Pencarian

Pisau Kekasih 4

Pisau Kekasih Karya Gu Long Bagian 4


aturan." Kao Hie mendesah sambil menepuk lututnya:
"Benar-benar pendapa t yang bagus."
Wie Kai tertawa lalu berkata lagi:
"Tetapi jika perempuan seperti itu benar-benar ada,
pastinya akan sangat menakutkan!"
"Mengapa berkata seperti itu?"
Tiba-tiba pandangan Wie Kai menatap ke pintu belakang
sambil berkata: "Tidak disangka!"
"Apanya yang tidak disangka?" kata Kao Hie.
Perkataan itu belum selesai, Kao Hie sudah melesat
sejauh 5-6 langkah. Dia sudah berdiri di samping orang yang datang dari
pintu belakang. Ada dua orang yang datang, yang satu adalah Tonghong
Ta-cing dan yang satu lagi adalah Seebun Long.
Tidak disangka ternyata perempuan ini jatuh ke pelukan
Tonghong Ta-cing. Tapi jika dipikirkan kembali, hal ini tidak aneh
Bukankah dia adalah tunangannya Tonghong Ta-cing"
Kao Hie sudah berdiri di samping Tonghong Ta-cing dan
keduanya saling menyapa dan tertawa.
Wie Kai tidak menyangka dia telah terjebak dan dalam
hal ini dia tidak mengira Kao Hie lumayan hebat.
"Kao Hie, sandiwaramu tadi hebat juga," Wie Kai
"Membunuh orang memang berdosa, tetapi membujuk
mati seseorang tidaklah berdosa."
Kata Wie Kai: "Seebun Long, aku benar-benar salut padamu."
"Kau sangat berhati lapang," kata Seebun Long.
"Yang berhati lapang adalah Tonghong Cong-pu-thouw."
"Mengapa aku?" kata Tonghong Ta-cing.
"Karena dia adalah tunanganmu."
"Lalu apa hubungannya kalau dia tunangan-ku?"
"Karena kau membiarkannya bebas berkeliar-an."
Tonghong Ta-cing tertawa tanpa ada rasa marah sedikit
pun. Di dunia ini apa pun bisa dinikmati bersama-sama,
hanya wanita saja yang tidak boleh dinikmati bersamasama.
Lain dengan Tonghong Ta-cing, dia sama sekali tidak
ada reaksi hanya berkata:
"Wie Kai, kau ikut denganku!"
"Mengapa?" "Kau dituduh ikut terlibat kasus penculikan."
"Mana buktinya?"
"Bukankah Lok Hiang ada di tempat ini" Kau sendiri
dengan suka rela mengirimkan saksi hidup ke tempat ini."
Wie Kai tertawa keras. Kao Hie juga tertawa keras.
Tonghong Ta-cing malah tertawa lebih senang.
Hanya Seebun Long yang tidak tertawa.
Tertawa tidak selamanya mencerminkan kebahagiaan
seseorang. "Kau sebenarnya tidak ingin aku sampai diadili di
pengadilan." Kata Wie Kai.
"Oh ya?" "Karena yang benar-benar menjadi dalang penculikan
Siau-liong adalah tunanganmu sendiri."
"Memang benar," kata Tonghong Ta-cing: "Kau benarbenar jujur."
"Tetapi di depan pengadilan tentu saja tidak bisa begitu
saja." Kata Wie Kai: "Lalu bagaimana" Menarik kembali pengaku-an" Jangan
lupa masih ada Lok Hiang, kau tidak bisa begitu saja
menutup mulut seorang saksi ma ta."
"Soal pengakuanku di hadapan pengadilan, biar aku
sendiri yang memutuskan!" Lok Hiang keluar dari pintu
belakang diikuti oleh laki-laki yang menjaga-nya tadi.
"Sekarang ikut denganku!" kata Tonghong ta-cing "Congpu-thouw, aku ingin
menanyakan satu hal padamu."
"Tanyakan saja."
"Apakah Sangguan kekuasaanmu?" Lie masih berada dalam "Jangan dengar omong kosong yang dikatakan orang
lain." "Anak itu sudah kembali padanya?"
"Tentu saja! Ada hal lain?"
"Tidak ada." Wie Kai menjulurkan tangannya.
Penjaga itu memakaikan borgol pada tangan Wie Kai.
Terdengar suara 'klik' pertanda borgol telah terkunci
pada tangan Wie Kai. Kao Hie terlihat sedikit terkejut.
Seebun Long membuka matanya lebar-lebar tanpa
berkedip. Hanya Tonghong Ta-cing saja yang tertawa senang.
Tentu saja dia tertawa. Semua orang yang menjadi Tonghong Ta-cing pasti akan
tertawa senang. Bagaimana tidak, tanpa susah payah hanya dengan
sekali gerakan, kasus terpecahkan.
Tonghong Ta-cing berkata:
"Wie Kai, kau pendekar yang sudah jatuh."
"Hal seperti itu tidak perlu kau katakan keras-keras."
"Tetapi kau tidak mau mengerti."
"Kalau begitu aku ingin mendengar pendapat orang yang
mengerti." "Kau seharusnya tahu, sekali aku turun tangan, demi
keamanan, aku terpaksa harus memusnahkan ilmu
silatmu." Wie Kai tertawa. Dia masih saja menganggap hal ini
biasa-biasa saja, katanya:
"Begitu aku menjulurkan kedua tanganku tadi, aku sudah
bisa menebaknya." "Hanya sedikit orang yang bisa menerima hal ini," kata
Tonghong Ta-cing. "Karena aku sangat mengenal dirimu."
"Kau tidak cukup mengenal diriku."
"Apa maksudmu?"
"Sebab jika mulutku berkata aku akan memusnahkan
ilmu silatmu, itu artinya aku tidak akan melaku kannya."
"Aku salut padamu," kata Wie Kai tertawa.
Tonghong Ta-cing mengibaskan tangannya: "Bawa
pergi!" Seebun Long tidak bisa mengerti dirinya. Kao Hie juga
sama. Sebab dengan kekuatan Wie Kai hanya menghadapi
segelintir orang-orang ini, seharusnya sama sekali bukan
masalah baginya. Bahkan kemungkinan besar Tonghong Ta-cing sendiri
pun tidak mengerti dirinya.
Sangguan Lie sedang mengajar Siau-liong.
Walaupun masih banyak urusan yang harus
dikerjakannya, tetapi sepertinya dia sama sekali tidak
mengeluh. Malam semakin larut. Siau-liong sudah beberapa kali menguap.
Dia mengantar anaknya untuk tidur dan setelah itu dia
kembali ke kamarnya sendiri.
Tiba di kamarnya, ternyata di dalam sudah ada orang
yang menunggunya. Orang itu ternyata adalah Bu Si-cin.
Tidak peduli kapan pun, begitu melihat dirinya atau pun
mendengar suaranya, Sangguan Lie langsung tidak senang.
Kata Sangguan Lie: "Sudah kubilang, kalau tidak ada urusan jangan seringsering datang."
"Sangguan-heng."
"Sapaan seperti itu sangat tidak aman." Bu Si-cin tertawa
dingin dan berkata: "Sangguan Tayhiap, aku datang kemari
untuk menyampaikan pesan."
"Katakan!" "Suma Hen ingin aku menyampaikan maksudnya
padamu." "Apa?" "Terima kasih atas kemurahan hatimu."
"Sangguan Lie selalu menepati janjinya."
"Ada hal lain lagi yang dia minta untuk kusampaikan
padamu." "Jika tidak penting, tidak perlu kau katakan."
"Aku rasa ini penting."
"Benar penting?" ^
"Aku jamin kau bisa terkejut setelah mendengarnya."
"Bah!" "Martabatku sebagai jaminannya."
"Memangnya kau punya martabat?"
"Jika kau punya, mengapa aku tidak?"
Muka Sangguan Lie merah padam, jika hendak mengadu
martabat mereka berdua, dia belum tentu bisa lebih berat
dari pihak lawannya. Dia paling takut membicarakan hal ini.
"Cepat katakan!" kata Sangguan Lie.
"Orang itu berkata, Siau-liong mungkin bukan anak
kandungmu tetapi anak kandung Wie Kai."
Ingin rasanya Sangguan Lie membuang masa-lah ini ke
dalam air dan membiarkannya mengalir tanpa perlu tahu
sampai ke mana. Malah lebih bagus lagi jika tidak pernah
muncul lagi ke permukaan.
Dia berharap hal ini hilang untuk selamanya.
"Aku tidak percaya! Itu pasti hanya omong kosong
belaka!" kata Sangguan Lie.
"Aku juga tidak berani mengambil kesimpulan apa-apa,
tetapi tampang Siau-liong......"
"Memangnya kenapa?"
"Tinggal lihat saja tampangnya mirip tidak dengan Wie
Kai, beres kan?" Sangguan Lie tiba-tiba merasa menjadi lebih tua 20
tahun. Dia menatap seluruh ruangan di sekelilingnya. Semua
yang ada di ruangan itu seakan-akan juga sama sedang
menatap dirinya. Tiba-tiba dia mengambil pedangnya lalu berkata: "Aku
tidak percaya!" Bu Si-cin langsung menghambur keluar ruangan. Begitu
Sangguan Lie mengejarnya. Bu Si-cin sudah menghilang.
Dia masuk ke kamar anaknya dan melihat Siau-liong
sedang duduk di atas ranjangnya.
Karena dia mendengar suara ayahnya sedang bertengkar
dengan seseorang makanya dia terbangun.
Dia sama dengan ayahnya. Dia tidak ingin terpisah lagi dengan ayahnya untuk
kedua kalinya. Sangguan Lie tiba-tiba sudah berdiri di depan ranjang
anaknya. Dia membuang pedangnya dan kedua tangan-nya
memeluk wajah anaknya. Dia menilai-nilai wajah anaknya.
Dari atas kepalanya, alisnya, matanya, hidungnya,
mulut, telinga. Lalu dari bawah kembali ke atas.
Akhirnya dia sama sekali tidak melihat hal yang aneh.
Mirip dengan Seebun Long, tidak mirip dengan dirinya.
Lalu dia memperhatikannya sekali lagi.
Dahinya yang lebar, alis yang panjang, hidung mancung
dan bibir yang lebar, tidak ada satu pun yang tidak mirip
Wie Kai. Hanya matanya saja yang mirip Seebun Long.
Boleh dikatakan tidak ada satu pun yang mirip dengan
dirinya. Sekujur tubuh Sangguan Lie menjadi dingin.
Dengan sekuat tenaga dia mendorong Siau-liong ke
ranjang. Siau-liong sama sekali tidak mengerti apa yang sedang
terjadi karena ayahnya tidak pernah berlaku seperti ini
sebelumnya. Dia tidak mengerti mengapa orang dewasa begitu
menakutkan. Dia berkata dengan takut-takut:
"Ayah! Mengapa kau memperlakukan Siau-liong seperti
ini?" "Jangan panggil aku ayah! Jangan pernah memanggilku
lagi!" Sangguan Lie menutup telinganya dengan kedua
tangannya. Tekanan yang dia terima sudah terlalu berat.
Penghianatan istrinya. Rahasia yang terbongkar. Istri
keduanya yang liar. Dan sekarang bertambah satu lagi, anaknya bukanlah
anak kandungnya. Dia menundukkan kepalanya.
Kemudian kedua ayah dan anak itu saling bertukar
pandang sejenak, lalu dia mengambil pedangnya dan keluar
dari ruangan itu. 0ooo0dw0oo0 BAB V Di dalam sebuah ruangan tanpa cahaya, ada seseorang
yang sedang membereskan benda-benda berharga dalam
kegelapan. Indera perasa Bu Si-cin memang sangat tepat.
Dia harus segera meninggalkan tempat ini.
Barang yang telah dikumpulkannya selama ini lumayan
juga banyak. Ada yang merupakan hadiah pemberian dari Liu Eng,
ada juga pemberian Sangguan Lie atas kerja kerasnya
berupa 'bunga merah'. Dia benar-benar telah melakukan tugasnya dengan baik.


Pisau Kekasih Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pada dasarnya dia ingin sekali tinggal di sini.
Jika dia membunuh Sangguan Lie, yang palsu pun bisa
menjadi yang asli. Tetapi dia adalah orang yang tahu diri.
Dulunya dia bukanlah siapa-siapa dan dia sudah cukup
menikmati hidup enak selama ini, di-tambah lagi dia masih
belum mau mati di tangan Sangguan Lie.
Belum selesai Bu Si-cin membereskan kantong
bawaannya, tiba-tiba di depan muka pintu berkelebat
bayangan seseorang yang masuk ke dalam ruangan.
"Siapa?" "Kao Hie," kata orang yang baru datang.
"Ilmu yang hebat."
"Terima kasih."
"Ada perlu apa mencariku?"
"Ada perlu sedikit, ini bakal menjadi yang terakhir
kalinya." "Yang terakhir?"
"Kau kan hendak pergi! Tentu saja jadi yang terakhir
kalinya bukan?" Sungguh kata-kata yang tidak enak didengar. "Sekarang
aku sedang berada dalam situasi yang. sulit," kata Bu Si-cin.
"Ya, aku tahu."
"Kau adalah orang pintar, jika demikian segala
sesuatunya menjadi lebih mudah."
"Coba aku ingin dengar penawaranmu." "Sepuluh ribu
tail perak." "Jumlah yang tidak sedikit, "kata Kao Hie. "Tetapi jika
bisa digandakan malah lebih bagus lagi."
"Kau tamak juga!"
"Tidak juga, malah ada orang yang jauh lebih tamak
dariku yang bisa membuatmu kaget."
"Siapa?" "Suma Hen, Tonghong Ta-cing dan lain-lain. Tapi aku
rasa mereka tidak akan sepengertian diriku"
"Kurang ajar." Bu Si-cin melesat ke udara sambil mengeluar-kan
sepasang pisau kecilnya. Gerakannya cukup cepat dan tekniknya juga cukup
kejam. Kao Hie dalam sekejap sudah melesat di udara dan
sekejap kemudian berada di tanah.
Bu Si-cin bukanlah orang bodoh, dia tahu dia bakal
kerepotan menghadapi Kao Hie.
Kao Hie berhasil menghindari pisau yang menyerangnya
dan senjata itu menghantam tembok.
Lalu dia menggunakan pisaunya menyerang balik Bu Sicin.
Saat itu ada seseorang yang menerjang masuk. Dalam
sekejap orang ini menepis serangan pisau tadi.
Semula Kao Hie mengira orang ini adalah Tonghong Tacing,
Tetapi setelah dilihat-lihat, ternyata tidak mirip.
Orang ini menyerang Kao Hie.
Tanpa membuang waktu Bu Si-cin menyambar
kantungnya dan melesat keluar melalui jendela.
Kao Hie merasa tidak asing dengan sepasang mata yang
berada di atas kain penutup mulut orang itu.
Tentu belum lama ini dia pernah bertemu dengan orang
ini. Lagi pula sabetan pisaunya terasa sekali berniat
mencelakainya. 'Sret...." Bagian perut Kao Hie terluka oleh sabetan
pisau. Kao Hie segera melesat melarikan diri melalui jendela.
Anehnya orang yang misterius itu sama sekali tidak
mengejarnya. Bu Si-cin melarikan diri sampai ke daerah kuburan.
Dia sama sekali tidak menyangka bakal di-tolong oleh
seseorang yang misterius.
Bu Si-cin berkata sambil menelan ludahnya:
"Lo-toa, untunglah kau datang tepat pada waktunya."
"Tidak seharusnya kau pergi tanpa pamit ter-lebih
dahulu," kata orang yang di panggil Lo-toa.
"Setelah membereskan memang begitu." barang-barangku, niat-ku "Huh! Kantongmu itu paling juga hanya berisi beberapa
puluh ribu tail saja, begitu saja kau sudah berubah."
"Tentu saja tidak, Lo-toa."
"Lebih baik kita kabur dulu baru bicara,"
"Baik." "Hidup enak sudah kau nikmati, bahkan Sangguan Lie
sendiri pun tidak bisa berkutik, sekarang kau sudah puas,
kan?" "Lo-toa, bagaimana pun walau tidak berjasa tapi aku pun
ada pengorbanan." "Memang." "Apakah artinya kau mau melepaskan aku?"
"Kau tidak tahu yah" Kematianmu itu sudah masuk
dalam agenda rencana."
Bu Si-cin tanpa tarasa mundur tiga langkah sambil
berkata dengan dingin: "Jadi kematianku sudah ditentukan?"
Orang yang berkedok itu tertawa dingin.
Bagi telinga Bu Si-cin, tawa itu terdengar tajam menusuk
seperti pedang. Tiba-tiba orang itu mengeluarkan tangannya.
Di tangannya ternyata ada pisau-pisau kecil yang tadi.
Tetapi bedanya, pisau itu terlihat seperti hidup di tangan
orang berkedok itu. Pisau-pisau itu terus mengarah ke tenggorok-kan Bu Sicin.
Tiba-tiba orang itu berkata:
"Bu Si-cin, mengapa tidak kau suruh teman yang
dibelakangmu itu untuk ikut maju juga?"
Bu Si-cin sama sekali tidak mengerti, teman yang mana"
Dia sama sekali tidak punya teman. Seberkas sinar
berkelebat, ternyata pisau itu sudah menancap di
kerongkongan Bu Si-cin. Bu Si-cin tewas dengan mengenaskan.
"Siapa?" seru orang berkedok itu.
Ternyata perkataannya tadi bukan omong kosong belaka.
Sebenarnya perkataannya tadi ada dua maksud.
Pertama bisa mengalihkan perhatian Bu Si-cin sehingga
dia bisa menyerang tanpa di duga.
Yang satu lagi adalah memberitahu orang yang satu lagi
bahwa dia sudah ketahuan.
Tetapi orang itu tidak membalas sahutannya.
Pada mulanya dia mengira Kao Hie yang datang
mengejarnya. Tetapi itu tidak mungkin sebab saat ini Kao Hie sedang
terluka. Mungkin hanya halusinasinya saja.
Sekarang dia memeriksa isi kantung Bu Si-cin, berapa
banyak barang berharga di dalamnya.
Gerakan orang berkedok itu sangat cepat. Dia
mengambil uang emas yang ada di dalam kantung itu lalu
pergi. Baru saja orang itu pergi, Kao Hie datang.
Kata Kao Hie sambil menghela nafas:
"Dulu sewaktu masih hidup kau makan dan minum enak
dalam pelukan wanita, sekarang mati pun memang sudah
sepantasnya! Tapi maaf, sekarang aku hendak mengeledah
tubuhmu dulu." Dari tubuh Bu Si-cin, Kao Hie berhasil mendapatkan
beberapa lembar cek. "Sepertinya kau memang lebih pintar dari orang itu,
tetapi aku jauh lebih pintar darimu."
Begitu Kao Hie berlalu, lagi-lagi ada orang lain lagi yang
datang. Orang ini sama sekali tidak melihat isi kantung Bu Si-cin
dan juga tidak menggeledah tubuhnya.
Dia hanya memandangi mayat Bu Si-cin, lalu berkata:
"Sepintar-pintarnya dirimu mana mungkin melebihi
kepintaranku?" Sekarang Sangguan Lie seakan-akan sudah tidak waras.
Dulu asalkan ada Sangguan Siau-liong, dia sudah tidak
butuh apa-apa lagi. Tetapi sekarang semuanya sudah berubah.
"Sangguan Siau-liong adalah anak haram!" Itu lah yang
ada dalam pikiran Sangguan Lie sekarang.
Di tengah kegelapan malam, Sangguan Lie berjalan di
jalanan, tidak tentu arah.
Bagi dirinya sekarang, walaupun dunia ini luas tetapi
sudah tidak ada tempat lagi bagi dirinya, di mana pun juga.
Tidak terasa dia sudah sampai di depan pintu sebuah
ekspedisi pengantar barang.
Dari pintu itu keluar 3 buah kereta yang membawa
isinya yang sangat berat.
Tentu saja dia tahu, isinya pasti barang berharga.
Apalagi mereka berangkatnya di tengah malam buta
seperti ini, pasti isinya sangat berharga sekali.
Pemimpin ekspedisi itu ada dua orang dan sepertinya
mereka bersaudara, usia mereka kurang lebih sekitar 30* an.
Tentu saja Sangguan Lie mengenalnya, mereka ini
adalah pemilik dari Ih-li Piau-kiok, Sie Liam-lai dan Sie Talai.
Mereka adalah pemimpin ekspedisi yang sangat terkenal.
Tadinya Sangguan Lie tidak ada niat untuk melihat hal
ini, tetapi tiba-tiba dia melihat ada dua orang gadis yang
berusia sekitar 20 tahunan, berbicara dengan mereka
beberapa kata lalu menutup pintu.
Kedua gadis ini tidak hanya cantik tetapi juga putih dan
kulitnya mulus. Saat ini tiba-tiba gairah Sangguan Lieber-gejolak.
Boleh dikatakan, dia ingin mencoba apakah dirinya
benar-benar tidak mampu lagi"
Beberapa tahun belakangan ini, dia sama sekali tidak
pernah memikirkan wanita karena dipikirkan juga percuma.
Melihat gadis cantik pun dia tidak pernah tergugah.
Karena itulah dia tidak pernah memerlukannya.
Tapi kali ini lain, dia merasakan ada reaksi di dalam
rubuhnya. Bagi Sangguan Lie hal ini jauh lebih berharga dari semua
harta yang dimilikinya. Setelah sekian lamanya. Oleh karena itu dia ingin mencobanya.
Sangguan Lie memasuki gedung ekspedisi ini.
Untung sekali mereka sudah pergi sehingga di dalamnya
hanya tersisa beberapa orang saja.
Dalam sekejap mata dia sudah tiba di depan tempat tidur
gadis itu. Sangguan Lie menutup wajahnya dengan secarik kain.
Walaupun nama Sangguan Lie di dunia persilatan tidak
bagus dan bersih, tetapi tidak juga jelek.
Tetapi sampai di usianya yang sekarang malah justru
tidak tahu bagaimana menghargainya.
Dia memasuki tempat ini dan letak kamar dari gadis itu
berada di tengah-tengah rumah ini.
Untunglah kedua orang itu pergi keluar mengantar
barang sehingga di rumah itu hanya tersisa beberapa orang
saja. Dalam sekejap mata Sangguan Lie sudah berdiri di
hadapan ranjang gadis itu.
Setelah menghela nafas dua kali, dengan wajah yang
masih tertutup, dia menyingkap tirai penutup ranjang gadis
itu. Lalu dia membuka pakaian atas gadis itu dengan
menggunakan pedangnya. Dia langsung terpikat melihat tubuh molek dari gadis itu
sehingga tanpa sadar mengeluarkan suara.
Suaranya itu membuat sang gadis terbangun.
Karena sudah lama tidak bereaksi terhadap hal seperti ini
membuat dia terlambat sadar.
Gadis itu menjerit. Sangguan Lie segera mengarahkan ujung pedangnya ke
arah tenggorokan gadis itu.
"Apa yang kau lakukan?" kata Gadis cantik itu.
"Seharusnya kau sudah tahu."
"Aku tahu siapa dirimu."
"Kau tahu siapa aku" Itu malah bagus!"
"Tidak disangka orang sepertimu melakukan hal
seperti ini!" "Aku terpaksa," kata Sangguan Lie.
"Terpaksa?" gadis itu tentu saja tidak mengerti.
"Benar." "Apanya yang terpaksa?"
"Aku tidak pernah membicarakannya dengan orang
lain." "Mengapa?" "Karena ini adalah masalah laki-laki. Selama 5-6 tahun
ini aku kehilangan kemampuanku sehingga istriku tidur
dengan lelaki lain. Gadis ini bukannya takut malah merasa iba dan kasihan.
"Karena itu aku sangat menderita."
"Jika kau sudah tidak mampu lagi, lalu mau apa kau
datang kemari malam-malam begini?"
"Aku hanya ingin coba-coba saja."
"Kau mau membuatku menjadi kelinci percobaanmu?"
Gadis cantik itu agak marah.
"Bukan, bukan. Tadi aku melihatmu di jalan dan aku
seperti bagaikan melihat bidadari."
Bidadari" Semua orang mengatakan bahwa dia cantik
tetapi belum pernah ada yang mengatakan bahwa dia
seperti bidadari. Dia agak sedikit senang mendengarnya.
Dia adalah istri dari pemimpin kedua eksptvlisi ini, Sie
Ta-lai. Kalau sedang tidak mengantar barang, yang dia
lakukan adalah rajin berlatih ilmu silat.
Orang seperti itu pastinya akan menelantarkan istrinya.
Dan alasannya hanya dua, yang pertama adalah karena


Pisau Kekasih Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kelelahan dan yang kedua adalah khawatir luka di tubuhnya
membuat takut wanita. Dan dia menganggap wanita itu hanyalah benda yang
merepotkan. Gadis cantik ini baru berusia sekitar 21 tahunan dan
tentu saja sedang mekar-mekarnya.
Kata Sangguan Lie: "Bagaimana" Di waktu yang akan datang aku akan
sangat berterima kasih."
"Apakah kau tidak akan melepaskan kedok-mu?"
Sangguan Lie menurunkan penutup wajahnya.
Tentu saja gadis ini mengenalnya.
Di dunia persilatan, walau dalam jarak ratusan li
sekalipun, siapa yang tidak mengenal Sangguan Lie"
"Ternyata kau!"
"Apakah kau pikir aku tidak akan bisa melakukan hal
seperti ini?" kata Sangguan Lie.
"Kau begitu kaya, orang lain tentu saja tidak akan
menyangka kau melakukan hal seperti ini."
Sangguan Lie menyarungkan lagi pedangnya dan mulai
membuka pakaiannya. Tidak disangka penyakitnya telah sembuh.
Betapa senangnya Sangguan Lie.
Dan kebetulan sekali gadis ini sepertinya tertarik dengan
kekayaan dan ketenarannya.
Sangguan Lie menatap tubuh molek gadis itu dan begitu
juga sebaliknya. Baru saja Sangguan Lie hendak melakukannya, tiba-tiba
saja pintu kamar terbuka.
Dari mulut pintu terlihat seorang pria dan seorang gadis
cantik lainnya. Kebetulan sekali gadis ini juga adalah salah satu gadis
yang dilihatnya di jalan tadi.
Dia adalah istri dari pemimpin pertama.
Pada dasarnya kedua istri pemimpin ini memang tidak
akur dan tentu saja inilah kesempatan yang baik baginya.
Tadi sewaktu gadis itu menjerit, istri dari pemimpin
pertama sudah mendengarnya.
Mereka semua menguasai ilmu silat, hanya saja jarang
ditunjukkan di depan umum. .
Dia telah mendengar semuanya di luar jendela dan
sangat senang karenanya. Lalu diam-diam pegawainya. dia memanggil salah seorang Sangguan Lie sangat terkejut dan gadis yang ada di atas
ranjang itu tiba-tiba menjerit: "Tolong!"
Saat ini dia baru menyadari pengaruh dari suatu
ketenaran dan kekayaan itu.
Jika tidak, mengapa gadis ini tidak kabur dari tadi"
Gadis itu berkata dengan suara keras:
"Jangan biarkan penjahat
Tolong.......pemerkosa ini kabur. Tolong....... Baru saja gadis ini berteriak minta tolong, bersamaan
dengan terbukanya pintu. Wanita memang punya mempertahankan dirinya. cara tersendiri untuk Sangguan Lie sama sekali tidak bisa berkutik.
Padahal dilihat dari kemampuannya seharus-nya dia bisa
menerobos keluar. Tapi sebagaimana pun kuatnya seseorang tentu saja tidak
bisa berbuat itu sambil memakai baju kan"
Tidak ada perguruan manapun yang mengajarkan
padanya teknik bertarung sambil memakai baju.
Gadis yang di atas ranjang masih tetap ber-teriak minta
tolong, sedang gadis yang di depan pintu juga sama
berteriak. "Perempuan tidak tahu diri, jelas-jelas istri orang tapi
masih berani main belakang dengan lelaki lain, dasar
perempuanjalang!" Pegawai itu sama sekali bukan lawan Sangguan Lie, d
alam sekejap saja sudah bisa mengalahkan.
Gadis cantik itu juga langsung ikut bertarung dengan
mengayunkan goloknya. Baru saja Sangguan Lie berhasil mengenakan celananya.
Ketika mau memakai bajunya, tiba-tiba sebuah tusukan
pisau mengenai pinggang belakangnya.
Yang menusuknya adalah Ji-hujin yang hampir bercinta
dengannya. Dia tidak pernah menyangka Ji-hujin akan menusuknya
dari belakang. Tapi yang lebih tidak disangkanya lagi, tiba-tiba Ji-hujin
mengeluarkan sebilah pisau lagi dan langsung menyerang
Toa-hujin melewati bahu kanan-nya dan langsung menusuk
kepalanya. Pegawai yang tadi masuk berkata:
"Ji-hujin, mengapa kau membunuh orang sendiri?"
Tanpa bicara Ji-hujin pun langsung membunuh pegawai
ini, sebelum bajunya dirapikan.
Sangguan Lie termangu-mangu.
Ji-hujin dengan santai merapikan pakaiannya.
"Kau sungguh kejam," kata Sangguan Lie.
"Kau benar-benar tidak tahu berterima kasih!"
"Aku?" Lagi-lagi Ji-hujin tertawa sambil berkata: "Jika tidak
begini, mana bisa membereskan masalah yang merepotkan
ini?" , "Tapi kau menusukku juga."
"Itu hanya untuk mengelabui orang lain," kata Ji-hujin,
"Bagaimana keadaanmu sekarang?"
"Tidak apa-apa."
"Ya, tentu saja! Jika tadi aku menggunakan tenaga,
memangnya kau masih bisa hidup seperti sekarang?"
Sangguan Lie mengangguk-anggukkan kepala.
Reaksinya memang kalah cepat dengan gadis ini.
"Nah, sekarang giliranmu. Kau bawa kedua mayat ini ke
dalam kamar Toa-hujin. Ini harus ada penyelesaiannya."
"Apakah kau ingin orang lain menyangka bahwa Toahujin dan orang ini diam-diam
berkencan?" "Benar." "Tapi mereka berdua kan mati?"
"Pokoknya pindahkan saja, nanti kau akan mengerti
sendiri." Sangguan Lie terpaksa menurut.
Dia tidak menyangka orang seperti dirinya akan
mengerjakan hal seperti ini.
Sesudah melakukan sesuai perintah, Ji-hujin memanggil
kembali untuk membantu membersihkan darah di
kamarnya. Begitu selesai, Ji-hujin segera pergi ke kamar Toa-hujin.
Ji-hujin memandangi menimbang-nimbang. kedua mayat itu sambil "Kau sedang apa?" kata Sangguan Lie.
"Aku sedang berpikir bagaimana mengatur tentang posisi
antara Toa-hujin dengan pegawai itu agar terlihat
meyakinkan." "Tentu saja di atas ranjang. Tetapi lalu siapa yang
membunuh mereka?" "Baiklah! Kau taruh mereka berdua di atas ranjang lalu
posisikan mereka seakan-akan mereka sedang melakukan
hubungan tubuh." Tidak disangka-sangka ternyata Sangguan Lie benarbenar menuruti perintah orang
ini. Dia terlebih dahulu melucuti pakaian Toa-hujin, barulah
kemudian melucuti pakaian si pegawai.
Sangguan Lie melihat luka tusukan pada kedua mayat
itu, tusukannya sangat dalam dan mematikan.
Sangguan Lie membalikkan tubuh mereka dan melihat
wajah Toa-hujin. Pada dasarnya dia memangsangat cantik.
"Nasibmu jelek sekali," kata Ji-hujin.
"Aku?" "Jika mereka berdua tidak datang atau telat sedikit saja,
kau sudah mendapatkan aku dan mem-buktikan apakah kau
masih bisa melakukannya atau tidak."
Peruntungannya memang jelek sekali.
Dia sendiri sampai tidak habis berpikir meng-apa dia bisa
sampai mengalami kejadian seperti ini.
Tiba-tiba Sing ....sing ....sing.... Ji-hujin melemparkan
tiga buah pisau ke arah Sangguan Lie.
Sangguan Lie berhasil menghalau sebuah pisau tetapi
yang dua berhasil menancap di punggungnya.
Ji-hujin lagi-lagi melemparkan sebuah pisau lagi ke arah
Sangguan Lie dan kali ini mengenai bagian pinggangnya.
Sangguan Lie roboh di pinggir ranjang dan tidak
bergerak sama sekali. Ji-hujin tertawa. Darah menetes dari ketiga mayat itu mem-basahi ranjang
sampai ke lantai. Tetapi wajahnya sama sekali tidak
menampakkan ekspresi apa pun.
Dia menimang-nimang ke tiga mayat itu:
"Harus dipikirkan mengatur semua ini?"
baik-baik, bagaimana baik-nya Di belakangnya terdengar ada suara yang berkata dingin:
"Aku ada akal!" Ji-hujin terkejut setengah mati. Dia
membalikkan tubuhnya, ternyata orang itu adalah
suaminya, Sie Ta-lai. Sie Ta-lai berdiri menggenggam goloknya sambil
memandang istrinya. "Ta-lai, baguslah kau sudah pulang," Kata Ji-hujin,
"aku menemukan kakak ipar....."
Sie Ta-lai mengangkat tangan memotong perkataannya:
"Aku sudah melihat semuanya." Ji-hujin tidak bisa
berkata apa-apa, hanya bisa menangis di hadapannya
sambil berkata: "Sangguan Lie menggunakan pedangnya menodongku
...." Kata Sie Ta-lai sambil menggerung: "Jangan menangis!"
Tangisan Ji-hujin segera berhenti. "Aku baru saja bilang
aku ada akal." Ji-hujin berkata dengan senang sebab
suaminya ternyata sehati dengannya:
"Ta-lai, kau ada ide apa?"
"Sekarang ada tiga mayat, betul kan?"
"Betul." "Tiga itu angka ganjil bukan?"
"Ya, anak kecil pun tahu hal ini." Tiba-tiba golok Sie Talai melesat ke depan
Tanpa sempat menjerit, golok itu menembus perut Jihujin dan membuat tubuhnya
tergolek di samping ranjang.
"Ta-lai,kau....."
Sahut Sie Ta-Iai sambil menekankan setiap ucapannya:
"Tidak lama setelah kau masuk ke dalam keluarga Sie,
aku mendengar sewaktu kau masih di rumah orang tuamu,
kau pernah ada main dengan seseorang dari keluarga Ong.
Tetapi karena tidak ada bukti aku tidak mempersoalkannya
lebih lanjut! Tetapi hari ini aku keluar rumah, karena ada
barangku yang tertinggal maka aku kembali untuk
mengambilnya. Aku kembali bertepatan saat kau
membunuh kakak ipar dan pegawai itu."
Ji-hujin sudah tidak bergeming dan ususnya keluar dari
lubang luka di perutnya. Kejadian ini membuat Sie Ta-lai pusing tujuh keliling.
Tetapi tiba-tiba dia teringat, cara yang terbaik adalah
pergi begitu saja. Asalkan dia merahasiakan semua ini dari kakaknya,
dengan mengatakan bahwa dia tidak jadi pulang ke rumah,
dengan sendirinya ini akan menjadi kasus yang tidak
terpecahkan. ........................................
Wei Kai sedang ditahan di dalam sel.
Tetapi ini bukanlah tahanan milik pemerintah.
Tonghong Ta-cing sedang tidak ada di rumah. Kao Hie
sedang berbincang-bincang dengan Seebun Long di dalam
rumah. "Apakah benar Sangguan Siau-liong bukan anaknya?"
"Tentu saja bukan."
"Jika bukan, mengapa kau mengatakan sebaliknya
sehingga membuat dirinya menderita?"
Wei Kai bisa mendengarkan pembicaraan mereka dari
dalam selnya. "Aku benar-benar tidak mengerti, mengapa Wei Kai
dengan pasrah mau mengenakan borgol di tangannya."
Kata Kao Hie. "Aku tahu mengapa."
"Ya, jika kau saja tidak tahu maka di dunia ini tidak akan
ada orang yang tahu!"
"Dia sedang terguncang, dia baru saja tahu Sangguan
Siau-liong adalah anaknya."
Siapa yang tidak sedih dan sakit hati ketika tahu bahwa
anak yang diculiknya dan diminta tebusan ternyata adalah
anak kandungnya sendiri"
Tentu saja mungkin hanya Seebun Long seorang yang
seperti itu. "Apa Sangguan Siau-liong sungguh anaknya?"
Seebun Long menggelengkan kepalanya:


Pisau Kekasih Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bukan." "Bukan?" "Ya." "Bukankah kau sendiri yang mengatakan padanya bahwa
Siau-liong adalah anaknya?"
"Walau pun bukan aku sendiri yang langsung
memberitahukannya, tetapi dia memang menanyakannya
padaku, dan aku mengiyakannya."
Kao Hie menatapnya dengan penasaran.
"Aku hanya ingin dia tinggal."
"Apakah saat itu dia hendak pergi dari sini?"
"Ya." "Karena dia telah melakukan perbuatan jahat dan
nyawanya sekarang ada dalam bahaya, apa yang akan kau
lakukan sekarang?" "Aku tidak ada rencana apa pun."
"Kau benar-benar hebat!"
Seebun Long tertawa tetapi sinar matanya mem beritahu
Kao Hie kalau dia punya rencana sendiri.
Di saat itu Tonghong Ta-cing sudah pulang dan
menyuruh Kao Hie untuk kembali ke markas.
Kao Hie berpikir sejenak lalu memandang Seebun Long
dengan tatapan yangdalam. Seebun Long berkata:
"Apa ada sesuatu yang hendak kau katakan padaku?"
"Sangguan Lie sudah dibunuh orang."
Seebun Long sangat terkejut sekali.
Dengan matinya Sangguan Lie maka tidak ada orang
yang merawat Sangguan Siau-liong.
Walaupun di permukaan Seebun Long seakan-akan tidak
peduli, tetapi di dalam hatinya tidak demikian.
"Benarkah?" "Ada empat orang yang mati secara bersamaan di waktu
yang bersamaan dan Sangguan Lie salah satunya. Dan ada
tuduhan terhadapnya bahwa dia telah memperkosa seorang
perempuan." "Kau boleh menuduhnya dengan tuduhan apa pun,
tetapi tidak dengan tuduhan yang ini."
"Di dunia ini apa pun bisa terjadi."
"Tetapi aku tahu mengenai hal yang tidak kau ketahui."
"Bagi lelaki yang kehilangan kemampuannya, bukan
tidak mungkin karena sesuatu hal yang memicu dirinya
tiba-tiba sembuh dengan sendirinya."
Tonghong Ta-cing datang bersama Suma Hen.
Begitu melihat, Kao Hie langsung memasang ancangancang hendak menyerangnya.
Kata Tonghong Ta-cing: "Kao Hie, dia adalah saksi utama kita dan juga
pembunuhnya, harus dibiarkan hidup."
Kata Suma Hen tertawa dingin:
"Memangnya apa kejahatanku?"
"Bukankah orang-orang yang mati belakangan ini adalah
hasil perbuatanmu?" "Jangan sembarang menuduh orang!"
"Suma Hen, kau tidak akan bisa kabur lagi."
Tiba-tiba Suma Hen menyerang ke arah Kao Hie tetapi
berhasil dihindarinya. Kemudian Suma Hen menyerang Tonghong Ta-cing
dengan senjata rahasia. Takut senjata rahasia itu beracun,
Tonghong Ta-cing hanya bisa menghindar.
Suma Hen berhasil kabur ke arah hutan dan tidak terlihat
lagi. Tiba-tiba saja kediaman pribadi milik Tonghong Ta-cing
dilalap api. Ada orang entah siapa telah membuka pintu ke ruangan
bawah tanah dan mengakibatkan ruangan di bawah tanah
dipenuhi asap tebal. Hanya sebentar tempat itu menjadi lautan api.
Saat Kao Hie dan Tonghong Ta-cing kembali, di sana
hanya tinggal tersisa 2-3 orang bawahannya saja.
Tonghong Ta-cing sangat murka dan berkata:
"Di belakang masih ada orang yang ditahan, apakah
orang itu masih ada?"
Bawahannya pergi memeriksa dan tidak lama kemudian
dia ditemukan telah mati oleh senjata rahasia yang beracun.
"Tidak usah ditanya lagi," kata Kao Hie. "Mayat ini pasti
Wei Kai." Tonghong Ta-cing marah luar biasa.
"Sebelum Wei Kai mati terbakar, pasti dia sudah
dibunuh terlebih dahulu oleh senjata rahasia yang beracun."
Kao Hie memerintahkan anak buahnya untuk
memeriksa sekelilingnya tetapi tidak menemukan apa-apa.
Suma Hen punya satu kebiasaan buruk.
Pada saat dia sedang tidak enak hati, dia tidak mau
minum arak. Pada saat hatinya sedang senang, dia pasti akan minum
arak. Lagi pula menurutnya, laki-laki tidak boleh minum arak
yang tawar, hanya perempuan saja yang boleh minum.
Saat ini dia sedang duduk di sebuah kedai dan sedang
menikmati pesanannya. Sepiring telur orak-arik, sepiring
kuping babi panggang, sepiring kacang, dan juga arak.
Dia senang karena sejauh ini rencananya boleh
dikatakan lumayan lancar.
'Wush....' Tiba-tiba ada orang yang datang ke meja Suma
Hen dan melemparkan pisau kecil pada lengan baju kiri
Suma Hen sehingga tertahan di atas meja.
Raut wajah Suma Hen sama sekali tidak berubah malah
tertawa. Orang itu pun tertawa dan duduk di hadapan Suma Hen.
Yang datang ternyata Cong-pu-thouw Tong-hong Tacing.
Kata Tonghong Ta-cing: "Apakah kau melihatSeebun Long?"
Suma Hen menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Pasti dia pergi karena sedih dan bukan karena hal lain."
"Sepertinya begitu."
"Wanita itu memang bodoh."
"Tentu saja, untung dia tidak pernah sampai
menghalangi jalan kita. Wei Kai sudah terkena 3 buah
senjata beracunku sebelum kubakar habis tubuhnya."
"Bagus sih bagus," kata Tonghong Ta-cing. "Tetapi aku
tetap saja tidak tenang."
"Tidak tenang bagaimana?"
"Sangguan Siau-liong dan Liu Eng."
"Apakah kau pikir sulit membereskan Liu Eng?"
"Tidak juga. Pertama aku sudah membongkar masalah
Sangguan Lie palsu yang selama ini tidur dengannya, lalu
soal mencelakai Siau-liong dia nyaris tersangkut di
dalamnya. Sebenarnya aku sudah pernah mengancamnya
kalau beberapa kasus pembunuhan yang lain adalah
perbuatannya." "Dia sudah tidak bisa lari kemana-mana."
"Dia harusnya mendengarkan kita. Hanya saja tindakan
kita harus lebih hati-hati, menderita kekalah-an di saat
kemenangan sudah di ambang pintu sangatlah
menakutkan." Suma Hen mengangkat gelas untuk bersulang.
Saat rencana besar sukses, suasana hati tentu saja senang
dan gembira. -o00dw00oBAB VI Di tengah malam di sebuah desa di daerah pinggiran,
ada sebuah rumah penduduk yang lentera-nya masih
menyala. Dan sinar lentera itu membentuk dua buah bayangan
panjang manusia. Bayangan yang tinggi berkata:
"Tidak disangka tunanganmu." tega sekali kau menghianati Terdengar suara seorang wanita berkata:
"Aku sih senang-senang saja!"
"Keterlaluan sekali kau."
"Kau bukannya berterima kasih atas pertolonganku tapi
malah memarahiku!" "Pada dasarnya kau memangketerlaluan!"
"Berani sekali kau memarahiku!" Perempuan itu marah
sekali sampai terdapat genangan air mata di pelupuk
matanya. Pria itu berkata sambil menghela nafas: "Kau memang
iblis wanita." Wanita itu hanya tertawa. Pria itu memotong tawa
wanita: "Mayat yang terbakar itu siapa?"
"Mungkin bawahan dari Tonghong Cong-pu-thouw."
"Mengapa Lok Hiang kau bunuh?"
"Menurutmu mana yang lebih baik, dibunuh atau
tidak?" "Aku tidak perlu menjawabnya."
"Mengapa?" "Karena kau sudah punya jawaban yang tepat."
"Memang benar, dengan membunuh Lok Hiang maka
semua saksi mata sudah musnah."
"Kau menganggap dirimu pintar ya?"
"Memangnya kau menganggap diriku ini bodoh?"
"Setidaknya kau lah biang keladi dari semua ini," kata
Laki-laki itu sambil tertawa dingin.
"Apa aku tidak melakukan kesalahan sedikit pun?"
"Setidaknya ada beberapa orang jahat yang menanggung
kesalahanitu, jadi jangan khawatir."
Tiba-tiba wanita itu menghela nafas.
"Aku telah sedikitberbohongpadamu."
"Tetapi kebohonganmu tidak sampai merugikan."
"Sebenarnya yang menolongmu itu bukanlah aku."
"Siapa?" "Aku sendiri juga tidak tahu."
"Dasar kau ini!"
"Kejadian sebenarnya adalah aku tahu ada orang yang
ingin membunuhmu dan juga Lok Hiang, maka di penjara
bawah tanah itu aku menukarkan pakaianmu dengan orang
lain." "Kau?" "Tidak percaya?"
"Kau menghianati tunanganmu demi menolongku?"
"Hanya berdasarkan perkataannya saja, belum tentu aku
ini tunangannya kan" Aku sendiri saja tidak tahu."
Seebun Long berkata lagi:
"Aku merasa terharu melihat rasa sayangmu terhadap
Siau-liong" "Jika bukan kau yang menggantikan pakaianku dan
mengeluarkan aku, lalu mengapa kau bisa berada di tempat
ini?" "Aku juga tidak tahu! Aku tidak tahu siapa yang
membuatku pingsan dan membawaku keluar, aku sama
sekali tidak sadar."
"Apa kau kira aku akan percaya kata-katamu?"
"Jika kau percaya maka bukan Wie Kai namanya!"
"Akulah yang mengeluarkamu!" Keduanya langsung
menoleh ke arah suara itu berasal, ternyata Kao Hie sudah
berdiri di sana. Tidak ada yang menyadari kedatangan Kao Hie.
Jika dia ingin mencelakakan seseorang itu soal yang
mudah baginya. "Jadi kau yang telah menolong Seebun Long?"
Kao Hie menganggukkan kepalanya.
"Aku sangat mengenal Tonghong Ta-cing."
"Seberapa banyak?" tanya Wie Kai.
"Di luar, dia dengan Suma Hen terlihat seperti tidak ada
hubungan dan bermusuhan, tetapi sebenar-nya mereka
adalah rekanan." Seebun Long terkejut d an berkata:
"Mereka adalah rekanan?"
"Kau bisa tidak menyadarinya, itu artinya betapa rapinya
rencana yang telah mereka atur."
Seebun Long termangu-mangu. Tapi walaupun
tampangnya bingung seperti itu, dia tetap saja menarik.
Wie Kai pun sampai terpesona. Kata Kao Hie:
"Untung saja aku terus melacak pergerakan Suma Hen
dan tahu tujuannya adalah tuan Wie dan Lok Hiang. Tidak
kusangka nona Seebun Long juga tahu Tonghong Ta-cing
ingin membunuhmu, sehingga dia membuatmu pingsan
terlebih dahulu lalu menukar pakaianmu dan mengeluarkanmu." Wie Kai menatap Seebun Long.
"Untung saja aku datang tepat pada waktunya,
mengambil bajumu dari nona Seebun Long dan
memakaikannya pada salah satu bawahan Tonghong Tacing yang sudah kubunuh. Tidak
lama kemudian Suma Hen datang untuk meracunimu dan menyulut-kan api."
Ruangan itu hening beberapa saat.
Sesudah agak lama barulah Wie Kai berkata:
"Tadinya aku berpikir perasaan di antara kita sejak lama
sudah luntur." Dia menatap Seebun Long. "Pada dasarnya memang tidak akan luntur," kata Seebun
Long. ........................................
Kata Kao Hie sambil membalikkan tubuhnya: "Ada
beberapa hal yang ingin aku tanyakan dengan jelas."
"Silahkan tanya."
"Siapa yang melahirkan Sangguan Siau-liong?"
"Aku," jawab Seebun Long.
"Lalu siapa ayahnya?"
"Sangguan Lie."
"Jadi bukan aku ayahnya?" tanya Wie Kai.
"Bukan!"

Pisau Kekasih Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mengapa waktu kutanya dulu kau bilang akulah
ayahnya?" "Karena waktu itu aku ingin kau berusaha sekuat tenaga
mengembalikan dia padaku."
"Saat kau bilang dia adalah anakku, aku
memperhatikannya dengan seksama dan dia memang agak
mirip denganku." "Sekarang aku beritahu kalau dia bukan anak-mu, apa
yang bisa kau lakukan?"
Wie Kai berpikir lagi lalu berkata:
"Sekarang aku merasa dia memang tidak terlalu mirip
denganku." Raut wajah Seebun Long agak sedikit aneh tetapi dia
tidak berkata-kata lagi lebih lanjut.
Kata Kao Hie: "Apakah kalian berdua tahu siapa yang telah
memberitahu Sangguan Lie" Bahwa anak itu bukanlah anak
kandungnya." "Siapa?" "Bu Si-cin." "Mengapa dia berbuat seperti itu?" tanya Seebun
Long. Kao Hie mengangkat tangannya sambil berkata: "Susah
untuk dikatakan, Bu Si-cin adalah pengganti Sangguan Lie
di malam hari dan siang hari-nya diganti lagi oleh Sangguan
Lie." "Selama ini Suma Hen demi perempuan dan harta,
sedangkan Sangguan Lie demi harga dirinya sebagai lelaki,
tapi akhirnya entah mengapa berubah."
"Apakah Sangguan Lie dikendalikan seseorang?" tanya
Wie Kai Kao Hie menganggukkan kepalanya.
"Siapa?" "Suma Hen." "Bukankah dia sendiri dikendalikan oleh Tonghong Tacing?"
"Lebih tepat kalau dikatakan saling memanfaatkan,
hubungan di antara mereka memang susah untuk
dikatakan." Seebun Long berkata: "Kao Tayhiap, kami berdua sangat berterima kasih
padamu." "Tidak perlu berterima kasih, tetapi kalian berdua tetap
harus berhati-hati dan waspada selalu."
"Walaupun sudah jelas bahwa Siau-liong bukan lah
anakku, tetapi aku tetap saja khawatir akan
keselamatannya." "Aku tidak mengerti." Kata Seebun Long.
"Untuk rencananya, mereka membutuhkan Liu Eng dan
Siau-liong di tangan mereka tetapi kurasa mereka pasti akan
membereskan Liu Eng terlebih dahulu kaipia dia lebih sukar
dikendalikan daripada Siau-liong. Dan masih ada satu lagi,
kurasa selain Tonghong Ta-cing dan Suma Hen masih ada
satu orang lain lagi dan kurasa orang itu adalah pemimpin
mereka." Suma Hen dan Tonghong Ta-cing sedang duduk saling
berhadapan di sebuah meja sambil minum arak.
Kao Hie sedang berjaga-jaga di luar.
Sekarang ini mereka sudah tidak terlalu mempedulikan
Kao Hie. Mungkin mereka sudah sedikit mempercayai Kao Hie.
Kata Tonghong Ta-cing: "Orang yang kau bakar itu apa benar Wie Kai?"
"Kau tidak percaya?"
"Bukan begitu, hanya saja kita harus benar-benar jelas
dalam melaksanakan tugas."
"Pastinya tidak akan ada masalah."
"Ke mana Seebun Long?"
"Aku sudah menyuruh orang untuk mencari-nya,
Tonghong-heng seperti sangat tertarik padanya."
"Kalau tidak tertarik, tidak mungkin aku menyebutnya
tunanganku!" Saat ini mereka sebenarnya sedang saling memperebutkan harta Sangguan Lie yang tidak lama lagi
akan menjadi milik mereka.
Pimpinan mereka sedang berkonsentrasi untuk
menjadikan hal merebut harta orang lain ini sebagai
usahanya. Bahkan sudah sukses entah berapa kali, bahkan mungkin
tidak lama lagi dia bisa membuat negaranya sendiri.
Tiba-tiba Tonghong Ta-cing menghunus sebuah pisau
kecil lalu ke arahkan ke ulu hati Suma Hen.
Lebar meja itu tidak sampai Vz meter sehingga dalam
sekejap mata pisau itu langsung menuju sasaran.
Tapi Suma Hen bukan anak kemarin sore, dia juga orang
yang sudah lama malang melintang di dunia persilatan. Dia
langsung menyapu pisau kecil itu.
"Tidak boleh ada dua harimau di gunung yang sama,"
kata Tonghong Ta-cing. "Tetapi jika salah satu harimaunya pincang, maka itu
lain soal," kata Suma Hen.
Tonghong Ta-cing tiba-tiba menekan perutnya dan
berkata terengah-engah: "Suma Hen, kau menaruh racun di arak ini?"
"Sedikit," kata Suma Hen tertawa dingin.
Ada sesosok bayangan memasuki ruangan dan orang itu
adalah Kao Hie. Suma Hen melarikan diri dengan melompat keluar
melalui jendela. Tonghong Ta-cing menekan lambung dengan kedua
tangannya sambil berkata:
"Orang itu meracuniku."
Kao Hie memandangi Tonghong Ta-cing sambil menilai.
Orang ini bukanlah orang sembarangan karena itu dia
harus ekstra hati-hati. "Cong-pu-thouw, kau terkena racun apa?"
"Sepertinya racun Kian-soh."(= sejenis rumput yg
tumbuh di padang pasir). "Apakah kau punya penawarnya?"
"Ada.........tapi aku tidak bisa jamin ampuh atau
tidak.......," kata Tonghong Ta-cing, "Cepatlah kau kejar
Suma Hen." "Menolongmu lebih penting daripada mengejarnya."
Tonghong Ta-cing mengeluarkan obat penawar racun
dan berkata: "Obatku belum tentu manjur, lebih baik kau kejar saja
dia." "Baiklah, Cong-pu-thouw, kau harus sabar sedikit,
gunakanlah tenaga dalammu untuk mendorong racun itu
keluar. Aku akan mengejar orang itu."
Baru saja Kao Hie keluar, ada sesosok bayangan lagi
yang memasuki ruangan itu.
Tonghong Ta-cing saling memandang dengan orang itu
dan tersenyum. Orangyang datang itu ternyata Suma Hen. Kelihatannya
Tonghong Ta-cing sama sekali tidak keracunan.
Ternyata tadi itu adalah siasat mereka
"Tampaknya Kao Hie sangat setia padamu."
berdua. "Tampak setia belum cukup," kata Tonghong Ta-cing
"Betul juga, kita tidak tahu nanti dia akan bagaimana."
"Begitulah." "Ternyata bagimu dia masih belum bisa diandalkan."
"Berhati-hati tidak ada salahnya."
Kedua orang itu tertawa bersamaan.
Tengah malam tidak berbulan, di dalam sebuah kamar
yang tidak berlentera terdapat dua sosok manusia yang
sedang bercengkrama. "Kau rindu tidak pada Siau-liong?"
"Aku kan sudah bilang, aku tetap merindukannya
walaupun dia bukan anakku."
"Kalau begitu bagaimana kalau kita pergi melihat dia?"
"Tonghong Ta-cing dan Suma Hen meng-anggap kita
telah mati! Masa kita berkeliaran ke sana ke mari?"
"Itu kan kalau kita benar-benar mati!"
"Tetapi coba pikir baik-baik, mereka mengira kita telah
mati, kalau ketahuan mereka bisa lebih kejam lagi."
"Benar juga." "Aku tahu kau bukannya karena rindu ingin melihatnya
tetapi kau masih ingin membawanya pergi, betulkan?"
Seebun Long menundukkan kepala tidak bersuara.
"Tebakanku tidak salah kan?"
"Wie Kai, Sangguan Lie sudah mari. Aku sama sekali
tidak tenang membiarkan anakku di tangan ibu tirinya."
"Aku juga sama."
Seebun Long menangkap tangan Wie Kai. "Apa kau
bersedia membawa dia kembali?"
"Sekarang juga aku berangkat."
"Aku juga ikut denganmu."
"Tidak perlu! Kau ikut juga percuma, anak itu sama
sekali tidak ada perasaan apa pun terhadapmu."
Penjagaan di rumah Sangguan Lie sangat ketat.
Sangguan Siau-liong sudah tertidur dan di wajahnya
masih terlihat bekas air mata.
Kamarnya di sinari oleh sinar lentera dan ada seorang
inang pengasuh tua yang menemaninya, yang juga tertidur.
Wie Kai memandangi anak itu, tiba-tiba dia merasa
bahwa anak itu sangat mirip dengannya.
"Mengapa Seebun Long berkata bahwa dia bukan
anakku?" dia tiba-tiba merasa Seebun Long tidak berkata
jujur padanya. Tetapi bagaimana pun lebih baik dia tanyakan saja nanti
sesudah pulang. Wie Kai menotok jalan darah inang itu dan juga Siauliong, barulah setelah itu
dia menggendongnya dan melesat
pergi. Tetapi sialnya dia ketahuan karena di sana sini telah
diawasi selain oleh pengawal yang ditempatkan oleh Suma
Hen juga dari pihak kepolisian.
Dia berhasil merubuhkan 2 orang.
Di saat yang bersamaan ada seseorang muncul dan orang
itu adalah Kao Hie. Awalnya Wie Kai mengira dia bakal selamat.
Tetapi dugaannya ternyata meleset, sebab tidak disangka
Kao Hie malah berkata: "Tinggalkan anak itu dan kau boleh pergi!"
Wie Kai benar-benar bingung, apa mau orang ini
sebenarnya. Kedua orang itu langsung baku hantam di-tambah
dengan 3 orang pengawal. Tidak lama kemudian datang lagi 5-7 orang dan 4
diantaranya berilmu tinggi.
Wie Kai bisa saja lolos asal tidak menggendong
seseorang. Tiba-tiba seseorang berhasil melukainya dan tentu saja
membuat dia tidak bisa menahan berat tubuh Siau-liong.
Wie Kai berhasil melukai 2 orang lagi sebelum melesat
ke dalam kegelapan malam.
Karena pengejarnya semakin banyak, demi keselamatan
anak itu, Wie Kai terpaksa meninggalkannya.
Begitu kembali, Wie Kai langsung naik ke atas ranjang
tanpa bersuara. Seebun Long berkata dengan suara lirih:
"Tidak berhasil?"
Wie Kai tetap tidak bersuara.
Seebun Long mengelus wajah Wie Kai, katanya:
"Tidak apa-apa, untuk sekarang ini mereka tidak akan
menyakitinya." "Aku sama sekali tidak berguna!"
"Jangan berkata seperti itu, kau sudah berusaha sekuat
tenaga." "Katakan dengan jujur, apakah dia anakku?"
"Anak.... mu?" Tiba-tiba Wie Kai mencengkram tangan Seebun Long
sambil berkata: "Katakan!"
"Bukan!" "Kata-katamu sama sekali tidak bisa di-percaya!"
"Wie Kai, perkataan orang lain boleh tidak percaya, tapi
kau harus percaya yang satu ini."
"Kau tidak bohong?" Wie Kai menatap.
Seebun Long menggeleng-gelengkan kepalanya dan
memeluknya dengan mesra. "Walaupun bukan anakku menganggapnya demikian."
tapi aku sudah "Bagaimana kalau kita pergi melihatnya sekali lagi?"
"Lebih baik aku saja yang pergi."
"Tidak, aku juga mau ikut. Aku kan bukan seorang
wanita biasa, aku bisa menjaga diriku."
Kedua orang itu keluar ke halaman.
Tiba-tiba mereka mendengar ada suara dari dalam
kamar. Mereka berdua bergegas kembali masuk ke dalam kamar
dan mereka melihat ada sosok Siau-liong yang sedang
berbaring di atas ranjang.
Seebun Long segera menghampiri, memeluk Siau-liong.
Siapa yang telah membawa anak itu kemari"
Selain Kao Hie, tidak ada orang lain lagi.
Tadi Kao Hie sedang dihadapkan dengan tugas nya,
tentu saja dia tidak bisa bertindak sembarangan.
Sesuatu yang ada di dalam air keruh memang tidak akan
terlihat dengan jelas.

Pisau Kekasih Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tonghong Ta-cing dan Suma Hen masih berada di
kediaman Sangguan Lie. Pekerjaan mereka sudah berhasil. Tetapi mereka masih
tidak tenang. Kata Suma Hen:
"Sebenarnya Siau-liong sekarang berada di tangan
siapa?" "Kemungkinan Wie Kai belum mati."
"Belum mati?" "Rasanya tidak salah lagi, tidak ada orang lain yang
memiliki ilmu begitu tinggi seperti dia."
"Tetapi hilangnya anak itu jelas-jelas ada kaitan nya
dengan orang dalam."
"Karena itulah aku bilang kesetiaan Kao Hie masih harus
diuji." "Pasti dia!" kata Suma Hen.
"Jika Wie Kai belum mati, meskipun kita tidak
mencarinya, dia pasti dengan sendirinya akan mencari
kita." Suma Hen pucat pasi. Orang yang tidak tertarik dengan kekayaan, dia tidak
akan takut mati dan orang seperti ini sangatlah
menakutkan. Wie Kai tidak tertarik dengan harta atau pun wanita. Dia
bahkan membuang Seebun Long.
Anak pun dia tidak mau. Bahkan dia sendiri pernah menjadi penculik, itu
membuktikan bahwa dia menganggap enteng nyawa-nya,
orang seperti ini sangat berbahaya.
"Kita harus lebih berhati-hati," kata Tonghong Ta-cing
Liu Eng sedang mandi di dalam sebuah kamar mandi.
Dia benar-benar molek, tubuhnya masih layaknya
seorang gadis saja. Struktur tulangnya terbayang dari balik air mandinya.
Kamar mandi ini tidak berlentera, hanya di-sinari oleh
sinar rembulan dari luar.
Tiba-tiba bertiup angin dingin ke dalam kamar mandiitu.
Tanpa disadari sesosok bayangan telah berdiri di
sampingnya. "Siapa?" "Jangan ribut!"
sampingnya. orang itu tiba-tiba berkata dari Sebuah pisau yang dingin menempel di tenggorokannya.
"Aku tidak akan teriak! Aku tidak akan teriak!"
"Cepat pakai bajumu!"
"Baik.. .baik, kau mau membawaku kemana?"
"Kau seharusnya tahu, semua orang yang ter-libat
dengan kasus penculikan itu mati satu persatu. Tidak lama
lagi giliranmu akan tiba."
Kata Liu Eng dengan suara gemetar:
"Kau ingin membunuhku?"
"Jika aku ingin membunuhmu, bukankah pasti sudah
kulakukan dari tadi?"
"Iya." "Mereka sedang berurusan dengan harta Sangguan Lie,
sesudah urusan mereka beres, waktumu pun sudah tiba!"
Tiba-tiba dari luar terdengar suara seseorang.
Orang itu menyuruh Liu Eng bertanya.
"Siapa?" "Hujin, hamba Sun Siang-ca."
"Ada apa, Siang-ca?"
Dia adalah orang bawaan Tonghong Ta-cing. "Hujin,
sayang sekali jika Hujin sampai masuk angin."
Pada saat yang bersamaan, terdengar lagi suara rendah di
luar sana: "Siang-ca, kau sedang apa?"
"Eh, Liang....aku hanya ingin....hi..hi..... Liang, jika kau
mau, kau bisa maju lebih dulu."
"Sialan kau! Dasar cabul!"
"Kita kan orang sendiri, silahkan jika kau mau duluan."
Orang dipanggil Liang berkata dengan suara rendah:
"Hujin, tolong buka pintunya."
Pintu perlahan-lahan terbuka.
Seharusnya mereka masuk satu persatu tetapi mereka
tidak sabar sehingga masuk berbarengan.
Belum sempat menikmati, mereka sudah terkena
pukulan dan jatuh tersungkur di lantai.
Tonghong Ta-cing dan Suma Hen bersiap menikmati
hasil kerja mereka. Sudah waktunya pembagian harta.
Semua uang sudah berada di atas meja.
Tentu saja masih ada yang terdapat di bank atau tempat
lainnya yang belum terambil, tetapi mereka sudah tidak
sabar lagi. Mereka membaginya menjadi tiga bagian.
Tetapi sebelum sempat meraih uangnya, Tonghong Tacing segera bertindak.
Hal yang lumrah terjadi saat berhubungan dengan uang.
Tonghong Ta-cing dan Suma Hen saling serangmenyerang memperebutkan uang yang ada
di atas meja. Mereka masing-masing tidak ingin membagi nya dengan
siapa pun. Akhirnya Tonghong Ta-cing berhasil mematahkan 5-6
buah tulang Suma Hen dan memberikan pukulan
mematikan ke tubuh Suma Hen.
Tonghong Ta-cing memandangi meja yang penuh
dengan uang dan menghembuskan nafas dalam-dalam
seakan-akan dengan memeluk semua yang ada di meja ini
sama seperti memeluk seluruh dunia.
Tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan masuk ke dalam
ruangan. Orang itu ternyata Kao Hie.
Senyuman yang tadi menghiasi di wajah Tonghong Tacing langsung saja lenyap.
Tapi Wie Kai tidak melihat kejadian ini.
Dia membawa Liu kediaman Sangguan Lie. Eng langsung meninggalkan Liu Eng dan Siau-liong sudah berada dalam genggaman
sehingga baik Wie Kai maupun Seebun Long bisa bernafas
lega. Tiba-tiba ada seseorang yang mengetuk pintu.
Seebun Long membuka pintu dan melihat ada seorang
laki-laki dan seorang perempuan. Lalu dia bertanya:
"Kalian mencari siapa?"
"Apakah Wie-ya ada?" tanya yang laki-laki
"Kalian siapa?"
"Namaku Hong Kie."
"Hong Kie?" Seebun Long tertawa.
"Benar, Hong dari kata Hong-hwee (burung api) dan Kie
(ayam)." "Kenapa kau tertawa?" tanya Wie Kai.
"Apakah kau pernah makan 'Hong Kie' (=ayam api)?"
kata Seebun Long. "Pernah," kata Wie Kai, "Mengapa kau tiba-tiba
bertanya ini?" Seebun Long menunjuk ke pintu depan:
"Lelaki itu mengatakan namanya Hong Kie."
Wie Kai bengong. "Hong Kie" Di mana aku mendengar
nama ini" Tetapi aku sudah tidak ingat lagi."
Hong Kie masuk ke dalam ruangan berkata:
"Wie-ya, apakah kau tidak ingat lagi pada Hong Kie
maupun Hong Ku?" Wie Kai berpikir keras, dia samar-samar agak sedikit
ingat pada Hong Kie tetapi orang ini sama sekali tidak sama
dengan Hong Kie yang minum arak satu meja dengannya.
Hong Ku menyikut Hong Kie sambil berkata dengan
suara pelan: "Sudah lihat kan" Wie-ya berkelana berduaan dengan
Lim Leng-ji dan menelantarkan kita berdua."
"Pasti ada kesalahpahaman," kata Hong Kie.
"Salah paham apa?" Kata Hong Ku, "Wie-ya pergi tanpa
pamit hingga kita berdua mencarinya setengah mati."
"Apa" Kalian bersusah payah mencariku?"
"Hong Kie, kau dengar kan?" Hong Kie tahu Wie Kai
bukan lah orang yang bisa melupakan teman begitu saja. Ini
pasti ada apa-apa. Dia melihat Lim Leng-ji sepertinya lebih cantik dari
sebelum-sebelumnya. Di saat seperti ini tiba-tiba ada dua orang yang muncul
dari dalam ruangan. Dan dalam sekejap mereka berdua sudah berada di
tengah pekarangan depan. Dan kedua orang itu ternyata Tonghong Ta-cing dan
Kao Hie. Salah satu pundak Tonghong Ta-cing memanggul
Siau-liong. Pada saat yang bersamaan, tiba-tiba Seebun Long
menotok jalan darah yang berada di belakang punggung
Wie Kai. -ooo0dw0oo- JILID KE DUA BAGIAN III BAB I "Eng-hong-pie-ya"
pekerjaan). (Menyambut angin berbeda Itu adalah nama yang sangat elegan.
Kau pasti akan menganggap tempat itu adalah tempat di
mana para pejabat tinggi bersantai atau tempat pedagang
kaya menyimpan istri mudanya.
Tempat itu bersandar ke gunung dan meng-hadap air.
Tidak seperti istana juga tidak seperti dunia Budhis.
Dari balik tembok yang tinggi, terlihat seperti sebuah
gunung besar dan megah. Tapi kalau kau tahu ini tempat auh... dan tahu siapa
yang menjalankan perintah di sini... dan tahu juga orangorang di sini berbisnis
apa, kau akan mengucurkan keringat
dingin, kalau tidak kau adalah orang yang mati rasa.
Hari baru terang. Lapangan eksekusi yang akan selesai dibangun, berdiri
kokoh di bawah pancaran matahari yang baru terbit, terlihat
sangat kontras, merah dan putih.
Merah adalah pagar lapangan eksekusi, terbuat dari kain
merah menyala. Putih adalah kain putih yang dilapiskan di bawah
lapangan eksekusi. Panggung eksekusi setinggi 3 tombak lebih.
Pisua pemenggal raksasa masih tertutup oleh kain putih
Sekarang pagi hari di awal musim semi... cuaca tidak
hujan juga tidak berangin.
Tapi hari ini agak berbeda dengan hari-hari biasanya
Beberapa orang yang memiliki jabatan tengah-tengah
pelan-pelan sedang membereskan lapangan eksekusi.
Seorang mandor sedang duduk di sebuah kursi tinggi.
Dengan isyarat tangan dia mengatur pekerjaan yang
belum selesai. Waktu itu seorang pejabat tinggi datang ke arahnya.
Mandor yang sedang duduk di kursi tinggi itu segera
turun untuk mendatangi pejabat itu.
Orang yang sedang bekerja segera bergerak dengan cepat.
Suasana sepi tapi terasa penuh dengan hawa membunuh.
Mandor dengan cepat maju, terhadap pemuda yang
belum genap berusia 30 tahun yang gagah dan tenang itu,
dia berkata: "Tuan, kami sudah mengukurnya dan Kong-kong yang
duduk di sana, bisa melihat dengan jelas, apa yang terjadi di
lapangan eksekusi." Dengan serius Loo Cong melihat sekeliling, dia hanya
menjawab: "Ya." Kemudian Loo Cong membalikkan tubuh pergi.
Mandor segera meletakkan alas jok yang dibuat dengan
sangat bagus di atas kursi itu.
Tadi dia ingin memasangnya mencoba tapi dia tidak berani Loo Cong adalah seorang pemuda tenang, jujur, dan
pendiam. Sekarang sikapnya serius dan lebih memusat-kan
perhatiannya. Sorot matanya seperti tidak sengaja melihat sekeliling.
Sebenarnya dia sedang memeriksa dengan sangat teliti,
sedikit pun tidak ada yang terlewat.
Tapi karena sifat dasarnya tenang, maka tidak terlihat dia
sedang tertekan. Dia berjalan dengan pelan.
Dari satu pekarangan ke pekarangan lain.
Memeriksa semua yang ada dalam pekarangan.
Dia juga memeriksa sumur yang biasanya tidak pernah
dia lihat. Dia juga memeriksa pagar tembok yang tinggi. Dia juga
memeriksa ayunan. Sampai-sampai mencoba kekuatan
ayunan itu. Semua yang kecil-kecil tidak terlewat dari
pengawasannya. Hari sudah terang. Semua terlihat lebih jelas.
Dengan teliti dia melihat, di atas genting ada kabut putih.
Dari tempat tinggi jika ingin melihat harus lewat puluhan
anak tangga baru bisa ke atas.
Itulah tempat Kong-kong mengawasi pelaksana an
hukuman mati

Pisau Kekasih Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seseorang membawa piring bercorak datang kesana.
Di atas piring terdapat pena, tempat tinta, kertas dan
lain-lain. Seseorang mengikutinya dari belakang.
Walaupun tidak ada yang tahu siapa dia, tapi melihat
sikapnya maka akan segera tahu identitasnya, sama dengan
Loo Gong. Namanya adalah Mo Ki-thian.
Dia hanya seorang pemimpin kecil tapi dia kaki tangan
yang handal. Mereka berdua berjalan dengan cepat.
Melewati jalanan di luar dan masuk ke dalam rumah itu.
Matahari baru terbit. Gunung yang jauh masih tertutup kabut.
Tiba-tiba di pekarangan terjadi perubahan.
Barisan para prajurit dengan tangan memegang golok
dan panah berlarian datang.
Mereka dengan sangat lancar dan rapi berada pada posisi
penting. Setelah berdiri dengan rapi mereka tidak bergerak lagi.
Menghabiskan waktu lama untuk melatih seperti ini,
sekarang terlihat hasil yang baik.
Di belakang koridor ada sebarisan prajurit mereka dibagi
menjadi dua di depan pintu kamar
Di dalam kamar ada seorang perempuan dingin dan
cantik, berdandan tipis dan berbaju mewah, duduk di depan
cermin. Baju yang dipakainya adalah baju pengantin
Dia menusukan konde ke dalam gelumbang rambutnya
dengan pelan dan santai. Walaupun dia seorang pengantin perempuan yang tidak
menyukai perkawinan, tidak pantas bersikap seperti itu.
Pelayan berdiri di sisinya, suasana terasa saingat
membosankan. Mo Ki-thian dan seorang pelayan membawa piring tadi,
tiba-tiba mereka berjalan masuk ke dalam kamar.
Lim Leng-ji yang sedang duduk di depan cermin hanya
melihat mereka sekilas kemudian melanjutkan dan melihat
dirinya yang terpantul di dalam cermin.
"Kong-kong berbaik hati menyuruhmu meninggalkan
pesan," kata Mo Ki-thian.
Lalu dia memberi isyarat kepada pelayan itu.
Pelayan datang mendekat membawa piring itu dan
meletakkannya di depan Leng-ji.
Pelayan mulai menggosok batangan tinta.
Lim Leng-ji menarik pandangannya dari cermin, dia
melihat ke arah piring kemudian melihat Mo Ki-thian, dia
mengangkat kepalanya tinggi-tinggi.
Saat menengadahkan kepalanya, mulutnya terlihat sifat
pantang tunduk. Tidak heran, Lim Leng-ji adalah perempuan tercantik di
Eng-hong-pie-ya, dia juga paling anggun dan dia berhasil di
dapatkan oleh WieKai. Laki-laki di Eng-hong-pie-ya kecuali Seng Yan-kong
yang mempunyai hak sangat tinggi, tidak ada yang bisa
menerima hal ini. Tapi apa isi hati Seng Kong-kong, hanya dia sendiri yang
tahu. Pelayan-pelayan terlihat sangat tegang.
Hanya mereka yang tahu sekarang waktunya untuk
melakukan apa, dan tempat ini tempat apa.
Seorang pelayan mendekati Leng-ji, berbisik:
"Nona...." Leng-ji tidak menoleh juga tidak menjawab.
Sebab di dalam hatinya hanya ada 4 kata:
"Wie-si-ji-ie." (Hanya mati saja) .
Orang seperti ini sudah tidak peduli apa yang terjadi di
dunia ini. Tiba-tiba dia mengambil pena dan dipegang dengan erat.
Di atas kertas dia menulis huruf 'Put-wie' (tidak takut).
Dua huruf yang sangat besar.
Karena cintanya sampai mati, maka matinya dengan
cara seperti itu. Setelah Mo Ki-thian melihat dua kata Put-wie itu,
wajahnya terlihat ada tawa mencemooh.
Kalau dia tidak mengeluarkan ekspresi mencemooh, dia
bukan Mo Ki-thian. Di dalam kamar Wie Kai. Mo Ki-thian membawa pelayan yang membawakan
piring itu. Wie Kai sedang berjalan mondar mandir, matanya
terlihat tenang dan pintar, tidak terlihat rasa takut
nyawanya sedang di ujung tanduk atau dia sudah tahu tapi
sudah tidak peduli pada hidup dan matinya.
Dia selalu ceria. Baginya walau kepalanya di penggal, itu seperti masalah
biasa, bukan masalah besar.
Tiba-tiba dia tertawa, tawanya begitu alami dan ramah.
Tawanya selalu menarik seperti biasa.
Apa lagi baju pengantinnya yang berwarna cerah,
kepalanya mengenakan topi pengantin. Orang lain yang
melihatnya, akan terlihat dialah pengantin yang berbahagia
dan pengantin yang luwes.
Pelayan sudah selesai menyiapkan tinta.
Teman baiknya, Hong Kie tampak berwajah serius.
Wajahnya seperti ada es. Saat Wie Kai memegang pena, di atas kertas dia
membuat 2 titik, lalu berhenti menulis.
"Tulisanku jelek, jadi kubuat 2 titik ini saja sudah
cukup!" katanya sambil tertawa.
Kecuali Wie Kai, yang lain tidak ada ekspresi.
Mo Ki-thian memegang map dan berjalan dengan cepat.
Dia masuk ke kamar Seng Kong-kong.
Seng Yan-kong sedang duduk di kursi.
Loo Cong berdiri di sebelah kirinya.
Orang yang telah dikebiri walaupun berada di rumah
bagus dan lingkungan baik, wajahnya tetap putih dan tidak
berkumis, otot dan kulit pasti akan kendur, untuk sebagian
orang alisnya malah rontok!
Mereka selalu memberikan kesan buruk kepada orang
lain. Apalagi sewaktu di depan paduka
menyebutdiri mereka adalah hamba.
raja mereka Seorang banci menyebut dirinya hamba.
Mungkin kasim kecil yang baru dikebiri, begitu
mendengar akan muntah. Dengan penuh rasa hormat Mo Ki-thian menyerahkan
map itu kepada Seng Kong-kong.
Wajah Seng Yan-kong tidak ada ekspresi.
Tapi begitu dia membuka map itu dan melihat isinya,
wajahnya segera berubah. Dia mengerutkan alis Dia tidak mengira walaupun akan dipenggal tidak bisa
membuat bocah itu tunduk.
Ini membuatnya marah, orang yang tidak takut mati
baru bisa membuatnya angkat tangan.
Dengan hati-hati Mo Ki-thian berkata:
"Wie Kai tidak menulis apa pun."
"Dia sudah menulisnya!" kata Seng Yan-kong dingin.
Tentu saja Mo Ki-thian tidak mengerti maksud 'sudah
menulis' ini. Loo Cong melihat keluar pintu.
Dengan dingin Seng Yan-kong berkata lagi:
"Titik 2 berada di dalam hati!"
Sekarang dia seperti baru sadar Wie Kai lebih galak
darinya. Begitu membuka lembaran kedua, Seng Yan-kong
terpaku lagi. Karena ada tulisan 'Put-wie'.
Tiba-tiba Seng Yan-kong tertawa dingin, dia berkata
kepada Loo Cong: "Apakah semuanya sudah siap?"
"Sudah siap!" jawab Loo Cong hormat.
Seng Yan-kong menundukkan kepala tampak berpikir
sejenak. Dia berdiri kemudian menoleh.
Tiba-tiba dinding di belakang kursi di mana dia duduk
terbuka dengan sendirinya.
Di sana ada sebuah lukisan sulaman besar dan masih
tergantung sebuah golok aneh.
Wajah Loo Cong tampak datar.
Mo Ki-thian kebingungan. Seng Yan-kong berjalan ke depan golok yang digantung
itu. Suara golok yang dikeluarkan dari sarungnya seperti
merobek keheningan. Setelah golok dikeluarkan dari sarung, Seng Yan-kong
tetap tidak bersuara. Tidak ada yang tahu dia sedang memikirkan apa.
Ingin tahu isi hati seseorang benar-benar sulit.
Ingin tahu isi hati seorang kasim itu lebih sulit lagi
karena perasaan mereka sering berubah-ubah.
Kadang kalau mereka mendengar sebuah kalimat 'tidak
ada' maka dia akan membenci orang itu seumur hidup.
Golok dimasukkan kembali ke dalam sarung-nya.
Matahari sudah terbit. Kain merah yang dijadikan pagar ditarik hingga turun,
pisau besar untuk memenggal kepala mengeluarkan cahaya
berkilau. Perasaan sekarang ini lebih dingin dari suhu udara subuh
tadi. Di sekeliling hening. Di sana berdiri 2 orang yang siap dieksekusi.
Panggung hukuman mati khusus dibuat untuk mereka
berdua, supaya hukuman mereka bisa bersama-sama
dilaksanakan, maka ada 2 lubang pisau.
Mereka berdua berdiri di depan panggung. Kalau 2
kepala berbarengan dimasukkan ke dalam lubang pisau
raksasa itu, begitu pisau diturunkan akan segera membuat
mereka mati bersama, tidak ada yang duluan atau
belakangan. Wajah dingin dan cantik Leng-ji tampak datar. ^
Dia melihat Wie Kai, tapi Wie Kai tidak menatapnya.
Hanya saja sikap Wie Kai tidak seperti dirinya. Dia
masih terlihat seperti biasa.
Dia seperti percaya. Orang yang masih tahu rasa takut berarti dia masih ingin
hidup. Kalau sudah tidak takut mati berarti orang itu sudah
mati. Maka dia terbuka dan bisa santai.
Rasa takut dan mati tidak bisa berada di satu tempat dan
waktu. Suara musik aneh sudah terdengar, suara musik ini
membuat orang-orang merasa sesak nafas.
Sekarang Mo Ki-thian berdiri di tempat orang yang
membawakan acara. Detak jantung orang berdebar dengan kencang. Nafas
banyak orang seakan sudah berhenti.
Wie Kai masih saja seperti itu.
Menggunakan kata-kata untuk menggambarkan kematian, seperti pulang ke rumah pun masih sulit.
Tiba-tiba Mo Ki-thian berteriak:
"Hening dan hikmad!"
Di lapangan itu memang sudah sangat hening.
Sekarang selain suara langkah Seng Kong-kong dan Loo
Cong, di lapangan sana kalau ada jarum jatuh pun akan
terdengar. Dengan cepat Seng Yan-kong menaiki anak tangga dan
duduk di kursi tinggi itu.
Dia membawa golok aneh yang masih di sarungkan,
biasanya dia jarang membawa golok.
Loo Cong berdiri di sebelah kirinya.
Sorot matanya terus melihat benda yang baru pertama
kali dilihatnya. Terkadang sorot matanya melihat hutan yang ada di
belakang gunung. Di panggung eksekusi. Di sebelah kamar itu ada sebuah kamar rahasia.
Seseorang sedang berada di dalamnya, saat ini dia
sedang mengintip keluar. Keinginan orang itu mungkin sangat bertentangan, dia
berharap eksekusi segera dilaksanakan atau selamanya
eksekusi tidak perlu dijalankan, pikiran ini terus
mengganggunya. Sorot mata tajam Seng Yan-kong terkadang melihat ke
kamar rahasia itu. Loo Cong yang berada di atas panggung melihat Leng-ji
dan Wie Kai. Tidak ada seorang pun yang bisa menjelaskan arti
pandangan mata itu. Tiba-tiba Seng Yan-kong berteriak:
"Leng-ji!" "Ada!" jawab Leng-ji dengan masa bodoh.
"Wie Kai!" "Ada... Kong-kong," jawab Wie Kai.
Jawaban Wie Kai yang terdengar
bersemangat, Leng-ji seperti tidak suka.
begitu tidak "Enam tahun yang lalu, ketika kalian masuk 'Eng-hongpie-ya' apakah secara suka
rela?" tanya Seng Yan-kong.
"Benar, Kong-kong!" jawab Wie Kai.
Sedangkan Leng-ji

Pisau Kekasih Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak ekspresinya sangat dingin.
mengeluarkan suara, "Belajar menyanyi dan menari, berlatih ilmu silat dan
berjanji seumur hidup tidak akan menjadi suami dan istri,
serta mengabdi kepada Pie-ya, apakah itu juga secara
sukarela?" tanya Seng Yan-kong.
"Benar!" jawab Wie Kai.
Seng Yan-kong melihat Leng-ji:
"Tapi kalian sudah melanggarnya, melanggar perjanjian,
sekarang jangan menyesal!"
Dengan lugas Wie Kai mengangguk.
"Tidak menyesal!" Leng-ji berkata dingin.
Kedua mata Seng Yan-kong terlihat ada kabut dingin.
Matahari naik lebih tinggi lagi.
Tapi tidak sedikit pun udara terasa hangat.
Seng Yan-kong berteriak: "Eng-hong-pie-ya tidak akan menyiksa muridnya, maka
aku sengaja membuatkan baju pengantin untuk kalian,
dalam pelaksanaan eksekusi ini supaya kalian bisa bersamasama pergi ke dunia
sana." Ada seorang perempuan menangis.
Di bawah panggung eksekusi ada 2 baris pelayan
perempuan. Seng Yan-kong menoleh, tangisan itu segera berhenti.
Udara di Pie-ya seperti membeku.
"Mainkan nyanyian pengantin!" teriak Seng Yan-kong.
Musik aneh itu tiba-tiba berubah nada.
Itu bukan musik untuk pengantin.
Apakah para pemusik terlalu tegang sehingga mereka
memainkan alat musik mereka menjadi fals atau salah
nada. Dengan dingin Seng Yan-kong berkata: "Tundukkan
kepala!" Dengan berani Leng-ji menundukkan kepala.
Saat Wie Kai menundukkan kepala, dia sempat melirik
pada Seng Yan-kong. Tiba-tiba matahari merah terlihat di sebelah timur.
Seorang pelayan membawa sebuah ember kecil bersama
sehelai kain putih, mencipratkan air ke leher mereka.
Bersamaan waktu meletakkan 2 keranjang bambu di
depan pisau eksekusi. Keranjang itu disiapkan untuk menampung kepala saat
kepala terpenggal oleh pisau eksekusi.
Semua sudah disiapkan dengan sempurna, tidak ada
yang tertinggal. Pelayan mulai membasahi leher mereka dengan air,
sebagian air masuk ke dalam mulut mereka berdua.
Dengan pekerjaan seperti itu dia bisa mendapatkan gaji
sebesar 100 tail perak. Air cipratan tertelan. Pikiran mereka jadi lebih sadar.
Mereka teringat masa lalu.....
Termasuk Lim Hujin yang terbunuh, tiga perempuan
yang diam-diam ingin merebut hartanya, semua sudah
terbunuh. Seebun Long dan Lim Leng-ji sangat mirip, sebab dia
adalah putri dari Lim Hujin. Lim Leng-ji adalah nama
samarannya. ... Harta Sangguan Lie yang sangat banyak dirampas, itu
bukan berita bohong. ... Wie Kai berpacaran dengan Leng-ji, itu juga bukan
berita bohong. Hanya ada satu hal yang benar... dia tidak punya anak.
Itu hanya kebohongan Seng Yan-kong supaya semua
orang berpikir seperti itu.
Darah daging pasti dekat dengan orang tua, siapa yang
tidak sayang kepada anaknya sendiri"
Yang penting mereka sudah melanggar aturan Eng-hongpie-ya, melarang laki-laki
dan perempuan berkencan. Jika melanggar hanya ada kematian yang menunggu.
Karena Wie Kai selalu tersenyum. Seng Yan-kong sangat
marah. Walaupun Wie Kai berpura-pura, tapi Seng Yankong tetap tidak tahan
melihatnya. Suasana mulai tegang.
Sorot mata tajam milik Loo Cong melihat ke arah
panggung eksekusi, juga melihat hutan yang ada di gunung
itu. Pisau eksekusi berkilau. ... Waktu itu pisau eksekusi siap diturunkan.
... saat pisau eksekusi yang besar di turunkan, Wie Kai
dan Leng-ji bersama-sama menarik kepalanya.
... Bersamaan itu di atas gunung tiba-tiba jatuh
sebongkah batu besar dan kayu gelondongan besar, seperti
gunung longsor juga seperti ada tsunami yang terus
menimpa tempat eksekusi. Di pekarangan suasan jadi kacau balau.
Tangan Wie Kai dan Leng-ji masih terikat di belakang,
tampak bayangan golok dan pedang, tombak dan kayu yang
sedang bertarung. Hong Kie dan Hong Ku entah keluar dari mana.
Di saat yang tepat mereka melempar senjatanya ke arah
Wie Kai dan Leng-ji. Putri Kao Tong dari Tibet yang ada di ruang rahasia
menjadi marah, lalu masuk ke dalam melalui jalan rahasia.
Ratusan orang mengepung Wie Kai, Leng-ji, Hong Kie,
dan Hong Ku, mereka pun bertarung. Matahari mulai naik
ke atas. Cahaya matahari menyinari darah yang berceceran,
warnanya tampak lebih berkilau dan menusuk mata
dibandingkan dengan kain merah itu.
Di Eng-hong-pie-ya tidak pernah terjadi peristiwa seperti
ini. Lebih-lebih tidak pernah terjadi.
Ketika di lapangan dilaksanakan eksekusi, terpidana bisa
lolos. ... Mungkin belum pernah terjadi hal seperti itu.
... Mungkin juga tidak pernah ada pesilat tangguh yang
bergabung untuk melawan, karena itu walaupun anggota
mereka banyak tapi terlihat formasi mereka kacau 4 balau.
Ke empat orang ini adalah para pesilat tangguh Enghong-pie-ya.
Tapi walaupun mereka mempunyai ilmu tinggi setelah
lama bertarung keadaannya jadi berbahaya.
Sambil bertarung Wie Kai berkata kepada Hong Kie:
"Kalian berdua pergi dulu!"
"Kami tidak akan pergi!" jawab Hong Kie.
Teriak Leng-ji sambil bertarung: "Hong Ku, cepat..."
Gulungan golok berkelebat, banyak kepala terjatuh.
Wie Kai melihat gantar yang panjang. Tapi Hong Kieterlihat masih ragu. Sebab dia sangat setia kepada Wie Kai
dan Leng-ji. Walaupun mereka anak buahnya tapi Wie Kai
dan Leng-ji selalu menganggap mereka sahabat baik.
Arti sahabat adalah demi sahabat mati di saat yang tepat!
"Cepat!" Hong Kie menarik Hong Ku, "kalau kita masih
di sini, mana mungkin meieka berdua mau pergi?"
Akhirnya Hong Kie mengerti, dia bertarung sambil
keluar dari Pie-ya. Perhatian semua orang tertuju pada Wie Kari dan Lengji.
Sekarang hanya tinggal Leng-ji dan Wie Kai, mereka
seperti per, dalam kekacauan terus meloncat. Pertarungan
bertambah gila. Seng Kong-kong tidak peduli pada nyawa anak buahnya.
Anak buahnya tahu walaupun akan mati 100 orang,
salah satu dari ke empat orang itu tidak akan bisa lolos!
Pertumpahan darah sudah bergeser ke pekarangan.
Seng Kong-kong ingin ikut bertarung. Tapi Wie Kai dan
Leng-ji selalu menghindar. Karena gengsi, Seng Kong-kong
jadi mengawasi dari pinggir.
Dia melihat ke dua pemuda dan pemudi itu penuh
semangat, setiap kepalan mengandung tenaga penuh, setiap
serangan telapak bisa membunuh orang.
Dalam keadaan marah Seng Kong-kong merasa gagal.
Sebab kepandaian mereka adalah dia sendiri yang
mengajarkannya. Dalam perasaan gagalnya, dia lupa pada anak buahnya
yang terus berguguran, ada yang tangan dan kakinya patah,
ada yang menyemburkan darah. Ilmu silat anak buahnya
ini dia sendiri juga yang melatihnya.
Dia punya kepercayaan diri.
Menurut perkiraannya, dua kelinci kecil itu tidak akan
bisa lolos dari Eng-hong-pie-ya.
Pertarungan semakin sengit. Diawasi oleh Seng Kongkong, mayat-mayat anak buahnya
membangun pagar tembok berdarah. Tubuh Wie Kai dan Leng-ji pun penuh dengan luka.
Tapi tepat saat Leng-ji meloncat ke atas papan ayunan,
seperti jagung di dalam kuali panas, meloncat-loncat dan
terbang ke atas genting. Wie Kai pun mengikutinya dari belakang, yang pasti ini
adalah rencana mereka. Seng Kong-kong marah besar, dia meloncat dari tempat
duduknya. Melewati panggung eksekusi dan hampir sampai di sana
untuk menghadang. Bila Kong-kong ikut bertarung, tidak mungkin mereka
bisa lolos dari tangan Kong-kong juga dari Eng-hong-pie-ya.
Saat menegangkan ini mereka berhasil mencengkeram
tali yang terpasang di tiang.
Seseorang diam-diam telah membantu mereka, tiang itu
melengkung, kemudian dilepas dan 2 orang yang ada di
sana langsung terlempar ke atas, turun ke gunung sebelah
sana yang penuh dengan pohon-pohon.
"Lari... mereka kabur...." kaki tangan Seng Kong-kong
terus berteriak. Setiap teriakan seperti menampar wajah Seng Kongkong.
Matahari naik lebih tinggi lagi.
Eng-hong-pie-ya tidak seperti dulu begitu menakutkan.
Suara rintihan terdengar di mana-mana, yang terluka dan
yang mati bergelimpangan di bawah.
Orang yang akan dieksekusi ternyata tidak mati.
Kain putih yang ada di bawah panggung eksekusi penuh
dengan darah. Suara ribut dan kekacauan sudah berhenti.
Seperti angin topan yang datang tiba-tiba, pergi nya pun
sangat cepat. Seng Yan-kong diam berdiri di atas lapangan eksekusi.
Loo Cong dan Mo Ki-thian membungkukkan tubuh
seperti sedang minta ampun kepada Seng Kong-kong.
Seng Yan-kong merentangkan kedua tangannya lebarlebar:
"Harus kulakukan apa lagi ..."'
Loo Cong diam tidak menjawab.
Mo Ki-thian masih membungkukkan tubuh, dia tidak
berani menatap Seng Kong-kong.
Tubuh Seng Yan-kong sedikit bergetar.
Dia tidak pernah mengalami kejadian seperti ini.
Wie Kai adalah seorang pemuda pintar, lincah, dan baik.
Leng-ji adalah perempuan suci dan lembut.
Mengapa mereka melakukan hal seperti ini"
Dia terus berpikir, seharusnya tidak terjadi hal seperti ini.
Dia seperti lupa, elang berdiri seperti tertidur, harimau
berjalan seperti sedang sakit, tapi itulah cara mereka
mencari mangsa! Dengan kepintaran Seng Kong-kong, seharus-nya dia
sadar. Hal yang harus dia ketahui tanpa sikap waspada sudah
terjadi, maka Seng Yan-kong sangat marah, dia berkata
pelan: "Siapkan undangan, cepat beritahu kepada semua aliran
dan perkumpulan!" "Siap!" jawab Mo Ki-thian.
"Pergilah!" Seng Kong-kong melambaikan tangan.
Beberapa saat yang lalu dia masih duduk di atas
panggung eksekusi dengan penuh wibawa.
Sekarang dia terlihat begitu lesu.
Masalah di dunia ini perubahannya begitu cepat.
Seharusnya dia berhati-hati dan waspada.
Tapi dia adalah seorang Seng Yan-kong.
Tiba-tiba dia meraung dan terbang.
Tubuhnya berada di udara, seperti seekor elang
membalikkan tubuh, dia menepis lonceng angin yang
tergantung di pinggiran atap.
Lonceng itu sebesar semangka.
Dengan sangat tepat dan aneh lonceng itu jatuh ke dalam
keranjang yang ada di atas panggung eksekusi.
Sebenarnya keranjang bambu itu disiapkan untuk
menampung 2 kepala manusia.
Kuda berlari dengan kencang. Undangan sudah
disebarkan ke mana-mana. Terdengar suara Seng Kongkong keluar dari sela-sela
giginya: "Harap jangan menerima mereka, siapa yang menerima
mereka, Eng-hong-pie-ya tidak akan mau hidup bersama
dengan mereka dalam satu dunia!"
Itu adalah pesan yang tertulis dalam undangan pertama.
... Jangan menerima mereka, siapa yang menerima
mereka pasti akan diserang oleh Eng-hong-pie-ya.
Itulah pesan dalam undangan kedua.
... Yang memberitahu tentang keberadaan mereka, yang
bisa menangkap mereka hidup-hidup, yang bisa
menyerahkan mayat mereka, hadiahnya berupa emas
seharga sepuluh ribu tail. Eng-hong-pie-ya akan menunggu.
Itu adalah pesan pada undangan ketiga.
Di dunia persilatan orang yang ingin kaya mendadak
sangat banyak. Hanya saja orang pintar tidak mau kaya dengan cara
seperti ini, mereka buru-buru akan menghindar.
Terdengar kuda berlari terburu-buru, kemudian kembali
hening. D sini adalah sebuah rumah kecil yang biasa dibangun
pemburu untuk berteduh. Sangat indah.

Pisau Kekasih Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bagi orang yang sedang melarikan diri, semua terlihat
lebih indah dan lucu. Rumah itu berada di atas gunung yang menonjol. Seperti
atap rumah yang keluar mencuat dari bangunan rumah.
Di sini bisa terhindar dari tiupan angin dan hujan deras.
Yang paling penting, tempat ini sangat terpencil dan
jarang ada yang tahu. Wie Kai dan Leng-ji tidur di ranjang yang dianyam dari
bambu dan di atas ranjang dialasi oleh rumput kering.
Setelah bertarung mati-matian akhirnya mereka bisa
lolos. Badai kehidupan berlalu untuk sementara.
Rasa tenang yang sangat aneh, mungkin itu ciri-ciri badai
kedua yang akan datang. Leng-ji sedang termangu. Dalam situasi apa pun. Senang atau tidak senang, wajahnya selalu tidak ada
ekspresi, tetap cantik tapi seperti tidak hidup di dunia ini.
Cantik tapi seperti tidak nyata.
Dengan termangu dia melihat Wie Kai.
Wie Kai sepertinya sudah tertidur.
Dia selalu cerah, selalu tenang dan tidak tergesa-gesa.
Pelan-pelan Leng-ji turun dari ranjang, dia menutupi
tubuh Wie Kai dengan sehelai baju.
Dalam kesulitan dan kesusahan, perasaan manusia
seperti sehelai kain putih, dia tersenyum, sorot matanya
seperti bisa menyulam kain putih itu.
Hong Kie berada di atas pohon, dia sedang berjaga.
Dia selalu mengerjakan pekerjaan yang pantas dia
kerjakan. Inilah perasaan seorang sahabat karib.
Hong Ku sedang mencuci baju di sebuah sungai kecil.
Yang pasti dia juga waspada.
Kalau ada musuh yang datang dia akan pura-pura
menjadi elang, mereka adalah pemanah, tidak akan menjadi
kelinci. Di depan Hong Kie ada seekor ular besar sepanjang 3-4
kaki. Dia sedang menjulurkan lidahnya.
Dia tidak tahu, apakah orang yang ada di depan adalah
mnagsanya" Sekarang keadaan ular dan manusia sama, Hong Kie
dengan cepat menyerangnya.
Ular tertangkap, di tempatpaling vital.
Ular yang di tangkap, hanya bisa bergerak dengan lemah.
Sekarang Hong Kie menganggap dia adalah seekor ular,
tidak sengaja dia memegang lehernya, tapi dia bukan ular,
di tubuhnya tidak ada tempat yang berbahaya!
Dia bisa mengerti bagaimana rasanya kalau dicekik di
tempat vital. Dia juga selalu teringat pada wajah Seng Kong-kong
yang seperti wajah kuda itu.
Dia melempar ular itu ke depan Hong Ku.
Hong Ku terkejut, lalu dia menendang seekor kelinci dan
terjatuh di tangan Hong Kie.
Hong Kie mulai memanggang kelinci di bawah pohon.
Leng-ji terlihat sangat lemah.
Keadaannya sekarang sangat berbeda dengan saat dia
bertarung di Eng-hong-pie-ya.
Saat diam dia seperti air jernih yang tenang.
Tapi sekarang wajah cantiknya mulai terlihat penuh
kekhawatiran. Bisa melarikan diri itu sangat baik.
Berarti nyawanya bisa dipungutkembali.
Tapi kalau badai datang lagi, keberuntungan belum tentu
akan mennjadi milik mereka lagi.
Wie Kai sudah bangun. Dia duduk di sampingnya. Dia juga membelai rambut Leng-ji
Gerakannya ringan seperti sedang membersihkan air
yang ada di pucuk daun muda.
Leng-ji tidak bergerak. Dia duduk di sisinya, dia merasa aman.
Tapi dengan rasa aman ini apakah bisa melewati patukan
elang-elang yang datang seperti gelombang"
Ada pepatah mengatakan: "Harimau pun ada saatnya mengantuk."
Akhirnya Leng-ji melihat dia.
Empat mata lawannya. beradu, mereka mengerti keadaan Hanya saling menggerakkan mata sudah cukup membuat
mereka terhibur! Dalam kesusahan dan kesulitan, bagi sebagian orang
akan terasa tersiksa. Tapi sebagian kecil, mereka merasa itu adalah ranjang
hangat tempat berbagi perasaan.
Tiba-tiba mereka saling berpelukan.
Bukan hanya tubuh, hati mereka pun sangat akrab saling
berpelukan. "Apa yang harus kita lakukan?" tanya Leng-ji.
"Itu adalah masalah Seng Kong-kong."
Leng-ji tertawa kecut. Dengan santai Wie Kai berkata:
"Eng-hong-pie-ya yang mendapat masalah, bukan kita,
yang harus dipikirkan adalah apa yang akan mereka
lakukan, bukan kita!"
"Kalau kita sendiri, apa yang akan kita laku-kan?"
Wie Kai selalu terlihat santai:
"Kalau kita sedari pertama pacaran sudah terpikir apa
yang harus kita lakukan, waktu itu kita saling jatuh cinta
dan membuat kita pusing, sekarang setelah berpikir harus
melakukan apa, pasti kita akan pusing lagi, kalau pusing
akan tumbuh banyak uban!"
Leng-ji tertawa kecut. Dia merasa lelah lahir dan batin.
Hanya dengan bersama Wie Kai, hal yang dia
khawatirkan bukan hanya tentang dirinya sendiri.
Di kuil La-ma (Tibet) pasti ada La-ma.
Tapi orang yang bukan La-ma masuk ke kuil Lama dan
diterima dengan meriah tidak banyak.
Yang dimaksud dengan meriah bukan dipasang
permadani mewah, meniup dan memukul alat musik
kemudian makan besar-besaran.
Mereka hanya berbaris untuk menyambut kedatangan
tamu. Yang datang adalah Seng Kong-kong yang sudah
berambut putih. Langkahnya cepat dan ringan, tapi wajahnya datar.
Kalau tidak melihat tubuh bagian atasnya, hanya melihat
kedua kakinya, semua orang akan mengira dia baru
berumur 20 tahun lebih. Putri raja Kao Tong berpakaian mewah dan berdandan
dengan warna mencorong. Dipandang dari segi kecantikan Tibet, dia adalah
perempuan yang sangat cantik.
Kecantikan putri raja ini boleh dikatakan sejajar dengan
Leng-ji.. Setelah mendengar cerita Seng Kong-kong, tiba-tiba putri
Kao Tong berteriak: "Apa" Mereka berada di Tai-hong-san" Berada di Taihong-san"..."
Seng Kong-kong duduk di kursi tamu. Putri raja berdiri
untuk bicara. Terlihat mereka sangat akrab, tidak seperti baru 2-3 kali
bertemu. "Keadaan sudah berada di tangan kita!" kata Seng Yankong.
"Aku harus pergi ke Tai-hong-san!" kata putri raja
dengan dingin. "Pergi ke gunung" Putri raja Tibet yang selalu menjaga di
kuil La-ma untuk apa ke Tai-hong-san?"
Tidak banyak "Berburu!" berpikir, dia langsung menjawab: "Sekarang bukan waktunya untuk berburu, apa lagi
orang-orang Eng-hong-pie-ya sedang ke gunung itu, kalau
ada yang melihat apa yang akan dikatakan orang-orang?"
kata Seng Yan-kong. "Apa kata mereka?" tanya putri raja. "Perkataan apa pun
tidak baik bagi kita, Eng-hong-pie-ya dan kuil La-ma hanya
bertukar ilmu silat, kalau hubungan ini terlalu erat, akan
membuat orang curiga. Putri raja, bukankah karena
masalah kecil akan menghancurkan rencana besar?" tanya
Seng Yan-kong, "Apa karena masalah kecil... hancur rencana besar?"
tanya putri Kao Tong. "Inilah pekerjaan rumah tangga Eng-hong-pie-ya, putri
harus percaya, Eng-hong-pie-ya bisa melaksanakannya
dengan baik!" kata Seng Yan-kong.
Hal 337-338 ga ada "Hal apa?" "Aku ingin melihatmu menari."
"Sekarang mana mungkin ada perasaan yang keluar dari
hati?" "Melihat kau menari selalu ada perasaan!"
Leng-ji tertawa dengan indah dan menarik.
Walaupun dia tertawa kecut atau tertawa sambil
menangis, tetap terlihat menarik.
"Aku ingin melihat apakah paha depan atau paha
belakang yang kau sisakan untukku" Ha ha ha!"
Wie Kai mengambil sebuah paha belakang.
"Sebenarnya paha depan atau paha belakang sama saja,
asal sebuah kaki itu sudah cukup! Ha ha ha!" tawa lepasnya
benar-benar membuat orang iri.
Apakah dia tidak normal"
Atau sengaja agar suasana terasa lebih ringan.
Selama ada dia, siapapun akan bertambah selera
makannya. Leng-ji melihatnya, dia ada pikiran lain.
Setelah makan beberapa gigitan daging kelinci, Wie Kai
berkata kepada Hong Kie: "Apakah kau tahu mengapa kau begitu kurus?"
"Karena aku tidak bisa tertawa!"
Hong Kie tertawa tapi tertawa kecut. ^
Tertawa adalah hal yang tidak perlu dibayar malah
membuat orang senang juga membuat diri sendiri senang.
Tapi belum tentu setiap orang bisa mengguna-kan tawa
ini. "Tertawa bisa membuat orang panjang umur!" kata Wie
Kai. "Betul!" kata Hong Kie, "tapi kalau terlalu banyak
tertawa malah akan cepat tua."
"Cepat tua?" tanya Wie Kai.
"Karena terlalu banyak tertawa akan membuat wajah
banyak keriput!" jawab Hong Kie.
Awalnya Wie Kai bengong kemudian tertawa: "Betul,
betul, tidak kusangka kau punya ilmu awet muda!"
Hong Kie makan daging ular lagi. Sebenarnya daging
ular tidak banyak. Karena kalau banyak dagingnya, ular
tidak akan bisa bergerak lincah.
Seperti dia, kalau tidak kurus, dia tidak akan selincah
sekarang dan tidak yakin bisa kabur dari Eng-hong-pie-ya.
"Hong Ku, kau terlihat begitu lelah tapi tubuh-mu tetap
gemuk?" tanya Wie Kai.
"Karena ini sudah dari sananya, aku memang sudah
gemuk!" "Tidak, karena kau senang tertawa!".
"Mungkin juga aku bisa makan dan tidur enak!"
Mereka berdua tertawa. Hong Ku terus makan sambil tertawa.
Tapi Hong Kie tidak tertawa.
Leng-ji melihat Wie Kai. Dia seperti tidak mengerti.
"Seng Kong-kong tidak senang melihat laki-laki dan
perempuan saling mencintai, dia sangat benci dan marah...
karena dia tidak bisa merasakan perasaan antara laki-laki
dan perempuan..." kata Wie Kai.
Pasti masih banyak kekesalan yang tidak enak untuk
diucapkan. Dalam kurun waktu 10 tahun menjadi kasim saat mandi
bukanlah waktu yangmudah dilewati.
Tiga tahun sekali ada perbaikan kecil, 5 tahun sekali ada
perbaikan besar. Bila tidak diperbaiki kalau tunas daging bertumbuh
melebihi panjang yang ditentukan akan lebih celaka!
Kalau tunas daging tidak diperbaiki akan dipenggal,
bukankah yang didapat lebih sedikit dibandingkan yang
hilang" "Hong Ku, bagaimana kalau kau menari?" usul Wie Kai.
"Tarianku tidak bagus, jangan tertawakan aku!" kata
Hong Ku. Hong Ku membersihkan minyak yang ada di tangan dan
mulai menari. Hong Ku sangat terbuka dan ceria, sifatnya kebalikan
dari Hong Kie. Orang yang bersifat sebalik-nya biasanya
lebih akur dan akrab. Tariannya memberikan kesan polos dan perasa-an
senang. Leng-ji bernyanyi pelan-pelan.
HongKu ikut bernyanyi. Hong Kie tidak menari juga tidak bernyanyi, dia
menikmati dalam diam. Wie Kai memukul mangkuk dengan sumpit untuk
dijadikan musik. Mereka sudah lama tidak merasa sesenang sekarang.


Pisau Kekasih Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Semakin menari Hong Ku semakin senang, karena dia
adalah anak yang masih bertumbuh.
Gadis bermata besar memang tidak spesial, tapi bagi
Hong Kie ini berbeda. Tiba-tiba Hong Kie berlari dia menutup mulut Hong Ku.
Yang pasti menyuruhnya tidak bersuara lagi.
Mereka bertiga segera terpaku.
Hong Kie segera memadamkan api dengan kain usang.
Gerakannya cepat dan lincah.
Suasana menjadi tegang. Suasana gembira tadi segera menghilang.
Burung yang tertidur di atas pohon karena terkejut dan
segera terbang. Rasa terkejut mencuat dari mata ke empat orang itu.
Kemarahan terlihat dari kerutan alis mereka. Empat
tangan kuat tidak sengaja memegang senjata masingmasing.
Sorot mata mereka sama-sama melihat ke arah pintu.
Sifat galak dan jahat seorang banci dirasakannya.
Di luar rumah kecil di mana tempat pemburu beristirahat
muncul bayangan yang terus berkelebat.
Kadang-kadang terdengar suara baju yang mengenai
pohon atau daun. Masih bercampur dengan suara senjata yang dikeluarkan
dari sarung. Tiba-tiba pintu ditendang hingga terbuka.
Daun pintu terjatuh ke bawah. Loo Cong berkelebat
masuk. Matanya terus melihat ke sekeliling. Wajah yang
kuat dan serius tampak sedikit mengendur.
Tidak lama kemudian putri Kao Tong masuk, dia
bertanya: "Bagaimana?" "Kita terlambat sedikit, kemarin malam mereka masih di
sini!" jawab Loo Cong.
Dengan marah putri Kao Tong berkata: "Mereka benarbenar licin!"
Dia masuk dan keluar lagi dari rumah itu, dia juga
berusaha menguasai dirinya supaya tidak terlihat kalau dia
terburu-buru. Tapi perasaan yang bergejolak di dalam hati sangat sulit
ditutupi. Jika bisa ditutupi, pasti perasaannya tidak terlalu keras.
Loo Cong melambaikan tangan, dia membawa anak
buahnya mencari ke sekeliling.
Putri Kao Tong masuk lagi ke dalam rumah itu. Dia
memeriksa ranjang sederhana itu dengan teliti.
Walaupun ranjang itu sangat sederhana tapi tetap sebuah
ranjang. Tempat orang tidur dan melakukan hal lain.
Tiba-tiba putri Kao Tong memungut sebuah jepit rambut
dari atas ranjang itu. Api kemarahan muncul lagi di matanya.
Tiba-tiba dia membenci ranjang itu, dengan golok
beberapa kali dia menusuk ranjang itu.
Dia ingin menghancurkan ranjang itu.
Kemudian dia berlari keluar dengan marah melihat
keadaan di luar. Di sana ada kulit kelinci, tulang kelinci, serta kulit ular
dan yang lainnya. Tempat memanggang daging masih berasap.
Dia menepis jangka untuk membakar daging itu.
Melihat jepit rambut yang ada di tangannya, dia berkata:
"Kalian akan tahu rasanya!"
Jepit rambut ditekan menjadi beberapa bagi an.
Dia tidak ingin melihat bekas barang yang mereka
tinggalkan, tapi dia ingin tahu sekarang mereka sedang apa"
Bila laki-laki dan perempuan bersama, apa yang akan
terjadi" Putri Kao Tong sendiri yang akan mengancam.
Saat dia bersama laki-laki dan laki-laki itu bukan Wie
Kai pasti akan terjadi hal seperti itu.
Dia seperti mendengar tawa Wie Kai yang terlepas.
Dia berpikir Leng-ji tentu sedang dalam pelukan Wie
Kai. Dia berpikir lagi, mereka dengan tubuh telanjang mandi
di sungai yang kecil itu.
Dia memungut batu besar melemparkannya ke dalam sungai.
lalu Bayangannya menghilang. di yang terpantul dengan sungai marah itu jadi Loo Cong kembali lagi. Dia membawa anak buahnya yang terdiri dari beberapa
orang. Kata Loo Cong: "Saat kita akan kemari, Kong-kong berpesan bila di Taihong-san tidak mendapati
jejak mereka, harap Putri kembali
ke ibu kota. Biar kami yang akan mencari mereka."
Putri Kao Tong seperti tidak mendengar. Dia
menghentakkan kaki, membawa dua La-ma berjalan ke
arah hutan. Loo Cong tidak bergerak. Dia melihat jepit rambut yang dihancurkan oleh putri
Kao Tong. Mo Ki-thian tidak bergerak.
Tapi apa yang dipikirkan Mo Ki-thian berbeda dengan
Loo Cong. Di tempat tidak begitu jauh dari sana, terdengar putri
Kao Tong membentak: "Keluar! Kalian tidak akan bisa kabur."
"Keluar... keluar... kalian tidak akan bisa kabur... tidak
akan bisa kabur..." Gema terdengar bergaung di mana-mana, lama baru
menghilang. Di lembah yang penuh dengan kabut, burung yang
sedang tertidur sekali lagi beterbangan karena terkejut.
Matahari bersinar dengan terik. Di gunung tidak ada
angin. Mereka berempat terus berjalan. Hong Kie
berjalanpaling depan. Dia selalu menjadi orang yang pertama berjalan. Karena
refleknya cepat dan dia lincah. Hong Ku berada di
belakangnya. Dari luar terlihat dia tidak begitu
menghormati Hong Kie. Tapi ini hanya terlihat dari luar saja, sebenar-nya sorot
matanya tidak pernah meninggalkan Hong Kie. Seperti Wie
Kai dan Leng-ji. Kalau bukan karena perasaan kuat seperti tiang yang
menahan mereka, tidak ada orang yang berani melarikan
diri dari Eng-hong-pie-ya.
Perasaan inilah yang membuat mereka ber-tahan dan
membuat mereka berani menghadapi dewa kematian.
Seorang penebang kayu sedang memikul kayu.
Berjalan dari arah depan.
Hong Kie segera bersiap-siap.
Tangan yang memegang golok segera muncul urat hijau.
Orang yang ada di belakangnya ikut waspada. Jalan di
gunung sangat sempit. Ke dua belah pihak berpapasan.
Berjalan dengan tempat yang pas-pasan. Wie Kai tertawa
kepada orang itu tapi tawanya tidak alami.
Penebang kayu itu sudah pergi jauh. Wie Kai melihat
Leng-ji. "Hari-hari dilewati dengan sangat menarik!" kata Leng-ji.
"Maksudmu dengan sangat menarik?"
"Apakah kau sudah bosan melewati hari-hari seperti ini?"
"Apakah kau sendiri sudah bosan?"
Leng-ji tertawa, dia selalu baik dan lembut.
Wie Kai benar-benar tidak tahu mengapa Leng-ji bisa
masuk Li-goan, katanya: "Leng-ji, bagaimana kalau kita mengobrol tentang
dirimu?" "Mengobrol tentang apa?"
"Banyak, satunya masa lalumu, aku pasti tidak akan
bosan-bosan mendengarnya!" kata Wie Kai.
"Kau mau tahu tentang apa?"
"Coba ceritakan kehidupan di Li-goan!"
Tiba-tiba Leng-ji tertawa: "Aku sama sekali belum
pernah ke Li-goan." "Apakah benar?" Wie Kai terkejut.
"Ya!" "Kau bukan Seebun Long?"
"Bukan!" "Lalu siapa Seebun Long itu?"
"Aku tidak tahu!"
"Kau bohong!" Wie Kai menepuk pundaknya. "Aku
serius!" "Maksudmu, kau bukan Seebun Long juga tidak tahu
siapa Seebun Long?" .
"Benar!" "Apakah Seebun Long hanya sesosok bayangan bukan
benar-benar ada?" Leng-ji menggelengkan kepala:
"Dia benar-benar ada!"
"Hubunganku dengannya..."
"Kau dan dia tidak ada hubungan apa pun."
"Tidak, aku ingat kami mempunyai hubungan sangat
dalam." "Siau-kai, kau tidak mengerti."
"Aku memang tidak mengerti!"
"Tidak mengerti, jadi jangan sembarangan menebak,"
kata Leng-ji. "Tapi aku tidak bisa menyangkal mengenai hubungan
dalamku dengannya!" "Hubungan dalam?"
"Kau seperti ingin menyangkal hubunganku dengannya!"
"Kau hanya ingin bertanggung jawab saja!"
"Apakah salah kalau aku bertanggung jawab?"
"Kau tidak perlu bertanggung jawab, tapi kalau kau mau
bertanggung jawab bukankah itu mubajir?"
"Aku tahu, kau hanya ingin aku melepas tanggung jawab
ini." "Kalau kau dan dia benar-benar mempunyai hubungan
yang dalam, mengapa dia harus melepaskanmu?"
"Sebenarnya apa yang ingin kau katakan?"
"Sebenarnya itu adalah ilmu sihir dari Seng Yan-kong."
"Ilmu sihir dari India?"
"Sebenarnya ilmu dari Po-se!"
"Aku tidak mengerti!" kata Wie Kai.
"Maksud ilmu sihir ini adalah sebuah ilmu yang sangat
dalam dan sulit dimengerti, memang ada yang mengatakan
kalau itu sebuah ilmu sesat, tapi orang yang bisa ilmu ini
benar-benar tahu kalau itu adalah sebuah ilmu tinggi dan
sulit dimengerti. Ada teori ada praktik, setelah menguasai
ilmu ini dia bisa membuat orang melakukan hal yang ingin
dia lakukan tidak peduli apa pandangan orang lain!"
"Mengapa Seng Kong-kong melakukan ini?"
"Seng Yan-kong ingin membangun inti kepemimpinan
dan orang-orang ini akan setia kepada-nya!"
"Siapa mereka ini?"
"Yang pasti kau, aku, Loo Cong, dan Mo Ki-thian, dan
di kita, kau dan Loo Cong yang dianggap paling penting."
"Mengapa?" "Karena selain Seng Kong-kong,
mempunyai ilmu silat yang paling tinggi."
kalian berdua "Ilmu silatmu juga lumayan."
"Tapi dia memandang remeh perempuan."
"Mungkin bukan memandang remeh, tapi karena
sombong dan selalu merasa rendah diri."
"Singkat kata, dia sangat memandang penting kau dan
Loo Cong, tapi kau berada dalam hatinya, tidak seperti Loo
Cong yang bisa dipercaya."
"Dia merasa aku tidak bisa dipercaya?"
"Bukan tidak bisa dipercaya, hanya saja kau tidak seperti
Loo Cong begitu jujur dan setia."
Wie Kai tertawa. "Apakah kau tidak percaya?" ^
"Aku percaya maka aku kagum
pengetahuan orang yang dikuasainya."
terhadap ilmu "Siau-kai, kau tidak jujur, kau mengatakan
sebaliknya." "Kadang-kadang mengatakan sebaliknya bukan kah
sama dengan menghibur diri?"
"Seng Yan-kong menjadikanku sebagai umpan untuk
menguji dirimu, dia mencari perempuan yang mirip
denganku, orang itu pemain opera karena dia mirip
denganku, ditambah sikapmu hangat kepadaku ada
kemauan dan khayalan, dia memakai ilmu sihir Seng Yankong, kau menganggap Seebun
Long adalah aku, Sangguan
Siau-liong dianggap sebagai putramu, dan kau juga mengira
ada hubungan khusus dengan Seebun Long!"
Wie Kai terkejut. Sejak di panggung eksekusi lehernya terkena air, dia
segera jadi teringat semua, rupanya air itu di-beri obat
penawar. Tiba-tiba Wie Kai meloncat dan tertawa terbahak-bahak.
"Ada apa denganmu?"
"Apakah kau tidak mengerti mengapa aku begitu
senang?" Leng-ji menggelengkan kepala.
"Kalau aku benar-benar mempunyai hubungan spesial
dengan Seebun Long, apakah aku masih layak bersama


Pisau Kekasih Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

denganmu?" "Kalau kau benar-benar mempunyai anak, apakah aku
akan merusak perjodohan orang lain?"
Wie Kai menepuk-nepuk dahinya:
"Tidak seperti itu!"
"Tidak, sama sekali tidak!"
"Terima kasih, Tuhan! Aku seperti bermimpi buruk,
setelah terbangun jadi merasa sangat beruntung, ternyata
hanya mimpi buruk, bukan sebenarnya!"
"Tapi paling sedikit
berwarna-warni!" membuktikan kalau hatimu "Leng-ji, aku hanya menganggapnya dirimu, kalau Siauliong adalah putra kita, itu
akan sangat baik bukan?"
Leng-ji tidak bersuara. "Tapi kalau benar-benar ada Siau-liong, saat ini kau akan
tersiksa! Bagaimana pendapatmu?"
"Paling sedikit lebih baik dibandingkan berada di Enghong-pie-ya, sekarang kita
Harpa Iblis Jari Sakti 32 Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Imbauan Pendekar 12
^