Pencarian

Dewi Mutiara Hijau 2

Dewa Linglung 14 Dewi Mutiara Hijau Bagian 2


Setiap kali benda itu dilempar akan kembali ke arah
pemiliknya. Bahkan benda-benda itu seperti menurut
pada kehendak pemiliknya. Dapat ditarik di mana di-
perlukan tanpa harus membentur senjata lawan.
Mereka melakukan serangan dengan bekerja
sama. Setiap serangan akan disusul dengan serangan
berikutnya. Hingga tampaknya Nanjar cukup sulit
menghadapi senjata-senjata aneh itu. Karena dengan
bekerja sama seperti itu mereka menggunakan senja-
tanya sebanyak dua puluh buah yang dipergunakan
untuk menyerang saling bergantian.
Cring! Cring! Cring!
Lima gelang besi meluncur kelima bagian tubuh
Nanjar. Menyusul serangan dari arah kiri yang dilaku-
kan si baju kuning. Enam buah gelang besi me-
nyambar ke arah tempat kosong di kiri-kanan si Dewa
Linglung. Serangan semacam ini membingungkan Nan-
jar. Karena jalan untuk membuyarkan serangan ada-
lah cuma memutar pedang atau menghantam dengan
pukulan. Sedang jalan untuk menghindari adalah den-
gan bergerak ke kiri atau ke kanan, ke depan dan ke
belakang, atau ke tempat kosong dengan melompat ke
atas. Sedang kan serangan si baju merah datang dari
arah depan. Dari pertarungan beberapa jurus tadi. Nanjar
sudah dapat membaca gerakan si Baju Kuning, yang
selalu menyerang ke arah tempat kosong. Bahkan ka-
lau dia kurang waspada dan bertindak sembrono su-
dah sejak tadi dia terkena serangan gelang-gelang besi
si Baju Kuning.
Kali ini Nanjar gunakan jurus Menghantam Ba-
dai untuk menggempur lima gelang besi. Sedangkan
pedangnya diputar ke kiri dan ke kanan.
Akan tetapi seperti juga tadi, secara mendadak
gelang-gelang besi si Baju Merah secara aneh berhenti
meluncur. Dan kembali ke tangan pemiliknya dengan
meluruk pesat. Dalam sekejapan saja telah tergenggam
lagi di tangan si Baju Merah. Putaran pedangnya ter-
nyata cuma membelah angin, karena secepat kilat ge-
lang-gelang besi si Baju Kuning balik lagi ke tangan si
manusia miring ke kiri itu.
"Senjata edan!" memaki Nanjar dalam hati.
Singng! Singng..! Dua buah gelang tahu-tahu
sudah meluncur lagi menyambar ke arah tengkuk dan
punggung. Berbareng pula dengan serangan si Baju
Merah lagi. Nanjar menggigit bibirnya. Memusatkan
perhatian dengan sepenuhnya. Nalurinya sangat peka
dan secara reflek dia dapat membuang tubuh dengan
cara berguling di tanah. Kesempatan berguling itu di-
pergunakan Nanjar untuk menghantam dan mena-
baskan pedangnya ke arah kaki-kaki lawan.
Menggunakan cara ini ternyata cukup mem-
buat kedua manusia miring itu agak sukar menyerang
lawan. Bahkan mereka kini harus melompat-lompat
menghindari tabasan pedang Nanjar dan menghindari
pukulan-pukulan si Dewa Linglung. Serangan dari
arah bawah ini agak merepotkan mereka. Karena gera-
kan Nanjar tak ubahnya bagai gerakan seekor ular.
Itulah memang jurus-jurus Raja Siluman Ular yang te-
lah dipergunakan Nanjar. Dengan jurus ini dia berada
di atas angin, karena kedua manusia miring itu tak
sempat mempergunakan senjata gelang-gelang be-
sinya. Si wanita yang sejak tadi memperhatikan jalan-
nya pertarungan, diam-diam merasa kagum melihat
kelihaian Nanjar yang mampu membendung serangan
lawan. Bahkan kini berbalik menyerang, yang tadinya
cuma mampu bertahan.
Dua manusia miring yang berwajah hampir mi-
rip satu dengan lainnya itu adalah dua orang yang ber-
julukan si Sepasang Iblis Gelang Maut. Dua tokoh be-
rilmu tinggi yang pernah menggemparkan wilayah uta-
ra Pulau Andalas. Tujuannya adalah merampas peta
berikut pedang Mustika Naga Merah. Disamping telen-
gas, keduanya amat licik. Seribu satu kelicikan dimiliki mereka.
Tiba-tiba si baju merah memberi tanda dengan
menggunakan isyarat suara melengking bagai suara
serigala. Disusul dengan melompatnya kedua manusia
itu ke udara. Gerakan tiba-tiba ini disusul dengan me-
luncurnya belasan benda-benda kecil ke arah Nanjar.
Tanpa ayal Nanjar gunakan pedang mustikanya me-
nyampok serangan benda-benda itu. Terdengarlah se-
rentetan letupan kecil-kecil. Letupan itu menimbulkan
uap tipis berwarna hijau ungu. Nanjar terkesiap. Tapi
apa mau keadaan sudah terlambat. Hidungnya men-
gendus uap tersebut yang ternyata mengandung racun
dan obat bius yang amat memabukkan.
Seketika dia merasakan kepalanya menjadi be-
rat dan berdenyut-denyut. Pandangan matanya nanar.
Nanjar cepat melompat menjauhi tempat itu. "Manusia licik!" teriak Nanjar. Tapi
suaranya tercekik di tenggo-rokan. Mendadak tubuhnya yang tegak berdiri itu
menjadi sempoyongan. Detik berikutnya si Dewa Lin-
glung roboh pingsan...
"Haha hehe... Cara apapun dalam bertarung
halal dipergunakan" Ternyata hanya sebegitu saja ke-
mampuan, Dewa Linglung!" tertawa bergelak si Baju
Merah. "Cepat geledah buntalannya!" teriak si Baju Merah ini. Sedangkan dia
sendiri melompat untuk men-
jumput pedang mustika Naga Merah yang tergeletak di
tanah. "Cari peta itu! Kita harus segera angkat kaki secepatnya!" perintahnya
pada sang kawan. Si baju
kuning agaknya merasa tak perlu mencari di mana di-
taruhnya peta itu. Karena dia menduga Nanjar pasti
menyembunyikannya di dalam kain buntalannya. Se-
kali sentak dia memutuskan ikatan kain buntalan.
Kemudian... "Benda itu pasti di dalam buntalan ini!
Ayo, kita angkat kaki!" kata si baju kuning dengan menahan napas, karena
khawatir mengendus uap senjata
licik mereka sendiri.
Si brewok baju merahpun sudah tak tahan la-
ma-lama menahan napas. Dalam keadaan demikian
untuk menelan pel penangkal racunpun sudah tak
berguna lagi, karena prosesnya agak lambat.
Tak ayal lagi mereka segera berkelebatan me-
lompat pergi, dan lenyap...
7 Entah beberapa saat Nanjar tak sadarkan diri.
Ketika itu Nanjar merasakan pelahan-lahan dia mulai
siuman. Sepasang matanya dibuka lebar. Tapi apa
yang dilihatnya cuma tampak samar-samar. Dia men-
coba untuk bangkit berdiri. Sekujur tubuhnya terasa
lemah-lunglai tak bertenaga... Makin lama pandan-
gannya semakin jelas. Kini tampaklah di hadapannya
sesosok tubuh yang berdiri dan menatapnya dengan
pandangan penuh kebencian.
Dialah sosok tubuh si wanita bertopeng yang
telah membuka cadar penutup mukanya. Ternyata dia
seorang gadis yang berparas cantik.
"Bagus! kau sudah sadar!" berkata si gadis
dengan tersenyum.
"K.ka.. kau si perempuan bertopeng itu?" tanya Nanjar lemah.
"Benar! Namaku Syiwandari..! Sudah dua hari
kau tak sadarkan diri. Syukurlah akhirnya kau si-
uman" sahut gadis ini dengan suara lirih.
"Andakah yang telah menolongku?" tanya Nan-
jar terkejut. Segera dia teringat apa yang telah terjadi pada dirinya.
"Bukan! tapi sahabatmu... Dialah Panglima Ke-
cak Mendala!" sahut Syiwandari.
"Panglima Kecak Mendala?" sentak Nanjar terkejut. Syiwandari mengangguk. "Nah,
jangan banyak pertanyaan dulu. Kau minumlah obat ramuan ini
untuk menyegarkan otot-ototmu dan memulihkan ke-
sehatanmu..." Gadis ini mengasongkan sebuah mang-
kuk berisi ramuan yang masih hangat. Sejenak Nanjar
menatap pada si gadis. Lidahnya serasa kelu untuk
mengucapkan terima kasih.
"Minumlah! apakah kau khawatir aku meracu-
nimu?" tanya Syiwandari dengan tersenyum melihat
Nanjar masih memegangi mangkuk.
"Ah... tidak! tidak!" sahut Nanjar tergagap.
"Mengapa kau memandangku seperti itu?"
tanya Syiwandari.
"Kau... kau ternyata seorang gadis yang can-
tik.'" sahut Nanjar tersenyum. "terima kasih atas ke-baikanmu..."
Seketika wajah Syiwandari dijalani rona merah.
"Pemuda ceriwis!" kata si gadis seraya melen-
gos. Kemudian balikkan tubuh dan menghilang di ba-
lik pintu kamar ruangan itu.
"Eh" Non.nona! kau mau ke mana...?" Nanjar
tersentak kaget. Dia merasa telah bersalah menggoda
orang. "Aku akan memberi tahu Panglima Kecak Men-
dala bahwa kau sudah sadarkan diri!" menyahut suara si gadis dari arah pintu.
Kemudian terdengar suara
tindakan kaki yang melangkah cepat dan semakin
menjauh. Kemudian lenyap. Nanjar menghela napas.
Hatinya diam-diam membathin. "Oh, Tuhan yang
Agung! aku bersyukur telah ada yang menolong diri-
ku..." Ditatapnya mangkuk berisi cairan ramuan. Te-
rendus bau yang harum menyegarkan pernapasan.
Cepat dia meminum obat ramuan itu dan menenggak-
nya hingga habis.
Baru beberapa saat Nanjar diam termangu
memikirkan peristiwa naas yang menimpa dirinya,
mendadak terdengar suara langkah mendekati ruan-
gan. Sesosok tubuh tersembul dari pintu. Seorang
laki-laki berpakaian Perwira Kerajaan. Dia seorang la-
ki-laki berusia 40 tahun lebih. Berkumis tebal di atas
bibirnya. Sejenak Nanjar memperhatikan wajah orang
itu. "Sobat Nanjar, si Dewa Linglung! Apakah kali
ini kau benar-benar linglung tak mengenalku lagi?"
berkata laki-laki ini seraya melangkah mendekati.
"Ah" kau..kaukah Kecak Mendala" Panglima
Kecak Mendala?" sentak Nanjar mengulangi kata-
katanya. "Benar! tak usah pakai sebutan Panglima sega-
la! Sebutlah aku Kecak Mendala saja" tukas laki-laki ini dengan tersenyum. Lalu
menjabat tangan Nanjar.
"Ah, serasa bermimpi aku dapat menjumpai kau..Ke..
Kecak Mendala!" teriak Nanjar girang.
"Bagaimana keadaanmu, apakah sudah agak
baikan?" tanya sang Panglima.
"Ya! aku sudah kembali seperti sediakala. Teri-
ma kasih atas pertolonganmu..." sahut Nanjar terse-
nyum. Nanjar menanyakan bagaimana sampai dia ber-
ada di tempat ini. Kemudian Kecak Mendala segera
menceritakan. Yaitu ketika dia tengah melacak jejak
dua orang yang mencurigakan yang tengah dikuntit-
nya, namun kehilangan jejak. Dia terlambat tiba di
tempat itu, karena justru orang yang dikuntitnya baru
saja bertarung dengan Nanjar dan berhasil merampas
pedang Mustika Naga Merah serta membawa lari bun-
talan milik pemuda itu. Dia segera menolong Nanjar
dan membawanya ke tempat tinggal seorang sahabat-
nya yang berada di sebelah timur Kota Raja. Yaitu
tempat tinggal ayah angkat Syiwandari. Perihal Nanjar
itu dituturkan oleh gadis itu.
Nanjar menganguk-angguk. "Sekali lagi aku
mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu, juga
sampaikan terima kasihku pula pada.. pada Syiwan-
dari," kata Nanjar, setelah mendengar bahwa dengan
telaten sekali gadis itu merawat dan menungguinya ke-
tika dia pingsan.
"Siapakah mereka itu?" tanya Nanjar.
"Mereka dijuluki si Sepasang Iblis Gelang Maut!
Dua orang sesat dari wilayah utara Pulau Andalas,
yang kudengar dalam beberapa bulan ini berada di se-
kitar kaki gunung Sorik Marapi! Akupun mendengar
adanya seorang yang berkuasa dan berilmu tinggi yang
mengangkat dirinya menjadi seorang Raja tanpa Mah-
kota di kawasan sekitar kaki gunung itu. Menurut la-
poran mata-mata yang telah ku sebar, dia bergelar Da-
tuk Tangan bertuah!" tutur Kecak Mendala. "aku menduga dia berkomplot dengan
Datuk itu..!" lanjut Kecak Mendala.
"Apakah ada hubungannya dengan peta rahasia
itu?" "Kukira begitulah!"
"Ah, sayang..! peta rahasia yang kau berikan
sebagian itu telah digondol pergi si dua manusia mir-
ing itu!" keluh Nanjar.
"Haha... tak usah resah, sobat! Peta itu cuma
peta palsu!" berkata Kecak Mendala seraya menepuk
pundak Nanjar. "Palsu?"
"Benar! aku sengaja membuatkan peta palsu
dan kuberikan padamu agar kau mau datang ke tem-
pat ku! Kalau tidak demikian mana kau mau bersung-
guh sungguh ke mari" Aku yakin kau pasti tertarik
dengan dongeng itu dan akan membuktikan kenya-
taannya! Dongeng adanya sebuah tempat rahasia milik
Dewi Mutiara Hijau yang menyimpan timbunan batu-
batu permata yang tak ternilai harganya..!"
Baru saja habis Panglima Kecak Mendala ber-
kata, tiba-tiba berkelebat sesosok tubuh memasuki
ruangan diiringi bentakan.
"Panglima! katakan sebenarnya! Apakah kau
yang telah mencuri peta pembungkus perhiasanku di
dalam kamarku?" Tahu-tahu Syiwandari telah berada
di tempat itu dan menudingkan senjata pedang tipis-
nya dipunggung laki-laki itu.
"Ah"... turunkan pedangmu, anak manis! tak
baik bicara dan menuduh sekasar dan serampangan


Dewa Linglung 14 Dewi Mutiara Hijau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seperti itu.,?" berkata Kecak Mendala. Laki-laki ini menggerakkan punggungnya.
Mendadak Syiwandari
merasakan ada kekuatan yang telah mendorongnya,
hingga dia terdorong mundur.
"Duduklah! aku akan memberikan keterangan
yang jelas mengenai tuduhanmu itu!" kata sang Pan-
glima seraya memutar tubuh dan mendahului duduk
di lantai. Mau tak mau dengan wajah merah Syiwanda-
ri terpaksa jatuhkan pantatnya duduk dilantai di de-
pan Panglima Kecak Mendala. Nanjar cuma berdiri
menatap kedua orang itu silih berganti.
"Sobat Nanjar! silahkan kaupun duduk men-
dengarkan apa yang akan aku tuturkan..!" berkata Kecak Mendala. Si Dewa Linglung
memang ingin menge-
tahui apa yang akan diutarakan. Maka diapun menu-
ruti permintaan sahabatnya.
"Syiwandari..! tahukah kau siapa sebenarnya
ayah angkatmu?" Panglima Kecak Mendala memulai
pembicaraan. "Ayah angkatku, yaitu ayah angkatku! mengapa
paman Panglima menanyakan hal itu?" sahut Syiwan-
dari tak mengerti.
Laki-laki ini menghela napas. "Jalan ceritanya
cukup panjang..! Tapi biarlah aku akan menceritakan
secara singkat saja. Ayah angkatmu adalah seorang
yang misterius, aneh dan sangat jarang berbicara. Da-
tang dan perginya sukar diketahui dan sangat jarang
berada ditempat kediamannya sendiri. Nama sebenar-
nya adalah SOBALI!"
"Dari mana kau mengetahui nama ayah angkat-
ku?" tanya Syiwandari.
"Aku dan ayah angkatmu adalah sahabat yang
paling dekat. Tentu saja aku mengetahui namanya.
Bukankah sampai saat ini kaupun tak mengetahui
siapa nama ayah angkatmu itu, bukan?" Syiwandari
tak menjawab. Panglima Kecak Mendala meneruskan
ceritanya. "Ayah angkatmu mengirim kau ke Kota Raja
dan menetap digedung istana pada seorang juru tulis
istana. Sesekali ayah angkatmu menengokmu. Dia
amat menyayangi kau seperti menyayangi anaknya
sendiri. Namun dia tak menampakkan rasa kasih
sayangnya secara terang-terangan..."
"Jadi orang yang kuanggap ayahku itu bukan
ayah kandungku" Kau jangan mengaco Paman Pan-
glima!" sentak Syiwandari terkejut. Paras mukanya berubah. "Aku tengah
menuturkan riwayatmu. Dan cu-
ma aku yang mengetahui tentang kau, anak manis!
Nah, mau percaya atau tidak itu terserah kau..!" sahut Kecak Mendala. Gadis itu
terpaksa membungkam mulut. Tapi kali ini dia tampak agak menghormat pada
laki-laki itu. Diam-diam dia membathin dalam hati.
"Siapakah sebenarnya Panglima Kecak Mendala ini"
Kalau benar orang yang kuanggap ayah itu bukan
ayahku, dia pasti mengetahui siapa sebenarnya ayah
kandungku!"
"Ayah angkatmu adalah orang yang amat kasih
sayang terhadapmu. Secara diam-diam dia mengirim
seorang guru silat agar anak angkatnya dapat mempe-
lajari ilmu-ilmu kedigjayaan dan menjadi seorang pe-
rempuan yang tidak lemah. Setahun yang lalu ayah
angkatnya memberikan secarik kain bergambar se-
buah peta, dan melalui sepucuk surat, dia berpesan
agar menyimpan benda itu dengan baik. Tepat ketika
anak angkatnya yaitu kau sendiri telah berusia dela-
pan belas tahun, ayah angkatnya mencuri peta itu
kembali, tapi hanya sekedar untuk menyalinnya. Ke-
mudian dia mengembalikan benda itu ke tempatnya
semula..."
Sampai di sini Panglima Kecak Mendala mena-
tap Syiwandari. Sementara hati gadis itu sendiri terce-
kat. Tanpa disadari Syiwandari menatap wajah Pan-
glima Kecak Mendala tajam-tajam. Ada suatu prasang-
ka yang tiba-tiba menyelinap dihati kecilnya. Tiba-tiba
dia ajukan pertanyaan.
"Paman Panglima..! aku pernah melihat paman
sekilas keluar dari pintu kamarku. Apakah yang pa-
man Panglima lakukan di kamarku?"
"Apakah kau merasa ada kehilangan sesuatu?"
tanya Kecak Mendala.
"Ya! kain pembungkus perhiasanku..! Tapi saat
itu aku belum menyadari. Hal itu kuketahui setelah
kuingat-ingat! Dan setelah kain pembungkus perhias-
an berikut isinya lenyap untuk kedua kalinya!" Kecak Mendala manggut-manggut.
Mendadak Syiwandari
ajukan pertanyaan.
"Benarkah paman Pernah memasuki kamar-
ku?" desak Syiwandari dengan memandang tajam Ke-
cak Mendala. Laki-laki ini mengangguk.
"Lalu... apakah..." Sepasang mata gadis ini agak membelalak.
"Maksudmu apakah aku yang telah mengambil
kain pembungkus itu dan mengembalikan ketempat-
nya lagi?" potong Kecak Mendala, karena melihat gadis itu seperti ragu
mengatakannya. "Y..ya, aku bermaksud mengatakan demikian..."
Mendadak Panglima Kecak Mendala tertawa ge-
lak-gelak hingga suaranya berpantulan di ruangan itu.
"Haha.. anak manis! Pikiranmu cerdas! Memang aku-
lah orangnya yang telah mencuri kain peta itu untuk
kusalin, lalu kukembalikan lagi pada tempatnya!" kata Kecak Mendala dengan
tersenyum. "Oh" Jadi..jadi paman Panglima adalah ayah
angkatku sendiri?" Sepasang mata Syiwandari membe-
lalak lebar menatap sang Panglima. Laki-laki ini men-
gangguk. "Benar! Akulah orang yang bernama SOBALI
itu..! Sedang nama Kecak Mendala aku per-gunakan
ketika aku telah diangkat menjadi seorang Panglima
Kerajaan!"
Pucatlah seketika wajah Syiwandari. Sepasang
mata yang membulat itu seketika menjadi berkaca-
kaca. Tiba-tiba gadis ini memekik seraya merangkul
kaki Panglima Kecak Mendala. "Ayah..! Oh, maafkan
aku, ayah! Aku sungguh seorang anak yang tak mem-
balas budi kepada orang tua.." terisak-isak Syiwandari menangis dengan air mata
bercucuran. Nanjar yang menyaksikan jadi tertegun dan
menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal. "Aii!
pantas kalau ayah angkatnya bersikap aneh dan ja-
rang berada di tempat kediamannya sendiri..." gumam Nanjar dalam hati.
"Sudahlah, anak manis! aku toh hanya sekedar
seorang ayah angkat. Tak ada bedanya dengan ayah-
mu yang sekarang..." kata Panglima Kecak Mendala setelah mengangkat bangun gadis
itu. 8 Dalam waktu singkat keakraban tampak telah
terjalin diantara ketiga orang di dalam ruangan itu. Ti-
ba-tiba Nanjar berdiri dan menjura di hadapan Pan-
glima Kecak Mendala. "Sobat Kecak Mendala..!" ujar Nanjar. "Sungguh gembira
hatiku melihat kalian telah bersatu. Berarti lenyap pulalah syak-wasangka yang
selama ini menghantui hati adik Syiwandari.
Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih atas
pertolongan kalian..! Sayang! aku tak dapat berlama
lama ditempat ini. Aku harus menyusul kedua manu-
sia miring yang bergelar Si Dua Iblis Gelang Maut itu.
Kukira dia menuju ke kaki gunung Sorak Marapi!"
"Tunggu! kau jangan pergi dulu, Nanjar! Bersa-
barlah sampai besok pagi. Kau bisa menginap semala-
man di tempat ini. Karena aku tengah merencanakan
kapan waktunya untuk mencari tempat rahasia itu!"
cegah Kecak Mendala, dia terkejut melihat Nanjar
mengambil keputusan mendadak.
"Apakah tidak sebaiknya kita pergi mencari
tempat itu bertiga?" sela Syiwandari.
"Kau akan ikut serta, anak manis?" tanya Pan-
glima. "Ya! aku ingin melihat di mana paman mene-
mukan diriku enam belas tahun yang lalu!" sahut si
gadis balas menatap sang ayah angkat.
"Hanya untuk itu?" tanya Kecak Mendala. "Juga untuk membantu kalian mencari
tempat rahasia Dewi
Mutiara Hijau. Aku yakin akan banyak kesukaran
yang akan kalian hadapi. Biarlah aku menyumbang-
kan kebodohanku, hitung-hitung membalas budi pa-
man Sobali!" sahut Syiwandari tegas.
"Aha... bagus! ternyata tak sia-sia aku mendi-
dikmu dengan ilmu-ilmu silat. Kau terlalu merendah-
kan diri, anak manis..." puji Kecak Mendala.
"Bagiku aku tak berkeberatan, tapi bagaimana
dengan sobat Nanjar" Apakah dia bersedia kita pergi
bertiga?" sambung Kecak Mendala seraya berpaling
pada si Dewa Linglung.
"Bagiku tak menjadi halangan. Bahkan aku se-
nang sekali dapat pergi bersama-sama dengan seorang
gadis manis seperti nona Syiwandari..." sahut Nanjar seraya menyipitkan sebelah
mata pada gadis itu.
Kali ini Syiwandari tak memaki, Tapi hanya
menundukkan kepala dengan wajah merah. Toh ak-
hirnya keluar juga ucapannya.
"Kakak Pendekar Dewa Linglung pintar sekali
menggoda orang"
"Haha... sudahlah! bukankah wajar" Kalian
masih muda-muda. Mengapa dapat disalahkan kalau
orang memuji" Itu tandanya sobatku ini ada hati pa-
damu. Siapa tahu kau ada jodoh dengannya...?" bisik Panglima Kecak Mendala pada
sang gadis. "Ah, paman...." Semakin merah wajah Syiwan-
dari digoda demikian oleh sang paman alias ayah ang-
katnya. Satu cubitan tahu-tahu sudah diterima Pan-
glima yang hampir berusia setengah abad itu. Dia
mengaduh sambil tertawa tergelak-gelak. Nanjar pun
mengumbar gelak tawa, hingga gadis ini jadi serba sa-
lah. Karena tak tahan digoda, dia berlari dari ruangan
itu dengan wajah terasa panas. Tapi diam-diam ha-
tinya girang bukan main.
Sejak merawat pemuda yang bergelar si Dewa
Linglung itu hatinya diam-diam sudah terpikat. Itulah
sebabnya dia tak jemu-jemu merawat dan menunggui
Nanjar hingga siuman dari pingsannya.
Malam itu Panglima Kecak Mendala menjumpai
Nanjar digedung tua yang ditempatinya. Syiwandari
diperintahkan untuk pulang dahulu, karena rencana
kepergian mereka adalah dua hari lagi. Syiwandari pun
harus meminta izin pada ayah angkatnya di Kota Raja.
"Cepat sekali kau kembali, sobat Kecak Men-
dala?" tanya Nanjar melihat kemunculan laki-laki abdi Kerajaan itu.
"Ya! ada hal penting yang akan kukatakan pa-
damu mengenai rencana kita..." sahut Kecak Mendala.
Nanjar kerutkan keningnya. Segera dia mempersilah-
kan Panglima itu duduk.
"Pembicaraan ini hanya aku dan kau yang bo-
leh mengetahui..." Panglima memulai pembicaraan, dengan suara berbisik.
Selanjutnya dengan suara hampir
tak kedengaran keluar kecuali hanya telinga Nanjar
yang mendengarkan, Panglima ini mengatakan renca-
nanya. "Jadi tak seorangpun orang kerajaan yang
mengetahui termasuk baginda Raja?" desis Nanjar. Kecak Mendala mengangguk.
"Ya! akupun telah mengancam Syiwandari un-
tuk menjaga rahasia..."
Nanjar terdiam sesaat.
"Baiklah! aku akan berangkat terlebih dulu se-
suai dengan petunjukmu. Mudah-mudahan peta yang
ini pun bukan peta palsu seperti yang lenyap di kamar
Syiwandari, dan yang digondol pergi dua manusia mir-
ing itu..."
"Aku menjamin keasliannya, karena benda ini
kudapatkan secara aneh. Yaitu mendengar suara gaib
seperti dalam mimpi di saat aku sadar dan tidak sadar.
Suara gaib yang sama seperti yang kudengar 16 tahun
yang lalu! Aku yakin yang bicara itu adalah si Dewi
Mutiara Hijau sendiri! Ketika aku terjaga kudapatkan
secarik kain bergambar peta telah berada di atas pe-
rutku... Selama enam belas tahun menunggu kukira
inilah saatnya!"
Nanjar manggut-manggut. Memang sesuatu
yang musykil kedengarannya. Tapi justru membuat
Nanjar semakin penasaran untuk membuktikan apa
yang telah dituturkan Panglima itu mengenai peristiwa
yang terjadi enam belas tahun yang lalu itu.
Panglima mengeluarkan peta dari kain kulit
yang tampak sudah usang dari balik jubahnya. Lalu
memberikan pada Nanjar. "Inilah peta aslinya. Agar tak membuat kau ragu-ragu,
maka kaulah yang meme-gangnya untuk petunjuk jalan. Aku telah membuat sa-
linannya. Segera aku akan menyusulmu beberapa hari
lagi bersama Syiwandari..."
Nanjar menerima benda itu. Setelah memperha-
tikan sejenak, lalu segera menyimpannya ke balik ba-
ju. Panglima julurkan tangannya untuk menjabat le-
ngan Nanjar. "Aku segera akan kembali ke Kota Raja.
Berhati-hatilah, jangan sampai ada seorangpun yang
mengetahui!"
Nanjar mengangguk. "Kapan kau akan berang-
kat?" tanya Panglima.
"Mungkin sekarang juga!"
"Bagus! Nah aku kembali ke Kota Raja!" Selesai berkata Panglima balikkan tubuh
dan melangkah keluar ruangan. Tak lama dia berkelebat lenyap dari pin-
tu ruangan gedung itu. Sejenak Nanjar terpaku ditem-
patnya. "Tampaknya urusan ini demikian rumit! Tapi
aku telah bertekad ingin mengetahui sampai tuntas. Di
samping aku harus menebus kekalahanku pada si dua
manusia miring itu, dan merebut kembali pedang mus-
tika Naga Merah!" berkata Nanjar dalam hati.


Dewa Linglung 14 Dewi Mutiara Hijau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tak lama setelah mengambil keputusan, Nanjar
segera meninggalkan tempat itu. Dan berkelebat le-
nyap menembus kepekatan malam......
9 Selama dalam perjalanan mengikuti petunjuk,
Nanjar berpikir keras. Dia merasa agak aneh dengan
sikap Panglima Kecak Mendala. Demikian banyak dia
membuat peta yang sukar pula bagi Nanjar untuk
meyakinkan keasliannya. Walaupun peta ditangannya
dikatakan peta yang asli, namun keraguan itu tetap
menyelinap dihatinya.
"Memang agak aneh..!" Apakah ada seorang
sahabat yang dengan begitu mudah mempercayakan
sebuah peta di tangan seorang yang belum begitu lama
bersahabat?" pikir Nanjar. "Sedangkan peta ini berisi petunjuk ke suatu tempat
yang penuh timbunan harta
yang tak ternilai harganya!" Nanjar jatuhkan pantatnya di atas batu, di kaki
bukit. Matanya memandang hutan
belantara yang menebar di sekitar punggung gunung
Sorik Merapi. "Masalah ini sungguh sukar dipecahkan, di
samping aku belum yakin benar dengan segala macam
cerita tahayul! Tapi justru semakin membuat aku pe-
nasaran. Benarkah di dunia ini ada makhluk yang
bernama Dewi Mutiara Hijau" Apakah dia seorang ma-
nusia atau seorang Peri" Ataukah benar-benar seorang
Dewi yang turun dari Kahyangan?" desis si Dewa Lin-
glung. "Aii! benar-benar celaka! Aku terlibat dengan urusan si Kecak Mendala.
Tapi aku sudah terlanjur
berjanji membantunya disamping ingin tahu kebena-
ran "dongeng" si Panglima itu! Yang lebih penting adalah aku harus merebut
kembali pedang mustika Naga
Merah dari tangan si Dua Iblis Gelang Maut!"
Nanjar melompat berdiri. Ditepuk-tepuknya
pantatnya yang penuh debu dan tanah. Kemudian dia
mengeluarkan kain peta dari balik baju.
Peta ini kelihatannya memang sudah kuno.
Kainnya seperti telah lapuk. Tapi aneh" tulisan tin-
tanya seperti masih baru!" Hati Nanjar tercekat. Semakin penasaran dia untuk
meneliti peta rahasia itu.
"Tak salah lagi! Gambar peta ini belum lama di-
buat! Hm, aku agak curiga dengan si Kecak Mendala!
Jangan-jangan...."
Tiba-tiba, Nanjar berkelebat melompat dari
tempat itu. Dengan gerakan cepat tak menimbulkan
suara dia telah bersembunyi dibalik bongkah batu.
Ternyata telinganya telah mendengar gerakan dan sua-
ra orang yang mendatangi...
"Siapakah yang datang?" Pikir si Dewa Lin-
glung. Dari celah bongkah batu dia mengintip ke arah
ujung semak belukar. Terlihat ranting-ranting ber-
goyangan. Bahkan terdengar suara ranting semak yang
patah seperti dipatahkan orang. Tak lama tersembul
dua sosok tubuh.
Hampir Nanjar mengeluarkan suara karena ter-
kejut. Siapa yang muncul tiada lain dari si dua ma-
nusia miring ke kiri dan miring ke kanan, yaitu si Dua
Iblis Gelang Maut. Nanjar menahan napas dan men-
gambil keputusan berdiam diri ditempat. Diperhati-
kannya apa yang akan dilakukan kedua orang itu, ka-
rena dilihatnya dia berhenti tepat di dekat batu besar
tempat Nanjar tadi duduk di situ
"Tempat ini adalah lokasi bagian terakhir dari
petunjuk peta! Coba perhatikan, kakang Katok!" berka-ta si baju kuning seraya
membeberkan dua carik kain
yang dipersatukan di atas batu besar bekas tempat
duduk Nanjar. "Pendapatmu tidak salah!" sahut si baju merah
yang ternyata bernama Katok. "Coba teliti, adakah
tanda-tanda yang menunjukkan ke arah tempat raha-
sia harta pusaka Dewi Mutiara Hijau?"
Si baju kuning segera meneliti dengan seksama.
Selang sesaat dia berkata.
"Bulatan ini kukira menunjukkan bahwa batu
besar inilah yang harus dibuat patokan!" katanya. "Lihat! Ada tanda panah yang
menunjuk ke arah sana si-
ni! Berarti kesana...karena disebelahnya adalah tanda
yang menunjukkan hutan rimba dipunggung sebelah
selatan gunung Sorik Marapi!"
Katok si baju merah segera melompat ke arah
yang ditunjuk adik seperguruannya. "Hei! lihatlah! aku menemukan sebuah batu
berbentuk kukusan!" teriak
si baju Merah. Hati si baju kuning terlonjak girang.
Tunggu! aku akan melihatnya!" Dan laki-laki brewok
ini sudah berkelebat ke arah Katok.
"Bagus! Inilah kunci rahasianya!" berkata si ba-ju kuning.
"Bagaimana cara membukanya?" tanya Katok.
"Apakah kau yakin benar batu ini sebuah pintu tempat rahasia itu?" Katok
menggaruk-garuk kepalanya. Batu berbentuk kukusan itu besarnya hampir dua depa.
"Aku tidak mengatakan pintu, tapi kunci!" kata si baju kuning. "Di bawah tanda
berbentuk segitiga
yaitu tanda untuk batu yang kita temukan ini ada ter-
tulis kata-kata. "Burung elang terbang ke langit kiri..."
"Apa arti kata-kata itu?" sungut Katok dengan
membanting kaki. Dia tampaknya sudah tak sabar lagi
untuk menemukan tempat tersimpannya harta pusaka
Dewi Mutiara Hijau.
"Haa..! aku tahu artinya!" teriak si baju kuning.
"Artinya kita harus menggeser batu ini dengan memu-
tar ke arah KIRI!"
"Pakai diputar-putar segala" Apa maksudnya?"
sungut si baju merah. Agaknya dia kurang memper-
cayai tafsiran sang adik seperguruan.
"Percayalah! Adikmu Katik takkan meleset tafsi-
rannya!" seru si baju kuning yang merasa yakin. "Mengenai maksudnya aku mana
mengetahui" Yang pent-
ing kita mencoba mengerjakannya! Tapi aku yakin ini
adalah kata-kata rahasia agar tak sembarang orang
mengerti, dan harus ditafsirkan!"
"Hm, aku berpendapat sebaiknya kita gunakan
saja pedang mustika Naga Merah untuk membelah ba-
tu ini. Bukankah si Panglima Kecak Mendala mengu-
pah kita untuk merebut pedang mustika ini dari tan-
gan si Dewa Linglung" Kukira tentu gunanya adalah
untuk membuka pintu dengan membelah batu ini. Ka-
ta-kata "burung elang terbang ke langit kiri" adalah jalan untuk kita "terbang"
yang maksudnya adalah kita mengambil jalan ke sebelah timur setelah berhasil
mendapatkan harta pusaka itu,.!"
"Ngawur!" bentak Katik. "Aku tak setuju! Soal-nya aku yakin pendapatkulah yang
benar!" Sementara itu diam-diam Nanjar terus mem-
perhatikan. Kebetulan bongkah batu tempat sembu-
nyinya berada ditempat yang agak tinggi. Hingga dia
melihat jelas kedua manusia miring itu saling adu mu-
lut. "Hm, mereka telah menemukan tanda yang di-
maksud dari petunjuk peta. Peta yang sepotong pasti
peta rampasan yang ku sembunyikan di dalam kain
buntalanku. Yang sepotong lagi entah didapatkan dari
mana?" berkata Nanjar dalam hati. Dugaanku tentu
peta pemberian si Kecak Mendala, tak ubahnya seperti
yang diberikan padaku! Ingin kulihat, apakah yang
akan ditemukan mereka di tempat itu?"
Walau hatinya serasa sudah tak sabar untuk
merebut pedang mustika Naga Merah dari tangan Ka-
tok, si manusia miring ke kanan itu. Tapi Nanjar harus
menahan sabar untuk melihat hasil penemuan kedua
orang itu. Ternyata keputusan jatuh di tangan Katik si
adik seperguruan Katok si baju merah. Untuk pertama
kalinya dia mengalah dan menyetujui pendapat sang
adik seperguruan. Segera kedua manusia miring itu
singsingkan lengan baju untuk menggeser batu ber-
bentuk kerucut itu ke arah kiri.
Sementara Nanjar menunggu dengan sabar dari
balik bongkah batu ditempat persembunyiannya, yang
kira-kira berjarak lima belas tombak. Suasana hening
merayapi sekitar hutan di lereng bukit itu. Yang ter-
dengar adalah suara napas Katok dan Katik yang ten-
gah mengerahkan tenaga untuk menggeser batu keru-
cut bergaris tengah dua depa.
Tiba-tiba suasana hening itu dipecahkan oleh
bunyi ledakan dahsyat! Pecahan batu membumbung
ke udara bercampur debu. Tentu saja membuat hati
Nanjar terlonjak kaget. Karena ledakan itu berasal dari
tempat si Dua Iblis Gelang Maut. Membelalak mata
Nanjar melihat diantara pecahan batu kecil yang me-
nebar di udara, tampak terlihat serpihan-serpihan tu-
buh manusia! Itulah tubuh Katok dan Katik yang han-
cur beserpihan akibat meledaknya batu kerucut yang
tengah digesernya....
Mendadak mata Nanjar tertuju pada secercah
cahaya merah yang melayang di udara berbaur dengan
serpihan batu dari tulang serta bagian tubuh manusia.
Itulah pedang mustika Naga Merah yang terlempar ke
udara. Detik itu juga dia telah melesat dari tempat per-
sembunyiannya. Tap! Sekali lengannya terjulur dia
berhasil menangkap gagang pedang. Detik berikutnya
tubuh si Dewa Linglung tampak melayang turun dan
jejakkan kaki di tanah. Pedang mustika itu telah ter-
cekal dilengannya.
"Ah!" syukurlah pedang pusaka ini tak cacat
sedikitpun..." Nanjar berseru girang, setelah memeriksa pedang itu memang benar-
benar pedang mustika
miliknya. Dan tak cacat sedikitpun akibat ledakan itu.
Setelah memasukkan pedang pusakanya ke sa-
rung di belakang punggung, Nanjar berdiri terpaku
menyaksikan bekas tempat terjadinya ledakan. Diam-
diam hatinya bergidik menyaksikan kejadian itu. Jelas-
lah! Kalau Panglima Kecak Mendala telah sengaja me-
masang jebakan untuk membunuh kedua manusia itu,
yang telah diperalatnya untuk keinginannya mencapai
maksud dan tujuannya memiliki pedang mustika Naga
Merah. "Heh! beruntung aku dapat menahan sabarku,
hingga aku tak turut terjebak dalam perangkap si Ke-
cak Mendala!" berkata Nanjar dalam hati.
"Kini ingin kubuktikan apakah peta yang in-
ipun peta yang akan mengantarkan nyawaku ke Akhi-
rat...?" desis si Dewa Linglung.
Kemudian dia mulai mengikuti petunjuk peta.
Berbeda dengan tempat yang ditunjukkan dalam peta
Katok dan Katik yang tewas dengan mengerikan, peta
yang di tangan Nanjar berada ditempat yang berlawa-
nan. Persis seperti yang ditemukan Katok dan Katik
si Dua Iblis Gelang Maut, Nanjar pun menjumpai batu
yang berbentuk sama.
"Hm, inilah saatnya aku membuktikan!" Desis
Nanjar seraya melompat sejauh sepuluh tombak. Dari
tempatnya berdiri Nanjar menghantam batu kerucut
itu dengan pukulan jarak jauh.
Bersamaan dengan hancurnya batu itu terden-
garlah dua kali ledakan berturut-turut. Tanah me-
nyemburat ke udara bercampur batu-batu yang ber-
hamburan. Tempat sekitar bekas ledakan Menjadi
hangus terbakar.
"Manusia keji! licik!" maki Nanjar dengan mata mendelik. Seandainya dia berlaku
bodoh, tentu nasib-nya tak akan berbeda dengan si Dua Iblis Gelang Maut
yang sial itu. Setelah termangu-mangu beberapa saat la-
manya di tempat itu, Nanjar berkelebat pergi dari tem-
pat itu, dengan perasaan lega. Hatinya bersyukur pada
Yang Maha Agung karena dia dapat selamat dari keli-
cikan Panglima Kecak Mendala.
10 Di pagi subuh sesosok tubuh tampak muncul
dari arah selatan tugu perbatasan dengan menuntun
seekor kuda. Ternyata dia tak lain dari Syiwandari.
Gadis ini berhenti ditempat itu seperti menunggu se-
seorang. Tak terlalu lama, dari arah barat terdengar sua-
ra langkah kuda mendatangi. Kemudian berhenti di
dekat tugu. Suara Syiwandari memecah kesunyian,
"Tepat sekali kedatanganmu, paman Sobali. Aku belum lama menunggu..."
Laki-laki itu tak lain dari Panglima Kecak Men-
dala, yang memakai pakaian biasa. Dia mengangguk.
"Bagus! Marilah kita segera berangkat!"
"Baik paman..!" sahut Syiwandari. Gadis ini cepat menghampiri kudanya. Kemudian
melompat sigap ke atas punggung kuda.
Kecak Mendala alias Sobali segera memutar
kuda kejurusan timur. Dan membedal kuda dengan
cepat. Gadis ini mengeprak tali kendali. Sekejap anta-
ranya dia telah menyusul di belakang kuda sang Pan-
glima.... Selama dalam perjalanan, Kecak Mendala
memberi isyarat pada sang gadis agar tak bercakap-
cakap. Syiwandari mengerti, karena dikhawatirkan ke-
berangkatan mereka diketahui orang. Segera dia mem-
perlambat kudanya agar sang paman berada di depan,
yang tadinya telah direndengi karena dia ingin menga-
jak laki-laki ayah angkatnya itu bercakap-cakap.
Kecak Mendala seperti mengejar waktu. Dia ha-
rus tiba di hutan sebelah timur sebelum fajar. Semen-
tara benaknya terus bekerja, mengatur rencana-
rencana selanjutnya yang akan ditempuhnya.
"Aku harus lebih cepat dari si Datuk Tangan
Bertuah! Aku tak ingin secuilpun harta Dewi Mutiara
Hijau jatuh ke tangannya..! Untuk melenyapkan ma-
nusia itu akan kupergunakan cara yang paling mudah,
yaitu cara seperti yang kulakukan terhadap Katok dan
Katik, serta si Dewa Linglung! Hehehe...! tentu saat ini si Dewa Linglung sudah


Dewa Linglung 14 Dewi Mutiara Hijau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mampus!" Ternyata sukar untuk diduga kalau selama ini
Kecak Mendala ada hubungan dengan si Datuk Tangan
Bertuah alias si Raja tanpa mahkota itu. Bahkan hari
itupun tak luput dari liputan sang Datuk yang bermu-
kim di wilayah lereng Sorik Marapi.
Manusia yang berilmu batin tinggi ini dapat
mengetahui melalui mata batinnya akan kemunculan
Panglima Kecak Mendala, karena hari itu adalah hari
yang bertepatan dengan saat yang dijanjikan oleh si
Dewi Mutiara Hijau.
"Hm, Kecak Mendala pasti tengah menuju ke
goa Cadas Putih dengan membawa gadis itu! Aku tak
boleh mempercayai manusia itu untuk memberikan
padaku sebagian harta Dewi Mutiara Hijau. Dan... he-
heheh... akupun tak bodoh untuk membiarkan dia
mengangkanginya. Nasibnya tak akan berbeda jauh
dengan nasib si PUTU LANGKAN, enam belas tahun
yang lalu!" desis si kakek berjubah hitam ini dengan senyum menyeringai.
Kemudian dia bangkit berdiri dan menyambar
tongkat hitamnya. Sesaat kemudian dia telah berke-
lebat lenyap dari dalam ruangan gedung istananya....
-----00O00-----
Gerakan Datuk Tangan Bertuah secepat ter-
bang menerobos hutan rimba, bagaikan bayangan iblis
saja layaknya. Sementara itu Kecak Mendala telah tiba
di goa Cadas Putih. Kedua ekor kuda tunggangan me-
reka telah ditambatkan.
Kecak Mendala memberi isyarat pada Syiwan-
dari untuk mengikuti dia.
-----00O00-----
Dengan benak penuh pertanyaan gadis ini
mengikuti sang ayah angkat. Di depan goa yang penuh
sarang laba-laba Kecak Mendala duduk bersimpuh.
Laki-laki ini memberi isyarat pada Syiwandari untuk
berjongkok didekatnya. Tampak bibir Kecak Mendala
komat-kamit mengeluarkan suara berdesis.
"Dewi Mutiara Hijau! Hari ini adalah tepat enam
belas tahun, sejak aku menemukan seorang bocah pe-
rempuan ditempat ini. Seperti janjimu, aku telah me-
melihara bocah itu hingga dewasa. Dan aku memba-
wanya kemari..! Seperti janjimu kau akan memberikan
imbalan berupa harta yang tak ternilai harganya. Maka
ku mohon penuhilah janjimu, Dewi..!"
Syiwandari terpaku dengan membelalakkan
mata menatap ke arah goa dan Kecak Mendala bergan-
ti-ganti. "Jadi di tempat inilah aku ditemukan" Dan...
Dewi Mutiara Hijau itu siapakah" Apakah dia ibuku?"
Kebat-kebit hati si gadis dengan peluh dingin men-
gembun di kuduknya.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara ber-
derak. Dibarengi munculnya asap tipis berwarna putih,
terjadilah keajaiban. Goa itu tiba-tiba terbelah menjadi dua bagian. Kedua
bagian itu bergeser ke kiri dan ke
kanan. Dari bagian tengah memancar sinar kuning
dan hijau bercampur kepulan asap putih tipis yang
menimbulkan cahaya indah menyilaukan mata.
Mendadak terdengar suara merdu diiringi mun-
culnya sesosok tubuh wanita berambut tergerai sampai
ke pinggul. Wajah wanita ini cantik luar biasa. Sekujur
tubuhnya penuh dengan untaian mutiara hijau. Kecak
Mendala dan Syiwandari memandang takjub. Tak pe-
lak lagi inilah sang Dewi Mutiara Hijau! pikir Kecak
Mendala. "Hihihi... aku akan tepati janjiku, Kecak Men-
dala. Panglima yang gagah! Saatnya memang sudah ti-
ba! Kemarilah kau anak manis..!" Tiba-tiba wanita
yang membuat penglihatan orang menjadi nanar oleh
kilauan mutiara itu ulurkan lengannya ke arah Syi-
wandari. Aneh! seperti ditarik oleh kekuatan gaib, Syi-
wandari bangkit berdiri. Dan melangkah mendekati
sang Dewi Mutiara Hijau. Lengan gadis itupun terjulur
untuk menyambut uluran tangan wanita misterius itu.
Sepasang mata Syiwandari tak berkedip menatap wa-
nita di hadapannya. Mulutnya serasa terkunci tak
mampu mengucapkan sepatah kata.
"Hihihi... saatnya telah tiba! saatnya telah tiba!
Silahkan masuk, Kecak Mendala. Harta itu milikmu
kalau kau menginginkannya. Tapi perlu kuberitahu-
kan, bahwa sudah sekian banyak orang yang mengin-
gini harta itu! Dan kau memang tidak sendiri..! Dan
perlu juga kuingatkan bahwa harta itu cuma akan
membawa malapetaka saja. Hanya orang-orang yang
berjiwa tenang sajalah yang tak menginginkannya!
Apakah kau akan tetap ingin memilikinya, panglima
gagah?" Pertanyaan itu sejenak membuat Kecak Menda-
la berubah raut wajahnya. Antara ragu dan kebimban-
gan menjadi satu dengan keinginan yang menggebu
gebu. Dengan suara menggeletar akhirnya Kecak Men-
dala berkata. "Aku... aku akan tetap memilikinya, Dewi! Tak
seorangpun kubiarkan memilikinya!"
Dewi Mutiara Hijau tersenyum, lalu menoleh
pada Syiwandari yang ternganga tanpa mampu berka-
ta-kata. "Mari, anakku..! kita pergi!"
Selesai mengucapkan kata-kata itu mendadak
tubuh keduanya lenyap sirna. Tentu saja membuat
terbelalak mata Kecak Mendala dan mulut ternganga
penuh keheranan.
Tapi hanya sesaat. Karena detik itu juga dia te-
lah melompat masuk ke dalam celah yang memancar-
kan sinar hijau dan kuning menyilaukan mata itu.
Ternyata pula hal itu tak luput dari sepasang
mata yang membelalak menyaksikan kejadian terse-
but. Siapa adanya orang itu, tidak lain dari sang Datuk
Tangan Bertuah.
11 Pandangan mata Datuk Tangan Bertuah seperti
nanar menyaksikan dengan mata membelalak lebar.
Karena siapa adanya sang Dewi Mutiara Hijau itu tiada
lain dari ROSMA. Ya, Rosma yang pernah dikejar-kejar
enam belas tahun yang silam, namun hilang tanpa
krana! "Rosma" jadi kaukah sang Dewi Mutiara Hijau
itu?" sentak sang Datuk dengan suara berdesis. "Dia tidak berubah dan masih
tetap cantik seperti dulu...!"
berkata sang Datuk dalam hati. Sejenak dia terpaku
setelah bayangan kedua ibu dan anak yang telah sal-
ing bertemu lagi itu lenyap sirna.
Mendadak dia teringat pada harta pusaka yang
tersimpan di dalam goa di depan matanya. Dan baru
saja dia melihat berkelebatnya tubuh Kecak Mendala
memasuki celah yang memancarkan cahaya menak-
jubkan itu. "Hm, takkan kubiarkan kau menjamah harta
pusaka itu, Kecak Mendala!" desisnya dengan wajah
berubah kelam membesi. Dan berkelebatlah tubuh
sang Datuk memasuki celah goa itu menyusul, Kecak
Mendala. -----ooOoo-----
Kalau kita menyangka cuma kedua orang itu
saja yang menyaksikan kejadian tersebut, adalah sa-
lah! Karena masih dua pasang mata lagi yang turut
menyaksikan keajaiban itu. Siapakah mereka"
Seorang yang bersembunyi dibalik batu cadas,
segera melompat keluar. Ternyata dia tak lain dari
sang Raja Muda Kerajaan Bungo Teratai, yaitu Datuk
Rajo Baganang. Yang seorang lagi tiada lain dari Nanjar si Dewa
Linglung! Melompatlah kedua orang ini dari masing-
masing tempat persembunyiannya secara berbareng,
membuat mereka sama-sama terkejut.
"Siapa kau?" bentak Datuk Rajo Baganang.
"Namaku Nanjar! Kedatanganku di tempat ini
secara kebetulan saja, dan aku tak tertarik dengan
harta pusaka itu! Aku hanya ingin tahu apa yang akan
dilakukan manusia licik bernama Kecak Mendala itu
yang telah menipuku, dan hampir saja membuat aku
cuma tinggal nama saja!" sahut Nanjar dengan ter-
senyum. Lalu melanjutkan. "Apakah aku berhadapan
dengan baginda raja Kerajaan Bungo Teratai, Datuk
Rajo Baganang?"
Nanjar yang punya ingatan tajam dan bermata
jeli segera dapat mengenali laki-laki itu. Nanjar me-
mang pernah menyelidiki istana pada beberapa malam
yang lalu, dan dapat mengetahui siapa adanya orang
yang dipertuan di Kerajaan Bungo Teratai itu. Bahkan
secara diam-diam dia dapat mengutip pembicaraan
sang Raja Muda dengan seorang Menteri Kerajaan.
Apa yang didengar Nanjar itu justru memper-
kuat dugaannya. Karena sang Raja Muda itu diam-
diam mencurigai Panglima Kecak Mendala sebagai bi-
ang dari kerusuhan di Kota Raja.
"Dari mana kau dapat mengetahui siapa aku?"
sentak Datuk Rajo Baganang dengan kerutkan kening.
"Secara kebetulan aku pernah melihat anda di
dalam ruangan istana, ketika tengah mengadakan per-
temuan rahasia empat mata dengan seorang Menteri
Kerajaan anda..!" sahut Nanjar.
"He" Dia telah memasuki istana tanpa seorang
pun yang mengetahui, tentulah dia seorang tokoh per-
silatan yang berilmu tinggi!" sentak sang Raja Muda
dalam hati dengan terkejut.
Sekali gerakan tubuh, Datuk Rajo Baganang
melompat mendekati Nanjar. Sepasang matanya mena-
tap Nanjar dengan tajam.
"Kalau kau berniat jahat, tentu akan semudah
kau membalikkan telapak tangan. Siapakah anda pen-
dekar muda" Dan ada persoalan apakah kau dengan
Panglima Kecak Mendala?" bertanya sang Raja Muda
dengan suara datar namun agak tandas. Secara sing-
kat Nanjar menceritakan perkenalannya dengan Kecak
Mendala hingga kemudian dia tiba di tempat ini.
"Heh! sudah kuduga! dia sengaja membuat ke-
rusuhan untuk mengalihkan perhatian. Dan harta pu-
saka itulah tujuannya!" gumam Datuk Rajo Baganang
dengan wajah berubah merah padam.
"Akan kutangkap hidup-hidup manusia itu,
dan dia harus mempertanggungjawabkan perbuatan-
nya! Harta pusaka itu tak akan pernah dimilikinya!" teriak sang Raja Muda. Akan
tetapi baru saja dia mau
melompat menyusul masuk ke dalam celah goa, men-
dadak Nanjar telah melompat menghadang.
"Urungkan niat anda, sobat baginda Raja Mu-
da!" "Apa maksudmu, mengapa kau menahanku?"
Sebagai jawaban, tampaklah sesuatu telah terjadi di
tempat itu. Tanah mendadak terasa bergetar. Hawa
panas seperti merambat melalui telapak kaki. Goncan-
gan-goncangan kian keras, membuat keduanya jadi
terhuyung. "He" apakah yang telah terjadi?" sentak Datuk
Rajo Baganang. Mendadak pintu celah goa yang me-
mancarkan sinar kuning dan hijau itu tiba-tiba menu-
tup. Nanjar dapat merasakan bergolaknya lahar panas
dibawah telapak kaki. Tak berayal lagi si Dewa Lin-
glung segera melompat dengan berteriak memberi pe-
ringatan pada sang Raja Muda.
"Cepat menyingkir! tempat ini akan meledak!"
Pucatlah seketika wajah Datuk Rajo Baganang. Den-
gan gerakan cepat dia melompat menjauhi tempat itu
menyusul Nanjar. Baru saja beberapa detik mereka be-
rada dibawah lereng, tiba-tiba terdengarlah ledakan-
ledakan dahsyat memekakkan telinga. Lahar panas
menyembur dari goa Cadas Putih. Batu-batu dan pasir
menyembur ke udara. Gempa melanda sekitar lereng
itu. Dunia serasa kiamat! Keduanya bergegas melom-
pat menyelamatkan diri.....
Diantara kepingan-kepingan batu, pasir dan
lahar, tampak serpihan-serpihan tubuh manusia ter-
lempar ke udara. Itulah tubuh-tubuh Kecak Mendala
dan sang Datuk Tangan Bertuah! Hawa panas mene-
bar ke seluruh lereng yang dilanda lahar mendidih,
mengalir memusnahkan apa saja yang diterjangnya.
Ledakan-ledakan itu baru surut setelah berlangsung
beberapa saat.....
Lama kedua laki-laki ini termangu memandang
alam yang hancur musnah! Lereng Sorik Marapi dalam
beberapa kejap saja telah berubah seperti neraka saja
layaknya. Sang Datuk Rajo Baganang seperti tak per-
caya melihat kejadian itu. Diam-diam dia bersyukur
karena telah diperingati oleh si pendekar muda.
Keduanya sama berpandangan. Dan mereka
sama tersenyum setelah masing-masing menghela na-
pas. "Benar, seperti kata sang Dewi Mutiara Hijau!
Harta itu akan membawa malapetaka!" berkata lirih
sang Raja Muda. Nanjar manggut-manggut, dengan
tersenyum dan menggaruk-garuk tengkuknya.
"Marilah kita tinggalkan tempat ini, sobat ba-
ginda Raja Muda! Keserakahan dan ketamakan agak-
nya tak direstui Tuhan terhadap manusia-manusia
yang rakus. Mereka telah, mendapatkan ganjarannya.
Beruntunglah kita yang dapat terhindar dari malape-
taka mengerikan ini..!"
Datuk Rajo Baganang mengangguk. "Kemana-
kah tujuan anda, sobat Nanjar?"
"Haha... aku hanya akan mengukur jalanan,
meneruskan langkahku menyelusuri setiap tempat.
Bagiku langit adalah atapku dan bumi tempat aku
berpijak!" sahut Nanjar tertawa.
"Singgahlah ke tempat kediamanku..!"


Dewa Linglung 14 Dewi Mutiara Hijau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Terima kasih! bukan aku menolak, tapi, baik-
lah lain waktu aku akan singgah di kerajaan mu bila
kebetulan aku ke wilayah ini..!" Keduanyapun berpi-
sah. Datuk Rajo Baganang meneruskan perjalanan
menuju ke Kerajaan Bunga Teratai. Nanjar melambai-
kan tangannya dari puncak bukit, kemudian dia pun
berkelebat dari tempat itu......
TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
http://duniaabukeisel.blogspot.com
Pendekar Binal 11 Menjenguk Cakrawala Seri Arya Manggada 1 Karya S H Mintardja Kelana Buana 31
^