siau In untuk membenahi celananya yang
bolong. Agar lebih rapat serta lebih tertutup lagi, Siau In lalu melepaskan pula
ikat pinggangnya, sehingga kain bajunya yang longgar itu melorot turun sampai ke
pahanya. Begitu selesai, gadis itu segera bersiap menghadapi orang yang baru
saja muncul itu. 137 Orang itu berdiri tegak di tengah jalan. Dengan cekatan ia memberi perintah
serta mengatur orang-orang Hek-to-pai yang ada di tempat itu. Anggota Hek-to-pai
yang masih sehat dan tidak terluka ia perintahkan untuk membawa saudara-saudara
mereka ke dalam perkampung an. Sebagian juga ia perintahkan untuk mengumpulkan
golok-golok yang bertebaran di arena pertempuran tersebut.
Siau In berdebar-debar hatinya. Orang itu sangat tenang sekali dan memiliki rasa
percaya diri yang amat besar. Meskipun telah melihat hasil pertempuran yang
banyak merugikan pihak Hek-to-pai seperti itu, namun orang itu sama sekali tidak
kelihatan kaget atau gentar menghadapi Siau In. Bahkan orang itu tampak acuh tak
acuh terhadap Siau In. Orang itu bertubuh tinggi besar dan gemuk.
Rambutnya yang panjang dan sudah berwarna dua macam itu dibiarkannya terurai
lepas menutupi telinga dan bahunya. Hanya saja untuk mengikat rambut itu agar
tidak menutup wajahnya, orang itu mempergunakan untaian mutiara sebagai
pengikatnya. Kumis dan jenggotnya yang juga sudah terdiri dari dua warna itu hampir
menyelimuti seluruh mukanya, sehingga kepalanya yang besar itu hampir seluruhnya
tertutup rambut, kecuali mata dan hidungnya.
Orang itu mengenakan jubah yang sangat longgar dan panjang berwarna kelabu.
Tangannya memegang tasbeh panjang, terbuat dari bulatan-bulatan besi sebesar
kelereng. Karena sering dipegang dan diusap 138
maka warnanya sudah berubah menjadi hitam mengkilap agak kemerah-merahan.
Ketika kemudian orang itu menatap ke arahnya, tiba-tiba Siau In merasa bulu
romanya berdiri. Ia seperti melihat mata hantu yang hendak menerkam ke arah
dirinya. "Gadis kecil, siapa namamu" Mengapa kau berani mengacau perkampungan sahabatku
ini?" orang itu bertanya dengan suaranya yang dalam dan besar.
Siau In tidak segera menjawab. Lebih dulu ia mengatur pernapasan dan perasaannya
yang terguncang, agar semangatnya juga tidak larut dalam kengerian menghadapi
keseraman lawan. Setelah dapat menguasai dirinya kembali, baru Siau In membuka
suara. "Kau tidak perlu tahu namaku. Kulihat kau mengenakan jubah pendeta. Kalau kau
memang benar-benar seorang pendeta, kau tentu dapat membedakan baik dan buruk.
Kau tentu akan melihat dan meneliti dulu siapa yang salah sebelum ikut turun
tangan." Siau In berkata berani.
Orang itu tertegun sebentar, lalu tertawa, walaupun tawanya terdengar ganjil dan
menyeramkan. Mulutnya sama sekali tidak kelihatan terbuka karena tertutup oleh kumis dan
jenggotnya yang lebat. "Kau benar-benar cerdik dan berani, Gadis kecil!
Aku memang seorang pendeta pengembara. Orang menyebutku Tong Tai-su. Kebetulan
aku berada di sini karena It Kwai itu adalah sahabatku. Dan karena 139
ia sahabatku, maka tentu saja aku takkan mempersoalkan apakah ia salah atau
tidak. Yang jelas ia sekarang terluka, dan anak muridnya juga kacau balau oleh
amukanmu. Maka sudah selayaknyalah bila sekarang aku membantu dia menangkap kau
untuk mempertanggung-jawabkan perbuatanmu."
"Baik! Aku memang sudah menduganya. Orang berwatak buruk dan jahat seperti lt
Kwan tidak mungkin mempunyai sahabat dari kalangan baik-baik pula. Sahabatnya
tentu tidak jauh pula bedanya dengan dia. Meskipun engkau memakai jubah pendeta,
tapi aku yakin jiwamu tentu tak lebih baik daripada dia."
"Bangsat...! Mulutmu memang tajam! Tapi jangan harap kau bisa membakar
kemarahanku. Bagaimanapun juga kau akan kutangkap dan kuserahkan kepada lt Kwan!" Tong Tai-su
menggeram. Namun Siau In sudah tidak peduli lagi. Dalam keadaan terdesak timbul lagi
keberaniannya. Ia tahu lawannya berkepandaian sangat tinggi, dan mungkin ia tak
mampu melawannya. Namun bagaima napun juga ia tak ingin mati dalam ketakutan.
Dia harus melawan sebisa-bisanya.
Siau In mengerahkan lwe-kang sepenuhnya.
Sinkang yang kemudian mengalir ia salurkan ke seluruh tubuhnya. Kemudian dengan
perlahan-lahan sepasang pedangnya ia angkat ke depan dada.
140 "Hahaha... tampaknya kau mau melawan juga!
Baik! Tapi supaya aku tidak ditertawakan orang karena melawan anak kecil seperti
kau, maka aku akan menyimpan senjataku dan mengikat tangan kiriku, sehingga aku
hanya menggunakan tangan kanan saja untuk melayanimu."
"Jangan menghina!" Siau In tersinggung.
Sambil mengalungkan tasbehnya ke lehernya, dan menyelipkan lengan kirinya ke
belakang, pada ikat pinggangnya, Tong Tai-su melangkah ke depan.
"Marilah! Aku tidak menghinamu! Aku melihat kau bisa mengalahkan It Kwan, tapi
kau sendiri juga hampir celaka oleh cengkeramannya. Hal itu berarti kepandaianmu
tidak terpaut banyak dengan dia.
Padahal aku sangat mengenal kepandaiannya. Oleh karena itu asal kau bisa lolos
dari tangan kananku, kau boleh pergi." pendeta itu berkata.
"Baik!" Siau In sedikit lega.
Demikianlah Siau In lalu menyerang dengan sepasang pedang pendeknya. Pedang itu
berkelebatan ke bagian-bagian tubuh yang berbahaya dari lawannya. Suaranya
mencicit-cicit saking kencangnya, karena Siau In memang mengerahkan seluruh
kemampuannya. Tapi Tong Tai-su memang hebat. Ia memang tidak membual atau menyombongkan diri
ketika berjanji untuk melawan hanya dengan tangan kanannya.
Ternyata meskipun hanya satu tangan yang maju, tapi ketika tangan itu mulai
digerakkan oleh pemiliknya, 141
tiba-tiba Siau In menjadi silau dan bingung menghadapinya. Tangan itu seperti
berubah menjadi puluhan banyaknya, sehingga ke manapun Siau In menyerang ia
seperti dikeroyok oleh empat atau lima orang lawan.
Akibatnya beberapa kali pedangnya hampir terlepas disambar tangan-tangan itu.
Untunglah dengan kematangannya bermain pedang ia masih bisa menyelamatkannya.
"Hei...!" Apa hubunganmu dengan Giam Pit Seng"
Kulihat ilmu pedangmu mirip sekali dengan permainan pit-nya!" sambil terus
mencecar Tong Taisu berseru keras.
"Beliau adalah guruku! Huh, kalau beliau berada di sini, jangan harap kau bisa
menghina aku!" Siau In berteriak pula dengan tak kalah kerasnya.
Tak terduga Tong Tai-su tertawa bergelak.
"Hahaha...! Kau ini anak kemarin sore tahu apa"
Gurumu itu telah dua kali bertanding dengan aku, tapi ia tak pernah bisa
mengalahkan aku. Malahan pada pertandingan yang ke dua ia justru hampir mati
oleh tasbehku. Untung ada orang yang menolong dia...."
Siau In terkejut bukan main, sehingga permainan pedangnya agak sedikit kacau.
Akibatnya pedangnya hampir saja terpental dari genggamannya. Untunglah dia
segera sadar kembali. Mati-matian ia mempertahankannya.
Samar-samar Siau In memang mengingatnya. Saat itu ia baru berusia dua belas
tabun. Suatu malam 142 suhunya pulang dari bepergian jauh dalam keadaan lesu. Gurunya mengatakan bahwa
dia baru saja bertempur dengan musuhnya, tapi ia kalah. Untunglah nyawanya
diselamatkan oleh seorang pendekar aneh, yang hanya dengan tiga jurus bisa
membuat musuhnya itu lari tunggang langgang. Dan sebelum pergi pendekar aneh itu
menyuruh gurunya untuk mengabdi pada aliran Im-yang-kau. Karena sudah berhutang
nyawa, serta beranggapan bahwa pendekar penolongnya itu adalah tokoh Im-yang-
kau, maka gurunya lalu masuk menjadi anggota Im-yang-kau.
Namun setelah bertahun-tahun mengabdi pada Aliran Im-yang-kau, dan telah
berulang kali menemui tokoh-tokohnya, gurunya tak pernah menjumpai penolongnya
itu. Ternyata pendekar tersebut bukanlah tokoh Im-yang-kau. Tiada seorang pun
tokoh Im-yang-kau yang wajahnya mirip pendekar itu.
Tapi gurunya sudah terlanjur mencintai Im-yang-kau, sehingga ia tak mau
meninggalkannya lagi. Bahkan oleh karena pengabdiannya yang besar, gurunya diangkat menjadi Pimpinan
cabang Im-yang kau wilayah timur setahun yang lalu.
"Oh, jadi kaukah orang yang pernah mengalahkan Guruku itu" Ah, kalau begitu
Guruku sekarang bisa tertawa dengan gembira." gadis itu balas mengejek.
"Memangnya kenapa...?" Tong Tai-su ternyata terpancing juga oleh ejekan Siau In.
"Habis... ilmumu tetap seperti ini saja! Tidak ada kemajuan! Padahal setelah
masuk aliran Im-yang-kau, 143
kesaktian Guruku sudah tiga kali lipat dibandingkan dengan dahulu! Buktinya
sekarang beliau dijadikan Pimpinan Cabang di daerah timur." Siau In membual agar
lawannya menjadi panas perutnya.
Benar juga. Tong Tai-su menjadi merah padam mukanya. Ejekan gadis centil itu
betul-betul mengenai sasarannya. Begitu marah, penasaran, dan jengkelnya,
sehingga Tong Tai-su lupa pada janjinya.
Tangan kirinya yang terselip pada ikat pinggangnya itu tiba-tiba ditarik dan
terayun ke depan untuk merampas pedang Siau In.
Meskipun kaget tapi Siau In tersenyum penuh kemenangan. Mula-mula gadis itu
menarik kedua bilah pedangnya ke depan dada seperti hendak melindungi pedang itu
ke dalam pelukannya. Namun ketika tangan kiri Tong Tai-su hendak menyambar
pedang kanannya, pedang kirinya cepat menabas ke depan dengan dahsyatnya.
Tentu saja Tong Tai-su tidak ingin mengadu jari-jarinya dengan pedang. Otomatis
tangan kanannya segera membantu dengan menyambar pedang kiri Siau In yang
berbahaya itu. Gerakannya demikian cepat dan kuat luar biasa sehingga tingkat
kepandaiannya itu tidak mungkin Siau In mengelakkannya.
Tapi anehnya gadis itu seperti membiarkan saja pedang kirinya itu ditangkap
lawannya. Bahkan berusaha untuk menghindari saja tidak. Sekejap Tong Tai-su
curiga. Tapi sebelum kecurigaannya itu 144
terpecahkan, tiba-tiba Siau In menusukkan pedang kanannya yang bebas itu ke arah
pergelangan tangan kanan Tong Tai-su yang sudah mencengkeram pedang kirinya itu.
Tong Tai-su terperanjat. Otomatis tangan kirinya yang kagok tadi cepat menyambar
terus ke depan, ke pergelangan tangan kanan Siau In! Dan sekejap kemudian kedua
bilah pedang pendek Siau In telah terampas semuanya!
Namun di luar dugaan gadis itu justru bersorak gembira sambil bertepuk tangan! "Apa kau sudah gila...?" Tong Tai-su menghardik dengan mata melotot. "Lhoh... aku menang, bukan" Mana pedangku!"

Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seenaknya Siau In menyahut. "Menang apa" Apa kau tidak melihat pedangmu ini?" Tong Tai-su memperlihatkan pedang Siau In yang dirampas.
145 "Hei! Bukankah Tai-su tadi sudah berjanji untuk tidak menggunakan tangan kiri"
Ternyata Tai-su telah melanggar janjimu sendiri. Bukankah hal itu berarti
kalah?" Siau In menuntut dengan gaya-nya yang kocak.
"Tapi... ini...!" Tong Tai-su " menjadi pucat. Tak terasa pedang itu
dilepaskannya begitu saja, sehingga jatuh berdentang di tanah.
Siau In cepat memungut pedangnya.
"Tahan...!" tiba-tiba Tong Tai-su membentak.
"Tapi... bukankah kau belum bisa mengalahkan tangan kananku" Nah, kau belum
boleh pergi!" Tapi dengan berani Siau In bertolak pinggang.
"Siapa bilang tangan kananmu belum kalah"
Bukankah tangan kanan Tai-su tadi sudah tidak berkutik karena sedang
mencengkeram pedangku"
Kalau tangan kiri Tai-su tidak turut campur, bukankah pedangku yang satunya
sudah bisa menembus pergelangan tangan kanan Tai-su itu" Hayo..., benar tidak?"
sergahnya berani. "Lha... ini..., wah! Kau gadis cilik memang cerdik sekali! Tapi...?" Tong Tai-su
akhirnya mengakui pula kekalahannya. Namun ia masih tampak bingung.
"Tai-su, Kau seorang lo-cianpwe (tokoh persilatan angkatan tua)! Kau tidak boleh
menjilat ludahmu sendiri. Apalagi lawanmu hanya seorang gadis muda seperti saya.
Hanya seekor binatang yang biasa menjilat ludahnya sendiri." dengan cerdik Siau
In 146 mengolok-olok Tong Tai-su agar lawannya itu menjadi malu untuk mengubah
keputusannya. "Kurang ajar! Kau memang luar biasa licinnya!
Sudahlah... pergi sana!" Tong Tai-su berteriak kecewa.
Bagai burung yang terlepas dari sangkarnya, Siau In tidak mau menyia-nyiakan
kesempatan itu. Dengan gesit tubuhnya melesat ke depan untuk secepatnya
meninggalkan tempat berbahaya itu. Sebaliknya Tong Tai-su dengan lesu melangkah
ke perkampungan Hek-to-pai, diiringkan oleh sebagian anak muridnya It Kwan yang
masih sehat. Kalau baru saja tadi Siau In mengalahkan lawannya dengan kecerdikan, sebaliknya
Ciu In harus benar-benar menguras tenaga untuk menundukkan lawan-lawannya.
Empat orang Pek-hok-bio itu ternyata memiliki ilmu tongkat yang cukup tinggi.
Terutama cara mereka bekerja sama satu sama lain. Setiap kali Ciu In menyerang
dengan pedangnya, secara serempak dua orang lawannya segera menempatkan diri
untuk menghadapinya, sementara dua orang yang lain segera mengambil kesempatan
itu dengan balas menerjang.
Demikian selalu terjadi sehingga Ciu In merasa kewalahan. Apalagi setiap
pedangnya bertemu dengan tongkat lawan, ia seperti membentur dua kekuatan
sekaligus. Bahkan pada saat yang sama ia harus menerima tekanan dua kekuatan
yang lain lagi. 147 Untunglah ia bersenjatakan dua bilah pedang, sehingga setiap saat senjatanya
dapat berada di dua jurusan.
Ciu In memang belum mempunyai banyak
pengalaman bertempur sehingga ia belum bisa memanfaatkan kelihaian ilmu
pedangnya. Walaupun demikian karena ilmu pedang gubahan Giam Pit Seng itu memang
cukup hebat serta aneh diduga, maka empat orang Pek-hok-bio itu pun juga merasa
sulit pula menghadapinya. Hal itu membuat mereka menjadi penasaran sekali. Di
Kuil Pek-hok-bio mereka berempat merupakan tokoh-tokoh tingkat dua, karena
mereka berempat adalah adik-adik seperguruan dan kepala kuil itu. Maka sungguh
memalukan sekali bagi mereka karena tidak bisa meringkus seorang gadis muda
belia seperti Ciu ln. "Baiklah...!" Ciu ln berkata di dalam hatinya. "Aku terpaksa mempergunakan pisau
terbangku! Tanpa senjata kecil itu tampaknya aku akan kehabisan napas melayani
mereka." Ciu ln lalu mencari kesempatan. Mula-mula ia berkelebatan ke sana ke mari
melayani lawan-lawannya. Namun pada suatu saat tiba-tiba ia berhenti. Sebelum
lawan-lawannya bisa menduga apa yang hendak ia kerjakan, secara mendadak Ciu In
melepaskan pisau-pisaunya. Sekali melepas gadis itu menaburkan delapan buah
sekaligus. Karena setiap lawan memperoleh jatah dua buah pisau dan dalam posisi terpencar
pula, maka otomatis 148 kedudukan mereka menjadi tercerai-berai.
Kesempatan inilah yang dikehendaki Ciu In.
Mumpung lawan-lawannya sedang sibuk menangkis atau mengelakkan pisau-pisaunya,
ia segera mencecar salah seorang di antaranya dengan sergapan dua bilah
pedangnya. Orang itu tentu saja menjadi sibuk bukan main.
Selagi tongkat besinya sedang ia pakai untuk menghanfam pisau kecil itu, tiba-
tiba Ciu In menyerangnya dengan tabasan dua pedangnya. Ia mencoba untuk meloncat
mundur. Tapi papan jembatan itu ternyata terlalu sempit, sehingga badannya
melayang ke dalam empang. Mati-matian ia berusaha mengaitkan tongkat besinya ke
ujung papan di dekatnya, namun sekali lagi Ciu ln memberondong dengan tendangan
dan tusukan pedang. Akibatnya tongkat itu justru terguncang lepas dari
tangannya. Ketika temannya yang terdekat berusaha menolong orang itu, Ciu In kembali
melepaskan pisau terbangnya. Kali ini hanya dua buah, tapi semuanya mengarah ke
bagian jantung dan pusar orang yang akan menolong temannya tersebut.
Orang itu menjadi gelagapan. Karena dalam posisi melayang ke depan, maka
gerakannya menjadi kagok.
Menangkis salah, mengelakkan juga salah. Dua-duanya akan membuat ia terpelanting
ke samping sehingga dirinya akan mudah diserang kembali.
Benar juga. Ketika orang yang hendak
menolongnya mencoba untuk mengelak, tubuhnya 149
menjadi terbuka, dan kesempatan tersebut memang dipergunakan oleh Ciu In dengan
sebaik-baiknya. Pedang gadis itu meluncur ke depan ke arah lutut dan pinggang orang itu. Dan
sekali ini jalan satu-satunya bagi orang itu cuma menangkis. Tapi karena
menangkis dalam posisi yang jelek mengakibatkan tubuhnya terbanting ke arah
empang pula. Byuuuuuur! Byuuuuuurr! Dalam waktu yang hampir bersamaan kedua orang Pek-hok-bio tercebur ke dalam
empang yang dalam itu. Ciu In cepat membalikkan badannya karena pada saat yang
bersamaan pula kedua lawannya yang lain telah menerjang ke arah dirinya. Dua
orang yang masih tersisa itu tampak berang sekali karena kawan-kawannya dapat
diperdaya oleh gadis itu.
Setelah kini tinggal dua orang saja yang harus dihadapinya, Ciu In benar-benar
bisa mengembangkan ilmu pedangnya dengan leluasa.
Pedang pendeknya menjadi semakin lincah menari-nari mengelilingi tubuh lawan-
lawannya. Meskipun lawannya memegang tongkat besi, namun senjata yang berat itu
terlalu lamban untuk mengejar ayunan pedang pendeknya yang gesit bagai lebah
madu. Berulang kali kedua orang lawannya itu terpaksa jatuh bangun untuk menghindarkan
diri dari sengatan pedang Ciu In.
Lima jurus pun segera berlalu, dan dua orang Pek-hok-bio yang masih tersisa itu
pun sudah tidak bisa 150 bertahan lebih lama lagi. Ketika salah seorang di antara mereka terpaksa
melepaskan tongkat besinya dan terjungkal ke dalam kolam terkena ujung sepatu
Ciu In, yang lain pun segera ikut terjun ke dalam empang pula.
Celakanya tak seorang pun dari empat orang Pek-hok-bio itu yang mampu berenang
di dalam air, sehingga dengan mudah mereka menjadi bulan-bulanan Liu Wan yang
sejak tadi masih mengapung di empang menonton pertempuran mereka. Pemuda itu
dengan cerdik menyelam ke dalam air, lalu bergantian menarik kaki-kaki mereka ke
bawah. Tentu saja orang-orang Pek-hok-bio itu menjadi gelagapan seperti anak
ayam yang menggelepar-gelepar di dalam lumpur. Entah berapa mangkuk air saja
yang mengalir ke dalam perut mereka.
Setelah orang-orang Pek-hok-bio itu kelihatan lemas dan kecapaian, barulah tubuh
mereka diseret ke pinggir oleh Liu Wan. Ciu ln cepat berlari mendekati dan
bersiap siaga kalau-kalau orang Pek-hok-bio itu masih hendak meneruskan pula
pertempuran mereka. Tapi empat orang itu sudah tidak berdaya lagi.
Selain senjata mereka tertinggal di dalam air, keadaan tubuh mereka pun sudah
tidak keruan lagi. Tenaga hilang, perut dan paru-paru mereka pun penuh dengan
air. Berkali-kali mereka terpaksa muntah-muntah untuk mengeluarkan air yang
mereka minum. Celakanya yang keluar tidak cuma air empang, tapi 151
juga seluruh isi perut mereka, termasuk puluhan ekor ikan hidup yang ikut
tertelan ketika sekarat tadi.
Begitu dapat berdiri mereka berempat segera ngeloyor pergi tanpa pamit lagi.
Mereka berjalan terhuyung-huyung, sambil sesekali masih harus memuntahkan
kotoran-kotoran dan ikan-ikan kecil yang tersisa di dalam perut mereka.
"Nona Tio, ilmu pedangmu sungguh hebat sekali!
Terutama pisau-pisau terbangmu itu. Dan kau benar-benar cerdik. Semula aku sudah
merasa khawatir, karena pada permulaannya kau tampak sangat kerepotan menghadapi
kerja sama mereka." Ciu In tersenyum kemalu-maluan. Pujian pemuda tampan yang baru setengah hari
dikenalnya itu terasa menyesakkan dadanya. Pemuda itu sungguh pintar bergaul dan
pandai mengambil hati orang, sehingga sebentar saja Ciu In merasa dekat dan
akrab dengannya. "Ah, diam-diam Tuan tentu mentertawakan ilmu pedangku itu...." Ciu In pura-pura
kurang senang. "Hei, benar... Nona! Aku berkata sebenarnya. Ilmu pedangmu sungguh-sungguh
hebat. Hanya saja dalam penggunaannya kau seperti belum menyatu dan mengenal
betul akan sifat-sifatnya. Tapi ...eh, omong-omong, sudah setengah harian kita
saling mengenal, mengapa masih mempergunakan sebutan "Tuan" dan
"Nona?" Mengapa kita tidak saling menyebut kakak dan adik saja?" dengan gaya
yang menyenangkan Liu Wan membelokkan arah percakapan mereka.
152 "Ah... aku...?" Wajah Ciu In yang cantik itu menjadi merah.
"Baiklah, kalau kau setuju... aku akan memanggilmu adik, karena usiamu tentu
belum ada dua puluh tahun. Sedangkan aku sudah seperempat abad. Nah, mulai saat
ini aku akan memanggilmu Ciu-moi, dan kau boleh menyebutku Engko Wan atau...
Wan Siok-siok (Paman Wan)!" pemuda itu berkelakar.
"Wah, tidak mau kalau Wan Siok-siok! Terlalu tua!" Ciu In terpancing untuk
melayani kelakar Liu Wan.
"Terserah Ciu-moi.... Nah, sekarang kita masuk ke pondok lagi untuk mengatur
siasat. Aku juga akan berganti pakaian pula. Pakaian ini basah dan berbau amis.
Setelah itu kita juga akan merayakan keberhasilan sandiwara kita tadi. Anak buah
So Gu Thai yang dikirim ke mari tadi dapat kita kelabuhi dan pulang dengan
tangan hampa...." "So Gu Thai" Siapakah So Gu Thai itu?"
Liu Wan melangkah ke atas jembatan, diikuti oleh Ciu In. "So Go Thai adalah
penjahat yang kuceritakan itu. Sebenarnya ia bukan orang Han, tapi orang Tartar
dari suku Hun. Nama sebenarnya adalah Sogudai.
Seperti nenek moyangnya ia juga pemuja matahari dan bulan. Dan setiap pergantian
tahun ia tentu mengadakan upacara korban untuk dewa matahari dan bulan. Dia
sangat lihai dan berbahaya karena dia adalah bekas pengawal pribadi Mo Tan, raja
orang-153 orang Tartar itu." sambil berjalan melewati jembatan itu Liu Wan memberi
keterangan tentang musuhnya.
"Jadi dia orang... Tartar?" Ciu In bertanya ngeri.
Ciu In sering mendengar penuturan suhunya, bahwa bangsa Tartar yang terdiri dari
bermacam-macam suku itu sangat kasar, kejam, dan tak mengenal perikemanusiaan.
Di jaman pemerintahan mendiang Kaisar Liu Pang, suku bangsa biadab itu telah
beberapa kali menyerang ke pedalaman Tionggoan.
Di bawah rajanya yang lihai, buas, kejam namun amat cerdik luar biasa itu,
hampir saja bisa mengalahkan bala tentara Kerajaan Han. Untunglah Kaisar Liu
Pang memiliki pembantu-pembantu dan panglima-panglima perang tangguh dan gagah
berani, sehingga beberapa kati pula Mo Tan dan pasukan perangnya dapat dihalau
keluar dari Tembok Besar.
"Ya! So Gu Thai orang Tartar dari suku Hun. Satu suku dengan Mo Tan, rajanya."
Liu Wan mengiyakan. "Ciu-moi...! Sebenarnya aku tidak heran melihat So Gu Thai berkeliaran di daerah
Tionggoan. Mungkin dia hanya salah seorang pengikut Mo Tan yang tercecer di sini
ketika mereka mengundurkan diri ke utara. Tetapi yang aku herankan, selama
sebulan ini aku sering melihat dan bertemu dengan orang-orang Tartar di
sepanjang daerah pantai timur ini. Walaupun mereka menyamar seperti orang Han,
tapi logat bicara dan tingkah laku mereka dapat kukenali dengan baik.
Aku jadi curiga dan berpikir keras. Jangan-jangan ada sesuatu yang mereka
kerjakan di daerah ini. Aku...
154 jangan-jangan Mo Tan telah bersiap-siap untuk melintasi Tembok Besar lagi."
"Oh, kalau benar-benar demikian... sungguh mengerikan!" Ciu In menatap Liu Wan
dengan muka pucat. "Yah... rakyatlah yang akan mengalami nasib yang buruk. Sampai sekarang bekas-
bekas kebiadaban pasukan Mo Tan itu masih melekat di dada orang-orang Han. Ah,
silakan duduk dulu, Ciu-moi! Aku akan berganti pakaian...,"
Sampai di dalam pondok Liu Wan mempersilakan Ciu In untuk duduk di kur si yang
telah disediakan, sementara ia sendiri masuk ke dalam kamar untuk mengganti
pakaiannya yang basah. Lo Kang dan Lo Hai segera menyiapkan minuman.
Ciu In lalu melihat-lihat lagi keadaan pondok yang menyenangkan itu. Di ruang
samping Ciu In melihat tiga buah lukisan orang dalam ukuran yang cukup besar.
Lukisan itu terdiri dari sebuah lukisan wanita cantik setengah baya dan dua buah
lukisan lelaki usia empat puluhan dan enam puluhan. Gambar lelaki berusia empat
puluhan itu hampir mirip dengan Liu Wan. Hanya bedanya wajah Liu Wan tidak
setajam dan sekeras wajah di dalam gambar itu. Dan juga, di dalam gambarnya,
lelaki itu kelihatan lebih tinggi dan lebih jangkung daripada Liu Wan.
"Ciu-moi, kau di sini rupanya..."
155 Seperti tadi, kali ini pun Ciu In hampir menjerit saking kagetnya. Tanpa
menimbulkan suara tiba-tiba saja Liu Wan telah berada di belakangnya.
"Wan-ko, kau kembali mengagetkanku!" sungutnya kesal.
Tapi tampaknya Liu Wan tak mempedulikan kekesalan Ciu In itu. Dengan wajah
bersungguh-sungguh pemuda itu menatap mata Ciu In.
"Kau... mengenal wajah yang terlukis di dalam gambar-gambar ini, Ciu-moi?"
desaknya dengan suara yang agak bergetar.
Ciu In balas memandang dengan aneh dan tak mengerti. Kadang-kadang dirasakannya
pemuda itu bersikap aneh dan membingungkan. Seperti ada sesuatu yang
disembunyikan atau dirahasiakannya.
"Tidak. Aku sama sekali tidak mengenal mereka.
Siapakah mereka...?" sambil menggeleng Ciu In menyahut dengan suara curiga.
Tiba-tiba Liu Wan menghela napas lega. Wajahnya kembali cerah seperti biasanya.
Dengan cepat tangannya meraih gambar wanita cantik setengah baya itu.
"Ini... Ibuku. Cantik sekali, bukan" Gambar ini kubuat lima tahun yang lalu!
Tentu saja Ibuku sekarang lebih tua dari pada gambar ini." Liu Wan menerangkan
"Apakah Wan-ko dari keluarga bangsawan atau pejabat kerajaan" Kulihat Ibumu
mengenakan 156 perhiasan yang bagus-bagus." Ciu In mencoba bertanya tentang asal-usul Liu Wan.
Pemuda itu tertawa. "Siapa pun bisa mengenakan perhiasan yang bagus-bagus, Ciu-
moi. Tak perlu ia harus keluarga bangsawan atau pejabat kerajaan.
Seorang pedagang yang berhasil pun bisa membeli perhiasan-perhiasan seperti itu
kalau dia suka. Apalagi di dalam gambar itu aku memang sengaja menambahi
perhiasan-perhiasan bagus pada wajah Ibuku, agar beliau kelihatan lebih cantik
lagi dipandang mata."
dengan cerdik dan luwes pemuda itu menjawab.
"Ah, Wan-ko ini ada-ada saja. Pandai benar mengambil hati Ibumu. Ehm, lalu
lukisan orang tua berambut agak putih ini siapa?"
Liu Wan mengambil gambar lelaki berusia enam puluhan itu pula.
"Ini gambar... guruku!" jawab pemuda itu singkat.
"Gurumu" Bolehkah aku mengenal nama dan gelar Gurumu?" Sekali lagi Ciu In


Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencoba mengetahui latar belakang Liu Wan.
Tapi pemuda itu dengan cepat menggelengkan kepalanya. "Maaf, Ciu-moi... Guruku
sangat suka menyendiri dan tak suka namanya dikenal orang."
"Baiklah... Lalu siapakah gambar yang lain itu"
Apakah ia juga suka menyendiri dan tak ingin namanya diketahui orang?" dengan
suara menggoda Ciu In menunjuk lukisan lelaki berusia empat puluhan itu.
157 Liu Wan tersenyum kemalu-maluan. Suaranya pun terasa sungkan ketika menjawab.
"Benar, Ciu-moi. Itu gambar Kakakku. Dia... dia memang tak suka diketahui
namanya." "Yah...." Ciu In berdesah kecewa seraya mengangkat pundaknya. "Tampaknya seluruh
keluargamu suka menyendiri dan tak ingin bergaul dengan orang lain, kecuali...
kau!" Kali ini Liu Wan benar-benar meringis kecut.
"Bukan begitu maksudku, Ciu-moi. Soalnya... ah, sudahlah... kelak engkau tentu
akan mengerti juga, Ciu-moi. Sekarang memang belum waktunya .... "
ujarnya kemudian dengan suara sedih dan menyesal.
Ciu In tertawa. "Ya, kalau kita masih diberi kesempatan untuk bertemu lagi.
Kalau tidak..." Soalnya kalau Adikku yang hilang itu sudah aku ketemukan, aku akan kembali
pulang dan tidak akan pergi ke mana-mana lagi."
"Terus mau pulang" Di manakah rumahmu"
Apakah...?" Tiba-tiba Liu Wan tidak meneruskan
pertanyaannya. Ia menjadi sungkan dan malu sendiri.
Apalagi ketika kemudian Ciu In tertawa kecil sambil menutupi mulutnya.
"Maaf, Wan-ko. Rumah dan keluargaku juga tidak suka dikenal orang pula."
Liu Wan mengambil gambar-gambar itu dan memasangnya kembali di tempat semula.
Lalu dengan wajah agak lesu ia mengajak Ciu In ke ruang depan.
158 "Sudahlah, Ciu-moi. Kita tidak perlu saling mengolok-olok. Biarlah untuk
sementara kita tak usah saling bertanya tentang asal-usul kita masing-masing.
Sekarang yang penting adalah menyelamatkan Adikmu. Lihat... matahari sudah
hampir terbenam. Sebentar lagi kita akan berangkat."
Malam memang cepat sekali datangnya. Belum juga mereka menghabiskan teh dan
makanan kecil yang disuguhkan oleh Lo Kang dan Lo Hai, untuk merayakan
keberhasilan sandiwara mereka, ribuan kunang-kunang telah mulai menyerbu empang
itu. Begitu banyaknya binatang malam itu beterbangan di sekitar pondok tersebut,
sehingga tanpa lampu minyak pun rasa-rasanya sudah terang benderang.
Demikian pula keadaannya di tepian pantai di dekat perkampungan nelayan Ui-
thian-cung pada malam itu.
Karena angin laut tidak begitu kencang berhembus, maka ribuan kunang-kunang
segera berkumpul dan bercengkerama di tempat sepi itu. Mereka beterbangan di
antara riak-riak gelombang yang berdebur lemah di hamparan pasir yang luas.
Kalau Ciu In menonton keindahan kunang-kunang itu sambil makan minum dan
mengobrol bersama Liu Wan, sebaliknya Siau In mengagumi binatang malam itu
sendirian, tanpa kawan, tanpa minuman dan makanan, bahkan di atas hamparan pasir
yang sunyi sepi pula. 159 Seperti tujuannya semula, sehabis mengalahkan Tong Tai-su dengan kecerdikannya,
Siau In berlari menyusuri jalan yang menuju ke laut itu. Sambil mengerahkan gin-
kangnya, kadang-kadang Siau In masih menoleh ke belakang. Gadis itu masih merasa
khawatir kalau-kalau Tong Tai-su yang lihai itu berubah pikiran lagi. Tapi
setelah beberapa saat lamanya tak ada tanda-tanda kalau pendeta pengembara itu
mengejar dirinya, Siau In menjadi lega. Gadis itu lalu mengendorkan langkahnya.
Dengan bernyanyi-nyanyi kecil ia melenggang seenaknya.
Angin sore berhembus agak sedikit kencang sehingga bajunya yang longgar
menyibak. Siau In menjerit lirih sambil membungkukkan badannya.
Angin nakal itu menyelonong masuk lewat celananya yang robek di bagian depan.
"Oh....!" Tiba-tiba gadis itu terperanjat. Sekejap Siau In menyangka Tong Tai-su
mengejarnya, karena ketika dia membungkuk tadi, ia seperti melihat sebuah
bayangan menyelinap cepat ke semak-semak di belakangnya. Namun ketika ia
membalikkan badan dan melihat jalan lengang di belakangnya, Siau In tak melihat
siapa-pun di sana. Untuk lebih meyakinkan dugaannya Siau In berbalik dan
meneliti semak-semak itu. Tapi semak itu kosong.
160 "Ah, tampaknya aku hanya terbayang-bayang saja wajah Tong Tai-su yang
menyeramkan itu...."
akhirnya Siau In membesarkan hatinya sendiri.
Gadis yang memang memiliki watak lincah dan gembira itu sebentar saja telah
melupakan rasa kaget dan kecurigaannya. Siau In telah bernyanyi-nyanyi kecil
kembali. Bahkan di tempat yang dirasa sangat sepi dan lengang, ia menyelinap ke
semak-semak di tepi jalan. Di tempat itu mengalir sebuah selokan kecil yang
sangat jernih airnya. Sambil buang air kecil Siau In mengganti celananya yang
sobek. Celana itu tidak dibuang tetapi dimasukkannya ke dalam bungkusannya.
Tiba-tiba...! "Iiiiiiiiih...! " Siau In menjerit sekeras-kerasnya.
Seketika wajah Siau In menjadi pucat, matanya berkedip-kedip mau menangis,
sementara bungkusan pakaiannya ia lepaskan begitu saja! Gadis itu memandang
kaget ke tengah-tengah semak itu! Di tempat yang agak longgar itu tampak seorang
pemuda sedang tiduran di atas rumput, dan hanya dua tombak jauhnya dari tempat
Siau In berdiri! "Kkkkau" Si-si-siapakah kau" Mengapa kau di sini" Kau... mengintip-intip aku,
ya" K-k-kau tadi... melihat... melihat... ya" Ooooh!" dengan suara sember dan serak, seperti mau
menangis, Siau In menuding pemuda nakal itu.
Lalu seperti induk ayam yang diganggu anaknya, Siau In mengamuk sejadi-jadinya.
Gadis itu 161 menerjang, memukul, menendang dengan membabi-buta ke arah pemuda nakal itu untuk
melampiaskan rasa dongkolnya. Siau In lupa bahwa pukulannya itu bisa membunuh
orang. Untunglah pemuda itu bukan pemuda petani tambak atau nelayan yang tak mampu apa-
apa. Pemuda itu ternyata seorang jago silat tinggi yang bisa mengelak serta
menghindarkan diri dari amukan
"induk ayam" yang baru kesal dan marah itu.
"Hei! Hei! Berhenti! Apa-apaan ini" Mengapa kau menyerang aku" Apa salahku?"
sambil melesat ke sana ke mari pemuda itu berteriak-teriak.
Setelah beberapa saat tak dapat mengenai tubuh lawannya, Siau In tiba-tiba malah
menjadi sadar akan perbuatannya. Ia segera menghentikan amukannya.
Terlongong-longong ia memandang lawannya. Air mukanya tampak menyesal karena dia
hampir saja membunuh orang. Tapi ketika dilihatnya orang itu masih segar bugar
seperti tidak pernah terjadi apa-apa, kemarahan Siau In pun cepat meluap
kembali. "Kurang ajar! Ternyata kau pandai bersilat, ya" Jadi kau memang sengaja mau
mengganggu dan mencoba aku, ya" Kau sengaja mengintip dan... eh, katakan terus
terang! Kau... hei, bukankah kau yang mengacau di atas panggung perlombaan
tadi?" Siau In berkicau seperti burung sedang birahi.
Pemuda yang tak lain memang Chin Tong Sia itu hanya bisa menggaruk-garuk
kepalanya. Ia sama sekali tak mempunyai kesempatan untuk menjawab 162
atau membela diri. Demikian mulutnya terbuka hendak bersuara, Siau In sudah
menggencetnya dengan berondongan suaranya. Demikian berulang kali sehingga
akhirnya Chin Tong Sia menjadi kesal pula dibuatnya. Dan merasa kesal,
gendengnya pun segera kumat.
Dengan sikap acuh tak acuh pemuda itu membalikkan tubuhnya. Sambil melangkah
pergi, mulutnya masih sempat membalas semprotan Siau In. Suaranya tenang, seenaknya, malahan agak sedikit menggoda. "Tentu saja aku melihatnya! Habis, begitu dekatnya, sih! Masa aku buta?" Dapat dibayangkan rasa marah, malu, penasaran, dongkol, di hati Siau In, sehingga gadis itu rasanya ingin menangis
menggerung-gerung di tanah.
163 "Bagus! Kalau begitu kau harus mati!" Siau In berteriak marah, lalu menerjang
Chin Tong Sia. Dengan tangkas Chin Tong Sia mengelak, lalu melangkah ke samping dan berusaha
meneruskan jalannya. Tapi mana mau Siau In melepaskannya"
Dengan mengerahkan seluruh kepandaiannya gadis itu mencoba meringkus pemuda yang
telah membuat dirinya menderita malu bukan main itu.
Belasan jurus telah terlewati. Ternyata dengan tangan kosong Siau In tak mampu
menjatuhkan lawannya, padahal pemuda itu sama sekali tak pernah membalas. Saking
marah dan jengkelnya Siau In menghunus sepasang pedang pendeknya. Dengan dua
buah senjata andalannya itu Siau In mencoba mencabik-cabik tubuh Chin Tong Sia!
Namun kali ini Siau In benar-benar ketemu batunya. Pedang pendeknya yang baru
saja menaklukkan seorang ketua partai persilatan yang cukup tenar seperti It
Kwan itu, kini ternyata menjadi melempem, dan sama sekali tak bisa berbuat
banyak terhadap pemuda tak ternama seperti lawannya itu.
Jangankan dapat menyentuh tubuhnya, sedang bayangannya pun Siau In tak mampu
menggapainya. Bahkan bila mau, tampaknya dengan mudah pemuda itu bisa meloloskan diri dari
libatan pedang Siau In dan pergi dari tempat itu.
Namun kelihatannya Chin Tong Sia memang tak hendak meninggalkan tempat tersebut.
Sebaliknya dari berlari, Chin Tong Sia malah melenggang bolak-164
balik dan berputar-putar di tempat itu sambil mengelakkan serangan pedang Siau
In. Sambil melenggang dan menghindar, pemuda yang sudah angot gendengnya itu
berpantun! Di sana gunung, di sini gunung!
Di lembah ada sungainya...!
Di sana melembung, di sini... ya melembung!
Oooiiiiii..." Di tengah-tengah ada... jurangnya!
Ketika menyebut kata-kata gunung, Chin Tong Sia menggerakkan tangannya ke atas
dan ke bawah, seperti hendak memperagakan dua buah benda yang menonjol atau
melembung. Dan ketika menyebut kata-kata melembung serta kalimat pada bait yang
paling akhir, pemuda itu melakukannya dengan tertawa cekikikan.
Kulit muka Siau In menjadi merah padam bagai udang direbus. Malunya bukan main.
Gadis yang cerdik dan sudah biasa mengolok-olok orang itu dengan cepat bisa
menangkap atau menduga arah pantun yang dinyanyikan pemuda itu. Yang dimaksudkan
dengan gunung yang melembung itu tak lain tentulah pantatnya yang menonjol
besar. Sementara kata-kata lembah atau jurang itu tentu juga dimaksudkan untuk menghina
atau mengejek dirinya. Rasanya Siau In tak ingin hidup lagi kalau tak membunuh pemuda kurang ajar
tersebut. Tapi 165 sebelum ia benar-benar menumpahkan seluruh kelihaiannya, mendadak dari arah
depan terdengar suara ketawa yang lain lagi.
"Ah, salaaaaaah! Salah...! Sute, pantunmu itu kurang benar! Harusnya begini...!"
Di sana bokong, di sini bokong...!
"Wah... terpeleset! Keliru... keliru...! Oh, ya begini...!"
Di sana gunung, di sini gunung! Di lembah ada sungainya...!
Di sana melembung, di sini melembung hi-hi-hi-hi..!
Di tengah-tengah ada... ada... ada sungainya!
"Hahaha! Nah, itu baru benar! Di tengah-tengah ada sungainya! Bukankah di sana
ada mata air yang mengalir" Haha-hoho-ha-ho...!"
"Suheng...!" tiba-tiba Chin Tong Sia membentak keras sekali. "Di mana kau
sekarang" Apakah kau tadi juga melihat ..." Awas, sekali ini kau tidak boleh
ikut campur!" "Aku berada di depan. Wah... aku tidak melihat apa-apa tadi. Habis, aku sendiri
sedang berak, sih! Kau juga nakal, tak mau membagi-bagi kebahagiaan bila dapat mangsa. Seharusnya
tadi kau memberi tahu, 166
dong! Meski masih berak, aku juga akan berlari ke situ, hehehe...!"
Siau In cepat mengeluarkan pisau-pisaunya. Karena kemarahannya sudah tidak bisa
dibendung lagi, maka pisau-pisau itu pun segera beterbangan mencari mangsa. Kali
ini Chin Tong Sia benar-benar harus mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Tubuhnya
yang kurus itu berkelebatan melebihi kecepatan pisau.
Meliuk, meluncur, menukik, melenting, dan melayang ke segala penjuru, laksana
lebah yang mengitari bunga. Gerakannya indah dan cepat bukan main.
Belasan pisau yang dipunyai Siau In telah habis terpakai, namun tak sebuah pun
yang dapat mengenai sasarannya. Pemuda lawannya itu terlalu gesit dan lincah.
Siau In menjadi kesal dan putus asa. Saking kesalnya gadis itu segera membuang
pedangnya. Sambil menjatuhkan diri di atas rumput Siau In menangis sejadi-jadinya!
Tentu saja Chin Tong Sia menjadi kaget sekali
"Lho... bagaimana ini" Kenapa tiba-tiba jadi menangis...?"
Chin Tong Sia menggaruk-garuk rambutnya yang tidak gatal. Pemuda itu tidak tahu
apa yang harus dikerjakannya. Membujuk salah, tidak membujuk hatinya tidak tega.
Siau In memang ingin menumpahkan seluruh kekesalannya, seluruh kemarahannya, dan
juga seluruh kekecewaannya, sehingga beberapa waktu lamanya ia masih menangis
sesenggukan. Sebaliknya 167
Chin Tong Sia yang menunggu di dekatnya, melihat Siau In tak kunjung
menghentikan tangisnya, menjadi salah tingkah. Mendadak timbul rasa sesalnya,
karena telah membuat kesal hati gadis cantik itu. Dengan agak takut-takut, takut
mendapat semprotan lagi, Chin Tong Sia berlutut di samping Siau In. Dengan kata-
kata halus dan ucapan sesal, pemuda itu mencoba menghentikan tangis Siau In. Tak
Rahasia Kitab Tujuh 1 Naga Jawa Negeri Di Atap Langit Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Ajidarma Setan Harpa 4
^