Tiga Maha Besar 15
Tiga Maha Besar Karya Khu Lung Bagian 15
dendam sakit hatinya" Aku lebih rela berhutang budi dan
gorok leher bunuh diri daripada membiarkan kitab Kiam keng
itu terjatuh ketangan Kiu-im Kaucu....!"
"Setiap urusan ada sumbernya," kata Hoa Thian-hong,
"meskipun toako telah diselematkan jiwanya oleh sebatang
Leng-ci, akan tetapi dahun Leng-ci tersebut kau peroleh dari
tangan siaute, dalam hal ini sama sekali tak ada sangkut
pautnya dengan Ku lng ing, dengan sendirinya engkaupun tak
usah berterima kasih dengan mengorbankan jiwamu!"
"Menurut Kun gie!" kata Kho Hong-bwee pula, "dikala ia
ditangkap Pia Leng-cu, engkau pernah menembusnya dengan
menggunakan pedang bajamu itu, yaa urusan itu sudah lewat,
rasanya akupun tak ingin banyak berbicara lagi, tapi engkau
musti ingat, kitab Kiam keng adalah gudangnya ilmu silat,
sejilid kitab pusaka yang diincar banyak orang, benda itu
menyangkut pula mati hidupnya dunia persilatan, oleh sebab
itu aku harap engkau suka mempertimbangkan sebaik-baiknya
sebelum bertindak!" "Terima kasih atas petunjuk dari bibi!"
"Hoa toako!" ujar Pek Soh-gie kemudian, "pedang bajamu
sudah patah, apakah engkau membutuhkan senjata lain?"
"Bila ada sebilah pedang panjang, tolong berilah sebilah
untuk Sian te...." Pek Soh-gie segera masuk kedalam ruangan, selang sesaat
ia telah muncul kembali menyerahkan sebilah pedang panjang
kepada pemuda itu. Hoa Thian-hong segera menggembolnya dipinggang,
setelah membopong Soat-ji bersama-sama jago yang lain
mereka menuju keruang tengah.
Disana telah menanti beberapa puluh orang pelindung
hukum, hiangcu dan tongcu, Kho Hong-bwee segera
menghitung jumlahnya kemudian berangkatlah melakukan
pencarian. Setelah keluar dari kantor cabang kota Cho ciu, Kho Hongbwee
memimpin rombongan itu menuju kepintu kota sebelah
selatan. Waktu itu fajar belum menyingsing, jalan raya sepi dan tak
tampak seorang manusia pun yang berlalu lalang.
Tampaknya Kho Hong-bwee telah mempunyai keyakinan,
dia memimpin rombongan itu bergerak maju kedepan,
sedikitpun tidak tampak ragu-ragu.
Selang sesaat sampailah mereka kepintu selatan, karena
pintu kota masih tertutup maka mereka masing-masing loncat
naik keatas tembok kota, Tiba-tiba Hoa Thian-hong merasakan hatinya tergerak,
pikirnya. "Kalau dilihat keyakinannya yang begitu tebal, mungkinkah
ramalannya memang tepat sekali?"
Sementara ingatan itu masih melintas dalam benaknya,
semua orang sudah melompat keatas tembok kota, dari situ
tampaklah Kho Hong-bwee dengan sorot mata yang tajam
bagaikan kilat sedang mengawasi ke arah tenggara tanpa
berkedip. Hoa Thian-hong ikut memandang ke arah situ, apa yang
dilihat hanyalah kegelapan ditengah keheningan, tak sesuatu
apapun yang terlibat olehnya.
Oh Sam menyusul tiba kesana setelab menengok sekejap
kedepan, tiba-tiba katanya.
"Lapor cubo, tempat itu masih memancarkan cahaya
merah, agaknya baru saja dilanda kebakaran"
Kho Hong-bwee mengangguk, sambil ulapkan tangannya ia
lantas berseru. "Hayo berangkat!"
Ia lompat turun lebih dahulu dan bergerak menuju ke arah
mana munculnya cahaya merah tadi.
Kawanan jago lainnya membungkam dalam seribu bahasa,
melihat pemimpinnya sudah berangkat semua orangpun ikut
menyusul dari belakang, semangat mereka tinggi dan
keberaniannya mengagumkan.
Rupanya cahaya merah itu berasal dari sebuah dusun yang
jaraknya kurang lebih lima enam li dari kota, tentu saja jarak
sedekat itu tidak dipandang sebelah mata oleh orang-orang
itu, tak selang beberapa saat kemudian sampailah mereka
didepan dusun itu. Dalam dusun tadi hanya terdapat tiga pulubhan keluarga
petani, rumah mereka terbuat dari batu bata, rupanya
kebakaran hanya terjadi disebuah gedung belaka, waktu itu
api masih belum padam, sementara para penduduk desa yang
menonton apipun masih berkerumun disitu sambil saling mem
bicarakan peristiwa itu. Tiba-tiba suasana yang semula gaduh menjadi hening dan
sepi kiranya kedatangan sege-rombolan jago silat ini cukup
mengejutkan orang-orang itu.
Dengan sorot mata yang tajam, Kho Hong-bwee menyapu
sekejap sekitar tempat itu, kemudien sambil menatap seorang
laki-laki berusia lima puluh tahunan yang berdandan sebagai
seorang hartawan, tegurnya.
"Maaf kalau mengganggu sebentar lo wangwe, terimalah
hormat dari pinto Kho Hong-bwee"
Ketika orang itu melihat bahwa pemimpin dari rombongan
orang persilatan itu adalah seorang to koh berusia
pertengahan, rasa kaget yang semula menghiasi wajahnya
kian bertambah menyurut, akan tetapi setelah mendengar
nama Kho Hong-bwee, tiba-tiba paras mukanya kembali
berubah, untuk sesaat lamanya ia tak mengucapkan sepatah
katapun. Kho Hong-bwee tidak menggubris sikap orangitu, sambil
tertawa ia menegur lagi, "Lo wangwe, boleh aku tahu siapa
namamu?" Buru-buru orang itu maju beberapa langkah kedepan,
seraya menjura sahutnya, "Aku seorang rakyat kecil yang
bernama Lau Cu cing!"
"Oooh Rupanya Lau wangwe, apakah rumah gedung
wangwe yang ketimpa bencana kebakaran?"
"Benar.... benar...." jawab Lau Cu cing sambil beberapa kali
mengangguk. Dibelakang hartawan itu berkumpul pula sekawanan orang
perempuan, pelbagai macam barang peti dan bungkusan
tersebar di tanah, sekilas pandangan siapapun akan tahu
bahwa merekalah yang telah ketimpa bencana kebakaran itu.
"Setelah Lau wangwe ketimpa bencana, sebetulnya tidaklah
pantas bagi kami untuk mengganggu kesedihan yang kalian
alami, tapi berhubung ada sedikit persoalan yang mau tak
mau harus diperiksa, maka terpaksa kami harus mengganggu
sebentar ketenangan wangwe!"
"Aaah.... mana.... mana.... kalau tootiang ada persoalan
silahkan saja diajukan!"
"Boleh aku tahu lo wangwe, kebakaran ini disebabkan
karena kurang hati-hati ataukah dikarenakan perbuatan dari
musuh kalian?" "Ooh.... kejadian ini karena kurang hati-hati orang kami
sendiri, aku cuma seorang rakyat kecil yang tidak mempunyai
musuh besar, meskipun kebakaran ini telah menghancurkan
rumah leluhur, untung saja tidak sampai melukai orang!"
Dari ucapan tersebut dapatlah diketahui bahwa hartawan
ini, masih merasa beruntung meskipun di tengah kesedihan.
Dalam anggapan orang lain, setelah hartawan ini
menerangkan bahwa kebakaran disebabkan ketidak sengajaan
dan sama sekali tiada hubungannya dengan musuh besar
yang mencari balas, Kho Hong-bwee pasti akan membawa
anak buahnya berlalu dari sana.
Apa yang terjadi" Ternyata Kho Hong-bwee malahan ulapkan tangannya ke
arah Oh Sam sekalian sambil memerintahkan, "Periksalah
disekitar tempat ini, coba lihat apakah ada sesuatu tanda yang
mencurigakan?" Oh Sam sekalian segera mengiakan dan menyebarkan diri
untuk melakukan pemeriksaan, ada yang masuk kedalam
dusun, ada pula yang keluar dari dusun itu, semua gerak-gerik
mereka dilakukan dengan teratur dan tenang, sedikitpun tidak
tampak berisik. Setelah anak buahnya menyebarkan diri Kho Hong-bwee
bertanya lagi, "Lau wangwe, badanmu tetap semangatmu
berkobar, aku rasa tentunya engkau adalah seorang jago
persilatan bukan?" "Waktu masih muda siau bin (rakyat kecil) pernah belajar
ilmu bela diri kampungan, tujuanku tak lebih hanya untuk
menyehatkan badan, tak berani Siau bin anggap diriku sebagai
seorang jago persilatan!"
"Apakah Lau wangwe kenal dengan asal usul kami?" tanya
Kho Hong-bwee sambil tersenyum.
"Bila dugaan Siau bin tidak keliru, semestinya tootiang
sekalian adaleh para enghiong dari perkumpulan Sin-kiepang!"
jawab Lau Cu cing setelah ragu sejenak.
Setelah berhenti untuk tukar napas, dia melanjutkan
kembali lebih jauh, "Setiap penduduk Cho ciu sebagian besar
mengetahui urusan tentang dunia persilatan sekalipun Siau bin
jarang sekali melakukan perjalanan dalam dunia persilatan,
tetapi seringkali kudengar orang membicarakannya, maka dari
itu Siau bin dapat menebak asal usul dari tootiang serta para
enghiong sekalian" Kho Hong-bwee mengerutkan dahinya, lantas berpaling dan
bisiknya kepada Hoa Thian-hong dengan nada lirih.
"Rupanya nama jelek kami telah membangkitkan rasa was
was dalam hati wangwe ini, sekalipun ia tahu duduknya
perkara belum tentu bersedia untuk menerangkapnya kepada
kita, bagaimana sekarang baiknya"!"
"Pengalaman boanpwe dalam dunia persilatan terlalu cetek,
aku tidak berhasil menebak apa alasannnya sehingga wangwe
itu berbuat demikian?" sahut Hoa Thian-hong dengan muka
kesal. Bong Pay yang selama ini membungkam, tiba-tiba menyela
dari samping. "Aku lihat toa moay sangat lembut dan halus budinya,
bagaimana kilau kita suruh dia saja yang menanyakan?"
Pek Soh-gie memandang sekejip ke arah ibunya, kemudian
dengan langkah yang lemah gemulai menghampiri Lau Cu
cing, sehabis memberi hormat katanya dengan lembut, "Lo
wangwe, siau li mempunyai seorang adik kembar yang
terjatuh kelansan musuh, jiwanya terancam bahaya dan kami
sedang mencari jejaknya, apabila lo wangwe mengetahui
jejaknya, sudilah kiranya memberikan petunjuk untuk kami,
atas bantuan dari lo wangwe itu kami pastilah akan merasa
amat berterima kasih!"
Sementara itu fajar telah menyingsing, ketika mendengar
perka-taan tersebut, Lau Cu cing segera alihkan perhatiannya
ke atas wajah Pek Soh-gie ketika menyaksikan raut wajahnya
tiba-tiba ia terperanjat dan mundur selangkah kebelakang
sambil goyangkan tangannya berulang kali.
"Nona, aku harap engkau jangan banyak menaruh curiga!"
serunya dengan cepat, "aku bukan seorang jago persilatan,
dan aku pun tidak tahu dimanakah adikmu berada, aku harap
engkau janganlah mendesak diri ku sehingga aku tak mampi
berbuat apa-apa" Mendengar perkataan itu Pok Soh-gie lantas alihkan soror
matanya ke arah ibuaya, dengan perasaan apa boleh buat dia
gelengkan kepalanya berulang kali.
Jangankan Pek Hujin, Hoa Thian-hong sendiripun dapat
mengetahui bahwa sebab musabab terjadinya kebakaran
digedung keluarga Lau tersebut sudah pasti bukan belatar
belakang karena ketidak sengajaan, akan tetapi setelah
dilihatnya hartawan itu bersikeras untuk membungkam dalam
seribu bahasa, tentu saja Kho Hong-bwee maupun Hoa Thianhong
tidak ingin memaksa dengan memakai kekerasan.
Selang sesaat, para jago yang dikirim untuk melakukan
pencarian di empat penjuru telah kembali kesitu, ternyata
mereka tidak berhasil menemukan sesuatu apapun yang
mencurigakan. Waktu itu Oh Sam juga sedang kembali kepasukannya,
ketika ia lewat disamping sebuah pohon yang besar, tiba-tiba
wajahnya agak tertegun kemudian secepat kilat menghampiri
pohon itu dan memeriksanya dengan seksama.
Kemudian dengan suara keras dia berseru, "Hoa kongcu,
cepat kemari!" Hoa Thian-hong sangat terperanjat, cepat dia maju ke
depan diikuti kawanan jago lainnya, bahkan Lau Cu cing ikut
pula di paling belakang. Pohon Waru itu sangat besar, daunnya rimbun dan tumbuh
tepat didepan gedung keluarga Lau yang terbakar, jaraknya
hanya empat lima kaki saja.
Pada bagian belakang dahan pohon itu tampaklah kulitnya
telah disayat orang bagian, sementara diatas dahan yang
tersayat itu diukir beberapa buah tulisan dengan ilmu
sebangsa tim kongci yang sangat kuat hingga membekaslah
seringkaian tulisan yang nyata.
Adapun tulisan itu, kira-kira berbunyi demikian,
"Ditujukan Hoa Thian-hong,
Berangkat ke Kiu ci secepat mungkin, segera!"
Tulisan Segera itu tulisan dengan sangat cepat, dibawahnya
tercantumlah sebuah tanda bulatan yang diberi ekor, sekilas
pandangan orang akan mengira gambaran itu sebagai
gambaran kecubong (anakan katak).
Orang lain tidak kenal tanda tersebut lain halnya dengan
Bong Pay, begitu mengetahui lambang tadi kontan dia
berseru, "Lhoo.... ini kan lambang kipas dari Cu supek?"
Hoa Thian-hong mengawasinya dengan lebih seksama
sesudah mendengar seruan itu, memang ucapan itu tak salah,
lukisan tersebut memang mirip sekali dengan gambar sebuah
kipas, maka kepada Kho Hong-bwee dia lantas berkata, "Bibi,
tulisan ini rupanya sengaja ditinggalkan Dewa yang suka
pelancongan Cu lo cianpwe, kalau dugaanku tak keliru, tulisan
ini pastilah ada hubungannya dengan masalah Kun gie!"
Pek Soh-gie maju menghampiri tulisan itu setelah diraba
sebentar diapun berkata pula, "Tulisan ini masih basah,
tampaknya di buat belum lama berselang!"
Sampai disitu Kho Hong-bwee pun berpaling lagi ke arah
Lau Cu ci ng seraya berkata, "Lau wangwe, kami sama sekali
tidak mempunyai maksud jahat terhadap dirimu, bila engkau
tahu tentang jejak putriku itu, mohon sudilah kiranya
Tiga Maha Besar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memberitahukan kepada kami, pinto pasti akan membalas
budi kebaikan itu!" "Siau bin benar-benar tak tahu urusan, tiada sesuatu yang
mampu kuucapkan!" sahut Lau Cu cing sambil berbungkokbungkok.
Mendengar perkataan itu, para jago dari Sin-kie-pang ratarata
menunjukkan wajah kegusaran, walau begitu mereka tak
berani mengutarakan kebuasan mereka itu dihadapaa umum,
sebab semua orang tahu nyonya ketua yang memimpin
mereka sekarang terhitung seorang pemimpin yang jujur.
Dalam keadaan begini, apa lagi yang bisa mereka lakukan
kecuali secara diam-diam melotot ke arah Lau Cu cing dengan
muka buas. Dipelototi banyak orang, Lau Cu cing jadi serba salah dan
merasa amat tidak tenteram, sorot malanya berulang kali
melirik ke arah Hoa Thian-hong dengan maksud mohon
pertolongannya. Kendatipun merasa curiga, Hoa Thian-hong tidak sampai
bersikap lain, ia menjura dan berkata.
"Aku adalah Hoa Thian-hong, apakah lo wangwe akan
memberikan sesuatu petunjuk?"
Buru-buru Lau Cu cing balas memberi hormat, sahutnya.
"Sudah lama aku dangar orang berkata bahwa Hoa tayhiap
mempunyai sebilah pedang baja yang berwarna hitam dan
selalu tergantung di pin gang, kenapa...."
Belum habis orang itu berkata, Hoa Thian-hong telah
menukas sambil tertawa tergelak.
"Haahh.... haahhh.... haahhh.... pedang baja itu sudah
patah jadi dua, maka sebagai gantinya aku telah menggembol
sebilah pedang yang lain!"
Lau Cu cing mengangguk tiada hentinya dan berseru, "Aku
memang benar-benar tiada sesuatu yang dapat dikatakan!"
Setelah berhenti sebentar, sambungnya lebih jauh, "Hoa
tayhiap adalah enghiong yang dipuji dan dihormati oleh setiap
umat persilatan apabila ada hal-hal yang perlu kuberitahukan
sudah pasti akan kuutarakan secara blak-blakan"
"Aaah, aku masih muda, aku tak berani menerima kebaikan
dari Lo wangwee!" kata pemuda itu lagi sambil tertawa.
Sementara itu Kho Hong-bwee yang mengamati terus dari
samping, diam-diam berpikir dalam hati, "Licik amat kakek tua
ini, tampaknya dia termasuk pula seorang lakon tersembunyi!"
Sesudah termenung sebentar, dia lantas bertanya, "Thian
bong, apa rencanamu selanjutnya?"
"Aaaai....! Sekarang boanpwe toh sudah berada dikota Cho
ciu, bila kukesampingkaa urusan Ku Ing-ing dengan begitu
saja, terus terang saja dalam hati kecilku aku merasa tak
tega...." "Baik!" tukas Kho Hong-bwee kemudian, aku dan mereka
semua akan melakukan pengejaran lebih dahulu, bila
urusanmu disini sudah selesai segeralah menyusul kami!"
"Boanpwe terima perintah" sahut Hoa Thian-hong sambil
memberi hormat. Kho Hong-bwee tampak menggetarkan bibirnya seperti
mau mengatakan sesuatu lagi tapi maksud itu akhirnya
dibatalkan, sambil memimpin anak buahnya berangkatlah
mereka menuju keselatan. Menanti rombongan itu sudah lenyap dari pandangan, Hoa
Thian-hong baru menghela napas panjang, ia merasakan
kesepian. Selang sesaat kemudian, dia baru menghapus tulisan Cu
Thong itu dan manjura ke arah Lau Cu cing, tanpa
mengucapkan kata-kata lagi dia membawa Soat-ji rase salju
itu kembali ke kota. Setelah kembali kedalam kota, dia ambil keputusan untuk
menyusup kedalam kuil It goan koan malam itu juga, kalau
bisa Ku Ing-ing akan sekalian diselamatkan jiwanya, maka
begitu tiba dirumah penginapan dia lantas tidur nyenyak.
Ketika bangun tengah hari itu, dia lantas menyembuhkan
kembali luka yang diderita Soat-ji dengan tenaga dalamnya
yang sempurna, selesai bersantap siang, Soat-ji tidur diatas
pembaringan sedangkan Hoa Thian-hong ambil keluar kitab
kiam keng itu dan mempelajarinya didepan meja.
Pada halaman pertama, tercantumlah masalah tentang
pedang sebagai suatu benda, ternyata apa yang dibicarakan
sama sekali berbeda dengan kitab pedang manapun juga.
Kalau didalam kitab pedang biasa maka yang dititik
beratkan adalah jurus serangannya yang khusus, maka dalam
kitab kiam keng ini yang dibicarakan adalah soal ilmu pedang
itu sendiri, sekalipun disertai juga hampir seratus macam
lukisan yang berbeda-beda akan tetapi isinya berlainan dan
terselip perubahan yang begitu banyak nya sehingga tak
mungkin bisa dipercayakan dalam waktu singkat.
Dalam waktu singkat Hoa Thian-hong telah terjerumus
kedalam isi kitab itu, seluruh perhatiannya dikonsentrasikan
menjadi satu, tanpa terasa malam pun menjalang tiba, selama
ini meskipun ada sebagian kecil dari isi kitab itu dapat
dipahami olehnya, tapi dapatkah ilmu itu dimanfaatkan bila
terjadi pertarungan, masih merupakan sebuah tanda tanya
besar. Setelah menyimpan kembali kitab Kiam keng, pelayan
datang membawa lampu lentera den siapkan makanan.
Soat-ji masih berbaring diatas pembaringan, sepasang
matanya memancarkan sinar tajam, rupanya kesehatannya
telah pulih kembali seperti sedia kala....
Hoa Thian-hong memandang sekejap, ke arah binatang itu,
lalu tertawa pikirnya di hati, "Soat-ji memang hebat dan
berbahaya, kalau tenang ia lebih tenang dari perawan kalau
sudah bergerak lebih cepat dari loncatan kelinci.... tidak aneh
kalau waktu turun tangan kelihayannya luar biasa...."
Sepasang telapak tangannya segera diluruskan kedepan
dan bersiul nyaring. Secepat sambaran kilat Soat-ji makhluk aneh itu melompat
ketanggan Hoa Thian-hong deagan seksama pemuda itu
memeriksa seku jur tubuhnya, setelah mengetahui bahwa
lukanya telah sembuh, ia merasa amat gembira maka
ditaruhnya binatang itu diatas meja untuk bersantap bersamasama.
Hubungan manusia dengan binatang ini berlangsung makin
akrab, diam-diam pemuda ini menjadi terkenang kembali akan
diri Giok Teng Hujin, tiada hentinya ia menghela napas
panjang. Tiba-tiba terdengar suara langkah manusia berkumandang
memecahkan kesunyian, menyusul pintu kamar sebelah
dibuka orang, kalau didengar dari pembicaraan tersebut,
rupanya ada dua orang yang menginap dalam sebuah kamar.
Suara pembicaraan kedua orang itu amat nyaring dan
bertenaga, seringkali kata-katanya disertai pula dengan kata
sandi yang sering dipakai orang persilatan.
Dari pembicaraan tersebut Hoa Thian-hong segera
mengetahui bahwa kedua orang itu adalah jago dari kalangan
hitam, maka diapun tidak menaruh perhatian khusus.
Jilid 26 : Menyelamatkan Giok Teng Hujin
SELANG sesaat kemudian, kedua orang itupun bersantap
didalam kamar, tiba-tiba terdengar seorang diantaranya yang
lebih muda berkata, "Ang kiu ko, sebenarnya siapa yang telah
membocorkan rahasia itu hingga urusan jadi heboh?"
Suara dari orang she Ang itu kedengaran lebih serak dan
bertenaga, terdengar dia segera menyahut, "Perduli amat
berita itu berasal dari siapa, pokoknya urusan kita adalah
melaksanakan tugas tersebut!"
Orang yang pertama tadi rupanya meneguk dulu araknya,
kemudian dengan suara berat katanya lagi, "Aaaai....! Siaute
kuatir kalau perjalanan kita cuma sia-sia belaka, sekali lagi kita
ke tanggor batunya...."
"Ingat saudara, tembok bertelinga, lebih baik tak usah kau
ungkap lagi masalah itu, Hmm! Kalau engkau tidak ingin
mencari nama dan kedudukan silahkan saja pulang ke rumah
membopong anak meniduri istri dan hidup riang gembira,
siapa yang akan mengurusi dirimu lagi!"
Orang itu segera tertawa dingin dan berseru dengan nada
mendongkol, "Heehh.... heeeh.... heehh.... omong kosong, aku
Ciang Kin bukan seorang manusia yang takut mati, aku cuma
merasa bahwa ilmu silat yang dimiliki lawan kita terlampau
tinggi padahal Hong-im-hwie sudah hancur berantakan dan
tercerai berai, dengan andalkan kita beberapa orang prajurit
yang kalah perang rasanya masih bisa untuk mencari posisi
yang menguntungkan, kalau cuma jiwa yang melayang sih
urusan kecil, bagaimana kalau sampai ditertawakan orang?"
Hoa Thian-hong yang mencari dengar pembicaraan itu,
dalam hatinya segera berpikir.
"Aaah....! rupanya sisa-sisa komplotan dari Hong-im-hwie,
entah urusan penting apakah yang sedang mereka kerjakan?"
Terdengar orang she Ang itu berkata lagi dengan suara
lirih, "Inilah kesempatan bagi kita untuk membalikan diri dan
mencari kedudukan, sekalipun harus korbankan jiwa tua kita
juga harus melaksanakannya dengan mati-matian!"
Ciang Kin lantas berbisik pula dengan suara lembut.
"Menurut berita yang kudengar, katanya musuh besar kita
mendapat perintah ibunya untuk pulang kedesa, ketika tiba
dikota Lok yang tiba-tiba ia berputar arah, menurut berita
kemarin hari dia telah munculkan diri di Hoo lam...."
Pembicaraan kedua orang itu makin lama semakin lirih,
buru-buru Hoa Thian-hong pusatkan seluruh perhatiannya
untuk mendengarkan pembicaraan tersebut dengan seksama.
Terdengarlah orang she Ang itu sedang berbisik dengan
suara yang sangat lirih, "Pendapatmu itu keliru besar,
meskipun ilmu silat yang dimiliki musuh besar kita sangat
lihay, tapi dia bukan seorang manusia yang serakah, bahkan
dia anggap dirinya sebagai seorang pendekar, maka setiap
perbuatannya dilakukan menurut cengli, maka dalam masalah
ini bukan dia yang musti kita kuatirkan, tapi nenek sialan dari
Kiu-im-kauw dan Pek loji dari Sin-kie-pang!"
"Cong tang kee memerintahkan kita semua agar berkumpul
di kota Kim leng, apakah kita harus berjalan mengitari dulu
propinsi Hok kian langsung menuju Bu gi?"
"Tentu saja bukan begitu maksudnya," jawab orang she
Ang dengan suara dingin, "cong tangkee memerintahkan
semua teman agar berputar melewati arah tenggara,
maksudnya hanya untuk menghindari bentrokan dengan pihak
Sin-kie-pang, padahal kota Kiu ci bila dimaksudkan sebagai
arti suatu tempat maka letak yang sebenarnya adalah
dikaresidenan Pa kay di Ghong see, kalau diartikan sebagai
nama sungai maka letaknya dekat Tan yang di propinsi Kang
siok, bila diartikan sebagai nama telaga letaknya ada di
sebelah timur laut karesidenan Kang ling, telaga itu dibuat
oleh Beng taysu pada jaman Liang dengan tenaga manusia,
tapi kalau dimaksudkan sebagai bukit Kiu ci.... waah banyak
sekali jumlahnya!" "Pengetahuan siaute amat cetek, aku hanya tahu di
karesidenan Huan sui sian pada propinsi Hoo tam terdapatt
sebuah bukit Kiu ci san, Kiu ko!"
"Coba terangkanlah ditempat mana lagi terdapat bukit yang
bernama bukit Kiu ci san!"
"Disebelah barat keresidenan Ciau hua sian pada propinsi
Su chian terdapat sebuah bukit yang bernama Kiu ci san,
disebelah utara karesidenan Sam kang sian dipropinsi Kwang
see terdapat pula sebuah bukit kiu ci san, bukit itu bentuknya
sembilan buah patahan dan terdiri dari batu karang yang
tajam, ditengahnya terdapat sebuah air terjun yang amat
besar, inilah bukit Kiu ci san yang sebenarnya, sedang bukit
Bu gi san di propinsi Hok kian terdapat pula sembilan buah
tekukan, pemandangan disitu sangat indah, namun dalam
kenyataan bukit itu bukanlah bernama bukit Kiu ci!"
"Jadi kalau begitu tempat yang kita tuju adalah bukit kiu ci
san yang letaknya ada di See lam?"
Orang she Ang itu tidak menjawab, rupanya ia lagi
mengangguk. Terdengar Ciang Kin berkata lagi, "Oooh....! Rupanya Kiu ko
sudah pernah menjajahi seluruh kolong langit sehingga
pengetahuannya begitu luas, sudah banyak tahun siaute
bergaul dengan dirimu, sungguh tak nyana engkau adalah
manusia selihay itu!"
"Aah. aku sih cuma mendengarnya dari Cong tangkee kita!"
"Sekalipun begitu, toh pengetahuanmu jauh lebih luas
daripada aku sendiri!"
Diam-diam Hoa Thian-hong tertawa geli setelah mendengar
perkataan itu, ketika ia merasa bahwa pembicaraan
selanjutnya adalah kata-kata yang tidak penting, dia lantas
menggembol pedangnya, membopong Soat-ji dan diam-diam
tinggalkan rumah penginapan itu.
Waktu itu senja telah menjelang tiba, jalan raya ramai
sekali, dengan langkah yang santai Hoa Thian-hong
menyelusuri jalan menuju selatan pintu kota.
Selang sesaat kemudian sampailah anak muda itu disekitar
kuil It goan koan, dari kejauhan tampaklah pintu gerbang kuil
itu tertutup rapat, sepintas lalu bangunan itu sudah tidak mirip
sebuah kuil lagi, cahaya lampu menerangi seleruh penjuru,
dari situ dapatlah diketahui bahwa jumlah penghuni yang
bberada disitu amat banyak.
Setelah memandang sekejap dari kejauhan, anak muda itu
segera menyusup masuk kedalam sebuah lorong dan
menyelinap kebelakang bangunan kuil tadi.
Dibelakang halaman kuil terdapat sebuah loteng yang
terdiri dari empat tingkat, bangunannya amat megah dan
mentereng, dahulunya merupakan tempat penting dari It goan
koan, bahkan ketika Giok Teng Hujin menjamu Hoa Thianhong
tempo hari, perjamuan itupun diadakan pada tingkat
paling tinggi dari bangunan tersebut.
Dalam hati Hoa Thian-hong lantas berpikir, "Bila Kiu-im
Kaucu berada didalam kuil dia sudah pasti berada dalam
bangunan itu, tapi dimanakah Giok Teng Hujin disekap?"
Tiba-tiba ia saksikan dua sosok bayangan manusia
berkelebat lewat didepan sana, ilmu meringankan tubuh yang
dimiliki kedua orang itu sudah mencapai puncak
kesempurnaan hingga gerak-geriknya begitu enteng bagaikan
segulung asap ringan saja.
Mula-mula Hoa Thian-hong merasa terperanjat tapi setelah
mengetahui siapakah kedua orang itu ia jadi sangat
kegirangan buru-buru serunya dengan ilmu menyampaikan
suara, "Paman Suma...."
Kiranya salah seorang diantara dua orang yang memakai
baju hijau dan menyoren pedang itu tak lain adalah Kiu mio
Tiga Maha Besar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kiam kek (jago pedang berjiwa rangkap sembilan) bermuka
putih, berambut panjang dan berjubah pendeta warna abuabu,
senjatanya adalah sebuah sekop perak, siapa lagi kalau
bukan Cu Im taysu.... Pada saat itu Suma Tiang-cing sudah siap melompat
kedalam pekarangan kuil, ketika mendengar pangilan tersebut
ia batalkan niatnya dan malahan menghampiri si anak muda
itu. Hoa Thiian hong segera menyambut kedatangan kedua
orang itu, baru saja ia hendak memberi hormat, Cu Im taysu
telah memburu datang sambil membangunkan anak muda itu.
"Nak, sudah lama engkau tiba di sini?" tegurnya sambil
tertawa ramah. "Tengah malam kemarin boanpwe baru sampai disini, ada
urusan apa taysu dan paman Suma datang kesini?"
Kiu mio kiam kek, Suma Tiang-cing segera menjawab, "Aku
dan taysu baru saja pulang setelah berpesiar kebukit Tay san,
sepanjang jalan aku dengar orang berkata bahwa Kiu-im
Kaucu telah menuju ke kota Lok yang bahkan berhasil
menangkap Giok Teng Hujin yang mengkhianati dirinya.
Mendengar berita tersebut aku segera memburu datang
kemari dengan harapan bisa selamatkan jiwanya, sebab ketika
jiwaku terancam tempo hari, berkat beberapa tetes Leng-ci
mustika pemberian Ku Ing-ing lah jiwaku selamat, aku tak bisa
melupakan budi kebaikannya ini....!"
Hoa Thian-hong sama sekali tidak menyangka kalau
sebatang Leng-ci pemberian Ku Ing-ing telah mengundang
bantuan yang begitu banyak dari kawan-kawan persilatan,
pada hal dua pertiga diantaranya sudah dia makan sendiri,
sedangkan sisanya sepertiga pun harus dibagi untuk Suma
Tiang-cing, Chin Giok long dan Bong Pay.
Berbicara menurut perbuatan yang telah dilakukan Ku Inging
selama ini, semestinya Suma Tiang-cing yang benci akan
kejahatan tak mungkin akan singsingkan lengan baju untuk
membantu dirinya, tapi kenyataannya jago berangasan itu
telah datang kemari untuk memberikan pertolongan, kejadian
ini boleh dibilang sama sekali diluar dugaan siapapun.
Melihat wajah Hoa Thian-hong yang diliputi kesedihan dan
kemurungan, Cu Im taysu merasa tak tega, segera sahutnya,
"Nak, janganlah murung! Sebenarnya aku dan paman Samu
mu sudah kelabakan setengah mati, sekarang setelah
bertambah dengan kau seorang maka berarti kesempatan kita
untuk menolong orang semakin besar, mari kita rundingkan
sampai masak, kemudian segera turun tangan!"
Haruslah diketahui, meskipun Hoa Thian-hong tersohor
didunia persilatan, perawakannya tinggi kekar, orangnya jujur
dan wataknya tegas, akan tetapi pada hakekatnya dia baru
berusia sembilan belas tahun, di riridingkan Chin Wan-hong
dan Pek Kun Ci pun masih jauh lebih muda, ia termasuk
seorang pemuda yang cerdik tanpa menghi langkan sifat
kejujurannya, sederhana, polos tapi tidak bodoh, terhadap
kaum yang lebih tuapun sangat menaruh hormat....
Oleh sebab itulah kebanyakan orang persilatan dari
golongan lurus sama-sama menyayangi dirinya, menganggap
dia sebagai seorang rekan yang baik, hanya saja ada sebagian
orang mengutarakan perasaannya itu secara terus terang, ada
pula yang cuma menyimpannya didalam hati.
Sementara itu Suma Tiang-cing telah menuding ke arah
loteng tinggi didalam kompleks kuil It goan koan seraya
berkata, "Ketika senja menjelang tiba tadi, aku telah
menyusup kedalam kuil dan berhasil menangkap seorang
imam cilik dari Thong-thian-kauw, imam cilik itu bertugas
sebagai pelayan yang melayani orang-orang Kiu-im-kauw,
menurut pengakuannya, Kiu-im Kaucu berdiam ditingkat
ketiga bangunan loteng itu, sedangkan Ku Ing-ing disekap
pada loteng tingkat paling atas dan sedang menjalankan
siksaan Api dingin melelehkan sukma yang amat keji,
bagaimanakah cara menjalankan siksaan tersebut dia tak
menyaksikan sendiri, maka tak dapat dikatakan secara jelas,
tapi dia tahu babwa Ku Ing-ing jelas belum mati!"
0000O0000 80 HOA THIAN-HONG menghela nafas panjang.
Aaai....! Jika Kiu-im Kaucu punya keinginan untuk
membunuh Ku Ing- ing, maka perbuatan itu bisa dilakukan
dengan gampang sekali bagaikan membalik telapak tangan
sendiri, tapi kenyataannya ia tidak mau turun tangan untuk
bereskan jiwanya, itu berarti dia sengaja hendak menyiksa
mangsanya dan menggunakan dia sebagai umpan untuk
memancing boanpwee masuk jebakan.
"Kenapa begitu?" tanya Suma Tiang-cing dengan sepasang
alis matanya berkenyit. Kiu-im-kauweu memandang keponakan sebagai paku
dalam mata, dia menganggap aku sebagai penghalang yang
menghalangi niatnya untuk merajai seluruh kolong langit maka
kalau bisa secepatnya berusaha untuk lenyapkan aku, sudah
dua kali keponakan bentrok dengan diri nya, tapi setiap kali
menang kalah sukar ditentukan, oleh karena itu rasa bencinya
terhadap diriku semakin menebal.
Iapun lantas menceritakan peristiwa yang telah dialaminya
selama ini, ketika Cu Im taysu dan Suma Tiang-cing
mendengar kalau ia telah berhasil mendapatkan kitab kiam
keng, kedua-duanya merasa gembira tapi sewaktu mendengar
Tang Kwik-siu tiba masuk kedaratan Tionggoan untuk mencari
harta di bukit Kiu ci san, kembali mereka tertegun.
Cu Im taysu menghela napas panjang, ujarnya, "Meskipun
aku sudah menduga bahwa pertikaian dalam dunia persilatan
belum selesai, namun tak kusangka kalau perubahan yang
berlangsung sedemikian cepatnya, kalau ditinjau dari sini
dapatlah diketahui babwa Kiu-im Kaucu mempunyai ambisi
yang sangat besar, Tang Kwik-siu mempunyai rencana busuk
yang sukar diraba arah tujuannya sedang sisa-sisa laskar dari
Hong-im-hwie dan Thong-thian-kauw masih belum mau
menyerah dengan begitu saja, aku rasa hawa nafsu
membunuh yang menyelimuti dunia persilatan dewasa ini jauh
lebih tebal daripada pertemuan di Pek-beng-hwie mau pun
dalam pertemuan Kian ciau tay hwe!"
Suma Tian cing tertawa dingin.
"Heh.... heehh.... heeh.... Sebagian besar masyarakat
didunia ini kebanyakan menganggap bahwa yang berhasil jadi
raja, yang kalah jadi penyamun karena ketidakpuasan
manusialah menjadikan sebab musabab hingga terjadinya
pertikaian ini, apabila situasi dalam dunia persilatan dapat
dibalikkan seperti keadaan pada lima puluh tahun berselang
dimana orang yang belajar silat suka akan gengsi,
membicarakan soal kedudukan lebih mementingkan
pertarungan satu lawan satu, semua orang menganggap yang
menang kuat yang kalah harus mengaku kalah dan malu
untuk main kerubut, maka dunia persilatan akan menjadi
aman. Bila kita menghendaki keadaan tersebut maka hanya
ada satu cara saja yang bisa kita lakukan!"
"Apakah caramu itu paman?" tanya Hoa Thian-hong
dengan dahi berkerut kencang.
"Hmm! Apalagi" Kita bantai dan bunuh semua kawanan
manusia durjana itu dari muka bumi, asal kaum gembong iblis
itu sudah tersapu lenyap, dunia pasti akan aman."
"Omintohud!" seru Cu in taysu, selama dunia masih dihuni
oleh makhluk yang bernama manusia, maka kejahatan tak
mungkin bisa musnah dari hati umatnya, sekali pun kau basmi
kawanan manusia durjana ge nerasi ini toh dari generasi yang
akan datang akan muncul pula manusia-manusia durjana
lainnya. Suma lote! Ucapan yeng disertai emosi seperti apa
yang kau katakan itu bukanlah suatu cara yang jitu, Thianhong!
Jangan kau anggap perkataannya itu sebagai
sungguhan!" Suma Tiang-cing tertawa dingin.
"Taysu engkau keliru besar!" serunya kembali. "Jikalau kita
bunuh habis manusia-manusia durjana dari generasi sekarang
sekalipun pada generasi yang akan datang muncul pula
manusia durjana lain, aku rasa sifat kejahatannya tentu jauh
lebih ringan" "Thian memberikan pelajaran kepada umatnya agar saling
mengasihi sesamanya, bila kita gunakan membunuh untuk
mencegah membunuh, maka ajaran ini terlalu tidak masuk di
akal dan tak pantas dituruti, Thian-hong! Jangan kau gubris
ajaran semacam itu."
Hoa Thian-hong segera menghela nafas panjang, ia tahu
Suma Tiang-cing masih belum puas, apabila perdebatan in
berlangsung terus sampai beberapa haripun tak ada habisnya,
buru-buru ia menyela dari samping.
"Pendapat dari taysu didasarkan pada pelajaran agama,
sedang pendapat paman Suma didasarkan pada kenyataan,
aku rasa kedua duanya masuk diakal."
Berbicara sampai disini, tiba-tiba dia membungkam dan
tidak mengatakan apa-apa lagi.
Cu Im taysu segera menyambung.
"Memang benar, urusan paling penting yang harus kita
pikirkan sekarang adalah bagaimana caranya untuk menolong
orang, menurut pendapatmu bagaimana kita musti turun
tangan?" Hoa Thian-hong termenung dan berpikir sebentar, lalu
menjawab. "Ku Ing-ing disekap pada loteng tingkat keempat,
sedangkan Kiu-im Kaucu menjaga pada tingkat ketiga, bila
boanpwe ingin menye-lamatkan Ku Ing-ing tanpa diketahui
olehnya, sudah jelas hal ini tak mungkin bisa kulakukan!"
Sekalipun begitu, kita masa harus merampasnya secara
terang-terangan...."!" tanya Cu Im taysu dengan cepat.
"Boanpwe yakin, dengan kekuatan kita bertiga sekalipun
harus berhadapan muka dengan kawanan jago Kiu-im-kauw
yang berkumpul seruangan, kita masih mampu menerjang
masuk dan mampu juga untuk menerjang keluar, akan tetapi
kalau dikatakan kita harus menembusi kepungan mereka
sambil membawa Ku Ing-ing, jelas pekerjaan ini sulit sekali
untuk dilaksanakan" "Perkataanmu memang benar, dalam kea aan kepepet bisa
saja Kiu-im Kaucu turun tangan membereskan dulu nyawa Ku
Ing-ing. Aaaai....! Aku rasa persoalan ini merupakan suatu
persoalan yang amat sulit, pa dahal perempuan itu harus
diselamatkan jiwanya, apa daya kita sekarang?"
Hoa Thian-hong menghela napas panjang, dia lantas
berpaling dan memandang ke arah Suma Tiang-cing.
Melihat sinar mata kedua orang itu ditujukan ke arahnya,
dengan cepat Suma Tiang-cing gelengkan kepalanya sambil
berkata, "Sudah setengah harian aku peras otak berusaha
mencari akal yang bagus, tapi usahaku ini selalu gagal, kalau
bisa malah aku akan mengambil keputusau untuk menyerbu
pakai kekerasan, kalau perempuan itu berhasil diselamatkan
yaa syukur, kalau tak bisa akan kulakukan pembantaian secara
besar-besaran agar Kiu-im Kaucu mengetahui sampai
dimanakah kelihayanku, cuma begitu jika aku gagal
selamatkan jiwa orang, maka kemungkinan besar jiwa Cu Im
taysu akan ikut jadi korban"
Cu Im taysu tersenyum. "Meskipun aku tidak suka melakukan pemubunahan, akan
tetapi aku tak takut menghadapi bacokan golok, apalagi
disuruh bertempur boleh dibilang merupakan suatu
kegembiraan!" Hoa Thian-hong termenung sebentar, tiba-tiba katanya,
"Boanpwe telah menemukan suatu cara yang amat sederhana,
bagaimana kalau kita bertiga turun tangan bersama" Kita
serbu secara menggelap maupun secara terang-terangan, lihat
saja bagaimana hasilnya nanti!"
"Baik! Suma Tiang-cing menanggapi dengan suara berat,
aku rasa inilah satu-satunya cara yang paling ada harapan,
biarlah aku dan Cu Im Taysu menyerbu secara terangterangkan,
kalau bisa akan kami belenggu musuh tangguh itu
sebisa mungkin, sedangkan engkau segera menyusup
kepuncak loteng untuk menolong orang"
"Benar, bila kau berbasil selamatkan perempuan itu maka
berusahalah untuk menerjang keluar, jangan kau gubris diriku
dan paman Suma lagi!" kata Cu Imn taysu sambil tertawa.
Suma Tiang-cing mempunyai julukan sebagai Kiu mio kiam
kek, jago pedang berjiwa rangkap sembilan, bukan saja
beraninya luar biasa diapun seorang pemberang, sekali pun
dihadapannya terhalang hutan golok atau bukit pedang ia tak
akan memandang sebelah matapun.
Maka begitu melihat keputusan telah di ambil, ia lantas
loncat masuk kebalik dinding pekarangan kedalam kuil It goan
koan. Menyaksikan hal itu, buru-buru Cu Im taysu berseru kepada
anak muda itu, "Engkau harus berhati-hati....!"
Dengan cekatan tubuhnya ikut loncat masuk kedalam
pekarangan kompleks kuil itu.
Hoa Thian-hong tak berani berayal, cepat diapun melesat
kedepan dan menyusup masuk kedalam kompleks kuil It goan
koan tersebut. Sebagai orang yang bertanggung jawab untuk
menyelamatkan jiwa Ku Ing-ing, pemuda itu tak berani
bertindak secara gegabah, dengan sangat hati-hati dan hampir
boleh dibilang menempel pada dinding bangunan, dari satu
bangunan berpindah kebangunan yang lain tanpa
menimbulkan sedikit suara pun, dengan gerak-geriknya ini
kendatipun ada orang disekitar sana, belum tentu bisa
ditemukan dengan gampang.
Belakang dinding pekarangan adalah sebuah kebun bunga,
disitu pohon dan rumput tumbuh dengan suburnya, ada
gunung-gunungan, ada kolam dan ada pula pintu berbentuk
bulat. Dibelakang pintu itu berdirilah sebuah bangunan loteng
yang megah, ketika Hoa Thian-hong melompat masuk lewat
dinding pekarangan, Suma Tiang-cing dan Cu Im taysu sudah
menyusup masuk lewat pintu bulat tadi, cepat si anak muda
itu bersembunyi dibelakang pintu bulat itu sambil mengawasi
gerak-gerik dari dua orang rekannya.
Rembulan bersinar dengan terangnya diawang-awang,
cahaya lampu memancar dari bawah, dalam suasana terang
benderang tentu saja jejak Suma Tiang-cing dan Cu Im taysu
tak bisa disembunyikan lagi, segera mereka berhasil
ditemukan oleh penjaga loteng itu.
Tiga Maha Besar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Siapa disitu?" terdengar seseorang membentak kasar.
Aku Suma Tiang-cing dan Cu Im taysu sengaja datang
kemari untuk menyambangi kaucu mu!"
Bersamaan dengan selesainya ucapan tersebut, tubuhnya
langsung meluncur keudara dan menerjang keloteng tingkat
ketiga. Loteng tingkat ketiga jaraknya ada belasan keki, dalam
dunia persilatan dewasa ini jarang sekali ada orang yang
mampu melakukan hal itu, dengan sendirinya para penjaga
loteng itu segera sadar bahwa mereka telah kedatangan
musuh tangguh. Dengan hati tercekat, kedua orang penjaga itu segera
membentak keras, secepat sambaran kilat mereka menerjang
maju kedepan. Dengan gaya burung bangau menerjang ke angkasa,
laksana anak panah yang terlepas dari busurnya, Suma Tiangcing
membumbung keangkasa, belum habis ia berseru
sepasang kakinya sudah menempel diatas tiang dan pedang
mustikanya diloloskan pula dari sarungnya.
Dengan suatu gerakan yang amat cepat, kedua orang itu
menerjang tiba, terdengarlah suara desingan tajam menderuderu,
sebuah tombak pendek dan sebuah senjata pit baja
penotok jalan darah dengan gerakan yang amat cepat telah
meluncur tiba. Sama Tiang cing segera membentak nyaring, "Siapa berani
menghalangi aku, mampus!"
Pedangnya secepat sambaran kitat segera melancarkan
serangan kilat ke arah depan.
Dua orang jago yang bertugas menjaga loteng itu
merupakan dua orang jago lihay dari istana neraka, bukan
saja bentuk senjata yang digunakan sangat aneh, jurus
serangan yang digunakan cukup mengge-tarkan hati siapapun
yang memandang, bila orang lain yang dihadapi nisca nyalinya
akan dibuat tercekat. Sayang musuh yang dihadapinya justru adalah Kiu mio
Kiam kek yang pemberang, jago muda ini tak pernah
mempersoalkan apakah musuh yang dihadapinya adalah
musuh tangguh atau kaum keroco, begitu menyerang ia
segera melancarkan serangan dengan jurus yang ganas dan
tenaga yang mengerikan, membuat siapapun jadi keder
rasanya. Setelah melepaskan serangannya tadi, kemudian
menyaksikan Suma Tiang-cing melancarkan sergapan dengan
pedang bajanya, dua orang jago dari istana neraka itu segera
menyangka kalau musuhnya akan menangkis ancaman
tersebut deagan mengandalkan ketajaman senjatanya.
Siapa tahu, bukan saja ancaman itu tidak ditangkis,
ternyata pihak lawan malahan melepaskan pula ancaman
maut ke arah mereka dengan sistim adu jiwa.
Tentu saja kedua orang jago itu tak ingin mati konyol,
sebelum serangannya dilancarkan sampai habis, cepat-cepat
kedua orang itu membatalkan kembali ancamannya seraya
melepaskan jurus serangan untuk menyelamatkan diri.
Sayang serbu kali sayang, Suma Tiang-cing bukan manusia
sembarangan, dan lagi dalam melepaskan ancamannya itu ia
telah menghimpun segenap kekuatan yang dimilikinya, boleh
dibilang sergapannya tanpa memperhitungkan mana lebih
duluan dan mana belakangan.
Baru saja jago yang bersenjata tombak itu berusaha untuk
menghindarkan diri kesamping, tahu-tahu...."Krakk!" ditengah
benturan nyaring, senjata tombaknya itu sudah terpapas
kutung jadi dua bagian. Jago yang bersenjata poan koan pit itu cepat memburu
kedepan. senjatanya diputar menusuk kaki Suma Tiang-cing,
maksudnya dengan serangan tersebut maka ia dapat
selamatkan jiwa rekannya.
Siapa tahu Suma Tiang-cing bertindak cekatan, sekali
angkat kakinya tahu-tahu ia sudah menginjak senjata lawan,
menyusul mana sebuah tendangan dahsyat melemparkan
tubuhnya sehingga mencelat sejauh satu kaki lebih dari
tempat semula. Pada hakekatnya anak buah Kiu-im-kauw yang diatur
disekitar bangunan loteng itu khusus disediakan untuk
menghadapi Hoa Thian-hong, apa lacur sekarang yang baru
dihadapi adalah Suma Tiang-cing seorang jago yang nekad
dan pemberang, kontan saja pertahanan mereka dijebolkan
hanya cukup dalam sekali gebrakan.
Baru saja musuhnya terdesak mundur ke belakang, Suma
Tiang-cing sudah memberatkan tubuhnya dan melayang
keatas serambi. "Manusia kasar, mau kabur kemana" tiba-tiba seorang
perempuan dengan suara yang dingin menyeramkan menegur
dari samping. Berbareng dengan seruan tersebut, sepulung desingan
hawa pedang yang tajam menyergap kedepan dan langsung
menghajar jalan darah Ki bun hiat ditubuh Suma Tiang-cing.
Betapa terperanjatnya jago muda itu menghadapi serangan
yang sama sekali tak terduga ini, peluh dingin sampai
mengucur keluar membasahi sekujur mbuhnya.
Cepat pedang mustikanya dikibaskan kedepan dengan jurus
bwe bong wu liu (Pusaran angin mainkan pohon Liu), bukan
saja ia tidak memperduiikan keselamatan jiwa sendiri,
malahan sambil bergerak kedepan ia melancarkan serangan
balasan. Sreeet....! Senjata sekop dari Cu Im taysu meluncur tiba
dari samping gelanggang. Dengan berkobarnya pertarungan itu maka dalam sekejap
mata, api obor sudah bermunculan di empat penjuru dan
menyoroti daerah sekitar gelanggang hingga terang
benderang bagaikan disiang hari, berbareng itu pula dari
kedua belah sisi serambi bermunculan puluhan orang laki-laki
maupun perempuan. Dalam keadaan demikianlah pintu loteng terbuka, Kiu-im
Kaucu dengan senjata toya kepala setannya munculkan diri
didepan muka. Sementara itu Suma Tiang-cing telah melihat jelas bahwa
tandingannya ketika itu adalah seorang gadis berambut
panjang yang berpotongan badan ramping, dia kenali gadis itu
sebagai Tiamcu istana neraka dibawah pimpinan Kiu-im
Kaucu, bahkan mengenali juga bahwa senjata mustika yang
dipergunakannya adalah pedang mustika Bian liong poo kiam
bekas milik Thong-thian-kauw.
Dalam waktu singkat dua puluh gebrakan sudah lewat
dengan cepatnya, pertarungan berlangsung makin sengit dan
seru. Waktu itu usia Suma Tiang-cing baru mencapai tiga puluh
tahunan, sedangkan Tiamcu istana neraka berusia diantara
tiga puluh tahunan juga, bukan saja wajah mereka cakep dan
cantik, senjata yang digunakan juga adalah senjata mustika,
berbicara yang sesungguhnya pertarungan semacam itu
pastilah berlangsung dengan halus dan lembut.
Apa lacur watak Suma Tiang-cing seorang pemberang dan
ganas, setiap serangan yang dilancarkannya selalu bermaksud
untuk melukai orang, hal ini memaksa Tiamcu dari istana
neraka terpaksa harus mengeluarkan pula jurus-jurus
ampuhnya untuk melayani kehendak lawan.
Kiu-im Kaucu hanya menonton jalannya penarungan itu
dari sisi kalangan, sepasang alis matanya berkenyit hingga
menjadi satu garis, dengan suara lantang ia berseru, "Suma
Tiang-cing sudah tersohor sebagai seorang jagoan yang
pemberang dan besar sekali jiwa nekadnya, ia sudah terbiasa
melakukan serangan-serangan kasar macam itu...."
"Anjing betina tak usah banyak bacot, kalau berani hayo
turun kemari.! tukas Suma Tiang-cing sambil membentak
gusar. Kiu-im Kaucu sama sekali tidak melayani makian tersebut,
malahan sambil tertawa ujarnya, "Engkau bukan tandinganku
maka lebih baik tak usahlah menantang aku untuk bertarung,
saat ini Hoa Thian bong telah menyusup naik keatas loteng
aku harus berjaga-jaga disana menunggu kedatangannya!"
Betapa terkejutnya Suma Tiang-cing sesudah mendengar
perkataan itu, dia lantas menduga bahwa dialas loteng telah
disiapkan jebakan yang lihay sehingga gembong iblis ini
membiarkan musuhnya berhasil menyusup naik ke atas.
"Kalau memang terjadi begini, bukankah itu berarti bahwa
selembar jiwa Hoa Thian-hong sedang terancam bahaya
maut?" Karena memikirkan persoalan itu pikiran dan perhatiannya
jadi bercabang, Tiamcu istana neraka tidak menyia-nyiakan
kesempatan baik itu dengan begitu saja, dia lantas
membentak keras, pedang mustika boan liong kiam hoatnya
dengan memancarkan cahaya bianglala yang amat
menyilaukan mata segera memancar memenuhi seluruh
angkasa, dalam waktu singkat dia telah melancarkan
serangkaian serangan balasan yang amat gencar.
Sesudah kehilangan posisinya yang baik, dengan cepat pula
Suma Thiang cing terdesak hebat sehingga kedudukannya
berada di bawah angin. Dalam waktu singkat secara beruntun dia telah menemui
ancaman mara bahaya, untungnya dia memiliki jurus untuk
adu jiwa yang mengerikan, maka setiap saat dia masih
mampu untuk menyelamatkan jiwanya dari ancaman itu.
Sementara itu dipihak lain, Hoa Thian-hong telah
manfaatkan kesempatan berkobarnya pertarungan itu secara
baik-baik, sesudah berputar kesamping, sambil membopong
Soat-ji dia lantas melompat naik ke loteng tingkat keempat.
Dalam prasangkanya disekitar loteng itu sudah pasti telah
disiapkan jebakan maupun penjagaan yang sangat ketat, tapi
apa yang dilihatnya waktu itu"
Ternyata suasana diatas loteng tingkat keempat itu sunyi
senyap tak kedengaran sedikit suarapun, bukan saja tak
nampak adanya bayangan manusia, alat jebakan atau senjata
rahasiapun tak nampak satupun.
Diatas serambi loteng tergantung sebuah lampu lentera
yang anti hembusan angin, cahaya yang redup menyinari
sebuah pintu ruangan yang berukir naga dan burung hong.
Dengan cekatan Hoa Thian-hong melayang kedepan dan
mendorong pintu tersebut, ternyata pintu tidak terkunci,
ketika didorong segera terpentang lebar.
Ruangan itu kosong melomgpong, tak kelihatan sesosok
bayangan manusia pun yang berada disitu.
Ruangan itu luasnya sekitar tiga kaki persegi, sepuluh buah
lentera keraton yang indah tergantung didalam ruangan itu.
Hoa Thian-hong masih ingat ketika ia dijamu Giok Teng Hujin
tempo hari, dalam ruangan inilah perjamuan tersebut
diselenggarakan. Sayang suasana dalam ruangan itu remang-remang,
diantara sepuluh buah lampu lertara yang tersedia dalam
ruangan itu, hanya dua buah diantaranya yang dipasang,
ditengah suasana yang remang-remang itulah Hoa Thian-hong
merasakan suatu perasaan yang sangat aneh.
Didekat ruangan itu terdapat tiga buah pintu, didepan pintu
tergantung horden yang cukup tebal, sekilas pandangan
dapatlah di ketahui bahwa dalam ruangan itu tersedia tiga
buah kamar tidur. Setelah menutup kembali pintu ruangan, Hoa Thian-hong
bergerak masuk kedalam untuk melakukan pemeriksaan,
waktu itulah Soat-ji yang berada dalam bopongannya
mendesis lalu melompat turun dan secepat kilat menyusup
masuk kedalam ruang tidur sebelah tengah.
Tanpa sadar perasaan hati Hoa Thian-hong berubah jadi
amat tenang, cepat dia menyelinap kedepan pintu dan
menyingkap horden yang menutupinya. Apa yang kemudian
terlihat dihadapannya membuat darahnya tersirap, dengan
mata melotot karena menahan gusar dia menyerbu masuk
kedalam ruang itu, serunya setengah mendesis, "Cici....!"
Semula ruangan tersebut adalah sebuah kamar rahasia,
tapi sekarang perabot yang ada dalam ruangan itu sudah
dipindahkan semua sehingga tinggal sebuah ruangan yang
kosong melompong. Ditengah ruangan terdapatlah sebuah meja sembahyangan
yang tampak masih baru, diatas meja sembahyangan
terdapatlah empat buah patung arca setinggi beberapa depa
yang tersebut dari kayu wangi, patung itu ada yang duduk ada
pula yang berdiri, bentuknya satu sama yang lain jauh
berbeda. Cuma saja keempat-empatnya adalah patung perempuan
dan berambut parjang sampai sepundak.
Meskipun raut wajah yang digambarkan pada keempat
patung itu tidak jelek, tapi seperti halnya dengan Kiu-im
Kaucu, paras muka mereka, membawa selapis kemisteriusan
yang sukar dilukiskan dengan kata-kata.
Didepan sebuah patung arca itu terletak sebuah hiolo,
diatas hiolo itu tertancap hio yang mengeluarkan bau dupa
wangi, cuma tidak kelihatan ada lilin.
Kurang lebih empat lima depa didepan meja sembahyangan
itu terdapat kasur bulat untuk semedi, waktu itu Giok Teng
Hujin duduk diatas kasur tadi sambil menghadap ke arah
patung arca, tubuh bagian atasnya berada dalam keadaan
bugil, rambut nya yang panjang terurai menutupi
punggungnya yang telanjang itu.
Didepan kasur bulat itu tergantung sebuah lampu lentera
terbuat dari tembaga yang aneh sekali bentuknya, diatas
lampu itu terdapat tutupnya, diatas penutupaya terdapat tujuh
buah lubang kecil, asap hijau dan percikan api kecil manancar
keluar dari ketujuh lubang itu menciptakan tujuh buah asap
hijau setinggi delapan sembilan cun.
Ketika asap itu menggumpal keatas segera bergabung
menjadi satu dan berbelok menuju ke arah dada Giok Teng
Hujin, kobaran api itu segera membakar dadanya dengan
ganas. Tepat pada lekukan payudara Giok Teng Hujin tergantung
sebuah bulatan sebesar mulut cawan arak yang berwarna
keperak-perakan, kebakaran api yang bergabung setelah
keluar dari ketujuh lubang kecil itu langsung memancar keatas
bulatan perak itu dan memanggangnya hingga
memperdengarkan bunyi gemericik yang amat nyaring.
Sekujur tubuh Giok Teng Hujin kelihatan gemetar keras,
badannya telah basah kuyup bermandikan peluh.
Rupanya kesadaran Giok Teng Hujin waktu itu belum
Tiga Maha Besar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lenyap sama sekali, ketika mendengar panggilan dari Hoa
Thian-hong dengan cepat dia berpaling ke arah samping dan
mengguraikan rambutnya yang panjang untuk menutupi
seluruh bagian raut wajahnya.
"Jangan sentuh aku!" terdengar gadis itu berseru dengan
nada gelisah, "jangan kau sentuh lampu lentera itu!"
Suara itu kering, serak dan tak enak didengar, seakan-akan
bukan berasal dari mulut perempuan itu.
Hoa Thian-hong segera menerjang kehadapanya dan
berlutut disamping tubuh Giok Teng Hujin, sekujur badannya
gemetar keras sepasang matanya berubah jadi merah
membara sementara air mata jatuh bercucuran membasahi
seluruh wajahnya. "Cici.... kau....!" akhirnya ia terisak dan tidak sanggup
melanjutkan kembali kata-katanya.
Beberapa titik air mata jatuh bercucuran membasahi wajah
Giok-teng hujin ketika ia tundukkan kepalanya, air mara itu
menetes diatas lampu lentera itu dan seketika muncullah asap
warna hijau yang sangat mengerikan.
Pemandangan ketika itu benar-benar mengenaskan, baru
pertama kali ini Hoa Thian-hong menyaksikan jalannya siksaan
yang amat keji ini, tentu saja hatinya terasa jadi remuk
redam, darah panas dalam rongga dadanya ikut bergelora
dengan hebatnya, dia ingin turun tangan namun tak tahu apa
yang musti dilakukan pada saat ini
Rupanya Soat-ji rase salju stupun tahu bahwa majikannya
sedang menjalankan siksaan yang kejam, dikala itu makhluk
tersebut ber sandar disisi majikannya sambil merintih tiada
hentinya, tampaknya binatang itu sedang beriba hati.
Hoa Thian-hong merasa dendam bercampur benci, tiba-tiba
serunya dengan nyaring, "Cici, apa yang harus kulakukan!"
Saking jengkelnya, dengan sekuat tenaga dia hajar
permukaan lantai itu keras-keras.
"Lampu itu!" bisik Giok Teng Hujin dengan lirih.
Mendengar seruan tersebut, buru-buru Hoa Thian-hong
menarik kembali tenaga pukulannya.
"Blaang! sebuah bekas telapak tangan yang dalam sempat
membekas diatas permuaan lantai, untungnya lampu siksaan
tersebut tidak sampai tergetar oleh pukulan tadi.
Giok Teng Hujin benar-benar tersiksa lahir batinnya
menghadapi siksaan api dingin melehkan sukma yang
dialaminya sekarang, akan tetapi dengan tabah dihadapinya
secara jantan. Tatkala ia saksikan kedatangan Hoa Thian-hong untuk
pertama kalinya tadi, dua titik air mata memang sempat
meleleh keluar, akan tetapi dengan cepat semua penderitaan
dan siksaan yang dialaminya ditahan didalam hati, sesudah
berhenti beberapa saat lamanya segera ujarnya.
"Aaai.! Bagaimanapun aku toh tak bisa hidup lebih lama
lagi, daripada aku hidup menanggung derita, lebih baik
totoklah jalan darah kematianku, agar aku bisa lebih cepat
melepaskan diri dari siksaan hidup ini!"
"Tidak!" jerit Hoa Thian-hong sambil menggigit bibir
menahan air matanya yang meleleh keluar.
Giok Teng Hujin menghela nafas panjang.
"Aaii! Setiap manusia tak luput dari kematian, aku merasa
amat puas apabila bila mati disisimul"
Engkau tak boleh mempunyai ingatan semacam itu, hayo
keluar kanlah semangat dan keberanianmu untuk melanjutkan
hidup, sekalipun harus pertaruhkan selembar jiwaku akan
kutolong juga engkau hingga lolos dari mara bahaya.
Seekor semutpun menginginkan hidup, apa lagi aku adalah
seorang manusia, mengapa aku tidak ingin hidup" Bukan
begitu saja dan lagi, aai! aku benar-benar merasa berat untuk
meninggalkan engkau. Sekalipun ucapan tersebut sangat pendek dan singkat,
akan tetapi luapan cinta yang diperlihatkan dalam perkataan
itu benar-benar sanggup melelehkan besi baja.
Hoa Thian-hong merasa hatinya amat sakit bagaikan
ditusuk dengan pisau tajam, air matanya jatuh bercucuran
membasahi wajahnya. Ketika dilihatnya sekujur badan Giok Teng Hujin gemetar
keras, seolah-olah sedang menahan suatu penderitaan yang
hebat, buru-buru ia menyeka air matanya sambil berseru lagi,
"Beritahukanlah kepadaku, sebenarnya macam apakah lampu
setan itu, aku hendak mencarikan akal untuk menyelamatkan
jiwa mu!" Giok Teng Hujin gelengkan kepalanya dengan sedih, sambil
terisak menahan tangisnya ia menjawab, "Berilah jawaban
dulu kepadaku, engkau harus berjanji tak akan menerima
paksaan dari kaucu walau berada dalam keadaan apapun,
engkau tak boleh mudah menyerah dengan begitu saja."
Hoa Thian-hong merasa hatinya semakin perih apalagi
setelah mendengar betapa perhatiannya Giok Teng Hujin
terhadap dirinya walau berada dalam keadaan begitu.
Akhirnya Hoa Thian-hong berjanji tak akan menerima
paksaan dari Kaucu jika ini yang dikehendaki oleh Giok Teng
Hujin. Kemudian diterangkanlah oleh Giok Teng Hujin dengan
nada sedih kepada Hoa Thian-hong.
"Dadaku telah dilapisi oleh serbuk perak yang dinamakan
Miat ciat in leng (serbuk dingin pelenyap keturunan) bubuk itu
dibuat menurut resep rahasia yang hanya dimiliki oleh Kiu-imkauw,
yakni terbuat dari campuran kotoran ulat sutera,
empedu burung-burung yang bisa berbunyi, air liur katak
buduk, butiran putih telur dari ubur-ubur, kulit ari dari cacing
dicampur pula dengan bubuk phospor yang mengandung
racun jahat, bila serbuk perak Miat ciat in leng ini dipoleskan
diatas dada seseorang, racun itu akan segera meresap ke
tubuh ma-nusia bila dibiarkann terus maka racun itu akan
menyerang kejantung yang mengakibatkan kematian dari
korbannya!" Perempuan itu berhenti sebentar, kemudian meneruskan
lagi kata katanya lebih jauh, "Lentera yang bisa melelehkan
sukma ini pun bukan benda sembarangan, didalam lentera itu
di isi dengan hawa racun dari katak puru (sejenis katak yang
kasar kulitnya dan berbintik-bintik), karena mendapat
pembakaran dari cahaya api lentera ini, maka hawa racun Miat
ciat in leng yang dipoleskan kedadaku jadi terhisap, karenanya
jiwaku bisa selamat sampai kini, tapi jika kutinggalkan cahaya
api ini, racun tersebut segera akan menyerang kejantungku
yang akan mengakibatkan aku jadi tewas!"
"Tapi.... tapi.... betapa sengsara dan tersiksanya tubuhmu
karena selalu dibakar oleh api yang menyala-nyala ini?" seru
Hoa Thian-hong sambil menggigit bibirnya kencang.
"Aaai....! Sebagaimana kau ketahui: 'Api dingin melelehkan
sukma' adalah siksaan yang paling keji dan paling berat dari
Kiu-im-kauw kami, masih mendingan kalau siksaan itu hanya
Ngo kiam hun si (lima pedang memisahkan mayat)...."
"Apakah ada pemunahnya atau tidak?" tanya pemuda itu
kemudian dengan penuh rasa dendam.
Giok Teng Hujin manggut-manggut.
"Ada sih ada, cuma obat pemunahnya hanya dimiliki oleh
kaucu seorang....!" "Aku akan mencari dia sekarang juga!" seru Hoa Thianhong
sebelum perempuan itu menyelesaikan kata-katanya,
cepat dia bangkit berdiri dan siap berlalu dari situ.
"Eeh.... tunggu sebentar!" seru Giok Teng Hujin gelisah.
Hoa Thian-hong berpaling sambil menyeka air mata yang
meleleh keluar bercampur dengan keringat.
"Apa yang hendak kau tanyakan lagi?" tanyanya.
"Dimanakah pedang bajamu?"
"Sudah lenyap, kitab kiam keng ada disakuku!"
"Adik Hong, ingat baik-baik perkataanku!" kata Giok Teng
Hujin mendadak dengan wajah seiius "bila kau serahkan kitab
kiam keng sebagai pertukaran syarat, kendatipun aku bisa kau
selamatkan, akhir nya aku tetap akan bunuh diri!"
Tertegun Hoa Thian-hong setelah mendengar ancaman itu,
air mata yang baru dihapus kembali meleleh keluar dengan
derasnya Giok Teng Hujin berkata lagi, "Pada umumnya siksaan api
dingin melelehkan sukma akan berlangsung selama tujuh hari
tujuh malam, aku masih ada kesempatan hidup selama lima
hari, usahakanlah pertolongan untukku, tapi jangan kau
terima semua paksaan dari orang lain, engkaupun tak boleh
menyiksa diri sendiri, usahakan pertolongan sewajarnya
mengerti?" "Ooh.... cici, bolehkah kusentuh badanmu" Walau hanya
sebentar saja...." pinta Hoa Thian-hong mendadak dengan air
mata bercucuran. Agak tertegun Giok Teng Hujin mendengar perkataan itu,
tapi akhirnya dia mengangguk.
"Sentuhlah, tapi jangan sampai menggoncangkan
tubuhku!" Cepat Hoa Thian-hong lepaskan jubah luarnya, sambil
berjongkok dia seka keringat yang membasahi punggung Giok
Teng Hujin ketika jari tangannya menyentuh tubuh sang dara
yang bergetar keras, tanpa sadar tubuhnya ikut gemetar
karas. "Kenakan pakaian itu ditubuhku!" bisik Giok Teng Hujin
dengan suara yang lirih. Hoa Thian-hong kenakan bajunya dipunggung perempuan
itu, kemudian berkata lagi, "Wajahmu berkeringat, pipimu
berminyak, ijinkanlah kuseka keringat dan minyak itu, lihatlah,
rambutmu kusut dan awut-awutan biarlah kubereskan
semuanya untukmu!" "Jangan!" seru Giok Teng Hujin ambil buru-buru berpaling.
Kiranya setelah mengalami siksaan selama sehari dua
malam, kulit dan pori-poro wajah dara itu banyak berkerut
akibat kepanasan, kelembutan dan kehalusan telah banyak
yang hilang, dengan begitu mukanya tampak jauh lebih tua
daripada keadaan di hari-hari biasa.
Sebagai anggota Kiu-im-kauw, tentu saja dara itupun tahu
akan akibat yang bakal diterima sesudah menjalankan
siksaaan tersebut maka ia tak ingin Hoa Thian-hong melihat
wajahnya dan mengetahui pula akan kerutanya.
Tertegun si anak muda itu ketika permintaannya ditolak, ia
berdiri termangu, sementara dalam hati timbullah perasaan
heran dan tak habis mengerti, ia tak tahu betapa perempuan
itu merahasiakan raut wajahnya, mungkinkah terjadi suatu
perubahan" Namun ia tidak berpikir panjang, setelah termangu
sebentar akhirnya pemuda itu berkata, "Cici bersabarlah disini,
segera kucari Kiu-im Kaucu! Aku akan membikin perhitungan
dengannya!" "Bawalah serta Soat-ji!" Giok Teng Hujin menambahkan.
"Biarkan disini dulu, sebentar aku akan kemari lagi...."
"Jangan! Sebelum kau dapatkan obat pemunah, tak usah
kau tengok diriku lagi, hindarilah segala resiko yang tak
diinginkan, daripada kau celaka disergap orang"
Sedih dan pilu perasaan hati Thian-hong, ia merasa hatinya
bagaikan disayat-sayat pisau, tak tega rasanya pemuda itu
untuk menampik permintaannya, maka dengan membopong
Soat-ji dia lantas mengundurkan diri dari ruangan itu.
Setelah keluar dari ruangan, ia dengar pertempuran yang
sedang berlangsung dibawah loteng makin bertambah seru.
Mendadak.... segulung hawa nafsu membunuh yang luar biasa
tebalnya menerjang kedalam benak, ia merasa darah panas
ditubuhnya jadi mendidih, hanya satu ingatan yang terlintas
dalam benaknya, ingatan itu adalah membunuh orang, makin
banyak orang yang dibunuh makin baik.
Dipihak lain, Suma Tiang-cing dan Yu beng tiamcu sudah
bertarung sebanyak tiga ratus gebrakan, dada kiri Suma
Tiang-cing telah bertambah dengan sebuah mulut luka
sepanjang tiga cun, sedangkan lengan kiri tiamcu istana
Neraka juga bertambah dengan sejalur luka, darah bercampur
keringat membasahi tubuh mereka membuat mereka tampak
lebih seram dan mengerikan.
Cahaya kilat dan hawa pedang menyelimuti sekeliling
ruangan tersebut, dua orang jago lihay itu saling bergerak
diantara lapisan cahaya pedang, mereka saing menerkam dan
saling menerjang ganas dan mengerikan sekali pertarungan
yang sedang berlangsung. Rapanya kelihayan ilmu siiat mereka seimbang, maka
sekalipun sudah bertarung lama, keadaan tetap seimbang
alias sema kuat. Akhirnya mungkin karena penasaran, makin menyerang
mereka makin kalap dan masing-masing mengeluarkan
segenap kepandaian tangguh yang dimilikinya.
Sepasang pedang saling membentur satu sama lainnya
menimbulkan dentingan nyaring yang memekikan telinga.
Pedang pek le kiam milik Suma Tiang-cing memang sebilah
pedang yang tajam dan luar biasa, tapi dibandingkan dengan
Boan liong poo kiam dari Thong-thian-kauw yang kini berada
ditangan tiamcu istana neraka, toh masih kalah tajamnya,
karena itu tiap kali terjadi benturan, diatas pedangnya segera
tertinggal sebuah gumpilan sebesar biji beras.
Hingga detik ini, sudah tiga gumpilan yana menghiasi
pedang Pek lee kiam tersebut, betapa sakit hati dan
sayangnya Suma Tiang-cing melihat pedangnya rusak, ia
menyerang makin ganas dan makin kalap, hampir semua ilmu
kepandaian yang dimilikinya dikeluarkan, seumpama
musuhnya kurang teguh imamnya niscaya sedari tadi tadi
sudah dibuat ketakutan oleh tindakan musuhnya yang mirip
kerbau gila ini. Diam-diam Cu Im taysu merasa kuatir, ia tahu bila
pertarungan itu dibiarkan terus berlangsung, maka akhirnya
salah satu diantara mereka tentu akan mati, beberapa kali ia
membentak agar rekannya menghentikan pertarungan itu,
sayang bentakannya telah mendapatkan tanggapan,
pertarungan masih berlangsung terus dengan serunya.
Kiu-im Kaucu tidak menunjukkan perubahan sikap,
mukanya tetap dingin dan kaku sedangkan mulutnya
membungkam dalam seribu bahasa.
Disaat pertarungan kedua orang itu sudah mencapai pada
puncak ketegangan, Hoa Thian-hong menerkam dari atas
loteng, semua orang jadi panik dan sama-sama menbentak
keras. Namun si anak muda itu sudah keburu kalap, ia tak ambil
peduli kegusaran orang lain, diiringi gulungan angin pukulan
Tiga Maha Besar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang amat dahsyat, sebuah pukulan maut telah di lontarkan
ke tubuh tiamcu istana neraka.
Semua orang menjerit kaget, hati mereka berdebar keras
bahkan ada pula yang sampai mundur sempoyongan, memang
semua orang sudah menduga kalau cepat atau lambat Hoa
Thian-hong pasti akan muncul di sana, tapi mereka tak
menyangka kalau pemuda yang biasanya kalem dan tidak
menyerang orang secara sembarangan, tiba-tiba saja
menyergap seseorang yang sedang terlibat dalam
pertempuran. Dalam gugupnya, pertama-tama Kiu-im Kaucu yang
membentak gusar lebih dahulu, untuk mencegah jelas tak
mungkin lagi, maka dia lantas mencaci maki kalang kabut.
Suma Tiang-cing sendiri tak ingin mencari kemenangan
dengan cara meagerubut, apalagi terhadap seorang
perempuan, seraya membentak diapun tarik kembali
serangannya sambil mundur kebelakang.
Tiamcu istana neraka yang terserang tak banyak berkutik,
tahu-tahu dia merasakan lengan nya bergetar keras, dan
pedang Boan liong poo kiam tersebut sudah dirampas oleh
Hoa Thian-hong. Ia tak tahan didorong oleh tenaga pukulan yang maha
dahsyat, begitu pedang mustika tersebut terampas oleh
lawan, kuda-kudanya gempur dan tak bisa dicegah lagi
dengan sempoyongan ia mundur beberapa langkah
kebelakang. Dengan wajah hijau membesi dan memukul-mukulkan
tongkat kepala setannya keatas tanah, Kiu-im Kaucu memaki
kalang kabut, "Anjing Hoa Thian-hong, begitukah
perbuatanmu" Begitukah perbuatan dari seorang manusia
yang menganggap dirinya sebagai seorang enghiong....
seorang pahlawan?" Merah membara sepasang mata Hoa Thian-hong, wajahnya
menyeringai seram, dengan sorot mata berapi-api, ia lepaskan
Soat-ji ketanah, kemudian membuang pula pedang yang
digembol ketanah, dengan suara yang dingin menyeramkan ia
berseru, "Tak ada gunanya kita banyak bicara, lebih baik
ambillah suatu keputusan untuk menyelesaikan masalah ini!"
Sekuat tenaga Kiu-im Kaucu berusaha untuk menenangkan
hatinya, lalu sambil tertawa tergelak katanya, "Haaahh....
haaahhh.... haaahhh.... engkau rampas pedang Boan liong poo
kiam dari tangan anggotaku, apakah kau hendak berduel
lawan aku dengan mengandalkan senjata itu?"
Hawa nafsu membunuh telah menyelimuti wajah Hoa
Thian-hong, ia tahu dalam masalah Giok Teng Hujin, ia tak
mungkin memohon kepada kaucu ini dengan kata yang
lembut, bertukar syarat jelas tak mungkin, sedangkan dengan
jalan kekerasanpun belum tentu bisa berhasil karena sekalipun
ia bisa menangkan Kiu-im Kaucu toh belum tentu orang itu
bersedia melepaskan tawanannya.
Jelaslah sudah bagi pemuda itu bahwa masalah yang
dihadapi adalah sebuah masalah pelik bagaikan sebuah simpul
mati, kecuali ia bersedia menuruti semua kemauan dan
keinginan lawan, tak mungkin Giok Teng Hujin dapat ditolong.
Tiba-tiba terbayang kembali olehnya betapa tersiksa dan
menderitanya Giok teng hujn tersiksa oleh api dingin
melelehkan sukma, api amarah bergelora dalam dadanya
kembali memuncak, kebencian dan rasa dendam kembali
muncul dihati. Dalam keadaan demikian, ia jadi kalap, kemarahannya
susah dikendalikaa lagi, dengan mata melotot besar tiba-tiba
ia putar badan dan menerkam ke arah kawanan jago dari Kiuim-
kauw. Hebat sekali perubahan wajah Kiu-im Kaucu menyaksikan
perbuatan sang pemuda, ia lantas membentak nyaring, "Hoa
Thian-hong, engkau berani bertindak keji?"
Hoa Thian-hong menjengek sinis, dia putar pedang mustika
itu dan sahutnya dengan nada seram, "Kau anggap aku Hoa
Thian-hong tak berani bertindak kejam" Hmm, kalau mau
salahkan maka sekarang juga salahkan, akan kubasmi dulu
semua begundalmu, kemudian akan kulihat mampukah
engkau menghalangi niatku ini!"
Selesai berkata, kembali ia siap menerkam kedepan.
Cu Im taysu bertindak cepat, rupanya dia tahu kegusaran
dan kenekadan pemuda itu, sambil menghadang jalan
perginya dia berseru, "Omintohud. berbuatlah belas kasihan,
jangan karena emosi melakukan pembantaian keji yang sama
sekali tak ada manfaatnya!"
Merah padam selembar wajah Hoa Thian-hong, sinar
matanya berapi api, dengan penuh emosi teriaknya, "Taysu,
berbuatlah kebaikan untukku, boanpwae benar-benar amat
benci dan dendam!" Ucapan tersebut diutarakan dengan suara yang berat dan
mantap, membuat setiap pendengar perkaraan itu merasakan
telinganya mendengung keras, ibarat guntur yang membelah
bumi disiang hari bolong, paras muka mereka rata-rata
berubah hebat. Suma Tiang-cing ikut menghela nafas panjang, katanya
pula dari sisi gelanggang, "Thian-hong, tadi aku memang
pernab mengatakan akan membantai sampai habis setiap
orang jahat, manusia jahanam yang ada didunia ini, janganlah
kau anggap serius perkataanku itu, sebab ucapan yang
dikatakan dalam keadaan emosi adalah kata-kata kasar
belaka, kau tak boleh menganggap ucapan itu sebagai kata
yang sungguh-sungguh"
Dengan pedang terhunus dan mata melotot besar karena
gusar beberapa kali Hoa Thian-hong hendak menerjang lewati
Cu Im taysu dan menerkam orang-orang dari Kiu-im-kauw.
Tapi ketika menyaksikan keagungan serta kekerenan wajah
Cu Im taysu yang menghadang dihadapannya, ia tak berani
menerjang secara gegabah, apalagi sesudah mendengar
nasehat dari Suma Tiang-cing, pemuda itu makin termangu
dan tak tahu apa yang musti dilakukan.
Perlu diketahui watak mulia, welasasih dan bijaksana yang
dimiliki Hoa Thian-hong sekarang, tak lain adalah warisan dari
ayah nya sedangkan Hoa Hujin termasuk seorang pendekar
perempuan berhati sekeras baja, membenci kejahatan hingga
merasuk ketulang, dalam pandangannya membasmi kejahatan
sama halnya dengan berbuat kemuliaan, membunuh seorang
manusia berhati keji sama artinya menyelamatkan beberapa
orang baik dari kematian, baginya daripada satu kota
menangis lebih baik satu keluarga saja yang menangis.
Sejak suaminya mati dan rumahnya dirampas musuh, rasa
dendam dan ingin membalas dendam berkobar-kobar dalam
benaknya, dia bercita-cita untuk membasmi tumpas iblis dari
muka bumi dan membantai setiap manusia jahanam yang
ditemuinya, dia tidak membenci satu dua orang iblis belaka
melainkan seluruh manusia iblis dari golongan hitam.
Oleh karena itulah meskipun sangat ketat pendidikan yang
dia berikan kepada putranya, namun tak pernah ia
menyinggung soal kebajikan dan welas kasih.
Dengan dasar pendidikan yang telah diperoleh semenjak
kecil, Hoa Thian-hong pun tanpa disadari ketularan pula watak
keras dari ibunya ini, maka ketika Suma Tiang-cing
mengucapkan kata-kata emosi tadi, suatu bayangan gelap
sudah menyelimuti hati si anak muda itu, apalagi setelah
persoalan yang menyangkut tentang diri Giok Teng Hujin
mengalami kesulitan, bahkan mendekati jalan buntu, hawa
nafsu membunuh yang sejak permulaan sudah mengkilik isi
hatinya seketika tak terkendalikan lagi dan memancarlah
keluar bagaikan air bah yang menjebolkan tanggul.
Rasa benci dan dendam masih menyelimuti seluruh benak
Hoa Thian-hong, nasehat dari Cu Im taysu maupun Suma
Tiang-cing memang sempat meredakan darahnya yang
mendidih, tapi bukan berarti dapat melenyapkan
keseluruhannya. Sekujur tubuhnya masih gemetar keras menahan emosi,
pedang mustika boan liong po kiam berkilauan memancarkan
setentetan cahaya yang amat tajam, sinar tersebut mencorong
keluar dan amat menyilaukan mata tiap pendekar, begitu
dahsyatnya pancaran hawa lwekang yang tersalur didalam
pedangnya itu sampai lantai loteng bergetar dan berkenyit
keras, udara disekitar gelanggang terasa membeku dan kaku
memaksa setiap orang merasa susah untuk bernapas.
Dengan wajah sedih tapi serius kembali Cu Im taysu
berkata, "Nak, masih hidupkah nona itu?"
Titik air mata tak kuasa lagi meleleh keluar membasahi pipi
anak muda itu, dengan wajah yang kaku Hoa Thian-hong
mengangguk. "Ia masih hidup, sekarang sedang menjalankan siksaan
diatas loteng, suatu siksaan yang tidak berperikemanusiaan,
siksaan yang hanya bisa dilakukan oleh binatang bukan
perbuatan seorang manusia normal!"
Berkernyitlah dahi Cu Im taysu sehabis mendengar
jawaban itu, dia lantas berpaling ke arah Kiu im kancu dan
berkata, "Kaucu, dengan memberanikan diri pinceng sekalian
ingin memohon sesuatu kepadamu, apakah engkau bersedia
membebaskan nona itu dari segala siksaannya?"
Diam-diam Kiu-im Kaucu menghembuskan nafas lega, ia
tahu sesudah jago berbaju pendeta ini memohon kepadanya,
tanpa disadari suasana kaku dan sesak yang semula
menyelimuti gelanggangpun kini sudah melumer kembali, ia
tertawa dan menjawab, "Ku Ing-ing merupakan anak murid
Kiu-im-kauw kami, mau kusiksa dia atau mau kubunuh dirinya
persoalan ini adalah persoalan pribadi perkumpulanku, apa
sangkut pautnya dengan kalian semua?"
Kelihayan ilmu silat yang dimiliki Hoa Thian-hong sudah
diketahui oleh banyak orang, apalagi sesudah pedang mustika
Boan liong po kiam yang tajamnya luar biasa itu berhasil
dirampas olehnya, keadaan si anak muda itu boleh dibilang
ibarat harimau yang tumbuh sayapnya.
Andaikata pemuda itu tetap nekad dan melanjutkan niatnya
untuk membantai setiap anggota Kiu-im-kauw yang
ditemuinya, Kiu-im Kaucu percaya bahwa dia tak mampu
untuk melindungi keselamatan anak buahnya, malahan
mencegahpun belum tentu mampu.
Oleh sebab itulah, setelah Cu Im taysu dan Suma Tiangcing
berhasil membatalkan niat si anak muda itu untuk
melakukan pembantaian, serta-merta nada ucapannya pun
ikut mengalami perubahan besar, pembicaraannya tidak
seketus tadi lagi, malahan jauh lebih lembut dan kendor....
Cu Im taysu menundukkan kepalanya dan menghela napas
panjang, kemudian ujarnya, "Tak usah kaucu terangkan,
pinceng sendiripun mengetahui bahwa persoalan ini
sebenarnya adalah masalah pribadi perkumpulanmu sendiri,
karenanya kami hanya memohon kerelaanmu, kami bukanlah
manu sia-manusia yang tidak mengutamakan soal cengli....!"
"Aku tahu setiap persoalan yang terjadi didunia ini memang
tak bisa terlepas dan soal cengli, sebagai pendekar-pendekar
besar yang berjiwa ksatria tentu saja taysu sekalian harus
mengutamakan soal cengli, bukan begitu?"
Kembali Cu Im taysu menghela napas panjang, selang
sesaat kemudian dia baru bertanya lagi, "Kaucu, bila diijinkan
ingin sekali pinceng menanyakan satu persoalan lagi...."
"Apa yang hendak kau tanyakan lagi?" sela Kiu-im Kaucu
dengan suara lantang. "Sebetulnya kesalahan serta dosa apakah yang telah
dilanggar nona Ku, sehingga dia harus disiksa secara keji?"
Kiu-im Kaucu tersenyum. "Kusiksa dirinya lantaran dia berani membangkang
perintahku serta berkhianat terhadap perkumpulannya,
apakah taysu merasa tidak terima dengan tuduhanku ini?"
00000O00000 81 "OH.... tidak berani, menurut apa yang pinceng ketahui,
sudah amat lama nona Ku tersiksa dan menderita selama dia
menyusup ke tubuh perkumpulan Thong-thian-kauw,
berbicara sesungguhnya sudah banyak sekali pahala yang
telah dia lakukan demi perkumpulanmu!"
"Siapa berjasa dia mendapat pahala, siapa bersalah dia
harus menerima pula hukumannya" tukas Kiu-im Kaucu sambil
tertawa, "Sekalipun keputusan dan tindak tandukku kurang
bijaksana atau kurang adil, aku rasa orang lain tidak berhak
untuk mencampurinya, ketahuilah persoalan ini adalah urusan
pribadiku sendiri!" Sekali lagi Cu Im taysu menghela napas panjang.
"Aaai.... kami semua berhutang budi kepada nona Ku,
sekarang setelah jiwanya terancam bahaya, tentu saja kami
semua tak dapat berpeluk tangan balaka menyaksikan ia mati
tersiksa, makanya kami semua mohon kebijaksanaan dari
kaucu untuk melepaskan nona Ku dari siksaan dan memberi
sebuah jalan kehidupan baginya!"
"Haahh.... haaahh.... haaah.... meskipun Ku Ing-ing pernah
melepaskan budi kepada kalian semua, toh kalian semua tak
pernah melepaskan budi apa-apa kepada perkumpulan Kiu-imkauw
kami, dan berarti boleh saja aku memberi muka
kepadamu, tapi dapat pula kami tak akan memberi muka
kepadamu....!" seru Kiu-im Kaucu sambil tertawa tergelak.
Merah padam selembar wajah Cu Im taysu sesudah
mendengar perkataan itu, untuk sesaat lamanya dia tak tahu
apa yang musti dijawab. Suma Tiang-cing yang mengikuti jalannya perundingan itu,
dalam hati kecilnya lantas berpikir, "Taysu ini terlalu polos dan
tak memahami kelicikan serta kebusukan hati orang, kalau dia
yang memimpin perundingan ini sekalipun sepuluh tahun lagi
juga tak akan berhasil, tampaknya aku harus turun tangan
sendiri" Berpikir sampai disitu, dia lantas maju kedepan dan ujarnya
kepada Kiu-im Kaucu dengan mata melotot, "Aku sudah
pernah menerima kebaikan dan budi pertolongan dari Ku Ingg
ing, itu berarti bagaimanapun juga aku harus menolong
dirinya sampai terlepas dari siksaanmu, kalau mau melepaskan
cepatlah kau sanggupi kalau tidak setuju hayo kita selesaikan
saja persoalan ini diujung senjata!"
"Suma Tiang-cing!" seru tiamcu istana neraka dari samping
dengan suara yang ketus, "untuk menangkan akupun tidak
mampu mau apa engkau berlagak sok didepan kaucu kami?"
"Apa susahnya menangkan dirimu?" teriak Suma Tiang-cing
dengan gusarnya, "suatu hari aku pasti akan mencari engkau
dan menantang engkau untuk berduel hingga salah satu
Tiga Maha Besar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
diantara kita mampus!"
Tiamcu istana neraka tertawa dingin.
"Heeeh.... heeeh.... heeeh.... sayang pedang mustikaku
telah dirampas orang dengan cara yang memalukan,
sedangkan kaucu kamipun tidak sampai merampas pula
pedang mustikamu, kalau bertemu lagi dikemudian hari sudah
tentu aku tak bisa menangkan dirimu...."
Pancingan yang dilontarkan Tiamcu dan istana neraka ini
segera termakan oleh lawannya, benar juga Suma Tiang-cing
segera berseru sesudah mendengus dingin, "Hmmm! Engkau
tak usah kuatir apa bila kita berjumpa lagi dikemudian hari,
Suma Tiang-cing tak akan melayani dirimu dengan pedang
mustika. Hmmm.... hmmm.... jangan kau anggap setelah
kugunakan pedang biasa maka aku tak mampu untuk
bereskan jiwa anjing mu!"
Sementara kedua orang itu sedang saling mencaci maki
dan ribut, tiba-tiba dari bawah loteng melayang turun
seseorang, dia tak lain adalah Pui Che-giok, sambil memburu
ke gelanggang serunya dengan penuh kegelisahan, "Hoa
kongcu!" "Bagus!" seru Hoa Thian-hong dengan mata melotot,
engkau punya keberanian untuk datang kemari, tak malu
nonamu menyayangi engkau selama ini!"
Pui Che-giok melirik sekejap ke arah Kiu-im Kaucu dengan
wajah pucat pias seperti mayat, tampaknya dia merasa jeri
dan takut sekali sementara diluar dia menjawab, "Budak
diambil nona setelah nona masuk kedalam perkumpulan
Thong-thian-kauw, dan berarti budak bukan terhitung anggota
Kiu-im-kauw!" "Baiklah, engkau berdirilah disamping, bila aku gagal untuk
menyelamatkan nonamu, aku bersumpah pasti akan
membalaskan dendam baginya, aku tak akan membiarkan
orang-orang dikolong langit mentertawakan diriku dan
menuduh Hoa Thian-hong tak punya rasa tanggung jawab, tak
punya rasa setia kawan, sehingga seorang dayangpun tak bisa
menandingi...." Mendengar ucapan tersebut Pui Che-giok benar-benar
mengundurkan diri kesamping gelanggang, sementara
bibirnya bergerak seperti mau mengucapkan sesuatu, tapi
akhirnya niat itu dibatalkan.
Jilid 27 Dari gerak-gerik serta sikap cemas dayang tersebut, Hoa
Thian-hong dapat menduga pula kalau dara tersebut hendak
melaporkan sesuatu, sesudah tertegun sebentar, akhirnya dia
bertanya, "Ada persoalan apa lagi yang hendak kau sampaikan
kepada diriku" Cepatlah katakan!"
"Barusan budak pergi ke kantor cabangnya perkumpulan
Sin-kie-pang untuk mencari tahu jejak kongcu, ada seorang
kakek yang bernama Lau Cu cing dengan membawa empat
orang kakek tua yang rata-rata berumur seratus tahun keatas
sedang mencari berita kongcu pula ketempat itu, budak lantas
bertanya kepada orang she Lau itu ada urusan apa hendak
mencari kongcu, dia menjawab katanya ada persoalan maha
penting yang hendak di bicarakan dengan kongcu, maka
budak lantas membawa mereka semua datang kemari
sekarang mereka sedang menanti kehadiran kongcu diluar
kuil!" Betapa terperanjatnya Hoa Thian-hong sesudah mendengar
laporan itu, serunya, "Empat orang kakek tua berusia seratus
tahun keatas datang mencari aku?"
"Emmmm!" Pui Che-giok mengangguk, "rambut mereka
telah beruban semua, tapi badannya masih tegap dan
langkahnya masih mantap, rupa-rupanya mereka berilmu
semua!" Kiu-im Kaucu yang ikut mendengarkan laporan tersebut
ikut merasakan jantungnya berdebar keras, pikirnya dihati,
"Untuk mencari seorang manusia yang berusia delapan puluh
tahun saja sudah sukarnya bukan kepalang, apalagi keempat
orang itu bisa hidup mencapai seratus tahun, malahan kumpul
pula menjadi satu, apabila bukan tokoh-tokoh silat yang
berilmu tinggi, tak ,ungkin mereka bisa mencapai usia setinggi
itu. Heeehh.... heeehh.... setelah anak jadah ini memperoleh
bantuan empat jago lihay, aku kan semakin tak bisa
mengganggu dirinya lagi" Sialan!"
Perlu diketahui, bila seseorang yang berusia seratus tahun
keatas berlatih terus ilmu silatnya dengan tekun dan rajin,
maka kelihayan ilmu silat yang dimilikinya boleh dibilang
sudah mencapai tingkat kesempurnaan yang sukar dilukiskan
dengan kata-kata, apalagi sekaligus muncul empat orang
bersamaan waktunya, tidaklah heran kalau Ku im kaucu
dibikin bergidik hatinya selelah mendengar berita tersebut.
Dengan dahi berkerut Hoa Thian-hong termenung
sebentar, kemudian gumannya seorang diri.
"Entah siapakah keempat orang ini" Tang Kwik-siu telah
membakar gedung tempat tinggal Lau Cu cing dan kini
keempat orang kakek tua itu datang mencari aku, dus berarti
persoalan yarg hendak mereka bicarakan dengan diriku juga
pasti menyangkut masalah percarian harta karun dibukit Kiu ci
san!" Ketika Kiu-im Kaucu mendengar soal menggali harta dibukit
Kiu ci san, jantungnya ikut berdebar keras sehingga hampir
saja ia menjerit kaget saking emosinya, segera ia berpikir
dihati. Masalah sebesar ini kenapa tidak kuketahui barang
sedikitpun juga! Aaah.... benar, Tang Kwik-siu bagaimanapun
juga adalah seorang ketua suatu perkumpulan besar,
kedudukannya sangat tinggi dan dia adalah seorang yang
menjaga gengsi berbeda dengan Siang Tang Lay yang pergi
datang ibaratnya sukma gentayangan, andaikata tiada suatu
persoalan yang penting dan serius, tak mungkin manusia
semacam dia bersedia datang kedaratan Tionggoan!"
Sementara dia masih termenung, Hoa Thian-hong telah
berpaling ke arah Cu Im taysu seraya bertanya.
"Sebagai orang yang lebih muda sudah sepantasnya kalau
memberi hormat kepada kaum angkatan tua, taysu, tolong
pergilah ke luar sebentar dan wakililah boanpwe untuk
menyambut kedatangan kakek kakek tua itu!"
Cu Im taysu kelihatan ragu mukanya murung dan
keberatan untuk tinggalkan tempat itu, sinar matanya
malahan dialihkan ke wajah Kiu-im Kaucu.
Rupanya ia kuatir sepeninggalnya dari situ, kedua belah
pihak terjadi bentrokan lagi sehingga pertarungan kembali
berlangsung bila sampai demikian kejadiannya, tanpa
kehadirannya disitu berarti hanya akan melemahkan posisi
pihaknya belaka. Sebagai seorang jago yang berpengalaman luas, tentu saja
Kiu-im Kaucu juga bisa menebak isi hati orang, tiba-tiba ia
menengadah sambil tertawa terbahak-bahak.
"Haaahhh.... haaahhhh.... haaahhh.... Hoa Thian-hong,
benarkah engkau akan beradu jiwa denganku?"
"Keadaanku sekarang ibaratnya anak panah diatas busur,
bagaimanapun juga panah ini harus dilepaskan!" sahut sang
pemuda sambil menarik mukanya.
"Haaahhh.... haaahh.... haaahhh.... kembali Kiu-im Kaucu
tertawa terbahak bahak, kalau kulihat dari pedang bajamu
yang sudah tiada, tentunya kitab Kiam keng telah berhasil kau
dapatkan bukan?" Hoa Thian-hong tertawa dingin.
"Heehhh.... heeehh.... heeehhh.... kitab Kiam keng berada
disakuku, cuma sayang tak mungkin akan kugunakan benda
tersebut untuk di tukarkan dengan engkau!"
Kiu-im Kaucu tertawa, "Tentu saja, tentu saja.... tak usah
kau katakan, aku juga sudah dapat menebak suara
hatiku....Hmm! Sekalipun ilmu silat yang kau miliki setingkat
lebih tinggipun, aku tak nanti akan jeri apalagi takut
kepadamu!" Setelah berhenti sebentar, dia ulapkan tangannya seraya
berkata lebih jauh, "Pergilah dari sini! Kujamin tak akan
mencelakai nyawa Ku Ing-ing, bila isi Kiam keng sudah kau
pelajari, maka aku akan menantang engkau untuk berduel lagi
dihadapan para orang gagah dari seluruh kolong langit, bila
dalam pertarungan itu engkau berhasil mengung-guli diriku,
Ku Ing-ing akan segera kuserahkan kembali kepadamu!"
Betapa girangnya Cu Im taysu setelah mendengar
perkataan itu, cepat dia menyambung, "Kalau memang kaucu
sudah berjanji begini, itulah lebih bagus lagi, aku percaya
sebagai seorang ketua dari suatu perkumpulan besar, apa
yang telah kaucu katakan tak akan disesali kembali, Thianhong!
Hayo kita pergi!" Hoa Thian-hong sendiri dalam hati kecilnya sedang berpikir,
"Kiu-im Kaucu adalah seorang manusia yang licik dan banyak
akalnya, mana ia sudi memberi keuntungan bagiku" Aaai....!
Cu Im taysu memang kelewat jujur orangnya, masa ia belum
tahu betapa lihaynya orang ini....?"
Walaupun dia bisa berpikir sampai disitu namun gagal
untuk mencari tahu dimanakah letak maksud dan tujuan Kiuim
Kaucu dengan tindakannya itu, untuk sementara waktu si
anak muda ini jadi serba salah dibuatnya, mau pergi tapi
bagaimana" kalau tidak pergi, lantas bagaimana"
Terdengar Pui Che-giok berkata lagi dari sisi gelanggang,
"Menerima siksaan api dingin melelehkan sukma, ibaratnya
melubangi batok kepala sambil menyulut lampu langit, bila
dileleh kan selama tujuh hari tujuh malam lamanya korban
akan kehabisan tenaga ibaratnya lentera yang kehabisan
minyak, hawa murninya akan banyak terkuras, dan sekalipun
bisa hidup diapun tak ubahnya seperti seorang manusia cacad
lainnya!" Ucapan itu entah ditujukan kepada siapa tapi semua orang
bisa menduga bahwa perkataan tersebut sengaja ditujukan
kepada Hoa Thian-hong. Tiba-tiba Kiu-im Kaucu tertawa nyaring, kemudian ujarnya,
"Engkau toh bukan anggota Kiu-im-kauw kami, darimana
engkau bisa tahu seluk beluk siksaan ini sedemikian jelasnya?"
Dengan memberanikan diri Pui Che-giok menatap tajam
lawannya, lalu menjawab, "Nona yang memberitahukan
kepadaku!" Kiu-im Kaucu segera tertawa.
"Haaah.... haaahh.... bagus, bagus sekali. Kiranya sedari
dulu ia sudah mengetahui betapa lihaynya siksaan api dingin
melelehkan sukma, jadi kalau begitu ia sudah tahu
kelihayannya tapi sengaja melanggar perataran untuk
mencobanya sendiri" Bagus, kalau begitu biarlah dia tahu rasa
sekarang." Mendengar kata-kata sudah tahu tapi sengaja melanggar
sendiri sakit rasanya hati Hoa Thian-hong, ia tahu kesemuanya
ini adalah lantaran dia, karena mesalah dirinya membuat Giok
Teng Hujin harus menerima siksaan lahir maupun batin....
begitu sakit hatinya serasa bagaikan diiris-iris dengan pisau.
"Bebaskan dia dari siksaan tersebut!" teriak pemuda itu
dengan penuh kebencian "bila engkau bersedia membebaskan
dia, aku pun tak akan melatih ilmu dalam kitab Kiam keng,
setiap saat akan kunantikan tantanganmu untuk
melangsungkan duel satu lawan satu, bila engkau berhasil
menangkan diriku, kitab Kiam keng akan kuserahkan
kepadamu sebaliknya kalau engkau kalah maka nona Giok
Teng Hujin harus engkau lepaskan!"
"Perkataan seorang kuncu berat bagaikan bukit, sampai
waktunya aku pasti akan menantikan kedatanganmu untuk
melangsungkan duel tersebut, sekarang juga akan
kubebaskan dirinya dari siksaan tersebut."
Jawaban ini terlalu cepat dan sama sekali diluar dugaan,
untuk sesaat lamanya Hoa Thian-hong dibikin tertegun dan
tak mampu berkata-kata. Dia cukup mengetahui sampai dimanakah kekuatan ilmu
silat yang dimilikinya sekarang, pada hakekatnya ia tiada
keyakinan untuk menangkan lawannya, dan sekarang ternyata
pihak lawan menyanggupi tantangannya dengan begitu jelas,
itu berarti bila ia tiada memiliki suatu kepandaian yang bisa
diandalkan keampuhannya, tak mungkin perempuan itu begitu
cepat memberikan keputusannya.
Sementara itu Cu Im taysu kembali sudah berkata, "Empat
orang kakek tua itu sedang menanti kedatangan kita diluar
kuil, mari kita sambut kedatangannya!"
Sebenarnya Hoa Thian-hong ingin membuktikan dengan
mata kepala sendiri bagai mana Kiu-im Kaucu membatalkan
siksaan yang menimpa Ku Ing-ing alias Giok Teng Hujin, akan
tetapi setelah diajak pergi oleh Cu Im taystu terpaksa ia
manggut dan siap berlalu dari situ.
Tiba-tiba Pui Che-giok maju kedepan, dengan muka rada
takut-takut ia berkata, "Kongcu, aku.... aku ingin tetap tinggal
di sini untuk melayani nona"
Hoa Thian-hong memang merasa ada baiknya kalau
dayang itu tetap tinggal disana untuk melayani nonanya, tapi
diapun kuatir kalau Kiu-im Kaucu berbuat tidak senonoh atas
diri dayang ini, mengingat Pui Che-giok secara terangkan
berani melawan ketua tersebut, mendengar permintaan itu,
bukannya menjawab sorot mata yang setajam sembilu
malahan dialihkan ke arah ketua perkumpulan Kiu-im-kauw.
Sebagai seorang jago kawakan yang berpengalaman luas,
tentu saja Kiu-im-kauwcu dapat menangkap maksud hati
lawannya, dia segera tertawa tergelak dengan nyaring
Haaah.... haaaah.... haaahh.... majikan susah anjing ikut
susah, majikan gembira anjingpun ikut gembira, jangan kau
anggap aku adalah seorang manusia yang jiwanya picik, tak
mungkin kususahkan seorang dayang yang sama sekali tak
ada artinya bagi pandanganku, biarkan saja ia tinggal disini
untuk menemani majikannya...."
Begitu Kiu-im Kaucu telah memberikan persetujuannya, Pui
Che-giok sambil membopong Soat-ji lantas mengundurkan diri
ke samping dengan mulut membungkam, ini bukan
dikarenakan Kiu-im Kaucu menunjukkan sikapnya yang
terbuka maka ia berterima kasih kepadanya.
Cu Im taysu dan Suma Tiang-cing yang mengikuti pula
kejadian tersebut, dalam hati kecilnya ikut membatin, "Bila Ku
Ing-ing tidak mempunyai kelebihan sebagai seorang majikan
yang baik, tidak mungkin dayangnya menunjukkan kesetiaan
yang luar biasa, aaai! Memang tak bisa disalahkan kalau
budak ini bersedia mengorbankan nyawanya untuk merawat
majikannya, bila dihari biasapun majikannya bersikap luar
biasa puka kepada dayangnya"
Tiga Maha Besar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dalam pada itu, Hoa Thian-hong sedang mengamati
pedang mustika Boan liong po kiam yang berada ditangannya,
tiba-tiba ia melemparkan senjata itu ke arah Tiamcu istana
neraka, kemudian memungut kembali pedang sendiri, setelah
itu tanpa mengucapkan sepatah katapun dia berlalu dari sana,
Co Im taysu dan Suma Tiang-cing sendiri pun tidak banyak
bicara, mereka segera berlalu pula mengikuti dibelakang si
anak muda itu. Sungguh cepat gerakan tubuh tiga orang jago tersebut,
selang sesaat kemudian mereka sudah tiba diluar kuil.
Benar juga diseberang jalan dekat kuil It goan koan
berdirilah empat orang kakek tua berambut putih. Lao Cu cing
berdiri di samping dan sedang bercakap-cakap dengan badan
setengah dibungkukan tanda menghormat.
Walaupun tetap utuh dan putih mulus, badannya gagah
dan langkahnya tegap, sedikitpun tidak kelihatan ketuaannya
ataupun loyo karena dimakan usia.
Jenggot mereka rata-rata sepanjang dada, yang terpendek
pun sadah mencapai dua depa, membuat siapa pun yang
memandang keempat orang itu, segera timbullah perasaan
menghormat. Demikian pula keadaannya dengan Hoa Thian-hong, Cu Im
taysu serta Suma Tiang-cing, tanpa disadari timbul rasa
menghormat dalam hati kecil mereka, dengan langkah yang
menghormat mereka maju menghampirinya.
Hoa Thian-hong berjalan dipaling depan, lantaran dialah
yang dicari oleh keempat orang kakek tua itu, dari kejauhan ia
telah menjura kepada Lau Cu cing seraya berkata, "Berhubung
ada urusan penting, boanpwee telah datang terlambat, mohon
para lojin dan wangwe sekalian sudi memberi maaf yang
sebesar besarnya." Lau Cu cing segara balas memberi hormat.
"Kongcu tak perlu sungkan-sungkan!" sahutnya.
Kemudian dia memperkenalkan kakek-kakek tua itu urut
dengan tempat mereka berdiri, sambil menunjuk ke arah
samping kiri dia berkata, Kakek tua yang ini adalah kong co
(ayahnya kakek) ku, sedang orang tua ini dari marga Gan,
orang tua ini dari marga Li, sedang orang tua ini dari marga
Po yang. Buru-buru Hoa Thian-hong maju kedepan sambil memberi
hormat dalam-dalam, katanya, "Aku yang muda Hoa Thianhong,
menjumpai para orang tua sekalian!"
"Pinceng Cu Im, menjumpai orang tua berempat kata Cu
Im taysu pula seraya memberi hormat"
Sedang Suma Tiang-cing sambil maju memberi hormat
katanya, "Aku yang muda Suma Tiang-cing menjumpai
cianpwe berempat!" Setelah berhadapan muka dengan keempat orang kakek
tua itu sekaligus, beberapa orang jago ini membahasakan
dirinya dengan kedudukan yang rendah, sebab bicara soal
tingkat mereka kalah tingkat sampai empat generasi.
Lau Cu cing sendiri lantas memperkenalkan pula dua orang
jago itu kepada keempat kakek tua tadi, "Taysu ini adalah
seorang hiap kek (jago tua) dari golongan kaum beragama,
sedang Suma tayhiap juga merupakan enghiong diantara
sekalian pendekar, mereka adalah pendekar-pendekar sejati
yang disanjung dan dihormati umat persilatan."
Buru-buru Cu Im taysu serta Suma Tiang-cing
mengucapkan beberapa patah kata merendah.
Senyum ramah selalu menghiasi wajah ke empat orang
kakek tua itu, selesai berkenalan, Kong co dari Lau Cu cing itu
lantas tertawa tergelak seraya berkata, "Kalian semua tak
usah sungkan-sungkan, Haah.... haaah.... haaahh bila ada
tempat untuk berbicara, kami berempat ada urusan penting
hendak dibicarakan dengan diri Hoa kongcu!"
Sebelum Hoa Thian-hong sempat menjawab, Cu Im taysu
telah berseru lebih dahulu, "Tempatnya ada dan tak jauh dari
tempat ini, biarlah siau ceng yang membawa jalan."
Habis berkata dia lantas berjalan lebih dahulu
meninggalkan tempat tersebut.
Jarak antara kuil It goan koan dengan pintu kota timur
memang sangat dekat, Cu Im taysu segera membawa
beberapa orang itu menuju keluar kota.
Walaupun usianya sudah menanjak lebih dari satu abad,
ternyata gerak-gerik keempat orang kakek tua itu masih lincah
dan enteng, Lau Cu cing sendiripun pernah berlatih ilmu silat
maka gerak langkahnya tegap lagi cepat, dengan begitu
perjalanan pun bisa dilakukan dengan sangat cepat.
Selang sesaat kemudian, sampailah mereka disebuah kuil
kecil. Kuil kecil itu letaknya sendirian diluar kota, penghuni kuil itu
cuma seorang pendeta tua yang bergelar It piau, dia adalah
seorang sahabat karib Cu Im taysu selama banyak tahun.
Setiap kali Cu Im taysu berkunjung ke kota Cho ciu, dia
selalu menginap dalam kuil ini, maka setibanya didepan pintu
kuil, ia lantas membuka pintu depan dan mempersilahkan
semua orang untuk masuk keruang tengah.
Ketika fajar baru saja menyingsing, It piau taysu baru saja
menyelesaikan doa paginya, ketika mendengar suara langkah
manusia dia lantas bangkit berdiri dari kursi bantalnya.
Cepat Cu Im taysu menjura seraya berkata, "Maaf, kembali
Cu Im akan mengganggu ketenangan suheng untuk beberapa
waktu." IT piau hweesio balas memberi hormat, bibirnya bergerak
sedikit tapi tak sepatah katapun yang diucapkan, ia lantas
mengundurkan diri dari ruangan tersebut.
Di belakang ruang kuil tersebut merupakan dua buah
kamar kecil, yang satu dipakai untuk tempat tinggal It piau
hweesio, sedangkan yang lain biasanya ditempati Cu Im taysu.
Ketika tiba didepan pintu, It piau hwesio memberi hormat
kepada sekalian tamunya, ketika semua orang sudah masuk
kedalam ruangan, hwesio itu membawa sebuah kasur
duduknya dan masuk kedalam.
Menunggu para tamunya telah duduk semua, Cu Im taysu
baru berkata sambil tertawa, "It piau suheng adalah seorang
padri yang tuli lagipula bisu, dia bukan orang persilatan, maka
bila kalian ada urusan yang hendak dibicarakan, utarakan saja
dengan blak-biakan, sebab sekalipun kita undang
kedatangannya kemari, belum tentu ia bersedia untuk
mendengarkan!" Hoa Thian-hong alihkan sinar matanya keatas wajah Lan Cu
cing serta keempat orang kakek tua itu, kemudian dengan
serius ia bertanya, "Entah ada persoalan apakah cianpwe
berempat datang mencari diriku yang muda ini?"
Kakek Po yang memandang sekejap ke arah Liu Cu cing,
ruparya kekek ini menyuruh dia untuk berbicara lebih dahulu.
Lau Cu cing mengangguk, maka diapun berkata, "Baiklah,
ceritaku kumulai dari peristiwa yang terjadi kemarin malam!"
Dari mulut Hoa Thian-hong, baik Cu Im taysu maupun
Suma Tiang-cing telah mengetahui kalau rumah kediaman Lau
Cu sing telah terbakar, sedang dewa yang suka pelancongan
Cu Thong meninggalkan surat yang memerintahkan Hoa
Thian-hong agar segera berangkat menuju kebukit Kiu ci san.
Semenjak menghadapi peristiwa yang serba
membingungkan ini, mereka bertiga sama-sama ingin
mengetahui duduk perkara yang sebenarnya, malahan
beberapa kali mereka hendak bertanya langsung kepada Lau
Cu cing, tapi setiap kali diurungkan niatnya itu maka ketika
Lau Cu cing akan menceritakan sendiri peristiwa yang telah
terjadi, mereka segera pasang telinga baik-baik.
Dengan suara perlahan Lau Cu cing mulai bercerita,
"Tengah malam kemarin, lima orang jago silat berbaju kuning
tiba-tiba menyerbu masuk kedalam rumahku, mereka berkata
akan menjumpai kongco ku yang masih hidup. Ayahku dan
kakekku sudah lama meninggal dunia, sedangkan kongco ku
masih sehat wal'afiat dan hidup digunung Huang-san, sudah
enam puluh tahun lamanya tak pernah pulang rumah barang
sekali pun, sedangkan kami dari buyut buyutnya secara
teratur datang berkunjung kebukit Huang-san untuk
membayanginya, oleh sebab Kong cu berpesan agar kejadian
ini selalu dira-hasiakan maka tetangga tetangga kami tak
seorangpun yang mengetahui akan kejadian ini"
Ia berhenti sebentar, kemudian sambungnya lebih jauh,
"Kelima orang manusia berbaju kuning itu terdiri dari empat
laki laki dan seorang perempuan, tiga orang diantaranya
bermuka jelek sekali, sedangkan pria yang masih muda dan
gadis yang masih kecil itu berwajah bagus dan menarik,
terutama yang perempuan cantiknya bak bidadari dari
kahyangan akhirnya aku tahu kalau dia Pek Kun-gie putri
ketua dari Sin-kie-pang. Kedatangan mereka amat garang dan
kasar, katanya jejak kongcu kami akan dicari sampai ketemu
terutama Pek Kun-gie, ia selalu menyinggung soal harta
karun, katanya kalau aku tidak memberikan pengakuannya
maka seluruh keluarga kami akan dibantai sampai habis.
Rupanya kakek tua yang menjadi pemimpin rombongan itu
kuatir bila rahasianya terbongkar semua, jalan darahnya
segera ditotok, ketika itulah Pek Kun-gie tak dapat berbicara
lagi" "Jelas dia mempunyai maksud dan tujuan lain, tak mungkin
dara itu benar-benar akan melakukan kejahatan" sela Hoa
Thian-hong dengan cepat. Lau Cu cing tidak memberikan tanggapannya, kembali dia
melanjutkan penuturannya.
"Sepanjang hidup cayhe hanya tahu ber kat makan buah
dewa yang tak ternilai harganya, maka Kongco kami bisa
hidup sampai lebih dari saiu abad, aku sama sekali tidak tahu
menahu tentang soal harta karun, apa lagi setelah kulihat
kedatangan kelima orang itu tidak mengandung maksud baik,
lebih lebih tak berani kukatakan kalau Kong co kami hidup
dibukit Huang-san. Ketika itulah tiba-tiba Pek Kun-gie berkata
"Aku lihat keempat orang itu sudah...."
Kata-kata berikutnya tidak dilanjutkan, tiba-tiba saja orang
she Lau itu membungkam. Tentu saja Hoa Thian-hong sekalian tahu bahwa kata
selanjutnya tentulah kata mati, Lau Cu cing tak berani
melanjutkan kata- katanya oleh karena menyangkut kong co
serta teman-temannya. Selang sesaat kemudian, ia baru meneruskan kata-katanya
lebih jauh, "Betapa gusar dan mendongkolnya hatiku setelah
mendengar gadis itu menyumpahi kongco ku, rasa marah dan
tak senang hati ku ini segera terpancar diatas wajahku,
ternyata kakek yang menjadi pemimpin rombongan itu cukup
cerdas dan cekatan, dari perubahan wajahku dia lantas
tertawa terbahak-bahak, kemudian katanya kepada empat
orang lainnya, 'Cousu ya sangat cerdas dan perhitungannya
tak pernah meleset, kalau tidak lantaran kecerdikannya ini tak
mungkin beliau berhasil mendapatkan sebutir mutiara Lip cu
dan sejilid kitab pusaka Thian hua ca ki diantara beribu-ribu
orang pencari harta.' Heemmm.... heeehmmm.... ia telah
memperhitungkan bahwa keempat orang laki laki itu akan
hidup selama seratus lima puluh tahun lamanya, tak mungkin
keempat orang itu bisa cepat mati!"
Terlanjur mengatakan kata mati, air muka Lau Cu cing
segera berubah hebat dan menunjukkan sikap gugup dan
perasaan tak tenang. Hoa Thian-hong bertiga cuma bisa saling berpandangan
dengan mulut melongo, beribu-ribu orang datang mencari
harta karun, peristiwa itu pastilah suatu peristiwa besar yang
pernah menggemparkan seluruh kolong langit, bila cuma
berita kosong belaka mereka belum tentu akan percaya, tapi
sekarang empat kakek tua berusia seabad lebih yang pernah
mengalami sendiri peristiwa tersebut duduk dihadapan
mereka, mau tak mau terpaksa ketiga orang itu harus
mempercayainya juga. Membayangkan kembali peristiwa yang terjadi dimasa
lampau, tak kuasa lagi Cu Im taysu bertanya, "Apakah kitab
pusaka Thian hua Ci ki termasuk sebagai suatu kitab pusaka
ilmu silat?" Tapi setelah perkataan itu dilontarkan ke luar, padri ini baru
merasa bahwa ia sudah terlanjur bicara yang tidak senonoh,
buru-buru sambungnya lagi.
"Pinceng tidak berniat serakah atau ingin mendapatkannya,
pertanyaanku hanya lantaran rasa ingin tahu belaka!"
Tiba-tiba ia merasa tidak tenang hatinya, cepat tambahnya
lagi, "Omintohud, rasa ingin tahu adalah perbuatan bodoh dan
omong kosong, dosa.... dosa...."
Semua orang merasa geli menyaksikan tingkah laku padri
ini, tapi teringat betapa serius dan berusahanya padri itu
untuk mengekang diri, timbul pula rasa hormat dihati mereka,
maka tak seorangpun berani tertawa.
Tiba-tiba Po-yang Lojin berkata, Thian hua adalah nama
manusia, dia merupakan murid paling kecil dari Kiu-ci Sinkun,
orang ini she Cho dan waktu mati baru berusia dua puluh
tahunan, tapi ilmu silatnya sangat tinggi, ilmu kepandaiannya
yang dipelajarinya adalah jurus-jurus paling ampuh dari
pelbagai perguruan dan partai besar yang ada didunia.
"Dari pelbagai perguruan dan partai besar" sela Suma
Tiang-cing dengan hati terperanjat.
"Betul, ilmu silatnya meliputi pelbagai perguruan dan partai
besar" sahut Po-yang Lojin, "Cho Thian-hua berbakat bagus
dan berotak cerdik, tapi lantaran ilmu silat yang dipelajarinya
terlalu banyak, terlalu ruwet dan tak mungkin baginya untuk
mengingat semua intisari serta kelihayannya selain itu diapun
mempunyai tujuan tertentu, maka setiap kali setelah
mempelajari sejenis ilmu silat, diam-diam ia membuat catatan
sendiri dalam sejilid kitab, lama kelamaan terjadilah sebuah
catatan Ilmu silat yang kemudian diberi nama Thian hua ca
ki!" Sekarang Hoa Thian-hong baru paham dengan duduknya
persoalan, ia lantas berseru, "Tak beran kalau ilmu silat yang
dimiliki Tang Kwik-siu amat banyak ragamnya, macam gadogado,
tapi semuanya tidak sempurna dan tidak matang,
rupanya ia belajar menurut catatan kitab Thian hua ca ki
tersebut....! sekarang aku baru mengerti rahasia ini!"
"Sampai dimanakah macam ragamnya kepandaian silat
orang itu?" tanya Suma Tiang-cing.
Ia pandai ilmu pukulan Tong pit sin kin ilmu iblis hua kut
mo ciang, ilmu sakti kim kong ciat eng. ilmu jari Yu seng sin ci
dan aneka ragam lagi banyaknya.
Sepasang mata Sama Tiang cing melotot besar karena
Tiga Maha Besar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tertegun, serunya kemudian, Waah.... waah.... gado-gado,
benar-benar ilmu gado-gado. Lo wangwe! Silaukan kau lanjut
kan penuturanmu. Lau Cu cing mengangguk. Setelah kupikir-pikir, segeralah kurasakan bahwa duduk
persoalan nya amat rumit.
"Cu Im suheng!" tiba-tiba terdengar It piau hwesio
memanggil dari arah dapur.
Cu Im taysu ingin mendengarkan cerita dari Lau Cau cing,
maka dia hanya mengiakan belaka, apa mau dikata It piau
hwesio kembali memanggil lagi dengan lantang, terpaksa Cu
Im taysu bertanya dengan suara setengah berteriak, "Suheng,
ada urusan apa engkan panggil diriku?"
"Kalian sedang membicarakan soal harta karun, aku tak
berani pergi kesitu!" seru It piau hwesio.
Tertegun Hoa Tbian hong setelah mendengar ucapan
tersebut, segera katanya, "Biar aku yang muda pergi kesana!"
Dia lantas masuk kedapur, selang sesaat kemudian pemuda
itu sudah muncul kembali sambil membawa senampan nasi
dan sayur mayur yang tidak berjiwa, katanya, "Lo suhu itu
menutupi telinganya sendiri dengan kain, tak heran kalau
pembicaraan kita tak terdengar olehnya"
"Omintohud!" seru Cu Im taysu sambil tertawa, "It piau
suheng baru benar-benar terhitung sebagai seorang padri
yang saleh, kalau aku, haaah.... hahh.... haahh.... aku pantas
disebut bwesio sontoloyo, haha haha."
Hoa Thian-hong ikut tertawa, dia lantas menghidangkan
nasi dengan sayur mayur itu kedepan semua orang.
Begitulah, sambil bersantap semua orang mendengarkan
Lau Cu cing melanjutkan kembali penuturannya, "Aku tak
berani memberitahukan tempat tinggal engkong co ku kepada
mereka namun tak mungkin aku membungkam dalam seribu
bahasa, sesudah putar otak akhirnya kujawab bahwa engkong
co ku beserta ketiga orang rekannya suka berpesiar ketempattempat
kenamaan, susah untuk menemukan jejak mereka,
tapi aku bersedia untuk menemukan kembali jejaknya.
Rupanya....Tang Kwik-siu tahu bahwa tiada gunanya
menggunakan kekerasan atas diriku dan lagi merekapun tidak
punya waktu untuk menungga terlalu lama, akhirnya dia
panggil muridnya yang membawa sebuah hiolo warna merah
darah untuk maju kedepan, dari dalam hiolo tersebut Tang
Kwik-siu menangkap seekor kelabang aneh yang tubuhnya
berbintik-bintik hitam, bajuku dising-singkan lalu kelabang itu
dibiarkan menggigit pergelangan tangan kiriku. Dalam
keadaan demikian, sekalipun kegusaran memuncak dalam
benakku, pada hakekatnya aku tak punya kemampuan untuk
memberi perlawanan apa-apa"
"Sungguh tak ku nyana Tang Kwik-siu begitu keji dan bejat
Peristiwa Merah Salju 7 Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen Kisah Membunuh Naga 1
dendam sakit hatinya" Aku lebih rela berhutang budi dan
gorok leher bunuh diri daripada membiarkan kitab Kiam keng
itu terjatuh ketangan Kiu-im Kaucu....!"
"Setiap urusan ada sumbernya," kata Hoa Thian-hong,
"meskipun toako telah diselematkan jiwanya oleh sebatang
Leng-ci, akan tetapi dahun Leng-ci tersebut kau peroleh dari
tangan siaute, dalam hal ini sama sekali tak ada sangkut
pautnya dengan Ku lng ing, dengan sendirinya engkaupun tak
usah berterima kasih dengan mengorbankan jiwamu!"
"Menurut Kun gie!" kata Kho Hong-bwee pula, "dikala ia
ditangkap Pia Leng-cu, engkau pernah menembusnya dengan
menggunakan pedang bajamu itu, yaa urusan itu sudah lewat,
rasanya akupun tak ingin banyak berbicara lagi, tapi engkau
musti ingat, kitab Kiam keng adalah gudangnya ilmu silat,
sejilid kitab pusaka yang diincar banyak orang, benda itu
menyangkut pula mati hidupnya dunia persilatan, oleh sebab
itu aku harap engkau suka mempertimbangkan sebaik-baiknya
sebelum bertindak!" "Terima kasih atas petunjuk dari bibi!"
"Hoa toako!" ujar Pek Soh-gie kemudian, "pedang bajamu
sudah patah, apakah engkau membutuhkan senjata lain?"
"Bila ada sebilah pedang panjang, tolong berilah sebilah
untuk Sian te...." Pek Soh-gie segera masuk kedalam ruangan, selang sesaat
ia telah muncul kembali menyerahkan sebilah pedang panjang
kepada pemuda itu. Hoa Thian-hong segera menggembolnya dipinggang,
setelah membopong Soat-ji bersama-sama jago yang lain
mereka menuju keruang tengah.
Disana telah menanti beberapa puluh orang pelindung
hukum, hiangcu dan tongcu, Kho Hong-bwee segera
menghitung jumlahnya kemudian berangkatlah melakukan
pencarian. Setelah keluar dari kantor cabang kota Cho ciu, Kho Hongbwee
memimpin rombongan itu menuju kepintu kota sebelah
selatan. Waktu itu fajar belum menyingsing, jalan raya sepi dan tak
tampak seorang manusia pun yang berlalu lalang.
Tampaknya Kho Hong-bwee telah mempunyai keyakinan,
dia memimpin rombongan itu bergerak maju kedepan,
sedikitpun tidak tampak ragu-ragu.
Selang sesaat sampailah mereka kepintu selatan, karena
pintu kota masih tertutup maka mereka masing-masing loncat
naik keatas tembok kota, Tiba-tiba Hoa Thian-hong merasakan hatinya tergerak,
pikirnya. "Kalau dilihat keyakinannya yang begitu tebal, mungkinkah
ramalannya memang tepat sekali?"
Sementara ingatan itu masih melintas dalam benaknya,
semua orang sudah melompat keatas tembok kota, dari situ
tampaklah Kho Hong-bwee dengan sorot mata yang tajam
bagaikan kilat sedang mengawasi ke arah tenggara tanpa
berkedip. Hoa Thian-hong ikut memandang ke arah situ, apa yang
dilihat hanyalah kegelapan ditengah keheningan, tak sesuatu
apapun yang terlibat olehnya.
Oh Sam menyusul tiba kesana setelab menengok sekejap
kedepan, tiba-tiba katanya.
"Lapor cubo, tempat itu masih memancarkan cahaya
merah, agaknya baru saja dilanda kebakaran"
Kho Hong-bwee mengangguk, sambil ulapkan tangannya ia
lantas berseru. "Hayo berangkat!"
Ia lompat turun lebih dahulu dan bergerak menuju ke arah
mana munculnya cahaya merah tadi.
Kawanan jago lainnya membungkam dalam seribu bahasa,
melihat pemimpinnya sudah berangkat semua orangpun ikut
menyusul dari belakang, semangat mereka tinggi dan
keberaniannya mengagumkan.
Rupanya cahaya merah itu berasal dari sebuah dusun yang
jaraknya kurang lebih lima enam li dari kota, tentu saja jarak
sedekat itu tidak dipandang sebelah mata oleh orang-orang
itu, tak selang beberapa saat kemudian sampailah mereka
didepan dusun itu. Dalam dusun tadi hanya terdapat tiga pulubhan keluarga
petani, rumah mereka terbuat dari batu bata, rupanya
kebakaran hanya terjadi disebuah gedung belaka, waktu itu
api masih belum padam, sementara para penduduk desa yang
menonton apipun masih berkerumun disitu sambil saling mem
bicarakan peristiwa itu. Tiba-tiba suasana yang semula gaduh menjadi hening dan
sepi kiranya kedatangan sege-rombolan jago silat ini cukup
mengejutkan orang-orang itu.
Dengan sorot mata yang tajam, Kho Hong-bwee menyapu
sekejap sekitar tempat itu, kemudien sambil menatap seorang
laki-laki berusia lima puluh tahunan yang berdandan sebagai
seorang hartawan, tegurnya.
"Maaf kalau mengganggu sebentar lo wangwe, terimalah
hormat dari pinto Kho Hong-bwee"
Ketika orang itu melihat bahwa pemimpin dari rombongan
orang persilatan itu adalah seorang to koh berusia
pertengahan, rasa kaget yang semula menghiasi wajahnya
kian bertambah menyurut, akan tetapi setelah mendengar
nama Kho Hong-bwee, tiba-tiba paras mukanya kembali
berubah, untuk sesaat lamanya ia tak mengucapkan sepatah
katapun. Kho Hong-bwee tidak menggubris sikap orangitu, sambil
tertawa ia menegur lagi, "Lo wangwe, boleh aku tahu siapa
namamu?" Buru-buru orang itu maju beberapa langkah kedepan,
seraya menjura sahutnya, "Aku seorang rakyat kecil yang
bernama Lau Cu cing!"
"Oooh Rupanya Lau wangwe, apakah rumah gedung
wangwe yang ketimpa bencana kebakaran?"
"Benar.... benar...." jawab Lau Cu cing sambil beberapa kali
mengangguk. Dibelakang hartawan itu berkumpul pula sekawanan orang
perempuan, pelbagai macam barang peti dan bungkusan
tersebar di tanah, sekilas pandangan siapapun akan tahu
bahwa merekalah yang telah ketimpa bencana kebakaran itu.
"Setelah Lau wangwe ketimpa bencana, sebetulnya tidaklah
pantas bagi kami untuk mengganggu kesedihan yang kalian
alami, tapi berhubung ada sedikit persoalan yang mau tak
mau harus diperiksa, maka terpaksa kami harus mengganggu
sebentar ketenangan wangwe!"
"Aaah.... mana.... mana.... kalau tootiang ada persoalan
silahkan saja diajukan!"
"Boleh aku tahu lo wangwe, kebakaran ini disebabkan
karena kurang hati-hati ataukah dikarenakan perbuatan dari
musuh kalian?" "Ooh.... kejadian ini karena kurang hati-hati orang kami
sendiri, aku cuma seorang rakyat kecil yang tidak mempunyai
musuh besar, meskipun kebakaran ini telah menghancurkan
rumah leluhur, untung saja tidak sampai melukai orang!"
Dari ucapan tersebut dapatlah diketahui bahwa hartawan
ini, masih merasa beruntung meskipun di tengah kesedihan.
Dalam anggapan orang lain, setelah hartawan ini
menerangkan bahwa kebakaran disebabkan ketidak sengajaan
dan sama sekali tiada hubungannya dengan musuh besar
yang mencari balas, Kho Hong-bwee pasti akan membawa
anak buahnya berlalu dari sana.
Apa yang terjadi" Ternyata Kho Hong-bwee malahan ulapkan tangannya ke
arah Oh Sam sekalian sambil memerintahkan, "Periksalah
disekitar tempat ini, coba lihat apakah ada sesuatu tanda yang
mencurigakan?" Oh Sam sekalian segera mengiakan dan menyebarkan diri
untuk melakukan pemeriksaan, ada yang masuk kedalam
dusun, ada pula yang keluar dari dusun itu, semua gerak-gerik
mereka dilakukan dengan teratur dan tenang, sedikitpun tidak
tampak berisik. Setelah anak buahnya menyebarkan diri Kho Hong-bwee
bertanya lagi, "Lau wangwe, badanmu tetap semangatmu
berkobar, aku rasa tentunya engkau adalah seorang jago
persilatan bukan?" "Waktu masih muda siau bin (rakyat kecil) pernah belajar
ilmu bela diri kampungan, tujuanku tak lebih hanya untuk
menyehatkan badan, tak berani Siau bin anggap diriku sebagai
seorang jago persilatan!"
"Apakah Lau wangwe kenal dengan asal usul kami?" tanya
Kho Hong-bwee sambil tersenyum.
"Bila dugaan Siau bin tidak keliru, semestinya tootiang
sekalian adaleh para enghiong dari perkumpulan Sin-kiepang!"
jawab Lau Cu cing setelah ragu sejenak.
Setelah berhenti untuk tukar napas, dia melanjutkan
kembali lebih jauh, "Setiap penduduk Cho ciu sebagian besar
mengetahui urusan tentang dunia persilatan sekalipun Siau bin
jarang sekali melakukan perjalanan dalam dunia persilatan,
tetapi seringkali kudengar orang membicarakannya, maka dari
itu Siau bin dapat menebak asal usul dari tootiang serta para
enghiong sekalian" Kho Hong-bwee mengerutkan dahinya, lantas berpaling dan
bisiknya kepada Hoa Thian-hong dengan nada lirih.
"Rupanya nama jelek kami telah membangkitkan rasa was
was dalam hati wangwe ini, sekalipun ia tahu duduknya
perkara belum tentu bersedia untuk menerangkapnya kepada
kita, bagaimana sekarang baiknya"!"
"Pengalaman boanpwe dalam dunia persilatan terlalu cetek,
aku tidak berhasil menebak apa alasannnya sehingga wangwe
itu berbuat demikian?" sahut Hoa Thian-hong dengan muka
kesal. Bong Pay yang selama ini membungkam, tiba-tiba menyela
dari samping. "Aku lihat toa moay sangat lembut dan halus budinya,
bagaimana kilau kita suruh dia saja yang menanyakan?"
Pek Soh-gie memandang sekejip ke arah ibunya, kemudian
dengan langkah yang lemah gemulai menghampiri Lau Cu
cing, sehabis memberi hormat katanya dengan lembut, "Lo
wangwe, siau li mempunyai seorang adik kembar yang
terjatuh kelansan musuh, jiwanya terancam bahaya dan kami
sedang mencari jejaknya, apabila lo wangwe mengetahui
jejaknya, sudilah kiranya memberikan petunjuk untuk kami,
atas bantuan dari lo wangwe itu kami pastilah akan merasa
amat berterima kasih!"
Sementara itu fajar telah menyingsing, ketika mendengar
perka-taan tersebut, Lau Cu cing segera alihkan perhatiannya
ke atas wajah Pek Soh-gie ketika menyaksikan raut wajahnya
tiba-tiba ia terperanjat dan mundur selangkah kebelakang
sambil goyangkan tangannya berulang kali.
"Nona, aku harap engkau jangan banyak menaruh curiga!"
serunya dengan cepat, "aku bukan seorang jago persilatan,
dan aku pun tidak tahu dimanakah adikmu berada, aku harap
engkau janganlah mendesak diri ku sehingga aku tak mampi
berbuat apa-apa" Mendengar perkataan itu Pok Soh-gie lantas alihkan soror
matanya ke arah ibuaya, dengan perasaan apa boleh buat dia
gelengkan kepalanya berulang kali.
Jangankan Pek Hujin, Hoa Thian-hong sendiripun dapat
mengetahui bahwa sebab musabab terjadinya kebakaran
digedung keluarga Lau tersebut sudah pasti bukan belatar
belakang karena ketidak sengajaan, akan tetapi setelah
dilihatnya hartawan itu bersikeras untuk membungkam dalam
seribu bahasa, tentu saja Kho Hong-bwee maupun Hoa Thianhong
tidak ingin memaksa dengan memakai kekerasan.
Selang sesaat, para jago yang dikirim untuk melakukan
pencarian di empat penjuru telah kembali kesitu, ternyata
mereka tidak berhasil menemukan sesuatu apapun yang
mencurigakan. Waktu itu Oh Sam juga sedang kembali kepasukannya,
ketika ia lewat disamping sebuah pohon yang besar, tiba-tiba
wajahnya agak tertegun kemudian secepat kilat menghampiri
pohon itu dan memeriksanya dengan seksama.
Kemudian dengan suara keras dia berseru, "Hoa kongcu,
cepat kemari!" Hoa Thian-hong sangat terperanjat, cepat dia maju ke
depan diikuti kawanan jago lainnya, bahkan Lau Cu cing ikut
pula di paling belakang. Pohon Waru itu sangat besar, daunnya rimbun dan tumbuh
tepat didepan gedung keluarga Lau yang terbakar, jaraknya
hanya empat lima kaki saja.
Pada bagian belakang dahan pohon itu tampaklah kulitnya
telah disayat orang bagian, sementara diatas dahan yang
tersayat itu diukir beberapa buah tulisan dengan ilmu
sebangsa tim kongci yang sangat kuat hingga membekaslah
seringkaian tulisan yang nyata.
Adapun tulisan itu, kira-kira berbunyi demikian,
"Ditujukan Hoa Thian-hong,
Berangkat ke Kiu ci secepat mungkin, segera!"
Tulisan Segera itu tulisan dengan sangat cepat, dibawahnya
tercantumlah sebuah tanda bulatan yang diberi ekor, sekilas
pandangan orang akan mengira gambaran itu sebagai
gambaran kecubong (anakan katak).
Orang lain tidak kenal tanda tersebut lain halnya dengan
Bong Pay, begitu mengetahui lambang tadi kontan dia
berseru, "Lhoo.... ini kan lambang kipas dari Cu supek?"
Hoa Thian-hong mengawasinya dengan lebih seksama
sesudah mendengar seruan itu, memang ucapan itu tak salah,
lukisan tersebut memang mirip sekali dengan gambar sebuah
kipas, maka kepada Kho Hong-bwee dia lantas berkata, "Bibi,
tulisan ini rupanya sengaja ditinggalkan Dewa yang suka
pelancongan Cu lo cianpwe, kalau dugaanku tak keliru, tulisan
ini pastilah ada hubungannya dengan masalah Kun gie!"
Pek Soh-gie maju menghampiri tulisan itu setelah diraba
sebentar diapun berkata pula, "Tulisan ini masih basah,
tampaknya di buat belum lama berselang!"
Sampai disitu Kho Hong-bwee pun berpaling lagi ke arah
Lau Cu ci ng seraya berkata, "Lau wangwe, kami sama sekali
tidak mempunyai maksud jahat terhadap dirimu, bila engkau
tahu tentang jejak putriku itu, mohon sudilah kiranya
Tiga Maha Besar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memberitahukan kepada kami, pinto pasti akan membalas
budi kebaikan itu!" "Siau bin benar-benar tak tahu urusan, tiada sesuatu yang
mampu kuucapkan!" sahut Lau Cu cing sambil berbungkokbungkok.
Mendengar perkataan itu, para jago dari Sin-kie-pang ratarata
menunjukkan wajah kegusaran, walau begitu mereka tak
berani mengutarakan kebuasan mereka itu dihadapaa umum,
sebab semua orang tahu nyonya ketua yang memimpin
mereka sekarang terhitung seorang pemimpin yang jujur.
Dalam keadaan begini, apa lagi yang bisa mereka lakukan
kecuali secara diam-diam melotot ke arah Lau Cu cing dengan
muka buas. Dipelototi banyak orang, Lau Cu cing jadi serba salah dan
merasa amat tidak tenteram, sorot malanya berulang kali
melirik ke arah Hoa Thian-hong dengan maksud mohon
pertolongannya. Kendatipun merasa curiga, Hoa Thian-hong tidak sampai
bersikap lain, ia menjura dan berkata.
"Aku adalah Hoa Thian-hong, apakah lo wangwe akan
memberikan sesuatu petunjuk?"
Buru-buru Lau Cu cing balas memberi hormat, sahutnya.
"Sudah lama aku dangar orang berkata bahwa Hoa tayhiap
mempunyai sebilah pedang baja yang berwarna hitam dan
selalu tergantung di pin gang, kenapa...."
Belum habis orang itu berkata, Hoa Thian-hong telah
menukas sambil tertawa tergelak.
"Haahh.... haahhh.... haahhh.... pedang baja itu sudah
patah jadi dua, maka sebagai gantinya aku telah menggembol
sebilah pedang yang lain!"
Lau Cu cing mengangguk tiada hentinya dan berseru, "Aku
memang benar-benar tiada sesuatu yang dapat dikatakan!"
Setelah berhenti sebentar, sambungnya lebih jauh, "Hoa
tayhiap adalah enghiong yang dipuji dan dihormati oleh setiap
umat persilatan apabila ada hal-hal yang perlu kuberitahukan
sudah pasti akan kuutarakan secara blak-blakan"
"Aaah, aku masih muda, aku tak berani menerima kebaikan
dari Lo wangwee!" kata pemuda itu lagi sambil tertawa.
Sementara itu Kho Hong-bwee yang mengamati terus dari
samping, diam-diam berpikir dalam hati, "Licik amat kakek tua
ini, tampaknya dia termasuk pula seorang lakon tersembunyi!"
Sesudah termenung sebentar, dia lantas bertanya, "Thian
bong, apa rencanamu selanjutnya?"
"Aaaai....! Sekarang boanpwe toh sudah berada dikota Cho
ciu, bila kukesampingkaa urusan Ku Ing-ing dengan begitu
saja, terus terang saja dalam hati kecilku aku merasa tak
tega...." "Baik!" tukas Kho Hong-bwee kemudian, aku dan mereka
semua akan melakukan pengejaran lebih dahulu, bila
urusanmu disini sudah selesai segeralah menyusul kami!"
"Boanpwe terima perintah" sahut Hoa Thian-hong sambil
memberi hormat. Kho Hong-bwee tampak menggetarkan bibirnya seperti
mau mengatakan sesuatu lagi tapi maksud itu akhirnya
dibatalkan, sambil memimpin anak buahnya berangkatlah
mereka menuju keselatan. Menanti rombongan itu sudah lenyap dari pandangan, Hoa
Thian-hong baru menghela napas panjang, ia merasakan
kesepian. Selang sesaat kemudian, dia baru menghapus tulisan Cu
Thong itu dan manjura ke arah Lau Cu cing, tanpa
mengucapkan kata-kata lagi dia membawa Soat-ji rase salju
itu kembali ke kota. Setelah kembali kedalam kota, dia ambil keputusan untuk
menyusup kedalam kuil It goan koan malam itu juga, kalau
bisa Ku Ing-ing akan sekalian diselamatkan jiwanya, maka
begitu tiba dirumah penginapan dia lantas tidur nyenyak.
Ketika bangun tengah hari itu, dia lantas menyembuhkan
kembali luka yang diderita Soat-ji dengan tenaga dalamnya
yang sempurna, selesai bersantap siang, Soat-ji tidur diatas
pembaringan sedangkan Hoa Thian-hong ambil keluar kitab
kiam keng itu dan mempelajarinya didepan meja.
Pada halaman pertama, tercantumlah masalah tentang
pedang sebagai suatu benda, ternyata apa yang dibicarakan
sama sekali berbeda dengan kitab pedang manapun juga.
Kalau didalam kitab pedang biasa maka yang dititik
beratkan adalah jurus serangannya yang khusus, maka dalam
kitab kiam keng ini yang dibicarakan adalah soal ilmu pedang
itu sendiri, sekalipun disertai juga hampir seratus macam
lukisan yang berbeda-beda akan tetapi isinya berlainan dan
terselip perubahan yang begitu banyak nya sehingga tak
mungkin bisa dipercayakan dalam waktu singkat.
Dalam waktu singkat Hoa Thian-hong telah terjerumus
kedalam isi kitab itu, seluruh perhatiannya dikonsentrasikan
menjadi satu, tanpa terasa malam pun menjalang tiba, selama
ini meskipun ada sebagian kecil dari isi kitab itu dapat
dipahami olehnya, tapi dapatkah ilmu itu dimanfaatkan bila
terjadi pertarungan, masih merupakan sebuah tanda tanya
besar. Setelah menyimpan kembali kitab Kiam keng, pelayan
datang membawa lampu lentera den siapkan makanan.
Soat-ji masih berbaring diatas pembaringan, sepasang
matanya memancarkan sinar tajam, rupanya kesehatannya
telah pulih kembali seperti sedia kala....
Hoa Thian-hong memandang sekejap, ke arah binatang itu,
lalu tertawa pikirnya di hati, "Soat-ji memang hebat dan
berbahaya, kalau tenang ia lebih tenang dari perawan kalau
sudah bergerak lebih cepat dari loncatan kelinci.... tidak aneh
kalau waktu turun tangan kelihayannya luar biasa...."
Sepasang telapak tangannya segera diluruskan kedepan
dan bersiul nyaring. Secepat sambaran kilat Soat-ji makhluk aneh itu melompat
ketanggan Hoa Thian-hong deagan seksama pemuda itu
memeriksa seku jur tubuhnya, setelah mengetahui bahwa
lukanya telah sembuh, ia merasa amat gembira maka
ditaruhnya binatang itu diatas meja untuk bersantap bersamasama.
Hubungan manusia dengan binatang ini berlangsung makin
akrab, diam-diam pemuda ini menjadi terkenang kembali akan
diri Giok Teng Hujin, tiada hentinya ia menghela napas
panjang. Tiba-tiba terdengar suara langkah manusia berkumandang
memecahkan kesunyian, menyusul pintu kamar sebelah
dibuka orang, kalau didengar dari pembicaraan tersebut,
rupanya ada dua orang yang menginap dalam sebuah kamar.
Suara pembicaraan kedua orang itu amat nyaring dan
bertenaga, seringkali kata-katanya disertai pula dengan kata
sandi yang sering dipakai orang persilatan.
Dari pembicaraan tersebut Hoa Thian-hong segera
mengetahui bahwa kedua orang itu adalah jago dari kalangan
hitam, maka diapun tidak menaruh perhatian khusus.
Jilid 26 : Menyelamatkan Giok Teng Hujin
SELANG sesaat kemudian, kedua orang itupun bersantap
didalam kamar, tiba-tiba terdengar seorang diantaranya yang
lebih muda berkata, "Ang kiu ko, sebenarnya siapa yang telah
membocorkan rahasia itu hingga urusan jadi heboh?"
Suara dari orang she Ang itu kedengaran lebih serak dan
bertenaga, terdengar dia segera menyahut, "Perduli amat
berita itu berasal dari siapa, pokoknya urusan kita adalah
melaksanakan tugas tersebut!"
Orang yang pertama tadi rupanya meneguk dulu araknya,
kemudian dengan suara berat katanya lagi, "Aaaai....! Siaute
kuatir kalau perjalanan kita cuma sia-sia belaka, sekali lagi kita
ke tanggor batunya...."
"Ingat saudara, tembok bertelinga, lebih baik tak usah kau
ungkap lagi masalah itu, Hmm! Kalau engkau tidak ingin
mencari nama dan kedudukan silahkan saja pulang ke rumah
membopong anak meniduri istri dan hidup riang gembira,
siapa yang akan mengurusi dirimu lagi!"
Orang itu segera tertawa dingin dan berseru dengan nada
mendongkol, "Heehh.... heeeh.... heehh.... omong kosong, aku
Ciang Kin bukan seorang manusia yang takut mati, aku cuma
merasa bahwa ilmu silat yang dimiliki lawan kita terlampau
tinggi padahal Hong-im-hwie sudah hancur berantakan dan
tercerai berai, dengan andalkan kita beberapa orang prajurit
yang kalah perang rasanya masih bisa untuk mencari posisi
yang menguntungkan, kalau cuma jiwa yang melayang sih
urusan kecil, bagaimana kalau sampai ditertawakan orang?"
Hoa Thian-hong yang mencari dengar pembicaraan itu,
dalam hatinya segera berpikir.
"Aaah....! rupanya sisa-sisa komplotan dari Hong-im-hwie,
entah urusan penting apakah yang sedang mereka kerjakan?"
Terdengar orang she Ang itu berkata lagi dengan suara
lirih, "Inilah kesempatan bagi kita untuk membalikan diri dan
mencari kedudukan, sekalipun harus korbankan jiwa tua kita
juga harus melaksanakannya dengan mati-matian!"
Ciang Kin lantas berbisik pula dengan suara lembut.
"Menurut berita yang kudengar, katanya musuh besar kita
mendapat perintah ibunya untuk pulang kedesa, ketika tiba
dikota Lok yang tiba-tiba ia berputar arah, menurut berita
kemarin hari dia telah munculkan diri di Hoo lam...."
Pembicaraan kedua orang itu makin lama semakin lirih,
buru-buru Hoa Thian-hong pusatkan seluruh perhatiannya
untuk mendengarkan pembicaraan tersebut dengan seksama.
Terdengarlah orang she Ang itu sedang berbisik dengan
suara yang sangat lirih, "Pendapatmu itu keliru besar,
meskipun ilmu silat yang dimiliki musuh besar kita sangat
lihay, tapi dia bukan seorang manusia yang serakah, bahkan
dia anggap dirinya sebagai seorang pendekar, maka setiap
perbuatannya dilakukan menurut cengli, maka dalam masalah
ini bukan dia yang musti kita kuatirkan, tapi nenek sialan dari
Kiu-im-kauw dan Pek loji dari Sin-kie-pang!"
"Cong tang kee memerintahkan kita semua agar berkumpul
di kota Kim leng, apakah kita harus berjalan mengitari dulu
propinsi Hok kian langsung menuju Bu gi?"
"Tentu saja bukan begitu maksudnya," jawab orang she
Ang dengan suara dingin, "cong tangkee memerintahkan
semua teman agar berputar melewati arah tenggara,
maksudnya hanya untuk menghindari bentrokan dengan pihak
Sin-kie-pang, padahal kota Kiu ci bila dimaksudkan sebagai
arti suatu tempat maka letak yang sebenarnya adalah
dikaresidenan Pa kay di Ghong see, kalau diartikan sebagai
nama sungai maka letaknya dekat Tan yang di propinsi Kang
siok, bila diartikan sebagai nama telaga letaknya ada di
sebelah timur laut karesidenan Kang ling, telaga itu dibuat
oleh Beng taysu pada jaman Liang dengan tenaga manusia,
tapi kalau dimaksudkan sebagai bukit Kiu ci.... waah banyak
sekali jumlahnya!" "Pengetahuan siaute amat cetek, aku hanya tahu di
karesidenan Huan sui sian pada propinsi Hoo tam terdapatt
sebuah bukit Kiu ci san, Kiu ko!"
"Coba terangkanlah ditempat mana lagi terdapat bukit yang
bernama bukit Kiu ci san!"
"Disebelah barat keresidenan Ciau hua sian pada propinsi
Su chian terdapat sebuah bukit yang bernama Kiu ci san,
disebelah utara karesidenan Sam kang sian dipropinsi Kwang
see terdapat pula sebuah bukit kiu ci san, bukit itu bentuknya
sembilan buah patahan dan terdiri dari batu karang yang
tajam, ditengahnya terdapat sebuah air terjun yang amat
besar, inilah bukit Kiu ci san yang sebenarnya, sedang bukit
Bu gi san di propinsi Hok kian terdapat pula sembilan buah
tekukan, pemandangan disitu sangat indah, namun dalam
kenyataan bukit itu bukanlah bernama bukit Kiu ci!"
"Jadi kalau begitu tempat yang kita tuju adalah bukit kiu ci
san yang letaknya ada di See lam?"
Orang she Ang itu tidak menjawab, rupanya ia lagi
mengangguk. Terdengar Ciang Kin berkata lagi, "Oooh....! Rupanya Kiu ko
sudah pernah menjajahi seluruh kolong langit sehingga
pengetahuannya begitu luas, sudah banyak tahun siaute
bergaul dengan dirimu, sungguh tak nyana engkau adalah
manusia selihay itu!"
"Aah. aku sih cuma mendengarnya dari Cong tangkee kita!"
"Sekalipun begitu, toh pengetahuanmu jauh lebih luas
daripada aku sendiri!"
Diam-diam Hoa Thian-hong tertawa geli setelah mendengar
perkataan itu, ketika ia merasa bahwa pembicaraan
selanjutnya adalah kata-kata yang tidak penting, dia lantas
menggembol pedangnya, membopong Soat-ji dan diam-diam
tinggalkan rumah penginapan itu.
Waktu itu senja telah menjelang tiba, jalan raya ramai
sekali, dengan langkah yang santai Hoa Thian-hong
menyelusuri jalan menuju selatan pintu kota.
Selang sesaat kemudian sampailah anak muda itu disekitar
kuil It goan koan, dari kejauhan tampaklah pintu gerbang kuil
itu tertutup rapat, sepintas lalu bangunan itu sudah tidak mirip
sebuah kuil lagi, cahaya lampu menerangi seleruh penjuru,
dari situ dapatlah diketahui bahwa jumlah penghuni yang
bberada disitu amat banyak.
Setelah memandang sekejap dari kejauhan, anak muda itu
segera menyusup masuk kedalam sebuah lorong dan
menyelinap kebelakang bangunan kuil tadi.
Dibelakang halaman kuil terdapat sebuah loteng yang
terdiri dari empat tingkat, bangunannya amat megah dan
mentereng, dahulunya merupakan tempat penting dari It goan
koan, bahkan ketika Giok Teng Hujin menjamu Hoa Thianhong
tempo hari, perjamuan itupun diadakan pada tingkat
paling tinggi dari bangunan tersebut.
Dalam hati Hoa Thian-hong lantas berpikir, "Bila Kiu-im
Kaucu berada didalam kuil dia sudah pasti berada dalam
bangunan itu, tapi dimanakah Giok Teng Hujin disekap?"
Tiba-tiba ia saksikan dua sosok bayangan manusia
berkelebat lewat didepan sana, ilmu meringankan tubuh yang
dimiliki kedua orang itu sudah mencapai puncak
kesempurnaan hingga gerak-geriknya begitu enteng bagaikan
segulung asap ringan saja.
Mula-mula Hoa Thian-hong merasa terperanjat tapi setelah
mengetahui siapakah kedua orang itu ia jadi sangat
kegirangan buru-buru serunya dengan ilmu menyampaikan
suara, "Paman Suma...."
Kiranya salah seorang diantara dua orang yang memakai
baju hijau dan menyoren pedang itu tak lain adalah Kiu mio
Tiga Maha Besar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kiam kek (jago pedang berjiwa rangkap sembilan) bermuka
putih, berambut panjang dan berjubah pendeta warna abuabu,
senjatanya adalah sebuah sekop perak, siapa lagi kalau
bukan Cu Im taysu.... Pada saat itu Suma Tiang-cing sudah siap melompat
kedalam pekarangan kuil, ketika mendengar pangilan tersebut
ia batalkan niatnya dan malahan menghampiri si anak muda
itu. Hoa Thiian hong segera menyambut kedatangan kedua
orang itu, baru saja ia hendak memberi hormat, Cu Im taysu
telah memburu datang sambil membangunkan anak muda itu.
"Nak, sudah lama engkau tiba di sini?" tegurnya sambil
tertawa ramah. "Tengah malam kemarin boanpwe baru sampai disini, ada
urusan apa taysu dan paman Suma datang kesini?"
Kiu mio kiam kek, Suma Tiang-cing segera menjawab, "Aku
dan taysu baru saja pulang setelah berpesiar kebukit Tay san,
sepanjang jalan aku dengar orang berkata bahwa Kiu-im
Kaucu telah menuju ke kota Lok yang bahkan berhasil
menangkap Giok Teng Hujin yang mengkhianati dirinya.
Mendengar berita tersebut aku segera memburu datang
kemari dengan harapan bisa selamatkan jiwanya, sebab ketika
jiwaku terancam tempo hari, berkat beberapa tetes Leng-ci
mustika pemberian Ku Ing-ing lah jiwaku selamat, aku tak bisa
melupakan budi kebaikannya ini....!"
Hoa Thian-hong sama sekali tidak menyangka kalau
sebatang Leng-ci pemberian Ku Ing-ing telah mengundang
bantuan yang begitu banyak dari kawan-kawan persilatan,
pada hal dua pertiga diantaranya sudah dia makan sendiri,
sedangkan sisanya sepertiga pun harus dibagi untuk Suma
Tiang-cing, Chin Giok long dan Bong Pay.
Berbicara menurut perbuatan yang telah dilakukan Ku Inging
selama ini, semestinya Suma Tiang-cing yang benci akan
kejahatan tak mungkin akan singsingkan lengan baju untuk
membantu dirinya, tapi kenyataannya jago berangasan itu
telah datang kemari untuk memberikan pertolongan, kejadian
ini boleh dibilang sama sekali diluar dugaan siapapun.
Melihat wajah Hoa Thian-hong yang diliputi kesedihan dan
kemurungan, Cu Im taysu merasa tak tega, segera sahutnya,
"Nak, janganlah murung! Sebenarnya aku dan paman Samu
mu sudah kelabakan setengah mati, sekarang setelah
bertambah dengan kau seorang maka berarti kesempatan kita
untuk menolong orang semakin besar, mari kita rundingkan
sampai masak, kemudian segera turun tangan!"
Haruslah diketahui, meskipun Hoa Thian-hong tersohor
didunia persilatan, perawakannya tinggi kekar, orangnya jujur
dan wataknya tegas, akan tetapi pada hakekatnya dia baru
berusia sembilan belas tahun, di riridingkan Chin Wan-hong
dan Pek Kun Ci pun masih jauh lebih muda, ia termasuk
seorang pemuda yang cerdik tanpa menghi langkan sifat
kejujurannya, sederhana, polos tapi tidak bodoh, terhadap
kaum yang lebih tuapun sangat menaruh hormat....
Oleh sebab itulah kebanyakan orang persilatan dari
golongan lurus sama-sama menyayangi dirinya, menganggap
dia sebagai seorang rekan yang baik, hanya saja ada sebagian
orang mengutarakan perasaannya itu secara terus terang, ada
pula yang cuma menyimpannya didalam hati.
Sementara itu Suma Tiang-cing telah menuding ke arah
loteng tinggi didalam kompleks kuil It goan koan seraya
berkata, "Ketika senja menjelang tiba tadi, aku telah
menyusup kedalam kuil dan berhasil menangkap seorang
imam cilik dari Thong-thian-kauw, imam cilik itu bertugas
sebagai pelayan yang melayani orang-orang Kiu-im-kauw,
menurut pengakuannya, Kiu-im Kaucu berdiam ditingkat
ketiga bangunan loteng itu, sedangkan Ku Ing-ing disekap
pada loteng tingkat paling atas dan sedang menjalankan
siksaan Api dingin melelehkan sukma yang amat keji,
bagaimanakah cara menjalankan siksaan tersebut dia tak
menyaksikan sendiri, maka tak dapat dikatakan secara jelas,
tapi dia tahu babwa Ku Ing-ing jelas belum mati!"
0000O0000 80 HOA THIAN-HONG menghela nafas panjang.
Aaai....! Jika Kiu-im Kaucu punya keinginan untuk
membunuh Ku Ing- ing, maka perbuatan itu bisa dilakukan
dengan gampang sekali bagaikan membalik telapak tangan
sendiri, tapi kenyataannya ia tidak mau turun tangan untuk
bereskan jiwanya, itu berarti dia sengaja hendak menyiksa
mangsanya dan menggunakan dia sebagai umpan untuk
memancing boanpwee masuk jebakan.
"Kenapa begitu?" tanya Suma Tiang-cing dengan sepasang
alis matanya berkenyit. Kiu-im-kauweu memandang keponakan sebagai paku
dalam mata, dia menganggap aku sebagai penghalang yang
menghalangi niatnya untuk merajai seluruh kolong langit maka
kalau bisa secepatnya berusaha untuk lenyapkan aku, sudah
dua kali keponakan bentrok dengan diri nya, tapi setiap kali
menang kalah sukar ditentukan, oleh karena itu rasa bencinya
terhadap diriku semakin menebal.
Iapun lantas menceritakan peristiwa yang telah dialaminya
selama ini, ketika Cu Im taysu dan Suma Tiang-cing
mendengar kalau ia telah berhasil mendapatkan kitab kiam
keng, kedua-duanya merasa gembira tapi sewaktu mendengar
Tang Kwik-siu tiba masuk kedaratan Tionggoan untuk mencari
harta di bukit Kiu ci san, kembali mereka tertegun.
Cu Im taysu menghela napas panjang, ujarnya, "Meskipun
aku sudah menduga bahwa pertikaian dalam dunia persilatan
belum selesai, namun tak kusangka kalau perubahan yang
berlangsung sedemikian cepatnya, kalau ditinjau dari sini
dapatlah diketahui babwa Kiu-im Kaucu mempunyai ambisi
yang sangat besar, Tang Kwik-siu mempunyai rencana busuk
yang sukar diraba arah tujuannya sedang sisa-sisa laskar dari
Hong-im-hwie dan Thong-thian-kauw masih belum mau
menyerah dengan begitu saja, aku rasa hawa nafsu
membunuh yang menyelimuti dunia persilatan dewasa ini jauh
lebih tebal daripada pertemuan di Pek-beng-hwie mau pun
dalam pertemuan Kian ciau tay hwe!"
Suma Tian cing tertawa dingin.
"Heh.... heehh.... heeh.... Sebagian besar masyarakat
didunia ini kebanyakan menganggap bahwa yang berhasil jadi
raja, yang kalah jadi penyamun karena ketidakpuasan
manusialah menjadikan sebab musabab hingga terjadinya
pertikaian ini, apabila situasi dalam dunia persilatan dapat
dibalikkan seperti keadaan pada lima puluh tahun berselang
dimana orang yang belajar silat suka akan gengsi,
membicarakan soal kedudukan lebih mementingkan
pertarungan satu lawan satu, semua orang menganggap yang
menang kuat yang kalah harus mengaku kalah dan malu
untuk main kerubut, maka dunia persilatan akan menjadi
aman. Bila kita menghendaki keadaan tersebut maka hanya
ada satu cara saja yang bisa kita lakukan!"
"Apakah caramu itu paman?" tanya Hoa Thian-hong
dengan dahi berkerut kencang.
"Hmm! Apalagi" Kita bantai dan bunuh semua kawanan
manusia durjana itu dari muka bumi, asal kaum gembong iblis
itu sudah tersapu lenyap, dunia pasti akan aman."
"Omintohud!" seru Cu in taysu, selama dunia masih dihuni
oleh makhluk yang bernama manusia, maka kejahatan tak
mungkin bisa musnah dari hati umatnya, sekali pun kau basmi
kawanan manusia durjana ge nerasi ini toh dari generasi yang
akan datang akan muncul pula manusia-manusia durjana
lainnya. Suma lote! Ucapan yeng disertai emosi seperti apa
yang kau katakan itu bukanlah suatu cara yang jitu, Thianhong!
Jangan kau anggap perkataannya itu sebagai
sungguhan!" Suma Tiang-cing tertawa dingin.
"Taysu engkau keliru besar!" serunya kembali. "Jikalau kita
bunuh habis manusia-manusia durjana dari generasi sekarang
sekalipun pada generasi yang akan datang muncul pula
manusia durjana lain, aku rasa sifat kejahatannya tentu jauh
lebih ringan" "Thian memberikan pelajaran kepada umatnya agar saling
mengasihi sesamanya, bila kita gunakan membunuh untuk
mencegah membunuh, maka ajaran ini terlalu tidak masuk di
akal dan tak pantas dituruti, Thian-hong! Jangan kau gubris
ajaran semacam itu."
Hoa Thian-hong segera menghela nafas panjang, ia tahu
Suma Tiang-cing masih belum puas, apabila perdebatan in
berlangsung terus sampai beberapa haripun tak ada habisnya,
buru-buru ia menyela dari samping.
"Pendapat dari taysu didasarkan pada pelajaran agama,
sedang pendapat paman Suma didasarkan pada kenyataan,
aku rasa kedua duanya masuk diakal."
Berbicara sampai disini, tiba-tiba dia membungkam dan
tidak mengatakan apa-apa lagi.
Cu Im taysu segera menyambung.
"Memang benar, urusan paling penting yang harus kita
pikirkan sekarang adalah bagaimana caranya untuk menolong
orang, menurut pendapatmu bagaimana kita musti turun
tangan?" Hoa Thian-hong termenung dan berpikir sebentar, lalu
menjawab. "Ku Ing-ing disekap pada loteng tingkat keempat,
sedangkan Kiu-im Kaucu menjaga pada tingkat ketiga, bila
boanpwe ingin menye-lamatkan Ku Ing-ing tanpa diketahui
olehnya, sudah jelas hal ini tak mungkin bisa kulakukan!"
Sekalipun begitu, kita masa harus merampasnya secara
terang-terangan...."!" tanya Cu Im taysu dengan cepat.
"Boanpwe yakin, dengan kekuatan kita bertiga sekalipun
harus berhadapan muka dengan kawanan jago Kiu-im-kauw
yang berkumpul seruangan, kita masih mampu menerjang
masuk dan mampu juga untuk menerjang keluar, akan tetapi
kalau dikatakan kita harus menembusi kepungan mereka
sambil membawa Ku Ing-ing, jelas pekerjaan ini sulit sekali
untuk dilaksanakan" "Perkataanmu memang benar, dalam kea aan kepepet bisa
saja Kiu-im Kaucu turun tangan membereskan dulu nyawa Ku
Ing-ing. Aaaai....! Aku rasa persoalan ini merupakan suatu
persoalan yang amat sulit, pa dahal perempuan itu harus
diselamatkan jiwanya, apa daya kita sekarang?"
Hoa Thian-hong menghela napas panjang, dia lantas
berpaling dan memandang ke arah Suma Tiang-cing.
Melihat sinar mata kedua orang itu ditujukan ke arahnya,
dengan cepat Suma Tiang-cing gelengkan kepalanya sambil
berkata, "Sudah setengah harian aku peras otak berusaha
mencari akal yang bagus, tapi usahaku ini selalu gagal, kalau
bisa malah aku akan mengambil keputusau untuk menyerbu
pakai kekerasan, kalau perempuan itu berhasil diselamatkan
yaa syukur, kalau tak bisa akan kulakukan pembantaian secara
besar-besaran agar Kiu-im Kaucu mengetahui sampai
dimanakah kelihayanku, cuma begitu jika aku gagal
selamatkan jiwa orang, maka kemungkinan besar jiwa Cu Im
taysu akan ikut jadi korban"
Cu Im taysu tersenyum. "Meskipun aku tidak suka melakukan pemubunahan, akan
tetapi aku tak takut menghadapi bacokan golok, apalagi
disuruh bertempur boleh dibilang merupakan suatu
kegembiraan!" Hoa Thian-hong termenung sebentar, tiba-tiba katanya,
"Boanpwe telah menemukan suatu cara yang amat sederhana,
bagaimana kalau kita bertiga turun tangan bersama" Kita
serbu secara menggelap maupun secara terang-terangan, lihat
saja bagaimana hasilnya nanti!"
"Baik! Suma Tiang-cing menanggapi dengan suara berat,
aku rasa inilah satu-satunya cara yang paling ada harapan,
biarlah aku dan Cu Im Taysu menyerbu secara terangterangkan,
kalau bisa akan kami belenggu musuh tangguh itu
sebisa mungkin, sedangkan engkau segera menyusup
kepuncak loteng untuk menolong orang"
"Benar, bila kau berbasil selamatkan perempuan itu maka
berusahalah untuk menerjang keluar, jangan kau gubris diriku
dan paman Suma lagi!" kata Cu Imn taysu sambil tertawa.
Suma Tiang-cing mempunyai julukan sebagai Kiu mio kiam
kek, jago pedang berjiwa rangkap sembilan, bukan saja
beraninya luar biasa diapun seorang pemberang, sekali pun
dihadapannya terhalang hutan golok atau bukit pedang ia tak
akan memandang sebelah matapun.
Maka begitu melihat keputusan telah di ambil, ia lantas
loncat masuk kebalik dinding pekarangan kedalam kuil It goan
koan. Menyaksikan hal itu, buru-buru Cu Im taysu berseru kepada
anak muda itu, "Engkau harus berhati-hati....!"
Dengan cekatan tubuhnya ikut loncat masuk kedalam
pekarangan kompleks kuil itu.
Hoa Thian-hong tak berani berayal, cepat diapun melesat
kedepan dan menyusup masuk kedalam kompleks kuil It goan
koan tersebut. Sebagai orang yang bertanggung jawab untuk
menyelamatkan jiwa Ku Ing-ing, pemuda itu tak berani
bertindak secara gegabah, dengan sangat hati-hati dan hampir
boleh dibilang menempel pada dinding bangunan, dari satu
bangunan berpindah kebangunan yang lain tanpa
menimbulkan sedikit suara pun, dengan gerak-geriknya ini
kendatipun ada orang disekitar sana, belum tentu bisa
ditemukan dengan gampang.
Belakang dinding pekarangan adalah sebuah kebun bunga,
disitu pohon dan rumput tumbuh dengan suburnya, ada
gunung-gunungan, ada kolam dan ada pula pintu berbentuk
bulat. Dibelakang pintu itu berdirilah sebuah bangunan loteng
yang megah, ketika Hoa Thian-hong melompat masuk lewat
dinding pekarangan, Suma Tiang-cing dan Cu Im taysu sudah
menyusup masuk lewat pintu bulat tadi, cepat si anak muda
itu bersembunyi dibelakang pintu bulat itu sambil mengawasi
gerak-gerik dari dua orang rekannya.
Rembulan bersinar dengan terangnya diawang-awang,
cahaya lampu memancar dari bawah, dalam suasana terang
benderang tentu saja jejak Suma Tiang-cing dan Cu Im taysu
tak bisa disembunyikan lagi, segera mereka berhasil
ditemukan oleh penjaga loteng itu.
Tiga Maha Besar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Siapa disitu?" terdengar seseorang membentak kasar.
Aku Suma Tiang-cing dan Cu Im taysu sengaja datang
kemari untuk menyambangi kaucu mu!"
Bersamaan dengan selesainya ucapan tersebut, tubuhnya
langsung meluncur keudara dan menerjang keloteng tingkat
ketiga. Loteng tingkat ketiga jaraknya ada belasan keki, dalam
dunia persilatan dewasa ini jarang sekali ada orang yang
mampu melakukan hal itu, dengan sendirinya para penjaga
loteng itu segera sadar bahwa mereka telah kedatangan
musuh tangguh. Dengan hati tercekat, kedua orang penjaga itu segera
membentak keras, secepat sambaran kilat mereka menerjang
maju kedepan. Dengan gaya burung bangau menerjang ke angkasa,
laksana anak panah yang terlepas dari busurnya, Suma Tiangcing
membumbung keangkasa, belum habis ia berseru
sepasang kakinya sudah menempel diatas tiang dan pedang
mustikanya diloloskan pula dari sarungnya.
Dengan suatu gerakan yang amat cepat, kedua orang itu
menerjang tiba, terdengarlah suara desingan tajam menderuderu,
sebuah tombak pendek dan sebuah senjata pit baja
penotok jalan darah dengan gerakan yang amat cepat telah
meluncur tiba. Sama Tiang cing segera membentak nyaring, "Siapa berani
menghalangi aku, mampus!"
Pedangnya secepat sambaran kitat segera melancarkan
serangan kilat ke arah depan.
Dua orang jago yang bertugas menjaga loteng itu
merupakan dua orang jago lihay dari istana neraka, bukan
saja bentuk senjata yang digunakan sangat aneh, jurus
serangan yang digunakan cukup mengge-tarkan hati siapapun
yang memandang, bila orang lain yang dihadapi nisca nyalinya
akan dibuat tercekat. Sayang musuh yang dihadapinya justru adalah Kiu mio
Kiam kek yang pemberang, jago muda ini tak pernah
mempersoalkan apakah musuh yang dihadapinya adalah
musuh tangguh atau kaum keroco, begitu menyerang ia
segera melancarkan serangan dengan jurus yang ganas dan
tenaga yang mengerikan, membuat siapapun jadi keder
rasanya. Setelah melepaskan serangannya tadi, kemudian
menyaksikan Suma Tiang-cing melancarkan sergapan dengan
pedang bajanya, dua orang jago dari istana neraka itu segera
menyangka kalau musuhnya akan menangkis ancaman
tersebut deagan mengandalkan ketajaman senjatanya.
Siapa tahu, bukan saja ancaman itu tidak ditangkis,
ternyata pihak lawan malahan melepaskan pula ancaman
maut ke arah mereka dengan sistim adu jiwa.
Tentu saja kedua orang jago itu tak ingin mati konyol,
sebelum serangannya dilancarkan sampai habis, cepat-cepat
kedua orang itu membatalkan kembali ancamannya seraya
melepaskan jurus serangan untuk menyelamatkan diri.
Sayang serbu kali sayang, Suma Tiang-cing bukan manusia
sembarangan, dan lagi dalam melepaskan ancamannya itu ia
telah menghimpun segenap kekuatan yang dimilikinya, boleh
dibilang sergapannya tanpa memperhitungkan mana lebih
duluan dan mana belakangan.
Baru saja jago yang bersenjata tombak itu berusaha untuk
menghindarkan diri kesamping, tahu-tahu...."Krakk!" ditengah
benturan nyaring, senjata tombaknya itu sudah terpapas
kutung jadi dua bagian. Jago yang bersenjata poan koan pit itu cepat memburu
kedepan. senjatanya diputar menusuk kaki Suma Tiang-cing,
maksudnya dengan serangan tersebut maka ia dapat
selamatkan jiwa rekannya.
Siapa tahu Suma Tiang-cing bertindak cekatan, sekali
angkat kakinya tahu-tahu ia sudah menginjak senjata lawan,
menyusul mana sebuah tendangan dahsyat melemparkan
tubuhnya sehingga mencelat sejauh satu kaki lebih dari
tempat semula. Pada hakekatnya anak buah Kiu-im-kauw yang diatur
disekitar bangunan loteng itu khusus disediakan untuk
menghadapi Hoa Thian-hong, apa lacur sekarang yang baru
dihadapi adalah Suma Tiang-cing seorang jago yang nekad
dan pemberang, kontan saja pertahanan mereka dijebolkan
hanya cukup dalam sekali gebrakan.
Baru saja musuhnya terdesak mundur ke belakang, Suma
Tiang-cing sudah memberatkan tubuhnya dan melayang
keatas serambi. "Manusia kasar, mau kabur kemana" tiba-tiba seorang
perempuan dengan suara yang dingin menyeramkan menegur
dari samping. Berbareng dengan seruan tersebut, sepulung desingan
hawa pedang yang tajam menyergap kedepan dan langsung
menghajar jalan darah Ki bun hiat ditubuh Suma Tiang-cing.
Betapa terperanjatnya jago muda itu menghadapi serangan
yang sama sekali tak terduga ini, peluh dingin sampai
mengucur keluar membasahi sekujur mbuhnya.
Cepat pedang mustikanya dikibaskan kedepan dengan jurus
bwe bong wu liu (Pusaran angin mainkan pohon Liu), bukan
saja ia tidak memperduiikan keselamatan jiwa sendiri,
malahan sambil bergerak kedepan ia melancarkan serangan
balasan. Sreeet....! Senjata sekop dari Cu Im taysu meluncur tiba
dari samping gelanggang. Dengan berkobarnya pertarungan itu maka dalam sekejap
mata, api obor sudah bermunculan di empat penjuru dan
menyoroti daerah sekitar gelanggang hingga terang
benderang bagaikan disiang hari, berbareng itu pula dari
kedua belah sisi serambi bermunculan puluhan orang laki-laki
maupun perempuan. Dalam keadaan demikianlah pintu loteng terbuka, Kiu-im
Kaucu dengan senjata toya kepala setannya munculkan diri
didepan muka. Sementara itu Suma Tiang-cing telah melihat jelas bahwa
tandingannya ketika itu adalah seorang gadis berambut
panjang yang berpotongan badan ramping, dia kenali gadis itu
sebagai Tiamcu istana neraka dibawah pimpinan Kiu-im
Kaucu, bahkan mengenali juga bahwa senjata mustika yang
dipergunakannya adalah pedang mustika Bian liong poo kiam
bekas milik Thong-thian-kauw.
Dalam waktu singkat dua puluh gebrakan sudah lewat
dengan cepatnya, pertarungan berlangsung makin sengit dan
seru. Waktu itu usia Suma Tiang-cing baru mencapai tiga puluh
tahunan, sedangkan Tiamcu istana neraka berusia diantara
tiga puluh tahunan juga, bukan saja wajah mereka cakep dan
cantik, senjata yang digunakan juga adalah senjata mustika,
berbicara yang sesungguhnya pertarungan semacam itu
pastilah berlangsung dengan halus dan lembut.
Apa lacur watak Suma Tiang-cing seorang pemberang dan
ganas, setiap serangan yang dilancarkannya selalu bermaksud
untuk melukai orang, hal ini memaksa Tiamcu dari istana
neraka terpaksa harus mengeluarkan pula jurus-jurus
ampuhnya untuk melayani kehendak lawan.
Kiu-im Kaucu hanya menonton jalannya penarungan itu
dari sisi kalangan, sepasang alis matanya berkenyit hingga
menjadi satu garis, dengan suara lantang ia berseru, "Suma
Tiang-cing sudah tersohor sebagai seorang jagoan yang
pemberang dan besar sekali jiwa nekadnya, ia sudah terbiasa
melakukan serangan-serangan kasar macam itu...."
"Anjing betina tak usah banyak bacot, kalau berani hayo
turun kemari.! tukas Suma Tiang-cing sambil membentak
gusar. Kiu-im Kaucu sama sekali tidak melayani makian tersebut,
malahan sambil tertawa ujarnya, "Engkau bukan tandinganku
maka lebih baik tak usahlah menantang aku untuk bertarung,
saat ini Hoa Thian bong telah menyusup naik keatas loteng
aku harus berjaga-jaga disana menunggu kedatangannya!"
Betapa terkejutnya Suma Tiang-cing sesudah mendengar
perkataan itu, dia lantas menduga bahwa dialas loteng telah
disiapkan jebakan yang lihay sehingga gembong iblis ini
membiarkan musuhnya berhasil menyusup naik ke atas.
"Kalau memang terjadi begini, bukankah itu berarti bahwa
selembar jiwa Hoa Thian-hong sedang terancam bahaya
maut?" Karena memikirkan persoalan itu pikiran dan perhatiannya
jadi bercabang, Tiamcu istana neraka tidak menyia-nyiakan
kesempatan baik itu dengan begitu saja, dia lantas
membentak keras, pedang mustika boan liong kiam hoatnya
dengan memancarkan cahaya bianglala yang amat
menyilaukan mata segera memancar memenuhi seluruh
angkasa, dalam waktu singkat dia telah melancarkan
serangkaian serangan balasan yang amat gencar.
Sesudah kehilangan posisinya yang baik, dengan cepat pula
Suma Thiang cing terdesak hebat sehingga kedudukannya
berada di bawah angin. Dalam waktu singkat secara beruntun dia telah menemui
ancaman mara bahaya, untungnya dia memiliki jurus untuk
adu jiwa yang mengerikan, maka setiap saat dia masih
mampu untuk menyelamatkan jiwanya dari ancaman itu.
Sementara itu dipihak lain, Hoa Thian-hong telah
manfaatkan kesempatan berkobarnya pertarungan itu secara
baik-baik, sesudah berputar kesamping, sambil membopong
Soat-ji dia lantas melompat naik ke loteng tingkat keempat.
Dalam prasangkanya disekitar loteng itu sudah pasti telah
disiapkan jebakan maupun penjagaan yang sangat ketat, tapi
apa yang dilihatnya waktu itu"
Ternyata suasana diatas loteng tingkat keempat itu sunyi
senyap tak kedengaran sedikit suarapun, bukan saja tak
nampak adanya bayangan manusia, alat jebakan atau senjata
rahasiapun tak nampak satupun.
Diatas serambi loteng tergantung sebuah lampu lentera
yang anti hembusan angin, cahaya yang redup menyinari
sebuah pintu ruangan yang berukir naga dan burung hong.
Dengan cekatan Hoa Thian-hong melayang kedepan dan
mendorong pintu tersebut, ternyata pintu tidak terkunci,
ketika didorong segera terpentang lebar.
Ruangan itu kosong melomgpong, tak kelihatan sesosok
bayangan manusia pun yang berada disitu.
Ruangan itu luasnya sekitar tiga kaki persegi, sepuluh buah
lentera keraton yang indah tergantung didalam ruangan itu.
Hoa Thian-hong masih ingat ketika ia dijamu Giok Teng Hujin
tempo hari, dalam ruangan inilah perjamuan tersebut
diselenggarakan. Sayang suasana dalam ruangan itu remang-remang,
diantara sepuluh buah lampu lertara yang tersedia dalam
ruangan itu, hanya dua buah diantaranya yang dipasang,
ditengah suasana yang remang-remang itulah Hoa Thian-hong
merasakan suatu perasaan yang sangat aneh.
Didekat ruangan itu terdapat tiga buah pintu, didepan pintu
tergantung horden yang cukup tebal, sekilas pandangan
dapatlah di ketahui bahwa dalam ruangan itu tersedia tiga
buah kamar tidur. Setelah menutup kembali pintu ruangan, Hoa Thian-hong
bergerak masuk kedalam untuk melakukan pemeriksaan,
waktu itulah Soat-ji yang berada dalam bopongannya
mendesis lalu melompat turun dan secepat kilat menyusup
masuk kedalam ruang tidur sebelah tengah.
Tanpa sadar perasaan hati Hoa Thian-hong berubah jadi
amat tenang, cepat dia menyelinap kedepan pintu dan
menyingkap horden yang menutupinya. Apa yang kemudian
terlihat dihadapannya membuat darahnya tersirap, dengan
mata melotot karena menahan gusar dia menyerbu masuk
kedalam ruang itu, serunya setengah mendesis, "Cici....!"
Semula ruangan tersebut adalah sebuah kamar rahasia,
tapi sekarang perabot yang ada dalam ruangan itu sudah
dipindahkan semua sehingga tinggal sebuah ruangan yang
kosong melompong. Ditengah ruangan terdapatlah sebuah meja sembahyangan
yang tampak masih baru, diatas meja sembahyangan
terdapatlah empat buah patung arca setinggi beberapa depa
yang tersebut dari kayu wangi, patung itu ada yang duduk ada
pula yang berdiri, bentuknya satu sama yang lain jauh
berbeda. Cuma saja keempat-empatnya adalah patung perempuan
dan berambut parjang sampai sepundak.
Meskipun raut wajah yang digambarkan pada keempat
patung itu tidak jelek, tapi seperti halnya dengan Kiu-im
Kaucu, paras muka mereka, membawa selapis kemisteriusan
yang sukar dilukiskan dengan kata-kata.
Didepan sebuah patung arca itu terletak sebuah hiolo,
diatas hiolo itu tertancap hio yang mengeluarkan bau dupa
wangi, cuma tidak kelihatan ada lilin.
Kurang lebih empat lima depa didepan meja sembahyangan
itu terdapat kasur bulat untuk semedi, waktu itu Giok Teng
Hujin duduk diatas kasur tadi sambil menghadap ke arah
patung arca, tubuh bagian atasnya berada dalam keadaan
bugil, rambut nya yang panjang terurai menutupi
punggungnya yang telanjang itu.
Didepan kasur bulat itu tergantung sebuah lampu lentera
terbuat dari tembaga yang aneh sekali bentuknya, diatas
lampu itu terdapat tutupnya, diatas penutupaya terdapat tujuh
buah lubang kecil, asap hijau dan percikan api kecil manancar
keluar dari ketujuh lubang itu menciptakan tujuh buah asap
hijau setinggi delapan sembilan cun.
Ketika asap itu menggumpal keatas segera bergabung
menjadi satu dan berbelok menuju ke arah dada Giok Teng
Hujin, kobaran api itu segera membakar dadanya dengan
ganas. Tepat pada lekukan payudara Giok Teng Hujin tergantung
sebuah bulatan sebesar mulut cawan arak yang berwarna
keperak-perakan, kebakaran api yang bergabung setelah
keluar dari ketujuh lubang kecil itu langsung memancar keatas
bulatan perak itu dan memanggangnya hingga
memperdengarkan bunyi gemericik yang amat nyaring.
Sekujur tubuh Giok Teng Hujin kelihatan gemetar keras,
badannya telah basah kuyup bermandikan peluh.
Rupanya kesadaran Giok Teng Hujin waktu itu belum
Tiga Maha Besar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lenyap sama sekali, ketika mendengar panggilan dari Hoa
Thian-hong dengan cepat dia berpaling ke arah samping dan
mengguraikan rambutnya yang panjang untuk menutupi
seluruh bagian raut wajahnya.
"Jangan sentuh aku!" terdengar gadis itu berseru dengan
nada gelisah, "jangan kau sentuh lampu lentera itu!"
Suara itu kering, serak dan tak enak didengar, seakan-akan
bukan berasal dari mulut perempuan itu.
Hoa Thian-hong segera menerjang kehadapanya dan
berlutut disamping tubuh Giok Teng Hujin, sekujur badannya
gemetar keras sepasang matanya berubah jadi merah
membara sementara air mata jatuh bercucuran membasahi
seluruh wajahnya. "Cici.... kau....!" akhirnya ia terisak dan tidak sanggup
melanjutkan kembali kata-katanya.
Beberapa titik air mata jatuh bercucuran membasahi wajah
Giok-teng hujin ketika ia tundukkan kepalanya, air mara itu
menetes diatas lampu lentera itu dan seketika muncullah asap
warna hijau yang sangat mengerikan.
Pemandangan ketika itu benar-benar mengenaskan, baru
pertama kali ini Hoa Thian-hong menyaksikan jalannya siksaan
yang amat keji ini, tentu saja hatinya terasa jadi remuk
redam, darah panas dalam rongga dadanya ikut bergelora
dengan hebatnya, dia ingin turun tangan namun tak tahu apa
yang musti dilakukan pada saat ini
Rupanya Soat-ji rase salju stupun tahu bahwa majikannya
sedang menjalankan siksaan yang kejam, dikala itu makhluk
tersebut ber sandar disisi majikannya sambil merintih tiada
hentinya, tampaknya binatang itu sedang beriba hati.
Hoa Thian-hong merasa dendam bercampur benci, tiba-tiba
serunya dengan nyaring, "Cici, apa yang harus kulakukan!"
Saking jengkelnya, dengan sekuat tenaga dia hajar
permukaan lantai itu keras-keras.
"Lampu itu!" bisik Giok Teng Hujin dengan lirih.
Mendengar seruan tersebut, buru-buru Hoa Thian-hong
menarik kembali tenaga pukulannya.
"Blaang! sebuah bekas telapak tangan yang dalam sempat
membekas diatas permuaan lantai, untungnya lampu siksaan
tersebut tidak sampai tergetar oleh pukulan tadi.
Giok Teng Hujin benar-benar tersiksa lahir batinnya
menghadapi siksaan api dingin melehkan sukma yang
dialaminya sekarang, akan tetapi dengan tabah dihadapinya
secara jantan. Tatkala ia saksikan kedatangan Hoa Thian-hong untuk
pertama kalinya tadi, dua titik air mata memang sempat
meleleh keluar, akan tetapi dengan cepat semua penderitaan
dan siksaan yang dialaminya ditahan didalam hati, sesudah
berhenti beberapa saat lamanya segera ujarnya.
"Aaai.! Bagaimanapun aku toh tak bisa hidup lebih lama
lagi, daripada aku hidup menanggung derita, lebih baik
totoklah jalan darah kematianku, agar aku bisa lebih cepat
melepaskan diri dari siksaan hidup ini!"
"Tidak!" jerit Hoa Thian-hong sambil menggigit bibir
menahan air matanya yang meleleh keluar.
Giok Teng Hujin menghela nafas panjang.
"Aaii! Setiap manusia tak luput dari kematian, aku merasa
amat puas apabila bila mati disisimul"
Engkau tak boleh mempunyai ingatan semacam itu, hayo
keluar kanlah semangat dan keberanianmu untuk melanjutkan
hidup, sekalipun harus pertaruhkan selembar jiwaku akan
kutolong juga engkau hingga lolos dari mara bahaya.
Seekor semutpun menginginkan hidup, apa lagi aku adalah
seorang manusia, mengapa aku tidak ingin hidup" Bukan
begitu saja dan lagi, aai! aku benar-benar merasa berat untuk
meninggalkan engkau. Sekalipun ucapan tersebut sangat pendek dan singkat,
akan tetapi luapan cinta yang diperlihatkan dalam perkataan
itu benar-benar sanggup melelehkan besi baja.
Hoa Thian-hong merasa hatinya amat sakit bagaikan
ditusuk dengan pisau tajam, air matanya jatuh bercucuran
membasahi wajahnya. Ketika dilihatnya sekujur badan Giok Teng Hujin gemetar
keras, seolah-olah sedang menahan suatu penderitaan yang
hebat, buru-buru ia menyeka air matanya sambil berseru lagi,
"Beritahukanlah kepadaku, sebenarnya macam apakah lampu
setan itu, aku hendak mencarikan akal untuk menyelamatkan
jiwa mu!" Giok Teng Hujin gelengkan kepalanya dengan sedih, sambil
terisak menahan tangisnya ia menjawab, "Berilah jawaban
dulu kepadaku, engkau harus berjanji tak akan menerima
paksaan dari kaucu walau berada dalam keadaan apapun,
engkau tak boleh mudah menyerah dengan begitu saja."
Hoa Thian-hong merasa hatinya semakin perih apalagi
setelah mendengar betapa perhatiannya Giok Teng Hujin
terhadap dirinya walau berada dalam keadaan begitu.
Akhirnya Hoa Thian-hong berjanji tak akan menerima
paksaan dari Kaucu jika ini yang dikehendaki oleh Giok Teng
Hujin. Kemudian diterangkanlah oleh Giok Teng Hujin dengan
nada sedih kepada Hoa Thian-hong.
"Dadaku telah dilapisi oleh serbuk perak yang dinamakan
Miat ciat in leng (serbuk dingin pelenyap keturunan) bubuk itu
dibuat menurut resep rahasia yang hanya dimiliki oleh Kiu-imkauw,
yakni terbuat dari campuran kotoran ulat sutera,
empedu burung-burung yang bisa berbunyi, air liur katak
buduk, butiran putih telur dari ubur-ubur, kulit ari dari cacing
dicampur pula dengan bubuk phospor yang mengandung
racun jahat, bila serbuk perak Miat ciat in leng ini dipoleskan
diatas dada seseorang, racun itu akan segera meresap ke
tubuh ma-nusia bila dibiarkann terus maka racun itu akan
menyerang kejantung yang mengakibatkan kematian dari
korbannya!" Perempuan itu berhenti sebentar, kemudian meneruskan
lagi kata katanya lebih jauh, "Lentera yang bisa melelehkan
sukma ini pun bukan benda sembarangan, didalam lentera itu
di isi dengan hawa racun dari katak puru (sejenis katak yang
kasar kulitnya dan berbintik-bintik), karena mendapat
pembakaran dari cahaya api lentera ini, maka hawa racun Miat
ciat in leng yang dipoleskan kedadaku jadi terhisap, karenanya
jiwaku bisa selamat sampai kini, tapi jika kutinggalkan cahaya
api ini, racun tersebut segera akan menyerang kejantungku
yang akan mengakibatkan aku jadi tewas!"
"Tapi.... tapi.... betapa sengsara dan tersiksanya tubuhmu
karena selalu dibakar oleh api yang menyala-nyala ini?" seru
Hoa Thian-hong sambil menggigit bibirnya kencang.
"Aaai....! Sebagaimana kau ketahui: 'Api dingin melelehkan
sukma' adalah siksaan yang paling keji dan paling berat dari
Kiu-im-kauw kami, masih mendingan kalau siksaan itu hanya
Ngo kiam hun si (lima pedang memisahkan mayat)...."
"Apakah ada pemunahnya atau tidak?" tanya pemuda itu
kemudian dengan penuh rasa dendam.
Giok Teng Hujin manggut-manggut.
"Ada sih ada, cuma obat pemunahnya hanya dimiliki oleh
kaucu seorang....!" "Aku akan mencari dia sekarang juga!" seru Hoa Thianhong
sebelum perempuan itu menyelesaikan kata-katanya,
cepat dia bangkit berdiri dan siap berlalu dari situ.
"Eeh.... tunggu sebentar!" seru Giok Teng Hujin gelisah.
Hoa Thian-hong berpaling sambil menyeka air mata yang
meleleh keluar bercampur dengan keringat.
"Apa yang hendak kau tanyakan lagi?" tanyanya.
"Dimanakah pedang bajamu?"
"Sudah lenyap, kitab kiam keng ada disakuku!"
"Adik Hong, ingat baik-baik perkataanku!" kata Giok Teng
Hujin mendadak dengan wajah seiius "bila kau serahkan kitab
kiam keng sebagai pertukaran syarat, kendatipun aku bisa kau
selamatkan, akhir nya aku tetap akan bunuh diri!"
Tertegun Hoa Thian-hong setelah mendengar ancaman itu,
air mata yang baru dihapus kembali meleleh keluar dengan
derasnya Giok Teng Hujin berkata lagi, "Pada umumnya siksaan api
dingin melelehkan sukma akan berlangsung selama tujuh hari
tujuh malam, aku masih ada kesempatan hidup selama lima
hari, usahakanlah pertolongan untukku, tapi jangan kau
terima semua paksaan dari orang lain, engkaupun tak boleh
menyiksa diri sendiri, usahakan pertolongan sewajarnya
mengerti?" "Ooh.... cici, bolehkah kusentuh badanmu" Walau hanya
sebentar saja...." pinta Hoa Thian-hong mendadak dengan air
mata bercucuran. Agak tertegun Giok Teng Hujin mendengar perkataan itu,
tapi akhirnya dia mengangguk.
"Sentuhlah, tapi jangan sampai menggoncangkan
tubuhku!" Cepat Hoa Thian-hong lepaskan jubah luarnya, sambil
berjongkok dia seka keringat yang membasahi punggung Giok
Teng Hujin ketika jari tangannya menyentuh tubuh sang dara
yang bergetar keras, tanpa sadar tubuhnya ikut gemetar
karas. "Kenakan pakaian itu ditubuhku!" bisik Giok Teng Hujin
dengan suara yang lirih. Hoa Thian-hong kenakan bajunya dipunggung perempuan
itu, kemudian berkata lagi, "Wajahmu berkeringat, pipimu
berminyak, ijinkanlah kuseka keringat dan minyak itu, lihatlah,
rambutmu kusut dan awut-awutan biarlah kubereskan
semuanya untukmu!" "Jangan!" seru Giok Teng Hujin ambil buru-buru berpaling.
Kiranya setelah mengalami siksaan selama sehari dua
malam, kulit dan pori-poro wajah dara itu banyak berkerut
akibat kepanasan, kelembutan dan kehalusan telah banyak
yang hilang, dengan begitu mukanya tampak jauh lebih tua
daripada keadaan di hari-hari biasa.
Sebagai anggota Kiu-im-kauw, tentu saja dara itupun tahu
akan akibat yang bakal diterima sesudah menjalankan
siksaaan tersebut maka ia tak ingin Hoa Thian-hong melihat
wajahnya dan mengetahui pula akan kerutanya.
Tertegun si anak muda itu ketika permintaannya ditolak, ia
berdiri termangu, sementara dalam hati timbullah perasaan
heran dan tak habis mengerti, ia tak tahu betapa perempuan
itu merahasiakan raut wajahnya, mungkinkah terjadi suatu
perubahan" Namun ia tidak berpikir panjang, setelah termangu
sebentar akhirnya pemuda itu berkata, "Cici bersabarlah disini,
segera kucari Kiu-im Kaucu! Aku akan membikin perhitungan
dengannya!" "Bawalah serta Soat-ji!" Giok Teng Hujin menambahkan.
"Biarkan disini dulu, sebentar aku akan kemari lagi...."
"Jangan! Sebelum kau dapatkan obat pemunah, tak usah
kau tengok diriku lagi, hindarilah segala resiko yang tak
diinginkan, daripada kau celaka disergap orang"
Sedih dan pilu perasaan hati Thian-hong, ia merasa hatinya
bagaikan disayat-sayat pisau, tak tega rasanya pemuda itu
untuk menampik permintaannya, maka dengan membopong
Soat-ji dia lantas mengundurkan diri dari ruangan itu.
Setelah keluar dari ruangan, ia dengar pertempuran yang
sedang berlangsung dibawah loteng makin bertambah seru.
Mendadak.... segulung hawa nafsu membunuh yang luar biasa
tebalnya menerjang kedalam benak, ia merasa darah panas
ditubuhnya jadi mendidih, hanya satu ingatan yang terlintas
dalam benaknya, ingatan itu adalah membunuh orang, makin
banyak orang yang dibunuh makin baik.
Dipihak lain, Suma Tiang-cing dan Yu beng tiamcu sudah
bertarung sebanyak tiga ratus gebrakan, dada kiri Suma
Tiang-cing telah bertambah dengan sebuah mulut luka
sepanjang tiga cun, sedangkan lengan kiri tiamcu istana
Neraka juga bertambah dengan sejalur luka, darah bercampur
keringat membasahi tubuh mereka membuat mereka tampak
lebih seram dan mengerikan.
Cahaya kilat dan hawa pedang menyelimuti sekeliling
ruangan tersebut, dua orang jago lihay itu saling bergerak
diantara lapisan cahaya pedang, mereka saing menerkam dan
saling menerjang ganas dan mengerikan sekali pertarungan
yang sedang berlangsung. Rapanya kelihayan ilmu siiat mereka seimbang, maka
sekalipun sudah bertarung lama, keadaan tetap seimbang
alias sema kuat. Akhirnya mungkin karena penasaran, makin menyerang
mereka makin kalap dan masing-masing mengeluarkan
segenap kepandaian tangguh yang dimilikinya.
Sepasang pedang saling membentur satu sama lainnya
menimbulkan dentingan nyaring yang memekikan telinga.
Pedang pek le kiam milik Suma Tiang-cing memang sebilah
pedang yang tajam dan luar biasa, tapi dibandingkan dengan
Boan liong poo kiam dari Thong-thian-kauw yang kini berada
ditangan tiamcu istana neraka, toh masih kalah tajamnya,
karena itu tiap kali terjadi benturan, diatas pedangnya segera
tertinggal sebuah gumpilan sebesar biji beras.
Hingga detik ini, sudah tiga gumpilan yana menghiasi
pedang Pek lee kiam tersebut, betapa sakit hati dan
sayangnya Suma Tiang-cing melihat pedangnya rusak, ia
menyerang makin ganas dan makin kalap, hampir semua ilmu
kepandaian yang dimilikinya dikeluarkan, seumpama
musuhnya kurang teguh imamnya niscaya sedari tadi tadi
sudah dibuat ketakutan oleh tindakan musuhnya yang mirip
kerbau gila ini. Diam-diam Cu Im taysu merasa kuatir, ia tahu bila
pertarungan itu dibiarkan terus berlangsung, maka akhirnya
salah satu diantara mereka tentu akan mati, beberapa kali ia
membentak agar rekannya menghentikan pertarungan itu,
sayang bentakannya telah mendapatkan tanggapan,
pertarungan masih berlangsung terus dengan serunya.
Kiu-im Kaucu tidak menunjukkan perubahan sikap,
mukanya tetap dingin dan kaku sedangkan mulutnya
membungkam dalam seribu bahasa.
Disaat pertarungan kedua orang itu sudah mencapai pada
puncak ketegangan, Hoa Thian-hong menerkam dari atas
loteng, semua orang jadi panik dan sama-sama menbentak
keras. Namun si anak muda itu sudah keburu kalap, ia tak ambil
peduli kegusaran orang lain, diiringi gulungan angin pukulan
Tiga Maha Besar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang amat dahsyat, sebuah pukulan maut telah di lontarkan
ke tubuh tiamcu istana neraka.
Semua orang menjerit kaget, hati mereka berdebar keras
bahkan ada pula yang sampai mundur sempoyongan, memang
semua orang sudah menduga kalau cepat atau lambat Hoa
Thian-hong pasti akan muncul di sana, tapi mereka tak
menyangka kalau pemuda yang biasanya kalem dan tidak
menyerang orang secara sembarangan, tiba-tiba saja
menyergap seseorang yang sedang terlibat dalam
pertempuran. Dalam gugupnya, pertama-tama Kiu-im Kaucu yang
membentak gusar lebih dahulu, untuk mencegah jelas tak
mungkin lagi, maka dia lantas mencaci maki kalang kabut.
Suma Tiang-cing sendiri tak ingin mencari kemenangan
dengan cara meagerubut, apalagi terhadap seorang
perempuan, seraya membentak diapun tarik kembali
serangannya sambil mundur kebelakang.
Tiamcu istana neraka yang terserang tak banyak berkutik,
tahu-tahu dia merasakan lengan nya bergetar keras, dan
pedang Boan liong poo kiam tersebut sudah dirampas oleh
Hoa Thian-hong. Ia tak tahan didorong oleh tenaga pukulan yang maha
dahsyat, begitu pedang mustika tersebut terampas oleh
lawan, kuda-kudanya gempur dan tak bisa dicegah lagi
dengan sempoyongan ia mundur beberapa langkah
kebelakang. Dengan wajah hijau membesi dan memukul-mukulkan
tongkat kepala setannya keatas tanah, Kiu-im Kaucu memaki
kalang kabut, "Anjing Hoa Thian-hong, begitukah
perbuatanmu" Begitukah perbuatan dari seorang manusia
yang menganggap dirinya sebagai seorang enghiong....
seorang pahlawan?" Merah membara sepasang mata Hoa Thian-hong, wajahnya
menyeringai seram, dengan sorot mata berapi-api, ia lepaskan
Soat-ji ketanah, kemudian membuang pula pedang yang
digembol ketanah, dengan suara yang dingin menyeramkan ia
berseru, "Tak ada gunanya kita banyak bicara, lebih baik
ambillah suatu keputusan untuk menyelesaikan masalah ini!"
Sekuat tenaga Kiu-im Kaucu berusaha untuk menenangkan
hatinya, lalu sambil tertawa tergelak katanya, "Haaahh....
haaahhh.... haaahhh.... engkau rampas pedang Boan liong poo
kiam dari tangan anggotaku, apakah kau hendak berduel
lawan aku dengan mengandalkan senjata itu?"
Hawa nafsu membunuh telah menyelimuti wajah Hoa
Thian-hong, ia tahu dalam masalah Giok Teng Hujin, ia tak
mungkin memohon kepada kaucu ini dengan kata yang
lembut, bertukar syarat jelas tak mungkin, sedangkan dengan
jalan kekerasanpun belum tentu bisa berhasil karena sekalipun
ia bisa menangkan Kiu-im Kaucu toh belum tentu orang itu
bersedia melepaskan tawanannya.
Jelaslah sudah bagi pemuda itu bahwa masalah yang
dihadapi adalah sebuah masalah pelik bagaikan sebuah simpul
mati, kecuali ia bersedia menuruti semua kemauan dan
keinginan lawan, tak mungkin Giok Teng Hujin dapat ditolong.
Tiba-tiba terbayang kembali olehnya betapa tersiksa dan
menderitanya Giok teng hujn tersiksa oleh api dingin
melelehkan sukma, api amarah bergelora dalam dadanya
kembali memuncak, kebencian dan rasa dendam kembali
muncul dihati. Dalam keadaan demikian, ia jadi kalap, kemarahannya
susah dikendalikaa lagi, dengan mata melotot besar tiba-tiba
ia putar badan dan menerkam ke arah kawanan jago dari Kiuim-
kauw. Hebat sekali perubahan wajah Kiu-im Kaucu menyaksikan
perbuatan sang pemuda, ia lantas membentak nyaring, "Hoa
Thian-hong, engkau berani bertindak keji?"
Hoa Thian-hong menjengek sinis, dia putar pedang mustika
itu dan sahutnya dengan nada seram, "Kau anggap aku Hoa
Thian-hong tak berani bertindak kejam" Hmm, kalau mau
salahkan maka sekarang juga salahkan, akan kubasmi dulu
semua begundalmu, kemudian akan kulihat mampukah
engkau menghalangi niatku ini!"
Selesai berkata, kembali ia siap menerkam kedepan.
Cu Im taysu bertindak cepat, rupanya dia tahu kegusaran
dan kenekadan pemuda itu, sambil menghadang jalan
perginya dia berseru, "Omintohud. berbuatlah belas kasihan,
jangan karena emosi melakukan pembantaian keji yang sama
sekali tak ada manfaatnya!"
Merah padam selembar wajah Hoa Thian-hong, sinar
matanya berapi api, dengan penuh emosi teriaknya, "Taysu,
berbuatlah kebaikan untukku, boanpwae benar-benar amat
benci dan dendam!" Ucapan tersebut diutarakan dengan suara yang berat dan
mantap, membuat setiap pendengar perkaraan itu merasakan
telinganya mendengung keras, ibarat guntur yang membelah
bumi disiang hari bolong, paras muka mereka rata-rata
berubah hebat. Suma Tiang-cing ikut menghela nafas panjang, katanya
pula dari sisi gelanggang, "Thian-hong, tadi aku memang
pernab mengatakan akan membantai sampai habis setiap
orang jahat, manusia jahanam yang ada didunia ini, janganlah
kau anggap serius perkataanku itu, sebab ucapan yang
dikatakan dalam keadaan emosi adalah kata-kata kasar
belaka, kau tak boleh menganggap ucapan itu sebagai kata
yang sungguh-sungguh"
Dengan pedang terhunus dan mata melotot besar karena
gusar beberapa kali Hoa Thian-hong hendak menerjang lewati
Cu Im taysu dan menerkam orang-orang dari Kiu-im-kauw.
Tapi ketika menyaksikan keagungan serta kekerenan wajah
Cu Im taysu yang menghadang dihadapannya, ia tak berani
menerjang secara gegabah, apalagi sesudah mendengar
nasehat dari Suma Tiang-cing, pemuda itu makin termangu
dan tak tahu apa yang musti dilakukan.
Perlu diketahui watak mulia, welasasih dan bijaksana yang
dimiliki Hoa Thian-hong sekarang, tak lain adalah warisan dari
ayah nya sedangkan Hoa Hujin termasuk seorang pendekar
perempuan berhati sekeras baja, membenci kejahatan hingga
merasuk ketulang, dalam pandangannya membasmi kejahatan
sama halnya dengan berbuat kemuliaan, membunuh seorang
manusia berhati keji sama artinya menyelamatkan beberapa
orang baik dari kematian, baginya daripada satu kota
menangis lebih baik satu keluarga saja yang menangis.
Sejak suaminya mati dan rumahnya dirampas musuh, rasa
dendam dan ingin membalas dendam berkobar-kobar dalam
benaknya, dia bercita-cita untuk membasmi tumpas iblis dari
muka bumi dan membantai setiap manusia jahanam yang
ditemuinya, dia tidak membenci satu dua orang iblis belaka
melainkan seluruh manusia iblis dari golongan hitam.
Oleh karena itulah meskipun sangat ketat pendidikan yang
dia berikan kepada putranya, namun tak pernah ia
menyinggung soal kebajikan dan welas kasih.
Dengan dasar pendidikan yang telah diperoleh semenjak
kecil, Hoa Thian-hong pun tanpa disadari ketularan pula watak
keras dari ibunya ini, maka ketika Suma Tiang-cing
mengucapkan kata-kata emosi tadi, suatu bayangan gelap
sudah menyelimuti hati si anak muda itu, apalagi setelah
persoalan yang menyangkut tentang diri Giok Teng Hujin
mengalami kesulitan, bahkan mendekati jalan buntu, hawa
nafsu membunuh yang sejak permulaan sudah mengkilik isi
hatinya seketika tak terkendalikan lagi dan memancarlah
keluar bagaikan air bah yang menjebolkan tanggul.
Rasa benci dan dendam masih menyelimuti seluruh benak
Hoa Thian-hong, nasehat dari Cu Im taysu maupun Suma
Tiang-cing memang sempat meredakan darahnya yang
mendidih, tapi bukan berarti dapat melenyapkan
keseluruhannya. Sekujur tubuhnya masih gemetar keras menahan emosi,
pedang mustika boan liong po kiam berkilauan memancarkan
setentetan cahaya yang amat tajam, sinar tersebut mencorong
keluar dan amat menyilaukan mata tiap pendekar, begitu
dahsyatnya pancaran hawa lwekang yang tersalur didalam
pedangnya itu sampai lantai loteng bergetar dan berkenyit
keras, udara disekitar gelanggang terasa membeku dan kaku
memaksa setiap orang merasa susah untuk bernapas.
Dengan wajah sedih tapi serius kembali Cu Im taysu
berkata, "Nak, masih hidupkah nona itu?"
Titik air mata tak kuasa lagi meleleh keluar membasahi pipi
anak muda itu, dengan wajah yang kaku Hoa Thian-hong
mengangguk. "Ia masih hidup, sekarang sedang menjalankan siksaan
diatas loteng, suatu siksaan yang tidak berperikemanusiaan,
siksaan yang hanya bisa dilakukan oleh binatang bukan
perbuatan seorang manusia normal!"
Berkernyitlah dahi Cu Im taysu sehabis mendengar
jawaban itu, dia lantas berpaling ke arah Kiu im kancu dan
berkata, "Kaucu, dengan memberanikan diri pinceng sekalian
ingin memohon sesuatu kepadamu, apakah engkau bersedia
membebaskan nona itu dari segala siksaannya?"
Diam-diam Kiu-im Kaucu menghembuskan nafas lega, ia
tahu sesudah jago berbaju pendeta ini memohon kepadanya,
tanpa disadari suasana kaku dan sesak yang semula
menyelimuti gelanggangpun kini sudah melumer kembali, ia
tertawa dan menjawab, "Ku Ing-ing merupakan anak murid
Kiu-im-kauw kami, mau kusiksa dia atau mau kubunuh dirinya
persoalan ini adalah persoalan pribadi perkumpulanku, apa
sangkut pautnya dengan kalian semua?"
Kelihayan ilmu silat yang dimiliki Hoa Thian-hong sudah
diketahui oleh banyak orang, apalagi sesudah pedang mustika
Boan liong po kiam yang tajamnya luar biasa itu berhasil
dirampas olehnya, keadaan si anak muda itu boleh dibilang
ibarat harimau yang tumbuh sayapnya.
Andaikata pemuda itu tetap nekad dan melanjutkan niatnya
untuk membantai setiap anggota Kiu-im-kauw yang
ditemuinya, Kiu-im Kaucu percaya bahwa dia tak mampu
untuk melindungi keselamatan anak buahnya, malahan
mencegahpun belum tentu mampu.
Oleh sebab itulah, setelah Cu Im taysu dan Suma Tiangcing
berhasil membatalkan niat si anak muda itu untuk
melakukan pembantaian, serta-merta nada ucapannya pun
ikut mengalami perubahan besar, pembicaraannya tidak
seketus tadi lagi, malahan jauh lebih lembut dan kendor....
Cu Im taysu menundukkan kepalanya dan menghela napas
panjang, kemudian ujarnya, "Tak usah kaucu terangkan,
pinceng sendiripun mengetahui bahwa persoalan ini
sebenarnya adalah masalah pribadi perkumpulanmu sendiri,
karenanya kami hanya memohon kerelaanmu, kami bukanlah
manu sia-manusia yang tidak mengutamakan soal cengli....!"
"Aku tahu setiap persoalan yang terjadi didunia ini memang
tak bisa terlepas dan soal cengli, sebagai pendekar-pendekar
besar yang berjiwa ksatria tentu saja taysu sekalian harus
mengutamakan soal cengli, bukan begitu?"
Kembali Cu Im taysu menghela napas panjang, selang
sesaat kemudian dia baru bertanya lagi, "Kaucu, bila diijinkan
ingin sekali pinceng menanyakan satu persoalan lagi...."
"Apa yang hendak kau tanyakan lagi?" sela Kiu-im Kaucu
dengan suara lantang. "Sebetulnya kesalahan serta dosa apakah yang telah
dilanggar nona Ku, sehingga dia harus disiksa secara keji?"
Kiu-im Kaucu tersenyum. "Kusiksa dirinya lantaran dia berani membangkang
perintahku serta berkhianat terhadap perkumpulannya,
apakah taysu merasa tidak terima dengan tuduhanku ini?"
00000O00000 81 "OH.... tidak berani, menurut apa yang pinceng ketahui,
sudah amat lama nona Ku tersiksa dan menderita selama dia
menyusup ke tubuh perkumpulan Thong-thian-kauw,
berbicara sesungguhnya sudah banyak sekali pahala yang
telah dia lakukan demi perkumpulanmu!"
"Siapa berjasa dia mendapat pahala, siapa bersalah dia
harus menerima pula hukumannya" tukas Kiu-im Kaucu sambil
tertawa, "Sekalipun keputusan dan tindak tandukku kurang
bijaksana atau kurang adil, aku rasa orang lain tidak berhak
untuk mencampurinya, ketahuilah persoalan ini adalah urusan
pribadiku sendiri!" Sekali lagi Cu Im taysu menghela napas panjang.
"Aaai.... kami semua berhutang budi kepada nona Ku,
sekarang setelah jiwanya terancam bahaya, tentu saja kami
semua tak dapat berpeluk tangan balaka menyaksikan ia mati
tersiksa, makanya kami semua mohon kebijaksanaan dari
kaucu untuk melepaskan nona Ku dari siksaan dan memberi
sebuah jalan kehidupan baginya!"
"Haahh.... haaahh.... haaah.... meskipun Ku Ing-ing pernah
melepaskan budi kepada kalian semua, toh kalian semua tak
pernah melepaskan budi apa-apa kepada perkumpulan Kiu-imkauw
kami, dan berarti boleh saja aku memberi muka
kepadamu, tapi dapat pula kami tak akan memberi muka
kepadamu....!" seru Kiu-im Kaucu sambil tertawa tergelak.
Merah padam selembar wajah Cu Im taysu sesudah
mendengar perkataan itu, untuk sesaat lamanya dia tak tahu
apa yang musti dijawab. Suma Tiang-cing yang mengikuti jalannya perundingan itu,
dalam hati kecilnya lantas berpikir, "Taysu ini terlalu polos dan
tak memahami kelicikan serta kebusukan hati orang, kalau dia
yang memimpin perundingan ini sekalipun sepuluh tahun lagi
juga tak akan berhasil, tampaknya aku harus turun tangan
sendiri" Berpikir sampai disitu, dia lantas maju kedepan dan ujarnya
kepada Kiu-im Kaucu dengan mata melotot, "Aku sudah
pernah menerima kebaikan dan budi pertolongan dari Ku Ingg
ing, itu berarti bagaimanapun juga aku harus menolong
dirinya sampai terlepas dari siksaanmu, kalau mau melepaskan
cepatlah kau sanggupi kalau tidak setuju hayo kita selesaikan
saja persoalan ini diujung senjata!"
"Suma Tiang-cing!" seru tiamcu istana neraka dari samping
dengan suara yang ketus, "untuk menangkan akupun tidak
mampu mau apa engkau berlagak sok didepan kaucu kami?"
"Apa susahnya menangkan dirimu?" teriak Suma Tiang-cing
dengan gusarnya, "suatu hari aku pasti akan mencari engkau
dan menantang engkau untuk berduel hingga salah satu
Tiga Maha Besar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
diantara kita mampus!"
Tiamcu istana neraka tertawa dingin.
"Heeeh.... heeeh.... heeeh.... sayang pedang mustikaku
telah dirampas orang dengan cara yang memalukan,
sedangkan kaucu kamipun tidak sampai merampas pula
pedang mustikamu, kalau bertemu lagi dikemudian hari sudah
tentu aku tak bisa menangkan dirimu...."
Pancingan yang dilontarkan Tiamcu dan istana neraka ini
segera termakan oleh lawannya, benar juga Suma Tiang-cing
segera berseru sesudah mendengus dingin, "Hmmm! Engkau
tak usah kuatir apa bila kita berjumpa lagi dikemudian hari,
Suma Tiang-cing tak akan melayani dirimu dengan pedang
mustika. Hmmm.... hmmm.... jangan kau anggap setelah
kugunakan pedang biasa maka aku tak mampu untuk
bereskan jiwa anjing mu!"
Sementara kedua orang itu sedang saling mencaci maki
dan ribut, tiba-tiba dari bawah loteng melayang turun
seseorang, dia tak lain adalah Pui Che-giok, sambil memburu
ke gelanggang serunya dengan penuh kegelisahan, "Hoa
kongcu!" "Bagus!" seru Hoa Thian-hong dengan mata melotot,
engkau punya keberanian untuk datang kemari, tak malu
nonamu menyayangi engkau selama ini!"
Pui Che-giok melirik sekejap ke arah Kiu-im Kaucu dengan
wajah pucat pias seperti mayat, tampaknya dia merasa jeri
dan takut sekali sementara diluar dia menjawab, "Budak
diambil nona setelah nona masuk kedalam perkumpulan
Thong-thian-kauw, dan berarti budak bukan terhitung anggota
Kiu-im-kauw!" "Baiklah, engkau berdirilah disamping, bila aku gagal untuk
menyelamatkan nonamu, aku bersumpah pasti akan
membalaskan dendam baginya, aku tak akan membiarkan
orang-orang dikolong langit mentertawakan diriku dan
menuduh Hoa Thian-hong tak punya rasa tanggung jawab, tak
punya rasa setia kawan, sehingga seorang dayangpun tak bisa
menandingi...." Mendengar ucapan tersebut Pui Che-giok benar-benar
mengundurkan diri kesamping gelanggang, sementara
bibirnya bergerak seperti mau mengucapkan sesuatu, tapi
akhirnya niat itu dibatalkan.
Jilid 27 Dari gerak-gerik serta sikap cemas dayang tersebut, Hoa
Thian-hong dapat menduga pula kalau dara tersebut hendak
melaporkan sesuatu, sesudah tertegun sebentar, akhirnya dia
bertanya, "Ada persoalan apa lagi yang hendak kau sampaikan
kepada diriku" Cepatlah katakan!"
"Barusan budak pergi ke kantor cabangnya perkumpulan
Sin-kie-pang untuk mencari tahu jejak kongcu, ada seorang
kakek yang bernama Lau Cu cing dengan membawa empat
orang kakek tua yang rata-rata berumur seratus tahun keatas
sedang mencari berita kongcu pula ketempat itu, budak lantas
bertanya kepada orang she Lau itu ada urusan apa hendak
mencari kongcu, dia menjawab katanya ada persoalan maha
penting yang hendak di bicarakan dengan kongcu, maka
budak lantas membawa mereka semua datang kemari
sekarang mereka sedang menanti kehadiran kongcu diluar
kuil!" Betapa terperanjatnya Hoa Thian-hong sesudah mendengar
laporan itu, serunya, "Empat orang kakek tua berusia seratus
tahun keatas datang mencari aku?"
"Emmmm!" Pui Che-giok mengangguk, "rambut mereka
telah beruban semua, tapi badannya masih tegap dan
langkahnya masih mantap, rupa-rupanya mereka berilmu
semua!" Kiu-im Kaucu yang ikut mendengarkan laporan tersebut
ikut merasakan jantungnya berdebar keras, pikirnya dihati,
"Untuk mencari seorang manusia yang berusia delapan puluh
tahun saja sudah sukarnya bukan kepalang, apalagi keempat
orang itu bisa hidup mencapai seratus tahun, malahan kumpul
pula menjadi satu, apabila bukan tokoh-tokoh silat yang
berilmu tinggi, tak ,ungkin mereka bisa mencapai usia setinggi
itu. Heeehh.... heeehh.... setelah anak jadah ini memperoleh
bantuan empat jago lihay, aku kan semakin tak bisa
mengganggu dirinya lagi" Sialan!"
Perlu diketahui, bila seseorang yang berusia seratus tahun
keatas berlatih terus ilmu silatnya dengan tekun dan rajin,
maka kelihayan ilmu silat yang dimilikinya boleh dibilang
sudah mencapai tingkat kesempurnaan yang sukar dilukiskan
dengan kata-kata, apalagi sekaligus muncul empat orang
bersamaan waktunya, tidaklah heran kalau Ku im kaucu
dibikin bergidik hatinya selelah mendengar berita tersebut.
Dengan dahi berkerut Hoa Thian-hong termenung
sebentar, kemudian gumannya seorang diri.
"Entah siapakah keempat orang ini" Tang Kwik-siu telah
membakar gedung tempat tinggal Lau Cu cing dan kini
keempat orang kakek tua itu datang mencari aku, dus berarti
persoalan yarg hendak mereka bicarakan dengan diriku juga
pasti menyangkut masalah percarian harta karun dibukit Kiu ci
san!" Ketika Kiu-im Kaucu mendengar soal menggali harta dibukit
Kiu ci san, jantungnya ikut berdebar keras sehingga hampir
saja ia menjerit kaget saking emosinya, segera ia berpikir
dihati. Masalah sebesar ini kenapa tidak kuketahui barang
sedikitpun juga! Aaah.... benar, Tang Kwik-siu bagaimanapun
juga adalah seorang ketua suatu perkumpulan besar,
kedudukannya sangat tinggi dan dia adalah seorang yang
menjaga gengsi berbeda dengan Siang Tang Lay yang pergi
datang ibaratnya sukma gentayangan, andaikata tiada suatu
persoalan yang penting dan serius, tak mungkin manusia
semacam dia bersedia datang kedaratan Tionggoan!"
Sementara dia masih termenung, Hoa Thian-hong telah
berpaling ke arah Cu Im taysu seraya bertanya.
"Sebagai orang yang lebih muda sudah sepantasnya kalau
memberi hormat kepada kaum angkatan tua, taysu, tolong
pergilah ke luar sebentar dan wakililah boanpwe untuk
menyambut kedatangan kakek kakek tua itu!"
Cu Im taysu kelihatan ragu mukanya murung dan
keberatan untuk tinggalkan tempat itu, sinar matanya
malahan dialihkan ke wajah Kiu-im Kaucu.
Rupanya ia kuatir sepeninggalnya dari situ, kedua belah
pihak terjadi bentrokan lagi sehingga pertarungan kembali
berlangsung bila sampai demikian kejadiannya, tanpa
kehadirannya disitu berarti hanya akan melemahkan posisi
pihaknya belaka. Sebagai seorang jago yang berpengalaman luas, tentu saja
Kiu-im Kaucu juga bisa menebak isi hati orang, tiba-tiba ia
menengadah sambil tertawa terbahak-bahak.
"Haaahhh.... haaahhhh.... haaahhh.... Hoa Thian-hong,
benarkah engkau akan beradu jiwa denganku?"
"Keadaanku sekarang ibaratnya anak panah diatas busur,
bagaimanapun juga panah ini harus dilepaskan!" sahut sang
pemuda sambil menarik mukanya.
"Haaahhh.... haaahh.... haaahhh.... kembali Kiu-im Kaucu
tertawa terbahak bahak, kalau kulihat dari pedang bajamu
yang sudah tiada, tentunya kitab Kiam keng telah berhasil kau
dapatkan bukan?" Hoa Thian-hong tertawa dingin.
"Heehhh.... heeehh.... heeehhh.... kitab Kiam keng berada
disakuku, cuma sayang tak mungkin akan kugunakan benda
tersebut untuk di tukarkan dengan engkau!"
Kiu-im Kaucu tertawa, "Tentu saja, tentu saja.... tak usah
kau katakan, aku juga sudah dapat menebak suara
hatiku....Hmm! Sekalipun ilmu silat yang kau miliki setingkat
lebih tinggipun, aku tak nanti akan jeri apalagi takut
kepadamu!" Setelah berhenti sebentar, dia ulapkan tangannya seraya
berkata lebih jauh, "Pergilah dari sini! Kujamin tak akan
mencelakai nyawa Ku Ing-ing, bila isi Kiam keng sudah kau
pelajari, maka aku akan menantang engkau untuk berduel lagi
dihadapan para orang gagah dari seluruh kolong langit, bila
dalam pertarungan itu engkau berhasil mengung-guli diriku,
Ku Ing-ing akan segera kuserahkan kembali kepadamu!"
Betapa girangnya Cu Im taysu setelah mendengar
perkataan itu, cepat dia menyambung, "Kalau memang kaucu
sudah berjanji begini, itulah lebih bagus lagi, aku percaya
sebagai seorang ketua dari suatu perkumpulan besar, apa
yang telah kaucu katakan tak akan disesali kembali, Thianhong!
Hayo kita pergi!" Hoa Thian-hong sendiri dalam hati kecilnya sedang berpikir,
"Kiu-im Kaucu adalah seorang manusia yang licik dan banyak
akalnya, mana ia sudi memberi keuntungan bagiku" Aaai....!
Cu Im taysu memang kelewat jujur orangnya, masa ia belum
tahu betapa lihaynya orang ini....?"
Walaupun dia bisa berpikir sampai disitu namun gagal
untuk mencari tahu dimanakah letak maksud dan tujuan Kiuim
Kaucu dengan tindakannya itu, untuk sementara waktu si
anak muda ini jadi serba salah dibuatnya, mau pergi tapi
bagaimana" kalau tidak pergi, lantas bagaimana"
Terdengar Pui Che-giok berkata lagi dari sisi gelanggang,
"Menerima siksaan api dingin melelehkan sukma, ibaratnya
melubangi batok kepala sambil menyulut lampu langit, bila
dileleh kan selama tujuh hari tujuh malam lamanya korban
akan kehabisan tenaga ibaratnya lentera yang kehabisan
minyak, hawa murninya akan banyak terkuras, dan sekalipun
bisa hidup diapun tak ubahnya seperti seorang manusia cacad
lainnya!" Ucapan itu entah ditujukan kepada siapa tapi semua orang
bisa menduga bahwa perkataan tersebut sengaja ditujukan
kepada Hoa Thian-hong. Tiba-tiba Kiu-im Kaucu tertawa nyaring, kemudian ujarnya,
"Engkau toh bukan anggota Kiu-im-kauw kami, darimana
engkau bisa tahu seluk beluk siksaan ini sedemikian jelasnya?"
Dengan memberanikan diri Pui Che-giok menatap tajam
lawannya, lalu menjawab, "Nona yang memberitahukan
kepadaku!" Kiu-im Kaucu segera tertawa.
"Haaah.... haaahh.... bagus, bagus sekali. Kiranya sedari
dulu ia sudah mengetahui betapa lihaynya siksaan api dingin
melelehkan sukma, jadi kalau begitu ia sudah tahu
kelihayannya tapi sengaja melanggar perataran untuk
mencobanya sendiri" Bagus, kalau begitu biarlah dia tahu rasa
sekarang." Mendengar kata-kata sudah tahu tapi sengaja melanggar
sendiri sakit rasanya hati Hoa Thian-hong, ia tahu kesemuanya
ini adalah lantaran dia, karena mesalah dirinya membuat Giok
Teng Hujin harus menerima siksaan lahir maupun batin....
begitu sakit hatinya serasa bagaikan diiris-iris dengan pisau.
"Bebaskan dia dari siksaan tersebut!" teriak pemuda itu
dengan penuh kebencian "bila engkau bersedia membebaskan
dia, aku pun tak akan melatih ilmu dalam kitab Kiam keng,
setiap saat akan kunantikan tantanganmu untuk
melangsungkan duel satu lawan satu, bila engkau berhasil
menangkan diriku, kitab Kiam keng akan kuserahkan
kepadamu sebaliknya kalau engkau kalah maka nona Giok
Teng Hujin harus engkau lepaskan!"
"Perkataan seorang kuncu berat bagaikan bukit, sampai
waktunya aku pasti akan menantikan kedatanganmu untuk
melangsungkan duel tersebut, sekarang juga akan
kubebaskan dirinya dari siksaan tersebut."
Jawaban ini terlalu cepat dan sama sekali diluar dugaan,
untuk sesaat lamanya Hoa Thian-hong dibikin tertegun dan
tak mampu berkata-kata. Dia cukup mengetahui sampai dimanakah kekuatan ilmu
silat yang dimilikinya sekarang, pada hakekatnya ia tiada
keyakinan untuk menangkan lawannya, dan sekarang ternyata
pihak lawan menyanggupi tantangannya dengan begitu jelas,
itu berarti bila ia tiada memiliki suatu kepandaian yang bisa
diandalkan keampuhannya, tak mungkin perempuan itu begitu
cepat memberikan keputusannya.
Sementara itu Cu Im taysu kembali sudah berkata, "Empat
orang kakek tua itu sedang menanti kedatangan kita diluar
kuil, mari kita sambut kedatangannya!"
Sebenarnya Hoa Thian-hong ingin membuktikan dengan
mata kepala sendiri bagai mana Kiu-im Kaucu membatalkan
siksaan yang menimpa Ku Ing-ing alias Giok Teng Hujin, akan
tetapi setelah diajak pergi oleh Cu Im taystu terpaksa ia
manggut dan siap berlalu dari situ.
Tiba-tiba Pui Che-giok maju kedepan, dengan muka rada
takut-takut ia berkata, "Kongcu, aku.... aku ingin tetap tinggal
di sini untuk melayani nona"
Hoa Thian-hong memang merasa ada baiknya kalau
dayang itu tetap tinggal disana untuk melayani nonanya, tapi
diapun kuatir kalau Kiu-im Kaucu berbuat tidak senonoh atas
diri dayang ini, mengingat Pui Che-giok secara terangkan
berani melawan ketua tersebut, mendengar permintaan itu,
bukannya menjawab sorot mata yang setajam sembilu
malahan dialihkan ke arah ketua perkumpulan Kiu-im-kauw.
Sebagai seorang jago kawakan yang berpengalaman luas,
tentu saja Kiu-im-kauwcu dapat menangkap maksud hati
lawannya, dia segera tertawa tergelak dengan nyaring
Haaah.... haaaah.... haaahh.... majikan susah anjing ikut
susah, majikan gembira anjingpun ikut gembira, jangan kau
anggap aku adalah seorang manusia yang jiwanya picik, tak
mungkin kususahkan seorang dayang yang sama sekali tak
ada artinya bagi pandanganku, biarkan saja ia tinggal disini
untuk menemani majikannya...."
Begitu Kiu-im Kaucu telah memberikan persetujuannya, Pui
Che-giok sambil membopong Soat-ji lantas mengundurkan diri
ke samping dengan mulut membungkam, ini bukan
dikarenakan Kiu-im Kaucu menunjukkan sikapnya yang
terbuka maka ia berterima kasih kepadanya.
Cu Im taysu dan Suma Tiang-cing yang mengikuti pula
kejadian tersebut, dalam hati kecilnya ikut membatin, "Bila Ku
Ing-ing tidak mempunyai kelebihan sebagai seorang majikan
yang baik, tidak mungkin dayangnya menunjukkan kesetiaan
yang luar biasa, aaai! Memang tak bisa disalahkan kalau
budak ini bersedia mengorbankan nyawanya untuk merawat
majikannya, bila dihari biasapun majikannya bersikap luar
biasa puka kepada dayangnya"
Tiga Maha Besar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dalam pada itu, Hoa Thian-hong sedang mengamati
pedang mustika Boan liong po kiam yang berada ditangannya,
tiba-tiba ia melemparkan senjata itu ke arah Tiamcu istana
neraka, kemudian memungut kembali pedang sendiri, setelah
itu tanpa mengucapkan sepatah katapun dia berlalu dari sana,
Co Im taysu dan Suma Tiang-cing sendiri pun tidak banyak
bicara, mereka segera berlalu pula mengikuti dibelakang si
anak muda itu. Sungguh cepat gerakan tubuh tiga orang jago tersebut,
selang sesaat kemudian mereka sudah tiba diluar kuil.
Benar juga diseberang jalan dekat kuil It goan koan
berdirilah empat orang kakek tua berambut putih. Lao Cu cing
berdiri di samping dan sedang bercakap-cakap dengan badan
setengah dibungkukan tanda menghormat.
Walaupun tetap utuh dan putih mulus, badannya gagah
dan langkahnya tegap, sedikitpun tidak kelihatan ketuaannya
ataupun loyo karena dimakan usia.
Jenggot mereka rata-rata sepanjang dada, yang terpendek
pun sadah mencapai dua depa, membuat siapa pun yang
memandang keempat orang itu, segera timbullah perasaan
menghormat. Demikian pula keadaannya dengan Hoa Thian-hong, Cu Im
taysu serta Suma Tiang-cing, tanpa disadari timbul rasa
menghormat dalam hati kecil mereka, dengan langkah yang
menghormat mereka maju menghampirinya.
Hoa Thian-hong berjalan dipaling depan, lantaran dialah
yang dicari oleh keempat orang kakek tua itu, dari kejauhan ia
telah menjura kepada Lau Cu cing seraya berkata, "Berhubung
ada urusan penting, boanpwee telah datang terlambat, mohon
para lojin dan wangwe sekalian sudi memberi maaf yang
sebesar besarnya." Lau Cu cing segara balas memberi hormat.
"Kongcu tak perlu sungkan-sungkan!" sahutnya.
Kemudian dia memperkenalkan kakek-kakek tua itu urut
dengan tempat mereka berdiri, sambil menunjuk ke arah
samping kiri dia berkata, Kakek tua yang ini adalah kong co
(ayahnya kakek) ku, sedang orang tua ini dari marga Gan,
orang tua ini dari marga Li, sedang orang tua ini dari marga
Po yang. Buru-buru Hoa Thian-hong maju kedepan sambil memberi
hormat dalam-dalam, katanya, "Aku yang muda Hoa Thianhong,
menjumpai para orang tua sekalian!"
"Pinceng Cu Im, menjumpai orang tua berempat kata Cu
Im taysu pula seraya memberi hormat"
Sedang Suma Tiang-cing sambil maju memberi hormat
katanya, "Aku yang muda Suma Tiang-cing menjumpai
cianpwe berempat!" Setelah berhadapan muka dengan keempat orang kakek
tua itu sekaligus, beberapa orang jago ini membahasakan
dirinya dengan kedudukan yang rendah, sebab bicara soal
tingkat mereka kalah tingkat sampai empat generasi.
Lau Cu cing sendiri lantas memperkenalkan pula dua orang
jago itu kepada keempat kakek tua tadi, "Taysu ini adalah
seorang hiap kek (jago tua) dari golongan kaum beragama,
sedang Suma tayhiap juga merupakan enghiong diantara
sekalian pendekar, mereka adalah pendekar-pendekar sejati
yang disanjung dan dihormati umat persilatan."
Buru-buru Cu Im taysu serta Suma Tiang-cing
mengucapkan beberapa patah kata merendah.
Senyum ramah selalu menghiasi wajah ke empat orang
kakek tua itu, selesai berkenalan, Kong co dari Lau Cu cing itu
lantas tertawa tergelak seraya berkata, "Kalian semua tak
usah sungkan-sungkan, Haah.... haaah.... haaahh bila ada
tempat untuk berbicara, kami berempat ada urusan penting
hendak dibicarakan dengan diri Hoa kongcu!"
Sebelum Hoa Thian-hong sempat menjawab, Cu Im taysu
telah berseru lebih dahulu, "Tempatnya ada dan tak jauh dari
tempat ini, biarlah siau ceng yang membawa jalan."
Habis berkata dia lantas berjalan lebih dahulu
meninggalkan tempat tersebut.
Jarak antara kuil It goan koan dengan pintu kota timur
memang sangat dekat, Cu Im taysu segera membawa
beberapa orang itu menuju keluar kota.
Walaupun usianya sudah menanjak lebih dari satu abad,
ternyata gerak-gerik keempat orang kakek tua itu masih lincah
dan enteng, Lau Cu cing sendiripun pernah berlatih ilmu silat
maka gerak langkahnya tegap lagi cepat, dengan begitu
perjalanan pun bisa dilakukan dengan sangat cepat.
Selang sesaat kemudian, sampailah mereka disebuah kuil
kecil. Kuil kecil itu letaknya sendirian diluar kota, penghuni kuil itu
cuma seorang pendeta tua yang bergelar It piau, dia adalah
seorang sahabat karib Cu Im taysu selama banyak tahun.
Setiap kali Cu Im taysu berkunjung ke kota Cho ciu, dia
selalu menginap dalam kuil ini, maka setibanya didepan pintu
kuil, ia lantas membuka pintu depan dan mempersilahkan
semua orang untuk masuk keruang tengah.
Ketika fajar baru saja menyingsing, It piau taysu baru saja
menyelesaikan doa paginya, ketika mendengar suara langkah
manusia dia lantas bangkit berdiri dari kursi bantalnya.
Cepat Cu Im taysu menjura seraya berkata, "Maaf, kembali
Cu Im akan mengganggu ketenangan suheng untuk beberapa
waktu." IT piau hweesio balas memberi hormat, bibirnya bergerak
sedikit tapi tak sepatah katapun yang diucapkan, ia lantas
mengundurkan diri dari ruangan tersebut.
Di belakang ruang kuil tersebut merupakan dua buah
kamar kecil, yang satu dipakai untuk tempat tinggal It piau
hweesio, sedangkan yang lain biasanya ditempati Cu Im taysu.
Ketika tiba didepan pintu, It piau hwesio memberi hormat
kepada sekalian tamunya, ketika semua orang sudah masuk
kedalam ruangan, hwesio itu membawa sebuah kasur
duduknya dan masuk kedalam.
Menunggu para tamunya telah duduk semua, Cu Im taysu
baru berkata sambil tertawa, "It piau suheng adalah seorang
padri yang tuli lagipula bisu, dia bukan orang persilatan, maka
bila kalian ada urusan yang hendak dibicarakan, utarakan saja
dengan blak-biakan, sebab sekalipun kita undang
kedatangannya kemari, belum tentu ia bersedia untuk
mendengarkan!" Hoa Thian-hong alihkan sinar matanya keatas wajah Lan Cu
cing serta keempat orang kakek tua itu, kemudian dengan
serius ia bertanya, "Entah ada persoalan apakah cianpwe
berempat datang mencari diriku yang muda ini?"
Kakek Po yang memandang sekejap ke arah Liu Cu cing,
ruparya kekek ini menyuruh dia untuk berbicara lebih dahulu.
Lau Cu cing mengangguk, maka diapun berkata, "Baiklah,
ceritaku kumulai dari peristiwa yang terjadi kemarin malam!"
Dari mulut Hoa Thian-hong, baik Cu Im taysu maupun
Suma Tiang-cing telah mengetahui kalau rumah kediaman Lau
Cu sing telah terbakar, sedang dewa yang suka pelancongan
Cu Thong meninggalkan surat yang memerintahkan Hoa
Thian-hong agar segera berangkat menuju kebukit Kiu ci san.
Semenjak menghadapi peristiwa yang serba
membingungkan ini, mereka bertiga sama-sama ingin
mengetahui duduk perkara yang sebenarnya, malahan
beberapa kali mereka hendak bertanya langsung kepada Lau
Cu cing, tapi setiap kali diurungkan niatnya itu maka ketika
Lau Cu cing akan menceritakan sendiri peristiwa yang telah
terjadi, mereka segera pasang telinga baik-baik.
Dengan suara perlahan Lau Cu cing mulai bercerita,
"Tengah malam kemarin, lima orang jago silat berbaju kuning
tiba-tiba menyerbu masuk kedalam rumahku, mereka berkata
akan menjumpai kongco ku yang masih hidup. Ayahku dan
kakekku sudah lama meninggal dunia, sedangkan kongco ku
masih sehat wal'afiat dan hidup digunung Huang-san, sudah
enam puluh tahun lamanya tak pernah pulang rumah barang
sekali pun, sedangkan kami dari buyut buyutnya secara
teratur datang berkunjung kebukit Huang-san untuk
membayanginya, oleh sebab Kong cu berpesan agar kejadian
ini selalu dira-hasiakan maka tetangga tetangga kami tak
seorangpun yang mengetahui akan kejadian ini"
Ia berhenti sebentar, kemudian sambungnya lebih jauh,
"Kelima orang manusia berbaju kuning itu terdiri dari empat
laki laki dan seorang perempuan, tiga orang diantaranya
bermuka jelek sekali, sedangkan pria yang masih muda dan
gadis yang masih kecil itu berwajah bagus dan menarik,
terutama yang perempuan cantiknya bak bidadari dari
kahyangan akhirnya aku tahu kalau dia Pek Kun-gie putri
ketua dari Sin-kie-pang. Kedatangan mereka amat garang dan
kasar, katanya jejak kongcu kami akan dicari sampai ketemu
terutama Pek Kun-gie, ia selalu menyinggung soal harta
karun, katanya kalau aku tidak memberikan pengakuannya
maka seluruh keluarga kami akan dibantai sampai habis.
Rupanya kakek tua yang menjadi pemimpin rombongan itu
kuatir bila rahasianya terbongkar semua, jalan darahnya
segera ditotok, ketika itulah Pek Kun-gie tak dapat berbicara
lagi" "Jelas dia mempunyai maksud dan tujuan lain, tak mungkin
dara itu benar-benar akan melakukan kejahatan" sela Hoa
Thian-hong dengan cepat. Lau Cu cing tidak memberikan tanggapannya, kembali dia
melanjutkan penuturannya.
"Sepanjang hidup cayhe hanya tahu ber kat makan buah
dewa yang tak ternilai harganya, maka Kongco kami bisa
hidup sampai lebih dari saiu abad, aku sama sekali tidak tahu
menahu tentang soal harta karun, apa lagi setelah kulihat
kedatangan kelima orang itu tidak mengandung maksud baik,
lebih lebih tak berani kukatakan kalau Kong co kami hidup
dibukit Huang-san. Ketika itulah tiba-tiba Pek Kun-gie berkata
"Aku lihat keempat orang itu sudah...."
Kata-kata berikutnya tidak dilanjutkan, tiba-tiba saja orang
she Lau itu membungkam. Tentu saja Hoa Thian-hong sekalian tahu bahwa kata
selanjutnya tentulah kata mati, Lau Cu cing tak berani
melanjutkan kata- katanya oleh karena menyangkut kong co
serta teman-temannya. Selang sesaat kemudian, ia baru meneruskan kata-katanya
lebih jauh, "Betapa gusar dan mendongkolnya hatiku setelah
mendengar gadis itu menyumpahi kongco ku, rasa marah dan
tak senang hati ku ini segera terpancar diatas wajahku,
ternyata kakek yang menjadi pemimpin rombongan itu cukup
cerdas dan cekatan, dari perubahan wajahku dia lantas
tertawa terbahak-bahak, kemudian katanya kepada empat
orang lainnya, 'Cousu ya sangat cerdas dan perhitungannya
tak pernah meleset, kalau tidak lantaran kecerdikannya ini tak
mungkin beliau berhasil mendapatkan sebutir mutiara Lip cu
dan sejilid kitab pusaka Thian hua ca ki diantara beribu-ribu
orang pencari harta.' Heemmm.... heeehmmm.... ia telah
memperhitungkan bahwa keempat orang laki laki itu akan
hidup selama seratus lima puluh tahun lamanya, tak mungkin
keempat orang itu bisa cepat mati!"
Terlanjur mengatakan kata mati, air muka Lau Cu cing
segera berubah hebat dan menunjukkan sikap gugup dan
perasaan tak tenang. Hoa Thian-hong bertiga cuma bisa saling berpandangan
dengan mulut melongo, beribu-ribu orang datang mencari
harta karun, peristiwa itu pastilah suatu peristiwa besar yang
pernah menggemparkan seluruh kolong langit, bila cuma
berita kosong belaka mereka belum tentu akan percaya, tapi
sekarang empat kakek tua berusia seabad lebih yang pernah
mengalami sendiri peristiwa tersebut duduk dihadapan
mereka, mau tak mau terpaksa ketiga orang itu harus
mempercayainya juga. Membayangkan kembali peristiwa yang terjadi dimasa
lampau, tak kuasa lagi Cu Im taysu bertanya, "Apakah kitab
pusaka Thian hua Ci ki termasuk sebagai suatu kitab pusaka
ilmu silat?" Tapi setelah perkataan itu dilontarkan ke luar, padri ini baru
merasa bahwa ia sudah terlanjur bicara yang tidak senonoh,
buru-buru sambungnya lagi.
"Pinceng tidak berniat serakah atau ingin mendapatkannya,
pertanyaanku hanya lantaran rasa ingin tahu belaka!"
Tiba-tiba ia merasa tidak tenang hatinya, cepat tambahnya
lagi, "Omintohud, rasa ingin tahu adalah perbuatan bodoh dan
omong kosong, dosa.... dosa...."
Semua orang merasa geli menyaksikan tingkah laku padri
ini, tapi teringat betapa serius dan berusahanya padri itu
untuk mengekang diri, timbul pula rasa hormat dihati mereka,
maka tak seorangpun berani tertawa.
Tiba-tiba Po-yang Lojin berkata, Thian hua adalah nama
manusia, dia merupakan murid paling kecil dari Kiu-ci Sinkun,
orang ini she Cho dan waktu mati baru berusia dua puluh
tahunan, tapi ilmu silatnya sangat tinggi, ilmu kepandaiannya
yang dipelajarinya adalah jurus-jurus paling ampuh dari
pelbagai perguruan dan partai besar yang ada didunia.
"Dari pelbagai perguruan dan partai besar" sela Suma
Tiang-cing dengan hati terperanjat.
"Betul, ilmu silatnya meliputi pelbagai perguruan dan partai
besar" sahut Po-yang Lojin, "Cho Thian-hua berbakat bagus
dan berotak cerdik, tapi lantaran ilmu silat yang dipelajarinya
terlalu banyak, terlalu ruwet dan tak mungkin baginya untuk
mengingat semua intisari serta kelihayannya selain itu diapun
mempunyai tujuan tertentu, maka setiap kali setelah
mempelajari sejenis ilmu silat, diam-diam ia membuat catatan
sendiri dalam sejilid kitab, lama kelamaan terjadilah sebuah
catatan Ilmu silat yang kemudian diberi nama Thian hua ca
ki!" Sekarang Hoa Thian-hong baru paham dengan duduknya
persoalan, ia lantas berseru, "Tak beran kalau ilmu silat yang
dimiliki Tang Kwik-siu amat banyak ragamnya, macam gadogado,
tapi semuanya tidak sempurna dan tidak matang,
rupanya ia belajar menurut catatan kitab Thian hua ca ki
tersebut....! sekarang aku baru mengerti rahasia ini!"
"Sampai dimanakah macam ragamnya kepandaian silat
orang itu?" tanya Suma Tiang-cing.
Ia pandai ilmu pukulan Tong pit sin kin ilmu iblis hua kut
mo ciang, ilmu sakti kim kong ciat eng. ilmu jari Yu seng sin ci
dan aneka ragam lagi banyaknya.
Sepasang mata Sama Tiang cing melotot besar karena
Tiga Maha Besar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tertegun, serunya kemudian, Waah.... waah.... gado-gado,
benar-benar ilmu gado-gado. Lo wangwe! Silaukan kau lanjut
kan penuturanmu. Lau Cu cing mengangguk. Setelah kupikir-pikir, segeralah kurasakan bahwa duduk
persoalan nya amat rumit.
"Cu Im suheng!" tiba-tiba terdengar It piau hwesio
memanggil dari arah dapur.
Cu Im taysu ingin mendengarkan cerita dari Lau Cau cing,
maka dia hanya mengiakan belaka, apa mau dikata It piau
hwesio kembali memanggil lagi dengan lantang, terpaksa Cu
Im taysu bertanya dengan suara setengah berteriak, "Suheng,
ada urusan apa engkan panggil diriku?"
"Kalian sedang membicarakan soal harta karun, aku tak
berani pergi kesitu!" seru It piau hwesio.
Tertegun Hoa Tbian hong setelah mendengar ucapan
tersebut, segera katanya, "Biar aku yang muda pergi kesana!"
Dia lantas masuk kedapur, selang sesaat kemudian pemuda
itu sudah muncul kembali sambil membawa senampan nasi
dan sayur mayur yang tidak berjiwa, katanya, "Lo suhu itu
menutupi telinganya sendiri dengan kain, tak heran kalau
pembicaraan kita tak terdengar olehnya"
"Omintohud!" seru Cu Im taysu sambil tertawa, "It piau
suheng baru benar-benar terhitung sebagai seorang padri
yang saleh, kalau aku, haaah.... hahh.... haahh.... aku pantas
disebut bwesio sontoloyo, haha haha."
Hoa Thian-hong ikut tertawa, dia lantas menghidangkan
nasi dengan sayur mayur itu kedepan semua orang.
Begitulah, sambil bersantap semua orang mendengarkan
Lau Cu cing melanjutkan kembali penuturannya, "Aku tak
berani memberitahukan tempat tinggal engkong co ku kepada
mereka namun tak mungkin aku membungkam dalam seribu
bahasa, sesudah putar otak akhirnya kujawab bahwa engkong
co ku beserta ketiga orang rekannya suka berpesiar ketempattempat
kenamaan, susah untuk menemukan jejak mereka,
tapi aku bersedia untuk menemukan kembali jejaknya.
Rupanya....Tang Kwik-siu tahu bahwa tiada gunanya
menggunakan kekerasan atas diriku dan lagi merekapun tidak
punya waktu untuk menungga terlalu lama, akhirnya dia
panggil muridnya yang membawa sebuah hiolo warna merah
darah untuk maju kedepan, dari dalam hiolo tersebut Tang
Kwik-siu menangkap seekor kelabang aneh yang tubuhnya
berbintik-bintik hitam, bajuku dising-singkan lalu kelabang itu
dibiarkan menggigit pergelangan tangan kiriku. Dalam
keadaan demikian, sekalipun kegusaran memuncak dalam
benakku, pada hakekatnya aku tak punya kemampuan untuk
memberi perlawanan apa-apa"
"Sungguh tak ku nyana Tang Kwik-siu begitu keji dan bejat
Peristiwa Merah Salju 7 Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen Kisah Membunuh Naga 1