Raja Penyihir Sinting 1
Dewa Linglung 27 Raja Penyihir Sinting Bagian 1
Dia datang sebagai seorang pendekar.
Dia aneh dan bertindak
seperti orang yang linglung.
Para ksatria menyebut dia
Si DEWA LINGLUNG.
Pendekar sakti yang digembleng
oleh lima orang tokoh aneh.
https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
1 Pendekar Naga Merah Dewa Linglung ter-
sentak kaget melihat Tejo mendadak berkelebat
cepat dengan tertawa gelak-gelak dengan mem-
bawa pedang mustika Naga Merah yang dipin-
jamnya. "Hahaha... terima kasih, Dewa Linglung!
Pedangmu kupinjam dan akan kukembalikan lagi
sepuluh tahun mendatang!" Tentu saja Nanjar tak menyangka Tejo akan bersikap
sedemikian itu.
Dengan cepat dia berkelebat mengejar sambil ber-
teriak. "Tejo! Kau telah gila" Aku tak meminjam-kan untuk waktu selama itu!"
Akan tetapi Tejo tak memperdulikan teriakan itu. Bahkan dia mem-percepat gerakan
larinya, dan menyusup masuk
ke dalam hutan belantara. Dengan membentak
marah si Dewa Linglung cepat memburunya, dan
turut merambas masuk ke dalam hutan mengejar
si pelukis yang pernah menjadi sahabatnya itu.
Ternyata gerakan Tejo cepat sekali, begitu
masuk ke dalam hutan sudah tak ketahuan lagi
ke mana arah larinya. Dengan hati mendongkol
bercampur marah Nanjar mengubak seisi hutan
mencari jejak pemuda gendeng itu. Habis sudah
seisi hutan diubak-ubak Nanjar, namun Tejo tak
ketahuan kemana lenyapnya. Disaat Nanjar me-
mutuskan untuk keluar dari rimba belantara itu
karena menduga Tejo telah mengecohnya hingga
dia berputar-putar di dalam hutan, di saat itulah
telinganya mendengar suara orang bersenandung
di arah sebelah kanan hutan. Tanpa ayal lagi
Nanjar segera berkelebat ke arah suara itu....
Apakah yang terlihat oleh Nanjar" Tampak
seorang kakek berjubah putih lusuh duduk men-
juntaikan kaki di atas ranting dahan pohon sam-
bil mulutnya menyenandungkan kata-kata
"Wahai angin, apakah sudah jadi suratan
nasib" Terlalu sukar untuk terbang...
Terlalu jauh untuk dijangkau!
Harapan yang ada cuma menanti....
Dengan ilmu orang bisa jadi pintar.
Tapi juga bisa jadi bodoh!
Pintar karena memiliki ilmu
Bodoh karena terseret hawa nafsu...
Kepintaran hanya digunakan untuk
Membodohi orang!
Oh, oh, oh... Wahai angin, apakah sudah suratan na-
sib?" Demikian kata-kata yang diucapkan si kakek berulang-ulang. Membuat Nanjar
berdiri ter- paku memandangnya. Bukan saja dia tak men-
gerti apa maksud ucapannya, akan tetapi juga he-
ran dan diam-diam kagum menatap si kakek.
"Hm, siapa gerangan kakek ini" Kalau bu-
kan seorang yang berilmu tinggi takkan sanggup
ranting sekecil itu menahan tubuhnya. Ilmu me-
ringankan tubuhnya sungguh luar biasa..." berkata Nanjar dalam hati.
Ternyata kakek itu telah mengetahui ada-
nya Nanjar di tempat itu. Dia menghentikan se-
nandungnya, lalu berkata.
"Anak muda gagah, apakah kaupun takkan
menghiraukan kesusahan hatiku seperti juga se-
mua orang yang tak perduli dengan diriku?" Mendengar kata-kata itu tahulah
Nanjar kalau kata-
kata itu ditujukan padanya. Dan dengan sekali
lompat dia telah keluar dari rimbunnya semak be-
lukar. "Kakek tua aneh, turunlah dari cabang pohon itu. Siapakah kau ini" Apa
yang membuat kau bersusah hati?" kata si Dewa Linglung seraya mendongak ke atas memandang si
kakek. Akan tetapi terkejut Nanjar karena tak melihat kakek
itu berada di cabang pokok kayu. Tahu-tahu sua-
ra tertawa terkekeh terdengar di belakangnya.
Tentu saja membuat Nanjar tercengang karena
melihat kakek itu telah duduk di atas sebongkah
batu tak jauh di belakangnya. Bagaimana gerakan
si kakek ketika meloncat dari cabang pohon itu,
dia benar-benar tak mengetahui. Bahkan ranting
kayu itupun tak bergerak.
"Hehehe... anak muda, namaku Lolor Gen-
don. Siapakah namamu bocah gagah?" Kakek itu perkenalkan diri dan ajukan
pertanyaan. "Aku Nanjar, lengkapnya Ginanjar!"
"Oho, nama yang lugu dan bagus! Tam-
paknya kaupun tak bedanya seperti aku yang se-
dang kesusahan, bukankah begitu anak muda?"
Nanjar tercengang, tapi segera menyahut.
"Pandangan mata kakek sungguh tajam.
Aku memang tengah kesusahan, karena kawanku
telah membawa lari pedang pusakaku. Apakah
kau melihat seorang pemuda seusiaku lewat di
tempat ini?"
Kakek bernama Lolor Gendon itu mengge-
leng. Lengannya mengelus sejumput jenggotnya
yang kecoklatan di ujung dagu.
"Sayang sekali aku tak melihatnya...! Aneh!
Bagaimana sampai pedangmu dilarikan sahabat-
mu sendiri?" tanya si kakek. Nanjar menghela nafas, lalu menceritakan asal
kejadiannya. Bermula
Nanjar berjumpa pada pemuda bernama Tejo,
yang kemudian mereka bersahabat. Tejo seorang
periang, juga seorang seniman yang pandai melu-
kis. Pertama kali mengenalnya Nanjar telah mera-
sa simpati pada Tejo yang kelihatan polos dan ju-
jur, juga sikapnya sangat lugu. Mereka berpisah
setelah sama-sama menyelesaikan suatu persoa-
lan ketika munculnya seorang iblis wanita yang
menyebar kejahatan, yang kemudian dapat mere-
ka tumpas bersama-sama. Kali kedua mereka
berjumpa lagi setelah beberapa bulan berpisah.
Mereka berjalan dan bercakap-cakap bersama-
sama sambil masing-masing menceritakan pen-
galamannya. Di suatu tempat tiba-tiba Tejo ingin
sekali melihat dan mencoba kehebatan pedang
mustika milik Nanjar. Tanpa curiga Nanjar mem-
berikan pedangnya. Tapi mendadak Tejo melari-
kan pedang itu, dan mengatakan bahwa dia akan
meminjamnya. Gilanya Tejo akan mengembalikan
pedang itu setelah sepuluh tahun kemudian. Ten-
tu saja Nanjar mengejar pemuda itu untuk me-
minta kembali pedangnya. Namun Tejo lenyap
merambas masuk ke dalam hutan, dan Nanjar
tak berhasil menemukan jejak pemuda itu. "Aku percaya Tejo seorang pemuda yang
jujur. Aku merasa ada sesuatu yang tersembunyi dibalik kea-
nehan sikap sahabatku itu. Dan yang ku khawa-
tirkan adalah pedang itu digunakan untuk suatu
kejahatan..." kata Nanjar mengakhiri penuturannya. Si kakek Lolor Gendon yang
mendengarkan penuturan singkat Nanjar manggut-manggutkan
kepala. Tiba-tiba dia berkata.
"Tampaknya pedangmu bukan sembarang
pedang. Tentu sebuah pedang mustika yang hebat
dan memiliki keampuhan luar biasa!" Tadinya
Nanjar akan anggukan kepala, tapi mendadak dia
merasa telah sembarangan bicara, sedangkan dia
belum mengenal laki-laki tua itu, apakah orang
baik-baik atau termasuk golongan hitam. Cepat-
cepat dia menyahut sambil tersenyum.
"Ah, mengenai hal itu tentu aku tak dapat
mengatakannya. Kukira kakek Lolor Gendon bisa
menilai setelah melihat atau mencobanya..."
"Hehe... benar, anak muda! Tapi yang perlu
kita ketahui adalah, seampuh apapun senjata ka-
lau tak pandai mempergunakannya samalah ar-
tinya dengan menggunakan alat tulis untuk me-
nulis huruf di langit! Walau hanya sebatang rant-
ing kalau orang sakti yang melakukannya, akan
sama nilainya dengan sebuah senjata mustika!"
Nanjar manggut-manggut mendengar kata-
kata si kakek. Diam-diam dia memuji kedalaman
pandangan kakek itu.
"Aku yang bodoh dan kurang pengalaman
ini sangat menghargai pendapat itu, kakek Lolor
Gendon! Haih! sungguh beruntung aku bisa ber-
kenalan dengan anda dari golongan kaum tua..."
kata Nanjar sambil menjura. Lalu meneruskan.
"Oh, ya! Dari kata-kata dalam sajakmu tadi benda apakah yang dicuri orang yang
sedang kau sayang-sayang itu" Sajakmu indah dan tentu ar-
tinya sangat dalam sekali"
Mendengar pertanyaan dan pujian Nanjar,
Lolor Gendon tertawa tergelak-gelak hingga ber-
cucuran air mata. Mendadak dia berhenti tertawa.
Wajahnya berubah menjadi murung. Kecerahan
pada wajahnya lenyap tersapu angin, karena kini
dia tak lebih dari seperti orang yang baru ditinggal mati anak atau isterinya.
Tentu saja perubahan itu membuat Nanjar
jadi tertegun. Diam-diam dia merasa menyesal te-
lah ajukan pertanyaan itu pada laki-laki itu. Nanjar jadi garuk-garuk tengkuknya
yang tidak gatal, seraya berkata.
"Maafkan aku, kakek Lolor Gendon. Kalau
pertanyaanku membuat kau bersedih hati... Tapi
bolehkah aku mengetahuinya, siapa tahu aku bi-
sa membantumu dengan apa yang bisa aku bantu
untukmu!" Terjadi lagi keanehan, ketika Nanjar se-
lesai berkata mendadak Lolor Gendon menatap
tajam kepadanya seperti tak percaya mendengar
kata-kata yang diucapkan Nanjar.
"Hari ini aku jumpa kau bocah gagah ada-
lah hal yang aneh, dan baru kudengar ada orang
yang mau membantuku dalam kesusahan. Pa-
dahal selama delapan belas tahun tak pernah ada
yang memperdulikan diriku..."
Nanjar cuma berdiri mendengarkan. Men-
dadak Lolor Gendon bangkit dari duduknya. Ma-
tanya tajam menatap Nanjar. Lalu berkata.
"Tak usah kau mengelabuiku, aku telah
mengetahui kalau kau adalah seorang tokoh pen-
dekar muda yang bergelar si Pendekar Naga Me-
rah, dan julukanmu adalah si Dewa Linglung!"
"Akh... dari mana anda me... mengeta-
huinya?" sentak Nanjar dengan wajah berubah
merah karena terkejut. Lagi-lagi dia temukan
keanehan pada sikap si kakek.
"Aku memang tengah menantikan seseo-
rang yang mau menolongku! Ternyata nasibmu
bagus, bocah gagah!" ujar si kakek tanpa menjawab pertanyaan Nanjar. Dari sela
jubah lusuhnya dia mengeluarkan segulung kertas kulit, lalu
menggenggamnya dalam kepalan tangannya.
"Ini adalah sebuah Peta tempat aku me-
nyimpan sebuah kitab Ilmu Sihir Putih! Kalau na-
sibmu bagus, kau akan menemukan tempat itu
dan mendapatkannya! Dan berarti kau akan
mengemban tugas berat yang harus kau jalankan
setelah kau berhasil mempelajari kitab itu. Kare-
na kuciptakan ilmu sihir putih itu adalah untuk
mengalahkan ilmu sihir hitam yang telah dikuasai
oleh seseorang yang pernah aku cintai, tapi ke-
mudian aku benci karena manusia itu telah di-
mabuk keduniawian! Terimalah Peta ini anak
muda... Aku percayakan padamu karena kaulah
orang yang telah bersedia menolong kesusahanku
selama delapan belas tahun..."
Benda di tangan Lolor Gendon melayang ke
arah Nanjar. Begitu si Dewa Linglung ulurkan
lengan menangkapnya, tahu-tahu tubuh kakek
itu lenyap sirna dari pandangan matanya. Tentu
saja Nanjar jadi terlongong memandang tak men-
gerti. Di saat dia tengah tertegun sambil menatap ke arah gulungan Peta di
tangannya, terdengar
suara tertawa terkekeh si kakek tanpa memperli-
hatkan wujudnya.
"Hehe... heheh... jangan terkejut anak mu-
da. Sebenarnya aku sudah berada di alam lain.
Alam halus yang tak dapat dilihat oleh mata ma-
nusia...! Di antara Empat Raja-raja Gila dan Raja Siluman Naga, akulah yang
bergelar si Raja Penyihir Sinting! Ternyata pilihanku tidak salah.
Aku memang menantikan kedatanganmu untuk
mewariskan ilmuku. Dengan demikian aku telah
puas dan dapat mati meram...! Bila kau suatu
saat dapat menemukan jerangkongku di sebuah
pulau terpencil dalam sebuah penjara bawah ta-
nah, tolong kau menyempurnakannya..."
Setelah berkata demikian, mendadak ber-
tiup angin kencang. Nanjar tersentak dalam ter-
kejutnya. Dicekalnya erat-erat Peta dalam geng-
gaman tangannya. Selang tak lama angin kembali
lenyap. Nanjar terpaku beberapa saat lamanya.
Dewa Linglung 27 Raja Penyihir Sinting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi segera tersadar kalau semua itu bukan
mimpi. Dan saat itu juga dia jatuhkan tubuhnya
berlutut menghadap ke arah bekas lenyapnya ka-
kek itu seraya berkata.
"Kakek Lolor Gendon! Secara tidak lang-
sung, kau adalah Guruku yang ketujuh di antara
enam "Raja" Yaitu Empat Raja Gila, Raja Siluman Bangau dan Raja Siluman Naga.
Aku Nanjar menghaturkan terima kasih atas kesediaanmu
mewariskan ilmu yang kau miliki...! Aku berjanji
akan menjalankan tugas yang kau pikulkan pada
pundakku, demi tegaknya kebenaran dan keadi-
lan di atas jagat ini!"
Baru saja Nanjar menyimpan peta ke balik
baju, mendadak cuaca berubah menjadi gelap pe-
kat. Petir menyambar-nyambar di angkasa me-
mekakkan telinga diiringi kilatan-kilatan cahaya
berkedipan. Lagi-lagi Nanjar terperangah karena
terkejut. Di saat itulah tampak sebuah cahaya
merah meluncur dari langit sebelah barat. Jan-
tung Nanjar terasa berhenti berdenyut. Matanya
membelalak lebar melihat ke arah cahaya itu. De-
tik itu juga tubuhnya melesat. Dua puluh tombak
lebih luncuran tubuh si Dewa Linglung ke udara,
dan lengan pemuda itu dengan gerakan cepat te-
lah terjulur menangkap benda yang mengelua-
rkan cahaya merah itu... Ketika tubuh si Dewa
Linglung meluncur ke bawah dan berdiri di tanah,
tampak lengannya telah mencekal pedang Musti-
ka Naga Merah. Lambat laun cuaca kembali berubah terang
benderang. Nanjar berdiri terpaku di tempatnya
dengan mata menatap ke arah benda di tangan-
nya. Sesaat dia mendongak ke langit.
"Kakek Lolor Gendon! Terima kasih atas
bantuanmu hingga pedang mustikaku kembali ke
tanganku...!" berkata Nanjar dengan suara lirih.
Entah mengapa Nanjar berkeyakinan ka-
kek misterius yang berjulukan si Raja Penyihir
Sinting itulah yang memulangkan pedang musti-
kanya. Ya! Nanjar memang berpendapat demi-
kian, karena keanehan demi keanehan dijumpai
sejak munculnya si kakek aneh itu. Beberapa
saat lamanya Nanjar termangu-mangu di tempat
itu, seperti layak nya orang yang baru terjaga dari sebuah mimpi.
"Haih! sayang, sarung pedangnya terting-
gal...! Tapi tak mengapa. Agaknya si Raja Penyihir Sinting menginginkan aku
mencarinya sendiri... "
berkata si Dewa Linglung Setelah menggaruk
tengkuknya yang tidak gatal. Nanjar segera berke-
lebat dari tempat itu... 2
Tejo termangu-mangu menatap sarung pe-
dang di genggaman tangannya... Kejadian aneh
yang telah terjadi pada dirinya membuat dia ter-
longong tak mengerti.
"Gila! Sinting! Mengapa sarung pedang si
Dewa Linglung bisa berada di tanganku?" mendesis Tejo dengan keheranan tak
putus-putusnya.
"Suatu kejadian yang aneh yang baru kua-
lami selama hidupku, tapi ini suatu kenyataan!"
kata Tejo dalam hati. Dalam tercenung-nya dia
mengingat-ingat kejadian yang baru saja dialami.
Tejo masih ingat ketika dia berjalan bersa-
ma-sama dengan Nanjar sahabatnya. Mereka
masing-masing menceritakan pengalaman selama
mereka berpisah sejak pertemuan mereka hingga
mereka mengikat tali persahabatan. Akan tetapi
tiba-tiba sesuatu kejadian yang dirasakan Tejo
sangat aneh. Mendadak dia merasa bersyiurnya
hawa dingin menelusup ke dalam tubuhnya. Dan
anehnya mendadak saja dia tak dapat berpikir la-
gi secara wajar. Bahkan tanpa disadari mulutnya
berkata pada si Dewa Linglung, bahwa dia ingin
sekali melihat pedang mustika Naga Merah milik
sahabatnya itu. Ternyata dengan senang hati si
Dewa Linglung memberikannya. Akan tetapi tan-
pa terniat sedikitpun dalam hati, mendadak dia
telah berkelebat cepat membawa lari pedang pu-
saka itu. Bahkan di luar keinginannya dia telah
berkata, bahwa dia akan meminjam benda itu dan
akan mengembalikannya sepuluh tahun kemu-
dian. Masih terngiang suara si Dewa Linglung ke-
tika mengejarnya sambil berteriak-teriak menyu-
ruh berhenti. Tapi dia tak memperdulikannya. Dia
berlari cepat di luar kehendaknya. Dan anehnya
Nanjar tak berhasil mengejarnya, padahal dia
mengetahui kehebatan ilmu lari cepat sahabatnya
itu. Dan yang membuat lebih aneh lagi adalah,
kini dia terduduk di sisi sebuah telaga dengan nafas tersengal-sengal. Tak
diketahui lagi dimana
adanya si Dewa Linglung saat itu. Yang jelas len-
gannya menggenggam sebuah sarung pedang, dan
dia mengetahui sarung pedang itu adalah milik
Nanjar sahabatnya.
"Aneh! Gila! Sinting...!" memaki Tejo dengan wajah merah dan benak diliputi
ribuan per- tanyaan. Namun sejauh mana dia memeras otak
untuk memecahkan keanehan itu, tetap saja dia
tak mengerti apa yang telah terjadi pada dirinya
hingga dia melakukan perbuatan yang memalu-
kan itu. Yang lebih membuat dia terheran-heran
mengapa cuma sarung pedang mustika Naga Me-
rah yang berada di tangannya.
"Benar-benar edan! Seingatku aku telah
meminjam pedang si Dewa Linglung tanpa ku-
sadari. Tapi mengapa pula yang ada padaku
hanya sarung pedangnya saja...?" gumam Tejo.
"Celaka aku! Jangan-jangan aku telah ke-
tularan penyakit Linglung sahabatku itu..." desis pemuda ini.
Tejo bangkit berdiri. Sejenak putarkan ma-
ta menatap ke beberapa arah. Lalu pandangannya
tertuju pada telaga kecil berair jernih di hadapannya. "Hm, tempat apakah ini"
Apakah telaga tempat pemandian peri?" berkata Tejo dalam hati.
"Hm, tempat pemandian peri, manusia atau kerbau tak perduli! Tubuhku letih dan
penat, se- baiknya aku pergi mandi. Selesai mandi aku sege-
ra mencari sahabatku itu untuk mengembalikan
sarung pedangnya. Dan akan kuceritakan keja-
dian aneh ini padanya. Percaya atau tidak terse-
rah dia, yang penting aku merasa telah melaku-
kan suatu hal yang aku sendiri tak menyada-
rinya... Tapi mudah-mudahan dia mau menger-
ti..." Tejo melangkah ke tepi telaga. Lalu mem-
buka pakaiannya. Dan...
"Byurrr..." Dia telah terjun ke air yang jernih itu dengan telanjang bulat.
Sarung pedang Naga Merah diletakkan di atas pakaiannya di atas
batu. Sedangkan keneron atau keranjang tikar
berisi alat-alat lukisnya diletakkan di atas rum-
put. Tejo merasa tubuhnya menjadi segar. Otak-
nya pun menjadi jernih. Dia memang memerlukan
penyegaran tubuh, dan hal itu akan membuat dia
bisa tenang berpikir setelah kejadian aneh yang
membuat hampir gila memikirkannya.
Setelah puas berendam dan membersihkan
tubuhnya. Tejo melompat ke darat. Akan tetapi
ketika lengannya terjulur untuk menjumput pa-
kaiannya diatas batu mendadak dia terkejut, ka-
rena tak menemukan sarung pedang Naga Merah
milik sahabatnya di atas tumpukan pakaiannya.
"Welah! Welah...! Kemana sarung pedang
itu...?" sentaknya dalam hati. "Edan, jangan-jangan diambil peri penunggu telaga
ini!" desis Te-jo dengan bulu tengkuk meremang. Dia pentang
mata menatap ke sekeliling, kalau-kalau ada
orang berada di sekitar tempat itu.
"Lagi-lagi aneh! Apa aku masih linglung
hingga aku lupa meletakkan dimana sarung pe-
dang itu" Tapi... seingatku aku menaruhnya di
atas pakaianku..." piker Tejo. Namun dia tak berpikir lebih jauh, karena dia
memerlukan lebih du-
lu mengenakan pakaiannya.
"Untung pakaianku tak turut lenyap! Kalau
hilang sudah pasti aku akan jadi seekor kera den-
gan bertelanjang bulat begini!" pikir Tejo, seraya bergegas mengenakan celana
pangsinya. Namun
sambil mengenakan pakaian, Tejo tak hentinya
berpaling ke kanan dan kiri kalau-kalau melihat
bayangan mencurigakan di sekitar tepi telaga itu.
Baru saja selesai berpakaian, sebuah
bayangan putih berkelebat muncul, dan sosok tu-
buh seorang pemuda berambut gondrong telah
tegak di hadapannya.
"Dewa Linglung...! Ah, ternyata kau...?"
sentak Tejo dengan wajah berubah girang. Akan
tetapi sesaat kemudian Tejo tundukkan kepala,
seraya berkata.
"Sahabatku... kuharap kau mau menden-
garkan penuturanku! Kau pasti tak akan percaya
kalau aku menceritakannya padamu..."
"Hm, ceritakanlah! Apakah kau mau bergu-
rau untuk kedua kalinya?" berkata Nanjar dengan menatap tajam berpura-pura
hatinya mendongkol
karena perbuatan yang dilakukan Tejo.
Tejo mengangkat mukanya, menatap Nan-
jar dalam-dalam.
"Kau tak akan terburu-buru marah, bu-
kan?" tanya Tejo, sikapnya seperti seorang gadis yang berkata pada pacarnya.
Dalam hati Nanjar
tertawa geli. Tampaknya Tejo sangat khawatir se-
kali kalau persahabatan mereka retak. Padahal
Nanjar telah mengetahui, keanehan yang dialami
Tejo pasti tak jauh berbeda dengan apa yang di-
alaminya. Walau dia belum mengetahui secara je-
las karena Tejo belum menceritakannya, tapi dia
telah menduga-duga terlebih dulu. Dan dia berha-
rap dugaannya tepat.
Nanjar menggeleng seraya menyahut den-
gan suara datar tanpa secuil senyum pada bibir-
nya. "Akan kucoba untuk tidak terburu-buru
marah...!"
Tejo tampak menarik nafas lega, dan kem-
bali menunduk. Kemudian melompat ke atas batu
dan jatuhkan pantatnya untuk duduk. Kemudian
melipat kedua tangannya, dan mulailah dia me-
nuturkan kejadian aneh yang dialaminya. Nanjar
hanya berdiri mendengarkan dengan sikap dibuat
kaku, tapi dengan penuh perhatian.
"Begitulah, sahabatku...! Hingga sampai
saat ini aku tak mengerti mengapa aku melaku-
kan hal itu, dan aku tak mengetahui mengapa
aku bisa berada di tempat ini..." kata Tejo mengakhiri penuturannya.
Sesaat Nanjar terdiam. Tapi kemudian ber-
kata. "Kupikir kau hanya menggodaku saja Tejo!
Sudahlah! Yang penting pedang mustika Naga
Merah telah kembali padaku, termasuk sarung
pedangnya. Mengenai kejadian aneh yang menim-
pamu, kuharap kau harus lebih berhati-hati. Ka-
rena saat ini mungkin sedang waktunya para se-
tan, dedemit dan arwah bergentayangan...!" Tejo hanya manggut-manggutkan kepala
mendengar kata-kata Nanjar.
3 Lalala... Lalala... Ahoy... Ahoy...! Lalala...
Lalala... Ahoy... Ahoy...!" Suara orang bersenandung terdengar dari balik bukit
di sore hari dima-na sorot sinar matahari mulai melemah dan ham-
pir menyelinap ke balik gunung. Suara senan-
dung itu semakin lama semakin jelas terdengar.
Selang tak lama tampaklah si pemilik suara itu.
Ternyata seorang laki-laki tua katai menunggang
seekor keledai yang berjalan santai.
Kelihatannya suatu pemandangan yang
sangat lucu. Terutama laki-laki katai itu yang
bersenandung sambil menimpali langkah kaki ke-
ledai yang ditungganginya. Laki-laki katai itu ternyata seorang yang sudah
pantas disebut seorang
kakek. Karena usianya bisa ditaksir sekitar enam
atau tujuh puluh tahun. Kepalanya besar, ram-
butnya ceriwis seperti bisa dihitung, dan hampir
bisa dikatakan gundul karena begitu tipis dan ce-
riwisnya. Kumisnya juga tak seberapa lebat. Tapi
jenggotnya panjang sampai ke pusar. Sebenarnya
jenggot kakek katai ini sepanjang umumnya jeng-
got orang-orang tua, tetapi karena tubuhnya yang
katai itulah hingga nampak lebih panjang. Karena
keadaan phisiknya yang sedemikian itu, hingga
jubah yang dipakainya juga tampak pendek dan
kelihatan lucu.
Kakek katai ini mencekal sebuah tongkat
sepanjang tongkat biasa yang bagian ujungnya
melengkung seperti bulan sabit. Suaranya besar
dan parau. Sesuai dengan bentuk lehernya yang
besar, dan boleh dibilang kakek katai ini hampir tak berleher.
Mendadak si kakek katai hentikan suara
senandungnya. Tampaknya dia seperti bicara
dengan keledai yang ditungganginya, karena di
tempat itu memang tak ada siapa-siapa.
"Eh, sobatku! Tahukah kau mengapa aku
datang ke wilayah ini" Hehe...heh... kalau kau tak mengetahui, akan
Dewa Linglung 27 Raja Penyihir Sinting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kuberitahukan. Kedatanganku
ke wilayah ini adalah mengejar seorang manusia
busuk yang telah ingkar janji alias tak mau me-
nepati janji padaku, hingga aku merana selama
ini! Tahukah kau artinya merana..." Merana ar-
tinya sengsara, sengsara artinya selalu gelisah,
dan selalu gelisah artinya selalu susah. Yang aku susahkan itu bukan lantaran
tidak berharta benda berkecukupan, kurang makan dan sebagainya.
Akan tetapi aku merana karena cinta! Hehe... kau
tahu cinta" Kukira semua makhluk tak termasuk
kau bangsa keledai akan mengenal cinta! Tapi...
tampaknya kau lebih berbahagia dari pada aku,
sahabatku...!" suara kata-kata si kakek katai mendadak jadi kian lirih.
Keledai tua yang ditungganginya seperti
menyahuti kata-kata si kakek katai dengan mem-
perdengarkan suara mendengus dari hidung. Ka-
kek katai kerenyitkan keningnya menatap si kele-
dai. "Huh! Kau selalu membantah pendapatku!
Mengapa kukatakan kau lebih berbahagia dari
pada aku" Kau pernah punya isteri, tapi aku ti-
dak! Kau bisa bercinta dengan lawan jenismu, ta-
pi aku...?" kata kakek ini dengan mengeluh sambil mencemberutkan bibirnya.
"Tampaknya tak akan ada perempuan yang
sudi menjadi isteriku!" kata si kakek sambil tercenung beberapa saat. Kemudian
terdengar dia menghela nafas.
"Tapi aku tak dapat menyalahkan diriku
yang telah ditakdirkan Tuhan dengan keadaan
tubuh seperti ini. Aku juga tak percaya kalau aku selamanya tak akan punya
jodoh. Buktinya aku
bisa menikah dengan seorang perempuan. Tapi
sayang... rupanya dia telah terkena goda oleh la-
ki-laki gagah yang membujuknya, hingga dia pergi
dan lari dari sisiku...! Tahukah kau sahabatku"
Kedatanganku ke wilayah ini adalah untuk men-
carikan manusia keparat yang telah melarikan is-
teriku itu!"
Sampai di sini si kakek katai berhenti bica-
ra. Selang sesaat di menengadah, menatap ke
arah Barat. "Hm, hari telah menjelang sore. Kukira aku
telah tak memerlukan kau lagi, sahabatku...!" ka-ta si kakek katai seraya
melompat turun dari
punggung keledai. Binatang ini mendengus dua
kali dan manggut-manggutkan kepala entah apa
maksudnya. Yang jelas keledai tak bisa bicara se-
perti manusia. Tapi mungkin mengerti dengan ka-
ta-kata si kakek katai. Dia memang telah lelah
dan penat berjalan jauh. Ingin sekali rasanya dia beristirahat. Tapi mengetahui
kalau saat itu si
kakek katai telah tak memerlukan dirinya lagi.
"Nah! Kau pergilah kemana kau suka...!"
berkata kakek katai ini. Lengannya mendorong
pantat keledai tua itu. Binatang ini meringkik perlahan, kemudian berlari cepat
dari tempat itu tak menoleh lagi. Kakek katai menatapnya hingga binatang itu
lenyap di balik batu bukit.
Kakek ini putar pandangan ke beberapa
arah, seperti menentukan arah yang akan ditu-
junya. Pandangannya terhenti ke arah sebelah
Timur, dimana tampak tumbuh pepohonan lebat.
Dan... suatu hal yang aneh dan mengagumkan
terjadi. Kakek katai tekan tongkatnya ke tanah.
Dilain kejap tampak tubuh sebesar bocah berusia
lima tahun itu mencelat ke udara. Dalam bebera-
pa kali melompat, sebentar saja tubuh kakek ka-
tai itu sudah lenyap tak kelihatan lagi...
* * * Nanjar melompat ke luar dari balik batu
dimana sejak tadi diam membekam mulut dan
pentang mata serta pasang telinga mendengarkan
ocehan si kakek katai. Sesaat lamanya dia mena-
tap ke arah bekas lenyapnya sosok tubuh kakek
katai itu. "Haih! Tampaknya urusan dunia persilatan
tak ada habisnya. Kini seorang kakek pendek, ka-
tai tahu-tahu muncul untuk mencari jejak pencu-
lik yang telah membawa kabur isterinya. Kakek
katai itu tentu seorang tokoh tua yang ilmunya
tinggi. Entah siapa gerangan gelarnya. Manusia
yang telah berani main gila dengan isteri si kakek
katai itu tentu orang yang telah nekat dan berani menempuh resiko besar. Begitu
banyak urusan manusia dengan segala kemelut di dalamnya..."
berkata si Dewa Linglung dalam hati.
Kalau dia tak sedang ada urusan yang ha-
rus diselesaikan, mungkin sejak tadi dia unjuk-
kan diri untuk berkenalan dengan manusia kerdil
yang aneh itu. Sayang dia sedang berusaha me-
wujudkan keinginan hatinya, yaitu mencari di-
mana tersimpannya Kitab Ilmu Sihir Putih yang
tertera dalam Peta pemberian si Raja Penyihir
Sinting. Sesaat Nanjar memandang ke arah Barat.
Matahari telah tenggelam di balik gunung. Tak
lama si Dewa Linglung segera berkelebat pergi da-
ri tempat itu. 4 Enam bulan telah lewat sejak kepergian
Nanjar mengikuti petunjuk Peta mencari kitab il-
mu sihir putih. Marilah kita beralih pada sebuah
tempat di wilayah Selatan yang berhawa dingin
dimana tanah dan pohon hampir setiap saat ter-
bungkus salju. Gadis berpakaian mantel bulu itu berlari-
lari kecil di atas salju, menampakkan bekas-
bekas telapak kaki yang ditinggalkannya. Gera-
kannya tampaknya secara sembunyi-sembunyi
seperti khawatir dipergoki orang. Sebentar-
sebentar dia berhenti di balik batang-batang po-
hon yang terbungkus salju, atau di balik-balik ba-
tu cadas yang memutih oleh timbunan salju.
Di lengan gadis ini tampak sebuah bung-
kusan kain yang sebentar-sebentar disembunyi-
kan di balik mantel bulu. Dari celah mantel bulu
yang sedikit terbuka di bagian atas, tampaklah
seraut wajah yang cantik. Ternyata dia seorang
dara berparas cantik dengan bibir mungil dan
agak sedikit merekah di bagian tengahnya.
"Sebentar lagi hari gelap! Aku harus cepat
mengantarkan makanan ini, dan secepatnya
kembali sebelum malam tiba..." desis gadis ini.
Beberapa saat kemudian dia telah tiba di
sisi tebing batu cadas. Kemudian merayap di sisi
tebing terjal itu dengan hati-hati. Sampai akhir-
nya dia menemukan sebuah lubang di antara ce-
lah tebing yang tertutup rapat dengan batang-
batang pepohonan tak berdaun karena tebalnya
salju yang melekat.
Dara ini menggeser batu penutup celah
yang sedikit terbuka itu, kemudian menelusup
masuk ke dalam lubang itu.
"Yulian...! Kau datang lagi...?" terdengar suara orang menyapa dari ruangan
dalam. "Aku bawakan makanan untukmu..." me-
nyahut gadis ini sambil melangkah masuk. Ter-
nyata ruangan di dalam lubang itu bertambah le-
bar. Ada cahaya yang samar-samar menerangi
ruangan itu dari sebuah lubang di sebelah atas
yang tak seberapa besar.
Tampak seorang pemuda duduk di antara
timbunan tanah pasir. Tampaknya dia tengah be-
kerja menggali tanah di dasar tebing di dalam lu-
bang itu. Dia seorang pemuda berambut gondrong
menjela bahu yang tampak kotor penuh butiran
pasir hingga mukanya pun celemongan. Di hada-
pannya tampak sebuah peti besi yang sudah ber-
karat. "Kau... kau telah menemukannya, Nan-
jar...?" sentak gadis ini dengan wajah berubah girang. Ternyata pemuda berambut
gondrong itu tiada lain dari si Dewa Linglung adanya. Ternyata keberangkatan pemuda ini
mencari kitab ilmu sihir putih mengikuti petunjuk yang berada di da-
lam Peta, telah membawa langkah kakinya hingga
tiba di suatu wilayah yang berhawa dingin dan se-
lalu diliputi salju. Suatu hal yang sangat kebetulan adalah Nanjar menemukan
kawan seorang dara cantik bernama Yulian. Sebuah nama yang
cukup asing bagi telinga si Dewa Linglung, juga
bahasa yang berbeda. Tapi berkat keuletan Nanjar
mempelajari, diapun berhasil menguasai bahasa
gadis itu walaupun agak kaku. Yulian ternyata
seorang gadis berparas cantik, berhidung man-
cung dan berambut pirang. Dara berkulit putih
itu ditemukan Nanjar tersesat di wilayah yang ta-
nahnya berawa-rawa. Untunglah dimusim dingin
itu salju turun, hingga rawa-rawa berbahaya itu
tertutup salju, dan airnya membeku.
Perkenalan dengan dara berkulit putih itu
sangat menyenangkan hati si Dewa Linglung. Dan
ternyata dara itu sendiri merasa simpati padanya
disebabkan Nanjar mampu menolak hawa dingin,
walaupun tanpa mengenakan pakaian bulu. Dan
keperkasaan pemuda itu telah membuat dia ka-
gum. Hingga semangatnya untuk melarikan diri
semakin kuat, karena dengan adanya pemuda itu
pasti akan melindungi dirinya.
Hampir dua pekan sejak pertemuan itu,
Nanjar mencarikan makanan dan membawanya
bersembunyi di goa-goa dan relung batu. Selama
itu mereka saling mempelajari bahasa masing-
masing. Ternyata Nanjar cukup cerdas, dan da-
lam waktu singkat dapat menguasai bahasa asing
dara kulit putih itu.
Barulah Yulian mengerti kalau Nanjar da-
tang ke wilayah itu adalah untuk mencari kitab
ilmu sihir putih menurutkan dalam petunjuk se-
buah Peta yang dibawanya. Karena rasa simpati
yang dalam, serta kesan yang baik terhadap pe-
muda gondrong berkulit sawo matang itulah,
hingga Yulian turut membantu Nanjar mencari
dimana disimpannya kitab rahasia ilmu sihir pu-
tih tersebut. Sayang, sementara itu orang-orang Mongol
yang mencari Yulian terus melacak ke setiap pelo-
sok daerah bersalju untuk menemukan gadis
yang melarikan diri itu... Dari penjelasan dara itu, tahulah Nanjar kalau Yulian
adalah puteri seorang kaisar. Kerajaan dan wilayah kekuasaan
ayahanda gadis tersebut berhasil dikuasai mu-
suh. Yulian berhasil melarikan diri. Tapi terpe-
rangkap oleh sekelompok orang-orang Mongol.
Dan dikesempatan yang baik, gadis itu berusaha
melarikan diri, hingga berjumpa dengan si Dewa
Linglung. Akhirnya Nanjar berhasil menemukan goa
seperti petunjuk dalam Peta. Sayang, Yulian telah dapat diketahui jejaknya oleh
orang-orang Mongol
yang memburunya. Ternyata orang yang membu-
runya merupakan kelompok lain dari kelompok
yang pernah menyekap diri Yulian. Salah seorang
dikenal Yulian sebagai kepala Suku di salah satu
sebuah desa orang-orang Mongol.
Nanjar segera bersiasat. Dia menyuruh Yu-
lian keluar dari tempat persembunyian, dan me-
merintahkan agar Yulian mengikuti kelompok ke-
pala suku itu. Karena dia memerlukan waktu
yang tak diketahui berapa lamanya untuk mene-
mukan kitab ilmu sihir putih. Nanjar yakin ke-
lompok itu akan melindungi diri gadis itu. Yulian tak dapat menolak dan segera
keluar dari tempat
persembunyian... Demikianlah, hingga dia berada
dalam kelompok tersebut. Akan tetapi ternyata
mereka tinggal tak seberapa jauh dari tebing di-
mana Nanjar menemukan goa tempat menyimpan
kitab pusaka yang dicarinya. Hingga telah dua
kali secara diam-diam gadis itu menemui si Dewa
Linglung. Hal itu terpaksa dilakukan, karena perta-
ma dia tak dapat menahan rasa rindunya untuk
bertemu dengan Nanjar. Kedua, dia ingin menge-
tahui apakah Nanjar telah berhasil menemukan
kitab tersebut... Dan yang ketiga adalah, dia telah mengambil keputusan untuk
turut serta bersama
pemuda itu. Karena keadaan telah tak memung-
kinkan lagi baginya untuk kembali ke wilayah Ke-
rajaan ayahandanya yang telah dikuasai musuh.
Bahkan menurut berita ayahandanya telah tewas
dalam pertempuran.
Kini Dara Cantik Berkulit Putih, Bermata
Biru ini, berdiri di depan si Dewa Linglung dengan mulut setengah terbuka.
Matanya menatap tajam
ke arah peti besi di atas onggokan pasir, di depan pemuda itu.
Yulian beranjak melangkah mendekati, lalu
berjongkok di depan Nanjar yang tengah berusaha
membuka peti besi itu. Tak terlalu sukar untuk
membukanya, disamping peti besi itu telah berka-
rat, juga Nanjar memiliki kekuatan melebihi orang biasa. Peti itu terbuka, dan
tampak sebuah kitab
dari kulit berada di dalamnya.
Nanjar menjumput benda itu, lalu membu-
ka lembaran-lembaran kitab kulit. Diam-diam dia
bersyukur karena dapat memahami tulisannya
yang bagi Yulian tampak asing. Sesaat kemudian
Dewa Linglung 27 Raja Penyihir Sinting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nanjar bangkit berdiri. Yulian turut bangkit berdi-ri. Matanya yang bulat
berbulu lentik itu menatap tajam si Dewa Linglung. Tapi bibir yang tadi me-
lukiskan senyuman, mendadak lenyap seperti ter-
sapu angin. "Kau... kau telah berhasil mendapatkan ki-
tab itu, Nanjar...! Lalu apakah yang akan kau la-
kukan selanjutnya...?" bertanya dara ini.
"Haha... tentu saja mempelajarinya sampai
aku bisa menguasai ilmu sihir putih itu!" sahut Nanjar sambil tertawa dan
menarik nafas lega.
"Setelah kau berhasil mempelajari..." tukas si gadis dengan wajah murung tak
bersemangat. "Tentu saja kembali ke tanah tempat tum-
pah darahku, dan sebelumnya membakar kitab
ini yang tak kuperlukan lagi!" sahut si Dewa Linglung. "Kau akan meninggalkan
aku...?" berkata Yulian dengan menundukkan wajahnya. Nanjar
sesaat tertegun. Dia dapat melihat sepasang mata
dara itu berkaca-kaca.
"Yulian...! Aku belum lagi pergi dari goa ini, mengapa kau mengatakan aku akan
me-ninggalkanmu?" berkata Nanjar dengan suara lirih. Lengannya menggamit dagu
gadis asing itu
hingga wajahnya menengadah.
Tiba-tiba dara ini menangis terisak-isak se-
raya memeluk pemuda di hadapannya.
"Nanjar...! Jangan tinggalkan aku...! Aku
akan turut kemana kau pergi. Bawalah aku serta
bila kau kelak meninggalkan wilayah ini..." berkata Yulian dengan suara
menggetar. Terasa ada air
hangat yang membasahi dada si Dewa Linglung.
Nanjar membiarkan dara itu memeluknya, semen-
tara lengannya mengelus rambut sang dara.
"Yulian... mungkinkah hal itu terjadi" Kau
pergi meninggalkan wilayah tempat kau dibesar-
kan. Apakah kau bisa hidup bersamaku" Bersa-
ma orang yang tak tentu kehidupannya?" berkata lirih si Dewa Linglung.
"Mengapa tidak, kekasihku" Aku... aku te-
lah jatuh cinta padamu. Ke mulut Naga atau ke-
sarang Harimau dan kemana kau pergi memba-
waku, aku akan setia mengikutimu...! Nanjar! Oh,
tak mengertikah kau akan perasaan hatiku" Aku
sudah tak mungkin lagi tinggal di wilayah ini. Karena kekuasaan ayahandaku telah
tumbang. Ayahandaku telah tewas. Aku tak tahu akan ba-
gaimanakah nasibku selanjutnya" Dan kelompok
orang-orang Mongol itu akan tetap mengejarku...
Dan... ahh..." Gadis itu tak meneruskan kata-katanya, karena dia telah terisak-
isak membe- namkan wajahnya ke dada Nanjar.
Perlahan Nanjar melepaskan pelukan dara
itu. Lengannya menggamit dagu Yulian hingga
wajah dara itu kembali menengadah.
"Sudahlah, Yuhan manis...! Gadis cantik
akan jelek kalau menangis. Aku akan..."
"Kau akan membawaku nanti setelah kau
berhasil menguasai kitab ilmu sihir putih itu?"
potong Yulian dengan wajah berubah cerah. Nan-
jar mengangguk sambil tersenyum. Mau tak mau
hatinya jadi trenyuh dan ada perasaan aneh yang
menggebu dalam dadanya. Hangatnya tubuh dara
itu serta harum mulutnya membuat Nanjar seper-
ti terpagut ke dalam suatu perasaan yang mende-
barkan jantung... Dan Yulian berbisik lirih.
"Nanjar... Oooh... I Love You... Nanjar..."
Wajah keduanya semakin mendekat, sementara
sepasang mata gadis itu telah setengah terpejam
dengan bibir yang mungil merekah menantikan
lumatan bibir yang semakin mendekat. Akan te-
tapi ditunggu-tunggu tak terasa ada sesuatu yang
menempel di bibirnya, membuat dara ini kembali
membuka matanya.
"Nanjar... apakah kau tak mencintaiku...?"
berkata Yulian dengan suara lirih berdesis, dan
mata masih terpejam.
"Aku... aku mencintaimu, Yulian..." sahut
si Dewa Linglung. Dan... tiba-tiba saja dia telah melumat bibir mungil dara itu.
Dari itu balas me-rengkuh dengan gejolak asmara yang menggebu-
gebu. Begitu lamanya dia menahan perasaan rin-
du, membekamnya dalam dada. Kini dia menum-
pahkan segalanya. Dia telah siap memasrahkan
segala-galanya... Tapi tiba-tiba Nanjar mele-
paskan pelukan dara ini. Tentu saja membuat Yu-
lian merasa aneh. Dia melihat pemuda itu mema-
lingkan wajahnya menatap ke arah sela lubang.
Telinga Nanjar memang mendengar ada suara
mendekati ke arah sela lubang. Dara ini jadi be-
rubah tegang. Nanjar memberi isyarat padanya
agar tak menimbulkan suara.
Keadaan yang menegangkan itu segera le-
nyap, ketika yang muncul di sela lubang itu ter-
nyata cuma seekor tikus putih. Binatang itu me-
masuki celah lubang itu, lalu lari ke sudut, dari, menyelinap lenyap disela
batu. Nanjar menarik nafas lega. Demikian juga
dara itu. Sesaat si Dewa Linglung menatap pada
gadis itu. Dara ini memeluk erat Nanjar.
Hatinya lega karena dia menyangka orang-
orang Mongol anak buah kepala suku yang telah
mencari dirinya.
5 Dara itu mendadak lepaskan dekapan-
nya... "Aku harus segera kembali, Nanjar...! Saat
aku pergi ke mari kepala Suku dan beberapa
orang Mongol lainnya sedang pergi. Cuma ada
seorang Mongol yang menjaga perkampungan ke-
cil itu dalam keadaan tertidur pulas karena sema-
lam suntuk berjaga-jaga. Aku harus segera kem-
bali ke sana sebelum kepala Suku dan anak
buahnya pulang..." berkata Yulian. Nanjar mengangguk. Matanya menatap dara itu
tajam-tajam. Entah mengapa Nanjar merasa mulai merasa
khawatir dan sangat memperhatikan gadis asing
itu. "Selama ini kau baik-baik saja, Yulian...?"
Dara itu mengangguk. "Mereka semua baik-baik, dan tak seorangpun yang mengganggu
aku. Mungkin mereka masih mengharapkan keadaan
berubah. Peperangan di beberapa tempat memang
masih berlanjut. Seandainya kekaisaran ayahan-
daku dapat dikembalikan dan musuh dapat dipu-
kul mundur, tentu mereka akan menerima imba-
lan karena telah melindungi diriku sebagai puteri Kaisar. Akan tetapi aku
mengira harapan itu cu-ma kosong belaka. Dan mereka cuma menantikan
hal yang sia-sia..."
Sesaat lamanya Nanjar tercenung. Tapi dia
tak berkata apa-apa selain cuma berdiam membi-
su. Suasana menjadi hening.
"Apa yang kau pikirkan, kasihku...?" tanya Yulian. Lengannya membelai dada
telanjang pemuda ini.
"Aku... ah, aku lupa belum memakan ma-
kanan yang kau bawakan...!" sahut Nanjar. Yulian tersenyum seraya cepat beranjak
dan men- jumput bungkusan kain berisi makanan itu. Lalu
memberikannya pada Nanjar.
Saat itulah mereka tersentak karena sa-
yup-sayup telinga mereka mendengar suara te-
rompet yang ditiup panjang berulang-ulang. Se-
saat keduanya saling tatap. Yulian terperangah.
Mendadak wajahnya berubah.
"Suara apakah itu, Yulian...?" bertanya Nanjar.
"Oh... itu... itu suara terompet tanda ke-
menangan!" sahut dara itu seraya melompat berdiri. Lalu beranjak cepat menuju
lubang. Nanjar ikut memburu keluar. Apakah yang dilihat Nanjar
dan dara asing itu" Ternyata tampak ratusan ten-
tara berbaris menuju sebuah perkampungan kecil
di dataran salju itu. Di bagian depan ratusan tentara Kerajaan itu tampak dua
belas laki-laki
orang-orang Mongol yang dikenal Yulian adalah
kelompok yang dikepalai oleh kepala Suku. Yulian
tertegun menatap seperti tak percaya.
Tampak ratusan tentara Kerajaan berhenti
tak meneruskan perjalanan. Tapi dua puluh
orang serdadu dengan dikepalai seorang pemuda
gagah berkuda meneruskan perjalanan dengan
mengikuti dibelakang dua belas laki-laki orang
Mongol. "Oh... tak salahkah mataku" Itu... itu bu-
kankah Pangeran Alamando...?" sentak gadis ini dengan suara berdesis. "Ah,
ternyata bala bantuan telah datang...! Begitu cepat...! Ya, mengapa begitu
cepat...?"
"Siapakah Pangeran Alamando itu?" tanya
Nanjar. "Dia... dia pangeran dari Kerajaan Thor! Te-
tangga dari kerajaan ayahandaku yang telah di-
kuasai musuh. Ternyata keadaan telah berubah
sedemikian cepat...!" sahut Yulian dengan suara parau. Suara yang terdengar
seperti haru bercampur girang. Akan tetapi juga tercampur rasa
sedih. Karena saat itu terdengar suara genderang
dan terompet di kejauhan mengiramakan nada-
nada kemenangan. Ternyata bala bantuan dari
Kerajaan Thor telah berhasil merebut kembali wi-
layah Kerajaan ayahanda gadis itu. Dan kedatan-
gan Pangeran Alamando adalah untuk menjemput
dirinya. "Apa maksud kata-katamu Yulian" Apakah
yang begitu cepat?" pertanyaan si Dewa Linglung membuat dia tersadar dari
tercenungnya. Dara ini
menoleh pada Nanjar. Tampak sepasang matanya
basah oleh air mata yang menggenang.
"Nanjar...! Tampaknya makanan yang ku-
bawakan padamu adalah makanan yang terak-
hir...! Karena...karena aku akan segera dijemput
untuk kembali ke kerajaan Read Stair Of Thor!
Kerajaan Bintang Merah telah dipersatukan den-
gan Kerajaan Thor! Ternyata kejadian ini sungguh
diluar dugaanku...! Bala bantuan dari Kerajaan
Thor mendapat kemenangan dan berhasil mengu-
sir musuh. Aku tak menyangka kalau akhirnya
kita akan berpisah..." sahut Yulian dengan air mata mengalir membasahi kedua
pipi. Nanjar seperti terjaga dari sebuah mimpi.
Ditatapnya wajah dara itu. Ditatapnya bulu mata
yang lentik dari sepasang mata yang biru itu. Se-
saat lamanya dia tertegun mematung. Akan tetapi
tak lama dia segera menghela nafas. Nanjar me-
megang kedua bahu dara itu seraya berkata.
"Pergilah gadis manis...! Aku bahagia men-
dengarnya. Kau memang tak berjodoh denganku,
dan kukira kehidupanmu kelak akan lebih baik...!
Pangeran Alamando tampaknya seorang laki-laki
gagah. Dia tentu akan menyayangi kau kelak se-
bagai permaisurinya!"
"Dari mana kau... kau mengetahui dia
akan menjadi suamiku...?" sentak Yulian dengan mata membelalak. Hatinya terkejut
karena Nanjar telah mengetahui kalau Pangeran Alamando ada-
lah calon suaminya.
"Dari sinar matamu...!" sahut Nanjar dengan tersenyum. Dara ini tundukkan
wajahnya. Bibirnya menggetar mengucapkan kata-kata.
"Dengan keadaan yang telah berubah se-
perti sekarang ini, aku memang tak dapat meno-
lak lamarannya...! Tapi... Nanjar...! Aku... amat mencintaimu...!" kata gadis
ini. Dan serta merta dia memeluk Nanjar dengan terisak-isak. Dibe-namkan
wajahnya ke dada bidang pemuda itu.
Walau dia merasa gembira dengan kemenangan
itu, akan tetapi dilain pihak hatinya menjadi hancur luluh. Dia telah terlanjur
mencintai pemuda
berkulit sawo matang itu.
Nanjar melepaskan diri dari pelukan dara
ini, menggamit dagunya dan mengecup mata yang
basah itu. "Kembalilah segera Yulian! Aku juga men-
cintai dirimu. Tapi kau tak boleh tidak harus se-
gera pulang! Lihatlah! Mereka pasti akan menca-
rimu karena kau tak berada dalam perkampun-
gan itu..."
Yulian memandang ke bawah. Tampak dua
puluhan serdadu kerajaan Thor dengan dikepalai
Pangeran Alamando telah memasuki mulut desa
dimana dia berdiam selama ini.
"Nanjar...! Aku tak akan melupakan semua
yang kualami bersamamu... Baiklah! Aku akan
kembali, Nanjar....! I Love You... dear...!"
Sekali lagi Yulian mengecup dan melumat
bibir pemuda gagah yang dikaguminya itu. Ke-
mudian melepaskannya dengan mata menatap
wajah si pemuda.
"Selamat tinggal, pahlawanku..." katanya berdesis dengan bibir tersenyum kaku.
Terasa berat rasanya perpisahan itu. Tapi dia memang ha-
rus segera kembali.
"Selamat jalan, Yulian...! Aku akan selalu
mengenangmu, gadisku...!" Yulian mengangguk.
"Ya...! Kita akan saling mengenang...!" sahutnya dengan senyum yang kini nampak
telah ikhlas. Dan... diapun balikkan tubuh. Kemudian berge-
gas cepat menuruni tebing batu berlapis salju itu.
Namun di balik batu besar di bawah sana, dia
berhenti. Dipalingkan kepalanya menengadah ke
atas tebing. Lengannya diacungkan ke atas dan
digapai-gapaikan seperti mengucapkan selamat
Dewa Linglung 27 Raja Penyihir Sinting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tinggal untuk yang terakhir sekali. Nanjar yang
masih berdiri di muka lubang membalas mengga-
paikan tangannya. Selang sesaat dara itupun ber-
lari cepat menuju ke arah perkampungan orang-
orang Mongol itu tak menoleh lagi. Sesaat an-
taranya si Dewa Linglung balikkan tubuh. Lalu
memasuki lagi lubang rahasia itu, dan menggeser
batu menutup lubang itu...
Nanjar memang telah berniat akan mempe-
lajari isi kitab ilmu sihir putih itu dan berdiam di tempat itu sampai dia
berhasil memperoleh ilmu
warisan si Raja Penyihir Sinting.
6 Di pertengahan Bulan Kedua Belas... suatu
wilayah di Selatan dilanda kegemparan dengan
beberapa kejadian aneh yang dialami penduduk
di beberapa desa. Kejadian aneh itu adalah mun-
culnya suatu bencana menyeramkan yang me-
nimpa kaum wanita yang dalam keadaan men-
gandung, atau tengah melahirkan bayi.
Telah belasan jiwa melayang karena keja-
dian aneh yang melanda seperti sebuah wabah
penyakit, atau seperti suatu hal yang diakibatkan dari adanya suatu kutukan!
Karena setiap wanita
yang tengah mengandung pasti menginginkan da-
rah. Keinginan menghirup darah itu hampir me-
rata di antara beberapa desa pada setiap wanita
yang mengandung. Hingga membuat ketakutan
sang suami terhadap keinginan isteri mereka. Ka-
rena setelah habis darah ternak yang mereka mi-
liki, tentu akan menginginkan darah manusia.
Di beberapa tempat telah terjadi kepanikan
karena seorang isteri yang mengidam meminum
darah telah nekat memenggal leher suami atau
anaknya sendiri. Sungguh suatu kejadian aneh
yang sangat mencemaskan.
Kejadian aneh yang berikutnya adalah bila
wanita itu melahirkan, akan menjerit-jerit kesakitan dan sekarat... kemudian
tewas! Anehnya bayi
yang dilahirkan bukan berbentuk seorang bayi
manusia. Melainkan berpuluh ekor kala, kelabang
dan bermacam binatang berbisa lainnya yang ke-
luar dari dalam rahim wanita itu. Hal inilah yang membuat hampir gila penduduk
di beberapa desa
itu memikirkannya. Hingga masing-masing kepala
desa telah berembuk untuk mengambil jalan ke-
luar dari kejadian-kejadian yang mengerikan itu.
Hasil musyawarah memupakatkan, para suami
tidak diperbolehkan berhubungan dengan iste-
rinya untuk waktu sementara. Karena dikhawa-
tirkan isteri mereka akan hamil, lalu mengidam
meminum darah... Juga dikhawatirkan jika men-
jelang melahirkan akan tewas, dan bayi yang di-
lahirkan bukan bayi sewajarnya.
Di tengah keresahan yang melanda dan
membuat panik para penduduk desa itu, muncul-
lah seorang nenek tua renta melangkah terbung-
kuk-bungkuk menuju ke tengah desa. Beberapa
warga desa yang melihat munculnya seorang ne-
nek tua asing itu tampak agak mencurigai. Diam-
diam beberapa orang membuntuti nenek tua itu.
Sedang yang lainnya dengan cepat melapor pada
kepala desa. Setiba di tengah desa, wanita tua ini ber-
henti. Lalu memutar pandangan ke sekeliling
arah. Mendadak dia mengacungkan tongkatnya
ke atas. Dan terdengarlah suara tertawanya ter-
kekeh-kekeh. Belasan pasang mata menatap ter-
tuju pada nenek tua aneh itu. Segerombol laki-
laki yang mengintai sama terheran karena tak
mengenal perempuan tua itu. Dan apa yang akan
dilakukan si nenek di tengah desa itu" Setelah
puas tertawa, si nenek berkata lantang.
"Hooiiii...! Dengarlah semua penduduk de-
sa! Aku datang untuk menyelamatkan kalian dari
musibah di desa ini! Tahukah kalian apa sebab-
nya terjadi kejadian-kejadian mengerikan di desa
ini" Hihik...hik, itulah karena kelalaian kalian
memberikan sesajen pada Peri Ratu Kemuning!
Saat ini kalian orang-orang lelaki sangat menderi-ta karena tak dapat
berhubungan dengan isteri-
isteri kalian. Akan tetapi sejauh mana kalian
kaum laki-laki akan mampu bertahan" Ketahui-
lah! Kutukan ini akan berjalan terus sampai sera-
tus tahun. Kalian dengar itu" Seratus tahun!" teriak si nenek mengulangi kata-
katanya. Sesaat suasana kembali hening. Entah se-
jak kapan para penduduk desa telah bermuncu-
Bangau Sakti 39 Pedang Tanpa Perasaan Karya Khu Lung Tangan Geledek 8
Dia datang sebagai seorang pendekar.
Dia aneh dan bertindak
seperti orang yang linglung.
Para ksatria menyebut dia
Si DEWA LINGLUNG.
Pendekar sakti yang digembleng
oleh lima orang tokoh aneh.
https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
1 Pendekar Naga Merah Dewa Linglung ter-
sentak kaget melihat Tejo mendadak berkelebat
cepat dengan tertawa gelak-gelak dengan mem-
bawa pedang mustika Naga Merah yang dipin-
jamnya. "Hahaha... terima kasih, Dewa Linglung!
Pedangmu kupinjam dan akan kukembalikan lagi
sepuluh tahun mendatang!" Tentu saja Nanjar tak menyangka Tejo akan bersikap
sedemikian itu.
Dengan cepat dia berkelebat mengejar sambil ber-
teriak. "Tejo! Kau telah gila" Aku tak meminjam-kan untuk waktu selama itu!"
Akan tetapi Tejo tak memperdulikan teriakan itu. Bahkan dia mem-percepat gerakan
larinya, dan menyusup masuk
ke dalam hutan belantara. Dengan membentak
marah si Dewa Linglung cepat memburunya, dan
turut merambas masuk ke dalam hutan mengejar
si pelukis yang pernah menjadi sahabatnya itu.
Ternyata gerakan Tejo cepat sekali, begitu
masuk ke dalam hutan sudah tak ketahuan lagi
ke mana arah larinya. Dengan hati mendongkol
bercampur marah Nanjar mengubak seisi hutan
mencari jejak pemuda gendeng itu. Habis sudah
seisi hutan diubak-ubak Nanjar, namun Tejo tak
ketahuan kemana lenyapnya. Disaat Nanjar me-
mutuskan untuk keluar dari rimba belantara itu
karena menduga Tejo telah mengecohnya hingga
dia berputar-putar di dalam hutan, di saat itulah
telinganya mendengar suara orang bersenandung
di arah sebelah kanan hutan. Tanpa ayal lagi
Nanjar segera berkelebat ke arah suara itu....
Apakah yang terlihat oleh Nanjar" Tampak
seorang kakek berjubah putih lusuh duduk men-
juntaikan kaki di atas ranting dahan pohon sam-
bil mulutnya menyenandungkan kata-kata
"Wahai angin, apakah sudah jadi suratan
nasib" Terlalu sukar untuk terbang...
Terlalu jauh untuk dijangkau!
Harapan yang ada cuma menanti....
Dengan ilmu orang bisa jadi pintar.
Tapi juga bisa jadi bodoh!
Pintar karena memiliki ilmu
Bodoh karena terseret hawa nafsu...
Kepintaran hanya digunakan untuk
Membodohi orang!
Oh, oh, oh... Wahai angin, apakah sudah suratan na-
sib?" Demikian kata-kata yang diucapkan si kakek berulang-ulang. Membuat Nanjar
berdiri ter- paku memandangnya. Bukan saja dia tak men-
gerti apa maksud ucapannya, akan tetapi juga he-
ran dan diam-diam kagum menatap si kakek.
"Hm, siapa gerangan kakek ini" Kalau bu-
kan seorang yang berilmu tinggi takkan sanggup
ranting sekecil itu menahan tubuhnya. Ilmu me-
ringankan tubuhnya sungguh luar biasa..." berkata Nanjar dalam hati.
Ternyata kakek itu telah mengetahui ada-
nya Nanjar di tempat itu. Dia menghentikan se-
nandungnya, lalu berkata.
"Anak muda gagah, apakah kaupun takkan
menghiraukan kesusahan hatiku seperti juga se-
mua orang yang tak perduli dengan diriku?" Mendengar kata-kata itu tahulah
Nanjar kalau kata-
kata itu ditujukan padanya. Dan dengan sekali
lompat dia telah keluar dari rimbunnya semak be-
lukar. "Kakek tua aneh, turunlah dari cabang pohon itu. Siapakah kau ini" Apa
yang membuat kau bersusah hati?" kata si Dewa Linglung seraya mendongak ke atas memandang si
kakek. Akan tetapi terkejut Nanjar karena tak melihat kakek
itu berada di cabang pokok kayu. Tahu-tahu sua-
ra tertawa terkekeh terdengar di belakangnya.
Tentu saja membuat Nanjar tercengang karena
melihat kakek itu telah duduk di atas sebongkah
batu tak jauh di belakangnya. Bagaimana gerakan
si kakek ketika meloncat dari cabang pohon itu,
dia benar-benar tak mengetahui. Bahkan ranting
kayu itupun tak bergerak.
"Hehehe... anak muda, namaku Lolor Gen-
don. Siapakah namamu bocah gagah?" Kakek itu perkenalkan diri dan ajukan
pertanyaan. "Aku Nanjar, lengkapnya Ginanjar!"
"Oho, nama yang lugu dan bagus! Tam-
paknya kaupun tak bedanya seperti aku yang se-
dang kesusahan, bukankah begitu anak muda?"
Nanjar tercengang, tapi segera menyahut.
"Pandangan mata kakek sungguh tajam.
Aku memang tengah kesusahan, karena kawanku
telah membawa lari pedang pusakaku. Apakah
kau melihat seorang pemuda seusiaku lewat di
tempat ini?"
Kakek bernama Lolor Gendon itu mengge-
leng. Lengannya mengelus sejumput jenggotnya
yang kecoklatan di ujung dagu.
"Sayang sekali aku tak melihatnya...! Aneh!
Bagaimana sampai pedangmu dilarikan sahabat-
mu sendiri?" tanya si kakek. Nanjar menghela nafas, lalu menceritakan asal
kejadiannya. Bermula
Nanjar berjumpa pada pemuda bernama Tejo,
yang kemudian mereka bersahabat. Tejo seorang
periang, juga seorang seniman yang pandai melu-
kis. Pertama kali mengenalnya Nanjar telah mera-
sa simpati pada Tejo yang kelihatan polos dan ju-
jur, juga sikapnya sangat lugu. Mereka berpisah
setelah sama-sama menyelesaikan suatu persoa-
lan ketika munculnya seorang iblis wanita yang
menyebar kejahatan, yang kemudian dapat mere-
ka tumpas bersama-sama. Kali kedua mereka
berjumpa lagi setelah beberapa bulan berpisah.
Mereka berjalan dan bercakap-cakap bersama-
sama sambil masing-masing menceritakan pen-
galamannya. Di suatu tempat tiba-tiba Tejo ingin
sekali melihat dan mencoba kehebatan pedang
mustika milik Nanjar. Tanpa curiga Nanjar mem-
berikan pedangnya. Tapi mendadak Tejo melari-
kan pedang itu, dan mengatakan bahwa dia akan
meminjamnya. Gilanya Tejo akan mengembalikan
pedang itu setelah sepuluh tahun kemudian. Ten-
tu saja Nanjar mengejar pemuda itu untuk me-
minta kembali pedangnya. Namun Tejo lenyap
merambas masuk ke dalam hutan, dan Nanjar
tak berhasil menemukan jejak pemuda itu. "Aku percaya Tejo seorang pemuda yang
jujur. Aku merasa ada sesuatu yang tersembunyi dibalik kea-
nehan sikap sahabatku itu. Dan yang ku khawa-
tirkan adalah pedang itu digunakan untuk suatu
kejahatan..." kata Nanjar mengakhiri penuturannya. Si kakek Lolor Gendon yang
mendengarkan penuturan singkat Nanjar manggut-manggutkan
kepala. Tiba-tiba dia berkata.
"Tampaknya pedangmu bukan sembarang
pedang. Tentu sebuah pedang mustika yang hebat
dan memiliki keampuhan luar biasa!" Tadinya
Nanjar akan anggukan kepala, tapi mendadak dia
merasa telah sembarangan bicara, sedangkan dia
belum mengenal laki-laki tua itu, apakah orang
baik-baik atau termasuk golongan hitam. Cepat-
cepat dia menyahut sambil tersenyum.
"Ah, mengenai hal itu tentu aku tak dapat
mengatakannya. Kukira kakek Lolor Gendon bisa
menilai setelah melihat atau mencobanya..."
"Hehe... benar, anak muda! Tapi yang perlu
kita ketahui adalah, seampuh apapun senjata ka-
lau tak pandai mempergunakannya samalah ar-
tinya dengan menggunakan alat tulis untuk me-
nulis huruf di langit! Walau hanya sebatang rant-
ing kalau orang sakti yang melakukannya, akan
sama nilainya dengan sebuah senjata mustika!"
Nanjar manggut-manggut mendengar kata-
kata si kakek. Diam-diam dia memuji kedalaman
pandangan kakek itu.
"Aku yang bodoh dan kurang pengalaman
ini sangat menghargai pendapat itu, kakek Lolor
Gendon! Haih! sungguh beruntung aku bisa ber-
kenalan dengan anda dari golongan kaum tua..."
kata Nanjar sambil menjura. Lalu meneruskan.
"Oh, ya! Dari kata-kata dalam sajakmu tadi benda apakah yang dicuri orang yang
sedang kau sayang-sayang itu" Sajakmu indah dan tentu ar-
tinya sangat dalam sekali"
Mendengar pertanyaan dan pujian Nanjar,
Lolor Gendon tertawa tergelak-gelak hingga ber-
cucuran air mata. Mendadak dia berhenti tertawa.
Wajahnya berubah menjadi murung. Kecerahan
pada wajahnya lenyap tersapu angin, karena kini
dia tak lebih dari seperti orang yang baru ditinggal mati anak atau isterinya.
Tentu saja perubahan itu membuat Nanjar
jadi tertegun. Diam-diam dia merasa menyesal te-
lah ajukan pertanyaan itu pada laki-laki itu. Nanjar jadi garuk-garuk tengkuknya
yang tidak gatal, seraya berkata.
"Maafkan aku, kakek Lolor Gendon. Kalau
pertanyaanku membuat kau bersedih hati... Tapi
bolehkah aku mengetahuinya, siapa tahu aku bi-
sa membantumu dengan apa yang bisa aku bantu
untukmu!" Terjadi lagi keanehan, ketika Nanjar se-
lesai berkata mendadak Lolor Gendon menatap
tajam kepadanya seperti tak percaya mendengar
kata-kata yang diucapkan Nanjar.
"Hari ini aku jumpa kau bocah gagah ada-
lah hal yang aneh, dan baru kudengar ada orang
yang mau membantuku dalam kesusahan. Pa-
dahal selama delapan belas tahun tak pernah ada
yang memperdulikan diriku..."
Nanjar cuma berdiri mendengarkan. Men-
dadak Lolor Gendon bangkit dari duduknya. Ma-
tanya tajam menatap Nanjar. Lalu berkata.
"Tak usah kau mengelabuiku, aku telah
mengetahui kalau kau adalah seorang tokoh pen-
dekar muda yang bergelar si Pendekar Naga Me-
rah, dan julukanmu adalah si Dewa Linglung!"
"Akh... dari mana anda me... mengeta-
huinya?" sentak Nanjar dengan wajah berubah
merah karena terkejut. Lagi-lagi dia temukan
keanehan pada sikap si kakek.
"Aku memang tengah menantikan seseo-
rang yang mau menolongku! Ternyata nasibmu
bagus, bocah gagah!" ujar si kakek tanpa menjawab pertanyaan Nanjar. Dari sela
jubah lusuhnya dia mengeluarkan segulung kertas kulit, lalu
menggenggamnya dalam kepalan tangannya.
"Ini adalah sebuah Peta tempat aku me-
nyimpan sebuah kitab Ilmu Sihir Putih! Kalau na-
sibmu bagus, kau akan menemukan tempat itu
dan mendapatkannya! Dan berarti kau akan
mengemban tugas berat yang harus kau jalankan
setelah kau berhasil mempelajari kitab itu. Kare-
na kuciptakan ilmu sihir putih itu adalah untuk
mengalahkan ilmu sihir hitam yang telah dikuasai
oleh seseorang yang pernah aku cintai, tapi ke-
mudian aku benci karena manusia itu telah di-
mabuk keduniawian! Terimalah Peta ini anak
muda... Aku percayakan padamu karena kaulah
orang yang telah bersedia menolong kesusahanku
selama delapan belas tahun..."
Benda di tangan Lolor Gendon melayang ke
arah Nanjar. Begitu si Dewa Linglung ulurkan
lengan menangkapnya, tahu-tahu tubuh kakek
itu lenyap sirna dari pandangan matanya. Tentu
saja Nanjar jadi terlongong memandang tak men-
gerti. Di saat dia tengah tertegun sambil menatap ke arah gulungan Peta di
tangannya, terdengar
suara tertawa terkekeh si kakek tanpa memperli-
hatkan wujudnya.
"Hehe... heheh... jangan terkejut anak mu-
da. Sebenarnya aku sudah berada di alam lain.
Alam halus yang tak dapat dilihat oleh mata ma-
nusia...! Di antara Empat Raja-raja Gila dan Raja Siluman Naga, akulah yang
bergelar si Raja Penyihir Sinting! Ternyata pilihanku tidak salah.
Aku memang menantikan kedatanganmu untuk
mewariskan ilmuku. Dengan demikian aku telah
puas dan dapat mati meram...! Bila kau suatu
saat dapat menemukan jerangkongku di sebuah
pulau terpencil dalam sebuah penjara bawah ta-
nah, tolong kau menyempurnakannya..."
Setelah berkata demikian, mendadak ber-
tiup angin kencang. Nanjar tersentak dalam ter-
kejutnya. Dicekalnya erat-erat Peta dalam geng-
gaman tangannya. Selang tak lama angin kembali
lenyap. Nanjar terpaku beberapa saat lamanya.
Dewa Linglung 27 Raja Penyihir Sinting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi segera tersadar kalau semua itu bukan
mimpi. Dan saat itu juga dia jatuhkan tubuhnya
berlutut menghadap ke arah bekas lenyapnya ka-
kek itu seraya berkata.
"Kakek Lolor Gendon! Secara tidak lang-
sung, kau adalah Guruku yang ketujuh di antara
enam "Raja" Yaitu Empat Raja Gila, Raja Siluman Bangau dan Raja Siluman Naga.
Aku Nanjar menghaturkan terima kasih atas kesediaanmu
mewariskan ilmu yang kau miliki...! Aku berjanji
akan menjalankan tugas yang kau pikulkan pada
pundakku, demi tegaknya kebenaran dan keadi-
lan di atas jagat ini!"
Baru saja Nanjar menyimpan peta ke balik
baju, mendadak cuaca berubah menjadi gelap pe-
kat. Petir menyambar-nyambar di angkasa me-
mekakkan telinga diiringi kilatan-kilatan cahaya
berkedipan. Lagi-lagi Nanjar terperangah karena
terkejut. Di saat itulah tampak sebuah cahaya
merah meluncur dari langit sebelah barat. Jan-
tung Nanjar terasa berhenti berdenyut. Matanya
membelalak lebar melihat ke arah cahaya itu. De-
tik itu juga tubuhnya melesat. Dua puluh tombak
lebih luncuran tubuh si Dewa Linglung ke udara,
dan lengan pemuda itu dengan gerakan cepat te-
lah terjulur menangkap benda yang mengelua-
rkan cahaya merah itu... Ketika tubuh si Dewa
Linglung meluncur ke bawah dan berdiri di tanah,
tampak lengannya telah mencekal pedang Musti-
ka Naga Merah. Lambat laun cuaca kembali berubah terang
benderang. Nanjar berdiri terpaku di tempatnya
dengan mata menatap ke arah benda di tangan-
nya. Sesaat dia mendongak ke langit.
"Kakek Lolor Gendon! Terima kasih atas
bantuanmu hingga pedang mustikaku kembali ke
tanganku...!" berkata Nanjar dengan suara lirih.
Entah mengapa Nanjar berkeyakinan ka-
kek misterius yang berjulukan si Raja Penyihir
Sinting itulah yang memulangkan pedang musti-
kanya. Ya! Nanjar memang berpendapat demi-
kian, karena keanehan demi keanehan dijumpai
sejak munculnya si kakek aneh itu. Beberapa
saat lamanya Nanjar termangu-mangu di tempat
itu, seperti layak nya orang yang baru terjaga dari sebuah mimpi.
"Haih! sayang, sarung pedangnya terting-
gal...! Tapi tak mengapa. Agaknya si Raja Penyihir Sinting menginginkan aku
mencarinya sendiri... "
berkata si Dewa Linglung Setelah menggaruk
tengkuknya yang tidak gatal. Nanjar segera berke-
lebat dari tempat itu... 2
Tejo termangu-mangu menatap sarung pe-
dang di genggaman tangannya... Kejadian aneh
yang telah terjadi pada dirinya membuat dia ter-
longong tak mengerti.
"Gila! Sinting! Mengapa sarung pedang si
Dewa Linglung bisa berada di tanganku?" mendesis Tejo dengan keheranan tak
putus-putusnya.
"Suatu kejadian yang aneh yang baru kua-
lami selama hidupku, tapi ini suatu kenyataan!"
kata Tejo dalam hati. Dalam tercenung-nya dia
mengingat-ingat kejadian yang baru saja dialami.
Tejo masih ingat ketika dia berjalan bersa-
ma-sama dengan Nanjar sahabatnya. Mereka
masing-masing menceritakan pengalaman selama
mereka berpisah sejak pertemuan mereka hingga
mereka mengikat tali persahabatan. Akan tetapi
tiba-tiba sesuatu kejadian yang dirasakan Tejo
sangat aneh. Mendadak dia merasa bersyiurnya
hawa dingin menelusup ke dalam tubuhnya. Dan
anehnya mendadak saja dia tak dapat berpikir la-
gi secara wajar. Bahkan tanpa disadari mulutnya
berkata pada si Dewa Linglung, bahwa dia ingin
sekali melihat pedang mustika Naga Merah milik
sahabatnya itu. Ternyata dengan senang hati si
Dewa Linglung memberikannya. Akan tetapi tan-
pa terniat sedikitpun dalam hati, mendadak dia
telah berkelebat cepat membawa lari pedang pu-
saka itu. Bahkan di luar keinginannya dia telah
berkata, bahwa dia akan meminjam benda itu dan
akan mengembalikannya sepuluh tahun kemu-
dian. Masih terngiang suara si Dewa Linglung ke-
tika mengejarnya sambil berteriak-teriak menyu-
ruh berhenti. Tapi dia tak memperdulikannya. Dia
berlari cepat di luar kehendaknya. Dan anehnya
Nanjar tak berhasil mengejarnya, padahal dia
mengetahui kehebatan ilmu lari cepat sahabatnya
itu. Dan yang membuat lebih aneh lagi adalah,
kini dia terduduk di sisi sebuah telaga dengan nafas tersengal-sengal. Tak
diketahui lagi dimana
adanya si Dewa Linglung saat itu. Yang jelas len-
gannya menggenggam sebuah sarung pedang, dan
dia mengetahui sarung pedang itu adalah milik
Nanjar sahabatnya.
"Aneh! Gila! Sinting...!" memaki Tejo dengan wajah merah dan benak diliputi
ribuan per- tanyaan. Namun sejauh mana dia memeras otak
untuk memecahkan keanehan itu, tetap saja dia
tak mengerti apa yang telah terjadi pada dirinya
hingga dia melakukan perbuatan yang memalu-
kan itu. Yang lebih membuat dia terheran-heran
mengapa cuma sarung pedang mustika Naga Me-
rah yang berada di tangannya.
"Benar-benar edan! Seingatku aku telah
meminjam pedang si Dewa Linglung tanpa ku-
sadari. Tapi mengapa pula yang ada padaku
hanya sarung pedangnya saja...?" gumam Tejo.
"Celaka aku! Jangan-jangan aku telah ke-
tularan penyakit Linglung sahabatku itu..." desis pemuda ini.
Tejo bangkit berdiri. Sejenak putarkan ma-
ta menatap ke beberapa arah. Lalu pandangannya
tertuju pada telaga kecil berair jernih di hadapannya. "Hm, tempat apakah ini"
Apakah telaga tempat pemandian peri?" berkata Tejo dalam hati.
"Hm, tempat pemandian peri, manusia atau kerbau tak perduli! Tubuhku letih dan
penat, se- baiknya aku pergi mandi. Selesai mandi aku sege-
ra mencari sahabatku itu untuk mengembalikan
sarung pedangnya. Dan akan kuceritakan keja-
dian aneh ini padanya. Percaya atau tidak terse-
rah dia, yang penting aku merasa telah melaku-
kan suatu hal yang aku sendiri tak menyada-
rinya... Tapi mudah-mudahan dia mau menger-
ti..." Tejo melangkah ke tepi telaga. Lalu mem-
buka pakaiannya. Dan...
"Byurrr..." Dia telah terjun ke air yang jernih itu dengan telanjang bulat.
Sarung pedang Naga Merah diletakkan di atas pakaiannya di atas
batu. Sedangkan keneron atau keranjang tikar
berisi alat-alat lukisnya diletakkan di atas rum-
put. Tejo merasa tubuhnya menjadi segar. Otak-
nya pun menjadi jernih. Dia memang memerlukan
penyegaran tubuh, dan hal itu akan membuat dia
bisa tenang berpikir setelah kejadian aneh yang
membuat hampir gila memikirkannya.
Setelah puas berendam dan membersihkan
tubuhnya. Tejo melompat ke darat. Akan tetapi
ketika lengannya terjulur untuk menjumput pa-
kaiannya diatas batu mendadak dia terkejut, ka-
rena tak menemukan sarung pedang Naga Merah
milik sahabatnya di atas tumpukan pakaiannya.
"Welah! Welah...! Kemana sarung pedang
itu...?" sentaknya dalam hati. "Edan, jangan-jangan diambil peri penunggu telaga
ini!" desis Te-jo dengan bulu tengkuk meremang. Dia pentang
mata menatap ke sekeliling, kalau-kalau ada
orang berada di sekitar tempat itu.
"Lagi-lagi aneh! Apa aku masih linglung
hingga aku lupa meletakkan dimana sarung pe-
dang itu" Tapi... seingatku aku menaruhnya di
atas pakaianku..." piker Tejo. Namun dia tak berpikir lebih jauh, karena dia
memerlukan lebih du-
lu mengenakan pakaiannya.
"Untung pakaianku tak turut lenyap! Kalau
hilang sudah pasti aku akan jadi seekor kera den-
gan bertelanjang bulat begini!" pikir Tejo, seraya bergegas mengenakan celana
pangsinya. Namun
sambil mengenakan pakaian, Tejo tak hentinya
berpaling ke kanan dan kiri kalau-kalau melihat
bayangan mencurigakan di sekitar tepi telaga itu.
Baru saja selesai berpakaian, sebuah
bayangan putih berkelebat muncul, dan sosok tu-
buh seorang pemuda berambut gondrong telah
tegak di hadapannya.
"Dewa Linglung...! Ah, ternyata kau...?"
sentak Tejo dengan wajah berubah girang. Akan
tetapi sesaat kemudian Tejo tundukkan kepala,
seraya berkata.
"Sahabatku... kuharap kau mau menden-
garkan penuturanku! Kau pasti tak akan percaya
kalau aku menceritakannya padamu..."
"Hm, ceritakanlah! Apakah kau mau bergu-
rau untuk kedua kalinya?" berkata Nanjar dengan menatap tajam berpura-pura
hatinya mendongkol
karena perbuatan yang dilakukan Tejo.
Tejo mengangkat mukanya, menatap Nan-
jar dalam-dalam.
"Kau tak akan terburu-buru marah, bu-
kan?" tanya Tejo, sikapnya seperti seorang gadis yang berkata pada pacarnya.
Dalam hati Nanjar
tertawa geli. Tampaknya Tejo sangat khawatir se-
kali kalau persahabatan mereka retak. Padahal
Nanjar telah mengetahui, keanehan yang dialami
Tejo pasti tak jauh berbeda dengan apa yang di-
alaminya. Walau dia belum mengetahui secara je-
las karena Tejo belum menceritakannya, tapi dia
telah menduga-duga terlebih dulu. Dan dia berha-
rap dugaannya tepat.
Nanjar menggeleng seraya menyahut den-
gan suara datar tanpa secuil senyum pada bibir-
nya. "Akan kucoba untuk tidak terburu-buru
marah...!"
Tejo tampak menarik nafas lega, dan kem-
bali menunduk. Kemudian melompat ke atas batu
dan jatuhkan pantatnya untuk duduk. Kemudian
melipat kedua tangannya, dan mulailah dia me-
nuturkan kejadian aneh yang dialaminya. Nanjar
hanya berdiri mendengarkan dengan sikap dibuat
kaku, tapi dengan penuh perhatian.
"Begitulah, sahabatku...! Hingga sampai
saat ini aku tak mengerti mengapa aku melaku-
kan hal itu, dan aku tak mengetahui mengapa
aku bisa berada di tempat ini..." kata Tejo mengakhiri penuturannya.
Sesaat Nanjar terdiam. Tapi kemudian ber-
kata. "Kupikir kau hanya menggodaku saja Tejo!
Sudahlah! Yang penting pedang mustika Naga
Merah telah kembali padaku, termasuk sarung
pedangnya. Mengenai kejadian aneh yang menim-
pamu, kuharap kau harus lebih berhati-hati. Ka-
rena saat ini mungkin sedang waktunya para se-
tan, dedemit dan arwah bergentayangan...!" Tejo hanya manggut-manggutkan kepala
mendengar kata-kata Nanjar.
3 Lalala... Lalala... Ahoy... Ahoy...! Lalala...
Lalala... Ahoy... Ahoy...!" Suara orang bersenandung terdengar dari balik bukit
di sore hari dima-na sorot sinar matahari mulai melemah dan ham-
pir menyelinap ke balik gunung. Suara senan-
dung itu semakin lama semakin jelas terdengar.
Selang tak lama tampaklah si pemilik suara itu.
Ternyata seorang laki-laki tua katai menunggang
seekor keledai yang berjalan santai.
Kelihatannya suatu pemandangan yang
sangat lucu. Terutama laki-laki katai itu yang
bersenandung sambil menimpali langkah kaki ke-
ledai yang ditungganginya. Laki-laki katai itu ternyata seorang yang sudah
pantas disebut seorang
kakek. Karena usianya bisa ditaksir sekitar enam
atau tujuh puluh tahun. Kepalanya besar, ram-
butnya ceriwis seperti bisa dihitung, dan hampir
bisa dikatakan gundul karena begitu tipis dan ce-
riwisnya. Kumisnya juga tak seberapa lebat. Tapi
jenggotnya panjang sampai ke pusar. Sebenarnya
jenggot kakek katai ini sepanjang umumnya jeng-
got orang-orang tua, tetapi karena tubuhnya yang
katai itulah hingga nampak lebih panjang. Karena
keadaan phisiknya yang sedemikian itu, hingga
jubah yang dipakainya juga tampak pendek dan
kelihatan lucu.
Kakek katai ini mencekal sebuah tongkat
sepanjang tongkat biasa yang bagian ujungnya
melengkung seperti bulan sabit. Suaranya besar
dan parau. Sesuai dengan bentuk lehernya yang
besar, dan boleh dibilang kakek katai ini hampir tak berleher.
Mendadak si kakek katai hentikan suara
senandungnya. Tampaknya dia seperti bicara
dengan keledai yang ditungganginya, karena di
tempat itu memang tak ada siapa-siapa.
"Eh, sobatku! Tahukah kau mengapa aku
datang ke wilayah ini" Hehe...heh... kalau kau tak mengetahui, akan
Dewa Linglung 27 Raja Penyihir Sinting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kuberitahukan. Kedatanganku
ke wilayah ini adalah mengejar seorang manusia
busuk yang telah ingkar janji alias tak mau me-
nepati janji padaku, hingga aku merana selama
ini! Tahukah kau artinya merana..." Merana ar-
tinya sengsara, sengsara artinya selalu gelisah,
dan selalu gelisah artinya selalu susah. Yang aku susahkan itu bukan lantaran
tidak berharta benda berkecukupan, kurang makan dan sebagainya.
Akan tetapi aku merana karena cinta! Hehe... kau
tahu cinta" Kukira semua makhluk tak termasuk
kau bangsa keledai akan mengenal cinta! Tapi...
tampaknya kau lebih berbahagia dari pada aku,
sahabatku...!" suara kata-kata si kakek katai mendadak jadi kian lirih.
Keledai tua yang ditungganginya seperti
menyahuti kata-kata si kakek katai dengan mem-
perdengarkan suara mendengus dari hidung. Ka-
kek katai kerenyitkan keningnya menatap si kele-
dai. "Huh! Kau selalu membantah pendapatku!
Mengapa kukatakan kau lebih berbahagia dari
pada aku" Kau pernah punya isteri, tapi aku ti-
dak! Kau bisa bercinta dengan lawan jenismu, ta-
pi aku...?" kata kakek ini dengan mengeluh sambil mencemberutkan bibirnya.
"Tampaknya tak akan ada perempuan yang
sudi menjadi isteriku!" kata si kakek sambil tercenung beberapa saat. Kemudian
terdengar dia menghela nafas.
"Tapi aku tak dapat menyalahkan diriku
yang telah ditakdirkan Tuhan dengan keadaan
tubuh seperti ini. Aku juga tak percaya kalau aku selamanya tak akan punya
jodoh. Buktinya aku
bisa menikah dengan seorang perempuan. Tapi
sayang... rupanya dia telah terkena goda oleh la-
ki-laki gagah yang membujuknya, hingga dia pergi
dan lari dari sisiku...! Tahukah kau sahabatku"
Kedatanganku ke wilayah ini adalah untuk men-
carikan manusia keparat yang telah melarikan is-
teriku itu!"
Sampai di sini si kakek katai berhenti bica-
ra. Selang sesaat di menengadah, menatap ke
arah Barat. "Hm, hari telah menjelang sore. Kukira aku
telah tak memerlukan kau lagi, sahabatku...!" ka-ta si kakek katai seraya
melompat turun dari
punggung keledai. Binatang ini mendengus dua
kali dan manggut-manggutkan kepala entah apa
maksudnya. Yang jelas keledai tak bisa bicara se-
perti manusia. Tapi mungkin mengerti dengan ka-
ta-kata si kakek katai. Dia memang telah lelah
dan penat berjalan jauh. Ingin sekali rasanya dia beristirahat. Tapi mengetahui
kalau saat itu si
kakek katai telah tak memerlukan dirinya lagi.
"Nah! Kau pergilah kemana kau suka...!"
berkata kakek katai ini. Lengannya mendorong
pantat keledai tua itu. Binatang ini meringkik perlahan, kemudian berlari cepat
dari tempat itu tak menoleh lagi. Kakek katai menatapnya hingga binatang itu
lenyap di balik batu bukit.
Kakek ini putar pandangan ke beberapa
arah, seperti menentukan arah yang akan ditu-
junya. Pandangannya terhenti ke arah sebelah
Timur, dimana tampak tumbuh pepohonan lebat.
Dan... suatu hal yang aneh dan mengagumkan
terjadi. Kakek katai tekan tongkatnya ke tanah.
Dilain kejap tampak tubuh sebesar bocah berusia
lima tahun itu mencelat ke udara. Dalam bebera-
pa kali melompat, sebentar saja tubuh kakek ka-
tai itu sudah lenyap tak kelihatan lagi...
* * * Nanjar melompat ke luar dari balik batu
dimana sejak tadi diam membekam mulut dan
pentang mata serta pasang telinga mendengarkan
ocehan si kakek katai. Sesaat lamanya dia mena-
tap ke arah bekas lenyapnya sosok tubuh kakek
katai itu. "Haih! Tampaknya urusan dunia persilatan
tak ada habisnya. Kini seorang kakek pendek, ka-
tai tahu-tahu muncul untuk mencari jejak pencu-
lik yang telah membawa kabur isterinya. Kakek
katai itu tentu seorang tokoh tua yang ilmunya
tinggi. Entah siapa gerangan gelarnya. Manusia
yang telah berani main gila dengan isteri si kakek
katai itu tentu orang yang telah nekat dan berani menempuh resiko besar. Begitu
banyak urusan manusia dengan segala kemelut di dalamnya..."
berkata si Dewa Linglung dalam hati.
Kalau dia tak sedang ada urusan yang ha-
rus diselesaikan, mungkin sejak tadi dia unjuk-
kan diri untuk berkenalan dengan manusia kerdil
yang aneh itu. Sayang dia sedang berusaha me-
wujudkan keinginan hatinya, yaitu mencari di-
mana tersimpannya Kitab Ilmu Sihir Putih yang
tertera dalam Peta pemberian si Raja Penyihir
Sinting. Sesaat Nanjar memandang ke arah Barat.
Matahari telah tenggelam di balik gunung. Tak
lama si Dewa Linglung segera berkelebat pergi da-
ri tempat itu. 4 Enam bulan telah lewat sejak kepergian
Nanjar mengikuti petunjuk Peta mencari kitab il-
mu sihir putih. Marilah kita beralih pada sebuah
tempat di wilayah Selatan yang berhawa dingin
dimana tanah dan pohon hampir setiap saat ter-
bungkus salju. Gadis berpakaian mantel bulu itu berlari-
lari kecil di atas salju, menampakkan bekas-
bekas telapak kaki yang ditinggalkannya. Gera-
kannya tampaknya secara sembunyi-sembunyi
seperti khawatir dipergoki orang. Sebentar-
sebentar dia berhenti di balik batang-batang po-
hon yang terbungkus salju, atau di balik-balik ba-
tu cadas yang memutih oleh timbunan salju.
Di lengan gadis ini tampak sebuah bung-
kusan kain yang sebentar-sebentar disembunyi-
kan di balik mantel bulu. Dari celah mantel bulu
yang sedikit terbuka di bagian atas, tampaklah
seraut wajah yang cantik. Ternyata dia seorang
dara berparas cantik dengan bibir mungil dan
agak sedikit merekah di bagian tengahnya.
"Sebentar lagi hari gelap! Aku harus cepat
mengantarkan makanan ini, dan secepatnya
kembali sebelum malam tiba..." desis gadis ini.
Beberapa saat kemudian dia telah tiba di
sisi tebing batu cadas. Kemudian merayap di sisi
tebing terjal itu dengan hati-hati. Sampai akhir-
nya dia menemukan sebuah lubang di antara ce-
lah tebing yang tertutup rapat dengan batang-
batang pepohonan tak berdaun karena tebalnya
salju yang melekat.
Dara ini menggeser batu penutup celah
yang sedikit terbuka itu, kemudian menelusup
masuk ke dalam lubang itu.
"Yulian...! Kau datang lagi...?" terdengar suara orang menyapa dari ruangan
dalam. "Aku bawakan makanan untukmu..." me-
nyahut gadis ini sambil melangkah masuk. Ter-
nyata ruangan di dalam lubang itu bertambah le-
bar. Ada cahaya yang samar-samar menerangi
ruangan itu dari sebuah lubang di sebelah atas
yang tak seberapa besar.
Tampak seorang pemuda duduk di antara
timbunan tanah pasir. Tampaknya dia tengah be-
kerja menggali tanah di dasar tebing di dalam lu-
bang itu. Dia seorang pemuda berambut gondrong
menjela bahu yang tampak kotor penuh butiran
pasir hingga mukanya pun celemongan. Di hada-
pannya tampak sebuah peti besi yang sudah ber-
karat. "Kau... kau telah menemukannya, Nan-
jar...?" sentak gadis ini dengan wajah berubah girang. Ternyata pemuda berambut
gondrong itu tiada lain dari si Dewa Linglung adanya. Ternyata keberangkatan pemuda ini
mencari kitab ilmu sihir putih mengikuti petunjuk yang berada di da-
lam Peta, telah membawa langkah kakinya hingga
tiba di suatu wilayah yang berhawa dingin dan se-
lalu diliputi salju. Suatu hal yang sangat kebetulan adalah Nanjar menemukan
kawan seorang dara cantik bernama Yulian. Sebuah nama yang
cukup asing bagi telinga si Dewa Linglung, juga
bahasa yang berbeda. Tapi berkat keuletan Nanjar
mempelajari, diapun berhasil menguasai bahasa
gadis itu walaupun agak kaku. Yulian ternyata
seorang gadis berparas cantik, berhidung man-
cung dan berambut pirang. Dara berkulit putih
itu ditemukan Nanjar tersesat di wilayah yang ta-
nahnya berawa-rawa. Untunglah dimusim dingin
itu salju turun, hingga rawa-rawa berbahaya itu
tertutup salju, dan airnya membeku.
Perkenalan dengan dara berkulit putih itu
sangat menyenangkan hati si Dewa Linglung. Dan
ternyata dara itu sendiri merasa simpati padanya
disebabkan Nanjar mampu menolak hawa dingin,
walaupun tanpa mengenakan pakaian bulu. Dan
keperkasaan pemuda itu telah membuat dia ka-
gum. Hingga semangatnya untuk melarikan diri
semakin kuat, karena dengan adanya pemuda itu
pasti akan melindungi dirinya.
Hampir dua pekan sejak pertemuan itu,
Nanjar mencarikan makanan dan membawanya
bersembunyi di goa-goa dan relung batu. Selama
itu mereka saling mempelajari bahasa masing-
masing. Ternyata Nanjar cukup cerdas, dan da-
lam waktu singkat dapat menguasai bahasa asing
dara kulit putih itu.
Barulah Yulian mengerti kalau Nanjar da-
tang ke wilayah itu adalah untuk mencari kitab
ilmu sihir putih menurutkan dalam petunjuk se-
buah Peta yang dibawanya. Karena rasa simpati
yang dalam, serta kesan yang baik terhadap pe-
muda gondrong berkulit sawo matang itulah,
hingga Yulian turut membantu Nanjar mencari
dimana disimpannya kitab rahasia ilmu sihir pu-
tih tersebut. Sayang, sementara itu orang-orang Mongol
yang mencari Yulian terus melacak ke setiap pelo-
sok daerah bersalju untuk menemukan gadis
yang melarikan diri itu... Dari penjelasan dara itu, tahulah Nanjar kalau Yulian
adalah puteri seorang kaisar. Kerajaan dan wilayah kekuasaan
ayahanda gadis tersebut berhasil dikuasai mu-
suh. Yulian berhasil melarikan diri. Tapi terpe-
rangkap oleh sekelompok orang-orang Mongol.
Dan dikesempatan yang baik, gadis itu berusaha
melarikan diri, hingga berjumpa dengan si Dewa
Linglung. Akhirnya Nanjar berhasil menemukan goa
seperti petunjuk dalam Peta. Sayang, Yulian telah dapat diketahui jejaknya oleh
orang-orang Mongol
yang memburunya. Ternyata orang yang membu-
runya merupakan kelompok lain dari kelompok
yang pernah menyekap diri Yulian. Salah seorang
dikenal Yulian sebagai kepala Suku di salah satu
sebuah desa orang-orang Mongol.
Nanjar segera bersiasat. Dia menyuruh Yu-
lian keluar dari tempat persembunyian, dan me-
merintahkan agar Yulian mengikuti kelompok ke-
pala suku itu. Karena dia memerlukan waktu
yang tak diketahui berapa lamanya untuk mene-
mukan kitab ilmu sihir putih. Nanjar yakin ke-
lompok itu akan melindungi diri gadis itu. Yulian tak dapat menolak dan segera
keluar dari tempat
persembunyian... Demikianlah, hingga dia berada
dalam kelompok tersebut. Akan tetapi ternyata
mereka tinggal tak seberapa jauh dari tebing di-
mana Nanjar menemukan goa tempat menyimpan
kitab pusaka yang dicarinya. Hingga telah dua
kali secara diam-diam gadis itu menemui si Dewa
Linglung. Hal itu terpaksa dilakukan, karena perta-
ma dia tak dapat menahan rasa rindunya untuk
bertemu dengan Nanjar. Kedua, dia ingin menge-
tahui apakah Nanjar telah berhasil menemukan
kitab tersebut... Dan yang ketiga adalah, dia telah mengambil keputusan untuk
turut serta bersama
pemuda itu. Karena keadaan telah tak memung-
kinkan lagi baginya untuk kembali ke wilayah Ke-
rajaan ayahandanya yang telah dikuasai musuh.
Bahkan menurut berita ayahandanya telah tewas
dalam pertempuran.
Kini Dara Cantik Berkulit Putih, Bermata
Biru ini, berdiri di depan si Dewa Linglung dengan mulut setengah terbuka.
Matanya menatap tajam
ke arah peti besi di atas onggokan pasir, di depan pemuda itu.
Yulian beranjak melangkah mendekati, lalu
berjongkok di depan Nanjar yang tengah berusaha
membuka peti besi itu. Tak terlalu sukar untuk
membukanya, disamping peti besi itu telah berka-
rat, juga Nanjar memiliki kekuatan melebihi orang biasa. Peti itu terbuka, dan
tampak sebuah kitab
dari kulit berada di dalamnya.
Nanjar menjumput benda itu, lalu membu-
ka lembaran-lembaran kitab kulit. Diam-diam dia
bersyukur karena dapat memahami tulisannya
yang bagi Yulian tampak asing. Sesaat kemudian
Dewa Linglung 27 Raja Penyihir Sinting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nanjar bangkit berdiri. Yulian turut bangkit berdi-ri. Matanya yang bulat
berbulu lentik itu menatap tajam si Dewa Linglung. Tapi bibir yang tadi me-
lukiskan senyuman, mendadak lenyap seperti ter-
sapu angin. "Kau... kau telah berhasil mendapatkan ki-
tab itu, Nanjar...! Lalu apakah yang akan kau la-
kukan selanjutnya...?" bertanya dara ini.
"Haha... tentu saja mempelajarinya sampai
aku bisa menguasai ilmu sihir putih itu!" sahut Nanjar sambil tertawa dan
menarik nafas lega.
"Setelah kau berhasil mempelajari..." tukas si gadis dengan wajah murung tak
bersemangat. "Tentu saja kembali ke tanah tempat tum-
pah darahku, dan sebelumnya membakar kitab
ini yang tak kuperlukan lagi!" sahut si Dewa Linglung. "Kau akan meninggalkan
aku...?" berkata Yulian dengan menundukkan wajahnya. Nanjar
sesaat tertegun. Dia dapat melihat sepasang mata
dara itu berkaca-kaca.
"Yulian...! Aku belum lagi pergi dari goa ini, mengapa kau mengatakan aku akan
me-ninggalkanmu?" berkata Nanjar dengan suara lirih. Lengannya menggamit dagu
gadis asing itu
hingga wajahnya menengadah.
Tiba-tiba dara ini menangis terisak-isak se-
raya memeluk pemuda di hadapannya.
"Nanjar...! Jangan tinggalkan aku...! Aku
akan turut kemana kau pergi. Bawalah aku serta
bila kau kelak meninggalkan wilayah ini..." berkata Yulian dengan suara
menggetar. Terasa ada air
hangat yang membasahi dada si Dewa Linglung.
Nanjar membiarkan dara itu memeluknya, semen-
tara lengannya mengelus rambut sang dara.
"Yulian... mungkinkah hal itu terjadi" Kau
pergi meninggalkan wilayah tempat kau dibesar-
kan. Apakah kau bisa hidup bersamaku" Bersa-
ma orang yang tak tentu kehidupannya?" berkata lirih si Dewa Linglung.
"Mengapa tidak, kekasihku" Aku... aku te-
lah jatuh cinta padamu. Ke mulut Naga atau ke-
sarang Harimau dan kemana kau pergi memba-
waku, aku akan setia mengikutimu...! Nanjar! Oh,
tak mengertikah kau akan perasaan hatiku" Aku
sudah tak mungkin lagi tinggal di wilayah ini. Karena kekuasaan ayahandaku telah
tumbang. Ayahandaku telah tewas. Aku tak tahu akan ba-
gaimanakah nasibku selanjutnya" Dan kelompok
orang-orang Mongol itu akan tetap mengejarku...
Dan... ahh..." Gadis itu tak meneruskan kata-katanya, karena dia telah terisak-
isak membe- namkan wajahnya ke dada Nanjar.
Perlahan Nanjar melepaskan pelukan dara
itu. Lengannya menggamit dagu Yulian hingga
wajah dara itu kembali menengadah.
"Sudahlah, Yuhan manis...! Gadis cantik
akan jelek kalau menangis. Aku akan..."
"Kau akan membawaku nanti setelah kau
berhasil menguasai kitab ilmu sihir putih itu?"
potong Yulian dengan wajah berubah cerah. Nan-
jar mengangguk sambil tersenyum. Mau tak mau
hatinya jadi trenyuh dan ada perasaan aneh yang
menggebu dalam dadanya. Hangatnya tubuh dara
itu serta harum mulutnya membuat Nanjar seper-
ti terpagut ke dalam suatu perasaan yang mende-
barkan jantung... Dan Yulian berbisik lirih.
"Nanjar... Oooh... I Love You... Nanjar..."
Wajah keduanya semakin mendekat, sementara
sepasang mata gadis itu telah setengah terpejam
dengan bibir yang mungil merekah menantikan
lumatan bibir yang semakin mendekat. Akan te-
tapi ditunggu-tunggu tak terasa ada sesuatu yang
menempel di bibirnya, membuat dara ini kembali
membuka matanya.
"Nanjar... apakah kau tak mencintaiku...?"
berkata Yulian dengan suara lirih berdesis, dan
mata masih terpejam.
"Aku... aku mencintaimu, Yulian..." sahut
si Dewa Linglung. Dan... tiba-tiba saja dia telah melumat bibir mungil dara itu.
Dari itu balas me-rengkuh dengan gejolak asmara yang menggebu-
gebu. Begitu lamanya dia menahan perasaan rin-
du, membekamnya dalam dada. Kini dia menum-
pahkan segalanya. Dia telah siap memasrahkan
segala-galanya... Tapi tiba-tiba Nanjar mele-
paskan pelukan dara ini. Tentu saja membuat Yu-
lian merasa aneh. Dia melihat pemuda itu mema-
lingkan wajahnya menatap ke arah sela lubang.
Telinga Nanjar memang mendengar ada suara
mendekati ke arah sela lubang. Dara ini jadi be-
rubah tegang. Nanjar memberi isyarat padanya
agar tak menimbulkan suara.
Keadaan yang menegangkan itu segera le-
nyap, ketika yang muncul di sela lubang itu ter-
nyata cuma seekor tikus putih. Binatang itu me-
masuki celah lubang itu, lalu lari ke sudut, dari, menyelinap lenyap disela
batu. Nanjar menarik nafas lega. Demikian juga
dara itu. Sesaat si Dewa Linglung menatap pada
gadis itu. Dara ini memeluk erat Nanjar.
Hatinya lega karena dia menyangka orang-
orang Mongol anak buah kepala suku yang telah
mencari dirinya.
5 Dara itu mendadak lepaskan dekapan-
nya... "Aku harus segera kembali, Nanjar...! Saat
aku pergi ke mari kepala Suku dan beberapa
orang Mongol lainnya sedang pergi. Cuma ada
seorang Mongol yang menjaga perkampungan ke-
cil itu dalam keadaan tertidur pulas karena sema-
lam suntuk berjaga-jaga. Aku harus segera kem-
bali ke sana sebelum kepala Suku dan anak
buahnya pulang..." berkata Yulian. Nanjar mengangguk. Matanya menatap dara itu
tajam-tajam. Entah mengapa Nanjar merasa mulai merasa
khawatir dan sangat memperhatikan gadis asing
itu. "Selama ini kau baik-baik saja, Yulian...?"
Dara itu mengangguk. "Mereka semua baik-baik, dan tak seorangpun yang mengganggu
aku. Mungkin mereka masih mengharapkan keadaan
berubah. Peperangan di beberapa tempat memang
masih berlanjut. Seandainya kekaisaran ayahan-
daku dapat dikembalikan dan musuh dapat dipu-
kul mundur, tentu mereka akan menerima imba-
lan karena telah melindungi diriku sebagai puteri Kaisar. Akan tetapi aku
mengira harapan itu cu-ma kosong belaka. Dan mereka cuma menantikan
hal yang sia-sia..."
Sesaat lamanya Nanjar tercenung. Tapi dia
tak berkata apa-apa selain cuma berdiam membi-
su. Suasana menjadi hening.
"Apa yang kau pikirkan, kasihku...?" tanya Yulian. Lengannya membelai dada
telanjang pemuda ini.
"Aku... ah, aku lupa belum memakan ma-
kanan yang kau bawakan...!" sahut Nanjar. Yulian tersenyum seraya cepat beranjak
dan men- jumput bungkusan kain berisi makanan itu. Lalu
memberikannya pada Nanjar.
Saat itulah mereka tersentak karena sa-
yup-sayup telinga mereka mendengar suara te-
rompet yang ditiup panjang berulang-ulang. Se-
saat keduanya saling tatap. Yulian terperangah.
Mendadak wajahnya berubah.
"Suara apakah itu, Yulian...?" bertanya Nanjar.
"Oh... itu... itu suara terompet tanda ke-
menangan!" sahut dara itu seraya melompat berdiri. Lalu beranjak cepat menuju
lubang. Nanjar ikut memburu keluar. Apakah yang dilihat Nanjar
dan dara asing itu" Ternyata tampak ratusan ten-
tara berbaris menuju sebuah perkampungan kecil
di dataran salju itu. Di bagian depan ratusan tentara Kerajaan itu tampak dua
belas laki-laki
orang-orang Mongol yang dikenal Yulian adalah
kelompok yang dikepalai oleh kepala Suku. Yulian
tertegun menatap seperti tak percaya.
Tampak ratusan tentara Kerajaan berhenti
tak meneruskan perjalanan. Tapi dua puluh
orang serdadu dengan dikepalai seorang pemuda
gagah berkuda meneruskan perjalanan dengan
mengikuti dibelakang dua belas laki-laki orang
Mongol. "Oh... tak salahkah mataku" Itu... itu bu-
kankah Pangeran Alamando...?" sentak gadis ini dengan suara berdesis. "Ah,
ternyata bala bantuan telah datang...! Begitu cepat...! Ya, mengapa begitu
cepat...?"
"Siapakah Pangeran Alamando itu?" tanya
Nanjar. "Dia... dia pangeran dari Kerajaan Thor! Te-
tangga dari kerajaan ayahandaku yang telah di-
kuasai musuh. Ternyata keadaan telah berubah
sedemikian cepat...!" sahut Yulian dengan suara parau. Suara yang terdengar
seperti haru bercampur girang. Akan tetapi juga tercampur rasa
sedih. Karena saat itu terdengar suara genderang
dan terompet di kejauhan mengiramakan nada-
nada kemenangan. Ternyata bala bantuan dari
Kerajaan Thor telah berhasil merebut kembali wi-
layah Kerajaan ayahanda gadis itu. Dan kedatan-
gan Pangeran Alamando adalah untuk menjemput
dirinya. "Apa maksud kata-katamu Yulian" Apakah
yang begitu cepat?" pertanyaan si Dewa Linglung membuat dia tersadar dari
tercenungnya. Dara ini
menoleh pada Nanjar. Tampak sepasang matanya
basah oleh air mata yang menggenang.
"Nanjar...! Tampaknya makanan yang ku-
bawakan padamu adalah makanan yang terak-
hir...! Karena...karena aku akan segera dijemput
untuk kembali ke kerajaan Read Stair Of Thor!
Kerajaan Bintang Merah telah dipersatukan den-
gan Kerajaan Thor! Ternyata kejadian ini sungguh
diluar dugaanku...! Bala bantuan dari Kerajaan
Thor mendapat kemenangan dan berhasil mengu-
sir musuh. Aku tak menyangka kalau akhirnya
kita akan berpisah..." sahut Yulian dengan air mata mengalir membasahi kedua
pipi. Nanjar seperti terjaga dari sebuah mimpi.
Ditatapnya wajah dara itu. Ditatapnya bulu mata
yang lentik dari sepasang mata yang biru itu. Se-
saat lamanya dia tertegun mematung. Akan tetapi
tak lama dia segera menghela nafas. Nanjar me-
megang kedua bahu dara itu seraya berkata.
"Pergilah gadis manis...! Aku bahagia men-
dengarnya. Kau memang tak berjodoh denganku,
dan kukira kehidupanmu kelak akan lebih baik...!
Pangeran Alamando tampaknya seorang laki-laki
gagah. Dia tentu akan menyayangi kau kelak se-
bagai permaisurinya!"
"Dari mana kau... kau mengetahui dia
akan menjadi suamiku...?" sentak Yulian dengan mata membelalak. Hatinya terkejut
karena Nanjar telah mengetahui kalau Pangeran Alamando ada-
lah calon suaminya.
"Dari sinar matamu...!" sahut Nanjar dengan tersenyum. Dara ini tundukkan
wajahnya. Bibirnya menggetar mengucapkan kata-kata.
"Dengan keadaan yang telah berubah se-
perti sekarang ini, aku memang tak dapat meno-
lak lamarannya...! Tapi... Nanjar...! Aku... amat mencintaimu...!" kata gadis
ini. Dan serta merta dia memeluk Nanjar dengan terisak-isak. Dibe-namkan
wajahnya ke dada bidang pemuda itu.
Walau dia merasa gembira dengan kemenangan
itu, akan tetapi dilain pihak hatinya menjadi hancur luluh. Dia telah terlanjur
mencintai pemuda
berkulit sawo matang itu.
Nanjar melepaskan diri dari pelukan dara
ini, menggamit dagunya dan mengecup mata yang
basah itu. "Kembalilah segera Yulian! Aku juga men-
cintai dirimu. Tapi kau tak boleh tidak harus se-
gera pulang! Lihatlah! Mereka pasti akan menca-
rimu karena kau tak berada dalam perkampun-
gan itu..."
Yulian memandang ke bawah. Tampak dua
puluhan serdadu kerajaan Thor dengan dikepalai
Pangeran Alamando telah memasuki mulut desa
dimana dia berdiam selama ini.
"Nanjar...! Aku tak akan melupakan semua
yang kualami bersamamu... Baiklah! Aku akan
kembali, Nanjar....! I Love You... dear...!"
Sekali lagi Yulian mengecup dan melumat
bibir pemuda gagah yang dikaguminya itu. Ke-
mudian melepaskannya dengan mata menatap
wajah si pemuda.
"Selamat tinggal, pahlawanku..." katanya berdesis dengan bibir tersenyum kaku.
Terasa berat rasanya perpisahan itu. Tapi dia memang ha-
rus segera kembali.
"Selamat jalan, Yulian...! Aku akan selalu
mengenangmu, gadisku...!" Yulian mengangguk.
"Ya...! Kita akan saling mengenang...!" sahutnya dengan senyum yang kini nampak
telah ikhlas. Dan... diapun balikkan tubuh. Kemudian berge-
gas cepat menuruni tebing batu berlapis salju itu.
Namun di balik batu besar di bawah sana, dia
berhenti. Dipalingkan kepalanya menengadah ke
atas tebing. Lengannya diacungkan ke atas dan
digapai-gapaikan seperti mengucapkan selamat
Dewa Linglung 27 Raja Penyihir Sinting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tinggal untuk yang terakhir sekali. Nanjar yang
masih berdiri di muka lubang membalas mengga-
paikan tangannya. Selang sesaat dara itupun ber-
lari cepat menuju ke arah perkampungan orang-
orang Mongol itu tak menoleh lagi. Sesaat an-
taranya si Dewa Linglung balikkan tubuh. Lalu
memasuki lagi lubang rahasia itu, dan menggeser
batu menutup lubang itu...
Nanjar memang telah berniat akan mempe-
lajari isi kitab ilmu sihir putih itu dan berdiam di tempat itu sampai dia
berhasil memperoleh ilmu
warisan si Raja Penyihir Sinting.
6 Di pertengahan Bulan Kedua Belas... suatu
wilayah di Selatan dilanda kegemparan dengan
beberapa kejadian aneh yang dialami penduduk
di beberapa desa. Kejadian aneh itu adalah mun-
culnya suatu bencana menyeramkan yang me-
nimpa kaum wanita yang dalam keadaan men-
gandung, atau tengah melahirkan bayi.
Telah belasan jiwa melayang karena keja-
dian aneh yang melanda seperti sebuah wabah
penyakit, atau seperti suatu hal yang diakibatkan dari adanya suatu kutukan!
Karena setiap wanita
yang tengah mengandung pasti menginginkan da-
rah. Keinginan menghirup darah itu hampir me-
rata di antara beberapa desa pada setiap wanita
yang mengandung. Hingga membuat ketakutan
sang suami terhadap keinginan isteri mereka. Ka-
rena setelah habis darah ternak yang mereka mi-
liki, tentu akan menginginkan darah manusia.
Di beberapa tempat telah terjadi kepanikan
karena seorang isteri yang mengidam meminum
darah telah nekat memenggal leher suami atau
anaknya sendiri. Sungguh suatu kejadian aneh
yang sangat mencemaskan.
Kejadian aneh yang berikutnya adalah bila
wanita itu melahirkan, akan menjerit-jerit kesakitan dan sekarat... kemudian
tewas! Anehnya bayi
yang dilahirkan bukan berbentuk seorang bayi
manusia. Melainkan berpuluh ekor kala, kelabang
dan bermacam binatang berbisa lainnya yang ke-
luar dari dalam rahim wanita itu. Hal inilah yang membuat hampir gila penduduk
di beberapa desa
itu memikirkannya. Hingga masing-masing kepala
desa telah berembuk untuk mengambil jalan ke-
luar dari kejadian-kejadian yang mengerikan itu.
Hasil musyawarah memupakatkan, para suami
tidak diperbolehkan berhubungan dengan iste-
rinya untuk waktu sementara. Karena dikhawa-
tirkan isteri mereka akan hamil, lalu mengidam
meminum darah... Juga dikhawatirkan jika men-
jelang melahirkan akan tewas, dan bayi yang di-
lahirkan bukan bayi sewajarnya.
Di tengah keresahan yang melanda dan
membuat panik para penduduk desa itu, muncul-
lah seorang nenek tua renta melangkah terbung-
kuk-bungkuk menuju ke tengah desa. Beberapa
warga desa yang melihat munculnya seorang ne-
nek tua asing itu tampak agak mencurigai. Diam-
diam beberapa orang membuntuti nenek tua itu.
Sedang yang lainnya dengan cepat melapor pada
kepala desa. Setiba di tengah desa, wanita tua ini ber-
henti. Lalu memutar pandangan ke sekeliling
arah. Mendadak dia mengacungkan tongkatnya
ke atas. Dan terdengarlah suara tertawanya ter-
kekeh-kekeh. Belasan pasang mata menatap ter-
tuju pada nenek tua aneh itu. Segerombol laki-
laki yang mengintai sama terheran karena tak
mengenal perempuan tua itu. Dan apa yang akan
dilakukan si nenek di tengah desa itu" Setelah
puas tertawa, si nenek berkata lantang.
"Hooiiii...! Dengarlah semua penduduk de-
sa! Aku datang untuk menyelamatkan kalian dari
musibah di desa ini! Tahukah kalian apa sebab-
nya terjadi kejadian-kejadian mengerikan di desa
ini" Hihik...hik, itulah karena kelalaian kalian
memberikan sesajen pada Peri Ratu Kemuning!
Saat ini kalian orang-orang lelaki sangat menderi-ta karena tak dapat
berhubungan dengan isteri-
isteri kalian. Akan tetapi sejauh mana kalian
kaum laki-laki akan mampu bertahan" Ketahui-
lah! Kutukan ini akan berjalan terus sampai sera-
tus tahun. Kalian dengar itu" Seratus tahun!" teriak si nenek mengulangi kata-
katanya. Sesaat suasana kembali hening. Entah se-
jak kapan para penduduk desa telah bermuncu-
Bangau Sakti 39 Pedang Tanpa Perasaan Karya Khu Lung Tangan Geledek 8