Pencarian

Rahasia Hiolo Kumala 11

Rahasia Hiolo Kumala Xia Ke Qian Qiu Karya Gu Long Bagian 11


sini, sambutlah sebuah pukulanku lebih dahulu". Ko tayhiap dengan gagah menerima tantangan itu, "Aku
sudah siap menunggu pelajaran!". Maka kedua orang itu saling bertarung"
346 "Bagaimana akhirnya?" sela Yu Siau-lam dengan gelisah.
"Aku sih tak tahu bagaimana hasilnya. Hanya kulihat angin pukulan kedua orang
itu saling beradu keras, menyusul kemudian Ko tayhiap mundur setengah langkah, sebaliknya
Kiu-im kaucu sempoyongan setengah harian sebelum ia berdiri tegak. Menanti kuda-kudanya
dapat dikokohkan kembali Ko tayhiap sudah berlalu dari sana sambil berkata. "Selamat
tinggal!" "Jadi kalau begitu, Kiu-im kaucu belum menderita kalah?" tanya Yu Siau-lam
kemudian. "Aku sendiripun tidak tahu, tapi sepeninggalnya Ko tayhiap, tiba-tiba Kiu-im-
kaucu bergumam seorang diri:" Aaaai.... Sudah tua! Sudah tua! Aku memang sudah terlalu tua!"
Kemudian ia berjalan mondar mandir lagi dalam gedung sambil bergendongan tangan"
"Kalau cuma begitu saja, toh beilum pasti kalau Kiu-im kaucu telah pulang
kesarangnya?" desak Yu Siau-lam. "Ucapan memang betul, tapi kisahnya masih ada. Dengarkan dulu penuturanku
selanjutnya." Setelah berhenti sebentar, ia baru melanjutkan kisah ceritanya, "Demikianlah,
sambil berjalan maju mundur Kiu-im kaucu putar otaknya memikirkan masalah yang ia hadapi. Selang
sesaat kemudian tiba-tiba ia masuk keruang tengah dan mengumpulkan segenap tongcu dan
anak buahnya. Dihadapan anak buahnya itulah dia umumkan pengunduran dirinya dan
menyerahkan kedudukan kaucu itu kepada Yu beng tiamcu Bwee Su-yok dan hari itu juga ia
bertolak menuju keselatan. Mengenai kejadian yang lebih terperinci, akun rasa tak perlu
diterangkan lagi" Ketika Yu Siau-lam mendengar bahwa ia telah mengakhiri kisah cerita itu, segera
ujarnya lagi, "Woow.... Kalau cuma begitu saja, tak dapat dikatakan kalau dengan sebuah pukulan
berhasil mengusirnya pulang kekandang, Cuma...."
"Cuma kenapa lagi?" seru Coa Cong-gi sambil mengernyitkan alis matanya yang
tebal. Yu Siau-lam menengadah dan menjawab, "Aku rasa kejadian semacam ini belum pantas
untuk dikatakan sebagai bangkitnya hawa iblis yang menyelimuti jagad. Pada umumnya
tenaga dalam yang dimiliki si iblis tua lebih sempurna dan hatinya lebih buas dan keji. Jika
si iblis kecil yang melanjutkan kedudukannya, maka baik dalam hal tenaga dalan maupun dalam hal
kekejaman, dia tentu kalah satu tingkat jika dibandingkan dengan siiblis tua. Maka menurut
pendapatku, keadaan semacam ini mestinya merupakan suatu warta gembira bagi kita semua"
"Warta gembira?" Coa Cong-gi melotot besar. "Memangnya kau anggap Bwee Su-yok
adalah seorang gadis perawan yang lemah lembut dan berhati penuh welas kasih" Tanyakan
sendiri kepada saudara Hoa, betapa dingin dan kakunya perempuan itu" Betapa buas dan
kejamnya dia" Berbicara soal ilmu silat, mungkin Hoa lote sendiripun belum tentu merupakan
tandingannya!" Sekarang Yu Siau-lam baru terperanjat. Tanpa sadar matanya terbelalak lebar
dengan mulut melongo. Untuk sesaat ia tak mampu nengucapkan sepatah katapun.
Hoa In-liong pribadi, ketika didengarnya bahwa Bwee Su-yok telah menerima
jabatan kaucu dari Kiu-im-kau, pelbagai perasaan bercampur aduk dalam hatinya. Perasaan itu yaa
getir, yaa manis yaa kecut, yaa pedas. Pokoknya begitu bercampur aduknya perasaan hatinya,
sampai-sampai dia sendiripun tak dapat membedakan perasaan tersebut.
347 Saking kesalnya, ia ambil keputusan untuk tidak memikirkannya lebih jauh. Maka
dicarinya alasan untuk mengalihkan pokok pembicaraan ke soal lain. "Saudara Cong-gi!" katanya
kemudian, "Urusan ini tak usah kita bicarakan lagi, apakah kau masih punya rangsum kering
dan air?" Coa Cong-gi merupakan seorang laki-laki yang polos dan jujur. Setiap kali ia
merasa ada perkataan yang tak betul, pemuda itu siap untuk mendebatnya. Meski demikian,
wataknya cukup baik. Dia memang cepat naik darah, tapi cepat pula marahnya jadi buyar, apalagi
ditimbrung urusan lain, maka persoalan yang pertamapun akan terlupakan sama sekali dengan
cepatnya. Terutama sekali terhadap Hoa In-liong, boleh dibilang perhatiannya sungguh
sungguh. Begitu mendengar kalau pemuda itu membutuhkan rangsum kering dan air, diapun lantas
berteriak, "Heei.... Siapa yang mempunyai air dan rangsum kering" Ayoh bagi dua bagian
kemari!" Be Si-kiat yang mendengar seruan tersebut, segera menghantar dua bagian air dan
rangsum ke depan. Setelah menerima air dan rangsum kering, Hoa In-liong membagi satu bagian untuk
Yu Siau-lam dan mereka berduapun bersantap dengan mulut membungkam, sebab kedua belah pihak
samasama mempunyai perasaan yang amat berat.
Untuk sesaat suasana jadi hening dan amat sepi. Angin yang berhembus lewat
menggoyangkan daun pohon hingga menerbitkan bunyi gemerisik yang nyaring. Suara tersebut
seakan-akan bunyi anak panah yang menembusi awan. Begitu tajam dan keras membuat hati orang
berdebar dan merasa duduk tak tenang.
Beberapa saat sudah lewat, akhirnya Coa-Cong gi yang pertama tama tak tahan oleh
keheningan di tempat itu. Ia lantas bangkit berdiri dan berjalan mondar-mandir kesana-
kemari. Selang sejenak kemudian, tiba-tiba matanya tertumbuk dengan tubuh Bujian
tootiang yang tergeletak ditanah, ia segera berhenti ambil teriaknya, "Eeeh.... Jalan darah dari
tootiang ini apakah boleh dibekaskan sekarang?"
Selama ini, perhatian semua orang tertuju untuk mendengarkan cerita dari Coa
Cong-gi tentang persoalan Kiu-im kau. Sementara Bu-jian tootiang yang tergeletak di tanah,
terlupakan untuk sementara waktu. Maka begitu Coa Cong-gi berteriak, Hoa In-liong lah yang
pertama-tama menjadi sadar. "Oh-iya.... Biar aku yang membebaskan sendiri. Biar aku saja yang
mengerjakan sendiri!" serunya cepat.
Rangsum dan airnya dibuang ke tanah, kemudian bangkit dan menghampirinya.
Yu-Siau-lam pun menjadi teringat kembali akan imam itu, sambil menengadah
tegurnya, "Apakah perlu Siau-te bantu?"
"Harap kau bersiap siaga saja dengan waspada jika kesadaran otaknya belum pulih
kembali seperti sedia kala, tolong totoklah jalan darah tidur Hek tian hiatnya!"
Yu Siau lam mengangguk, maka Hoa In-liong pun menyalurkan tenaga dalamnya ke
jari tangan. Kemudian dalam sekali sentilan jari saja ia telah berhasil membebaskan jalan
darahnya yang tertotok. 348 Jilid 18 BEGITU jalan darah Bu-jian tootiang tertotok bebas, sepasang biji matanya segera
berputar memandang sekeliling tempat itu, kemudian sambil melompat bangun, tanyanya
dengan wajah tercengang, "Aku.... Aku.... berada dimana?"
"Tenangkan dulu hatimu tootiang!" cepat Yu Siau-lam berseru, "Tempat ini adalah
empat puluh li dari kota Hong-yang yang disebut orang sebagai Ang-sim-poh!"
Kembali Bu-jian tootiang celingukan kesana kemari seperti orang kebingungan.
"Aku.... Aku...."
Tiba-tiba ia seperti teringat akan sesuatu, segera teriaknya, "Aaah.... Aku sudah
teringat semua kini, Ooh.... Thian! Kuilku....kuilku...."
"Yaa.... Kuil Cing-siu-koan telah musnah!" lanjut Hoa In-liong dengan sikap yang
tenang, "Tootiang, jelek-jelek engkau adalah seorang imam
yang beribadat, semestinya jalan pikiranmu jauh lebih terbuka dari pada orang
lain" Bu-jian tootiang segera meloncat bangun dari atas tanah, lalu serunya agak
tergagap, "Tetapi....
Tetapi.... Dua puluh tujuh lembar nyawa manusia! Mereka semua adalah anak murid
pinto!" Menyinggung tentang kedua puluh tujuh lembar nyawa manusia itu, tak dapat
dibendung lagi titik-titik air mata jatuh berlinang membasahi pipinya.
Semua orang sudah tahu kalau kuil Cing siu-koan telah terbakar habis tinggal
puing-puing yang berserakan. Tapi menyaksikan kesedihan yang mencekam perasaan Bu-jian tootiang
ketika itu, semua orang ikut merasa bersedih hati hingga nyaris air mata ikut meleleh keluar
membasahi pipinya. Coa Cong-gi merupakan seorang laki-laki yang berhati sekeras baja dan bernyali
besar, tapi ia paling pantang menyaksikan orang lain mengucurkan air mata, maka segera serunya,
"Jangan menangis! Jangan menangis lagi! Siapa hutang uang dia harus bayar dengan uang,
siapa hutang nyawa harus dibayar pula dengan nyawa. Meskipun mereka sudah sudah bikin mati
anak muridmu, lain kali kau bisa comot keluar jantungnya. Mereka sudah bakar kuilmu,
maka lain kali kau bongkar juga sarang mereka. Kekerasan harus dibalas dengan kekerasan,
kekejaman harus dibayar pula dengan kekejaman. Sebagai seorang laki-laki sejati, sebagai
kesatria yang gagah perkasa, kau harus dapat mengendalikan perasaan. Kau anggap hanya menangis
belaka, maka urusan dapat diakhiri dengan gampang?"
Hoa In-liong yang berada disampingnya segera menambahkan pula dari samping,
"Betul juga perkataan itu. Bagaimanapun juga, toh kuil yang tootiang huni telah musnah. Yang
paling penting sekarang adalah menjaga kesehatan badan, selanjutnya adalah memanfaatkan
keadaan yang ada. Kesedihan yang mencekam menjadi suatu kekuatan untuk membalaskan
dendam bagi kematian anak muridmu. Sebaliknya jika kesedihan yang kau alami sekarang
mengakibatkan badanmu semakin rusak, coba bayangkan sendiri, siapa yang akan membalaskan
dendam bagi kematian anak muridmu" Kalau sakit hati ini sampai tidak terbalas, bukankah
mereka akan mati dengan mata tak meram?"
"Mati dengan mata tak meram.... Mati dengan mata tak meram...." kembali Bu-jian
tootiang bergumam seorang diri. 349 Dari cara imam setengah baya itu mengulangi kembali kata-kata tersebut, Yu Siau-
lam tahu bahwa perasaan dan pikirannya sudah mulai bergerak, maka setelah berpikir
sebentar, dia berkata pula, "Tootiang, aku pernah berhutang budi kepadamu. Maka bila engkau
berhasrat untuk membalas kan dendam bagi kematian anak muridmu, sekalipun harus terjun ke
lautan api, aku pasti akan membantu dirimu pula. Entah bagaimanakah menurut pendapatmu?"
Meskipun butiran air mata yang mengembang dalam kelopak mata Bu-jian tootiang
belum mengerti akan tetapi dibalik matanya yang berkaca-kaca itu telah memancar keluar
serentetan cahaya tajam yang menggidikkan hati. Ini menunjukkan bahwa keputusan telah
diambil dalam hatinya dan makin lama keputusan tersebut semakin bulat.
Saat itulah Hoa In-liong menambahkan kembali kata-katanya dari samping,
"Pertimbangkanlah secara seksama. Tapi menurut pendapatku, anak murid dalam perguruan sama halnya
dengan anak kandung sendiri. Kematian mereka terlalu menyedihkan, apalagi dibunuh
secara keji tanpa sebab musabab. Kematian mereka adalah kematian yang penasaran, bagaimanapun jua
dendam ini harus dituntut balas. Bila engkau telah memutuskan untuk membalas dendam,
maka semua sahabatku dengan rela hati akan membantu usahamu itu"
Begitu kata-kata tersebut berkumandang keluar, sinar mata yang memancar keluar
dari mata Bujian tootiang makin bercahaya. Ia tampak termenung sejenak. Kemudian
dengan ujung bajunya menyeka air mata dalam kelopak mata, matanya tertunduk rendah. Sambil pejamkan
mata ia menjura dalam-dalam. Ia menjura tanpa diketahui siapa yang dituju, tapi setelah
berdiri tegak ujarnya kepada Hoa In-liong, "Terima kasih atas nasehatmu itu, pinto menerima
semua kritik yang membangun ini" Setelah menyapu sekejap wajah para jago yang hadir disana, ia berkata lebih
jauh, "Saudarasaudara sekalian, walaupun aku sudah menjadi pendeta semenjak


Rahasia Hiolo Kumala Xia Ke Qian Qiu Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kecil tapi akupun merupakan
seorang manusia yang berdiri dari darah dan daging. Aku mempunyai perasaan juga.
Maka atas budi kebaikan yang telah kuterima hari ini, pinto tak berani menjanjikan
sesuatu. Tapi yang pasti aku akan berusaha untuk maju ke depan. Andaikata lain waktu masih berjodoh, kita
pasti akan bersua kembali...." Selesai berkata, ia lantas beranjak dan menuju keluar hutan untuk berlalu dari
sana. Hoa In-liong bertindak cepat, tangannya segera berputar kedepan mencekal ujung
bajunya. "Tootiang, engkau akan kemana?" Tegurnya gelisah.
Karena ditarik ujung bajunya, terpaksa Bu-jian tootiang membatalkan niatnya.
"Seng-sut-pay telah membakar habis kuil pinto, maka pinto juga akan menghancurkan lumatkan
Hay-sim-san sarang mereka" "Tapi.... Tapi.... Kau cuma sendirian, mana mungkin niatmu bisa terwujud" "seru Hoa
In-liong agak ragu-ragu. "Hoa kongcu, apakah engkau anggap pinto benar-benar seorang imam tua yang tak
berguna?" tiba-tiba Bu-jian tootiang balik bertanya, suaranya sangat hambar.
"Aku tahu, tootiang adalah seorang tokoh persilatan yang selama ini
menyembunyikan diri dalam
too-koan!" Bu-jian tootiang tertawa ewa. "Kongcu keliru besar. Guru pinto yang sebenarnya
tak lain adalah Tong Thian-kaucu dimasa lalu, dia adalah seorang gembong iblis yang betul-betul
pantas disebut iblis" 350 Setelah ucapan tersebut diutarakan keluar, semua orang yang berada dalam
gelanggang jadi terbelalak lebar. Tak seorangpun sanggup mengucapkan sepatah kata pun.
Terdengar Bu-jian tootiang berkata lagi, "Saudara-saudara sekalian tak usah
kuatir. Anak murid dari Thian Ek-cu untuk selanjutnya tak ada yang menjadi iblis sesat lagi"
Hoa In-liong merasa serba salah. Iapun tak sanggup mengatakan apa-apa lagi. Maka
apa yang bisa ia lakukan hanya menarik tangan Bu-jian tootiang erat-erat tanpa dilepas
kembali. Bu-jian tootiang kembali berkata, "Tempo dulu pinto pernah berjumpa muka dengan
ayahmu. Watak kongcu persis seperti watak ayahmu, bunyak manfaat yang telah pinto tarik
dan pelajaran ini." Yang dia maksudkan adalah kebaikan serta kegagahan keluarga Hoa. Apa mau dikata
Hoa Inliong adalah seorang pemuda yang keras kepala, segera teriaknya, "Aku tak
ambil peduli! Sekalipun kau berbicara sampai lidahmu membusuk juga percuma. Pokoknya aku tak
nanti akan membiarkan engkau menempuh bahaya seorang diri."
"Kalan memang begitu, pinto terpaksa harus menyalahi dirimu!"
Seraya berkata demikian, Bu-jian tootiang segera putar telapak tangannya dan
menghantam kepada Hoa In-liong. Serangan tersebut tak dapat diketahui arah asalnya, tapi kecepatannya luar biasa
sekali. Padahal Hoa In-liong sama sekali tidak bersiap sedia terhadap datangnya ancaman
tersebut, tampaknya serangan itu segera akan bersarang telak di atas tubuhnya.
Berada dalam keadaan seperti ini, untuk memberi pertolongan jelas sudah tak
mungkin lagi. Semua orang jadi terperanjat, bahkan ada pula diantara mereka yang menjerit
kaget. Disaat yang amat kritis itulah, semua orang hanya merasa pandangan matanya jadi
kabur dan sesosok bayangan manusia tahu tahu sudah terlempar ketengah udara.
Menyusul kemudian, terdengar suara Hoa In-liong yang sedang minta maaf
berkumandang, "Maaf....! Maaf....! Aku.... Aku.... Sebenarnya tidak sengaja!"
Ketika semua orang memandang kearah gelanggang dengan lebih cermat, maka
terlihatlah orang yang terlempar dari gelanggang itu ternyata adalah Bu-jian tootiang.
Sementara itu Bu-jian tootiang tergeletak diatas tanah sambil meringis menahan
sakit. "Pinto....Pinto....Aaai!"
Ditengah helaan nafasnya, ia gelengkan kepalanya berulang kali. Agaknya
bandingan itu cukup keras sehingga mengakibatkan tubuhnya terasa amat sakit.
Dengan wajah penuh rasa menyesal dan permintaan maaf Hoa In-liong membimbingnya
bangun berdiri, katanya, "Tootiang, harap engkau suka memberi maaf atas kecerobohan
serta kekasaranku!" 351 Bu-jian tootiang tertawa getir. "Hal ini tak dapat menyalahkan diri kongcu.
Kalau ingin nenyalahkan maka harus salahkan diri pinto sendiri yang tak tahu diri serta
menilai dirimu terlampau rendah" "Tidak! Tootiang terlalu baik hati dan ramah, lagipula engkaunpun tidak
menggunakan tenaga sepenuhnya. Andaikata tootiang menggunakan tenaga yang lebih besar lagi maka
yang roboh sudah pasti adalah diriku sendiri. Aku tahu, tujuan dari tootiang dengan
serangan itu adalah bermaksud untuk memaksa aku lepas tangan. Akulah yang salah karena tak dapat
menguasahi diri sehingga sungguh-sungguh membanting tootiang sampai terjungkal"
Setelah pembicaraan itu berlangsung, semua orang baru menyadari akan duduk
persoalan yang sebenarnya, semua orang lantas mengerumun maju ke depan.
Ternyata Bu-jian tootiang ingin terburu buru lepaskan diri dari cekalan orang,
maka ia gunakan telapak tangannya untuk pura-pura melancarkan serargan. Dalam anggapannya gertak
sambal itu pasti akan berhasil dengan cemerlang. Dalam keadaan tak terduga dan tergesa-
gesa Hoa Inliong pasti akan melepaskan cekalannya untuk mengundurkan diri
kebelakang. Asal cekalannya terlepas, maka dengan suatu gerakan yang sama sekali tak terduga
ia dapat kabur dari situ. Siapa tahu Hoa In-liong memang berniat sungguh-sungguh untuk mencegah imam itu
menempuh bahaya seorang diri. Sewaktu menyaksikan datangnya serangan secara
tiba-tiba, tentu saja cekalannya tidak dilepaskan dengan begitu saja.
Lantaran dia sendiripun tidak bermaksud mundur ke belakang, maka bukannya mundur
justru pemuda itu maju ke muka, kaki kirinya maju selangkah. Sementara telapak
tangannya dari mencekal menjadi mencengkeram dan ditangkapnya lengan kiri Bu jian tootiang
erat-erat. Ketika badannya dilengkungkan seperti busur dan lengan kanannya digetarkan ke
depan, ternyata tubuh Bu-jian tootiang terangkat lewat punggungnya dan melayang ke
depan. Ternyata di saat yang terakhir ia baru tahu jika Bu-jian tootiang sama sekali
tidak menggunakan tenaga penuh, tak ampun lagi terpelantinglah si toosu setengah baya itu dengan
kepala menghadap ke atas. oooOOOooo SEMENTARA itu Bu-jian tootiang telah berkata dengan dahi berkerut kencang, "Tak
usah dibicarakan lagi tentang soal itu, harap kongcu bersedia lepas tangan!"
Dari nada ucapannya itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa keputusannya untuk
berlalu dari situ sudah bulat dan tak dapat diganggu gugat lagi.
Tapi Hoa-In-liong tetap menggelengkan kepalanya. "Padamkanlah amarahmu untuk
sementara waktu" Hiburnya. "Dendam sakit hati ini memang harus dituntut balas. Tapi adapun
sebab musabab hingga terjadinya dendam berdarah ini adalah gara-gara soal diriku.
Sewajarnya kalau aku tak boleh mengesampingkan diri dalam urusan pembalasan dendam ini. Kita
harus rundingkan siasat dengan sebaik-baiknya agar hasil yang tercapai pun memadai"
"Benar!" kata Yu Siau-lam juga, "Sebab musabab sampai terjadinya dendam berdarah
ini adalah karena soal diriku. Andaikata aku tidak tertawan, saudara In-liong tak mungkin
akan menyusul ke kota Hong-yang dan orang-orang dari Mo-kauw juga tak nanti akan menghancurkan
tookoan mu 352 serta membinasakan anak muridmu. Sebab itu aku juga tak dapat mengesampingkan
diri dalam urusan ini. Tootiang, kenapa kau tidak tenangkan dulu hatimu dan marilah kita
rundingkan bersama-sama urusan ini untuk menyusun rencana bersama?"
Meskipun dari pembicaraan tersebut ia tahu akan maksud baik rekan-rekannya dan
diapun tahu bahwa mereka tetap menguatirkan keselamatan dirinya jika seorang diri menempuh
bahaya, maka semua tanggung jawab persoalan itu dibebankan di atas bahu sendiri. Namun
rasa haru dan terima kasihnya itu tak dapat membatalkan niat serta jalan pemikiran sendiri
karenanya setelah termenung sejenak, tiba-tiba ia bertanya, "Apakah kalian berdua tabu
bahwa pinto mempunyai sebuah gelar lain yang disebut Cing-liang?"
Baik Yu Siau lam maupun Hoa In-liong sama-sama tertegun, sebelumnya mereka
sempat mengucapkan sesuatu, Coa Cong-gi sudah tak dapat menahan rasa sabarnya, ia
segera menukas, "Aaah.... Kamu ini kok cerewet amat! Perduli amat Cing lian-si teratai
hijau atau Peklian-si teratai putih, apa sangkut pautnya soal itu dengan masalah
pokok" Saudara Hoa berbuat
demikian adalah dikarenakan maksud baik, terserah engkau bersedia untuk
mendengarkan atau tidak....?" Bu jian tootiang tertawa getir. "Memangnya pinto adalah seorang manusia yang tak
tahu baik buruknya orang lain?"
"Kalau sudah tahu kau urusannya beres, buat apa kau masih ribut dan cerewet
terus" "tegur Coa
Cong-gi lebih jauh dengan alis matanya berkenyit.
"Pinto rasa, kalian semua pasti pernah mendengar tentang peristiwa berdarah
dilembah Cu-bi-ok bukan?" Kata Bu-jian tootiang dengan tenang. "Dalam pertarungan yang berlangsung
di lembah Cu-bu-kok dahulu, guruku pernah menitahkan seorang bocah imam berbaju merah yang
bernama Cing-lian untuk membacok kotak emas milik Siang Tang lay, Siang
locianpwe...." Diam-diam Coa Cong-gi mendesis dihati kecilnya. "Oooh.... Jadi engkau adalah si
bocah imam berbaju merah itu" Toh hal ini bukan suatu kejadian yang perlu dibanggakan"
Kenapa musti kau ungkap kembali?" tegurnya.
"Pinto tidak bermaksud pamer atau membanggakan diri. Maksud pinto sejak kecil
guruku telah menganjurkan kepada pinto agar berambisi besar untuk mencapai apa yang dicita-
citakan. Tapi sejak kembali dari operasi penggalian harta karun dibukit Kiu-ci-san, ambisinya
banyak yang telah padam. Beliau berpesan kepada pinto agar mengganti nama menjadi Bu-jian
dan mengasingkan diri ditempat sunyi serta tidak mencampuri urusan dunia persilatan
lagi...." Hoa In-liong agaknya dapat menangkap maksud sebenarnya dari perkataan lawan, ia
segera menukas, "Aaaah.... Sekarang aku sudah paham dengan maksud hatimu. Jadi tootiang
bermaksud hendak menghubungi kembali bekas rekan-rekan seperguruanmu dimasa
lampau untuk membantu usahamu guna membalaskan dendam bagi kematian anak muridmu ini?"
Dengan wajah yang amat sedih Bu jian tootiang manggut-manggut lirih. "Yaaa.
Terpaksa aku harus berbuat demikian. Sekalipun tindakanku ini berarti suatu pelanggaran
terhadap perintah guruku, tapi keadaan situasilah yang memaksa aku berbuat demikian. Karena itu
pinto juga tidak akan memikirkan bagaimanakah akibatnya nanti"
Begitu ucapan tersebut diutarakan keluar, semua orangpun sama-sama dibuat
tertegun. 353 Sementara semua orang masih termangu, terdengar Bu-jian tootiang melanjutkan
kembali katakatanya setelah menghela napas panjang, "Keadaan situasi yang
terpapar di depan mata kita
sekarang dengan jelas telah membuktikan bahwa orang-orang dari Mo-kauw adalah
iblis-iblis keji yang sama sekali tidak berperi kemanusiaan. Cukup ditinjau dari sikap mereka
yang begitu kejam buas dan ganas untuk membakar sebuah tookoan serta merenggut dua puluh tujuh
lembar nyawa hanya dikarenakan untuk melampiaskan rasa marah dan mendongkol mereka
dapatlah kita ketahui bahwa kebusukan hati mereka luar biasa besarnya. Bahkan bila
dibandingkan dengan tingkat kekejaman yang pernah diperbuat orang-orang Sin Ki-pang, Hong Im-
hwe dan Tong Thian-kau, entah berapa kali lipat lebih dahsyat. Jika manusia-manusia
berhati binatang semacam merekapun dibiarkan hidup terus didunia ini, mana mungkin umat
persilatan didunia ini bisa peroleh ketenangan" Sampai kapankah dunia persilatan jadi aman dan
sentausa" Apakah kita hendak membiarkan hawa jahat hawa iblis menguasahi seluruh jagad?"
Coa Cong-gi yang berjiwa panas, segera menanggapi ucapan tersebut dengan


Rahasia Hiolo Kumala Xia Ke Qian Qiu Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

teriakan bersemangat, "Betul! Masuk diakal, sungguh tak kusangka meski rada cerewet tapi
jalan pikiranmu lumayan juga. Cuma.... Cuma.... Membangkang perintah gurumu, apakah
tootiang dapat mempertanggung jawabkan perbuatanmu ini kepada gurumu?"
Pemuda ini memang berwatak polos, jujur dan cepat berbicara. Baik buruk semuanya
diungkapkan perasaannya waktu itu. Maka ketika didengarnya perkataan dari Bu-
jian tootiang cengli dan cocok sekali dengan seleranya, bukan saja ia lantas memuji-muji,
bahkan sedikit menguatirkan keselamatan imam tersebut.
Bu-jian tootiang tertawa sedih. "Membangkang perintah guru memang merupakan
suatu tindak penghianatan yang merupakan perbuatan tidak berbakti. Tapi.... apakah pinto harus
berdiam diri saja menyaksikan anak muridku dibantai orang secara keji tanpa usahakan suatu
pembalasan dendam" Apakah hatiku bisa tenteram membiarkan mereka mati penasaran" Memang,
apa yang dikatakan Hoa kongcu tepat sekali, pinto harus mengubah kesedihan yang yang
mencekam dalam hatiku menjadi suatu kekuatan. Pinto pun sadar, kekuatan yang kumiliki
sendiri amat minim dan terbatas, maka aku harus mengundang rekan-rekan seperguruanku dimasa
lampau, untuk bersama-sama melakukan perang terhadap mereka"
Li Poh-seng yang selama ini hanya membungkam, tiba-tiba berkata pula setelah
menghela nafas panjang, "Aaaai.... Sungguh tak kusangka kalau tootiang bisa berpikir sampai ke
situ. Padahal membasmi kaum jahat dan sesat dari muka bumi adalah kewajiban dari kita semua.
Apa salahnya kalau kitapun membantu usahamu untuk membasmi hawa jahat dari muka
bumi" Tootiang, engkau sendiripun sudah cukup tak tenang hatinya karena soal ini, buat
apa kau undang pula rekan-rekan seperguruanmu untuk terjun pula ke dalam air keruh"
Tidakkah perbuatan ini malah mengganggu ketenangan hidup mereka?"
"Sekarang, jalan pemikiran pinto sudah jauh lebih terbuka. Selama hawa siluman
belum dilenyapkan, mana mungkin kita semua dapat hidup beribadah dengan hati yang
tenang?" "Tapi tootiang, orang persilatan paling menjunjung tinggi perintah dari seorang
guru" Sambung Yu Siau-lam cepat, "Apakah tootiang tidak merasa berdosa, bila kau langgar
perintah dari gurumu?" Bu-jian tootiang tertawa getir. "Ya....sudah tentu hal itu tak bisa dihindari
lagi" Sahutnya, "Tapi
aku yakin, guruku tak akan sampai menegur ataupun menyalahkan tindakanku ini"
"Kenapa bisa begitu?" tanya Coa Cong-gi dengan alis mata berkenyit rapat.
354 "Ketika guruku mengumumkan akan mengundurkan diri dari keramaian dunia serta
melarang anak muridnya mencampuri urusan dunia persilatan lagi, dalam dasar hatinya sudah
muncul benih-benih penyesalan. Disamping itu, perkumpulan Tong Thian-kau tak dapat
dibantah lagi memang pernah melakukanbanyak kejahatan dan kekejaman dimasa lampau. Maka pinto
mengambil keputusan untuk mengundang kehadiran rekan-rekan seperguruan untuk
bersamasama melawan serta membendung kekuatan jahat dari pihak luar. Tindakanku
ini pertama untuk membalaskan dendam bagi kematian anak muridku. Kedua untuk menebuskan dosa-dosa
yang pernah dilakukan pihak Tong Thian-kau dimasa lalu. Maka pinto pikir, jika guruku
dapat mengetahui maksud hatiku ini, tak mungkin beliau akan menegur ataupun
menyalahkan tindakan pinto yang telah melanggar perintah-perintahnya ini"
Selama pembicaraan berlangsung, Hoa In-liong mencengkal terus lengan Bu jian
tootiang tanpa bermaksud untuk melepaskannya kembali. Tapi sesudah imam setengah baya itu
mengutarakan isi hatinya, cekalan tersebut segera dilepaskan.
"Baiklah! Kau tak usah berkata lagi. Tak kusangka kalau maksud hati tootiang
secermat dan sebagus ini. Kalau begitu akulah yang menguatirkan keselamatanmu terlalu
berlebihan. Silahkan tootiang! Semoga dilain waktu gurumu dapat memahami keadaan tersebut. Bila mana
perlu akupun bersedia menjadi saksi bagi tootiang untuk menghindari diri tootiang
menjadi penasaran" Persetujuan yang diberikan secara tiba-tiba oleh anak muda ini atas kepergian
Bu-jian tootiang tentu saja amat mencengangkan semua orang. Untuk sesaat semua yang hadir jadi
tertegun dan tak mampu mengucapkan sepatah katapin.
Bu-jian lootiang sendiripun tertegun, tapi hanya sebentar, cepat ia menjura
memberi hormat. "Terima kasih atas janji yang telah Hoa kongcu berikan. Pinto mohon diri lebih
dahulu" Selesai berkata, ia putar badan dan buru-buru berlalu dari sana dengan
mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Ketika tubuhnya sudah mencapai tiga kaki jauhnya, mendadak Hoa In-liong
berteriak kembali, "Tootiang!" Bu-jian tootiang segera menghentikan langkah kakinya dan putar badan menghadap
ke arah pemuda tersebut. Dengan senyuman dikulum Hoa In-liong berkata lebih jauh, "Kita adalah sepaham
dan setujuan, harap tootiang tinggalkan alamat buat kami. Dikemudian hari aku pasti akan
berkunjung ke sana untuk menyambangi dirimu"
"Kepergian pinto kali ini tanpa arah tujuan tertentu, lebih baik kita berjumpa
saja dalam dunia persilatan!" Hoa In-liong termenung dan berpikir setentar kemudian ujarnya lagi, "Begini
saja! Bila tootiang menghadapi kesulitan dikemudian hari, kirim saja utusan ke perkampungan Liok-
soat-san-ceng. Kami orang-orang dari keluarga Hoa bersedia menjadi tulang punggung kalian"
"Terima kasih atas perhatian dari kongcu. Pinto akan mengingat terus pesan ini"
sahut Bu jian tootiang lantang. Diapun memberi hormat dari kejauhan, kemudian baru berlalu dari situ. Sekejap
kemudian bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan mata.
355 Kepergian Bu-jian tootiang segera mengundang helaan napas sedih dari rekan-rekan
persilatan lainnya. Lama sekali Hoa In-liong baru berkata lagi, "Aku rasa kitapun harus
segera berangkat!" "Ya, kita harus berangkat! Sekarang juga kita harus berangkat!" sambung Coa
Cong-gi setengah berteriak. Sambil ulapkan tangannya berjalan lebih dahulu keluar dari hutan lebat itu.
Para jago lainnya saling menyusul dari belakang dengan membungkam dalam seribu
basa mereka menelusuri jalan raya.
Ketika itu waktu sudah menunjukkan lewat tengah hari. Matahari bersinar terang
dengan teriknya ditengah angkasa. Panas sang surya yang menyengat badan menimbulkan
rasa panik, gelisah dan murung dihati setiap orang. Ini menyebabkan perasaan mereka makin
kalut. Kurang lebih sepertanak nasi kemudian, tiba-tiba Yu Siau-lam berkata memecahkan
kesunyian, "Saudara In-liong, tiba-tiba aku merasa jantungku berdebar keras, seakan-akan
mendapat firasat bahwa sesuatu bencana besar telah berada didepan mata. Tahukah kau apa maksud
dari firasat hatiku ini" Apakah kau dapat menerangkan?"
"Entahlah apa yang bakal terjadi" Sahut Hoa In-liong seraya berpaling, "Sebab
akupun mempunyai perasaan yang sama. mungkin dalam lubuk hati kita masiag-masing sedang
menguatirkan keselamatan dari Bu-jian tootiang, maka perasaan semacam itupun
otomatis muncul dengan sendirinya! "
"Benar!" Seru Coa Cong-gi pula setengah berteriak, "Toosu itu bukan saja dingin
dan tawar. Berbicarapun tak bisa blak-blakan dan lancar. Tak disangka manusia semacam itu
sanggup mengutarakan serangkaian perkataan yang masuk diakal. Jika menuruti adatku
bagaimanapun juga tak nanti akan kubiarkan dia pergi dari sini. Bukan saja tidak membawa
senjata rahasia, harus berkeliaran juga kesana-kemari tanpa tujuan tertentu. Kalau sampai ketemu
lagi dengan rombongan anak iblis itu, niscaya lebih banyak kegetiran yang diterima daripada
kegembiraan" Li Poh-seng tidak sependapat dengan perkataan itu, ia cepat membantah dari
samping, "Aaaah.... Aku rasa belum tentu demikian. Menurut penglihatanku Bu-jian tootiang
tidak termasuk seorang manusia sembarangan. Dia memiliki kekuatan, memiliki keberanian
dan merupakan seorang yang berotak cerdas. Sekalipun sampai menderita kerugian, tak
akan besar kerugian yang dideritanya. Aku rasa kita tak usah terlalu menguatirkan
keselamatan jiwanya"
"Aaaah. Kamu ini kalau bicara tak ada ujung pangkalnya, bikin orang jadi bingung
saja" Omel Coa Cong-gi sambil mengernyitkan alis matanya yang tebal. "Perlu kuatir atau
tidak ada urusan yang tersendiri. Pada hakekatnya kita semua sedang kuatir, kalau tidak, tak
mungkin hatiku terasa gundah sekali!"
Li Poh-seng tersenyum. "Akupun demikian, hatiku amat kalut dan tidak tenteram,
begini saja! Mari kita bicarakan langkah-langkah yang akan kita ambil dalam perjalanan menuju
bukit Yansan. Mungkin dengan cara begini, perasaan gelisah dan tidak tenteram
itu dapat kita buang jauhjauh dari dalam benak kita"
"Betul!" Yu Siau-lam menanggapi lebih dulu sambil manggut-manggut, "Perjalanan
kita menuju ke bukit Yan-san memang perlu dirundingkan lebih dahulu. Sebab langkah-langkah
penting perlu suatu perencanaan yang matang!"
356 Ia berpaling kearah Hoa In-liong, menyusul kemudian tanyanya, "Saudara In-liong,
engkau bermaksud kunjungi bukit Yan-san secara terang-terangan ataukah secara
tersembunyi?" "Tak bisa dikatakan suatu kunjungan secara terang-terangan atau secara
tersembunyi. Sebab tujuan kita adalah memenuhi undangan dari nona Wan untuk mengadakan pertemuan.
Tentu saja sasaran kita adalah berjumpa dengan nona Wan"
"Hal ini mana bisa jadi?" kata Yu Siau-lam dengan dahi berkerut, "Nona Wan
selalu ada bersamasama Hong Seng sekalian. Andaikata kita sampai bertemu dengan
Hong Seng lantas bagaimana"
Sebelum hal-hal yang tak diinginkan terjadi, lebih baik kita mempersiapkannya
lebih dahulu dengan masak-masak!"
Hoa In-liong tersenyum. "Kalau sampai berjumpa, itu lebih baik lagi. Justru kita
dapat langsung menegur mereka tentang dibakarnya tookoan Cing-siu-koan secara biadab!"
"Aaaai.... Soal dibakarnya Cing-siu-koan, kenapa musti banyak ditanyakan lagi"
Tukas Yu Siaulam dengan dahi berkerut.
"Lantas menurut pendapatmu?"
"Menurut pendapatku. bila kunjungan kita ini bersifat terang-terangan maka kita
langsung temui Hong Seng dan sekaligus membasmi mereka dari muka bumi serta selamatkan nona Wan
dari cengkeraman mereka. Aku rasa siasat sekali tepuk tiga lalat ini paling bagus
sekali bagi kita dalam keadaan seperti ini"
"Tidak mungkin! Tidak mungkin! Cara semacam ini tak mungkin bisa dilaksanakan"
kata Hoa Inliong kemudian sambil menggelengkan kepalanya berulang kali.
"Kenapa tidak mungkin?"
"Sekalipun kita berhasil melenyapkan Hong Seng sekalian dari muka bumi, tapi
justru tindakan tersebut merupakan suatu tindakan memukul rumput mengejutkan ular. Karena
pembunuhan itu, orang-orang Mo-kauw pasti akan mempertingkat kewaspadaan mereka terhadap kita.
Malahan mungkin mereka jadi semakin kalap dan menciptakan pembunuhan-pembunuhan keji
yang lebih banyak lagi" Bergetar hati Yu Siau-lam setelah mendengar akibatnya, tapi ia bertanya juga
dengan nada tercengang, "Lantas apakah engkau mempunyai pendapat lain?"
"Malam kemarin dulu, paman Ngo ku pernah kisikan kepadaku bahwa disekitar kota
Kim-leng telah dijumpai sekelompok manusia dari suku-suku asing...."
"Apakah kelompok manusia suku-suku asing yang dilihat oleh paman Ngo mu juga
berasal dari satu aliran dengan Hong Seng?" tanya Yu Siau-lam dengan hati tercekat.
"Tak usah kita persoalkan apakah mereka berasal dari satu rombongan atau tidak
kenyataan telah berpapar dihadapan kita dan bukti menunjukkan bahwa Hong Seng sekalian
masih mencari jejakku dimana-mana dengan ketat. Namun mereka tak berani secara terang-
terangan, hal ini berarti pula bahwa kaucu dari Mo-kauw masih menaruh rasa segan dan takut
terhadap ayahku. Karena mereka masih mempunyai perasaan segan dan takut maka dapatlah kita


Rahasia Hiolo Kumala Xia Ke Qian Qiu Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ketahui bahwa kedatangan Hong Seng sekalian ke daratan Tionggoan adalah bermaksud menyelidik
dan menjajaki kemampuan kita. Jelas yang mereka utus bukan hanya kelompok dari Hong
Seng belaka. Jika kita langsung membabat Hoag Seng sekalian tanpa melakukan
penyelidikan lebih 357 dulu terhadap keadaan sebenarnya, bukankah tindakan tersebut sama artinya dengan
memukul rumput mengejutkan ular?"
Yu siau lam tidak langsung menjawab, ia berpikir sebentar, kemudian baru
menjawab, "Baiklah! Kalau begitu kita putuskan untuk berkunjung secara sembunyi-sembunyi"
"Bagaimana yang dimaksudkan berkunjung secara sembunyi-sembunyi?" tanya In-
liong. "Kita datang lebih pagian ke bukit Yan-san dan menunggu disana sebelum mereka
datang!" "Kenapa musti datang lebih pagian?"
"Aku rasa si sastrawan she Siau itu adalah seorang manusia licik yang banyak
tipu muslihatnya. Sejak terjadinya kebakaran besar di kuil Cing siu-koan dan terbunuhnya dua puluh
tujuh orang imam, aku selalu merasa kuatir. Aku takut gerak-gerik dari nona Wan telah
membangkitkan rasa curiga dalam hati kecilnya. Pokoknya lebih baik kau datang ke bukit Yan-san
selangkah lebih dulu, sedangkan kami akan bersiap siaga disekitar sana. Apabila Siau Khi-gi
sudah menaruh curiga terhadap nona Wan, dia pasti sudah mengatur segala persiapan untuk
menghadapi dirimu. Selain mengamati terus keadaanmu untuk menjaga segala kemungkinan yang tidak
diinginkan, dia pasti sudah mengatur pula bala bantuan bilamana keadaan benar-benar
memerlukan" "Baik! Kita tetapkan demikian saja" Seru Coa Cong-gi serentak, "Andaikata
bangsat muda sheSiau itu berani menyiapkan segala rencana dan siasat busuk, kita
ganyang saja sampai habis!"
"Tidak, hal ini tak bisa dilakukan!" tukas Hoa In-liong tiba-tiba dengan tegas.
Mendengar jawaban tersebut, Coa Cong-gi tertegun. "Kenapa?" Tanyanya,
"Seandainya cara ini
meleset, engkau juga tak akan menyetujuinya?"
"Seandainya kita hendak mengganyang mereka, apa bedanya kalau kita langsung
pergi mencari Hong Seng?" "Lalu.... kau bersiap sedia hendak berbuat apa?" Coa Cong-gi agak tergagap oleh
jawaban itu. "Lebih baik biarkanlah aku pergi seorang diri!"
Begitu mendengar bahwa dia akan memenuhi undangan seorang diri, Coa Cong-gi
segera berteriak, "Waaah. Tidak boleh, tidak boleh. Tidak boleh. Kalau kau hendak pergi
sendirian, andaikata sampai...."
Hoa In-liong tersenyum, seraya tukasnya, "Aku harap engkau bersedia mendengarkan
penjelasanku lebih dahulu! Tujuan kepergianku memenuhi undangan adalah menjumpai
nona Wan serta ingin kuketahui sebetulnya nona Wan ingin menyampaikan rahasia apa
kepadaku. Pertemuan semacam ini tak mungkin bisa mengakibatkan terjadinya bentrokan
kekerasan. Malahan kalau terlalu banyak orang yang pergi jejak kita gampang ketahuan.
Daripada konangan musuh, kau lebih baik kupenuhi sendiri undangan dari nona Wan secara diam-diam?"
"Tidak! Tidak bisa! Sekali aku bilang tidak bisa tetap tidak bisa!"seru Coa
Cong-gi tetap ngotot, "Seandainya hal itu adalah suatu jebakan, seandainya sampai terjadi bentrokan
kekerasan, apa yang hendak kau lakukan waktu itu?"
"Seandainya sampai terjadi bentrokan, jika aku hanya seorang diri maka untuk
meloloskan diri jauh lebuh gampang daripada orang banyak. Mengenai suatu perangkap, aku rasa
nona Wan 358 bukan sekomplotan dengan mereka. Jadi hal ini tak mungkin bisa terjadi. Harap
saudara Cong-gi bersedia melegakan hatimu...."
Coa Cong-gi kontan mendelik besar.
"Apanya yang kulegakan" Perempuan adalah racun dunia. Apalagi hati kaum wanita
paling sukar diukur dalamnya. Siapa tahu kalau ia bakal menghianati dirimu?"
Hoa In-liong tetap menggelengkan kepalanya berulangkali. Sebetulnya ia ingin
memberi penjelasan lagi. Tapi Li Poh-seng sudah menyela dari samping, "Urusan itu lebih baik lain kali
dibicarakan lagi! Didepan sana adalah kota keresidenan Teng-wan. Mari kita mencari penginapan
lebih dulu. Sehabis beristirahat, perundingan baru dilangsungkan kembali!"
Mendengar perkataan itu, semua orang lantas menengadah dan memandang ke depan.
Betul juga, kurang lebih delapan-sembilan li lagi terpaparlah sebuah tembok kota yang
tinggi besar. Rupanya sambil berjalan sambil berbicara, tanpa terasa mereka sudah melakukan
perjalanan sejauh empat-lima puluh li.
Tiba-tiba sesosok bayangan tubuh yang cukup dikenal melintas dihadapan mata
mereka semua. Ini membuat semua orang sama-sama dibuat tercengang dan melongo.
Orang itu adalah seorang laki-laki kekar berbaju hijau, ia berbaring diatas
punggung kuda yang sedang berlari kencang menuju kearah rombongan itu berada.
Selang sesaat kemudian, orang itu sudah semakin dekat, tiba-tiba terdengar Yu
Siau-lam berteriak kaget, "Yu Bok kah disitu?"
Baru saja seruan itu berkumandang, Coa Gong-gi sudah menyusup kedepan
menyongsong kedatangan kuda itu, bentaknya, "Cepat berhenti! Yu Bok, kenapa kau...."
Kuda itu lari sangat cepat. Hanya sekejap mata sudah berada didepan mata. Dalam
keadaan begini Coa Cong-gi tak sempat membentak lagi, lengannya segera diayun kemuka
mencengkaram tali les kuda tersebut.
Diiringi suara ringkikan panjang, kuda itu berdiri dengan kaki depannya
terangkat keatas. Sentakan ini menyebabkan Yu Bok yang berada diatas pelana terlempar ketanah.
Untung Li Poh-seng cukup cekatan, tepat pada waktunya ia menerkam kedepan dan
menyambut tubuh Yu Bok yang terlempar itu.
Semua orang segera merubung kedepan, tampaklah Yu Boh berada dalan keadaan
payah. Sepasang matanya terpejam rapat-rapat, giginya saling beradu gemerutukan, pucat
pias wajahnya. Peluh membasahi sekujur badannya. Jelas ia melakukan perjalanan dengan
membawa luka. Keadaannya ketika itu sangat kritis atau dengan perkataan lain keselamatan
jiwanya lebih banyak buruknya daripada baiknya.
Yu Bok adalah pelayan dari keluarga Kanglam Ji-gi (Tabib sosial dari Kanglam).
Kenyataannya sekarang, dengan membawa luka yang parah dan tidak mendapat perawatan yang baik
pelayan 359 itu membedal kudanya kencang-kencang melalui jalan raya. Tanpa dijelaskan semua
orang sudah dapat membaca garis besar peristiwa yang telah terjadi.
Diantara sekian banyak orang. Yu Siau-lam paling kaget bercampur panik,
dicekalnya lengan Yu Boh sambil diguncang-guncangkan berulang kali. "Yu Boh! Yu Boh! Sadarlah
sebentar, sadarlah sebentar! Apa yang telah terjadi?"
Mendapat guncangan tersebut, dengan merasa kesakitan yang luar biasa Yu Boh
membuka kembali matanya. Melihat pelayannya sudah sadar, Yu Siau-lam segera menegur lagi dengan cemas,
"Apa yang telah terjadi" Yu Boh, kau masih kenali aku. Yu Boh! Jawablah pertanyaanku!"
Dengan lemas Yu Boh mengangguk, bisiknya terbata-bata, "Kong.... Kongcu....cepat...."
Tapi sebelum maksud hatinya diutarakan keluar, pelayan itu kembali terkulai
dengan mata terpejam, jatuh tak sadarkan diri.
Yu Siau-lam semakin gelisah, dia hendak menggoncang-goncangkan kembali Yu Boh
yang pingsan, tapi Hoa In-liong bertindak cepat. Ia pegang lengan pemuda itu dan
berkata, "Saudara Siau-lam, tenangkan dulu hatimu! Luka dalam yang diderita palayanmu ini teramat
parah. Sedikit goncangan yang keras akan menyebabkan jiwanya melayang"
Kemudian sambil berpaling ke arah Li Poh-seng katanya lagi, "Cepat baringkan Yu
Boh ke atas tanah. Akan siaute periksa keadaan luka yang dideritanya"
Li poh seng tidak membantah, dia lantas membaringkan Yu Boh ke atas tanah. Hoa
In-liong pun bungkukkan badan memeriksa denyutan nadinya, sementara tangan yang laiu dengan
cepat membuka pakaian dada dari pelayan tersebut.
Setelah pakaian terbuka, belasan pasang matapun dengan sinar mata berkilat
memandang ke arah dada Yu Boh. Apa yang terlibat" Sebuah bekas telapak tangan yang berwarna merah darah tertera
nyata didada sebelah kiri Yu Boh.
Bekas telapak tangan itu menonjol tiga bagian dari permukaan dada, merah darah
dan sembab mengerikan. Jelas pukulan itu dilancarkan seseorang dengan menggunakan punggung
telapak tangan yang kuat. Diam-diam Hoa In-liong terkejut setelah menyaksikan bekas luka itu. Ia lantas
berpikir, "Melukai orang dengan punggung telapak tangan, ini menunjukkan bahwa serangan dilancarkan
dengan suatu ayunan yang kencang. Aaaai.... Luka Yu Boh tepat di dada kiri, jantungnya
sudah tergetar putus. Dari sini dapat ku ketahui betapa dahsyat dan kuatnya serangan tarsebut.
Mungkinkah bencana besar sudah menjelang tiba" Bagaimanapun juga aku harus berusaha dengan
segala kemampuan untuk mencegah peristiwa ini terjadi...."
Ternyata pemuda ini sudah mengetahui dari pemeriksaan denyut nadinya bahwa
jantung Yu Boh sudah pecah. Kendatipun ada obat dewapun nyawa pelayan tersebut tak bisa
ditolong lagi. Sekalipun demikian, hal ini tidak diungkapkan diatas wajahnya. Sembari diam-diam
menyalurkan hawa murninya untuk membantu pernapasan Yu Boh yang sudah sekarat diapun
perhatikan bekas telapak tangan itu dengan seksama. Ia berharap dari bekas telapak tangan
yang berwarna 360 merah membara itu dapat menemukan titik terang, sehingga dalam usahanya melacak
jejak pembunuh itupun tidak mengalami banyak kesulitan.
Selang sesaat kemudian, Coa Cong-gi yang pertama-tama tak sabar, ia lantas
menegur dengan suara lirih, "Saudara Hoa, keadaan Yu Boh tidak menguatirkan bukan?"
Hoa In-liong gelengkan kepalanya berulang kali sambil berpaling ke arah arah Yu
Siau-lam ia berkata, "Saudara Siau lam, selembar nyawa Yu boh mungkin tak dapat diselamatkan
lagi!" Dalam beberapa waktu ini, perasaan Yu Siau lam paling tegang. Ia sudah mendapat
firasat bahwa dalam keluarganya telah tertimpa musibah besar, maka sedapat mungkin ia
kendalikan perasaannya yang bergolak dengan berdiri membungkan diri.
Ia berbuat demikian karena Hoa In-liong sendiripun bersikap tenang. Dalam
sangkaannya, bila anak muda itupun tenang, pastilah keadaan pelayannya tidak berbahaya.
Siapa tahu Hoa In-liong menyusulkan kata-kata tersebut, mendadak sontak ia jadi
tertegun. Hanya sebentar ia mematung, selanjutnya dengan suara memohon teriaknya berulang
kali, "Saudara Hoa, aku mohon tolonglah jiwanya! Saudara Hoa, tolonglah jiwanya
sedapat mungkin!" Pelan-pelan Hoa In-liong menggeleng. "Bila tak ada Leng-ci mustika, jiwanya tak
mungkin bisa diselamatkan lagi!" Yu Siau-lam jadi kelabakan bercampur gugup. "Kaaa.... kalau memang begitu,
berusahalah sadarkan dirinya sejenak. Aku ingin bertanya kepadanya!"
"Baiklah!" Ucap Hoa In-liong, "Siau-te akan berusaha sekuat tenaga untuk
menyadarkannya, cuma...." Ia berhenti sejenak, wajahnya berubah amat serius. "Saudara Siau-lam" Katanya
selanjutnya, "Bila dirumahmu telah terjadi bencana, aku harap engkau dapat menguasai diri!"
Perasaan Yu Siau-lam waktu itu sangat kalut. Apa yang diharapkan sekarang adalah
menyadarkan Yu Bok dari pingsannya, maka setelah mendengar perkataan itu, diapun
menggangguk. "Siau-te mengerti!"
Hoa In-liong masih kuatir meski rekannya telah mengangguk, ia memberi tanda
kepada Li Poh Seng dan Coa Cong-gi untuk berjaga-jaga didamping Yu Siau-lam. Sesudah itu baru
mengulurkan hawa murninya kedalam tubuh Yu Boh.
Terdesak oleh hawa murni yang mengalir kedalam tubuhnya dengan deras, Yu Boh
menghembuskan nafas panjang dan sadar kembali diri pingsannya....
Begitu Yu Boh sadar, cepat Yu Siau-lam berjongkok disampingnya sambil bertanya
dengan lembut, "Yu Boh....Yu Boh....! Bagaimanakah rasamu sekarang" Apakah masih dapat
bertahan?" Dengan lemah Yu Boh menggerakkan biji matanya mengawasi Yu Siau-lam, lama.... Lama
sekali,

Rahasia Hiolo Kumala Xia Ke Qian Qiu Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ia baru berbisik, "Koo.... Koongcu.... cee.... ceepat....puu....pulang...."
Yu Siau-lam makin tercekat. "Apa yang telah terjadi" Bagaimana dengan Lo-ya dan
Hujin" Tidak apa-apa toh?" 361 Dengan nada yang semakin lemah Yu Boh berbisik kembali. "Kee.... kemarin malam....
telah datang see.... serombongan manusia yaa.... yang tak jelas asal usulnya.... mee....
mereka....meee....melepaskan api. da.... dan....membakar ruu....rumah kita...."
Tibi tiba nafasnya memburu, kata-katanya terputus setengah jalan, sebelum ucapan
itu serapat dilanjutkan kembali. Tubuhnya telah mengejang keras, kakinya tiba-tiba menjejak
ketanah dan.... Yu Siau-lam makin gelisah, sekuat tenaga ia menggoncang-goncangkan bahunya
sambil berteriak, "Bagaimana dangan loya" Bagaimana dengan loya dan hujin?"
Waktu itu Yu Boh sulih hampir putus nyawa tapi terkena goncangan yang begitu
keras, tiba-tiba seperti mendapat tambahan tenaga yang entah datang dari mana, matanya membelalak
kembali. Kulit mukanya mengejang sangat keras, bibirnya gemetar, suaranya yang sempat
meletup keluar kedengaran sangat rilih, "Loo....looya.... dii.... dii"
Ucapan itu tak dilanjutkan untuk selamanya. Sebagai seorang manusia yang sudah,
sekarat, ibaratnya lentera yang kehabisan minyak. Meski cahaya lampu itu mencorong terang
tapi hanya sebentar saja sebelum padam untuk selamanya.
Demikian pula dengan Yu Boh. Karena, guncangan yang diterimanya, ia seolah-olah
mendapat kekuatan. Tapi itupun hanya berlangsung sedetik. Sebelum kata-kata itu sempat
diselesaikan, malaikat elmaut telah menjemput nyawanya. Ia mengejang makin keras, kali ini
kakinya betulbetul menjejak tanah, kepalanya terkulai dan Yu Boh menghembuskan
nafas yang penghabiskan. Bagaimana dengan Yu Siang-tek suami istri" Apa yang telah terjadi" Yu Boh tidak
berhasil menyelesakan tugasnya untuk menyampaikan berita itu kepada majikan mudanya
rahasia tersebut dibawanya sampai keliang kubur.
Tak terkirakan rasa sedih Yu Siau-lam menghadapi kejadian itu. Tak kuasa lagi ia
memeluk jenazah Yu Boh sambil mengucurkan air matanya dengan deras, "Yu Boh....Ooh Yu
Boh.... Bangunlah kau. Kau tak boleh pergi! Kau tak boleh pergi!"
Hoa In-liong kuatir rekannya terlampau sedih hingga mengakibatkan kesehatan
badannya terganggu, cepat ia bopong jenazah Yu Boh seraya berkata, "Saudara Siau-lam,
simpanlah kesedihanmu itu. Sampai sekarang keadaan dari Pek-bu dan Pek-bo masih belum
jelas. Hal paling penting yang harus kita lakukan sekarang adalah kembali ke kota Kim-leng
secepatnya. Kita periksa sendiri apa gerangan yang telah terjadi disitu!"
Li Poh-seng dan Coa Cong-gi yang sedang memayang Siau-lam, segera menanggapi
pula, "Betul! Saudara Siau-lam tak boleh bersedih hati sehingga mengacaukan pikiranmu.
Ketahuilah pikiran yang kalut tidak akan memberi manfaat apa-apa terhadap persoalan yang sedang
kita hadapi. Perkataan dari saudara In-liong memang benar. Tindakan paling penting yang harus
kita lakukan sekarang adalah kembali dulu ke kota Kim-leng. Kemudian dari situ kita baru
menyusun rencana kembali". Air mata bercucuran bagaikan bendungan yang ambrol, Yu Siau-lam membungkam dalam
seribu bahasa, namun kesedihan yang menghiasi wajahnya teramat jelas.
Be Si-kiat maju menghampiri, katanya tiba-tiba, "Hoa kongcu, serahkan jenazah Yu
Boh kepadaku, biar aku saja yang bopong!"
362 Hoa In-liong berpikir sebentar, akhirnya dia serahkan jenazah itu kepada Be Si-
kiat sambil berkata, "Begitupun boleh juga! Nah, lebih baik kalian berangkat lebih duluan.
Belikan sebuah peti mati yang baik dikota Teng-wan, kemudian kebumikan jenazahnya dengan baik-
baik. Kamu sekalian tak perlu menunggu lebih lama lagi"
"Baiklah!"sahut Be Si-kiat, setelah menyambut jenazah itu diapun putar badan
siap berlalu. "Tunggu sebentar!" tiba-tiba Yu Siau-lam membentak dengan suara dalam, "Aku
hendak melihat dulu bekas luka di dadanya!"
"Tidak usah!" tolak Hoa In-liong cepat, "Bekas luka itu sudah kuamati dengan
jelas dan masih teringat dalam benakku. Biarkanlah mereka yang telah mati cepat masuk tanah.
Mereka harus berangkat lebih duluan dari kita"
Dalam beberapa saat belakangan ini, apa yang dipikirkan Yu Siau-lam hanyalah
soal keselamatan ayah ibunya. Dia selalu menganggap orang tuanya telah mendapat bencana, maka
maksudnya dia hendak mencari jejak pembunuh keji itu dari bekas luka di dada Yu Boh.
Siapa tahu Hoa In-liong lebih cerdik dan cekatan, ia sudah memperhatikan lebih
dulu sampai ke situ. Setelah tertegun sejenak, Yu Siau-lam bertanya lagi sambil palingkan wajahnya,
"Adakah sesuatu yang istimewa dengan bekas luka itu?"
"Bekas luka itu terkena oleh pukulan pungung telapak tangan. Disekitar bekas ibu
jari tampak dua bulatan merah yang menonjol besar"
"Aku juga perhatikan sampai kesitu" Sambung Poh-seng, "Tonjolan merah itu sama
besarnya antara yang satu dengan yang lain. Entah terluka oleh benda apa?"
"Aku telah berpikir cermat sampai kesitu" Ujar Hoa In-liong lebih lanjut,
"Tonjolan yang agak kecil berada didepan, sedangkan tonjolan yang besar berada dekat dengan bekas
luka disekitar ibu jari" "Bekas luka itu jadi lebih banyak sebuah" Maksudmu pukulan itu dilancarkan oleh
enam buah jari tangan?" Yu Siau-lam bertanya keheranan, air mata yang membasahi wajahnya cepat
diseka. Hoa In-liong mengangguk. "Aku rasa begitulah. Cuma tidak kuketahui itu bekas
pukulan telapak tangan kanan atau bekas pukulan telapak tangan kiri"
"Perduli amat bekas pukulan telapak tangan kanan atau kiri, yang paling penting
sekarang adalah kembali dulu ke kota Kim-leng" Tukas Coa Cong-gi tiba-tiba dengan lantang.
Hoa In-liong menengadah ke depan, ketika dilihatnya Be Si-kiat sekalian sudah
pergi jauh, dia pun mengangguk. "Betul juga perkataan itu. Sampai sekarang keadaan dari empek
dan pek-bo masih belum jelas. Apa gunanya kita bicarakan dulu soal bekas luka itu, ayoh
kita segera berangkat!" "Kau tak usah ikut!" tiba-tiba Yu Siau-lam menyela.
"Apa kau bilang" Aku tak usah ikut?" Hoa In-liong tercengang sampai berdiri
tertegun. 363 "Ehmmm, yaa!" Jawab Yu Siau-lam dengan tenang. "Kau harus pergi ke bukit Yan san
untuk memenuhi janji. Bila harus ke kota Kim-leng dulu kemudian baru menuju bukit Yan-
san, aku kuatir kalau waktunya tidak sempat lagi"
Dalam detik-detik yang terakhir ini, hampir seluruh pikiran dan perhatian Hoa
In-liong dilimpahkan atas peristiwa yang sedang berlangsung di depan mata, hampir saja ia
lupakan sama sekali bila di bukit Yan-san dia masih punya janji.
Maka begitu diingatkan kembali oleh Yu Siau-lam, kontan saja pemuda itu merasa
serba salah karena tak tahu apa yang harus dilakukan. Matanya jadi terbelalak, mulutnya
melongo dan untuk sementara waktu dia cuma berdiri termangu-mangu seperti orang bodoh.
Melihat anak muda itu tertegun, cepat Yu Siau-lam berkata kembali dengan lembut,
"Dengarkan dulu perkataanku. Meski dirumahku telah terjadi peristiwa besar, toh musibah itu
sudah terlanjur terjadi. Sekalipun kita menyusul ke sana juga tak mungkin bisa mencegah
berlangsungnya peristiwa tersebut, paling banter kita hanya bisa berusaha melacaki jejak
pembunuh keji itu. Lain halnya dengan keadaaan nona Wan. Setiap hari ia berada diseputar orang jahat,
posisinya berbahaya dan lagi dia pun ada rahasia besar yang heudak disampaikan kepadamu.
Jika kau sampai datang terlambat, siapa tahu kalau jiwanya keburu melayang" pergilah
memenuhi janji, kami akan nantikan kedatanganmu di kota Kim-leng!"
Sewaktu mengucapkan kata- kata tersebut, sikapnya sangat tenang dan kalem.
Sedikitpun tidak memenunjukan luapan emosi atau golakan perasaan hatinya.
Padahal sebagaimana diketahui, sampai detik itu ia masih belum tahu musibah
apakah yang telah menimpa keluarganya. Diapun tak tahu bagaimanakah nasib ayah ibunya ketika
itu. Maka bila berbicara dari sikap tenangnya sewaktu mengucapkan kata-kata tersebut,
dapat diketahui bahwa rasa perhatiannya terhadap Hoa In-liong sudah mencapai tingkatan yang amat
akrab. Coa Cong-gi segera menanggapi pula ucapan tersebut. "Betul perkataan dari
saudara Siau-lam memang masuk diakal. Lebih baik kita memisahkan diri untuk melaksanakan tugas
masingmasing. Saudara Poh-seng boleh temani saudara Siau-lam pulang ke Kim-leng.
Sedang aku biarlah temani saudara Hoa menuju bukit Yan-san.
"Waah.... Tidak bisa, tidak bisa. Kalian tak usah ikut aku. Lebih baik semuanya
pulang ke Kimleng lebih dulu!" Tukas Hoa In-liong dengan cemas....
Kontan Coa Cong-gi mendelik besar. Tapi sebelum pemuda itu sempat menyembur
kata-katanya, Hoa In-liong telah malanjutkan kembali kata-katanya, "Saudara Cong-gi, keadaan
dikota Kimleng dewasa ini masih belum jelas. Jumlah kekuatan kitapun sangat
minim, tidak sepantasnya kalau engkau mengurangi kembali kekuatan yang sudah minim itu untuk menemani aku
kebukit Yan-san. Coba kalau keedaan tidak mendesak, mungkin akupun akan berangkat ke
kota Kim-leng untuk membantu saudara Siau-lam lebih dulu!"
Setelah alasan tersebut diutarakan keluar, Coa Cong-gi tidak mampu berkata-kata
lagi. Meski bibirnya bergetar hendak mengucapkan sesuatu, namun tak sepotong perkataanpun
yang sempat diutarakan keluar.
Sesungguhnya perkataan itu memang tepat sekali. Kedua belah pihak sama-sama
adalah sahabat karib, mana boleh ia pilih kasih dengan condong kesatu pihak" Kata-kata tersebut
boleh dibilang tepat mengena disasarannya dalam hati Cong-gi.
364 Li Poh-seng berbicara pula, "Apa yang dikatakan saudara In-liong masuk diakal.
Keadaan kota Kim-leng masih kabur dan belum jelas. Keadaan tersebut butuh tenaga yang lebih
banyak untuk menyelidikinya. Adik Cong-gi ayoh kita segera berangkat!"
Coa Cong-gi masih rada sangsi, tapi akhirnya diapun mengangguk. "Baiklah! Akan
kunantikan kedatanganmu di kota Kim-leng. Jika di bukit Yan san tak ada kejadian lain,
cepat cepatlah menyusul kami!" "Siau-te akan mengingatnya baik-baik!" jawab Hoa In-liong sambil mengangguk
berulang kali. Maka mereka berempatpun saling memberi hormat, kemudian buru-buru melanjutkan
perjalanannya masing-masing.
Memandang hingga bayangan punggung Yu Siau lam sekalian lenyap dari pandangan,
Hoa Inliong merasa sangat terharu.
"Yu Siau lam adalah pemuda yang tenang dan pandai membawa diri" Ia berpikir, "Li
poh-seng lembut tapi tangguh, sedang Coa Cong-gi, walaupun seringkali mengambil tindakan
tanpa berpikir panjang, toh dia adalah seorang laki-laki yang berjiwa besar dan
mengutamakan kesetiaan kawan. Aku bisa berkenalan dengan sobat sobat sepeti ini, boleh di
bilang perjalananku ke kanglam kali ini bukan suatu perjalanan yang sia-sia belaka. Tapi, siapakah
yang melepaskan api membakar Pesanggrahan tabib" Siapa pula yang melukai Yu Boh" Yu locianpwe
termashur sebagai dermawan yang paling besar dari kota Kim-leng, siapakah yang bagitu tega
mencari gara-gara terhadapnya" Jangan-jangan.... Jangan-jangan peristiwa ini terjadi
karena mereka memang sengaja hendak menyulitkan kedudukan aku si Hoa loji?"
Dia bukan seorang pemuda yang pemurung, lebih-lebih tidak berambisi besar atau
mengidap penyakit ragu-ragu serta sukar mengambil keputusan. walaupun ia sudah merasa
bahwa kejadian itu tak mungkin terjadi tanpa sebab-sebab tertentu, bahkan mungkin ada
sangkut pautnya dengan dia, namun itu hanya terbatas pada perasaan belaka, untuk
selanjutnya perasaan semacam itu tidak dipikirkan lebih mendalam.
Karena itu, setelah termenung sejenak lagi, kembali dia bergumam seorang diri,
"Aaaah.... Perduli amat! Biarlah urusan satu demi satu datang menimpa, pokoknya asal Yu-
locianpwe suami isteri sampai cedera atau mendapat celaka, aku Hoa loji bersumpah akan
mengobrak-abrik

Rahasia Hiolo Kumala Xia Ke Qian Qiu Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bajingan-bajingan itu sampai musnah dari muka bumi!"
Ditengah gumaman tersebut, pemuda itu putar badan dan berangkat menuju bukit
Yan-san dengan mengitari kota Teng-wan.
Setelah keluar dari pintu kota selatan, pemuda itu mengambil arah jalan menuju
kota Kim-leng, kemudian berbelok pula menuju ke tenggara.
Dikota Teng wan itulah Hoa In-liong menginap semalam untuk melepaskan lelahnya,
untuk kemudian keesokan harinya sebelum fajar menyingsing ia sudah melanjutkan kembali
perjalanannya. Bukit Yan-san itu ada dua tempat. Yang satu terletak propinsi Ou-pak keresidenan
Siang-yang, dekat bukit Long-tiong. Oleh karena bukit Long-tiong-san adalah tempat tinggal dari Cu-kat Khong Beng
pada jaman Sam-kok, maka meski kecil bukitnya, besar sekali namanya dalam pendengaran
orang. 365 Sedang bukit Yan-san yang dituju Hoa In-liong kali ini letaknya di propinsi An-
hui diseputar pegunungan Pak-shia-san. Tempat itu berada di selatan Cuan-siok, sebelah barat
kota Wu-kangtin. Meski bukitnya kecil tapi keadaan medannya berbahaya dan curam.
Batu karang yang tajam dan licin berserakan dimana-mana. Demikian sulitnya bukit itu didaki, sehingga
membuat orang yang berkunjung kesitu terpaksa harus balik ke bawah setibanya dipunggung bukit.
Hoa In-liong bergerak ke arah selatan. Sepanjang jalan ia tak lupa menyelidiki
jejak dari Hong Seng sekalian, maka karena itu perjalanan dilakukan tidak terlalu cepat. Ketika
tengah hari ketiga menjelang tiba, ia baru sampai di kota Ci-tin di utara bukit Yan-san.
Waktu itu dengan perasaan tercengang bercampur heran ia berpikir tiada hentinya,
"Aneh.... betul-betul sangat aneh, Hong Seng sekalian adalah manusia-manusia suku asing
yang berwajah jelek. Dengan dandanan yang aneh, apa lagi membawa seorang gadis rupawan,
semestinya rombongan mereka sangat menarik perhatian orang banyak. Kenapa sepanjang
perjalananku kemari, tak seorangpun yang mengatakan pernah berjumpa dengan mereka...." Masa
mereka bisa terbang di langit atau berjalan di bawah tanah...." Heran!.... benar-benar
mengherankan!" Makin dipikir pemuda itu semakin curiga, tanpa terasa tibalah pemuda itu diujung
jalan dimana terdapat sebuah warung teh yang memakai merek Cwan-seng-lo. Satu ingatan tiba-
tiba melintas dalam benaknya. Pemuda itu segera percepat langkahnya masuk ke warung teh itu
Cwan-seng-lo merupakan sebuah rumah makan yang cukup termashur dikota Ci-tin
usahanya sangat maju, langganannya banyak. Meskipun saat bersantap sudah lewat, ternyata
tamu yang bersantapan disitu masih amat banyak.
Dengan dandanan Hoa In-liong yang berpakaian ketat, menyoren pedang tik
dipinggang, mengenakan mantel dipunggung serta berperawakan tinggi besar, kemunculannya
dirumah makan itu segera menarik perhatian orang banyak.
Dengan senyum dikulum ia memilih sebuah tempat dekat meja. Seorang pelayan
muncul dengan badan terbungkuk-bungkuk. "Kongcu maafkanlah pelayanan kami yang lamban" Katanya
minta maaf, "Maklum, jumlah pelayan di tempat kami terlalu sedikit untuk melayani tamu
yang begitu banyak". Hoa In-liong tersenyum, "Tak perlu sungkan-sungkan, sediakan saja sayur dan
arak. Sediakan pula sepeci air teh, nanti aku hendak menanyai pula dirimu tentang beberapa
persoalan". Pelayan itu mengiakan berulang kali, dengan badan terbungkuk-bungkuk ia pun
berlalu dari situ. Sebentar saja suara berbisik-bisik bergema dari sana sini, "Woouw.... Sauya dari
manakah itu" Tampan amat!" "Ehmm.... Gagah pula potongannya dia pasti keturunan hartawan yang kaya raya!"
"Coba lihat wibawanya yang besar, wajahnya yang tampan dan tubuhnya yang kekar,
mungkin dia adalah seorang pendekar muda!"
Maklum, Ci-tin hanya sebuah kota kecil. Belum pernah tempat itu dikunjungi
seorang pemuda tampan yang gagah perkasa macam Hoa In-liong. Tak heran kalau mereka lantas
berbisik-bisik memuji kegagahan pemuda itu.
366 Selang sesaat kemudian, pelayan muncul menghidangkan sayur dan arak, lalu
menghidangkan pula sepoci air teh. Setelah memenuhi cawan Hoa In-liong dengan air teh, pelayan itu berkata, "Kongcu
tentu lelah dijalan selahkan minum!"
Hoa-In liong mengambil cawan dan menghirup setegukan. Ketika dilihatnya pelayan
itu tidak bermaksud mengundurkan diri dari situ, tahulah dia bahwa pelayan itu sedang
menantikan pertanyaannya. "Tolong tanya berapa banyak rumah penginapan yang berada dalam kota ini?"
Sambil tersenyum yang dipaksakan, jawab pelayan itu, "Harap kongcu maklum, kota
ini hanya berpenduduk enam-tujuh ratus orang. Lagi pula merupakan dusun yang miskin,
jarang dilewati orang luar daerah. Tentu saja tak ada penginapan disini. Cuma. Hee.... hee.... Bila kongcu
ingin menginap, hamba dapat usahakan tempat beristirahat bagi dirimu"
"Ramah amat pelayan ini" batin Hoa In-liong berpikir demikian, ia bertanya lebih
jauh, "Tak usah repot-repot, aku ingin mencari kabar pula tentang beberapa orang"
"Siapa yang hendak kongcu cari?" tanya pelayan itu setelah tertegun sejenak.
"Seorang gadis, seorang sastrawan muda serta dua orang laki-laki setengah baya
berjubah kuning" "Orang asing?" Tanya pelayan itu lagi sambil mengerdipkan matanya yang sipit.
Hoa In-liong mengangguk. "Ehmm! Dua orang laki-laki setengah baya yang berjubah
kuning itu datang dari Seng-sut-hay, bukan bangsa Han. Sebaliknya gadis dan sastrawan itu
orang Tionggoan" Dergan kening berkerut pelayan itu berpikir sebentar, kemudian ia gelengkan
kepalanya. "Tidak ada, tidak ada manusia macam itu disini! Setiap orang yang datang luar daerah
kecuali punya sanak keluarga disini, kebanyakan mereka menginap di rumah kami. Sekalipun tidak
menginap disini, hamba percaya mereka tak akan lolos dari pengamatanku"
Tiba-tiba ia tertawa cekikikan, lanjutnya lebih jauh, "Terus terang kukatakan
kongcu, bahwa hamba sebenarnya bernama Go Beci. Tapi ia lantaran semua urusan kuketahui maka
orang menyebut diri hamba sebagai "Bu-put-ci (tak ada yang tak tahu). Hee.... hee....
hee.... hal ini lantaran...." Tanpa terasa Hoa In- liong tersenyum, cepat tukasnya, "Cukup.... cukup.... Tolong
tanya saja disekitar sini apakah ada kuil atau sebangsa too koan?"
"Oooh.... tidak ada, tidak ada" Pelayan itu gelengkan kepalanya berulang kali,
"Disekitar dua puluh li dari dusun ini hanya ada sebuah kuil dewa tanah di sebelah barat kota!"
Menyaksikan sikapnya yang serius dan bersungguh-sungguh itu, Hoa In-liong
kembali merasa geli, ia tertawa tergelak. "Bagaimana dengan bukit Yan-san" Apakah di situ juga
tidak ada kuil atau too koan?" tanyanya kemudian selesai tertawa.
367 "Bukit Yan-san?" Mula mula pelayan itu tertegun, untuk selanjutnya dia manggut-
manggut, "Kalau di bukit Yan-san memang terdapat sebuah too-koan dan too-koan itu berada
dekat dengan puncak bukit tersebut, besar sekali bangunannya!"
Diam-diam Hoa In-liong merasa gembira setelah mendengar perkataan itu, pikirnya,
"Yaa betul, mereka pasti menuju ke sana dengan mengitari tempat ini. Kalau begitu mereka
pasti bercokol di dalam too-koan tersebut untuk beristirahat...."
Tapi sebelum ingatan itu selesai berkelebat dalam benaknya, terdengar pelayan
itu sudah melanjutkan kembali kata katanya, "Cuma too-koan itu sudah roboh banyak tahun.
Banyak diantara bangunan tadi sudah menjadi puing-puing yang berserakan. Konon
dahulunya tempat itu adalah sebuah markas dari perkumpulan Thong Thian-kau. Kongcu tahu" Thong
Thian-kau adalah sebuah perkumpulan yang amat jahat dan ganas. Disana sini mereka
melakukan banyak kejahatan dan kebiadaban. Kemudian dari dunia persilatan telah muncul seorang
pendekar besar yang bernama Thian-cu-kiam Hoa thayhiap...."
Setelah tujuannya tercapai, Hoa In-liong tidak berminat untuk mendengarkan
cerita dari pelayan itu lagi, cepat dia ulapkan tangannya sambil menukas, "Cukup.... Cukup....sekarang
kau boleh berlalu. Atas jerih payahmu ini, akan kuperhitungkan nanti saja!"
Padahal ketika itu sang pelayan sedang berceritera dengan penuh semangat. Selaan
dari Hoa Inliong tersebut ibaratnya sebaskom air dingin yang diguyurkan diatas
kepalanya. Seketika itu juga
ia berdiri bodoh dengan wajah termangu, untuk sesaat dia tak tahu apa yang musti
dilakukan. "Sudah cukupkah?" Tiba-tiba serentetan suara merdu menyambung dari samping, "Nah
kalau sudah cukup, sekarang tiba giliran untuk melayani kami".
Suara itu lembut, merdu dan enak didengar bagaikan bunyi genta. Dengan perasaan
terkejut Hoa In-liong berpaling kesamping.
Disudut kiri dekat dinding ruangan, duduklah seorang pemuda sastrawan berbaju
putih, disampingnya duduk pula seorang kacung yang berusia empat lima belas tahunan.
Waktu itu dengan senyuman di kulum mereka sedang memandang ke arahnya.
Sastrawan itu tampan sekali, usianya antara enam tujuh belas tahunan, alis
matanya bagaikan semut beriring, matanya jeli bagaikan bintang kejora. Hidungnya mancung,
bibirnya merah seperti delima merekah. Giginya yang putih rata. Pipinya yang halus putih dengan
sepasang lesung pipinya menambah kebagusan paras mukanya.
Kulit tubuh sastrawan itu putih bersih. Sifat kekanak kanaknya masih tertera
jelas dibawanya. Diantara sifat kekanak kanaknya terselip pula sifat binal, nakal dan cerdiknya.
Ini membuat siapapun yang memandang segera timbul rasa senang dan simpantiknya. Siapapun
ingin berkenalan rasanya setelah berjumpa dengan orang ini.
Tapi, perasaan Hoa In-liong ketika itu jauh berbeda. Pertama lantaran kedatangan
pemuda itu sangat mendadak, suaranya menggetarkan telinga. Kedua meski berada dalam
perhatian tetamu yang begitu banyak, ternyata pemuda itu dapat bersikap tenang dan bebas,
sedikitpun tak nampak rikuh atau panik. Hal ini membuktikan bahwa dia bukan manusia
sembarangan.... Padahal waktu itu suasana amat kalut. Banyak kejadian berlangsung berturutan dan
yang paling penting tempat itu adalah sebuah dusun miskin yang terpencil sebagai seorang
pemuda yang cermat dan tidak gegabah tentu saja ia jadi kaget dan waspada setelah berjumpa
dengan manusia seperti itu. 368 Dalam waktu singkat ia merasa suasana diloteng rumah makan itu seakan akan
berubah jadi beku. Begitu sunyi sepi sehingga jarum yang terjatuh ke tanahpun dapat
kedengaran dengan jelas. Diamatinya pemuda sastrawan itu dengan cermat, tiba-tiba Hoa In-liong merasakan
hatinya tergerak ia merasa orang itu makin dilihat semakin dikenal rasanya. "Aneh,
kenapa raut wajah orang ini amat kukenal jumpai disuatu tempat. Tapi....siapakah dia" Aku pernah
menjumpainya dimana?" oooOOOooo PENEMUANNYA ini seketika itu juga membuat sepasang alis matanya berkenyit.
Dengan sinar mata setajam sembilu diamatinya orang itu dengan tajam, sementara otaknya
berputar untuk menduga-duga siapa gerangan pemuda tersebut.
Bayangan manusia melintas didepan matanya. Sambil menggoyangkan pantatnya
pelayan itu menghampiri pemuda sastrawan tersebut, lalu sambil tertawa yang dipaksakan
sahutnya, "Maaf kalau terlambat.... Maaf kalau terlambat.... Apa yang sauya inginkan" Harap
diucapkan." Pemuda itu mengerling sekejap sambil moncongkan bibirnya. "Huuh!.... Pandai amat
kau memilihkan sebutan! Kau sebut dia kongcu dan sebut aku sauya. Memangnya lantaran
dia menyoren pedang dan pandai bersilat, sedang aku cuma seorang sastrawan yang
lemah tak punya kepandaian apa-apa, maka kau berani permainkan orang?"
Pelayan itu dibuat serba salah, menangis tak bisa tertawapun sungkan. Terpaksa


Rahasia Hiolo Kumala Xia Ke Qian Qiu Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sambil bungkukkan badan minta maaf katanya lagi sambil tertawa, "Kongcu suka bergurau....
Kongcu suka bergurau.... Harap engkau yang terhormat...."
Sebelum pelayan itu menyelesaikan kata-katanya, kembali pemuda itu tertawa
merdu, kepada kacung bukunya ia berkata, "Anak Leng! Tahun-tahun belakangan ini memang
suasananya sedikit ganas. Coba lihatlah begitu cepat ia mengikuti gelagat?"
Kacung buku itu menutupi bibirnya dengan ujung baju, lalu sambil menahan
tertawanya ia berkata, "Sio.... sauya, perkataanmu memang benar. Sebutan kongcu itu memang
kedengaran lebih segar!" Hoa In-liong yang mengikuti semua pembicaraan tersebut dari samping, diam-diam
tertawa geli, pikirnya, "Entah siau-sauya darimanakah ini" Tampaknya dia lebih binal dan nakal
daripada aku Hoa loji. Haa.... haa.... haa.... Akan kulihat permainan busuk apa lagi yang bisa dia
lakukan untuk menggoda pelayan tersebut?"
Perlu diketahui, pada dasarnya Hoa In-liong adalah seorang pemuda yang binal,
nakal dan suka menggoda orang. Ketika dilihatnya pemuda tampan yang berapa dihadapannya
memiliki tabiat serta sifat yang persis seperti tabiat sendiri, betapa gembira dan senangnya
dia. Seketika itu juga, sifat binal dan ingin menggodanya menguasahi kembali seluruh
benaknya. Otomatis perasaan waswasnya tersapu lenyap dari dalam benaknya.
Jilid 19 SEMENTARA pemuda itu telah berkata kembali, "Kalau diingat kembali, maka
perkataan ibuku memang tak salah. Beliau berkata orang yang bekerja sebagai kusir, sebagai
tukang perahu, 369 sebagai pelayan, sebagai kuli dan sebagai Hamba negara paling pandai putar
kemudi mengikuti hembusan angin manusia-manusia begini paling licik dan busuk. Ternyata bukti
memang begitulah, betul tidak anak Leng?"
"Yaa betul," Kacung buku itu mengangguk sambil tertawa, "Pelayan ini memang
licik sekali. Mungkin dia memang termasuk type manusia pelayan seperti yang dimaksudkan
hujin!" Begitulah, kedua orang itu saling berbicara saling menanggapi. Mereka Berbicara
dan tertawa, membuat air muka pelayan itu berubah jadi merah membara, mau menangis tak bisa
mau tertawa tak dapat, mau gusar pun tak berani. Keadaannya benar-benar mengenaskan.
Akhirnya karena apa boleh buat, terpaksa dengan wajah yang memelaskan dia
memohon, "Oooh....kongcu ya! Seorang laki laki budiman tak akan mengingat ingat kesalahan
seorang siaujin. Hamba...."
"Memangnya kau anggap aku selalu mengingat dirimu?" pemuda tampan itu balik
bertanya dengan senyum dikulum. Pelayan tersebut semakin membungkukkan badannya. "Yaa.... Yaa.... Hamba memang
terlalu gegabah, bekerja teledor sehingga terlalu lambat melayani kongcu. Harap engkau
suka memaafkan kesalahan hamba dan tidak menyusahkan diri hamba lagi.... Apa yang
kongcu pesan segera akan hamba kerjakan dengan baik...."
Pelayan itu memang berlidah tajam serta pandai menjilat pantat. Setiap
perkataannya begitu menarik hati membuat hati pemuda itu jadi lembek kembali. Akhirnya diapun
mengangguk. "Baiklah! Siapkan sayur dan arak yang paling lezat!"
Bagaimana mendapat pengampunan, cepat-cepat pelayan itu mengiakan lalu mengambil
langkah seribu. Baru beberapa langkah pelayan itu kabur, ketika pemuda tampan itu berseru
kembali, "Eee.... Pelayan! Tunggu sebentar!"
Dengan hati bergetar keras pelayan itu berhenti, meski ada engkau tapi ia balik
juga kehadapan tamunya. "Engkau tahu sayur apa yang hendak kupesan?" Tanya pemuda tampan itu sambil
tersenyum. Pelayan itu sudah setengah dibikin mabok setelah dikocok habis habisan oleh
tamunya, maka ia pun tertegun setelah mendengar pertanyaan tersebut.
"Sayur apa yang hendak kongcu pesan?" akhirnya setelah sangsi sebentar ia balik
bertanya. Pemuda tampan itu langsung menuding kearah meja Hoa In-liong seraya menyahut,
"Buatkan persis seperti apa yang dia makan, tak boleh terlalu banyak juga jangan terlalu
kurang. Bila terlalu banyak atau terlalu sedikit, engkaulah yang musti tanggung jawab!"
Terkejut bercampur heran Hoa In-liong ketika mendengar ucapan itu, ia segera
berpikir, "Nah.... Si pencari gara-gara sudah datang. Rupanya dia berbicara kesana kemari tujuannya
adalah untuk mencari gara-gara dengan aku...."
Tentu saja pemuda kita bukan seorang laki-laki yang takut urusan, malahan justru
karena adanya urusan, ia tampak semakin segar dan bersemangat.
370 Sambil tertawa terbahak-bahak ia bangkit berdiri, lalu memberi hormat dari
kejauhan. "Kita bisa
bertemu muka, itu tandanya kalau kita ada jodoh" Demikian ujarnya. "Tak kunyana
kalau hengtay memiliki selera yang persis seperti seleraku, sampai sekarang
sayur dan arak yang kupesan
belum disentuh. Jika tidak keberatan bagaimana kalau anda berpindah kemari untuk
saling pererat hubungan?" Walaupun di mulut ia berkata demikian, dalam hati kecilnya iapun menyusun
perhitungan, pikirnya, "Sampai dimanapun kebinalan dan kelicikanmu aku tidak percaya kalau
Hoa loji tak mampu mengalahkan dirimu. Hmm! Paling sedikit aku Hoa loji harus berusaha untuk
menyelidiki usulmu hingga jelas dan terang!"
Rupanya kedatangan pemuda tampan itu memang bertujuan kepadanya, tampak ia
mengerlingkan matanya kemudian menjawab, "Lama aku dengar orang berkata bahwa
engkau supel dan gagah. Setelah perjumpaan hari ini terbuktilah sudah bahwa kabar yang
tersiar diluaran memang bukan berita kosong belaka"
Ia lantas bangkit berdiri, kepada kacung bukunya dia menambahkan lebih jauh,
"Leng-ji, mari kita pindah dan mengganggunya sejenak!"
Dengan langkah yang tegap dia berjalan lebih dulu pindah kemeja Hoa In-liong.
Sementara itu Hoa In-liong sendiripun sudah menyusun perhitungan yang masak. Ia
telah memutuskan untuk menghadapi setiap perubahan dengan kepala dingin. Akan
disaksikan permainan busuk apakah yang hendak dilakukan mereka terhadapnya.
Karena itu sambil berpesan kepada pelayan untuk menambah sayur dan arak, ia
mempersilahkan tamunya mengambil tempat duduk.
Kali ini pelayan tersebut bertindak lebih cerdik, begitu mendapat pesanan,
secepat terbang ia berlalu. Selang sesaat kemudian apa yang dipesan telah dihidangkan.
Kacung buku yang bernama "Leng-ji" itu segera mengangkat poci arak dan memenuhi
cawan mereka berdua. Sebenarnya Hoa In-liong masih ingin mengucapkan kata-kata sopan santun. Siapa
tahu sambit meletakkan poci araknya kemeja, terdengar "Leng ji" Berkata dengan serius,
"Eeeh.... Sio.... sauya kami tidak pandai minum arak, kau harus memaklumi keadaannya"
"Leng-ji!" bentak pemuda tampan itu tiba-tiba dengan wajah serius, "Kembali kau
sudah melupakan peraturanku, tahukah kau" Dia adalah ji-kongcu....!"
Leng-ji menjulurkan lidahnya sambil menunjukkan muka setan, kemudian ia baru
memanggil, "Jikongcu!"
Setelah itu dengan mulut membungkam dia duduk kembali ditempat duduknya.
Hoa In-liong yang selama ini mengawasi terus mimik wajah orang dengan teliti,
segera menemukan bahwa sikap dari pemuda tampan itu bukan sikap yang sengaja dilakukan.
Ini membuat hatinya semakin keheranan, pikirnya, "Apa artinya kesemuanya ini
sebentar berpurapura sebentar sungguhan, sebenarnya apa maksud hatinya?"
371 Walaupun dihati berpikir demikian, hal tersebut tak sampai diutarakan keluar.
Dia mengangkat cawan arak lalu tersenyum. "Kalau memang begitu, aku tak berani terlalu memaksa"
katanya. "Akan kukeringkan secawan arak ini sebagai penghormatanku padamu. Selanjutnya
bila heng-tay tak keberatan, minum secawan arakpun bolehlah"
Habis berbicara, sekali teguk dia habiskan dulu isi cawan sendiri.
Pemuda tampan itu berdiri hanya mengangkat cawannya dan menempelkan saja
dibibirnya sebagai pertanda rasa hormatnya, kemudian sambil tertawa ia berkata, "Ji kongcu,
engkau memang sangat supel dan ramah, cuma aku menganggap dirimu sedikit keterlaluan"
Begitu buka suara, kata-katanya hanya melukai orang, mimpipun Hoa In-liong tidak
menduga sampai kesitu. Untuk sesaat dia tak bisa menanggapi kecuali duduk tertegun.
Melihat pemuda itu tertegun, tiba-tiba dengan suara yang lembut pemuda tampan
itu berkata lagi, "Betapa tidak bagaimanapun juga kita baru berkenalan untuk pertama
kalinya. Padahal kaupun tahu kalau kedatanganku mengandung maksud tertentu, tahukah engkau aku
sehabat atau musuh" Aku yakin kau belum bisa mengetahuinya dengan jelas" Tapi
kenyataannya sekarang, bukan saja engkau tidak menanyakan maksud kedatanganku, juga tidak
menanyakan siapa namaku. Begitu angkat cawan lantas meneguk habis isinya, padahal arak itu
disuguhkan oleh Leng-ji. Seandainya aku adalah musuhmu dan Leng-ji telah mencampuri arak
itu dengan racun, bukankah sekarang kau sudah keracunan hebat" Kau memang supel dan
menarik, tapi tidak seharusnya bertindak begitu ceroboh dan gegabah!"
Kalau dipikir dengan sungguh-sungguh, maka apa yang dikatakan pemuda itu memang
masuk diakal, lagipula bernada tajam, sedikitpun tidak memberi muka kepada lawannya....
Diam-diam Hoa In-liong mendengus, pikirnya, "Sialan! Toh engkau tahu kalau kita
baru saja berkenalan, memangnya kau anggap ucapan semacam itu tidak keterlaluan" Jika aku
Hoa loji takut dipecundangi olehmu, tak nanti kuundang dirimu datang kemari dan duduk
semeja dengan diriku" Pikir tinggal pikir, mulut tak dapat membungkam terus menerus, maka diputuskan
siasat tersebut akan dibalas dengan siasat, tersenyumlah pemuda kita. "Nasehat saudara memang
tepat dan benar, bolehkah aku tahu siapa namamu?"
Tampaknya pemuda tampan itu puas dengan sikap lawannya yang sangat penurut,
dengan wajah berseri dia tertawa. Tapi begitu dia tertawa. Hoa In-liong maka
terperangah hingga untuk sesaat melongo-longo seperti orang bodoh.
Ternyata tertawanya itu begitu polos, begitu genit dan menawan hati, jelas
merupakan senyuman seorang gadis cantik.
Sementara anak muda itu masih melamun, pemuda tampan tersebut telah
memperkenalkan namanya, "Aku berasal dari marga Cwan, Cwan dari kata Cwan-poh (pengundang),
Cwan-yang (propaganda), Cwan-si (bersumpah), Cwan-cau (mengudang). She tersebut adalah she
dari ibuku karena aku mengikuti marga ibu dan namaku adalah Wi. Lengkapnya Cwan Wi.
Sudah jelas?" Bagaimanapun jua dasar anak muda yang sudah bertele-tele, untuk menerangkan nama
sendiripun diperlukan waktu hampir setengah harian lamanya. Seakan akan dia
takut kalau pemuda itu tak sempat mendengar namanya dengan jelas.
372 Diam diam Hoa In-liong mengerutkan dahinya tapi untuk sopan santun diapun
mengangguk. "Aku yang muda bernama Hoa yang, nama kecil In".
"Yaa aku sudah tahu, kau punya nama kecil yang di sebut In-liong. Tak usah
diterangkan lagi" Tukas Cwan Wi tiba-tiba sebelum anak muda itu sempat menyelesaikan kata katanya.
Sesudah berhenti sebentar, tiba-tiba ujarnya lagi. "Kenapa tidak kau tanyakan
kepadaku, mengapa aku datang kemari mencarimu?"
Menyaksikan keanehan rekannya, Hoa In-liong tertawa geli, "Aku memang sedang
siap-siap bertanya!" Katanya kemudian.
"Aku mendapat perintah dari toako. Toako yang mengutus aku datang kemari!" jawab
Cwan Wi dengan nyaring. "Toako?" ulang Hoa In-liong dengan wajah tertegun karena heran dan tidak habis
mengerti. Cwan Wi manggut manggut. "Ya, toako yang suruh aku kemari. Toako suruh aku
menyampaikan pesan kepadamu. Katanya kau jangan pergi ke bukit Yan-san untuk penuhi janji
itu" Hoa In-liong semakin terkejut, rasa tertegunnya makin menjadi-jadi, setelah
melongo sesaat dia

Rahasia Hiolo Kumala Xia Ke Qian Qiu Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

baru bertanya, "Siapakah toakomu" Kenapa aku tak boleh memenuhi janji di bukit
Yan-san....?" "Toako siapa lagi?" Cwan Wi mengerdipkan matanya, "Tentu saja toakomu sendiri!
Tentang alasannya kenapa kau tak boleh pergi memenuhi janji, Waah.... Aku sendiripun tak
tahu" Hoa In-liong mengerutkan dahinya rapat-rapat, makin lama ia semakin melongo.
"Toako ku?" kembali gumamnya dengan keheranan, "Kau maksudkan toakoku Hoa Si?"
"Huuuh.... Tolol amat kamu ini! Semua orang mengatakan kau cerdik, kau pintar.
Tapi nyatanya kau adalah orang paling goblok yang pernah kujumpa. Kalau bukan toakomu Hoa Si,
memangnya kau punya berapa banyak toako lagi?"
Tanpa sadar Hoa In-liong menghembuskan nafas panjang. "Ooooh.... Rupanya kakakku
yang minta engkau datang kemari. Jadi kalau begitu kita bukan orang luar"
"Sekalipun bukan orang luar, aku juga bukan orang dari keluargamu" cepat Cwan Wi
menambahkan dengan serius.
Hoa In-liong tertawa tergelak karena geli. "Kau memang binal, nakal dan suka
menggoda orang" pikirnya dalam hati, "Kalau toh toako yang
minta kedatanganmu kesini, kenapa tidak kau sampaikan maksud kedatangannya sejak
tadi tadi" Lagakmu yang pura-pura bersikap serius, sok rahasia rupanya cuma bertujuan untuk
bikin tegangnya urat syaraf saja. Aaai.... Dasar bocah yang sering dimanja, dalam
keadaan seperti inipun masih bisa bisanya bergurau!"
Meskipun mengeluh dalam hati, tidak berarti ada perasaan tak senang di hati
kecilnya. Setelah termenung sebentar, dia angkat poci arak dan memenuhi cawan sendiri, lalu
menambahkan pula cawan Cwan Wi dengan setetes arak.
373 Setelah itu sambil mengangkat cawannya, ia berkata sambil tersenyum ramah,
"Pepatah kuno bilang: Empat samudra adalah saudara sendiri. Asal pandangan hidup kita sama
cita-cita kita sama dan tujuan kita sama, walaupun bukan keluarga sendiri juga tidak menjadi
soal. Kau sebut kakakku sebagai "toako," padahal akupun lebih tua beberapa tahun daripada
dirimu, maaf bila kuberanikan diri untuk memanggilmu sebagai saudara Cwan. Marilah saudara Cwan,
siau-heng hormati secawan arak untukmu sebagai rasa terima kasihku atas perjalanan yang
kau tempuh demi dirimu" Cwan Wi memang polos dan lincah, sambil kerutkan kening dia berseru, "Barusan
toh kau sudah menghormati secawan arak kepadaku?"
Hoa In-liong tertawa tergelak. "Haa.... haa.... Itulah yang dikatakan adat yang
banyak bikin orang tidak aneh, kuteguk dulu isi cawan ini!"
Begitu selesai berkata, dia lantas teguk habis isi cawan sendiri.
Cwan Wi kehabisan kata-kata untuk berbicara terpaksa sambil kerutkan kening dia
ikut mencicipi setegukan arak. "Baiklah!" kata Hoa In-liong kemudian, "Anggaplah kita telah bersahabat setelah
meneguk secawan arak tadi. Saudara Cwan, tolong tanya kau telah berjumpa dengan kakakku
dimana?" Cwan Wi sedang mengurut tenggorokannya untuk menelan arak dalam mulutnya ke
dalam perut. Mendengar pertanyaan tersebut diapun menyahut, "Di kota Im-ciu!"
"Aneh betul!" Seru Hoa In-liong kemudian dengan tercengang, "Im-ciu letaknya di
sebelah barat propinsi An-gui. Dari mana kakakku bisa tahu kalau aku mempunyai janji di bukit
Yan-san?" "Kami bertamu saudara Yu Siau-lam di kota Ciu-sin. Saudara Siau-lam lah yang
memberitahukan soal janji Yan-san itu kepada toako!"
Hoa In-liong termenung beberapa saat lamanya tiba-tiba satu ingatan melintas
dalam benaknyacepat dia bertanya lagi, "Sudah berapa hari engkau melakukan
perjalanan bersama-sama kakakku...." "Dua hari!" "Dua hari?" Hoa In-liong makin tercekat, "Dalam dua hari kalian bila menempuh
perjalanan dari kota Im-ciu sampai kota Cin-sian?"
"Toako bilang ada urusan penting hendak mencari dirimu, tentu saja dalam dua
hari jarak tersebut dapat kami lampaui"
"Hanya kakakku seorang?" kembali Hoa In-liong bertanya setelah tertegun sejenak.
"Sebetulnya toako datang bersama empek Hoa"
Sebelum pemuda itu sempat menyelesaikan kata-katanya, dengan hati sangat
terkejut In-liong telah menukas, "Apa" Ayahku juga ikut datang?"
"Masih ada lagi seorang lo-koan-keh. Cuma saat ini mereka sudah pulang ke Im
Tiong-san" 374 Timbul kecurigaan dihati Hoa In-liong setelah penjelasan tersebut, cepat
tanyanya lagi, "Kenapa
ayahku pulang ke rumah lagi setelah sampai ditengah jalan" Sebenarnya peristiwa
basar apakah yang telah terjadi selama ini....?"
"Ayahmu pulang kembali ke Im Tiong-san lantaran ditengah jalan telah bertemu
dengan kami ibu dan....ibu dan anak. Empek Hoa lama sekali bercakap cakap dengan ibuku. Kemudian
beliau bersama ibumu pulang kembali ke Im Tiong-san sedang apa yang sebenarnya telah
terjadi, aku tak sempat mengetahuinya"
Hoa In-liong berpikir kembali, ia merasa kehadiran ayahnya dalam dunia
persilatan menunjukkan semakin seriusnya peristiwa dalam dunia persilatan. Sebab bila dunia persilatan
tidak mengalami suatu perubahan besar tak nanti ayahnya akan munculkan diri dengan begitu saja.
Meski demikian, anak muda itu tak ingin banyak berbicara, maka setelah termenung
sejenak ia bertanya pula, "Lalu sekarang kemana perginya kakakku?"
"Toako pergi ke kota Kim-leng! Sebelum berpisah toako secara khusus menitip
pesan kepadaku agar disampaikan kepadamu. Katanya sekarang juga itu harus berangkat ke kota
Kim-leng untuk berkumpul dengannya, sebab ada urusan penting yang hendak dibicarakan"
Setelah pembicaraan berlangsung sampai disitu garis besar keadaan yang
sebenarnya pun dapat di pahami Hoa In-liong. Ia tahu, jika toakonya begitu terburu-buru ingin berjumpa dengannya, itu berarti
bahwa ada urusan penting yang telah terjadi.
Tapi dia pun tak dapat ingkar janji, sehingga membiarkan Wan Hong giok menanti
dengan percuma. Maka setelah mempertimbangkan enteng beratnya persoalan, akhirnya dia berkata,
"Baiklah! Kalau begitu besok pagi-pagi kita berangkat!"
Hoa In-liong mengambil keputusan demikian lantaran keadaanlah yang memaksa dia
harus berbuat begini. Betapapun juga dia sangat ingin berjumpa dengan Hoa Si secepat
mungkin dan mencari tahu peristiwa apa yang telah terjadi, hingga sampai ayahnya ikut
terbawa-bawa masuk kembali ke dalam dunia persilatan.
Namun Cwan Wi tak bisa memahami perasaannya waktu itu, tampak ia rada tertegun,
kemudian berseru nyaring, "Kenapa" Jadi kau masih ingat memenuhi janjimu di bukit Yan-
san?" "Selisih satu malam rasanya juga tak terlalu lambat. Asal perjalanan kita tempuh
lebih cepat lagi, waktu yang silang rasanya masih dapat disusul kembali"
"Selisih waktu semalam?" Teriak Cwan Wi dengan marah, "Engkau tahu meski hanya
selisih waktu semalam, peristiwa besar apalagi yang bakal terjadi?"
"Yaaa....Tapi apa boleh buat?" Kata Hoa In-liong dengan nada minta maaf, "Sebagai
seorang laki-laki sejati, kita tak boleh ingkar janji. Sekalipun ada urusan lain.... Ya....
Bagaimana lagi" Janji
tetap janji. Walaupun ada urusan yang lebih penting, janji tetap tak dapat
diingkari dengan begitu saja". Tampaknya Cwan Wi semakin naik darah, setelah merenung sebentar katanya lagi
dengan ketus, "Aku tahu orang she Wan itu adalah seorang cantik. Aku tahu gadis she Wan itu
mencintai dirimu 375 dan kau keberatan untuk meninggalkan dirinya. Hmmm! Orang lain mengatakan kau
bajul buntung, kau romantis dan suka main perempuan, dulu aku masih belum percaya,
tapi sekarang.... sekarang aku...."
Sebelum pemuda tampan itu sempat menyelesaikan kata katanya Hoa In-liong sambil
tertawa getir telah menukas, "Saudara Cwan...."
Cwan Wi mendelik besar. Dengan penuh kemarahan ia menyemprot, "Siapa yang sudi
menjidi saudaramu" Panggilan dari saudara sendiri yang disampaikan dengan mengirim
seorang utusan ternyata kalah pentingnya dengan janji seorang perempuan lewat usang. Hmmm!
Terhadap manusia macam begini....aku jadi segan untuk banyak berbicara lagi!"
Hoa In-liong benar-benar dibikin serba salah, tertawa tak bisa menangispun
sungkan. ia gelengkan kepalanya berulang kali sambil mengeluh lirih, "Saudara Cwan, kau
bikin orang penasaran.... kau bikin orang jadi penasaran"
"Aku membuat kau menjadi penasaran?" Teriak Cwan Wi makin gusar, "Baik! Aku
mohon diri lebih dulu. Aku tak akan mengganggu engkau lebih jauh...."
Dia lantas bangkit berdiri dan siap pergi.
"Saudara Cwan....! Saudara Cwan....! Jangan pergi dulu. Jangan pergi dulu!" cegah
Hoa In-liong sedang gelisah, "Dengarkan dulu penjelasanku"
"Bukankah aku telah membuat engkau penasaran" "kata Cwan Wi dengan mendongkol,
"Kalau toh akan membuat kau jadi penasaran, kenapa tidak kau perbolehkan aku pergi saja
dari sini?" Hoa In-liong menghela napas panjang, ia termenung sebentar untuk berpikir,
kemudian baru ujarnya lagi dengan suara yang perlahan dan lembut, "Antara aku dengan Wan Hong-
giok hanya punya jodoh bertemu muka satu kali saja. Sekalipun ada benih-benih cinta yang
tumbuh dihati kita masing-masing, itupun masih terbatas pada cinta permulaan, tak nanti sudah
mencapai taraf yang kau ibaratnya tak bisa berpisah lagi. Yaaa.... Kenangan masa lampau ada
baiknya tak usah kita bicarakan lagi. Siau-heng akan perlihatkan surat dari nona Wan kepadamu.
Selesai membaca surat tersebut, engkau akan segera memahami alasan lain yang membuat siau-heng
bersikap demikian. Kau pasti akan mengerti bahwa siau-heng tidak gampang terpikat oleh
seorang perempuan" Sambil berkata ia merogoh sakunya dan mengeluarkan secarik kertas butut yang
segera diserahkan kepada Cwan Wi.
"Aaaah....Ogah aku membaca surat cintamu" tampik Cwan Wi sambil palingkan
kepalanya, "Kalau ingin menerangkan, lebih baik terangkan saja dengan mulut!"
Sambil membungkukkan badannya setengah memohon Hoa In-liong membentangkan surat
kumal tersebut dihadapan mukanya, lalu berkata kembali, "Aku tak dapat
menerangkan dengan mulut, sebab dibalik surat ini masih terdapat suatu rahasia yang sangat besar.
Rahasia ini tak boleh sampai ketahuan orang lain, maka alangkah baiknya kalau saudara Cwan
membaca langsung dari kertas ini!"
Cwan Wi dapat menangkap keseriusan orang sewaktu mengucapkan kata-kata tersebut,
tanpa sadar ia berpaling memandang kearah Hoa In-liong.
376 Dengan wajah setengah memohon Hoa In-liong segera mendesak kembali rekannya agar
membaca surat itu sendiri.
Rupanya Cwan Wi tak tega, akhirnya ia menundu kan kepalanya juga untuk membaca
surat itu. Selesai membaca surat tadi, ia baru menengadah sambil katanya dengan suara yang
lebih ramah, "Jadi kalau begitu, gadis-gadis she Wan itulah
yang terlalu romantis sehingga diam-diam ia mencintaimu tanpa kau sendiri
menyadari akan hal ini...." "Tak bisa kau katakan demikian" sahut Hoa In-liong dengan wajah tersipu-sipu.
Cwan Wi berpaling dengan alis mata berkenyit. "Lalu.... Bagaimana yang betul?" dia
balik bertanya. Sikap Hoa In-liong makin rikuh, dengan muka merah jengah katanya tergagap,
"Aku.... aku sendiripun tak dapat menerangkan dengan jelas"
Setelah berhenti sebentar, tiba-tiba lanjutnya kembali dengan wajah serius,
"Pokoknya peristiwa ini mungkin menyangkut suatu masalah yang amat besar dan yang pasti ke adaan
nona Wan sesudah terjatuh ke tangan kaum iblis sesat pasti mengenaskan sekali. Sebagai
umat persilatan yang menjunjung tinggi keadilan dan kebenaran, apabila setelah mengetahui jelas
keadaan yang sebenarnya, masa kita harus berpeluk tangan belaka membiarkan orang lain
tersiksa" Saudara

Rahasia Hiolo Kumala Xia Ke Qian Qiu Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cwan, tentunya tidak demikian bukan?"
Mungkin apa yang diucapkan Hoa In-liong memang benar dan masuk diakal. Untuk
sesaat lamanya Cwan Wi tak mampu berkata maupun berbicara. Dengan mulut membungkam dia
angsurkan kembali kertas itu kepada rekannya.
Sambil menerima surat itu dan disusupkan kembali ke dalam sakunya, kembali Hoa
In-liong meminta, "Saudara Cwan, apakah engkau dapat memahami keadaanku" Bagaimana kalau
kita berangkat besok pagi saja?"
"Tentang soal ini.... tentang soal ini...." Demikian sangsinya Cwan Wi sampai dia
tak mampu melanjutkan kembali kata-katanya.
"Bagaimana kalau demikian saja?" sambung Hoa In-liong lagi, "Saudara Cwan
berangkat duluan dan Siau-heng akan segera berangkat selewatnya tengah malam nanti" Aku percaya
kita bisa berjumpa muka lagi setibanya di dermaga penyeberang Boh-ko. Dengan demikian
bukankah kita tak usah membuang waktu lagi dengan percuma?"
Tiba-tiba Cwan Wi menghela nafas panjang. "Aaaai.... Engkau telah salah
mengartikan maksudku. Sebenarnya akulah yang sengaja telah membohongi dirimu dalam
keteranganku tadi" "Bagaimana maksudmu?" tanya Hoa In-liong dengan wajah setengah tertegun.
"Latar belakang janji dibukit Yan-san telah ku ketahui semua dengan amat
jelasnya. Saudara Siau-lam lah yang menceritakan kesemuanya itu kepadaku. Barusan aku sengaja
menuduh engkau terpikat oleh perempuan, maksudku adalah untuk memanasi hatimu dengan
tuduhan tadi dan tujuanku berbuat demikian tak lain adalah berharap agar engkau tidak pergi
memenuhi janji tersebut" 377 Mendengar keterangan tersebut, Hoa In-liong merasa marah bercampur mendongkol,
dengan kesal teriaknya, "Kau....kau.... Aaaai....! Apa gunanya engkau berbuat kesemuanya itu
atas diriku?" Bagaimanapun juga, si anak muda ini segan menegur Cwan Wi, maka sambil menghela
nafas panjang dia hanya gelengkan kepalanya berulang kali sebagai tanda rasa kesalnya.
Cwan Wi sendiripun agak kikuk, tiba-tiba panggilnya dengan suara tergagap, "Ji....
Ji-ko...." Mula-mula Hoa In-liong agak tertegun, menyusul kemudian ia bersorak gembira,
"Betul! Kau musti panggil jiko kepadaku, ayoh panggillah sekali lagi....!"
Sebagai seorang laki laki yang berjiwa besar dan berhati jujur, tak pernah suatu
kesalahan atau suatu kejengkelan disimpan terus dalam hati, maka dari itu setelah mendengar
panggilan "jiko"
dari Cwan Wi yang diucapkan dengan nada takut-takut, semua kemurungan dan
kekesalan yang semula menyelimuti benaknya seketika tersapu lenyap dari dalam benaknya.
Entah apa sebabnya tiba-tiba paras muka Cwan Wi berubah jadi merah padam seperti
kepiting rebus. Bukan saja ia tidak melanjutkan panggilan tersebut, malah sebaliknya
menundukkan kepalanya rendah-rendah. Hoa In-liong segera tertawa tergelak. "Haa.... haa.... Coba lihat tampangmu, apanya
yang perlu kau malui" Bukankah kau sebut toako kepada kakakku" Maka semestinya kau memang
harus sebut Jiko kepadaku! Terus terang kuberitahukan kepadamu, aku Jiko paling
romantis dan paling hangat dalam pergaulan. Asal aku sebut Jiko kepadaku, selama hidup aku tak
bakalan menderita kerugian" Ketika selesai mendengar upacara tersebut paras muka Cwan Wi berubah semakin
marah lagi dan kepalanya juga tertunduk semakin rendah, hingga sekarang jelas terlihat
betapa merahnya semua tengkuk dan telinga gadis itu.
Rupanya Hoa In-liong agak terlena menyaksikan keadaan dari rekannya, dengan
perasaan apadaya dia gelengkan kepalanya berulang kali. "Yaa.... Bagaimanapun juga masih
seorang bocah" gumamnya dengan kening berkerut, "Takut mula, tak berani angkat kepala....
Yaa.... Bagaimana lagi" Pokoknya lain kali kau musti sebut Jiko terus kepadaku...."
Sesudah berhenti sebentar, tiba-tiba sambungnya kembali, "Mungkin
mengucapkan sesuatu kepadaku, bukankah begitu...." Cepat katakan!"
engkau hendak Cwan Wi manggut-manggut tanda membenarkan setelah merenung sejenak hingga warna
merah yang menghiasi wajahnya lenyap semua, dia baru menengadah seraya berkata, "Jiko,
tentunya kau tak akan memenuhi janjimu dibukit Yan-san bukan....?"
Hoa In-liong mengernyitkan alis matanya, diam diam ia berpikir didalam hati,
"Barusan saja pembicaraan berlangsung baik sekali, kenapa begitu cepat pikirannya berubah?"
Meski dalam hati berpikir demikian, diluaran dia pun bertanya dengan nada
keheranan, "Kenapa?" "Tidak karena apa-apa. Anggaplah sebagai suatu permohonan dariku, tentunya
engkau bersedia mengabulkan permintaanku itu bukan?"
378 Hoa In-liong tertegun. "Saudaraku dengarkan dulu perkataanku" katanya kemudian,
"Cinta adalah ciita, setia kawan adalah setia kawan. Aku menyanggupi dirimu adalah
karena cinta. Sedang kupenuhi janjiku dibukit Yan-san adalah setia kawan. Sebagai manusia yang
hidup diantara masyarakat, kita harus dapat membedakan antara cinta dan setia kawan
dengan jelas. Sekarang aku ingin bertanya kepadamu, apakah engkau masih hendak memohon
kepadaku agar membatalkan janjiku dibukit Yan-san?"
Sekali lagi Cwan Wi tersudut hingga tak mampu memberikan jawaban yang tepat, ia
semakin gelisah. "Bukan demikian.... Hal ini adalah maksud hati dari Toako. Toako berkata
begini...." "Siau.... sauya!" Tiba-tiba Leng-ji berteriak lengking.
Cwan Wi segera menyadari kembali kesilapannya sehingga hampir saja bicara
telanjur, cepatcepat ia menutup mulutnya kembali membatalkan niatnya untuk
berbicara lebih jauh. Betapa heran dan tercengangnya Hoa In-liong melihat sikap rekannya. Sebentar ia
memandang kearah Leng-ji, sebentar lagi memandang kearah Cwan Wi, kemudian bertanya,
"Sebetulnya apa yang telah terjadi, apa yang sebenarnya telah dikatakan oleh Toako?"
"Toako.... Toako...." Cwan Wi semakin tergagap sampai tak mampu melanjutkan kata
katanya. Leng-ji yang berada disamping dengan cepat menyambung kata-kata tersebut, "Toa
kongcu bilang, jikalau Ji-koancu tetap bersikeras dengan pendiriannya, tak dapat diajak
berbicara yang benar, maka kami diperintahkan sagera kembali kekota Kim-leng dan jang...."
"Leng-ji....!" bentak Cwan Wi dengan suara yang nyaring.
Leng ji berpaling serta melemparkan sebuah kerlingan yang penuh mengandung arti,
lalu melanjutkan kembali kata katanya, "Apa yang Leng-ji ucapkan adalah kata-kata
yang sejujurnya! Sauya, lebih baik kita kembali dulu ke kota Kim-leng!"
Hoa In-liong tidak sempat memperhatikan kerlingan mata dari kacung buku itu.
Ketika didengar Leng-ji membantu dia menganjurkan Cwan Wi agar pulang dulu ke kota Kim-leng,
cepat-cepat dia menambahkan pula, "Betul! Lebih baik kita ikuti saja rencana semula. Kalian
berangkat lebih duluan dan aku akan menyusul dari belakang"
Leng-ji lah pertama-tama yaog bangkit berdiri lebih dahulu, katanya kembali,
"Sauya, mari kita berangkat! Banyak bicara juga tak ada gunanya, buat apa kita musti bercokol
terus tanpa hasil disini?" Cwan Wi merenung sebentar, sepertinya ia merasa bahwa perkataan Leng-ji memang
masuk di akal, akhirnya diapun ikut bangkit berdiri. "Baiklah, mari kita berangkat lebih
duluan!" ka tanya. Ia berpaling ke arah Hoa In-liong. Sambil menatap wajahnya kembali ia berkata
dengan nyaring, "Jiko, aku akan berangkat lebih duluan. Aku harap engkau suka berhati-hati dalam
perjalananmu memenuhi janji di bukit Yan-san"
Sewaktu mengucapkan kata-kata tersebut, sikap jengah dan rikuhnya sudah tersapu
lenyap tak membekas, sebagaimana semula sikapnya kembali supel, gagah dan menawan.
Hoa In-liong jadi rada lega setelah mengetahui tak ada orang menghalangi niatnya
lagi. Ia bangkit berdiri derigan wajah berseri, katanya sewaktu menghantar kepergian
orang, "Saudara 379 Cwan memang tak malu disebut seorang manusia yang tahu diri. Siau heng merasa
sangat beruntung dapat berkenalan dengan dirimu! Bicara terus terangnya saja, andaikata
perjumpaan kita tidak berada dalam suasana yang kurang menguntungkan, siau heng benar-benar
merasa sedikit berat hati untuk berpisah dengan dirimu"
Paras muka Cwan Wi secara aneh terhias kembali oleh warna semu merah. Cuma waktu
itu dia sudah memutar tubuhnya sambil beranjak pergi. Dengan demikian Hoa In-liong tak
sempat menyaksikan perubahan wajahnya itu.
Terdengar ia berkata dengan suara yang merdu dan nada yang nyaring, "Kita bukan
putra-putri masyarakat biasa. Aku rasa kata-kata sungkan juga tak perlu diutarakan lagi.
Terus terangnya saja kukatakan, aku selalu mengkuatirkan kelicikan, kebuasan serta kebuasan
orang-orang Mokauw. Sedang Jiko adalah seorang kuncu, seorang lelaki sejati yang
jujur dan polos. Kuatirnya
jika kau bertindak sedikit gegabah, yaa.... akibatnya kau akan menyesal sepanjang
jaman!" Hoa In-liong tertawa tergelak. "Haa.... haa.... Selama hidup siau-heng belum pernah
menjumpai kejadian yang membuat hatiku menyesal harap saudara Cwan bersedia melegakan
hatimu" "Tapi lebih berhati-hati toh ada baiknya juga?"
"Terima kasih banyak atas perhatian saudara Cwan. Siau-heng akan mengingat
pesanmu itu" Sahut Hoa In-liong sambil mengangguk berulang kali.
Begitulah, mereka berdua sambil berjalan sambil berbicara, siapapun tidak
menyinggung katakata "selamat tinggal" atau "tak usah dihantar lebih jauh".
Meski hanya berpisah untuk
sementara waktu, namun perasaan berat hati yang terpancar diwajah kedua belah
pihak terlihat amat tebal, cuma rasa berat hatinya itu tidak sampai diutarakan keluar lewat
kata-kata. Sesaat kemudian mereka sudah tiba diluar pintu gerbang rumah makan Cwan-seng-lo,
Leng-ji rada tidak sabaran lagi, tiba-tiba selanya, "Ji-kongcu, harap kau kembali!
Daripada menghantar terus menerus, kenapa tidak melakukan perjalanan bersama-sama saja?"
Dengan wajah tertegun Hoa In-liong menghentikan langkahnya, kemudian tertawa
terbahakbahak. "Haa. Haa.... haa.... Baik.... Baik.... Tidak akan menghantar lagi....
Tidak akan menghantar lagi. Baik-baik dijalan saudara Cwan, jaga diri baik-baik!"
Dengan agak tersipu Cwan Wi melambaikan tangannya sambil berbisik, "Selamat
tinggal!" Kemudian dengan langkah lebar ia berlalu dari kota Ci-tin tersebut.
Sepeninggal Cwan Wi berdua, Hoa In-liong menengadah memandang cuaca. Ia lihat
sang surya sudah tenggelam dibalik bukit, senjapun telah menjelang tiba, maka ia naik
kembali keloteng dan buru buru bersantap untuk mengisi perut. Selesai membereskan rekening pemuda
inipun berangkat meninggalkan kota Ci-tin.
Disuatu tempat yang sepi dihukit utara gunung Yan-san, anak muda itu duduk
bersemedi untuk menyusun kembali kekuatannya. Tatkala hari sudah gelap, ia baru melakukan
perjalanan cepat mendaki bukit Yan-san....
Bekas markas Tong thian-kau tempo dulu letaknya berdekatan dengan puncak bukit.
Hoa Inliong membutuhkan waktu selama satu setengah jam untuk mencapai tempat
tersebut. 380 Markas itu boleh disebut luas dan lebar. Tapi lantaran sudah banyak tahun tidak
dihuni manusia, sebagian besar bangunan itu sudah roboh dan berubah jadi puing-puing yang
berserakan. Apalagi bila malam menjelang tiba, tikus berlarian ke sana kemari mencari
makanan. Suasana yang sepi, dan gelap itu mendatangkan perasaan yang seram bagi siapapun yang
melihatnya, bahkan bulu romapun tanpa terasa ikut berdiri tegak.
Semula Hoa In-liong menduga Hong Seng sekalian pasti bercokol dibekas markas itu
untuk melepaskan lelahnya. Siapa tahu meski puing-puing bekas gedung itu sudah
diperiksa beberapa kali dengan hati-hati, tak sesuatu apapun berhasil ditemukan. Bahkan bekas
pernah disinggahi orang pun tidak nampak. Oleh sebab itu, ia mulai sangsi dan ragu-ragu....
Waktu itu, ia berdiri ditengah sebuah ruangan kuil yang atapnya telah ambruk.
Sambil memandang puncak bukit yang gelap nun jauh diujung sana, diam-diam anak muda itu
berpikir,

Rahasia Hiolo Kumala Xia Ke Qian Qiu Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Masa mereka tidak datang kemari" Atau mungkin akulah yang salah datang...." Kalau
tidak, tentulah Wan Hong-giok bertindak sangat cermat dan rahasia, karena itu dia sudah
mengatur segala sesuatunya hinga tempat ini sunyi senyap....?"
Pelbagai kecurigaan dan rasa sangsi berkecamuk dalam benaknya, ia kuatir kalau
salah tempat. Sebentar dia berharap Hong Seng sekalian tidak mengetahui kejadian ini, sehingga
Wan Hong giok dengan leluasa dapat meloloskan diri dari pengawasan mereka dan seorang
diri datang memenuhi janjinya dengan dia.
Bahkan dia pun menaruh curiga bahwa Wan Hong-giok sudah tertimpa nasib malang
hingga tak dapat memenuhi janjinya lagi.
Puncak bukit yang gelap di ujung depan sana seakan akan berubah jadi sebuah
pintu besi dari sebuah kurungan yang siap menanti kedatangannya untuk masuk jebakan.
Berpikir sejenak kemudian, tiba-tiba ia bergumam seorang diri, "Aaaai....perduli
amat! Kalau itu rejeki sudah pasti bukan bencana, kalau itu bencana dihindar, juga tak mungkin
bisa...." Gumamnya terpotong setengah jalan, secepat sambaran petir ia meluncur maju ke
depan. Bagaimanapun juga Hoa In-liong adalah seorang keturunan pendekar besar. Seorang
laki laki yang tidak mengenal arti takut. Seorang pemuda yang tidak mengenal jiwa
Pendekar Naga Mas 9 Pendekar Cacad Karya Gu Long Suling Pualam Dan Rajawali Terbang 1
^